Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


PPOK adalah penyakit paru obstruktif kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan batuk produktif dan dispnea dan terjadi
obstruksi saluran napas sekalipun penyakit ini bersifat kronis dan merupakan gabungan dari
emfisema, bronkitis kronik maupun asma, tetapi dalam keadaan tertentu terjadi perburukan
dari fungsi pernapasan.
 Data badan kesehatan dunia ( WHO ) menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK
menempati urutan ke 6 sebagai penyebab utama kematian di dunia sedangkan pada tahun
2002 telah menempati urutan ke 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Di America
Serikat di butuhkan dana sekitar 32 juta  US$ dalam setahun dalam menanggulangi penyakit
ini ,dengan jumlah pasien sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang meninggal.

Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS),


prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan
bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan(3,3%).

1.2 TUJUAN
1. Mahasiswa dapat menjelaskan terminologi dari skenario
2. Mahasiswa dapat menjelaskan hubungan merokok dengan keluhan pasien.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan hubungan pekerjaan dengan keluhan pasien.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan penyebab sesak sering terjadi di malam hari.
5. Mahasiswa dapat menjelaskan interpretasi dari hasil pemeriksaan skenario.
6. Mahasiswa dapat menjelaskan diagnosa banding dari skenario.
7. Mahasiswa dapat menjelaskan diagnosis kerja pada skenario.

1.3 MANFAAT
Manfaat dari penyusunan laporan pleno LBM IV yang berjudul “NAFASKU
BERAT” agar mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar mampu
memahami dan menjelaskan mekanisme keluhan pada skenario bisa terjadi, apa diagnosis
banding, diagnosis kasus pada skenario dan penatalaksanaannya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DATA TUTORIAL


 Hari/tanggal sesi 1 : Senin, 18 Desember 2017
 Hari/ tanggal sesi 2 : Rabu, 20 Desember 2017
 Tutor : dr. H.Agus Widjaja.MHA
 Moderator :Tri Cahaya Putra
 Sekretaris: Xena Pramesti Mahardika

2.2 SKENARIO LBM


LBM IV
“ Nafasku Berat “
Seorang laki – laki berumur 60 tahun,bekerja sebagai karyawan pabrik thiner
datang ke puskesmas dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak dua hari
yang lalu. Dari anamnesis diketahui bahwa sesak nafas sudah dirasakan sejak tiga
tahun yang lalu, hilang timbul dan sering kambuh di malam hari. Pasien memiliki
riwayat merokok sejak SMP dan menghabiskan 20 batang rokok dalam sehari. Tidak
terdapat riwayat atopi dalam keluarganya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebril, dada empisematous, sela iga melebar, auskultasi terdengar ekspirasi
memanjang dan wheezing di kedua lapangan paru.
Dokter menyimpulkan terdapat tanda – tanda obstruksi pada saluran nafas
dan menjelaskan kepada pasien kemungkinan penyakitnya. Dokter memberikan
bronkodilator dalam bentuk metered dose inhaler untuk mengurangi sesak nafas dan
obat lainnya. Pasien kemudian dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan dan
penatalaksanaan selanjutnya. Selain memberikan terapi obat-obatan, dokter juga
menganjurkan pasien untuk segera berhenti merokok.

2.3 PEMBAHASAN LBM


1. KLASIFIKASI ISTILAH
a.Atopi adalah suatu kecenderungan genetik untuk mengembangkan penyakit
alergi, misalnya dermatitis, rhinitis atau asma.
b.Demam sub febril adalah peningkatan suhu tubuh di atas dari normal 36,5 ◦
C, merupakan kompensasi dari adanya peradangan non infeksi.
c. Dada empisematous adalah dada yang bulat dan menonjol (barel cheast)
d. Bronkodilator adalah sebuah substansi yang dapat memperlebar luas
permukaan bronkus dan bronkiolus pada paru-paru, dan membuat
kapasitas serapan oksigen paru-paru meningkat.

e. Metered dose inhaler (MDI) adalah alat terapi inhalasi dengan dosis yang
terukur yang disemprotkan dalam bentuk gas ke dalam mulut dan dihirup.

2. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apakah ada hubungan pasien yang merokok dengan keluhan sesak nafas?
Jelaskan!

2. Apakah ada hubungan pekerjaan pasien sebagai karyawan pabrik thiner


dengan keluhan sesak nafas? Jelaskan!

3. Mengapa sesak nafas pada skenario sering kambuh pada malam hari?
4. Interpretasi pemeriksaan pada skenario !
5. Sebutkan jenis-jenis bronkodilator !
6. Pemeriksaan penunjang apa yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
pada skenario?

3. BRAINSTORMING

1. Apakah ada hubungan pasien yang merokok dengan keluhan sesak nafas?
Jelaskan!

Iya, merokok berhubungan dengan keadaan sesak nafas yang dialami


pasien di skenario. Hal ini dikarenakan, ketika seseorang sering merokok,
zat- zat kimia yang terkandung dalam rokok seperti nikotin, tar, tembakau
tersebut akan mempengaruhi silia pada saluran pernapasan. Silia pada saluran
pernapasan tersebut akan berangsur angsur hilang karena rusak akibat zat-zat
tadi, sehingga sputum pada saluran pernapasan tidak bisa didorong keluar
menuju rongga mulut (normalnya sputum akan dikeluarkan dari saluran
pernapasan dengan bantuan silia),dan menjadi tertimbun di saluran nafas
tersebut. Sputum yang tertimbun akan menyebabkan penyempitan dari
saluran pernapasan, sehigga dapat terjadi sesak nafas.

2. Apakah ada hubungan pekerjaan pasien sebagai karyawan pabrik thiner dengan
keluhan sesak nafas? Jelaskan!

Iya, sesak nafas yang berkaitan dengan kerja merupakan masalah


kesehatan yang bermakna karena menunjukkan dapat terjadinya obstruksi
jalan nafas akut dan kronik. Lingkungan tempat kerja pabrik thiner yang
tertutup dan ventilasi sedikit dapat menyebabkan udara di dalamnya sedikit
mengandung O2 dan lebih banyak mengandung polusi. Banyaknya
kandungan polusi tersebut, dapat meningkatkan produksi sputum untuk
menyaring partikel-partikel kecil asing yang masuk ke saluran nafas, dengan
banyaknya sputum yang tertumpuk di saluran nafas bisa menyebabkan sesak
nafas.
Pajanan dari bahan kimia yang digunakan dalam cat, thiner, pelarut
dan plastik juga dapat terjadi terus menerus selama istirahat atau aktivitas
yang tidak berhubungan dengan kerja selama orang tersebut masih berada di
ruangan yang terpajan. Hal ini berpengaruh buruk terhadap keadaan dari
saluran pernafasan, dan bisa timbul gejala sesak nafas, batuk.

3. Mengapa sesak nafas pada skenario sering kambuh pada malam hari?
Sesak nafas pada malam hari terjadi karena seseorang terkena alergi
pada sore harinya dan dampaknya terasa pada malam hari. Ada juga Ritme
Sirkadian merupakan perubahan fungsi tubuh yang terjadi secara berulang.
Misalnya pada malam hari aktifitas organ tubuh akan berkurang karena
biasanya pada malam hari lebih sering digunakan untuk beristirahat. Pada
masa ini tubuh lebih rentan terserang sesak nafas.

4. Interpretasi pemeriksaan pada skenario !

a. Demam subfebril merupakan kompensasi dari adanya peradangan non


infeksi

b. Dada empisematous merupakan dada tong, dada yang bulat dan menonjol
(barel cheast)
c. Sela iga melebar

D. Wheezing adalah bunyi seperti siulan yang dihasilkan aliran udara


turbulen melalui konstriksi (penyempitan) pembukaan dan biasanya lebih
nyata pada ekspirasi.

5. Sebutkan jenis-jenis bronkodilator !

a. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari)
b. Golongan agonisbeta-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatam jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebulizer dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dinjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c. Kombinasiantikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin
dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
6. Pemeriksaan penunjang apa yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis pada
skenario?

1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%

• Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan


APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi Foto toraks PA dan lateral
Berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema
terlihat gambaran : - Hiperinflasi - Hiperlusen - Ruang retrosternal melebar -
Diafragma mendatar Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di
Indonesia 6 - Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)

Pada bronkitis kronik :

• Radiologi Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus.

4. RANGKUMAN PERMASALAHAN
Merokok sejak Demam sub Dada
Sesak nafas SMP febril empisematous
Terdapat tanda-tanda
obstruksi pada saluran nafas

Bronchitis
PPOK emfisema asma
kronis

Penyakit paru obstruktif kronis


(PPOK)
5. LEARNING ISSUE

1. Apa Saja Diagnosis Banding Pada Skenario?

2. Apa Diagnosis Kerja Pada Skenario ?

6. PEMBAHASAN LEARNING ISSUE


1. Apa Saja Diagnosis Banding Pada Skenario?
A. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)
 Definisi
PPOK adalah penyakit paru obstruktif kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial.

PPOK merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan batuk


produktif dan dispnea dan terjadi obstruksi saluran napas sekalipun
penyakit ini bersifat kronis dan merupakan gabungan dari emfisema,
bronkitis kronik maupun asma, tetapi dalam keadaan tertentu terjadi
perburukan dari fungsi pernapasan.

 Etiologi

Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis kronik, dan


perokok berat. Yang karakteristik dari bronkitis kronik adalah adanya
penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis fungsional), sedangkan dari
emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara itu pada perokok
berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit).

 Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari
tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses
masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa
pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi
adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi
terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas.
Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah
kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan
parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1), dan rasio
volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa
(FEV1/FVC).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-


komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai
tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental
dan adanya peradangan.

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya


peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Parenkim paru kolaps terutama pada ekspirasi karena
ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif
setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif,
maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps ,
sehingga dapat terjadi sesak nafas.

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan


berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada
PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi
makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan
elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan.25 Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan
pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas,
edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.

Gambar : Konsep Patogenesis PPOK

 Manifestasi klinis

Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK


adalah sebagai berikut.

a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3
bulan dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan
pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari
atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
b. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi
sputum. Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak
terus menerustanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk dan
dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.\
c. Sesak napas

Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali


pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang
bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.

B. EMFISEMA
 Definisi
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udra distalbronkiolus terminal, disertaikerusakan dinding alveoli.
 Etiologi

Faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya Emfisema paru


adalah:
1. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya Emfisema
paru, secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia
kelenjar mukus, bronkus metaplasia, epitel skuamus dan
saluran nafas. Menurut Sharma (2006), emfisema terjadi pada
seseorang dengan kebiasaan merokok lebih dari 20 batang
perhari dan kebiasaan merokok tersebut sudah terjadi selama
20 tahun.
2. Polusi
Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu
besar pengaruhnya tetapi bila di tambah merokok resiko akan
lebih tinggi.
3. Faktor sosial ekonomi
Emfisema lebih banyak terdapat pada golongan sosial
ekonomi rendah, mungkin karena perbedaan pola merokok,
selain itu juga disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi
yang lebih jelek.
4. Faktor genetik
Ditandai dengan adanya Eosinofil / peningkatan kadar
Imunoglobin E serum. Adanya hiperresponsif bronkus,
riwayat penyakit obstruktif paru pada keluarga dan defisiensi
protein ɑ-1 antitripsin.

 Patofiosologi

Ada tiga faktor yang memegang peran dalam timbulnya


emfisema yaitu:
1. Kelainan radang bronchus dan bronchiolus yang sering
disebabkan oleh asap rokok dan debu industri. Radang
peribronchiolus disertai fibrosis menyebabkan iskhemia dan
jaringan parut sehingga memperluas dinding bronchiolus.
2. Kelainan atrofik yang meliputi pengurangan jaringan elastik
dan gangguan aliran darah; hal ini sering dijumpai pada
proses menjadi tua.
3. Obstruksi inkomplit yang menyebabkan gangguan pertukaran
udara; hal ini dapat disebabkan oleh perubahan dinding
bronchiolus akibat bertambahnya makrophag pada penderita
yang banyak merokok. Insiden emfisema meningkat dengan
disertai bertambah-nya umur.
Bahan toksik yang terdapat dalam asap rokok dapat
mencapai setiap bagian trakhea dan bronkhus sampai
alveolus. Apabila bahan toksik mencapai alveolus, di alveoli
dapat timbul proses inflamasi, terjadi mobilisasi makrofag
dan netrofil sehingga jumlah dan aktivitas sel fagosit tersebut
meningkat. Aktivasi makrofag akan mengganggu
keseimbangan protease-antiprotease. Disamping itu juga akan
melepaskan Neutrophyl Chemotactic Factor (NCF) yang
memobilisasi netrofil sehingga sekreasi elastase meningkat,
dan dapat melepaskan oksidan yang akan menginaktifasi ɑ-1
antitripsin sehingga terjadi proses perusakan elastin paru
sebagai dasar kelainan emfisema. Aktifasi makrofag juga
dapat disebabkan bahan polutan lain, seperti debu dan polusi
udara.
Berdasarkan morfologinya, Ada dua bentuk emfisema yaitu :
1. Emfisema Sentrilobular
Emfisema sentrilobular ditandai oleh kerusakan pada
saluran napas bronkhial yaitu pembengkakan, peradangan
dan penebalan dinding bronkhioli. Perubahan ini
umumnya terdapat pada bagian paru atas dan terutama
dijumpai pada perokok .Emfisema jenis ini biasanya
bersama-sama dengan penyakit bronkhitis kronis, sehingga
fungsi paru hilang perlahan-lahan atau cepat tetapi
progresif dan banyak menghasilkan sekret yang kental.
2. Emfisema Panlobular
Emfisema panlobular berupa pembesaran yang bersifat
merusak dari distal alveoli ke terminal bronkhiale.
Pembendungan jalan udara secara individual disebabkan
oleh hilangnya elastisitas recoil dari paru atau radial
traction pada bronkhioli. Ketika menghisap udara (inhale),
jalan udara terulur membuka, maka kedua paru yang
elastis itu membesar dan selama menghembuskan udara
(ekshalasi) jalan udara menyempit karena turunnya daya
penguluran dari kedua paru itu. Pada penderita emfisema
panlobular, elastisitas parunya telah menurun karena
robekan dan kerusakan dinding sekeliling alveoli sehingga
pada waktu menghembuskan udara keluar, bronkhiolus
mudah kolaps. Akibatnya fungsi pertukaran gas pada
kedua paru tidak efektif. Emfisema jenis ini terutama
dijumpai pada defisiensi ɑ antitripsin.


 Manifestasi klinis
a. Sesak nafas
b. Mengi
c. Batuk kronis
d. Hilangnya berat badan

C. BRONKITIS KRONIS
 Definisi
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua
tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
 Etiologi
a) Panjanan unsur iritan

b) Kebiasaan merokok
c) Predisposisi genetik

d) Pajanan debu organik atau anorganik

e) Pajanan gas berbahaya

f) Infeksi saluran napas

 Patofisiologi
Bronkitis kronis terjadi ketika unsur-unsur iritan

terhirup selama waktu yang lama. Unsur-unsur iritan ini

menimbulkan inflamasi pada percabangan trakeobronkial,

yang menyebabkan peningkatan produksi mukus dan

penyempitan atau penyumbatan jalan nafas. Seiring

berlanjutnya proses inflamasi, pada sel-sel yang membentuk

dinding trakturs respiratorius akan menyebabkan resistensi

jalan nafas yang kecil dan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

(V/Q) yang berat sehingga menimbulkan penurunan

oksigenasi darah arteri.Bronkitis kronis mengakibatkan

hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, peningkatan jumlah

sel-sel goblet, kerusakan silia, metaplasia, skuamosa pada

epitel kolumner, dan infiltrasi leukositik serta limfositik pada

dinding bronkus.

Hipersekresi sel goblet akan menghalangi kebebasan

gerak silia yang dalam keadaan normal dapat menyapu debu,

iritan serta mukus keluar dari jalan nafas. Seiring penumpukan

mukus dan debris dalam jalan nafas, mekanisme pertahanan

akan berubah dan orang yang mengalami perubahan

mekanisme pertahanan pada jalan nafas ini lebih mudah

terkena infeksi saluran nafas. Efek tambahan lainnya meliputi

inflamasi yang menyebar luas, penyempitan jalan nafas dan

penyempitan mukus di dalam jalan nafas. Dinding bronkus


mengalami inflamasi dan penebalan akibat edema serta

penumpukan sel-sel inflamasi. Selanjutnya efek bronkospasme

otot polos akan mempersempit lumen bronkus. Pada awalnya

hanya bronkus besar yang terlibat inflamasi ini, tetapi

kemudian semua saluran nafas turut terkena. Jalan nafas

menjadi tersumbat dan terjadi penutupan, khususnya pada saat

ekspirasi dengan demikian, gejala nafas akan terperangkap

dibagian distal paru. Pada keadaan ini akan terjadi

hipoventilasi yang menyebabkan ketidakcocokan V/Q dan

akibatnya timbul hipoksemia.

Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi sekunder karena

hipoventilasi. Resistensi vaskuler paru meningkat ketika

vasokonstriksi yang terjadi karena inflamasi dan kompensasi

pada daerah yang mengalami hipoventilasi membuat arteri

pulmonalis menyempit. Peningkatan resistensi vaskuler paru

menimbulkan afterload ventrikel kanan. Dengan terjadinya

episode inflamasi berulang, terjadilah pembentukan parut pada

jalan nafas dan perubahan struktur yang permanen. Infeksi

respiratorius dapat memicu eksaserbasi akut dan dengan

demikian dapat menjadi gagal nafas. Pasien bronkitis kronis

akan mengalami penurunan dorongan untuk bernafas.

Hipoksia kronis yang ditimbulkan menyebabkan ginjal

menghasilkan eritropoentin, yang akan menstimulasi produksi

sel darah merah dan menimbulkan polisitemia. Meskipun

kadar hemoglobin tinggi, namun jumlah hemoglobin tereduksi

(yang tidak teroksigenasi sepenuhnya) yang mengalami

kontak dengan oksigen rendah sehingga terjadi sianosis.

 Manifestasi klinis
a) Sputum yang banyak dan berwarna kelabu, putih, ataupun

kuning

b) Batuk produktif

c) Dispnea

d) Sianosis

e) Penggunaan otot-otot bantu pernafasan

f) Edema pedis

g) Penambahan berat badan

h) Wheezing

i) Pemanjangan waktu ekspirasi

j) Ronkhi

D. ASMA
 Definisi
Asma suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan)
kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas
bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan
rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari
yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa
pengobatan.

 Etiologi
Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan
para ahli, namun secara umum terjadinya asma dipengaruhi
oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
diantaranya riwayat atopi, pada penderita asma biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga memiliki alergi.
Hipereaktivitas bronkus ditandai dengan saluran napas yang
sangat sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen atau
iritan. Jenis kelamin, pada pria merupakan faktor risiko asma
pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak
laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.
Menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih
berjumlah sama dan bertambah banyak pada perempuan usia
menopause. Obesitas, ditandai dengan peningkatan Body
Mass Index (BMI) > 30kg/m2. Mekanismenya belum
diketahui pasti, namun diketahui penurunan berat badan
penderita obesitas dengan asma dapat memperbaiki gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
Alergen dalam lingkungan tempat tinggal seperti
tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dll adalah faktor lingkungan
yang dapat mencetuskan terjadinya asma. Begitu pula dengan
serbuk sari dan spora jamur yang terdapat di luar rumah.
Faktor lainnya yang berpengaruh diantaranya alergen
makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,
coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna
makanan), bahan iritan (parfum, household spray, asap rokok,
cat, sulfur,dll), obat-obatan tertentu (golongan beta blocker
seperti aspirin), stress/gangguan emosi, polusi udara, cuaca,
dan aktivitas fisik.

 Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos
bronkiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang
umum adalah hipersensitivitas bronkioulus terhadap benda-
benda asing di udara. Pada Asma, antibody Ig E umumnya
melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru,
yang berhubungan erat dengan brokiolus dan bronkus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang
tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang
telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat
anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan
leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan
menghasilkan edema lokal pada dinding bronkioulus kecil
maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkioulus
dan spasme otot polos bronkiolus sehingga menyebabkan
tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang
selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan
tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian
luar bronkiolus. Bronkiolus yang sudah tersumbat sebagian
selanjutnya akan mengalami obstruksi berat akibat dari
tekanan eksternal. Penderita asma biasanya dapat melakukan
inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sulit melakukan
ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu
fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat
selama serangan Asma akibat kesukaran mengeluarkan udara
ekspirasi dari paru. Keadaan ini bisa menyebabkan terjadinya
barrel chest.

Gambar 1: Penyempitan Bronkiolus Pada Penderita


Asma

Penyempitan saluran napas yang terjadi pada Asma


merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena
lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di
permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas, dan di bawah
membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi
sal mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan
mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel
jalan napas, netrofil, platelet, limfosit, dan monosit.

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast


intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin
juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan
refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk
ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang
terjadi.

Ada 2 faktor yang berperan penting untuk terjadinya


Asma, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Beberapa
proses terjadi Asma:

1) Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan


lingkungan apabila terpajan dengan pemicu
(inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada
dirinya.
2) Seseorang yang telah mengalami sensitisasi belum tentu
menjadi Asma. Apabila seseorang yang telah mengalami
sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi
proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi
yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat
secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus.
3) Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan
oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan Asma
(mengi).

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan


sebagai berikut:

 Manifestasi klinis
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma,
tergantung dari episode gejala dan derajat obstruksi saluran
napas. Melalui pemeriksaan fisik pasien asma, tampak adanya
perubahan bentuk anatomi thoraks dan ditemukan perubahan
cara bernapas. Pada pemeriksaan inpeksi dapat ditemukan
pasien menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan
dada, napas cepat hingga sianosis, juga kesulitan bernapas.
Ekspirasi memanjang dan mengi dapat ditemukan saat
dilakukan auskultasi pada pasien asma.

2. Apa Diagnosis Kerja Pada Skenario ?

Berdasarkan keluhan,anamnesa, dan pemeriksaan pada skenario,


kelompok kami mengambil diagnosis kerja Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK). Dimana PPOK merupakan penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel
atau reversibel parsial.

 Tatalaksana

 Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :


1. Berhenti Merokok
2. Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status
kesehatan dan toleransi aktivitas.
3. Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik,
tergantung beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat
dan respon pasien.
 4. Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal

Terapi farmakologi
A. Bronkodilator

Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk


meningkatkan FEV1 atau mengubah variable spirometri
dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas.

β2Agonist (short-acting dan long-acting)

Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos


jalan napas dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik
dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan antagonisme
fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari
short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam.
Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1
dan gejala (Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting
β2 agonist pro renata pada pasien yang telah diterapi dengan
long acting broncodilator tidak didukung bukti dan tidak
direkomendasikan. Long acting β2 agonist inhalasi memiliki
waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan salmeterol
memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas, health
related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara
signifikan (Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam
penurunan mortalitas dan fungsi paru. Salmeterol mengurangi
kemungkinan perawatan di rumah sakit (Evidence B).
Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru dengan
waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki
FEV1, sesak dan kualitas hidup pasien (Evidence A). Efek
samping adanya stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat
menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan mempunyai
potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatic
merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat
golongan ini.

Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah
ipratropium, oxitropium dan tiopropium bromide. Efek
utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor
muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing
anticholinergic inhalasi lebih lama dibanding short acting β2
agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam.
Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi,
memperbaiki gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta
memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal (Evidence B).
Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan
antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa
menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data yang
dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat
dan penggunaan obat tersebut.

B. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin.
Obat ini dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi.
Namun obat ini tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.

C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat
memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1<60% prediksi.

D. Phosphodiesterase-4 inhibitor

Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi


dengan menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi,
penggunaan obat ini memiliki efek samping seperti mual,
menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan
sakit kepala.
Terapi non farmakologis

1. Rehabilitasi

2. Konseling nutrisi

3. Edukasi

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, diagnosis kerja pada scenario LBM IV ini
adalah PPOK, PPOK merupakan penyakit paru obtruktif kronis yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial.penyebabnya adalah emfisema, bronchitis kronis, atau keduanya.
Dengan manifestasi klinis batuk kronik, berdahak kronik, dan Sesak napas.
Penatalkasanaannya ada yang secara farmakologi dan non farmakalogi.
DAFTAR PUSTAKA

Crit Chest Ina J.dkk. 2014. Cronic Obstructive Pulmonary Disease.( Vol 1 no 2). Hal 83-87.
Djojodibroto, R A. 2009. Emfisema. Dalam: Respirologi. Jakarta: EGC. Hal: 116-118.
Goldman, L., & Ausiello, D. (2012). Cecil Medicine (Vol. 24th). Philadelphia: Saunders
Elsevier.

Hall, J. E., & Guyton, A. C. (2011). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology (12th
ed.). New York: Saunders Elsevier.

Harrison. 2014 Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: EGC. Hal 1313.

Kusumaningrum, S. Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan


Diagnosis Emfisema Pulmonum. Biomedika. 2009;1(2):9-15.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia

Price AS, Wilson ML.,2006. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. EGC. 784-5.

Rab, Tabrani H., 2010. Asma Bronkiale. Dalam: Ilmu penyakit Paru. Trans Info Media,
jakarta.

Suharto. Fisioterapi pada Emfisema. CDK. 2000;128:22-24.


LBM IV “NAFASKU BERAT” 23

Anda mungkin juga menyukai