Dunia
Oleh
1902022216
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Virus corona memberikan dampak yang cukup luas terhadap kegiatan yang
dilakukan masyarakat, salah satunya adalah dampak dalam kegiatan
perekonomian. Kegiatan perekonomian adalah segala aktivitas yang
dilakukan oleh manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Saat ini, Indonesia sedang menghadapi krisis dalam bidang ekonomi yang
disebabkan karena pandemic covid-19. Kondisi tersebut sudah nampak
memprihatinkan, ekonomi secara global 2020 diperkirakan bisa jatuh seperti
depresi 1930, bukan lagi seperti tahun 2008 atau 1998. Kondisi ini juga
memicu penurunan perdagangan bahkan perdagangan internasional. Di
Indonesia sendiri berbagai sektor harus terkendala dalam proses operasi,
seperti pabrik-pabrik yang harus menghentikan proses operasi karena kondisi
yang tidak memungkinkan ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana kondisi masyarakat pasca covid-19 melanda dunia
Apa saja dampak yang di akibatkan
C. TUJUAN
Untuk mengetahui kondisi perekonomian masyarakat pasca terkena covid-19,
terutama untuk warga desa bajera.
Bab II
Pembahasan
Sektor wisata merupakan salah satu sektor yang paling penting karena
memberikan dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat Indonesia
terutama di Bali. Namun, semenjak virus corona melanda Indonesia, perlahan
tempat wisata disana mulai sepi dari wisatawan hingga klimaksnya
pemerintah memberlakukan sistem PSBB dan menutup sementara semua
tempat yang dapat menimbulkan keramaian termasuk tempat wisata. Hal ini
tentu memberikan efek yang sangat luas bagi masyarakat, padahal
kebanyakan kehidupan masyarakat Bali sangat bertumpu kepada sektor
wisata. Berikut ini beberapa dampak covid-19 terhadap sektor wisata Bali.
Imbas yang Signifikan dari Pandemi Covid-19 Terhadap Sektor Wisata Bali
Wisata Pantai sebagai salah satu tempat yang paling diminati wisatawan asing di
Bali ditutup total. Hal ini juga terjadi pada tempat wisata lainnya seperti Pura Ulun
Danu, Desa Jatiluwih, Wanagiri, Bali Zoo, dan banyak lainnya.
Bali merupakan salah satu tujuan para wisatawan lokal sampai asing, tidak heran
jika banyak masyarakatnya yang memanfaatkan kesempatan itu untuk bekerja atau
berwirausaha di berbagai tempat wisata. Namun, di masa pandemi corona dan
ditutupnya sementara semua tempat wisata Bali membuat masyarakat sementara
harus beralih usaha. Padahal beberapa lapisan masyarakat di Bali sangat
bergantung pada kunjungan dari para wisatawan.
Salah satu tempat wisata yang banyak dijadikan untuk mencari penghasilan adalah
pantai. Disana masyarakat yang membuka jasa penyewaan barang, menjual
souvenir, jasa pijat atau usaha lainnya terpaksa harus gigit jari karena keadaan yang
tak kunjung membaik.
3. Pemberhentian Karyawan
Dampak pandemi covid-19 begitu besar, di industri wisata Bali hal ini membuat
banyak karyawan yang bekerja di tempat wisata harus diberhentikan. Para pemilik
atau pengelola tempat wisata mau tidak mau harus mengurangi pengeluaran uang
yang berlebihan, maka dari itu salah satu cara yang dipilih adalah memberhentikan
para pekerja.
Menurut beberapa sumber, di Bali ada ratusan hingga ribuan pekerja yang
diberhentikan, beberapa diantaranya ada yang hanya di rumahkan saja. Namun
tetap saja, adanya pandemi virus covid-19 semakin menambah angka
pengangguran di Indonesia.
Bagi tempat wisata Bali yang masih baru saja mulai merintis, covid-19 begitu
memberikan dampak yang sangat besar. Bagaimana tidak? Popularitas yang
sedang mulai dibangun hancur seketika dengan adanya covid-19 ini. Saat ini
mereka hanya berharap kepada pemerintah untuk membantu menaikan lagi
eksistensi yang sudah mereka bangun sebelum adanya pandemi.
Penutupan objek wisata yang banyak dilakukan membuat para pengelola tempat
wisata bingung memikirkan cara untuk membiayai perawatan di tempatnya. Padahal
biaya perawatan tidaklah murah, mulai dari listrik, air dan lainnya. Sedangkan, satu-
satunya pemasukan mereka hanyalah pada wisatawan yang berkunjung.
Bayu Saputra adalah pekerja di sektor pariwisata Bali yang 'dirumahkan' selama
pandemi virus corona. Dia belum yakin bisa cepat dipanggil untuk bekerja, meski
pemerintah Bali sudah memberi lampu hijau bagi turis domestik datang ke Pulau
Dewata.
"Dibuka lagi mungkin tidak seramai tahun lalu, mungkin dari orang-orang luar negeri
nggak dibolehkan ke sini karena di Bali itu masih belum terlalu terkumpul, terdata
dengan baik. Kalau turis domestik itu sedikit," kata Bayu kepada wartawan Anton
Muhajir yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (29/07).
Bayu pun tak punya rencana untuk berplesiran, sampai mendapat kerja terlebih
dahulu. "Nggak jalan-jalan dulu, kalau bisa kerja dulu, cari duit," katanya.
Bayu dan 76.200 pekerja yang dirumahkan atau di-PHK karena dampak Covid-19 di
Bali memang harus bersabar untuk mendapatkan pekerjaan kembali.
Berdasarkan keterangan Kepala Dinas Tenaga Kerja, IB Ngurah Arda, tak ada
kepastian mereka yang dirumahkan atau di-PHK akan segera kembali bekerja,
meski wisata sudah mulai dibuka.
"Sulit diprediksi tergantung perkembangan pariwisata itu sendiri," katanya melalui
pesan tertulis kepada BBC News Indonesia, Rabu (29/07)
Sementara itu, menurut I Gede Ricky Sukarta, selaku Sekretaris Perhimpunan Hotel
dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung, belum semua sektor ini siap untuk dibuka
kembali.
Gede Sukarta mengambil gambaran dari Kabupaten Badung di mana wilayah ini ia
sebut sebagai 'barometer' karena memiliki industri wisata perhotelan,
villa, homestay, dan restoran terbesar di Bali sekitar 3.425 unit.
"Dari sekian itu, 10% pun belum kita verifikasi. Karena ketika dia siap untuk
diverifikasi, mereka harus melakukan self-assessment," kata Gede Sukarta kepada
BBC News Indonesia.
Gede Sukarta yang ditunjuk sebagai tim verifikasi oleh pemerintah sempat
mengatakan, setelah sektor pariwisata ini diverifikasi kemudian mendapat sertifikat
sebagai tiket untuk bisa dibuka kembali.
Tim verifikasi akan memastikan tempat-tempat penginapan itu telah mendukung
protokol Covid-19, termasuk peralatan dan orang-orang yang bekerja.
"Setiap dua sampai empat jam sekali, semua ruang yang bersentuhan dengan tamu,
karyawan itu harus disinfektan dengan kandungan alkohol 70%," kata Gede Sukarta
menjelaskan salah satu protokol yang harus dipenuhi.
Selain itu, kata Gede Sukarta, pihak hotel juga wajib menyediakan masker
cadangan, tempat cuci tangan, bekerja sama dengan klinik, menyediakan ruang
khusus isolasi, hingga pengecekan suhu tubuh secara berkala.
Protokol ini membutuhkan biaya, termasuk membayar gaji pegawai, promosi dan
segala biaya operasionalnya, seperti membuka usaha baru. "Nah ini perlu bantuan,
BLT (bantuan langsung tunai) ini dari pemerintah," katanya.
Pemprov Bali mengaku kehilangan pendapatan di sektor pariwisata gara-gara
pandemi virus corona, per bulan Rp9,7 triliun. Sehingga selama Maret - Juli
mencapai Rp48,5 triliun. "Ya benar," kata Kepala Dinas Pariwisata Bali, Putu Astawa
mengamini potensi kehilangan devisa dari sektor tersebut.
Putu mengatakan, pihaknya tak mengalokasikan anggaran untuk insentif bagi pelaku
usaha wisata di Bali, bahkan untuk biaya sertifikasi industri penginapan. "Kita nggak
punya anggaran untuk sertifikasi ini. Betul-betul gotong royong," ungkapnya.
Ia juga belum bisa memastikan waktu yang pasti mengenai sektor pariwisata
kembali normal dan hanya mengatakan, 'kita ingin segera bangkit'.
Putu menambahkan pihaknya belum membuka industri hiburan yang memicu orang-
orang berkerumun. "Kalau klub malam jangan dulu, kolom renang yang umum
jangan dulu. Kalau kebon binatang, pura, Pantai Pandawa, Pantai Sanur, Pantai
Kuta itu kita buka," katanya.
Untuk memastikan Protokol Covid-19 diterapkan industri pariwisata saat Bali dibuka
kembali, Dinas Pariwisata telah membentuk tim pengawas, termasuk mengandalkan
hukum adat, yaitu 'Pararem' di mana orang yang melanggar akan dikenakan sanksi
membayar beras lima kilogram.
"Belum lagi di desa adat, itu sudah ada Pararem Gering Covid namanya,
kesepakatan dalam menangani wabah ini, secara adat," kata Putu.
Sementara itu, I Ketut Ardana, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Asosiasi
Travel Agent Indonesia (ASITA) mengatakan kerugian sektor pariwisata yang
ditaksir Pemprov Bali sebagai 'masuk akal'.
Kontribusi devisa pariwisata Bali pada 2019 terhadap perekonomian nasional
sebesar Rp75 triliun atau 28,9%. "Jadi make sense (kehilangan pendapatan) Rp9,7
triliun," kata Ketut.
Khusus sektor biro perjalanan wisata di Bali, Ketut memperkirakan potensi
kehilangan pendapatan Rp5 triliun hingga akhir tahun. "Karena memang tidak ada
kegiatan aktivitas sama sekali. Betul-betul mati, katakanlah begitu," katanya.
Namun, Ketut optimistis pembukaan kembali akses wisata di Bali menggerakan
kembali roda perekonomian masyarakat. Ia memperkirakan pertengahan tahun
depan, dengan syarat vaksin sudah ditemukan atau pemerintah dapat meyakinkan
calon wisatawan bahwa Bali sudah siap dengan protokol kesehatan.
Kawasan Jalan Bakung Sari, Kuta tampak sepi pada Selasa, 1 Desember lalu.
Deretan toko masih tutup. Lalu lalang kendaraan jarang dan tidak ada turis yang
melintas.
Beberapa warga lokal tampak berjalan di trotoar. Ada yang terlihat keluar dari gang
menggunakan sepeda motor. Begitulah suasana Kuta setelah pagebluk Covid-
19 melanda Pulau Dewata hampir 8 bulan.
Di kawasan lain Kuta, seperti Jalan Pantai Kuta sudah tampak beberapa restoran
yang buka. Pusat perbelanjaan juga membuka gerainya. Tapi, hanya beberapa
wisatawan domestik yang berseliweran.
Jalan Pantai Kuta menuju ke Jalan Melasti, Jalan Raya Legian sampai ke Jalan
Raya Basangkasa hingga tembus di Kerobokan biasanya arus kendaraan padat,
bahkan sampai terjadi macet. Namun saat masa pandemi tampak lengang.
Jalur utama Kuta ini biasanya harus dilalui sampai 30 menit, tapi saat sepi jalan
yang panjangnya sekitar 5 kilometer hanya dilalui sekitar 10 menit.
“Coba buka kembali. Desember biasanya yang liburan rame,” kata Ni Putu Suartini,
seorang penjaga art shop di Jalan Raya Legian, Selasa.
Perempuan 37 tahun asal Singaraja itu menyebut saat libur panjang akhir Oktober
lalu, jumlah wisatawan yang datang ke Kuta lumayan banyak. “Mudah-mudahan
akhir Desember ini lebih ramai,” ujarnya.
Denyut pariwisata di Bali ikut berhenti saat Bandara I Gusti Ngurah Rai sempat
menutup penerbangan. Kuta yang merupakan pusat pariwisata Bali saat ini tampak
mati suri.
Mereka yang biasa menggantungkan hidup di sektor pariwisata pun harus banting
setir mencari pekerjaan lain. Seperti Ni Putu Ayu yang kini berjualan kopi, nasi
serta makanan lainnya demi menghidupi keluarga.
“Jualan, karena suami yang kerja di hotel di rumahkan,” kata Ayu kepada Tempo
beberapa waktu lalu.
Ia tidak ada pilihan saat pariwisata terhenti. “Ada tempat kost, tapi yang tinggal
sudah pulang,” ujarnya.
Hal sama diungkapkan oleh Made Putrayadi. Pria asal Karangasem ini harus
bertahan hidup di Kuta meski sudah tidak bekerja lagi di hotel. Ia sehari-hari
berjualan keliling di kawasan Kuta, Legian hingga Canggu dengan menggunakan
sepeda motor.
Makanan yang dijual Putrayadi seperti kopi, nasi bungkus, rokok serta snack.
“Pulang ke kampung juga tidak ada kerjaan, bertani saya tidak punya lahan,” kata
Putrayadi.
Pria 29 tahun itu bersama istri dan seorang anaknya menempati sebuah kamar
kost. Ia diminta menjaga tempat kost yang memiliki 10 ruangan. “Milik saudara istri,
saat pandemi saya tidak bayar,” ujarnya.
“Semua sudah jadi beton. Berbeda dengan tempat lain di Bali yang masih memiliki
sawah,” kata Bendesa Adat Kuta Wayan Wasista, Selasa, 17 November 2020.
Bagi warga yang memiliki jukung atau perahu tradisional Bali, Wasista
menyebutkan masih bisa melaut untuk mencari lauk. Warga yang memiliki rumah
kost dan masih ada yang menempati juga tidak bisa maksimal menarik uang sewa.
“Paling dibayar hanya seperempat saja,” ujarnya.
Terkait dengan warga Kuta yang berjualan di pinggir jalan serta menjadi
pedagang acung keliling, Wasista mengatakan pihak desa adat sebenarnya
melarang. “Karena pandemi dan warga tidak ada pemasukan, akhirnya
diperbolehkan,” ujarnya.
Suasana seperti di Kuta juga tampak di seluruh objek wisata Bali. Meski ada turis
domestik, namun hal itu tidak terlalu berpengaruh. Karena selama ini Bali
mengandalkan pariwisata massal, khususnya wisatawan mancanegara.
Meski begitu, Desa Adat Kuta melalui Lembaga Perkreditan Desa (LPD) beberapa
kali sempat membantu warga dengan paket sembako dan uang tunai. “Hingga
tanggal 27 November ini, sudah empat kali desa adat memberikan bantuan yang
nilainya miliaran rupiah,” kara Wasista.
Pada saat pemberian bantuan yang pertama, jumlah kepala keluarga yang dibantu
sebanyak 2.266 KK. Jumlah itu terus meningkat karena ada warga yang menikah.
Terakhir tercatat 2.283 kepala keluarga. “Jika sudah berkeluarga otomatis tercatat
sebagai warga adat,” ujarnya.
Penutup
KESIMPULAN
Melihat begitu miris nya keadaan ekonomi masyarakat yang terpuruk selama
pandemic seperti perusahan, toko, bahkan tempat wisata tutup (lock down)
sehingga banyak nya para pengangguran. Oleh sebab itu, melalui berbagai
kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut cukup memberikan jalan bagi
masyarakat dalam memberikan berupa bantuan dalam masalah
perekonomian. Namun hal itu, tentu tidaklah dapat mengembalikan
perekonomian sebelum adanya pandemic Covid -19. Akan tetapi kita harus
terus berusaha dan bekerja sama untuk mengembalikan perekonomian
sebelumnya dan terus melakukan peningkatan dalam menghadapi tantangan
ekonomi dan global. Kita juga berharap semoga pandemic covid 19 cepat
berakhir.