OLEH:
(1902022304)
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus ini menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen. Sebelumnya, pada kuartal I 2020, BPS
melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 2,97 persen, turun jauh
dari pertumbuhan sebesar 5,02 persen pada periode yang sama 2019 lalu. Kinerja ekonomi yang
melemah ini turut pula berdampak pada situasi ketenagakerjaan di Indonesia. SMERU Research
Institute, lembaga independen yang melakukan penelitian dan kajian publik, pada Agustus 2020
merilis catatan kebijakan mereka yang berjudul "Mengantisipasi Potensi Dampak Krisis Akibat
Pandemi COVID-19 terhadap Sektor Ketenagakerjaan". Dalam catatan itu, tim riset SMERU
menggarisbawahi setidaknya ada dua implikasi krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada sektor
ketenagakerjaan. Pertama, peningkatan jumlah pengangguran, dan kedua, perubahan lanskap pasar
tenaga kerja pasca-krisis.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor ini berkurang sekitar
677.100–953.200 orang. Namun, jika dilihat dari proporsinya, konstruksi adalah sektor yang
paling banyak mengurangi penyerapan tenaga kerja dengan proporsi sebesar 3,2 persen–4,5 persen
dari jumlah pekerja di sektor tersebut pada Februari 2020. Meski demikian, ada sektor-sektor yang
diperkirakan masih menyerap tenaga kerja, seperti jasa pendidikan, informasi dan komunikasi,
jasa kesehatan dan kegiatan sosial, serta jasa keuangan dan asuransi. Hal ini kemungkinan terjadi
karena pada kuartal I 2020, produk domestik bruto (PDB) sektor ini mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019.
Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia Pasar tenaga kerja pasca krisis Lihat Foto
Ilustrasi.(Shutterstock) Tim riset SMERU menyebutkan, setidaknya ada empat poin utama yang
akan mendorong terjadinya perubahan lanskap pasar tenaga kerja pasca krisis ekonomi dan
pandemi Covid-19.
Pertama, tingkat penyerapan tenaga kerja tidak akan sebesar jumlah tenaga kerja yang
terkena PHK. Selisih tenaga kerja yang tidak terserap ini, kemudian akan masuk ke dalam
kelompok pengangguran. Apa efeknya dalam hal pemulihan ekonomi pasca krisis? Muhammad
Adi Rahman, peneliti SMERU sekaligus ketua tim riset yang menyusun catatan kebijakan ini,
mengatakan, kemungkinan besar pengangguran, baik angkatan kerja baru dan mereka yang ter-
PHK karena krisis, akan bekerja pada sektor-sektor informal. "Oleh sebab itu, yang perlu
diantisipasi dalam menyusun program pemulihan ekonomi pasca krisis diharapkan juga mengarah
pada sektor-sektor informal agar produktivitas mereka dapat ditingkatkan," kata Adi dalam
wawancara tertulis dengan Kompas.com, Senin (10/8/2020). Dia mengatakan, hal tersebut
diperlukan karena jika produktivitas pekerja dapat ditingkatkan, maka diharapkan tingkat upah
mereka juga akan lebih baik. "Bahkan jika usaha ini dapat berkembang, diharapkan dapat juga
membuka lapangan pekerjaan sehingga mampu menyerap tenga kerja," ujar dia. Baca juga: Jokowi
Hanya Tunda Klaster Ketenagakerjaan, KPA: Sangat Mengecewakan Kedua, perusahaan hanya
akan merekrut tenaga kerja yang memiliki produktivitas tinggi dan mampu mengerjakan beberapa
tugas sekaligus (multitasking). Sebagai contoh, usaha perhotelan hanya akan merekrut tenaga kerja
yang memiliki kemampuan manajerial dan juga bisa melayani tamu di bagian restoran. Hal ini
cukup lumrah sebenarnya, bahkan sejak sebelum pandemi menerpa. Namun, prasyarat ini akan
semakin dibutuhkan oleh perusahaan dalam proses rekrutmen pekerja pasca krisis. Adi
mengatakan pandemi yang terjadi saat ini menjadi semacam peluang bagi sebagian pelaku usaha
untuk berpindah dari yang sebelumnya padat karya ke padat modal. "Situasi krisis ini seakan
menjadi pembelajaran bagi pelaku usaha untuk melakukan efisiensi. Hal ini dikarenakan pada
situasi krisis ini, mereka tetap harus menanggung beban biaya upah walaupun kegiatan produksi
terganggu atau terhenti sementara," kata Adi. Menurut dia, efisiensi dengan meningkatnya
proporsi modal dibandingkan buruh, menjadi pertimbangan pelaku usaha untuk memperbaiki
kondisi keuangan perusahaan kedepannya.
Selain itu, juga untuk mengantisipasi risiko jika suatu hari situasi serupa pandemi ini terjadi
lagi. Ketiga, lapangan usaha yang akan berkembang pasca pandemi Covid-19 adalah usaha yang
berhubungan dengan teknologi. Tenaga kerja yang dibutuhkan juga adalah tenaga kerja yang
memiliki kemampuan di bidang teknologi. Hal ini terbukti dengan terjadinya pergeseran pola
kerja selama pandemi. Jika sebelumnya pekerja diharapkan untuk bekerja di tempat kerja, maka
selama pandemi ini perusahaan juga pekerja harus beradaptasi untuk mengurangi aktivitas mereka,
terutama yang melibatkan bertemunya banyak orang. Salah satu caranya adalah dengan penerapan
pola kerja work from home (WFH). Menurut Adi, pandemi yang terjadi saat ini dapat dikatakan
menjadi katalisator dalam proses adopsi teknologi di masyarakat. Begitu juga dalam proses bisnis
di perusahaan-perusahaan yang mulai memertimbangkan untuk berpindah dari padat karya ke
padat modal.
Pada perusahaan-perusahaan yang padat modal ini diperlukan tenaga kerja yang mampu
mengoperasikan mesin-mesin, atau dengan kata lain memiliki penguasaan teknologi yang lebih
tinggi. "Begitu juga dengan usaha lainnya. Sebagai contoh, usaha retail kedepannya mungkin akan
lebih menggunakan platform online secara lebih massive lagi, di mana hal ini memerlukan tingkat
literasi digital dan informasi yang lebih baik dari sebelumnya," kata Adi. Keempat, sistem alih
daya (outsourcing) dan pekerja kontrak akan lebih diminati oleh pelaku usaha. Sebab, keduanya
memberikan fleksibilitas tinggi kepada perusahaan dalam hubungannya dengan tenaga kerja. Adi
menjelaskan, fleksibilitas yang dimaksud adalah hubungan ketenagakerjaan yang non-standard
seperti tenaga kerja paruh waktu atau tenaga kerja dengan kontrak harian. Fleksibilitas ini dinilai
menjadi menarik bagi para pelaku usaha untuk mengimbangi dengan situasi dunia usaha yang
masih dinamis di masa mendatang. Namun, dia mengingatkan bahwa kesejahteraan tenaga kerja
ini harus dijaga dengan memberikan perlindungan ketenagakerjaan kepada mereka. "Seperti apa
yang sudah disampaikan pada bagian implikasi kebijakan, kami merasa perlu bahwa skema
hubungan kerja seperti outsourcing ini didukung oleh program jaminan ketenagakerjaan yang
dapat menjangkau tenaga kerja secara lebih luas," kata Adi. "Khususnya mereka yang bekerja
dalam hubungan ketenagakerjaan yang non-standard seperti pekerja paruh waktu dan pekerja
kontrak harian," imbuhnya. Menurut dia, hal ini pelu mendapat perhatian, karena saat ini cakupan
tenaga kerja yang terlindungi oleh program jaminan ketenagakerjaan masih minim. "Selain itu,
perlu juga dipertimbangkan skema unemployment benefit untuk melindungi para tenaga kerja
yang sewaktu-waktu kehilangan pendapatan, misal karena kehilangan pekerjaan atau mereka yang
dirumahkan dan tidak mendapatkan gaji," kata Adi. Namun, ia mengakui bahwa hal tersebut perlu
dipelajari secara mendalam terlebih dahulu.
Lalu kapan wabah Covid-19 ini berakhir dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian
Indoensia?
Mengutip dari KOMPAS.com, berdasarkan analisa data yang dikeluarkan oleh The
Singapore University of Technology and Design dengan menggunakan metode estimasi pandemi,
Susceptible Infected Recovered (SIR) dengan Data Driven Estimation (DDE), maka diperkirakan
puncak pandemi di Indonesia telah terjadi pada bulan 19 April 2020 yang lalu dan diperkirakan
akan berakhir secara total pada akhir Juli 2020. Data ini dikeluarkan per 5 Mei 2020 yang diambil
berdasarkan data dari berbagai negara untuk memprediksi berakhirnya pandemi di dunia.
Berdasarkan data tersebut, diperkirakan akhir Mei 2020 kebijakan PSBB dapat segera berakhir.
Dengan demikian, awal Juni seluruh aktivitas dapat kembali berjalan dengan normal. Bila prediksi
yang ditujukan untuk pendidikan dan penelitian ini benar, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia
akan mencapai titik terendah pada kuartal kedua.
Dari sisi makro ekonomi, dengan adanya stimulus fiskal yang disertai dengan realokasi
anggaran untuk kesehatan, perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi nasional dari sektor
keuangan, diharapkan akan dapat meningkatkan perekonomian secara perlahan di kuartal ketiga.
Dengan menggunakan model Input-Output (IO), Tim Riset Ekonomi PT Sarana Multi
Infrastruktur memperkirakan bahwa stimulus fiskal oleh pemerintah sebesar Rp405,1 triliun akan
tercipta output dalam perekonomian sebesar Rp649,3 triliun. Sementara itu, nilai tambah dan
pendapatan pekerja akan meningkat masing-masing sebesar Rp355 triliun dan Rp146,9 triliun.
Dengan penciptaan output, nilai tambah, dan pendapatan dalam perekonomian, stimulus fiskal
yang digelontorkan akan menyerap tambahan tenaga kerja sebesar 15 juta orang atau 11,84 persen
dari total tenaga kerja.
Stimulus fiskal ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia di tahun 2020 sebesar 3,24 persen. Stimulus fiskal juga telah diikuti dengan stimulus
moneter yang diberikan oleh Bank Indonesia dengan menurunkan tingkat bunga acuan dan
pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM). Penurunan tingkat bunga acuan ini diharapkan akan
diikuti dengan penurunan tingkat bunga pasar sehingga dapat mendorong investasi dan
pertumbuhan ekonomi. Pandemi Covid-19 ini juga telah memberikan nuansa baru pada rantai
pasokan dunia (global supply chain). Sumber pasokan dunia yang tadinya dikuasai kurang lebih
20 persen oleh negara China, telah bergeser ke beberapa negara lain karena adanya pandemi ini.
Tentu saja untuk dapat merebut kue pada global supply chain, Indonesia harus berbenah diri agar
lebih menarik investor.
Penurunan tarif pajak penghasilan perusahaan yang telah dikeluarkan dalam Perppu I/2020
perlu diikuti oleh pembenahan dari sisi kepastian hukum investasi, reformasi birokrasi dan iklim
ketenagakerjaan yang sehat. Segala daya upaya perlu dikerahkan secara bersinergi agar Indonesia
dapat bangkit dari kondisi yang disebabkan dari dampak pandemi Covid-19 saat ini.
Di tengah pandemi COVID-19 yang memakan banyak nyawa, banyak dari kita mungkin
terkejut, frustasi dan bingung melihat berbagai negara, termasuk Indonesia, mengabaikan
rekomendasi ilmuwan dan lebih memprioritaskan stabilitas kekuasaan dan aktivitas ekonomi.
Namun, jika melihat dari studi ekonomi politik yang mempelajari interaksi antara politik dan
ekonomi, langkah-langkah buruk yang diambil pemerintah - misalnya upaya menarik wisatawan
ke Indonesia ketika COVID-19 mulai muncul di negara-negara tetangga atau lambatnya
pemberlakuan pembatasan sosial - adalah cerminan dari dinamika pembagian kekuasaan dan
sumber daya dalam suatu negara.
Negara bukanlah aktor tunggal yang netral. Negara adalah ensambel atau kelompok
kelembagaan yang mencerminkan dan menanamkan hubungan kekuasaan yang berkembang
secara historis. Negara mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya, sementara beragam
kekuatan sosial (bisa mengelompok berdasar kelas, koalisi distribusional, kelompok etnis, agama,
maupun pengelompokan lainnya) terus berupaya mengubah institusi negara supaya lebih
menguntungkan bagi kelompoknya. Di Indonesia pasca Orde Baru, misalnya, disain kelembagaan
dari lembaga negara sering berubah mengikuti dinamika politik, seperti pengubahan undang-
undang untuk mengakomodasi jumlah pimpinan lembaga tinggi negara yang bisa diterima semua
mitra koalisi.
Struktur ekonomi politik yang timpang disebut oleh ekonom Mary Mellor sebagai
“transendensi parasitik,” yaitu keadaan ketika sebagian kecil masyarakat dapat mendapatkan
keuntungan dengan cara mengeksploitasi manusia dan makhluk lainnya. Contohnya kebakaran
hutan di Riau atau Kalimantan yang merugikan penduduk setempat terus berulang dan perusahaan
yang melakukan tidak dihukum dengan tegas, sementara para pemiliknya terus menikmati hasil
dari usaha mereka di Jakarta atau bahkan di luar Indonesia.
Dalam kasus COVID-19 hal ini tidak sepenuhnya berlaku, karena elite pun bisa terkena.
Inilah mengapa kita melihat sedikit perubahan sikap elite dalam penanganan pandemi
dibandingkan dengan perubahan iklim. Meskipun demikian, penanganan COVID-19 pun tidak
lepas dari struktur ekonomi politik yang timpang. Kelas menengah ke atas bisa bekerja dari rumah
atau work from home, namun banyak pekerja yang tetap harus mengambil risiko untuk tetap
bekerja karena tidak diliburkan atau karena mereka memiliki penghasilan harian. Dengan fasilitas
yang terbatas, mereka dengan koneksi elite yang kuat segera ditangani, sementara masyarakat
biasa sering tidak mendapatkan kejelasan.
Pemerintah bahkan tidak berkenan menetapkan karantina wilayah, salah satunya karena
pemerintah berkeberatan untuk menanggung biaya hidup warga dan ternak selama masa karantina.
Hal ini membuat banyak pekerja miskin atau informal tetap harus berjuang mencari nafkah di
tengah pandemi. Perselisihan para elit juga membuat penyaluran sumber daya negara menjadi
lamban. Birokrasi negara terpecah-pecah dengan koordinasi yang buruk karena mereka berada
pada jatah lingkaran elite yang berbeda. Mengalihkan sebagian sumber daya yang telah
didistribusikan antar elite sebagai komitmen setelah pemilihan umum juga membutuhkan proses
negosiasi yang lebih lama lagi, karena akan mempengaruhi keseimbangan kekuasaan dan
pembagian sumber daya. Bahkan, dalam kondisi pandemi pun, elite politik masih ngotot
mengesahkan RUU kontroversial seperti RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU Minerba.
Tentu saja bukan tidak ada tren positif sama sekali. Perpu Nomor 1 tahun 2020tentang kebijakan
keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan dan ekonomi untuk Penanganan Pandemi COVID-
19 memberikan fleksibilitas fiskal yang memang dibutuhkan. Sayangnya Perppu itu juga rawan
disalahgunakan, seperti pasal 27 yang menyatakan bahwa pejabat tidak bisa dituntut secara pidana
maupun perdata untuk kebijakan yang diambil dan bahwa tindakan yang diambil berdasar Perppu
ini bukan objek gugatan PTUN.
Memahami realitas ekonomi politik tersebut bukan berarti kita sebagai warga negara cukup
pasrah saja dalam menghadapi krisis kesehatan ini. Memahami bahwa negara bukanlah institusi
yang netral dan berisi konflik kepentingan membuat kita perlu mengupayakan setidaknya tiga hal.
Pertama, kita harus berhenti bersikap naif dengan mengandalkan elite politik dan negara untuk
menyelesaikan masalah kesehatan publik ini. Masyarakat harus membangun inisiatif perlindungan
kesehatan masyarakat secara mandiri dengan semangat gotong royong. Jika elite politik tidak mau
mengalokasikan penerimaan pajak yang dibayarkan warga untuk membiayai hidup warga yang
terdampak oleh upaya pencegahan penyebaran coronavirus ini, kita harus bahu membahu
membangun jaring pengaman sosial berbasis lokal. Kedua, kita harus terus menekan para elite
politik untuk mengambil tanggung jawab mereka karena kepentingan mereka pun akan terdampak
kalau pandemi ini semakin parah. Inisiatif publik untuk turut menanggulangi COVID-19 ini tidak
boleh membuat negara lepas tangan. Masyarakat harus terus mendesak para elite politik
menggunakan berbagai mekanisme yang memungkinkan. Catat dan umumkan kebijakan-
kebijakan buruk serta mereka yang memutuskannya. Beri apresiasi kebijakan-kebijakan yang baik.
Ketiga, rakyat dan masyarakat sipil harus mengkonsolidasikan diri dengan kokoh supaya
kepentingan publik dapat lebih tercerminkan di dalam negara, saat pandemi dan setelah pandemi
ini berakhir nanti.
Proyeksi Ekonomi Indonesia 2021
Rencana Kerja Pemerintah 2021 dengan tema “Mempercepat Pemulihan Ekonomi dan
Reformasi Sosial” yang disusun Kementerian PPN/Bappenas menjadikan 2021 sebagai tahun
untuk mengejar target pembangunan jangka menengah dan panjang. Salah satu strategi yang
diusung adalah mendorong perbaikan mesin penggerak ekonomi yaitu industri, pariwisata, dan
investasi untuk penyerapan tenaga kerja serta menggerakkan usaha-usaha lain yang terkait.
“Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan mencapai 5,0 persen pada 2021. Dengan target
pertumbuhan ekonomi tersebut, Gross National Income atau Pendapatan Nasional Bruto per
kapita, menggunakan Atlas Method, diharapkan mampu meningkat, mencapai US$ 4.190 hingga
4.330 per kapita di tahun depan,” kata Suharso.
Target peningkatan ekspor barang dan jasa diprediksi sebesar 4,5 persen pada 2021,
didorong naiknya permintaan ekspor Indonesia akibat pulihnya aktivitas ekonomi dunia.
Sementara itu, target peningkatan konsumsi masyarakat dibidik 4,7 persen, didorong
tingkat inflasi yang rendah, perluasan bantuan sosial, dan alokasi Kartu Prakerja. Konsumsi
pemerintah juga ditargetkan naik 6,2 persen dengan relaksasi aturan batas defisit anggaran yang
terus berlaku hingga 2021. Target peningkatan impor barang dan jasa juga meningkat, diprediksi
tumbuh 5,9 persen dengan penguatan aktivitas ekonomi domestik.