Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN SYOK KARDIOGENIK

Pendahuluan

Syok merupakan suatu keadaan kegawat daruratan yang ditandai dengan kegagalan perfusi
darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Dalam keadaan berat
terjadi kerusakan sel yang tak dapat dipulihkan kembali (syok ireversibel), oleh karena itu
penting untuk mengenali keadaan-keadaan tertentu yang dapat mengakibatkan syok, gejala dini
yang berguna untuk penegakan diagnosis yang cepat dan tepat untuk selanjutnya dilakukan suatu
penatalaksanaan yang sesuai.

 satu bentuk syok yang amat berbahaya dan mengancam jiwa penderitanya adalah syok
kardiogenik. Pada syok kardiogenik ini terjadi suatu keadaan yang diakibatkan oleh karena tidak
cukupnya curah jantung untuk mempertahankan fungsi alat-alat vital tubuh akibat disfungsi otot
jantung. Hal ini merupakan suatu keadaan gawat yang membutuhkan penanganan yang cepat dan
tepat, bahkan dengan penanganan yang agresif pun angka kematiannya tetap tinggi yaitu antara
80-90%. Penanganan yang cepat dan tepat pada penderita syok kardiogenik ini mengambil
peranan penting di dalam pengelolaan/penatalaksanaan pasien guna menyelamatkan jiwanya dari
ancaman kematian.

Syok kardiogenik ini paling sering disebabkan oleh karena infark jantung akut dan kemungkinan
terjadinya pada infark akut 5-10%. Syok merupakan komplikasi infark yang paling ditakuti
karena mempunyai mortalitas yang sangat tinggi. Walaupun akhir-akhir ini angka kematian
dapat diturunkan sampai 56% (GUSTO), syok kardiogenik masih merupakan penyebab kematian
yang terpenting pada pasien infark yang dirawat di rumah sakit.

1.      DEFINISI

         Syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang


diakibatkan oleh gagal jantung rendah preload dikoreksi. Tidak ada definisi yang jelas dari
parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan
tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg, atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih
dari 30 mmHg) dan atau penurunan pengeluaran urin (kurang dari 0,5 ml/kg/jam) dengan laju
nadi lebih dari 60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ. Tidak ada batas yang
jelas antara sindrom curah jantung rendah dengan syok kerdiogenik.

         Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung
kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas. Otot jantung kehilangan
kekuatan kontraktilitasnya,menimbulkan penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang
tidak adekuat ke organ vital (jantung, otak, ginjal). Derajat syok sebanding dengan disfungsi
ventrikel kiri. Meskipun syok kardiogenik biasanya sering terjadi sebagai komplikasi MI, namun
bisa juga terajdi pada temponade jantung, emboli paru, kardiomiopati dan disritmia. (Brunner &
Suddarth, 2001)

         Syok kardiogenik adalah dyok yang disebabkan karena fungsi jantung yang tidak adekuat,
seperti pada infark miokard atau obstruksi mekanik jantung, manifestasinya meliputi
hipovolemia, hipotensi, kulit dingin, nadi yang lemah, kekacauan mental, dan kegelisahan.
(Kamus Kedokteran Dorland, 1998)

2.      ETIOLOGI

a. Gangguan kontraktilitas miokardium

b. Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti paru dan/atau
hipoperfusi iskemik

c. Infark miokard akut ( AMI)

d. Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary, ruptur septum, atau
infark ventrikel kanan, dapat mempresipitasi (menimbulkan/mempercepat) syok
kardiogenik pada pasien dengan infark-infark yang lebih kecil

e. Valvular stenosis

f.  Myocarditis ( inflamasi miokardium, peradangan otot jantung)

g. Cardiomyopathy (myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak diketahui


penyebabnya)

h. Trauma jantung

i.  Temponade jantung akut

j.  Komplikasi bedah jantung

3.      MENIFESTASI KLINIS

a. Nyeri dada yang berkelanjutan, dyspnea (sesak/sulit bernafas), tampak pucat,


danapprehensive (anxious, discerning, gelisah, takut, cemas)

b. Hipoperfusi jaringan

c.  Keadaan mental tertekan/depresi


d.  Anggota gerak teraba dingin

e.   Keluaran (output) urin kurang dari 30 mL/jam (oliguria).

f.  Takikardi (detak jantung yang cepat,yakni > 100x/menit)

g.  Nadi teraba lemah dan cepat, berkisar antara 90–110 kali/menit

h.  Hipotensi : tekanan darah sistol kurang dari 80 mmHg

i.   Diaphoresis (diaforesis, diaphoretic, berkeringat, mandi keringat, hidrosis, perspirasi)

j.   Distensi vena jugularis

k.  Indeks jantung kurang dari 2,2 L/menit/m2.

l.   Tekanan pulmonary artery wedge lebih dari 18 mmHg.

m. Suara nafas dapat terdengar jelas dari edem paru akut

Menurut Mubin (2008), diagnosis syok kardiogenik adalah berdasarkan :

a.  Keluhan Pokok

· Oliguri (urin < 20 mL/jam).

· Mungkin ada hubungan dengan IMA (infark miokard akut).

· Nyeri substernal seperti IMA.

b. Tanda Penting

·  Tensi turun < 80-90 mmHg

·  Takipneu dan dalam

·  Takikardi

·  Nadi cepat

·  Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru

·   Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar

·   Sianosis

·   Diaforesis (mandi keringat)


·   Ekstremitas dingin

·   Perubahan mental

c. Kriteria

Adanya disfungsi miokard disertai :

·  Tekanan darah sistolis arteri < 80 mmHg.

·   Produksi urin < 20 mL/jam.

·   Tekanan vena sentral > 10 mmH2O

·   Ada tanda-tanda: gelisah, keringat dingin, akral dingin, takikardi

4.      PATOFISIOLOGI

Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi patofisiologi gagal
jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah jantung, yang pada gilirannya
menurunkan tekanan darah arteria ke organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang,
sehingga asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada gilirannya meningkatkan iskemia dan
penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan.

Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah,
hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin,
serta kulit yang dingin dan lembab

Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada gagal jantung,
penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan ventrikel kiri dan curah jantung
sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi penatalaksanaan yang telah
dilakukan. Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang berkelanjutan (LVEDP = Left
Ventrikel End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi sebagai
pompa yang efektif.

5.      PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Medis Syok Kardiogenik :

a.   Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi.

b.   Berikan oksigen 8 – 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk


mempertahankan PO2 70 – 120 mmHg
c.   Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang ada harus diatasi
dengan pemberian morfin.

d.  Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi.

e.  Bila mungkin pasang CVP.

f.  Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.

Medikamentosa :

a.  Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri

b.  Ansietas, bila cemas

c.  Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi

d.  Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit

e.  Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi jantung tidak


adekuat Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m.

f.  Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m: bila ada dapat juga diberikan amrinon IV.

g.  Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m

h.  Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan  oksigenasi jaringan. Digitalis


bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.

6.      PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. EKG; mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan aksis, iskemia dan
kerusakan pola.

b. ECG; mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark/fibrilasi atrium, ventrikel


hipertrofi, disfungsi penyakit katub jantung.

c. Rontgen dada; Menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan mencerminkan dilatasi


atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah atau peningkatan tekanan
pulmonal.

d. Scan Jantung; Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan jantung.


e.  Kateterisasi jantung; Tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan dan kiri, stenosis katub atau insufisiensi serta
mengkaji potensi arteri koroner.

f. Elektrolit; mungkin berubah karena perpindahan cairan atau penurunan fungsi ginjal,
terapi diuretic.

g. Oksimetri nadi; Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika CHF memperburuk
PPOM.

h. AGD; Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atau hipoksemia
dengan peningkatan tekanan karbondioksida.

i. Enzim jantung; meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan jantung,misalnya


infark miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim CPK dan Dehidrogenase
Laktat/LDH, isoenzim LDH).

7.      KOMPLIKASI

a. Cardiopulmonary arrest

b. Disritmi

c. Gagal multisistem organ

d. Stroke

e. Tromboemboli

B.     ASUHAN KEPERAWATAN SYOK KARDIOGENIK

1. PENGKAJIAN

a.  Pengkajian primer

·   Airway : penilaian akan kepatenan jalan napas, meliputi pemeriksaan


mengenai adanya obstruksi jalan napas, adanya benda asing. Pada klien
yang dapat berbicara dapat dianggap jalan napas bersih. Dilakukan pula
pengkajian adanya suara napas tambahan seperti snoring.

·   Breathing : frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu


pernapasan, retraksi dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi
pengembangan paru, auskultasi suara napas, kaji adanya suara napas
tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma pada dada.
·   Circulation : dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac
output serta adanya perdarahan. Pengkajian juga meliputi status
hemodinamik, warna kulit, nadi.

·  Disability : nilai tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil.

b.      Pengkajian sekunder

Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.


Anamnesis dapat menggunakan format AMPLE (alergi, medikasi, past illness,
last meal, dan environment). Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala hingga kaki
dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti
foto thoraks,dll.

2.      DIAGNOSA KEPERAWATAN / PRIORITAS MASALAH

a.  Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan pertukaran gas ditandai dengan
sesak nafas, peningkatan frekuensi pernafasan, batuk-batuk.

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran darah


sekunder akibat gangguan vaskuler ditandai dengan nyeri, cardiac out put menurun,
sianosis, edema (vena).

c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme reflek
otot sekunder akibat  gangguan viseral jantung ditandai dengan nyeri dada, dispnea,
gelisah, meringis.

d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supley oksigen dan


kebutuhan (penurunan / terbatasnya curah jantung) ditandai dengan kelelahan,
kelemahan, pucat.

3.      INTERVENSI KEPERAWATAN

a. pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas ditandai dengan sesak
nafas, gangguan frekwensi pernafasan, batuk-batuk

Tujuan : Setelah diberikan askep selama 3x 24 jam diharapkan pola nafas efektif

Kriteria hasil :

·  Klien tidak sesak nafas


·  Frekwensi pernafasan normal

·  Tidak ada batuk-batuk

Intervensi :

1) Evaluasi frekwensi pernafasan dan kedalaman. Catat upaya pernafasan, contoh


adannya dispnea, penggunaan obat bantu nafas, pelebaran nasal

R/ Respon pasien berfariasi. Kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri,
takut, demam, penurunan volume sikulasi (kehilangan darah atau cairan), akumulasi
secret, hipoksia atau distensi gaster. Penekanan pernapasan (penurunan kecepatan)
dapat terjadi dari pengunaan analgesik berlebihan. Pengenalan disini dan pengobatan
ventilasi abnormal dapat mencegah komplikasi
2) Auskultasi bunyi nafas. Catat area yang menurun atau tidak adannya bunyi nafas dan
adannya bunyi nafas tambahan, contoh krekels atau ronki

R/ Auskultasi bunyi napas ditujukan untuk mengetahui adanya bunyi napas tambahan
3) Kolaborasi dengan beriakan tambahan oksigen dengan kanula atau masker sesuai
indikasi

R/ Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru-paru untuk kebutuhan sirkulasi,


khususnya adanya penurunan/ gangguan ventilasi

b. Ketidakefektifan ferfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran darah


sekunder akibat gangguan vaskuler ditandai dengan nyeri, cardiac out put menurun,
sianosis, edema (vena)

Tujuan : Setelah diberikan askep 3x24 jam diharapkan perfusi jaringan perifer efektif

Kriteria hasil :

·  Klien tidak nyeri

·  Cardiac out put normal

·  Tidak terdapat sianosi

·  Tidak ada edema (vena)

Intervensi :
1) Lihat pucat, sianosis, belang, kulit dingin, atau lembab. Catat kekuatan nadi
perifer.

R/ Vasokontriksi sistemik diakibatkan karena penurunan curah jantung


mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi.

2) Dorong latihan kaki aktif atau pasif, hindari latihan isometrik

R/ Menurunkan statis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan


resiko tromboflebis.

3)      Kalaborasi

·  Pantau data laboratorium,contoh : GBA, BUN, creatinin, dan elektrolit


R/ Indikator perfusi atau fungsi organ

·  Beri obat sesuai indikasi: heparin atau natrium warfarin (coumadin)

R/ Dosis rendah heparin mungkin diberika secara profilaksis pada pasien


resiko tinggi dapat untuk menurunkan resiko trombofleblitis atau
pembentukan trombusmural. Coumadin obat pilihan untuk terapi anti
koangulan jangka panjang/pasca pulang

c.       Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme
refleks otot sekunder akibat gangguan viseral jantung ditandai dengan nyeri dada,
dispnea, gelisah, meringis

Tujuan : Setelah diberikan askep selama 3x24 jam, diharapkan pasien merasa nyaman

Criteria hasil :

·         Tidak ada nyeri

·          Tidak ada dispnea

·         Klien tidak gelisah

·         Klien tidak meringis

Intervensi :

1) Pantau atau catat karekteristik nyeri, catat laporan verbal, petunjuk non verbal
dan repon hemodinamik ( contoh: meringis, menangis, gelisah, berkeringat,
mengcengkram dada, napas cepat, TD/frekwensi jantung berubah)
R/ Mengetahui tingkat nyeri agar dapat mengetahui perencanaan selanjutnya
2) Bantu melakukan teknik relaksasi, misalnya napas dalam perlahan, perilaku
diskraksi, visualisasi, bimbingan imajinasi

R/ Membantu dalam menurunan persepsi atau respon nyeri. Memberikan


kontrol situasi, meningkatkan perilaku positif.

3) Kolaborasi

· Berikan obat sesuai indikasi, contoh: analgesik, misalnya morfin,


meperidin (demerol)

R/ meskipun morfin IV adalah pilihan, suntikan narkotik lain dapat


dipakai fase akut atau nyeri dada beulang yang tidak hilang dengan
nitrogliserin untuk menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi, dan
mengurangi kerja miokard. Hindari suntikan IM dapat menganggu
indikator diagnostik dan tidak diabsorsi baik oleh jaringan kurang
perfusi

d.  Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan suplay oksigen dengan


kebutuhan (penurunan atau terbatasnya curah jantung) ditandai dengan kelelahan,
kelemahan, pucat)

Tujuan : Setelah diberikan askep selama 3x24 jam, diharapkan pasien dapat melakukan
aktifitas dengan mandiri

Criteria hasil :

·  Klien tidak mudah lelah

·  Klien tidak lemas

·  Klien tidak pucat

Intervensi :

1) Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila
pasien menggunakan vasolidator, diuretik, penyekat beta

R/ Hipertensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat


(vasodilatasi), perpindahan cairan, (diuretik) atau pengaruh fungsi jantung

2)      Catat respon kardio pulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia,


dispnea, berkeringat, pucat R/ Penurunan atau ketidakmampuan miokardium
untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas, dapat menyebabkan
peningkatan segera pada frekwensi jantung dan kebutuhan oksigen, juga
meningkatkan kelelahan dan kelemahan

3)  Kaji presipitator atau penyebab kelemahan, contoh pengobatan, nyeri, obat

R/ Kelemahan adalah efek samping dari beberapah obat (beta bloker, Trakuiliser
dan sedatif). Nyeri dan program penuh stress juga memerlukan energi dan
menyebabkan kelemahan

4)  Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas

R/ Dapat menunjukkan meningkatan dekompensasi jantung dari pada kelebihan


aktivitas

5)  Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi, selingi periode
aktivitas dengan periode istirahat

R/ Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa mempengaruhi stress


miokard atau kebutuhan oksigen berlebihan

6)      Kalaborasi

·  Impelementasikan program rehabilitasi jantung atau aktivitas

R/ Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung atau komsumsi


oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila disfusi
jantung tidak dapat membaik kembali
Tekanan Vena Sentral

Definisi

Tekanan intravaskular didalam vena cava torakal. Tekanan vena sentral menggambarkan
banyaknya darah yang kembali ke dalam jantung dan kemampuan jantung untuk memompa
darah kedalam sistem arterial. Perkiraan yang baik dari tekanan atrium kanan, yang mana
merupakan faktor yang menentukan dari volume akhir diastolik ventrikel kanan.
Tekanan vena sentral menggambarkan keseimbangan antara volume intravaskular,
venous capacitance, dan fungsi ventrikel kanan. Pengukuran CVP sering digunakan sebagai
panduan untuk menentukan status volume pasien dan kebutuhan cairan dan untuk memeriksa
adanya tamponade.

Pengukuran CVP / RJP (Right Arterial Pressure) dengan menggunakan manometer

Darah dari vena sistemik masuk ke atrium kanan sehingga pengukuran tekanan pada
atrium kanan dapat dilakukan. CVP ditentukan oleh fungsi dari sebelah kanan jantung dan
tekanan darah vena di vena cava. Dalam situasi normal, peningkatan venous return menyebabkan
peningkatan cardiac output tanpa perubahan tekanan vena.  Kalau dilakukan dengan benar,
respon CVP pada pemberian cairan membantu mengevaluasi penggantian volume. CVP
merupakan prosedur yang dapat memberikan gambaran tentang volume intravaskuler, tegangan
vena-vena besar serta fungsi jantung kanan.

Namun bila fungsi ventrikular kanan berkurang atau pada sirkulasi pulmunol yang
terobstruksi, tekanan atrium kanan akan meningkat. Kehilangan volume darah ataupun dilatasi
menyeluruh juga menyebabkan berkurangnya venus return dan tekanan atrium kanan turun.

Penggunaan transducer tekanan elektronik lebih dianjurkan untuk mengukur manometri


yang dihubungkan dengan triway.Suatu kantong reser- voar cairan dan tabung vertikal yang diisi
dengan cairan, ketinggian dari permukaan  cairan dalam tabung manandakan tekanan dari CVP.
Titik 0 pada transduser tekanan diletakkan setinggi atrium kiri (kira-kira pada linea axillaris
media) daripada diletakkan pada sternum yang akan terpengaruh oleh posisi
pasien(supine/semierect/prone). Pastikan tidak terdapat kateter tidak terblok atau kinking dengan
cara mengguyur cairan dari kantong cairan. Setelah itu hubungkan kembali kantong cairan
dengan threeway yang terhubung dengan manometer tubing. Setelah triway dibuka maka akan
terlihat level permukaan cairan akan bergerak turun sampai level pengukuran CVP yang dibaca
dalam bentuk cmH20. Pulsasi vena dan perubahan mengikuti pola respirasi harus terlihat pada
jalur tetapi bukan sebagai gelombang tekanan ventrikel kanan (misalnya pada saat kateter masuk
terlalu dalam)

Gambar 1. Pengukuran CVP dengan menggunakan manometer


Indikasi pengukuran CVP :

 Kegagalan sirkulasi akut

 Antisipasi transfusi darah massif untuk terapi penggantian cairan

 Penggantian cairan yang hati‐hati pada pasien dengan gangguan jantung

 Curiga adanya tamponade


Interpretasi pengukuran tekanan vena sentral :

 Rendah : < 6 cm H2O

 Normal : 6 sampai 12 cm H2O

 Tinggi : > 12 cm H2O

Faktor‐faktor yang mempengaruhi pengukuran tekanan vena sentral :

 Volume darah vena sentral :

 Venous return/cardiac output

 Volume darah total

 Tonus vaskuler regional

 Pemenuhan kompartemen sentral :

 Tonus vaskuler

 Pemenuhan ventrikel kanan

 Penyakit myokard

 Penyakit perikard

 Tamponade

 Penyakit katup trikuspid


 Stenosis

 Regurgitasi

 Ritme jantung : Ritme junctional, Fibrilasi atrium, Disosiasi atrioventrikular

 Tekanan intrathorakal

 Respirasi

 Intermittent positive‐presure ventilation

 Positive end‐expiratory pressure

 Tension pneumothorax

 Level transducer : Posisi pasien

Faktor-faktor yang menurunkan CVP :


1.  Hipovolemik
2.  Dehidrasi
3.  Vasodilatasi

Kateter Vena Sentral

Definisi

Merupakan prosedur memasukkan kateter intravena yang fleksibel ke dalam vena sentral klien
dalam rangka memberikan terapi melalui vena sentral. Ujung dari kateter berada pada superior
vena cava.
Tujuan Pemasangan

Tujuan pemasangan CVP :

1.   Terapi pada klien yang mengalami gangguan keseimbangan cairan.

2.   Sebagai pedoman penggantian cairan pada kasus hipovolemi.

3.   Mengkaji efek pemberian obat diuretik pada kasus-kasus overload cairan.

4.   Sebagai pilihan yang baik pada kasus penggantian cairan dalam volume yang banyak.

Tujuan Perawatan klien dengan CVP :

Perawatan akan menangani atau mengurangi komplikasi dari emboli darah.

INDIKASI PERIOPERATIF

1. Memungkinkan mengetahui tekanan vena sentral


2. Evaluasi fungsi jantung
3. Jalur cepat untuk:
 Memudahkan aspirasi emboli udara yang mungkin terjadi saat prosedu roperasi neuro
 Infuse obat-obat yang durasinya sangat pendek, obat-obat resusitasi dan kardiovaskuler
lain
 Penggantian cairan langsung ke jantung
 Pengambilan sampel darah
 Pengenalan kateter pulmonalis dan pacemaker antar-vena
 Lokasi flebotomi pada udem paru akut

INDIKASI NON OPERATIF

1. Hiperalimentasi
2. Hemodialisa sementara
3. Kemoterapi jangka panjang
4. Jalur penggantian plasma yang sering
KONTRAINDIKASI KATETERISASI VENA SENTRAL

1. Kanulasi vena sentral harus dipertimbangkan pemasangannya pada penderita dengan


gangguan pada faal pembekuan darah. Dapat terjadi hema- tom yang berbahaya pada pemasangan
melalui vena subclavia dan jugularis, terutama bila mengenai pembuluh arteri.
2. Bila daerah pemasangan ada infeksi atau tanda-tanda radang harus dicari tempat lain yang
lebih baik.
3. Kelainan anatomi dan taruma thoraks bagian atas misalnya fraktur clavicula, meningkatkan resiko
via clavicula.
4. Penyakit paru yang kritis (COPD, asma) yang akan meningkatkan resiko terjadinya 
pneumotoraks pada pendekatan subclavia. 
5. Penderita yang sementara di heparinisasi.
6. Trombosis da koagulopati
7. Penderita menolak atau tidak koperatif
8. Operator yang tidak berpengalaman yang tidak diawasi supervisor

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan sebelum melakukan kateterisasi  ke vena
sentral.

1. Sebaiknya pemasangan kateterisasi vena sentral dilakukan diruang tindakan yang steril  (bila ada)
dan tidak dilakukan dilakukan di tengah bang- sal ruang perawatan untuk menghindari
kontaminasi dan saling mengganggu dengan pasien lain.

2. Buat informed konsen dan persetujuan keluarga.


3. Bila penderita masih sadar, sebelum pemasangan sebaiknya penderita diberitahukan terlebih
dahulu maksud dan tujuan serta prosedur kate- terisasi  vena sentral tersebut.
4. Kateterisasi vena sentral harus dilakukan se-asepsis mungkin mirip dengan prosedur
pembedahan.
5. Waspadalah akan masuknya udara, walaupun pasien dalam keadaan head-down.

6. Selalu memikirkan dimana ujung jarum berada.


7. Darah harus dapat diaspirasi dengan mudah dari kateter intravena sebelum cairan infus atau obat
dimasukkan. Bila tidak dapat diaspirasi de- ngan mudah berarti terjadi kesalahan penempatan
sampai dibuktikan sebaliknya.
8. Jangan menarik kembali kateter yang telah/masih ada di dalam jarum logam (misal venocath)
karena bahaya terpotongnya kateter oleh ujung jarum. Bila sampai terpotong maka
pengambilannya hanya bisa dilakukan dengan cara pembedahan.
9. Kanulasi vena sentral dapat memakai kateter panjang untuk pemakaian jangka lama atau dengan
kateter vena yang pendek misalnya abbocath ukuran besar untuk sementara pada keadaan
darurat. Bila vena sudah terisi cairan dapat dilanjutkan dengan kanulasi vena perifer.

10. Dipasaran telah tersedia kateter intra vena dengan berbagai ukuran, diameter dan panjang yang
bervariasi baik dengan single lumen atau  multi lumen. Pilihlah yang sesuai dengan kebutuhan.
Sesuaikan dengan lokasi pemasangan, lama pemasangan, indikasi pemasangan dan kemampuan
ekonomi pasien.

TEMPAT KATETERISASI VENA SENTRAL

Kanulasi vena sentral dapat dipasang melalui beberapa tempat, masing-masing letak
mempunyai keuntungan-keuntungan dan kerugian-keru- gian tersendiri.

Kanulasi vena sentral dapat dilakukan melalui :

 Vena subclavia (pendekatan infraclavicular dan supraclavicular) .

 Vena jugularis, pada vena jugularis interna (VJI) dan eksterna (VJE).
 Vena femoralis

 Vena antecubital, pada vena basilica atau cephalica.


 Vena umbilikalis, pada bayi baru lahir.

Akan tetapi tempat yang paling sering dilakukan insersi yaitu : vena subclavia (pendekatan
infraclavicular), vena jugularis interna, vena antecubital  dan vena femoralis.

Prosedur
Persiapan alat :
1. Kateter CVP sesuai ukuran
2. Needle intriducer
3.Syringe
4.Mandrin (guidewire)
5. Duk steril

Teknik pemasangan yang sering digunakan adalah teknik Seldinger

Caranya adalah dengan menggunakan mandarin yang dimasukkan melalui jarum, jarum
kemudian dilepaskan, dan kateter CVP dimasukkan melalui mandarin tersebut. Jika kateter
sudah mencapai atrium kanan, mandarin ditarik, dan terakhir kateter disambungkan pada IV set
yang telah disiapkan dan lakukan penjahitan daerah insersi.
Langkah Pemasangan :

 Penderita tidur terlentang (trendelenberg)


 Bahu kiri diberibantal
 Pakai sarung tangan
 Desinfeksi daearah CVP
 Pasang doek lobang
 Tentukan tempat tusukan
 Beri anestesi lokal
 Ukur berapa jauh kateter dimasukkan
 Ujung kateter sambungkan dengan spuit 20 cc yang diisi NaCl 0,9% 2-5 cc
 Jarum ditusukkan kira – kira 1 jari kedepan medial, kearah telinga sisi yang berlawanan
 Darah dihisap dengan spuit tadi
 Kateter terus dimasukkan kedalam jarum, terus didorong sampai dengan vena cava
superior atau atrium kanan
 Mandrin dicabut kemudian disambung infus -> manometer dengan three way stopcock
 Kateter fiksasi pada kulit
 Beri betadhin 10%
 Tutup kasa steril dan diplester

Cara Menilai CVP dan Pemasangan Manometer

Cara Menentukan Titik Nol

CVP Manometer

 Penderita tidur terlentang mendatar


 Dengan menggunakan slang air tang berisi air ± setengahnya -> membentuk lingkaran
dengan batas air yang terpisah
 Titik nol penderita dihubungkan dengan batas air pada sisi slang yang satu. Sisi yang lain
ditempatkan pada manometer.
 Titik nol manometer dapat ditentukan
 Titik nol manometer adalah titik yang sama tingginya dengan titik aliran vena cava
superior, atrium kanan dan vena cava inferior bertemu menjadi satu.
Liat gambar di bawah ini

Posisi pasien saat pengukuran CVP

Penilaian CVP

 Kateter, infus, manometer dihubungkan dengan stopcock -> amati infus lancar atau tidak
 Penderita terlentang
 Cairan infuse kita naikkan kedalam manometer sampai dengan angka tertinggi -> jaga
jangan sampai cairan keluar
 Cairan infuse kita tutup, dengan memutar stopcock hubungkan manometer akan masuk
ketubuh penderita
 Permukaan cairan di manometer akan turun dan terjadi undulasi sesuai irama nafas, turun
(inspirasi), naik (ekspirasi)
 Undulasi berhenti -> disitu batas terakhir -> nilai CVP
 Nilai pada angka 7 -> nilai CVP 7 cmH2O
 Infus dijalankan lagi setelah diketahui nilai CVP

Nilai CVP

 Nilai rendah : < 4 cmH2O


 Nilai normal : 4 – 10 cmH2O
 Nilai sedang : 10 – 15 cmH2O
 Nilai tinggi : > 15 cmH2O

Penilaian CVP dan Arti Klinisnya

CVP sangat berarti pada penderita yang mengalami shock dan penilaiannya adalah sebagai
berikut:
1. CVP rendah (< 4 cm H2O)

 Beri darah atau cairan dengan tetesan cepat.


 Bila CVP normal, tanda shock hilang -> shock hipovolemik
 Bila CVP normal, tanda – tanda shock bertambah -> shock septic

2. CVP normal (4 – 14 cm H2O)

 Bila darah atau cairan dengan hati – hati dan dipantau pengaruhnya dalam sirkulasi.
 Bila CVP normal, tanda – tanda shock negatif -> shock hipovolemik
 Bila CVP bertambah naik, tanda shock positif -> septik shock, cardiogenik shock

3. CVP tinggi (> 15 cm H2O)

 Menunjukkan adanya gangguan kerja jantung (insufisiensi kardiak)


 Terapi : obat kardiotonika (dopamin).
Perawatan CVC

 Fiksasi kateter dengan baik


 Aliran CVP harus lancar
 Ganti kain kasa tiap hari  (dibersihkan pakai betadine dan hansaplas)
  Perhatikan tanda-tanda infeksi
 Perhatikan kesterilan

Komplikasi

 Pneumothoraks
 Emboli udara
  Kelebihan cairan
 Sepsis
 Infeksi local atau sistemik (mis. endokarditis)
 Emboli pulmoner
  Disritmia
 Erosi vena cava superior yang mengakibatkan hemothoraks dan tamponade jantung
 Sumbatan pada kateter akibat stopcock yang tidak tepat menyebabkan pemberian cairan infus
melambat.
 Perdarahan karena selang terlepas dari kateter vena central
DAFTAR PUSTAKA

http://sumberkeperawatan.blogshop.com/2010/07/cardiovaskuler.

http;//sumberkeperawatan.blogshop.com/

http://www.makalahkesehatan.co.cc/2010/12/syok-kardiogenik.html

http://www.syok kardiogenik.com

http://yuflihul.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-gawat-darurat-

      pada.html

American College Of Surgeons Committee On Trauma,2007. Hal: 111-2

Singer M. M.D.,Webb A.R. M.D., Central Venous Catheter-Use. In: Critical Care 2 nd Edition,

Oxford Handbook, Departement Of Intensive Care University College London Hospitals,2005,

pp. 114-7

Hocking G. M.D. Central Venous Access and Monitoriing. In : Article of Practical Procedures,

Frimley Park Hospital, Portsmouth Road,2000.

Mancini E. Mary. 2002.  Prosedur Keperawatan Darurat. Jakarta : EGC

Komisi Trauma ATLS Pusat. Pemantauan Tekanan Vena Sentral. Pada: Buku ATLS Edisi

Anda mungkin juga menyukai