Anda di halaman 1dari 27

2.

TATAAN GEOLOGI

2.1. Geologi Regional

Secara geologi Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng


bumi yaitu lempeng benua Erasia dari sebelah barat, lempeng Hindia-
Australia, di sebelah selatan dan lempeng Pasifik dari sebelah timur
(Gambar 2.1). Kalimantan merupakan pulau terbesar di Asia Tenggara
dan terletak di tengah-tengah daerah, oleh karena itu Pulau
Kalimantan merupakan daerah yang mewakili lempeng benua Erasia.
Secara umum batuan di Pulau Kalimantan terbagi menjadi lima
komplek geologi yaitu Komplek Kalimantan Barat, Komplek Schwaner,
Komplek Meratus – Semitau, Komplek Sentral Kalimantan, dan Batuan
Kenozoikum (Gambar 2.2).
Gambar 2.1. Indonesia merupakan pertemuan lempeng Eurasia, lempeng Hindia-
Australia dan Lempeng Pasifik.
Gambar 2.2. Pengelompokan geologi Kalimantan.

Komplek geologi Kalimantan Barat tersusun oleh batuan berumur


Paleozoikum dan Mesozoikum. Komplek ini merupakan bagian dari
Kraton Sunda. Batuan Paleozoikum, terdiri atas batuan granit dan
malihan yang berumur Perem-Karbon (Heryanto, 1991; Supriatna drr.,
1993). Kedua batuan ini ditindih oleh batuan sedimen Mesozoikum,
yaitu batuan sedimen kontinen sampai laut dangkal berumur Trias
Akhir sampai Jura Awal (Easton, 1904). Batuan ekivalen dengan batuan
ini dijumpai di Sarawak (Tan, 1986).

Komplek geologi Schwaner dikenal oleh peneliti terdahulu sebagai


Batolit Schwaner, ditempati oleh batuan tonalit, granodiorit, dan
granit dengan sedikit batuan malihan derajat rendah yang berumur
Jura (157 jtl) sampai dengan Kapur (77 jtl) (Haile drr.,1977).

Komplek geologi Meratus-Semitau yang merupakan jalur struktur,


teramati di Pegunungan Meratus, Kalimantan Tenggara dan di daerah
Semitau, Kalimantan Barat. Komplek ini merupakan struktur tinggian,
dan ditempati oleh batuan Pra-Tersier yang terdiri atas campuran
batuan kerak benua dengan kerak samudera berumur Paleozoikum
sampai Mesozoikum. Batuan ini tercampurkan secara tektonik dimana
satu sama lain dibatasi oleh kontak sesar, dan sebagian berupa batuan
bancuh (melange). Di atasnya ditutupi oleh endapan kipas laut dalam
berumur Kapur Akhir. Jalur struktur ini di bagian tenggara Kalimantan
memanjang dengan arah baratdaya – timurlaut, membentuk
Pegunungan Meratus (Heryanto, 2010), dan di barat Kalimantan
memanjang dengan arah barat – timur dan membentuk Tinggian
Semitau.

Komplek geologi Sentral Kalimantan ditempati oleh batuan endapan


akresi yang merupakan batuan sedimen berumur Kapur Akhir sampai
dengan Paleosen yang menutupi batuan bancuh berumur Kapur Akhir –
Paleosen (Supriatna drr., 1993).

Komplek geologi Batuan Kenozoikum merupakan batuan Tersier yang


menutupi komplek geologi sebelumnya. Batuan ini merupakan batuan
sedimen yang terendapkan dalam tujuh cekungan besar di Pulau
Kalimantan yaitu Cekungan Melawi dan Ketungau di Kalimantan Barat,
Cekungan Barito dan Asam-asam di Kalimantan Selatan, Cekungan
Kutai dan Tarakan di Kalimantan Timur, dan terakhir Cekungan
Sarawak di Sarawak.

2.2. Stratigrafi Regional

Geologi Cekungan Barito, Kutai, Tarakan dan sekitarnya tersaji dalam


Gambar 2.3. Korelasi regional batuan penyusun Cekungan di sekitarnya
tersaji dalam Gambar 2.4. Secara regional batuan tertua di daerah ini
adalah batuan Pra-Tersier yang menempati Tinggian Meratus. Batuan
alas bagian selatan Cekungan Kutai sama dengan batuan alas Cekungan
Barito yaitu batuan Pratersier yang menempati Tinggian Meratus,
sedangkan batuan alas bagian utara Cekungan Kutai sama dengan
batuan alas Cekungan Tarakan yaitu batuan Pratersier yang menempati
Tinggian Embaluh. Korelasi satuan batuan Pratersier di bagian selatan
Cekungan Kutai tersaji dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.3. Peta Geologi dan Struktur Cekungan Kutai dan sekitarnya(Van de
Weer dan Armin, (1992).

Korelasi batuan sedimen di Cekungan Kutai, Barito, dan Tarakan tersaji


dalam Gambar 2.3. sedangkan penampang Cekungan Barito, Kutai
sampai Tarakan tersaji dalam Gambar 2.5. Batuan sedimen Tersier
tertua di Cekungan Kutai dinamakan Lapisan Boh (Boh Bed) yang terdiri
atas serpih, batulanau, dan batupasir halus berumur Eosen. Batuan ini
menjemari dengan endapan saluran lapisan Keham Halo yang terdiri
atas batupasir dan konglomerat. Runtunan batuan ini dapat
dikorelasikan dengan Formasi Tanjung di Cekungan Barito yang terdir
dari batupasir dengan sisipan konglomerat, serpih dengan sisipan
batugamping di bagian atas.

Gambar 2.4. Stratigrafi Cekungan Kutai kurelasi dengan Cekungan Barito dan
Tarakan (Courteney drr., 1991 dalam Pertamina BPPKA, 1997).

Di Cekungan Tarakan pengendapan batuan sedimen baru mulai pada


Akhir Eosen dengan diendapkannya Formasi Sulau yang tersusun oleh
batupasir dan serpih. Pada kala Oligosen Awal di Cekungan Kutai
terendapakan lapisan Atan yang terdiri atas serpih dengan lensa
batugamping, sedangkan di Cekungan barito masih terendapkan bagian
atas dari Formasi Tanjung berupah serpih dengan lensa batugamping.
Adapun di Cekungan Tarakan berkembang batugamping Selor. Pada
kala Oligosen Akhir di Cekungan Kutai terendapkan Formasi Pamaluan
yang terdiri serpih dan batupasir dan lapisan batupasir Marah,
sedangkan di Cekungan Barito berkembang batugamping Berai, dan di
Cekungan Tarakan terendapkan lapisan serpih Mesoloi. Pada kala
Miosen Awal di Cekungan Kutai terendapan lapisan Klinjau yang terdiri
dari batupasir dan serpih, menjemari dengan lapisan batugamping
Bebulu. Di Cekungan Barito masih berlanjut Formasi Berai, sedangkan
di Cekungan Tarakan berkembang Formasi Tabalar yang terdiri atas
batugamping dan serpih. Pada kala Miosen Tengah di Cekungan Kutai
terendapan Formasi Pulubalang yang terdiri atas batupasir dan serpih
diikuti oleh Kelompok Balikpapan yang terdiri dari batuapasir dan
serpih dan juga batugamping Marua. Di Cekungan Barito berkembang
Formasi Warukin yang terdiri atas batupasir, serpi dan batubara,
sedangkan di Cekungan Tarakan terendapakan serpih Naintupa yang
diikuti oleh lapisan Lati (batupasir dan serpih) yang kemudian diikuti
oleh batupasir Meliat dan batugamping Meliat. Pada kala Miosen Akhir
di Cekungan Kutai masih mengendapkan Kelompok Balikpapan, sedang
di Cekungan Barito terjadi pengangkatan dan erosi yang menendapakan
secara tidak selara batuan Formasi Dahor (lempung, batupasir dan
konglomerat) di atas Formasi Warukin. Adapun di Cekungan Tarakan
terendapkan batupasir Tabut dan lapisan Otomoring yang terdiri atas
serpih dan batugamping. Pada kala Pliosen di Cekungan Kutai dan
Cekungan Tarakan terjadi ketidak selarasan dan terendapkan Formasi
Kampungbaru (batupasir dan serpih) dan batugamping Sepinggan di
Cekungan Kutai, dan Formasi Tatakan (batupasir dan serpih) di
Cekungan Tarakan. Di Cekungan Barito pengendapan Formasi Dahor
masih menerus.

Gambar 2.5. Penampang Cekungan Tarakan, Kutai, da Barito (Satyana drr, 1999).

2.3. Geologi Cekungan Barito


Geologi Cekungan Barito dilakukan berdasarkan peta geologi skala 1 :
250.000 yang dierbitkan oleh Puslitbang Geologi (sekarang Pusat Survei
Geologi) dengan indeks peta dan nama lembar seperti yang tersaji
dalam Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Indeks Peta Geologi Skala 1:250.000 yang mencakup Cekungan Barito.
Peta Geologi Cekungan Barito tersaji dalam Gambar 2.7, sedangkan
stratigrafi daerah ini tersaji dalam Gambar 2.8. Peta Geologi
mewakili bagian utara cekungan tersaji dalam Gambar 2.9, bagian
barat dalam Gambar 2.10, dan bagian timur dalam Gambar 2.11.
Cekungan Barito terisi oleh batuan sedimen Tersier, dengan alas
cekungan ditempati oleh batuan Pra-Tersier. Ke arah timur Cekungan
ini dibatasi oleh Tinggian Meratus, ke arah barat dibatasi oleh Tinggian
Schwaner, dan ke arah utara menerus ke Cekungan Kutai Barat. Batuan
alas dari Cekungan Barito bagian timur adalah batuan Pra-Tersier yang
menempati Tinggian Meratus yaitu merupakan campuran batuan yang
mewakili kerak benua dan samudera (Gambar 2.12), sedangkan di
bagian barat adalah batuan Pra-Tersier yang menempati Tinggian
Schwaner yaitu batuan yang mewakili kerak benua (Gambar 2.8).
Gambar 2.7. Peta Geologi Cekungan Barito.

Secara tektono-stratigrafi (Gambar 2.13; Heryanto, 2000) batuan yang


menempati bagian timur Cekungan Barito termasuk Tinggian Meratus
terbagi menjadi tiga kelompok stratigrafi, yaitu kelompok Pra- Kapur
Akhir, Kapur Akhir, dan Tersier. Ketiga kelompok stratigrafi tersebut
terpisahkan oleh bidang ketidak-selarasan.

Gambar 2.8. Korelasi stratigrafi Cekungan Barito dan sekitarnya.

Kelompok stratigrafi Pra- Kapur Akhir tersusun oleh batuan yang


berumur lebih tua dari Kapur Akhir, dengan kontak antar satuan batuan
merupakan sentuhan sesar. Kelompok stratigrafi Kapur Akhir tersusun
oleh batuan sedimen dan volkanik dengan kontak keduanya menjemari.
Kelompok stratigrafi Tersier tersusun oleh runtunan batuan sedimen
Tersier (Heryanto, 2000a,b; Heryanto dan Hartono, 2003).

Batuan tertua di Tinggian Meratus adalah batuan Granit Lumo (Pzg)


yang tersingkap di daerah Buntok, Kalimantan Tengah. Granit ini
berumur dari Karbon Akhir (319 + 1,70 juta tahun) sampai dengan
Perem Awal (260 + 1,66 juta tahun). Granit Lumo merupakan granit
tipe S yang diperkirakan sebagai bagian dari kerak benua Kraton Sunda
(Dirk dan Amiruddin, 2000). Dua satuan batuan malihan yang terdapat
di Tinggian Meratus. Pertama sekis hijau yang berumur 165 – 180 juta
tahun (Zulkarnain drr., 1996) dan yang kedua sekis biru yang berumur
110 – 119 juta tahun (Wakita drr., 1998). Hubungan dengan batuan
sekitarnya berupa kontak tektonik.

Gambar 2.9. Peta Geologi Daerah Purukcahu memwakili bagian utara


Cekungan Barito (Heryanto drr., 2006; Heryanto,
2010).
Gambar 2.10. Peta Geologi Daerah Kualakurun memwakili bagian barat Cekungan
Barito (Heryanto drr., 2006; Heryanto, 2010).
Gambar 2.11. Peta Geologi Daerah Kualakurun memwakili bagian barat
Cekungan Barito (Heryanto drr., 2007; Heryanto, 2010).

Batuan Ultramafik (Mu) terdiri atas harzburgit, wehrlit, websterit,


piroksenit dan serpentinit. Umur dari batuan ini belum diketahui,
tetapi berdasarkan fosil radiolaria yang terdapat dalam rijang (Mr)
tersingkap bersama dengan batuan ini (sebagai kelompok ofiolit) di
daerah Batulicin, menunjukan umur mulai dari Jura sampai Kapur
(Wakita,drr. 1998). Rijang radiolaria itu sama dengan rijang radiolaria
yang termasuk Formasi Alino (Koolhoven. 1935). Batuan ultramafik dan
malihan tersebut diterobos oleh batuan beku yang berkomposisi gabro,
diorit dan granit (Klg), yang berumur Kapur Awal (103,100 + 3,23 s/d
131,10 + 12,79 juta tahun). Beberapa di antara batuan terobosan ini
menunjukan komposisi plagiogranit (Jg).

Batulempung Paniungan (Kp) mengandung fosil “cylindrites”


(Koolhoven, 1935), berumur mulai dari Jura sampai Kapur Awal yang
diendapkan pada paparan luar (outer shelf), sedangkan Sikumbang
(1986) berpendapat bahwa umur Batulumpur Paniungan adalah
Berriasian sampai Barremian, atau Kapur Awal. Batugamping
Batununggal (Kb) yang kaya dengan fosil orbitolina diantaranya
Orbitolina cf. oculata, Orbitolina sp. dan Orbitolina sp. primitiva yang
menunjukan umur Aptian-Albian atau bagian atas Kapur Awal
(Situmorang, 1982).

Gambar 2,12. Peta Geologi Pegunungan Meratus (Heryanto, 2010)


Berbagai macam batuan tersebut juga ditemukan sebagai komponen
dalam batuan bancuh yang tersingkap di Lokbulat Pulau Laut (Klb).
Komponen bancuh di daerah itu terdiri dari batupasir, rijang radolaria,
batuan ultramafik, diabas dan basal berstruktur bodin dengan ukuran
dari beberapa meter sampai puluhan meter, dan terkepung dalam
lempung bersisik. Kontak dengan batuan sekitarnya berupa sesar.
Batuan bancuh merupakan satuan yang termuda dalam kelompok
batuan Pra- Kapur Akhir di daerah ini.

Kelompok stratigrafi Kapur Akhir tersusun oleh batuan sedimen


Kelompok Pitap yang terdiri atas Formasi Pudak, Keramaian, dan
Manunggul, satu sama lain berhubungan menjemari. Batuan volkanik
Kelompok Haruyan terdiri atas Formasi Paau dan Pitanak. Secara
litologi, Formasi Pudak terdiri atas perselingan batupasir berbutir halus
sampai kasar konglomeratan dengan sisipan dari endapan aliran
debris/graviti dan slump. Formasi Keramaian umumnya terdiri atas
batulumpur dan batupasir berbutir halus sampai sedang. Formasi
Manunggul disusun oleh konglomerat, batupasir berbutir sedang-kasar
dan batulumpur berwarna coklat kemerahan. Formasi Paau terdiri atas
breksi vulkanik berwarna kelabu kehitaman, berkomponen andesit-
basal, dengan masa dasar batupasir tufa; berkemas terbuka, terpilah
buruk dan berasosiasi dengan lava bersusunan dari andesit sampai
basal. Sebagian dari formasi ini merupakan pengendapan kembali dari
endapan gunungapi, yang di beberapa tempat memperlihatkan struktur
sedimen lapisan sejajar dan lapisan tersusun, dan sebagian lain
merupakan endapan piroklastik. Formasi Pitanak terdiri atas lava
andesit berwarna kelabu (coklat bila lapuk). Batuannya porfiritik
dengan fenokris plagioklas, umumnya vesikular yang terisi oleh mineral
zeolit dan kuarsa; setempat berstruktur bantal, dan berasosiasi dengan
breksi-konglomerat volkanik.
Batuan tertua yang dijumpai di Tinggian Schwaner (Gambar 2.9) adalah
Kelompok batuan malihan Nangapinoh yang tersusun oleh kuarsit, gneis
klinopiroksen-hornblenda, batuan migmatik, sekis mika dan kuarsit
mika dengan biotit porfiroblastik, andalusit, garnet. Kelompok ini
berumur Permo – Trias (Amirudin dan Trail, 1993). Kelompok batuan
malihan Nangapinoh diterobos oleh batuan granitan yang berumur
Kapur yang dikenal sebagai Tonalit Sepauk. Tonalit Sepauk tersusun
oleh tonalit dan granodiorit biotit-hornblenda; monzogranit, diorit
kuarsa dan diorit; sedikit syenogranit, monzonit kuarsa dan granit
felspar-alkali; umumnya aplit.
Gambar 2.13. Kolom Tektono-stratigrafi batua di Pegunungan Meratus. (Heryanto
dan Hartono, 2003).

Batuan sedimen Tersier tertua di daerah ini adalah Formasi Tanjung


berumur Eosen Akhir yang terbagi menjadi bagian bawah, tengah, atas,
dan Anggota Lempung. Penyebaran formasi ini sangat meluas mulai
dari tepi cekungan bagian timur (Gambar 2.7), menyebar ke arah tepi
cekungan bagian barat (Gambar 2.10), dan ke arah utara menerus ke
Subcekungan Kutai Barat menjadi Formasi Haloq dan Formasi Batuayau
(Gambar 2.9). Di tepi cekungan bagian timur (Gambar 2.12), Formasi
Tanjung tertindih secara selaras oleh batugamping Formasi Berai yang
berumur Oligo-Miosen, sedangkan di tepi cekungan sebelah barat
(Gambar 2.10) dan utara (Gambar 2.9), ditindih secara selaras oleh
Formasi Montalat yang terdiri atas batulempung dengan sisipan
batupasir, setempat mengandung lensa batugamping dan lapisan
batubara. Di bagian utara Formasi Montalat menjemari dengan
Formasi Keramuan dan Formasi Purukcahu yang berumur Oligo Miosen
(Gambar 2.9). Formasi Warukin berumur Miosen Tengah menindih
secara selaras Formasi Berai. Kemudian Formasi Warukin ditindih
secara tidak selaras oleh Formasi Dahor yang berumur Plio-Plistosen

2.4. Tektonik Regional


Elemen tektonik Cekungan Barito (Patra Nusa Data, 2006) tersaji dalam
Gambar 2.14. Elemen tektonik yang terdapat adalah struktur rendahan
(structural / basinal low) yang merupakan bagian yang terdalam dari
cekungan, kemudian tepi cekungan (basin margin / terrace) yang
merupakan bagian tepi cekungan yang dangkal, dan struktur tinggian
(structural high).
Gambar 2.14. Peta elemen tektonik Cekungan Barito (Patra Nusa Data, 2006).

Berdasarkan elemen tektonik tersebut (Gambar 2.14) Cekungan Barito


dibatasi oleh Mikrolempeng Kalimantan Baratdaya (SW Borneo
Microplate) di sebelah barat, kemudian bagian cekungan terdalam
adalah cekungan dalam muka Barito (Barito fore deep), cekungan
dalam lainnya adalah Cekungan Barito Utara dan dua cekungan lainnya.
Ke arah timur dibatasi struktur tinggian dan Tinggian Meratus (Meratus
Range).

Peta anomali Bouger daerah Pegunungan Meratus tersaji dalam Gambar


2.15, sedangkan penampang gayaberat tersaji dalam Gambar 2.16.
Subagio drr. (2000) menyimpulkan bahwa lempeng samudera (ultra
mafik Meratus) yang merupakan lapisan tipis dengan berat jenis 2,90
g/cc berada di atas (kolision ke atas) batuan granitik kontinen dengan
berat jenis 2,70 g/cc. Endapan sedimen Tersier Cekungan Barito
berada di bagian barat dengan tebal lapisan sedimen tipis di bagian
barat dan menebal ke arah timur.

Gambar 2.15. Peta Anomali Bourger Peg.Meratus, Kalimantan (Subagio drr., 2000).

Penampang geologi mulai dari Cekungan Barito sampai Selat Makasar


(Gambar 2.17), menunjukkan bahwa batuan alas dari Cekungan Barito
adalah mikro kontinen Schwaner di bagian barat dan ultra mafik yang
terobduksi di sebelah timur (Satyana , 2003 dalam Satyana dan
Armandita, 2008). Adapun posisi Cekungan Barito dalam model
tektonik lempeng tersaji dalam Gambar 2.18.

Gambar 2.16. Model gaya berat yang mengimplikasikan continental collision


(Subagio drr., 2000).
Gambar 2.17. Meratus Range (Kompleks Meratus) diantara Mikro kontinen Schwaner
dan Mikro kontinen Paternoster (Satyana, 2003 dalam : Satyana &
Armandita, 2008).

Menurut Satyana drr. (2007 dalam Satyana dan Armandita, 2008)


Paternoster Plateform/microcontinent dari arah timur menunjam
kebawah Schwaner Continent. Penunjaman tersebut mengakibatkan
slab dari ultramafik sebagai bagian orogenik Meratus dan menyebutnya
sebagai kolision antara Kontinen Schwaner dengan Kontinen
Paternoster dan merupakan sebuah orogenesa (suture) kolision yang
terjadi pada Kapur Awal sampai Kapur Tengah. Heryanto (2000b),
Heryanto dan Hartono (2003), dan Heryanto drr. (2003) menyebut
kelompok orogenik ini sebagai Kelompok Stratigrafi pra-Kapur Akhir
(Gambar 2.6) yang terdiri atas batuan malihan, beku, ultramafik, dan
batuan sedimen yang berumur lebih tua dari Kapur Akhir dengan
kontak sesar naik antara satu dengan lainnya. Pensesaran dari slab
tersebut terjadi mulai sejak Jura sampai dengan Kapur Awal seperti
yang di bahas dalam Bab 3 (Batuan Alas, Subjudul Tektonika Batuan
Alas Tinggian Meratus). Satyana dan Armandita (2008), munyimpulkan
Pegunungan Meratus terdiri atas slab kerak samudera tipis, volkanik
bawah laut, sedimen laut dalam yang menutupi Kontinen Paternosfer
yang tebal. Pegunungan Meratus ini mulai terangkat sejak Kapur Akhir.
Heryanto (2000b) dan Heryanto & Hartono (2003) menyebut volkanik
bawah laut sebagai batuan volkanik Kelompok Haruyan dan sedimen
laut dalam sebagai batuan sedimen Kelompok Pitap, kedua kelompok
batuan tersebut termasuk ke dalam kelompok stratigrafi Kapur Akhir.
Pengangkatan Kapur Akhir tersebut yang mengakibatkan Kelompok
stratigrafi Tersier menindih secara tidak selaras di atas kelompok
stratigrafi Kapur Akhir (Gambar 2.6).

Pensesaran normal terjadi sejak Paleogen Awal, yang kemudian pada


blok bagian turun merupakan embrio terbentuknya Cekungan Tersier
Barito. Pensesaran bongkah berlanjut sampai kala Miosen. Kolision
Schwaner dan Paternosfer puncaknya terjadi pada kala Mio-Pliosen
yang mengakibatkan sesar normal hasil pensesaran bongkah tersebut
mengalami reaktifisasi menjadi sesar naik. Selain itu juga
mengakibatkan terangkatnya batuan Pra-Tersier ke permukaan dan
membentuk Tinggian Meratus yang memisahkan Cekungan Barito
dengan Cekungan Pasir dan Asam-Asam (Kusumah, 2008 dan Heryanto
2008). Keadaan tersebut mengakibatkan Cekungan Barito menjadi
cekungan tanahmuka bagian belakang (retro foreland basin), dan
Cekungan Asem-Asem sebagai cekungan tanahmuka bagian depan (pro-
foreland basin). Keduanya terpisah setelah terjadi orogenik pada kala
Mio-Pliosen yang menjadikan keduanya jalur perlipatan dan sesar naik
(fold thrust belt) seperti yang tersaji dalam Gambar 2.12.

Anda mungkin juga menyukai