Anda di halaman 1dari 608

File Buku Ajar Gastro untuk rapat Gastro 9 Maret 2019

Buku Ajar
Gastrohepatologi
Anak
Tim Penyunting
IGM Reza Ranuh
Alpha Fardah Athiyyah
Ninung Rose Diana K
Mohammad Juffrie
Sri Suparyati Soenarto
Hanifah Oswari
Nenny Sri Mulyani
Titis Widowati
Supriatmo
Muzal Kadim
Jeanette I Christiene Manoppo
Sjamsul Arief
Ina Rosalina

BADAN PENERBIT
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
Committed in Improving the Health of Indonesian Children

File Buku Ajar Gastro untuk rapat Gastro 9 Maret 2019


Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (Kdt)
BUkU AJAR GASTROhepatologi anak
Hak pengarang dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin
Penyunting dan Penerbit

Tim Penyunting:
IGM Reza Ranuh
Alpha Fardah Athiyyah
Ninung Rose Diana K
Mohammad Juffrie
Sri Suparyati Soenarto
Hanifah Oswari
Nenny Sri Mulyani
Titis Widowati
Supriatmo
Muzal Kadim 9
201
Jeanette I Christiene Manoppo
aret
Sjamsul Arief
o 9M
Ina Rosalina str
Ga
p at
ra
uk
t
Jilid I, Cetakan Pertama 2010
o un
Jilid I, Cetakan Kedua 2011 str
r Ga
Jilid I, Cetakan Ketiga 2012 Aja
u 2015
Jilid I, Cetakan Keempatu k
Cetakan Pertama i l eB
2019
F
Type Setting : Astri Sulastri Prasasti

Diterbitkan oleh:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Gedung IDAI
Jl. Salemba I No. 5
Jakarta Pusat 10430
Telp. / Fax. : (021) 3912577
E-mail: badanpenerbit@idai.or.id

ii
Kontributor

Achirul Bakri Bambang Subagyo


Departemen Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNSRI/ RSUP Moh.Hoesin FK UNS/ RS Dr. Moewardi
Padang Surakarta

Agus Firmansyah Budi Santosa


Departemen Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo FK UNDIP/ RS Dr. Karyadi
Jakarta Semarang

Alpha Fardah Athiyyah Deddy Satriya Putra


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo FK UNRI/ RSUD Arifin9 Achmad
01
Surabaya Pekanbaru et 2
r
9 Ma
Andy Darma tro
Dwi Prasetyo
asIlmu
Bagian
G Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak p
FK atUNPAD/ RS Dr. Hasan Sadikin
r a
FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo k
Surabaya u ntu Bandung
o
str
Ga Hanifah Oswari
Aswitha Boediarso
Ajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Departemen Ilmu Kesehatanu
Buk Anak FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo
e
FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo
Jakarta Fil Jakarta

Hasri Salwan
Atan Baas Sinuhaji Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNSRI/ RSUP Moh. Hoesin
FK USU/ RS H. Adam Malik
Medan Palembang

Badriul Hegar Syarif I. Sudigbia


Departemen Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo FK UNDIP/ RS Dr. Karyadi
Jakarta Semarang

Iesje Martiza
Bagus Setyoboedi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/ RS Dr. Hasan Sadikin
FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo Bandung
Surabaya

iii
Ina Rosalina Nenny Sri Mulyani
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNPAD/ RS Dr. Hasan Sadikin FK UGM/ RS Dr. Sardjito
Bandung Yogyakarta

IGM Reza Gunadi Ranuh Nurtjahjo Budi Santosa


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo FK UB/ RS Dr. Saiful Anwar
Surabaya Malang

I Putu Gede Karyana Pitono Soeparto


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNUD/ RSUP Sanglah FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo
Bali Surabaya

Pramita Gayatri Dwipoerwantoro


Jeanette I Christiene Manoppo Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo
FK UNSRAT/ BLU RUSP Prof. Dr. R. D. Jakarta
Kandou
9
Manado Rusdi Ismail 01
re t2
Bagian Ilmu Kesehatan
a Anak
Julfina Bisanto FK UNSRI/ 9 MRS Dr. Mohammad Husein
o
Departemen Ilmu Kesehatan Anak a str
Palembang
G
FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo at
r ap
Jakarta k Satrio Wibowo
untu Bagian Ilmu Kesehatan Anak
ro
Liek Djupri
G ast FK UB/ RS Dr. Syaiful Anwar
Ajar
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Malang
u
FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo
Surabaya Buk
il e Sjamsul Arief
F
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Mohammad Juffrie
FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Surabaya
FK UGM/ RS Dr. Sardjito
Yogyakarta
Subijanto Marto Sudarmo
Muzal Kadim Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo
FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo Surabaya
Jakarta
Sulaiman Yusuf
Ninung Rose Diana K. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNSYIAH / RSUD Dr. Zainoel Abidin
FK UNDIP/ RSUP. Kariadi Banda Aceh
Semarang

iv
Supriatmo Yorva Sayoeti
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK USU/ RSUP H. Adam Malik FK UNAND/ RSUP Dr. M. Djamil
Medan Padang

Sri Suparyati Soenarto Yusri Dianne Jurnalis


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UGM/ RS Dr. Sardjito FK UNAND/ RSUP Dr. M. Djamil
Yogyakarta Padang

Titis Widowati
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fk UGM/ RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta

9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

v
Pengantar
Tim Penyunting

Setelah menunggu sekian lama, akhirnya terkumpul 38 naskah topik buku ajar
Gastrohepatologi. Tim penyunting telah bekerja keras selama ini mengumpulkan, menyusun,
menyunting, dan syukur Alhamdulillah pada awal tahun 2019 ini bisa diselesaikan buku
ajar Gastrohepatologi Anak.
Pada kesempatan ini tim penyunting ingin menyampaikan terima kasih kepada para
kontributor atau penulis naskah atas jerih payah, waktu yang diluangkan untuk menyusun
naskah dan partisipasinya mengirimkan naskahnya ke tim penyunting. Selanjutnya
tim penyunting mohon maaf jika yang tertulis dibuku ajar tidak sesuai dengan aslinya
dikarenakan penyesuaian dengan hal hal baru, penyesuaian format 9dari penerbit dan
01
suntingan bahasa.
re t2
Tim penyunting mengucapkan terima kasih kepada9 Dr. Ma Hardiono Pusponegoro,
ro
Sp.A(K) (ketua PP IDAI 2002-2005), Dr. Sukman Tulus
G ast Putra Sp.A(K), FACC, FESC
(ketua PP IDAI 2005-2008), Dr. Badriul Hegar, Sp.A(K) at (ketua PP IDAI 2008-2014), DR.
Dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K) (ketuaukPP rapIDAI 2014-2020), Prof Dr Yati Soenarto,
t
Sp.A(K), Ph.D (ketua UKK Gastrohepatologi o un 2002-2005), Prof. DR. Dr. Subijanto MS,
r
st 2005-2008), Prof. Dr. Mohammad Juffrie, Sp.A(K),
Sp.A(K) (ketua UKK Gastrohepatologi G a
Ph.D (ketua UKK Gastrohepatologi
Ajar 2008-2014), Dr. IGM Reza Ranuh,dr.,Sp.A(K) (ketua
ku
UKK Gastrohepatologi 2014-2017) atas ide dan saran sarannya sehingga tercetak buku ajar
u
ini. i l eB
F
Tim penyunting menyadari bahwa dalam pembuatannya buku ajar ini jauh dari
sempurna, tetapi kontributor tentunya sudah berusaha keras untuk membuat sesuai
kebutuhan para peserta pendidikan dokter spesialis maupun teman sejawat dokter spesialis
anak. Oleh karena itu kritik dan saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan.
Tim penyunting mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang berperan dalam
pembuatan buku ajar Gastrohepatologi Anak dan semoga buku ini memberikan manfaat
bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jakarta, 2019

Tim Penyunting

vii
Sambutan
Ketua UKK Gastrohepatologi IDAI

Teman sejawat yang terhormat,

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, yang telah memberikan rahmat
dan karunia Nya, sehingga buku ajar gastrohepatologi anak ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Buku ajar ini merupakan buku rujukan ilmu gastrohepatologi anak yang nantinya
akan dipakai oleh peserta didik spesialis satu dan dua, dokter spesialis anak di Indonesia
serta tentunya semua dokter atau siapapun yang membutuhkannya. Buku ajar ini disusun
sesuai kesepakatan bersama para pakar gastrohepatologi anak Indonesia yang terangkum
9
dalam bermacam judul dan berasal dari bermacam macam referensi 2 01 terbaru baik dari
t
re representasi ilmu ilmu
jurnal maupun text book, sehingga keberadaannya merupakan a
gastrohepatologi anak masa kini. o 9M
str
Saya sebagai ketua UKK GH 2014-2020 memberikant Ga ucapan selamat dan penghargaan
p a
r
yang setinggi tingginya kepada para kontributor a dan editor dengan diterbitkannya buku
n
ajar ini, semoga buku ini bisa dimanfaatkantuk sebesar besarnya oleh para pengguna.
ou
Kami menyadari bahwa abuku str ini masih jauh dari sempurna, karena mungkin
G
masih banyak kekurangan, Ajarbaik karena keterbatasan waktu maupun kemampuan dan
u
pengetahuan kami, namun
Buk kami berharap dapat memberi sumbangan bagi khazanah ilmu
e
Fil
pengetahuan khususnya Ilmu Gastrohepatologi.
Sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya buku ajar ini dan selamat
mempergunakan buku ajar ini kepada masyarakat gastrohepatologi dan kepada semua
dokter anak di Indonesia.

Salam,
Jakarta, 2019

Dr. IGM Reza Gunadi Ranuh, dr., Sp.A(K)


Ketua UKK-Gastrohepatologi

viii
Sambutan
Ketua Badan Penerbit IDAI

Salam dari Badan Penerbit

Buku ajar adalah salah satu produk ilmiah yang harus dihasilkan oleh sebuah organisasi
profesi. Ikatan Dokter Anak Indonesia telah memiliki Buku Ajar sebanyak bidang kajian
ilmu yang dimilikinya sejak tahun 2005. Pembaharuan buku ajar sangat diperlukan agar
para pembaca terpapar dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Sebuah kehormatan bagi Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang
masih diberikan kepercayaan oleh IDAI untuk menerbitkan buku-bukunya termasuk buku
ajar. Sekaligus merupakan kebanggan bagi Tim Badan Penerbit yang telah melakukan
perubahan desain dan tampilan buku ajar IDAI pada penerbitan kali 9ini sehingga buku
01
terasa lebih dekat dengan pembaca karena mengikuti “trend” di masa
re t 2 nya.
Badan Penerbit IDAI mengucapkan terima kasih banyak Ma
untuk Unit Kerja Koordinasi
9
ro
(UKK) atas kerjasamanya dalam penerbitan buku ajarnya
G ast di Badan Penerbit IDAI.
t
r pa
Semoga apa yang telah kita berikan untuk aanggota IDAI dan pembaca lainnya dapat
memberikan manfaat. Aamiin YRA. tu k
un
ro
G ast
Jakarta, 2019 Ajar
u
Buk
l e
Fi

Prof. dr. Badriul Hegar, Ph.D, Sp.A(K)


Ketua Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

ix
Sambutan
Ketua Kolegium IKA Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb., salam sejahtera bagi kita semua

Seperti yang kita ketahui rekognasi keilmuan seorang dokter diberikan oleh peer grup
atau oleh masyarakat yang menerima pelayanan. Rekognasi keilmuan tersebut harus terus
menerus dipertahankan bahkan ditingkatkan sesuai dengan standar nasional pelayanan
kesehatan. Untuk mendapatkan rekognasi sebagai profesional yang mempunyai standar
tinggi harus dimulai sejak dini yaitu ketika masih menjalanai program pendidikan. Hal
tersebut menjadi tanggung jawab masing-masing program studi dan Departemen Ilmu
Kesehatan Anak serta Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia. Oleh karena itu harus
diyakini bahwa proses pendidikan berjalan dengan baik dan selanjutnya pasca pendidikan
tanggung jawab pemeliharaan dan peningkatan kompetensi berada 9
2 01 di tangan Pengurus
Pusat, UKK dan Pengurus Cabang. t
M are
Semua dokter termasuk dokter spesialis anak 9 juga dituntut untuk mampu
stro
mempertahankan kompetensinya dengan berbagaiGcara a mandiri. Di era teknologi informasi
yang demikian canggih saat ini belajar mandiri p at bukan merupakan suatu hal yang sulit,
a
semua materi dan keilmuan yang dibutuhkan tu k rdapat dengan mudah di akses melalui internet.
Namun demikian keberadaan bukuroajar un masih dibutuhkan dan relevan dalam mendukung
ast
upaya pemeliharaan kompetensi
j ar G secara mandiri walaupun buku ajar secara berkala harus
A
diperbaharui. Masih bermanfaatnya keberadaan buku ajar karena buku ajar dibuat oleh
u ku dari institusi pendidikan atau profesi yang disesuaikan bukan saja
pakar-pakar yang berasal
eB
dengan keilmuanFilterkini, tetapi juga memperhatikan kompetensi-kompetensi yang spesifik
untuk negara Indonesia bahkan masing - masing daerah.
Oleh sebab itu Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia memberikan apresiasi
kepada seluruh UKK yang telah berhasil menyusun dan merevisi buku ajar sesuai keilmuan
masing - masing. Kami yakin buku ajar ini akan mampu memberikan kontribusi bukan
saja untuk menjaga kompetensi dokter spesialis anak tetapi juga untuk mendukung proses
pendidikan PPDS bahkan untuk petugas kesehatan lain.
Semoga makin banyak buku ajar yang dapat dihasilkan dilingkungan Ikatan Dokter
Anak Indonesia.

Wassalam.
Jakarta, 2019

DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), MPH


Ketua Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia

x
Sambutan
Ketua Umum pp iDAi

Salam hormat dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan
dan kesempatan untuk tetap berkarya. Selamat dan terima kasih kepada Unit Kerja
Koordinasi (UKK) Gastrohepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) atas diterbitkan
Buku Ajar Gastrohepatologi Anak ini.
Dalam meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia, IDAI
senantiasa melakukan pengembangan dalam pelayanan kesehatan anak melalui pengabdian
masyarakat, penelitian, dan pendidikan. Ilmu pengetahuan di bidang kedokteran terus
berkembang pesat, oleh karena itu penting untuk melakukan revisi berkala dari sebuah
buku ajar sehingga materi buku sesuai dengan evidence based terbaru.019
2
Khusus bidang gastrohepatologi, salah satu masalah utama aret yang masih terus
menyumbang mortalitas maupun morbiditas adalah rodiare. 9 M Berdasarkan data Riset
st
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, insidens diare paling
t Ga tinggi pada kelompok anak kurang
a
dari 1 tahun, yaitu sebesar 5,5%, diikuti insidens
k rap pada kelompok 1-4 tahun yaitu sebesar
5,1%. Hal ini menunjukkan bahwa diare masih tu merupakan masalah kesehatan yang penting
o un
pada balita di Indonesia. str
Dengan berbagai perkembangan r Ga di bidang gastrohepatologi, kini prosedur-
Aja
prosedur modern, sepertikudiagnosis menggunakan endoskopi telah tersedia di Indonesia.
u
Perkembangan yang i l e Bsangat patut kita beri penghargaan adalah pencapaian UKK
F
Gastrohepatologi yang telah berhasil melakukan transplantasi hati.
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para kontributor dan anggota UKK
Gastrohepatologi IDAI yang telah bekerja keras dan meluangkan waktunya untuk
memberikan sumbangan pemikiran dalam penyusunan buku ajar ini.
Kami berharap buku ajar ini dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi sejawat dokter
spesialis anak, peserta program studi Ilmu Kesehatan Anak, dan para mahasiswa kedokteran
di seluruh fakultas kedokteran di Indonesia, serta dapat membantu terwujudnya Sustainable
Development Goals (SDG) pada tahun 2030. Semoga buku ajar ini dapat memenuhi
kebutuhan ilmiah dan bermanfaat bagi kemajuan Ilmu Kesehatan Anak di Indonesia.

Jakarta, 2019

DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP


Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

xi
Daftar Isi
Kontributor.......................................................................................................... iii
Pengantar Tim Penyunting..................................................................................vii
Sambutan Ketua UKK Gastrohepatologi IDAI................................................. viii
Sambutan Ketua Badan Penerbit IDAI.................................................................ix
Sambutan Ketua Kolegium IKA Indonesia...........................................................x
Sambutan Ketua Umum pp iDAi.........................................................................xi
Daftar Tabel...................................................................................................... xxiii
Daftar Gambar.................................................................................................xxvii
9
2 01
re t
Ma
Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit....................................................................1
9
ro
ast
Mohammad Juffrie
G
at
1.1 Ilustrasi Kasus................................................................................................................... 1
r ap
1.2 Larutan Tubuh.................................................................................................................. 1
k
ntu
1.3 Komposisi Larutan Tubuh ....................................................................................2
u
ro
G ast
1.4 Difusi dan Osmosis.......................................................................................................... 2
1.5 Kesimbangan Air dan j a r Natrium ...........................................................................5
A
u ku
1.6 Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Larutan...................................................... 5
e B
Fil
1.7 Keseimbangan Kalium...................................................................................................11
1.8 Keseimbangan Kalsium dan Magnesium...................................................................17

Kegawatdaruratan Gastrointestinal.....................................................................26
Pitono Soeparto & Reza Ranuh
2.1 Ilustrasi Kasus.................................................................................................................26
2.2 Pendahuluan....................................................................................................................26
2.3 Dehidrasi .........................................................................................................................27
2.4 Perdarahan Saluran Gastrointestinal (Perdarahan GIT)..........................................30
2.5 Demam Berdarah ..........................................................................................................38
2.6 Demam Tifoid.................................................................................................................38
2.7. Muntah Akut...................................................................................................................39
2.8 Distensi Abdominal Akut ............................................................................................40
2.9 Nyeri Abdomen Akut....................................................................................................41
2.10. Disfagia ............................................................................................................................43

Disfagia.................................................................................................................50
Yorva Sayoeti

xiii
3.1 Ilustrasi Kasus ................................................................................................................50
3.2 Pendahuluan....................................................................................................................51
3.3 Definisi.............................................................................................................................51
3.6 Patogenesis.......................................................................................................................52
3.4 Kejadian...........................................................................................................................52
3.5 Kejadian...........................................................................................................................52
3.6 Kejadian...........................................................................................................................52
3.7 Gejala Klinis....................................................................................................................57
3.8 Diagosis............................................................................................................................58
3.9 Terapi................................................................................................................................60
3.10 Prognosis..........................................................................................................................64
3.11 Pencegahan......................................................................................................................64

Anoreksia pada Anak...........................................................................................66


I. Sudigbia
4.1 Ilustrasi Kasus.................................................................................................................66
4.2 Pendahuluan ...................................................................................................................66
4.3 Definisi ............................................................................................................................67
4.4 9
Patomekanisme...............................................................................................................67
2 01
4.5 re t
Diagnosis Diferensial ....................................................................................................68
4.6 Ma
Penatalaksanaan Anoreksia Anak................................................................................71
9
ro
4.7 ast
Ringkasan ........................................................................................................................72
G
p at
r a
Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal..................................................73
Rusdi Ismail n tuk
ou
str
5.1 Ilustrasi kasus..................................................................................................................73
a
G
jar
5.2 Pendahuluan ...................................................................................................................73
A
u
uk
5.3 Definisi ............................................................................................................................74
B
e
Fil
5.4 Kejadian...........................................................................................................................74
5.5 Etiologi.............................................................................................................................76
5.6 Patogenesis.......................................................................................................................76
5.7 Manifestasi Klinis...........................................................................................................78
5.8 Diagnosis..........................................................................................................................78
5.9 Terapi................................................................................................................................80
5.10 Prognosis..........................................................................................................................81
5.11 Pencegahan......................................................................................................................82

Diare Akut ...........................................................................................................83


Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso
6.1 Ilustrasi Kasus.................................................................................................................83
6.2 Pendahuluan....................................................................................................................83
6.3 Definisi ............................................................................................................................83
6.4 Epidemiologi ......................................................................................................84
6.5 Cara Penularan dan Faktor Risiko .............................................................................84
6.6 Etiologi ............................................................................................................................85
6.7 Transpor Air di Dalam Sel dan Patofisiologi Diare...................................................88

xiv
6.8 Mekanisme Diare............................................................................................................95
6.9 Manifestasi Klinis ..........................................................................................................98
6.10 Diagnosis........................................................................................................................100
6.11 Terapi..............................................................................................................................104
6.12 Komplikasi.....................................................................................................................110
6.13 Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral...............................................................................111
6.14 Pencegahan ..................................................................................................................112
6.15 Probiotik.........................................................................................................................112
6.16 Prebiotik.........................................................................................................................113

Diare Kronis dan Diare Persisten......................................................................116


Yati Soenarto
7.1 Ilustrasi Kasus ..............................................................................................................116
7.2 Pendahuluan..................................................................................................................116
7.3 Definisi...........................................................................................................................117
7.4 Kejadian.........................................................................................................................118
7.5 Etiologi...........................................................................................................................118
7.6 Patogenesis.....................................................................................................................119
9
7.7 Manifestasi Klinis (Komplikasi).................................................................................122
2 01
re t
7.8 Diagnosis........................................................................................................................122
Ma
7.9 Terapi..............................................................................................................................123
9
ro
ast
7.10 Faktor Risiko dan Pencegahan...................................................................................126
G
t
pa
7.11 Diare Persisten pada Kondisi Khusus.......................................................................127
a
t u kr
n
Muntah ...............................................................................................................131
tr ou
Badriul Hegar as
arG
8.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................131
j
A
ku
8.2 Pendahuluan.u.................................................................................................................131
eB
8.3 FisiologiilMenelan.........................................................................................................132
F
8.4 Definisi...........................................................................................................................133
8.5 Patogenesis.....................................................................................................................133
8.6 Etiologi...........................................................................................................................134
8.7 Manifestasi Klinis.........................................................................................................135
8.8 Diagnosis........................................................................................................................136
8.9 Terapi .............................................................................................................................137
8.10 Pencegahan....................................................................................................................138
8.11 Simpulan........................................................................................................................139

Sakit Perut pada Anak........................................................................................141


Aswitha Boediarso
9.1 Ilustrasi kasus ...............................................................................................................141
9.2 Pendahuluan..................................................................................................................142
9.3 Patofisiologi...................................................................................................................142
9.4 Patogenesis ....................................................................................................................144
9.5 Etiologi...........................................................................................................................144
9.6 Manifestasi Klinik.........................................................................................................146

xv
9.7 Pendekatan Diagnosis..................................................................................................146
9.8 Tata Laksana..................................................................................................................149
9.9 Sakit Perut Berulang....................................................................................................149

Kembung............................................................................................................157
Pramita G. Dwipoerwantoro
10.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................157
10.2 Pendahuluan..................................................................................................................158
10.3 Intoleransi Laktosa.......................................................................................................158
10.4 Bakteri Tumbuh Lampau............................................................................................161

Alergi Makanan (Food Allergy)..........................................................................168


Liek Djuprie & Pitono Soeparto
11.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................168
11.2 Pendahuluan..................................................................................................................168
11.3 Definisi...........................................................................................................................168
11.4 Epidemiologi.................................................................................................................169
11.5 Perjalanan Alami..........................................................................................................170
11.6 Klinis...............................................................................................................................170
9
2 01
11.7 Diagnosis........................................................................................................................177
re t
Ma
11.8 Pengobatan ...................................................................................................................185
9
st ro
a
Konstipasi pada Anak........................................................................................188
a tG
Agus Firmansyah a p
tu kr
12.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................188
n
r ou
12.2 Pendahuluan..................................................................................................................188
t
as
j arG
12.3 Definisi...........................................................................................................................189
A
12.4 Epidemiologi.................................................................................................................189
u ku
12.5 Etiologi Bdan Patofisiologi.............................................................................................189
F i le
12.6 Gejala dan Tanda Klinis Konstipasi Kronis..............................................................191
12.7 Diagnosis .......................................................................................................................193
12.8 Komplikasi.....................................................................................................................195
12.9 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................................196
12.10 Tatalaksana Konstipasi Fungsional............................................................................196
12.11 Simpulan........................................................................................................................199

Inflammatory Bowel Diseases.............................................................................201


Dwi Prasetyo
13.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................201
13.2 Pendahuluan..................................................................................................................201
13.3 Definisi...........................................................................................................................201
13.4 Epidemiologi dan Genetik..........................................................................................202
13.5 Patogenesis.....................................................................................................................202

Pankreatitis pada Anak......................................................................................229


Budi Santosa

xvi
14.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................229
14.2 Pendahuluan .................................................................................................................229
14.3 Klasifikasi dan Definisi................................................................................................230
14.4 Kejadian dan Epidemiologi ........................................................................................230
14.5 Pankreatitis akut .........................................................................................................230
14.6 Etiologi...........................................................................................................................233
14.7 Manifestasi klinik.........................................................................................................233
14.8 Diagnosis........................................................................................................................235
14.9 Komplikasi.....................................................................................................................239
14.10 Tatalaksana....................................................................................................................239
14.11 Prognosis........................................................................................................................240
14.12 Pankreatitis herediter...................................................................................................241
14.13 Pankreatitis kronis........................................................................................................241

Ikterus.................................................................................................................243
Iesje Martiza
15.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................243
15.2 Pendahuluan..................................................................................................................243
9
15.3 Definisi...........................................................................................................................244
2 01
t
are
15.4 Metabolisme Bilirubin ................................................................................................244
9M
15.5 Neonatal Jaundice.........................................................................................................253
ro
G ast
Hepatitis Virus...................................................................................................265
at
Sjamsul Arief r ap
k
ntu
16.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................265
u
ro
ast
16.2 Pendahuluan..................................................................................................................265
G
jar
16.3 Diagnosis Banding.......................................................................................................266
A
u
uk
16.4 Hepatitis A.....................................................................................................................266
16.5 HepatitisileBB.....................................................................................................................271
F
16.6 Hepatitis C.....................................................................................................................278
16.7 Hepatitis D.....................................................................................................................289
16.8 Hepatitis E......................................................................................................................292
16.9 Hepatitis G.....................................................................................................................293

Drug Induced Hepatitis.......................................................................................301


Ina Rosalina
17.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................301
17.2 Pendahuluan..................................................................................................................301
17.3 Metabolisme Obat di Hati...........................................................................................302
17.4 Mekanisme Kerusakan Hati........................................................................................303
17.5 Gejala yang Timbul......................................................................................................303
17.6 Bentuk Kelainan Hati dan Obat-obat yang Menyebabkan Kelainan Hati..........304
17.7 Upaya Diagnosis Drug Induced Hepatitis.................................................................309
17.8 Pengobatan ...................................................................................................................310
17.9 Prognosis .......................................................................................................................310
17.10 Ringkasan ......................................................................................................................310

xvii
Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati...............................................312
Atan Baas Sinuhaji
18.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................312
18.2 Pendahuluan .................................................................................................................314
18.3 Kejadian dan etiologi...................................................................................................316
18.4 Patogenesis.....................................................................................................................316
18.5 Manifestasi klinis ....................................................................................................318
18.6 Diagnosis .......................................................................................................................318
18.7 Pengobatan, prognosis dan pencegahan...................................................................319
18.8 Beberapa penyakit sistemik yang mempengaruhi hepar.................................................320

Hepatitis Kronis pada Anak...............................................................................326


Nenny Sri Mulyani
19.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................326
19.2 Pendahuluan..................................................................................................................326
19.3 Definisi...........................................................................................................................326
19.4 Angka Kejadian ............................................................................................................326
19.5 Etiologi...........................................................................................................................327
9
01
19.6 Patogenesis.....................................................................................................................327
2
re t
19.7 Manifestasi Klinis.........................................................................................................331
9 Ma
19.8 Diagnosis........................................................................................................................332
o
str
Ga
19.9 Penatalaksanaan............................................................................................................333
at
Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan r ap ....................................................337
Anak.
k
Julfina Bisanto u ntu
ro
ast
20.1 Ilustrasi kasus ..............................................................................................................337
G
jar
20.2 Pendahuluan..................................................................................................................337
A
u
Buk
20.3 Faktor predisposisi terjadinya kolestasis intrahepatik pada neonatus.................338
i l e
20.4 Patogenesis kolestasis intrahepatik............................................................................338
F
20.5 Etiologi .........................................................................................................................339
20.6 Angka kejadian.............................................................................................................341
20.7 Manifestasi klinis dan komplikasi..............................................................................341
20.8 Diagnosis........................................................................................................................342
20.9 Beberapa Etiologi Kolestasis Intrahepatik pada Bayi.............................................345
20.10 Tata laksana...................................................................................................................349
20.11 Prognosis........................................................................................................................351

Hipertensi Porta.................................................................................................353
Hanifah Oswari
21.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................353
21.2 Pendahuluan..................................................................................................................353
21.3 Definisi...........................................................................................................................354
21.4 Angka kejadian.............................................................................................................354
21.5 Etiologi...........................................................................................................................354
21.6 Patogenesis/Patofisiologi.............................................................................................354
21.7 Manifestasi klinis..........................................................................................................356

xviii
21.8 Diagnosis........................................................................................................................357
21.9 Terapi..............................................................................................................................358
Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID) ..................................................367
Reza Gunadi Ranuh
22.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................367
22.2 Pendahuluan..................................................................................................................367
22.3 Patogenesis.....................................................................................................................368
22.4 Regurgitasi ....................................................................................................................369
22.5 Kolik Infantil.................................................................................................................373
22.6 Konstipasi......................................................................................................................377
Gangguan Motilitas Saluran Cerna...................................................................384
Satrio Wibowo
23.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................384
23.2 Pendahuluan..................................................................................................................384
23.3 Definisi dan Fisiologi Motilitas..................................................................................385
23.4 Klasifikasi.......................................................................................................................385
23.5 Identifikasi Awal...........................................................................................................385
9
23.6 Beberapa Penyakit dengan Gangguan Motilitas Saluran Cerna...........................386 2 01
t
are
23.7 Tanda dan Gejala .........................................................................................................387
M
9
23.8 Tanda Bahaya atau Red Flag pada Gangguan Motilitas.........................................387
ro
ast
23.9 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik..........................................................................390
G
at
ap
23.10 Tata Laksana..................................................................................................................390
r
k
ntu
23.11 Penutup..........................................................................................................................391
ou
Perdarahan Saluran Cerna Bagian a str Atas............................................................393
G
Deddy Satriya Putra A jar
u
uk..............................................................................................................393
24.1 Ilustrasi Kasus
B
e
Fil
24.2 Pendahuluan .................................................................................................................393
24.3 Definisi ..........................................................................................................................394
24.4 Epidemiologi ................................................................................................................394
24.5 Etiologi...........................................................................................................................394
24.6 Diagnosis dan Tata Laksana........................................................................................397
24.7 Simpulan .......................................................................................................................398

Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah.........................................................400


Supriatmo
25.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................400
25.2 Pendahuluan..................................................................................................................400
25.3 Evaluasi awal..................................................................................................................401
25.4 Gejala dan Tanda..........................................................................................................401
25.5 Pemeriksaan Fisis.........................................................................................................402
25.6 Diagnosa Banding Hematokesia................................................................................402
25.7 Pemeriksaan Darah......................................................................................................402
25.8 Pemeriksaan Radiologi ...............................................................................................403

xix
25.9 Tata Laksana..................................................................................................................405

Endoskopi Gastrointestinal pada Anak ............................................................408


Andy Darma
26.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................408
26.2 Latar Belakang...............................................................................................................408
26.3 Endoskopi Gastrointestinal pada Anak....................................................................408
26.4 Indikasi...........................................................................................................................410
26.5 Ringkasan.......................................................................................................................413
Diare pada Anak Penderita HIV........................................................................416
Muzal Kadim
27.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................416
27.2 Pendahuluan..................................................................................................................416
27.3 Klasifikasi Infeksi HIV.................................................................................................417
27.4 Diare pada Anak HIV..................................................................................................418
27.5 Tata Laksana..................................................................................................................422
27.6 Penutup..........................................................................................................................423
Aspek Nutrisi pada Kelainan Saluran Cerna Anak...........................................425 9
2 01
I Putu Gede Karyana re t
Ma
28.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................425
9
ro
ast
28.2 Pendahuluan..................................................................................................................425
G
at
28.3 Kebutuhan Nutrisi........................................................................................................425
r ap
k
28.4 Diare Akut.....................................................................................................................426
u ntu
28.5 Toddler Diarrhoea ........................................................................................................428
28.6 Alergi Makanan pada
tro
asSaluran Cerna........................................................................428
r G
j a
28.7 Penyakit Seliak..............................................................................................................432
uA
kKarbohidrat...............................................................................................433
28.8 Intoleransiu
eB
Fil Disakaridase................................................................................................433
28.9 Defisiensi
28.10 Defisiensi Sukrase-isomaltase Kongenital................................................................434
28.11 Defisiensi Laktase ........................................................................................................435
28.12 Malabsorpsi Monosakarida........................................................................................435
28.13 Malabsorpsi Lemak......................................................................................................436
28.14 Makanan Modular pada Diare Berkepanjangan atau Sindrom Usus Pendek....437
28.15 Kelainan Motilitas Usus ..............................................................................................438
28.16 Konstipasi......................................................................................................................441
28.17 Gangguan Motilitas Usus............................................................................................443
28.18 Penyakit Crohn..............................................................................................................443
28.19 Kolitis Ulseratif.............................................................................................................447
Terapi Farmakologi pada Muntah.....................................................................451
Subijanto Marto Sudarmo
29.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................451
29.2 Pendahuluan..................................................................................................................451
29.3 Patofisiologi...................................................................................................................451
29.4 Metoklopramid & Domperidon.................................................................................453

xx
29.5 Antagonis 5-HT3..........................................................................................................455
29.6 Obat-obatan Penetralisir dan Penekan Produksi Asam Lambung.......................456
Terapi Farmakologi pada Diare.........................................................................474
Alpha Fardah Athiyyah
30.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................474
30.2 Pendahuluan..................................................................................................................474
30.3 Terapi Farmakologis pada Anak Diare.....................................................................475
Kelainan Fungsi Hati..........................................................................................484
Hasri Salwan, Achirul Bakri
31.1 Ilustrsi Kasus.................................................................................................................484
31.2 Pendahuluan..................................................................................................................484
31.3 Fungsi Metabolisme Makronutrien Hati dan Kelainannya ..................................485
31.4 Fungsi Hati Lainnya dan Kelainannya......................................................................487
31.5 Kerusakan Hati.............................................................................................................488
31.6 Diagnosis........................................................................................................................489
31.7 Penutup..........................................................................................................................491
Atresia Bilier.......................................................................................................493
9
2 01
Jeanette Irene Christiene Manoppo
re t
Ma
32.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................493
9
ro
ast
32.2 Pendahuluan..................................................................................................................493
G
at
32.3 Epidemiologi.................................................................................................................494
r ap
32.4 Etiologi...........................................................................................................................494
k
32.5 Mekanisme Patogenesis Penyakit. u ntu..............................................................................494
ro
ast
32.6 Klasifikasi.......................................................................................................................497
G
jar
32.7 Diagnosis........................................................................................................................497
A
u
uk
32.8 Diagnosis Banding.......................................................................................................499
B
e
Fil Bedah......................................................................................................499
32.9 Tata Laksana
32.10 Komplikasi.....................................................................................................................500
32.11 Luaran Pasien dengan Atresia Bilier..........................................................................501
Non Alcoholic Fatty Liver Disease......................................................................504
Ninung RD Kusumawati
33.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................504
33.2 Pendahuluan..................................................................................................................504
33.3 Definisi...........................................................................................................................505
33.4 Insiden dan Prevalensi ................................................................................................505
33.5 Skrining .........................................................................................................................506
33.6 Diagnosis........................................................................................................................507
33.7 Tata Laksana .................................................................................................................510

Penyakit Kandung Empedu pada Anak.............................................................516


Sjamsul Arief
34.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................516
34.2 Pendahuluan .................................................................................................................516

xxi
34.3 Batu Empedu ................................................................................................................517
34.4 Diskinesia Kandung Empedu.....................................................................................520
34.5 Ringkasan.......................................................................................................................520
Sirosis Hati pada Anak.......................................................................................522
Bagus Setyoboedi
35.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................522
35.2 Pendahuluan..................................................................................................................522
35.3 Patogenesis ....................................................................................................................523
35.4 Diagnosis........................................................................................................................524
35.5 Tata Laksana.................................................................................................................528
35.6 Komplikasi.....................................................................................................................529
35.7 Monitoring dan Prognosis..........................................................................................533
Asites Refrakter..................................................................................................538
Titis Widowati
36.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................538
36.2 Pendahuluan..................................................................................................................538
36.3 Definisi...........................................................................................................................538
9
01
36.4 Etiologi...........................................................................................................................539
2
t
are
36.5 Patofisiologi...................................................................................................................541
M
9
36.6 Gejala Klinis..................................................................................................................543
ro
ast
36.7 Diagnosis........................................................................................................................544
G
at
ap
36.8 Tata Laksana .................................................................................................................548
r
k
ntu
36.9 Komplikasi ....................................................................................................................552
u
tro
36.10 Prognosis........................................................................................................................555
as
Prosedur Diagnostik Penyakit
j ar G Hati...................................................................557
A
Yusri Diane Jurnalis uku
eB
Fil Kasus...............................................................................................................557
37.1 Ilustrasi
37.2 Ultrasonografi (USG) Hati dan Saluran Empedu...................................................557
37.3 CT Scan Hati..................................................................................................................559
37.4 Skintigrafi Hepatobilier...............................................................................................561
37.5 Tes Aspirasi Duodenum (duodenal aspiration test /DAT).....................................562
37.6 Biopsi Hati.....................................................................................................................563
37.7 Kolangiografi.................................................................................................................566
37.8 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)...................................567

Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati............................................................570


Sulaiman Yusuf
38.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................570
38.2 Pendahuluan..................................................................................................................570
38.3 Terapi..............................................................................................................................570
38.4 Obat untuk Komplikasi Sirosis Hati..........................................................................573
38.5 Masalah Terapi Obat....................................................................................................575
Indeks.................................................................................................................577

xxii
Daftar Tabel
Tabel 2.3.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan.........................................................27
Tabel 2.3.2. Pemeriksaan laboratorium pada gangguan keseimbangan asam-basa.......27
Tabel 2.3.3. Terapi cairan standar (iso-hiponatremia)........................................................29
Tabel 2.4.1. Etiologi perdarahan............................................................................................30
Tabel 2.4.2. Diagnosis diferensial..........................................................................................32
Tabel 2.7.1. Penanganan farmakologis.................................................................................39
Tabel 2.8.1. Klasifikasi etiologis obstruksi intestinal..........................................................40
Tabel 2.8.2. Gambaran esensial dari resusitasi....................................................................40
Tabel 2.9.1. Etiologi nyeri abdomen akut berdasarkan simptom......................................41
Tabel 2.9.2. Penanganan penyakit peptik pada anak..........................................................42
Tabel 3.6.1. Gangguan-gangguan yang dapat menyebabkan disfagia pada bayi dan
anak......................................................................................................................53
Tabel 3.8.1. Keluhan-keluhan dan gejala klinis yang memerlukan pemeriksaan
videofluoroskopi menelan.................................................................................60
9
2 01 fungsi
Tabel 3.9.1. Contoh terapi yang digunakan pada anak dengan gangguan
re t
Ma
menelan................................................................................................................62
9
ro otomatis............................63
Tabel 3.9.2. Terapi motorik mulut dengan masalah struktur
G ast
at
Tabel 3.9.3. Beberapa cara stimulasi nonnutritive..............................................................64
rap
Tabel 5.4.1. Prevalensi stunting pada usia 3 ktahun.............................................................75
Tabel 6.9.2. Gejala khas diare akut olehuberbagai ntu penyebab..............................................100
tr o
Tabel 6.10.1. Penentuan derajat dehidrasi s menurut MMWR 2003....................................101
Ga
r dehidrasi
Tabel 6.10.2. Penentuan derajat j a menurut WHO 1995........................................101
u A dehidrasi menurut WHO 1980........................................102
Tabel 6.10.3. Penentuanukderajat
e B derajat dehidrasi menurut sistem pengangkaan-Maurice King
Fil
Tabel 6.10.4. Penentuan
(1974)...................................................................................................................102
Tabel 7.5.1. Enteropatogen penyebab diare di Surabaya (1984-1993)..............................119
Tabel 7.10.1. Faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten...............................................127
Tabel 8.6.1. Penyebab muntah pada neonatus.....................................................................134
Tabel 8.6.2. Penyebab muntah pada bayi.............................................................................134
Tabel 8.6.3. Penyebab muntah pada anak............................................................................135
Tabel 9.3.1. Mediator dan moderator dari sakit perut berulang fungsional....................143
Tabel 9.5.1. Penyebab utama sakit perut akut menurut umur, yang memerlukan
tindakan bedah...................................................................................................145
Tabel 9.5.2. Penyebab non-bedah sakit perut akut.............................................................145
Tabel 9.5.3. Penyebab sakit perut akut pada neonatus.......................................................146
Tabel 9.7.1. Gejala abdomen akut pada neonatus...............................................................148
Tabel 9.7.2. Gejala klinis beberapa penyakit dengan sakit perut akut pada anak...........148
Tabel 9.9.2. Beberapa penyebab organik sakit perut berulang..........................................151
Tabel 9.9.3. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik ...............................................152

xxiii
Tabel 9.9.4. Alarm symptoms sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan
organik.................................................................................................................152
Tabel 9.9.5. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang sakit perut berulang.................153
Tabel 9.9.6. Ringkasan pengobatan sakit perut berulang fungsional...............................155
Tabel 10.4.1. Flora normal usus di saluran cerna normal....................................................162
Tabel 10.4.2. Bakteri intra-lumen: efek pada pejamu...........................................................163
Tabel 10.4.3. Manifestasi klinik bakteri tumbuh lampau di usus halus..............................164
Tabel 10.4.4. Uji diagnostik bakteri tumbuh lampau di usus halus....................................165
Tabel 11.6.1. Alergi makanan : organ target dan gangguannya...........................................171
Tabel 11.6.2. CMPSE di Surabaya............................................................................................176
Tabel 11.7.1. Bahan-bahan / keadaan yang dapat memberikan gejala mirip gangguan
hipersensitivitas makanan.................................................................................178
Tabel 11.7.2. Tanda & gejala rekasi alergik makanan dalam berbagai organ target.........179
Tabel 11.7.3. Elemen-elemen yang menunjukkan adanya alergi makanan sebagai
penyebab penyakit gastrointestinal..................................................................183
Tabel 11.7.4. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan alergi makanan sebagai
kausa penyakit gastrointestinal.........................................................................183
Tabel 11.7.5. Jenis diet eliminasi..............................................................................................183
9
01
Tabel 11.7.6. Modalitas untuk tantangan makanan oral......................................................183
2
t
are
Tabel 11.7.7. Bagaimana hidup dengan allergi makanan.....................................................185
M
9
Tabel 12.5.1. Frekuensi normal defekasi pada anak .............................................................190
ro
ast
Tabel 12.6.1. Pemeriksaan fisik pada anak denganGkonstipasi............................................192
Tabel 12.6.2. Temuan pada pemeriksaan fisikapyang at membedakan konstipasi organik dari
k r
ntu
fungsional............................................................................................................192
u
Tabel 12.7.1. Penyebab tersering konstipasi ro pada anak........................................................193
Tabel 12.7.2. Obat yang menyebabkan G ast konstipasi. ................................................................194
r
Aja
Tabel 12.7.3. Penyebabukonstipasi berdasarkan umur..........................................................194
Buk konstipasi kronis pada anak.........................................................195
Tabel 12.8.1. Komplikasi
e
Fil
Tabel 13.5.2. Gambaran klinis dari 325 anak dengan PC....................................................207
Tabel 13.5.3. Terapi Farmakologis PC.....................................................................................215
Tabel 13.5.4. Indikasi tindakan bedah pada PC....................................................................216
Tabel 13.5.5. Efek samping SASP.............................................................................................225
Tabel 13.5.6. Indikasi untuk tindakan bedah .....................................................................227
Tabel 14.7.1. Etiologi pankreatitis akut pada anak................................................................234
Tabel 14.7.2. Gambaran klinis pankreatitis akut...................................................................235
Tabel 14.8.1. Diagnosis diferensial hiperamilase .................................................................236
Tabel 16.4.1. Dosis imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah
paparan................................................................................................................270
Tabel 16.4.2. Dosis Havrix TM yang dianjurkan.......................................................................270
Tabel 16.5.1. Daerah distribusi genotip dan serotip HBV....................................................274
Tabel 16.5.2. Penanda serologis infeksi HBV.........................................................................275
Tabel 16.6.1. Indikasi dan kontraindikasi pengobatan hepatitis C kronis.........................287
Tabel 16.6.2. Evaluasi pada pengobatan hepatitis C kronis.................................................288
Tabel 17.6.1. Kategori hepatotoksik dan bentuk kelainan....................................................304

xxiv
Tabel 17.6.2. Daftar obat hepatotoksik...................................................................................305
Tabel 18.1.1. Penyebab utama Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic
Hormone (SIADH)..............................................................................................314
Tabel 18.4.1. Penyebab penyakit sistemik yang berpengaruh pada hati............................317
Tabel 18.8.1. Imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu...........................................324
Tabel 20.3.1. Faktor predisposisi neonatus untuk menderita kolestasis intrahepatik......338
Tabel 20.5.1. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada bayi dan upaya
diagnostiknya......................................................................................................340
Tabel 20.8.1. Gejala klinik pada beberapa penyebab kolestasis intrahepatik pada
bayi ......................................................................................................................343
Tabel 20.10.1. Tata laksana spesifik pada beberapa penyebab sindrom hepatitis
neonatal................................................................................................................350
Tabel 21.6.1. Penyakit anak yang berhubungan dengan hipertensi porta-klasifikasi
berdasarkan patofisiologi .................................................................................355
Tabel 21.7.1. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis........................................................356
Tabel 21.7.2. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta.....................................356
Tabel 22.4.1. Red Flag................................................................................................................371
Tabel 23.5.1. Tanda dan gejala gangguan motilitas dan organ yang diduga terlibat........386
9
Tabel 23.8.1. Gangguan motilitas saluran cerna pada beberapa penyakit.........................388 2 01
Tabel 23.8.2. Tanda dan gejala gangguan motilitas saluran cernaardari t
e beberapa
9 M
penyakit................................................................................................................389
o
Tabel 23.8.3. Tanda bahaya untuk gangguan motilitas str
asaluran cerna................................389
G
Tabel 23.9.1. Pemeriksaan diagnostik gangguanapmotilitas at saluran cerna..........................390
r
Tabel 23.10.1. Pendekatan pembedahan, nutrisional n tuk dan farmakologis untuk tata laksana
gangguan motilitas saluran o ucerna.....................................................................391
r
Tabel 24.5.1. Etiologi perdarahan ast
Gsaluran cerna atas pada anak.........................................394
r
ja perdarahan saluran cerna atas berdasarkan manifestasi
Tabel 24.5.2. Diagnosis bandinglu A
B uk
klinis.....................................................................................................................395
e
Filobat-obatan pada perdarahan saluran cerna atas ..............................398
Tabel 24.7.1. Terapi
Tabel 25.5.1. Pemeriksaan fisis pada PSMBB.........................................................................402
Tabel 25.7.1. Pemeriksaan dini pada PSMBB........................................................................403
Tabel 25.8.1. Pemeriksaan radiologi pada PSMBB...............................................................403
Tabel 25.8.2. Pemeriksaan endoskopi yang dapat dilakukan pada PSMBB ......................404
Tabel 26.4.1. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas................................................410
Tabel 26.4.2. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas sesuai dengan usia ..............410
Tabel 26.4.3. Tindakan endoskopi pada tertelan benda asing.............................................411
Tabel 26.4.4. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian bawah...........................................412
Tabel 27.3.2. Stadium klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi HIV.................417
Tabel 27.3.3. Stadium klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi HIV
(lanjutan).............................................................................................................418
Tabel 27.3.1. Klasifikasi WHO mengenai penyakit yang berhubungan dengan HIV......417
Tabel 27.4.2. Mikroorganisme patogen penyebab diare pada HIV....................................420
Tabel 27.4.1. Gangguan fungsi usus dan pankreas pada anak dengan HIV......................420
Tabel 27.5.1. Terapi spesifik infeksi usus pada anak penederita HIV.................................422
Tabel 28.3.1. Kebutuhan untuk bayi dengan malabsorpsi..................................................426

xxv
Tabel 28.9.1. Aktivitas enzim bursh border di usus halus....................................................434
Tabel 29.6.1. Klasifikasi obat penurun keasaman lambung.................................................457
Tabel 30.3.1. Indikasi, jenis, serta dosis probiotik yang disarankan untuk masing-masing
diagnosis..............................................................................................................478
Tabel 31.3.1. Rujukan nilai normal PT dan aPTT pada bayi prematur (usia gestasi 30-36
minggu) yang baru lahir dan sehat. ................................................................487
Tabel 31.5.1. Rujukan nilai normal kadar gamma glutamil-tranferase sesuai umur........489
Tabel 33.3.1. Definisi spektrum histopatologi klinis NAFLD10.........................................505
Tabel 34.3.1. Penyakit/keadaan yang dihubungkan dengan batu empedu........................517
Tabel 34.3.2. Penyakit penyerta utama...................................................................................518
Tabel 35.2.1. Berbagai penyakit yang berpotensi mengakibatkan sirosis pada anak.......523
Tabel 35.4.1. Gejala dan tanda umum komplikasi sirosis....................................................525
Tabel 35.7.1. Sistem skor Child-Turcotte-Pugh......................................................................534
Tabel 35.7.2. Interpretasi sistem skoring Child-Turcotte-Pugh............................................534
Tabel 36.4.1. Penyakit penyebab asites fetal...........................................................................539
Tabel 36.4.2. Penyebab asites kongenital/neonatal ...............................................................540
Tabel 36.4.3. Penyebab asites pada anak.................................................................................540
Tabel 36.6.1. Klasifikasi tingkat keparahan asites..................................................................543
9
01
Tabel 36.6.2. Staging asites.......................................................................................................543
2
t
Tabel 36.6.3. Pengertian dan kriteria diagnostik asites refrakter
M are pada sirosis...................544
Tabel 36.7.1. Warna cairan asites secara makroskopis tergantung o 9 penyakit yang
a str
mendasarinya......................................................................................................546
G
Tabel 36.7.2. Klasifikasi infeksi cairan asites aberdasarkan p at hasil kultur .............................547
k r
Table 36.7.3. Interpretasi diagnosis SAAG. ntu ............................................................................547
Tabel 36.7.4. Karakteristik cairantasites ro u di berbagai kondisi...............................................548
as
j ar G cairan asites......................................................................548
Tabel 36.7.5. Interpretasi spesifik
u A dengan infeksi bakteri pada anak dengan sirosis hati............552
Tabel 36.9.1. Varian asites
k
Tabel 36.9.2. Usulan u
e B diagnostik kriteria untuk HRS pada anak..........................................553
Fil
Tabel 38.4.1. Obat-obat untuk terapi asites............................................................................573
Tabel 38.4.2. Obat-obat untuk terapi ensefalopati hati.........................................................574
Tabel 38.4.3. Obat-obat untuk terapi abses hati....................................................................574

xxvi
Daftar Gambar

Gambar 2.4.2. Pendekatan Klinis Perdarahan GIT Bawah .................................................31


Gambar 2.4.1. Penentuan letak perdarahan............................................................................31
Gambar 2.4.3. Algoritma penatalaksanaan pada anak dengan kecurigaan perdarahan
varises usofagus.................................................................................................35
Gambar 2.5.1 Aluran tata laksana pemberian cairan dan plasma/darah pada DBD
derajat III dan IV .............................................................................................38
Gambar 3.6.2a. Skema gambar samping dari saluran aerodigestif atas struktur rongga
mulut dan faring dapat dilihat bagitu juga pintu masuk laring, trakea
dan esofagus.......................................................................................................54
Gambar 3.6.2b. Dari gambaran samping saluran aerodigestif atas menunjukkan batas
anatomi nasofaring, orofaring dan hipofaring.............................................54
Gambar 3.6.3. Skema dari seorang anak yang menggambarkan fase menelan yang
normal ...............................................................................................................55
9
Gambar 3.6.4. Diagram sistem saraf perifer dan sentral untuk menelan
2 01 sinyal efferen
antara lain saraf kranial, kortikal dan jalur subkortikal t
re menuju Nukleus
Traktus Solitarius (NTS) dan Ventral Medial 9 Ma
Retikular Formation
t ro
s
(VMRF) (sist. generator sentral). Sinapa saraf efferen dengan Inti motor
G
primer saraf pusat V, VII, IX, X adan p at XII........................................................57
Gambar 5.4.1. Tinggi rata-rata anak usia 7tutahun k r golongan sosial ekonomi tinggi dan
u n
rendah.................................................................................................................75
a s tro
Gambar 5.6.1. Lingkaran setan kompleks diare–MEP–infeksi............................................77
rG
jadi
Gambar 7.5.1. Insidensi diareA beberapa negara berkembang..........................................118
u
Buk
Gambar 7.6.2. Alur perjalanan diare akut menjadi diare persisten.....................................120
i l e
F
Gambar 7.6.1. Konsep patogenesis diare persisten dan kronis............................................120
Gambar 7.9.1. Diagram manajemen diare persisten.............................................................126
Gambar 9.9.1. Konsep yang menggambarkan peran penyebab multifaktorial pada
sakit perut berulang..........................................................................................150
Gambar 9.9.6. Pendekatan diagnosis sakit perut berulang...................................................154
Gambar 11.6.1. Gangguan hipersensitivitas GI .......................................................................172
Gambar 13.5.1. Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya malnutrisi dan gagal
tumbuh pada anak dan remaja dengan IBD.................................................210
Gambar 14.2.1. Pankreas dengan duktus pankreatikus dan duktus billiaris.......................230
Gambar 14.5.1. Mekanisme patogenesis pankreatitis akut ....................................................232
Gambar 14.5.2. Aktivasi enzim-enzim pankreas.....................................................................232
Gambar 15.4.2. Gambaran eksresi empedu pada orang dewasa, dengan menggunakan
larutan khromatografi high performance........................................................250
Gambar 15.4.3. Gambaran eksresi empedu pada bayi baru lahir, dengan menggunakan
larutan khromatografi high performance........................................................250
Gambar 15.4.4. Reduksi dan oksidasi bilirubin menjadi sebuah kelompok yang
mempunyai kesamaan komposisi yaitu urobilinoid....................................251

xxvii
Gambar 15.5.1. Pendekatan klinis ikterus neonatus................................................................254
Gambar 16.4.1. Pola respons terhadap infeksi HAV................................................................269
Gambar 16.5.1. Pola respons terhadap infeksi akut HBV........................................................273
Gambar 16.7.1. Perubahan serologis dan biokimia pada koinfeksi HDV.4.........................290
Gambar 16.7.2. Perubahan serologis dan biokimia pada superinfeksi HDV.4....................290
Gambar 16.7.1. Kemungkinan akibat dari infeksi HDV.........................................................291
Gambar 17.3.2. Mekanisme drug induced hepatitis.................................................................302
Gambar 17.3.1. Metabolisme tahap I dan tahap II..................................................................302
Gambar 17.6.2. Metabolisme asetaminofen..............................................................................306
Gambar 17.6.3. Metabolisme isoniazid (INH).........................................................................307
Gambar 17.7.1. Upaya Diagnosis Drug Induced Hepatitis......................................................309
Gambar 18.2.1. Hubungan antara arteri hepatika, v. porta, sinusoid dan hepatosit...........315
Gambar 18.8.1. Hubungan masing-masing area menurut asinus hepar dari Rappaport
(pusat di triade portal) dan lobulus hepar klasik dari Kiernan (pusat di
vena sentralis) ...................................................................................................321
Gambar 18.8.2. Patogenesis kelainan hepatobiliaris pada sepsis...........................................323
Gambar 20.8.1. Sekuele kolestasis kronik..................................................................................343
Gambar 21.9.1. Algoritme tatalaksana anak dengan kecurigaan perdarahan varises........362
9
01
Gambar 22.4.1. Algoritne tata laksana regurgitasi...................................................................372
2
t
are
Gambar 22.5.1. Kolonisasi mikrobiota usus.............................................................................374
M
9
Gambar 22.5.2. Algoritma tata laksana kolik............................................................................376
ro
Gambar 22.7.1. Algoritma tata laksana konstipasi G ast
fungsional. ..............................................379
Gambar 24.5.1. Ulkus gastrikum anak perempuan p at 12 th.......................................................396
a
Gambar 24.5.3. Varises esofagus anak laki-laki t u k r 3 thn.............................................................396
Gambar 24.5.2. Esofagitis pada anak un
o perempuan 10 th..........................................................396
t r
Gambar 24.5.4. (PA) Adenoma G as
duodenum anak laki-laki 14thn..........................................396
Gambar 24.5.5. Gastritis A jar anak laki-laki 8 thn................................................................397
erosif
u
Gambar 24.5.6. LigasiBukvarises esofagus anak laki-laki 11 thn.................................................397
il e
Gambar 27.4.1. F Mekanisme malnutrisi pada anak dengan HIV...........................................419
Gambar 29.3.1. Mekanisme muntah..........................................................................................452
Gambar 29.3.2. Cara kerja obat anti muntah............................................................................453
Gambar 29.4.1. Jalur proses muntah..........................................................................................454
Gambar 29.6.1. Mekanisme fisiologis sekresi ion hydrogen oleh sel parietal......................457
Gambar 29.6.2. Mekanisme kerja obat-obat menetralisir dan menekan produksi asam
lambung..............................................................................................................458
Gambar 29.6.3. Aspek fungsional dari sekresi lambung, menunjukkan jalur stimulasi
dan penghambatan utama yang mengatur sekresi asam lambung............459
Gambar 29.6.4. Mekanisme kerja obat anti sekresi.................................................................460
Gambar 30.3.1. Estimasi prevalensi dari asupan zinc yang inadekuat .................................476
Gambar 31.6.1. Klasifikasi kolestasis neonatal.........................................................................491
Gambar 33.6.1. Investigasi pasien dengan NAFLD.................................................................508
Gambar 33.6.2 Alat diagnostik untuk anak dan remaja dengan NAFLD5.........................509
Gambar 36.5.1. Patofisiologi terjadinya asites..........................................................................542
Gambar 36.8.1. Tata laksana pasien dengan asites refrakter..................................................551

xxviii
BAB

1
Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit
Mohammad Juffrie

1.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak laki laki berumur 3 tahun masuk di unit gawat darurat dengan keluhan
diare cair akut, muntah-muntah, dan panas. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit anak
tersebut mengalami kejang-kejang selama 5 menit. Kesadaran agak menurun. Dari
riwayat yang diceritakan oleh neneknya yang mengantar anak tersebut ditemukan bahwa
di rumah anak tersebut sudah menderita diare selama 3 hari, cair, warna kuning, tidak
berdarah dan berlendir. Anak tersebut di rumah telah diberi larutan oralit selama diare.
Neneknya mencampur 1 bungkus oralit dengan setengah gelas kecil untuk mempermudah
memasukkan oralitnya.

1.2 Larutan Tubuh


Larutan tubuh terbagi menjadi larutan intraselular (CIS) dan larutan ekstraselular (CES).
Volume CIS tidak dapat diukur langsung, akan tetapi dapat diukur dengan mengurangkan
volume CES dari volume air tubuh total. Jumlah CIS sebanyak 30%-40% dari berat badan.
CIS merupakan representasi dari jumlah larutan dari berbagai macam sel di seluruh tubuh,
yang tersebar dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda serta mempunyai komposisi
yang berbeda. Volume larutan ekstraselluler lebih besar dibanding volume larutan
intraselluler pada fetus, tetapi rasio CES dan CIS ini akan berubah setelah umur 9 bulan.
CES berkurang secara relatif disebabkan karena pertumbuhan sel jaringan lebih cepat
dibanding pertumbuhan jaringan kolagen menjadi jaringan otot. Setelah itu jumlah CES
akan bertambah berhubungan dengan bertambahnya berat badan. Pada keadaan hidrasi
normal jumlah CES pada anak adalah 20%-25% berat badan yang terbagi dalam larutan
plasma 5% berat badan, larutan interstisiel 15% berat badan dan larutan transelluler 1%-3%
berat badan. Larutan transelluler terdiri dari larutan di saluran gastrointestinal dan larutan
serebrospinal, intraokular, pleural, peritoneal dan larutan sinovial.

1
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

1.3 Komposisi Larutan Tubuh


CIS terdiri dari air dan elektrolit yaitu protein ditambah dengan K+, PO4--, Na+, Mg++, HCO3,
dan HHCO3 . Elektrolit yang terbanyak adalah K+. Plasma darah terdiri dari protein, Na+,
Cl-, HCO3-, K+, Ca++, Mg++, SO4--, HPO4--, HHCO3 dan nonelektrolit.
Larutan interstisial terdiri dari Na+, Cl-, HCO3-, K+, Mg++, Ca++, SO4--, HPO4--, HHCO3
dan nonelektrolit. Elektrolit yang terbanyak adalah Na+.
Membran sel berfungsi sebagai barrier primer perpindahan zat-zat antara CES dan
CIS. Zat-zat yang larut dalam lemak seperti gas (oksigen dan karbon dioksida) bisa langsung
memintas membran. Ion-ion seperti Na+ dan K+ berpindah melalui mekanisme transport
seperti pompa Na+/K+ yang berlokasi di membran sel elektrolit dalam larutan tubuh adalah
substansi yang terurai dalam bentuk partikel atau ion misalnya NaCl akan terurai menjadi
ion positif Na+, atau ion negatif yaitu Cl-. Karena kekuatan berikatan keduanya selalu akan
bersatu. Distribusi elektrolit di antara kompartemen tubuh dipengaruhi oleh potential
listriknya. Walaupun begitu satu kation dapat diganti dengan yang lain, misalnya H+ diganti
dengan K+ dan ikatannya HCO3- diganti dengan Cl-.

9
1.4 Difusi dan Osmosis ret
2 01
a
Difusi adalah pergerakan partikel bermuatan atau tidak 9M
ro bermuatan di sepanjang gradien
stair
konsentrasinya. Semua molekul dan ion termasuk G a dan larutannya dalam keadaan
konstan. Pergerakan partikel ini dipengaruhi p at energi masing masing yang diperoleh
oleh
ra
k gerakan
t
dari konsentrasinya, sehingga akan terjadiu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah. o un
str
Osmosis adalah gerakan r Gamelewati membran semi permeabel. Air akan bergerak dari
air
ja
kuA
tempat yang sedikit mengandung partikel ke tempat yang banyak partikelnya. Perpindahan
Bu
air ini membutuhkan
ile tekanan yang disebut tekanan osmotik. Aktifitas osmotik ini diukur
dengan ukuran Fyang disebut osmol.
Aktifitas osmosik larutan diekspresikan dalam bentuk osmolaritas dan osmolalitas.
Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 liter larutan (mOsm/L), sedangkan
osmolalitas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 kg air. Osmolaritas biasa dipakai untuk
larutan yang berada di luar tubuh, sedangkan osmolalitas untuk menjelaskan larutan di
dalam tubuh. Osmolalitas serum yang ditentukan oleh natrium dan anion yang mengikatnya
(klorida dan bikarbonat) mempunyai angka berkisar antara 275 dan 295 mOsm/kg.
Tonisitas. Perubahan kandungan air menyebabkan sel menjadi membengkak atau
mengkerut. Pengertian tonisitas adalah tekanan atau efek dari tekanan osmotik efektif dari
larutan dengan zat terlarut yang tidak permeabel terhadap ukuran sel karena perpindahan
air melalui membran sel. Jadi tonisitas diukur dengan zat terlarut yang tidak bisa melalui
membran sel misalnya glukosa menyebabkan kekuatan osmotik yang menekan air masuk
atau keluar dari sel dan menyebabkan perubahan ukuran sel.
Larutan dimana sel-sel tubuh berasa didalamnya dapat dibagi menjadi tiga macam
jenis osmotiknya yaitu isotonik, hipotonik dan hipertonik tergantung pada apakah dia
menyebabkan sel membengkak atau mengkerut. Sel yang berada pada larutan isotonis jika

2
Buku Ajar Gastrohepatologi

larutan itu mempunyai osmolalitas sama seperti CIS (280 mOsm/l) tidak akan membengkak
atau mengkerut. Sebagai contoh larutan isotonik adalah larutan NaCl 0,9%. Jika sel berada
dalam larutan hipotonik jika larutan itu mempunyai osmolalitas efektif lebih rendah dari
CIS, sel akan membengkak karena air masuk ke dalam sel. Apabila sel berada di larutan
hipertonis dimana osmolalitas efektif nya lebih besar dari CIS sel akan mengkerut karena
air keluar dari sel.

Pertukaran larutan dalam kapiler dan jaringan interstisial


Pertukaran larutan dari vaskular ke interstisial terjadi di semua tingkatan kapiler. Ada 4
kekuatan yang mengatur pertukaran ini yaitu 1) tekanan filtrasi kapiler, yang mendorong
air keluar dari kapiler menuju jaringan interstisial; 2) tekanan osmotik koloid kapiler,
yang mendorong air kembali ke dalam kapiler; 3) tekanan hidrostatik interstisial sebagai
kebalikan gerakan air keluar kapiler; dan 4) tekanan osmotik koloid jaringan yang
mendorong menarik air keluar dari kapiler ke jaringan interstisiel. Pada keadaan normal
semua air akan bergerak oleh 4 kekuatan tersebut, hanya dalam jumlah sedikit yang tersisa
di jaringan interstisial dan akan masuk ke sistem limfatik yang nantinya masuk ke siskulasi
darah.
9 karena faktor
Filtrasi kapiler dimaksudkan gerakan air melalui pori-pori kapiler
2 01
mekanis, bukan karena tenaga osmotik. Tekanan filtrasi kapiler kadang t
re disebut juga tekanan
hidrostatik kapiler yaitu tekanan yang mendorong air keluar 9 Ma kapiler ke dalam jaringan
dari
interstisial. Hal tersebut menggambarkan tekanan arteriasatau tro vena, yaitu tahanan prekapiler
G
(arteriol) dan post kapiler (venula). Kenaikan tekanan at arteri atau vena menaikkan tekanan
r ap
kapiler. Penurunan tahanan arteri atau kenaikan k tahanan vena akan menaikkan tekanan
u ntu
kapiler dan suatu kenaikan tahanan arteri atau penurunan tahanan vena akan menurunkan
a stro
tekanan kapiler. Gaya gravitasi meningkatkan
G tekanan kapiler pada posisi tertentu. Pada
orang yang berdiri tegak maka A jarberat darah di sepanjang pembuluh darah menyebabkan
u
kenaikan 1 mmHg untuk Buksetiap 13,6 mm jaraknya dari jantung. Tekanan ini hasil dari berat
e
air oleh karenanyaFildisebut tekanan hidrostatik. Pada orang dewasa yang berdiri tegak,
tekanan di vena kaki bisa mencapai 90 mmHg. Tekanan ini kemudian dialihkan ke kapiler.
Tekanan osmotik koloid kapiler adalah tekanan osmotik yang berasal dari protein
plasma yang terlalu besar melewati pori-pori dinding kapiler. Tekanan osmotik ini berbeda
pengertiannya dari tekanan osmotik di membran sel karena elektrolit dan nonelektrolit.
Karena protein plasma normal tidak bisa melalui pori-pori kapiler dan konsentrasinya
lebih besar di plasma daripada di jaringan interstisial maka inilah yang menarik air kembali
ke kapiler. Tekanan larutan interstisiel dan tekanan osmotik koloid jaringan mempengaruhi
gerakan air dari dan ke jaringan interstisial.

Edema
Adalah bengkak yang disebabkan karena ekspansi volume larutan interstisial. Edema tidak
akan tampak sebelum volume mencapai 2,5 l atau 3 l. Mekanisme fisiologi edema adalah: 1)
kenaikan tekanan filtrasi kapiler, 2) penurunan tekanan osmotik koloid kapiler, 3) kenaikan
permeabilitas kapiler, 4) obstruksi saluran limfe.

3
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Kenaikan tekanan filtrasi kapiler


Jika tekanan filtrasi kapiler naik maka perpindahan larutan vaskular ke dalam jaringan
interstisial naik. Faktor-faktor yang menaikkan tekanan kapiler adalah: 1) penurunan
tahanan aliran melalui sfingter prekapiler; 2) kenaikan tekanan vena atau tahanan aliran
keluar pada sfingter postkapiler, dan distensi kapiler karena meningkatnya volume vaskular.

Penurunan tekanan osmotik koloid kapiler


Protein plasma mengeluarkan kekuatan osmotik yang dibutuhkan untuk menarik kembali
cairan ke dalam kapiler dari jaringan interstisial. Protein plasma terdiri dari albumin,
globulin dan fibrinogen. Karena bobot molekul albumin paling rendah maka konsentrasi
albumin paling tinggi.
Edema disebabkan oleh penurunan tekanan osmotik koloid kapiler sebagai akibat
produksi yang tidak adekuat atau kehilangan tidak normal protein plasma terutama albumin.
Protein plasma disintesis di hati. Pada penderita penyakit hati yang berat kegagalan sintesis
albumin menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid. Pada kelaparan dan malnutrisi
edema terjadi karena ada kebocoran kebutuhan asam amino dalam sintesis protein plasma.
Kebocoran protein plasma yang paling sering melalui ginjal seperti pada 9 sindroma nefrotik,
kapiler glomerular menjadi permeabel terhadap protein plasma 2 01 terutama albumin.
t
are terjadi pada fase awal luka
Kebocoran lain terjadi jika ada kerusakan kulit, sehingga edema
M
9
stro Karena protein plasma terdapat
bakar akibat cedera kapiler dan kehilangan protein plasma.
Ga
di seluruh tubuh dan tidak tergantung oleh gravitasi
at maka edema bisa terjadi dimana-mana.
k rap
tu
Kenaikan permeabilitas kapiler o un
r
Jika pori-pori kapiler melebar ast integritas dinding kapiler rusak maka permeabilitas
Gatau
jar
u A ini terjadi protein plasma dan partikel aktif osmotik bocor ke
kapiler akan naik. Apabila
k
u meningkatkan tekanan osmotik koloid jaringan dan menyebabkan
i l eB
dalam jaringan interstisial
F interstisiel. Keadaan ini disebabkan oleh luka bakar, bendungan kapiler,
akumulasi larutan
radang dan respon imun.

Sumbatan aliran limfe


Protein plasma aktif osmotik dan partikel lain yang berat molekulnya besar yang tidak bisa
melalui pori-pori membran kapiler maka akan direabsorpsi lewat saluran limfe dan masuk
ke sirkulasi. Edema yang disebabkan oleh kegagalan aliran limfe disebut limfedema.

Akumulasi di tempat ketiga


Yang dimaksud dengan hal ini adalah hilangnya atau terjebaknya CES di ruang transelular.
Ruang-ruang serous adalah ruang traseluler yang terletak di tempat strategis dimana ada
gerakan-gerakan kontinu dari bentuk tubuh, seperti saccum perikardial, cavum peritoneal,
dan pleura. Perubahan CES antar kapiler, ruang interstisial dan transelular melaui cara sama
di manapun di seluruh tubuh. Cavum serosa sangat dekat dengan sistem drainase limfe.

4
Buku Ajar Gastrohepatologi

1.5 Kesimbangan Air dan Natrium


Perpindahan larutan tubuh antara CES dan CIS terjadi pada membran sel dan tergantung
pada pengaturan air dan natrium. Air merupakan 90% sampai 93% dari pelarut CES. Dalam
keadaan normal perubahan keseimbangan natrium dan air sering terjadi, dan volume serta
osmolalitasnya dipertahankan normal. Konsentrasi Na+ yang mengatur osmolalitas CES,
perubahan Na+ biasanya diikuti oleh perubahan secara proporsional volume air.
Gangguan keseimbangan Na+ dan air dibagi menjadi 2 kategori: 1) kontraksi isotonis
atau ekspansi volume CES dan 2) dilusi hipotonis (hiponatremia) atau konsentrasi hipertonis
(hipernatremia) dari natrium yang membawa perubahan pada CES. Kelainan isotonis
biasanya dimaksudkan kontraksi produksi kompartemen CES (defisit volume larutan)
atau ekspansi (kelebihan volume larutan) dari larutan vaskular dan interstisial. Kelainan
konsentrasi natrium menyebabkan perubahan osmolalitas CES dengan gerakan air dari
kompartemen CES ke dalam kompartemen CIS (hiponatrium) atau dari kompartemen CIS
ke dalam kompartemen CES (hipernatremia).

1.6 Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Larutan


19
2 0
Pengaturan keseimbangan Na+ aret
9M
ro kurang lebih 60 meq/kgBB.
ast
Na+ adalah kation yang paling rumit dalam tubuh, rata-rata
G
Kebanyakan dari Na tubuh ada dalam CES (135-145 at mEq/l) dan hanya sedikit dalam CES
+

(10-14 mEq/l). r ap
k
Fungsi Na+ terutama mengaturo u ntu
volume CES termasuk kompartemen vaskular.
r
ast CES Na+ dan anion pasangannya (Cl- dan HCO3)
Sebagai kation yang paling banyakGdalam
jar osmotik dalam CES. Karena Na+ adalah bagian dari
mengatur sebagian besar aktifitas
A
ku
molekul NaHCO3 maka Bupenting dalam pengaturan keseimbangan asam basa.
e
Fil
Masuk dan hilangnya Na+
Na+ secara normal masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Pemasukan Na+
didapat dari makanan, atau infus natrium atau infus yang lain. Na+ keluar dari tubuh
melalui ginjal, saluran cerna dan kulit. Sebagian besar Na+ keluar lewat ginjal. Dengan
fungsi ekskresi dan reabsorpsi Na+ maka kadar Na+ dalam tubuh dipertahankan. Hanya
10% Na+ keluar lewat saluran pencernaan dan kulit.

Mekanisme regulasi Na+


Ginjal adalah regulator utama Na+. Ginjal akan menyesuaikan terhadap tekanan arteri; jika
tekanan arteri turun maka Na+ akan ditingkatkan, jika tekanan arteri naik maka Na+ akan
dibuang. Pengaturannya dibawah kendali saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-
aldosteron. Saraf simpatis bertanggung jawab terhadap tekanan arteri dan volume darah
dengan cara mengatur filtrasi glomerulus dan Na+. Saraf simpatis juga mengatur reabsorpsi
tubular dari Na+ dan pelepasan renin. Sedangkan sistem renin-angiotensin-aldosteron

5
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

beraksi melalui angiotensi II dan aldosteron. Angiotensin II menyebabkan meningkatnya


reabsorpsi Na+ dan pembuangan K+.

Pengaturan larutan
Total larutan tubuh bervariasi tergantung jenis kelamin dan berat badan. Perbedaan ini
disebabkan karena perbedaan lemak tubuh. Pada laki-laki larutan tubuh sekitar 60% berat
badan pada dewasa muda dan akan turun menjadi 50% setelah dewasa. Pada wanita muda
jumlah larutan tubuh 50% berat badan dan akan turun menjadi 40% setelah dewasa. Pada
orang gemuk akan terjadi penurunan jumlah larutan tubuh sampai 30%-40% berat badan.
Pada bayi larutan tubuh 75%-80% berat badan. Pada bayi prematur lebih besar lagi.
Jumlah larutan CES pada bayi relatif lebih banyak dibanding dewasa. Lebih dari separuh
larutan tubuh bayi berada di CES. CES yang lebih banyak ini disebabkan metabolisme yang
lebih tinggi, area permukaan tubuh yang lebih luas dan struktur ginjal yang belum matur.
Karena CES lebih mudah hilang maka bayi lebih mudah hilang larutannya dibanding
dewasa.

Masuk dan hilangnya larutan 19


Tanpa melihat umur, semua orang sehat membutuhkan 100 ccetair 20setiap 100 kalori untuk
ar
proses metabolisme dan membuang sisa-sisa metabolisme.
o 9M Dengan kata lain jika seseorang
r
mengeluarkan kalori 1800 maka dibutuhkan 1800 scc
G at air untuk keperluan metabolisme.
Laju metabolisme (metabolic rate) akan meningkat t jika terjadi peningkatan suhu. Setiap
r pa
aakan
kenaikan suhu sebesar 10 C, laju metabolisme meningkat sebesar 12%.
ntuk
Sumber air tubuh yang utamao u adalah dari pemasukan lewat oral dan metabolisme
nutrien. Air (termasuk dari larutana strdan makanan solid) diabsorbsi dari saluran cerna. Proses
G
metabolisme juga menghasilkan
A jar air. Jumlah air dari proses ini bervariasi antara 150 cc - 300 cc.
Pada umumnya
ku
ukehilangan larutan yang paling banyak adalah lewat ginjal, kemudian
e B
Fil paru-paru, dan saluran pencernaan. Walaupun pemasukan oral atau
lewat kulit, lewat
parenteral sedikit ginjal tetap memproduksi urin sebagai hasil metabolisme tubuh. Urin
yang bertujuan membuang sisa metabolisme ini disebut output urin obligatori. Kehilangan
larutan lewat urin obligatori ini sekitar 300-500 cc/hari. Kehilangan larutan lewat kulit dan
paru-paru disebut kehilangan larutan insensibel.

Mekanisme pengaturan
Terdapat 2 mekanisme fisiologis yang mengatur larutan tubuh: haus dan hormon
antidiuretik (ADH). Rasa haus terutama mengatur pemasukan larutan, sedangkan ADH
mengatur larutan keluar. Kedua mekanisme ini bertanggung jawab terhadap perubahan
osmolalitas ekstraselular dan volume.

Rasa haus
Rasa haus dikendalikan oleh pusat rasa haus di hipotalamus. Terdapat 2 stimuli untuk rasa
haus karena benar-benar membutuhkan larutan: 1) dehidrasi selular yang disebabkan oleh

6
Buku Ajar Gastrohepatologi

kenaikan osmolalitas ekstraselular dan 2) penurunan volume darah yang bisa atau tidak
ada hubungannya dengan penurunan serum osmolalitas. Neuron pensensor yang disebut
osmoreseptor bertempat di atau dekat pusat haus di hipotalamus. Osmoreseptor berespon
terhadap perubahan pada osmolalitas ekstraselular dengan cara memacu sensasi haus.
Rasa haus normal muncul jika ada sedikit saja perubahan 1% atau 2% pada osmolalitas
serum. Reseptor pada kapiler sangat sensitif terhadap perubahan tekanan darah arteri dan
volume darah sentral juga membantu dalam pengaturan rasa haus. Stimulus yang penting
ketiga untuk rasa haus adalah angiotensin II, yang mana meningkat karena respon terhadap
volume aliran darah dan tekanan aliran darah.
Mulut kering menyebabkan sensasi rasa haus. Sensasi rasa haus terjadi juga pada
orang-orang yang bernafas dengan mulut misalnya perokok dan penderita dengan penyakit
saluran pernafasan kronis atau sindrom hiperventilasi.
Hipodipsia Menggambarkan penurunan kemampuan rasa haus. Terdapat bukti bahwa
haus adalah penurunan pemasukan air, selain kadar osmolalitas dan Na+ yang tinggi.
Ketidakmampuan menerima dan berespon terhadap rasa haus biasanya terjadi pada pasien
stroke atau gangguan sensorik.
Polidipsia dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1) simtomatik atau rasa haus sejati, 2) rasa haus
yang tidak tepat atau rasa haus yang salah yang terjadi dimana jumlah19larutan tubuh dan
20
osmolalitas serum normal, 3) minum larutan kompulsif.
aret
Simtomatik haus muncul jika ada kehilangan larutan o 9 Mtubuh. Diantara penyebab
rasa haus yang paling banyak adalah kehilangan larutan r
st akibat diare, muntah, diabetes
t Ga
melitus, dan diabetes insipidus. Haus yang tidak atepat terjadi jika ada gagal ginjal, dan
gagal jantung kongestif. Walaupun penyebab k rap haus pada kelompok ini tak jelas tetapi
rasa
tu
mungkin karena peningkatan kadar rangiotensin.
o un Haus dirasakan juga pada orang yang
a st
mengalami penurunan aktivitas kelenjar
G air ludah karena pengaruh obat-obatan misalnya
jar
antikolinergik (termasuk atropin).
A
u
B
Polidipsi psikogenik.uk Poldipsia psikogenik biasanya dialami oleh penderita gangguan
e
Fil
jiwa. Keadaan ini disebabkan oleh pemakaian obat antipsikosis yang efeknya meningkatkan
kadar ADH.

Hormon antidiuretik (ADH)


Reabsorpsi air oleh ginjal diatur oleh ADH yang juga dikenal dengan vasopressin. ADH
disintesis oleh sel di nukleus supraoptikus dan nukleus paraventrikularis hipotalamus.
ADH diangkut di sepanjang akson saraf ke neurohipofisis kemudian dilepas ke sirkulasi.
Dengan rasa haus, kadar ADH terkontrol oleh volume dan osmolalitas ekstraselular.
Osmoreseptor di hipotalamus merasakan perubahan osmolalitas ekstraselular dan
merangsang produksi serta melepas ADH. Sedikit kenaikan osmolalitas serum (1%) sudah
cukup untuk melepas ADH. Baroreseptor sensitif terhadap perubahan tekanan darah dan
volume darah sentral untuk membantu pengaturan pelepasan ADH. Penurunan volume
darah 5%-10% akan menyebabkan kadar ADH maksimal. Seperti mekanisme homeostatis
lainnya keadaan akut menyebabkan perubahan yang besar terhadap kadar ADH dibanding
keadaan yang kronis. Perubahan dalam waktu yang lama tidak akan mempengaruhi kadar
ADH.

7
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Keadaan tidak normal akan meningkatkan sintesis dan pelepasan ADH seperti
pada nyeri yang hebat, mual, trauma, operasi, zat anestesi dan beberapa narkotik (morfin
dan meperidin). Mual adalah rangsangan yang poten untuk sekresi ADH, sehingga
menyebabkan kenaikan kadar ADH 10-1000 kali. Nikotin merangsang pelepasan ADH
sedangkan alkohol menghambatnya. Dua keadaan yang mengganggu kadar ADH yaitu
diabetes insipidus dan sekresi ADH yang tidak tepat.Diabetes insipidus adalah keadan
dimana terjadi defisiensi atau penurunan respon terhadap ADH.
Sindrom ADH tidak tepat (syndrome of inappropriate ADH/ SIADH) adalah akibat
kegagalan sistem umpan balik negatif yang mengatur pelepasan dan penghambatan ADH.

Gangguan volume larutan isotonik


Gangguan volume larutan isotoik adalah penambahan atau kehilangan CES dengan
perubahan perbandingan air dan Na+ yang proporsional.

Defisit volume larutan isotonik


Defisit volume larutan isotonik ditandai dengan penurunan CES, termasuk volume
darah sirkulasi. Istilah ini dipakai untuk membedakan defisit larutan 9 dengan perubahan
perbandingan air dan Na+ yang tidak proposional. Keadaan dimana 2 01 terjadi penurunan
t
volume darah sirkulasi maka disebut hipovolemia. Mare
9
Penyebab: Defisit volume larutan isotonik apabila stro air dan elektrolit hilang dengan
a
proporsi isotonik. Keadaan ini hampir selalu aterjaditG pada keadaan kehilangan larutan
ra p
tubuh yang disertai penurunan pemasukank larutan. Biasanya terjadi pada kehilangan lewat
tu
un panas dan aktifitas fisik.
saluran cerna, poliuria, berkeringat karena
o
r
Setiap hari 8-10 liter CES G ast
dikeluarkan ke saluran cerna. Sebagian besar diserap kembali
r
ja hanya 150-200 cc setiap hari dikeluarkan bersama feses.
di ileum dan kolon proksimal,A
u
Buk
Muntah dan diare mengganggu proses reabsorpsi dan pada beberapa keadaan menyebabkan
l e
kenaikan sekresiFilarutan ke dalam saluran cerna.
Kehilangan air dan Na+ dapat juga terjadi lewat ginjal. Beberapa penyakit ginjal
ditandai dengan pembuangan Na+ karena kegagalan reabsorpsi Na+. Defisit volume larutan
juga disebabkan sebagai hasil dari diuresis osmotik atau pemakaian obat-obat diuretik.
Glukosa dalam urin mencegah reabsorpsi air di tubulus ginjal menyebabkan hilangnya Na+
dan air. Pada penyakit Addison terjadi kehilangan Na+ dalam urin yang tidak teratur yang
menyebabkan kehilangan CES.
Kulit sebagai permukaan tempat perubahan panas dan barrier vaporasi mencegah
air hilang dari tubuh. Kehilangan air dan Na+ dari permukaan tubuh meningkat pada saat
keringat berlebihan atau sebagian besar permukaan kulit rusak. Udara panas dan badan
panas meningkatkan pengeluaran keringat. Frekuensi pernafasan dan keringat biasanya
meningkat jika suhu tubuh meningkat. Kebakaran juga menyebabkan kehilangan larutan.
Defisit volume larutan berdampak pada penurunan volume CES.
Manifestasi defisit volume larutan adalah sebagai berikut. Kehilangan berat badan (%
berat badan); defisit volume larutan ringan (2%); defisit volume larutan sedang (5%); defisit
volume larutan berat (>8%). Tanda tanda mekanisme kompensasinya adalah: meningkatnya

8
Buku Ajar Gastrohepatologi

rasa haus, meningkatnya ADH: oligouri dan tingginya berat jenis urin. Volume larutan
interstisial turun: Turgor jaringan dan kulit turun, membran mukosa kering, mata cekung
dan lembek, pada bayi ubun-ubunnya cekung. Volume vaskular turun: Hipotensi postural,
nadi lemah dan cepat, isi darah vena menurun, hipotensi dan syok.
Penanganan defisit volume larutan adalah mengganti larutan. Biasanya larutan
elektrolit isotonik dipakai untuk mengganti larutan. Hipovolemia akut dan syok hipovolemik
menyebabkan kerusakan ginjal, oleh karena itu menentukan derajat defisit larutan secara
cepat dan adekuat sangat penting untuk penanganan penyebab utama.

Kelebihan volume larutan isotonik


Kelebihan volume larutan adalah perluasan CES isotonik dengan meningkatnya volume
vaskular dan interstisial. Walaupun peningkatan volume larutan biasanya hasil dari kondisi
penyakit, sebenarnya tidak seluruhnya benar. Misalnya kompensasi cuaca yang panas akan
terjadi peningkatan volume CES sebagai mekanisme pengeluaran panas tubuh.
Penyebab kelebihan volume larutan isotonik hampir selalu akibat dari meningkatnya
kadar Na+ tubuh total yang diikuti oleh peningkatan larutan tubuh secara proporsional.
Hal ini bisa terjadi karena pemasukan Na+ yang berlebihan atau pengeluaran Na+ dan air
9 gagal hati, dan
lewat ginjal yang berkurang, misalnya pada penyakit ginjal, gagal jantung, 2 01
re t
Ma
kelebihan kortikosteroid.
9
Gagal jantung akan menyebabkan aliran darahtroke ginjal berkurang sehingga
s
dikompensasi dengan peningkatan retensi air dan tNa Ga+. Pada gagal hati terjadi gangguan
a
metabolisme aldosteron, gangguan perfusi ginjal, k rap menyebabkan meningkatnya retensi air
tu
o un
dan Na+. Kortikosteroid meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh ginjal.
tr
Manifestasi kelebihan volumeaslarutan isotonik ditandai oleh meningkatnya larutan
r G
A a
vaskular dan interstisial. Berat jbadan akan naik dalam periode waktu yang pendek. Kelebihan
u ku
volume larutan ringan menyebabkan kenaikan berat badan 2%. Kelebihan volume larutan
e B
sedang menyebabkan Fil kenaikan berat badan 5%. Sedangkan kelebihan volume larutan berat
menyebabkan kenaikan berat badan >8%. Edema akan terjadi di seluruh tubuh. Nadi akan
penuh, vena distensi, dan edema paru disertai nafas pendek, sesak dan batuk. Penanganan
kelebihan larutan biasanya dengan membatasi Na+, dan jika perlu diberikan diuretika.

Gangguan keseimbangan konsentrasi Na+


Dalam keadaan normal konsentrasi Na+ berkisar antara 135 sampai 145 mEq/l (135 sampai
145 mmol/l). Nilai Na+ serum ditentukan dengan mEq/l yang berarti konsentrasi atau dilusi
dari Na+ dalam air. Karena Na+ adalah anion CES (90%-95%) maka perubahan konsentrasi
Na+ serum umumnya diikuti oleh perubahan osmolalitas serum.

Hiponatremia
Hiponatremia terjadi apabila konsentrasi Na+ kurang dari 135 mEq/l. Karena efek partikel
aktif lainnya terhadap osmolalitas CES seperti glukosa, maka hiponatremia berhubungan
dengan tinggi rendahnya tonisitas.

9
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Hiponatremia hipertonik (translokasional) adalah keadaan sebagai akibat suatu


peralihan osmotik air dari CIS ke CES seperti yang terjadi pada hiperglikemia. Pada
keadaan ini Na+ di CES menjadi lebih encer karena air pindah keluar dari sel sebagai respon
terhadap tekanan osmotik karena hiperglikemia.
Hipotonik sejauh ini merupakan keadaan yang sering pada hiponatremia. Ini terjadi
karena retensi air dan ditandai dengan penurunan osmolalitas serum. Hiponatremia dilusi
bisa terjadi pada keadaan hipervolemik, euvolemik atau hipovolemik.
Hiponatremia hipervolemik terjadi jika CES meningkat dan ini terjadi jika diikuti
dengan edema seperti pada gagal jantung , sirosis, dan penyakit ginjal berat.
Hiponatremia euvolemik terjadi apabila ada retensi air sehingga konsentrasi Na+
turun tetapi tidak disertai peningkatan volume CES. Ini terjadi pada keadaan rasa haus
yang tak tepat (SIADH).
Hiponatremia hipovolemik terjadi jika air hilang disertai Na tetapi jumlah Na+ lebih
banyak yang hilang, ini terjadi pada keadaan banyak berkeringat pada cuaca panas, muntah
dan diare.
Penyebab hiponatremia dilusi, pada dewasa adalah karena obat-obatan (diuretika,
sehingga kadar ADH naik), penggantian larutan yang tak tepat setelah latihan dan cuaca
9
panas, SIADH, polidipsi pada pasien skizofrenia. 2 01
t
Diantara penyebab hiponatremia hipovolemia adalahM are berkeringat pada cuaca
banyak
9
panas, setelah latihan, hiponatremia karena minum lebih robanyak air yang tidak mengandung
cukup elektrolit. Lavemen juga menyebabkan keadaan G ast di atas.
at
Manifestasi dari hiponatremia hipotonik r apyaitu: Hasil laboratorium: Na+ serum <135
k
mEq/l, osmolalitas serum turun, hematokritu ntu turun, nitrogen urea juga turun. Larutan
tro
intraselular meningkat; edema pada as ujung jari. Hipoosmolalitas dan perpindahan air ke
a
otot, saraf, dan jaringan saluran
j r Gpencernaan; otot kejang dan lemah, sakit kepala, penurunan
u A letargi, stupor sampai koma, saluran cerna terganggu, nafsu
perhatian, perubahanuksikap,
eB
makan turun, mual,Fil muntah, sakit+perut, diare. Penanganan hiponatremia adalah mengatasi
masalah dasarnya. Pemberian Na lewat oral atau intravena diberikan jika diperlukan.

Hipernatremia
Suatu keadaan dimana kadar Na+ serum >145 mEq/l, dan osmolalitas lebih besar 295
mOsm/kg. Karena Na+ ini fungsinya sebagai larutan impermeabel maka ia berperan
dalam tonisitas dan gerakan air menembus sel membran. Hipernatremia ditandai dengan
hipertonisitas dari CES dan hampir selalu menyebabkan dehidrasi selular.
Hipernatremia terjadi karena defisit air dibanding dengan kadar Na+ tubuh. Hal ini
disebabkan oleh jumlah bersih Na+ atau jumlah bersih air yang hilang. Pemberian Na+
secara cepat tanpa disesuaikan jumlah air yang masuk akan menyebabkan hipernatremia.
Hipernatremia juga bisa terjadi apabila timbul kehilangan air lebih banyak dibanding
jumlah kehilanagn Na+. Hal ini terjadi pada keadaan peningkatan kehilangan lewat respirasi
pada keadaan panas atau latihan yang berat, diare cair, atau saat pemberian makanan lewat
pipa lambung dengan sedikit air.
Pada keadaan normal defisit larutan akan memacu rasa haus sehingga meningkatkan
pemasukan air. Pada hipernatremia terjadi pada bayi atau anak yang rasa hausnya kurang

10
Buku Ajar Gastrohepatologi

peka sehingga akan kurang minum air. Pada keadaan hipodipsi atau rasa haus yang lemah
kebutuhan larutan tidak merangsang pusat haus.
Manifestasi klinis yang terjadi adalah kehilangan larutan CES dan terjadi dehidrasi
selular. Gejala dan tanda lebih berat jika ada kenaikan konsentrasi Na+ serum yang tinggi
dan terjadi dalam waktu yang cepat. Berat badan akan turun sesuai dengan jumlah air yang
hilang. Karena plasma darah 90%-93% air maka konsentrasi sel darah, hematokrit, BUN,
akan naik sesuai penurunan air di CES. Rasa haus adalah gejala yang pertama kali muncul,
terjadi jika air hilang setara dengan 0.5% air tubuh. Output urin turun dan osmolalitas
meningkat karena mekanisme absorpsi air di ginjal. Suhu tubuh sering meningkat dan kulit
menjadi hangat dan memerah. Karena volume vaskular turun maka nadi menjadi cepat dan
lemah, tekanan darah turun. Hipernatremia menyebabkan peningkatan osmolalitas serum
dan akibatnya air akan keluar dari dalam sel, sehingga kulit dan mukosa menjadi kering,
saliva dan air mata menjadi kurang. Mulut menjadi kering dan keras, lidah menjadi tebal
dan luka, sulit menelan. Jaringan subkutan memerah. Jika air banyak keluar dari sel saraf
maka akan terjadi penurunan refleks, agitasi, sakit kepala, gelisah. Koma dan kejang terjadi
pada hipernatremia yang berat.
Penanganan hipernatremia terutama ditujukan pada penyebabnya, yaitu penggantian
kehilangan larutan (dehidrasi). Penggantian larutan ini bisa oral atau intravena atau dua-
19
0Pada
duanya. Larutan, glukosa dan elektrolit merupakan pilihan yang tepat.
et 2 dehidrasi berat
penggantian larutan diberikan sesuai dengan protokol WHO. M ar
9
stro
G a
at
1.7 Keseimbangan Kalium rk
ap
u ntu
o
Kalium adalah kation yang terbanyak
a strkedua di dalam tubuh dan jumlah terbesar di dalam
G
CIS. Kurang lebih 98% kalium tersebut berada di dalam sel-sel tubuh dengan konsentrasi
Ajar 150 mEq/l. Kandungan kalium di dalam CES (3.5 sampai
didalam intraseluler 140 sampai
u
Buk Karena kalium merupakan ion intraselular, maka jumlah
5.0 mEq/l) sangat rendah.
e
penyimpanan kaliumFil berhubungan dengan ukuran tubuh dan massa otot. Sekitar 65%
sampai 70% dari kalium berada di dalam otot. Sehingga total kalium di dalam tubuh turun
bersamaan dengan perubahan umur terutama sebagai hasil dari berkurangnya massa otot.
Sebagai kation intraselular utama, kalium penting untuk beberapa fungsi tubuh.
Kalium berkaitan dengan beberapa fungsi tubuh, termasuk menjaga kesempurnaan osmosis
sel, keseimbangan asam basa dan kemampuan ginjal untuk memproduksi urin. Kalium
diperlukan untuk pertumbuhan dan memberi reaksi kimia yang mengubah karbohidrat
menjadi energi, glukosa menjadi glikogen dan asam amino menjadi protein.
Kalium juga berperan penting dalam mengatur denyut nadi dan kemampuan untuk
merangsang tulang rangka, bagian jantung dan otot halus dengan cara mengatur: (1) selaput
potensial yang tidak aktif, (2) keluarnya natrium untuk mengendalikan aliran arus potensial,
dan (3) tingkatan repolarisasi. Perubahan kemampuan di saraf dan otot pada umumnya
penting untuk jantung, dimana perubahan pada kalium serum dapat menghasilkan
ketidakharmonisan yang serius dan kerusakan konduksi. Perubahan konsentrasi kalium
serum juga mempengaruhi otot tulang rangka dan otot halus pembuluh darah dan saluran
pencernaan.

11
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Selaput potensial yang tidak aktif ditentukan dari rasio kalium intraselular terhadap
ekstraselular. Penurunan konsentrasi kalium serum mengakibatkan selaput potensial
tersebut menjadi lebih bermuatan negatif (hyperpolarization) bergerak menjauhi nilai
ambang kejutan. Maka dari itu, diperlukan stimulasi yang besar untuk mencapai nilai
ambang dan membuka saluran natrium yang bertanggung jawab atas aktivitas potensial.
Kenaikan konsentrasi kalium serum mempunyai efek yang berlawanan, mengakibatkan
selaput potensial yang tidak aktif menjadi lebih bermuatan positif (hypopolarized), bergerak
mendekati nilai ambang. Ini menyebabkan kenaikan awal kemampuan rangsangan.
Aktifitas pembukaan saluran natrium yang mengatur aliran arus saat aktivitas yang efektif
juga dipengaruhi oleh kadar kalium kemudian menyebabkan turunnya rangsangan. Pada
hiperkalemia yang berat, saluran natrium menjadi tidak aktif mengakibatkan penurunan
rangsangan. Tingkatan repolarisasi juga beragam sesuai dengan kadar kalium serum.
Tingkatan repolarisasi lebih cepat pada keadaan hiperkalemia dan lebih lambat pada
hipokalemia. Tingkatan repolarisasi tersebut secara klinis sangat penting karena merupakan
predisposisi untuk terjadinya defek konduksi dan disritmia jantung.

Pengaturan keseimbangan kalium


9
Pemasukan kalium berasal dari makanan. Pada orang yang sehat,01keseimbangan kalium
e t 2
biasanya terpenuhi dari makanan kira-kira 50 sampai 100 r mEq setiap hari. Kalium
tambahan juga dibutuhkan pada keadaan trauma dan 9 Ma Kehilangan kalium yang
stress.
o
str
paling banyak adalah melalui ginjal. Sekitar 80% asampai 90% dari kalium yang hilang
G
at melalui feses dan keringat.
adalah melalui urine, sedangkan yang lainnyaaphilang
r
tuk
un
Mekanisme pengaturan ro
G ast
Ajar
Dalam kondisi normal, konsentrasi kalium di CES berkisar 4,2 mEq/ml. Dibutuhkan
pengaturan yang tepat ku
karena banyak fungsi sel sensitif terhadap perubahan yang sangat
Bu
il e
kecil dari kadarFkalium CES. Kenaikan kadar kalium serum sekitar 0,32 sampai 0,4 mEq/l
saja bisa menyebabkan disritmia jantung dan kematian.
Kadar kalium serum pada dasarnya diatur melalui dua mekanisme: 1) mekanisme
ginjal yang mengabsorpsi dan membuang kalium, dan 2) pergeseran transelular kalium
antara kompartemen CIS dan CES. Umumnya hal ini berlangsung 6 sampai 8 jam
untuk membuang 50% pemasukan kalium. Untuk menghindari kenaikan kadar kalium
ekstraselular selama berlangsungnya hal tersebut, kelebihan kalium sementara dipindah ke
eritrosit dan sel lain seperti otot, hati, dan tulang.

Pengaturan di ginjal
Ginjal merupakan rute utama dalam pembuangan kalium. Kalium pertama-tama difiltrasi
di dalam glomerulus, diserap lagi di dalam tubulus proksimal bersama dengan air dan
natrium dan bersama dengan natrium dan klorida di dalam ansa Henle asenden, kemudian
dikeluarkan ke dalam tubulus kortikal untuk dibuang bersama urin. Mekanisme tersebut
berfungsi sebagai pengatur kadar kalium di dalam CES.
Aldosteron perperan utama dalam pengaturan pembuangan kalium oleh ginjal.
Dengan adanya aldosteron, kalium kembali ke aliran darah dan kalium dikeluarkan

12
Buku Ajar Gastrohepatologi

tubulus untuk dibuang lewat urin. Ada juga sistem pertukaran kalium-hidrogen di dalam
tubulus kolektivus ginjal. Ketika kadar kalium serum naik, kalium dibuang ke dalam urin
dan hidrogen diserap kembali ke dalam darah, yang kemudian menyebabkan penurunan
pH dan terjadi asidosis metabolik. Sebaliknya, jika kadar kalium rendah, kalium diserap
kembali dan hidrogen dibuang ke dalam urin menyebabkan alkalosis metabolik.

Pergesaran ekstaselular-intraselular
Pergerakan kalium dari CES ke CIS dan sebaliknya, memungkinkan kalium bergerak ke
sel tubuh ketika kadarnya dalam serum tinggi, dan bergerak keluar ketika kadar dalam
serum rendah. Beberapa faktor yang mengubah distribusi kalium antara CES dan CIS
adalah: insulin, stimulus ß-adrenergik, osmolalitas serum dan ketidakteraturan asam basa.
Kedua faktor insulin dan ß-adrenergik katekolamin (misalnya adrenalin) meningkatkan
masuknya kalium selular. Insulin menaikkan pemasukan kalium selular setelah makan.
Kandungan kalium setiap kali makan kurang lebih sebesar 50 mEq, kerja insulin mencegah
peningkatan kadar kalium serum ke tingkat yang mengancam kehidupan. Katekholamin,
terutama adrenalin, memfasilitasi pergerakan kalium kedalam jaringan otot pada saat stres
fisik.
9
Osmolalitas ekstraselular dan pH juga mempengaruhi pergerakan
2 01 dari kalium antara
CIS dan CES. Peningkatan yang tajam osmolalitas serum mengakibatkan re t kalium bergerak
keluar dari sel-sel. Ketika osmolalitas serum naik akibat 9 Ma
adanya larutan impermeabel
stro
seperti glukosa (tanpa insulin), air meninggalkan sel. G a
Hilangnya air dalam sel menyebabkan
kenaikan konsentrasi kalium intraselular yang menyebabkan
p at kalium intraselular keluar dari
k ra
ntu
sel ke dalam CES. Kelainan asam-basa sering diikuti oleh perubahan konsentrasi kalium
serum. Hidrogen dan kalium bermuatan u
o positif, dan kedua ion tersebut bergerak secara
bebas diantara CIS dan CES. Pada str
aasidosis metabolik, ion hidrogen bergerak ke dalam sel
G
Ajar
tubuh untuk buffer, hal ini menyebabkan konsentrasi kalium keluar dari sel dan bergerak ke
u
Buk
dalam CES. Alkalosis metabolik mempunyai pengaruh yang berlawanan.
i l e
Olahraga jugaF dapat menyebabkan pergeseran kalium. Kontraksi otot yang berulang
melepaskan kalium ke dalam CES. Walaupun peningkatan biasanya kecil sesuai keadaan
latihan. Bahkan pada saat mengepalkan tangan yang mengencang dan mengendor yang
berulang-ulang pada saat pengambilan darah dapat menyebabkan kalium keluar dari sel
dan meningkatkan kadar kalium serum.

Hipokalemia
Hipokalemia apabila kadar kalium serum kurang dari 3.5 mEq/l (3.5 mmol/l). Akibat dari
pergeseran transelular, perubahan sementara pada konsentrasi K+ serum kemungkinan
terjadi karena pergerakan dari CIS dan CES.

Penyebab
Penyebab kekurangan kalium bisa dikelompokkan menjadi 3 kategori: (1) pemasukan
kurang, (2) kehilangan melalui ginjal, kulit dan saluran cerna, dan (3) penyebaran kembali
antara CIS dan CES. Konsumsi yang tidak mencukupi sering menjadi penyebab hipokalemia.

13
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Pemasukan 10 sampai 30 mEq/hari diperlukan untuk mengkompensasi pengeluaran lewat


ginjal. Seseorang yang sedang diet kalium akan kehilangan sekitar 5 sampai 15 mEq setiap
harinya. Kegagalan pemasukan kalium disebabkan karena kesulitan makan, karena diet,
atau makanan yang sedikit mengandung kalium. Kehilangan kalium yang berlebihan dari
ginjal terjadi karena diuretika, alkalosis metabolik, penurunan kadar magnesium , trauma
atau stress, dan peningkatan kadar aldosteron. Terapi diuretika, kecuali diuretika dengan
kalium adalah penyebab utama hipokalemia. Derajat hipokalemia berhubungan secara
langsung dengan dosis diuretika dan lebih tinggi saat banyak mengkonsumsi natrium.
Penekanan magnesium menyebabkan pengeluaran kalium melalui ginjal. Defisiensi
magnesium sering muncul bersamaan dengan penekanan kalium misalnya pada penyakit
diare. Perlu diperhatikan bahwa mengoreksi kekurangan kalium akan gagal pada saat
terjadi defisiensi magnesium.
Ginjal tidak mempunyai mekanisme homeostatik yang diperlukan untuk
mempertahankan kalium pada saat stress atau konsumsi yang tidak mencukupi. Setelah
situasi trauma dan stres, kehilangan kalium dalam urin meningkat, terkadang mendekati
kadar 150 sampai 200 mEq/l. Ginjal kehilangan kalium dipengaruhi oleh aldosteron
dan kortisol. Trauma dan operasi menyebabkan hormon-hormon tersebut meningkat.
Aldosteronisme primer, yang disebabkan oleh tumor yang memacu aldosteron pada korteks
9
adrenal, dapat menghasilkan kehilangan banyak kalium dalam 2 01 Kortisol mengikat
urin.
re t
reseptor aldosteron dan berefek menyerupai aldosteron untuk
9 Ma mengeluarkan kalium.
Meskipun kehilangan kalium dari saluran cernasdan ro kulit biasanya sedikit, kehilangan
ini bisa meningkat saat kondisi tertentu. Saluran G a t merupakan salah satu tempat yang
cerna
t
sering menjadi tempat kehilangan kalium r pa Muntah-muntah dan aspirasi saluran
aakut.
cerna memacu terjadinya hipokalemia, uk
ntsebagian disebabkan oleh kehilangan kalium dan
u
o berhubungan dengan alkalosis metabolik. Diare dan
juga karena kehilangan di ginjalayang str
aspirasi gastrointestinal juga j ar Gmenyebabkan kehilangan kalium yang banyak. Evaporasi
A
lewat kulit dan keringan
u ku yang banyak akan menyebabkan kehilangan kalium yang banyak
e B jenis luka kulit lain meningkatkan hilangnya kalium. Kehilangan yang
Fl
juga. Luka bakar idan
disebabkan oleh keringat pada seseorang yang sensitif cuaca panas, sebagian dikarenakan
oleh pengeluaraan aldosteron yang meningkat saat meningkatnya panas meningkatkan
hilangnya kalium lewat urin dan keringat.
Karena rasio kalium CIS dan CES tinggi maka aliran kalium dari CES ke CIS
mengakibatkan turunnya konsentrasi di serum. Salah satu penyebabnya adalah insulin.
Karena insulin meningkatkan gerakan glukosa dan kalium ke dalam sel, pengurangan kalium
sering terjadi saat pengobatan ketoasidosis diabetes. Obat agonis reseptor ß-adrenergik,
seperti pseudoefedrin dan albuterol, memiliki efek yang sama terhadap distribusi kalium.

Manifestasi
Manifestasi hipokalemia adalah efek gangguan potensial membran pada sistem
kardiovaskular, neuro-muskular dan gastrointestinal. Tanda dan gejala dari kekurangan
kalium jarang terjadi jika kadar serum kalium kurang dari 3.0 mEq/l. Biasanya gejala datang
pelan-pelan sehingga sulit terdeteksi.

14
Buku Ajar Gastrohepatologi

Akibat dari hipokalemia yang paling serius adalah gangguan fungsi kardiovaskular.
Hipotensi postural sering terjadi. Kebanyakan orang dengan kadar kalium serum kurang
dari 3.0 mEq/l mengalami perubahan elektrokardiografi (EKG), ini sangat spesifik untuk
hipokalemia. Perubahan ini meliputi pemanjangan gelombang PR, depresi dari segmen
ST, gelombang T yang datar dan tampak gelombang U yang nyata. Meskipun perubahan
EKG ini biasanya tidak serius, tetapi ini menyebabkan sinus bradikardi dan disritmia
ektopik ventrikular. Keracunan digitalis dapat terjadi pada orang yang sedang memakai
obat ini dan akan menaikkan risiko disritmia ventrikular, khususnya pada orang dengan
dasar penyakit jantung. Kalium dan senyawa digitalis akan berikatan dengan pompa Na+/
K+ ATPase. Hipokalemia sedang sering terjadi pada kelemasan, kecapekan dan kram otot,
khususnya saat olahraga sebagai moderate hypokalemia (konsentrasi kalium serum 3.0
sampai 2.5 mEq/l) yang umum. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada hipokalemia
berat (konsentrasi kalium serum <2.5 mEq/l). Otot kaki, khususnya otot kuadriseps, paling
sering terkena. Pada defisiensi kalium kronis bisa terjadi atrofi otot yang menyebabkan
kelemahan.
Terdapat banyak tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan fungsi
gastrointestinal, termasuk anoreksia, nausea, dan muntah-muntah. Atonia otot polos sistem
gastrointestinal dapat menyebabkan sembelit, kembung karena hipokalemia yang disebut
9
ileus paralitik. Saat ada gangguan gastrointestinal maka secara perlahan 2 01 akan mengganggu
re t
pemasukan kalium.
9 Ma
Ginjal mempertahankan kadar kalium saat hipokalemia ro mengganggu kerja ginjal
untuk menyaring urin. Sebagai akibatnya, terjadi G ast
peningkatan pengeluaran urin dan
p at
osmolalitas serum, berat jenis urin turun dan a
r terjadi poliuria, nokturia dan rasa haus.
Alkalosis metabolik dan pembuangan klorida ntuk dari ginjal adalah gejala dari hpokalemia
u
ro
yang berat. ast
G
Ajar
u
Penanganan Buk
i l e
Jika memungkinkan,F hipokalemia yang disebabkan oleh kekurangan kalium ditangani
dengan cara meningkatkan konsumsi makanan dengan kalium yang tinggi. Suplemen
kalium secara oral harus diberikan pada anak yang pemasukan kaliumnya tidak mencukupi
sehubungan dengan kehilangan kalium, terutama pada anak yang dalam terapi diuretika
dan mereka yang mendapatkan digitalis.
Kalium dapat diberikan secara intravena apabila pemberian secara oral tidak
memungkinkan. Kekurangan magnesium dapat mengganggu pemasukan kalium; sehingga
perlu pemberian magnesium. Pemberian kalium dengan infus cepat dapat menyebabkan
kematian karena gangguan jantung. Oleh karena itu pemberian intravena harus dalam
pengawasan ketat dari dokter.

Hiperkalemia
Hiperkalemia terjadi apabila kadar kalium serum diatas 5.0 mEq/l (5.0 mmol/l).
Hiperkalemia jarang terjadi pada orang yang sehat karena badan orang sehat sangat efektif
untuk mencegah akumulasi kelebihan kalium di dalam CES.

15
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Akibat
Terdapat tiga penyebab utama kelebihan kalium, yaitu: (1) penurunan pengeluaran dari
ginjal, (2) pemberian kalium yang cepat, dan (3) pergeseran kalium dari CIS ke CES.
Penyebab hiperkalemia yang paling sering adalah turunnya fungsi ginjal.
Hiperkalemia kronis selalu berhubungan dengan gagal ginjal. Biasanya glomerular filtration
rate (GFR) turun secara sampai kurang dari 10 ml/menit sebelum terjadi hiperkalemia.
Beberapa kelainan ginjal, seperti sickle cell nephropathy, nefropati karena logam, nefritis
lupus sistemis dapat merusak sekresi kalium di tubulus tanpa menyebabkan gagal ginjal.
Asidosis juga menyebabkan berkurangnya pengeluaran kalium oleh ginjal, sehingga gagal
ginjal akut yang disertai dengan asidosis laktat atau ketoasidosis akan meningkatkan risiko
hiperkalemia. Koreksi asidosis biasanya akan memperbaiki hiperkalemia.
Aldosteron bekerja pada keadaan dimana kadar kalium dan natrium tubulus distal
dalam kadar pertukaran sehingga kalium ditingkatkan ekresinya sedangkan natrium
direabsorpsi. Sehingga keadaan yang menurunkan aldosteron akan menurunkan ekresi
kalium melalui ginjal seperti pada penyakit Addisson.
Kelebihan kalium dapat diakibatkan oleh kelebihan pemasukan kalium secara oral
dan intravena. Jika fungsi ginjal dan sistem aldosteron baik maka biasanya pemasukan oral
9
masih bisa di tolerir untuk tidak menyebabkan hiperkalemia. Lain 2 01halnya jika pemberian
t
secra intravena, terutama jika pemberian terlalu cepat maka
Mare biasanya menyebabkan
hiperkalemia yang fatal. Jadi pemberian kalium intravena 9
o seharusnya mempertimbangkan
fungsi ginjal. a str
tG
pa dapat menyababkan meningkatkan kadar
Pergeseran kalium dari dalam sel ke CESrajuga
kalium serum misalnya pada keadaanunluka tuk bakar dan luka parah. Keadaan ini juga akan
o berkembang menjadi hiperkalemia. Hiperkalemia
rbisa
ast
mengurangi fungsi ginjal sehingga
G
ar melakukan olahraga yang berat atau kejang, saat sel otot
transien dapat disebabkan jsaat
A
ku
permeabel terhadap kalium.
e Bu
Fil
Manifestasi
Tanda-tanda dan gejala kelebihan kalium sangat berhubungan dengan gangguan pada
eksitabilitas neuromuskular. Manifestasi neuromuskular dari kelebihan kalium biasanya
tidak tampak, sampai kadar kalium serum melebihi 6 mEq/l. Gejala pertama yang
berhubungan dengan hiperkalemia biasa adalah parestesia. Kemungkinan besar nantinya
akan ada keluhan kelemahan otot secara menyeluruh atau dispnea sekunder karena
kelemahan otot pernafasan.
Akibat yang paling serius dari hiperkalemia ada pada jantung. Saat kadar kalium
meningkat, maka gangguan pada konduksi jantung akan terjadi. Perubahan yang cepat
mungkin terjadi pada gelombang T yang menyempit, dan pelebaran kompleks QRS. Jika
kadar kalium serum terus naik, interval PR menjadi memanjang dan diikuti oleh hilangnya
gelombang P. Detak jantung kemungkinan turun. Fibrilasi ventrikular dan cardiac arrest
akan terjadi.

16
Buku Ajar Gastrohepatologi

Penanganan
Penanganan kelebihan kalium bervariasi tergantung beratnya gangguan dan biasanya
ditujukan pada penurunan pemasukan atau penyerapan, peningkatan pengeluaran lewat
ginjal, dan peningkatan pemasukan ke intraseluler. Penurunan pemasukan bisa dicapai
dengan cara mengurangi makanan yang mengandung kalium. Peningkatan pengeluaran
kalium sering kali lebih sulit. Pasien dengan gagal ginjal membutuhkan hemodialisis atau
dialisis peritoneal untuk mengurangi kadar kalium serum. Sebagian besar cara penanganan
ditujukan pada bagaimana memindahkan kalium ke intraselular, misalnya pemberian infus
insulin dan glukosa.

1.8 Keseimbangan Kalsium dan Magnesium


Kalsium adalah salah satu kation divalen yang utama dalam tubuh. Sekitar 99% dari kalsium
tubuh terdapat pada tulang, dimana hal ini memberikan kekuatan dan stabilitas untuk
sistem kerangka dan sebagai sumber untuk mempertahankan kadar kalsium ekstraseluler.
Sebagian besar dari kalsium lainnya (sekitar 1%) terdapat dalam sel dan hanya 0.1%-0.2%
terdapat di CES.
9
Kalsium serum terdapat dalam tiga bentuk: (1) ikatan protein,2(2) 01 kompleks dan (3)
e t
r(sebagian
terionisasi. Sekitar 40% kalsium serum terikat pada protein plasma besar albumin)
9 Ma
dan tidak dapat melewati dinding kapiler untuk keluar darirovaskular. Sepuluh (10) % lainnya
st
dalam bentuk kompleks seperti sitrat, fosfat dan sulfat.
t GaBentuk ini tidak terionisasi. Sisanya,
a
50% dari kalsium serum terdapat dalam bentuk
k rapterionisasi. Kalsium yang berbentuk ion-
tu
lah yang dapat keluar dari vaskular dan mengambil bagian dalam fungsi selular. Total kadar
o un
kalsium serum berfluktuasi tergantung r perubahan albumin serum dan pH.
G ast
Ajar
Kalsium terionisasi mempunyai beberapa fungsi. Kalsium yang terionisasi tersebut
u
terlibat dalam beberapa kreaksi enzimatik; memberi pengaruh pada membran potensial
Bu
dan rangsangan neuronal;e diperlukan untuk kontraksi otot rangka, otot jantung, dan otot
Fil
polos; ikut pada pelepasan hormon, transmisi saraf dan pembawa pesan kimia lainnya;
mempengaruhi kontraksi jantung dan otomatis lewat kanal lambat kalsium; dan penting
untuk penggumpalan darah. Penggunaan obat antagonis Ca++ pada kelainan sirkulasi
menunjukkan betapa pentingnya ion kalsium dalam fungsi normal jantung dan pembuluh
darah. Kalsium dibutuhkan untuk semua langkah koagulasi darah tapi yang terpenting pada
dua pertama jalur intrinsik. Karena kemampuannya untuk mengikat kalsium, sitrat sering
digunakan untuk mencegah penggumpalan darah yang dipakai untuk transfusi darah.

Pengaturan kalsium serum


Kalsium masuk ke dalam tubuh melalui saluran gastrointestinal, diserap dari usus dibawah
pengaruh vitamin D, disimpan di dalam tulang, dan dikeluarkan oleh ginjal. Sumber
utama dari kalsium adalah susu dan produk dari susu. Hanya 30% sampai 50% dari kalsium
makanan diserap dari duodenum dan jejunum atas; sisanya dikeluarkan melalui feses.
Kalsium disaring dalam glomerulus ginjal kemudian secara selektif diserap kembali ke
dalam darah. Sekitar 60%-65% kalsium yang tersaring secara pasif diserap kembali di dalam
tubulus proksimal didorong oleh penyerapan natrium klorida; 15% sampai 20% diserap

17
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

kembali di dalam ansa Henle yang tebal, didorong oleh Na+/K+/2Cl- transport; dan 5%
sampai 10% diserap kembali di dalam tubulus distal. Tubulus distal adalah tempat pengatur
yang penting untuk mengendalikan jumlah kalsium yang dikeluarkan bersama urin. PTH
dan mungkin juga vitamin D yang memacu penyerapan kembali kalsium di dalam bagian
nefron. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi penyerapan kembali kalsium di dalam
tubulus distal adalah kadar fosfat dan glukosa serta kadar insulin. Diuretika tiazid, yang
berefek di dalam tubulus distal, meningkatkan penyerapan kembali kalsium.
Kalsium serum, yang bertanggung jawab terhadap fungsi fisiologis kalsium, langsung
ataupun tidak langsung diatur oleh hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D. Kalsitonin,
hormon yang diproduksi oleh sel C di dalam kelenjar tiroid, diperkirakan bekerja di ginjal
dan tulang untuk memindahkan kalsium dari sirkulasi. Pengaturan kalsium serum juga
sangat dipengaruhi oleh kadar fosfat dalam serum.
Hormon paratiroid, pengatur utama kalsium dan fosfat serum, hormon ini dikeluarkan
oleh kelenjar paratiroid. Respon terhadap penurunan kalsium serum terjadi secara cepat,
terjadi dalam hitungan detik. Fungsi utama PTH adalah menjaga kosentrat kalsium dari
ECF. PTH melakukan fungsi tersebut dengan cara memacu pelepasan kalsium dari tulang,
peningkatan aktivasi vitamin D yang merangsang kenaikan penyerapan kalsium di dalam
intestinal dan merangsang penyerapan oleh ginjal sejalan meningkatnya 9 pengeluaran fosfat.
2 01
Walaupun vitamin D adalah suatu vitamin, tetapi berfungsi
aret sebagai hormon. Vitamin
D3 (bagian aktif dari vitamin D) disintesis di dalam kulit M
9 atau diperoleh dari makanan
yang kaya dengan vitamin D. Vitamin D3 dihidrosilasi strodidalam hati dan diubah ke dalam
Ga
bentuk aktif di dalam ginjal. Peran utama bentuk p at aktif vitamin D ini untuk meningkatkan
a
penyerapan kalsium dari intestinal.
tu kr
n
Konsentrasi kalsium dan fosfat
tro u di CES diatur sedemikian rupa sehingga kadar
kalsium akan turun ketika kadar s
afosfat tinggi dan sebaliknya. Kadar kalsium serum normal
j arG
adalah 8,5 sampai 10,5 mg/dl
A pada orang dewasa, dan kadar fosfat serum adalah 2,5 sampai
4,5 mg/dl pada orang ku
udewasa. Ini diatur sedemikian sehingga produksi kedua konsentrasi
e B
2+ il
tersebut ([Ca ]Fx [PO4 ]) biasanya dijaga kurang dari 70. Rumatan produksi kalsium-fosfat
2-

dalam rentang ini sangat penting untuk mencegah deposisi garam Calsium Fosfat di dalam
jaringan lunak, merusak ginjal, pembuluh darah, dan paru-paru.

Hipokalsemia
Hipokalsemia terjadi bila kadar kalsium serum dibawah 8,5 mg/dl. Hipokalsemia terjadi
dalam berbagai bentuk penyakit kritis dan mempengaruhi sebanyak 70% sampai 90%
pasien yang berada didalam instalasi gawat darurat (IGD).

Penyebab
Penyebab hipokalsemia bisa dibagi dalam 3 ketegori: (1) ketidakmampuan mobilisasi
kalsium yang disimpan dalam tulang, (2) kehilangan luar biasa kalsium dari ginjal, dan (3)
kenaikan ikatan protein atau pengkhelatan (chelation) sedemikian sehingga proporsi yang
lebih besar dari kalsium adalah dalam bentuk non-ionisasi. Hipokalsemia maya (pseudo)
yang diakibatkan oleh hipoalbuminemia ini mengakibatkan penurunan pada ikatan
protein-kalsium (bukan kalsium terionisasi) dan biasanya terjadi secara asimtomatik.

18
Buku Ajar Gastrohepatologi

Kekurangan kalsium karena kekurangan makanan berefek pada kemampuan penyimpanan


tulang, bukan pada tingkat kalsium ekstraselular.
Kalsium serum ada dalam bentuk keseimbangan dinamik dengan kalsium dalam
tulang. Kemampuan untuk memobilisasi kalsium dari tulang tergantung pada tingkat
kecukupan PTH. Penurunan kadar PTH kemungkinan diakibatkan dari jenis pertama
atau kedua dari hipoparatiroidisme. Pengurangan pengeluaran PTH bisa juga terjadi
ketika kadar vitamin D meningkat. Kekurangan magnesium mencegah pengeluaran PTH
dan merusak kemampuan PTH pada penyerapan tulang. Hipokalsemia bentuk ini sangat
sukar untuk diobati dengan penambahan kalsium saja dan membutuhkan koreksi dari
kekurangan magnesium.
Pengurangan fosfat dapat mengurangi kegagalan kelenjar jaringan. Karena hubungan
balik antara kalsium dan fosfat, kadar kalsium serum jatuh saat kadar fosfat pada kegagalan
kelenjar jaringan naik. Hipokalemia dan hiperfosfatemia terjadi saat laju filtrasi glomerular
turun kurang dari 25 sampai 30 ml/menit (100 sampai120 ml/menit adalah nornal).
Hanya kalsium dalam bentuk terionisasi yang dapat meninggalkan kapiler dan ikut
serta dalam berbagai fungsi tubuh. Perubahan pH mengubah sebagian dari kalsium yang
ada hanya dalam bentuk ionisasi. pH asam menurunkan ikatan (afinitas) protein terhadap
kalsium menyebabkan peningkatan kadar kalsium yang terionisasi sedangkan kadar kalsium
9 hiperventilasi
01
serum total tidak berubah. pH alkalis berefek sebaliknya. Sebagai 2contoh,
t
cukup untuk menyebabkan alkalosis respiratorik sehingga dapat are menyebabkan tetani,
Mterhadap
karena alkalosis menyebabkan kenaikan ikatan (afinitas) protein9 kalsium, sehingga
kadar kalsium yang terionisasi berkurang. Asam lemak stro bebas meningkatkan ikatan
Ga
p at
(afinitas) albumin terhadap kalsium, sehingga mengakibatkan turunnya kadar kalsium
yang terionisasi. Peningkatan kadar asam lemak r a bebas cukup untuk mengubah ikatan
tuk stress yang mengakibatkan peningkatan
kalsium. Hal ini dapat terjadi pada saatunsituasi
tro
kadar adrenalin, glukagon, hormonaspertumbuhan dan adrenokortikotropin.
r G
ja
Hipokalsemia banyak dijumpai pada pasien dengan pankreatitis akut. Radang pada
uA
pankreas menyebabkanukpelepasan enzim-enzim proteolitik dan enzim-enzim lipolitik.
eB
Diperkirakan bahwa Fil ion kalsium bergabung dengan asam lemak bebas yang dikeluarkan
oleh liposisis dalam pankreas, membentuk sabun dan menghilangkan kalsium dari
peredaran.

Manifestasi
Hipokalsemia dapat dijumpai sebagai kondisi akut atau kronis. Hipokalsemia akut
direfleksikan oleh peningkatan ketegangan otot saraf dan kardiovaskular yang menyebabkan
penurunan kadar kalsium yang terionisasi. Kalsium yang terionisasi menstabilkan
ketegangan saraf otot, membuat sel saraf menjadi tidak sensitif terhadap rangsangan.
Rendahnya kadar kalsium yang terionisasi menyebabkan penurunan nilai ambang eksitasi
saraf, respon berulang terhadap rangsangan tunggal pada saraf, dan pada kasus ekstrim
terjadi aktifitas yang terus menerus. Keparahan manifestasi bergantung pada penyebabnya,
kecepatan serangan, yang menyertai gangguan elektrolit, dan pH ekstraselular. Kenaikan
ketegangan bisa berwujud sebagai parestesi (kesemutan) di sekitar mulut, tangan dan kaki,
dan tetani (kejang; Jawa: keduten) otot muka, tangan dan kaki. Hipokalsemia parah bisa
menyebabkan kejang laring, kejang-kejang, dan bahkan kematian.

19
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Pengaruh hipokalsemia parah terhadap sistem kardiovaskular meliputi hipotensi,


menurunnya isi sekuncup, aritmia kordis (terutama blok kardiak dan fibrilasi jantung), dan
kegagalan merespon obat antara lain digitalis, noradrenalin, dan dopamin yang bekerja
lewat mekanisme yang diperantarai kalsium.
Hipokalsemia kronis sering diikuti dengan manisfestasi skeletal dan perubahan pada
kulit. Timbul rasa sakit pada tulang, kekakuan, deformitas dan fraktur. Kulit menjadi kering
dan bersisik, kuku menjadi pecah, dan rambut menjadi kering. Keadaan ini sering disertai
timbulnya katarak. Seseorang dengan hipokalsemia kronis dapat menderita gangguan otak
ringan menyerupai depresi, demensia atau psikosis.

Diagnosis dan perawatan


Uji Chvostek dan Trousseau sangat berguna untuk mengevaluasi peningkatan ketegangan
saraf otot dan tetani.Tanda Chvostek dimunculkan dengan cara mengetuk muka tepat di
bawah pelipis pada titik dimana saraf wajah muncul. Dengan mengetuk muka pada saraf
wajah mengakibatkan kejutan kecil pada bibir, hidung atau wajah apabila hasil tes positif.
Sabuk pengukur tekanan darah yang digembungkan digunakan untuk mengetes tanda
Troussean. Sabuk pengukur tekanan darah tersebut digembungkan di atas tekanan darah
9
2 01
sistolik selama 3 menit. Kontraksi jari-jari dan tangan (spasmus karpopedal) menandakan
adanya tetani. re t
9 Ma
Hipokalsemia akut merupakan situasi darurat, rsehingga o memerlukan penanganan
yang cepat. Infus yang berisi kalsium diberikan saat a st
tetani atau gejala akut terjadi atau bila
atG
ada kemungkinan terjadi tetani karena penurunan ap kadar kalsium serum.
tu kr
Hipokalsemia kronis diterapi denganun minum kalsium. Satu gelas susu berisi sekitar
ominum
300 mg kalsium. Suplemen dengan str kalsium bisa dilakukan. Pada beberapa kasus
pengobatan yang lama mungkin r Gamemerlukan penggunaan preparat vitamin D. Bentuk aktif
ja
vitamin D mungkin perlu ku Adiberikan jika mekanisme dalam hati atau ginjal yang diperlukan
Bu tidak berjalan.
i le
untuk aktivasi hormon
F

Hiperkalsemia
Hiperkalsemia merepresentasikan konsentrasi total kalsium serum lebih dari 10.5 mg/dl.
Kenaikan palsu kadar kalsium bisa berasal dari pengambilan darah yang terlalu lama akibat
pembebatan yang terlalu kencang. Kenaikan kadar protein plasma (hiperalbuminemia,
hiperglobulinemia) bisa menaikan kadar kalsium serum total.

Penyebab
Kelebihan kalsium serum (yaitu hiperkalsemia) terjadi jika pergerakan kalsium menuju
sirkulasi mendominasi pengaturan hormonal kalsium dan kemampuan ginjal untuk
mengambil kelebihan ion kalsium. Penyebab hiperkalsemia yang umum dan utama
adalah peningkatan resorpsi (penyerapan) tulang yang disebabkan oleh neoplasma atau
hiperparatiroidisme. Hiperkalsemia merupakan komplikasi umum dari kanker dan
terjadi sekitar 10% dari 20% orang yang terkena penyakit pada stadium lanjut. Beberapa
tumor ganas termasuk karsinoma paru-paru, telah dihubungkan dengan hiperkalsemia.

20
Buku Ajar Gastrohepatologi

Beberapa tumor merusak tulang, tetapi beberapa yang lain memproduksi agen humoral
yang menstimulasi aktifitas osteoklastik, menaikkan resorpsi tulang, atau menghambat
pembentukan tulang.
Penyebab yang jarang dari hiperkalsemia adalah imobilisasi yang terlalu lama,
kenaikan absorpsi (penyerapan) kalsium dalam intestinum, dan penggunaan vitamin D
dosis tinggi. Imobilisasi yang terlalu lama menyebabkan pengurangan mineral pada tulang
dan pelepasan kalsium ke pembuluh darah. Absorpsi kalsium dalam intestinum bisa
dinaikkan dengan vitamin D dosis berlebih atau sebagai akibat kondisi yang dinamakan
sindrom alkali susu. Sindrom alkali susu disebabkan karena konsumsi berlebih kalsium
(umumnya dalam bentuk susu) dan antasida yang mudah diserap.
Beberapa macam obat bisa menaikkan kadar kalsium. Penggunaan litium untuk
mengobati kelainan bipolar menyebabkan hiperkalsemia dan hiperparatiroidisme.
Diuretika tiazid menaikkan penyerapan kalsium pada tubulus distalis ginjal. Meskipun
diuretika tiazid jarang menyebabkan hiperkalsemia, tetapi bisa membuka peluang
hiperkalsemia yang timbul dari penyebab lain seperti penyebab kelainan tulang dan kondisi
yang menaikan resorpsi tulang.

Manifestasi 9
2 01
re t
Tanda dan gejala kelebihan kalsium berasal dari 3 sumber: (1) perubahan
9 Ma pada eksitabilitas
neural, (2) perubahan pada fungsi otot jantung dan otot
a stropolos, dan (3) ginjal ”terbuka”
terhadap kalsium dalam kadar tinggi. G
p at
r
Eksitabilitas neural turun pada pasienk dengan a hiperkalsemia. Kemungkinan akan
terjadi penurunan kesadaran, stupor, lemah, ntu dan kekakuan otot. Perubahan tingkah laku
o u sampai psikosis akut.
str
mulai dari perubahan kecil pada kepribadian
a
G
Jantung merespon kenaikanA jar kadar kalsium dengan meningkatkan kontraktilitas dan
u
uk menanggapi respon ini. Gejala gastointestinal mencerminkan
disritmia ventrikular. Digitalis
B
e
penurunan aktivitas Filotot polos, termasuk sembelit, anorexia, mual dan muntah. Komplikasi
hiperkalsemia yang lain adalah pankreatitis, yang kejadiannya mungkin berhubungan
dengan batu dalam saluran pankreas. Kadar kalsium yang tinggi dalam urin merusak
kemampuan ginjal untuk memekatkan urin dengan cara mengintervensi aksi ADH. Ini
menyebabkan diuresis garam dan air dan rasa haus meningkat. Hiperkalsiuria juga menjadi
pemicu awal pertumbuhan batu ginjal.
Hiperkalsemia krisis menggambarkan kenaikan akut kadar kalsium serum. Penyakit
maligna dan hiperparatiroidisme adalah penyebab utama hiperkalsemia krisis. Pada
hiperkalsemia krisis, poliuria, kehausan yang sangat, deplesi volume, demam, perubahan
tingkat kesadaran, azotemia (yaitu sampah nitrogen dalam darah), dan kondisi mental
yang terganggu menyertai gejala lain dari kelebihan kalsium. Hiperkalsemia simtomatik
berhubungan dengan tingginya tingkat kematian, yang sering disebabkan oleh kegagalan
jantung.
Pengobatan kelebihan kalsium biasanya ditujukan ke arah rehidrasi dan usaha untuk
menaikan pengeluaran kalsium lewat urin dan mencegah pengeluaran kalsium dan pelepasan
kalsium dari tulang. Penggantian cairan diperlukan pada keadaan deplesi volume. Ekskresi
natrium disertai dengan ekskresi kalsium. Asam pada diuresis dan natrium klorida bisa

21
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

digunakan untuk menaikkan eliminasi kalsium lewat urin setelah volume CES dipulihkan.
Loop diuretic lebih umum digunakan daripada tiazid yang menaikan reabsorpsi kalsium.
Penurunan awal kadar kalsium diikuti oleh tindakan untuk mencegah resorpsi tulang.
Obat yang biasanya digunakan untuk mencegah mobilisasi kalsium termasuk bisfosfonat,
kalsitonin, dan glukokortikoid. Bisfosfonat merupakan golongan obat baru yang bekerja
terutama dengan cara mencegah aktivitas osteoklastik. Kalsitonin mencegah aktivitas
osteoklastik, sehingga mengurangi resorpsi. Glukokortikoid mencegah resorpsi tulang dan
digunakan untuk mengobati hiperkalsemia yang berhubungan dengan kanker.

Keseimbangan magnesium
Magnesium merupakan kation intraselular terbanyak kedua. Rata-rata tubuh orang dewasa
mengandung sekitar 24 gram magnesium yang terdistribusi di seluruh tubuh. Dari seluruh
magnesium sekitar 50%-60% disimpan dalam tulang, 39%-49% berada dalam sel tubuh dan
sisa 1% sebar didalam CES. Sekitar 20%-30% magnesium ekstraselular terikat pada protein,
dan hanya sebagian kecil magnesium intraselular (15%-30%) dapat bertukar dengan CES.
Kadar normal magnesium dalam serum adalah 1,8-2,7 mg/dl.
Fungsi penting magnesium terhadap fungsi keseluruhan tubuh telah diketahui.
9
Magnesium bertindak sebagai kofaktor dalam banyak reaksi enzimatik 2 01 intraselular, termasuk
t
reini disebabkan karena ATP
reaksi transfer gugus fosfat dari ATP (penggunaan ATP). Hal
9 Ma
hanya dapat digunakan tubuh bila ATP membentuk senyawa o kompleks dengan magnesium
menjadi Mg-ATP. Sehingga semua reaksi yang membutuhkan a str ATP, misalnya replikasi dan
atG
transkripsi DNA serta translasi mRNA, tentu p
a memerlukan magnesium. ATP merupakan
sumber tenaga metabolisme selular, yang tu k r lain digunakan untuk menjalankan pompa
antara
un
o Bekerjanya
natrium-kalium (Na+/K+-ATPase). tr pompa natrium-kalium menyebabkan
kestabilan membran sel terjaga, G as
konduksi saraf dapat berjalan lancar, transport ion dan zat-
Aj ar
zat lain ke dalam dan keuluar sel dapat berlangsung, dan proses metabolisme dapat berjalan
dengan baik. Buk
e
Magnesium Fildapat berikatan dengan reseptor kalsium. Diperkirakan bahwa perubahan
kadar magnesium akan berpengaruh melalui mekanisme yang diperantarai kalsium.
Magnesium mungkin terikat secara kompetitif ke tempat dimana kalsium dapat berikatan,
menghasilkan respon yang tepat, dan ini mungkin tidak menimbulkan efek; atau mungkin
mengubah distribusi kalsium dengan cara mempengaruhi pergerakannya memintas
membran sel.

Pengaturan magnesium
Magnesium dikonsumsi melalui makanan, diabsorpsi di usus, dan diekskresi oleh ginjal.
Absorpsi di usus tidak diatur dengan ketat, dan sekitar 25%-65% magnesium yang
dikonsumsi diabsorpsi. Magnesium terkandung dalam semua sayuran hijau, gandum,
kacang, daging dan hasil laut. Magnesium juga terkandung dalam air tanah di Amerika
Utara.
Ginjal merupakan organ utama pengaturan kadar magnesium. Magnesium merupakan
elektrolit unik dimana hanya sekitar 30%-40% dari jumlah yang tersaring direabsorpsi
dalam tubulus proksimalis. Jumlah paling banyak, sekitar 50%-70% direabsorpsi di ansa

22
Buku Ajar Gastrohepatologi

Henle yang tebal. Tubulus distalis mereabsorpsi magnesium dalam jumlah yang sedikit
dan merupakan tempat utama pengaturan kadar magnesium. Reabsorpsi magnesium
turun jika terjadi peningkatan kadar magnesium dalam serum atau jika distimulasi oleh
PTH. Sedangkan hambatan reabsorpsinya dipacu oleh kadar kalsium yang meningkat.
Perangsang utama reabsorpsi magnesium dalam ansa Henle yang tebal adalah sistem
kotransportasi Na+/K+/2Cl-. Hambatan sistem kotransportasi oleh diuretika menurunkan
reabsorpsi magnesium.

Hipomagnesemia
Hipomagnesemia adalah kadar magnesium serum yang kurang dari 1,8 mg/dl. Hal ini
terjadi pada kondisi dimana konsumsinya terbatas atau peningkatan ekskresi lewat usus
dan ginjal. Hipomagnesemia biasanya ditemukan pada keadaan gawat darurat dan pada
pasien dengan perawatan kritis.

Penyebab
Kekurangan magnesium dapat disebabkan oleh konsumsi yang kurang mencukupi,
kehilangan yang terlalu banyak, atau pergerakan antara ruangan CES dan 9 CIS. Dapat juga
disebabkan oleh keadaan dimana ada keterbatasan pemasukan, seperti 2 01 kekurangan gizi,
et
aryang
kelaparan, atau perawatan yang lama dengan nutrisi parenteral M tidak mengandung
o 9
r
magnesium. Kondisi lain, seperti diare, malabsorbsi, pemasangan nasogastric tube yang
lama, atau pemakaian laksansia, dapat menurunkan G ast
penyerapan usus. Kelebihan konsumsi
p at
a
kalsium mengganggu absorpsi magnesium di
tu kr usus karena adanya kompetisi kedua ion
n
ini pada protein transport yang sama. Penyebab umum kekurangan magnesium yang lain
adalah akoholisme kronis. Terdapat tro u faktor yang menyebabkan hipomagnesemia
banyak
as
pada alkoholisme, yaitu pemasukan
j ar G yang rendah dan kehilangan dari saluran cerna oleh
A
karena diare.
u ku
eB
Fil mampu bertahan terhadap hipermagnesemia, namun ginjal kurang
Walaupun ginjal
mampu menyimpan magnesium dan mencegah hipomagnesemia. Kehilangan melalui urin
meningkat pada ketoasidosis diabetikum, hiperparatiroidisme, dan hiperaldosteronisme.
Beberapa obat-obatan meningkatkan ekskresi magnesium lewat ginjal, termasuk diuretika
dan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik seperti antibiotik aminoglikosida, siklosporin,
sisplatin dan amfoterisin B.
Hipomagnesemia relatif juga dapat berkembang dalam kondisi dimana terjadi
meningkatnya pergerakan magnesium diantara CES dan CIS, termasuk pemberian glukosa
secara cepat, larutan parenteral yang mengandung insulin, dan alkalosis. Walaupun bersifat
sementara, kondisi ini dapat menyebabkan perubahan fungsi tubuh yang serius.

Manifestasi
Gejala kekurangan magnesium biasanya tidak tampak sampai kadar magnesium
serumkurang dari 1 mEq/dl. Hipomagnesemia ditandai dengan peningkatan eksitabilitas
saraf otot seperti adanya kelemahan otot dan gemetar. Manifestasi lain yang mungkin
terjadi adalah peningkatan refleks tendon, parestesia (kehilangan rasa, rasa kesemutan dan

23
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

pricking), fasikulasi otot, dan kontraksi tetanik otot. Tanda Chvostek atau Trousseau dapat
juga muncul terutama pada keadaan hipokalemia. Karena penurunan kadar magnesium
serum akan menaikkan iritasi jaringan saraf maka bisa terjadi kejang. Manifestasi lain yang
bisa timbul meliputi ataksia, vertigo disorientasi, depresi dan gejala psikotik.
Manfestasi kardiovaskular meliputi takikardia, hipertensi, dan disritmia ventrikular.
Kemungkinan terdapat perubahan pada EKG misalnya pelebaran kompleks QRS terlihat
pada puncak gelombang T, pemanjangan interval PR, inversi gelombang T dan penampakan
gelombang U. Disritmia ventrikular terutama pada penggunaan digitalis, sulit ditangani
kecuali bila kadar magnesium dinormalkan.

Pengobatan
Pengobatan hipomagnesemia adalah dengan pemberian magnesium. Cara pemberian
tergantung berat ringannya. Hipomagnesemia simtomatik, sedang dan berat diterapi
dengan pemberian magnesium secara parenteral. Pemberian magnesium diberikan sampai
beberapa hari untuk mengganti kekurangan kadarnya dalam darah. Pada keadaan kehilangan
magnesium kronis melalui saluran pencernaan dan ginjal, pemberian magnesium rumatan
sangat diperlukan. Pemberian magnesium pada penderita gagal ginjal harus hati-hati dan
9
perlu dimonitor agar tidak terjadi kelebihan magnesium. 01
2
aret
Hipermagnesemia 9M
ro
G ast
Hipermagnesemia adalah keadaan dimana kadar at magnesium dalam serum lebih dari 2.7
ap
mg/dl. Karena adanya kemampuan ginjalk rmengekskresi magnesium cukup baik maka
ntu
sangat jarang terjadi hipermagnesemia. u
a stro
Terjadinya hipermagnesemia G biasanya berhubungan dengan insufisiensi ginjal dan
pemakaian magnesium yang Ajarberlebihan seperti pemakaian obatobatan antasida, suplemen
u
mineral, atau laksatif.
BukPada bayi lebih mudah terjadi karena fungsi ginjal relatif belum
e
sempurna. Fil
Hipermagnesemia berefek terhadap fungsi saraf dan jantung, yaitu letargi,
hiporefleksia, bingung sampai koma, hipotensi, disritmia, dan cardiac arrest. Tanda
dan gejala terjadi hanya jika kadar magnesium lebih dari 4.9 mg/dl. Hipermagnesemia
berdampak mengurangi transmisi neuromuskular, menyebabkan hiporefleksia, kelemahan
otot, dan bingung. Hipermagnesemia menurunkan pelepasan asetilkolin pada ujung
mioneural dan dapat menyebabkan blokade neuromuskular dan paralisis respirasi. Efek
kardiovaskular berhubungan dengan efek penghambatan (blocker) kanal kalsium oleh
magnesium. Penghambatan kanal kalsium menyebabkan penurunan tekanan darah dan
pada gambaran EKG tampak peningkatan interval PR, pemendekan interval QT, gelombang
T tidak normal dan pemanjangan QRS dan PR. Hipotensi disebabkan vasodilatasi;
vasodilatasi timbul karena penghambatan kanal kalsium tersebut. Disritmia kardiak bisa
terjadi pada hipermagnesemia sedang (>5 -10 mg/dL). Bingung dan koma bisa terjadi pada
hipermagnesemia yang berat (> 10 mg/dL). Pada hipermagnesemia sangat berat (> 15 mg/
dL) bisa menyebabkan cardiac arrest.

24
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pengobatan hipermagnesemia dilakukan dengan mengurangi pemasukan magnesium.


Pemberian kalsium intravena sebagai antagonis magnesium sangat berguna untuk
menurunkan hipermagnesemia. Dialisis peritoneal atau hemodialisis bisa dilakukan jika
perlu.

Daftar Pustaka
1. Batchell J. (1994). Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone. Critical Care Clinics of
North America 69, 687-691.
2. Behrman R.E., Kliegman R.M.., Jenson H.B. (2000). Nelson textbook of pediatrics (16th ed., pp.
215-218). Philadelphia: W.B. Saunders.
3. Berne R.M., Levy M. (2000). Principles of physiology (3rd ed., p. 438). St. Louis: Mosby.
4. Braxmeyer D.L., Keyes J.L. (1996). The pathophysiology of patossium balance. Critical Care
Nurse 16 (5), 59-71.
5. Cogan M.G. 1991. Fluid and Electrolyte (pp. 1, 43, 80-84, 100-111, 112-123,125-130,242-245)
Norwalk, CT:Appleton & Lange.
6. Fried L.F., Palevsky P.M. (1997). Hyponatremia and hypernatremia. Medical Clinics of North
America 81, 585-606.
7. Gennari F.J. (1998). Hypokalemia. New England Journal of Medicine 339, 451-458
8. Guyton A., Hall J.E. 2000. Textbook of medical physiology (10th ed., pp. 157-171, 9 264-278, 322-
345, 346-363, 820-826). Philadelphia: W.B.Saunders. 2 01
t
9. Krieger J.N, Sherrad D.J. 1991. Practical fluid and electrolytes M are 104-105). Norwalk, CT:
(pp.
9
Appleton & lange.
stro
Ga
10. Kugler J.P., Hustead T. 2000. Hyponatremia and hypernatremia in erderly. American Family
Physician 61, 3623-3630 p at
a
u
11. Oh M.S., Carroll H.J. (1992). Disorders of sodium
t k rmetabolism: Hypernatremia and hyponatremia.
Critical Care Medicine 20, 94-103. ro u
n
st
Ga physiology of acid-base and electrolyte disorders (5 ed.,
12. Rose B.D., Post T.W. (2001). Clinical th

pp. 168-178, 822, 835, 858,A jar New York: McGraw-Hill.


909).
u
13. Stearns R.H., Spital A.,
BukClark E.C 1996. Disorders of water balance. In Kokkp J., Tannen R.L.,
e
Fil
(Eds). Fluid and Electrolytes (3 ed., pp. 65, 69, 95) Philadelphia: W.B. Saunders.
rd

14. Swain R., Kaplan-Machlis B. (1999). Magnesium for the next millennium. Southern Medical
Journal 92, 1040-1046.
15. Tannen R.L. (1996). Potassium disorders. In Kokko J., Tannen R.L. (Eds.), Fluid and electrolytes
(3rd ed., pp. 116-118). Philadelphia: W.B. Saunders.
16. Toto K., Yucha C.B. (1994). Magnesium: Homeostasis, imbalances, and therapeutic uses. Critical
Care Nursing Clinicw of North America 6, 767-778.
17. Whang G., Whang G.G., Ryan M.P. (1992). Refractory potassium repletion: A consequence of
magnesium deficiency. Archives of Internal Medicine 152 (1), 40-45.
18. Workman L. (1992). Magnesium and phosphorus: The negelected electrolytes. AACN Clinical
Issues 3, 655-663.
19. Yucha C.B., Toto K.H. (1994). Calcium and phosphorous derangement. Critical Care Clinics of
North America 6, 747-765.
20. Zaloga G.F. (1992).Hypocalcemia in critically ill patients. Critical Care Medicine20, 251-261.

25
BAB

2
Kegawatdaruratan Gastrointestinal
Pitono Soeparto & Reza Ranuh

2.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak perempuan umur 7 tahun dibawa ke UGD karena mengeluh sakit perut
yang amat sangat, dan anak tidak bisa berhenti menangis karena sakitnya. Sakit dirasakan
pertama kali 1 jam yang lalu dan belum mereda. Saat sakit di rumah sempat BAB 1x, nyeri
dan keluar sedikit kotoran campur darah. Dari pemeriksaan fisik anak tampak kesakitan,
dinding perut tidak kaku, dan disebelah kiri atas umbilicus dapat diraba massa yang panjang
seperti pisang.

2.2 Pendahuluan
Kegawatdaruratan merupakan hal yang sering terjadi dalam praktik klinis, dan dapat dibagi
dalam 2 kelompok utama: bedah dan non bedah.

Kelompok non bedah


• Dehidrasi
• Perdarahan saluran gastrointestinal
−− Penyakit peptik
−− Demam berdarah
−− Demam tifoid
−− Hipertensi portal
−− Polip
• Muntah akut
• Nyeri abdominal akut
• Distensi abdomen akut
• Disfagia akut

26
Buku Ajar Gastrohepatologi

Kelompok bedah
Obstruksi intestinal
• Atresia duodenal
• Malrotasi dan volvulus
• Anus imperforata
• Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula

Defek dinding abdominal
• Eksomfalus
• Gastroskisis

Abdomen akut
• Apendisitis akut
• Adenitis mesenterik

2.3 Dehidrasi 9
2 01
Tabel 2.3.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan aret
o 9M
% Kehilangan berat badan str
Ga
Bayi p at Anak besar
ra
Dehidrasi ringan 5 % ( 50 ml/kg ) tuk 3 % ( 30 ml/kg )
Dehidrasi sedang 5 – 10 % ( 50 – 100 ml/kgu)n 6 % ( 60 ml/kg )
o
Dehidrasi berat strml/kg )
10 – 15 % ( 100 –a150 9 % ( 90 ml/kg )
G
Sumber: Huang, 2008. Ajar
u
Buk
i l e
F
Tabel 2.3.2. Pemeriksaan laboratorium pada gangguan keseimbangan asam-basa
pH PCO2 Bikarbonat
Gangguan tunggal
*Asidosis metabolik ↓ ↓ ↓
*Alkalosis metabolik ↑ ↑ ↑
*Asidosis respiratorik ↓ ↑ ↑
*Alkalosis respiratorik ↑ ↓ ↓
Gangguan campuran
*Asidosis metabolik + asidosis respiratorik ↓↓ ↑, N, ↓ ↑, N, ↓
*Alkalosis metabolik + asidosis respiratorik ↑, N, ↓ ↑ ↑
*Asidosis metabolik + alkalosis respiratorik ↑, N, ↓ ↓ ↓
*Alkalosis metabolik + alkalosis respiratorik ↑↑ ↑, N, ↓ ↑, N, ↓
Sumber: Quak, 1989.

27
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

Prinsip Terapi Cairan


Pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan untuk memberikan
pada penderita: (1) kebutuhan akan rumatan (maintenance) dari cairan dan elektrolit, (2)
mengganti kehilangan yang terjadi, dan (3) mencukupi kehilangan abnomal dari cairan
yang sedang berlangsung (on going abnormal losses).
Perencanaan terapi ketiga komponen ini perlu ditujukan secara individual sehingga
tidak ada kebutuhan dasar yang terlewati. Selain itu pemberian terapi cairan perlu dibagi
menjadi beberapa tahap yang berurutan yaitu: (1) menjaga perfusi yang cukup, (2)
memperbaiki defisit cairan & elektrolit sekaligus memperbaiki gangguan asam-basa, dan
(3) mencukupi kebutuhan nutrisi.
Pemberian cairan pada penderita dengan dehidrasi berat atau dalam keadaan syok
merupakan tindakan kedaruratan medis. Penderita dapat dinilai secara lengkap apabila
pemberian cairan sudah dimulai dan penderita dalam keadaan stabil.
Dalam perencanaan pemberian terapi cairan, yang penting dipertimbangkan adalah
defisit Na+ dan air, perubahan kualitatif dari susunan tubuh yang terjadi akibat hilangnya
elektrolit yang terkait dengan air, dan keseimbangan ion kalium dan hidrogen.
9
2 01
Pemberian Terapi Cairan re t
Ma
Pemberian terapi cairan meliputi pemberian cairan yang 9ditujukan untuk:
o
• Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila ada syok)astr
G
• Mengganti defisit yang terjadi p at
r a
tuk kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang
• Rumatan (maintenance)/ untuk mengganti
n
berlangsung (on going loss) ro u
Pelaksanaan pemberian terapi G ast dapat dilakukan secara oral atau parenteral.
cairan
jar
kuA
Dehidrasi berat le Bu
Fi dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan lebih dari
Penderita dengan
9% untuk anak besar serta menunjukkan gangguan organ vital tubuh (somnolen - koma,
pernafasan Kussmaul, gangguan dinamika sirkulasi) memerlukan pemberian cairan dan
elektrolit secara parenteral.
Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap:
• Terapi awal (initial therapy) yang bertujuan untuk memperbaiki dinamika sirkulasi
dan fungsi ginjal dengan cara re-ekspansi dengan cepat volume cairan ekstraselular.
• Terapi lanjutan yang ditujukan untuk mengganti defisit air dan elektrolit pada kecepatan
yang lebih rendah dengan mengganti Na+ mendahului K+.
• Terapi akhir yang ditujukan untuk menjaga/memulihkan status gizi penderita.

Terapi awal
Tahap ini dimaksudkan untuk mencegah atau mengobati renjatan (syok) dengan secara
cepat mengembangkan volume cairan ekstraselular, terutama plasma. Idealnya adalah bahwa
seluruh cairan yang diberikan hendaknya tetap berada dalam ruang vaskular.

28
Buku Ajar Gastrohepatologi

Terapi lanjutan
Begitu sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan berikutnya ditujukan untuk
mengoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na+ dan mengganti kehilangan
abnormal dari cairan yang sedang berjalan (on going losses) serta kehilangan obligatorik.
Walaupun pemberian K+ sudah dapat dimulai, namun hal ini tidak esensial, dan biasanya
tidak diberikan sebelum 24 jam. Perkecualian dalam hal ini adalah bila didapatkan
hipokalemia yang berat dan nyata.
Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit serum
sehingga terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan kadar Na+ yang ada (isonatremia,
hiponatremia, hipernatremia).

Terapi akhir (koreksi dari defisiensi nutrisi)


Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan
kalori penderita, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut
waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberi diet sebagaimana biasanya,
segala kekurangan tubuh akan lemak dan protein dapat segera terpenuhi. Itulah mengapa
pada pemberian terapi cairan, bila memungkinkan diusahakan agar penderita cepat
9
mendapatkan makanan/minuman sebagaimana biasanya. Bahkan pada 2 01 dehidrasi ringan
t
sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral, makan
Maredan minum tetap dapat
dilanjutkan (continued feeding). o 9
str
Ga
Tabel 2.3.3. Terapi cairan standar (iso-hiponatremia) p at
k ra
Derajat Kebutuhan
u ntu Jenis Cara/lama
Dehidrasi cairan ro cairan Pemberian
ast
Berat 10 % rG
+ 30 ml/kg/1 jam Na Cl 0.9% IV / 1 jam
Gagal sirkulasi Aja )
( + 10 tt/kg/menit
u Ringer laktat
(Plan C)
Buk Asering (Otsuka)
e
Sedang 6-9 % Fil + 70 ml/kg/ 3 jam Na Cl 0.9% I.V. / 3 jam atau
( + 5 tt/kg/menit ) Ringer laktat I.G. / 3 jam atau
1/2 darrow oral 3 jam
KAEN 3 B (> 3bl)
KAEN 4 B (< 3bl)
Ringan 5 % + 50 ml/kg/ 3 jam 1/2 darrow I.V. / 3 jam bila
(Plan B) (+ 3-4 tt/kg/menit) atau oralit (Paedialyte) oral tidak mungkin
atau I.G. / oral
Tanpa dehidrasi + 10-20 ml/kg Oralit atau cairan rumah tangga Oral sampai diare berhenti
(Plan A) setiap kali diare
IV = intravena
IG = intragastrik
Sumber: Lozner, 2009.

Untuk neonatus ( <3 bulan )


Plan C: 30 ml/kg/2 jam, KA-EN 4B
Plan B: 70 ml/kg/6 jam, KA-EN 4B

29
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

Untuk diare dengan penyakit penyerta


Plan C: 30 ml/kg/2 jam cairan 1/2 darrow, KA-EN 3B (usia >3bl) KAEN 4 B (usia <3bl)
Plan B: 70 ml/kg/6 jam cairan 1/2 darrow, KA-EN 3B (usia >3bl) KAEN 4 B (usia <3bl)

Untuk dehidrasi hipernatremia


Defisit (70 ml) + rumatan (100 ml) + “on going losses” (25 ml)
X 2 (hari) = +400 ml/kg, diberikan dalam waktu 48 jam
Jenis cairan ½ darrow, (KA-EN 3B, OTSUKA ed)
KA-EN 1B: sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui. Pada prematur
atau bayi baru lahir sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml.
KA-EN 3A, KA-EN 3B: sebagai larutan rumatan untuk memenuhi kebutuhan harian air
dan elektrolit dengan kandungan cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan
asupan oral terbatas.
KA-EN 4A: sebagai larutan infus rumatan untuk bayi dan anak tanpa mengandung kalium,
sehingga dapat diberikan pada pasien dengan kadar kalium serum normal
KA-EN 4B: sebagai larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia <3 tahun.

2.4 Perdarahan Saluran Gastrointestinal (Perdarahan


2 01
9
re t
GIT) o 9 Ma
str
Tabel 2.4.1. Etiologi perdarahan Ga
p at
GIT Atas
k ra
Periode Neonatal Bayi
u ntu Pra sekolah Usia sekolah
Tertelan darah ibu Gastritis ro Tukak stres Tukak stres
Tukak stres G
Esofagitis ast Gastritis Gastritis
Gastritis hemoragis A jarstres
Tukak Esofagitis Esofagitis
u
Diatesis perdarahan
Buk Sindrom Mallory Weiss Sindrom Mallory Weiss Tukak peptik
e
Fil
Benda asing Stenosis pilorik Varises esofagus Sindrom Mallory Weiss
Malformasi vaskular Malformasi vaskular Benda asing Varises esofagus
Malformasi vaskular
GIT Bawah
Anak sehat
A.1. Tertelan darah ibu Fisura ani Kolitis infeksi Kolitis infeksi
2. Kolitis infeksi Kolitis infeksi Fisura ani Polip
3. Peny. hemoragis Kolitis nonspesifik Polip juvenil Hemoroid
4. Divertikulum Intususepsi Intususepsi Peny.usus beradang
Meckeli Polip juvenil Divertikulum
5. Alergi susu Divertikulum Meckel Meckeli
6. Duplikasi usus Alergi susu Angiodisplasia
Purpura Henoch Schőnlein
Anak sakit
B.1. NEC Duplikasi usus Sindrom hemolitik uremik
2. DIC Sindrom hemolitik uremik Enterokolitis pseudo membranosa
3. Intususepsi Enterokolitis pseudo membranosa
4. Volvulus usus tengah (midgut)
5. Kolitis infeksi
Sumber: Quak, 1989.

30
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal (GIT) perlu


dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini terutama
penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah:
• Menentukan tempat perdarahan.
• Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti.

Penampilan
Penampilan KlinisKlinis

Melena
Melena
Hematemesis
Hematemesis
Hematoskesia
Hematoskesia

Bilas Bilas nasogastrik


nasogastrik

Darah positif Darah negatif


Darah positif Darah negatif

Perdarahan GIT Atas Perdarahan GIT Bawah 9


Perdarahan GIT Atas Perdarahan GIT Bawah 201
t
Gambar 2.4.1. Penentuan letak perdarahan are
(Sumber: Quak, 1989) 9 M
stro
Penampilan KlinisGa
Penampilan Klinisapat
r
t uk
Bilasunnasogastrik
tro
asnasogastrik
Bilas
ja rG
ku A positif
Darah Darah negatif
eBu positif
Darah Darah negatif
Fil Perdarahan GIT Atas Perdarahan GIT Bawah
Perdarahan GIT Atas Perdarahan GIT Bawah
Foto abdominal / USG
(tegak dan/terlentang)
Foto abdominal USG
(tegak dan terlentang)
Obstruksi Non – Obstruksi
Obstruksi Non – Obstruksi
Enema Ba Evaluasi laboratorium
Pembiakan tinja
Enema Ba Evaluasi laboratorium
Sken (Scan) Meckel
Bedah
Pembiakan
Enema Batinjakontras udara
Bedah SkenKolonoskopi
(Scan) Meckel
Enema Ba kontras udara
Kolonoskopi

Gambar 2.4.2. Pendekatan klinis perdarahan GIT bawah


(Sumber: Quak, 1989 dengan modifikasi)

31
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

Perlu diingat bahwa tidak adanya darah dari lambung tidak selalu menyingkirkan
perdarahan GIT, karena perdarahan mungkin telah berhenti atau sumber perdarahan
mungkin di bagian distal pilorus yang kompeten.

Tabel 2.4.2. Diagnosis diferensial


Hematemesis dan Melena Hematoskesia
Neonatus:
Tertelan darah ibu Tertelan darah ibu
Tukak stres Intoleransi protein
Duplikasi gastritis Kolitis infeksiosa
Malformasi vaskuler Enterokolitis nekrotikans
Difisiensi vitamin K Hirschsprung dengan enterokolitis
Hemofilia Duplikasi
Purpura trombositopenik idiopatik Malformasi vaskular
Maternal Defisiensi vitamin K
Penggunaan NSAIDS oleh ibu Hemofilia
Purpura trombositopenik idiopatik maternal
Penggunaan NSAIDS oleh ibu
Bayi
9
Esofagitis Fisura ani 01
Gastritis Intususepsi re t2
Kolitis infeksius 9 Ma
ro
Intoleransi proteinstsusu
G a
at
Divertikulum Meckel
r ap
Duplikasi
k
tuMalformasi vaskular
un
ro
ast
Anak :
Esofagitis G Fisura ani
Gastritis Ajar Kolitis infeksius
u
Tukak peptik uk Polip
Robekan Mallory – Weissile B Hiperplasia noduler limfoid
Varises esofagus F Penyakit usus beradang
Purpura Henoch Schőnlein
Intususepsi
Divertikulum Meckel
Sindrom hemolitik – uremik
Remaja :
Esofagitis Kolitis infeksiosa
Gastritis Penyakit usus beradang
Tukak peptik Fisura ani
Robekan Mallory – Weiss Polip
Varises esofagus
Sumber: Chin, 2001.

Laboratorium
1. Darah lengkap :
Perdarahan yang baru terjadi mungkin tidak mengubah hemoglobin atau hematokrit
tetapi MCV bisa rendah pada perdarahan kronis berderajat ringan. Peningkatan

32
Buku Ajar Gastrohepatologi

eosinofil dapat menunjukkan kolitis alergi.


2. Laju endap darah :
Peningkatan KED dapat menandai penyakit usus beradang.
3. Koagulasi :
Profil koagulasi untuk menyingkirkan kelainan perdarahan.
4. Uji fungsi hepar :
Apabila ada tanda hipertensi portal atau penyakit hati kronis.
5. Tinja encer :
Pembiakan tinja dan asai toksin C. difficile
6. Uji fungsi renal:
Nilai urea yang tinggi merupakan kunci untuk mendiagnosis sindrom uremik hemolitik
atau dapat menandakan adanya dehidrasi.

Pencitraan
1. Perdarahan GIT atas:
Studi kontras hendaknya jangan dijadikan pemeriksaan awal untuk menyingkirkan
esofagitis, gastritis atau tukak peptikum karena kurang sensitif. Endoskopi jauh lebih
sensitif. Studi kontras dapat merupakan indikasi pada pasien dengan 9 disfagia atau
01
odinofagia. USG perlu dilakukan apabila ada penyakit hati. ret 2
2. Hematoskesia: 9 Ma
ro
Studi kontras hendaknya jangan merupakan awal
G astevaluasi. Endoskopi lentur lebih
baik. Yang menjadi perkecualian adalah adanya atkecurigaan intususepsi, dan USG perlu
r ap
tuk
dilakukan (dan apabila sudah pasti, enema barium dilakukan untuk reduksi).
n
3. Perdarahan masif tanpa sakit: ou
Meckel scan merupakan prosedur a strterpilih. Negatif semu dapat disebabkan karena tidak
G
cukup terdapat jaringan A jar
lambung, down stream washout dari isotop, gangguan pasokan
k u
darah atau teknik yang u suboptimal. Ulangan scan Meckel dengan demikian diperlukan
untuk mengetahui i l e Bjenis jaringan lambung.
F
4. Perdarahan yang tidak tampak pada saluran GI bawah. Scan sel darah merah yang diberi
label teknetium dapat membantu menetapan lokasi, tetapi memerlukan perdarahan
aktif >0.5 ml/menit.

Endoskopi saluran gastrointestinal bagian bawah


Indikasi untuk endoskopi saluran gastrointestinal bawah meliputi hematoskesia atau
melena sesudah menyingkirkan kemungkinan sumber GIT atas.

Penanganan
Penanganan umum
Penilaian awal pada setiap anak dengan perdarahan GIT perlu dipertajam serta dipercepat.
Dua persoalan yang perlu segera diperhatikan adalah: status volume darah pasien dan
kecenderungan perdarahan yang akan terus berlangsung. Penampilan anak, status mental,
tekanan darah, detak jantung merupakan cermin dari status anak, sedangkan potensi

33
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

terjadinya perdarahan yang terus berlangsung akan terlihat atau dapat diperkirakan dari
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.
Stabilisasi awal ditujukan untuk mencegah atau mengatasi hipovolemia dan anemia
yang berat. Tujuan pemberian cairan bolus awal adalah untuk perfusi jaringan. Setelah
pemberian bolus cairan awal sebanyak 10 – 20 ml/kg selama 10 menit, lanjutkan bolus
secara pelan (titrasi) untuk menjaga tekanan darah dan perfusi jaringan. Pilihan cairan
paling baik dapat dilihat berdasarkan kemudahan dan tersedianya cairan. Apabila lebih dari
50–70 ml/kg yang diperlukan dalam waktu 4–6 jam, perlu dipertimbangkan pemantauan
invasif untuk memudahkan penanganan cairan. Cairan dan/atau koloid yang sesuai
kemudian dapat mulai diberikan. Prosedur diagnostik lanjut, hendaknya dilakukan bila
resusitasi yang sesuai sudah tercapai.

Tindakan
• Letakkan pasien dalam posisi terlentang dengan tungkai dinaikkan. Pada perdarahan
yang masif, pasien perlu diletakkan dalam posisi tengkurap untuk mencegah aspirasi.
• Selanjutnya masukkan kanula intravena ukuran besar. Apabila isian vena (venous
filling) buruk, dapat dilakukan venaseksi atau tusuk subklavia segera.
• Upayakan flow chart yang baik untuk pemasukan dan pengeluaran.
9
• Lakukan uji laboratoris yang meliputi: golongan darah 2 01 dan cross match,
re t
pemeriksaan darah lengkap, hematokrit, waktu protrombin,
9 Ma waktu tromboplastin parsial,
BUN, elektrolit, dan analisis gas darah arterial. tro
s
• Perbaiki volume intravena dengan larutan kristaloid
t Ga (garam fisiologis, Ringer laktat)
atau plasma 20 ml/kgBB/jam sampairatekanan pa darah membaik, ditandai dengan
k
hilangnya vasokonstriksi perifer. ntu
u
Larutan koloid seperti albumin ro atau plasma digunakan apabila terjadi kehilangan darah
G ast
masif dan berlangsung terus-menerus yang dapat menyebabkan berkurangnya tekanan
A jar
onkotik plasma sehingga
u menimbulkan sindrom paru renjatan (shock lung syndrome).
Hindarkan ekspansi Buk volume intravaskular yang berlebihan. Sesudah pengembalian
e
Fil
volume intravaskular tercapai (yang ditunjukkan oleh tekanan darah, denyut nadi
dan aliran urin), penggantian (replacement) selanjutnya perlu dititrasi sesuai dengan
kehilangan darah yang berlanjut (continuing blood loss).
• Vitamin K 5 – 10 mg diberikan untuk setiap pasien dengan masa protrombin yang
berkepanjangan, tanpa membedakan pasien penderita penyakit hati ataupun bukan.
• Keputusan pemberian transfusi darah tergantung dari nilai hematokrit sesudah
pengembalian volume darah dan ada tidaknya perdarahan yang berlanjut. Transfusi
darah dapat diberikan pada pasien dengan perdarahan yang sudah berhenti untuk
berjaga-jaga apabila terjadi perdarahan kembali. Pada keadaan ini, transfusi pelan
dengan packed cells (10 ml/kgBB) lebih dianjurkan sebagai langkah awal.
Pada pasien dengan perdarahan yang berlanjut, transfusi yang terus-menerus
merupakan satu-satunya cara untuk merumat kapasitas pengangkut O2 darah hingga
mencukupi kebutuhan tubuh. Kecepatan transfusi tergantung dari cepatnya
perdarahan.
• Komplikasi dari transfusi masif meliputi: hipersitratemia, hipokalsemia, berkurangnya
kadar faktor pembekuan, dan trombositemia. Untuk meminimalkan permasalahan ini,
pasien perlu diberikan kalsium intravena 0.5 ml/kgBB (10% kalsium glukonat) dan

34
Buku Ajar Gastrohepatologi

plasma fresh frozen (10 ml/kgBB) sesudah pemberian setiap transfusi 50 ml packed cells
apabila diperlukan.

Penanganan Perdarahan GIT atas


• Bilas nasogastrik dengan garam fisiologis dingin. Pembilasan perlu dilanjutkan sampai
kembalinya warna merah muda atau jernih. Pipa perlu tetap terpasang untuk keperluan
drainase pasif sesuai gravitasi dan juga untuk menilai ada tidaknya perdarahan dengan
cara melakukan isapan dan irigasi pelan setiap 15 menit.
Apabila isi lambung jernih setelah dibilas, dan tidak ada perencanaan endoskopi
segera, irigasi lambung dilakukan setiap 15 menit selama satu jam dan selanjutnya setiap
tiga jam selama 12 – 24 jam. Apabila kondisi pasien stabil dan cairan lambung kembali
jernih, pipa nasogastrik dapat diangkat. Mual dan muntah yang persisten atau adanya
ileus merupakan tanda bahwa drainase perlu dilanjutkan.
• Sebagian besar perdarahan varises akan berhenti secara spontan.
Vasopresin dahulu dikatakan efektif dalam menurunkan aliran darah dan tekanan
melalui sirkulasi portal. Dimulai dengan 0.1 unit/menit dan dinaikkan menjadi 0.05
unit/menit setiap jam sampai mencapai 0.2 unit/menit pada anak yang berusia kurang

9 Varises
Perdarahan Gastrointestinal Bagian Atas Pada Anak dengan Kecurigaan
2 01
aret
Kanula IV ukuran besar 9M
ro
G ast
at
r ap
Darah, plasma, beku segar, trombosit, bilas lambung

tu k
o un
str
Perdarahan berhenti
r Ga Perdarahan tetap
Hct stabil
A j a Hct turun
u
Buk
e
Fil
Amati Hct serial Teruskan resisutisasi

Endoskopi atas dalam 24 jam Mulai tetes octeotride

Skleroterapi/ligasi pitas atas indikasi Pindah ke ICU


Perdarahan berhenti

Rencanakan untuk Tx Pertimbangan shunt apabila


Hepar atas indikasi Endoskopi kedaruratan
skleroterapi bila mungkin

Konsolidasi skleroterapi
sembari menunggu Perdarahan hebat tetap

Tamporade balon

Tamporade balon gagal

Transplantasi, shunt darurat bila


tidak ada donor

Gambar 2.4.3. Algoritma penatalaksanaan pada anak dengan kecurigaan perdarahan varises usofagus
(Sumber: McDiarmid, 2000)

35
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

dari 5 tahun. Dosis awal vasopresin pada anak kurang dari 12 tahun dan pada remaja
berturut-turut adalah 0.3 unit/menit dan 0.4 unit/menit. Vasopresin hendaknya
diberikan dalam cairan dekstrosa 5%.
• Tamponade balon (Sengstaken–Blakemore) dipertimbangkan pada varises
lambung atau esofagus yang diagnosisnya ditegakkan melalui endoskopi.
Prosedur ini berisiko tinggi. Indikasi untuk tampon balon adalah:
− − Perdarahan masif yang mengancam jiwa
−− Perdarahan yang berkelanjutan walaupun diberikan vasopresin intravena 4 – 6 jam.

Penanganan spesifik
Penyebab perdarahan gastrointestinal bagian atas dari segi penanganan dapat dibagi
menjadi perdarahan varises dan nonvarises. Beta–bloker nonselektif dianjurkan
untuk mencegah perdarahan varises. Obat vasoaktif, seperti somatostatin, oktreotida dan
glupresin dapat digunakan dengan baik pada perdarahan varises maupun nonvarises.
Skleroterapi dan ligasi varises dapat digunakan pada anak untuk menghilangkan varises.
Cyanoacrylate efektif dan menunjukkan komplikasi terendah yang berhubungan dengan
varises lambung. Terdapatnya stigmata perdarahan, seperti perdarahan aktif dan pembuluh
darah yang tampak pada tukak merupakan indikasi adanya risiko tinggi dari perdarahan
0 19
berulang, yang memerlukan hemostasis endoskopik. Inhibitorepompa2 proton lebih efektif
rt
daripada antagonis reseptor H2 dalam menunjang kesembuhan Ma tukak peptikum.
9
stro
Penanganan Hipertensi portal a G
• Oktreotida (Octreotide) : p at
r a
ntuk
Oktreotida adalah suatu analog somatostatin yang aman tanpa efek samping berat.
u
ro
Mekanisme aksinya adalah mengurangi spastik kolateral dan aliran darah hepatik.
G ast
Begitu dicurigai adanya perdarahan varises, infus oktreotida perlu segera dimulai,
dan pada umumnya A jar
diberikan terus selama 5 hari. Infus dimulai dengan dosis 1mg/
u ku
kgBB iv bolus dilanjutkan dengan infus kontinu dari 1 mg/kgBB/jam, dinaikkan setiap
i l eB
jam apabilaFperdarahan tidak berkurang sampai 4-5 mg/kgBB/jam dalam infus yang
kontinu. Apabila tidak ada perdarahan aktif sesudah 24 jam, dapat diberikan setengah
dosis semula setiap 12 jam.
• Dalam suatu penelitian telah ditunjukkan bahwa skleroterapi berhasil menutup
varises esofagus sesudah diberikan secara multipel pada 92 pasien anak. Terapi
kombinasi propranolol + skleroterapi ternyata lebih menjanjikan dalam pencegahan
perdarahan hipertensif portal.
• Ligasi varises endoskopik (EVL)
EVL lebih efektif daripada skleroterapi dalam menghilangkan varises dan mencegah
perdarahan berulang.
Portosystemic shunt melalui pembedahan dan akhir2 ini juga nonoperatif
transjugular intrahepatic portosystemic shunt, dan transplantasi hepar.
• Pembedahan
Koreksi radikal dari hipertensi portal ekstrahepatik dengan hasil baik dilakukan pada
38,5% pasien.

36
Buku Ajar Gastrohepatologi

Penanganan perdarahan GIT bawah


Penanganan definitif dari perdarahan GIT bawah tergantung dari penyebabnya.
Pembedahan ditujukan pada perdarahan divertikulum Meckel. Suatu polip berdarah dapat
dihilangkan dengan polipektomi secara endoskopik. Malformasi vaskular pada GIT bawah
jarang ditemukan dan penanganan bedah dilakukan apabila malformasi ini diketahui
sebagai penyebab perdarahan.
Ligasi varises endoskopik dinyatakan aman dan merupakan prosedur yang sangat
efektif pada anak dengan hipertensi portal, tanpa memandang etiologi.

Penanganan Penyakit Peptikum


Terapi utama untuk penyakit tukak adalah supresi produk asam atau penetralan asam
lambung. Menjaga pH lambung diatas 4.0 akan mengaktivasi pepsin dan menunjang
penyembuhan. Apabila diagnosis gastritis H. pylori, pengobatan yang diberikan meliputi
terapi tripel dengan klaritromisin, inhibitor pompa proton dan metromidazol atau dengan
amoksisilin, suatu antagonis reseptor histamin-2 (H-2) dan bismut subsalisilat efektif pada
70% – 79 % dari pasien yang diterapi. Kekambuhan terjadi dalam rentang 10% – 20 %.
−− Antagonis reseptor H-2: simetidin (20 – 40 mg/hari) dan ranitidin (2 – 4 mg/kgBB/
kali, maksimum 150 mg/kali, 2x sehari) merupakan inhibitor sekresi asam yang kuat.
9
Inhibitor pompa proton seperti omeprazol (0.7 – 1.4 mg/kgBB/kali, 2 01 maksimum 40
t
mg/kali, 1x sehari) dan lansoprazol (0.3 – 1.5 mg/kgBB/hari)
Maremerupakan penghambat
sekresi asam lambung yang lebih kuat. 9
ro
−− Sukralfat: merupakan kompleks aluminium hidroksida G ast dan sukrosa tersulfasi (sulfated
t
r pa
sucrose), yang tidak diabsorsi dalam jumlah abanyak. Dosisnya 250 mg q.i.d untuk bayi
k
dan 0,5 – 1 gram q.i.d untuk anak besar,ntusebagai bahan barier pada tukak peptikum.
o u konstipan, sedangkan magnesium hidroksida
−− Antasida: aluminium hidroksida tbersifat
r
s
Ga
adalah katartik. Dosisnya 0,5r ml/kgBB/kali, maksimum 20 ml perkali setiap 4 jam.
ja
kuA
u
Fi le B

37
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

2.5 Demam Berdarah


Penanganan

D5 Ringer Laktat atau D5 Ringer Asetat


10-20 ml/kgBB/jam (pada derajat IV bolus 30 menit)

Baik Tidak baik

(PCV , nadi stabil, produksi urin ) (PCV , nadi cepat lemah, tekanan nadi < 20 mmHg,
produksi urin )

7 ml/kg/1jam
PCV , Hb PCV tetap tinggi

5 ml/kg/1 jam
9
2 01
ret Plasma (10 ml/kg/jam, dapat
Darah (10 ml/kg/jam dapat
a
3 ml/kg/1 jam
o 9M
diulang sesuai kebutuhan) diulang 3x dalam 24 jam
tr Asidosis diperbaiki)
G as
p at
r a
24 – 48 jam
k
diharapkan sembuh
u ntu
ro
ast Baik Baik
rG
u Aja
uk
eB
F l Aluran
Gambari2.5.1 tata laksana pemberian cairan dan plasma/darah pada DBD derajat III dan IV
Sumber: Soegijanto, 2000; Modifikasi Monograf, WHO, 1993.

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan gastrointestinal seperti hematemesis


dan melena diindikasikan pemberian transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk
menganti volume massa eritrosit agar menjadi normal.

2.6 Demam Tifoid


Penanganan
Terapi antimikrobia esensial dalam terapi demam tifoid. Sebagian besar regimen antibiotik
mempunyai risiko kekambuhan 5%–20 %. Kloramfenikol (50 mg/kgBB/hari q.i.d per os
atau 75 mg/kgBB/hari terbagi dalam 6 jam i.v), ampisilin (200 mg/kgBB/hari dibagi dalam
4 – 6 kali perhari), amoksilin (100 mg/kgBB/hari dibagi 3x perhari p.o) dan trimetoprim-
sulfametoksazol (10 mg TMP dan 50 mg SMZ /kgBB/hari, 2x sehari p.o) memberikan hasil

38
Buku Ajar Gastrohepatologi

klinis yang baik. Apabila perdarahan intestinal hebat, diperlukan transfusi darah. Intervensi
bedah dan antibiotik spektrum luas dianjurkan bila terjadi perforasi. Transfusi trombosit
dikemukakan untuk pengobatan trombositopenia yang cukup berat untuk menyebabkan
perdarahan intestinal pada pasien yang memerlukan pembedahan.

2.7. Muntah Akut


Penanganan muntah
Penanganan penderita dengan muntah ditujukkan untuk mengatasi akibat muntah
(robekan lokal, gangguan metabolik, gangguan nutrisi, aspirasi), simtomatik untuk
mengurangi/menghilangkan gejala muntah dan secara spesifik menghilangkan penyakit
penyebab yang mendasarinya.

Tabel 2.7.1. Penanganan farmakologis


Kategori fisiologis Obat Dosis ( oral ) Efek samping
1. Antagonis kolinergik betanekol 0.1– 0.2 mg / kg BB/ dosis TID - Eksaserbasi spasme
Antagonis reseptor cisaprid 0.1– 0.3 mg/ kg BB/ dosis TID - Aritmia jantung, diare
9
5-hidroksitriptamin
2 01
t
are reaksi distonik, gejala
2. Antagonis reseptor metoklopramid 0.1– 0.2 mg/kBBg/dosis TID/QID - Mengantuk, gelisah,
(vometrol)
9 M
s tro ekstrapiramidal
dopamin D2 domperidon Ga TID/QID
0.3. mg/kgBB/dosis
t
- Kejang perut ringan
a
3. Agonis motilin eritromisin ap/ kgBB / dosis TID
3 – 6 mg
r - Rasa tak enak perut/reaksi

n tuk alergi ringan/disfungsi hepar


4. Antagonis reseptor o u 4 mg oral2 / 8 jam selama 5 hari
ondansetron untuk kemoterapi - Konstipasi, sakit kepala, rasa
serotonin (5 – HT)* a str
& radio terapi. sumatriptan, 5 mg / m 1.V.-15 menit panas di muka dan epigatrium
ar Gmuntah siklis
amitriptilin juntuk - Kelemahan, kemerahan muka
A
u ku 0.1 – 1,2 mg / kgBB / 24 jam
e B oral dinaikkan sampai 1,5 mg / kgBB
Fil / 24 jam
5. Antagonis simetidin 5 – 10 mg/kgBB/dosis TID/QID - Sakit kepala, diare
reseptor H2 1 - 2 mg/kgBB/dosis BID/TID - Sakit kepala, malaise
ranitidin\famotidin 1 – 3 mg/kgBB/dosis BID/TID
6. Inhibitor pompa proton omeprazol 0.7 – 3.0 mg/kgBB/dosis BID/QID - Sakit kepala, ruam, diare,
lansoprazol hipergastrinemia
* 5 – HT= 5 – Hidroksitriptamin
Sumber: Gryboski, 1991; Milla, 1994.

39
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

2.8 Distensi Abdominal Akut


Obstruksi intestinal
Tabel 2.8.1. Klasifikasi etiologis obstruksi intestinal
Obstruksi sederhana (mekanis) Obstruksi fungsional (pseudo-obstruksi, ileus)
Intraluminal Ekstraluminal Akut Kronis
• Benda asing • Hernia • Pasca bedah • Gangguan pada pleksus
• Bezoar • Intususepsi • Toksisitas obat mienterikus
• Fekalit • Volvulus • Gangguan keseimbangan ∗ Imaturitas saraf (prematur)
• Batu empedu • Duplikasi elektrolit ∗ Aganglionosis
• Parasit • Stenosis • Pasca trauma (Hirschsprung)
• Ileus mekonium • Adhesi • Keradangan ∗ Neuropati
• Tumor • Kista mesenterium intraabdominal ∗ Konstipasi kronik
• Polip • Sindrom arteria mesenterium • Keradangan ∗ Infeksi
superior ekstraabdominal (sepsis) ∗ Endokrin (diabetes)
• Gangguan pada otot polos
∗ Miopati
∗ Distrofi otot
∗ Infiltratif
∗ Endokrin
1 9∗ Divertikulum
2 0
Sumber: Yasbeck, 1995; Wesson, 1996; Scott, 1996.
aret
9M
ro
Penanganan G ast
at
Penanganan obstruksi intestinal meliputik r2aptahap terpisah: resusitasi dan pengobatan
tu
definitif yang tahapannya selalu berurutan.
o un (lihat tabel)
str
r
Tabel 2.8.2 . Gambaran esensial dari resusitasi Ga
ja
• Hentikan semua masukan oralku A
u
i l e B tabung nasogastrik
• Dekompresi lambung dengan
F perbaiki defisit cairan dan elektrolit serta kehilangan yang sedang berjalan
• Pasang slang intravena,
• Pastikan pengeluaran urin yang cukup
• Tentukan golongan darah dan uji silang apabila terdapat kemungkinan untuk operasi.
Sumber: Wesson,1996.

Keputusan untuk melakukan pembedahan didasarkan atas pertimbangan klinis dan


tidak dapat hanya berdasarkan hasil radiografi atau uji darah semata. Konsekuensi dari
penundaan meliputi nekrosis dan perforasi serta reseksi usus dan terjadinya sepsis sistemik.
Pembedahan perlu segera dilakukan apabila dicurigai terjadinya strangulasi dengan adanya
panas, takikardia, dan peritonitis. Indikasi adanya strangulasi adalah rasa nyeri hebat, tidak
menghilang dan menetap, walaupun dilakukan dekompresi.
Terapi konservatif atau tanpa pembedahan dapat dicoba untuk 6-12 jam pada
obstruksi mekanis sederhana, terutama obstruksi pasca operasi awal atau yang parsial
(dalam waktu 3 minggu dari laparatomi sebelumnya) dan pada anak dengan obstruksi usus
kecil yang berulang. Operasi dapat ditunda pada obstruksi pilorus atau duodenum asalkan

40
Buku Ajar Gastrohepatologi

malrotasi dan volvulus dapat disingkirkan. Operasi dapat dihindari seluruhnya pada
sebagian besar bayi dengan intususepsi ileokolik asalkan dapat direduksi secara sempurna
oleh tekanan udara atau tekanan hidrostatik.

2.9 Nyeri Abdomen Akut


Tabel 2.9.1. Etiologi nyeri abdomen akut berdasarkan simptom
1. Neonatus : 2. Bayi (<2 tahun)
- NEC - Kolik (<3 bulan)
- Perforasi lambung spontan - Gastroenteritis akut/ sindrom viral
- Penyakit Hirschsprung - Intususepsi
- Ileus mekonium - Hernia inkarserata
- Atresia atau stenosis intestinal - Volvulus (malrotasi)
- Perforasi traumatik (kesulitan kelahiran) - Sindrom sickling
- Intoleransi susu sapi
- Divertikulum Meckel
3. Usia sekolah (2 – 13 tahun) 4. Remaja
- Gastroenteritis akut/ sindrom viral - Gastroenteritis akut/ sindrom viral
- Infeksi saluran kemih - Infeksi saluran kemih 9
- Apendisitis - Apendisitis 2 01
re t
Ma
- Trauma - Trauma
- Konstipasi 9
- Konstipasi
o
- Pneumonia str keradangan pelvis (pelvic inflammatory
- aPenyakit
G
- Sindrom sickling (vaso-occlusive crysis pada penyakit sickle cell) at disease)
- Pankreatitis r ap - Pneumonia
k
- Torsio ovari
u ntu - Mittelschmerz
- Batu empedu r o - Pankreatitis
- Kolesistitis G ast - Kolesistitis
- Purpura Henoch-Schőnlein
A jar - Purpura Henoch-Schőnlein
Sumber: Boyle, 2000; Ross,1996. u ku
Fi le B
Gastritis dan Tukak Peptikum
Pengobatan primer gastritis dan tukak peptikum sampai saat ini ditujukan kepada supresi
asam lambung.

41
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

Tabel 2.9.2. Penanganan penyakit peptik pada anak


Obat Dosis
Antagonis reseptor H2
Simetidin 20-40 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap 6 jam
Ranitidin 4-8 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap 8-12 jam
Nizatidin 4-8 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap 12 jam
Famotidin 1-2 mg/kgBB/hari
sekali atau dua kali sehari, maksimum 40 mg sehari
Inhibitor pompa proton
Omeprazol 0,5-3 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap 12 jam
LAnsoprazol 0,3-1,5 mg/kgBB/hari
dosis terbagi setiap 12 jam
Sumber: Lake, 1999.

Pankreatitis 01
9
e t
Strategi dalam penanganan pankreatitis akut dilakukan secara rspesifik 2 maupun nonspesifik
sebagai berikut: 9 Ma
ro
• Menghilangkan proses yang mengawali terjadinya
G ast pankreatitis
• Menghentikan berlanjutnya proses autodigesti at dalam pankreas
r ap
• Menghambat dan/atau menghilangkan uk enzim-enzim digestif dan substansi lain yang
ntdan/atau
beracun di dalam rongga peritonealo u sirkulasi.
• Pembedahan a str
G
ar maupun sistemik
• Mengobati komplikasiAjlokal
u
Penanganan yang Bukpada saat ini dapat dilakukan adalah mengistirahatkan pankreas yang
e
Fil
secara teoritis dapat mencegah atau mengurangi intensitas peradangan, mengurangi gejala
dan mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Penderita dipuasakan dan sekresi lambung
dikeluarkan melalui isapan nasogastik. Dengan demikian hal ini akan mencegah asam dan
nutrien mencapai duodenum yang secara teoritis akan mengurangi stimulasi hormonal bagi
sekresi pankreas. Berbagai pendekatan farmakologis dilakukan untuk mengurangi sekresi
pankreas namun hasilnya masih banyak dipertanyakan (antasida, antikolinergik, glukagon,
vasopresin). Demikian juga halnya obat untuk menstabilkan membran sel (prostaglandin)
dan obat seperti somatostatin dan analognya.

Torsio testis
Penanganan yang optimal adalah eksplorasi bedah. Apabila dilakukan dalam waktu 6 jam
setelah torsi, testis yang dapat terselamatkan dapat mencapai 90%. Apabila melebihi 6 jam
diperlukan orkidektomi.

42
Buku Ajar Gastrohepatologi

Apendisitis akut
Begitu diagnosis apendisitis ditegakkan penanganannya adalah pembedahan (apendektomi).
Anak dengan apendisitis tanpa perforasi membutuhkan persiapan prabedah yang minimal
dengan cairan intravena dan antibiotik. Walaupun penggunaan antibiotik pada apendisitis
tanpa komplikasi masih dipertentangkan, namun antibiotik telah menurunkan kejadian
infeksi luka pasca bedah. Apendektomi harus dilakukan dalam waktu beberapa jam setelah
diagnosis.

Intususepsi
Apabila diagnosis intususepsi telah diperkirakan, langkah pertama adalah resusitasi
pasien dengan cairan intravena dan pengosongan lambung dengan pipa nasogastik.
Pilihan penanganan pasien anak dengan intususepsi cukup sederhana; reduksi radiologis
(hidrostatik = cairan, pneumatik = udara ) atau laparotomi dengan reduksi operatif atau
reseksi. Suatu enema kontras (udara atau radioopak) dibawah panduan fluoroskopi selain
sebagai uji diagnostik dapat juga dipakai untuk mereduksi intususepsi.

9
Peritonitis 2 01
re t
Antibiotika parenteral seperti sefotaksim dari aminoglikosida 9 Ma(untuk Streptococcus dan
ro dan klindamisin yang dapat
Pneumococcus pada peritonitis primer) ataupun ampisilin,
G ast
mencakup organisme yang mendominasi sumberpinfeksi at (pada peritonitis sekunder seperti
r a
E. coli, Klebsiella, dan Bacteriodes) perlu segera k diberikan. Pengecatan gram dan pembiakan
cairan asites atau cairan peritoneal dapat u ntu
memberikan indikasi pergantian antibiotika awal
a stro
yang diberikan. Pembedahan perlu G dilakukan untuk memperbaiki perforasi sesudah pasien
jar fungsi kardiovaskular) dan diberikan antibiotik.
distabilisasi (resusitasi cairanAdan
u
Buk
e
Fil
2.10. Disfagia
Rencana terapi perlu dikembangkan berdasarkan konteks kelompok multidisiplin. Pada
umumnya rekomendasi terapeutik adalah berdasarkan kemampuan pasien untuk menelan
dengan aman (kemampuan dari pasien untuk mentransfer makanan dari rongga mulut
ke dalam usofagus tanpa keliru masuk kedalam larings dan trakea), status nutrisi pasien,
adanya refluks gastro-esofageal, dan kenikmatan akan makanan bagi pasien dan orang
tuanya. Terapi disfagia biasanya ditujukan pada penyebabnya disertai perawatan suportif.
1. Obati penyakit primer bila mungkin
−− Kelainan struktur esofageal: dilatasi atau bedah.
−− Gangguan neuromuskular sistemik :
οο Bedah saraf (tumor otak, malformasi Arnold – Chiari)
οο Pengobatan farmakologis (tetanus, dan sebagainya)
−− Dismotilitas esofageal

43
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

οο Dilatasi atau miotomi (untuk sfingter hipertensif atau nonrelaksasi)


οο Terapi farmakologis: calcium channel blocker, nitrat, antikolinergik, antagonis
adrenoseptor, medikasi psikotropik.
2. Jaminan nutrisi dan proteksi jalan nafas
−− Makanan oral: pelan, berhati, lebih mudah dengan cairan semi padat dan kental
−− Posisi kepala: fleksi leher untuk melindungi jalan nafas, ekstensi leher mempercepat
transit makanan, rotasi kepala.
−− Nutrisi non-oral: nasogastrik (awas refluks), nasoduodenal, gastrostomi (awas
refluks), jejunostomi, nutrisi parenteral.
−− Sten laringeal (laryngeal stens): untuk pasien yang tidak dapat menangani sekresinya.

Daftar Pustaka
1. Bhamarapravati N : Dengue Vaccine Development Monograph on Dengue / Dengue
Haemorrhagic Fever. WHO Regional Publication, SEARO, 1993, no. 22 : 161 – 163.
2. Carvalho ED, Nita MH, et al : Gastro intestinal Bleeding. J Pediatric (Rio J) 2000 76 (Suppl 1) :
S 135 – 146.
3. Celinsko – Cedro DM. Teisseyre DM et al. Endoskopic Ligation of Esopagheal Varices for
9
Prophylaxis of First Bleeding in Children an Abdolescent with Portal Hypertension : Peliminary
2 01
Result of Prospective Study. J Pediatric Surgeon 2003; 35 : 1008 1011.
re t
4. Chin S. Gastrointestinal Bleeding in Children an Adolescens,
9 Ma Pediatric Clinical Guidelines.
Starship Children’s Hospital, pp 1 – 5. ro
5. Choo KE. Usefulness of the Widal Test in Childhood G astTyphoid Fever. In : T Pang, CL Koh, SD
at
Puthucheary. Eds Typhoid Fever Strategies for r apthe 90’s. Singapore 1992. World Scientific. pp 200.
k
6. Clearly TG. Salmonella. In : RE Behrman,
u ntu RM Kliegman, HB Jenson eds. Nelson Textbook of
ro Saunders, pp 916 – 919.
Pediatrics 17th ed, Philadelphia 2004,
G ast 2e-www-idreference.com.
7. Elsevier 2004. Infectious Diseases
Ajar
8. Erkan T, Cullu F et al. Management of Portal Hipertension in Children : Arestropective Study
u
with Long term Follw kuup. Acta Gastrointestinal Belg 2003; 66 : 213 – 217.
eB
Fil KM, et al. Octreotide Therapy for Control of Acute Gastrointestinal Bleeding
9. Eroglu Y, Emerick
in Children. J Pediatric Gastroenteroal nutr 2004; 38 : 41 – 47.
10. FaubianWA, Perrault J. Gastrointestinal Bleeding. In : W Alllan Walker, Pr Durie, Hamilton
JR, JA Walker Smith, JB Watkins, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology.
Diagnosis. Management., 3rd ed, Ontario 2000, BC Decker Inc. pp 164 – 178.
11. Gubler DJ. The Global Paudemic of Dengue/Dengue Haemorraghic Fever Current Status and
Prospects for The Future. Dengue in Singapore. Techncal Monograph Series no. 2; WHO 1988.
12. Huang IF, Wu TC, et al. Upper Gastrointestinal Endoscopy in Children wit Upper Gastrointestinal
Bleeding J Chin Med Assoc 2003; 66 : 271 – 5
13. Hoe LY. Epidemiology Clinical Features and Treatment of Typhoid Fever in Malaysia. In : T
Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds Typhoid Fever Strategies for the 90’s. Singapore 1992.
World Scientific. pp 84 – 93.
14. Levy J. Gastrointestinal Bleeding. A Guide to Children’s Digestive an Nutritional Health 2001;
1 – 8. http//www.naspghan.org/sub/gastrointestinal bleeding.
15. McDiarmid SV. Treatment of End-stage liver disease.In:W Allan Walker,PR Durie,JR
Hamilton JA Walker-Smith,JB Wittenis.Pediatric Gastrointestinal Disease.Pathophysiology.
Diagosis,Management.3rd ed,Hamilton 2000,BC Decker Inc.pp 1250-1271.
16. Menguy R, Master YF. Mechanism of stress ulcer : effects of hemorrhagic shock on energy
metabolism in the mukosa of the antrum, corpus and fundus of the rabbit stomach.

44
Buku Ajar Gastrohepatologi

Gastroenterology 1974 ; 66 : 1168.


17. Menguy R, Master YF. Mechanism of stress ulcer : Influence of sodium taurocholate on gastric
mucosal energy metabolism during hemorrhagic shock and on mitochondrial respiration and
ATPase in gastric mukosa. Dig Dis 1976 ; 21 : 1001.
18. Razumouskii A. Danzhinov BP et al. Radical treatment of Extrahepatic Portal Hypertension in
Children Khirurgiia (Mosk) 2003; 7 : 17 – 21.
19. Rogers EL, Perman JA. Gastrointestinal and Hepatic Failure. In : MC Rogers ed. Textbook of
Pediatric Intensive Care, vol 2. Baltimore 1987, Williams & Wilkins, pp 979 – 998.
20. Sarasombath S. Immune Responses in Typhoid Fever. In : T Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds
Typhoid Fever Strategies for the 90’s. Singapore 1992. World Scientific. pp 168 – 175.
21. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue. Tiga Puluh Tahun Pengamatan Penderita DBD pada
Anak di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
22. Soegijanto S. Penatalaksanaan Demem Berdarah Dengue pada Anak. In : Soegijanto ed. Demam
Berdarah Dengue. Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003, Surabaya 2004, Airlangga University
Press, pp 41 – 65.
23. Soegijanto S. Aspek Imunologi Penyakit Demam Berdarah. In : S. Sogijanto ed. Demam
Berdarah Dengue. Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003, Surabaya 2004, Airlangga University
Press, pp 11 – 25.
24. Soegijanto S. Manifestasi Klinik Demam Berdarah Dengue. Tinjauan dan Temuan Baru di Era
2003, Surabaya 2004, Airlangga University Press, pp 27 – 32.
25. Sokucu S, Suoghu OD et al. Long term Outcome After Sclerotherapy20with 19 or without a beta
t
re – 394
Ma Demam Berdarah Dengue.
blocker for Variccal Bleding in Childreen. Pediatric int 2003; 45 : 388
26. Syahrurahman A. Beberapa lahan Penelitian Untuk Penanggulangan 9
ro
Mikrobiologi Klinik Indonesia 1988; 3 : 87 – 89
G ast
27. Quak SM. Gastrointestinal Emergency. In : W Yip t
aChin Ling, J Tay Sin Hock eds. A Practical
r apPublishing, pp 221 – 242.
manual on Acute Paediatrics. Singapore,1989, kP6
28. WHO. Dengue Hemorraghic Fever : Diagnosis. u ntu Treatment and Control. Genewa; 1986; 7 – 15
o
str
29. Woeff M, HirnerA.CurrentState ofaPortosystemic Skunt Surgery. Langenbecks Arch Sung 2003;
r G
Aja Development of a Dot Enzyme Immunosorbent Assay (EIA) for
388 : 141 – 149.
30. Zainoodin SA, Kader, Hoi ku OK.
u
the Rapid Diagnosis
i l e Bof Typhoid Fever. In : T Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds Typhoid Fever
Strategies for theF 90’s. Singapore 1992. World Scientific. pp 201 – 206.
31. Connel AM. Emotion and Gastrointestinal Tract. Clinics in Gastroenterology 1982; 11 : 665 –
672.
32. Dodge JA, Vomiting and Regurgitation. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA
Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis,
Management, vol I. Philadelphia 1991. BC Decker Inc pp 32-41
33. Edward DAW. The anti – reflux mechanism, its disorders and their consequences. Clinics in
Gastroenterology 1982; 11 : 479 – 496.
34. Hamilton JR. Gastrousophageal Reflux (Chalasia). In : RE Behrman, VC Vaughan, WE Nelson
eds. Nelson Textbook of Pediatrics, 13th ed, Philadelphia 1987, Harcourt Brace Jovanovich Inc,
pp : 774.
35. Herbst JJ. Achalasia. In : RE Behrman, VC Vaughan, WE Nelson eds. Nelson Textbook of
Pediatrics, 13th ed, Philadelphia 1987, Harcourt Brace Jovanovich Inc, pp : 773.
36. Huether SE, Mc Cance KL, Tarmina MS. Alterations of Digestive Function. In : KL Mc Cance,
SE Huether eds. Pathophysiology. The Biologic Basis for Disease in Adults and Children, 2nd ed,
St Louis 1994, pp 1320-1375.
37. Kelly KJ, Lake A. Differential diagnosis and management of chronic emesis in Infancy and
Childhood. International Seminars in Pediatric Gastroenterology and Nutrition Ontario 1994.
Decker Periodicals 3 : 3 – 8.

45
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

38. Milla PJ. Vomiting : gastroenterologic evaluation. International seminars in Paediatric


Gastroenterology and Nutrition. Ontario 1994. Decker periodical 3 : 1 – 15.
39. Orenstein SR. Dysphagia and vomiting In: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric Gastrointestinal
Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management, Philadelphia 1993, WB Saunders Co, pp
135-150
40. Pomeranz AJ, Busey SL, Sabnis S, Behrman RE, KliegmanRM. Vomiting. In : R Zorab, J Fletcher.
eds Pediatric Decision-Making strategies to Accompany Nelson Textbook of Pediatrics, 16th ed.
Philadelphia 2002, WB Saunders Co pp 78-80.
41. Soeparto P. Aspek Penyakit Saluran Cerna Kronik pada Usia Anak dan Masalah Pendekatan
Kliniknya. Pengukuhan Guru Besar Unair 1991
42. Sondheirmer JM. Vomiting. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith, JB
Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management 3rd
ed. Ontario 2000, BC Decker Inc. pp. 97 – 102.
43. Ulshen M. Clinical Manifestations of Gastrointestinal Disease. In : RE Behrman, RM Kliegman,
HB Jenson eds. Nelson Textbook of Pediatrics, 16th ed, Philadelphia 2000, WB Saunders Co, pp
1101-1108.
44. Vandenplas Y, Belli DC, Benatar A, Cadranel S, Cucchiara S, Dupont C et al. The role of cisapride
in the treatment of pediatric gastroesophageal reflux. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1990 ; 28:
518-528.
45. Huether SE, Mc Cance KL, Tarmma MS. Alterations of Digestive Function. In : KL Mc Cance,
9
SE Huether eds. Pathophysiology. The Biologic Basis for Disease in Adults
2 01 and Children. 2nded
re t
MaHamilton, JA Walker-Smith, JB
St Louis 1994. Mosby pp 1321 – 1375 KL
46. Langer JC. Peritonitis. In : W Allan Walker, PR Durie, 9JR
ro
G ast
Watkins eds Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. 3 rd
ed, Ontario 2000, BC Decker Inc, pp 450 – 455pat
47. Scott RB. Motility Disorders In : W Allanuk ra PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB
Walker,
n t
trou
Watkins. Pediatric Gastrointestinal Disease, Pathophysiology, Diagnosis, Management, 2nd ed,
s
Vol I St Louis 1996, Mosby ; ppa936-954
G
48. Walker Smith J, Murch S.jarSurgically correctable lesions of the small intestine. In : J. Walker-
A
Smith, S.Murch eds.kuDisease of the Small Intestine in Childhood. Oxford 1999, Isis Medical
Bu
Media, pp 329 l–e 341
F i
49. WessonDE, Hadock G, Acute Intestinal Obstruction. In. W. Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton,
JA Walker-Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis
Management, Vol I. 2nd ed, St Louis 1996, Mosby, pp 565 – 574, pp 555 – 565.
50. Wyllie R. Intestinal atresia, stenosis and malrotation. In: Behrman RE. Kliegman RM, Jenson
HB. eds. Nelson Textbook of Pediatrics, 16 th ed. Philadephia 2000. WB Saunders Co, pp 1132
– 1136
51. Yazbeck S b. Intestinal obstruction in infancy and childhood. In : CC Roy, A Silverman, D
Alagille eds. Pediatric Clinical Gastroenterology, 4th ed. St Louis 1995, Mosby; pp 104 – 129
52. Ziai M. The Abdomen and the Gastrointestinal tract In : M Zias. Ed. Pediatrics. 4th ed. Boston
1990 Little Brown Co. pp 212 – 245.
53. Allendorph M et al. Endoscopic Retrograde Cholangiography in Children. J. Pediatr 1987 ; 110
: 206-211.
54. Anonim. Symptoms and Signs. In : CC Roy, A Silverman, D Alagille eds, Pediatric Clinical
Gastroenterology 4th ed. St Louis 1995, Mosby ; pp : 31-34.
55. Anonim. Acute and Chronic Viral Hepatitis. In : CC Roy, A Silverman, D. Alagille eds. Pediatric
Clinical Gastroenterology 4th ed. St. Louis 1995, Mosby, pp : 684-711.
56. Balisteri WF. Viral Hepatitis. Pediatr. Clin. North Am. 1988 ; 35 : 375.

46
Buku Ajar Gastrohepatologi

57. Bourke B, Jones N, Sherman P. Helicobacter pylori infection and peptic ulcer in children. Pediatr
Infect Dis J 1996; 15:1-13.
58. Boyle JT. Abdominal Pain. In : W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA Walker Smith,
JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management.
Vol. I 2nd ed. St. Louis 1996, Mosby ; pp : 205-226.
59. Boyle JT. Abdominal Pain. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB
Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management.
3rded. Ontario 2000. BC Decker Inc. pp 129-149.
60. Byrne WJ. The Gastrointestinal Tract. In. RE Behrman, R. Kliegman eds. Essentials of Pediatrics.
Philadelphia, 1990. WB Saunders Co ; ch 10 : 397-410.
61. Dale A et al. Helicobacter pylori infection, gastric acid secretion and infant growth. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 1998; 26:393-397.
62. Feldman M, BurtonME. Histamine 2-receptor antagonists. Standard therapy for acid-peptic
disease. N Engl J Med, 1990;323:1672-1680, 1749-1755.
63. Glasier CM et al. Henoch – Schönlein Syndrome in Children :gastrointestinal manifestations.
Am J Rontgenol 1981;136:1081.
64. Golden N, Neuhoff S, Cohon H. Pelvic Inflammatory Disease in Adolescent J. Pediatr. 1989, 114
: 138.
65. Gormally S, Sherman PM, Drumm B. Gastritis and Peptic Ulcer Disease. In. W. Allan Walker,
PR Dune, J Richard Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal
9
Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management, Vol. I, 2nd ed, St. 2Louis 01 1996 ; BC Decker,
t
pp : 507-527.
MAmare
66. Gryboski JD. Peptic Ulcer Disease in Children. Med Clin North o 9 1991 ; 75 : 889-902.
67. Huether SE, Mc Cance KL, Tarmina MS. Alterations ofaDigestive str Function. In : Mc Cance KL,
G
Huether SE eds. Pathophysiology. The Biologic Basis p at fo Disease in Adults and Children, 2nded,
a
St Louis 1994, Mosby pp 1320-1401. kr
tuand
n
trou
68. Jordan S. Ament M. Pancreatitis in Children Adults. J. Pediatr 1977 ; 91 : 211.
69. Kirschner BS. Other Inflammatory s Disease In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA
r Ga
Walker Smith, JB Watkins eds.
Aja Pediatrics Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis.
Management. 3rded. Ontario u 2000. BC Decker Inc. pp 652-664.
70. Knight PJ, Vassy LE. Buk
Diagnosis and Treatment of the Acute Scrotum in Children and Adolescent.
il e
Ann Surg 1984 F ; 200 : 664.
71. LakeAM. Chronic Abdominal Pain in Childhood : Diagnosis and Management. American
Academy of Family Physician 1999; http://www.aafp.org/afp/990401ap/1823.html.
72. Langer JC. Peritonitis. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith, JB
Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management
3rded. Ontario 2000, BC Decker Inc, pp 450 – 455.
73. Lewy JE. Nephrology : Fluid and Electrolytes. In : RE Behram, R Kliegman eds. Essentials of
Pediatrics. Philadelphia 1990, WB Saunders Co ; pp : 545-580.
74. Levine RS, Steinberg WM. Antacids. In : MM Wolfe ed. Gastrointestinal Pharmacotherapy.
Philadelphia 1993 ; WB Saunders Co ; Ch 2 : 25-45.
75. Lichtenstein DR, Wolfe MM. Histamine H2 – Receptor Antagonists. In : MM Wolfe ed.
Gastrointestinal Pharmacotherapy. Philadelphia 1993 ; WB Saunders Co ; Ch 3 : 47-84.
76. Martin KB. Acid-Peptic Disease In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith,
JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management
3rded. Ontario 2000, BC Decker Inc, pp 1826-1842.
77. Robertson MA, Durie PR. Pancreatitis. In: W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA
Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis.
Management. Vol. II 2nd ed. St. Louis 1996 ; Mosby ; pp : 1437-1465.
78. Ross AJ. Acute Abdominal Pain In : W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA

47
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal

Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis.


Management. Vol. I 2nd ed. St.Louis1996, BC Decker ; pp : 42 - 44.
79. Rubin W. Medical Treatment of Peptic Ulcer Disease. Med Clin North Am 1991 ; 75 : 981-998.
80. Seidman E. Inflammatory Bowel Disease. In: CC Roy, A Silverman, D. Alagille eds. Pediatric
Clinical Gastroenterology 4th ed. St. Louis 1995, Mosby ; pp : 417-493.
81. Shaffer EA. Gallbladder Disease, In: W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA
Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis
Management Vol. II 2nd ed. St Louis 1996, Mosby : pp 1399-1425.
82. Sherman PM. Peptic Ulcer in Clildren : Diagnosis, Treatment and the Implication of Helicobacter
Pylori. Gastroenterol Clin North Am. 1994 ; 23 : 707.
83. Stapleton FB. Nephrolithiasis in Children. Pediatr. Rev. 1989, 11 : 21.
84. Szabo S. The Mode of Action of Sukralfat : the 1 x 1 x 1 Mechanism of action. Scan J Gastroenterol
1991 ; 185 : 7-12.
85. Ulshen M. Clinical manifestations of gastrointestinal Disease. In : RE Behrman, RM Kliegman,
HB Jenson eds. Nelson Textbook of Pediatrics 16th ed. Philadelphia 2000, WB Saunders Co. pp.
1101 – 1108.
86. Weizmann Z, Durie PR. Acute Pancreatitis in Childhood. J. Pediatr. 1988 ; 113 ; 24-29.
87. Werlin SL, Grand RJ. Severe Colitis in Children and Adolescents : Diagnosis, Course and
Treatment, Gastroenterology 73 ; 828,1997.
88. Wesson DE, Haddock G. The surgical Abdomen. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA
9
2 01
Walker Smith, JB Watkins, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis.
Management. 3rded. Ontario 2000. BC Decker Inc pp 435-444.are
t
89. Zimmermann AE, Walters JK, Katina BG, Souncy PF, Levina o 9 MD. A review of omeprazole use in
tr
treatment of Acid-Related Disorders in children. Clin asTherapeutics 2001; 23:660-679.
90. Annese V, Bassotti G, Coccia G, Dinelli M,paOnofrio tG VD, Gatto G, Leandro G, Repici A,
a
Testoni PA, Andriulli A, Gismad. Achalasia
tu k rStudy Group. A multicentre randomized study of
n with oesophageal achalasia. Gut 2000 ; 46 : 597-600.
trou
intrasphincteric botulinum toxin in patients
91. Azizkhan RG , Tapper D , Eraklis as A . Achalasia in childhood : a 20 years experience. J Pediatr
Surg 1980 ; 15 : 452 - 456.jar G
92. Berguist WE et al . k uA
Achalasia ; diagnosis in management and Clinical Course in 16 Children.
Pediatrics 1983; Bu
71: 798 - 805.
e
Fil
93. Bosma JF. Postnatal ontogeny of performances of the pharynx , larynx , and mouth. Am Rev
Respir Dis 1985; 131 : S10 – S15.
94. Cohen S. Motor Disorders Of The Esophagus. N Engl J Med 1979 ; 301 : 184 - 192.
95. Commnunity , Mayo Clin Proc 1969 ; 44 : 478 - 482.
96. Cook JJ. Investigative Techniques In The Assessment Of Oral-Pharyngeal Dysphagia. Dig Dis
1998; 16: 125-133.
97. Dimari G et al. Cricopharyngeal dysfunction in childhood : Treatment By Dilatations.J Pediatr
Gastroenterol Nutr 1987 ; 212 - 216.
98. Earlam RJ , Ellis FH, Nobrega FT. Achalasia Of The Esophagus In A Small Urban.
99. Eicher PS. Dysphagia in Children with 22 g 11.2 deletion : Unusual pattern found on modified
barium swallow. Journal Og Pediatrics 2000; 137: 158-164.
100. Ergun GA. Evaluation of the patient with dysphagia Current Practice of Medicine 1999; 2: 2293-
2306.
101. Fryckman PK, Azizkhan RG. Achalasia. In : MM Ziegler, RG Azizkhan TR Weber eds. Operative
Pediatric Surgery. New York 2003, Mc Graw-Hill Professional, pp 367-372.
102. Granger DN, Barrowman JA, Kvietys PR. Eating : Salivation, Mastication, and Deglutition In ;
DN Granger, JA Barrowman, PR Kvietys eds. Clinical Gastrointestinal Physiology, Philadelphia
1985, WB Saunderrs CO ; pp : 31-51.
103. Haddock G , Wesson D. Congenital Anomalies. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA

48
Buku Ajar Gastrohepatologi

Walker-Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis ,


Management. Vol. I , 2nd ed, St Louis 1996, Mosby ; part 1 : 425 - 427.
104. Haddock G, Wesson D, Congenital Anomalies. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA
Walker-Smith, JB Watkins,eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis.
Management. 3 rd ed, Ontario 2000, B.C. Decker Inc, pp 266-276.
105. Herbst JJ. The Esophagus : Achalasia. In : RE Behrman, RM Kliegmen, HB Jenson eds. Nelson.
Textbook of Pediatrics 16th ed. Philadelphia 2000, WB Sounders Co : p 1124.
106. Hrychshyn AW, Basmajian JV. Electromyography of the oral stage of swallowing in man. Am J
Anat 1972 ; 133 : 335 - 340.
107. Illingworth RS. Sucking and swallowing difficulties in infancy ; diagnostic problem of dysphagia.
Arch Dis Child 1969; 44: 655 - 665.
108. Maksimak M, Perlmutter DH, Winter HS. The use of nifedipine in the treatment of achalasia in
children. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1986; 5 : 883-886.
109. Mearin F, Vasconez C, Zarate N, Malagelada JR. Esophageal tone in Patients With Total
Aperistalsis : Gastroesophageal Reflux Disease Versus Achalasia Am J Physiol Gastrointest Liver
Physiol 2000; 279 : 6374-6379.
110. Morrow SE, Ashcraft KW. Esophageal Atresia. In : MM Ziegler, RG Azizkhan, TR Weber eds.
Operative Pediatric Surgery, New York 2003, Mc Graw-Hill Professional, pp 349-354.
111. Nakayama DK et al. Pneumatic Dilatation And Operative Treatment Of Achalasia In Children.
J Pediatr Surg 1987 ; 22 : 619 - 611.
9
112. Nurko S. Other motor Disorders. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, 2 01 JA Walker Smith
t
re Diagnosis. Management.
Ma
, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease . Pathophysiology.
Vol I , 2 nd ed , St Louis 1996 , Mosby ; pp : 469 - 502. 9
ro
113. Nurko S. Otther Motor Disorders. In : W Allan Walker, PR
G astDurie, JR Hamilton, JA Walker Smith,
t
JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease.paPathophysiology. Diagnosis. Management. 3
r a
tuk
rd ed, Ontario 2000, BC Decker Inc. pp 317-350.
114. Orenstein SR. Dysphagia and vomiting u Inn; R Wyllie, JS Hyams. eds. Pediatric Gastrointestinal
ro
Disease . Pathophysiology, Diagnosis,
G ast Management. Philadelphia 1993, WB Saunders Co ; pp :
135-150.
A jar
ku
115. Orenstein S, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain SZ. The Esophagus. Congenital Anomalies;
Esophageal AtresialeandBu Tracheoesophageal Fistula. In : RE Behrman, RM Kliegman, HB Jenson.
Nelson Textbook Fiof Pediatrics. 17th ed. Philadelphia 2004, pp 1217-1227.
116. Roy CC. Symptoms . In : CC Roy, A Silverman , D Alagille eds. Pediatric Clinical Gastroenterology.
4th ed. St Louis 1995, Mosby ; pp: 35 – 37.
117. Stendal C. Swallowing disorders. Practical Guide to Gastrointestinal Function testing. Oxford
1997, Black Well Science Ltd pp 27-45.
118. Tuchman DN. Disorders of Deglutition – In ; W Allan Walker, PR Durie. JR Hamilton, JA
Walker - Smith , JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Vol I , 2nd ed. St Louis
1996, Mosby ; pp ; 412 - 421.
119. Tuchman DN. Disorders of Deglutition. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA
Walker-Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophisiology. Diagnosis.
Management. 3rd ed. Ontario, 2000. BC Decker Inc pp : 277-288.
120. Ulshen M. The Digestive System. Clinical Manifestation of Gastrointestinal Disease In : RE
Behrman , RM Kliegman , AM Arvin eds. Nelson Textbook of Pediatrics,15 h ed. , Philadelphia
1996 ; pp : 1032.
121. Vantrappen G et al. Achalasia, diffuse esophageal spasm, and related motility disorders.
Gastroenterology 1979 ; 450-457.
122. Winship DH. Upper esophageal sphincter : does it care about reflux ? Gastroenterology 1983 ;
85 : 470 - 472.

49
BAB

3
Disfagia
Yorva Sayoeti

3.1 Ilustrasi Kasus


Ashley, anak perempuan, berumur 8 tahun dikirim ke Feeding Clinic untuk evaluasi
makan dan minum. Dia mengalami trauma kepala pada umur 3 tahun dengan komplikasi
kuadriplegia. Disamping itu dia juga menderita skoliosis berat yang memerlukan operasi.
Sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan videofluoroskopi menggunakan barium yang
dimodifikasi (modified barium swallow) guna mengevaluasi fase-fase menelannya.
Dari aloanamnesis, ibunya mengatakan Ashley membutuhkan waktu lama bila makan,
disertai batuk, terdengar suara degukan yang cukup jelas, dan menolak makan dengan
mengatakan tidak mau makan sambil menggelengkan kepalanya. Pemeriksaan dengan
mengamati makan, tampak perlambatan fase oral. Dia perlu beberapa kali menelan untuk
mendorong habis semua bolus makanan, sehingga waktu yang diperlukan tiap suapan
makan hampir 1 menit. Dia juga menolak makan setelah diberikan beberapa suap. Hasil
pemeriksaan videofluoroskopi tampak sejumlah sisa makanan tertahan di dalam faring
dan berkurangnya gerakan peristaltik untuk semua jenis tekstur makanan yang diberikan.
Tampak sedikit aspirasi (silent trace aspiration). Keadaan ini tidak membaik walaupun
telah dilakukan perubahan posisi waktu makan. Dengan demikian disimpulkan Ashley
berisiko tinggi terjadi aspirasi bila makan peroral tetap diteruskan. Dua hari kemudian
dilakukan operasi. Evaluasi paska operasi menunjukkan proses menelan fase oral maupun
fase faringeal masih lambat disertai bunyi degukan, dan masih menolak makan. Bahkan
hasrat makannya semakin turun dibandingkan sebelum operasi. Pernafasannya tampak
ada hambatan sehingga dilakukan fisioterapi. Tiga hari kemudian Ashley masih menolak
makan. Pemantauan selanjutnya berat badan Ashley turun sampai 3 pond. Atas anjuran
spesialis gizi ditambahkan Policore ke dalam dietnya untuk meningkatkan kebutuhan
kalorinya serta makanan kecil (snack). Kemudian Ashley dipulangkan dan dijadwalkan
2 minggu lagi dievaluasi kembali oleh tim interdisipliner di Feeding Clinic. Dua minggu
kemudian tim interdisipliner memutuskan bahwa Ashley harus menjalani gastrostomy
(GT) guna menjamin kebutuhan nutrisinya dan mencegah risiko aspirasi. Beberapa minggu
setelah dilakukan GT, Ashley dipulangkan dan pada orang tuanya diberikan pedoman agar
tetap melakukan stimulasi makan peroral (oral motor stimulation). Dianjurkan memberikan
makanan dalam berbagai rasa dan tekstur sedikit demi sedikit guna mengurangi terjadinya
aspirasi. Ternyata dengan stimulasi oral ini lama kelamaan dapat disenangi Ashley. Akhirnya

50
Buku Ajar Gastrohepatologi

kebutuhan nutrisi dapat dipenuhi melalui makan minum peroral tanpa komplikasi aspirasi
dan kesehatannya makin lama makin membaik.

3.2 Pendahuluan
Kemajuan teknologi kedokteran lebih dari tiga dekade ini memungkinkan banyaknya
bayi yang lahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR) bahkan berat badan lahir
sangat rendah (BBLSR) atau dengan sakit gawat, dapat dipertahankan hidupnya. Namun
sebagian besar bayi dan anak ini akan menghadapi pula masalah-masalah medis yang
cukup bermakna dalam perkembangan selanjutnya. Beberapa diantara bayi ini akan
mengalami komplikasi atau cacat di kemudian hari antara lain menderita retardasi mental,
palsi serebral, masalah penyakit paru kronis atau gangguan neurologis. Akibat hal tersebut
perlu strategi baru untuk mengatasi masalah-masalah ini yang sebelumnya jarang ditemui.
Beberapa dari masalah yang paling menonjol adalah yang berhubungan dengan gangguan
fungsi gerakan motorik mulut (oral-motor function), gangguan menelan, makan dan atau
berkomunikasi. Dengan demikian kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kedokteran
dalam usaha mempertahankan kehidupan telah menyebabkan pula munculnya masalah
baru yang memerlukan pencarian solusinya. 9
2 01
Berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak dengan gangguan t menelan menjadi
M are
masalah yang unik bagi para klinisi. Aspek penatalaksanaan disfagia
9 pada orang dewasa tidak
dapat diaplikasikan pada bayi dan anak karena perbedaan strostruktur anatomi dan maturasi
Ga
neurologis yang belum sempurna. Bayi dan anakpyang at menderita gangguan menelan serta
a
gangguan makan minum peroral memerlukan
tu k r tatalaksana dengan memperhatikan dan
n
mempertimbangkan aspek tumbuh kembang
trou anak, yaitu aspek yang berkaitan dengan
pertumbuhan dan perkembanganGaorgan s menelan, perkembangan refleks-refleks motorik
A jar
mulut, serta maturasi perkembangan perilaku makan yang berhubungan erat dengan
hubungan orang tua dan u ku
anak. Perolehan nutrisi yang adekuat untuk menjamin pertumbuhan
i l eB
somatik dan pengaruh-pengaruh isapan bayi bersifat nonnutritive harus dipertimbangkan
F
dalam usaha pendekatan diagnosis dan terapi pederita dengan gangguan menelan. Selain
itu kebanyakan penderita anak dengan ganggan menelan mempunyai kemampuan kognitif
yang kurang dan memerlukan terapi oleh beberapa spesialis (interdisciplinary team),
terutama anak dengan penyakit sistem saraf pusat yang tatalaksananya sangat rumit.

3.3 Definisi
Disfagia secara alami didefinisikan berdasarkan sifatnya yaitu kesulitan sewaktu menelan.
Sedangkan odinofagia adalah rasa nyeri yang dirasakan sewaktu menelan. Fungsi gerakan
motorik mulut (motor-oral function) ialah semua aspek yang mencakup fungsi motorik
dan sensorik dari struktur rongga mulut dan faring yang berhubungan dengan proses
menelan sampai makanan masuk ke dalam esofagus.
Deglutisi (deglutition) adalah kegiatan menelan dan merupakan salah satu proses
dalam arti konteks yang luas dari makan. Namun deglutition dalam literatur lebih banyak
disebut dengan proses menelan (swallowing) yang didefinisikan sebagai aksi semiotomatik

51
Bab 3 Disfagia

gerakan otot-otot saluran pernafasan dan saluran pencernaan mendorong makanan dari
rongga mulut ke dalam lambung.

3.4 Kejadian
Data epidemiologis mengenai berapa kejadian disfagia yang akurat pada bayi dan anak
belum ada, karena disfagia bukan masalah yang berdiri sendiri, namun merupakan keluhan
dari berbagai keadaan. Keadaan ini lebih sering terjadi pada bayi-bayi dan anak dengan
gangguan yang multikompleks. Faktor predisposisi terjadinya disfagia adalah gangguan
sistem saraf pusat atau perifer, penyakit otot, kelainan struktur rongga mulut dan faring.

Kelompok lain yang berisiko terjadinya disfagia adalah kelompok yang mengalami
disfungsi perkembangan menelan termasuk komplikasinya yaitu bayi prematur yang
koordinasi pernafasan dan menelannya belum baik, bayi-bayi yang mengalami kehilangan
kemampuan makan peroral yang telah berlangsung lama, serta bayi-bayi dengan penyakit
paru kronis.

9
3.5 Etiologi 2 01
aret
9M
ro etiologinya dibagi berdasarkan
Oleh karena disfagia merupakan keluhan (symptom) tmaka
G as pada bayi dan anak seperti terlihat
gangguan-gangguan yang mendasari terjadinya disfagia
at
pada Tabel 3.6.1. rap k
u ntu
ro
3.6 Patogenesis G ast
Ajar
u
uk patogenesis disfagia perlu pemahaman anatomi dan fisiologi
Untuk dapat menjelaskan
B
e
menelan secaraFilnormal. Proses menelan selain berperan sebagai transport makanan
juga berperan memindahkan sekret-sekret dan pertikel-partikel dari saluran napas atas
mencegah masuknya bahan-bahan asing tersebut ke dalam saluran napas bawah. Proses
menelan melibatkan banyak struktur yang fungsinya saling berinteraksi melalui jalan yang
sangat rumit. Saluran aerodigestif atas (upper aerodigestive tract) terdiri dari rongga mulut,
faring, laring, trakea dan esofagus (Gambar 3.6.2a dan 3.6.2b). Saluran aerodigestif bawah
(lower aerodigestive tract) terdiri dari paru-paru dan saluran pencernaan bagian bawah
(the lower digestive tract) yang dibentuk oleh lambung, usus kecil dan usus besar. Terdapat
perbedaan yang bermakna antara anatomi saluran aerodigestif bayi dan dewasa. Rongga
mulut bayi waktu istirahat menempatkan lidah lebih kedepan dibanding dewasa. Berbeda
dari dewasa, bayi mempunyai bantalan pengisap yang terdiri dari jaringan lemak yang
padat, rapi dalam muskulus maseter. Bantalan ini berperan menstabilkan pipi dan akan
menghilang saat berumur 4-6 bulan. Selanjutnya besar rongga mulut bayi berkurang karena
mandibula relatif lebih kecil dan menyebabkan lidah kelihatan lebih besar dalam rongga
mulut. Dekatnya hubungan lidah, palatum mole dan faring dengan laring menyebabkan
leher bayi lebih tinggi daripada dewasa yang memudahkan bayi bernafas melalui hidung.
Hal ini berkaitan dengan masa umur 3-4 bulan pertama kehidupan bayi, yaitu ketika
bayi masih lebih banyak bernafas melalui mulut maupun hidung. Di dalam rongga mulut

52
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 3.6.1. Gangguan-gangguan yang dapat menyebabkan disfagia pada bayi dan anak
I. Prematuritas V. Defek neurologis
II. Anomali jalan udara dan jalan makanan atas A. Penyakit-penyakit susunan saraf pusat
A. Hidung dan nasofaring 1. Trauma kepala
1. Atresia dan stenosis koana 2. Kerusakan otak oleh karena hipoksia
2. Infeksi hidung dan sinus 3. Atrofi korteks, mikrosefali, anensefali
3. Deviasi septum 4. Infeksi: meningitis, abses otak
4. Tumor 5. Mielomeningokel
B. Rongga mulut dan orofaring 6. Palsi serebral
1. Defek lidah dan prosesus alveolaris 7. Botulisme
2. Bibir terbelah dan palatum terbelah 8. Infeksi
3. Stenosis dan selaput pada hipofaring 9. Rabies
4. Sindrom kraniofasial (spt: Pierre-Robin, B. Penyakit sistem saraf perifer
Crouzon, Trecher-Collins, Goldenhar) 1. Trauma
5. Sindrom Down 2. Kongenital
6. Sindrom Backwich C. Penyakit neuromuskular
7. Ankilo glossi. 1. Distrofi muskular miotonik
C. Laring 2. Miestania gravis
1. Stenosis dan selaput pada laring 3. Sindrom Guillain-Barre
2. Laring terbelah 4. Poliomielitis (paralysis bulbaris)
3. Paralisis 5. Hipotiroid
4. Laringomalasia 6. Sindrom floppy infant 9
D. Lain-lain 2 01
re t
Ma
III. Defek kongenital laring, trakea dan esofagus 1. Akalasia
A. Celah laringo-trakeo-esofagus 9
2. Akalasia krikofaringeal
ro
B. Fistel trakeo-esofagus, atresia esofagus ast esofageal
3. Spasme
G
C. Striktur dan selaput pada esofagus 4.at Esofagitis
D. Anomali vaskuler r ap5. Disautonomia
k 6. Paralisis esofagus (atoni)
1. Arteri subklavia kanan yang menyimpng
u ntu
2. Arkus aorta yang kembar
3. Arkus aorta kanan dengan ligamentum kiri Gas
tro 7. Fistel trakeo-esofagus / atresia esofagus disebabkan defek
saraf
j a r 8. Timus servikal yang menyimpang
IV. Defek anatomi yang didapat ku
A 9. Disfagia konversi
B u
A. Trauma
il e 10. Stenosis pilorus hipertrofi
1. Trauma luar seperti F bahan kimia (caustic agent) 11. Kelainan jantung bawaan
2. Trauma karena endoskopi dan intubasi
Sumber: Orenstein, 1993.

terdapat sulkus lateral, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau maksila dengan
pipi; dan sulkus anterior, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau maksila dengan
otot-otot bibir. Ruang-ruang ini penting artinya pada penderita dengan masalah motorik
mulut dengan terbentuknya kantong-kantong yang berisi makanan atau cairan akibat
menyangkutnya makananan atau cairan di dalam ruang tersebut.
Pada bayi baru lahir faring membentuk suatu lengkungan yang mulus dari nasofaring
menurun ke hipofaring. Dalam perkembangan selanjutnya sampai dewasa, lengkung ini
berubah membentuk sudut diantara nasofaring dengan orofaring mendekati 90o. Beberapa
struktur yang terdapat di dalam rongga mulut, faring, nasofaring, orofaring, hipofaring
berperan penting dalam proses kegiatan makan minum. Laring yang terdiri dari struktur
yang kompleks mempunyai tiga fungsi utama selain berperan melindungi jalan nafas
waktu kegiatan makan minum, juga berperan untuk pernafasan dan pembentukan suara
(phonatory).

53
Bab 3 Disfagia

Gambar 3.6.2a. Skema gambar samping dari saluran aerodigestif Gambar 3.6.2b. Dari gambaran samping saluran
atas struktur rongga mulut dan faring dapat dilihat bagitu juga aerodigestif atas menunjukkan batas anatomi nasofaring,
pintu masuk laring, trakea dan esofagus. orofaring dan hipofaring.

Frekuensi menelan
Perkiraan frekuensi proses menelan pada anak berkisar 600-1000 kali/hari, pada orang
dewasa dapat mencapai sampai 2400 kali/hari. Frekuensi tertingi terjadi sewaktu kegiatan
makan, dan frekuensi paling kecil adalah selama tidur. Disamping 9untuk makan, tujuan
01 dari rongga mulut,
re t2
menelan juga untuk memindahkan air liur dan sekret-sekret mukosa
9 Ma
hidung, dan faring. Menurunnya frekuensi menelan, mengakibatkan air liur menetes ke
dagu (drooling). tro as
G
p at
Fisiologi menelan r a
n tuk
tro u 4 fase yaitu :
Fisiologi proses menelan dibagi dalam
1. Fase persiapan oral as
j arG
2. Fase oral
uA
3. Fase faringeal Buk
4. Fase esofagealFile
Dua fase pertama seluruhnya disadari. Fase faringeal disadari dan tidak disadari.
Sedangkan fase esofageal seluruhnya tidak disadari. Urutan-urutan gerakan-gerakan
menelan dapat dilihat pada Gambar 3.6.3.

Fase persiapan oral


Fase ini terjadi disadari, lamanya bervariasi tergantung dari tekstur makanan. Pada fase
ini terjadi manipulasi makanan di dalam mulut membentuk bolus agar dapat dengan
mudah ditelan dengan aman. Pada bayi yang masih mengisap cairan, fase ini diselesaikan
dalam waktu yang singkat. Pada anak, makanan telah mulai diberikan dengan pengentalan
atau tekstur makanan yang digumpalkan sehingga fase persiapan ini diselesaikan selama
beberapa detik, karena lebih banyak waktu yang digunakan untuk mengunyah. Biasanya
cairan berada di dalam rongga mulut tidak lebih dari 2-3 detik. Bibir harus segera ditutup
setelah bahan makanan dan minuman dimasukkan ke dalam mulut agar tidak menetes ke
dagu. Beberapa anak mungkin memindah-mindahkan makanan di sekitar mulutnya
terlebih dulu sebelum mereka membentuk bolus yang sudah bersatu padu. Kemudian

54
Buku Ajar Gastrohepatologi

9
2 01
aret
9M
s tro
Gambar 3.6.3. Skema dari seorang anak yang menggambarkan fase menelan
t Ga yang normal. A. Fase orab. B. Fase awal faringeal.
a
ap esofagus. E. Bolus esofagus di dalam.
C. Bolus bergerak melewati faring. D. Bolus memasuki
r
tuk
o un
a str
bolus ini dipertahankan di antara
j ar G lidah dan palatum durum sebelum mulai menelan.
u A dalam posisi merendah guna membantu mencegah bolus
Selama fase ini, palatum mole
k
Bu
atau cairan masuk keedalam faring sebelum fase menelan dimulai. Merendahnya palatum
Fil aktif oleh kontraksi otot palatoglosus. Laring dan faring pada fase
mole ini terjadi secara
ini dalam keadaan istirahat, jalan udara tetap terbuka dan pernafasan hidung terus
berlangsung sampai menelan dimulai.

Fase oral
Fase oral terjadi disadari dengan mulainya mendorong bolus makanan ke posterior
dengan lidah dan berakhir dengan terjadinya penelanan. Pada fase ini bagian-bagian fisik
bolus diubah oleh aktivitas di dalam rongga mulut termasuk besar, bentuk, volume, pH,
temperatur dan konsistensi. Pada awal proses menelan bolus terjadi dengan kontrol
kesadaran, dan pada akhir proses menelan terjadi secara tidak disadari. Makanan / cairan
minuman yang berada di dalam rongga mulut secara disadari menunjukkan adanya perintah
untuk mulainya menelan. Berbeda dengan menelan air liur, proses terjadi secara otomatis
pada awal menelan. Aksi memanipulasi bolus atau cairan makanan yang terjadi secara
disadari, termasuk meningginya lidah diikuti oleh gerakan langsung ke posterior adalah
akibat dari gerakan peristaltik. Hal ini menyebabkan terjadi kontak bolus secara berurutan
mulai dari palatum durum, palatum mole yang mendorong bolus masuk ke dalam faring.
Peninggian palatum mole yang berhadapan dengan dinding posterior faring menyebabkan

55
Bab 3 Disfagia

bolus masuk ke dalam faring. Bersamaan dengan waktu bolus meninggalkan mulut,
nasofaring dalam keadaan tertutup guna mencegah refluks nasofaringeal. Waktu normal
yang diperlukan menelan fase oral ini berlangsung kurang dari 1 detik.

Fase faringeal
Fase faringeal dimulai dengan terbentuknya keadaan menelan, dengan meningginya
palatum mole untuk menutup nasofaring. Fase faringeal terdiri dari kontraksi peristaltik
otot konstriktor faringeal guna mendorong bolus melalui faring yang terjadi secara refleks
melibatkan gerakan-gerakan unik yang merupakan suatu urutan proses yang terkoordinasi.
Umumnya fase faringeal berlangsung selama hampir 1 detik. Selama menelan, epiglotis
berpindah ke bawah, akibat kontraksi sfingter otot intrinsik laring termasuk aritenoid dan
epiglotis sehingga menutup selaput suara. Bersamaan dengan itu laring meninggi dan tertarik
ke depan menjauh dari jalannya bolus. Tujuan menelan pada fase faringeal adalah untuk
transport bolus secara sempurna melalui faring, krikofaring dan sfingter esofagus atas.

Fase esofageal
Fase esofageal terdiri dari gelombang peristaltik yang otomatis membawa bolus ke dalam
lambung dan mencegah terjadinya risiko refluks esofageal, yaitu masuknya 9 kembali bahan
2 01
t
ae
makanan/minuman dari esofagus kembali ke dalam faring. rRefluks gastroesofageal juga
dicegah oleh kontraksi tonik dari muskulus krikofaringeus. MKadang-kadang masih terjadi
o 9 pada bayi-bayi. Gelombang-
refluks dalam jumlah kecil, namun dipandang anormal str
G
gelombang peristaltik berperan mendorong bolus p at melalui esofagus dan gastroesophageal
r a
junction.
ntuk
u
a stro
Keempat fase menelan ini berlangsung secara terkoordinasi dan berurutan satu sama
lain sehingga proses menelan G berlangsung efektif dan aman tanpa terjadi komplikasi
aspirasi. Persarafan yang Ajar dalam koordinasi proses menelan ini dapat dilihat pada
terlibat
u
Gambar 3.6.4. Buk
e
Fil
Setiap gangguan yang menyebabkan tidak terkoordinasinya fase-fase menelan ini
dengan baik akan menyebabkan gangguan proses menelan atau disfagia. Patogenesis dan
patomekanisme gangguan itu dapat disebabkan oleh:
1. Kelainanan anatomi saluran pencernaan dan saluran pernafasan atas (upper aerodigestive)
yang berhubungan dengan proses menelan baik yang dibawa sejak lahir maupun yang
didapat seperti agenesis, stenosis, defek anatomis, tekanan mekanik oleh masa tumor,
striktur karena trauma fisik maupun bahan kimia.
2. Gangguan neuromuskular baik sentral maupun perifer dari saluran pencernaan
dan saluran pernafasan atas yang berhubungan dengan proses menelan baik yang
bawaan maupun didapat seperti kelemahan otot-otot rongga mulut dan lidah (oral-
motor function) yang mencakup bibir, pipi, lidah, palatum, faring dan laring, esofagus,
dan gangguan motilitas esofagus, lambung dan duodenum (kelemahan kontraksi
peristlatik).
3. Faktor psikologis misalnya hubungan orang tua dan anak yang tidak harmonis.

56
Buku Ajar Gastrohepatologi

Jalur desending supranuklear


Kortikal dan subkortikal

Afferen primer
Saraf kranial , Fasikulus Solitarus
VII, IX, X, XII

Medulla

Traktus nukleus soliterius dan


ventral medial formasi retikuler
pola sentral generator

Pons dan
Afferen primer 1 9
Nukleus motor t 20 Medulla
Saraf kranial Saraf kranial M are
V, VII, IX, X, XII V, VIII, IX, X, XII tro 9
s
t Ga
a
rap sinyal efferen antara lain saraf kranial, kortikal dan jalur
Gambar 3.6.4. Diagram sistem saraf perifer dan sentral untuk menelan
k
tu
subkortikal menuju Nukleus Traktus Solitarius (NTS) dan Ventral Medial Retikular Formation (VMRF) (sist. generator sentral). Sinap
un primer saraf pusat V, VII, IX, X dan XII
saraf efferen dengan Intiomotor
r
G ast
A jar
u
uk
3.7 Gejala Klinis Fil
e B

Gejala klinis disfagia dapat dilihat dengan melakukan pengamatan langsung pada bayi
dan anak yang sedang makan minum. Gejala klinis sangat bervariasi tergantung dari
etiologi yang mendasari timbulnya gejala disfagia. Selain gejala disfagia secara klinis,
gejala penyakit dasarnya dapat ditemukan. Pada pengamatan langsung bayi dan anak
waktu makan dapat dilihat gejala kesulitan menelan, disertai gejala lain seperti kesulitan
makan, kesukaran mengunyah, kesukaran mengisap, kesulitan menyusu, serta menolak
makan dan minum. Mungkin disertai liur yang menetes secara berlebihan atau makanan
yang tumpah dari mulut, adanya hambatan/sumbatan, batuk disertai tercekik, tedengar
suara degukan, muntah sewaktu makan, atau disertai rewel setiap makan. Kadang-kadang
mungkin ditemukan gejala-gejala perilaku yang tidak normal waktu makan misalnya
dengan mendorong lidah atau rahang, makan hanya mau terhadap makanan tertentu saja,
diikuti gejala komplikasi seperti berat badan tidak bertambah sesuai umur (malnutrisisi
ringan sampai berat) dan gejala infeksi saluran pernafasan yang berulang atau kronis
karena aspirasi. Dengan mengamati gejala klinis yang ada dapat pula diperkirakan lokasi
terjadinya gangguan misalnya menelan fase oral atau fase faringeal. Bila penyakit dasarnya
karena refluks gastroesofagus tampak bayi muntah tiap habis minum, sedangkan pada anak

57
Bab 3 Disfagia

mungkin memerlukan posisi tertentu waktu makan atau menunjukkan gejala kegelisahan
waktu makan.

3.8 Diagosis
Aloanamnesis
Pendekatan diagnosis anak dengan disfagia harus dimulai dengan menanyakan riwayat
makannya. Namun untuk mendapatkan riwayat makan yang akurat mungkin mendapat
kesulitan karena berbagai alasan. Pertama anak dengan gangguan menelan yang berat
sering disertai keterbatasan kemampuan kognitif, yang menyebabkan komunikasi langsung
dengan penderita tidak memungkinkan. Karena itu riwayat makan harus didapat langsung
dari orang yang terlibat dalam pengasuhan anak seperti orang tua atau pengasuh. Kedua,
berdasarkan pengalaman, anak dengan gangguan menelan sering menderita aspirasi tanpa
menimbulkan batuk, suatu fenomena yang dikenal dengan silent aspiration. Konsekuensinya
sukar memprediksi dengan akurat apakah bahan makanan ditelan semuanya tanpa adanya
aspirasi, semata-mata hanya berdasarkan riwayat makannya atau dengan pemeriksaan
klinis saja.
9
Riwayat makan anak harus mencakup secara keseluruhan termasuk
2 01 metode makan
yaitu makan menggunakan alat-alat tertentu, bagaimana posisi re t kepala, leher, dan badan
selama makan, volume dari makanan yang ditawarkan, volume 9 Ma dari makanan yang ditolerir/
yang ditelan, serta konsistensi dari makanan yang tro
asditawarkan dan yang ditolerir. Perlu
G
digali ada tidaknya proses mengunyah, waktuapyang at digunakan untuk makan, ada tidaknya
r
riwayat selain disfagia disertai odinofagia,
ntukada tidaknya air liur menetes secara berlebihan
u fase oral), riwayat adanya hambatan/sumbatan,
(yang diduga adanya gangguan menelan
a stro
tercekik, dan ada tidaknya suara G degukan atau batuk yang berhubungan dengan makan.
Apakah keluhan-keluhan Aini jarterjadi sebelum, selama atau setelah menelan, dapat membantu
menentukan fase dan ku yang dikenai. Keluhan-keluhan yang terjadi sebelum menelan
ulokasi
l e B
diduga kelainanFikontrol oral, namun bila terjadi selama/sewaktu menelan menunjukkan
disfungsi fase faringeal. Tersumbat/terhambat dan tercekik setelah menelan dengan lengkap
mungkin terdapat gangguan pembersihan faring akibat kelemahan otot-otot menelan dan/
atau tidak adanya koordinasi otot-otot atau gangguan dari sfingter esofagus atas. Makan
yang berlangsung lebih dari 30 menit harus disadari oleh para klinisi kemungkinan adanya
disfagia. Adanya kelemahan mengisap, hilangnya kemampuan makan peroral, kurangnya
mengunyah atau makanan disimpan di pipi (pocketing food) mungkin terdapat kelainan
pada tingkat oral. Kelainan pada fase faringeal sering menimbulkan gejala hambatan
(gagging), batuk, tercekik, dan distres pernafasan sewaktu makan. Makan disertai muntah
atau dengan melengkungkan badan, tercekik dan lekas marah (irritable) sering terjadi
karena kelainan fase esofageal seperti refluks esofagus. Di samping riwayat makan minum,
perlu ditanyakan pula penyakit-penyakit yang diderita sebelumnya, misalnya trauma
kepala, kelainan bawaan yang telah dikoreksi dengan operasi dan lain sebagainya.
Selain riwayat makan, yang sangat perlu ditanyakan adalah evaluasi nutrisinya secara
menyeluruh dari anak yang menderita gangguan menelan, karena tujuan akhir secara klinis
selain menegakkan diagnosis juga menentukan status nutrisi penderita sekarang. Tentukan
kalori dan protein yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan yang

58
Buku Ajar Gastrohepatologi

optimal, dan perencanaan mendapatkan rute atau cara pemberian makan sementara.
Konsultasi dengan dokter ahli gizi anak akan membantu perencanaan program nutrisinya
secara konperehensif.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi dan anak dengan disfagia harus mencakup secara keselurahan
sebagaimana pemeriksaan yang dilakukan secara rutin pada setiap bayi dan anak sakit.
Selain itu pemeriksaan harus mencakup struktur-struktur rongga mulut dan faring. Bila
didapat struktur yang abnormal dan/atau diduga ada kelainan di dalam faring, maka
perlu dilakukan konsultasi ke spesialis THT. Perlu dicatat ada tidaknya refleks sumbatan/
hambatan. Perlu diperhatikan apakah ada kelainan anatomi atau kelainan struktur rongga
mulut, misalnya akibat tekanan mekanik oleh tumor, serta adanya kelaianan struktur
organ-organ yang mempengaruhi proses menelan. Perlu diperiksa adanya kelainan karena
trauma fisik maupun trauma bahan kimia (caustic agent) atau tanda-tanda infeksi yang
menyebabkan gangguan menelan. Lakukan pemeriksaan status gizi, dan perhatikan ada
tidaknya komplikasi seperti malnutrisi atau gejala penyakit paru kronis.

9
Pemeriksaan percobaan makan 2 01
re t
Ma gangguan yang terjadi
Hasil diagnostik uji coba makan sangat besar artinya dalam 9menilai
ro
dan untuk perencanaan tatalaksana selanjutnya. Pengamatan
G ast uji coba makan harus bekerja
sama dengan spesialis terapi makan, spesialis terapiatbicara dan berbahasa (speech-language
pathologist) atau dengan occupational therapist. ap
rMelalui pengamatan selama uji coba makan
k
tufungsi motor-oral yang sesuai dengan umur.
dapat diketahui ada tidaknya kemampuan n
ou
Kemampuan makan/minum peroral a strini harus ditinjau secara rinci oleh masing-masing
G
jar Selama uji coba makan/minum peroral perlu dipantau
spesialis dari tim pelaksana terapi.
A
u
dan dicatat kemungkinan
Buk adanya gerakan-gerakan abnormal, seperti memasukkan atau
e
mendorong rahang, Filmendorong lidah, ada tidaknya refleks tonik menggigit, atau refleks
cengkeraman rahang. Adanya refleks yang seharusnya sudah menghilang sesuai umur,
seperti phasic bite reflex dan suckle feeding reflex yang merupakan refleks primitif, dapat
membantu perkiraan kelainan yang mendasarinya. Dengan memperhatikan gerakan-
gerakan rahang, gerakan mengunyah dan kemampuan gerakan-gerakan lidah, dapat dinilai
derajat berat ringannya gangguan dan perkiraan komplikasi yang mungkin terjadi akibat
disfagia.
Pada bayi, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama adanya keluhan disfagia waktu
mengisap puting susu ibu/dot susu botol. Tampak bayi menyusu tidak tahan lama, dan
puting sangat mudah dipindah-pindah atau dikeluarkan dari mulutnya. Sedikitnya
jumlah gelembung udara yang timbul di dalam botol susu selama minum susu botol atau
bertambahnya kehilangan cairan disekitar dot dan mulut, menggambarkan kelemahan
mengisap. Peningkatan jumlah menelan bolus pada berbagai macam tekstur makanan
disertai suara degukan setelah menelan menunjukkan adanya dugaan gangguan motilitas
faring. Batuk yang berlebihan selama minum, tercekik, nafas yang cepat, atau adanya
hambatan mungkin disebabkan disfagia daerah orofaring. Posisi kepala, leher dan badan
selama makan/minum peroral harus dicatat.

59
Bab 3 Disfagia

Pemeriksaan videofluoroskopi
Pemeriksaan videofluoroskopi merupakan pemeriksaan pilihan untuk mengevaluasi bayi
dan anak dengan ganguan menelan. Pemeriksaan ini memberikan arti yang terbaik dalam
menentukan anatomi mulut, faring dan esofagus serta dapat memberikan bukti yang sangat
objektif ada tidaknya koordinasi yang baik dari fase-fase menelan oral, faringeal, maupun
esofageal. Melaui pemeriksaan ini dapat dideteksi episode-episode terjadinya aspirasi
serta membantu identifikasi ada tidaknya kontraindikasi pemberian makan/minum
peroral. Pemeriksaan videofluoroskopi selain bernilai untuk diagnostik juga berperan
dalam merekomendasikan terapi karena dapat menentukan karakteristik bolus makanan
yang aman untuk ditelan (besar bolus dan konsistensinya). Selain itu melalui pemeriksaan
videofluoroskopi dapat diputuskan perlu tidaknya tindakan medis maupun tindakan bedah
dalam tatalaksana penderita.
Pemeriksaan videofluoroskopi harus dikerjakan bersama-sama oleh tim, terutama
terdiri dari spesialis radiologi, spesialis teknologi radiologi dan spesialis terapi bicara dan
berbahasa (speech-language pathologist). Kesimpulan hasil pemeriksaan videofluoroskopi
secara rinci biasanya dilaporkan kepada seluruh tim terapi. Sayangnya pemeriksaan ini
melibatkan ekspansi radiasi yang sangat banyak. Keluhan-keluhan dan gejala klinis yang
memerlukan pemeriksaan videofluoroskopi menelan dapat dilihat 0pada 19 Tabel 3.8.1.
2
aret
9 M menelan
Tabel 3.8.1. Keluhan-keluhan dan gejala klinis yang memerlukan pemeriksaan videofluoroskopi
o
r
Kategori Keluhan-keluhan/gejala ast
Gberlebihan,
a t
apmakan, kesadaran menurun, makan yang terlalu lama lebih dari
Sewaktu makan Batuk, sumbatan, air ludah menetes hambatan yang berlebihan, suara degukan
k r
yang keras, iritabel.Menolak
30 menit. u ntu
o
Keadan paru strmenderita pnemoni berulang, infeksi saluran pernafasan atas berulang, penyakit paru
Sering atau
a
G
jar
kronis, infiltrat pada pemeriksaan foto toraks.
Kesehatan umum dan saluran cerna u A Sering atau panas yang subfebril berulang, berat badan yang tidak naik, Berat badan yang
Buk semakin turun, Sering mual, refluks.
i l e
Neurologis F Gerakan mulut ang tidak terkoordinasi atau kelemahan, berkurang sensasi mulut.
Struktur Dugaan adanya fistel trakeoesofagus, paralisis/ paresis selaput suara
Sumber: Orenstein, 1993.

Pemeriksaan diagnostik tambahan


Beberapa pemeriksaan menggunakan alat canggih lainnya mungkin diperlukan sebagai
tambahan, namun lebih banyak diindikasikan untuk diagnosis dan mengevaluasi penyakit
primernya, misalnya pemeriksaan CT scan bila dicurigai adanya tumor, pemeriksaan MRI
untuk melihat massa lunak, dan pemeriksaan USG untuk melihat penyempitan lumen.
Begitu juga dengan pemeriksaan endoskopi maupun pemeriksaan radiologi yang dilakukan
atas indikasi yang jelas.

3.9 Terapi
Terapi gangguan menelan pada bayi dan anak memerlukan perencanaan yang tersendiri,
melihat kasus perkasus, karena dasar kelainan yang menyebabkan disfagia pada anak

60
Buku Ajar Gastrohepatologi

berbeda-beda. Perencanaan terapi tergantung dari kelainan yang mendasari timbulnya


disfagia, apakah karena kelainan anatomis, perkembangan fungsi mototorik dan koordinsi
fase-fase menelan yang belum baik, atau gangguan fungsi neuromuskular, dan harus
jelas pula jenis defisit neurologis yang terjadi. Sebelum merencanakan terapi harus
dilakukan terlebih dulu evaluasi secara menyeluruh penyakit yang mendasari timbulnya
disfagia termasuk kronologi perkembangan mental, status fisiologis, status psikologis dan
perilaku anak. Kesemuanya itu akan mempengaruhi program terapi, yang selanjutnya
akan mempengaruhi pula tumbuh kembang fisik maupun mental anak di kemudian hari.
Karena itu, dalam perencanaan terapi pada bayi dan anak dengan disfagia, perlu melibatkan
berbagai spesialis ilmu secara tim (interdisciplinary team), karena tujuan terapi bukan hanya
terfokus untuk program tercapainya makan/minum yang aman secara oral saja, namun
juga mencakup kemampuan berbicara dan berkomunikasi.
Harus diingat bahwa anak yang menderita disfagia sering disertai gangguan kognitif
(gangguan kemampuan berbicara, berkomunikasi dan gangguan perkembangan emosional)
yang memerlukan penatalaksanaan secara adekuat. Berbeda dengan terapi makan/minum,
tujuan utama terapi gangguan kognitif adalah melatih fungsi motorik mulut (oral motor
treatment) untuk mengembangkan koordinasi gerakan-gerakan mulut, sistem pernafasan
dan fonetik agar dapat berkomunikasi dan mendukung berkembangnya emosional anak
dan sekaligus tercapainya kemampuan makan peroral. Kebehasilan terapi 9
01 sangat tergantung
dari pengalaman masing-masing para spesialis, karena itu reuntuk t2 memaksimalkan
Ma
keberhasilan, pencapaian terapi perlu melibatkan berbagai 9spesialis dalam satu tim yang
ro
biasanya terdiri dari spesialis perkembangan anak ataustspesialis neurologi anak, spesialis
gizi anak, occupational therapist, dan spesialis untuk G a
perkembangan motorik dan sensorik
at
ap
mulut seperti spesialis patologi berbicara dan rberbahasa. Konsultan untuk masalah yang
k
khusus termasuk ahli gastroenterologi, ahli
u ntu pulmonologi, ahli THT, ahli radiologi, dan
psikolog juga diperlukan dalam tim.stro
a
Prinsip utama terapi bayi j ar Gdan anak yang menderita disfagia adalah melakukan
A
pelatihan-pelatihan terhadap
u ku fungsi sensorik dan motorik mulut sehingga tercapai
B
kemampuan makan
File peroral yang aman tanpa terjadi komplikasi, sekaligus melatih
kemampuan kognitif sehingga tercapai perkembangan komunikasi dan emosional yang
normal. Biasanya terapi yang dianjurkan adalah terapi yang berdasarkan kemampuan
pasien untuk menelan dengan aman (yaitu transfer makanan dari rongga mulut masuk
ke dalam esofagus tanpa masuk ke dalam laring atau ke dalam trakea). Banyak teknik
dilakukan untuk pelatihan makan peroral atau stimulasi oral terutama untuk mengurangi
rasa hipersensitivitas, stabilitas posisi tubuh dan mengoptimalkan respon motorik dari
mekanisme menelan peroral. Beberapa pilihan cara terapi yang digunakan untuk anak
dengan gangguan menelan dapat dilihat pada Tabel 3.9.1.

61
Bab 3 Disfagia

Tabel 3.9.1. Contoh terapi yang digunakan pada anak dengan gangguan fungsi menelan
1. Modifikasi bolus, modifikasi volume, modifikasi bagian-bagian bolus (misalnya konsistensi bolus)
2. Pengaturan posisi kepala, leher, badan selama kegiatan makan minum
3. Penempatan bolus yang sesui di dalam rongga mulut
4. Mengontrol stabilisasi rahang.
5. Memodifikasi sensitifitas mulut
6. Meniadakan kebiasaan-kebiasan perilaku makan yang abnormal
7. Sensitisasi/ stimulasi panas
8. Latihan-latihan menelan
Resistensi lidah / gerakan-gerakan lidah
Adduksi laring
9. Mengadakan gerakan-gerakan protektif seperti prosedur menelan supraglotik (supraglottic swallow procedure)
10. Miotomi krikofaringeal
11. Mengisap makanan menggunakan valved feeding bottle
12. Mengusahakan makan pengganti secara oral dengan cara enteral
Sonde lambung (nasogastric feeding)
Tabung gastrostomi (tube gastrostomy / surgical or endoscopic)
Sumber: Arvedson, 1993.

Pemberian makan melalui pipa (feeding tube)


9
Untuk tercapainya kemampuan minum peroral yang efektif dan
2 01 aman pada bayi dan
anak disfagia diperlukan pelatihan-pelatihan khusus yang mencakup re t kemampuan fungsi
sensorik dan motorik mulut. Apabila kemampuan memperoleh 9 Ma kebutuhan nutrisi tidak
terpenuhi melalui pelatihan minum/makan peroral,asmaka tro pemenuhan kebutuhan nutrisi
G
at
sementara perlu diberikan melalui jalur lain menggunakan pipa, baik pipa orogastrik (OG),
r ap
k
nasogastrik (NG), nasoduodenal (ND), nasojejunal (NJ) dan pipa gastrostomy (GT). Pilihan
pemberian makan melalui GT jarang u ntu
dilakukan kecuali bila pemberian makan melalui OG
a stro
dan NG memerlukan waktu lama G (beberapa minggu).
Aj ar
Pipa OG, adalah pipau yang dipasang melalui rongga mulut, faring, esofagus terus ke
Buk pemberian minum melalui pipa ini dilakukan pada bayi prematur,
dalam lambung. Biasanya
e
Fil tidak menghalangi jalan nafas melalui hidung. Pipa harus diganti secara
dengan keuntungan
teratur setiap 3-4 hari. Kerugian cara ini menyebabkan palatum mole tidak dapat menutup
secara aktif, mengakibatkan tidak cukupnya terbentuk tekanan di dalam rongga mulut
yang diperlukan untuk mengisap dan menelan dengan efisien. Komplikasi yang sering
ditemukan adalah muntah, refluks esofagus dan waktu pengosongan lambung yang lambat.
Pemberian minum melalui OG dan NG pada bayi selain mengganggu aktivitas mengisap
dan menelan, dapat menimbulkan iritasi yang tidak menyenangkan. Pemberian minum/
makan melalui ND, dilakukan dengan memasang pipa melalui hidung, faring, esofagus,
lambung dan duodenum atau terus melalui jejunum (NJ). Cara ini dilakukan bila terjadi
refluks esofagus. Pemasangan pipa ND dan NJ dilakukan dengan bantuan fluoroskopi.
Keuntungan pemberian makan minum melalui pipa OG, NG, ND atau NJ hanya
bersifat sementara dan pemasangannya tidak memerlukan tindakan bedah maupun
anastesi. Kerugian utama cara ini menyebabkan tidak adanya efek stimulasi sensorik
maupun motorik terhadap rongga mulut dan menyebabkan iritasi mukosa hidung dan
faring bila digunakan dalam jangka lama. Bayi juga akan merasakan gangguan yang
tidak mengenakkan karena insersi pipa pada kulit muka maupun disekitar mulutnya.
Pemberian makan minum melalui GT hanya dilakukan sebagai pengganti, bila pemberian

62
Buku Ajar Gastrohepatologi

makan minum melalui OG, NG, ND maupun NJ memerlukan waktu lama lebih dari 3–6
bulan. Keuntungan pemberian minum makan melalui GT adalah daerah yang mengalami
perlakuan terpisah jauh dari mulut sehingga bayi masih dapat berlatih menggunakan
sensasi dan motorik mulutnya secara menyenangkan.

Terapi terhadap fungsi struktur anatomi


Beberapa terapi yang ditujukan terhadap perbaikan fungsi rahang, bibir, pipi, lidah dan
palatum dapat dilihat dari Tabel 3.9.2.

Tabel 3.9.2. Terapi motorik mulut dengan masalah struktur otomatis


Struktur Masalah Terapi
Rahang Daya dorong Merangsang mulut dengan jari atau dengan mainan, penyikatan gigi, meletakkan objek yang
lembut diantara gigi.
Mencengkeram Merangsang mulut dengan mainan agar membuka secara berangsur angsur, stimulasi yang
menyenangkan pada muka.
Tarikan ke dalam Tidurkan dengan posisi telungkup, melakukan tarikan di bawah rahang ke arah depan.
Tidak stabil Latihan menutup rahang
Refleks menggigit Berikan tekanan pada sendi temporomandibular, stimulasi sensoris, menaruh sendok yang
9
yang kaku dibalut kasa di antara gigi.
2 01
Bibir Tarikan ke dalam t
e latihan mengontrol rahang.
Memberikan getaran dengan ketokan jari pada pipi dan rlidah,
9 Ma
o
Gerakan bibir atas
yang terbatas
str temperatur, melakukan tepukan dan ketokan jari,
Berikan makanan dalam berbagai tekstur dan
berikan minuman pakai sedotan. Ga
at
Pipi Tonus dan sensoris yang r ap temporo mandibular, berikan makanan dalam berbagai tektur
Ketokan dan tepukan pada sendi
k
kurang dan temperatur.
u ntu
olatihan membersihkan cairan yang dikentalkan pada bibir, menempatkan
str gusi, latihan-latihan gerakan lidah ke lateral. Menaruh sendok di tengah–
Lidah Daya dorong Kontrol rahang,
makanan
G adisamping
jar lidah dan menekannya ke bawah.
Atengah
u
Tarikan ke dalam
Buk Tidurkan dengan posisi telungkup, mengetok lidah dari belakang ke arah depan, mendorong
e
Fil
dagu ke posisinya waktu berdiri tegak, tepukan di bawah dagu arah ke atas
Hipotoni Berikan makanan dalam berbagai tekstur dan rasa untuk meningkatkan input
sensoris. Berikan makanan yang jumlahnya dinaikkan sedikit demi sedikit.
Sumber: Arvedson, 1993.

Stimulasi mengisap dengan menggunakan bahan nonnutritive


Istilah nonnutritive sucking adalah semua yang mencakup pengisapan atau mengisap
berbagai objek seperti dot, jari atau mainan. Hal ini berbeda dengan nutritive sucking yaitu
mengisap puting yang mengandung cairan (liquid), baik puting susu ibu maupun bentuk
puting yang lain. Gerakan-gerakan ritmik yang terjadi pada mulut bayi saat melakukan
nonnutritive sucking menunjukkan adanya kemampuan (skill) kesiapan minum peroral.
Kemampuan nonnutritive sucking ini dapat digunakan sebagai salah satu cara stimulasi
untuk melatih fungsi sensorik dan motorik mulut yang dapat dilakukan dalam berbagai cara
sesuai dengan jenis gangguan yang terjadi (Tabel 3.9.3). Para orang tua maupun pengasuh
dapat melaksanakan kegiatan stimulasi ini melalui pelatihan-pelatihan yang telah diberikan
oleh para spesialis.

63
Bab 3 Disfagia

Tabel 3.9.3. Beberapa cara stimulasi nonnutritive


Teknik Kapan dilakukan Bagaimana melakukannya
Usapan pada muka Hipersensitif mulut Menggunakan telapak tangan atau jari secara ritmik dari pinggir ke
arah mulut dengan
kuat tetapi lemah lembut.
Mengusap lidah Bayi irama mengisap nya kurang Meletakkan ujung jari di tengah lidah dan usapkan ke depan
dengan tekanan 4-6 kali tiap 1-2 usapan per detik.
Dot atau jari Bayi daya isap lemah, Tidak ada Dot atau jari ditempatkan dalam mulut dan
koordinasi, Tidak ada keinginan pengasuh harus mempertahankannya bila bayi mendorongnya
mengisap, kurangnya tonus pipi. keluar.
Cotton swab di celupkan ke Bayi koordinasi mengisap dan Swab ditempatkan di tengah lidah dengan tekanan ke bawah
dalam air, susu formula atau air menelannya kurang, sekuensial sampai mengeluarkan sedikit cairan dan diusapkan. Diulangi
susu ibu perna fasannya tidak aman sampai ditolerir dengan baik dan menyenangkan waktu minum.
Mengurangi stimu- lasi sensoris. Kurangnya kemampuan Mengurangi suara-suara gaduh, derajat cahaya, bergoyang sambil
berjalan dengan irama tepukan, mengikuti irama musik.
Sumber: Arvedson, 1993.

Terapi disfagia dengan tindakan bedah


Bila memungkinkan terapi ditujukan kepada penyakit primer yang mendasari timbulnya
disfagia, misalnya kelainan struktur esofagus dapat dilakukan tindakan 9 dilatasi atau operasi,
gangguan neuromuskular karena tumor otak dilakukan operasi 2 01
tumornya, dan gangguan
a ret
motilitas esofagus dapat dilakukan tindakan miotomi. Adakalanya tindakan bedah dapat
o 9M
juga dilakukan pada gangguan menelan fase esofageal r akibat refluks gastroesofageal berat
G
yang tidak bisa dikontrol dengan terapi konservatif.
ast
at
r ap
ntuk
Terapi farmakologis o u
a str
j arG
Beberapa kelainan yang menyebabkan disfagia dapat diterapi dengan menggunakan
obat-obatan (Pharmacologicu A treatment), misalnya disfagia yang disebabkan oleh penyakit
B
tetanus, polimiositis, ukhipertiroid, miastenia gravis dan lain-lain. Disfagia oleh karena
e
Fil esofagus atau refluks esofagus dapat diberi obat-obat prokinetik seperti
gangguan motilitas
motilin, cisapride, bethanecol, dan methoclopramide. Bila penyakit primernya infeksi maka
diberikan antibiotika yang sesuai.

3.10 Prognosis
Prognosis tergantung dari penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya disfagia. Berat
ringannya penyakit serta kemampuan serta pengalaman tim pelaksana terapi sangat
menentukan keberhasilan terapi.

3.11 Pencegahan
Belum ditemukan cara untuk mencegah terjadinya keluhan disfagia. Usaha pencegahan
ditujukan terhadap penyakit primernya yang menyebabkan gangguan neurologis yang
selanjutnya menyebabkan pula gangguan fungsi makan dan minum.

64
Buku Ajar Gastrohepatologi

Daftar Pustaka
1. Brodsky L, Arvedson J. Introduction: Rationale for Interdiciplinary Care. Dalam Adverson and
Brodsky, penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San
Diego, California, Whurr Publisher. 1993: 1-4.
2. Rogers B, Campbell J. Pediatric and Neurodevelopmental Evaluation. Dalam Avedson and
Brodsky, penyunting. ediatric Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego,
California, Whurr Publisher. 1993: 53-91.
3. Orenstein SR. Dysphagia and Vomitting. Dalam Wyllie R, Hyams JS. penyunting, Pediatric
Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management, Tokyo, W.B. Saunder
Company. 1993: 135-150.
4. Tuchman DN. Disorders of Deglutition. Dalam Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker
Smith JA, Watkins WA, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology,
Diagnosis, Management, Toronto, BC Decker Inc. 1991: 359-366.
5. Rossi T. Pediatric Gastroenterology. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric
Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whurr Publisher.
1993: 123-156.
6. Arvedson J, Rogers B, Brodsky L. Anatomy, Embryology and Physiology. Dalam : Arvedson
and Brodsky, penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San
Diego, California, Whurr Publisher. 1993: 5-51.
9
7. Brodsky L, Volk M. The Airway and Swallowing Problem. Dalam Adverson 01 and Brodsky,
t2
penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding. Assesment andreManagement, San Diego,
California, Whur Publisher. 1993: 93-122. M a
8. Arvedson J. Management of Swallowing Problem. Dalam t o9
rAdverson and Brodsky, penyunting.
a s
t G
Pediatric Swallowing and Feeding. Assesment andaManagement, San Diego, California, Whur
Publisher. 1993: 327-387. r ap
9. Young C. Nutrition. Dalam Adverson and ntukBrodsky, penyunting. Pediatric Swallowing and
ou
Feeding. Assesment and Management,
a str San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 157-208.
r G Dalam VanndNess MM, Gurnet MS, Jones DM, penyunting.
10. Dorsey III JT. Prokinetic Agents.
jaDrug
A
Handbook of gastrointestinal Therapy, 2 Ed, London, Little Brown and Company. 1995:
319-327. u ku
eB
11. Patel AR, Snape FilWJ. Prokinetic Agents and Antiemetics. Dalam Wolfe MM, penyunting.
Gastrointestinal Pharmacortherapy, Tokyo, W.B. Saunder Company. 1993: 1-24.

65
BAB

4
Anoreksia pada Anak
I. Sudigbia

4.1 Ilustrasi Kasus


Anak laki-laki berusia 2 tahun dibawa neneknya ke poliklinik karena tidak mau makan,
lemah, kurus, dan tidak bergairah. Neneknya mengatakan bahwa ibunya bekerja terus
seharian dan sering memarahi anak. Ayah si anak merupakan direktur perusahaan yang
jarang ketemu dengan anak. Ayah dan ibu anak ini sering bertengkar.

4.2 Pendahuluan
Masalah kesehatan anak di negara berkembang termasuk Indonesia diantaranya terjadi
karena interaksi antara infeksi, diare dan gizi. Pada umumnya penyakit infeksi dan
diare merupakan penyakit anak yang selalu diikuti gangguan pertumbuhan, sehingga
keduanya selalu membuka peluang timbulnya malnutrisi. Penyakit infeksi pada umumnya
menyebabkan berkurangnya masukan nutrien baik karena muntah, mual dan turunnya
nafsu makan (anoreksia), sedangkan keluaran bertambah karena timbulnya demam dan
atau pemakaian tenaga karena batuk dan atau/sesak nafas yang menyebabkan meningkatnya
katabolisme, sehingga menyebabkan penurunan berat badan. Sedangkan pada diare
masukan bekurang karena: (1) turunnya nafsu makan yang disebabkan oleh karena
turunnya sekresi asam lambung, (2) mual karena peristaltik usus yang berlebihan, dan (3)
berkurangnya asupan makanan karena turunnya jumlah air susu ibu serta persepsi ibu yang
ketakutan untuk memberikan makanan kepada anaknya yang masih dalam keadaan diare.
Disamping itu jumlah keluaran pada penyakit diare masih meningkat dengan timbulnya
penghamburan gizi karena gangguan digesti dan absorbsi.
Melihat tinjauan diatas, hal tersebut merupakan kejadian yang dilematis karena kedua
penyakit tersebut berdampak pada peningkatan katabolisme, tetapi masukan makanan
malah turun karena muntah, mual dan turunnya nafsu makan. Turunnya nafsu makan pada
kejadian di atas merupakan masalah yang sangat kompleks karena sangat dipengaruhi oleh
interaksi antara kondisi penderita, makanan dan pengasuh yang memberikan makanan,
lebih-lebih pada bayi dan balita.

66
Buku Ajar Gastrohepatologi

4.3 Definisi
Untuk menegakkan definisi anoreksia pada dasarnya adalah sulit. Umumnya anoreksia
diartikan sebagai turunnya atau hilangnya nafsu makan serta tidak tertarik akan makanan
untuk menyantapnya. Istilah pseudoanoreksia sering dipergunakan pada manusia atau
binatang sebagai kesulitan makan karena tidak mampu untuk menguyah dan/atau menelan
daripada tidak tertarik untuk menyantapnya. Sementara para ahli berpendapat bahwa
anoreksia pada bayi adalah hilangnya kemauan untuk makan, jumlah masukan makanan
menjadi sangat kurang dan berada di bawah kecukupan gizi, sehingga disertai dengan
penurunan berat badan yang bermakna setidaknya-setidaknya dalam waktu satu bulan.
Sedangkan menurut Alice Lawrence (2003) gangguan makan pada bayi dan anak sering
diikuti gagal tumbuh sehingga anoreksia infantil merupakan gangguan berisiko tinggi.
Batasan anoreksia infantil yang diajukannya adalah:
• Penurunan berat badan yang nyata setidaknya dalam waktu satu bulan
• Tidak disebabkan gangguan gastrointestinal, obat ataupun kekurangan makanan
• Timbulnya sebelum umur 6 tahun
Margareth dkk (1998) mengatakan apatis atau nafsu makan merupakan komponen
sentral dalam kebijakan tentang jumlah dan waktu pemberian makanan9 bayi. Castunguay
1
e 20
(1990) mengatakan bahwa apatis ádalah perasaan sedikit lapar (mildthunger) dalam memilih
macam makanan. Lapar sering dihubungkan dengan konsep fisiologis, ar apatis dihubungkan
o 9 M apatis.
dengan kultur, sedangkan anoreksia diartikan dengan kehilangan
st r
Manusia merupakan makhluk biopsikososiokultural t Ga spiritual, sehingga latar belakang
a
anoreksia pada manusia sangat kompleks baik k rapsecara fisik sebagai penyakit infeksi dan
noninfeksi serta aspek psikoemosional ntu sosiobudaya sebagai hasil interaksi dengan
udan
ro
lingkungan. Pada anak dewasa timbulnyast perasaan obsesif untuk menjadi kurus dan
r Ga
kebiasaan membatasi jumlahA ja
makan untuk menurunkan berat badan menambah komplisitas
u
uk serta anoreksia nervosa dan jenis-jenis lain kesulitan makan
timbulnya anoreksia kronika
B
e
pada anak. Fil

4.4 Patomekanisme
Makanan mencerminkan interaksi biologis dan budaya yang berpengaruh positif pada
angka kesakitan dan kematian anak. Perubahan makanan cair ke makanan padat pada bayi
merupakan fase perkembangan bayi dalam perubahan kematangan sosial dan kultural,
bayi harus belajar mengunyah, menelan, dan mencerna berbagai makanan berdasar kultur
daerahnya. Sehingga gangguan pertumbuhan dan kekacauan kebiasaan makan sering
memberikan dampak yang serius. Lapar ádalah rasa keinginan (intrinsic desire) untuk
makan, apatis adalah keinginan untuk makan sesuatu macam makanan tertentu, sedangkan
kepuasan (satiety) atau kenyang ádalah rasa penuh atau terpenuhinya keinginan makan.
Apabila beberapa jam tidak makan, lambung yang sedang dalam kondisi kosong akan
mengalami kontraksi ritmik dan keras yang terasa kencang serta sakit perut, disebut “suara
lapar” atau “kerongcongan” atau hunger pangs.
Apatis sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran, anak akan mau
menerima makanan yang biasa diberikan kepadanya, tetapi kadang-kadang akan menolak

67
Bab 4 Anoreksia pada Anak

bila makanan yang diberikan tidak seperti biasanya, karena terjadi penggantian macam,
bentuk, tekstur, atau cita rasa makanan secara mendadak. Kondisi perut yang penuh,
misalnya dalam 12 jam terakhir berkali-kali makan akan menurunkan apatis. Kadar gula
dan asam amino darah serta suhu badan akan berpengaruh pada perasaan lapar, kepuasan,
dan apatis. Sedangkan perasaan lapar yang berkepanjangan akan menimbulkan kondisi
apatis terhadap apatis.
Timbulnya anoreksia pada umumnya sangat berhubungan dengan faktor-faktor
biopsikososiokultural spiritual. Faktor penyakit sistemik biologis baik sebagai infeksi,
noninfeksi dan penyakit keganasan sebagai faktor yang sering melandasi timbulnya
anoreksia. Tetapi faktor psikoemosional dan budaya yang berinteraksi dengan lingkungan
sangatlah berpengaruh pula.
Nafsu makan pada umumnya dikontrol oleh pusat kepuasan yang terletak di
hipotalamus medius dan pusat lapar di hipotalamus laterales. Hipotalamus juga
mengontrol pusat di bawahnya, terletak di batang otak yang bertanggung jawab untuk
salivasi, pengunyahan dan penelanan. Sedangkan pusat di atas hipotalamus bertanggung
jawab terhadap apatis. Mekanisme untuk menentukan macam makanan dituntun oleh
memori, penglihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan. Sementara itu para ahli juga
berpendapat bahwa pusat nafsu makan juga dipengaruhi oleh gabungan faktor-faktor
19
neurologis, metabolik, humoral, baik dalam jaringan otak maupun20jaringan lainnya. Faktor
neurologis nafsu makan dan perasaan lapar juga timbul karena re t pengaruh faktor gaster,
Ma
distensi usus, hormon enterik (insulin dan kolesistokinin), 9 metabolit di hepar (sisa oksidasi
tro
energi dari sejumlah jaringan adiposa), pengalamanascitarasa, dan tekstur makanan.
G
Nikai (1999) mengutarakan bahwa anoreksia p at dengan penurunan berat badan yang
r a
sering menyertai kejadian infeksi mempunyai
n tuk mekanisme yang belum jelas. Beberapa
o u dan IFN-∂ telah terbukti mempengaruhi timbulnya
sitokin termasuk TNF, IL-1, IL-6, tIL-8
r
as
anoreksia dan kakeksia. Sitokin
j ar G yang dilepaskan sebagai rekasi terhadap kejadian infeksi/
inflamasi akan berpengaruh A secara langsung pada otak sehingga menimbulkan anoreksia.
u ku
B
Beberapa hormonemempengaruhi pengaturan nafsu makan, diantarnya adalah corticotropin
Fil kolesistokinin, prostaglandin, glukagon, insulin dan kortikosteroid.
releasing hormone,
Leptin (produk gen) yang terjadi pada proses penumpukan lemak pada jaringan akan
memberikan sinyal pada otak melalui neurotransmiter pada hipotalamus akan terjadinya
kecukupan masukan kalori sebagai rasa kepuasan.

4.5 Diagnosis Diferensial


Karena luasnya keterkaitan kejadian anoreksia, maka banyak ahli membahas bukan
anoreksia saja tetapi melalui pendekatan gangguan makan pada anak. Di Amerika Serikat,
sebelum diterbitkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders 4th edit. (DSM IV)
American Psychiatric Association (1994), diagnosis gangguan makan pada anak belum pasti
dan banyak penulis menyebutkan berbagai macam diagnosis, diantaranya: food refusal,
food aversion, food phobia, problem eaters dan lain-lain. Bagaimanapun istilah tersebut
tidak mampu untuk membedakan bermacam kelainan gangguan makan pada anak. Famon
dan Frank (1993) mengatakan bahwa kelainan makan pada anak makin bertambah runyam
dengan timbulnya istilah gagal tumbuh (failure to thrive = FTT) pada anak berumur di
bawah 3 tahun yang mengalami kenaikan berat badan tidak adekuat. Gagal tumbuh dan

68
Buku Ajar Gastrohepatologi

gangguan makan pada anak sering dianggap sinonim, dan menurut Benoit (1993) tidak
selamanya kelainan makan pada anak menyebabkan FTT atau sebaliknya FTT karena
kelainan makan. Menurut Goldbloom (1987), FTT hanya merupakan diagnosis morfologis
dan tidak mendeskripsikan tentang proses terjadinya. Bithoney (1992) melengkapi dignosis
gangguan makan pada anak dengan proses kejadiannya: (1) organic FTT (FTT) dan (2)
nonorganic FTT (NOFTT), dimana NOFTT adalah gagal tumbuh tanpa etiologi medik, dan
diperkirakan bahwa NOFTT tersebut disebabkan oleh maternal deprivation (kehilangan
perhatian ibu).
Blackman (1993) mengetengahkan mekanisme timbulnya gangguan makan pada bayi
dapat disebabkan karena adanya faktor-faktor: (1) ketakutan, (2) anoreksia, (3) perkembangan,
(4) obstruksi, dan (5) kesakitan.
Alice Lawrence (2003) membagi mekanisme gangguan makan berdasarkan
penemuan Chatoor (1984) sebagai gangguan makan pada bayi dan anak (toodler) yang
mengalami kenaikan berat badan tidak adekuat selama satu bulan serta bukan
disebabkan kelainan organik dan timbul sebelum umur 6 tahun. Pembagian tersebut
adalah: (1) gangguan makan homeostasis (feeding disoder of homeostasis), (2) gangguan
makan karena kasih sayang (feeding disorder of attachment) dan (3) gangguan makan
karena perpisahan (feeding disorder of separation) atau anoreksia9 infantil (infantil
01
anorexia). Ketiga macam gangguan makan tersebut dipilah dengan
re t 2 pendekatan tinjauan
terhadap interaksi anak dan ibu.
9 Ma
stro
Gangguan makan homeostasis a G
p at
a
• Timbulnya pada waktu lahir sampai berumur k r 3 bulan
tuteratur
• Masukan sedikit dan pola makan tidak u n
• Waktu makan bayi rewel, mudah ro dan mengantuk
stcapai
G a
• Gagal tumbuh
Ajar
• u
Orang tua ketakutan,
Bukdepresif serta kurang peka terhadap isyarat bayi.
e
Fil
Gangguan makan karena kasih sayang
• Timbulnya antara umur 2 – 8 bulan
• Respons bayi terlambat, kontak mata, senyum, dan lambat mengoceh
• Perkembangan motorik dan kognitif terlambat
• Gagal tumbuh
• Orang tua biasanya menderita depresi, ganguan kepribadian dan psikososial stres
sehingga dalam perawatan makan anak terganggu dan tampak kurang kasih sayang.

Anoreksia infantil
Anoreksia infantil sebagai gangguan makan karena pemisahan atau separasi yang ditandai
dengan penolakan makan oleh bayi karena konflik berat antara hubungan ibu dengan anak
tentang otonomi, ketergantungan dan pengawasan. Keadaan tersebut muncul setelah anak
mampu mengatur dirinya dan membentuk ikatan dengan pengasuh utamanya.
• Timbulnya pada umur 6 bulan – 3 tahun, pada periode perubahan ke tahap
kemampuan untuk makan sendiri

69
Bab 4 Anoreksia pada Anak

• Penolakan makan oleh bayi, baik karena pergantian macam makanan atau
pergantian pengasuh
• Gagal tumbuh
• Perkembangan pada umumnya normal, kecuali pada kasus malnutrisi berat terjadi
keterlambatan motorik dan bicara
• Ibu merasa bahwa nafsu makan (apatis) anaknya rendah, rewel dan selalu minta
perhatian serta selalu menolak keinginan ibu. Sedangkan ibu selalu memaksa anaknya
untuk makan walaupun dengan disertai memberikan mainan. Penolakan makan
tadi tidak disebabkan oleh traumatik fisik ataupun kelainan organik, tetapi hubungan
ibu dan anak cenderung kurang lentur karena ibu selalu memaksakan kehendaknya
yang disertai marah dan kurang mengikuti keinginan anak. Nampaknya anak dengan
anoreksia infantil mengalami kesulitan dalam perkembangan pada tahap periode
perpisahan dan otonomi sehingga kemudian akan tumbuh dengan temperamen yang
mungkin menyulitkan.

Anoreksia nervosa
Anoreksia nervosa adalah kelainan makan yang ditandai dengan keinginan obsesif untuk
tetap kurus, sama sekali tidak menghiraukan kebiasaan makan dan penurunan 9 berat badan
2 01
dan mempunyai dampak yang kuat terhadap perubahan psikologis t dan fisiologis. Anoreksia
Mare
nervosa adalah penyakit yang akan mempengaruhi seluruh 9 sistem organ, terutama
kardiovaskular dan sistem endokrin. Anoreksia nervosa stro sering diikuti oleh komplikasi
Ga
organ diantaranya adalah pencernaan, ginjal, p at reproduksi, neurologis, orofasial. Pada
umumnya banyak diderita oleh gadis, sex ra laki-laki : perempuan adalah 1:10, umur
k ratio
ntu
tro u (adolescent). Riwayat penyakit sangatlah penting
tidak terbatas yang dimulai sejak dewasa
as
untuk keberhasilan rencana pengobatan dan bukan untuk menelaah kelainan makan saja.
Aspek-aspek penting adalah j arG
assesemen medik, yang berfokus pada komplikasi kekurangan
u A
u k
nutrisi dan detail mengenai penurunan berat badan.
e B
Fil
Gejala klinis :
• Gejala vital: hipotensi, bradikardi, hipotermia
• Kulit kering, hiperkarotin, lanugo, akrosianosis
• Buah dada menyusut
• Kelenjar paratiroid dan kelenjar submandibular membengkak
• Keluaran kardiak (komplek QT) memanjang, masa ventrikularberkurang, katup mitral
kolaps (echo)
• Gejala dilatasi usus sebagai kostipasi dan berkurangnya motilitas usus
Gejala kesehatan mental: Inti dalam penyusunan diagnosis kesehatan mental adalah
mengorek adanya kelaianan emosional dan sikap, penilaian resiko terjadinya bunuh diri,
serta menggali konteks psikososial dari gejala-gejala.
Penyebab anoreksia nervosa adalah kompleks, meliputi isu biologis, psikologis dan
sosial, dan lebih ke arah kelainan mental daripada kelainan perkembangan. Sehingga dalam
menelaah penyebabnya dapat dikelompokan dalam faktor-faktor predisposing, precipitating
dan perpetuating.

70
Buku Ajar Gastrohepatologi

a. Predisposing factor (faktor yang memudahkan timbulnya): gadis, risalah dari keluarga
dengan personalitas perspektif, gangguan komunikasi dengan emosi negatif, kesulitan
memecahkan masalah dan empati yang rendah.
b. Precipitating factor (faktor yang sering berhubungan): gadis berumur 10 – 18 tahun
dengan gangguan seksualitas, konflik identitas, masalah otonomi kebebasan dan
masalah perjodohan dan perkawinan.
c. Perpetuating factor ( faktor rumatan): isu emosio-biologis pada fase pemberian makanan
pada keadaan malnutrisi atau isu psikologis pendekatan sistem dalam keluarga.

Maka secara singkat, diagnosis diferensial anoreksia sebaiknya melalui pendekatan


gangguan makan pada anak atau turunnya apatis, sebagai berikut:
1. Kelainan organik
1.1. Penyakit infeksi:
1.1.1. Sistemik: tifus, proses spesifik
1.1.2. Organik: hepatitis, enteritis, tukak lambung
1.2. Noninfeksi : karies, aphtoe, lingua geographica, vertigo
2. Kelainan metabolik : bilirubinemia, uremia, anemia dan rendahnya kadar besi serum
3. Keganasan: lokal maupun sistemik
9
4. Hubungan anak-ibu (maternal deprivasion) 2 01
re t
4.1. Anoreksia homeostasis
9 Ma
4.2. Anoreksia karena kurangnya kasih saying (attachment) ro
4.3. Anoreksia infantil (infantile anoreksia) G ast
at
5. Anoreksia nervosa
krap
u ntu
ro
4.6 Tata laksana Anoreksia
G Anak ast
jar A u
Menurut Margareth (2003)
Buk tata laksana anoreksia anak lebih mementingkan keberhasilan
e
dalam meningkatkan Fil nafsu makan anak daripada secara teliti mencari penyebabnya.
Pemeriksaan, baik secara klinis maupun psikologis, selain menentukan penyebab yang
multi kompleks juga memeriksa akibat dari anoreksia yang telah berlanjut itu. Tahapan
penatalaksanaan adalah:
(a). Umur (bayi, baduta/ toddler, anak sekolah, dewasa muda atau dewasa).
(b). Hubungan antara anak, orang tua atau pengasuh, dan makanan.
Pada anoreksia anak, sangat mutlak untuk melihat hubungan anak dan makanan, baik
fisik makanan sebagai macam, citarasa, bentuk dan rupa, juga waktu dan cara penyajian
sangatlah penting. Dari pemeriksaan secara klinis dan laboratoris serta penunjang
dapat ditelusuri faktor penyebab anoreksia yang kompleks tersebut serta komplikasinya.
Pemeriksaan psikologis, psikiatris serta pendekatan sistemik (systemic approach) ibu,
bapak, pengasuh dan lingkungan keluarga mutlak dilakukan.
(c). Pemeriksaan fisik, laboratoris dan penunjang diperlukan untuk menentukan faktor
penyebab, akibat, ataupun komplikasi yang terjadi.

71
Bab 4 Anoreksia pada Anak

4.7 Ringkasan
Anoreksia pada umumnya diartikan sebagai berkurangnya nafsu makan (apatis), dan
nafsu makan tersebut sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran yang
dikontrol oleh pusat lapar di hipotalamus lateralis dan pusat kepuasan di hipotalamus
medialis. Pusat di hipotalamus tadi mengontrol pusat di atasnya yang bertanggung jawab
terhadap pusat salivasi, pengunyahan, dan penelanan. Disamping itu nafsu makan juga
dipengaruhi oleh gabungan faktor-faktor neurologis, metabolik, dan hormonal, diantaranya
adalah sitokin, termasuk THF, IL-1, IL-6, IL-8 dan INF-∂. Nafsu makan yang berkurang atau
anoreksia sangat dipengaruhi oleh sifat manusia sebagai mahkluk biopsikososiokultural
spiritual, sehingga untuk menegakkan diagnosis serta penatalaksanaannya selayaknya
melalui pendekatan tersebut. Secara praktis telaah anoreksia dilakukan melalui pendekatan
gangguan makan sebagai:
1. Kelainan organik: penyakit infeksi dan non infeksi
2. Kelainan nonorganik sebagai metabolik, keganasan, dan gangguan psikoemosional
sebagai hasil interaksi antara anak dengan orang tua atau pengasuh. Faktor tersebut
akan berpengaruh pada perkembangan anak, baik pada periode penyapihan maupun
remaja.
9
Penatalaksanaan anoreksia secara umum harus sangat terkait 2 01dengan analisis faktor
re t
tersebut diatas, diperdalam dengan pemeriksaan yang detil
9 Masehingga dapat memberikan
o
tindakan yang menyeluruh. str a
G
p at
r a
Daftar Pustaka ntu
k
u
1. ro
Abraham, S., Jones, D.L. Eating Disorders, The Facts. 47-57. Oxford University Press. 1992.
2. Blackman. Children Who RefuseG ast Food. Comtamporary Pediatric Archive. October. 1993.
3. jar failure to thrive: A developmental Perspective Pediatric Annals.
Chatoor, I. et al . Non–organic
A
1984: 13: 829-834.uku
eB
4. Fil Anorexia., www.vetmedcenter.com., 2000.
Harrington D.P.
5. Kerwin, M. L. E. Empirically Supported Treatment in Pediatric Psychology. Journal of Pediatric
Psychology. 1999; 24(3): 193-214.
6. Kleinman, R. E. Pediatric Nutrition Handbook. Amer. Acad of Ped. 1998: 328-329.
7. Lawrence,A. Feeding Disorders of Infant and Toodlers in The Child Advocate. Penn State
College of Medicine. 2004.
8. Limburt, J. D. A. et al.Eating Disorders : Anorexia. www.eMedicine-Eating Disorders.com. 2003.
9. Maloney, M.J. et al. Treament Sequence for Severe Weight loss in anorexia nervosa; Int. Journal
of Eating Disorders. 1983; 2(2): 53 – 58.
10. Nakai, Y et al Plasma Concentrations of Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-alpha) and Soluble
TNF Receptors in Patients with Anorexia Nervosa J.Clin Endocrinol Meta. 1999; 84(4): 1226-
1228.
11. Robin, A. L. et al . Treatment of Eating Disorders in Children and Adolescents., Clinical
Psychology Review. 1998; 18(4): 421-446.
12. Stoppler, Melissa Conrad. Anorexia Nervosa. www.Medicinet.com. August 2, 2009.

72
BAB

5
Gagal Tumbuh pada Penyakit
Gastrointestinal
Rusdi Ismail

5.1 Ilustrasi kasus


Seorang anak perempuan berkonsultasi pertama kali pada usia 6 bulan. Sejak bayi
menderita batuk hilang timbul 2-3 kali sebulan, kadang-kadang nafas berbunyi, terutama
di malam hari. Berat badan lahir 3300 g (>persentil 50 standar NCHS), panjang badan 51
cm (>persentil 50). Berat badan sulit sekali naiknya. Saat pemeriksaan awal berat badan
hanya 4100 g (< persentil 3), panjang badan 66 cm (pada persentil 25), lingkar kepala 43
cm (>persentil 25). Anak belum bisa tengkurap. Dari lahir diberi ASI, tetapi karena berat
badan tidak naik, dibantu susu botol sejak usia 3 bulan. Kadang-kadang anak mengalami
gumo. Tidak ada manifestasi atopik lain pada anak. Riwayat reaksi atopik pada ibu dan ayah
juga negatif. Berdasarkan observasi refluks sehabis minum, ditegakkan diagnosa klinis:
anak menderita batuk berulang yang dipresipitasi refluks gastro-esofageal. Dengan terapi
obat prokinetik, pengaturan posisi dan nasihat makanan, pada usia 12 bulan berat badan
naik menjadi 8900 g (>persentil 10), panjang badan 74 cm (>persentil 25), lingkar kepala
46 cm (pada persentil 25), dengan berat badan untuk tinggi >persentil 25) dan anak telah
kuat merangkak.

5.2 Pendahuluan
Tumbuh kembang merupakan proses penumbuhan (dimensi fisik) dan pengembangan
(dimensi fungsi) potensi genetik menjadi potensi dewasa. Ada tiga kelompok faktor
penentu keberhasilan: (1) kecukupan dan keselarasan pasokan nutrien, sebagai bahan baku
dan bahan bakar, (2) stimulasi dan interaksi fisik dan psikososial sebagai pemicu dan
pemacu spektrum dan arah tumbuh kembang, (3) penyakit yang dapat menganggu dan
merusak struktur dan fungsi, baik secara temporer maupun permanen. Gangguan pada
kedua faktor penentu pertama dan dampak buruk faktor penentu ketiga dapat memperlambat
atau menghambat proses tumbuh kembang. Jika intensitasnya telah mencapai kriteria
tertentu, dinamakan anak menderita gagal tumbuh (GT). Pengaruh ketiga faktor ini

73
Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal

lazimnya saling terkait. Misalnya kecukupan gizi mempengaruhi prevalensi penyakit;


tingkat rasa aman dan stabilitas emosi mempengaruhi nafsu dan kapasitas makan; dan
penyakit tertentu dapat mengubah pola perilaku anak.
Dapat dimengerti bahwa penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan GT. Di lain
pihak setiap GT, apapun penyebabnya, dapat menimbulkan kelainan struktur dan fungsi
saluran pencernaan. Lebih dari itu rehabilitasi gizi lazimnya merupakan pintu masuk
dalam menanggulangi GT. Sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh GT memiliki dimensi
gastroenterologi.

5.3 Definisi
GT adalah terhenti atau melambatnya pertumbuhan dan perkembangan secara signifikan.
Ada tiga pengertian dalam bahasa Inggris yang bermanfaat untuk dipahami terkait dengan
GT (failure to thrive): (1) wasting (diterjemahkan menjadi “kerempeng”) mengacu pada
keadaan sewaktu, (2) stunting (diterjemahkan menjadi “kerdil”) mengacu pada hasil akhir,
(3) catching up (diterjemahkan menjadi “kejar tumbuh”) mengacu pada pencapaian upaya
rehabilitasi. Kaitan ketiga pengertian ini tercermin dalam keadaan berikut: saat GT terjadi
9
anak dapat terlihat “kerempeng”. Meski kecepatan tumbuh kembang
2 01 dapat dipacu kembali
menjadi normal, jika “kejar tumbuh” tidak terjadi, anak akan t
re tumbuh menjadi manusia
dewasa yang potensinya lebih rendah dari potensi genetiknya 9 Ma dan dalam keadaan ekstrim
ro
dapat dikelompokkan sebagai “kerdil”.
G ast
at tumbuh kembang yang dipakai berada
ap
Batasan operasional GT adalah nilai indikator
r
k
dalam persentil ketiga atau menurun lebih
u ntu dari satu kuartil berturut-turut selama dua bulan
o
pada anak usia kurang dari 6 bulanstrdan tiga bulan pada anak berusia 6 bulan keatas.
a
G
Ajar
u
5.4 Kejadian Buk
i l e
F
Data kejadian GT, khususnya di Indonesia, sangat terbatas. Kompilasi data yang dilakukan
tim WHO menunjukkan bahwa di negara berkembang sekitar 10-80% anak usia 3 tahun
dapat dikategorikan kerdil, sedangkan di negara maju hanya di bawah 3% (Tabel 5.4.1).
Sebagian besar anak yang kerdil ini nantinya setelah dewasa tidak kelihatan sakit.
Ada yang memakai istilah small but healthy. Beberapa studi memperlihatkan disamping
lebih pendek, anak yang kerdil kemampuan fisiknya lebih rendah, IQ rata-ratanya lebih
rendah, serta kemampuan imunitasnya terbatas. Kinerja mereka juga lebih rendah. Angka
kematian mereka jauh lebih tinggi. Jelas bahwa pencapaian potensi dewasa mereka tidak
sesuai dengan potensi genetiknya. Satyanarayana dari India menyimpulkan telah terjadi
suatu adaptasi biologis sehingga mereka tetap kelihatan sehat tetapi semuanya bergerak
dalam skala yang lebih rendah.
Data pada tabel 5.4.1 menunjukkan 79% anak Indonesia pada usia 3 tahun pada tahun
1977 dikategorikan kerdil. Prosentase ini mungkin terlalu tinggi, antara lain karena standar
yang dipakai berdasar data NCHS, yang mungkin terlalu tinggi untuk anak Indonesia.
Bagaimanapun kita yakin permasalahan yang dihadapi dunia berkembang sebagaimana
diuraikan di atas kita temukan pula di Indonesia. Data dari beberapa negara (Gambar 5.4.1)

74
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 5.4.1. Prevalensi stunting pada usia 3 tahun


Negara Tahun Persentase
Etiopia 1982 42
Zambia 1972 44
Nigeria 1980 28
Bolivia 1981 60
Peru 1985 52
Jamaika 1970 9
Bangladesh 1983 79
Indonesia 1977 79
Mesir 1978 37
Pakistan 1984 14
Palestina 1984 17
Filipina 1982 43
Papua New Guinea 1970 57
Sumber: WHO, 2005.
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 5.4.1. Tinggi rata-rata anak usia 7 tahun golongan sosial ekonomi tinggi(2) dan rendah(-->)

menunjukkan terdapatnya perbedaan tinggi sekitar 10 cm pada anak usia 7 tahun antara
anak dari keluarga mampu dan keluarga miskin. Pada awal milenium ketiga ini sekitar 20%
penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.

75
Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal

5.5 Etiologi
GT hanyalah kumpulan gejala. Spektrum penyebabnya sangat luas dan saling berinteraksi.
Lazimnya dikelompokkan menjadi dua, kelompok non-organik dan kelompok organik.
Kelompok non-organik umumnya muncul berupa penyimpangan pola asuh dan/atau
interaksi ibu dan anak yang bermuara pada kurangnya pasokan gizi dan penyimpangan
stimulasi fisik dan psikososial.
Berbagai kelainan pada semua organ dan sistem dapat menimbulkan GT (kelompok
penyebab organik), termasuk kelainan gastrointestinal. Untuk membantu sistematika
pendekatan diagnostik, kelainan gastrointestinal dapat dipilah mejadi:
• Kelainan organik atau fungsional yang mengganggu fungsi motorik saluran pencernaan,
yang mengakibatkan gangguan pasase makanan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua
tingkatan saluran pencernaan, mulai dari palato-gnato skhisis, striktura esofagus,
khalasia/akhalasia, refluks, pseudoobstruksi, penyakit Hirschsproeng, termasuk
sindroma usus iritabel dan lain sebagainya.
• Kelainan organik/fungsional yang menimbulkan ganguan fungsi sekresi dan digesti.
Lazimnya berupa kelainan kongenital atau berupa gangguan metabolisme bawaan
9
lahir. Misalnya akhlorhidria, gangguan glikosilasi kongenital, hipobetalipoproteinemia
2 01
kongenital, dan lain sebagainya. re t
Ma
• Inflamasi non-infektif dan infeksi spesifik saluran 9pencernaan. Termasuk penyakit
ro
st
Crohn, penyakit inflamasi kolon, serta infeksi Helicobacter pylori.
• Lingkaran setan kompleks diare-MEP(malnutrisi t Ga energi protein)-infeksi.
a
Di negara maju sebagian besar GT k rap
disebabkan kelainan non-organik. Di negara
berkembang sebagain besar GT disebabkanu ntu oleh kompleks diare-MEP-infeksi. Jauh lebih
ro
tingginya kejadian GT/kerdilGdi ast negara berkembang, disamping disebabkan besarnya
A jar
peranan kompleks diare-MEP-infeksi, juga disebabkan terlambat dan kurang adekuatnya
u
penanggulangan penyakit ku organik, misalnya terlambatnya tindakan koreksi pada kelainan
B
jantung bawaanFile

5.6 Patogenesis
Baik pada kelainan non-organik maupun pada kelainan organik, kurangnya pasokan gizi
dibandingkan dengan kebutuhan merupakan mekanisme utama munculnya GT.
Terdapat interaksi timbal balik antara hubungan ibu dan anak. Ibu harus reseptif
dan responsif terhadap berbagai bentuk komunikasi anak (tawa, tangis, mimik, celotehan,
dsb), termasuk ungkapan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis anak yang mencakup
kebutuhan akan makanan, tidur, lingkungan yang higienis dan hangat, proteksi terhadap
rasa sakit, trauma dan penyakit. Ibu juga harus reseptif dan responsif dalam berinteraksi
secara psikis dan emosional dengan anak agar anak senang dan puas. Kegagalan interaksi
ini dapat dalam bentuk kuantitas, sehingga kebutuhan fisiologis dan atau psikologis anak
tidak terpenuhi. Dalam kondisi yang ekstrim dinamakan terjadi deprivasi pada anak.
Tetapi kegagalan juga dapat terjadi pada ketidakserasian pola kepribadian/perilaku anak
dengan perilaku/ekspektasi ibu. Kegagalan interaksi ini dapat menimbulkan anoreksia,

76
Buku Ajar Gastrohepatologi

rasa tidak aman, ansietas, depresi, menarik diri dan lain sebagainya pada anak. Gangguan
proses interaksi dan pola asuh ini dapat menimbulkan berkurangnya pasokan nutrien serta
gangguan pola stimulasi yang dapat bermuara pada GT.
Kelainan atau penyakit dapat menimbulkan kurangnya makanan yang disediakan,
anoreksia, gangguan digesti dan absorpsi, kehilangan nutrien serta meningkatnya
kebutuhan. Lebih dari itu defisit dan gangguan stimulasi, baik fisik maupun psikososial
tidak hanya berpengaruh pada pola perkembangan fungsi tetapi juga dapat menghambat
pertumbuhan fisik.
Pada kelainan organik tertentu, meskipun pasokan gizi dan stimulasi cukup, GT dapat
muncul. Misalnya akibat defisiensi enzim atau kelainan hormonal. Kelainan enzim atau
hormon ini tetap mempunyai dimensi gizi, karena patogenesisnya mencakup gangguan
pendayagunaan nutrien tertentu.
Penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan: (1) gangguan fungsi motorik, baik
berupa obsruksi, gangguan propulsi, maupun menurunnya kapasitas tampung, dan (2)
gangguan digesti dan absorpsi; yang akhirnya bermuara pada berkurangnya absorpsi
nutrien.
Patogenesis kompleks diare-MEP-infeksi tercermin dalam konsep yang dikembangkan
9 usus dianggap
kelompok kerja Lebenthal (Gambar 5.6.1), dimana kerusakan/atrofi mukosa
2 01
merupakan titik sentral dari lingkaran setan keadan patologis yang t
re ditimbulkan diare yang
mencakup malabsorpsi, gangguan hormonal, infeksi berulang, 9 Ma tumbuh ganda, absorpsi
ro
G ast
protein asing yang menimbulkan reaksi alergi, dan gangguan regenerasi vili. Semuanya
dapat bermuara pada semakin beratnya MEP. Jika p atberlanjut dapat berakhir dalam bentuk
ra
GT. tuk n
u
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Infeksi dan Malnutrisi energi
tumbuh ganda protein

Kerusakan muko-
sa usus berlanjut

Gangguan
regenerasi vili hormon enterik

Absorpsi protein
asing

Gambar 5.6.1. Lingkaran setan kompleks diare–MEP–infeksi.

77
Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal

Lazimnya munculnya kompleks diare-MEP-infeksi dipicu oleh munculnya diare atau


infeksi tertentu, misalnya morbili. Sebagian besar GT menimbulkan kurang gizi, sehingga
apapun etiologinya, khususnya di negara berkembang, GT yang disebabkan kelainan
organik atau non-organik dapat diperberat oleh kompleks diare-MEP-infeksi.

5.7 Manifestasi Klinis


Anak kelihatan lebih “kecil” dari semestinya. Melalui pengukuran antropometrik dan
diplot pada grafik tumbuh kembang yang sesuai, anak yang kelihatan kecil ini dapat dipilah
menjadi MEP, pendek atau dismorfi. Temuan MEP mungkin disertai gejala terkait, misalnya:
edema, rambut jarang mudah dicabut, lemak subkutan menipis, distrofi otot, dan lain
sebagainya. MEP tentu dapat disertai dengan gejala spesifik defisiensi mikronutien, misalnya
gejala avitaminosis. Lebih lanjut manifestasi MEP dapat disertai dengan gejala yang terkait
dengan kompleks diare-MEP-infeksi.
Pendek atau dismorfi dapat ditemukan pada kelainan metabolik/neuroendokrin.
Tentu dapat pula ditemukan kelainan lain sesuai faktor penyebab.
Anak dapat kelihatan gelisah, iritabel dan banyak menangis, atau 9 sebaliknya pasif dan
2 01
diam. Temuan ini lazimnya berkaitan dengan latar belakang psikososialt ibu yang tercermin
dalam pola asuh serta pola interaksi ibu dan anak. Mare
9
Gejala penyebab organik bervariasi sesuai jenisnya. stro Gejala yang terkait kelainan
t Ga
a melalui penelusuran gejala terkait yaitu
gastrointestinal dapat didentifikasi secara sistematis
ap
k r perut dan lain sebagainya.
makan/menelan, defekasi, muntah, diare,tusakit
un
ro
G ast
jar
5.8 Diagnosis Buk
u A
l e
Fi
Petunjuk atau kecurigaan klinis bahwa kita mungkin berhadapan dengan GT adalah anak
kelihatan lebih “kecil” dari semestinya. Sebagai tindak lanjut ada tiga aspek diagnostik
yang harus ditegakkan. Pertama, menetapkan apakah telah terjadi GT, untuk memacu
kita melakukan langkah penanggulangan dan pencegahan agar “kejar tumbuh” dapat
menjadi maksimal dan risiko terjadinya “kerdil” menjadi minimal. Kedua, mengelaborasi
permasalahan klinis yang dihadapi anak sehingga langkah pemulihan dan rehabilitasi dapat
direncanakan. Ketiga, menetapkan faktor penyebab sehingga disamping terapi kausal,
langkah pencegahan dan promotif dapat direncanakan.
Diagnosis GT ditegakkan berdasarkan pengukuran antropometrik. Indikator utama
yang dipakai adalah umur, berat dan panjang/tinggi. Dengan membandingkannya dengan
nilai standar (lazim dipakai data NCHS) diterjemahkan menjadi tiga indikator: berat untuk
umur, tinggi untuk umur dan berat untuk tinggi. Indikator berat untuk tinggi lebih mencerminkan
keadaan patologis sewaktu, sehingga lebih lazim dipakai sebagai dasar diagnosis GT.
Nilai yang didapat diplot dalam grafik pertumbuhan. Ada dua cara membuat acuan
kurva baku pertumbuhan: (1) berdasarkan simpangan dari mean, kurva baku atas = mean
+ 2SD, diikuti mean + 1SD, mean, mean - 1SD dan kurva paling bawah mean - 2SD, (2)
berdasarkan persentil dimana kurve paling atas = sentil 97, diikuti sentil 75, sentil 50, sentil

78
Buku Ajar Gastrohepatologi

25 dan sentil 3. Anak dengan kurva pertumbuhan berdasarkan berat untuk tinggi, berada
di bawah sentil 3 atau mean - 2SD, atau kurva pertumbuhannya turun melewati dua garis
baku kurva pertumbuhan berturut-turut selama dua bulan pada anak berusia kurang
dari 6 bulan, atau berturut-turut 3 bulan pada anak usia 6 bulan atau lebih dianggap telah
menderita GT.
Berdasarkan kriteria di atas diagnosis GT membutuhkan pengamatan longitudinal.
Tetapi secara klinis kita dapat menegakkan diagnosis GT berdasarkan riwayat sehingga
berdasarkan pengamatan retrospektif dapat diperkirakan telah terjadi hambatan
pertumbuhan yang telah berlangsung lama, sehingga dapat diperkirakan telah memenuhi
kriteria diagnostik di atas.
Indikator tinggi untuk umur dan berat untuk umur tetap bermanfaat untuk
dianalisis untuk lebih memahami proses gangguan pertumbuhan yang terjadi serta faktor
penyebabnya. Pemahaman akan lebih rinci jika dibantu dengan pengukuran lingkar kepala,
tebal lemak subkutan, serta proporsi bagian tubuh.
Indikator perkembangan fungsi, meskipun tidak dipakai untuk menegakkan diagnosis
GT karena lebih bersifat kualitatif tetap harus dinilai, misalnya dengan memakai standar
DDST. Keberhasilan penanggulangan dinilai tidak hanya melalui perbaikan indikator
antropometrik, tetapi juga melalui indikator fungsi. 9
2 01
Kondisi klinis anak sangat tergantung pada faktor penyebab t
re dan penyakit penyerta
yang harus dielaborasi gejalanya dan ditegakkan permasalahan 9 Mayang ditimbulkannya. Kita
ro
harus mengelaborasi sampai di mana telah terjadi gangguan
G ast fungsi vital serta muncul
keadaan yang membahayakan kehidupan seperti t
ahipoglikema atau hipotermia sehingga
rap
langkah resusitasi dan stabilisasi dapat segeratu k
dilakukan. Nafsu makan, kemampuan makan
dan kemampuan pencernaan anak harus u ndinilai sehingga langkah rehabilitasi gizi dapat
a stro
dimulai. Kedaruratan serta gangguan G makan ini umumnya terkait dengan kompleks diare-
MEP-infeksi. Bagi kita di negara
Ajarberkembang penting untuk mengelaborasi sampai di mana
u
uk telah berkembang, termasuk sampai di mana manifestasi
kompleks diare-MEP-infeksi
B
e
Fil menjadi masalah. Lebih lanjut perlu ditelusuri penyakit penyerta
defisiensi mikronutrien
yang masih aktif serta permasalahan klinis yang ditimbulkannya.
Kemungkinan gangguan pola asuh dan interaksi ibu dan anak sebagai penyebab GT
dapat diduga melalui perilaku anak; kita dapat berhadapan dengan anak yang gelisah,
iritabel dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan diam. Berdasarkan pengalaman di
negara maju, deskripsi dan kepastian terjadinya deprivasi, pengacuhan dan penyimpangan
pola asuh anak, sulit untuk dielaborasi dan ditegakkan diagnosisnya melalui wawancara/
pengamatan di tempat praktik dokter anak. Peranan faktor ini dapat dibuktikan secara
eks-juvantibus dengan merawat anak di rumah sakit, dalam arti kata mengalihkan
pengasuhan anak dari ibu ke petugas kesehatan. Melalui langkah rehabilitasi gizi intensif
disertai dengan asuhan yang atentif dan hangat, biasanya pemulihan dengan cepat terjadi.
Diagnosis penyimpangan perilaku ibu lazimnya membutuhkan penilaian psikologis oleh
ahlinya.
Faktor penyebab organik non-gastrointestinal ada yang dengan mudah diidentifikasi
misalnya kelainan jantung bawaan, tetapi ada juga yang membutuhkan kejelian karena
jarang ditemukan serta membutuhkan pemeriksan yang lebih rumit misalnya kelaian
endokrin atau penyakit metabolik.

79
Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal

Diagnosis kelainan organik gastrointestinal dapat dikenal melalui penelusuran gejala


utama kelainan gastrointestinal seperti gangguan menelan, muntah, nyeri abdomen, diare
serta konstipasi. Temuan gejala menjuruskan kita untuk memikirkan sampai di mana
terjadi kelainan fungsi motorik, fungsi digesti dan/atau fungsi absorpsi. Kepastian diagnosis
fungsional, serta kelainan struktur yang mendasarinya tentu harus didukung dengan
pemeriksaan penunjang yang sesuai. Lebih lanjut ditelusuri diagnosis kausal kelainan
yang ditemukan. Referensi pelaksanaan rangkaian proses ini tentu harus mengacu pada
keseluruhan isi buku ajar ini.

5.9 Terapi
Spektrum terapi GT sangat bervariasi sesuai perbedaan penyebab, keberadaan penyakit
penyerta, spektrum keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung,
derajat MEP, serta gannguan pola asuh dan interaksi ibu-anak. Tetapi secara umum
rehabilitasi gizi merupakan langkah awal terapi yang dapat dijadikan pintu masuk untuk
melaksanakan penaggulangan secara menyeluruh.
Pola penanggulangan MEP yang dikembangkan Bagian IKA FKUI dapat dijadikan
sebagai acuan perencanaan rehabilitasi gizi, melalui pendekatan 4 tahap:9 fase penyelamatan,
2 01
fase penyesuaian, fase pemulihan dan fase pembinaan. re t
Pada fase penyelamatan dilaksanakan resusitasi 9dan Ma stabilisasi gangguan fungsi
tro
vital misalnya mengatasi syok/dehidrasi berat sertaasmenanggulangi komplikasi misalnya
t G
hipotermia atau hipoglikemia. a
rap
Pada fase penyesuaian, melaluitukpemberian makanan bertahap jumlah dan
n anak untuk makan dalam jumlah dan volume
komposisinya, kita membiasakan kembali
trou
yang besar serta memilih makanan as secara selektif sesuai denngan kapasitas pencernaan
anak. Pada fase penyesuaian j ar Gkita juga harus memulai penanganan terfokus terhadap
A
defisiensi mikronutrien
u ku serta mengobati penyakit penyerta. Terapi kausal juga dapat
eB
Fil menunggu sampai keadaan umum anak lebih baik yaitu pada fase
dimulai atau dapat
berikutnya. Penyakit penyerta dan penyakit yang mendasari GT tentu harus ditanggulangi
sesuai dengan standar yang berlaku.
Pada fase pemulihan kita memberikan makanan berimbang dengan prosentase kalori
120% - 200% dari perhitungan kebutuhan berdasarkan berat badan. Sasaran kita adalah
mengupayakan kejar tumbuh maksimal. Langkah penyelamatan dan penyesuaian lazimnya
dilakukan di rumah sakit. Fase pemulihan dan pembinaan dilakukan melalui rawat jalan.
Kita harus memberikan nasihat gizi yang operasional, yang secara wajar diperkirakan
dapat dilaksanakan ibu di rumah. Misalnya bagi keluarga mampu kita dapat menganjurkan
pemakaian formula nutrisi lengkap dengan kalori 1 kkal/ml. Sebagai alternatif bagi yang
kurang mampu kita dapat menerapkan konsep “multi-mixed” dari Cameron, di mana
berdasarkan ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan lokal, ibu diajarkan untuk
menyusun menu berdasarkan kombinasi bahan yang ada, berdasarkan pengayaan bahan
pokok (beras) dengan pilihan cerdik sumber protein lokal disertai pemanfaatan minyak
untuk meningkatkan kalori.
Pada fase pembinaan dilaksanaan langkah promotif dan preventif agar GT tidak
muncul kembali. Telah dibuktikan, peningkatatn stimulasi fisik dan psiko sosial akan
meningkatkan keberhasilan upaya promotif secara keseluruhan.

80
Buku Ajar Gastrohepatologi

Keberhasilan rehabilitasi gizi membuka peluang bagi penyaji untuk memberikan


konseling pada ibu. Jika dilaksanakan secara bijak tanpa sikap menuding dan menggurui,
lazimnya dapat memperbaiki pola asuh anak serata peningkatan interaksi ibu dan anak.

5.10 Prognosis
Perkembangan longitudinal indikator antropometrik seorang anak dinyatakan dalam
persentil terhadap nilai standar, lazimnya berada pada track tertentu. Anak yang menderita
GT track pertumbuhannya akan menurun. Meskipun GT berhasil ditanggulangi, jika GT
berlangsung lama atau berat, track pertumbuhan anak dapat menetap pada jalur yang lebih
rendah. Penurunan permanen track ini hanya terjadi pada GT usia muda, di bawah usia
5 tahun. Untuk itu kita kita harus memberikan perhatian khusus agar GT pada usia muda
ini dapat dicegah atau ditanggulangi sedini dan seadekuat mungkin. Jika track menetap
pada jalur di bawah 3 persentil (mean-2SD) anak akan menjadi dewasa sebagai orang
kerdil. Secara umum dapat dikatakan, jika terjadi penurunan track pertumbuhan secara
permanen, berarti proses penumbuh-kembangan potensi genetik menjadi potensi dewasa
kurang berhasil.
Sepenuhnya disadari, penurunan track pertumbuhan, akan disertai 9 penurunan
2 01
optimasi perkembangan, baik fisiologis maupun psikososial. Penurunan t kedua dimensi
Mare
tumbuh kembang ini akan menurunkan pula kesempatan9 anak nantinya untuk hidup
ro
secara produktif dan kompetitif setelah dewasa.
G ast
Telah diketahui pertumbuhan dan perkembangan at normal suatu organ dan sistemnya
r ap
yang terkait tidak berlangsung secara linier. kTerdapat waktu puncak (sesuai umur anak)
u ntu
tingkat pertumbuhan dan perkembangan ro yang berbeda untuk berbagai organ dan system
ast organ atau sistem organ sedang berada pada puncak
organ. GT yang terjadi pada saat suatu
G
pertumbuhan dan perkembangan Ajar akan menimbulkan gangguan dan defisit yang lebih
u
menonjol pada organ B uk sistem organ tersebut. Sehungga sesuai dengan waktu puncak
atau
e
il GT yang lazimnya muncul pada usia bayi akan sangat berpengaruh
tumbuh kembang F otak,
terhadap tumbuh kembang otak serta potensi intelektual anak nantinya setelah dewasa.2,10,11
Keberhasilan kejar tumbuh disamping ditentukan oleh kedinian dan intensitas
penggulngan GT, tentu juga ditentukan sampai di mana faktor penyebab dapat di
sembuhkan.
GT yang datang dengan kelainan fungsi vital apalagi kalau disertai gangguan
pencernaan yang berat dengan angka kematian kasus yang cukup tinggi, pada masa
dahulu dapat mencapai 30% - 50%. Tetapi dengan acuan penanganan MEP berat yang
dikembangkan WHO yang juga telah diadopsi di Indonesia, dimana melalui pemahaman
tentang gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan sistem kardivaskuler, serta berbagai
dimensi defisiensi nutrien, telah disusun langkah stabilisasi dan pemulihan yang sesuai
sehingga angka kematian kasus dapat ditekan mendekati 10%. GT yang telah mencapai fase
pemulihan lazimnya angka kematian kasusnya sangat rendah.

81
Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal

5.11 Pencegahan
Untuk kita di negara berkembang, dimana sebagian besar GT muncul dalam bentuk
kompleks diare-MEP-infeksi, langkah pencegahannya sejalan dengan upaya pencegahan
diare. Di samping menekan kejadian diare, kita harus melaksanakan penanggulangan tepat
guna agar diare tidak berlanjut dan dampak gizinya dapat ditekan menjadi seminimal
mungkin.
Identifikasi faktor risiko dan gejala dini deprivasi, pengacuhan anak dan penyimpangan
interaksi ibu dan anak dilanjutkan dengan pembinaan yang tepat dapat menekan kejadian
GT non-organik. Meskipun penanggulangannya secara tuntas membutuhkan disiplin lain,
permasalahan harus diidentifikasi oleh dokter anak.
Langkah lain yang layak untuk dilaksanakan adalah mengidentifikasi penyakit organik
termasuk kelainan gastrointestinal sedini mungkin, melakukan langkah korektif dan
penanggulangan lainnya seadekuat mungkin, disertai dengan bimbingan gizi dan pola asuh
yang baik agar kemungkinan munculnya GT dapat ditekan menjadi seminimal mungkin.

9
2 01
Daftar Pustaka are
t
1. American Academy of Pedaitrics. Failure to thrive (Pediatric 9 M
undernutrition). In: Kleinman RE,
ro
ast IL: American Academy of Pediatric.
ed. Pediatric Nutrition Handbook. 5th ed. Elk Grove Village,
G
2003: 443-457. at
r apClin North Am. Dec 1988; 35(6): 1187-206.
tuk
2. Farnk DA, Zeisel SH. Failure to thrive. Pediatr
3. Zanel JA Jr. Failure to thrive: a generalunpediatrician’s perspective. Pediatr Rev. 1997; 18: 371-378.
tro growth. In: kessler DB, Dawson P, eds. Failure to thrive
as
4. Sherry B. Epidemiology of inadequate
and pediatric undernutrition:
j ar Ga transdisciplinary approach. Baltimore: Brookes. 1999. 19-36.
A
ku a manual for physicians and other senior health workers Child Health/
5. WHO. Failure to thrive:
u
WHO.CDR 95.le2005.B
i
6. Levy Y, LevyF A, Zangen T, et al. Diagnostic clues for identification of nonorganic vs organic
causes of food refusal and poor feeding. J Pediatr Gastroenterol Nutr. MAr 2009; 48(3): 355-62.
7. Wright CM. Identification and management of failure to thrive: a community perspective. Arch
Dis Child. 2000; 82:5-9.
8. Hay WW. Current pediatric diagnosis and treatment. 15th ed. Norwalk, Conn: Appleton &
Lange. 2001: 250.
9. Sills RH. Failure to thrive. The role of clinical and laboratory evaluation. Am J Dis Child. Oct
1978; 132(10): 967-9.
10. Maggioni A, Lifshitz F. Nutritional management of failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Aug
1995; 42(4): 791-810.
11. Reif S, Beler B, Villa Y. Long-term follow-up and outcome of infants with non-organic failure to
thrive. Isr J Med Sci. Aug 1995; 31(8): 483-9.

82
BAB

6
Diare Akut
Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso

6.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak berumur 4 tahun diperiksa ke poliklinik karena mencret sejak dua hari yang
lalu. BAB sehari 6 kali cair, tak ada darah, tak ada lendir, dan muntah 1 kali. Saat dilakukan
pemeriksaan fisik anak tampak rewel, lahap ketika diberi minum. Mata tampak cekung,
turgor kulit lemah. Di rumah diberi minum biasa ditambah sup asam, tanpa diberi obat.

6.2 Pendahuluan
Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara
berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus
penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau
parasit. Walaupun umumnya self limited, dehidrasi masih merupakan penyebab morbiditas
yang serius serta kematian dari penderita.
Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan
oleh karena rata–rata sekitar 30 % dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit ditempati
oleh bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan primer,
diare masih menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi.
Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episod diare dapat
menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan
menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak
terhadap pertumbuhan dan kesehatan anak.

6.3 Definisi
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang
berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang
air besarnya lebih dari 3–4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih
bersifat fisiologis atau normal. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare

83
Bab 6 Diare Akut

yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi
cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada
seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan
ini sudah dapat disebut diare.

6.4 Epidemiologi
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk
Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak,
terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya
karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai
gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia hasil
Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang
terbanyak yaitu 42% dibandingkan pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab
kematian karena diare 25,2% dibandingkan pneumonia 15,5%.

6.5 Cara Penularan dan Faktor Risiko 2 01


9
re t
Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal–oral
9 Ma yaitu melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak ro langsung tangan dengan penderita
atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita G ast atau tidak langsung melalui lalat
at
(melalui 4 F = finger, flies, fluid, field). r ap
k
Faktor resiko yang dapat meningkatkan u ntu penularan enteropatogen antara lain : tidak
tro
memberikan ASI secara penuh untuk as 4 – 6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya
penyediaan air bersih, pencemaran
j arG air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK),
A
udan
kebersihan lingkungan u k pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan
e B
Fil dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa
yang tidak higienis
faktor pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara
lain : gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas
usus, menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.

Faktor umur
Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi
terjadi pada kelompok umur 6 – 11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping
ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya
kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan
kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak.
Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi
atau penyakit yang berulang, yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit
pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa.

84
Buku Ajar Gastrohepatologi

Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini meningkat
setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik
yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus,
bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan
penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari
adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
yang lain.

Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Didaerah sub tropik,
diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus
terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Didaerah tropik (termasuk
Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan
peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung
meningkat pada musim hujan.
9
2 01
Epidemi dan pandemi re t
Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan9 Ma epidemi dan pandemi
ro pada semua golongan usia.
yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian
G ast
t
Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh aV.pacholera 0.1 biotipe Eltor telah menyebar
ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin, k r
Asia, Timur Tengah dan di beberapa daerah
tu
di Amerika Utara dan Eropa. Dalamrokurun un waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1
st
menjadi penyebab wabah yang besar
r Ga di Amerika Tengah dan terakhir di Afrika Tengah
dan Asia Selatan. Pada akhir jatahun 1992, di kenal strain baru Vibrio cholera 0139 yang
kuA
menyebabkan epidemiBdi u Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah.
i l e
F
6.6 Etiologi
Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-kuman patogen telah
dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 75 % pada kasus yang datang disarana
kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan di masyarakat. Penyebab infeksi utama timbulnya
diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare akut
oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan inflammatory.
Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi enterotoksin
oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan
dan / atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh
bakteri yang menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin.
Beberapa panyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia adalah
sebagai berikut :

85
Bab 6 Diare Akut

Golongan Bakteri :
1. Aeromonas 8. Salmonella
2. Bacillus cereus 9. Shigella
3. Campylobacter jejuni 10. Staphylococcus aureus
4. Clostridium perfringens 11. Vibrio cholera
5. Clostridium defficile 12. Vibrio parahaemolyticus
6. Escherichia coli 13. Yersinia enterocolitica
7. Plesiomonas shigeloides
Golongan Virus :
1. Astrovirus 4. Rotavirus
2. Calcivirus 5. Cytomegalovirus *
3. Enteric adenovirus 6. Herpes simplex virus *
Golongan Parasit :
1. Balantidium coli 5. Giardia lamblia
2. Blastocystis homonis 6. Isospora belli
3. Cryptosporidium parvum 7. Strongyloides stercoralis
4. Entamoeba histolytica 8. Trichuris trichiura

9
Sumber = Nelson Textbook of Pediatric, 2004.
2 01
e t
* umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderitaarimunocompromised
9 M
ro
Di negara berkembang kuman patogen penyebab G ast penting diare akut pada anak-
at
r ap
anak yaitu : Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan
tu k
Cryptosporidium. n
tr o u disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan
Patogenesis terjadinya diareas yang
r G menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung
diare pada manusia secarajaselektif
u A usus halus menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus
villus pada usus halus.ukBiopsi
e B pada lamina propia. Perubahan-perubahan patologis yang diamati
Fl
dan infiltrasi sel ibudar
tidak berkorelasi dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum
penyembuhan diare. Mukosa lambung tidak terkena walaupun biasanya digunakan istilah
“gastroenteritis”, walaupun pengosongan lambung tertunda telah didokumentasi selama
infeksi virus Norwalk.
Virus akan menginfeksi lapisan epitelium di usus halus dan menyerang villus di
usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus
halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang
sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi
cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/
tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus
sehingga cairan beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus,
menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna.
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang
mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan
seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa
dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak

86
Buku Ajar Gastrohepatologi

mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan
elektrolit. Dengan demikian infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan
(1) ketidakseimbangan rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi
karbohidrat kompleks, terutama laktosa.
Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun penderita
terganggu imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal. kenaikan kerentanan
bayi (dibanding dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa) sampai morbiditas berat
dan mortalitas gastroenteritis virus dapat berkaitan dengan sejumlah faktor termasuk
penurunan fungsi cadangan usus, tidak ada imunitas spesifik, dan penurunan mekanisme
pertahanan hospes nonspesifik seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat
memperbesar permeabilitas usus terhadap makromolekul lumen dan telah dirumuskan
menaikkan risiko alergi makanan.
Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak
antara lain :
Kesulitan makan
Defek Anatomis
- Malrotasi
- Penyakit Hirchsprung 9
2 01
- Short Bowel Syndrome re t
9 Ma
- Atrofi mikrovilli ro
- Stricture G ast
at
Malabsorpsi r ap
k
- Defisiensi disakaridase u ntu
ro
ast
- Malabsorpsi glukosa – galaktosa
G
- Cystic fibrosis Ajar
ku
- Cholestosis le Bu
Fi
- Penyakit Celiac
Endokrinopati
- Thyrotoksikosis
- Penyakit Addison
- Sindroma Adrenogenital
Keracunan makanan
- Logam Berat
- Mushrooms
Neoplasma
- Neuroblastoma
- Phaeochromocytoma
- Sindroma Zollinger Ellison
Lain -lain :
- Infeksi non gastrointestinal
- Alergi susu sapi

87
Bab 6 Diare Akut

- Penyakit Crohn
- Defisiensi imun
- Colitis ulserosa
- Gangguan motilitas usus
- Pellagra
Sumber : Nelson Textbook of Pediatric, 2004.

6.7 Transpor Air di Dalam Sel dan Patofisiologi Diare


Anatomi
Gaster
Sel-sel epitel di gaster adalah merupakan kelenjar gaster. Terdapat 3 tipe kelenjar yaitu :
cardiac, oxyntic dan pyloric. Cardiac merupakan penghasil mukus yang terletak pada
perbatasan cincin gaster sampai oesophagus. Oxyntic merupakan yang paling banyak dan
didapatkan pada fundus. Tipe ketiga yaitu piloric merupakan 10% permukaan mukosa
gaster, ditandai adanya pits yang dalam. Dua tipe sel yang utama adalah 9 sel penghasil mukus
2 01
dan sel penghasil gastrin. re t
Fungsi neuromuskuler gaster meliputi penyimpanan, 9 Mamencampur, menggilas dan
ro
melakukan kontrol terhadap pengeluaran makanan
G astke dalam duodenum. Sekresi gaster
at
terdiri dari asam hidroklorid (HCl), gastrin, pepsinogen, faktor intrinsik, lipase dan mukus.
ap
r
tuk
un
Asam hidroklorid (HCl) ro
G ast
jar dari berbagai spesies. HCl ini diproduksi oleh sel parietal.
Merupakan produksi sel tunggal
A
u diproduksi dengan cara mengubah-ubah bahan alkaline amnion
Pada bayi baru lahir, HCl
Buk
yang ditelan hinggae dapat mencapai pH lambung kurang dari 4. Konsentrasi HCl tertinggi
Fil
terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-10 setelah lahir dan akan terus meningkat sampai
mencapai kadar dewasa pada usia 60 sampai 90 hari. Pada bayi aterm 2 hari pertama
setelah lahir, stimulasi sekresi tidak dapat meningkat dengan stimulasi pentagastrin, dan
reaksi terhadap bahan-bahan histamin seperti betazole hidrochloride (histalog) tidak timbul
sampai usia 1 bulan.
Pentagastrin akan meningkatkan sekresi HCl mulai usia 1 minggu dan lebih besar
pada bayi-bayi aterm daripada yang preterm. Respon stimuli makanan pada bayi aterm oleh
HCl lambung terjadi setelah 2 jam. Sekresi asam lambung dikendalikan oleh sistem sekresi
dan inhibisi. Sistem persarafan gaster ada dua yaitu pleksus myenteric dan pleksus mukosal.
Pleksus myenteric menginervasi lapisan otot dan melakukan regulasi fungsi motorik. Saraf-
saraf ini terdiri atas 80 sampai 90 % saraf afferen dan 10 sampai 20% saraf efferen. Pleksus
mukosal terdiri dari neuropeptide transmiter seperti acetylcholin, serotonin, dan GABA
dan transmiter peptide seperti bombesin, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan substansi
kalium.

88
Buku Ajar Gastrohepatologi

Gastrin
Disintesis dan dilepaskan oleh sel endokrin G yang terletak pada antrum gaster. Sekresi
sel G yaitu gastrin secara lokal dihambat oleh somatostatin yang berasal dari sel D yang
letaknya berdekatan dengan sel G. Terdapat 2 bentuk gastrin yaitu G-17 dan G-34 dimana
G-34 mempunyai waktu paruh lebih panjang.
Peregangan ringan pada gaster terutama antrum akan mengaktifkan saraf VIP
yang akan menghambat sekresi gastrin dengan cara melepaskan antral somatostatin dan
prostaglandin E (PGE). Pada peregangan yang lebih besar terutama pada proksimal lambung
akan menstimuli pelepasan cholinergic vagal gaster. Sebagian makanan dalam lambung
dan protein duodenum terutama triptofan dan phenylalanin akan merangsang pelepasan
gastrin. Hambatan pelepasan gastrin tidak hanya oleh somatostatin, tapi juga oleh sekretin,
neurotensin, gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan PGE.
Sel-sel somatostatin yang tersebar hingga melewati usus bekerja sebagai hormon
endokrin seperti halnya parakrin yang menghambat sekresi sel G. Lemak usus merupakan
perangsang utama pelepasan somatostatin, sehingga terjadi penurunan gastrin dan
perlambatan pengosongan lambung.
Sekretin terdapat nyata di usus halus proksimal dan dilepaskan karena pengasaman
9
intraduodenal. Neurotensin disintesis di ileum untuk merespon lemak
2 01usus, menurunkan
re t
keasaman lambung. PGE seperti halnya somatostatin bekerja menurunkan produksi asam
oleh sel parietal. 9 Ma
o
str
Ga
p at
Pepsinogen ra
uk
t
Diproduksi oleh sel kepala dan sel mukosa
o un leher fundus, badan dan cardiac gaster. Fundus
st
gaster memproduksi 4 proteinase aacidicr yaitu pepsinogen I atau A, pepsinogen II atau
r G
C, captensin D dan captensinjaA. Sekresi pepsinogen dipacu oleh stimuli cholinergic dan
A
u ku
beta adrenergik. Perangsangan beta adrenergik diperantarai oleh cAMP dan dihambat
e B oleh atropin atau cimetidine. Stimuli cholinergic dihambat oleh
dengan propanolol,iltidak
F
atropin dan mengikuti perubahan Ca intrasel. Pepsinogen juga dirangsang secara langsung
oleh histamin, cholesystokinin (CCK), sekretin dan VIP. CCK bekerja melalui pelepasan
Ca intrasel, sedangkan sekretin dan VIP bekerja melalui cAMP. Somatostatin dan PGE
menghambat sekresi pepsinogen dengan menurunkan cAMP.

Faktor intrinsik
Merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel parietal di mukosa oxyntic badan dan
fundus gaster. Faktor intrinsik didapatkan pada jaringan gaster fetus pada usia kehamilan
11 minggu. Sekresi kontinyu sedikit demi sedikit terjadi di bawah kondisi basal oleh
transpor membran vesikuler. Peningkatan sekresi distimuli oleh agent penginduksi sekresi
sel parietal seperti histamin, acetylcholin, dan gastrin. Puncak pelepasan terjadi 25 sampai
30 menit. Sekresi dihambat oleh H2 reseptor antagonis.
Pada bayi aterm atau pretem sekresi basal ini tidak tergantung sekresi asam gestasi
atau kelebihan nutrisi enteral. Disosiasi stimuli pelepasan asam dan faktor intrinsik secara
baik terdapat pada usia anak mulai berjalan. Sekresi faktor ini mendekati kadar dewasa
pada usia 3 bulan.

89
Bab 6 Diare Akut

Lipase gaster
Aktifitas lipase pada semua usia maksimal di badan gaster dan minimal di antrum. Meski
pH optimun 5.5 tetapi lipase aktif bekerja dalam 1 jam setelah lahir, dan pelepaskan lipolytic
intragaster merangsang sekresi CCK; pelepasan asam lemak rantai sedang menyebabkan
absorbsi lemak langsung segera di gaster.

Mukus gaster
Epitel gaster dan sekresi sel mukus pit merupakan gel mukus tak larut air yang membentuk
lapisan kontinyu dan berfungsi protektif. Sintesis mucin dan volume total mukus meningkat
dengan stimuli oleh histamin, acetylcholin dan gastrin. Mukus bekerja sebagai barier difusi
terhadap pepsin luminal dan HCl. Kerusakan lapisan mukosa menyebabkan difusi kembali
asam peptide dan kehilangan gradien pH bikarbonat, yang penting untuk mempertahankan
integritas epitel dan pembentukan epitel yang baru.

Usus halus
Memanjang dari pilorus hingga cecum. Pada neonatus memiliki panjang 275 cm dan tumbuh
mencapai 5 sampai 6 meter pada dewasa. Epitel usus halus tersusun atas lapisan tunggal sel
19 luas dengan adanya
0lebih
kolumnar disebut juga enterosit. Permukaan epitel ini menjadi 300 kali
t 2
are
vilus dan kripta. Vilus berbeda dalam bentuk dan densitas padaMmasing-masing regio usus halus.
9
Di duodenum vilus tersebut lebih pendek, lebih lebar dan ro lebih sedikit; menyerupai bentuk
jari dan lebih tinggi pada jejunum; serta menjadi t G ast kecil dan lebih meruncing di ileum.
lebih
a
rap vilus tersebut terdapat kripta (Lieberkuhn)
Densitas terbesar didapatkan di jejunum. Di antara
k
tu dan pembaharuan epitel. Terdapat perbedaan
yang merupakan tempat proliferasi enterosit
o un
r
tight junction antara jejunum danstileum, tight junction ini berperan penting dalam regulasi
Ga
A jar
permeabilitas epitel dengan melakukan kontrol terhadap aliran air dan solut paraseluler.
Sel goblet u ku
le B
Merupakan selFipenghasil mukus yang terpolarisasi. Mukus yang disekresi sel goblet
menghampar di atas glikokaliks berupa lapisan yang kontinyu, membentuk barier
fisikokimia, memberi perlindungan pada epitel permukaan. Mukus ini paling banyak
didapatkan pada gaster dan duodenum.
Sel kripta
Sel kripta yang tidak berdiferensiasi merupakan tipe sel yang paling banyak terdapat di
kripta Lieberkuhn. Merupakan prekursor sel penyerap vilus, sel paneth, sel enteroendokrine,
sel goblet dan mungkin juga sel M. Sel kripta yang tidak berdiferensiasi ini mensintesis
dan mengekspresikan komponen sekretori pada membran basolateral, dimana molekul ini
bertindak sebagai reseptor untuk sintesis IgA oleh lamina propria sel plasma.
Sel Paneth
Terdapat di basis kripta. Memiliki granula eosinophilic sitoplasma dan basophil. Granula
lisosom dan zymogen didapatkan juga pada sitoplasma, meskipun fungsi sekretori sel
panet belum diketahui. Diduga berperan dalam membunuh bakteri dengan lisosom dan
imunoglobulin intrasel, menjaga keseimbangan flora normal usus.

90
Buku Ajar Gastrohepatologi

Sel enteroendokrin
Merupakan sekumpulan sel khusus neurosekretori, sel enteroendokrin terdapat di mukosa
saluran cerna, melapisi kelenjar gaster, vilus dan kripta usus. Sel enteroendokrin mensekresi
neuropeptide seperti gastrin, sekretin, motilin, neurotensin, glukagon, enteroglukagon,
VIP, GIP, neurotensin, cholesistokinin dan somatostatin.
Sel M
Merupakan sel epitel khusus yang melapisi folikel limfoid.

Usus besar
Terdiri atas sekum, appendik, kolon, rektum dan anus. Mukosa usus besar bertambah
dengan adanya plika semilunar yang irreguler dan adanya kripta tubuler Lieberkuhn. Tidak
terdapat vilus pada usus besar. Baik permukaan mukosa dan kripta dilapisi oleh sel epitel
kolumnar (kolonosit) dan sel goblet yang membatasi dari jaringan mesenkim lamina
propria. Kolonosit memiliki mikrovilus lebih sedikit dan lebih pendek daripada usus halus.
Epitel bagian bawah kripta terdiri atas proliferasi sel kolumnar yang tidak berdiferensiasi,
sel goblet dan sedikit sel endokrin. Morfologi sel goblet dan sel endokrin mirip seperti pada
usus halus. 9
2 01
Sel kolumnar penyerap berasal dari sel imatur dari bagian t
re bawah kripta yang
berdiferensiasi dan bermigrasi ke bagian atas kripta, akhirnya 9 Ma akan dilepaskan dari
ro
permukaan mukosa ke dalam lumen. Proses siklusGpembaharuan ast sel ini berlangsung 3
sampai 8 hari pada manusia. Kripta dikelilingi oleh p atsarung fibroblas dalam lamina propria,
a
u
mengalami proliferasi dan migrasi secara sinkron
t k r dengan migrasi sel epitel. Jumlah total
n
sel terbanyak pada kripta kolon desenden,
tro u menurun secara progresif di sepanjang kolon
transversum dan kolon desenden as
ja r Gdan meningkat lagi pada sekum.
k uA
Fisiologi absorpsil Bu dan mineral
e air
Fi
Pengaturan transport air dan elektrolit
Pengaturan intraseluler diperankan oleh pembawa pesan intrasel seperti : cyclic AMP, cyclic
GMP, Ca++, dan metabolit dari phosphatidylinositol. Pembawa pesan ini akan ditingkatkan
dengan cara perangsangan reseptor yang diaktifkan oleh enzim adenilate siklase, guanilate
siklase atau phospholipase C.
Kenaikan cAMP dalam sel vilus menghambat proses transport Na+ berpasangan
Cl melalui aktivasi guanilate siklase. Pembawa pesan yang lain bekerja dengan cara yang
-

sama yaitu menghambat transport Na+, perbedaannya terdapat pada protein kinase yang
diaktifkan.
Pengaturan ekstraseluler diperankan oleh sistem hormonal, sistem neuronal dan
sistem imun. Segmen terpenting sistem persarafan usus (enteric nervous system, ENS)
berupa jaringan saraf intrinsik yaitu pleksus myenterik (Auerbach’s) dan pleksus submukosal
(Meissner’s). Lebih dari 20 neurotransmiter dan hormon terdapat dalam sistem persarafan
usus ini. Hormon seperti Acetylcholine (Ach) dan serotonin (5-HT) serta beberapa toksin
kuman dan laksatif meningkatkan konsentrasi Ca++ intrasel. Peningkatan Ca++ intrasel

91
Bab 6 Diare Akut

menurunkan penyerapan netral NaCl dan merangsang sekresi Cl elektrogenic. Hormon


adrenal baik glukokortikoids maupun mineralokortikoids merangsang penyerapan Na+
dan air dengan meningkatkan saluran Na+ yang terblok amiloride (amiloride-blockable
Na channels). Selain itu kortikoids adrenal juga meningkatkan aktivitas Na,K-ATPase
di kolon dan ileum. Sistem imun yang berperan penting pada regulasi transport air dan
elektrolit adalah sel fagosit (makrofag, eosinofil, netrofil) dan mast sel di mukosa. Sel
fagosit melepaskan oksigen reaktif (seperti anion peroksid dan hydrogen peroksid) dan
berbagai mediator inflamasi terlarut (seperti prostaglandin (PGs), leukotrien (LTs) dan
platelet acticating factor (PAF). Prostaglandin secara langsung merangsang sekresi Cl- dan
mengaktifkan saraf sekretori di ENS. PGs dan LTs juga merupakan produk penting dari
degranulasi sel mast. Sel mast melepaskan adenosine, histamin, 5-HT yang merangsang
sekresi Cl dan menghambat absorbsi NaCl.
Semua segmen usus dari duodenum sampai kolon bagian distal mempunyai fungsi
absorpsi dan sekresi air serta elektrolit. Fungsi ini penting untuk menjaga homeostasis
tubuh. Perpindahan Na+ ke dalam sel dan K+ keluar sel merupakan peristiwa yang penting
dari semua pertukaran ion. Ada 2 komponen yang berfungsi memindahkan K+ dan Na+
tersebut yaitu komponen protein dan komponen ATP-ase. Komponen protein mempunyai
3 sifat : sifat pertama memiliki 3 tempat reseptor untuk mengikatkan Na pada bagian
9
protein yang menonjol ke bagian dalam sel, kedua memiliki 2 ttempat2 01 reseptor untuk ion
re
K+ pada bagian luar, dan ketiga bagian dalam dari protein ini
9 Maberbatasan atau dekat dengan
tempat pengikat natrium yang memiliki aktivitas ATPase.troas
G
p at
Absorpsi r a
n tuk
tro u aktif primer adalah: Natrium, Kalium, Kalsium,
Zat-zat yang ditranspor oleh transpor
Hidrogen, Klorida dan beberapa s lainnya. Air ditranspor melalui proses pasif mengikuti
aion
gerakan ion. j arG
A u
Absorpsi air Buk
e
Fil
Air diabsoprsi oleh membran usus seluruhnya melalui proses difusi. Difusi ini akan
mengikuti hukum osmosis biasa. Apabila kimus bersifat encer maka air akan diabsorpsi
melalui mukosa usus ke dalam vilus melalui osmosis. Sebaliknya, air akan ditranspor dari
plasma ke intraluminal apabila kimus bersifat sebaliknya.
Kimus yang hiperosmosis akan menyebabkan air dihantarkan ke dalam intraluminal agar
terjadi isoosmosis kimus dengan plasma.
Sewaktu bahan yang larut diabsoprsi dari lumen usus ke dalam darah, maka tekanan
osmotik kimus akan menurun sampai terjadi isoosmotik, air akan berdifusi masuk kedalam
sel melalui membran usus melalui tight junction bersama ion dan nutrien.
Absorpsi natrium
Transport Na+ terjadi melalui 3 mekanisme yaitu natrium masuk sel akibat perbedaan
gradien elektrokimia, absorbsi Na+ bersama solut seperti glukosa dan asam amino yang
merupakan mekanisme absorbsi utama Na+, dan masuknya natrium dengan kotransport
netral Na+ dan Cl-. Ion Na+ secara aktif akan melalui membran basolateral, sampai kadar
Na+ intrasel mencapai sekitar 50 mEq/L. Konsentrasi Na+ intraluminal sekitar 142 mEq/L
sama dengan konsentrasi di plasma. Na+ akan bergerak menuruni gradien elektrokimia

92
Buku Ajar Gastrohepatologi

yang tinggi dari kimus melalui brush border epitel ke dalam sitoplasma sel. Secara aktif Na+
ini akan keluar sel oleh kerja pompa NaK-ATPase ke ruang paraselluler. Kedua absorbsi
Na+ berpasangan dengan glukosa dan asam amino. Na+ masuk yang masuk ke dalam sel
akibat gradien elektrokimia akan menyediakan energi yang cukup untuk transport solut.
Gradien elektrokimia ini akan dijaga keseimbangannya dengan pengeluaran Na+ secara aktif
oleh pompa NaK-ATPase. Mekanisme ketiga ion Cl- ikut bersama Na+ ditarik diabsorpsi.
Ini terjadi akibat gerakan menurun Na+ melintasi membran apikal ke dalam sel akan
menyediakan energi untuk gerakan Cl- ke dalam sel. Akibat mekanisme absorbsi pasangan
ini, potensial elektrokimia Cl- intraseluler lebih dari kompartemen serosa, Cl- akan keluar
dari sel melalui gerakan menurun atau proses pasif yang membutuhkan energi. Transport
berpasangan Na+ dan Cl- timbul dari mekanisme dua pertukaran meliputi Na+ dan H+
sebagaiman Cl- dengan HCO3-. Absorbsi melalui pertukaran Na+-H+ dikaitkan dengan
transpor ALRP ke dalam sel mukosa yang menghasilkan H+ intrasel. Ion H+ kemudian
keluar dari sel melalui mekanisme berpasangan dengan gerakan masuknya Na+.
Tahap selanjutnya dalam proses transport adalah osmosis air kedalam ruang
paraselular. Osmosis ini disebabkan gradien osmotik yang dibentuk oleh peningkatan
konsentrasi ion di ruang paraseluler. Osmosis ini sebagian besar melalui tight junction,
sebagian kecil melalui sel. Pergerakan osmotik air merupakan aliran kedalam dan melewati
9
paraselular masuk kedalam sirkulasi darah vilus. 01
t2 re
Absorbsi klorida (Cl) 9 Ma
o
Absorbsi Cl- terjadi melalui epitel usus halus dengan str mekanisme. Pertama, melalui
adua
t G
r pa
pertukaran klorida dan bikarbonat yang terjadi aterutama di seluruh membran sel apikal di
jaringan ileum. Kedua, lebih menonjol jaringan tu k jejunum yaitu perpindahan pasif ion Cl-
u n
melalui jalur paraseluler, yang berespon troterhadap sejumlah besar volume Cl yang diabsorbsi
-

di proksimal. Dalam epitel jejunal, a s


G sejumlah besar natrium ditransport ke dalam sel dan
menguntungkan pergerakan Ajar- melalui tight junction serta masuknya klorida ke dalam
Cl
u
uk Absorbsi Cl- di kolon ke dalam sirkulasi darah terjadi dengan
ruang inter seluler lateral.
B
e
Fil lintasan paraselular maupun transelular melalui pertukaran dengan
cara difusi pasif melalui
bikarbonat; dengan konsentrasi yang seimbang antara Na+ dan Cl-, absorbsi Cl- melampaui
absorbsi Na+. Bila Cl- diabsorbsi, HCO3 disekresi. Terdapatnya Cl- dalam lumen membantu
sekresi HCO3. Sepertinya sejumlah kecil klorida juga ditransport melalui pembawa minor
(carrier minor) seperti sodium-chlorid symport.
Absorbsi kalium
Pada proses ini yang penting adalah pompa natrium-kalium (Na+-K+) yaitu proses
memompa ion Na+ keluar melalui membran sel, dalam saat yang sama memompa K+
dari luar masuk kedalam sel. Ion Na+ sejumlah 3 akan keluar sel, ditukar 2 ion K+ dengan
bantuan tenaga hasil pemecahan ATP menjadi ADP + P1 (fosfat yang merupakan energi
tinggi untuk memindahkan Na+ keluar sel dan K+ ke dalam sel). Dengan demikian maka
ion di luar sel cenderung lebih positif dari pada di dalam sel. Di dalam sel mengandung
sejumlah senyawa protein dan senyawa organik lainnya, yang tidak dapat keluar dari dalam
sel. Muatan listrik di dalam sel cenderung negatif apabila dibandingkan keadaan di luar
sel, sehingga ada kecenderungan adanya aliran air masuk ke dalam sel. Untuk mencegah
terjadinya pemasukan yang berlebihan tersebut, maka fungsi pertukaran Na+ dan K+ melalui

93
Bab 6 Diare Akut

ATPase sangat penting. Pertukaran ini untuk mencegah terjadinya pembengkaan sel akibat
kadar Na+ yang cenderung tinggi di dalam sel. Pompa ini terdapat dalam seluruh sel, yang
bertanggung jawab atas pemeliharaan perbedaan konsentrasi Na+ dan K+ antara bagian luar
dan bagian dalam membran sel demikian juga untuk menetapkan potensial listrik negatif
di dalam sel. Pompa ini merupakan dasar fungsi saraf untuk menjalarkan sinyal saraf ke
seluruh sistem syaraf.
Absorbsi secara aktif maupun sekresi K+ keduanya terjadi di kolon, di usus halus
absorbsi terjadi melalui difusi. Serum mempunyai konsentrasi kalium lebih rendah
daripada feses. Absorbsi K+ melalui jalur paraseluler dimana K+ masuk ke sel melalui
membran basolateral karena pompa NaK-ATPase mengikuti keluarnya Na+ dari sel seperti
dijelaskan di atas. Di distal kolon K+ diabsorbsi secara aktif melalui HK-ATPase. Absorbsi
K+ dipengaruhi oleh pelepasan Na+ dan K+, dan dihambat oleh cAMP.
Absorbsi kalsium (Ca)
Diabsorpsi secara aktif dari duodenum. Penyerapan kalsium yang penting dikontrol
hormon parathyroid dan vitamin D. Hormon parathyroid mengaktifkan vitamin D di dalam
ginjal, vitamin D yang teraktifasi akan sangat meningkatkan absorpsi kalsium.
Absorpsi karbonat 9
01
HCO3- disekresi oleh pankreas dan empedu, diabsorbsi direjejunum, t2 dan disekresi di
M a
duodenum, ileum dan kolon. Ion H dalam jumlah cukup
+
banyak disekresikan ke dalam
t o 9+ akan diabsosrbsi. Ion hidrogen
rNa
lumen usus untuk ditukar dengan beberapa Na+, ion a s
akan bergabung dengan ion bikarbonat untukpamembentuktG asam karbonat (H2CO3) yang
r a
kemudian berdisosiasi membentuk air dan k CO2. Ketika H2O tetap berada di lumen usus,
CO2 akan diabsorpsi masuk ke dalam u ntu secara
darah bertahap di ekspirasi. Proses ini disebut
o
a str paru-paru.
absorpsi aktif ion bikarbonat melalui
G
ar
Di jejunum NaHCOA3 jdiabsorbsi melalui pertukaran Na+-H+, sekresi H+ menetralkan
ku
u
HCO3- yang setara Bdalam lumen. Pergerakan Cl- murni terjadi secara pasif. Di ileum dan
i l e
F bikarbonat akan bertukar dengan ion Cl-. Ion Cl- akan berdifusi secara
kolon sekresi ion
pasif melalui membran basolateral. Ion karbonat akan menetralisir asam yang dibentuk
kuman terutama yang banyak berada di kolon.

Sekresi
Sekresi Cl-,Na+ dan air
Kripta merupakan tempat sekresi Na+,Cl- dan air ke dalam lumen usus yang akan
direabsorpsi vilus ( akan bercampur dengan pencernaan usus). Sekresi Cl- terjadi dalam
sel kripta usus karena terdapatnya dua mekanisme spesifik sel: saluran Cl- selektif yang
terdapat di apikal dan kotransport khusus Na+ berpasangan Cl- yang terdapat di membran
basolateral. Gradien Na+ merangsang Cl- melintasi membran basolateral dengan proses
transport NaCl atau Na/K/2Cl. Na+ akan dikeluarkan lagi oleh NaK-ATPase sehingga Cl-
mengumpul di dalam sel pada konsentrasi di atas keseimbangan elektrokimia. Terjadi
peningkatan cyclic AMP, cyclic GMP atau Ca++ bebas merangsang fosforilase membran
protein oleh protein kinase, membuka saluran Cl- di membran sel kripte sehingga terjadi

94
Buku Ajar Gastrohepatologi

sekresi Cl-. Sekresi air mengikuti pergerakan ion.


Sekresi kalium
Terjadi di kolon, sekresi di lumen kolon terjadi secara aktif melalui saluran K+ apikal.
Pada kolon saluran kalium terutama terletak pada sisi luminal, sehingga K+ yang masuk
ke dalam sel melalui pompa Na dan kotransport akan disekresi kedalam lumen. Sekresi
kalium dipengaruhi oleh cAMP dan diit kronik berlebih kalium
Sekresi karbonat
Terjadi di duodenum, ileum dan kolon. Sekresi karbonat sebagian melalui pertukaran Cl/
HCO3, tetapi sebagian besar melalui CTFR, yang permeable baik terhadap HCO3- maupun
Cl-, sekresi relative HCO3- dan Cl- ditentukan oleh perbedaan konentrasi sel dan lumen dan
kemampuan konduksi relative melalui CTFR.

6.8 Mekanisme Diare


Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi atau sekresi.
Terdapat beberapa pembagian diare:
9
1. Pembagian diare menurut etiologi 2 01
t
2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan are
a. Absorbsi o 9M
str
b. Gangguan sekresi.
t Ga
3. Pembagian diare menurut lamanya diarerapa
k
a. Diare akut yang berlangsung kurang
u ntudari 14 hari
ro
b. Diare kronik diare yang berlangsung lebih dari 14 hari
G ast
Kejadian diare secara umum
Ajar terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang saling
u
tumpang tindih. Menurutkmekanisme diare maka dikenal:
Bu
il e
Diare akibat Fgangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih
besar daripada kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus,
mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah.
Apabila fungsi usus halus normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun
atau sekresi di kolon meningkat. Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas,
inflamasi dan imunologi.

Gangguan absorpsi atau diare osmotik.


Secara umum terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti celiac sprue,
atau karena:
a. Mengkonsumsi magnesium hidroksida
b. Defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang lebih besar
c. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus
bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas.
Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus
jejenum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejenum, sehingga

95
Bab 6 Diare Akut

air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam
lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar
Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi lainnya
akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg,
glukose, sukrose, laktose, maltose di segmen illeum dan melebihi kemampuan absorpsi
kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dari jus buah, atau bahan
yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan memberikan dampak yang
sama.

Malabsoprsi umum
Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam amino dan
monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus. Kerusakan sel
(yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan virus atau kuman,
seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena
inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau obat-obat tertentu. Gambaran
karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih
lanjut, mikororganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E.
coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran 9 brush border tanpa
01
t2
merusak susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap,rekarbohidrat, dan trigliserid
M a
diakibatkan insufisiensi eksokrin pankreas menyebabkan9malabsorbsi yang signifikan dan
ro
mengakibatkan diare osmotik.
G ast
Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas at menyebabkan kegagalan pemecahan
r ap
k
kompleks protein, karbohidrat, trigliserid,tuselanjutnya menyebabkan maldigesti, malabsorpsi
u n
dan akhirnya menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorpsi protein
a stro
dan karbohidrat dengan asam lemak
G rantai panjang intraluminal, tidak hanya menyebabkan
jar
diare osmotik, tetapi jugaAmenyebabkan pacuan sekresi Cl- sehingga diare tersebut dapat
ku
disebabkan malabsorpsi u karbohidrat oleh karena kerusakan difus mukosa usus, defisiensi
i l eB
F dan defisiensi congenital laktase, pemberian obat pencahar; laktulose,
sukrosa, isomaltosa
pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg), malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan
pada hipermotilitas pada kolon iritabel. Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar
dan cepat, menyebabkan kekambuhan diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH,
setelah mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare. Infeksi virus yang menyebabkan
kerusakan mukosa sehingga menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase, menyebabkan
gangguan absorpsi nutrisi laktose.

Gangguan sekresi atau diare sekretorik


Hiperplasia kripta
Teoritis adanya hiperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat menyebabkan sekresi
intestinal dan diare. Pada umumnya penyakit ini menyebabkan atrofi vili.

Luminal secretorygogues
Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan

96
Buku Ajar Gastrohepatologi

kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta
asam lemak rantai panjang.
Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi
intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase.
Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga
mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain
terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen usus bersama Cl-.
Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase.
Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler., meningkatkan
permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat
menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit
Crohn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi
garam empedu, lemak,

Blood-Borne Secretagogues
Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya disebabkan enterotoksin E.
coli atau Cholera. Derbeda dengan negara berkembang, di negara maju, diare sekretorik jarang
9
ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor seperti
2 01 ganglioneuroma
atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. aPada t
re orang dewasa, diare
sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta 9 M yang menghasilkan VIP,
ro
Polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya (sindroma
G ast watery diarrhe hypokalemia
achlorhydria (WDHA). Diare yang disebabkan tumor p at ini termasuk jarang. Semua kelainan
ra
k berlebihan
mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral
ntu pada vilus dan kripta serta semua
u
ro usus dalam keadaan normal.
enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa
ast
rG
Diare akibat gangguan Aja
uk peristaltik
u
eB
Meskipun motilitas Fil jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan
motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan ataupun penurunan
motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan
bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau
nutrisi akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan
stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare
akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena
hipermotilitas pada kasus kolon iritabel pada bayi. Gangguan motilitas mungkin merupakan
penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai penyakit lain.

Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan.
Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air, eletrolit, mukus, protein dan seringkali sel
darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi
ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik.

97
Bab 6 Diare Akut

Bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction,
menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek
infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi
absorpsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J
dkk. 2003 menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada diare terletak pada
perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan pada
cellular cytoskleleton dan spesifik tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua komponen
tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan hipersekresi clorida
yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile akan menginduksi kerusakan
cytoskeleton maupun protein, Bacteroides fragilis menyebabkan degradasi proteolitik
protein tight junction, V. cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction, sedangkan
EPEC menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton.

Diare terkait imunologi


Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III dan
IV. Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan.
Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV terdapat
pada Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe1I,9 alergen yang masuk
20
tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang
aret selanjutnya akan diikat
oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
o 9 M Bila terjadi aktivasi akibat
pajanan berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast r
st akan melepaskan mediator seperti
histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. t Ga reaksi tipe III terjadi reaksi komplek
Pada
a
antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluhk rap darah yang mengaktifkan komplemen.
tu
Komplemen yang diaktifkan kemudian o unmelepaskan Machrophage Chemotactic Factor yang
r
akan merangsang sel mast dan G ast melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi
basofil
r
ja terdapat peran antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan
respon imun seluler, disiniAtidak
sel APC ke sel Th1 yang ku MHC-II dependen. Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti
u
le B
MIF, MAF danFiIFN-gama oleh Th1. Sitokin tersebut akan mengaktifkan makrofag dan
menimbulkan kerusakan jaringan.
Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang
akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.

6.9 Manifestasi Klinis


Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila terjadi
komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala gastrointestinal
bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi
tergantung pada penyebabnya.
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion
natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada
muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling

98
Buku Ajar Gastrohepatologi

berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian


bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat
berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik.
Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau
dehidrasi berat.
Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara lain :
vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis, pneumonia,
hepatitis, peritonitis dan septik tromboplebitis. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa
berupa paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamat) hipotoni dan
kelemahan otot (C. botulinum).
Manifestasi immun mediated ekstraintestinal biasanya terjadi setelah diarenya sembuh,
contoh :

Tabel 6.9.1. Manifestasi immun mediated ekstraintestinal dan enteropatogen yang terkait
Manifestasi Enteropatogen terkait

Manifestasi Enteropatogen terkait


Reactive arthritis Salmonella, Shigella, Yersinia,
Camphylobacter, Clostridium difficile 19
20
ret
Guillain Barre Syndrome Camphylobacter
Glomerulonephritis a
Shigella, Camphylobacter, Salmonella
M
IgA nephropathy Camphylobacter o 9
st r
Erythema nodusum
Ga Yersinia Salmonella
Yersinia, Camphylobacter,
t
Hemolytic anemia a
Camphylobacter,
ap
Hemolytic Uremic Syndrome kS.rdysentrie, E. coli
Sumber : Nelson Textbook of Pediatrics, 2004. u ntu
ro
G ast
Aj ar
Bila terdapat panas dimungkinkan
u karena proses peradangan atau akibat dehidrasi.
Buk pada penderita dengan inflammatory diare. Nyeri perut yang
Panas badan umum eterjadi
Fil
lebih hebat dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rektum menunjukkan
terkenanya usus besar.
Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah mungkin
disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti :
enterik virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium.
Muntah juga sering pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas
atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukkan
bahwa saluran cerna bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise
memerlukan perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit
kronis sangat penting.
Manifestasi klinis dari beberapa kuman penyebab diare yang sering dijumpai dapat
dilihat pada tabel 6.9.2.

99
Bab 6 Diare Akut

Tabel 6.9.2. Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab


Gejala klinik Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera
Masa tunas 17-72 jam 24-48 jam 6-72 jam 6-72 jam 6-72 jam 48-72 jam
Panas + ++ ++ - ++ -
Enek dan muntah sering jarang sering - - sering
Nyeri perut tenesmus tenesmus tenesmus + tenesmus kramp
kramp kolik kramp
Nyeri kepala - + + - - -
Lamanya sakit 5-7 hari > 7 hari 3-7 hari 2-3 hari variasi 3 hari
Sifat tinja
Volume sedang sedikit sedikit banyak sedikit banyak
Frekuensi 5-10x/hr >10x/hr sering sering sering terus-menerus
Konsistensi cair lembek lembek cair lembek cair
Lendir
Darah - sering kadang- - + -
kadang
Bau - ± busuk + tidak amis khas
Warna kuning- merah- kehijauan tak merah- seperti air
hijau hijau berwarna hijau cucian beras
Leukosit - + + - - -
Lain-lain anorexia kejang ± sepsis ± meteo- infeksi ±
rismus 9
sistemik
201
ret
Sumber : Sunoto, 1991.
a
o 9M
6.10 Diagnosis str
Ga
p at
k ra
Anamnesis u ntu
ro
Pada anamnesis perlu ditanyakan
G asthal-hal sebagai berikut : lama diare, frekuensi, volume,
jar ada / tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah : volume
konsistensi tinja, warna, bau,
A
u : biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6–8 jam
uk
dan frekuensinya. Kencing
B
e
Fil
terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit
lain yang menyertai seperti : batuk, pilek, otitis media, campak.
Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare : memberi oralit, membawa
berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat
imunisasinya.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa : berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung
dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi:
kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun-
ubun besar cekung atau tidak, mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata,
bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus
yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena
perfusi dan capillary reffil dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.

100
Buku Ajar Gastrohepatologi

Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara : obyektif
yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan
menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.10.1. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003


Simptom Minimal atau tanpa dehidrasi Dehidrasi Ringan - Sedang, Dehidrasi Berat Kehilangan BB > 9%
kehilangan BB < 3% Kehilangan BB 3 % - 9 %
Kesadaran Baik Normal, lelah, gelisah, irritable Apathis, letargi, tidak sadar
Denyut jantung Normal Normal - meningkat Takikardi, bradikardia pada kasus
Kualitas nadi Normal Normal – melemah berat
Pernapasan Normal Normal – cepat Lemah, kecil, tidak teraba
Mata Normal Sedikit cowong Dalam
Air mata Ada Berkurang Sangat cowong
Mulut dan lidah Basah Kering Tidak ada
Cubitan kulit Segera kembali Kembali < 2 detik Sangat kering
Capillary refill Normal Memanjang Kembali > 2 detik
Extremitas Hangat Dingin Memanjang, minimal
Kencing Normal Berkurang Dingin, mottled, sianotik
Minimal
Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995 9
2 01
aret
9M
Tabel 6.10.2. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995
o
Penilaian A B
str C
Penilaian Baik, sadar Ga
* Gelisah,t rewel * Lesu, lunglai atau
a
1. Lihat : keadaan umum
k rap tidak sadar
mata tu
un Cekung
air mata Normal
ro Sangat cekung dan kering
mulut dan lidah Ada
G ast Tidak ada Sangat kering
rasa haus Basah jar Kering * Malas minum atau tidak bisa
A
ku biasa tidak haus
Minum * Haus, ingin minum
2. Periksa : turgor kulite Bu minum banyak * Kembali sangat
Fil Kembali cepat * Kembali lambat lambat
3. Hasil pemeriksaan : Dehidrasi berat
Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan / sedang
Bila ada 1 tanda * ditambah 1 Bila ada 1 tanda * ditambah 1
4. Terapi : atau lebih tanda lain atau lebih tanda lain
Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C
Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

101
Bab 6 Diare Akut

Tabel 6.10.3. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1980


TANDA dan GEJALA DEHIDRASI RINGAN DEHIDRASI SEDANG DEHIDRASI BERAT
1. Keadaan umum dan kondisi
- Bayi dan anak kecil Haus, sadar, gelisah Haus, gelisah atau letargi Mengantuk, lemas, extremitas dingin,
tetapi irritable berkeringat, sianotik, mungkin koma
Biasanya sadar, gelisah, extremitas
- Anak lebih besar dan dewasa Haus, sadar, gelisah Haus, sadar, merasa pusing dingin, berkeringat dan sianotik, kulit
pada perubahan jari-jari tangan dan kaki berkeriput,
kejang otot
Cepat, halus, kadang tak teraba
2. Nadi radialis Dalam dan cepat
Normal (frekuensi dan isi) Cepat dan lemah Sangat cekung
3. Pernapasan Normal Sangat lambat (> 2 detik)
4. Ubun-ubun besar Normal Dalam, mungkin cepat
5. Elastisitas kulit Pada pencubitan, elastisitas Cekung Sangat cekung
kembali segera Lambat Sangat kering
6. Mata Normal Sangat kering
7. Air mata Ada Cekung Tidak ada urin untuk beberapa jam,
8. Selaput lendir Lembab Kering kandung kencing kosong
9. Pengeluaran urin Normal Kering < 80 mmHg, mungkin tak terukur
Berkurang dan warna tua < 80 mmHg, mungkin tak terukur
9
01
10.Tekanan darah sistolik Normal Normal – rendah
re t2
% kehilangan berat 4–5% 6–9%
Ma 10 % atau lebih
Prakiraaan kehilangan cairan 40 – 50 ml/kg 60 – 90 ml/kgro 9 100 – 110 ml/kg
st
t Ga
a
rap– Maurice King (1974)
Tabel 6.10.4. Penentuan derajat dehidrasi menurut sistem pengangkaan
k
tu
Bagian tubuh yang diperiksa Nilai untuk gejala yangnditemukan
o u
0 r 1 2
Keadaan umum Sehat G ast Gelisah, cengeng, apatis, ngantuk Mengigau, koma atau syok
Kekenyalan kulit A
Normal jar Sedikit kurang Sangat kurang
u
kNormal
u
e B Normal
Mata Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun-ubun besar F i l Sedikit cekung Sangat cekung
Mulut Normal Kering Kering & sianosis
Denyut nadi/menit Kuat < 120 Sedang (120-140) Lemah > 140
Sumber : Sunoto, 1991.
Hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan tabel kemudian dijumlahkan.
Nilai : 0 – 2 = d. ringan 3 – 6 = d. sedang 7 – 12 = d. berat

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan, hanya
pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui
atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat.
Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran
kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut :
Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes
kepekaan terhadap antibiotika.

102
Buku Ajar Gastrohepatologi

Urin : urin lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika.


Tinja :
Pemeriksaan makroskopik :
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare
meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus
atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh
infeksi diluar saluran gastrointestinal.
Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang
menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau
parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya
bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. Histolytica darah sering terdapat
pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja
yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium
dan Strongyloides.

Tabel 6.10.5. Tes laboratorium tinja yang digunakan untuk mendeteksi entereopatogen
Test Laboratorium Organisme diduga / identifikasi
19
0sitotoksin
Mikroskopik : Lekosit pada tinja Invasive atau bakteri yang memproduksi
t 2
re I. belli, Cyclospora
Trophozoit, kista, oocysts, spora
Ma
G. lamblia, E. histolytika, Cryptosporidium,
9
Rhabditiform lava Stongyloides o
str
ajejuni
Spiral atau basil gram (-) berbentuk S Camphylobacter
t G
Kultur tinja : Standard
r pa Salmonella, Camphylobacter jejuni
E. coli,aShigella,
Y.kenterocolitica, V. cholerae, V. parahaemolyticus, C. difficile, E. coli, O 157
ntu: H 7
Spesial
u
ro
Enzym imunoassay atau latex aglutinasi
G ast Rotavirus, G. lamblia, enteric adenovirus, C. difficile
Serotyping j ar E. coli, O 157 : H 7, EHEC, EPEC
kuA
B u
Latex aglutinasi setelah broth enrichment Salmonella, Shigella
e
Fil riset
Test yang dilakukan di laboratorium Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC, EAEC, PCR untuk genus yang
virulen
Sumber: Suparto, 2003.

Pemeriksaan mikroskopik :
Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi
tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit
dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon.
Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau
kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C.
difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P.
shigelloides. Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S.
typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada tinjanya,
pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya lekosit pada tinja minimal.
Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah
banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali
terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk

103
Bab 6 Diare Akut

enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien
yang dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis
dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau
yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna
bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi duodenum
adalah metode yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan
protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
mikroskopik tinja segar. Trofozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan kista
ditemukan pada tinja yang berbentuk. Teknik konsentrasi dapat membantu untuk
menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh karena ekskresi
kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan
konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis tes untuk amuba hampir selalu positif pada
disentri amuba akut dan amubiasis hati.
Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome,
diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita
immunocompromised.
Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V. Parahaemolyticus,
Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter membutuhkan prosedur
19
0pada
laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi catatan et 2 label apabila ada
salah satu dicurigai sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi a r toksin C. difficile sangat
o 9M
r
berguna untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu
dalam menegakkan diagnosis pada penderita dengan G astsimptom kolitis berat atau penyebab
t
inflammatory enteritis syndrome tidak jelas r pa
asetelah dilakukan pemeriksaan laboratorium
pendahuluan. ntuk
ou
astr
j arG
6.11 Terapi Buk
u A
e
Fil umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat membantu
Infeksi usus pada
penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat memperpendek lamanya
sakit dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare
dan dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan terapi :
1. Terapi cairan dan elektrolit
2. Terapi diit
3. Terapi non spesifik dengan antidiare
4. Terapi spesifik dengan antimikroba
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih
dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan
dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara
kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan
dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi
berat, 1 diantaranya disertai komplikasi serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya
cukup rumit. Berdasarkan data diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare
akut dapat dilaksanakan secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral

104
Buku Ajar Gastrohepatologi

serta melanjutkan pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare
tidak direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian
cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi berat.

Pengobatan diare tanpa dehidrasi


TRO ( Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk mencegah
dehidrasi, seperti : air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan sebagainya.
Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang
diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50 – 100 ml, 1 – 5
tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun adalah 200 – 300 ml dan dewasa adalah 300 – 400
ml setiap BAB.
Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara
1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak
yang lebih besar dapat minum langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang sering.
Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan
misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare
19
0dimakan
berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa
et 2 tetap harus
diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih a r
kurang 6 kali sehari) serta
o 9 M yang merangsang (pedas,
rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan
str
asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu t Ga karena dapat menyebabkan diare
a
bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ap diare tetap berlangsung atau bertambah
rini
tu k
hebat dan keadaan anak bertambah berat
o un serta jatuh dalam keadaan dehidrasi ringan-
r
sedang, obati dengan cara pengobatan
G ast dehidrasi ringan – sedang.
A jar
u
uk
Pengobatan diaree Bdehidrasi ringan – sedang :
Fi l
TRO ( Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di sarana kesehatan dan
segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam
pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat,
perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan dengan menggunakan umur penderita,
yaitu : untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml, 1–5 tahun adalah 600 ml, >5 tahun adalah
1200 ml dan dewasa adalah 2400 ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan,
volume yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan
memantau tanda-tanda dehidrasi.
Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi. Sebaliknya bila
dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian oralit harus dihentikan
sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah
hilang dapat diberikan lagi.
Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral,
oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan
20 ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau

105
Bab 6 Diare Akut

memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat
dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada
pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan
dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik
adalah pemberian cairan parenteral.

engobatan diare dehidrasi berat


TRP ( Terapi Rehidrasi Parenteral)
Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan
yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral.
Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai
cairan infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian
cairan intravena (±5 ml/kgBB/jam),apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam
3–4 jam (untuk bayi) atau 1–2 jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut
dilakukan untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai
dengan cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan
cairan Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya 9 untuk <1 tahun 1
jam pertama 30 cc/kgBB, dilanjutkan 5 jam berikutnya 70 cc/kgBB. 2 01Diatas 1 tahun ½ jam
t
pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan 2 ½ jam berikutnya 70 cc/kgBB. Mare
9
t
Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik,
s ro tetesan i.v dapat dipercepat.
a
Gbesar,
Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih t lakukan evaluasi, pilih pengobatan
r pa
adiare
selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan dengan dehidrasi ringan sedang atau
n tuk
pengobatan diare tanpa dehidrasi. u
o
a str
j arG
Cairan Rehidrasi Oral
ku
(CRO)A
u
e B dan Unicef menyetujui untuk mempromosikan CRO tunggal yang
Pada tahun 1975ilWHO
F
mengandung (dalam mmol/L) Natrium 90, Kalium 20, Klorida 80, Basa 30 dan Glukosa
111 (2%).
Komposisi ini dipilih untuk memungkinkan satu jenis larutan saja untuk digunakan
pada pengobatan diare yang disebabkan oleh bermacam sebab bahan infeksius yang disertai
dengan berbagai derajat kehilangan elektrolit. Contoh diare Rotavirus berhubungan dengan
kehilangan natrium bersama tinja 30 – 40 mEq/L, ETEC 50 – 60 mEq/L dan V. cholera >
90 – 120 mEq/L. CRO – WHO (Oralit) telah terbukti selama lebih dari 25 tahun efektif baik
untuk terapi maupun rumatan pada anak dan dewasa dengan semua tipe diare infeksi.
Walaupun demikian, dari hasil-hasil riset klinik berikutnya, pada metaanalisa
mendukung penggunaan CRO yang osmolaritasnya rendah. CRO dengan osmolaritasnya
yang lebih rendah berkaitan dengan muntah lebih sedikit, keluaran tinja yang lebih sedikit,
berkurangnya pemberian intravena dibandingkan dengan CRO standard, pada bayi dan
anak non kolera.
Pada kolera tidak ada perbedaan klinik antara penderita yang diberi CRO osmolaritas
rendah dengan CRO standard kecuali angka kejadian hiponatremi.

106
Buku Ajar Gastrohepatologi

Atas dasar hasil tersebut WHO dan Unicef mengadakan konsultasi tentang penggunaan
CRO dengan osmolaritas lebih rendah untuk digunakan secara global. Pada tahun 2002
WHO mengumumkan CRO formula baru yang sesuai dengan rekomendasi tersebut dengan
75 mEq/L Natrium, 75 mmol/L glukosa dan osmolaritas total 245 mOsm/L. CRO formula
baru ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak dan dewasa dengan kolera,
meskipun post marketing surveilans sedang dilakukan untuk memastikan keamanan dan
indikasinya.

Cairan Rehidrasi Oral Baru


Resep untuk memperbaiki CRO antara lain menambahkan substrat untuk kotransport
natrium (contoh : asam amino glycine, alanine dan glutamin) atau substitusi glukosa
dengan komplek karbohidrat (CRO berbasis beras atau cereal). Asam amino tidak
menunjukkan lebih efektif dari CRO tradisional dan lebih mahal. CRO berbasis beras
dapat direkomendasikan bila cukup latihan dan penyediaan dirumah dapat dilakukan, dan
mungkin sangat efektif untuk mengobati dehidrasi karena kolera.
Walaupun demikian, kemudahan dan keamanan CRO paket dinegara berkembang
dan secara komersial tersedia CRO dinegara maju, maka CRO standard tetap merupakan
9
pilihan utama dari sebagian besar klinisi.
2 01
t
reSCFA (amylase resistent
Potential aditive pada CRO termasuk mampu melepaskan
9 Ma
starch derivat dari jagung) dan partially hydrolized guar o gum. Mekanisme kerja yang
diharapkan adalah meningkatkan uptake natrium oleh a str terikat pada transport SCFA.
kolon
G
Kemungkinan lain dari perbaikan komposisirapCRO at masa depan adalah penambahan
k
ntu
probiotik, prebiotik, seng dan protein polimer.
u
o
stra
Seng (Zinc) j arG
A
u ku
Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan dihubungkan
l B
efungsi
dengan menurunnya Fi imun dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi yang serius.
Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting
antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT yang semuanya
dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa suplementasi seng
dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk seng, ternyata dapat
menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai 25%, kurang lebih
sama dengan hasil yang dicapai upaya preventif yang lain seperti perbaikan higiene sanitasi
dan pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan
seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 – 14 hari, dan pada bayi
<6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 – 14 hari.

Pemberian makanan selama diare


Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah sembuh.
Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak mampu menerima.
Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul kembali setelah dehidrasi
teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus

107
Bab 6 Diare Akut

yang normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien,


sehingga memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya,
pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi
lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan lebih lama. Makanan yang diberikan pada anak
diare tergantung kepada umur, makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit serta
budaya setempat. Pada umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan yang
dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering mungkin
dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa diminum
paling tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau bebas laktosa
secara rutin tidak diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin
diperlukan untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau
bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan pemeriksaan
terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang mereduksi dalam tinja > 0,5%,.
Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba kembali
dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2–3 hari.
Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak atau
padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus berasal dari
makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih) dan anak dibujuk
9
untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan
2 01 seperti serealia pada
umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah t
re disapih. Pada anak yang
9 Ma pokok setempat, misalnya
lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari : makanan
ro
G ast
nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan energinya dapat
ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati untukasetiap t
a 100 ml makanan. Minyak kelapa sawit
sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. k r p Campur makanan pokok tersebut dengan
kacang-kacangan dan sayur-sayuran,
ntu ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan.
userta
ro
st
Sari buah segar atau pisang baik
r Ga untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau
makanan yang mengandung ja banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan,
kuA
Bu
minuman ringan, sebaiknya
e
dihindari.
Fil
Pemberian makanan setelah diare
Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan
pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh karena itu
perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa minggu setelah sembuh
untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta mempertahankan pertumbuhan
yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada keadaan semacam
ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.

Terapi medikamentosa
Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti : antibiotika,
antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus. Beberapa
obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek
toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umur kurang dari
2 – 3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk
pengobatan diare akut.

108
Buku Ajar Gastrohepatologi

Antibiotik
Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian
besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh
dengan antibiotika.
Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V.
cholera, Shigella, Enterotoksigenik E. coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.
Bila secara klinis jelas diduga disebabkan oleh karena kuman tersebut, dapat diberikan
antibiotika seperti misalnya tetrasiklin untuk kolera, kotrimoksazole / ampisilin untuk
Shigella dan eritromisin untuk Camphylobacter.

Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan
tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat ini
berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :

Adsorben
Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine. Obat-obat ini
dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya20untuk 19 mengikat dan
t
re diare serta dikatakan
Ma
menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan
mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun o 9 demikian, tidak ada bukti
a str
keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada anak.
G
at
r ap
k
tu
Antimotilitas un
ro
st
(Contoh: loperamide hydrochloride,adiphenoxylate dengan atropine, tinctura opii, paregoric,
r G
codein). Obat-obatan ini dapatjamengurangi frekuensi diare pada orang dewasa akan tetapi
tidak mengurangi volume u A pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan ileus paralitik
ktinja
u
e B fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan memperlambat
Fil
yang berat yang dapat
eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis normal. Tidak
satu pun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan diare.

Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak dengan
diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.

Kombinasi obat
Banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas atau bahan lain. Produsen
obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk digunakan pada berbagai macam
diare. Kombinasi obat semacam ini tidak rasional, mahal dan lebih banyak efek samping
daripada bila obat ini digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk
menggunakan obat ini pada anak dengan diare.

109
Bab 6 Diare Akut

Obat-obat lain :
Anti muntah
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat menyebabkan
mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh karena itu obat
anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah karena biasanya berhenti
bila penderita telah terehidrasi.

Cardiac stimulan
Renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi dan hipovolemi. Pengobatan
yang tepat adalah pemberian cairan parenteral dengan elektrolit yang seimbang.
Penggunaan cardiac stimulan dan obat vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak
pernah diindikasikan.

Darah atau plasma


Darah, plasma atau plasma expander tidak diindikasikan untuk anak dengan dehidrasi
oleh karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan air dan elektrolit.
Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan untuk penderita dengan
9
hipovolemia oleh karena renjatan septik. 01
t2
re
9 Ma
ro
Steroid ast
a tG
rap
Tidak memberikan keuntungan dan tidak diindikasikan.
k
u ntu
ro
6.12 Komplikasi G ast
Ajar
u
Buk
Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa diataranya
il e
membutuhkan Fpengobatan khusus.

Gangguan Elektrolit
Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala yang
ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan. Penurunan kadar
natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak.
Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman.
Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45%
saline – 5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan
tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan
rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah
8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam.
Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing.
Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10
ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.

110
Buku Ajar Gastrohepatologi

Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit
garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L). Hiponatremi sering terjadi pada anak
dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif
untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na
dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer Laktat atau
Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang diperiksa dikalikan
0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16
jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.

Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K >5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium
glukonas 10% 0,5–1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5–10 menit dengan monitor detak
jantung.

Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K <3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar 9 K : jika kalium
2,5–3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. tBila2 01< 2,5 mEq/L maka
are 4 jam. Dosisnya: (3,5
diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikanMdalam
9
ro
– kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20
jam berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BBaxt G ast+ 1/6 x 2 mEq x BB).
0,4
Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan k rap otot, paralitik ileus, gangguan fungsi
tu
ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemi o undapat dicegah dan kekurangan kalium dapat
dikoreksi dengan menggunakan oralit r
st dan memberikan makanan yang kaya kalium selama
r Ga
Aja
diare dan sesudah diare berhenti.
u
Buk
e
Kejang Fil
Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang sebelum
atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh karena :
hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia,
kejang terjadi bila panas tinggi, misalnya melebihi 400oC, hipernatremi atau hiponatremi.

6.13 Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral


Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya pengeluaran
tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah yang menetap, tidak dapat
minum, kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi glukosa. Pada keadaan-keadaan
tersebut mungkin penderita harus diberikan cairan intravena.

111
Bab 6 Diare Akut

6.14 Pencegahan
Upaya pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara :
1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare.
Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal-oral.
Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran
ini.
Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi :
• Pemberian ASI yang benar.
• Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI.
• Penggunaan air bersih yang cukup.
• Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar
dan sebelum makan.
• Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga.
• Membuang tinja bayi yang benar.
2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu (host).
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan dapat
mengurangi resiko diare antara lain :
9
• Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 tahun. 2 01
t
e memberi makan dalam
• Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASIardan
9 M
jumlah yang cukup untuk memperbaiki status rgizi
a st o anak.
• Imunisasi campak. G
p at
Akhir-akhir ini banyak diteliti tentang a
rperanan probiotik, prebiotik dan seng dalam
pencegahan diare. ntuk
o u
astr
j arG
6.15 Probiotikuku A
leB
Probiotik diberiFibatas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang difermentasi
yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan mikroflora intestinal yang
lebih baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan pemberian probiotik dalam waktu
yang panjang terutama untuk bayi yang tidak minum ASI. Pada sistematik review yang
dilakukan Komisi Nutrisi ESPGHAN (Eropean Society of Gastreoenterology Hepatology
and Nutrition) pada tahun 2004, didapatkan laporan-laporan yang berkaitan dengan
peran probiotik untuk pencegahan diare. Saavedra dkk tahun 1994, melaporkan pada
penelitiannya bahwa susu formula yang disuplementasi dengan Bifidobacterium lactis dan
Streptococcus thermophilus bila diberikan pada bayi dan anak usia 5 - 24 bulan yang dirawat
di Rumah Sakit dapat menurunkan angka kejadian diare dari 31% menjadi 7%, infeksi
rotavirus juga berkurang dari 39% pada kelompok placebo menjadi 10 % pada kelompok
probiotik. Penelitian Phuapradit P. dkk di Thailand pada tahun 1999 menunjukan bahwa
bayi yang minum susu formula yang mengandung probiotik Bifidobacterium Bb 12 dan
Streptococcus thermophylus lebih jarang menderita diare oleh karena infeksi rotavirus.
Oberhelman RA dkk tahun 2002 melaporkan penggunaan Lactobacillus GG di Peru
pada komunitas dengan resiko tinggi diare dapat menurunkan episode diare terutama
pada anak-anak usia 18 – 29 bulan dibandingkan dengan placebo (4,7 v 5,9 episod/

112
Buku Ajar Gastrohepatologi

anak/thn dengan p = 0,0005), akan tetapi penelitian yang sama di Finlandia tahun 2001
tidak menemukan adanya efek proteksi pada konsumsi jangka lama susu formula yang
disuplementasi dengan probiotik.
D’Souza dkk tahun 2002 melaporkan bahwa probiotik jika diberikan bersama-sama
dengan antibiotika mengurangi resiko “Antibiotic Associated Diaorrhea”.
Kemungkinan mekanisme efek probiotik dalam pencegahan diare melalui: perubahan
lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti mikroba terhadap
beberapa patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi kuman patogen pada enterosit,
modifikasi toksin atau reseptor toksin efek trofik terhadap mukosa usus melalui penyediaan
nutrien dan imunomodulasi.
Disimpulkan bahwa beberapa probiotik potential mempunyai efek protektif terhadap
diare, tetapi masih diperlukan penelitian dan evaluasi lebih lanjut termasuk efektifitas dan
keamanannya, walaupun sejauh ini penggunaan probiotik pada percobaan klinis dikatakan
aman. Surveilans diperlukan untuk mencari kemungkinan efek samping seperti infeksi
pada kelompok resiko tinggi antara lain bayi prematur dan pasien immuno compromised.

6.16 Prebiotik 01
9
t 2
re makanan. Umumnya
Ma
Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan
kompleks karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang 9
o pertumbuhan flora intestinal
yang menguntungkan kesehatan. a str
G
p at
a
tu kr
Oligosacharida yang ada didalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh
n
karena dapat merangsang pertumbuhan uLactobacilli dan Bifidobacteria didalam kolon bayi
yang minum ASI. Data menunjukanasangkatro kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang
G
A jar
minum ASI. Tetapi pada dua penelitian RCT di Peru th. 2003, bayi-bayi dikomunitas yang
u
diberi cereal yang disuplementasi dengan Fruktooligosakarida ( FOS ) tidak menunjukan
Buk
e
penurunan angka kejadian diare.
Fil
Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu
menunggu penelitian-penelitian selanjutnya.

Daftar Pustaka
1. Dit. Jen PPM, PLP Dep. Kes. RI. PMPD. Buku Ajar Diare. 1996.
2. Parashar UD, HUmmerlman EG, Breese JS, Miller MA, Glass RI. Global illnes and death caused
by rotavirus disease in children. Emerging Infection Disease. 2006; 9: 565-572.
3. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson Textbook
of Pediatrics 17 ed. Saunders. 2004 : 1272-6.
4. Widayana IW, Gandi Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan mortalitas diare di
era otonomi dan krisis. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung, 2003: 45-54.
5. Firmansyah A. Pengaruh malnutrisi terhadap saluran cerna tikus putih: penelitian khusus pada
perkembangan morfologid, biokimiawi dan fisiologis terutama kolon. Disertasi. 1992; 13-20.
6. Rhoads JM, Powell DW. Diarrhea. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds.
Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker
Inc. 1991: 65-73.
7. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IRG. Diare. Dalam: Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo

113
Bab 6 Diare Akut

SM, Ranuh IRG eds. Gangguan absorbsi-sekresi sindroma diare. Graha masyarakat ilmiah
kedokteran FK Unair. 1999: 1-36.
8. Sunoto, Sutoto, Soeparto P, Soenarto Y, Ismail R, Pedoman Proses Belajar Mengajar Diare,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit
Menular. 1990.
9. Hoekstra JH. Acute Gastroenteritis in Industriliazed countries : compliance with guidelines for
treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011; 33: 531-5.
10. Suparto P. Sumbangan dan peran kaum profesional dalam mendukung program penyakit
saluran cerna di era otonomi. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003:
17-27.
11. Tolia V. Acute infections diarrhea in children. Current treatment option in infections disease.
2002; 4: 183-94.
12. Vanderhoof JA. Diarrhea. Dalam : Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease
pathophysiology; diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 187-95.
13. Pickering LK, Cleary TG. Approach to patients with gastrointestinal tract infection and food
poisioning in Feigin RD. Cherry JC eds. Textbook of Pediatric infectious disease 4 Ed WB
Saunders Co. 1998; 1: 567-94.
14. Breese J, Fang, Wang BLE, Soenarto Y, Nelson EA, Tam J, Wilopo SA, Kilgore P, First report from
the asian rotavirus survaillance network. Emerg Infect Dis. 2004; 10(6) : 988-955.
15. Field M. intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. Didapat dari: http://www.
9
jci.oirg. 2 01
t
re : Melbourne. 2007.
Ma Kesehatan Anak. Balai Pnerbit
16. Soenarto, Y. Rotavirus Disease Burden in Indonesia. Grand Round
17. Sonoto. Penyakit radang usus: infeksi. Dalam: Buku Ajar 9
Ilmu
ro
FKUI. 1991; I: 448-66.
G ast
18. Rahmat H. Kebijakan Nasional pemberantasan t
apenyakit menular langsung dan oralit formula
r aIIpBKGAI BAndung. 2003: 91-7.
baru. Kumpulan makalah KOngres Nasional k
19. Antosun DL. Anatomy and physiology u noftuthe small and large intestine. Dalam : Wyllie R, Hyams
ro
JS eds. Pediatric gastrointestinal
G ast disease pathophysiology, diagnosis and management. WB
Saunders Co. 1993: 479-91.
A jar
20. Berkes J, Viswanathan u Savkovic SD, Hecht G. Intestinal ephitel to enteric pathogens: effects
VK,
on tight junction Buk ion transport and inflammation. Didapat dari: http://gut.bmjjournals.
barrier,
e
com/. Fil
21. Burke V. Mechanism of intestinal digestion and absorption. Dalam: Gracey M, Burke V eds.
Gastroenterology and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993:150-6.
22. Desjuex JF. Tranport water and ions. Dalam : Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds.
Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker
Inc. 1991:312-18.
23. Guyton AC, Hall JE. Transport ion dan molekul melalui sel. Dalam: Guyton AC, Hall JE eds.
Buku ajar fisiologi kedokteran. EGC. 1997: 55-69.
24. Lake AM. Anatomy and physiology of stomatch. Dalam : Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric
gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993:
405-11.
25. Weaver LT. Anatomy and embryolgy. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds.
Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker
Inc. 1991: 405-11.
26. Brueton MJ. Immunology of gastrointestinal tract. Dalam: Gracey M, Burke V eds.
Gastroenterology and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993: 224-32.
27. Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Baratawidjaya KG ed. Imunologi Dasar. BPFKUI, 2002; 135-49.
28. American academy of pediatric. The management of acute gastroenteritis in young children.
Pediatrics. 1996; 97: 1-20.

114
Buku Ajar Gastrohepatologi

29. Duggan C, Santosham M, Glass RI. The management of acute diarrhea in children: oral
rehydration, maintenance and nutritional theraphy. MMWR. 1992; 41 (RR-16): 1-20.
30. King CK, Glass R, Bresee JS, Dugaan C. Managing acute gastroenteritis among child; oral
rehydration, maintenance and nutritional theraphy. MMWR. 2003; 52 (RR16): 1-16.
31. Guarino A et al. Oral rehydration towards a real solution. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001; 33:
2-12.
32. Hans S et al. Reduced osmolarity oral rehydration solution fot treating dehydration due to
diarrhea in children: aystemic review. BMJ. 2001; 325: 81-5.
33. WHO, UNICEF. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva. 2006.
34. Altaf Waseef MD. ZInc Supplementation in Oral Rehydration Solution: Experimental Assesment
and Mechanism of Action. Journal of the American Collage of Nutrition. Orlando. 2001.
35. Baqui AH et al. Effect of zinc supplementation started during diarrhea on morbidity and
mortality in Bangladesh Children: Community randomized trial. BMJ. 2002; 325: 1-7.
36. Lukacik M., Ronald L. Thomas.. Jacob V. Aranda. A Meta-Analusis of the effect of Oral Zinc in
the Treatment of Acute and Persistent Diarrhea. 2007.
37. Sandhu BK. Practical guidelines of the management of gastroenteritis in children. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2001; 33: 36-9.
38. Dwiprahasto, I. Penggunaan Antidiare ditinjau dari Aspek Terapi Rasional. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan. 2003; 9(2): 94-101.
39. Dugaan C et al. Oral rehydration solution for acute diarrhea prvents subsequent unscheduled
9
follow up visit. Pediatrics. 1999; 104 (3): 29-33. 2 01
re
40. Bao Bin. Zinc modulates mRNA levels of cytokines. Am J Physiol aEndocrinol
t Metab. Michigan.
2003. 9 M
41. Sazawal S et al. Zinc supplementation in young children tro acute diarrhea in India. N Eng J
aswith
G
Med. 1995; 333: 839-44. at
r ap and pneumonia. BMJ 1999: 1521-3.
42. Yamey G. Zinc supplementation prevents diarrhea k
43. Brown KH and Mac Lean W.C. Nutritional u ntumanagement of acute diarrhea: an appraisal of the
tro
alternatives. Pediatrics. 1984; 73: 2:as119-125.
G
44. Sandhu BK. Rationale for early jar feeding in childhood gastroenteritis. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 2001; 33: 13-6. ku A
u
45. WHO. The treatment
i l e Bof diarrhea: a manual for physicians and other senior health workers Child
Health/ WHO. CDR F 95 (1995).
46. WHO. Hostipal Care for Children. Geneva. 2005.
47. Kandun IN. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat.
48. Juffrie M, et al. The effect of fructooligosaccharide (FOS) in children with diarrhea. J of the
Medical Sciences. 2007; 39: 47-53.
49. Agostoni C et al. Medical position paper. Probiotic bacteria in dietetic product for infants: A
commentary by ESPGHAN committee on nutrition. J Pediatr Gastroenerol Nutr 2004; 38: 365-
74.
50. Szajwska H and Mrukowics JZ. Probiotic in the treatment and prevention of acute infectious
diarrhea in infants and children: A systematic rebiew of published randomized, double blind,
placebo controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001; 33: 17-25.

115
BAB

7
Diare Kronis dan Diare Persisten
Yati Soenarto

7.1 Ilustrasi Kasus


Anak perempuan usia 23 bulan dengan keluhan BAB cair kurang lebih 5 kali sehari, dan
sudah berlangsung selama 15 hari. Diare dimulai dengan tinja cair tanpa darah/lendir,
demam, muntah 2-3X/hari, oralit yang diberikan selalu dimuntahkan, sehingga dirawat
oleh karena dehidrasi berat. Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh 37,8°C, status
gizi baik, anak didiagnosis diare cair akut dengan dehidrasi berat. Anak diperbolehkan
pulang setelah dirawat 2 hari, dikarenakan sudah tidak dehidrasi, tidak muntah, tidak
demam, walaupun BAB masih 3-4 kali, lembek. Ibu juga sudah dapat melakukan semua
penanganan yang akan dilakukan di rumah, apabila diare belum sembuh. Ibu juga sudah
diberi penjelasan tentang penyakitnya dan memahaminya. Sepuluh hari kemudian, Ibu
datang kembali dengan keluhan diare belum sembuh, berak lebih sering, cair, berbau asam,
berbuih, sampai “berengan” kulit sekitar anus berwarna merah. Selama 10 hari di rumah
setelah kunjungan pertama, setiap kali diberi minum susu, anak diare, kembung, kadang-
kadang muntah. Apabila susu dihentikan, gejala-gejala membaik, oleh karena itu ibu
menghentikan susu dan mengurangi makan. Pemeriksaan fisik menunjukkan anak tidak
demam, tidak ada tanda-tanda dehidrasi, tetapi mata kelihatan lebih cowong. Berat badan
berada di persentil 3 kurva BB//TB, padahal sebelum kena serangan diare, berat badan &
tinggi badan anak normal.

Pertanyaan
1. Diagnosis apa yang paling mungkin pada anak ini?
2. Bagaimana anda mengkonfirmasi diagnosis tersebut?
3. Bagaimana tatalaksana pasien ini?

7.2 Pendahuluan
Diare merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas anak di dunia yang
menyebabkan 1,6–2,5 juta kematian pada anak tiap tahunnya, serta merupakan 1/5 dari
seluruh penyebab kematian. Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia menunjukkan

116
Buku Ajar Gastrohepatologi

penurunan angka kematian bayi akibat diare dari 15,5% (1986) menjadi 13,95% (1995).
Penurunan angka kematian akibat diare juga didapatkan pada kelompok balita berdasarkan
survei serupa, yaitu 40% (1972), menjadi 16% (1986) dan 7,5% (2001).
Penurunan mortalitas ini merupakan salah satu wujud keberhasilan ORS (Oral
Rehydration Salt) untuk manajemen diare. Akan tetapi, penurunan angka mortalitas akibat
diare tidak sebanding dengan penurunan angka morbiditasnya. Studi meta-analisis yang
dilakukan oleh Kosek et al. menunjukkan bahwa angka kejadian diare akut cenderung tetap
dari tahun ke tahun. Di negara berkembang setiap anak mengalami rata-rata tiga episode
diare akut tiap tahunnya, sedangkan di Indonesia sebesar 1,3 kali per tahun. Berdasarkan
Survei Kesehatan Nasional yang dilakukan tahun 2003-2004 dilaporkan prevalensi diare
pada anak sebesar 11%.
Di Indonesia penurunan angka mortalitas yang signifikan terjadi sejak tahun 1970-an
saat ORS mulai dimasyarakatkan. Akan tetapi, manfaat manajemen ORS ini kurang terlihat
pada diare persisten sehingga angka kematian akibat diare ini cenderung tetap.

7.3 Definisi 9
2 01
t
Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensiare lebih lunak atau
lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali odalam 9 M 24 jam. Dalam referensi
r
lain disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak
G ast adalah pengeluaran tinja
>10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran p at tinja normal pada bayi sebesar 5-10
a
g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi tu k rdiare akut dan diare yang berkepanjangan
n
(kronis dan/atau persisten). Diare kronis
tro u dan diare persisten seringkali dianggap suatu
as
kondisi yang sama.5,6 Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare
j arG
lebih dari 2 minggu, sedangkan
u A kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau
uk
sukar naik oleh Walker-Smith
B et al. didefinisikan sebagai diare persisten.5,6 Di lain pihak,
i l e
F kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American
dasar etiologi diare
Gastroenterological Association. Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare
lebih dari dua minggu, sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi,
sedangkan definisi menurut The American Gastroenterological Association adalah episode
diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.5,6 Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan
kejadian diare kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana
infeksi merupakan latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab
non-infeksi lebih banyak didapatkan di negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas
penelitian maupun pembahasan lebih didominasi permasalahan diare non infeksi, antara
lain karena dalam tatalaksananya, diare bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya.
Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat dilakukan
pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di lingkungan
masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare
yang berlangsung ≥14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta
diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan tersebut
yang akan dipakai dalam bab Diare Kronis dan Diare Persisten ini.

117
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten

7.4 Kejadian
Diare persisten/kronis mencakup 3–20% dari seluruh episode diare pada balita. Insidensi
diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan
menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini
menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang
mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologis
mengenai diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh
menunjukkan bahwa secara keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum
menurun secara bermakna dalam rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare
persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia
6-11 bulan.

7.5 Etiologi
Sesuai dengan definisi yang digunakan dalam bab ini, terdapat perbedaan etiologi antara
diare persisten dan diare kronis. Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam
kondisi. Di negara maju sebagian besar membahas penyebab non 9 infeksi, umumnya
2 01
meliputi intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6
e tbulan, tinja sering disertai
M
dengan darah); celiac disease (gluten-sensitive enteropathy),
ardan cystic fibrosis. Namun,
9 o
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 7.5.1. Insidensi diare di beberapa negara berkembang


Sumber : Bhutta, 2006.

perhatian global seringkali tertuju pada diare berkepanjangan yang bermula dari diare akut
akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini banyak terjadi di negara-negara berkembang.
Tabel 7.5.1 menunjukkan enteropatogen penyebab diare di Surabaya dari tahun 1984
hingga 1993, berdasarkan durasi diare. Sayangnya publikasi lain dari studi semacam ini di
Indonesia tidak dapat diperoleh.

118
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 7.5.1. Enteropatogen penyebab diare di Surabaya (1984-1993)


Etiologi Diare Akut (<7 hari) Diare berkepanjangan Diare Kronis
7-15 hari >15 hari
Rotavirus 116 n.d n.d.
V.cholera 78 2 -
Salmonella sp. 86 81 21(11.9%)
E.coli 102 14 16 (9%)
Campylobacter j. 16 2 -
Entamoeba histolytica - 16 12 (6.8%)
Staphylococcus aureus - 11 7 (4%)
Shigella 7 1 -
Pseudomonas - 1 -
Salmonella typhi - 1 3 (1.7%)
Morganella morgagni - - 3 (1.7%)
Klebsiella - - 1 (0.5%)
Enterobacter - - 1 (0.5%)
Aeromonas 4 n.d
19 n.d
20
Klebsiella oxytocia 5 -
aret -
Infeksi campuran 54 13 9M 12 (6.8%)
ro
G ast 76 (100%)
Sumber : Soeparto, 1999. p at
r a
k
u ntu
ro
7.6 Patogenesis G ast
Ajar
u
Patogenesis diare kronis kmelibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Pertemuan
Bu
e
Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition (CAPGAN)
Fil
menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis yang menjelaskan bahwa paparan
berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian
proses yang pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare
kronis. Seringkali diare kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa
referensi hanya menggunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua jenis diare
tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun,
kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena infeksi. Gambar
7.6.2 menunjukkan perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Dijelaskan bahwa faktor
seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan ketidaktepatan terapi diare
menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged diarrhea). Pada akhirnya
prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang memiliki konsekuensi enteropati dan
malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen dan (2) faktor
mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk
gangguan pankreas, hepar, dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah faktor yang
mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses

119
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten

Gambar 7.6.1. Konsep patogenesis Diare Persisten dan Kronis


9
Sumber: Sullivan, 2002
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 7.6.2. Alur perjalanan diare akut menjadi diare persisten


Sumber: Bhutta, 2006

120
Buku Ajar Gastrohepatologi

yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada
fungsi transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan
oleh proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi
laktosa. Gangguan fungsi transpor protein misalnya disebabkan gangguan penukar ion
Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat.
Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh
Ghishan, dengan membagi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi
protein transport membran apikal, (4) pengurangan luas permukaan anatomi, dan (5)
perubahan motilitas usus.

Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripte akibat
mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga mencegah
terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairan tidak
dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan
mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam),
konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon
9
terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris 2adalah 01 Vibrio cholerae
e t
di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMPardengan mekanisme yang
9 M
telah disebutkan sebelumnya. ro
G ast
p at
r a
k
Osmotik u ntu
ro
Diare dengan mekanisme osmotik G ast bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses
jar nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan
pencernaan dan/atau penyerapan
A
u
uk Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen
langsung memasuki colon.
B
e
Fil cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung
usus sehingga menarik
pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam
proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama
bila disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan
gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi
laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi,
yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus
besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan
akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat Kondisi
ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi
reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.

Mutasi protein transport


Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion Cl-/
HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon, berdampak pada gangguan absorpsi Cl-
dan menyebabkan HCO3- tidak dapat tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis metabolik
dan pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan

121
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten

Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada
kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi polihidramnion,
kelahiran prematur, dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah,
sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai daerah
di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur Tengah,
Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi pada
penukar Na+/H+ dan Na+–protein pengangkut asam empedu.

Pengurangan luas permukaan anatomi usus


Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu seperti necrotizing
enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan lain-lain, diperlukan
pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan short bowel
syndrome. Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit
yang masif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien.

Perubahan pada gerakan usus


Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma,9 obstruksi usus,
2 01
dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebihre t di usus. Pertumbuhan
bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam 9 Ma empedu yang berdampak
meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, sepertiastpada ro mekanisme diare sekretorik.
G
Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus at terjadi akibat neuropati saraf otonom,
r ap
uk normal berperan sebagai antisekretori dan/
misalnya saraf adrenergik, yang pada kondisi
ntgangguan
atau proabsorbtif cairan usus, sehingga
o u pada fungsi saraf ini memicu terjadinya
diare. a str
G
Ajar
u
uk
7.7 Manifestasi
Fi Klinis (Komplikasi)
l e B

Roy et al (2006) mengungkapkan bahwa anak dengan diare persisten lebih banyak
menunjukkan manifestasi diare cair dibandingkan diare disentriform. Selain itu, malnutrisi
merupakan gambaran umum anak-anak dengan diare persisten. Studi kohort di Amerika
menunjukkan bahwa gejala penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam
tinja, dan gejala-gejala flu, lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare
akut. Gejala lain yang mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit
yang mendasarinya.

7.8 Diagnosis
Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi:

Anamnesis
Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare, antara lain berapa

122
Buku Ajar Gastrohepatologi

lama diare sudah berlangsung dan frekuensi berak. Selain itu anamnesis juga bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain riwayat pemberian
makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian obat, dan
adanya penyakit sistemik.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup perhatian khusus pada
penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak.

Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan darah
• Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit,
ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12, folat, kalsium, feritin, laju enap darah, dan
protein C-reaktif.
• Pemeriksaan tinja
• Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes fecal
elastase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. 9
2 01 pH tinja <5 atau
t
M ae
adanya subtansi yang mereduksi pada pemeriksaan tinja, rmembantu mengarahkan
kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang 9 telah dijelaskan sebelumnya.
ro
G ast
Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa, seperti
t
pa dengan kejadian diare persisten.
giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan
ra
tuk
o un
7.9 Terapi rG
astr
Aj a
kuharus dilakukan secara bertahap dengan meliputi :
Manajemen diare persisten
u
le B
Penilaian awal,Firesusitasi dan stabilisasi
Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya. Diare
persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit,
khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotik spektrum luas
harus dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan
atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.

Pemberian nutrisi
(i) Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis
Kebutuhan energi dan protein pada diare persisten/kronis berturut-turut sebesar 100
kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung energi 1
kcal/g. Pilihan terapi nutrisi dapat meliputi : diet elemental, diet berbahan dasar susu,
dan diet berbahan dasar ayam.
a. Diet elemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam amino
kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau disakarida, dan kombinasi trigliserida

123
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten

rantai panjang atau sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah harganya mahal.
Selain itu, rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit diterima oleh anak-anak
sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastrik untuk mendapatkan hasil
maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas hanya digunakan di negara
maju.
b. Diet berbahan dasar susu
Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan dalam
mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung nutrisi dalam
jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang tinggi (7 gram laktosa/100gram ASI,
pada susu non-ASI sebanyak 4,8 gram laktosa/100 gram) namun mudah diserap
oleh sistem pencernaan bayi, serta membantu pertahanan tubuh dalam mencegah
infeksi. Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat dibandingkan
susu non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH rendah, dengan
demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI juga
membantu mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena mengandung
epidermial growth factors.
c. Diet berbahan dasar daging ayam
Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas laktosa, hipoosmolar,
9
01
dan lebih murah. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa2pemberian diet berbahan
dasar unggas pada diare persisten memberikan hasil re t
perbaikan yang signifikan.
Ma
9
Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi oMasyarakat FK UGM dengan single
r
blind, randomized-controlled trial menunjukkanG ast durasi diare yang lebih pendek
at
secara bermakna pada anak dengan diare
r ap yang mendapat bubur ayam dibandingkan
k
ntu
yang mendapat bubur tempe (1,92±0,66
u
vs 2,64±0,89, p 0,034). Namun demikian,
ro
mengingat harga bubur refeeding ayam empat kali lebih tinggi daripada bubur
G ast bubur tempe dapat menjadi pilihan tatalaksana diare
refeeding tempe, penggunaan
Ajar kondisi ekonomi.
pada situasi keterbatasan
u
Buk
e
Fil
(ii). Pemberian mikronutrien
Defisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan asupan nutrisi
yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi. Suplementasi
multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA (Recommended Daily
Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1 tahun meliputi asam
folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1
mg, dan magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk
anak berusia <6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia >6 bulan
sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.22 Meta-analisis yang
dilakukan The Zinc Investigator Collaborative Group menunjukkan bahwa pemberian
zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah
kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%.

124
Buku Ajar Gastrohepatologi

(iii). Probiotik
Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung
Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii pada
penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan
durasi muntah yang menyertai. Meta-analisis yang dilakukan Johnston et al. (2006)
menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-
associated diarrhea.

(iv) Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare setelah
2,39 ± 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat
bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 ± 0,33 hari). Sebuah studi uji
klinis randomized controlled double-blind yang dilakukan oleh Soenarto et al (1997)
menunjukkan bahwa formula yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi
diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode
diare akut.

9
2 01
Terapi Farmakologis aret
9M
Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena roterbukti tidak efektif. Antibiotik
diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, G ast infeksi intestinal maupun ekstra-
baik
at
intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, r apsegera diberikan antibiotik yang sensitif
k
untuk shigellosis. Metronidazol oral u(50 ntumg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada
ro
kondisi adanya trofozoit Entamoeba
G ast histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia
lamblia pada tinja, atau jika
A jar tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua
antibotik berbeda yang
u ku biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai penyebab adalah
le B
infeksi lainnya, iantibiotik diseseuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas.
F

Follow up
Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus memantau
perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
terapi diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan
kemungkinan intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung > 2 minggu dimana
50% kebutuhan cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak
ditemukan di negara maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan
manajemen nutrisi ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti
kembalinya tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam
waktu 7 hari. Gambar 7.9.1 menjelaskan alur tata laksana diare persisten/kronis.

125
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten

Diare persisten
(Diare > 14 hari disertai malnutrisi)

Diagnosis, resusitasi dan stabilisasi awal


• Intravena atau rehidrasi oral (cairan rehidrasi oral)
• Atasi gangguan elektrolit
• Pelacakan dan pengobatan infeksi sistemik

ASI diteruskan
Mengurangi asupan laktosa dengan:
Diet susu sereal (umumnya berbahan dasar beras)
Atau mengganti susu dengan yogurt
Suplemen mikronutrien (zink, vit. A, folat)

Sembuh Diare berlanjut9atau berulang


01
t 2 tidak baik
Berat badan
re
9 Ma
ro
ast
Pemantauan
pertumbuhan GPelacakan ulang untuk penyebab infeksi
p at Terapi diet sekunder
k ra Ayam dan diet elemnetasi
u ntu Diarre berlanjut dan dehidrasi
ro
G ast
Ajar
u Pelacakan ulang untuk menyingkirkan
Buk Diare intraktable pada bayi
l e
Fi Hiperalimentasi intravena

Gambar 7.9.1. Diagram Manajemen Diare Persisten


Sumber: Bhutta, 2006

7.10 Faktor Risiko dan Pencegahan


Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma
menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama
terjadinya diare persisten.
Kelompok penderita diare persisten terbanyak adalah kelompok usia < 12 bulan. Hal
ini didukung dengan studi Fraser et al (1998) yang mengemukakan bahwa kejadian diare
persisten paling banyak pada anak usia < 3 bulan. Studi yang dilakukan di Bangladesh
menunjukkan bahwa rata-rata usia anak penderita diare persisten adalah 10,7 bulan. Baqui
et al (1993) menyatakan bahwa kelompok usia terbanyak penderita diare persisten adalah
usia kurang dari 1 tahun.

126
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 7.10.1. Faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten


Faktor bayi • Bayi berusia <12 bulan
• Berat badan lahir rendah (<2500 gram)
• Bayi atau anak dengan malnutrisi
• Anak-anak dengan gangguan imunitas
• Riwayat infeksi saluran nafas
Faktor maternal • Ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas dalam merawat bayi
• Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai higienis, kesehatan dan gizi, baik
menyangkut ibu sendiri ataupun bayi.
• Pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian ASI serta makanan pendamping ASI.
Pemberian susu pada bayi • Pengenalan susu non-ASI
• Penggunaan botol susu
Riwayat infeksi sebelumnya • Riwayat diare akut dalam waktu dekat (khususnya pada bayi <12 bulan)
• Riwayat diare persisten sebelumnya.
Penggunaan obat sebelumnya • Obat antidiare, karena berhubungan dengan menurunnya motilitas gastrointestinal.
• Antimikroba, termasuk antibiotik dan anti-parasit.
Sumber : WHO, 1998.

Kejadian diare persisten sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan. Penderita
diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan lebih singkat 9 dibandingkan
2 01
kelompok kontrol. Penundaan pemberian ASI pertama pada awal kelahiran e t juga merupakan
salah satu faktor risiko diare peristen. Pemberian makanan M arpendamping terlalu dini
o 9
meningkatkan risiko kontaminasi sehingga insidensi diare r
st persisten semakin tinggi. Oleh
t
karena itu, pencegahan terhadap kejadian diare persistenGa meliputi pemberian ASI eksklusif
pa
rayang
selama 6 bulan, pemberian makanan tambahan k higienis, dan manajemen yang tepat
n tu
u berkepanjangan. Manajemen diare akut yang
pada diare akut sehingga kejadian diareotidak
a str
tepat meliputi pemberian ORS, manajemen nutrisi dan suplementasi zinc.
G
Ajar
u
Buk
i l e
F
7.11 Diare Persisten pada Kondisi Khusus
Diare persisten pada Infeksi HIV
Diare persisten merupakan salah satu menifestasi klinis yang banyak dijumpai pada
penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih
tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang meningkatkan
kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode
diare akut sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5
kali untuk terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining
yang dilakukan di India menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV
seropositif.
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum
diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan
perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik
dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan
bakteri.

127
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten

Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit dapat menyebabkan diare
persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak dijumpai
pada penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Insidensi
infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD4 yang rendah. Schmidt (1997)
mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare persisten
pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan pengurangan luas permukaan villi
usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-pasien HIV tanpa gejala diare
persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi
microsporidiasis. Grohmann et al (1993) menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus,
Calicivirus, dan Adenovirus adalah enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.

Diare persisten pada keganasan


Beberapa tumor dapat menghasilkan hormon yang secara langsung menstimulus sekresi
usus dan menyebabkan diare. Ada pula tumor yang dapat menyebabkan gangguan pada
abosorpsi nutrien dan berdampak pada diare. Pada pancreatic cholera, terbentuk neoplasma
sel endokrin pada pankreas yang menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu
terjadinya sekresi berlebihan di usus. Pada sindrom carcinoid, terbentuk tumor carcinoid
9
yang mensekresi serotonin, bradikinin, prostaglandin dan substansi
2 01 P yang kesemuanya
t
menstimulus proses sekresi di usus. Karsinoma meduller tiroid are menghasilkan kalsitonin
yang menstimulus sekresi di usus, menyebabkan sekitaro30% 9 M penderita karsinoma tersebut
r
G ast
mengalami diare. Pada sindroma Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan produksi asam
lambung yang disebabkan tumor penghasil gastrin p at dapat mengganggu enzim pencernaan
ra
ksehingga
dan menyebabkan presipitasi asam empedu tu menyebabkan malabsorpsi zat nutrien.
u n
Pada diare jenis ini, tinja memiliki rpHo yang rendah.
Diare pada keganasan juga G ast
berhubungan dengan efek samping kemoterapi. Kemoterapi
Aj ar
menyebabkan peradangan u membran mukosa traktus gastrointestinal (mukositis). Agen-
agen kemoterapi yang B uksering berkaitan dengan diare adalah 5-Fluorouracil dan Irinotecan.
e
Fil
5-Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah kripta terhadap villi,
sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus.
Diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi
tingkat kematian anak di Indonesia dan dunia. Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai
faktor yang sangat kompleks. Hubungan antara diare persisten dengan malnutrisi bagaikan
lingkaran setan yang memerlukan penanganan yang integratif dan bertahap sehingga terapi
yang dibutuhkan tidak hanya terapi medikamentosa akan tetapi dibutuhkan pula terapi
nutrisi yang optimal.

Acknowledgement
Terimakasih kepada asisten peneliti di Bagian Ilmu Kesehatan Anak/ RSUP Dr.Sardjito:
dr.Diatrie Anindyajathi, dr. Emi Azmi Choironi, dr Endy Widya Putranto, dr. Vicka Oktaria
dan dr Retno Palupi.

128
Buku Ajar Gastrohepatologi

Daftar Pustaka
1. Attili SVS, Gulati AK, Varma DV, Rai M, Sundar S. Diarrhea, CD4 counts and enteric infections
in a hospital – based cohort of HIV-infected patients around Varanasi, India. BMC Infectious
Diseases 2006, 6:39.
2. Badruddin SH, Islam A, Hendricks KM, Bhutta ZA, Shaikh S, Snyder JD, Molla AM. Dietary
risk factors associated with acute and persistent diarrhea in children in Karachi, Pakistan. Am J
Clin Nutr 1991; 54: 745-9.
3. Baqui AH, Sack RB, Black RE, Chowdhury HR, Yunus M, Siddique AK. Cell-Mediated Immune
deficiency and Malnutrition are Independent Risk Factors for Persistent Diarrhea in Bangladeshi
Children. Am J Clin Nutr 1993; 58: 543-548.
4. Black RE, Morris SS, Bryce J: Where and why are 10 million children dying every year? Lancet
2003;361:2236-2234.
5. Bhutta ZA. Persistent diarrhea in developing countries. Ann Nestle 2006;64:39-47.
6. Bhutta ZA, Bird M, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Hidayat A, Khatun F, Martorell R,
Ninh NX, Penny ME, Rosado JL, Roy SK, Ruel M, Sazawal S, Shankar A (The Zinc Investigator
Collaborative Group). Therapeutic effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in
children in developing countries: pooled analysis of randomized controlled trials. Am J Clin
Nutr 2000;72:1516–22.
7. Bhutta ZA, Hendricks KM. Nutritional Management of Persistent Diarrhea in Childhood: A
9
Perspective from the Developing World. Journal of Pediatric Gastroenterology
2 01 & Nutrition,
[Review] 1996; 22:17-37. re t
8. Budiwiarti, YE. Pengaruh Pemberian Bubur Refeeding Tempe9Terhadap Ma Diare pada Anak Diare
ro
Akut Usia 6-24 Bulan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, FK st UGM, 2005.
9. El Mouzan MI. Chronic diarrhea in children : Part t GII.a Clinical Approach and Management.
a
Saudi J Gastroenterol 1995;1:81-6.
k rap
tu
10. Field M. Intestinal ion transport and the
o un pathophysiology of diarrhea. J Clin Invest. 2003;
111(7):931-943. str
11. Fraser D, Dagan R, Porat N, rEl-On Ga J, Alkrinawi S, Deckelbaum RJ, Abraham D, Naggan L.
ja
u A of Israeli Bedouin Infants: Role of Enteric Pathogens and Family
Persistent Diarrhea in a Cohort
k
u
and Environmental Factors. JID 1998;178:1081–8.
i l e B diarrhea as an emerging child health problem. Saudi J Gastroenterol
F
12. Galal OM. Persistent
1997;3:34-40 .
13. Gaon D, Garcia H, Winter L, Rodriguez N, Quintas R, Gonzales SN, Oliver G. Effect of
Lactobacilles Strain And Saccharomices Boulardie On Persistent Diarrhoea In Children.
MEDICINA, 2003; 63: 293-298.
14. Ghishan RE. 2007. Chronic Diarrhea. In Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. WB
Saunders, Philadelphia.
15. Grohmann GS, Roger GW, Perreira HG, Monroe SS, Hightower AW, Weber R, Brian RT. Enteric
Viruses And Diarrhoea In HIV Infected Patient.1993, NEJM. 329:14-20.
16. Johnston DC, Supina AL, Ospina M, Vohla S. Probiotic For The Prevention Of Pediatric
Antibiotic Associated Diarrhoea. [Review Online]: Cochrain Database Of Systematic Review,
2008, Issue 1.
17. Kandun IN. Situasi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Diare di Indonesia.
Dalam Kumpulan Makalah Kongres Nasional II Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak
Indonesia. Departemen Kesehatan RI, 2003.
18. Kandun, IN. Situasi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Diare di Indonesia
Tahun 2008. Makalah dipresentasikan dalam Annual Scientific Meeting Dies Natalis FK UGM
ke-62 dan HUT RSUP Dr. Sardjito ke-26, Simposium Diare Rotavirus di Indonesia : Tantangan
dan Harapan. 6 Maret 2008.

129
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten

19. Kere J, Lohi H, Hoglund P. Genetic disorder of membrane transport: III. Congenital Chloride
Diarrhea. Am J Physiol (Gastrointest Liver Physiol.39) 1999;276:7-13.
20. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrhoeal disease, as estimated from
studies published between 1992 and 2000. Bulletin of the World Health Organization 2003;81(3)
21. MoH I. Indonesia: demographic and health survey. Jakarta: Government of Indonesia; 2003.
22. Parthasarathy P, Mittal SK, Sharma VK. Prevalence of Pediatric HIV in New Delhi. [Indian J
Pediatr 2006; 73 (3) : 205-7.
23. Patwari AK, Anand VK, Aneja S, Sharma D. Persistent Diarrhea : Management in a Diarrhea
Treatment Unit, Indian Pediatric Journal, 1995; 32:277-84.
24. Roy RR, Roy E, Sultana S, Kawser CA. Epidemiology and Clinical Characteristics of Children
with Persistent Diarrhea. Journal of Bangladesh College Physicians and Surgeons,2006; Vol 24;3:
105-9.
25. Schmidt W, Schneider T, Heize W, Schultz D, Weinke T, Ignatius R, Owen EY, Zeitz, Reichen T,
Ulrich R.Mucosal Absorbtion In Microsporidiasis. AIDS. 1997, 11:1589-1594.
26. Soenarto, SY. Diarrhea Case Management: Using Research Findings Directly For Case
Management And Teaching In A Teaching Hospital In Yogyakakrta, Indonesia. Amsterdam.
1997.
27. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IGM RG. Gangguan Absorpsi-Sekresi; Sindroma
Diare. Seri Gramik:Gastroenterologi Anak Edisi 2. 1999.
28. Sudigbia I. Pencegahan dan Pengelolaan Diare Kronis. Dalam Sudigbia I, Harijono R, dan
9
Sumantri A: Naskah Lengkap PB IKA Penyakit Gastroenterologi. 1987. 2 01
t
are
29. Sullivan PB. Studies of the Small Intestine in Persistent Diarrhea
Mand
and Malnutrition : The
Gambian Experience, Journal of Pediatric Gastroenterology 9 Nutrition 2002; Supplement
stro
Ga and Other Senior Health Workers.WHO,
Vol 34: S11-S13.
30. The Treatment of Diarrhoea : A Manual for Physicians
p at
a
2005.
tu kr
n
trou
31. Thea DM, St.Louis ME, Atido U, Kanjinga K, Kembo B, Matondo M, Tshiamala T, Kamenga
C, Davachi F, Brown C, Rand aWM, s Keusch GT. A Prospective Study of Diarrhea and HIV-1
r GInfants. N Engl J Med, 1993; 329;1696-1702.
Aja C, Howdel P, Long R, Playford R, Sherriden M, Stevens R, Vallorie
Infection among 429 Zairian
32. Thomas ED, Fortes A, kuGreen
u
i l e B GM, Heal P, Brighden D. Guidelines For The Investigation Of Chronic
R, Walter J, Eddison
Diarrhoea 2ndF Ed. GAD. 2003; 52 [Supplemen V]: V1-V15.
33. Vernacchio L, Zina RM, Mitchell AA, Lesko SM, Laut AG, Achesson DWK. Characteristic Of
Persistent Diarrhoea In A Community Based Cohort, Community Of Young US Children.
Journal Of Pediatric Gastroenterology And Nutrition, 2006. 43; 52-58.
34. Walker-Smith J, Barnard J, Bhutta Z et al. Chronic diarrhea and malabsorption (including short
gut syndrome): Working Group Report of the First World Congress of Pediatric Gastroenterology,
Hepatology, and Nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2002; 33
(supplement).
35. WHO. Persistent diarrhoea in children in developing countries: memorandum from a WHO
meeting. Bull World Health Organ 1988;66: 709-17.
36. WHO, 1997. Persistent Diarrhea and Breastfeeding. WHO. Geneva.
37. WHO. 2006. Pocket Book of Hospital Care for Children: Guidelines for the Management of
Common Illnesses with Limited Resources. WHO Press, Switzerland.
38. Winter H. Gastrointestinal Tract Function and Malnutrition In HIV Infected Children. J. Nutr.
1996.126:2620s-2622s.
39. Wisinski K, Benson III A. Chemoterapy-Induced Mucositis : Focusing on Diarrhea. J Support
Oncol 2007;5:270–271.

130
BAB

8
Muntah
Badriul Hegar

8.1 Ilustrasi kasus


Bayi berumur 9 bulan, selalu rewel dan menolak bila diberikan minum/makan sejak berumur
4 bulan. Berbagai jenis susu formula dan makanan padat telah dicoba diberikan kepadanya
tetapi tetap tidak memperlihatkan perubahan. Sejak lahir, bayi sering ‘gumoh’ dan sejak
umur 4 bulan kenaikan berat badan hanya 100-150 gram perbulan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan bayi sadar, berat badan 6.600 gram, panjang badan 72 cm (BB/TB<70%), dan
tanda vital dalam batas normal. Jantung dan paru tidak ada kelainan, perut lemas, bising
usus normal, dan ekstremitas menunjukkan perfusi perifer baik. Pemeriksaan laboratorium
rutin memperlihatkan gambaran anemia mikrositik hipokromik. Adanya regurgitasi
sejak lahir yang disertai gejala klinis menolak minum/makan, rewel setiap diberi makan,
kenaikan berat badan yang tidak optimal, dan gambaran anemia mikrositik hipokromik
perlu dipikirkan adanya refluks gastroesofagus patologis (gastroesofagitis refluks). Untuk
membuktikan diagnosis tersebut dilakukan pemantauan pH esofagus (pH-metri) dan
endoskopi. Nilai indeks refluks (IR) pH-metri pada pasien ini sebesar 12%. Nilai IR di
atas 10% sangat mendukung gejala klinis dan merupakan indikasi kuat untuk dilakukan
endoskopi. Gambaran erosi pada sepertiga distal esofagus (endoskopi) dan esofagitis derajat
2 (histopatologi) pada pasien ini menegakkan diagnosis gastroesofagitis refluks. Pasien
mendapat terapi parental reassurance, thickening milk, posisi supine 450-600, dan obat:
cisaprid 3 x 1,25 mg dan ranitidin 2 x 15 mg yang dievaluasi setiap 1-2 bulan tergantung
perbaikan klinis, gambaran endoskopi dan histopatologi.

8.2 Pendahuluan
Saluran pencernaan dapat diibaratkan sebagai sekelompok organ berbentuk corong yang
saling berhubungan dan membentuk satu tabung yang dilapisi oleh otot; mulai dari rongga
mulut sampai ke anus. Berdasarkan perbedaan diameter dan fungsi karateristik yang
dimilikinya, saluran tersebut dapat dibedakan menjadi esofagus, lambung, usus halus, usus
besar (kolon), rektum, dan anus. Hati dan limpa merupakan organ lain yang ikut berperan
dalam proses pencernaan dengan mensekresi cairannya ke dalam saluran cerna. Salah
satu manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh seorang anak akibat adanya

131
Bab 8 Muntah

gangguan pada saluran cerna adalah muntah. Keadaan ini dapat merupakan menifestasi
klinis dari satu keadaan yang tidak berbahaya, tetapi dapat pula sebagai tanda dari suatu
penyakit ‘serius’. Muntah bukan merupakan satu penyakit melainkan merupakan salah
satu manifestasi klinis dari suatu penyakit. Oleh karena itu, pendekatan diagnosis dan tata
laksana muntah sangat bervariasi bergantung kepada dugaan penyebabnya.
Dua organ saluran pencernaan yang paling terlibat pada proses muntah adalah
esofagus dan lambung. Oleh karena itu, pemahaman anatomi dan fisiologi kedua organ
tersebut sangat penting.

8.3 Fisiologi Menelan


Proses menelan sendiri telah terjadi pada saat janin. Menelan akan menimbulkan suatu
gerakan peristaltik yang dimulai dari farings, selanjutnya melalui otot serat lintang dan otot
polos esofagus dan berakhir pada kardia lambung. Pada awal menelan, sfingter esofagus
atas (SEA) mengalami relaksasi yang menyebabkan makanan/minuman dapat masuk
ke dalam esofagus. Sfingter esofagus atas merupakan bagian penting karena berfungsi
mencegah regurgitasi dari esofagus ke dalam rongga mulut dan larings. 9 Epitel skuamosa
2 01
yang melapisi SEA berfungsi sebagai proteksi terhadap bahan t makanan kasar. Begitu
M are
makanan/minuman masuk ke dalam esofagus, SEA segera 9 menutup dan terjadi gerakan
peristaltik esofagus. Sfingter esofagus bawah (SEB) st ro mengalami relaksasi pada saat
juga
a
proses menelan berlangsung dan terus terbuka tG
asampai gerakan peristaltik mencapai SEB.
r ap
t k
Selanjutnya, SEB berkontraksi kembali usampai mencapai tekanan pada saat istirahat.
un
Gerakan peristaltik tersebut disebuto sebagai peristaltik primer yang akan menurun pada
r
saat tidur. Pada saat menelan terdapat
G ast pula peristaltik sekunder yang bertujuan mendorong
bahan refluks kembali ke r
jadalam lambung. Peristaltik sekunder juga dapat terjadi bila
u A
terdapat makanan di u k
l Bdalam esofagus yang tidak terdorong oleh peristaltik primer ke dalam
evagus
lambung. Nervus Fi berperan dalam proses menelan dengan mengatur gerakan otot
rongga mulut, farings, serta kontraksi otot serat lintang dan otot polos. Pada saat menelan,
tekanan SEB menurun sehingga mirip dengan tekanan lambung.
Beberapa keadaan dapat mempengaruhi kompetensi otot SEB, antara lain lengkung
diafragma terutama pada saat tekanan intraabdomal meningkat, faktor hormonal, obat,
dan makanan. Motilin, protein, dan prokinetik meningkatkan tekanan SEB, sedangkan
progesteron, sekretin, kolesistokinin, lemak, alkohol, cokelat, dan berbagai obat
(benzodiazepin, teofilin, atropin) menurunkan tekanan SEB.
Lambung terdiri atas fundus, korpus, antrum, dan pilorus yang mempunyai fungsi
berbeda1. Motilitas lambung merupakan aktivitas otot polos yang mendapat persarafan dari
saraf intrinsik (nervus vagus) dan ekstinsik (pleksus mienterikus). Berdasarkan fungsinya
sebagai organ yang berperan dalam motilitas, lambung dibagi menjaid 2 kelompok, yaitu
bagian proksimal (fundus dan 1/3 proksimal korpus) dan bagian distal (2/3 distal korpus,
antrum, dan pilorus).
Dalam keadaan istirahat terdapat gerakan siklus gastrointestinal yang dikenal
dengan migrating motor complex (MMC). Pada keadaan ini, sebagian otot polos bagian
proksimal lambung dalam keadaan kontraksi sedangkan bagian distal relaksasi. Respons

132
Buku Ajar Gastrohepatologi

terhadap proses menelan, bagian proksimal akan mengalami relaksasi sehingga dapat
mengakomodasi makanan yang masuk ke dalam lambung. Pada saat relaksasi terjadi
peningkatan tekanan intralumen fundus yang berperan dalam pengosongan lambung
dari bahan makanan yang berbentuk cair, sedangkan gerakan peristaltik antrum berperan
penting dalam pengosongan lambung dari bahan makanan berbentuk padat. Bagian distal
lambung memegang peran penting dalam mixing dan emptying.
Saluran cerna juga mendapat persarafan intrinsik dari sistem saraf enterik yang
terdapat pada lapisan muskularis (pleksus mienterikus) dan submukosa (pleksus Meissner).
Nervus vagus menggunakan pleksus mienterikus sebagai relay neurons. Dari berbagai
neurotransmiter yang ada, asetilkolin merupakan neurotransmitter terpenting dalam
aktivitas motorik saluran cerna. Aktivitas motorik saluran cerna terutama diatur oleh
sistem saraf enterik. Sistem saraf enterik dapat menerima impuls aferen secara langsung
dari saluran cerna dan memberikan respons langsung tanpa keterlibatan nervus vagus.
Oleh karena itu, sistem saraf enterik disebut sebagai ‘otak kecil’ saluran cerna.

8.4 Definisi 9
01
a et 2
Secara klinis, kadangkala sulit dibedakan antara muntah, refluks rgastresofagus (RGE), dan
M
regurgitasi. Muntah didefinisikan sebagai dikeluarkannya isi9lambung melalui mulut secara
ro
ekspulsif. Usaha untuk mengeluarkan isi lambung akan
G ast terlihat sebagai kontraksi otot
t
r apa
perut. Sedangkan, RGE didefinisikan sebagai kembalinya isi lambung ke dalam esofagus
tanpa terlihat adanya usaha dari anak. Apabilak bahan dari lambung tersebut dikeluarkan
melalui mulut, maka keadaan ini disebut u ntu regurgitasi.
sebagai
o
astr
j arG
8.5 Patogenesis
Bu
ku
A
i le
Muntah berada diFbawah kendali sistem saraf pusat dan 2 daerah di medula oblongata,
yaitu nukleus soliter dan formasi retikular lateral yang dikenal sebagai pusat muntah. Pusat
muntah di medula diaktivaskan oleh impuls yang berasal dari chemoreceptor trigger zone
(CTZ) yang berada di dasar ventrikel IV. Chemoreceptor trigger zone merupakan tempat
berkumpulnya impuls aferen yang berasal dari bahan endogen/eksogen atau impuls dari
saluran cerna atau tempat lainnya yang dihantarkan melalui nervus vagus. Pada CTZ juga
dtemukan berbagai neurotransmiter, reseptor, dan enzim. Reseptor terhadap dopamin
ditemukan pada daerah ini.
Proses muntah sendiri mempunyai 3 tahap, yaitu nausea, retching, dan emesis. Nausea
merupakan sensasi psikis yang disebabkan oleh berbagai stimulus baik pada organ visera,
labirin, atau emosi. Fase ini ditandai oleh adanya rasa ingin muntah pada perut atau
kerongkongan dan sering disertai berbagai gejala otonom seperti bertambahnya produksi
air liur, berkeringat, pucat, takikardia, atau anoreksia. Pada saat nausea, gerakan peristaltik
aktif berhenti dan terjadi penurunan kurvatura mayor lambung bagian bawah secara
mendadak. Tekanan pada fundus dan korpus menurun, sedangkan kontraksi di daerah
antrum sampai pars desendens duodenum meningkat. Bulbus duodenum menjadi distensi
sehingga dapat menyebabkan refluks duodenogaster. Selain itu juga terjadi peristaltik

133
Bab 8 Muntah

retrograd mulai dari jejunum sampai ke lambung. Adanya refluks duodenogaster tersebut
menerangkan bahwa muntah yang bercampur empedu tidak selalu disebabkan obstruksi
usus. Fase ini tidak selalu berlanjut ke fase retching dan emesis. Muntah yang disebabkan
oleh tekanan intrakranial meninggi dan obstruksi usus tidak memperlihatkan gejala nausea.
Pada fase retching terjadi inspirasi dengan gerakan otot napas spasmodik yang diikuti
dengan penutupan glottis. Keadaan ini menyebabkan tekanan intratoraks negatif dan
pada saat yang sama terjadi pula konstraksi otot perut dan diafragma. Fundus mengalami
dilatasi, sedangkan antrum dan pilorus mengalami kontraksi. Sfingter esofagus bagian
bawah membuka tetapi sfingter bagian atas masih menutup. Fase retching-pun dapat terjadi
tanpa harus diikuti oleh fase emesis.
Fase emesis ditandai dengan adanya isi lambung yang dikeluarkan melalui mulut.
Pada keadaan ini terjadi relaksasi diafragma, perubahan tekanan intratoraks dari negatif
menjadi positif, dan relaksasi sfingter esofagus bagian atas yang mungkin disebabkan oleh
peningkatan tekanan intralumal esofagus.

8.6 Etiologi
19
Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi dan tergantung dari 20usia. Beberapa keadaan
dapat menjadi pencetus terjadinya muntah seperti gangguan a ret pada lambung atau usus
(infeksi, iritasi makanan, trauma), gangguan pada telingao 9 M bagian dalam (dizziness dan
str
motion sicknes), kelainan pada susunan saraf pusat
t Ga (trauma, infeksi), atau akibat makan
a
ap merupakan penyebab muntah pada bayi.
yang berlebihan. Meskipun jarang, obstruksirusus
tu k
Beberapa penyebab muntah yang sering
o un ditemukan pada anak berdasarkan lokasi kelainan
r
ast di bawah ini.
dan usia dapat dilihat pada tabel-tabel
G
A j ar
Tabel 8.6.1. Penyebab muntah pada u
neonatus
Saluran cerna B uk Luar cerna Non-organik
e
Obstruksi FilNon-obstruksi SSP Organ lain
Atresia esofagus Gastroenteritis NEC TIK meninggi Meningitis Sepsis Iritasi C. amnion
Stenosis pilorus Kalasia Efusi subdural Hidrosefalus Insuf. ginjal Teknik minum
M. Hirschsprung Iritasi as.lambung Inf. saluran kemih Obat
Malrotasi usus Hiperplasia adrenal
Hernia hiatus Inborn error metab.
Ileus mekonium
Laktobezoar
(Sumber: Batts, 1998)
Tabel 8.6.2. Penyebab muntah pada bayi
Saluran cerna Luar saluran cerna Non-organik
Obstruksi Non-obstruksi SSP Organ lain
Stenosis pilorus RGE Meningitis Inf. saluran napas Teknik makan
Antral web Intoleransi laktosa Ensefalitis Inf. saluran kemih Erofagi
Intususepsi CMPSE TIK meninggi Otitis media Motion sicknes
Volvulus Gastroenteritis Hepatitis Obat
NEC Insufisiensi adrenal
Gangguan metabolik
(Sumber: Batts, 1998)

134
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 8.6.3. Penyebab muntah pada anak1


Saluran cerna Luar saluran cerna Non-organik
Obstruksi Non-obstruksi SSP Organ lain
Intususepsi Gastroenteritis TIK meninggi Inf. saluran napas Psikogenik
Obstruksi usus Apendisitis Infeksi SSP Inf. saluran kemih Menarik perhatian
Akalasia Gastritis Hidrosefalus Otitis media Motion sicknes
Striktur (ingesti bahan Ulkus peptikum Henoch- Obat
kaustik) Keracunan makan Schonlein
Torsio testis
(Sumber: Batts, 1998)

Oleh karena begitu besarnya variasi penyakit atau keadaan yang dapat menyebabkan
muntah pada anak, maka pengenalan keluhan dan gejala klinis yang spesifik dari masing-
masing penyakit tersebut sangat diperlukan oleh seorang dokter sebagai langkah awal
melakukan pendekatan diagnosis. Langkah awal yang tepat akan memberikan keakuratan
diagnosis yang cepat. Pada BAB ini tidak akan dibahas secara rinci penyebab muntah
tersebut, tetapi akan diuraikan pendekatan diagnosis secara umum.

8.7 Manifestasi Klinis t 2 01


9
re
Muntah pada anak biasanya merupakan suatu petanda adanya 9 Ma infeksi. Muntah pada
seorang anak yang mengalami infeksi biasanya disertaiasoleh tro gejala lainnya seperti demam,
G
mual, sakit perut, atau diare. Keadaan ini biasanya at akan berhenti dalam waktu 6-48 jam.
r ap
Apabila muntah terus berlangsung perlu dipikirkank adanya suatu keadaan yang lebih serius.
Anak mempunyai risiko lebih besar untuk u ntumenjadi dehidrasi, terutama apabila disertai
ro
ast terbanyak diantara patogen lainnya. Muntah yang
diare. Infeksi virus merupakan penyebab
G
jar
disertai demam lebih seringAdisebabkan oleh infeksi bakteri dibanding virus atau parasit.
Adanya penyakit peptikum u ku perlu dipikirkan bila muntah terjadi segera setelah makan,
eB
sedangkan muntah Filyang disebabkan oleh keracunan makanan biasanya terjadi 1-8 jam
setelah makan. Muntah akibat food borne disease seperti Salmonella memerlukan waktu
yang lebih lama untuk menimbulkan gejala klinis karena diperlukan waktu untuk inkubasi.
Kandidosis oral sering pula sebagai penyebab muntah pada bayi.
Muntah proyektil non-bilious berulang pada bayi dapat merupakan tanda obstruksi
saluran cerna, misalnya stenosis pilorus. Stenosis pilorus sering ditemukan pada minggu
kedua setelah lahir, walaupun sangat jarang dapat pula ditemukan sejak lahir. Muntah
persisten pada neonatus yang terjadi pada malam hari perlu dipikirkan kemungkinan
adanya hernia hiatus. Penyakit pankreatitis jarang ditemukan pada anak. Penyebab
tersering kelainan ini adalah infeksi virus, obat-obatan, dan trauma. Selain muntah, anak
memperlihatkan gejala sakit perut di daerah epigastrium dan perut sebelah kiri atas yang
kadang-kadang menyerupai gastritis tetapi tidak memperlihatkan perbaikan setelah diberi
obat antagonis reseptor H2.
Satu hal penting yang juga harus dipahami pada seorang anak yang mengalami
muntah adalah menentukan adanya kelainan yang memerlukan tindakan bedah segera.
Kelainan ini umumnya digolongkan ke dalam kelompok penyakit perut akut. Ada beberapa
petunjuk yang dapat digunakan sebagai petanda kecurigaan terhadap kelianan tersebut,

135
Bab 8 Muntah

yaitu (1) nyeri perut yang timbul mendahului muntah, (2) muntah bercampur empedu, dan
(3) distensi perut. Volvulus pada neonatus memperlihatkan muntah berwarna hijau yang
timbul pada hari-hari pertama kehidupan dan selanjutnya diikuti tanda obstruksi saluran
cerna letak tinggi dan peritonitis. Muntah ditemukan pada 90% anak dengan volvulus,
sedangkan sakit perut pada 80% anak.
Muntah dapat pula disebabkan oleh kelainan di luar saluran cerna seperti infeksi
saluran napas atau saluran kemih. Beberapa obat dapat pula sebagai pencetus muntah
pada anak seperti histamin, fenitoin, (obat anti epilepsi), kemoterapi, aspirin, dan beberapa
antibiotika. Muntah setelah trauma kepala yang ringan ditemukan pada 15% anak dan
sebagian besar mempunyai riwayat sakit kepala berulang dan motion sickness. Oleh karena
itu, muntah pada trauma kepala ringan lebih dihubungkan dengan adanya faktor intrinsik
individual. Muntah akibat kelainan fungsional biasanya ditemukan pada anak berusia
2-7 tahun dengan disertai keluhan migrain, motion sickness, dan gangguan saluran cerna
fungsional lainnya (sakit perut, gangguan defekasi). Saat keluhan, adanya gangguan tingkah
perilaku seperti anoreksia atau bulimia nervosa perlu dipikirkan adanya kelainan psikiatri.
Secara garis besar pendekatan diagnosis muntah pada anak dapat dirangkum sebagai
berikut:
- Tegakkan/singkirkan penyakit infeksi sebagai penyebab muntah (misalnya otitis media,
9
diare, infeksi intrakranial, infeksi saluran kemih atau napas, sepsis,
2 01 atau hepatitis)
re t
- Tegakkan/singkirkan kelainan organik saluran cerna (misalnya
9 Ma atresia esofagus, RGE,
stenosis pilorus, M. Hirschsprung, penyakit peptikum) ro
- Cari kemungkinan adanya masalah dalam makanan G ast (misalnya intoleransi laktosa, alergi
at makan/minum yang salah)
makanan, kebanyakan makan, teknik pemberian r ap
k
- Cari kemungkinan adanya pengaruh
u ntu obat-obatan, kelainan psikologi, dan kelainan
o
metabolik. str
a
G
Ajar
u
8.8 Diagnosis
i l e Buk
F
Pemeriksaan penunjang dilaksanakan untuk membantu pendekatan diagnosis. Jenis
pemeriksaan yang dipilih sesuai dengan dugaan diagnosis berdasarkan anamnesis dan
manifestasi klinis. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan darah, radiologis
dengan atau tanpa kontras, ultrasonografi, endoskopi, pemantauan pH esofagus (pH-
metri), uji hidrogen napas, biopsi mukosa saluran cerna.
Muntah hijau pada neonatus baik yang disertai atau tidak disertai distesi abdomen
dapat merupakan petanda awal obstruksi saluran cerna. Pipa nasogastrik harus segera
dipasang untuk dekompresi lambung. Pemeriksaan foto polos perut yang memperlihatkan
dilatasi usus dan air-fluid levels menunjukkan adanya obstruksi saluran cerna yang
memerlukan tidakan bedah. Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan kontras dapat
membedakan adanya atresia duodeni, malrotasi midgut, volvulus, atresia jejunum, atau
ileus yang merupakan penyebab obstruksi saluran cerna paling sering pada neonatus.
Kecurigan klinis adanya stenosis pilorus dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
barium meal atau ultrasonografi yang memperlihatkan gambaran khas. Adanya refluks
gastroesofagus (RGE) dapat dibuktikan dengan pemantauan pH esofagus selama 24 jam
(pH-metri). Indeks refluks di atas 5% menunjukkan adanya RGE patologis. Esofagitis dan

136
Buku Ajar Gastrohepatologi

penyakit peptikum (erosi, ulkus) dapat dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi dan
biopsi mukosa saluran cerna. Kecurigaan terhadap intoleransi laktosa dan overgrowth
bacteria dibuktikan dengan pemeriksaan uji hidrogen napas. Peningkatan kadar H2 napas
diatas 20 ppm pada menit ke 60-120 setelah minum larutan laktosa menunjukkan adanya
malabsorpsi laktosa, sedangkan peningkatan pada menit ke-30 menunjukkan overgrowth
bacteria. Pemeriksaan darah perifer dan urin diperlukan untuk melihat kemungkinan
adanya infeksi yang mendasari keluhan tersebut, sedangkan pemeriksaan analisis gas darah
dan elektrolit dilakukan bila diduga telah terjadi komplikasi gangguan metabolik atau
sebaliknya adanya kecurigaan gangguan metabolik yang mendasari keluhan tersebut.

8.9 Terapi
Terapi utama muntah ditujukan kepada penyebabnya, sedangkan terapi suportif diperlukan
untuk mencegah keadaan yang lebih buruk dan mengatasi komplikasi yang telah terjadi.
Beberapa petunjuk di bawah ini dapat dipakai sebagai terapi awal muntah pada anak, yaitu:
- Apabila tidak ada obstruksi saluran cerna, muntah biasanya akan berhenti dalam waktu
6-48 jam.
- Atasi dan cegah dehidrasi serta gangguan keseimbangan elekrolit. 9
01
- Anak diistirahatkan (sebaiknya di tempat tidur) sampai merasa
re t 2lebih enak atau tidak
ada muntah lagi selama 6 jam.
9 Ma
- Hentikan obat-obatan yang diduga dapat mengiritasi rolambung dan membuat muntah
G ast
bertambah (misalnya aspirin, asetosal, kortikosteroid,
at antibiotik golongan makrolid).
ap
- Hindarkan makanan padat pada 6 jam pertama kr dan berikan rasa nyaman pada anak
ntu
selama periode ini (misalnya denganumenurunkan suhu tubuh).
tr o
- Berikan makanan yang mudah
G as dicerna sehingga membantu proses penyembuhan
r
ja gangguan.
saluran cerna yang mengalami
- Berikan minuman manis ku A seperti jus buah (kecuali jeruk dan anggur karena terlalu
asam), sirup, ataul Bu (untuk anak di atas 1 tahun) secara bertahap setiap 15-20 menit
emadu
Fi
sebanyak 1-2 sendok teh. Cairan lain yang dapat pula diberikan antara lain kaldu ayam,
atau oralit.
- Setelah 1 jam pertama dapat diberikan minuman dengan jumlah yang lebih banyak
(2-4 sendok teh setiap 15-20 menit) secara bertahap dan ditingkatkan 2 kali setiap 1
jam. Apabila terjadi muntah kembali, berikan minuman dalam jumlah lebih sedikit.
Pemberian minum ad libitum pada anak terutama bayi mempunyai risiko terjadi
muntah yang berulang.
- Setelah 3 jam tidak mengalami muntah, dapat diberikan minuman melalui gelas (anak)
atau botol (bayi) dengan jumlah yang ditingkatkan secara bertahap pula.
- Setelah 6 jam tidak mengalami muntah, bayi dapat diberikan buah pisang, sereal, dan
jus apel, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat diberikan roti, krakers, madu, sup
ayam, kentang atau nasi. Jenis dan jumlah makanan juga diberikan secara bertahap. Diet
normal biasanya dapat diberikan setelah 24 jam.
- Hindarkan aktivitas setelah makan.
- Obat anti muntah diberikan bila memang benar-benar diperlukan. Pemberian obat-
obatan ini harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Obat diberikan bila
anak menolak minum setelah muntah atau muntah telah berlangsung lebih dari 24 jam.

137
Bab 8 Muntah

- Pemantauan lebih teliti perlu diberikan bila ditemukan keadaan sebagai berikut: muntah
tetap berlangsung selama 12 jam (untuk bayi) dan 24 jam (untuk anak), muntah disertai
diare, disertai gangguan neurologis, letargi, tanda dehidrasi dan sakit perut, gangguan
pernapasan, atau isi muntah berwarna kehijauan.

Obat anti muntah tidak digunakan secara rutin pada anak, tetapi hanya pada anak
yang menolak minum setelah muntah atau muntah berlangsung lebih dari 24 jam sehingga
dikhawatirkan keadaan tersebut akan menimbulkan komplikasi baik berupa dehidrasi
maupun gangguan keseimbangan elektrolit dan gas darah. Obat anti muntah dapat langsung
diberikan pada kasus yang mendapat kemoterapi atau radioterapi. Hal yang paling penting
adalah harus diyakini bahwa tidak ada obstruksi saluran cerna.
Berbagai jenis obat dilaporkan sebagai obat anti muntah seperti golongan antagonis
reseptor dopamin, antikolenergik, antihistamin, dan antagonis reseptor serotonin.
Pemilihan golongan obat tersebut bergantung dari patofisiologi muntah yang terjadi. Pada
motion sicknes terjadi gangguan sistem vestibular, maka golongan antikolinergik (misalnya
skopolamin) merupakan obat pilihan. Golongan antihistamin (hyoscine hydrobromide,
prometazin) yang bekerja pada ’pusat muntah’ juga dapat digunakan pada keadaan tersebut.
Golongan antagonis reseptor serotonin (ondansetron) yang bekerja pada 9 CTZ sangat efektif
pada kasus yang mendapat kemoterapi dan radioterapi. 2 01
a ret
M
Gangguan pada saluran cerna seperti yang terjadi 9pada infeksi, golongan antagonis
ro
reseptor dopamin yang bekerja pada pusat (CTZ) dan
G ast perifer (saluran cerna) merupakan
obat pilihan. Dari golongan tersebut, metoklopramid at dan domperidon merupakan jenis
obat yang banyak digunakan sebagai uantimuntah.r ap Metoklopramid mempunyai efek
nt k
menghambat reseptor dopamin di CTZ, u sehingga mengurangi nausea dan muntah. Berbagai
ro
gejala seperti ansietas, tremor, G ast
distonia dan diskenesis pernah dilaporkan pada pasien yang
menggunakan obat ini. Ajar
u
Domperidon banyak
Buk digunakan sebagai obat anti muntah karena efeknya yang positif
e
Fil
dan efek sampingnya kecil (0,5%). Obat ini selain menghambat reseptor dopamin di
CTZ, juga pada reseptor dopamin perifer (saluran cerna). Efek positif yang diperlihatkan
setelah pemberian domperidon, antara lain meningkatkan tekanan SEB, meningkatkan
kontraktilitas lambung, memperbaiki koordinasi antroduodenum, dan mempercepat
pengosongan lambung. Domperidon mempunyai bioavailabilitas yang rendah karena
dimetabolisme secara cepat di dinding usus dan hati. Domperidon dapat ditoleransi lebih
baik dan mempunyai efek samping ekstrapiramidal yang lebih kecil dibanding metoklopramid
karena berkemampuan kecil menembus sawar darah otak. Dosis yang dianjurkan pada anak
adalah 0,2 -0,4 mg/kgBB/hari peroral.

8.10 Pencegahan
Pencegahan yang dimaksud di sini adalah pencegahan terjadinya komplikasi akibat
muntah, seperti gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (dehidrasi, asidosis/alkalosis
metabolik, hipokalemia, hiponatremia), aspirasi, gangguan nutrisi, esofagitis peptikum,
dan sindrom Mallory-Weiss. Keadaan tersebut dapat dicegah dengan mengikuti petunjuk
tata laksana muntah pada anak seperti yang diuraikan sebelumnya.

138
Buku Ajar Gastrohepatologi

8.11 Simpulan
Muntah merupakan salah satu manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh
seorang anak yang mengalami gangguan pada saluran pencernaan maupun di luar saluran
pencernaan. Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi, oleh karena itu pengenalan
manifestasi klinis spesifik dari masing-masing penyakit yang sering sebagai penyebab
muntah perlu dipahami oleh seorang dokter. Pendekatan diagnosis yang tepat dan cepat
akan menimbulkan penatalaksanaan yang optimal. Penggunaan obat anti muntah bukan
merupakan pilihan utama pada kasus muntah, tetapi pada beberapa keadaan, obat anti
muntah yang efektif dan aman sangat diperlukan.

Daftar pustaka
1. Batts KF, Munter DW. Metoclopramide toxicity in an infant. Pediatr Emerg care 1998; 14 (1):39-
41.
2. Biancani P, Zabinski M, Kerstein M, Behar J. Lower esophageal sphincter mechanics: Anatomic
and physiologic relationships of the esophagogastric junction of cat. Gastroenterology 1982; 82:
468-75.
3. Brown FD, Brown J, Beatle TF. Why do children vomit after minor head injury ? J Accid Emerg
9
Med 2000;17:268-71. 2 01
t
4. Davies AEM, Sandhu BK. Diagnosis and treatment of gastro-oesophageal
M are reflux. Arch Dis Child
1995; 73: 82-6. 9
ro
5. Dinkevich E, Ozuah PO, Adam HM. Pyloric stenosis. Pediatric
G ast in review 2000;21:1-3.
6. Dodge JA. Vomiting and regurgitation. In: Walker t Durie PR, Hamilton JR, Walker Smith
aWA,
rap
JA, Watkins JB, eds. Pediatric gastrointestinal
tu k diseases, 2nd ed. Philadelphia: BC Decker 1991,
n
32-44. ou
7. Ganzini L, Casey DE, Hoffman WF, a strMcCall AL. The prevalence of metoclopramide induced
G
tardive dyskinesia and acute
A jar extrapyramidal movement disorders. Arch Intern Med
1993;153:1469-75. ku
8. Hegar B, BullerileHA.Bu Breath hydrogen test in lactose malabsorption. Paediatr Indones
1995;35:161-71.F
9. Hegar B, Vandenplas Y. Electrogastrography in delayed gastric emptying. Paediatr Indones
1998;38:181-90.
10. Hegar B, Vandenplas Y. Gastro-esophageal reflux in infancy. J. Gastroenterol Hepatol 1999;14:13-
9.
11. Kimura K, Loening BV, Billious vomiting in the newborn: Rapid diagnosis of intestinal
obstruction. Am Fam Physician 2000;61:2791-8.
12. Kumar D. Gross morphology of the gastrointestinal tract. In: Kumar D, Gustavsson eds.
Gastrointestinal motility, 1st ed. London : John Wiley & Sons, 1988: 3-8.
13. Lerner A, BranskiD, Lebenthal E. Pancreatic diseases in children. Pediatr Clin North America
1996;43:125-34.
14. Peitz HG. Volvulus in childhood. Radiology 1997;37:439-45.
15. Penagini R, Bartesaghi B, Bianchi PA. Effect of cold stress on postprandial lower esophageal
sphincter competence and gastrooesophageal reflux in healthy subjects. Dig Dis Sci 1992; 37:
1200-5.
16. Pope CE. A dynamic test of sphincter strength: Its application to the lower esophageal sphincter.
Gastroenterology 1967; 52: 779-86.
17. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Diseases of gastrointestinal tract. In: Roy CC, Silverman A,

139
Bab 8 Muntah

Alagille D, eds. Pediatric clinical gastroenterology, 1st ed. St Louis: Mosby 1998:20-30.
18. Rule DC. The mouth. Disorders of oral cavity. In : Walker WA, Durie PR, Hamiltn JR, Walker-
Smith JA, Watkins JB. eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. 1st ed. Ontario: BC Decker
1991:255-6.
19. Stendal C. Anatomy of the digestive system. In : Stendal C. ed. Practical guide to gastrointestinal
function testing. 1st ed. London: Blackwell Science, 1997: 1-14.
20. Synectics Medical. Digitrapper Mk III: User manual. Synetics Medical AB, Sweden, 1994.
21. The Italian group for antiemetic research. Dexamethasone alone or in combination with
ondansetron for the prevention or delayed nausea and vomiting induced by chemotherapy. N
Eng J Med 2000;342:1554-9.
22. Tomomasa T, Kuroume T. Developmental physiology. In : Hyman PE, Lorenzo CD eds. Pediatric
gastrointestinal motility disorders, 1st ed. New York : Academy Profesional Information Services,
1994: 1-7.
23. VandenplasY, Hegar B. Diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux diseases in infant
and children. J Gastroenterol Hepatol 2000;15:593-603.
24. Vandenplas Y, Hegar B, Salvatore S, Hauser B. Pharmacotherapy of gastrooesophageal reflux
disease in children: focus in safety. Expert Opin Drug Saf 2002;I(4):355-64.
25. Weber AR. Disorders of the stomach and duodenum. In: Roy CC, Silverman A, Alagille D.
Pediatric clinical gastroenterology. 4th ed. St Louis : Mosby, 1998, 174-81.
26. Weber AR, Hyman PE, Cuuhiara S, Fleisher DR, Hyams JS, Milla PJ, Staiano A. Childhood
functional gastrointestinal disorders. Gut 1999;45(suppl II) 60-8. 201
9
27. Weisbrodt NW. Swallowing. In: Johnson LR, ed. Gastrointestinal
t
re physiology. Mosby, Missouri,
1985; 23-31. 9 Ma
o
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

140
BAB

9
Sakit Perut pada Anak
Aswitha Boediarso

9.1 Ilustrasi kasus


Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun 9 bulan dibawa ke Poliklinik Gastrohepatologi,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM dengan keluhan utama sakit perut
berulang sejak 1 tahun yang lalu.
Sakit dirasakan hampir setiap hari di daerah ulu hati yang tidak menjalar. Sakit perut
dapat disertai dengan mual atau muntah.
Pasien dilahirkan cukup bulan, spontan, ditolong dokter dan langsung menangis.
Berat lahir 3.000 gram dan panjang badan saat lahir 49 cm. Riwayat imunisasi dasar
lengkap. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan terkesan normal. Riwayat makanan
menunjukkan kualitas dan kuantitasnya terkesan cukup. Pasien merupakan anak pertama
dari dua bersaudara.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan seorang anak lelaki dengan berat badan 19,5 kg dan
tinggi badan 117 cm. Keadaan umum baik, sadar, tidak terlihat pucat maupun sesak nafas.
Laju denyut jantung sama dengan laju denyut nadi 100 x/menit, laju napas 28 x/menit dan
suhu 36.7oC. Bunyi jantung I – II normal, tidak ada bising maupun irama derap. Gerakan
nafas simetris, suara nafas vesikular, tidak didapatkan adanya ronki maupun mengi. Perut
teraba lemas, turgor cukup dan didapatkan nyeri tekan pada daerah epigastrium. Hati dan
limpa tidak teraba, tidak teraba massa, dan bising usus terdengar normal. Alat gerak teraba
hangat dengan perfusi perifer baik. Saat itu ditegakkan diagnosis sakit perut berulang yang
diduga disebabkan oleh gastritis yang dipikirkan akibat infeksi H. pylori.
Pasien kemudian mendapat terapi ranitidin 2 x 50 mg. Hasil pemeriksaan penunjang
darah tepi memperlihatkan kadar hemoglobin 12,8 g/dl, leukosit 6100/μl, trombosit
315.000/μl, hematokrit 36 vol%, hitung jenis (%): eosinofil 1, batang 0, segmen 53, limfosit
45, dan monosit 1. Pada pemeriksaan serologi IgG anti H. pylori diperoleh hasil negatif.
Selanjutnya direncanakan pemeriksaan endoskopi.
Pemeriksaan endoskopi memperlihatkan gambaran hiperemis pada 1/3 distal mukosa
esofagus dan bagian antrum mukosa lambung, sedangkan mukosa duodenum normal. Pada
pemeriksaan patologi anatomi dari jaringan biopsi didapatkan gambaran gastritis kronis
atrofi aktif dengan H. pylori positif serta tidak ditemukan gambaran keganasan. Pasien
kemudian mendapat terapi omeprazol 2 x 10 mg, amoksisilin 2 x 500 mg dan klaritromisin
2 x 250 mg selama 1 minggu.

141
Bab 9 Sakit Perut pada Anak

Pada saat kontrol di Poliklinik Gastrohepatologi Anak RSCM satu minggu kemudian,
tidak didapatkan lagi keluhan sakit perut berulang. Evaluasi hasil eradikasi H. pylori pada
satu bulan pasca terapi dengan melakukan endoskopi ulang memberikan hasil gambaran
mukosa esofagus dan lambung normal, sedangkan hasil patologi anatomi jaringan biopsi
memberikan gambaran gastritis kronik nonaktif dengan atrofi ringan serta H. pylori negatif.

9.2 Pendahuluan
Sakit perut pada bayi dan anak merupakan gejala umum dan sering dijumpai dalam praktik
sehari-hari. Tidak semua sakit perut berpangkal dari lesi yang ada dalam abdomen, tetapi
mungkin pula dari daerah di luar abdomen.
Sebagian kasus yang disebabkan oleh gangguan organ datang dalam keadaan akut dan
memerlukan pembedahan. Oleh karena itu tindakan pertama dalam menangani sakit perut
ialah menentukan apakah penyakit tersebut membutuhkan tindakan bedah segera atau
tidak. Disamping sakit perut akut dikenal pula sakit perut berulang.
Adapun yang dimaksud dengan sakit perut berulang pada anak ialah serangan
sakit perut yang berulang sekurang-kurangnya 3 kali dalam jangka waktu 3 bulan dan
9
mengakibatkan aktivitas sehari-hari terganggu. Sakit perut berulang
2 01 biasanya terjadi pada
t
re terbanyak pada usia 5-10
anak yang berusia antara 4 sampai 14 tahun, sedangkan frekuensi
tahun. 9 Ma
o
str
Ga
p at
9.3 Patofisiologi ntu
k ra
u
ro
Sakit perut berasal dari 7 sumber:
G ast
1. Distensi viseral
Ajar
2. Iskemia u
Buk
e
3. Radang intraabdominal
4.
Fil
Kelainan pada dinding abdomen
5. Kelainan ekstraabdominal
6. Kelainan metabolik
7. Kelainan pada susunan saraf
Traktus gastrointestinal dan organ di sekitarnya berdasarkan vaskularisasi dan
persarafannya secara embriologi berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Orofaring,
esofagus, gaster, sebagian duodenum, pankreas, hati, kandung empedu dan limpa berasal
dari foregut. Duodenum bagian distal, jejunum, ileum, apendiks, kolon asenden serta
sebagian kolon transversum berasal dari midgut. Kolon transversum bagian distal, kolon
desenden, sigmoid dan rektum berasal dari hindgut. Rangsang sakit dari ketiga segmen
tersebut dapat tercermin dari letak sakit perut di bagian atas, tengah dan bawah.
Peritoneum berasal dari mesoderm. Peritoneum terdiri dari dua lapis, yaitu peritoneum
viseralis dan peritoneum parietalis. Peritoneum viseralis dipersarafi bilateral oleh sistem
saraf otonom (simpatis dan parasimpatis), sedangkan peritoneum parietalis oleh saraf
somatis dari medula spinalis. Rasa sakit dari peritoneum viseralis dirasakan di garis tengah
perut. Rasa sakit dari peritoneum parietalis terlokalisasi dengan baik, dirasakan di daerah

142
Buku Ajar Gastrohepatologi

organ itu berada dan sakitnya bertambah bila digerakkan (perut ditekan atau penderita
disuruh batuk). Sakitnya dirasakan seperti disayat pisau atau ditusuk-tusuk.
Reseptor rasa sakit di dalam traktus digestivus terletak pada saraf yang tidak bermielin
yang berasal dari sistem saraf otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini disebut sebagai
serabut saraf C yang dapat meneruskan rasa sakit lebih luas dan lebih lama dari rasa sakit
yang dihantarkan oleh serabut saraf A yang terdapat di kulit, otot dan peritoneum parietalis.
Reseptor nyeri pada perut terbatas di submukosa, lapisan muskularis dan serosa dari
organ di abdomen. Serabut C ini bersama dengan saraf simpatis menuju ke ganglia pre dan
paravertebra dan memasuki ganglia akar dorsal. Impuls aferen akan melewati medula spinalis
pada traktus spinotalamikus lateralis menuju ke talamus, kemudian ke konteks serebri.
Impuls aferen dari visera biasanya dimulai oleh regangan atau akibat penurunan hebat
ambang nyeri pada jaringan yang meradang. Nyeri ini khas bersifat tumpul, pegal dan
berbatas tidak jelas serta sulit dilokalisasi. Impuls nyeri dari visera abdomen atas (lambung,
duodenum, pankreas, hati dan sistem empedu) mencapai medula spinalis pada segmen
thorakalis 6, 7, 8 serta dirasakan di daerah epigastrium.
Impuls nyeri yang timbul dari segmen usus yang meluas dari ligamentum Treitz sampai
fleksura hepatika memasuki segmen th 9 dan 10, dirasakan di sekitar umbilikus. Dari kolon
9
distalis, ureter, kandung kemih dan traktus genitalis perempuan, impuls nyeri
2 01 mencapai segmen
t
th 11 dan 12 serta segmen lumbalis pertama. Nyeri dirasakan pada are daerah suprapubik dan
kadang-kadang menjalar ke labium atau skrotum. Jika proseso penyakit9M meluas ke peritoneum
parietalis maka impuls nyeri dihantarkan oleh serabut str
aferen somatis ke radiks spinalis
Ga
segmentalis dan sakit dirasakan di daerah dimana p atorgan itu berada. Penyebab metabolik
a
seperti pada keracunan timah dan porfirin belum tu k r jelas patofisiologi dan patogenesisnya.
n
Patofisiologi sakit perut berulang tro u yang fungsional (tidak berhubungan dengan
as
j arG
kelainan organik) masih sulit dimengerti. Diperkirakan ada hubungan antara sakit perut
berulang fungsional dengan A
penurunan ambang rangsang nyeri. Berbagai faktor psikologis
ku
umediator
dapat berperan sebagai e B atau moderator dari sakit perut berulang fungsional
(Tabel 9.3.1). Fil

Tabel 9.3.1. Mediator dan moderator dari sakit perut berulang fungsional
PSIKOLOGIS FISIOLOGIS
Faktor stres Intoleransi laktosa
Depresi Dismotilitas usus
Ikatan keluarga Konstipasi
Operant conditioning Ketidakstabilan otonom
Somatisasi
Sumber: Hyam JS, 1998.
Juga diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sakit perut berulang
fungsional dengan tipe kepribadian tertentu, yaitu sering cemas/gelisah, dan selalu ingin
sempurna. Pada anggota keluarga lainnya juga sering ditemukan kelainan psikosimatik
seperti migrain dan kolon iritabel.

143
Bab 9 Sakit Perut pada Anak

9.4 Patogenesis
Mekanisme timbulnya sakit perut adalah:
1. Gangguan vaskular
Emboli/trombosis, ruptur, oklusi akibat torsi atau penekanan. Kejadian ini misalnya
terjadi pada putaran kista ovarium dan jepitan usus pada invaginasi.
2. Peradangan
Peradangan organ dalam rongga peritoneal menimbulkan rasa sakit bila proses
peradangan telah mengenai peritoneum parietalis. Mekanismenya seperti pada
peradangan pada umumnya, yang disalurkan melalui persarafan somatik. Rasa sakit ini
dirasakan setempat atau di seluruh perut tergantung pada peritoneum yang meradang,
menetap dan bertambah bila terdapat gerakan peritoneum yang meradang (batuk,
penekanan pada abdomen).
3. Gangguan pasase/obstruksi organ yang berbentuk pembuluh, baik yang terdapat dalam
rongga peritoneal ataupun di retroperitoneal
Organ-organ tersebut ialah saluran pencernaan, saluran empedu, saluran pankreas dan
saluran kemih. Bila pasase dalam saluran-saluran tersebut terganggu, baik total maupun
parsial, akan timbul rasa sakit akibat tekanan intralumen yang meninggi di bagian
9
01
proksimal sumbatan. Sakit dirasakan hilang timbul atau terus 2menerus dengan puncak-
re t
puncak nyeri yang hebat (kolik). a
4. Penarikan, peregangan dan pembentangan peritoneum o 9M
viseralis
str
Misalnya pada pembengkakan hati dan ginjal. a
tG a
k rap
tu
Di dalam praktik, keempat penyebabo un timbulnya rasa sakit jarang ditemukan sendiri-
sendiri, tetapi umumnya merupakan
r
st proses campuran.
r Ga
ja
kuA
u
9.5 Etiologi Fi l eB
Etiologi sakit perut akut biasanya dibagi menurut usia ataupun menurut perlunya tindakan
bedah atau tidak. Pada tabel 9.5.1 dan 9.5.2 dapat terlihat etiologi sakit perut akut menurut
umur dan perlu tidaknya tindakan bedah. Etiologi sakit perut akut pada neonatus dapat
terlihat pada tabel 9.5.3.

144
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 9.5.1. Penyebab utama sakit perut akut menurut umur, yang memerlukan tindakan bedah
Bayi/anak di bawah usia 2 tahun
Abdomen : Perforasi tukak lambung
Obstruksi usus: - intususepsi
- volvulus dan malrotasi
Apendisitis dan enterokolitis nekrotikan
Luar abdomen: Hernia inguinalis dengan strangulasi dan inkarserasi
Anak di atas usia 2 tahun
Abdomen:
Obstruksi
a. Obstruksi usus akibat perlekatan atau volvulus dan malrotasi
Perforasi akibat obstruksi usus
b. Peradangan
Apendisitis
Peritonitis primer
Peritonitis akibat perforasi divertikulum Meckeli
Perforasi ulkus duodeni atau perforasi akibat demam tifoid
Divertikulitis Meckeli
Kolesistitis dengan/tanpa batu empedu
Megakolon toksik dengan perforasi
c. Trauma
Ruptura limpa, buli-buli atau organ visera yang lain
Hematoma subserosa
d. Pendarahan
Pendarahan ke dalam kista ovarium
e. Di daerah Tropis
Perforasi yang berhubungan dengan askariasis, strongiloidiasis, perforasi abses amuba.
9
01
Luar abdomen:
- Torsio testis
t 2
- Hernia inguinalis dengan strangulasi dan inkarserasi
are
Sumber: Ulshen, 1996.
o 9M
str
Ga
Tabel 9.5.2. Penyebab non-bedah sakit perut akut17
p at
Abdomen: Infeksi intestinal: Salmonella, Shigella, Campylobacter,kdllra
Bayi/anak di bawah usia 2 tahun

tu
un
Luar abdomen: Pneumonia
Infeksi traktus urinarius
r o
Anak di atas usia 2 tahun st
Abdomen:
r Ga
a. Intestinal: a
Ajenterocolitica
u
- Infeksi: Salmonella, Shigella, Yersinia
k
- Keracunan makanan: toksin uStaphylococcus, dan lain-lain
- Penyakit Crohn
i l eB - Obstipasi
- Kolitis ulseratif F - Sickle cell anaemia
- Kolitis amuba - Adenitis mesenterika
- Purpura Henoch-Schonlein - Ileus mekonium
b. Hati dan percabangan bilier
- Hepatitis A dan B, mononukleosis infeksiosa
- Kolelitiasis
c. Pankreas
Pankreatitis akut: infeksi, trauma, akibat lesi bilier, idiopatik
d. Renal
- Infeksi traktus urinarius
- Batu
- Nefritis
e. Metabolik
- Porfiria
- Hiperlipidemia
- Ketoasidosis diabetik
- Familial mediterranean fever
f. Ginekologis
Salpingitis
Luar abdomen:
- Pneumonia
- Limfadenitis inguinalis
- Osteomielitis (vertebra, pelvis)
- Hematomata otot abdomen
- Herpes Zoster
- Kompresi saraf spinal
Sumber: Ulshen, 1996.

145
Bab 9 Sakit Perut pada Anak

Tabel 9.5.3. Penyebab sakit perut akut pada neonatus


• Malrotasi dengan volvulus midgut
Mekonium peritonitis
Perforasi viskus
• Enterokolitis nekrotikans
Apendisitis
Ileus mekonium
• Enterokolitis o.k. Hirschsprung
Pielonefritis
Trauma lahir
Torsio ovarium
Intususepsi
Hernia inkarserata
Sumber: Ulshen, 1996.

9.6 Manifestasi Klinik


Pada bayi dan anak manifestasi klinik sakit perut tergantung pada umur penderita.
Pengangan yang dipakai untuk mengatakan seorang bayi atau anak sakit perut adalah
sebagai berikut:
9
01
2
• 0 – 3 bulan: Umumnya digambarkan dengan adanya muntah
a ret
• 3 bulan – 2 tahun:
9 M yang dapat menerangkannya
Muntah, tiba-tiba menjerit, menangis tanpa adanya trauma
o
• 2 tahun – 5 tahun: r
t tepat
Dapat mengatakan sakit perut tetapi lokalisasisbelum
G aperut
• > 5 tahun: at
Dapat menerangkan sifat dan lokalisasi sakit
k rap
tu
un terlihat sangat sakit, menangis, keringat dingin,
Anak dengan sakit perut akut biasanya
o
str
dengan posisi meringkuk atau amembungkuk seperti ingin melindungi perutnya dengan
rG
memendekkan otot rektus jaabdominalis. Disamping sakit perut kadang-kadang ada pula
A
ku menyertai seperti nausea, muntah, anoreksia, diare dan panas.
gejala-gejala lainnya yang
u
eB
Fil
9.7 Pendekatan Diagnosis
Pemeriksaan yang terbaik ialah pada waktu ada serangan meliputi:
Anamnesis
• Usia
Pada usia tertentu insiden sakit perut akut yang memerlukan tindakan bedah cukup
tinggi.
Misalnya: 6 bulan – 3 tahun: Intususepsi
5 tahun – 14 tahun: apendisitis
• Jenis kelamin
• Rasa sakit
a. Lokalisasi
Sakit yang disebabkan gangguan saluran pencernaan bagian atas biasanya dirasakan
di daerah epigastrium. Gangguan di ileum distal dan appendiks dirasakan di daerah
perut kanan bawah. Rasa sakit yang disebabkan oleh infeksi usus lokalisasinya sukar

146
Buku Ajar Gastrohepatologi

ditentukan. Perubahan lokalisasi sakit perlu ditanyakan pada anak. Bila rasa sakit
mula-mula ada di daerah periumbilikus dan kemudian pindah ke daerah perut
kanan bawah, ini adalah tanda apendisitis,
b. Sifat dan faktor yang menambah/ mengurangi rasa sakit
Sakit yang berasal dari spasme otot polos (usus, traktus urinarius, traktus biliaris)
biasanya berupa kolik yang sukar ditentukan lokalisasinya dengan tepat dan tidak
dipengaruhi oleh adanya batuk atau penekanan abdomen. Sakit yang berasal
dari iritasi peritoneum akan terasa menetap di tempat iritasi dan menghebat bila
penderita batuk atau ditekan perutnya. Apakah sakit menetap, bertambah hebat atau
berkurang dan adakah faktor-faktor yang dapat menambah atau mempengaruhi
rasa sakit. Adakah penyebaran rasa sakit.
c. Lama sakit dan pernahkah timbul rasa sakit seperti ini sebelumnya. Bila sakit perut
berlangsung lebih dari 24 jam perlu perhatian serius.
d. Gejala yang mengiringi: anoreksia, muntah, diare dan panas. Muntah yang berwarna
kuning atau hijau merupakan tanda adanya obstruksi usus, begitu pula muntah yang
berlangsung 12 – 24 jam atau lebih memerlukan perhatian serius.
• Pola defekasi: - diare, obstipasi
- darah dalam tinja
• Pola kencing 9
2 01
• Siklus Haid re t
• Gejala/ gangguan traktus respiratorius 9 Ma
ro
• Trauma: trauma tumpul dapat menyebabkan hematoma ast subserosa
G
p at
r a
Pemeriksaan fisik k
u ntu
o
Pemeriksaan fisik harus lengkap dari
a str kepala sampai ujung kaki walaupun titik beratnya
pada abdomen. G
A jar
u
Perhatikan keadaan kumum anak dan posisi anak waktu berjalan atau waktu tidur di
Bu
e
tempat periksa. Apakah anak masih dapat berlompat-lompat. Jika ia terbaring diam dan
Fil
kesakitan bila diubah posisinya maka hal ini mungkin adalah tanda abdomen akut.
Pemeriksaan pada abdomen harus dilakukan pada posisi anak yang santai dan dicari/
dilihat/dilakukan:
• Asimetri perut
• Bentuk perut (buncit, skapoid)
• Gambaran usus
• Nyeri terlokalisasi
• Massa (tumor), cairan ascites
• Ketegangan dinding perut
• Nyeri tekan
• Rebound tenderness
• Bising usus di seluruh perut
• Colok dubur: - darah (?)
• Pemeriksaan ginekologi: atas indikasi

147
Bab 9 Sakit Perut pada Anak

Perlu dicari tanda-tanda kedaruratan perut, yaitu:


• Dinding abdomen yang kaku
• Defens muskular
• Nyeri tekan
• Rebound tenderness
Keempat tanda ini merupakan tanda peritonitis

Pada pemeriksaan di luar abdomen, dicari kemungkinan adanya:


• Hernia inguinalis strangulata atau inkarserata
• Pneumonia
• Ruam di kulit (kaki dan bokong)
Pada neonatus tanda abdomen akut perlu dipikirkan bila ditemukan tanda-tanda seperti
pada Tabel 9.7.1. Pada tabel 9.7.2. terlihat gejala klinis dari beberapa penyakit dengan sakit
perut akut.
Tabel 9.7.1. Gejala abdomen akut pada neonatus
Muntah empedu
Distensi abdomen
Nyeri tekan di abdomen
9
Massa pada abdomen 2 01
re t
Ma
Obstipasi
Feeding intolerance 9
ro
Omfalitis
G ast
Edema dinding abdomen
at
Menangis (mengangkat kaki) r ap
k
Iritabel
u ntu
Letargi ro
Darah dalam tinja
G ast
Hernia inguinalis
Ajar
u
uk
Panas atau hipotermia
Sumber: Ulshen, 1996. le B
Fi
Tabel 9.7.2. Gejala klinis beberapa penyakit dengan sakit perut akut pada anak
Penyakit Perjalanan Lokalisasi Penjalaran Kualitas sakit Gejala yang
penyakit mengiringi
Pankreatitis Akut Epigastrium, kiri atas Punggung Stabil tajam Nausea, muntah, nyeri
tekan
Obstruksi usus Akut atau Periumbilikus - perut Pungung Silih berganti kolik - tidak Distensi, obstipasi,
perlahan-lahan bawah sakit muntah, bising usus,
proksimal obstruksi
Apendisitis Akut Periumbilikus kanan Punggung/ Tajam, menetap Nausea, muntah, nyeri
bawah pelvis (retrosekal) tekan lokal, panas
Intususepsi Akut Periumbilikus – perut --- Kolik (kram) dengan Hematochezia
bawah periode tidak sakit
Urolitiasis Akut Punggung (unilateral) Lipat paha Tajam, intermiten, kram Hematuria
(kolik)
Infeksi traktus Akut Punggung Kandung kencing Tumpul  tajam Panas, nyeri tekan
urinarius kostokondral, disuria,
sering kencing
Sumber: Ulshen, 1996.

148
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang


Harus diingat dalam membuat diagnosis pada anak dengan sakit perut akut, anamnesis dan
pemeriksaan fisik memegang peranan penting, sedangkan pemeriksaan laboratorium dan
penunjang hanya membantu.
Tergantung dari hasil anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik, maka dapat dipilih
pemeriksaan laboratorium dan penunjang di bawah ini yang diperlukan untuk dapat
membuat diagnosis dan kalau perlu dikonsultasikan ke dokter bedah.
Pemeriksaan laboratorium dan penunjang tersebut adalah:
• Darah perifer lengkap
• Urin
• Test fungsi hati
• Amilase/ lipase darah
• Biakan darah
• Tinja  parasit (?), bakteri (?), darah (?)
• Foto toraks
• Foto polos abdomen atau dengan kontras barium
• USG
• CT-scan abdomen 19
0
2
aret
9M
9.8 Tata Laksana ast
ro
G
at
Apabila seorang anak menderita sakit perut akut, r ap maka yang penting dilakukan adalah
k
menentukan apakah penyakitnya memerlukan
u ntu tindakan bedah atau tidak. Kalau kita sudah
dapat membuat keputusan bahwa anak ro itu tidak memerlukan tindakan bedah, maka kita
harus mencari penyebab sakit perutG astdan diberikan pengobatan sesuai etiologinya. Terapi
Ajarseperti istirahat serta pengawasan cairan dan diet.
simtomatis perlu juga diberikan
u
Buk
e
Fil
9.9 Sakit Perut Berulang
Batasan sakit perut berulang (SPB) menurut Apley adalah serangan sakit perut yang
timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan berturut-turut dan
mengakibatkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Pada beberapa anak, sakit yang timbul
bisa terjadi setiap hari dan pada beberapa anak lainnya timbul secara episodik.
Sakit perut berulang, biasanya terjadi pada anak berusia antara 4 sampai 14 tahun,
sedangkan frekuensi tertinggi pada usia 5 – 10 tahun dan turun setelah usia itu. Anak
perempuan cenderung lebih sering menderita sakit ini dibandingkan anak laki-laki
(perempuan : laki-laki = 5 : 3).
Kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang terdapat pada 5%-10%
kasus sedangkan 90%-95% kasus disebabkan kelainan fungsional saluran cerna. Dengan
bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran diagnostik, maka
diperkirakan makin banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Pada anak dibawah
usia 4 tahun kelainan organik saluran pencernaan merupakan penyebab yang terbanyak.

149
Bab 9 Sakit Perut pada Anak

Etiologi
Beberapa ahli mencoba mengelompokan penyebab SPB ke dalam beberapa golongan.
Konsep pertama yaitu konsep klasik membagi sakit perut berulang ke dalam dua golongan,
organik dan psikogenik (fungsional atau psikosomatik). Pendekatan diagnostik yang
dilakukan adalah dengan mencari dulu penyebab organik, apabila tidak ditemukan baru
dipikirkan kemungkinan penyebab psikogenik. Cara pendekatan seperti ini memerlukan
waktu dan biaya yang besar.
Barr mengajukan konsep kedua yang agak berbeda. Sakit perut berulang digolongkan
atas 3 kelompok, yaitu: organik, disfungsional dan psikogenik. Nyeri organik disebabkan
oleh suatu penyakit, misalnya infeksi saluran kemih. Nyeri disfungsional disebabkan oleh
berbagai variasi fisologi normal dan dibagi dalam 2 kategori, yaitu sindrom nyeri spesifik
(mekanisme penyebab nyerinya diketahui, misalnya defisiensi laktase dan kontipasi) dan
sindrom nyeri nonspesifik (mekanisme penyebab nyeri tidak jelas atau tidak diketahui).
Nyeri psikogenik disebabkan oleh tekanan emosional atau psikososial tanpa adanya
kelainan organik.
Konsep ketiga diajukan oleh Levine dan Rappaport yang menekankan adanya penyebab
multifaktorial. Sakit perut berulang merupakan resultan dari 4 faktor, yaitu: (1) predisposisi
19 dan pola respons,
somatik, disfungsi atau penyakit, (2) kebiasaan dan cara hidup, (3)20watak
t
are berperan meningkatkan
dan (4) lingkungan dan peristiwa pencetus. Faktor-faktor tersebut
M
9
atau meredakan rasa sakit. Dengan demikian dapat diterangkan mengapa beberapa anak
ro
ast
menderita konstipasi tanpa sakit perut berulang.GDemikian pula halnya dengan kondisi
at
psikososial yang buruk akan menimbulkan sakit r ap perut berulang pada anak tertentu, tetapi
k
ntu
tidak pada anak yang lain (Gambar 9.9.1).
ou
a str
G
Ajar
u
Buk
l e
Fi KEBIASAAN DAN CARA HIDUP

PREDEPOSISI SOMATIK, SAKIT PERUT WATAK


DISFUNGSI, PENYAKIT TIDAK SAKIT PERUT POLA RESPON

LINGKUNGAN DAN PERISTIWA PENCETUS

Gambar 9.9.1. Konsep yang menggambarkan peran penyebab multifaktorial pada sakit perut berulang

Penyebab sakit perut berulang yang terbanyak adalah faktor psikofisiologi, sedangkan
kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang dahulu hanya dilaporkan pada 5%-
10% kasus, namun sekarang mencapai 30%-40%. Van der Meer dkk (1993) menemukan

150
Buku Ajar Gastrohepatologi

42% kelainan organik pada 106 anak usia diatas 5 tahun yang mengalami keluhan sakit
perut berulang, yaitu malabsorpsi laktosa (15%), duodenitis/gastritis (13%), infeksi H.
pylori (7%), refluks gastroesofageal (4%) dan alergi makanan (3%).
Pada garis besarnya kelainan organik penyebab sakit perut berulang dapat dibagi
intraabdominal dan ekstraabdominal. Penyebab intraabdominal diklasifikasikan menurut
penyebab dari dalam saluran cerna, ginjal dan lain-lain. Kelainan organik sebagai penyebab
sakit perut dapat dilihat pada Tabel 9.9.2.

Manifestasi Klinis
Keluhan sakit perut berulang sering ditemukan pada usia 4 – 14 tahun, dengan frekuensi
tertinggi pada usia 5 – 10 tahun. Pada anak di atas usia 9 tahun keluhan lebih sering
ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki (1,5:1). Manifestasi klinis yang
diperlihatkan bervariasi cukup luas, baik dalam hal frekuensi, waktu, intensitas, lokasi
maupun gejala yang mengikuti. Keluhan mual, berkeringat dingin, muntah, pusing, pucat
dan palpitasi sering menyertai sakit perut berulang. Serangan biasanya berlangsung kurang
dari 1 jam dan diselingi periode bebas serangan. Gejala klinis sakit perut berulang yang
klasik dapat dilihat pada tabel 9.9.3. Etiologi sakit perut berulang yang disebabkan oleh
kelainan organik mempunyai tanda peringatan (alarm symptoms) seperti 9
2 01 yang terlihat pada
Tabel 9.9.4. re t
9 Ma
Tabel 9.9.2. Beberapa penyebab organik sakit perut berulang ro
ast
Intraabdominal tG
aEkstraabdominal
Saluran cerna Di luar saluran cerna r ap Lain-lain
uk
Maltorasi Hati, limpa, pankreasunt Hematologi Keracunan timbal
o
Duplikasi
a str
Pankreatitis kronis Leukemia Porfiria
Gastritis Kolelitiasisr G Limfoma Epilepsi perut
ja
Hernia inguinalis
uA
Kolesistitis
kHepatitis
Sickle cell anemia Migrain
Volvulus
e Bu Talasemia Hiperlipidemia
Ulkus peptikum Fil Splenomegali masif Purpura Henoch-Schönlein Edema angioneurotik
Kolitis ulseratif
Malabsorbsi laktosa Saluran kemih dan kandungan
Refluks gastroesofagal Pielonefritis
Helicobacter pylori Hidronefrosis
Apendisitis kronis Batu ginjal
Divertikulum Meckeli Infeksi di daerah pelvis
Tuberkulosis abdomen Dismenore
Peritonitis Kista ovarium
Konstipasi kronis Endometriosis
Bezoar Kehamilan ektopik
Askariasis
Sumber: Ulshen, 1996.

151
Bab 9 Sakit Perut pada Anak

Tabel 9.9.3. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik


Paroksismal
Daerah perilumbilikus atau suprapubis
Nyeri berlangsung <1 jam
Nyeri tidak menjalar, kram atau tajam, tidak membangunkan anak pada malam hari
Nyeri tidak berhubungan dengan makanan, aktifitas, dan kebiasaan buang air besar
Mengganggu aktifitas
Di antara 2 episode terdapat masa bebas gejala
Pemeriksaan fisik normal, kecuali kadang-kadang sakit perut di bagian kiri bawah
Nilai hasil pemeriksaan laboratorium normal
Sumber: Ulshen, 1996.

Tabel 9.9.4. Alarm symptoms sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik
Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus
Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
Nyeri timbul tiba-tiba
Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)
Disertai perdarahan saluran cerna 9
2 01
Terdapat disuria
re t
Berhubungan dengan menstruasi
9 Ma
Terdapat gangguan tumbuh kembang ro
Terdapat gejala sistemik: demam, nafsu makan turun
G ast
at
ap
Terjadi pada usia <4 tahun
Terdapat organomegali k r
Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi u ntu
ro
Kelainan perirektal: fisura, ulserasi
G ast
Sumber: Ulshen, 1996.
ja r
kuA
u
PendekatanFi Diagnosis le B
Untuk membuat diagnosis diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik lengkap dan
pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
1. Usia
Sakit perut berulang biasanya terjadi pada usia 4 – 14 tahun.
2. Rasa sakit: meliputi lokalisasi, sifat dan faktor yang menambah/mengurangi rasa sakit,
waktu timbulnya, frekuensi dan gejala yang mengiringi.
3. Pola makan: banyak mengkonsumsi susu atau produk susu
4. Pola defekasi: obstipasi, diare
5. Pola kencing
6. Siklus haid
7. Akibat sakit perut pada anak
a. Apakah terdapat kemunduran kesehatan pada anak tersebut?
b. Bagaimana nafsu makan anak?

152
Buku Ajar Gastrohepatologi

1. Gejala/gangguan traktus repiratorius


2. Gangguan muskuloskeletal
3. Aspek psikososial
4. Trauma
5. Penyakit yang pernah diderita dalam keluarga
Adakah diantara keluarga yang menderita cystic fibrosis, pankreatitis, ulkus peptikum,
kolon iritabel? Adakah faktor stres dalam keluarga?

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus lengkap. Dari hasil pemeriksaan fisik kita dapat mengetahui apakah
penyebab sakit perut berulang tersebut merupakan kelainan organik atau bukan, dengan
memperhatikan adanya tanda peringatan (alarm symptoms) seperti pada tabel 9.9.4.

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang


Pemeriksaan ini dibagi atas 3 tahap, yaitu:
Tahap 1. Dilakukan pada seluruh anak dengan sakit perut berulang
9
Tahap 2. Dilakukan bila pada pemeriksaan tahap 1 ditemukan kelainan2 01atau bila didapatkan
t
e 9.9.5 atau bila tidak
beberapa tanda peringatan seperti yang tertera padaartabel
9
memenuhi kriteria gejala klinis sakit perut berulang
M
o klasik
Tahap 3. Dilakukan bila masih diperlukan a str
G
at
r ap
tu k
Tabel 9.9.5. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang sakit perut berulang
un
Tahap 1 Darah tepi lengkap tro
Laju endap darah Gas
Biokimia darah A jar kreatinin, transaminase, kolesterol, trigliserida, protein total, kalsium dan fosfor)
(ureum,
Urin ku
u
i l e B urin dan tinja (termasuk parasit)
Biakan
F Uji serologis untuk Helicobacter pylori
Foto polos abdomen
USG abdomen
Tahap 2 Uji hidrogen nafas dengan laktosa
Amilase urin dan darah
Test benzidin
Gastroskopi
Tahap 3 Enema barium
Voiding cystourethrogram
EEG
Porifirin dalam darah dan urin
Kolonoskopi
CT scan abdomen, dsb
Sumber: Ulshen, 1996.

Pada gambar 9.9.6. dapat dilihat ringkasan pendekatan diganosis secara sistemik pada
anak dengan sakit perut berulang.

153
Bab 9 Sakit Perut pada Anak

Terapi
Pengobatan diberikan sesuai etiologi. Pada sakit perut berulang fungsional pengobatan
ditujukan kepada penderita dan keluarganya, bukan hanya mengobati gejala.

Sakit perut berulang dengan Sakit perut berulang


gejala klinis klasik dengan “tanda peringatan”
(kemungkinan kelainan kelainan organik
organik tak ada)

ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK


( Penunjang tahap I )

9
2 01
aret
9M
Normal Abnormal ro
Penunjang Penunjang
G ast 2
Tahap Tahap 3
p at
r a
k
u ntu
ro
G ast
D / Kelainan Ajar D / K e l a i n a n o r g a n i k
u
fungsional
Buk
l e
Fi

Evaluasi Tak ditemukan Kelainan organik


Periodik kelainan organik ditemukan

Pertimbangkan kelainan Pengobatan


organik bila timbul medis/bedah
“tanda peringatan”

Gambar 9.9.6. Pendekatan diagnosis sakit perut berulang

154
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tujuan pengobatan ialah memberikan rasa aman serta edukasi kepada penderita dan
keluarga sehingga kehidupan keluarga menjadi normal kembali dan dapat mengatasi rasa
sakit sehingga efeknya terhadap aktivitas sehari-hari dapat menjadi seminimal mungkin
(Tabel 9.9.6).
Kadang-kadang diperlukan pula konsultasi ke psikolog dan/atau psikiater anak.
Pemberian obat seperti antispasmodik, antikolinergik, antikonvulsan dan antidepresan
tidak bermanfaat.

Tabel 9.9.6. Ringkasan pengobatan sakit perut berulang fungsional


• Menyakinkan bahwa penyakitnya ringan
• Menerangkan masalah berdasarkan pada temuan positif maupun negatif
• Menemukan stres dan kecemasan yang mencetuskan rasa sakit
• Mengidentifikasi pengaruh keluarga/sosial yang mencetuskan sakit
• Menghindari gejala sakit yang berkepanjangan dan mengembalikan anak dalam kehidupan normal
• Tatalaksana penyebab yang didapat: kurangi laktosa, diet tinggi serat, dll
• Follow-up teratur untuk mengetahui perubahan gejala, meningkatkan rasa percaya diri dan mendorong keluarga serta anak untuk
mengatasi masalahnya
• Hasil pengobatan jangan dipakai untuk membuat diagnosis
9
Sumber: Ulshen, 1996.
2 01
aret
9M
ro
Daftar Pustaka G ast
at
1. Apley J. The child with abdominal pains; 2nd ed. r ap
London : Blackwell Scientific Publ., 1975; h. 3-54
k
2. ntu
Barr RG. Abdominal pain in the femaleuadolescent. Pediatr Rev 1983; 4: 281-9.
o
3. Buller HA. Recurrent abdominal pain
a str in children. Kuliah tamu Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM 2000. G
4. A
Firmansyah A. Aspek diagnostikjar sakit perut berulang. Maj Kedok Indones 1991; 9:525-8.
u
5. Halimun EM. Sakit B uk pada anak. Dalam Kumpulan naskah Kursus Penyegar Ilmu Bedah
perut
e
Fil
Anak II. 5-6 September 1980; Batu Malang. h. 7-11.
6. Hatch EI, Sawin R. The acute abdomen. Dalam : Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric
Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi pertama. Philadelphia:
Saunders, 1993; h. 209-19.
7. Hyam JS, Hyman PE. Recurrent abdominal pain and the biopsychososial model of medical
practice. J Pediatr 1998; 133:473-8.
8. Levine MD, Rappaport LA. Recurrent abdominal pain in school children : The loneliness of the
long distance physician. Pediatr Clin North Am 1984; 31:696-8.
9. Mews CF, Sinatra FR. Abdominal Pain. Dalam : Wyllie R, Hyams JS. Penyunting. Pediatric
gastrointestinal disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi pertama. Philadelphia
: WB Saunders, 1993; h. 177-86.
10. Oberlander TF, Rappaport LA. Recurrent abdominal pain : Evaluation and Management.
Dalam : Recurrent abdominal pain. International Seminars in Pediatric Gastroenterology and
Nutrition, 1994; 3 Number 2:2-9.
11. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Functional recurrent abdominal pain. Dalam : Pediatric
clinical gastroenterology; 4th ed Toronto ; Mosby, 1995; h. 522-37.
12. Thiesen PN. Recurrent abdominal pain. Pediatrics in review 2002; 23:39-46.

155
Bab 9 Sakit Perut pada Anak

13. Ulshen M. Major Symptoms and Signs of Digestive Tract Disorders. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke lima belas.
Philadelphia : Saunders, 1996; h. 1032-7.
14. Van der Meer SB. Chronic recurrent abdominal pain in school children. Tidjschr Kindergeneeskd
1993; 61:69-75 [abstrak].
15. Walker Smith JA, Hamilton JR, Walker WA. Acute abdominal pain. Dalam Practical Paediatric
Gastroenterology. London : Butterworths, 1983; h. 21-9.

9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

156
BAB

10
Kembung
Pramita G. Dwipoerwantoro

10.1 Ilustrasi Kasus


Anak lelaki usia 6 tahun, dirujuk oleh poliklinik Bedah Anak RSCM dengan keterangan
kembung selama 3 minggu terakhir dan telah dievaluasi tidak ada kelainan bedah yang
mendasari. Awalnya pasien menderita diare akut. Saat ini keluhan BAB seperti bubur, kadang
disertai lendir dan darah, dengan frekuensi 4-6 kali perhari dan kadang disertai demam.
Anak mengeluh kadang sakit perut, nafsu makan yang berkurang, sering bersendawa dan
perut cepat kenyang. Berat badan sebelum sakit 18 kg.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 16 kg, tanda vital baik dan tidak
ditemukan tanda dehidrasi. Perut tampak kembung, perkusi timpani, tidak teraba
pembesaran organ ataupun massa, bising usus normal. Otot ekstremitas tampak hipotrofi.
Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan penunjang di poliklinik Bedah Anak RSCM menunjukkan kadar
hemoglobin yang rendah dan leukositosis dengan hitung jenis segmenter. Laju endap darah
meningkat. Hasil barium meal follow-through dalam batas normal.
a). Apakah diagnosis kerja dan diagnosis banding pada anak ini?
b). Sebutkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan!
c). Jelaskan tatalaksana kasus ini!
Kasus ini merupakan contoh klasik kasus kembung yang sering dijumpai di klinik
rawat jalan. Diare akut yang melanjut menjadi persisten (lebih dari 14 hari dan kemungkinan
penyebabnya adalah infeksi), pada kasus ini ditandai dengan frekuensi serta konsistensi tinja
yang abnormal disertai lendir dan darah. Keluhan kembung yang dominan pada kasus ini
kemungkinan penyebabnya suatu bakteri tumbuh lampau dan perlu disingkirkan penyebab
yang lain seperti sindrom malabsorpsi (intoleransi laktosa). Tampaknya gangguan gizi juga
telah terjadi pada kasus ini karena masukan energi berkurang akibat anoreksia, sakit perut,
dan malabsorpsi. Anemia yang terjadi pada kasus ini dapat sebagai akibat masukan nutrisi
yang kurang dan kehilangan melalui usus (perdarahan yang menyertai diare).
Pemeriksaan lanjutan yang diperlukan adalah pemeriksaan pH dan reduksi tinja
untuk membuktikan ada tidaknya intoleransi laktosa, pemeriksaan steatokrit untuk
membuktikan derajat malabsorpsi lemak yang terjadi, serta biakan tinja terhadap bakteri
aerob dan anaerob. Uji hidrogen napas (UHN) menggunakan laktosa dapat mendeteksi
adanya bakteri tumbuh lampau ataupun malabsorpsi laktosa. Kolonoskopi dapat melihat

157
Bab 10 Kembung

lebih jauh kerusakan mukosa kolon yang terjadi secara makroskopik. Selanjutnya perlu
dilakukan biopsi jaringan untuk melihat kelainan secara mikroskopik.
Tata laksana untuk kasus ini adalah pemberian metronidazole selama 1 minggu sambil
menunggu hasil biakan tinja dan resistensi. Disamping suplementasi vitamin yang larut
dalam lemak, perlu pemberian nutrisi yang adekuat. Makanan cair dengan bahan dasar
yang mudah dicerna (bebas laktosa, mengandung glukosa polimer dan asam lemak rantai
sedang) dan berkalori tinggi (1 cc = 1 kalori) dapat diberikan pada minggu pertama, sampai
keluhan gastrointestinal berkurang, sebelum akhirnya mengkonsumsi makanan biasa 1500
kalori.

10.2 Pendahuluan
Kembung merupakan salah satu kondisi yang sering dikeluhan oleh orang tua untuk
membawa anaknya berobat. Penyebab terjadinya kembung non-bedah tersering adalah
intoleransi laktosa, bakteri tumbuh lampau, dan gangguan fungsional saluran cerna (antara
lain dispepsia, irritable bowel syndrome/IBS). Berikut ini akan diuraikan penyebab kembung
akibat intoleransi laktosa dan bakteri tumbuh lampau. Penyebab kembung yang lain akan
9
diuraikan terpisah pada bab tersendiri.
2 01
aret
9M
10.3 Intoleransi Laktosa G ast
ro
at
Susu merupakan sumber nutrien esensialkterutama rap untuk bayi baru lahir dan anak yang
tu
sedang tumbuh dan berkembang karena unmengandung komponen yang diperlukan pada diet
olemak,
yang sehat, antara lain karbohidrat,tr protein dan mineral. Laktosa adalah komponen
as
Gakan
karbohidrat dalam susu yang jar dihidrolisis di usus halus (paling banyak di jejunum)
A
u glukosa dan galaktosa yang mudah diserap.
oleh enzim laktase menjadi
Buk
e
Fil
Defisiensi
Intoleransi laktosa merupakan sindrom klinis (sakit perut, diare, flatus dan kembung) yang
terjadi setelah mengkonsumsi 2 gram laktosa per-kg berat badan, maksimum 50 gram,
dalam 20% larutan (dosis uji toleransi standar terhadap laktosa). Jika terjadi peninggian
maksimum kadar glukosa darah tidak lebih dari 20 mg/dl setelah uji toleransi terhadap
laktosa, maka keadaan ini disebut malabsorpsi laktosa.

Kejadian
Scrimshaw dan Murray (1988) serta Sahi (1994) melaporkan prevalensi maldigesti laktosa
secara global. Prevalensi lebih dari 50% terdapat di negara-negara Amerika Selatan,
Afrika dan Asia, dan mencapai hampir 100% di beberapa negara Asia. Di Amerika Serikat
prevalensi intoleransi laktosa adalah 15% untuk populasi kulit putih, 53% di antara populasi
Meksiko-Amerika dan 80% pada populasi kulit hitam. Di negara Eropa prevalensinya
bervariasi antara 2% di Skandinavia sampai 70% di Sisilia. Prevalensi di negara Australia
dan Selandia Baru adalah 6% dan 9%.

158
Buku Ajar Gastrohepatologi

Etiologi
Intoleransi laktosa dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu primer (genetik),
sekunder, dan bawaan. Disebut primer bila sindrom klinis yang timbul tanpa riwayat atau
penyakit saluran cerna yang mendasari. Jika didapatkan penyakit saluran cerna maka
diklasifikasikan sebagai intoleransi laktosa sekunder. Keduanya paling sering dijumpai
di klinik. Intoleransi laktosa bawaan sangat jarang dijumpai dan biasanya bermanifestasi
sejak lahir. Gambaran histologis mukosa saluran pencernaan biasanya normal akan tetapi
aktivitas enzim laktase di brush-border sangat rendah atau tidak ada sama sekali.

Patogenesis
Pada negara dimana populasi hipolaktasia primer cukup tinggi, seperti di negara Indonesia,
maka aktivitas enzim laktase akan berkurang mulai usia 2-3 tahun. Sebaliknya di Finlandia
onset kebanyakan terjadi pada masa dewasa muda.
Mekanisme tinja cair yang terjadi adalah akibat karbohidrat yang tidak diabsorpsi
dengan baik, sehingga terjadi beban osmotik yang meningkat, menyebabkan sekresi
cairan dan elektrolit. Dilatasi usus halus yang terjadi akibat proses osmosis tersebut, akan
menginduksi percepatan waktu singgah di usus halus, dan hal ini sesuai 9 dengan derajat
maldigesti. Waktu singgah yang cepat ini akan menyebabkan tproses 2 01 hidrolisis akan
re
berkurang, karena berkurangnya waktu kontak antara laktosa
9 Ma dan enzim laktase yang
tersisa. ro
G ast
Gejala perut kembung (distensi abdomen) dan at rasa sakit (cramp) yang terjadi berasal
dari modifikasi keadaan usus halus dan kolon, r ap
seperti waktu singgah dan komposisi flora
ntuk
u
usus, dan hal tersebut mempengaruhi oderajat beratnya gejala. Gejala malabsorpsi laktosa
str
bervariasi di antara individu. Jika alaktosa dikonsumsi dalam jumlah sedikit tetapi dalam
G
jangka waktu yang lama oleh A jarindividu yang intoleransi laktosa, maka flora usus akan
u
beradaptasi terhadap beban
Buk laktosa tersebut, sehingga gejala yang timbul akibat gas dan
l e
asam di kolon akanFiberkurang atau hilang.

Manifestasi Klinis
Aktivitas enzim laktase yang mulai berkurang pada usia 2-3 tahun (pada intoleransi
laktosa primer), biasanya akan memberikan gejala setelah usia lebih dari 6 tahun, dan hal
ini tergantung dari kecepatan penurunan enzim laktase di usus maupun asupan laktosa
pada diet. Gejala klinis intoleransi laktosa dapat berupa kembung, sakit perut, dan flatus
yang terjadi sekitar 1 jam setelah mengkonsumsi susu sapi atau produk susu sapi. Tinja cair
disertai flatus yang berlebihan dan rasa mules dapat terjadi beberapa jam kemudian.
Pada pemeriksaan fisik jarang disertai gangguan tumbuh (gagal tumbuh atau
malnutrisi). Sakit perut yang tidak spesifik dan tidak terfokus biasanya tidak memberikan
rasa sakit yang bermakna pada palpasi, dan biasanya hanya dijumpai keadaan kembung
pada perut. Peningkatan bising usus (borborygmi) sering terdengar pada saat palpasi
ataupun auskultasi di daerah perut.

159
Bab 10 Kembung

Diagnosis
Malabsorpsi laktosa dapat didiagnosis berdasarkan kombinasi manifestasi klinis dan uji
diagnostik antara lain uji toleransi laktosa, uji hidrogen napas (breath hydrogen test), dan
pengukuran enzim laktase melalui biopsi usus halus. Cara lain adalah pemeriksaan pH
(asam) dan reduksi tinja (>0,5%). Tetapi cara ini tidak dianjurkan untuk penelitian karena
uji ini dinyatakan valid bila pengukuran dilakukan setelah laktosa dikonsumsi, waktu
singgah usus harus cepat, tinja dalam keadaan segar dan pemeriksaan dilakukan sesegera
mungkin, serta degradasi laktosa dalam kolon oleh bakteri tidak komplit.
Pengukuran kadar laktase secara langsung dibandingkan dengan sukrase melalui
biopsi jejunum jarang dilakukan karena merupakan pemeriksaan yang invasif. Hal ini sulit
diterapkan terutama untuk pasien klinik.
Pemeriksaan secara tidak langsung yang sering dilakukan adalah pemeriksaan
glukosa darah serial (setiap 2 jam) setelah mengkonsumsi laktosa secara oral (2 g per-kg
berat badan, maksimum 50 g laktosa). Jika kadar gula darah tidak meningkat lebih dari 20
mg/dl, maka diagnosis malabsorpsi laktosa dapat ditegakkan.
Pemeriksaan yang sederhana dan tidak invasif adalah uji hidrogen napas. Dosis
laktosa yang dibutuhkan adalah 2 g laktosa per-kg berat badan dan maksimum 50 g dalam
9
20% larutan dalam air. Setelah puasa sejak malam hari (4 jam pada2bayi 01 kecil), dilakukan uji
re t
hidrogen napas dengan cara mengukur udara ekshalasi sebelum
9 Ma mengkonsumsi laktosa, dan
pada interval 30 menit setelah konsumsi laktosa sampai
a stro total 2-3 jam. Produksi hidrogen
yang diekskresikan melalui udara napas merupakan G hasil fermentasi laktosa yang tidak
p at menit pertama bila terjadi peningkatan
dapat dicerna oleh bakteri dalam kolon. Pada r a 30
<10 ppm dibandingkan nilai basal dianggapntuk normal, sedangkan peningkatan antara 10-
ou
20 ppm dianggap bermakna bilastrdisertai gejala. Nilai peningkatan >20 ppm dianggap
G
malabsorpsi laktosa. Uji hidrogen
a napas dapat memberikan hasil yang negatif palsu bila
A jar
sebelumnya mendapatkantibiotik
u atau bakteri kolon tidak memproduksi hidrogen (sekitar
1% dari populasi).le Bu
Fi

Terapi
Terapi malabsorpsi laktosa tergantung dari usia anak. Pada anak berusia kurang dari
5 tahun, malabsorpsi laktosa yang dibuktikan oleh uji hidrogen napas, menunjukkan
kerusakan usus halus bila terjadi pasca gastroenteritis. Walaupun demikian beberapa
penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari kelompok ini yang memerlukan
susu formula rendah laktosa, karena penggantian epitel yang rusak tersebut sangat cepat dan
tidak semua infeksi usus akan menyebabkan kerusakan mukosa. Selain itu pada bayi berusia
kurang dari 6 bulan sebaiknya diberikan susu formula normal setelah rehidrasi tercapai.
Pada diare persisten sebaiknya upaya pemberian rendah laktosa dengan cara mencampur
susu dengan sereal/susu fermentasi daripada dengan air. Pada anak yang berusia lebih dari
5 tahun, malabsorpsi laktosa dapat akibat kadar enzim laktase yang rendah ataupun karena
mukosa usus yang rusak pasca gastroenteritis.
Jika reduksi ataupun restriksi laktosa dibutuhkan maka perlu substitusi alternatif
sumber nutrien untuk menghindarkan berkurangnya asupan energi dan protein (seperti
live-culture yoghurt) serta kebutuhan kalsium perlu diperhitungkan dalam dietnya.

160
Buku Ajar Gastrohepatologi

Suplementasi kalsium dapat berupa kalsium glukonat cair (untuk bayi dan anak) atau
kalsium karbonat (untuk anak yang lebih besar). Produk lain yang mengandung kalsium
antara lain adalah ikan, sayuran dan kacang-kacangan.
Terapi lain adalah substitusi enzim laktase yang berasal dari ragi yang dapat berupa
preparat tetes (dengan cara menambahkan pada produk susu sapi) ataupun tablet kunyah
(yang dikonsumsi sebelum mencerna makanan yang mengandung laktosa).

Prognosis
Pada umumnya prognosis intoleransi laktosa cukup baik. Karena penyebab kelainan
bawaan sangat jarang terjadi maka diagnosis alergi protein susu sapi pada bayi perlu
dipertimbangkan bila terjadi gejala intoleransi terhadap susu sapi atau produk susu sapi
yang dikonsumsi.

Pencegahan
Untuk mengurangi bertambah buruknya gejala intoleransi laktosa maka perlu dicermati
untuk menghindarkan susu sapi atau produk susu sapi dalam diet. Kegagalan dalam
9 menyebabkan
mengenali “intoleransi laktosa yang sementara” pada bayi maupun anak01dapat
t 2
keluhan diare kronik dan kembung, sehingga mengganggu masukan
are makanan yang adekuat.
Hal ini merupakan pemicu terjadinya gangguan pertumbuhan
o9 Mpada bayi dan anak.
str
Ga
p at
10. 4 Bakteri Tumbuh Lampau
tuk
ra
un
ro steril, segera setelah persalinan, organisme yang
Pada saat lahir usus halus dalam keadaan
G ast
tertelan melalui mulut mulai amembuat kolonisasi di saluran cerna. Lambung maupun
Ajr
ku
usus halus tidak mengandung bakteri dalam jumlah yang bermakna seperti halnya usus
Bu
besar (kolon) yang lnormalnya mengandung 1010 organisme per mililiter (Tabel 10.4.1).
F ie
Mikroflora kolon baru akan berproliferasi di usus halus bila mekanisme klirens di usus
halus terganggu, contohnya pada kondisi stasis.

Definisi
Sindrom klinis yang terjadi mempunyai sebutan bermacam-macam, di antaranya adalah
stagnant loop, blind loop, contaminated small bowel, small bowel stasis, dan small bowel
bacterial overgrowth syndrome (sindrom bakteri tumbuh lampau di usus halus). Karakteristik
sindrom ini selain kembung adalah (1) kolonisasi abnormal usus halus oleh organisme yang
biasanya berada di kolon, (2) stetorrhea, dan (3) anemia.

161
Bab 10 Kembung

Tabel 10.4.1. Flora normal usus di saluran cerna normal


Usus halus proksimal
< 106 organisme per-mililiter
Bakteri aerob, dominasi flora mulut
Streptococcus, Lactobacillus, Neisseria
Usus halus distal
>109 organisme per-mililiter
Sejumlah besar bakteri anaerob dan bakteri anaerob fakultatif
Bacteroides, Escherichia coli, Bifidobacterium
Kolon
< 1010 organisme per-mililiter
Bakteri anaerob dan anaerob fakultatif
Bacteroides, E. Coli, Bifidobacterium, Clostridium

Sumber: Crabbe PA, 1968.

Kejadian
Kondisi usus halus yang steril tergantung dari sejumlah faktor yang mengurangi
9
kandungan jumlah kuman serta mencegah kolonisasi kuman. Faktor 2 01 antibakteri ini dapat
re t
berupa sistem imun tubuh ataupun non-imun. Yang termasuk
9 Ma faktor non-imun adalah
asam lambung, gerakan peristaltik usus, enzim pencernaan,
a stro mukus, katup ileo-sekal dan
kandungan bakteri. G
p at
Faktor imunitas tubuh terhadap bakteri a
r usus sejak awal kehidupan diperankan
oleh antibodi dengan cara mengendalikan ntuk kolonisasi bakteri dan penetrasi mukosa oleh
u
tro
bakteri ataupun produk bakteri.asKehilangan kemampuan untuk produksi imunoglobulin
(hipogamaglobulinemia) dan r G
defisiensi sIgA sering menyebabkan kolonisasi parasit tertentu
seperti Giardia lamblia.
Aja
uImunoglobulin G spesifik dan IgA mempercepat eliminasi parasit
u k
e
usus seperti Giardia B dan nematoda. Bakteri tumbuh lampau sering dijumpai pada pasien
Fil
dengan anemia pernisiosa dan pasien dengan hipogamaglobulinemia disertai akhlorhidria.

Etiologi
Beberapa faktor predisposisi terjadinya bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat
dikategorikan menjadi 4 kelompok yaitu (1) kelainan anatomis (divertikula, duplikasi,
striktur, stenosis, web, blind loop), (2) gangguan motilitas usus (pseudoobstruction,
hilangnya fungsi migratory motor complexes/MMC menyebabkan stasis akibat terganggunya
fungsi peristaltik, neuropati otonom pada diabetes, penyakit vaskular kolagen pada
skleroderma), (3) adanya lesi yang menyebabkan peningkatan jumlah bakteri usus halus
bagian proksimal (akhlorhidria, fistula, dan hilangnya katup ileosekal), dan (4) defisiensi
imun pejamu (immunodeficiency, malnutrisi, dan prematuritas).
Etiologi faktor risiko terjadinya bakteri tumbuh lampau sering tumpang tindih.
Pada negara yang belum berkembang sangat sulit memisahkan apakah kondisi tersebut
akibat buruknya higiene perorangan atau akibat malnutrisi. Bayi dengan sindrom usus
pendek sering disertai komplikasi bakteri tumbuh lampau, akibat multi faktor.

162
Buku Ajar Gastrohepatologi

Patofisiologi
Jumlah bakteri intralumen usus yang berlebihan akan menyebabkan perubahan sekresi
dan produksi metabolit, enzim serta toksin intralumen yang akan merusak mukosa dan
selanjutnya akan diabsorpsi. Dampak lanjut terhadap pejamu dapat dibagi menjadi 3
kategori yaitu efek intralumen, efek terhadap mukosa dan efek sistemik (Tabel 10.4.2).

Tabel 10.4.2. Bakteri intra-lumen: efek pada pejamu


Efek Intra-Lumen Efek Terhadap Mukosa Efek Sistemik
Dekonjugasi garam empedu Hilangnya disakaridase Absorpsi toksin bakteri, antigen
11α-hidroksilase Kerusakan enterosit Inflamasi hati
Deplesi garam empedu Inflamasi Pembentukan kompleks imun
Malabsorpsi lemak Hilang protein Vaskulitis kulit
Malabsorpsi vitamin B12 Perdarahan Poliarteritis
Fermentasi asam lemak rantai
pendek
Pelepasan protease, toksin

Sumber: Licthman, 2000.

9
01 usus halus bagian
Efek patologis akan maksimal bila bakteri tumbuh lampau menempati
re t2
proksimal. Bakteri anaerob intralumen, terutama yang berasal
9 Madari tinja, memiliki enzim
yang akan mendekonjugasi garam empedu dan mengubah roasam kolat dan kenodeoksikolat
menjadi asam deoksikolat dan litokolat. Hasil akhirnya G ast adalah menurunkan konsentrasi
at
garam empedu di duodenum dan jejunum, menyebabkan r ap trigeliserid dan kolesterol tidak
tu k
dihidrolisis menjadi misel (campuran asam n lemak dan mono serta digliserid) dan garam
empedu, melainkan akan banyak terbentuktro u emulsi yang berbentuk kristal dan tidak larut
as
r G terjadi maldigesti lemak dan malabsorpsi trigliserid
dalam air. Akibat lebih lanjutjaakan
A
ku lemak, dan selanjutnya terjadi malabsorpsi lemak. Bakteri
serta vitamin yang larut dalam
u
B
intralumen terutama
F ileBacteroides dan coliform juga menggunakan B12 sehingga merupakan
kompetitor dan menyebabkan malabsorpsi vitamin B12.
Bakteri yang jumlahnya berlebihan tersebut akan memproduksi enzim dan metabolit
yang dapat merusak mukosa usus. Sebagai akibatnya aktivitas enzim disakaridase akan
berkurang akibat lesi mukosa setempat (patchy) yang menyebabkan atrofi vili dan respon
inflamasi subepitel. Penelitian pada bayi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
antara intoleransi karbohidrat dan bakteri tumbuh lampau. Selain hal tersebut akan terjadi
hilang protein (hipo-proteinemia) dan anemia akibat kehilangan darah kronik.
Produk bakteri dan antigen akan diserap melalui mukosa yang rusak menyebabkan
efek sistemik. Penelitian Riordan dan kawan-kawan menunjukkan bahwa bakteri tumbuh
lampau di usus halus menyebabkan peningkatan permeabilitas usus pada manusia,
sedangkan penelitian lain pada tikus menunjukkan bahwa terjadi peningkatan absorpsi
polimer bakteri (peptidoglikan) pada keadaan bakteri tumbuh lampau di usus halus.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis (Tabel 10.4.3) dapat terjadi pada sepertiga pasien, dan variasi gejala dapat
ringan sampai berat bahkan menjadi kronis. Gejala yang berat sesuai dengan letak bakteri

163
Bab 10 Kembung

tumbuh lampau pada usus halus proksimal, sedangkan makin ke distal maka manifestasi
gejala makin ringan. Gejala sistemik biasanya terjadi setelah operasi pintas (bypass) usus.
Selain gejala klinis pada tabel 10.4.3 dapat terjadi maldigesti lemak, karbohidrat, dan
protein, serta kehilangan protein endogen melalui usus. Sakit perut yang terjadi adalah
akibat intoleransi karbohidrat sekunder. Defisiensi vitamin jarang terdeteksi secara klinis.
Defisiensi vitamin B12 dapat dicegah karena terdapatnya cadangan kobalamin yang
adekuat dalam tubuh. Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena kehilangan besi melalui
usus. Asam folat serum akan meningkat karena bakteri tersebut pun memproduksi vitamin
K dan asam folat. Pneumoperitoneum dan asites dilaporkan dapat terjadi sekunder akibat
bakteri tumbuh lampau.

Tabel 10.4.3. Manifestasi klinik bakteri tumbuh lampau di usus halus


Gejala Klasik Sistemik
Diare kronis Artritis
Steatorea Tenosinovitis
Anemia Ruam vesikulopustular
Eritema nodosum
Gejala Lain Fenomena Raynaud
9
Berat badan menurun Nefritis
201
Perawakan pendek Hepatitis aret
Sakit perut Steatosis hati
o 9M
str
Ga
Enteropati hilang protein
Hipoalbuminemia p at
Osteomalasia k ra
Rabun senja u ntu
ro
Ataksia
G ast
Sumber: Licthman, 2000.
Ajar
u
Buk
Diagnosis l e
Fi
Anamnesis yang cermat merupakan hal yang penting untuk menentukan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis keadaan yang mendasari terjadinya bakteri
tumbuh lampau. Riwayat operasi daerah perut sebelumnya perlu ditanyakan karena bakteri
tumbuh lampau di usus halus merupakan komplikasi jangka panjang akibat perubahan
motilitas atau akibat stasis yang terjadi pada perubahan anatomik tersebut. Pemeriksaan
barium meal dengan follow-through dapat mendeteksi adanya striktur usus, divertikel, dan
perlambatan waktu singgah. Walaupun demikian hasil pemeriksaan barium meal yang
normal tidak dapat mengeksklusi adanya bakteri tumbuh lampau di usus halus yang secara
klinis bermakna.
Adanya bakteri anaerob di cairan usus halus bagian proksimal yang bukan merupakan
flora normal mulut, perut maupun usus halus proksimal dan jumlahnya lebih dari 106
koloni merupakan baku emas uji diagnostik pada bakteri tumbuh lampau. Misalnya
ditemukan spesies Bacteroides. Karena sangat sulit melakukan biakan bakteri anaerob,
maka ditemukannya bakteri anaerob fakultatif, seperti strain E. coli, lebih dari 106 koloni
pada biakan tersebut dapat merupakan bukti adanya kolonisasi bakteri anaerob.

164
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pengukuran H2 napas merupakan pemeriksaan noninvasif yang dapat digunakan


pada anak ataupun bayi. Sel mamalia tidak memproduksi H2, sedangkan mikroflora kolon
komensal pada umumnya memproduksi H2. Hidrogen yang diproduksi tersebut akan
diabsorpsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh dan akhirnya dikeluarkan lewat udara
napas. Konsumsi karbohidrat yang tidak diserap, seperti laktulosa, akan menyebabkan
peningkatan kadar H2 yang dihasilkan yang berkorelasi dengan adanya bakteri tumbuh
lampau.
Peningkatan bermakna kadar konjugat asam 5-aminosalisilat ursodeoksikolat
monofosfat (5-ASA-UDCA monophosphat) di urin pada bakteri tumbuh lampau di usus
halus merupakan pemeriksaan noninvasif yang menjanjikan dan masih dalam tahap
penelitian.

Tabel 10.4.4. Uji diagnostik bakteri tumbuh lampau di usus halus


Uji Tapis
Pewarnaan Sudan untuk lemak dalam tinja
Pengukuran lemak dalam tinja tampung 72 jam
Uji Schilling terhadap faktor intrinsik
Barium meal dengan follow-through
9
Uji Diagnostik
2 01
re t
Ma
Invasif
Aspirasi duodenum 9
ro
Biakan
G ast
at
ap
Bakteri aerob
Bakteri anaerob k r
Eksklusi enteropatogen yang telah diketahui u ntu
ro
Garam empedu dekonjugasi
G ast
Asam lemak rantai pendek
A jar
u
Noninvasif
B uk
e
Fil
Indikanuria
Asam empedu serum
Uji hidrogen napas
Sumber: Licthman, 2000.

Terapi
Tatalaksana bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat dibagi 3 yaitu koreksi penyakit
yang mendasari, pemberian antibiotik dan terapi suportif. Penyebab terjadinya bakteri
tumbuh lampau di usus halus multi faktor, dan sebagian besar dapat dikoreksi secara bedah.
Oleh sebab itu evaluasi ke arah penyebab kasus bedah harus dilakukan dengan cermat.
Gejala akut penyakit Crohn, sebagai penyakit yang mendasari, bila diberikan steroid akan
memperbaiki keadaan. Pemberian cisaprid untuk gangguan motilitas pada pseudoobstruksi
usus dilaporkan efektif.
Pemilihan jenis antibiotik berdasarkan efektivitasnya terhadap Bacteroides. Pilihan
yang utama adalah metronidazol dan dapat diberikan selama 2 sampai 4 minggu. Bila
terjadi kekambuhan dapat diberikan antibiotik dengan spektrum luas, seperti trimetoprim-
sulfametoksazol atau gentamisin. Kloramfenikol dan linkomisin sebaiknya digunakan bila

165
Bab 10 Kembung

terhadap antibiotik yang lain telah resisten. Penggunaan probiotik merupakan alternatif
terapi yang saat ini dilaporkan cukup efektif untuk terapi bakteri tumbuh lampau.
Terapi suportif terutama untuk mencegah komplikasi metabolik dan defisit nutrien.
Pemberian nutrisi dengan bahan dasar yang mudah dicerna dan rendah lemak (mengandung
asam lemak rantai sedang), sangat diperlukan untuk menjaga tumbuh kembang yang
normal. Pemberian suplementasi vitamin yang larut dalam lemak perlu untuk mencegah
komplikasi rabun senja, osteomalasia, ataupun kelainan neurologis.

Prognosis
Prognosis tergantung dari penyakit yang mendasari dan respon terhadap terapi.

Daftar Pustaka
1. Arola H. Diagnosis of hypolactasia and lactose malabsorption. Scand J Gastroenterol
1994;29(Suppl.202):26-35.
2. Bjorneklett A, Fausa O, Midvedt T. Bacterial overgrowth in jejunal and ileal disease. Scand J
Gastroenterol 1983;18:289-98.
3. Büller HA, Grand RJ. Lactose intolerance. Annu Rev Med 1990;41:141-8.9
01 following surgery of
re t2
4. Burke V, Anderson CM. Sugar intolerance as a cause of protracted diarrhea
a
the gastrointestinal tract in neonates. Austr Pediatr J 1986;2: 219-27.
MJac,
5. Chew F, Penna FJ, Peret Filho LA, Quan C, Lopes MC, Mota 9 et al. Is dilution of cow’’s milk
ro
ast
formula necessary for dietary management of acuteGdiarrhea in infants aged less than 6 months?
Lancet 1993;341:194-7. at
r ap
6. Christopher NL, Bayless TM. Role of the
tuksmall bowel and colon in lactose-induced diarrhea.
Gastroenterology 1971;60:845-52. o un
r
7. Committee on Nutrition of American
G ast Academy of Pediatrics. The practical significance of
ar Pediatrics 1978;62:240-5.
lactose intolerance in children.
j
u A H, Heremans JF. The normal microbial flora as a major stimulus for
8. Crabbe PA, Bazin H,kEyssen
B u
ileplasma cell synthesizing IgA in the gut. Int Arch Allergy 1968;34:362-75.
proliferation of
F
9. Donaldson RM. Small bowel bacterial overgrowth. Adv Intern Med 1970;16:191-212.
10. Dolby JR, et al. Bacterial colonization and nitrite concentration in the achlorhydric stomachs
of patients with primary hypogamaglobulinemia or classical pernicious anemia. Scand J
Gastroenterol 1984;19:105-10.
11. Frye RE. Lactose intolerance. eMedcine [serial online] 2002 December 27 [disitasi 2004 Januari
29]:[9 screens] Diunduh dari: http://www.emedicine.com/ ped/ topic1270.htm.
12. Giannella RA, Toskes PP. Gastrointestinal bleeding and iron absorption in the experimental
blind loop syndrome. Am J Clin Nutr 1976;29:754-7.
13. Gracey M, Burke V, Oshin A, Barker J, Glasgow EF. Bacteria, bile salts and intestinal
monosaccharide malabsorption. Gut 1971;12: 683-92.
14. Gregorio GV, Rogacion JM, Gabriel EP, Santos-Ocampo PD. Nutritional intervention in acute
diarrhea: Is lactose free formula essential? Southeast Asian J Trop Med Public Health 1992;23:235-
45.
15. Hill Mj, Drasar BS. Degradation of bile salts by human intestinal bacteria. Gut 1986;9:22-7.
16. Hyman PE, Uc A, Hoon A, Dilorenzo C. Antroduodenal motility in children with chronic
intestinal pseudo-obstruction. J Pediatr 1988;112:899-905.
17. Hyams JS, Stafford RJ, Grand RJ, Watkins JB. Correlation of lactose breath hydrogen test,
intestinal morphology, and lactase activity in young children. J Pediatr 1980;97:609-12.

166
Buku Ajar Gastrohepatologi

18. Kaplan BS, Uni S, Aikawa M, Mahmud AA. Effector mechanism of host resistance in murine
giardiasis: specific IgG and IgA cell-mediated toxicity. J Immunol 1985;134:1975-81.
19. King CE, Toskes PP. Protein-losing enteropathy in the human and experimental rat blind loop
syndrome. Gastroenterology 1972;80:504-9.
20. King CE, Toskes PP. Small intestinal bacterial overgrowth. Gastroenterology 1979;76:1035-55.
21. Klinkhoff AV, Stein HB, Schlappner OL, Boyko WB. Postgastrectomy blind loop syndrome and
the arthritis-dermatitis syndrome. Arthritis Rheum 1985;28:214-7.
22. Konishi T, Takashi M, Ohta S. basic study on 5-(7-hydroxi-3-O-phosphonocholy) aminosalicylic
acid for the evaluation of microbial overgrowth. Biol Pharm Bull 1997;20:370-5.
23. Ladas S, Papanikos J, Arapakis G. Lactose malabsorption in Greek adults: correlation of small
bowel transit time with the severity of lactose intolerance. Gut 1982;23:968-73.
24. Launiala K. The effect of unabsorbed sucrose and mannitol on the small intestine flow rate and
mean transit time. Scand J Gastroenterol 1968;3:665-71.
25. Levitt MD, Hirsch P, Fetzer CA, Sheahan M, Levine AS. H2 excretion after ingestion of complex
carbohydrate. Gastroenterology 1987;92:383-9.
26. Lichtman SN. Bacterial overgrowth. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith
JA, Watkins JB. Pediatric Gastrointestinal Disease 3rd ed. Canada: BC Decker, 2000. pp569-82.
27. Lichtman SN, Keku J, Schwab JH, Sartor RB. Evidence for peptidoglycan absorption in rats with
experimental small bowel bacterial overgrowth 1991;59: 555-62.
28. Lifschitz CH, Schulman RJ. Nutritional therapy for infants with diarrhea. Nutr Rev 1990;48:329-
9
38. 2 01
29. Long SS, Swenson RM. Development of anaerobic fecal flora inarhealthy e t newborn infants. J
Pediatr 1977;91:298-301. 9 M
ro
30. Penny ME, Brown KH. Lactose feeding during persistent
G ast diarrhea. Acta Paediatr 1992; Suppl.
381:133-8. at
r ap ascites secondary to bacterial overgrowth. J
31. Raju GS, Rao SSC, Lu C. Pneumoperitoneum k and
Clin Gastroenterol 1997; 25:688-90. u ntu
o
str of secreted Bacteroides proteases on human intestinal
32. Riepe SP, Goldstein J, Alpers DH. aEffect
G
jar Invest 1980;66:314-22.
brush borders hydrolases. J Clin
A
33. Rings EHHM, Grand RJ, uBüller HA. Lactose intolerance and lactase deficiency in children. Curr
Buk
Opin Pediatrics 1994;6:562-7.
e
Fil CJ, Thomas DH, Duncombe VM, Bolin JD, Thomas MC. Luminal bacteria
34. Riordan Sm, McIver
and small-intestinal permeability. Scand J Gastroenterol 1997;32:556-63.
35. Sahi T. Genetics and epidemiology of adult-type hypolactasia. Scand J Gastroenterol
1994;29(Suppl 202):7-20.
36. Sahi T, LaunialaK, Laitinen H. Hypolactasia in a fixed cohort of young Finnish adult, a follow up
study. Scand J Gastroenterol 1983;18:865-70.
37. Scrimshaw NS, Murray EB. Prevalence of lactose maldigestion. Am J Clin Nutr 1988;48
Suppl:1086-98.
38. Stotzer P-O, Blomberg L, Conway PL, Henriksson A, Abrahamsson H. Probiotic treatment
of small intestinal bacterial overgrowth by Lactobacillus fermentum KLD. Scand J Infect Dis
1996;28:615-9.
39. Vesa TH, Marteau P, Korpela R. Lactose intolerance. J Am Coll Nutr 2000;19Suppl:165-75.

167
BAB

11
Alergi Makanan (Food Allergy)
Liek Djuprie & Pitono Soeparto

11.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak berusia 7 bulan dibawa ke poliklinik karena kulit badannya merah dan
gatal sejak 2 hari yang lalu. Dirumah anak juga diare dan muntah. Anak sering mengeluh
sakit perut pada malam hari, sakitnya agak lama, sakit sekali, tetapi hilang timbul. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan lesi kulit urtika di dada, leher, mulut, dan tungkai atas dan
bawah. Anak diare cair tanpa lendir dan darah. Beberapa hari terakhir anak minum susu
formula yang sebelumnya tidak pernah minum. Dari keluarga, diketahui bahwa ibunya
penderita asma, dan ayahnya sering gatal-gatal yang tidak jelas sebabnya.

11.2 Pendahuluan
Angka kejadian alergi terhadap makanan tampaknya semakin meningkat. Alergi makanan
dapat mengakibatkan terganggunya kualitas hidup dari penderita maupun keluarganya.
Alergi makanan juga sering menyebabkan dokter anak kerepotan dalam menentukan
diagnosis dan memberi penanganan.
Enam hingga delapan persen anak berusia kurang dari 3 tahun pernah mengalami
alergi makanan. Beberapa penelitian di masyarakat menunjukkan bahwa prevalensi alergi
susu sapi terjadi pada 1,9 % sampai 3,9 % anak kecil, alergi telur terjadi pada 2,6 % hingga
anak berusia 2,5 tahun, kacang-kacangan pada 0,4% - 0,6% pada anak usia kurang dari 18
tahun.

11.3 Definisi
Alergi makanan didefinisikan sebagai suatu reaksi terhadap protein makanan yang
merugikan, yang disebabkan oleh suatu hipersensitivitas imun, yaitu suatu interaksi antara
sedikitnya satu protein makanan dengan satu atau lebih mekanisme imun, tidak terbatas
hanya pada IgE.
Sebenarnya reaksi merugikan terhadap makanan merupakan suatu istilah umum yang
dipakai untuk menggambarkan suatu respons klinis abnormal sesudah makan makanan atau
bahan-bahan tambahannya. Dengan demikian reaksi merugikan terhadap makanan dapat

168
Buku Ajar Gastrohepatologi

ditimbulkan dari suatu alergi atau idiosinkrasi atau suatu respons metabolik, farmakologis
atau toksik terhadap protein makanan, bahan tambahannya atau kontaminan makanan.
Reaksi yang merugikan terhadap makanan dapat berupa reaksi toksik atau nontoksik.
Reaksi toksik tidak berhubungan dengan sensitivitas individual tetapi dapat terjadi pada
semua orang yang makan dalam jumlah yang cukup makanan yang mengandung pewarna,
atau pada keracunan makanan yang mengandung toksin bakteri. Sebaliknya, kejadian
reaksi nontoksik terhadap makanan tergantung dari kerentanan perorangan dan dapat
terjadi dengan perantaraan imun (yaitu alergi atau hipersensitivitas makanan) atau tanpa
perantaraan imun (yaitu intoleransi makanan). Alergi makanan biasanya diperantarai
antibodi IgE yang tertuju pada protein makanan spesifik, akan tetapi mekanisme imunologis
lain terutama pada usus dapat pula berperan.

11.4 Epidemiologi
Akhir-akhir ini survei epidemiologi menunjukkan kenyataan adanya kenaikan fenomena
alergi yang cepat. Di negara berkembang, fenomena ini merupakan penyakit kronis yang
paling sering dijumpai dan mencapai sekitar 15% dan 30% dari seluruh populasi. Pada
9
bayi dan anak kecil, prevalensi alergi makanan diperkirakan terjadi sekitar 2 01 2%-3%. Faktor-
t
faktor yang mempengaruhi prevalensi alergi makanan pada berbagai
Mare populasi memberikan
perhatian mengenai dasar genetik dan lingkungan dari kenaikan 9 penyakit atopik pada anak.
ro
Di Asia Tenggara terdapat variasi yang sangat tinggiGmengenai ast budaya, ras dan makanan
yang mungkin dapat berpengaruh terhadap prevalensi p at alergi makanan. Di Australia, telur
a
(3,2%), susu sapi (2%), dan kacang tanah (1,9%) tu k r merupakan alergen makanan yang paling
n
sering dijumpai pada anak hingga berusia tro u 2 tahun. Di Asia, prevalensi alergi makanan tidak
as umum bahwa alergi nasi tidak umum dijumpai;
banyak diketahui. Terdapat pandangan
j arG
kuA
sebaliknya alergi terhadap kerang-kerangan lebih sering dijumpai di Filipina dan Singapura
yang merupakan bagian u
e B dari makanan sejak bayi usia dini. Berbeda dengan insidensi
Fil
hipersensitivitas terhadap kacang tanah di Malysia, Jepang, dan Filipina yang rendah, di
Indonesia dan Australia insidensi alergi terhadap bahan makanan tersebut relatif tinggi.. Di
Amerika Serikat, hingga sepertiga rumah tangga menyatakan bahwa salah satu keluarganya
pernah mengalami reaksi makanan yang merugikan, tetapi prevalensinya pada anak-anak
hanya 6%-8%.
Sejumlah gangguan hipersensitivitas pada anak telah dikemukakan, termasuk sindrom
alergi oral, anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE), enterokolitis karena protein
makanan, sindroma malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif terhadap
protein susu sapi), gastro-enteropati eosinofilik alergik, kolik, refluks gastroesofageal. Di
Skandinavia dengan kriteria ketat didapatkan prevalensi alergi susu sapi sebesar 1.9 %,
sedangkan Hill (1999) melaporkan adanya insidens alergi susu sapi sebesar 2-7.5 % pada
kurun usia bayi sampai 1 tahun. Di Surabaya kejadian enteropati sensitif protein susu sapi
(cow’s milk protein sensitive enteropathy = CMPSE) pada penderita yang menunjukkan diare
kronik dilaporkan sebesar 72.9 %.
Diagnosa CMPSE di Surabaya dilakukan dengan tantangan susu (milk challenge) dan
ditegakkan dengan biopsi usus.

169
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)

11.5 Perjalanan Alami


Perjalanan alami dari alergi makanan pada anak kecil baik yang diperantarai IgE maupun
yang tanpa diperantarai IgE menunjukkan adanya toleransi yang timbul sejalan dengan
perjalanan waktu .
Kebanyakan anak akan terbebas dari alergi terhadap susu, telor, terigu dan kedelai
dan hal ini biasanya berhubungan dengan resolusi atau kemajuan dari penyakitnya. Sekitar
1-3 tahun dengan diet eliminasi yang ketat diperkirakan dapat memperpendek waktu
kesembuhan. Namun, pasien-pasien yang alergi terhadap kacang tanah, kacang pohon,
ikan dan kerang memiliki kemungkinan yang lebih banyak untuk tidak dapat terbebas dari
reaktivitas klinis dan sensitivitas hingga usia dewasa .
Peningkatan kadar IgE spesifik makanan dapat merupakan suatu indikasi berkurangnya
kemungkinan terjadi toleransi dalam tahun-tahun berikutnya dari usia anak.

11.6 Klinis
Reaksi yang merugikan terhadap makanan dapat merupakan masalah, 9 terutama pada bayi
dan anak, serta dapat memberikan spektrum yang luas dari reaksi-reaksi2 01 klinis seperti
et
gejala pada kulit, gastrointestinal, serta gejala lainnya. Mar
9
Kompleks gejala alergi makanan yang umum sdari tro dermatitis atopik, kolik, refluks
Ga oleh reaksi terhadap makanan yang
at
esofageal dengan esofagitis pada bayi dapat disebabkan
p
a
merugikan baik secara langsung atau melalui
tu k rsusu ibu. Adanya hipotesa bahwa terdapat suatu
n
periode intoleransi protein makanan dimana hal ini merupakan bagian dari perkembangan
trou
s
anak normal yaitu suatu periodeauntuk mendapatkan toleransi imunologis terhadap protein
rG
makanan. Selama periode japerkiraan intoleransi protein makanan ini, bayi dapat tidak
A
ku menujukkan gejala sementara yang ringan atau bahkan gejala
menunjukkan gejala uatau
eB
yang berat yangilmemerlukan diagnosis dan penanganan dietetik yang berkepanjangan.
F
Konsep-konsep ini ditunjang oleh observasi-observasi yang menunjukkan adanya
sensitisasi IgE yang bersifat sementara terhadap makanan pada bayi yang asimptomatik;
adanya intoleransi terhadap protein makanan yang bersifat sementara pada bayi dengan
kolik yang seringkali menghilang dalam 3 bulan usia bayi; adanya kenyataan bahwa alergi
terhadap susu sapi pada umumnya membaik dalam waktu 2 bulan usia bayi; dan adanya
fakta bahwa intoleransi pada beberapa protein makanan membutuhkan dukungan nutrisi
yang berkepanjangan.
Pada bayi-bayi muda, kulit dan saluran gastrointestinal merupakan organ target yang
paling umum terkena, sedangkan gejala-gejala respiratorik sangat jarang tampak.
Spectrum hipersensitivitas makanan:
• Gejala-gejala kulit meliputi:
−− Pruritus
−− Urtikaria
−− Eksema
• Gejala-gejala gastrointestinal meliputi:
−− Sindrom alergi oral

170
Buku Ajar Gastrohepatologi

−−
Anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE)
−−
Enterokolitis karena protein makanan
−−
Kolitis karena makanan
−−
Sindrom malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif protein susu
sapi/ cow’s milk protein sensitive enteropathy).
−− Gastroenteropati eosinofilik alergik
−− Kolik pada bayi
−− Refluks gastrousofageal
• Gejala-gejala respiratorik
−− Asma
−− Rinitis alergika

Sicherer (1999) membagi penyakit alergi makanan dalam gangguan yang diperantarai
IgE dan yang tidak diperantarai IgE sebagai berikut (lihat Tabel 11.6.1):

Tabel 11.6.1. Alergi makanan : organ target dan gangguannya (Sicherer, 1999)
Organ
Dengan perantara IgE Tanpa perantara IgE
Target
19
Urtikaria dan angioedema Dermatitis atopik t 20
Kulit
Dermatitis atopik are
Dermatitis herpetiformis
9M
ro
ast
Proktokolitis
Sindrom alergi oral GEnterokolitis
at
Gastrointestinal “Anafilaksis” gastrointestinal
r ap Gastroenteritis eosinofilik alergik
Gastroenteritis eosinofilik alergik uk Sindrom enteropatia
t
un Penyakit Celiac
stro
Asma Ga
Rinitis alergik jar
Respiratorik Sindrom Heiner
A
u ku yang dipicu makanan
Anafilaksis
eB
Multisistem
Fil Anafilaksis yang berhubungan dg. makanan,
anafilaksis yang dipicu “exercise”
Sumber: Sicherer, 1999.

Pembagian sindrom utama alergi susu sapi menurut Hill (1992) antara lain:
1. Penderita-penderita dengan kemungkinan besar menderita alergi susu sapi (cow’s milk
allergy : CMA).
- Reaksi tipe anafilaktik
- Reaksi tipe gastrointestinal akut
2. Penderita-penderita dengan kemungkinan sedang (moderat) menderita CMA :
- Ekzema kronik pada bayi
- Kolik infantil
- Diare kronik (Enteropati sensitif terhadap protein susu sapi = cow’s milk protein
sensitive enteropathy : CMPSE)
- Sembab (gastroenteropati eosinofilik : eosinophilic gastroenteropathy)
- Diare berdarah (kolitis karena makanan = food induced colitis)
3. Penderita-penderita dengan kemungkinan kecil menderita CMA

171
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)

- Rinitis kronik
- Otitis media berulang
- Batuk berulang termasuk asma
Kompleksnya sistem imun gastrointestinal dan adanya fakta bahwa saluran
gastrointestinal merupakan tempat pertama yang menghadapi sejumlah besar alergen
makanan, sehingga tidaklah mengherankan apabila berbagai ragam gangguan
hipersensitivitas gastrointestinal dapat timbul.
Atas dasar ini Workshop on the Classification of Gastrointestinal Disease of Infants and
Children Nopember 1988 membagi hipersensitivitas gastrointestinal menjadi:
a. Eksklusif dengan perantara IgE
b. Sebagian dengan perantara IgE
c. Eksklusif dengan perantara sel
Tanpa memandang mekanisme imunologi yang terkait, gejala hipersensitivitas GI
biasanya mirip sifatnya satu dengan lainnya, akan tetapi berbeda dalam waktu awal penyakit,
berat serta persistensinya.

IgE Non-IgE
9
2 01
- Hipersensitivitas - Esofagitis eosinofilik t
- Enterokolitisreprotein makanan
GI. Seketika Alergik 9 Ma
o protein makanan
- r Proktitis
ast
- Sindrom alergi oral - Gastritis eosinofilik
Alergik t G
pa
- Gastroenteritis eosinofilik - Enteropati proteinamakanan
r
Alergik tuk
n
t rou
as
j ar G 11.6.1. Gangguan hipersensitivitas GI
Gambar
A Sumber: Sampson, 1999.
u ku
eB
Fil
Dengan perantara IgE
Reaksi tipe anafilaktik
Anafilaksis merujuk pada reaksi multi organ yang dramatik yang berhubungan dengan
hipersensitivitas yang diperantarai IgE. Makanan yang utama penyebab anafilaksis adalah
kacang tanah, kacang pohon (mente) dan kerang-kerangan.
Anafilaksis akibat makanan yang dipacu latihan (exercise) timbul dalam dua bentuk
(1) anafilaksis timbul bila latihan dilakukan menyusul pemberian makanan tertentu yang
sensitivitasnya diketahui diperantarai IgE atau (2) yang lebih jarang adalah yang terjadi
sesudah makan sembarang makanan. Makanan-makanan yang terlibat bersama dengan
latihan atau latihan tanpa makanan makanan tidak menimbulkan gejala.
Reaksi timbul cepat dalam hitungan menit namun dapat juga terjadi hingga 1 jam
setelah meminum susu. Gejala syok anafilaktik dapat timbul apabila jumlah susu yang
diminum besar, sedangkan susu dalam jumlah kecil memberikan gejala urtikaria perioral,
urtikaria umum, angioedema, eksem berulang, rinore, nafas bunyi, stridor, batuk dan

172
Buku Ajar Gastrohepatologi

muntah. Kebanyakan penderita menunjukkan hasil tes tusuk kulit (skinprick test) yang
positif kuat terhadap ekstrak susu sapi

Sindrom alergi oral (oral allergy syndrome : OAS)


Dalam dekade terakhir prevalensi dari OAS makin meningkat, hal ini mungkin disebabkan
karena bertambahnya kewaspadaan akan adanya penyakit ini. OAS merupakan bentuk
alergi kontak, alergi yang terbatas pada orofarings dan jarang mengenai organ target
lainnya. Aktivasi dari sel mast yang diperantarai IgE lokal memicu permulaan yang cepat
dari pruritus, rasa pedih, dan angioedema dari bibir. lidah, dan tenggorok; terkadang
muncul rasa gatal ditelinga, tenggorok sehingga seakan tercekik, atau keduanya. Gejala
tersebut biasanya bersifat sementara dan pada umumnya berhubungan dengan memakan
berbagai buah segar dan sayur-sayuran. Pasien alergi terhadap “Ragweed” (sejenis buah)
dapat mengalami OAS sesudah kontak dengan berbagai jenis semangka segar dan pisang.

Dengan perantara campuran IgE dan non IgE


Yang termsuk dalam kelompok ini adalah:
• Esofagitis eosinofilik 9
2 01
• Gastritis eosmofilik re t
• Gastroenteritis eosinofilik 9 Ma
Gambaran hipersensitivitas ini ditandai dengan tro
asinfiltrasi eosinofilik dari dinding
G
esofagus, lambung, usus dengan eosinofil, hiperplasiap at zona basal, perpanjangan papiler,
ra
kpada
tidak adanya vaskulitis, dan eosinofilia perifer
tu 50% dari pasien.
o un
Infiltrasi eosinofil dapat mengenai r
st lapisan mukosa, otot dan serosa dari lambung
r Ga
dan usus kecil. Gejala klinis berkorelasi dengan luasnya infiltrasi dinding usus. Infiltrasi
Aja
eosinofilik dari lapisan otot
u ku dapat menyebabkan penebalan dan kekakuan dinding usus
e B
yang memicu gejala lobstruksi, sedangkan infiltrasi daerah serosa menyebabkan asites yang
Fi Walaupun demikian imunopatogenesis yang mendasari penyakit
mengandung eosinofil.
ini tetap tidak diketahui dengan jelas

Esofagitis eosinofilik alergik


Esofagitis eosinofilik alergik didapatkan paling sering selama masa bayi hingga masa
remaja dalam bentuk refluks kronik (refluks gastroesofageal), emesis intermiten, penolakan
makanan, nyeri abdomen, disfagia, iritabilitas, gangguan tidur, dan tidak responsif terhadap
pengobatan refluks konvensional. Formula susu terutama soya dan juga susu sapi dikatakan
banyak terlibat dalam kejadian refluks gastrointestinal.

Refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux: GER) menggambarkan keluarnya secara


involunter isi gaster diatas sfingter esofagus bawah. Refluks gastroesofageal merupakan
keadaan yang biasa pada usia bayi dan dikatakan patologis apabila hal tersebut menyebabkan
esofagitis, gagal tumbuh atau gejala respiratori (GERD: gastroesophageal reflux disease).
Kebanyakan gejala akan menghilang pada saat usia bayi 12 – 18 bulan. Tangisan yang tidak
henti-hentinya pada bayi sering terjadi, dan karena banyaknya prevalensi regurgitasi pada

173
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)

bayi-bayi muda, sering dihubungkan dengan GER dan esofagitis. Namun hal ini kemudian
ternyata lebih merupakan asosiasi dari pada hubungan kausal antara tangisan persisten
(distres yang persisten) dan GER.
GER secara tradisional dipandang sebagai gangguan motilitas primer. Namun akhir-
akhir ini, suatu bentuk sekunder karena intoleransi terhadap protein makanan telah pula
dikemukakan kedua bentuk ini seringkali sulit dibedakan pada anak kecil karena tumpang
tindih secara klinis.
Esofagitis secara histologi ditandai oleh hiperplasia basal, perpanjangan dari papila
dan terdapatnya suatu campuran infiltrat keradangan dari neutrofil dan eosinofil. Umumnya
diperkirakan bahwa esofagitis merupakan efek langsung dari jejas peptik karena paparan
asam yang berkepanjangan pada usofagus distal. Eosinofil esofageal telah digunakan sebagai
tanda spesifik dari esofagitis refluks.

Kolik infantil terdiri dari paroksisma tangisan atau kerewelan tanpa sebab yang jelas yang
terjadi pada 15-40% bayi berusia 4 bulan pertama. Kolik yang berhubungan dengan muntah
dikatakan mempunyai kaitan dengan refluks gastroesofageal (GER). Hal ini diperkirakan
primer penyebabnya karena suatu gangguan motilitas, namun akhir-akhir ini dikemukakan
suatu bentuk sekunder yang disebabkan karena intoleransi protein 1makanan. 9 Periode dari
2 0
intoleransi protein makanan merupakan suatu bagian dari perkembangan
re t normal sistem
imun karena pada periode ini bayi dan anak kecil banyak M a
9 menghadapi protein makanan
yang umum dikonsumsi bayi dan anak kecil. stro
Ga
p at
Terdapat pendapat bahwa kolik infantil berhubungan baik dengan interaksi (perilaku)
a
orang tua–anak yang terganggu maupuntudengan kr reaksi hipersensitivitas protein makanan
(alergi) dengan kemungkinan salahrosatu un atau keduanya dapat manifes pada seseorang anak
st
yang mempunyai predisposisiGagangguan motilitas usus. Dikemukakan hipotesa bahwa
j ar
pada bayi dengan kolik terdapat
A intoleransi terhadap protein makanan yang transien yang
u
uk
mempunyai asosiasiBdengan gangguan motilitas usus primer pada minggu-minggu pertama
i l e
F ini dapat menimbulkan distres yang kemudian menetap, suatu hasil dari
usia bayi dan hal
pola perilaku dan gangguan sekunder dalam interaksi orang tua-bayi.

Gastritis eosinofilik alergik


Gastritis eosinofilik alergik terdapat juga lebih banyak sepanjang masa bayi sampai remaja.
Biasanya menunjukkan gejala-gejala muntah sesudah makan, nyeri abdomen, anoreksia,
perut rasa penuh, hematemesis, gagal tumbuh dan obstruksi jalan keluar lambung (jarang
stenosis pilorik).

Gastroenteritis eosinofilik alergik


Gastroenteritis eosinofilik alergik dapat terjadi pada setiap usia dan muncul dengan
gejala sama seperti esofagitis, gastritis atau keduanya. Gejala yang paling mencolok
adalah berkurangnya berat badan dan gagal tumbuh. Hingga 50% dari pasien adalah
atopik dan pada sebagian kecil pasien diperkirakan karena reaksi yang diperantarai IgE
yang dipicu makanan. Yang mencolok pada penyakit ini adalah gejala enteropati dengan
kehilangan protein (protein losing enteropathy) terlihat dengan adanya sembab perifer,

174
Buku Ajar Gastrohepatologi

asites, malabsorpsi, dan anemia kekurangan besi karena kehilangan darah melalui usus,
dan terkadang hanya disertai gejala gastrointestinal lainnya yang minimal (muntah, diare).
Timbulnya penyakit ini biasanya lambat, biasanya terdapat riwayat atopi dalam keluarga
dan tidak responsif terhadap eliminasi diet. Kemungkinan adanya alergen ganda (multiple
allergens) termasuk inhalans berperan dalam gangguan ini.

Gangguan hipersensitivitas dengan perantara non – IgE.


Enterokolitis protein makanan
Merupakan gangguan hipersensitivitas yang paling sering terjadi pada bayi usia beberapa
bulan dengan gejala yang berupa iritabilitas, muntah yang masif serta diare yang tak jarang
menyebabkan dehidrasi. Muntah biasanya terjadi 1–3 jam sesudah makan. Pada paparan
yang terus menerus dapat menyebabkan diare berdarah, anemia, distensi abdomen dan
gagal tumbuh.
Rektosigmoidoskopi pada kolitis menunjukkan eritema dan aftae pada mukosa sedang
secara histologis tampak adanya infiltrasi eosinofilik dan ulserasi fokal. Kebanyakan dari
gangguan ini disebabkan karena susu sapi (milk induced colitis), sebagian kecil mungkin
oleh antigen yang terkandung ASI (breast milk induced benign proctitis) 9 ataupun oleh
protein soya. Tinja sering mengandung darah yang samar, neutrofil 2 01 polimorfonuklear
t
are test) biasanya negatif.
dan eosinofil serta kristal charcot-Leyden. Uji tusuk kulit (skinMprick
9 dan peningkatan limfosit,
ro
Spesimen biopsi jejunum menunjukkan vili yang datar, ssembab,
t
eosinofil dan sel mast. Sel-sel mast yang mengandung Ga IgM dan IgA didapatkan dalam
p at
a
jumlah yang meningkat. Walaupun mekanisme
tu k r imunopatogenik masih perlu diteliti, studi
terbaru menunjukkan adanya sekresi dari n TNF-a dan sel-sel mononuklear lokal yang
trou
berperan dalam diare sekretori danahipotensi.
s
G
Ajar
u
uk
Proktitis protein makanan
B
e
Gangguan ini khasFilterlihat pada beberapa bulan setelah kelahiran berupa tinja dengan
bercak darah pada bayi-bayi yang tampak sehat. Sekitar 60% dari kasus adalah bayi yang
mendapatkan ASI, sedangkan selebihnya adalah bayi yang mendapatkan susu sapi atau
formula soya. Kehilangan darah bersifat sedang akan tetapi kadang dapat menimbulkan
anemi. Hipoalbuminemia dan eosinofilia perifer jarang terjadi.

Enteropati protein makanan


Gangguan ini sering terlihat pada bayi usia beberapa bulan setelah lahir dengan gejala diare
(tidak jarang steatorea), kenaikan berat badan yang kurang memuaskan, distensi abdomen
dan malabsorpsi, terkadang juga ditemukan anemia, sembab dan hipoproteinemia.
Enteropati sensitif protein susu sapi merupakan penyebab utama sindroma ini, walaupun
terdapat pula asosiasi dengan soya, telor, gandum, nasi, ayam dan ikan pada anak yang lebih
besar. Pada biopsi usus tampak atrofi vilus yang tidak merata disertai infiltrat seluler yang
khas untuk gangguan ini. Pada enteropati susu sapi, didapatkan IgA dan IgG serum yang
meningkat.

175
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)

Prototipe dari intoleransi makanan yang bersifat sementara adalah enteropati sensitif
terhadap protein susu sapi (cow’s milk sensitive enteropathy = CMPSE, cow’s milk induced
enteropathy) yang biasanya menghilang sesudah anak berusia 2–3 tahun. Reaksi ini
biasanya tidak bersifat seketika. Terdapat pula kasus-kasus alergi susu sapi dengan disertai
malabsorpsi tetapi tanpa adanya enteropati. Hal ini menyebabkan bahwa diagnosa dengan
cara biopsi saja tidaklah cukup. Didapatkannya enteropati yang tidak merata pada biopsi
usus belumlah merupakan tanda patognomonik untuk menjelaskan etiologinya. Peran
gastroenteritis akut sebagai predisposisi terjadinya alergi susu sapi belum jelas. Defisiensi
disakaridase sekunder pada alergi susu sapi dapat disebabkan karena kerusakan vilimikro
pada permukaan enterosit. Enteropati yang terjadi pada alergi susu sapi bersifat transien
dan reversibel sesudah eliminasi susu sapi.

Tabel 11.6.2. CMPSE di Surabaya


Usia (bl) 0–6 7 – 12 > 13 Jumlah
CMPSE (-) 5 3 2 10
CMPSE (+) 13 13 1 27
(72,9%)
Sumber: Soeparto, 1981.
9
2 01
Penyakit celiac aret
9M
Merupakan enteropati protein makanan dengan ciri rokhas lebih luasnya kerusakan vili
absorptif dan hiperplasia kripta yang menimbulkan G ast malabsorpsi, diare kronik, steatore,
at
distensi abdomen, flatulens, dan penurunan r apberat badan atau kegagalan tumbuh. Tidak
tukdan gejala ekstrapiramidal lain sekunder karena
jarang dapat juga diketemukan ulserasiunoral
ro
ast celiac sensitif terhadap gliadin, suatu bagian yang larut
malabsorpsi. Pasien dengan penyakit
G
Ajar
alkohol dari gluten yang didapatkan a.l pada gandum, “oat” , “rye” dan “barley”. Penyakit
celiac berhubungan dengan
k u HLA – DQ2 (dan DQ8) haplotype, dan sekitar 90% dari pasien
Bu mempunyai antibodi IgA anti gliadin dan antiendomisium. Pada
yang mengingestiilegliadin
F
biopsi terlihat adanya atrofi vilus total dan infiltrat seluler yang ekstensif. Prevalensi dan
penyakit celiac diperkirakan antara 1:3700 dan 1:300. Di Indonesia kejadian penyakit celiac
belum pernah dilaporkan.
Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa penyakit celiac dapat beragam mulai dari
sindroma malabsorpsi yang berat sampai yang tidak tampak (subklinis). Ingesti biji-bijian
yang mengandung gluten secara terus menerus mempunyai hubungan dengan peningkatan
risiko terjadinya keganasan, terutama limfoma sel T. Studi histopatologi menunjukkan
bahwa limfosit–limfosit, sebagian besar CD8+ fenotipe sitotoksik /supresor banyak berada
dalam ruang intra epitelial, dan sel-sel Tγ/s meningkat dalam mukosa jejunum dan darah
perifer. Penemuan terakhir lain mengemukakan bahwa penyakit celiac berhubungan
dengan kenaikan aktivitas mukosal dari transglutaminase jaringan (tTGase) terhadap
protein spesifik yang terikat glutamin.

Konstipasi kronis
Konstipasi kronis terdapat pada 68% dari penderita anak yang mengalami hipersensitivitas
terhadap susu sapi.

176
Buku Ajar Gastrohepatologi

Konstipasi kronik merupakan suatu gejala yang diberi batasan dari segi kesulitan
selama defekasi, interval-interval yang panjang antar buang air besar (BAB), penampang
dan kekerasan tinja. Gejala ditandai dengan gerakan BAB yang nyeri atau mengejan saat
BAB, tinja yang keras, frekuensi BAB kurang dari 3x/minggu selama paling kurang 30 hari,
dengan atau tanpa “soiling”.
Konstipasi adalah salah satu gejala dari intoleransi susu sapi. Uji-uji imunologik
menunjukkan bahwa konstipasi merupakan manifestasi dari alergi susu sapi yang sering
terjadi dengan peranataraan IgE. Selain itu karena tingginya frekuensi fisura berat pada
anak yang timbul kembali setelah pemberian susu sapi dan sebelum permulaan konstipasi,
maka hipotesisnya adalah bahwa nyeri selama BAB dapat menyebabkan retensi, tinja
didalam rektum sehingga memperberat konstipasi.

Penyakit usus beradang (Inflammatory bowel disease = IBD)


Peran hipertensitivitas terhadap makanan dalam IBD (penyakit Crohn dan colitis ulserosa)
tetap spekulatif, walaupun diet elemental menunjukkan kemajuan dalam resolusi dari
gejala yang ada.

9
Reaksi tipe gastrointestinal akut 2 01
re t
Gejala-gejala meliputi pucat, kolik, nyeri abdomen dan muntah 9 Madisusul dengan diare serta
ro susu sapi dalam jumlah yang
terkadang kolaps yang terjadi beberapa jam sesudah minum
G ast
cukup besar (30–240 ml). Gejala muntah didahului at oleh tingkah anak yang rewel dan
mudah terangsang. Gejala timbul dengan lambat, r ap diare berlangsung beberapa jam tanpa
k
muntah. Pada bayi-bayi muda, muntah tidak u ntu selalu terjadi segera, dan pada beberapa bayi
tro
diantaranya, muntah pada awalnyaasberupa muntah yang intermiten serta disertai gejala
G
kegagalan pertumbuhan. Padajaranak-anak dengan dermatitis atopik dan alergi makanan,
A
ingesti alergen makanan u kumemicu desensitisasi parsial dari sel-sel mast, menimbulkan
eB
Fil umumnya anak-anak ini pertama kali terlihat mempunyai keluhan
reaksi subklinis. Pada
anoreksi. Kenaikan berat badan yang kurang ideal, dan nyeri abdomen yang berulang,
namun integritas dinding usus menunjukkan adanya malabsorpsi. Kebanyakan penderita
menunjukkan uji kulit negatif terhadap ekstrak susu dan secara serologis tidak menunjukkan
hipersensitivitas IgE terhadap susu sapi. Penderita-penderita dengan gejala yang timbul
lambat biasanya pada pemberian susu yang berulang-ulang akan menimbulkan episoda-
episoda gastroenteritis atau intoleransi laktosa yang berulang.

11.7 Diagnosis
Diagnosis alergi makanan berdasarkan:
• Riwayat medis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan laboratoris
• Eliminasi diet
• Tantangan makanan oral
• Uji diagnostik lain

177
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)

Evaluasi awal dimulai dengan anamnesis riwayat medis dan pemeriksaan fisis yang
mendalam, pertimbangan diagnosis banding, termasuk gangguan metabolik, abnormalitas
anatomik, keganasan, insufisiensi pankreatik, reaksi merugikan terhadap makanan yang
non-imunologik dan gangguan-gangguan lainnya yang dapat memberikan gejala yang
serupa. Reaksi alergik terhadap bahan-bahan selain makanan (mis. bulu binatang, jamur,
debu) harus pula dipertimbangkan.

Riwayat medis
Riwayat medis dari alergi makanan kebanyakan adalah bertumpu pada daya ingat pasien
mengenai peristiwa-peristiwa disekitar timbulnya gejala dan pada umumnya sangat
subyektif. Hanya sekitar 40% dari riwayat medis yang didapatkan dari pasien/orang tua
pasien dapat diklarifikasi. Konsekuensinya adalah bahwa dokter harus membedakan antara
gangguan yang disebabkan hipersensitivitas makanan dengan etiologi lain seperti tertera
pada tabel 11.7.1.

Tabel 11.7.1. Bahan-bahan / keadaan yang dapat memberikan gejala mirip gangguan hipersensitivitas makanan.
1. Gastrointestinal : muntah dan atau diare
9
01
• Abdormalitas struktural (mis. Hernia heatal, Stenosis pilorik)
• Defisiensi ensim : primer vs sekunder (mis. Laktase, galaktosemia dsb.) t 2
re
• Keganasan
9 Ma
• Lain-lain (mis. Fibrosis kistik, tukak peptic)
ro
2. Kontaminasi dan bahan tambahan
G ast
• Bahan penyedap dan pengawet at
r ap
• Bahan warna k
• Toksin u ntu
ro
at
• Bahan yang berhubungan dengan ikanslaut
• Organisme infeksi G
• Antigen jamur A jar
u
• Kontaminan asidental
B uk(logam berat , pestisida, antibiotik)
e
Fil
3. Bahan-bahan farmakologik
• Kofein (kopi, “soft drink”)
• Theobromin (coklat, teh)
• Histamin (ikan)
• Triptamina (format)
• Serotonin (tomat, banana)
• Tiramin (keju)
• Alkaloid glikosidal (kentang)
• Alkohol
4. Reaksi psikologik
Sumber: Sampson, 1999.

Dapat dikatakan bahwa setiap protein makanan mampu menyebabkan suatu reaksi;
namun, hanya sejumlah kecil dari makanan terkait dengan 90% lebih reaksi makanan yang
merugikan,serta sebagian besar pasien sensitif terhadap kurang dari 3 makanan. Pada anak-
anak, makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi adalah telor, susu, kacang tanah,
soya, terigu, kacang-kacangan pohon, ikan dan kerang.
Tanda dan gejala dari reaksi alergik makanan yang berhubungan dengan berbagai
organ target dapat dilihat dalam tabel:

178
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 11.7.2. Tanda & gejala rekasi alergik makanan dalam berbagai organ target
Kulit :
• Urtikaria/angioedema
• Kemerahan
• Bercak pruritis eritematus
• Dermatitis atopik
Gastrointestinal :
• Pruritus dengan/atau pembengkakan bibir, lidah atau mukosa oral
• Mual
• Nyeri abdomen atau kolik
• Muntah atau refluks
• Diare
Respiratorik :
• Hidung tersumbat
• Rinore
• Bersin
• Sembab larings, disfonia
• Nafas bunyi/batuk beruntun
Kardiovaskuler :
• Hipotensi/renjatan
• Pusing
Lain-lain :
9
• Nyeri punggung 201
Sumber: Sampson, 1999. aret
9M
Hal yang perlu diperhatikan adalah: ro
G ast
• Saat terjadi reaksi at
ap
• Makanan yang dicurigai sebagai penyebabk rreaksi
tu
−− Jenis makanan
o un
r
G ast
−− Kurun waktu antara makan-makanan yang dicurigai dan timbulnya gejala
−− Apakah makan makanan r
ja yang dicurigai memberikan gejala yang sama pada waktu
lain. kuA
u
l eB
−− Apakah faktor-faktor
i lain (latihan, alkohol) diperlukan dalam mencetuskan gejala
F
−− Lama waktu sejak terjadinya reaksi terakhir terhadap makanan pada gangguan yang
kronik yang dipicu alergi makanan, riwayat medis mempunyai ketepatan prediksi
yang lemah, berbeda dengan gangguan yang bersifat akut.

Pemeriksaan fisik
Selama pemeriksaan fisis perhatian diarahkan ke sistem kulit, gastrointestinal dan
respiratorik dan kearah deteksi adanya gambaran atopi yang umum didapatkan pada pasien
yang mengalami reaksi-reaksi yang diperantarai IgE. Status gizi umum dari pasien dan
setiap tanda fisis dari gangguan non alergik yang mendasarinya perlu dicatat.

Pemeriksaan laboratorium
Selama riwayat medis dan pemeriksaan fisik, perlu ditentukan apakah temuan-temuan
pada pasien merupakan implikasi alergi makanan. Apakah mekanisme yang diperantarai
IgE ataukah yang tidak diperantarai IgE yang paling mungkin terlibat. Sejumlah penelitian
laboratorium mungkin berguna dalam menentukan makanan spesifik yang terkait

179
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)

dengan reaksi yang diperantarai IgE akan tetapi terbatas nilainya dalam reaksi yang tidak
diperantarai IgE.

Uji kulit (skin test)


Apabila dicurigai adanya reaksi dengan perantara IgE, maka uji tusuk kulit (prick/puncture
skin test = PST) dan RAST merupakan metode yang berguna untuk menetapkan apakah
pasien mempunyai antibodi IgE terhadap sesuatu makanan yang spesifik. Uji-uji ini dapat
menunjukkan adanya IgE alergen-spesifik, tetapi tidak dapat menetapkan diagnosis dari
alergi makanan klinis .

Uji serologi
Karena banyaknya mekanisme imun yang terlibat dalam patogenesis alergi, berbagai
uji imunologis yang berbeda sering digunakan dalam mengindentifikasi reaksi alergik
walaupun hanya sebagian kecil saja dari uji ini yang benar-benar dapat dipakai dalam
menunjang diagnosis alergi.

Uji RAST
19
RAST dan esai in vitro yang serupa, termasuk ELISA untuk mendeteksi 20 antibodi IgE spesifik
a ret
makanan dapat dipakai pula untuk menapis (screen) pasien-pasien yang dicurigai menderita
o 9M
alergi makanan dengan perantara IgE. Uji-uji ini pada r umumnya dianggap kurang sensitif
G ast
dibandingkan uji klinis, tetapi suatu studi menunjukkan
at bahwa RAST mempunyai kesamaan
r ap
sensitivitas dan spesivisitas dengan uji kulitkapabila mencapai skor 3 atau lebih.
Dalam penapisan awal untuk alergi makanan ntu yang diperantarai IgE, sering dilakukan penapisan
ou
(skrining) sensitivitas makanan yanga str dicurigai dan kemudian diperoleh tingkat IgE spesifik
G
makanan untuk menentukan
A jar kecenderungan reaktivitas kliniknya. Tingginya antibodi IgE
u
uk angka rujukan untuk memonitor sensitivitas spesifiknya.
awal dapat dipakai sebagai
B
e
Fil
RIFT (Red Cell Immunosorbent Fluorescent Technique)
Antibodi IgG serum spesifik terhadap suatu antigen makanan yang sering ditemukan
lebih merupakan indikasi dari adanya suatu paparan dibandingkan sensitisasi. Dengan
cara semikuantitatif untuk IgG susu sapi (ELISA atau RIFT dapat dibedakan antara
penderita-penderita dengan CMA dengan yang sehat. Uji ini terutama berguna bagi reaksi
alergi pertengahan (intermediate) dan lambat (late reactors) dan tidak berguna reaksi bagi
cepat (immediate reaction). Pada penderita-penderita ini terdapat kecenderungan untuk
terjadinya reaksi gastrointestinal.

Pemeriksaan kompleks imun dalam sirkulasi (Circulating immune complex),


pengikatan Clq (Clq binding).
Kompleks imun yang mengandung antigen makanan dan antibodi yang beredar dalam
serum telah diteliti dalam penggunaannya untuk diagnosis alergi makanan. Walaupun
terdapat berbagai macam cara pemeriksaan (RIA dengan dimodifikasi, Clq binding),
namun hasil yang didapatkan cukup memberi harapan terutama dalam mengidentifikasi

180
Buku Ajar Gastrohepatologi

mekanisme hipersensitivitas tipe III. Akan tetapi masih diperlukan data-data dari berbagai
penelitian untuk menetapkan cara pemeriksaan tersebut dalam diagnosis alergi makanan.

Uji histamin plasma, uji pelepasan histamin basofil


Pemeriksaan histamin plasma dan pemeriksaan histamin sesudah inkubasi leukosit basofil
dengan antigen yang merupakan mediator yang dikeluarkan pada reaksi cepat (immediate
reactors) dipakai pula dalam upaya diagnostik alergi makanan. Teknik yang digunakan
banyak menyita waktu dan biaya. Akhir ini didapatkan cara/uji degranulasi basofil yang
lebih sederhana, namun masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Uji pelepasan histamin
basofil (basophil histamine release = BHR) dan uji pelepasan histamin sel mast pada
umumnya hanya dilakukan untuk tujuan penelitian.

Uji inhibisi migrasi leukosit (Leucocyte Migration Inhibition test = LIF test)
Mekanisme imun dengan perantara sel (cell mediated immune mechanism) dengan
pengeluaran limfosit yang tersensitisasi antigen makanan yang spesifik, yaitu faktor
inhibisi migrasi leukosit (leucocyte migration inhibiting factor = LIF) telah dicoba untuk
dipakai sebagai cara diagnostik alergi makanan. Disamping hasil-hasil yang dikatakan
9
menggembirakan, terdapat banyak pula hasil-hasil yang positif palsu 2 01 karena masalah-
t
masalah teknis, selain itu harganyapun mahal. are
M
9
stro
Diet eliminasi alergen diagnostik a
G
p at
r
Begitu sesuatu makanan tertentu dicurigai sebagaia penyebab alergi makanan, dimulailah
suatu diet eliminasi dalam upaya mendukung ntuk diagnosis. Keberhasilan dengan cara ini
u
tro alergen-alergen dalam diet eliminasi, kemampuan
membutuhkan eksklusi dari alergenasatau
G
pasien untuk menjaga dietnya
Ajarbebas dari segala bentuk alergen yang dituju, dan tidak
u
uk mungkin akan memperberat gejala selama masa penelitian.
adanya faktor-faktor yang
B
e
Fil
Apabila semua faktor penganggu disingkirkan, tidak adanya suatu respons terhadap diet
eliminasi secara esensial akan mengeksklusi makanan yang dieliminasi sebagai penyebab
dari gangguan alergi. Namun, pada beberapa alergi makanan gastrointestinal (mis.
esofagitis eosinofilik alergik dan gastroenteritis) penyebab yang dimungkinkan adalah alergi
makanan multipel sehingga suatu diet elemental mungkin diperlukan dalam menegakkan
diagnosis. Apabila gejala penyakit menghilang dengan diet eliminasi, dalam memastikan
diagnosis perlu dilakukan, uji tantangan makanan (food challenge). Pada alergi makanan
gastrointestinal, diagnosis akan menjadi pasti apabila endoskopi dan biopsi menunjukkan
perbaikan patologis sesudah 6–8 minggu dengan diet eliminasi.

Uji tantangan makanan oral (food challenge)


Uji tantangan makanan oral dapat dilakukan apabila terdapat kecurigaan terhadap sesuatu
jenis makanan yang menyebabkan gejala alergi makanan. Uji tantangan juga diperlukan
dalam menilai kesembuhan alergi. Uji tantangan makanan sebaiknya tidak dilakukan
apabila terdapat riwayat reaksi alergi makanan berat yang jelas dalam kaitannya dengan
adanya antibodi terhadap makanan yang dicurigai. Uji tantangan makanan dapat dilakukan
secara terbuka (pasien dan dokter mengetahui isi makanan yang diujikan), secara

181
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)

pembutaan tunggal (single blind, pasien tidak mengetahui, tetapi dokter mengetahui isi
makanan tantangan). Atau secara pembutaan ganda dengan kontrol plasebo (“double-blind
and placebo controlled” atau DBPCFC, baik pasien maupun dokter tidak mengetahui isi
makanan tantangan). DBPCFC dianggap sebagai “baku emas” dalam diagnosis dari alergi
makanan “Sicherer (1999), melakukan dua kali tantangan setiap hari, satu kali berisikan
antigen makanan yang diuji dan yang satu lagi berisikan plasebo. Setiap tantangan dievaluasi
dan diskor dengan menggunakan lembar gejala yang baku. Tantangan yang negatif selalu
perlu dipastikan dengan pemberian secara terbuka makanan yang lebih besar porsinya.
Pasien juga diamati kemungkinan terjadinya reaksi lambat. Apabila dicurigai hanya
beberapa makanan saja, tantangan dengan pembutaan tunggal atau tantangan terbuka
dapat dilakukan untuk menapis (screen) reaktivitasnya.
Uji tantangan dilakukan pada bayi dalam keadaan puasa, dimulai dengan dosis yang
sekiranya tidak memicu gejala (25–500 mg dalam makanan yang diliofili = lyophilized
food). Pada reaksi yang dicurigai dengan perantara IgE, dosis pada umumnya dapat
digandakan setiap 15–60 menit. Namun apabila pasien menunjukkan reaksi yang lebih
lambat, diperlukan waktu interval yang lebih lama. Begitu pasien dapat mentoleransi 10
gram “lyophilized food” yang dibutakan dalam kapsul atau cairan (ekuivalen dengan putih
telor satu butir telor atau satu gelas susu dari 4-oz), maka reaktivitas klinik pada umumnya
9
dapat disingkirkan. 2 01
re t
Pasien dengan tingkat IgE spesifik-alergen makanan dalam
9 Ma serum yang melebihi 95%
dari nilai prediksi dapat dianggap reaktif, dan tantangan ro makanan oral tidak diperlukan.
Pasien dengan tingkat IgE kurang dari 95% G ast prediktif mungkin reaktif tetapi
nilai
at
memerlukan suatu uji tantangan makanan r ap memastikan diagnosis. Terkait dengan
untuk
k
hal tersebut, data-data terakhir menunjukkan
u ntu bahwa pemantauan nilai IgE spesifik alergen
ro
mungkin berguna dalam prediksi
G ast apabila tantangan-tantangan selanjutnya (follow up)
r
cenderung menjadi negatifja(apabila pasien “outgrow” alergi makanannya). Penapisan awal
alergi makanan dengan
A
u perantara IgE seringkali merupakan penapisan bagi sensitivitas
u k
l eB
makanan untuk ikemudian ditentukan tingkat IgE spesifik makanan untuk menentukan
F
reaktivitas kliniknya. Tingkat awal antibodi IgE dapat dipakai sebagai titik rujukan dalam
memantau sensitivitas spesifik.

Uji diagnostik lain


Pada gangguan alergi makanan tanpa perantara IgE, walaupun hasil-hasil dari sejumlah uji
laboratori non-spesifik mungkin abnormal, tidak ada uji laboratorium yang menunjukkan
identitas makanan penyebabnya. Eosinofilia darah perifer dapat ditemukan pada 50% dari
pasien dengan gastroenteritis eosinofilik atau suatu peningkatan dari jumlah neutrofil
dengan “left shift” sering dijumpai pada pasien enterokolitis yang dipicu makanan yang
baru mengalami reaksi alergik. Eosinofil dapat ditemukan dalam tinja pasien dengan
enterokolitis dan proktokolitis eosinofilik yang dipicu protein makanan. Antibodi IgG
spesifik-antigen makanan pada umumnya meningkat pada pasien dengan alergi makanan
yang mengenai usus, tetapi spesifisitasnya secara khas mencermikan jenis makanan yang
dimakan tidak indikatif untuk patogenesis yang spesifik dari makanan yang terkait. Untuk

182
Buku Ajar Gastrohepatologi

kebanyakan dari alergi gastrointestinal, histologi dari bahan biopsi sering memperkuat
diagnosis tetapi tidak menunjukkan makanan mana yang merupakan penyebab dari reaksi.

Tabel 11.7.3. Elemen-elemen yang menunjukkan adanya alergi makanan sebagai penyebab penyakit gastrointestinal
1. Riwayat reaksi alergik atau serupa alergi terhadap makanan
2. Eksklusi dari penyebab-penyebab anatomis, metabolik atau infeksi
3. Penemuan patologik konsisten dengan penyebab alergik (biasanya eosinofilia)
4. Konfirmasi adanya hubungan ingesti dari protein makanan spesifik dan gejala melalui tantangan-tantangan atau paparan berulang
5. Bukti adanya antibodi spesifik dalam tatanan penyakit-penyakit
6. Kegagalan dalam merespons pengobatan, metabolik atau infeksius
7. Perbaikan dalam gejala-gejala dengan eliminasi diet penyebab gangguan (protein makanan)
8. Respons klinis terhadap pengobatan dari keradangan inflamasi (kortikosteroid)
9. Kesamaan sindrom klinis baik yang terbukti ataupun diperkirakan karena mekanisme imunologik
10. Tidak adanya penjelasan untuk reaksi yang menyerupai alergi secara klinis
Sumber: Wesley, 1998.

Tabel 11.7.4. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan alergi makanan sebagai kausa penyakit gastrointestinal
9
01
* Usia pasien muda (< 3 th.)
2
ret
* Riwayat reaksi akut yang diperkirakan karena makanan tertentu
* Penyakit atopik yang menyertai a
a. Dermatitis atopik (lezema) o 9M
str
b. Reaksi alergi makanan akut
Ga
c. Asma p at
d. Riwayat keluarga dengan penyakit atopik k ra
Sumber: Sampson, 1985. u ntu
ro
Gast
Tabel 11.7.5. Jenis diet eliminasi Ajar
u
uk makanan yang berhubungan dengan gejala
A. Eliminasi dari salah satu atau beberapa
B
e
il makanan positif IgE atau makanan dengan kecurigaan
- Berguna untuk reaksiFakut,
tinggi
B. Diet oligoantigenik-makanan yang terspesifikasi yang diperkenankan dalam diet yang diseleksi bagi yang umumnya mengandung
risiko rendah.
- Berguna bila sejumlah besar makanan ada hubungannya dengan gejala
- Dapat menghasilkan hasil yang negatif semu apabila makanan yang sebenarnya tidak dieliminasi
C. Diet elemental-formula hipoalergenik (yaitu formula berdasar asam amino) digunakan sebagai nutrisi total, dapat berisikan beberapa
bahan padat yang “aman”
- Berguna apabila sejumlah besar makanan dicurigai
- Kepatuhan yang rendah dari bayi
Sumber: Wesley, 1998.

183
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)

Evaluasi indikatif (tabel 1,2,3)

Riwayat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium spesifik (tabel 4)

Kemungkinan Penyebab lain teridentifikasi, stop, bukan alergi


alergi Makanan tidak konsisten dengan alergi makanan

Diet eliminasi tidak berhubungan


(tabel 5) Tidak ada perbaikan dengan alergi

Perbaikan
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
Diet rumatan
p at
Pertimbangkan pemberian kembali
k ra Makanan dapat
makanan spesifik dan/atau tantangan
u ntu ditoleransi/tantangan dilewati
secara formal (tabel 6) ro
ast
rG
u Aja
Buk tambah makanan
e
Fil
Tantangan positif, Teruskan eksklusi makanan, pada diet
gejala timbul Pertimbangkan re-evaluasi
kembali berkala

Gambar 11.7.1. Skema Umum bagi Evaluasi Peran Alergi Makanan Gastrointestinal (Sicherer, Justinich, 2001)

184
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 11.7.6. Modalitas untuk tantangan makanan oral


a. Jenis tantangan
- Tantangan terbuka (protein makanan diberikan dalam bentuk sebenarnya) berguna untuk skrining reaktivitas, mempunyai
tingkat tertinggi dari bias (positif semu)
- Pembutaan tunggal (bahan makanan di sembunyikan dalam kapsul atau makanan lain) berguna untuk skrining reaktivitas,
kurang biasnya, lebih memerlukan banyak tenaga
- Pembutaan ganda, plasebo terkontrol (DBPCFC) – menghilangkan bias, paling menyita tenaga, penting bagi penelitian.
b. Pemberian tantangan
- Saat tantangan berdasar perorangan, tergantung dari riwayat (akut/subakut atau kronik)
- Pembagian dosis – kuantitas secara perorangan berdasar riwayat sebelumnya
- Pasien positif IgE : 8 – 10 gram secara bertahap dinaikkan dan dibagi dalam dosis selama lebih dari 90 menit, disusul
dengan porsi yang lebih besar seperti halnya makan biasa 3 jam kemudian.
c. Pengawasan/Pengobatan
- Memonitor gejala gastrointestinal (juga pernafasan, kulit dalam beberapa kasus).
- Analisis tinja seperti yang diindikasikan
- Biopsi pada beberapa kasus (enteropati, eosinofilia)
- Pengobatan darurat seperti yang ditentukan (epinefrin, antihistamin, cairan intravena, kortikosteroid dsb.)
- Persediaan khusus dalam hal sindrom enterokolitis
Sumber: Sicherer, 1999.
Tabel 11.7.7. Bagaimana hidup dengan allergi makanan
1. Hindari makanan penyebab allergi 9
2 01
2. Pantang/eliminasi 1-2 tahun kadang membaik t
3. Eliminasi  challenge, hati – hati
M are
9
o dapat berlangsung lama sekali
4. Beberapa allergi kacang tanah, kacang pohon ( mente, koro ), ikan, kerang-kerangan,
5. Penyandang harus sangat berhati-hati dalam memakan makanan yang tidakadikenalstr (bahan dan bumbu-bumbunya)
G
6. Untuk yang bereaksi hebat (anaphylactic shock) perlu dibawa obat-obat
p atuntuk pertolongan keadaan yang
a
k r atau kalung pemberitahuan keadaan dan
mengancam jiwa(epinephire dan carticolesterol). Pemakaian gelang
pertolongan perlu ntu
ou
Sumber: Wesley, 1998.
a str
G
Ajar
u
11.8 Pengobatan Buk
l e
Fi
Eliminasi Protein Makanan
Begitu diagnosis dari hipersensitivitas makanan ditegakkan, terapi yang terbukti paling
baik adalah eliminasi dengan ketat dari alergen yang dicurigai. Dalam memberikan diet
eliminasi terapeutik perlu pertimbangan-pertimbangan yang sama seperti halnya dengan
obat; keduanya dapat menyebabkan efek-efek samping. Diet eliminasi dapat menyebabkan
malnutrisi dan/atau gangguan-gangguan makan, terutama bila menyangkut sejumlah besar
makanan dan/atau digunakan untuk waktu yang lama.
Reaktifitas klinik terhadap alergen makanan pada umumnya adalah sangat spesifik,
dan pasien jarang bereaksi dengan lebih dari 1 famili botanis atau spesies binatang.
Dengan demikian, eliminasi diet terapeutik janganlah didasarkan pada eksklusi dari family
makanan (food families) tetapi hendaknya berdasar pada makanan individual yang terbukti
menginduksi gejala alergik. Pada pasien-pasien yang terindentifikasi alergi terhadap
makanan multipel, harus mendapatkan penanganan dari ahli diet yang mengetahui dengan
benar mengenai eksklusi makanan serta harus berpengalaman menangani pasien-pasien
yang alergi terhadap makanan.

185
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)

Eliminasi protein makanan merupakan pekerjaan yang sulit dilaksanakan. Pasien


dan orang tua pasien harus menyadari bahwa protein makanan, berbeda dengan gula atau
lemak, merupakan bahan yang dihilangkan. Bahan protein yang tersembunyi dapat pula
menimbulkan masalah.
Anak-anak kecil akan terbebas dari sensitivitasnya terhadap makanan alergenik
yang umum (telor, gandum, soya) dalam beberapa tahun, terutama dengan menghindari
makanan yang potensial memberikan reaksi alergi makanan.
Tantangan makanan untuk diagnostik secara serial dapat membantu dalam penanganan
anak yang alergi terhadap makanan. Dilain pihak, sensitivitas terhadap beberapa makanan
tertentu seperti kacang tanah, kacang pohon, ikan dan kerang-kerangan, jarang yang
menghilang, dan sensitivitasnya dapat bertahan hingga usia dewasa.

Imunoterapi
Imunoterapi telah dicoba dalam pengobatan gangguan-gangguan alergi yang dipicu
makanan. Dua pendekatan yang sedang ditelusuri yaitu pendekatan menyangkut mutasi
dari epitope yang mengikat IgE pada protein kacang dan yang melibatkan penggunaan
DNA protein kacang yang dikodekan dalam vektor plasmid. Pendekatan ini diharapkan
0 19
2
berhasil dalam upaya “desensitisasi” pada pasien dengan alergi emakanan.
tr
9 Ma
ro
Humanized anti IgE antibody therapy Gast
p at
a
Strategi yang lebih global yang mungkink rberguna dalam pengobatan alergi makanan
tu
yang diperantarai IgE adalah penggunaan
o un terapi antibodi anti IgE. Bentuk pengobatan ini
st
mempunyai keuntungan dalam amengobati r sensitivitas terhadap protein makanan multipel
r G
tanpa memandang spesifisitas
Aj a alergennya.
u ku
B
Fi le
Probiotik
Pada saat ini probiotik, LGG terbukti merupakan organisme yang sangat bermanfaat untuk
allergi makanan maupun pencegahannya. Bakteri probiotik tertentu dapat mengurangi
produksi pro inflamatory cytokines, sehingga probiotik bermanfaat tidak hanya untuk
food(gut) allergy saja, namun berguna juga untuk inflamatory bowel disease, seperti ulceratif
colitis dan crohn disease.Penelitian untuk probiotik jenis lain masih sedang dilakukan.

Daftar Pustaka
1. Bruijnzeel – Koomen C, Ortolani C, Aas K, Bindslev – Jensen C, Bjorksten B, Moneret D, et al.
Adverse reaction to food allergy 1995; 50 : 623-635.
2. Bock SA. The natural history of food sensitivity. J Allergy Clin Immunol 1982; 69 : 173-7.
3. Bock SA, Atkins FM. Patterns of food hypersensitivity during sixteen years of double-blind,
placebo controlled food challenges. J Pediatr 1990; 117 : 561-567.
4. Bock SA, Lee WY, Remigro L, Holst A, May CD. Appraisal of skin tests with food extracts for
diagnosis of food hypersensitivity. Clin Allergy 1978; 8 : 559-564.
5. Bunser O, Araya M. Damage and repair of small intestinal mucosa in acute and chronic

186
Buku Ajar Gastrohepatologi

diarrhoea. In : E Lebenthal ed. Chronic diarrhoea in infancy. New York 1984, Nestle Vevey/
Raven Press, 31-55.
6. Hill D, Hasking CS. Clinical management : Food allergy in Paediatric Clinical Practice. In : KM
Hendricks, W Allan Walker eds. International Seminars in Paediatric Gastroenterology and
Nutrition. Decker Periodicals Inc. pp. 2-7.
7. Hill DJ, Hosking CS, Heine RG. Clinical spectrum of food allergy in children in Australia and
South Eeast Asia : Indentification and targets for treatment. Ann Med 1999; 31 : 272-281.
8. Host A, Koletzko B, Dreborg S, Muraro A, Wahn U et al. Dietary products used in infants for
treatment and prevention of food allergy. Arch Dis Child 1999; 81 : 80-84.
9. Iacono G, Carroccio A, Cavataio F. et al. Gastroesophageal reflux and cow’s milk allergy in
infants : a prospective study. J Allergy Clin Immunol 1996; 97 : 822-827.
10. Iacono G, Cavataio F, Montalto G. et al. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in
children. N Engl J Med 1998; 339 : 1100-4.
11. Jon A, Vanderhoof, MD & Rosemary J. Young, RN, MS. In The role of probiotic in the
management of patients with food allergy. Ann allergy, asthma, immunology 2000. Suplemen
3 : 99-103 .
12. Justinich CJ. Update in gastrointestinal allergic diseases. Curr. Op in Pediatr 2000; 12: 456-459.
13. Motta MEFA. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in children. International
Pediatrics, 2001; 16 : 66-72.
14. Orenstein SR. Gastroesophageal reflux. Curr probl Pediatr 1992; 21 : 193-241.
9 in children and
15. Pascual CY, Crespo JF, Perez PG, Esteban MM. Food allergy and intolerance 2 01
adolescent, an update. Eur J. Clin Nutr 2000; 54 : SI pp 575-578. are
t
16. Romagnani S. Induction of Th1 dan Th2 response : a key roleofor 9 Mthe “natural” immune response
st r
Gaet al. Diagnositic work-up foor food
? Immunol Today 1992; 13 : 379-318.
17. Romano A, Di Fonso M, Ginffreda F, Quaretino at D,
dependent, exercise induced anaphylaxis. Allergy k rap1995; 50 : 817-24.
tu
18. un
Sampson HA, Mc Caskillc CC. Food hypersensitivity
o and atopic dermatitis : evaluation of 113
tr
as
patients. J Pediatr 1985; 107 : 699-675.
19. Sampson HA b. Food allergyjparta r G2 : Diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol 1999,
A
103 : 981-989.
u ku
20. Sampson HA, Albergo e B R d. Compsrisona of result of skin test, RAST and double-blind, placebo
Fil
controlled food challenges in children with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 1989; 74: 26-33.
21. Sampson HA a, Mendelson LM, Rosen JP. Fatal and near fatal anaphylaxis reactions to food in
children and adolescent. N Engl J Med 1992; 327 : 380-4.
22. Seidman E. Immune homeostasis and the gut. In : CC Roy, A Silverman, D Alagille eds. Pediatric
Clinical Gastroenterology, 4th ed. St Louis 1995, Mosby, Ch 12 : 388-416.
23. Sicherer SH. Manifestations of Food Allergy : Evaluation and Management. American Academy
of Family Phys 1999; pp. 1-12.
24. Sicherer SH, Sampson HA. Food hypersensitivity and atopic dermatitis : Pathophysiology,
epidemiology, diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol 1999; 104: S 114-22.
25. Soeparto P, Djupri LS, Noerasid H. Cow’s milk sensitive enteropathy, Kongres Nasional I KOPGI
– KOPEGI Jakarta 1981.
26. Stern M. Gastrointestinal Allergy. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker
Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Philadelphia 1991, BC Decker Inc; 1
: 557-574.
27. Weier DM. Immunology Churchiel Livingstone 1983.
28. Wesley Burks A. The spectrum of food hypersensitivity : Where does it end ? Editorials. J Pediatr
1998; 133 : 175-6.
29. Winter HS, Madara JL, Stafford RJ, Grand RJ, QuinlanJE, Goldman H. Intraepithelial eosinophils:
a new diagnostik criterion for reflux esophagitis. Gastroenterology 1982; 83 : 818-823.

187
BAB

12
Konstipasi pada Anak
Agus Firmansyah

12.1 Ilustrasi kasus


Seorang anak lelaki berusia 6 tahun dibawa oleh orangtuanya ke rumah sakit karena
mengalami sembelit sejak 6 bulan yang lalu. Buang air besarnya jarang, sekali tiap 10 hari.
Tinjanya berbentuk pelet dan keras. Kadang-kadang disertai darah dalam tinjanya. Nafsu
makan turun dan badan bertambah kurus. Tampak anak selalu berusaha menahan buang air
besarnya. Anak tampak ketakutan bila mulai ingin buang air besar. Perut tampak membuncit
dan teraba ada masa tinja yang keras pada perabaan abdomen. Pada pemeriksaan colok
dubur anak merasa kesakitan dan rektum teraba dilatasi dengan banyaknya tinja yang keras.

12.2 Pendahuluan
Pola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai pertanda anak sehat. Terutama
pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi, orang tua sangat menaruh perhatian pada
frekuensi defekasi dan karakteristik tinjanya. Adanya penyimpangan dari yang dianggap
normal pada anak, merangsang orang tua untuk membawa anaknya ke dokter. Pada
umumnya orang tua khawatir bahwa tinja anaknya terlalu besar, terlalu keras, nyeri waktu
berhajat atau defekasinya terlalu jarang. Kenyataannya, konstipasi memang merupakan
masalah yang biasa ditemukan pada anak.
Pada awalnya penyebab konstipasi mungkin sederhana saja, misalnya kurangnya
konsumsi serat, tetapi karena tidak ditangani secara memadai perjalanan kliniknya menjadi
kronis, yang membuat frustrasi anak, orangtua dan juga dokter yang merawatnya. Di lain
pihak, terdapat kasus-kasus konstipasi akut yang memerlukan diagnosis etiologi segera
karena memerlukan tindakan yang segera pula. Ringkasnya, ada kasus konstipasi ringan
tetapi memerlukan penanganan yang adekuat, ada kasus yang memerlukan diagnosis
etiologi dan tindakan segera, dan ada pula kasus konstipasi kronis yang memerlukan
kesabaran dan penanganan yang cermat.
Tulisan ini menjelaskan secara ringkas mengenai pendekatan diagnosis dan tatalaksana
konstipasi pada anak, dengan perhatian khusus pada konstipasi fungsional yang sering
ditemukan pada anak.

188
Buku Ajar Gastrohepatologi

12.3 Definisi
Dalam kepustakaan belum ada kesepakatan mengenai batasan konstipasi. Rogers
mendefinisikan konstipasi sebagai kesulitan melakukan defekasi atau berkurangnya
frekuensi defekasi tanpa melihat apakah tinjanya keras atau tidak. Lewis dan Muir
menambahkan bahwa kesulitan defekasi yang terjadi menimbulkan nyeri dan distres
pada anak, sedangkan Abel mengatakan konstipasi sebagai perubahan dalam frekuensi
dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu
frekuensi berhajat lebih jarang dan konsistensi tinja lebih keras dari biasanya. Definisi lain
adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu. Steffen dan Loening-Baucke
mengatakan konstipasi sebagai buang air besar kurang dari 3 kali per minggu atau riwayat
buang air besar dengan tinja yang banyak dan keras. Penulis sendiri berpendapat bahwa
konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna, yang
tercermin dari 3 aspek, yaitu berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang
lebih keras dari sebelumnya, dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) dengan
atau tidak disertai enkopresis (kecepirit).

12.4 Epidemiologi t 2 01
9

Sekitar 3 persen kunjungan ke dokter anak dan 10%-15%


are yang ditangani ahli
Mkasus
9
o Sebagian besar (90%-95%)
gastroenterologi anak merupakan kasus konstipasi akronis. str
konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional, t G hanya 5%-10% yang mempunyai
r pa
a4-6
penyebab organik. Penelitian pada anak berusia tahun di beberapa taman kanak-kanak
ntuk
ou
di Jakarta tahun 2008 menunjukkan prevalensi konstipasi sebesar 4,1%.
a str
G
jar
12.5 Etiologi dan Patofisiologi
Buk
u A
e
Pada orang dewasa Filnormal, defekasi terjadi antara tiga kali per hari sampai tiga kali per
minggu. Frekuensi defekasi pada anak bervariasi menurut umur. Bayi yang minum ASI
pada awalnya lebih sering berhajat dibandingkan bayi yang minum formula. Namun
mendekati usia 4 bulan, apapun susu yang diminumnya, rerata buang air besar adalah dua
kali per hari. Kisaran satu sampai tujuh kali defekasi per hari dilaporkan terjadi pada 93%
bayi. Pada umur 2 tahun, frekuensi rerata defekasi menurun menjadi dua kali per hari.
Pada penelitian kohort 350 anak prasekolah, frekuensi defekasi rerata 1,2 kali per hari pada
usia 4 tahun dan 96% telah mencapai kekerapan defekasi seperti pada orangtua. Kecepirit
(enkopresis) dilaporkan terjadi pada 1% -7,5% pada anak sekolah dasar. Frekuensi defekasi
normal pada anak terlihat pada tabel 12.5.1.
Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan
tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspons
dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Upaya menahan tinja ini tetap dipertahankan
sampai individu mencapai toilet. Untuk proses defekasi, sfingter anus eksterna dan
muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara
kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui
anus. Kemudian dengan mengejan, yaitu meningkatnya tekanan abdomen dan kontraksi

189
Bab 12 Konstipasi pada Anak

Tabel 12.5.1. Frekuensi normal defekasi pada anak


Umur Defekasi/minggu* Defekasi/hari**
0-3 bulan
ASI 5-40 2,9
Formula 5-28 2,0
6-12 bulan 5-28 1,8
1-3 tahun 4-21 1,4
>3 tahun 3-14 1,0
*
Mean+2SD **Mean
Sumber: Weaver, 1984.

rektum, akan mendorong tinja keluar melalui anus. Pada keadaan normal, epitel sensorik
di daerah anus-rektum memberitahu individu mengenai sifat tinja, apakah padat, cair, gas,
atau kombinasi ketiganya.
Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja cair yang diterimanya dari
ileum. Makan atau minum merupakan stimulus terjadinya kontraksi kolon (refleks
gastrokolik) yang diperantarai oleh neuropeptida pada sistem saraf usus dan koneksi saraf
visera. Kandungan nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan
frekuensi dan konsistensi tinja. Kurangnya asupan serat (dietary fiber) sebagai kerangka
9
tinja (stool bulking), kurang minum, dan meningkatnya kehilangan 2 01 cairan merupakan
re t
faktor penyebab konstipasi. Berat tinja berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja
9 Ma
yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu singgah o melalui saluran pencernaan lebih
cepat bila mengkonsumsi banyak serat. Waktu singgah a str pada bayi berusia 1-3 bulan adalah
G
8,5 jam. Waktu singgah meningkat dengan bertambahnya p at usia, dan pada dewasa berkisar
r a
antara 30 sampai 48 jam. Berkurangnyanaktivitas tuk fisik pada individu yang sebelumnya aktif
ou
merupakan predisposisi konstipasi,
a str misalnya pada keadaan sakit, pascabedah, kecelakaan
atau gaya hidup bermalas-malasan. G Stres dan perubahan aktivitas rutin sehari-hari dapat
A j ar
mengubah frekuensi defekasi, seperti liburan, berkemah, masuk sekolah kembali setelah
ku
utoilet
liburan, ketersediaan B dan masalah psikososial, dapat menyebabkan konstipasi.
Fi le
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi akibat pengalaman
nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Orangtua sering memberitahu
adanya riwayat darah dalam tinja, popok atau toilet. Pengalaman nyeri berhajat ini dipercaya
menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja
(retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang
menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami
reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan
sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal
anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus
berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-retensi tinja-tinja makin banyak-reabsorpsi
air-tinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu berhajat-dan seterusnya.
Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berada di rektum, kolon sigmoid, dan
kolon desenden dan bahkan di seluruh kolon. Enkopresis atau kebocoran (tidak disengaja;
involuntary) tinja cair atau lembek di sekitar massa tinja merupakan masalah yang
mendorong orangtua membawa anaknya ke dokter. Distensi tinja kronis sebagai akibat
retensi tinja menyebabkan menurunnya kemampuan sensor terhadap volume tinja, yang

190
Buku Ajar Gastrohepatologi

sebetulnya merupakan panggilan atau rangsangan untuk berhajat. Temuan terbanyak pada
pemeriksaan manometri anak dengan konstipasi kronis adalah meningkatnya ambang
rangsang sensasi rektum. Dengan pengobatan jangka panjang, sensasi rektum dapat
menjadi normal kembali. Namun pada sebagian kasus yang sembuh, sensasi rektum tetap
abnormal dan hal ini menjelaskan mengapa konstipasi dan enkopresis mudah kambuh.
Kontraksi puborektalis paradoksal merupakan temuan yang biasa pada pemeriksaan
manometri anorektum pada anak dengan konstipasi kronis. Kontraksi puborektalis
paradoksal didefinisikan sebagai kurangnya kontraksi spingter anus eksterna dan muskulus
puborektasis selama upaya defekasi, bahkan sebaliknya terjadi relaksasi. Anak dengan
kontraksi abnormal sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis selama latihan
defekasi (toilet training) juga mengalami kesulitan mengevakuasi balon berisi air (model
tinja tiruan) dan lebih sering mengalami kegagalan terapi. Pada sekitar 5%-10% bayi dan
anak, konstipasi dapat disebabkan kelainan anatomis, neurologis, atau penyebab lain yang
akan dibahas dalam paragraf tentang diagnosis banding.

12.6 Gejala dan Tanda Klinis Konstipasi Kronis


Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila19konstipasi menjadi
20
kronik, jumlah defekasi per hari atau per minggu mungkin bukan
aret indikator terpercaya
untuk konstipasi pada seorang anak. Biasanya, pola defekasi 9yang M jarang terdapat pada awal
r o
proses, yang mungkin terjadi beberapa bulan atau tahun ast sebelum pasien menemui dokter.
Gkonstipasi
Dengan terjadinya retensi tinja, gejala dan tanda plain at berangsur muncul seperti
r a
nyeri dan distensi abdomen, yang sering hilang uk sesudah defekasi. Penting dicatat adanya
ntsangat
riwayat tinja yang keras dan/atau tinja yang u besar yang mungkin menyumbat saluran
toilet. Kecepirit diantara tinja yang a tro sering salah didiagnosis sebagai diare. Seorang
skeras
G
anak yang mengalami konstipasi Ajar biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan
ku
berat badan, yang akan umengalami perbaikan bila konstipasinya diobati. Upaya menahan
l e B
Fi
tinja dapat disalahtafsirkan sebagai upaya mengejan untuk defekasi. Berbagai posisi tubuh,
menyilangkan kedua kaki, menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke depan dan belakang
(seperti berdansa) merupakan manuver menahan tinja dan kadangkala prilaku tersebut
menyerupai kejang.
Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih seringkali berkaitan dengan konstipasi
pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks vesikoureter ditemukan pada
anak dengan konstipasi kronis. Penelitian pada 234 anak dengan konstipasi kronis dan
enkopresis ditemukan 29% kasus mengalami enuresis diurnal dan 34% kasus mengalami
enuresis nokturnal. Infeksi saluran kemih ditemukan pada 11% kasus. Dua belas bulan
setelah konstipasinya diobati, 52% konstipasinya sembuh, 89% diantaranya mengalami
hilangnya inkontinensia urin di siang hari, 63% hilang enuresis nokturnalnya, dan pada
semua kasus tanpa kelainan anatomi saluran kemih sembuh dari infeksi saluran kemih.
Pada pemeriksaan klinis didapatkan distensi abdomen dengan bising usus normal,
meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan
bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah
epigastrium. Fisura ani serta ampula rekti yang besar dan lebar merupakan tanda penting
pada konstipasi. Pemeriksaan fisik yang penting (selain pemeriksaan rutin) dilakukan pada

191
Bab 12 Konstipasi pada Anak

anak dengan konstipasi dapat dilihat pada Tabel 12.6.1 dan temuan pada pemeriksaan fisik
yang membedakan konstipasi organik dan fungsional dapat dilihat pada Tabel 12.6.2.

Tabel 12.6.1. Pemeriksaan fisik pada anak dengan konstipasi


Abdomen
o Distensi
o Hati dan limpa
o Massa tinja
Inspeksi anus
o Posisi
o Adanya tinja di sekitar anus atau celana
o Eritema sekitar anus
o Skin tags
o Fisura ani
Colok dubur
o Kedutan anus
o Tonus anus
o Massa tinja
o Adanya tinja
o Konsistensi
o Adakah massa lain
9
o Tinja menyemprot bila jari dicabut
2 01
o Darah dalam tinja
re t
Punggung dan spina
9 Ma
o Lesung ro
o Berkas rambut G ast
at
Neurologi
r ap
o Tonus k
o Kekuatan u ntu
ro
ast
o Refleks kremaster
o Refleks tendon r G
ja
Sumber: Steffen, 1999.
kuA
u
le B
Fi pemeriksaan fisik yang membedakan konstipasi organik dari fungsional
Tabel 12.6.2. Temuan pada
o Gagal tumbuh
o Distensi abdomen
o Hilangnya lengkung lumbosakral
o Pilonidal dimple covered by a tuft hair
o Kelainan pigmentasi di garis tengah spina (lumbosakral)
o Agenesis sakrum
o Bokong datar
o Letak anus di depan
o Patulous anus
o Ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen
o Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut pada pemeriksaan colok dubur
o Darah dalam tinja
o Hilangnya kedutan anus
o Hilangnya reflek kremaster
o Tonus dan kekuatan otot ekstremitas bawah turun
o Hilang atau menurunnya fase relaksasi refleks tendon ekstremitas bawah
Sumber: Steffen, 1999.

192
Buku Ajar Gastrohepatologi

12.7 Diagnosis
Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan
pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang tua bahwa anaknya
menderita konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan
mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi. Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen
yang cermat dan colok dubur perlu dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering
menggeliat, wajahnya memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu
normal dan bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan
fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa kalipun frekuensi defekasi.
Orang tua merasa anaknya memiliki masalah defekasi bila tidak melihat anaknya defekasi
dalam sehari. Oleh karena itu, sebelum memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting
sekali mengidentifikasi kasus pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang tua
mengenai hal ini.
Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan apakah
konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung
kurang dari 1-4 minggu dan konstipasi kronis bila keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan.
Penyebab konstipasi akut yang paling sering terlihat pada Tabel1912.7.1 tetapi perlu
20
dipikirkan kelainan yang mengancam kehidupan, seperi obstruksi
aret usus, dehidrasi dan
botulisme infantil. Penyebab tersering konstipasi akut adalah
o 9 Minfeksi virus. Infeksi virus
r
dapat menyebabkan ileus nonspesifik dan berkurangnya ast frekuensi defekasi. Anak juga
Gmelalui
mengalami anoreksia serta kehilangan banyak cairan at saluran nafas dan demam.
r ap
ntuk
Tabel 12.7.1. Penyebab tersering konstipasi pada anak u
st ro
Ga
o Fungsional
o Fisura ani jar
o Infeksi virus dengan ileus
kuA
u
o Diet
i l eB
o Obat F
Sumber: Steffen, 1999.

Obat juga sering menyebabkan efek samping berupa konstipasi akut, seperti antasida,
antikolinergik, antikonvulsan, antidepresan, diuretika, preparat besi, relaksan otot, narkotika
dan psikotropika. Bila meresepkan obat, dokter harus mengantisipasi konstipasi sebagai
efek samping. Sebagian besar obat yang dapat menyebabkan konstipasi terlihat pada Tabel
12.7.2. Daftar yang ringkas ini dapat dipakai sebagai acuan umum. Beberapa sirup antasida
dapat menimbulkan konstipasi. Obat antikolinergik yang digunakan untuk pengobatan
inkontinensia urin akibat neurogenic bladder pada pasien dengan defek medula spinalis
seperti meningomiokel, adalah oksibutinin klorida. Konstipasi mungkin merupakan efek
samping yang bermakna pada anak yang diobati untuk disritmia jantung, depresi, kejang,
dan sejumlah penyakit lain. Pada sebagian kasus, terapi dapat dilajutkan dengan menangani
konstipasi yang terjadi dengan pelunak tinja atau supositoria dan enema, Kecuali pada anak
dengan diet ketogenik untuk kejang intraktabel. Dalam hal ini, konsultasi pada ahli gizi
mungkin dapat membantu.

193
Bab 12 Konstipasi pada Anak

Tabel 12.7.2. Obat yang menyebabkan konstipasi


o Anestesi, analgesik narkotik, opiat
o Antikolinergik dan simpatomimetik
o Antikonvulsan dan diet ketogenik
o Antimotilitas
o Antipsikotik, antidepresan
o Barium untuk pemeriksaan radiologis
o Penghambat kanal kalsium (misal verapamil), antidisritmia
o Mineral: aluminium, kalsium, besi, timbal, merkuri, arsen, bismuth
o Antiinflamasi non-steroid
Sumber: Steffen, 1999.

Tabel 12.7.3. Penyebab konstipasi berdasarkan umur


Neonatus/Bayi
o Meconium plug
o Penyakit Hirschsprung
o Fibrosis kistik
o Malformasi anorektal bawaan, termasuk anus imperforata, stenosis ani, anal band
o Chronic idiopathic intestinal pseudo-obstruction
o Endokrin: hipotiroid
o Alergi susu sapi
9
o Metabolik: diabetes insipidus, renal tubular asidosis
201
o Retensi tinja
aret
9M
o Perubahan diet
ro
ast
Toddler dan umur 2-4 tahun
o Fisura ani, retensi tinja G
at
o Toilet refusal r ap
k
o Alergi susu sapi
u ntu
o Penyakit Hirschsprung segmen pendek o
str
o Penyakit saraf: sentral atau muskular denganahipotoni
G
jar tethered cord
o Medula spinalis: meningomielokel, tumor,
A
u
Usia sekolah
Buk
o Retensi tinja il e
o Ketersediaan toiletFterbatas
o Keterbatasan kemampuan mengenali rangsang fisiologis
o Preokupasi dengan kegiatan lain
o Tethered cord
Adolesen
o Irritabel bowel syndrome
o Jejas medulla spinalis (kecelakaan, trauma)
o Diet
o Anoreksia
o Kehamilan
o Laxative abuse
Segala usia
o Efek samping obat, perubahan diet, paska operasi
o Riwayat operasi anal-rektum
o Retensi tinja dan enkoporesis akibat distensi tinja kronis
o Perubahan aktivitas fisik, dehidrasi
o Hipotiroid
Sumber: Steffen, 1999.

194
Buku Ajar Gastrohepatologi

Bila diet anak berubah mereka juga dapat mengalami episode konstipasi akut. Hal
ini terjadi misalnya pada waktu liburan. Bila diet mengandung banyak susu atau rendah
buah dan sayuran, kemungkinan penyebab konstipasi adalah faktor diet. Dalam hal ini,
modifikasi diet lebih diutamakan daripada laksatif. Perubahan diet dari ASI ke formula
pada bayi atau dari formula ke susu penuh (fullcream) pada anak usia 1 tahun dapat
menimbulkan konstipasi pada beberapa bayi/anak
Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi kronis
biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit Hirschsprung karena
berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.
Petunjuk penting lain dalam diagnosis banding adalah umur pada saat awitan gejala
timbul. Bila dalam anamnesis didapatkan bahwa gejala timbul sejak lahir, kemungkinan
penyebab anatomis seperti penyakit Hirschsprung harus dipikirkan. Bila awitan gejala
timbul pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan besar penyebabnya fungsional.
Walaupun lebih dari 90% konstipasi pada anak tergolong konstipasi fungsional, pada
beberapa anak etiololginya mungkin mulktifaktorial. Bila terapi logis tidak efektif atau bila
konstipasi terjadi pada masa neonatus atau bayi, eksplorasi untuk mencari penyebab lain
harus dilakukan. Meski masa awitan manifestasi berbagai penyebab konstipasi dapat saling
tumpang-tindih, pengelompokan penyebab berdasarkan umur terlihat 1pada 9 Tabel 12.7.3.
2 0
aret
9M
12.8 Komplikasi ast
ro
G
at komplikasi primer konstipasi pada
Nyeri perut atau rektum dan enkoporesis merupakan r ap
k
anak. Komplikasi lain dapat dilihat pada Tabel
u ntu 12.8.1.
o
Tabel 12.8.1. Komplikasi konstipasi kronis pada anakGa
str
o Nyeri: anus atau abdomen A jar
u
o Fisura ani
B uk
e
Fil
o Enkopresis
o Enuresis
o Infeksi saluran kemih/obstruksi ureter
o Prolaps rektum
o Ulkus soliter
o Sindrom stasis
- Bakteri tumbuh lampau
- Fermentasi karbohidrat, maldigesti
- Dekonjugasi asam empedu
- Steatorea
Sumber: Young, 1996.

Eneuresis dilaporkan terjadi pada lebih dari 40% anak dengan enkoporesis. Pada
beberapa kasus, eneuresis menghilang bila massa tinja dievakuasi sehingga memungkinkan
kandung kemih mengembang. Komplikasi urologis penting lainnya adalah dilatasi kolon
distal, sehingga berperan dalam meningkatkan frekuensi infeksi saluran kemih dan
obstruksi ureter kiri. Dilatasi kolon distal dapat mengurangi tonus kolon yang menyebabkan
terjadinya invaginasi, yang dapat bermanifestasi sebagai prolaps rekti setelah defekasi.
Prolaps kolon ringan tetapi berlangsung lama akan menciptakan suatu ulkus iskemik pada
dinding mukosa rektum (ulkus soliter) yang secara klinis tampak sebagai tinja berlendir

195
Bab 12 Konstipasi pada Anak

dan berdarah apapun konsistensi tinjanya. Iritasi difus pada kolon akibat tinja yang amat
keras bahkan dapat menyebabkan protein-losing enteropathy.
Sindrom stasis terutama terlihat pada pseodo-obstruksi. Stigma sosial yang berkaitan
dengan sering kentut dan kecepirit yang menimbulkan bau tidak sedap dapat mempengaruhi
anak. Sebagian besar anak dengan enkoporesis kronis akan menyangkal bila ditanya tentang
masalah enkoporesisnya dan bahkan sering menyembunyikan celana dalamnya yang kena
kecepirit.

12.9 Pemeriksaan Penunjang


Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga
mempunyai penyebab organik.
1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja dalam
kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan
atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa
tinja.
2. Pemeriksaan enema barium untuk mencari penyebab organik seperti Morbus
Hirschsprung dan obstruksi usus. 9
3. Biopsi hisap rektum untuk melihat ada tidaknya ganglion pada 2 01mukosa rektum secara
re t
Ma
histopatologis untuk memastikan adanya penyakit Hirschsprung.
9
ro
4. Pemeriksaan manometri untuk menilai motilitas kolon.
5. Pemeriksaan lain-lain untuk mencari penyebab G astorganik lain, seperti hipotiroidisme,
at
ultrasonografi abdomen, MRI, dll. rap k
u ntu
ro
12.10 Tata laksana Konstipasi
G ast
Fungsional
jar
k uA
Tata laksana meliputi Buedukasi orangtua, evakuasi tinja, terapi rumatan, modifikasi prilaku,
i l
obat dan konsultasi.e
F
Evakuasi tinja (disimpaction)
Fecal impaction adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada palpasi regio abdomen bawah,
rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada pemeriksaan colok
dubur, atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada foto abdomen. Evakuasi
skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi tinja dapat dilakukan dengan
obat oral atau rektal. Program evakuasi tinja biasanya dilakukan selama 2-5 hari sampai
terjadi evakuasi tinja secara lengkap/sempurna.
Bila menggunakan obat per oral, dapat digunakan mineral oil (parafin liquid) dengan
dosis 15-30 ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi. Larutan polietilen
glikol (PEG) 20 ml/kg/jam (maksimum 1000 ml/jam) diberikan dengan pipa nasogastrik
selama 4 jam per hari.
Evakuasi tinja dengan obat per rektum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik
(3 ml/kg 2 kali sehari maksimum 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-1000 ml) atau
120 ml mineral oil. Pada bayi digunakan supositoria/enema gliserin 2-5 ml.

196
Buku Ajar Gastrohepatologi

Terapi rumatan
Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk mencegah
kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian
laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang
sempurna.
Anak dianjurkan untuk banyak minum dan mengkonsumsi karbohidrat dan serat.
Buah-buahan seperti pepaya, semangka, bangkuang dan melon banyak mengandung serat
dan air sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak
terkandung dalam buah prune, pear dan apel, sehingga dapat dikonsumsi dalam bentuk jus
untuk meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja.
Komponen penting dalam terapi rumatan adalah modifikasi perilaku dan toilet
training. Segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan untuk buang air besar.
Tidak perlu terlalu terburu-buru, yang akan membuat anak makin tertekan, tetapi berilah
waktu 10-15 menit bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan
mengembangkan reflek gastrokolik pada anak. Dianjurkan membuat catatan harian yang
mencatat kejadian defekasi dan konsistensi tinja. Sistem pemberian hadiah dapat diterapkan
bila anak berhasil melakukan defekasi. Bila dengan cara di atas tidak berhasil, mungkin
9
perlu dikonsulkan ke ahli psikiatri anak.
2 01
t
re (larutan 70%) dapat
Obat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktulosa
9 Ma
diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Sorbitol (larutan 70%)
a stro
diberikan 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. GMineral oil (parafin liquid) diberikan
at
ap dibawah 1 tahun. Larutan magnesium
1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak dianjurkan untukranak
tuk
hidroksida (400mg/5 ml) diberikan 1-3 nml/kgBB/hari, tetapi tidak diberikan pada bayi
u
dan anak dengan gangguan ginjal.stBila ro respon terapi belum memadai, mungkin perlu
a
ditambahkan cisapride denganadosis
j r G 0,2 mg/kgBB/kali untuk 3-4 kali pada hari selama 4-5
uA
minggu. Terapi rumatan kmungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah
normal, terapi rumatan Budapat dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan masih
Fi le
perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang
banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen.

Evidence-based medicine dan konstipasi


Seiring dengan perhatian yang serius terhadap evidence-based medicine, berikut tertera
beberapa rekomendasi berdasarkan pada bukti-bukti penelitian dan kategori kualitas
buktinya.

Rekomendasi umum
• Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat merupakan bagian penting
dari evaluasi komprehensif bayi atau anak dengan konstipasi (III).
• Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat ternyata cukup
untuk mendiagnosis konstipasi fungsional pada banyak kasus (III).
• Uji darah samar dalam tinja dianjurkan pada semua bayi dengan konstipasi dan pada
anak dengan konstipasi yang juga mengalami sakit perut, gagal tumbuh, diare atau
riwayat keluarga menderita polip atau kanker kolorektal (III).

197
Bab 12 Konstipasi pada Anak

• Pada kasus tertentu, pemeriksaan foto polos abdomen, bila diinterpretasi dengan benar,
dapat bermanfaat dalam mendiagnosis fecal impaction (II-2)
• Biopsi rektum dengan pemeriksaan histopatologis dan manometri rektum merupakan
satu-satunya cara yang akurat untuk menyingkirkan penyakit Hirschsprung (II-1)
• Pada kasus tertentu, pengukuran waktu singgah dengan petanda radioopak dapat
menentukan apakah terdapat konstipasi (II-3).

Rekomendasi untuk bayi


• Pada bayi, evakuasi feses dapat dilakukan dengan supositoria gliserin. Enema harus
dihindari (II-3)
• Pada bayi, jus yang mengandung sorbitol, seperti jus prune, pear dan apel, dapat
mengurangi konstipasi (II-3)
• Barley malt extract, corn syrup, laktulosa atau sorbitol (laksatif osmotik) dapat digunakan
sebagai pelunak tinja (III)
• Mineral oil (parafin) dan laksatif stimulan tidak dianjurkan pada bayi (III).

Rekomendasi untuk anak


• Pada anak, evakuasi tinja dapat dilakukan dengan pengobatan peroral atau rektal,
9
termasuk enema (II-3) 2 01
t
re dan sayuran dianjurkan
• Pada anak, diet seimbang yang mengandung whole grains,abuah
9 M
sebagai bagian pengobatan konstipasi (III) o
• Pemakaian obat-obatan dikombinasikan dengan str
amodifikasi perilaku dapat mengurangi
t G
waktu remisi pada anak dengan konstipasi p a
a fungsional (I)
• Mineral oil (pelicin) dan magnesium tu k r hidroksida, laktulosa dan sorbitol (laksatif
un dan efektif (I).
oaman
osmotik) merupakan obat yang tr
as
• Terapi emergensi denganr Gpemberian laksatif stimulan dapat dilakukan pada kasus-
A j a
kasus tertentu (II-3).u
• Senna dan bisakodilBuk (laksatif stimulan) dapat bermanfaat pada kasus tertentu yang sulit
e
Fil
ditangani (II-1)
• Cisapride telah terbukti bermanfaat sebagai laksatif pada beberapa penelitian (walaupun
tidak semua) dan dapat digunakan pada kasus tertentu (I).
• Larutan elektrolit polietilen glikol (PEG), diberikan dalam dosis rendah dalam waktu
lama, mungkin merupakan alternatif pengobatan efektif pada konstipasi yang sulit
diatasi (III).

Catatan:
Kategori kualitas bukti adalah sebagai berikut:

I Bukti diperoleh dari minimal satu penelitian RCT


II-1 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol tanpa randomisasi
II-2 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol, terutama pada lebih dari 1 senter atau pusat penelitian
II-3 Bukti penelitian dari laporan kasus berkala dan multipel dengan atau tanpa intervensi.
III Pendapat ahli yang didasarkan pada pengalaman klinis, penelitian deskriptif, atau laporan komite ahli.

198
Buku Ajar Gastrohepatologi

12.11 Simpulan
Konstipasi sering ditemukan pada anak, baik yang akut maupun kronis. Sebagian besar
(90%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional. Pada sebagian besar kasus,
anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah cukup memadai untuk penatalaksanaan anak
dengan konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga penyebabnya organik, beberapa
pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Pengobatan konstipasi
terdiri dari evakuasi tinja bila terjadi skibala dan dilanjutkan dengan terapi rumatan
yang terdiri dari obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orangtua dan konsultasi. Terapi
memerlukan waktu lama (berbulan-bulan) dan memerlukan kerjasama yang baik dengan
orangtua. Prognosis umumnya baik sepanjang orangtua dan anak dapat mengikuti program
terapi dengan baik.

Daftar pustaka
1. Abel E. Managing constipation in a pediatric patient: It is more than a simple problem. Clin
Excell Nurs Pract 2001;5:211-7.
2. Abi-Hanna A, Lake AM. Constipation and encopresis in childhood. Pediatr Rev 1998;19:1-17.
3. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, et al. Constipation in infants and children: evaluation
and treatment. A medical position statement of the North American 1Society 9 for Pediatric
2 0
Gastroenterology and Nutrition. JPGN 1999;29:615-26.
re t
4. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, Croffie JM. Clinical Practice
9 Ma Guideline. Evaluation and
o
str
treatment of constipation in infants and children : Recommendations of the North American
Ga Nutrition. JPGN 2006;43:e1-e13.
Socierty for Pesdiatric Gastroenterology, Hepatologyt and
a
5. Borowitz SM, Cox DJ, Tam A, et al. Precipitants
k rapof constipation during early childhood. J Am
Board Fam Pract 2003;16:213-8. tu
o
6. Burkitt DP, Walker ARP, Painter NS.rEffect un of dietary fiber on stools and transit-times, and its
st
Ga 1972;2:1408-12.
role in the causation of disease. Lancet
r
7. DiPalma JA. Current treatment
u Aja options for chronic constipation. Rev Gastroenterol Dis
2004;4:34-42. u k
eB
Fil disorders of the gastrointesrtinal tract. In: Gracey M, Burke V, editors.
8. Dodge JA. Functional
Pediatric Gastroenterology and Hepatology. Oxford: Blackwell, 1993.p.880-9.
9. Drossman DA, Sandler RS, McKee DC, et al. Bowel patterns among subjects nor seeking health
care. Gastroenterology 1982;83:529-34.
10. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Sari Pediatri 1994;2:51-6.
11. Focht III DR, Baker RC, Heubi JE, Moyer MS. Variability in the management of childhood
constipation. Clin Pediat 2006;45:251-6.
12. Lewis C, Muir J. A collaborative approach in the management of childhood constipation. Health
Visitor 1996;69:424-6.
13. Loening-Baucke V. Sensitivity of the sigmoid colon and rectum in children treated for chronic
constipation. JPGN 1984;3:454-9.
14. Loening-Baucke V. Factors determining outcome in children with chronic constipation and
fecal soiling. Gut 1989;30:999-1006.
15. Loening-Baucke V. Chronic constipation in children. Gastroenterology1993;105:1557-64.
16. Loening-Baucke V. Urinary incontinence and urinary tract infection and their resolution with
treatment of chronic constipation of childhood. Pediatrics 1997;100:228-32.
17. Ludwig S. Constipation. In: Fleisher GR, Ludwig S, editors. Textbook of Pediatric Emergency
Medicine. Baltimore: Williams & Wilkins, 1988.p.118-22.

199
Bab 12 Konstipasi pada Anak

18. Meunir P, Marechal JM, De Beaujeu MJ. Rectoanal pressure and rectal sensitivity studies in
chronic childhood constipation. Gastroenterology 1979;77:330-6.
19. Muller-Lissner SA. Effect of wheat bran on weight of stool and gastrointestinal transit time: a
metaanalysis. BMJ 1988;296:615-7.
20. Preston DM, Lennard-Jones JE. Anismus in chronic constipation. Dig Dis Sci 1985;30:413-8.
21. Rogers J. Childhood constipation and the incidence of hospitalization. Nursing Standard
1997;12:40-2.
22. Roy CC, Silverman A, Alagile D. Pediatric clinical gastroenterology. Mosby, St Louis, 1994.
23. Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. BMJ 2006;333:1051-5.
24. Steffen R, Loening-Baucke V. Constipation and encopresis. In: Wylie RW, Hyams JS, editors.
Pediatric gastrointestinal diseases. Pathophysiology, diagnosis, management. Saunders,
Philadelphia, 1999:43-50.
25. Stefen R, Schroeder TK. Paradoxical puborectalis contraction in children. Dis Colon Rectum
1992;35:1193-4.
26. Taitz LS, Water JKH, Urwin OM, et al. Factors associated with outcome in management of
defecation disorders. Arch Dis Chil 1986;61:472-77.
27. Tobias N, Mason D, Lutkenhoff M, Stoops M, Ferguson D. Management principle of organic
causes of childhood constipation. J Pediat Health Care 2008;22:12-23.
28. Weaver LT, Ewing G, Taylor LC. The bowel habit of young children. Arch Dis Child 1984;59:649-
52.
9
01
29. Weaver LT, Steiner H. The bowel habit of milk-fed infants. JPGN 1988;7:568-71.
2
re t
Ma
30. Whitehead WE, Schuster MM. Anorectal physiology and pathophysiology. Am J Gastroenterol
1987;82:487-97. 9
ro
ast 1996;19:88-93.
31. Young R. Pediatric constipation. Gastroenterol Nursing.
G
p at
r a
k
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

200
BAB

13
Inflammatory Bowel Diseases
Dwi Prasetyo

13.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak berusia 9 tahun dibawa ke poliklinik karena diare yang tidak sembuh-sembuh.
Diare dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Mulanya diarenya cair tanpa lender, tanpa darah.
Lama kelamaan muncul lendir dan darah. Anak juga sering mengeluh sakit perut, yang
juga dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Sakit perut dirasakan baik saat BAB maupun saat
tidak BAB. Sakit perut ini telah menyebabkan anak berkali-kali tidak masuk sekolah. Badan
anak semakin lama semakin kurus. Dari pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak lemah
dan kurus, nyeri tekan di perut bagian kanan dan kiri. Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan angka leukosit yang meningkat. Pada pemeriksaan tinja didapatkan darah dan
lender.
Anak tinggal bersama kedua orangtuanya di lingkungan industri. Paman si anak juga
sering sakit perut dan diare yang telah dirasakan bertahun-tahun dan sering menyebabkan
sang paman datang ke dokter.

13.2 Pendahuluan
Inflamatory bowel disease (IBD) adalah istilah umum yang digunakan untuk membedakan
dua kelainan yang berhubungan dengan proses inflamasi di saluran pencernaan, yaitu:
Penyakit Crohn (PC) dan Kolitis Ulserativa (KU). Kelainan ini harus dibedakan dengan
penyakit-penyakit lain yang mempunyai gejala klinis dan laboratoris yang hampir sama,
seperti infeksi, alergi dan neoplasma. Oleh karena IBD juga mempunyai manifestasi
ekstraintestinal, maka sebagai klinikus harus mampu mengenal gejala klinis dengan baik,
hal ini penting untuk dapat mengatasi masalah yang bisa ditimbulkan seperti keterlambatan
pertumbuhan, artritis, hepatitis dan anemia.

13.3 Definisi
Kolitis ulserativa adalah proses peradangan yang mukosanya relatif homogen, dimulai dari
rektum dan meluas sampai kolon proksimal. Abses kripta sering ditemukan. Inflamasi yang
terbatas pada rektum didapatkan pada 10% pasien, dinamakan proktitis ulserativa, 30%

201
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

kasus didapatkan pada kolon bagian kiri dan sekitar 40%-50% didapatkan pada seluruh
kolon, dinamakan pankolitis.
Penyakit Crohn adalah proses peradangan kronis transmural yang dapat ditemukan
di salah satu bagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Pada awalnya
ulkus terjadi superfisial termasuk folikel limfoid (aphthous lesion), kemudian inflamasi dapat
menyebar secara bertahap ke dalam lapisan submukosa, muskularis dan serosa. Peradangan
transmural dapat menyebabkan fistula. Granuloma sebagai gejala yang patognomonik
untuk PC, hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien. Proses inflamasi yang ditemukan di
ileum terminalis berkisar 30% kasus, sedangkan yang disertai ileum dan kolon sekitar 60%,
dan yang terbatas pada kolon 10%-20%. Inflamasi gastroduodenal didapatkan 30%-40%.

13.4 Epidemiologi dan Genetik


IBD didapatkan sama pada laki-laki dan perempuan, umumnya pada orang kulit putih,
di belahan bumi utara lebih banyak daripada selatan, daerah urban lebih sering daripada
rural, dan sering ditemukan pada keturunan Yahudi. PC banyak terjadi pada pasien dengan
Turner syndrome, Hermansky-Pudlak syndrome dan Glycogen storage disease type IB. Salah
satu faktor resiko yang berperan penting untuk terjadinya IBD adalah adanya hubungan
9
keluarga yang menderita pada tingkat pertama. Kemungkinannya
2 01 mencapai 10%-25%.
Diduga tempat kelainannya adalah pada kromosom 6 dan 16. Faktor t
re lain yang juga berperan
Ma limfosit B, adhesi leukosit
adalah reseptor komplemen, adhesi sel mikrobakterial,o 9fungsi
r
G ast
dan reseptor interleukin-4 (IL-4). Perinuclear antineutrophil antibody (pANCA) ditemukan
t
pa
sekitar 70% pada penderita KU, dan 6% padaapenderita PC.
r
tuk
o un
13.5 Patogenesis rG
astr
Aj a
Penyebab pasti dari IBD u belum diketahui secara pasti, serta mempunyai perjalanan klinik
Buk
e
yang bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronis. Kemungkinan genetik telah diketahui sebagai
Fil IBD, yang dapat terlihat bahwa terjadinya IBD adalah pada etnik
faktor predisposisi
tertentu dan bersifat familial. Kebanyakan peneliti mempertimbangkan kemungkinan
akibat suatu infeksi, tetapi sampai saat ini tidak ada infeksi spesifik yang berhubungan
dengan IBD. Beberapa bakteri, termasuk Salmonella, Shigella, Campylobacter dan Yersinia
dapat menyebabkan inflamasi intestinal akut, tetapi secara histopatologis biasanya dapat
dibedakan dengan IBD kronis. Tidak ada bukti yang menunjang bahwa Mycobacterium
paratuberculosis berperan dalam patogenesis PC. Hal ini berbeda dengan pendapat pada
beberapa tahun yang lalu. Diduga infeksi virus campak dapat menyebabkan vaskulitis
granulomatosa yang berperan penting pada patogenesis PC. IBD jarang terjadi pada anak
yang mengalami gangguan koagulasi bawaan seperti hemofilia dan penyakit Von Willebrand.
Patogenesis dan PC dan KU dibahas lebih rinci dalam bab masing-masing.

202
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 13.5.1. Perbedaan antara KU dan PC


Lokasi penyakit Kolitis Ulserativa Penyakit Crohn
Saluran pencernaan atas 0% 20%
Ileum 0% 19%
Ileum dan kolon Backwash ileitis 52%
Kolon 90% (predominan pada kolon distal ) 9% ( predominan pada kolon proksimal)
+100% 50%
Rektum Jarang 25%
Perianal Continuous involment, forehortening, loss of Segmental involvement, skip regions, mural
Radiologi haustra, irregular mucosal margins, normal thickening, stenotic separate loops, abnormal
terminal ileum terminal ileum
Hemorrhagic mucosa, diffuse continuous Patchy involvement, skip regions, relative rectal
Sigmoidoskopi inflammation, pseudopolyps sparing, focal aphtae, linear ulcers
Transmural inflammation, non-caseating
Histologi Mucosal and submucosal inflammation, cryptitis, granulomas, prominent lymphoid tissue,
crypt abscess, distortion of architecture preserved goblet cells, fibrosis
Sumber: Jackson & Grand, 1991.

Penyakit Crohn 9
2 01
Penyakit ini terutama terjadi pada dewasa muda, ditandai dengan
aret inflamasi subakut atau
kronis. Ulserasi yang terjadi pada mukosa berhubungan dengan
o 9 M adanya disproporsi reaksi
jaringan ikat pada dinding usus, suatu proses yang sering r
st mengakibatkan stenosis usus dan
berhubungan dengan pembentukan fistula yang multipel. t Ga
a
ap
rnontuberkulosa
Sejak pertama kali dikenal sebagai ileitis k pada tahun 1813 dengan
karakteristik yang unik sebagai chronic u ntu
inflammatory disease, yaitu regional ileitis, oleh
a stro
Crohn, Ginzburg dan Oppenheimer G pada tahun 1932. PC kemudian menjadi lebih
Ajar
heterogen termasuk dalam perubahan anatomi dan histologinya. PC dapat mengenai bagian
u
manapun dari saluran B uk
pencernaan, tidak hanya regional dan gambaran histologisnya tidak
i l e
harus ada gambaran F granulomatosa. Pada anak-anak, PC sama dengan yang terjadi pada
dewasa, kecuali dalam hal pengaruh terhadap pertumbuhan dan pematangan pada anak
dan remaja.
Sekarang telah diketahui bahwa PC adalah suatu penyakit kronis, transmural dan
proses inflamasinya dapat mengenai berbagai segmen saluran cerna, mulai dari mulut
sampai anus, tetapi tidak secara kontinyu. Usus besar adalah sebagai tempat utama yaitu
90% kasus, terutama terjadi pada ileum distal (70%) dan biasanya kombinasi dengan kolitis,
yaitu ileokolitis (50%). PC yang mengenai mulut, esofagus dan gaster frekuensinya jarang
dan biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi disertai dengan kelainan pada tempat lain. Secara
klinis sangat sulit untuk diprediksi dengan berbagai variasi respon terhadap terapi dan
cenderung untuk berulang dan berakhir dengan tindakan operasi.

Epidemiologi
Studi epidemologi penyakit inflamasi saluran cerna pada anak-anak sangat terbatas.
Insidensi PC di Skandinavia adalah 5,3 per 100.000 populasi, dengan insidensi spesifik
pada usia 15-19 tahun, yaitu 16 per 100.000 dan untuk umur kurang dari 15 tahun 2,5 per

203
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

100.000. Di Skotlandia, insidensi PC pada anak kurang dari 16 tahun pada tahun 1983
adalah 2,3 per 100.000. Prevalensi PC pada saat itu diperkirakan sekitar 9,5 per 100.000 anak,
sedangkan survei oleh British Pediatric Gastroenterelogy Group, prevalensi PC adalah 11 per
100.000 anak berusia diatas 18 tahun. Walaupun insidensi PC pada kebanyakan populasi di
negara barat meningkat tajam dari tahun 1950 sampai 1980, tetapi pada penelitian terbaru
memperlihatkan adanya penurunan kasus baru. PC lebih banyak terjadi pada orang berkulit
putih, mengenai pria dan wanita sama banyak. Sekitar 25% kasus baru PC terjadi pada usia
<20 tahun. Puncak insidensi PC muncul pada dekade 2 dan 3 kehidupan, kurang dari 5%
kasus anak terjadi pada usia dibawah 5 tahun .
Suatu penelitian di Stockholm, Swedia pada tahun 1990-2001 didapatkan adanya
peningkatan insidensi PC. Pada tahun 1990-1992 insidensinya 1,7 dan meningkat menjadi
8,4 per 100.000 pada tahun 1999-2001.
PC ini terjadi lebih banyak terjadi pada orang Yahudi dan dari populasi Yahudi ini
PC umumnya mengenai keluarga asli Eropa tengah dari pada asli Polandia dan Rusia. Pada
studi dari Amerika Serikat, PC muncul lebih sering di belahan utara daripada belahan
selatan, seperti perbandingan daerah urban dan rural.

Etiologi 01
9
t 2
Walaupun telah dilakukan investigasi yang intensif, etiologi
MarePC (dan juga KU) masih
9
belum diketahui secara pasti. Diduga ada predisposisi ogenetik pada IBD, karena penyakit
ini cenderung lebih banyak terjadi pada keluarga str
atingkat pertama. Hipotesis tambahan
G
p at
menyatakan bahwa agen infeksius, toksin lingkungan, regulasi imun abnormal, faktor diet,
k ra
u ntu
abnormalitas endokrin, dan faktor psikologis mungkin secara bersama menyebabkan IBD.
ro
G ast
Observasi Genetik jar
u A
Hubungan antara faktor
uk familial dan IBD telah diketahui secara luas. Pada saat diagnosis
e B KU maupun PC ditemukan adanya hubungan famili pada tingkat
ditegakkan, baikilpada
F
pertama sebesar 5%-25%, sedangkan pada anak kembar kasus PC ditemukan 17-35 kali
dibandingkan dengan populasi umum.
Tidak ditemukan adanya marker (penanda) genetik yang spesifik untuk KU maupun
PC. Walaupun demikian diduga bahwa Human Leukocyte Antigen (HLA) B 44 dan CW
5 mungkin berperan dalam perkembangan PC. Telah diduga bahwa predisposisi IBD
adalah diwariskan, tapi faktor lain (lingkungan, infeksi dan imunologi) juga terlibat dalam
patogenesisnya.

Infeksi
Pada awalnya PC diduga disebabkan oleh infeksi, karena banyaknya kesamaan dengan
tuberkolosis usus. Dugaan ini telah menetapkan infeksi Mycobacterium ke dalam
patogenesis PC. Tetapi pada penelitian akhir-akhir ini secara serologis, maupun kultur dan
pemeriksaan imunologis tidak menyokong peran Mycobacterium pada PC.
Walaupun bermacam-macam jenis bakteri (Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, Aeromonas, Clostridium difficile, Escherichia coli) dapat menyebabkan PC atau KU,
tidak satupun yang dapat diisolasi dari feses atau jaringan dari penderita IBD. L-form bakteri

204
Buku Ajar Gastrohepatologi

diduga sebagai penyebab dari PC. Tidak ada bukti kejadian yang telah dilaporkan bahwa
virus atau Chlamydia sebagai faktor etiologi PC dan secara serologis pun tidak menyokong.

Mekanisme imunologi
Sistem imun telah lama diperkirakan berperan penting dalam patogenesis IBD. Bukti yang
menyokong berdasarkan pada gambaran histopatologi lesi intestinal, respon dari penyakit
terhadap terapi imunosupresif, komplikasi sistemik yang diduga disebabkan oleh faktor
imunologi, dan berbagai pemeriksaan laboratorium.
Dilaporkan bahwa sel T CD 4 dan sistem imun yang kompeten berperan penting
dalam patogenesis PC. Penyembuhan jaringan yang terinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma,
makrofag dan sel-sel inflamatorik lain mempengaruhi sistem imun untuk berkembang
menjadi inflamasi saluran pencernaan. Sel limfoid merupakan ¼ jumlah sel yang ada
dalam saluran pencernaan dan GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) merupakan
komponen utama dari sistem imun tubuh. GALT diorganisasikan oleh beberapa komponen
penghubung, termasuk Peyer’s patch, sel limfosit lamina propia, dan sel lymph intraepitel.
Sistem limfoid ini secara tetap distimulasi oleh makanan dan antigen mikroba. Sel M
dalam folikel limfoid Peyer’s patch, tampak sebagai bagian utama dari masuknya antigen.
Walaupun tidak spesifik untuk PC, lesi aphtous atau ulserasi epitel dapat 9
2 01 merupakan gejala
awal PC. Kemungkinan bahwa adanya defek dalam antigen processing t atau imunoregulasi
M are
dapat menyebabkan suatu inflamasi yang kronis. Keadaan 9ini termasuk stimulasi kronis
ro
dan proliferasi limfosit, pelepasan sitokin, pengambilan
G astneutrofil dan sel efektor lain serta
kerusakan jaringan. at
r ap
k intestinal pada PC dilatarbelakangi oleh
ntu
Hipotesis lain menyatakan bahwa kerusakan
u
respons otoimun. Hipotesis ini telahrodisokong dengan ditemukannya antibodi pada sel
st
epitel intestinal. Ga
Ajar
u
Alergi dan diet Buk
l e
Fi
Stimulasi sistem imun saluran pencernaan oleh antigen dietetik merupakan faktor potensial
untuk terjadinya PC. Berdasarkan data yang dilaporkan, reaksi imun yang diperantarai lg-E
mungkin berperan penting. Antibodi serum dari protein susu sapi ditemukan lebih tinggi
pada penderita PC daripada KU maupun kontrol, dan diduga terjadi karena peningkatan
ambilan dari antigen dietetik atau peningkatan respon imunologis. Pemberian ASI dapat
menurunkan ambilan makromolekular oleh saluran cerna imatur, telah ditemukan dalam
satu studi efek proteksi terhadap perkembangan PC. Pada penelitian lain yang lebih besar dan
melibatkan hampir 500 anak dengan IBD dari beberapa negara, tidak ditemukan hubungan
antara perkembangan penyakit dan frekuensi pemberian ASI atau faktor diet yang lain.

Faktor psikologis
Faktor emosional telah lama dipikirkan menjadi hal penting dalam potogenesis IBD,
tetapi tidak terdapat hubungan sebab akibat yang dapat diperlihatkan, dan adanya stres
pada kehidupan yang terjadi sebelum onset penyakit adalah tidak biasa pada IBD daripada
kontrol. Sebagai tambahan, tidak didapatkan kejadian stres atau depresi yang dapat
mempresipitasi eksaserbasi penyakit. Walaupun tidak secara langsung menyebabkan PC,

205
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

tetapi telah diyakini bahwa perubahan status emosional dapat mempengaruhi sistem imun
dan selanjutnya dapat mempengaruhi aktifitas penyakit.

Patologi
Gambaran makroskopis
Gambaran makroskopis pada usus ditandai dengan penebalan dinding sebagai hasil edema
transmural dan inflamasi kronis. Penebalan mural sering dihubungkan dengan penyempitan
lumen yang dapat menyebabkan obstruksi. Mesenterium menebal dengan edema, indurasi
lemak berpindah ke permukaan serosa usus, kelenjar limfe mesenterium kadang juga ikut
membesar. Pada mukosa usus dapat terjadi lesi-lesi kecil, yang dapat bergabung menjadi
besar tak beraturan atau ulkus yang dalam. Inflamasi usus dan ulkus dapat konfluens, tetapi
yang lebih karakteristik adalah adanya titik-titik kecil dengan skip areas dan bahkan secara
mikroskopis seperti pada mukosa normal. Gambaran cobblestone pada batas permukaan
dapat terjadi sebagai hasil dari perluasan linier dan ulserasi mukosa yang berhubungan
dengan regenerasi dan hiperplasi. Produksi beberapa sitokin pada jaringan yang inflamasi
dapat berperan sebagai stimulus untuk sintesis kolagen.
Intestinal loop dapat menjadi lebih tebal karena inflamasi pada serosa dan mesenterium.
9
Fistula-fistula dapat muncul ketika inflamasi pada transmural usus 2 01meluas melalui serosa
t
ke dalam struktur yang lebih luas, seperti dinding abdomen,
M aresaluran kemih, vagina atau
9
perineum. Kadang-kadang saluran fistula dapat berakhiro sebagai massa inflamasi (flegmon)
yang meluas ke saluran cerna dan bagian-bagian tr
assaluran cerna seperti mesenterium,
t G
kelenjar limfe, dan kadang sebagai rongga abses p ayang bersifat kronis aktif .
a
r
tuk
un
ro
Gambaran mikroskopis
G ast
r
Temuan dari pemeriksaanjahistologis PC tergantung pada berapa lama penyakit sudah
A
udemikian, gambaran klasik lesi PC adalah enterokolitis transmural.
berlangsung. Walaupun k
Pada awal penyakitl Bu bermanifestasi sebagai lesi aphthoid superfisial dari mukosa, biasanya
edapat
Fi
berada di atas folikel limfoid. Granuloma sering terdapat pada stadium awal. Sesuai dengan
perjalanan penyakit, ulkus mukosa dapat menjadi konfluens. Dalam perkembangannya ulkus
pada mukosa dapat meluas menjadi konfluen dan menghasilkan ulkus yang luas dan dalam.
Inflamasi ini secara karateristik menyebar ke submukosa dan ditandai dengan edema, dilatasi
limfatik, dan deposisi kolagen. Terakhir adalah kemungkinan adanya obliterasi submukosa,
yang mengakibatkan striktur, obstruksi, atau keduanya. Ulserasi fisura yang dalam ke bagian
muskularis propria sering terjadi dan merupakan gambaran yang khas untuk PC, walaupun
tidak terdapat granuloma. Abses kripta dan pengeluaran sel goblet umum terlihat tapi bukan
sebagai tanda utama KU. Metaplasia pilorik dan hiperplasia neuronal sering terdapat pada
pemeriksaan histologis, tetapi tidak spesifik.
Walaupun didapatkan gambaran histologis yang klasik pada PC, granuloma dapat
tidak ditemukan pada 40% kasus bedah yang direseksi dan 60%-80% dari biopsi mukosa.
Granuloma dapat ditemukan pada lapisan manapun dari dinding usus, tetapi kebanyakan
terdapat pada submukosa superfisial. Granuloma tersebut dapat pula tampak pada struktur
ekstraintestinal seperti kelenjar limfe mesenterium dan peritoneum.

206
Buku Ajar Gastrohepatologi

Distribusi anatomi
Gambaran anatomi gastrointestinal pada anak dan dewasa dengan PC adalah berdasarkan
gambaran radiologis. Sekarang telah diketahui bahwa pemeriksaan endoskopi dan histologi
dapat menemukan suatu inflamasi meskipun secara radiografi saluran cerna masih normal.
Pada pemeriksaan radiografi, daerah yang paling banyak terkena adalah ileum terminalis
(50%-60%) dan berbagai bagian dari kolon, terutama pada kolon asenden. Sekitar 30%-
35% terdapat hanya pada usus kecil, dan 10%-15% penderita terbatas pada usus besar,
sedangkan yang mengenai esofagus, gaster atau duodenum kurang dari 5%.

Patofisiologi dari gejala intestinal


Terdapat inflamasi aktif pada usus besar dan usus kecil mengakibatkan sejumlah perubahan
fisiologis yang berakhir dengan diare, perdarahan saluran cerna, dan nyeri perut. Perluasan
ke jejunum dan ileum dapat menyebabkan malabsorpsi. Malabsorpsi asam lemak pada
kolon mengganggu absorbsi air dan elektolit. Fungsi abnormal ileum terminalis dapat
menyebabkan hilangnya asam empedu dengan penurunan konsentrasi asam empedu
dalam lumen usus dan menambah berat steatorrhea, sedangkan penurunan garam empedu
juga secara signifikan menurunkan absorpsi elektrolit dalam kolon. Pertumbuhan bakteri
berlebih pada usus kecil berhubungan dengan obstruksi dan stasis atau 1fistula9 enteroenterik
2 0
yang dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa dan dekonjugasi t asam empedu, serta
menyebabkan gejala yang lebih buruk. Mare
9
Fungsi normal kolon adalah untuk absorbsi sejumlah stro besar cairan dan elektrolit,
Ga
dimana absorbsi cairan dan elektrolit tersebut secara p at signifikan akan turun pada kolitis.
a
Mediator inflamasi seperti prostaglandin dan tu k rleukotrien, dapat mengubah permeabilitas
n
saluran cerna dan transport elektrolit.
tro u Penyakit pada mukosa yang meluas dapat
mengakibatkan eksudasi protein G as dan perdarahan. Nyeri abdomen diakibatkan oleh
serum
j ar
distensi usus, biasanya berhubungan
A dengan obstruksi, inflamasi atau iritasi dari serosa
u ku Motilitas saluran cerna yang abnormal akibat distensi perut
akibat inflamasi transmural.
eB
dapat menyebabkan Filkram pada perut.

Manifestasi Klinik
Gambaran klinis PC pada anak dan remaja dapat dilihat pada Tabel 13.5.2 yang menonjol
adalah gejala nyeri abdomen dan diare.

Tabel 13.5.2. Gambaran klinis dari 325 anak dengan PC


Gejala %
Nyeri perut 75
Diare 65
Berat badan turun 65
Retardasi pertumbuhan 25
Mual/ muntah 25
Pendarahan rektal 20
Penyakit perirektal 15
Manifestasi ektraintestinal 25
Sumber: Wylie & Hyams, 1993.

207
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

Bentuk dari nyeri perut bervariasi tergantung pada daerah usus mana yang terkena.
Ketidaknyamanan pada daerah perut kanan bawah biasanya pada kelainan ileum terminalis
dan sekum yang bisa diperiksa dengan palpasi. Nyeri pada daerah umbilikal biasanya karena
kelainan kolon atau kelainan usus yang difus. Nyeri perut terdapat pada 70% anak-anak
yang mempunyai kelainan gastroduodenal. Odinofagia dan disfagia terdapat pada PC yang
mengenai esofagus. Biasanya nyeri perut akibat PC bersifat persisten dan sering membuat
anak terbangun dari tidurnya. Nyeri perut ini biasanya memburuk bila makan dan bila
kolon terlibat maka akan bertambah sakit pada saat defekasi.
Diare terdapat pada dua pertiga anak dan bila anak terbangun pada malam hari kerena
diare maka hal ini adalah suatu keadan yang selalu patologis. Perdarahan biasanya setelah
ada ulserasi pada dinding usus dan melibatkan pembuluh darah besar. Demam terdapat
pada 50% pasien, sering disertai mual-muntah, anoreksia dan kehilangan berat badan.
Kadang sebelum diagnosis PC ditegakkan, ditemukan inflamasi perirektal seperti fisura
dan fistel yang memberikan gambaran hemoroid atau kondiloma perianal.

Manifestasi Ekstraintestinal
Gejala klinis di luar saluran pencernaan sering didapatkan pada PC (3,4,5).
9
2 01
t
Persendian
M are
Artralgia dan artritis didapatkan sampai 15% pada anak 9 dengan PC dan mungkin dapat
timbul beberapa tahun sebelum gejala pada saluran a tro
spencernaan muncul. Pada umumnya
G
terjadi pada persendian besar di kaki. Artritis p at umumnya tidak menyebabkan kelainan
a
bentuk, bersifat sementara dan asimetrik. tu kr
Ankilosing spondilitis ditemukan sekitar 2%-6%,
biasanya berhubungan dengan HLA-B27. o un
str
r Ga
ja
Muskuloskeletal
kuA
u
i l eB
Mialgia sering dilaporkan, terutama bila mendapat kortikosteroid dosis tinggi. Miositis
granulomatosa,Fmiopati, dan dermatomiositis juga pernah dilaporkan.

Kulit
Manifestasi pada kulit diadapatkan lebih kurang 1%-4%, dapat berupa eritema nodosum,
pioderma gangrenosa, epidermolisis bulosa akuisita, poliartritis nodosa dan PC metastatik.

Mukosa mulut
Sariawan sering ditemukan pada anak dengan PC, meskipun tidak begitu sakit tetapi
membuat keadaan menjadi tidak nyaman.

Kelaian mata
Hampir 10% pasien mempunyai komplikasi pada mata, termasuk iritis, episkleritis, uveitis
dan pseudotumor orbital. Katarak subkapsular posterior didapatkan pada pemakaian
kortikosteroid dalam jangka lama.

208
Buku Ajar Gastrohepatologi

Vaskular
Manifestasi vascular antara lain trombositosis, peningkatan fibrinogen, faktor V dan faktor
VIII, serta penurunan antithrombin III. Komplikasi vaskular yang lain misalnya trombosis
vena, emboli pulmonal dan penyakit neurovaskular dengan kejang dan ensefalopati. Juga
didapatkan vaskulitis pada aorta dan arteri subklavia.

Ginjal
Obstruksi ureteral dan hidronefrosis dapat ditemukan pada kasus inflamasi ileokolon,
gejala lain yang ditemukan adalah fistula enterovesikel, infeksi perivesikal, abses perinefrik
dan nefrolitiasis.

Hepatobiliaris
Didapatkan abnormalitas hati dan sistem biliaris termasuk fatty liver, perikolangitis,
skelerosing kolangitis, hepatitis kronis, sirosis, granuloma hepatik, abses hati, kolelitiasis,
kolesistitis granulomatosa dan kolesistitis akalkulosa. Steatosis hepatis sering ditemukan
pada anak dengan malnutrisi dan lebih buruk bila mendapat terapi kortikosteroid

9
Komplikasi Gastrointestinal 201
aret
Pendarahan
o 9M
r
Perdarahan masif pada saluran pencernaan didapatkan
G astlebih kurang 1%. Perdarahan ini
t
pa
disebabkan karena ulserasi pembuluh darah besar.
ra
tuk
Obstruksi un
o
a str
G
Obstruksi saluran pencernaan terjadi sekunder akibat peradangan dinding usus yang berat
dengan atau tanpa flegmon Ajar abses. Striktur biasanya berhubungan dengan inflamasi
atau
ku
uoperasi
yang kronis atau akibat
e B sebelumnya. Hal lain yang dapat menyebabkan obstruksi,
Filgiant pseudopolyposis, gallstone ileus dan karsinoma. Obstruksi letak
tetapi jarang adalah
rendah yang kronis dapat menyebabkan bakteri tumbuh lampau.

Perforasi
Perforasi jarang terjadi pada PC, bila didapatkan biasanya pada daerah ileum, meskipun
demikian dapat juga terjadi di bagian lain dari saluran cerna.

Abses
Inflamasi usus transmural yang disertai fistula dan perforasi dapat menyebabkan abses,
dapat berupa abses enteroperitoneal, interloop, intramesenterik, retroperitoneal-ileopsoas,
hepatik, splenik atau subdiafragmatika.

Fistula
Fistula sering terjadi pada PC, terutama pada daerah perianal dan perirektal, dapat juga
terjadi pada enteroenterik, enterovesikal, enterovaginal dan enterokutaneus.

209
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

Megakolon toksik
Frekuensinya pada anak-anak belum diketahui, tetapi sangat rendah, sedangkan pada
dewasa didapatkan 2%-11%.

Karsinoma
Kemungkinan karsinoma usus pada penderita PC lebih kurang 20 kali lebih besar dari
populasi normal.

Malnutrisi
Penyebab malnutrisi biasanya multifaktorial, termasuk intake diet yang suboptimal,
pengeluaran gastrointestinal yang bertambah, malabsorpsi dan peningkatan kebutuhan
akibat proses inflamasi. Anoreksia adalah tanda penting. Anak-anak tidak makan karena
takut nyeri abdomen atau buang air besar yang bertambah banyak. Inflamasi mukosa
mengakibatkan hilangnya unsur-unsur sel dan hematochezia, serta dapat terjadi protein-
lossing enteropathy dan anemia defisiensi besi.
Malabsorpsi komponen-komponen makanan dapat terlihat pada PC. Malabsorpsi
lemak bisa terjadi karena: 9
1. Berkurangnya bile acid pool sekunder akibat malabsorpsi asam 2 01empedu dari penyakit
re t
ileum atau akibat reseksi ileum.
9 Ma
2. Meluasnya penyakit pada mukosa usus halus. o
str
Ga proksimal.
3. Pertumbuhan berlebih bakteria pada daerah tusus
a
r ap
ntuk
u
ro
G ast
Ajar
Peningkatan kebutuhan Pemasukan sub-optimal
u
Buk
e
Fil
Peningkatan kehilangan
Malabsorbsi di sistem gastrointestinal

MALNUTRISI

GAGAL TUMBUH

Kortikosteroid

Gambar 13.5.1. Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya malnutrisi dan gagal tumbuh pada anak dan remaja dengan IBD
Sumber: Wylie & Hyams, 1993.

210
Buku Ajar Gastrohepatologi

Malabsorbsi laktosa terjadi pada 30% anak dengan PC. Hipoalbuminemia sering
ditemukan. Dapat terjadi pula defisiensi besi, asam folat, vitamin B 12, asam nikotinat,
vitamin. D, vitamin K, kalsium, magnesium dan seng.

Gagal Tumbuh
Gangguan pertumbuhan pada anak dengan PC adalah akibat rendahnya nutrisi yang
berlangsung lama. Idealnya dilakukan pengukuran secara serial dengan interval 6-12 bulan
untuk mengukur kecepatan pertumbuhan, kemudian dibuat perbandingan dengan nilai
normal yang diharapkan untuk kecepatan pertumbuhan terhadap umur dan jenis kelamin.
Pada anak dengan PC yang terdapat gangguan pertumbuhan, didapatkan kadar
insulin-like growth factor 1 (IGF –1, disebut juga somatomedine C) yang rendah, sedangkan
kadar growth hormone biasanya normal. Dosis terapi kortikosteroid yang tinggi dan lama
secara signifikan berhubungan dengan gangguan kecepatan pertumbuhan.

Gangguan Psikologis
Perhatian yang mendalam telah dilakukan terhadap implikasi psikologis pada anak-anak
dan dewasa dengan IBD. Gangguan yang sering ditemukan adalah depresi, yang dapat
timbul pada saat diagnosis atau dalam perjalanan penyakitnya. 19
20 t
Mare
Diagnosis 9
ro
G ast
Diagnosis PC ditegakkan berdasarkaan kombinasi at pemeriksaan klinis dan laboratorium
seperti pemeriksaan radiologi, endoskopi k dan rap histologi. Karena pemeriksaan fisik
tu
melibatkan berbagai sistem di luar saluran
o un pencernaan, diagnosis kadang-kadang menjadi
st
terlambat beberapa bulan hingga beberapar tahun sebelum diagnosis yang tepat ditegakkan.
r Ga
Aj a
Pemeriksaan fisik u ku
B
ile seorang anak tersangka PC sebaiknya dilakukan pemeriksaan
Pada pemeriksan Ffisik
abdomen secara berhati-hati dengan memperhatikan kekenyalan, kepadatan atau massa.
Pemeriksaan yang lembut dilakukan untuk mendapatkan tanda-tanda iritasi peritoneal.
Sebaiknya dilakukan inspeksi yang teliti pada daerah perirektal dan perineum. Adanya
stomatitis, clubbing, artritis, eritema nodosum, atau pioderma gangrenosa mengarah pada
IBD. Tinggi dan berat saat pemeriksaan harus dicatat dan dibandingkan dengan tinggi dan
berat sebelumnya untuk melihat perubahannya.

Pemeriksaan laboratorium
Dalam menilai seorang anak atau remaja dengan tersangka PC seringkali perlu
dilakukan beberapa pemeriksaaan hematologi dan biokimia untuk keperluan skrining
sebelum dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih mahal dan invasif. Kelainan yang
sering ditemukan adalah anemia (70%), peningkatan laju sedimentasi eritrosit (80%),
Hipoalbuminemia (60%) dan Guiaiac – positif stool (35%). Meskipun trombositosis sering
terjadi, jumlah leukosit pada umumnya normal. Anemia yang paling sering ditemukan
terjadi sekunder karena defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan darah dan kadar
Fe serum dan feritin serum yang rendah. Makrositosis mengarah pada defisiensi folat atau
vitamin B12.

211
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

Kadar seng, magnesium, kalsium dan fosfor dalam serum bisa rendah pada pasien
dengan kekurangan nutrisi. Kadar aminotransferase serum abnormal pada kira-kira 10%
pasien ketika didiagnosis. Breath hydrogen test yang digunakan untuk untuk memeriksa
malaborsitasi laktosa dapat membantu dalam pengelolaan makanan. Pemeriksaan yang
teliti terhadap spesimen feses yang multipel sebaiknya dilakukan untuk bakteri usus
patogen dan parasit. Alfa-1 antitripsin feses, meskipun tidak biasa dilakukan, abnormal
pada hampir 90% kasus. Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan piuria atau
infeksi yang berhubungan dengan fistula enterovesikal.

Pemeriksaan radiologi
Pada seluruh kasus dengan tersangka IBD, pemeriksaan radiologi gastrointestinal dilakukan
untuk mengkonfirmasi diagnosis, mengetahui penyebaran penyakit, dan membantu
membedakan PC dan KU. Pada penderita dengan suspek kolitis akut yang berat, barium
enema harus ditunda karena mempunyai risiko terjadinya perforasi atau megakolon toksik.
Meskipun barium mempunyai sejarah sebagai pemeriksaan primer untuk memeriksa
penyakit kolon, kedudukannya tergeser oleh pemeriksaan kolonoskopi dimana telah
memberikan andil besar dalam pemeriksaan anak. Bila memungkinkan double contrass (air-
barium) enema lebih baik dibandingkan pemeriksaan single contrass19dalam melihat detail
20 adanya irregularitas,
ret
mukosa. Fluoroskopi yang teliti dilakukan untuk mengidentifikasi
a
nodularitas (coblestoned), penebalan lengkungan usus seperti
o 9 M area stenosis (string sign),
r
ast
ulkus yang dalam, dan fistula. Nodularitas ileal sering ditemukan pada PC dan mungkin
G
at
sulit dibedakan dengan nodular lymphoid hyperplasia (NLH). Meskipun NLH biasanya
mempunyai diameter 3 milimeter atau kurang, r ap inflamasi, edema, fibrosis dan spasme
memberikan gambaran seperti massaundan tuk menyebabkan kesulitan membedakannya dari
ro
limfoma.
G ast
jar di kuadran kanan bawah pasien PC mengambarkan sebuah
Adanya massa yang kenyal
A
u
flegmon inflamasi atau
Bukabses. Pemeriksaan USG memperlihatkan penebalan dinding usus.
e
CTscan membantu Fil menggambarkan perluasan ekstramural dari peradangan dengan
fistulasi, abses abdomen dan pelvis. Pemeriksaan radioisotop dengan memberi label
pada leukosit dengan indium-111 (In-111) telah digunakan pada pasien dewasa untuk
mengidentifikasi keterlibatan segmen usus, diantaranya mengidentifikasi abses. Pada anak,
skintigrafi In-111 kurang sensitif dan spesifik dibandingkan kolonoskopi dan biopsi untuk
mendeteksi IBD pada kolon karena indium mempunyai waktu paruh yang panjang (3 hari).

Pemeriksaan endoskopi dan histologi


Pemeriksaan endoskopi dan histologi pada saluran pencernaan sangat bernilai untuk
mendiagnosis PC dan membedakannya dari KU. Ditemukannya rektum dan kolon
sigmoid yang normal pada sigmoidoskopi fleksibel dan biopsi pada pasien dengan diare
berdarah persisten dapat menyingkirkan diagnosis KU. Kultur kuman patogen yang negatif
menguatkan dugaan adanya PC. Ditemukannya secara fokal atau segmental gambaran
histologis adanya fisura, sinus, sarcoid-like granuloma atau ulserasi pada ileum terminalis
menunjang diagnosis PC. Kemampuan untuk menampilkan biopsi ileum terminalis selama
kolonoskopi menambah sensitifitas prosedur ini dalam membantu menegakkan diagnosis
PC. Granuloma ditemukan kurang lebih hampir 1 dari 3 kasus dengan biopsi endoskopi

212
Buku Ajar Gastrohepatologi

pada kolon dan lebih banyak ditemukan dengan biopsi multipel. Fosfo-soda enema dan
bisakodil supositoria dapat menyebabkan perubahan inflamasi nonspesifik pada mukosa
rektum, sehingga sebaiknya dihindari penggunaannya pada pasien yang akan menjalani
pemeriksaan sigmoidoskopi. Esofagogastroduodenoskopi dan biopsi lebih sensitif daripada
pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi PC pada saluran pencernaan atas.

Diferensial diagnosis
Berbagai variasi gambaran PC memberikan diagnosis diferensial yang banyak. Nyeri
pada kuadran kanan bawah memberi kesan apendisitis, infeksi (Campylobacter, Yersinia),
neoplasma (khususnya limfoma), penyakit pada ovarium, intususepsi, adenitis mesenterika
dan divertilkulum Meckel. Nyeri periumbilikal kronis atau nyeri perut pada epigastrium
sering dipertimbangkan sebagai irritable bowel syndrome, konstipasi, intoleransi laktosa,
penyakit lambung atau kelainan saluran kemih. Jika ditemukan diare berdarah maka hal
ini lebih mengarah pada infeksi, hemolytic uremic syndrome, Henoch-Schonlein purpura,
dan ischemic bowel. Adanya diare cair yang kronis dipertimbangkan sebagai irritable bowel
syndrome, intoleransi laktosa, giardiasis atau pemakaian sorbitol yang berlebihan. Inflamasi
perirektal, fisura atau tags mungkin diduga sebagai infeksi streptokokus pada perianal,
hemoroid dan kondiloma. Perawakan pendek dan keterlambatan perkembangan pubertas
0 19
seringkali diperiksa untuk menentukan apakah penyakitnya merupakan t 2 kelainan endokrin
sebelum diputuskan sebagai PC. Anoreksia dan penurunan berat Marebadan dapat dikacaukan
9
dengan anoreksia nervosa. Demikian juga gejala persendian stro yang persisten dan terutama
Ga
p at
artritis panggul sering diduga sebagai juvenile rheumatoid arthritis jika tidak terdapat
r a
keluhan gastrointestinal. Pada PC perlu dipertimbangkan hepatitis kronis bila didapatkan
gangguan hati. ntuk
u
o
astr
Terapi j arG
u A
Sampai saat ini belumBada uk terapi secara kuratif untuk PC, terapi yang ada hanya untuk
e
menghilangkan gejalaFil dan komplikasinya. Terapi PC dapat dibagi 4 kategori dasar, yaitu
farmakologis, nutrisi, bedah, dan psikologis. Masing-masing mempunyai keterbatasan, dan
biasanya diberikan secara kombinasi.
Suatu penelitian di Inggris menyatakan bahwa terapi IBD sangat kompleks, sehingga The
British Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition merekomendasikan
untuk terapi anak dengan IBD sebaiknya ditangani oleh unit gastroenterologi anak.

Farmakologis
Beberapa kombinasi terapi dapat efektif dan menyebabkan remisi dari PC. Setelah tercapai
keadaan remisi maka dosis dapat diturunkan secara bertahap. Jadwal, dosis, dan indikasi
dapat dilihat pada tabel 13.5.3.

Kortikosteroid
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kortikosteroid secara signifikan efektif
menyebabkan remisi pada pasien PC, baik pada usus halus maupun usus besar.
Mekanismenya adalah menghambat reaksi imun yang diperantarai netrofil dan monosit

213
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

dengan cara menghambat produksi leukotrien dan prostaglandin. Bila remisi telah tercapai,
dosis diturunkan secara bertahap dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Absorbsi
prednison kurang baik, dan beberapa pasien pada awalnya membutuhkan pemberian
secara parenteral. Walaupun beberapa pasien memerlukan perawatan di rumah sakit dan
mendapat kortikosteroid secara parenteral, tetapi belum ada penelitian yang menyatakan
bahwa pemberian secara parenteral lebih baik daripada pemberian secara oral. Pemberian
kortikosteroid harus berhati-hati pada pasien PC dengan sepsis intraabdominal, karena
dengan dosis yang tinggi dapat menghilangkan gejala infeksi intraabdominal atau bahkan
gejala perforasi (masking effect). Efek samping pemberian yang lama dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan, katarak subkapsular posterior dan glaukoma, juga nekrosis aseptik
kaput femoris, kolaps vertebra, hipertensi dan depresi. Dapat juga efek samping kosmetik,
seperti akne, facial puffines, hirsutisme dan striae. Dengan cara pemberian selang sehari
(0,2-0,5mg/kgBB), efek samping dapat dikurangi.

Sulfasalazin
Obat ini hanya efektif untuk PC pada usus halus. Obat terbaru golongan ini (aminosalicylic
acid/ASA) yaitu 5-ASA adalah yang sering digunakan, tetapi belum direkomendasikan
untuk anak-anak. Banyak peneliti menggunakan 5-ASA enema (mesalamin) 9 yang efektif
untuk pengobatan penyakit pada kolon bagian distal. Efek antiinflamasi 2 01 dari sulfasalazin
t
redengan
adalah menurunkan sintesis prostaglandin dan leukotrien Ma menghambat jalur
9
siklooksigenase dan lipooksigenase dari metabolisme tasam ro arakhidonat.
G as
Efek samping pada awalnya adalah mual, nyeri at perut dan sakit kepala, sedangkan bila
telah berlangsung lama dapat menyebabkan r aprash hipersensitif, depresi sumsum tulang,
tuk
un yang reversibel.
pankreatitis dan infertilitas pada laki-laki
o
astr
j arG
Antibiotika A
u ku
Antibiotika spektrum
i l e B luas sering dibutuhkan untuk mengobati abses intraabdominal
yang merupakan F salah satu manifestasi PC. Kombinasi 3 macam obat sering digunakan,
yaitu ampisilin, gentamisin dan metronidazol. Pertimbangan menggunakan metronidazol
biasanya pada daerah kolon (perirektal). Mekanismenya masih belum jelas, tapi diduga
karena efeknya terhadap bakteri anaerob. Efek samping yang sering ditemukan pada
penggunaan jangka panjang (4-11 bulan) adalah neuropati perifer, yang bersifat reversibel.

Imunosupresif
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, digunakan pada pasien yang telah mengalami
ketergantungan kortikosteroid dosis tinggi. Dengan obat ini, dapat menghilangkan gejala
dengan prosentase keberhasilan 75%, diikuti dengan penurunan dosis kortikosteroid.
Kebanyakan pasien mengalami perbaikan setelah pengobatan selama 3-4 bulan. Efek
sampingnya berupa pankreatitis, depresi sumsum tulang, reaksi alergi dan drug induced
hepatitis.
6-merkaptopurin juga digunakan pada kasus perirektal yang berat atau adanya fistula
internal, serta sebelum panproktokolektomi dan ileostomi pada pasien dengan gejala yang
intractable atau PC berat.

214
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 13.5.3. Terapi Farmakologis PC


Obat Dosis harian Indikasi Keterangan
Prednison 1-2mg/kgbb Kelainan pada usushalus dan Remisi tercapai, turun kan 5 mg
1-2x/hr, maks 40-60mg usus besar per minggu, kemudian stop.
Sulfasalazin 30-50mg/kgbb Kelainan pd usus besar ada pasien alergi atau intoleran,
2-3x/hr, maks 3 g dianjurkan menggunakan 5-ASA
Metronidazol 15-20mg/kgbb Kelainan perirektal atau pada Menggunakan jangka panjang
2-3x/hr, maks 1,5g kolon
6-Merkaptopurin 1-2mg/kg atau Penyakit berat Toksisitas kortikosteroid Efeknya setelah 3-6 bln
azatioprin 2x/hr, maks 100mg Membutuhkan monitoring ketat
Sumber: Wylie & Hyams, 1993.

Nutrisi
Penderita PC terjadi mengalami defisiensi makronutrien maupun mikronutrien, sehingga
peran terapi nutrisi menjadi sangat penting. Penilaian status gizi dilakukan dengan
mengukur berat badan, tinggi badan, growth velocity, data antropometrik dan kadar protein
serum. Defisiensi mineral dan vitamin (besi, asam folat, vitamin B12, kalsium, magnesium
dan seng) diterapi secara spesifik.
9
01 tambahan dan
Terapi nutrisi dibagi menjadi 3 bagian, yaitu terapi primer,t 2terapi
re
persiapan preoperatif. Ma 9
stro
Terapi primer G a
p at
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa a
r masa remisi pasien PC aktif yang mendapat
ntuk
terapi diet elemental sama dengan yang mendapat u kortikosteroid, tetapi pada penelitian akhir-
akhir ini didapatkan peningkatan dan a tro cepat terjadinya remisi pada pasien yang mendapat
slebih
G
jar dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan nutrisi
terapi kortikosteroid dan sulfasalazin
A
u
Buk
enteral dengan diet oligopeptida. Pemberian nutrisi parenteral tidak lebih efektif untuk remisi
i l
daripada diet elemental. e Telah diketahui bahwa diet elemental dapat menurunkan inflamasi
F
intestinal dengan menurunkan stimuli antigen ke saluran pencernaan. Kadang-kadang anak
dengan PC yang disertai gangguan pertumbuhan, tetapi gejala pada saluran cernanya minimal
dapat diterapi hanya dengan diet elemental jangka panjang tanpa disertai obat-obatan.

Terapi tambahan
Dukungan nutrisi yang intensif dapat digunakan sebagai terapi tambahan terhadap terapi
farmakologis dalam beberapa keadaan klinis. Pada pasien dengan PC berat dan disertai
malnutrisi, nutrisi parenteral total berguna untuk meningkatkan simpanan protein tubuh.

Terapi preoperatif
Perbaikan suatu defisiensi nutrisi mutlak dibutuhkan untuk persiapan operasi yang besar
pada pasien PC.

Bedah
Lebih kurang 50%-70% anak atau dewasa dengan PC membutuhkan tindakan bedah dalam
10-15 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Indikasi untuk tindakan bedah dapat dilihat

215
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

pada tabel 13.5.4. Paling sering dilakukan tindakan bedah bila gejalanya masih menetap,
meskipun telah mendapat terapi farmakologis. Pasien dengan penyakit pada ileum lebih
cenderung mengalami obstruksi dan membutuhkan tindakan bedah daripada bila terjadi
di kolon.
Reseksi bukan merupakan terapi kuratif, sehingga pasien dan keluarganya harus
diberi inform concent yang jelas tentang resiko kemungkinan rekurensi. Lebih kurang 80%
anak-anak dengan reseksi ileum terminalis atau ileosaekal secara klinis membaik 4 tahun
setelah tindakan bedah. Rekurensi setelah panproktokolektomi dan ileostomi tergantung
keadaan saat operasi, bila operasi untuk ileokolitis maka rekurensinya 70% dalam 5-10
tahun, sedangkan bila hanya kolitis rekurensinya 15%.

Tabel 13.5.4. Indikasi tindakan bedah pada PC


Gagal setelah terapi medikamentosa
Gejala klinis menetap
Toksisitas akibat kortikosteroid
Social invalidism
Obstruksi akut atau kronis
Gastroduodenal
Usus halus
Usus besar
Perdarahan 9
Lesi usus halus 2 01
Lesi usus besar re t
Kolitis fulminan dengan ataupun tanpa toksik megakolon 9 Ma
ro
ast
Perforasi
Bebas G
at
Tertutup, disertai abses
r ap
Fistula k
Intractable perirectal disease u ntu
ro
ast
Enteroenterik
Enterokutaneus G
Enterovesikal Ajar
u
Enterovaginal
Retardasi pertumbuhan le B
uk
Karsinoma Fi
Uropati obstruktif
Sumber: Wylie & Hyams, 1993.

Psikiatri
Sangat penting untuk memonitor secara psikologis dan sosial akibat dari IBD. Sering kita
dapatkan keadaan gangguan psikologis, terutama depresi. Oleh karena itu penanganannya
harus secara tim, termasuk anak tersebut dan keluarganya. Anak-anak harus diajak untuk
membicarakan aktifitasnya yang sesuai dengan kemampuannya, karena sering kali pada
saat mencapai masa remaja masih belum dapat mandiri.

Prognosis
PC merupakan penyakit kronik dengan periode eksaserbasi dan remisi, hanya 1% pasien
yang mengalami satu kali relaps setelah diagnosis dan terapi awal. Pada umumnya pasien
dengan ileokolitis mempunyai respon yang buruk terhadap terapi medikamentosa dan
memerlukan tindakan bedah bila dibandingkan dengan yang hanya terbatas pada usus halus.

216
Buku Ajar Gastrohepatologi

Suatu penelitian melaporkan, lebih dari 40% eksaserbasi pada anak-anak berhubungan
dengan adanya infeksi virus sebelumnya, terutama virus Epstein-Barr atau adenovirus.
Infeksi virus menyebabkan penurunan sistem imunitas tubuh, sehingga memudahkan
terjadinya eksaserbasi.
Mortalitas PC berbeda pada beberapa penelitian, bervariasi dari 0 sampai 2 kali lipat
dari populasi normal. Kematian akibat PC pada anak-anak sangat jarang.

Kolitis Ulserativa
Lebih dari seabad sejak Wilks dan Moxon memperkenalkan KU sebagai IBD idiopatik
yang meliputi mukosa kolon dan rektum. Langkah besar telah dibuat untuk memahami
gambaran patologi klinik, riwayat alamiah, dan komplikasi penyakit. KU biasanya terjadi
pada populasi muda, lebih kurang 20% didiagnosis sebelum umur 20 tahun. Peningkatan
dalam akurasi diagnosis seperti juga perbaikan terapi medis dan bedah telah meningkatkan
perhatian pada anak dengan KU.

Epidemiologi
Terdapat perbedaan insidensi di tiap negara. KU paling sering terjadi di 9 Amerika Utara,
Skandinavia, dan Eropa, dimana terjadi peningkatan frekuensi dit 2daerah 01 selatan Eropa
are
dan beberapa negara yang sedang berkembang di benua lain. M Laporan insidensi bervariasi
9
antara 2 sampai 14 per 100.000 populasi, dengan umurstinsidensi ro spesifik pada 10 hingga
19 tahun. Dibandingkan dengan PC insidensi KU astabil G a atau menurun di beberapa negara,
t
seperti Inggris, Denmark, Finlandia dan Swedia. r ap
k
Prevalensi KU berkisar antara 6 hingga u ntu100 pasien per 100.000 tergantung pada tempat
ro
G ast
yang disurvei. Seluruh laporan memperkirakan prevalensi KU di Eropa Utara dan Amerika
menjadi 50 hingga 75 per 100.000,j ar penyakit ini sama terjadi pada laki-laki dan perempuan.
A
KU jarang terjadi pada anak
u ku di bawah 5 tahun, meskipun onset pada bayi pernah dilaporkan.
e B dan dewasa muda paling sering muncul antara usia 15 dan 25
Fil
Onsetnya pada anak-anak
tahun, dan lebih banyak terjadi pada ras kulit putih, khususnya Yahudi.
KU bisa bersifat familial (diwariskan), dan telah diketahui dengan baik, dengan
kejadian berkisar dari 5%-29%. Diturunkan pada tingkat pertama lebih tinggi daripada
tingkat dua atau tiga dengan adanya riwayat KU pada keluarga. Studi pada anak kembar
memperlihatkan bahwa kejadian PC (44%) lebih tinggi daripada KU (6,3%). Beberapa
faktor lingkungan seperti merokok, pil kontrasepsi dan faktor makanan merupakan faktor
risiko terjadinya KU.

Etiologi
Etiologi KU masih belum diketahui dengan pasti, walaupun telah banyak penelitian yang
dilakukan. Beberapa teori telah diajukan seperti faktor genetik, perubahan imunitas, infeksi,
alergi, diet, dan faktor psikologis.

Pengaruh genetik
Studi epidemiologi yang memperlihatkan peningkatan prevalensi KU dalam keluarga
tingkat pertama mendukung bahwa faktor genetik memberikan kontribusi pada

217
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

patogenesisnya. Adanya kaitan dengan sistem major histocompatibility antigen (MHA)


belum dapat dipastikan, karena berbagai studi dari beberapa negara memperlihatkan
clustering haplotipe-haplotipe yang berkaitan dengan etnis dan geografi dari penyakit secara
spesifik. Telah ditemukan adanya kaitan antara KU dengan HLA-B5 dan HLA-DR-2 di
Jepang, dengan HLA-A2, BW35, dan BW40 pada Yahudi Ashkenazi di Israel, dan dengan
HLA-A11 di Belanda. Sebaliknya hubungan antara HLA-B27 dengan ankylosing spondylitis
dan kolitis tampak menjadi lebih universal.

Imunitas
Antineutrophil cytoplasmic antibodies pada pasien dengan KU telah diidentifikasi dengan
jelas dan terdapat pada mayoritas pasien KU tetapi tidak pada PC. Sebuah penelitian
yang membandingkan spesifisitas antineutrophil cytoplasmic antibodies dari KU dengan
peradangan usus lainnya menunjukkan bahwa antibodi tersebut sensitif dan spesifik
terhadap KU hingga sebesar 60% dan 94%. Antibodi ini juga berhubungan dengan kolangitis
skerosing. Peranan spesifik antineutrophil antibodies dalam patogenesis KU masih belum
jelas.

Infeksi
9
Sampai sekarang tidak terdapat bukti yang kuat yang mendukung2 01 bahwa infeksi
re t
bertanggung jawab secara langsung dalam patogenesis KU.a Beberapa agen infeksi telah
diselidiki, termasuk beberapa bakteri dan virus. 9M
ro
G ast
Alergi dan diet p at
r a
ktu
Alergi terhadap antigen dalam diet adalah
o un salah satu diantara teori awal yang menjelaskan
penyebab KU. Alergi protein susu r
stsapi telah secara luas dipelajari dan menyokong teori di
r Ga
atas, salah satu penelitian memperlihatkan adanya perbaikan gejala ketika penderita diberi
Aja
diet bebas susu dan relapsu
Buk jika diberi lagi.
e
Fil
Masalah pemberian makan dini pada bayi dan penyapihan dini masih menjadi
perdebatan, apakah merupakan presipitasi terjadinya KU. Beberapa studi mengenai hal ini
masih kontroversial.

Faktor psikologi
Hubungan antara faktor psikologis dengan KU masih merupakan tanda tanya pada
beberapa dekade, beberapa laporan ada yang menyatakan berhubungan dan sebagian lagi
menyatakan tidak.

Patologi
Gambaran makroskopis
Gambaran makroskopis KU bervariasi tergantung pada berat dan lamanya penyakit,
umumnya hanya mengenai kolon dan rektum, dan jarang meluas ke ileum terminalis.
Daerah yang terkena adalah kelanjutan dari rektum proksimal disertai mukosa yang
abnormal.

218
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pada fase awal kerusakan mukosa terlihat adanya peningkatan aliran darah permukaan
yang memberikan gambaran eritem yang difus. Dengan meningkatnya proses inflamasi,
arsitektur vaskular rusak; menyebabkan edema yang dikenal sebagai granularity. Karena
adanya peningkatan inflamasi dan perluasan abses kripta, batas mukosa menjadi tidak jelas,
sehingga menyebabkan pengelupasan daerah superfisial menjadi ulserasi dan meyebabkan
perdarahan spontan. Pada kerusakan yang progresif, abses kripta ruptur dan bersatu pada
dasar kripta, kemudian membelah daerah superfisial mukosa dan muskularis mukosa,
selanjutnya menjadi besar, datar, dan menjadi ulkus mukosa yang dipisahkan oleh daerah
inflamasi nonulserasi yang tampak sebagai nodular, polipoid atau pseudopolip filamentosa.
Mucosal bridge terbentuk dari gabungan satu polip dengan yang lainnya. Karena KU adalah
penyakit yang mengenai mukosa, maka serosa biasanya tampak normal, tetapi dapat terlihat
berbagai tingkatan hiperemia. Inflamasi yang aktif dapat menembus dinding kolon dan
menyebabkan abses perikolik yang kecil. Pada keadaan remisi, vaskular dan ulkus sembuh
tetapi pseudopolip menjadi fibrosis dan terjadi penebalan dinding.

Gambaran mikroskopis
Secara histologi KU akut ditandai oleh inflamasi dalam kripta, tidak adanya sel goblet dan
adanya inflamasi kronis pada lamina propria. Gambaran histologis awal adalah 9 adanya edema
pada lamina propria dan kongesti pembuluh darah mukosa, disertai 2 01 dengan kumpulan
t
sel polimorfonuklear pada lamina propria dekat dengan dasarMkripta. are Pada KU yang akut
9
didapatkan kumpulan dari limfosit, eosinofil, dan sel mast
s tro pada lamina propria, sehingga
dapat membantu untuk meyingkirkan diagnosis kolitis a sebab yang lain. Infiltrasi neutrofil
Goleh
p at
yang berasal dari penumpukan kecil dalam epitel a
tu k r kripta (Cryptitis) menginvasi lumen kripta
(Crypt abcess). Sejalan dengan perkembangan un penyakit, abses menyebar pada kripta yang
lain dan membesar, dan timbul ulserasi tr o mukosa. Epitel kripta memperlihatkan penurunan
s
jumlah sel penghasil mukosajaryang Ga menggambarkan tingkat inflamasi akut, sedangkan
A
penurunan jumlah sel goblet
u ku dalam kripta menggambarkan tingkat yang lebih lanjut. Lesi
eB
pada KU umumnyailterbatas pada mukosa meskipun pada kasus yang berat dapat meluas
F
pada submukosa, bahkan bisa sampai ke seluruh lapisan termasuk serosa.
Penyembuhan proses inflamasi mempunyai gambaran yang bervariasi. Pada proses
penyembuhan umumnya, mucin pada bagian superfisial kripta meningkat kembali ke
keadan normal. Regenerasi kripta dapat menyebabkan pemendekan muskularis mukosa,
meskipun pada permukaan tampak relatif normal. KU memperlihatkan distorsi arsitektur
dari mukosa dengan Paneth’s cell metaplasia, enteroendocrine cell hyperplasia, dan sedikit
infiltrasi limfoid, tetapi tanpa infiltrasi neutrofil, kriptitis, abses kripta, atau kerusakan epitel.

Gambaran klinis
Kebanyakan pasien anak dengan diagnosis KU terjadi pada saat remaja. Gejala yang
terpenting adalah diare. Dari 125 anak yang didiagnosis KU terdapat gejala diare (93%),
perdarahan rektal atau nyeri perut (86%), kelemahan (67%), penurunan berat badan (51%),
mual dan muntah (42%), serta demam (37%). Setengah dari anak dan remaja mempunyai
onset yang insidious disertai demam intermiten yang tidak begitu tinggi disertai diare ringan
dan pendarahan rektal, dan hampir selalu disertai nyeri perut ringan tanpa kehilangan berat

219
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

badan atau hipoalbuminemia. Pada kasus yang lebih berat, didapatkan pada 1/3 pasien
dengan diare berdarah, tenesmus, demam ringan, penurunan berat badan dan anemia
ringan. Kasus fulminan terjadi pada 10% anak, dengan tinja berdarah lebih dari 6 kali
per hari, demam, penurunan berat badan dan takikardi. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan hipoproteinemia, anemia, leukositosis, dan trombositosis. Keadaan yang
ekstrim adalah megakolon toksik yang ditandai dengan distensi abdomen, demam dan
takikardi. Tanda lainnya adalah hipotensi, dehidrasi dan perubahan status mental.

Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
endoskopi, radiografi dengan barium dan histopatologi.

Pemeriksaan laboratorium
Penderita KU pada anak 50% memiliki anemia hipokromik, peningkatan laju endap darah
atau trombositosis. Hipoalbuminemia banyak terdapat pada pasien dengan KU berat dan
biasanya berhubungan dengan kerusakan mukosa. Pada pemeriksaan tinja didapatkan
leukosit dan darah. Pemeriksaan mikrobiologi dari feses diperlukan untuk mencari adanya
telur, parasit, bakteri patogen, dan toksin Clostridium difficile. 9
201
aret
Endoskopi 9M
tro s
Walaupun banyak perbedaan pada pemeriksaan klinis
t Ga dan radiologi yang ditemukan pada
a
rap diagnosisnya tidak mudah. Pemeriksaan
KU, PC dan kolitis yang lain, tetapi kadang-kadang
k
tu
endoskopi pada mukosa kolon secara nvisualisasi langsung dapat membantu menegakkan
o u
diagnosis. str
r
Secara endoskopi, manifestasiGa dini dari luka di kolon adalah bertambahnya aliran
ja
darah pada mukosa sehinggaku A terjadi eritema difusa. Hilangnya gambaran vaskular normal
u
menghasilkan gambaran
i l eB mukosa granular, dimana terjadi pembengkakan mukosa karena
edema. UlserasiF kecil pada permukaan yang disertai kerusakan mukosa menyebabkan
pendarahan spontan. Ulkus kecil bisa menjadi ulserasi yang luas, dan tidak pernah
dikelilingi oleh mukosa normal tetapi selalu dikelilingi dengan peradangan.
Ulkus pada PC, khas didapatkan di submukosa, pada endoskopi tampak berupa ulkus
aphthosa pada area mukosa yang normal. Pengerasan yang disebabkan oleh inflamasi
submukosa adalah patognomonik untuk PC. Pengerasan yang berat dapat dikacaukan
dengan bentuk pseudopolip; pseudopolip umumnya tinggi dan ramping, serta mukosa yang
berdekatan biasanya flat. Walaupun tidak spesifik, secara endoskopi ada gambaran yang
membedakan antara kolitis akibat infeksi dengan IBD, yaitu adanya eksudat kekuningan
yang sebagian menutupi permukaan mukosa, tak ada ulserasi dan mukosa yang hiperemis.
Kolonoskopi atau sigmoidoskopi dipakai untuk membuat diagnosis yang spesifik,
dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsi.

Radiografi
Gambaran radiologi abdomen pada penyakit ringan-sedang biasanya normal, sedangkan
pada kolitis yang berat terdapat thumbprinting akibat adanya edema mukosa, dilatasi

220
Buku Ajar Gastrohepatologi

abnormal dari kolon (lebih 8 cm) atau keduanya.


Barium enema dapat menunjukkan keadaan yang abnormal. Penggunaan double
contrass lebih baik karena lebih sensitif. Pada awalnya ditemukan gambaran granular
menyerupai pasir halus atau kasar, sedangkan pada keadaan lanjut, ulserasi menjadi lebih
dalam dan menembus submukosa sehingga memberi gambaran usus yang iregular. Lesi
polipoid bisa dikenali dan biasanya berbentuk pseudopolip. Bila penyakit menjadi kronis,
haustra akan hilang secara progresif dari kolon kiri ke saekum dan suatu saat kolon menjadi
pendek dan menyerupai stove pipe yang sempit.
Pemeriksaan USG berkorelasi dengan radiografi dan endoskopi tapi tidak menolong
dalam membuat diagnosis diferensial.

Diagnosis Diferensial
Tanda yang predominan dari KU pada anak adalah diare, perdarahan rektal, dan nyeri
perut. Sedangkan kolitis infeksiosa disebabkan oleh Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, enterohemorrhagic E. coli, Aeromanas atau Entamoeba dan dapat memberikan
gejala yang sama dengan KU dan dapat dibedakan dengan kultur feses. Diare berdarah
dari sindroma hemolitik uremik dapat menyerupai KU. Kolitis akibat C. difficile mungkin
9
2 01
bisa menyerupai KU, dan identifikasi toksin pada tinja dan adanya pseudomembran pada
pemeriksaan endoskopi menolong dalam penegakkan diagnosis.aBila t
re gejala kolitis menetap
9M
atau relaps walaupun terapi untuk kolitis infeksiosa telah odilakukan, maka diagnosis dari
str
KU harus dipikirkan. a
atG
Irritable bowel syndrome dapat disertai diare p
ra dan nyeri perut, tapi tanpa pendarahan
tuk
rektal. Pada pemeriksaan fisik normal, nlaboratorium, dan proktosigmoidoskopi dapat
o u
menyingkirkan diagnosis KU. Kolitis stralergi umumnya timbul pada bayi, sedangkan pada
G a
anak yang lebih besar kolitis eosinofilik dapat mirip dengan KU.
j ar
kuA
u
le B
Manifestasi Ekstraintestinal
Fi
Komplikasi sistemik dari IBD dapat terjadi pada hampir setiap organ tubuh. Manifestasi
ekstraintestinal dapat mendahului, menyertai atau mengikuti. Patogenesis dari gejala-gejala
tersebut masih belum jelas.

Muskuloskeletal
Artralgia dan artiritis monoartikular persendian besar adalah gejala terbanyak dari
manifestasi ekstraintestinal KU. Lebih kurang pada 10% anak, artritis bersifat migratorik
dan asimetrik pada sendi besar ekstremitas bawah. Kemerahan umumnya berhubungan
dengan IBD aktif, tetapi deformitas sendi jarang terjadi. Ankilosing spondilitis terjadi pada
6% penderita dan memiliki progresifitas pada penyakit spinal.

Dermatologis
Eritema nodosum dengan gambaran kemerahan, menonjol, tegas, nodul kecil dari 1
sampai beberapa sentimeter, biasanya terdapat pada permukaan ekstensor ekstremitas
atas dan bawah. Frekuensinya lebih banyak (<5%) daripada pioderma gangrenosa (<1%)

221
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

pada pasien dengan KU. Pioderma gangrenosa merupakan lesi ulseratif kutan yang klasik
pada KU tapi terdapat juga pada PC. Kebanyakan pasien dengan pioderma gangrenosa
mempunyai pankolitis.

Hepatobiliaris
Laporan insidensi masalah hepatobiliaris bervariasi antara 5%-10%, hubungannya masih
belum jelas. Lesi hepatobiliaris yang dilaporkan antara lain adalah perlemakan hati,
perikolangitis, sklerosing kolangitis, sirosis dan hepatitis kronis.
Infiltrasi lemak bersifat makrovesikular, nonspesifik, reversibel dan tidak pernah
menjadi kelainan yang permanen. Perikolangitis sering ditemukan pada spesimen biopsi
dari IBD. Insidensi sirosis pada KU berkisar 1%-5%, sedangkan hepatitis kronis masih
belum diketahui dengan pasti. Sklerosing kolangitis primer adalah suatu sindroma kolestasis
kronik yang ditandai adanya inflamasi fibrotik duktus biliaris, berakibat timbulnya obliterasi
duktus biliaris, sirosis dan gagal hati, yang terjadi pada lebih kurang 4% dari IBD, terutama
KU.

Hematologi
9
2 01
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan sebagai akibat
e t
dari kehilangan darah melalui saluran cerna. Pada pasien yangarmendapat sulfasalazin dapat
terjadi anemia makrositik. Hal ini berhubungan dengan 9 Mmalabsorbsi folat atau anemia
ro
hemolitik, tetapi jarang terjadi. ast
G
p at
r a
Vaskular k
u ntu
Tromboemboli yang terjadi padasIBD,
a tro lebih kurang 1,3%, terdiri dari trombosis vena yang
dalam, emboli paru, trombosis G
arteri dan vaskulitis serebral. Penyebab trombosis ini belum
diketahui, meskipun telah Ajar
ditemukan adanya bekuan yang abnormal.
u
Buk
e
Okular Fil
Uveitis asimtomatik pernah dilaporkan pada anak dengan IBD. Kelainan yang lain
adalah episkleritis, katarak, keratopati, ulserasi kornea marginal dan retinopati. Katarak
subkapsular dapat terjadi akibat pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dan lama.

Ginjal
Kalkuli ginjal terjadi lebih kurang 5% pada KU. Faktor litogenik mungkin berperan seperti
dehidrasi yang berlangsung lama, oliguria, menurunnya absorbsi air dan infeksi.

Gagal tumbuh
Retardasi pertumbuhan pada KU lebih jarang daripada PC. Gagal tumbuh yang berat pada
anak terjadi pada lebih kurang 2%. Motil dkk meneliti gagal tumbuh yang terjadi pada KU
19% dan PC 56%.

222
Buku Ajar Gastrohepatologi

Komplikasi
Perdarahan
Perdarahan rektum merupakan tanda yang sering didapat pada KU. Perdarahan hebat
jarang terjadi, insidensinya lebih kurang 3%. Penderita ini terlihat sakit berat dengan
perdarahan yang tiba-tiba sehingga memerlukan transfusi darah segera. Berbeda dengan
PC, kebanyakan didapat pada satu lokasi perdarahan yang tidak dapat diidentifikasi dan
hanya terlihat pada tempat erosi yang luas. Kebanyakan kasus ini diterapi secara konservatif.

Perforasi
Perforasi bebas pada kolon merupakan komplikasi serius pada KU, karena sering berakibat
peritonitis umum yang fatal pada 75% penderita yang dilaporkan pada tahun 1964. Hal ini
sering terjadi megakolon toksik atau kolitis yang berat, tetapi dapat juga terjadi pada kasus
yang sedang. Kebanyakan perforasi terjadi pada kolon sebelah kiri dan melibatkan berbagai
lokasi.
Gejala perforasi adalah nyeri perut yang menyeluruh, distensi, kaku dan tidak ada
bising usus. Terapi kortikosteroid dosis tinggi dapat menutupi gejala perforasi dan pada
penderita yang mendapat terapi ini harus dilakukan pemeriksaan foto abdomen untuk
mendeteksi adanya udara bebas. Hal ini merupakan indikasi untuk 19
0dilakukan kolektomi
t 2
emergensi. are
9M
stro
Striktur Ga
p at
Striktur kolon sebagai komplikasi kronis KU a
r dapat terjadi kapan saja. Berdasarkan
ntuk terjadi dalam 5 tahun pertama dari onset
pengamatan Edwards dan Truelove, sepertiganya
ou
penyakit, kebanyakan pada umur a5str– 25 tahun. Goulston dan McGovern menemukan
G
striktur pada 12% kasus operasi
Ajaryang dipantau dari penderita dengan kondisi berat, kronik,
u
uk Gambaran histologis tidak menunjukkan fibrosis yang berat
dan penyakit yang berlanjut.
B
il e
tetapi didapatkan Fhipertrofi dan penebalan lapisan muskularis mukosa. Striktur banyak
ditemukan di rektum dan sigmoid, tetapi dapat juga ditemukan pada seluruh bagian kolon.
Umumnya panjang striktur 2–3 cm, tetapi yang tepanjang adalah 15-30 cm.
Penanganan penderita dengan srtiktur kolon biasanya dengan tindakan bedah.
Ditemukannya striktur secara otomatis meningkatkan kemungkinan terjadinya karsinoma
dan lesi-lesi ini harus diperiksa dengan kolonoskopi dan biopsi untuk menyingkirkan
kemungkinan keganasan. Pemeriksaan ini mungkin tidak dapat membedakan jinak dari
keganasan striktur, terutama pada penderita yang telah mengidap KU selama 7-10 tahun.

Megakolon toksik
Megakolon toksik adalah suatu dilatasi kolon akut yang merupakan komplikasi yang jarang
terjadi, tetapi sangat berbahaya. Insidensinya pada KU sekitar 3%-5%. Megakolon toksik
bukan hanya merupakan komplikasi dari KU, tetapi kondisi ini dapat juga timbul pada
PC atau akibat infeksi. Pada suatu penelitian, dari 615 penderita PC didapatkan toksik
megakolon berkisar 3,7%. Jika kejadian PC dibatasi hanya pada kolon, insidensi megakolon
toksik 11%.

223
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

Beberapa faktor predisposisi terjadinya megakolon toksik adalah lama penyakit tidak
kurang dari 5 tahun, pankolitis, derajat beratnya penyakit, penggunaan opiat atau anti
kolinergik, penggunaan barium enema dan kolonoskopi.
Patofisiologinya belum dimengerti sepenuhnya. Hasil temuan patologinya adalah
inflamasi berat transmural dengan destruksi otot dan inflamasi serosa. Pada Lapisan otot
terjadi inflamasi dan infiltrasi sel menembus sampai ke lapisan terdalam dari dinding kolon,
sehingga terjadi gangguan fungsi otot polos, dengan manifestasi tidak adanya peristaltik
dan dilatasi kolon. Fungsi pertahanan kolon rusak, terjadi peritonitis lokal, kebocoran
toksin, pelepasan antigen bakteri dan akhirnya toksemia sistemik.
Kriteria untuk mendiagnosis megakolon toksik ada dua (Jalan dkk), yaitu: (1) dilatasi
kolon harus terlihat secara klinis (distensi abdomen atau tanda peritoneal) atau secara
radiografis (segmental atau distensi total kolon), dan (2) adanya tanda toksisitas seperti
demam, takikardi, leukositosis, dan anemia. Tanda yang lain adalah dehidrasi, perubahan
status mental, gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia dan hipotensi.
Penanganan megakolon toksik termasuk pengobatan inisial dan mempertimbangkan
kemungkinan tindakan bedah. Megakolon toksik harus diantisipasi pada setiap kasus IBD
khususnya pada penderita dengan pankolitis berat, serangan pertama kolitis atau riwayat
megakolon toksik. Jika kolitis berat tidak berespon dalam 2-3 hari, penderita9 harus dirawat
2 01
di rumah sakit. Penderita harus lebih diperhatikan adanya rdistensi e t abdomen, kejadian
toksis, atau adanya sejumlah udara dalam abdomen. Secara Ma radiografis pengembangan
9
selalu segmental dengan lokasi tersering adalah kolon strotransversum dan fleksura lienalis.
Ga
Gambaran lain adalah hilangnya haustrasi/lekukan. p at Ulserasi dinding kolon dapat terlihat.
a
Pada penelitian Fazio rata-rata garis tengah
tu k rkolon pada dilatasi maksimun adalah 9,2 cm
n
dengan range 5-16 cm.
trou
s
Ga
Karsinoma Ajar
u
uk resiko karsinoma kolon. Pada suatu penelitian jangka panjang
Penderita KU mempunyai
B
e
Fil
penderita KU, setelah satu dekade mempunyai risiko kanker 0,5%-1%. Resiko terjadinya
karsinoma kolon pada penderita KU sekitar 15% dibandingkan dengan 5% pada populasi
umum. Angka kejadian karsinoma kolon pada penderita di bawah 21 tahun bervariasi 9%-
20% pada rentang 20 tahun. Penderita paling muda dengan karsinoma kolon adalah 16
tahun dan stadium awal karsinoma terjadi 11 tahun setelah diagnosis tegak.
Karsinoma kolorektal yang muncul dengan latar belakang KU adalah adenokarsinoma.
Berbeda dengan adenokarsinoma lain, karsinoma kolorektal lebih infiltratif dan kurang
eksofilik. Tumor ini biasanya datar atau sedikit menonjol dan tidak lebih tinggi dari
polip adenomatosa, tetapi timbul secara langsung dari mukosa yang datar dan kemudian
menyebar melalui kolon.

Terapi
Tujuan terapi KU adalah penyembuhan inflamasi kolon, mencegah terjadinya eksaserbasi
dan komplikasi. Berbagai macam terapi dapat diberikan untuk KU, namun tidak satupun
yang memberikan hasil yang memuaskan.

224
Buku Ajar Gastrohepatologi

Sulfasalazin
Sulfasalazin (SASP) adalah obat yang dikembangkan oleh Svartz lebih dari 4 dekade
terakhir untuk mengobati reumatoid artritis. SASP kurang diabsorbsi di lambung dan usus
halus, setelah pemberian peroral hanya 10% yang berada dalam sirkulasi sistemik. SASP
terutama dimetabolisme di kolon menjadi sulfapiridin (SP) dan 5-aminosalicylic acid (5-
ASA) oleh bakteri anaerob dengan bantuan enzim azo-reduktase. SP dalam jumlah besar
diabsorbsi dan kemudian dimetabolisme di hati melalui proses asetilasi, glukuronidasi dan
hidroksilasi. Proses eliminasi terutama melalui jalur asetilasi. Dibandingkan dengan SP,
5-ASA tidak sepenuhnya diabsorpsi di kolon, yang dapat dilihat dengan rendahnya kadar
5-ASA pada serum dan urin.
Mekanisme pasti SP dan metabolitnya masih belum diketahui. SP dan 5-ASA
menunjukkan beberapa mekanisme kerja pada metabolisme eikosanoid dan folat, motilitas
leukosit dan bakteri flora usus. Mekanisme kerja ini menghambat sintesis prostaglandin
dan leukotrien, serta menurunkan aktivitas kemotaktik peptida bakteri, sehingga mencegah
pengambilan limfosit dan netrofil, dan memperkuat respon inflamasi. SP dan 5-ASA
tampaknya dapat menekan platelet activating factor.
Pada penelitian SP terdahulu, dengan dosis 4-6 gram perhari pada KU ringan dan
sedang memberikan hasil yang baik, namun terapi dosis tunggal untuk 9
2 01 KU akut berat
t
are
belum diteliti. Setelah terjadi remisi, pengobatan diteruskan selama setahun dengan dosis
2 gram perhari untuk mempertahankan remisi dan mencegah M relaps. Dosis tinggi 4 gram
t o9
rmemberikan
perhari, menurunkan relaps pada orang dewasa, tetapi s efek samping yang
t Gaefikasi SASP belum ada. Beberapa
pa
tidak dapat ditoleransi. Penelitian pada anak tentang
ra
tuk
Tabel 13.5.5. Efek samping SASP o un
astr
Hipersensitivitas
j arG
Demam A
Ruam (rash) u ku
eB
Artritis Fil
Perikarditis
Pleuritis
Pankreatitis
Hepatitis
Anemia autoimun
Diare berdarah
Kolitis akut
Reversibel
Oligospermia
Berkaitan dengan absorbsi folat
Anemia megaloblastik
Berkaitan dengan dosis
Dispepsia
Nyeri kepala
Anoreksia
Mialgia
Atralgia
Sumber: Wylie & Hyams, 1993.

225
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

peneliti merekomendasikan dosis 40-60 mg/kgBB/hari bersama dengan makanan, dengan


dosis maksimum 2-4 gram/hari. Untuk mengurangi efek samping (seperti yang terlihat
pada tabel 13.5.5) pemberian dimulai dengan dosis 25 mg/kgBB/hari selama 7-10 hari.
Sekitar 15%-30% penderita yang mendapat SASP timbul satu efek samping.

Aminosalisilat
Hipotesis tentang toksisitas SASP menyebabkan berkembangnya zat ASA baru untuk
pengobatan KU dan PC. Obat baru ini baik topikal maupun sistemik dapat memperluas
jangkauan terapi IBD.

Formula 5-ASA oral


Tiga mekanisme dari 5-ASA: (1) ikatan molekul pembawa dengan 5-ASA, (2) pH dependent,
obat ini merupakan delayed-release acrylic coating, dan (3) time-dependent-slow release.

Derivat asam aminosalisilat topikal


Preparat mesalamin topikal telah diteliti untuk terapi kolitis distal dan proktosigmoiditis,
diberikan dalam bentuk enema atau supositoria. Enema mesalamin (4 gram) lebih baik
dibandingkan plasebo atau hidrokortison topikal (100 mg) untuk01terapi 9 KU distal aktif,
e t 2
yang berlangsung selama 2-6 minggu. 5-ASA supositoria (500 r mg) juga mempunyai efek
9 Ma aktif.
yang lebih baik daripada plesebo untuk terapi proktosigmoiditis
o
str
Ga
Kortikosteroid p at
k ra
Kortikosteroid sangat berguna untuk tu
o un terapi IBD, terutama efek antiinflamasinya.
tr
Bioavilabilitas sistemiknya sangatsbaik, dalam darah berikatan dengan globulin (trascortin)
dan albumin. Peningkatanardosis Ga dan hipoalbuminemia akan menyebabkan ikatannya
j
kuA
berkurang dan akan meningkatkan toksisitas.
Bu
e
Fil
Peran kortikosteroid adalah mengontrol sintesis imunomodulasi protein. Pada tingkat
selular, glukokortikoid berikatan dengan reseptor spesifik dalam sitosol dari sel nukleus.
Pada KU, prednisolon menginduksi sintesis inhibitor fospolipase A dan siklooksigenase,
sehingga menghambat produksi eikosanoid pada mukosa kolon.
Obat topikal baru seperti budesonid mempunyai potensi 15 kali predsinolon dan lebih
kurang 100 kali hidrokortison.

Imunosupresif
6-Merkaptopurin dan Azatioprin
6-Merkaptopurin (6-MP) adalah analog purin yang berperan mengintervensi sintesis asam
nukleat. Azatioprin bekerja dengan menurunkan inaktivasi 6-MP. Meskipun mekanisme
kerjanya belum diketahui dengan pasti, tetapi telah diketahui bahwa keduanya menurunkan
toksisitas limfosit dan menekan amplifikasi dari cell-mediated immunity.

Siklosporin A
Siklosporin adalah supresor dari cell-mediated immunity. Bekerja menghambat produksi
limfokin dari helper T cells (gamma interferon and IL-2), dengan menghambat T cell-

226
Buku Ajar Gastrohepatologi

dependent B cell activation and expantion of helper and cytotoxic T cell subsets and by
promoting antigen-specific suprresors T cells.
Penggunaan siklosporin pada KU masih terbatas. Pada kasus proktokolitis pada orang
dewasa yang mendapat siklosporin 12 mg/kgBB, menunjukkan perbaikan secara klinis dan
histologis setelah terapi selama 6 minggu.

Metotreksat
Metotreksat adalah suatu antagonis asam folat. Suatu penelitian melaporkan efektifitas
penggunaan metotreksat 25 mg perminggu secara intramuskular pada 21 pasien KU atau
PC yang refrakter. Lima dari 7 pasien KU menunjukkan perbaikan klinis. Penggunaan
masih sangat terbatas oleh karena efek samping jangka panjang, seperti pneumonitis dan
fibrosis hepar.

Terapi suportif
Nutrisi
Nutrisi parenteral pada pasien KU masih belum dapat diprediksi dan umumnya tidak
9
terjadi remisi jangka panjang. Werlin dan Grand melaporkan 14 remaja1dengan kolitis berat
2 0
yang mendapat nutrisi parenteral pada awalnya mengalami perbaikan,t tetapi hanya satu
M are
pasien yang dapat mempertahankan remisinya setelah 2 tahun. Nutrisi parenteral tidak
direkomendasikan sebagai terapi primer untuk KU. astr
o9
G
p at
r a
Antimikrobia k
u ntu
Metronidazol bekerja mempertahankan ro remisi dari KU tanpa komplikasi. Sedangkan
pada KU yang berat, pemakaianr G ast
metronidazol secara tunggal maupun kombinasi dengan
A j a
kortikosteroid tidak berespon
u dengan baik.
Buk
le
Tindakan bedah Fi
Kebanyakan pasien dengan KU adalah ringan sampai sedang, yang dapat dikelola dengan
hanya terapi medikamentosa. Lebih kurang 5%-10% membutuhkan tindakan bedah segera,
oleh karena tidak berespon dengan terapi medikamentosa atau keadaan yang mengancam
jiwa akibat komplikasi (misalnya: perdarahan, perforasi atau megakolon toksik).

Tabel 13.5.6. Indikasi untuk tindakan bedah


Akut
Kegagalan terapi medikamentosa
Perdarahan
Perforasi
Toksik megakolon

Elektif
Penyakit yang kronis
Ketergantungan streroid yang kronis
Keganasan atau displasia tingkat tinggi
Sumber: Wylie & Hyams, 1993.

227
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases

Prognosis
Kematian akibat KU pada anak sangat jarang. Kebanyakan penyebab kematian tidak
berhubungan atau tidak diketahui dan sebagian kecil akibat komplikasi operatif atau
karsinoma kolon. Lebih kurang 20% KU pada anak mempunyai kualitas hidup yang baik
(gangguan motilitas kurang dari 3 kali, sekolah seperti biasa). Hanya sebagian kecil (6%)
yang tidak dapat mengikuti sekolah regular, nyeri perut, dan diare. Tidak ada perbedaan
aktivitas antara yang dioperasi dan tidak.
Anak dan remaja dengan KU harus diamati secara terus menerus. Harus dikenali
tentang relaps, komplikasi, dan memberi dukungan serta edukasi kepada pasien. Masa
transisi dari remaja ke dewasa muda adalah masa yang kritis dari segi psikologis, pasien
harus mengerti betul tentang penyakitnya dan untuk kontrol selanjutnya dianjurkan ke ahli
gastroenterologi dewasa.

Daftar Pustaka
1. Fiocchi C. Inflamatory Bowel Disease. Etiology and Pathogenesis. Gastroenterology, Vol 115,
No1. 1998.
2. Hildebrand H, Finkel Y, Grahnquist L, Lindholm J, Ekbom A, Askling J. Changing pattern of
9 Gut 2003;52:1432-
paediatric inflammatory bowel disease in northern Stockholm 1990-2001.
2 01
1434. re t
3. Hyams JS. Inflammatory Bowel Disease. Pediatr Rev 2000;21. 9 MaNo 9.
o
str
4. Jackson WD, Grand RJ. Crohn’s Disease. In: PediatricaGastrointestinal Disease. Pathophysiology,
t
diagnosis, management, Vol 1. Philadelphia: BCaDeckerG Inc; 1991.h. 592-618.
5. Kirschner BS. Ulcerative Colitis In Children.
p
raPediatr Clin North Am. 1996;43:235-254.
k
tuCrohn’s Disease. Small and Large Intestine. 1708-1734.
6. Kornbluth A, Sachar DB and Solomon n
P.
ou
7. Sawchenko A, Lynn R and Sandhu
a str BK. Variations in initial assessment and management of
G
inflammatory disease across
A j ar Great Britain and Ireland. Arch Dis Child 2003;88:990-994
8. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric
u Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, diagnosis, management.
uk
Philadelphia: WBBSaunders Co; 1993.h. 742-787.
e
Fil

228
BAB

14
Pankreatitis pada Anak
Budi Santosa

14.1 Ilustrasi Kasus


Anak laki-laki, 5 tahun, 19 kg, 1 hari mendadak perut sakit dan sering muntah, tidak mau
makan karena perutnya bertambah sakit, panas subfebril. Kesan umum sadar, kurang aktif,
sering menangis sambil memegang perutnya, tidak ada ikterus. Jantung dan paru tidak
ada kelainan. Pemeriksaan abdomen datar, terdapat ketegangan dan nyeri tekan di daerah
sekitar umbilicus. Hati dan limpa sukar diperiksa karena anak menangis menahan sakit serta
perut yang tegang. Diagnosis sementara adalah observasi nyeri perut akut dengan diagnosis
banding gastritis akut, apendisitis akut dan pankreatitis akut. Pengobatan sementara adalah
tahan makan dan minum dan diberikan cairan dan elektrolit parenteral serta diberikan
prokinetik agonis reseptor kolinergik (metoclopramide) secara intravena dan antasid.
Pemeriksaan penunjang dan konsultasi darah rutin, hematokrit, trombosit, elektrolit
(K+, Na+, Ca2+), kadar amilase serum meningkat (510 U/l) dan lipase serum meningkat
(460 U/l) serta kesan dari bagian bedah anak tidak ada apendisitis, sementara diberikan
pengobatan konservatif. Hasil pemeriksaan USG tampak pankreas hipoekoik, bentuk dan
struktur berubah, duktus pankreatikus sedikit melebar. Hari kedua keadaan umum anak
lebih baik, tidak ada keluhan sakit perut, diperbolehkan minum air putih tanpa gula. Hari
ke tiga amilase serum menurun (120 U/l), lipase serum juga menurun (150 U/l) mulai
diberikan intake peroral dengan makanan lunak rendah serat dengan porsi kecil frekuensi
lebih sering. Anak dapat menerima makanan tersebut tanpa kesakitan. Selanjutnya keadaan
bertambah baik dan dinyatakan sembuh, sehingga anak diperbolehkan pulang.

14.2 Pendahuluan
Pankreatitis adalah inflamasi pada pankreas yang ditandai dengan gambaran klinis berupa
nyeri perut di daerah epigastrium yang disertai dengan peningkatan kadar enzim-enzim
pankreas yaitu amilase dan lipase. Pankreas merupakan kelenjar besar di belakang lambung
dan dekat duodenum. Doudenum adalah bagian proksimal dari usus halus. Pankreas
mensekresi enzim pencernaan ke dalam usus halus melalui duktus pankreatikus. Enzim-
enzim tersebut membantu pencernaan lemak, protein dan karbohidrat dari makanan.
Pankreas juga melepaskan hormon insulin dan glukagon. Hormon tersebut membantu
tubuh dalam menggunakan glukosa dari makanan untuk menghasilkan tenaga.

229
Bab 14 Pankreatitis pada Anak

Hati

Saluran
Empedu

Pankreas
Kantung Empedu Saluran
Duodenum Pankreas

Gambar 14.2.1. Pankreas dengan duktus pankreatikus dan duktus billiaris

14.3 Klasifikasi dan Definisi


Klasifikasi klinis pankreatitis menurut Second International Symposium di Marseille pada
tahun 1984 adalah pankreatitis akut dan kronik. Sebagian klasifikasi yang digunakan di
9
klinik adalah pankreatitis akut dan kronik. Pankratitis akut adalah 2 01suatu sindroma klinik
re t
yang ditandai nyeri perut akut yang dihubungkan dengan apeningkatan enzim pankreas
9 M
pada darah atau urin. Secara morfologis lesi dapat dikelompokan
a stro sebagai ringan dan/atau
berat. Pada bentuk yang lebih ringan, nekrosis lemak G peripankreatik dan edem interstitiel.
p atperipankreatik dan intrapankreatik atau
Pada bentuk berat didapatkan nekrosis lemak r a
tanpa nekrosis parenkimal dan ada perdarahan.
ntuk Proses dapat difus atau terlokalisir dan
o u
kadang-kadang korelasi antara etiologi
str dan patologi klinik kurang. Klasifikasi lain dari
pankreatitis adalah akut, kronik,G a
r nekrotik, hemoragik dan herediter yang dapat dibedakan
Ajapemeriksaan histologis jaringan pankreas.
secara klinis, radiologiskudan
e Bu
Fil
14.4 Kejadian dan Epidemiologi
Sulit untuk memperkirakan prevalensi dan kejadian pankreatitis yang sesungguhnya pada
anak-anak karena sebagian besar referensi hanya melaporkan kasus individual ataupun
sekelompok kecil penderita. Pankreatitis lebih jarang dijumpai pada anak-anak bila
dibandingkan dengan orang dewasa, mungkin karena sering tidak terdiagnosis sehingga
memerlukan kecurigaan yang tinggi dari para dokter. Pankreatitis akut merupakan kelainan
pankreas yang paling sering pada anak-anak, sedangkan fibrosis kistik menempati urutan
kedua. Pada survei di Inggeris tahun 1967 ditemukan 128 kasus pankreatitis pada anak.

14.5 Pankreatitis akut


Pankreatitis akut pada anak jarang menyebabkan nyeri perut sehingga sering menyulitkan
penegakan diagnosis pada kelompok umur tersebut. Perjalanan klinisnya bervariasi mulai
dari serangan ringan, self limited, tidak disertai komplikasi, sampai dengan serangan berat
dengan komplikasi fatal. Kadang-kadang pankreatitis akut terjadi secara tiba-tiba dan

230
Buku Ajar Gastrohepatologi

berlangsung cepat dengan ciri khas nyeri perut yang berat yang sering dikelirukan dengan
ileus. Pankreatitis akut sering memberikan patogenesis yang tersamar sehingga untuk
menegakkan diagnosis diperlukan berbagai prosedur diagnostik. Dengan kemajuan sarana
diagnosis dan kemajuan terapi seperti sekarang morbiditas dan mortalitas berkurang.

Patogenesis
Penyebab pankreatitis bervariasi. Perbedaan mekanisme tiap penyebab tidak jelas. Secara
umum dapat diterima bahwa pankreatitis akut disebabkan oleh aktivitas zimogen pankreas
yang tidak wajar terhadap enzim aktif di dalam parenkim pankreas yang mengakibatkan
autodigesti jaringan pankreas..
Patogensis pankreatitis akut banyak yang belum diketahui. Beberapa mekanisme yang
dapat memicu terjadinya inflamasi pankreas meliputi meningkatnya permeabilitas duktus
pankreatikus, overstimulasi kelenjar, obstruksi pada aliran pankreas dan abnormalitas
metabolik (misalnya hiperkalsemia dan hipertrigliseridemia).
Hipotesis pertama patogenesis pankreatitis diajukan oleh Opie (1901) yang
menekankan pada potensi faktor mekanik. yaitu adanya obstruksi pada atau dekat dengan
ampulla Vateri akan menyebabkan refluks empedu ke dalam duktus pankreatikus yang
9
mengakibatkan aktivasi zimogen dalam duktus dan sebagai akibatnya 2 01 terjadi kerusakan
re t
pankreas. Tetapi hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan padaapercobaan binatang.
9 M
Hipotesis kedua yaitu adanya hipertensi duktus pankreatikus ro (sebagai akibat obstruksi)
akan meningkatkan permeabilitas duktus yang mendorong G ast terjadinya kebocoran sekresi
p at
pankreas dengan aktivasi enzim digesti usus dan a sebagai akibatnya terjadinya kerusakan
tu kr
sel asinar. Hipotesis yang kedua ini dapat ndibuktikan dengan beberapa macam percobaan
pada binatang. trou
s
Ga
rbahwa
Ada yang mengemukakan
A j a kelenjar eksokrin pankreas mengaktifkan proenzim
pankreas yang disebabkan k ubeberapa faktor induksi seperti trauma, iskemia, toksin, infeksi,
Bu
e
Fil zimogen, terutama tripsin, dapat mengaktifkan enzim lain yang
dan lain-lain. Aktivasi
mengakibatkan autodidesti pankreas dan jaringan sekitarnya.
Proses lokal menyebar ke ruang peripankreas dengan pengeluaran substansi di atas
yang bersifat toksik ke rongga peritoneal dan secara sistematis menyebabkan komplikasi
dan kegagalan multiorgan.
Fosfolipase A dan elastase yang diaktifkan oleh tripsin bertanggung jawab terjadinya
nekrosis jaringan pada pankreatitis akut. Sel-sel asini pankreas yang rusak akibat
aktivasi zimogen akan menarik sel-sel inflamasi dan mengatifkan trombosit serta sistem
komplemen yang menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin (seperti tumor necrosis factor-
alpha, interleukin-1, nitrat oksida (nitric oxide) dan platelet activating factor). Radikal bebas
oksigen mempunyai peran pada perkembangan inflamasi pada pankreatitis akut, sedangkan
substansi-substansi vasoaktif (histamin, kinin, kalikrein) peran utamanya meningkatkan
permeabilitas kapiler yang mengakibatkan transudasi eksudat. Substansi-substansi tersebut
merusak kelenjar secara langsung, menyebabkan edema, iskemia, nekrosis dan hilangnya
jaringan kelenjar.
Pada keadaan normal terdapat beberapa mekanisme protektif mencegah pengaruh
aktivitas enzim-enzim pankreas yang prematur. Enzim-enzim proteolitik (tripsin,

231
Bab 14 Pankreatitis pada Anak

Proses Induksi

Trauma Pankreas
Syok
Kerusakan Vaskular
Aktifasi Enzim

Pelepasan Enzim Aktif

Jaringan Jaringan Kavum Sirkulasi


Pankreatik Pankreatik Peritoneal Sistemik

Inflamasi InTrombosis Vena Splenik Peritonitis Nekrosis usus 9 Syok


Edema Infark Splenik Asites Lemak 2 01 Gagal Jantung
t
Perdarahan Abses Retroperitoneal Nekrosis are Gagal Ginjal
Nekrosis 9
PerdarahanM Distress Napas
stro Kerusakan Vaskular
aG
p at
rapatogenesis
Gambar 14.5.1. Mekanisme
k
pankreatitis akut
u ntu
ro
ast
rG
Aktivasi Kaskade
ja
Efek Lokal
k uA
Tripsinogen
u
Fi le B

Enterokinase
atau autoaktivasi
Inaktivasi oleh
inhibitor tripsin Tripsin Edema, nekrosis, dan perdarahan
pankreatik

Proenzim Enzim yang telah aktif

Kimotripsinogen Kimotripsin Edema, nekrosis dan perdarahan


Proelastase Elastase merusak dinding pembuluh darah dan Perdarahan
Prokarbosipeptidase Karbosipeptidase Edema dan nekrosis
Kolipase Nekrosis lemak (dengan lipase dan asam empedu)
Prokolipase Phospholipase Rusak dinding sel (dengan asam empedu)
Prophospholipase
Gambar 14.5.2. Aktivasi enzim-enzim pankreas

232
Buku Ajar Gastrohepatologi

kimotripsin, karboksipeptidase dan elastase) disintesis dan disimpan dalam bentuk tidak
aktif. Sintesis dan penyimpanan zimogen terjadi pada pH 6,2 yang akan meminimalkan
autokatalisis tripsin dalam organela. Adanya granula zimogen, jaringan pankreas, getah
pankreas dan serum mempunyai potensi sebagai inhibitor protease.

14.6 Etiologi
Penyebab pankreatitis akut pada kelompok umur anak-anak sangat bervariasi. Tetapi
sebagian besar diantaranya patofisiologinya belum terbukti, sehingga tidak memiliki
hubungan kausatif. Berbeda pada orang dewasa, 80% penyebab pankreatitis akut adalah
penyakit saluran empedu dan alkoholisme. Sedangkan pada anak-anak pada umumnya
disebabkan infeksi, trauma, penggunaan obat, kelainan bawaan (pankreas divisum),
penyakit metabolik dan sistemik dan kondisi herediter dan idiopatik.

14.7 Manifestasi klinik


Pankreatitis akut mempunyai spektrum yang luas baik gejala maupun komplikasinya. Tanda
9
klinis yang utama adalah nyeri perut, yang paling sering terjadi pada 2 01daerah epigastrium,
re t
Ma
nyeri lain pada kuadran kanan atas atau bawah atau peri umbilikal. Nyeri ini biasanya
timbulnya mendadak dapat bertahap, intensitas mencapai 9 maksimum setelah beberapa
ro
stberlangsung
jam, biasanya menusuk, menetap dan memanjang. Nyeri a secara bermakna dari
atG
beberapa jam sampai 2 minggu, dengan rata-rata p
a lamanya 4 hari. Penjalaran nyeri jarang
tampak pada anak-anak mungkin menyebar tu k rpunggung, perut bagian tengah-bawah dan
ke
n
atas dan dapat terjadi pada dada bagiantro u bawah depan. Gejala lain yang sering meliputi
as
anoreksia, nausea, dan muntahayang
j r G menetap. Pemberian makan akan memperberat nyeri
dan muntah. Kira-kira 70% A
u ku kasus terdapat nyeri yang dihubungkan dengan muntah dan
10% muntah empedu. B
Fi le
Riwayat trauma abdomen paling sering dihubungkan dengan kejadian pankreatitis,
riwayat paparan penyakit infeksi atau intake obat harus dicari. Riwayat pankreatitis pada
keluarga, kelainan-kelainan metabolik dan sistemik. Demam biasanya subfebril.
Pada pemeriksaan fisik pada anak tampak kesakitan, iritabel atau tenang. Pemeriksaan
fisik yang teliti dapat memberikan petunjuk yang lebih banyak untuk membedakan
pankreatitis dengan sebab-sebab nyeri perut akut lainnya yang sering terjadi pada anak-
anak.
Yang sering didapatkan pada pemeriksaan fisik adalah ketegangan daerah epigastrium
dan penemuan ini sering tampak dengan bising usus yang lemah atau hilang. Pada sepertiga
kasus terdapat perut yang membesar (distension) yang timbul setelah 2 sampai 3 hari. Secara
sistemik, sering dalam waktu beberapa jam setelah lesi awal, dapat timbul demam subfebril
(biasanya kurang dari 38.50C), hipotensi, takikardi, hipoksia dan sindroma kebocoran
kapiler pada kasus-kasus yang berat.
Pada kasus pankreatitis hemorhagik yang berat, penderita tampak sakit berat, dengan
nausea dan muntah yang berat serta nyeri perut. Diskolorisasi kebiruan tampak di sekitar
umbilikus (Cullen’s sign) atau di sekitar panggul (Gray-Turner’s sign). Kedua tanda

233
Bab 14 Pankreatitis pada Anak

Tabel 14.7.1. Etiologi pankreatitis akut pada anak


OBAT dan TOKSIN OBSTRUKSI
Alkohol Penyakit ampula
Overdosis parasetamol Askariasis
Azathioprinase Malformasi saluran empedu
Simetidin Kolelithiasis mikrolithiasis dan
kortikosteroid Koledokolithiasis (batu atau
DDC sludge)
DDI Chlonorchis
Enalapril Duplication cyst
Eritromisin Komplikasi ERCP
Estrogen Pankreas divisum
Furosemid Kelainan duktus pankreatikus
6-Merkaptopurin Pasca bedah
Mesalamin Disfungsi sfingter Oddi
Metildopa Tumor
Pentamidine
Sulfonamid PENYAKIT SISTEMIK
Sulindak Defisiensi alfa-1-antitripsin
Tetrasiklin Tumor otak
Tiazid Penyakit kolagen pembuluh darah
Asam valproat Fibrosis kistik 9
Bisa (laba-laba, kalajengking) Diabetes mellitus 2 01
re t
Ma
Vinkristin Trauma kepala
Hemokromatosis
o 9
PANKREATITIS HERIDITER str
Sindrom hemolitikauramik
G
Hereditary pancreatitis gene at tipe I, IV, V
Hiperlipidemia:
Cystic fibrosis gene r ap
Hiperparatiroidisme
SPINK 1 gene uk Kawasaki
ntPenyakit
u
ro Malnutrisi
INFEKSI G ast Organic acidemia
Askariasis j ar Periartesis nodosa
Coxsackie B virus kuA Ulkus peptikum
Bu
Epstein-Barr virus e Gagal ginjal
Hepatitis A, B Fil Lupus eritrematosus sistemik
Influenza A. B Tranplantasi sumsum tulang
Leptospirosis Jantung, hati, ginjal, pankreas
Malaria Vaskulitis
Measles
Mumps TRAUMA
Mycoplasma Trauma tumpul
Rubella Kombusio
Rubeola Child abuse
Raye syndrome: varicella, Trauma bedah
inluenza B Total body cast

Sumber: Wezman, 1993.

tersebut bukan merupakan tanda patognomonis pankreatitis akut karena disebabkan darah
yg merembes sehingga menimbulkan ekimosis. Tanda fisik lain pankreatitis akut adalah
ketidakseringnya dan ketidaktetapan dalam kejadian yang umumnya tidak spesifik yang
meliputi koma, efusi pleura, distress pernafasan, asites, ikterus, adanya massa abdomen,
melena dan hematemesis.

234
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 14.7.2. Gambaran klinis pankreatitis akut3


GEJALA
Nyeri perut
Anoreksia
Nausea
Vomitus
Koma (jarang)
Dispneu (jarang)

TANDA
Ketegangan daerah epigastrium (localized epigastric tenderness)
Kekakuan dinding perut (abdominal wall rigidity)
Ketegangan yang kambuh (rebound tenderness)
Distensi perut
Bising usus lemah atau tidak ada
Hipotensi dan syok
Panas subfebril
Efusi pleura
Asites
Oliguria/anuria
Distres pernafasan
Gray-Turner’s sign 9
Cullen’s sign 201
Sumber: Wezman, 1993. aret
o 9M
str
Ga
14.8 Diagnosis rap at
n tuk
Diagnosis sulit ditegakkan kecuali bila
tro uindeks kecurigaan pada manifestasi klinis dan
as
pemeriksaan fisik menetap tidak hilang timbul. Gabungan dari tanda dan gejala klinis
dengan kelainan biokimiawi j ar G menunjang dan teknik pencitraan (imaging) dapat
yang
A
u ku
melengkapi kepastian diagnosis. Tidak ada tes tunggal diagnostik untuk pankreatitis
e B
Fil histologis inflamasi pankreas jarang tersedia. Beberapa tes dapat
akut, dan konfirmasi
menyesatkan karena kurangnya spesifisitas. Kadang-kadang diagnosis hanya dibuat dengan
kepastian pada saat laparatomi atau otopsi.

Pemeriksaan laboratorium
Tes laboratorium nonspesifik
Kelainan laboratorium sangat bervariasi pada pankreatitis akut dewasa, tetapi data pada
anak-anak jarang didapatkan. Pemeriksaan darah lengkap dengan peningkatan sel darah
putih sering terjadi pada pankreatitis akut, sering dengan peningkatan bentuk batang dan laju
endap darah sering meningkat ringan. Pada keadaan berat menunjukkan hemokonsentrasi.
Kerusakan pada sel-sel endokrin ditunjukkan dengan hiperglikemia transien yang
dijumpai pada 15-25% dari kasus. Keadaan ini disebabkan oleh kelebihan glukagon
sedangkan insulinnya menurun. Hipokalsemia tejadi pada 15% kasus. Peningkatan secara
transien fosfatase alkali dan aminotranferase serum dengan disertai hiperbilirubinemia.
Peningkatan nilai laktat dehidrogenase serum, azotemia, hipoalbnuminemia dan
hipoksemia menunjukkan beratnya penyakit.

235
Bab 14 Pankreatitis pada Anak

Tes laboratorium spesifik


Amilase serum
Amilase serum masih merupakan tes yang paling sering digunakan pada pankreatitis akut,
meskipun memililki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah yaitu 75%-92% dan 20%-
60%, karena peningkatan amilase serum dapat terjadi pada penyakit nonpankreas dan
pada pankreatitis akut (Tabel 14.8.1) dapat dijumpai kadar amilase serum yang normal.
Peningkatan 3-6 kali diatas nilai normal spesifisitasnya meningkat tetapi sensitivitasnya
menurun. Peningkatan amilase serum terjadi dalam 2-12 jam setelah lesi pankreas dan
memuncak pada 12-72 jam setelah onset dan masih meningkat untuk 2-5 hari. Tidak ada
korelasi antara beratnya pankreatitis dan peningkatan amilase serum.

Amilase urin
Peningkatan kadar amilase urin dapat berada 24 jam setelah normalisasi serum

Rasio klirens kreatin / amylase urin


Peningkatan rasio terdapat pada pankreatitis. Tetapi tes ini tidak spesifik, tidak menambah
informasi diagnostik.
9
201
Tabel 14.8.1. Diagnosis diferensial hiperamilase
aret
KELAINAN PANKREAS
o 9M
Pankreatitis akut atau kronik str
Ga
Komplikasi pankreatitis (pseudokista, asites, abses)
p at
Facititious pancreatitis
k ra
u ntu
o
str
KELAINAN KELENJAR LUDAH
Parotitis (mumps, Staphylococus aureus, CMV, HIV,
G aEBV)
Sialadenitis (kalkuli, radiasi)
A jar
u
uk nervosa, bulimia nervosa)
Gangguan makan (anoreksia nervosa)
B
e
Penyakit saluran empedu (anoreksia
Fil
KELAINAN INTRA ABDOMEN
Perforasi ulkus peptikum
Peritonitis
Obstruksi usus
Apendisitis

PENYAKIT SISTEMIK
Asidosis metabolik (syok )
Insufisiensi ginjal & transplantasi
Kombusio
Kehamilan
Obat (morfin)
Trauma kepala
Cardiopulmonary bypass
CMV = cytomegalovirus; HIV = human immunodeficiency virus; EBV = Epsein-Barr virus
Sumber: Werlin, 2004.

236
Buku Ajar Gastrohepatologi

Isoamilase serum
Pada keadaan normal 60% dari serum amilase adalah saliva dan tersimpan di pankreas.
Walaupun pada pankreatitis akut sebagian besar dari amilase serum berasal dari pankreas,
keadaan abdomen lainnya meningkatkan isoenzim isoamilase. Sekarang sudah tersedia
bermacam-macam teknik untuk mengukur isoform dari amilase yaitu dengan elektroforesis,
ion exchange chromatography dan yang terbaru dengan teknik radioimmunoassay dengan
menggunakan antibodi monoklonal. Isoamilase lebih sensitif dan spesifik daripada amilase
total.

Lipase serum
Nilai lipase serum biasanya meningkat pada pankreatitis akut dan masih meningkat lebih
lama dibanding nilai amilase serum. Kadar lipase serum memiliki sensitivitas klinis 86%-
100% dan spesifisitas klinis 50%-99%. Dengan meningkatkan batas lebih dari 3 kali dari
batas atas normal, sensitivitas dapat ditingkatkan hingga 100% dan spesifisitas hingga
99%. Walaupun masih ada kontroversi hal tersebut. Kadar lipase serum mulai meningkat
dalam 4-8 jam setelah gejala, memuncak pada 24 jam dan menurun setelah 8-14 hari.
Derajat peningkatan amilase dan lipase serum tidak mencerminkan keparahan penyakit
pankreasnya. Dengan menggabungkan penentuan kadar amilase serum 9 dan lipase serum
2 01
secara bersama-sama sensitivitas diagnosis pankreatitis meningkat
re thingga 94%.
9 Ma
ro
Tripsin imunoreaktif serum
G ast
Sumber tripsin pada manusia hanya pada pankreas. at
r ap Tripsin imunoreaktif total pada serum
meningkat lebih awal dibanding amilase serum k pada pankreatitis akut. Sensitivitasnya lebih
u ntu
tinggi dibanding lipase dan isoamilaseropankreas dengan spesifisitas yang sama.
ast
rG
Ribonuklease Aja
uku
i l e B pada serum rendah. Ribonuklease pankreas dapat dibedakan
Konsentrasi ribonuklease
secara imunologisFdari sumber ribonuklease lainnya. Peningkatan ribonuklease pankreas
pada serum dianggap sebagai indikasi adanya nekrosis pankreas.

Elastase-1 pankreas
Diukur dengan radioimmunoassay. Pada pankreatitis akut menunjukkan sensitivitas lebih
tinggi daripada lipase, amilase total maupun tripsin terutama selama stadium akhir dari
panyakit.

Fosfolipase A2
Merupakan enzim prediktif yang lain. Mempunyai peran kunci pada patogenesis awal dari
pankreatitis akut.

Analisis bikarbonat dan enzim yang berasal dari cairan pankreas


Pemeriksaan ini ditetapkan sebagai baku emas untuk mengevaluasi fungsi pankreas secara
langsung. Analisis bikarbonat dan enzim-enzim yang berasal dari cairan pankreas yang
dikeluarkan setelah stimulasi dengan sekretin dan pankreozimin (SPT) secara intravena.

237
Bab 14 Pankreatitis pada Anak

Bila dilakukan secara benar sensitivitas dan spesifisitas berkisar 90%-100%. Pemeriksaan
ini langsung karena mengambil sampel langsung dari duktus pankreatikus bukan secara
tidak langsung (dari serum). Tetapi karena prosedur pemeriksaan ini sifatnya invasif,
kompleks, mahal dan hanya dilakukan di pusat kesehatan tertentu, sehingga tidak dapat
dilakukan secara rutin.

Pencitraan
Foto polos abdomen
Menunjukkan adanya ileus dengan dilatasi kolon, sentinel loop (distensi bagian usus halus
dekat dengan pankreas), batas psoas yang kabur atau halo yang radiolusen di sekitar ginjal
kiri. Pemeriksaan radiologis ini nilai diagnostiknya terbatas. Tetapi sebaiknya setiap anak
yang menderita nyeri perut akut harus dilakukan prosedur ini karena dapat menyingkirkan
kegawatan abdomen yang lain seperti perforasi atau appendikolith yang memberikan kesan
sebagai apendisitis.

Foto dada
Dilakukan pada semua kasus yang diperkirakan untuk menentukan19terkenanya diafragma
20
ret paru dan efusi pleura.
atau komplikasi paru pada pankreatitis akut, seperti infiltrat, edema
9 Ma
ro
Seri barium saluran pencernaan atas ast
atG
Pemeriksaann ini jarang memberikan informasi
k rap yang berguna dan sudah ditinggalkan
tu
diganti pencitraan alternatif lain (ultrasonografi) dan ERCP (Endoscopic Retrograde
o un
Cholangio Pancreatography). str
a
j arG
Ultrasonografi A
u ku
e B merupakan prosedur yang paling sering digunakan pada penderita
Fil
Ultrasonografi abdomen
yang dicurigai menderita pankreatitis akut. Pada pankreatitis akut akan didapatkan
penurunan ekogenitas, peningkatan ukuran pankreas, perubahan ekostruktur & bentuk
serta adanya pelebaran duktus pankreatikus. Terdapat hipoekogenitas pankreas pada 40%
kasus pankreatitis akut. Laporan dari Swischuk dan Hayden menunjukkan bahwa pada
pankreatitis akut secara sonografi biasanya normal tetapi ruang pararenal-nya hiperekoik
selama inflamasi.

Computerized Tomography (CT) of Abdomen


Dilakukan bila hasil USG tidak memuaskan atau membutuhkan gambaran anatomi lebih
baik. CT dengan kontras merupakan metode pencitraan pilihan dalam menggambarkan
pankreas (perubahan ukuran, tekstur), evaluasi beratnya dan mendeteksi komplikasi
pankreatitis akut seperti pseudokista, abses, kalsifikasi, pembesaran duktus, edema
peripankreatik, eksudat peritoneal dan distensi usus.

238
Buku Ajar Gastrohepatologi

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Sebagai alternatif CT-scan. Ternyata tidak lebih bermanfaat dibanding CT-scan.

Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)


Merupakan prosedur invasif. Berguna untuk mengevaluasi komplikasi pasca trauma atau
pasca pankreatitis, deteksi kelainan anatomi yang berhubungan dengan pankreatitis akut,
dan penelitian duktus pankreatikus pada pankreatitis relaps kronik atau pankreatitis
herediter. ERCP selain untuk prosedur diagnosis juga dapat digunakan untuk prosedur
pengobatan seperti sfingterotomi, pemasangan stent, pengambilan batu, dilatasi dengan
balon. Kontraindikasi ERCP meliputi pankreatitis akut tidak menyembuh dan pembentukan
abses dan pseudokista sebagai kontraindikasi relatif.2

14.9 Komplikasi
Komplikasi dapat bersifat lokal maupun sistemik yang dapat terjadi sebagai komplikasi awal
atau lanjut. Selama minggu pertama perawatan komplikasi potensial adalah gagal organ
multi sistem terutama sistem pulmonar, kardiovaskular, dan renal. Pada 9 minggu kedua
2 01
sakit, jaringan nekrotik pankreas atau peripankreas terinfeksi dapatt diobservasi. Keduanya
are
dapat dibedakan oleh sonografi atau aspirasi perkutan yang M dipandu CT. Komplikasi
ro9
lanjut terjadi sesudah minggu kedua sakit dan termasuk ttimbulnya pseudokista dan abses.
s
abila
Kejadian pseudokista pankreas sering terjadi, sehinggaG hiperamilase berlanjut sesudah
p at
a
kr
4 minggu mungkin diperlukan tindakan pembedahan.
untu
ro
14.10 Tata laksana jar G ast
uA
Pengobatan yang utama Buk bersifat suportif yang meliputi menghilangkan rasa nyeri
l e
dan memperbaikiFihomeostasis metabolik dengan cara hidrasi yang adekuat dengan
pemberian cairan intravena atau koloid untuk menjaga volume intravaskular. Dengan
mempertimbangkan keseimbangan cairan, elektrolit dan mineral untuk perbaikan dan
pemeliharan. Kadang-kadang memerlukan tindakan agresif untuk mencegah syok,
kegagalan respirasi dan katabolisme protein.3 Pada sebagian besar pankreatitis akut bersifat
self limited dalam beberapa hari.
Menghilangkan nyeri dengan opiat (morfin) akan memperburuk gejala karena
meningkatkan spasme sfingter Oddi. Meperidin sebagai agonis reseptor opiat murni yang
merupakan pilihan analgesik untuk pankreatitis akut karena hanya menyebabkan sedikit
peningkatan tekanan intrabiliaris. Sebagai alternatif penggantinya yaitu pentazosin yang
merupakan campuran analgesik opiat dengan obat yang mempunyai peran antagonis-
agonis.
Strategi pengobatan spesifik dan nonspesifik selanjutnya meliputi:
1. Menghilangkan proses yang mengawali (misalnya obat atau toksin)
2. Menghentikan melanjutnya proses autodigesti dalam pankreas
3. Menghambat dan/atau menghilangkan enzim pencernaan dan bahan toksik lain dalam
kavum peritoneal dan atau sirkulasi

239
Bab 14 Pankreatitis pada Anak

4. Mengobati komplikasi lokal dan sistemik


5. Pembedahan
Pemasangan pipa nasogastrik sangat berguna bagi penderita dengan muntah berat
atau ileus. Perlu dipuasakan (tidak diberikan diet per oral) dan pengisapan sekresi lambung
dapat menimalkan sekresi pankreas sehingga membuat pankreas dalam keadaan istirahat.
Setelah 3 hari hanya diberikan cairan intravena bila dan belum dapat diberikan nutrisi peroral
harus diberikan nutrisi parenteral untuk mencegah katabolisme protein. Mencegah asam
dan nutrisi mencapai duodenum, secara teori meminimalkan hormon dalam menstimulasi
sekresi pankreas. Setelah pengisapan dapat diberikan simetidin sebagai substitusi akan
mengurangi keasaman duodenum, hal ini penting untuk mencegah stress ulcer, terutama
bila terjadi perdarahan saluran pencernaan. Pemberian obat untuk mengurangi keasaman
atau mengurangi aliran pankreas (mengistirahatkan pankreas) yang meliputi penghambat
reseptor H2 (H2 blocker), atropin, kalsitonin, glukagon, somatostatin dan fluorourasil tidak
mengubah perjalanan penyakit.
Pemberian inhibitor enzim seperti aprotinin (trasylol) secara invitro merupakan
inhibitor kuat terhadap tripsin, kimotripsin, kalikrein, plasmin dan trombin. Ternyata pada
uji klinik aprotinin tidak memberikan kegunaan pada terapi pankreatitis akut. Telah dicoba
pula inhibitor enzim lain FOY (gabexate mesilate) dengan hasil tidak9 berbeda.
01
Lavage peritoneal selama 7 hari menurunkan mortalitas re t 2 yang disebabkan oleh
pembentukan abses pankreas tanpa mempengaruhi 9mortalitas Ma secara keseluruhan.
Pemberian antibiotika untuk penderita yang menunjukkan stro tanda klinis yang kuat adanya
Ga
infeksi sekunder atau untuk mencegah komplikasi p at sepsis. Pemberian ampisilin tidak dapat
a
mengubah perjalanan penyakit. Pada penelitian
tu k r terbaru antibiotika yang digunakan adalah
n
imipenem, ternyata berhasil mengurangi
tro u kejadian sepsis pankreas pada pankreatitis nekrotik.
Dalam praktik klinik anak s
ayang menderita pankreatitis akut dilakukan penghentian
j arG
intake oral, pengisapan nasogastrik,
A resusitasi cairan, monitoring ketat vena sentral, output
u
uk kalsium serum, glukosa, elektrolit dan lemak. Meperidin: 1-2 mg/
urin, gas darah, parameter
B
e
kgBB im atau iv. FilAntibiotik diberikan segera jika diduga atau terbukti ada infeksi. Nutrisi
parenteral total jika dilakukan puasa. Diet oral dimulai dengan diet elemental rendah lemak
jika terjadi perbaikan klinis, sebagai indikatornya kadar amilase serum normal.
Indikasi tindakan bedah pankreatitis akut ialah:
1. Diagnosis pankreatitis yang tidak pasti (pada anak kebanyakan diagnosis preoperatif
adalah apendisitis akut)
2. Obstruksi yang menyebabkan dekompresi pada duktus pankreatikus utama atau duktus
biliaris komunis (bawaan atau didapat)
3. Koreksi komplikasi abdomen (misalnya kista atau abses)
4. Debridemen jaringan nekrotik

14.11 Prognosis
Prognosis bervariasi tergantung keadaan klinis pankreatitis akut pada anak. Pankreatitis
akut pada anak tanpa komplikasi akan membaik dan sembuh setelah 2-5 hari.

240
Buku Ajar Gastrohepatologi

Kriteria Ranson meliputi 11 faktor risiko untuk membantu memperkirakan


prognosis beratnya penyakit meliputi lima faktor pertama yang dinilai pada waktu
datang (peningkatan umur, leukositosis, hiperglikemia, kadar laktat dehidrogenase dan
aspartat aminotransferase) dan enam faktor lainnya dievaluasi dalam 48 jam (penurunan
hematokrit, azotemia, hipokalsemia, hipoksemia, asidosis dam kehilangan cairan). Kriteria
ini telah dimodifikasi selama beberapa tahun dan disebut juga sebagai kriteria Glasgow
atau Imrie. Akhir-akhir ini indeks prognostik yang lebih kompleks disebut APACHE II
(Acute Physiology and Chronic Health Evaluation Score). Indeks ini berdasarkan pada 12
variabel fisologis, usia penderita dan riwayat penyakit organ utama. APACHE II ini lebih
sensitif dan lebih spesifik dibanding kriteria sebelumnya.
Tap peritoneal tidak mempunyai kelebihan dalam memprediksi beratnya penyakit
sedangkan CT perlu studi lebih lanjut. Masih banyak parameter seperti methemalbumin,
ribonuklease, antiprotease, komplemen, dan C-reactive protein telah digunakan sebagai
prediktor keparahan pankreatitis akut. Masih ada 2 marker yaitu peptid tripsinogen yang
diaktifkan dan elastase granulositik yang dianggap mampu memprediksi parahnya penyakit.
Data mortalitas pada anak jarang dijumpai dan pernah dilaporkan 13 dari 61 kasus (21%)
pankreatitis akut meninggal.
9
2 01
14.12 Pankreatitis herediter aret
9M
ro
G ast
Pankreatitis herediter didefinisikan sebagai serangan pankreatitis berulang (rekuren) pada
masa anak yang terjadi pada keluarga dua atauptiga at generasi atau lebih tanpa diketahui
r a
factor predisposisinya. Keadaan ini diturunkan k secara dominan autosom dengan penetrasi
yang tidak lengkap.l u ntu
ro
ast
Pada umumnya fungsi danGmorfologi pankreas kembali normal diantara serangan
jar dekade pertama tetapi serangan pertamanya biasanya
akut. Gejala sering dimulai Asejak
ringan. Meskipun terjadi ku
upenyembuhan spontan dalam 4-7 hari setiap serangan, episodenya
l e B
i
semakin progresif.F Pankreatitis herediter merupakan salah satu penyebab pankreatitis
kronis.

14.13 Pankreatitis kronis


Penyebabnya pada umumnya pankreatitis herediter atau kelainan bawaan duktus
pankreatikus dan duktus biliaris. Karena pankreatitis rekuren, enzim pencernaan merusak
pankreas dan jaringan sekitarnya sehingga menimbulkan jaringan parut. Perubahan
morfologis inilah yang mengakibatkan terjadinya pankreatitis kronis. Apabila terjadi
sumbatan kalsifikasi protein pada duktus pankreatikus, maka menunjukkan penyakit yang
sudah lanjut. Kemungkinan pada keadaan ini fungsi eksokrin dan endokrin dapat hilang
secara ireversibel.
Diagnosis pankreatitis kronik tergantung penilaian fungsi pankreas dan temuan klinis
maupun radiologis. Dengan uji noninvasif yaitu uji-uji pengukuran enzim pankreatik
serum (amilase, lipase dan tripsin imunoreaktif) dan pemeriksaan lemak dan pemeriksaan
enzim pankreatik pada tinja, mempunyai nilai prediktif sangat buruk sehingga tidak

241
Bab 14 Pankreatitis pada Anak

dapat mengeksklusi pankreatitis kronis dengan meyakinkan. Dengan pengukuran enzim


pankreatik elastase I pada tinja versus uji sekretin-pankreozimin mempunyai sensitivitas
100% dan spesifisitas 96%.
Memang sebagai baku emas untuk menentukan adanya insufisiensi pankreas adalah
dengan memberikan kolesistokinin atau sekretin secara intravena, kemudian mengambil
cairan dari duktus pankreatikus dan diukur output bikarbonat dan ensim pankreatik-
nya. Hasil pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas antara 90%-100%
dalam mendiagnosis pankreatitis kronis. Prosedur pemeriksaan ini bersifat invasif karena
membutuhkan intubasi endoskopik atau oroduodenal, penempatan kateter dudodenal
yang akurat dan pengambilan semua sampel sekresi duodenal. Kesulitan pelaksanaan dan
intepretasi sehingga hanya dapat dilakukan di pusat (center) kesehatan yang lengkap.

Daftar Pustaka
1. Lerner A, Branski D, Lebenthal E. Pancreatic Disease In Children.. Pediatric Clinics of North
America .1996.43.1 : 125 – 156.
2. Pietzak MM, Thomas W. Pancreatitis in childhood. Amarican Academy of Pediatrics 2000 : 2
3. Robertson MA, Durie PR. Pancreatitis. In Walker A, Durie PR, Hamilton JR, et al, eds. Pediatric
Gastrointestinal Disease. St Louis, WB Saunders, 2 nd, 1996: 1436 – 1465.
19
0Pediatric
4. Weizman Z. Acute Pancreatitis . In Wyllie R and Hyam JS, eds. t 2 Gastrointestinal
Disease, Philadelphia, WB Saunders 1993 : 873 -879 are
5. Werlin SL. Exocrine Pancreas. In Behrman RE, Kleigman o 9 M Jenson HB. Nelson Text Book of
RM,
str
Ga: 1298 – 1303.
Pediatrics, Philadelphia, WB saunders,2004,17 th Edit
at
r ap
k
untu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

242
BAB

15
Ikterus
Iesje Martiza

15.1 Ilustrasi Kasus


N, seorang bayi laki-laki lahir di Rumah Sakit Hasan Sadikin dari seorang ibu G1P0A0
yang merasa hamil cukup bulan, letak kepala, lahir spontan, tak langsung menangis,
ditolong dokter. Sejak kurang lebih 22 jam setelah lahir, penderta tampak kuning/ikterik
kramer I, yang semakin lama semakin bertambah. Selama perawatan, pada akhir hari
pertama penderita diberikan terapi sinar dengan bilirubin total 13,45 mg/dl dan pada hari
keempat penderita bertambah kuning dengan bilirubin total 18,7 mg/dl, dilakukan transfus
ganti dan dilanjutkan terapi sinar sampai hari kesembilan. Kemudian pada hari kesepuluh
penderita pulang dalam keadaan baik.

15.2 Pendahuluan
Peningkatan kadar biliribun serum (hiperbilirubinemia) merupakan masalah yang sering
dijumpai pada minggu pertama kehidupan. Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat
yang dapat hilang spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang
serius, bahkan mengancam jiwa. Sebagian besar bayi cukup bulan yang kembali ke rumah
sakit dalam minggu pertama kehidupan berhubungan dengan keadaan hiperbilirubinemia.
Dengan kondisi perawatan yang memulangkan neonatus secara dini, dapat meningkatkan
risiko terjadinya kernikterus pada bayi cukup bulan apabila dipulangkan dalam 48 jam
setelah lahir. Alpay dan kawan-kawan melaporkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara penurunan lama tinggal dan risiko kembali ke rumah sakit, dan penyebab
utama kembalinya ke rumah sakit selama periode awal neonatus adalah hiperbilirubinemia.
Terlepas dari penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat toksik
terhadap bayi baru lahir.
Bab ini dimulai dengan ulasan tentang metabolisme bilirubin perinatal, berikut
penilaian, penyebab, toksisitas dan terapi kernikterus neonatorum.

243
Bab 15 Ikterus

15.3 Definisi
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat
peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin
serum > 2 mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin >5 mg/dl.

15.4 Metabolisme Bilirubin


Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak
75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase dan
heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang.
Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan:

Transpor bilirubin
Bilirubin dibentuk dari degradasi zat yang mengandung heme. Pembentukan bilirubin
dimulai dengan memutuskan cincin tetrapirol protoheme (protoporfirin IX) sehingga
terbentuklah tetrapirol rantai lurus (biliverdin). Enzim yang pertama kali terlibat dalam
0 19
pembentukan bilirubin adalah mikrosomal heme-oksigenase. Telah 2
et diketahui ada 2 bentuk
utama heme-oksigenase: yang pertama terdapat di dalam hepar M ardan lien; yang kedua terdapat
o 9
di dalam otak dan testis. Heme-oksigenase menyebabkan str reduksi besi porfirin (Fe3+ menjadi
a
t G α ini dioksidasi dari cincin tetrapirol
Fe2+) dan hidroksilasi karbon α-methine, dimanaakarbon
ap
sehingga menghasilkan karbon monoksida.k rPemotongan ini membuka struktur cincin dan
tu
berhubungan dengan oksigenasi kedua
o un atom karbon di kedua ujung rantai. Αtom karbon
tr
yang dipotong, diekskresi sebagaiaskarbon monoksida yang juga merupakan neurotransmiter.
r G
ja
Besi yang dilepas oleh heme-oksigenase dapat digunakan kembali oleh tubuh. Hasil akhir
u A biliverdin IXα. Stereospesifisitas enzim yang menyebabkan
tetrapirol rantai lurusukadalah
eB
Fil
pemutusan hampir pasti terdapat pada α-karbon tetrapirol. Hal ini berbeda dari hasil yang
didapatkan pada oksidasi kimiawi in vitro, di mana pemutusan dapat terjadi di antara keempat
atom karbon (α, β, γ, δ) yang menghubungkan keempat cincin pirol dan menghasilkan
jumlah isomer α, β, γ dan δ yang sama. In utero, bilirubin IXβ merupakan pigmen empedu
yang pertama kali ditemukan, dan dapat ditemukan di empedu atau mekonium pada usia
kehamilan 15 minggu. Sejumlah kecil bilirubin IXβ juga ditemukan pada empedu orang
dewasa. Kemudian, atom karbon sentral pada biliverdin IXα direduksi dari methine menjadi
kelompok methilene, membentuk bilirubin IXα, yang diselesaikan oleh enzim biliverdin
reduktase sitosolik. Kedekatan enzim ini menyebabkan sangat sedikitnya biliverdin yang
dapat ditemukan di sirkulasi. Pembentukan bilirubin dapat dinilai dengan mengukur produksi
karbon monoksida. Pembentukan ini menunjukkan rata-rata produksi bilirubin pada bayi
matur sehat = 6-8 mg/kg BB/hari, dan pada orang dewasa sehat = 3-4 mg/kg BB/hari. Pada
mamalia, ± 80% bilirubin yang diproduksi setiap hari berasal dari hemoglobin. Pemecahan
heme hepatik dan renal tampaknya berperan pada 20% sisanya, menunjukkan begitu cepat
turn over protein heme. Walaupun tidak diketahui dengan pasti, turn over mioglobin heme
sangatlah lambat sehingga tidak signifikan. Katabolisme hemoglobin terutama berasal dari
sekuestrasi eritrosit pada akhir masa hidupnya (120 hari pada orang dewasa, 90 hari pada
bayi, dan 50-60 hari pada tikus). Sejumlah kecil fraksi hemoglobin yang baru disintesis,

244
Buku Ajar Gastrohepatologi

didegradasi dalam sumsum tulang. Proses ini yang disebut sebagai eritropoesis yang
tidak efektif, biasanya terdapat kurang dari 3% dari produksi bilirubin harian, tetapi dapat
meningkat pada orang-orang dengan hemoglobinopati, defisiensi vitamin, dan keracunan
logam berat. Bayi menghasilkan lebih banyak bilirubin perkilogram berat badannya, karena
jumlah eritrosit mereka lebih banyak, dan umur hidup eritrositnya lebih pendek. Walaupun
sudah lama bilirubin dianggap sebagai produk sisa katabolisme heme, ternyata ada data yang
menduga bahwa hiperbilirubinemia ringan mempunyai manfaat yang baik karena bilirubin
mempunyai kapasitas antioksidan dan berperan sebagai pemusnah radikal bebas.
Bilirubin sukar larut dalam air, sehingga memerlukan biotransformasi supaya dapat
diekskresi dari tubuh. Sifat bilirubin yang sukar larut ini berhubungan dengan struktur
bilirubin. Dibandingkan dengan bentuk rantai lurus, bilirubin cenderung terikat dengan
hidrogen. Hal ini terjadi karena atom karbon jenuh yang terletak di tengah memungkinkan
kedua belah molekul bilirubin berputar sedemikian rupa sehingga pirol nitrogen dan laktam
oksigen dari sisi yang satu membentuk ikatan hidrogen dengan kelompok karboksil asam
propionat pada sisi yang lain, sehingga menghalangi sisi asam propionat yang polar dan
membuat bilirubin menjadi lipofilik dan sangat tidak polar. Ikatan rangkap C=C pada posisi
C4-C5 dan C15-C16 dapat membentuk 2 konfigurasi yang berbeda (mirip dengan “cis” dan
“trans”) tergantung apakah atom-atom itu terletak pada sisi ikatan rangkap yang sama atau
9
bersebrangan (Z = zusammen = together; E = entgegen = opposito).tBentuk 2 01 alami bilirubin
re
(4Z,15Z-bilirubin IXα) dapat berupa salah satu dari ketiga struktur
9 Ma yang ada. Pengetahuan
stereokimia ini penting untuk dapat memahami fototerapi.
a stro Ikatan hidrogen pada bilirubin
membuatnya menjadi sangat hidrofobik dan tidak larut G dalam media air.
p at
Sifat bilirubin yang sukar larut dalam air ini a
rmenyebabkan diperlukannya molekul karier
untuk transport bilirubin dari tempatnya n uk
tdiproduksi di dalam sistem retikuloendotelial
tro u karier yang dimaksud adalah albumin. Setiap
ke dalam hati untuk diekskresi. Molekul as
molekul albumin mampu mengikat j ar G 1 molekul bilirubin (Ka = 7.107/M). Artinya, pada
A
kadar bilirubin serum yang u ku normal, semua bilirubin yang dibawa ke dalam hati berikatan
e B sejumlah kecil bilirubin bebas yang berdifusi ke jaringan lain.
Fil
dengan albumin, dengan
Selain itu, albumin juga merupakan karier untuk zat lainnya, misalnya xenobiotik dan
asam lemak. Perlu diingat bahwa daya ikat albumin berbeda-beda untuk setiap spesies.
Rata-rata konsentrasi albumin serum pada bayi baru lahir cukup bulan adalah 3 sampai
3,5 g/dl, albumin dapat mengikat bilirubin pada konsentrasi maksimum sekitar 450 µM/h
(25-30 mg/dl). Dikatakan bahwa albumin pada neonatus mempunyai afinitas yang kurang
terhadap bilirubin bila dibandingkan dengan albumin pada orang dewasa. Bilirubin yang
bebas dapat masuk ke dalam otak dan merusak jaringan saraf.

Pengambilan bilirubin oleh sel hati


Struktur hati sudah disesuaikan sedemikian rupa untuk uptake bilirubin. Aliran darah
yang melalui sinusoid lebih lambat daripada aliran darah yang melewati kapiler, karena
aliran darah ini lebih berasal dari tekanan vena dibandingkan tekanan arterial. Bilirubin
yang terikat albumin dengan mudah mengalir dari plasma ke dalam space of Disse di antara
endotelium dan hepatosit, karena lapisan endotelial sinusoid hati tidak mempunyai lamina
basalis yang terdapat pada sistem kapiler organ lainnya. Celah-celah pada endotelium
memungkinkan kontak langsung dengan membran plasma hepatosit.

245
Bab 15 Ikterus

Gambar 15.4.1 menunjukkan ilustrasi skematik hepatosit dengan metabolisme


bilirubin. Pertama, bilirubin dipisahkan dari albumin yang mengikatnya dan memasuki
hepatosit melalui membran reseptor karier sehingga lebih mudah memasuki hepatosit.
Telah diketahui media transpor yang membawa anion organik memasuki hepatosit,
termasuk bilirubin, bromsulfophthalein (BSP) dan indocyanine green (ICG), walaupun
baru-baru ini telah diketahui bahwa bilirubin juga dapat melewati membran dengan
difusi pasif sederhana. Bukti yang ada menunjukkan bahwa bilirubin, BSP, dan ICG
memakai karier reseptor hepatosit yang sama, karena akan terjadi inhibisi kompetititf
jika diberikan bersamaan. Hal ini tidak dapat dijelaskan oleh metabolisme intrahepatik,
karena anion-anion ini ditangani secara berbeda oleh hepatosit: bilirubin berikatan dengan
asam glukoronat di dalam mikrosomal, BSP berikatan dengan glutation di dalam sitosol,
dan ICG langsung diekskresi tanpa mengalami biotranformasi. Data dari hepatosit tikus
menunjukkan bahwa anion binding receptor carrier merupakan suatu protein dimer dengan
berat molekul 55.000. Penelitian antibodi memperkuat dugaan lokasi di membran plasma
dan menunjukkan penghentian uptake. Untuk mengangkut bilirubin ke dalam hepatosit
diperlukan karier, karena ikatan protein di dalam hepatosit berbeda dari yang di luar. Di luar
hepatosit, bilirubin terikat albumin (dengan afinitas ± 1.108, konsentrasi 0,6 mM). Di dalam
hepatosit, bilirubin terikat glutation S-transferase (GST), yang dikenal sebagai ligandin atau
9
protein Y (afinitas = 1.106, konsentrasi = 0,04 mM). GST merupakan 2 01 kelompok protein
e
yang mempunyai fungsi baik sebagai enzim, maupun sebagaiarintracellulart binding protein,
misalnya untuk bilirubin. Carrier mediated uptake membantu 9 M meningkatkan gradien
o
konsentrasi uptake bilirubin, untuk mengatasi perbedaan a str afinitas antara albumin dan GST.
G
GST merupakan cadangan intraselular bilirubin p atyang penting dan mengurangi efluks dari
a
kr
hepatosit kembali ke plasma. ntu
ou
a str
G
Konjugasi A jar
u
uk
Di dalam hepatosit,Bbilirubin berkonjugasi dengan asam glukoronat. Proses ini terjadi di
i l e
F endoplasma (mikrosom). Sebagai donor asam glukoronat adalah uridine
dalam retikulum
diphosphate glucoronic acid (UDP-GA). Hasil konjugasinya adalah ester dengan atau tanpa
rantai samping asam propionat pada cincin B dan C pirol bilirubin. Enzim yang bertanggung
jawab untuk esterifikasi ini adalah bilirubin uridine diphosphate glucuronasyltransferase
(BUGT). BUGT berbeda dari isoform glucuronosyltransferase lainnya, yang mengkatalisis
konjugasi tiroksin, steroid, asam empedu dan xenobiotik. BUGT terdapat di bagian lipid
membran mikrosomal dan gangguan pada lemak ini, secara in vitro mempengaruhi
pengukuran aktivitas BUGT. Karena BUGT terdapat di bagian dalam retikulum endoplasma,
keberadaan enzim permease diduga untuk mempercepat transport UDP-GA dari sitosol
menyeberangi lapisan lemak retikulum endoplasma. Karena kadar uridine diphosphate
glucose lebih tinggi di dalam sitosol, diduga UDP-GA merupakan donor konjugasi bilirubin.
Uridine diphosphate N-asetil glukosamin dianggap sebagai regulator alami BUGT karena
secara in vitro, ia dapat meningkatkan aktivitas BUGT 3x dengan mempengaruhi kecepatan
transporter UDP-GA permease. Setelah terjadi konjugasi dengan asam glukoronat,
uridin difosfat dapat dikonversi menjadi uridin dan pirofosfat anorganik oleh nukleosida
difosfatase, yang juga terdapat di dalam retikulum endoplasma dan mencegah terjadinya
reaksi simpang. Isoform spesifik yang bertanggung jawab untuk konjugasi bilirubin adalah

246
Buku Ajar Gastrohepatologi

9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 15.4.1 Skema metabolisme bilirubin pada janin, neonatus dan orang dewasa

Keterangan:
R, membrane carrier; GST, glutation S-transferase (ligandin); UDPG, uridin diphosphat glukose; UDPGA, uridin diphosphat glukoronic acid; UDPNAG,
uridin diphosphat N-asetyl glukosamin; P, permease; UGT1A1, bilirubin glukoronosyltransferase; NDPase, nukleoside diphosphatase; PPi, inorganik
pyrophosphat,BDG/BMG,bilirubindiataumonoglukoronidase;cMOAT,transporteranionorganikkanalikulermultispesifik;BG,bilirubinglukoronidase.

247
Bab 15 Ikterus

UGT1A1 (nama dagang = HUG-Brl, EC.2.4.1.17), yang merupakan bagian dari enzim
uridine diphosphate glycosyltransferase, yang diikuti kompleks gen UGT pada kromosom 2.
Gen UGT, mengkode beberapa isoform, dan memiliki struktur kompleks yang terdiri dari
4 ekson yang umum dan 13 ekson variabel yang mengkode isoform yang berbeda-beda.
Pada tahun 1997, paling sedikit 30 UGT, alel mutan yang berbeda-beda telah dianggap
sebagai penyebab Sindroma Gilbert (GS) dan Sindroma Crigler-Najjar I dan II. UGT1A1
mengkatalisis bilirubin monoglukuronidase dan bilirubin diglukoronidase. Sejumlah
kecil bilirubin (15%) juga diekskresikan bersamaan dengan sangat sedikit bilirubin tak
terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi lainnya (misalnya glukosa, xilosa dan diester).
Pada bayi, karena aktivitas UGT1A1 rendah, empedu mengandung lebih sedikit bilirubin
diglukoronida dan lebih banyak bilirubin monoglukoronida daripada orang dewasa.

Sekresi bilirubin terkonjugasi


Setelah berkonjugasi, bilirubin diekskresi dengan melawan gradien konsentrasi hepatosit
melalui membran kanalikuli ke dalam empedu. Data dari penelitian pada hati tikus
menunjukkan bahwa transport bilirubin diglukoronida melalui membran kanalikuli
dengan menggunakan karier, elektrogenik, dan distimulasi oleh HCO3-. Data serupa juga
menunjukkan bahwa bilirubin glukoronida dibawa melewati membran 9 kanalikuli baik
2 01
oleh ATP dan membran potensial, sistem tergantung transport. t Transporter tergantung
M are
ATP yang bertanggungjawab terhadap pasase bilirubin glukoronida
9 dari hepatosit melalui
membran kanalikuli adalah transporter anion organik strokanalikuli multispesifik (CMOAT),
a
yang merupakan transporter yang terikat ATPpadan t G homolog dengan proterin 2 multidrug
a
resistance.
tu kr
Sebelumnya, CMOAT dianggap un
o sebagai transporter anion organik non-asam empedu,
str
pompa glutathione S-conjugate a
G dan pompa leukotrien. Mutasi genetik yang mengubah
jar ini termasuk penyakit cystic fibrosis, hiperinsulinemia,
ATP binding cassette transporter
A
ku
adrenoleukodistrofi,Bumultidrug resistance dan Sindroma Dubin-Johnson. Mekanisme
i l e
F dengan meningkatkan jumlah bilirubin dan bilirubin terkonjugasi.
ini dapat dipenuhi
Banyak anion organik lainnya (misalnya: BSP, ICG), juga menggunakan mekanisme
ekskresi membran kanalikuli yang sama. Infus BSP dan ICG secara simultan mengurangi
ekskresi maksimal bilirubin, demikian juga sebaliknya, mekanisme ekskresi kanalikuli
untuk bilirubin dan BSP berbeda dengan yang untuk garam empedu. Ekskresi bilier untuk
bilirubin terkonjugasi dan BSP, berkurang pada pasien-pasien dengan sindroma Dubin-
Johnson walaupun ekskresi garam empedu tidak terpengaruh. Ekskresi garam empedu dan
bilirubin terkonjugasi oleh membran kanalikuli bukannya tidak terpengaruh sama sekali,
karena pemberian garam empedu meningkatkan ekskresi maksimal bilirubin terkonjugasi.
Efek serupa tampak pada pemberian fenobarbital. Sebaliknya, ekskresi maksimal bilirubin
terkonjugasi dapat berkurang pada pemberian zat-zat kolestatik, misalnya estrogen dan
steroid anabolik.
Dalam keadaan normal, ada bukti yang menunjukkan bahwa bilirubin terkonjugasi
yang seimbang menyeberangi membran sinusoid hepatosit, sehingga dalam sirkulasi dapat
ditemukan sejumlah kecil bilirubin terkonjugasi. Jika terjadi gangguan glukuronidase
hepatik bilirubin (misalnya pada neonatus), jumlah bilirubin terkonjugasi di dalam serum
berkurang. Data yang ada menunjukkan bahwa pada neonatus cukup bulan terdapat

248
Buku Ajar Gastrohepatologi

peningkatan kadar bilirubin dikonjugat dalam serum (0,55 ± 0,25% pada umur 2-4 hari,
sampai 1,62 ± 0,99% pada umur 9-13 hari), yang konsisten dengan maturasi glukuronidasi
bilirubin. Sebaliknya, pada bayi prematur dengan usia kehamilan kurang dari 33 minggu,
kadar bilirubin diconjugates-nya sangat rendah, yang menunjukkan adanya gangguan
maturasi proses glukoronidasi.
Dalam banyak keadaan patologis, bilirubin mono dan diglukuronida tidak diekskresi
cukup cepat dari hepatosit untuk mencegah refluks ke sirkulasi. Peningkatan kadar bilirubin
terkonjugasi serum menyebabkan transesterifikasi bilirubin glukuronida dengan kelompok
amino dalam albumin, menghasilkan ikatan kovalen antara albumin dan bilirubin. Produk
ini terbentuk secara spontan, dan dikenal sebagai bilirubin delta, atau bilirubin-albumin.
Reaksi nonenzimatik serupa juga ditemukan antara albumin dan beberapa obat. Bilirubin
delta tidak terbentuk pada hiperbilirubinemia kecuali jika terdapat peningkatan fraksi
bilirubin terkonjugasi. Baik bilirubin delta maupun bilirubin terkonjugasi bereaksi langsung
yang menjelaskan suatu keadaan yang telah lama membingungkan para klinikus.
Berdasarkan keempat tahapan tersebut, ikterus dapat terjadi karena:
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
2. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Defek konjugasi bilirubin 9
4. Penurunan ekskresi bilirubin 2 01
t
re yang berlebihan dan
5. Campuran; peningkatan kadar bilirubin terjadi karena prosuksi
9 Ma
sekresi yang menurun ro
G ast
Gangguan berupa pembentukan bilirubin pyang at berlebihan, defek pengambilan dan
konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan r a
bilirubin indirek. Penurunan ekskresi bilirubin
ntuk
u
akan menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis, sedangkan bila
ro
ast peningkatan bilirubin direk maupun indirek.
mekanismenya bersifat campuran,Gterjadi
Ajar
u
uk
Sirkulasi enterohepatik
Fil
e B
Jika bilirubin terkonjugasi memasuki lumen usus (Gambar 15.4.1), ada beberapa
kemungkinan terjadinya metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, flora normal akan
menghidrogenasi karbon ikatan rangkap dalam bilirubin untuk menghasilkan urobilinogen.
Oksidasi atom karbon tengah menghasilkan urobilin. Karena adanya sejumlah besar ikatan
tak jenuh di dalam bilirubin, maka ada banyak bentuk reduksi dan oksidasi dari ikatan-
ikatan ini. Keluarga besar reduksi-oksidasi hasil bilirubin ini dikenal sebagai urobilinoid,
diekskresikan ke dalam feses. Bakteri yang paling penting dalam peranannya memproduksi
urobilinoid adalah Clostridium ramosum, yang bekerja sama dangan Escherichia coli.
Konversi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid penting untuk menghalangi absorbsi
bilirubin di intestinal yang dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Neonatus hanya sedikit
memiliki flora intestinal, sehingga lebih banyak mengabsorbsi bilirubin dari intestinum.
Perbedaan antara ekskresi pigmen empedu pada orang dewasa dan pada neonatus,
dibandingkan dalam Gambar 15.4.2 dan 15.4.3.

249
Bab 15 Ikterus

9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 15.4.2. Gambaran eksresi empedu pada orang Gambar 15.4.3. Gambaran eksresi empedu pada bayi baru
dewasa, dengan menggunakan larutan khromatografi high lahir, dengan menggunakan larutan khromatografi high
performance performance

Di dalam intestinum, bilirubin terkonjugasi juga dapat bertindak sebagai substrat,


baik untuk bakterial maupun untuk β-glukuronidase jaringan endogen. Enzim ini
menghidrolisis asam glukoronat dari bilirubin glukuronida. Bilirubin tak terkonjugasi yang
diproduksi, diabsorbsi lebih cepat dari intestinum.
Pada fetus, β-glukuronidase sudah terdeteksi pada usia kehamilan 12 minggu dan
diyakini mempunyai peranan penting dalam mempercepat absorpsi bilirubin intestinum,
yang memungkinkan bilirubin dikeluarkan melalui plasenta. Setelah lahir, peningkatan
kadar β-glukuronidase intestinal dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin
serum. Kemampuan β-glukuronidase jaringan endogen untuk men-dekonjugasi bilirubin
glukuronida telah dibuktikan pada hewan-hewan yang steril. ASI dapat mengandung banyak

250
Buku Ajar Gastrohepatologi

9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Gambar 15.4.4. Reduksi dan oksidasi bilirubin menjadi sebuah kelompok yang
mempunyai kesamaan komposisi yaitu urobilinoid

β-glukuronidase, dan hal ini sudah diduga merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan tingginya kadar jaundice pada bayi-bayi yang mendapat ASI.

Penilaian jaundice
Jaundice dan ikterus, keduanya menunjuk kepada keadaan diskolorasi kuning pada jaringan
(kulit, sklera, dan lain-lain), yang disebabkan oleh deposisi bilirubin. Jaundice berasal dari
bahasa Perancis: jaune, yang berarti kuning. Ikterus berasal dari bahasa Yunani: ikteros.
Jaundice merupakan tanda adanya hiperbilirubinemia (misalnya kadar total bilirubin serum
lebih dari 1,4 mg/dl setelah usia 6 bulan; 1 mg/dl = 17 μM). Derajat kuning berhubungan
dengan kadar bilirubin serum dan jumlah deposisi bilirubin dalam jaringan ekstravaskuler.
Hiperkarotenemia dapat menyebabkan kulit berwarna kuning, tetapi sklera akan tetap
berwarna putih. Ada banyak keadaan yang berhubungan dengan neonatal jaundice. Beberapa

251
Bab 15 Ikterus

dari keadaan ini begitu umumnya sehingga disebut fisiologis. Sebaliknya jaundice dapat
merupakan tanda hemolisis, infeksi, ataupun gagal hati. Pengukuran kadar total bilirubin
serum menunjukkan beratnya jaundice. Pengukuran semacam ini sangat sering dilakukan
pada neonatus, dan ada penelitian yang menunjukkan bahwa pengukuran ini dilakukan
minimal satu kali dari 61% neonatus cukup bulan. Dua komponen bilirubin total serum
dapat diukur secara rutin di laboratorium klinik, yaitu bilirubin terkonjugasi (disebut juga
sebagai bilirubin direk, karena pada test van den Bergh, pewarnaan dapat langsung terjadi
tanpa penambahan metanol), dan bilirubin tak terkonjugasi (yang disebut juga sebagai
bilirubin indirek). Walaupun penggunaan kata direk dan indirek sama dengan bilirubin
terkonjugasi dan tak terkonjugasi, tetapi sekarang telah diketahui bahwa hal itu tidaklah
benar-benar tepat, karena fraksi bilirubin direk terdiri dari baik bilirubin terkonjugasi
maupun bilirubin delta. Peningkatan kadar bilirubin yang manapun dapat menimbulkan
jaundice.
Metode laboratoris otomatis yang dulu digunakan untuk mengukur kadar bilirubin
serum telah direvisi dimana-mana. Prosedur Jendrassik-Grof merupakan metode terpilih
untuk mengukur bilirubin total, walaupun prosedur ini juga mempunyai masalah. Jika
kadar total bilirubin serum tinggi, fraksi direk yang sebenarnya tidak meningkat dapat
tampak seolah-olah meningkat.
9
Tiga metode yang lebih baru yang telah dikembangkan dapat 2 01 menentukan macam-
re t
9 Ma
macam fraksi bilirubin (tak terkonjugsi, monokonjugasi, dikonjugasi, dan bilirubin yang
terikat albumin atau bilirubin delta) dengan lebih akurat: ro yaitu dengan high performance
st
adan
liquid chromatography (HPLC), multilayered slides G bilirubin oksidase. Analisis HPLC
p at
memang yang terbaik, tetapi terlalu mahal a
rdan memerlukan waktu yang terlalu banyak
untuk laboratorium klinik. Analisis HPLC ntukuntuk serum bayi normal pada 4 hari pertama
ou
kehidupan menunjukkan bahwa a str kadar bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi
G
jar fraksi terkonjugasi hanya 1,2-1,6% dari pigmen total (3,6%
meningkat secara paralel dengan
A
pada orang dewasa). u ku
Walaupun kadar absolut bilirubin terkonjugasi 2-6 x lebih tinggi pada
e B
Fl
neonatus, hanya i20% dari bilirubin terkonjugasi yang merupakan dikonjugasi. Data HPLC
yang sensitif ini konsisten dengan peningkatan produksi bilirubin dan defisiensi relatif
glukuronidasi yang ditemukan pada neonatus. Saat ini sudah tersedia teknik analisis dengan
multilayered slides otomatis yang sudah digunakan di beberapa laboratorium klinis. Hal ini
memungkinkan pengukuran fraksi bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi spesifik tanpa
pengaruh bilirubin delta. Pengukuran kadar bilirubin terkonjugasi merupakan indikator
dini kolestasis bilier dibanding bilirubin direk, karena lamanya waktu paruh bilirubin delta.
Analisis terbaru dan perbandingan metode bilirubin oksidase dengan metode sebelumnya
untuk menentukan bilirubin total serum menyimpulkan bahwa penentuan kadar bilirubin
total serum pada neonatus tidak dapat menggunakan metode ini.
Masih ada perdebatan tentang keakuratan kadar bilirubin serum dari vena
dibandingkan kapiler. Maxele telah membuat literatur tentang kernikterus, fototerapi, dan
exchange transfusion berdasarkan pengukuran kadar bilirubin kapiler.
Metode noninvasif untuk mengukur kadar jaundice sudah diterapkan pada neonatus,
misalnya dengan menggunakan jaundicemeter yang memakai reflectance spectrophotometry
untuk mengukur warna kulit. Jaundicemeter diletakkan di kulit dengan perlahan-lahan,
dan memberikan hasil berupa “indeks jaundice”. Sejumlah penelitian sudah menunjukkan

252
Buku Ajar Gastrohepatologi

korelasi yang tinggi (r>0,9) antara indeks jaundice dan kadar bilirubin serum. Di pasaran,
jaundicemeter sudah dijual dengan beberapa variasi interinstrumen untuk pengukuran
berulang. Lebih jauh lagi, dalam suatu penelitian telah tampak bahwa baik indeks jaundice
pada usia 24 jam, dan ratio peningkatan indeks jaundice selama 24 jam pertama perkilogram
berat badan, berguna untuk memperkirakan timbulnya hiperbilirubinemia. Jaundicemeter
telah dianjurkan sebagai sarana skrining yang berguna. Sebagai tambahan, beberapa
orang menyatakan bahwa warna kuning pada kulit merupakan indikator risiko yang lebih
baik untuk menilai kerusakan otak akibat bilirubin dibandingkan kadar bilirubin serum.
Metode yang lebih manual untuk menilai jaundice adalah dengan menggunakan plexiglas
color chart yang ditekan ke hidung bayi, ternyata berguna dan lebih murah daripada
jaundicemeter dalam penilaian jaundice. Saat ini telah dikembangkan metode noninvasif
yang lebih baru, yang dapat membaca bilirubin serum dalam satuan miligram perdesiliter
dan efektif terhadap semua warna kulit dan usia kehamilan.

15.5 Neonatal Jaundice


Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan timbul segera
setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan 9 bilirubin dari
01
t2
sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayiremengalami peningkatan
M a
kadar bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya9 kadar bilirubin serum, kulit
ro
G ast
menjadi lebih jaundice dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak di kepala
t
dan bergerak ke arah kaudal ke telapak tangan danpatelapak kaki. Kremer menemukan kadar
a
bilirubin indirek serum sebagai perkembangan
tu k r jaundice, kepala dan leher = 4-8 mg/dl,
un
tubuh sebelah atas = 5-12 mg/dl, tubuho sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl, lengan dan
tr
s tangan dan telapak kaki jika >15 mg/dl, walaupun
tungkai bawah = 11-18 mg/dl, telapak a
demikian jika kadar bilirubin r G mg/dl, seluruh tubuh akan ikterik. Cara terbaik untuk
ja>15
u A
melihat jaundice adalahukdengan menekan kulit secara hati-hati dengan jari dibawah
e B
il
penerangan yang Fcukup. Setidaknya 1/3 bayi akan tampak jaundice. Kombinasi analisis
pada beberapa penelitian besar yang melibatkan ribuan bayi berusia 1 minggu menunjukan
bahwa moderate jaundice (kadar bilirubin <12 mg/dl) tampak pada sekitar 12% bayi-bayi
yang mendapatkan ASI dan 4% bayi yang mendapat PASI, severe jaundice (kadar bilirubin
>15 mg/dl) tampak pada 2% bayi yang mendapatkan ASI dan 0,3% bayi yang mendapat
PASI.
Terjadi pergeseran dimana lama rawat ibu setelah melahirkan lebih singkat. Dua dekade
yang lalu, para ibu dan bayi dirawat di rumah sakit lebih dari 1 minggu setelah kelahiran
normal tanpa komplikasi selama perawatan. Selama di rumah sakit, jaundice dinilai setiap
hari oleh para dokter dan perawat sehingga dapat didiagnosis dan diterapi, sesuai dengan
kegawatan tingginya kadar bilirubin baru-baru ini, dengan kenaikan biaya kesehatan yang
begitu tinggi dan adanya organisasi pelayanan kesehatan untuk mengurangi biaya ini, lama
perawatan menjadi 2 hari untuk kelahiran spontan dan 4 malam untuk kelahiran secara
sectio caesaria. Banyak orang yakin bahwa dalam dekade berikutnya, lama perawatan akan
menjadi 6-12 jam setelah melahirkan. Pada beberapa penelitian besar ditemukan bahwa
bayi-bayi yang terlalu cepat dibawa pulang (<30 jam) berisiko tinggi untuk dirawat kembali
di rumah sakit karena jaundice yang timbul dalam 1 bulan pertama.

253
Bab 15 Ikterus

IKTERUS NEONATUS DIBAWAH UMBILIKUS


TOTAL BILIRUBIN

IKTERUS PATOLOGIS IKTERUS FISIOLOGIS

BILIRUBIN DIREK OBSERVASI


PERTIMBANGAN PERIKSA
ULANG BILIRUBIN TOTAL

HIPERBILIRUBINEMIA HIPERBILIRUBINEMIA
DIREK INDIREK
SKRINING PENYAKIT HEMOLITIK
CARI PENYEBAB DI PADA BAYI BARU LAHIR
TEKSBOOK DAN EVALUASI (COOMBS'S, GOL DARAH)

COOMB'S TES NEGATIF COOMB'S POSITIF

HEMOGLOBIN ATAU HEMATOKRIT


9
1
RENDAH ATAU NORMAL TINGGI t 20ISOIMMUNISASI
DX:

Mare Rh
9
ANGKA REKTIKULOSIT ro
G ast
at
rap
DX: POLISITEMIA
k
u nt- uTRANSFUSI MATERNAL FETAL

ro - TWIN-TWIN TRANSFUSI

G ast - KETERLAMBATAN KLEM TALI PUSAT


- HIPOKSIA INTRAUTERIN

Ajar - TINGGI DI TEMPAT TINGGI

u - PENYAKIT IBU (misal.DM)

Buk - KECIL MASA KEHAMILAN

l e
Fi
TINGGI
NORMAL MORFOLOGI SEL DARAH MERAH

DX: - PERDARAHAN EKSTRAVASKULER DI


JARIGAN TUBUH ABNORMAL
- KENAIKAN SIRKULASI ENTERO HEPATAL
- GANGGUAN METABOLIK
- PENGARUH HORMON ATAU OBAT-
OBATAN

TIDAK SPESIFIK DIAGNOSTIK

DX: - ABNORMALITAS ERITROSIT DX: - SPEROSITOSIS


- HEMOGLOBINOPATI - ELLIPTOSITOSIS
- DEFISIENSI ENZIM - STOMATOSITOSIS
- HEMOLISIS - PIKNOSITOSIS
- DIC

Gambar 15.5.1. Pendekatan klinis ikterus neonatus

254
Buku Ajar Gastrohepatologi

Bayi yang baru lahir yang segara dibawa pulang, di rumah mengalami
hiperbilirubinemia (30-40 mg/dl) dan menjadi kernikterus. Walaupun ASI hari pertama
post partum memiliki keuntungan-keuntungan, salah satu kerugian adalah risiko yang
berhubungan dengan diagnosis severe hiperbilirubinemia yang terlambat. The American
Academy of Pediatrics telah merekomendasikan bahwa bayi-bayi yang dibawa pulang
sebelum berumur 48 jam, perlu difollow up dalam 48 jam setelah pulang. Banyak dokter
yang tidak mengikuti rekomendasi ini walaupun pengaruh serius rawat inap yang singkat
berpengaruh pada jaundice neonatus. Jaundice dapat disebabkan oleh peningkatan
produksi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin, atau kombinasi mekanisme ini. Gambar
15.5.1 menampilkan satu pendekatan klinik untuk menilai diagnosis ini. Pendekatan lain
pun telah dipublikasikan. Walaupun Newman dan kawan-kawan menemukan bahwa
perolehan pengukuran bilirubin direk jarang menolong karena spesifisitasnya rendah,
lainya menganjurkannya. Pengukuran kadar bilirubin terkonjugasi dini sebagai uji skrining
populasi yang dapat menegakkan diagnosis dini penyakit hati pada neonatus. Buyhani dan
kawan-kawan menganjurkan pengukuran bilirubin universal untuk mengidentifikasi bayi-
bayi yang berisiko menderita severe hiperbilirubinemia sebagai dasar untuk pengukuran
kadar bilirubin total serum spesifik sebelum bayi dibawa pulang. Walaupun ada banyak
penyebab neonatal jaundice, tetapi masih ada penyebab yang tidak dapat diidentifikasi
9
pada ½ dari 447 bayi yang dievaluasi selama penelitian ini. 2 01
t
re jaundice yang sering
Batasan jaundice fisiologis telah digunakan untuk menerangkan
9 Ma
ditemukan pada neonatus yang betul-betul normal. Tetapi
a stro jaundice fisiologis merupakan
hasil dari beberapa faktor termasuk peningkatant Gproduksi bilirubin dan penurunan
a
ekskresinya. Jaundice harus dianggap sebagai sebagai
k rap tanda penyakit dan tidak secara rutin
tu
dianggap fisiologis. Karakteristik spesifik nneonatal jaundice harus dianggap tidak normal
o u
r
sampai terbukti sebaliknya, termasukstyang timbul sebelum usia 36 jam, persisten selama 10
a
hari, berhubungan dengan kadar
j ar Gbilirubin serum >12 mg/dl dalam waktu kapanpun, dan
peningkatan fraksi bilirubin A
u ku direk (>2mg/dl atau 30% dari bilirubin serum total), dalam
waktu kapanpun. le B
Fi
Ada sejumlah faktor epidemiologis yang berhubungan dengan neonatal jaundice
yang telah diulas. Beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin
neonatus adalah jenis kelamin laki-laki, berat lahir rendah, prematuritas, etnis tertentu
(Oriental, Indian Amerika, Yunani), obat-obatan pada ibu (misalnya oksitosin. Prometasin,
obat yang mengandung Hidroklorida, ketuban pecah dini, penurunan berat badan
setelah lahir yang cepat, keterlambatan pasase mekonium, pemberian ASI dan infeksi
neonatus. Proses kelahiran dengan ekstraksi vakum meningkatkan resiko sefalhematom
dan neonatal jaundice. Data yang ada menunjukan bahwa pankuronium berhubungan
dengan peningkatan risiko hiperbilirubinemia. Ada hubungan yang jelas antara kadar
bilirubin serum tali pusat dengan hiperbilirubinemia. Kadar bilirubin ibu saat melahirkan
dan gradien bilirubin transplasenta juga mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi
bilirubin serum neonatus. Faktor lain yang berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin
neonatus, termasuk ibu perokok, ras kulit hitam dan obat-obat tertentu yang diberikan
kepada ibu (termasuk fenobarbital).

255
Bab 15 Ikterus

Peningkatan produksi bilirubin


Penyebab tersering jaundice dini adalah inkompabilitas golongan darah fetus–ibu dengan
akibat isoimunisasi. Imunisasi ibu terjadi jika eritrosit bocor dari fetus ke sirkulasi maternal.
Eritrosit fetus membawa antigen yang berbeda yang dikenal sebagai benda asing oleh
sistem imun ibu yang membentuk antibodi untuk melawannya (sensitisasi ibu). Antibodi
ini (IgG) melewati barier plasenta ke dalam sirkulasi fetal dan terikat ke eritrosit fetal.
Pada inkompatibilitas Rh, sekuestrasi dan penghancuran eritrosit yang berlapis antibodi
mengambil tempat dalam sistem retikuloendothelial fetus. Pada inkompabilitas ABO,
hemolisis terjadi intravaskular, complement-mediated dan biasanya tidak seberat pada Rh
disease (misalnya Kell). Walaupun hemolisis berkaitan dengan peningkatan kadar bilirubin
tak terkonjugasi, fraksi bilirubin terkonjugasi juga dapat meningkat.
Inkompabilitas Rh biasanya baru muncul pada kehamilan kedua. Pemeriksaan
golongan darah sebelum kelahiran dan serial testing ibu-ibu dengan Rh negatif untuk
pemeriksaan antibodi Rh memberikan informasi penting sebagai pedoman penanganan
intrauterin. Jika antibodi Rh ibu timbul selama kehamilan, pengukuran-pengukuran yang
dapat membantu termasuk amniosintesis serial (dengan pengukuran bilirubin), USG
fetus, tranfusi intrauterin dan partus prematurus. Terapi profilaksis anti–D γ-globulin
merupakan yang paling membantu untuk mencegah sensitisasi01Rh. 9 Bayi yang baru
t 2
are
lahir dengan inkompabilitas Rh, tampak pucat, hepatosplenomegali dan cepat menjadi
jaundice dalam umur beberapa jam. Jika masalahnya berat, M
9 bayi dapat lahir dengan edema
stro
generalisata (hidrops fetalis). Hasil pemeriksaan laboratoriumnya adalah retikulositosis,
t Gabilirubin serum yang cepat. Exchange
anemia, Coombs’s test (+) dan peningkatan kadar pa
rabayi-bayi
transfusions merupakan terapi penting untuk k dengan kasus berat.
u ntu
Inkompabilitas ABO biasanya ro timbul pada kehamilan pertama. ABO hemolytic
disease terbatas pada bayi denganG ast golongan darah A atau B yang lahir dari ibu dengan
r
Aja
golongan darah O. ABOuhemoytic disease jarang timbul pada ibu dengan golongan darah A
atau B. Jaundice yang u k
timbul tidak secepat pada Rh disease, dan kadar bilirubin serum >12
eB
mg/dl pada umur Fil3 hari adalah tipikal. Abnormalitas laboratorium termasuk retikulositosis
(>10%) dan Coombs’s test yang (+) lemah, walaupun kadang-kadang (-). Antibodi anti A
dan anti B dapat tampak pada serum sang bayi jika diperiksa pada umur beberapa hari
sebelum antibodi ini menghilang dengan cepat, sferositosis merupakan gambaran tersering
yang ditemukan pada sediaan apus darah tepi dari inkompabilitas ABO.
Darah ekstravaskular di dalam tubuh dapat dimetabolisme dengan cepat menjadi
bilirubin oleh makrofag jaringan. Contoh peningkatan produksi bilirubin termasuk sefal
hematom, ekimosis, petechie dan hemoragis, walaupun diagnosisnya seringkali dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan fisik. Perdarahan intrakranial, intestinal maupun pulmonal
juga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Hal yang serupa juga terjadi jika darah
tertelan, yang akan dikonversi menjadi bilirubin oleh heme-oksigenase epitel intestinum.
Tes Apt dapat digunakan untuk membedakan darah ibu atau darah fetus karena adanya
perbedaan resistensi alkali antara Hb fetus dengan Hb orang dewasa.
Polisitemia dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, karena peningkatan jumlah sel
darah merah absolut menyebabkan peningkatan produksi bilirubin melalui pemecahan
eritrosit dengan kecepatan normal. Beberapa mekanisme dapat menyebabkan polisitemia
neonatus (yang biasanya didefinisikan sebagai PCV >65%), seperti yang diulas oleh

256
Buku Ajar Gastrohepatologi

Danish. Selama pemisahan plasenta pada saat lahir, dapat terjadi perdarahan dari sirkulasi
maternal kedalam sirkulasi fetal (maternal-fetal transfusion) atau karena keterlambatan
penjepitan tali pusat. Twin-to-twin transfusion juga dapat menyebabkan polisitemia.
Serupa juga hipoksia intrauterine dan penyakit-penyakit pada ibu seperti diabetes melitus
dapat menyebabkan polisitemia neonatus. Terapi untuk polisitemia simtomatik adalah
partial exchange-tranfusion, sedangkan untuk terapi polisitemia yang asimtomatik masih
kontroversial.
Jumlah abnormalitas spesifik yang berhubungan dengan eritrosit dapat menyebabkan
neonatal jaundice, termasuk hemoglobinopati, defek membran eritrosit dan enzim.
Sferositosis herediter bukan merupakan masalah neonatal, tetapi krisis hemolitik dapat
timbul dan tampak sebagai peningkatan kadar bilirubin dan penurunan hematokrit.
Adanya riwayat keluarga dengan sferositosis, anemia atau penyakit batu empedu pada usia
<40 tahun, membantu menegakkan diagnosis ini. Karakteristik sferositosis yang tampak
pada apusan darah tepi tidak mungkin dapat dibedakan dari yang terjadi pada hemolitik
ABO. Anemia hemolitik lainnya yang berhubungan dengan neonatal jaundice termasuk
hemolisis akibat obat-obatan, defisiensi enzim-enzim eritrosit (G6PD, piruvat kinase, dll)
dan hemolisis yang diinduksi oleh vitamin A dan bakteri. Talasemia αβ dapat mengakibatkan
hemolisis berat dan hidrops fetalis letal. Talasemia αβ juga dapat tampak sebagai hemolisis
9
dan hiperbilirubin neonatal berat. 2 01
re t
Ovalositosis pada orang-orang Asia Tengggara berhubungan
9 Madengan hiperbilirubinemia
berat. Obat-obatan atau zat dapat melewati plasenta ke dalam tro fetus atau melalui ASI. Induksi
asneonatal
partus dengan oksitosin tampak berhubungan dengan G jaundice. Ada hubungan
p at
yang signifikan antara hiponatremia dan jaundice a
r pada bayi atau ibu yang mendapatkan
n tuk like– action dan oksitosin memacu transpor
oksitosin untuk induksi partus. Efek vasopressin
ou
str eritrosit dan peningkatan fragilitas osmotik dan
elektrolit dan air seperti pembengkakan
a
G
Ajar
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Pemberian steroid pada permulaan pemberian
u dapat mencegah hiperbilirubinemia ini.
oksitosin dan 4 jam berikutnya
k
u B
e
Fil
Penurunan ekskresi bilirubin
Peningkatan bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik diyakini merupakan hal yang penting
pada neonatal jaundice. Neonatal berisiko untuk mengabsorpsi bilirubin intestinal karena
empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukuronida yang tingggi sehingga
lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukuronidase
dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin
yang mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora
intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid dan mekonium,
intestinal mengandung akumulasi selama kehamilan, mengandung bilirubin dalam
jumlah yang signifikan. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekoniom (misalnya
penyakit Hirschsprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan dengan
hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium tampak berhubungan dengan kadar bilirubin
serum yang lebih rendah. Hal ini dapat dipicu dengan pengukuran-pengukuran suhu
rektal selama periode neonatal. Sirkulasi enterohepatik bilirubin dapat dihambat dengan
pemberian secara parenteral zat-zat yang mengikat bilirubin seperti agar, charcoal, dan
kolestiramin.

257
Bab 15 Ikterus

Pemberian ASI telah diidentifikasi sebagai faktor yang berhubungan dengan


neonatal jaundice. Bayi-bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum
yang lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi yang mendapat susu formula. Pada usia 5 hari
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ini dapat bertahan selama beberapa minggu sampai
beberapa bulan. Jaundice selama minggu pertama kehidupan sering dideskripsikan sebagai
breast-feeding jaundice untuk membedakan dari breast-milk jaundice yang berhubungan
dengan kurangnya intake ASI. Mungkin ada overlapping antara keadaan-kedaan ini
dan dan jaundice fisiologis. Laporan terbaru yang menghubungkan breast-milk-jandice
dan neonatal jaundice dengan steroid-pregnane 3α,20β-diol dalam sampel susu belum
dikonfirmasi dengan penelitian terbaru yang lebih besar dengan menggunakan metode
yang lebih sensitif. Telah diduga bahwa sirkulasi bilirubin enterohepatik dapat dipicu
dengan glukuronidase atau zat lain di dalam ASI, yang menyebabkan kadar lemak bebas
yang dapat menghambat glukuroniltransferase hepatik, telah diduga bahwa sirkulasi
enterohepatik dapat dipicu dengan adanya β- glukuronidase atau zat lain dalam ASI. Faktor
lain yang mungkin berhubungan dengan jaundice pada bayi yang mendapat ASI termasuk
intake kalori, intake cairan, penurunan berat badan, keterlambatan pasase mekonium,
flora intestinal, dan hambatan bilirubin glukuronil tranferase oleh suatu faktor dalam susu
yang tidak dapat diidentifikasikan. Lascari menyatakan bahwa bayi sehat yang mendapat
9
ASI dengan hiperbilirubinemia yang tak terkonjugasi, mempunyai 2 01 kadar Hb, retikulosit
t
dan apusan darah yang normal, tanpa inkompabilitas golongan
Mare darah dan tanpa kelainan
lain pada pemeriksaan fisik, yang dapat dianggap mengalami 9 early breast-feeding jaundice.
ro
stuntuk
Karena tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik G a menegakkan diagnosa breast-
milk jaundice, maka pentinglah untuk menyingkirkan p at penyebab-penyebab jaundice yang
k ra
dapat diobati sebelum menghubungkan tuhiperbilirubinemia dengan ASI. Beberapa bayi
dengan breast-milk jaundice menunjukan o un peningkatan kadar asam empedu, menandakan
r
adanya disfungsi hati ringan ast kolestasis walaupun pada umumnya ini bukanlah
Gatau
r
masalah. Marsele dan uGifford Aja menyarankan untuk menunggu sampai kadar bilirubin
serum mencapai 15 u k
i l e Bmg/dl sebelum evaluasi pada bayi sehat yang mendapat ASI. Beberapa
inborn error of Fmetabolism dapat tampak sebagai neonatal hiperbilirubina, mungkin yang
lebih impresif adalah sindroma Crigler-Najjar atau jaundice nonhemolitik kongenital, yang
ditandai dengan defisiensi bilirubin glukoronosyl transferase hepatik herediter. Tanpa
kemampuan mengkonjugasi dan mengikat bilirubin, bayi-bayi ini akan tampak jaundice
dalam usia beberapa hari walaupun tes fungsi hatinya normal, jika tidak diterapi kadar
bilirubin serum dapat mencapai 25-35 mg/dl, dan berisiko untuk menjadi kernikterus.
Ada 3 tipe Sindroma Crigler- Najjar. Tipe I dan II dibedakan dengan terapi fenobarbital,
tipe I tidak memberikan respon terhadap terapi ini dan tidak terdapat jumlah bilirubin
yang terkonjugasi yang signifikan di dalam empedu. Pasien-pasien tipe I membutuhkan
terapi seumur hidup dengan fototerapi nokturnal dan pencegahan sirkulasi enterohepatik.
Pada tipe II atau sindrom Arias, fenobarbital menyebabkan ekskresi bilirubin mono dan
diglukuronida. Walaupun hal ini berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin serum,
jaundice tetap ada secara signifikan (± 15 mg/dl) yang akhir-akhir ini disebut tipe III, tidak
seperti tipe I dalam hal tidak ada ekskresi bilirubin glukoronida, tetapi pasien-pasien tipe
II mengekskresi bilirubin mono dan diglukoronida terkonjugasi. Walaupun tidak separah
Sindroma Crigler-Najjar, GS juga berhubungan dengan meningkatnya neonatal jaundice.
Beberapa hormon dapat menyebabkan timbulnya hiperbilirubinemia neonatal tak

258
Buku Ajar Gastrohepatologi

terkonjugasi, pasien-pasien dengan hipotiroidisme kongenital dapat mempunyai kadar


bilirubin serum >12 mg/dl. Prolonged jaundice tampak pada sepertiga bayi dengan
hipotiroidisme kongenital; serupa juga dengan itu, hipopituitarisme dan anensefali
berhubungan dengan jaundice akibat tiroksin yang tidak adekuat, yang diperlukan untuk
klirens bilirubin hepatik.
Obat-obatan tertentu berpengaruh terhadap metabolisme bilirubin dan menyebabkan
hiperbilirubinemia atau pergeseran bilirubin dari albumin. Penempatan ini meningkatkan
risiko kernikterus dan dapat disebabkan oleh sulfonamid, moxalactam, dan seftriakson.
Obat-obatan Cina yang terkenal (Chuen Lin), yang diberikan pada 28-51% bayi-bayi
Cina memberikan efek ini. Pankuronium bromida dan kloralhidrat dikatakan merupakan
penyebab neonatal hiperbilirubinemia. Bayi dari ibu diabetes berisiko mempunyai kadar
bilirubin yang lebih tinggi dan mempunyai risiko hiperbilirubinemia yang lebih tinggi
dibandingkan neonatus normal. Pasien-pasien ini menunjukan korelasi yang yang
positif antara bilirubin total dan hematokrit yang menandakan polisitemia sebagai suatu
mekanisme yang mungkin. Alasan potensial lain untuk hiperbilirubinemia termasuk
prematuritas, defisiensi glukoronidase (akibat hipoglikemia) dan perfusi hati yang buruk
(baik akibat distress paenafasan, sirkulasi fetal persisten, maupun kardiomiopati).
Sindroma Lucey-Driscoll ditandai dengan adanya riwayat neonatal hiperbilirubinemia
19
0baik
dalam keluarga, dimana ada hambatan in vitro glukoronil transferase e t 2 oleh serum ibu
maupun bayi. Dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh hormon-hormon ar kehamilan.
o 9M
str
Seringkali prematuritas berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
t
pada masa neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukuronosilGa tranferase hepatik jelas menurun
a
pada bayi prematur atau naik sejak usia kehamilan k rap 30 minggu sampai mencapai kadar
tu
dewasa pada 14 minggu setelah lahir. oSebagai un tambahan, mungkin ada defisiensi uptake
str
maupun sekresi. Klirens bilirubin ameningkat cepat setelah lahir. Hipoperfusi hati dapat
menyebabkan neonatal jaundice. j ar GPerfusi hati yang inadekuat dapat mengganggu uptake
A
dan metabolisme bilirubin u ku hepatosit. Penyebabnya dapat berupa duktus venosus paten
B
i le
(misalnya denganFsindroma distres pernafasan), gagal jantung kongestif dan trombosis
vena porta penyakit-penyakit hati spesifik juga dapat menyebabkan neonatal jaundice.

Peningkatan produksi dan penurunan sekresi bilirubin


Pada penyakit-penyakit neonatus dengan jaundice akibat peningkatan produksi dan
penurunan ekskresi bilirubin, baik bilirubin terkonjugasi maupun bilirubin tak terkonjugasi
dapat meningkat. Sepsis bakterialis meningkatkan produksi bilirubin dengan meyebabkan
hemolisis eritrosit akibat hemolisis yang dihasilkan oleh kuman.

Toksisitas neonatal jaundice


Ulasan-ulasan tentang toksisitas bilirubin neonatal telah ada dimana-mana. Kernikterus
(kern = nucleus, icterus = kuning) merupakan temuan neuropatologis yang berhubungan
dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi berat dan dinamakan demikian karena
timbulnya warna kuning pada beberapa tempat di otak, misalnya ganglia basalis,
cerebelum, dan nuclei di dasar ventrikel ke IV, manifestasi klinis yang berhubungan
dengan kernikterus disebut bilirubin ensefalopati, termasuk gangguan refleks Moro,

259
Bab 15 Ikterus

opistotonus, hipotonia, vomitus, high-pitch cry, hiperpireksia, kejang, setting sun sign, krisis
okulogirik, dan kematian. Manifestasi jangka panjang berupa spastisitas, koreoatetosis, dan
tuli sensorineural. Bentuk ringan bilirubin ensefalopati termasuk disfungsi kognitif dan
gangguan belajar. Pada anak laki-laki 17 tahun mempunyai risiko IQ<85 lebih tinggi pada
mereka yang sewaktu bayinya adalah bayi cukup bulan yang kadar bilirubinnya >20 mg/
dl. Walaupun periode neonatal merupakan waktu paling sering timbulnya kerusakan otak
akibat bilirubin, efek neurotoksisitas bilirubin juga tampak pada sindroma Crigler-Najjar
tipe I .
Kadar absolut bilirubin serum bukanlah prediktor yang baik untuk menentukan risiko
severe neonatal jaundice. Tetapi sudah lama diketahui bahwa kernikterus berhubungan
dengan keadaan bilirubin >30 mg/dl dan jarang terjadi jika <20 mg/dl. Pada suatu
penelitian, 90% pasien yang mempunyai kadar bilirubin >35 mg/dl akan meninggal,
menjadi cerebral palsy atau retardasi fisik. Sebaliknya tidak ada retardasi perkembangan
yang ditemukan pada 129 orang bayi dengan kadar bilirubin <20 mg/dl. Kadar albumin
merupakan variabel yang penting karena afinitasnya yang tinggi dengan bilirubin. Obat-
obatan dan anion organik juga mengikat albumin dan dapat menggeser bilirubin, sehingga
meningkatkan kadar bilirubin bebas yang dapat berdifusi ke dalam sel dan menyebabkan
toksisitas. Contoh yang paling dapat diamati dalam hal ini adalah kernikterus yang muncul
dengan kadar bilirubin yang rendah jika pada bayi-bayi prematur 19
0diberikan sulfisoksazol.
t 2
Bilirubin yang dipicu oleh obat adalah hal-hal yang dapat M are
dipertimbangkan sebagai risiko
ensefalopati bilirubin pada bayi cukup bulan dengantranggapano9 bahwa bayi-bayi ini tidak
berisiko sampai kadar bilirubin meningkat >20t mg/dl a s walaupun sudah diketahui bahwa
G
p a terpenting yang berhubungan dengan
bilirubin total serum bukan merupakan faktor r a
risiko, tetapi pada saat ini ada beberapa ntuk pemeriksaan yang dapat diterima (misalnya
o u atau bilirubin bebas) yang lebih membantu dalam
str
saturasi albumin, kapasitas ikat bilirubin
a
mengidentifikasi bayi-bayi yang G berisiko untuk terkena bilirubin ensefalopati. Pendekatan
Ajar
lain bertujuan untuk mengukur
ku perubahan–perubahan dini pada SSP yang disebabkan oleh
bilirubin telah dinilaiBudengan brainstem auditory evoked potentials (BAEPs). Abnormalitas
Fi le
pada BAEP telah tampak pada bayi dengan jaundice dan tampak membaik setelah exchange
transfusion. Data telah menunjukan bahwa hiperbilirubinemia moderat (SD = 14,3 ±
2,8 mg/dl) mempengaruhi BAEPs. Tampilan komponen spesifik Brazelton Neonatal
Behavioral Assessment Scale, dan karakteristik tangisan. Data dari tikus Gunn menyatakan
bahwa perbedaan gelombang binaural (perbedaan antara 2 monoaural gelombang BAEP
dan binaural BAEP) dapat merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi toksisitas
bilirubin. Evoked potential somatosensoris yang melalui ganglia basalis, suatu tempat yang
sering terpengaruh kernikterus, juga menunjukan abnormalitas pada jaundice dan telah
disarankan sebagai metode lain untuk mengawasi pengaruh bilirubin pada SSP. Saat ini
baik BAEP maupun evoked potential somatosensoris bukan merupakan pengukuran rutin
untuk menilai potensi toksisitas bilirubin.
Hal-hal lain yang berhubungan dengan toksisitas neonatal jaundice tidak berhubungan
dengan SSP bayi jaundice tetapi lebih kepada tingkah laku orangtua bayi. Sang ibu
menunjukan tingkah laku ”vulnerable child syndrome”, termasuk kunjungan yang tidak
perlu ke dokter karena persepsi yang tidak realistik tentang penyakit, kesulitan berpisah

260
Buku Ajar Gastrohepatologi

dan penyapihan dini. Penelitian lain menunjukan bahwa hiperbilirubinemia maupun


fototerapi pada periode neonatal tidak berhubungan dengan gangguan hubungan ibu-anak
pada umur pertama kehidupan.

Penanganan jaundice neonatorum


Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke rumah sakit
dalam umur beberapa minggu. Langkah paling penting penganganan jaundice adalah
menentukan penyebabnya. Tetapi terlepas dari penyebabnya, peningkatan fraksi bilirubin
tak terkonjugasi dalam serum dapat menyebabkan kernikterus seperti yang telah dibahas
sebelumnya. Jika fraksi bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkah-langkah penanganan
harus diambil untuk mencegah pemberian zat-zat yang terikat albumin dan menggeser
bilirubin sehingga menyebabkan kernikterus. Walupun sudah diketahui bahwa sulfonamid
merupakan zat yang paling dapat menggeser bilirubin, obat-obat yang lebih baru misalnya
seftriakson juga kuat menggeser bilirubin, sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin
ensefalopati. Pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara
lain fototerapi, exchange tranfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim.
Pilihan-pilihan terapi ini masih terus diteliti. 9
2 01 yang berasal dari
Fototerapi terdiri dari radiasi bayi jaundice dengan lampu energi
re t foton
lampu merubah struktur molekul bilirubin dengan dua cara sehingga 9 Ma bilirubin diekskresi ke
ro seperti biasanya. Perubahan
empedu atau urin tanpa membutuhkan glukuronidase hepatik
G ast
rotasi 18° di sekitar ikatan rangkap antara cincin aA-B t atau C-D, merubah konfigurasi Z
yang normal menjadi konfigurasi E 4Z,15 E. r ap
Bilirubin di-re-isomerisasi secara spontan
k
tustruktur
menjadi bilirubin alami, lebih penting lagi n cincin ketujuh dapat dibentuk antara
trou
s
cincin A dan B dan menghasilkan ahemirubin dan siklobilirubin. Sekarang terlihat bahwa
pembentukan hemirubin terjadi j ar Gmelalui intermediate isomer 4E,15Z; kedua perubahan
A
mempengaruhi ikatan hidrogen
u ku internal dalam bilirubin alami, dengan menambahkan
e B
Fil
kelompok asam propionat akan menjadi isomer E yang lebih polar dan hemirubin dapat
langsung diekskresi langsung ke dalam empedu. Tampaknya, hemirubin merupakan
cara utama eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Pilihan lampu yang digunakan masih
diperdebatkan. Sinar biru khusus (atau biru super, tapi bukan biru biasa) tampaknya lebih
baik dari sinar putih atau hijau, walaupun warna putih lebih tidak mengganggu terhadap
paramedisnya. Saat ini sudah tersedia fototerapi baru menggunakan woven fiberoptic pads,
yang efektif (dibandingkan dengan foto konvensional) dan aman. Secara umum fototerapi
digunakan untuk mencegah supaya bilirubin tidak mencapai kadar yang mememerlukan
exchange transfusion. Saat ini fototerapi banyak dilakukan di rumah, suatu praktek yang
dianjurkan oleh American Academy of Pediatrics. Selain komplikasi yang telah diketahui,
fototerapi sudah digunakan secara luas dan secara umum dianggap aman. Walaupun
fototerapi memang mempengaruhi cardiac output dan aliran darah ke organ lain (misalnya,
meningkatkan aliran darah ke otak), dan dapat dihubungkan dengan pembukaan duktus
arteriosus, efek ini secara umum bukanlah masalah pada bayi yang ekstrim prematur (berat
badan lahir kurang dari 800 gram). Prolonged fototherapy dan rendahnya kadar bilirubin
serum (9,4 mg/dl) dikatakan berhubungan dengan kebutaan. Hal ini dapat berkaitan
dengan efek langsung sinar pada mata imatur yang tidak dilindungi atau penurunan

261
Bab 15 Ikterus

proteksi antioksidan akibat rendahnya kadar bilirubin serum. Fototerapi sebaiknya tidak
dilakukan tanpa sebelumnya dilakukan evaluasi diagnostik penyebab jaundice. Walaupun
sudah dianjurkan agar posisi bayi diubah tiap 6 jam selama mendapat fototerapi, tetapi
ada data dari suatu penelitian bahwa perubahan posisi tidak berpengaruh terhadap kadar
bilirubin serum. Suatu penelitian yang melibatkan 164 bayi (beberapa di antaranya dengan
jaundice hemolitik) yang mendapat fototerapi selama 121 jam tidak mengalami rebound
hyperbilirubinemia. Hal serupa juga juga didapatkan pada 163 bayi matur dengan jaundice
nonhemolitik yang mendapat fototerapi selama 54-65 jam. Bayi-bayi sehat cukup bulan,
fototerapi dapat dihentikan jika kadar bilirubin serum sudah < 14-15 mg/dL, sehingga bayi
dapat dipulangkan tanpa perlu mengamati “rebound”.
Exchange tranfusion merupakan metode tercepat untuk menurunkan konsentrasi
bilirubin serum. Indikasi exchange tranfusion beragam dan telah banyak diterbitkan dan
dapat berhubungan baik dengan adanya anemia maupun peningkatan kadar bilirubin
serum. Pada penyakit hemolitik neonatal, indikasi tranfusi antara lain adalah anemia
(hematokrit <45%), direct Coombs’s test (+), dan kadar bilirubin darah umbilikus >4 mg/
dl, peningkatan kadar bilirubin serum >1 mg/dl/jam selama lebih dari 6 jam, anemia
progresif dan kecepatan peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl/jam. Kadang-
kadang exchange tranfusion untuk kasus hemolisis dapat dihindari dengan menggunakan
imunoglobulin intravena dosis tinggi. Indikasi exchange tranfusion 19 hiperbilirubinemia
0atas
t 2
sendiri adalah: (1) kadar bilirubin >15 mg/dl selama lebih M are48 jam, (2) indeks saturasi
dari
9
salisilat >8,0 dan HABA binding <50% pada 2x pengambilan
a stro berjarak 4 jam, (3) rasio
kadar bilirubin total serum (mg/dl) dibanding kadar G protein total serum (g/dl) >3,7, dan
p at protein total serum >0,7. Walaupun ada
(4) rasio kadar bilirubin serum dibanding kadar r a
banyak risiko exchange tranfusion yang ntelah tuk dijabarkan, angka mortalitasnya masih rendah
ou
(<0,6%) jika dilakukan dengan benar.
a str
G
Ada sejumlah pendekatan
Ajar farmakologis untuk mencegah dan mengobati
ku
hiperbilirubinemia neonatal, sirkulasi enterohepatik dapat diinterupsi dengan pemberian
Bu
e
Fil
parenteral. Zat-zat yang dapat mengikat bilirubin dalam intestinum dan mencegah resorbsi
zat-zat ini antara lain adalah agar, kolestiramin, charcoal aktif, dan kalsium fosfat. Mungkin
akan terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai suatu upaya untuk mempersingkat waktu
absorbsi bilirubin. Pemberian makanan yanng sering dan stimulasi rektal berhubungan
dengan penurunan kadar bilirubin serum. Pemberian bilirubin oksidase perenteral, suatu
enzim yang memecah bilirubin menjadi biliverdin, diperol dan produk lainnya, merupakan
cara lain untuk memghambat sirkulasi enterohepatik, yang sampai saat ini masih diuji coba.
Pendekatan eksperimental lain menggunakan bilirubin oksidase intravena.
Karena aktivitas BUGT hepatik neonatal masih rendah, tidaklah mengherankan
bahwa induksi BUGT hepatik menyebabkan penurunan kadar bilirubin. Induksi semacam
ini pada neonatus dapat dilakukan dengan pemberian fenobarbital atau difenilhidantoin
pada ibu sebelum melahirkan, bahkan bayi dengan berat badan lahir rendah (<2000 gram)
memberikan respons terhadap terapi fenobarbital in utero dengan peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi serum dan penurunan kebutuhan fototerapi. Pada periode pasca
natal, penggunaan fenobarbital pada neonatus juga mempunyai efek penurunan bilirubin
yang sama. Klofibrat sebagai terapi farmakologi yang sederhana dan non toksik. Yang dapat

262
Buku Ajar Gastrohepatologi

menginduksi BUGT dan di Perancis digunakan untuk mencegah dan mengobati neonatal
jaundice.
Optimisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar
bilirubin meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan
interval 2 jam dan tidak memberikan makanan tambahan, atau setidaknya 8-10x per 24
jam. Ada hubungan yang jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi
hiperbilirubinemia. Pemberian yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake
tetapi akan meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi
bilirubin. Pemberian ASI dalam 24 jam pertama berhubungan nyata dengan frekuensi
pasase mekonium. Kadar bilirubin serum berapa yang memerlukan penghentian ASI
masih kontroversial antara 14-20 mg/dl. Jika pemberian ASI dihentikan, pemberian PASI
dapat dimulai selama 24-48 jam, atau ASI dan PASI diberikan selang seling. Belum ada
penelitian yang menunjukan efektivitas dari segi biaya tentang susu formula dan efeknya
untuk menurunkan jaundice, walaupun dua penelitian yang terpisah menunjukan bahwa
bayi-bayi yang hanya diberi Nitramigen (susu formula dengan hidrolisat kasein, buatan
Mead Johnson) mengalami jaundice yang lebih ringan dibanding bayi yang mendapat susu
formula biasa. Pemberian ASI yang dipanaskan juga dikatakan dapat menurunkan kadar
bilirubin serum. Penurunan kadar bilirubin serum 2-5 mg/dl sesuai dengan diagnosis breast-
9
milk jaundice. Jadi pemberian ASI dapat dilanjutkan, karena walaupun 2 01 kadar bilirubin
re t
serum dapat meningkat selama beberapa hari, tetapi akan turun
9 Ma lagi secara bertahap. Jika
pemberian ASI dilanjutkan lagi, penting untuk memberikan
a stro ASI dengan menggunakan
pompa payudara. Pada suatu penelitian, penghentiant G ASI selama 50 jam (selama pemberian
p abilirubin yang sesuai dengan pemberian
susu formula) tampak mempunyai efek penurunan r a
fototerapi. Penghentian ASI selama 24-48 njam tukberhasil menurunkan kadar bilirubin serum
ou
dan menurunkan kebutuhan fototerapi
a str pada 81-87 bayi jaundice. Pemberian susu formula
pada bayi-bayi Asia menunjukkan G penurunan kadar bilirubin serum yang lebih besar
Ajar
daripada bayi-bayi yang mendapat
u ASI. Konseling yang cermat dan pemberian dukungan
dapat mencegah penghentianBuk ASI sementara supaya tidak dihentikan selamanya.
e
Fil
Pendekatan alternatif untuk mengatasi neonatal hiperbilirubinemia adalah dengan
menahan enzim pertama yang bertanggungjawab terhadap produksi bilirubin adalah heme
oksigenase. Sn-protoporfirin telah sukses digunakan pada terapi eksperimental jaundice
pada neonatal jaundice dengan inkompatibilitas ABO. Penanganan neonatal jaundice
dengan penghambatan heme oksigenase saat ini masih dalam tahap eksperimen, walaupun
penelitian klinik tampaknya menjanjikan. Sebagai tambahan, untuk menghambat produksi
bilirubin, metaloporfirin merupakan fotosensitizer yang dapat mempercepat destruksi
biliriubin oleh cahaya, tetapi juga dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan.
Sekarang CO dianggap merupakan neurotransmiter yang signifikan dan penghambatan
aktivitas heme oksigenase pada awal kehidupan bukanlah merupakan proses yang tidak
berbahaya. Pemikiran besar tentang metaloporfirin masih memerlukan penelitian jangka
panjang untuk mengetahui keamanannya.
Tetapi percobaan lain untuk hiperbilirubinemia neonatal adalah hemoperfusi.
Penelitian tentang metode ini telah menjalankan hemoperfusion dengan ion-exchange,
bilirubin oksidase dan sorben. Hemoperfusi sodium bezoat-augmented memberikan hasil
yang memuaskan pada anjing.

263
Bab 15 Ikterus

Daftar Pustaka
1. Alpay F, Sarici SU, Tosuncuk HD. The value of first day bilirubin measurement in predecling
the development of significant hyperbilirubinemia in healthy term newborn. Pediatrics
2000;106(2):e16
2. Gartner LM. Neonatal jaundice. Pediatrics in Review 1994;11:422-32.
3. Gourley GR. Neonatal jaundice and disorders of bilirubin metabolism. Dalam: Suchi FY, Sokol
RJ, Belistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Lippincott; Williams &
Wilkins: 2001.h.275-314.
4. Robert EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting. Disease of the liver and biliary
system in children. Foreword by Sherlock DS. London; Blackwell Science: 1999.h.11-45.
5. Maisels NY. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam Klaus MH, Fanaroff AA, penyunting. Cure of
the high risk neonate. Edisi ke-5. Philadelphia; WB Saunders: 2001.h.324-61.
6. Maisels NY. Gifford K, Antle CE, Leib GR. Jaundice in the healthy newborn infant: A New
Approach to an old problem. Pediatrics 1988;31:505-11.
7. Schwartz NW. Jaundice. Clinical handbook of pediatrics. Baltimore; William & Wilkins:
1999.h.420-8.

9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

264
BAB

16
Hepatitis Virus
Sjamsul Arief

16.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak laki-laki usia 5 tahun, dibawa poliklinik karena demam yang sudah
berlangsung selama 3 hari dan badan terasa lemah. Dari pemeriksaan fisik, anak tampak
lemah, perut sakit, demam, dan nyeri kepala. Badan dan sklera tampak kuning. Batas bawah
hepar teraba 5 cm bawah arkus kosta, dan nyeri tekan. Di lingkungan rumahnya pernah
ada tetangganya yang sakit serupa dan sedang dirawat di rumah sakit. Dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan SGOT, SGPT meningkat dan fosfatase alkali meningkat.

16.2 Pendahuluan
Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat
disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan
autoimun. Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab
terbanyak hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari infeksi
tersebut. Pada makalah ini hanya diuraikan tentang hepatitis virus. Hepatitis virus masih
merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara yang sedang berkembang maupun
negara maju.1
Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi sistemik dimana hati merupakan organ
target utama dengan kerusakan yang berupa inflamasi dan/atau nekrosis hepatosit serta
infiltrasi panlobular oleh sel mononuklear. Dengan kemajuan di bidang biologi molekular,
saat ini identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik. Terdapat
sedikitnya 6 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A,
B, C, D, E, dan G. Semuanya memberi gejala klinis hampir sama; bervariasi mulai dari
asimtomatis, bentuk klasik, sampai hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian.
Kecuali virus hepatitis G yang memberikan gejala sangat ringan, semua infeksi yang
disebabkan oleh virus hepatitis dapat berlanjut dalam bentuk subklinis atau penyakit hati
yang progresif dengan komplikasi sirosis atau timbulnya karsinoma hepatoselular. Virus
hepatitis A, C, D, E, dan G adalah virus RNA sedang virus hepatitis B adalah virus DNA.
Virus hepatitis A dan virus hepatitis E tidak menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus
hepatitis B, D, dan C dapat menyebabkan infeksi kronis.2

265
Bab 16 Hepatitis Virus

16.3 Diagnosis Banding


Dalam menentukan kemungkinan penyebab penyakit hati, harus diingat adanya virus lain
yang memberikan gejala hepatitis sebagai salah satu komponen dari gejala sistemik. Virus
herpes simpleks (HSV), virus sitomegalo (CMV), virus Epstein-Barr, varicella, rubella,
adenovirus, enterovirus, arbovirus, dan HIV dapat memberi gejala hepatitis walaupun bukan
merupakan virus hepatotropik. Selain itu usia penderita memegang peranan penting dalam
menentukan kemungkinan penyebab penyakit hati. Pada usia neonatus, ikterus fisiologis,
neonatal hepatitis, penyakit hemolitik, dan sepsis memberikan gejala menyerupai hepatitis.
Sedangkan kelainan metabolik seperti fruktosemia, tirosinemia, defisiensi alfa-1-antitripsin,
maupun kelainan anatomis seperti atresia biliaris dan kista duktus koledokus, memberikan
gejala klinis hepatitis. Pada bayi dan anak, infeksi malaria, leptospirosis, bruselosis, infeksi
berat pada keganasan, batu empedu, dan sindroma hemolitik-uremik juga memberikan
gejala hepatitis. Sindroma Reye dapat meyerupai gejala gagal hati fulminan. Obat-obatan
seperti asetaminofen, isoniazid, asam valproat, dan halotan juga dapat memberikan gejala
hepatitis.3

9
2 01
16.4 HEPATITIS A aret
9M
ro
Pendahuluan G ast
at
Hepatitis A merupakan penyakit self-limiting r apdan memberikan kekebalan seumur hidup.
k
ntu berkembang seperti Asia, Afrika, Mediterania,
Insidensi tinggi banyak didapatkan di unegara
ro
dan Amerika Selatan dimana anak
G ast yang berusia sampai 5 tahun mengalami infeksi virus
jar subklinis sehingga lebih dari 75% memiliki anti HAV (+).
hepatitis A (HAV) dalam bentuk
A
u
Pada anak yang
Buk terinfeksi HAV, hanya 30% yang menunjukkan gejala klinis
e
Fil
(simtomatis), sedangkan 70% adalah subklinis (asimtomatis). Bentuk klasik yang meliputi
80% penderita simtomatis biasanya akut dan sembuh dalam waktu 8 minggu, tetapi dapat
terjadi bentuk yang berbeda yakni protracted, relapsing, fulminant, cholestatic, autoimmune
trigger, dan manifestasi ekstrahepatik seperti gagal ginjal akut, hemolisis yang sering terjadi
pada penderita defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), efusi pleural dan
perikardial, gangguan neurologis, vaskulitis, dan artritis. Manifestasi ekstrahepatik timbul
karena adanya kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.4

Sejarah4
• Tahun 1820-1879: lebih dari 50 epidemi hepatitis terutama saat peperangan terjadi di
Eropa, mungkin disebabkan oleh hepatits A.
• Tahun 1912: Cockayne memberi nama hepatitis infeksiosa untuk penyakit kuning yang
menular.
• Tahun 1923: Blummer membuat ringkasan tentang penyakit ini dari evaluasi kasus
epidemi jaundice di Amerika Selatan.
• Tahun 1950-1970: Krugman meneliti pola epidomiologi untuk tujuan pencegahan.
• Tahun 1973: virus hepatitis A terlihat pada mikroskop elektron.

266
Buku Ajar Gastrohepatologi

Virologi
HAV adalah virus RNA 27-nm nonenvelop, termasuk genus Hepatovirus, famili Picornavirus.
Genom terdiri atas 5’NTR-P1-P2-P3-3’NTR. VHA bersifat termostabil, tahan asam, dan
tahan terhadap empedu sehingga efisien dalam transmisi fekal oral. Terdapat 4 genotipe
tapi hanya 1 serotipe.7

Epidemiologi
Di negara berkembang dimana HAV masih endemis seperti Afrika, Amerika Selatan, Asia
Tengah, dan Asia Tenggara, paparan terhadap HAV hampir mencapai 100% pada anak
berusia 10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar
antara 35%-45% pada usia 5 tahun, dan mencapai lebih dari 90% pada usia 30 tahun. Di
Papua pada umur 5 tahun prevalensi anti HAV mencapai hampir 100%. Di negara maju
prevalensi anti HAV pada populasi umum di bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih
tua daripada negara berkembang.4
Adanya perbaikan sanitasi lingkungan akan mengubah epidemiologi hepatitis A
9
sehingga kasus infeksi bergeser dari usia muda pada usia yang lebih tua,1diikuti konsekuensi
2 0
timbulnya gejala klinis. Infeksi pada anak menunjukkan gejala klinis
e t ringan atau subklinis,
sedangkan infeksi pada dewasa memberi gejala yang lebih berat. MarWalaupun jumlah infeksi
o 9
pada dewasa berkurang tetapi kasus hepatitis A akutasyangtr manifes maupun berat, dan
kadang-kadang fulminan lebih sering dijumpai.6 pat G
ra
tuk
un
Patogenesis ro
G ast
HAV masuk ke hati dari saluran
Ajar pencernaan melalui aliran darah, menuju hepatosit, dan
u
melakukan replikasi diukhepatosit yang melibatkan RNA-dependent polymerase. Proses
e B
il
replikasi ini tidak Fterjadi di organ lain. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa HAV
diikat oleh imunoglobulin A (IgA) spesifik pada mukosa saluran pencernaan yang bertindak
sebagai mediator antara HAV dengan hepatosit melalui reseptor asialoglikoprotein pada
hepatosit. Selain IgA, fibronectin dan alfa-2-makroglobulin juga dapat mengikat HAV.
Dari hepar HAV dieliminasi melalui sinusoid, kanalikuli, masuk ke dalam usus sebelum
timbulnya gejala klinis maupun laboratoris. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV
belum sepenuhnya dapat dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung
menyimpulkan adanya suatu mekanisme imunopatogenetik. Tubuh mengeliminasi HAV
dengan melibatkan proses netralisasi oleh IgM dan IgG, hambatan replikasi oleh interferon,
dan apoptosis oleh sel T sitotoksik (cytotoxic T lymphocyte/ CTL).6

Gejala klinis
Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut.
Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali, dan jarang terjadi
ikterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%)
simtomatik dan dapat menjadi berat. Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian
besar penderita sembuh total, tetapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak

267
Bab 16 Hepatitis Virus

dikenal adanya petanda viremia persisten maupun penyakit kronis.


Terdapat 4 macam gejala klinis: 11-14
1. Hepatitis A klasik.
Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1 minggu sebelum
jaundice. Sekitar 80% dari penderita yang simtomatis mengalami jenis klasik ini. IgG
anti-HAV pada bentuk ini mempunyai aktivitas yang tinggi, dan dapat memisahkan IgA
dari kompleks IgA-HAV, sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah
terjadinya relaps.
2. Hepatitis A relaps.
Terjadi pada 4%-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu setelah sebelumnya
dinyatakan sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi pada umur 20-40 tahun. Gejala
klinis dan laboratoris dari serangan pertama bisa sudah hilang atau masih ada sebagian
sebelum timbulnya relaps. Gejala relaps lebih ringan daripada bentuk pertama.
3. Hepatitis A kolestatik.
Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan gejala hepatitis
dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal, dan jaundice. Pada saat ini kadar AST,
ALT, dan ALP secara perlahan turun ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap
tinggi.
9
4. Hepatitis A protracted. 2 01
t
Pada bentuk protracted (8.5%), clearance dari virus terjadi
Mareperlahan sehingga pulihnya
fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat 9
ro mencapai 120 hari. Pada biopsi
stpiecemeal
hepar ditemukan adanya inflamasi portal dengan G a necrosis, periportal fibrosis,
dan lobular hepatitis. p at
a
5. Hepatitis A fulminan. tu kr
n
Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk tro u ini paling berat dan dapat menyebabkan kematian.
as
Ditandai dengan memberatnya
j arG ikterus, ensefalopati, dan pemanjangan waktu
protrombin. Biasanya u A terjadi pada minggu pertama saat mulai timbulnya gejala.
Penderita berusia u k
le B
tua yang menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko
tinggi untukFiterjadinya bentuk fulminan ini.

Diagnosis
Diagnosis hepatitis A dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan IgM anti-HAV. Antibodi
ini ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi HAV dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan.
Sedangkan IgG anti-HAV dapat dideteksi 5-6 minggu setelah terinfeksi, bertahan sampai
beberapa dekade, memberi proteksi terhadap HAV seumur hidup. RNA HAV dapat
dideteksi dalam cairan tubuh dan serum menggunakan polymerase chain reaction (PCR)
tetapi biayanya mahal dan biasanya hanya dilakukan untuk penelitian.21
Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai
5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit maupun
prognosisnya. Pemanjangan waktu (masa) protrombin mencerminkan nekrosis sel yang
luas seperti pada bentuk fulminan. Biopsi hati tidak diperlukan untuk menegakkan
diagnosis hepatitis A.25

268
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pengobatan
Tidak ada pengobatan anti-virus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat dicegah dengan
pemberian imunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin.
Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, tetapi 13% penderita memerlukan
rawat inap, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi, koagulopati, dan ensefalopati.
Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya
asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka
pendek. Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi
waktu protrombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik
adalah:25 (1) pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik, (2) umur penderita kurang
dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun, dan (3) kadar bilirubin serum lebih dari 17 mg/dl
atau waktu sejak dari ikterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.

Pencegahan
Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih
diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang
dewasa dengan risiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati
9
2 01
kronis. Terdapat 2 bentuk imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan imunoglobulin (IG), dan
re t
imunisasi aktif dengan inactivated vaccines (Havrix, Vaqta dan aAvaxim). 28

9 M
stro
G a
p at
r a
tuk
Simtomatiso un Anti-HAV
r
G ast (IgG)

Ajar
u
Buk
l e
Fi
Infeksi
Anti-HAV
(IgM)

Fekal
HAV

0 4 8 12 16 20
Gambar 16.4.1. Pola respons terhadap infeksi HAV

Imunisasi pasif
Indikasi pemberian imunisasi pasif29:
1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita
2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau

269
Bab 16 Hepatitis Virus

keluarganya menderita hepatitis A


3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita hepatitis A
4. Individu dari negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara
dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. IG juga diberikan
pada usia dibawah 2 tahun yang ikut bepergian sebab vaksin tidak dianjurkan untuk
anak dibawah 2 tahun.
Dosis 0,02 ml/kgBB untuk perlindingan selama 3 bulan, dan 0,06 ml/kg untuk
perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular dan tidak boleh diberikan
dalam waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles, mumps,
rubella, varicella) sebab IG akan menurunkan imunogenisitas vaksin. Imunogenesitas
vaksin HAV tidak terpengaruh oleh pemberian IG yang bersama-sama.29

Tabel 16.4.1. Dosis imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah paparan
Kejadian Lama perlindungan dalam bulan Dosis IG (ml/kgBB)
Sebelum paparan Jangka pendek (1-2) 0.02
Saat paparan Jangka panjang (3-5) 0.06
Sesudah paparan - 0.02 9
2 01
Sumber: Snyder, 2000.
aret
o 9M
str
Ga
Imunisasi aktif p at
kTM ra
Vaksin yang beredar saat ini adalah Havrix ntu (Smith Kline Beecham) dan Vaqta (Merck),
TM
u
Avaxime (Avantis Pasteur). Semuanya
TM
ro berasal dari inaktivasi dengan formalin dari sel
kultur HAV. HavrixTM mengandung G ast preservatif (2-phenoxyethanol) sedangkan VaqtaTM
A ar
jsecara
tidak. Vaksin disuntikkanu intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak
diberikan pada anak Buk
dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia
e
ini.29 Fil
Tabel 16.4.2. Dosis HavrixTM yang dianjurkan
Umur anak (Tahun) Dosis (EL.U) Volume (mL) Jumlah dosis Waktu dalam bulan
2-18 720 0.5 2 0.6-12
>18 1440 1.0 2 0.6-12
Sumber: Snyder, 2000.

Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik
rata-rata anti-HAV pada VaqtaTM lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/l
pada HavrixTM dan 10 mIU/l pada VaqtaTM mempunyai nilai protektif. Kadar protektif
antibodi mencapai 88% dan 99% pada HavrixTM dan 95% dan 100% pada VaqtaTM pada
bulan ke-1 dan ke-7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara
5-10 tahun atau lebih. Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun
setelah imunisasi.29
Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan. Seperti pada
vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah dilaporkan (sindroma

270
Buku Ajar Gastrohepatologi

Guillain-Barre, transverse myelitis, dan multiple sclerosis), walaupun frekuensi kejadiannya


tidak berbeda dibandingkan dengan populasi yang tidak divaksinasi.
Indikasi imunisasi aktif:
1. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai tinggi
2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic outbreak
3. Homoseksual
4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan ini
yang mengidap hepatitis C kronis
5. Peneliti HAV
6. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah transplantasi
hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat
7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX).
Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak
penderita, maupun pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita
yang divaksinasi untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini
dipengaruhi oleh status imunologi dalam masyarakat.
Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi
berbeda tempat menyuntikkannya. Hal ini memberikan perlindungan segera 9 tetapi dengan
tingkat protektif yang lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi 2 01
primer adalah seumur
aret
hidup, dan lebih dari 70% orang dewasa telah mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif
o 9M
HAV pada orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan r serologis. Pemeriksaan
kadar antibodi setelah vaksinasi tidak diperlukan karenaG asttingginya angka serokonversi dan
at
pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodir ap yang rendah.29
k
untu
ro
G ast
jar
16.5 HEPATITIS B Buk
u A
l e
Fi
Pendahuluan
Pada tahun 1965, Blumberg dan rekan-rekannya di Philadelphia menemukan antibodi
pada darah penderita hemofilia yang bereaksi terhadap antigen pada serum dari orang
Aborigin Australia. Antigen ini ditemukan pada penderita hepatitis virus dan dinamai
antigen Australia yang sekarang telah diketahui sebagai HBsAg.1

Virologi
Virus hepatitis B (HBV) manusia (human HBV) termasuk golongan hepadnavirus tipe 1
dan merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan
pada marmut, tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat
menular pada manusia. Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi simpanse.
Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari
3200 nukleotida dengan diameter 42 nm dan dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan
dalam 3 komponen yaitu partikel lengkap berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter
22 nm, dan partikel batang dengan lebar 22 nm dengan panjang bervariasi sampai 200
nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang terdiri atas

271
Bab 16 Hepatitis Virus

protein, cairan, dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B surface antigen (HBsAg) dan
antigen pre-S. Bagian dalam dari virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B
core antigen (HBcAg) yang membungkus DNA, DNA polimerase, transkriptase, dan protein
kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis
B e antigen (HBeAg). Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi
pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas, dan terutama hati. HBeAg merupakan petanda tak
langsung derajat beratnya infeksi.31-33
Telah ditemukan beberapa genotip dan serotip antigen berdasar pada subdeterminan
HBsAg. Grup “a” paling banyak terdapat pada semua isolat, dan antibodi terhadap
determinan “a” ini memberi kekebalan terhadap semua serotipe HBV. Subdeterminan yang
lain adalah d, y, w dan r sehingga 4 determinan utama mencakup adw, adr, ayw, dan ayr.
Selain 4 subdeterminan tersebut, mutasi jangka lama juga menghasilkan 9 subtipe minor.
Terdapat 7 genotipe yaitu A-G. Pembagian genotip dan serotip ini penting karena masing-
masing mempunyai distribusi geografi tertentu; seperti genotip B dan C banyak didapat
di Asia, A dan D di Eropa dan India, E di Afrika, F di Amerika Tengah dan Selatan, serta
G di Prancis dan Amerika Utara. Genotip B dan C banyak terdapat di daerah dengan
endemisitas tinggi seperti Asia, dimana penularan secara vertikal atau perinatal memegang
peranan penting. Sebaliknya genotip A, D, E, F, dan G banyak terdapat di daerah dengan
9
transmisi horisontal. 01
t2
re
9 Ma
Epidemiologi ro
G ast
t pengidap HBV pada tahun 2000. Pola
WHO memperkirakan adanya 400 juta orangasebagai
r pa
k
prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3tugolongan yaitu prevalensi rendah (HBsAg 0,2%-
u n
0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7% dan anti-HBs 20%-55%), dan
a stro
prevalensi tinggi (HBsAg 7%-20% G dan anti-HBs 70%-95%). Di negara maju seperti Inggris,
Ajar
Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia prevalensi HBsAg bervariasi antara 0,1%-
u
uk dan Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang
0,2% sedangkan di BAfrika
e
Eskimo di AlaskaFilprevalensi dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%.
Pada daerah dengan endemisitas tinggi infeksi sering terjadi pada usia dini, ditularkan
secara vertikal dari ibu ke anak maupun horisontal diantara anak kecil. Sebagai contoh di
daerah pedesaan Senegal (Afrika Barat) angka infeksi mencapai 25% populasi pada umur
2 tahun, 50% pada umur 7 tahun, dan 80% pada umur 15 tahun. Sedangkan pada daerah
dengan endemisitas sedang-tinggi antara 8%-20% infeksi terjadi pada umur yang lebih tua,
ditularkan secara horisontal pada masa anak dengan kontak erat seperti penggunaan sikat
gigi, pisau cukur atau berciuman, dan kontak seksual pada dewasa muda. Sebaliknya pada
daerah dengan prevalensi rendah penularan secara horisontal terjadi oleh penyalahgunaan
obat, penggunaan instrumen yang tidak steril pada klinik gigi, tusuk jarum, tindik daun
telinga, dan tatu (tatoo). Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa
kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2,5%-36,2%.35-48
Pada ibu yang melahirkan dengan HBeAg positif, bayi memiliki risiko tertular sebesar
90%, sedangkan bila hanya HBsAg yang positif maka risikonya 10% apabila tidak dilakukan
tindakan imunoprofilaksis. Sembilan puluh persen bayi yang tertular akan berkembang
menjadi infeksi kronis dan 25% akan meninggal karena penyakit hati kronis. Penularan

272
Buku Ajar Gastrohepatologi

vertikal dapat terjadi pada masa intrauterin maupun pada saat kelahiran dan masa perinatal.
HBV tidak selalu didapatkan dalam air susu ibu, namun yang dikawatirkan adalah luka
pada puting susu sehingga bayi menelan ASI yang mengandung darah dan HBV. Bayi dari
ibu pengidap HBV yang mendapat ASI dan belum menerima imunoprofilaksis mempunyai
risiko tertular hampir sama besar dengan bayi yang minum susu formula (PASI).36

Patogenesis
Virus hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan
melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat
respons imunologis. Pada hepatosit yang terinfeksi oleh HBV melalui mekanisme imunitas
selular terjadi eksposisi antigen virus, yaitu HBcAg dan HbeAg, pada permukaan sel yang
bergabung dengan class I major histocompatibility complex (MHC I) dan menjadi target
dari sel T sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang tidak utuh dan
berasal dari sel yang lisis tidak menimbulkan infeksi, sedangkan virus utuh yang keluar
akan dinetralisir oleh antibodi penetral (neutralizing antibody). Mekanisme imunologis juga
berperan pada manifestasi ekstrahepatik. Kompleks imun yang mengandung HBsAg dapat
menimbulkan poliarteritis nodosa, glomerulonefritis membranosa, polimialgia, vaskulitis,
9
dan sindroma Guillain-Barre.30 2 01
re t
Mekanisme timbulnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh
9 Ma gangguan imunologis;
sehingga HBcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi tpada
s ro permukaan sel, atau sel T
sitotoksik tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah a
G mengalami infeksi kronis daripada
p atsangat berpengaruh terhadap kejadian
anak perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi r a
infeksi kronis. Infeksi HBV dibawah umur ntu3k tahun lebih sering menimbulkan hepatitis
o u 30
kronis daripada infeksi diatas umur s3trtahun.
G a
Ajar
HBeAgBu
ku Anti-HBe
e
Fil
Infektif
Anti-HBs
Simptomatis

Anti-HBc

HBsAg

0 8 16 24 32 40 52 Minggu

Gambar 16.5.1. Pola respons terhadap infeksi akut HBV.

273
Bab 16 Hepatitis Virus

Gejala Klinis
Hepatitis akut
Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari
tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala
hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih
berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia,
mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati; dan berakhir setelah
6-8 minggu.Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST
sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus
dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria,
purpura, makula dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai
timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini
jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun, dan 30% pada
dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi
kronis pada 10% dewasa, 25% anak, dan 80% bayi.36

Hepatitis kronis
19
20
Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau HBsAg
aret
dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sebagian besar penderita M hepatitis kronis adalah
9
ro
asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik.stPeningkatan kadar aminotransferase
G a
serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 at kali nilai normal) menunjukkan adanya
r
kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi ap kadar aminotransferase serum mempunyai
k
koreleasi dengan respons imun terhadap u ntu HBV. Pada saat kadar aminotransferase serum
ro
ast hepatitis dan IgM anti-HBc. Namun gejala klinis ini
meningkat dapat timbul gejala klinis
G
tidak berhubungan langsung
Ajardengan beratnya penyakit, tingginya kadar aminotransferase
u
serum, atau kerusakan
Bukjaringan hati pada biopsi. Pada penderita hepatitis kronis-aktif yang
e
Fil
berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan
berkembang menjadi sirosis hati setelah 4 tahun, sedangkan penderita hepatitis kronis-
aktif sedang akan menjadi sirosis setelah 6 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin
berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari waktu ke

Tabel 16.5.1. Daerah distribusi genotip dan serotip HBV


Genotip Serotip Daerah dominan
A adw2, ayw1 Eropa Utara, Amerika Serikat, Afrika Tengah
B adw2, ayw1 Taiwan, Jepang, Indonesia, Cina, Vietnam
C adw2, adrq+, adrq-, ayr Asia Tengah, Taiwan, Korea, Cina, Jepang, Polinesia, Vietnam
D ayw2, ayw3 Daerah Mediterania, India
E ayw4 Afrika Barat
F adw4q-, adw2, ayw4 Amerika Tengah dan Selatan, Polinesia
G adw2 Prancis, Amerika Serikat
? Ayr Kalimantan
Sumber: Magnius 1995.

274
Buku Ajar Gastrohepatologi

waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan timbulnya sirosis pada individu sukar
untuk ditentukan.37

Gagal hati fulminan


Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut simtomatik.
Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dalam beberapa
minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan,
dan peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit. Hal ini mungkin
disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis
jaringan hati yang luas.37

Pengidap Sehat
Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum
berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi
kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik yang
terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah: (1) membaik
(anti-HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur diatas 30
tahun sebesar 1%, dan (3) menderita karsinoma hati kurang dari 1%.2019
t
Mare
9
Diagnosis ro
G ast
Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis at
r ap dan serologis. Pada saat awal infeksi
HBV terjadi toleransi imunologis, dimanatuvirus k masuk ke dalam sel hati melalui aliran
darah dan dapat melakukan replikasi tanpa u nadanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala
ro
klinis. Pada saat ini DNA HBV, G ast
HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum.
r
jaselama
Keadaan ini berlangsung terus A bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak
u
yang dinamakan sebagai Bukpengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis
e
Fil
dengan akibat kerusakan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh
atau berkembang menjadi hepatitis kronis.

Tabel 16.5.2. Penanda serologis infeksi HBV42


Antigen Interpretasi Bentuk klinis
HBsAg Sedang infeksi Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis
HBeAg Proses replikasi dan sangat menular Hepatitis akut, hepatitis kronis
Antibodi
Anti-HBs Resolusi infeksi Kekebalan
Anti-HBc total Sedang infeksi atau pernah infeksi Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis,
kekebalan
IgM anti-HBc Infeksi akut atau infeksi kronis yang kambuh Hepatitis akut, hepatitis kronis
Anti-Hbe Penurunan aktivitas replikasi Penanda kronis, kekebalan
Pemeriksaan Molekular
PCR DNA HBV Infeksi HBV Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis
Hibridisasi DNA HBV Replikasi aktif dan sangat menular Hepatitis akut, hepatitis kronis
Sumber: Rizetto 1999.

275
Bab 16 Hepatitis Virus

Pengobatan
Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi
kronis. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak di bawah 3 tahun dimana
infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan
menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit; sampai saat
ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B kronis
adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus tersebut dieliminasi dari tubuh
dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirosis serta
komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan replikasi aktif (ditandai dengan
HBeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis dengan peningkatan kadar
aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap pengobatan.

Interferon alfa
Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-α2b) adalah pengobatan standar untuk
penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati,
koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HBeAg dan DNA
HBV) serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan
9
interferon adalah neutropenia, trombositopenia, ganguan jiwa, 2adiksi 01 terhadap alkohol,
t
re2 secara subkutan tiga kali
dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m
9 Ma
dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu. 53
o
str
Efek samping interferon dapat berupa t efek Ga sistemik, autoimun, hematologis,
a
imunologis, nerologis, dan psikologis. Efek
k rapsistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri
tu
un penurunan berat badan, mual, muntah, diare,
kepala, nyeri otot, nyeri sendi, anoreksia,
o
r
st autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi,
nyeri perut, dan rambut rontok.aEfek
r G
antibodi anti-interferon, hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik,
Aja
u
dan purpura trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit,
Buk
jumlah sel darahileputih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena
infeksi bakterialF seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis,
dan sepsis. Efek nerologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan
tidur, delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinitus, vertigo,
penurunan penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah,
iritabel, depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.
Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan
laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu
selama pengobatan. Pemeriksaan HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat
mulai, selesai pengobatan dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus diturunkan
atau pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati, depresi sumsum
tulang, depresi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 10%-40% penderita
memerlukan pengurangan dosis, dan 5%-10% pengobatan harus dihentikan. Sekitar 2%
timbul efek samping berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi kejiwaan
berat, kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan pneumonia.
Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum,
relatif rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari

276
Buku Ajar Gastrohepatologi

Asia, serta adanya gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian
didapatkan 46% penderita yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya antibodi
anti-HBe dan 8% dengan timbulnya antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-Hbe dan hilangnya
DNA HBV menurunkan kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14%
penderita pada tahun pertama setelah pengobatan.

Analog nukleosida
Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang menghambat
replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang meimbulkan efek samping daripada interferon.
Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi perbaikan
gambaran histologis pada 52%-67% kasus, sedangkan hilangnya HBeAg dan timbulnya
anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi HBeAg menjadi
anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin memperbaiki skor
Child-Pugh.
Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan
kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon
terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi pre-core
HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi.20Pada 19 penderita yang
t
mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan
Mare lamivudin. Apabila
dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada 9
o HBV, maka dapat diberikan
adefovir atau gansiklovir. a str
tG
a52
Penggunaan lamivudin pada anak selama r ap minggu dengan dosis 3 mg/kgBB
tuk Kombinasi terapi antara interferon dengan
memberi respons yang signifikan terhadapnvirus.
ou
str pengobatan dengan lamivudine saja.
lamivudine tidak lebih baik dibanding
a
G
Ajar
u
Buk
Pencegahan Fi l e
Indonesia termasuk negara dengan endemisitas sedang-tinggi maka. Semua orang di
Indonesia mempunyai kemungkinan untuk tertular. Saat ini program imunisasi masal
HBV dilakukan di 130 dari 216 negara, tetapi pada negara berkembang cakupan imunisasi
masih terbatas karena permasalahan dana. Vaksin pertama yang beredar sejak tahun 1981
adalah derivat plasma. Vaksin jenis ini relatif murah, diproduksi dengan cara konsentrasi,
pemurnian, dan pemrosesan kimiawi HBsAg yang diisolasi dari plasma karier HBV. Vaksin
ini mempunyai imunogenisitas dan efikasi perlindungan yang sangat baik. Vaksin HBV
rekombinan pertama diperkenalkan pada tahun 1986 dan yang kedua pada tahun 1989.
Saat ini ada 10 produk vaksin rekombinan.
Prioritas utama vaksinasi adalah bayi, anak, kelompok berisiko tinggi (misalnya
kontak erat dengan pengidap), petugas laboratorium, petugas rumah sakit (terutama unit
hemodialisis), dan penderita penyakit darah.
Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang
ibu yang melahirkan dengan HBsAg positif dengan atau tanpa adanya HbeAg, maka
kepada bayinya diberikan vaksinasi pasif HBIG dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIG
saja tanpa vaksinasi aktif hanya memberi perlindungan selama 6 bulan sehingga masih

277
Bab 16 Hepatitis Virus

memungkinkan terjadinya infeksi HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis
adalah dosis vaksin, umur, dan kondisi imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai
dengan rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila dosis dikurangi maka nilai titer antibodi
juga turun. Lebih tua umur, serokonvensi makin berkurang. Biasanya nonresponder
terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas. Kadang terjadi nonresponder
palsu karena kesalahan tempat penyuntikan yaitu masuk ke subkutan bukan ke otot.

Uji saring sebelum vaksinasi


Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk pengguna
obat secara intravena, homoseksual, multiple sex partner, dan kontak erat dengan penderita
HBV. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0.1%-20% dengan anti-HBc positif dan 80% dari
mereka memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya
vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc positif. Bayi baru lahir dengan risiko rendah
(ibu HBsAg negatif saat melahirkan) dan anak-anak di luar Asia atau Kepulauan Pasifik tidak
memerlukan uji saring, dan imunisasi dapat diselesaikan dalam waktu 6-18 bulan.

Pemeriksaan paska vaksinasi 01


9
t 2
Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan
Mare paska vaksinasi.
Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja 9
o kesehatan dengan risiko tinggi
tertular melalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaana str paska vaksinasi dilakukan satu
G
atau dua bulan setelah suntikan ketiga. Pada p at dengan ibu HBsAg positif yang telah
bayi
a
divaksinasi sebaiknya dilakukan pemeriksaan
tu k r penanda infeksi HBV pada umur 12 bulan.
n
trou
s
r Ga
Penanganan nonresponder j a
kuA
u
Untuk para nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya
eB
Fil
setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs-nya tidak
muncul atau anti-HBs-nya kurang dari 10 mIU/ml, tampaknya tidak akan memberikan
hasil yang memuaskan walaupun dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa
mendatang, bagi para nonresponder ini dapat dilakukan: (1) pemberian vaksin yang
mengandung pre-S2 HBsAg, (2) pemberian vaksin HBV bersama-sama T-helper cell
peptide, (3) pemberian kombinasi HBsAg dengan HBcAg, atau (4) transfer limfosit dari
responder. Untuk penderita dengan dialisis yang respon imunologisnya sangat rendah
hal-hal tersebut diatas kurang bermanfaat. Sebaiknya para penderita penyakit ginjal diberi
vaksinasi sebelum penyakitnya lanjut dan menjalani dialisis.

16.6 HEPATITIS C
Pendahuluan
Virus Hepatitis C (HCV), pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai penyebab kasus
Hepatitis Non A Non B (NANB) yang merupakan sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian
Hepatitis paska transfusi Saat ini Virus Hepatitis C merupakan salah satu penyebab utama

278
Buku Ajar Gastrohepatologi

penyakit hati kronis. Hanya sekitar 20%-30% penderita yang terinfeksi Virus hepatitis C
sembuh setelah fase akut. Fase kronis penyakit HCV ini ditandai dengan gejala klinis yang
minimal dan apabila timbul, gejala tersebut ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah,
lemah, mual, nafsu makan turun, dan mialgia.63
Pada tahun 1987 Chiron Corperation Emmerville CA, USA bersama dengan Centre for
Desease Control (CDC) berhasil melakukan cloning genom virus hepatitis C. Choo (1987)
dan Quo (1989) berhasil menemukan teknik pemeriksaan anti–HCV, yaitu suatu uji yang
sensitif dan spesifik terhadap antibodi virus pada penderita hepatitis NANB.
Kemudian secara berturut-turut ditemukan susunan nukleotida yang lengkap dari
genom HCV oleh Choo dkk (1991) dan Han dkk (1991), yaitu isolat HCV– dan HCV–H
di Amerika Serikat. Kato dkk (1990) menemukan isolat HCV–J, Takamizawa dkk (1991)
menemukan isolat HCV–BK, Okamoto dkk (1990) menemukan isolat HCV–J4 dan HCV–
J6 dari Jepang, Kremsdorf dkk (1991) menemukan isolat HCV–E1 dari Perancis, Fuch dkk
(1991) menemukan isolat HCV–GM 1 dan 2 dari Jerman, sedangkan Chen dkk (1991)
menemukan isolat HCV–T3 dari Taiwan.64
Sampai saat ini telah ditemukan 6 genotip HCV. Masing-masing genotip mempunyai
beberapa subtipe, dan masing-masing subtipe mempunyai banyak isolat. Aspek medis
9
dari infeksi HCV terutama adalah resiko terjadinya sirosis hati dan keganasan oleh karena
2 01
perjalanan penyakitnya adalah infeksi kronis.(64,65) re t
9 Ma
ro
Virologi ast
G
p at
a
HCV merupakan virus RNA dengan genom k r positif, termasuk famili Flaviviridae dan
ntu saling menyerupai. HCV berdiameter 30–60
Pestivirus karena organisasi genetikanya uyang
ro
nm, dengan panjang 9,4 kb atau 9413
G ast nukleotida, mempunyai suatu open reading frame
(ORF) dapat melakukan mengkode
Ajar suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.
u
Buk
RNA HCV terdiri F atase
il bagian-bagian :
1. 5 noncoding region

2. Gen yang mengkode core protein


3. Gen yang mengkode envelope protein
4. Gen yang mengkode protein nonstruktural (NS1 sampai NS5)
5. 3’ noncoding region
Saat ini telah ditemukan 6 group HCV dengan 11 subtipe dan isolat yang sangat
banyak. Pemberian tatanama HCV adalah dengan cara membandingkan persentase
kesamaan nukleotida. Dikatakan adanya grup atau tipe baru apabila terdapat kesamaan
susunan nukleotida kurang dari 72% daripada tipe atau group yang telah diketahui.
Apabila kesamaan susunan nukleotida terjadi antara 75%–86% maka yang ditemukan
adalah subtipe baru. Tetapi apabila persamaan urutan nukleotida lebih dari 88%, maka
yang ditemukan adalah isolat baru.
Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses replikasi, yang
merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari sistem kekebalan tubuh sehingga
infeksi dapat terus terjadi. Ini berarti bahwa dalam tubuh seseorang penderita HCV dapat
ditemukan virus-virus yang berbeda susunan nukleotidanya.

279
Bab 16 Hepatitis Virus

Akibat dari heterogenitas tersebut adalah :


1. HCV mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari respon imunologis
menyebabkan kurangnya daya proteksi dan terjadinya persistensi virus.
2. Mempengaruhi patogenesis perjalanan penyakit, seperti genotipe I dan infeksi dengan
beberapa quasispecies menyebabkan penyakit hati yang berat.
3. Kemampuan host dalam hal respons terhadap pengobatan anti virus adalah rendah
seperti pada genotipe 1 dan 4.
4. Kesulitan menentukan region yang dipakai sebagai target dalam tes diagnosis.
5. Kesulitan dalam pembuatan vaksin karena respons imun diduga sangat spesifik terhadap
tipe.
Terdapat variasi yang signifikan secara regional dari distribusi genotip; Genotip 1,
2, dan 3 tesebar di seluruh dunia, genotipe 4 terutama ditemukan di Mesir dan Zaire,
genotipe 5 di Afrika Selatan dan genotipe 6 banyak ditemukan di Asia. Subtipe HCV–1a
dan HCV-1b banyak ditemukan di USA dan Jepang walaupun tipe yang lain juga ada di
kedua negara tersebut. Di Belanda HCV-1b merupakan subtipe yang dominan. Di daratan
Eropa pada umumnya yang dominan adalah subtipe 1a dan 1b. HCV group 3 dan group 1
banyak dijumpai di Skotlandia. Di Surabaya subtipe 1b lebih dominan daripadasubtipe yang
lain diikuti subtipe 2a. Telah ditemukan subtipe baru yaitu HCV–1d yang belum pernah
9
dijumpai sebelumnya. Di Jakarta ditemukan isolat baru yang termasuk2 01 dalam subtipe 2e
re t
dan 2f serta 10a dan 11a. M a
9
stro
G a
Epidemiologi p at
r a
k
Prevalensi u ntu
ro
Survey epidemiologi memperkirakan
G ast terdapatnya 170 juta pengidap HCV kronis di seluruh
jar
dunia. Prevalensi infeksiAkronis pada dewasa bervariasi antara 0,5%-25%. Di Amerika
ku
Serikat seroprevalensiuinfeksi HCV adalah 1,8% dari seluruh populasi. Untuk anak dibawah
eB
Fil
usia 12 tahun, seroprevalensinya adalah 0,2%, dan untuk usia 12–18 tahun seroprevalensi
sebesar 0,4%. Di Jepang seroprevalensi HCV adalah 1.3% untuk seluruh populasi; sampai
usia 20 tahun jumlah carrier rendah dan meningkat sesuai pertambahan umur. Sebelum
skrining dengan cara pemeriksaan serologis terhadap anti HCV, insidensi hepatitis paska
transfusi adalah 5%-16%; dengan pemeriksaan C100-3 assay, insidensinya turun menjadi
2%-3%.80
Dengan perbaikan skrining melalui penambahan pemeriksaan anti NS-3, maka 99%
darah donor pengidap HCV dapat diketahui. Di Mesir prevalensi HCV pada seluruh
populasi adalah 14% dan pada donor darah sebesar 14,5%; pada penelitian Abdel Azis
dkk di delta sungai Nil didapat angka 25%. Di Arab Saudi, Bank Darah Ryad mendapat
angka seropositif sebesar 26,2%. Di Perancis jumlah pengidap kronis antara 50.000 sampai
600.000 dari total 60.000.000 penduduk. Di Italia prevalensi anti HCV dilaporkan sebesar
3,2% untuk seluruh populasi dari umur 12-65 tahun, tetapi hanya 0,2% pada anak-anak.
Di Indonesia prevalensi HCV sangat bervariasi, sekitar 0,5% sampai 3,37%. Dari
pemeriksaan darah donor di kota-kota, yaitu Jakarta sebesar 2,5%, Surabaya 2,3%, Medan
1,5%, Bandung 2,7%, Yogyakarta 1%, Bali 1,3%, Mataram 0,5%, Manado 3,0%, Makassar
1,0%, dan Banjarmasin 1,0%.74

280
Buku Ajar Gastrohepatologi

Harga tersebut akan sangat berbeda apabila kelompok yang diteliti merupakan
kelompok yang lebih khusus, misalnya: penderita yang mendapat hemodialisis berulang
sebesar 76,3%, penderita hepatitis kronis sebesar 80,4%, dan penderita talasemia pada
anak yang mendapat transfusi berulang sebesar 21,4%. Sedangkan penderita karsinoma
hepatoselular mempunyai prevalensi anti HCV sebesar 64,7%.
Secara umum, angka tertinggi prevalensi anti HCV didapatkan pada mereka yang
sering mengalami direct percutaneous exposure seperti pada pengguna obat bius dengan
suntikan dan penderita yang mendapat transfusi berulang (antara 60%–90%). Angka yang
sedang didapatkan pada penderita hemodialisis (20%) dan harga yang rendah didapat pada
inapparent parenteral atau paparan terhadap mukosa seperti kelakuan seksual yang berisiko
tinggi, kontak seksual maupun keluarga dari penderita (1%-10%).74

Penularan
Epidemiologi virus hepatitis C (HCV) masih belum jelas karena lebih dari separuh jumlah
pengidap kronis tidak diketahui dengan jelas dari mana sumber infeksinya. Walaupun dapat
mengenai seluruh golongan umur, tetapi infeksi pada anak relatif sangat jarang terjadi.
Distribusi yang berkaitan erat dengan umur ini, berhubungan erat dengan cara
9
penularannya. Penularan melalui tranfusi darah, penggunaan obat-obatan2 01 intravena,
t
e banyak terjadi pada
hemodialisis, tertusuk jarum suntik, tatu, dan hubungan seksual,arlebih
orang dewasa daripada anak-anak. Penularan melalui rkontak o 9 M keluarga adalah rendah.
st
Transmisi vertikal saat ini merupakan cara penularan
t Ga yang paling sering dijumpai pada
a
anak.Dibawah ini diuraikan cara penularan virus
kraphepatitis C.
u ntu
ro
Pemaparan terhadap darah dan produk
G ast yang berasal dari darah
Cara penularan paling efisien
A jar adalah dengan pemaparan langsung kerusakan kulit
ku misalnya transfusi darah yang terinfeksi HCV dan produk-
dengan darah penderitauHCV,
e B
Fil
produknya, transplantasi organ dari donor pengidap kronis HCV, dan pengguna obat bius
dengan suntikan intravena.
Di Amerika Serikat sebelum tahun 1986 kejadian hepatitis C paska transfusi berkisar
5% sampai 13%. Dari tahun 1986 sampai 1990, dengan adanya larangan bagi golongan
berisiko tinggi untuk menjadi donor dan dilakukannya pemeriksaan LFT pada donor,
angka tersebut turun menjadi 1,5%. Dengan adanya pemeriksaan anti HCV untuk skrining
donor, angka kejadian hepatitis C paska transfusi menjadi 1,0% pada awalnya dan akhirnya
menjadi <0,1%.
Apabila dengan cara ini masih terjadi infeksi hepatitis C paska transfusi, hal ini
mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan pemeriksaan anti HCV generasi kedua untuk
mendeteksi anti HCV pada penderita yang berada dalam masa antara mulai terjadinya
infeksi sampai timbulnya anti HCV (antara 4-6 minggu).
Pada tahun 1994 di Amerika Serikat terjadi outbreak infeksi HCV yang disebabkan oleh
intravenous immunoglobulin. Hal serupa juga terjadi di Eropa. Pada saat ini, semua produk
imunoglobulin dengan standard RNA HCV negatif saja yang boleh beredar di Amerika
Serikat. Cara yang paling aman dalam pencegahan penularan melalui tranfusi darah adalah
memeriksan sampel darah dengan uji anti HCV sebelum diberikan kepada penderita.

281
Bab 16 Hepatitis Virus

Penularan melalui hubungan seksual


Diantara pasangan seksual pengidap HCV kronis yang tidak mempunyai risiko lain untuk
terjadinya infeksi, rata-rata prevalensi anti HCV adalah 5% (antara 0%-15%). Ada studi
yang mendapatkan hasil bahwa pasangan wanita dari pria pengidap HCV lebih banyak
tertular dibanding apabila yang menderita pengidap kronis adalah wanitanya.Penularan
infeksi HCV juga meningkat dengan bertambahnya jumlah pasangan hubungan seksual
dan tidak digunakannya kondom.Diago melaporkan angka 11,4% penularan dari pasangan
seksual pengidap HCV kronis. Kihara mendapatkan prevalensi yang lebih tinggi pada
wanita pelacur yaitu 11% dibandingkan masyarakat umum.
Di Indonesia belum diketahui secara jelas cara penyebaran infeksi HCV, apakah
kontak erat dapat merupakan penyebab penularan selain transfusi darah, jarum suntik
pada pengguna obat bius secara intra vena, dan hubungan seksual. Sumarto pada penelitian
di daerah rural Tengger tidak mendapatkan anti HCV positif dari 103 orang yang diteliti.

Penularan vertikal dari ibu ke bayi


Penularan (transmisi) vertikal HCV dari ibu kepada bayinya relatif lebih jarang terjadi daripada
penularan vertikal HBV, karena titer HCV secara umum lebih rendah daripada HBV. Penularan
9 operasi. Pecahnya
vertikal HCV dapat terjadi pada proses kelahiran, baik pervaginam maupun
2 01
t
are HCV.
ketuban lebih dari 6 jam merupakan faktor risiko terjadinya penularan
M
Pada bayi yang lahir dari ibu dengan anti HCV positif, o 9 didapatkan angka 5% (antara
3%-6%). Dengan metode polymerase chain reaction a str untuk mendeteksi adanya RNA
(PCR)
HCV tidak memberi angka yang lebih tinggi.rapa
tG
k
Bila Ibu menderita infeksi HIV bersama
u ntu dengan infeksi HCV, maka kemungkinan
r o
at
tertular bagi bayi yang lahir akan slebih besar yaitu 14% (antara 5%-36%) daripada Ibu yang
hanya menderita infeksi HCV r Gsaja. Dihipotesiskan bahwa Ibu yang mengidap infeksi HIV
mengalami penurunankudaya Aja imunitas sehingga mengalami viral load dari HCV yang lebih
u
tinggi menyebabkan
i l e Bmudahnya penularan secara vertikal.
F
Tingginya titer RNA HCV mempunyai peranan penting terhadap terjadinya
penularan. Pada Ibu dengan anti HCV positif, tetapi RNA HCV negatif tidak ditemukan
viremia pada bayinya dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan RNA HCV.
Ohto dkk mendapatkan bahwa Ibu dengan titer RNA HCV sebesar 106/ml akan
menularkan infeksi kepada bayinya. Disamping tingginya titer RNA HCV, genotip
juga diduga mempunyai peranan dalam penularan vertikal dari ibu ke bayi. Zucati dkk
mendapatkan dalam penelitiannya bahwa hanya Ibu yang terinfeksi HCV ber-genotip Ib
dan 3a yang menularkan infeksi HCV terhadap bayinya. Genotip 3a dan 1b mempunyai
virulensi tinggi dan kurang responsif terhadap pengobatan dengan interferon. Kemungkinan
penularan in-utero dibuktikan dengan ditemukannya viremia pada bayi baru lahir. Tetapi
viremia mungkin saja tidak terjadi pada waktu lahir; dalam hal ini apabila seorang bayi
dicurigai tertular HCV maka sebaiknya uji anti HCV dilakukan pada usia 15 bulan dimana
antibodi ibu sudah sangat turun. Selain pemeriksaan anti HCV, pemeriksaan fungsi
hati juga penting pada bayi walaupun RNA HCV negatif waktu lahir; tetapi bila terjadi
peningkatan hasil uji fungsi hati, yaitu ALT setelah umur 3 bulan, diduga kuat bahwa bayi
tersebut tertular secara perinatal.

282
Buku Ajar Gastrohepatologi

Gejala klinis hepatitis akan terlihat pada usia diatas 3 bulan, apabila bayi berumur
3 bulan sampai 18 bulan tidak terjadi gejala hepatitis, maka kemungkinan tidak terjadi
penularan secara perinatal.
Penularan infeksi HCV melalui air susu ibu (ASI) belum pernah dilaporkan walaupun
anti HCV dan RNA HCV juga ditemukan pada ASI. Angka penularan HCV dari bayi yang
minum ASI sama dengan bayi yang minum susu botol, sehingga infeksi HCV pada ibu
bukan merupakan kontraindikasi untuk pemberian ASI. Kemungkinan adanya RNA HCV
pada ASI adalah karena terjadinya lecet puting susu sehingga terjadi occult hemorrhage.
Kemungkinan rendahnya penularan infeksi HCV melalui ASI dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Jumlah RNA HCV pada ASI sangat rendah sehingga tidak terjadi infeksi
2. Mungkin jumlah yang kecil tersebut dapat dinetralisir pada saluran cerna
3. Mukosa saluran cerna yang intak mencegah penularan melalui oral

Penularan dalam anggota keluarga


Yang dimaksud di sini adalah adanya anggota keluarga yang menderita infeksi HCV kronis
melalui penularan dengan atau tanpa hubungan seksual. Tanpa adanya faktor risiko yang
lain, nilai yang didapat berkisar antara 0% sampai 11% dengan harga rata-rata 9 4%. Penularan
2 01
t
are
dari penderita anak kepada saudaranya adalah rendah. Vignente mendapat angka tidak
adanya penularan pada 56 saudara dari 44 penderita anak. Camarero 9 M dkk hanya mendapat
1 orang tertular dari 80 anggota keluarga 27 anak penderita stro infeksi kronis HCV. Rosenthal
Ga
mendapat 0% dari 103 anggota keluarga 26 penderita p at talasemia dengan infeksi HCV. Di
a
Surabaya, Widawati mendapatkan angka penularan
tu kr 2,06% pada 97 anggota keluarga dari
34 penderita hepatitis C kronis. Sedangkan u n Arief mendapatkan angka 0% dari 28 anggota
o
str
keluarga 6 anak penderita talasemia Ga yang menderita hepatitis C kronis.
Ajar
u
Patogenesis Buk
l e
Fi
HCV mempunyai kemampuan menimbulkan infeksi kronis yang tergantung pada infeksi
non-sitopatik terhadap sel hati dan respons imunologis dari host. Seperti pada infeksi virus
lainnya, eradikasi HCV melibatkan antibodi penetral (neutralising antibodies) terhadap
virus yang beredar dalam sirkulasi dan aktivasi sel T sitotoksik untuk merusak sel yang
terinfeksi dan menghambat replikasi intraselular melalui pelepasan sitokin. HCV dapat
menghindar dari aktivitas antibodi penetral dengan cara mutasi komposisi antigeniknya.
Mekanisme ini dapat menyebabkan timbulnya kuasi spesies (quasi-species) yakni dalam
sirkulasi seorang penderita terdapat virus yang homogen tetapi mempunyai variasi
imunologis yang menyebabkan efikasi dari antibodi penetral turun. HCV mungkin juga
menurunkan respons imun antivirus dengan cara infeksi langsung pada sel limfoid dan
mengganggu produksi interferon. Kerusakan hepatoselular masih menjadi pertanyaan.
Diduga terjadi melalui efek sitopatik dengan ditemukannya perubahan degeneratif yang
disertai infiltrasi sel radang. Genotip HCV 1b mungkin lebih bersifat sitopatik daripada
genotip yang lain. Mekanisme sitotoksisitas yang diperantarai sel (cell mediated cytotoxicity)
diduga juga berperan dalam kerusakan sel hati, yang ditunjukkan dengan ditemukannya sel
T sitotoksik yang bereaksi dengan HLA kelas I dan core beserta antigen envelope HCV pada
serum penderita HCV kronis. Infeksi HCV juga dihubungkan dengan gangguan imunologis

283
Bab 16 Hepatitis Virus

seperti krioglobulinemia, vaskulitis, glomerulonefritis, artritis, dan tiroiditis. Kejadian


ini tergantung pada lamanya stimulasi virus terhadap sistem imun yang menyebabkan
timbulnya reaksi antibodi monoklonal dan pembentukan kompleks imun dari IgG dan
IgM atau karena HCV langsung menyerang jaringan limfoid. Reaksi ini mungkin juga
menimbulkan limfoma.

Gambaran Klinis Infeksi HCV


Hepatitis C akut
Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika Serikat. Perkiraan
masa inkubasi sekitar 7 minggu yakni antara 2–30 minggu. Anak maupun dewasa yang
terkena infeksi biasanya tidak menunjukkan gejala dan apabila ada, gejalanya tidak spesifik
yaitu rasa lelah, lemah, anoreksia, dan penurunan berat badan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa diagnosis hepatitis C pada fase akut sangat jarang. Pada penderita dewasa dengan
gejala klinis, 30% menunjukkan adanya ikterus. Pada pemeriksaan LFT, harga ALT dapat
meningkat sampai 10 kali harga normal. Antibodi terhadap HCV (anti HCV) mungkin
belum terdeteksi, dan didapatkan setelah beberapa minggu atau bulan setelah terjadinya
infeksi akut. Kadar transaminase serum meningkat selama fase akut, dan pada 40%
9
penderita akan menjadi normal walaupun tidak berhubungan 2dengan 01 status virologis.
re t
Hanya 15% penderita sembuh secara spontan dengan pembuktiana menggunakan metode
PCR, dan 85% akan menjadi kronis. Tidak seperti HAV o 9M
maupun HBV, infeksi HCV jarang
str
menyebabkan kegagalan hati fulminan.69 G a
at
r ap
k
tu
Hepatitis C kronis o un
str
Tidak kurang dari 85% penderita
r Ga hepatitis C akut berkembang menjadi kronis. Mekanisme
mengenai mengapa virusAjamasih tetap ada atau persisten setelah infeksi akut belum
u
Buk
diketahui. Data menunjukkan adanya diversitas dan kemampuan virus untuk melakukan
i l
mutasi secara cepat.e Sebagian besar penderita tidak sadar akan penyakitnya, selain gejala
F
minimal dan tidak spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak enak pada perut
kanan atas, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita menunjukkan
gejala-gejala ekstrahepatik yang dapat mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan
dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepaik bisa meliputi gejala hematologis, autoimun, mata,
persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem saraf. Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar
ALT serum yang normal sedangkan yang lainnya meningkat sekitar 3 kali harga normal.
Kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase lanjut.69

Sirosis hati
Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam dua atau tiga
dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervarisi antara
20%-30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis sangat minimal
sampai timbulnya komplikasi akibat sirosis. Terdapat beberapa faktor prediktif terjadinya
progresitifitas penyakit yaitu:69
1. Umur lebih dari 40 tahun saat terinfeksi
2. Laki-laki

284
Buku Ajar Gastrohepatologi

3. Derajat fibrosis pada saat biopsi awal


4. Status imunologi
5. Ko-infeksi dengan virus hepatotropik lainnya atau dengan virus HIV
6. Infeksi genotip 1
7. Adanya quasi-species
8. Overload besi
9. Konsumsi alkohol
Prognosis penderita sirosis dengan infeksi HCV secara umum adalah baik sampai
terjadinya dekompensasi. Fattovich dkk mendapatkan dari 384 penderita sirosis kompensasi,
survival ratenya mencapai 96%, 91%, dan 79% untuk waktu 3, 5, dan 10 tahun. Niederau
dkk melalui studi prospektif terhadap 838 penderita hepatitis C kronis mendapatkan bahwa
apabila terjadi dekompensasi hati, maka memiliki 5-year survival rate kurang dari 50%.
Ini merupakan suatu indikasi untuk dilakukan transplantasi hati. Dengan adanya resiko
terjadinya karsinoma hepatoselular, maka secara berkala setiap 6 bulan perlu dilakukan
USG dan pemeriksaan alfa-fetoprotein.

Karsinoma hepatoselular
Perkiraan insidens karsinoma hepatoselular karsinoma sekitar 0,25-1,2 9
2 01 juta kasus baru
setiap tahun, sebagian besar berasal dari penderita dengan sirosis.t Resiko terjadinya
Mare
karsinoma hepatoselular pada penderita sirosis karena hepatitis C kronis diperkirakan
o9
sekitar 1%-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksiaHCVstr sampai timbulnya karsinoma
G
at memperkirakan bahwa antara 1,9%-
hepatoselular berkisar antara 10-50 tahun. DiBisceglie
p
r a
uk HCC setelah 10 tahun.
6,7% penderita sirosis HCV berkembang menjadi
nt
u
ro
ast
Diagnosis jar
G
u A
uk terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2 golongan besar yaitu
Secara garis besar diagnosis :
(69-70)

e B
Fil
1. Uji saring
Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai beberapa keuntungan
yaitu mudah tersedia, mudah dilakukan dan murah. Negatif palsu didapatkan pada
penderita dengan gangguan imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi,
misalnya pada penderita transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV, dan juga
pada awal perjalanan penyakit dengan adanya window period yakni belum terbentuknya
antibodi.
1. Uji konfirmasi
Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji konfirmasi walaupun
perbaikan pemeriksaan serologis EIA generasi ketiga dapat menyamai atau tidak
memerlukan uji konfirmasi. Tes konfirmasi digunakan juga pada mereka dengan hasil
pemeriksaan yang rendah tetapi dicurigai tertular HCV seperti pada donor darah. Uji
konfirmasi ini meliputi :
a. Recombinant immunoblot assay ( RIBA–1, RIBA-2, RIBA-3 )
b. Deteksi virologis
c. Biopsi hati

285
Bab 16 Hepatitis Virus

Tes konfirmasi dan genotip rutin dilakukan sebelum memulai pengobatan dengan
obat-obat anti virus. Pembagian lain untuk pemeriksaan HCV dapat digolongkan dalam 2
golongan besar, yaitu pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular.

Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis dilakukan untuk menemukan antibodi dari berbagai bagian dari
antigen HCV. Juga disebut sebagai diagnosis serologis untuk menemukan adanya IgG
anti HCV. IgM anti HCV tidak digunakan secara rutin. Pemeriksaan paling populer
adalah dengan cara Enzyme Immuno Assays (EIA). EIA generasi pertama ditujukan untuk
menemukan antibodi terhadap protein nonstruktural (C-100) NS-4 dari HCV. EIA generasi
kedua merupakan kombinasi antara protein struktural yaitu antigen core atau C-22 dengan
protein nonstruktural dari NS-3 yaitu C-33 c dan NS-4 yaitu C-100 dan C5-1-1 dengan cara
mencari antibodi yang spesifik. EIA generasi kedua jauh lebih sensitif dan spesifik daripada
EIA generasi pertama, dimana generasi kedua ini dapat menemukan 95% penderita infeksi
HCV. Disamping itu generasi kedua dapat menemukan timbulnya serokonversi anti HCV
dengan lebih cepat yaitu antara 4–6 minggu paska infeksi.84
Pemeriksaan IgM anti HCV kurang bermanfaat karena IgM anti HCV dari daerah
9
core tidak timbul pada semua penderita hepatitis C akut, tetapi 2tetap01 ada pada penderita
hepatitis C kronis. Chey menemukan adanya IgM anti HCVarpada e t 50% penderita infeksi
9 M
kronis. Sedangkan titer IgG anti HCV berhubungan eratodengan viremia, sehingga mungkin
r
titer IgG tersebut tidak terdapat pada penderita dengan
G ast viremia yang rendah.
at sensitifitas dari generasi kedua, sebab
EIA generasi ketiga merupakan peningkatan
r ap
tuk dari core, NS-3 dan NS-4, masih ditambah
selain antibodi terhadap protein yang nberasal
u
dengan protein rekombinan dari sdaerah ro NS-5. Penggunaan protein daerah NS-5 ini dapat
G a84t
menyebabkan hasil positif palsu.
A jar
u
uk untuk konfirmasi dari EIA adalah RIBA (recombinat immunoblot
Pemeriksaan serologis
B
e
Fil
assay) yang melakukan deteksi antibodi monospesifik HCV oleh protein rekombinan yang
diikat lapisan nitroselulosa. Pemeriksaan ini bukan merupakan konfirmasi yang sebenarnya
karena menggunakan antigen yang sama, dan dapat terjadi kesalahan interpretasi dalam
pembacaan hasil. RIBA 3 merupakan perbaikan dari RIBA 2 dengan cara mengurangi hasil
yang meragukan (Indeterminate).
Chien dkk berusaha meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan anti HCV
dengan menambahkan epitop dari daerah E1–E2 dengan cara menggabungkan semua
epitop yang imunodominan dari 7 daerah genom HCV, yang dinamakan single multiple
epitope fusion antigen (MEFA, MEFA-6) yaitu protein dari daerah core, E1-E2, NS-2, NS-3,
NS-4, dan NS-5. Hasilnya adalah sensitivitasnya sesuai dengan EIA generasi ketiga.
Aoyagi dkk menggunakan pemeriksaan terhadap HCV-c antigen dengan metoda EIA
dan menyatakan bahwa dengan cara ini dapat dideteksi adanya viremia pada fase akut,
di mana antibodi terhadap antigen-c belum terbentuk (window period). Pemeriksaan ini
juga dapat digunakan pada penderita HCV dengan gangguan imunitas seperti infeksi HIV;
sensitivitasnya mendekati pemeriksaan RNA HCV.

286
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pemeriksaan molekular
Pemeriksaan secara molekular bertujuan untuk menemukan nukleotida virus, dan
juga dapat untuk melakukan penghitungan densitas virus. Pemeriksaan ini juga disebut
diagnosis molekular.
Ada 4 cara diagnosis molekuler terhadap HCV(88-89) :
1. Polymerase chain reaction (PCR)
2. Nucleic acid sequence based amplification (NASBAtm)
3. Ligase chain reaction (LCR)
4. Branched DNA assay (b DNA assay)
PCR, NASBA, dan LCR merupakan pemeriksaan yang berdasar pada teknik target
amplification, sedangkan branched DNA assay berdasar pada teknik signal amplification.
Kelebihan lain dari b DNA assay adalah prosedur ekstraksi RNA yang mudah dilakukan
dan seperti deteksi signal pada ELISA reader, pemeriksaan ini lebih toleran terhadap
adanya kontaminasi.

Pengobatan
9
Tujuan pengobatan adalah mengeliminasi virus dan mencegah progresivitas
2 01 penyakit
re
menjadi sirosis maupun karsinoma hepatoselular. Saat ini rekomendasit dari FDA adalah
a
(100-104) M
pengobatan dengan kombinasi interferon dan ribafirin. o 9
str
Ga
p at
Tabel 16.6.1. Indikasi dan kontraindikasi pengobatan hepatitis C kronis
k ra
tu
Indikasi un Interferon
Kontraindikasi pada
o
Kontraindikasi pada Ribavirin
Peningkatan AST/LST str
Depresiaberat Anemia (Hgb <11 g/dl)
rG
Ditemukan HCV-RNA
uAjaDekompensasi hati Tidak tahan anemia

B ukhati
Fibrosi portal atau inflamasi pada biopsi Pengguna alkohol Penyakit jantung koroner
e
Fil Pengguna obat-obatan Kehamilan
Penyakit autoimun Tidak tahan kontrasepsi
Penyakit penyerta berat Penyakit vaskular perifer
Diabetes berat Gagal ginjal
Hipertensi berat Gout

Sumber: Farrel, 1999.


Sampai saat ini belum ada laporan yang memadai untuk pengobatan infeksi HCV
akut pada anak. Sedangkan pada infeksi kronis ada beberapa laporan tetapi tidak berskala
besar, bukan penelitian multisenter, dan bukan uji klinis. Dari laporan-laporan tersebut
didapatkan sustained virologic responce berkisar 33%-45%. Hasil ini ternyata lebih besar
daripada respon pada orang dewasa. Kemungkinan penyebabnya adalah: (1) penyakit
masih pada stadium awal, (2) tidak ada faktor yang memperberat penyakit, dan (3) dosis
interferon relatif lebih tinggi. Atau mungkin karena penelitiannya dalam ruang lingkup
yang sempit dan bukan uji klinis sehingga terjadi artefak statistik.
Dosis interferon adalah 3 MU/m2 tiga kali dalam seminggu. Dosis ribavirin adalah
8, 12, atau 15 mg/kg BB per hari. Pada penderita hepatitis C kronis yang mengalami ko-

287
Bab 16 Hepatitis Virus

infeksi dengan HIV, konsentrasi virus lebih tinggi dan gambaran histologis cenderung
lebih progresif; maka pemberian pegylated interferon bersama ribavirin diharapkan dapat
memberikan hasil yang lebih baik.

Tabel 16.6.2. Evaluasi pada pengobatan hepatitis C kronis


Pilihan terapi Obat Penjelasan
Interferon tunggal
Interferon alfa-2a Roferon-A Dosis dapat ditingkatkan/diperpanjang. Induksi
Interferon alfa-2b Intron-A
Interferon alfa-n1 Wellferon, lymphoblastoid IFN
Interferon beta
Interferon alfacon-1 Infergen, Consensus IFN
Ribavirin tunggal Rebetol Respon biologis dan histologis (+), respon virologis (-)
Kombinasi Interferon and Ribavirin Rebetron Sustained response rates sekitar 40%. Terapi utama
Pegylated interferon alfa-2a Masih diteliti, hasil lebih baik
Amantadin;rimantadin Symmetrel Dalam penelitian
Flumadin
Recombinant interleukins IL-2, IL-10, IL-12 Dalam penelitian, hasil lebih baik
Ursodeoxycholic acid (UDCA) Ursodiol Kurang baik
9
01
et 2
Actigall
Phlebotomy Hasil diperdebatkanar
Thymosin alpha-1 (TA1) o 9M
Kurang memuaskan
st r
Nonsteroidal NSAIDs
t Ga baik
Kurang
a
Sumber: Farrel, 1999.
k rap
u ntu
Pencegahan ro
G ast
Tidak seperti HAV atau HBV,
Ajar dimana imunglobulin memainkan peranan penting dalam
profilaksis primer, padau HCV belum ditemukan jenis imunglobulin yang efektif untuk
B uk
pencegahan postileexposure. Pembuatan vaksin juga terhambat karena tingginya derajat
F 104
diversitas genetik.

Sehingga pencegahan dititikberatkan pada :


1. Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun organ.
2. Uji saring terhadap individu yang berada pada daerah dengan prevalensi HCV yang
tinggi untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.
3. Pendidikan kesehatan pada pekerja yang erat kerjanya dengan darah dan cairan tubuh.

Individu-individu yang seharusnya menjalani tes uji saring HCV adalah :


1. Pengguna obat terlarang dengan suntikan
2. Penerima darah dan produknya
3. Penderita dialisis kronis
4. Individu dengan ALT yang terus menerus meningkat
5. Petugas kesehatan yang pernah kontak dengan darah yang terinfeksi HCV
6. Bayi yang lahir dari ibu penderita HCV

288
Buku Ajar Gastrohepatologi

16.7 Hepatitis D
Pendahuluan
Virus hepatitis delta (HDV) ditemukan pertama kali oleh Rizzetto dkk di Italia pada
tahun 1977 dengan menemukan adanya antigen hepatitis delta pada sediaan biopsi hati.
Pemeriksaan serologis untuk mendiagnosis HDV baru dikembangkan pada tahun 1980.
Virus hepatitis D (HDV) merupakan virus terkecil, tidak dapat menyebabkan infeksi bila
tidak bersamaan dengan infeksi HBV, dan ditemukan pertama kali sebagai inti antigen
pada sel hati dari penderita yang terinfeksi HBV.109 Dahulu HDV dianggap sebagai bagian
dari HBV, namun ternyata merupakan suatu virus RNA lain yang tidak dapat memproduksi
protein penutup sehingga bagian luar dari virus ini ditutup oleh antigen permukaan dari
HBV (HBsAg) dan selalu dihubungkan dengan gejala klinis yang berat.

Virologi
HDV adalah virus RNA berdiameter 36 mm. Lapisan luarnya adalah HBsAg yang
membungkus genom RNA dan antigen delta. Genom ini terdiri dari 1700 nukleotida rantai
tunggal sirkular dengan kandungan G dan C yang tinggi (60%). HDAg 19 adalah protein
yang dikode oleh RNA-HDV ditemukan pada serum dan sel hati ependerita 2 0 dengan massa
t
molekul 27000 kD dan 24000 kD. Oleh karena dibungkus olehM ar maka cara masuknya
HBsAg
9
HDV ke dalam sel hati kemungkinan besar menggunakan stro reseptor untuk HBV. Apabila
Ga
sudah berada di dalam sel hati maka HDV melakukan
p at replikasi tanpa adanya HBV. Replikasi
a
dari HDV terjadi di dalam inti sel hati dengan
tu k rcara yang sama seperti virus lain walaupun
mekanisme transkripsi RNA-HDV belumunjelas. Cara interaksi antara HDAg dengan HBsAg
ro
masih belum jelas.(110-111) astG
Ajar
u
Epidemiologi Buk
i l e
F minimal 15 juta orang terinfeksi HDV di seluruh dunia dengan
Diperkirakan terdapat
asumsi 5% pengidap HBV terinfeksi oleh HDV. Infeksi HDV terjadi di seluruh dunia
dengan prevalensi tinggi di Amerika Selatan, Afrika Barat, Timur Tengah, Mediterania, dan
beberapa pulau di Kepulauan Pasifik. Masa inkubasi pada superinfeksi antara 2-8 minggu
sedangkan pada ko-infeksi sama dengan infeksi HBV. HDV tidak menimbulkan infeksi
tanpa adanya HBV sebagai virus pembantu. Infeksi HDV dapat terjadi pada saat awal yang
sama dengan infeksi HBV (koinfeksi) atau menimbulkan infeksi pada penderita yang sudah
terinfeksi HBV (superinfeksi). HDV adalah virus blood born sehingga penularan terjadi
secara parenteral. Penularan biasanya terjadi melalui kontak yang erat dalam keluarga pada
daerah dengan prevalensi tinggi terutama di negara berkembang dengan cara inapparent
parenteral. Sedangkan di daerah dengan prevalensi rendah maka penularan melalui lesi
pada kulit lebih sering terjadi terutama pada penggunaan obat secara suntikan, transfusi
pada penderita penyakit darah, dan infeksi nosokomial.112

Patogenesis
Oleh karena dibungkus HBsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati kemungkinan

289
Bab 16 Hepatitis Virus

besar juga menggunakan reseptor untuk HBV. HDV merupakan virus sitopatik
menyebabkan kerusakan langsung pada sel hati. Tidak ditemukan adanya gambaran spesifik
pada pemeriksaan histopatologi hati kecuali tingkat kerusakan yang lebih berat.
Mekanisme bagaimana infeksi HDV menyebabkan kerusakan hati masih belum jelas.
Pada binatang percobaan tidak terbukti adanya efek sitopatik, namun pada penderita
dengan infeksi HDV kronis terjadi replikasi intraselular yang hebat dimana pada kondisi
ini beban replikasi virus yang tinggi dapat memberi efek langsung berupa kerusakan sel
hati (sitopatik). Peranan sistem imun pada infeksi HDV tidak jelas. Terjadi infiltrasi sel

Ikterus

Gejala

ALT
Anti-HBs

Anti-HDV 9
2 01
aret
9M
HDV-RNA
o
str
Ga
HBsAg p at
ra IgM Anti-HDV
tuk
o un
0 1 2a st3r 4 5 6 12 24
j arG
u A
uk
le B 16.7.1. Perubahan serologis dan biokimia pada koinfeksi HDV.
Gambar 4

Fi
Gejala

Anti-HDV

IgM Anti-HDV
ALT
HDV-RNA

HBsAg

0 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6

Gambar 16.7.2. Perubahan serologis dan biokimia pada superinfeksi HDV112

290
Buku Ajar Gastrohepatologi

radang kronis pada portal trek yang menandakan peranan sistem imun, namun pengobatan
kortikosteroid tidak memberikan efek yang menguntungkan. Terdapat beberapa auto-
antibodi pada serum penderita dan infeksi kronis HDV namun peranannya pada terjadinya
)kerusakan sel hati tidak jelas.(113-116)

Gambaran klinis
Gambaran klinis infeksi HDV tergantung pada mekanisme infeksi. Pada koinfeksi gejala
klinis hepatitis akut lebih berat daripada gejala klinis HBV saja. Namun untuk menjadi
hepatitis kronis kemungkinannya adalah rendah. Pada superinfeksi jarang terjadi gejala
klinis hepatitis akut namun sering terjadi hepatitis kronis dan pada kejadian superinfeksi
risiko terjadinya hepatitis fulminan lebih tinggi. Pada anak yang menderita gagal hati
fulminan harus dipikirkan kemungkinan infeksi HDV.117

Koinfeksi Superinfeksi

9
01
Fulminan Sembuh Kronis Kronis re t2
Sembuh Fulminan
a
2%-20% 90%-95% 2%-7% 70 -90%
o 9 M5%-10% 10%-20%
str
Ga
p at
a
tu kr
Sirosis
n
u70%-80%
o
astr
j arG
u A Karsinoma
Buk hepatoselular
l e
Fi (?)

Gambar 16.7.1. Kemungkinan akibat dari infeksi HDV112


Terdapat bentuk gejala klinis yang khusus berupa ikterus yang diikuti dengan panas
mendadak, hematemesis, dan gejala gagal hati fulminan. Terjadi terutama di daerah lembah
sungai Amazon, Amerika Selatan dan disebut sebagai hepatitis Labrea, black fever atau
hepatitis santa marta. 117

Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan adanya IgM anti HDV yang timbul sekitar 2-4 minggu
setelah infeksi secara koinfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi, menggunakan metoda
RIA atau Elisa. HDAg dapat ditemukan pada sel hati menggunakan pengecatan khusus
immunoflourescence. HDAg juga terdapat pada serum penderita menggunakan metode
analisis Western blot. RNA HDV hapatik dan RNA HDV serum dapat ditemukan dengan
cara Northren blot, Hibridisasi Insitu. Metoda PCR juga dapat digunakan untuk mencari
HDV RNA. 118

291
Bab 16 Hepatitis Virus

Pengobatan
Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dengan HDV menyebabkan pengobatan
lebih sukar daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV. Penggunaan interferon-alfa
pada penderita HDV kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil
dimana kadar ALT tetap tinggi dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan.
Bila terjadi respons positif ditandai dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal,
maka pemberian interferon diteruskan sampai HBsAg hilang dari serum. 118

Pencegahan
Belum ditemukan vaksin terhadap HDV, namun karena replikasi HDV tidak dapat terjadi
tanpa adanya infeksi HBV maka imunisasi terhadap HBV juga mencegah terjadinya infeksi
HDV.(119-120)

16.8 Hepatitis E
Pendahuluan 9
01
Hepatitis E ini dulu disebut sebagai hepatitis non-A non-B dengan
r e t 2 transmisi secara enterik
(ET-NANB). Jenis hepatitis ini ditemukan pertama kali diMNew a Delhi, India pada tahun
o 9
1955 di mana terdapat 29000 kasus ikterus yang diidentifikasi penyebarannya melalui air
str
Ga Pada tahun 1980 ditemukan bahwa
dari perusahaan air minum kota yang tercemar ttinja.
a
rap bukan hepatitis A (HAV) dan juga bukan
jenis hepatitis ini secara pemeriksaan serologis
k
tu
hepatitis B (HBV).119 un o
astr
j arG
Virologi ku
A
Bu
Virus hepatitis Elemempunyai berdiameter 32-34 nm, berbentuk sferis dan merupakan
i
F mempunyai penutup. Merupakan virus RNA yang terdiri dari 7500
partikel yang tidak
pasangan nukleotida rantai tunggal. 120

Epidemiologi
Selain di India, epidemi juga terjadi di Republik Kirgiz, Uni Soviet pada tahun 1955-1956
yang menyerang 10800 penderita terutama anak muda sampai usia pertengahan. Juga terjadi
di Burma dan Nepal pada tahun 1976 dengan 20000 dan 10000 kasus. Epidemi juga terjadi
di Afrika pada tahun 1980-1981. Di Indonesia terjadi wabah hepatitis E di Kalimantan
Tengah pada tahun 1987-1988 dengan jumlah penderita 2000 orang.118

Patogenesis
HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik. Gambaran histopatologisnya
menyerupai hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe
kolestatik dan tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus

292
Buku Ajar Gastrohepatologi

hepatitis lain yaitu pembengkaan sel hati, digenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PNM
pada daerah intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan
stasis empedu pada kanalikuli dan parekim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM
dan IgG anti HEV. IgM menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens
sedangkan IgG anti HEV dapat bertahan sampai 10 tahun. Mekanisme kerusakan sel
hati pada infeksi HEV masih belum jelas; namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan
ditemukannya cytotoxic supression immunophenotype menandakan bahwa kerusakan sel
hati disebabkan oleh mekanisme imunologis selular dan humoral.

Gambaran klinis
Gambaran klinis hepatitis E bervariasi antara bentuk ringan atau subklinis sampai kasus
fatal yang menyebabkan kematian. Masa inkubasinya 2-9 minggu. Bentuk subklinisnya
tidak dapat dikenali karena memberikan gejala seperti flu. Bentuk klinis yang manifes
dengan ikterus akan sembuh sendiri seperti hepatitis A. Perbaikan hiperbilirubinemia dan
ALT dicapai setelah 3 minggu sejak mulai timbulnya sakit. Kasus yang ringan terutama
terjadi pada kelompok anak muda berupa gejala subklinis. Bentuk klinis dan simtomatis
timbul pada dewasa muda dan umur pertengahan. Kasus yang berat dan menyebabkan
19
kematian terjadi pada wanita hamil. Tidak pernah didapatkan bentuk0kronis. 121
2
aret
9M
Diagnosis ro
G ast
Diagnosis hepatitis E akut ditentukan dengan cara: t
a122
r ap
a. Mikroskop elektron imun (IEM); memeriksa k virus pada tinja penderita.
b. Deteksi antibodi spesifik terhadap u ntu menggunakan fluorescent antibody-blocking
virus
ro
assay. G ast
jar Western blot dan EIA; IgM anti HEV ditemukan satu
c. IgM dan IgG anti HEV Asecara
u
uk klinis.
minggu timbulnyaBgejala
e
Fil RNA HEV dari serum dan tinja.
d. PCR untuk mencari

Pencegahan
Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Imunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV.
Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan
adalah penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian
klor untuk mencegah infeksi HEV.123

16.9 Hepatitis G
Pendahuluan
Walaupun diagnosis hepatitis A, B, C, D, dan E telah dapat dibuat namun masih ada
sekelompok penderita hepatitis paska transfusi dan sporadik di masyarakat yang belum
diketahui penyebabnya. Dahulu hepatitis jenis ini dinamakan non-A-E. Pada tahun 1996
ditemukan suatu virus baru penyebab hepatitis non-A-E yang dinamakan dengan virus

293
Bab 16 Hepatitis Virus

hepatitis G dan isolat lainnya virus GB-C. Secara filogenetik berhubungan dengan virus
hepatitis C tetapi tidak menyebabkan gangguan yang serius pada hati. 124

Virologi
Virus hepatitis G (HGV), virus GB-C merupakan virus RNA rantai tunggal yang terdiri atas
9400 pasang nukleotida dan termasuk golongan flaviridae, ditularkan secara parenteral. 125

Epidemiologi
HGV/ virus GB-C adalah virus ditularkan melalui darah, sering didapatkan pada penderita
penyakit darah yang mengalami transfusi berulang. Juga pengguna obat secara intravena.
Cara lain adalah inapparent parenteral. Juga dikenal penularan secara vertikal dari ibu ke bayi
yang terjadi selama proses kelahiran dan perinatal. HGV tidak mampu menembus plasenta.
Prevalensi HGV/ virus GB-C pada donor darah dan populasi umum di negara maju antara
1-2%. Di negara tropis dan subtropis prevalensi antara 5%-10%. Tingginya prevalensi
HGV/VGB-C di daerah tropis dan subtropis mungkin disebabkan adanya serangga dan
vektor lain. Sebagian besar penderita yang terinfeksi di masyarakat mempunyai kadar ALT
serum normal. 127 19
0
2
aret
Patogenesis o 9M
str
Sebagian besar penderita yang terinfeksi HGV/ virus Ga GB-C mengalami viremia tetapi tidak
p at
didapatkan perubahan gambaran histopatologis a yang berarti dan kadar ALT dalam batas
t u kr
normal. Sampai saat ini tidak didapatkan un bukti bahwa infeksi HGV menyebabkan gejala
klinis. Ditemukannya HGV/ virussGB-C tro pada limfosit dianggap bahwa virus ini mempunyai
r Ga
sifat biologis seperti virus Epstein-Barr atau CMV. 126
a j
kuA
u
Gambaran klinis
Fi le B
Infeksi HGV/ virus GB-C tidak menimbulkan gejala peradangan pada hati. Koinfeksi
dengan virus lain tidak memperberat perjalanan penyakit HBV maupun HCV. Tidak
ditemukan kasus hepatitis kronis pada penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C.128

Diagnosis
Diagnosis HGV/ virus GB-C berdasarkan ditemukanya virus RNA dengan cara RT-PCR.
Cara lain adalah metode branched DNA. Antibodi terhadap protein E2 secara ELISA dapat
ditemukan pada fase kesembuhan atau infeksi lampau. (129-130)

Pencegahan
Tidak ada metode pencegahan terhadap infeksi HGV/ virus GB-C.

294
Buku Ajar Gastrohepatologi

Daftar pustaka
1. Koff RS. Viral hepatitis in Walker Durie, Hamilton, Walker Smith, Watkins: Pediatric
Gastrointestinal Disease. B.C. Decker Inc. Philadelphia 1st. 1991:857-874.
2. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford
Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999:827-70.
3. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson
textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004:1324-32.
4. Dentinger CM, Heinrich NL, Bell BP, et al. A prevalence study of hepatitis A virus infection in
migran community: Is hepatitis A vaccine indicated. J Pediatr. 2001;138:705-9.
5. Dienstag JL. Hepatitis A. In: Bircher J, Benhamou JP, Rizetto M, et al, Eds. Oxford Textbook of
Clinical Hepatology 2nd ed. Oxford University Press, 1999:1-15.
6. Dienstag JL. Hepatitis A. In: Bircher J, Benhamou J.P., Rizzeto M. , et al. Oxford text book of
clinical hepatology 2nd ed. Oxford: Oxford University Press, 1999; 871-875.
7. Dotzauer A, Gebhardt U, Bieback K, et al. Hepatitis A Virus-Specific Immunoglobulin A
Mediates Infection of Hepatocytes with Hepatitis A Virus via the Asialoglycoprotein Receptor. J
Virol. 2000;74:10950-10957.
8. Feinstone SM, Kapikian AZ, Purcell RH. Hepatitis A: Detection by immune electron microscopy
of a virus like antigen associated with acute illness. Science, 1973;182:1026. Citation.
9. Glikson M, Galin E, Oven R. Relapsing hepatitis A. Review of 14 cases and literature survey.
9
Medicine. 1992;71:14-23. Abstract.
2 01
t
10. Han Y, Hillman M, Oren R, et al. Vasculitis and cryoglobulinemia
areassociated with persisting
M85:585-587.
cholestatic hepatitis A virus infection. Am J Gastroenterol. 1990; 9 Citation.
11. Huo TL, Wu CJ, Chiu CF, et al. Severe hyperbilirubinemiasdue tro to acute hepatitis A superimposed
Ga
p at
on a chronic hepatitis B carrier with glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Am J
Gastroenterol. 1996;91:158-159. r a
12. Inman RD, Hodge M, Johnston ME, etunal. tukVasculitis and cryoglobulinemia associated with
ro Intern. Med. 1986; 105:700-703. Citation.
relapsing hepatitis A virus infection.stAnn.
13. Jacobson IM, Nath BJ, and Dienstag G a JL. Relapsing viral hepatitis type A. J Med Virol. 1985;16:163-
169. Ajar
u
14. Kemmer NM, Mikovsky Buk EP. Infection of the Liver, Hepatitis A. Infect Dis Clin North Am.
e
2000;14:1-11. Fil
15. Koff R. Hepatitis A. Lancet. 2000; 341:1643-1649.
16. Lemon SM. Type A Viral Hepatitis. In: Prieto J, Rodes J, Shafritz DA. Hepato Biliary Diseases.
Berlin Springer Verlag. 1992:495-510.
17. Lemon SM, Binn LN. Serum neutralizing antibody response to hepatitis A virus. J Infect Dis.
1983;148:1033-1039. Citation.
18. Keeffe EB. Clinical reviews: Is hepatitis A more severe in patient with chronic hepatitis B and
other chronic liver diseases. Am J Gastro 1995;90:201-05.
19. Margolis HS, Nainan OV. Identification of virus components in circulating immune complexes
isolated during hepatitis A virus infection. Hepatology. 1990; 11:31-37. Citation.
20. Sherlock S. disease of the liver; 10nd ed. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 1999:1-15.
21. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson
textbook of pediatrics, 16th ed, W.B. Saunders Co. 2000;768-75.
22. Stapleton JT, Lange DK, LeDuc JW, et al. The role of secretory immunity in hepatitis A virus
infection. J Infect Dis. 1991;163:7-11. Citation.
23. Sulaiman HA, Junitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan penerbitan IDI.
1995:1-15.
24. Tong MJ, El-Farra NS, and Grew MI. Clinical manifestation of hepatitis A: recent experience in
community teaching hospital. J Infect Dis. 171(Suppl,1) 1995: S15-S18.

295
Bab 16 Hepatitis Virus

25. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Hepatitis A virus infection and the interferon system. J
Infect Dis. 1985;152:211-213. Citation.
26. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Cell-mediated cytotoxicity and hepatitis A virus infection.
Hepatology. 1986;6:1308-1314. Abstract.
27. Vallbracht A, Maier K, Stierhof YD, et al. Liver-derived cytotoxic T cell in hepatitis A virus
infection. J Infect Dis. 1989;160:209-217. Citation.
28. Vento ST, Garofano G, Di Perri, et al. Identification of hepatitis A virus as a trigger for
outoimmune chronic hepatitis type 1. Lancet 1991;337:1183-1187. Citation.
29. Weitz M, Siegl G. Structure and molecular virology of hepatitis A. In: Zuckerman AJ, Thomas
HC. Viral Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st
ed. 1993:21-34.
30. Anonymous. General recommendation on immunization. Recombination of the advisory
committe on immunization practices (ACIP) and the American Academy of Family Physicians
(AAFP). MMWR. 2002;51:1-35.
31. Befeler AS, Di Bisceglie AM. Infections of the liver, hepatitis B. Infect Dis Clin North Am.
2000;14:617-32.
32. Blumberg BS, Alter HJ, Visnich S. A “new” antigen in leukemia sera. JAMA. 1965;191:541-6.
Citation.
33. Chisari FV. Cytotoxic T cells and viral hepatitis. J Clin Invest. 1997;99:1472-7. Citation.
34. Dienstag J, Schiff E, Wright T, et al. Lamivudine as initial treatment for chronic hepatitis B in the
9
United States. N Engl J Med. 1999;341:1256-63. 2 01
t
re associated, Australia antigen
Ma
35. Dudley FJ, Fox RA, Sherlock S: Celluler immunity and hepatitis
liver disease. Lancet 1: 1972;723-26. Citation. 9
ro
36. Fattovich G, Brollo L, Giustina G, et al. Natural history
G ast and prognostic factors for chronic
hepatitis type B. Gut 1991;32: 294-98. Abstract.pat
a
37. Guidotti LG, Chisari FV. Noncytolytic control
tu k r of viral infection by the innate and addactive
n
immun response. Annu Rev Immunol.
tro u 2001;19:65-91. Abstract.
38. Gupta S, Shafritz DA. Viral hepatitiss B and D in Prieto J, Rodes J, Shafritz DA: Hepatobiliary
r Ga1st ed. 1992:528-71.
ja
disease. Springer-Verlag Berlin
39. Hoofnagle JH, Di Bisceglie
ku A AM: The treatment of chronic viral hepatitis. N Engl J Med.
u
1997;336:347-56.
i l e BCitation.
40. InternationalFTask Force on hepatitis B Immunization, Field strategies for the control of hepatitis
B in areas of intermediate and high prevalence April 1988.
41. Jacyna MR, Thomas HC. Pathogenesis and treatment of chronic infection in Zuckerman AJ,
Thomas HC. Viral Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone
London 1st ed. 1993:185-205.
42. Jonas NM, Kelley DA, Mizerski J, et al. Clinical trial of lamivudine in children with chronic
hepatitis B. N Engl J Med. 2002;346:1706-1713.
43. Jung MC, Paper GR. Immunology of hepatitis B infection. Lancet Infect Dis. 2002;2:43-50.
44. Kao JH, Chen DS. Global control of hepatitis B virus infection. Lancet Inf Dis. 2002;2:395-403
45. Koff RS. Vaccines and Hepatitis B. Clin Liver Dis.1999;3:417-28.
46. Lee WM. Hepatitis B virus infection. N Engl J Med. 1997;337:1733-45. Citation.
47. Lee WM. Medical progress: Hepatitis B virus infection. N Engl J Med. 1997: 337;1733-45.
Citation.
48. Liu CJ, Kao JH, Chen PJ, et al. Molecular epidemiology of hepatitis B viral serotypes and
genotypes in Taiwan. J Biomed Sci. 2002;9:166-70.
49. Magnius LO, Norder H. Subtypes, genotypes and molecular epidemiology of the hepatitis B
virus as reflected by sequence variability of the S-gen. Intervirology. 1995;38:24-34.

296
Buku Ajar Gastrohepatologi

50. Margolis HS. Hepatitis B virus infection. Bull WHO. 1998;76:152-3. Citation.
51. McMahon BJ, Alward WL, Hall DB, et al. Acute hepatitis B virus infection: Relation of age to
the clinical expression of disease and subsequence development of the carrier state. J Infect Dis.
1985 151:599-603. Abstract.
52. Miller RH. Proteolytic self cleavage of hepatitis B virus core protein may generate serum e
antigen. Science. 1987;236:722-25. Citation.
53. Mutinger D, Naoumov N, Honkoop P, et al. Combination alfa-interferon and lamivudine therapy
for alfa-interferon resistant chronic hepatitis B infection: Results of pilot study. J Hepatol.
1998:28;923-29. Abstract.
54. Okamoto H, Tsuda F, Sakugawa H, et al. Typing hepatitis B virus by homology in nucleotide
sequence: comparison of surface antigen subtypes. J Gen Virol. 1988;69:2575-83. Abstract.
55. Perrillo RP, Schiff ER, Davis GL, et al. A randomized, controlled trial of interferon alfa-2b
alone and after prednisone withdrawal for the treatment of chronic hepatitis B. The Hepatitis
Interventional Therapy Group. N Engl J Med. 1990;323:295-301. Citation.
56. Pilot J, Poynard T, Elias A, et al. Weak immunogenecity of the pre-S2 sequence and lack of
circumventing effect on the responsiveness to the hepatitis B virus vaccine. Vaccine. 1995;13:289.
Citation.
57. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford
Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999: 876-96.
58. Sulaiman A, Julitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan Penerbitan IDI. Jakarta.
9
Cetakan pertama. 1995:19-20. 2 01
t
59. Stevens CE, Neurath RA, Beasley RP, et al. HBeAg and anti-HBe detectionare by radioimmunoassay:
correlation with vertical transmission of hepatitis B virus in o 9 M J Med Virol. 1979;3:237-41.
Taiwan.
r
Abstract.
G ast
60. Stevens CE, Toy PT, Tong MJ, et al: Perinatal hepatitis at B virus transmission in the United States.
r ap 1985;253: 1740-45. Abstract.
t k
Prevention by passive-active immunization.uJAMA.
61. Villeneuve J, Condreay L, Willem B, et u al.n Lamivudine treatment for decompensated cirrhosis
o
str
resulting from chronic hepatitis B.aHepatology 2000;31:207-10.
r G
62. Zuckerman AJ, Zuckerman JN,
A ja Harrison TJ. Prevention and control hepatitis B in Zuckerman
u
AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone
Buk
London 1st ed. 1993:219-26.
e
63. Cheney CP, ChopraFil S, Graham C: Infection of the Liver. Hepatitis C. Inf Dis Clin N Am.
2000;14:633-67.
64. Albert A, Bartolotti F, Bircher J, et al: Clin Hepatology, Oxfort Univ Press, 2nd ed. 1999:903-22.
65. Tapia MS: Viral Hepatitis C in Prieto J, Riodes J, et al: Hepato Biliary Disease. Springer verlag.
Berlin, 1st Ed. 1992:573-609.
66. Esomi M, Shikata T: Hepatitis virus C and Liver Desease. Patologi International. 1994;44:85-95.
67. Okamoto H, Kurai K, Okada SI, et al. Full length sequence at a hepatitis c virus genome having
poor honology to reported isolates comparition study of four distinct genotype. Virology.
1992;188:331–41.
68. Simmonds P, Holmes EC, Cha TA, et al: Classification of Hepatitis C virus into six major
genotype and a series of subtypes by philogenetic analysisi of the NS-5 region J. Gen. Virol.
1993;74:2391-99.
69. Houghton M, Han J, Kuo G, et al: Viral hepatitis, scientific basis and clinical management.
Churchill Livingstone 1st ed. 1993:229-40.
70. Halsey NA, Abramson JS: Comitte in infections diseases hepatitis c virus infection. Pediatr.
1998;101:481-85.
71. Nelson DR: The immuno pathogenesis of hepatitis c virus infection. Clin in Liver Dis. 2001;5:931-53.
72. Bortolotti F, Resti M, Giochimo R, et al: Changing epidemiologic patterm of chronic hepatitis C

297
Bab 16 Hepatitis Virus

virus infection in Italian children. J. Pediatr. 1998;133:378–81.


73. Brown D, Dusheiko G: Diagnosis of HCV in Zuckerman AI, Thomas HC : Viral hepatitis,
scientific basic and clinical management. Churchill livingstone London, 1st Ed. 1993:283-301.
74. Handayani R, Hotta H, Soemarto R, et al: Genotype virus hepatitis C di Surabaya, Surabaya,
Simposium Nasional hepatitis C September. 1994:51-62.
75. Soetjipto, Handayni R, Lusida MI, et al: Differential prevalence of Hepatitis C virus subtypes in
healthy blood donors, patients on maintenance hemodialysis and patients with hepatocellular
carcinoma in Surabaya, Indonesia. J.Clin Microbiology. 1996:2875–80.
76. Tokita H, Okamato H, Inzuka H, et al: Hepatitis C Virus Variant from Jakarta, Indonesia
clasifiable intronovel genotypes in the second (2e and 2f), teenth (10a) and eleventh (11a)
genetic groups. J. Gen virol. 1996;77: 293-301.
77. Cohen J: The scientific challenge of hepatitis C. Science. 1999;285:26-30.
78. Prince AM, Shata MT: Immuno Prophylaxis of Hepatitis C Virus Infection. Clin In Liver Dis.
2001;5:1091-1103.
79. Deaffic S, Buffort L, Paynand T, et al: Modelling the hepatitis C virus epidemic in France.
Hepatology. 1999;29:1596-1601.
80. Bortolotti F, Resti M, Giacebrino R, et al: Hepatitis C virus infection and related liver disease in
children of mother with antibodies to the virus. J Pediatr. 1997;130:990-93.
81. Sulaiman HA: Epidemiologi dan tinjauan klinis hepatitis c simposium nasional hepatitis C.
Surabaya. 1994:21-33.
9
82. Soetjipto, Handayani R, Lusida MI, et al: Diversity of hepatitis c 2 01
sequences. simposium liver
re t
a
disease in the tropical area, TDRC Airlangga Univ. Surabaya. 1995:13-20.
M
83. Untario MC: Pengaruh transfusi terhadap kejadian hepatitis 9 C pada penderita anak Thalasemia
stro Ilmu Kesehatan Anak FK Unair.
Ga
di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Karya Akhir Spesialisasi
Surabaya, 1992. p at
a
84. Aach RD, Yonitovian RA, Hack M: Neonatal
tu k r and pediatric post transfusion hepatitis C: A look
n
trou
back and a look forward. Pediatrics. 2000;105:836-42.
85. Moyern LA, Mast EE, Alter MJ: sHepatitis C: Routine serologic testing and diagnosis. Am Fam
r Ga
Phys. 1999;59:79-88. ja
86. Soemarto R, Handayani ku A R, Soetjipto, et al: Anti HCV pada beberapa kelompok masyarakat.
u
Simposium Liver
i l e BDesease in The Tropical Area, TDRC Airlangga Univ. Surabaya. 1995:37-43.
87. Thaler MM, F Kee Pork C, Landess DV, et al: Vertical transmission of hepatitis C virus. The Lancet.
1991;338:17-18.
88. Weystal R, Wideel A, Manson AS, et al: Mother to infant transmission of hepatitis C Virus.
Annals of Int. med. 1992;117:887-90.
89. Giacchino R, Tasso L, Timitilli A, et al: Vertical transmission of hepatitis C virus infection :
usefullness of viremia detection in HIV-sero negative hepatitis C virus-seropositive mothers. J
Pediatr. 1998;132:167-169.
90. Pipan C, Amici S, Astomi G, et al: Vertical transmission of hepatitis C virus in low-risk pregnant
women. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 1996;15:116–20. Citation.
91. Ohto H, Terrazoma S, Sasaki N, et al: Transmisssion of hepatitis C virus from mother to infants.
NEJM. 1994;330:744-50.
92. Zuccatti GV, Ribero ML, Giovanni M, et al: Effect of hepatitis C genotype on mother to infant
transmission virus. J Pediatr. 1995;127: 278-280.
93. Hsunglien HS, Hong Kao J, Yuan Hsu H, et al: Absence of infection in brest fed infant born to
Hepatitis C virus-infected mothers. J Pediatr. 1995;126:589-91.
94. Rosenthal E, Hazari A, Segal D, et al: Lack of transmission of hepatitis C virus is very close family
contacts of patients undergoing multiple transfussion for thalassemia. J Ped Gastroenterol.
1999;29:101-3.

298
Buku Ajar Gastrohepatologi

95. Widawati S, Adi P. Soetjipto, Lusida MI: Penularan HCV pada keluarga. Buletin PGI – PPHI –
PEGI. Surabaya. 1994;1:35-39.
96. Arief S : Penularan virus Hepatitis C (HCV) pada anggota keluarga. Bull. Ilmu Kesehatan Anak
FK. Unair. 1998;2:18 – 23.
97. Roth WK, Zeuzem S: Serological and molecular diagnosis of Hepatitis C Virus infection in
Darmadii S. Serologic marker in the diagnosis of viral hepatitis. Seminar on viral hepatitis up
date. TDC. Airlangga Univ. Surabaya, 1998:31-50.
98. Chien DY, Arcangel P, Thelby AM, et al: Use of a polypeptide for diagnosis of HCV infection. J
Clin Microbiol. 1999;37:1393-97.
99. Aoyagi K, Ohue C, Ilda K, et al. Development of a simple and highly serotive enzyme immuno
assay for hepatitis C virus core antigen. J Clin Microbiol. 1999;37:1802-08.
100. Morishima C, Greth DR: Clinical use of hepatitis C virus test for diagnosis and monitoring
during therapy. Clin in Liver Dis. 1999;3:717-46.
101. Marcellin P, Martinat M, Boyer N, et al: Treatment of hepatitis C. Clin in Liver Dis. 1999;3:843-53.
102. Shad JA, Mc Hutchison JG: Current and future therapies of hepatitis C. Clin in Liver Dis.
2001;5:335-60.
103. Jonas MM: Challenges in the treatment of hepatitis C in children. Clin in Liver Dis. 2001;5:1063-71.
104. Cotler SJ, Jensen DM: Treatment of hepatitis C virus and HIV Co-infection. Clin in Liver Dis.
2001;5:1045-61.
105. Farrel GC: Management of hepatitis C draft working party reports from asia pasific concensus on
9
prevensen and management of chronic hepatitis C and B. Black well Pty, Kyoto 2 01 Japan, 4i-Viii, 1999.
t
reof a new antigen-antibody
Ma in serum of HBsAg carriers.
106. Rizzetto M, Canese MJ, Arico S, et al. Immunoflorescence detection
system (delta/anti-delta) associated to hepatitis B virus in liver 9 and
ro
Gut. 1977;18:997-1003.
G ast
107. Smedile A. Infection with HBV associated delta p at
antigen in HBsAg carriers. Gastroenterology.
r a
1981;81:992-7. Citation. k
ntu
108. Monjardino J, Lai MMC. Sructure and umolecular virology of hepatitis D virus in Zuckerman
t ro
as
AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone
London 1st ed. 1993:329-40. jar G
109. Rizzetto M, Ponzzetto k A
A,u Forzani I. Epidemiology of hepatitis delta virus: overview in Gerin
Bu
JL, Purcell RH, Rizzetto M. The hepatitis delta virus. Wiley-Liss New York. 1991:1-20. Citation.
e
Fil LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson
110. Snyder JD, Pickering
textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004:1324-32.
111. Taylor JM, Manson W, Summers J, et al. Replication of human hepatitis delta virus in primary
culture and woodchuck hepatocytes. J Virol. 1988;62:2981-85.
112. Negro F, Rizzetto M. Pathobiology of hepatitis delta virus. In: Hollinger FB, Lemon SN, Margolis
HS. Viral hepatitis and liver disease. Williams and Wilkins, Baltimore. 1991:477-80.
113. Bonino F, Brunetto MR, Negro F. Factors influencing the natural course of HDV hepatitis in:
Gerin JL, Purcel RH, Rizzetto M. The hepatitis delta virus. Wiley-Liss, New York. 1991:137-46.
Citation.
114. Di Bisceglie AM. Epidemiology and diagnosis of hepatitis D virus. in: Zuckerman AJ, Thomas
HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st
ed. 1993:351-61.
115. Conjeevaram HS, Di Bisceglie AM. Natural history of hepatitis D virus. in: Zuckerman AJ,
Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone
London 1st ed. 1993:341-49.
116. Buitrago B, Popper H, Hadler SC, et al. Specific histological features of Santa Marta hepatitis:
a severe form of hepatitis delta virus in Northern South America. Hepatology. 1986;6:1285-91.
Citation.

299
Bab 16 Hepatitis Virus

117. Rizzetto M, Rosina F. Treatment of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral
Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed.
1993:363-69.
118. Viswanathan R. Infectious hepatitis in Delhi (1955-56): a critical study; epidemiology. Indian
Journal of Medical Research. 1957;45:1-30. Citation.
119. Bradley DW, Andjaparidze A, Cook EH, et al. Aetological agent of enterically transmitted
non-A, non-B hepatitis. J Gen Virol. 1988;69:731-38. Citation.
120. Bradley DW, Krawczynski K, Purdy MA. Hepatitis E virus. in: Zuckerman AJ, Thomas HC.
Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed.
1993:373-89.
121. Krawczynski K. Hepatitis E. In: Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford
Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999:922-26.
122. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson
textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004:1324-32.
123. Khuroo MS. Incidence and severity of viral hepatitis in pregnancy. Am J Med. 1981;70:252-55.
124. Alter HJ, Bradley DW. Non-A, non-B hepatitis unrelated to the hepatitis C virus (non-ABC).
Seminar in liver disease. 1995;15:110-20.
125. Alter MJ, Gallager M, Morris TT, et al. Acute non-A-E hepatitis in the United States and the
role of hepatitis G virus infection. Sentinel counties viral hepatitis study team. N Engl J Med.
1997;336:741-46.
9
126. Deinhardt F, Holmes AW, Capps PB, et al. Studies on the transmission 2 01of disease of human viral
e
hepatitis to marmoset monkeys. Transmission of disease, serialarpassage
t and description of liver
lesions. J Exper Med. 1967;125:673-87. 9 M
o
127. Hadziyannis S, Hess G. Epidemiology and naturalahistory str course of G/GBV-C infection. In
t G
Zuckerman A and Thomas H. Viral Hepatitis. p2nd a ed. Livingstones, in press. Citation.
r a
tuk
128. Karayiannis P. Hepatitis G virus infection. Clinical characteristics and response to interferon. J
n
ou
Viral Hepatitis. 1997;4:37-44. Citation.
129. Leary TP. Sequence and genomic a strorganization of GBV-C: a novel member of the flaviviridae
G hepatitis. J Med Virol. 1996;48:60-7.
jar
associated with human non-A-E
A
130. Snyder JD, PickeringkuLK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson
u
le B Saunders. Philadelphia 17 ed. 2004:1324-32.
textbook of pediatrics. th

Fi

300
BAB

17
Drug Induced Hepatitis
Ina Rosalina

17.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut,
lemas dan muntah-muntah. Dari pemeriksaan fisik ditemukan badan kuning, sklera kuning,
anak tampak sakit, lemah, dan kurus. Teraba limfonodi di leher kiri, kecil. Auskultasi paru
terdengar ronkhi. Pemeriksaan jantung dalam batas normal. Anak sedang dalam terapi
TB paru primer dengan INH, rifampin, dan pirazinamida. Sekarang sedang menjalani
terapi bulan ke 3. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan GOT dan GPT meningkat,
sedangkan fosfatase alkali normal.

17.2 Pendahuluan
Hati merupakan organ lintas pertama dari obat yang diabsorpsi dari mukosa lambung
dan mukosa usus halus sebelum mencapai bagian tubuh lainnya. Obat akan mengalami
biotransformasi oleh hati. Fungsi tersebut akan mengakibatkan hati mempunyai risiko
tinggi untuk mengalami intoksikasi oleh obat-obatan.
Biotransformasi mempunyai dua tahap, pertama disebut tahap aktivasi dan kedua
disebut tahap detoksifikasi. Obat-obat hepatotoksik pada proses keseimbangan ini sangat
kritis sehingga penggunaannya harus hati-hati.
Sherlock (1993) melaporkan sekitar 2% dari semua kasus ikterus yang dirawat adalah
disebabkan oleh penggunaan obat. Sekitar seperempat kasus kegagalan hati fulminan di
Amerika Serikat berhubungan dengan pemakaian obat serta 4 dari 23 kasus hepatitis kronis
aktif.
Pasien dengan penyakit hati perlu ditelusuri riwayat pemakaian obat-obatan sejak tiga
bulan terakhir termasuk dosis, rute pemberian, lama serta kombinasi dari obat tersebut.
Kerusakan hati yang ditimbulkan oleh obat-obat hepatotoksik secara histopatologi beraneka
ragam, namun ada 2 bentuk yang sering yaitu bentuk hepatitik dan bentuk kholestatik.
Kedua bentuk ini dapat terjadi bersamaan pada satu jenis obat pada orang yang sama.
Pada makalah ini akan dibahas metabolisme obat dan mekanisme kerusakan hati
oleh obat hepatotoksik serta obat-obat yang sering digunakan dalam terapi yang dapat
menyebabkan kerusakan hati khususnya bentuk hepatitik, gambaran klinis, pengobatan
serta prognosisnya.

301
Bab 17 Drug Induced Hepatitis

17.3 Metabolisme Obat di Hati


Metabolisme obat oleh hati atau biotransformasi terjadi dalam mikrosom sel melalui
sistem enzim yang sangat komplek. Perubahan ini terjadi melalui 2 tahap yaitu aktivasi
dan detoksifikasi. Tahap pertama terjadi oksidasi, reduksi dan penambahan gugus hidroksil
sedangkan pada tahap kedua atau tahap konjugasi terjadi metabolisme bahan yang menjadi
lebih polar sehingga mudah lebih larut dalam air yang kemudian dikeluarkan dari tubuh
melalui traktus urinarius dan sistem bilier.
Dikatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi metabolisme obat di mikrosom
hati antara lain adalah: (1) penurunan aktivitas sesuai dengan pertambahan umur (2) kurang
gizi (3) terjadinya kompetisi dalam metabolisme obat pada penggunaan obat kombinasi,
dan (4) pada penderita penyakit hati.

Tahap I Tahap II
Bahan Obat Bentuk antara Detoksifikasi
Tahap I Tahap II
Bahan Obat Bentuk antara Detoksifikasi

Katalisator: Katalisator:
Kompleks enzim sitokrom P-450 Sulfotransferase
Katalisator: Katalisator:
Glukuroniltrasferase
9
Kompleks enzim sitokrom P-450 Sulfotransferase
Glutationtransferase
2 01
ret
Glukuroniltrasferase
Asetiltransferase
a
Glutationtransferase
Epoxidhidrolase

9M
Asetiltransferase

ro
Epoxidhidrolase

G ast
at
r ap tahap I dan tahap II
Gambar 17.3.1. Metabolisme
k
u ntu
o
a str
G
Pada obat hepatotoksikarhal ini perlu berhati-hati karena berada dalam keseimbangan
j
yang kritis. Pada tahapkuI A
metabolisme obat hepatotoksik disamping dapat menjadi bahan
u menjadi bahan kimia lain yang selanjutnya merupakan bahan
i l eB
aktif juga dapat berubah
toksik. F

Obat Aktivasi metabolit Metabolik nontoksik

Obat Aktivasi metabolit Metabolik nontoksik

Membentuk makromolekul

Membentuk makromolekul

Sitotoksik Mutagen Antigen

Sitotoksik Mutagen Antigen

Nekrosis Karsinogenik Teratogenik Fenomena imunologis

Nekrosis Karsinogenik Teratogenik Fenomena imunologis

Gambar 17.3.2. Mekanisme drug induced hepatitis

302
Buku Ajar Gastrohepatologi

17.4 Mekanisme Kerusakan Hati


Mekanisme terjadinya nekrosis sel hati yang disebabkan oleh obat-obatan hepatotoksik
tidak diketahui secara pasti namun ada 7 dasar terjadinya kerusakan hati tersebut:
1. Berhubungan langsung atas proses metabolisme di hati (kholestasis)
2. Kerusakan sel hati oleh efek toksik obat (nekrosis)
3. Kerusakan sel hati akibat reaksi imunologi
4. Karsinogenik/ mutagenik
5. Berhubungan dengan aliran darah ke hati
6. Transmisi oleh infeksi
7. Penyakit hati sebelumnya
Menurut Roberts (1991) setiap obat berbeda mekanismenya sedangkan menurut
Colon (1990) kerusakan hati oleh obat hepatotoksik pada dosis terapi kemungkinan besar
disebabkan faktor kepekaan terhadap obat (idiosinkrasi).
Mekanisme ini dapat diklasifikasikan atas 2 tipe yaitu: (1) yang dapat diramalkan
(biasanya tergantung dosis), dan (2) yang tidak bisa diramalkan atau idiosinkrasi (biasanya
tidak tergantung dosis), Kelainan idiosinkrasi terjadi akibat reaksi imunologis dengan
gejala dan tanda yang tampak di luar hati seperti ruam, nyeri sendi dan eosinofilia. Pada
9
anak kelainan yang tidak tergantung dosis ini (idiosinkrasi) jarang ditemui,
2 01 namun perlu
juga diperhatikan karena timbulnya kelainan ini tidak dapat diduga r e t sebelumnya.
Secara histopatologis kerusakan yang terjadi pada bentuk 9 Mahepatitik sulit dibedakan
ro
dengan hepatitis virus. Kerusakan tersebut dapat berupa
G ast nekrosis fokal atau masif dari sel
at
hati. Hal ini tergantung pada patogenesis (toksik/pidiosinkrasi) masing-masing obat.
r a
Pada kasus toksik biasanya kerusakan tukpada satu wilayah namun pada idiosinkrasi
nwilayah
nekrosis yang terjadi merata di beberapa o u (masif). Gambaran nekrosis pada kasus
a str dan sedikit eosinofil. Pada nekrosis masif yang
toksik yang lebih utama adalah neutrofil
disebabkan faktor idiosinkrasi r G terlihat adalah sel mononuklear dan ditandai dengan
jayang
A
meningkatnya eosinofil.uku
e B
Fil
17.5 Gejala yang Timbul
Gejala yang muncul adalah:
- Ikterus
- Lelah
- Nafsu makan turun
- Nausea (mual)
- Vomitus (muntah)
- Abdominal pain (nyeri perut)
- Diare
- Urin seperti air teh
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan peningkatan tes fungsi hati dan hepato­
megali

303
Bab 17 Drug Induced Hepatitis

17.6 Bentuk Kelainan Hati dan Obat-obat yang


Menyebabkan Kelainan Hati
Bentuk kelainan hati yang mungkin terjadi karena obat hepatotoksik dapat dikategorikan
seperti terlihat pada tabel 17.6.1 dibawah ini.

Tabel 17.6.1. Kategori hepatotoksik dan bentuk kelainan


Tipe Kelainan AST/ALT AP Kolesterol Keterangan
I Nekrosis sel hati +4 +1 N/- Hepatitis-like
II Steatosis +2 +1 N/- Asimtomatik
III Kolestasis:
-Hepatoselular +1 +3 +2 Obstruksi
-Kanalikuli +1 +1 N/+ tergantung dosis
IV Kelainan vaskular +1 +1 N/+ Trombotik
V Fibrosis +1 +1 N/- Hipertensi portal dan sirosis
VI Granulomatosa +1 +1 N Asimtomatik
VII Neoplasma Bervariasi Jarang pada anak
Keterangan : (+) meningkat, (-) turun, N= normal
9
Sumber: Farrel, 1990. 201
aret
9M
ro dalam tabel 17.6.2 berikut yang
ast
Obat-obat yang tergolong hepatotoksik dapat dilihat
G
disusun menurut abjad, namun pada makalah ini at yang dibahas secara khusus adalah obat-
r ap
obat yang banyak dipakai dan sering menyebabkan kelainan hati pada anak.
k
u ntu
ro
Aspirin G ast
Ajar
Hepatotoksik bergantung u dengan dosis dan biasanya terjadi pada pemberian dosis tinggi
B
pada artritis rematoidukjuvenil. Roberts (1991) melaporkan 10% kasus anak dengan demam
e
Fil mendapat aspirin. Pada anak perempuan lebih sering daripada laki-laki.
rematik akut yang
Hepatotoksik karena aspirin ditandai oleh kadar aspirin dalam serum yang melebihi 25
mg/dl dan sering meningkatkan kadar enzim transaminase. Kadar aspartat aminotransferase
dan/atau alanin aminotranferase meningkat dan timbul eosinofilia. Adanya bentuk kelainan
seperti hepatitis; anoreksia, mual, muntah dan nyeri perut dan hepatomegali. Pada kasus
overdosis dan progresif terjadi ikterus dan pada biopsi terlihat infiltrasi sel mononuklear
dan sel-sel nekrosis. Dengan mikrosop elektron terlihat mitokondria edem.

Asetaminofen
Asetaminofen (parasetamol) merupakan derivat para-amino-fenol yang mempunyai efek
antipiretik dan analgetik, sering dipakai untuk anak. Hepatotoksik dapat terjadi dengan
pemberian dosis tinggi sehingga dapat menimbulkan kerusakan hati.

304
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 17.6.2. Daftar obat hepatotoksik


Nama obat Kelainan Nama obat Kelainan
Asetaminofen I,III Isoniazid I
Asetohexamin I Ketokonazol I
Allopurinol I,IV Levodopa I
Aminocaprooic acid I Marijuana I
Amiodaron I,V Melarsoprol I
Amithiozine I,V Mephenitoin I,III
Ampicilin I Meprobamat I,III,V
Androgen III Mercatopurin I
Amitriptilin I Methotrexate I,VI
Anabolic steroid III,VII Methoxyflurane I
Antimony potasium I Methyldopa I
Arsenic V Mithramycin III
Aspirin I,II Nafcilin I
Azothioprin I,IV Nicotinic acid III,VI
BCG I,V Nialamide I
Benoxaprofen I,III Nitrofurantoin I,III
Benzyl alkohol I,III Noertiptylin I
Carbamazepin I,III,V Oxacyllin I
Carbason I Oxyphenacetin I,III
Carisoprodol I Papaverine I
Cephalothin I Paraaminosalicilic-a I
Chlorambucil I,III,V Penicillin I
Chloramphenicol I Phenacemide I
9
Chloroform I Phenazopyridin
2 01 I
Chlorothiazid I,III Phenelzin t I,III
Chlorpromazin III Phenobarbital are I,VI
Chlorpropamide I,III Phenothiazin 9 M I
ro
Chlorthalidone
Cimetidine
I,III
III G ast
Phenilbutazon
Probenezid
VI
VI
at
Cinchopen I
r ap Procainamide III
tuk
Clidamycin I Procarbasin III
Clometacin I,III n Prochlorperazin III
Coumarin I ro u Promethasin I,III
Cyclopospamide aI s t Prophoxypen I
G
r I
Cyclopropane
Aj a Propilthiourasil I
Dantrolene u I Pyrazinamid I
Dapsone
Buk I Quinacrin I
Demecolcine i l e III Quinidine I
Diazepam F I,III Ranitidin I
Diphenilhidantoin I Rifampicin I
Disopyramin III Stilbamidin I,III
Disulfiram I Streptomycin I,III
Enflurane I Sulfa I
Erythomycin I,III Sulindac III
Estrogen I,II,III Tapazol I
Ecthlorvynol III Testosteron III,V
Ethionamide I Tetrasiklin III
Ethotion I Thiabendazol III
Fluroxene I Thioguanin I,V
Gold I Thioridazin I,III
Griseovulvine III Ticrinafen I,III,V
Halotan I Tolbutamid I
Hycantone I Totalparenteral nutrisi I
Imipramin III Triaclyoleoandromycin I
Indometasin I Trifluoferazin I
Iodine I Trimeprazin III
Iodipamide I Trimethadion I,VII
Iopanoic acid I Trimetoprinsulfameto I,II,III
Iproniazid I Urethan I
Isocarboxazid I Valproat
zoxazolamin

Sumber: Farrel, 1990.

305
Bab 17 Drug Induced Hepatitis

Kerusakan hati akibat asetaminofen disebabkan oleh suatu metabolitnya N-acetyl-p-


benzoquinoneimine (NAPQI) yang sangat reaktif. Pada keadaan normal produk reaktif ini
dengan cepat berikatan dengan glutation di hati sehingga menjadi bahan yang tidak toksik.
Akan tetapi pada keadaan kelebihan dosis produksi NAPQI yang bertambah dan tidak
sebanding dengan kadar glutation, NAPQI berikatan membentuk makromolekul dengan
sel hati yang mengakibat nekrosis sel hati.
Dosis toksik terjadi bila pemakaiannya lebih dari 160 mg/kgBB/hari. Namun pada
individu yang sama, dosis toksik dapat terjadi pada pemakaian dalam batas dosis terapi. Hal
ini berhubungan dengan menurunnya kadar glutation pada keadaan kelaparan dan kurang
gizi dan juga dapat terjadi pada penggunaan alkohol. Dikatakan bahwa pada anak berusia
di bawah 12 tahun, sifat hepatotoksik dari asetaminofen berkurang jika dibandingkan
dengan anak yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena kadar sitokrom P-450 yang rendah
sehingga metabolisme asetaminofen juga berkurang.

glukuronidasi 9
2 01Senyawa nontoksik
Asetaminofen
aret
sulfasi
o 9M
str
Ga
p at
ra
uk
ntkompleks
katalisator:
u enzim sitokrom P450
ro
G ast
Ajar
u
Buk
i l e
FBentuk tak stabil

Bentuk toksik (NAPQI)

glutation

Bentuk makromolekul dengan sel hati

Senyawa nontoksik Nekrosis sel hati

Gambar 17.6.2. Metabolisme asetaminofen

306
Buku Ajar Gastrohepatologi

Isoniazid
Isoniazid menyebabkan kira-kira 7% kelainan hati pada anak. Hal ini jarang terjadi pada
bayi dan insiden akan meningkat dengan bertambahnya usia. Dikatakan bahwa INH dapat
menyebabkan hepatitis pada pemakainan lama. Kira-kira 10%-20% kasus akan mengalami
gangguan fungsi hati pada pemakaian lama dengan dosis 10 mg/kgBB/hari sedangkan
dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari angka ini akan turun hingga 2%. Efek toksik obat ini
disebabkan oleh metabolisme asetilat menjadi asetil isoniazid dan asetil hidralazin.

Isoniazid

Asetil-isoniazid

9
201
Asetil hidralazin aret
o 9M
r
ast
katalisator:
G
t
kompleks
a enzim sitokrom P450
r ap
ntuk
Acylating agent o u
astr
j arG
u A
Buk
e
Fil
Nekrosis sel hati

Gambar 17.6.3. Metabolisme isoniazid (INH)

Menurut Sherlock (1993) hal tersebut di atas kemungkinan disebabkan reaksi


imunologi namun tidak dijumpai adanya manifestasi alergi. Kombinasi isonizid dengan
obat seperti rifampisin, obat anestesi dan alkohol menambah risiko terjadinya toksisitas.
Peningkatan kadar transaminase dalam serum sering didapatkan dalam 8 minggu
pertama pengobatan dengan isoniazid secara terus-menerus. Hal ini biasanya tanpa gejala,
oleh karena itu pemeriksaan transaminase serum sebagai monitor perlu sebelum dimulai
dan 4 minggu berikutnya setelah pengobatan dengan isoniazid. Bila didapatkan hasil yang
meningkat maka pemeriksaan ditingkatkan menjadi setiap minggu dan bila cenderung
meningkat hingga akan menimbulkan untuk terjadinya resiko maka pengobatan harus
dihentikan.

307
Bab 17 Drug Induced Hepatitis

Rifampisin
Rifampisin dieksresi melalui saluran empedu. Obat ini dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, baik terkonjugasi maupun yang tak terkonjugasi. Rifampisin biasanya
dikombinasikan dengan INH untuk digunakan pada penderita tuberkulosis, dan keduanya
bersifat hepatotoksik. Mekanismenya tidak diketahui, kemungkinan melalui induksi enzim.

Metotreksat
Efek hepatotoksik dari metotreksat sama seperti pada dewasa dimana pada dosis rendah
dan pemakaian lama biasanya menyebabkan kelainan berupa steatosis dan fibrosis. Tetapi
pada pemakaian dosis tinggi pada pengobatan kanker dapat mengakibatkan hepatitis akut.
Mekanisme hepatotoksik metotreksat tidak diketahui. Sangat berhubungan dengan dosis
dan lama pemakaian.

Kloramfenikol
Kloramfenikol dalam beberapa kasus dilaporkan dapat menyebabkan ikterus yang
berhubungan dengan nekrosis sel hati. Mekanisme terjadinya tidak jelas, tetapi dikatakan
9
kerusakan sel hati bersamaan dengan terjadinya kerusakan sumsum01tulang.
2
aret
Halotan 9M
ro
G ast
Mekanisme kerusakan hati akibat halotan tidakajelas,t namun ada yang berpendapat bahwa
r
hal ini disebabkan oleh faktor alergi. Penggunaanap halotan berulang kali dapat menyebabkan
k
kerusakan hati yang bersifat alergi berupa
u ntunekrosis sel hati yang letaknya sentrolobular. Hal
o
str
ini sesuai dengan konsep yang amengatakan bahwa mekanisme terjadinya kerusakan hati
r G
A j a
tersebut berkaitan dengan hipersensitivitas, hipoksia dan pembentukan hapten..
u ku halotan biasanya terjadi setelah 1 – 2 minggu setelah penggunaan
Hepatitis oleh karena
eB
Fil umumnya pada pemakaian yang berulang dalam 3 bulan. Kejadian pada
(post operasi) dan
anak jarang, diperkirakan sekitar 1:82.000 anak yang mendapat anastesi dengan halotan.
Menurut Dukes (1985) ada 2 gambaran kerusakan hati karena halotan; (1) yang sering
terjadi yaitu adanya peningkatan kadar enzim aminotransferase serum yang ringan sampai
sedang dengan gejala hepatitis ringan. Kedua gambaran nekrosis hati meluas sehingga dapat
menimbulkan kematian. Pada keadaan seperti ini dilaporkan angka kematian mencapai
14% bahkan sampai 71%. Insiden tipe berat ini diperkirakan berkisar antara 1:6000 sampai
1:20.000. perbandingan antara laki dan perempuan 2:1.

Ampisilin
Nekrosis sel hati akibat ampisilin telah dilaporkan pada 1 kasus, terjadi setelah 15 hari
pengobatan dengan ditandai adanya ruam dan eosinofilia dan berakhir fatal.

308
Buku Ajar Gastrohepatologi

17.7 Upaya Diagnosis Drug Induced Hepatitis

9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 17.7.1. Upaya Diagnosis Drug Induced Hepatitis

309
Bab 17 Drug Induced Hepatitis

17.8 Pengobatan
Pada drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus. Umumnya sembuh spontan bila
obat dihentikan. Seperti halnya hepatitis virus, pengobatan drug induced hepatitis berupa
simtomatis dan suportif.
Penggunaan kortikosteroid diperlukan pada drug induced hepatitis yang berat yang
disebabkan oleh reaksi hipersensitif, tetapi masih kontroversial. Pada kasus yang berat perlu
dipertimbangkan transplantasi hati untuk memperpanjang harapan hidup.

17.9 Prognosis
Umumnya prognosisnya baik, tetapi pada nekrosis hati yang masif sering berakibat
kegagalan hati sehingga prognosis menjadi buruk.

17.10 Ringkasan
Telah dibahas tentang hepatitis yang disebabkan obat-obatan (drug1induce
9 hepatitis). Hati
2 0 sistem enzim yang
berfungsi dalam biotransformasi obat dalam mikrosom sel melalui
re t
sangat kompleks dan mengubah bentuk antara menjadi 9bentuk Ma tidak toksik yang mudah
ro
ast
larut dalam air sehingga dapat diekskresi keluar tubuh.
G
Sehubungan dengan fungsi tersebut, pada at obat-obat tertentu (hepatotoksik) hati
berisiko mengalami kerusakan yang tergantung r ap dari jenis obatnya. Mekanisme terjadinya
k
ntu pasti, namun ada yang berpendapat bahwa
kerusakan tersebut belum diketahui udengan
ro
ast adalah: (1) yang berhubungan langsung dengan obat
secara garis besar mekanisme tersebut
G
r (2) reaksi imunologi.
(dosis dan lama pemberian)jadan
u A
Dalam pengobatanuk drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus (sama halnya
e B Cukup dengan penghentian penggunaan obat dan terapi suportif
dengan hepatitisilvirus),
dan simtomatis.F Pada kasus yang berat perlu dipertimbangkan transplantasi hati untuk
memperpanjang harapan hidup.

Daftar Pustaka
1. Colon AR. Textbook of Pediatric Hepatology; Edisi ke-2. Chicago; Year Book Medical Publishers,
1990;65-77.
2. Farrel GC. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Bayless TM, eds. Current Therapy in
Gastroenterology and Liver Disease; edisi ke-3. Philadelphia ; BC Decker, 1990;460-4
3. Gryborski J, Waklker WA. Gastrointestinal Problem in the Infant; edisi ke-2 Philadelphia: WB
Sounders Co, 1983;337-43.
4. Olson KR. Poisoning & Drug Overdose; edisi ke-2. USA; Appleton & Lange,1994.
5. Ockner RK. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Zakim D, Boyer TD. Textbook of Liver Disease.
Philadelphia; WB Sounders Company, 1982;691-5.
6. Poley JR. Effects of Drug on the Liver. Dalam;Gracey M, Burke V,eds. Pediatric Gastroenterology
and Hepatology; edisi ke-3. London Blackwell Scientific Publication, 1993;726-30.

310
Buku Ajar Gastrohepatologi

7. Roberts EA, Spielberg SP. Drug-Induced Hepatotoxic Children. Dalam: Walker WA,
Durie PR, Hamilton JR, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease; ed.ke-3, Philadelphia:
B.C.Decker,1991;898-912.
8. Sherlock S, Dooley J. Disease of the Liver and Biliary System; ed.ke-9. London: Blackwell
Scientific Publication, 1993;322-51.
9. Stricker BH, Spoelstra P. Drug Induced Hepatic Injury; Vol 1. Amsterdam: Elsevier Science
Publishing, 1985.
10. Zimmerman HJ, Maddre WC. Toxic and drug-Induced hepatitis. dalam: Schiff L, Schiff ER, eds.
Diseases of the liver. Philadelphia: lippincot Company, 1993:707-83.

9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

311
BAB

18
Penyakit Sistemik yang Berpengaruh
pada Hati
Atan Baas Sinuhaji

18.1 Ilustrasi kasus


Seorang anak laki-laki berumur 3 tahun dirawat di rumah sakit dengan keluhan demam
yang sudah berlangsung selama 3 minggu, pembengkakan perut (hepatomegali) dan
penurunan berat badan. Kadang-kadang disertai muntah setelah makan dan episode batuk.
Ibu anak mengatakan anaknya sehat sebelum masuk rumah sakit. Lima belas hari
sebelum dirawat, anak demam tinggi disertai batuk kering, muntah setelah batuk, sakit
perut setelah makan, nafsu makan turun dan tinja lembek. Volume urin normal, tetapi ibu
mencatat warna urin lebih gelap dari biasanya. Dalam masa 2 minggu, berat badan anak
turun sampai 1 kg.
Sebelas hari sebelum dirawat, anak tersebut berobat ke dokter anak dan didiagnosis
dengan sindroma viral. Karena anak kelihatan sehat, anak berobat jalan dan berobat
sebanyak 2 kali yaitu 7 hari dan 2 hari sebelum dirawat, dengan keluhan yang sama. Pada
kunjungan terakhir ke dokter tersebut, teraba hati membesar 5 cm di bawah arkus kosta
kanan. Foto toraks menunjukkan infiltrat di kedua paru. Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya hiponatremia (127 mEq/l) disertai peningkatan hasil pemeriksaan
biokimia hati (bilirubin total serum = 1.5 mg%; aminotransferase aspartat = 130 U/ml;
aminotransferase alanin = 159 U/ml; fosfatase alkalin = 650 IU/L; kolesterol = 414 mg/dl;
dehidrogenase laktat = 513 U/mL). Bilirubin (+) pada pemeriksaan urin.
Riwayat penyakit serius sebelumnya tidak ada. Juga tidak didapatkan riwayat alergi
sebelumnya. Imunisasi sesuai dengan usia. Lahir spontan, cukup bulan. Tidak ada riwayat
keringat malam, sakit sendi, ruam pada kulit atau penyakit–penyakit kronis lainnya. Tidak
ada riwayat memelihara binatang di rumah, memakan obat-obatan, kontak terhadap bahan
kimia ataupun bepergian sebelum sakit.
Kontak dengan penderita tuberkulosis disangkal, walaupun kakeknya penderita batuk
kronis yang produktif dan perokok berat. Tetangga menderita bronkitis. O.s adalah anak
kedua dari 3 bersaudara. Orang tua dan saudara-saudaranya kelihatan sehat dan berasal
dari keluarga ekonomi menengah.

312
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pada pemeriksaan anak kelihatan kurus tetapi sehat dan aktif. Tidak ada tanda-tanda
distres pernafasan akut. Ikterus (-). Berat badan =16.1 kg (75th percentile) dan tinggi badan
= 102 cm (95th percentile). Temperatur = 40.5 oC. Denyut nadi = 132 x/menit, frekuensi
pernafasan 18 x/menit.
Pemeriksaan fisik lain didapatkan normal, kecuali hepar membesar simetris 5 cm di
bawah arkus kosta kanan, permukaan rata dengan tepi yang tajam. Lien dan ginjal tidak
teraba. Tidak ada pembesaran kelenjar limfe. Pemeriksaan funduskopi dan neurologi tidak
ada kelainan.
Hasil laboratorium darah sewaktu masuk rumah sakit menunjukkan: Hb= 10,7g%;
leukosit 7300/mm3; hitung jenis: E =0/B=0/batang = 12%/ segmen = 53%/ limfosit = 31%/
monosit = 2%/ limfosit atipikal = 2%; laju endap darah = 43 mm/jam; bilirubin total =
1.6 mg%; dehidrogenase laktat = 421 U/l; transpeptidase gamma glutamil = 424 U/l;
aminotransferase aspartat = 99 U/l, aminotransferase alanin =94 U/l, amilase= 35 Somogyi
U/l. Natrium = 125 mEq/l; Kalium = 4 mEq/l: Klorida = 9.6 mEq/l; CO2 = 23 mEq/l). Hasil
urinalisis : trace bilirubin (+).
Pemeriksaan tinja: tidak dijumpai telur cacing, parasit lain atau lekosit. Kultur urin, darah
dan tinja yang dilakukan beberapa kali setelah 2 hari dirawat hasil (-). Hasil pemeriksaan
serologi terhadap sitomegalovirus, virus Hepatitis A dan B juga negatif. 9 Pemberian 5
TU intradermal purified protein derivative (PPD): tidak ada reaksi 2 01
(alergi). Kadar serum
aret
imunoglobulin: normal. Hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan noduler retikular
o 9M
yang difus di kedua paru/miliary pattern tanpa pembesaran str kelenjar hilus.
Ultrasonografi abdomen menunjukkan: pembesaran t Ga hepar dengan parenkim yang
r pa
anormal.
homogen tanpa lesi fokal. Lien dan pankreas Kandung empedu normal tanpa
ntuk
distensi saluran biliaris intrahepatik ataupunu pembesaran kelenjar retroperitoneal. Kedua
ro
stpenyakit
ginjal membesar yang diduga karena G a infiltrasi. Kandung kemih normal tanpa ada
massa. Hasil pungsi sumsumAtulang jar menunjukkan gambaran hiperselular yang didominasi
u
sel plasma, eosinofil danukkompleks hematofagositik. Gambaran ini sekunder oleh infeksi
e B
il
bakteri (tidak ada Ftanda-tanda keganasan).
Pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan bilasan lambung selama 3 hari berturut–
turut. Pada bilasan hari ke-3 dijumpai basil tahan asam. Hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan tanda–tanda meningitis serosa. Selama perawatan o.s tetap
demam tinggi dan pada minggu pertama perawatan dijumpai distres pernafasan. Dengan
restriksi cairan, hiponatremia membaik. Diduga hiponatremia terjadi oleh karena SIADH
(Syndrome of Inappropriate Secretion of Anti Diuretic Hormone).
Diagnosis klinis ditegakkan dengan tuberkulosis milier disertai komplikasi hepatitis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis, renal tuberkulosis disertai SIADH. Pada penderita
dengan infeksi susunan saraf pusat dan tuberkulosis paru sering terjadi SIADH. Penyebab
lain SIADH dapat dilihat pada tabel 18.1.1.
Hasil ini didukung dengan pemeriksaan biopsi paru dimana dijumpai granuloma
pengkejuan yang multipel dengan basil tahan asam. Empat minggu setelah dirawat hasil
kultur cairan serebrospinal, urin, bilasan lambung dan jaringan paru menunjukkan
pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis. Sayangnya pemeriksaan biopsi hepar tidak
dilakukan karena masa tromboplastin parsial yang memanjang.

313
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati

Kasus ini merupakan rujukan ke Bagian Anak The John Hopkin’s Hospital, Baltimore
USA dan menjadi bahan konferensi klinik. Anak laki–laki berumur 3 tahun dengan
keluhan demam tanpa diketahui sebabnya, hepatomegali dan penurunan berat badan (BB).
Selain hepatomegali, keluhan lain seperti demam yang tidak diketahui penyebabnya dan
penurunan berat badan, tidak spesifik untuk kelainan hepar. Setelah dilakukan serangkaian
pemeriksaan, termasuk menyingkirkan penyebab kelainan hepar primer dan drug induced
liver disease, ternyata kelainan hepar ini (hepatomegali disertai kelainan hasil pemeriksaan
laboratorium) sekunder akibat infeksi/kelainan sistemik (tuberkulosis).

Tabel 18.1.1. Penyebab utama Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)
1. Ektopik
Oat cell lung carcinoma
Karsinoma pankreas
Timoma
Penyakit Hodgkin
Tumor karsinoid
2. Eutopik
Pulmoner
- pneumonia
- tuberkulosis 9
2 01
- gagal nafas akut t
Susunan saraf
Mare
- trauma 9
ro
- meningitis
G ast
- abses at
- ensefalitis r ap
k
- vascular accident
u ntu
ro
ast
- dan lain-lain
3. Iatrogenik G
Drug induced, misalnya: Ajar
u
- karbamazepin
B uk
e
Filmonoamin
- klofibrat
- inhibitor oksidase
- sulfonilurea (klorpropamid

Sumber: Schwimmer, 2004.

18.2 Pendahuluan
Hepar merupakan organ parenkim terbesar dalam tubuh manusia, yang menerima hampir
¼ dari curah jantung dan memerlukan hampir 1/5 dari konsumsi oksigen dalam keadaan
istirahat. Di samping itu hepar memegang peranan fungsi metabolik yang esensial (seperti
mempertahankan kadar protein dan glukosa plasma tetap normal, sintesis empedu dan
lain-lain), biotransformasi xenobiotik (obat, food additives, pollutant dan lain-lain) dan
respon imunologis.
Hepar sendiri merupakan organ tubuh selanjutnya yang pertama sekali kontak dengan
nutrien dan xenobiotik (maupun mikroorganisme) yang masuk secara enteral melalui vena
porta; sedangkan bila bahan-bahan tersebut/mikroorganisme masuk melalui rute parenteral
juga akan mencapai hati melalui arteri hepatika. Bahan-bahan tersebut/mikroorganisme

314
Buku Ajar Gastrohepatologi

yang masuk melalui vena porta maupun arteri hepatika akan bertemu di sinusoidal. Untuk
sampai ke hepatosit, bahan tersebut/mikroorganisme harus melalui barier yang terdapat
di dinding sinusoid (sel endotel, sel Kupffer dan sel stelat = sel Ito). Sel Kupffer berfungsi
sebagai makrofag sedangkan sel stelate (sel Ito) berfungsi untuk penyimpanan lemak dan
vitamin A (lihat gambar 18.2.1)

Arteri hepatika

SINUSOID V.centralis V.hepatika

LINTASAN Sel endotel, Sel Kupffer, Sel Ito


RONGGA DISSE
V. porta TRANSELULER LINTASAN PARASELULER

Kanalikuli

X
X
HEPATOSIT
9
2 01
aret
9M
ro
G ast
at Saluran empedu yang
rap lebih besar
k
u ntu
tro arteri hepatika, v. porta, sinusoid dan hepatosit
asantara
Gambar 18.2.1. Hubungan
G
A jar
u
Buk
l e
Berdasarkan Fihal-hal tersebut di atas, (ukuran hepar, fungsi metabolik dan
biotransformasi, posisi sentral dalam sirkulasi/saluran cerna dan respon imunologis), tidak
dapat disangkal lagi bahwa hepar merupakan organ tubuh yang secara insidental sangat
rentan dipengaruhi oleh penyakit/kelainan sistemik. Yang dimaksud dengan hepar di sini
adalah hepar dan saluran empedu (hepatobilier). Karena itu dapat didefinisikan penyakit
sistemik yang berpengaruh pada hati adalah kelainan hepar (baik klinis, laboratorium dan
histologi) yang sekunder terjadi oleh karena penyakit/kelainan sistemik yang primernya di
luar hati. Penyakit/kelainan sistemik adalah penyakit/kelainan yang mempengaruhi tubuh
secara keseluruhan.
Dalam tulisan ini akan diuraikan secara umum mengenai kejadian, etiologi,
patogenesis, manifestasi, diagnosis, terapi, prognosis dan pencegahan kelainan hepar
sekunder yang disebabkan oleh penyakit/kelainan sistemik. Juga akan dipaparkan beberapa
penyakit/kelainan di luar hepar yang menyebabkan kelainan hepar. Penyakit yang diuraikan
hanya menggambarkan hepar sangat mudah terkena oleh berbagai penyakit/kelainan
sistemik. Drug induced liver diseases tidak akan diuraikan dalam tulisan ini.

315
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati

18.3 Kejadian dan etiologi


Data mengenai penyakit sistemik yang berpengaruh pada hepar, belum jelas dipublikasikan.
Hanya dikatakan, bukan tidak jarang. Pada bayi yang mendapat nutrisi parenteral total,
insidens dilaporkan mencapai 30%. Bayi prematur yang mendapat nutrisi parenteral total
lebih dari 90 hari bahkan mencapai 100%. Insidensi kelainan hepar pada bayi prematur
yang mendapat nutrisi parenteral total dipengaruhi oleh umur bayi, lamanya mendapat
nutrisi parenteral total dan penyakit-penyakit lain yang menyertai.
Penyakit sistemik yang berpengaruh pada hati dapat dapat dibagi atas 2 kelompok
yaitu kelompok infeksi dan non-infeksi. Infeksi dapat dibagi atas infeksi akut yang sering
berhubungan dengan sepsis dan infeksi kronis yang menyebabkan hepatitis granulomatosa
(lihat tabel 18.4.1)

18.4 Patogenesis
Walaupun patogenesis terjadinya kerusakan hepatobiliaris sekunder oleh karena penyakit/
kelainan sistemik belum begitu jelas dalam beberapa hal, namun mekanisme terjadinya
9
kelainan hepatobiliaris (baik infeksi maupun non-infeksi) dapat 2 01 disimpulkan sebagai
berikut: re t
9 Ma
1. Invasi langsung parenkim hati oleh mikoorganismeromelalui darah/limfe.
st
t Ga
2. Kerusakan hepatobiliaris karena produk mikroorganisme dengan bantuan mediator
proinflamasi (seperti tumor necrosis factor, p a
platelet activating factor, dll).
k ra
3. Kerusakan hepatosit karena penumpukan tu bahan-bahan baik hasil metabolisme atau
proses peradangan (amiloidosis o un
hepatik, kelainan hepar pada hemoglobinopati).
str
4. Kerusakan hepatosit karena G aanoksia dan penekanan (misal: kelainan hepar karena gagal
A j ar
jantung).
ku
u(baik
5. Gangguan nutrisi
e B kekurangan/kelebihan nutrien atau efek pemuasaan), misalnya:
Filpada nutrisi parenteral total.
kelainan hati
6. Kerusakan hepar karena hiperpireksia (misal: kelainan hepar pada infeksi susunan saraf
pusat).
Tidak ditemukannya mikroorganisme pada parenkim hepar, tidak menyingkirkan
kemungkinan kerusakan hepar oleh infeksi. Harus diingat bahwa salah satu fungsi hepar
adalah pertahanan imunologis tubuh. Darah akan dibersihkan dari bahan-bahan patogen
dengan bantuan fagositosis dari sel Kupffer. Kemungkinan mikroorganisme yang dimakan
sel Kupffer menimbulkan cedera hepatobiliaris dan selanjutnya mengalami disolusi.
Meskipun pada beberapa kasus toksin tidak ditemukan dalam sirkulasi, namun produk
dari mikroorganisme tersebut terbukti menyebabkan kerusakan hepar.
Selain itu harus dipertimbangkan peranan efek nonspesifik seperti malnutrisi, anoksia
dan hiperpireksia pada kerusakan hepatosit oleh karena infeksi.

316
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 18.4.1. Penyebab penyakit sistemik yang berpengaruh pada hati


1. Penyakit infeksi
1.1. Penyakit infeksi akut/sehubungan dengan sepsis (Streptokokkus,
Stapilokokkus, Gonokokkus, Salmonella, dan lain-lain)
1.2. Penyakit infeksi kronis/sehubungan dengan hepatitis granulomatosa)
1.2.1. Virus
1.2.1.1. sitomegalovirus
1.2.1.2. mononukleosis
1.2.2. Bakteri
1.2.2.1. aktinomikosis
1.2.2.2. histoplasmosis
1.2.2.3. bruselosis
1.2.2.4. tularemia
1.2.2.5. listerosis
1.2.2.6. nokardiosis
1.2.3. Mycobacterium: M.tuberculosis
1.2.4. Parasit
1.2.4.1. askariasis
1.2.4.2. strongiloidiasis
1.2.4.3. toksoplasmosis
1.2.5 Fungal
1.2.5.1. aspergillosis
1.2.5.2. kandidiasis
9
1.2.5.3. kriptokokkosis
2 01
1.2.6. Lain-lain t
1.2.6.1. Q fever
Mare
1.2.6.2. sifilis 9
ro
2. Non-infeksi
G ast
2.1. Gagal jantung at
2.2. Gangguan hematologi r ap
k
2.2.1. hemoglobinopati
u ntu
2.2.2. gangguan koagulasi
ro
2.2.3. keganasan
G ast
2.2.4. transplantasi sumsum tulangar
2.3. Penyakit kolagen vaskular u Aj
2.3.1. eritomatosis lupus k
usistemik
i l eB
2.3.2. artritis rematoid
F
2.3.3. penyakit Sjogren
2.3.4. skleroderma (sklerosis sistemik disseminata)
2.3.5. rematoid polimialgia
2.4. Gangguan endokrin
2.4.1. hipertiroidisme
2.4.2. hipotiroidisme
2.5. Gangguan susunan saraf
2.6. Gangguan gizi
2.6.1. nutrisi parenteral total
2.6.2. jejunoileal bypass
2.6.3. obesitas
2.7. Inflammatory bowel disease
2.7.1. kolitis ulseratif
2.7.2. penyakit Crohn
2.8. Disfungsi hepar nefrogenik
2.8.1. sindroma Stauffer
2.9. Lain-lain.
2.9.1. sarkoidosis
2.9.2. amiloidosis
Sumber: O’Brien, 1991.

317
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati

18.5 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis kelainan hepatobiliaris sekunder oleh karena penyakit/kelainan
sistemik merupakan gabungan gejala kelainan hepatobiliaris primer dan gejala penyakit
yang mendasarinya (seperti sesak, gejala bendungan venosa pada gagal jantung). Sering
kali manifestasi kelainan hepatobiliaris lebih menonjol daripada penyakit primer yang
mendasarinya. Manifestasi penyakit ini sering tidak spesifik seperti mudah letih, anoreksia,
penurunan berat badan, demam, dll. Dapat ditemukan gejala klinis seperti hepatomegali,
ikterus, edema, perdarahan, ensefalopatia, dll. Ensefalopati diperberat dengan adanya
gangguan sirkulasi dan hipoglikemia. Demikian juga ikterus diperberat dengan adanya
hemolisis. Gejala ini bisa ringan hingga membahayakan kehidupan. Namun gejala klinis
ini tidak ada yang signifikan untuk kelainan hepatobiliaris sekunder.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium/biokimia hepar berupa peningkatan kadar
aminotransferase serum yang merupakan refleksi dari gangguan integritas hepatosit dan
membran sinusoidal. Peninggian kadar bilirubin, fosfatase alkali dan transpeptidase gamma
glutamil serum, menggambarkan adanya gangguan sekresi empedu. Pemanjangan masa
protrombin (terutama bila tetap memanjang setelah pemberian vitamin K) dan penurunan
kadar albumin serum menunjukkan adanya gangguan kapasitas biosintesis 9 hepar oleh
karena proses akut ataupun kronis. Manifestasi kelainan laboratorium 2 01 ini juga tidak ada
t
yang spesifik untuk kelainan hepatobiliaris sekunder. Abnormalitas Mare dari biokimia hati tidak
9
absolut menggambarkan derajat kerusakan hati. stro
Ga
p at
Gambaran histologik hepar tidak spesifik. Kadang-kadang dijumpai bercak-bercak radang
di daerah porta, tetapi daerah porta ini juga r a normal. Dapat dijumpai nekrosis setempat
bisa
k
disertai hiperplasi sel Kupffer ataupun u ntu
steatosis yang meluas. Gambaran ini disebut hepatitis
o
str penyakit dan daya tahan tubuh penderita, nekrosis
reaktif. Tergantung dari lama/beratnya
a
G
tersebut bisa meluas sehingga
A jar terjadi disfungsi hati yang berat. Daerah nekrosis ini diganti
dengan jaringan ikat udanku diikuti pembentukan nodul (sirosis hepatis). Adanya gambaran
l e B
granuloma heparFimerupakan manifestasi radang kronis akibat penyakit sistemik di luar hepar.

18.6 Diagnosis
Adanya gejala kelainan hati (baik klinis atau laboratorium) harus dipikirkan apakah
gangguan hati tersebut merupakan kelainan hati primer atau sekunder karena penyakit/
kelainan sistemik ataupun obat-obatan yang digunakan. Baik untuk pengobatan penyakit
hati primer maupun penyakit/kelainan sistemik (drug induced liver disease).
Kecurigaan terhadap penyakit hepar primer dapat dibuat berdasarkan perjalanan/
gejala klinis dan didukung pemeriksaan biokimia hati. Pada keadaan ini penyebab viral,
autoimmun dan gangguan metabolisme harus dipertimbangkan. Pemeriksaan serologi
terhadap penyebab infeksi yang sering (seperti virus Hepatitis A, virus Hepatitis B, virus
Hepatitis C, sitomegalovirus dan virus Epstein-Barr) harus dilakukan. Juga pemeriksaan
serologi untuk hepatitis autoimmun (antinuclear antibody dan smooth muscle antibody).
Gangguan metabolik seperti penyakit Wilson dan defisiensi antitripsin alfa-1 juga harus
dipertimbangkan. Pemeriksaan tambahan seperti ultrasonografi dapat dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan kolelitiasis, kolesistitis ataupun massa di hepar (kista, tumor).

318
Buku Ajar Gastrohepatologi

Untuk menyingkirkan kemungkinan drug induced liver disease, diperlukan kecurigaan


yang tinggi terhadap pemakaian obat-obatan, karena tidak ada tes diagnosis dengan
gambaran patologis yang spesifik. Bila diduga dose dependent hepatotoxic drug (seperti
aspirin dan asetaminofen), kadar obat tersebut dalam darah harus diperiksa.
Adanya manifestasi kelainan hati (klinis dan laboratoris) disertai gejala penyakit/
kelainan sistemik, dipertimbangkan sebagai kelainan hepatobiliaris sekunder. Hepatopati
kongestif dicurigai bila ada pembesaran hepar ataupun abnormalitas biokimia hepar
disertai gejala-gejala gagal jantung (sesak, bendungan venosa, dll). Pada amiloidosis hepatik
yang terjadi akibat amiloidosis sistemik, dijumpai penumpukan amiloid di parenkim hati.
Walaupun demikian, biopsi hepar tidak dianjurkan pada amiloidosis sistemik yang diduga
menderita amiloidosis hepatik karena dikhawatirkan terjadinya perdarahan masif dari
hepar yang diinfiltrasi amiloid. Biopsi hati hanya dianjurkan kalau amiloidosis sistemik
tidak jelas dengan catatan masa pembekuan, jumlah trombosit dalam batas normal dan
tidak ada riwayat perdarahan. Biopsi hepar pada hepatopati kongestif juga tidak dianjurkan.
Umumnya biopsi hepar dilakukan kalau ada kelainan hati tetapi gejala/tanda penyakit
sistemik tidak jelas.

9
18.7 Pengobatan, prognosis dan pencegahan
re t 2 01
a
Tidak ada pengobatan spesifik untuk kelainan hepatobiliaris o 9 Msekunder karena penyakit/
kelainan sistemik. Pengobatan ditujukan pada apenyakit/kelainan str sistemik yang
t G
menyebabkannya. Abnormalitas biokimia hepar p a
akan kembali normal setelah penyakit/
k ra
kelainan sistemik mengalami penyembuhan. tu
o unensefalopati hepatik (gagal hati), maka pengobatan
Bila ada kolestasis, perdarahan ataupun r
terhadap gangguan ini sama seperti ast gangguan ini disebabkan kelainan hepatobilier primer.
Gbila
jar
Misalnya, pemberian vitamin
ku AA, D, E, dan K, urseodeoksikolat, dll pada kolestasis.
u
Prognosis sangati l e Btergantung dari penyakit/kelainan sistemik yang menyebabkannya.
F
Penderita amiloidosis sistemik umumnya memiliki prognosis buruk dengan median
survival kurang dari 2 tahun. Umumnya penderita meninggal karena kelainan jantung atau
ginjal, jarang karena kelainan hepar. Walaupun pada beberapa kasus dilaporkan bahwa
pemberian mefalan dan prednison bermanfaat. Pengobatan sistemik amiloidosis dengan
kemoterapi tidak dianjurkan. Mortalitas penderita hepatitis iskemik (shock liver), (yang
merupakan komplikasi gagal jantung kiri akut), mencapai 40-50% tetapi tidak ada korelasi
dengan abnormalitas biokimia hepar. Adanya sirosis kardiak yang merupakan komplikasi
hepatopati kongestif, tidak mempengaruhi prognosis. Pada penderita yang meninggal
karena gagal jantung kongestif/gagal jantung kanan, sirosis kardiak dijumpai pada 4%-10%
kasus.
Bila penyakit berlangsung progresif yang ditandai dengan penurunan kesadaran,
gangguan pembekuan yang tidak bisa dikoreksi dan penurunan kadar aminotransferase
alanin yang disertai peningkatan kadar bilirubin serum, maka merupakan indikator
prognosis yang buruk. Pada keadaan ini dapat dipertimbangkan transplantasi hepar.
Adanya infeksi sistemik pada penderita penyakit hepar kronis akan mencetuskan
eksaserbasi. Karena itu mencegah penyakit yang menimbulkan gangguan hepar kronis (misal

319
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati

Hepatitis B) mungkin bermanfaat untuk mengurangi beratnya kelainan hepatobiliaris karena


infeksi. Sama seperti pengobatan, tidak ada pencegahan spesifik penyakit hepatobiliaris
karena penyakit/kelainan sistemik. Mengingat tingginya angka kejadian tuberkulosis di
Indonesia, adanya hepatitis tuberkulosis harus diwaspadai. Imunisasi BCG akan mencegah/
mengurangi hepatitis tuberkulosis yang merupakan komplikasi tuberkulosis primer.
Pembatasan lamanya pemberian nutrisi parenteral akan mencegah kelainan hepar
yang diakibatkan oleh nutrisi parenteral total. Pemberian makanan secara enteral harus
secepat mungkin dilakukan walaupun dalam jumlah sedikit, untuk merangsang sekresi
empedu. Bila ada gangguan biokimia hepar, nutrisi parenteral total harus dihentikan.
Pemberian kolesistokinin dilaporkan memberikan hasil, karena merangsang aliran empedu
dan menghambat kolestasis.

18.8 Beberapa penyakit sistemik yang mempengaruhi hepar


Kelainan hepar pada amiloidosis sistemik
Amiloidosis adalah penyakit yang ditandai dengan penumpukan amiloid (serabut protein
amorf dan tidak larut) di berbagai jaringan tubuh (amiloidosis sistemik). 19 Penumpukan
2 0materi
ini bila diwarnai dengan merah Congo menimbulkan gambaran t eosinofilik yang
homogen. Penumpukan amiloid ini menyebabkan kerusakan M are jaringan sehingga terjadi
9
gangguan fungsi dan pembesaran organ seperti ginjal, stro jantung, hati dan lien. Terdapat
Ga
hampir 20%-100% keterlibatan hepar (amiloidosis
p at hepatik) pada penderita amiloidosis
a
sistemik.
tu kr
n
Dikenal berbagai tipe amiloidosis
tro u sistemik: amiloidosis primer, amiloidosis sekunder,
s
amiloidosis familial, amiloidosis
r Ga sehubungan dengan penuaan (misalnya penyakit
Alzheimer) dan amiloidosis j a yang berhubungan dengan dialisis. Namun hampir 90% dari
u A amiloidosis primer dan amiloidosis sekunder. Pada penderita
uk
amiloidosis tersebutBadalah
e
Fil dijumpai penumpukan amiloid yang terdiri dari imunoglobulin rantai
amiloidosis primer
pendek, tipe AL (amyloid light chain). Amiloidosis primer ini berhubungan dengan mieloma
multipel, sedangkan amiloidosis sekunder atau amiloidosis reaktif dijumpai pada penderita
Mediteranean familial fever dan penyakit radang kronis (seperti artritis reumatoid juvenilis,
artritis reumatoid, spondilitis ankilosing, inflammatory bowel disease, dll).
Amiloidosis primer jarang dijumpai pada anak. Yang sering dijumpai adalah
amiloidosis sekunder. Umumnya dijumpai pada usia lebih dari 15 tahun. Protein amiloid A
(AA) merupakan amiloid yang dijumpai pada amiloidosis sekunder. Protein amiloid A ini
merupakan reaktan fase akut sebagai respons terhadap infeksi kronis. Amiloidosis sekunder
dicurigai bila ada penyakit radang kronis yang disertai dengan hepatomegali dan proteinuria.

Kelainan hepar pada gagal jantung


Gagal jantung dapat menyebabkan kelainan hepar karena adanya bendungan venosa
hepatik dan curah jantung yang berkurang. Bendungan venosa hepatik disebabkan oleh
peningkatan tekanan atrium kanan sekunder terhadap gagal jantung kanan, sedangkan
curah jantung yang berkurang disebabkan oleh gagal jantung kiri. Masing-masing gejala

320
Buku Ajar Gastrohepatologi

klinis, biokimia dan gambaran histologis hepar akibat kedua hal ini berbeda, tetapi
dipengaruhi oleh keseimbangan antara disfungsi jantung kanan dan jantung kiri.
Berkurangnya curah jantung akut sekunder terhadap gagal jantung kiri akut
menyebabkan hepatitis iskemia (shock liver). Dua pertiga dari aliran darah ke hepar
berasal dari vena porta yang kaya akan nutrien, hormon dan enzim yang berasal dari
saluran pencernaan. Sisanya berasal dari arteri hepatika yang kaya akan oksigen. Karena
itu daerah periportal mendapat darah yang kaya akan nutrien, oksigen, hormon dan
enzim untuk pernafasan sel. Sedangkan daerah perisentral mendapat darah yang miskin
akan substrat-substrat tersebut dan oksigen. Bila ada gangguan sirkulasi akut, maka
yang pertama sekali menderita adalah daerah perisentral. Area perisentral akan nekrosis
tanpa adanya inflamasi. Karena itu penamaan hepatitis iskemik tidaklah tepat. Nekrosis
hepatik menyebabkan ikterus, asidosis laktat, peningkatan kadar aminotransferase serum,
pemanjangan masa protrombin dan hipoglikemia. Manifestasi hepatitis iskemik lebih
banyak bersifat laboratoris. Peningkatan kadar aminotransferase serum dan dehidrogenase
laktat >25 kali di atas nilai normal dalam 1-3 hari setelah episode hipotensi sistemik akan
diikuti nilai normal dalam 7-10 hari bila gagal jantung sembuh.
Tekanan atrium kanan yang meningkat akibat gagal jantung kanan menyebabkan
kongesti venosa hepatik (hepatopati kongestif). Akibatnya terjadi distensi 9 sinusoidal
sentrizonal. Distensi menyebabkan asites dan gejala hipertensi porta 2 01
lainnya. Distensi juga
aret
akan mengganggu difusi oksigen ke hepatosit sentrolobulerM(hipoksia), sehingga terjadi
9
stro
G a
p at
r a
k
u ntu
ro
ast (Rappaport)
Asinus Hepar
G
Ajar
ku
e Bu
Fil
Zone 1 Zone 2 Zone 3
(Periportal) (Midzonal) (Perisentral/Sentrizonal)

Portal triad V.sentralis

Perilobular Sentrolobular

Lobulus hepar klasik


(Kiernan)

Gambar 18.8.1. Hubungan masing-masing area menurut asinus hepar dari Rappaport (pusat di
triade portal) dan lobulus hepar klasik dari Kiernan (pusat di vena sentralis)

321
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati

perdarahan, atrofi karena tekanan, dan nekrosis hepatosit. Ikterus dan pembesaran yang
disertai nyeri hepar akan dijumpai. Nekrosis hepatoselular tidak absolut berkorelasi dengan
beratnya gagal jantung. Perdarahan menyebabkan area sentrolobular yang berwarna merah
yang kontras dengan area midzonal dan periportal yang berwarna pucat/normal. Pada
irisan hepar, gambaran ini disebut nutmeg appearance. Bila kongestif berat dan berlangsung
lama, anyaman retikulin di sekitar vena sentralis akan kolaps, dan jaringan ikat dan
retikulin yang kolaps akan meluas dari satu vena sentralis ke vena sentralis lainnya. Jaringan
ikat yang menghubungkan vena sentralis yang berdekatan membentuk reverse lobulation,
ini merupakan gambaran yang unik dari sirosis kardiak. Pembentukan nodul yang lebih
luas jarang dijumpai pada sirosis kardiak, karena penderita umumnya meninggal lebih
awal akibat gagal jantung. Sirosis kardiak tidak akan menyebabkan hipertensi porta yang
berat seperti pecahnya varises esophagus. Stigmata penyakit hepar kronis seperti eritema
palmaris, spider angioma dan caput medusae jarang dijumpai. Pemeriksaan laboratorium
tidak dapat membedakan sirosis kardiak dengan hepatopati kongestif nonsirosis. Hubungan
masing-masing area lobulus hepar dapat dilihat pada gambar 18.8.1.

Kelainan hati pada sepsis


9
Sepsis adalah respons inflamasi sistemik yang disebabkan infeksi 1(bakteremia + respons
2 0
inflamasi sistemik). Respons inflamasi sistemik dapat juga disebabkan t oleh non-infeksi
are
Mhepatobiliaris
(sepsis like illness). Sepsis dapat menyebabkan kelainan 9 dan organisme
penyebab yang paling sering adalah Escheria coli, Klebsiella
stro pneumoniae dan Pseudomonas
Ga
aeroginosa. p at
a
Diduga, endotoksin bakteri merangsang tu k r sel retikuloendotelial hepar (sel Kupffer)
n
untuk melepaskan mediator inflamasi.
tro u Agen proinflamatorik seperti sitokin (tumor
necrosis factor, interleukin 1 dan as8) dan leukotrien merangsang kemotaksis, peningkatan
j arG
permeabilitas vaskular dan A kontraksi otot polos vaskular. Permeabilitas vaskular yang
meninggi menyebabkan u ku ekstravasasi plasma sehingga terjadi edema periduktular yang
B
i le
mengakibatkanFkolestasis. Kontraksi pembuluh darah menyebabkan hipoperfusi sehingga
terjadi iskemia (lihat gambar 18.8.2). Suatu penelitian eksperimental pada gagal hati
fulminan menunjukkan bahwa pemberian antagonis reseptor leukotrien menyebabkan
berkurangnya kerusakan hepatosit.
Biopsi hepar menunjukkan kolestasis intrahepatik, sedikit/tanpa nekrosis hepatosit,
hiperplasia sel Kupffer, dan inflamasi portal. Gejala klinis bisa ringan dan sukar dibedakan
dari penyebab kolestasis lainnya. Terdapat peningkatan kadar bilirubin (terutama bilirubin
terkonjugasi), fosfatase alkali dan aminotransferase serum. Sepsis juga dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia tanpa kolestasis. Namun yang dominan adalah gejala sepsis.
Abnormalitas biokimia hepar, dijumpai 2-4 hari setelah onset infeksi sistemik dan kembali
normal dengan pengobatan infeksi primer yang sesuai. Abnormalitas biokimia hepar ini
hanya sedikit mempengaruhi prognosis. Prognosis sangat bergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Ultrasonografi dipertimbangkan untuk penyebab lain dari obstruksi saluran
empedu dan kolelitiasis.

322
Buku Ajar Gastrohepatologi

Endotoksin sirkulasi

Lepasnya agen proinflamasi


dari Sel Kupffer

Kemotaksis Permeabilitas vaskular meningkat Kontraksi vaskular

Lepasnya oksidan Ekstravasasi plasma Hipoperfusi


protease dari lekosit

Edema periduktular

Kolestasis 9
2 01
Gambar 3. Patogenesis kelainan hepatobiliaris pada sepsis re t
Mapada sepsis
Gambar 18.8.2. Patogenesis kelainan hepatobiliaris
9
ro
G ast
at
r ap
Kelainan hepar pada nutrisi parenteral ntu
k total
Kelainan hepar akibat nutrisi parenteral o u
str total tergantung pada umur penderita dan lamanya
Ga bayi, kolestasis merupakan gejala dominan sedangkan
mendapat nutrisi parenteral total.r Pada
ja
pada anak yang lebih tua dan
ku A dewasa
u
i l eB
F s kelainan hepar bervariasi dan tidak
spesifik. Area porta edematosa dan kolestasis diperberat dengan terbentuknya jaringan ikat.
Bila proses berlanjut, terbentuklah fibrosis yang menghubungkan satu area porta dengan
area porta lainnya disertai proliferasi saluran empedu. Hampir semua menunjukkan
gambaran perikolangitis yang diinfiltrasi granulosit dan sel mononuklear.
Berdasarkan perjalanan penyakit, manifestasi kelainan hepar karena nutrisi parenteral
total dapat dibagi atas gejala awal dan gejala lambat. Gejala awal yang merupakan
manifestasi kolestasis, umumnya dijumpai 2-3 minggu setelah pemberian nutrisi parenteral
total yang ditandai dengan peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi, fosfatase alkali, dan
transpeptidase gamma glutamil dalam serum. Bila pada saat ini nutrisi parenteral total
dihentikan, hasil pemeriksaan biokimia hepar kembali normal dan tidak akan dijumpai
gejala lambat. Berlanjutnya pemberian nutrisi parenteral total akan menyebabkan terjadinya
kerusakan hepar permanen, misalnya fibrosis dan sirosis hepatis.
Patogenesis kelainan hepar pada nutrisi parenteral total, kemungkinan multifaktorial.
Saluran pencernaan sangat erat hubungannya dengan hepar baik secara anatomi maupun
fisiologi. Makanan dalam saluran pencernaan merangsang sekresi hormon pencernaan

323
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati

seperti kolesistokinin, pankreozimin, sekretin, enteroglukagon, dll. Kolesistokinin dan


pankreozimin merangsang kontraksi kandung empedu, sekretin merangsang sekresi
empedu, sedangkan enteroglukagon mempengaruhi ambilan asam empedu oleh hepatosit.
Tidak adanya makanan dalam saluran pencernaan (starvasi enteral) merupakan faktor
penting dalam patogenesis kelainan hepar pada nutrisi parenteral total. Pada bayi, keadaan
ini diperberat dengan adanya imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu. Pengaturan
aliran empedu tergantung dari ambilan asam empedu oleh hepatosit, proses dalam hepatosit,
dan sekresi kenalikular.
Akibat-akibat imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu dapat dilihat pada
tabel 18.8.1.

Tabel 18.8.1. Imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu


1. Peningkatan kadar asam empedu serum.
2. Penurunan ambilan asam empedu oleh hepatosit.
3. Gangguan pengikatan dan transport asam empedu di hepatosit.
4. Gangguan jalur metabolik asam empedu (konjugasi dan sulfasi)
5. Gangguan sintesis asam empedu.
6. Penurunan pool asam empedu.
7. Penurunan aliran empedu.
9
8. Penurunan kadar asam empedu dalam usus.
201
9. Penurunan reabsorpsi asam empedu dalam ileum.
aret
Sumber: O’Brien, 1991.
9M
ro
G ast
Tidak adanya makanan dalam lumen saluran at
r ap pencernaan (pada bayi diperberat dengan
imaturitas sirkulasi enterohepatik), mengurangi k aliran dan pembentukan empedu, karena
u ntu
tidak ada stimuli sekresi kolesistokinin-pankreozimin, sekretin, dan enteroglukagon. Hal
a stro
ini menyebabkan terjadinya kolestasis
G dengan segala akibatnya. Sedikit atau tidak adanya
asam empedu dalam lumen Ajarusus menyebabkan penurunan sirkulasi enterohepatik asam
u
uk
empedu. Ini mengakibatkan
B pool asam empedu berkurang (hampir 95% asam empedu yang
i l e
terdapat dalam Fpool asam empedu berasal dari sirkulasi enterohepatik, sedangkan sisanya
berasal dari sintesis dalam hepatosit). Perubahan pool asam empedu ini menyebabkan
lumpur empedu dan batu empedu (kombinasi kolesterol dan bilirubin). Isi kandung
empedu bersifat kental dan kering.
Enteral starvation menyebabkan over growth bakteri terutama bakteri anaerob
(misalnya Bacteroides), mengakibatkan terbentuknya asam litokolat (bersifat toksik bagi
hepar). Asam litokolat dijumpai pada serum bayi yang mengalami kolestasis sehubungan
dengan nutrisi parenteral total. Harus pula dipertimbangkan kemungkinan adanya
ketidakseimbangan nutrien dalam larutan nutrisi parenteral, misalnya defisiensi taurin,
defisiensi karnitin, dan kelebihan asam amino. Taurin dan karnitin bukan merupakan
asam amino esensial tetapi taurin dibutuhkan dalam proses konjugasi asam empedu
primer. Sedangkan karnitin diperlukan untuk oksidasi asam lemak. Penderita yang
mendapat larutan nutrisi parenteral dengan kadar asam amino yang tinggi, memiliki kadar
bilirubin terkonjugasi dalam serum yang lebih tinggi daripada penderita yang mendapat
larutan nutrisi parenterar dengan kadar asam amino yang rendah. Asam amino mungkin
menghambat pembentukan asam empedu. Adanya kontaminasi larutan nutrisi parenteral
juga harus dipikirkan (misalnya natrium bisulfat, produk foto oksidan, aluminium, dll)
sebagai penyebab kolestasis.

324
Buku Ajar Gastrohepatologi

Daftar Pustaka
1. Beath SV. The liver disease in systemic illness. Dalam: Kelly DAA, penyunting. Edisi pertama.
Oxford: Blackwell Science ltd, 1999. h. 213-27.
2. Cello JP, Grendell JH. The liver systemic condition. Dalam: Zakim D, Boyer TD, penyunting.
Hepatology. A textbook of liver disease. Volume 2. Edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Co,
1990. h.1411-35.
3. Dickson RC. The liver in systemic disease. Dalam: O’Grady JG, Lake JR, Howde PD, penyunting.
Comprehensive clinical hepatology. London: Mosby, 2000. h. 3202-12.
4. Farel MK, Bucuvalas JC. Systemic disease and the liver. Dalam: Suchy FJ, penyunting. St.Louis:
Mosby, 1994. h. 580-97.
5. Fischer RL. Hepatobiliary abnormalities with total parenteral nutrition. Gastroenterol Clin
North Am 1989;September:645-66.
6. Ganong WF. Review of medical physiology. Edisi ke-21. New York: Lange Medical Book/
McGraw-Hill Medical Publishing Division, 2003. h. 483-516.
7. Grendell JH. The liver in systemic disease. Dalam: Friedman LS, Keeffe EB, Maddrey WC.
Handbook of liver disease. Philadelphia: Churchill-Livingstone, 1998. h. 305-13.
8. Holdaway IM. Inappropriate secretion of ADH. Pathogenesis work-up and management.
Medical Progress 1988;15(6).
9. Junqueira LC, Carneiro J, Kelley RO. Basic histology. Edisi ke-8. London: Prentice-Hall
9
International Inc, 1995. h. 301-24.
2 01
t
are
10. Klatskin G. Hepatitis associated with systemic infection. Dalam: Schiff L, penyunting. Disease of
the liver. Philadelphia: J.B.Lippincot Co. h. 395-419. 9 M
11. Markel H. Fever unknown origin, weight loss, and hepatomegaly s tro in a 3-year-old boy. J Pediatr
G a
1988;112(2):308-13. at
12. O’Brien CB. Systemic condition affecting the liver. r ap Dalam: Parker WA, Durie PR, Hamilton JR,
k
Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting.
u ntuPediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology,
tro
diagnosis, management. Volume 2. sPhiladelphia:
adisease
BC.Decker Inc, 1991. h.1081-86.
13. Schwimmer J, Balisteri WF. Liver r G associated with systemic disorders. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson A jaHB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17.
u
Philadelphia: WB Saunders,ku 2004. h. 1333-5.
eB
Fil

325
BAB

19
Hepatitis Kronis pada Anak
Nenny Sri Mulyani

19.1 Ilustrasi kasus


Seorang anak laki-laki berusia 14 tahun dengan ALL dalam terapi. Pada saat kortikosteroid
dihentikan anak tersebut menderita hepatitis fulminan dan meninggal tanpa transplantasi
hati.
Riwayat pada keluarga yang penting: ibu HBsAg positif, adiknya yang berusia 11
tahun terdiagnosis sirosis hepatis karena hepatitis B dan meninggal karena muntah darah
dan syok yang tidak tertangani. Lima orang saudaranya HBsAg positif.

19.2 Pendahuluan
Manifestasi klinis hepatitis kronis sangat bervariasi dari yang tidak bergejala, yang bergejala
nyata dengan tanda klinis penyakit hati yang jelas, hingga yang sudah menunjukkan
komplikasi berupa karsinoma hepatoselular. Contoh jelasnya adalah hepatitis B tanpa gejala,
dimana manifestasi sirosis baru tampak jauh setelah sirosis itu sendiri terjadi. Oleh sebab
itu, banyak penderita datang dalam keadaan fase lanjut. Akan tetapi pada keadaan tertentu,
misalnya penyakit hati metabolik autoimun, sudah dapat diprediksi bahwa perjalanan
penyakit akan menjadi kronis.

19.3 Definisi
Hepatitis kronis didefinisikan sebagai peradangan kronis hati tanpa tanda perbaikan yang
berlangsung selama enam bulan atau lebih.

19.4 Angka Kejadian


Prevalensi hepatitis kronis pada anak secara nyata tidak pernah dilaporkan.

326
Buku Ajar Gastrohepatologi

19.5 Etiologi
Penyebab hepatitis kronis yang penting pada anak adalah sebagai berikut: hepatitis autoimun,
penyakit hati metabolik misalnya defisiensi α1 antitripsin, tirosinemia, galaktosemia,
penyakit Wilson, beberapa tipe glycogen storage disease (terutama tipe IV), hepatitis virus B
dan D, dan sindroma Alagille.

19.6 Patogenesis
Akan dibahas beberapa contoh patogenesis hepatitis kronis dilihat dari beberapa penyebab
penting:

Hepatitis autoimun
Penyebab penyakit hati autoimun adalah multifaktorial. Terdapat 2 tipe hepatitis autoimun
berdasarkan antibodi yang terdeteksi saat diagnosis, yaitu: (1) hepatitis autoimun tipe I
yang memiliki anti-smooth muscle antibody (SMA) atau antinuclear antibody (ANA), dan
(2) hepatitis autoimun tipe II yang memiliki anti-liver kidney microsome9 antibody (LKM1)
01
re t 2 dalam patogenesis
atau anti-liver cytosol type 1 antibody (LC1). Faktor-faktor yang terlibat
Ma genetik, usia dan jenis
hepatitis autoimun dapat dibagi menjadi empat grup yaitu penyebab
9
kelamin, sistem imun, serta faktor lingkungan. tro as
G
p at
Faktor genetik r a
tuk
un
Telah dilaporkan adanya kasus hepatitisroautoimun yang bersifat familial. Pada sebuah studi di
a st
Eropa prevalensi haplotipe HLA A1-B8-DR3 dan HLA A1-B8-DR3-DR52a secara signifikan
j arG
lebih tinggi pada anak dengan hepatitis autoimun tipe 1 daripada populasi kontrol. Pada
uA
uk
populasi anak dengan Bhepatitis autoimun tipe 1 di Amerika Selatan ditemukan hubungan
le
yang kuat denganFihaplotipe HLA DRB1*1301-DQB1*0603; sedangkan keberadaan alel
DRB1*07 meningkat secara signifikan pada hepatitis autoimun tipe II. Sesuai perannya
sebagai molekul yang mempresentasikan antigen, alel-alel HLA, kemungkinan berperan
juga dalam munculnya atau resistennya individu terhadap penyakit ini.

Faktor umur dan jenis kelamin


Puncak insidensi hepatitis autoimun adalah pada kelompok umur prepubertas, dengan
prevalensi terbanyak pada perempuan. Beberapa bukti secara tidak langsung menunjukkan
bahwa estradiol berperan pada patogenesis penyakit ini. Perempuan prepubertas memiliki
kadar estradiol yang lebih tinggi daripada laki-laki prepubertas. Karena estradiol berefek
pada proliferasi dan fungsi limfosit perifer, perubahan kadar estradiol dapat menimbulkan
ketidakseimbangan antara faktor pemicu dan penghambat imunitas, sehingga memberi
kontribusi terhadap agresivitas penyakit ini pada masa pubertas. Remisi spontan penyakit
ini telah diamati selama paruh kedua masa kehamilan. Pada periode ini faktor imunosupresif
trofoblast menghambat proliferasi sel T dan aktivitas sel NK.

327
Bab 19 Hepatitis Kronis pada Anak

Respons imun
Autoantibodi dapat menyebabkan manifestasi hepatitis autoimun apabila terdapat
autoantigen pada membran hepatosit. Sitokrom P450 2D6 adalah antigen yang dapat
dikenali oleh LKM1, tetapi perannya dalam hepatitis autoimun masih diperdebatkan.

Penyakit Wilson
Adanya mutasi gen pada kromosom 13 yang mengkode ATP-ase tipe P menyebabkan
gangguan ekskresi tembaga di saluran biliaris sehingga terjadi akumulasi progresif tembaga
di hati, dan pada akhirnya berakibat kerusakan hati. Hal ini juga menyebabkan penumpukan
tembaga di organ lain sehingga manifestasi klinisnya bervariasi. Kelainan pertama yang
terjadi adalah penumpukan tembaga di hati yang terjadi pada awal kehidupan. Umumnya,
pada dekade 1 atau 2 kehidupan deposit tembaga di hati sudah berlebih, sehingga akhirnya
tembaga keluar dari hati menuju organ lain melalui sirkulasi darah. Pada saat tersebut kadar
tembaga di hati turun, sebaliknya kadar tembaga di organ lain seperti otak, ginjal, mata dll
meningkat sehingga terjadi gangguan neurologi, gangguan mata, ginjal, dll.

Defisiensi α1 antitripsin 9
2 01
t
Ada beberapa teori yang menjelaskan patogenesis kerusakanre sel hati pada defisiensi α1
antitripsin. Teori umum yang diterima adalah teori akumulasi. 9 Ma Teori ini menyatakan
bahwa kerusakan hati terjadi akibat akumulasi protein stromutan dari α antitripsin di sistem
Ga 1
at
retikuloendotelial sel hati. Akumulasi tersebut pmenyebabkan pembentukan polimer protein
a
unik, aktivasi autofagi, kerusakan mitokondria,
tu k r stres pada retikulum endoplasmikum, serta
aktivasi kaspase yang menyebabkanokerusakanun hepatoselular.
str
G a
jar
Hepatitis B kronisku A
u
Perjalanan penyakit
i l e B hepatitis B tergantung pada replikasi virus pada hepatosit yang
F
berkelanjutan serta status imunologi penderita. Virus tidak langsung berefek sitopatik dan
progresivitas hepatitis kronik tergantung pada respon imun hospes. Perjalanan infeksi akut
virus hepatitis B yang akhirnya menjadi hepatitis kronis disebabkan oleh respon imun
selular yang buruk dalam mengeliminasi virus hepatitis. Pada respon imun selular yang
adekuat, hepatosit yang terinfeksi akan dilisiskan oleh sel T sitotoksik, namun jika tidak
adekuat maka virus akan berproliferasi dengan fungsi hati yang normal.
Perjalanan penyakit hepatits B kronis mencerminkan interaksi dinamis antara hospes
dan virus. Interaksi tersebut terkait dengan keadaan imun hospes, yang tergambar dari
manifestasi klinis infeksi virus hepatitis B yang berbeda pada anak bila dibandingkan dengan
dewasa. Manifestasi klinis infeksi virus hepatitis B pada anak sangat tergantung pada umur
terjadinya infeksi. Kenyataan bahwa hampir 90% infeksi hepatitis B terjadi pada saat bayi,
dan 40%-70% sebelum umur tiga tahun menunjukkan bahwa belum sempurnanya sistem
imun anak erat kaitannya dengan kejadian infeksi. Pada anak, perjalanan penyakit hepatitis
B dapat disertai gejala maupun tanpa gejala. Ini menyulitkan dalam penentuan durasi yang
diperlukan hepatitis B kronik untuk akhirnya menjadi sirosis hepatis. Terdapat beberapa
kasus sirosis hepatis yang terdiagnosis pada anak usia 3-6 tahun dan bayi.

328
Buku Ajar Gastrohepatologi

Sebagian kecil hepatitis kronis pada anak didahului adanya suatu periode akut infeksi
virus hepatits B. Periode akut ini terjadi karena sistem imun bereaksi dan menimbulkan
respon imun terhadap virus. Sistem imun bereaksi terhadap infeksi virus hepatitis B
melalui innate immunity dan adaptive immunity, yang terdiri dari imunitas seluler maupun
imunitas humoral. Innate immunity bereaksi pertama kali dalam usaha menghadapi infeksi
virus hepatitis B. Mekanisme imun ini dicetuskan sendiri oleh hepatosit yang terinfeksi
dengan mensekresi interferon (IFN) alfa dan beta yang akan menghambat replikasi virus
dan selanjutnya mengaktifkan sel NK (natural killer). Mekanisme respon imun selular
merupakan mekanisme imun spesifik terhadap virus hepatitis B. Respon imun ini juga
banyak terlibat dalam cedera hepatosit melalui cara-cara antara lain sebagai berikut:
1. Ekspresi MHC (HLA) kelas I terhadap HBcAg atau HBeAg pada membran hepatosit yang
terinfeksi oleh virus hepatitis B disertai dengan produksi sitokin berupa interferon-ά
untuk menghambat sintesis protein virus dan melindungi hepatosit yang lain.
2. Terjadi efek sitopatik langsung akibat ekspresi dari HBcAg pada hepatosit terinfeksi,
melalui ekspresi liver specific antigen pada membran yang antigenik dan menjadi sasaran
dari sel T sitotoksik.
3. Terjadi proses kenaikan kadar HBsAg yang cukup tinggi dan terjadi eradikasi yang
tidak efisien terhadap HBsAg yang beredar.
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 19.6.1. Mekanisme respon imun selular terhadap infeksi virus hepatits B

Kronisitas hepatitis B tergantung dari proses eradikasi virus dari hepatosit melalui
mekanisme imunitas selular dengan perantara sel T sitotoksik. Jika sel T sitotoksik tidak
berhasil menghancurkan semua hepatosit maka proses akan berkepanjangan dan menjadi
kronis. Ini dapat disebabkan kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi.
Hepatitis kronis umumnya berlangsung bertahun-tahun, selama waktu tersebut
penderita melewati beberapa fase dari hepatits kronis, diantaranya sebagai berikut:

329
Bab 19 Hepatitis Kronis pada Anak

1. Fase Imunotoleran
Fase imunotoleran terjadi pada umur muda dan biasanya berlangsung selama 10-30
tahun setelah masa infeksi perinatal dengan status HBeAg positif, dengan kadar HBV
DNA 2 x 104–2 x 108 IU/ml dan kadar ALT yang persisten normal
2. Fase imunoaktif
Fase imunoaktif ditandai dengan status HBeAg positif atau negatif, status kadar HBV
DNA 2 x 103–2 x 107 IU/ml, dan level ALT yang meningkat secara persisten, pada
fase ini pasien bisa simtomatik.
3. Fase non-replikatif
Fase non-replikatif terkait dengan karier HBsAG negatif, selama serokonversi karena
proses spontan atau karena pengobatan, terjadi kondisi karier HBsAG negatif dengan
status HBeAg negatif. Fase ini ditandai dengan kadar HBV DNA <2 x 103 IU/ml (sering
tidak terdeteksi), denagn ALT normal atau sedikit meningkat.
4. Fase residual
Virus hepatitis B pada fase ini berintegrasi dan bereplikasi di dalam hepatosit. Proses
berlangsung tanpa onkogenesis langsung dari virus yang bisa berakibat menjadi sirosis
dan karsinoma hepatoselular. Pada fase ini terjadi reaktivasi hepatitis dan kadang-
kadang disertai dengan dekompensasi hati.
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 19.6.2. Fase Hepatitis Kronis

Perjalanan Infeksi virus hepatits B menjadi kronik dapat berlangsung lama, kira-kira
selama 30 tahun. Beberapa penderita hepatits B kronis pada akhirnya akan menderita
karsinoma hepatoselular. Kejadian ini terutama terjadi pada laki-laki dengan sirosis yang
terinfeksi virus hepatits B pada masa awal anak-anak. Sekitar 60%-90% pasien karsinoma
hepatoselular memiliki latar belakang sirosis hepatis namun hanya sekitar 5% dari kasus
sirosis hepatis yang berkembang menjadi kasus karsinoma hepatoselular. Hampir sekitar
80% kasus kanker hati di dunia disebabkan oleh virus hepatitis B.

330
Buku Ajar Gastrohepatologi

Kanker
Hati
5-10% (7)

Infeksi Infeksi 30% (7) Transplantasi


Sirosis Kematian
Akut Kronis Hati
23% dalam 5 tahun
>90% pada anak
<5% dewasa (7)

Hati tidak
terkompensasi

Gambar 19.6.3. Perjalanan infeksi virus hepatitis B menjadi kronis

9
19.7 Manifestasi Klinis t 2 01
re
Manifestasi hepatitis kronis persisten biasanya tidak jelas 9 Ma tanpa gejala. Penderita
atau
ro nafsu makan memburuk,
mengeluhkan sesuatu yang tidak khas seperti kelelahan,
G ast
intoleransi lemak serta rasa tak nyaman di daerah at
r ap hati. Pemeriksaan fisik bisa saja normal
atau terdapat ikterus yang ringan sampai tu k
sedang, hati dapat besar (hepatomegali) atau
un palmaris, spider vascular dan splenomegali.
mengecil, bisa didapatkan nyeri tekan,roeritema
st
r Ga
Hepatitis kronis karena autoimun menunjukkan gejala dan tanda yang melibatkan
A j a
organ lain seperti terdapatnya artritis, vaskulitis, nefritis, tiroiditis, anemia hemolitik dan
ku
terdapatnya ruam. e Bu
Fil sama dengan etiologi yang lain akan menunjukan gejala dan tanda
Penyakit Wilson
hepatitis kronis seperti hepatomegali asimtomatik dengan atau tanpa splenomegali,
hipertensi portal, asites, edema, perdarahan varises esofagus, atau efek yang timbul oleh
kelainan fungsi hati seperti pubertas terlambat, amenorea, dan gangguan pembekuan darah.
Penderita anak awalnya lebih menunjukkan penyakit hati kronis, seiring bertambahnya
umur manifestasi ekstrahepatik lebih dominan antara lain tremor, disartria, distonia,
deteriorasi di sekolah atau perubahan perilaku.
Penderita dengan defisiensi α1 antitripsin manifestasi penyakitnya bervariasi.
Kolestasis dan hepatomegali dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan namun
ikterik biasanya menghilang pada umur 2-4 bulan. Penyakit akan berlanjut menjadi hepatitis
kronis dan sirosis. Anak yang lebih besar akan lebih menunjukkan gejala dan tanda karena
sirosis dan komplikasinya seperti hipertensi portal.
Hepatitis B kronis dapat berkembang menjadi sirosis dan karsinoma hepatoselular
sehingga manifestasi klinisnya sesuai manifestasi klinis sirosis yang terkompensasi ataupun
yang dekompensata, dan karsinoma hepatoselular.

331
Bab 19 Hepatitis Kronis pada Anak

19.8 Diagnosis
Hepatitis kronis diketahui secara kebetulan pada saat pemeriksaan AST, ALT ataupun
apabila ditemukan tanda-tanda stigmata penyakit hati kronis. Diagnosis etiologi ditegakkan
dengan upaya-upaya anamnesis dan pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk masing-
masing penyebab.

Hepatitis autoimun
Adanya hepatitis kronis dan manifestasi sistemik lain seperti atralgia, akne, amenorrhea
adalah khas pada hepatitis autoimun. Diagnosis ditegakkan dengan adanya tanda di atas
ditambah ANA positif, SMA positif, dan LKMA positif

Penyakit Wilson
Diagnosis penyakit Wilson ditegakkan dengan adanya manifestasi klinis dari penyakit
hepar dan manifestasi ekstrahepatik seperti gangguan neurologis serta adanya penurunan
kadar seruloplasmin dalam serum kurang dari 20 mg/dl (nilai normal: 23- 43 mg/dl), tetapi
pada keadaan akut fulminan kadar tembaga sangat meningkat karena 19 nekrosis hati hepar
2 0
yang masif yang mengeluarkan banyak tembaga, peningkatanet ekskresi tembaga di urin
r
9 Ma
dalam 24 jam (lebih dari 190 μg/d), adanya cincin Kayser-Fleischer di iris, tembaga pada
ro
at
hepar lebih dari 250 μg/g (normalnya < 20 μg/g padasjaringan basah). Adanya tanda-tanda
G
at dan fosfatase alkali yang rendah adalah
anemia hemolitik, bilirubin yang sangat meningkat
khas untuk penyakit Wilson akut. r ap
k
untu
ro
Defisiensi α1 antitripsin G ast
ar A j
Diagnosis ini ditegakkanku dengan adanya kadar α1 anittripsin serum <50–80 mg/dl,
ditemukan fenotip Bu
spesifik (Pi ZZ, SZ), deteksi deposit dari diastase-resistant glycoprotein
Fi le
di periporta hepatosit, biopsi hati menunjukkan bukti adanya penyakit hati dan riwayat
keluarga adanya penyakit paru atau hati pada usia muda.

Hepatitis B kronis
Untuk menetapkan diagnosis hepatitis B kronis digunakan kriteria diagnostik yang
mencakup antara lain:
• Status HbsAg positif selama lebih dari enam bulan
• Pada pemeriksaan serologi didapatkan kadar HBV DNA di serum 20,000 IU/ml
(100.000 kopi/ml) atau batas terendah 2.000-20.000 IU/ml (10.000-100.000 kopi/ml)
• Kenaikan kadar AST /ALT di dalam serum yang persisten atau intermiten
• Pada biopsi hati terlihat gambaran hepatitis kronis dengan nekrosis dan inflamasi
sedang sampai berat
Penderita hepatitis B kronis dikatakan sebagai karier HBsAg inaktif jika memenuhi
kriteria berikut: (1) status HBsAg menetap lebih dari enam bulan, (2) HBeAg negatif dengan
anti-HBe positif, (3) kadar HBV DNA dalam serum 2.000 IU/ml, dan (3) kadar ALT/AST
dalam serum dan biopsi hati persisten normal. Seseorang dikatakan sembuh dari hepatitis

332
Buku Ajar Gastrohepatologi

B jika adanya riwayat hepatits akut atau kronik, status anti HBc positif dengan atau tanpa
anti HBs, HBsAg negatif, HBV DNA tidak terdeteksi di serum dan kadar AST/ALT serum
normal. Biopsi hati dilakukan untuk menentukan tingkat keparahan (grade) dan stadium
dari penyakit (stage).

Tabel 19.8.1. Berikut parameter laboratorium dan penanda imunologi pada hepatitis B
Petanda imunologi akut kronik Pernah terinfeksi
HBsAg + + -
HBeAg awal + kemudian - +/- -
anti-HBs - - +
IgM anti-HBc + - -
IgG anti-HBc + + +
anti-HBe awal - kemudian + + +
HBV DNA awal + kemudian - + -
ALT sangat ↑ ↑ ringan-moderat normal
Sumber: Ganem, 2004.
9
2 01
19.9 Penatalaksanaan aret
9M
st
Dalam melakukan tatalaksana harus selalu disesuaikanadengan EBM yang selalu dilakukan
ro
t G
up date. p a
a r
tuk
un
Hepatitis autoimun ro
G ast
jar adalah mengurangi dan menghilangkan peradangan hati
Tujuan terapi hepatitis autoimun
A
u Golongan kortikosteroid prednison bisa digunakan dengan
uk
dengan efek samping minimal.
B
e
Fil
dosis awal of 1–2 mg/kgBB/hari, dan dilanjutkan sampai nilai transaminase kembali sampai
kurang dari 2 kali batas atas normal. Dosis diturunkan sampai 0,2–0,3 mg/kgBB/hari untuk
pemeliharaan. Obat-obatan imunosupresif seperti azatioprin digunakan jika tidak ada
respon terhadap pengobatan steroid.

Penyakit Wilson
Terapi pada penyakit Wilson adalah pemberian copper chelating agents seperti penisilamin
atau trientin dan pemantauan ekresi tembaga dalam urin. Jika eksresi tembaga urin
menurun maka bisa diberikan garam seng. Terapi yang adekuat juga dilakukan untuk
mencegah gangguan sistem saraf yang lebih lanjut.

Defisiensi α1 antitripsin
Sampai saat ini belum ada terapi untuk penyakit ini. Tata laksana dilakukan secara suportif
untuk mengurangi derajat kerusakan hati. Transplantasi hati adalah salah satu metode
kuratif saat ini. Di masa depan mungkin bisa dilakukan terapi gen.

333
Bab 19 Hepatitis Kronis pada Anak

Hepatitis B kronis
Terapi Medikamentosa
Penatalaksanaan hepatitis kronis khususnya hepatitis B kronis bertujuan mengeradikasi
virus dari dalam tubuh atau mengurangi tingkat replikasi virus dan terjadinya penyembuhan
penyakit hati yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg, HBeAg, DNA polimerase dan
HBV DNA dan juga perubahan kadar SGOT dan SGPT dalam batas normal. Tujuan utama
adalah mencegah hepatitis kronis berkembang menjadi sirosis hepatis, gagal hati dan
karsinoma hepatoselular. Tujuan lain hanya untuk memperbaiki derajat penyakit, dengan
menghilangkan gejala klinik, memperbaiki hasil laboratorium seperti SGOT, SGPT dan
fungsi hati.
Secara garis besar terdapat tiga macam obat yang digunakan dalam pengobatan
terhadap hepatits B kronik. Obat-obatan bekerja dengan cara mencegah proses replikasi
virus hepatits B. Obat-obat yang digunakan antara lain interferon alfa dan obat-obatan
antiviral, seperti lamivudin dan adefovir.
• Interferon alfa
Interferon alfa bekerja sebagai antivirus, antiproliferatif dan imunomodulator.
Interferon alfa diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun dengan status
9
HBeAg positif dan HBV DNA positif serta kadar ALT setidaknya 2 01 dua kali lipat batas
re t
normal. Pemberian interferon alfa pada anak kurang dari
9 Ma 2 tahun bisa menyebabkan
retardasi pertumbuhan. Beberapa ahli tidak mendapatkan
a stro retardasi pertumbuhan
yang signifikan pada anak berusia dibawaht 2Gtahun yang diterapi dengan interferon
a2
alfa. Dosis yang digunakan adalah 5 MU/m
k rap dengan dosis maksimum 10 MU secara
u
intramuskular atau subkutan 3 kalintseminggu selama 4 sampai 6 bulan. Keberhasilan
o u
r
terapi ditandai dengan kadarstHBV DNA yang rendah dalam serum. Sekarang telah
a
j ar G alfa yang lebih mudah pemberiannya.
tersedia Pegylated Interferon
uA
Efek samping kinterferon alfa yang paling sering adalah influenza-like illness yang
ditandai dengan Budemam, menggigil, sakit kepala, badan lemah dan nyeri otot. Efek
Fi le
samping yang lain adalah lesu, anoreksia, kehilangan berat badan dan kerontokan
rambut. Interferon alfa bisa berefek mielosupresif, tetapi netropenia (1000/mm3) dan
trombositopenia (50,000/mm3) yang signifikan sangat jarang terjadi.
• Lamivudin
Obat lain yang digunakan antara lain adalah lamivudin, suatu agen antivirus yang
bekerja pada DNA polimerase virus. Lamivudin diindikasikan pada penderita yang
tidak berespons terhadap interferon atau kontraindikasi untuk terapi interferon. Dosis
yang digunakan adalah 3 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 100 mg/hari selama
1 tahun yang sama efektif dengan terapi satu seri interferon alfa. Pada umumnya
lamivudin bisa ditoleransi dengan baik oleh anak, tetapi beberapa ahli mendapatkan
trombositopenia yang diinduksi oleh lamivudin. Resistensi lamivudin berkaitan dengan
adanya covalently closed circular (ccc) HBV DNA pada sekitar 14%-32% pendeita
dengan HBeAg positif setelah terapi lamivudin selama setahun.
• Adefovir
Obat antiviral lain yang direkomendasikan FDA dan telah digunakan di Amerika dan
Eropa adalah adefovir, suatu suatu analog adenosin monofosfat yang bekerja pada
enzim reverse trancriptase dan DNA polymerase serta menyebabkan terminasi rantai

334
Buku Ajar Gastrohepatologi

DNA virus. Penggunaan adefovir telah direkomendasikan untuk penderita hepatitis B


kronis dewasa dengan dosis 10 mg per hari.
Parameter laboratorium yang digunakan dalam menentukan respon terhadap
terapi medikamentosa antara lain normalisasi kadar ALT di dalam serum, penurunan
kadar DNA HBV, hilangnya HBeAg dengan atau tanpa adanya anti HBe dan terjadi
perbaikan pada gambaran histologis hati.
Beberapa keadaan perlu dilakukan pemantauan, terutama pada keadaan:
• Hepatitis B kronis dengan HBeAg positif, HBV DNA >100.000 kopi/ml dan ALT
normal dilakukan tes ALT setiap 3-6 bulan, jika ALT >1-2 kali batas atas nilai normal tes
dilakukan setiap 1-3 bulan, jika ALT naik sampai >2 kali batas normal pertimbangkan
untuk dilakukan biopsi hati.
• Hepatitis B kronis dengan status karier HBsAg inaktif dilakukan tes ALT setiap 6-12
bulan, jika ka ALT >1-2 kali batas atas nilai normal tes HBV DNA dan lakukan skrining
karsinoma hepatoselular pada populasi yang berisiko.

Preventif
Upaya preventif dilakukan dengan imunisasi aktif pada populasi yang berisiko untuk
memotong jalur transmisi. Sasaran utama adalah bayi baru lahir yang9divaksinasi segera
01
setalah lahir dalam waktu 12 jam pertama kehidupan et 2 r
9 Ma
ro
Daftar Pustaka ast
tGa 17th edition, Elsevier, Philadelpia, 2004
ap
1. Behrman, Richard E. et al, Nelson Textbook of Pediatrics
2. EASL International Consensus Conferencetuon k r Hepatitis B, Geneva, Switzerland, Journal of
Hepatology volume 38; page 533–540,ro2002. un
st
aHepatitis
3. Ganem, Don; Prince Alfred M. B Virus Infection, Natural History and Clinical
Consequences, New England j ar G of Medicine 350:1118-1129, 2004.
Journal
A
4. Hepatitis B. Geneva, u ku Health Organization, WHO,available at http://www.who.int/csr/
World
eB
Fil
disease/hepatitis/HepatitisB_whocdscsrlyo2002_2.pdf, 2002.
5. Jonas, Maureen M et al, Clinical Trial of lamivudine in Children with Chronic Hepatitis B, New
England Journal of Medicine 346:1706-1713, 2002.
6. Kliegman, Robert M.; Marcdante, Karen J.; Jenson Hal B.; Berhman, Richard E Nelson Essentials
of Pediatrics fifth edition, Elsevier Saunders, Philadelphia, 2006.
7. Liberek Anna, arska-Popławska Anna Szafl, Korzon Maria, Łuczak Grażyna, Góra-Gębka
Magdalena, Łoś-Rycharska Ewa, Bako Wanda, Czerwionka-Szafl arska Mieczysława, Lamivudine
therapy for children with chronic hepatitis B, World Journal of Gastroenterology 12(15):2412-
2416, 2006.
8. Liberek, Anna; Luczak Graeyna; Gora-Gebka Magdalena; Landowski Piotr; Management of
Chronis Hepatitis B in Children, Journal of Hepatitis B Annual, volume 3, page 106-127, 2006.
9. Lok, Anna S. F. and McMahon, Brian J. Chronic Hepatitis B, Hepatology, Vol. 45, No. 2, 2007.
10. Medical Management of Chronis hepatitis B and Chronic Hepatitis C, IDU HIV Prevention CDC,
available at http://www.cdc.gov/idu, 2002.
11. Management of hepatitis B and HIV coinfection, Clinical Protocol for the WHO European region,
Geneva, World Health Organisation, WHO, available at www.euro.who.int/document/SHA/
e90840_chapter_7.pdf, 2005.
12. Perlmutter,David H., Alpha-1-antitrypsin deficiency: diagnosis and treatment, Clinical Liver
Disease (8) 839– 859, 2004.

335
Bab 19 Hepatitis Kronis pada Anak

13. Suchy, Frederick J, Sokol, Ronald J., Balistreri, William F. (eds.) Liver Disease in Children.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2004.
14. Teckman, Jeffrey H.; Lindblad,Douglas, Alpha-1-Antitrypsin Deficiency: Diagnosis,
Pathophysiology and Management, Current Gastroenterology Reports, 8:14–20, 2006.

9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

336
BAB

20
Kolestasis Intrahepatik
pada Bayi dan Anak
Julfina Bisanto

20.1 Ilustrasi kasus


K, anak laki-laki berusia 44 hari, kuning pada mata dan sklera sejak berumur 1 bulan. Panas
tidak terlalu tinggi, naik turun sejak berusia 2 minggu. Air seni berwarna seperti teh, tinja
kuning pucat. Berat lahir 3700 gram. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 5,5
kg (P 75-90 NCHS) lingkar kepala 37 cm (N), tampak ikterik, hati teraba 4 cm di bawah
arkus kosta dan 4 cm di bawah prosesus xipoideus (membesar), tepi tajam, konsistensi
kenyal, permukaan rata. Limpa tidak teraba. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
kadar Hb 10,5 g/dl, leukosit 12.000/ul, bilirubin direk 8,16 mg/dl, bilirubin indirek 4,04
mg/dl, ALT 201U/l (N:10-41U/l), AST 305 U/l (N:11-41U/l), GGT 129 U/l (N= 11-50 U/l),
masa protrombin 12” (N), kolesterol 229 mg/dL. Urinalisis: protein (-), bilirubin (+3),
leukosit 2-3/lpb. Kultur urin: Enterobacter aerogenes >105 CFU (Colony Forming Unit).
USG abdomen 2 fase, didapatkan hepatomegali yang homogen, kandung empedu yang
berkontraksi. Kesimpulan biopsi hati adalah suatu hepatitis neonatal dengan kemungkinan
bersama atau menjadi atresia biliaris tidak dapat diabaikan karena ditemukan kolestasis
intrasel dan intrakanal, duktulus agak bertambah, portal agak melebar, hematopoesis
ekstramedular mencolok.
Diagnosis yang ditegakkan pada anak ini adalah kolestasis intrahepatik akibat infeksi
saluran kemih. Terapi yang diberikan adalah antibiotika yang sensitif, ursodeoksikolat,
vitamin A, D, E, K1. Fungsi hati membaik dalam 2 bulan.

20.2 Pendahuluan
Kolestasis intrahepatik atau disebut juga kolestasis hepatoselular, adalah sindrom klinik yang
timbul akibat hambatan sekresi dan/atau aliran empedu yang terjadi di dalam hati. Pada
bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan disebut pula sebagai sindrom
hepatitis neonatal. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi, retensi, serta regurgitasi bahan-
bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol
ke dalam plasma dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan

337
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak

penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati. Penumpukan
bahan yang harus diekskresikan oleh hati tersebut akan merusak sel hati dengan berbagai
tingkat gejala klinik yang mungkin terjadi serta pengaruhnya terhadap organ sistemik
lainnya tergantung dari lamanya kolestasis berlangsung serta perjalanan penyakit primer
yang menjadi penyebab kolestasis tersebut.
Penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi lebih beragam dibandingkan anak yang
lebih besar karena hati bayi yang masih imatur. Penyebab tersebut antara lain infeksi,
kelainan genetik, endokrin, metabolik, atau tumor. Penelitian mengenai patofisiologi dan
patogenesis kolestasis ini pada tingkat molekular serta perubahan dalam tes diagnostik
masih terus terjadi secara berkesinambungan.
Selanjutnya akan dibahas berbagai aspek mengenai kolestasis intrahepatik pada
bayi atau sindrom hepatitis neonatal dan kolestasis intrahepatik pada anak secara umum
termasuk etiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan komplikasinya, diagnosis, tatalaksana
serta prognosisnya dan secara khusus pada beberapa penyakit dengan singkat.

20.3 Faktor predisposisi terjadinya kolestasis


intrahepatik pada neonatus e t 2 01
9

M ar
Bayi baru lahir mengalami suatu periode kolestasis relatif 9(disebut juga kolestasis fisiologis)
tro
tanpa menderita sesuatu penyakit. Keadaan ini terjadi s antara lain karena pada periode
t Ga
tersebut ukuran pool asam empedu masih kecil, a ambilan serta transportasi asam empedu
r ap
belum efisien (Tabel 20.3.1) sehingga bayiuktersebut lebih rentan untuk menderita kolestasis
t
akibat berbagai keadaan/penyakit. o un
r
G ast
ar menderita kolestasis intrahepatik
Tabel 20.3.1. Faktor predisposisi neonatusjuntuk
A
Konsentrasi asam empedu serumubasal ku tinggi.
e B
Ambilan asam empedu oleh
Fil hepatosit serta transportasinya belum efisien.
Konjugasi, sulfatisasi, serta glukuronidasi asam empedu masih sedikit.
Adanya asam empedu abnormal (atipik).
Ukuran bile acid pool kecil.
Sekresi asam empedu kurang.
Konsentrasi asam empedu di lumen usus masih rendah.
Reabsorpsi asam empedu di ileum masih sedikit .
Sumber: Arce, 2000.

20.4 Patogenesis kolestasis intrahepatik


Kolestasis intrahepatik terjadi akibat gangguan sintesis dan/atau sekresi asam empedu
akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya di
dalam hati.
Sekresi empedu yang normal tergantung dari fungsi beberapa transporter pada
membran hepatosit dan sel epitel duktus biliaris (kolangiosit) dan pada struktur serta
integritas fungsi aparatus sekresi empedu. Akibatnya, berbagai keadaan/ penyakit yang
mempengaruhi fungsi normal tersebut akan menimbulkan kolestasis. Patogenesis kolestasis

338
Buku Ajar Gastrohepatologi

intrahepatik tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:


1. Gangguan transporter (Na+K+ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein- NCTP)
pada membran hepatosit sehingga ambilan asam empedu pada membran tersebut akan
berkurang. Keadaan ini dapat terjadi misalnya pada penggunaan estrogen atau akibat
endotoksin.
2. Berkurangnya transport intraselular karena perubahan keseimbangan kalsium atau
kelainan mikrotubulus akibat toksin atau penggunaan obat.
3. Berkurangnya sekresi asam empedu primer atau terbentuknya asam empedu atipik di
kanalikulus biliaris yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel
hati. Keadaan ini dapat terjadi akibat penyakit inborn error, kerusakan mikrofilamen
perikanalikulus atau berkurangnya transporter MDR 3 akibat pemakaian androgen,
atau pengaruh endotoksin.
4. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi bahan empedu
akibat lesi pada tight junction, misalnya pada pemakaian estrogen.
5. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik.

20.5 Etiologi
19
20
art
Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik, eendokrin atau imunologi
dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik seperti tercantum 9 M
pada tabel 20.5.1 untuk bayi
ro
ast
dan tabel 20.5.2 untuk anak. Biasanya dalam klinik, sukar untuk membedakan bermacam-
t G sindrom hepatitis neonatal seperti
macam etiologi kolestasis intrahepatik pada bayi aatau
rap akhirnya lebih dari setengahnya akan
tercantum di dalam tabel 20.5.1 tersebut, sehingga
k
tu yang diklasifikasikan sebagai idiopatik ini
un
dilabel sebagai “idiopatik”. Penderita kolestasis
o
t
makin berkurang dengan kemajuanasteknikr pencitraan, bidang virologi serta pemeriksaan
r G
a
biokimia yang canggih. Untukjinfeksi di Asia tampaknya CMV dan infeksi traktus urinarius
uA
merupakan penyebab yang uk paling sering.
B
e
Fil

339
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak

Tabel 20.5.1. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada bayi dan upaya diagnostiknya
Penyakit Strategi diagnostik utama
1. Infeksi
*Infeksi -kongenital
- Toksoplasma IgM-anti toksoplasma
- Rubella IgM-anti rubella,
- Cytomegalovirus Kultur virus urin, IgM-anti CMV
- Herpes simpleks Mikroskop elektron/ kultur virus vesikel
- Sifilis STS,VDRL, FTA-ABS, Ro.tul.panjang
- Human herpesvirus-6, herpes zoster Serologi
- Hepatitis B HBsAg, IgM-antiHBc, HBV-DNA
- Hepatitis C HCV-RNA (RT-PCR)
- Human immunodeficiency virus Anti-HIV, immunoglobulin, CD4
- Parvovirus B19 IgM antibodi
- Syncytial giant cell hepatitis Giant cell hepatitis pada biopsi hati
* Infeksi lain
- Tuberkulosis Mantoux, radiologi toraks
- Sepsis Kultur darah
- Sepsis virus enterik (echoviruses, Serologik, kultur virus cairan likuor
Coxsackie A dan B, adenovirus)
2. Kelainan genetik
9
- Trisomi 18 (21), cat eye syndrome
- Penyakit Byler
Kariotip
GGT, tes genetik et 2
01
r
3. Kelainan endokrin
9 Ma
- Hipopituitarism (displasia septo-optik) Kortisol↓, TSH ↓, T4↓ ro
- Hipotiroidism
TSH↑, T4↓, free T4↓, T3↓
G ast
at
4. Paucity duktus biliaris
r ap Ekokardiogram, embriotokson posterior,
- Sindrom Alagille k
u ntu “butterfly vertebrae”
- Paucity duktus non sindromik stro Paucity pada biopsi
- 5. Kelainan struktur r Ga
- Carolli disease
u Aj a USG, kolangiografi
6.Kelainan metabolik u k
B
F i le
- Def. alfa 1 antitripsin Kadar alfa 1 antitripsin serum, tipe PI
- Fibrosis kistik Sweat chloride, immunoreactive trypsin
- Galaktosemia Galaktose 1-6 phospate uridyltransferase
-Tirosinemia Tirosin serum, methionin, AFP,
suksinilaseton urin
- Fruktosemia herediter Biopsi hati: mik.elektron, aktivitas enzim
- Glycogen storage disease tipe IV Biopsi hati
- Niemann-Pick Tipe A Aspirasi sum –sum tulang, spingomielinase
- Niemann-Pick tipe C Storage cells pada aspirasi sum-sum
tulang,hati; biopsi rektum
- Penyakit Wolman Radiologi kel.adrenal
- Kel.sintesis as.empedu primer As.empedu urin
- Sindrom Zellweger Gambaran very long chain fatty acid
7. Imunologik
- L.E. neonatal Antibodi anti-Ro (bayi dan ibu)
- Hepatitis neonatal dengan AHA Coombs’ test, giant cell hepatitis
8. Toksik
-TPN Riwayat TPN/
-Obat obat
Sumber: Chang, 1996.

340
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 20.5.2. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada anak yang lebih besar
Infeksi virus akut (terutama HVA)
Kelainan yang diturunkan: penyakit Wilson, fibrosis kistik
Keganasan: leukemia, limfoma, tumor hati
Bahan toksik: obat/ jamur
Infeksi parasit: leptospirosis, skistosomiasis
Idiopatik/ lesi sekunder: hepatitis kronik, kolitis ulserativa, artritis reumatoid, obesitas
Sumber: Chang, 1996.

20.6 Angka kejadian


Angka kejadian kolestasis pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal dapat mencapai 1
dari 2500 kelahiran hidup. Mieli–Vergani dkk. (dikutip dari Suchy) melaporkan, kolestasis
intrahepatik pada bayi sebanyak 675 (62%) dari 1086 bayi dengan kolestasis yang dirujuk
ke RS King’s College selama 20 tahun (1970-1990). Hepatitis neonatal idiopatik merupakan
penyebab tersering (49%) dengan perkiraan angka kejadian sebanyak 1 dari 5.000 kelahiran
hidup. Penyebab kedua terbanyak yang dilaporkan oleh penulis yang sama adalah defisiensi
α-1-antitripsin (28%) yang memang banyak dilaporkan pada ras kulit putih, dengan angka
kejadian diperkirakan sebanyak 1 dari 20.000 kelahiran hidup. Tetapi tidak9
2 01 demikian halnya
t
ae
dengan di Asia yang dilaporkan oleh Chang, tidak ada satupunrdefisiensi α-1-antitripsin
diantara 300 kolestasis pada bayi. 9 M
stro
Di Subdivisi Hepatologi Anak FKUI/RSCM, dalam Ga kurun waktu 2 tahun (2002-2003)
p
telah dirawat sebanyak 119 (73,5%) kasus kolestasisat intrahepatik dari 162 kasus kolestasis
ra
pada bayi. tuk n
u
ro
ast
r G dan komplikasi
20.7 Manifestasi uklinis
Aja
uk
eB
Tanpa memandangiletiologinya yang sangat beragam, sindrom klinik yang timbul akibat
F
kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal, maupun kolestasis
intrahepatik pada anak berawal dari gejala ikterus, urin berwarna lebih gelap, dan tinja
mungkin berwarna lebih pucat atau fluktuatif sampai dempul (alkholik) tergantung pola
minum/makan, lamanya kolestasis berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah
terjadi. Urin yang lebih gelap ini pada bayi mungkin tidak terlampau nyata karena volume
urine yang relatif banyak. Ikterus pada bayi biasanya merupakan ikterus fisiologis yang
melanjut, dan pada sebagian kecil timbul pada umur 5-8 minggu, bahkan pada beberapa
kasus timbul pada umur bayi yang lebih lanjut. Pada sindrom hepatitis neonatal, penderita
mungkin kecil untuk masa kehamilan terutama pada sindrom Alagille, kelainan metabolik
serta infeksi intrauterin, mungkin mengalami gagal tumbuh dan kesukaran minum.
Mungkin pula terlihat rupa dismorfik pada trisomi 18, 21, sindrom Alagille, sindrom
Zellweger (sindrom serebrohepatorenal) atau infeksi kongenital. Hipoglikemia dapat
ditemukan pada penyakit metabolik, hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat. Ascites
jarang ditemukan kecuali pada penyakit metabolik. Bising jantung dan kelainan neurologis
dihubungkan dengan sindrom kongenital yang spesifik. Perdarahan mungkin ditemukan
akibat defisiensi vitamin K atau trombositopenia. Gejala klinik serta manifestasi laboratoris
lainnya adalah gejala klinik serta kelainan laboratoris penyakit yang menjadi penyebab

341
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak

kolestasis tersebut serta tergantung pula pada lamanya kolestasis berlangsung, dan juga
luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan
hepatomegali dan pada 40%-60% kasus juga ditemukan splenomegali.
Mekanisme terjadinya gejala klinik serta kelainan pemeriksaan laboratorium pada
kolestasis adalah keadaan sebagai berikut:
1. Berkurangnya garam empedu yang masuk ke usus sehingga mengakibatkan malabsorpsi
lemak dan vitamin yang larut di dalamnya, dan juga diare. Warna tinja menjadi lebih
pucat sampai dempul, dan urobilinogen urin berkurang atau tidak ada. Perubahan
warna tinja serta urobilinogen urin ini, sejalan dengan jenis serta beratnya hambatan
empedu tersebut dan berkorelasi pula dengan lamanya kolestasis yang berlangsung, serta
luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada kolestasis kronis, anak akan menderita
malnutrisi dan retardasi pertumbuhan serta gejala defisiensi vitamin yang larut dalam
lemak yaitu defisiensi vitamin A berupa kulit menebal dan rabun senja. Defisiensi
vitamin A ini terjadi pada 35%-69% kolestasis kronis. Defisiensi vitamin D yang berupa
osteopenia ditemukan pada 66% kolestasis kronis bila tidak mendapat suplementasi
vitamin D. Defisiensi vitamin E yang berupa degenerasi neuromuskular, dan anemia
hemolitik ditemukan pada 49%-77% bila tidak mendapat suplementasi vitamin tersebut.
Defisiensi vitamin K dapat terjadi pada 25% kasus yang tidak mendapat suplementasi
9
dan dapat mengakibatkan hipoprotrombinemia yang mungkin 2 01 menunjukkan gejala
re t
perdarahan.
9 Ma
2. Penumpukan komponen empedu dalam darah yang
a stro mengakibatkan terjadinya ikterus,
pruritus, xantomatosis dan hiperkolesterolemia. G Kerusakan sel hati terjadi akibat
p atasam empedu primer dan sekunder, serta
penumpukan komponen empedu terutama r a
mineral, misalnya cuprum (Cu/ tembaga),
ntuk yang bersifat hepatotoksik. Pada kolestasis
o u
r
kronik, kelainan hati menjadistprogresif, dan selanjutnya terjadi sirosis biliaris dengan
Ga
berbagai komplikasinya.ar Secara skematis, sekuele kolestasis bila telah berlangsung
Aj
kronik tersebut dapatu dilihat pada gambar 20.8.1.
Buk
e klinik lain yang dapat memberikan petunjuk penyebab kolestasis pada
Fil
Beberapa gejala
bayi dapat dilihat pada tabel 20.8.1.

20.8 Diagnosis
Diagnosis kolestasis intrahepatik dibuat berdasarkan:

Gejala klinik
Dari anamnesis mungkin terdapat riwayat kolestasis pada saudara kandung, bila
penyebabnya kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai riwayat morbiditas
selama kehamilan (infeksi TORCH, hepatitis B serta infeksi lainnya) dan riwayat kelahiran
(adanya infeksi intrapartum, berat lahir), morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi
parenteral, tranfusi serta penggunaan obat hepatotoksik yang mungkin ada bila keadaan
tersebut merupakan penyebab kolestasis pada bayi tersebut. Gejala muntah dan riwayat
hipoglikemia, mungkin ada bila penyebabnya sepsis, galaktosemia, intoleransi fruktosa
atau tirosinemia.

342
Buku Ajar Gastrohepatologi

Kolestasis
(aliran empedu )

Konsentrasi asam empedu Intraluminal

Retensi/regurgitasi Malabsorpsi
- lemak
* Asam empedu + malnutrisi.
- pruritus (?) + retardasi pertumbuhan
- hepatotoksik + diare/steatorea
* Bilirubin kehilangan kalsium
- ikterus - vitamin yang larut
dalam lemak
* Kolesterol . A - kulit tebal
-- hiperkolesterolemia - rabun senja
. D - osteopenia
. E + degenerasi
Xantomatosis neromuskuler
19
20 hemolitik
+ anemia
- Mineral * trace elemen hepatotoksik
ret
. KMa– hipoprotrombinemia
-(tembaga dll)
9
stro
G a
p at
a
Penyakit hatik rprogresif
tu
o un bilier)
(sirosis
Gagal hati
Hipertensi porta st r
a
+ Hipersplenisme
j arG
+ Asites u A
Buk
+ Perdarahan (varises)
e
Fil
Gambar 20.8.1. Sekuele kolestasis kronik

Tabel 20.8.1. Gejala klinik pada beberapa penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi
Penyebab Gejala klinik
Infeksi CMV Mikrosefali, kalsifikasi ventrikuler, tuli saraf, korioretinitis, ventrikulomegali
Infeksi Toksoplasma Hidrosefalus, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi psikomotor
Infeksi Rubella Katarak, petekie, tuli saraf, mikrosefali, kelainan jantung, korioretinitis
Infeksi Herpes Rash, keratokonjungtivitis, ensefalitis
Infeksi Sifilis Rinitis, rash, kelainan tulang
Galaktosemia Muntah, FTT, perdarahan kulit, sepsis, katarak.
Trisomi 21,18,13 Anomali kongenital multipel
Sindrom Alagille Dismorfik, embriotokson, kelainan jantung, vertebra
Sumber: Boyer, 1996.

343
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak

Keadaan umum penderita kolestasis intrahepatik pada bayi biasanya tampak sakit
berat terutama akibat infeksi kongenital dan mungkin disertai dengan kelainan non hepatik
lain seperti katarak, kalsifikasi intrakranial, wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal
lainnya.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus
Kadar bilirubin direk darah meningkat ≥1,5 mg/dl tanpa peningkatan kadar bilirubin
indirek atau peningkatan ≥15% bilirubin total. Dalam urin ditemukan bilirubin.
Aminotransferase serum seringkali meningkat 2-4 x nilai normal; bila lebih tinggi
memberi petunjuk adanya proses infeksi. Fosfatase alkali mungkin normal atau agak
meningkat. Bila kadarnya lebih tinggi, lebih mengarah pada atresia biliaris atau ricketsia.
Gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) mungkin meningkat. Bila fosfatase alkali tinggi
dan GGT rendah (<100 U/l), mungkin suatu kolestasis familial progresif Byler atau
gangguan sintesis garam empedu. Albumin biasanya masih normal pada awal perjalanan
penyakit, tetapi akan menjadi rendah bila kelainan hati sudah berlanjut atau pada penyakit
prenatal yang berat. Masa protrombin biasanya normal tetapi mungkin memanjang yang
9
dapat dikoreksi dengan vitamin K parenteral, kecuali bila telah terjadi
2 01 gagal hati. Kolesterol
t
re ditemukan hipoglikemia
biasanya masih dalam batas normal pada 4 bulan pertama. aBila
9 M
harus dicurigai adanya kelainan metabolik, endokrinroatau kelainan hati lanjut. Dengan
pemeriksaan khusus yaitu spektrometri terhadap Gurin ast penderita, dapat dideteksi kelainan
at
ap
metabolisme asam empedu seperti defisiensir3-β-hidroksisteroid dehidrogenase/ isomerase
yang bermanifestasi sebagai penyakit hati tu k
yang berat. Pemeriksaan khusus serologis untuk
o un
tr
mendeteksi infeksi toksoplasma, srubella, cytomegalovirus dan herpes (TORCH), hepatitis
B (pemeriksaan pada bayi dan G a
ibu), kultur darah dan urin, serta kadar α-1-antitripsin dan
A jar
fenotipenya seyogianya udikerjakan. Untuk pemeriksaan khusus lainnya seperti hormon
tiroid, asam amino Buk serum dan urin, zat reduktor di urin, galaktose-1 fosfat uridil
dalam
e
Fil
transferase, uji klorida keringat dan pemeriksaan kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu
bila ada gejala klinik lainnya yang mendukung ke arah penyakit-penyakit tersebut. Kelainan
oftalmologis yang berupa korioretinitis mungkin ditemukan pada infeksi cytomegalovirus,
toksoplasmosis dan rubella, embriotokson posterior pada sindrom Alagille, dan katarak
pada galaktosemia atau cherryed spot pada lipid storage disease.

Pencitraan
• Ultrasonografi: dilakukan setelah penderita dipuasakan minimal 4 jam dan diulang
kembali setelah bayi minum (sebaiknya dikerjakan pada semua penderita kolestasis,
karena tekniknya sederhana, relatif tidak mahal, noninvasif, serta tanpa sedasi).
Pada kolestasis intrahepatik, kandung empedu terlihat waktu puasa dan mengecil
pada ulangan pemeriksaan sesudah bayi minum. Akurasi diagnostik pemeriksaan
ultrasonografi ini untuk kasus kolestasis hanya 80%.
• Skintigrafi pada kolestasis intrahepatik (hepatoselular) menunjukkan ambilan kontras
oleh hati yang terlambat tetapi ada ekskresi ke dalam usus. Dua hal yang harus dicatat

344
Buku Ajar Gastrohepatologi

pada pemeriksaan skintigrafi adalah realibilitas yang berkurang bila kadar bilirubin
direk sangat tinggi (>20 mg/dl) dan false positive dan negatifnya sebesar 10%. Karena
pemeriksaan ini memakan waktu yang banyak, maka tidak banyak para ahli yang
menggunakannya pada evaluasi diagnostik kolestasis.

Biopsi hati
Biopsi hati dianggap sebagai cara yang paling dapat dipercaya untuk membuat diagnosis
bayi dengan kolestasis. Akurasi diagnosis mencapai 95%-96,8% bila dibaca oleh ahli patologi
yang berpengalaman.1,5,13 Pada hasil biopsi yang representatif, paling sedikit harus dapat
diperlihatkan 5 portal tracts. Gambaran hispatologis hepatitis neonatal adalah perubahan
arsitektur lobulus yang mencolok, nekrosis hepatoselular fokal, pembentukan pseudoroset,
ada giant cells dengan balloning pada sitoplasma. Disamping itu, pada kolestasis intrahepatik
ini, lebih banyak terlihat fokus hematopoesis ekstramedulr, deposit hemosiderin pada sel
hati dan sel Kupffer, inflamasi intralobular dan hiperplasia sel Kupffer. Selanjutnya ahli
patologi dapat pula menentukan apakah ada penyakit Wilson, glycogen storage disease,
neonatal iron storage diseases, fibrosis hati kongenital maupun defisiensi α-1-antitripsin.12
Adakalanya diperlukan biopsi ulang untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika
penyakitnya yang dapat menolong memastikan diagnosis. 9
2 01
aret
9M
20.9 Beberapa Etiologi Kolestasis GIntrahepatik
ast
ro pada Bayi
at
r ap
Infeksi tuk
o un
r
Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks (TORCH)
G ast
r
ja beberapa gambaran klinik yang serupa, yaitu kuning,
Infeksi kongenital ini memberikan
kuA
hepatosplenomegali, pneumonitis, petekie atau purpura dan kecenderungan untuk
Bu
e
Fil
prematur atau pertumbuhan intrauterin yang terhambat.
• Toksoplasmosis: toksoplasmosis kongenital jarang terjadi. Gambaran klinik lainnya
adalah kelainan yang nyata dari sistem saraf pusat berupa hidrosefalus, mikrosefalus,
kalsifikasi intrakranial, kejang, nistagmus dan tanda tekanan intrakranial yang meningkat
serta kelainan mata berupa korioretinitis. Gambaran biopsi hati menunjukkan hepatitis
nonspesifik atau fibrosis portal dengan proliferasi duktulus biliaris. Terapi spiramisin
dapat mencegah progresivitas kelainan hati dan susunan saraf pusat. Prognosis
tergantung dari luasnya kelainan mata dan neurologis yang terjadi.
• Rubella: infeksi kongenital rubella saat ini jarang terjadi karena ada imunisasi untuk
penyakit ini. Gejala klinik lainnya adalah anemia, trombositopenia, kelainan jantung
kongenital (PDA atau stenosis arteri pulmonal), katarak, korioretinitis, retardasi
mental dan tuli neurosensorik. Gambaran histologis hati menunjukkan hepatitis giant
cells yang tipikal. Penyakit ini mungkin self limited atau berlanjut menjadi sirosis
• Sitomegalovirus: Sitomegalovirus adalah penyebab infeksi kongenital yang paling
banyak, dan terjadi pada 1%-2% neonatus, tetapi sebagian besar asimtomatik. Yang
bergejala, selain gejala yang dicantumkan di atas mungkin pula ada asites; tetapi jarang
menimbulkan gagal hati akut. Gejala lainnya adalah gejala susunan saraf sentral berupa
mikrosefali, kalsifikasi intrakranial dan korioretinitis. Tuli neurosensorik yang progresif

345
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak

serta cerebral palsy mungkin baru terlihat kemudian. Diagnosis pasti memerlukan
pemeriksaan kultur virus dalam 4 minggu pertama. Pemeriksaan serologis dan klinis
dapat menunjang adanya infeksi sitomegalovirus, tetapi tidak dapat membedakan
antara infeksi kongenital dan infeksi postnatal dini. Pada sebagian besar anak yang
terinfeksi sitomegalovirus, gejalanya ringan dan sembuh sempurna tetapi pernah
dilaporkan terjadinya fibrosis, sirosis dan hipertensi porta nonsirotik. Yang menjadi
problem menetap biasanya adalah kelainan perkembangan neurologis yang mungkin
atau sudah terjadi.
• Herpes simpleks: Pada neonatus, infeksi virus ini (tipe 1 atau 2, terutama tipe 2)
dapat menimbulkan kelainan multisistem yang sangat berat termasuk gejala ensefalitis,
hepatitis berat atau gagal hati fulminan. Pada biopsi hati dapat dilihat area nekrosis
dengan inklusi virus dalam sel hepatosit yang masih utuh. Pada kerokan lesi vesikel
ditemukan virus herpes simpleks tetapi pada neonatus mungkin tidak ditemukan lesi
herpes yang khas pada kulit, mulut, maupun mata.

Sifilis
Sifilis kongenital saat ini jarang terjadi di negara maju. Gejala yang timbul juga mengenai
multisistem termasuk retardasi perkembangan intrauterin dan selanjutnya 9 gagal tumbuh,
2 01
anemia berat dan trombositopenia, sindrom nefrotik, periostitis, t nasal discharge, rash pada
Mare
kulit, limfadenopati difus dan hepatomegali. Kuning mungkin 9 sudah terlihat dalam 24 jam
pertama. Pada beberapa bayi mungkin sama sekali tidak stro kuning, tetapi ada rash yang khas
Ga
pada telapak tangan dan kaki atau hanya ada demam p at dengan hepatomegali yang menyolok.
a 30% kasus. Pemeriksaan histologis hati
Gejala susunan saraf pusat terjadi padausampai
t kr
n hati. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
memperlihatkan Treponema pada jaringan
trou
serologis termasuk tes VDRL G as antibodi antitreponema. Pemeriksaan radiologis tulang
dan
panjang mungkin memperlihatkanj ar kelainan radiologis yang khas dalam 24 jam pertama
u A
dan menolong membuat k
u diagnosis secepatnya.
e B
Fil
Varisela
Varisela mungkin terjadi pada neonatus bila ibu terinfeksi dalam 2 minggu sebelum
melahirkan. Gejalanya cenderung lebih berat pada bayi prematur dan ringan pada bayi
cukup bulan yang berumur lebih dari 10 hari. Manifestasi yang timbul dini serta infeksi
yang terjadi selama masa kehamilan dapat berakibat fatal. Gejala klinisnya berupa kuning,
kelainan kulit yang luas dan keterlibatan multisistem terutama pneumonia dan kelainan
parenkim hati pada kasus yang fatal.

Sepsis virus enterik (Echovirus, Coxsackie virus, Adenovirus)


Virus enterik dapat mengakibatkan infeksi virus sistemik pada neonatus dengan gambaran
klinis yang mencolok berupa hepatitis berat dengan gagal hati akut. Transmisi vertikal yang
terjadi sesaat sebelum lahir, mengakibatkan gejala yang lebih berat pada bayi. Sebagian
besar sepsis virus enterik terjadi pada umur 1-5 minggu. Bayi menjadi letargi dan kuning
disertai kadar aminotransferase yang sangat tinggi, koagulopati hebat dan biasanya juga
disertai meningitis. Selain Echovirus dan virus Coxsackie A atau B, Adenoviruse juga dapat

346
Buku Ajar Gastrohepatologi

menimbulkan gejala klinik yang serupa, hanya miokarditis dan gagal jantung lebih condong
akibat infeksi virus Coxsackie.

Infeksi bakteri di luar hati


Gejala kuning dan meningkatnya kadar bilirubin direk darah mungkin terjadi pula pada
infeksi lokal di luar hepar misalnya infeksi traktus urinarius atau sepsis (streptokokus,
stafilokokus atau kuman Gram negatif).

Tuberkulosis
Tuberkulosis kongenital jarang terjadi, tetapi pada beberapa tahun terakhir akibat
meningkatnya prevalensi tuberkulosis pada ibu usia subur, maka tuberkulosis pada bayi
menjadi lebih sering terjadi. Neonatus mungkin terinfeksi melalui cairan amnion atau
sekret serviks yang terinfeksi pada saat lahir. Diagnosis tuberkulosis pada neonatus dibuat,
bila ada salah satu gejala berikut: lesi pada minggu pertama kehidupan, kompleks hepatik
primer atau granuloma kaseosa di hati, infeksi tuberkulosis pada plasenta atau genitalia
ibu, dan tidak ada infeksi postnatal. Hepatomegali sering ditemukan, tetapi kuning jarang
terjadi dan bila ada merupakan tanda beratnya penyakit. Gejala lainnya 9yang sering adalah
01
distres pernafasan, kesukaran minum, dan demam. Mortalitas mencapaiet 2 30%.
r
9 Ma
ro
Hepatitis neonatal idiopatik ast
tG
a
Etiologi kolestasis pada bayi yang terjadi dalam
k rap3 bulan pertama tidak dapat ditemukan
pada 25% kasus dan kelompok bayi ini disebuttu hepatitis neonatal idiopatik yang cenderung
un masa kehamilan yang mungkin merefleksikan
ro
merupakan bayi prematur atau kecilstuntuk
a
j arG
kelainan genetik atau infeksi intrauterin. Pada 5%-15% kasus, lebih dari 1 anak dalam
keluarga menderita penyakit A
u yang sama. Pada biopsi hati dapat ditemukan giant cell
Buk inflamasi, tetapi duktus bilier biasanya normal.
transformation luas dengan
e
Fil

Sindrom Alagille (bile duct paucity syndrome)


Sindrom Alagille (syndromic duct paucity, sindrom Watson-Miller, displasia arteriohepatik)
adalah suatu kelainan genetik dengan transmisi dominan autosom, tetapi dengan
manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Sindrom ini dihubungkan dengan mutasi yang
terjadi pada gen Jagged-1 (JAG 1) pada kromosom 20p. Mutasi ditemukan pada 70% kasus
dan diturunkan pada 30%-50% kasus. Gambaran klinis utamanya adalah:
• Kolestasis yang sangat hebat hingga mengakibatkan tinja berwarna dempul dan
disertai pruritus.
• Raut muka khas berupa kening yang lebar, mata dalam, hipertelorism ringan, dan dagu
yang lancip. Raut muka ini mungkin belum terlihat pada bulan pertama.
• Kelainan tulang berupa bentuk tulang belakang yang seperti butterfly akibat kegagalan
fusi bagian anterior vertebra. Mungkin pula terlihat jarak interpedikular pada daerah
lumbal yang berkurang, ada spina bifida okulta, falangs distal melengkung dan ulna
yang pendek.

347
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak

• Kelainan mata yang terjadi dapat sangat beragam. Yang paling sering dan memerlukan
pemeriksaan dengan slit-light adalah embriotokson posterior dan Schwalbe’s line yang
abnormal.
• Kelainan jantung dapat berupa stenosis arteri pulmonal, tetralogi Fallot, stenosis katup
pulmonal, stenosis aorta, dan ASD. Beratnya kelainan jantung bervariasi.
• Gagal tumbuh yang dihubungkan dengan retardasi intrauterin.
Malnutrisi berat ditemukan pada ±50% penderita yang mungkin merupakan
bagian dari sindrom Alagille atau sekunder terjadi akibat malabsorpsi atau refluks
gastroesofageal.

Gejala minor lain yang mungkin ada adalah:


• Kelainan ginjal, misalnya kelainan struktur dan defek fungsi pemekatan urin
• Pubertas yang terlambat atau hipogonadism
• Suara atau tangis abnormal
• Retardasi mental, kesulitan belajar, dan kelakuan antisosial
• Kelainan vaskular termasuk moya-moya disease
• Kelainan neurologis misalnya neuropati perifer akibat defisiensi vitamin E karena
kolestasis kronis hebat
9
• Hipotiroidisme dan insufisiensi pankreas 2 01
t
are atau pneumonia aspirasi
• Infeksi paru rekuren akibat refluks gastroesofageal sekunder
M
• Xanthomata akibat hiperkolesterolemia o 9
r
G ast
at
Diagnosis dibuat berdasarkan hasil biopsi r ap hati yang memperlihatkan paucity duktus
k
u ntu
biliaris dengan paling sedikit 3 dari kelainan utama (kelainan raut muka, mata, vertebra,
ginjal dan jantung). Pada biopsi hatir o
terlihat jumlah duktus biliaris berkurang yaitu rasionya
ast
G0,9
terhadap portal-tract <0,9 (N:r – 1,8). Sindrom ini dapat berkembang menjadi sirosis
A ja
biliaris pada 15% – 20% u kasus. Prognosis tergantung dari organ yang terlibat. Estimasi
Buk adalah 20% - 25% akibat kelainan jantung, infeksi berulang atau
mortalitas secara lumum
e
Fi lanjut.
kelainan hati tahap

Progressive familial intrahepatic cholestasis


Penyakit Byler (PFIC-1: progressive familial intrahepatic cholestasis type 1 )
Pada penyakit Byler, peningkatan kadar bilirubin direk yang beragam terjadi pada 3-6
bulan pertama disertai hepatomegali, retardasi pertumbuhan, diare persisten, pankreatitis
dan tanda defisiensi berat vitamin yang larut dalam lemak termasuk ricketsia. Pruritus
merupakan salah satu problem yang mencolok dan refrakter terhadap sebagian besar
pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai GGT dan kolesterol normal
tetapi konsentrasi total asam empedu serum meningkat. Biopsi hati memperlihatkan
inflamasi ringan dengan bile plug di kanalikulus biliaris dengan pemeriksaan rutin serta
gambaran granular yang khas dengan mikroskop elektron. Mungkin pula ditemukan small
duct paucity. Pada penyakit Byler ini terdapat mutasi di kromosom 18q21-22.

348
Buku Ajar Gastrohepatologi

PFIC- 2
Pada PFIC-2 ini, mutasi terjadi pada kromosom 2q24. Gejalanya sama dengan PFIC-1,
hanya tidak ada diare serta pankreatitis.

PFIC-3
PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang mempunyai kadar GGT yang meningkat. Kuning
kurang mencolok dibandingkan pruritus dan sistem biliaris dalam batas normal pada
pemeriksaan pencitraan. Pada semua tipe PFIC, diversi biliaris dapat menghilangkan
pruritus bila dikerjakan sebelum terjadi fibrosis hati yang bermakna.

Injuri (jejas) toksik


Penyebab injuri toksik yang paling sering menimbulkan kolestasis pada bayi adalah nutrisi
parenteral total. Kolestasis progresif yang terjadi pada bayi yang mendapat nutrisi parenteral
total timbul terutama pada bayi dalam keadaan kritis dan lebih sering pada bayi prematur
karena mekanisme pembentukan empedunya masih belum berkembang. Tergantung dari
umur kehamilan, profil asam empedu fetal mungkin menetap yaitu lebih banyaknya asam
empedu litokolat yang dibentuk daripada bayi yang lebih besar. Asam
0 19 litokolat bersifat
toksik. Keadaan puasa akan mengganggu sirkulasi enterohepatik, 2
t mengurangi sekresi
hormon-hormon intestinal yang diperlukan untuk fungsi Mnormal are hepatobiliaris, dan
o 9
mempermudah berkembangnya bakteri tumbuh lampau r di usus halus yang berpotensi
G ast
membentuk endotoksin atau mengubah asam empedu at menjadi lebih toksik. Mungkin
pula terjadi translokasi bakteri. Semua mekanisme r ap ini dipersulit lagi oleh faktor sistemik
k
ntu atau sistemik dan obat-obat yang digunakan.
seperti hipoksia atau hipoperfusi, infeksi ulokal
ro
Defisiensi nutrisi spesifik mungkin
G ast pula berpengaruh, misalnya: tidak adanya taurin,
asam lemak esensial, karnitinjadan r antioksidan seperti vitamin E, selenium dan glutation.
A
ku
Kolestasis yang terjadi umungkin sangat hebat sehingga menyerupai obstruksi traktus
e B
Fil
biliaris ekstrahepatik dengan tinja berwarna dempul dan GGT serta aminotransferase yang
meningkat. Pada biopsi hati didapatkan kolestasis dengan nekrosis hepatoselular, lipofusin
yang berlebihan, infiltrasi lemak, transformasi giant cells ringan, infiltrasi inflamasi daerah
portal, beberapa proliferasi duktulus biliaris dengan atau tanpa fibrosis porta. Dengan
mikroskop elektron, dapat diperlihatkan kristal kolesterol dalam sel hepatosit.

20.10 Tata laksana


Tujuan tata laksana kolestasis intrahepatik adalah:

• Memperbaiki aliran empedu dengan cara:


1. Mengobati etiologi kolestasis dengan medikamentosa pada kolestasis hepatoselular
yang dapat diobati seperti terlihat pada tabel. 20.10.1 untuk beberapa kelainan tertentu.
2. Menstimulasi aliran empedu dengan:
• Fenobarbital: bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat mengurangi kuning.
Mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan aliran empedu dengan cara menginduksi
enzim UDP-glukuronil transferase, sitokrom P-450 dan Na+K+ATP-ase. Tetapi pada

349
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak

bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu metabolisme beberapa
obat diantaranya vitamin D, sehingga dapat mengeksaserbasi ricketsia.
Dosis: 3-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis.
• Asam ursodeoksikolat: asam empedu tersier yang mempunyai sifat lebih hidrofilik
serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer serta
sekunder sehingga merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik.
Selain itu asam ursodeoksikolat ini merupakan suplemen empedu untuk absorpsi
lemak. Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena antara lain dapat
menstabilkan dan melindungi membran sel hati serta sebagai bile flow inducer
karena meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas transporter pada membran sel
hati.

Dosis: 10-30 mg/kgBB/hari


• Kolestiramin dapat menyerap asam empedu yang toksik sehingga juga akan
menghilangkan gatal.

Dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari


• Rifampisin: dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta menghambat ambilan
9
asam empedu oleh sel hati dan mengubah metabolismenya, 2 01 sehingga dapat
menghilangkan gatal pada ± 50% kasus. Efek sampingnyare t adalah trombositopenia
9 Ma
dan hepatotoksisitas yang terjadi pada 5%-10% kasus.
o
str
Ga
Dosis: 5 -10 mg/kgBB/hari. p at
k ra
ntu
o u sindrom hepatitis neonatal
Tabel 20.10.1. Tata laksana spesifik pada beberapa penyebab
a str
Penyebab
j arG Tatalaksana spesifik
Infeksi u A
Toksoplasma B uk Spiramisin
Sitomegalovirus Fil e Gancyclovir, bila berat
Herpes simpleks Acyclovir
Sifilis Penicillin
Sepsis/infeksi bakteri lain Antibiotik yang sesuai
Tuberkulosis OAT ( 4 jenis tanpa ethambutol)
Toksik
Nutrisi parenteral total Asupan oral, metronidazol, ursodeoksikolat
Sumber: Suchy, 2001.

• Menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi


menggunakan formula spesial dengan jumlah kalori 120%-150% dari kebutuhan
normal serta vitamin, mineral dan trace element:
1. Formula MCT (medium chain triglyceride) karena relatif lebih larut dalam air sehingga
tidak memerlukan garam empedu untuk absorpsi dan menghindarkan makanan yang
banyak mengandung cuprum (tembaga).
2. Vitamin yang larut dalam lemak :
- A : 5000-25000 U/hari
- D3 : Calcitriol: 0,05 –0,2 ug/kgBB/hari

350
Buku Ajar Gastrohepatologi

- E : 25-50 IU/kgBB/hari
- K : Kl 2,5-5 mg/2-7x/minggu
3. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.

• Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya hiperlipidema/xantelasma dengan


kolestipol dan pada gagal hati serta pruritus yang tidak teratasi adalah transplantasi
hati.

• Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama untuk penderita dengan


kelainan hati yang progresif yang memerlukan transplantasi hati.

20.11 Prognosis
Tergantung penyakit dasar, prognosis umumnya baik yaitu 60% sembuh pada kasus
sindrom hepatitis neonatal yang sporadik, sementara pada kasus yang bersifat familial,
prognosisnya buruk (60% meninggal). Prognosis hepatitis neonatal idiopatik biasanya baik
dengan mortalitas sebesar 13%-25%. Prediktor untuk prognosis yang buruk adalah: kuning
hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul, riwayat penyakit 9 dalam keluarga,
2 01
hepatomegali persisten dan terdapatnya inflamasi hebat pada hasil
re t
biopsi hati.
9 Ma
ro
Daftar Pustaka G ast
pat
1. Arce DA, Costa H, Schwarz SM. Hepatobiliaryradisease in children. Clinics in Family Practice
2000;2:1-36 tu k
n
ro u SP. Gambaran kolestasis pada bayi di Departemen
2. Bisanto J, Jong DM, Oswari H, Purnamawati
t
as
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
j ar G Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam, 12-14 Juli 2004.
uA
3. Bisanto J, Putra IA, Hadinegoro SR. Clinical and laboratory manifestations of cholestasis in
infancy. In Press. Buk
e
4. Bolder U, Ton-NuFil HT, Schteingart CD, Frick E, Hofmann AF. Hepatocyte transport of bile
acids and organic anions in endotoxemic rats: Impaired uptake and secretion. Gastroenterology
1997;112:214-25.
5. Boyer JL. Bile secretion models, mechanisms, and malfunctions. A perspective on the
development of modern cellular and molecular concepts of bile secretion and cholestasis. J
Gastroenterol 1996;3:475-81.
6. Bull LN, Carlton,VE, Stricker NL et al. Genetic and morphological findings in progressive familial
intrahepatic cholestasis(Byler disease PFIC-1 and Byler syndrome) evidence for heterogeneity.
Hepatology 1997;26:155-64
7. Chang MH. Differential diagnosis of cholestasis in infancy. Dalam: Suharyono, Firmansyah
A, Syarif BH, penyunting. Asian Pan Pacific society for paediatric gastroenterology and
nutrition.Coordinating Working Unit of Gastroenterology Indonesian Society of Paediatricians
; December 16-19, 1996; Jakarta: IDAI; 1996. h . 213-24.
8. D’Agata ID, Balistreri WF. Evaluation of liver disease in the pediatric patient. Pediatr Rev.
1999;20:376- 89.
9. Desmet VJ, Callea F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood. Dalam: Zakim D, Boyer
TD, penyunting. Hepatology. A Textbook of liver disease; edisi ke-2. Philadelphia: Saunders,
1990. h . 1355-95.

351
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak

10. Erlinger S. Pathophysiology of cholestasis. Dalam: Lentze M, Reichen J, penyunting. Paediatric


cholestasis. Novel approaches to treatment. Proceeding of the 63th Falk Symposium. October
9-10, 1991. London: Kluwer, 1992. h . 49-54.
11. Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional Management of cholestasis.
Dalam: Suchy FJ,Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2.
Philadelphia: LippincottWilliams & Wilkins ; 2001. h. 195- 238
12. Haber BA, Lake AM. Cholestatic jaundice in the newborn. Clins Perinatology 1990;17:483-
506.
13. Kennedy MS, Balistreri WF. Pediatric liver disease. Hyperbilirubinemia. Dalam: Friedman LS,
Keffe EB, penyunting. Handbook of liver disease, edisi ke-1. Edinburgh: Churchill Livingstone,
1998. h . 316-20.
14. Mews C, Sinarta FR. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev 1994;15:233-40.
15. Mieli-Vergani G, Howard ER, Mowat AP. Liver disease in infancy: a 20 year perspective. Gut
1991;8(suppl):123-8
16. Mowat AP. Hepatitis and cholestasis in infancy: intrahepatic disorders. Dalam: Mowat AP,
penyunting. Liver disorders in childhood, edisi ke-3. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994.
h . 43-78.
17. Moyer MS, Balistreri WF. Prolonged neonatal obstructive jaundice. Dalam: Walker WA,
Durie PR, Hamilton JR et al, penyunting . Pediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology,
diagnosis, management; edisi ke-1. Philadelphia: Decker, 1991. h . 835-48.
9 pada bayi dengan
18. Oswari H, Harijadi, Bisanto J, Purnamawati SP. Kolestasis intrahepatik 2 01
infeksi saluran kemih. Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam, 12-14
t
e 2004.
rJuli
19. Phillips MJ, Suchy FJ. Mechanism and morphology of cholestasis.9 Ma Dalam: Suchy FJ, Sokol
RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; stro edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott
Ga
Williams & Wilkins;2001.h. 23 – 38. p at
20. Piccoli DA, Spinner NB. Alagille Syndrome ra the Jagged 1 Gene.Semin Liver Dis 2001;21:525-
kand
n t u
34.
tr ou
21. Roberts EA. The jaundiced baby. as Dalam:
GOxford:
Kelly DA, penyunting. Diseases of the liver and biliary
jar
system in children, edisi ke-1. Blackwell Science, 1999. h . 11-45.
22. Sellinger M, Boyer JL. u A
Physiology of bile secretion and cholestasis. Dalam: Popper H, Schaffner
Buk in Liver Disease; Vol IX. New York: Saunders, 1990. h. 237-59.
F, penyunting. lProgress
e
Fi W. Neonatal cholestasis. New approaches to diagnostic evaluation and therapy.
23. Shah HA, Spivak
Pediatr Clin North Am 1994;41:943-66.
24. Sherlock S, Dooley J. Cholestasis. Dalam: Sherlock S, Dooley J, penyunting. Disease of the liver
and biliary system; edisi ke-10. London Blackwell Science, 1997. h . 217-37.
25. Sera J, Ikeda S, Akadi M. Ultrasonographic studies for the diagnosis of infantile cholestatic
disease. Dalam: Ohi R, penyunting. Proceeding of the 4th International symposium on biliary
atresia. Sendai, 1986. h . 106-9.
26. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy FJ,Sokol RJ, Balistreri WF,
penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2001. h .187 – 94
27. Trauner M, Meier PJ, Boyer JL. Molecular pathogenesis of cholestasis. N Eng J Med.
1998;339:1217-27.
28. Whitington P, Emerick KM. Cholestasis. eMed J, April 11,2003. Diunduh dari http://www.
emedicine.com/ped/topic 383.htm. Diakses 26 Februari 2004.
29. Whitington PF. Chronic cholestasis of infancy.Pediatr Clin North Am 1996;43:1-26.

352
BAB

21
Hipertensi Porta
Hanifah Oswari

21.1 Ilustrasi kasus


Seorang anak lelaki, 4 tahun, dirawat untuk pertama kalinya di Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI/RSCM pada tanggal 18 Agustus 2003 dengan keluhan utama hematemesis dan
melena sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 8 bulan sebelumnya perut terlihat
membesar. Dua bulan sebelumnya pasien juga mengalami hematemesis melena 1 kali. Keluhan
ini hanya berlangsung 1 hari dan menghilang tanpa diobati. Sejak 1 bulan lalu, perut pasien
terlihat makin membesar dan pasien terlihat pucat. Orang tua membawa pasien berobat ke
dokter spesialis anak dan dianjurkan untuk berobat ke RSCM. Sejak lahir pasien tidak pernah
kuning, tidak ada riwayat infeksi tali pusat ataupun dirawat saat neonatus.
Urin tidak pernah berwarna coklat seperti teh. Pada pemeriksaan fisik anak tampak
sakit berat, kompos mentis, dan pucat, serta sklera tidak ikterik. Laju nadi, laju jantung 124
x/menit, isi cukup, teratur. Frekuensi nadi basal 90x/menit. Laju napas 24 x/menit, teratur,
suhu aksila 37,8oC. Jantung dan paru tidak ditemukan kelainan. Perut membuncit, tidak
terlihat venektasi. Perabaan lemas, turgor cukup, tidak terdapat nyeri tekan, hati teraba 2
cm di bawah procesus xyphoideus, 2 cm di bawah arcus aorta. Limpa teraba 3 cm di bawah
arkus kosta kiri. Tidak ditemukan adanya asites. Palmar eritema juga tidak ditemukan.
Pemeriksaan darah tepi menunjukkan kadar hemoglobin 4,1 g/dl, leukosit 13.300/ml,
trombosit 315.000/ml, hitung jenis (%): basofil 0%, eosinofil 0%, batang 0%, segmen 42%,
limfosit 53% dan monosit 5%. Hitung trombosit 315.000/ml. Albumin 3,8 g/dl (3,5-5,5),
kolesterol 145 mg% (140-250), SGOT 20 mU/ml (N:<40), SGPT 41 mU/ml . (N:<40), bilirubin
direk 0,24 mg% (<0,2), bilirubin indirek 0,51 mg% (N <0,6), gula darah sewaktu 81 mg/dl,
waktu protrombin (PT) 13,2 detik (kontrol 13,2 detik), dan aPTT 28,4 detik (kontrol 38,3
detik). Ditegakkan diagnosis hematemesis melena yang dicurigai akibat pecahnya varises
esofagus karena tersangka hipertensi porta ektrahepatik (non sirosis).

21.2 Pendahuluan
Pada hipertensi porta terjadi abnormalitas hemodinamik. Pada orang dewasa, hipertensi
porta umumnya disebabkan oleh sirosis hepatis, sedangkan pada anak lebih banyak

353
Bab 21 Hipertensi Porta

disebabkan oleh kelainan ekstrahepatik dengan fungsi hati yang normal. Hipertensi
porta dan komplikasinya seperti varises esofagus dan asites sering terjadi pada orang
dewasa dengan penyakit hati kronis. Perdarahan gastrointestinal merupakan manifestasi
klinis hipertensi porta yang paling berat baik pada dewasa maupun anak. Perdarahan
gastrointestinal akibat hipertensi porta paling sering disebabkan oleh perdarahan varises
esofagus dan gaster.

21.3 Definisi
Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan tekanan porta di atas nilai normal, yaitu
1-5 mmHg. Secara klinis hipertensi porta yang signifikan didefinisikan sebagai tekanan
porta di atas 12 mm Hg karena berhubungan dengan kemungkinan terjadinya perdarahan
akibat hipertensi porta. Perdarahan gastrointestinal akibat hipertensi porta ini berhubungan
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

21.4 Angka kejadian


Pada penelitan prospektif orang dewasa, lebih dari 90% pasien01sirosis 9 akan terbentuk
e t 2
varises esofagus, dan sekali waktu dalam kehidupannya varises r ini akan pecah. Pada
9 Ma ditemukan varises. Miga
penelitian anak dengan sirosis hepatis, kira-kira dua pertiganya
ro
ast
dkk meneliti 134 pasien dengan atresia biliaris Gmendapatkan risiko perdarahan yang
meningkat sejalan dengan pertambahan waktu. p at Dalam 5 tahun terjadi perdarahan pada
a
k r anak remaja dengan obstruksi vena porta
40% anak tersebut. Pada penelitian laintupada
n
tro u pada usia 16 tahun sebesar 49%, dan meningkat
ekstrahepatik, kemungkinan perdarahan
menjadi 76% pada usia 24 tahun. as
j ar G Kemungkinan perdarahan semakin meningkat pada anak
u A pertama sebelum usia 12 tahun.
yang mengalami perdarahan
Buk
e
Fil
21.5 Etiologi
Pada dewasa, umumnya hipertensi porta disebabkan oleh sirosis, sedangkan pada anak
kurang lebih setengahnya disebabkan oleh obstruksi vena porta ekstrahepatik. Tabel 21.6.1
menunjukkan penyakit anak yang berhubungan dengan hipertensi porta.

21.6 Patogenesis/Patofisiologi
Peningkatan tekanan porta disebabkan oleh peningkatan resistensi vaskular dan
peningkatan aliran darah porta. Tempat peningkatan resistensi tergantung pada
proses penyakitnya. Tempat obstruksi dapat terjadi prehepatik (obstruksi vena porta),
intrahepatik (presinusoid: misalnya fibrosis hepatik kongenital; parasinusoidal: sirosis,
terapi obat hepatotoksik, hepatotoksitas vitamin A; postsinusoidal: venocclusive disease)
dan/atau posthepatik (sindrom Budd-Chiari, perikarditis konstriktiva).

354
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 21.6.1. Penyakit anak yang berhubungan dengan hipertensi porta-klasifikasi berdasarkan patofisiologi
I. Kelainan prehepatik
a. Peningkatan resistensi
Trombosis vena porta-transformasi kavernosa
Omphalitis, kateterisasi neonatal, trauma, sepsis, peritonitis, dehidrasi
kelainan pembekuan (defisiensi protein S, C)
Trombosis vena lienalis
Primer, sekunder (pankreatitis)
b. Peningkatan aliran darah
Fistula A-V
Giant hemangiomatosis
Splenomegali masif kronis
II. Kelainan intrahepatik
a. Hepatoselular
Hepatitis kronis (virus)
Hepatitis autoimun
Fibrosis hati kongenital
Penyakit Wilson
Defisiensi alfa-1 antitripsin
Glycogen storage disease tipe IV
Hepatotoksisitas kronis
9
Histiositosis
2 01
Schistosomiasis
re t
Hepatic storage disease-Gaucher’s disease
9 Ma
b. Penyakit saluran bilier ro
Atresia biliaris ekstrahepatik
G ast
at
Penyakit kolestasis intrahepatik (Sindrom Alagille, PFIC)
r ap
Cystic fibrosis k
Sclerosing cholangitis u ntu
o
Choledochal cyst
astr
G
Ajar
III. Kelainan posthepatik u
a. Sindrom Budd-Chiari Buk
Hiperkoagulopati Fi l e
Neoplasma, penyakit kolagen, penggunaan kontrasepsi oral
b. Trauma, idiopatik
c. Penyakit jantung kongenital
d. Obstruksi vena kava inferior
e. Penyakit veno-eksklusif
Hipertensi porta idiopatik
A-V = arteriovena ; PFIC = Progressive familial intrahepatic cholestasis
Sumber: Chen, 1996.

Secara praktis yang penting adalah menentukan apakah ada penyakit parenkim hati atau
tidak. Penyakit hati terjadi pada semua kelompok di atas kecuali pada kelainan prehepatik.
Hipertensi porta terjadi karena: (1) peningkatan resistensi vaskular intrahepatik
dan (2) peningkatan aliran vena porta. Pada sirosis terjadi perubahan struktural berupa
peningkatan tahanan vaskular intrahepatik melalui gangguan langsung pada aliran darah
di sinusoid. Selain itu pada hati yang sirosis terjadi peningkatan tonus vaskular akibat
defisiensi relatif vasodilator lokal intrahepatik, terutama nitrat oksida (nitric oxide).11

355
Bab 21 Hipertensi Porta

Selain peningkatan resistensi vaskular intrahepatik, terjadi juga peningkatan aliran darah
porta karena vasodilatasi splanknik yang diperantarai oleh nitrat oksida. Akibatnya
terjadi sirkulasi hiperdinamik yang tergantung pada vasodilatasi perifer dan retensi
natrium kompensatorik dengan ekspansi volume plasma karena pengaktifan sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis dapat dilihat pada Tabel
21.7.1. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta dapat dilihat pada Tabel 21.7.2.

21.7 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis hipertensi porta umumnya mengejutkan. Kira-kira dua pertiga anak
dengan hipertensi porta datang dengan hematemesis-melena, biasanya karena pecahnya
varises esofagus. Perdarahan gastrointestinal juga dapat terjadi karena gastropati hipertensi
porta, gastric antral vascular ectasia (GAVE), atau dari varises gaster, duodenum,
periostomal atau rektum. Perdarahan dapat sangat hebat dan mengancam kehidupan.
Hampir seluruh pasien yang dilaporkan di atas juga dengan splenomegali pada saat datang
dengan perdarahan, oleh sebab itu kombinasi perdarahan gastrointestinal dan splenomegali
perlu dipikirkan akibat hipertensi porta terlebih dahulu sampai terbukti bukan.
9
Tabel 21.7.1. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis
2 01
I. Peningkatan resistensi aret
9M
A. Makroskopis (irreversibel?)
ro
1. Nodul regenerasi
G ast
t
2. Fibrous septa pa
3. Trombosis vena intrahepatik k ra
4. Ablasi parenkim hati unt
u
B. Mikroskopis (reversibel) st r o
a
1. Pembengkakan
j ar Gsel hepatosit
Ahepatic stellate cell (HSC) perisinusoidal
2. Aktivasi
ku
3. uKolagenosis perisinusoidal
i l
II. Peningkatan aliraneBdarah vena porta
F
A. Dilatasi vena porta
B. Peningkatan produksi vasodilator
C. Splenomegali
D. Sirkulasi hiperdinamik sistemik
Sumber: de Franchis, 2004.

Tabel 21.7.2. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta


TAHAP AWAL
Ekspansi volume darah-vasorelaksasi

TAHAP AKHIR
Ekspansi volume darah
Vasodilatasi umum
• Peningkatan vasodilator yang bersirkulasi (nitrat oksida, prostasiklin, glukagon, dll)
• Penurunan respons vaskular vasokonstriktor yang bersirkulasi
Peningkatan pirau (shunting)
Sumber: de Franchis, 2004.

356
Buku Ajar Gastrohepatologi

Selain perdarahan gastrointestinal, manifestasi lain yang sering adalah splenomegali.


Umumnya splenomegali diketahui pada pemeriksaan fisik rutin secara tidak sengaja. Pasien
umumnya telah merasakan perutnya membesar pada sebelah kiri atas selama bertahun-
tahun. Kadang-kadang ditemukan manifestasi hipersplenisme berupa trombositopenia,
leukopenia, petekie, atau ekimosis yang pada pemeriksaan selanjutnya ditemukan adanya
hipertensi porta. Walaupun splenomegali merupakan gejala hipertensi porta, tetapi
ukurannya tidak berhubungan dengan tekanan porta.
Gejala vena yang melebar di dinding abdomen juga spesifik untuk hipertensi porta.
Gambaran venektasi ini terjadi akibat pirau portokolateral melalui pembuluh darah
subkutan. Arah aliran pada vena tersebut menunjukkan tempat obstruksi. Jika vena kava
inferior yang tersumbat, arah aliran di atas umbilikus biasanya cephalad (ke arah kepala).
Dekompresi vena porta juga menimbulkan gejala kaput medusa, ini adalah dekompresi
pada vena umbilikus yang berakibat pelebaran kolateral periumbilikalis yang hebat, tetapi
kaput medusa jarang ditemukan pada anak.
Gejala asites dapat ditemukan dan umumnya berhubungan dengan penyakit hati yang
diderita pasien. Hipertensi pulmonal juga dapat ditemukan pada anak, dan merupakan
suatu keadaan yang mengkhawatirkan bila ditemukan. Patofisiologinya belum jelas, tetapi
berhubungan dengan hipertensi porta. Komplikasi ini jarang terjadi9 tetapi dilaporkan
01
terjadi pada anak.
re t2
Sindrom hepatopulmonal juga merupakan manifestasi
a
Mklinis yang penting. Pada
o 9
str
keadaan ini terjadi pirau darah dari kanan ke kiri aintrapulmonal yang menyebabkan
desaturasi sistemik. Gejalanya berupa sesak nafas, t G
intoleransi terhadap latihan, dan jari
a
r ap perifer posisi berdiri pada saat diperiksa
gada (clubbing finger). Pengukuran saturasi oksigen
tuk
penting untuk uji penapisan kelainan oini.un Saturasi oksigen dibawah 96% perlu diperiksa
r
ast
lebih lanjut untuk menyingkirkanGsindrom hepatopulmonal.
Ajar
u
uk
21.8 Diagnosis
Fi l e B

Hipertensi porta perlu dipikirkan pada anak dengan perdarahan gastrointestinal yang
signifikan atau splenomegali yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Pemeriksaan fisik
dilakukan untuk mencari tanda-tanda penyakit hati kronis. Pemeriksaan juga diperlukan
untuk menilai adanya gangguan pertumbuhan, lesi kutaneus yang mengarah pada
kelainan hati kronis (misalnya teleangiektasia, eritema palmaris). Kombinasi perdarahan
gastrointestinal dan splenomegali sangat sugestif untuk hipertensi porta. Pemeriksaan
laboratorium ditujukan untuk menilai fungsi hati. Pemeriksaan jumlah leukosit dan
trombosit dapat mengarah pada hipersplenisme.
Idealnya adanya hipertensi porta ditentukan dengan menentukan tekanan porta secara
langsung. Jika tekanan porta meningkat di atas batas normal maka disebut hipertensi porta,
tetapi pengukuran langsung tekanan porta bersifat invasif dan tidak praktis sehingga dicari
metode lain untuk menentukannya. Metode yang dapat digunakan adalah: (1) pengukuran
gradien tekanan vena porta, (2) USG Doppler abdomen, dan (3) endoskopi.

357
Bab 21 Hipertensi Porta

Pengukuran gradien vena porta


Penentuan gradien tekanan vena porta (hepatic vein pressure gradient-HVPG) adalah metode
tidak langsung tetapi akurat untuk memperkirakan tekanan porta. Pengukuran HPVG
dilakukan dengan cara melakukan kateterisasi vena hepatika melalui jalan transfemoral
atau transjugular. HVPG dihitung dengan cara mengurangi tekanan vena porta bebas dari
tekanan wedge vena hepatika.
Batas atas normal HVPG adalah 5 mmHg Di atas nilai itu berarti terdapat hipertensi
porta. Pengukuran HVPG bermanfaat untuk menilai risiko terbentuknya varises esofagus
dan risiko perdarahan. Varises tidak terbentuk dan tidak berdarah bila HVPG nilainya
kurang dari 12 mmHg. HVPG juga bemanfaat untuk evaluasi pengobatan dan untuk menilai
prognosis perdarahan varises akut. Walaupun HVPG aman dan akurat, pemeriksaan ini
tidak praktis karena bersifat invasif dan relatif mahal serta memerlukan ahli yang terlatih.
Walaupun pemeriksaan ini bermanfaat pada orang dewasa, pada anak belum dilaporkan.

USG Doppler abdomen


Pemeriksaan USG Doppler abdomen mendeteksi secara tidak langsung tanda hipertensi
porta. Pada USG ditentukan apakah terdapat ekogenisitas hati yang abnormal,
9 splenomegali,
asites, dilatasi vena porta, vena porta yang berkelok-kelok, patensi2 01vena umbilikalis, atau
t
are aliran vena porta (apakah
adanya kolateral vena lainnya. Selain itu dapat dihitung kecepatan
M
9
stro
terdapat perlambatan aliran?), arah aliran porta (hepatopetal atau reversi/hepatofugal),
Ga
dan ada tidaknya turbulensi. Pemeriksaan USGattermasuk pemeriksaan yang tidak invasif
dan relatif mudah diulang, tetapi pemeriksaank rap ini sangat bergantung pada operator dan
tu
un dan kesepakatan hasil antarobserver yang rendah
terdapat variabilitas antaralat yang tinggi
o
r
(intraobserver variabilitas sampaiast 30% dan interobserver variabilitas sampai dengan
r G dan interobserver dapat ditingkatkan dengan pelatihan.
50%), walaupun variabilitasjaintra-
A
Walaupun USG Doppler
u ku menggambarkan secara tidak langsung adanya hipertensi porta,
eB
tetapi tidak dapatilmenggantikan HVPG untuk menilai beratnya hipertensi porta dan kurang
F
baik untuk menilai respons pengobatan untuk menurunkan tekanan porta pada sirosis hati.

Endoskopi
Endoskopi gastrointestinal atas lebih tersedia dibandingkan pengukuran HVPG dan metode
yang lebih disukai untuk menilai hipertensi porta. Dengan endoskopi dapat dinilai ada
tidaknya varises esofagus atau gaster, ukuran varises, gastropati hipertensi porta. Endoskopi
terutama bermanfaat untuk menentukan sumber perdarahan, apakah karena pecahnya
varises atau karena sebab lain seperti gastritis atau ulkus peptikum. Terdapat kesepakatan
interobserver dalam menilai ukuran varises dan dicapai akurasi yang cukup memuaskan.

21.9 Terapi
Terapi hipertensi porta tergantung pada 3 keadaan klinis yaitu: (1) pencegahan perdarahan
varises pertama kali (profilaksis primer), (2) pengobatan perdarahan akut, dan (3)
pencegahan perdarahan varises berikutnya (profilaksis sekunder).

358
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pencegahan perdarahan varises pertama kali (profilaksis primer)


Pada orang dewasa, pencegahan perdarahan varises pertama kali secara prinsip ditujukan
untuk: (1) mencegah pembentukan varises, (2) mencegah pertumbuhan varises kecil
menjadi besar, dan (3) mencegah pecahnya varises sedang-besar.

Pencegahan pembentukan varises (profilaksis pre-primer)


Terdapat dua penelitian pada orang dewasa yang menilai profilaksis primer yang
membandingkan pemberian penghambat reseptor beta-adrenergik (beta blocker) dan
plasebo. Pada penelitian-penelitian tersebut, disimpulkan terapi beta blocker tidak efektif
untuk mencegah terjadinya varises dengan hipertensi porta, walaupun data yang ada
mungkin belum lengkap. Belum ada laporan pada anak mengenai pencegahan pembentukan
varises yang dilaporkan.

Pencegahan pertumbuhan varises kecil menjadi besar


Terdapat dua penelitian pada orang dewasa mengenai hal ini: penelitian di Perancis dan
Italia. Penelitian di Perancis, mendapatkan bahwa propranolol tidak efektif untuk mencegah
pertumbuhan varises pada pasien dengan varises kecil saat awal penelitian. 9 Penelitian di
2 01
Italia, meneliti nadolol dibandingkan dengan plasebo. Pada 3 tahun
re t pengamatan, nadolol
dapat mencegah pertumbuhan varises. Pada kelompok 9nadolol Ma jumlah pasien yang
tro
mengalami perdarahan secara bermakna lebih rendahasdibandingkan plasebo. Mengingat
kedua hasil penelitian ini berlawanan, belum dapat t G disimpulkan mengenai efikasi beta
pa
blocker untuk mencegah pembesaran varises.uk ra
unt
ro
Pencegahan pecahnya varises ast
G sedang-besar
jar
Operasi pirau portokavalkdanu A skleroterapi telah ditinggalkan untuk mencegah perdarahan
Bu
ile pirau portokaval ditinggalkan karena secara bermakna lebih tinggi
pertama varises. Operasi
F
kematiannya pada kelompok yang dioperasi dibandingkan kelompok kontrol. Skleroterapi
ditinggalkan karena hasil penelitian satu dan yang lain tidak konsisten. Saat ini pada orang
dewasa umumnya disetujui untuk pasien dengan varises berukuran sedang-besar perlu
diberikan terapi profilaksi. Propranolol merupakan obat yang paling sering digunakan
untuk profilaksi. Penelitian meta-analisis yang membandingkan beta blocker dan plasebo,
melaporkan hasil bahwa beta blocker menurunkan mean insidens perdarahan dari 25%
menjadi 15%. Bila pasien dapat diturunkan HVPG-nya di bawah 12 mmHg atau diturunkan
20% di bawah HVPG semula, insidens perdarahan bisa kurang dari 10%. Kekurangan beta
blocker ini adalah mengenai efek sampingnya. Isosorbid mononitrat (ISMN) memiliki efek
samping yang lebih rendah daripada nadolol, tetapi ternyata kurang efektif untuk mencegah
perdarahan primer. Kombinasi beta blocker dan ISMN jika dibandingkan dengan beta
blocker tersendiri tidak menunjukkan perbedaan bermakna dalam mencegah perdarahan
pertama. Dalam meta-analisis, ligasi secara bermakna menurunkan insidens perdarahan
pertama dan mortalitas.
Sampai saat ini beta blocker masih merupakan pilihan utama untuk pencegahan
perdarahan pertama kali pada orang dewasa, tetapi ligasi juga dapat digunakan dan

359
Bab 21 Hipertensi Porta

sebaiknya digunakan sebagai pilihan utama pada pasien dengan kontraindikasi atau
menunjukkan intoleransi terhadap beta blocker.
Pemberian profilaksis untuk perdarahan varises pertama kali pada anak masih
kontroversial. Endoskopi surveilans pada anak dengan penyakit hati dan stigmata hipertensi
porta hanya dibenarkan jika dokter mengantisipasi pemberian profilaksis, baik beta blocker
atau ligasi dengan endoskopi. Terapi beta blocker pada hipertensi porta memberikan
efek primer penghambatan reseptor q2 pada splanchnic bed, yang menyebabkan tidak
dihambatnya stimulasi terhadap reseptor qqadrenergik, sehingga menurunkan perfusi
splanknik dan porta. Selain itu beta blocker juga menurunkan frekuensi denyut jantung
karena penghambatan reseptor q1 adrenergik sehingga menurunkan cardiac output dan
perfusi porta. Propranolol juga diketahui menurunkan sirkulasi kolateral seperti aliran
darah di vena azigos. Dosis terapeutik diharapkan dapat menurunkan frekuensi denyut
nadi minimal 25% dari frekuensi basal saat istirahat. Dosis propranolol 0,6 sampai 8,0 mg/
kgBB/hari dibagi 2-4 dosis perhari diperlukan untuk mendapatkan efek terapeutik. Efek
samping utama penggunaan propranolol adalah blok jantung dan eksaserbasi asma. Beta
blocker juga berpotensi mengganggu respons fisiologis terhadap hipoglikemia sehingga
obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan diabetes.
9
2 01
Pengobatan perdarahan akut aret
Penatalaksanaan perdarahan akut terdiri dari penilaian 9Mo awal pasien, resusitasi efektif,
diagnosis, pengendalian perdarahan dan pencegahan a str berulang dini, dan pencegahan
G
p at
komplikasi seperti infeksi, gagal ginjal atau ensefalopati hati.
r a
k
u ntu
Penilaian awal pasien ro
G ast
Adanya konsumsi obat-obat Ajar NSAID atau aspirin, riwayat perdarahan sebelumnya dan
u
diagnosis penyakit hati
Buk sebelumnya perlu ditanyakan. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan
il e
untuk mencari Ftanda-tanda penyakit hati kronis. Pemeriksaan awal perlu menilai beratnya
perdarahan (takikardi, hipotensi), disfungsi ginjal atau penyakit lain, beratnya penyakit
hati (Child-Pugh score) dan ada tidaknya infeksi (kultur). Pasien yang sedang menggunakan
beta blocker mungkin tidak ditemukan gejala takikardi walaupun telah terjadi gangguan
hemodinamik sehingga meningkatkan risiko terjadinya gangguan hemodinamik yang
lebih berat karena keadaan yang sebenarnya tidak dikenali.

Resusitasi
Pasien perlu dihindarkan dari kemungkinan aspirasi, terutama bila pasien tidak sadar.
Jalur intravena perlu dipasang. Pemberian volume cairan untuk menggantikan perdarahan
perlu diperhatikan dengan seksama karena pemberian volume restitusi sepenuhnya justru
akan meningkatkan tekanan vena porta melebihi yang semestinya sehingga berisiko
menimbulkan perdarahan selanjutnya. Saat ini bila akan memberikan transfusi packed red
cells dianjurkan untuk mempertahankan hematokrit antara 25%-30% saja.
Pemasangan nasogastric tube (NGT) aman dilakukan serta perlu untuk menilai
perdarahan yang masih berlangsung dan mengeluarkan darah. Darah merupakan sumber
protein yang dapat mempresipitasi ensefalopati. Selain itu darah di dalam lambung akan

360
Buku Ajar Gastrohepatologi

meningkatkan aliran darah splanknik dan berpotensi memperburuk hipertensi porta dan
perdarahan berikutnya.
Trombosit perlu diberikan bila jumlahnya kurang dari 50.000/ml dan koagulopati
perlu dikoreksi dengan vitamin K atau dengan fresh frozen plasma terutama pada pasien
dengan kolestasis. Antibiotik intravena sangat dianjurkan untuk diberikan pada pasien
dengan asites karena risiko terjadinya peritonitis bakterial spontan meningkat pada keadaan
perdarahan varises terutama yang membutuhkan endoskopi emergensi.

Diagnosis
Secepatnya pasien stabil, endoskopi perlu dilakukan untuk menentukan apakah perdarahan
memang berasal dari pecahnya varises. Tanda perdarahan baru adalah adanya bekuan
darah, adanya varises dengan perdarahan baru di lambung, dan tidak adanya sumber
perdarahan yang lain. Endoskopi merupakan bagian terintegrasi penanganan emergensi
perdarahan gastrointestinal akut pada anak dengan hipertensi porta. Cukup banyak pasien
dengan penyakit hati kronis dan perdarahan gastrointestinal dengan sumber perdarahan
bukan dari varises, misalnya ulkus duodenum atau ulkus gaster, tetapi farmakoterapi untuk
perdarahan akut tidak perlu ditunda sampai endoskopi dilakukan.
9
2 01
t
Pengontrolan perdarahan dan pencegahan perdarahan M are
berulang dini
9
Pengobatan perdarahan varises akut perlu ditujukan untuk ro mengontrol perdarahan dan
G
mencegah perdarahan dini. Terapi farmakologis (vasopressin,ast somatostatin, octreotide) dan
p at
a
r untuk mengontrol perdarahan akut.
terapi endoskopi (skleroterapi atau ligasi) efektif
ntuk
ou
Terapi farmakologis adalah menggunakan vasopressin atau somatostatin (atau
analognya). Vasopressin paling lama a str digunakan, bekerja dengan cara meningkatkan
tonus vaskular splanknik dan rG
jaakhirnya menurunkan aliran darah porta. Penggunaannya
u A
dibatasi oleh efek sampingk
u yang mungkin timbul, seperti gagal ventrikel kiri, iskemia
le B dan perut. Akibat dari efek samping yang mungkin timbul ini,
usus, angina, nyeriFidada
penelitian-penelitian dilakukan untuk mendapatkan alternatif terapi. Somatostatin dan
homolog sintetis octreotide juga menunjukkan penurunan aliran darah splanknik. Efek
ini dianggap karena penghambatan sekresi peptida vasoaktif peptida di usus. Efek obat ini
untuk perdarahan akut serupa dengan vasopressin, tetapi dengan efek samping yang lebih
rendah. Dosis octreotide yang dianjurkan untuk anak adalah 1,0 – 5,0 mg/kgBB/jam dengan
infus kontinyu, didahului pemberian bolus 1 kali dosis yang setara pemberian infus 1 jam.
Terapi kombinasi dengan obat vasoaktif (terlipressin, somatostatin atau analog-
octreotide atau vapreotide) dengan terapi endoskopi (skleroterapi atau ligasi) dievaluasi secara
luas. Studi meta-analisis menunjukkan bahwa terapi farmakologis dengan endoskopi lebih
efektif daripada terapi endoskopi tersendiri untuk mengontrol perdarahan dan mencegah
perdarahan berulang dalam 5 hari, tetapi tidak ada perbedaan mortalitas. Kombinasi terapi
endoskopi dan farmakologis dapat mengontrol perdarahan pada 90% pasien dan mencegah
perdarahan berulang dini sekitar 80%. Algoritme tatalaksana perdarahan yang dicurigai
varises dapat dilihat pada Gambar 21.9.1.

361
Bab 21 Hipertensi Porta

Curiga
perdarahan
varises

Resusitasi
Dengan obat vasoaktif
(misalnya octreotide)

Tidak tersedia
Endoskopi
fasilitas dan
diagnosis
tenaga ahli

Ligasi atau
9
Obat vaso aktif- Skleroterapi 2 01
Transfer ke RS yang aret
o 9M
ada fasilitas tsb
a str
atG Survailans
Perdarahan
ap
tu kr
terkontrol?
YA Endoskopi
n + Obat
trou
G as
Ajar Tidak
u
Buk
l e
Fi
TIPS

Ya
Berhasil

Tidak

Operasi pirau

Gambar 21.9.1. Algoritme tatalaksana anak dengan kecurigaan perdarahan varises

362
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pencegahan komplikasi
Infeksi bakteri merupakan komplikasi serius pada sirosis lanjut, terutama pada pasien
dengan perdarahan. Pada keadaan ini, infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, asites,
atau infeksi pada berbagai tempat dapat terjadi. Infeksi umumnya berasal dari flora usus,
dan yang paling sering adalah karena E. coli. Infeksi terjadi pada lebih dari sepertiga
pasien sirosis dengan perdarahan dalam waktu 7 hari perawatan, dan berhubungan
dengan kegagalan pengendalian perdarahan, perdarahan berulang dini, dan kematian dini.
Profilaksi antibiotik sudah merupakan bagian integral penanganan perdarahan pada pasien
sirosis.

Pencegahan perdarahan varises berikutnya (profilaksis sekunder)


Sekali varises berdarah, rekurensi pada dewasa dapat mencapai 2/3 pasien, biasanya selama
beberapa minggu pertama. Prinsip pencegahan sekunder adalah dengan obat-obatan,
endoskopi, dan transjugular hepatic portosystemic stent shunt (TIPS), dan operasi pirau.
Pada umumnya pencegahan sekunder dilakukan dengan obat atau dengan endoskopi.
Beta blocker terbukti lebih efektif dibandingkan plasebo untuk mencegah perdarahan
berulang dan kematian. Endoskopi skleroterapi juga lebih efektif daripada9terapi konservatif.
1 lebih baik pada
Perbandingan antara skleroterapi dan beta blocker menunjukkan tsedikit
e 20
r
skleroterapi untuk mencegah perdarahan berulang, tetapi tidak
9 Maada perbedaan mortalitas.
Studi meta-analisis menunjukkan bahwa ligasi lebih efektif o daripada skleroterapi untuk
str
Ga
mencegah perdarahan berulang, tetapi tidak ada t perbedaan mortalitas. Ligasi saat ini
p a
direkomendasikan sebagai terapi endoskopi untuk a mencegah perdarahan varises berulang.
tu kr
n
Zargar dkk yang membandingkan skleroterapi dan ligasi untuk pencegahan sekunder
trou
s
pada penelitian randomized clinicalatrial, perdarahan berulang pada kelompok skleroterapi
adalah 25%, sedangkan kelompok j ar G ligasi 4% dengan nilai p= 0,049. Ligasi mempunyai
A
keuntungan dengan lebih u kusedikitnya sesi yang diperlukan (4 vs 6) dan menyebabkan
eB
Fil rendah (4% vs 25%), tetapi tidak ada perbedaan timbul kembali
komplikasi yang lebih
varises esofagus maupun terbentuknya varises gaster.
Kombinasi beta blocker dan ISMN yang dibandingkan dengan skleroterapi
menunjukkan kombinasi terapi obat lebih superior dibandingkan skleroterapi untuk
mencegah perdarahan berulang, tetapi tidak berbeda pada mortalitas. Studi meta-analisis
yang membandingkan terapi obat kombinasi dan ligasi tidak menunjukkan adanya
perbedaan keduanya dalam mencegah perdarahan berulang.
Pada pasien dengan perdarahan varises yang tidak dapat dikontrol dengan endoskopi
dan terapi farmakologis, tersedia dua pilihan, yaitu operasi pirau portosistemik dan
TIPS. Operasi pirau efektif untuk menghentikan perdarahan tetapi berhubungan dengan
tingginya mortalitas bila dilakukan secara emergensi. Operasi pirau dapat diperberat dengan
trombosis pirau dan ensefalopati. Teknik pirau yang baru untuk pasien dengan obstruksi
vena porta ekstrahepatik dilaporkan oleh de Ville de Goyet, prosedur ini menggunakan
conduit vena mesenterika ke vena porta kiri sehingga sirkulasi antegrad dipertahankan
melalui parenkim hati pada pasien dengan obstruksi vena porta. Pasien dengan hipertensi
porta nonsirosis atau sirosis dengan Child Pugh A dapat diharapkan mempunyai fungsi hati
jangka panjang yang baik dan hidup bebas dari perdarahan setelah spleno renal shunt.

363
Bab 21 Hipertensi Porta

Pada dua studi meta-analisis yang melaporkan perbandingan TIPS dengan terapi
endoskopi memberikan hasil yang sama yaitu TIPS secara bermakna menurunkan
perdarahan berulang dibandingkan dengan terapi endoskopi (19% vs 47%, p<0,001),
tetapi secara bermakna meningkatkan ensefalopati (34% vs 19%; p<0,001), dan tidak ada
perbedaan angka survival. TIPS pada anak telah dilakukan pada dua seri kasus yang kecil.

Daftar Pustaka
1. Banares R, Albillos A, Rincon D, Alonso S, Gonzalez M, et al. Endoscopic treatment versus
endoscopic plus pharmacologic treatment for acute variceal bleeding: a meta-analysis.
Hepatology 2002;35:609-15.
2. Bernard B, Cadranel JF, Valla D, Escolano S, Jarlier V, Opolon P. Prognostic significance of
bacterial infection in bleeding cirrhotic patients. Gastroenterology 1995;108:1828-34.
3. Borroni G, Salerno F, Cazzaniga M, Bissoli F, Lorenzano E, et al. Nadolol is superior to isosorbide
mononitrat for prevention of the first variceal bleeding in cirrhotic patients with ascites. J
Hepatol 2002;37:315-21.
4. Borzio M, Salerno F, Piantoni L, Cazzaniga M, Angeli P, et al. Bacterial infection in patients with
advanced cirrhosis: a multicenter prospective study. Dig Liv Dis 2001;33:41-8.
5. Botha JF, Campos BD, Grant WJ, Horslen SP, Sudan DL, et al. Portosystemic 9 shunts in children:
A 15 year experience. J Am Coll Surg 2004;199:179-85. 2 01
t
6. Burroughs AK, McCormic PA, Hughes MD, Sprenger D, D’Heygere
M are F, MCIntyre N. Randomized,
9
double-blinded, placebo-controlled trial of somatostatin
stro for variceal bleeding: Emergency
a
control and prevention of early variceal rebleeding.GGastroenterology 1990;99:1388-95.
7. Cales P, Oberti F, Payen JL, Naveau S, Guyader p at Blanc P, et al. Lack of effect of propranolol in
D,
the prevention of large oesophageal varices
ra patients with cirrhosis: a randomized tial. Eur J
k inth
ntu
Gastroenterol Hepatol 1999;11:741-5
trou
8. Chen L, Groszmann RJ. Bloodain s the gastric lumen increases splanchnic blood flow and portal
j ar G rats. Gastroenterology 1996;111:1103-10.
pressure in portal hypertension
A
9. Choi YJ, Baik SK, Parku ku DH, Kim MY, Kim HS, et al. Comparison of Doppler ultrasonography
B
and the hepatic
F ile venous pressure gradient in assessing portal hypertension in liver cirrhosis. J
Gastroenterol Hepatol 2003;18:424-9.
10. Conn HO, Lindenmuth WW, May CJ, Ramsby GR. Prophylactic portocaval anastomosis; a tale
of two studies. Medicine 1972;51:27-40.
11. D’Amico G, Pagliaro L, Bosch J. The treatment of portal hypertension: a meta-analytic review.
Hepatology 1995;22:332-54.
12. D’Amico G, Paglioro L, Bosch J. Pharmacologic treatment of portal hypertension: an evidence-
based approach. Semin Liver Dis 1999;19:475-505.
13. de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: report of the Baveno III consensus
workshop on definitions, methodology and therapeutic strategies in portal hypertension. J
Hepatol 2000;33:846-52.
14. de Franchis R, Dell’Era A, Iannuzzi F. Diagnosis and treatment of portal hypertension. Digestive
and Liver Disease 2004;36:787-798.
15. de Franchis R, Primignani M. Endoscopic treatments for portal hypertension. Semin Liver Dis
1999;19:439-55.
16. Feu F, Garcia-Pagan JC, Bosch J, Luca A, Teres J, Escosell A, et al. Relation between portal
pressure response to pharmacotherapy and risk of recurrent variceal haemorrhage in patients
with cirrhosis. Lancet 1995;346:1056-9.
17. Garcia-Tsao G. Portal hypertension. Curr Opin Gastroenterol 2003;19:250-8.

364
Buku Ajar Gastrohepatologi

18. Garcia-Tsao G, Groszmann RJ, Fisher RL, ConnHO, Atterbury CE, Glickman M. Portal pressure,
presence of gastro-esophageal varices and variceal bleeding. Hepatology 1985;5:419-24.
19. Grace ND. Diagnosis and treatment of gastrointestinal bleeding secondary to portal
hypertension. American College of Gastroenterology Practice Parameters Committee. Am J
Gastroenterol 1997;92:1081-91.
20. Graham DY, Smith JL. The course of patients after variceal hemorrhage. Gastroenterology
1981;80:800-9.
21. Groszmann R, Garcia-Tsao G, Makuch R, Bosch J, Escorsell A, et al. Multicenter randomized
trial of non-selective beta blocker in the prevention of complications of portal hypertension:
final result and identification of a predictive factor. Hepatology 2003;38:206A
22. Groszmann RJ, Wongcharatrawee S. The hepatic vein pressure gradient: anything worth doing
should be done right. Hepatology 2004;39:280-2.
23. Heyman MB, LaBerge JM, Somberg KA, Rosenthal P, Madge C, et al. Transjugular intrahepatic
portosystemic shunts (TIPS) in children. J Pediat 1997;131:914-9.
24. Heyman MB, LaBerger JM. Role of transjugular intrahepatic portosystemic shunts in the
treatment of portal hypertension in pediatric patients. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999;29:240-
9.
25. Imperiale TF, Chalasani N. A meta-analysis of endoscopic variceal ligation for primary
prophylaxis of esophageal variceal bleeding. Hepatology 2001;33:802-7.
26. Kravets D, Bosch J, Teres J, Bruix J, Rimola A, Rodes J. Comparison of intravenous somatostatin
9
01
and vasopressin infusions in the treatment of acute variceal hemorrhage.2Hepatology 1984;4:442-
re t
Ma concepts in diagnostic and
6.
27. Krowka MJ, Cortese DA. Hepatopulmonary syndrome: current 9
therapeutic considerations. Chest 1994;105:1528-37. ast
ro
G
28. Lange PA, Stoller KJ. The hepatopulmonary syndrome. at Ann Intern Med 1995; 122:521-9.
r ap
tuk meta-analysis of randomized clinical trials.
29. Luca A, D’Amico G, La Galla R, Midiri M, Morabito A, Pagliaro L. TIPS for prevention of
n
ou
recurrent bleeding in patients with cirrhosis:
Radiology 1999;212:411-21. a str
G P, Duche M, Bernard O. Risk of gastrointestinal bleeding
jar
30. Lykavieris P, Gauthier F, Hadchouel
A
during adolescentce and uearly adulthood in children with portal vein obstruction. J Pediatr
2000;136:805-8. le B
uk
Fi M, Bellon S, Zuin R, Noventa F, Finucci G, et al. Prognostic usefulness of
31. Merkel C, Bolognesi
hepatic vein catheterization in patients with cirrhosis and esophageal varices. Gastroenterology
1992;102:973-9.
32. Merkel C, Marin R, Angeli P, Zanella P, Felder M, et al. Beta-blockers in the prevention of
the aggravation of esophageal varices in patients with cirrhosis and small varices:a placebo-
controlled clinical trial. Heptology 2003;38:217A
33. McKieman PJ. Treatment of variceal bleeding.Ped Gastroint Endosc 2001;11:789-813.
34. Molleston JP. Variceal bleeding in children. JPGN 2003;37:538-45.
35. Ozsoylu S, Kocak N, Yuce A. Propranolol therapy for portal hypertension in children. J Pediatr
1985;106:317-20.
36. Papatheodoridis GV, Goulis J, Leandro G, Patch D, Burroughs AK. Transjugular intrahepatic
portosystemic shunt compared with endoscopic treatment for prevention of variceal rebleeding:
a meta-analysis. Hepatology 1999;30:612-22.
37. Reif S, Blendis L. Portal hypertension and ascites.Dalam: Walker WA,Durie PR, Hamilton JR,
Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease, edisi ke-3. Canada:
BC Decker; 2000. h. 233-43.
38. Rolando N, Gimson A, Philpot-Howard J, et al. Infectious sequelae after endoscopic sclerotherapy
of oesophageal varices:role of antibiotic prophylaxis. J Hepatol 1993;18:290-4.

365
Bab 21 Hipertensi Porta

39. Sabba C, Merkel C, Zoli M, Ferraioli G, Gainani S, Sacerdoti D, et al. Interobserver and
interequipment variability of echo-Doppler examination of the portal vein: effect of a cooperative
training program. Hepatology 1995;21:428-33.
40. Sacerdoti D, Gaiani S, Buonamico P, Merkel C, Zoli M, et al. Interobserver and interequipment
variability of hepatic, splenic and renal artery Doppler resistance indices in normal subjects and
patients with cirrhosis. J Hepatol 1997;27:886-92.
41. Shah SHA, Hayes PC, Allan PL, Nicholl J, Finlayson ND. Measurement of spleen size and its
relationship to hypersplenism and portal hyperdinamics in portal hypertension due to hepatic
cirrhosis. Am J Gastroenterol 1996;91:2580-83
42. Shashidhar H, Langhans N, Grand RJ. Propranolol in prevention of portal hypertension
hemorrhage in children: a pilot study. J Pediatr Gastroenterol Nur 1999;29:12-7.
43. Shneider BL. Portal hypertension. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, editors. Liver disease
in children. Philadelphia:Lippincott WW, 2001, edisi ke-2. h. 129-51.
44. Soh H, Hasegawa T, Sasaki T, Azuma T, Okada A, et al. Pulmonary hypertension associated with
postoperative biliary atresia: report of two cases. J Pediatr Surg 1999;34:1779-81.
45. Sokal EM, VanHoorebeeck N, VanObbergh L. Upper gastrointestinal track bleeding in cirrhotic
children candidates for liver transplantation. Eur J Pediatr 1992;151:326-8
46. Stringer MD, Howard ER, Mowat AP. Endoscopic sclerotherapy in the management of
oesophageal varices in 61 children with biliary atresia. J Pediatr Surg 1989;24:438-42.
47. The North Italian Endoscopic Club for the Study ant Treatment of Esophageal Varices. Prediction
of the first variceal hemorrhage in patients with cirrhosis of the liver 19 esophageal varices. N
0and
t 2
re
Ma Its role in the regulation of
Engl J Med 1988;319:983-9.
48. Weist R, Groszmann RJ. Nitric oxide and portal hypertension: 9
ro
intrahepatic and splanchnic vascular resistance (review).
G ast Semin Liver Dis 1999;19:411-26
49. Villanueva C, Minana J, Ortiz J, Gallego A, Soriano at G, et al. Nadolol plus isosorbid mononitrate
r apvariceal rebleeding. N Engl J Med 1996;334:1624-
compared with sclerotherapy for prevention k of
9. u ntu
50. Vivas S, Rodriguez M, PalacioasMA, tro Linares A, Alonso JL, Rodrigo L. Presence of bacterial
G
jar patients is independently associated with early mortality and
infection in bleeding cirrhotic
A
u Dig Dis Sci 2001;46:2752-7.
failure to control bleeding.
51. Westaby S, WilkinsonBuk SP, Warren R, Williams R. Spleen size and portal hypertension in cirrhosis.
e
Fil
Digestion 1978;17:63-8.
52. Zargar SA, Javid G, Khan BA, Yatto GN, Shah AH, et al. Endoscopic ligation compared with
sclerotherapy for bleeding esophageal varices in children with extrahepatic portal venous
obstruction. Hepatology 2002;36:666-72

366
BAB

22
Gangguan Saluran Cerna Fungsional
(FGID)
Reza Gunadi Ranuh

22.1 Ilustrasi Kasus


Seorang bayi perempuan, usia 1½ bulan, datang dengan keluhan gumoh sesudah makan
sejak usia 3 minggu hari yang lalu. Gumoh sebanyak 6 kali sehari. Tidak disertai demam,
mual muntah dan batuk pilek. Tidak ada juga keluhan lain seperti penurunan berat badan
ataupun muntah darah. Bayi tidak rewel atau menangis berlebihan. Selama hamil ibu
mengaku sehat tidak pernah sakit demam ataupun kejang. Riwayat pertumbuhan dan
perkembangan normal. Anak hanya minum ASI saat ini.
Pemeriksaan fisik anak tampak sehat, aktif, tanda vital dalam batas normal. Kesan
status gizi baik. Kulit dan sklera tidak ada ikterus atapun anemis. Abdomen tidak distensi,
hepar tidak teraba dan tidak ada nyeri tekan. Ekstrimitas tidak didapatkan tanda-tanda
dehidrasi. Hasil pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi hati, dan elektrolit dalam
batas normal.

22.2 Pendahuluan
Gangguan saluran cerna fungsional adalah gangguan fungsi saluran cerna tanpa ada
kelainan organik saluran cerna. Prevalensi gagangguan gastrointestinal fungsional
(functional gastrointestinal disorder/FGID) pada anak di Indonesia belum diketahui. Studi
di negara barat melaporkan, prevalensi FGID pada anak usia sekolah mencapai 20-29%,
sedangkan prevalensi pada kelompok usia bayi dan balita sebagian besar tidak diketahui.
Beberapa hal yang mempengaruhi prevalensi FGID pada anak antara lain pola infeksi dan
pelayanan kesehatan berbeda, penggunaan antibiotik dalam 2 tahun pertama kehidupan,
infeksi saluran cerna maupun infeksi usus ekstraintestinal, alergi gastrointestinal, diet, dan
lama menyusui, serta persepsi orang tua tentang penyakit dan kekhawatiran orang tua yang
sangat bervariasi.
Patogenesis FGID ini belum diketahui dengan jelas. Namun diyakini bahwa unsur-
unsur hormonal, neuronal dan psikogenik berperan dalam timbulnya gejala FGID.
Beberapa faktor penting yang diperkirakan mempunyai pengaruh pada FGID antara lain
sistem saraf enterik (ENS), motilitas, sekresi enzim dan mikrosirkulasi, respon imun dan

367
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)

inflamasi saluran cerna. Kemampuan respon adaptif dari ENS sebagai pemicu fisiologis dan
stres mempengaruhi terjadinya FGID.
Gejala penyakit saluran cerna pada umumnya disebabkan karena masalah organik
atau masalah fungsional. Penyebab organik timbul sebagai akibat kerusakan dari jaringan
penyusun organ tersebut, dan akan menimbulkan gejala gangguan fungsi saluran cerna.
Sedangkan gangguan saluran cerna fungsional adalah gejala saluran yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya baik secara struktur maupun biokimia.1 Gangguan saluran cerna
fungsional umumnya disebabkan oleh berbagai hal kompleks yang saling berinteraksi,
mulai dari faktor biologis, psikososial, lingkungan, maupun budaya.
Beberapa keadaan klinis yang termasuk didalam FGID antara lain kolik, kembung,
regurgitasi, dan konstipasi. Prevalensi ganggguan saluran cerna fungsional cukup besar
pada bayi usia kurang dari 12 bulan, mencakup kolik infantil sebesar 20%, regurgitasi
30%, konstipasi fungsional 15%. Keadaan tersebut bila tidak ditasi dengan tepat, akan
mengakibatkan gangguan kesehatan anak di masa akan dating.2,3
Tata laksana gangguan saluran cerna fungsional diawali dengan melakukan koreksi
cara memberikan nutrisi dengan tepat dan informasi yang dapat meyakinkan keluarga.
Sebagai klinisi, sangat penting untuk memahami hal ini, sebelum melakukan evaluasi dan
tata laksana lanjutan, khususnya mengenal tanda-tanda bahaya “red 9flags” yang mungkin
2 01
e t
menyertainya, seperti turunnya berat badan dan gejala alergi seperti misalnya eksema atau
wheezing yang mungkin menyertai FGID. Gejala dan tanda M arsangat
ini mungkin merupakan
o 9
r
ast
indikator kelaian organik atau patologi yang harus diwaspadai.
G
p at
r a
k
22.3 Patogenesis ro
u ntu
Patogenesis FGID belum sepenuhnyaG ast
dipahami. Namun sebagian besar peneliti setuju
Aj ar
bahwa penyebab dari FGID multifaktorial dan adanya interaksi antara otak dan usus (Gut-
ku
uoptimal.
Brain Axis) yang tidakB Model biopsikososial, kerangka kerja yang mengintegrasikan
i le
proses biologis,Fpsikologis, dan sosial, adalah pola pemikiran yang banyak diterima saat
ini. Interaksi faktor genetik dan lingkungan tampaknya mempengaruhi perkembangan
hubungan antara sistem saraf pusat dan saluran cerna. Mutasi genetik pada awal kehidupan
serta masalah social budaya dan mekanisme koping, dapat menjelaskan variabilitas dalam
penampilan klinis antar individu.

Gangguan Motilitas
Motilitas saluran cerna normal merupakan hasil dari integrasi antara aktivitas myoelectrical,
kontraktilitas, kekuatan dan transit time usus. Penelitian pada orang dewasa, menujukkan
bahwa perubahan kualitas motilitas, akan menyebabkan timbulnya gejala FGID. Dismotilitas
dan perubahan transit time pada usus halus dan usus besar, akan mempengaruhi berat
ringannya gejala FGID. Jumlah dan amplitudo kontraksi kolon lebih nyata pada pasien
dengan Irritable Bowel Syndrome (IBS), namun hasil penelitian ini masih belum bisa secara
signifikan menjelaskan hubungan antara gangguan motilitas dengan gejala FGID.

368
Buku Ajar Gastrohepatologi

Hipersensitivitas Viseral
Studi pada sensasi viseral, merupakan aspek penting dari fungsi usus, memperjelas
patofisiologi FGIDs. Hipotesis adanya hipersensitivitas viseral dapat menjelasakan gejala
klinis pada IBS. Pada penelitian membuktikan bahwa pasien dewasa dan anak dengan IBS
mengalami hipersensitivitas viseral lebih besar dibandingkan dengan pasien kontrol.

Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara predisposisi genetik dan
pengaruh sosial dalam perkembangan FGID pada anak. Anak dengan keluhan sakit perut
berulang, secara signifikan mempunyai orang tua dengan riwayat keluhan saluran cerna
lebih dominan dibandingkan kontrol.
Kembar satu telur mempunyai resiko FGID dua kali lebih besar dibandingkan kembar
dua telur. Studi lain juga menunjukkan bahwa orang tua dengan riwayat IBS adalah
prediktor lebih kuat timbulnya IBS dibandingkan dengan penderita kembar dengan IBS.
Meskipun beberapa genetik telah dilakukan, namun ini masih merupakan data awal yang
belum bisa menjelasan hubungan antara faktor genetik dengan terjadinya FGID pada anak.
Serotonin transporterprotein (SERT) dan p11 merupakan reseptor 9 serotonin dan
2 01
t
serotoninergic sangat terkait dengan kondisi psikologis dan komormiditas pasien dengan
FGID. M are
9
Pada hewan coba dibuktikan bahwa turunnyaaskadar tro SERT akan meningkatkan
G
motilitas usus dan kadar air di dalam usus besar.p at Hal sesuai dengan penampilan klinis
r a
tuk secara bergantian, tanpa adanya kelainan
IBS, yaitu timbulnya keluhan diare dan sembelit
n
organik. u
ro
ast
rG
Aja
22.4 Regurgitasi
eB
uk
u
il
Regurgitasi adalahF dikeluarkannya isi refluks dari esofagus ke dalam rongga mulut
dan kemudian dikeluarkan dari rongga mulut. Refluks gastroesogfagus (RGE) adalah
kembalinya isi lambung (makanan, minuman, asam, pepsin, asam empedu, dsb) ke dalam
esofagus tanpa terlihat adanya upaya dari bayi untuk mengeluarkannya. Sebagian besar isi
refluks tersebut masuk ke dalam rongga mulut sebagai regurgitasi. Isi refluks asam yang
terlalu lama dan sering berada di dalam esofagus dapat menyebabkan kerusakan mukosa
esofagus dan berlanjut menyebabkan berbagai komplikasi. Keadaan ini disebut sebagai
esofagitis atau penyakit RGE (PRGE). Penyakit RGE merupakan kondisi patologis RGE atau
regurgitasi.4 Refluks gastroesofagus dan regurgitasi dikaitkan dengan belum sepenuhnya
fungsi motilitas saluran cerna bayi berkembang. Regurgitasi merupakan keadaan fisiologis
pada bayi berusia di bawah 12 bulan.
Sebagian besar (80%) bayi berusia 1 bulan mengalami regurgitasi, minimal 1 kali
sehari. Frekuensi dan volume regurgitasi berkurang sesuai dengan bertambahnya usia bayi,
sekitar 40-60% pada usia 5-6 bulan dan 5-10% pada usia 12 bulan. Sebagian besar episode
RGE berlangsung <3 menit, terjadi saat post prandial.5–11 Sebagian besar gejala refluks dan
regurgitasi berangsur-angsur akan hilang pada usia 6 bulan pertama.

369
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)

Patogenesis
Refluks dapat terjadi ketika sfingter esofagus bagian bawah rileks. Pada orang dewasa tegak,
gas akan keluar perut selama sfingter esofageal bagian bawah dalam keadaan relaksasi
transien (TLESRs), dan keadaan ini akan menyebabkan sendawa.

Kriteria Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis refluks gastroesofagus (RGE) dan regurgitasi cukup
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Gejala regurgitasi dan refluks
yang berlangsung selama kurang dari tiga menit setelah minum susu, merupakan tanda
yang paling sering timbul, tanpa disertai dengan gejala lain seperti misalnya penurunan
berat badan, dan gejala lainnya yang termasuk didalam tanda bahaya “red flags”.
Pemeriksaan fisik, tampak bayi yang sehat, disertai tumbuh kembang yang baik. Gejala
ini pada umumnya akan menghilang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya semua
gejala akan hilang pada saat usia 6 bulan pertama. Gejala klinis pada PRGE sangat tidak
spesifik, sehinga tidak direkomendasikan menegakkan diagnosis PRGE hanya berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, tetapi diperlukan dukungan pemeriksaan penunjang
yang akurat. Diagnosis PRGE dan terapi proton pump inhibitor atau H2 antagonis hanya
9
berdasarkan bayi menangis berkepanjangan dan rewel adalah tidak01rasional, karena kedua
12et
2
keadaan tersebut merupakan kondisi fisiologi pada bayi sehat. ar
Pemeriksaan penunjang akurat yang diperlukanrountuk 9 M mendiagnosis PRGE adalah
st endoskopi disertai pemeriksaan
pemeriksaan pH meter untuk memantau pH esofagus,
t Ga
patologi anatomi jaringan biopsi esofagus. rapa
k
Pemeriksaan pH meter ini merupakan u ntu baku emas untuk menentukan adanya aliran
ro
balik isi lambung ke arah esofagus
G ast serta untuk menilai respon terapi yang diberikan.
Kedua pemeriksaan penunjang
A jar tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit besar di wilayah
provinsi, sehingga dokter u yang bekerja di wilayah lain seringkali mendapat kendala dalam
Buk
menegakkan diagnosis
il e dan memberikan terapi rasional PRGE. Untuk mengatasi keadaan
ini, keberadaanF kuesioner untuk menapis PRGE di praktik klinis sangat diperlukan.
Meskipun nilai sensitivitas dan spesifitas hanya sekitar 50%, Infant Gastroesophageal
Questionnaire (I-GERQ) telah digunakan di berbagai pusat pelayanan kesehatan anak untuk
meningkatkan efisiensi dan akurasi diagnosis klinis PRGE. Skor ≥9 disimpulkan probable
reflux, sehingga bayi memerlukan pemeriksaan akurat lanjutan untuk membuktikan adanya
PRGE, sedangkan bayi dengan nilai skor <9 tidak memerlukan terapi khusus, merupakan
variasi gejala klinis pada bayi normal.

Tanda Bahaya (red flags)


Tanda bahaya yang ditemukan pada bayi dengan gejala refluks gastroesofagus, harus
dipertimbangkan adanya gangguan organik sebagai penyebab gejala tersebut. ‘Tanda bahaya’
pada refluks gastroesofagus, yang sering dijumpai antara lain: (1) muntah berlebihan, (2)
muntah darah (hematemesis), (3) rewel dan menangis berlebihan, (4) posisi melengkung
punggung (Sandifer), (5) batuk berlebihan yang tidak respon dengan terapi standar, (6)
gagal tumbuh, (7) masalah makan, dan (8) gangguan neurologis.13 Penting juga untuk
memperhatikan beberapa tanda bahaya lainnya (Tabel 22.4.1.).

370
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 22.4.1. Red Flag14


Involuntary weight loss
Gagal tumbuh
Gejala muntah atau diare yang nyata
Darah di dalam feses
Sakit perut yang nyata
Sakit perut yang mengganggu tidur
Gejala ekstraintestinal (demam, rash, nyeri sendi, apthous ulcers,gejala saluran kemih)
Hasil laboratorium abnormal (anemia, laju endap darah meningkat)
Riwayat keluarga (tukak lambung, inflammatory bowel disease)

Muntah merupakan gejala umum yang sering dijumpai pada usia anak. Muntah
berulang, berlebihan, yang menyebabkan dehidrasi atau disertai dengan tanda-tanda
sistemik seperti misalnya demam, gangguan kesadaran perlu diwaspadai diwaspadai dan
ditindaklanjuti untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.

Pendekatan Tata Laksana


Regurgitasi pada bayi, pada umumnya terjadi 3-5 kali/jam dalam sehari, jarang dijumpai
pada usia < 7 hari. Begitu pula, regurgitasi berlebihan sangat jarang timbul
0 19 untuk pertama
2
kalinya pada usia di atas 6 bulan. Regurgitasi sering disamakanetdengan gejala muntah.
3
r
Regurgitasi disebakan oleh relaksasi sfingter esofagus bawah; sedangkan
9 Ma muntah, merupakan
reflek dari sistem saraf pusat yang melibatkan otot volunter ro dan otonom. Keadaan ini perlu
G ast
diperhatian, oleh karena penampilan klinis regurgitasi at dan muntah yang mirip. Setiap bayi
dengan gejala regurgitasi harus ditapis terhadap r ap
gangguan organ atau RGE patologis dengan
melihat ‘tanda bahaya’. Regurgitasi tanpa n uk
t‘tanda bahaya’ merupakan keadaan fisiologis.
trou
Edukasi untuk orang tua merupakan
G as tahap awal dan sangat penting dalam tata laksana
anak dengan masalah regurgitasi. r
ja Beberapa hal yang perlu diinformasikan kepada orang
k
tua antara lain jumlah pemberianu A susu dan caranya.
u
Pemberian susu i l e Byang berlebihan, dapat memicu timbulnya regurgitasi. Kesalahan
F
posisi bayi pada saat dan sesudah pemberian susu dapat menimbulkan komplikasi aspirasi
(kematian mendadak) sebagai akibat regugitasi.
Pada regurgitasi berlebihan, tata laksana perlu dilengkapi dengan meletakkan bayi
pada posisi terlentang dengan sudut 60 derajat terhadap dasar tempat tidur pada bayi yang
mendapat ASI eksklusif, atau pemberian ‘thickening milk’ pada bayi yang sudah mendapat
susu formula. Pemberian ‘thickening formula’ untuk meningkatkan viskositas makanan,
sehingga mengurangi gejala regurgitasi, frekuensi menangis, dan meningkatkan waktu
tidur.
Singkirkan kemungkinan adanya alergi sebagai penyebab regurgitasi. Susu formula
dengan kandungan protein terhidrolisis ekstensif diberikan kepada bayi dengan alergi protein
susu sapi. Regurgitasi tanpa adanya alergi terhadap protein susu sapi sering memperlihatkan
gejala klinis yang mirip ‘tanda bahaya’ RGE atau PRGE. Dengan mempertimbangkan bahwa
prevalensi alergi protein susu sapi cukup tinggi (3-5%), maka ‘tanda bahaya’ pada bayi yang
mengalami regurgitasi perlu dipikirkan sebagai gejala alergi protein susu sapi. Riwayat atopi
pada bayi dan keluarga memperkuat dugaan alergi protein susu sapi. Penyakit RGE perlu
dibuktikan bila bayi tidak mempunyai riwayat atopi/alergi. Bila gejala regurgitasi menetap

371
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)

Regurgitasi
Kriteria Rome

Tidak Red flag Ya


Muntah
Hematemesis
Gelisah dan menangis
Posisi melengkung
Fisiologis (Sandifer) Riwayat alergi?
Batuk berlebihan
Gagal tumbuh
Masalah makan
Berlebihan Gangguan neurologi Ya Tidak

Pertimbangkan alergi - pH metri endoskopi


Ya Tidak protein susu sapi - Kuesioner PRGE
9
01
re t2
9 Ma
ro
G ast Ya Tidak
p at
Edukasi r a
k
ntu
orangtua
u
ro
ast Pertimbangkan
rG penyakit lain
Aja
u ku
i l eB
Edukasi orangtua - pH metri, endoskopi (+); AH2/PPI
F thickening
Pertimbangkan - Kuesioner (+); pH metri; endoskopi
formula / eHF - Sarana (-); pertimbangkan terapi
empiris: AH2/PPI 2 minggu
- Evaluasi klinis

Gambar 22.4.1. Algoritne tata laksana regurgitasi

hingga 4 minggu, berikan dukungan nutrisi dengan formula hidrolisa ekstensif atau formula
asam amino bila gejala regurgitasi menetap selama 4 minggu. Penapisan PRGE dilakukan
dengan Kuesioner PRGE, sedangkan pembuktian PRGE dengan pemeriksaan endoskopi
atau pemantauan pH esofagus 24 jam. Terapi empiris PRGE tidak dianjurkan pada bayi
rewel dan menangis.1 Pada kondisi pemeriksaan penunjang tidak dapat dilakukan untuk
membuktikan PRGE, terapi empiris PPI dengan dosis 1mg/kg BB, sekali sehari selama 2
minggu dapat dipertimbangkan pada bayi regurgitasi dengan ‘tanda bahaya’, selanjutnya
dilakukan evaluasi klinis. Obat-obat golongan anti secretory dan prokinetic terbukti tidak
ada manfaatnya.

372
Buku Ajar Gastrohepatologi

22.5 Kolik Infantil


Kolik infantil merupakan perilaku bayi berupa menangis lebih dari 3 jam dalam sehari,
selama 3 hari dalam seminggu tanpa alasan yang jelas atau tanpa penyebab organik, yang
telah berlangsung dalam 1 minggu terakhir.13 Prevalensi kolik infantil secara keseluruhan
sebesar 5-25% bayi dan lebih sering pada 4 bulan pertama kehidupan.15,16 Sebanyak 483
bayi baru lahir dimonitor secara kontinyu pada usia 2 minggu dan dilanjutkan pada usia
2, 4, 8, 12, 18 dan 24 bulan. Diperoleh hasil bahwa menangis dengan intensitas sedang
atau berlebihan pada usia 2 dan 4 bulan sebagai penanda kolik. Prevalens kolik infantil
sama besarnya pada bayi yang mendapat ASI eksklusif maupun susu formula.17 Meski pada
kajian lain didapatkan prevalens kolik infantil yang lebih tinggi pada kelompok bayi yang
mendapat susu formula.18 Prevalens kolik infantil juga lebih besar pada bayi berat badan
lahir lebih rendah dibandingkan dengan berat bayi normal.18

Penyebab
Kolik infantil bukanlah suatu penyakit, berat badan bayi tetap naik sesuai usianya.19 Hanya
sebagian kecil (5-10%) disebabkan oleh gangguan organik.3,20 Penyebab kolik pada bayi
9
hingga saat ini belum diketahui dengan jelas. Berbagai faktor dianggap
2 01 berperan terhadap
t
kolik infantil, antara lain psikososial dan hubungan ibu dan anak areyang kurang baik, alergi
protein susu sapi, atau PRGE.2,19,20 Alergi protein susu sapi9 M dianggap sebagai salah satu
ro
penyebab kolik pada bayi, namun kenyataan dalam praktek
G ast dilaporkan bahwa modifikasi
diet ibu dan penggunaan susu bebas protein sapi at
r ap tidak mengurangi gejala kolik secara
signifikan. k
ntu
21

Refluks juga diduga sebagai salahtrsatu u


o penyebab timbulnya gejala kolik pada kelompok
usia bayi. Namun dalam praktek G as
dilaporkan bahwa penggunaan obat anti refluks tidak
A j ar
mengurangi gejala kolik. Distensi
u abdomen dan gas saluran di dalam saluran cerna, sangat
dipercaya oleh banyak Buk
peneliti sebagai penyebab timbulnya gejala kolik.22
i l e
F
Proses kolonisasi mikrobiota saluran cerna diduga mempunyai peranan penting
terhadap timbulnya gejala kolik pada bayi. Pada awal kehidupan bayi, kolonisasi mikrobiota
saluran cerna dipengaruhi oleh mikrobiota saluran cerna dan vagina ibu, terutama
Enterococci dan Enterobacteria.23,24 Dengan bertambahnya usia, gejala kolik berangsur-
angsur hilang, hal ini sesuai dengan perkebangan kolonisasi mikrobiota usus. Pada usia satu
tahun pertama, perkembangan mikrobiota usus sesuai dengan usia dewasa.25–27 Kedaan ini
penting untuk menjamin fungsi melabolisme saluran cerna lebih baik, dan fungsi imunitas
saluran cerna untuk pertahanan terhadap kuman pathogen yang mungkin ada.28

Kriteria Diagnosis
1. Usia ≤ 3 bulan
2. Sering rewel, marah, atau menangis
3. Episode berlangsung > 3 jam perhari, > 3 hari perminggu dan terjadi minimal dalam
satu minggu
4. Tidak ada gangguan pertumbuhan.

373
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)

Penyapihan

Bifidobakteria
(komposisi spesies khas)
Anaerob
Jumlah relatif Tidak dapat dikultur?

Akumulasi cepat
pertumbuhan anaerob

Anaerob Fakultatif

Usia
Genetik jenis Jenis pemberian makan
persalinan Paparan lingkungan

9
01
t 2 1984)
Gambar 22.5.1. Kolonisasi mikrobiota usus (Dimodifikasi dari Mitsuoka,
re
9 Ma
ro
ast
Tanda Bahaya p at
G
r a
tuk
Sekitar 5% kolik infantil disebabkan oleh gangguan organik. Secara umum gejala kolik akan
un
berkurang secara bertahap setelah omelewati usia 3-4 bulan. Jarang gejala kolik menetap
r
pada usia lebih dari 6 bulan.GJikaast tidak ditemukan tanda bahaya, perlu dievaluasi cara
pemberian makan bayi sebagaiAjar penyebab timbulnya kolik.29 Refluks gastroeosfagus (RGE)
u
perlu diwaspadai sebagai
Buk tanda bahaya bila disertai gejala lainnya. Beberapa gejala klinis
e
Fil
yang perlu diwaspadai sebagai tanda bahaya yang menyertai RGE dan dikaitkan dengan
kolik infantil, antara lain bayi sering memperlihatkan posisi tubuh sandifer, hematemesis,
gagal tumbuh serta adanya kesulitan atau penolakan makan.30
Kolik infantil juga sering dikaitkan dengan kondisi alergi. Alergi makanan terutama
terhadap protein susu sapi, atau bila didapatkan riwayat atopi pada bayi maupun dalam
keluarga, perlu diwaspadai sebagai tanda bahaya. Meskipun banyak peneliti belum bisa
memastikan keterkaitan antara kolik infantil dan alergi protein susu sapi, menyingkirkan
alergi protein susu sapi dan mencari riwayat atopi keluarga merupakan tahapan yang
penting dalam tata laksana kolik infantil.31
Intoleransi laktosa akibat fermentasi laktosa yang tidak terhidrolisa di dalam usus
halus oleh bakteri di dalam usus besar sering dianggap sebagai penyebab kolik infantil.
Proses fermentasi di dalam usus akan menghasilkan asam laktat, gas hidrogen, dan
peningkatan tekanan osmosis intralumen. Peningkatan tekanan di dalam usus ini yang
akan menyebabkan distensi usus dan akhirnya menimbulkan rasa tidak nyaman hingga
rasa nyeri. Secara klinis, gejala intoleransi laktosa mencakup kolik, flatus berlebihan,
diare cair, distensi abdomen, ruam kulit perianal. Penelitian double-blind randomized

374
Buku Ajar Gastrohepatologi

placebo-controlled crossover memperlihatkan pemberian laktase pada 53 bayi kolik infantil


menurunkan kadar hidrogen napas dan waktu menangis sebesar 45%.32,33
Gejala psikologi/kecemasan orang tua perlu diperhatikan. Hal ini sangat penting
oleh karena kolik infantil tidak hanya menyebabkan kecemasan pada orangtua, tetapi juga
berdampak terhadap interaksi orangtua dan anak. Menangis yang tidak dapat ditenangkan
menyebabkan ibu stress.34 Ibu yang mengalami depresi dapat berpengaruh terhadap
perkembangan mental, sosial emosi, dan kognitif bayi selanjutnya.35–37
Ibu dengan bayi kolik infantil memiliki skor frustasi/marah lebih tinggi dan efikasi
diri lebih rendah dibanding kontrol. Demikian pula, gangguan tidur kerap terjadi pada
orangtua, pengasuh, dan bayi.38 Kolik infantil dapat menyebabkan penghentian perawatan
bayi, pengenalan makanan padat lebih dini karena orangtua/pengasuh menganggap bayi
masih lapar sehingga terus menangis, pemberian ASI terganggu, berganti-ganti susu
formula.39,40

Pendekatan Tata Laksana


Bayi dengan gejala kolik infantil perlu ditapis tanda bahaya kolik. Tanda bahaya kolik
infantil dibagi dalam 4 kelompok kondisi sebagai penyebab kolik infantil tersering, yaitu (1)
penyakit RGE, (2) alergi protein susu sapi, (3) intoleransi laktosa dan20(4) 19 faktor kecemasan
re t
orangtua.
9 Ma
Bayi dengan gejala kolik infantil yang disertai posisi ro sandifer, hematemesis, atau
gagal tumbuh perlu dipertimbangkan PRGE sebagait G ast
penyebab gejala tersebut. Selanjutnya,
a
Panduan Tata Laksana Regurgitasi diterapkan rpada ap bayi. Evaluasi klinis berkala menjadi
sangat penting untuk mendapatkan tataunlaksana tuk yang rasional serta akurat, mengingat
gejala klinis yang diperlihatan atidak tro spesifik. Peran konsultasi dengan Konsultan
s
Gastrohepatologi juga menjadijarhal G yang perlu ditingkatkan untuk memberikan pelayanan
A
kesehatan yang lebih maksimal.
u ku Beberapa penelitian telah membuktikan proton pump
eB
inhibitor (PPI) tidakilmemberikan efikasi terhadap pada bayi rewel.12,41,42 Bayi dengan gejala
kolik infantil yangFdisertai regurgitasi berlebihan, gejala saluran napas yang tidak respons
dengan tata laksana standar, gejala atopik baik pada dirinya maupun dalam keluarga, perlu
dipertimbangkan peran alergi sebagai penyebab keluhan tersebut. Pertimbangan kondisi
ini merekomendasikan bayi ditangani sesuai Panduan Tata Laksana Alergi Protein Susu
Sapi. Pada bayi yang telah mendapat susu formula, dilakukan eliminasi protein susu sapi
dan menggantinya dengan susu formula dengan kandungan protein terhidrolisis ekstensif
atau susu formula yang mengandung asam amino, sesuai keparahan kondisi menjadi
pertimbangan utama. Pada beberapa kajian ilmiah memperlihatkan efikasi susu formula
dengan kandungan protein terhidrolisis sebagian (partially hydrolised) pada kolik infantil.
Susu formula dengan protein terhidrolisis sebagian dapat diberikan kepada bayi dengan
kolik infantil bila gejala alergi tidak jelas. Susu formula mengandung soya tidak terbukti kuat
memperbaiki gejala kolik infantil. Kolik Infantil tidak menjadi alasan untuk menghentikan
pemberian ASI.19,43–45
Udara yang berlebihan di dalam saluran cerna dapat disebabkan oleh teknik pemberian
minum yang kurang tepat atau intoleransi laktosa akibat masih rendahnya aktivitas
enzim laktase. Walaupun demikian, data publikasi yang memperlihatkan bahwa aktivitas

375
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)

Kolik Infantil

Kriteria Rome

Edukasi orangtua Tidak Red flag Ya

Red flag Red flag Red flag Red flag


Posisi sandifer Sering regurgitasi Distensi abdomen Orangtua cemas
Pengarahan GIT Gejala saluran nafas dan meteorismus Orangtua depresi
Gagal Tumbuh Dermatitis atopik +/- ruam popok Hubungan orang tua dan
Atopik keluarga anak terganggu risiko
kekerasan anak

Pertimbangkan Pertimbangkan Pertimbangkan Pertimbangkan


PRGE alergi protein susu intoleransi laktosa 9 orangtua
kecemasan
sapi 2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
ra
Rekomendasi Rekomendasi tuk Diet
n Dukungan orangtua
PRGE
tro ususu
alergi protein rendah/bebas Konsultasi
G as sapi laktosa Konsultan GH

Ajar
u
Buk Gambar 22.5.2. Algoritma tata laksana kolik
l e
Fi

laktase yang rendah dapat menyebabkan bayi menangis berlebihan masih sangat terbatas.
Beberapa data lain yang tidak memperlihatkan hubungan tersebut, menjadikan peran
aktivitas laktase pada kolik kecil. Walaupun para ahli di Inggris menganjurkan pemberian
laktase selama 1 minggu, tetapi beberapa RCTs tidak memperlihatkan perbedaan kejadian
kolik infantil pada bayi yang mendapat enzim laktase dan plasebo. Dengan demikian,
bukti ilmiah yang mendukung rekomendasi ini sangat terbatas.20,46,47 Sebuah meta-analisis
memperlihatkan pemberian ‘strain’ tertentu sebagai probiotik pada bayi yang mendapat
ASI eksklusif dapat mengurangi gejala kolik infantil. Walaupun demikian ada beberapa hal
yang perlu mendapat perhatian, yaitu aksi mekanisme efikasi masih belum jelas, penemuan
ini tidak boleh diekstrapolasi untuk probotik lainnya, efikasi hanya terlihat pada bayi ASI
eksklusif, dan tidak ada data untuk pemberian probiotik dalam susu formula. Dengan
demikian pemberian ‘strain’ tertentu mikroflora sebagai probiotik dapat diterapkan sebagai
sebuah ‘pertimbangan’ dan ‘tidak sebagai rekomendasi’.19 Pemberian obat pada kolik infantil
tidak direkomendasikan. Simetikon menurunkan gas intralumen saluran cerna. Suatu
penelitian multisenter ‘randomized placebo controlled’ memperlihatkan tidak ada perbedaan

376
Buku Ajar Gastrohepatologi

dengan plasebo, sedangkan 2 ‘randomized controlled trial’ lainnya tidak memperlihatkan


pengurangan gejala. Kajian sistematis memperlihatkan efektivitas antikolinergik dibanding
plasebo, akan tetapi juga memberikan efek samping yang serius antara lain letargi, apneu,
sehingga obat ini tidak direkomendasikan pada bayi dibawah usia 6 bulan.48,49 Empati dan
reassurance merupakan kunci utama yang harus dilakukan pertama kali. Anamnesis dan
pemeriksaan fisis cermat diperlukan untuk menyingkirkan penyebab organik dan tanda
bahaya kolik infantil. Menangis pada kolik infantil tidak selalu merupakan respon nyeri,
tetapi lebih kepada bentuk komunikasi bayi dengan pengasuh.50 Pengasuhan anak dengan
interaksi yang baik, pemberian pola makan yang baik dan memberikan pelukan pada anak
saat tidur mengurangi gejala kolik infantil.51 Penanganan yang salah pada kolik infantil
dapat menyebabkan permasalahan pada kondisi fisik dan mental anak/keluarga. Ibu dan
pengasuh perlu cukup istirahat untuk menghindari stress dan depresi.50

22.6 Konstipasi
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang buang air besar yang terjadi selama setidaknya
dua minggu. Konstipasi merupakan 5-30% keluhan anak yang menyebabkan orangtua
membawa anaknya berobat ke dokter. Rerata 5-10 anak dari 100-150 anak 19 berusia 4-5 bulan
2 0spesialis
dan sepertiga anak berusia di atas 5 tahun yang berobat ke dokter
re t anak setiap
Ma menjadi kronis bila tidak
bulannya mengalami konstipasi. Sepertiga kasus konstipasi 9akan
ro
G ast
ditangani dengan baik. Berdasarkan patofisiologis, konstipasi diklasifikasikan menjadi
t
konstipasi akibat kelainan organik dan konstipasi afungsional. Konstipasi yang dikeluhkan
rap yang dihubungkan dengan gangguan
oleh sebagian besar anak adalah konstipasi fungsional
k
tu
motilitas atau anorektal.52–54 uno
astr
j arG
Kriteria Diagnosis ku
A
Bu III, diagnosis konstipasi fungsional ditegakkan bila bayi dan
Berdasarkan KriterialeRome
i
F dalam 1 bulan minimal memperlihatkan 2 gejala berikut:55
anak usia < 4 tahun,
1. Defekasi ≤ 2 kali/minggu
2. Minimal 1 episode inkontinens/minggu (setelah anak terlatih ke toilet)
3. Riwayat retensi feses yang berlebihan
4. Riwayat mengedan yang sulit atau sangat sakit
5. Adanya massa feses yang besar pada rektum
6. Riwayat adanya feses dengan diameter besar sehingga menyumbat toilet.
Gejala-gejala tersebut dapat disertai dengan gejala penyerta seperti iritabilitas, napsu
makan menurun, dan atau rasa cepat kenyang. Gejala penyerta akan hilang setelah tinja
besar berhasil dikeluarkan.55

Tanda Bahaya
1. Tidak ada mekonium >48 jam
2. Distensi abdomen
3. Muntah
4. Gagal tumbuh

377
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)

5. BAB berdarah
6. Perkembangan saraf terhambat
7. Ketidaknormalan pada anus
8. Gejala penyebab organik lain.

Pendekatan Tata Laksana


Konstipasi seringkali menyebabkan kegelisahan orangtua, karena mereka menganggap
sebagai masalah medis yang serius. Diagnosis konstipasi fungsional terkadang sulit
ditentukan, oleh karena frekuensi buang air besar pada anak bervariasi tergantung kelompok
usia. Evaluasi gangguan defekasi pada anak diawali dengan mengungkap riwayat keluhan,
dilanjutkan pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan tata laksana
konstipasi fungsional diawali dengan mencari ‘tanda bahaya’ konstipasi. Ditemukannya 1
tanda bahaya konstipasi, mengindikasikan anak harus dievaluasi lebih lanjut untuk sebuah
kelainan organik. Sebaliknya, tidak ditemukannya tanda bahaya, maka anak dapat dianggap
sebagai konstipasi fungsional, sampai terbukti kecurigaan kelainan organik.
Tahap awal dalam tata laksana konstipasi adalah memastikan adanya impaksi tinja
pada semua kasus konstipasi. Impaksi tinja merupakan massa keras pada abdomen kiri
bawah, yang terindentifikasi saat pemeriksaan fisis, atau teraba 0tinja 19 yang banyak dan
t 2
keras saat pemeriksaan rektum, atau kumpulan tinja berlebihan re pada kolon distal saat
pemeriksaan radiologi.55 Deteksi adanya impaksi ini sangat 9 Mamenetukan hasil tata laksana
ro
yang optimal.
G ast
at menggunakan rejimen rektal yang
Disimpaksi umumnya dilakukan dengan r ap
k
memberikan efikasi cepat dalam beberapa
u ntu jam. Meski efek yang diperlihatkan lebih lama,
tro
larutan elektrolit polietilen glikols(PEG) terbukti efektif.56,57

Larutan elektrolit PEG r Gamemiliki angka keberhasilan tinggi, tetapi seringkali


ja
memerlukan pemasangan ku A pipa nasogastrik karena sering menyebabkan mual, muntah,
u
i l e B Larutan PEG tanpa elektrolit juga dilaporkan bermanfaat sebagai
dan distensi abdominal.
F pada anak. Dosis PEG untuk impaksi adalah 1-1,5 gr/kg/hari, dapat
rejimen disimpaksi
diberikan maksimum selama 6 hari berturut-turut. Untuk maintenance PEG dapat
diberikan dengan dois 0,2-0,8gr/kgBB/hari. PEG memberikan hasil yang lebih efektif
dibanding laktulosa.55,58,59 Kombinasi regimen oral dengan enema atau supositoria tidak
direkomendasikan untuk anak. Gliserin supositoria cukup aman dan efektif digunakan pada
bayi. Secara umum, enema fosfat cukup efektif tetapi dapat menyebabkan hiperfosfatemia
dan hipokalsemia, sebagai pencetus kejang.60

22.7 Susu Extensive Hydrolize Formula/ Amino Acid Formula


Alergi protein susu sapi, terutama pada tipe non-IgE mediated berhubungan dengan
dismotilitas usus besar sehingga memberikan manifestasi gejala klinis konstipasi pada
anak.31,61,62 Bayi mengalami konstipasi disertai gejala atopi, perlu dipertimbangkan
pemeriksaan lebih lanjut terhadap kemungkinan menderita alergi protein susu sapi.
Pendekatan tata laksana berupa eliminasi dan provokasi protein susu sapi sesuai ‘Pedoman
Tata laksana Alergi Protein Susu Sapi IDAI’.45

378
Buku Ajar Gastrohepatologi

Konstipasi Fungsional
Konstipasi usia < 1 tahun

Tidak Red Flag Ada


Tidak ada mekoneum > 24 jam
Distensi abdominal
Muntah
Fungsional Gagal tumbuh Penyakit organik
Tinja berdarah Konsultasikan ke
Keterlambatan neurodevelopment Konsultan GH
Anus/sakum abnormal
Impaksi Gejala organik lain

Ya Tidak Terapi rumatan


Pantau secara berkala

Edukasi orangtua
Disimpaksi Laktosa
PED Iusia > 6 bulan) Ada9respon
1
Pertimbangkan eHF 20
(bila ada riwayat atopi) aret
o 9M
str
Ga
p at
Laktolosa
k ra
PEG (usia > 6 bulan)
u ntu
ro
Pertimbangkan eHF
(bila ada riwayat atopi)
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi Respon sebagian
Tidak ada respon
Konsultasikan ke
Konsultan GH

Gambar 22.7.1. Algoritma tata laksana konstipasi fungsional

Edukasi
Edukasi merupakan hal utama yang harus dilakukan pada saat kunjungan pertama. Para
klinisi diharapkan mampu menghilangkan rasa khawatir orang tua. Reassurance dan
follow-up teratur merupakan salah satu bentuk terapi awal. Saat edukasi, dokter harus
menyampaikan rencana terapi secara detail, mencakup terapi disimpaksi, rekomendasi
diet, terapi rumatan, dan pemantauan rutin. Dokter juga harus menjelaskan efek samping
yang mungkin terjadi akibat terapi laksatif yang diberikan. Suatu studi acak terkontrol
memperlihatkan suplementasi serat memberikan efek yang lebih baik dibandingkan
plasebo, terutama pada anak dengan enkopresis. Edukasi dan peran serta orang tua
16

dalam memperbaiki pola defekasi anak sangat penting. Toilet training diperlukan untuk
membentuk kebiasaan buang air besar secara teratur. Toilet training dilakukan pada anak

379
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)

berusia di atas 3 tahun, setelah rasa takut dan nyeri berdefeksi teratasi. Oleh karena itu,
evakuasi tinja dalam rektum yang kerap kali sebagai penyebab rasa nyeri harus dilakukan
pada anak dengan impaksi. Beberapa ahli menyukai menggunakan nonstimulan laksatif,
misalnya PEG, minyak mineral, atau laktulosa yang secara perlahan dapat melunakan
tinja. Dosis laktulosa yang dianjurkan untuk melunakkan tinja adalah 1-2gr/kgBB/hari
untuk satu atau dua kali dosis sehari. Tata laksana medikamentosa ini berfungsi untuk
mengembalikan kontrol dinding dasar pelvis. Kunci keberhasilan terapi maintenace adalah
menjamin defekasi tanpa rasa nyeri, sehingga anak merasa nyaman dan terlatih ke toilet.55,63

Daftar Pustaka
1. Rasquin A, Di Lorenzo C, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A, et al. Childhood Functional
Gastrointestinal Disorders.Child/Adolescent. Gastroenterology.2006;130(5):1527–37.
2. Iacono G, Merolla R, D’Amico D, Bonci E, Cavataio F, Di Prima L, et al. Gastrointestinal
symptoms in infancy.A population-based prospective study. Dig Liver Dis. 2005;37(6):432–8.
3. Vandenplas Y, Abkari A, Bellaiche M, Benninga M, Chouraqui JP, Çokura F, et al. Prevalence
and Health Outcomes of Functional Gastrointestinal Symptoms in Infants From Birth to 12
Months of Age. J Pediatr Gastroenterol Nutr.2015;61(5):531–7.
9
4. Hegar B, Vandenplas Y. Gastroesophageal reflux: natural evolution,01diagnostic approach and
e t 2
treatment. Turk J Pediatr . 2017;55(1):1–7. r
5. Hegar B, Dewanti NR, Kadim M, Alatas S, Firmansyah A,9 Vandenplas Ma Y. Natural evolution of
stro
regurgitation in healthy infants. Acta Paediatr . 2009;98(7):1189–93.
a
6. Osatakul S, Sriplung H, Puetpaiboon A, JunjanaatC,GChamnongpakdi S. Prevalence and natural
ap
course of gastroesophageal reflux symptoms:
tu k r a 1-year cohort study in Thai infants. J Pediatr
Gastroenterol Nutr . 2002;34(1):63–7.un
ro
7. Nelson SP, Chen EH, Syniar GM,
G ast Christoffel KK. Prevalence of symptoms of gastroesophageal
r
reflux during infancy. A pediatric practice-based survey. Pediatric Practice Research Group.
Arch Pediatr Adolesc uMedAja. 1997;151(6):569–72.
8. Miyazawa R, TomomasaBuk T, Kaneko H, Tachibana A, Ogawa T, Morikawa A. Prevalence of
e
Fil reflux-related symptoms in Japanese infants. Pediatr Int . 2002;44(5):513–6.
gastro-esophageal
9. De S, Rajeshwari K, Kalra KK, Gondal R, Malhotra V, Mittal SK. Gastrooesophageal reflux in
infants and children in north India. Trop Gastroenterol 2017;22(2):99–102.
10. Martin AJ, Pratt N, Kennedy JD, Ryan P, Ruffin RE, Miles H, et al. Natural history and familial
relationships of infant spilling to 9 years of age. Pediatrics . 2002;109(6):1061–7.
11. Hegar B, Boediarso A, Firmansyah A, Vandenplas Y. Investigation of regurgitation and
other symptoms of gastroesophageal reflux in Indonesian infants. World J Gastroenterol .
2004;10(12):1795–7.
12. Vandenplas Y, Rudolph CD, Di Lorenzo C, Hassall E, Liptak G, Mazur L, et al. Pediatric
Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines.Joint Recommendations of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN)
and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, a. J Pediatr Gastroenterol
Nutr . 2009;49(4).
13. Hyman PE, Milla PJ, Benninga MA, Davidson GP, Fleisher DF, Taminiau J. Childhood Functional
Gastrointestinal Disorders: Neonate/Toddler. Gastroenterology . 2006;130(5):1519–26.
14. Ammoury RF, Pfefferkorn MDR, Croffie JM. Functional gastrointestinal disorders: past and
present. World J Pediatr . 2009;55(22):103–12.
15. Wake M, Morton-Allen E, Poulakis Z, Hiscock H, Gallagher S, Oberklaid F. Prevalence,
Stability, and Outcomes of Cry-Fuss and Sleep Problems in the First 2 Years of Life: Prospective

380
Buku Ajar Gastrohepatologi

Community-Based Study. Pediatrics . 2006;117(3):836–42.


16. Talachian E, Bidari A, Rezaie MH. Incidence and risk factors for infantile colic in Iranian infants.
World J Gastroenterol . 2008;14(29):4662–6.
17. Hide DW, Guyer BM. Prevalence of infant colic. Arch Dis Child . 1982;57(7):559–60.
18. Søndergaard C, Skajaa E, Henriksen TB. Fetal growth and infantile colic. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed . 2000;83(1):F44-7.
19. Cohen-Silver J, Ratnapalan S. Management of infantile colic: a review. Clin Pediatr (Phila).
2009;48(1):14–7.
20. Freedman SB, Al-Harthy N, Thull-Freedman J. The Crying Infant: Diagnostic Testing and
Frequency of Serious Underlying Disease. Pediatrics . 2009;123(3):841–8.
21. Poets CF. Gastroesophageal reflux: a critical review of its role in preterm infants. Pediatrics .
2004;113(2):e128-32.
22. Hyams JS, Di Lorenzo C, Saps M, Shulman RJ, Staiano A, Van Tilburg M. Childhood functional
gastrointestinal disorders.Child/adolescent. Gastroenterology . 2016;150(6):1456–1468e2.
23. Adlerberth I, Wold A. Establishment of the gut microbiota in Western infants. Acta Paediatr .
2009;98(2):229–38.
24. Praveen P, Jordan F, Priami C, Morine MJ. The role of breast-feeding in infant immune system: a
systems perspective on the intestinal microbiome. Microbiome . 2015;3(1):41.
25. Korpela K. Intestinal Microbiota Development in Childhood: Implications for Health and
Disease. University of Helsinki; 2016.
9
26. Sekirov I, Russell SL, Antunes LCM, Finlay BB. Gut microbiota in health 2 01 and disease. Physiol
re t
MS,aet al. Intestinal microbiota in
Rev. 2010;90(3):859–904.
27. Simrén M, Barbara G, Flint HJ, Spiegel BMR, Spiller RC, Vanner 9
ro
functional bowel disorders: a Rome foundation report. Gut
G ast . 2013;62(1):159–76.
28. Guarner F, Malagelada J-R. Gut flora in health and at disease. Lancet (London, England). 2003;
r ap
361(9356):512–9. k
u ntu
29. Vandenplas Y, Gutierrez-Castrellon P, Velasco-Benitez C, Palacios J, Jaen D, Ribeiro H, et al.
tro
Practical algorithms for managingascommon gastrointestinal symptoms in infants. Nutrition .
G
2013;29(1):184–94.
A jar
ku
30. Di Lorenzo C. Other Functional
uNutr
Gastrointestinal Disorders in Infants and Young Children. J
Pediatr Gastroenterol
e B . 2013;57:S36–8.
FilF, Bendandi B, Calzone L, Marani M, Pasquinelli P, et al. Cow’s milk protein
31. Caffarelli C, Baldi
allergy in children: a practical guide. Ital J Pediatr . 2010;36:5.
32. Kanabar D, Randhawa M, Clayton P. Improvement of symptoms in infant colic following
reduction of lactose load with lactase. J Hum Nutr Diet . 2001;14(5):359–63.
33. Prasetyo D. Infantile Colic: Treat or Not to Treat. In: Simposium Paralel dan Temu Ahli
Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke-7 Ilmu Kesehatan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015.
p. 296–306.
34. Radesky JS, Zuckerman B, Silverstein M, Rivara FP, Barr M, Taylor JA, et al. Inconsolable Infant
Crying and Maternal Postpartum Depressive Symptoms. Pediatrics . 2013;131(6):e1857–64.
35. 35. Chaudron LH, Szilagyi PG, Tang W, Anson E, Talbot NL, Wadkins HIM, et al. Accuracy
of Depression Screening Tools for Identifying Postpartum Depression Among Urban Mothers.
Pediatrics . 2010;125(3):e609–17.
36. Currie ML, Rademacher R. The pediatrician’s role in recognizing and intervening in postpartum
depression. Pediatr Clin North Am . 2004;51(3):785–801.
37. Kingston D, Tough S, Whitfield H. Prenatal and Postpartum Maternal Psychological Distress and
Infant Development: A Systematic Review. Child Psychiatry Hum Dev . 2012;43(5):683–714.
38. Papousek M, von Hofacker N. Persistent crying in early infancy: a non-trivial condition of risk
for the developing mother-infant relationship. Child Care Health Dev . 1998;24(5):395–424.

381
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)

39. Rautava P, Lehtonen L, Helenius H, Sillanpää M. Infantile colic: child and family three years
later. Pediatrics . 1995;96(1 Pt 1):43–7.
40. Wolke D, Gray P, Meyer R. Excessive infant crying: a controlled study of mothers helping
mothers. Pediatrics . 1994 Sep [cited 2017 Jan 25];94(3):322–32. Available from: http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8065857
41. Gunasekaran TS, Singla S, Dahlberg M. Prescribing proton-pump inhibitors to irritable infants:
where is the evidence? Ped Health . 2009;3(3):213–5.
42. Chen I-L, Gao W-Y, Johnson AP, Niak A, Troiani J, Korvick J, et al. Proton Pump Inhibitor Use
in Infants. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2012;54(1):8–14.
43. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, et al. Guidelines for
the diagnosis and management of cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child .
2007;92(10):902–8.
44. Garrison MM, Christakis DA. A systematic review of treatments for infant colic. Pediatrics .
2000;106(1 Pt 2):184–90.
45. UKK Alergi-Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik.
Rekomendasi Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu Sapi. 2014.
46. Gormally S. Clinical clues to organic etiologies in infants with colic. In: Barr RG, James-Roberts
IS, Keefe MR, Brody RI, editors. Pediatric Round Table New Evidence on Unexplained Early
Infant Crying: Its Origins, Nature and Management. Johnson & Johnson Pediatric Institute,
L.L.C.; 2001. p. 133–49.
9
47. Critch J. Infantile colic: Is there a role for dietary interventions? 2 01Paediatr Child Health .
re t
Mathe treatment of infant colic: a
2011;16(1):47–9.
48. Metcalf TJ, Irons TG, Sher LD, Young PC. Simethicone 9 in
ro . 1994;94(1):29–34.
ast
randomized, placebo-controlled, multicenter trial. Pediatrics
G
49. Aggett PJ, Agostoni C, Goulet O, Hernell O, t
aKoletzko B, Lafeber HL, et al. Antireflux or
r apyoung children: a commentary by the ESPGHAN
antiregurgitation milk products for infants k
and
u ntu
Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2002;34(5):496–8.
ro
50. Bellaïche M, Levy M, Jung C.astTreatments for Infant Colic. J Pediatr Gastroenterol Nutr .
G
2013;57:S27–30.
A jar
51. Savino F, Ceratto S, kDeu Marco A, Cordero di Montezemolo L. Looking for new treatments of
BuJ Pediatr . 2014;40(1):53.
Infantile Colic.leItal
52. Biggs WS, DeryFi WH. Evaluation and Treatment of Constipation in Infants and Children. North
American Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition. Evaluation and
Treatment of Constipation in Children. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2006;43(3):405–7.
53. Ranuh R. Gangguan Defekasi pada Bayi dan Anak. In: Simposium Paralel dan Temu Ahli
Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-7, Ilmu Kesehatan Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015.
p. 287–94.
54. Tabbers MM, DiLorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko S, et al. Evaluation and
Treatment of Functional Constipation in Infants and Children: evidence-based recommendations
from ESPGHAN and NASPGHAN. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2014;58(2):265–81.
55. Pashankar DS. Childhood constipation: evaluation and management. Clin Colon Rectal Surg .
2005;18(2):120–7.
56. Youssef NN, Peters JM, Henderson W, Shultz-Peters S, Lockhart DK, Di Lorenzo C. Dose response
of PEG 3350 for the treatment of childhood fecal impaction. J Pediatr . 2002;141(3):410–4.
57. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, Croffie JM, Di Lorenzo C, Ector W, et al. Constipation in
infants and children: evaluation and treatment. A medical position statement of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr .
1999;29(5):612–26.
58. Pashankar DS, Bishop WP. Efficacy and optimal dose of daily polyethylene glycol 3350 for
treatment of constipation and encopresis in children. J Pediatr . 2001;139(3):428–32.

382
Buku Ajar Gastrohepatologi

59. Ismail EA, Al-Mutairi G, Al-Anzy H. A fatal small dose of phosphate enema in a young child
with no renal or gastrointestinal abnormality. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2000;30(2):220–1.
60. El-Hodhod MA, Younis NT, Zaitoun YA, Daoud SD. Cow’s milk allergy related pediatric
constipation: Appropriate time of milk tolerance. Pediatr Allergy Immunol . 2010;21(2p2):e407–12.
61. Irastorza I, Ibañez B, Delgado-Sanzonetti L, Maruri N, Vitoria JC. Cowʼs-Milk–free Diet
as a Therapeutic Option in Childhood Chronic Constipation. J Pediatr Gastroenterol Nutr .
2010;51(2):171–6.
62. Heyman MB. Lactose Intolerance in Infants, Children, and Adolescents. Pediatrics. 2006;118(3).

9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

383
BAB

23
Gangguan Motilitas Saluran Cerna
Satrio Wibowo

23.1 Ilustrasi kasus


Seorang anak laki-laki, usia 4 tahun, berat badan 13 kg, dibawa oleh ibunya ke dokter
dengan keluhan kesulitan menelan makanan dan kadang sesak bila makan sejak 1 bulan
lalu. Satu minggu ini penderita juga mengeluh muntah setiap setelah makan dan minum.
Muntah isi apa yang dimakan/minum. Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati terutama
setelah makan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pasien
tampak kurus dan didapatkan nyeri tekan pada ulu hati.

23.2 Pendahuluan
Gangguan motilitas saluran cerna pada anak merupakan salah satu keadaan yang sering
dijumpai pada praktek klinis seorang dokter. Sekitar 15% anak yang mengalami kegagalan
pada sistem pencernaan, ditandai dengan adanya gangguan motilitas.1 Gangguan motilitas
seringkali muncul dalam berbagai gejala, seperti : muntah yang berulang, kesulitan menelan,
sering bersendawa,kembung atau susah buang air besar. Keadaan-keadaan tersebut, dalam
jangka panjang, dapat menyebabkan defisiensi nutrisional dan elektrolit, berkurangnya
kemandirian dalam kehidupan sehari-hari serta berkurangnya aktivitas dan mobilitas anak.
Gangguan motilitas saluran cerna bukan merupakan suatu diagnosis, melainkan
merupakan salah satu atau kumpulan gejala dari suatu penyakit. Berbagai penyakit pada
saluran cerna seringkali ditandai dengan gangguan motilitas, mulai dari penyakit yang
paling ringan dan sering dijumpai, seperti : Gastroesophageal Reflux (GER) hingga pada
diagnosis yang jarang dan kompleks seperti Chronic Intestinal Pseudo-obstruction (CIP)
dan Hirschsprung’s Disease.1
Pemahaman tentang patofisiologi, pola gangguan motilitas, onset dari gangguan
dan pengenalan bentuk atau gejala klinis yang khas, akan membantu seorang klinisi
dalam mendiagnosis penyakit yang mendasari. Penanganan klinis yang komprehensif
dan multidisipliner, termasuk dukungan psikologis dan sosial, diperlukan untuk dapat
memberikan tata laksana yang optimal pada pasien.

384
Buku Ajar Gastrohepatologi

23.3 Definisi dan Fisiologi Motilitas


Gangguan motilitas saluran cerna adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh penurunan
fungsi atau kegagalan sistem neuromuskular intrinsik pada saluran cerna. Sistem
neuromuskular pada saluran cerna meliputi: lapisan otot polos, sistem saraf enterik
(enteric nervous system), dan sel interstitial Cajal (interstitial cells of Cajal).2 Masing-masing
komponen ini berperan penting dalam mengatur gerak kontraksi dan relaksasi yang
bergelombang, ritmis dan berurutan, dari proksimal menuju distal saluran cerna yang
mengakibatkan dorongan atau gerakan dari bolus makanan.

23.4 Klasifikasi
Terdapat berbagai klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu seorang dokter
dalam mencari penyebab gangguan motilitas ini. Klasifikasi yang paling lazim digunakan
untuk pasien anak adalah pembagian berdasarkan ada atau tidaknya gejala saat lahir,
dimana gangguan motilitas saluran cerna dapat dibagi menjadi kongenital atau didapat,.3,4
Gangguan kongenital biasanya menimbulkan gejala dalam 2 bulan pertama kehidupan dan
dapat bersifat sporadik maupun familial. Gangguan yang didapat muncul dalam waktu
9
yang lebih lambat dan umumnya bersifat sekunder yang diakibatkan 2 01 oleh berbagai hal
t
antara lain infeksi dan efek samping obat. are
2

9 M
Berdasarkan histopatologi dan pola abnormalitas omotilitas, penyebab gangguan
r
motilitas saluran cerna dapat diklasifikasikan menjadi: G astgangguan sistem saraf, atau yang
disebut sebagai neuropati viseral, dan gangguan at
ap pada sistem otot atau miopati viseral.
5
r
Gangguan neuropati lebih sering terjadi,tuknamun gangguan miopati pada umumnya
berhubungan dengan gejala yang lebih oberat. un 4,5
tr
Berdasarkan penyebabnya kelainan as pada sistem neuromuskular intrinsik, dapat dibagi
menjadi penyebab primer dan j arG
sekunder. Penyebab primer pada umumnya ditandai dengan
kelainan bawaan pada lapisan ku A otot polos, sistem saraf enterik (enteric nervous system), dan
u
sel interstitial Cajal i l eB
(interstitial cells of Cajal) itu sendiri, seperti: maturasi yang terlambat
F
pada sistem saraf enterik atau sel-sel interstitial dari Cajal,7 dan gangguan enzim-enzim
yang berperan para rantai transport elektron mitokondria.8 Diduga terdapat peran dari
mutasi genetik pada keadaan miopati dan neuropati viseral. Miopati mitokondrial diketahui
berhubungan dengan berbagai gejala klinis termasuk CIP.8 Sedangkan penyebab sekunder
dapat berasal dari infeksi, toksin, obat dan inflamasi atau penyakit-penyakit autoimun.1,2

23.5 Identifikasi Awal


Dalam melakukan identifikasi untuk menentukan penyebab gangguan motilitas, dapat
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Memperkirakan organ saluran cerna yang diduga mengalami gangguan, dengan
mengenali gejala dan tanda klinis yang ada pada penderita
2. Mempertimbangkan usia saat ditemukan gejala.
Gejala dan tanda untuk menentukan perkiraan organ yang mengalami gangguan
dapat dilihat pada Tabel 23.5.1.

385
Bab 23 Gangguan Motilitas Saluran Cerna

Tabel 23.5.1. Tanda dan gejala gangguan motilitas dan organ yang diduga terlibat
Tanda dan gejala Organ yang diduga terlibat
Muntah Esofagus, Gaster
Regurgitasi Contoh : akalasia esofagus, refluks gastroesofagel, malrotasi gaster
Kesulitan atau sering sendawa
Disfagia, kesulitan menelan, kesulitan makan
Makan yang lambat (dilaporkan oleh keluarga)
Muntah berulang, muntah kehijauan Gaster, Duodenum
Kembung, sakit perut/nyeri uluhati Contoh : Atresia/stenosis duodenum, duodenal web, pancreas
anulare
Muntah, kembung, sakit perut Yeyunum, Ileum atau Colon
Distensi abdomen, konstipasi Contoh : ileus, pseudo obstruction, pasca operasi pada yeyunum/
Bising usus yang meningkat atau menurun ileum
Gambaran darm steifung atau darm contour (+)
Nyeri perut, rasa tidak nyaman Kolon
Distensi abdomen Contoh : Hirschsprung’s disease
Konstipasi atau diare kronis (berhubungan dengan enterokolitis
Tinja yang berbau busuk

23.6 Beberapa Penyakit dengan Gangguan01Motilitas


9
t 2
Saluran Cerna are
9M
s tro
Mengingat banyaknya penyakit yang ditandai dengan
t Ga gangguan motilitas saluran cerna,
a
maka pada tinjauan ini akan dibahas beberapa
k rap gangguan motilitas yang banyak dijumpai,
yaitu: Akalasia esofagus, gangguan pasca tuatresia kongenital pada saluran cerna, gangguan
motilitas yang berhubungan dengan o ungastroskizis, chronic intestinal pseudo-obstuction,
r
ast
gangguan pasca transplantasir Gintestinal, Hirschsprung’s disease dan konstipasi fungsional
A j a
kronis. Beberapa bentuk u gangguan motilitas lain yang sering dijumpai seperti refluks
gastroesofageal dan B uk
konstipasi fungsional kronis, telah dibahas dalam bab lain pada Buku
e
Ajar ini. Fil

Akalasia Esofagus
Akalasia esofagus merupakan gangguan motilitas esofagus primer yang ditandai dengan
gangguan relaksasi dari lower esophageal sphincter (LES) sebagai respon terhadap
penelanan makanan dan kurangnya gerak peristaltik. Gangguan ini jarang terjadi di masa
remaja dan memiliki frekuensi yang lebih kecil pada anak yang lebih muda.15 Gangguan
sering menyertai anak dengan dengan trisomi 21, triple A (achalasia- addisonian-alacrima)
syndrome, and familial dysautonomia.16,17

Gangguan Motilitas Pasca Operasi Atresia Pada Saluran Cerna


Atresia intestinal kongenital merupakan penyempitan atau tidak terbentuknya bagian dari
saluran cerna. Pasca pembedahan, sering didapatkan gangguan motilitas pada saluran cerna
karena berbagai faktor, antara lain karena adanya kerusakan baik permanen atau menetap
akibat pembedahan ataupun akibat defek yang sudah ada sebelum tindakan pada lapisan
otot polos, sistem saraf enterik atau sel.

386
Buku Ajar Gastrohepatologi

Gastroskizis
Gastroskizis merupakan defek seluruh ketebalan dinding abdomen yang meliputi herniasi
para umbilical saluran cerna. Gangguan ini terjadi pada 2.6 bayi per 10.000 kelahiran hidup.
Sumber yang lain mengatakan1 kasus setiap 2000 kelahiran.17

Chronic Intestinal Pseudo-obstruction


Chronic intestinal pseudo-obstruction merupakan kegagalan pompa intestinal oleh karena
perubahan sistem saraf enterik. Tanda dan gejala klinis yang didapatkan sering mendukung
adanya obstruksi, namun bukti menunjukkan sebaliknya. Sekitar 100 bayi lahir dengan
CIP setiap tahun di Amerika Serikat. Rasio jenis kelamin menunjukkan anak laki-laki lebih
banyak mengalami gangguan ini dibanding anak perempuan.18

Hirschsprung’s Disease
Hirschsprung’s disease merupakan suatu keadaan dimana terdapat segmen aganglionik pada
sebagian kolon. Ketiadaan saraf enterik pada segmen tersebut menyebabkan kegagalan
kontraksi dan relaksasi otot polos yang mengakibatkan gangguan motilitas. Menurut
9
2 01
American Pediatric Surgical Association, Hirschsprung’s disease didapatkan pada 1 dari
4400-7000 kelahiran hidup. 19
re t
a M
9
stro
a
23.7 Tanda dan Gejala r ap at
G

tuk
Tanda dan gejala yang menyertai berbagai
o unbentuk gangguan motilitas saluran cerna sangat
tr
bervariasi berdasarkan etiologi danaspenyakit yang mendasari. Berikut adalah rangkuman
tanda dan gejala dari beberapa r G
keadaan atau penyakit yang ditandai dengan gangguan
Aja
motilitas saluran cerna. ku
e Bu
Fil
23.8 Tanda Bahaya atau Red Flag pada Gangguan
Motilitas
Bagiseorang klinisi, yang terpenting adalah mengenali sedini mungkin ada tidaknya tanda
bahaya atau red flag, antara lain: penurunan berat badan yang menyertai gejala umum
gangguan motilitas (muntah, kembung, sulit BAB), muntah bilous atau kehijauan, muntah
yang proyektil, muntah yang profuse, distensi abdomen, nyeri perut yang hebat, perdarahan
melalui anus atau penyerta seperti panas tinggi. Pada keadaan-keadaan seperti ini,
sebaiknya penderita segera dirujuk pada pusat-pusat pelayanan kesehatan yang memadai.
Tanda-tanda klinis gangguan motilitas saluran cerna dapat dilihat pada Tabel 23.8.1.

387
Bab 23 Gangguan Motilitas Saluran Cerna

Tabel 23.8.1. Gangguan motilitas saluran cerna pada beberapa penyakit1


Gangguan motilitas Penyebab umum Penyebab yang jarang
Akalasia esofagus Striktur esofagus Amiloidosis
Idiopatik Chagas disease (infeksi esophageal)
Sekunder atau pseudo-akalasia Fabry diseases
Keganasan (gaster, paru-paru, esophagus)
RGE
Gangguan setelah operasi atresia intestinal Short bowel syndrome Volvulus
Sindroma malabsorpsi Anomali pancreas anulare dan traktus biliaris
Prolonged adynamic ileus Kebocoran isi intestinal
Gangguan motilitas saluran cerna berat
Berhubungan dengan gastroskizis Defek dinding abdomen Prolaps intestinal, viseral
Atresia Iskemia atau infark midgut
“Apple-pel” jejunoileal lesion Short bowel syndrome
Oligohidramnion Divertikulum Meckel
Malrotasi Atresia kandung empedu
Chronic intestinal pseudo-obstuction Toksik megakolon Trauma
Obstruksi mekanik Pembedahan obstetri, abdominal, ortopedik
Slow transit constipation Kondisi neurologis
Chrohn’s disease
19
Gangguan setelah transplantasi Gangguan absorpsi 20 arteri hepatika
Trombosis
intestinal Perforasi spontan usus halus a ret anastomosis kandung empedu
Kebocoran
Abdominal compartment syndrome
o 9M
str
Ga
Kebocoran duodenal stump
a t
Kebocoran anastomosis intestinal
Hirschsprung’s disease Enterokolitis uk r
ap Volvulus
nt
Konstipasiuidiopatik
r o
ast intestinal
Obstruksi
GMegakolon
distal
r toksik
u Aja Malformasi anorektal
* diterjemahkan/ditulis ulangBukMousa, 2010
dari
e
Fil

388
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 23.8.2. Tanda dan gejala gangguan motilitas saluran cerna dari beberapa penyakit1
Gangguan motilitas Tanda dan gejala
Akalasia esofagus Disfagia terhadap makanan cair dan padat
Regurgitasi (juga pada malam hari)
Kesulitan sendawa
Nyeri dada
Makan lambat (dilaporkan oleh keluarga)
Gerakan menjulurkan leher dan punggung setelah makan
Gangguan setelah operasi atresia intestinal Nyeri dan distensi abdomen
kongenital Konstipasi atau diare
Muntah
Intoleransi terhadap pemberian makan TPN
Berhubungan dengan gastroskizis Muntah
Kembung
Nyeri abdomen
Diare kronis
Masalah pemberian makan yang signifikan termasuk diantaranya intoleransi terhadap TPN
Chronic intestinal pseudo-obstuction Nyeri, distensi abdomen
Konstipasi
Mual, muntah
Manifestasi yang lambat berupa : kembung, konstipasi, muntah bilous
Keadaan-keadaan yang berhubungan dengan komplikasi : diare oleh karena bacterial
overgrowth dan angguan pengosongan kandung kemih (berhubungan dengan keterlibatan
9
saraf dan gerakan otot)
2 01
Gangguan setelah transplantasi Peningkatan produksi stoma aret
intestinal Demam 9M
ro
ast
Nyeri dan distensi abdomen
Ileus G
at
HIrschsprung’s disease r ap
Nyeri perut, rasa tidak nyaman
k
ntu dengan enterokolitis)
Konstipasi
u
Diare kronis (berhubungan
Muntahstro
Ga
rHirschsprung’s Associated Entero-Colitis (HAEC), ditandai dengan diare yang menyemprot,
Aj a berbau busuk, demam, muntah, nyeri perut yang menyertai distensi abdomen
u
uk 2010
* diterjemahkan/ditulis ulang dari Mousa,
B
e
Fil

Tabel 23.8.3. Tanda bahaya untuk gangguan motilitas saluran cerna


Tanda bahaya (red flag) Dugaan
Disfagia persisten dengan penurunan berat badan Akalasia esofagus, stenosis atau atresia pilorus
Pengosongan esofagus yang terlambat pada barium swallow
Muntah bilous, distensi abdomen, berat badan sulit naik Duodenal web, pancreas anulare, atresia duodenum, malrotasi
Muntah, asupan oral yang buruk, tumbuh kembang yang buruk,
distensi abdomen

Muntah berulang, distensi abdomen, sakit perut berulang , bising usus Obstruction atau Pseudo-obstruction ileus, malrotasi saluran cerna
menurun atau meningkat,metalic sound, gambaran Darm Steifung dan parsial atau total
darm Contour pada pemeriksaan fisik, tumbuh kembang yang buruk

Impaksi fekal refrakter terhadap terapi medis, penambahan berat HIrschsprung’s disease, mkrokolon atau small left colon syndrome,
badan yang buruk, distensi abdomen atresia/stenosis

389
Bab 23 Gangguan Motilitas Saluran Cerna

23.9 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


Terdapat berbagai modalitas pemeriksaan yang dapat membantu klinisi dalam menentukan
penyebab gangguan motilitas saluran cerna (Tabel 23.9.1)
Tabel 23.9.1. Pemeriksaan diagnostik gangguan motilitas saluran cerna1
Gangguan motilitas Uji diagnostik Kapan melakukan uji diagnostik
Akalasia esofagus Barium esophagram Uji tapis primer
Manometri esofageal Membutuhkan konfirmasi
Endoskopi Untuk menyingkirkan keganasan
Endoscopic ultrasound atau CT Scan Untuk menilai karakter tumor
Gangguan setelah operasi atresia intestinal Darah lengkap dan Hitung Jenis Uji tapis awal
Serum elektrolit Untuk menentukan obstruksi
BUN dan kreatinin
Kultur darah (jika diduga sepsis)
Foto polos abdomen
Berhubungan dengan gastroskizis Ultrasonografi serial Uji prenatal
Fetal karyotipe
Antepartum fetal surveillance
Chronic intestinal pseudo-obstuction Foto polos abdomen dan saluran cerna atas Semua yang 9dibutuhkan untuk konfirmasi
2 01
Penilaian nutrisi (ektrolit dan albumin t
diagnosis
re tidak didapatkan penyakit yang
serum)
M aJika
o 9
Skintigrafi (uji transit gastrik dan usus halus) mendasari, tentukan gangguan neurologis
Manometri a str yang mendasari
G
Uji autonomik
p at
ra
Uji yang mungkin kdiperlukan:
tu
un cerna
Biopsi saluran

as tro usus halus


Aspirat
Gangguan setelah transplantasi
j ar GD-xylose absorption test Studi awal
A Penentuan lemak fekal
ku
intestinal Untuk mengetahui perubahan mukosa
u
le B
Endoskopi, biopsi
Fi Studi bakterial/fungal
HIrschsprung’s disease Kontras enema Semua yang dibutuhkan untuk konfirmasi
Pemeriksaan rektal digital diagnosis
Pemeriksaan anal mendetil
Manometri kolonik
* diterjemahkan/ditulis ulang dari Mousa, 2010

23.10 Tata Laksana


Tata laksana pada gangguan motilitas saluran cerna sangat bervariasi tergantung pada
penyakit yang mendasari. Penjelasan mengenai tatalaksana pada beberapa keadaan
gangguan motilitas saluran cerna dapat dibaca pada Tabel 23.10.1.

390
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 23.10.1. Pendekatan pembedahan, nutrisional dan farmakologis untuk tata laksana gangguan motilitas saluran cerna1
Gangguan motilitas Pembedahan Nutrisional Farmakologis
Akalasia esofagus Pneumatic balloon dilatation Toksin botulinum
Lower esophageal sphincter Calsium channel blockers
myotomy Nitrat
Prosedur antirefluks Inhibitor fosfodiesterase
Nifedipin
Gangguan setelah operasi atresia Revisi Probiotik Agen antimikrobial
intestinal Oral feeding jika mampu Prokinetik
ditoleransi Eritromisin
Continous G-tube/J-tube feeding Amoksisilin
TPN selama beberapa minggu
Berhubungan dengan Penutupan dengan pembedahan Probiotik Agen motilitas
gastroskizis Betanekol
Antibiotik
Chronic intestinal pseudo- Mungkin dibutuhkan Continous G-tube/J-tube feeding
obstuction transplantasi ileostomi intestinal TPN
Surgical bypass
Gastric/intestinal pacemakers
(antegrade enema)
0 19
Gangguan setelah transplantasi Penapisan dan pemantauan t 2Medikasi anti-rejeksi
intestinal regular are Steroid
o 9M Antibiotik
r
ast Antikolinergik
atG
HIrschsprung’s disease Reseksi
k rapseratterstrukur
Terapi Antikolinergik
u
nt
Makanan
u
* diterjemahkan/ditulis ulang dari Mousa, 2010 ro
G ast
jar
23.11 Penutup Buk
u A
i l e
Sebagai penutup, Fgangguan motilitas masih merupakan salah satu penyebab tersering
gangguan cerna pada anak. Gangguan motilitas bukan suatu diagnosis melainkan satu atau
lebih gejala dari penyakit yang mendasari. Terdapat beberapa klasifikasi gangguan motilitas
saluran cerna yang dapat membantu klinisi dalam menentukan penyebab penyakit utama
pada penderita. Pemahaman tentang patofisiologi, pola gangguan motilitas, onset dan
pengenalan bentuk atau gejala klinis yang khas, akan membantu seorang klinisi dalam
mendiagnosis penyebab gangguan motilitas. Diagnosis akurat secara dini dan terapi
berperan penting dalam tata laksana serta perbaikan kualitas hidup.

Daftar Pustaka
1. Mousa H. Disorders of Gastrointestinal Motility. In : Pediatric Practice Gastroenterology.
McGraw Hill. 2010:277-94.
2. Quitadamo P, Saliakellis E, Borelli O Taphar N. Neurogastroenterology and Motility Disorders.
In : Textbook of Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition. Jaypee Brothers Medical
Publishers. 2015:78-92.
3. Mousa H, Hyman PE, Cocjin J, et al. Long-term outcome of congenital intestinal

391
Bab 23 Gangguan Motilitas Saluran Cerna

pseudoobstruction. Dig Dis Sci. 2002;47:2298-2305.


4. Connor FL, Di Lorenzo C. Chronic intestinal pseudo-obstruction: assessment and management.
Gastroenterology. 2006;130:S26-S39.
5. Guze CD, Hyman PE, Payne VJ. Family Studies of infantile visceral myopathy: a congenital
myopathic pseudo-obstruction syndrome. Am J Med Genet. 1999;82:114-112.
6. Srinatan SK, Langer JC, Blennerhassett MG, et al. Etiology of intestinal damages in gastroschisis.
J Pediatr Surg. 1995:25:1122-1126.
7. Simmons M, Georgesson KE. The Effect of gestational age at birth morbidity in patients with
gastroschisis. J Pediatr Surg. 1996;31:1060-1062.
8. Chitkara D, Nurko S, Shoffner J, et al. Abnormalities in gastrointestinal motility are associated
with disease of oxidative phosphorylation in children. Am J Gastroenterol. 2003;98:871-877.
9. Schappi MG, Smith VV, Milla PJ, et al. Eosinophilic myenteric ganglionitis is associated with
functional intestinal obstruction. Gut. 2003;52:752-755.
10. Hirano M, Silvestri G, Blake DM, et al. Mitochondrial neurogastrointestital encephalomyopathy
(MNGIE) – clinical, biochemical, and genetic features of an autosomal recessive mitochondrial
disorder. Neurology. 1994;44:721-727.
11. Schwankovsky L, Mousa H, Rohwani A, et al. Quality of life outcomes in congenital chronic
intestinal pseudo-obstruction. Dig Dis Sci. 2002;47:1965-1968.
12. Rudolph CD, Hyman PE, Altschuler SM, et al. Diagnosis and treatment of chronic intestinal
pseudo-obstruction in children: report of consensus workshop. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
9
1997;24:102-112. 2 01
t
reachalasia: a separate entity? Z
Ma
13. Bohl J, Gockel I, Sultanov F, Eckardt V, Junginger T. Childhood
Gastroenterol. 2007;45:1273-1280. 9
ro
14. Gockel I, Bohl JR, Doostkam S, Eckardt VF, Junginger
G astT. Spectrum of histopathologic findings
at J Gastroenterol Hepatol. 2006;21:727-733.
in patients with achalasia reflects different etiologies.
r apheterogeneity and clinical phenotype in triple A
15. Brooks BP, Kleta R, Stuart C, et al. Genotypick
syndrome: a review of the NIH experienceu ntu 2000-2005. Clin Genet. 2005;68:215-221.
o
str
16. Vecchia LD, Grosfeld J, West K,aRescorla F, Scherer L, Engum S. Intestinal atresia and stenosis: a
r G
25-year experience with 277
A ja cases. Arch Surg. 1998;133:490-496.
u
17. Vu L, Nobuhara K, Laurent C, Shaw G. Increasing prevalence of gastroschisis: population based
B
study in California.
uJkPediatr. 2008;47:158-164.
e
18. Di Lorenzo C.FilPseudo-obstruction: current approaches. Gastroenterology. 1999;116:980-987.
19. The American Pediatric Surgical Association. Hirschsprung’s Disease. 2009. http://www.eapsa.
org/parents/resources/hirschsprungs.cfm.

392
BAB

24
Perdarahan Saluran Cerna
Bagian Atas
Deddy Satriya Putra

24.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak laki-laki umur 3 tahun 4 bulan datang ke unit gawat darurat rumah sakit
dengan keluhaan utama muntah darah 1 jam sebelum datang kerumah sakit. Muntah darah
bewarna merah kehitaman sebanyak 2 gelas, muntah darah baru yang pertama kali terjadi
tiba-tiba sewaktu anak bermain setelah makan pagi, tidak ada riwayat demam sebelumnya.
Anak kelihatan pucat dan lemas. Pada pemeriksaan fisik tampak anak lemah, wajah pucat
BB 11 kg, suhu 37 0 C, dengan perut membesar dan ujung jari kaki dan tangan pucat. Limpa
teraba membesar, hepar tidak teraba, tidak ada tanda-tanda asites. Pada pemeriksaan
laboratorium darah rutin didapatkan HB 6 gr%, lekosit 7000/mm3dan trombosit 83.000/
mm3.

24.2 Pendahuluan
Perdarahan saluran cerna akut pada anak baik berupa muntah darah atau darah segar dari
rektrum merupakan suatu keadaan yang menakutkan anak dan orang tuanya meskipun
jumlahnya sedikit.1 Perdarahan saluran cerna merupakan 10-15% kasus yang dirujuk ke
Gastroenterologi Anak.2 Perdarahan saluran cerna pada anak dapat bermanifestasi berupa
muntah darah (hematemesis), keluarnya darah bewarna hitam dari rektum (melena),
tinja yang berdarah atau keluarnya darah segar melalui rektum (hematokezia/enteroragia)
dan darah samar di feses. Hematemesis merupakan perdarahan yang berasal dari saluran
cerna atas dengan batas di atas ligamentum Treitz. Melena lebih kurang 90% berasal dari
saluran cerna atas terutama usus halus dan kolon proksimal, hematokezia yang merupakan
perdarahan saluran cerna yang berasal dari kolon, rektum atau anus/saluran cerna bawah
atau bisa juga dari saluran cerna atas dengan perdarahan yang banyak dengan waktu singgah
usus yang cepat, sedangkan darah samar feses merupakan kehilangan darah melalui feses
yang secara makroskopis tidak terlihat umumnya perdarahaan berasal usus halus atau
saluran cerna atas.1,3
Dalam mencari penyebab perdarahan saluran cerna pada anak ada lima informasi
penting yang harus diketahui oleh para klinisi yaitu : umur anak, asal perdarahan, warna

393
Bab 24 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

darah dan beratnya perdarahan, ada atau tidaknya nyeri perut dan terdapatnya diare.2,3
Umumnya sumber perdarahan ditentukan dalam dua golongan besar yaitu:4
1. Perdarahan gastrointestinal atas meliputi dari mulut hingga ligamentum Treitz
2. Perdarahan gastrointestinal bawah yang berasal dari daerah di bawah ligamnetum Treitz.

24.3 Definisi
Perdarahan saluran cerna atas merupakan kehilangan darah dalam lumen pembuluh
saluran cerna mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (proksimal dari ligamentum
Treitz ).5

24.4 Epidemiologi
Insiden perdarahan saluran cerna atas dilaporkan oleh El Mouzan sebesar 5% dengan umur
5-18 tahun. Perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 7:1 dengan keluhan utama
sebanyak 69% berupa sakit perut kronik, 21% dengan hematemesis melana dan sisanya
dengan gejala muntah disertai sakit perut.6 Pediatric Endoscopy Database System-Clinical
Outomes Research Initiative (PEDS-CORI), Brabcoft dan kawan-kawan 9 menemukan 5%
2
(327 dari 6337) kasus hematemesis yang diindikasikan dilakukannya 01 endoskopi atas.7
t re
9 Ma
ro
24.5 Etiologi G ast
p at
r a
tuk anak dapat di lihat pada Tabel 24.5.1:
Etiologi perdarahan saluran cerna atas pada
un
tro anak8,9
Tabel 24.5.1. Etiologi perdarahan saluran cerna atasspada
a
G
Neonatus (lahir-1 bulan)
A jar Bayi/remaja (1 bulan-18 tahun)
Tertelan darah maternal u Gastritis
Gastritis hemoragik B uk Esofagitis
e
Esofagitis Fil Ulkus gastroduedum
Ulkus gastroduodenal Robekan Mallcory-Weiss
Koagulopati karena infeksi Varises
Anomali vaskular Duplikasi gastrointestinal
Penyakit hemoragik (defisiensi vitamin K) Anomali vaskular
Idiopatik Koagulopati
Ingesti toksik
Usia prasekolah (2-5 tahun) Usia sekolah (>5 tahun)
Epistaksis Gastritis
Gastritis Robekan Mallcory-Weiss
Esofagitis Ulkus peptikum
Ulkus gastroduodenal Ingesti toksik
Robekan Mallcory-Weiss Esofagitis
Varises Penyakit inflamasi usus
Benda asing Varises
Anomali vaskular Anomali vaskular
Ingesti toksik Hemobilia
Hemobilia

394
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 24.5.2. Diagnosis bandingl perdarahan saluran cerna atas berdasarkan manifestasi klinis9
Hematemesis
l Tertelan darah
Epistaksis, nyeri tenggorokan, menyusu, tindakan gigi, atau tonsilektomi
l Defisiensi vitamin K pada neonatus
l Esofagitis erosif
l Robekan Mallory-Weiss
l Hemorrhagic gastritis
Trauma, pembedahan, luka bakar, atau stres sistemik berat (pasien ICU)
l Gastritis reaktif
Obat anti inflamasi non steroid (gastropagi OAINS), gastritis alkoholik, ingesti kokain, ingesti bahan kaustik, stres, trauma mekanik,
infeksi virus, penyakit Crohn, vaskulitis (Henoch-Schönlein), radiasi, refluks empedu, bezoar, hernia hiatus, prolaps gastroesophageal
junction, atau gastropati kongestif (karena hipertensi portal)
l Ulkus peptikum
l Perdarahan varises (karena hipertensi portal)
l Massa submukosa
Lipoma, tumor stroma, duplikasi
l Malformasi vaskular
Angiodisplasia, hemangioma, lesi Dieulafoy
l Hemobilia

9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
Melena p at
l Iskemia intestinal k ra
u ntu atau trombosis mesenterik
Intususepsi dengan komplikasi, volvulus mid-gut, hernia inkarserata,
ro
ast
l Divertikulum Meckel
G
l Perdarahan saluran cerna atas: lihat hematemesis
l Vaskulitis Ajar
Purpura Henoch-Schönlein uku
l Polip yang terkelupas ile
B
F
l Gastropagi OAINS intestinal
l Malformasi vaskular
Penyebab yang utama dari perdarahan usus halus pada anak adalah divertikulum
Meckel (terdapat 2% dari populasi), yang berisikan mukosa ektopik gaster atau pankreas
dan dapat terjadi ulserasi. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan scanning radionuklir
dan terapi dilakukan dengan reseksi divertikulum.8,9 Duplikasi merupakan penyebab kedua
tersering perdarahan usus halus pada anak dan terapinya juga dengan reseksi. Ulkus pada
anak sering terjadi selama perawatan di NICU pasca operasi. Chaibou M melaporkan bahwa
beberapa faktor risiko terjadinya perdarahan saluran cerna atas pada anak yang dirawat
intensif ádalah gagal napas, coagulopathy dan nilai PRIMS (pediatric risk of mortality store)=
10.11 Helicobacter pylori dapat menyebabkan gastroduodenal ulcerasi tetapi gambaran lesi
noduler yang difus lebih sering ditemukan pada anak. El Mouzan melaporkan dari 15 anak
yang dilakukan biopsi antrum melalui endoskopi didapatkan 13 diantaranya (87%) positif
H. Pylori.6 Esophagitis karena refluks yang berat pada esophagus dapat disebabkan karena
penyakit neuromuskuler, trauma mekanik karena benda asing, dan trauma kimia karena
tertelan bahan kaustik, obat-obatan dan infeksi. Varises esophagus pada anak disebabkan
hipertensi portal baik intrahepatik maupun ekstrahepatik. Trombosis vena splanikus

395
Bab 24 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

dengan vena portal akan menyebabkan terjadinya varises esophagus.12 Kelainan vaskuler
dan duplikasi saluran cerna merupakan penyebab lainya yang jarang ditemukan pada anak.8
Pada bayi baru lahir pernyebab perdarahan saluran cerna sangat bervariasi. Perdarahan
dapat terjadi karena tertelan darah ibu sewaktu persalinan atau menyusui, dapat juga terjadi
karena esofagitis, gastritis dan ulserasi gastroduodenal. Untuk dapat membedakan apakah
darah berasal dari bayinya atau darah ibu yang tertelan dapat dilakukan tes APT. Caranya 1
mL muntah bayi dicampur dengan 5 mL air kemudian disentrifugasi untuk mendapatkan
supernatan yang bewarna merah muda. Ambil 1 mL supernatan dan ditambahkan ke dalam
4 mL natrium hidoksida 1%, tunggu selama 2 menit. Jika larutan tetap bewarna merah
muda berarti darah bayi dan apabila berubah jadi kuning kecoklatan berarti berasal dari
darah ibu yang tertelan.5
Hematemesis dapat terjadi karena alergi susu sapi pada bayi yang dapat susu formula,
dan defisiensi vitamin K.8 Mahcado RS melaporkan dua kasus hematemesis sekunder
oleh karena gastritis hemoragik yang disebabkan karena alergi susu sapi.13 Pada remaja
penggunaan analgetik nonsteroid (OAINS) sering menimbulkan ulkus peptikum yang
menyebabkan perdarahan selain robekan Malorry-Weiss, varises gastroesofagus dan
gastritis karena alkohol.6 Romanisizen melaporkan kejadian Malorry-Wess pada anak
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 24.5.1. Ulkus gastrikum anak perempuan Gambar 24.5.2. Esofagitis pada anak
12 th perempuan 10 th

Gambar 24.5.3. Varises esofagus anak laki-laki Gambar 24.5.4. (PA) Adenoma duodenum anak
3 thn laki-laki 14thn

396
Buku Ajar Gastrohepatologi

Gambar 24.5.5. Gastritis erosif anak laki-laki 8 thn Gambar 24.5.6. Ligasi varises esofagus anak
laki-laki 11 thn
(Sumber: koleksi pribadi)

sekitar 0.3%. Banyak faktor yang menyebakan terjadinya Malorry–Weiss síndrome pada
anak dan biasanya bersamaan dengan penyakit saluran cerna lainya seperti 9 gastritis dan
01
t 2 bronkial.13 Riwayat
duodenitis, infeksi Helicobacter pylori, refluks gastroesofageal danreasma
muntah yang hebat dan kemudian muntah darah khas untuk
a
Mgejala Malorry-Weiss, pada
o 9
dewasa sering dihubungkan dengan konsumsi alkohol.ast r
10,15
G
p at
r a
k
ntu
24.6 Diagnosis dan TatatrLaksana
ou
G as
Menyingkirkan penyebab palsu
Ajar perdarahan seperti tertelan darah sewaktu menyusu,
u
epistaksis, hemoptisis, penggunaan obat atau makanan yang merubah warna feses seperti
Buk
bismut, besi, coklat, e berri, bit dan lain-lain dapat menghindarkan dari pemeriksaan
Fil
atau prosedur diagnosis yang berlebihan.10,15,16 Langkah pertama menghadapi pasien
dengan perdarahan saluran cerna adalah dengan memastikan pemberian oksigen yang
adekuat, resusitasi cairan dan darah, memastikan akses vena terpasang dan koreksi bila
terdapat gangguan pembekuan. Pemasangan pipa nasogastrik dapat membedakan kedua
golongan perdarahan diatas. Bila pada pipa nasogastrik mengalir darah ini berarti sumber
perdarahan dari gastrointestinal atas. Kita dapat memonitor perdarahan dan menentukan
beratnya perdarahan yang terjadi. Pemasangan pipa nasogastrik bukanlah merupakan
kontraindikasi pada perdarahan esofagus. Dengan cara ini kita dapat membersihkan
lambung dan mengurangi risiko aspirasi.2,4,16 Berat ringannya perdarahan saluran cerna atas
akut pada anak dapat ditentukan melalui tampilan klinis anak, dan status hemodinamik
pasien, estimasi jumlah volume darah yang hilang dan warna darah yang keluar. Indikator
terbaik yang dapat dipakai untuk kehilangan sejumlah volume darah adalah peningkatan
denyut nadi 20x/menit atau penurunan tekanan darah sistolik 10 mmHg atau lebih pada
perubahan posisi anak dari berbaring ke posisi duduk.16
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik dalam evaluasi perdarahan saluran cerna
atas pada anak. Keamanan endoskopi pada anak sama dengan dewasa meskipun masih
sedikit publikasi tentang endoskopi pada anak. Endoskopi lebih diutamakan untuk evaluasi

397
Bab 24 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

dan pengobatan pada ulkus dan varises esofagus. Seleksi pasien yang akan dilakukan
endoskopi biasanya sangat teliti. Bayi atau anak yang menderita anemia, dengan tes darah
samar pada feses positif dan tidak terdapatnya melena, hematokezia atau hematemesis
memerlukan pemeriksaan endoskopi untuk evaluasi.16 Tindakan bedah diindikasikan jika
terjadi kegagalan tindakan non-invasif atau endoskopi.8

Tabel 24.7.1. Terapi obat-obatan pada perdarahan saluran cerna atas 9,10
Indikasi Kategori obat Dosis*
Perdarahan aktif
Inhibitor sekresi asam lambung intravena
Antagonis histamin 2 Infus berkelanjutan, 1 mg/kg BB diikuti dengan infus 2-4 mg/kg BB/
Ranitidin hari
Infus bolus: 3-5 mg/kg BB/hari, dibagi per 8 jam
Omeprazol Proton pump inhibitor Anak <40 kg: 0,5-1 mg/kg BB/hari, IV 1x/hari
Anak >40 kg: 20-40 mg, 1x/hari, maks. 40 mg/hari
Golongan vasoaktif intravena
Okreotid Analog somatostatin 1 mkg/kg, bolus IV (maks. 50 mkg), diikuti 1 mkg/kg BB/jam
Kecepatan infus bisa dinaikkan setiap jam sampai 4 mkg/kg BB/jam
(maks. 250 mkg/jam)
9
01penurunan 50% setiap 12 jam
Jika perdarahan terkendali, lakukan
2
t
are 25% dari dosis awal
Dapat dihentikan jika mencapai
M
Vasopresin Hormon antidiuretik 9
0,002 -0,005 unit/kg
o
BB/menit, 12 jam, kemudian turunkan dalam
waktu 24-48
a strjam (maks. 0,2 unit/menit)
G
Pencegahan perdarahan ulang
p at
Inhibitor sekresi asam lambung per oral r a
Antagonis histamin 2 unt
uk 2-3 mg/kg BB/dosis, 2-3 x/hari (maks. 300 mg/hari)
Ranitidin o
a str
Famotidin G
Antagonisr histamin 2 0,5 mg/kg BB/dosis, 2x/hari (maks. 40 mg/hari)
a
Ajpump
ku
Lansoprazol Proton inhibitor 1 -1,5 mg/kg BB/hari, 1-2 x/hari (maks. 30 mg, 2x/hari)
u
Omeprazol
i l e B Proton pump inhibitor 1 -1,5 mg/kg BB/hari, 1-2 x/hari (maks. 20 mg, 2x/hari)
Proteksi adhesif mukosaFyang mengalami ulserasi oral
40 -80 mg/kg BB/hari, dalam dosis terbagi (maks. 1.000 mg/dosis
Sukralfat Pasta adhesif lokal
dalam dosis terbagi)
Pencegahan perdarahan ulang varises per oral
Propranolol Mengurangi aliran darah 1 mg/kg BB/hari, dalam 2-4 dosis terbagi
mesenterik (penyekat beta- Bisa dinaikkan setiap 3-7 hari sampai maks. 8 mg/kg BB/hari untuk
adrenergik) mencapai reduksi 25% dari denyut jantung awal

24.7 Simpulan
Perdarahan saluran cerna atas pada anak berasal dari mulut hingga duodenum setinggi
ligamentum Treitz. Hal yang utama diperhatikan pada perdarahan saluran cerna atas
pada anak adalah mengatasi agar tidak terjadi syok hipovolemik karena perdarahan. Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah memastikan lokasi perdarahan. Dengan pemasangan
pipa nasogastrik, anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tepat akan menghindari kita dari
pemeriksaan penunjang yang berlebihan.

398
Buku Ajar Gastrohepatologi

Daftar Pustaka
1. Boediarso A, Perdarahan gastrointestinal pada bayi dan anak 1 : Gastroenterologi anak praktis,
Ed Suharyono, Aswitha B, EM Halimun: edisi ke 2 Jakarta 1994: Balai Penerbit FK-UI hal 231-
40.
2. Simon Chin ed PK Gastro-intestinal bleeding in children and Adolescents: Paediatric Chinical
Clinical Guidelines 2001, hal 1 – 5.
3. Elisa de Carvalho, 1 Miriam H. Nita,2 Liliane M.A. Paiva,2 Ana Aurelia R. Silva2 Gastrointestinal
bleeing J Pediart (Rio J) 2000; 76(Sup.2):S1 35-S146:
4. Halimun EM,Suwarso R,Perdarahan gastrointestinal pada bayi dan anak 2 : Gastroenterologi
anak praktis,Ed Suharyono, Aswitha B, EM Halimun: Edisi ke2 Jakarta 1994 : Balai Penerbit
FK – UI hal 241-49.
5. Gilger M. Upper gastrointestinal Bleeding in Pediatric Gastrointestinal Disease, volume 1 , ed
Allan Walker, 4th edition,USA 2004, hal 258-65.
6. El Mauzan: M I,Abdullah A M Peptic Ulcer Disease in Children and Adolescent of Tropical
Pediatrics; Dec 01,2004, 2004;50,6; hal 328-30.
7. Bancroft J. Dietrich C. Gilger M, et al. Upper endoscopic finding in children with hematemesis
(abstract).Gastrointest Endosc 2003;57:AB 121.
8. Hamoui N, Docherty S D. Crookes P F.Gastrointestinal hemorrhage : is the surgeon obsolete?
Emerg Med Clin N Am 21 (2003) 1017-56.
9
9. Hanna Eyad. Gastointestinal Bleeding in textbook of pediatricpractice 01 Gasrtoenterology
ed.Warren P.Bishop .The McGraw-Hill Companies 2010.hal 65-79. ret 2
10. Kharasch SJ. Gastrointestinal Bleeding in textbook of Pediatric M a
Emergency Medicine, ed. Gary
9
tro 275 – 78.
R. Fleiser, Stephen Ludwig. 4th edition Philadelphia 2000.shal
11. Chaibou M, Tucci M, Marc-Andre, D Farrell CA,atProulx Ga F, Lacroix J, Clinically Significant
p
Upper Gastrointestinal Bleeding Acquired in raaPediatric Intensive Care Unit; A Prospective
tu k
Study, PEDIATRICS Vol 102 No. 4; hal 933-38.
un
ro
12. Pediatrics gastrointestinal bleeding s,tDesember 2009 di unduh dari http://emedicine.medscape.
com/article/802064. G a
13. Machoda RS Kawakami E, Ajar
Goshima S, Patricio FR, Neto UF Hemorrhagic gastritis due to cow’s
milk allergy: report of u ku cases, Jornal de Pediatria – Vol. 79,No4,2003,hal 363-69
two
e B EM, Czkwianianc E, Maoecka IP Mallory weiss syndrome in children,
Fil
14. Romaniszyn LB,Panas
Diseases of the Esophagus 1999,12 hal 65-67.
15. Kay M and Wyllie R. Gastrointestinal hemorrhage, inPediatric Gastrointestinal and Liver
Disease, ed Robert Wyllie, Jeffrey S Hyams, 3rd editionnetherlands 2006 hal : 203- 11
16. Boyle J T . Gastrointestinal Bleeding in Infant and children in pediatric Rev 2008 : 29. 39-52.

399
BAB

25
Perdarahan Saluran Cerna
Bagian Bawah
Supriatmo

25.1 Ilustrasi kasus


Seorang anak usia 4 tahun dibawa ibunya ke rumah sakit karena sering mengalami
perdarahan dari anus terutama setelah buang air besar. Tidak ada keluhan sakit perut,
muntah dan diare pada kasus. Anak terlihat sehat, tumbuh kembang sesuai umur, dari
hasil pemeriksaan darah dalam batas normal. Pemeriksaan fisis dalam batas normal, dan
tidak ditemukan luka pada anus. Hasil pemeriksaan feses ditemukan lendir dan darah, lain-
lain dalam batas normal. Telah mendapat pengobatan kotrimoksasol dan metronidazol
serta asam traneksat tetapi klinis masih ditemukan keluhan. Hasil foto polos abdomen
menunjukkan banyak massa feses dan telah mendapat pencahar laktulose dan susu diganti
soya oleh dokternya. Namun darah masih tetap ada terutama setelah buang air besar.
Orang tua meminta dilakukan USG dan scanning tetapi hasil normal. Dokter menyarankan
kolonoskopi dan ditemukan polip bertangkai di rektum. Dilakukan polipektomi dan pada
waktu pasen datang kontrol ulang keluhan buang besar berdarah tidak ada lagi.

25.2 Pendahuluan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah (PSMBB) ditandai dengan keluar darah dari
saluran cerna mulai dari daerah ligamentum Treitz ke arah distal hingga rektum.1-3 PSMBB
dilaporkan terjadi pada sekitar 20% dari seluruh perdarahan saluran cerna akut.4 Disebut
akut jika perdarahan terjadi kurang dari 3 hari dan biasanya secara klinis lebih berat dan
tidak jarang mengganggu kestabilan hemodinamik dan menyebabkan anemia yang sering
memerlukan tranfusi darah. Sementara itu disebut kronik jika keluar darah dari rektum
selama beberapa hari atau bahkan bisa lebih lama lagi dan umumna perdarahan yang terjadi
hilang timbul dan sedikit-sedikit.5-8 Angka kejadian PSMBB pada anak belum diketahui
dengan pasti, sementara pada orang dewasa dilaporkan berkisar antara 20-27 kasus per
100.000. Angka kematian lebih rendah dibanding perdarahan saluran cerna bagian atas
dan perdarahan berulang terjadi pada 4% kasus yang telah ditangani.9-11 Perdarahan pada
kolon memerlukan lebih sedikit transfusi darah dibanding perdarahan dari usus halus.
Angka kematian secara keseluruhan berkisar dari 2-4 %.11-12 Pada orang dewasa perdarahan

400
Buku Ajar Gastrohepatologi

saluran cerna bagian atas terjadi paling sedikit lima kali dibanding PSMBB dan kejadian
meningkat sejalan dengan penambahan usia. Data epidemiologi perdarahan saluran cerna
pada anak masih belum memuaskan.13-16
Menarik disimak bahwa PSMBB pada anak umumnya tanpa disertai penyakit
penyerta. Tidak ada data pada anak yang menjelaskan pengaruh obat-obatan sebagai faktor
risiko terjadi perdarahan dan kejadian perdarahan berulang.1,4,5
Pada kebanyakan kasus, gejala klinis membantu menjelaskan sumber perdarahan.
Pada seorang anak yang datang ke rumah sakit dengan hematemesis, sumber perdarahan
dapat diduga berasal dari saluran cerna bagian atas, walaupun bisa juga kibat tertelan
darah pada bayi baru lahir dan epistaksis pada anak. Sementara jika klinis menunjukkan
ada darah segar atau diare bercampur darah biasanya sumber perdarahan dari bagian
bawah, utamanya kolon. Sangat jarang, perdarahan saluran cerna bagian atas masif
menyebabkan hematokesia. Perdarahan saluran cerna bisa samar dan nyata. Perdarahan
samar menunjukkan klinis fatig, anemia defisiensi besi, atau diketahui dengan pemeriksaan
darah samar tinja. Walau bagaimanapun perdarahan nyata bisa sangat menakutkan.16-18

25.3 Evaluasi awal 9


2 01
Sudah menjadi keharusan untuk mampu melakukan penilaian t
resecara cepat dan tepat,
sebagai panduan ada beberapa pertanyaan yang harus segera 9 Ma
dijawab: 6-9
ro
st
1. Apakah anak stabil?
t Ga
2. Apakah perdarahan signifikan? a
k rap
3. Apakah terjadi perdarahan aktif? tu
4. Apakah ada kondisi yang diduga penyebab
o un perdarahan?
str
Anamnesis sangat penting rdalamGa evaluasi perdarahan pada anak. Sumber perdarahan,
ja
kuA
penyebaran atau berat perdarahan, lama perdarahan dan gejala yang berhubungan harus
Bu
dicari dari wali atau pengasuh serta anak itu sendiri, jika mungkin, saksi yang melihat awal
e
Fil dilibatkan. Anamnesis kritis pada evaluasi awal sangat penting untuk
perdarahan juga harus
ditanyakan seperti riwayat gangguan perdarahan, penyakit hati, penyakit-penyakit saluran
cerna dan komsumsi obat-obatan seperti OAINS, alkohol pada anak besar atau pemakaian
antibiotika saat terjadi perdarahan. Anamnesis bisa dilengkapi kemudian pada kasus-kasus
perdarahan massif dan mengganggu hemodinamik.5,7,10

25.4 Gejala dan Tanda


Perdarahan saluran cerna bagian bawah (PSMBB) berarti perdarahan dari arah distal
ligamentum Treitz dan manifestasi klinis sebagai perdarahan rektum. PSMBB bisa muncul
dalam empat bentuk:4,8,13
1. Hematokesia, keluar darah nyata dari rektum. Kadang hanya darah segar dan bisa juga
bercampur feses. Sumber perdarahan biasanya dari usus besar tetapi perdarahan saluran
cerna atas masif dapat muncul sebagai perdaran rektum.
2. Melena, diartikan sebagai feses berwarna hitam seperti ter, berbau busuk. Diduga
perdarahan di atas ileo-sekal dan bisa juga muncul pada perdarahan kolon yang lama
tertahan sebelum dikeluarkan.

401
Bab 25 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah

3. Perdarahan samar dengan gejala fatig atau pucat. Dapat dipastikan dengan pemeriksaan
laboratorium darah dan feses (darah samar feses)
4. Gejala kehilangan banyak darah, seperti malaise, takikardia atau bahkan syok
hipovolemik.

25.5 Pemeriksaan Fisis


Pada pemeriksaan fisis dicari apakah ada tanda-tanda anemia atau tidak, yang berguna
untuk memprediksi jumlah kehilangan darah. Tabel 25.5.1. dapat dipergunakan sebagai
acuan pemeriksaan fisis pada kasus PSMBB.7,8

Tabel 25.5.1. Pemeriksaan fisis pada PSMBB4.6.11


Kulit : pucat, ikterus, ekimosis, pembuluh darah abnormal, hidrasi, ruam
Kepala, mata, telinga, hidung dan tenggorokan: injeksi nasofaring, pembesaran tonsil, perdarahan
Kardiovaskular: frekuensi jantung dan nadi tidur, duduk dan berdiri, waktu pengisisn kapiler, irama Gallop
Abdomen: pembesaran organ, nyeri abdomen dan nyeri tekan
Perineum: fissura, fistula, rum, indurasi, hemoroid eksterna dan lesi vaskular
Rectum : darah nyata, melena, rasa nyeri
0 19
2
aret
o 9M
25.6 Diagnosa Banding Hematokesia
tG
ast
r 14,17,18

a pa
1. Neonatus: menelan darah ibu, intoleransi
tu k rdiet protein, enterokolitis nekrotikan, malrotasi
n
dan volvulus, defisiensi vitamin K,uhemophilia,
tro
s
2. Bayi: fissura ani, invaginasi, kolitis infeksi, intoleransi diet protein, divertikulum Meckel,
Ga
malformasi pembuluhAdarah.jar
ku infeksi, polip, hiperplasia limfoid nodular, invaginasi, purpura
3. Anak: fissura ani,ukolitis
e B
Fil
Henoch Schönlein, divertikulum Meckel, sindroma hemolitik uremik, kolitis iskemik,
malformasi pembuluh darah.
4. Remaja: kolitis, penyakit Chron dan kolitis ulseratif, fissura ani, polip, hemoroid,
malformasi pembuluh darah.

25.7 Pemeriksaan Darah


Pemeriksaan laboratorium pada umumnya terbatas sesuai dengan ketersediaan alat yang
ada di rumah sakit. Beberapa pasien memerlukan pemeriksaan yang khusus, pemerikaan
dini yang dapat dilakukan dapat dilihat pada Tabel 25.7.1.6,9,15

402
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tabel 25.7.1. Pemeriksaan dini pada PSMBB


Adanya gejala syok tanpa disertai penyakit sistemik atau hati Adanya gejala syok disertai oenyakit sistemik atau hati
Darah rutin lengkap Darah rutin lengkap
Jumlah sedimen eritrosit Jumlah sedimen eritrosit
BUN (Blood urea nitrogen) Waktu protrombin
Waktu protrombin Partial thromboplastin time
Partial thromboplastin time Guaiac stool, emesis
Guaiac stool, emesis Tipe darah dan crossmatch
Aspartate aminotransferase
Alanine aminotransferase
Γ-Glutamyl transpeptidase
BUN
Kreatinin
Albumin
Protein total

25.8 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan awal dalam mengevaluasi pasien dengan
perdarahan saluran cerna, tapi masih terbatas karena keterbatasan alat dan 9 yang melakukan
endoskopi anak. Pemeriksaan radiologi sangat berguna untuk mengevaluasi 2 01 area yang tidak
t
dapat dijangkau dengan menggunakan endoskopi dan dalam M are
mengevaluasi pasien dengan
perdarahan.17,18 o 9
r
ast
Gsebelum
Radiologi dengan kontras merupakan indikasi at dilakukan endoskopi pada
pasien dengan disfagia, odinofagia dan ketidakmampuanr ap dalam mengontrol sekresi yang
disertai dengan melena atau hematemesis. ntuk
trou Radiologi dengan kontras tidak disarankan pada
pasien dengan esofagitis, gastritis aatau s ulkus peptikum, karena endoskopi lebih sensitif
G
rdan
sebagai pemeriksaan dan terapi
Aj a sebagai diagnostik.
k u
Sonografi esofagus uatau hepatis porta berguna untuk menilai ada atau tidak adanya
i l
varises.17,18 Penggunaan e Bpemeriksaan radiologi dapat dilihat pada Tabel 25.8.1.
F

Tabel 25.8.1. Pemeriksaan radiologi pada PSMBB


Pemeriksaan Indikasi
Saluran cerna bagian atas berkala Disfagia
Odinofagia
Drooling
Antegrade colonogram Adanya sriktur yang ditemukan pada saat kolonoskopi
Sangkaan intususepsi
Barium enema Adanya striktur yang ditemukan pada saat kolonoskopi
Sangkaan hipertensi portal
Sangkaan Meckel divertikel
USG abdomen (Doppler) Obscure gastrointentinal bleeding
Meckel’s scan Obscure gastrointentinal bleeding
Sulfure colloid scan Perdarahan refrakter
Labeled RBC scan Sangkaan malformasi pembuluh darah
Angiografi

403
Bab 25 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah

Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dilakukan pada pasien perdarahan saluran cerna untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan pengobatan sesuai tempat perdarahan jika memungkinkan.
Selama dilakukan endoskopi, mukosa yang terlihat akan dinilai, mengidentifikasi tempat
perdarahan, biopsi serta melakukan kultur.3,7,9
Faktor risiko terjadinya perdarahan kembali pada ulkus seperti pembuluh darah yang
terlihat dapat diidentifikasi dan diobati pada saat dilakukan endoskopi. Pada pasin yang
mendapat terapi dengan endoskopi, lesi khas yang dapat diidentifikasi dan ditatalaksana
seperti skleroterapi varises atau ligase dan ablasi varises.9,11,14

Tabel 25.8.2. Pemeriksaan endoskopi yang dapat dilakukan pada PSMBB 7,9,16
Pemeriksaan Indikasi
Esofagogastroduodenoskopi Hematemesis
Melena
Hematokesia
Sigmoidoskopi fleksibel Hematokesia
Kolonoskopi Hematokesia
Enteroskopi usus halus Obscure GI blood loss
Video capsule endoscopy 9
Obscure GI blood loss
2 01
t
M are
Persiapan pada pemeriksaan endoskopi sangat penting 9
o baik dalam segi keamanan serta
keefektivan pemeriksaan. Pada pasien yang memerlukan a str perawatan segera, resusitasi pasien
G
sangat diprioritaskan dibanding dilakukan pemeriksaanp at pada saat kondisi pasien yang tidak
r a
k
u ntu
stabil. Perlunya pendamping anestesi atau ahli gawat darurat selama pemeriksaan untuk menjaga
jalan nafas serta pemilihan obat sedasi oyang aman dan efektif pada saat pemeriksaan.10-14
a str
G
A jar
Enteroskopi UsusuHalus ku
e B
Fil
Penggunaan enteroskopi usus halus dapat dilakukan pada anak dengan perdarahan saluran
cerna yang nyata, yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan video capsule endoscopy
(VCE) atau CT angiography (CTA) untuk mengetahui lokasi lesi. Tindakan terdiri dari
penekanan dengan balon tunggal atau ganda menggunakan enteroskopi spiral. Penekanan
enteroskopi melewati duodenum menuju jujunum tanpa penambahan alat lain. Enteroskopi
spiral menggunakan overtube khusus dan bisa juga dipakai kolonoskop anak. Penggunaan
enteroskopi balon ganda untuk menegakkan diagnoda dini menentukan sumber perdarahan
samar sekitar 50-77% lebih efektif pada dewasa dibanding pada anak.7,10,13

Skintigrafi
Skintigrafi nuklear telah digunakan selama beberapa dekade untuk menentukan lokasi
perdarahan saluran cerna bagian bawah. Penggunaan techneticum-labeled red bloodcell (Tc-
RBC) scanning lebih disukai. Rata-rata skintigrafi nuklear dapat mendeteksi perdarahan
sekitar 0,5 mL per menit jika memungkinkan, dengan akurasi sekitar 41-94 %. Interval
akurasi yang begitu lebar menyebabkan scan skintigrafi nuklear sebagai panduan intervensi
pembedahan tiidak disarankan. Banyak penelitian merekomendasikan penggunaan Tc-
RBC scan sebagai skrining utama pada angiografi atau kolonoskopi. Tc-RBC scanning

404
Buku Ajar Gastrohepatologi

aman dengan tingkat morbiditas yang minimal. Kemampuan untuk menscan pasien dua
kali lebih baik khususnya digunakan pada perdarahan intermitten, dan saat positif dapat
membantu intervensi angiografi secara langsung.5-8

Angiografi
Dianostik angiografi mesenterika merupakan pemeriksaan invasif yang dapat menentukan
lokalisasi perdarahan GI. Salah satu keuntungan angiografi sebagai intervensi terapeutik
pada saat diagnosis dan kemampuan untuk menentukan lokasi perdarahan dengan adanya
tes provakatif. Pemilihan pasien untuk tindakan harus sangat hati-hati, karena kontrasnya
dapat menyebabkan nefropati.12,13
Dalam mendeteksi rata-rata perdarahan memerlukan sekitar 1,0-1,5 mL/menit,
dengan akurasi sekitar 40-86%. Uji provokatif digunakan untuk meningkatkan diagnostik
dari angiografi. Teknik ini tidak dapat bekerja dengan penggunaan heparin, trombolitik,
vasodilator atau kombinasi untuk memprovokasi perdarahan atau lokasi perdarahan.12,14
Penggunaan uji provokasi dianjurkan untuk meningkatkan hasil yang potensial
namun penggunaan ini harus seimbang dengan risiko terjadinya perdarahan GI yang tidak
terkontrol atau perdarahan intrakranial. Komplikasi dari penggunaan angiografi ini belum
9
pernah dilaporkan. Akurasi sebagai diagnostik sekitar 29-100% namun 2 01 penggunaan yang
t
terlalu turin tidak dianjurkan.5,8,12 are M
9
stro
G a
Computed Tomography Angiography (CTA)
ap
at
r
k
CT-scan digunakan untuk berbagai kondisitumedis, penggunaannya meningkat dalam tata
u n
ro
laksana pasien dengan hematokesia. CT-scanner yang ganda dan angiografi dapat membantu
st
menentukan lokasi perdarahan rGI. Ga Penggunaan scan ini tidak memerlukan konstras oral
Aja
dan studi yang baik dalam memprediksi
u secara visualization of intraluminal extravasation of
intravenous constrast. B5,8,12u k
i le
SensitivitasF CTA dalam menentukan lokasi perdarahan GI sekitar 91-92% pada
perdarahan yang aktif, sensitivitas ini akan menurun pada penrdarahan yang intermitten
sekitar 45-47%. Pemeriksaan CTA memberikan hasil yang cepat, relatif non-invasif dan
efektif dalam menentukan lokasi perdarahan, khususnya pada pasien dengan perdarahan
berlanjut.11-16

25.9 Tata Laksana


Kolonoskopi Terapeutik
Endoskopi dapat digunakan untuk terapi perdarahan yang sedang dan bahkan yang massif.
Keberhasilannya sebagai terapi sekitar 10-39%. Risiko komplikasi yang mungkin terjadi
bervariasi, termasuk perforasi sekitar 2-7% dan berhubungan dengan lesi yang ditemukan
pada ketebalan dinding kolon kanan. Tingkat terjadinya perdarahan berulang sekitar
0-35% tanpa adanya komplikasi akibat prosedur. Secara umum, terapi endoskopi aman dan
efektif serta rendahnya risiko berulang. Pemilihan teknik tergantung sumber perdarahan,
ketersediaan sumber dan pengalaman ahli endoskopi.3,6,9,11

405
Bab 25 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah

Angiografi Terapeutik
Angiografi seperti kolonoskopi berpotensial terhadap intervensi terapeutik intermedia
setelah diagnosis. Adanya kecurigaan pada daerah kontras yang telah diidentifikasi, tata
laksana dapat dilakukan dengan infus vasopresin atau embolisasi yang selektif. Transcatheter
superselective embolization, merupakan prosedur yang aman dan lebih efektif. Penggunaan
kateterisasi mikro sebagai target embolisasi pada cabang arteri perifer subsegmental
menunjukkan keberhasilan sekitar 80-100% dengan angka rekuren 14-29%. Efek samping
seperti iskemik mukosa atau formasi striktur dapat dialami sekitar 23% dari pasien tanpa
disertai gejala.5,7-11
Penggunaan terapi ini aman dan efektif, beberapa peneliti menganjurkan embolisasi
super selectif sebagai terapi angiografi lini pertama pada PSMBB.5,7,11

Pembedahan
Sekitar 18-25% pasien memerlukan intervensi operatif. Intervensi operatif umumnya
dilakukan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, memerlukan transfusi darah
massif, dan perdarahan intermitten walaupun diberhentikan melalui metode intervensi
lain.5,7,9 9
2 01
Pemilihan tindakan laparatomi eksplorasi dilakukan rpada e t perdarahan berlanjut
yang tidak dapat ditentukan lokasi perdarahannya. Selama Ma tindakan ini dapat disertai
o 9
r
st pada lesi perdarahan. Jika sumber
kolonoskopi dan/atau enteroskopi, dan dilakukan reseksi
t Ga “blind” subtotal kolektomi dengan
perdarahan tidak dapat diidentifikasi, dapat dilakukan
a
ileostomi atau ileoproktostomi.15-17 k rap
u nt
u
ro
G ast
A jar
Daftar Pustaka Buku
e
Fil ML, Fields JM, Neville HL, Perez EA, Sola JE. Use of CT enterography for the
1. Davis JS, Ryan
diagnosis of lower gastrointestinal bleeding in pediatric patients. J Ped Surg. 2013;681-4.
2. Pillai RB, Tolia V. Gastrointestinal bleeding in infants and children. Therapy. 2008;5(4):465-73.
3. Dar IA, Dar WR, Khan MA, Kasana BA, Sofi NU, Hussain M, dkk. Etiology, clinical presentation,
diagnosis and management of lower gastrointestinal bleed in a Tertiary Care Hospital in India: a
retro-prospetive study. J Dig Endosc. 2015;6:101-9.
4. Mandhan P. Sig oidoscopy in children with chronic lower gastrointestinal bleeding. J Pediatr
Child Health. 2004;40:365-8.
5. Deeb MM, El-Zayat RS, Abo El-Khair H. Colonoscopic findings in children with lower
gastrointestinal bleeding. Menoulia Med J. 2016;29:247-51.
6. Rahme E, Bernatsky S. NSAIDs and risk of lower gastrointestinal bleeding. Lancet. 2010;376:146-
8.
7. Sahn B, Bitton S. Lower gastrointestinal bleeding in children. Gastrointest Endoscopy Clin N
Am. 2016;26:75-98.
8. Zahmatkeshan M, Fallahzadeh E, Najib K, Geramizadeh B, Haghighat M, Imanieh MH. Etiology
of lower gastrointestinal bleeding in children: a single center experience from Southern Iran.
Middle East J Dig Dis. 2012;4:216-23.
9. Avula S, Teli B, Arakeri S, Venugopal. Prolapsed rectal polyp in an infant with massive lower
gastrointestinal bleeding: case report. Int Surg J. 2015;2(2):320-2.

406
Buku Ajar Gastrohepatologi

10. Strate LL, Gralnek IM. ACG clinical guideline: management of patients with acute lower
gastrointestinal bleeding. Am J Gastroenterol. 2016;1:1-16.
11. Moravej H, Dehghani SM, Nikzadeh H, Malekpour A. Lower gastrointestinal bleeding in
children: experiences from referral center in Southern Iran. J Compr Ped. 2013;3(3):115-8.
12. Motamed F, Najafi M, Khodadad A, Fallahi G, Farahmand F, Sobhani M. Colonoscopic findings
in children with lower gastrointestinal bleeding. Spring. 2008;13(3):54-7.
13. Hulme B, Wilcox S. Guidelines on the management of bleeding for palliative care patients with
cancer. Yokshire Palliative Med Clin Guidelines Group. 2008;1-84.
14. Park JH. Role of colonoscopy in the diagnosis and treatment of pediatric lower gastrointestinal
disorders. Korean J Pediatr. 2010;53(9):824-9.
15. Khushdil A, Malik R, Farrukh H. Etiology of lower gastrointestinal bleeding in paediatric
patients, a colonoscopic surgery. Pak Armed Forces Med J. 2014;64(3):484-7.
16. Raphaeli T, Menon R. Current treatment of lower gastrointestinal hemorrhage. Clin Colon
Rectal Surg. 2012;25:219-29.
17. Genel S, Lucia SM, Daniel SG, Emanuela F. Gastrointestinal bleeding in children can have many
cause. Pharm Anal Acta. 2016;7(2):1-2.
18. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of acute upper and lower
gastrointestinal bleeding a national clinical guideline. 2008;1-64.

9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

407
BAB

26
Endoskopi Gastrointestinal pada Anak
Andy Darma

26.1 Ilustrasi kasus


Seorang anak usia 5 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan baru saja menelan sebuah baterai
kancing (button battery) kurang lebih 1 jam sebelum dibawa ke UGD. Dilakukan foto dada
untuk mengevaluasi dimana letak baterai tersebut saat itu. Hasil foto dada menunjukkan
bateri kancing masih tersangkut di esofagus meskipun belum didapatkan tanda-tanda
obstruksi. Dilakukan tindakan evakuasi baterai kancing segera dengan prosedur endoskopi
dengan sedasi. Evakuasi berhasil dilakukan dan didapatkan iritasi pada esofagus tetapi
tidak didapatkan perforasi.

26.2 Latar Belakang


Endoskopi gastrointestinal adalah suatu prosedur diagnostik yang sangat berperan
dalam menegakkan diagnosis pada kelainan-kelainan di saluran cerna dan hati. Prosedur
endoskopi gastrointestinal pada anak baru diperkenalkan pada dekade 70-an dan hingga saat
ini terus berkembang dengan pesat dalam tiga dekade terakhir baik di negara maju maupun
negara berkembang.1–3 Pada pertemuan World Congress of Pediatric Gastroenterology,
Hepatology, and Nutrition (WCPGHAN) 2012 di Taipeh, implementasi pelatihan endoskopi
gastrointestinal pada anak menjadi satu dari empat keputusan penting dari Federation of
International Societies of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (FISPGHAN)
untuk dilaksanakan di seluruh dunia karena dianggap mempunyai peranan yang penting
dalam pengembangan dunia gastroenterologi anak.4,5
Meskipun secara teknis pelaksanaan endoskopi gastrointestinal dewasa dan anak
hampir sama tetapi indikasi dan interpretasi hasil endoskopi pada penderita dewasa dan
anak sangatlah berbeda.6 Faktor usia berperanan penting dalam menentukan indikasi
endoskopi pada anak.7 Karakteristik penyakit yang berbeda di beberapa negara berpengaruh
pada penentuan indikasi endoskopi pada anak dan demikian juga halnya ada perbedaan
antara negara maju dan negara yang sedang berkembang.8

26.3 Endoskopi Gastrointestinal pada Anak


Perkembangan endoskopi gastrointestinal anak sudah berkembang jauh dibandingkan
dengan kondisi pengembangan awal endoskopi pada era 70-an. Selain endoskopi diagnostik

408
Buku Ajar Gastrohepatologi

juga telah berkembang endoskopi terapeutik meskipun karena indikasi dan usia mempunyai
lebih banyak keterbatasan dibanding endoskopi gastrointestinal dewasa.
Endoskopi gastrointestinal pada anak meliputi:
1. Endoskopi saluran cerna bagian atas (esofago-gastro-duodenoskopi))
2. Endoskopi saluran cerna bagian bawah (kolonoskopi)
3. Enteroskopi (single/double baloon)
4. Capsule endoscopy
5. Endoscopic retrograde Cholangiopancreatographi (ERCP)
6. Endoscopic ultra sound (EUS)
7. Endoskopi terapeutik
Belum semua pusat endoskopi anak mempunyai kemampuan untuk melakukan semua
prosedur endoskopi diatas. Di negara berkembang biasanya hanya melakukan endoskopi
saluran cerna atas dan bawah disertai beberapa indikasi untuk endoskopi terapeutik. Di
beberapa kota besar di Indonesia hanya melakukan endoskopi terapeutik polipektomi dan
pengambilan benda asing yang tertelan sedangkan selebihnya hanya melakukan prosedur
diagnostik.9,10 Pusat endoskopi anak di Malaysia juga memberikan gambaran yang hampir
sama dengan situasi di Indonesia.8
Enteroskopi dapat dilakukan pada pasien anak dengan berat badan 1lebih 9 dari 10 kg pada
2 0
kasus kasus yang melibatkan usus halus yang tidak dapat diperiksa t dengan menggunakan
endoskopi saluran cerna atas ataupun bawah. Pada kasus penyakit M are Crohn’s dan striktura
usus halus dikatakan enteroskopi mempunyai hasil yang t o 9 baik dibandingkan dengan
rlebih
s
Ga
MRI usus halus.11,12 p at
a
Indikasi wireless capsule endoscopy padatu k ranak meliputi perdarahan gastrointestinal
n
yang tidak jelas penyebabnya, penyakit
tro u Crohn’s, penyakit seliak, poliposis herediter.13
Penggunaan metode ini aman danGsudah as disetujui oleh FDA untuk anak dengan usia diatas 2
j ar
tahun. Pada anak yang belumAbisa menelan, kapsul dapat dilepaskan dengan menggunakan
prosedur endoskopi atas. ku
u13,14
e B
Fil
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatographi (ERCP) juga dilakukan pada
penderita anak dengan indikasi yang hampir sama dengan penderita dewasa hanya jumlah
kasusnya tidak sebanyak dewasa,15 kasus-kasus dengan masalah bilier dan pankreas
yang banyak menggunakan ERCP seperti koledokolitiasis, kolangitis skerosis primer,
kolesistektomi dan kasus pankreatitis akut, kambuhan dan pankreatitis kronis.16–18
Endoscopic Ultra Sound adalah modalitas diagnostik baru yang memudahkan dalam
mengevaluasi mukosa dan submukosa, serta kasus yang melibatkan pankreas, duktus
pankreatikus dan duktus bilier. Endoscopic Ultra Sound dapat digunakan untuk anak
dengan tumor pada saluran cerna atas, gangguan pankreas, karakteristrik striktura esofagus
dan duplikasi enterik.19,20

409
Bab 26 Endoskopi Gastrointestinal pada Anak

26.4 Indikasi
Indikasi Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas (Gastroskopi)
Terdapat tiga kategori penting dalam menentukan indikasi endoskopi pada kelainan saluran
cerna bagian atas berdasarkan urgensi dan tujuan endoskopi (Tabel 26.4.1):7

Tabel 26.4.1. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas7,21


Gawat/mendesak Elektif diagnostik Elektif terapeutik
(diagnostik/terapeutik)
Perdarahan saluran cerna Nyeri perut berulang Hipertensi portal
Tertelan larutan korosif Disfagia/Odinofagia Pemasangan gastrostomi
Tertelan benda asing Muntah berulang Polipektomi
Gagal tumbuh Achalasia
Anemia intraktabel Striktur esofageal
Diare kronis Ligasi/Scleroterapi Varises
Sindrom poliposis
9
2 01
Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas juga dapatadibagi re t berdasarkan tingkatan
usia (Tabel 26.4.2). 9 M
ro
G ast
at 7
Tabel 26.4.2. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas sesuai denganpusia
r a
k
ntu
Neonatus Bayi Usia sekolah - Remaja
Hematemesis Muntah berulang o u Nyeri perut berulang
r
Melena ast pada tinja
Darah samarGpositive Gagal tumbuh
Apnea obstruktif Benda j ar
asing GERD
u A
Muntah berulang k
u Tertelan larutan korosif Disfagia – Food bolus impaction
Diare kronis i l e B Diare kronis Anemia defisiensi besi
F
Hematemesis Diare kronis
Nyeri perut berulang Hematemesis
Tertelan larutan korosif
Tertelan benda asing

Perdarahan Saluran Cerna Atas


Esofago-gastro-duodenoskopi adalah tindakan yang aman dilakukan pada anak dengan
perdarahan saluran cerna bagian atas baik diagnostik maupun terapeutik.22 Coffee-ground
emesis atau melena memerlukan esofago-gastro-duodenoskopi (EGD). Presentasi klinis
anak dengan perdarahan saluran cerna bagian atas meliputi muntah kehitaman (coffee
ground vomiting) dan melena.22,23
Esofago-gastroskopi-duodenoskopi dilakukan untuk menemukan sumber
perdarahan, menentukan jenis perdarahan dan bila perlu melakukan tindakan hemostasis
segera23. Endoskopi dilakukan segera untuk menentukan apakah sumber perdarahan
memang berasal dari saluran cerna atau berasal dari tempat lain seperti perdarahan dari
saluran nafas, epistaksis atau tertelan darah ibu pada kasus bayi dengan hematemesis.23,24

410
Buku Ajar Gastrohepatologi

Endoskopi juga membantu dalam menentukan perdarahan variseal atau non-variseal


sehingga menentukan tatalaksana lanjutan.22,23
Pada perdarahan variseal endoskopi harus segera dilakukan pada 12 jam pertama
setelah dicapai stabilitas hemodinamik dan minimal level hemoglobin 7-8 g/dL tercapai.
Sebaiknya agen vasoactive sudah diberikan untuk membantu mengendalikan perdarahan.
Ligasi variseal atau injeksi skleroterapi adalah pilihan utama dalam tata laksana perdarahan
variseal.25
Pada perdarahan non variseal seperti tukak peptik atau tukak duodenum, gastritis
erosif, sebaiknya endoskopi dilakukan pada 12-24 jam pertama. Tindakan endoskopik
yang dapat dilakukan untuk hemostasis bergantung pada gradasi ulkus atau sumber
perdarahan misalnya perdarahan aktif dari dasar ulkus perlu tindakan hemostasis aktif
seperti penggunaan hemoclip atau dengan koagulasi termal atau elektrik. Bila perdarahan
yang tidak aktif atau risiko rendah tidak perlu dilakukan tindakan endoskopi terapeutik\
dan cukup diberikan medikamentosa dan pengaturan makanan.22,23,26

Tertelan Benda Asing


Tertelan benda asing adalah salah satu kejadian non penyakit yang 9 sering terjadi
2 01
pada anak dan seringkali membutuhkan tindakan endoskopi tgastrointestinal dalam
a re
tatalaksananya. 15,27–29
M
o9
Berdasarkan lokasi tersangkutnya benda asing distrsaluran cerna, bentuk dan jenis
benda asing akan menentukan urgensi dari tindakan G a endoskopik dalam usaha untuk
at
mengeluarkannya.27–30” r ap
k
ntu
ou
str
Tabel 26.4.3. Tindakan endoskopi pada tertelan benda asing
a
G
Endoskopi segera
A jar
u
uk
Obstruksi esofagus
Baterai disk di esofagus le B
Fi
Benda yang berujung tajam di esofagus
Endoskopi mendesak
Benda asing di esofagus yang tidak tajam
Food impaction di esofagus
Benda yang berujung tajam di lambung/duodenum
Benda asing yang panjangnya lebih dari 6 cm di proksimal dari duodenum
Magnet yang masih bisa dijangkau dengan endoskopi
Endoskopi tidak mendesak
Koin yang tersangkut di esofagus diobservasi dalam 12-24 jam
Benda asing di lambung dengan diameter >2.5 cm
Baterai disk atau silinder di lambung sebaiknya diambil sebelum 48 jam

Tertelan Cairan Korosif


Kasus tertelan larutan yang korosif sering didapatkan pada anak dengan usia kurang
dari 6 tahun. Berbeda pada kasus pada remaja atau dewasa kasus pada anak bersifat

411
Bab 26 Endoskopi Gastrointestinal pada Anak

ketidaksengajaan atau kecelakaan sedang pada kasus dewasa terdapat kasus dengan
kesengajaan atau usaha suicidal.15,21,31
Keluhan utama pada kasus tertelannya larutan korosif adalah disfagia, drooling,
feeding refusal, nyeri dada retrosternal, nyeri perut dan muntah yang kadang disertai
dengan hematemesis. Meskipun keluhan yang didapatkan ringan tidak selalu berhubungan
dengan kerusakan mukosa yang didapat tetapi semakin banyak keluhan yang didapat
meningkatkan kemungkinan terjadi kerusakan mukosa yang signifikan.31
Tertelannya larutan korosif sangat ditentukan oleh jenis larutan yang terminum
apakah bersifat alkali atau asam. Keberadaan luka etsa atau lesi mukosa di rongga mulut
karena larutan korosif merupakan salah satu tanda keparahan yang penting.15,21,31,32
Meskipun tindakan endoskopi untuk menentukan luas dan jenis lesi yang terjadi
sangat menentukan staging dari kelainan yang terjadi sehingga sangat menentukan
tatalaksana dan prognosis dari setiap kasus, tetapi masih terdapat banyak pendapat
tentang saat yang tepat untuk melakukan endoskopi. Pada umumnya pendapat para ahli
merekomendasikan untuk melakukan endoskopi minimal setalah 12 jam dan sebelum 48
atau 72 jam setelah kejadian.15,21,31,32

9
Nyeri Perut Berulang 2 01
re t
Nyeri perut berulang atau nyeri perut kronis adalah indikasi
9 Ma endoskopi saluran cerna
atas yang paling sering dilakukan baik di negara tmaju
s ro ataupun negara yang sedang
berkembang. 7,9,15,33–36
G a
p at
Nyeri perut berulang atau nyeri perut a
r kronis pada anak mempunyai etiologi yang
ntukataupun psikis. Prosedur endoskopi memberikan
sangat luas mulai dari yang bersifat organik
ou
keuntungan dalam menegakkanaatau str menyingkirkan diagnosis banding sebesar 38%33 dan
G dalam 66% kasus.37
mengubah tatalaksana nyerijarperut
A
u Helicobacter pylori sering dihubungkan dengan kejadian nyeri
Keberadaan infeksi
B uk
il e
perut berulang.FTindakan endoskopi dan pemeriksaan histopatologi adalah standar emas
dalam menegakkan diagnosis infeksi Helicobacter pylori.38
Temuan yang sering didapatkan dalam endoskopi saluran cerna atas dalam kasus
nyeri perut kronois atau berulang pada anak adalah esofagitis, gastritis, duodenitis, tukak
lambung dan juga tukak duodenum.8–10,33,34

Tabel 26.4.4. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian bawah40


Indikasi diagnostik Indikasi terapeutik
Perdarahan gastrointestinal (hematokezia dan darah samar positif pada Polipektomi
tinja) Dilatasi dengan balon pada striktur kolon atau rektum
Diare kronis (unexplained)
Inflammatory Bowel Disease
Dugaan kolitis pseudo-membranosa
Infeksi HIV dengan manifestasi nyeri perut dan diare kronis
Riwayat keluarga dengan sindrom poliposis
Surveilans kanker usus (sindroma poliposis dan pankolitis lebih dari 10
tahun)

412
Buku Ajar Gastrohepatologi

Indikasi Endoskopi Saluran Cerna Bagian Bawah (Kolonoskopi)


Endoskopi saluran cerna bagian bawah tidak terlalu banyak dilakukan pada anak
dibandingkan dengan dewasa karena pada anak tidak diperlukan skrining untuk keganasan15

Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah


Hematokezia merupakan kasus tersering sebagai indikasi dilakukannya endoskopi bawah
pada anak. Hampir semua kasus dengan hematochezia membutuhkan tindakan endoskopi
untuk menegakkan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis banding kecuali kasus
konstipasi dengan fisura ani.40
Polip rektum atau colon baik tunggal ataupun poliposis merupakan salah satu penyebab
tersering hematochezia pada anak. Tindakan polipektomi cukup aman dilakukan pada
anak dan memberikan hasil yang cukup baik.41
Proctocolitis atau enterokolitis dengan atau tanpa hiperplasia limfoid juga sering
didapatkan pada endoskopi bawah. Kasus-kasus infeksi juga sering didapatkan dengan
perdarahan saluran cerna bawah seperti kolitis karena amebiasis dan kolitis dengan
pseudomembran karena infeksi Clostridium difficile.42,43 Inflammatory Bowel Disease (IBD)
9
01 dengan disertai
juga sering didapatkan pada endoskopi bawah dengan keluhan diare 2kronis
t
re kejadian IBD di negara
perdarahan tetapi terdapat perbedaan yang signifikan dalam angka
9 Ma
berkembang dibandingkan di negara maju di Amerika Utara, ro Eropa atau Australia.
8,39

G ast
p at
r a
26.5 Ringkasan u ntu
k
ro
ast mempunyai peranan yang sangat penting dalam
Endoskopi gastrointestinal pada anak
G
menegakkan diagnosis pada A jar gastroenterologi anak. Peningkatan kemampuan sumber
kasus
u
uk endoskopi anak sangat dibutuhkan.
daya manusia dalam bidang
B
e
Fil

Daftar Pustaka
1. Thomson M, Tringali A, Dumonceau J-M, Tavares M, Tabbers MM, Furlano R, et al. Paediatric
Gastrointestinal Endoscopy: European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology
and Nutrition and European Society of Gastrointestinal Endoscopy Guidelines. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2017 Jan;64(1):133–53.
2. Tringali A, Thomson M, Dumonceau JM, Tavares M, Tabbers MM, Furlano R, et al. Pediatric
gastrointestinal endoscopy: European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) and
European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (ESPGHAN)
Guideline Executive summary. Endoscopy. 2016;83–91.
3. Gershman G. Introduction. In: Gershman G, Thomson M, Ament M, editors. Practical Pediatric
Gastrointestinal Endoscopy. 2nd ed. New Jersey: Blackwell; 2012. p. 3.
4. Guarino A, Sibal A. Introduction to the FISPGHAN Working Group reports. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2012 Nov;55(5):619–21.
5. Thomson M, Elawad M, Barth B, Seo JK, Vieira M. Worldwide strategy for implementation of
paediatric endoscopy: Report of the FISPGHAN Working Group. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2012 Nov;55(5):636–9.

413
Bab 26 Endoskopi Gastrointestinal pada Anak

6. Cadranel S, Mougenot J-F. History of Gastrointestinal Endoscopy and Pediatric Endoscopy.


In: Winter H, Mougenot J-F, Cadranel S, editors. Pediatric Gastrointestinal Endoscopy. 1st ed.
Ontario: BC Decker; 2006. p. 1–5.
7. Gershman G. Diagnostic upper gastrointestinal endoscopy. In: Gershman G, Thomson M,
Ament M, editors. Practical Pediatric Gastrointestinal Endoscopy. 2nd ed. New Jersey: Blackwell;
2012. p. 41–76.
8. Lee WS, Zainuddin H, Boey CCM, Chai PF. Appropriateness, endoscopic findings and contributive
yield of pediatric gastrointestinal endoscopy. World J Gastroenterol. 2013;19(47):9077–83.
9. Fardah A, Darma A, Ranuh R, Subijanto. Peran Prosedur Endoskopik Dalam Mendiagnosis
Gangguan Pencernaan Pada Anak ( The Role Of Endoscopic Procedure In Diagnosing
Gastrointestinal Disorder In Children ). NERS. 2012;7(2):158–65.
10. Supriatmo. Gambaran Endoskopi Gastrointestinal pada Anak di Medan. Maj Kedokt Nusant.
2007;40(4):274–8.
11. Di Nardo G, de Ridder L, Oliva S, Casciani E, Escher JC, Cucchiara S. Enteroscopy in paediatric
Crohn’s disease. Dig Liver Dis. 2013;45(5):351–5.
12. Shen R, Sun B, Gong B, Zhang S, Cheng S. Double-Balloon Enteroscopy in the Evaluation of
Small Bowel Disorders in Pediatric Patients. Dig Endosc. 2012;24(May 2011):87–92.
13. Cohen S a., Ephrath H, Lewis JD, Klevens A, Bergwerk A, Liu S, et al. Pediatric Capsule
Endoscopy. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2012;54(3):409–13.
14. Thomson M, Fritscher-Ravens a, Mylonaki M, Swain P, Eltumi M, Heuschkel R, et al. Wireless
9
capsule endoscopy in children: a study to assess diagnostic yield20in1 small bowel disease in
re t
Ma K, Early D, et al. Modifications
paediatric patients. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2007;44(2):192–7.
9
15. Lightdale JR, Acosta R, Shergill AK, Chandrasekhara V, Chathadi
ro
ast Endosc. 2014 May;79(5):699–710.
in endoscopic practice for pediatric patients. Gastrointest
G
at
16. Bang JY, Varadarajulu S. Pediatrics: ERCP inpchildren. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2011
r a
tuk
May;8(5):254–5.
17. Otto AK, Neal MD, Slivka AN,unKane TD. An appraisal of endoscopic retrograde
ro
cholangiopancreatography (ERCP)
G ast for pancreaticobiliary disease in children: our institutional
jar Endosc. 2011;25(8):2536–40.
experience in 231 cases. Surg
A
u
18. Paris C, Bejjani J, Beaunoyer M, Ouimet A. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography is
uk
useful and safeleinBchildren. J Pediatr Surg. 2010;45(5):938–42.
i
19. VaradarajuluFS, Wilcox CM, Eloubeidi M a. Impact of EUS in the evaluation of pancreaticobiliary
disorders in children. Gastrointest Endosc. 2005;62(2):239–44.
20. Attila T, Adler DG, Hilden K, Faigel DO. EUS in pediatric patients. Gastrointest Endosc.
2009;70(5):892–8.
21. Lee KK, Anderson M a., Baron TH, Banerjee S, Cash BD, Dominitz J a., et al. Modifications in
endoscopic practice for pediatric patients. Gastrointest Endosc. 2008;67(1):1–9.
22. Cleveland K, Ahmad N, Bishop P, Nowicki M. Upper gastrointestinal bleeding in children: An
11-year retrospective endoscopic investigation. World J Pediatr. 2012;8(2):123–8.
23. Gilger M. Upper GI Bleeding. In: Walker WA, Goulet O, Kleinman R, editors. Pediatric
Gastrointestinal Disease. 4th ed. Ontario: BC Decker; 2004. p. 258–65.
24. Kelly D, Bremner R, Hartley J. Gastrointestinal bleeding. In: Kelly D, Bremner R, Hartley J,
editors. Practical Approach to Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. 1st ed.
New Jersey: Blackwell; 2014. p. 61–6.
25. Cárdenas A, Baiges A, Hernandez-Gea V, Garcia-Pagan JC. Endoscopic Hemostasis in Acute
Esophageal Variceal Bleeding. Gastroenterol Clin North Am. 2014;43:795–806.
26. Gastroenterology TIS of. National Consensus on Management of Non-Variceal Upper
Gastrointestinal Tract Bleeding in Indonesia. Acta Medica Indones - Indones J Intern Med.
2012;46:163–71.

414
Buku Ajar Gastrohepatologi

27. Ikenberry SO, Jue TL, Anderson M a., Appalaneni V, Banerjee S, Ben-Menachem T, et
al. Management of ingested foreign bodies and food impactions. Gastrointest Endosc.
2011;73:1085–91.
28. Chauvin A, Viala J, Marteau P, Hermann P, Dray X. Management and endoscopic techniques for
digestive foreign body and food bolus impaction. Dig Liver Dis. 2013;45(7):529–42.
29. Kramer RE, Lerner DG, Lin T, Manfredi M, Shah M, Stephen TC, et al. Management of Ingested
Foreign Bodies in Children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2015;60(4):562–74.
30. Hussain SZ, Bousvaros A, Gilger M, Mamula P, Gupta S, Kramer R, et al. Management of
ingested magnets in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2012;55(3):239–42.
31. Kay M, Wyllie R. Caustic ingestions in children. Curr Opin Pediatr. 2009;21:651–4.
32. Riffat F, Cheng a. Pediatric caustic ingestion: 50 consecutive cases and a review of the literature.
Dis Esophagus. 2009;22:89–94.
33. Thakkar K, Chen L, Tatevian N, Shulman RJ, Mcduffie a., Tsou M, et al. Diagnostic yield of
oesophagogastroduodenoscopy in children with abdominal pain. Aliment Pharmacol Ther.
2009;30(6):662–9.
34. Sheiko M a., Feinstein J a., Capocelli KE, Kramer RE. Diagnostic yield of EGD in children: A
retrospective single-center study of 1000 cases. Gastrointest Endosc. 2013;78(1):47–54.e1.
35. Kim YJ. General considerations and updates in pediatric gastrointestinal diagnostic endoscopy.
Korean J Pediatr. 2010;53:817–23.
36. Kelly D, Bremner R, Hartley J. The child with abdominal pain. In: Kelly D, Bremner R, Hartley
9
J, editors. Practical Approach to Paediatric Gastroenterology, Hepatology 2 01and Nutrition. 1st ed.
t
New Jersey: Blackwell; 2014. p. 6–14. are
9M
37. Thakkar K, Dorsey F, Gilger M a. Impact of endoscopy on omanagement of chronic abdominal
str
Ga
pain in children. Dig Dis Sci. 2011;56:488–93.
38. Koletzko S, Jones NL, Goodman KJ, Gold B, Rowland p at M, Cadranel S, et al. Evidence-based
a
guidelines from ESPGHAN and NASPGHAN
tu k rfor Helicobacter pylori infection in children. J
n
tr ou
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011;53(2):230–43.
39. Lee YW, Chung WC, Sung HJ, Kang s YG, Hong SL, Cho KW, et al. Current Status and Clinical
r GaKorea. Korean J Gastroenterol. 2014;64(6):333–9.
Impact of Pediatric Endoscopy ja in
kuA
40. Gershman G. Pediatric Colonoscopy. In: Gershman G, Thomson M, Ament M, editors. Practical
Bu Endoscopy. 2nd ed. New Jersey: Blackwell; 2012. p. 104–31.
Pediatric Gastrointestinal
le
FiLee
41. Lee BG, Shin SH, YA, Wi JH, Lee YJ, Park JH. Juvenile Polyp and Colonoscopic Polypectomy
in Childhood. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. 2012;15(4):250–5.
42. Yamashita M, Nomura K, Fujimoto Y, Morimoto Y, Ohshiro M, Tsutsumi Y, et al. Length of
vancomycin administration for treatment of clostridium difficile-associated diarrhea may
depend on presentation of colonic ulcer. Hepatogastroenterology. Jan;56(90):313–6.
43. Jang HJ, Kim AS, Hwang JB. The etiology of small and fresh rectal bleeding in not-sick neonates:
Should we initially suspect food protein-induced proctocolitis? Eur J Pediatr. 2012;171:1845–9.

415
BAB

27
Diare pada Anak Penderita HIV
Muzal Kadim

27.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak laki-laki, usia 11 bulandengan keluhan utama buang air besar cair yang hilang
timbul sejak usia 1 bulan. Selain mencret pasien juga terlihat sering batuk dan demam
yang timbul tidak menentu. Buang air kecil lancar dan tidak ada keluhan. Di mulut sering
terlihat lapisan putih yang sulit dibersihkan. Pasien dibawa berobat ke dokter umum dan
dokter spesialis anak, dikatakan radang tenggorok dan diberi obat racikan tetapi tidak ada
perbaikan. Karena terlihat sesak pasien kemudian dibawa ke RS, dirawat 5 hari dengan
pemberian obat melalui suntikan dan diperiksa Rontgen dada. Pasien dikatakan menderita
pembengkakan limpa dan hati, infeksi usus dan radang paru. Ibu pasien telah diperiksa
HIV dan dinyatakan positif. Ayah pasien sudah 2 kali diperiksa HIV, dikatakan negatif.

27.2 Pendahuluan
Penyakit HIV saat ini sudah menjadi epidemik global di dunia, termasuk di Indonesia.
Jumlah total penderita HIV di seluruh dunia pada tahun 2002 adalah sekitar 40 juta kasus
dengan penderita anak sebanyak 3 juta kasus.1 Di Indonesia sendiri, berdasarkan data
statistik kasus HIV sampai bulan Maret 2006 telah terdapat sekitar 10.156 kasus, masing-
masing 4333 kasus HIV dan 5823 kasus AIDS. Jakarta merupakan provinsi yang mempunyai
angka kejadian tertinggi dengan jumlah total penderita HIV sekitar 3601 penderita.2 Data
Kementrian Kesehatan tahun 2008 menunjukkan jumlah penderita HIV di Indonesia usia
di bawah 14 tahun adalah 2,27%, 77% di antaranya berusia kurang dari 4 tahun dan 31,67%
berusia kurang dari 1 tahun.3 Infeksi HIV pada anak banyak yang terjadi pada usia muda
karena sebagian besar (>80%) infeksi HIV pada anak adalah akibat transmisi vertikal dari
ibu ke anak. Lima puluh persen kasus infeksi HIV pada anak terjadi pada umur kurang dari
1 tahun, dan 82% berumur kurang dari 3 tahun. Meskipun demikian terdapat juga bayi
yang terinfeksi HIV secara vertikal, yang belum memperlihatkan gejala AIDS pada usia 10
tahun.4
Penderita HIV cenderung menderita berbagai macam penyakit selama hidupnya
karena keadaan imunitas tubuh yang rendah dan diare merupakan salah satu masalah
yang cukup sering terjadi. Sebhat melaporkan beberapa gejala klinis yang sering menjadi
keluhan anak penderita HIV yaitu, gangguan pernapasan, atau tuberkulosis atau pneumonia

416
Buku Ajar Gastrohepatologi

(58,4%), diare (52,8%) dan gizi buruk (56,9%). Diare pada HIV dapat berupa diare akut
namun sebagian besar merupakan diare persisten (35%).5 Angka kejadian diare pada
penderita HIV rata-rata 30-70% di negara maju dan dapat mencapai sekitar 100% di negara
berkembang.6 Sejak Februari 2007 sampai Desember 2008 telah dirawat sebanyak 28 kasus
HIV di Departemen Ilmu Kesehatan anak FKUI-RSCM, 64% diantaranya menderita diare
persisten. Jumlah kasus HIV anak yang tercatat di Departemen IKA FKUI-RSCM selama 2
tahun sejak 2008 sampai 2010 dilaporkan 96 kasus, sekitar 50% menderita diare persisten.
Diare merupakan gejala terbanyak kelima dan menjadi alasan kedua yang terbanyak
yang membuat penderita HIV datang ke rumah sakit.7,8 Diare merupakan penyebab utama
morbiditas yang dapat menurunkan kualitas hidup dan ketahanan tubuh sehingga dapat
meningkatkan angka mortalitas penderita HIV.9 Pasien HIV yang menderita diare termasuk
dalam klasifikasi infeksi HIV sedang atau berat.

27.3 Klasifikasi Infeksi HIV


Secara khusus dilakukan klasifikasi manifestasi klinis ini oleh CDC (Centers for Disease
Control) Amerika Serikat (1994) dan WHO (World Health Organization) tahun 2006.
Penggunaan klasifikasi ini untuk membantu dalam menentukan diagnosis, 9 tata laksana dan
2 01
prognosis.10,11 re t
9 Ma
ro
ast
Tabel 27.3.1. Klasifikasi WHO mengenai penyakit yang berhubungan dengan HIV
G
Klasifikasi Stadium klinis WHO
p at
r a
tuk
Asimtomatik 1
Ringan 2
u n
Sedang 3
a stro
Berat 4G
A jar
u
B ukbayi dan anak yang terinfeksi HIV
Tabel 27.3.2. Stadium klinis WHOe untuk
Stadium klinis I Fil
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis II
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
Erupsi pruritus papular
Infeksi kuku karena jamur
Angular Cheilitis
Eritema gingival lineal
Infeksi virus wart yang luas
Moluskum kontagiosum yang luas
Ulserasi oral yang berulang
Pembesaran parotid persisten yang tidak dapat dijelaskan
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas berulang (otitis media, otorrhea, sinusitis, tonsilitis)

417
Bab 27 Diare Pada Anak Penderita Hiv

Tabel 27.3.3. Stadium klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi HIV (lanjutan)
Stadium klinis III
Malnutrisi sedang yang tidak diketahui sebabnya dan tidak berespon adekuat terhadap terapi
Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan(lebih dari 14 hari)
Demam persisten yang tidak diketahui sebabnya (di atas 36,7°, selama sebulan intermiten maupun terus menerus)
Kandidiasis oral persisten (setelah umur 6-8 minggu)
Oral hairy leukoplakia
Acute necrotizing ulcerative gingivitis atau periodontitis
Tuberkulosis pulmonal
TB kelenjar
Pneumonia bakteri berat yang berulang
Pneumonitis intersisialis limfositik simtomatik
Penyakit paru-paru kronik yang berhubungan dengan HIV termasuk bronkiektasis
Anemia (<8 g/dL), neutropenia (<500/ml) dan trombositopenia (<50.000/mL) kronik yang tidak diketahui sebabnya.
Stadium klinis IV
Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak respon terhadap terapi standar
Pneumonia pneumositis
Infeksi bakteri berat yang berulang (misal:empiema, piomyositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial atau kutaneus lebih dari sebulan atau viseralis pada lokasi manapun)
Tuberkulosis ekstrapulmonal
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofageal (atau kandida pada trakea, bronkus dan paru-paru) 19
20
Infeksi sitomegalovirus; renitis atau infeksi cytomegalovirus pada organ lain, onset pada usia >e1tbulan
r
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (setelah periode neonatal)
9 Ma
Kriptokokus ekstrapulmonal (termasuk meningitis) ro
Ensefalopati HIV G ast
at
ap
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis ekstrapulmonal, koksidiomikosis)
r
Kriptosporidiosis kronik (dengan diare) k
Isosporiasis kronik u ntu
Mikobakterium non- TBC yang menyeluruh stro
a
j arG
Lymfoma serebral atau limfoma sel B non-Hodgkin
Leukoensefalopati progresif multifokalA
Kardiomiopati atau nefropati u ku disebabkan HIV
yang
e B
Fil

27.4 Diare pada Anak HIV


Diare yang terjadi pada tahap awal HIV, yaitu pada saat penurunan sistem imun minimal
biasanya cenderung ringan, intermiten dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Namun
pada tahap lanjut, fungsi imun tubuh semakin menurun, diare menjadi persisten dan
berhubungan dengan morbiditas, penurunan berat badan serta malnutrisi.9 Diare persisten
lebih sering dijumpai pada anak HIV dengan status imun yang rendah, ditunjukkan
dengan jumlah sel CD4 yang < 100 sel/mm3.12 Penyebab terjadinya diare pada HIV bersifat
multifaktorial dan kompleks. Secara umum dapat dibedakan menjadi penyebab infeksi dan
non infeksi.
Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh virus HIV itu sendiri atau oleh berbagai macam
mikroorganisme patogen antara lain rotavirus (terutama usia <1 tahun), Enterobacter, E.
Coli, Shigella, Salmonella sp, Campylobacter jejuni, Giardia lamblia, Entamoeba hystolytica,
Candida albicans. Pada keadaan imunosupresi berat pola kuman mengalami perubahan
dengan adanya infeksi oportunistik (AIDS-defining illnesses) seperti kriptosporidium,

418
Buku Ajar Gastrohepatologi

mikrosporidium, CMV, Blastocystis hominis, dan mikobakteria atipik. Sedangkan penyebab


non infeksi, antara laindapat diakibatkan oleh efek samping dari obat-obatan yang
digunakan dalam tata laksana HIV, baik terapi antiretroviral maupun antibiotika.9,13 Selain
itu infeksi HIV dapat menimbulkan efek langsung pada usus, yaitu sindrom malabsorpsi
dengan atrofi vili usus parsial yang disebut enteropati HIV. Gangguan integritas mukosa
dan atrofi vili usus parsial akan menimbulkan sindrom malabsorpsi pada akhirnya yang
akan menimbulkan malnutrisi kronis. Status imunitas pasien sangat menentukan lama
terjadinya diare.14
Aspek lain yang perlu diperhitungkan adalah adanya gizi buruk. Terdapat hubungan
sebab akibat yang sangat erat antara diare persisten dan gizi buruk. Diare persisten sering
menyebabkan status gizi pasien memburuk, sebaliknya status gizi yang buruk akan
menyebabkan terjadinya diare yang cenderung lebih berat dan lebih lama.14

9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
ast
r G Mekanisme malnutrisi pada anak dengan HIV
Gambar 27.4.1. 14

ja
kuA
u
le B
Fi
Virus HIV dianggap sebagai penyebab patogen terjadinya diare, karena protein virus
telah ditemukan dalam saluran pencernaan. Pada spesimen histologi dari jaringan saluran
pencernaan, ternyata sekitar 40% penderita dapat ditemukan virus tersebut. Infeksi virus
HIV terbatas pada lamina propria, makrofag dan sel enterokromafin, dan tidak ditemukan
pada sel epitel. Selain itu, infeksi virus ini juga dapat mempengaruhi imunitas humoral
lokal, menyebabkan gangguan motilitas melalui efek saraf autonom, dan atrofi mukosa
usus yang akan menyebabkan gangguan absorbsi.14 Keadaan diare tanpa ditemukannya
mikroorganisme patogen atau enteropati HIV pertama kali dideskripsikan oleh Kotler
pada tahun 1984. Angka kejadian enteropati HIV sekitar 15-20%. Patofisiologi terjadinya
enteropati HIV sangat kompleks dan mungkin merupakan efek tidak langsung dari virus
HIV terhadap homeostasis usus. Pada beberapa kasus ditemukan pembukaan “tight
junction” antara sel epitel yang disebabkan oleh pelepasan sitokin yang distimulasi HIV. Hal
ini mengakibatkan fungsi sawar epitel usus menjadi lemah, meningkatkan permeabilitas
usus, dan terjadi mekanisme kebocoran yang terus menerus yang akan menimbulkan
diare.14
Sekitar 75-80% kasus diare disebabkan karena infeksi mikroorganisme patogen, baik
virus, bakteri maupun parasit.9 Berbagai macam mikroorganisme patogen, baik yang tipikal

419
Bab 27 Diare Pada Anak Penderita Hiv

maupun atipikal dapat menyebabkan diare pada penderita HIV. Agen infeksius ini biasanya
dapat diisolasi dari tinja atau pada hasil biopsi mukosa usus penderita. Beberapa macam
patogen tipikal yang sering menyebabkan diare biasanya bersifat oportunistik, antara lain:
cryptosporidia, microsporidia, cytomegalovirus dan mycobacterium avium complex (MAC).15
Secara umum, agen infeksius penyebab diare pada HIV dapat dilihat pada Tabel 27.4.1.15

Tabel 27.4.1. Gangguan fungsi usus dan pankreas pada anak dengan HIV
Bentuk gangguan Prevalens (%)
Malabsorpsi besi 45
Steatorea 30-40
Insufisiensi pankreas 30
Malabsorpsi laktosa 25-30
Permukaan absorpsi usus ↑ 25
Kehilangan protein 15
Peningkatan permeabilitas 15

Tabel 27.4.2. Mikroorganisme patogen penyebab diare pada HIV


Bakteri Parasit Virus Mycobakteria
  Salmonella Cryptosporidium Cytomegalovirus M. avium intracellulare
9
  Shigella Isospora Herpes 01
M. tuberculosis
2
t
  Campylobacter sp. Entamoeba hystolitica Adenovirus ar e
M
9
ro
  Clostridium difficile Giardia Astrovirus  
  Microsporidiosis Caliciviridae a st  
G
  Strongyloides p at enteropati)
HIV (AIDS  
r a
     Cyclospora tu k 
n
  
Salah satu penyebab palingtrumumou adalah Cryptosporidium parvum. Manifestasi
a s
G
klinis pasien dengan cryptosporidiosis terdapat diare cair dan jumlahnya sangat banyak,
kehilangan berat badan, Ajar perut daerah paraumbilikal, mual serta muntah. Infeksi
nyeri
u
B
Cryptosporidium ehanya uk terbatas pada “brush border” enterosit dan tidak invasif ke dalam
Fil lain yang cukup banyak adalah Microsporidiosis dan mencapai 15-
jaringan. Penyebab
20% kasus diare pada HIV. Manifestasi klinisnya menyerupai kriptosporidiosis namun
tanpa disertai demam. Cytomegalovirus juga merupakan patogen penyebab diare yang
cukup sering terjadi dan angka kejadiannya mencapai 10-20%. Manifesasi klinisnya sangat
bervariasi, mulai dari hanya ulkus pada esofagus sampai timbul diare akibat gangguan pada
usus halus dan/atau usus besar. Tidak jarang disertai nyeri perut dan perdarahan yang jelas.
Selain itu, cytomegalovirus juga berhubungan dengan terjadinya obstruksi duktus biliaris
dan kolangitis sklerosis intrahepatik (kolangiopati-AIDS).11 Mycobacterium avium complex
(MAC) dapat melibatkan seluruh sistem retikuloendotelial. Mycobacterium avium complex
menyebabkan diare, demam, nyeri seluruh perut, anoreksia dan dapat menyebar ke luar
usus sehingga menyebabkan infeksi sistemik.9,11
Penurunan sistem imun pada penderita HIV sangat berhubungan erat dengan
terjadinya diare. Atilli menyatakan bahwa semakin rendah jumlah sel CD4, maka semakin
tinggi angka kejadian diarenya. Selain itu, jumlah CD4 juga berhubungan dengan tipe dan
durasi diare. Diare persisten biasanya lebih banyak terjadi pada penderita dengan jumlah
CD4 yang rendah, dan semakin rendah CD4 maka durasi diare akan semakin panjang.
Mekanismenya adalah akibat terjadinya imunosupresi regional mukosa usus. Imunitas

420
Buku Ajar Gastrohepatologi

mukosa usus merupakan faktor penting untuk mencegah terjadinya diare. Kehilangan sel
CD4 dalam mukosa usus biasanya lebih banyak dibanding kadar CD4 perifer, sehingga
pada penderita dengan jumlah CD4 perifer yang masih baik tetap dapat terjadi diare
karena imunitas mukosanya sudah rendah.7 Selain itu, dapat terjadi ketidakseimbangan
flora normal usus dan penurunan elemen lainyang berfungsi sebagai sistem pertahanan
dalam usus. Glutamin sebagai bahan utama bagi pembentukan enterosit usus halus dan
berhubungan dengan sistem imun dalam lambung dapat berkurang akibat penyakit berat,
seperti pada HIV. Penurunan sistem imun lokal tersebut menyebabkan antigen dapat
melewati lambung yang menjadi permeabel dan mempermudah translokasi ke dalam aliran
darah.16
Penggunaan terapi antiretroviral aktif (highly active anti retroviral therapy/
HAART) dapat menurunkan frekuensi terjadinya diare akibat patogen infeksius yang
bersifat oportunistik, meningkatkan konsistensi tinja dan membersihkan ookista dan spora
parasit dari tinja. Selain itu, dapat pula menurunkan replikasi virus yang ditandai dengan
peningkatan jumlah CD4 dan menurunkan progresivitas penyakit. Namun ternyata,
obat-obat antiretroviral aktif yang digunakan mempunyai efek samping yang juga dapat
menyebabkan timbulnya diare.9 Sehingga, terjadi perubahan etiologi diare pada HIV sejak
digunakannya terapi antiretroviral ini, yaitu peningkatan insidens penyebab non-infeksi
9
dan penurunan insiden dari penyebab infeksi oportunistik. 6,9 2 01
t
re besar yaitu:
Secara umum obat antiretroviral dapat dibagi dalam 3 kelompok
9 Ma
• Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors ro(NRTI): zidovudin, zalsitabin,
stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir G ast
at
• Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase r ap inhibitors (NNRTI): efavirens, nevirapin
k
• Kelompok protease inhibitors (PI): sakuinavir,
u ntu ritonavir, nelvinavir, amprenavir.
tro
as
Efek samping diare akibatGantiretroviral aktif biasanya timbul pada masa awal
pengobatan dan dalam jangka j arpendek. Mekanisme timbulnya diare belum jelas, namun
A
mungkin berhubungan udengan ku hipersensitivitas. Risiko akan meningkat jika sudah ada
i l eB
gejala diare dan malnutrisi sebelumnya. Beberapa obat yang sering menimbulkan diare,
F
antara lain: nelfinavir (14-32%), atazanavir (23-31%), sakuinavir (20%), tenofovir, dan
didanosin/ddI (15%-28%). Pada penderita HIV yang menggunakan ddI, diare dapat
mengindikasikan terjadinya pankreatitis.17 Selain antiretroviral aktif, penggunaan
antibiotika yang biasa digunakan sebagai terapi dan profilaksis terhadap infeksi oportunistik
pada penderita HIV juga dapat menimbulkan diare. Antibiotika dapat mematikan bakteri
baik dalam usus dan menimbulkan pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri oportunistik,
antara lain Clostridium difficille.6 Diare terjadi pada pasien yang mendapat terapi ampisilin,
amoksisilin-klavulanat, sefiksim, dan sefalosporin jenis yang lain, fluorokuinolon,
azitromisin, claritromisin, eritromisin, dan tetrasiklin.
Diare akibat C. difficile terutama disebabkan oleh toksin A dan toksin B dalam
lumen usus selama multiplikasi. Toksin ini terikat pada mukosa kolon dan menyebabkan
kerusakan. Kebanyakan isolate toksigenik menghasilkan kedua toksin tersebut. Sekitar
5-10% isolat tidak menghasilkan toksin dan tidak menyebabkan diare atau kolitis. Toksin
A bersifat sitotoksik, merupakan aktivator makrofag dan sel mast, sehingga mampu
menyebabkan keluarnya beberapa mediator inflamasi. Toksin A mampu menyebabkan
disagregasi aktin, melepaskan kalsium intraseluler, dan merusak neuron.18 Toksin B dapat

421
Bab 27 Diare Pada Anak Penderita Hiv

menyebabkan depolimerisasi filamen aktin. Pada beberapa spesies binatang toksin B tidak
bersifat sitotoksik pada mukosa kolon, sehingga peranannya untuk kolitis dianggap kecil.
C. Difficile jarang menyebabkan kerusakan mukosa karena invasi langsung. Diare akibat
C. Difficile disebabkan oleh efek toksin yang diproduksi di dalam lumen dan melekat di
permukaan mukosa.19

27.5 Tata Laksana


Tata laksana diare pada HIV secara garis besar terdiri dari 2 macam, yaitu tata laksana
umum untuk memperbaiki kondisi, koreksi gangguan elektrolit dan asam basa dan terapi
spesifik untuk etiologi yang dapat diidentifikasikan.13
Tata laksana umum merupakan terapi utama dan penting bagi semua penderita HIV
yang mengalami diare untuk mencegah kehilangan cairan dan elektrolit, serta mencegah
terjadinya malnutrisi. Beberapa hal yang dilakukan, antara lain mempertahankan hidrasi
yang adekuat, mengganti elektrolit yang hilang dan pemberian nutrisi yang baik. Penderita
dianjurkan untuk mendapat nutrisi yang mengandung cukup gula, kaya elektrolit, rendah
lemak dan bebas laktosa, serta suplemen pengganti vitamin dan mineral.13,14Selain itu, dapat
pula diberikan probiotik, serat yang dapat larut dan glutamin.16 9
2 01
Terapi spesifik diberikan sesuai dengan patogen apenyebabnya. re t Terapi untuk
kriptosporidiosis masih belum memuaskan, namun osekitar 9 M 40-90% respon terhadap
r paling efektif adalah dengan
pemeberian nitazoksanid atau paromomisin. Terapi
G ast
menaikkan sistem imun tubuh dengan pemberian at antiretroviral aktif (HAART).13,14 Saat
r ap
k
ini belum ada terapi standar untuk microsporidiosis. Albendazol merupakan terapi yang
u ntu
dapat menurunkan diare akibat microsporidiosis
ro namun tidak menghilangkan organisme
astkoliti Cytomegalovirus dapat diterapi dengan gansiklovir
tersebut dalam tinja. Enteritis atau
G
atau foskarnet intravena.A jarMycobacterium avium complex respon terhadap pemberian
14,15
u
uk
kombinasi antara makrolid
B dan etambutol.13,14 Clostridium difficille dapat diterapi dengan
e
Fil
metronidazol.Walaupun terapi inisial berhasil, namun sering terjadi relaps, bahkan
kekambuhan pada infeksi Cytomegalovirus dapat terjadi retinitis yang dapat mengakibatkan
kebutaan total.13-15 Tabel 27.5.1 menggambarkan terapi spesifik untuk infeksi usus pada
anak penderita HIV.14,15

Tabel 27.5.1. Terapi spesifik infeksi usus pada anak penederita HIV
Patogen Terapi
Salmonella Ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, sefotaksim, seftriakson
Shigella Ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, sefotaksim, seftriakson, sefiksim, siprofloksasin
Campylobacter Eritromisin, siprofloksasin
Giardia lamblia Metronidazol, tinidazol, flurazolidon, paromomisin
C. difficile Metronidazol, vankomisin, spiramisin
Criptosporidium Paromomisin, azitromisin, nitazoxanid
M. avium dan Klaritromisin/azitromisin dan etambutol ditambah rifampisin, klofazimin, siprofloksasin atau amikasin
M. intracellulare
Rotavirus Human serum immunoglobulin
Cytomegalovirus Gansiklofir, foskarnet

422
Buku Ajar Gastrohepatologi

27.6 Penutup
Diare pada penderita HIV merupakan masalah yang cukup besar, baik bagi pasien, maupun
bagi para dokter yang merawat. Penyebab diare sangat kompleks dan multifaktorial, sehingga
diare yang terjadi dapat menjadi kronik dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada
penderita. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui penyebab diare pada HIV dan dapat
melakukan tata laksana secara komprehensif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
penderita HIV. Terapi rehidrasi dan nutrisi harus segera diberikan untuk mencegah pasien
jatuh dalam keadaan dehidrasi dan malnutrisi. Pengaobatan spesifik segera dilakukan dan
tertuju pada patogen penyebab diare, untuk mencegah pengobatan yang tidak perlu. Terapi
empiris dengan metronidazole saja atau kombinasi dengan garamisin oral atau sefiksim
dapat diberikan sambil menunggu pemeriksaan lebih lanjut.

Daftar Pustaka
1. UNAIDS. Report on the global HIV epidemic. Geneva: 2002. Diunduh dari: http://www.who.
int/hiv/pub/epidemiology/pubepidemic2002/en/. Diakses tanggal 12 Juni Larutan 2006.
2. Direktorat Jendral PPM&PL, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 9Statistik kasus HIV
2 01
di Indonesia. Jakarta: 2006. t
3. Direktorat Jendral PPM & PL, Departemen Kesehatan RepublikM are
Indonesia. Statistik kasus HIV
o 9
di Indonesia. Jakarta: 2008.
str
4. Matondang CS, Kurniati N. Infeksi HIV pada bayit dan Ga anak. Dalam: Akib AAP, Munasir Z,
a
Kurniati N. Buku ajar alergi-imunologi anak. rEd ap ke-2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2007. h.
379-416. tu k
o un of HIV /AIDS in children in Northwest Ethiopia.
5. A. Sebhat, A. Solomon. Clinical manifestation
str
Ga
Ethiop. J. Health Dev 2005;19(1):24-28.
r
6. Call SA, Heudebert G, SaagAM, ja Wilcox CM. The Changing etiology of chronic diarrhea in HIV-
ku
u cell counts less than 200 cells/mm3. Am J Gastroenterol 2000;95:3142-
infected patients with CD4
B
e
6. Fil
7. Attili SVS, Gulati AK, Singh VP, Varma DV, Rai M, Sundar S. Diarrhea, CD4 counts and anteric
infections in a hospital-based cohort of HIV-infected patients around Varanasi, India. BMC
Infect Dis 2006;6:1-8.
8. Hamilton MJ, Sefcik E, Tsai Y, Nicholas P, Corless I, Dole P, et al. Symptom management of
diarrhea in HIV. Int Conf AIDS, July 2004 [Abstrak].
9. Anastasi JK, Capili B. HIV-related diarrhea and outcome measures. J Association Nurses in
AIDS Care 2001;12:44-50.
10. World health Organization. Antiretroviral therapy for HIV infection in infants and children:
toward universal access: recommendation for a public health approach. Geneva: WHO press,
2007.
11. Centers for Disease Control and Prevention. 1994 Revised classification system for human
immunodeficiency virus infection codes and official guidelines for coding and reporting ICD-9.
MMWR 1994;43 (No.RR-12):1-10
12. E Tekola. Intestinal mikrosporodiosis in diarrheal patients infected with HIV-1 in Addis Ababa,
Ethiopia. Jpn. J. Infect. Dis 2006;59:306-310.
13. HIV management in selected clinical settings. Diunduh dari: www.info.gov.hk/aids/ pdf/
g104chp/chp7.pdf. Diakses tanggal 12 Juni 2006.

423
Bab 27 Diare Pada Anak Penderita Hiv

14. Guarino A, Bruzzese E, Marco GD, Buccigrossi 1. V. Management of gastrointestinal disorders


in children with HIV infection. Pediatr Drugs.2004;6:347-62.
15. Wilcox CM, Wanke CA. Evaluation of the HIV-infected patient with diarrhea. Diunduh dari:
http://www.update.com/online/content/topic. Diakses pada 26 Februari 2009.
16. Heiser CR, Ernst JA, Barrett JT, French N, Schutz M, Dube MP. Probiotics, soluble fiber, and
L-glutamine (GLN) reduce nelfinavir (NFV)-or lopinavir/ritonavir (LPV/r)-related diarrhea.
JIAPAC 2004;3:121-9.
17. Rudorf DC, Krikorian SA. Adverse effects associated with antiretroviral therapy and potential
management strategies. J Pharm Pract2005;18:258–277.
18. Kelly CP, Pothoulakis C, La Mont JT. Clostridium difficile colitis. N Engl J Med1994;330:257-262
19. Fekety R. Guideline for the Diagnosis and Management of Clostridium difficile Associated
Diarrhea and Colitis. The American J of Gastroentr 1997;92(5):739-750

9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

424
BAB

28
Aspek Nutrisi pada Kelainan
Saluran Cerna Anak
I Putu Gede Karyana

28.1 Ilustrasi Kasus


Seorang bayi perempuan berumur 7 bulan datang ke poliklinik dengan keluhan diare sejak
10 hari sebelumnya. Frekuensi defekasi 4-5 kali per hari dengan volume 2-3 sendok makan
setiap defekasi. Tinja tidak bercampur darah. Diare tidak didahului oleh adanya muntah-
muntah dan demam. Pada saat hari ke 5 diare, sempat dibawa ke dokter spesialis. Oleh
dokter tersebut diberikan oralit, zink dan disarankan untuk memberikan susu formula bebas
laktosa. Semua terapi tersebut telah dilaksanakan, namun keluhan diare tidak membaik.
Dari anamnesis didapatkan ayah menderita rhinitis alergi. Makan minum baik. Pada usia
5 bulan mulai dikenalkan susu formula oleh karena produksi ASI jauh berkurang. Bayi
nampak sehat dan aktif. Tidak terjadi penurunan berat badan. Tidak ditemukan tanda-
tanda dehidrasi. Di sekitar anus nampak kemerahan dan iritasi. Pada pemeriksaan feses,
lekosit dan eritrosit hasilnya negatif, namun hasil uji benzidin ++.

28.2 Pendahuluan
Diet dan nutrisi adalah komponen utama dalam tata laksana pasien dengan masalah
saluran cerna. Masalah yang dihadapi sangat beragam dan memerlukan pemahaman fungsi
normal saluran cerna sebelum diet yang benar disarankan. Masalah beragam seperti diare,
konsitipasi dan dismotilitas saluran cerna dapat mempengaruhi asupan normal dan absorpsi
nutrien. Manipulasi nutrien dan diet seringkali merupakan perlakuan utama terhadap
kelainan saluran cerna yang dihadapi.1 Oleh karenanya, aspek nutrisi pada gastroenterologi
anak merupakan bidang yang menarik dan menantang. Selain mengatasi masalah yang
mendasari, juga harus tetap memfasilitasi dan mempertahankan agar tumbuh kembang
anak tetap optimal.2

28.3 Kebutuhan Nutrisi


Kebutuhan nutrisi bervariasi sesuai dengan gangguan yang mendasari. Untuk gangguan
saluran cerna yang tidak mengakibatkan kesulitan pencernaan, kebutuhan nutrisi normal

425
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

pada umumnya akan cukup, dengan energi dan protein tambahan yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan catch-up. Apabila malabsorpsi terjadi, kebutuhan nutrisi harus ditingkatkan
untuk menutupi kekurangan, terutama cairan, elektrolit, energi, dan protein. Bayi memiliki
kebutuhan yang sangat tinggi. Diperlukan pemantauan status nutrisi secara antropometrik
dan biokimia. Tabel 28.3.1 dapat digunakan sebagai panduan untuk bayi dengan
malabsorpsi yang makan secara enteral dan didasarkan pada berat badan.2

Tabel 28.3.1. Kebutuhan untuk bayi dengan malabsorpsi

Energi Tinggi 130-150 kkal/kg/hari


(540-630 kJ/kg/hari)
Sangat tinggi 150-220 kkal/kg/hari
(630-900 kJ/kg/hari)
Protein Tinggi 3-4 g/kg/hari
Sangat tinggi Maksimum 6 g/kg/hari
Sodium Tinggi 3.0 mmol/kg/hari
Potasium Sangat tinggi 4.5 mmol/kg/hari
Cairan Tinggi 180-220 mL/kg/hari
9
2 01
aret
28.4 Diare Akut 9M
ro
G ast
at
Sampai saat ini diare atau sering juga disebutapgastroenteritis, masih merupakan salah satu
penyebab utama kematian dan kesakitan k r
pada anak di dunia, terutama usia < 5 tahun.1
ntu
Setiap tahun terjadi 1,5 milyar episode u diare dan 1,5-2 juta kematian pada anak < 5 tahun.3
a stro
Bayi dan anak-anak sangat rentan
G terhadap efek diare akut karena kebutuhan cairan
mereka relatif lebih besar.
A ar diare terjadi peningkatan sekresi dan penurun absorpsi
jPada
ku
yang menghasilkanBupeningkatan beban yang melebihi kemampuan absorpsi cairan di
i l e
kolon, sehinggaF mengakibatkan diare. Virus dan bakteri patogen dapat mempengaruhi
usus dengan cara ini.2
Transportasi glukosa dan asam amino adalah proses aktif dan membutuhkan adanya
gradien natrium melintasi membran sel yang dipelihara oleh pompa Na+-K+ATPase.
Perpindahan air di dalam usus adalah peristiwa pasif didorong oleh perpindahan zat terlarut.
Regulasi transportasi elektrolit dikendalikan oleh beberapa mediator dan hambatan jalur
ini mengakibatkan penyerapan berkurang dan sekresi klorida aktif ke dalam usus.2
Pada diare infeksi, penurunan penyerapan tidak selalu disebabkan oleh ukuran vili
yang berkurang. Dengan meningkatnya kehilangan sel, sel epitel yang belum matang
berdiferensiasi menjadi sel absortif matang. Sel-sel ini mempunyai defek transportasi
elektrolit dan nutrien dan penurunan fungsi yang mungkin parah. Situasi ini diperparah
dengan siklus puasa dan kelaparan yang sering ditemukan pada bayi dan anak-anak dengan
diare akut di negara-negara berkembang.2
Terapi cairan adalah terapi yang paling mendasar pada diare. Rehidrasi oral digunakan
untuk mengoreksi dehidrasi dan mempertahankan hidrasi. Kombinasi natrium-glukosa
merangsang mekanisme transportasi air dan elektrolit. Proses ini dipertahankan dalam
keaadaan diare akut.

426
Buku Ajar Gastrohepatologi

WHO telah merekomendasikan komposisi larutan rehidrasi oral (oralit) untuk anak-
anak dengan diare:4
• Oralit harus mengandung 75 mmol/L natrium untuk meminimalkan risiko
hipernatraemia
• Kalium ditambahkan untuk mengganti kehilangan lewat feses
• Osmolalitas harus rendah (200-250 mOsm/kg H2O) untuk memastikan penyerapan air
yang optimal.
Systematic review telah mengonfirmasi bahwa komposisi oralit ini merupakan
komposisi terbaik untuk anak-anak dengan diare.5

Terapi Nutrisi pada Diare Akut


Selama bertahun-tahun, sudah umum praktek untuk menghentikan makanan selama
episode diare. Dianggap bahwa penurunan aktivitas laktase, terutama terkait dengan
gastroenteritis rotavirus, akan menyebabkan malabsorpsi laktosa jika susu diperkenalkan
terlalu dini, sehingga memperberat diare. Ditambah anggapan protein dapat diangkut
melintasi barier mukosa yang rusak dan menyebabkan sensitisasi.6 Akibatnya, botol susu
bayi dengan gastroenteritis diberi oralit sendiri selama 24 jam diikuti dengan pengenalan
makanan yang diencerkan. Saran ini mengakibatkan asupan nutrisi 0berkurang 19 pada saat
e t 2
kebutuhan meningkat karena infeksi. 7
r
9 Ma
Sebuah meta-analisis uji klinis acak menunjukkan bahwa ro pengenceran susu formula
secara rutin dan penggunaan formula bebas laktosa tidak a stmenguntungkan dalam perawatan
atG
bayi dan anak-anak dengan diare akut. Penggunaan rap susu formula rendah/bebas laktosa
pada bayi dan anak-anak dengan diare akut tu k harus dibatasi, karena sangat kecil jumlah
o unintoleransi laktosa yang mungkin memerlukan
pasien yang menunjukkan tanda-tanda str
Ga multisenter di Eropa menunjukkan bahwa pengenalan
formula bebas laktosa.8 Sebuah studi
r
ja
u A anak setelah 4 jam rehidrasi dengan oralit menyebabkan
kembali secara lengkap makanan
k
Bu signifikan lebih besar selama dirawat di rumah sakit dan tidak
kenaikan berat badanesecara
l
Fi
menimbulkan perburukan atau gejala berkepanjangan.9 Ini terutama penting di negara-
negara berkembang dimana anak-anak mungkin sudah kekurangan gizi.
Pada anak dengan diare hendaknya makanan tetap diteruskan sesuai dengan umur
anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat untuk mengganti nutrisi yang hilang
serta mencegah agar tidak jatuh ke gizi buruk.10 Pada diare, terutama diare berdarah, napsu
makan akan jauh berkurang, sehingga adanya perbaikan napsu makan dapat digunakan
sebagai indikator kesembuhan. ASI tetap dilanjutkan selama diare, baik pada diare cair akut
maupun disentri dan diberikan dengan frekuensi lebih sering dari biasanya. Anak usia > 6
bulan sebaiknya mendapat makanan seperti biasa.10,11
WHO dan Unicef telah merekomendasikan bahwa pengelolaan gastroenteritis terdiri
dari rehidrasi oral dengan oralit rendah osmolaritas 75 mL/kg berat badan untuk pasien
dengan dehidrasi ringan-sedang, diikuti dengan pemberian kembali makanan normal.8
Pemberian oralit 10 mL/kg BB setiap buang air besar (BAB) dapat mencegah dehidrasi
lebih lanjut. Selain itu setiap anak dengan diare harus mendapatkan suplementasi zink
selama 10-14 hari. Pemberian antibiotika yang selektif, hanya bila ada indikasi. Terakhir
edukasi untuk ibu dengan tetap menyarankan pemberian ASI dan makanan selama diare,
dan ditingkatkan setelah diare sembuh.11

427
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

28.5 Toddler Diarrhoea


Toddler diarrhoea, dikenal juga sebagai diare kronis non-spesifik, merupakan penyebab
tersering diare kronis pada anak berusia 1-5 tahun. Gejala yang timbul meliputi defekasi cair
dan sering, serta feses mengandung bahan makanan yang tidak tercerna. Di luar itu anak
nampak sehat dan tumbuh dengan baik, namun menimbulkan kecemasan yang tinggi pada
orang tua. Diare akan berhenti secara spontan, umumnya pada usia antara 2 sampai 4 tahun.2

Mekanisme
Mekanisme terjadinya sampai saat ini masih belum jelas. Anak dengan kelainan ini diketahui
memiliki waktu transit usus yang cepat dan motilitas usus secara umum diperkirakan
adalah abnormal, mesti tidak pasti apakah ini disebabkan oleh transit kolon yang menurun
atau gangguan pada motilitas pada usus halus. Malabsorpsi karbohidrat, terutama fruktosa,
telah diteliti secara mendalam pada kelainan ini. Fruktosa diketahui diabsorpsi secara
lambat pada usus kecil dan seringkali terdapat dalam jumlah yang besar pada jus buah.
Dalam beberapa tahun terakhir, anak-anak mengonsumsi sari dan jus buah mengalami
peningkatan.12 Jus apel merupakan salah satu penyebab toddler diarrhea, selain jus anggur
9
dan bilberry. Kandungan monosakarida dan oligosakaridanya seperti
2 01 asam galakturonat
e t
tidak dapat diabsorbsi di usus. Diduga bahwa ini yang dapatarmenyebabkan masalah pada
individu yang sensitif, bukannya fruktosa.13 9M
ro
G ast
at
Terapi Nutrisi pada Toddler Diarrhoea r ap
k
Semua sumber menyetujui bahwa menenangkan
u ntu orang tua adalah sangat penting. Tujuan
tro
diet pada kelainan ini masihaskontroversial. Saran diperlukan untuk memperbaiki
14
G
ketidakcocokan diet. Hindari
Ajar asupan cairan yang berlebihan, terutama jus dan sari buah.
u
Buk
Asupan serat harus dikembalikan sesuai dengan kebutuhan normal yang biasanya dikurangi
e
Fil
oleh orang tua. Seringkali orang tua berusaha untuk mengeluarkan makanan dari diet anak,
karena menduga terjadi intoleransi makanan. Saat diagnosis telah ditetapkan, makanan ini
perlu diperkenalkan kembali.15

28.6 Alergi Makanan pada Saluran Cerna


Makanan antara lain terdiri dari lemak, karbohidrat dan protein. Yang sering bersifat
alergen adalah glikoprotein yang larut dalam air dengan berat molekul antara 10.000-60.000
Dalton. Umumnya alergen ini stabil terhadap pemanasan, tahan terhadap asam dan enzim
protease. Jadi hanya sebagian kecil saja makanan yang bersifat sebagai alergen, misalnya
susu sapi, telur, kacang, ikan, kacang kedelai dan gandum.2
Manifestasi alergi makanan dapat bermacam-macam, tergantung dari tempat dan luas
degranulasi sel mast, mulai dari urtikaria akut sampai reaksi anafilaksis yang fatal. Organ
target yang sering terkena adalah kulit, saluran cerna, saluran nafas, dan sistemik. Gejala
alergi makanan pada saluran cerna adalah, mual, muntah, diare, gembung, sering flatus,
kolik, dan kontipasi kronik.16

428
Buku Ajar Gastrohepatologi

Alergi makanan secara umum, termasuk yang manifestasi klinisnya di saluran


cerna dapat diklasifikasikan sebagai IgE mediated yang onsetnya akut dengan gejala klinis
timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam, misalnya: hipersensitivitas saluran cerna dan
sindrom alergi oral. Atau, non-IgE mediated yang diperantarai oleh IgG dan IgM dengan
onset lambat/kronis dengan gejala klinis timbul dalam waktu lebih dari 1-3 jam, misalnya:
enteropati, enterokolitis dan proktokolitis. Pada beberapa kasus kedua mekanisme dapat
muncul bersamaan (gastroenteropati dan esofagitis eosinofilik).17
Reaksi alergi pada saluran cerna dapat mempengaruhi sekresi saluran, absorpsi
(dengan atau tanpa kerusakan mukosa) dan motilitas. Interaksi antara sel alergi dan sistem
saraf mukosa memperantarai perubahan sekresi dan motilitas usus. IL-5, suatu sitokin yang
dihasilkan Th2, dan eotaksin kemokin memiliki peran pada respon alergi yang menyebabkan
terlambatnya pengosongan lambung, refluks gastro-esofageal dan konstipasi.18
Makanan yang paling umum menyebabkan alergi saluran cerna adalah susu sapi,
telur, kedelai, dan gandum.19,20 Tes yang saat ini tersedia (uji skin prick, tes patch dan IgE
spesifik) penggunaannya terbatas untuk mengidentifikasi penyebab alergi makanan pada
penyakit saluran cerna. Penghindaran diet umumnya ditentukan berdasarkan riwayat atopi
(rinitis alergi, asma, eksim), alergi dan autoimmunitas yang dikombinasikan dengan usia
presentasi gejala dengan asupan makanan pada saat itu. Sejumlah manipulasi 9 diet harus
dilakukan sebelum pembatasan diet yang tepat bagi penderita alergi. 2 01 Makanan yang di
t
are
curigai menyebabkan alergi dieliminasi selama 2-4 minggu.MSelanjutnya penting untuk
o 9
diprovokasi secara berurutan dengan makanan yang dieliminasir tersebut untuk memastikan
apakah timbul reaksi alergi. G ast
at
r ap
ntuk
Alergi Susu Sapi u
ro
G ast
Susu sapi adalah makanan yang
Ajarpaling umum menyebabkan reaksi alergi pada bayi dengan
prevalens 2%-3% dan 0,5% udari bayi yang mendapat ASI dilaporkan alergi terhadap protein
Buk
makanan eksogen yang e disekresi lewat air susu ibu. Gejala akibat alergi susu sapi 50-60%
Fil
pada saluran cerna, 50-60% pada kulit dan 20-30% pada sistem pernapasan. Gejala alergi
susu sapi biasanya muncul sebelum usia 1 bulan dan muncul dalam satu minggu setelah
mengonsumsi susu sapi. Mekanisme dapat melalui reaksi cepat atau reaksi lambat. Sekitar
50% bayi membaik pada usia 1 tahun, 75% pada usia 2 tahun dan 90% pada usia 3 tahun.
Kurang dari 1% bayi yang alergi makanan menetap seumur hidup.21
Pendekatan diagnosis alergi susu sapi tipe IgE-mediated adalah dengan melihat gejala
klinis dan dilakukan uji IgE spesifik (uji tusuk kulit atau uji RAST). Jika hasil positif, maka
dilakukan eliminasi (penghindaran) makanan yang mengandung protein susu sapi. Jika
hasil negatif, maka dapat diberikan kembali makanan yang mengandung protein susu sapi.
Untuk diagnosis pasti dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi.22,23
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi yang non IgE-mediated adalah dengan
adanya riwayat alergi terhadap protein susu sapi, diet eliminasi dan uji provokasi makanan.
Kadang-kadang dibutuhkan adanya pemeriksaan tambahan seperti endoskopi dan biopsi.22,23

429
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

Terapi Nutrisi pada Alergi Susu Sapi


Prinsip utama terapi untuk alergi makanan pada anak, termasuk alergi susu sapi adalah
menghindari segala bentuk produk yang menyebabkan alergi tetapi terus memberikan
nutrisi yang seimbang dan sesuai dengan tumbuh kembang bayi/anak. Terapi pada alergi
susu sapi adalah:22,24-28
1. Menghindari susu sapi dan segala bentuk produk susu sapi.
2. Untuk bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, pemberian ASI dapat
dilanjutkan dengan penghindaran konsumsi protein susu sapi dan produk makanan
yang mengandung susu sapi bagi ibu. Pertimbangkan suplementasi kalsium bagi ibu
menyusui yang membatasi protein susu sapi dan produk makanan yang mengandung
protein susu sapi. Perlu diketahui bayi yang diberi ASI juga dapat peka terhadap
beberapa alergen, termasuk telur, soya, ikan dan kacang.
3. Untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula:
- Pilihan utama adalah susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu yang
tidak menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi/anak dengan diagnosis alergi
susu sapi. Susu tersebut mempunyai peptida dengan berat molekul <1500 Da.
Susu yang memenuhi kriteria tersebut adalah susu terhidrolisa ekstensif dan susu
formula asam amino. Susu terhidrolisa parsial bukan termasuk 19 kelompok ini dan
2 0
bukan merupakan pilihan untuk terapi alergi. Formulaetsusu terhidrolisa ekstensif
r
dianjurkan pada alergi susu sapi ringan atau sedang.
9 Ma Pada alergi susu sapi berat
ro ekstensif, maka perlu dianjurkan
ast
yang tidak membaik dengan susu terhidrolisa
G
susu formula asam amino. at
- Eliminasi diet menggunakan formula r apsusu terhidrolisa ekstensif atau asam amino
diberikan sampai usia 9 atau 12 tuk paling tidak selama 6 bulan.
nbulan,
o u
- Pada bayi dengan alergiasusu str sapi, pemberian makanan padat perlu menghindari
G
jar makanan pendamping ASI.
protein susu sapi dalam
A
u
- Apabila formula
B uk susu terhidrolisa ekstensif tidak tersedia, maka pada bayi > 6 bulan
e
Fil
dapat diberikan susu formula soya, walaupun masih mungkin terjadi reaksi silang.
Angka kejadian alergi protein soya pada pasien dengan alergi susu sapi berkisar 10-
35%.

Susu Formula Alternatif


Formula berbasis soya
Formula soya dibuat didasarkan pada isolat protein soya yang dilengkapi dengan L-metionin
untuk memberikan profil asam amino yang cocok untuk digunakan pada bayi. Formula
ini bebas laktosa, dengan karbohidrat umumnya sebagai polimer glukosa. Lemak adalah
campuran minyak nabati yang merupakan asam lemak rantai panjang, termasuk asam
lemak esensial. Formula soya untuk bayi tetap memberikan pertumbuhan, status protein
dan mineralisasi tulang normal.29
Fitoestrogen adalah senyawa alami yang dihasilkan oleh beberapa tanaman pangan
yang dapat meniru atau menghambat kerja estrogen manusia. Ada bukti risiko potensial
terhadap kesehatan reproduksi jangka panjang bayi dari aktivitas biologis molekul-molekul

430
Buku Ajar Gastrohepatologi

tersebut. Bayi selama 6 bulan pertama kehidupan sangat sensitif perkembangannya.30 Pada
bayi diperkirakan jumlah isoflavon yang dikonsumsi dari formula soya adalah 4 mg/kg/
hari dibandingkan dengan orang dewasa dengan menggunakan produk soya adalah 3 mg/
hari. Sehingga penggunaan formula soya pada anak dengan atopi atau alergi harus hati-hati
dalam 6 bulan pertama kehidupan. 31
Protein soya memiliki berat molekul yang sangat besar dan menghasilkan sejumlah
besar alergen yang potensial menimbulkan masalah pada saluran cerna, seperti enteropati,
enterokolitis dan proktitis. Mukosa usus yang rusak oleh protein susu sapi memungkinkan
peningkatan penyerapan dan reaksi imunologi terhadap protein soya. Dilaporkan bahwa
60% dari bayi dengan enterokolitis yang diinduksi oleh protein susu sapi sama-sama sensitif
terhadap soya. Untuk alasan ini formula berbasis protein soya tidak direkomendasikan
untuk tatalaksana enteropati atau enterokolitis yang diinduksi susu sapi.29
Pada konstipasi atau muntah karena alergi susu sapi, dimana mukosa tidak rusak,
soya dapat digunakan sebagai sumber protein makanan. Formula soya memiliki manfaat
setidaknya harga lebih murah dibandingkan formula hidrolisat.32,33

Formula Terhidrolisa
Pembuatan protein hidrolisat adalah melalui proses denaturasi dengan 9
2 01 pemanasan dan
t
are
hidrolisis oleh enzim proteolitik yang menghasilkan peptida kecil dan asam amino bebas.
Enzim-enzim tersebut kemudian dilemahkan dengan pemanasan, 9 M dan bersama dengan sisa
peptida besar akan dieliminasi dengan filtrasi.34 stro
Ga
Pada formula hidrolisat masih ada potensiap at sekuensial dikenali oleh bayi yang
epitop
r
tuk bervariasi dalam profil berat molekul dan
sensitif. Protein terhidrolisa ekstensif masih
n
u
dengan demikian masih mungkin bersifat
a stro sebagai35,36alergen. Makanan dengan peptida dari
>1500 Da telah terbukti memiliki Gaktivitas alergi. Tingkat hidrolisis tidak memprediksi
imunogenik atau efek alergi Ajar bayi yang mengkonsumsi.37
pada
u
B
Hambatan penggunaanuk susu formula terhidrolisa ekstensif:2
e
• Adanya kandunganFil peptida yang rasanya pahit. Hal ini sangat penting pengaruhnya
terhadap penerimaan pada bayi usia lebih dari 3 bulan.
• Adanya ko-malabsorpsi lemak, di mana dibutuhkan trigliserida rantai menengah
(MCT).
• Harga formula hidrolisat relatif mahal, hampir 2 kali harga formula standar.
Pengenalan susu formula hidrolisat harus perlahan-lahan untuk bayi dengan gejala
saluran cerna yang parah, karena mereka memiliki osmolalitas lebih tinggi dari susu formula
standar. Kecepatan pengenalan tergantung pada gejala klinis. Minimal 12 jam pertama
diberikan separuhnya sebelum pengenalan formula secara penuh sesuai dengan yang
disarankan. Jika muncul diare yang berat, mungkin diperlukan pengenalan seperempatnya,
kemudian dinaikkan bertahap sampai mencapai makanan penuh dalam 4 hari. Pada
pemberian rawat jalan atau gejala yang ringan, formula sepenuhnya dapat diperkenalkan
sejak awal. Untuk mendorong penerimaan, mungkin ada manfaatnya untuk mencampur
hidrolisat dengan formula yang biasa dikonsumsi untuk perlahan-lahan
­­ memperkenalkan
rasa baru. Atau, tambahkan sukrosa dengan konsentrasi 2-4% untuk mencampur formula
jika tidak ada kontraindikasi. Jika bayi tetap menolak minum formula hidrolisat tabung

431
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

nasogastrik perlu digunakan untuk memastikan volume makanan yang memadai


dikonsumsi. Pada bayi dengan gagal tumbuh, makanan dapat ditambah dengan cara
peningkatan lemak, karbohidrat atau peningkatan konsentrasi formula. Semua perubahan
harus dilakukan perlahan-lahan untuk memastikan makanan ditoleransi dengan baik.2

Formula Asam Amino


Formula ini hanya murni campuran asam amino yang dianggap non-alergis karena tidak
adanya rantai peptida yang bertindak sebagai epitop. Pada bayi yang gagal mentolerir
hidrolisat, pemberian formula ini adalah langkah logis berikutnya. Studi telah menunjukkan
formula ini efektif untuk bayi di mana protein hidrolisat belum ditoleransi.20,36
Asupan kalsium dibawah asupan yang direkomendasikan telah diidentifikasi pada
sejumlah besar anak dengan pembatasan susu sapi yang dapat mempengaruhi densitas
tulang. Suatu studi menunjukkan bahwa anak-anak berusia 31-37 bulan pada diet bebas
susu secara signifikan lebih rendah memiliki asupan energi, lemak, protein, kalsium,
riboflavin dan niasin dibandingkan kontrol.38

28.7 Penyakit Seliak 01


9
t 2
re
Penyakit seliak merupakan penyakit autoimun yang terutama
9 Ma mempengaruhi usus halus
bagian proksimal, ditandai dengan mukosa abnormal tdan
s ro berhubungan dengan intoleransi
a
permanen terhadap gluten. Pada penyakit seliakt Gterjadi produksi autoantibodi lokal dan
a
sistemik terhadap protein struktural usus rhalus ap dan organ-organ lain yang dimediasi
protein struktural di usus halus. Produksi
k
tuautoantibodi menyebabkan produksi IgA rendah.
o un
Anti-jaringan transglutaminase (TTG)
st r dan antibodi antiendomisial merupakan petanda
r Ga
penyakit seliak meskipun kemungkinan tidak dipicu oleh kekurangan IgA.2
Aja
u
Dua predisposisiukpenyakit seliak, antara lain: genetik dan konsumsi gluten. Lebih dari
e
satu anggota keluarga B mungkin terkena dengan insiden 1:100-300 di Inggris. Usia saat onset
Fil
dan presentasi klinis bervariasi.2

Baku emas diagnosis adalah biopsi usus halus dimana tampak kerusakan mukosa
diikuti dengan respons klinis terhadap eliminasi gluten. Pasien dengan kecurigaan penyakit
Seliak perlu mempertahankan diet normal sampai diagnosis dengan biopsi ditegakkan.2
Eliminasi dilakukan terhadap semua sumber makanan dari gluten, protein gandum,
gandum hitam, dan barley seumur hidup. Gluten terbagi menjadi 4 sub-kelompok: gliadin,
glutenins, albumin dan globulin. Bahan utama gandum yang berbahaya adalah fraksi
prolamin dari α-gliadin, atau sekalin pada gandum hitam dan hordein barley. Provokasi
gluten hanya diperlukan bila ada keraguan pada saat diagnosis awal, misalnya jika hasil
biopsi awal atipikal atau diet bebas gluten telah dimulai sebelum biopsi dilakukan. Gluten
sebagai uji provokasi diperkenalkan ke dalam diet setiap hari dalam jumlah yang cukup
untuk menjamin tantangan yang memadai.39

432
Buku Ajar Gastrohepatologi

Terapi Nutrisi Penyakit Seliak


Eliminasi terhadap semua sumber dari gandum, gandum hitam, dan barley dilakukan semur
hidup. Sejumlah besar makanan bebas gluten yang tersedia berbahan dasar tepung kanji.
Makanan yang berbahan dasar tepung kanji sering tidak cukup murni untuk dimasukkan
dalam diet bebas gluten. Makanan bebas gluten sesuai standar Internasional adalah hingga
200 ppm.39
Oats adalah makanan yang terbuat dari gandum. Masuknya gandum dalam diet bebas
gluten masih kontroversial. Efek prolamin dalam gandum, yang disebut avenin, belum jelas.
Prolamin mengandung sekuen asam amino yang dapat memicu perubahan histologis dalam
mukosa usus halus. Jumlah avenin dalam gandum jauh lebih kecil daripada prolamin dalam
sereal lainnya, sehingga untuk berefek dibutuhkan jumlah yang lebih besar. Pada individu
dengan penyakit seliak yang sangat sensitif harus ditindaklanjuti dan tidak diperbolehkan
mengonsumsi oat. Sebaiknya oat dihindari pada permulaan diet bebas gluten dan dievaluasi
kembali di kemudian hari setelah pasien berespon terhadap diet.40

Pemantauan Kesehatan Tulang


Pada penyakit seliak kepadatan mineral tulang dapat berkurang sehingga 9 menyebabkan
2 01periode yang lama.
osteoporosis. Penyebabnya diduga karena malabsorpsi kalsium dalam
re t
Penelitian pada anak menunjukkan densitas mineral tulang 9 Mapada penyaki seliak lebih
ro
ast disesuaikan dengan kebutuhan
rendah. Asupan kalsium untuk anak dengan penyakit seliak
G
kalsium untuk anak seusianya. at
41

r ap
ntuk
u
28.8 Intoleransi Karbohidrat
Ga
str
o
ar
j
u A beban osmotik saluran cerna, sehingga menarik air ke
Malabsorpsi gula meningkatkan
k
l Bu
dalam usus halus dan emengakibatkan diare. Keparahan tergantung pada jumlah karbohidrat,
i
aktivitas metabolikF bakteri kolon, dan kemampuan absorpsi kolon terhadap air dan asam
lemak rantai pendek. Bayi lebih berat dibandingkan dewasa karena usus halus lebih pendek
dan kapasitas usus besar untuk menyerap cairan kurang. Waktu transit usus lebih cepat
sehingga waktu untuk jalur alternatif pencernaan karbohidrat menjadi lebih singkat. Gula
yang belum dicerna sempurna dapat diekskresikan utuh atau difermentasi oleh bakteri di
usus besar menjadi asam lemak rantai pendek dan asam laktat.2

28.9 Defisiensi Disakaridase


Usus halus memiliki 4 enzim disakaridase, dengan aktivitas tertinggi pada jejunum (Tabel
28.9.1). Kekurangan enzim ini dapat primer akibat defek enzim kongenital atau sekunder
akibat kerusakan saluran cerna.2

433
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

Tabel 28.9.1. Aktivitas enzim bursh border di usus halus


Enzim Substrat Produk
Sukrase-isomaltase Sukrosa Glukosa
Alfa1-6 terikat dalam molekul starch Fruktosa
Isomaltosa
Maltosa
Maltotriosa
Maltase-glukoamilase Maltosa Glukosa
Maltotriosa
Starch
Laktase Laktosa Glukosa
Galaktosa
Trehelase Trehalosa Glukosa

28.10 Defisiensi Sukrase-isomaltase Kongenital


Defisiensi sukrase-isomaltase kongenital (DSIK) adalah penyakit autosomal resesif yang
langka, menyebabkan diare kronis pada bayi dan anak. Variasi fenotipnya lebar. Semua
pasien DSIK tidak memiliki aktifitas sukrase usus dengan aktivitas isomaltase bervariasi
9
dari sangat sedikit sampai hampir normal. Prevalensi DSIK yangtlangka 2 01 sering tidak diduga
sebelumnya dan tetap tidak terdiagnosis pada pasien dengan M are riwayat diare kronis dan
beberapa di antaranya terdiagnosis DSIK saat dewasa.t2ro 9
G as
Saat menyusui atau diberikan susu formula at standar gejala asimtomatik. Gejala mulai
muncul saat diberikan sukrosa. Presentasi klinis ap
r DSIK sangat bervariasi. Diare kronis cair dan
gagal tumbuh sering ditemukan pada bayi n uk balita. Keterlambatan dalam diagnosis mungkin
tdan
u
berhubungan dengan diet rendahassukrosa tro yang mengurangi gejala. Beberapa anak mencapai
r G
pertumbuhan yang relatif normal ja dengan diare kronis intermiten, kembung, dan kram perut.
Pada anak yang lebih besar ku Agejala-gejala tersebut dapat menyerupai irritable bowel syndrome.42
l Bu
epertama
Pada tahun Fi kehidupan ini biasanya membutuhkan penghapusan sukrosa
dari diet. Pati sebaiknya dihindari saat awal dan kemudian diperkenalkan jika ditoleransi.
Toleransi pati dan makanan yang mengandung sukrosa meningkat dengan bertambahnya usia
sampai usia 2-3 tahun. Toleransi pada asupan makanan perlu dititrasi karena jika karbohidrat
berlebihan akan menyebabkan diare osmotik atau munculnya gejala pada perut. Pengurangan
karbohidrat ke level sebelumnya yang ditoleransi akan menghasilkan feses normal. 42
Anak yang lebih besar yang baru terdiagnosis dianjurkan hanya menghindari
sumber makanan mengandung sukrosa. Sumber energi diambil dari bahan makanan yang
mengandung protein dan lemak untuk mengurangi makanan karbohidrat.43
Substitusi enzim dengan skrosidase telah berhasil baik. Skrosidase merupakan bahan
cair yang mengandung ragi dengan konsentrasi tinggi yang melepaskan invertase (sukrase).
Enzim diberikan dengan makanan yang mengandung protein untuk mencegah degradasi
pepsin intragastrik. Tidak seperti sukrase-isomaltase usus manusia, produk ini tidak
memiliki aktivitas pada oligosakarida yang mengandung ikatan α1-6 glucosidik. Dosis
yang disarankan adalah 1 mL setiap kali makan pada pasien dengan berat badan <15 kg,
dan 2 mL pada berat badan >15 kg. Hal ini memungkinkan konsumsi makanan yang lebih
normal dan mengurangi keluhan gastrointestinal kronis.43

434
Buku Ajar Gastrohepatologi

28.11 Defisiensi Laktase


Defisiensi Laktase Kongenital
Defisiensi laktase kongenital sangat jarang, kelompok terbesar ditemukan di Finlandia.
Diare berat dimulai pada hari-hari pertama kehidupan yang mengakibatkan dehidrasi dan
malnutrisi, dan membaik ketika ASI atau susu formula normal dihentikan dan formula
bebas laktosa diberikan.2
Hipolaktase primer pada dewasa ditemukan dalam proporsi yang besar di dunia.
Kadar laktase normal selama masa bayi dan menurun sekitar 5-10% dari tingkat saat lahir
selama masa kanak-kanak dan remaja. Kelompok populasi ini umum di Asia Timur dan
Asia Tenggara, daerah tropis Afrika dan populasi Amerika asli dan Australia. Usia onset
bervariasi tetapi umumnya sekitar 3 tahun atau lebih, dan hanya pada makanan yang
mengandung laktosa. Sebagian besar orang Eropa tingkat laktase tetap tinggi dan pola
penurunan toleransi laktosa terhadap usia tidak terlihat.2,44

Defisiensi Disakaridase Sekunder


Malabsorpsi karbohidrat dapat terjadi sekunder akibat kerusakan pada 19 mukosa saluran
cerna dengan segala penyebab. Hal ini dapat terjadi pada berbagai eusia, t 20 dengan onset gejala
r
tak lama setelah cedera primer, misalnya enteropati terhadap
9 Maprotein susu sapi, infeksi
o imunodefisiensi.2
rotavirus, penyakit Crohn, sindrom usus pendek, dan sindrom
a str
G
Defisiensi enzim sekunder umum terjadi, mungkin
p at karena memiliki aktivitas lebih
rendah daripada enzim usus lainnya dan terletak r a di ujung distal vili sehingga lebih rentan
ntuk
terhadap kerusakan. Defisiensi sukrase-isomaltase sekunder juga dapat terjadi. 2
o u
str
Pengobatan dilakukan untuk amengeliminasi karbohidrat dan menangani penyebab
primer kerusakan mukosa. Klinis r G tergantung penyakit yang mendasari. Penelitian pada
ja
u A 30-50% pada infeksi rotavirus dan pulih 2-4 minggu setelah
bayi intoleransi lakto sa terjadi
k
u
infeksi. Anak membutuhkan
i l eB formula bebas laktosa baik yang berbasis protein susu sapi
formula atau soya. F 2,44

28.12 Malabsorpsi Monosakarida


Malabsorpsi Glukosa-Galaktosa
Malabsorpsi glukosa-galaktosa merupakan kelainan kongenital yang sangat jarang akibat
defek selektif usus untuk glukosa dan galaktosa/sodium co-transport system di perbatasan
membran brush border. Konsumsi glukosa, galaktosa, laktosa, sukrosa, glukosa polimer dan
pati merupakan kontraindikasi dalam gangguan ini. Muncul pada periode neonatal dengan
onset berat, diare cair dan asam yang menyebabkan dehidrasi dan asidosis metabolik.
Manifestasi klinis dan toleransi bervariasi pada anak yang lebih besar terhadap
karbohidrat penyebab.2

435
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

Terapi
Rehidrasi intravena diperlukan pada penanganan awal. Penggunaan oralit, yang semuanya
berbasis glukosa atau pati, merupakan kontraindikasi. Susu formula bayi berbasis fruktosa
(Formula Galactomin 19), harus diperkenalkan perlahan, awalnya seperempat dan setengah
dosis dengan dukungan infus karbohidrat dan elektrolit untuk menghindari asidosis
metabolik.
Orang tua harus didorong untuk melanjutkan formula berbasis fuktosa ini selama
mungkin. Hal ini juga dapat bermanfaat bagi anak yang lebih besar yang memasuki masa
remaja, yang sulit memenuhi kebutuhan peningkatan energi dari konsumsi makanan
dengan kadar pati rendah. Fruktosa dapat digunakan untuk mempermanis makanan untuk
anak yang lebih besar dan sebagai sumber energi tambahan. Penting untuk memastikan
bahwa semua obat-obatan bebas karbohidrat.2
Awal pengenalan makanan padat hendaknya mengandung jumlah pati, sukrosa,
laktosa atau glukosa yang minimal. Makanan bayi pabrikan umumnya tidak cocok untuk
penderita. Semua makanan harus dimasak tanpa garam dan dihancurkan sampai teksturnya
sangat halus. Orang tua dapat menyiapkan makanannya sebelumnya dan dibekukan
untuk mempersingkat waktu. Dengan bertambahnya usia anak secara bertahap mulai
9
mengonsumsi karbohidrat yang dibutuhkan untuk melindungi kolon.
2 01 Peningkatan jumlah
t
re diare, diet dikembalikan
glukosa dan galaktosa pada makanan harus bertahap. Bila terjadi
9
ke pola sebelumnya yang dapat ditoleransi baik dan dicoba Madiperkenalkan lagi beberapa
ro
bulan kemudian.2 ast G
p at
r a
tu k
28.13 Malabsorpsi Lemak
tro un
s
r Ga
Limfangiektasis Usus uA
j a
Keadaan ini ditandai u k
e B dengan dilatasi pembuluh limfatik usus yang pecah dan cairan
Fildalam usus, yang menyebabkan kehilangan protein. Manifestasi klinisnya
limfatik bocor ke
bervariasi sering nampak berupa diare, edema karena hipoproteinemia, dan gagal tumbuh.
Manifestasi pada anak biasanya muncul pada 2 tahun pertama kehidupan, meskipun
pernah dilaporkan kasus yang terdiagnosis pada usia 15 tahun.45
Diagnosis definitif ditegakkan dengan biopsi usus halus yang menunjukkan
kelainan limfatik, walaupun tampak sebagai suatu lesi kecil (patchy), biopsi negatif tidak
menyingkirkan diagnosis. Pengembangan enteroskopi dengan kapsul video yang melewati
usus halus akan membantu diagnosis.46

Terapi: Diet Rendah Lemak


Terapi diet merupakan yang utama, kecuali lesi cukup terlokalisir sehingga eksisi dari bagian
usus yang terkena dimungkinkan. Reduksi trigliserida rantai panjang (LCT) diperlukan
untuk mengontrol gejala. Hal ini akan mengurangi volume cairan limfa usus dan tekanan
dalam lacteals. Jumlah LCT dibatasi 5-10 g/hari. Asupan protein tinggi diperlukan untuk
mempertahankan tingkat albumin plasma. Asupan protein dianjurkan setinggi 6 g/kg/
hari dengan energi yang cukup untuk memastikan pertumbuhan. Jika kebocoran usus

436
Buku Ajar Gastrohepatologi

dapat dihentikan dengan mengurangi aliran limfatik, asupan protein tinggi seharusnya
tidak diperlukan. Kehilangan protein enterik dapat dipantau dengan mengukur kadar α1-
antitripsin feses. MCT dapat digunakan sebagai sumber energi dan untuk meningkatkan
palatabilitas diet karena molekulnya langsung terserap ke sistem portal, tidak melalui
limfa.46
Pemberian makanan pada bayi dan anak usia dini disarankan formula dengan
kandungan protein dan energi yang lebih tinggi dan menurunkan konten LCT. Protein
tambahan dapat ditambahkan ke makanan lengkap jika protein tambahan diperlukan
untuk mempertahankan kadar albumin plasma. Kandungan lemak dan elektrolit dari
produk ini perlu diperhitungkan untuk menjamin kecukupan tubuh di samping jumlah
yang disediakan oleh makanan.2
Pengenalan makanan padat dengan kandungan lemak minimal diperkenalkan dan
ditingkatkan bertahap sampai asupan total LCT di bawah 10 g/hari, terutama pada 2 tahun
pertama kehidupan. Asupan tinggi protein dan makanan tambahan sangat rendah lemak
harus diperhatikan. Pembatasan diet perlu dilakukan mengingat penyakit ini merupakan
masalah seumur hidup terutama sampai pada akhir pacu tumbuh pada masa pubertas
walaupun mempertahankan asupan rendah lemak sulit dilakukan pada anak yang lebih
besar. 2
19
Jumlah asam lemak esensial yang direkomendasikan perluretdipastikan 20 saat volume
formula bayi mulai dikurangi karena adanya pembatasan 9diet Ma jangka panjang. Minyak
ro
kenari mengandung konsentrasi EFAs paling tinggi dan
G astdapat diberikan sebagai suplemen
makanan sehari-hari. Jumlah yang disarankan 0,1pamL t per 56 kcal (234 kJ) untuk makanan
dan minuman tidak mengandung EFAs. Suplementasi r a vitamin yang larut dalam lemak (A,
n tuk
D, E) untuk memenuhi kebutuhan harus o u diberikan secara terpisah. Suplementasi vitamin
a str
tidak diperlukan bila diet yang dikonsumsi telah difortifikasi. 46
G
Ajar
u
Buk
i l e
F
28.14 Makanan Modular pada Diare Berkepanjangan
atau Sindrom Usus Pendek
Diare berkepanjangan dapat didefinisikan sebagai diare kronis tanpa adanya bukti bakteri
patogen dengan durasi lebih 2 minggu, disertai dengan kegagalan peningkatan berat badan.
Beberapa bayi dengan enteropati berat atau sindrom usus pendek gagal berespon terhadap
manipulasi diet dengan protein hidrolisat atau formula berbasis asam amino dengan
demikian diperlukan makanan modular sebagai manipulasi diet khusus.47 Penilaian dan
pengawasan yang hati-hati penting untuk mencegah kurang gizi dan untuk mengevaluasi
respon terhadap manipulasi diet. Pendekatan ini dapat membantu mendiagnosis masalah
dasarnya.
Teori tentang makanan modular dapat berespon, antara lain:2
• Tidak adanya bahan yang sulit ditoleransi
• Modus pengenalan yang sangat lambat memungkinkan adaptasi usus
• Keterlambatan penambahan lemak pada makanan dapat merubah respon inflamasi di usus.

437
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

Tak satu pun dari teori ini terbukti tetapi pengalaman klinis menunjukkan efektifitas
pendekatan ini.

Bahan Makanan
Pembentukan tim dan diskusi dengan staf medis tentang komposisi makanan yang tepat
untuk pengelolaan nutrisi bayi harus dilakukan sebelum memulai intervensi. Tujuannya
adalah untuk menghasilkan makanan yang ditoleransi dengan baik dan memenuhi
kebutuhan gizi bayi. Parameter yang harus dipertimbangkan:47
• Kandungan energi total dan rasio energi dari lemak dan karbohidrat yang sesuai
• Protein, baik jenis dan kuantitasnya
• Asupan asam lemak esensial
• Suplementasi vitamin dan mineral, termasuk elemen-elemen penting
• Konsentrasi elektrolit yang sesuai
• Osmolalitas makanan.

Pengenalan Makanan Modular


Pengenalan makanan modular tergantung pada situasi klinis, makanan 9 diperkenalkan
2 01 secara bertahap. Bayi
dengan sangat hati-hati dengan konsentrasi komponen ditingkatkan t
yang sudah mendapatkan formula asam amino, perubahan M aremodular dilakukan dengan
diet
9
ro
profil yang sama seperti formula asam amino tersebut,
G ast namun menggunakan MCT sebagai
sumber lemak dengan peningkatan konsentrasiasecara t perlahan. 47

• Penilaian gejala dan dukungan nutrisik rpadaap bayi perlu dilakukan sebelum memulai
tu
makanan modular.
o un
• Kandungan karbohidrat tidak r
st boleh kurang dari 4 g/100 mL pada situasi dimana
r Ga
glukosa intravena tidakjatersedia, karena risiko hipoglikemia.
A
• Pengenalan secara u kuperlahan dari makanan modular berbasis asam amino dapat
B sumber protein lain. Peningkatan dapat dilakukan setiap 24 jam,
i le
digunakan Fsebagai
jika toleransi.
• Respon bayi pada setiap perubahan diet harus dinilai setiap hari sebelum membuat
perubahan lebih lanjut.

Pengenalan Makanan Padat


Makanan padat sebaiknya diperkenalkan setelah bayi atau anak mengonsumsi nutrisi yang
lengkap. Pembatasan tergantung pada diagnosis yang mendasarinya. Perkenalan makanan
tunggal diperlukan untuk menentukan toleransi dari makanan yang berbeda.

28.15 Kelainan Motilitas Usus


Refluks Gastroesofageal
Refluks gastroesofageal (RGE) adalah akibat terbukanya sfingter esofagus bawah (lower
esophageal sphincter, LES) yang tidak tepat sehingga melepas isi lambung ke esofagus.
Kelainan ini dapat disebabkan oleh berbagai patologi yang berbeda. Sekitar 50% bayi

438
Buku Ajar Gastrohepatologi

mengalami regurgitasi setidaknya sekali sehari, dan pada mayoritas anak hilang secara
spontan pada usia 12-15 bulan. Kondisi ini disebabkan oleh memanjangnya esofagus dan
berkembangnya sfingter gastro-esofageal.2,48
Bentuk yang lebih berat dapat terjadi ketika bayi dengan regurgitasi tidak membaik
terhadap perawatan yang sederhana dan berkembang menjadi penyakit refluks
gastroesofagus (PRGE). Akan terbentuk lesi akibat asam pada esofagus dan terjadi
esofagitis dan ini berhubungan dengan gejala lain, seperti gagal tumbuh, hematemesis,
gejala pernapasan, apnea, iritabilitas, gangguan minum dan anemia defisiensi besi. RGE
merupakan temuan yang umum pada bayi dengan masalah neurologis.48

Perawatan
Penting untuk menenangkan orang tua, dan ini perlu dilakukan sebelum melaksanakan
tindakan lainnya. Namun, gejala yang berulang berupa tangisan yang tidak dapat dihentikan
atau iritabilitas, kesulitan pemberian makan atau tidur, regurgitasi yang persisten atau
muntah dapat menyebabkan stres pada orang tua.

Pengaturan Posisi
9
Pengaturan postural pada bayi telah menunjukkan dapat membantu 01
re t 2 dan posisi pronasi
dengan elevasi 30° paling sukses dalam mengurangi RGE.a Namun, sejumlah studi
M
9death
menunjukkan adanya peningkatan risiko sudden infant tro syndrome (SIDS) pada
a
posisi tidur pronasi, sehingga metode ini muali ditinggalkan. s Suatu tinjauan sistematis
G 49

p attidak menguntungkan pada bayi yang


menyimpulkan bahwa meninggikan bagian kepala r a
ntuk
tidur pada posisi supinasi.50 Bayi muda cenderung untuk melorot saat ditempatkan pada
o u
tempat duduk, sehingga meningkatkan r tekanan pada perut dan membuat refluks menjadi
G ast
lebih berat. ar
j
kuA
u
Pemberian Minumi l eB
F
Bayi tidak boleh diberi minum berlebihan dan harus diberi volume susu yang sesuai
dengan usianya. Pemberian minum dengan volume kecil, frekuensi sering dapat juga
menguntungkan dengan mengurangi distensi lambung (misalnya, 150 mL formula/kg/
hari dibagi menjadi 6-7 kali minum). Hal ini masih menjadi kontroversi karena frekuensi
minum yang sering juga akan mempersering relaksasi dari LES.
Penggunaan pengental makanan telah terbukti mengurangi muntah pada bayi, meski
monitoring pH menunjukkan bahwa indeks refluks gastroesofageal tidak menurun.50,51
Pengentalan ditoleransi dengan baik dengan sangat sedikit efek samping dilaporkan dan
haruslah digunakan sebagai lini pertama pada bayi dengan regurgitasi.50,52 ESPGHAN
mendesak agar hati-hati dalam penggunaan agen pengental yang tidak sesuai. Formula
yang dikentalkan harus dihindari pada bayi sehat yang muntah karena efek terhadap
bioavailabilitas nutrien, respon metabolik dan endokrin, serta frekuensi terjadinya reaksi
alergi terhadap agen pengental tidak diketahui. 53
Saat ini sudah tersedia formula bayi dengan nutrisi lengkap yang dikentalkan yang
berbahan dasar protein susu sapi. Formula tersebut memiliki kandungan amilopektin
yang tinggi, suatu pati beras yang digelatinisasi. Produk ini perlu disiapkan dengan air

439
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

yang dimasak kemudian dibiarkan menjadi dingin sampai suhu ruangan untuk mencegah
terbentuknya gumpalan dan botol minumnya kemudian perlu digulingkan di antara
kedua tangan untuk memastikan isinya tercampur dengan baik. Formula tersebut akan
mengental begitu kontak dengan pH asam lambung. EC Scientific Committee of Food
merekomendasikan tambahan pati sampai maksimum 2 g/100 mL pada formula bayi.
Rekomendasi menyarankan bahwa labelnya menyatakan dengan jelas bahwa ‘AR’ berarti
‘anti-regurgitation’ dan bukan ‘anti-reflux'.54
Saat gagal tumbuh menjadi masalah, suatu pengental berbahan pati dapat digunakan
untuk menyediakan energi lebih. Jumlah terkecil pengental diberikan pada awal dan jumlah
ditingkatkan secara bertahap sampai kadar maksimum jika gejala tidak membaik. Saat
minum gunakan dot dengan lubang yang sedikit lebih besar, atau dot dengan aliran yang
dapat diubah. Tepung jagung biasa juga digunakan sebagai agen pengental pada minuman
bayi namun menyebabkan ketidaknyamanan karena harus dimasak. Minuman seperti ini
biasanya perlu disaring sebelum dapat digunakan.

RGE dan Alergi Makanan


Pada RGE dengan komplikasi yang gagal membaik terhadap perawatan sederhana, suatu
9
penggantian formula terapeutik perlu dipertimbangkan karena telah
2 01 terbukti bahwa RGE
re t
dapat terjadi sekunder akibat alergi makanan. Dua studi telahamenunjukkan bahwa 30-40%
bayi dengan RGE yang resisten terhadap perawatan mengalami 9 M alergi susu sapi, dengan
tro
s
gejala yang membaik secara signifikan dengan dietayang bebas protein susu sapi.55,56 Pada
G
pasien yang sensitif, susu sapi menyebabkan disritmia
p at lambung dan pengosongan lambung
r a
yang terlambat yang dapat mengeksaserbasi tu k RGE dan menginduksi refleks muntah.57 Perlu
u n
dipertimbangkan untuk menggunakan
a stro makanan hidrolisat pada bayi ini untuk percobaan
sebagai pilihan terapi. G
Ajar
u
Buk
Perawatan Medis
Fil
e
Obat-obatan yang digunakan untuk tata laksana RGE berkisar dari antasida sampai
antagonis H2, seperti ranitidine yang mengurangi sekresi asam lambung; proton pump
inhibitors seperti omeprazol; dan agen prokinetik, seperti domperidon, yang meningkatkan
tekanan LES dan meningkatkan pengosongan lambung. Kombinasi obat-obatan ini
seringkali diberikan untuk mengontrol gejala. Pada kasus yang ekstrem yang tidak berespon
terhadap perawatan diatas, diperlukan pembedahan fundoplikasi untuk mengoreksi
masalah tersebut. Gastrostomi bertujuan mengeluarkan gas dari lambung, dan kadang-
kadang untuk memberi makan. Terdapat morbiditas yang cukup besar yang berhubungan
dengan operasi ini.2

Pemberian Makan pada RGE


Kesulitan memberi makan umum terjadi pada RGE dan ditandai dengan disfungsi motorik
oral, episode disfagia dan pengalaman buruk pemberian makan sebelumnya. Bayi dengan
RGE secara signifikan sulit untuk diberi minum dan secara signifikan asupan energi lebih
sedikit dibandingkan dengan bayi tanpa RGE. Masalah ini seringkali menetap setelah

440
Buku Ajar Gastrohepatologi

perawatan medis atau pembedahan dengan perilaku melawan yang terus-menerus karena
nyeri yang berhubungan dengan pengalaman minum sebelumnya.58
Jika terdapat kesulitan memberi minum, dapat diperlukan untuk memulai pemberian
minum melalui selang nasogastrik atau gastrostomi untuk memastikan asupan nutrisi
yang adekuat. Bilamana mungkin, asupan oral, seberapa kecil pun, perlu dipertahankan
untuk mengurangi kesulitan pemberian minum di masa mendatang. Makanan anak harus
diberikan oral atau bolus harian dengan pemberian makan yang kontinyu selama waktu
malam dengan jumlah yang rendah untuk mencegah terjadinya aspirasi. Volume makanan
mungkin perlu dikurangi di bawah jumlah yang direkomendasikan untuk usianya untuk
memastikan toleransi. Makanan hendaknya diperkaya dengan nutrien dengan cara biasa
untu memastikan anak mendapatkan nutrisi yang adekuat untuk mengejar ketertinggalan
pertumbuhan. Tidak terdapat bukti bahwa makanan rendah lemak meningkatkan
pengosongan lambung dan mengurangi RGE pada bayi-bayi ini.54
Perlunya pemberian makan melalui selang dapat berlangsung untuk waktu yang lama,
bahkan mencapai 36 bulan pada suatu studi.59 Orang tua bayi dengan masalah makan
yang sekunder akibat RGE memerlukan banyak dukungan. Tata laksana yang optimal
perlu memanfaatkan tim dari multidisipliner, termasuk seorang psikolog berpengalaman
menangani anak dengan masalah ini, spesialis anak, ahli gizi dan terapis9bicara dan bahasa.
2 01
aret
9M
28.16 Konstipasi ast
ro
G
at
Konstipasi merupakan suatu gejala, bukan suatu r ap penyakit dan dapat disebabkan oleh
k
ntu Konstipasi idiopatik tidak berhubungan
kelainan anatomi, fisiologi atau histopatologi.
u
o
a str
dengan salah satu kelainan ini dan diperkirakan paling sering disebabkan karena menahan
G
defekasi dengan sengaja atau dir bawah sadar setelah suatu kejadian akut yang menjadi
ja
u A mendasari sampai 3% kunjungan ke klinik rawat jalan
pencetus. Konstipasi ditemukan
k
anak umum dan 10-25%
l e Bu kunjungan ke ahli gastroenterologi anak, sehingga merupakan
i
F 60
masalah yang besar.
Frekuensi defekasi rata-rata diperkirakan adalah empat kali selama minggu pertama
kehidupan, dua kali per hari saat umur 1 tahun, dan menurun ke pola dewasa antara tiga
kali per hari sampai tiga kali per minggu saat mencapai usia 4 tahun. Terdapat variasi yang
besar dalam pola ini. Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology (PACCT)
Group mendefinisikan konstipasi kronis sebagai kejadian dua atau lebih karakteristik
berikut selama 8 minggu terakhir:61
• Kurang dari tiga kali defekasi per minggu
• Lebih dari satu episode inkontinensia feses per minggu
• Massa feses yang besar di dalam rektum atau dapat dipalpasi pada pemeriksaan abdomen
• Defekasi dengan feses yang besar sampai menyumbat toilet
• Perilaku retentive posturing dan withholding
• Defekasi yang nyeri.
Pada konstipasi idiopatik, peregangan dinding anus yang berkepanjangan berhubungan
dengan retensi feses kronis menyebabkan rektum yang atonik dan mengalami desensitisasi.
Ini memperberat masalah karena volume feses yang besar diperlukan untuk merangsang

441
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

defekasi. Inkontinensia feses (sebelumnya dideskripsikikan sebagai enkopresis) terutama


merupakan akibat dari retensi feses kronis dan jarang terjadi sebelum usia 3 tahun.

Perawatan
Konstipasi akut sederhana biasanya dirawat dengan diet tinggi serat, asupan cairan yang
cukup, mengisi catatan harian frekuensi defekasi dan toilet training. Perawatan konstipasi
kronik didasarkan pada empat fase:62
• Edukasi terhadap keluarga untuk menjelaskan patogenesis konstipasi
• Disimpaksi menggunakan obat-obatan oral atau rektal
• Pencegahan terjadi akumulasi berulang feses menggunakan intervensi diet, modifikasi
perilaku dan laksatif (campuran laksatif osmotik, seperti laktulosa; stimulan seperti
senna dan minyak mineral dapat digunakan)
• Pemantauan
Serat makanan dapat diklasifikasikan menjadi bentuk yang larut dalam air dan tidak
larut. Termasuk dalam kelompok yang pertama adalah pektin, frukto-oligosakarida (FOS),
gums dan mucilage yang difermentasikan oleh bakteri kolon untuk menghasilkan asam
lemak rantai pendek, sehingga mampu meningkatkan kandungan air dan volume feses. Serat
9
yang tidak larut terutama bertindak sebagai kerangka feses dengan
2 01menahan air di dalam
saluran cerna dan bertindak seperti spons. Keduanya memperlunak re t dan memperbesar
feses dan mengurangi masa transit saluran cerna. 9 Ma
ro
Survei menunjukkan bahwa anak yang mengalami
G ast konstipasi seringkali makan lebih
sedikit serat daripada anak yang tidak mengalami at konstipasi. Bahkan setelah disarankan
untuk meningkatkan asupan serat oleh dokter, r apasupan serat mereka hanya setengah jumlah
k
populasi kontrol. Tampaknya untuk membuatu ntu perubahan diperlukan konseling diet yang
tro
as
spesifik.63 Anak-anak dengan konstipasi
Gyang
kronis juga memiliki asupan energi yang lebih
rendah dan insiden anoreksia jar lebih tinggi. Sulit untuk mengetahui apakah keadaan
ini sudah ada sebelumnya u A dan menjadi faktor predisposisi untuk kondisi ini atau apakah
kondisi ini disebabkanBukoleh cepat kenyang yang sekunder akibat konstipasi.64
e
RekomendasiFil kebutuhan serat pada anak setiap hari adalah jumlah serat dalam gram
yang setara dengan usia mereka dalam tahun ditambah 5 g.65 Selama masa bayi dan anak-
anak penting untuk memastikan bahwa ada asupan cairan yang adekuat. Sebagai panduan,
anak-anak harus mendapatkan 6-8 kali minum per hari, jika mungkin air atau jus buah dan
termasuk di dalamnya adalah susu. Untuk anak yang kurang minum, perlu disarankkan
makanan dengan kandungan cairan yang tinggi. Buah, sayuran dan salad memliki
kandungan cairan yang tinggi selain menjadi pilihan karena kandungan seratnya.
Dalam pedoman berbasis bukti Amerika pada tahun 1999, tidak satu pun penelitian
klinik acak menunjukkan adanya efek dari perubahan diet terhadap feses anak yang
mengalami konstipasi.62 Fakta bahwa konstipasi tidak umum terjadi di masyarakat yang
mengkonsumsi diet tinggi serat telah digunakan untuk membenarkan perawatan ini. Suatu
penelitian klinik acak tersamar ganda yang meneliti efek sereal bayi yang disuplementasikan
dengan FOS pada bayi normal menunjukkan defekasi menjadi lebih sering dan lunak.66
Suatu penelitian klinik acak buta ganda lain menggunakan glucomannan sebagai suplemen
serat larut air dalam diet anak-anak berusia 4 tahun atau lebih dengan konstipasi kronis
menunjukkan hasil yang menguntungkan.67

442
Buku Ajar Gastrohepatologi

Konstipasi dan Alergi Makanan


Dalam kelompok tertentu anak dengan konstipasi yang gagal untuk berespon terhadap
perawatan konvensional, diet bebas protein susu sapi telah menunjukkan hasil
menguntungkan. Pemeriksaan motilitas pada pasien seperti ini mengindikasikan bahwa
keterlambatan dalam pergerakan feses merupakan konsekuensi dari retensi feses di rektum
dan bukan akibat gangguan motilitas yang menyeluruh.68 Sehingga, telah diajukan bahwa
semua anak dengan konstipasi kronis yang gagal merespon terhadap perawatan normal
sebagaimana dijelaskan di atas perlu dipertimbangkan untuk menjalani percobaan diet
tanpa susu sapi, terutama jika mereka memiliki atopi.69 Sebuah studi belum lama ini,
menunjukkan bahwa dari 52 pasien dengan konstipasi kronis, 58% mengalami proktitis
eosinofilik akibat alergi makanan. Mayoritas ditemukan intoleran terhadap protein susu
sapi; namun, enam pasien mengalami intoleransi makanan multipel.70

28.17 Gangguan Motilitas Usus


Integrasi fungsi digestif, absorptif, dan motor dari usus diperlukan untuk asimilasi nutrien.
Pada usus dewasa, fungsi motorik diatur menjadi pola aktivitas kontraktil tertentu yang
memiliki sejumlah mekanisme kontrol. Setelah menelan, suatu bolus cairan atau makanan
berjalan turun ke esofagus dengan peristalsik, aksi ini berbeda dari20bagian19 saluran cerna
t
lainnya karena dapat diinduksi secara volunter. Relaksasi LES untuk
Mare membiarkan makanan
9
atau cairan turun ke lambung yang bertindak sebagai oreservoir dan juga mengawali
r
pencernaan. Lambung memiliki gerakan kontraktil yang G astmenghaluskan makanan menjadi
at
partikel berukuran 1-2 mm. Pengosongan lambung
r ap dapat diatur oleh komponen makanan
k
melalui sekresi hormonal. LCT telah ditemukan
u ntu menghambat pengosongan lambung.
o
Protein makanan yang berbeda jugatrmemiliki efek dengan hidrolisat whey menyebabkan
as
pengosongan lambung yang lebih r Gcepat daripada makanan protein utuh.
71

Aj a
Di usus halus, aktivitasku motorik dijalankan oleh kontraksi otot halus yang diatur
oleh faktor miogenik, u
Bneural dan kimiawi. Pada keadaan puasa, usus memiliki aktivitas
Fi le
kontraktil yang memertahankan bakteri lumen di kolon. Abnormalitas pada aktivitas fase
ini dapat menyebabkan bakteri tumbuh lampau di usus halus dan malabsorpsi. Aktivitas
post-prandial diawali oleh hormon dan makanan yang dikonsumsi untuk menimbulkan
terjadinya peristalsis di usus. Gangguan pada sistem yang terkoordinasi ini dapat terjadi
pada semua tingkatan.

28.18 Penyakit Crohn


Penyakit Crohn bersama dengan kolitis ulseratif dikenal sebagai inflamtory bowel disease.
Penyakit Crohn disebabkan oleh suatu proses inflamasi transmural kronik yang dapat
mempengaruhi semua bagian dari saluran cerna dari mulut sampai ke anus. Ini merupakan
suatu kelainan yang amat heterogen dengan banyak keragaman secara anatomi dan histologi.
Usus halus terlibat dalam 90% kasus. Proses inflamasi yang agresif dapat menyebabkan
fibrosis usus halus, terbentuknya striktur dan ulserasi yang menyebabkan terjadinya
fistula. Etiologi penyakit Crohn belum sepenuhnya dimengerti, namun kini diperkirakan

443
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

disebabkan oleh suatu respon imun yang tidak sesuai terhadap antigen dari bakteri flora
normal pada seseorang yang mengalami kerentanan secara genetik.72
Tampilan penyakit Crohn pada anak sangat tergantung pada lokasi dan luasnya
inflamasi. Pada kebanyakan kasus timbul secara perlahan dengan gejala saluran cerna
yang tidak spesifik dan adanya gagal tumbuh yang seringkali berakibat diagnosis awal
tidak tepat. 73 Penyakit ini juga dapat berhubungan dengan kondisi inflamasi lainnya yang
mempengaruhi sendi, kulit dan mata.
Gejala penyakit ini dapat adalah mual, anoreksia dan malabsorpsi. Asupan energi rata-
rata daripada pasien dengan penyakit Crohn aktif ditemukan sampai 420 kkal/hari lebih
rendah daripada kontrol dengan usia sama.74 Defisit energi dan protein tampak sebagai
berkurangnya berat badan (terjadi pada lebih dari 80% anak) dan kecepatan pertumbuhan
tinggi badan yang menurun.75 Gagal tumbuh terjadi pada 15-40% anak dengan penyakit
Crohn. Selain asupan oral yang berkurang, sitokin pro-inflamasi yang meningkat pada
penyakit Crohn telah diketahui mempengaruhi pertumbuhan.76 Defisiensi nutrien spesifik,
seperti kalsium, magnesium, zink, besi, folat, B12, dan vitamin yang larut dalam lemak
merupakan hal yang umum ditemukan. Selama periode inflamasi aktif, seringkali terdapat
kebocoran protein enterik yang menyebabkan hipoalbuminemia. Turut menyertai adalah
mineralisasi dan perkembangan tulang yang terlambat dan keterlambatan
9 pubertas.77,78
201
aret
Terapi 9M
as tro
Penyakit Crohn merupakan penyakit kronis dalamGtatalaksananya memerlukan kombinasi
at
dukungan nutrisi, penggunaan obat-obatan p
a yang dipertimbangkan dengan baik dan
pembedahan yang sesuai. tu kr
n
ou
a str
G
Nutrisi Enteral sebagai
Aja Terapi Utama
r
u
Banyak percobaan telahBuk dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivas makanan
e
il utama. Percobaan juga telah membandingkan pemberian makanan
enteral sebagai Fterapi
enteral kombinasi dengan kortikosteroid, yang diketahui kemudian efektif dalam perawatan
penyakit Crohn. Percobaan ini juga telah membandingkan efektivitas makanan yang
berbeda yaitu elemental, hidrolisat dan polimerik.
Tinjauan sistematis yang diterbitkan pada tahun 2001 menyimpulkan bahwa steroid
lebih efektif daripada nutrisi enteral dalam menginduksi remisi pada penyakit Crohn aktif,
meski nutrisi enteral efektif dalam menginduksi remisi penyakit pada jumlah pasien yang
signifikan. Tidak ada bukti yang mendukung keuntungan formula enteral tertentu, yaitu
makanan yang tradisional digunakan pada penyakit Crohn, dibandingkan dengan makanan
polimerik (protein utuh).79
Suatu indeks aktivitas penyakit Crohn telah digunakan untuk menilai respon klinis
terhadap perawatan. Indeks ini didasarkan pada suatu kombinasi data klinis dan biokimiawi
dan telah diketahui bahwa steroid memberikan hasil yang baik pada indeks tersebut karena
menyebabkan perasaan baik pada pasien.72 Suatu meta-analisis percobaan pediatrik yang
kurang mendalam menunjukkan bahwa perawatan nutrisi dan steroid sama efektifnya pada
anak.80

444
Buku Ajar Gastrohepatologi

Modulen IBD adalah suatu makanan yang telah didesain secara spesifik untuk pasien
dengan penyakit Crohn. Makanan ini dilaporkan memiliki efek imunomodulator yang
diperankan oleh transforming growth factor β (TGF-β), suatu sitokin anti-inflamasi yang
terdapat pada kasein. Saat ini bukti makanan enteral sebagai perawatan pada penyakit
Crohn aktif masih tidak jelas.75 Sebagian pusat perawatan pediatri menggunakan makanan
enteral sebagai terapi utama, meski memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan
dengan steroid. Karena anak dengan penyakit Crohn seringkali mengalami malnutrisi
kronis, makanan enteral penting untuk memperbaiki nutrisi. Makanan ini juga menjadi
pilihan sebagai perawatan lini pertama karena efek buruk steroid terhadap pertumbuhan.
Saat ini hanya terdapat bukti dengan kualitas rendah untuk mengonfirmasi keuntungan
makanan terhadap pertumbuhan pada anak-anak.76

Protokol Nutrisi Enteral pada Penyakit Crohn


Pemilihan makanan ada baiknya tetap mempertimbangkan adanya riwayat atopi pada
pasien atau kerabat tingkat pertama. Untuk individu yang atopik, gunakan makanan yang
berbahan dasar asam amino. Makanan polimerik memilik keuntungan bahwa makanan
ini rasanya lebih enak dan harganya lebih murah dibandingkan dengan berbahan dasar
elemental.
9
Suatu studi pediatri yang dirandomisasi terbaru membandingkan 2 01 anak yang
mendapatkan 100% nutrisi dari makanan enteral (total enteral re t
nutrition, TEN) dengan
Ma
kelompok kedua yang mendapatkan 50% kebutuhan mereka 9 melalui makanan khusus dan
diizinkan untuk makan seperti biasa (partial enteral a tro
snutrition, PEN). Pada analisisnya,
G
parameter nutrisi ditemukan meningkat samaapbaiknya at pada kedua kelompok, namun
r
indeks inflamasi pada darah gagal menunjukkan
n tuk perbaikan pada kelompok PEN. Bukti
u
ini menunjukkan bahwa makanan enteral ro khusus secara signifikan mempengaruhi respon
anti-inflamasi.81 G ast
Ajar
Untuk semua jenis makanan
ku enteral, protokol berikut dapat digunakan:2
u
B diperkenalkan secara gradual selama 3-5 hari, tergantung pada
• Makanan enteralleperlu
Fi
gejala yang dialami.
• Makanan enteral seharusnya memberikan seluruh kebutuhan nutrisi selama periode
4-8 minggu. Jika makanan ini ditoleransi dengan baik, namun mengalami kesulitan
dalam menangani volumenya, konsentrasi makanan bubuk dapat ditingkatkan untuk
menurunkan volume makanan enteral yang diperlukan.
• Semua makanan padat harus dihentikan selama durasi perawatan.
Karena pasien dengan penyakit Crohn umumnya adalah remaja, mereka akan
merasa ini sangat sulit dan memerlukan tingkat dukungan dan motivasi yang tinggi untuk
menyelesaikan perawatan. Meskipun demikian, makanan enteral ini ditoleransi oleh
kebanyakan pasien dan pasien tetap taat selama 6 minggu penuh yang diperlukan.82
Jenis dan volume makanan perlu ditetapkan, tujuannya adalah untuk memberikan
kontrol kepada pasien. Makanan khusus ini perlu diujicoba secara oral dengan rasa yang
berbeda-beda dan volume yang diperlukan setiap harinya perlu dijelaskan secara detail.
Pasien diberi pilihan untuk meminum langsung makanan khusus ini atau menggunakan
selang nasogastrik. Penting bagi pasien untuk mengerti bahwa volume yang diresepkan
harus dihabiskan setiap harinya, karena compliance dapat menjadi masalah di sini. Jika

445
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

pasien memilih selang nasogastrik, maka pasien diajari untuk memasangnya setiap malam
dan melepasnya setiap pagi.

Monitoring Nutrisi
Sebagian besar studi gagal untuk menunjukkan adanya kebutuhan energi basal yang
meningkat pada penyakit Crohn kecuali pasien tersebut mengalami demam.24,83 Sebuah
studi terkini mengonfirmasi bahwa resting energy expenditure (REE) yang diukur pada anak
dengan penyakit Crohn yang diberi makan menggunakan nutris parenteral berkolerasi baik
dengan REE yang diprediksi menggunakan rumusan FAO/WHO/UNU dan ditemukan
tidak meningkat.84 Perlu dijelaskan bahwa anak-anak diizinkan untuk menghabiskan
volume makanan enteral yang lebih besar jika mereka masih merasa lapar. Anak-anak
ini harus ditimbang teratur dan diatur untuk melakukan pertemuan 2-3 minggu setelah
keluar rumah sakit untuk memastikan bahwa pasien berespon terhadap perawatan dan
peningkatan berat badan telah tercapai.

Pengenalan Makanan Padat


Tidak terdapat kesepatakan mengenai metode terbaik dalam mengenalkan 9 makanan
kepada pasien yang menyelesaikan suatu periode dengan makanan 2 01 enteral. Studi East
Anglian menemukan bahwa sejumlah besar pasien intoleran ret
aterhadap makanan. Makanan
9 M
yang paling sering menimbulkan masalah adalah jagung, o gandum, ragi, telur, kentang,
str
rye (gandum hitam), teh dan kopi.85 Percobaant ini Ga mendapatkan kritikan karena pasien
a
hanya menyelesaikan 2 minggu diet elemental
k rap sebelum makanan mulai diperkenalkan
tu kesempatan terjadinya remisi penyakit secara
yang belum cukup lama untuk memberikan
o un
str
penuh. Pendekatan ini telah dimodifikasi dengan mengurangi alergen, rendah lemak, dan
r
rendah serat untuk diperkenalkanGa pada akhir periode 2-3 minggu makanan enteral dengan
ja
uA
selanjutnya dilakukan kpemantauan. 86

Bu
le
Beattie danFiWalker-Smith 87
menyimpulkan bahwa tidak satu pun studi mengonfirmasi
bahwa intoleransi terhadap bahan makan tertentu tampak pada penyakit Crohn dan tidak
ada makanan tertentu diketahui mengeksaserbasi gejala pada sekelompok besar pasien.
Sebelum ada bukti lebih lanjut, diputuskan untuk mengurangi volume makanan
enteral dalam periode 2-4 minggu dan secara gradual memperkenalkan diet normal, dengan
memastikan bahwa tetap mempertahankan peningkatan berat badan yang kontinyu. Pasien
yang memiliki riwayat atopi dan memerlukan makanan hidrolisat atau berbahan dasar asam
amino perlu disarankan untuk pertama mengeluarkan alergen makanan yang dicurigai, dan
memastikan adanya asupan energi dan kalsium yang adekuat. Passen dengan striktur yang
sempit pada ileum dapat memerlukan diet rendah serat untuk mengontrol gejala mereka
sampai striktur tersebut dapat diangkat melalui pembedahan.
Beberapa pasien memerlukan bantuan nutrisi yang berkelanjutan, baik melalui
selang nasogastrik, gastrostomi atau secara oral jika selera makan tetap kurang. Pengunaan
suplemen makanan enteral berkepanjangan selain diet normal berhubungan dengan masa
remisi penyakit yang lebih lama dan pertumbuhan linier yang lebih baik. 82,88

446
Buku Ajar Gastrohepatologi

28.19 Kolitis Ulseratif


Seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik, berulang,
pada usus yang terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Penyakit ini etiologinya tidak
diketahui, ada kecenderungan diturunkan, di samping kemungkinan faktor lingkungan.
Kerusakan jaringan kemungkinan besar merupakan hasil dari aktivasi sistem imun yang
tidak spesifik dengan sejumlah bukti merupakan proses autoimun.
Terapi obat digunakan untuk menginduksi dan mempertahankan remisi penyakit.
Tidak terdapat bukti untuk mendukung penggunaan nutrisi enteral sebagai terapi utama
pada kolitis ulseratif. Masalah nutrisi yang ditemukan pada kolitis ulseratif tidak separah
seperti pada penyakit Crohn karena kurangnya keterlibatan usus halus.78
Dukungan nutrisi diperlukan jika terdapat gagal tumbuh atau penurunan berat badan
dan ini dapat diberikan sebagai diet tinggi energi dan makanan enteral oral yang diminum
sedikit demi sedikit.

Daftar Pustaka
9
1
1. Beyer PL. Gastrointestinal disorders: Roles of nutrition and the dietetics20practitioner. J Am Diet
re t
Assoc. 1998; 98: 272-277.
M a
2. Sarah MD. Clinical Dietetic: Gastroenterology. Dalam: ShawoV, 9 Lawson M, penyunting. Clinical
r
st 2007. h.90-123.
a
Pediatric Dietetics. Edisi ke-3. Oxford: Publishing Blackwell;
G
3. Bryce PJ, Terreri N, Victoria CG, Mason E, Daelmans p at B, Bhutta ZA, dkk. Countdown to 2015:
r a
tuk Lancet. 2006; 368: 1067-76.
tracking intervention coverage for child survival.
n
ou
4. World Health Organization. Oral Rehydration Salt Production of new ORS. Geneva: World
Health Organization; 2005.p.1-30.astr
G
5. Hahn et al. Reduced osmolarity
A jar oral rehydration for treating dehydration caused by acute
u
diarrhea in children. Cochrane Database Syst Rev 2002; 1 CD002847.
Buk for Early Feeding in Childhood Gastroenteritis. J Pediatr Gastroenterol
e
6. Sandhu B et al. Rationale
Fil
Nutr. 2001; 33: S13-16.
7. Kaila M, et al. Treatment of acute diarrhea in practice. Acta Paediatr. 1997; 86: 1.340-4.
8. Brown KH et al. Use of non-human milks in the dietary management of young children diarrhea:
a meta-analysis of clinical trials. Pediatrics. 1994; 93: 17-27.
9. Sandhu BK et al. Early feeding in childhood gastroenteritis. A multicenter study on behalf of
the European Society of Paediatric Gastroenterology and Nutrition working group on acute
diarrhea. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1997; 24: 522-527.
10. Sandhu B, Devadason D. Management of Diarrhea. Pediatric Gastrointestinal & Liver Disease.
Edisi ke-3. New York: Saunders Elsevier; 2006.h.1165-1176.
11. World Health Organization. Diarrhoea Treatment Guidelines. Geneva: World Health
Organization; 2009.h.1-46.
12. Petter LPM et al. Is water out of vogue? A survey of the drinking habits of 2-7 years old. Arch
Dis Child. 1995; 72: 137-40.
13. Hoekstra JH. Toddler diarrhea: more a nutritional disorders than a disease. Arch Dis Child.
1998; 79: 2-5.
14. Walker Smith J, Murch S. Disease of the Small Intestine in Childhood. Edisi ke- 4. New York: Isis
Medical Media Ltd, 1999.

447
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

15. Kneepekens CMF, Hoestra JH. Chronic non-specific diarrhoea of childhood, pathophysiology
and management. Paediatr Clin North Am. 1996; 43: 375-390.
16. Sampson HA. Food Allergy. JAMA. 1997; 278: 1888-1894.
17. Johansson SGO et al. A revised nomenclature for allergy. Allergy. 2001; 56: 813-24.
18. Murch S. Allergy and Intestinal Dysmotility-Causal or Coincident Links? J Pediatr Gastroenterol
Nutr 2005; 41: S14-16.
19. Nowak-Wegrzyn A et al. Food protein-induced enterocolitis syndrome caused by solid food
proteins. Pediatrics. 2003; 111: 829-35.
20. Latcham F et al. A Consistent pattern of minor immunodeficiency and subtle enteropathy in
children with multiple allergy. J Pediatr. 2003; 143: 39-47.
21. Wyllie R. Cow’s milk protein allergy and hypoallergenic formula. Clin Pediatr. 1996; 35: 497-
500.
22. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hil D, Isolauri E, Koletzko, et al. Guideline for the diagnosis
and the management cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child. 2007; 92: 902-908.
23. Norwak-Wegrzyn A, Sampson HA. Adverse reaction to food. Med Clin N Am. 2006; 90: 97-127.
24. Boissieu D et al. Multiple food allergy: a possible diagnosis in breastfed infantsI. Acta Paediatr.
1997; 86: 1.042-6.
25. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Andersen K, Davidson GP, Day AS, et al. Guideline for the use of
infant formulas to treat cows milk protein allergy: an Australian consensus panel opinion. MJA.
2008; 188: 109-112.
9
26. Brill H. Approach to milk protein allergy in infant. Can Fam Phycisian. 2 01 2008; 54: 1258-1264.
t
27. Osborn DA, Sinn JKH, Formula containing hydrolyzed protein
M arefor prevention of allergy and
food intolerance jn infants. Cohrane Database of Systematic o 9 Review 2006;I CD003664.
28. Committee on Nutrition American Academy of aPediatric. str Hypoalergenic infant formula.
G
Pediatric. 2000; 106: 346-349. p at
a
r on Nutrition Soy protein-based formulas:
29. American Academy of Pediatrics Committee
n uk
tPediatrics.
recommendation for use infant feeding.
trou 1998; 101: 148-153.
30. COT (2003): Fitoestrogen and as health. FSA www.foodstandards.gov.uk/multimedia/pdfs/
phytoreport0503. j arG
A Statement on the use of soya protein for infant. British Dietetic
ku
31. Paediatric Group Position.
u
B
Association, Birmingham, 2003.
i le
32. Zeiger RS et Fal. Soy Allergy in infant and children with IgE-associated cow’s milk allergy. Pediatr
1999; 134: 614-22.
33. Businco L et al. Allergenicity and nutritional adequacy of soy protein formulas. J Pediatr. 1992;
121: S21-8.
34. Lee YH. Food processing approaches to altering allergenic potential of milk based formula. J
Pediatr. 1992; 121: S47-50.
35. Wahn U et al. Comparison of residual allergenic activity of six different hydrolyzed protein
formula. J Pediatr. 1992; 121: S80-84.
36. Vanderhoof JA et al. Intolerance to protein hydrolysate infant formulas: an under-recognized
cause of gastrointestinal symptom in infants. J Pediatr. 1997; 131: 741-744.
37. Host A et al. Dietary product used in infant for treatment and prevention. Joint statement of the
ESPACI Committee on allergenic formula and the EPSGAN Committee on nutrition. Arch Dis
Child. 1999; 81: 80-84.
38. Henriksen C et al. Nutrient intake among two-years old children on cow’s milk-restric diets.
Acta Paediatr. 2000; 89: 272-8.
39. Hill et al. Guideline for the diagnosis and treatment of seliak disease in children: recommendation
of the North American Society for Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005; 40: 1-19.

448
Buku Ajar Gastrohepatologi

40. Hogberg L et al. Oats to children with newly diagnosed seliak disease: a randomized double
blind study. Gut. 2004; 53: 649-54.
41. Berera G et al. Longitudinal Changes in bone metabolism and bone mineral content in chidren
with Seliak disease during consumption of gluten-free diet. Am J Clin Nutr. 2004; 79: 148-54.
42. Treem WR. Congenital sucrase-isomaltase deficiency. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1995; 21:
1-14.
43. Treem WR et al. Sacrosidase therapy for congenital sucrase-isomaltase deficiency. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1999; 28: 137-42.
44. Heyman MB. Lactose intolerance in infant, children and adolescents. Pediatrics. 2006; 118:
1279-1286.
45. Vardy PA et al. Intestinal lymphangiectasia: a reappraisal. Pediatr. 1975; 55: 842-51.
46. Walker Smith J, Murch S. Disease of the Small Intestine in Childhood. Edisi ke-4. New York: Isis
Medical Media,1999.
47. Walker Smith JA. Nutritional management of enteropathy. Nutr. 1998; 14: 775-779.
48. Vandenplas Y, Badriul H. Diagnosis and treatment of gastro-oesophageal reflux disease in
infants and children. J Gastroenterol and Hep. 2000; 15: 593-603.
49. Vandenplas Y, Belli DC, Dupont C, Kneepkens CMF, Heymans HAS. The relation between
gastro-oesophageal reflux, sleeping position, and sudden infant death and its impact on position
therapy. J Pediatr. 1997; 156: 104-106.
50. Craig WR et al. Metoclopramide, Thickened feedings, and positioning for gastro-oesophageal
9
reflux in children two years. Cochrane database Syst Rev. 2004; 3 CD003502. 2 01
51. Orenstein SR et al. Thickening of infant feeding for therapy foratherapyre t of gastroesophageal
reflux. J Pediatr. 1987; 110: 181-6. 9 M
ro
52. Vandenplas Y, Belli DC, Dupont C, Kneepkens CMF.
G astCurrent concept and issues in the
management of regurgitation of infants: a reappraisal. at Acta Paediatr. 1996; 85: 531-4.
r ap products for infant and young children: a
tuk
53. Aggett PJ et al. Antireflux or antiregurgitation milk
commentary by ESPGHAN Committeeunon Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2002; 34:
ro
96-8.
G ast
r
Aja
54. Vandenplas Y, Dupont C, Kneepkens CMF, Heymans HAS. Dietary treatment for regurgitation
–recommendation fromku a working party. Acta Pediatr. 1998; 87: 462-468.
u
i l e B and pH-metric characteristic of gastro-oesophageal reflux secondary to
55. Cavataio F et al. Clinical
cow’s milk proteinF allergy. Arch Dis Child. 1996; 75: 51-6.
56. Cavataio F et al. Gastroesophageal reflux and cow’s milk protein allergy in infants: a prospective
study. J Allergy Clin Immunol. 1996; 97: 822-7.
57. Ravelli AM et al. Vomiting and gastric motility in infants with cow’s milk allergy. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2001; 32: 59-64.
58. Mathisen B et al. Feeding problems in infants with gastro-oesophageal reflux disease: a controlled
study. J Paediatr Child Health. 1999; 35: 163-9.
59. Dellert SF et al. Feeding resistance and gastro-oesophageal reflux in infant. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 1993; 17: 66-71.
60. Rogers J. Childhood constipation and the incidence of hospitalization. Nursing standard. 1997;
12: 40-42.
61. Benninga M. The Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology (PACCT) Group. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005; 40: 66-71.
62. Baker SS et al. Constipation in infants and children: evaluation and treatment. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1999; 29: 612-626.
63. Mc Clung HJ et al. Constipation and dietary fiber intake in children. Pediatrics. 1995; 96: 999-
1000.
64. Roma et al. Diet and chronic constipation in children: the role of fiber. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 1995; 28: 16-174.

449
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak

65. Williams CL et al. A new recommendation for dietary fiber in childhood. Pediatrics. 1995; 96:
985-988.
66. Moore N et al. Effect of fructo-oligosaccharide supplemented infant cereal: a double blind,
randomized, trial. Br J Nutr. 2003; 90: 581-587.
67. Leoning-Baucke V et al. Fiber (glucomannan) is beneficial in the treatment of childhood
constipation. Pediatrics. 2004; 113: 259-264.
68. Iacona G et al. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in children. N Eng J Med.
1998; 339: 1100-1104.
69. Leoning-Baucke V. Constipation in children. N Eng J Med. 1998; 339: 1155-1156.
70. Carrocio A et al. Chronic constipation and food intolerance: a model of proctitis causing
constipation. Scand J Gastroenterol. 2005; 40: 33-42.
71. Tolia V et al. Gastric emptying using three different formulas in infant with gastroesophageal
reflux. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1992; 15: 297-301.
72. Beattie M et al. Childhood Crohn’s disease and the efficacy of enteral diets. Nutr. 1998; 14: 345-
50
73. Walker-Smith JA. Management of growth failure in Crohn’s disease. Arch Dis Child. 1996; 75:
351-354.
74. Thomas AG et al. Dietary intake and nutritional treatment in childhood Crohn’s disease. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 1993; 17: 75-81.
75. Griffiths AG. Inflammatory bowel disease. Nutr. 1998; 14: 788-791.
9 disease. Cochrane
76. Newby EA et al. Intervention for growth failure in childhood 2Crohn’s 01
re t
Ma1996; 43: 255-77.
Database Syst Rev. 2005; 3 CD003873.
77. Hyams JS. Crohn’s disease in children. Pediatr Clin North 9
Am.
ro
78. Boot AM et al. Bone mineral density and nutritional status
G ast in children with chronic inflammatory
bowel disease. Gut. 1998; 42: 188-94. at
r ap
t k
79. Zachos M et al. Enteral nutrition therapy u for induction of remission in Crohn’s disease. Cochrane
n
Database Syst Rev. 2001; 3 CD000542.
ou
80. Heuschkel R et al. Enteral nutrition
a str and corticosteroids in the treatment of acute Crohn’s disease.
G
jar 2000; 31: 8-15.
J Pediatr Gastroenterol Nutr.
A
u
81. Johnson T et al. Treatment of active Crohn’ disease in children using partial enteral nutrition
with liquid formula:Buka randomized controlled trial. Gut. 2006; 55: 356-61.
i le
82. WilschanskiFM et al. Supplementary enteral nutrition maintains remission in paediatric Crohn’s
disease. Gut. 1996; 38: 543-8.
83. Azcue M. Energy expenditure and body composition in children with Crohn disease effect
enteral nutritition and treatment with prednisolone. Gut. 1997; 41: 203-8.
84. Cormier K et al. Resting energy expenditure in the parenterally fed pediatric population with
Crohn’s disease. J Nutr enteral Parenteral, 2005, 29 102-7.
85. Riordan AM et al. Treatment of active Crohn’s disease by exclusion diet: East Anglian multicentre
controlled trial. Lancet. 1993; 342: 1131-1134.
86. Woolner JT et al. The development and evaluation of diet for maintaining remission in Crohn’s
disease. J Hum Nutr Diet. 1998; 11: 1-11.
87. Beattie RM, Walker-Smith JA. Treatment of active Crohn’s disease by exclusion diet. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1994; 19: 135-6.
88. Verma S et al. Oral nutritional supplementation is effective in the maintenance of remission in
Crohn’s disease. Dig Liver Dis. 2000; 32: 769-74.

450
BAB

29
Terapi Farmakologi pada Muntah
Subijanto Marto Sudarmo

29.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun datang ke IRD dengan keluhan muntah setiap
sesudah makan selama 1 minggu. Tidak ada demam, sesak, kejang ataupun penurunan
kesadaran. Batuk pilek sejak 3 hari yang lalu. Riwayat kelahiran tanpa ada komplikasi dan
tumbuh kembang anak baik sesuai usia. Pasien muntah sedikit demi sedikit mengeluarkan
cairan susu yang telah diminum sebelumnya. Dan saat ini berat badan pasien menurun 0,5
kg. Pada pemeriksaan fisik kondisi pasien lemas dan ubun-ubunnya cekung. Pemeriksaan
lain dalam batas normal.

29.2 Pendahuluan
Mual dan muntah merupakan manifestasi dari berbagai kondisi, termasuk efek samping
dari obat; gangguan sistemik atau infeksi; kehamilan; disfungsi vestibular; infeksi sistem
saraf pusat atau peningkatan tekanan intrakranial; peritonitis; gangguan hepatobiliari;
radiasi atau kemoterapi; dan obstruksi gastrointestinal, dismotilitas, atau infeksi.7,8
Penggunaan obat mual dan muntah harus tepat indikasi, tidak boleh diberikan
pada mual-mual dan muntah yang disebabkan oleh obstruksi gastrointestinal yang
pengobatannya adalah intervensi bedah.
Pada makalah ini yang akan dibahas adalah obat mual dan muntah yang dapat
digunakan pada penyakit gastroenteritis atau diare. Untuk dapat memahami dengan baik
penggunaan obat muntah, akan dibahas lebih dulu patofisiologi muntah sehingga pemilihan
obat muntah untuk diare lebih tepat oleh karena tidak semua obat muntah mempunyai titik
tangkap cara kerja yang sama.

29.3 Patofisiologi
“Pusat muntah” di batang otak adalah wilayah neuronal yang terorganisir secara longgar,
terletak dilateral dari medullary reticular formation dan berkoordinasi untuk menimbulkan
proses muntah yang kompleks melalui interaksi dengan saraf kranial VIII dan X dan
jaringan saraf di nukleus traktus solitarius yang mengontrol pernapasan, salivasi, dan pusat

451
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

Gambar 29.3.1. Mekanisme muntah90


(Dimodifikasi dari Krakaauer, 2005, New England Journal Medicine, 352-817. www.slideshare.net/bpiper74/antiemetics)

9
2 01
t
vasomotor. Konsentrasi tinggi reseptor muskarinik M1, histamin
M are H1, neurokinin 1 (NK1),
dan serotonin 5-HT3 telah diidentifikasi di pusat muntah. 92–4
ro
G ast
at
Ada empat sumber penting input aferen ke pusat
r ap muntah, diantaranya adalah:
1. “Chemoreceptor Triger Zone” atau area uk
ntpostrema yang terletak di ujung kaudal dari
ventrikel keempat. Wilayah ini o u
berada luar sawar darah-otak dan dapat diakses oleh
r
G
rangsangan emetogenik dalam ast darah atau cairan serebrospinal. Chemoreceptor Trigger
A
Zone kaya akan reseptorjar dopamin D2 dan reseptor opioid, dan mungkin reseptor
ku reseptor NK1.2,3
udan
serotonin 5-HT3
e B
Fil penting dalam motion sickness melalui saraf kranial VIII. Sistem ini
2. Sistem vestibular
kaya reseptor muskarinik M1 dan histamin H1.
3. Saraf aferen vagal dan spinal dari saluran pencernaan kaya akan reseptor 5-HT3. Iritasi
mukosa gastrointestinal oleh kemoterapi, terapi radiasi, distensi, atau gastroenteritis
akut infeksius menyebabkan pelepasan serotonin dan aktivasi reseptor mukosa, yang
merangsang input aferen vagal ke pusat muntah dan Chemoreceptor Trigger Zone.4
4. Sistem saraf pusat berperan dalam muntah karena gangguan psikiatrik, stres, dan
muntah antisipatif sebelum kemoterapi kanker.1
Identifikasi neurotransmitter yang terlibat dengan proses emesis telah memungkinkan
pengembangan berbagai kelompok obat antiemetik yang memiliki afinitas untuk berbagai
macam reseptor. Kombinasi dari agen antiemetik dengan mekanisme yang berbeda sering
digunakan, terutama pada pasien dengan muntah karena obat-obatan kemoterapi.
Obat anti emetik adalah obat yang digunakan untuk mengobati mual, mencegah mual
dan untuk menghentikan muntah.

452
Buku Ajar Gastrohepatologi

Gambar 29.3.2. Cara kerja obat anti muntah91


(Dimodifikasi dari http://www.slideserve.com/sunee/antiemetics)
9
2 01
aret
29.4 Metoklopramid & Domperidonastro 9M
G
at
Metoklopramid dan domperidon adalah antagonis
r ap dopamin reseptor D2. Pada saluran
k
ntu
pencernaan aktivasi reseptor dopamin menghambat stimulasi kolinergik otot polos
u
tro
kolinergik; blokade efek ini diyakini sebagai mekanisme aksi prokinetik dari agen ini. Agen
asperistaltik
ini akan meningkatkan amplitudo r G esofagus, meningkatkan tekanan sfingter
Aja
esofagus bagian bawah, danumeningkatkan pengosongan lambung, tetapi tidak berpengaruh
Buk
pada usus kecil atau motilitas kolon. Metoklopramid dan domperidone juga memblokir
e
il di chemoreceptor trigger zone dari medula (area postrema), yang
reseptor dopaminFD2
kemudian menimbulkan efek anti-mual yang poten dan antiemetik.5–7

Penggunaan klinis
1. Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE).
Metoklopramid tersedia untuk penggunaan klinis di Amerika Serikat; domperidone
tersedia di banyak lainnya negara. Agen-agen ini kadang-kadang digunakan dalam
pengobatan gejala PRGE tetapi tidak efektif pada pasien dengan esophagitis erosif.
Oleh sebab khasiat yang superior dan keamanan dari agen antisekresi asam lambung
dalam pengobatan heartburn, agen prokinetik sering digunakan dalam kombinasi
dengan agen antisekresi asam lambung pada pasien dengan regurgitasi atau heartburn
refrakter.6,10
2. Gangguan pengosongan lambung.
Agen ini banyak digunakan dalam pengobatan pasien dengan gangguan pengosongan
lambung karena gangguan pasca operasi (vagotomy, antrectomy) dan gastroparesis

453
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

diabetes. Metoklopramid kadang-kadang juga diberikan kepada pasien yang dirawat


di rumah sakit untuk membantu memasukkan nasoenteric feeding tube dari gaster ke
duodenum.6,7,11
3. Dispepsia non ulkus.
Agen ini mampu menyebabkan perbaikan gejala pada sejumlah kecil pasien dengan
dispepsia kronis.
4. Pencegahan muntah.
Karena memiliki efek antiemetik yang kuat, metoklopramid dan domperidone dapat
digunakan untuk pencegahan dan pengobatan muntah.
5. Stimulasi laktasi postpartum.
Domperidon terkadang dianjurkan untuk meningkatkan produksi laktasi postpartum.6,11

9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 29.4.1. Jalur proses muntah8


(Dimodifikasi dari J.R. Rang & Dale’sPharmacology 8th edition. 2015)

Dampak buruk
Efek samping yang paling umum dari metoklopramid adalah efek samping yang melibatkan
sistem saraf pusat. Gelisah, mengantuk, insomnia, kecemasan, dan agitasi terjadi pada
10-20% pasien, terutama pada pasien tua. Efek ekstrapiramidal (distonia, akatisia, fitur
parkinsonian) karena untuk blokade reseptor dopamin sentral terjadi secara akut pada
25% pasien yang diberikan dosis tinggi dan 5% dari pasien yang menerima terapi jangka

454
Buku Ajar Gastrohepatologi

panjang. Tardive dyskinesia, kadang-kadang ireversibel, telah berkembang pada beberapa


pasien yang diobati untuk jangka waktu yang lama dengan metoklopramid. Untuk alasan
ini, maka penggunaan jangka panjang harus dihindari, kecuali benar-benar diperlukan,
terutama pada orang tua. Kadar prolaktin yang tinggi (yang disebabkan oleh metoklopramid
dan domperidone) dapat menyebabkan galaktorea, ginekomastia, impotensi, dan gangguan
menstruasi. Domperidon ditoleransi sangat baik karena tidak menembus sawar darah-otak
sampai ke kadar yang signifikan, sehingga efek neuropsikiatri dan ekstrapiramidal jarang
terjadi.5–7,10,11

29.5 Antagonis 5-HT3


Farmakokinetik & farmakodinamik
Antagonis selektif reseptor 5-HT3 memiliki sifat antiemetik ampuh yang dimediasi melalui
blokade sentral reseptor 5-HT3 di pusat muntah dan chemoreceptor trigger zone , tetapi
terutama melalui blokade reseptor 5-HT3 periferdi saraf ekstrinsik vagal usus dan saraf
aferen spinal. Aksi anti-emetik agen ini dibatasi untuk emesis yang disebabkan oleh
stimulasi vagal (misalnya, pasca operasi) dan kemoterapi; rangsangan muntah lain seperti
9
motion sickness tidak dapat dikontrol.3,12–14 2 01
t
Empat agen yang umum tersedia adalah ondansetron, M are
granisetron, dolasetron, dan
palonosetron. Tiga agen pertama (ondansetron, granisetron, o 9 dan dolasetron) memiliki
r
waktu paruh serum 4-9 jam dan dapat diberikant Gsekali ast sehari dengan rute oral atau
a
intravena. Ketiga obat ini memiliki khasiat dan ap
rtolerabilitas yang sebanding saat diberikan
tu k
pada dosis equipotent. Palonosetron adalah n agen intravena lebih baru yang memiliki
t
afinitas yang lebih besar untuk reseptorro u5-HT3 dan panjang waktu paruh serum sampai
as
r G mengalami metabolisme hepatik dan dieliminasi oleh
40 jam. Semua empat obat inijaakan
A pengurangan dosis tidak diperlukan pada pasien geriatri
ku
ekskresi ginjal dan hati. Namun
u
F le B
atau pasien dengan iinsufisiensi ginjal. Untuk pasien dengan insufisiensi hati, pengurangan
dosis mungkin diperlukan pada ondansetron.15–20
Antagonis reseptor 5-HT3 tidak menghambat dopamin atau reseptor muskarinik.
Mereka tidak memiliki efek pada motilitas esofagus atau lambung namun dapat
memperlambat transit usus.

Penggunaan Klinis
1. Mual dan muntah yang diinduksi oleh kemoterapi.
Antagonis reseptor 5-HT3 adalah agen utama untuk pencegahan mual dan muntah akut
akibat kemoterapi. Ketika digunakan sebagai obat tunggal, obat ini memiliki sedikit atau
tidak ada khasiat untuk pencegahan mual dan muntah yang tertunda pasca kemoterapi
(yaitu, mual dan muntah yang terjadi > 24 jam setelah kemoterapi). Obat ini paling
efektif apabila diberikan sebagai injeksi intravena, dosis tunggal 30 menit sebelum
pemberian kemoterapi dalam dosis berikut: ondansetron, 8 mg; granisetron, 1 mg;
dolasetron, 100 mg; atau palonosetron 0,25 mg.4,15,18 Pemberian dosis oral tunggal yang
diberikan 1 jam sebelum kemoterapi mungkin sama efektif dengan pemberian intravena

455
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

dalam rejimen berikut: ondansetron 8 mg, 2x/hari atau 24 mg sekali; granisetron, 2


mg; dolasetron, 100 mg. Meskipun antagonis reseptor 5-HT3 yang efektif sebagai agen
tunggal untuk pencegahan mual akibat kemoterapi dan muntah, keberhasilan mereka
dapat ditingkatkan dengan terapi kombinasi dengan kortikosteroid (deksametason)
dan antagonis reseptor NK1. Rekomendasi dosis: 0,15 mg/kg IV, dengan dosis pertama
(diinfuskan selama 15 menit) 30 menit sebelum dimulainya kemoterapi emetogenik,
dan dosis berikutnya diberikan 4 dan 8 jam setelah dosis pertama. Dosis maksimum 16
mg (per dosis).16,18,21,22
2. Mual dan muntah pascaoperasi dan pasca radiasi.
Antagonis reseptor 5-HT3 digunakan untuk mencegah atau mengobati mual dan
muntah pasca operasi. Karena efek samping dan peningkatan pembatasan penggunaan
agen antiemetik lainnya, antagonis reseptor 5-HT3 menjadi semakin banyak digunakan
untuk indikasi ini. Mereka juga efektif dalam pencegahan dan pengobatan mual dan
muntah di pasien yang menjalani terapi radiasi di seluruh tubuh atau perut. Rekomendasi
dosis: 0,1 mg/kg IV lebih dari 2-5 menit segera sebelum/setelah induksi anestesi atau
pasca operasi (mual dan/atau muntah terjadi tak lama setelah operasi).1,13,16,17

Efek Samping 01
9
e t 2
Antagonis reseptor 5-HT3 yang ditoleransi agen dengan profil arkeamanan yang sangat baik.
9 M pusing, dan sembelit. Semua
Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah sakit okepala,
r
keempat agen ini menyebabkan sedikit perpanjangan
G ast interval QT tapi tidak signifikan
secara statistik, tapi temuan ini paling menonjol at
r ap pada dolasetron. Meskipun aritmia jantung
belum dikaitkan dengan dolasetron, obattuini k tidak boleh diberikan untuk pasien dengan QT
u n
berkepanjangan atau bersama dengan o obat lain yang dapat memperpanjang interval QT.23–25
a str
G
A jar
Interaksi Obat uku
eB
Fil obat signifikan yang telah dilaporkan dengan antagonis reseptor
Tidak ada interaksi
5-HT3. Semua keempat agen akan mengalami metabolisme oleh sistem sitokrom P450 hati
tetapi mereka tidak mempengaruhi metabolisme obat lain. Namun, obat-obat lain dapat
mengurangi klirens hati dari antagonis reseptor 5-HT3 yang kemudian akan mengubah
waktu paruh serum mereka.26–28

29.6 Obat-obatan Penetralisir dan Penekan Produksi


Asam Lambung
Penyakit terkait asam lambung antara lain adalah refluk gastroesofageal, ulkus peptikum
(gastrik dan duodenal), kerusakan mukosa yang berhubungan dengan stres. Pada semua
kondisi ini, erosi mukosa dan ulserasi muncul karena efek kaustik dari faktor agresif
(yaitu asam lambung, pepsin, dan cairan empedu) yang mengalahkan faktor defensif dari
mukosa gastrointestinal (mukus dan sekresi bikarbonat, prostaglandin, aliran darah dan
proses regenerasi setelah jejas sel). Lebih dari 90% penyakit ulkus peptik disebabkan oleh
infeksi Helicobacter pylori atau karena penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroidal

456
Buku Ajar Gastrohepatologi

(NSAID). Obat-obatan yang digunakan pada terapi penyakit-penyakit yang berhubungan


dengan asam dibagi menjadi dua macam yaitu obat-obatan yang mengurangi keasaman
lambung dan obat-obatan yang meningkatkan pertahanan mukosa.29–34

Tabel 29.6.1. Klasifikasi obat penurun keasaman lambung


Inhibitor sekresi asam lambung
a. Antihistamin H2: simetidin, ranitidin, famotidin, roksatidin
b. Inhibitor pompa proton (proton pump inhibitor/PPI): omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, pantoprazol, pantoprazol-S, rabeprazol,
dekstrabeprazol
c. Antikolinergik: pirenzepin, propantelin, oksifenonium
d. Analog prostaglandin: misoprostol
Penetralisi asam lambung (antasid)
a. Sistemik: natrium bikarbonat, natrium sitrat
b. Non-sistemik: maknesium hidroksida, magnesium trisilikat, gel alumunium hidroksida, magaldrat, kalsium karbonat

Obat-obatan yang Mengurangi Keasaman Lambung


Fisiologi Sekresi Asam Lambung
9
Sel parietal memiliki reseptor-reseptor untuk gastrin (CCK-B), histamin 2 01(H2), dan asetilkolin
t
(muskarinik, M3). Ketika asetilkolin (yang berasal dari nervus vagus
Mare post-ganglionik) atau
gastrin (disekresi dari sel G antrum ke darah) berlekatan dengan 9 reseptor parietal sel, akan
ro
styang
menyebabkan meningkatnya kadar kalsium sitosolik, G a akan menstimulasi protein
kinase yang akan menstimulasi sekresi asam alambung p at melalui H+/K+-ATPase (pompa
r
proton) pada permukaan kanalikuler.29,30,35,36tuk
u n
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 29.6.1. Mekanisme fisiologis sekresi ion hydrogen oleh sel parietal93
Keterangan: ATPase, H+ /K+-ATPase proton pump; CCK, kolesitokinin; M3-R, reseptor muskarinik
(Dimodifikasi dari Kenneth R. McQuaid, MD. Drugs Used in the Treatment of Gastrointestinal Disease http://basicmedicalkey.com/
drugs-used-in-the-treatment-of-gastrointestinal-disease/)

457
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

Sel parietal memiliki sel tetangga yaitu gut endocrine cells yang disebut sel
enterochromaffin-like (ECL). Sel ECL juga memiliki resptor untuk gastrin dan asetilkolin,
yang akan menstimulasi pelepasan histamin. Histamin berikatan dengan reseptor H2 di sel
parietal, yang akan mengaktivasi adenilil siklase dimana akan meningkatkan kadar cyclic
adenosine monophosphate intrasel dan mengaktivasi protein kinase yang menstimulasi
sekresi asam lambung melalui H+/K+-ATPase. Pada manusia, dipercaya bahwa efek gastrin
pada sekresi asam lambung lebih dimediasi secara tidak lansung melalui rpelepasan
histamin dari sel ECL daripada melalui stimulasi langsung ke sel parietal, hal ini sangat
berbeda dengan asetilkolin yang mampu menstimulasi sel parietal secara langsung.30,35,37,38
Gambar skema model untuk kontrol fisiologis sekresi ion hidrogen (asam) oleh sel
parietal dari kelenjar fundus lambung. Sel parietal dirangsang untuk mensekresi asam (H+)
oleh gastrin (bekerja pada reseptorgastrin/CCK-B), asetilkolin (reseptor M3), dan histamin
(reseptor H2). Asam disekresi di membran kanalikular sel parietal oleh proton pump H+
/K+-ATPase ke lumen lambung. Gastrin disekresi oleh sel G antral ke dalam pembuluh
darah sebagai respon dari adanya peptida makanan intraluminal. Di lambung, gastrin
keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan submukosa dari kelenjar fundic, dimana
ia akan mengikat reseptor gastrin-CCK-B pada sel parietal dan enterochromaffin-seperti
(ECL) sel. Saraf vagus akan merangsang neuron postganglionik dari sistem saraf enterik
9
untuk melepaskan asetilkolin (Ach), yang mengikat reseptor M3 2 01 sel parietal dan sel
pada
t
are
ECL. Stimulasi sel ECL oleh gastrin (CCK-B reseptor) atauMasetilkolin (reseptor M3) akan
9
merangsang pelepasan histamin. Di dalam lumen antrum
a stro lambung, stimulasi vagal dari
neuron enterik postganglionik akan meningkatkan G pelepasan gastrin secara langsung oleh
p atpeptide, GRP) dan secara tidak langsung
a
stimulasi sel G antral (melalui gastrin-releasing
kr
akan menghambat sekresi somatostatin ntudari sel D antral. Sel D antral dirangsang untuk
ou
a str
G
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 29.6.2. Mekanisme kerja obat-obat menetralisir dan menekan produksi asam lambung94
(Dimodifikasi dari S.J. Konturek, T. Brzozowski, P.C. Konturek, M.L. Schubert, W.W. Pawlik, S. Padol, J. Bayner http://www.
aboutcancer.com/stomach_anatomy.htm. http://www.jpp.krakow.pl/journal/archieve/08_08_s2/article/01_article.html)

458
Buku Ajar Gastrohepatologi

9
2 01
t
M are
Gambar 29.6.3. Aspek fungsional dari sekresi lambung, menunjukkan jalur stimulasi dan penghambatan utama yang mengatur
9
sekresi asam lambung
ro
95

ast
(Dimodifikasi dari http://alviziahealthcare.com/ATMOZOLE-D.html)
G
at
r ap
melepaskan somatostatin oleh kenaikan konsentrasi tuk H+ intraluminal dan oleh CCK yang
dilepaskan ke dalam aliran darah olehrosel unI duodenum dalam menanggapi adanya protein
st
dan lemak (tidak ditampilkan). Pengikatan
r Ga reseptor somatostatin pada sel G antral yang
berdekatan akan menghambat j a
A pelepasan gastrin lebih lanjut.
u ku
eB
Fil
Agonis Reseptor H2
Sejak diperkenalkan pada tahun 1970-an sampai awal 1990-an, antagonis reseptor H2
(umumnya disebut H2 blocker) merupakan obat yang paling banyak diresepkan di dunia.
Dengan diketahuinya peran Helicobacter pylori pada penyakit ulkus peptikum (yang dapat
diterapi dengan pengobatan antibiotik yang memadai) dan mulainya penggunaan PPI,
maka penggunaan H2 blocker saat ini sudah banyak ditinggalkan.

Sifat-sifat Kimia dan Farmakokinetik


Empat antagonis reseptor H2 yang dipakai adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan
nizatidin. Keempat obat ini secara cepat diserap dari usus. Simetidin, ranitidin, dan famotidin
menjalani proses first pass metabolism hepatik yang menyebabkan bioavaibilitasnya menjadi
50%, sedangkan nizatidin hanya sedikit terkena efek first pass metabolism hepatik. Waktu
paruh serum dari keempat obat ini hanya berkisar antara 1,1-4 jam, tetapi durasi kerjanya
berdasarkan dosis yang diberikan. Antagonis H2 yang beredar dibersihkan dari serum
melalui metabolisme hepatik, filtrasi gromerular, dan sekresi tubulus ginjal. Pengurangan
dosis diperlukan pada pasien yang memiliki gangguan ginjal tingkat sedang sampai berat.39,40

459
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

ANTRUM Okreotid/sst FUNDUS


ENS Antikolinergik ST2 -
SOMATOSTATIN GASTRIN G(CCK B) +
M1 +
Sel ECL

Sirkulasi darah H H H
AA
COX1 Antagonis H2
OAINS Minoprostat
Okreotid/SST Antagonis H2 PGE &I
Antikolinergik
ST2 - Antikolinergik M? +
EP3 + EP3 + M3 + H G(CCK B) +
1
Sel epitel
Sel epitel mukosa
Sel G Sel D mukosa SEL PARIETAL
non-parietal
+
ATPase H

Proton pump inhibitor


+ + Mukus & bikarbonat
+
K
PROTEIN PH <3

Gambar 29.6.4. Mekanisme kerja obat2 anti sekresi96


(Dimodifikasi dari http://wikipedia.org/wiki/Gastric_acid) 019
2
aret
o 9M
str
Ga
p at
Farmakodinamik k ra
u ntu
Antagonis H2 menunjukkan inhibisi ro kompetitif pada reseptor H2 di sel parietal dan
mensupresi sekeresi asam lambungG ast basal dan yang distimulasi oleh makanan yang linier
r
jaObat
dan dose dependent manner.
u A antagonis H2 sangat selektif dan tidak berpengaruh pada
u k
reseptor H1 atau HB3. Volume gaster dan konsentrasi pepsin juga berkurang. Antagonis
le
H2 mengurangiFisekresi asam lambung yang distimulasi oleh histamin, gastrin dan agen
kolinomimetik melalui 2 mekanisme. Yang pertama, histamin yang dirilis oleh sel ECL
karena gastrin dan stimulasi vagal akan dihalangi dari perlekatan dengan reseptor H2
sel parietal. Yang kedua stimulasi langsung sel parietal oleh gastrin atau asetilkolin tidak
memiliki efek pada adanya blokade reseptor H2.40–43
Potensi dari empat reseptor antagonis bervariasi sampai 50 kali lipat. Ketika diberikan
pada dosis yang biasa diresepkan akan mengurangi 60-70 % produksi asam lambung 24
jam. Antagonis H2 cukup efektif untuk menghambat produksi asam lambung nokturnal
(yang sangat bergantung pada histamin), tetapi mereka memiliki efek yang tidak terlalu
besar pada sekresi asam lambung yang distimulasi oleh makanan (yang distimulasi oleh
gastrin dan asetilkolin dan histamin). Sehingga, pH intragastrik nokturnal dan puasa akan
meningkat sampai 4-5 sedangkan profil pH yang distimulasi makanan lebih rendah. Dosis
resep obat antagonis H2 yang direkomendasikan akan mempertahankan inhibisi produksi
asam lambung sampai 50% selama 10 jam, sehingga pada umumnya obat ini akan diberikan
dua kali sehari. Untuk dosis yang tersedia di formulasi over the counter (OTC), durasi
inhibisi asam lambung hanya kurang dari 6 jam.39,42–45

460
Buku Ajar Gastrohepatologi

Penggunaan Klinik
Antagonis reseptor H2 saat ini masih diresepkan, tetapi PPI mulai menggeser peran antagonis
H2 untuk banyak indikasi klinis. Meskipun begitu obat-obat formulasi OTC antagonis H2
masih cukup banyak digunakan oleh masyarakat.
1. Penyakit refluks gastroesofagus.
Pasien dengan heartburn dan dyspepsia yang jarang (< 3 x/minggu) dapat mengonsumsi
antasid atau antagonis H2 secara intermiten. Tetapi efek dari antasid adalah sangat
pendek (1-2 jam). Antagonis H2 dapat diberikan untuk profilaksis sebelum makan
untuk tujuan mengurangi terjadinya heartburn. Heartburn yang sering dapat diterapi
dengan antagonis H2 2x/hari atau PPI. Pada pasien dengan erosif esofagitis (yang
ditemukan pada 50% penderita GERD), antagonis H2 dapat memberikan kesembuhan
pada 50% pasien tersebut, karenanya PPI lebih dipilih karena inhibisi asam lambung
yang lebih superior.34,45,46
2. Penyakit ulkus peptikum.
PPI sebagian besar telah mengganti antagonis H2 pada terapi untuk penyakit ulkus
peptikum akut. Namun, antagonis H2 terkadang masih digunakan. Supresi asam
lambung nokturnal oleh antagonis H2 memberikan efek penyembuhan ulkus pada
sebagian besar penderita ulkus peptikum dan duodenal yang tidak terkomplikasi.Oleh
9
karena itu, semua agen dapat diberikan satu kali sehari saatt sebelum 2 01 tidur malam,
a re
dengan tingkat kesembuhan mencapai 80-90 % setelahM6-8 minggu terapi. Untuk
9
pasien dengan ulkus yang disebabkan oleh aspirin atau stroOAINS yang lain, OAINS harus
dihentikan.47 Jika OAINS tetap harus diberikan Ga
p at untuk alasan klinis tertentu meskipun
ra
dengan adanya ulkus yang aktif, PPI haruskdiberikan sebagai pilihan pertama dibanding
Antagonis H2 untuk memberikan penyembuhan ntu ulkus. Untuk pasien dengan ulkus
u
peptikum akut yang disebabkanasoleh tro Helicobacter pylori, antagonis H2 sudah tidak lagi
G
mampu untuk memberikan
Ajar efek terapi yang signifikan. H. pylori sebaiknya diterapi
dengan regimen terapi kuPPI dan dua antibiotik selama 10-14 hari.48
u
3. Dispepsia non-ulkus.
i l eB
F
Antagonis H2 umumnya digunakan sebagai obat OTC dan resep sebagai terapi untuk
dispepsia intermiten yang tidak disebabkan oleh ulkus peptikum. Meskipun begitu,
keuntungan dibandingkan plasebo tidak pernah ditunjukkan.
4. Perlindungan terhadap stres akibat gastritis.
Perdarahan gastrointestinal bagian atas akibat erosi atau ulkus yang bermakna secara
klinis pada 1-5 % pasien sakit kritis sebagai hasil dari pertahanan mukosa yang terganggu
akibat perfusi darah yang kurang. Meskipun kebanyakan dari pasien sakit memiliki
sekresi asam lambung yang kurang atau normal, banyak studi menunjukkan bahwa
agen yang meningkatkan pH intragastrik (antagonis H2 dan PPI) mengurangi insiden
perdarahan yang signifikan tetapi untuk agen yang memiliki kemampuan optimal
belum diketahui. Untuk pasien tanpa nasoenteric tube atau tanpa ileus yang signifikan,
antagonis H2 intravena lebih dipilih daripada PPI intravena karena efikasi yang terbukti
dan biaya yang lebih rendah. Pemberian secara berkelanjutan dari antagonis H2 lebih
dipilih daripada pemberian secara bolus karena antagonis H2 lebih mampu mencapai
kadar serum yang konsisten dan mampu mempertahankan peningkatan dari pH
intragastrik.49–52

461
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

Efek Samping
Antagonis H2 adalah obat yang sangat aman. Efek samping muncul pada kurang dari
3% pasien yaitu diare, nyeri kepala, rasa lelah, nyeri otot, dan konstipasi. Sebagian studi
memberikan bahwa antagonis H2 intravena (atau PPI) meningkatkan resiko pneumonia
nosokomial pada pasien sakit kritis. Perubahan status mental (kebingungan, halusinasi,
agitasi) dapat terjadi dengan pemberian antagonis H2 intravena, terutama pada pasien yang
dirawat di unit perawatan intensif, yang sudah lanjut usia, atau yang memiliki disfungsi
ginjal atau hati. Peristiwa ini mungkin lebih sering terjadi pada penggunaan simetidin,
sedangkan efek samping perubahan status mental jarang terjadi pada pasien rawat jalan.53–55
Simetidin dapat menghambat pengikatan dihidrotestosteron dengan reseptor
androgen, menghambat metabolisme estradiol, dan meningkatkan kadar serum prolaktin.
Ketika digunakan jangka panjang atau dalam dosis tinggi, dapat menyebabkan ginekomastia
atau impotensi pada pria dan galaktorea pada wanita. Efek khusus ini hanya terjadi pada
pemakaian simetidin dan tidak terjadi dengan antagonis H2 lainnya.53,54
Meskipun tidak ada efek berbahaya yang diketahui pada janin, antagonis H2 dapat
melewati plasenta. Oleh karena itu, antagonis H2 tidak harus diberikan kepada wanita
hamil kecuali benar-benar diperlukan. Antagonis H2 disekresikan ke dalam ASI dan karena
9
itu dapat mempengaruhi bayi yang menyusui. Antagonis H2 mungkin
2 01 jarang menyebabkan
diskrasia darah. Blokade reseptor H2 jantung dapat menyebabkan re t bradikardia, tapi
9
hal ini jarang menimbulkan signifikansi secara klinis. Bolus Ma intravena yang cepat dapat
ro
menyebabkan bradikardi dan hipotensi melalui blokade
G ast reseptor H2 jantung; oleh karena
at
itu, suntikan intravena harus diberikan dalamapwaktu kurang lebih 30 menit. Antagonis H2
r
k reversibel.40,55
jarang menyebabkan kelainan kimia hatituyang
un
ro
G ast
Interaksi Obat jar
Simetidin mengganggu u A
Buk beberapa jalur metabolisme obat sitokrom P450 di hati yang penting,
e
termasuk yang dikatalisasi oleh CYP1A2,CYP2C9, CYP2D6, dan CYP3A4. Oleh sebab itu,
Fil
waktu paruh obat yang dimetabolisme oleh jalur tersebut dapat diperpanjang. Ranitidin
memiliki ikatan 4-10 kali lebih kuat dari simetidin untuk sitokrom P450. Interaksi dapat
diabaikan pada nizatidin dan famotidin.56–58
Antagonis H2 bersaing dengan kreatinin dan obat-obatan tertentu (misalnya,
procainamide) untuk sekresi tubular ginjal. Semua agen ini kecuali famotidine menghambat
lambung first pass metabolism etanol, terutama pada wanita. Meskipun pentingnya hal
ini masih diperdebatkan, meningkatnya bioavailabilitas etanol dapat menyebabkan
peningkatan kadar etanol darah.

Proton Pump Inhibitor


Sejak diperkenalkan di akhir 1980-an, agen-agen hambat asam yang berkhasiat ini berperan
utama untuk pengobatan gangguan acidpeptic. PPI sekarang menjadi salah satu di antara
obat yang paling banyak diresepkan di seluruh dunia karena keamanan dan keberhasilan
mereka yang luar biasa.

462
Buku Ajar Gastrohepatologi

Kimia & Farmakokinetik


Enam sediaan PPI tersedia untuk penggunaan klinis, yaitu: omeprazol, esomeprazol,
lansoprazol, dekslansoprazol, rabeprazol, dan pantoprazol. Semua agen ini adalah senyawa
Benzimidazol yang telah dimodifikasi sehingga menyerupai struktur molekul antagonis
H2 tetapi memiliki mekanisme aksi yang sama sekali berbeda. Omeprazol dan lansoprazol
adalah campuran rasemat dari R- dan S-isomer. Esomeprazol adalah S-isomer dari
omeprazol dan dekslansoprazol R-isomer dari lansoprazol. Semua sediaan ini tersedia dalam
formulasi oral, sedangkan hanya esomeprazol dan pantoprazol yang juga tersedia dalam
formulasi intravena.59–61 PPI diberikan sebagai prodrug yang tidak aktif. Untuk melindungi
prodrug (yang labil terhadap asam) dari kehancuran yang cepat dalam lumen lambung,
maka PPI oral diformulasikan sebagai obat rilis lambat yang dapat diperoleh efek tersebut
dengan bentuk sediaan tahan asam, kapsul enterik berlapis atau tablet. Setelah melewati
lambung ke lumen usus yang bersifat alkali, pelapis enterik larut dan prodrug akan diserap.
Untuk anak-anak atau pasien dengan disfagia atau enteral tabung makan, formulasi kapsul
(tapi tidak tablet) dapat dibuka dan mikrogranular dicampur dengan jus apel atau jeruk
atau campuran dengan makanan lunak (misalnya, saus apel). Esomeprazol, omeprazol, dan
pantoprazol juga tersedia sebagai suspensi oral. Lansoprazol tersedia sebagai formulasi tablet
yang hancur di mulut, dan rabeprazol tersedia dalam formulasi yang dapat 9 ditaburkan di
makanan. Omeprazol juga tersedia sebagai formulasi bubuk (kapsult 2atau 01 paket) yang berisi
re
natrium bikarbonat (1100-1680 mg NaHCO3; 304-460 mg natrium)
9 Ma untuk melindungi obat
yang tidak berlapis enterik dari degradasi oleh asam. Ketika ro diberikan pada perut kosong
melalui mulut atau tabung enteral, suspensi obat yang G ast
bersifat “immediate-release” ini akan
p at
a
mempercepat penyerapan omeprazol (Tmax <30 k rmenit) dan onset inhibisi asam.
59,61–63

tu
un
PPI adalah senyawa basa lemaholipofilik (pKa 4-5) dan setelah penyerapan pada
tr
s membran lipid ke kompartemen yang bersifat asam
usus akan mudah berdifusi melintasi
G a
jar
(misalnya, kanalikuli sel parietal).
A Prodrug dengan cepat menjadi terprotonasi dalam
k
kanalikuli dan terkonsentrasiu
u lebih dari 1000 kali lipat oleh jebakan Henderson-Hasselbalch.
Disitu, dengan cepat i l eB
mengalami konversi molekuler untuk menjadi bentuk yang aktif, kation
F
tiofilik sulfenamid yang reaktif, yang membentuk ikatan disulfida kovalen dengan H+/K+
-ATPase, menonaktifkan enzim secara ireversibel. Sediaan immediate-release omeprazol
memiliki onset lebih cepat pada penghambatan asam daripada formulasi oral lainnya.60–62
Meskipun perbedaan profil farmakokinetik dapat mempengaruhi kecepatan onset dan
durasi inhibisi asam di beberapa hari awal terapi, profil farmakokinetik pada penggunaan
PPI secara terus menerus tidak begitu penting secara klinis. Bioavailabilitas semua agen
akan menurun sekitar 50% oleh karena diberikan bersama dengan makanan; karenanya,
obat harus diberikan pada waktu perut kosong. Dalam keadaan puasa, hanya 10% dari
pompa proton yang secara aktif mensekresi asam dan rentan terhadap penghambatan. PPI
harus diberikan sekitar 1 jam sebelum makan (biasanya saat sarapan), sehingga konsentrasi
serum puncak bertepatan dengan aktivitas maksimal sekresi proton-pump. Obat-obatan
PPI memiliki waktu paruh serum yang pendek, hanya sekitar 1,5 jam, tetapi penghambatan
asam dapat berlangsung hingga 24 jam karena inaktivasi ireversibel dari pompa proton.
Setidaknya diperlukan 18 jam untuk sintesis molekul pompa H+/ K+ ATPase yang baru.
Tidak semua pompa proton di lambung akan menjadinon-aktif dengan dosis pertama
obat, sehingga diperlukan 3-4 hari pengobatan sebelum potensi penghambatan asam

463
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

tercapai secara penuh. Demikian pula,setelah obat dihentikan, dibutuhkan 3-4 hari untuk
mengembalikan sekresi asam lambung seperti semula.60,63,64 PPI dimetabolisme di hepar
dan memiliki renal clearance yang dapat diabaikan. Pengurangan dosis tidak diperlukan
pada pasien dengan insufisiensi hati ringan sampai sedang, tetapi harus dipertimbangkan
pada pasien dengan gangguan hati yang berat. Meskipun pompa proton ada di bagian tubuh
lain selain lambung, H+/ K+-ATPase tampaknya hanya ada di sel parietal dan berbeda secara
struktural dan fungsional dari pompa proton lainnya.62,63
Formulasi intravena esomeprazol dan pantoprazol memiliki karakteristik yang
mirip dengan sediaan obat oral. Ketika diberikan kepada pasien yang sedang puasa,
mereka menonaktifkan pompa proton yang aktif, tetapi tidak memiliki efek pada pompa
yang tidak aktif. Oleh sebab waktu paruh injeksi tunggal dari formulasi intravena yang
pendek, sekresi asam akan kembali setelah beberapa jam kemudian karena pompa proton
akan kembali bergerak dari tubulovesikel ke permukaan kanalikular. Dengan demikian,
untuk memberikan efek penghambatan yang maksimal selama 24-48 jam pertama dari
pengobatan, maka formulasi intravena harus diberikan sebagai continous infusion atau
sebagai suntikan bolus berulang. Dosis optimal PPI intravena untuk mencapai blokade
maksimal pada pasien yang berpuasa belum ditetapkan. Dari perspektif farmakokinetik,
PPI adalah obat yang ideal: mereka memiliki waktu paruh serum pendek, terkonsentrasi
19 65–67
20
dan diaktifkan di dekat situs aksi, dan memiliki durasi aksi yangtpanjang.
re
9 Ma
Farmakodinamik ro
astG sekresi asam lambung yang dipicu
Berbeda dengan antagonis H2, PPI menghambat p at
r a
t k
oleh puasa dan makan karena mereka umemblokir jalur akhir yang umum dari sekresi
asam, yaitu pompa proton. Dalam odosis n
u standar, PPI mampu menghambat 90-98% dari
sekresi asam dalam 24 jam. Bila tr
asdiberikan pada dosis yang ekuivalen, agen yang berbeda
G
r dalam keberhasilan klinis. Dalam sebuah studi crossover
j
menunjukkan sedikit perbedaan a
pasien yang menerima u A jangka panjang dengan lima PPI, pH intragastrik 24 jam rata-
kterapi
u
eB
Fil 3,3 (pantoprazol, 40 mg) menjadi 4,0 (esomeprazol, 40 mg) dan lama
rata bervariasi dari
waktu (dalam jam) rata-rata saat pH lebih tinggi dari 4 bervariasi dari 10,1 (pantoprazol,
40 mg) menjadi 14,0 (esomeprazol, 40 mg). Meskipun dexlansoprazole memiliki formulasi
rilis lambat yang menghasilkan Tmax yang lebih lama dan AUC yang lebih besar dari PPI
lainnya, dekslanzoprazol sebanding dengan agen lain dalam kemampuan untuk menekan
sekresi asam. Hal ini karena penekanan asam lebih tergantung pada inaktivasi ireversibel
pompa proton daripada profil farmakokinetik masing-masing agen.62,64–66

Penggunaan Klinik
1. Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE).
PPI adalah agen yang paling efektif untuk pengobatan penyakit refluks nonerosive dan
erosif, komplikasi penyakit reflux esophageal (striktur lambung atau esofagus Barrett),
dan manifestasi penyakitrefluks ekstraesofageal. Dosis sekali sehari memberikan
pengurangan gejala yang efektif dan penyembuhan jaringan di 85-90% pasien; sebagian
15% dari pasien memerlukan dosis dua kali sehari. Gejala PRGE kembali kambuh di
lebih dari 80% dari pasien dalam waktu 6 bulan setelah penghentian PPI. Untuk pasien
dengan esofagitis erosif atau komplikasi esofageal, terapi rutin jangka panjang dengan

464
Buku Ajar Gastrohepatologi

dosis penuh atau setengah dosis PPI biasanya diperlukan. Banyak pasien dengan PRGE
nonerosive berhasil diobati dengan program PPI atau antagonis H2 intermiten yaitu
minum obat sesuai kebutuhan (“on demand”) untuk setiap saat gejala berulang. Dalam
praktek klinis saat ini, banyak pasien dengan gejala PRGE diterapi secara empiris dengan
obat tanpa dilakukan endoskopi sebelumnya, tanpa diketahui apakah pasien memiliki
penyakit erosif atau refluks nonerosiva. Pengobatan empiris dengan PPI mampu
mengurangi gejala-gejala di 70-80% pasien secara berkelanjutan, dibandingkan dengan
hasil pengurangan gejala sebesar 50-60% dengan antagonis H2. Semakin menurunnya
harga PPI akhir-akhir ini, membuat PPI semakin banyak digunakan sebagai terapi lini
pertama untuk pasien dengan gejala PRGE.68–70
Penekanan asam secara berkelanjutan dengan PPI dua kali sehari selama 3 bulan
digunakan untuk mengobati komplikasi penyakit extraesophageal refluks (asma, batuk
kronis, radang tenggorokan, dan nyeri dada nonkardiak).
2. Penyakit ulkus peptikum.
Dibandingkan dengan antagonis H2, PPI mampu menghilangkan gejala dan
menyembuhan ulkus lebih cepat pada ulkus duodenum dan ulkus lambung. Semua PPI
mampu menyembuhkan lebih dari 90% dari ulkus duodenum dalam waktu 4 minggu
dan ulkus lambung dalam waktu 6-8 minggu.
9
a. Ulkus yang terkait H. pylori. 2 01
Untuk ulkus yang terkait H. pylori, ada dua tujuan arterapi, e t yaitu: untuk me­
nyembuhkan ulkus dan untuk membasmi organisme. 9 M
o Rejimen yang paling efektif
untuk pemberantasan H. pylori adalah kombinasi a strdari dua antibiotik dan PPI. PPI
tG
amekanisme:
memberantas H. pylori melalui beberapa
r ap sifat antimikroba langsung
(minor) dan-dengan meningkatkannmenurunkantu k pH intragastrik dapat menurunkan
minimal inhibitory concentration o uantibiotik terhadap H. pylori. Rejimen pengobatan
str
terbaik terdiri dari 14-hari r Garejimen “triple therapy” yang terdiri dari: PPI dua kali
ja
sehari; klaritromisin,
ku A500 mg dua kali sehari; dan amoksisilin, 1 g dua kali sehari,
u
i l e B 500 mg dua kali sehari. Setelah selesainya triple therapy, PPI harus
atau metronidazol,
dilanjutkanF sekali sehari untuk total 4-6 minggu untuk memastikan penyembuhan
ulkus yang lengkap. Atau, pengobatan selama 10 hari yang disebut sebagai “sequential
treatment” yaitu pengobatan yang terdiri dari hari ke 1-5 menggunakan PPI 2x/
hari ditambah amoksisilin 1 gram 2x/hari, dan diikutipada hari ke 6-10 lima hari
tambahan PPI 2x/hari, ditambah klaritromisin 500 mg 2x/hari, dan tinidazol 500 mg
2x/hari, juga terbukti sebagai rejimen pengobatan yang sangat efektif.71–73
b. Ulkus terkait OAINS.
Pada pasien dengan ulkus terkait OAINS yang disebabkan oleh aspirin atau OAINS
lainnya, pemberian baik antagonis H2 atau PPI dapat memberikan penyembuhan
ulkus dengan cepat selama penggunaan OAINS dihentikan. Pada pasien dengan
ulkus terkait OAINS yang tetap memerlukan melanjutkan terapi OAINS,
pengobatan dengan PPI sekali-atau dua kali dosis sehari tetap dapat membantu
penyembuhan ulkus. Ulkus peptikum yang asimtomatik dapat muncul pada 10-20%
dari orang yang sering menggunakan OAINS, dan komplikasi yang berhubungan
dengan ulkus (perdarahan, perforasi) dapat berkembang di 1-2% dari orang per
tahun. Penggunaan PPI sekali sehari efektif dalam mengurangi kejadian ulkus dan
komplikasi ulkus pada pasien yang memakai aspirin atau OAINS lainnya.74,75

465
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

c. Pencegahan perdarahan ulang pada ulkus peptikum.


Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal akut akibat tukak lambung, risiko
perdarahan ulang cukup tinggi pada ulkus yang memiliki pembuluh darah yang
terletak superfisial atau dengan adherent clot. Perdarahan ulang dari bagian yang
berisiko tinggi iniakan berkurang secara signifikan dengan pemberian PPI selama
3-5 hari baik sebagai terapi oral dosis tinggi (misalnya, omeprazole, 40 mg secara
oral dua kali sehari) atau sebagai terapi continous infusion intravena, diyakini bahwa
apabila pH intragastrik lebih tinggi dari 6 akan dapat meningkatkan koagulasi dan
agregasi platelet di ulkus tadi.76,77
Dosis optimal dari PPI intravena yang diperlukan untuk mencapai dan
mempertahankan inhibisi asam lengkap tidak diketahui; namun, administrasi awal
bolus esomeprazole atau pantoprazole (80 mg) diikuti dengan infus konstan (8 mg/
jam) sangat direkomendasikan.66
3. Dispepsia non-ulkus.
PPI memiliki khasiat yang cukup untuk pengobatan dispepsia nonulkus dan mampu
memberikan manfaat 10-20% lebih banyak pada pasien daripada plasebo. Meskipun
dapat digunakan untuk indikasi ini, keunggulan PPI daripada antagonis H2 (atau
bahkan plasebo) belum dapat dibuktikan.
9
4. Pencegahan perdarahan mukosa terkait stres. 2 01
t
Seperti yang telah dibahas sebelumnya (lihat antagonis reseptor
M are H2), PPI (yang dapat
diberikan secara oral atau nasogastric tube, atau dengan 9
o infus intravena) dapat diberikan
untuk mengurangi risiko perdarahan mukosa a str terkait dengan stres yang secara
yang
G
at
klinis signifikan pada pasien sakit kritis.apSatu-satunya PPI disetujui oleh FDA untuk
k r
ntu
indikasi ini adalah formulasi omeprazole immediate-release, yang diberikan melalui
tabung nasogastrik dua kali tsehari
ro u pada hari pertama, kemudian diajurkan sekali
as FDA untuk indikasi ini, formulasi suspensi PPI lain
j arG
sehari. Meskipun tidak disetujui
kuA
(esomeprazole, omeprazole, pantoprazole) juga dapat digunakan. Untuk pasien dengan
nasoenterictube, u
e Bsuspensi PPI lebih disukai daripada antagonis H2 intravena atau PPI
Fil keampuhannya yang sama, biaya yang lebih rendah, dan kemudahan
karena memiliki
pemberian.78–80
Untuk pasien tanpa nasoenteric tube atau dengan ileus signifikan, antagonis H2
intravena lebih disukai daripada PPI intravena karena khasiatnya yang telah terbukti.
Meskipun PPI semakin banyak digunakan, belum ada uji coba terkontrol yang dapat
menunjukkan kemanjuran atau dosis optimalnya.
5. Gastrinoma dan kondisi lainnya.
Pasien dengan gastrinoma yang terisolasi terbaik diobati dengan reseksi bedah. Di
pasien dengan metastasis atau gastrinoma yang tidak dapat dioperasi, hipersekresi asam
besar-besaran yang menyebabkan ulkus lambung, esofagitis erosif, dan malabsorpsi.
Sebelumnya, pada pasien ini diperlukan vagotomi dan dosis antagonis H2 yang luar
biasa tinggi, tetapi masih menghasilkan penekanan asam yang suboptimal. Dengan
pengunaan PPI, penekanan asam yang sangat baik dapat dicapai pada semua pasien.
Dosis dititrasi untuk mengurangi output basal asam lambung ke kurang dari 5-10 mEq/
jam. Dosis omeprazole yang dipakai pada kondisi ini umumnya adalah 60-120 mg/
hari.81

466
Buku Ajar Gastrohepatologi

Efek Samping
1. Umum.
Penggunaan PPI sangat aman. Diare, sakit kepala, dan sakit perut dilaporkan pada 1-5%
dari pasien, meskipun frekuensi peristiwa ini hanya sedikit meningkat dibandingkan
dengan plasebo. Peningkatan kasus nefritis interstitial akut telah dilaporkan. PPI tidak
teratogenik pada hewan coba; namun, keamanan selama pengunaan dalam kehamilan
belum dapat ditetapkan.
2. Nutrisi.
Asam lambung penting dalam melepaskan vitamin B12 dari makanan. Sedikit
penurunan dalam penyerapan oral cyanocobalamin terjadi selama penggunaan proton
pump inhibitor, sehingga akan berpotensi menyebabkan penurunan kadar vitamin
B12 dengan terapi berkepanjangan. Asam lambung juga berperan dalam proses
penyerapan mineral yang terikat dalam makanan (besi non-heme, garam kalsium
yang tidak larut, magnesium). Beberapa studi case-control telah menunjukkan adanya
sedikit peningkatan dalam risiko patah tulang pinggul pada pasien yang memakai PPI
selama jangka panjang dibandingkan dengan kelompok kontrol. Meskipun hubungan
kausal tidak terbukti, PPI dapat mengurangi penyerapan kalsium atau menghambat
fungsi osteoklas. Sambil menunggu hasil studi lebih lanjut, pasien 9yang memerlukan
01
jangka panjang PPI, terutama mereka yang memiliki faktor risiko
re t 2 untuk osteoporosis,
harus melakukan pemantauan kepadatan tulang dan harus
9 Ma menkonsumsi suplemen
kalsium tambahan. Beberapa kasus hipomagnesemia royang mengancam jiwa dengan
hipokalsemia sekunder karena PPI telah dilaporkan, G ast namun mekanismenya belum
at
diketahui. r ap
k
3. Infeksi pernapasan dan enterik. u ntu
ro
Asam lambung merupakan penghambat
G ast penting untuk kolonisasi dan infeksi dari
lambung dan ususdari bakteri r
ja yang tertelan. Peningkatan konsentrasi bakteri lambung
u A memakai PPI, yang tidak diketahui apakah bermakna secara
terdeteksi pada pasienkyang
Bu telah melaporkan peningkatan risiko dari infeksi pernapasan
klinis. Beberapailestudi
F
community aqcuired dan nosokomial pada pasien yang memakai PPI.
Ada dua sampai tiga kali lipat peningkatan risiko infeksi Clostridium difficile yang
berasal dari komunitas dan rumah sakit pada pasien yang memakai PPI. Juga didapatkan
peningkatan kecil untuk risiko infeksi enterik lainnya (misalnya, Salmonella, Shigella,
Escherichia coli, Campylobacter),yang harus dipertimbangkan terutama ketika bepergian
di negara-negara terbelakang.
4. Potensi masalah timbul karena meningkatnya kadar serum gastrin.
Kadar gastrin diatur berdasarkan oleh keasaman intragastrik. Supresi asam lambung
akan menghambat umpan balik inhibisi yang normal sehingga kadar median gastrin
serum meningkat 1,5 sampai dua kali lipat pada pasien yang memakai PPI. Meskipun
kadar gastrin tetap dalam batas normal pada sebagian besar pasien, beberapa kadarnya
dapat melebihi 500 pg/mL (kadar normal, <100 p /mL) di 3% pasien. Setelah obat
dihentikan, kadarnya akan normal kembali dalam waktu 4 minggu. Kenaikan kadar
serum gastrin dapat merangsang hiperplasia dari ECL dan sel parietal, yang dapat
menyebabkan rebound sementara dari hipersekresi asam dengan peningkatan gejala
dispepsia atau sakit maag setelah penghentian obat, yang akan mereda dalam waktu 2-4
minggu setelah kadar gastrin dan sekresi asam normal kembali. Pada tikus betina yang

467
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

diberikan PPI untuk jangka waktu yang lama, hipergastrinemia akan menyebabkan
timbulnya tumor karsinoid lambung yang berkembang di daerah hiperplasia ECL.
Meskipun pada manusia yang menggunakan PPI untuk waktu yang lama juga dapat
menimbulkan hiperplasia ECL, sedangkan pembentukan tumor karsinoid belum
didokumentasikan. Saat ini, pemantauan rutin kadar gastrin serum tidak dianjurkan
pada pasien yang menerima terapi PPI berkepanjangan.
5. Potensi masalah lain karena penurunan keasaman lambung.
Pada pasien yang terinfeksi H. pylori, penekanan asam jangka panjangakan menyebabkan
peningkatan peradangan kronis di corpus lambung dan penurunan peradangan pada
antrum. Dikhawatirkan bahwa peningkatan peradangan lambung dapat mempercepat
atrofi kelenjar lambung (gastritisatrofi) dan intestinal metaplasia yang merupakan
adenokarsinoma lambung. Sebuah Komite Penasehat Khusus Gastrointestinal FDA
menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa terapi PPI berkepanjangan menghasilkan
atrophic gastritis (gastritis atrofi multifokal) atau metaplasia intestinal yang berhubungan
dengan peningkatan risiko adenokarsinoma. Pengujian rutin untuk H. pylori tidak
dianjurkan pada pasien yang membutuhkan terapi PPI jangka panjang. Terapi PPI
jangka panjang dikaitkan dengan perkembangan polip kelenjar lambung jinak pada
fundus di sejumlah kecil pasien, yang dapat hilang setelah penghentian terapi dan
signifikansi klinisnya yang masih belum diketahui secara pasti. 19
20
81–86
t
Mare
Interaksi Obat 9
ro
G ast
Penurunan keasaman lambung dapat mengubah t penyerapan obat yang bioavailabilitasnya
dipengaruhi oleh keasaman dalam lambung, r pa
amisalnya, ketokonazol, itrakonazol, digoksin,
dan atazanavir. Semua PPI dimetabolisme ntuk oleh sitokrom P hati, termasuk CYP2C19
ou
strPPI yang pendek, interaksi obat yang signifikan secara
450
dan CYP3A4. Karena waktu paruh a
G
jar dapat menghambat metabolisme warfarin, diazepam, dan
klinis cukup jarang. Omeprazol
A
u dapat menurunkan metabolisme diazepam. Lansoprazol dapat
fenitoin. Esomeprazolukjuga
e B
Fil
meningkatkan klirens dari teofilin. Rabeprazoe dan pantoprazol tidak memiliki interaksi
obat yang signifikan. FDA telah mengeluarkan peringatan tentang interaksi penting yang
memiliki potensi merugikan antara clopidogrel dan PPI. Klopidogrel adalah prodrug
yang memerlukan aktivasi oleh isoenzim hati P450 CYP2C19, yang juga terlibat dalam
metabolisme PPI (terutama omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, dan dekslansoprazol).
Dengan demikian, PPI bisa mengurangi aktivasi klopidogrel (dan efek antiplatelet) pada
beberapa pasien. Beberapa penelitian retrospektif besar telah melaporkan peningkatan
insiden kardiovaskular serius pada pasien yang memakai klopidogrel dan PPI. Sebaliknya,
pada tiga percobaan acak prospektif kecil hasilnya menunjukkan belum terdeteksi adanya
peningkatan risiko kardiovaskular. Sambil menunggu hasil studi lebih lanjut, PPI harus
diresepkan untuk pasien yang memakai klopidogrel hanya jika mereka memiliki peningkatan
risiko perdarahan gastrointestinal atau untuk pengobatan refluks gastroesofageal kronis
atau penyakit ulkus peptikum, dalam hal ini penggunaan agen dengan penghambatan
CYP2C19 minimal (pantoprazol atau rabeprazol) dapat dipertimbangkan.56–58,87–89

468
Buku Ajar Gastrohepatologi

Daftar Pustaka
1. Hesketh PJ. Chemotherapy-induced nausea and vomiting. N Engl J Med. 2008 Jun;358(23):2482–94.
2. Chepyala P, Olden KW. Nausea and vomiting. Curr Treat Options Gastroenterol. 2008
Apr;11(2):135–44.
3. Miller AD, Leslie RA. The area postrema and vomiting. Front Neuroendocrinol. 1994
Dec;15(4):301–20.
4. Becker DE. Nausea, Vomiting, and Hiccups: A Review of Mechanisms and Treatment. Vol. 57,
Anesthesia Progress. 211 East Chicago Ave. Suite 780 Chicago, IL 60611; 2010. p. 150–7.
5. Pinder RM, Brogden RN, Sawyer PR, Speight TM, Avery GS. Metoclopramide: a review of its
pharmacological properties and clinical use. Drugs. 1976;12(2):81–131.
6. Parkman HP, Mishra A, Jacobs M, Pathikonda M, Sachdeva P, Gaughan J, et al. Clinical
response and side effects of metoclopramide: associations with clinical, demographic, and
pharmacogenetic parameters. J Clin Gastroenterol. 2012 Jul;46(6):494–503.
7. Gralla RJ. Metoclopramide. A review of antiemetic trials. Drugs. 1983 Feb;25 Suppl 1:63–73.
8. Brunton L. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, Twelfth
Edition. 2011.
9. J R. Rang & Dale’s Pharmacology 8 th edition. 2015.
9 reflux disease in
10. Hibbs AM, Lorch SA. Metoclopramide for the treatment of gastroesophageal 2 01
infants: a systematic review. Pediatrics. 2006 Aug;118(2):746–52. are t
11. Albibi R, McCallum RW. Metoclopramide: pharmacologyrand o 9M clinical application. Ann Intern
Med. 1983 Jan;98(1):86–95. a st
G
p at to emesis. Dig Dis Sci. 1999 Aug;44(8
12. Hasler WL. Serotonin receptor physiology: relation
r a
Suppl):108S–113S. ntuk
ou
13. Navari RM. 5-HT3 receptors asstrimportant mediators of nausea and vomiting due to
chemotherapy. Biochim Biophys G a
Acta. 2015 Oct;1848(10 Pt B):2738–46.
Ajar
14. Thompson AJ, Lummis uSCR. The 5-HT(3) receptor as a therapeutic target. Vol. 11, Expert
B
opinion on therapeuticuktargets. 2007. p. 527–40.
e
15. Balfour JA, Goa FilKL. Dolasetron. A review of its pharmacology and therapeutic potential in
the management of nausea and vomiting induced by chemotherapy, radiotherapy or surgery.
Drugs. 1997 Aug;54(2):273–98.
16. Aapro M. Granisetron: an update on its clinical use in the management of nausea and vomiting.
Oncologist. 2004;9(6):673–86.
17. Machu TK. Therapeutics of 5-HT(3) Receptor Antagonists: Current Uses and Future Directions.
Vol. 130, Pharmacology & therapeutics. 2011. p. 338–47.
18. Reeves JJ, Shannon MW, Fleisher GR. Ondansetron decreases vomiting associated with acute
gastroenteritis: a randomized, controlled trial. Pediatrics. 2002 Apr;109(4):e62.
19. Ruhlmann C, Herrstedt J. Palonosetron hydrochloride for the prevention of chemotherapy-
induced nausea and vomiting. Expert Rev Anticancer Ther. 2010 Feb;10(2):137–48.
20. Yang LPH, Scott LJ. Palonosetron: in the prevention of nausea and vomiting. Drugs. 2009
Nov;69(16):2257–78.
21. Caron E, Bussieres J-F, Lebel D, Mathews S, Milot J, Jacob J-L, et al. Ondansetron for the
prevention and treatment of nausea and vomiting following pediatric strabismus surgery. Can
J Ophthalmol. 2003 Apr;38(3):214–22.

469
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

22. Kohler DR, Goldspiel BR. Ondansetron: a serotonin receptor (5-HT3) antagonist for
antineoplastic chemotherapy-induced nausea and vomiting. DICP. 1991 Apr;25(4):367–80.
23. Kuryshev YA, Brown AM, Wang L, Benedict CR, Rampe D. Interactions of the
5-hydroxytryptamine 3 antagonist class of antiemetic drugs with human cardiac ion channels.
J Pharmacol Exp Ther. 2000 Nov;295(2):614–20.
24. Baguley WA, Hay WT, Mackie KP, Cheney FW, Cullen BF. Cardiac dysrhythmias associated
with the intravenous administration of ondansetron and metoclopramide. Anesth Analg. 1997
Jun;84(6):1380–1.
25. Chandrakala R, Vijayashankara CN, Kumar KK, Sarala N. Ondansetron induced fatal
ventricular tachycardia. Vol. 40, Indian Journal of Pharmacology. India; 2008. p. 186–7.
26. Blower PR. 5-HT3-receptor antagonists and the cytochrome P450 system: clinical implications.
Cancer J. 2002;8(5):405–14.
27. Wolf H. Preclinical and clinical pharmacology of the 5-HT3 receptor antagonists. Scand J
Rheumatol Suppl. 2000;113:37–45.
28. Niwa T, Yamamoto S, Saito M, Kobayashi N, Ikeda K, Noda Y, et al. Effects of serotonin-3
receptor antagonists on cytochrome P450 activities in human liver microsomes. Biol Pharm
Bull. 2006 Sep;29(9):1931–5.
29. Helander HF, Keeling DJ. Cell biology of gastric acid secretion. Baillieres Clin Gastroenterol.
9
1993 Mar;7(1):1–21.
2 01
30. Yarze JC. Physiology of gastric-acid secretion. Vol. 350, Lancet t
re(London, England). England;
1997. p. 446; author reply 447. 9 Ma
o
31. Takashima M, Furuta T, Hanai H, Sugimura H, str
aKaneko E. Effects of Helicobacter pylori
t G
infection on gastric acid secretion and serum p agastrin levels in Mongolian gerbils. Gut. 2001
Jun;48(6):765–73. k ra
tu
o
32. Calam J. Helicobacter pylori modulationun of gastric acid. Vol. 72, The Yale Journal of Biology
str
Ga
and Medicine. 1999. p. 195–202.
r
ja
33. El-Omar EM, Oien K,AEl-Nujumi A, Gillen D, Wirz A, Dahill S, et al. Helicobacter pylori
ku
u
infection and chronic gastric acid hyposecretion. Gastroenterology. 1997 Jul;113(1):15–24.
i l eB
34. De Giorgi F,FPalmiero M, Esposito I, Mosca F, Cuomo R. Pathophysiology of gastro-oesophageal
reflux disease. Vol. 26, Acta Otorhinolaryngologica Italica. Ospedaletto (Pisa), Italy; 2006. p.
241–6.
35. Helander HF. Physiology and pharmacology of the parietal cell. Baillieres Clin Gastroenterol.
1988 Jul;2(3):539–54.
36. Spenney JG. Biochemical mechanisms of acid secretion by gastric parietal cells. J Clin
Gastroenterol. 1983;5 Suppl 1:7–15.
37. Wolfe MM, Soll AH. The physiology of gastric acid secretion. N Engl J Med. 1988
Dec;319(26):1707–15.
38. Lindstrom E, Chen D, Norlen P, Andersson K, Hakanson R. Control of gastric acid secretion:the
gastrin-ECL cell-parietal cell axis. Comp Biochem Physiol A Mol Integr Physiol. 2001
Mar;128(3):505–14.
39. Huang JQ, Hunt RH. Pharmacological and pharmacodynamic essentials of H(2)-receptor
antagonists and proton pump inhibitors for the practising physician. Best Pract Res Clin
Gastroenterol. 2001 Jun;15(3):355–70.
40. Bertaccini G, Coruzzi G. Control of gastric acid secretion by histamine H2 receptor antagonists
and anticholinergics. Pharmacol Res. 1989;21(4):339–52.

470
Buku Ajar Gastrohepatologi

41. Gladziwa U, Klotz U. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of H2-receptor antagonists in


patients with renal insufficiency. Clin Pharmacokinet. 1993 Apr;24(4):319–32.
42. Ley LM, Becker A, Luhmann R, Sander P, Lucker PW. Pharmacodynamic effects of 3-day
intravenous treatment with pantoprazole or ranitidine after 10 days of oral ranitidine. Methods
Find Exp Clin Pharmacol. 2005;27(1):25–9.
43. Mathot RA, Geus WP. Pharmacodynamic modeling of the acid inhibitory effect of ranitidine in
patients in an intensive care unit during prolonged dosing: characterization of tolerance. Clin
Pharmacol Ther. 1999 Aug;66(2):140–51.
44. Gremse DA. Lansoprazole: pharmacokinetics, pharmacodynamics and clinical uses. Expert
Opin Pharmacother. 2001 Oct;2(10):1663–70.
45. Lamers CB. The changing role of H2-receptor antagonists in acid-related diseases. Eur J
Gastroenterol Hepatol. 1996 Oct;8 Suppl 1:S3-7.
46. Mainie I, Tutuian R, Castell DO. Addition of a H2 receptor antagonist to PPI improves acid
control and decreases nocturnal acid breakthrough. J Clin Gastroenterol. 2008 Jul;42(6):676–9.
47. Tuskey A, Peura D. The use of H2 antagonists in treating and preventing NSAID-induced
mucosal damage. Vol. 15, Arthritis Research & Therapy. 2013. p. S6.
48. Kanayama S. [Proton-pump inhibitors versus H2-receptor antagonists in triple therapy for
Helicobacter pylori eradication]. Nihon Rinsho. 1999 Jan;57(1):153–6.
49. Lin P-C, Chang C-H, Hsu P-I, Tseng P-L, Huang Y-B. The efficacy and 19 of proton pump
0safety
t 2
re
inhibitors vs histamine-2 receptor antagonists for stress ulcer ableeding prophylaxis among
9 M
critical care patients: a meta-analysis. Crit Care Med. 2010 Apr;38(4):1197–205.
ro
50. Huang J, Cao Y, Liao C, Wu L, Gao F. Effect of G ast
histamine-2-receptor antagonists versus
p
sucralfate on stress ulcer prophylaxis in mechanically at ventilated patients: a meta-analysis of 10
a
tu kr
randomized controlled trials. Crit Care. 2010;14(5):R194.
51. Cook DJ, Witt LG, Cook RJ, GuyattroGH. un Stress ulcer prophylaxis in the critically ill: a meta-
as t
analysis. Am J Med. 1991 Nov;91(5):519–27.
j arG
uA
52. Chanpura T, Yende S. Weighing risks and benefits of stress ulcer prophylaxis in critically ill
patients. Crit Care. B uk Oct;16(5):322.
2012
e
Fil
53. Jenike MA. Cimetidine in elderly patients: review of uses and risks. J Am Geriatr Soc. 1982
Mar;30(3):170–3.
54. Freston JW. Cimetidine: II. Adverse reactions and patterns of use. Ann Intern Med. 1982
Nov;97(5):728–34.
55. Sabesin SM. Safety issues relating to long-term treatment with histamine H2-receptor
antagonists. Aliment Pharmacol Ther. 1993;7 Suppl 2:35–40.
56. Slichenmyer WJ, Donehower RC, Chen TL, Bowling MK, McGuire WP, Rowinsky EK.
Pretreatment H2 receptor antagonists that differ in P450 modulation activity: comparative
effects on paclitaxel clearance rates and neutropenia. Cancer Chemother Pharmacol.
1995;36(3):227–32.
57. Sasaki M, Nakayama M, Numazawa S, Oguro T, Honma S, Iwamura S, et al. Cytochrome
P450 enzymes involved in the metabolic pathway of the histamine 2 (H2)-receptor antagonist
roxatidine acetate by human liver microsomes. Arzneimittelforschung. 2001;51(8):651–8.
58. Nakamura K, Yokoi T, Inoue K, Shimada N, Ohashi N, Kume T, et al. CYP2D6 is the principal
cytochrome P450 responsible for metabolism of the histamine H1 antagonist promethazine in
human liver microsomes. Pharmacogenetics. 1996 Oct;6(5):449–57.

471
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah

59. Robinson M. New-generation proton pump inhibitors: overcoming the limitations of early-
generation agents. Eur J Gastroenterol Hepatol. 2001 May;13 Suppl 1:S43-7.
60. Katashima M, Yamamoto K, Sugiura M, Sawada Y, Iga T. Comparative pharmacokinetic/
pharmacodynamic study of proton pump inhibitors, omeprazole and lansoprazole in rats.
Drug Metab Dispos. 1995 Jul;23(7):718–23.
61. Litalien C, Theoret Y, Faure C. Pharmacokinetics of proton pump inhibitors in children. Clin
Pharmacokinet. 2005;44(5):441–66.
62. Gesheff MG, Franzese CJ, Bliden KP, Contino CJ, Rafeedheen R, Tantry US, et al. Review of
pharmacokinetic and pharmacodynamic modeling and safety of proton pump inhibitors and
aspirin. Expert Rev Clin Pharmacol. 2014 Sep;7(5):645–53.
63. Shin JM, Sachs G. Pharmacology of Proton Pump Inhibitors. Vol. 10, Current gastroenterology
reports. 2008. p. 528–34.
64. Katashima M, Yamamoto K, Tokuma Y, Hata T, Sawada Y, Iga T. Comparative pharmacokinetic/
pharmacodynamic analysis of proton pump inhibitors omeprazole, lansoprazole and
pantoprazole, in humans. Eur J Drug Metab Pharmacokinet. 1998;23(1):19–26.
65. Ward RM, Kearns GL. Proton Pump Inhibitors in Pediatrics: Mechanism of Action,
Pharmacokinetics, Pharmacogenetics, and Pharmacodynamics. Vol. 15, Paediatric Drugs.
Cham; 2013. p. 119–31.
66. Bardou M, Martin J, Barkun A. Intravenous proton pump inhibitors:0an 19 evidence-based review
t 2
are
of their use in gastrointestinal disorders. Drugs. 2009;69(4):435–48.
67. Peura DA, Berardi RR, Gonzalez J, Brunetti L. The Value 9ofMBranded Proton Pump Inhibitors:
ro
G ast
Formulary Considerations. Vol. 36, Pharmacy and Therapeutics. 2011. p. 434–45.
t
a (PPI) test in GERD: does it still have a role?
rap
68. Gasiorowska A, Fass R. The proton pump inhibitor
J Clin Gastroenterol. 2008 Sep;42(8):867–74.
tu k
o un
69. Bruley des Varannes S, Coron E, rGalmiche J-P. Short and long-term PPI treatment for GERD.
Do we need more-potent G ast
anti-secretory drugs? Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2010
Dec;24(6):905–21. Ajar
u
70. Badillo R, FrancisBuD.k Diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux disease. Vol. 5, World
e
Fil
Journal of Gastrointestinal Pharmacology and Therapeutics. 2014. p. 105–12.
71. Kuipers EJ, Klinkenberg-Knol EC, Meuwissen SG. Helicobacter pylori, proton pump inhibitors
and gastroesophageal reflux disease. Vol. 72, The Yale Journal of Biology and Medicine. 1999. p.
211–8.
72. Keum B, Lee SW, Kim SY, Kim JM, Choung RS, Yim HJ, et al. [Comparison of Helicobacter
pylori eradication rate according to different PPI-based triple therapy--omeprazole, rabeprazole,
esomeprazole and lansoprazole--]. Korean J Gastroenterol. 2005 Dec;46(6):433–9.
73. Hagiwara T, Mukaisho K-I, Nakayama T, Hattori T, Sugihara H. Proton pump inhibitors and
helicobacter pylori-associated pathogenesis. Asian Pac J Cancer Prev. 2015;16(4):1315–9.
74. Scheiman JM. The use of proton pump inhibitors in treating and preventing NSAID-induced
mucosal damage. Vol. 15, Arthritis Research & Therapy. 2013. p. S5.
75. Lazzaroni M, Porro GB. Management of NSAID-induced gastrointestinal toxicity: focus on
proton pump inhibitors. Drugs. 2009;69(1):51–69.
76. Lin H-J. Role of proton pump inhibitors in the management of peptic ulcer bleeding. Vol. 1,
World Journal of Gastrointestinal Pharmacology and Therapeutics. 2010. p. 51–3.
77. Leontiadis GI, Howden CW. The role of proton pump inhibitors in the management of upper
gastrointestinal bleeding. Gastroenterol Clin North Am. 2009 Jun;38(2):199–213.

472
Buku Ajar Gastrohepatologi

78. Buendgens L, Koch A, Tacke F. Prevention of stress-related ulcer bleeding at the intensive
care unit: Risks and benefits of stress ulcer prophylaxis. Vol. 5, World Journal of Critical Care
Medicine. 2016. p. 57–64.
79. Mohebbi L, Hesch K. Stress ulcer prophylaxis in the intensive care unit. Vol. 22, Proceedings
(Baylor University. Medical Center). 2009. p. 373–6.
80. Plummer MP, Blaser AR, Deane AM. Stress ulceration: prevalence, pathology and association
with adverse outcomes. Vol. 18, Critical Care. 2014. p. 213.
81. Banasch M, Schmitz F. Diagnosis and treatment of gastrinoma in the era of proton pump
inhibitors. Wien Klin Wochenschr. 2007;119(19–20):573–8.
82. Ito T, Jensen RT. Association of Long-term Proton Pump Inhibitor Therapy with Bone Fractures
and effects on Absorption of Calcium, Vitamin B12, Iron, and Magnesium. Vol. 12, Current
gastroenterology reports. 2010. p. 448–57.
83. Metz DC. Long-term Use of Proton-Pump Inhibitor Therapy. Vol. 4, Gastroenterology &
Hepatology. 2008. p. 322–5.
84. Heidelbaugh JJ, Kim AH, Chang R, Walker PC. Overutilization of proton-pump inhibitors:
what the clinician needs to know. Vol. 5, Therapeutic Advances in Gastroenterology. Sage UK:
London, England. 2012. p. 219–32.
85. Sheen E, Triadafilopoulos G. Adverse effects of long-term proton pump inhibitor therapy. Dig
9
Dis Sci. 2011 Apr;56(4):931–50.
2 01
86. Corleto VD, Festa S, Di Giulio E, Annibale B. Proton pump inhibitor t
re therapy and potential
Ma
long-term harm. Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes. 20149Feb;21(1):3–8.
ro
87. Madanick RD. Proton pump inhibitor side effects G ast drug interactions: much ado about
and
at
nothing? Cleve Clin J Med. 2011 Jan;78(1):39–49.
r ap
k
88. Ogawa R, Echizen H. Drug-drug interaction
u ntu profiles of proton pump inhibitors. Clin
Pharmacokinet. 2010 Aug;49(8):509–33. ro
st
89. Lau WC, Gurbel PA. The rdrug–drugGa interaction between proton pump inhibitors and
A
clopidogrel. Vol. 180, CMAJ :ja Canadian Medical Association Journal. 2009. p. 699–700.
u
Buk New England Journal Medicine. 2005; p. 352-817.
90. Krakaauer. Antiemetics.
e
Fil 2004.
91. Sunee. Antiemetics.
92. Kenneth R. McQuaid, MD. Drugs Used in the Treatment of Gastrointestinal Disease. 2016.
94. S.J. Konturek, T. Brzozowski, P.C. Konturek, M.L. Schubert, W.W. Pawlik, S. Padol, J. Stomach
Anatomy. 2016.
95. Alvizia Health Care. ATMOZOLE-D. 2016.
96. Adam L. VanWert, Pharm.D., Ph.D. Determinants of Gastric Acid Secretion. 2012.

473
BAB

30
Terapi Farmakologi pada Diare
Alpha Fardah Athiyyah

30.1 Ilustrasi Kasus


Anak B, umur 8 bulan, dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan buang air besar cair sejak 2
hari yang lalu. Buang air besar cair dan ampas sebanyak 6 kali dalam sehari, warna kotoran
kuning, tidak ada lendir maupun darah. Perut anak kembung dan sering mengeluarkan gas.
Tiga hari yang lalu, anak muntah sebanyak 4 kali sehari, muntah berisi susu dan makanan.
Badan anak juga terasa demam sejak 3 hari yang lalu. Saat ini anak minum dengan kehausan.
Kencing terakhir dua jam yang lalu. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan temperatur
37,8o C, nadi 120x/menit, laju pernafasan 30x/menit. Mata tampak cowong, ubun-ubun
cekung, turgor baik, bising usus meningkat, CRT < 2 detik, dan anus kemerahan.

30.2 Pendahuluan
Kasus yang dialami oleh anak B di atas merupakan kasus yang banyak dialami oleh anak-
anak di seluruh dunia. World Health Organization melaporkan bahwa setiap tahun sekitar
2,5 miliar kasus diare terjadi pada anak usia balita. Kematian akibat diare telah menurun
dalam dua dekade terakhir dari sekitar 5 juta menjadi 1,5 juta kematian balita pada tahun
2004. Meskipun terjadi penurunan, diare masih menjadi penyebab kedua terbanyak dari
kematian balita secara global, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.1
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair sekurang-kurangnya 3 kali
sehari, atau lebih sering dari normal. Diare akut dapat menimbulkan komplikasi kehilangan
cairan atau dehidrasi yang dapat menyebabkan kematian. Mayoritas diare akut pada balita
disebabkan oleh rotavirus, patogen lain yang dapat menyebabkan diare akut adalah E. Coli,
Shigella, Campylobacter, Salmonella, dan V. cholerae.1,2
Menurut hasil Riskesdas 2007, diare adalah penyebab kematian nomor 1 pada bayi
dan balita di Indonesia. Pada tahun 2012 angka kesakitan diare pada balita adalah 900 per
1000 penduduk. Sedangkan hasil Riskesdas 2013 menunjukkan insiden diare pada balita di
Indonesia adalah 6,7%. Pada tahun 2014 terjadi KLB diare di 5 provinsi dan 6 kabupaten/
kota. Target angka kematian akibat KLB diare di Indonesia adalah < 1%, namun angka
kematian nasional pada KLB diare mencapai 1,14%, sehingga target tersebut tidak tercapai.3,4

474
Buku Ajar Gastrohepatologi

Departemen Kesehatan RI telah merekomendasikan penatalaksanaan diare sesuai


dengan pedoman WHO yaitu Lima Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS DIARE). Langkah-
langkah tersebut meliputi pemberian oralit, pemberian zinc selama 10 hari berturut-turut,
teruskan ASI atau makanan, pemberian antibiotik secara selektif, dan edukasi pada ibu/
keluarga. Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai indikasi akan menimbulkan resistensi
kuman dan membunuh flora normal yang dibutuhkan tubuh. Obat-obatan anti diare tidak
dimasukkan dalam LINTAS diare, salah satunya karena golongan obat tertentu dapat
menghambat pergerakan usus dalam pengeluaran racun dan kotoran.5 Akan tetapi menurut
WHO, di negara berkembang hanya sekitar 39% anak yang mendapatkan terapi diare sesuai
dengan rekomendasi tersebut.6
Pelaksanaan program lintas diare di Indonesia cukup beragam. Di Puskesmas Rawat
Jalan Tanjung Pinang, pola tata laksana diare pada anak-anak dinilai belum sesuai dengan
rekomendasi WHO. Hanya 75,8% anak yang mendapatkan terapi rehidrasi oral dan 76,9%
yang mendapat suplementasi zinc. Selain itu, terdapat 27,5% anak yang mendapatkan terapi
antibiotik golongan sulfonamid dan 16,5% yang diberi antidiare golongan attapulgite.7 Di
Bandar Lampung, kesesuaian pemberian oralit, zinc, dan antibiotik dengan rekomendasi
kemenkes RI secara umum hanya sebesar 28,8%, dengan nilai terendah yaitu kesesuaian
pemberian antibiotik (47,7%).8
9
Hal serupa juga ditemui di Magelang, dari hasil penelitian disebutkan 2 01 bahwa antibiotik
re t
injeksi diberikan pada anak diare yang disertai panas, dan
9 Maantibiotik oral diberikan
o
pada anak diare tanpa panas.9 Tentu saja hal ini bertentanganstr
aPada
dengan lintas diare yang
merekomendasikan antibiotik selektif dengan indikasi. G penelitian lain yang dilakukan
p at
r a
di Yogyakarta, didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada anak dengan diare 100% sudah
tuk hanya 76,31 % yang tepat obat dan tepat
tepat indikasi sesuai standar WHO 2005,unnamun
ro
G ast
pasien, serta 71,05 % tepat dosis.10 Penggunaan terapi farmakologis yang kurang tepat pada
r
penanganan diare dapat menimbulkan masalah baru pada anak, untuk itu pengetahuan
Aja
ku obat-obatan diare diperlukan dalam mengurangi morbiditas
mengenai indikasi, sertaudosis
B
ilepenyakit ini.
dan mortalitas akibat
F

30.3 Terapi Farmakologis pada Anak Diare


Zinc
Pemberian zinc merupakan salah satu langkah dari Lintas Diare yang direkomendasikan
oleh WHO.6 Zinc memainkan peran penting dalam memodulasi resistensi host terhadap
agen infeksius dan menurunkan risiko, keparahan, serta durasi dari penyakit diare.11 Pada
anak di atas 6 bulan, pemberian zinc dapat mengurangi durasi rata-rata diare hingga
setengah hari, sedangkan pada anak malnutrisi, durasi diare dapat berkurang hingga satu
hari. Namun pada anak berusia di bawah 6 bulan, zinc hanya diberikan pada anak diare
dengan malnutrisi atau dengan risiko defisiensi zinc.12
Defisiensi zinc utamanya disebabkan oleh kurangnya asupan melalui makanan dan
banyak terjadi di berbagai negara. Di Asia tenggara, prevalensi dari asupan zinc yang
inadekuat berkisar antara 7,5% pada negara berpenghasilan tinggi, hingga 30%. Zinc banyak
terkandung dalam makanan-makanan yang ‘mahal’ seperti daging dan ikan. Sedangkan

475
Bab 30 Terapi Farmakologi Pada Diare

Gambar 30.3.1. Estimasi prevalensi dari asupan zinc yang inadekuat13


9
2 01
re t
pada tumbuhan kandungan phytate yang tinggi mengganggu Ma absorbsi zinc. Dengan
13,14

o 9
begitu anak-anak di negara dengan penghasilan yang r rendah seperti Indonesia berisiko
ast
tG
kekurangan zinc. Hal ini menjelaskan anjuranapemberian suplementasi zinc pada anak-
r
anak di Indonesia baik di bawah 6 bulan maupun ap di atas 6 bulan.
ntuk
u
Beberapa studi menunjukkan obahwa suplementasi zinc sebanyak 10-20 mg per hari
dalam waktu 10-14 hari juga dapat
r
stmenurunkan kejadian diare pada 2-3 bulan mendatang.6
G a
r
Aja
Dengan demikian, zinc diberikan pada semua anak dengan diare akut dengan dosis 10 mg
untuk bayi berusia <u6kubulan, dan 20 mg untuk anak > 6 bulan setiap hari selama 10-14
e B diberikan adalah zinc sulfat, zinc asetat atau zinc glukonat yang
Fil biasa
hari.15 Zinc yang
kesemuanya larut air. 12

Efek fisiologis dari zinc pada transportasi ion usus masih belum jelas, penelitian
menunjukkan bahwa zinc menghambat sekresi cairan yang diinduksi oleh cAMP dan
bersifat chloride dependent dengan menghambat kanal potasium basolateral. Zinc bersifat
spesifik pada kanal tersebut dan tidak menghambat kanal lain yaitu kanal potasium
yang dimediasi oleh kalsium.15 Zinc dapat memperbaiki absorbsi dari air dan elektrolit,
regenerasi dari epitel usus, meningkatkan enzim brush border, meningkatkan sistem imun
dengan meningkatkan produksi antibodi dan limfosit, dan memungkinkan pembersihan
dari patogen dengan lebih baik.12,16
Absorbsi zinc pada saluran cerna hanya sekitar 20-30 %, zinc endogen direabsorbsi
di ileum dan kolon dalam sirkulasi enterohepatik. Setelah diserap, zinc akan terikat pada
protein metalohionein pada usus, dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Penyimpanan zinc
di dalam tubuh ialah pada sel darah merah, sel darah putih, otot, kulit, ginjal, hati, pankreas,
retina dan prostat. Puncak konsentrasi plasma didapatkan setelah kira-kira 2 jam. Sembilan
puluh persen zinc diekskresikan melalui feses dan hanya sedikit yang ditemukan di urin.15

476
Buku Ajar Gastrohepatologi

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh pemberian zinc adalah muntah karena rasa
metalik dari zinc. Pada dosis yang tinggi zinc juga dapat menyebabkan nyeri epigastrium,
letargi dan kelelahan.14,17 Sebuah studi juga menyebutkan anak dengan malnutrisi sedang
dan berat memiliki kadar tembaga plasma yang lebih rendah secara signifikan setelah
pemberian zinc dengan dosis 3 mg/kg/hari selama 14 hari.18

Probiotik
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang memberikan manfaat kesehatan bagi
host apabila diberikan dalam jumlah yang adekuat.19 Istilah probiotik berasal dari
bahasa Latin, yang berarti “untuk kehidupan.’’ Probiotik yang paling umum digunakan
adalah Lactobacillus, Bifidobacterium, dan Saccharomyces boulardii. Lactobacillus dan
Bifidobacterium adalah batang Gram-positif obligat fakultatif anaerob dan S. boulardii
adalah ragi. Lactobacillus meliputi beberapa spesies individu, yang paling terkenal meliputi
L. acidophilus, L. rhamnosus, L. bulgaricus, L. reuteri, dan L. casei. Spesies Bifidobacterium
yang paling umum digunakan dalam probiotik adalah B. animalis, B. infanti, B. lactis,
dan B. longum. Perlu dicatat bahwa tidak semua spesies probiotik merupakan bagian dari
normal flora usus manusia dan bahwa efek menguntungkan dari 1 galur probiotik tidak
dapat digeneralisasi untuk galur-galur lainnya.20 9
2 01
t
Pada penatalaksanaan diare, probiotik dapat membantu mempercepatare penyembuhan.
Durasi dari BAB cair lebih dari 3 hari lebih banyak ditemukanopada 9 M kelompok yang tidak diberi
probiotik.21 Studi lain juga menyebutkan bahwa kelompok tr diare yang diberi suplementasi
asanak
G
probiotik Bifidobacterium lactis pada susu formula at
r apdapat mengurangi frekuensi, durasi diare,
k
dan lama rawat inap di rumah sakit secara signifikan dibandingkan dengan kelompok anak
u ntu
yang tidak diberi probiotik.22 Beberapa rmeta analisis menemukan bahwa pemberian probiotik
a sto
pada anak-anak yang dirawat di rumah G sakit dapat mengurangi durasi rata-rata rawat inap
sebanyak kurang lebih 1,12 hariAjar[confidence interval (CI) 95% -1,16 - 0,38].23–29 Analisis yang
u
dilakukan terhadap sebuah Buk subkelompok yang terdiri dari 4 randomised controlled trial
e
Fil
(RCT) (n=1615) menunjukkan penurunan durasi perawatan di rumah sakit diare pada anak-
anak yang diobati dengan Lactobacillus GG (LGG) dibandingkan dengan kelompok kontrol
[perbedaan rata-rata/mean difference (MD) = 0,82 hari, 95% CI, 0,95-0.69). Meski demikian,
hasil ini tidak terkonfirmasi dalam model efek acak (random effect model) (MD=1,42 hari,
95% CI 3,05-0,21), mungkin dikarenakan perbedaan yang tidak signifikan antara durasi diare
kelompok anak-anak dengan perlakuan dengan kelompok anak-anak kontrol (n=1768, MD
0,61 hari, 95% CI 1,4-0,19). Meskipun pengaruh penggunaan probiotik terhadap pada lama
rawat inap di rumah sakit tidak konklusif, penggunaan probiotik memiliki dampak yang
signifikan terhadap beban biaya perawatan gastroenteritis akut dan biaya terkait diare.30
Sebuah studi membandingkan 5 systematic review yang mengidentifikasi 30 penelitian
RCT, didapatkan bahwa probiotik lebih efektif dalam mengurangi durasi diare dan lama
rawat inap pada anak dengan diare dibandingkan dengan plasebo, akan tetapi kualitas
dari bukti-bukti tersebut sangat rendah (very low quality evidence).31 Kurangnya bukti
ilmiah dari studi yang dilakukan pada kelompok masyarakat menyebabkan WHO belum
merekomendasikan probiotik sebagai bagian dari tata laksana pengobatan diare. Walaupun
belum dimasukkan dalam rekomendasi pengobatan diare, namun menurut WHO probiotik
mungkin bermanfaat untuk antibiotic associated diarrhea (AAD).5

477
Bab 30 Terapi Farmakologi Pada Diare

AAD adalah diare yang tidak dapat dijelaskan yang berhubungan dengan terapi
antibiotik.32 AAD dapat terjadi beberapa jam setelah pemberian antibiotik atau hingga
beberapa bulan setelah penghentian penggunaan antibiotik.33 Penggunaan probiotik
sebagai terapi AAD berdasarkan asumsi bahwa AAD disebabkan oleh gangguan mikrobiota
komensal usus akibat terapi antibiotik.34 Dua meta analisis menyebutkan bahwa terdapat
penurunan dari AAD sebanyak 60% pada pemberian probiotik Saccharomyces boulardii
dan Lactobacillus GG pada anak. Meta analisis terbaru juga menunjukkan probiotik cukup
efektif dalam mencegah AAD pada anak.35–38

Tabel 30.3.1. Indikasi, jenis, serta dosis probiotik yang disarankan untuk masing-masing diagnosis20
Indikasi Jenis probiotik dan dosis yang disarankan
Traveler’s diare LGG = 2x109 CFU/hari, dimulai 2 hari sebelum keberangkatan dan dilanjutkan sampai
kembali
S. boulardii = 5x109-10/hari, dimulai 5 hari sebelum keberangkatan
Diare akut pada bayi dan anak-anak LGG = 1010 CFU dilarutkan dalam 250 mL cairan rehidrasi oral
L. reuteri = 1010-11 CFU/hari selama 5 hari
Diare terkait antibiotik LGG = 6x109 CFU/hari selama 1-4 minggu
S. boulardii = 4x109 CFU/hari selama 1-4 minggu
L. acidophilus dan L. bulgaricus = 2x109 CFU/hari selama 1 9
2 07 hari
t
are
Clostridium difficile 2x1010 CFU/hari selama 4 minggu ditambah vankomisisn dan/atau metronidazol
Irritable bowel syndrome VSL# 3=9x1011 CFU/hari selama 8 minggu M
9
tro selama 4 minggu
Bifidobacterium infantis = 106-10 CFU/hari
s
a
LGG = 8-9x109 CFU/hari selama
at G 6 bulan
Ulcerative colitis Chron’s disease p
Escherichia coli Nisslera1917 = 5x1010 CFU 3x/hari sampai terjadi perbaikan
k 3x/hari selama 6 minggu dengan terapi standar.
VSL # 3=8x10t12ubakteri,
u n250 mg 3x/hari
o
S bouardii = selama 4 minggu + mesalazin 1g/hari selama 6 bulan
Dermatitis atopi a st=r 1012 CFU selama 2-14 minggu sebelum lahir dilanjutkan pemberiannya saat bayi
LGG
G
jar selama 6 bulan
A
u ku
Fi le B
Obat-obatan Lain
Obat-obatan Anti Motilitas
Obat anti motilitas secara luas digunakan sebagai salah satu terapi diare pada orang dewasa,
misalnya loperamide HCl, difenoksilat dengan atropin, golongan opium, paregorik, dan
kodein. Obat-obatan tersebut dapat mengurangi frekuensi BAB pada orang dewasa, namun
tidak mengurangi volume feses pada anak-anak. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
ileus paralitik yang dapat berakibat fatal, yaitu memperlama masa infeksi dengan menunda
eliminasi dari organisme penyebab. Efek samping berupa sedasi juga dapat terjadi pada
pemberian dosis terapeutik dan dapat menimbulkan toksisitas pada sistem saraf pusat pada
beberapa jenis obat. Pemberian obat-obatan anti motilitas tersebut tidak disarankan pada
anak-anak.6
Sebuah systematic review dan meta analisis menunjukkan bahwa pemberian
loperamid dibandingkan dengan plasebo pada anak diare dapat mengurangi durasi dari
diare sebesar 0,8 hari (CI 95%: 0,7-0,9 hari), mengurangi jumlah BAB dalam 24 jam
(0,84, CI 95%: 0,77-0,92), dan lebih sedikit anak yang diarenya berlanjut hingga 24 jam

478
Buku Ajar Gastrohepatologi

(prevalence ratio 0,66, CI 95%: 0,57-0,78). Namun efek samping yang serius seperti ileus,
letargi, atau bahkan kematian dilaporkan pada 8 dari 927 anak yang diberi loperamid (0,9%
CI 95%: 0,4%-1,7%). Efek samping yang serius ini didapatkan pada anak-anak berusia di
bawah 3 tahun. Karena efek samping loperamid yang lebih berbahaya, bahkan pada dosis
≤ 0,25mg/kg/hari, dibandingkan dengan manfaat yang diberikan, maka pemberiannya
tidak dianjurkan pada anak dibawah 3 tahun. Walau begitu pada anak > 3 tahun tanpa
atau dengan dehidrasi minimal, loperamid dapat diberikan sebagai tambahan dari rehidrasi
oral dan pemberian nutrisi dini.39 WHO dan American Academy of Pediatrics juga tidak
menganjurkan penggunaan loperamid pada anak dibawah 12 tahun.30 Obat ini tidak
diizinkan untuk digunakan pada anak di kebanyakan negara, namun di Amerika Serikat,
loperamid di izinkan untuk diberikan pada anak usia > 2 tahun oleh FDA. Loperamid tidak
boleh digunakan bila terdapat kecurigaan inflammatory disease (BAB darah, disentri, atau
kolitis akut).40

Obat-obatan Adsorben
1. Diosmektit
Diosmektit adalah komponen mineral yang memiliki efek yang luas terhadap saluran
9
cerna. Komponen ini menyerap bakteri, toksin-toksin yang dikeluarkan
2 01 (endotoksin
dan eksotoksin) dan rotavirus. Komponen ini juga meningkatkan r e t penyerapan elektrolit
dan air serta mengembalikan fungsi penghalang yang9 dimiiki Ma oleh epitel intestinal
ro
setelah adanya paparan terhadap tumour necrosis factor
G ast α.41–43
Sebuah penelitian meta-analisis yang dipublikasikanat pada tahun 2006 menujukkan
r ap
bahwa diosmektit dapat mengurangi durasi k diare pada anak dengan gastroenteritis
akut.44 Pada tahun 2015, dipublikasikanu ntu kembali sebuah penelitian meta-analisis
ro
mengenai peran diosmektit G ast
terhadap diare akut pada anak. Dari 384 sumber yang
r
ja(2164
diteliti, 13 penelitian RCT
A anak-anak, usia 1–60 bulan) dimasukkan ke dalam
u
uk ini. Diosmektit dengan dosis 3–6 gram/hari diberikan dari 3
penelitian meta analisis
B
e
Fil Dibandingkan dengan kelompok yang diberi plasebo, diosmektit
hari hingga pulih.
secara signifikan dapat menurunkan durasi diare akut (MD −23.39; 95% CI −28.77
- −18.01), dan meningkatkan angka kesembuhan (%) pada hari ke-5 (OR,4.44; 95%
CI 1.66 - 11.84), tanpa adanya peningkatan risiko terjadinya efek samping. Diosmektit
effektif untuk semua jenis diare akut pada anak kecuali disentri. Karena tingginya angka
kemungkinan terjadinya bisa yang tinggi, hasil penelitian ini tergolong ‘low quality’.45
Namun, diosmektit dapat dipertimbangkan masuk dalam tata laksana dari diare akut
pada anak (rekomendasi II, B).30
2. Diosmektit dan LGG
Di negara-negara dimana LGG dan diosmektit tersedia, penggunaan secara bersamaan
sering dipraktekkan. Pada sebuah studi RCT ditemukan bahwa pasien yang diberikan
LGG ditambah diosmektit dibandingkan dengan pasien yang diberikan LGG saja
memiliki durasi diare yang serupa (P = 0,43) dengan jumlah yang diberikan LGG/
diosmektit (n = 44) dan LGG / plasebo (n = 37). Dengan demikian LGG dengan smectite
maupun tanpa smectite sama efektifnya dalam mengobati anak dengan diare akut.46

479
Bab 30 Terapi Farmakologi Pada Diare

3. Adsorben lain
Adsorben lain/arang aktif (kaolin–pektin dan attapulgite) tidak direkomendasikan (III,
C) untuk penanganan diare akut pada anak. Nilai praktis dari penggunaan adsorben
dalam pengobatan rutin dari diare akut belum terbukti.6 Hanya didapatkan 1 penelitian
mengenai arang aktif, yang tidak disertakan dalam pedoman ESPGHAN/ESPID tahun
2008 yang menunjukkan hasil positif terhadap penurunan durasi diare pada anak.
Penelitian yang menggunakan 39 anak yang berusia 6 minggu sampai 10 tahun dengan
didiagnosis GEA dengan dehidrasi berat ini, menggunakan metode pengacakan yang
tidak jelas, dan alokasi, tindak lanjut, serta dasar komparabilitas tidak seluruhnya
diungkapkan.30

Obat-obatan Antisekretorik
1. Rasekadotril
Rasekadotril adalah agen antisekretorik yang dapat mencegah hilangnya cairan/elektrolit
dari usus sebagai dampak dari diare akut, tanpa mempengaruhi motilitas usus.47 Sebuah
studi meta analisis dan review sistematis membandingkan tujuh studi RCT. Lima di
antaranya membandingkan rasekadotril dengan plasebo atau tanpa intervensi, satu
9
2 01
membandingkan dengan pektin / kaolin dan yang terakhir membandingkannya dengan
e t
loperamide. Terdapat risiko sedang hingga tinggi untukarterjadinya bias pada semua
9M
studi. Tidak ada perbedaan signifikan pada studiroperbandingan antara keuntungan
dan kerugian penggunaan rasekadotril dengan a st loperamide. Sebuah studi meta-
G
p at
analisis yang membandingkan tiga studi a dengan 642 peserta menunjukkan adanya
tu
durasi gejala diare yang secara signifikank r lebih singkat pada penggunaan rasekadotril
un
o(perbedaan
dibandingkan dengan plasebo str rata-rata perbedaan -53,48 jam, CI 95%
G
-65,64 hingga -41,33). Studi
a
r meta-analisis lain yang membandingkan lima penelitian
Aja
dengan 949 pesertaumenunjukkan tidak ada perbedaan efek samping yang signifikan
B
antara rasekadotrilukdengan plasebo (RR 0,99, CI 95% 0,73-1,34).47
e
Fil
Telah dibuktikan bahwa anak-anak diare akut yang mendapatkan rasekadotril
mengalami diare dengan durasi dan volume yang lebih rendah dibandingkan dengan
anak-anak yang mendapat plasebo maupun yang tidak mendapatkan pengobatan sama
sekali. Meski begitu, secara keseluruhan kualitas bukti-bukti penggunaan terapi ini
terbatas karena jarangnya data, tingginya heterogenitas, dan adanya risiko bias. Namun,
secara umum, Rasekadotril tampaknya aman dan dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh.47 Rasekadotril dapat dipertimbangkan masuk dalam tatalaksana diare akut pada
anak (rekomendasi II, B).30
2. Bismuth Subsalisilat
Bismuth subsalisilat dapat menurunkan jumlah BAB cair dan keluhan subjektif
pada orang dewasa dengan traveller’s diarrhoea. Jika diberikan setiap 4 jam, obat ini
dapat mengurangi output BAB pada anak dengan diare akut sebanyak 30%6. Namun
bismuth subsalisilat tidak direkomendasikan untuk penanganan diare akut pada anak
(rekomendasi III, C).30

480
Buku Ajar Gastrohepatologi

Obat-obatan Lain
Terdapat jenis-jenis terapi lain yang secara luas dipraktikkan, seperti sinbiotik, prebiotik,
asam folat, maupun gelatin tannat, namun kesemuanya tidak direkomendasikan untuk
penanganan diare akut pada anak.30

Daftar Pustaka
1. The United Nations Children’s Fund (UNICEF)/World Health Organization (WHO). Diarrhoea:
Why Children are Still Dying and What can Be Done. 2009.
2. WHO. Global networks for surveillance of rotavirus gastroenteritis, 2001-200. Wkly Epidemiol
Rec 2008;83:421–5.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.
Lap Nas 2013 2013;1–384.
4. Kementerian Kesehatan. Profil Kesehatan Indonesia.2014.
5. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI. Buku Saku
Petugas Kesehatan. 2011;1–40.
6. World Health Organization. The Treatment of Diarrhoea. A Man physicians other Sr Heal Work
2005;1–50.
7. Halim I. Pola Tatalaksana Diare Akut pada Anak Usia 1-24 Bulan di01Poliklinik 9 Puskesmas
e t 2
Tanjung Pinang. Cermin Dunia Kedokt 2015;42:247–50. r
8. Tarigan A, Umiana S, Pane M. The Conformity Therapy of Diarrhea 9 Ma Disease in Children with
o
Manual Therapy Diarrhea in Children According RI aKemenkes str at Puskesmas Kota Karang
t G
Bandar Lampung City Period 2013 Tarigan A , Umiana a S , Pane M Faculty of Medicine Lampung
rap
Univesity Abstract Kes. Med J Lampung Univk2013;100–8.
tu
9. Wardani S. Manajemen diare pada anak
o un oleh perawat di rumah sakit. J Keperawatan
Muhammadiyah 2016;1:25–31. ast r
G
10. Sari A, Rahmawati E. Evaluasiarpemberian antibiotik pada pasien anak diare spesifik di instalasi
Aj
u
rawat inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. In: Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ikatan ApotekerBuk Indonesia. 2016. p. 127–32.
i le
11. World Health FOrganization. Implementing the new recommendations on the clinical
management of diarrhoea: guidelines for policy makers and programme managers. Geneva
World Heal Organ 2006;1–38.
12. Lazzerini M, Wanzira H. Oral zinc for treating diarrhoea in children ( Review ) Summary of
findings for the main comparison. 2016.
13. Wessells KR, Singh GM, Brown KH. Estimating the Global Prevalence of Inadequate Zinc Intake
from National Food Balance Sheets: Effects of Methodological Assumptions. PLoS One 2012;7.
14. International Zinc Nutrition Consultative Group (IZiNCG), Brown KH, Rivera JA, Bhutta Z,
Gibson RS, King JC, et al. International Zinc Nutrition Consultative Group (IZiNCG) technical
document #1. Assessment of the risk of zinc deficiency in populations and options for its control.
Food Nutr Bull 2004;25:S99-203.
15. Bajait C, Thawani V. Role of zinc in pediatric diarrhea. Indian J Pharmacol 2011;43:232–5.
16. Zinc supplementation helps diarrhea symptoms. 2008.
17. Fontaine O. Effect of zinc supplementation on clinical course of acute diarrhoea. J Health Popul
Nutr. 2001;19:339–46.
18. Bhutta ZA, Nizami SQ, Isani Z. Zinc supplementation in malnourished children with persistent
diarrhea in Pakistan. Pediatrics. 1999;103:e42.
19. Guarner F, Ellen Sanders M, Gibson G, Klaenhammer T, Cabana M, Scott K, et al. Probiotic and
prebiotic claims in Europe: seeking a clear roadmap. Br J Nutr. 2011;106:1765–7.

481
Bab 30 Terapi Farmakologi Pada Diare

20. Senok AC, Ismaeel AY, Botta GA. Probiotics: facts and myths. Clin Microbiol Infect. 2005;11:958–
66.
21. De T, Kondekar S, Rathi S. Hospital based prospective observational study to audit the
prescription practices and outcomes of paediatric patients (6 months to 5 years age group)
presenting with acute diarrhea. J Clin Diagnostic Res 2016;10:SC01-SC05.
22. El-Soud Said, Reem Nabil, Mosallam, Dalia Sayed, Barakat, Nahla Abdel Moniem, Sabry,
Mohamed Ahmed NHA. Bifidobacterium lactis in treatment of children with acute diarrhea. A
randomized double blind controlled trial. Maced J Med Sci 2015;3:403–7.
23. Van Niel CW, Feudtner C, Garrison MM, Christakis DA. Lactobacillus therapy for acute
infectious diarrhea in children: a meta-analysis. 2002;109:678–84.
24. Huang JS, Bousvaros A, Lee JW, Diaz A, Davidson EJ. Efficacy of probiotic use in acute diarrhea
in children: a meta-analysis. Dig Dis Sci. 2002;47:2625–34.
25. Szajewska H, Mrukowicz JZ. Probiotics in the treatment and prevention of acute infectious
diarrhea in infants and children: a systematic review of published randomized, double-blind,
placebo-controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001;33 Suppl 2:S17-25.
26. Sj A, Eg M, Gv G, Lf D. Probiotics for treating acute infectious diarrhoea ( Review ). Cochrane
Collab 2010;125.
27. Szajewska H, Skórka A, Ruszczyński M, Gieruszczak-Białek D. Meta-analysis: Lactobacillus GG
for treating acute gastroenteritis in children - updated analysis of randomised controlled trials.
Aliment Pharmacol Ther. 2013;38:467–76.
9
28. Dinleyici EC, Vandenplas Y, Vandenplas Y. Lactobacillus reuteri DSM 2 0117938 effectively reduces
re t
MaY. Effectiveness and safety of
the duration of acute diarrhoea in hospitalised children. Acta Paediatr. 2014;103:n/a-n/a.
29. Dinleyici EC, Eren M, Ozen M, Yargic ZA, Vandenplas 9
ro
Saccharomyces boulardii for acute infectious diarrhea.
G astExpert Opin Biol Ther. 2012;12:395–410.
30. Ashkenazi S, Gendrel D, Vecchio A Lo, Shamir t Szajewska H. Infectious Diseases Evidence-
aR,
r ap Gastroenteritis in Children in Europe : Update
Based Guidelines for the Management ofuAcute k
2014. 2014;59:132–52. u nt
ro
G ast
31. Dalby-Payne JR, Elliott EJ. Gastroenteritis in children. BMJ Clin Evid. 2011;2011:1–64.
ja r
32. Bartlett JG. Antibiotic-Associated Diarrhea. N Engl J Med. 2002;346:334–9.
33. Coté GA, Buchman AL. u A
Antibiotic-associated diarrhoea. Expert Opin Drug Saf. 2006 ;5:361–72.
B uk
34. Surawicz CM. lProbiotics, antibiotic-associated diarrhoea and Clostridium difficile diarrhoea in
ie
humans. BestF Pract Res Clin Gastroenterol. 2003;17:775–83.
35. McFarland LV. Deciphering meta-analytic results: a mini-review of probiotics for the prevention
of paediatric antibiotic-associated diarrhoea and Clostridium difficile infections. Benef
Microbes. 2015;6:189–94.
36. D’Souza AL, Rajkumar C, Cooke J, Bulpitt CJ. Probiotics in prevention of antibiotic associated
diarrhoea: meta-analysis. BMJ. 2002;324:1361.
37. Cremonini F, Di Caro S, Nista EC, Bartolozzi F, Capelli G, Gasbarrini G, et al. Meta-analysis: the
effect of probiotic administration on antibiotic-associated diarrhoea. Aliment Pharmacol Ther.
2002;16:1461–7.
38. Szajewska H, Mrukowicz J. Meta-analysis: non-pathogenic yeast Saccharomyces boulardii in the
prevention of antibiotic-associated diarrhoea. Aliment Pharmacol Ther. 2005;22:365–72.
39. Li S-TT, Grossman DC, Cummings P. Loperamide therapy for acute diarrhea in children:
systematic review and meta-analysis. PLoS Med 2007;4:e98.
40. Faure C. Role of antidiarrhoeal drugs as adjunctive therapies for acute diarrhoea in children. Int
J Pediatr 2013;2013:612403.
41. Moré J, Bénazet F, Fioramonti J, Droy-Lefaix MT. Effects of treatment with smectite on gastric
and intestinal glycoproteins in the rat: a histochemical study. Histochem J 1987;19:665–70.

482
Buku Ajar Gastrohepatologi

42. Mahraoui L, Heyman M, Plique O, Droy-Lefaix MT, Desjeux JF. Apical effect of diosmectite
on damage to the intestinal barrier induced by basal tumour necrosis factor-alpha. Gut.
1997;40:339–43.
43. Dupont C, Moreno JL, Barau E, Bargaoui K, Thiane E, Plique O. Effect of diosmectite on
intestinal permeability changes in acute diarrhea: a double-blind placebo-controlled trial. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 1992;14:413–9.
44. Szajewska H, Dziechciarz P, Mrukowicz J. J. Meta-analysis: Smectite in the treatment of acute
infectious diarrhoea in children. Aliment Pharmacol Ther. 2006;23:217–27.
45. Das RR, Sankar J, Naik SS. Efficacy and safety of diosmectite in acute childhood diarrhoea : a
meta-analysis. 2015;704–12.
46. Pieåcik-Lech M, Urbańska M, Szajewska H. Lactobacillus GG (LGG) and smectite versus
LGG alone for acute gastroenteritis: A double-blind, randomized controlled trial. Eur J Pediatr
2013;172:247–53.
47. Gordon M, Akobeng A. Racecadotril for acute diarrhoea in children : systematic review and
meta-analyses. 2016;234–40.

9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

483
BAB

31
Kelainan Fungsi Hati
Hasri Salwan, Achirul Bakri

31.1 Ilustrsi Kasus


Seorang anak laki-laki, usia 15 tahun dengan status gizi baik datang dengan keluhan utama
kuning sejak 5 bulan lalu. Penderita juga mengeluh gatal-gatal, nyeri perut atas hilang
timbul, penurunan napsu makan dan berat badan, air seni berwarna teh pekat, dan feses
seperti dempul. Pemeriksaan fisik suhu subfebris, sklera mata ikterik, nyeri tekan abdomen
kanan atas, dan hepar teraba 1 cm di bawah arcus costa.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan feses 3 porsi feses alkoholik, peningkatan
yang tinggi ALP, GGT, dan bilirubin direk, sementara sedikit peningktan SGPT, SGOT,
dan kolesterol total. Gambaran USG hepar tidak membesar, tak tampak massa atau abses,
kandung empedu tidak tervisualisasi. Hasil biopsi hepar proliferasi duktus dikelilingi sel-sel
radang netrofil dan limfosit dengan pembesaran ukuran sel hati (balloning). Pemeriksaan
TORCH: peningkatan Ig G Toxoplasma, CMV dan rubella. Kemungkinan suatu hepatitis
autoimun berdasarkan European Association for the Study of the Liver Clinical Practice
Guidelines, tidak dapat ditegakkan karena skoring kurang dari 6. Pemeriksaan magnetic
resonance cholangiopancreatography (MRCP): striktur multipel pada duktus koledokus dan
intrahepatik kanan-kiri. Adanya keterlibatan bilier intra dan ekstrahepatik mendukung
diagnosis primary sclerosing cholangitis (PSC).

31.2 Pendahuluan
Hati merupakan organ kelenjar terbesar tubuh dengan berat pada orang dewasa 1.500 gram
(2,5% BB). Terdiri dari dua lobus utama, yakni kanan dan kiri yang dapat dipisah menjadi
delapan lobus yang dapat berfungsi sendiri-sendiri. Hati berhubungan erat dengan saluran
empedu dan pankreas. Ketiganya berkembang secara embriologis dari bagian usus depan
yang membentuk duodenum. Unit fungsional terkecil hati secara anatomis adalah lobulus
hati, dengan diameter 0,8-2 mm dan panjang beberapa mm, dengan jumlah total lobulus
50.000-100.000 buah. Unit fungsional hati menurut Rappaport adalah asinus yang dibentuk
oleh cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan duktus empedu dengan parenkim hati
di sekitarnya. Sinusoid merupakan kapiler diantara lempeng sel hati, merupakan cabang
vena porta dan arteri hepatika, yang dibatasi oleh sel Kupffer (sistem monosit-makrofag).

484
Buku Ajar Gastrohepatologi

Hati terlibat dalam berbagai fungsi metabolisme tubuh. Membicarakan kelainan fungsi hati
tak bisa dilepas dengan kerusakan sel-sel dalam hati dan fungsi hati secara keseluruhan.1,2,3
Fungsi hati sangat vital, berperan pada hampir setiap fungsi metabolik tubuh. Hati
bertanggung jawab atas lebih dari 500 fungsi metabolik tubuh. Cadangan hati sangat besar,
fungsi hati dicukupi hanya dengan 10-20% bagian saja. Kelainan fungsi hati disebabkan
kerusakan sel-sel hati, tetapi kerusakan sel-sel hati tidak serta merta diikuti dengan gangguan
fungsi hati. Kedua keadaan ini harus dapat dibedakan. Regenerasi sel hati dilakukan secara
cepat dan sangat baik jika terjadi kerusakan, walaupun usia sel hati 150 hari. Kerusakan
yang terjadi secara cepat dan mendadak dapat menyebabkan gagal hati akut yang dapat
diantipasi tanpa menimbulkan gejala sisa. Kegagalan regenarasi pada kerusakan akut
menyebabkan gagal hati akut yang dapat berakhir dengan kematian, walaupun keadaan
ini sangat jarang terjadi. Kerusakan yang terjadi pelahan, menimbulkan proses nekrosis
yang diikuti dengan fibrosis dan regenerasi, menimbulkan sirosis akibat rusaknya struktur
normal hati. Jika terjadi sirosis maka prosesnya tidak dapat dihentikan dan berlanjut dengan
perjalanan yang progresif. Fase akhir kerusakan hati yang kronis ditandai dengan gangguan
fungsi hati yang ekstrim tetapi tanda kerusakan hati yang minimal.1,2,3,4
Ada dua proses yang saling berkaitan tetapi harus dipisahkan, yakni kerusakan
struktur hati, termasuk hepatosit, dan gangguan fungsi hati. Kerusakan struktur
9 hati belum
tentu menimbulkan gangguan fungsi hati. Gangguan fungsi hati terjadi 2 01 setelah kerusakan
t
hati melebihi 80%. Jadi ada dua pemeriksaan yang harus dibedakan, Mare yakni kerusakan hati
9
dan gangguan fungsi hati. Fungsi dasar hati adalah (1) fungsistro metabolisme tubuh, (2) fungsi
sekresi dan ekresi banyak zat-zat dan (3) fungsi vaskuler:Ga
p at menyimpan dan menyaring darah.
a
Ganguan fungsi hati menyebabkan paling tidak k r gangguan ketiga fungsi tersebut.
2-5

untu
ro
ast
31.3 Fungsi Metabolisme
Ajar
G Makronutrien Hati dan
u
Kelainannyaile Buk
F
Makronutrien terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak. Metabolisme makronutrien
hampir selalu melibatkan hati, dan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Pertama
fungsi sintesis: protein (albumin, globulin, PT, kolinestrase, dan lain-lain), lemak
(kolesterol), dan karbohidrat (glikogenesis, glikogenolisis, dan glukoneogenesis). Kedua
fungsi katabolik/ penguraian zat-zat tersebut. Ketiga: penyimpanan: glukosa/glikogen,
asam amino/protein, dan lemak.4
Fungsi metabolik hati terhadap karbohidrat melalui pembentukan dan penyimpanan
glikogen, pengubahan galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis,
pembentukan senyawa lain dari metabolisme karbohidrat, sehingga fungsi hati
mempengaruhi kadar glukosa darah. Metabolisme karbohidrat oleh hati berperan penting
mempertahankan glukosa dalam darah, melalui proses glikogenolisis, glikogenesis dan
glukoneogenesis. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah, tetapi kerusakan
hati yang parah menyebabkan hipoglikemia.2-5
Fungsi metabolik hati terhadap lemak melalui oksidasi asam lemak beta untuk
mensuplai energi tubuh, pembentukan sebagian besar lipoprotein, pembentukan sejumlah
besar kolesterol dan fospolipid, pengubahan karbohidrat dan protein menjadi lemak. Hati

485
Bab 31 Kelainan Fungsi Hati

berperan penting dalam sintesis kolesterol, sebagian besar diekresi dalam empedu sebagai
kolesterol dan garam-gram empedu. Kadar kolesterol total pada penyakit hati umumnya
menurun tetapi dapat normal atau sedikit meningkat, sedangkan pada kolestasis ektra
hepatik meningkat. Hati berfungsi memproduksi kolesterol tetapi pada saat bersamaan hati
juga memproduksi kolesterol-esterase (enzim penghancur kolesterol). Kerusakan hati dapat
menyebabkan produksi kolesterol dan kolesterol-esterase menurun, dimana kadar kolesterol
serum tergantung pada hasil resultante penurunan produksi keduanya. Kadar lipoprotein
biasanya mengalami gangguan pada penyakit hati baik intrahepatik maupun ektrahepatik,
karena hati berperan penting dalam produksi dan degradasinya. Pasien dengan gagal hati
akut terjadi peningkatan kadar trigleserid plasma, penurunan ester-ester kolesterol, dan
pola abnormal dari lipoprotein elektroforetik. Gambaran kerusakan hepatoseluler akut
adalah hipertrigliseridemia dengan akumulasi kadar low-density lipoprotein.2-4
Fungsi metabolik hati terhadap protein melalui (1) deaminasi asam amino, (2)
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari tubuh, (3) pembentukan protein
plasma, dan (4) interkonversi asam amino. Adanya gangguan fungsi sintesis hati terhadap
protein dapat mendeteksi adanya kerusakan hati akut dan kronik. Fraksi protein dengan
waktu paruh yang lama (20 hari) adalah albumin dan yang terpendek (4 jam) adalah faktor
VII. Albumin digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan yang berlangsung kronik
9
sedangkan faktor VII, yang diperiksa melalui protrombin time, untuk 2 01 kerusakan hati akut.
re t
Albumin merupakan 2/3 fraksi protein dan rentang kadar nilai
9 Ma normal yang besar sehingga
perubahan sedikit sulit terdeteksi. Banyak faktor yang
a stro mempengaruhi kadar albumin,
diantaranya masukan/diet protein, adanya edema, Gkerusakan ginjal, kelainan usus (protein
p at hati itu sendiri. Jadi kadar yang rendah
lossing enterophaty), disamping gangguan pada r a
tidak serta-merta adanya gangguan fungsi ntukhati, walaupun kadar albumin selalu menurun
ou
pada kerusakan hati kronis. Seluruh
a str faktor koagulasi disentesis oleh hati kecuali faktor
VIII. Waktu paruh terpendek G
adalah VII kemudian IX, X, karena itu turunnya kadar faktor-
Ajar
faktor tersebut dapat mengindikasikan
ku adanya gangguan fungsi hati akut. PT (prothrombin
Bu
time) dan aPTT le(activated partial thromboplastin time) digunakan untuk mendeteksi
adanya gangguan Fi fungsi hati akut. Diagnosis gagal hati akut paling tidak melibatkan tiga
komponen yakni PT yang memanjang, kerusakan hepatosit dengan ditandai SGPT (serum
glutamic pyruvic transaminase) dan SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase) yang
sangat meningkat, dan adanya gejala ensefalopati akibat fungsi detoksifikasi terganggu.
PT menilai faktor I, II, V, VII, X dan aPTT menilai faktor VIII dan IX, sehingga pada
kerusakan hati akut keduanya PT dan aPTT meningkat. PT memanjang menunjukan (1)
fungsi sintesis hati menurun karena kerusakan hati, (2) kurang vitamin K karena kolestasis
menyebabkan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, K) berkurang. Kedua
keadaan ini dibedakan terhadap respon penurunan PT saat pemberian pemberian vitamin
K. Nilai kembali normal menunjukkan adanya defisiensi vitamin K, tetapi jika tidak
mengalami perbaikan menunjukkan adanya kerusakan sel-sel hati. Kadar vitamin K yang
menurun menyebabkan faktor-faktor yang tergantung vitamin K yakni: faktor II, VII, IX,
dan X kadarnya menurun.2-6
Kadar PT dan aPTT pada awal kehidupan yang dapat memanjang harus disadari
sebagai keadaan yang normal pada bayi prematur (usia gestasi 30-36 minggu) yang baru
lahir dan sehat. Tabel 31.3.1 adalah rujukan nilai normal PT dan aPTT bayi prematur.3

486
Buku Ajar Gastrohepatologi

Beberapa protein lainnya perlu diperhatikan dalam mendiagnosis adanya gangguan


fungsi hati. Globulin tidak seluruhnya diproduksi di hati dan pada keadaan kolestasis terjadi
peningkatan α-1-globulin dan β-globulin. Alfa fetoprotein (AFP) terdapat normal dalam
beberapa minggu setelah kelahiran, tetapi setelah itu menghilang. Kadar yang melebihi
1000 ng/mL, menunjukkan adanya karsinoma hepatoseluler, tumor embrionik ovarium
dan testis, hepatoblastoma embrionik, dan kanker saluran cerna. Enzim kolinesterase
disintesis di hati, menurun pada keadaan-keadaan: penyakit hati kronik, malnutrisi,
hipoalbuminemia. Protein fase akut (alfa 1 antitripsin, seruloplasmin, transferin, dan
fibrinogen) juga dapat mendeteksi kelainan fungsi hati. Alfa 1 antitripsin yang menurun
dapat mendeteksi sirosis dan penyakit paru, seruloplasmin menurun mendeteksi penyakit
Wilson’s dan sirosis, fibrinogen menurun mendeteksi: penyakit hepatoseluler kronik, dan
transferin menurun mendeteksi anemia, thalasemia, dan hemokromatosis.2-5
Amonia umumnya diproduksi di kolon dari diet protein dengan bantuan urease
bakteri. Pembersihan sebagian besar (80%) amonia dilakukan oleh hati yang diubah

Tabel 31.3.1. Rujukan nilai normal PT dan aPTT pada bayi prematur (usia gestasi 30-36 minggu) yang baru lahir dan sehat.
Usia postnatal PT (detik) aPTT (detik)
9
Hari ke-1 13,0 (10,6-16,2) 01
53,6 (27,5-79,4)
2
Hari ke-5 12,5 (10,0-15,3) re t
50,5a(26,9-74,1)
Hari ke-30 11,8 (10,0-13,6) 9 M
44,7 (26,9-62,5)
ro 39,5 (28,3-50,7)
Hari ke-90 12,3 (10,0-14,6)
G ast
at
ap
Hari ke-180 12,5 (10,0-15,0) 37,5 (21,7-53,3)
Dewasa 12,4 (10,8-13,9) k r 33,5 (26,6-40,3)
u
nt
u
ro
ast
ja rG
menjadi urea atau glutamin.AKerusakan hati yang kronik atau yang lanjut menyebabkan
ku
B u
terjadi penumpukan amonia dalam darah.4
e
Fil

31.4 Fungsi Hati Lainnya dan Kelainannya


Hati berfungsi melakukan penyimpanan vitamin, besi. Hati juga berfungsi dalam
metabolisme obat, hormon dan zat-zat lainnya, juga mendetoksikasi beberapa zat yang
berbahaya. Fungsi sekresi dan ekresi bilirubin, garam empedu, fosfolipid, dan lain-lain.2,3,4
Hati juga berfungsi dalam mengatur dinamika vaskuler sebagai penyimpan dan
penyaring darah. Aliran darah menuju hati pada orang dewasa melalui vena porta sebesar
1100 mL/menit dan arteri hepatika 350 mL/menit sehingga total 1450 mL/menit yang
merupakan 30% curah jantung. Vena porta adalah satu-satunya vena yang terletak antara
arteri dan vena. Tekanan vena porta normalnya 9 mmHg yang dapat meningkat jika
ada kerusakan hati, sedangkan tekanan vena cava : 0 mmHg. Sistem vaskuler hati dapat
menyimpan volume darah yang besar (dewasa 0,5 - 1 liter). Aliran limfe sangat tinggi,
kira-kira separuh cairan limfe tubuh dibentuk dalam hati. Pori dalam sinosoid hati sangat
permeabel, karena itu kadar protein dalam asites akibat kelainan hati mencapai 80-90%
kadar protein plasma. Perbedaan kadar albumin antara serum dan asites yang disebut SAAG

487
Bab 31 Kelainan Fungsi Hati

(serum albumin asites gradient) dipakai untuk mendeteksi proses penyebab terbentuknya
asites. Perbedaan kadar albumin antara serum dan asites (SAAG) : ≥ 1,1 g/dl menunjukkan
adanya hipertensi portal, jika < 1,1 g/dl menunjukkan tekanan vena portal normal dan
asites disebabkan proses peradangan. Asites dari hati (cirrhotic ascites); SAAG 80-90%.
Asites dari mesentrik (non cirrhotic ascites); SAAG 1/5.2,4
Hati juga mengandung sistem makrofag hapatik (sel-sel Kuffer) yang berfungsi dalam
proses peradangan terutama oleh mikroorganisme. Infeksi sistemik dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati dan kerusakan sel-sel hati. Hati juga terlibat pada beberapa kelainan
hematologi yang mengakibatkan kerusakan dan gangguan fungsi hati. Anemia hemolitik
menyebabkan peningkatan kadar laktat dehidogenase dan SGOT serum meningkat.
Neoplasma umumnya jarang menimbulkan gangguan fungsi hati dan dapat disertai
kerusakan hati yang minimal. Beberapa keadaan dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati yang parah dan kerusakan sel-sel hati yang masif. Infiltrasi sel-sel leukemia yang masif
dapat menyebabkan gagal hati fulminan.3,7

31.5 Kerusakan Hati


Adanya kelainan fungsi hati berarti telah terjadi kerusakan sel-sel 9
2 01 hati lebih dari 80%.
t
Hal ini berbeda jika terjadi kerusakan hati. Kerusakan hati
are yang minimalpun telah
menimbulkan peningkatan enzim-enzim serum yang9 Mdihasilkan hati dan saluran
empedu, diantaranya: fosfatase alkali, 5-nukleotida,asgama tro glutamil transpeptidase (GGT),
G
aspartate aminotransferase (AST) atau SGOT,palanine at aminotransferase (ALT) atau serum
r a
glutamic pyruvic transaminase (SGPT), laktat k dehidrogenase, isositrat dehidrogenase, dan
kolinesterase.3,5 u ntu
ro
ALT/SGPT adalah enzim G ast hati, sehingga banyak terdapat di sitoplasma sel hati.
sitosol
r
Jumlah lebih banyak diuhati Aja dibandingkan jantung dan otot, karena itu peningkatannya
lebih meingindikasikan Buk kerusakan hati dibandingkan organ lainnya. Jumlah absolut kurang
e
Fil
dari SGOT. AST/SGOT adalah enzim mitokondria yang dihasilkan sel-sel hati, jantung,
otot, dan ginjal. Meningkat jika terjadi kerusakan sel yang akut, tetapi peningkatannya
juga dapat dikarenakan kerusakan organ-organ lain. Nilai yang tinggi sekali pada nekrosis
hepatoselluler dan infark miokard. Kelainan-kelainan yang menyebabkan kerusakan sel
hati secara langsung, seperti alkohol dan obat-obatan, ditandai dengan peningkatan SGOT
yang melebihi dari SGPT. Waktu paruh SGOT lebih lama dari pada SGPT. Iskemik hati
yang terjadi secara akut dapat meningkatkan SGOT dan SGPT secara drastis pada hari
pertama lebih dari 1000 IU/L. Perbaikan keadaan iskemik hati menurunkan kadar SGOT
dan SGPT secara cepat dengan waktu paruh 4 sampai 6 hari.3,5
Obat-obatan atau zat-zat yang bersifat hepatotoksisitas umumnya menyebabkan
peningkatan SGPT dan SGOT, dimana peningkatan SGOT melebihi SGPT. Kerusakan
hati terjadi akibat (1) gangguan homeostasis kalsium intraseluler menyebabkan kebocoran
membran sel, ruptur, dan lisis hepatosit ataupun sel-sel kanalikulus, (2) hilangnya villous
dan gangguan protein transport pump, (3) reaksi hepatoseluler melibatkan sistem heme-
containing cytochrome P-450 sehingga sistem tidak berfungsi, (4) Ikatan enzim–obat
mengakibatkan kematian sel, dan (5) penghambatan fungsi mitokondria menyebabkan
penumpukan laktat dan bahan-bahan oksigen reaktif. Peningkatan kadar SGPT dan SGOT

488
Buku Ajar Gastrohepatologi

2 sampai 5 kali maka dosis obat diturunkan separuhnya, sementara jika lebih dari 5 kali
pemberian obat harus dihentikan.8,9
Hepatitis virus adalah suatu penyakit yang menyerang hati pada tingkat sel
(hepatosit), memberikan gambaran yang khas kerusakan pada tingkat sel (intrahepatik).
Gambaran laboratorium hepatitis akut adalah SGOT & SGPT meningkat lebih dari 50
kali, dimana SGPT lebih meningkat dibandingkan SGOT. Hepatitis kronik aktif, SGOT &
SGPT meningkat lebih dari 10 kali, sedangkan hepatitis kronik persisten, SGOT & SGPT
meningkat kurang dari 10 kali.3,4,5
Kolestasis ektrahepatik menyebabkan terjadinya hiperplasi dan hipertropi epitel
saluran empedu intrahepatik, sehingga enzim-enzim yang dihasilkan efitel saluran empedu
meningkat, misalnya GGT, alkalin fosfatase dan 5-nekleotidase. GGT diproduksi berbagai
organ tubuh, lokasi di hati terdapat pada efitel duktulus/saluran empedu yang kecil,
hepatosit. Lokasi lainnya: pankreas, lien, otak, usus kecil, dan mammae. GGT meningkat
pada keadaan kolestasis (meningkat bersama fosfatase alkali) dan metastasis di hati. GGT
juga meningkat pada masa awal kehidupan (Tabel 31.5.1). 3,4,5

Tabel 31.5.1. Rujukan nilai normal kadar gamma glutamil-tranferase sesuai umur
Umur pasien Jenis kelamin Kadar (U/L) 9
< 1 bulan L,P <385 t 20
1
1-2 bulan L,P a
<225r e
9 M
2-4 bulan L,P ro <135
4-7 bulan L,P G ast <75
at
bulan-15 tahun L,P ap <45
>15 tahun Laki-laki tu kr <75
n
>15 tahun Perempuanro u <55
ast
rG
Alkali fosfatase berasal Aja
ku dari hati. Produksi terhambat jika sintesis protein dalam hati
Bu
terhambat. Produksilemeningkat jika terjadi kholestasis intra/ektrahepatik. Alkali fosfatase
Fi
meningkat pada keadaan ikterus kolestatik (4-5 x), ikterus hepatoseluler (kadarnya lebih
rendah jika dibandingkan dengan kolestatik ektraseluler), tumor hati, abses, leukemia,
granuloma, penyakit tulang, dan usia pertumbuhan.3,4,5
5-nukleotidase, menghidrolisis nukleotida pada C-5 pentosa. Lokasi di hati : membran
kanalikuli dan sinosoidal. 5-nukleotidase meningkat pada kolestatik dan biasanya diperiksa
untuk memastikan peningkatan alkali fosfatase.3,4,5

31.6 Diagnosis
Banyaknya kelainan ataupun penyakit yang menyerang hati dan banyaknya zat yang
dimetabolisme dan dihasilkan di hati menyebabkan tidak ada satu pemeriksaanpun yang
khas untuk suatu penyakit. Kerusakan hati dapat didetedeksi paling tidak dengan adanya
peningkatan SGPT dan SGOT plasma. Kelainan fungsi hati dapat dideteksi paling tidak
dengan adanya peningkatan bilirubin direk plasma. Kadar bilirubin indirek dalam keadaan
normal sekitar 70-85% dari bilirubin total. Persentase bilirubin direk yang melebihi 15-20%
bilirubin total menandakan adanya kolestasis, suatu istilah adanya hambatan sekresi garam

489
Bab 31 Kelainan Fungsi Hati

empedu. Peningkatan bilirubin total 5 mg/dl atau lebih untuk neonatus dan 2% atau lebih
untuk bayi yang lebih besar menimbulkan gejala kuning (jaundice). Jaundice adalah gejala
umum peningkatan kadar bilirubin. Jaundice dibagi menjadi 2 kelompok yakni peningkatan
bilirubin indirek yang disebut hiperbilirubinemia indirek. Hiperbilirubinemia indirek pada
masa neonatus dapat disebabkan jaundice fisiologis, breastmilk jaundice, kelainan sistemik
(hemolisis, hipotiroid di masa awal, obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia,
hipoglikemia, galaktosemia, intoleransi laktosa), atau kelainan herediter (sindroma Crigler
Najjar tipe I dan tipe II dan sindroma gilbert). Hiperbilirubinemia indirek pada anak yang
lebih besar umumnya disebabkan adanya proses hemolisis. Proses hemolisis jarang disertai
kelainan sistem hati dan saluran empedu, tetapi jika berlangsung kronis atau berulang dapat
disertai kelainan sistem tersebut.10,11
Diagnosis kolestasis ditegakkan jika kadar bilirubin direk meningkat. Langkah awal
adalah klassifikasi berdasarkan onset pertama kali terjadinya ikterus, jika dibawah umur
3 bulan pertama kehidupan, maka digolongkon prolong jaudice. Hiperbilirubinemia direk
pada anak yang besar dapat disebabkan oleh penyakit hati autoimun, penyakit hati karena
obat, kelainan struktur dan kongenital hati, steatosis nonalkoholik, dan penyakit hati karena
infeksi. Gambaran laboratorium secara garis besar dapat dibedakan intrahepatik dan
ektrahepatik. Pembagian ini dapat mengarahkan ke diagnosis. Hepatitis virus memberikan
9
gambaran murni kelainan intrahepatik. Hepatitis virus dapat dipikirkan 2 01 sebagai penyebab
t
re endemik, sehingga harus
utama kelainan hati pada anak yang besar di daerah-daerah Ma
dipikirkan diawal pemeriksaan. Primary scleerosingtrcholangitis o9 memberikan gambaran
yang khas untuk kelainan ektrahepatik. a s
10,11
G
p at
a
Kolestasis yang onsetnya terjadi dalam k r 3 bulan pertama kehidupan harus dibedakan
tuatau
apakah disebabkan proses intrahepatik n ektrahepatik. Anamnesis: riwayat penyakit
tro u (TORCH), riwayat kelahiran (BBLR, infeksi),
keluarga (genetik), riwayat prenatalas
morbidibitas perinatal, riwayat
j ar G pemberian nutrisi parenteral, obat, transfusi mengarah
A
kekelainan intrahepatik.u ku Adanya kelainan pemeriksaan fisik lebih mengarah ke kelainan
e B tubuh yang abnormal mengarah ke kelainan intraheptik, sindromik
Fil
intrahepatik. Bentuk
mengarah ke kelainan metabolik dan paucity bile duct intrahepatik. Kelainan yang melibatkan
kepala (mikro atau makrosefali), telinga, jantung, kulit, dan hepatosplenomegali dapat
mengarah ke kelainan hati disebabkan TORCH. Anamnesis dan pemeriksaan fisik, selain
gejala ikterus, dalam batas normal dapat disebabkan kelainan intrahepatik dan ektrahepatik.
Pemeriksaan laboratorium, USG sistem bilier 2 fase, dan biopsi hati memperkuat adanya
kelainan intra hepatik ataupun ektrahepatik.3,10,11
Kelompok ekstrahepatik ditandai dengan “patent ductus biller” sulit dibuktikan
baik secara USG ataupun patologi anatomi, bayi dengan riwayat kehamilan ibu dan
kelahiran yang normal, bayi proposional dengan keadaan umum pada awalnya baik. Hasil
laboratorium peningkatan SGPT dan SGOT tidak melebihi 5 kali, GGT sangat meningkat
tergantung dari umur (lihat tabel) yang disertai peningkatan alkali fosfatase lebih dari 600
mg/dL, kadar kolesterol lebih dari 200 mg/dL. Gambaran kolestasis ektrahepatik lebih khas
karena kerusakannya terjadi di saluran empedu ektra hepatik atau 1/3 bagian distal saluran
empedu intra hepatik. Kolestasis intra hepatik dapat memberikan gambaran laboratorium
yang khas jika proses terjadi pada tingkat hepatosit (misalnya hepatitis virus) tetapi dapat
juga tumpang tindih dengan kelainan ektrahepatik jika selain proses melibatkan hepatosit

490
Buku Ajar Gastrohepatologi

Kolestasisi neonatal

Intrahepatik Obstruksi ekstrahepatik

Hepatoselular Paucity of intra hepatic bile

Sindroma: sindroma Alagille, sindroma Byler, • Atresia biliar


sindroma Aagene • Kista koledokus
Non-sindroma: defisiensi a1AT, kliopatik, • Perforasi saluran empedu spontan
familial • Stenosis biliar
• Inspissation of bile ducts
• Mass peritoneal bands

INFEKSI METABOLIK LAIN-LAIN IDIOPATIK

• Sepsis • Galaktosemia • Hipotiroidisme


• ISK • Her. fruktosemia • TPN
• Infeksi TORCH • Tirosinemia • Downs
• Malaria • Defisiensi a1AT • Syok
• Hepatitis-B, C • Penyakit asam empedu • Hipoperfusi
9
• Infeksi virus lainnya • Defek oksidasi asam lemak • Kelainan jantung/pembu-
2 01
ret
• HIV • Fibrosis kistik luh darah kongenital
• Storage disorders (Nieman • dll
a
9M
pick's, Gauchers) dll
• Neonatal
o
• Hemokromotosis
str
• Zelweger's
Ga
p at
ra
nt
Gambar 31.6.1.uKlasifikasi
uk
kolestasis neonatal
ro
G ast
jar hepatik, misalnya penyakit hati akibat TORCH. Gambar
juga terjadi pada sistem bilierAintra
u neonatal kolestasis.3,10,11
uk
31.6.1 menunjukkan klasifikasi
B
e
Fil
31.7 Penutup
Kelainan fungsi hati disebabkan oleh etiologi yang beragam dengan gambaran klinik yang
juga beragam. Kelainan fungsi hati terjadi setelah kerusakan hati lebih dari 80%, yang bearti
disertai dengan gambaran kerusakan hati walaupun tidak selalu selaras. Cedera hati yang
ringan telah dapat menimbulkan tanda-tanda kerusakan hati.

Daftar Pustaka
1. Wuestefeld T, Zaret KS. Liver development: from endoderm to hepatocyte. Dalam: Suchy
FJ, Sokol RJ, Balistreri WF: Liver disease in children. Third edition. Cambridge, Cambridge
University Press 2007. Hal 3-13.
2. Baumann U, Millar AJW, Brown RM. Structure function and repair of the liver. Dalam: Kelly
D: Diseases of the liver and biliary system in children. Third edition. Singapore, Blackwell
Publishing Ltd. 2008. Hal 3-17.

491
Bab 31 Kelainan Fungsi Hati

3. Lee Ng V: Laboratory assessment of liver function and injury in children. Dalam: Suchy FJ, Sokol
RJ, Balistreri WF: Liver disease in children. Third edition. Cambridge, Cambridge University
Press 2007. Hal 163-75.
4. Guyton, Hal. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 9. Jakarta, EGC, 1997. Hal: 1103-10.
5. Thapa BR, Goyal RSrikanth KP. Interpretation of liver function test. Dalam: Sibal A, Gopalan
S, Kapoor A, Bhatia V: Textbook of pediatric gastroenterology, hepatology and nutrition. New
Delhi, The Health Sciences Publisher, 2015. Hal 294-308.
6. Whitington PF, Soriano HE, dan Alonso ES. Fulminant hepatic failure in children. Dalam: Suchy
FJ, Sokol RJ, Balistreri WF: Liver disease in children, Third edition. Cambridge, Cambridge
University Press 2007. Hal 63-88.
7. Murakani J, Shimizu Y. Hempatic manifestation in hematologic disorder. Int J hem, vol 2013.
Diunduh dari: http://dx.doi.org/10.1155/2013/484903.
8. Lee WM. Drug-induced hepatotoxicity. N Eng J Med 2003;349(5):474-85.
9. Burman WJ, Reves RR. Hepatotoxicity from rifampin plus pyrazinamide lessons for policymakers
and messages for care providers. Am J Respir Crit Care Med 2001;164(7):1112-3.
10. Roberts EA. The Jaudice baby. Dalam: Kelly D. Diseases of the liver and biliary system in
children. Third edition. Singapore, Blackwell Publishing Ltd. 2008. Hal 57-105.
11. Huang J, Aw MM. Neonatal cholestasis. Dalam: Sibal A, Gopalan S, Kapoor A, Bhatia V.
Textbook of pediatric gastroenterology, hepatology and nutrition. New Delhi, The Health
Sciences Publisher, 2015. Hal 309-25.
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

492
BAB

32
Atresia Bilier
Jeanette Irene Christiene Manoppo

32.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak laki-laki, usia 6 minggu, datang dengan keluhan waktu masuk rumah sakit
tampak kuning sejak usia 3 minggu, buang air besar tampak berwarna pucat (seperti
dempul) dan buang air kecil berwarna gelap seperti teh pekat sejak 3 minggu yang lalu.
Tidak disertai demam, mual muntah dan batuk pilek. Selama hamil ibu mengaku sehat.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal. Anak hanya diberi ASI saja.
Pemeriksaan fisik anak tampak sakit ringan, aktif, tanda vital dalam batas normal.
Kesan status gizi baik. Kulit dansklera ikterik. Abdomen tidak distensi, hepar teraba 1/3-
1/3, konsistensi padat, permukaan rata, pinggir tajam dan tidak ada nyeri tekan. Hasil
pemeriksaan laboratorium: darah lengkap dalam batas normal, terdapat peningkatan
SGOT, SGPT, alkali fosfatase, gamma glutamil transaminase, pemanjangan PT dan APTT,
HBsAg (-), IgM anti HBc (-), anti HCV (-). Feses 3 porsi berwarna pucat seperti dempul.

32.2 Pendahuluan
Atresia bilier (AB) merupakan kolangiopati idiopatik, suatu penyakit yang disebabkan
kerusakan progresif saluran empedu ekstrahepatik akibat adanya lesi fibroskleroris
obliteratif, yang merupakan penyebab paling sering terjadinya sirosis hati, gagal hati,
dan kematian apabila tidak diterapi. Selain itu AB juga merupakan indikasi utama untuk
dilakukan transplantasi hati pada populasi anak, terhitung sebanyak 75% transplantasi hati
pada anak usia <2 tahun.1
Atresia bilier tampak dengan adanya serangkaian temuan: (1) obstruksi seluruh
saluran empedu ekstrahepatik yang didokumentasikan oleh cholangiography atau histologi
saluran empedu, (2) proliferasi saluran empedu intrahepatik pada biopsi hati, dan (3)
fibrosis intrahepatik yang diidentfikasi pada usia dini.2 Insidens atresia bilier lebih tinggi di
Asia, Taiwan (1:6.750) dibandingkan di Eropa (1:17.000-19.000) sehingga kita perlu lebih
berhati-hati untuk kemungkinan menemukan pasien AB.3
Tujuan awal dari manajemen klinis adalah melakukan diagnosis segera sehingga
intervensi bedah dapat menghilangkan sisa-sisa atresia empedu dan membuat saluran usus
Rouxen-Y untuk drainase empedu, yang juga dikenal sebagai hepatoportoenterostomi Kasai.4
Sayangnya, 40-50% pasien masih tidak mengalami perbaikan drainase empedu setelah

493
Bab 32 Atresia Bilier

hepatoportoenterostomi tersebut; bahkan setelah dilakukan hepatoportoenterostomi,


sebagian besar pasien masih memerlukan transplantasi hati untuk memperpanjang harapan
hidup.5
Diagnosis dini dan intervesi operasi dengan prosedur portoenterostomi Kasai sejak
usia dini akan mengoptimalkan prognosis pasien. Keterlambatan rujukan dan kurangnya
standarisasi prosedur penanganan pasien AB juga masih merupakan masalah terutama di
negara berkembang.1

32.3 Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di semua benua, dengan frekuensi geografis bervariasi mulai dari 1 dari
15.000 di Amerika Serikat dan 1 dari 19.000 kelahiran hidup per tahun di Belanda.6 Insiden
di Asia lebih tinggi, di Taiwan berkisar antara 1 : 5400 – 5800 kelahiran hidup, dan di Jepang
1 : 9000 – 10000 kelahiran hidup.7 Atresia bilier sedikit lebih banyak didominasi oleh jenis
kelamin perempuan (1,25:1), terutama pada pasien yang juga memiliki kelainan limpa
dan insiden tersebut secara substansial lebih tinggi pada bayi ras kulit putih. Ditemukan
adanya hubungan penyakit dengan usia ibu yang lebih tua, paritas yang lebih tinggi dan
kecenderungan terjadinya keguguran pada awal kehamilan. Atresia 9 bilier merupakan
2 01
penyakit dengan rekurensi familial yang jarang terjadi, pada tpenelitian dengan subjek
M are
kembar menunjukkan bahwa sebagian besar bayi kembar9tidak mengalami penyakit secara
ro
bersamaan.8 ast
G
p at
r a
k
32.4 Etiologi ro
u ntu
Etiologi atresia bilier masih
ast
G belum diketahui. Adanya gambaran inflamasi yang
A jar
menyebabkan terjadinya
ku proses destruksi saluran bilier ekstrahepatik menyebabkan para
Bu
ahli memikirkan leetiologinya adalah infeksi. Berbagai virus dihubungkan dengan atresia
Fi
bilier diantaranya virus sitomegalo, rubella, rotavirus, tetapi sampai saat ini belum satupun
dapat dibuktikan sebagai penyebab atresia bilier. Imaturitas sistem imun dan faktor genetik
mungkin berkontribusi pada patogenesis penyakit ini. Hipotesis lain adalah adanya
defek atau gangguan penyusunan pada perkembangan duktus biliaris pada saat dini yang
mungkin berhubungan dengan kelainan kongenital yang khas untuk atresia bilier dengan
malformasi splenik (BASM).2

32.5 Mekanisme Patogenesis Penyakit


Atresia bilier terjadi akibat inflamasi dan obstruksi karena fibrosis pada saluran-saluran
empedu ekstrahepatik. Seiring dengan istilah umum “hepatitis neonatal”, atresia bilier
merupakan penyebab utama kolestasis neonatal; sebagai suatu penyakit tunggal, atresia
bilier merupakan penyakit dengan indikasi transplantasi hati nomor satu pada anak
diseluruh dunia.9,10 Saluran empedu ekstrahepatik terjadi obstruksi komplit pada saat
diagnosis. Pada tingkat jaringan, terjadi kehilangan segmental atau sejumlah besar lapisan
epitel saluran empedu ekstrahepatik, dengan fibrosis yang luas dan kadang-kadang disertai

494
Buku Ajar Gastrohepatologi

dengan adanya fokus peradangan.11,12 Sebaliknya, saluran empedu intrahepatik biasanya


menjadi hiperplastik, tertanam dalam saluran portal dengan variasi terjadinya peradangan
dan fibrosis, dan dikelilingi oleh lobulus dengan fitur kolestasis dan derajat hepatosit berinti
raksasa multipel yang bervariasi.13,14
Studi epidemiologi, patologi dan bentuk klinis dari atresia bilier melibatkan banyak
faktor dalam patogenesis penyakit, seperti defek embriogenesis; sirkulasi janin atau
prenatal abnormal; faktor genetik; infeksi virus; respon inflamasi abnormal; autoimunitas;
dan faktor-faktor lain yang berpengaruh.15 Faktor-faktor yang tampaknya berbeda dapat
dikelompokkan ke dalam kategori yang didefinisikan secara luas sebagai morfogenesis yang
abnormal, faktor lingkungan dan disregulasi inflamasi, yang dapat saling mempengaruhi
dalam menghasilkan fenotipe atresia bilier tertentu.16

Defek Embriogenesis
Defek pada perkembangan hati dan saluran empedu mungkin diakibatkan oleh
pengaruh genetik atau mungkin timbul dari gangguan sirkuit biologis yang penting
pada organogenesis. Mutasi genetik dan/atau varian yang relevan dengan embriogenesis
mungkin berhubungan dengan patogenesis atresia bilier, seperti yang diduga terjadi pada
9
BASM dan defek lateral (anomali determinasi organ viseral kiri-kanan) 2 01 dibandingkan
e t
dengan jenis antesia bilier lainnya. Gangguan molekuler sirkuitarkompleks selama periode
M
9yang
embriogenesis yang rentan juga bisa terjadi akibat gangguan tro terjadi pada waktu yang
tepat dalam embriogenesis, dengan potensi memprogram a s ulang diferensiasi selular dan
G
p at gangguan yang secara khusus terjadi
luaran perkembangan abnormal. Meskipun tidak r a ada
selama embriogenesis yang dikaitkan langsungntuk dengan terjadinya atresia bilier, adanya sel
ou
abnormal pada perkembangan saluran
a str empedu diduga17menghasilkan malformasi yang
bertahan sampai setelah bayi lahirG
j ar pada beberapa pasien.
kuA
u
Sirkulasi Abnormal
Fi le B
Janin Atau Prenatal
Potensi defek sirkulasi prenatal berhubungan dengan patogenesis penyakit berdasarkan
adanya varian anatomis arteri hati pada beberapa pasien dengan atresia bilier, temuan
hiperplasia arteri atau hipertrofi pada spesimen hati dan tentang pentingnya aliran darah
arteri terhadap integritas duktus bilier/saluran empedu.18 Meskipun hanya terdapat data
terbatas yang mendukung mekanisme ini, namun dapat terjadi perubahan arteri yang
mungkin didorong oleh sinyal pertumbuhan primer, atau respon yang mewakili lingkungan
mikro penyakit dimana mungkin memiliki banyak sinyal pertumbuhan yang mendukung
terjadinya angiogenesis.1

Dismaturitas
Atresia bilier kongenital dicurigai berasal dari inflamasi duktus biliaris pada masa prenatal
yang akhirnya menyebabkan sklerosis dan obliterai sistem bilier. Agen penyebab inflamasi
dapat berupa infeksi, zat kimia ataupun proses imunologi. Dismaturitas menyebabkan
insufisiensi induksi, produksi atau aktifitas hormon intrinsik usus sehingga menyebabkan
gangguan aliran bilier atau bahkan pengentalan cairan empedu.20

495
Bab 32 Atresia Bilier

Faktor Genetik
Berdasarkan wujud klinis AB dapat dibedakan menjadi bentuk embrionik atau fetal
(kongenital) dan bentuk progresif post natal (posteriori). Mutasi gen yang mengatur
pembentukan duktus biliaris dapat bertindak sebagai faktor yang rentan atau sebagai gen
pengubah (modifier gene). Dalam satu studi genetik pada 102 kasus AB, sembilan pasien
mengalami mutasi abnormal pada jagged 1, suatu ligan signaling Notch. Studi lain meneliti
ekspresi reseptor Notch di hepar pasien dengan AB dan menemukan bahwa ekspresi Notch
3 meningkat pada sel mesenkim dan neovessels. Hasil ini menunjukkan bahwa abnormalitas
signaling Notch dapat menjadi predisposisi kejadian AB. Penting untuk dicatat bahwa sekitar
10% pasien AB juga memiliki malformasi kongenital lainnya yang berhubungan dengan
abnormalitas aksis kiri-kanan, sehingga menunjukkan bahwa protein yang meregulasi
pola kiri-kanan juga terlibat dalam proses penyakit. Termasuk didalamnya adalah silia
terkait protein Inversin, Nodal co-factor Cryptic (CFC1), dan zinc finger transcription factor
ZIC3. Mutasi heterozigot pada CFC1 ditemukan pada pasien AB dan polisplenia, serta
polimorfisme CFC1 (Ala145Thr) diidentifikasi pada 5 dari 10 pasien. Selain itu, analisis
komparatif ekspresi gen di hepar yang menunjukkan bentuk kongenital dan AB posteriori
memperlihatkan gambaran ekspresi gen unik dalam bentuk kongenital. Jumlah chromatin-
modifying genes meningkat, namun yang lebih signifikan adalah19ekspresi gen lateralis
20
ret
SPROUTY4, LEFT-YA dan ZIC3 yang berbeda antara bentuk AB kongenital dan posteriori.
Analisis gene pada hepar yang memiliki bentuk AB posteriori M a menunjukkan anomali pada
9
ekspresi beberapa gen yang terlibat dalam morfogenesis,stro fibrogenesis, regulasi transkripsi
Ga gen ini menunjukkan mekanisme
dan cell signaling. Namun demikian, apakah anomali
p at
ra
patogenik atauah hasik dari perkembangank penyakit sampai saat ini masih belum jelas.21
untu
ro
Infeksi Virus G ast
Ajar
Agen mikroba, terutama u virus, telah terlibat dalam etiologi atresia bilier. Virus seperti
B
cytomegalovirus, humanuk papillomavirus, herpes virus 6 manusia, virus Epstein-Barr, reovirus
e
Fil
dan rotavirus ditemukan pada kelompok pasien tertentu.22Salah satu faktor yang mungkin
membatasi identifikasi virus termasuk variabilitas dalam metodologi yang digunakan
untuk mendeteksi infeksi. Misalnya infeksi sitomegalovirus terdeteksi dengan mengukur
kadar serum antibodi IgM anti-cytomegalovirus, aktivasi limfosit dan footprinting molekul
respon kekebalan terhadap infeksi virus. Infeksi Reovirus terdeteksi dengan mengukur
kadar serum antibodi IgG dan IgM anti-reovirus 3.23,24

Inflamasi Abnormal dan Autoimunitas


Di antara semua faktor yang diusulkan terkait dengan patogenesis atresia bilier, sistem
imun tubuh menjadi pusat perhatian, sebagaimana dibuktikan infiltrasi sel inflamasi pada
sel hati,ekspresi sitokin berlebihan dan/atau kemokin pada saat diagnosis.25

496
Buku Ajar Gastrohepatologi

32.6 Klasifikasi
Atresi bilier sering kali timbul terisolasi tanpa disertai dengan malformasi lainnya (~90%),
namun dapat juga menjadi suatu bagian dari sindroma. Atresia bilier sindromik dapat
dihubungkan dengan berbagai macam anomali kongenital seperti polisplenia atau asplenia
(100%), situs inversus (50%), vena porta perduodenal (60%), tidak ditemukanya vena cava
inferior retrohepatik (40%) atau anomali kardiak (50%).26
Berdasarkan anatomi AB diklasifikasikan sesuia dengan derajat berat obstruksi.
Klasifikasi yang umum digunakan adalah klasifikasi Jepang dan Anglo-Saxon yang terdiri
dari 3 jenis utama, yaitu :27
• Tipe I: atresia terbatas pada duktus biliaris komunis saja, kandung empedu dan duktus
hepatikus paten (AB distal).
• Tipe II: atresia mempengaruhi duktus hepatikus, namun duktus intrahepatik
proksimalnya paten (AB proksimal).
o Tipe IIa: kandung empedu dan duktus biliaris komunis paten (kadang disertai
dengan kista pada hilus (AB kistik)),
o tipe IIb: terdapat obliterasi kandung empedu, duktus sistikus dan duktus biliaris
komunis. 9
• Tipe III: terdapat diskontinuitas duktus hepatikus intrahepatika 2 01 bilateral dan juga
re t
seluruh traktus biliaris ekstrahepatik (AB komplit).
9 Ma
Atresia bilier komplit (Jepang/ Anglo-Saxon tipe III) ropaling sering ditemukan (73%),
diikuti dengan subkomplit (tipe IIb, 18%), kemudian G ast AB kistik (tipe IIa, 6%) dan AB
at
distal (tipe I, 3%).26 r ap
k
untu
ro
ast
32.7 Diagnosis jar
G
u A
uk
Diagnosis Prenatale B
Fil
Atresia bilier dapat dicurigai sebelum kelahiran, ketika diamati adanya struktur kistik pada
porta hepatis. Jika demikian maka pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan segera setelah
lahir, untuk membedakan dengan kista koledokus, yang tidak memerlukan intervensi
segera, dengan bentuk kistik AB, yang memerlukan tindakan operatif segera.28

Gambaran Klinis
Setelah lahir, trias klasik AB terdiri dari (i) ikterus (terkonjugasi, dan menetap lebih dari usia
dua minggu setelah lahir), (ii) tinja akolik dan warna urine gelap, serta (iii) hepatomegali.
Warna tinja akolik/ dempul ini sangat penting untuk dipastikan bukan hanya dengan cara
melakukan anamnesis, tetapi lebih baik apabila dilihat sendiri oleh dokter. Dokter dapat
meminta orangtua untuk mengumpulkan tinja bayinya selama sehari dalam 3 periode
masing-masing 8 jam. Tinja yang berasal dari 3 waktu yang berbeda tersebut disebut tinja 3
porsi. Pada atresia bilier hasil pengumpulan tinja 3 porsi pada umumnya seluruhnya akan
berwarna putih pucat (dempul). Seluruh kasus ikterus neonatorum yang menetap lebih
dari 14 hari harus dicurigai sebagai AB atau kolestasis neonatorum dengan penyebab lain.

497
Bab 32 Atresia Bilier

Pada stadium dini bayi tampak sehat dan tidak ada tanda- tanda gagal tumbuh. Namun
pada stadium lanjut akan tampak gejala klinis yang jelas, seperti splenomegali dan asites,
yang merupkan tanda hipertensi portal, serta perdarahan gastrointerstinal dan intrakranial
akibat hipertensi portal atau gangguan absorbsi vitamin K.29

Pemeriksaan Laboratorium
Pada kasus AB, uji biokimia fungsi hati akan serupa dengan gambaran kolestasis, dengan
peningkatan kadar bilirubin total dan terkonjugasi (bilirubin total >20 μmol/L, dimana >20%
terkonjugasi), disertai dengan kadar gamma-glutamil transpeptidase dan alkali fosfatase
meningkat. Kadar bilirubin direk serum umumnya berkisar 3-12 mg/dl, aminotrasferase
abnormal, dan kadar SGOT dan SGPT berkisar antara 80-200 IU/L. Gamma-glutamyl
transpeptidase (GGT) seringkali meningkat, berkisar 100-300 IU/L. Kadar kolesterol
serum umumnya meningkat pada AB tetapi trigliserida normal. Kadar albumin dan waktu
protrombin pada umumnya masih normal pada awal penyakit, tetapi abnormal pada
keadaan lanjut.30

Pemeriksaan Radiologi
190
Ultrasonografi abdomen merupakan pemeriksaan radiologi non-invasif t2 pilihan pertama
dan menjadi baku emas dalam menegakkan diagnosis AB.M are
Pemeriksaan dilakukan setelah
9 empedu menciut, hilus hepar
8-12 jam puasa, dimana dicurigai AB jika didapatkan kandung
stro
tampak hiperekoik (“triangular cord sign”) atau jika Ga
p at didapatkan kista pada hilus hepar tanpa
dilatsi duktus biliaris. Polisplenia, vena portarapreduodenal, atau tidak tampaknya vena cava
retrohepatika dapat dijumpai pada bayi tuk
ndengan AB sindromik. Kurang lebih 20% kasus AB
31ro
u
memiliki kandung empedu paten. ast
Skintigrafi hepatobilier
j ar G menggunakan derivat technetium-labeled iminodiacetic
A
ku
acid bertujuan untuk umelakukan penilaian yang dinamis dan objektif pada fungsi parenkim
e B
Fil
hati dan juga ekskresi bilier. Pada AB hasil pemeriksaan ini akan menunjukkan kurangnya
ekskresi radio-isotop pada usus; namun hal ini juga dapat dijumpai pada kolestasis neonatal
yang non-obsruktif.32
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) mulai banyak digunakan
pada kasus kolestasis neonatal, pemeriksaan ini memberikan visualisasi struktur traktus
bilaris sehingga dapat menyingkirkan adanya AB. Pada studi di Korea, diagnosis AB
menggunakan MRCP memberikan akurasi 98%, dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas
96%. Namun demikian kolangiografi masih tetap dijadikan baku emas diagnosis AB.33

Pemeriksaan Invasif
Ketika AB belum dapat dieksklusi, khususnya karena kandung empedu masih tampak,
maka kolangiografi diperlukan untuk menilai morfologi traktus biliaris dan menyakinkan
bahwa ada patensi antara hepar dengan usus. Kolangiogram dapat dilakukan melalui
perkutaneus, laparoskopi, laparotomi terbuka, atau melalui endoscopic retrograde cholangio-
pancreatography (ERCP). Uji definitif lain untuk menegakkan diagnosis AB adalah dengan
biopsi hepar, umumnya dilakukan bersamaan dengan kolangiografi. Gambaran utama
AB adalah traktus biliaris berisi sel radang dan fibrotik yang melingkupi duktus, dengan

498
Buku Ajar Gastrohepatologi

fibrosis pada parenkim hepar yang merupakan tanda adanya kolestasis, serta proliferasi
stuktur neoduktal biliaris.34

32.8 Diagnosis Banding


Penyebab lain kolestasis neonatal harus disingkirkan untuk menegakkan suatu AB.
Diagnosis banding paling umum adalah sindrom Alagille, progressive familial intrahepatic
cholestasis (PFIC), defisiensi alpha-1-antitrypsin dan juga cystic fibrosis. Jika penyebab lain
sudah disingkirkan, terutama ketika pada hasil USG gambaran kandung empedu tampak
normal, maka kolangiografi dan biopsi hepar harus dilakukan.35

32.9 Tata Laksana Bedah


Tata laksana AB saat ini berurutan dan terdiri dari dua tahap : (1) Hepato-porto-enterostomi
(HPE) Kasai pada periode neonatus, guna mengembalikan aliran bilier ke usus dan sebisa
mungkin mempertahankan fungsi hepar; (2) transplantasi hepar, jika operasi Kasai tidak
berhasil mengatasi keluhan ikterus atau jika timbul komplikasi sirosis bilier di kemudian
9
hari. Tindakan HPE Kasai tetap menjadi tatalaksana inisial yang 2 01 dipilih walaupun
re t
Ma
diperkirakan 80% pasien dengan AB pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hepar.
Studi di Perancis dari 271 pasien yang dianalisa, hanya 23% o 9
yang hidup tanpa memerlukan
transplantasi hepar. Tujuan operasi Kasai adalah untuk a str
mengembalikan aliran bilier antara
atG
hepar dengan usus, menggunakan cabang Roux-en-Y, ap yang dianastomosiskan dengan porta
hepatis setelah reseksi biliaris.36 tu kr
n
Diagnosis AB pada awal operasi trou
ditegakkan melalui inspeksi hepar dan traktus biliaris.
s
Pada umumnya diagnosis dapat r Ga
ditegakkan jika tampak hepar yang kolestatik atau bahkan
A ja
fibrotik dan juga kandung uempedu yang fibrotik. Jika kandung empedu paten, atau jika
Buk
e
didapatkan adanya ikista pada hilus hepar makan harus dilakukan kolangiografi. Harus
Fl
diperhatikan warna dari isi kista atau kandung empedu (kuning-hijau vs transparan),
karena berguna sebagai informasi jenis AB sehingga pendekatan operatif dapat disesuaikan.
Dengan menggunakan teknik konvensional maka ikterus dapat hilang pada 50 – 60%
kasus.37
Sebuah penelitian di Cina mendapatkan bahwa pemberian terapi steroid post-operatif
dapat meningkatkan luaran penyakit. Pemberian prednisolone rutin dapat menurunkan
kadar bilirubin setelah operasi. Steroid memberikan efek mediasi melalui ekspresi
reseptor glukokortikoid, yaitu GcRαdan GcRβ. Steroid memiliki efek koleretik yang dapat
meningkatkan pertukaran elektrolit di kanalis melalui induksi Na-K-ATPase dan juga
stimulasi aliran empedu sehingga inflamasi pada duktus biliaris akan berkurang disertai
dengan deplesi dari limfosit.38
Hal ini juga didukung oleh studi yang dilakukan di Amerika, dimana pemberian steroid
dengan dosis imunosupresi akan meningkatkan luaran klinis AB dalam 5 tahun pertama
setelah operasi, yang diukur dengan status bebas ikterus dan kesintasan tanpa memerlukan
transplantasi. Pemberian imunosupresif berupa predinisone oral dengan dosis awal 4 mg/
kg BB/hari selama 2 minggu, lalu diikuti dengan 2 mg/kg BB/hari selama 2 minggu, lalu

499
Bab 32 Atresia Bilier

1 mg/kg BB/hari selama 2 minggu kemudian di tappering off selama 2-4 bulan, terbukti
aman dan memberikan dampak yang positif.39

Transplantasi Hepar
Jika operasi Kasai tidak berhasil, dimana tidak terjadi perbaikan pada aliran bilier, dan/
atau timbul komplikasi medis berupa sirosis bilier (walaupun ikterus sudah menghilang),
maka transplantasi hepar harus dilakukan. Umumnya transplantasi hepar pada pasien AB
dilakukan pada tahun pertama atau kedua kehidupan. Transplantasi hepar tidak ditunda
terlalu lama jika tanda dan gejala yang mengindikasikan sudah tampak jelas. Tujuan
transplantasi hepar adalah mencapai kehidupan normal, sehingga perkembangan fisik,
intelektual, psikologis, seksual dan sosial dapat berjalan dengan normal.40

32.10 Komplikasi
Komplikasi Bedah
Komplikasi bedah setelah HPE jarang ditemukan. Komplikasi merupakan komplikasi
9 ileus, kebocoran
01
standar yang didapatkan setelah operasi abdomen antara lain 2adhesi
re t
anastomosis usus atau intususepsi pada titik pangkal Roux-en-Y,
Ma
serta hernia internal.
9
Perdarahan porta hepatis atau kebocoran pada hilusroanastomosis spesifik untuk HPE,
st
namun sangat jarang ditemukan.4 Ga
at
r ap
k
Komplikasi Pasca Bedah untu
ro
Kolangitis ast
G
Ajar
u ku
Bayi rentan terhadap kolangitis asendens selama minggu pertama setelah operasi, diman
terjadi pada 30-60%B
e kasus. Infeksi ini dapat menjadi berat dan mematikan. Secara klinis
Fil dan gejala sepsis, ikterus timbul kembali, tinja akolik dan kemungkinan
akan tampal tanda
nyeri perut; kultur darah dapat positif. Terapi meliputi antibiotik intavena selama 2 – 3
minggu. Kolangitis rekuren mungkin membutuhkan antibiotik profilaksis kontinu. Jumlah
episode kolangitis memberikan dampak negatif pada keberhasilan operasi Kasai. Semakin
sering episode kolangitis maka probabilitas kejadian sirosis akan lebih besar dan luaran
HPE akan lebih buruk.42

Hipertensi Portal
Hampir setengah dari pasien AB menunjukkan tanda fibrosis pada saat dilakukan
prosedur Kasai. Temuan ini berhubungan dengan tekanan portal yang tinggi, yang
kemudian berpengaruh pada menurunnya tingkat kesuksesan operasi dan meningkatkan
pembentukan hipertensi portal. Seiring dengan perjalanan penyakit, semua pasien dengan
AB akan mengalami fibrosis portal, sirosis dan hipertensi portal. Lokasi paling umum
terjadinya varises adalah esofagus, lambung, anastomosis Roux loop pada daerah jejunum
dan anorektal. Pda kasus hipertensi portal yang berkaitan dengan gagal hepar progresif
dan/atau ikterus persisten maka transplantasi hepar harus dilakukan.43

500
Buku Ajar Gastrohepatologi

Sindrom Hepatopulmonal dan Hipertensi Pulmonal


Pada pasien dengan penyakit hepar kronik yang berat, dimana timbul portosystemic
shunt akibat hipertensi portal, maka dapat terbentuk sindrom hepatopulmonal yang
berhubungan dengan intrapulmonary arteriovenous shunting, yang ditandai dengan
hipoksemia, sianosis dan dispneu tanpa disertai dengan penyakit jantung atau paru
primer. Sindrom hepatopulmonal merupakan komplikasi pada pasien AB yang memiliki
indikasi untuk dilakukan transplantasi hepar. Mekanisme serupa juga dapat menyebabkan
proses vasokonstriksi/obtliterasi yang mempengaruhi arteri pulmonal dan menyebabkan
peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal, yang dikenal dengan hipertensi
portopulmonal.44

Keganasan
Sirosis hati dapat berkembang lebih lanjut menjadi keganasan seperti karsinoma
hepatoseluler, hepatoblastoma, dan kolangiokarsinoma. Uji tapis alpha-fetoprotein dan
pemeriksaan USG harus dilakukan pada pasien AB dengan sirosis bilier sekunder untuk
deteksi dini.45

19
32.11 Luaran Pasien dengan Atresia Bilieraret 20
Sebelum operasi Kasai berkembang, hampir semua pasientrAb
9M
o meninggal sebelum mencapai
usia 2 tahun. Tindakan Kasai sejak tahun 1970 telahG as merubah prognosis penyakit ini,
at
namun demikian masih banyak yang meninggal r ap akibat komplikasi sirosis bilier. Setelah
tuk 1980, luaran AB meningkat signifikan,
diperkenalkan transplantasi hepar padauntahun
ro
ast berkembang mencapai 90%.
dimana angka kesintasan pada negara 46

G
Ajar
u
Buk
i l e
Daftar PustakaF
1. Butler AE, Schreiber RA, Yanchar N, Emil S, Laberge JM. The Canadian biliary atresia registry :
Improving the care of Canadian infants with biliary atresia.Paediatr Child Health. 2016; 21:131-
4.
2. Sokol RJ, Mack C, Narkewicz MR, Karrer FM. Pathogenesis and outcome of biliary atresia:
current concepts. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2003;37:4–21.
3. McKiernan PJ, Baker AJ, Kelly DA. The frequency and outcome of biliary atresia in the UK and
Ireland. Lancet. 2000;355:25-9.
4. Kasai M, Suzuki S. A new operation for “non-correctable” biliary atresia, hepatic portoenterostomy.
Shujutsu. 1959; 13:733–739.
5. Chardot C, et al. Improving outcomes of biliary atresia: French national series 1986–2009. J.
Hepatol. 2013; 58:1209–1217.
6. Hsiao CH, et al. Universal screening for biliary atresia using an infant stool color card in Taiwan.
Hepatology. 2008; 47:1233–1240.
7. Hsiao CH, Chang MH, Chen HL, Lee HC, Wu TC, Lin CC et al. Universal screening for biliary
atresia using an infant stool color card in Taiwan. Hepatology. 2008;47:1233–40.
8. Fallon SC, Chang S, Finegold MJ, Karpen SJ, Brandt ML. Discordant presentation of biliary
atresia in premature monozygotic twins. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2013;57:22–3.

501
Bab 32 Atresia Bilier

9. Dehghani SM, Efazati N, Shahramian I, Haghighat M, Imanieh MH. Evaluation of cholestasis


in Iranian infants less than three months of age. GastroenterolHepatol Bed Bench. 2015;8:42–8.
10. Hoerning A. Diversity of disorders causing neonatal cholestasis—the experience of a tertiary
pediatric center in Germany. Front Pediatr. 2014;2:65.
11. Lee WS, Chai PF, Boey CM, Looi LM. Aetiology and outcome of neonatal cholestasis in Malaysia.
Singapore Med J. 2010;51:434–9.
12. Stormon MO, Dorney SF, Kamath KR, O’Loughlin EV, Gaskin KJ. The changing pattern of diagnosis
of infantile cholestasis. J Paediatr Child Health. 2001;37:47–50.
13. Schreiber RA, Kleinman RE. Biliary atresia. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2002;35:11–6.
14. Russo P. Design and validation of the biliary atresia research consortium histologic assessment
system for cholestasis in infancy. Clin Gastroenterol Hepatol. 2011;9:357–62.
15. Balistreri WF. Biliary atresia: current concepts and research directions. Summary of a symposium.
Hepatology. 1996;23:1682–92.
16. Bezerra JA. The next challenge in pediatric cholestasis: deciphering the pathogenesis of biliary
atresia. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006;43: 23–9.
17. Asai A, Miethke A, Bezerra JA. Pathogenesis of biliary atresia : defining biology to understand
clinical phenotypes. Nat Rev Gastroenterol Hepatol. 2015;12:342-52.
18. dos Santos JL, da Silveira TR, da Silva VD, Cerski CT, Wagner MB. Medial thickening of hepatic
artery branches in biliary atresia. A morphometric study. J. Pediatr. Surg. 2005; 40:637–642.
19. de Souza AF, et al. Angiopoietin 1 and angiopoietin 2 are associated with medial thickening of
9
hepatic arterial branches in biliary atresia. Pediatr. Res. 2014; 75:22–28. 2 01
20. Michel E, Kilavuz O, Jager R, Nasir R. Biliary atresia due toardelayed e t maturation of the gut
hormone’s system? – Introducing a new treatment modality. 9 M
J Perinat Med. 2004;32:288-92.
tro
21. Nakamura K, Tanoue A. Etiology of biliary atresia as aasdevelopmental anomaly: recent advances.
G
at
Journal of Hepato-Biliary-Pancreatic Sciences.p2013;20:459-64.
a
r evidence for a virus-induced autoimmune disease.
tuk
22. Mack CL. The pathogenesis of biliary atresia:
Semin. Liver. Dis. 2007; 27:233–242. un
ro interferon-induced Mx proteins in biliary atresia. J. Pediatr.
23. Al-Masri AN, et al. Expression aofstthe
Surg. 2006; 41:1139–1143.jar G
A T, Nakata M, Ono S, Mise N, et al. Evidence for viral infection as a
ku
24. Saito T, Terui K, Mitsunaga
u
causative factorleofBhuman biliary atresia. J Ped Surg. 2015;50:1398-1404.
Fi
25. Petersen C, Davenport M. Aetiology of biliary atresia: what is actually known? Orphanet. J. Rare.
Dis. 2013; 8:128.
26. Davenport M, Bezerra JA, Sokol RJ. A challenge on the use of the words embryonic and perinatal
in the context of biliary atresia.Hepatology. 2005; 41:403-5.
27. Davenport M, Tizzard SA, Underhill J, Mieli-Vergani G,Portmann B, Hadˇzi´c N. The biliary
atresia splenic malformation syndrome: a 28-year single-center retrospective study. Journal of
Pediatrics. 2006;149:393–400.
28. Redkar, Davenport M, Howard ER. Antenataldiagnosis of congenital anomalies of the biliary
tract.Journalof Pediatric Surgery.1998;33700–4.
29. Emerick KM, Whitington PF. Neonatal liver disease. Pediatric Annals.2006;35; 280-6.
30. Oldham K, Colombani P, Foglia R.Principles and Practice of Pediatric Surgery, Lippincott
Williams & Wilkins,2005.
31. Li SX, Zhang Y,Sun M. Ultrasonic diagnosis of biliary atresia: a retrospective analysis of 20
patients.World Journal of Gastroenterology. 2008; 14: 3579–82.
32. Takaya J, Nakano S, Imai Y, Fujii Y, Kaneko K. Usefulness of magnetic resonance
cholangiopancreatography in biliary structures in infants: a four-case report.EuropeanJournal
of Pediatrics. 2007;166: 211–4.
33. Han SJ, Kim MJ, Han A. Magnetic resonance cholangiography for the diagnosis of biliary atresia.
Journalof Pediatric Surgery. 2002;37:599–604.

502
Buku Ajar Gastrohepatologi

34. Shteyer E, Wengrower D, Benuri-Silbiger I.Endoscopic retrograde cholangiopancreatography in


neonatal cholestasis. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2012;55:142–5.
35. Moyer V, Freese DK, Whitington PF.Guideline for the evaluation of cholestatic jaundice in
infants: recommendation of the North American Society for Pediatric Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition.Journal ofPediatric Gastroenterology and Nutrition. 2004;39:115-28.
36. Carceller A, Blanchard H, Alvarez F, St-Vil D, Bensoussan AL, Di Lorenzo M. Past and future of
biliary atresia.Journal of Pediatric Surgery.2000;35: 717–20.
37. Davenport M, Ong E, Sharif K.Biliary atresia in England and Wales: results of centralization and
new benchmark.Journal of Pediatric Surgery.2011;46:1689–94.
38. Chung HY, Wong KKY, Lan LCL, Tam PKH. Evaluation os standarized protocol in the use of
steroids after Kasai operation. Pediatr Surg Int. 2008;24:1001-4.
39. Dillon PW, Owings E, Cilley R, Field D, Curnow A, Georgeson K. Immunosuppression as
adjuvant therapy for biliary atresia. J Pediatr Surg. 2001;36:80-5.
40. Vera A, Villaveces D, Lopez R.Orthotopic liver transplantation for biliary atresia complicated
by incidental cholangiocarcinoma.Journal of Pediatric Gastroenterologyand Nutrition.
2012;55:336-7.
41. Eberhardt CS, Merlini L, Mclin VA, Wildhaber BE.Cholestasis as the leading sign of a
transmesenteric hernia in a split-liver transplanted child—a case report and review of literature.
Pediatric Transplantation. 2012;16:172-6.
42. Wildhaber BE, Coran AG, Drongowski RA.The Kasai portoenterostomy for biliary atresia: a
9
review of a 27-year experience with 81 patients. Journal of Pediatric Surgery.
2 01 2003;38:1490-5.
43. Duch´e M, Hab`es D, Roulleau P, Haas V, Jacquemin E, BernardarO.
t
e Prophylactic endoscopic
sclerotherapy of large esophagogastric varices in infants with 9 M
biliary atresia. Gastrointestinal
stro
Ga
Endoscopy. 2008;67:732-7.
44. Condino AA, Ivy DD, O’Connor JA.Portopulmonary p at hypertension in pediatric patients.Journal
a
ofPediatrics.2005;147:20-6.
tu kr
n
45. Kim JM, Lee SK, Kwon CH.Hepatocellular
tro u carcinoma in an infant with biliary atresia younger
as
than 1 year.Journal of Pediatric Surgery. 2012;47:819-21.
46. Chardot C, Serinet MO. Prognosis
j ar G of biliary atresia: what can be further improved?. Journal of
A
ku
Pediatrics. 2006;148:432-5.
e Bu
Fil

503
BAB

33
Non Alcoholic Fatty Liver Disease
Ninung RD Kusumawati

33.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak perempuan usia 12 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan mudah lelah
dan nyeri abdomen ringan. Anak tampak gemuk. Asupan makanan sangat baik. Anak
kurang aktivitas, hobi menonton televisi dan bermain game. Dari pemeriksaan antropometri
didapatkan hasil: BB 57 kg, TB 145 cm, BMI > 95th. Kesan: obesitas. Setelah dilakukan
USG didapatkan hasil fatty liver grade 2. Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium,
didapatkan peningkatan SGOT dan SGPT. Dari skrining penyakit hati yang lain didapatkan
hasil yang normal. Kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada anak.

33.2 Pendahuluan
Saat ini penyakit perlemakan hati non-alkohol (non alcoholic fatty liver disease/NAFLD)
merupakan kelainan hati yang sering dijumpai. Prevalensinya mencapai 25% dari seluruh
populasi dan prevalensinya meningkat menjadi sekitar 70 % pada penderita obesitas.
Jumlah penderita NAFLD diprediksi semakin meningkat seiring dengan kenaikan jumlah
penderita obesitas. 1
Penyakit perlemakan hati non alkohol (NAFLD) merupakan kumpulan gangguan
yang ditandai dengan steatosis hati makrovesikular, fibrosis, dan penyakit hati stadium
akhir, dan muncul pada individu tanpa adanya hubungan dengan konsumsi alkohol.2,3,4
Simple steatosis menggambarkan akumulasi abnormal lemak di lebih dari 5% dari hepatosit,
tanpa bukti cedera hepatoseluler atau fibrosis. Pasien-pasien dengan simple steatosis dapat
melanjut menjadi non-alcohol steatohepatitis (NASH), suatu keadaan dimana steatosis
disertai dengan cedera hepatoselular dan peradangan, yang dapat memicu nekrosis hati,
fibrosis dan sirosis, yang kemudian akan meningkatkan terjadinya karsinoma hepatoselulea.5
NAFLD merupakan komponen dari suatu sindrom metabolik yang ditandai dengan
obesitas, hiperinsulinemia, resistensi insulin perifer, diabetes, hipertrigliseridemia, dan
hipertensi.6 NAFLD kini diketahui sebagai salah satu bentuk tersering penyakit hati
kronik di negara-negara berkembang dengan prevalensi diperkirakan mencapai 10-24%
dari seluruh populasi.7 Dari penelitian Arthur didapatkan data bahwa semua anak dengan
NAFLD menderita obesitas.8 Dari keseluruhan pasien dengan NAFLD, 5% akan berkembang
menjadi sirosis hepatis dalam waktu 7 tahun dan 1.7% meninggal karena sirosis hepatis.9

504
Buku Ajar Gastrohepatologi

33.3 Definisi
Penyakit perlemakan hati non alkohol atau non alcoholic fatty liver disease (NAFLD)
didefinisikan sebagai deposisi atau timbunan lemak di hati yang berhubungan dengan
resistensi insulin dimana pada individu yang rentan dapat berhubungan dengan kerusakan
hepatoselular oksidatif, inflamasi dan aktivasi fibrinogenesis. Sehingga dikatakan bahwa
spektrum klinis-patologis NAFLD dimulai dari steatohepatitis (NASH) sampai sirosis dan
penyakit hati stadium akhir yang ditandai dengan steatosis hati makrovesikular, fibrosis,
dan muncul pada individu tanpa adanya hubungan dengan konsumsi alkohol.2,3,4,10,11
Pustaka lain menyebutkan bahwa definisi NAFLD memerlukan adanya bukti steatosis liver
baik secara pencitraan maupun secara histologi dan tidak ditemukan sebab lain untuk
akumulasi lemak dalam liver seperti konsumsi alkohol, obat-obat steatogenik atau kelainan
heriditer.12

Tabel 33.3.1. Definisi spektrum histopatologi klinis NAFLD10


Spektrum histopatologis Definisi
Simple steatosis Minimal didapatkan 5% sel hati dengan infiltrasi lemak mikro atau makrovesikular
NAFLD 19seluruh kondisi yang ada
Bentuk jinak dari simple steatosis dan inflamasi ringan, atau ringkasan istilah dari
20
t atau tanpa fibrosis
ae
NASH Tipe dewasa: steatosis dengan degenerasi balon dan inflamasi lobular,rdengan
perisinusoidal, dan dengan atau tanpa inflamasi portal
9 M
tro inflamasi portal, dengan atau tanpa disertai
Tipe pediatrik: steatosis hepatoselular makrovesikular dengan
s
fibrosis portal, tanpa degenerasi balon dan fibrosis G a
perisinusoidal
at
Sirosis rap stadium 4 sirosis)
Fibrosis derajat berat (stadium 3 bridging fibrosis,
k
u ntu
ro
G ast
r
33.4 Insiden dankuPrevalensi
Aja
Bu
i le
Prevalensi NAFLDFbervariasi sesuai ras/etnis. Studi di AS menyatakan adanya peningkatan
4 kali lipat risiko steatosis pada ras Hispanik dibandingkan non Hispanik. Anak-anak dari
ras kulit putih dan asia juga mempunyai prevalensi yang tinggi dibanding anak-anak dari
ras Afro-Amerika. Prevalensi juga berbeda secara gender, dengan prevalensi laki-laki lebih
tinggi dibanding perempuan. Pada anak dengan obesitas, prevalensi lebih tinggi dibanding
populasi normal.13
Beberapa komorbiditas berhubungan dengan peningkatan prevalensi dan atau
keparahan NAFLD pada anak. Pada 2 studi NAFLD pada anak dikatakan bahwa obstructive
sleep apnea (OSA) berhubungan dengan kejadian NASH. Pasien-pasien anak dengan
panhipopituitarisme dan diabetes nampak memiliki peningkatan risiko kejadian NAFLD,
NASH, dan sirosis.13
Secara singkat dikatakan bahwa NAFLD memiliki prevalensi yang tinggi pada populasi
tertentu seperti, anak dengan obesitas, jenis kelamin laki-laki, ras Kaukasia, Asia, dan
Hispanik, dan anak-anak dengan prediabetes, diabetes, OSA dan panhipopituitarisme.13

505
Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease

33.5 Skrining
Sama seperti penyakit hati kronis yang lain, NAFLD sering asimptomatik. NAFLD sering
ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan penunjang baik laboratorium
maupun radiologi untuk penyakit lain. Skrining untuk NAFLD sebaiknya dilakukan,
mengingat bila diketahui dan dilakukan intervensi dini, maka progresifitas NAFLD
menjadi penyakit hati yang irreversible dapat dicegah. Diagnosis NAFLD harus secara aktif
dipertimbangkan pada seluruh anak > 10 tahun dengan overweight atau obesitas, khususnya
yang disertai hipertensi, hepatomegali, acanthosis nigrans, resistensi insulin dan diabetes
mellitus tipe II. 14,15

Rekomendasi NAPSGHAN untuk skrining NAFLD13


1. Anak-anak dengan kriteria tertentu sebaiknya dilakukan skrining untuk NAFLD.
[Strength 1, Evidence B ]
a. Skrining dipertimbangkan dimulai antara usia 9-11 tahun pada semua anak dengan
obesitas (BMI ≥95th persentil) dan anak dengan overweight (BMI ≥85th dan < 94th
persentil) dengan risiko tambahan (adipositas sentral, resistensi insulin, pre diabetes
9 riwayat NAFLD/
atau diabetes, dislipidemia, sleep apnea, atau keluarga dengan 2 01
t
NASH). [Strength 1, Evidence B]
M are
b. Skrining lebih awal dapat dipertimbangkan pada 9
o usia lebih muda yang disertai
faktor risiko seperti severe obesity, riwayat a str
keluarga dengan NAFLD/NASH atau
G
hipopituitarisme. [Strength 2, Evidence p at
B]
ra
c. Pertimbangkan skrining pada nsaudara tuk kandung dan orang tua dari anak dengan
NAFLD bila didapatkan faktor o u risiko NAFLD (obesitas, etnis Hispanik, resistensi
str
Ga
insulin, pre-diabetes, rdiabetes, dislipidemia). [Strength 2, Evidence C]
Aj a
2. Saat ini tes skrininguyang paling baik untuk skrining anak dengan NAFLD adalah ALT,
k
ubanyak
meskipun dengan e B keterbatasan. [Strength 1, Evidence B]
Fil hasil ALT harus didasarkan pada nilai batas atas normal sesuai jenis
a. Interpretasi
kelamin untuk anak (22 U/L untuk anak perempuan dan 26 U/L untuk anak laki-
laki) dan bukan nilai batas atas normal individual. [Strength 1, Evidence A]
b. Peningkatan persisten ALT (> 3 bulan) lebih dari 2 kali nilai batas atas normal harus
dievaluasi untuk NAFLD atau penyebab hepatitis kronis yang lain. [Strength 1, Evidence
C]
c. ALT >80 U/L memerlukan perhatian khusus dan evaluasi berkala, karena
kemungkinan terjadinya penyakit hati yang signifikan akan meningkat. [Strength 2,
Evidence C]
d. USG tidak direkomendasikan sebagai alat skrining untuk NAFLD pada anak-anak
berkait dengan sensitivitas dan spesifitas yang tidak adikuat. [Strength 1, Evidence B]
3. Follow-up skrining untuk NAFLD direkomedasikan. [Strength 2, Evidence C]
a. Bila didapatkan hasil skrining awal yang normal, pertimbangkan untuk mengulang
pemeriksaan ALT tiap 2-3 tahun (jika faktor risiko tidak berubah). [Strength 2, Evidence
C]
b. Pertimbangkan pengulangan skrining lebih awal jika faktor risiko klinis NAFLD
meningkat jumlah atau tingkat keparahannya. Contohnya, penambahan berat badan

506
Buku Ajar Gastrohepatologi

yang berlebihan atau munculnya masalah kesehatan lain yang meningkatkan risiko
NAFLD, seperti diabetes tipe 2 atau OSA. [Strength 2, Evidence C]

33.6 Diagnosis
Ada 3 jalur besar yang bisa dipikirkan saat secara klinis muncul kecurigaan akan NAFLD
(Gambar 33.6.1). Pasien yang didiagnosis NAFLD pada awalnya dapat muncul dengan
enzim hati yang abnormal atau hasil penunjang radiologis yang abnormal pada saat
dilakukan pemeriksaan untuk menegakkan kelainan lain.14
Pada praktek klinis, NAFLD biasanya dicurigai berdasarkan pada temuan adanya
peningkatan enzim transaminase dan atau temuan bright liver pada pemeriksaan USG
yang dijumpai pada anak yang tampak sehat dengan overweight (BMI antara persentil 85
dan 94) atau anak dengan obesitas (BMI ≥ 95th persentil). Prosedur diagnostik yang tersedia
meliputi temuan klinis, test laboratorium, dan pemeriksaan penunjang radiologis.15
NAFLD adalah suatu diagnosis eksklusi dimana diperlukan adanya steatosis
hepatis dengan tanpa ditemukannya penyebab lain dari steatosis hepatis selain NAFLD.
9
Mengevaluasi penyebab kenaikan kronis enzim hati untuk menegakkan 2 01 diagnosis NAFLD
t
sangat penting karena prosedur ini akan mengeksklusi penyebab
Mare lain penyakit hati
yang mungkin memerlukan tatalaksana spesifik yang berbeda 9 dengan NAFLD. Sampai
ditemukannya metode yang spesifik untuk NAFLD, a tro NAFLD masih merupakan
smaka
G
diagnosis eksklusi.13 p at
r a
tuk
Biopsi hati adalah standar untuk nmenentukan diagnosis dan tingkat keparahan
o u
NAFLD, termasuk adanya NASH, dan r
st mengeliminasi kemungkinan penyebab lain dari
kelainan hati. Biopsi hati memiliki r Gaketerbatasan dalam penentuan staging NSFLD karena
ja
u A bagian hati yang sulit diwakili oleh sebagian kecil sampel
keberagaman penyakit di kseluruh
u
yang diambil pada saat
i l e Bbiopsi. Sampel yang adekuat (≥ 2 cm) menurunkan risiko kesalahan
F tidak menutup kemungkinan adanya misklasifikasi. Liver biopsi
klasifikasi akan tetapi
merupakan prosedur yang aman pada anak-anak termasuk pada anak dengan overweight
atau obesitas. Keuntungan biopsi hati diantaranya adalah dapat mengidentifikasi penyakit
yang lebih berat dan progresif.13
Untuk menentukan derajat fibrosis pada NAFLD digunakan histologi hati dengan
menggunakan skala semi kuantitatif (0-4). Anak-anak dengan NAFLD dapat menderita
fibrosis tanpa menderita NASH. Secara umum, tanda dan gejala fibrosis yang parah dan
sirosis dapat berupa fatig, splenomegali, trombositopenia, rasio AST/ALT >1, spider
angiomata dan eritema palmaris. Sirosis dekompensasi dapat ditandai dengan abnormal
bruishing, pecahnya varises, asites, ikterik, pruritus, dan ensefalopati. Namun demikian
tanda dan gejala yang jelas dari sirosis sangat jarang ditemukan pada anak dengan NAFLD
dan NASH.13

Rekomendasi NAPSGHAN 13
1. Saat mengevaluasi anak yang dicurigai menderita NAFLD, direkomendasikan untuk
mengeksklusi etiologi yang mungkin menjadi penyebab peningkatan ALT dan atau

507
Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease

9
01
  Gambar 33.6.1. Investigasi pasien dengan NAFLDr14et 2
9 Ma
ro
G ast
steatosis hepatis dan mencari kemungkinan at adanya penyakit hati kronis yang lain.
r ap
[Strength 1, Evidence A] tuk
ndigunakan
2. Biopsi hati dipertimbangkan untuk u sebagai assessment NAFLD pada anak-
ro
anak yang berisiko tinggi G ast
menderita NASH dan atau Fibrosis berat. Tanda klinis yang
A jar
potensial untuk mengidentifikasi peningkatan risiko fibrosis meliputi nilai ALT yang
u
ksplenomegali,
tinggi (>80 U/L), Bu dan rasio AST/ALT >1. Faktor risiko klinis untuk
i le
NASH danFfibrosis berat meliputi panhypopituitarism dan diabetes tipe 2. [Strength 1,
Evidence B]
3. Penggunaan USG tidak direkomendasikan untuk penentuan steatosis berkait kurangnya
spesifitas dan sentivitas USG. USG dapat digunakan untuk menentukan penyakit hati
lain seperti massa, penyakit kandung empedu, perubahan yang berkait dengan hipertensi
portal, dll. [Strength 1, Evidence B]
4. Penggunaan CT-scan tidak direkomendasikan untuk menentukan steatosis berkait
risiko radiasi. [Strength 1, Evidence B]

Namun demikian, meskipun mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang terbatas,


USG dan tes fungsi hati masih merupakan pilihan pertama dalam mendiagnosis NAFLD
pada anak.16,17
Temuan radiologis dan histopatologi harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena kadar
aminotransferase serum dapat tetap normal pada sebagian besar kasus anak, terlepas dari
tingkat keparahan penyakit dan sering diabaikannya steatosis hati pada kasus NASH anak
yang advanced berkontribusi pada kesimpulan bahwa USG hati tidak sensitif. Bahkan
ada literature yang mengatakan bahwa biopsi hati tidak selalu dapat diandalkan pada

508
Buku Ajar Gastrohepatologi

ALAT DIAGNOSTIK
Kecurigaan klinis tinggi
1 2 3 4
Gambaran klinis Biomarker serum Biomarker serum Biomarker serum
• Kelebihan BB/obesitas • Transaminase ALT, AST • USG abdomen • Inflamasi
• Hipertensi (penyakit • Bilirubin total • MRI • Fibrosis
kardiovaskular) • Penanda proinflamasi • Computerised tomography • Infiltrasi selular
• Resistensi insulin (DM • Penanda profibrogenik • Elastografi transien
tipe 2) • Sitokin
• > 3 tahun • Penanda apoptosis
• Riwayat keluarga hepatosit
dengan NAFLD • Profil lipid (trigliserida,
• Hepatomegali asam lemak bebas,
• Acanthosis nigricans kolesterol)
• Autoantibodi serum

Gambar 33.6.2 Alat diagnostik untuk anak dan remaja dengan NAFLD5

kasus pediatrik NAFLD karena lesi steatosis hati kurang menyebar dan 9 ditandai dengan
2 01
perubahan histopatologi yang kurang jelas.5,10,17,18 re t
Peningkatan kadar berbagai biomarker telah diketahui 9 Ma pasien dengan NAFLD,
pada
ro apolipoprotein A1, bilirubin
termasuk AST dan ALT, fragmen sitokeratin 18 (CK-18),
G ast
total, asam hyaluronic, C-reaktif protein, fibroblast at
r ap growth factor-21, antagonis reseptor
interleukin 1, adiponektin, dan TNF. Namun, k sampai saat ini, belum ada biomarker yang
u ntu
dapat membedakan antara simple steatosis o dan NASH.5
a str
Aminotransferase (AST dan GALT) adalah biomarker serum yang paling sering dirujuk
A j ar
untuk mengetahui kerusakan u hati pada berbagai macam penyakit hati, termasuk NAFLD.
Pemeriksaan ini dapat B uk
diakses dengan mudah, biayanya rendah dan peningkatannya pada
e
Fil dengan diagnosis dan tingkat keparahan NAFLD pada dewasa.5,16,19,20,21
berbagai studi dikaitkan
Pada sebuah studi multisenter dengan sampel 176 anak, AST dan GGT dapat
memprediksi baik NAFLD maupun NASH tetapi kurang dapat membedakan secara
akurat dan andal kasus NASH dari steatosis sederhana.22 Namun, konsensus mengenai
nilai normal aminotransferase sampai saat ini belum ditentukan. Penelitian lain dari 502
subyek usia 18-64 tahun dengan NAFLD menunjukkan penurunan progresif ALT berjalan
linier seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan AST tetap stabil, hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan ALT pada usia anak mungkin kurang dapat digunakan sebagai alat
diagnosa dibanding pada dewasa.21 Hal penting yang harus diketahui adalah beberapa
studi telah melaporkan bahwa pada dua pertiga dari anak-anak dengan NASH tidak
didapatkan peningkatan serum ALT dan AST, bahkan pada penyakit yang parah.23-25 Nilai
AST dan ALT yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan adanya kerusakan hati yang
parah atau adanya fibrosis pada NAFLD anak. Ketika dijumpai nilai AST dan ALT yang
meningkat maka kecurigaan akan adanya kelainan hati harus ditingkatkan, terutama pada
anak dengan obesitas dan overweight dengan riwayat keluarga NAFLD, sehingga AST dan
ALT dapat digunakan sebagai alat skrining NAFLD.5

509
Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease

USG dikatakan merupakan alat yang efektif untuk mengidentifikasi steatosis hepatis
dan NASH ringan pada anak. Pada penderita NAFLD hati biasanya membesar dan tampak
echogenic atau bright, yang mengindikasikan adanya akumulasi lemak dalam parenkim hati.
Namun demikian USG tidak dapat menghitung peningkatan sesungguhnya dari steatosis
yang terjadi. Dan sensitivitas USG menurun secara signifikan pada kasus-kasus dimana
akumulasi lemak di hati < 30% pada individu dengan obesitas berat dan pada NASH
berat.19,26,27 USG juga tidak dapat membedakan antara steatosis fokal dan steatohepatitis.
Efektivitas USG juga sangat tergantung pada operator.5
Biopsi hati tetap merupakan baku emas untuk mendiagnosis NAFLD, membedakan
antara simpel steatosis dan NASH dan menentukan tingkat keparahan kerusakan hati,
inflamasi dan fibrosis.12,28 Biopsi juga dapat menyingkirkan kelainan hati yang lain, akan
tetapi biopsi hati merupakan prosedur yang invasif dengan risiko yang tentunya lebih
besar dibanding prosedur lain dan tidak cocok digunakan sebagai alat skrining, khususnya
pada anak-anak. Biopsi juga mahal dan kemungkinan kesalahan saat sampling juga ada,
dimana analisa histologi dengan sampel yang kecil tidak dapat mewakili keseluruhan liver.
Sehingga, bahkan hasil biopsi yang normal tidak dapat mengeksklusi NAFLD dan harus
selalu dipertimbangkan dalam hubungannya dengan gambaran klinis yang lebih luas.5
Guideline terbaru yang dipublikasikan oleh American Association 9 for the Study of Liver
Diseases (AASLD) merekomendasikan biopsi hati hanya dilakukan 2 01pada pasien di bawah
t
M are
10 tahun dengan riwayat keluarga dengan NAFLD, hepatosplenomegali, hasil laborat
o 9
yang abnormal, yang meliputi peningkatan transaminase,str resistensi insulin, tidak adanya
Ga
autoantibodi dan hasil yang inkonklusif dari tesatbiokimia untuk penyakit liver yang berat/
ap
progresif.12 kr
untu
ro
ast
33.7 Tata Laksana
Aja
rG
ku
Bu anak dengan NAFLD sampai saat ini merupakan tantangan. Hal
Tatalaksana efektife untuk
l
i
ini dikarenakanF kurangnya validasi biomarker non-invasif dan kurangnya pengetahuan
tentang perjalanan alamiah penyakit. Penelitian yang berkualitas tentang tatalaksana
NAFLD memerlukan penilaian histologis asessmen hati atau, minimal, pengukuran
kuantitatif non-invasif dari lemak hati dan / atau fibrosis dan pengukuran biokimia tentang
inflamasi hati (ALT). Penurunan ALT yang bermakna atau normalisasi juga dapat menjadi
pengganti pada uji coba pengobatan NAFLD, khususnya dalam studi fase awal, tapi kurang
akurat dibanding pemeriksaan histologi atau radiologi.13
Target terapi NAFLD adalah tercapainya regresi NAFLD, dimana hal ini didefinisikan
sebagai penurunan steatosis, inflamasi dan / atau fibrosis. Tujuan berikutnya adalah resolusi
NASH. Pada anak waktu pencapaian regresi ini tidak diketahui. Penurunan ALT dapat
digunakan sebagai penanda perbaikan histologi NAFLD.29,30 Pengukuran ALT pada 1 titik
kurang memiliki korelasi dengan fenotip NAFLD, penurunan nilai ALT 10 U/L lebih dari
96 minggu berhubungan dengan 1.28 odds ratio peningkatan keadaan histologi dan 1.37
odds rasio resolusi NASH.30
Tujuan lain dari terapi NAFLD adalah untuk mengurangi kelebihan adiposa dalam
rangka memperbaiki dislipidemia, resistensi insulin, tekanan darah tinggi dan adipositas
sentral, yang semuanya terkait erat dengan NAFLD, dan juga dengan Diabetes Mellitus

510
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tipe 2 (DMT2) dan risiko Cardio Vascular Disease (CVD). Pada anak-anak, komorbiditas
NAFLD (diabetes, CVD, dan hipertensi) merupakan pertimbangan penting dalam
tatalaksana NAFLD dalam rangka meningkatkan pencapaian klinis di masa depan.13

Rekomendasi13
1. Sampai saat ini penanda non invasif untuk peningkatan NAFLD belum didapatkan,
sehingga penurunan terus-menerus dari ALT dari baseline dapat digunakan sebagai
penanda respon terhadap pengobatan, khususnya untuk jangka waktu ≤ 1 tahun. [Strength
2, Evidence C]
2. Penilaian derajat fibrosis dari waktu ke waktu merupakan penanda yang dapat diterima
sebagai penilaian hasil pengobatan pada anak-anak selama periode waktu yang lebih
lama (≥ 2 tahun) dimana cara ini membutuhkan biopsi hati untuk menentukan derajat
fibrosis. [Strength 2, Evidence C]
Saat ini intervensi perubahan pola makan dan gaya hidup merupakan terapi utama
untuk pediatric NAFLD karena eratnya hubungan antara NAFLD dengan berat badan lebih
dan obesitas.13 Pendekatan perubahan gaya hidup multidisiplin intensitas sedang hingga
tinggi (> 25 jam kontak selama lebih dari 6 bulan) telah terbukti paling efektif dalam
9
penatalaksanaan masalah berat badan anak.31 2 01
re t
Data yang tersedia tidak mendukung keunggulan satu diet
9 Ma dibanding diet yang lain
untuk pengobatan NAFLD (misal: diet indeks glikemik trendah o dibandingkan diet rendah
sr
lemak). Dua percobaan RCT besar menunjukkan tbahwa Ga pengurangan minuman manis
dapat menurunkan adipositas pada anak-anakradengan pa NAFLD.32,33 Didapatkan manfaat
tu k
yang jelas dari intervensi diet dan aktivitas
o un fisik pada anak-anak dengan NAFLD, sehingga
r
Gast
perubahan diet dan aktivitas fisisk merupakan lini pertama teraapi NAFLD pada anak.13

Ajar
u
Rekomendasi13 Buk
i l e
1. Modifikasi gaya F hidup yang terdiri dari perbaikan pola makan dan peningkatan aktivitas
fisik direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk semua anak dengan
NAFLD. [Strength 1, Evidence B]
2. Menghindari minuman manis direkomendasikan sebagai strategi untuk mengurangi
adipositas. [Strength 1, Evidence A]
3. Meningkatkan aktivitas fisik intensitas sedang hingga tinggi dan membatasi waktu di
depan layar TV/monitor <2 jam per hari dianjurkan untuk semua anak termasuk anak
dengan NAFLD. [Strength 1, Evidence B]

Beberapa obat dan suplemen telah dipertimbangkan untuk digunakan


dalam tatalaksana anak dengan NAFLD. Beberapa penelitian klinis menggunakan
metformin 26,34,35,36,37 dan Vitamin E 29,38,39,40,41 sebagai pilihan terapi untuk NAFLD. Dari hasil
percobaan dengan menggunakan Metformin dan perubahan gaya hidup atau Vitamin E
dan perubahan gaya hidup pada 173 anak usia 8-17 tahun didapatkan hasil penurunan
ALT yang tidak berbeda antara terapi dan plasebo, akan tetapi pemberian Vitamin E
dihubungkan dengan perbaikan histologi yang secara statistik bermakna, ditunjukkan

511
Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease

dengan penurunan skor aktivitas NAFLD dan resolusi pada NASH yang lebih besar. Pada
dewasa pemberian Vitamin E dosis tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular dan kanker prostat yang akan meningkatkan angka mortalitas. Tapi hal ini
tidak dikonfirmasi oleh penelitian lain.42,43,44 Meskipun tidak ada risiko yang signifikan yang
diamati pada anak yang mendapatkan Vitamin E dosis tinggi, namun keuntungan maupun
risiko untuk penggunaan Vitamin E jangka panjang masih belum diketahui.13
Penelitian TONIC menemukan bahwa pemberian 500 mg metformin dua kali
sehari yang dikombinasi dengan perubahan gaya hidup tidak berbeda bermakna dalam
hal perbaikan ALT maupun skor NASH dibandingkan dengan placebo.29 Penelitian lain
menggunakan asam dokosaheksaenoat (docosahexaenoic acid/DHA) dan minyak ikan.
Pemberian DHA selama 6 bulan pada penelitian RCT terbatas pada anak dengan NAFLD
menunjukkan hasil yang tidak berbeda bermakna dengan plasebo dalam hal perbaikan
ALT.45
Probiotik (Lactobacillus GG dan VSL #3) telah diteliti dalam 2 penelitian kecil dengan
durasi pendek (2-4 bulan); kedua penelitian ini menggunakan pengukuran dengan USG.46,47
ALT secara signifikan menunjukkan peningkatan disbanding plasebo, dan temuan ini dapat
digunakan sebagai dasar untuk penelitian-penelitian di masa mendatang. Secara ringkas
dikatakan sampai saat ini belum ada obat atau suplemen yang menunjukkan 9 signifikansi
dalam tata laksana NAFLD pada anak.13 2 01
et
r
9 Ma
ro
Rekomendasi13 G ast
at
ap suplemen yang direkomendasikan untuk
1. Sampai saat ini belum didapatkan obat ratau
tu k
tatalaksana NAFLD karena tidak ada
o un obat dan atau suplemen yang nampak memberikan
tr
manfaat pada sebagian besaraskasus NAFLD. [Strength 2, Evidence C]
r G
Bariatrik atau operasija penurunan berat badan (weight loss surgery=WLS) dapat
A
menyebabkan penurunanu ku secara signifikan berat badan pada remaja yang sangat gemuk
B
(minimum BMIFi≥le35 kg/m2) dengan pengurangan BMI rata-rata sekitar 30% pada 1 tahun
pasca operasi setelah baik prosedur bypass lambung roux-en-y maupun vertical sleeve
gastrectomy pada penelitian kohort multisenter pada remaja.48

Rekomendasi14
1. Operasi bariatrik tidak dianjurkan sebagai terapi khusus untuk NAFLD dan tidak ada
data pada dewasa muda. Operasi bariatrik dapat dipertimbangkan untuk kasus tertentu
dengan BMI ≥ 35 kg/m2, dengan NAFLD non-sirosis dan komorbiditas serius lainnya
(misalnya DMT2, sleep apnea parah, idiopatik hipertensi intrakranial) yang cenderung
membaik dengan WLS. [Strength 1, Evidence B]

Pada anak-anak dengan NAFLD, diet dan olahraga dapat mengurangi steatosis, tetapi
tidak mempengaruhi degenerasi balloning, inflamasi dan fibrosis. Meskipun pada beberapa
penelitian menunjukkan terapi berbasis obat, seperti vitamin E dan metformin, dan suplemen
makanan, termasuk probiotik dan DHA, telah menunjukkan efek menguntungkan pada
degenerasi balloning, steatosis dan inflamasi, akan tetapi lesi fibrotik Nampak refrakter
terhadap pengobatan dan terapi jangka panjang anak dengan NASH tetap kurang baik. Diet

512
Buku Ajar Gastrohepatologi

dan aktivitas fisik memperbaiki steatosis dan peradangan hati pada anak dengan NAFLD,
tetapi tidak terbukti memberikan efek menguntungkan pada fibrosis. Tidak ada pengobatan
yang aman yang telah terbukti efektif pada fibrosis anak dengan NAFLD.49

Daftar Pustaka
1. Townsend SA, Newsome NP. Non-alcoholic fatty liver disease in obesitas 2016. British Medical
Bulletin, 2016, 1–14
2. Pagano C, Soardo G, Esposito W, Fallo F, Basan L, Donnini D, et all. Plasma adiponectin is
decreased in nonalcoholic fatty liver disease.Eur J Endocrinol 2005;152:113-118
3. Zou Chun C, Liang L, Hong F, Feng Fu J and Yan Zhou Z. Serum adiponectin resisten levels and
non-alcoholic fatty liver disease in obese children. Endocrine Journal 2005;52:519-524
4. Mathur P, Das MK, Arora NK. Non-Alcoholic Fatty Liver Disease and Childhood Obesity.
Indian J Pediatr 2007; 74 (4) : 401-407
5. Temple JL, Cordero P, L. Jiawei, Nguyen V, Oben JA. Guide to Non-Alcoholic Fatty Liver Disease
in Childhood and Adolescence .Int. J. Mol. Sci. 2016, 17, 947
6. Kim SG, Kim YH, Seo JA, Lee KW, Oh JH, Kim NH, et all. Relationship between serum
adiponectin concentration, pulse wave velocity and nonalcoholic fatty liver disease. Eur J
Endocrinol 2005; 152: 225-231
7. Sey Victor A, MD. Nonalcoholic fatty liver disease : Epidemiology and 19
0diagnosis. Hepatology
e t 2
2003;37:917-923 r
8. Day PC and Daly AK. NASH is a genetically determined disease. 9 MaDalam: Nicoll D, McPhee SJ,
ro
Pignone M, Detmer WM dan Chou TM, penyunting. Pocket
G ast guide to diagnostic test. McGraw-
Hill International 1st Edition;2001.h.66-73 at
r apA, Yamaguchi H, et all. Decreased serum levels
9. Daimon M, Oizumi T, Saitoh T, Kameda W, Hirata k
u ntu to type 2 diabetes in the Japanese population.
of adiponectin are risk factor for the progresion
Diabetes Care 2003; 26: 2015-2020astr
o
G
jar A, McKiernan P, Baumann U, Durmaz O,Lacaille F, McLin V,
10. Vajro P, Lenta S, Socha P, Dhawan
A
u
Nobili V. Diagnosis of Nonalcoholic Fatty Liver Disease in Children and Adolescents: Position
Paper of the ESPGHAN BukHepatology Committee. JPGN 2012;54:700-713
i le
11. Dongiovanni P,F Anstee QM, Valenti L. Genetic Predisposition in NAFLD and NASH:
Impact on Severity of Liver Disease and Response to Treatment.Current Pharmaceutical
Design2013;19:5219-38
12. Chalasani N, Younossi Z, Lavine JE, Diehl AM, Brunt EM, Cusi K, Charlton M, Sanyal AJ. The
Diagnosis and Management of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease: Practice Guideline by the
American Association for the Study of Liver Diseases, American College of Gastroenterology,
and the American Gastroenterological Association. Hepatology 2012;55:2005-23
13. Vos MB, Abrams SH, Barlow SE, Caprio S, Daniels SR, Kohli R, et all. NASPGHAN Clinical
Practice Guideline for the Diagnosis and Treatment of Nonalcoholic Fatty Liver Disease in
Children
14. Patel V, Sanyal AJ, Sterling R. Clinical Presentation and Patient Evaluation in Nonalcoholic Fatty
Liver Disease. Clin Liver Dis. 2015
15. Clemente MG, Mandato C, Poeta M, Vajro P. Pediatric non-alcoholic fatty liver disease:
Recent solutions, unresolved issues, and future research directions. World J Gastroenterol 2016
September 28; 22(36): 8078-8093
16. Ratziu V, Bellentani S, Cortez-Pinto H, Day C, Marchesini G. A position statement on NAFLD/
NASH based on the EASL 2009 special conference. J. Hepatol. 2010, 53, 372–384.
17. Chalasani N, Younossi Z, Lavine J.E, Diehl A.M, Brunt E.M, Cusi K, Charlton M, Sanyal A.J.
The diagnosis and management of non-alcoholic fatty liver disease: Practice guideline by the

513
Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease

American association for the study of liver diseases, American college of gastroenterology, and
the American gastroenterological association. Am. J. Gastroenterol. 2012, 107, 811–826.
18. Wu S, Tu R, Liu G, Huang L, Guan Y, Zheng E. Focal fatty sparing usually does not arise in preexisting
nonalcoholic diffuse homogeneous fatty liver. J. Ultrasound Med. 2014, 33, 1447–1452.
19. Mencin AA, Lavine J.E. Advances in pediatric nonalcoholic fatty liver disease. Pediatr. Clin. N.
Am. 2011, 58, 1375–1392.
20. Lerret SM, Garcia-Rodriguez L, Skelton J, Biank V, Kilway D, Telega G. Predictors of nonalcoholic
steatohepatitis in obese children. Gastroenterol. Nurs. 2011, 34, 434–437.
21. Goh GB, Pagadala MR, Dasarathy J, Unalp-Arida A, Pai RK, Yerian L, Khiyami A,
Sourianarayanane A, Sargent R, Hawkins C, et al. Age impacts ability of aspartate-alanine
aminotransferase ratio to predict advanced fibrosis in nonalcoholic fatty liver disease. Dig. Dis.
Sci. 2015, 60, 1825–1831
22. Patton HM, Lavine JE, van Natta ML, Schwimmer J.B, Kleiner D, Molleston J, Nonalcoholic
Steatohepatitis Clinical Research Network. Clinical correlates of histopathology in pediatric
nonalcoholic steatohepatitis. Gastroenterology 2008, 135, 1961–1971
23. Fracanzani AL, Valenti L, Bugianesi E, Andreoletti M, Colli A, Vanni E, Bertelli C, Fatta E,
Bignamini D, Marchesini G, et al. Risk of severe liver disease in nonalcoholic fatty liver disease
with normal aminotransferase levels: A role for insulin resistance and diabetes. Hepatology 2008,
48, 792–798.
24. Mofrad P, Contos MJ, Haque M, Sargeant C, Fisher RA, Luketic VA, Sterling RK, Shiffman
9
2 01
ML, Stravitz RT, Sanyal AJ. Clinical and histologic spectrum of nonalcoholic fatty liver disease
associated with normal ALT values. Hepatology 2003, 37, 1286–1292. re t
25. Vernon G, Baranova A, Younossi ZM. Systematic review: 9 MaThe epidemiology and natural
ro steatohepatitis in adults. Aliment.
ast
history of non-alcoholic fatty liver disease and non-alcoholic
G
Pharmacol. Ther. 2011, 34, 274–285. at
r ap H, Aigner K, Browne A, Holterman M .
26. Holterman AX, Guzman G, Fantuzzi G, k Wang
u ntu obese adolescent and adult patients. Obesity 2013,
Nonalcoholic fatty liver disease in severely
ro
21, 591–597.
G ast
27. Yilmaz Y, Ergelen R, AkinjaH, r Imeryuz N. Noninvasive detection of hepatic steatosis in patients
u
without ultrasonographic A evidence of fatty liver using the controlled attenuation parameter
B uk elastography. Eur. J. Gastroenterol. Hepatol. 2013, 25, 1330–1334.
evaluated withltransient
e
28. Fi L, Kohli R, Xanthakos S, Angulo P, Ling S, Lopez R, Christine CK, Feldstein
Mansoor S, Yerian
AE, Alkhouri N. The evaluation of hepatic fibrosis scores in children with nonalcoholic fatty
liver disease. Dig. Dis. Sci. 2015, 60, 1440–1447
29. Lavine JE, Schwimmer JB, Van Natta ML, Molleston JP, Murray KF, Rosenthal P, et al. Effect
of vitamin E or metformin for treatment of nonalcoholic fatty liver disease in children and
adolescents: the TONIC randomized controlled trial. JAMA. 2011;305(16):1659-68.
30. Vuppalanchi R, Jain AK, Deppe R, Yates K, Comerford M, Masuoka HC, et al. Relationship
between changes in serum levels of keratin 18 and changes in liver histology in children and
adults with nonalcoholic fatty liver disease. Clin Gastroenterol Hepatol. 2014;12(12):2121-30.
e1-2.
31. Force USPST, Barton M. Screening for obesity in children and adolescents: US Preventive
Services Task Force recommendation statement. Pediatrics. 2010;125(2):361-7.
32. de Ruyter JC, Olthof MR, Seidell JC, Katan MB. A trial of sugar-free or sugar-sweetened
beverages and body weight in children. N Engl J Med. 2012;367(15):1397-406.
101.
33. Ebbeling CB, Feldman HA, Chomitz VR, Antonelli TA, Gortmaker SL, Osganian SK, et al. A
randomized trial of sugar-sweetened beverages and adolescent body weight. N Engl J Med.
2012;367(15):1407-16.

514
Buku Ajar Gastrohepatologi

34. Schwimmer JB, Middleton MS, Deutsch R, Lavine JE. A phase 2 clinical trial of metformin as a
treatment for non-diabetic paediatric non-alcoholic steatohepatitis. Aliment Pharmacol Ther.
2005;21(7):871-9. 104.
35. Nadeau KJ, Ehlers LB, Zeitler PS, Love-Osborne K. Treatment of non-alcoholic fatty liver disease
with metformin versus lifestyle intervention in insulin-resistant adolescents. Pediatr Diabetes.
2009;10(1):5-13.
36. Freemark M. Liver dysfunction in paediatric obesity: a randomized, controlled trial of
metformin. Acta Paediatr. 2007;96(9):1326-32. 106. Nobili V, Manco M, Ciampalini P, Alisi A,
Devito R, Bugianesi E, et al.
37. Metformin use in children with nonalcoholic fatty liver disease: an open-label, 24-month,
observational pilot study. Clin Ther. 2008;30(6):1168-76.
38. Lavine JE. Vitamin E treatment of nonalcoholic steatohepatitis in children: a pilot study. J
Pediatr. 2000;136(6):734-8. 108.
39. Vajro P, Mandato C, Franzese A, Ciccimarra E, Lucariello S, Savoia M, et al. Vitamin E treatment
in pediatric obesity-related liver disease: a randomized study. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2004;38(1):48-55.
40. Nobili V, Manco M, Devito R, Di Ciommo V, Comparcola D, Sartorelli MR, et al. Lifestyle
intervention and antioxidant therapy in children with nonalcoholic fatty liver disease: a
randomized, controlled trial. Hepatology. 2008;48(1):119-28. 110.
41. Akcam M, Boyaci A, Pirgon O, Kaya S, Uysal S, Dundar BN. Therapeutic effect of metformin and
9
01
vitamin E versus prescriptive diet in obese adolescents with fatty liver. 2International journal for
re t
Ma 406.
vitamin and nutrition research Internationale Zeitschrift fur Vitamin- und Ernahrungsforschung
9
Journal international de vitaminologie et de nutrition. 2011;81(6):398-
ro
ast meta-analyses, and trial sequential
42. Bjelakovic G, Nikolova D, Gluud C. Meta-regression analyses,
G
at
analyses of the effects of supplementation with beta-carotene, vitamin A, and vitamin E singly
r ap do we have evidence for lack of harm? PLoS
k
or in different combinations on all-cause mortality:
One. 2013;8(9):e74558. u ntu
43. Bjelakovic G, Nikolova D, GluudasLL, troSimonetti RG, Gluud C. Antioxidant supplements for
G
A jar
prevention of mortality in healthy participants and patients with various diseases. Cochrane
u
Database Syst Rev. 2012;3:Cd007176. 113.
44. Gerss J, Kopcke W. Bukquestionable association of vitamin E supplementation and mortality
The
e
Fil of different meta-analytic approaches. Cellular and molecular biology
inconsistent results
(Noisy-le-Grand, France). 2009;55 Suppl:Ol1111-20.
45. Nobili V, Bedogni G, Alisi A, Pietrobattista A, Rise P, Galli C, et al. Docosahexaenoic
acid supplementation decreases liver fat content in children with non-alcoholic fatty liver
disease: double-blind randomised controlled clinical trial. Archives of disease in childhood.
2011;96(4):350-3.
46. Alisi A, Bedogni G, Baviera G, Giorgio V, Porro E, Paris C, et al. Randomised clinical trial:
The beneficial effects of VSL#3 in obese children with non-alcoholic steatohepatitis. Alimentary
pharmacology & therapeutics. 2014;39(11):1276-85. 122.
47. Vajro P, Mandato C, Licenziati MR, Franzese A, Vitale DF, Lenta S, et al. Effects of Lactobacillus
rhamnosus strain GG in pediatric obesity-related liver disease. Journal of pediatric
gastroenterology and nutrition. 2011;52(6):740-3.
48. Inge TH, Courcoulas AP, Jenkins TM, Michalsky MP, Helmrath MA, Brandt ML, et al. Weight
Loss and Health Status 3 Years after Bariatric Surgery in Adolescents. N Engl J Med. 2015.
49. Marchesin G, Day CP, Du- four JF, Canbay Aly, Nobili V, Ratziu V, et all. EASL-EASD-EASO
Clinical Practice Guidelines for the Management of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease Obes
Facts 2016;9:65–90

515
BAB

34
Penyakit Kandung Empedu pada Anak
Sjamsul Arief

34.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak laki-laki berusia 7 ½ tahun, dirujuk dengan keluhan utama sakit kolik perut,
muntah dan demam 3 hari. Didapatkan pula riwayat bengkak pada hipokondrium kanan,
diketahui sejak 2 hari. Penderita memiliki riwayat keluhan serupa dengan intensitas lebih
ringan selama tiga tahun terakhir dan biasa diberikan antispasmodik. Pasien belum pernah
diperiksa lebih lanjut atau dirawat di rumah sakit. Tidak ada riwayat demam enterik,
penyakit kuning atau gejala penyakit ulkus peptik.
Pemeriksaan menunjukkan anak tampak sakit, nadi 120 x/menit, suhu 37,3 °C,
dan pernafasan 25 x/menit. Tidak ada anemia, sianosis, ikterus atau limfadenopati
generalisata. Perut agak buncit, dengan pembengkakan piriform berukuran 8,5 cm x 3 cm
dengan konsistensi lunak dan batas tegas pada hipokondrium kanan. Tidak didapatkan
organomegali, cairan bebas di rongga peritoneum. Pemeriksaan lain dalam batas normal.
Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan kadar hemoglobin 12 gm%, lekosit 9200/mm3.
Waktu perdarahan, waktu pembekuan dan waktu protrombin berada dalam batas normal.
Urinalisis dalam batas normal. Foto polos abdomen menunjukkan bayangan radio opaque
di area kandung empedu. X-ray dada normal. Gula darah, kolesterol serum dan tes fungsi
hati semuanya dalam batas normal. Apakah diagnosa kerja kasus tersebut?

34.2 Pendahuluan
Penyakit kandung empedu pada anak akhir-akhir ini banyak menarik perhatian para ahli
karena frekuensinya meningkat, ditandai dengan peningkatan angka kolesistektomi pada
anak.1-8 Glenn F melaporkan prevalensi kolelitiasis pada anak usia < 16 tahun sebesar 0.15%
dari 5037 pasien dengan diagnosis non malignant biliary tract disease.9 Antara tahun 1971-
2003 dilaporkan adanya peningkatan prevalensi penyakit kandung empedu dari 1,9 %
menjadi 4, 0 %.10 Yang termasuk di dalam penyakit kandung empedu pada anak adalah:
batu empedu, diskinesia kandung empedu, kolesistitis dan koledokolitiasis.

516
Buku Ajar Gastrohepatologi

34.3 Batu Empedu


Batu empedu sangat jarang dijumpai pada anak. Gibson (1874) melaporkan kasus pertama
batu empedu dari hasil otopsi seorang anak laki-laki usia 18 tahun dengan keluhan nyeri
perut, muntah dan tinja akolis. Sampai tahun 1928 telah dilaporkan 228 kasus batu empedu
pada anak dan bayi.9 Batu empedu pada anak banyak dihubungkan dengan penyakit hemolitik
kronis. Prevalensi batu empedu pada anak dengan anemia sel sabit berkisar 17-29% dan
prevalensi ini meningkat seiring bertambahnya umur.11-13 Secara epidemiologi insidensi dan
prevalensi batu empedu dipengaruhi oleh faktor umur, gender, genetik, ras dan geografi

Tabel 34.3.1. Penyakit/keadaan yang dihubungkan dengan batu empedu14


Umur Kasus (%)
0 -12 bulan Tidak ada 36.4
Nutrisi parenteral total (total parenteral nutrition/TPN) 29.1
Pembedahan abdomen 29.1
Sepsis 14.8
Displasia bronkopulmonal 12.7
Penyakit hemolitik 5.5
9
Malabsorpsi
2 01 5.5
Enterokolitis nekrotikans re t 5.5
Penyakit hepatobiliar 9 Ma 3.6
ro
1 -5 tahun Penyakit hepatobiliar
G ast 28.6
Pembedahan abdomen at 21.4
r ap
Implantasi katup jantung buatan k 14.3
Tidak ada u ntu 14.3
ro
Malabsorpsi
G ast 7.1
6 -11 tahun Kehamilan jar 37.2
A
u kuhemolitik
Penyakit 22.5
B
eObesitas
Fil Pembedahan abdomen
8.1
5.1
Tidak ada 3.4
Penyakit hepatobiliar 2.7
Nutrisi parenteral total ) 2.7
Malabsorpsi 2.8

Patofisiologi
Stadium awal pembentukan batu empedu adalah pengendapan bahan yang tidak larut
seperti kolesterol, pigmen empedu dan garam kalsium. Batu empedu diklasifikasi menjadi
tiga golongan berdasarkan kandungannya yaitu kolesterol, pigmen dan campuran kolesterol
dan pigmen. Batu empedu yang paling sering ditemukan adalah jenis campuran kolesterol
dan pigmen. Ketidakseimbangan kandungan bahan-bahan kolesterol, lesitin, dan garam
empedu merupakan penyebab utama terbentuknya batu empedu. Peningkatan kadar
kolesterol akan menyebabkan meningkatnya kristalisasi. Terbentuknya batu empedu pada
bayi berhubungan dengan faktor prematuritas, pemberian TPN, pembedahan abdomen
dan sepsis.15-17 Laporan penelitian sebelumnya menyebutkan pada masa remaja penyakit

517
Bab 34 Penyakit Kandung Empedu pada Anak

hemolitik merupakan faktor utama terbentukya batu empedu, namun data terakhir
menunjukkan bahwa obesitas, penggunaan kontrasepsi oral dan kehamilan menjadi faktor
risiko utama. Kecenderungan semakin meningkatnya prevalensi obesitas pada anak yang
didukung data dari NHANES tahun 2003-2014 sebesar 17,1%, tahun 1999-2000 sebesar
13,9% . Obesitas berat tahun 1976-2000 sebesar 0.8% menjadi 3,8% pada tahun 1999-2004
menyebabkan obesitas menjadi perhatian utama masalah kesehatan terkait penyakit batu
empedu.11-13, 18 Saat ini disimpulkan bahwa faktor risiko penyakit kandung empedu pada
anak menyerupai dewasa yaitu wanita, ras dan obesitas.19, 20

Tabel 34.3.2. Penyakit penyerta utama21


Penyakit hemolitik 76 (19%)
Obesitas 18 ( 4%)
Post partum 14 ( 3%)
Keganasan 9 ( 2%)
Sindroma ovari polikistik 6 ( 2%)
Penyakit tiroid 5 ( 2%)
Penyakit jantung 7 (1.5%)
Diabetes 5 (1%) 9
2 01
Prematuritas 4 (1%)
re t
Hiperlipidemia 4 (1%)
9 Ma
Fibrosis kistik 2 (0.5%)ro
Penyakit Gilbert ast
1G(0.2%)
at
Lain-lain
k rap 38 (9%)
Tidak ada
n tu 216
u
ro
G ast
Aj ar
Batu Kolesterol u
Buk
e
Apabila cairan empedu mengandung kolesterol dan billirubin dengan kadar tinggi bersama
Fil
dengan kadar garam empedu yang rendah maka akan terbentuk batu kolesterol. Secara
umum ada 3 faktor yang berpengaruh pada pembentukan batu kolesterol:20
1. Terjadi saturasi kolesterol sehingga terbentuk kolesterol padat
2. Kinetik empedu membentuk kristal berulang
3. Kristal kolesterol terikat pada inti batu. Warna batu kolesterol adalah putih kekuningan.

Batu Pigmen
Batu pigmen terbentuk terutama pada masa remaja dan berwarna abu-abu kehitaman.
Biasanya batu pigmen banyak dilaporkan pada kasus-kasus hemolitik, sirosis dan infeksi
saluran empedu.22,23

Batu Empedu pada Bayi


Pada bayi cairan empedu lebih encer dibanding pada anak yang lebih tua. Biasanya pada
kandung empedu hanya terbentuk sludge yaitu butiran seperti pasir. Lebih dari 50% kasus
batu empedu pada bayi akan menghilang spontan sehingga tidak diperlukan tindakan
operasi.24

518
Buku Ajar Gastrohepatologi

Gejala Klinis
Pada sebagian besar kasus batu empedu gejalanya asimtomatis. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Batu empedu dapat menimbulkan gejala klinis
apabila disertai kolestasis, kolesisitis dan kolangitis. Gejala utama yang muncul adalah
kuning, nyeri abdomen, mual, muntah dan Murphis sign.20,23

Diagnosis
Ultrasonografi hati, saluran empedu dan kandung empedu mempunyai sensitivitas dan
spesifitas cukup tinggi untuk mendiagnosis batu empedu. Foto polos abdomen hanya dapat
melihat batu pigmen tetapi tidak bisa mendeteksi batu kolesterol dan batu radiolusen.20,23,25
Apabila sudah ditetapkan diagnosis batu empedu maka harus dicari penyakit yang mungkin
berhubungan seperti penyakit hemolitik pada keluarga, penyakit metabolisme, riwayat
ikterus, anemia, gejala penyakit hati kronis, diare kronis, berat badan yang menurun, gatal-
gatal pada kulit dan obesitas.
Penggunaan seftriakson yang sering merupakan penyebab farmakologis batu empedu.
Selain USG dapat pula dilakukan pemeriksaan darah rutin, Coombs test, G6PD, LFT,
amilase, lipase, Cu serum, tes keringat. 9
201
aret
Pengobatan o 9M
str
Pengobatan batu empedu dipengaruhi oleh beberapa Gafaktor seperti lokasi batu. Apabila
p at
batu terletak di duktus koledokus atau sekitarraujung kandung empedu maka seringkali
k
menyebabkan kolangitis, terhambatnya ualiran ntu empedu dan ikterus sehingga perlu segera
ro batu (kolesistektomi). Tindakan kolesistektomi
ast
dilakukan tindakan operasi pengambilan
G
pada anak untuk mengambilar batu merupakan adopsi dari metode yang dilakukan
pada orang dewasa. Terapi Aj bedah saat ini banyak dilakukan, namun hal ini masih
u non
u k
merupakan kontroversi.
i l e B Batu dengan diameter kurang dari 1 cm yang terapung tanpa
gejala klinis harus Fdiikuti dengan pemeriksaan penyakit-penyakit penyebab batu dan diberi
pengobatan. Batu dengan diameter beberapa mm, mengapung tanpa gejala klinis hanya
memerlukan monitoring setiap 6 bulan. Anak dengan batu empedu kurang dari 2 cm
perlu dievaluasi dengan USG untuk mengetahui resolusi dan hilangnya batu, bila diameter
> 2 cm kemungkinan hilang spontan kecil sehingga harus dilakukan pengobatan untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya keganasan kandung empedu setelah beberapa dekade
kemudian.19,20,23,26,27,28

Pengobatan Medikamentosa
Asam ursodeoksikolat dan asam kenodeksikolat berguna untuk pengobatan batu kolesterol.
Pemberian hidroksi urea dapat menurunkan frekuensi batu empedu pada penyakit
hemolitik. Extra corporeal shock wave litotrophy dapat digunakan pada batu empedu tanpa
gejala dan radiolusen.29,30

519
Bab 34 Penyakit Kandung Empedu pada Anak

34.4 Diskinesia Kandung Empedu


Diskinesia kandung empedu adalah akalkulus-kolesistitis kronis atau juga disebut nyeri
empedu tanpa batu. Pada anak dihubungkan dengan infeksi virus, bakteri enteral seperti
Salmonella, Shigella, E Coli, Streptococcus dan Pneumonia. Secara objektif disebut diskinesia
kandung empedu apabila fraksi ejeksi kandung empedu dengan pemberian infus analog
kolesistokinin memberikan hasil < 35 %, didapatkan uptake pada hati dan masuk ke
duodenum pada pemeriksaan HIDA scan. Pada pemeriksaan USG akan terlihat penebalan
dinding kandung empedu, distensi, adanya sludge dalam lumen disertai edema subserosal
tetapi tidak ada gambaran batu. Kondisi ini merupakan salah satu indikasi dilakukan
kolesistektomi. Gambaran hasil pemeriksaan histopatologi adalah kolesistitis kronik.21

34.5 Ringkasan
Penyakit kandung empedu pada anak sebagian besar asimtomatis. Faktor risiko utama batu
empedu antara lain penyakit hemolitik, obesitas, umur, gender, genetik, ras dan geografi.
Pemberian seftriakson yang terlalu sering dapat menjadi faktor risiko. Walaupun kedua
jenis kelamin pada anak dapat terkena batu empedu, tetapi mulai usia 9 pubertas risiko anak
2 01
perempuan menderita batu empedu meningkat dibanding laki-laki. t Pada setiap penyakit
batu empedu perlu dicari kemungkinan penyebabnya Batu Mare
empedu dengan ukuran < 2 cm
o 9
r
st > 2 cm perlu diberikan pengobatan
perlu dilakukan evaluasi secara periodik, sedang bila
untuk mencegah komplikasi. t Ga
pa ra
tuk
o un
astr
Daftar Pustaka j arG
1. Miltenburg DM, Schaffer u A
R, III, Breslin T, Brandt ML.Changing indications for pedi-
Buk
atriccholecystectomy.Pediatrics.2000;105 (6):1250–1253.
i le
2. Friesen CA, FRoberts CC. Cholelithiasis.Clinical characteristics in children. Case analysis and
literature rreview. Clin Pediatr(Phila).1989;28(7):294–298.
3. Shafer AD, Ashley JV,Goodwin CD, Nangas VN Jr, Elliott D. A newlook at the multi- factorial
etiology of gall bladder disease in children. Am Surg.1983;49(6):314–319.
4. WesdorpI, Bosman D, de Graaff A , Aronson D, van der Blij F, Taminiau J . Clinical pre-sentations
and predisposing factors of cho-lelithiasis and sludge in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2000;31(4):411–417.
5. Lobe TE. Cholelithiasis and cholecystitisin children. Semin Pediatr Surg.2000;9(4): 170–176.
6. Calabrese C, Pearlman DM. Gallbladder disease below the age of 21 years.Surgery 1971; 70(3):
413–415.
7. Herzog D,BouchardG.High rate of complicated idiopathic gallstone disease in pediatric patients
of a North American ter-tiary care center. World J Gastroenterol. 2008;14(10):1544–1548.
8. Bogue CO, Murphy AJ, Gerstle JT, Moineddin R, Daneman A. Risk factors, complications,
and out comes of gallstones in children :a single-center review. J Pediatr Gastro- enteral
Nutr.2010;50(3):303–308.
9. Glenn F.25-year sex perience in the surgical treatment of 5037 patients with non- malignant
biliary tract disease. Surg Gynecol Obstet. 1959;109:591–606.
10. Al-Homaidhi HS, Sukerek H, Klein M, Tolia V. Biliary dyskinesia in children. Pediatr Surg. Int.
2002;18(5-6):357–360.

520
Buku Ajar Gastrohepatologi

11. Holcomb GW, Jr, O’NeillJA, Jr, Holcomb GW III. Cholecystitis, cholelithiasis and common
ductstenosis in children and adolescents. Ann Surg. 1980;191(5):626–635.
12. Kaechele V, Wabitsch M, Thiere D, et al. Prevalence of gallbladder stone disease in obese
children and adolescents: influence of the degree of obesity, sex, and pubertal development. J
Pediatr Gastroenterol Nutr 2006;42(1):66–70.
13. Koivusalo AI, Pakarinen MP, Sittiwet C, etal. Cholesterol, non cholesterolsterols and Bile acids
in paediatric gallstones. Dig Liver Dis. 2010;42(1):61–66.
14. Friesen CA, Roberts CC. Cholelithiasis. Clinical characteristics in children. Case analysis and
literature review. ClinPediatr (Phila) 1989;28(7):294-8.
15. Roslyn JJ, Berquist WE, PittHA, etal. Increased risk of gallstones in children receiving total
parenteral nutrition. Pediatrics 1983;71(5):784–789.
16. King DR, Ginn-Pease ME, Lloyd TV, Hoffman J, Hohenbrink K. Parenteral nutrition with
associated cholelithiasis: another iatrogenic disease of infants and children. J Pediatr Surg.1
987;22(7):593–596.
17. Debray D, Pariente D, Gauthier F, Myara A, Bernard O. Cholelithiasis in infancy: a study of 40
cases. J Pediatr 1993;122(3) :385–391.
18. Ogden CL,Carrol MD, Curtin L R, Mc Dowell MA, Tabak CJ, Flegal KM. Prevalence of
overweight and obesity in the United States, 1999-2004. JAMA.2006;295(13):1549–1555.
19. Angelico M, Gandin C, Canuzzi P, Bertasi S, Cantafora A, De Santis A, etal. Gallstones in cystic
fibrosis: a critical appraisal. Hepatology. 1991;14(5):768–75.[PubMed:1937382].
9
20. Stringer MD, Taylor DR, Soloway RD. Gallstone composition: are children 2 01 different? .J Pediatr.
t
2003;142(4):435–40. are
21. Mehta S, Lopez M, Chumpitazi BP, Mazzioti MV, Brandto ML, 9 M and Fisherman DS. Clinical
r
Characteristics and Risk Factors for Symptomatic Pediatric
G ast Gallbladder Disease. Pediatr 2012,
129: e 82 – 88. at
r ap A, Vacca M, Baldassarre G, et al. Impaired
22. Portincasa P, Moschetta A, Berardino M, Di-Ciaula k
gallbladder motility and delayed oro-cecal u ntutransit contribute to pigment gallstone and biliary
ro
sludge formationin beta-thalassemia
G ast major adults. World J Gastroenterol. 2004;10(16):2383–90.
A jar
23. Friesen CA, Roberts CC. Cholelithiasis. Clinical characteristics in children. Case analysis and
ku
literature review. Clin Pediatr
uAA,
(Phila) 1989;28(7):294-8[PubMed:2661103].
24. Karami H, Sahebpour e B Ghasemi M, Karami H, Dabirian M, Vahid-shahi K, et al. Hyaline
Fil
vascular-type Castleman’s disease in the hilum of liver: A case report. Cases J. 2010;3:74.doi:
10.1186/1757-1626-3-74.
25. Reif S, Sloven DG, Lebenthal E. Gallstones in children. Characterization by age, etiology, and
outcome. Am J Dis Child. 1991;145(1):105–8.
26. Bailey PV, Connors RH, Tracy TJ, Sotelo-Avila C, Lewis JE, Weber TR. Changing spectrum
of cholelithiasis and cholecystitis in infants and children. Am J Surg. 1989;158(6):585–8.
[PubMed:2511775].
27. Wyllie R, Hyams JS, Kay M. Pediatric gastrointestinal and liver disease. 5th ed. Philadelphia, PA:
Elsevier ;2016.
28. Vegunta RK, Raso M, Pollock J, Misra S, Wallace LJ, Torres AJ, et al. Bil-iary dyskinesia: the most
common indication for cholecystectomy in children. Surgery. 2005;138(4):726–31.
29. Carey MC, Small DM. The physical chemistry of cholesterol solubility in bile. Relationship of all
stone formation and dissolution in man. J Clin Invest. 1978;61(4):998–1026.
30. Mousavi SA, Karami H, Barzegarnejad A.The effect of extra corpo-real shock wave lithotripsyin
the management of idiopathic gall-stones in children. JIndian Assoc Pediatr Surg. 2014;19(4):218–
21.doi:

521
BAB

35
Sirosis Hati pada Anak
Bagus Setyoboedi

35.1 Ilustrasi kasus


Seorang bayi wanita 7 bulan, BB 7 kg datang dengan keluhan perut membesar, terlihat
semakin membesar sejak 2 bulan yang lalu. Penderita juga nampak kuning sejak usia 2
minggu dan tidak mendapatkan pengobatan apa-apa, hanya dijemur saja, warna feses pucat
kadang kehitaman.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak lemah, kesadaran compos mentis,
nadi 120 x/m, 50 x/m, temperatur 37,8ºC, anemis dan ikterus. Distensi abdomen, ukuran
hepar 6 x 6 x 5 cm dengan konsistensi padat keras. Lien membesar S4/H2. Didapatkan pula
asites, vena dinding perut prominen dan edema pada tungkai bawah.
Pemeriksaan laboratorium: Hb 8,4 g/dL, Lekosit 13.800/cumm, trombosit 185.000 /
cumm, hitung jenis 3/-/-/6/50/41/-, bilirubin direk 12, 1 mg/dL, bilirubin total 15,83 mg/
dL; SGOT 204 iu/L, SGPT 176 iu/L, AFP 708 iu/L, γ-GT 258, albumin 2,1 g/dL, dan PPT/
APTT yang memanjang.
Urin lengkap: bilirubin +, urobilin +, sedimen urin eri -/ leko 3-5/epitel 2-3/cyst +
asam urat; dan feses lengkap lembek putih, sterkobilin negatif. Hasil USG menunjukkan
hepatomegali dengan gambaran ekoparenkim yang kasar, dan asites. Apakah diagnosa
kerja kasus tersebut?

35.2 Pendahuluan
Sirosis adalah proses difus, ditandai dengan fibrosis dan regenerasi nodular, yang
menyebabkan disorganisasi arsitektur hati.  Sirosis dapat diklasifikasikan dalam beberapa
cara, berdasarkan morfologi, histologi, etiologi dan kriteria klinis.  Karena sirosis adalah
tahap akhir dari beberapa jenis penyakit hati yang progresif, klasifikasi etiologi sering
penting untuk perencanaan terapi.1
Sirosis merupakan penyebab utama rawat inap dan kematian karenapenyakit hati
pada penderita dewasa.  Sementara kejadianpada anak masih belum banyak diketahui.
Kemajuan dalam teknologi diagnostik dan pengobatan, terutama operasi transplantasi
liver, memberikan kontribusi signifikan terhadap tata laksana penderita dengan sirosis
hati.  Saat ini, mayoritas anak-anak yang didiagnosis dengan sirosis pada tahun-tahun
pertama kehidupannya dapat tumbuh dan berkembang mencapai usia dewasa.1,2

522
Buku Ajar Gastrohepatologi

Infeksi virus hepatitis dan alkohol merupakan penyebab paling umum sirosis hati pada
dewasa. Pada anak, atresia bilier dan sindroma kolestasis intrahepatik herediter merupakan
penyebab terbanyak penyakit hati kronis yang dapat berakhir dengan sirosis.2  Penyebab
paling umum dari sirosis pada tahun-tahun pertama kehidupan adalah atresia bilier dan
penyakit metabolik bawaan, sedangkan pada anak-anak, sirosis biasanya disebabkan oleh
penyakit hepatitis virus kronis dan autoimun.  Penyebab 5-15% kasus sirosis pada anak
tidak dapat ditentukan, kondisi ini disebut kriptogenik. Sirosis kriptogenik pada anak
diduga disebabkan oleh perkembangan penyakit perlemakan hati atau sindrom metabolik
yang kompleks, seperti mitokondriopati.3

Tabel 35.2.1. Berbagai penyakit yang berpotensi mengakibatkan sirosis pada anak1
Obstruksi saluran empedu Obat dan racun:
• atresia bilier • nutrisi parenteral total
• kista duktus koledokus • isoniazid
• batu empedu • metotreksat
• stenosis saluran empedu • keracunan vitamin A
Kolestasis intrahepatik familial: Penyakit autoimun:
• sindroma Alagille • hepatitis autoimun
• defisiensi FIC1 (ATP8B1) • primary sclerosing cholangitis
9
• defisiensi BSEP (ABCB11) 2 01
• defisiensi MDR3 (ABCB4) aret
• gangguan sintesis asam empedu 9M
ro
Infeksi virus hepatotropik: ast
Perubahan vaskuler
• hepatitis B dan D • a t G Budd-Chiari
sindroma
• hepatitis C k r• appenyakit veno-oklusif
tu • ardiopati kongenital
• hepatitis E
o un
str • gagal jantung kongestif
Ga • perikarditis konstriktif
jar
uA
Penyakit genetik-metabolik yang diwariskan: Lainnya
• defisiensi alfa-1-antitripsin Buk • penyakit perlemakan hati
e
FiIVl
• glicogenosis tipe III dan • hepatitis neonatal
• galaktosemia • penyakit Zellweger
• fruktosemia
• tirosinemia tipe 1
• penyakit Wilson
• hepatopati mitokondrial
• porfiria kulit lanjut
• fibrosis kistik
• hemokromatosis
• penyakit Wolman

35.3 Patogenesis
Berbagai jenis cidera hati kronis dapat menyebabkan fibrosis. Penyakit hati akut yang
dapat sembuh sendiri (misalnya hepatitis A akut), tidak selalu merusak arsitektur hati
sehingga tidak menyebabkan fibrosis meskipun terjadi kerusakan hepatosit, bahkan pada
tipe fulminan. Pada tahap awal, fibrosis hati dapat mengalami regresi jika penyebabnya
bersifat reversibel dan dapat kita hilangkan. Setelah berlangsung lama (berbulan-bulan atau

523
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak

tahun) atau cedera kronis berulang, fibrosis akan menjadi permanen. Fibrosis hati dapat
berkembang lebih cepat, misalnya pada obstruksi saluran bilier.4
Dua hal utama yang mendasari patofisiologi sirosis hati, yaitu: fibrosis hati dan
regenerasi sel-sel hati. Fibrosis hati dapat terjadi akibat reaksi penyembuhan luka yang
berlebihan pada hati yang dipicu adanya suatu cedera kronis terutama jika ada komponen
inflamasi. Keadaan tersebut menyebabkan tertimbunnya jaringan ikat di hati akibat
produksi berlebih dan/ degradasi yang tidak sempurna dari matriks ekstraseluler. Regulator
pertumbuhan mendorong hiperplasia hepatoselular (menghasilkan nodul regenerasi)
dan pertumbuhan arteri (angiogenesis) sebagai respon terhadap adanya kerusakan dan
hilangnya sel-sel hati. Regulator pertumbuhan yang ada di hati meliputi sitokin dan
hepatic growth factor(epithelial growth factor, hepatocyte growth factor, transforming growth
factor-α, dan tumor necrosis factor). Insulin, glukagon, dan pola aliran darah intrahepatik
menentukan bagaimana dan di mana nodul berkembang.5
Mekanisme lain terjadinya fibrosis atau sirosis hati adalah melalui mekanisme
kolangiopati. Kolangiopati merupakan reaksi duktus (proliferasi sel-sel duktus empedu
atau kolangiosit) terhadap kerusakan atau sumbatan saluran bilier, yang diketahui
sebagai pemicu terjadinya fibrosis porta. Proliferasi intensif sel-sel epitel saluran empedu
(kolangiosit) ini berhubungan dengan perubahan signifikan pada 9sel-sel mesenkim di
1
sekitarnya. Awalnya terjadi pada fibroblas porta, diikuti aktifasi e 20
t hepatic stellate cell (HSC)
melalui invasi parenkim dan matriks ekstra seluler (ECM).M 5,6 ar
9
Dalam selubung fibrosa yang mengelilingi nodul stro terjadi pembentukan pembuluh
Ga
darah baru akibat proses angiogenesis. Pada p atperkembangannya, proses tersebut akan
a arteri hepatika dan vena porta dengan
membentuk “jembatan” yang menghubungkan
tu kr
n jalur sirkulasi intrahepatik. Interkoneksi yang
vena hepatika sebagai usaha memulihkan
trou
terjadi menyebabkan volume Gdarah as menjadi relatif rendah dan tekanan drainase vena
tinggi, sehingga tidak dapat j ar mengakomodasi darah dalam jumlah yang banyak seperti
A
biasa. Kondisi tersebut u kuberakibat terjadi peningkatan tekanan vena porta dan hipertensi
B
i le
porta.7 Tingkat Fperkembangan dari fibrosis menjadi sirosis dan morfologi sirosis bervariasi
pada setiap penderita. Variasi tersebut kemungkinan disebabkan tingkat paparan terhadap
stimulus/bahan berbahaya dan respon individu.8

35.4 Diagnosis
Riwayat Penyakit dan Manifestasi Klinis
Diagnosis sirosis hati dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan, meliputi :9
• Tes fungsi hati, tes koagulasi, darah lengkap, dan tes serologi virus penyebab
• Biopsi hati
• Identifikasi penyebab berdasarkan evaluasi klinis

Pendekatan umum
Penderita dengan manifestasi komplikasi seperti tertera pada Tabel 35.4.1 dapat dicurigai
kemungkinan adanya sirosis. Terutama pada manifestasi komplikasi hipertensi porta atau
asites perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan ada atau tidaknya

524
Buku Ajar Gastrohepatologi

sirosis. Sirosis dini harus dipertimbangkan pada penderita dengan gejala nonspesifik atau
kelainan laboratorium yang terdeteksi secara kebetulan saat pemeriksaan laboratorium,
khususnya pada penderita yang memiliki suatu kelainan atau mengkonsumsi obat yang
dapat menyebabkan fibrosis. Pemeriksaan yang dilakukan bertujuan untuk mendeteksi
sirosis dan setiap komplikasi yang terjadi, serta menentukan penyebabnya.10

Tabel 35.4.1. Gejala dan tanda umum komplikasi sirosis


Gejala atau Tanda Kemungkinan Penyebab
Distensi perut Asites
Rasa tidak nyaman di perut disertai demam atau ensefalopati hepatik Peritonitis bakteri spontan
(kadang dengan tanda-tanda peritoneal)
Jari tabuh (clubbing finger) Sindroma Hepatopulmoner
Kebingungan, letargi Ensefalopati Hepatik
Sesak, hipoksia Sindroma Hepatopulmoner
Kelelahan, pucat Anemia karena perdarahan, hipersplenisme, gizi buruk dengan
defisiensi folat (atau besi atau vitamin B12), penyakit kronis, atau efek
alkohol (supresi sumsum tulang)
Overload cairan, oliguria, gejala gagal ginjal Sindroma Hepatorenal
9
Fraktur akibat kerapuhan Osteoporosis
2 01
Penyakit kuning Kolestasis
re t
Peteki, purpura, perdarahan Ma karena hipertensi porta; efek
Trombositopenia dari: splenomegali
9
ro sumsum tulang.
langsung alkoholtpada
as karena gangguan fungsi sintesa hati, kekurangan
KoagulopatiGbaik
at
ap K, atau keduanya.
vitamin
r
Pruritus, santelasma
n tukKolestasis
u
Perdarahan rektum ro Varises rektum
ast
Splenomegali
rG Hipertensi Porta
Steatorrhea Aja Malabsorpsi lemak
ku
Pendarahan saluran cerna atas e Bu Varises Esofagus
Fil Gastropati akibat hipertensi porta

Pemeriksaan Laboratorium
Uji diagnostik diawali dengan tes fungsi hati, tes koagulasi, darah lengkap, dan tes serologi
untuk virus penyebab (misalnya, hepatitis B dan C). Pemeriksaan laboratorium sendiri dapat
meningkatkan kecurigaan pada sirosis tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis.11 Biopsi
hati penting untuk menegakkan diagnosis, karena diagnosis yang jelas akan mengarah pada
manajemen dan hasil yang lebih baik.12
Hasil pemeriksaan laboratorium mungkin normal atau mendeteksi adanya kelainan
nonspesifik akibat komplikasi sirosis.  Kadar ALT dan AST umumnyahanya sedikit
meningkat. Kadar alkali fosfatase dan γ-glutamil transpeptidase (GGT) biasanya normal,
jika meningkat menunjukkan adanya kolestasis atau obstruksi saluran empedu. Bilirubin
umumnya juga normal, tetapi bila meningkat menunjukkan proses sirosis sedang
berlangsung, terutama pada sirosis bilier.  Penurunan serum albumin dan pemanjangan

525
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak

waktu protrombin (PT) mencerminkan terjadinya gangguan fungsi sintesis hati yang
merupakan tahap akhir penyakit.  Serum globulin meningkat pada sirosis dan gangguan
hati yang disertai komponen inflamasi.  Anemia umum terjadi dan biasanya normositik
dengan RDW tinggi.  Penyebab anemia sering multifaktorial: mikrositik dari perdarahan
gastrointestinal kronis; makrositik karena kekurangan asam folat atau hemolisis dan
hipersplenisme.13

Diagnostik Radiologis
Pemeriksaan radiologis sangat tidak sensitif atau spesifik untuk diagnosis sirosis, tetapi
seringkali dapat mendeteksi komplikasi yang terjadi.  Pada sirosis lanjut, ultrasonografi
menunjukkan gambaran nodular dan ukuran hati mengecil. Ultrasonografi juga dapat
mendeteksi adanya hipertensi porta dan asites.10
CT-scan juga dapat mendeteksi tekstur nodular, tetapi tidak lebih baik dari
ultrasonografi.  Radio-nuklir hati menggunakan technetium-99m mungkin dapat
menunjukkan serapan tidak beraturan pada hati, serta meningkat limpa dan sumsum
tulang serapan.  Sedangkan pemeriksaan MRI biayanya lebih mahal dan hanya memiliki
sedikit keuntungan.14
9
2 01
Endoskopi aret
9M
ro
Endoskopi merupakan metode terbaik untuk evaluasi
G ast keberadaan, ukuran dan perluasan
varises lambung, esofagus dan duodenum. Selain at itu, dapat juga membantu mendiagnosa
gastropati hipertensi (kongesti).9,15 Sebuah r ap prospektif temuan endoskopi pada anak-
studi
tuk
nbahwa
anak dengan atresia bilier menemukan o u adanya red cherry sign dan varises lambung
str perdarahan gastrointestinal.16  Kerusakan mukosa
berkaitan dengan peningkatan arisiko
G
lambung atau gastropati A jar
hipertensi ditandai dengan dilatasi atau ektasi pembuluh darah
di mukosa dan submukosa ku tanpa tanda-tanda inflamasi. Meskipun kriteria ini tidak selalu
u
le B
digunakan padaFianak-anak, studi temuan endoskopi pada 51 anak-anak dengan hipertensi
porta ditemukan kondisi tersebut pada 59% dari 28 anak dengan sirosis.17Endoskopi juga
penting untuk menyingkirkan penyebab lain dari perdarahan gastrointestinal, seperti ulkus
lambung atau duodenum dan Mallory-Weiss.18 

Biopsi Hati
Jika hasil pemeriksaan klinis dan penunjang noninvasif masih meragukan, maka
dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi hati yang memiliki sensitifitas mendekati
100%.  Non-alkohol steatohepatitis (NASH), yang sering dikaitkan dengan obesitas,
diabetes, atau sindrom metabolik, dapat terlihat pada USG scan tetapi memerlukan biopsi
hati untuk konfirmasi.  Pada kasus sirosis yang ditandai dengan koagulopati, hipertensi
porta, asites, dan kegagalan hati, biopsi sebaiknya tidak dilakukan bila tidak merubah
tatalaksana penderita.19,20

526
Buku Ajar Gastrohepatologi

Tes Lain
Pengukuran HVPG orang dewasa merupakan metode terbaik untuk menilai keberadaan
dan tingkat keparahan hipertensi portal, dan dapat digunakan untuk memantau efektivitas
pengobatan.21 Namun, prosedur ini masih belum rutin dilakukan pada anak-anak.
CT-scan dan MRI perut perlu dilakukan untuk penilaian pre-transplantasi penderita
dengan atresia bilier.  Modalitas pencitraan tersebut memungkinkan identifikasi anomali
kongenital atau perubahan akibat sirosis (pirau portosistemik, trombosis porta) yang
mungkin memerlukan modifikasi teknik bedah.22  Sebagian besar dari metode ini belum
diteliti secara ekstensif pada anak karena invasif. Pemeriksaan angiografi biasanya hanya
dilakukan pada anak sebagai bagian dari penilaian pra operasi portosystemic shunt atau
transplantasi hati.21

Identifikasi Penyebab
Identifikasi penyebab spesifik dari sirosis membutuhkan informasi klinis dari riwayat
penyakit, temuan pada pemeriksaan fisik, dan pemeriksan penunjang.10 
Sirosis bilier akibat sumbatan saluran bilier (misalnya atresia bilier) merupakan
9
penyebab terbanyak sirosis pada usia dini (bayi). Umumnya didapatkan 2 01 riwayat ikterus
t
sejak tiga bulan pertama kehidupan, disertai adanya feses pucat,
Mare kencing gelap (seperti
teh), dan perut membesar (hepatomegali). Pada pemeriksaan o 9 laboratorium didapatkan
a
peningkatan bilirubin direk, alkali fosfatase, dan γ-glutamil str transpeptidase (GGT).23
G
at
Pemeriksan serologi virus hepatitis B rdan ap C penting, jika didapatkan adanya
k
paparan terhadap virus tersebut baik secara u ntu vertikal maupun horizontal. Deteksiantigen
o
permukaan hepatitis B (HBsAg) danstrantibodi IgG pada hepatitis B (anti-HBc IgG) dapat
G a
mengkonfirmasikan adanya hepatitis
jar B kronis, sedangkan identifikasi antibodi serum
A
hepatitis C (anti-HCV) dan
u ku HCV-RNA untuk hepatitis C.13
B
Jika penyebabileumum seperti sirosis bilier atau hepatitis virus tidak didapatkan,
F
dipertimbangkan untuk mencari penyebab lainnya yang lebih jarang terjadi:4
• Keberadaan antibodi antimitokondrial (AMA) pada 95% penderita sirosis empedu
primer (PBC).
• Sumbatandan dilatasi dari saluran empedu ekstrahepatik dan intrahepatikpada
pemeriksaan magnetic resonance cholangio-pancreatography (MRCP) menguatkan
dugaan kolangitis sclerosing primer (PSC).
• Peningkatan Fe dan transferin serum didukung hasil pemeriksaan genetik mengarah
pada hemochromatosis.
• Penurunan seruloplasmin serum dan peningkatan tembaga menunjukkan penyakit
Wilson.
• Hipergamaglobulinemia dan adanya autoantibodi (antinuclear antibodies/ANA or anti-
smooth antibodies/SMA) mengarah pada hepatitis autoimun.
• Alkohol merupakan kemungkinan penyebab pada penderita dengan riwayat
peminum alkohol dan didukung temuan klinis seperti ginekomastia, spider angiomas
(telangiektasia), atrofi testis.

527
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak

35.5 Tata Laksana


Pengobatan Penyebab
Karena fibrosis/sirosis merupakan respon terhadap kerusakan hati, pengobatan primer
harus fokus pada menghilangkan penyebab yang mendasari kerusakan hati. Terapi medis
khusus padaberbagai penyakit hati dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi gejala
dan/atau mencegah terjadinya sirosis, misalnya prednison dan azatioprin untuk hepatitis
autoimun, interferon dan obat antivirus lainnya untuk hepatitis B dan C, flebotomi
untuk hemokromatosis, asam ursodeoksikolat untuk sirosis bilier, serta trientin dan
zinc untuk penyakit Wilson.9,10  Tetapi hal tersebut menjadi semakin kurang efektif jika
telah berkembang menjadi sirosis.  Setelah sirosis berkembang, pengobatan ditujukan
untuk pengelolaan komplikasi yang terjadi, diantaranya perdarahan varises, asites, dan
ensefalopati hepatik.  Namun, keluhan konstitusional kronis pada penderita juga perlu
mendapat perhatian. Transplantasi hati diindikasikan pada penderita gagal hati stadium
akhir yang memenuhi syarat.10

Pengobatan Suportif
19
Secara umum, pengobatan suportif meliputi penghentikan eobat-obatan 20 hepatotoksik,
art
dukungan nutrisi (termasuk vitamin tambahan), serta penanganan
9 M kelainan dasar dan
komplikasiyang terjadi. Dosis obat yang dimetabolisme s tro hati harus dikurangi. Penderita
dalam
dengan varises esophagus perlu diberikan terapiatuntuk Ga mencegah perdarahan.9,10
rap
Sebagian besar penderita mengalami
tu kanoreksia, yang mungkin juga diperburuk oleh
un
kompresi asites pada saluran cerna.o Penderita harus menerima cukup kalori dan protein
r
dalam makanan mereka, sehingga G ast penambahan suplemen nutrisi cair dan bubuk sering
bermanfaat bagi. Jarang A jar
didapatkan penderita yang mengalami intoleransi protein, baik
dalam bentuk ayam, u ku sayuran, dan suplemen gizi. Anjuran pemberian diet rendah
ikan,
B
i le
protein untuk Fmengantisipasi terjadinya ensefalopati hepatik mungkin menempatkan
penderita pada resiko semaki berkurangnya massa otot (wasting).10
Pemberian asam ursodeoksikolat (15 mg/kg, po, 1x/hari) dapat menghambat laju
kerusakan hati, memperpanjang hidup, dan menunda kebutuhan transplantasi hati. Sekitar
20% penderita akan jatuh pada kondisi lanjut yang tidak menunjukkan perbaikan biokimia
setelah ≥ 4 bulan, dan memerlukan transplantasi hati dalam beberapa tahun.10,23 
Pruritus dapat dikontrol dengan kolestiramin  6-8 g, po, 2x/hari.  Obat pengikat
anionik ini akan mengikat garam empedu dalam lumen usus, sehingga dapat memperburuk
terjadinya malabsorpsi lemak.  Jika kolestiramin  diberikan dalam jangka panjang, perlu
dipertimbangkan pemberian suplemen vitamin yang larut dalam lemak. Kolestiramin dapat
mengurangi penyerapan asam ursodeoksikolat, sehingga obat ini tidak boleh diberikan
secara bersamaan.Beberapa penderita dengan pruritus respon terhadap pemberian asam
ursodeoksikolat dan sinar ultraviolet, namun ada juga yang tidak menunjukkan respon
sehingga perlu dipertimbangkan pemberian rifampisin atau antagonis opioid (naltrekson).10 
Penderita dengan malabsorpsi lemak akibat gangguan aliran empedu ke usus perlu
diberikan suplemen vitamin A, D, E dan K.9,10,23

528
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pengobatan Antifibrosis
Pengobatan yang ditujukan untuk membalik proses fibrosis umumnya terlalu toksik
untuk penggunaan jangka panjang (misalnya kortikosteroid, penisilamin), dan tidak
terbukti efektif (misalnya, kolkisin).  Beberapa pengobatan antifibrotik lainnya masih
dalam penelitian.  Kombinasi beberapa obat antifibrotik mungkin akan terbukti lebih
menguntungkan.24

35.6 Komplikasi
Gangguan Nutrisi
Malnutrisi merupakan faktor prognostik yang penting, yang dapat mempengaruhi
perjalanan klinis penyakit hati kronis dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas
baik pada periode pra dan post-transplant.25 Kebutuhan energi yang tinggi pada anak dan
remaja, disertai gejala anoreksia dan mual dapat mempersulit penanganan gizi buruk.26
Anak dengan penyakit hati kronis kebutuhan gizinya meningkat.  Penderita dengan
risiko kekurangan gizi memerlukan 20-80% lebih banyak kalori daripada anak sehat untuk
mencapai pertumbuhan normal.27  Rekomendasi ini bertujuan untuk01memastikan 9 bahwa
e t 2
anak memiliki energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ar mengatasi defisit
gizi yang disebabkan oleh kebutuhan energi meningkat akibat 9 Mpenyakit hati sirosishati dan
tro
mencegah katabolisme protein. 28
a s
atG
p
Asupan protein tidak perlu dibatasi bilaratidak ada hiperamonemia.  Bayi dengan
k
sirosis disertai kolestasis memerlukan asupan
u ntu protein 2-3 g/kg BB/hari untuk mencapai
pertumbuhan yang normal dan sintesis ro endogen. Suplementasi protein hingga 4 g/kg
BB/hari umumnya aman dan diperlukan G ast untuk menjaga pertumbuhan yang normal dan
A j ar
menghindari katabolisme berlebihan.
u
27

B uk
Lipid merupakan e komponen makanan penting pada anak dengan penyakit hati, dan
harus diperhitungkanFil berkisar 30-35% dari total kalori dalam diet. Medium-chain triglycerides
(MCT) harus 30-50% dari asupan lemak, karena dapat diserap langsung oleh epitel usus
dan tidak memerlukan garam empedu untuk pencernaan dan penyerapan.  Meskipun
suplemen MCT sangat penting untuk pengelolaan gizi anak dengan kolestasis, trigliserida
rantai panjang tidak boleh dihilangkan, untuk tetap menyediakan asam lemak esensial dan
penyerapan molekul larut lemak.25,26
Kekurangan vitamin larut lemak merupakan masalah umum, terutama pada anak-
anak dengan kolestasis. Oleh karena itu, kadarnya harus tetap dipantau.28 Nutrisi oral harus
selalu jadi pilihan utama, meskipun suplemen enteral atau parenteral mungkin diperlukan
jika tidak semua kebutuhan gizi dapat dipenuhi dari asupan oral.  Suplementasi enteral
umumnya direkomendasikan ketika asupan oral kurang dari 60% dari kebutuhan energi
yang direkomendasikan atau dalam kasus-kasus gizi buruk.29

Infeksi
Penderita dengan sirosis sangat rentan terhadap infeksi, dan yang paling umum adalah
peritonitis bakterial spontan (SBP).  Infeksi saluran kencing dan pernapasan juga umum

529
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak

terjadi. Pada penderita dengan sirosis, infeksi dapat menyebabkan komplikasi ensefalopati,


asites dan sindrom hepatorenal.30
Langkah-langkah pencegahan yang direkomendasikan meliputi suplementasi gizi,
vaksinasi dan antibiotik profilaksis untuk prosedur invasif. Vaksinasi pneumokokus dan
meningokokus direkomendasikan untuk anak dengan asplenia fungsional karena hipertensi
portal. Pada anak dengan sirosis yang direncanakan transplantasi hati, program vaksinasi
harus dipertimbangkan untuk dipercepat.31

Varises Gastroesofagus dan Perdarahan Gastrointestinal


Pecahnya varises gastroesofagus adalah penyebab paling umum dari perdarahan
gastrointestinal pada anak dengan sirosis. Kondisi ini merupakan komplikasi yang paling
parah dari sirosis dan dianggap sebagai kedaruratan medis.  Tatalaksana perdarahan
gastrointestinal akibat varises gastroesofagus pada anak umumnya sama dengan orang
dewasa, yang diklasifikasikan dalam terapi farmakologi, endoskopi, mekanik dan bedah.32

Asites
Asites adalah komplikasi umum pada sirosis anak, terutama anak19dengan penyakit hati
20
terminal pada usia yang lebih muda dan umumnya dengan prognosis
ret yang buruk.  Penderita
33
a
anak dengan peningkatan mendadak dalam asites atau episode
o 9 M baru dari retensi air perlu
r
ast untuk membedakan asites dari
dilakukan paracentesis.34  Analisis cairan asites berguna
G
hipertensi portal dengan penyebab lain. Gradien t antara albumin serum dan cairan asites
r pa
adihitung
(serum-ascites albumin gradient/SAAG) yang dengan mengurangkan konsentrasi
ntuk dapat mendiagnosa hipertensi portal dengan
albumin dari cairan asites dari serum albumin
u
tro g/dL. Uji amilase, sitologi, reaksi polimerase berantai
akurasi 97% jika lebih besar darias1,1
G
Ajar
(polymerase chain reaction/PCR) dan kultur bakteri/jamur juga harus dilakukan pada
ku
kasus dengan ketidakpastian diagnostik atau jika diduga asites pankreas, tumor ganas atau
Bu
tuberkulosis. Fil
35 e
Dalam kebanyakan kasus, asites akibat sirosis dapat diatasi pembatasan diet sodium
dan penggunaan diuretik. Namun, anak dengan diet rendah sodium harus dipantau secara
hati-hati, karena pembatasan diet tersebut sering membuat rasa tidak enak dan mengurangi
asupan makanan. Pembatasan cairan sangat dianjurkan dalam kasus hiponatremia dengan
kadar natrium serum di bawah 125 mEq/L. Jika diperlukan diuretik, spironolactone (1-6
mg / kg per hari) sebagai pilihan utama dan jika perlu dikombinasikan dengan loop diuretik
seperti furosemide (1-6 mg/kg/hari).  Kombinasi dengan furosemide menurunkan risiko
hiperkalemia karena peningkatan ekskresi kalium. Diuretik tiazid dapat digunakan untuk
terapi pemeliharaan.  Selama perawatan diuretik hingga penderita stabil, pemeriksaan
laboratorium harus sering dilakukan untuk memverifikasi elektrolit serum, kreatinin,
urea darah dan kadar natrium urin.  Kehilangan cairan berlebih dapat menyebabkan
berkurangnya plasma dan kerusakan fungsi ginjal.18
Penderita dengan asites refrakter disertai gangguan pernapasan dapat diobati dengan
paracentesis dengan volume besar.  Pengeluaran cairan asites bisa dilakukan hingga 100
mL/kg pada satu waktu dengan back-up infus albumin pasca-paracentesis (1 g/kg albumin
25%). Infus albumin dan furosemide dapat digunakan untuk mengobati penderita dengan

530
Buku Ajar Gastrohepatologi

albumin serum di bawah 2 mg / dL. Pada asites refrakter berat atau berulang, dapat dilakukan
transjugular intrahepatic portosystemic shunt / TIPS sebagai jembatan untuk transplantasi
hati. Namun, prosedur ini mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko gagal ginjal
dan ensefalopati.18
Penderita dengan asites harus menghindari beberapa obat, misalnya  antibiotik
aminoglikosida dapat meningkatkan risiko gagal ginjal, dan anti-inflamasi non-steroid
menyebabkan risiko tinggi retensi natrium, hiponatremia dan gagal ginjal.35

Peritonitis Bakterial Spontan


Peritonitis bakterial spontan (spontaneous bacterial peritonitis/SBP) adalah
infeksi bakteri asites tanpa bukti adanya perforasi usus atau sumber infeksi intra-
abdominal lain.  Infeksi biasanya bersifat monomikrobial dan disebabkan oleh  E.
coli,  Klebsiella  spp.  dan  Enterococcusfaecalis.  Infeksi polimikrobial merupakan indikasi
adanya perforasi usus atau peritonitis sekunder.  SBP merupakan komplikasi yang relatif
umum dan berpotensi menjadi penyebab kematian pada anak dengan asites.18 Terjadinya
hipertensi portal pada penderita dengan sirosis meningkatkan kerentanan terhadap
bakteremia dan SBP. Fenomena tersebut mungkin disebabkan oleh translokasi bakteri usus
9
dan defisit sistem kekebalan tubuh. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan
2 01 dan perubahan
t
dalam permeabilitas usus diduga memainkan peranan penting dalam are translokasi bakteri.  
36

9 M
SBP harus selalu dipertimbangkan pada anak dengan ro sirosis dan asites bila disertai
a st
dengan demam, sakit perut atau leukositosis. FaktorGrisiko SBP diantaranya adalah asites,
at
p
hipoalbuminemia, perdarahan gastrointestinal,raperawatan di pediatric intensive care unit/
k
PICU dan pemeriksaan endoskopi.37
u ntu
ro
Anak dengan SBP biasanya diobati
G ast dengan sefalosporin intravena generasi ketigaselama
A jar
14 hari. Sebagai pencegahan, antibiotik harus selalu digunakan selama prosedur invasif. Jika
SBP berulang, penggunaan uantibiotik profilaksis oral seperti kotrimoksazol, ciprofloksasin
Buk
atau norfloksasin dapatil e dipertimbangkan. 37
F

Ensefalopati Hepatik
Ensefalopati hepatik (hepatic encephalopathy/HE) adalah gangguan fungsi otak yang
disebabkan oleh insufisiensi hati dan/atau portosystemic shunt.  Penyebab utama HE
adalah infeksi. Perdarahan gastrointestinal, dosis diuretik berlebihan, ketidakseimbangan
elektrolit dan konstipasi juga sering dikaitkan dengan kondisi ini. HE juga dapat disebabkan
oleh kelebihan asupan protein, obat anestesi dan penenang. Penderita dengan HE datang
dalam berbagai manifestasi neurologis dan psikiatris, mulai dari perubahan subklinis
hingga koma. Gejala awal HE pada anak kadang tidak nyata, diantaranya keterlambatan
perkembangan, kesulitan akademis, lesu atau gangguan pola tidur. Perubahan kepribadian,
gangguan intelektual, berkabut kesadaran (obtundation), pingsan dan koma mungkin juga
terjadi pada anak dengan HE.38
Diagnosis HE pada anak melibatkan indeks kecurigaan yang tinggi. HE ringan bahkan
lebih sulit untuk didiagnosa, mengingat kesulitan melakukan tes psikometri dan tidak
adanya pengukuran tervalidasi yang dapat digunakan. HE pada anak biasanya didiagnosis
berdasarkan gejala klinis. Tes psikometri yang mengevaluasi fungsi memori dan neuromotor

531
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak

sering digunakan untuk menilai penderita dengan ensefalopati ringan. Wechsler Intelligence


Scales dan the Dutch Child Intelligence test paling umum digunakan pada anak. Tes lain yang
sederhana dan dapat diandalkanuntuk penilaian HE ringan adalah critical flicker frequency
test, namun hanya dapat digunakan pada anak usia lebih dari 8 tahun.38
Penggunaan obat sedatif (terutama benzodiazepin dan opiat) pada penderita HE harus
dihindari, karena dapat memperburuk ensefalopati. Identifikasi dan pengobatan penyebab
HE sangat penting untuk penyembuhan penyakit pada lebih kurang 90% kasus.  Diet
rendah protein berkepanjangan harus dihindari,  ketika diperlukan pembatasan protein,
asupan harus dikurangi menjadi 2-3 g/kg BB/hari. Disakarida yang tidak diabsorbsi adalah
pengobatan pilihan untuk penderita dengan HE. Dosis optimal laktulosa pada anak adalah
0,3-0,4 mL/kg, 2-3 x/hari.18,38 Sebuah studi terapi laktulosa 22 anak dengan sirosis dan HE
mendapatkan pemulihan lengkap pada 73% dari penderita.39 Beberapa antibiotik, seperti
neomycin, vankomisin, metronidazole dan rifaximin, dapat digunakan untuk mengurangi
jumlah bakteri yang memproduksi amonia dalam saluran pencernaan.38
 
Gagal Hati Acute-on-Chronic
Gagal hati acute-on-chronic (acute-on-chronic liver failure/ACLF) adalah penurunan
9 dari faktor ekstra
secara akut fungsi hati pada penderita dengan sirosis yang disebabkan
2 01
t
re Infeksi bakteri didapatkan
atau intrahepatik. Data epidemiologi ACLF jarang didapatkan.
9 Ma
pada 50% kasus.  Faktor pencetus yang paling umum o pada anak adalah infeksi.  ACLF
dapat berkembang menjadi dekompensasi dan kegagalan a str multi organ, sehingga angka
atG
kematiannya tinggi. Kematian penderita rawat p
ra inap dengan sirosis sangat terkait dengan
tuk
infeksi. Penderita dengan sirosis yang nterinfeksi virus hepatitis menunjukkan penurunan
fungsi hati yang sangat cepat.40 stro
u
a
j a rG
A
Sindroma Hepatopulmonal
u ku
eB
Fil
Sindroma hepatopulmonal (hepatopulmonary syndrome/HPS) adalah komplikasi umum
pada penderita dengan hipertensi portal dan sirosis, ditandai dengan vasodilatasi
intrapulmonal yang menghasilkan cukup oksigenasi.  Diagnosis HPS harus dilakukan
hanya ketika kecurigaan klinis tinggi, karena manifestasi klinisnya samar dalam tahap awal
penyakit. Adanya tiga gejala, yaitu disfungsi hati, pirau arteriovena dan saturasi O2 rendah,
penting untuk diagnosis.41 
HPS berbeda dari hipertensi paru (dikenal juga sebagai hipertensi portopulmonal)
yang memiliki etiologi vasokonstriksi. Hipertensi ringan sampai sedang dapat diperbaiki
dengan transplantasi hati.42

Sindroma Hepatorenal
Sindroma hepatorenal merujuk pada penderita dengan sirosis yang menunjukkan penurunan
progresif fungsi ginjal. Ada dua jenis sindroma hepatorenal (hepatorenal syndrome/HRS),
yaitu: HRS Tipe 1 dikaitkan dengan gagal ginjal progresif cepat dan memiliki harapan hidup
yang sangat rendah (waktu hidup rata-rata hanya 2 minggu jika tidak diobati);  HRS tipe 2
berhubungan dengan gagal ginjal progresif lambat dan memiliki prognosis yang lebih baik

532
Buku Ajar Gastrohepatologi

dari pada tipe 1. Anak-anak juga bisa menunjukkan perubahan dalam fungsi ginjal setelah
transplantasi hati, terutama karena pengobatan dengan inhibitor kalsineurin.35

Perubahan Hematologi
Pemeriksaan laboratorium koagulasi dasar (PT, APTT) yang digunakan untuk mengevaluasi
risiko perdarahan, mempunyai hubungan yang lemah dengan kejadian atau durasi
perdarahan setelah biopsi hati atau prosedur yang berpotensi menimbulkan perdarahan
lainnya. Namun demikian, penderita dengan kolestasis dan waktu protrombin memanjang
harus menerima suplemen vitamin K parenteral. Dosis yang dianjurkan untuk anak adalah
2-10 mg IV, 1x/hari selama 3 hari, atau 5-10 mg IM/minggu. Infus plasma segar beku/FFP
(5-10 mL/kg) dan krioglobulin dan/atau transfusi trombosit juga dapat digunakan sebagai
pengobatan untuk perdarahan atau profilaksis terhadap pendarahan selama prosedur
biopsi hati.43
Anemia kronis umum terjadi pada penderita dengan sirosis, dan kemungkinan
disebabkan oleh kehilangan darah, kekurangan zat besi dan kadar asam folat rendah akibat
retensi natrium dan air, dan hemolisis sekunder pada hipersplenisme.18

9
2 01
Karsinoma Hepatoseluler aret
9M
Karsinoma hepatoseluler (hepatocellular carcinoma/HCC)
a stro dapat terjadi pada penderita
dengan penyakit hati kronis. Pada penderita anak, HCC t G mungkin terjadi dari perkembangan
pa
penyakit kolestatik, metabolik, maupun virus. raPatogenesisnya kompleks dan melibatkan
tu k
baik faktor genetik maupun lingkungan. Gejala-gejala yang umum didapatkan adalah rasa
o un
tr
tidak nyaman di perut, distensi, dan skesulitan makan. Massa abdomen juga dapat dideteksi
r Ga
pada pemeriksaan fisik atau USG, disertai peningkatan kadar alpha-fetoprotein.44
Aja
ku
Penelitian di Italiaumenemukan HCC pada 2% dari 103 anak-anak dengan sirosis
e B
yang menjalani transplantasi hati primer. Meskipun muncul pada usia dini, prognosisnya
Fil
setelah transplantasi hati sangat baik dan tidak didapatkan kekambuhan.45 Kejadian HCC
dilaporkan pada anak dengan atresia bilier dan sindroma Alagille46, serta remaja dengan
hepatitis B atau C kronis.47,48 Anak-anak dengan sirosis apapun etiologinya harus menjalani
pemeriksaan USG perut dan pengukuran kadar alpha-fetoprotein setiap 6 bulan atau
setidaknya setiap tahun.44,49

35.7 Monitoring dan Prognosis


Penderita dengan sirosis, terutama jika karena virus hepatitis kronis B atau C atau
hemochromatosis, harus dilakukan skrining dan monitoring terhadap kemungkinan terjadi
karsinoma hepatoseluler (misalnya, mengukur kadarα-fetoprotein dan ultrasonografi setiap
6-12 bulan).13
Prognosis sering tak terduga. Hal ini tergantung pada beberapa faktor, seperti etiologi,
beratnya penyakit, adanya komplikasi, penyakit penyerta, kondisi penderita, dan efektifitas

533
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak

terapi.50 Sistem skor Child-Turcotte-Pugh digunakan untuk mengelompokkan tingkat


keparahan penyakit, risiko bedah, dan prognosis dengan menggunakan informasi klinis
dan laboratorium (Tabel 35.7.1).51

Tabel 35.7.1. Sistem skor Child-Turcotte-Pugh51


Faktor klinis atau laboratorium Tingkat Abnormalitas Skor
Ensefalopati († grade) Tidak ada 1
1-2 2
3-4 3
Asites Tidak ada 1
Ringan (atau dikendalikan oleh diuretik) 2
Setidaknya moderat meskipun pengobatan diuretik 3
Prothrombin time <4 1
(memanjang detik) 4-6 2
>6 3
Atau INR <1,7 1
(internasional normalized ratio) 1,7-2,3 2
> 2,3 3
9
Albumin (g / dL) > 3,5 2 01 1
re t
2,8-3,5
9 Ma 2
<2,8
ro 3
Bilirubin (mg / dL) <2 G ast 1
at
2-3
r ap 2
> 3tuk 3
u n
* Risiko (grade) didasarkan pada jumlah total poin: ro
Rendah (A): 5-6 G ast
Ajar
Sedang (B): 7-9 u
Buk
Tinggi (C): 10-15 l e
† Fi
 Ensefalopati dinilai berdasarkan gejala:
1: Gangguan tidur, konsentrasi terganggu, depresi, kecemasan, atau lekas marah
2: Mengantuk, disorientasi, memori jangka pendek miskin, perilaku tak terbatas
3: Sifat tidur, kebingungan, amnesia, kemarahan, paranoia, atau perilaku aneh lainnya
4: Koma

Tabel 35.7.2. Interpretasi sistem skoring Child-Turcotte-Pugh51


Skor Risiko (grade) Survival Rate (%)
1-yr 2-yr
5-6 Rendah (A) 100 85
7-9 Sedang (B) 80 60
10-15 Tinggi (C) 45 35

534
Buku Ajar Gastrohepatologi

Daftar Pustaka
1. Pinto RB, Schneider ACR, da Silveira TR. Cirrhosis in children and adolescents: An overview.
World J Hepatol. 2015; 7(3): 392-405.
2. Santos JL, Choquette M, Bezerra JA. Cholestatic liver disease in children. Curr Gastroenterol
Rep. 2010;12:30–39. 
3. Molleston JP, Sokol RJ, Karnsakul W, Miethke A, Horslen S, Magee JC, Romero R, Squires
RH, Van Hove JL. Evaluation of the child with suspected mitochondrial liver disease. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2013;57:269–276. 
4. Crawford JM. Liver and biliary tract. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, eds. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia, Pa.: Elsevier Saunders, 2005:877-938.
5. Kuntz E and Kuntz HD. 2006. Hepatology, Principles and Practice. Second edition. Springer
Medizin Verlag Heidelberg. p. 405-408.
6. Glaser SS, Gaudio E, Miller T. Cholangiosyte proliferation and liver fibrosis. Expert Rev Mol
Med 2009;11:e7.
7. Chen ML, Zeng QY, Huo JW, Yin XM, Li BP, Liu JX. Assessment of the hepatic microvascular
changes in liver cirrhosis by perfusion computed tomography. World J Gastroenterol 2009;
15(28): 3532-3537.
8. Blomley MJ, Lim AK, Harvey CJ, et al. Liver microbubble transit time compared with histology
and Child-Pugh score in diffuse liver disease: a cross sectional study. Gut 2003;52:1188–93.
9. Sherlock S.; Dooley J., editors. Diseases of the Liver and Biliary System. 011th 19 Edition. Blackwell
t 2
are
Science; Oxford, UK; Malden, MA: 2002.
10. Heidelbaugh JJ, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver9 M failure. Part I: Diagnosis and
ro
ast LB. Diagnosis and monitoring of
Evaluation. Am Fam Physician 2006;74:756-62, 781.
11. Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch DR, Koff aRS, t GSeeff
ap
hepatic injury. I. Performance characteristics ofrlaboratory tests. Clin Chem 2000;46:2027-2049.
12. Skelly MM, James PD, Ryder SD. Findingsnon tukliver biopsy to investigate abnormal liver function
o u J Hepatol 2001;35:195-199.
str
tests in the absence of diagnostic serology.
a
r G DR, Koff RS, Seeff LB. Diagnosis and monitoring of hepatic
13. Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch
jafor
injury. II. Recommendations A use of laboratory tests in screening, diagnosis, and monitoring.
u ku
Clin Chem 2000;46:2050-2068.
le BAyuso C, et al. MRI angiography is superior to helical CT for detection of
14. Burrel M, LlovetFiJM,
HCC prior to liver transplantation: an explant correlation. Hepatology 2003;38:1034–1042.
15. Whitington PF. Portal hypertension in children. Pediatr Ann. 1985;14:494–495, 498-499.
16. Duché M, Ducot B, Tournay E, Fabre M, Cohen J, Jacquemin E, Bernard O. Prognostic value
of endoscopy in children with biliary atresia at risk for early development of varices and
bleeding. Gastroenterology. 2010;139:1952–1960.
17. Aydoğan A, Güllüoğlu M, Onder SY, Gökçe S, Celtik C, Durmaz O. Portal gastropathy and
duodenopathy in children with extrahepatic and intrahepatic portal hypertension: endoscopic
diagnosis and histologic scoring. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011;52:612–616.
18. Hsu EK, Murray KF. Cirrhosis and chronic liver failure. In Suchy F. Liver disease in children. 4th
edition. Cambridge: Cambridge University Press; 2014. pp. 1–46.
19. Skelly MM, James PD, Ryder SD. Findings on liver biopsy to investigate abnormal liver function
tests in the absence of diagnostic serology. J Hepatol 2001;35:195-199.
20. Bravo AA, Sheth SG, Chopra S. Liver biopsy. N Engl J Med 2001;344:495–500.
21. Bari K, Garcia-Tsao G. Treatment of portal hypertension. World J Gastroenterol 2012;18:1166–
1175.
22. Miraglia R, Caruso S, Maruzzelli L, Spada M, Riva S, Sciveres M, Luca A. MDCT, MR and
interventional radiology in biliary atresia candidates for liver transplantation.  World J
Radiol. 2011;3:215–223.

535
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak

23. Chardot C. Biliary atresia. Orphanet J Rare Dis2006; 1:28.


24. Rockey DC. Current and future anti-fibrotic therapies for chronic liver disease. Clin Liver Dis.
2008 ; 12(4): 939.
25. Sultan MI, Leon CD, Biank VF. Role of nutrition in pediatric chronic liver disease. Nutr Clin
Pract. 2011;26:401–408.
26. Young S, Kwarta E, Azzam R, Sentongo T. Nutrition assessment and support in children with
end-stage liver disease. Nutr Clin Pract. 2013;28:317–329.
27. Squires RH, Ng V, Romero R, Ekong U, Hardikar W, Emre S, Mazariegos GV. Evaluation of the
pediatric patient for liver transplantation: 2014 practice guideline by the American Association
for the Study of Liver Diseases, American Society of Transplantation and the North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition.  Hepatology.  2014;60:362–
398.
28. Sathe MN, Patel AS. Update in pediatrics: focus on fat-soluble vitamins.  Nutr Clin
Pract. 2010;25:340–346.
29. Sullivan JS, Sundaram SS, Pan Z, Sokol RJ. Parenteral nutrition supplementation in biliary
atresia patients listed for liver transplantation. Liver Transpl. 2012;18:120–128.
30. Gustot T, Durand F, Lebrec D, Vincent JL, Moreau R. Severe sepsis in cirrhosis.
Hepatology. 2009;50:2022–2033.
31. Halasa N, Green M. Immunizations and infectious diseases in pediatric liver transplantation. Liver
Transpl. 2008;14:1389–1399.
9
32. Shneider BL, Bosch J, de Franchis R, Emre SH, Groszmann RJ, Ling 2SC, 01 Lorenz JM, Squires RH,
t
re expert pediatric opinion on
Ma of Diagnosis and Therapy in
Superina RA, Thompson AE, et al. Portal hypertension in children:
the report of the Baveno v Consensus Workshop on Methodology 9
ro
Portal Hypertension. Pediatr Transplant. 2012;16:426–437.
G ast
33. Pugliese R, Fonseca EA, Porta G, Danesi V, Guimaraesat T, Porta A, Miura IK, Borges C, Candido
r ap are markers of increased waiting list mortality
k
H, Benavides M, et al. Ascites and serumusodium
u nt
in children with chronic liver failure. Hepatology. 2014;59:1964–1971.
o
34. Leonis MA, Balistreri WF. aEvaluationstr and management of end-stage liver disease in
r G
Ajathe Study of Liver Diseases, European Association for the Study of
children. Gastroenterology. 2008;134:1741–1751.
35. American Association k u for
Bu practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial
the Liver. EASLleclinical
i
F hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol. 2010;53:397–417.
peritonitis, and
36. Vieira SM, Matte U, Kieling CO, Barth AL, Ferreira CT, Souza AF, Taniguchi A, da Silveira TR.
Infected and noninfected ascites in pediatric patients. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;40:289–
294.
37. Hardy S, Kleinman RE. Cirrhosis and chronic liver failure. In: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF,
editors. Liver disease in children. 3rd ed. Cambridge: University Press; 2007.
38. American Association for the Study of Liver Diseases, European Association for the Study of the
Liver. Hepatic encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline by the European
Association for the Study of the Liver and the American Association for the Study of Liver
Diseases. J Hepatol. 2014;61:642–659.
39. Sharma P, Sharma BC. Profile of hepatic encephalopathy in children with cirrhosis and response
to lactulose. Saudi J Gastroenterol. 2011;17:138–141.
40. Jalan R, Gines P, Olson JC, Mookerjee RP, Moreau R, Garcia-Tsao G, Arroyo V, Kamath PS.
Acute-on chronic liver failure. J Hepatol. 2012;57:1336–1348.
41. Sari S, Oguz D, Sucak T, Dalgic B, Atasever T. Hepatopulmonary syndrome in children with
cirrhotic and non-cirrhotic portal hypertension: a single-center experience. Dig Dis Sci. 2012;
57:175–181.

536
Buku Ajar Gastrohepatologi

42. Hoeper MM, Krowka MJ, Strassburg CP. Portopulmonary hypertension and hepatopulmonary
syndrome. Lancet. 2004;363:1461–1468.
43. Tripodi A, Mannucci PM. The coagulopathy of chronic liver disease. N Engl J Med. 2011;365:
147–156.
44. Walther A, Tiao G. Approach to pediatric hepatocellular carcinoma.  Clin Liver Dis.  2013;2:
219–222.
45. Romano F, Stroppa P, Bravi M, Casotti V, Lucianetti A, Guizzetti M, Sonzogni A, Colledan M,
D’Antiga L. Favorable outcome of primary liver transplantation in children with cirrhosis and
hepatocellular carcinoma. Pediatr Transplant. 2011;15:573–579.
46. Bhadri VA, Stormon MO, Arbuckle S, Lam AH, Gaskin KJ, Shun A. Hepatocellular carcinoma
in children with Alagille syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;41:676–678.
47. Bortolotti F, Guido M, Bartolacci S, Cadrobbi P, Crivellaro C, Noventa F, Morsica G, Moriondo
M, Gatta A. Chronic hepatitis B in children after e antigen seroclearance: final report of a 29-
year longitudinal study. Hepatology. 2006;43:556–562. 
48. Strickland DK, Jenkins JJ, Hudson MM. Hepatitis C infection and hepatocellular carcinoma
after treatment of childhood cancer. J Pediatr Hematol Oncol. 2001;23:527–529. 
49. Mack CL, Gonzalez-Peralta RP, Gupta N, Leung D, Narkewicz MR, Roberts EA, Rosenthal
P, Schwarz KB. NASPGHAN practice guidelines: Diagnosis and management of hepatitis C
infection in infants, children, and adolescents. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2012;54:838–855.
50. Heidelbaugh JJ, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver failure. Part II: Complications and
9
treatment. Am Fam Physician 2006;74:765-74, 779. 2 01
t
re compared with histology
Ma Gut 2003;52:1188–93.
51. Blomley MJ, Lim AK, Harvey CJ, et al. Liver microbubble transit time
and Child-Pugh score in diffuse liver disease: a cross sectional
o 9study.
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

537
BAB

36
Asites Refrakter
Titis Widowati

36.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak perempuan usia 2 bulan dirujuk ke RS dengan kolestasis. Pelacakan etiologi
kolestasis dilakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis didapatkan riwayat kuning sejak usia 3 minggu disertai feses
dempul dan urin seperti teh. Anak tidak demam, berat badan lahir cukup (BBLC) yaitu 3 kg,
cukup bulan. Dilakukan pemeriksaan AST, ALT, alkali fosfatase, GGT, albumin, bilirubin,
kolesterol, PPT, sterkobilin feses dan USG hepar (2 fase). Hasil pelacakan mengarah ke
penyebab atresia biliaris. Anak direncanakan kolangiografi dan Kasay namun orang tua
menolak. Anak kontrol rutin di RS daerah di dekat rumahnya. Usia 8 bulan anak dirujuk
kembali ke RSUP Dr. Sardjito karena perut membesar (asites) dan tidak membaik dengan
pengobatan standar.

36.2 Pendahuluan
Hingga saat ini asites masih menjadi masalah klinis yang penting pada anak dengan
penyakit hati kronis. Asites refrakter adalah kondisi yang jarang terjadi, yaitu hanya 5-10%
pada pasien sirosis yang dirawat di RS karena asites permagna dan tidak berespon dengan
diuretik atau mengalami komplikasi sehingga tidak dapat diberikan terapi diuretik dengan
dosis adekuat. Asites refrakter biasa dialami oleh penderita penyakit hati kronis dengan
retensi natrium urin yang berat sehingga prognosisnya buruk. Pasien yang mengalami
asites refrakter 50% nya berisiko mengalami kematian dalam 1 tahun pertama jika tidak
dilakukan transplantasi hati.1

36.3 Definisi
Asites adalah akumulasi cairan serous di rongga peritoneal.2,3 Kata asites berasal dari bahasa
Yunani “askites” dan “askos” yang mempunyai arti kantong, bladder atau belly. Asites
refrakter menurut kriteria International Ascites Club (IAC) didefinisikan sebagai asites
yang tidak dapat dimobilisasi atau mulai terjadinya kekambuhan asites (asites berulang)
setelah dilakukan large volume paracenthesis (LVP)dan dengan terapi pencegahan tidak
memberikan hasil yang memuaskan.4

538
Buku Ajar Gastrohepatologi

36.4 Etiologi
Penyebab asites bervariasi tergantung usia pasien:
1. Asites Fetal.
Walaupun pemeriksaan ultrasonografi antenatal sudah banyak dilakukan namun
laporan kasus adanya isolated fetal ascites jarang dilaporkan. Tampaknya asites fetal
sering menghilang spontan sehingga tidak berhubungan dengan penyakit kronis di
kemudian hari ataupun luaran klinis yang buruk. Infeksi sitomegalovirus (CMV)
merupakan salah satu infeksi kongenital yang paling sering menyebabkan asites fetal
dan penyakit hati. Penyakit-penyakit yang sering menyebabkan asites fetal dapat dilihat
pada Tabel 36.4.1.5
2. Asites Kongenital/ Asites Neonatal.
Asites neonatal seringkali disebabkan oleh penyakit-penyakit yang sama yang
menyebabkan fetal asites seperti dapat dilihat pada Tabel 36.4.2. Beberapa kasus
disebabkan oleh kondisi iatrogenik seperti ruptur bladder atau ekstravasasi parenteral
nutrisi melalui kateter femoral atau umbilikal.5
3. Asites pada usia anak-anak.
Asites yang paling sering terjadi pada usia anak-anak biasanya berhubungan dengan
19
20 pada Tabel 36.4.3.
penyakit hati kronis (sirosis atau hipertensi portal)2,5 seperti tertera
t
Mare
9
ro
ast
Tabel 36.4.1. Penyakit penyebab asites fetal5,6,7,8,9,10
G
Kelainan saluran cerna at
Chylous ascites
Peritonitis mekonium r ap jantung
Kelainan
k
Malrotasi usus
ntu Aritmia
Atresia usus halus atau kolon ou Gagal jantung
Intususepsi a str Kelainan kromosom
G
Volvulus
Ajar Trisomi
u Sindroma Turner
Fibrosis kistik Buk Neoplasma
l e
Atresia bilier
Malformasi vena portal
Fi Hematologik
Anemia hemolitik
Infeksi Hemokromatosis neonatus
Parvovirus Kelainan metabolik
Niemann-Pick tipe C
Sifilis Kelainan glikosilasi kongenital
Sitomegalovirus
Toksoplasmosis Penyakit Wolman
Hepatitis maternal akut Lysosomal storage disease
Kelainan genital/saluran kemih Lain-lain
Hidronefrosis Kekerasan pada ibu/janin
Penyakit ginjal polikistik Idiopatik
Obstruksi urin
Kista ovarium
Kloaka persisten

539
Bab 36 Asites Refrakter

Tabel 36.4.2. Penyebab asites kongenital/neonatal 2


Kelainan hepatobilier Kelainan genital/saluran kemih
Sirosis Uropati obstruktif
Defisiensi alfa-1-antitripsin Katup uretra posterior
Fibrosis hepatik kongenital Ureterokel
Hepatitis virus Stenosis ureter bagian bawah
Sindroma Budd-Chiari Atresia ureter
Atresia bilier Himen imperforatus
Perforasi saluran empedu Ruptur kandung kemih
Malformasi vena portal Cedera kandung kemih karena kateterisasi arteri umbilikus
Ruptur hamartoma mesenkim Sindroma nefrotik
Kelainan saluran cerna Ruptur kista korpus luteum
Malrotasi usus halus Kelainan metabolik
Perforasi usus halus Lain-lain
Apendisitis akut Telangiektatik kutis marmota kongenital
Atresia usus halus Vitamin E intravena
Pankreatitis Pseudo-asites
Chylous ascites Duplikasi usus halus
Ekstravasasi nutrisi parenteral Trauma abdomen
Kelainan jantung Idiopatik
Aritmia
Gagal jantung 9
Hematologik 2 01
Hemokromatosis neonatal aret
9M
ro
G ast
Tabel 36.4.3. Penyebab asites pada anak2,5 at
ap metabolik
rKelainan
Kelainan hepatobilier k
Sirosis u ntu Kelainan genital/saluran kemih
ro
ast
Fibrosis hepatik kongenital Sindroma nefrotik
Hepatitis akut G Dialisis peritoneal
Sindroma Budd-Chiari
Ajar Kista ovarium
Perforasi saluran empedu ku Ekstravasi nutrisi parenteral
u
Transplantasi hati
i l eB Kelainan jantung
Kelainan saluran cerna F Gagal jantung
Apendisitis akut Neoplasma
Atresia usus halus Limfoma
Pankreatitis Tumor Wilm
Duplikasi pilorik Sarkoma sel ginjal
Serositis Glioma
Penyakit Crohn Tumor sel benih
Enteropati eosinofilik Tumor ovarium
Purpura Henoch-Schonlein Mesotelioma
Chylous ascites Neuroblastoma
Limfangiektasi usus halus Lain-lain
Obstruksi duktus limfatikus Eritematosus lupus sistemik
Trauma duktus limfatikus Pirai ventrikuloperitoneal
Pseudo-asites Toksisitas vitamin A
Penyakit seliak Penyakit granulomatosa kronis
Mesotelioma kistik Trauma non-kecelakaan
Kista omentum Idiopatik

540
Buku Ajar Gastrohepatologi

Berbagai penyebab asites di atas dapat menyebabkan asites refrakter bila memenuhi
kriteria diagnostik seperti tampak pada Tabel 36.6.3.

36.5 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya asites pada umumnya dibagi sebagai berikut:

Asites Sirosis
Asites biasanya merupakan komplikasi dari sirosis hati. Patofisiologi terbentuknya
asites terjadi melalui gabungan 3 proses yaitu hipertensi portal, vasodilatasi dan
hiperaldosteronisme. Berikut adalah beberapa teori yang mendasari terbentuknya asites
sirosis :3,5,11,12,13
1. The underfilling theory.
Awalnya terjadi akumulasi cairan di dalam vascular bed sistem splanknik akibat
hipertensi portal yang mengakibatkan menurunnya volume efektif sirkulasi darah.
Kondisi ini menstimulasi pelepasan renin plasma, aldosteron dan aktifitas 9 sistem saraf
2 01
simpatik sehingga menyebabkan terjadinya retensi natrium dan re t air.
2. The overflow theory. 9 Ma
ro adalah terjadinya retensi air
Teori ini menyebutkan bahwa awal timbulnya gangguan
G ast
dan natrium ginjal walaupun tidak ada volume at deplesi. Teori ini berkembang dari
r ap
pengertian bahwa pasien dengan sirosis kakan mengalami hipervolemia intravaskular
dibanding hipovolemia. u ntu
ro
ast hypothesis.:
3. The peripheral arterial vasodilation
G
Faktor utama pembentukan Ajar cairan asites adalah terjadinya vasodilatasi sistem
ku
splanknik.14 SirosisBumenyebabkan peningkatan resistensi intrahepatik ke aliran porta
i l e
yang menyebabkan F hipertensi porta dan shunting aliran darah ke sirkulasi sistemik.
Produksi lokal vasodilator terutama nitrat oksida akibat hipertensi porta menyebabkan
vasodilatasi splanknik dan perifer. Kondisi ini menyebabkan penurunan volume efektif
sirkulasi darah arteri. Penurunan yang progresif dari fungsi liver, hipertensi porta,
vasodilatasi arteri splanknik dan penurunan tekanan onkotik plasma akibat rendahnya
serum albumin bersama-sama berkontribusi dalam pembentukan asites. Perubahan
dalam hemodinamik ginjal dan fungsi tubular berperan dalam pembentukan asites
refrakter dan sindrom hepatorenal.
Ketiga teori tersebut tidak terjadi sendiri-sendiri, namun pada tingkat tertentu secara
fisiologis saling terkait.13

Asites Non-sirosis
1. Karsinomatosis peritoneal.
Terjadinya asites akibat sekresi bahan protein dari sel-sel ganas yang mempengaruhi
tekanan osmotik sehingga menyebabkan cairan berpindah ke rongga peritoneum.5
2. Asites tuberkulosa atau asites dari proses inflamasi lain/

541
Bab 36 Asites Refrakter

Terjadinya asites melalui sekresi cairan protein dari proses inflamasi yang menyebabkan
perpindahan cairan ke rongga peritoneum.5
3. Gagal jantung dan sindrom nefrotik.
Menyebabkan penurunan volume darah arteri efektif (effective arterial blood volume/
EABV) sehingga terjadi aktivasi sistem saraf simpatik, sistem renin-angiotensin-
aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) sehingga terjadi retensi air dan garam.
Pada sindrom nefrotik tahap lanjut, terjadinya hipoalbuminemia akan menyebabkan
penurunan tekanan onkotik intravaskular diikuti terjadinya perpindahan cairan plasma
ke ruang interstitial.3,15

Sirosis

↑ Resistensi aliran portal

Hipertensi portal

9
2 01
ret
Vasodilatasi splanknik
a
o 9M
str
↑ tekanan kapiler splanknik Ga arteri kurang
Pengisian Reseptor arteri & kardio-
at pulmonal

k rap
u ntu Aktivasi vasokonstriktor &
ro
Pembentukan limfe
ast
melebihi limfe yang faktor-faktor anti-
natriuretik
kembali G
Ajar
u
Asites e B
uk
Fil
Retensi natrium & air Gangguan ekskresi Vasokonstriksi renal
air-bebas

Ekspansi volume plasma Hiponatremia dilusional Sindroma hepatorenal

Gambar 36.5.1. Patofisiologi terjadinya asites14


4. Asites pankreatik dan asites bilier.
Asites yang terjadi disebabkan oleh adanya kebocoran cairan pankreas atau empedu ke
rongga peritoneum sehingga menimbulkan iritasi dan terjadilah perpindahan cairan ke
rongga peritoneum.5

Asites Refrakter
Pada awalnya pergeseran cairan akan dikompensasi oleh peningkatan drainase limfatik.
Namun seiring denganproses sirosis yang makin lanjut, kecepatan perpindahan cairan

542
Buku Ajar Gastrohepatologi

ke rongga interstitial lebih tinggi dibanding kemampuan drainase limfatik sehingga


cairan menumpuk di rongga peritoneal. Kondisi sirosis juga akan memicu pelepasan
RAA dan vasopressin sehingga terjadiretensi natrium dan airyang bila melanjut akan
mengakibatkan asites menjadi refrakter. Ketidakmampuan jantung untuk meningkatkan
kardiak output guna memenuhi kebutuhan akibat perubahan hemodinamik menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi ginjal. Penurunan aliran plasma ginjal dan laju filtrasi glomerulus
menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium di tubulusbagian proksimal dan berkurangnya
aliran ke bagian distal, di mana diuretik loop dan antagonis mineralokortikoid berperan.
Hal ini menyebabkan asites menjadi refrakter. Selain itu, pada sirosis yang lanjut terjadi
perubahan respon vasokonstriktor sekunder akibat perubahan afinitas reseptor, penurunan
fungsi reseptor dan gangguan pasca reseptor yang disebabkan oleh peningkatan ekspresi
nitrat oksida. Pengaruh hipovolemik akibat diuretik juga berkontribusi terhadap timbulnya
komplikasi sehingga mempersulit pemberian diuretik dengan dosis efektif. Asites refrakter
terjadi pada 5-10% penderita yang dirawat karena asites permagna.1,16,17

36.6 Gejala Klinis


9
Asites refrakter merupakan kondisi yang jarang dijumpai. Pasien dengan 01 asites refrakter
re t2
Ma
biasanya adalah penderita penyakit hati kronis yang telah lanjut sehingga dapat dijumpai
tanda-tanda ikterik, spider angioma, kolateral vena umbilikalis, 9 clubbing dan eritem
ro
palmar. Asites karena penyakit hati kronis biasanyaGdijumpai ast pula faktor pencetus yang
at
menyebabkan penurunan fungsi liver seperti r appemakaian obat-obatan (OAINS) atau
k virus kronis, riwayat transfusi, tinggal di
adanya faktor risiko seperti: menderita hepatitis
u ntu
o
area endemis hepatitis, drug abuse, atau
a str hubungan seksual. Pasien yang menderita kanker
khususnya kanker di daerah abdomen G berisiko menderita asites karena keganasan. Asites
karena keganasan biasanyau A
jar
menimbulkan gejala nyeri, sebaliknya yang disebabkan oleh
B
sirosis hati biasanya tidakuknyeri.1,11
e
Fil
Tingkat keparahan asites berdasarkan gambaran klinisnya dapat dilihat pada Tabel
36.6.1 dan Tabel 36.6.2.

Tabel 36.6.1. Klasifikasi tingkat keparahan asites


Klas Derajat keparahan Tanda
I Ringan Puddle sign (+)
terdeteksi dengan USG abdomen
II Sedang Shifting dullness(+) Tidak ada thrill cairan
III Berat Fluid thrill (+) Sesak napas (+)

Tabel 36.6.2. Staging asites


Stadium Tanda
I+ Asites bisa terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang cermat

543
Bab 36 Asites Refrakter

Tabel 36.6.3. Pengertian dan kriteria diagnostik asites refrakter pada sirosis
Diuretic-resistant ascites: Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau terjadi kekambuhan awal yang tidak dapat dicegah karena respon
terhadap terapi restriksi natrium dan diuretik rendah
Diuretic-intractable ascites: Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau terjadinya kekambuhan awal yang tidak dapat dicegah karena
timbulnya komplikasi akibat pemberian diuretik sehingga menghalangi pemberian dosis diuretik yang efektif.
Persyaratan :
1.   Durasi terapi: Pasien harus dalam terapi diuretik intensif (spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160 mg/hari) sedikitnya 1 minggu
dan sedang mendapat diit rendah garam kurang dari 90 mmol/hari.
2. Kurangnya respon: Rerata penurunan berat badan <0,8 kg selama 4 hari dan output natrium urin kurang dari asupan natrium
3.   Terjadi kekambuhan asites awal: Muncul kembali asites grade 2 atau 3 dalam waktu 4 minggu sesudah mobilisasi awal asites
4.  Terapi diuretik yang memicu komplikasi : encefalopati hepatikum yang dipicu diuretik adalah terjadinya ensephalopati tanpa adanya
faktor presipitasi lain. Gangguan fungsi ginjal yang dipicu diuretik ditandai dengan peningkatan kreatinin serum >100% untuk kadar
>2 mg/dL pada pasiendengan asites yang berespon terhadap terapi. Hiponatremia yang dipicu diuretik didefinisikan sebagai penurunan
natrium serum >10 mmol/lLsampai <125 mmol/L. Hipo atau hiperkalemia didefinisikan sebagai perubahan kadar kalium serum < 3
mmol/lLatau >6 mmol/L meskipun dengan pengukuran yang tepat.
(Modifikasi dari Moore et al., 2003).

II + Asites mudah terdeteksi tetapi volumenya relative tidak banyak.


III + Asites yang mudah terlihat dengan inspeksi tetapi tidak tegang
9
IV + Asites yang sangat tegang 2 01
aret
9M
Terjadinya asites refrakter tidak ditentukan oleh
a stro tingkat keparahan asites, namun
t Gpada Tabel 36.6.3.
ditentukan berdasarkan kriteria kriteria diagnostik
a
r ap
ntuk
36.7 Diagnosis ast
ro
u
r G
Asites harus dibedakan dari Ajadistensi abdomen yang disebabkan oleh penyebab lain seperti
obesitas, meteorismus, k u
l Bu obstruksi mekanik, kista abdomen, atau massa. Asites refrakter dapat
emonitoring
dideteksi dengan
F i serial progresivitas penambahan cairan asites melalui cara
pengukuran lingkar perut secara rutin selama mendapat pengobatan diuretik. Pengukuran
lingkar perut harus dilakukan pada tempat yang sama setiap harinya. Berat badan harus
ditimbang setiap hari sebagai penanda adanya peningkatan atau penurunan yang signifikan
akibat cairan asites.

Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan gejala dan tanda yang mengarah pada etiologi tertentu
dan kemungkinan komplikasinya.

Pemeriksaan Fisis
Asites dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis shifting dullness yang mempunyai sensitivitas
60-88% dan spesifisitas 56-90%. Pemeriksaan yang lebih sensitif dan lebih mudah dikerjakan
untuk memeriksa cairan asites pada anak kecil adalah "puddle sign". Pemeriksaan undulasi
memerlukan 2 pemeriksa, posisi pasien terlentang dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan
ini mempunyai sensitivitas 20-80% tetapi spesifisitasnya cukup tinggi yaitu 82-100%.11

544
Buku Ajar Gastrohepatologi

Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan
1. Foto polos abdomen
Walaupun tidak terlalu jelas untuk mendiagnosis asites, namun hasil foto polos
abdomen mungkin bisa memberikan gambaran asites berupa pergeseran colon ke tepi
garis preperitoneal, di bagian central terlihat gambaran usus halus yang mengambang
dan terpisah dari batas tepi liver dan limpa. Adanya akumulasi cairan di rongga pelvis
memberikan gambaran peningkatan densitas di atas kandung kemih yang disebut dog-
ears signs.2
2. Ultrasonografi abdomen
USG abdomen cukup sensitif untuk mendeteksi asites. USG abdomen dapat mendeteksi
minimal 100 ml cairan asites di rongga peritoneal. Bila cairan asites bertambah banyak
akan tampak akumulasi cairan di area pericolic gutters (Morison’spouch), di sekitar liver
dan limpa. Adanya gambaran ekho pada cairan asites menunjukkan adanya eksudat,
jendalan darah atau keganasan.2,11

CT dan MRI abdomen 9


2 01
re t
CT abdomen dapat menunjukkan gambaran akumulasi cairan ekstrapankreatik
Ma
pada anak
dengan pankreatitis akut dan gambaran asites dengan rdensitas o 9 tinggi pada peritonitis
tuberkulosa. Chylous ascites dapat ditunjukkan baik st
adengan pemeriksaan CT ataupun
t G
p a
USG berupa gambaran unique biphasic fat-fluidralevel ketika pasien dalam posisi berbaring.
k
MRI sangat bagus untuk mendeteksi akumulasi
u ntu cairan ekstraperitoneal, cairan bebas atau
o
a str
terlokalisir di rongga abdomen. Keuntungan MRI adalah paparan radiasi rendah dan bagus
diterapkan pada anak karena waktu G pemeriksaan lebih pendek.5,18
Ajar
u
Buk
Berikut merkupakan e pemeriksaan penunjang yang dapat membantu mengarahkan
Fil
pada etiologi tertentu:
1. Darah perifer
a. Hitung jenis leukosit:
Cairan asites normal mengandung < 500 leukosit/mL dan < 250 leukosit
polimorphonuklear/mL. Inflamasi dapat menyebabkan peningkatan leukosit. Hitung
jenis leukosit >350/μL menunjukkan adanya infeksi. Jumlah neutrophil > 250 sel/mL
sangat mengarah ke peritonitis bakterial. Limfosit yang dominan biasanya terjadi
pada peritonitis tuberkulosis danperitoneal karsinoma. Jika sel polimorfonuklear
meningkat lebih mengarah ke infeksi bakteri, sedang bila sel mononuklear yang
meningkat maka patut dicurigai adanya infeksi tuberkulosis atau jamur.
b. Hitung jenis eritrosit > 50.000/μL menunjukkan asites perdarahan yang biasanya
disebabkan oleh keganasan, tuberkulosis atau trauma.
2. Pemeriksaan urin
3. Tes fungsi hati
4. Tes fungsi ginjal
5. Parasentesis (invasif): merupakan prosedur penting dalam proses penegakkan diagnosis
terutama untuk menentukan berbagai macam etiologi asites dan menyingkirkan

545
Bab 36 Asites Refrakter

komplikasi seperti spontaneous bacterial peritonitis (SBP) dengan melakukan analisis


cairan asites.

Parasentesis
Indikasi
1) Asites yang baru pertama kali terjadi
2) Pasien sirosis dengan asites pada saat rawat inap
3) Pasien sirosis dengan asites disertai tanda-tanda infeksi
4) Pasien sirosis disertai asites dengan perburukan kondisi yang tidak diketahui
penyebabnya.11,19

Kontraindikasi
1) Disseminated intravascular coagulation (DIC)
2) Fibrinolisis primer
3) Ileus dengan distensi abdomen
4) Bekas luka operasi pada area akan dilakukan parasentesis.22
9
Analisis cairan asites 2 01
aret
1. Warna dan konsistensi. 9M
st ro
Ga dan kekuningan. Perubahan warna
Cairan asites biasanya berwarna spesifik translusen
t
dan konsistensi cairan asites dapat mengarah a pada penyakit yang mendasarinya (Tabel
k rap
36.7.1). tu n
trou
s
Ga tergantung penyakit yang mendasarinya
Tabel 36.7.1. Warna cairan asites secara makroskopis 2

ja r
uA
Warna cairan asites Penyakit
k
u Hipertensi portal
e B Keganasan, trauma abdomen, tindakan invasif seperti biopsi hati atau kolangiografi transhepatik
Jernih atau pucat
Berwarna merah darah Fil
Purulen Peritonitis piogenik
Chylous (seperti susu) Sirosis, trauma duktus torakikus, limfoma
Hitam/ seperti teh Asites karena penyakit pankreas
Coklat Hiperbilirubinemia (paling sering), kandung empedu atau perforasi bilier, kista duktus koledokus

2. Hitung jenis dan kultur cairan asites


Infeksi bakteri cairan asites biasanya adalah monomikrobial dengan konsentrasi bakteri
yang rendah. Hasil kultur dengan metode pemeriksaan rutin sekitar 40–60 %, namun
dengan teknik bedside inoculation, yaitu memasukkan10 mL cairan asites ke dalam botol
kultur darah akan meningkatkan kemungkinan hasil positif hingga 90%.20

3. Pengecatan Gram
Pada SBP pengecatan gram memberikan hasil positif kurang dari 10%. Pemeriksan ini
mungkin bermanfaat pada kasus SBP dengan kecurigaan perforasi karena biasanya
terdapat infeksi multi organism.2

546
Buku Ajar Gastrohepatologi

4. Serum-ascites albumin gradient (SAAG)


SAAG adalah pemeriksaan analisis cairan asites terbaik untuk mengklasifikasikan
apakah cairan asites terjadi akibat hipertensi portal (SAAG >1.1 g/dL) atau non
hipertensi portal (SAAG <1.1 g/dL) dengan akurasi, sensitivitas, spesifisitas, Nilai
Duga Positif, Nilai Duga Negatif berturut-turut 96%, 97%, 95%, 98.6%, 90%.21 SAAG
dihitung dengan mengurangkan nilai albumin cairan asites dari nilai albumin serum
yang diambil pada hari yang sama (SAAG = albumin serum – albumin asites). Hasil
SAAG berkorelasi langsung dengan tekanan portal. Berbagai penyakit yang mendasari
terjadinya asites dilihat dari hasil SAAG ditampilkan pada Tabel 36.7.2 dan Tabel
36.7.3.
Keterbatasan hasil analisis cairan asites dengan SAAG dapat terjadi antara lain:
a. SAAG memberikan hasil positif palsu yang lemah bila albumin serum (<1.1 g/dL),
dan pada kondisi hipergammaglobulinemia (>5 g/dL),
b. Kesalahan hasil analisis juga dapat terjadi bila pengambilan sampel albumin serum
Tabel 36.7.2. Klasifikasi infeksi cairan asites berdasarkan hasil kultur 11
Tipe Hitung jenis PMN (sel/mm3) Hasil kultur bakteri
Peritonitis bakterialis spontan (SBP) >250 9
Positif (1 organisma)
01
Bakterasitis neutrositik kultur negatif >250
r e t2
Negatif
a
Bakterasitis non-neutrositik monomikroba <250
o 9 M Positif (1 organisma)
str
Bakterasitis polimikroba <250 Ga Positif (polimikroba)
p at
Peritonitis bakterialis sekunder >250
ra Positif (polimikroba)
tuk
o un
r
ast dilakukan pada saat yang bersamaan atau pasien
dan albumin cairan asites tidak
G
dalam kondisi syok jar
A
ku
c. SAAG dapat memberikan
u hasil positif palsu yang kuat pada asites chylous karena
e B
il
lipid dapat mempengaruhi
F
estimasi kandungan albumin.2,11

Table 36.7.3. Interpretasi diagnosis SAAG2,11


Gradient tinggi (≥1.1 g/dL)
Gradient rendah (< 1.1 g/dL)
Protein asites < 2,5 g/dL Protein asites ≥ 2,5 g/dL
Sirosis Gagal jantung kongestif/ perikarditis Asites bilier
konsriktif
Hepatitis Sindroma Budd Chiari (awitan awal) Asites pankreatik
Sindroma Budd Chiari (awitan lambat) Obstruksi IVC Sindroma nefrotik
Gagal hati fulminan Sindroma obstruksi sinusoidal Peritonitis tuberkulosis
Metastasis hati masif Miksedema
Obstruksi/infark usus
Serositis pada kelainan jaringan ikat
Kebocoran pasca operasi limfatik

5. Parameter lain analisis cairan asites


Pada kondisi tertentu analisis cairan asites juga bisa dilakukan dengan menginter­
pretasikan hasil pemeriksaan biokimiawi tertentu yang dapat mengarah ke berbagai
penyakit seperti terlihat pada Tabel 36.7.5.

547
Bab 36 Asites Refrakter

Tabel 36.7.4. Karakteristik cairan asites di berbagai kondisi11


Hitung jenis
Kondisi Tampilan bruto Protein, g/dL SAAG g/dL Sel darah merah Sel darah putih per L Pemeriksaan lain
> 10,000/L
Peritonitis Jernih, keruh, >2,5 (50%) < 1,1 7% >1000 (70%), Biopsi peritoneal,
tuberkulosis hemoragik, chylous biasanya > 70% pewarnaan dan kultur
limfosit untuk basilus acid fast,
Aseitic flaid ADA naik
Neoplasma Kekuningan, >2,5 (75%) < 1,1 20% >1000 (50%); jenis Sitologi, cell block,
hemoragik, sel bervariasi biopsi peritoneal
musinus, atau
chylous
Sirosis Chylous, <2,5 (95%) < 1,1 1% <250 (90%) Biopsi peritoneal,
kekuningan atau predominan pewarnaan dan kultur
kehijauan mesotelial basilus acid fast
Nefrosis Kekuningan atau <2,5 (100%) < 1,1 tidak biasa <250; mononuklear Jika chylous, ekstraksi
chylous mesotelial ether, pewarnaan sudan
Gagal jantung Kekuningan Bervariasi < 1,1 10% >1000 (90%);
kongestif biasanya mesotelial,
mononuklear
Peritonitis Keruh atau purulen Jika purulen < 1,1 tidak biasa Predominan leukosit
9 Pewarnaan Gram
piogenik >2,5 2 01
polimorfonuklear positif, kultur
t
Asitis pankreatik Keruh, hemoragik, Bervariasi, < 1,1 bervariasi, are
Variable Peningkatan amilase
(pankreatitis atau chylous seringkali mungkin
o 9M pada cairan asitik dan
r
pseudo-kista) >2,5 astdarah
berwarna
G
serum
p at
Tabel 36.7.5. Interpretasi spesifik cairan asites r a
uk
2

t
Investigasi Kadar
o un Interpretasi
Trigliserida str
↑ (>200amg/dL) Asites chylous
Amilase r G IU/L) atau 5x kadar serum
↑ja(>1000 Pankreatitis, trauma pankreas
A
Glukosa
u ku ↓ Tuberkulosis dan peritonitis bakterial
eB ↑ (> 240 IU/L)
Fil
Alkalin fosfatase Perforasi usus halus, hollow viscous trauma
Bilirubin ↑ (> 6 mg/dL) dan lebih dari bilirubin serum Asites bilier (ruptur kista koledokus), perforasi
duktus bilier
Adenosine deaminase (ADA) ↑ (> 20–40) U/L Asites tuberkulosis

36.8 Tata Laksana


Penanganan asites pada anak mempunyai banyak tantangan yang tidak dijumpai pada pasien
dewasa. Tujuan terapi asites pada anak tidak hanya bertujuan untuk mengurangi jumlah
akumulasi cairan asites tetapi juga harus mempertimbangkan dampak terapi terhadap
pertumbuhan anak. Terapi restriksi air dan natrium yang ditujukan untuk mengurangi
pembentukan cairan asites seringkali menyebabkan asupan kalori menjadi tidak adekuat,
sehingga penting untuk memantau asupan makanan anak selama terapi dengan melibatkan
ahli gizi anak yang berpengalaman. Dukungan nutrisi dan pemeliharaan homeostasis
protein yang adekuat menjadi kunci utama penanganan asites pada anak.19,22

548
Buku Ajar Gastrohepatologi

Sesuai pengertiannya asites refrakter tidak berespon terhadap pemberian diuretik


dosis maksimum dan diet pembatasan natrium (diuretic resistant) atau pemberian diuretik
akan memicu terjadinya komplikasi sehingga terapi diuretik tidak bisa diberikan secara
optimal (diuretic intractable ascites). Sebelum memastikan asites refrakter harus dipikirkan
terlebih dulumengenai riwayat diit sebelumnya, penggunaan NSAID atau angiotensin
converting enzyme atau angiotensin 2 receptor blocker dan kepatuhan minum obat dengan
regimen obat yang sudah optimal11. Bila telah memenuhi kriteria diagnostik asites refrakter
maka tata laksana pasien dengan asites refrakter adalah sebagai berikut :

Terapi Diuretik
Asites refrakter ditentukan bila tidak berespon dengan terapi diuretik berikut: tujuan terapi
diuretik adalah mencapai keseimbangan negatif sebesar 10 mL/kg/hari. Ada beberapa obat
diuretik yang biasa digunakan pada anak-anak baik diberikan sebagai terapi tunggal atau
terapi kombinasi.
Pilihan obat diuretik dengan terapi tunggal yang pertama adalah spironolakton
dengan dosis awal 100-200 mg/hari dibagi dalam 2 dosis. Bila tidak berespon dosis dapat
ditingkatkan100 mg tiap 3 atau 4 hari sampai maksimum dosis 600 mg/hari hingga
konsentrasi natrium urin lebih tinggi dibanding konsentrasi kalium 1urin. 9 Dengan dosis
2 0
ret
tersebut biasanya spironolakton akan memberikan respon diuresis yang optimal pada 50-
90% kasus. Dosis awal pada bayi 0,5-1 mg/kg BB/hari sedang9pada Ma anak kecil spironolakton
ro
ast
dimulai dengan dosis 1-3 mg/kg BB/hari dan dapat dinaikkan 1 mg/kg BB/hari hingga
G
mencapai dosis maksimum 6 mg/kg BB/hari. at
r ap
Bila spironolakton tidak memberikanukrespon baik (penurunan berat badan dan
t
natriuresis tidak optimal) maka pemberian o un terapi kombinasi dengan loop diuretic seperti
r
furosemid bisa dipertimbangkan.GAlasanast lain pemberian terapi kombinasi adalah bila asites
r
Aja cepat untuk mengurangi asites, sedangkan spironolakton
sangat masif sehingga perlu respon
u
memerlukan beberapaBhari k
u (3-5 hari) untuk memberikan respon terapi.
i l e
F
Furosemid dimulai dengan dosis awal 40 mg/hari dibagi dalam 2 dosis. Dosis dapat
ditingkatkan 40 mg/hari hingga mencapai dosis naksimum 240 mg/hari. Pada bayi dan
anak kecil dosis awal furosemid dimulai 0,5-2 mg/kg BB/hari dan dapat dinaikkan 1 mg/
kg BB/hari hingga dosis maksimum 6 mg/kg BB/hari. Efek samping hipokalemia sering
terjadi sehingga direkomendasikan untuk memberikan suplemen kalium, namun bila
furosemid diberikan bersama-sama spironolakton maka tidak perlu penggantian kalium.
Terapi kombinasi spironolakton dan furosemid biasanya diberikan dengan perbandingan
5:2 untuk memelihara kondisi normokalemia.
Obat diuretik secara umum dapat menimbulkan komplikasi berupa azotemia,
hipokalemia, hiperkalemia, alkalosis metabolik, sindrom hepatorenal dan ensefalopati
hepatik. Efek samping spesifik spironolakton sebagai potassium sparing diuretic adalah
hiperkalemia, ruam kulit dan ginekomastia pada laki-laki. Monitoring keberhasilan terapi
diuretik bisa dilihat dari hasil ekskresi natrium urin.3,22,23

Pembatasan Natrium dan Air


Tujuan terapi ini adalah mengeliminasi dan mencegah reakumulasi cairan asites. Pada

549
Bab 36 Asites Refrakter

anak-anak pembatasan konsumsi natrium sekitar 1–2 mEq/kg BB/hari, sedang pada anak
remaja direkomendasikan 1–2 g/hari. Pembatasan natrium ini tidak perlu untuk bayi yang
masih mendapat ASI eksklusif, karena ASI mengandung natrium rendah.23 Pembatasan
cairan hanya diperlukan bila terjadi hiponatremia dilusi atau hiponatremia persisten (Na
<120 mEq/L).2,11

Large Volume Paracentesis (LVP)


Parasentesis dapat digunakan untuk diagnostik maupun terapi. Indikasi LVP adalah distress
respirasi, umbilika hernia karena asites masif atau asites refrakter. Terapi LVP pada anak-
anak pertama kali dilaporkan oleh Denzer pada tahun 1920. LVP dilaporkan aman dan
merupakan cara yang efektif untuk menangani asites refrakter bila dilakukan dengan teknik
yang optimal.24,25 Pada pasien dewasa LVP hingga 4-6 L/hari dikombinasi dengan transfusi
albumin dilaporkan merupakan metode yang efektif untuk menangani asites refrakter dan
memperbaiki fungsi paru.
Untuk mengetahui seberapa banyak volume cairan asites yang dapat dikeluarkan
dengan aman dan cukup efektif pada anak-anak dengan cara LVP Kramer dkk (2001)
melakukan ulasan retrospektif pada anak usia 6 bulan-18 tahun dengan asites refrakter.
Pengeluaran cairan asites sebanyak 118 ± 56 mL/kg selama lebih01kurang 9 3 jam ternyata
e t 2
terbukti tidak menyebabkan timbulnya efek samping seperti a r hipotensi atau perdarahan
sehingga dapat dikatakan bahwa tindakan LVP cukupoaman 9 M dilakukan pada anak-anak.
r
Referensi lain menyebutkan pengambilan cairan asites
G ast dalam satu waktu hingga 100 mL/kg
(hingga 5L) cukup aman. at
r ap
k
Tindakan LVP sering kali menyebabkan
u ntu pergeseran cairan intravaskuler, namun
o
demikian hal ini dapat dihindaristrdengan pemberian tranfusi albumin bila cairan yang
a
dikeluarkan dalam satu waktu
j ar Gmencapai 5 L atau lebih. Tranfusi albumin diberikan sekitar
A dikeluarkan.22,24,25 Protokol penerapan terapi LVP pada anak-
6-8 gram/L cairan asitesuyang
u k
e B dari ketrampilan individu atau pengalaman institusi. Umumnya
anak sangat tergantung
sebelum tindakan Fil parasentesis dilakukan pemeriksaan koagulogram (waktu protrombin
dan international normalize ratio (INR)), trombosit dan hematokrit dipersiapkan. Namun
demikian tidak ada data yang mendukung berapa cut off parameter koagulogram yang
menjadi kontraindikasi untuk tindakan parasentesis. Disamping itu pemberian fresh frozen
plasma (FFP) atau trombosit rutin sebelum parasentesis juga tidak didukung dengan bukti
penelitian.14,23
Parasentesis dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti infeksi, gangguan
elektrolit, perdarahan intraperitoneal, perforasi usus, sindrom hepatorenal. Perforasi usus
perlu dicurigai pada pasien yang pasca tindakan parasentesis mengalami demam disertai
nyeri perut. Semua pasien yang menderita asites lama cenderung mengalami hernia
umbilikalis.14,23,25

Transjugular Intrahepatic Porto-Systemic Shunt (TIPS)


TIPS adalah tindakan anastomosis portocaval non bedah dengan hasil intrahepatal porto-
sistemic shunt yang menyebabkan penurunan tekanan porta. TIPS akan menurunkan
aktivitas RAAS dan meningkatkan laju filtrasi glomerulus (glomelural filtration rate/GFR)

550
Buku Ajar Gastrohepatologi

9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

Gambar 36.8.1. Tata laksana pasien dengan asites refrakter25

sehingga menyebabkan penurunan kebutuhan diuretik dan akhirnya mengurangi tindakan


paracentesis. Penurunan asites yang signifikan terlihat 1-3 bulan sesudah dilakukan
TIPS. TIPS lebih efektif dibanding LVP dalam mencegah terjadinya kekambuhan asites,
namun demikian risiko terjadinya encephalopati hepatic cukup tinggi yaitu sekitar 30-50%.
Komplikasi lain dapat terjadi seperti pirai trombosis dan stenosis.
Kontra indikasi dilakukan TIPS antara lain gagal ginjal, infeksi aktif, penyakit
kardiopulmonal. TIPS menjadi pilihan kedua dalam penanganan asites refrakter dan untuk
pasien yang membutuhkan parasentesis berulang penyakit hati yang disertai gangguan
ginjal.2,26,27,28

551
Bab 36 Asites Refrakter

Transplantasi Hati
Transplantasi hati adalah satu-satunya pengobatan untuk menyelamatkan pasien penyakit
hati stadium akhir dengan asites refrakter. Luarannya akan lebih baik bila transplantasi hati
dikerjakan sebelum terjadinya sindrom hepatorenal dan mereka yang tidak melakukan
operasi bedah shunting porto-sistemic.2

36.9 Komplikasi
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
Komplikasi asites yang paling serius adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP). SBP
dijumpai pada 10-30% pasien sirosis dengan asites. SBP mempunyai mortalitas tinggi
bila penanganannya tertunda. Pasien dengan penyakit hati berat mempunyai defisit
imunologi yang meningkatkan risiko bakteremia berulang dan berkepanjangan, termasuk
defek pada sistem retikuloendotelial, fungsi neutrofil yang abnormal, dan defisiensi
komplemen. SBP merupakan peritonitis bakterial yang tidak disebabkan oleh perforasi
usus atau penyebab sekunder yang lain. Penyebab mikroorganisme SBP pada anak-anak
khususnya adalah mikroorganisma tunggal seperti Klebsiella spp 1(18%), 9 E. coli (15%),
2 0
Enterococcus, Streptococcus pneumoniae (73%) dan akhir-akhir re t ini adalah methicillin
Ma
resistant Staphylococcus aureus. Penyebab lain infeksi 9bakteri cairan asites pada anak
29

ro
G ast
dengan sirosis tampak pada Tabel 36.9.1.2 Mikroorganisma campuran biasanya dijumpai
t
bila usus mengalami perforasi dan terjadi peritonitis sekunder.
pa a
tu kr
n sirosis hati2
Tabel 36.9.1. Varian asites dengan infeksi bakteri pada anakudengan
tr o
as Terapi
Varian
j arG PMN absolut, /mm3 Kultur bakteri
antibiotik
u A
SBP
Buk ≥ 250 Positif Ya
i l e untuk organisme tunggal
F
Asites neutrositik kultur negatif (culture-negative neutrocytic ≥ 250 Negatif Ya
ascites/CNNA)
Antibiotik (-) dalam 7 hari terakhir
Tidak ada penyebab lain
Bakterasitis polimikroba <250 Positif Ya

SBP harus dicurigai pada pasien dengan asites yang mengalami peningkatan distensi
abdomen progresif, demam berulang, nyeri perut, ikterik yang meningkat, leukositosis,
encephalopaty yang memburuk dan hipotensi. Sekitar 10% SBP tidak disertai gejala
peritonitis, sehingga direkomendasikan untuk melakukan parasentesis diagnostik bila
dijumpai asites yang baru pertama kali muncul pada saat rawat inap atau ketika terjadi
perburukan kondisi umum, demam yang tidak diketahui sumbernya, nyeri perut, atau
gejala lain kearah SBP.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kultur cairan asites. Hasil analisis cairan asites
bila dijumpai leukosit >500 sel/mm3 dan jumlah PMN absolut >250 sel/mm3 sangat
dicurigai infeksi bakteri. Jika dicurigai SBP maka terapi empirik bisa diberikan. Sefotaksim
merupakan pilihan antibiotik yang efektif terhadap kuman tunggal dan mempunyai

552
Buku Ajar Gastrohepatologi

konsentrasi yang tinggi di dalam cairan asites. Antibiotik lain yang cukup sensitif antara
lain seperti seftriakson dan amoksisilin-asam klavulanat. Durasi pengobatan sekitar 5-7
hari. Pemberian 1,5 g albumin/kg pada saat SBP terdiagnosis, diikuti 1 g albumin/kg pada
hari ke 3 dapat membantu menurunkan risiko gangguan ginjal dan memperbaiki harapan
hidup.30
Monitoring terapi dengan parasentesis hanya diindikasikan bila dicurigai terjadi
peritonitis sekunder atau bila terdapat respon buruk antibiotik. Pemberian norfloksasin
jangka panjang (5–7.5 mg/kg/hari) sekali sehari direkomendasikan untuk pasien sirosis
yang sembuh dari SBP pertama kali dan pasien yang mengalami perdarahan gastrointestinal
dengan profilaksi jangka pendek. Pasien asites yang mengalami SBP berisiko mengalami
kekambuhan dengan rerata kekambuhan 69% dalam 1 tahun.2, 5,19, 22, 25

Hepatorenal Renal Sindrome (HRS)


HRS adalah terjadinya insufisiensi renal progresif pada penderita penyakit hati berat tanpa
adanya penyebab gagal ginjal lain. Diagnosis HRS merupakan diagnosis yang ditegakkan
sesudah mengeksklusi penyebab lain. HRS merupakan komplikasi penyakit hati (end state)
yang terjadi lebih jarang pada anak-anak dibanding dewasa. Insidensi HRS sekitar 5% tetapi
9
data ini mungkin di bawah kejadian yang sesungguhnya mengingat 2 01 kriteria diagnostik
t
reKriteria diagnosis HRS
yang lebih spesifik untuk anak-anak hingga saat ini belum ada.
9 Ma
pada anak-anak dan dewasa menggunakan kriteria diagnosis o dari International Ascites Club
(IAC) dan sudah mengalami revisi beberapa kali namun a str tetap sulit digunakan terutama
tG
untuk bayi dan anak kecil (Tabel 36.9.2).17,31 rapa
k
u ntu
Tabel 36.9.2. Usulan diagnostik kriteria untuk HRS pada anakro
31

Kriteria mayor G ast


Sirosis dengan asites A jar
u
uk tanpa nilai cut off yang pasti
Dua kali atau lebih kadar serumBkreatinin
l e
Fiserum
Tidak ada perbaikan kadar kreatinin setelah pemberian diuretik dan albumin setidaknya selama 2 hari
Tidak ada syok
Tidak ada riwayat pemakaian obat-obat nefrotoxik
Tidak ada penyakit ginjal yang ditandai dengan proteinuria >500 mg/day, mikrohematuria >50 sel darah/lpp dan/atau USG ginjal yang
abnormal
Kriteria tambahan
Kadar serum Na ≤130 mmol/L
Urin output 24 jam <1 mL kg -1 h -1

Ada 2 tipe HRS yaitu tipe 1 adalah gagal ginjal akut progresif cepat yang seringkali
berhubungan dengan faktor pencetus adanya gangguan fungsi hati dan organ lain.
Diagnosis HRS tipe 1 ditegakkan bila kreatinin serum meningkat lebih 100% dari baseline
kadar akhir kreatinin > 2,5 mg/dL (221 lmol /L). 1 ditandai dengan peningkatan kadar
kreatinin tidak lebih dari 2.5 mg/dL dari dua kali nilai batas normal pasien. Pasien bisa juga
ditandai dengan penurunan hingga 50% dalam klirens kreatinin dalam 24 jam dari data
baseline menjadi kurang dari 20 mL/menit kurang dari 2 minggu. HRS tipe 2 terjadi pada
pasien asites refrakter dengan gagal ginjal fungsional yang stabil atau moderat dan sering

553
Bab 36 Asites Refrakter

disertai dengan retensi natrium. HRS tipe 2 dapat memicu terjadinya HRS tipe 1 secara
spontan atau sesudah adanya faktor pencetus seperti SBP.
HSR diduga disebabkan karena retensi air dan natrium yang berkepanjangan akibat
peningkatan produksi agen vasoaktif yang diaktivasi oleh vasodilatasi splanchnik pada
pasien dengan penyakit hati berat. Ada empat faktor yang terlibat dalam patogenesis HRS: (1)
Terjadinya vasodilatasi splanknik yang menyebabkan penurunan volume darah arteri yang
efektif dan penurunan tekanan arteri rata-rata, (2) Aktivasi sistem saraf simpatik dan renin-
angiotensin-aldosteron sistem yang menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan pergeseran
kurva autoregulasi ginjal sehingga aliran darah ginjal mudah terpengaruh oleh perubahan
tekanan arteri rata-rata, (3) Penurunan fungsi jantung yang disebabkan kardiomiopati
sirosis, sehingga terjadi penurunan relatif dari peningkatan kompensasi curah jantung
akibat sekunder vasodilatasi, (4) Peningkatan sintesis beberapa mediator vasoaktif yang
dapat mempengaruhi aliran darah ginjal atau glomerulus microcirculatory hemodynamics,
seperti leukotrien cysteinyl, tromboksan A2, prostan F2-iso-, dan endotelin-1, namun peran
faktor-faktor ini dalam pathogenesis HRS hingga saat ini masih belum jelas.22,25,32,33
Tata laksana secara umum:
1. Monitoring ketat untuk pasien HRS tipe 1 yaitu diuresis, keseimbangan cairan, tanda
vital dan tekanan arteri. Pasien dianjurkan untuk dirawat di ruang 9 intensif atau semi
intensif 2 01
t
2. Skrining infeksi dengan pemeriksaan kultur darah, urine, Mare cairan asitesi dilanjutkan
9
stro
terapi antibiotik. Antibiotik empirik tidak direkomendasikan
3. Large Volume Paracentesis cukup bermanfaat Ga
p at untuk mengurangi keluhannya bila
a
asitesnya sangat masif
tu kr
4. Semua diuretik harus dihentikanupada n saat investigasi dan diagnosis awal. Furosemid
tro memelihara luaran urin atau bila ada bukti volume
mungkin bisa digunakan untuk as
j ar G tidak dianjurkan karena risiko hiperkalemia.
overload sentral. Spironolakton
A
ku
Terapi spesifik uadalah pemberian obat vasokonstriktor (terlipressin, noradrenalin
i
dan midodrin dengan l e B okreotid). Terapi lini pertama untuk HRS tipe 1 adalah pemberian
F
terlipressin (15-20 µg/4 jam bolus intravena) disertai pemberian albumin (Yousef N, 2010).
Tujuan terapi adalah memperbaiki fungsi ginjal dengan menurunkan kreatinin serum ≤
133 lmol/L (1.5 mg/dL). Jika tidak terjadi penurunan sedikitnya 25% sesudah 3 hari, dosis
terlipressin harus dinaikkan bertahap sampai maksimum 2 mg/4 jam. Untuk pasien yang
memberikan respon parsial kreatinin serum tidak menurun <133 lmol/L) atau tidak ada
reduksi sama sekali maka terapi harus dihentikan dalam 14 hari. Kontraindikasi terlipressin
adalah penyakit jantung iskemia. Komplikasi terlipressin antara lain aritmaia, iskemia
splanknik, overload cairan. Terapi terlipressin dan albumin terbukti efektif pada 60-70%
pasien HRS tipe 2. TIPS telah menunjukkan dapat memperbaiki fungsi renal pada pasien
dengan HSR, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan luaran jangka
panjang harapan hidup. Transplantasi hati merupakan terapi definitifuntuk HRS tipe 1
maupun tipe 2. 20,33
HRS merupakan komplikasi sirosis yang serius dan mempunyai prognosis buruk.
Lebih kurang 10% pasien dengan gagal ginjal akut atau sirosis lanjut akan mengalami HRS.
Terjadinya HRS akan meningkatkan mortalitas dibanding bila hanya terjadi asites refrakter
saja. Infeksi bakteri terutama SBP merupakan faktor risiko penting terjadinya HRS. HRS

554
Buku Ajar Gastrohepatologi

terjadi pada 30% pasien yang mengalami SBP. Terapi albumin dan antibiotik dilaporkan
dapat menurunkan risiko terjadinya HRS dan memperbaiki harapan hidup. Prognosis
HRS sangat buruk, dengan rerata harapan hidup pasien lebih kurang 3 bulan. HSR tipe
1 mengakibatkan mortalitas hingga 80% dalam 2 minggu sejak munculnya gejala. Rerata
harapan hidup pasien HRS tipe 1 yang tidak diterapi lebih kurang 1 bulan. HRS tipe 1 yang
berhubungan dengan HRS tipe 2 merupakan bentuk paling banyak dijumpai. HRS tipe 2 ini
yang sering berhubungan dengan asites refrakter.20

36.10 Prognosis
Asites refrakter mempunyai prognosis yang buruk karena berhubungan dengan komplikasi
seperti hiponatremi dilusi, sindrom hepatorenal, empiema bakterial spontan, hidrothoraks
hepatik, SBP, hernia umbilikalis. Tata laksana asites refrakter hingga saat ini hanya bertujuan
untuk mengurangi gejalanya dan bukan terapi kuratif. Terapi efektif untuk mengontrol asites
refrakter adalah LVP dan TIPS yang mempunyai keuntungan meningkatkan keamanan dan
efikasi. Survival rate pada pasien asites dengan fungsi hati normal dan natrium normal dapat
mencapai 80% pada tahun ke 3. Asites refrakter dengan tanda-tanda dekompensasi hati
mempunyai survival rate sangat rendah yaitu 50% pada bulan ke 6-12 sesudah menderita
0 19
asites refrakter. Hingga saat ini transplantasi hati menjadi satu-satunya
t 2 terapi kuratif pada
Mare
pasien dengan asites refrakter. Pasien asites refrakter yang mengalami SBP mempunyai
o 9
mortalitas tinggi (sekitar 20%).1, 25 str
G a
p at
r a
k
Daftar Pustaka u ntu
ro
G ast ascites. Rev Article. Dig Dis2005;23:30–38.
1. Cárdenas A and Arroyo V. Refractory
jar Acites in children. Review article Indian J Pediatr 2016; 1-7.
2. Ashish Bavdekar dan NitinAThakur.
u
uk Ascites in Childhood Liver Disease.Indian J Pediatr 2006; 73 (9) :
3. Yachha K.S and Khanna,V.
B
e
819-824. Fil
4. Moore KP and Aithal GP. Guidline in the management of ascites in chirosis. Gut 2006;55(Suppl
VI): vi1-12.
5. Giefer,J.M, Murray,F.K and Colletti,B.R. Pathophisiology, Diagnosis and Management of
Pediatric Ascites. JPGN 2011;52: 503–513.
6. Machin GA. Diseases causing fetal and neonatal ascites. Pediatr Pathol 1985;4:195 – 211.
7. Yang JI, Kim HS, Chang KH, et al. Intrauterine intussusception presenting as fetal ascites at
prenatal ultrasonography. Am J Perinatol2004;21:241 – 6.
8. Zelop C, Benacerraf BR. The causes and natural history of fetal ascites. Prenat Diagn1994;14:941–6.
9. El Bishry G. The outcome of isolated fetal ascites. Eur J ObstetGynecol Reprod Biol2008;137:43 – 6.
20.
10. Sun CC, Keene CL, Nagey DA. Hepatic fibrosis in congenital cyto-megalovirus infection: with
fetal ascites and pulmonary hypoplasia.Pediatr Pathol 1990;10:641 – 6.
11. Tomar, BS. Pediatric Ascites Revisited. Int J Gastroenterol Hepatol Transpl Nutr 2016; 1(i): 55-
73.
12. Dudley FJ. Pathophysiology of ascites formation. Gastroenterol. Clin North Am 1992; 21: 215-
235.
13. Sabri.M,. Saps, M., and John M. Peters,M.J. Pathophisiology and Management of Pediatric
Ascites. Current Gastroenterology Reports2003, 5:240–246.

555
Bab 36 Asites Refrakter

14. Gines P, Cardenas A, Arroyo V, Rodes J. Management of cirrhosis and ascites. N Engl J Med
2004; 350 : 1646-1654.
15. Schrier RW. Pathogenesis of sodium and water retention in high-output and low-output cardiac
failure, nephrotic syndrome, cirrhosis, and pregnancy (2). N Engl J Med 1988;319:1127 – 34.
16. Singhal S, Baikati K.K, Jabbour II., and Anand S. Management of refractory ascites. American
Journal of Therapeutics 2012; 19(2): 121–132.
17. Arroyo V, Ginès P, Gerbes AL, Dudley FJ, et al. Definition and diagnostic criteria of refractory
ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis. Hepatology1996;23:164–176.
18. King LR, Siegel MJ, Balfe DM. Acute pancreatitis in children: CT findings of intra- and
extrapancreatic fluid collections. Radiology1995;195:196 – 200.
19. Shepherd R. Complications and management of chronic liver dis- ease. In: Kelly D, editor.
Diseases of the liver and biliary system in children. Birmingham: Wiley-Blackwell; 2008. p. 351–
78.
20. European Association for the Study of Liver. EASL clinical practice guidelines on the management
of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol.
2010;53:397–417.
21. Younas M, Satar A, Hashim R, Ijas A, Dilawar M, Manzoor SM, Ali A, Ahmad Khan F. Role
of serum-ascites albumin gradient in the differential diagnosis of ascites. J Ayub Med Coll
Abbottabad 2012;24(3-4).
22. Hardy S, Kleinman RE. Chirosis and Chronic Liver Failure in Suchi FJ, Sokol RJ, Balistreri WF:
Liver Disease in Children 2001,89-128, Lippincot William&Wilkins,20Second 19 Ed.
t
23. Erin R Lane, Evelyn K Hsu & Karen F Murray. Management of ascites are in children.Expert Review
of Gastroenterology & Hepatology2015; 9:10, 1281-1292.o 9 M
r
24. Kramer RE, Sokol RJ, Yerushalmi B, et al. Large-volume
G ast paracentesis in the management of
ascites in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. t
a2001;33:245–9.
r apPathogenesis, Clinical Impact, and Management.
tuk647-56.
25. Siqueira F, Kelly T, Saab S. Refractory Ascites:
Gastroenterology & Hepatology 2009; u n5:9,
26. Moore KP, Wong F, Ginès P, et al. tro management of ascites in cirrhosis: report on the consensus
asThe
G
jar Ascites Club. Hepatology2003;38:258–266.
conference of the International
A
27. Rosemurgy AS, Zervos ku EE, Clark WC, Thometz DP, Blak TJ, Zwiebel BR, Kudryk BT, Grundy S,
Bu Peritoneovenous Shunt in the Treatment of Medically Intractable Ascites.
Carey,LC. TIPSleVersus
Fi
AnnSurg 2004;239: 883–8ites91.
28. Salerno F, Camma C, Enea M, Rossle M,Wong F. Transjugular Intrahepatic Portosystemic
Shunt for Refractory Ascites: A Meta-analysis of Individual Patient Data.Gastroenterologi.
2007;133:825–834.
29. Fernández J, Navasa M, Gómez J, Colmenero J, Vila J, Arroyo V, Rode’s J.Bacterial infections
in cirrhosis: epidemiological changes with invasive procedures and norfloxacin prophylaxis.
Hepatology. 2002;35:140–8.
30. Narula N, Tsoi K, Marshall JK. Should albumin be used in all patients with spontaneous bacterial
peritonitis? Can J Gastroenterol. 2011;25: 373–6.
31. Yousef N, Habes D, Ackermann O, Durand P, Bernard O, and Jacquemin E. Hepatorenal
syndrome : Diagnosis and effect of Terlipressin therapy in 4 padiatric patients. JPGN 2010;
51(1);100-2.
32. Ginès P, Schrier RW. Renal failure in cirrhosis. N Engl J Med 2009;361:1279–1290.
33. Dagher L, Moore K. The hepatorenal syndrome. Gut 2001;19:729–737.

556
BAB

37
Prosedur Diagnostik Penyakit Hati
Yusri Diane Jurnalis

37.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak berusia 8 bulan datang dengan keluhan perut yang semakin membesar sejak
4 bulan yang lalu. Pasien juga terlihat kuning sejak lahir dan badan lemas 2 bulan terakhir.
Pada pasien juga didapatkan tinja yang kadang berwarna kehitaman seperti petis. Tidak
ada demam. Pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan sebelumnya dan belum pernah
berobat sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak lemah, sadar penuh, dengan nadi
115 x/menit, suhu 37.5°C, RR 28 x/menit. Didapatkan pasien tampak anemis dan ikterus.
Dari pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen kembung, asites, hepar dan lien sulit
dievaluasi. Didapatkan pula vena dinding perut prominen dan edema pada tungkai bawah.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8,1 g/dL, leukosit 12.000/mm3, trombosit
150.000 /mm3, SGOT/SGPT 207/310, albumin 2,1 g/dL, PPT 50 (kontrol 12), APTT 121
(kontrol 20-35).
Hasil USG menunjukan lobus kanan dan segmen medial lobus kiri hati tampak
mengecil dengan hipertropi kompensasi dari segmen lateral lobus kiri hati dan lobus
kaudatus. Ekostruktur hati kasar dan heterogen dengan pola yang noduler. Gambaran
iregularitas dan penebalan permukaan hepar, membesarnya lobus kaudatus, rekanalisasi v.
umbilikus dan asites.

37.2 Ultrasonografi (USG) Hati dan Saluran Empedu


USG merupakan sarana diagnosis pertama dan mungkin utama dalam mendiagnosis
berbagai kelainan hati.1 USG sensitif untuk membedakan massa padat atau cairan tetapi
kurang sensitif untuk kelainan yang difus. USG juga sulit untuk membedakan nodul jinak
atau ganas. Pada pasien kolestasis USG sangat membantu membedakan penyebab obstruktif
atau non obstruktif.2 Sensitivitas diagnostik pemeriksaan USG untuk kasus kolestasis adalah
80%, kasus kista koledokus dan batu adalah 90-95%. Sedangkan untuk kasus biliary sludge
atau inspissated bile sensitivitasnya rendah.3

557
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati

Indikasi1
1. Hepatomegali
2. Abses hepar
3. Kolestasis
4. Trauma abdomen
5. Asites
6. Metastase pada hepar
7. Massa pada hepar
8. Nyeri abdomen kuadran kanan atas
9. Skrining untuk ekinokokosis endemik.

Kontraindikasi2
Tidak ada kontraindikasi, karena bukan merupakan tindakan invasif.

Persiapan Pasien1,2,3
• Pada pemeriksaan USG vesika felea, anak tidak perlu puasa.
• Untuk pemeriksaan kolestasis, dilakukan pemeriksaan USG 2 fase; yaitu fase pertama
dengan persiapan puasa minimal 4 jam dan fase kedua USG 19
0dilakukan setelah anak
e t 2
minum. ar
9 M
stro
G a
Gambaran ap at
rk
Atresia bilier u ntu
ro
Saat puasa kandung empedu dapat
G ast tidak terlihat yang membuat kita berpikir ada gangguan
patensi duktus hepatikus dan
Ajar duktus hepatikus komunis sehingga terjadi gangguan aliran
u
empedu dari hati ke saluran empedu ekstrahepatik. Pada keadaan kandung empedu tidak
Buk
terlihat saat puasa,e maka USG setelah minum tidak perlu dilakukan lagi.
Fil
Pada keadaan lain, saat puasa kandung empedu terlihat kecil tetapi setelah minum
ukuran kandung empedu tidak berubah, hal ini mengarah pada kemungkinan adanya
gangguan aliran empedu dari kandung empedu melalui duktus sistikus melewati duktus
koledokus komunis ke duodenum. Kedua gambaran ini mengarah akan kemungkinan
atresia bilier. Tanda karakteristik lain adalah triangular cord yaitu ditemukan adanya densitas
ekogenik triangular atau tubular di kranio bifurkasio vena porta yang sangat sensitif dan
spesifik menunjukkan adanya atresia bilier (sensitivitas 93%, spesifisitas 96%).3,4,5

Penyakit Sirosis Hepatis


Gambaran USG menunjukan lobus kanan dan segmen medial lobus kiri hati tampak
mengecil dengan hipertropi kompensasi dari segmen lateral lobus kiri hati dan lobus
kaudatus. Ekhostruktur hati kasar dan heterogen dengan pola yang noduler.6

558
Buku Ajar Gastrohepatologi

Penyakit Hemangioma
Gambaran USG berupa kavernosa hati dengan lesi hiperekogenik terlokalisir. Pada penyakit
kista hepar tampak kista berbatas jelas, echo-free content, peripheral echo enhancement. Pada
tumor ganas (hepatoma dan karsinoma hepatoselular) tampak gambaran area hipo dan
hiperekhogenik. Pada metastase tumor ke hepar tampak lesi hipo atau hiperekhogenik
dibandingkan parenkim sekitar atau ekogenik campuran sering multipel.7

Pankreatitis Akut
Didapatkan penurunan ekogenitas, peningkatan ukuran pankreas, perubahan ekhostruktur
dan bentuk serta adanya pelebaran duktus pankreatikus. Terdapat hipoekogenitas pankreas
pada 40% kasus pankreatitis akut. USG mempunyai sensitivitas 62%-95% untuk mendeteksi
pankreatitis akut.8,9

Batu Empedu
USG merupakan prosedur pilihan untuk mengidentifikasi batu empedu. Alat USG dengan
resolusi tinggi dapat mengidentifikasi batu empedu berukuran 2 mm, dengan sensitivitas
9 yang ekogenik
yang lebih besar dari 95%. Gambaran USG batu empedu berupa massa
2 01
re t
dengan bayangan akustik. Sedangkan pada kolesistisis USG memberikan gambaran distensi
kandung empedu dengan penebalan dinding (˃ 3 mm) disertai 9 Ma debris intra luminal yang
ro
ekogenik.10 astG
p at
r a
k
Sirosis Hepatis u ntu
ro
ast biliaris. Pada sirosis hati memberikan gambaran
Dapat dinilai dari hati, limpa dan traktus
G
Ajar
iregularitas dan penebalan permukaan hepar, membesarnya lobus kaudatus, rekanalisasi v.
ku
umbilikus dan asites. Ekhoparenkim sangat kasar menjadi hiperekhoik karena fibrosis dan
Bu
e
Fil
pembentukan mikronodul menyebabkan permukaan hati sangat ireguler, hepatomegali;
kedua lobus hati mengecil atau mengerut atau normal. Terlihat pula tanda sekunder berupa
asites, splenomegali, adanya pelebaran dan kelokan-kelokan v. hepatika, v. lienalis, v. porta
(hipertensi portal). Duktus biliaris intrahepatik dilatasi, ireguler dan berkelok-kelok.11

Limpa
Pada limpa tampak peningkatan ekhostruktur limpa karena adanya jaringan fibrosis,
pelebaran diameter vena lienalis serta tampak lesi sonolusen multipel pada daerah hilus
lienalis akibat adanya kolateral. Sedangkan pada traktus biliaris tampak lumpur empedu
(sludge) yang terlihat sebagai material hiperekhoik dan menempati bagian terendah kandung
empedu, sering bergerak perlahan-lahan sesuai dengan posisi penderita, selalu membentuk
lapisan permukaan dan tidak memberikan bayangan akustik di bawahnya. Lumpur empedu
tersebut terdiri atas granula kalsium bilirubinat dan kristal-kristal kolesterol sehingga
mempunyai viskositas yang lebih tinggi daripada cairan empedu sendiri. Dinding kandung
empedu terlihat menebal. Duktus biliaris ekstrahepatik seringkali didapatkan normal.11

559
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati

37.3 CT Scan Hati


CT Scan hati memerlukan pencitraan dari seluruh organ hati dari perbatasan superior
sampai ke inferior. Irisan tebal 10 mm diperoleh biasanya sebelum dan sesudah injeksi
kontras secara intra vena. CT Scan harus diambil 30-60 detik setelah injeksi bolus kontras,
karena pertimbangan farmakodinamik. Karena ukuran hati yang besar, kontras mungkin
harus diulang untuk mempelajari seluruh organ.12

Indikasi12
1. Menilai ukuran hati dan mendapatkan informasi dari penyakit parenkim fokal dan
difus secara tegas.
2. Menilai empedu dan struktur anatominya terkait tumor dan lesi lainnya, luka,
perdarahan, infeksi, abses, atau kondisi lain terutama bila pemeriksaan fisik dan
penunjang lain seperti X-ray dan USG tidak konklusif.
3. Membedakan antara ikterus obstruktif dan non-obstruktif.
4. Memberikan panduan untuk biopsi atau aspirasi jaringan hati atau kandung empedu.

9
Tujuan CT-scan dengan kontras12 201
aret
Organ yang diperiksa terlihat lebih jelas.
o 9M
str
Ga
Kontraindikasi12 p at
k ra
ntukontras.
Gagal ginjal jika CT- scan menggunakan
u
ro
G ast
Risiko12 Ajar
u
1. Paparan radiasi Buk
l e
Fiterhadap
2. Reaksi alergi kontras

Persiapan
Pasien dianjurkan puasa selama 4 jam sebelum pemeriksaan. Kontras dapat diberikan
peroral atau intravena. Anak diberi sedatif 60 ml Bicitra yang dicampur dengan hypaque,
air dan jus. Jika pasiennya tidak kooperatif, maka nasogastric tube (NGT) harus dipasang
agar kontras bisa diberikan secara oral. Pada anak yang tidak mendapatkan sedatif, maka
dapat diberikan kontras secara oral 1 jam sebelum pemeriksaan, dengan memakai hypaque
dengan konsentrasi garam 40%, sedangkan gastrografin mempunyai kadar konsentrasi
garam 76%.1

Gambaran
Adenoma dan Hiperplasia Fokal
Adenoma dan hiperplasia fokal akan memberikan gambaran isodens atau hipodens pada
CT scan tanpa kontras, dengan kontras akan tampak gambaran yang lebih jelas. Kista hepar

560
Buku Ajar Gastrohepatologi

akan memberikan gambaran lesi berbatas tegas terdiri dari kandungan cairan dan dinding
kista, sering terdapat kalsifikasi. Tumor ganas (hepatoma dan karsinoma hepatoselular).
CT scan tanpa kontras akan memberikan gambaran isodens dengan lesi SOL, sedangkan
dengan kontras menunjukkan gambaran kontras yang tidak rata, yaitu densitas berkurang
di bagian sentral (nekrosis), sering juga ditemukan kelainan pada vena porta atau vena
hepatika.7

Metastase ke Hati
Gambaran CT scan metastase ke hati menunjukkan lesi hipodens meskipun telah
disuntikkan kontras. Beberapa metastase memberikan gambaran hipervaskular. Abses
hepar akan memberikan gambaran hipodens dengan kontras mengisi dinding abses. Pada
hepatomegali yang disebabkan oleh gagal jantung kongestif, hepar terlihat membesar dan
ekhogenik, tampak dilatasi vena hepatika dan bagian inferior vena cava.7

Penyakit Pankreas
CT scan dilakukan apabila hasil USG tidak memuaskan atau membutuhkan gambaran
anatomi lebih baik. CT scan dengan kontras merupakan metode pencitraan pilihan dalam
9
menggambarkan pankreas (perubahan ukuran, tekstur), evaluasi beratnya
2 01 dan mendeteksi
t
are pembesaran duktus,
komplikasi pankreatitis akut seperti pseudokista, abses, kalsifikasi,
M
edema peripankreatik, eksudat peritoneal dan distensi usus.9
o CT abdomen lebih sensitif
dibandingkan USG dalam mendiagnosis pankreatitis a str dengan sensitivitas lebih dari
berat
G
at
ap penyakit dan prognosis penyakit.
94%. CT juga dapat menentukan derajat keparahan 13
r
tuk
un
st ro
37.4 Skintigrafi Hepatobilier
jar Ga
A
u
uk suatu studi pencitraan diagnostik radionuklir yang digunakan
Skintigrafi hepatobiliar adalah
B
e
untuk mengevaluasi Filfungsi hepatoselular dan sistim empedu dengan menelusuri produksi
dan aliran empedu dari fase formatif dalam hati, sistem empedu hingga ke dalam usus.
Tujuan skintigrafi hepatobilier untuk membantu dokter melihat kelainan pada penyakit
hati dan sistem empedu.14 Pemeriksaan technetium-diisopropyl acid (Tc-DISIDA) untuk
atresia bilier memberikan sensitivitas hingga 100% dan spesifisitasnya 40%, tapi false positif
dan false negatifnya cukup tinggi mencapai 10% dan reabilitasnya berkurang bila kadar
bilirubin sangat tinggi.4,15
Technetium-trimetil bromo iminodiasetic acid (Tc-BRIDA) lebih banyak dipakai
daripada Tc-DISIDA, karena BRIDA lebih banyak diambil oleh hati dan dieksresikan ke
dalam empedu dibandingkan dengan DISIDA. Di samping itu spesifisitas terhadap jaringan
hati lebih tinggi, dan eksresinya melalui ginjal sangat sedikit sehingga mengurangi resiko
kesalahan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan. Pemberian fenobarbital (5 mg/kgBB)
selama 3-5 hari sebelum pemeriksaan akan meningkatkan spesifisitas pemeriksaan (dari 63%
menjadi 94%) dan menurunkan angka positif palsu karena fenobarbital dapat meningkatkan
ambilan dan eksresi komponen empedu. Yang harus dicatat pada pemeriksana skintigrafi
adalah reliabilitasnya akan berkurang bila kadar bilirubin direk sangat tinggi (>20 mg/dl)
di samping false positif dan negatifnya sebesar 10%.4,15

561
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati

Indikasi14
1. Kolesistitis akut
2. Untuk mengetahui kondisi sistem bilier
3. Kebocoran empedu
4. Kista koledokus
5. Menghitung ejeksi fraksi kantong empedu
6. Menilai fungsi hati sebelum hepatektomi parsial
7. Menilai anomali lobulasi hepar
8. Menilai bypass enteric empedu ( misalnya prosedur Kasai)
9. Refluks enterogastrik (duodenogastrik)
10. Refluks empedu-esofagus setelah gastrektomi
11. Disfungsi spingter oddi.

Kontraindikasi14
Hipersensitivitas terhadap zat radioaktif.

Persiapan14
9
Anak dipuasakan 2-4 jam dan bayi dipuasakan 2 jam sebelum injeksi
2 01 zat radioaktif. Puasa
t
re menyebabkan kantong
lebih dari 24 jam (termasuk pada nutrisi parenteral total), adapat
9M
empedu tidak mengisi radiotracer dalam waktu yang diharapkan.
o
str
Ga
p at
Gambaran ra
nt uk
Pada penyakit kolestasis intrahepatik uambilan kontras oleh hati biasanya lebih lambat, tapi
tro
ada eksresinya ke dalam usus. Padaas atresia bilier ambilan kontras oleh hati biasanya cepat
r Gusus tidak ada.4,15 Pada hepatitis neonatal idiopatik, ambilan
atau normal, tapi eksresinyajake
uA
uk tapi eksresinya normal.
kontras oleh hati tertunda, 4

e B
Fil
37.5 Tes Aspirasi Duodenum (duodenal aspiration test /
DAT)
Tes aspirasi duodenum adalah uji bilirubin pada cairan duodenum yang diperoleh melalui
aspirasi dengan menggunakan sonde (Levin tube).16

Persiapan
Pasien dipuasakan 3-4 jam sebelum pemeriksaan dilakukan. Pada saat akan dilakukan DAT,
pasien diberi sedatif (luminal, valium, atau kloralhidrat). Bila pasien dirawat di rumah sakit,
maka puasa dilakukan 24 jam dan diberikan cairan intravena. Pemeriksaan aspirasi cairan
lambung dapat dikerjakan tiap 4 jam. Untuk mempercepat peristaltik usus, dapat diberikan
metoklorpramid 0,4 mg/kgBB.16
Setelah pasien tenang, dimasukkan sonde lambung (Levin tube) no. 8 untuk anak
usia <1 bulan dan no. 12 untuk anak usia >1 bulan. Setelah sonde mencapai lambung

562
Buku Ajar Gastrohepatologi

pasien dimiringkan ke kanan. Kemudian masukkan udara 100 mL dengan spuit 20 cc,
dan dalam posisi miring ke kanan lambung dimasase untuk mendorong sonde masuk ke
dalam pilorus. Biasanya dalam waktu 15-30 menit sonde telah masuk ke duodenum. Untuk
membuktikan sonde telah masuk ke duodenum, dilakukan kontrol dengan foto rontgen
atau dengan fluoroskopi. Ujung sonde yang diberi tanda radioopak harus terletak setinggi
vertebra L1-2. Sesudah itu sonde diisap dan akan keluar cairan jernih berwarna kuning/
hijau yang dibuktikan bersifat alkalis dengan kertas lakmus.16
Setelah sonde masuk ke duodenum, dimasukkan magnesium sulfat 25% sebanyak 2 mL/
kg BB melalui spuit untuk melemaskan sfingter Oddi dan untuk meransang cairan empedu
keluar. Dua puluh menit kemudian cairan empedu dihisap dan ditampung untuk dilakukan
uji bilirubin dengan Ictotest. Ictotest adalah reagen yang berbentuk tablet yang digunakan
untuk menunjukkan ada/tidaknya bilirubin. Cara kerja Ictotest adalah dengan meneteskan
5 tetes cairan duodenum pada kertas absorben, kemudian tablet Ictotest diletakkan di atas
kertas absorben, teteskan 2 tetes air di atas tablet, hasilnya dibaca 60 detik kemudian.16

Kelebihan 16
Ketepatan diagnosisnya tinggi, cara relatif mudah, murah, dan akurat.
9
201
aret
Interpretasi18 9M
ro
• Hasil positif: bila timbul warna ungu/biru di Gsekitarast tablet, berarti dalam cairan
duodenum tersebut mengandung bilirubin. apa t
r
• tuksekitar tablet, berarti dalam cairan duodenum
Hasil negatif : bila timbul warna merah di
n
u
tidak mengandung bilirubin. troas
G
Ajar
37.6 Biopsi Hati l e Buk
u
Fi
Biopsi hati merupakan baku emas pada berbagai penyakit hati seperti sirosis hepatis,
tumor, abses, dan kista hepar. Biopsi hati merupakan tes diagnostik definitif untuk evaluasi
penyebab kolestasis pada bayi, dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 95%.4 Beberapa
penelitian membuktikan bahwa biopsi hati dapat menegakkan diagnosis hampir 90%
pasien dengan gangguan fungsi hati yang tidak jelas penyebabnya. Pemeriksaan biopsi hati
juga dapat mengarahkan pada penyakit sistemik yang kelainannya bisa terdapat di hati,
seperti limfoma dan amiloidosis.17

Indikasi17
1. Menentukan grading atau staging hepatitis kronis
2. Mencari penyebab kolestasis yang belum jelas etiologinya
3. Evaluasi tes fungsi hati yang abnormal dengan hasil serologi negatif
4. Menilai kandungan zat dalam hati
5. Evaluasi efikasi pasca terapi (contoh interferon pada hepatitis virus)
6. Menilai efek samping pengobatan
7. Diagnosis massa di hati

563
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati

8. Evaluasi pasca transplantasi


9. Kadang dapat sebagai pedoman terapi.

Teknik Biopsi17
Biopsi hati per-kutan (interkostal)
Menjadi pilihan pada kelainan hati yang difus. Tindakan dapat dilakukan tanpa panduan
USG atau CT-scan bila pekak hati ditemukan minimal sepanjang 5 cm longitudinal mid
aksila kanan.
Jarum untuk biopsi hati perkutan dibagi atas 3 jenis
1. Suction neddle: jarum Menghini, jarum Klatskin, jarum Jamshidi
2. Cutting needles: jarum Vim Silverman, jarum Tru-cut
3. Spring-Loadedcutting needle.

Kontraindikasi biopsi hati per-kutan17


A. Kontraindikasi absolut :
• Pasien tidak kooperatif
• Kelainan hemostasis 9
2 01
• Masa protrombin ≥ 3-5 detik dari kontrol re t
• Trombosit < 60.000/L 9 Ma
o
• Masa perdarahan memanjang lebih daria8-10 str menit
t G
• Penggunaan NSAID dalam 7-10 hari
r apa terakhir
• Tidak dapat mengidentifikasi lokasik biopsi
• Kecurigaan hemangioma atau u ntu vaskuler lain
tumor
ro
B. Kontraindikasi relatif G ast
• Obesitas berat Ajar
u
• Asites
Buk
e
Fil
• Hemofilia
• Infeksi rongga pleura kanan atau di bawah diafragma kanan

Protokol biopsi hati per-kutan


1. Alat dan bahan
• Desinfektan
• Spuit 10 cc untuk menyuntikkan lidokain
• 10 cc lidokain 2 %
• Sarung tangan steril
• Botol penyimpanan sampel dengan media formalin
• Jarum biopsi
• Skalpel
• Kain kassa dan plester
2. Jelaskan prosedur pada pasien
3. Tandai lokasi biopsi
4. Lakukan desinfeksi
5. Pasien dilatih menahan nafas

564
Buku Ajar Gastrohepatologi

6. Suntikkan anestesi lokal di kulit dan subkutis


7. Buat insisi kecil di kulit untuk memudahkan penusukan jarum
8. Jarum biopsi ditusukkan sambil mendorong cairan saline di dalamnya
9. Setelah pasien diminta menahan nafas, biopsi dilakukan dengan cepat
10. Bila biopsi gagal atau jaringan tidak adekuat, lakukan biopsi kedua
11. Tutup luka dengan kain kasa dan plester
12. Jaringan dimasukkan ke dalam botol dan diberi label keterangan.

Aspirasi biopsi dengan jarum halus


Tindakan biopsi aspirasi hati dengan jarum halus dilakukan di bawah panduan USG atau
CT. Prosedur ini menjadi pilihan untuk pasien-pasien dengan kecurigaan keganasan atau
lesi di hati. Kelebihannya adalah risiko penyebaran tumor lebih kecil dan relatif aman
dibanding biopsi dengan cara lain.

Persiapan17
1. Informed concent
2. Pemeriksaan hemostasis 9
2 01
Pemeriksaan masa protrombin, masa perdarahan, masa pembekuan t dan trombosit
dilakukan 24 jam sebelum tindakan. Mare
9
3. Vitamin K, fresh frozen plasma (FFP) dan trombosit stro
Ga
Sering diberikan untuk mengoreksi kelainan hemostasis
p at menjelang biopsi hati. Vitamin
K diberikan 6 jam sebelumnya. Jika pemberian r a vitamin K tidak berhasil memperbaiki
k
masa protrombin diberikan FFP sebelum u ntu prosedur biopsi dengan dosis 12-15 mL/kg
ro
BB dengan target perbaikan masa
G ast protrombin. Pada trombositopenia disarankan untuk
jar kg BB dilanjutkan dengan pemeriksaan kadar trombosit 1
transfusi trombosit 1 unit/10
A
u
uk
jam setelah selesai transfusi.
B
4. USG pra biopsiFil e
Manfaat USG pra biopsi adalah menemukan masa yang tidak terdeteksi secara palpasi dan
menggambarkan anatomi hati serta posisi relatif kandung empedu, paru-paru dan ginjal.

Komplikasi17
Nyeri
Nyeri di perut kanan atas atau pundak kanan serta rasa tidak nyaman sering terjadi setelah
menjalani biopsi hati. Dapat diatasi dengan analgetik parasetamol. Nyeri yang hebat dapat
sebagai tanda perdarahan atau akumulasi cairan empedu di subkapsular hati. Bila nyeri
hebat bersifat mendadak harus dicurigai peritonitis bilier akibat tusukan jarum biopsi yang
menimbulkan perforasi empedu.

Perdarahan
Perdarahan hebat umumnya terjadi intraperitoneal, tapi dapat pula intratorakal dari arteri
interkostalis. Perdarahan biasanya akibat perforasi vena porta yang melebar, tusukan
langsung arteri hepatika atau robekan hati ketika pasien menarik nafas dalam.

565
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati

Hipotensi yang menetap, peningkatan distensi abdominal atau bertambahnya volume


darah intraperitoneal yang terdeteksi melalui USG adalah indikasi untuk dilakukannya
laparatomi. Perdarahan dengan awitan lambat dapat terjadi 15-30 hari pasca biopsi.

Perforasi Kandung Empedu


Komplikasi penusukan dapat terjadi pada pasien dengan posisi abnormal kandung empedu
atau ukuran hati yang sangat kecil. Gejala yang muncul yaitu nyeri perut hebat dan hipotensi
tidak lama setelah dilakukan biopsi.
Peritonitis bilier dapat sembuh sendiri dan jarang memerlukan tindakan bedah.
Terapi asimptomatik dengan pemberian analgetik dan antibiotik. Pencegahan terjadinya
penusukan kandung empedu dilakukan dengan USG pre biopsi dan puasa agar ukuran
kandung empedu menjadi kecil.

Monitoring17
• Pasien berbaring di tempat tidur, sebaiknya miring ke arah luka selama 2 jam.
• Tekanan darah dan nadi diperiksa setiap 15-30 menit.
19
• Bila perlu berikan obat analgetik seperti parasetamol. 20 t
Mare
9
Gambaran ro
G ast
Gambaran biopsi hati pada atresia bilier ditemukan at tanda karakteristik adanya obstruksi
r ap
tuk duktus biliaris, fibrosis portal, bile plug pada
duktus biliar komunis antara lain proliferasi
un edema yang dapat dilihat pada umur 4-7 minggu.
duktus biliaris, pelebaran portal tracko dan
Oleh karena itu biopsi hati untuk tr
asmenegakkan diagnosis atresia bilier baru dapat dilakukan
r G
setelah bayi berumur 4 minggu.
Aj a Pada hepatitis neonatal: tampak perubahan arsitektur
lobulus yang menyolok, u kunekrosis hepatoseluler fokal, pembentukan pseudoroset, dan giant
e B pada sitoplasma.4,15,17
Fil
cells dengan balloning
Pada hepatitis akibat infeksi CMV atau herpes simpleks ditemukan badan inklusi
virus.19 Pada kolestasis intrahepatik lebih banyak terlihat fokus hematopoesis ekstrameduler,
deposit hemosiderin pada sel hati dan sel Kupffer, inflamasi intralobuler, dan hiperplasia
sel Kupffer. Pada sindrom Alagille tampak paucity duktus biliaris dengan paling sedikit 3
kelainan utama. Terlihat jumlah duktus bilier berkurang, dengan rationya terhadap portal
tract kurang dari 0,9 (Normal : 0,9 – 1,8).15

37.7 Kolangiografi
Kolangiografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk atresia bilier, dengan sensitivitas
100% dan spesifisitas 95%.4 Kolangiografi adalah prosedur yang memungkinkan visualisasi
saluran empedu dan duktus kistik yang membawa empedu dari hati dan kantong empedu
ke dalam usus. Setelah suntikan pewarna radioopak (meglumine iodipamide) ke dalam
saluran, gambar X-ray (kolangiogram) diambil di daerah perut sesuai lokasi saluran
empedu. Tidak adanya pewarna pada saluran-saluran empedu memberikan bukti bahwa
saluran tersebut terhambat.18

566
Buku Ajar Gastrohepatologi

Ada empat jenis kolangiografi18 :


1. Kolangiografi intra operatif (laparatomi)
2. Endoscopy retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
3. Percutan transhepatic cholangiography (PTC)
4. Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP).

37.8 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography


(ERCP)
ERCP merupakan pencitraan pilihan yang bersifat invasif dengan angka morbiditas relatif
rendah (3%-5%), mampu memberikan pencitraan dan mengobati penyakit saluran empedu,
ampula, pankreas, dan duodenum. ERCP digunakan untuk terapi seperti sfingterotomi
endoskopik, drainase bilier, pengambilan batu saluran empedu dan pemasangan
endoprotesa bilier.18

Indikasi18
9
1. Kolestasis yang sebabnya tidak jelas.
2 01
t
2. Batu di saluran empedu.
Mare
3. Keganasan pada sistem hepatobilier dan pankreas. 9
ro
4. Pankreatitis kronis. G ast
at
5. Tumor pankreas termasuk kista.
r ap
kberat badan menurun, untuk menyingkirkan
ntu
6. Diabetes mellitus dengan nyeri perut atau
u
pancreatitis atau karsinoma. ro
7. Divertikel duodenum sekitarr G ast
papil.
ja
u A bilier atau pankreas.
8. Metastase tumor ke sistem
k
u tanpa kelainan pada pankreas, lambung, duedonum dan hati.
9. Nyeri perut bagianBatas
e
Fil
Kontraindikasi18
1. Syok berat karena perdarahan, oklusi koroner akut, gagal jantung berat, koma, emfisema,
dan penyakit paru obstruktif berat.
2. Luka korosif akut pada esofagus, aneurisma aorta, aritmia jantung yang berat.
3. Pasien pasca bedah abdomen.
4. Alergi kontras iodium.

Komplikasi18
1. Perdarahan
2. Perforasi atau pembentukan kista submukosa duodenum
3. Infeksi

567
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati

Persiapan18
1. Pasien dipuasakan minimal 6 jam lalu diberikan premedikasi hyosine N butil bromide
40 mg (Buscopan) dan sulfas atropin 0,5 mg. Dimetikon diberikan 15 cc untuk
menghilangkan buih dari saluran cerna dan disemprotkan anastesi lokal silokain 10 %.
2. Pasien berbaring ke kiri dengan tangan kiri dibelakang punggung agar mudah
ditelungkupkan. Lazimnya diberikan diazepam 10 mg IV sebelum pemeriksaan dimulai.

Perawatan Pasca ERCP18


1. Pasien boleh makan dan minum setelah 2 jam pasca ERCP untuk menghindari aspirasi,
dimulai makanan cair atau lunak selama 24-48 jam.
2. Bila pasien diberikan sedasi, harus diawasi di ruang pemulihan sampai pasien sadar,
untuk memonitor kemungkinan komplikasi.
3. Penderita diberikan antibiotika secara selektif untuk mencegah infeksi akibat gangguan
drainase.
Pada kolangiografi intraoperatif perlu ditentukan apakah sistim bilier mengalami
obstruksi. Apabila ditemukan obstruksi perlu ditentukan tempatnya dan kemudian
dilakukan prosedur untuk mengalirkan empedu dari hati ke duodenum. 9 Pada atresia bilier
ditemukan ukuran kandung empedu kecil dan fibrotik diikuti tfibrosis 2 01 difus sistim bilier
ekstrahepatik. Untuk menentukan patensi sistem bilier, M are dilakukan kolangiografi.
perlu
o 9
Sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke kandungstrempedu kemudian disuntikkan zat
kontras sambil diamati dengan fluoroskopi untuk G a
menentukan luasnya obstruksi dan variasi
p at
anatomi. Variasi anatomi yang umum dipakai a
r adalah menurut Japanese Society of pediatric
Surgeons yang membagi keadaan ini menjadi ntuk 3 tipe. Atresia tipe 1 meliputi terutama duktus
ou
biliaris komunis. Atresia bilier tipea str2 naik sampai ke duktus hepatikus komunis dan tipe 3
G
atresia bilier mengenai seluruhjar sistem bilier ekstrahepatik.
5

u A
Buk
Pemeriksaan kolangiografi ini merupakan baku emas untuk memastikan diagnosis
i l
atresia bilier. Sindrome Alagille merupakan keadaan yang dapat mirip dengan atresia bilier
F
dan apabila tidak dilakukan kolangiografi akan membuat pasien menjalani prosedur Kasai.
Bila hal ini terjadi, potoenterostomi akan menyebabkan pasien Alagille mengalami sirosis
bilier dan memperburuk diagnosis.5

Daftar Pustaka
1. Breyer B, Bruguera C.A, Gharbi H.A, et al. Hepar. Dalam : Palmer P.E.S, penyunting. Panduan
pemeriksaan diagnostik USG. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002: h71-3.
2. Goldberg BB. Ultrasonography. Dalam: Goldberg BB, Petterson H, penyunting. A Global
textbook of radiology.1996. The Nicer Institute. h452-5.
3. Bisanto Julfina. Kolestasis pada bayi. Dalam : Trihono Partini, dkk, penyunting. Hot topics in
pediatrics II.Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2002:h84-99.
4. Juffrie M, Mulyani NS, editor. Modul kolestasis. UKK Gastro-Hepatologi IDAI. Jakarta. 2008.
5. Oswari H. Kolestasis: atresia bilier dan sindrom hepatitis neonatal. Dalam: Diagnosis dan
tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning.PKB IKA LIII. Penerbit FKUI.Jakarta. 2007:
h42-54.

568
Buku Ajar Gastrohepatologi

6. Wulandari HF. Peranan pencitraan pada diagnosis ikterus. Dalam : Diagnosis dan tatalaksana
penyakit anak dengan gejala kuning. PKB IKA LIII. Penertbit FKUI.Jakarta. 2007: h87-91.
7. David J. Allison, Carl Gustuf. Chapter 23 The Liver, biliary tract, pancreas, and speen. Dalam:
Petterson, penyunting. A global text book of radiology. The Nicer Institute Norwegiac.
1995:h1027-78.
8. Santosa B. Pankreatitis pada anak. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, dkk,
penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi, UKK Gastroenterologi-hepatologi IDAI.
Jakarta, 2010;h247-61.
9. Whitcomb DC, Lowe ME. Pancreatitis. Dalam: Walker WA, Goulet O, Kleinman RE, Sherman
PM, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. 4th ed. Boston, BC Becker Inc; 2004;h1585-
94.
10. Brunetti J.C. Cholelithiasis Imaging. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/
article/366246-imaging. Update: May 7,2009.
11. Suyono,dkk. Sonografi Sirosis Hepatis di RSUD Dr Moewardi. Cermin Dunia Kedokteran No.
150, 2006.
12. Pettesson H,MD. Computed tomography. Dalam : Pettersson H, penyunting.A Global Textbook
Of Radiology.The Nicer Institute.1996.h1028-29.
13. Steere M, Joseph MM. Pancreatitis. Dalam: Baren JM, Rothrock SG, brennan JA, et all,
penyunting. Pediatric emergency medicine. Philadelphia: Saunders;2008;h613-7.
14. Society of Nuclear Medicine Procedure Guideline for Hepatobiliary Scintigraphy Revisi 2010.
9
01 : Trihono Partini,
15. Bisanto Julfina. Kolestasis pada bayi. Dalam : Hot topics in pediatrics II.2Editor
re t
Ma Boediarso A, Halimun EM,
dkk. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2002: p84-99.
16. Suharyono. Duodenal Aspiration Test (DAT). Dalam : Suharyono, 9
ro
penyunting. Gastroenterologi anak praktis.. Balai Penerbit
G ast FKUI. 1988. h385-7.
at
17. Arora G. Percutaneous liver biopsy. Diunduh daripwww.emedicine.medscape.com.
r a
k
18. Rani AA. Kolangio pankreatografi retrograduendoskopik. Dalam : Hadi S, Thahir G, Daldijono,
nt bidang gastro entero hepatologi. . Balai Penerbit
Rani A, Akbar N, penyunting. Endoskopiudalam
ro
FKUI. Jakarta. 1987.
Gast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

569
BAB

38
Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati
Sulaiman Yusuf

38.1 Ilustrasi Kasus


Seorang anak laki-laki, Y, usia 6 tahun, datang ke instalasi gawat darurat dengan keluhan
utama nyeri perut kanan atas semenjak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Rasa sakit
dirasakan terus menerus, terasa seperti tertekan, melilit, akan tetapi tidak menjalar. Selain
itu perut pasien tampak semakin membesar. Didapatkan keluhan demam yang naik turun
terutama menjelang dan saat malam hari. Tidak didapatkan mual maupun muntah. Dari
hasil USG perut menunjukkan hasil berupa abses hati.

38.2 Pendahuluan
Hati merupakan organ yang sangat penting dalam pengaturan homeostasis tubuh meliputi
metabolisme, biotransformasi, sintesis, penyimpanan dan imunologi. Penyebab penyakit
hati bervariasi, sebagian besar disebabkan oleh virus yang menular secara fekal-oral,
parenteral, seksual, efek toksik dari obat-obatan, akohol, racun, jamur dan lain-lain.
Walaupun angka pasti prevalensi dan insidens penyakit hati di Indonesia belum diketahui,
tetapi data WHO menunjukkan bahwa untuk penyakit hati yang disebabkan oleh virus,
Indonesia termasuk dalam peringkat endemik yang tinggi.

38.3 Terapi
Hati yang normal akan terasa halus dan kenyal bila disentuh. Ketika hati terinfeksi suatu
penyakit, hati menjadi bengkak. Sel hati mulai mengeluarkan enzim alanin aminotransferase
ke dalam darah. Dengan keadaan ini dokter dapat memberitahukan pasien apakah hati sudah
rusak atau belum. Bila konsentrasi enzim tersebut lebih tinggi dari normal, menandakan
hati mulai rusak. Sewaktu penyakit hati berkembang, perubahan dan kerusakan hati
meningkat. Pengendalian atau penanggulangan penyakit hati yang terbaik adalah dengan
terapi pencegahan agar tidak terjadi penularan maupun infeksi.
Terapi penyakit hati dapat berupa:
a. Terapi tanpa obat
b. Terapi dengan obat
c. Terapi dengan vaksinasi
d. Terapi transplantasi hati

570
Buku Ajar Gastrohepatologi

Terapi tanpa obat tidak menjamin kesembuhan, untuk itu dilakukan cara lain
dengan menggunakan obat-obatan. Golongan obat yang digunakan antara lain adalah
aminoglikosida, antiamuba, antimalaria, antivirus, diuretik, kolagogum, koletitolitik dan
hepatic protector dan multivitamin dengan mineral.

Aminoglikosida
Antibiotik digunakan pada kasus abses hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Preparat
ini diberikan 3x/hari secara teratur selama tidak lebih dari 7 hari. Gagal pengobatan maka
efeknya berkembang ke arah resistensi bakteri terhadap preparat tersebut. Antibiotik
kombinasi biasanya digunakan untuk mencegah ketidakefektifan obat yang disebabkan
enzim yang dihasilkan bakteri. Obat tersebut biasanya mempunyai derajat keaktifan
antibakterial, tetapi umumnya digunakan untuk melawan degradasi dari enzim tersebut.
Obat-obat yang masuk ke dalam golongan aminoglikosida adalah streptomisin, gentamisin,
kanamisin, amikasin, dibekasin tobramisin, netilmisin, neomisin, paromomisin, dan
framisetin.

Antiamuba
19
Antiamuba seperti dehidroemetin, diiodohidroksikuinolin, diloksanid 20 furoat, emetin,
aret adalah preparat yang
etofamid, metronidazol, seknidazol, teklozan, tibrokuinol, tinidazol
digunakan untuk amubiasis. Dengan terapi ini maka risiko o 9M
terjadinya abses hati karena
r
amuba dapat diminimalkan. G ast
t a
r ap
ntuk
u
Antimalaria ast
ro
G
jar dapat juga digunakan untuk mengobati amubiasis. Obat
Antimalaria, misalnya klorokuin,
A
ini mencegah perkembangan u
Buk abses hati yang disebabkan oleh amuba.
e
Fil
Antivirus
Lamivudin adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita hepatitis B. Virus hepatitis
B membawa informasi genetik DNA. Obat ini mempengaruhi proses replikasi DNA dan
membatasi kemampuan virus hepatitis B berproliferasi. Lamivudin merupakan analog
nukleosida deoksisitidin dan bekerja dengan menghambat pembentukan DNA virus
hepatitis B. Pengobatan dengan lamivudin akan menghasilkan HBV DNA yang menjadi
negatif pada hampir semua pasien yang diobati dalam waktu 1 bulan. Lamivudine akan
meningkatkan angka serokonversi HBeAg, mempertahankan fungsi hati yang optimal,
dan menekan terjadinya proses proses nekrosis-inflamasi. Lamivudin juga mengurangi
kemungkinan terjadinya fibrosis dan sirosis serta dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya kanker hati. Profil keamanan lamivudin sangat memuaskan, dimana profil
keamanannya sebanding dengan plasebo. Lamivudin diberikan peroral sekali sehari,
sehingga memudahkan pasien dalam penggunaannya dan meningkatkan keteraturan
pengobatan. Oleh karenanya penggunaan lamivudin adalah rasional untuk terapi pada
pasien anak dengan hepatitis B kronis aktif.

571
Bab 38 Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati

Diuretik
Diuretik tertentu, seperti furosemid, dapat membantu mengatasi edema yang menyertai
sirosis hati, dengan atau tanpa asites. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan
gangguan keseimbangan elektrolit atau gangguan ginjal berat karena menyebabkan
ekskresi elektrolit. Obat diuretik lain yang digunakan dalam pengobatan penyakit hati
selain furosemid adalah spironolakton yang efektif untuk pasien yang gagal memberikan
respon terhadap furosemid. Obat lain seperti tiazid atau metolazon dapat bermanfaat pada
keadaan tertentu.
Pengobatan bersama obat yang dapat meningkatkan konsentrasi kalium (misal ACE
inhibitor) dapat meningkatkan risiko hiperkalemia. Hindari kombinasinya atau dengan
memonitor konsentrasi kalium. Pada pasien dengan kerusakan ginjal dapat meningkatkan
risiko hiperkalemia. Hindari penggunaan spironolakton pada pasien dengan kerusakan
ginjal berat.
Pada pasien dengan sirosis, spironolakton dapat memperburuk gagal ginjal,
hyperchloreamic metabolic acidosis dan ensefalopati hati. Risiko menjadi lebih besar jika
spironolakton digunakan bersama diuretik lainnya.

9
Kolagogum, Kolelitolitik dan Hepatic protector 2 01
re t
Golongan ini digunakan untuk melindungi hati dari kerusakan 9 Ma yang lebih berat akibat
ro
hepatitis dan kondisi lain. Kolagogum misalnya kalsium st pantotenat, L-ornitin-L-aspartat,
laktulose, metadoksin, fosfatidil kolin, silimarin, t Ga dan asam ursodeoksikolat, dapat
a
digunakan pada kelainan yang disebabkan k rapkarena kongesti atau insufisiensi empedu,
tu
misalnya konstipasi biliari yang keras,
o unikterus dan hepatitis ringan, dengan menstimulasi
tr
aliran empedu dari hati. Namunasdemikian, jangan gunakan obat ini pada kasus hepatitis
r G
Aj
viral akut atau kelainan hati ayang sangat toksik.
u ku
eB
Fil
Multivitamin dengan Mineral
Golongan ini digunakan sebagai terapi penunjang pada pasien hepatitis dan penyakit hati
lainnya. Biasanya penyakit hati menimbulkan gejala-gejala seperti lemah, malaise, dan
lain-lain, sehingga pasien memerlukan suplemen vitamin dan mineral. Hati memainkan
peranan penting dalam beberapa langkah metabolisme vitamin. Vitamin terdiri dari
vitamin-vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E dan K atau yang larut
dalam air (water-soluble) seperti vitamin C dan B-kompleks.
Kekurangan vitamin-vitamin yang larut dalam air dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit hati tahap lanjut, tetapi hal ini biasanya terjadi karena masukan makanan dan gizi
yang kurang atau tidak layak. Penyimpanan vitamin B12 biasanya jauh melebihi kebutuhan
tubuh; defisiensi jarang terjadi karena penyakit hati atau gagal hati. Tetapi, ketika masukan
gizi makanan menurun, biasanya tubuh juga kekurangan tiamin dan folat. Biasanya
suplemen oral cukup untuk mengembalikan tiamin dan folat ke level normal.
Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak tidak hanya membutuhkan asupan gizi
makanan yang cukup tetapi juga pencernaan yang baik serta penyerapan yang baik oleh
tubuh. Oleh sebab itu, produksi bilirubin dalam jumlah normal sangat penting. Bilirubin di

572
Buku Ajar Gastrohepatologi

dalam saluran cerna atau usus dibutuhkan untuk penyerapan vitamin-vitamin larut lemak
ke dalam tubuh. Bilirubin bekerja sebagai deterjen, memecah-mecah dan melarutkan
vitamin-vitamin ini agar mereka dapat diserap tubuh dengan baik. Jika produksi bilirubin
buruk, suplemen oral vitamin-vitamin A, D, E, K mungkin tidak akan cukup untuk
mengembalikan level vitamin ke level normal. Penggunaan larutan serupa deterjen dari
vitamin E cair meningkatkan penyerapan vitamin E pada pasien dengan penyakit hati
tahap lanjut. Larutan yang sama juga dapat memperbaiki penyerapan vitamin A, D, dan K
jika vitamin K diminum secara bersamaan dengan vitamin E.
Asupan vitamin A dalam jumlah cukup dapat membantu mencegah penumpukan
jaringan sel yang mengeras, yang merupakan karakteristik penyakit hati. Tetapi penggunaan
vitamin yang larut lemak ini untuk jangka panjang dan dengan dosis berlebihan dapat
menyebabkan pembengkakan hati dan penyakit hati.
Vitamin E dapat mencegah kerusakan pada hati dan sirosis, menurut percobaan dengan
memberi suplemen vitamin E pada tikus dalam jumlah yang meningkatkan kosentrasi
vitamin E hati. Tikus-tikus itu kemudian diberi karbon tetraklorida untuk mengetes apakah
perawatan dengan vitamin E yang dilakukan sebelumnya dapat melindungi mereka baik dari
kerusakan hati akut atau kronis dan sirosis. Suplemen vitamin E meningkatkan kandungan
vitamin dalam tiga bagian hati dan mengurangi kerusakan oksidatif pada9 sel-sel hati, tetapi
01
tidak memiliki dampak perlindungan apapun pada infiltrasi lemakehati.
r t 2 Sirosis juga tampak
dapat dicegah dalam kelompok tikus yang diberi suplemen vitamin
9 Ma E. Tampaknya vitamin
E memberi cukup perlindungan terhadap nekrosis akibat rokarbon tetraklorida dan sirosis,
mungkin dengan mengurangi penyebaran proses oksidasi G ast lipid dan mengurangi jangkauan
at
kerusakan oksidatif hati. r ap
k
u ntu
ro
ast
38.4 Obat untuk Komplikasi
Aja
rG Sirosis Hati
u
Buk
Asites Fil
e

Tabel 38.4.1. Obat-obat untuk terapi asites


Obat Dosis Keuntungan Efek samping
Spironolakton 3 mg/kgBB/ Antagonis aldosteron Hiperkalemia, ginekomastia, mengantuk,
hari (1x pagi) Diuresis lambat letargi, ruam, sakit kepala, ataksia, impotensi,
jarang agranulositosis
Furosemid 0,1-0,4 mg/ Diuresis cepat Rasa tidak enak pada abdominal, hipotensi
kgBB/kali ortostatik, gangguan saluran cerna,
penglihatan kabur, pusing, dehidrasi,
hipokalemia atau hiponatremia
Bumetamide 1-2 mg/hari Diuresis cepat Nefrotoksik, dehidrasi, hipokalemia,
hiponatraemia
Amiloride 5-10 mg/hari Sebagai agen hemat kalium atau Hiperkalemia, hipoatraemia, hipokloremia
diuresis lemah, digunakan jika (khususnya waktu dikombinasi dengan
kontraindikasi terhadap spironolakton tiazid), lemah, sakit kepala, nausea, muntah,
konstipasi, impotensi, diare, anoreksia, mulut
kering, nyeri perut, flatulen
Metolazon Dosis awal 5 mg (dosis Berfungsi dalam induksi diuresis dalam Hiponatraemia atau hipokalemia
dewasa) kasus resistensi

573
Bab 38 Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati

Ensefalopati Hati
Tabel 38.4.2. Obat-obat untuk terapi ensefalopati hati
Obat Dosis Efek sampinng
Laktulose 15-30 mL per oral 2-4 x sehari Flatulen, rasa tidak enak pada perut, diare ketidakseimbangan
elektrolit
Metronidazol 35-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis Gangguan saluran cerna, mual, anoreksia, rasa kecap logam,
muntah, urtikaria, pruritus
Neomycin 50-100 mg/kgBB/hari per oral dibagi 4 dosis Nausea, muntah, diare, reaksi alergi, diare, jarang ototoksisitas,
nefrotoksisitas

Abses Hati
Tabel 38.4.3. Obat-obat untuk terapi abses hati
Obat Dosis Efek samping Interaksi obat
Dibekasin Dewasa: IM 100mg/hari Syok, ototoksisitas, nefrotoksisitas Anestesi, diuretik, karbenisilin,
Anak: 1-2mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi sulbenisilin, tikarsilin, piperasilin
Netilmisin Dewasa: 4-5g/kg/hari dibagi dalam 8-12 jam Ototoksisitas, nefrotoksisitas Obat ototoksik, nefrotoksik
Anak: 6-7,5 mg/kg/hari terbagi dalam 8 jam
9
diberikan 7-14 hari
2 01
t
ae
Kanamisin Dewasa: 15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, Ototoksisitas, nefrotoksisitas,ralergi Diuretik, anestetik
maksimum 1,5 g/hari
9 M
Anak: 15 mg/kg/hari dalam dosi terbagi
s tro
a
Bayi baru lahir 7,5 mg/kg/ hari dalam dosis terbagi
a tG
Gentamisin Dewasa: IM/IV 4-7 mg/kg 1x sehari p
ra vertigo, tinnitus, telinga
Pusing, Obat ototoksik, nefrotoksik,
Anak: 1bulan-10tahun, IM/IV 7,5 mg/kg 1xsehari tu k berdengung dan kehilangan neurotoksik, diuretik, anestesi
atau 2,5 mg/kg setiap 8 jam u n pendengaran, depresi napas, letargi, umum
o
str 8 jam gangguan penglihatan, hipotensi,
anak >5 tahun 1,5-2,5mg/kg/ hariasetiap
G
ar atau 1-2mg/ ruam, urtikaria
>10 tahun, IM/IV 6mg/kgj1xsehari
A
kg setiap 8 jam u
Amikasin Dewasa: IM/IV B uk mg/kg 1x sehari atau dalam Ototoksisitas, nefrotoksisitas
16-24 Diuretik poten, anestesi
il e
2-3 dosisFterbagi
Anak >10tahun, IM/IV 18 mg/kg 1x sehari atau 15
mg/kg/hari dalam 2-3 dosis
Anak <10tahun, IM/IV 22,5 mg/kg 1x sehari atau
7,5 mg/kg 3xsehari
Metronidazol Dewasa: 500-750mg 3x sehari selama 5-10 hari Mual, anoreksia, rasa kecap logam, Alkohol (menimbulkan reaksi
Anak: 35-50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi muntah, gangguan saluran cerna, seperti disulfiram), meningkatkan
selama 10 hari urtikaria, pruritus, angioedema, efek antikoagulan dengan
anafilaksis warfarin
Tinidazol Dewasa: 2g sebagai dosis tunggal selama 3 hari Gangguan neurologi, gangguan Intoleransi alkohol
atau 600mg 2x sehari selama 5 hari saluran cerna, anoreksia, rasa logam,
Anak: dosis tunggal 50-60 mg/kg selama 3 hari reaksi hipersensitif, leukopenia, sakit
kepala, lelah
Senknidazol Dewasa: 1,5 g/hari dalam dosis tunggal atau Rasa kecap logam, glositis, urtikaria, Menimbulkan potensiasi efek
terbagi untuk 5 hari erupsi, bingung, gelisah warfarin
Anak: 2-30 mg/kg/hari dosis tunggal
Klorokuin Dewasa: hari ke-1 dan ke-2 600mg, hari ke-3 Sakit kepala, gatal, ansietas, jarang Fenilbutazon yang menyebabkan
300mg aritmia reaksi dermatitis
Anak: hari ke1 dan ke-2 10 mg/kg, hari ke-3 5
mg/kg

574
Buku Ajar Gastrohepatologi

38.5 Masalah Terapi Obat


Masalah terapi obat adalah hal-hal berikut:
1. Indikasi yang tidak tepat
a. Membutuhkan tambahan terapi obat
b. Tidak memerlukan terapi obat
2. Terapi obat yang tidak efektif
a. Minum obat yang salah
b. Minum obat dengan dosis terlalu kecil
3. Terapi obat tidak aman
4. Minum obat dengan dosis terlalu besar
5. Mengalami adverse drug reaction, alergi, idiosinkrasi, toksisitas, interaksi obat dan
makanan.
Hati bersama-sama dengan ginjal merupakan organ utama yang terlibat dalam
metabolisme dan ekskresi obat. Suatu gangguan pada fungsi salah satu organ itu dapat
mengganggu eliminasi sejumlah obat-obatan sehingga pemberian obat-obatan itu perlu
dihentikan atau disesuaikan dosisnya. Lebih jauh, kadar obat dalam darah pada penderita
penyakit hati dapat meningkat baik karena shunt portal sistemik ataupun9karena penurunan
01
kadar protein plasma pengikat obat (misalnya albumin). Pada sebagian
re t 2 besar kasus, obat-
obatan dapat digunakan dengan aman pada penderita penyakit
9 Mahati asalkan :
1. Dosis obat diturunkan bila diketahui bahwa suatu roobat mengalami ekskresi atau
metabolisme yang bermakna dalam hati G ast
t
2. Penderita diawasi lebih lanjut secara ketat r pa
aterhadap tanda-tanda keracunan dan jika
k
tuatau
dapat diperoleh kadar obat dalam serum u n darah terpantau.
tro
3. Obat-obat alternatif yang tidakasmengalami ekskresi atau metabolisme yang bermakna
dalam hati digunakan sebagai r Gpengganti apabila tersedia.
ja
u A dengan timbulnya penyakit hati kronik dihindari.
4. Obat-obatan yang berkaitan
k
Bu
i le
Obat-obat diFbawah ini hendaknya digunakan dengan hati-hati atau jika mungkin
dihindari pada pasien-pasien dengan penyakit hati kronis:
• Asetaminofen
• Amiodaron
• Klorpromain
• Dantrolen
• Etanol
• Halotan
• Isoniazid
• Metildopa
• Nitrofurantoin
• Oksifenisatin
• Propiltiourasil
• Sulfonamid.

575
Bab 38 Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati

Daftar Pustaka
1. Wells, Barbara G., Dipiro Joseph T., Schwinghammer Terry L., Hamilton Cynthia W.,
Pharmacotherapy hand book, Fifth Edition. McGraw-Hill Companies, USA, 2003: 195-246.
2. Tjay TH. Obat-obat penting khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingnya, Jakarta. Elex Media
Komputindo. 2002.
3. Walker Roger, Edwards Clive. Clinical pharmacy therapeutics, Third edition, Churchill
Livingstone, 2003: 209-245.
4. Anonim, MIMS Petunjuk Konsultasi, PT. InfoMaster Lisensi CMP Medica, 2005: 84-87.
5. Dipiro, Joseph T., Gastrointestinal Disorders, hal 195-246.
6. Hayes C. Peter, Mackay, Thomas W., Buku Saku Diagnosis dan Terapi, cetakan I, EGC, Jakarta,
1997: 165-184.
7. http: // www.Labtestonline.org/understanding/conditions/Hati_disease-4.html.
8. Anonim, AMH (Australian Medicines Handbook), 2005.
9. http://medicastore com//hepatitis C.
10. Anonim, Martindale The Extra Pharmacopoeia, Ed 30th, The Pharmaceutical Press, London,
1993.
11. Price, Sylvia Anderson, Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, Buku 2, Alih bahasa
oleh Lorraine M. Wilson, EGC, Jakarta, 1995: 426-457.
12. White, Heather M. Penyakit-penyakit hati. Dalam: Woodley, Michele & Alison Whelan (eds),
9
Pedoman pengobatan. Edisi ke-27. Terjemahan dari : Manual of medical
2 01 therapeutica. Essensia
t
are
medika, 1995: 473-492.
13. Siregar Charles J.P., Pharmaceutical care. Editor: Lia Amalia,
9 M
Diky Mudhakir, Tomi Hendrayana,
o
MIPA Farmasi, ITB, 2002. str a
G
p at
r a
k
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi

576
Buku Ajar Gastrohepatologi

Indeks
490–492, 498–503, 499–503, 509–515, 522–
537, 527–537, 538–556, 548–556, 561–569,
562–569, 563–569, 572–576, 573–576

A Biotransformasi 245, 301, 302, 310, 314, 315


Bubur tempe 124
Absorbsi 93, 94, 214, 419–424, 475–483,
476–483, 498–503
Alarm symptoms 151, 152, 153
C
Aldosteronisme 14 Coombs’s test 256, 262
Alergi terhadap makanan 183, 185, 186 Cow’s milk allergy 171, 187
Anafilaksis 169, 171, 172, 270, 428–450, Cow’s milk protein sensitive enteropathy 169,
574–576 171
Anoreksia 15, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 76, Crigler-Najjar 248, 258, 260
77, 83, 108, 133, 136, 146, 147, 157, 174,
191, 193, 208, 213, 233, 236, 274, 276, 284, D
304, 318, 334, 420–424, 442–450, 444–450, Defekasi 78, 124, 136, 147, 152, 177, 188, 189,
528–537, 529–537, 573–576, 574–576 190, 191, 193, 195, 197, 208, 378–383, 379–
Antagonis reseptor H-2 37 383, 380–383, 425–450, 428–450, 441–450,
Antasida 37, 440–450 442–450
Antibiotik 23, 38, 39, 43, 123, 125, 127, 137, Defisiensi 14, 32, 87, 88, 107,
9 124, 158, 164,
160, 165, 166, 178, 363 2 01332, 342, 349, 355,
176, 178, 215, 234, t328,
Antineutrophil cytoplasmic antibodies 218 re
Apendisitis 43, 146, 147, 213, 229, 238, 240 9 Ma 396–399, 401–407,
384–392, 394–399,
402–407,ro410–415, 439–450, 475–483, 486–
Asam glukoronat 246, 249 ast
492,G491–492, 499–503, 523–537, 525–537,
Asetaminofen 304–311, 305–311, 575–576 at
rap552–556, 572–576
Asidosis 13, 16, 27, 98, 100, 123, 138, 194, 241, k Deglutisi
tu 51
n Dehidrasi 6, 10, 11, 27, 28, 29, 30, 33, 80, 83,
321, 435–450, 436–450 u
ro
Asimtomatik 18, 85, 222, 257, 331, 345,
G ast 98, 99, 100, 101, 102, 104, 105, 106, 107, 108,
434–450, 465–473 j ar 110, 111, 116, 123, 125, 126, 135, 137, 138,
Autoimun 225, 265, 276, 284, A 326, 327,
u287,
k
u385–392, 432–450, 157, 175, 193, 194, 220, 222, 224, 269, 355
B
328, 331, 332, 333, 355,
e
447–450, 484–492, Fil490–492, 523–537, Deskolorasi kuning 243
Detoksifikasi 486–492
527–537, 528–537 Detoksifikasi 301, 302
Azatioprin 215, 333 Diabetes insipidus 7, 8, 194
Diare 1, 7, 8, 10, 14, 23, 29, 30, 39, 66, 76, 77,
B 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 95, 96, 97,
Bakteri tumbuh lampau 96, 97, 157, 158, 161, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107,
162, 163, 164, 165, 166, 209, 349 108, 109, 110, 111, 112, 113, 116, 117, 118,
Beta blocker 359, 360, 363, 365 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127,
Bilirubin xxv–xxvi, 243–264, 244–264, 245– 128, 135, 136, 138, 146, 147, 152, 157, 158,
264, 246–264, 247–264, 248–264, 249–264, 160, 161, 168, 169, 175, 176, 177, 178, 191,
250–264, 251–264, 252–264, 253–264, 197, 201, 207, 208, 212, 213, 219, 220, 221,
255–264, 256–264, 257–264, 258–264, 259– 228, 276, 342, 348, 349, 369–383, 371–383,
264, 260–264, 261–264, 262–264, 263–264, 374–383, 386–392, 389–392, 394–399, 400–
264, 268–300, 269–300, 276–300, 284–300, 407, 401–407, 412–415, 413–415, 416–424,
312–325, 313–325, 318–325, 319–325, 417–424, 418–424, 419–424, 420–424, 421–
322–325, 323–325, 324–325, 332–336, 337– 424, 422–424, 423–424, 425–450, 426–450,
352, 344–352, 345–352, 347–352, 348–352, 427–450, 428–450, 429–450, 431–450, 433–
353–366, 484–492, 487–492, 489–492, 450, 434–450, 435–450, 436–450, 437–450,

577
Indeks

451–473, 462–473, 474–483, 475–483, 476– Gangguan menelan 51, 58, 59, 60, 61, 64, 80
483, 477–483, 478–483, 479–483, 480–483, Gastritis eosinofilik alergik 174
481–483, 519–521, 573–576, 574–576 Gastroskizis 345, 349, 386–392, 388–392,
Disfagia 26, 43, 50, 51, 53, 64 389–392, 390–392, 391–392, 566–569
Domperidon 39, 138, 440–450, 453–473 Granuloma 206, 209, 212, 313, 318, 347,
Drug induced 214, 302, 310, 314, 318, 319 489–492

E H
Edema 3, 4, 9, 10, 78, 110, 206, 212, 219, 220, Hepatitis A 145, 234, 266, 268, 295, 296, 313,
231, 238, 256, 318, 322, 331 318
Efikasi 225, 277, 283, 293, 359 Hepatitis B surface antigen 271
Elektrolit 2, 3, 8, 9, 10, 11, 19, 22, 28, 29, 30, 34, Hiperbilirubinemia 235, 243, 245, 249, 251,
40, 81, 91, 92, 98, 102, 104, 105, 106, 110, 253, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 262, 263,
122, 123, 126, 137, 138, 159, 190, 198, 207, 293, 308, 322
224, 229, 239, 240, 257, 367–383, 378–383, Hipersensitivitas 61, 98, 168, 169, 170, 172,
384–392, 390–392, 422–424, 426–450, 436– 173, 174, 175, 176, 177, 178, 181, 185, 308,
450, 437–450, 438–450, 476–483, 479–483, 369–383, 562–569, 578–580
480–483, 499–503, 530–537, 531–537, Hipertensi porta 354, 355, 357, 524–537,
550–556, 572–576, 574–576 525–537, 526–537, 541–556
Eliminasi 22, 109, 162, 170, 175, 176, 181, 183, 19
Hipertonik 2, 10, 99, 0196
t 2
a e40, 41, 134, 136, 146, 194,
185, 225, 261, 375–383, 378–383, 429–450, Hipovolemia 8, r10, 34, 99, 110, 541–556
432–450, 478–483, 575–576 Hirschsprung 9 M 32,
Endoskopi 33, 35, 36, 53, 60, 131, 136, 137, 141, ro 198, 257, 384–392, 386–392,
195,st196,
Ga
142, 181, 207, 211, 212, 220, 221, 357, 358,
p at 387–392, 388–392, 389–392, 392, 578–580
360, 361, 363, 364, 370–383, 372–383, 394– ra Hormon 6, 14, 17, 18, 19, 20, 68, 77, 89, 91, 94,
k
399, 395–399, 397–399, 398–399, 403–407,
u ntu 97, 128, 229, 240, 258, 259, 321, 323, 344,
404–407, 405–407, 408–415, 409–415, tro 410– 349
415, 411–415, 412–415, 413–415, G as429–450, Hormon antidiuretik 6
465–473, 526–537, 530–537, A jar531–537 H. pylori 37, 141, 142, 151
u
Enkopresis 189, 191 Buk
e
Enteropati 119, 169,Fil 171, 174, 175, 176, 185 I
Evakuasi tinja 189, 196, 197, 198, 199
Exchange transfusions 256 Idiosinkrasi 169, 303
Imunisasi pasif 269, 271
Imunopatogenetik 267
F Imunoterapi 186
Faktor risiko 82, 119, 123, 127, 162, 217, 241, inflammatory 177, 201, 228, 317, 371–383, 450,
282, 283 479–483
Fatty liver 209, 504–515, 513–515, 515 Inkompabilitas 255, 256, 258
Fecal impaction 196 Innate immunity 329
Fekal - oral 112 interferon 226, 267, 276, 277, 282, 283, 287,
Fosfatase alkali 235, 265, 284, 301, 318, 322, 288, 292, 296, 297, 300, 329, 334, 502–503,
323, 332, 344 528–537, 563–569, 579–580
Fosfat hipertonik 196 Intoleransi Laktosa 158
Fosfolipase 231 Intususepsi 30, 32, 40, 41, 43, 134, 135, 146, 148
Involuntary 190
G Irritable bowel syndrome 158, 213, 368–383
Isoniazid 266, 307
Gagal tumbuh 67, 68, 69, 73, 159, 173, 174, 175, Isotonik 2, 3, 8, 9, 99
197, 210, 222, 341, 346

578
Buku Ajar Gastrohepatologi

J 457–473, 467–473, 563–569


Malabsorbsi 23, 96, 97, 111, 122, 222
Jaundice 250, 251, 252, 253, 255, 256, 257, 258, Malnutrisi 4, 59, 66, 70, 71, 76, 111, 119, 122,
259, 260, 261, 262, 263, 264, 266, 268, 352, 126, 127, 128, 159, 162, 185, 209, 210, 215,
490–492, 503 316, 342
Megakolon toksik 145, 223, 224
K Menelan 11, 43, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 57, 58,
Kalium 11, 12, 15, 92, 106, 313, 530–537, 59, 60, 61, 62, 64, 67, 78, 80, 132, 133, 273
544–556, 549–556, 572–576, 573–576 Metabolisme 6, 9, 22, 76, 214, 225, 243, 246,
Kalsium 17, 18, 19, 92, 421–424, 430–450, 249, 259, 301, 302, 303, 306, 307, 316, 318,
432–450, 433–450, 444–450, 446–450, 457– 344, 350
473, 467–473, 476–483, 488–492, 517–521, Mineralokortikoid
559–569, 572–576 Muntah 1, 7, 10, 14, 15, 21, 35, 39, 57, 58, 62,
Karsinoma 20–25, 128–130, 209–228, 210–228, 66, 78, 80, 83, 98, 99, 100, 105, 106, 110, 111,
223–228, 224–228, 228, 265–300, 275–300, 116, 122, 125, 132, 133, 134, 135, 136, 137,
281–300, 285–300, 287–300, 326–336, 138, 139, 141, 146, 147, 148, 151, 152, 168,
330–336, 331–336, 334–336, 335–336, 487– 173, 174, 175, 177, 178, 207, 208, 219, 229,
492, 501–503, 504–515, 533–537, 545–556, 233, 240, 267, 269, 274, 276, 301, 303, 304,
559–569, 560–569, 567–569 312, 326, 342
Kegawatdaruratan 26 9
N 2 01
Keseimbangan asam-basa 27
re t
Kolestasis xxiii–xxvi, xxvi, 222–228, 249–264, Ma107, 121, 313, 396–399,
Natrium 5, 92,9106,
252–264, 258–264, 319–325, 320–325, 322– ro427–450, 457–473, 463–473, 530–
ast
426–450,
325, 323–325, 324–325, 337–352, 338–352, G
p at
537, 531–537, 533–537, 538–556, 541–556,
339–352, 340–352, 341–352, 342–352, r a 542–556, 543–556, 544–556, 548–556,
343–352, 344–352, 345–352, 347–352, 348– tuk 549–556, 550–556, 554–556, 555–556
n
352, 349–352, 351–352, 355–366, 361–366,
trou Nyeri disfungsional 150
486–492, 487–492, 489–492, 490–492,G as 491– Nyeri organik 150
492, 494–503, 495–503, 497–503,
A jar 498–503,
u
uk 525–537, 529–
499–503, 519–521, 523–537,
B O
e
Fil 557–569, 558–569,
537, 533–537, 538–556,
562–569, 563–569, 566–569, 568–569 Obat vasoaktif 110, 361
Kolik infantil 171, 174 Odinofagia 33, 51, 58
Kolitis Ulserativa 201, 203, 217 Oksitosin
konjugasi 246–264, 249–264, 302–311, 324–325 Oktreotida 36
Konstipasi kronis 151, 176, 195 Onset 159, 205, 217, 219, 223, 236, 322
Kriteria Ranson 241 Osmolaritas 2
Osmoreseptor 7
L Osmotik 2, 3, 4, 5, 8, 10, 92, 93, 95, 96, 97,
121, 122, 159, 198, 257, 433–450, 434–450,
Laktulosa 165, 198 442–450, 541–556
Lamivudin 277, 334
Larutan ekstraselular 1
Larutan intraselular 10 P
Ligasi 36, 359, 360, 361, 363 Pankreatitis 19, 21, 42, 135, 153, 214, 229, 230,
231, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240,
M 241, 242, 348, 349, 355, 540–556, 548–556,
559–569, 567–569, 569, 579–580
Magnesium 14, 15, 19, 22, 23, 24, 25, 37, 95, Parafin liquid 196, 197
124, 197, 198, 211, 212, 215, 444–450, Pegylated interferon 288

579
Indeks

Penyakit Crohn 76, 97, 122, 165, 317, 443–450, Skibala 189, 190, 196, 199
444–450, 445–450, 540–556, 579–580 Skleroterapi 36, 359, 361, 363
Perdarahan Saluran Gastrointestinal 30 Somatostatin 36, 42, 89, 89–115, 91, 240, 361,
Peritonitis 145, 151, 236, 525–537, 531–537, 361–366, 364, 365
539–556, 546–556, 547–556, 548–556, Sukralfat 37, 398–399, 580
552–556, 566–569, 579–580 Sulfasalazin 215, 225
Persentil 73, 74, 78, 81, 116, 506–515, 507–515
Perut kembung 159
pH-metri 131, 136
T
Prebiotik 113 Terapi bicara 59, 60
Probiotik 112, 125 Toilet training 191, 195, 197
Propanolol 89 Tonisitas 2
Protein-losing enteropathy 167 TORCH 342, 344, 345
Pseudokonstipasi 193 Transaminase 153, 276, 284, 304, 307, 333
Pseudopolip 219, 220, 221 Transmisi 17, 24, 267, 272, 282, 292, 335, 347
Tuberkulosis 308, 312, 313, 314, 320, 347
Tumbuh kembang 51, 61, 73, 74, 78, 81, 122,
R 125, 152, 166, 350
Rasa haus 6, 7, 11
RAST 180, 187 U 9
Refluks gastroesofagus 57, 131, 136
2
Uji hidrogen napast 136,01 137, 160
are
Regurgitasi 368–383, 369–383, 370–383, 371–
383, 372–383, 375–383, 376–383, 439–450, Uji kulit 177,M 180
9
o 181, 182
Uji tantangan
453–473
Uji a str kulit 175
tusuk
G
Regurgitasi 131, 132, 133, 173, 337, 339
p at 135, 151, 195, 220, 234
Ulkus
Rehidrasi Oral 105, 106, 107, 111 r a
Retching 133, 134 ntuk
ou V
str
Rotavirus 85, 109, 112, 418–424, 427–450,
a
G
435–450, 474–483, 479–483,r481–483, Vaksinasi 271, 277, 278, 530–537, 570–576
494–503, 496–503 Aja
u Varises 35, 36, 37, 322, 331, 353, 354, 356, 358,
Buk 359, 360, 361, 362, 363
e
S Fil Vasopresin 35, 36, 406–407
Sakit perut berulang 141, 142, 143, 149, 150, Vilus 90, 91, 92, 93, 94, 97, 175, 176
151, 152, 153, 154, 155 Virus hepatitis 265, 271, 273, 278, 289, 292,
Sfingter esofagus 56, 58, 132, 134, 173 294, 295, 297, 330
Siklosporin 226 Volvulus 27, 41, 122, 136, 145, 146 ,395–399,
Sirosis 10, 209, 222, 265, 274, 275, 276, 279, 402–407
284, 284–300, 285, 287, 304, 318, 319, 322,
322–325, 323, 326, 328, 330, 331, 334, 342, W
345, 346, 348, 353, 354, 355, 356, 358, 363, Waktu singgah 159, 160, 164, 198
501–503, 505–515, 507–515, 522–537, 523–
537, 525–537, 527–537, 540–556, 541–556,
542–556, 546–556, 547–556, 548–556, Z
553–556, 558–569, 559–569, 569, 573–576 Zinc 107, 124, 129, 475–483, 476–483, 477–
Sitokin 68, 72, 98, 205, 206, 231, 283, 322, 483, 481–483, 496–503, 528–537
329, 419–424, 429–450, 444–450, 445–450,
496–503, 524–537

580

Anda mungkin juga menyukai