Buku Ajar
Gastrohepatologi
Anak
Tim Penyunting
IGM Reza Ranuh
Alpha Fardah Athiyyah
Ninung Rose Diana K
Mohammad Juffrie
Sri Suparyati Soenarto
Hanifah Oswari
Nenny Sri Mulyani
Titis Widowati
Supriatmo
Muzal Kadim
Jeanette I Christiene Manoppo
Sjamsul Arief
Ina Rosalina
BADAN PENERBIT
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
Committed in Improving the Health of Indonesian Children
Tim Penyunting:
IGM Reza Ranuh
Alpha Fardah Athiyyah
Ninung Rose Diana K
Mohammad Juffrie
Sri Suparyati Soenarto
Hanifah Oswari
Nenny Sri Mulyani
Titis Widowati
Supriatmo
Muzal Kadim 9
201
Jeanette I Christiene Manoppo
aret
Sjamsul Arief
o 9M
Ina Rosalina str
Ga
p at
ra
uk
t
Jilid I, Cetakan Pertama 2010
o un
Jilid I, Cetakan Kedua 2011 str
r Ga
Jilid I, Cetakan Ketiga 2012 Aja
u 2015
Jilid I, Cetakan Keempatu k
Cetakan Pertama i l eB
2019
F
Type Setting : Astri Sulastri Prasasti
Diterbitkan oleh:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Gedung IDAI
Jl. Salemba I No. 5
Jakarta Pusat 10430
Telp. / Fax. : (021) 3912577
E-mail: badanpenerbit@idai.or.id
ii
Kontributor
Hasri Salwan
Atan Baas Sinuhaji Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNSRI/ RSUP Moh. Hoesin
FK USU/ RS H. Adam Malik
Medan Palembang
Iesje Martiza
Bagus Setyoboedi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/ RS Dr. Hasan Sadikin
FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo Bandung
Surabaya
iii
Ina Rosalina Nenny Sri Mulyani
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK UNPAD/ RS Dr. Hasan Sadikin FK UGM/ RS Dr. Sardjito
Bandung Yogyakarta
iv
Supriatmo Yorva Sayoeti
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK USU/ RSUP H. Adam Malik FK UNAND/ RSUP Dr. M. Djamil
Medan Padang
Titis Widowati
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fk UGM/ RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
v
Pengantar
Tim Penyunting
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya terkumpul 38 naskah topik buku ajar
Gastrohepatologi. Tim penyunting telah bekerja keras selama ini mengumpulkan, menyusun,
menyunting, dan syukur Alhamdulillah pada awal tahun 2019 ini bisa diselesaikan buku
ajar Gastrohepatologi Anak.
Pada kesempatan ini tim penyunting ingin menyampaikan terima kasih kepada para
kontributor atau penulis naskah atas jerih payah, waktu yang diluangkan untuk menyusun
naskah dan partisipasinya mengirimkan naskahnya ke tim penyunting. Selanjutnya
tim penyunting mohon maaf jika yang tertulis dibuku ajar tidak sesuai dengan aslinya
dikarenakan penyesuaian dengan hal hal baru, penyesuaian format 9dari penerbit dan
01
suntingan bahasa.
re t2
Tim penyunting mengucapkan terima kasih kepada9 Dr. Ma Hardiono Pusponegoro,
ro
Sp.A(K) (ketua PP IDAI 2002-2005), Dr. Sukman Tulus
G ast Putra Sp.A(K), FACC, FESC
(ketua PP IDAI 2005-2008), Dr. Badriul Hegar, Sp.A(K) at (ketua PP IDAI 2008-2014), DR.
Dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K) (ketuaukPP rapIDAI 2014-2020), Prof Dr Yati Soenarto,
t
Sp.A(K), Ph.D (ketua UKK Gastrohepatologi o un 2002-2005), Prof. DR. Dr. Subijanto MS,
r
st 2005-2008), Prof. Dr. Mohammad Juffrie, Sp.A(K),
Sp.A(K) (ketua UKK Gastrohepatologi G a
Ph.D (ketua UKK Gastrohepatologi
Ajar 2008-2014), Dr. IGM Reza Ranuh,dr.,Sp.A(K) (ketua
ku
UKK Gastrohepatologi 2014-2017) atas ide dan saran sarannya sehingga tercetak buku ajar
u
ini. i l eB
F
Tim penyunting menyadari bahwa dalam pembuatannya buku ajar ini jauh dari
sempurna, tetapi kontributor tentunya sudah berusaha keras untuk membuat sesuai
kebutuhan para peserta pendidikan dokter spesialis maupun teman sejawat dokter spesialis
anak. Oleh karena itu kritik dan saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan.
Tim penyunting mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang berperan dalam
pembuatan buku ajar Gastrohepatologi Anak dan semoga buku ini memberikan manfaat
bagi semua pihak yang membutuhkan.
Jakarta, 2019
Tim Penyunting
vii
Sambutan
Ketua UKK Gastrohepatologi IDAI
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, yang telah memberikan rahmat
dan karunia Nya, sehingga buku ajar gastrohepatologi anak ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Buku ajar ini merupakan buku rujukan ilmu gastrohepatologi anak yang nantinya
akan dipakai oleh peserta didik spesialis satu dan dua, dokter spesialis anak di Indonesia
serta tentunya semua dokter atau siapapun yang membutuhkannya. Buku ajar ini disusun
sesuai kesepakatan bersama para pakar gastrohepatologi anak Indonesia yang terangkum
9
dalam bermacam judul dan berasal dari bermacam macam referensi 2 01 terbaru baik dari
t
re representasi ilmu ilmu
jurnal maupun text book, sehingga keberadaannya merupakan a
gastrohepatologi anak masa kini. o 9M
str
Saya sebagai ketua UKK GH 2014-2020 memberikant Ga ucapan selamat dan penghargaan
p a
r
yang setinggi tingginya kepada para kontributor a dan editor dengan diterbitkannya buku
n
ajar ini, semoga buku ini bisa dimanfaatkantuk sebesar besarnya oleh para pengguna.
ou
Kami menyadari bahwa abuku str ini masih jauh dari sempurna, karena mungkin
G
masih banyak kekurangan, Ajarbaik karena keterbatasan waktu maupun kemampuan dan
u
pengetahuan kami, namun
Buk kami berharap dapat memberi sumbangan bagi khazanah ilmu
e
Fil
pengetahuan khususnya Ilmu Gastrohepatologi.
Sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya buku ajar ini dan selamat
mempergunakan buku ajar ini kepada masyarakat gastrohepatologi dan kepada semua
dokter anak di Indonesia.
Salam,
Jakarta, 2019
viii
Sambutan
Ketua Badan Penerbit IDAI
Buku ajar adalah salah satu produk ilmiah yang harus dihasilkan oleh sebuah organisasi
profesi. Ikatan Dokter Anak Indonesia telah memiliki Buku Ajar sebanyak bidang kajian
ilmu yang dimilikinya sejak tahun 2005. Pembaharuan buku ajar sangat diperlukan agar
para pembaca terpapar dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Sebuah kehormatan bagi Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang
masih diberikan kepercayaan oleh IDAI untuk menerbitkan buku-bukunya termasuk buku
ajar. Sekaligus merupakan kebanggan bagi Tim Badan Penerbit yang telah melakukan
perubahan desain dan tampilan buku ajar IDAI pada penerbitan kali 9ini sehingga buku
01
terasa lebih dekat dengan pembaca karena mengikuti “trend” di masa
re t 2 nya.
Badan Penerbit IDAI mengucapkan terima kasih banyak Ma
untuk Unit Kerja Koordinasi
9
ro
(UKK) atas kerjasamanya dalam penerbitan buku ajarnya
G ast di Badan Penerbit IDAI.
t
r pa
Semoga apa yang telah kita berikan untuk aanggota IDAI dan pembaca lainnya dapat
memberikan manfaat. Aamiin YRA. tu k
un
ro
G ast
Jakarta, 2019 Ajar
u
Buk
l e
Fi
ix
Sambutan
Ketua Kolegium IKA Indonesia
Seperti yang kita ketahui rekognasi keilmuan seorang dokter diberikan oleh peer grup
atau oleh masyarakat yang menerima pelayanan. Rekognasi keilmuan tersebut harus terus
menerus dipertahankan bahkan ditingkatkan sesuai dengan standar nasional pelayanan
kesehatan. Untuk mendapatkan rekognasi sebagai profesional yang mempunyai standar
tinggi harus dimulai sejak dini yaitu ketika masih menjalanai program pendidikan. Hal
tersebut menjadi tanggung jawab masing-masing program studi dan Departemen Ilmu
Kesehatan Anak serta Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia. Oleh karena itu harus
diyakini bahwa proses pendidikan berjalan dengan baik dan selanjutnya pasca pendidikan
tanggung jawab pemeliharaan dan peningkatan kompetensi berada 9
2 01 di tangan Pengurus
Pusat, UKK dan Pengurus Cabang. t
M are
Semua dokter termasuk dokter spesialis anak 9 juga dituntut untuk mampu
stro
mempertahankan kompetensinya dengan berbagaiGcara a mandiri. Di era teknologi informasi
yang demikian canggih saat ini belajar mandiri p at bukan merupakan suatu hal yang sulit,
a
semua materi dan keilmuan yang dibutuhkan tu k rdapat dengan mudah di akses melalui internet.
Namun demikian keberadaan bukuroajar un masih dibutuhkan dan relevan dalam mendukung
ast
upaya pemeliharaan kompetensi
j ar G secara mandiri walaupun buku ajar secara berkala harus
A
diperbaharui. Masih bermanfaatnya keberadaan buku ajar karena buku ajar dibuat oleh
u ku dari institusi pendidikan atau profesi yang disesuaikan bukan saja
pakar-pakar yang berasal
eB
dengan keilmuanFilterkini, tetapi juga memperhatikan kompetensi-kompetensi yang spesifik
untuk negara Indonesia bahkan masing - masing daerah.
Oleh sebab itu Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia memberikan apresiasi
kepada seluruh UKK yang telah berhasil menyusun dan merevisi buku ajar sesuai keilmuan
masing - masing. Kami yakin buku ajar ini akan mampu memberikan kontribusi bukan
saja untuk menjaga kompetensi dokter spesialis anak tetapi juga untuk mendukung proses
pendidikan PPDS bahkan untuk petugas kesehatan lain.
Semoga makin banyak buku ajar yang dapat dihasilkan dilingkungan Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Wassalam.
Jakarta, 2019
x
Sambutan
Ketua Umum pp iDAi
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan
dan kesempatan untuk tetap berkarya. Selamat dan terima kasih kepada Unit Kerja
Koordinasi (UKK) Gastrohepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) atas diterbitkan
Buku Ajar Gastrohepatologi Anak ini.
Dalam meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia, IDAI
senantiasa melakukan pengembangan dalam pelayanan kesehatan anak melalui pengabdian
masyarakat, penelitian, dan pendidikan. Ilmu pengetahuan di bidang kedokteran terus
berkembang pesat, oleh karena itu penting untuk melakukan revisi berkala dari sebuah
buku ajar sehingga materi buku sesuai dengan evidence based terbaru.019
2
Khusus bidang gastrohepatologi, salah satu masalah utama aret yang masih terus
menyumbang mortalitas maupun morbiditas adalah rodiare. 9 M Berdasarkan data Riset
st
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, insidens diare paling
t Ga tinggi pada kelompok anak kurang
a
dari 1 tahun, yaitu sebesar 5,5%, diikuti insidens
k rap pada kelompok 1-4 tahun yaitu sebesar
5,1%. Hal ini menunjukkan bahwa diare masih tu merupakan masalah kesehatan yang penting
o un
pada balita di Indonesia. str
Dengan berbagai perkembangan r Ga di bidang gastrohepatologi, kini prosedur-
Aja
prosedur modern, sepertikudiagnosis menggunakan endoskopi telah tersedia di Indonesia.
u
Perkembangan yang i l e Bsangat patut kita beri penghargaan adalah pencapaian UKK
F
Gastrohepatologi yang telah berhasil melakukan transplantasi hati.
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para kontributor dan anggota UKK
Gastrohepatologi IDAI yang telah bekerja keras dan meluangkan waktunya untuk
memberikan sumbangan pemikiran dalam penyusunan buku ajar ini.
Kami berharap buku ajar ini dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi sejawat dokter
spesialis anak, peserta program studi Ilmu Kesehatan Anak, dan para mahasiswa kedokteran
di seluruh fakultas kedokteran di Indonesia, serta dapat membantu terwujudnya Sustainable
Development Goals (SDG) pada tahun 2030. Semoga buku ajar ini dapat memenuhi
kebutuhan ilmiah dan bermanfaat bagi kemajuan Ilmu Kesehatan Anak di Indonesia.
Jakarta, 2019
xi
Daftar Isi
Kontributor.......................................................................................................... iii
Pengantar Tim Penyunting..................................................................................vii
Sambutan Ketua UKK Gastrohepatologi IDAI................................................. viii
Sambutan Ketua Badan Penerbit IDAI.................................................................ix
Sambutan Ketua Kolegium IKA Indonesia...........................................................x
Sambutan Ketua Umum pp iDAi.........................................................................xi
Daftar Tabel...................................................................................................... xxiii
Daftar Gambar.................................................................................................xxvii
9
2 01
re t
Ma
Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit....................................................................1
9
ro
ast
Mohammad Juffrie
G
at
1.1 Ilustrasi Kasus................................................................................................................... 1
r ap
1.2 Larutan Tubuh.................................................................................................................. 1
k
ntu
1.3 Komposisi Larutan Tubuh ....................................................................................2
u
ro
G ast
1.4 Difusi dan Osmosis.......................................................................................................... 2
1.5 Kesimbangan Air dan j a r Natrium ...........................................................................5
A
u ku
1.6 Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Larutan...................................................... 5
e B
Fil
1.7 Keseimbangan Kalium...................................................................................................11
1.8 Keseimbangan Kalsium dan Magnesium...................................................................17
Kegawatdaruratan Gastrointestinal.....................................................................26
Pitono Soeparto & Reza Ranuh
2.1 Ilustrasi Kasus.................................................................................................................26
2.2 Pendahuluan....................................................................................................................26
2.3 Dehidrasi .........................................................................................................................27
2.4 Perdarahan Saluran Gastrointestinal (Perdarahan GIT)..........................................30
2.5 Demam Berdarah ..........................................................................................................38
2.6 Demam Tifoid.................................................................................................................38
2.7. Muntah Akut...................................................................................................................39
2.8 Distensi Abdominal Akut ............................................................................................40
2.9 Nyeri Abdomen Akut....................................................................................................41
2.10. Disfagia ............................................................................................................................43
Disfagia.................................................................................................................50
Yorva Sayoeti
xiii
3.1 Ilustrasi Kasus ................................................................................................................50
3.2 Pendahuluan....................................................................................................................51
3.3 Definisi.............................................................................................................................51
3.6 Patogenesis.......................................................................................................................52
3.4 Kejadian...........................................................................................................................52
3.5 Kejadian...........................................................................................................................52
3.6 Kejadian...........................................................................................................................52
3.7 Gejala Klinis....................................................................................................................57
3.8 Diagosis............................................................................................................................58
3.9 Terapi................................................................................................................................60
3.10 Prognosis..........................................................................................................................64
3.11 Pencegahan......................................................................................................................64
xiv
6.8 Mekanisme Diare............................................................................................................95
6.9 Manifestasi Klinis ..........................................................................................................98
6.10 Diagnosis........................................................................................................................100
6.11 Terapi..............................................................................................................................104
6.12 Komplikasi.....................................................................................................................110
6.13 Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral...............................................................................111
6.14 Pencegahan ..................................................................................................................112
6.15 Probiotik.........................................................................................................................112
6.16 Prebiotik.........................................................................................................................113
xv
9.7 Pendekatan Diagnosis..................................................................................................146
9.8 Tata Laksana..................................................................................................................149
9.9 Sakit Perut Berulang....................................................................................................149
Kembung............................................................................................................157
Pramita G. Dwipoerwantoro
10.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................157
10.2 Pendahuluan..................................................................................................................158
10.3 Intoleransi Laktosa.......................................................................................................158
10.4 Bakteri Tumbuh Lampau............................................................................................161
xvi
14.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................229
14.2 Pendahuluan .................................................................................................................229
14.3 Klasifikasi dan Definisi................................................................................................230
14.4 Kejadian dan Epidemiologi ........................................................................................230
14.5 Pankreatitis akut .........................................................................................................230
14.6 Etiologi...........................................................................................................................233
14.7 Manifestasi klinik.........................................................................................................233
14.8 Diagnosis........................................................................................................................235
14.9 Komplikasi.....................................................................................................................239
14.10 Tatalaksana....................................................................................................................239
14.11 Prognosis........................................................................................................................240
14.12 Pankreatitis herediter...................................................................................................241
14.13 Pankreatitis kronis........................................................................................................241
Ikterus.................................................................................................................243
Iesje Martiza
15.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................243
15.2 Pendahuluan..................................................................................................................243
9
15.3 Definisi...........................................................................................................................244
2 01
t
are
15.4 Metabolisme Bilirubin ................................................................................................244
9M
15.5 Neonatal Jaundice.........................................................................................................253
ro
G ast
Hepatitis Virus...................................................................................................265
at
Sjamsul Arief r ap
k
ntu
16.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................265
u
ro
ast
16.2 Pendahuluan..................................................................................................................265
G
jar
16.3 Diagnosis Banding.......................................................................................................266
A
u
uk
16.4 Hepatitis A.....................................................................................................................266
16.5 HepatitisileBB.....................................................................................................................271
F
16.6 Hepatitis C.....................................................................................................................278
16.7 Hepatitis D.....................................................................................................................289
16.8 Hepatitis E......................................................................................................................292
16.9 Hepatitis G.....................................................................................................................293
xvii
Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati...............................................312
Atan Baas Sinuhaji
18.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................312
18.2 Pendahuluan .................................................................................................................314
18.3 Kejadian dan etiologi...................................................................................................316
18.4 Patogenesis.....................................................................................................................316
18.5 Manifestasi klinis ....................................................................................................318
18.6 Diagnosis .......................................................................................................................318
18.7 Pengobatan, prognosis dan pencegahan...................................................................319
18.8 Beberapa penyakit sistemik yang mempengaruhi hepar.................................................320
Hipertensi Porta.................................................................................................353
Hanifah Oswari
21.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................353
21.2 Pendahuluan..................................................................................................................353
21.3 Definisi...........................................................................................................................354
21.4 Angka kejadian.............................................................................................................354
21.5 Etiologi...........................................................................................................................354
21.6 Patogenesis/Patofisiologi.............................................................................................354
21.7 Manifestasi klinis..........................................................................................................356
xviii
21.8 Diagnosis........................................................................................................................357
21.9 Terapi..............................................................................................................................358
Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID) ..................................................367
Reza Gunadi Ranuh
22.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................367
22.2 Pendahuluan..................................................................................................................367
22.3 Patogenesis.....................................................................................................................368
22.4 Regurgitasi ....................................................................................................................369
22.5 Kolik Infantil.................................................................................................................373
22.6 Konstipasi......................................................................................................................377
Gangguan Motilitas Saluran Cerna...................................................................384
Satrio Wibowo
23.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................384
23.2 Pendahuluan..................................................................................................................384
23.3 Definisi dan Fisiologi Motilitas..................................................................................385
23.4 Klasifikasi.......................................................................................................................385
23.5 Identifikasi Awal...........................................................................................................385
9
23.6 Beberapa Penyakit dengan Gangguan Motilitas Saluran Cerna...........................386 2 01
t
are
23.7 Tanda dan Gejala .........................................................................................................387
M
9
23.8 Tanda Bahaya atau Red Flag pada Gangguan Motilitas.........................................387
ro
ast
23.9 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik..........................................................................390
G
at
ap
23.10 Tata Laksana..................................................................................................................390
r
k
ntu
23.11 Penutup..........................................................................................................................391
ou
Perdarahan Saluran Cerna Bagian a str Atas............................................................393
G
Deddy Satriya Putra A jar
u
uk..............................................................................................................393
24.1 Ilustrasi Kasus
B
e
Fil
24.2 Pendahuluan .................................................................................................................393
24.3 Definisi ..........................................................................................................................394
24.4 Epidemiologi ................................................................................................................394
24.5 Etiologi...........................................................................................................................394
24.6 Diagnosis dan Tata Laksana........................................................................................397
24.7 Simpulan .......................................................................................................................398
xix
25.9 Tata Laksana..................................................................................................................405
xx
29.5 Antagonis 5-HT3..........................................................................................................455
29.6 Obat-obatan Penetralisir dan Penekan Produksi Asam Lambung.......................456
Terapi Farmakologi pada Diare.........................................................................474
Alpha Fardah Athiyyah
30.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................474
30.2 Pendahuluan..................................................................................................................474
30.3 Terapi Farmakologis pada Anak Diare.....................................................................475
Kelainan Fungsi Hati..........................................................................................484
Hasri Salwan, Achirul Bakri
31.1 Ilustrsi Kasus.................................................................................................................484
31.2 Pendahuluan..................................................................................................................484
31.3 Fungsi Metabolisme Makronutrien Hati dan Kelainannya ..................................485
31.4 Fungsi Hati Lainnya dan Kelainannya......................................................................487
31.5 Kerusakan Hati.............................................................................................................488
31.6 Diagnosis........................................................................................................................489
31.7 Penutup..........................................................................................................................491
Atresia Bilier.......................................................................................................493
9
2 01
Jeanette Irene Christiene Manoppo
re t
Ma
32.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................493
9
ro
ast
32.2 Pendahuluan..................................................................................................................493
G
at
32.3 Epidemiologi.................................................................................................................494
r ap
32.4 Etiologi...........................................................................................................................494
k
32.5 Mekanisme Patogenesis Penyakit. u ntu..............................................................................494
ro
ast
32.6 Klasifikasi.......................................................................................................................497
G
jar
32.7 Diagnosis........................................................................................................................497
A
u
uk
32.8 Diagnosis Banding.......................................................................................................499
B
e
Fil Bedah......................................................................................................499
32.9 Tata Laksana
32.10 Komplikasi.....................................................................................................................500
32.11 Luaran Pasien dengan Atresia Bilier..........................................................................501
Non Alcoholic Fatty Liver Disease......................................................................504
Ninung RD Kusumawati
33.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................504
33.2 Pendahuluan..................................................................................................................504
33.3 Definisi...........................................................................................................................505
33.4 Insiden dan Prevalensi ................................................................................................505
33.5 Skrining .........................................................................................................................506
33.6 Diagnosis........................................................................................................................507
33.7 Tata Laksana .................................................................................................................510
xxi
34.3 Batu Empedu ................................................................................................................517
34.4 Diskinesia Kandung Empedu.....................................................................................520
34.5 Ringkasan.......................................................................................................................520
Sirosis Hati pada Anak.......................................................................................522
Bagus Setyoboedi
35.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................522
35.2 Pendahuluan..................................................................................................................522
35.3 Patogenesis ....................................................................................................................523
35.4 Diagnosis........................................................................................................................524
35.5 Tata Laksana.................................................................................................................528
35.6 Komplikasi.....................................................................................................................529
35.7 Monitoring dan Prognosis..........................................................................................533
Asites Refrakter..................................................................................................538
Titis Widowati
36.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................538
36.2 Pendahuluan..................................................................................................................538
36.3 Definisi...........................................................................................................................538
9
01
36.4 Etiologi...........................................................................................................................539
2
t
are
36.5 Patofisiologi...................................................................................................................541
M
9
36.6 Gejala Klinis..................................................................................................................543
ro
ast
36.7 Diagnosis........................................................................................................................544
G
at
ap
36.8 Tata Laksana .................................................................................................................548
r
k
ntu
36.9 Komplikasi ....................................................................................................................552
u
tro
36.10 Prognosis........................................................................................................................555
as
Prosedur Diagnostik Penyakit
j ar G Hati...................................................................557
A
Yusri Diane Jurnalis uku
eB
Fil Kasus...............................................................................................................557
37.1 Ilustrasi
37.2 Ultrasonografi (USG) Hati dan Saluran Empedu...................................................557
37.3 CT Scan Hati..................................................................................................................559
37.4 Skintigrafi Hepatobilier...............................................................................................561
37.5 Tes Aspirasi Duodenum (duodenal aspiration test /DAT).....................................562
37.6 Biopsi Hati.....................................................................................................................563
37.7 Kolangiografi.................................................................................................................566
37.8 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)...................................567
xxii
Daftar Tabel
Tabel 2.3.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan.........................................................27
Tabel 2.3.2. Pemeriksaan laboratorium pada gangguan keseimbangan asam-basa.......27
Tabel 2.3.3. Terapi cairan standar (iso-hiponatremia)........................................................29
Tabel 2.4.1. Etiologi perdarahan............................................................................................30
Tabel 2.4.2. Diagnosis diferensial..........................................................................................32
Tabel 2.7.1. Penanganan farmakologis.................................................................................39
Tabel 2.8.1. Klasifikasi etiologis obstruksi intestinal..........................................................40
Tabel 2.8.2. Gambaran esensial dari resusitasi....................................................................40
Tabel 2.9.1. Etiologi nyeri abdomen akut berdasarkan simptom......................................41
Tabel 2.9.2. Penanganan penyakit peptik pada anak..........................................................42
Tabel 3.6.1. Gangguan-gangguan yang dapat menyebabkan disfagia pada bayi dan
anak......................................................................................................................53
Tabel 3.8.1. Keluhan-keluhan dan gejala klinis yang memerlukan pemeriksaan
videofluoroskopi menelan.................................................................................60
9
2 01 fungsi
Tabel 3.9.1. Contoh terapi yang digunakan pada anak dengan gangguan
re t
Ma
menelan................................................................................................................62
9
ro otomatis............................63
Tabel 3.9.2. Terapi motorik mulut dengan masalah struktur
G ast
at
Tabel 3.9.3. Beberapa cara stimulasi nonnutritive..............................................................64
rap
Tabel 5.4.1. Prevalensi stunting pada usia 3 ktahun.............................................................75
Tabel 6.9.2. Gejala khas diare akut olehuberbagai ntu penyebab..............................................100
tr o
Tabel 6.10.1. Penentuan derajat dehidrasi s menurut MMWR 2003....................................101
Ga
r dehidrasi
Tabel 6.10.2. Penentuan derajat j a menurut WHO 1995........................................101
u A dehidrasi menurut WHO 1980........................................102
Tabel 6.10.3. Penentuanukderajat
e B derajat dehidrasi menurut sistem pengangkaan-Maurice King
Fil
Tabel 6.10.4. Penentuan
(1974)...................................................................................................................102
Tabel 7.5.1. Enteropatogen penyebab diare di Surabaya (1984-1993)..............................119
Tabel 7.10.1. Faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten...............................................127
Tabel 8.6.1. Penyebab muntah pada neonatus.....................................................................134
Tabel 8.6.2. Penyebab muntah pada bayi.............................................................................134
Tabel 8.6.3. Penyebab muntah pada anak............................................................................135
Tabel 9.3.1. Mediator dan moderator dari sakit perut berulang fungsional....................143
Tabel 9.5.1. Penyebab utama sakit perut akut menurut umur, yang memerlukan
tindakan bedah...................................................................................................145
Tabel 9.5.2. Penyebab non-bedah sakit perut akut.............................................................145
Tabel 9.5.3. Penyebab sakit perut akut pada neonatus.......................................................146
Tabel 9.7.1. Gejala abdomen akut pada neonatus...............................................................148
Tabel 9.7.2. Gejala klinis beberapa penyakit dengan sakit perut akut pada anak...........148
Tabel 9.9.2. Beberapa penyebab organik sakit perut berulang..........................................151
Tabel 9.9.3. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik ...............................................152
xxiii
Tabel 9.9.4. Alarm symptoms sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan
organik.................................................................................................................152
Tabel 9.9.5. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang sakit perut berulang.................153
Tabel 9.9.6. Ringkasan pengobatan sakit perut berulang fungsional...............................155
Tabel 10.4.1. Flora normal usus di saluran cerna normal....................................................162
Tabel 10.4.2. Bakteri intra-lumen: efek pada pejamu...........................................................163
Tabel 10.4.3. Manifestasi klinik bakteri tumbuh lampau di usus halus..............................164
Tabel 10.4.4. Uji diagnostik bakteri tumbuh lampau di usus halus....................................165
Tabel 11.6.1. Alergi makanan : organ target dan gangguannya...........................................171
Tabel 11.6.2. CMPSE di Surabaya............................................................................................176
Tabel 11.7.1. Bahan-bahan / keadaan yang dapat memberikan gejala mirip gangguan
hipersensitivitas makanan.................................................................................178
Tabel 11.7.2. Tanda & gejala rekasi alergik makanan dalam berbagai organ target.........179
Tabel 11.7.3. Elemen-elemen yang menunjukkan adanya alergi makanan sebagai
penyebab penyakit gastrointestinal..................................................................183
Tabel 11.7.4. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan alergi makanan sebagai
kausa penyakit gastrointestinal.........................................................................183
Tabel 11.7.5. Jenis diet eliminasi..............................................................................................183
9
01
Tabel 11.7.6. Modalitas untuk tantangan makanan oral......................................................183
2
t
are
Tabel 11.7.7. Bagaimana hidup dengan allergi makanan.....................................................185
M
9
Tabel 12.5.1. Frekuensi normal defekasi pada anak .............................................................190
ro
ast
Tabel 12.6.1. Pemeriksaan fisik pada anak denganGkonstipasi............................................192
Tabel 12.6.2. Temuan pada pemeriksaan fisikapyang at membedakan konstipasi organik dari
k r
ntu
fungsional............................................................................................................192
u
Tabel 12.7.1. Penyebab tersering konstipasi ro pada anak........................................................193
Tabel 12.7.2. Obat yang menyebabkan G ast konstipasi. ................................................................194
r
Aja
Tabel 12.7.3. Penyebabukonstipasi berdasarkan umur..........................................................194
Buk konstipasi kronis pada anak.........................................................195
Tabel 12.8.1. Komplikasi
e
Fil
Tabel 13.5.2. Gambaran klinis dari 325 anak dengan PC....................................................207
Tabel 13.5.3. Terapi Farmakologis PC.....................................................................................215
Tabel 13.5.4. Indikasi tindakan bedah pada PC....................................................................216
Tabel 13.5.5. Efek samping SASP.............................................................................................225
Tabel 13.5.6. Indikasi untuk tindakan bedah .....................................................................227
Tabel 14.7.1. Etiologi pankreatitis akut pada anak................................................................234
Tabel 14.7.2. Gambaran klinis pankreatitis akut...................................................................235
Tabel 14.8.1. Diagnosis diferensial hiperamilase .................................................................236
Tabel 16.4.1. Dosis imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah
paparan................................................................................................................270
Tabel 16.4.2. Dosis Havrix TM yang dianjurkan.......................................................................270
Tabel 16.5.1. Daerah distribusi genotip dan serotip HBV....................................................274
Tabel 16.5.2. Penanda serologis infeksi HBV.........................................................................275
Tabel 16.6.1. Indikasi dan kontraindikasi pengobatan hepatitis C kronis.........................287
Tabel 16.6.2. Evaluasi pada pengobatan hepatitis C kronis.................................................288
Tabel 17.6.1. Kategori hepatotoksik dan bentuk kelainan....................................................304
xxiv
Tabel 17.6.2. Daftar obat hepatotoksik...................................................................................305
Tabel 18.1.1. Penyebab utama Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic
Hormone (SIADH)..............................................................................................314
Tabel 18.4.1. Penyebab penyakit sistemik yang berpengaruh pada hati............................317
Tabel 18.8.1. Imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu...........................................324
Tabel 20.3.1. Faktor predisposisi neonatus untuk menderita kolestasis intrahepatik......338
Tabel 20.5.1. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada bayi dan upaya
diagnostiknya......................................................................................................340
Tabel 20.8.1. Gejala klinik pada beberapa penyebab kolestasis intrahepatik pada
bayi ......................................................................................................................343
Tabel 20.10.1. Tata laksana spesifik pada beberapa penyebab sindrom hepatitis
neonatal................................................................................................................350
Tabel 21.6.1. Penyakit anak yang berhubungan dengan hipertensi porta-klasifikasi
berdasarkan patofisiologi .................................................................................355
Tabel 21.7.1. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis........................................................356
Tabel 21.7.2. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta.....................................356
Tabel 22.4.1. Red Flag................................................................................................................371
Tabel 23.5.1. Tanda dan gejala gangguan motilitas dan organ yang diduga terlibat........386
9
Tabel 23.8.1. Gangguan motilitas saluran cerna pada beberapa penyakit.........................388 2 01
Tabel 23.8.2. Tanda dan gejala gangguan motilitas saluran cernaardari t
e beberapa
9 M
penyakit................................................................................................................389
o
Tabel 23.8.3. Tanda bahaya untuk gangguan motilitas str
asaluran cerna................................389
G
Tabel 23.9.1. Pemeriksaan diagnostik gangguanapmotilitas at saluran cerna..........................390
r
Tabel 23.10.1. Pendekatan pembedahan, nutrisional n tuk dan farmakologis untuk tata laksana
gangguan motilitas saluran o ucerna.....................................................................391
r
Tabel 24.5.1. Etiologi perdarahan ast
Gsaluran cerna atas pada anak.........................................394
r
ja perdarahan saluran cerna atas berdasarkan manifestasi
Tabel 24.5.2. Diagnosis bandinglu A
B uk
klinis.....................................................................................................................395
e
Filobat-obatan pada perdarahan saluran cerna atas ..............................398
Tabel 24.7.1. Terapi
Tabel 25.5.1. Pemeriksaan fisis pada PSMBB.........................................................................402
Tabel 25.7.1. Pemeriksaan dini pada PSMBB........................................................................403
Tabel 25.8.1. Pemeriksaan radiologi pada PSMBB...............................................................403
Tabel 25.8.2. Pemeriksaan endoskopi yang dapat dilakukan pada PSMBB ......................404
Tabel 26.4.1. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas................................................410
Tabel 26.4.2. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas sesuai dengan usia ..............410
Tabel 26.4.3. Tindakan endoskopi pada tertelan benda asing.............................................411
Tabel 26.4.4. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian bawah...........................................412
Tabel 27.3.2. Stadium klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi HIV.................417
Tabel 27.3.3. Stadium klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi HIV
(lanjutan).............................................................................................................418
Tabel 27.3.1. Klasifikasi WHO mengenai penyakit yang berhubungan dengan HIV......417
Tabel 27.4.2. Mikroorganisme patogen penyebab diare pada HIV....................................420
Tabel 27.4.1. Gangguan fungsi usus dan pankreas pada anak dengan HIV......................420
Tabel 27.5.1. Terapi spesifik infeksi usus pada anak penederita HIV.................................422
Tabel 28.3.1. Kebutuhan untuk bayi dengan malabsorpsi..................................................426
xxv
Tabel 28.9.1. Aktivitas enzim bursh border di usus halus....................................................434
Tabel 29.6.1. Klasifikasi obat penurun keasaman lambung.................................................457
Tabel 30.3.1. Indikasi, jenis, serta dosis probiotik yang disarankan untuk masing-masing
diagnosis..............................................................................................................478
Tabel 31.3.1. Rujukan nilai normal PT dan aPTT pada bayi prematur (usia gestasi 30-36
minggu) yang baru lahir dan sehat. ................................................................487
Tabel 31.5.1. Rujukan nilai normal kadar gamma glutamil-tranferase sesuai umur........489
Tabel 33.3.1. Definisi spektrum histopatologi klinis NAFLD10.........................................505
Tabel 34.3.1. Penyakit/keadaan yang dihubungkan dengan batu empedu........................517
Tabel 34.3.2. Penyakit penyerta utama...................................................................................518
Tabel 35.2.1. Berbagai penyakit yang berpotensi mengakibatkan sirosis pada anak.......523
Tabel 35.4.1. Gejala dan tanda umum komplikasi sirosis....................................................525
Tabel 35.7.1. Sistem skor Child-Turcotte-Pugh......................................................................534
Tabel 35.7.2. Interpretasi sistem skoring Child-Turcotte-Pugh............................................534
Tabel 36.4.1. Penyakit penyebab asites fetal...........................................................................539
Tabel 36.4.2. Penyebab asites kongenital/neonatal ...............................................................540
Tabel 36.4.3. Penyebab asites pada anak.................................................................................540
Tabel 36.6.1. Klasifikasi tingkat keparahan asites..................................................................543
9
01
Tabel 36.6.2. Staging asites.......................................................................................................543
2
t
Tabel 36.6.3. Pengertian dan kriteria diagnostik asites refrakter
M are pada sirosis...................544
Tabel 36.7.1. Warna cairan asites secara makroskopis tergantung o 9 penyakit yang
a str
mendasarinya......................................................................................................546
G
Tabel 36.7.2. Klasifikasi infeksi cairan asites aberdasarkan p at hasil kultur .............................547
k r
Table 36.7.3. Interpretasi diagnosis SAAG. ntu ............................................................................547
Tabel 36.7.4. Karakteristik cairantasites ro u di berbagai kondisi...............................................548
as
j ar G cairan asites......................................................................548
Tabel 36.7.5. Interpretasi spesifik
u A dengan infeksi bakteri pada anak dengan sirosis hati............552
Tabel 36.9.1. Varian asites
k
Tabel 36.9.2. Usulan u
e B diagnostik kriteria untuk HRS pada anak..........................................553
Fil
Tabel 38.4.1. Obat-obat untuk terapi asites............................................................................573
Tabel 38.4.2. Obat-obat untuk terapi ensefalopati hati.........................................................574
Tabel 38.4.3. Obat-obat untuk terapi abses hati....................................................................574
xxvi
Daftar Gambar
xxvii
Gambar 15.5.1. Pendekatan klinis ikterus neonatus................................................................254
Gambar 16.4.1. Pola respons terhadap infeksi HAV................................................................269
Gambar 16.5.1. Pola respons terhadap infeksi akut HBV........................................................273
Gambar 16.7.1. Perubahan serologis dan biokimia pada koinfeksi HDV.4.........................290
Gambar 16.7.2. Perubahan serologis dan biokimia pada superinfeksi HDV.4....................290
Gambar 16.7.1. Kemungkinan akibat dari infeksi HDV.........................................................291
Gambar 17.3.2. Mekanisme drug induced hepatitis.................................................................302
Gambar 17.3.1. Metabolisme tahap I dan tahap II..................................................................302
Gambar 17.6.2. Metabolisme asetaminofen..............................................................................306
Gambar 17.6.3. Metabolisme isoniazid (INH).........................................................................307
Gambar 17.7.1. Upaya Diagnosis Drug Induced Hepatitis......................................................309
Gambar 18.2.1. Hubungan antara arteri hepatika, v. porta, sinusoid dan hepatosit...........315
Gambar 18.8.1. Hubungan masing-masing area menurut asinus hepar dari Rappaport
(pusat di triade portal) dan lobulus hepar klasik dari Kiernan (pusat di
vena sentralis) ...................................................................................................321
Gambar 18.8.2. Patogenesis kelainan hepatobiliaris pada sepsis...........................................323
Gambar 20.8.1. Sekuele kolestasis kronik..................................................................................343
Gambar 21.9.1. Algoritme tatalaksana anak dengan kecurigaan perdarahan varises........362
9
01
Gambar 22.4.1. Algoritne tata laksana regurgitasi...................................................................372
2
t
are
Gambar 22.5.1. Kolonisasi mikrobiota usus.............................................................................374
M
9
Gambar 22.5.2. Algoritma tata laksana kolik............................................................................376
ro
Gambar 22.7.1. Algoritma tata laksana konstipasi G ast
fungsional. ..............................................379
Gambar 24.5.1. Ulkus gastrikum anak perempuan p at 12 th.......................................................396
a
Gambar 24.5.3. Varises esofagus anak laki-laki t u k r 3 thn.............................................................396
Gambar 24.5.2. Esofagitis pada anak un
o perempuan 10 th..........................................................396
t r
Gambar 24.5.4. (PA) Adenoma G as
duodenum anak laki-laki 14thn..........................................396
Gambar 24.5.5. Gastritis A jar anak laki-laki 8 thn................................................................397
erosif
u
Gambar 24.5.6. LigasiBukvarises esofagus anak laki-laki 11 thn.................................................397
il e
Gambar 27.4.1. F Mekanisme malnutrisi pada anak dengan HIV...........................................419
Gambar 29.3.1. Mekanisme muntah..........................................................................................452
Gambar 29.3.2. Cara kerja obat anti muntah............................................................................453
Gambar 29.4.1. Jalur proses muntah..........................................................................................454
Gambar 29.6.1. Mekanisme fisiologis sekresi ion hydrogen oleh sel parietal......................457
Gambar 29.6.2. Mekanisme kerja obat-obat menetralisir dan menekan produksi asam
lambung..............................................................................................................458
Gambar 29.6.3. Aspek fungsional dari sekresi lambung, menunjukkan jalur stimulasi
dan penghambatan utama yang mengatur sekresi asam lambung............459
Gambar 29.6.4. Mekanisme kerja obat anti sekresi.................................................................460
Gambar 30.3.1. Estimasi prevalensi dari asupan zinc yang inadekuat .................................476
Gambar 31.6.1. Klasifikasi kolestasis neonatal.........................................................................491
Gambar 33.6.1. Investigasi pasien dengan NAFLD.................................................................508
Gambar 33.6.2 Alat diagnostik untuk anak dan remaja dengan NAFLD5.........................509
Gambar 36.5.1. Patofisiologi terjadinya asites..........................................................................542
Gambar 36.8.1. Tata laksana pasien dengan asites refrakter..................................................551
xxviii
BAB
1
Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit
Mohammad Juffrie
1
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
9
1.4 Difusi dan Osmosis ret
2 01
a
Difusi adalah pergerakan partikel bermuatan atau tidak 9M
ro bermuatan di sepanjang gradien
stair
konsentrasinya. Semua molekul dan ion termasuk G a dan larutannya dalam keadaan
konstan. Pergerakan partikel ini dipengaruhi p at energi masing masing yang diperoleh
oleh
ra
k gerakan
t
dari konsentrasinya, sehingga akan terjadiu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi
rendah. o un
str
Osmosis adalah gerakan r Gamelewati membran semi permeabel. Air akan bergerak dari
air
ja
kuA
tempat yang sedikit mengandung partikel ke tempat yang banyak partikelnya. Perpindahan
Bu
air ini membutuhkan
ile tekanan yang disebut tekanan osmotik. Aktifitas osmotik ini diukur
dengan ukuran Fyang disebut osmol.
Aktifitas osmosik larutan diekspresikan dalam bentuk osmolaritas dan osmolalitas.
Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 liter larutan (mOsm/L), sedangkan
osmolalitas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 kg air. Osmolaritas biasa dipakai untuk
larutan yang berada di luar tubuh, sedangkan osmolalitas untuk menjelaskan larutan di
dalam tubuh. Osmolalitas serum yang ditentukan oleh natrium dan anion yang mengikatnya
(klorida dan bikarbonat) mempunyai angka berkisar antara 275 dan 295 mOsm/kg.
Tonisitas. Perubahan kandungan air menyebabkan sel menjadi membengkak atau
mengkerut. Pengertian tonisitas adalah tekanan atau efek dari tekanan osmotik efektif dari
larutan dengan zat terlarut yang tidak permeabel terhadap ukuran sel karena perpindahan
air melalui membran sel. Jadi tonisitas diukur dengan zat terlarut yang tidak bisa melalui
membran sel misalnya glukosa menyebabkan kekuatan osmotik yang menekan air masuk
atau keluar dari sel dan menyebabkan perubahan ukuran sel.
Larutan dimana sel-sel tubuh berasa didalamnya dapat dibagi menjadi tiga macam
jenis osmotiknya yaitu isotonik, hipotonik dan hipertonik tergantung pada apakah dia
menyebabkan sel membengkak atau mengkerut. Sel yang berada pada larutan isotonis jika
2
Buku Ajar Gastrohepatologi
larutan itu mempunyai osmolalitas sama seperti CIS (280 mOsm/l) tidak akan membengkak
atau mengkerut. Sebagai contoh larutan isotonik adalah larutan NaCl 0,9%. Jika sel berada
dalam larutan hipotonik jika larutan itu mempunyai osmolalitas efektif lebih rendah dari
CIS, sel akan membengkak karena air masuk ke dalam sel. Apabila sel berada di larutan
hipertonis dimana osmolalitas efektif nya lebih besar dari CIS sel akan mengkerut karena
air keluar dari sel.
Edema
Adalah bengkak yang disebabkan karena ekspansi volume larutan interstisial. Edema tidak
akan tampak sebelum volume mencapai 2,5 l atau 3 l. Mekanisme fisiologi edema adalah: 1)
kenaikan tekanan filtrasi kapiler, 2) penurunan tekanan osmotik koloid kapiler, 3) kenaikan
permeabilitas kapiler, 4) obstruksi saluran limfe.
3
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
4
Buku Ajar Gastrohepatologi
(10-14 mEq/l). r ap
k
Fungsi Na+ terutama mengaturo u ntu
volume CES termasuk kompartemen vaskular.
r
ast CES Na+ dan anion pasangannya (Cl- dan HCO3)
Sebagai kation yang paling banyakGdalam
jar osmotik dalam CES. Karena Na+ adalah bagian dari
mengatur sebagian besar aktifitas
A
ku
molekul NaHCO3 maka Bupenting dalam pengaturan keseimbangan asam basa.
e
Fil
Masuk dan hilangnya Na+
Na+ secara normal masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Pemasukan Na+
didapat dari makanan, atau infus natrium atau infus yang lain. Na+ keluar dari tubuh
melalui ginjal, saluran cerna dan kulit. Sebagian besar Na+ keluar lewat ginjal. Dengan
fungsi ekskresi dan reabsorpsi Na+ maka kadar Na+ dalam tubuh dipertahankan. Hanya
10% Na+ keluar lewat saluran pencernaan dan kulit.
5
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Pengaturan larutan
Total larutan tubuh bervariasi tergantung jenis kelamin dan berat badan. Perbedaan ini
disebabkan karena perbedaan lemak tubuh. Pada laki-laki larutan tubuh sekitar 60% berat
badan pada dewasa muda dan akan turun menjadi 50% setelah dewasa. Pada wanita muda
jumlah larutan tubuh 50% berat badan dan akan turun menjadi 40% setelah dewasa. Pada
orang gemuk akan terjadi penurunan jumlah larutan tubuh sampai 30%-40% berat badan.
Pada bayi larutan tubuh 75%-80% berat badan. Pada bayi prematur lebih besar lagi.
Jumlah larutan CES pada bayi relatif lebih banyak dibanding dewasa. Lebih dari separuh
larutan tubuh bayi berada di CES. CES yang lebih banyak ini disebabkan metabolisme yang
lebih tinggi, area permukaan tubuh yang lebih luas dan struktur ginjal yang belum matur.
Karena CES lebih mudah hilang maka bayi lebih mudah hilang larutannya dibanding
dewasa.
Mekanisme pengaturan
Terdapat 2 mekanisme fisiologis yang mengatur larutan tubuh: haus dan hormon
antidiuretik (ADH). Rasa haus terutama mengatur pemasukan larutan, sedangkan ADH
mengatur larutan keluar. Kedua mekanisme ini bertanggung jawab terhadap perubahan
osmolalitas ekstraselular dan volume.
Rasa haus
Rasa haus dikendalikan oleh pusat rasa haus di hipotalamus. Terdapat 2 stimuli untuk rasa
haus karena benar-benar membutuhkan larutan: 1) dehidrasi selular yang disebabkan oleh
6
Buku Ajar Gastrohepatologi
kenaikan osmolalitas ekstraselular dan 2) penurunan volume darah yang bisa atau tidak
ada hubungannya dengan penurunan serum osmolalitas. Neuron pensensor yang disebut
osmoreseptor bertempat di atau dekat pusat haus di hipotalamus. Osmoreseptor berespon
terhadap perubahan pada osmolalitas ekstraselular dengan cara memacu sensasi haus.
Rasa haus normal muncul jika ada sedikit saja perubahan 1% atau 2% pada osmolalitas
serum. Reseptor pada kapiler sangat sensitif terhadap perubahan tekanan darah arteri dan
volume darah sentral juga membantu dalam pengaturan rasa haus. Stimulus yang penting
ketiga untuk rasa haus adalah angiotensin II, yang mana meningkat karena respon terhadap
volume aliran darah dan tekanan aliran darah.
Mulut kering menyebabkan sensasi rasa haus. Sensasi rasa haus terjadi juga pada
orang-orang yang bernafas dengan mulut misalnya perokok dan penderita dengan penyakit
saluran pernafasan kronis atau sindrom hiperventilasi.
Hipodipsia Menggambarkan penurunan kemampuan rasa haus. Terdapat bukti bahwa
haus adalah penurunan pemasukan air, selain kadar osmolalitas dan Na+ yang tinggi.
Ketidakmampuan menerima dan berespon terhadap rasa haus biasanya terjadi pada pasien
stroke atau gangguan sensorik.
Polidipsia dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1) simtomatik atau rasa haus sejati, 2) rasa haus
yang tidak tepat atau rasa haus yang salah yang terjadi dimana jumlah19larutan tubuh dan
20
osmolalitas serum normal, 3) minum larutan kompulsif.
aret
Simtomatik haus muncul jika ada kehilangan larutan o 9 Mtubuh. Diantara penyebab
rasa haus yang paling banyak adalah kehilangan larutan r
st akibat diare, muntah, diabetes
t Ga
melitus, dan diabetes insipidus. Haus yang tidak atepat terjadi jika ada gagal ginjal, dan
gagal jantung kongestif. Walaupun penyebab k rap haus pada kelompok ini tak jelas tetapi
rasa
tu
mungkin karena peningkatan kadar rangiotensin.
o un Haus dirasakan juga pada orang yang
a st
mengalami penurunan aktivitas kelenjar
G air ludah karena pengaruh obat-obatan misalnya
jar
antikolinergik (termasuk atropin).
A
u
B
Polidipsi psikogenik.uk Poldipsia psikogenik biasanya dialami oleh penderita gangguan
e
Fil
jiwa. Keadaan ini disebabkan oleh pemakaian obat antipsikosis yang efeknya meningkatkan
kadar ADH.
7
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Keadaan tidak normal akan meningkatkan sintesis dan pelepasan ADH seperti
pada nyeri yang hebat, mual, trauma, operasi, zat anestesi dan beberapa narkotik (morfin
dan meperidin). Mual adalah rangsangan yang poten untuk sekresi ADH, sehingga
menyebabkan kenaikan kadar ADH 10-1000 kali. Nikotin merangsang pelepasan ADH
sedangkan alkohol menghambatnya. Dua keadaan yang mengganggu kadar ADH yaitu
diabetes insipidus dan sekresi ADH yang tidak tepat.Diabetes insipidus adalah keadan
dimana terjadi defisiensi atau penurunan respon terhadap ADH.
Sindrom ADH tidak tepat (syndrome of inappropriate ADH/ SIADH) adalah akibat
kegagalan sistem umpan balik negatif yang mengatur pelepasan dan penghambatan ADH.
8
Buku Ajar Gastrohepatologi
rasa haus, meningkatnya ADH: oligouri dan tingginya berat jenis urin. Volume larutan
interstisial turun: Turgor jaringan dan kulit turun, membran mukosa kering, mata cekung
dan lembek, pada bayi ubun-ubunnya cekung. Volume vaskular turun: Hipotensi postural,
nadi lemah dan cepat, isi darah vena menurun, hipotensi dan syok.
Penanganan defisit volume larutan adalah mengganti larutan. Biasanya larutan
elektrolit isotonik dipakai untuk mengganti larutan. Hipovolemia akut dan syok hipovolemik
menyebabkan kerusakan ginjal, oleh karena itu menentukan derajat defisit larutan secara
cepat dan adekuat sangat penting untuk penanganan penyebab utama.
Hiponatremia
Hiponatremia terjadi apabila konsentrasi Na+ kurang dari 135 mEq/l. Karena efek partikel
aktif lainnya terhadap osmolalitas CES seperti glukosa, maka hiponatremia berhubungan
dengan tinggi rendahnya tonisitas.
9
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Hipernatremia
Suatu keadaan dimana kadar Na+ serum >145 mEq/l, dan osmolalitas lebih besar 295
mOsm/kg. Karena Na+ ini fungsinya sebagai larutan impermeabel maka ia berperan
dalam tonisitas dan gerakan air menembus sel membran. Hipernatremia ditandai dengan
hipertonisitas dari CES dan hampir selalu menyebabkan dehidrasi selular.
Hipernatremia terjadi karena defisit air dibanding dengan kadar Na+ tubuh. Hal ini
disebabkan oleh jumlah bersih Na+ atau jumlah bersih air yang hilang. Pemberian Na+
secara cepat tanpa disesuaikan jumlah air yang masuk akan menyebabkan hipernatremia.
Hipernatremia juga bisa terjadi apabila timbul kehilangan air lebih banyak dibanding
jumlah kehilanagn Na+. Hal ini terjadi pada keadaan peningkatan kehilangan lewat respirasi
pada keadaan panas atau latihan yang berat, diare cair, atau saat pemberian makanan lewat
pipa lambung dengan sedikit air.
Pada keadaan normal defisit larutan akan memacu rasa haus sehingga meningkatkan
pemasukan air. Pada hipernatremia terjadi pada bayi atau anak yang rasa hausnya kurang
10
Buku Ajar Gastrohepatologi
peka sehingga akan kurang minum air. Pada keadaan hipodipsi atau rasa haus yang lemah
kebutuhan larutan tidak merangsang pusat haus.
Manifestasi klinis yang terjadi adalah kehilangan larutan CES dan terjadi dehidrasi
selular. Gejala dan tanda lebih berat jika ada kenaikan konsentrasi Na+ serum yang tinggi
dan terjadi dalam waktu yang cepat. Berat badan akan turun sesuai dengan jumlah air yang
hilang. Karena plasma darah 90%-93% air maka konsentrasi sel darah, hematokrit, BUN,
akan naik sesuai penurunan air di CES. Rasa haus adalah gejala yang pertama kali muncul,
terjadi jika air hilang setara dengan 0.5% air tubuh. Output urin turun dan osmolalitas
meningkat karena mekanisme absorpsi air di ginjal. Suhu tubuh sering meningkat dan kulit
menjadi hangat dan memerah. Karena volume vaskular turun maka nadi menjadi cepat dan
lemah, tekanan darah turun. Hipernatremia menyebabkan peningkatan osmolalitas serum
dan akibatnya air akan keluar dari dalam sel, sehingga kulit dan mukosa menjadi kering,
saliva dan air mata menjadi kurang. Mulut menjadi kering dan keras, lidah menjadi tebal
dan luka, sulit menelan. Jaringan subkutan memerah. Jika air banyak keluar dari sel saraf
maka akan terjadi penurunan refleks, agitasi, sakit kepala, gelisah. Koma dan kejang terjadi
pada hipernatremia yang berat.
Penanganan hipernatremia terutama ditujukan pada penyebabnya, yaitu penggantian
kehilangan larutan (dehidrasi). Penggantian larutan ini bisa oral atau intravena atau dua-
19
0Pada
duanya. Larutan, glukosa dan elektrolit merupakan pilihan yang tepat.
et 2 dehidrasi berat
penggantian larutan diberikan sesuai dengan protokol WHO. M ar
9
stro
G a
at
1.7 Keseimbangan Kalium rk
ap
u ntu
o
Kalium adalah kation yang terbanyak
a strkedua di dalam tubuh dan jumlah terbesar di dalam
G
CIS. Kurang lebih 98% kalium tersebut berada di dalam sel-sel tubuh dengan konsentrasi
Ajar 150 mEq/l. Kandungan kalium di dalam CES (3.5 sampai
didalam intraseluler 140 sampai
u
Buk Karena kalium merupakan ion intraselular, maka jumlah
5.0 mEq/l) sangat rendah.
e
penyimpanan kaliumFil berhubungan dengan ukuran tubuh dan massa otot. Sekitar 65%
sampai 70% dari kalium berada di dalam otot. Sehingga total kalium di dalam tubuh turun
bersamaan dengan perubahan umur terutama sebagai hasil dari berkurangnya massa otot.
Sebagai kation intraselular utama, kalium penting untuk beberapa fungsi tubuh.
Kalium berkaitan dengan beberapa fungsi tubuh, termasuk menjaga kesempurnaan osmosis
sel, keseimbangan asam basa dan kemampuan ginjal untuk memproduksi urin. Kalium
diperlukan untuk pertumbuhan dan memberi reaksi kimia yang mengubah karbohidrat
menjadi energi, glukosa menjadi glikogen dan asam amino menjadi protein.
Kalium juga berperan penting dalam mengatur denyut nadi dan kemampuan untuk
merangsang tulang rangka, bagian jantung dan otot halus dengan cara mengatur: (1) selaput
potensial yang tidak aktif, (2) keluarnya natrium untuk mengendalikan aliran arus potensial,
dan (3) tingkatan repolarisasi. Perubahan kemampuan di saraf dan otot pada umumnya
penting untuk jantung, dimana perubahan pada kalium serum dapat menghasilkan
ketidakharmonisan yang serius dan kerusakan konduksi. Perubahan konsentrasi kalium
serum juga mempengaruhi otot tulang rangka dan otot halus pembuluh darah dan saluran
pencernaan.
11
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Selaput potensial yang tidak aktif ditentukan dari rasio kalium intraselular terhadap
ekstraselular. Penurunan konsentrasi kalium serum mengakibatkan selaput potensial
tersebut menjadi lebih bermuatan negatif (hyperpolarization) bergerak menjauhi nilai
ambang kejutan. Maka dari itu, diperlukan stimulasi yang besar untuk mencapai nilai
ambang dan membuka saluran natrium yang bertanggung jawab atas aktivitas potensial.
Kenaikan konsentrasi kalium serum mempunyai efek yang berlawanan, mengakibatkan
selaput potensial yang tidak aktif menjadi lebih bermuatan positif (hypopolarized), bergerak
mendekati nilai ambang. Ini menyebabkan kenaikan awal kemampuan rangsangan.
Aktifitas pembukaan saluran natrium yang mengatur aliran arus saat aktivitas yang efektif
juga dipengaruhi oleh kadar kalium kemudian menyebabkan turunnya rangsangan. Pada
hiperkalemia yang berat, saluran natrium menjadi tidak aktif mengakibatkan penurunan
rangsangan. Tingkatan repolarisasi juga beragam sesuai dengan kadar kalium serum.
Tingkatan repolarisasi lebih cepat pada keadaan hiperkalemia dan lebih lambat pada
hipokalemia. Tingkatan repolarisasi tersebut secara klinis sangat penting karena merupakan
predisposisi untuk terjadinya defek konduksi dan disritmia jantung.
Pengaturan di ginjal
Ginjal merupakan rute utama dalam pembuangan kalium. Kalium pertama-tama difiltrasi
di dalam glomerulus, diserap lagi di dalam tubulus proksimal bersama dengan air dan
natrium dan bersama dengan natrium dan klorida di dalam ansa Henle asenden, kemudian
dikeluarkan ke dalam tubulus kortikal untuk dibuang bersama urin. Mekanisme tersebut
berfungsi sebagai pengatur kadar kalium di dalam CES.
Aldosteron perperan utama dalam pengaturan pembuangan kalium oleh ginjal.
Dengan adanya aldosteron, kalium kembali ke aliran darah dan kalium dikeluarkan
12
Buku Ajar Gastrohepatologi
tubulus untuk dibuang lewat urin. Ada juga sistem pertukaran kalium-hidrogen di dalam
tubulus kolektivus ginjal. Ketika kadar kalium serum naik, kalium dibuang ke dalam urin
dan hidrogen diserap kembali ke dalam darah, yang kemudian menyebabkan penurunan
pH dan terjadi asidosis metabolik. Sebaliknya, jika kadar kalium rendah, kalium diserap
kembali dan hidrogen dibuang ke dalam urin menyebabkan alkalosis metabolik.
Pergesaran ekstaselular-intraselular
Pergerakan kalium dari CES ke CIS dan sebaliknya, memungkinkan kalium bergerak ke
sel tubuh ketika kadarnya dalam serum tinggi, dan bergerak keluar ketika kadar dalam
serum rendah. Beberapa faktor yang mengubah distribusi kalium antara CES dan CIS
adalah: insulin, stimulus ß-adrenergik, osmolalitas serum dan ketidakteraturan asam basa.
Kedua faktor insulin dan ß-adrenergik katekolamin (misalnya adrenalin) meningkatkan
masuknya kalium selular. Insulin menaikkan pemasukan kalium selular setelah makan.
Kandungan kalium setiap kali makan kurang lebih sebesar 50 mEq, kerja insulin mencegah
peningkatan kadar kalium serum ke tingkat yang mengancam kehidupan. Katekholamin,
terutama adrenalin, memfasilitasi pergerakan kalium kedalam jaringan otot pada saat stres
fisik.
9
Osmolalitas ekstraselular dan pH juga mempengaruhi pergerakan
2 01 dari kalium antara
CIS dan CES. Peningkatan yang tajam osmolalitas serum mengakibatkan re t kalium bergerak
keluar dari sel-sel. Ketika osmolalitas serum naik akibat 9 Ma
adanya larutan impermeabel
stro
seperti glukosa (tanpa insulin), air meninggalkan sel. G a
Hilangnya air dalam sel menyebabkan
kenaikan konsentrasi kalium intraselular yang menyebabkan
p at kalium intraselular keluar dari
k ra
ntu
sel ke dalam CES. Kelainan asam-basa sering diikuti oleh perubahan konsentrasi kalium
serum. Hidrogen dan kalium bermuatan u
o positif, dan kedua ion tersebut bergerak secara
bebas diantara CIS dan CES. Pada str
aasidosis metabolik, ion hidrogen bergerak ke dalam sel
G
Ajar
tubuh untuk buffer, hal ini menyebabkan konsentrasi kalium keluar dari sel dan bergerak ke
u
Buk
dalam CES. Alkalosis metabolik mempunyai pengaruh yang berlawanan.
i l e
Olahraga jugaF dapat menyebabkan pergeseran kalium. Kontraksi otot yang berulang
melepaskan kalium ke dalam CES. Walaupun peningkatan biasanya kecil sesuai keadaan
latihan. Bahkan pada saat mengepalkan tangan yang mengencang dan mengendor yang
berulang-ulang pada saat pengambilan darah dapat menyebabkan kalium keluar dari sel
dan meningkatkan kadar kalium serum.
Hipokalemia
Hipokalemia apabila kadar kalium serum kurang dari 3.5 mEq/l (3.5 mmol/l). Akibat dari
pergeseran transelular, perubahan sementara pada konsentrasi K+ serum kemungkinan
terjadi karena pergerakan dari CIS dan CES.
Penyebab
Penyebab kekurangan kalium bisa dikelompokkan menjadi 3 kategori: (1) pemasukan
kurang, (2) kehilangan melalui ginjal, kulit dan saluran cerna, dan (3) penyebaran kembali
antara CIS dan CES. Konsumsi yang tidak mencukupi sering menjadi penyebab hipokalemia.
13
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Manifestasi
Manifestasi hipokalemia adalah efek gangguan potensial membran pada sistem
kardiovaskular, neuro-muskular dan gastrointestinal. Tanda dan gejala dari kekurangan
kalium jarang terjadi jika kadar serum kalium kurang dari 3.0 mEq/l. Biasanya gejala datang
pelan-pelan sehingga sulit terdeteksi.
14
Buku Ajar Gastrohepatologi
Akibat dari hipokalemia yang paling serius adalah gangguan fungsi kardiovaskular.
Hipotensi postural sering terjadi. Kebanyakan orang dengan kadar kalium serum kurang
dari 3.0 mEq/l mengalami perubahan elektrokardiografi (EKG), ini sangat spesifik untuk
hipokalemia. Perubahan ini meliputi pemanjangan gelombang PR, depresi dari segmen
ST, gelombang T yang datar dan tampak gelombang U yang nyata. Meskipun perubahan
EKG ini biasanya tidak serius, tetapi ini menyebabkan sinus bradikardi dan disritmia
ektopik ventrikular. Keracunan digitalis dapat terjadi pada orang yang sedang memakai
obat ini dan akan menaikkan risiko disritmia ventrikular, khususnya pada orang dengan
dasar penyakit jantung. Kalium dan senyawa digitalis akan berikatan dengan pompa Na+/
K+ ATPase. Hipokalemia sedang sering terjadi pada kelemasan, kecapekan dan kram otot,
khususnya saat olahraga sebagai moderate hypokalemia (konsentrasi kalium serum 3.0
sampai 2.5 mEq/l) yang umum. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada hipokalemia
berat (konsentrasi kalium serum <2.5 mEq/l). Otot kaki, khususnya otot kuadriseps, paling
sering terkena. Pada defisiensi kalium kronis bisa terjadi atrofi otot yang menyebabkan
kelemahan.
Terdapat banyak tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan fungsi
gastrointestinal, termasuk anoreksia, nausea, dan muntah-muntah. Atonia otot polos sistem
gastrointestinal dapat menyebabkan sembelit, kembung karena hipokalemia yang disebut
9
ileus paralitik. Saat ada gangguan gastrointestinal maka secara perlahan 2 01 akan mengganggu
re t
pemasukan kalium.
9 Ma
Ginjal mempertahankan kadar kalium saat hipokalemia ro mengganggu kerja ginjal
untuk menyaring urin. Sebagai akibatnya, terjadi G ast
peningkatan pengeluaran urin dan
p at
osmolalitas serum, berat jenis urin turun dan a
r terjadi poliuria, nokturia dan rasa haus.
Alkalosis metabolik dan pembuangan klorida ntuk dari ginjal adalah gejala dari hpokalemia
u
ro
yang berat. ast
G
Ajar
u
Penanganan Buk
i l e
Jika memungkinkan,F hipokalemia yang disebabkan oleh kekurangan kalium ditangani
dengan cara meningkatkan konsumsi makanan dengan kalium yang tinggi. Suplemen
kalium secara oral harus diberikan pada anak yang pemasukan kaliumnya tidak mencukupi
sehubungan dengan kehilangan kalium, terutama pada anak yang dalam terapi diuretika
dan mereka yang mendapatkan digitalis.
Kalium dapat diberikan secara intravena apabila pemberian secara oral tidak
memungkinkan. Kekurangan magnesium dapat mengganggu pemasukan kalium; sehingga
perlu pemberian magnesium. Pemberian kalium dengan infus cepat dapat menyebabkan
kematian karena gangguan jantung. Oleh karena itu pemberian intravena harus dalam
pengawasan ketat dari dokter.
Hiperkalemia
Hiperkalemia terjadi apabila kadar kalium serum diatas 5.0 mEq/l (5.0 mmol/l).
Hiperkalemia jarang terjadi pada orang yang sehat karena badan orang sehat sangat efektif
untuk mencegah akumulasi kelebihan kalium di dalam CES.
15
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Akibat
Terdapat tiga penyebab utama kelebihan kalium, yaitu: (1) penurunan pengeluaran dari
ginjal, (2) pemberian kalium yang cepat, dan (3) pergeseran kalium dari CIS ke CES.
Penyebab hiperkalemia yang paling sering adalah turunnya fungsi ginjal.
Hiperkalemia kronis selalu berhubungan dengan gagal ginjal. Biasanya glomerular filtration
rate (GFR) turun secara sampai kurang dari 10 ml/menit sebelum terjadi hiperkalemia.
Beberapa kelainan ginjal, seperti sickle cell nephropathy, nefropati karena logam, nefritis
lupus sistemis dapat merusak sekresi kalium di tubulus tanpa menyebabkan gagal ginjal.
Asidosis juga menyebabkan berkurangnya pengeluaran kalium oleh ginjal, sehingga gagal
ginjal akut yang disertai dengan asidosis laktat atau ketoasidosis akan meningkatkan risiko
hiperkalemia. Koreksi asidosis biasanya akan memperbaiki hiperkalemia.
Aldosteron bekerja pada keadaan dimana kadar kalium dan natrium tubulus distal
dalam kadar pertukaran sehingga kalium ditingkatkan ekresinya sedangkan natrium
direabsorpsi. Sehingga keadaan yang menurunkan aldosteron akan menurunkan ekresi
kalium melalui ginjal seperti pada penyakit Addisson.
Kelebihan kalium dapat diakibatkan oleh kelebihan pemasukan kalium secara oral
dan intravena. Jika fungsi ginjal dan sistem aldosteron baik maka biasanya pemasukan oral
9
masih bisa di tolerir untuk tidak menyebabkan hiperkalemia. Lain 2 01halnya jika pemberian
t
secra intravena, terutama jika pemberian terlalu cepat maka
Mare biasanya menyebabkan
hiperkalemia yang fatal. Jadi pemberian kalium intravena 9
o seharusnya mempertimbangkan
fungsi ginjal. a str
tG
pa dapat menyababkan meningkatkan kadar
Pergeseran kalium dari dalam sel ke CESrajuga
kalium serum misalnya pada keadaanunluka tuk bakar dan luka parah. Keadaan ini juga akan
o berkembang menjadi hiperkalemia. Hiperkalemia
rbisa
ast
mengurangi fungsi ginjal sehingga
G
ar melakukan olahraga yang berat atau kejang, saat sel otot
transien dapat disebabkan jsaat
A
ku
permeabel terhadap kalium.
e Bu
Fil
Manifestasi
Tanda-tanda dan gejala kelebihan kalium sangat berhubungan dengan gangguan pada
eksitabilitas neuromuskular. Manifestasi neuromuskular dari kelebihan kalium biasanya
tidak tampak, sampai kadar kalium serum melebihi 6 mEq/l. Gejala pertama yang
berhubungan dengan hiperkalemia biasa adalah parestesia. Kemungkinan besar nantinya
akan ada keluhan kelemahan otot secara menyeluruh atau dispnea sekunder karena
kelemahan otot pernafasan.
Akibat yang paling serius dari hiperkalemia ada pada jantung. Saat kadar kalium
meningkat, maka gangguan pada konduksi jantung akan terjadi. Perubahan yang cepat
mungkin terjadi pada gelombang T yang menyempit, dan pelebaran kompleks QRS. Jika
kadar kalium serum terus naik, interval PR menjadi memanjang dan diikuti oleh hilangnya
gelombang P. Detak jantung kemungkinan turun. Fibrilasi ventrikular dan cardiac arrest
akan terjadi.
16
Buku Ajar Gastrohepatologi
Penanganan
Penanganan kelebihan kalium bervariasi tergantung beratnya gangguan dan biasanya
ditujukan pada penurunan pemasukan atau penyerapan, peningkatan pengeluaran lewat
ginjal, dan peningkatan pemasukan ke intraseluler. Penurunan pemasukan bisa dicapai
dengan cara mengurangi makanan yang mengandung kalium. Peningkatan pengeluaran
kalium sering kali lebih sulit. Pasien dengan gagal ginjal membutuhkan hemodialisis atau
dialisis peritoneal untuk mengurangi kadar kalium serum. Sebagian besar cara penanganan
ditujukan pada bagaimana memindahkan kalium ke intraselular, misalnya pemberian infus
insulin dan glukosa.
17
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
kembali di dalam ansa Henle yang tebal, didorong oleh Na+/K+/2Cl- transport; dan 5%
sampai 10% diserap kembali di dalam tubulus distal. Tubulus distal adalah tempat pengatur
yang penting untuk mengendalikan jumlah kalsium yang dikeluarkan bersama urin. PTH
dan mungkin juga vitamin D yang memacu penyerapan kembali kalsium di dalam bagian
nefron. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi penyerapan kembali kalsium di dalam
tubulus distal adalah kadar fosfat dan glukosa serta kadar insulin. Diuretika tiazid, yang
berefek di dalam tubulus distal, meningkatkan penyerapan kembali kalsium.
Kalsium serum, yang bertanggung jawab terhadap fungsi fisiologis kalsium, langsung
ataupun tidak langsung diatur oleh hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D. Kalsitonin,
hormon yang diproduksi oleh sel C di dalam kelenjar tiroid, diperkirakan bekerja di ginjal
dan tulang untuk memindahkan kalsium dari sirkulasi. Pengaturan kalsium serum juga
sangat dipengaruhi oleh kadar fosfat dalam serum.
Hormon paratiroid, pengatur utama kalsium dan fosfat serum, hormon ini dikeluarkan
oleh kelenjar paratiroid. Respon terhadap penurunan kalsium serum terjadi secara cepat,
terjadi dalam hitungan detik. Fungsi utama PTH adalah menjaga kosentrat kalsium dari
ECF. PTH melakukan fungsi tersebut dengan cara memacu pelepasan kalsium dari tulang,
peningkatan aktivasi vitamin D yang merangsang kenaikan penyerapan kalsium di dalam
intestinal dan merangsang penyerapan oleh ginjal sejalan meningkatnya 9 pengeluaran fosfat.
2 01
Walaupun vitamin D adalah suatu vitamin, tetapi berfungsi
aret sebagai hormon. Vitamin
D3 (bagian aktif dari vitamin D) disintesis di dalam kulit M
9 atau diperoleh dari makanan
yang kaya dengan vitamin D. Vitamin D3 dihidrosilasi strodidalam hati dan diubah ke dalam
Ga
bentuk aktif di dalam ginjal. Peran utama bentuk p at aktif vitamin D ini untuk meningkatkan
a
penyerapan kalsium dari intestinal.
tu kr
n
Konsentrasi kalsium dan fosfat
tro u di CES diatur sedemikian rupa sehingga kadar
kalsium akan turun ketika kadar s
afosfat tinggi dan sebaliknya. Kadar kalsium serum normal
j arG
adalah 8,5 sampai 10,5 mg/dl
A pada orang dewasa, dan kadar fosfat serum adalah 2,5 sampai
4,5 mg/dl pada orang ku
udewasa. Ini diatur sedemikian sehingga produksi kedua konsentrasi
e B
2+ il
tersebut ([Ca ]Fx [PO4 ]) biasanya dijaga kurang dari 70. Rumatan produksi kalsium-fosfat
2-
dalam rentang ini sangat penting untuk mencegah deposisi garam Calsium Fosfat di dalam
jaringan lunak, merusak ginjal, pembuluh darah, dan paru-paru.
Hipokalsemia
Hipokalsemia terjadi bila kadar kalsium serum dibawah 8,5 mg/dl. Hipokalsemia terjadi
dalam berbagai bentuk penyakit kritis dan mempengaruhi sebanyak 70% sampai 90%
pasien yang berada didalam instalasi gawat darurat (IGD).
Penyebab
Penyebab hipokalsemia bisa dibagi dalam 3 ketegori: (1) ketidakmampuan mobilisasi
kalsium yang disimpan dalam tulang, (2) kehilangan luar biasa kalsium dari ginjal, dan (3)
kenaikan ikatan protein atau pengkhelatan (chelation) sedemikian sehingga proporsi yang
lebih besar dari kalsium adalah dalam bentuk non-ionisasi. Hipokalsemia maya (pseudo)
yang diakibatkan oleh hipoalbuminemia ini mengakibatkan penurunan pada ikatan
protein-kalsium (bukan kalsium terionisasi) dan biasanya terjadi secara asimtomatik.
18
Buku Ajar Gastrohepatologi
Manifestasi
Hipokalsemia dapat dijumpai sebagai kondisi akut atau kronis. Hipokalsemia akut
direfleksikan oleh peningkatan ketegangan otot saraf dan kardiovaskular yang menyebabkan
penurunan kadar kalsium yang terionisasi. Kalsium yang terionisasi menstabilkan
ketegangan saraf otot, membuat sel saraf menjadi tidak sensitif terhadap rangsangan.
Rendahnya kadar kalsium yang terionisasi menyebabkan penurunan nilai ambang eksitasi
saraf, respon berulang terhadap rangsangan tunggal pada saraf, dan pada kasus ekstrim
terjadi aktifitas yang terus menerus. Keparahan manifestasi bergantung pada penyebabnya,
kecepatan serangan, yang menyertai gangguan elektrolit, dan pH ekstraselular. Kenaikan
ketegangan bisa berwujud sebagai parestesi (kesemutan) di sekitar mulut, tangan dan kaki,
dan tetani (kejang; Jawa: keduten) otot muka, tangan dan kaki. Hipokalsemia parah bisa
menyebabkan kejang laring, kejang-kejang, dan bahkan kematian.
19
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Hiperkalsemia
Hiperkalsemia merepresentasikan konsentrasi total kalsium serum lebih dari 10.5 mg/dl.
Kenaikan palsu kadar kalsium bisa berasal dari pengambilan darah yang terlalu lama akibat
pembebatan yang terlalu kencang. Kenaikan kadar protein plasma (hiperalbuminemia,
hiperglobulinemia) bisa menaikan kadar kalsium serum total.
Penyebab
Kelebihan kalsium serum (yaitu hiperkalsemia) terjadi jika pergerakan kalsium menuju
sirkulasi mendominasi pengaturan hormonal kalsium dan kemampuan ginjal untuk
mengambil kelebihan ion kalsium. Penyebab hiperkalsemia yang umum dan utama
adalah peningkatan resorpsi (penyerapan) tulang yang disebabkan oleh neoplasma atau
hiperparatiroidisme. Hiperkalsemia merupakan komplikasi umum dari kanker dan
terjadi sekitar 10% dari 20% orang yang terkena penyakit pada stadium lanjut. Beberapa
tumor ganas termasuk karsinoma paru-paru, telah dihubungkan dengan hiperkalsemia.
20
Buku Ajar Gastrohepatologi
Beberapa tumor merusak tulang, tetapi beberapa yang lain memproduksi agen humoral
yang menstimulasi aktifitas osteoklastik, menaikkan resorpsi tulang, atau menghambat
pembentukan tulang.
Penyebab yang jarang dari hiperkalsemia adalah imobilisasi yang terlalu lama,
kenaikan absorpsi (penyerapan) kalsium dalam intestinum, dan penggunaan vitamin D
dosis tinggi. Imobilisasi yang terlalu lama menyebabkan pengurangan mineral pada tulang
dan pelepasan kalsium ke pembuluh darah. Absorpsi kalsium dalam intestinum bisa
dinaikkan dengan vitamin D dosis berlebih atau sebagai akibat kondisi yang dinamakan
sindrom alkali susu. Sindrom alkali susu disebabkan karena konsumsi berlebih kalsium
(umumnya dalam bentuk susu) dan antasida yang mudah diserap.
Beberapa macam obat bisa menaikkan kadar kalsium. Penggunaan litium untuk
mengobati kelainan bipolar menyebabkan hiperkalsemia dan hiperparatiroidisme.
Diuretika tiazid menaikkan penyerapan kalsium pada tubulus distalis ginjal. Meskipun
diuretika tiazid jarang menyebabkan hiperkalsemia, tetapi bisa membuka peluang
hiperkalsemia yang timbul dari penyebab lain seperti penyebab kelainan tulang dan kondisi
yang menaikan resorpsi tulang.
Manifestasi 9
2 01
re t
Tanda dan gejala kelebihan kalsium berasal dari 3 sumber: (1) perubahan
9 Ma pada eksitabilitas
neural, (2) perubahan pada fungsi otot jantung dan otot
a stropolos, dan (3) ginjal ”terbuka”
terhadap kalsium dalam kadar tinggi. G
p at
r
Eksitabilitas neural turun pada pasienk dengan a hiperkalsemia. Kemungkinan akan
terjadi penurunan kesadaran, stupor, lemah, ntu dan kekakuan otot. Perubahan tingkah laku
o u sampai psikosis akut.
str
mulai dari perubahan kecil pada kepribadian
a
G
Jantung merespon kenaikanA jar kadar kalsium dengan meningkatkan kontraktilitas dan
u
uk menanggapi respon ini. Gejala gastointestinal mencerminkan
disritmia ventrikular. Digitalis
B
e
penurunan aktivitas Filotot polos, termasuk sembelit, anorexia, mual dan muntah. Komplikasi
hiperkalsemia yang lain adalah pankreatitis, yang kejadiannya mungkin berhubungan
dengan batu dalam saluran pankreas. Kadar kalsium yang tinggi dalam urin merusak
kemampuan ginjal untuk memekatkan urin dengan cara mengintervensi aksi ADH. Ini
menyebabkan diuresis garam dan air dan rasa haus meningkat. Hiperkalsiuria juga menjadi
pemicu awal pertumbuhan batu ginjal.
Hiperkalsemia krisis menggambarkan kenaikan akut kadar kalsium serum. Penyakit
maligna dan hiperparatiroidisme adalah penyebab utama hiperkalsemia krisis. Pada
hiperkalsemia krisis, poliuria, kehausan yang sangat, deplesi volume, demam, perubahan
tingkat kesadaran, azotemia (yaitu sampah nitrogen dalam darah), dan kondisi mental
yang terganggu menyertai gejala lain dari kelebihan kalsium. Hiperkalsemia simtomatik
berhubungan dengan tingginya tingkat kematian, yang sering disebabkan oleh kegagalan
jantung.
Pengobatan kelebihan kalsium biasanya ditujukan ke arah rehidrasi dan usaha untuk
menaikan pengeluaran kalsium lewat urin dan mencegah pengeluaran kalsium dan pelepasan
kalsium dari tulang. Penggantian cairan diperlukan pada keadaan deplesi volume. Ekskresi
natrium disertai dengan ekskresi kalsium. Asam pada diuresis dan natrium klorida bisa
21
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
digunakan untuk menaikkan eliminasi kalsium lewat urin setelah volume CES dipulihkan.
Loop diuretic lebih umum digunakan daripada tiazid yang menaikan reabsorpsi kalsium.
Penurunan awal kadar kalsium diikuti oleh tindakan untuk mencegah resorpsi tulang.
Obat yang biasanya digunakan untuk mencegah mobilisasi kalsium termasuk bisfosfonat,
kalsitonin, dan glukokortikoid. Bisfosfonat merupakan golongan obat baru yang bekerja
terutama dengan cara mencegah aktivitas osteoklastik. Kalsitonin mencegah aktivitas
osteoklastik, sehingga mengurangi resorpsi. Glukokortikoid mencegah resorpsi tulang dan
digunakan untuk mengobati hiperkalsemia yang berhubungan dengan kanker.
Keseimbangan magnesium
Magnesium merupakan kation intraselular terbanyak kedua. Rata-rata tubuh orang dewasa
mengandung sekitar 24 gram magnesium yang terdistribusi di seluruh tubuh. Dari seluruh
magnesium sekitar 50%-60% disimpan dalam tulang, 39%-49% berada dalam sel tubuh dan
sisa 1% sebar didalam CES. Sekitar 20%-30% magnesium ekstraselular terikat pada protein,
dan hanya sebagian kecil magnesium intraselular (15%-30%) dapat bertukar dengan CES.
Kadar normal magnesium dalam serum adalah 1,8-2,7 mg/dl.
Fungsi penting magnesium terhadap fungsi keseluruhan tubuh telah diketahui.
9
Magnesium bertindak sebagai kofaktor dalam banyak reaksi enzimatik 2 01 intraselular, termasuk
t
reini disebabkan karena ATP
reaksi transfer gugus fosfat dari ATP (penggunaan ATP). Hal
9 Ma
hanya dapat digunakan tubuh bila ATP membentuk senyawa o kompleks dengan magnesium
menjadi Mg-ATP. Sehingga semua reaksi yang membutuhkan a str ATP, misalnya replikasi dan
atG
transkripsi DNA serta translasi mRNA, tentu p
a memerlukan magnesium. ATP merupakan
sumber tenaga metabolisme selular, yang tu k r lain digunakan untuk menjalankan pompa
antara
un
o Bekerjanya
natrium-kalium (Na+/K+-ATPase). tr pompa natrium-kalium menyebabkan
kestabilan membran sel terjaga, G as
konduksi saraf dapat berjalan lancar, transport ion dan zat-
Aj ar
zat lain ke dalam dan keuluar sel dapat berlangsung, dan proses metabolisme dapat berjalan
dengan baik. Buk
e
Magnesium Fildapat berikatan dengan reseptor kalsium. Diperkirakan bahwa perubahan
kadar magnesium akan berpengaruh melalui mekanisme yang diperantarai kalsium.
Magnesium mungkin terikat secara kompetitif ke tempat dimana kalsium dapat berikatan,
menghasilkan respon yang tepat, dan ini mungkin tidak menimbulkan efek; atau mungkin
mengubah distribusi kalsium dengan cara mempengaruhi pergerakannya memintas
membran sel.
Pengaturan magnesium
Magnesium dikonsumsi melalui makanan, diabsorpsi di usus, dan diekskresi oleh ginjal.
Absorpsi di usus tidak diatur dengan ketat, dan sekitar 25%-65% magnesium yang
dikonsumsi diabsorpsi. Magnesium terkandung dalam semua sayuran hijau, gandum,
kacang, daging dan hasil laut. Magnesium juga terkandung dalam air tanah di Amerika
Utara.
Ginjal merupakan organ utama pengaturan kadar magnesium. Magnesium merupakan
elektrolit unik dimana hanya sekitar 30%-40% dari jumlah yang tersaring direabsorpsi
dalam tubulus proksimalis. Jumlah paling banyak, sekitar 50%-70% direabsorpsi di ansa
22
Buku Ajar Gastrohepatologi
Henle yang tebal. Tubulus distalis mereabsorpsi magnesium dalam jumlah yang sedikit
dan merupakan tempat utama pengaturan kadar magnesium. Reabsorpsi magnesium
turun jika terjadi peningkatan kadar magnesium dalam serum atau jika distimulasi oleh
PTH. Sedangkan hambatan reabsorpsinya dipacu oleh kadar kalsium yang meningkat.
Perangsang utama reabsorpsi magnesium dalam ansa Henle yang tebal adalah sistem
kotransportasi Na+/K+/2Cl-. Hambatan sistem kotransportasi oleh diuretika menurunkan
reabsorpsi magnesium.
Hipomagnesemia
Hipomagnesemia adalah kadar magnesium serum yang kurang dari 1,8 mg/dl. Hal ini
terjadi pada kondisi dimana konsumsinya terbatas atau peningkatan ekskresi lewat usus
dan ginjal. Hipomagnesemia biasanya ditemukan pada keadaan gawat darurat dan pada
pasien dengan perawatan kritis.
Penyebab
Kekurangan magnesium dapat disebabkan oleh konsumsi yang kurang mencukupi,
kehilangan yang terlalu banyak, atau pergerakan antara ruangan CES dan 9 CIS. Dapat juga
disebabkan oleh keadaan dimana ada keterbatasan pemasukan, seperti 2 01 kekurangan gizi,
et
aryang
kelaparan, atau perawatan yang lama dengan nutrisi parenteral M tidak mengandung
o 9
r
magnesium. Kondisi lain, seperti diare, malabsorbsi, pemasangan nasogastric tube yang
lama, atau pemakaian laksansia, dapat menurunkan G ast
penyerapan usus. Kelebihan konsumsi
p at
a
kalsium mengganggu absorpsi magnesium di
tu kr usus karena adanya kompetisi kedua ion
n
ini pada protein transport yang sama. Penyebab umum kekurangan magnesium yang lain
adalah akoholisme kronis. Terdapat tro u faktor yang menyebabkan hipomagnesemia
banyak
as
pada alkoholisme, yaitu pemasukan
j ar G yang rendah dan kehilangan dari saluran cerna oleh
A
karena diare.
u ku
eB
Fil mampu bertahan terhadap hipermagnesemia, namun ginjal kurang
Walaupun ginjal
mampu menyimpan magnesium dan mencegah hipomagnesemia. Kehilangan melalui urin
meningkat pada ketoasidosis diabetikum, hiperparatiroidisme, dan hiperaldosteronisme.
Beberapa obat-obatan meningkatkan ekskresi magnesium lewat ginjal, termasuk diuretika
dan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik seperti antibiotik aminoglikosida, siklosporin,
sisplatin dan amfoterisin B.
Hipomagnesemia relatif juga dapat berkembang dalam kondisi dimana terjadi
meningkatnya pergerakan magnesium diantara CES dan CIS, termasuk pemberian glukosa
secara cepat, larutan parenteral yang mengandung insulin, dan alkalosis. Walaupun bersifat
sementara, kondisi ini dapat menyebabkan perubahan fungsi tubuh yang serius.
Manifestasi
Gejala kekurangan magnesium biasanya tidak tampak sampai kadar magnesium
serumkurang dari 1 mEq/dl. Hipomagnesemia ditandai dengan peningkatan eksitabilitas
saraf otot seperti adanya kelemahan otot dan gemetar. Manifestasi lain yang mungkin
terjadi adalah peningkatan refleks tendon, parestesia (kehilangan rasa, rasa kesemutan dan
23
Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
pricking), fasikulasi otot, dan kontraksi tetanik otot. Tanda Chvostek atau Trousseau dapat
juga muncul terutama pada keadaan hipokalemia. Karena penurunan kadar magnesium
serum akan menaikkan iritasi jaringan saraf maka bisa terjadi kejang. Manifestasi lain yang
bisa timbul meliputi ataksia, vertigo disorientasi, depresi dan gejala psikotik.
Manfestasi kardiovaskular meliputi takikardia, hipertensi, dan disritmia ventrikular.
Kemungkinan terdapat perubahan pada EKG misalnya pelebaran kompleks QRS terlihat
pada puncak gelombang T, pemanjangan interval PR, inversi gelombang T dan penampakan
gelombang U. Disritmia ventrikular terutama pada penggunaan digitalis, sulit ditangani
kecuali bila kadar magnesium dinormalkan.
Pengobatan
Pengobatan hipomagnesemia adalah dengan pemberian magnesium. Cara pemberian
tergantung berat ringannya. Hipomagnesemia simtomatik, sedang dan berat diterapi
dengan pemberian magnesium secara parenteral. Pemberian magnesium diberikan sampai
beberapa hari untuk mengganti kekurangan kadarnya dalam darah. Pada keadaan kehilangan
magnesium kronis melalui saluran pencernaan dan ginjal, pemberian magnesium rumatan
sangat diperlukan. Pemberian magnesium pada penderita gagal ginjal harus hati-hati dan
9
perlu dimonitor agar tidak terjadi kelebihan magnesium. 01
2
aret
Hipermagnesemia 9M
ro
G ast
Hipermagnesemia adalah keadaan dimana kadar at magnesium dalam serum lebih dari 2.7
ap
mg/dl. Karena adanya kemampuan ginjalk rmengekskresi magnesium cukup baik maka
ntu
sangat jarang terjadi hipermagnesemia. u
a stro
Terjadinya hipermagnesemia G biasanya berhubungan dengan insufisiensi ginjal dan
pemakaian magnesium yang Ajarberlebihan seperti pemakaian obatobatan antasida, suplemen
u
mineral, atau laksatif.
BukPada bayi lebih mudah terjadi karena fungsi ginjal relatif belum
e
sempurna. Fil
Hipermagnesemia berefek terhadap fungsi saraf dan jantung, yaitu letargi,
hiporefleksia, bingung sampai koma, hipotensi, disritmia, dan cardiac arrest. Tanda
dan gejala terjadi hanya jika kadar magnesium lebih dari 4.9 mg/dl. Hipermagnesemia
berdampak mengurangi transmisi neuromuskular, menyebabkan hiporefleksia, kelemahan
otot, dan bingung. Hipermagnesemia menurunkan pelepasan asetilkolin pada ujung
mioneural dan dapat menyebabkan blokade neuromuskular dan paralisis respirasi. Efek
kardiovaskular berhubungan dengan efek penghambatan (blocker) kanal kalsium oleh
magnesium. Penghambatan kanal kalsium menyebabkan penurunan tekanan darah dan
pada gambaran EKG tampak peningkatan interval PR, pemendekan interval QT, gelombang
T tidak normal dan pemanjangan QRS dan PR. Hipotensi disebabkan vasodilatasi;
vasodilatasi timbul karena penghambatan kanal kalsium tersebut. Disritmia kardiak bisa
terjadi pada hipermagnesemia sedang (>5 -10 mg/dL). Bingung dan koma bisa terjadi pada
hipermagnesemia yang berat (> 10 mg/dL). Pada hipermagnesemia sangat berat (> 15 mg/
dL) bisa menyebabkan cardiac arrest.
24
Buku Ajar Gastrohepatologi
Daftar Pustaka
1. Batchell J. (1994). Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone. Critical Care Clinics of
North America 69, 687-691.
2. Behrman R.E., Kliegman R.M.., Jenson H.B. (2000). Nelson textbook of pediatrics (16th ed., pp.
215-218). Philadelphia: W.B. Saunders.
3. Berne R.M., Levy M. (2000). Principles of physiology (3rd ed., p. 438). St. Louis: Mosby.
4. Braxmeyer D.L., Keyes J.L. (1996). The pathophysiology of patossium balance. Critical Care
Nurse 16 (5), 59-71.
5. Cogan M.G. 1991. Fluid and Electrolyte (pp. 1, 43, 80-84, 100-111, 112-123,125-130,242-245)
Norwalk, CT:Appleton & Lange.
6. Fried L.F., Palevsky P.M. (1997). Hyponatremia and hypernatremia. Medical Clinics of North
America 81, 585-606.
7. Gennari F.J. (1998). Hypokalemia. New England Journal of Medicine 339, 451-458
8. Guyton A., Hall J.E. 2000. Textbook of medical physiology (10th ed., pp. 157-171, 9 264-278, 322-
345, 346-363, 820-826). Philadelphia: W.B.Saunders. 2 01
t
9. Krieger J.N, Sherrad D.J. 1991. Practical fluid and electrolytes M are 104-105). Norwalk, CT:
(pp.
9
Appleton & lange.
stro
Ga
10. Kugler J.P., Hustead T. 2000. Hyponatremia and hypernatremia in erderly. American Family
Physician 61, 3623-3630 p at
a
u
11. Oh M.S., Carroll H.J. (1992). Disorders of sodium
t k rmetabolism: Hypernatremia and hyponatremia.
Critical Care Medicine 20, 94-103. ro u
n
st
Ga physiology of acid-base and electrolyte disorders (5 ed.,
12. Rose B.D., Post T.W. (2001). Clinical th
14. Swain R., Kaplan-Machlis B. (1999). Magnesium for the next millennium. Southern Medical
Journal 92, 1040-1046.
15. Tannen R.L. (1996). Potassium disorders. In Kokko J., Tannen R.L. (Eds.), Fluid and electrolytes
(3rd ed., pp. 116-118). Philadelphia: W.B. Saunders.
16. Toto K., Yucha C.B. (1994). Magnesium: Homeostasis, imbalances, and therapeutic uses. Critical
Care Nursing Clinicw of North America 6, 767-778.
17. Whang G., Whang G.G., Ryan M.P. (1992). Refractory potassium repletion: A consequence of
magnesium deficiency. Archives of Internal Medicine 152 (1), 40-45.
18. Workman L. (1992). Magnesium and phosphorus: The negelected electrolytes. AACN Clinical
Issues 3, 655-663.
19. Yucha C.B., Toto K.H. (1994). Calcium and phosphorous derangement. Critical Care Clinics of
North America 6, 747-765.
20. Zaloga G.F. (1992).Hypocalcemia in critically ill patients. Critical Care Medicine20, 251-261.
25
BAB
2
Kegawatdaruratan Gastrointestinal
Pitono Soeparto & Reza Ranuh
2.2 Pendahuluan
Kegawatdaruratan merupakan hal yang sering terjadi dalam praktik klinis, dan dapat dibagi
dalam 2 kelompok utama: bedah dan non bedah.
26
Buku Ajar Gastrohepatologi
Kelompok bedah
Obstruksi intestinal
• Atresia duodenal
• Malrotasi dan volvulus
• Anus imperforata
• Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula
Defek dinding abdominal
• Eksomfalus
• Gastroskisis
Abdomen akut
• Apendisitis akut
• Adenitis mesenterik
2.3 Dehidrasi 9
2 01
Tabel 2.3.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan aret
o 9M
% Kehilangan berat badan str
Ga
Bayi p at Anak besar
ra
Dehidrasi ringan 5 % ( 50 ml/kg ) tuk 3 % ( 30 ml/kg )
Dehidrasi sedang 5 – 10 % ( 50 – 100 ml/kgu)n 6 % ( 60 ml/kg )
o
Dehidrasi berat strml/kg )
10 – 15 % ( 100 –a150 9 % ( 90 ml/kg )
G
Sumber: Huang, 2008. Ajar
u
Buk
i l e
F
Tabel 2.3.2. Pemeriksaan laboratorium pada gangguan keseimbangan asam-basa
pH PCO2 Bikarbonat
Gangguan tunggal
*Asidosis metabolik ↓ ↓ ↓
*Alkalosis metabolik ↑ ↑ ↑
*Asidosis respiratorik ↓ ↑ ↑
*Alkalosis respiratorik ↑ ↓ ↓
Gangguan campuran
*Asidosis metabolik + asidosis respiratorik ↓↓ ↑, N, ↓ ↑, N, ↓
*Alkalosis metabolik + asidosis respiratorik ↑, N, ↓ ↑ ↑
*Asidosis metabolik + alkalosis respiratorik ↑, N, ↓ ↓ ↓
*Alkalosis metabolik + alkalosis respiratorik ↑↑ ↑, N, ↓ ↑, N, ↓
Sumber: Quak, 1989.
27
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
Terapi awal
Tahap ini dimaksudkan untuk mencegah atau mengobati renjatan (syok) dengan secara
cepat mengembangkan volume cairan ekstraselular, terutama plasma. Idealnya adalah bahwa
seluruh cairan yang diberikan hendaknya tetap berada dalam ruang vaskular.
28
Buku Ajar Gastrohepatologi
Terapi lanjutan
Begitu sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan berikutnya ditujukan untuk
mengoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na+ dan mengganti kehilangan
abnormal dari cairan yang sedang berjalan (on going losses) serta kehilangan obligatorik.
Walaupun pemberian K+ sudah dapat dimulai, namun hal ini tidak esensial, dan biasanya
tidak diberikan sebelum 24 jam. Perkecualian dalam hal ini adalah bila didapatkan
hipokalemia yang berat dan nyata.
Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit serum
sehingga terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan kadar Na+ yang ada (isonatremia,
hiponatremia, hipernatremia).
29
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
30
Buku Ajar Gastrohepatologi
Penampilan
Penampilan KlinisKlinis
Melena
Melena
Hematemesis
Hematemesis
Hematoskesia
Hematoskesia
31
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
Perlu diingat bahwa tidak adanya darah dari lambung tidak selalu menyingkirkan
perdarahan GIT, karena perdarahan mungkin telah berhenti atau sumber perdarahan
mungkin di bagian distal pilorus yang kompeten.
Laboratorium
1. Darah lengkap :
Perdarahan yang baru terjadi mungkin tidak mengubah hemoglobin atau hematokrit
tetapi MCV bisa rendah pada perdarahan kronis berderajat ringan. Peningkatan
32
Buku Ajar Gastrohepatologi
Pencitraan
1. Perdarahan GIT atas:
Studi kontras hendaknya jangan dijadikan pemeriksaan awal untuk menyingkirkan
esofagitis, gastritis atau tukak peptikum karena kurang sensitif. Endoskopi jauh lebih
sensitif. Studi kontras dapat merupakan indikasi pada pasien dengan 9 disfagia atau
01
odinofagia. USG perlu dilakukan apabila ada penyakit hati. ret 2
2. Hematoskesia: 9 Ma
ro
Studi kontras hendaknya jangan merupakan awal
G astevaluasi. Endoskopi lentur lebih
baik. Yang menjadi perkecualian adalah adanya atkecurigaan intususepsi, dan USG perlu
r ap
tuk
dilakukan (dan apabila sudah pasti, enema barium dilakukan untuk reduksi).
n
3. Perdarahan masif tanpa sakit: ou
Meckel scan merupakan prosedur a strterpilih. Negatif semu dapat disebabkan karena tidak
G
cukup terdapat jaringan A jar
lambung, down stream washout dari isotop, gangguan pasokan
k u
darah atau teknik yang u suboptimal. Ulangan scan Meckel dengan demikian diperlukan
untuk mengetahui i l e Bjenis jaringan lambung.
F
4. Perdarahan yang tidak tampak pada saluran GI bawah. Scan sel darah merah yang diberi
label teknetium dapat membantu menetapan lokasi, tetapi memerlukan perdarahan
aktif >0.5 ml/menit.
Penanganan
Penanganan umum
Penilaian awal pada setiap anak dengan perdarahan GIT perlu dipertajam serta dipercepat.
Dua persoalan yang perlu segera diperhatikan adalah: status volume darah pasien dan
kecenderungan perdarahan yang akan terus berlangsung. Penampilan anak, status mental,
tekanan darah, detak jantung merupakan cermin dari status anak, sedangkan potensi
33
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
terjadinya perdarahan yang terus berlangsung akan terlihat atau dapat diperkirakan dari
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.
Stabilisasi awal ditujukan untuk mencegah atau mengatasi hipovolemia dan anemia
yang berat. Tujuan pemberian cairan bolus awal adalah untuk perfusi jaringan. Setelah
pemberian bolus cairan awal sebanyak 10 – 20 ml/kg selama 10 menit, lanjutkan bolus
secara pelan (titrasi) untuk menjaga tekanan darah dan perfusi jaringan. Pilihan cairan
paling baik dapat dilihat berdasarkan kemudahan dan tersedianya cairan. Apabila lebih dari
50–70 ml/kg yang diperlukan dalam waktu 4–6 jam, perlu dipertimbangkan pemantauan
invasif untuk memudahkan penanganan cairan. Cairan dan/atau koloid yang sesuai
kemudian dapat mulai diberikan. Prosedur diagnostik lanjut, hendaknya dilakukan bila
resusitasi yang sesuai sudah tercapai.
Tindakan
• Letakkan pasien dalam posisi terlentang dengan tungkai dinaikkan. Pada perdarahan
yang masif, pasien perlu diletakkan dalam posisi tengkurap untuk mencegah aspirasi.
• Selanjutnya masukkan kanula intravena ukuran besar. Apabila isian vena (venous
filling) buruk, dapat dilakukan venaseksi atau tusuk subklavia segera.
• Upayakan flow chart yang baik untuk pemasukan dan pengeluaran.
9
• Lakukan uji laboratoris yang meliputi: golongan darah 2 01 dan cross match,
re t
pemeriksaan darah lengkap, hematokrit, waktu protrombin,
9 Ma waktu tromboplastin parsial,
BUN, elektrolit, dan analisis gas darah arterial. tro
s
• Perbaiki volume intravena dengan larutan kristaloid
t Ga (garam fisiologis, Ringer laktat)
atau plasma 20 ml/kgBB/jam sampairatekanan pa darah membaik, ditandai dengan
k
hilangnya vasokonstriksi perifer. ntu
u
Larutan koloid seperti albumin ro atau plasma digunakan apabila terjadi kehilangan darah
G ast
masif dan berlangsung terus-menerus yang dapat menyebabkan berkurangnya tekanan
A jar
onkotik plasma sehingga
u menimbulkan sindrom paru renjatan (shock lung syndrome).
Hindarkan ekspansi Buk volume intravaskular yang berlebihan. Sesudah pengembalian
e
Fil
volume intravaskular tercapai (yang ditunjukkan oleh tekanan darah, denyut nadi
dan aliran urin), penggantian (replacement) selanjutnya perlu dititrasi sesuai dengan
kehilangan darah yang berlanjut (continuing blood loss).
• Vitamin K 5 – 10 mg diberikan untuk setiap pasien dengan masa protrombin yang
berkepanjangan, tanpa membedakan pasien penderita penyakit hati ataupun bukan.
• Keputusan pemberian transfusi darah tergantung dari nilai hematokrit sesudah
pengembalian volume darah dan ada tidaknya perdarahan yang berlanjut. Transfusi
darah dapat diberikan pada pasien dengan perdarahan yang sudah berhenti untuk
berjaga-jaga apabila terjadi perdarahan kembali. Pada keadaan ini, transfusi pelan
dengan packed cells (10 ml/kgBB) lebih dianjurkan sebagai langkah awal.
Pada pasien dengan perdarahan yang berlanjut, transfusi yang terus-menerus
merupakan satu-satunya cara untuk merumat kapasitas pengangkut O2 darah hingga
mencukupi kebutuhan tubuh. Kecepatan transfusi tergantung dari cepatnya
perdarahan.
• Komplikasi dari transfusi masif meliputi: hipersitratemia, hipokalsemia, berkurangnya
kadar faktor pembekuan, dan trombositemia. Untuk meminimalkan permasalahan ini,
pasien perlu diberikan kalsium intravena 0.5 ml/kgBB (10% kalsium glukonat) dan
34
Buku Ajar Gastrohepatologi
plasma fresh frozen (10 ml/kgBB) sesudah pemberian setiap transfusi 50 ml packed cells
apabila diperlukan.
9 Varises
Perdarahan Gastrointestinal Bagian Atas Pada Anak dengan Kecurigaan
2 01
aret
Kanula IV ukuran besar 9M
ro
G ast
at
r ap
Darah, plasma, beku segar, trombosit, bilas lambung
tu k
o un
str
Perdarahan berhenti
r Ga Perdarahan tetap
Hct stabil
A j a Hct turun
u
Buk
e
Fil
Amati Hct serial Teruskan resisutisasi
Konsolidasi skleroterapi
sembari menunggu Perdarahan hebat tetap
Tamporade balon
Gambar 2.4.3. Algoritma penatalaksanaan pada anak dengan kecurigaan perdarahan varises usofagus
(Sumber: McDiarmid, 2000)
35
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
dari 5 tahun. Dosis awal vasopresin pada anak kurang dari 12 tahun dan pada remaja
berturut-turut adalah 0.3 unit/menit dan 0.4 unit/menit. Vasopresin hendaknya
diberikan dalam cairan dekstrosa 5%.
• Tamponade balon (Sengstaken–Blakemore) dipertimbangkan pada varises
lambung atau esofagus yang diagnosisnya ditegakkan melalui endoskopi.
Prosedur ini berisiko tinggi. Indikasi untuk tampon balon adalah:
− − Perdarahan masif yang mengancam jiwa
−− Perdarahan yang berkelanjutan walaupun diberikan vasopresin intravena 4 – 6 jam.
Penanganan spesifik
Penyebab perdarahan gastrointestinal bagian atas dari segi penanganan dapat dibagi
menjadi perdarahan varises dan nonvarises. Beta–bloker nonselektif dianjurkan
untuk mencegah perdarahan varises. Obat vasoaktif, seperti somatostatin, oktreotida dan
glupresin dapat digunakan dengan baik pada perdarahan varises maupun nonvarises.
Skleroterapi dan ligasi varises dapat digunakan pada anak untuk menghilangkan varises.
Cyanoacrylate efektif dan menunjukkan komplikasi terendah yang berhubungan dengan
varises lambung. Terdapatnya stigmata perdarahan, seperti perdarahan aktif dan pembuluh
darah yang tampak pada tukak merupakan indikasi adanya risiko tinggi dari perdarahan
0 19
berulang, yang memerlukan hemostasis endoskopik. Inhibitorepompa2 proton lebih efektif
rt
daripada antagonis reseptor H2 dalam menunjang kesembuhan Ma tukak peptikum.
9
stro
Penanganan Hipertensi portal a G
• Oktreotida (Octreotide) : p at
r a
ntuk
Oktreotida adalah suatu analog somatostatin yang aman tanpa efek samping berat.
u
ro
Mekanisme aksinya adalah mengurangi spastik kolateral dan aliran darah hepatik.
G ast
Begitu dicurigai adanya perdarahan varises, infus oktreotida perlu segera dimulai,
dan pada umumnya A jar
diberikan terus selama 5 hari. Infus dimulai dengan dosis 1mg/
u ku
kgBB iv bolus dilanjutkan dengan infus kontinu dari 1 mg/kgBB/jam, dinaikkan setiap
i l eB
jam apabilaFperdarahan tidak berkurang sampai 4-5 mg/kgBB/jam dalam infus yang
kontinu. Apabila tidak ada perdarahan aktif sesudah 24 jam, dapat diberikan setengah
dosis semula setiap 12 jam.
• Dalam suatu penelitian telah ditunjukkan bahwa skleroterapi berhasil menutup
varises esofagus sesudah diberikan secara multipel pada 92 pasien anak. Terapi
kombinasi propranolol + skleroterapi ternyata lebih menjanjikan dalam pencegahan
perdarahan hipertensif portal.
• Ligasi varises endoskopik (EVL)
EVL lebih efektif daripada skleroterapi dalam menghilangkan varises dan mencegah
perdarahan berulang.
Portosystemic shunt melalui pembedahan dan akhir2 ini juga nonoperatif
transjugular intrahepatic portosystemic shunt, dan transplantasi hepar.
• Pembedahan
Koreksi radikal dari hipertensi portal ekstrahepatik dengan hasil baik dilakukan pada
38,5% pasien.
36
Buku Ajar Gastrohepatologi
37
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
(PCV , nadi stabil, produksi urin ) (PCV , nadi cepat lemah, tekanan nadi < 20 mmHg,
produksi urin )
7 ml/kg/1jam
PCV , Hb PCV tetap tinggi
5 ml/kg/1 jam
9
2 01
ret Plasma (10 ml/kg/jam, dapat
Darah (10 ml/kg/jam dapat
a
3 ml/kg/1 jam
o 9M
diulang sesuai kebutuhan) diulang 3x dalam 24 jam
tr Asidosis diperbaiki)
G as
p at
r a
24 – 48 jam
k
diharapkan sembuh
u ntu
ro
ast Baik Baik
rG
u Aja
uk
eB
F l Aluran
Gambari2.5.1 tata laksana pemberian cairan dan plasma/darah pada DBD derajat III dan IV
Sumber: Soegijanto, 2000; Modifikasi Monograf, WHO, 1993.
38
Buku Ajar Gastrohepatologi
klinis yang baik. Apabila perdarahan intestinal hebat, diperlukan transfusi darah. Intervensi
bedah dan antibiotik spektrum luas dianjurkan bila terjadi perforasi. Transfusi trombosit
dikemukakan untuk pengobatan trombositopenia yang cukup berat untuk menyebabkan
perdarahan intestinal pada pasien yang memerlukan pembedahan.
39
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
40
Buku Ajar Gastrohepatologi
malrotasi dan volvulus dapat disingkirkan. Operasi dapat dihindari seluruhnya pada
sebagian besar bayi dengan intususepsi ileokolik asalkan dapat direduksi secara sempurna
oleh tekanan udara atau tekanan hidrostatik.
41
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
Pankreatitis 01
9
e t
Strategi dalam penanganan pankreatitis akut dilakukan secara rspesifik 2 maupun nonspesifik
sebagai berikut: 9 Ma
ro
• Menghilangkan proses yang mengawali terjadinya
G ast pankreatitis
• Menghentikan berlanjutnya proses autodigesti at dalam pankreas
r ap
• Menghambat dan/atau menghilangkan uk enzim-enzim digestif dan substansi lain yang
ntdan/atau
beracun di dalam rongga peritonealo u sirkulasi.
• Pembedahan a str
G
ar maupun sistemik
• Mengobati komplikasiAjlokal
u
Penanganan yang Bukpada saat ini dapat dilakukan adalah mengistirahatkan pankreas yang
e
Fil
secara teoritis dapat mencegah atau mengurangi intensitas peradangan, mengurangi gejala
dan mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Penderita dipuasakan dan sekresi lambung
dikeluarkan melalui isapan nasogastik. Dengan demikian hal ini akan mencegah asam dan
nutrien mencapai duodenum yang secara teoritis akan mengurangi stimulasi hormonal bagi
sekresi pankreas. Berbagai pendekatan farmakologis dilakukan untuk mengurangi sekresi
pankreas namun hasilnya masih banyak dipertanyakan (antasida, antikolinergik, glukagon,
vasopresin). Demikian juga halnya obat untuk menstabilkan membran sel (prostaglandin)
dan obat seperti somatostatin dan analognya.
Torsio testis
Penanganan yang optimal adalah eksplorasi bedah. Apabila dilakukan dalam waktu 6 jam
setelah torsi, testis yang dapat terselamatkan dapat mencapai 90%. Apabila melebihi 6 jam
diperlukan orkidektomi.
42
Buku Ajar Gastrohepatologi
Apendisitis akut
Begitu diagnosis apendisitis ditegakkan penanganannya adalah pembedahan (apendektomi).
Anak dengan apendisitis tanpa perforasi membutuhkan persiapan prabedah yang minimal
dengan cairan intravena dan antibiotik. Walaupun penggunaan antibiotik pada apendisitis
tanpa komplikasi masih dipertentangkan, namun antibiotik telah menurunkan kejadian
infeksi luka pasca bedah. Apendektomi harus dilakukan dalam waktu beberapa jam setelah
diagnosis.
Intususepsi
Apabila diagnosis intususepsi telah diperkirakan, langkah pertama adalah resusitasi
pasien dengan cairan intravena dan pengosongan lambung dengan pipa nasogastik.
Pilihan penanganan pasien anak dengan intususepsi cukup sederhana; reduksi radiologis
(hidrostatik = cairan, pneumatik = udara ) atau laparotomi dengan reduksi operatif atau
reseksi. Suatu enema kontras (udara atau radioopak) dibawah panduan fluoroskopi selain
sebagai uji diagnostik dapat juga dipakai untuk mereduksi intususepsi.
9
Peritonitis 2 01
re t
Antibiotika parenteral seperti sefotaksim dari aminoglikosida 9 Ma(untuk Streptococcus dan
ro dan klindamisin yang dapat
Pneumococcus pada peritonitis primer) ataupun ampisilin,
G ast
mencakup organisme yang mendominasi sumberpinfeksi at (pada peritonitis sekunder seperti
r a
E. coli, Klebsiella, dan Bacteriodes) perlu segera k diberikan. Pengecatan gram dan pembiakan
cairan asites atau cairan peritoneal dapat u ntu
memberikan indikasi pergantian antibiotika awal
a stro
yang diberikan. Pembedahan perlu G dilakukan untuk memperbaiki perforasi sesudah pasien
jar fungsi kardiovaskular) dan diberikan antibiotik.
distabilisasi (resusitasi cairanAdan
u
Buk
e
Fil
2.10. Disfagia
Rencana terapi perlu dikembangkan berdasarkan konteks kelompok multidisiplin. Pada
umumnya rekomendasi terapeutik adalah berdasarkan kemampuan pasien untuk menelan
dengan aman (kemampuan dari pasien untuk mentransfer makanan dari rongga mulut
ke dalam usofagus tanpa keliru masuk kedalam larings dan trakea), status nutrisi pasien,
adanya refluks gastro-esofageal, dan kenikmatan akan makanan bagi pasien dan orang
tuanya. Terapi disfagia biasanya ditujukan pada penyebabnya disertai perawatan suportif.
1. Obati penyakit primer bila mungkin
−− Kelainan struktur esofageal: dilatasi atau bedah.
−− Gangguan neuromuskular sistemik :
οο Bedah saraf (tumor otak, malformasi Arnold – Chiari)
οο Pengobatan farmakologis (tetanus, dan sebagainya)
−− Dismotilitas esofageal
43
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
Daftar Pustaka
1. Bhamarapravati N : Dengue Vaccine Development Monograph on Dengue / Dengue
Haemorrhagic Fever. WHO Regional Publication, SEARO, 1993, no. 22 : 161 – 163.
2. Carvalho ED, Nita MH, et al : Gastro intestinal Bleeding. J Pediatric (Rio J) 2000 76 (Suppl 1) :
S 135 – 146.
3. Celinsko – Cedro DM. Teisseyre DM et al. Endoskopic Ligation of Esopagheal Varices for
9
Prophylaxis of First Bleeding in Children an Abdolescent with Portal Hypertension : Peliminary
2 01
Result of Prospective Study. J Pediatric Surgeon 2003; 35 : 1008 1011.
re t
4. Chin S. Gastrointestinal Bleeding in Children an Adolescens,
9 Ma Pediatric Clinical Guidelines.
Starship Children’s Hospital, pp 1 – 5. ro
5. Choo KE. Usefulness of the Widal Test in Childhood G astTyphoid Fever. In : T Pang, CL Koh, SD
at
Puthucheary. Eds Typhoid Fever Strategies for r apthe 90’s. Singapore 1992. World Scientific. pp 200.
k
6. Clearly TG. Salmonella. In : RE Behrman,
u ntu RM Kliegman, HB Jenson eds. Nelson Textbook of
ro Saunders, pp 916 – 919.
Pediatrics 17th ed, Philadelphia 2004,
G ast 2e-www-idreference.com.
7. Elsevier 2004. Infectious Diseases
Ajar
8. Erkan T, Cullu F et al. Management of Portal Hipertension in Children : Arestropective Study
u
with Long term Follw kuup. Acta Gastrointestinal Belg 2003; 66 : 213 – 217.
eB
Fil KM, et al. Octreotide Therapy for Control of Acute Gastrointestinal Bleeding
9. Eroglu Y, Emerick
in Children. J Pediatric Gastroenteroal nutr 2004; 38 : 41 – 47.
10. FaubianWA, Perrault J. Gastrointestinal Bleeding. In : W Alllan Walker, Pr Durie, Hamilton
JR, JA Walker Smith, JB Watkins, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology.
Diagnosis. Management., 3rd ed, Ontario 2000, BC Decker Inc. pp 164 – 178.
11. Gubler DJ. The Global Paudemic of Dengue/Dengue Haemorraghic Fever Current Status and
Prospects for The Future. Dengue in Singapore. Techncal Monograph Series no. 2; WHO 1988.
12. Huang IF, Wu TC, et al. Upper Gastrointestinal Endoscopy in Children wit Upper Gastrointestinal
Bleeding J Chin Med Assoc 2003; 66 : 271 – 5
13. Hoe LY. Epidemiology Clinical Features and Treatment of Typhoid Fever in Malaysia. In : T
Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds Typhoid Fever Strategies for the 90’s. Singapore 1992.
World Scientific. pp 84 – 93.
14. Levy J. Gastrointestinal Bleeding. A Guide to Children’s Digestive an Nutritional Health 2001;
1 – 8. http//www.naspghan.org/sub/gastrointestinal bleeding.
15. McDiarmid SV. Treatment of End-stage liver disease.In:W Allan Walker,PR Durie,JR
Hamilton JA Walker-Smith,JB Wittenis.Pediatric Gastrointestinal Disease.Pathophysiology.
Diagosis,Management.3rd ed,Hamilton 2000,BC Decker Inc.pp 1250-1271.
16. Menguy R, Master YF. Mechanism of stress ulcer : effects of hemorrhagic shock on energy
metabolism in the mukosa of the antrum, corpus and fundus of the rabbit stomach.
44
Buku Ajar Gastrohepatologi
45
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
46
Buku Ajar Gastrohepatologi
57. Bourke B, Jones N, Sherman P. Helicobacter pylori infection and peptic ulcer in children. Pediatr
Infect Dis J 1996; 15:1-13.
58. Boyle JT. Abdominal Pain. In : W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA Walker Smith,
JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management.
Vol. I 2nd ed. St. Louis 1996, Mosby ; pp : 205-226.
59. Boyle JT. Abdominal Pain. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB
Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management.
3rded. Ontario 2000. BC Decker Inc. pp 129-149.
60. Byrne WJ. The Gastrointestinal Tract. In. RE Behrman, R. Kliegman eds. Essentials of Pediatrics.
Philadelphia, 1990. WB Saunders Co ; ch 10 : 397-410.
61. Dale A et al. Helicobacter pylori infection, gastric acid secretion and infant growth. J Pediatr
Gastroenterol Nutr 1998; 26:393-397.
62. Feldman M, BurtonME. Histamine 2-receptor antagonists. Standard therapy for acid-peptic
disease. N Engl J Med, 1990;323:1672-1680, 1749-1755.
63. Glasier CM et al. Henoch – Schönlein Syndrome in Children :gastrointestinal manifestations.
Am J Rontgenol 1981;136:1081.
64. Golden N, Neuhoff S, Cohon H. Pelvic Inflammatory Disease in Adolescent J. Pediatr. 1989, 114
: 138.
65. Gormally S, Sherman PM, Drumm B. Gastritis and Peptic Ulcer Disease. In. W. Allan Walker,
PR Dune, J Richard Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal
9
Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management, Vol. I, 2nd ed, St. 2Louis 01 1996 ; BC Decker,
t
pp : 507-527.
MAmare
66. Gryboski JD. Peptic Ulcer Disease in Children. Med Clin North o 9 1991 ; 75 : 889-902.
67. Huether SE, Mc Cance KL, Tarmina MS. Alterations ofaDigestive str Function. In : Mc Cance KL,
G
Huether SE eds. Pathophysiology. The Biologic Basis p at fo Disease in Adults and Children, 2nded,
a
St Louis 1994, Mosby pp 1320-1401. kr
tuand
n
trou
68. Jordan S. Ament M. Pancreatitis in Children Adults. J. Pediatr 1977 ; 91 : 211.
69. Kirschner BS. Other Inflammatory s Disease In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA
r Ga
Walker Smith, JB Watkins eds.
Aja Pediatrics Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis.
Management. 3rded. Ontario u 2000. BC Decker Inc. pp 652-664.
70. Knight PJ, Vassy LE. Buk
Diagnosis and Treatment of the Acute Scrotum in Children and Adolescent.
il e
Ann Surg 1984 F ; 200 : 664.
71. LakeAM. Chronic Abdominal Pain in Childhood : Diagnosis and Management. American
Academy of Family Physician 1999; http://www.aafp.org/afp/990401ap/1823.html.
72. Langer JC. Peritonitis. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith, JB
Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management
3rded. Ontario 2000, BC Decker Inc, pp 450 – 455.
73. Lewy JE. Nephrology : Fluid and Electrolytes. In : RE Behram, R Kliegman eds. Essentials of
Pediatrics. Philadelphia 1990, WB Saunders Co ; pp : 545-580.
74. Levine RS, Steinberg WM. Antacids. In : MM Wolfe ed. Gastrointestinal Pharmacotherapy.
Philadelphia 1993 ; WB Saunders Co ; Ch 2 : 25-45.
75. Lichtenstein DR, Wolfe MM. Histamine H2 – Receptor Antagonists. In : MM Wolfe ed.
Gastrointestinal Pharmacotherapy. Philadelphia 1993 ; WB Saunders Co ; Ch 3 : 47-84.
76. Martin KB. Acid-Peptic Disease In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith,
JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management
3rded. Ontario 2000, BC Decker Inc, pp 1826-1842.
77. Robertson MA, Durie PR. Pancreatitis. In: W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA
Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis.
Management. Vol. II 2nd ed. St. Louis 1996 ; Mosby ; pp : 1437-1465.
78. Ross AJ. Acute Abdominal Pain In : W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA
47
Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal
48
Buku Ajar Gastrohepatologi
49
BAB
3
Disfagia
Yorva Sayoeti
50
Buku Ajar Gastrohepatologi
kebutuhan nutrisi dapat dipenuhi melalui makan minum peroral tanpa komplikasi aspirasi
dan kesehatannya makin lama makin membaik.
3.2 Pendahuluan
Kemajuan teknologi kedokteran lebih dari tiga dekade ini memungkinkan banyaknya
bayi yang lahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR) bahkan berat badan lahir
sangat rendah (BBLSR) atau dengan sakit gawat, dapat dipertahankan hidupnya. Namun
sebagian besar bayi dan anak ini akan menghadapi pula masalah-masalah medis yang
cukup bermakna dalam perkembangan selanjutnya. Beberapa diantara bayi ini akan
mengalami komplikasi atau cacat di kemudian hari antara lain menderita retardasi mental,
palsi serebral, masalah penyakit paru kronis atau gangguan neurologis. Akibat hal tersebut
perlu strategi baru untuk mengatasi masalah-masalah ini yang sebelumnya jarang ditemui.
Beberapa dari masalah yang paling menonjol adalah yang berhubungan dengan gangguan
fungsi gerakan motorik mulut (oral-motor function), gangguan menelan, makan dan atau
berkomunikasi. Dengan demikian kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kedokteran
dalam usaha mempertahankan kehidupan telah menyebabkan pula munculnya masalah
baru yang memerlukan pencarian solusinya. 9
2 01
Berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak dengan gangguan t menelan menjadi
M are
masalah yang unik bagi para klinisi. Aspek penatalaksanaan disfagia
9 pada orang dewasa tidak
dapat diaplikasikan pada bayi dan anak karena perbedaan strostruktur anatomi dan maturasi
Ga
neurologis yang belum sempurna. Bayi dan anakpyang at menderita gangguan menelan serta
a
gangguan makan minum peroral memerlukan
tu k r tatalaksana dengan memperhatikan dan
n
mempertimbangkan aspek tumbuh kembang
trou anak, yaitu aspek yang berkaitan dengan
pertumbuhan dan perkembanganGaorgan s menelan, perkembangan refleks-refleks motorik
A jar
mulut, serta maturasi perkembangan perilaku makan yang berhubungan erat dengan
hubungan orang tua dan u ku
anak. Perolehan nutrisi yang adekuat untuk menjamin pertumbuhan
i l eB
somatik dan pengaruh-pengaruh isapan bayi bersifat nonnutritive harus dipertimbangkan
F
dalam usaha pendekatan diagnosis dan terapi pederita dengan gangguan menelan. Selain
itu kebanyakan penderita anak dengan ganggan menelan mempunyai kemampuan kognitif
yang kurang dan memerlukan terapi oleh beberapa spesialis (interdisciplinary team),
terutama anak dengan penyakit sistem saraf pusat yang tatalaksananya sangat rumit.
3.3 Definisi
Disfagia secara alami didefinisikan berdasarkan sifatnya yaitu kesulitan sewaktu menelan.
Sedangkan odinofagia adalah rasa nyeri yang dirasakan sewaktu menelan. Fungsi gerakan
motorik mulut (motor-oral function) ialah semua aspek yang mencakup fungsi motorik
dan sensorik dari struktur rongga mulut dan faring yang berhubungan dengan proses
menelan sampai makanan masuk ke dalam esofagus.
Deglutisi (deglutition) adalah kegiatan menelan dan merupakan salah satu proses
dalam arti konteks yang luas dari makan. Namun deglutition dalam literatur lebih banyak
disebut dengan proses menelan (swallowing) yang didefinisikan sebagai aksi semiotomatik
51
Bab 3 Disfagia
gerakan otot-otot saluran pernafasan dan saluran pencernaan mendorong makanan dari
rongga mulut ke dalam lambung.
3.4 Kejadian
Data epidemiologis mengenai berapa kejadian disfagia yang akurat pada bayi dan anak
belum ada, karena disfagia bukan masalah yang berdiri sendiri, namun merupakan keluhan
dari berbagai keadaan. Keadaan ini lebih sering terjadi pada bayi-bayi dan anak dengan
gangguan yang multikompleks. Faktor predisposisi terjadinya disfagia adalah gangguan
sistem saraf pusat atau perifer, penyakit otot, kelainan struktur rongga mulut dan faring.
Kelompok lain yang berisiko terjadinya disfagia adalah kelompok yang mengalami
disfungsi perkembangan menelan termasuk komplikasinya yaitu bayi prematur yang
koordinasi pernafasan dan menelannya belum baik, bayi-bayi yang mengalami kehilangan
kemampuan makan peroral yang telah berlangsung lama, serta bayi-bayi dengan penyakit
paru kronis.
9
3.5 Etiologi 2 01
aret
9M
ro etiologinya dibagi berdasarkan
Oleh karena disfagia merupakan keluhan (symptom) tmaka
G as pada bayi dan anak seperti terlihat
gangguan-gangguan yang mendasari terjadinya disfagia
at
pada Tabel 3.6.1. rap k
u ntu
ro
3.6 Patogenesis G ast
Ajar
u
uk patogenesis disfagia perlu pemahaman anatomi dan fisiologi
Untuk dapat menjelaskan
B
e
menelan secaraFilnormal. Proses menelan selain berperan sebagai transport makanan
juga berperan memindahkan sekret-sekret dan pertikel-partikel dari saluran napas atas
mencegah masuknya bahan-bahan asing tersebut ke dalam saluran napas bawah. Proses
menelan melibatkan banyak struktur yang fungsinya saling berinteraksi melalui jalan yang
sangat rumit. Saluran aerodigestif atas (upper aerodigestive tract) terdiri dari rongga mulut,
faring, laring, trakea dan esofagus (Gambar 3.6.2a dan 3.6.2b). Saluran aerodigestif bawah
(lower aerodigestive tract) terdiri dari paru-paru dan saluran pencernaan bagian bawah
(the lower digestive tract) yang dibentuk oleh lambung, usus kecil dan usus besar. Terdapat
perbedaan yang bermakna antara anatomi saluran aerodigestif bayi dan dewasa. Rongga
mulut bayi waktu istirahat menempatkan lidah lebih kedepan dibanding dewasa. Berbeda
dari dewasa, bayi mempunyai bantalan pengisap yang terdiri dari jaringan lemak yang
padat, rapi dalam muskulus maseter. Bantalan ini berperan menstabilkan pipi dan akan
menghilang saat berumur 4-6 bulan. Selanjutnya besar rongga mulut bayi berkurang karena
mandibula relatif lebih kecil dan menyebabkan lidah kelihatan lebih besar dalam rongga
mulut. Dekatnya hubungan lidah, palatum mole dan faring dengan laring menyebabkan
leher bayi lebih tinggi daripada dewasa yang memudahkan bayi bernafas melalui hidung.
Hal ini berkaitan dengan masa umur 3-4 bulan pertama kehidupan bayi, yaitu ketika
bayi masih lebih banyak bernafas melalui mulut maupun hidung. Di dalam rongga mulut
52
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 3.6.1. Gangguan-gangguan yang dapat menyebabkan disfagia pada bayi dan anak
I. Prematuritas V. Defek neurologis
II. Anomali jalan udara dan jalan makanan atas A. Penyakit-penyakit susunan saraf pusat
A. Hidung dan nasofaring 1. Trauma kepala
1. Atresia dan stenosis koana 2. Kerusakan otak oleh karena hipoksia
2. Infeksi hidung dan sinus 3. Atrofi korteks, mikrosefali, anensefali
3. Deviasi septum 4. Infeksi: meningitis, abses otak
4. Tumor 5. Mielomeningokel
B. Rongga mulut dan orofaring 6. Palsi serebral
1. Defek lidah dan prosesus alveolaris 7. Botulisme
2. Bibir terbelah dan palatum terbelah 8. Infeksi
3. Stenosis dan selaput pada hipofaring 9. Rabies
4. Sindrom kraniofasial (spt: Pierre-Robin, B. Penyakit sistem saraf perifer
Crouzon, Trecher-Collins, Goldenhar) 1. Trauma
5. Sindrom Down 2. Kongenital
6. Sindrom Backwich C. Penyakit neuromuskular
7. Ankilo glossi. 1. Distrofi muskular miotonik
C. Laring 2. Miestania gravis
1. Stenosis dan selaput pada laring 3. Sindrom Guillain-Barre
2. Laring terbelah 4. Poliomielitis (paralysis bulbaris)
3. Paralisis 5. Hipotiroid
4. Laringomalasia 6. Sindrom floppy infant 9
D. Lain-lain 2 01
re t
Ma
III. Defek kongenital laring, trakea dan esofagus 1. Akalasia
A. Celah laringo-trakeo-esofagus 9
2. Akalasia krikofaringeal
ro
B. Fistel trakeo-esofagus, atresia esofagus ast esofageal
3. Spasme
G
C. Striktur dan selaput pada esofagus 4.at Esofagitis
D. Anomali vaskuler r ap5. Disautonomia
k 6. Paralisis esofagus (atoni)
1. Arteri subklavia kanan yang menyimpng
u ntu
2. Arkus aorta yang kembar
3. Arkus aorta kanan dengan ligamentum kiri Gas
tro 7. Fistel trakeo-esofagus / atresia esofagus disebabkan defek
saraf
j a r 8. Timus servikal yang menyimpang
IV. Defek anatomi yang didapat ku
A 9. Disfagia konversi
B u
A. Trauma
il e 10. Stenosis pilorus hipertrofi
1. Trauma luar seperti F bahan kimia (caustic agent) 11. Kelainan jantung bawaan
2. Trauma karena endoskopi dan intubasi
Sumber: Orenstein, 1993.
terdapat sulkus lateral, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau maksila dengan
pipi; dan sulkus anterior, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau maksila dengan
otot-otot bibir. Ruang-ruang ini penting artinya pada penderita dengan masalah motorik
mulut dengan terbentuknya kantong-kantong yang berisi makanan atau cairan akibat
menyangkutnya makananan atau cairan di dalam ruang tersebut.
Pada bayi baru lahir faring membentuk suatu lengkungan yang mulus dari nasofaring
menurun ke hipofaring. Dalam perkembangan selanjutnya sampai dewasa, lengkung ini
berubah membentuk sudut diantara nasofaring dengan orofaring mendekati 90o. Beberapa
struktur yang terdapat di dalam rongga mulut, faring, nasofaring, orofaring, hipofaring
berperan penting dalam proses kegiatan makan minum. Laring yang terdiri dari struktur
yang kompleks mempunyai tiga fungsi utama selain berperan melindungi jalan nafas
waktu kegiatan makan minum, juga berperan untuk pernafasan dan pembentukan suara
(phonatory).
53
Bab 3 Disfagia
Gambar 3.6.2a. Skema gambar samping dari saluran aerodigestif Gambar 3.6.2b. Dari gambaran samping saluran
atas struktur rongga mulut dan faring dapat dilihat bagitu juga aerodigestif atas menunjukkan batas anatomi nasofaring,
pintu masuk laring, trakea dan esofagus. orofaring dan hipofaring.
Frekuensi menelan
Perkiraan frekuensi proses menelan pada anak berkisar 600-1000 kali/hari, pada orang
dewasa dapat mencapai sampai 2400 kali/hari. Frekuensi tertingi terjadi sewaktu kegiatan
makan, dan frekuensi paling kecil adalah selama tidur. Disamping 9untuk makan, tujuan
01 dari rongga mulut,
re t2
menelan juga untuk memindahkan air liur dan sekret-sekret mukosa
9 Ma
hidung, dan faring. Menurunnya frekuensi menelan, mengakibatkan air liur menetes ke
dagu (drooling). tro as
G
p at
Fisiologi menelan r a
n tuk
tro u 4 fase yaitu :
Fisiologi proses menelan dibagi dalam
1. Fase persiapan oral as
j arG
2. Fase oral
uA
3. Fase faringeal Buk
4. Fase esofagealFile
Dua fase pertama seluruhnya disadari. Fase faringeal disadari dan tidak disadari.
Sedangkan fase esofageal seluruhnya tidak disadari. Urutan-urutan gerakan-gerakan
menelan dapat dilihat pada Gambar 3.6.3.
54
Buku Ajar Gastrohepatologi
9
2 01
aret
9M
s tro
Gambar 3.6.3. Skema dari seorang anak yang menggambarkan fase menelan
t Ga yang normal. A. Fase orab. B. Fase awal faringeal.
a
ap esofagus. E. Bolus esofagus di dalam.
C. Bolus bergerak melewati faring. D. Bolus memasuki
r
tuk
o un
a str
bolus ini dipertahankan di antara
j ar G lidah dan palatum durum sebelum mulai menelan.
u A dalam posisi merendah guna membantu mencegah bolus
Selama fase ini, palatum mole
k
Bu
atau cairan masuk keedalam faring sebelum fase menelan dimulai. Merendahnya palatum
Fil aktif oleh kontraksi otot palatoglosus. Laring dan faring pada fase
mole ini terjadi secara
ini dalam keadaan istirahat, jalan udara tetap terbuka dan pernafasan hidung terus
berlangsung sampai menelan dimulai.
Fase oral
Fase oral terjadi disadari dengan mulainya mendorong bolus makanan ke posterior
dengan lidah dan berakhir dengan terjadinya penelanan. Pada fase ini bagian-bagian fisik
bolus diubah oleh aktivitas di dalam rongga mulut termasuk besar, bentuk, volume, pH,
temperatur dan konsistensi. Pada awal proses menelan bolus terjadi dengan kontrol
kesadaran, dan pada akhir proses menelan terjadi secara tidak disadari. Makanan / cairan
minuman yang berada di dalam rongga mulut secara disadari menunjukkan adanya perintah
untuk mulainya menelan. Berbeda dengan menelan air liur, proses terjadi secara otomatis
pada awal menelan. Aksi memanipulasi bolus atau cairan makanan yang terjadi secara
disadari, termasuk meningginya lidah diikuti oleh gerakan langsung ke posterior adalah
akibat dari gerakan peristaltik. Hal ini menyebabkan terjadi kontak bolus secara berurutan
mulai dari palatum durum, palatum mole yang mendorong bolus masuk ke dalam faring.
Peninggian palatum mole yang berhadapan dengan dinding posterior faring menyebabkan
55
Bab 3 Disfagia
bolus masuk ke dalam faring. Bersamaan dengan waktu bolus meninggalkan mulut,
nasofaring dalam keadaan tertutup guna mencegah refluks nasofaringeal. Waktu normal
yang diperlukan menelan fase oral ini berlangsung kurang dari 1 detik.
Fase faringeal
Fase faringeal dimulai dengan terbentuknya keadaan menelan, dengan meningginya
palatum mole untuk menutup nasofaring. Fase faringeal terdiri dari kontraksi peristaltik
otot konstriktor faringeal guna mendorong bolus melalui faring yang terjadi secara refleks
melibatkan gerakan-gerakan unik yang merupakan suatu urutan proses yang terkoordinasi.
Umumnya fase faringeal berlangsung selama hampir 1 detik. Selama menelan, epiglotis
berpindah ke bawah, akibat kontraksi sfingter otot intrinsik laring termasuk aritenoid dan
epiglotis sehingga menutup selaput suara. Bersamaan dengan itu laring meninggi dan tertarik
ke depan menjauh dari jalannya bolus. Tujuan menelan pada fase faringeal adalah untuk
transport bolus secara sempurna melalui faring, krikofaring dan sfingter esofagus atas.
Fase esofageal
Fase esofageal terdiri dari gelombang peristaltik yang otomatis membawa bolus ke dalam
lambung dan mencegah terjadinya risiko refluks esofageal, yaitu masuknya 9 kembali bahan
2 01
t
ae
makanan/minuman dari esofagus kembali ke dalam faring. rRefluks gastroesofageal juga
dicegah oleh kontraksi tonik dari muskulus krikofaringeus. MKadang-kadang masih terjadi
o 9 pada bayi-bayi. Gelombang-
refluks dalam jumlah kecil, namun dipandang anormal str
G
gelombang peristaltik berperan mendorong bolus p at melalui esofagus dan gastroesophageal
r a
junction.
ntuk
u
a stro
Keempat fase menelan ini berlangsung secara terkoordinasi dan berurutan satu sama
lain sehingga proses menelan G berlangsung efektif dan aman tanpa terjadi komplikasi
aspirasi. Persarafan yang Ajar dalam koordinasi proses menelan ini dapat dilihat pada
terlibat
u
Gambar 3.6.4. Buk
e
Fil
Setiap gangguan yang menyebabkan tidak terkoordinasinya fase-fase menelan ini
dengan baik akan menyebabkan gangguan proses menelan atau disfagia. Patogenesis dan
patomekanisme gangguan itu dapat disebabkan oleh:
1. Kelainanan anatomi saluran pencernaan dan saluran pernafasan atas (upper aerodigestive)
yang berhubungan dengan proses menelan baik yang dibawa sejak lahir maupun yang
didapat seperti agenesis, stenosis, defek anatomis, tekanan mekanik oleh masa tumor,
striktur karena trauma fisik maupun bahan kimia.
2. Gangguan neuromuskular baik sentral maupun perifer dari saluran pencernaan
dan saluran pernafasan atas yang berhubungan dengan proses menelan baik yang
bawaan maupun didapat seperti kelemahan otot-otot rongga mulut dan lidah (oral-
motor function) yang mencakup bibir, pipi, lidah, palatum, faring dan laring, esofagus,
dan gangguan motilitas esofagus, lambung dan duodenum (kelemahan kontraksi
peristlatik).
3. Faktor psikologis misalnya hubungan orang tua dan anak yang tidak harmonis.
56
Buku Ajar Gastrohepatologi
Afferen primer
Saraf kranial , Fasikulus Solitarus
VII, IX, X, XII
Medulla
Pons dan
Afferen primer 1 9
Nukleus motor t 20 Medulla
Saraf kranial Saraf kranial M are
V, VII, IX, X, XII V, VIII, IX, X, XII tro 9
s
t Ga
a
rap sinyal efferen antara lain saraf kranial, kortikal dan jalur
Gambar 3.6.4. Diagram sistem saraf perifer dan sentral untuk menelan
k
tu
subkortikal menuju Nukleus Traktus Solitarius (NTS) dan Ventral Medial Retikular Formation (VMRF) (sist. generator sentral). Sinap
un primer saraf pusat V, VII, IX, X dan XII
saraf efferen dengan Intiomotor
r
G ast
A jar
u
uk
3.7 Gejala Klinis Fil
e B
Gejala klinis disfagia dapat dilihat dengan melakukan pengamatan langsung pada bayi
dan anak yang sedang makan minum. Gejala klinis sangat bervariasi tergantung dari
etiologi yang mendasari timbulnya gejala disfagia. Selain gejala disfagia secara klinis,
gejala penyakit dasarnya dapat ditemukan. Pada pengamatan langsung bayi dan anak
waktu makan dapat dilihat gejala kesulitan menelan, disertai gejala lain seperti kesulitan
makan, kesukaran mengunyah, kesukaran mengisap, kesulitan menyusu, serta menolak
makan dan minum. Mungkin disertai liur yang menetes secara berlebihan atau makanan
yang tumpah dari mulut, adanya hambatan/sumbatan, batuk disertai tercekik, tedengar
suara degukan, muntah sewaktu makan, atau disertai rewel setiap makan. Kadang-kadang
mungkin ditemukan gejala-gejala perilaku yang tidak normal waktu makan misalnya
dengan mendorong lidah atau rahang, makan hanya mau terhadap makanan tertentu saja,
diikuti gejala komplikasi seperti berat badan tidak bertambah sesuai umur (malnutrisisi
ringan sampai berat) dan gejala infeksi saluran pernafasan yang berulang atau kronis
karena aspirasi. Dengan mengamati gejala klinis yang ada dapat pula diperkirakan lokasi
terjadinya gangguan misalnya menelan fase oral atau fase faringeal. Bila penyakit dasarnya
karena refluks gastroesofagus tampak bayi muntah tiap habis minum, sedangkan pada anak
57
Bab 3 Disfagia
mungkin memerlukan posisi tertentu waktu makan atau menunjukkan gejala kegelisahan
waktu makan.
3.8 Diagosis
Aloanamnesis
Pendekatan diagnosis anak dengan disfagia harus dimulai dengan menanyakan riwayat
makannya. Namun untuk mendapatkan riwayat makan yang akurat mungkin mendapat
kesulitan karena berbagai alasan. Pertama anak dengan gangguan menelan yang berat
sering disertai keterbatasan kemampuan kognitif, yang menyebabkan komunikasi langsung
dengan penderita tidak memungkinkan. Karena itu riwayat makan harus didapat langsung
dari orang yang terlibat dalam pengasuhan anak seperti orang tua atau pengasuh. Kedua,
berdasarkan pengalaman, anak dengan gangguan menelan sering menderita aspirasi tanpa
menimbulkan batuk, suatu fenomena yang dikenal dengan silent aspiration. Konsekuensinya
sukar memprediksi dengan akurat apakah bahan makanan ditelan semuanya tanpa adanya
aspirasi, semata-mata hanya berdasarkan riwayat makannya atau dengan pemeriksaan
klinis saja.
9
Riwayat makan anak harus mencakup secara keseluruhan termasuk
2 01 metode makan
yaitu makan menggunakan alat-alat tertentu, bagaimana posisi re t kepala, leher, dan badan
selama makan, volume dari makanan yang ditawarkan, volume 9 Ma dari makanan yang ditolerir/
yang ditelan, serta konsistensi dari makanan yang tro
asditawarkan dan yang ditolerir. Perlu
G
digali ada tidaknya proses mengunyah, waktuapyang at digunakan untuk makan, ada tidaknya
r
riwayat selain disfagia disertai odinofagia,
ntukada tidaknya air liur menetes secara berlebihan
u fase oral), riwayat adanya hambatan/sumbatan,
(yang diduga adanya gangguan menelan
a stro
tercekik, dan ada tidaknya suara G degukan atau batuk yang berhubungan dengan makan.
Apakah keluhan-keluhan Aini jarterjadi sebelum, selama atau setelah menelan, dapat membantu
menentukan fase dan ku yang dikenai. Keluhan-keluhan yang terjadi sebelum menelan
ulokasi
l e B
diduga kelainanFikontrol oral, namun bila terjadi selama/sewaktu menelan menunjukkan
disfungsi fase faringeal. Tersumbat/terhambat dan tercekik setelah menelan dengan lengkap
mungkin terdapat gangguan pembersihan faring akibat kelemahan otot-otot menelan dan/
atau tidak adanya koordinasi otot-otot atau gangguan dari sfingter esofagus atas. Makan
yang berlangsung lebih dari 30 menit harus disadari oleh para klinisi kemungkinan adanya
disfagia. Adanya kelemahan mengisap, hilangnya kemampuan makan peroral, kurangnya
mengunyah atau makanan disimpan di pipi (pocketing food) mungkin terdapat kelainan
pada tingkat oral. Kelainan pada fase faringeal sering menimbulkan gejala hambatan
(gagging), batuk, tercekik, dan distres pernafasan sewaktu makan. Makan disertai muntah
atau dengan melengkungkan badan, tercekik dan lekas marah (irritable) sering terjadi
karena kelainan fase esofageal seperti refluks esofagus. Di samping riwayat makan minum,
perlu ditanyakan pula penyakit-penyakit yang diderita sebelumnya, misalnya trauma
kepala, kelainan bawaan yang telah dikoreksi dengan operasi dan lain sebagainya.
Selain riwayat makan, yang sangat perlu ditanyakan adalah evaluasi nutrisinya secara
menyeluruh dari anak yang menderita gangguan menelan, karena tujuan akhir secara klinis
selain menegakkan diagnosis juga menentukan status nutrisi penderita sekarang. Tentukan
kalori dan protein yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan yang
58
Buku Ajar Gastrohepatologi
optimal, dan perencanaan mendapatkan rute atau cara pemberian makan sementara.
Konsultasi dengan dokter ahli gizi anak akan membantu perencanaan program nutrisinya
secara konperehensif.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi dan anak dengan disfagia harus mencakup secara keselurahan
sebagaimana pemeriksaan yang dilakukan secara rutin pada setiap bayi dan anak sakit.
Selain itu pemeriksaan harus mencakup struktur-struktur rongga mulut dan faring. Bila
didapat struktur yang abnormal dan/atau diduga ada kelainan di dalam faring, maka
perlu dilakukan konsultasi ke spesialis THT. Perlu dicatat ada tidaknya refleks sumbatan/
hambatan. Perlu diperhatikan apakah ada kelainan anatomi atau kelainan struktur rongga
mulut, misalnya akibat tekanan mekanik oleh tumor, serta adanya kelaianan struktur
organ-organ yang mempengaruhi proses menelan. Perlu diperiksa adanya kelainan karena
trauma fisik maupun trauma bahan kimia (caustic agent) atau tanda-tanda infeksi yang
menyebabkan gangguan menelan. Lakukan pemeriksaan status gizi, dan perhatikan ada
tidaknya komplikasi seperti malnutrisi atau gejala penyakit paru kronis.
9
Pemeriksaan percobaan makan 2 01
re t
Ma gangguan yang terjadi
Hasil diagnostik uji coba makan sangat besar artinya dalam 9menilai
ro
dan untuk perencanaan tatalaksana selanjutnya. Pengamatan
G ast uji coba makan harus bekerja
sama dengan spesialis terapi makan, spesialis terapiatbicara dan berbahasa (speech-language
pathologist) atau dengan occupational therapist. ap
rMelalui pengamatan selama uji coba makan
k
tufungsi motor-oral yang sesuai dengan umur.
dapat diketahui ada tidaknya kemampuan n
ou
Kemampuan makan/minum peroral a strini harus ditinjau secara rinci oleh masing-masing
G
jar Selama uji coba makan/minum peroral perlu dipantau
spesialis dari tim pelaksana terapi.
A
u
dan dicatat kemungkinan
Buk adanya gerakan-gerakan abnormal, seperti memasukkan atau
e
mendorong rahang, Filmendorong lidah, ada tidaknya refleks tonik menggigit, atau refleks
cengkeraman rahang. Adanya refleks yang seharusnya sudah menghilang sesuai umur,
seperti phasic bite reflex dan suckle feeding reflex yang merupakan refleks primitif, dapat
membantu perkiraan kelainan yang mendasarinya. Dengan memperhatikan gerakan-
gerakan rahang, gerakan mengunyah dan kemampuan gerakan-gerakan lidah, dapat dinilai
derajat berat ringannya gangguan dan perkiraan komplikasi yang mungkin terjadi akibat
disfagia.
Pada bayi, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama adanya keluhan disfagia waktu
mengisap puting susu ibu/dot susu botol. Tampak bayi menyusu tidak tahan lama, dan
puting sangat mudah dipindah-pindah atau dikeluarkan dari mulutnya. Sedikitnya
jumlah gelembung udara yang timbul di dalam botol susu selama minum susu botol atau
bertambahnya kehilangan cairan disekitar dot dan mulut, menggambarkan kelemahan
mengisap. Peningkatan jumlah menelan bolus pada berbagai macam tekstur makanan
disertai suara degukan setelah menelan menunjukkan adanya dugaan gangguan motilitas
faring. Batuk yang berlebihan selama minum, tercekik, nafas yang cepat, atau adanya
hambatan mungkin disebabkan disfagia daerah orofaring. Posisi kepala, leher dan badan
selama makan/minum peroral harus dicatat.
59
Bab 3 Disfagia
Pemeriksaan videofluoroskopi
Pemeriksaan videofluoroskopi merupakan pemeriksaan pilihan untuk mengevaluasi bayi
dan anak dengan ganguan menelan. Pemeriksaan ini memberikan arti yang terbaik dalam
menentukan anatomi mulut, faring dan esofagus serta dapat memberikan bukti yang sangat
objektif ada tidaknya koordinasi yang baik dari fase-fase menelan oral, faringeal, maupun
esofageal. Melaui pemeriksaan ini dapat dideteksi episode-episode terjadinya aspirasi
serta membantu identifikasi ada tidaknya kontraindikasi pemberian makan/minum
peroral. Pemeriksaan videofluoroskopi selain bernilai untuk diagnostik juga berperan
dalam merekomendasikan terapi karena dapat menentukan karakteristik bolus makanan
yang aman untuk ditelan (besar bolus dan konsistensinya). Selain itu melalui pemeriksaan
videofluoroskopi dapat diputuskan perlu tidaknya tindakan medis maupun tindakan bedah
dalam tatalaksana penderita.
Pemeriksaan videofluoroskopi harus dikerjakan bersama-sama oleh tim, terutama
terdiri dari spesialis radiologi, spesialis teknologi radiologi dan spesialis terapi bicara dan
berbahasa (speech-language pathologist). Kesimpulan hasil pemeriksaan videofluoroskopi
secara rinci biasanya dilaporkan kepada seluruh tim terapi. Sayangnya pemeriksaan ini
melibatkan ekspansi radiasi yang sangat banyak. Keluhan-keluhan dan gejala klinis yang
memerlukan pemeriksaan videofluoroskopi menelan dapat dilihat 0pada 19 Tabel 3.8.1.
2
aret
9 M menelan
Tabel 3.8.1. Keluhan-keluhan dan gejala klinis yang memerlukan pemeriksaan videofluoroskopi
o
r
Kategori Keluhan-keluhan/gejala ast
Gberlebihan,
a t
apmakan, kesadaran menurun, makan yang terlalu lama lebih dari
Sewaktu makan Batuk, sumbatan, air ludah menetes hambatan yang berlebihan, suara degukan
k r
yang keras, iritabel.Menolak
30 menit. u ntu
o
Keadan paru strmenderita pnemoni berulang, infeksi saluran pernafasan atas berulang, penyakit paru
Sering atau
a
G
jar
kronis, infiltrat pada pemeriksaan foto toraks.
Kesehatan umum dan saluran cerna u A Sering atau panas yang subfebril berulang, berat badan yang tidak naik, Berat badan yang
Buk semakin turun, Sering mual, refluks.
i l e
Neurologis F Gerakan mulut ang tidak terkoordinasi atau kelemahan, berkurang sensasi mulut.
Struktur Dugaan adanya fistel trakeoesofagus, paralisis/ paresis selaput suara
Sumber: Orenstein, 1993.
3.9 Terapi
Terapi gangguan menelan pada bayi dan anak memerlukan perencanaan yang tersendiri,
melihat kasus perkasus, karena dasar kelainan yang menyebabkan disfagia pada anak
60
Buku Ajar Gastrohepatologi
61
Bab 3 Disfagia
Tabel 3.9.1. Contoh terapi yang digunakan pada anak dengan gangguan fungsi menelan
1. Modifikasi bolus, modifikasi volume, modifikasi bagian-bagian bolus (misalnya konsistensi bolus)
2. Pengaturan posisi kepala, leher, badan selama kegiatan makan minum
3. Penempatan bolus yang sesui di dalam rongga mulut
4. Mengontrol stabilisasi rahang.
5. Memodifikasi sensitifitas mulut
6. Meniadakan kebiasaan-kebiasan perilaku makan yang abnormal
7. Sensitisasi/ stimulasi panas
8. Latihan-latihan menelan
Resistensi lidah / gerakan-gerakan lidah
Adduksi laring
9. Mengadakan gerakan-gerakan protektif seperti prosedur menelan supraglotik (supraglottic swallow procedure)
10. Miotomi krikofaringeal
11. Mengisap makanan menggunakan valved feeding bottle
12. Mengusahakan makan pengganti secara oral dengan cara enteral
Sonde lambung (nasogastric feeding)
Tabung gastrostomi (tube gastrostomy / surgical or endoscopic)
Sumber: Arvedson, 1993.
62
Buku Ajar Gastrohepatologi
makan minum melalui OG, NG, ND maupun NJ memerlukan waktu lama lebih dari 3–6
bulan. Keuntungan pemberian minum makan melalui GT adalah daerah yang mengalami
perlakuan terpisah jauh dari mulut sehingga bayi masih dapat berlatih menggunakan
sensasi dan motorik mulutnya secara menyenangkan.
63
Bab 3 Disfagia
3.10 Prognosis
Prognosis tergantung dari penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya disfagia. Berat
ringannya penyakit serta kemampuan serta pengalaman tim pelaksana terapi sangat
menentukan keberhasilan terapi.
3.11 Pencegahan
Belum ditemukan cara untuk mencegah terjadinya keluhan disfagia. Usaha pencegahan
ditujukan terhadap penyakit primernya yang menyebabkan gangguan neurologis yang
selanjutnya menyebabkan pula gangguan fungsi makan dan minum.
64
Buku Ajar Gastrohepatologi
Daftar Pustaka
1. Brodsky L, Arvedson J. Introduction: Rationale for Interdiciplinary Care. Dalam Adverson and
Brodsky, penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San
Diego, California, Whurr Publisher. 1993: 1-4.
2. Rogers B, Campbell J. Pediatric and Neurodevelopmental Evaluation. Dalam Avedson and
Brodsky, penyunting. ediatric Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego,
California, Whurr Publisher. 1993: 53-91.
3. Orenstein SR. Dysphagia and Vomitting. Dalam Wyllie R, Hyams JS. penyunting, Pediatric
Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management, Tokyo, W.B. Saunder
Company. 1993: 135-150.
4. Tuchman DN. Disorders of Deglutition. Dalam Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker
Smith JA, Watkins WA, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology,
Diagnosis, Management, Toronto, BC Decker Inc. 1991: 359-366.
5. Rossi T. Pediatric Gastroenterology. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric
Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whurr Publisher.
1993: 123-156.
6. Arvedson J, Rogers B, Brodsky L. Anatomy, Embryology and Physiology. Dalam : Arvedson
and Brodsky, penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San
Diego, California, Whurr Publisher. 1993: 5-51.
9
7. Brodsky L, Volk M. The Airway and Swallowing Problem. Dalam Adverson 01 and Brodsky,
t2
penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding. Assesment andreManagement, San Diego,
California, Whur Publisher. 1993: 93-122. M a
8. Arvedson J. Management of Swallowing Problem. Dalam t o9
rAdverson and Brodsky, penyunting.
a s
t G
Pediatric Swallowing and Feeding. Assesment andaManagement, San Diego, California, Whur
Publisher. 1993: 327-387. r ap
9. Young C. Nutrition. Dalam Adverson and ntukBrodsky, penyunting. Pediatric Swallowing and
ou
Feeding. Assesment and Management,
a str San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 157-208.
r G Dalam VanndNess MM, Gurnet MS, Jones DM, penyunting.
10. Dorsey III JT. Prokinetic Agents.
jaDrug
A
Handbook of gastrointestinal Therapy, 2 Ed, London, Little Brown and Company. 1995:
319-327. u ku
eB
11. Patel AR, Snape FilWJ. Prokinetic Agents and Antiemetics. Dalam Wolfe MM, penyunting.
Gastrointestinal Pharmacortherapy, Tokyo, W.B. Saunder Company. 1993: 1-24.
65
BAB
4
Anoreksia pada Anak
I. Sudigbia
4.2 Pendahuluan
Masalah kesehatan anak di negara berkembang termasuk Indonesia diantaranya terjadi
karena interaksi antara infeksi, diare dan gizi. Pada umumnya penyakit infeksi dan
diare merupakan penyakit anak yang selalu diikuti gangguan pertumbuhan, sehingga
keduanya selalu membuka peluang timbulnya malnutrisi. Penyakit infeksi pada umumnya
menyebabkan berkurangnya masukan nutrien baik karena muntah, mual dan turunnya
nafsu makan (anoreksia), sedangkan keluaran bertambah karena timbulnya demam dan
atau pemakaian tenaga karena batuk dan atau/sesak nafas yang menyebabkan meningkatnya
katabolisme, sehingga menyebabkan penurunan berat badan. Sedangkan pada diare
masukan bekurang karena: (1) turunnya nafsu makan yang disebabkan oleh karena
turunnya sekresi asam lambung, (2) mual karena peristaltik usus yang berlebihan, dan (3)
berkurangnya asupan makanan karena turunnya jumlah air susu ibu serta persepsi ibu yang
ketakutan untuk memberikan makanan kepada anaknya yang masih dalam keadaan diare.
Disamping itu jumlah keluaran pada penyakit diare masih meningkat dengan timbulnya
penghamburan gizi karena gangguan digesti dan absorbsi.
Melihat tinjauan diatas, hal tersebut merupakan kejadian yang dilematis karena kedua
penyakit tersebut berdampak pada peningkatan katabolisme, tetapi masukan makanan
malah turun karena muntah, mual dan turunnya nafsu makan. Turunnya nafsu makan pada
kejadian di atas merupakan masalah yang sangat kompleks karena sangat dipengaruhi oleh
interaksi antara kondisi penderita, makanan dan pengasuh yang memberikan makanan,
lebih-lebih pada bayi dan balita.
66
Buku Ajar Gastrohepatologi
4.3 Definisi
Untuk menegakkan definisi anoreksia pada dasarnya adalah sulit. Umumnya anoreksia
diartikan sebagai turunnya atau hilangnya nafsu makan serta tidak tertarik akan makanan
untuk menyantapnya. Istilah pseudoanoreksia sering dipergunakan pada manusia atau
binatang sebagai kesulitan makan karena tidak mampu untuk menguyah dan/atau menelan
daripada tidak tertarik untuk menyantapnya. Sementara para ahli berpendapat bahwa
anoreksia pada bayi adalah hilangnya kemauan untuk makan, jumlah masukan makanan
menjadi sangat kurang dan berada di bawah kecukupan gizi, sehingga disertai dengan
penurunan berat badan yang bermakna setidaknya-setidaknya dalam waktu satu bulan.
Sedangkan menurut Alice Lawrence (2003) gangguan makan pada bayi dan anak sering
diikuti gagal tumbuh sehingga anoreksia infantil merupakan gangguan berisiko tinggi.
Batasan anoreksia infantil yang diajukannya adalah:
• Penurunan berat badan yang nyata setidaknya dalam waktu satu bulan
• Tidak disebabkan gangguan gastrointestinal, obat ataupun kekurangan makanan
• Timbulnya sebelum umur 6 tahun
Margareth dkk (1998) mengatakan apatis atau nafsu makan merupakan komponen
sentral dalam kebijakan tentang jumlah dan waktu pemberian makanan9 bayi. Castunguay
1
e 20
(1990) mengatakan bahwa apatis ádalah perasaan sedikit lapar (mildthunger) dalam memilih
macam makanan. Lapar sering dihubungkan dengan konsep fisiologis, ar apatis dihubungkan
o 9 M apatis.
dengan kultur, sedangkan anoreksia diartikan dengan kehilangan
st r
Manusia merupakan makhluk biopsikososiokultural t Ga spiritual, sehingga latar belakang
a
anoreksia pada manusia sangat kompleks baik k rapsecara fisik sebagai penyakit infeksi dan
noninfeksi serta aspek psikoemosional ntu sosiobudaya sebagai hasil interaksi dengan
udan
ro
lingkungan. Pada anak dewasa timbulnyast perasaan obsesif untuk menjadi kurus dan
r Ga
kebiasaan membatasi jumlahA ja
makan untuk menurunkan berat badan menambah komplisitas
u
uk serta anoreksia nervosa dan jenis-jenis lain kesulitan makan
timbulnya anoreksia kronika
B
e
pada anak. Fil
4.4 Patomekanisme
Makanan mencerminkan interaksi biologis dan budaya yang berpengaruh positif pada
angka kesakitan dan kematian anak. Perubahan makanan cair ke makanan padat pada bayi
merupakan fase perkembangan bayi dalam perubahan kematangan sosial dan kultural,
bayi harus belajar mengunyah, menelan, dan mencerna berbagai makanan berdasar kultur
daerahnya. Sehingga gangguan pertumbuhan dan kekacauan kebiasaan makan sering
memberikan dampak yang serius. Lapar ádalah rasa keinginan (intrinsic desire) untuk
makan, apatis adalah keinginan untuk makan sesuatu macam makanan tertentu, sedangkan
kepuasan (satiety) atau kenyang ádalah rasa penuh atau terpenuhinya keinginan makan.
Apabila beberapa jam tidak makan, lambung yang sedang dalam kondisi kosong akan
mengalami kontraksi ritmik dan keras yang terasa kencang serta sakit perut, disebut “suara
lapar” atau “kerongcongan” atau hunger pangs.
Apatis sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran, anak akan mau
menerima makanan yang biasa diberikan kepadanya, tetapi kadang-kadang akan menolak
67
Bab 4 Anoreksia pada Anak
bila makanan yang diberikan tidak seperti biasanya, karena terjadi penggantian macam,
bentuk, tekstur, atau cita rasa makanan secara mendadak. Kondisi perut yang penuh,
misalnya dalam 12 jam terakhir berkali-kali makan akan menurunkan apatis. Kadar gula
dan asam amino darah serta suhu badan akan berpengaruh pada perasaan lapar, kepuasan,
dan apatis. Sedangkan perasaan lapar yang berkepanjangan akan menimbulkan kondisi
apatis terhadap apatis.
Timbulnya anoreksia pada umumnya sangat berhubungan dengan faktor-faktor
biopsikososiokultural spiritual. Faktor penyakit sistemik biologis baik sebagai infeksi,
noninfeksi dan penyakit keganasan sebagai faktor yang sering melandasi timbulnya
anoreksia. Tetapi faktor psikoemosional dan budaya yang berinteraksi dengan lingkungan
sangatlah berpengaruh pula.
Nafsu makan pada umumnya dikontrol oleh pusat kepuasan yang terletak di
hipotalamus medius dan pusat lapar di hipotalamus laterales. Hipotalamus juga
mengontrol pusat di bawahnya, terletak di batang otak yang bertanggung jawab untuk
salivasi, pengunyahan dan penelanan. Sedangkan pusat di atas hipotalamus bertanggung
jawab terhadap apatis. Mekanisme untuk menentukan macam makanan dituntun oleh
memori, penglihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan. Sementara itu para ahli juga
berpendapat bahwa pusat nafsu makan juga dipengaruhi oleh gabungan faktor-faktor
19
neurologis, metabolik, humoral, baik dalam jaringan otak maupun20jaringan lainnya. Faktor
neurologis nafsu makan dan perasaan lapar juga timbul karena re t pengaruh faktor gaster,
Ma
distensi usus, hormon enterik (insulin dan kolesistokinin), 9 metabolit di hepar (sisa oksidasi
tro
energi dari sejumlah jaringan adiposa), pengalamanascitarasa, dan tekstur makanan.
G
Nikai (1999) mengutarakan bahwa anoreksia p at dengan penurunan berat badan yang
r a
sering menyertai kejadian infeksi mempunyai
n tuk mekanisme yang belum jelas. Beberapa
o u dan IFN-∂ telah terbukti mempengaruhi timbulnya
sitokin termasuk TNF, IL-1, IL-6, tIL-8
r
as
anoreksia dan kakeksia. Sitokin
j ar G yang dilepaskan sebagai rekasi terhadap kejadian infeksi/
inflamasi akan berpengaruh A secara langsung pada otak sehingga menimbulkan anoreksia.
u ku
B
Beberapa hormonemempengaruhi pengaturan nafsu makan, diantarnya adalah corticotropin
Fil kolesistokinin, prostaglandin, glukagon, insulin dan kortikosteroid.
releasing hormone,
Leptin (produk gen) yang terjadi pada proses penumpukan lemak pada jaringan akan
memberikan sinyal pada otak melalui neurotransmiter pada hipotalamus akan terjadinya
kecukupan masukan kalori sebagai rasa kepuasan.
68
Buku Ajar Gastrohepatologi
gangguan makan pada anak sering dianggap sinonim, dan menurut Benoit (1993) tidak
selamanya kelainan makan pada anak menyebabkan FTT atau sebaliknya FTT karena
kelainan makan. Menurut Goldbloom (1987), FTT hanya merupakan diagnosis morfologis
dan tidak mendeskripsikan tentang proses terjadinya. Bithoney (1992) melengkapi dignosis
gangguan makan pada anak dengan proses kejadiannya: (1) organic FTT (FTT) dan (2)
nonorganic FTT (NOFTT), dimana NOFTT adalah gagal tumbuh tanpa etiologi medik, dan
diperkirakan bahwa NOFTT tersebut disebabkan oleh maternal deprivation (kehilangan
perhatian ibu).
Blackman (1993) mengetengahkan mekanisme timbulnya gangguan makan pada bayi
dapat disebabkan karena adanya faktor-faktor: (1) ketakutan, (2) anoreksia, (3) perkembangan,
(4) obstruksi, dan (5) kesakitan.
Alice Lawrence (2003) membagi mekanisme gangguan makan berdasarkan
penemuan Chatoor (1984) sebagai gangguan makan pada bayi dan anak (toodler) yang
mengalami kenaikan berat badan tidak adekuat selama satu bulan serta bukan
disebabkan kelainan organik dan timbul sebelum umur 6 tahun. Pembagian tersebut
adalah: (1) gangguan makan homeostasis (feeding disoder of homeostasis), (2) gangguan
makan karena kasih sayang (feeding disorder of attachment) dan (3) gangguan makan
karena perpisahan (feeding disorder of separation) atau anoreksia9 infantil (infantil
01
anorexia). Ketiga macam gangguan makan tersebut dipilah dengan
re t 2 pendekatan tinjauan
terhadap interaksi anak dan ibu.
9 Ma
stro
Gangguan makan homeostasis a G
p at
a
• Timbulnya pada waktu lahir sampai berumur k r 3 bulan
tuteratur
• Masukan sedikit dan pola makan tidak u n
• Waktu makan bayi rewel, mudah ro dan mengantuk
stcapai
G a
• Gagal tumbuh
Ajar
• u
Orang tua ketakutan,
Bukdepresif serta kurang peka terhadap isyarat bayi.
e
Fil
Gangguan makan karena kasih sayang
• Timbulnya antara umur 2 – 8 bulan
• Respons bayi terlambat, kontak mata, senyum, dan lambat mengoceh
• Perkembangan motorik dan kognitif terlambat
• Gagal tumbuh
• Orang tua biasanya menderita depresi, ganguan kepribadian dan psikososial stres
sehingga dalam perawatan makan anak terganggu dan tampak kurang kasih sayang.
Anoreksia infantil
Anoreksia infantil sebagai gangguan makan karena pemisahan atau separasi yang ditandai
dengan penolakan makan oleh bayi karena konflik berat antara hubungan ibu dengan anak
tentang otonomi, ketergantungan dan pengawasan. Keadaan tersebut muncul setelah anak
mampu mengatur dirinya dan membentuk ikatan dengan pengasuh utamanya.
• Timbulnya pada umur 6 bulan – 3 tahun, pada periode perubahan ke tahap
kemampuan untuk makan sendiri
69
Bab 4 Anoreksia pada Anak
• Penolakan makan oleh bayi, baik karena pergantian macam makanan atau
pergantian pengasuh
• Gagal tumbuh
• Perkembangan pada umumnya normal, kecuali pada kasus malnutrisi berat terjadi
keterlambatan motorik dan bicara
• Ibu merasa bahwa nafsu makan (apatis) anaknya rendah, rewel dan selalu minta
perhatian serta selalu menolak keinginan ibu. Sedangkan ibu selalu memaksa anaknya
untuk makan walaupun dengan disertai memberikan mainan. Penolakan makan
tadi tidak disebabkan oleh traumatik fisik ataupun kelainan organik, tetapi hubungan
ibu dan anak cenderung kurang lentur karena ibu selalu memaksakan kehendaknya
yang disertai marah dan kurang mengikuti keinginan anak. Nampaknya anak dengan
anoreksia infantil mengalami kesulitan dalam perkembangan pada tahap periode
perpisahan dan otonomi sehingga kemudian akan tumbuh dengan temperamen yang
mungkin menyulitkan.
Anoreksia nervosa
Anoreksia nervosa adalah kelainan makan yang ditandai dengan keinginan obsesif untuk
tetap kurus, sama sekali tidak menghiraukan kebiasaan makan dan penurunan 9 berat badan
2 01
dan mempunyai dampak yang kuat terhadap perubahan psikologis t dan fisiologis. Anoreksia
Mare
nervosa adalah penyakit yang akan mempengaruhi seluruh 9 sistem organ, terutama
kardiovaskular dan sistem endokrin. Anoreksia nervosa stro sering diikuti oleh komplikasi
Ga
organ diantaranya adalah pencernaan, ginjal, p at reproduksi, neurologis, orofasial. Pada
umumnya banyak diderita oleh gadis, sex ra laki-laki : perempuan adalah 1:10, umur
k ratio
ntu
tro u (adolescent). Riwayat penyakit sangatlah penting
tidak terbatas yang dimulai sejak dewasa
as
untuk keberhasilan rencana pengobatan dan bukan untuk menelaah kelainan makan saja.
Aspek-aspek penting adalah j arG
assesemen medik, yang berfokus pada komplikasi kekurangan
u A
u k
nutrisi dan detail mengenai penurunan berat badan.
e B
Fil
Gejala klinis :
• Gejala vital: hipotensi, bradikardi, hipotermia
• Kulit kering, hiperkarotin, lanugo, akrosianosis
• Buah dada menyusut
• Kelenjar paratiroid dan kelenjar submandibular membengkak
• Keluaran kardiak (komplek QT) memanjang, masa ventrikularberkurang, katup mitral
kolaps (echo)
• Gejala dilatasi usus sebagai kostipasi dan berkurangnya motilitas usus
Gejala kesehatan mental: Inti dalam penyusunan diagnosis kesehatan mental adalah
mengorek adanya kelaianan emosional dan sikap, penilaian resiko terjadinya bunuh diri,
serta menggali konteks psikososial dari gejala-gejala.
Penyebab anoreksia nervosa adalah kompleks, meliputi isu biologis, psikologis dan
sosial, dan lebih ke arah kelainan mental daripada kelainan perkembangan. Sehingga dalam
menelaah penyebabnya dapat dikelompokan dalam faktor-faktor predisposing, precipitating
dan perpetuating.
70
Buku Ajar Gastrohepatologi
a. Predisposing factor (faktor yang memudahkan timbulnya): gadis, risalah dari keluarga
dengan personalitas perspektif, gangguan komunikasi dengan emosi negatif, kesulitan
memecahkan masalah dan empati yang rendah.
b. Precipitating factor (faktor yang sering berhubungan): gadis berumur 10 – 18 tahun
dengan gangguan seksualitas, konflik identitas, masalah otonomi kebebasan dan
masalah perjodohan dan perkawinan.
c. Perpetuating factor ( faktor rumatan): isu emosio-biologis pada fase pemberian makanan
pada keadaan malnutrisi atau isu psikologis pendekatan sistem dalam keluarga.
71
Bab 4 Anoreksia pada Anak
4.7 Ringkasan
Anoreksia pada umumnya diartikan sebagai berkurangnya nafsu makan (apatis), dan
nafsu makan tersebut sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran yang
dikontrol oleh pusat lapar di hipotalamus lateralis dan pusat kepuasan di hipotalamus
medialis. Pusat di hipotalamus tadi mengontrol pusat di atasnya yang bertanggung jawab
terhadap pusat salivasi, pengunyahan, dan penelanan. Disamping itu nafsu makan juga
dipengaruhi oleh gabungan faktor-faktor neurologis, metabolik, dan hormonal, diantaranya
adalah sitokin, termasuk THF, IL-1, IL-6, IL-8 dan INF-∂. Nafsu makan yang berkurang atau
anoreksia sangat dipengaruhi oleh sifat manusia sebagai mahkluk biopsikososiokultural
spiritual, sehingga untuk menegakkan diagnosis serta penatalaksanaannya selayaknya
melalui pendekatan tersebut. Secara praktis telaah anoreksia dilakukan melalui pendekatan
gangguan makan sebagai:
1. Kelainan organik: penyakit infeksi dan non infeksi
2. Kelainan nonorganik sebagai metabolik, keganasan, dan gangguan psikoemosional
sebagai hasil interaksi antara anak dengan orang tua atau pengasuh. Faktor tersebut
akan berpengaruh pada perkembangan anak, baik pada periode penyapihan maupun
remaja.
9
Penatalaksanaan anoreksia secara umum harus sangat terkait 2 01dengan analisis faktor
re t
tersebut diatas, diperdalam dengan pemeriksaan yang detil
9 Masehingga dapat memberikan
o
tindakan yang menyeluruh. str a
G
p at
r a
Daftar Pustaka ntu
k
u
1. ro
Abraham, S., Jones, D.L. Eating Disorders, The Facts. 47-57. Oxford University Press. 1992.
2. Blackman. Children Who RefuseG ast Food. Comtamporary Pediatric Archive. October. 1993.
3. jar failure to thrive: A developmental Perspective Pediatric Annals.
Chatoor, I. et al . Non–organic
A
1984: 13: 829-834.uku
eB
4. Fil Anorexia., www.vetmedcenter.com., 2000.
Harrington D.P.
5. Kerwin, M. L. E. Empirically Supported Treatment in Pediatric Psychology. Journal of Pediatric
Psychology. 1999; 24(3): 193-214.
6. Kleinman, R. E. Pediatric Nutrition Handbook. Amer. Acad of Ped. 1998: 328-329.
7. Lawrence,A. Feeding Disorders of Infant and Toodlers in The Child Advocate. Penn State
College of Medicine. 2004.
8. Limburt, J. D. A. et al.Eating Disorders : Anorexia. www.eMedicine-Eating Disorders.com. 2003.
9. Maloney, M.J. et al. Treament Sequence for Severe Weight loss in anorexia nervosa; Int. Journal
of Eating Disorders. 1983; 2(2): 53 – 58.
10. Nakai, Y et al Plasma Concentrations of Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-alpha) and Soluble
TNF Receptors in Patients with Anorexia Nervosa J.Clin Endocrinol Meta. 1999; 84(4): 1226-
1228.
11. Robin, A. L. et al . Treatment of Eating Disorders in Children and Adolescents., Clinical
Psychology Review. 1998; 18(4): 421-446.
12. Stoppler, Melissa Conrad. Anorexia Nervosa. www.Medicinet.com. August 2, 2009.
72
BAB
5
Gagal Tumbuh pada Penyakit
Gastrointestinal
Rusdi Ismail
5.2 Pendahuluan
Tumbuh kembang merupakan proses penumbuhan (dimensi fisik) dan pengembangan
(dimensi fungsi) potensi genetik menjadi potensi dewasa. Ada tiga kelompok faktor
penentu keberhasilan: (1) kecukupan dan keselarasan pasokan nutrien, sebagai bahan baku
dan bahan bakar, (2) stimulasi dan interaksi fisik dan psikososial sebagai pemicu dan
pemacu spektrum dan arah tumbuh kembang, (3) penyakit yang dapat menganggu dan
merusak struktur dan fungsi, baik secara temporer maupun permanen. Gangguan pada
kedua faktor penentu pertama dan dampak buruk faktor penentu ketiga dapat memperlambat
atau menghambat proses tumbuh kembang. Jika intensitasnya telah mencapai kriteria
tertentu, dinamakan anak menderita gagal tumbuh (GT). Pengaruh ketiga faktor ini
73
Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal
5.3 Definisi
GT adalah terhenti atau melambatnya pertumbuhan dan perkembangan secara signifikan.
Ada tiga pengertian dalam bahasa Inggris yang bermanfaat untuk dipahami terkait dengan
GT (failure to thrive): (1) wasting (diterjemahkan menjadi “kerempeng”) mengacu pada
keadaan sewaktu, (2) stunting (diterjemahkan menjadi “kerdil”) mengacu pada hasil akhir,
(3) catching up (diterjemahkan menjadi “kejar tumbuh”) mengacu pada pencapaian upaya
rehabilitasi. Kaitan ketiga pengertian ini tercermin dalam keadaan berikut: saat GT terjadi
9
anak dapat terlihat “kerempeng”. Meski kecepatan tumbuh kembang
2 01 dapat dipacu kembali
menjadi normal, jika “kejar tumbuh” tidak terjadi, anak akan t
re tumbuh menjadi manusia
dewasa yang potensinya lebih rendah dari potensi genetiknya 9 Ma dan dalam keadaan ekstrim
ro
dapat dikelompokkan sebagai “kerdil”.
G ast
at tumbuh kembang yang dipakai berada
ap
Batasan operasional GT adalah nilai indikator
r
k
dalam persentil ketiga atau menurun lebih
u ntu dari satu kuartil berturut-turut selama dua bulan
o
pada anak usia kurang dari 6 bulanstrdan tiga bulan pada anak berusia 6 bulan keatas.
a
G
Ajar
u
5.4 Kejadian Buk
i l e
F
Data kejadian GT, khususnya di Indonesia, sangat terbatas. Kompilasi data yang dilakukan
tim WHO menunjukkan bahwa di negara berkembang sekitar 10-80% anak usia 3 tahun
dapat dikategorikan kerdil, sedangkan di negara maju hanya di bawah 3% (Tabel 5.4.1).
Sebagian besar anak yang kerdil ini nantinya setelah dewasa tidak kelihatan sakit.
Ada yang memakai istilah small but healthy. Beberapa studi memperlihatkan disamping
lebih pendek, anak yang kerdil kemampuan fisiknya lebih rendah, IQ rata-ratanya lebih
rendah, serta kemampuan imunitasnya terbatas. Kinerja mereka juga lebih rendah. Angka
kematian mereka jauh lebih tinggi. Jelas bahwa pencapaian potensi dewasa mereka tidak
sesuai dengan potensi genetiknya. Satyanarayana dari India menyimpulkan telah terjadi
suatu adaptasi biologis sehingga mereka tetap kelihatan sehat tetapi semuanya bergerak
dalam skala yang lebih rendah.
Data pada tabel 5.4.1 menunjukkan 79% anak Indonesia pada usia 3 tahun pada tahun
1977 dikategorikan kerdil. Prosentase ini mungkin terlalu tinggi, antara lain karena standar
yang dipakai berdasar data NCHS, yang mungkin terlalu tinggi untuk anak Indonesia.
Bagaimanapun kita yakin permasalahan yang dihadapi dunia berkembang sebagaimana
diuraikan di atas kita temukan pula di Indonesia. Data dari beberapa negara (Gambar 5.4.1)
74
Buku Ajar Gastrohepatologi
Gambar 5.4.1. Tinggi rata-rata anak usia 7 tahun golongan sosial ekonomi tinggi(2) dan rendah(-->)
menunjukkan terdapatnya perbedaan tinggi sekitar 10 cm pada anak usia 7 tahun antara
anak dari keluarga mampu dan keluarga miskin. Pada awal milenium ketiga ini sekitar 20%
penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
75
Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal
5.5 Etiologi
GT hanyalah kumpulan gejala. Spektrum penyebabnya sangat luas dan saling berinteraksi.
Lazimnya dikelompokkan menjadi dua, kelompok non-organik dan kelompok organik.
Kelompok non-organik umumnya muncul berupa penyimpangan pola asuh dan/atau
interaksi ibu dan anak yang bermuara pada kurangnya pasokan gizi dan penyimpangan
stimulasi fisik dan psikososial.
Berbagai kelainan pada semua organ dan sistem dapat menimbulkan GT (kelompok
penyebab organik), termasuk kelainan gastrointestinal. Untuk membantu sistematika
pendekatan diagnostik, kelainan gastrointestinal dapat dipilah mejadi:
• Kelainan organik atau fungsional yang mengganggu fungsi motorik saluran pencernaan,
yang mengakibatkan gangguan pasase makanan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua
tingkatan saluran pencernaan, mulai dari palato-gnato skhisis, striktura esofagus,
khalasia/akhalasia, refluks, pseudoobstruksi, penyakit Hirschsproeng, termasuk
sindroma usus iritabel dan lain sebagainya.
• Kelainan organik/fungsional yang menimbulkan ganguan fungsi sekresi dan digesti.
Lazimnya berupa kelainan kongenital atau berupa gangguan metabolisme bawaan
9
lahir. Misalnya akhlorhidria, gangguan glikosilasi kongenital, hipobetalipoproteinemia
2 01
kongenital, dan lain sebagainya. re t
Ma
• Inflamasi non-infektif dan infeksi spesifik saluran 9pencernaan. Termasuk penyakit
ro
st
Crohn, penyakit inflamasi kolon, serta infeksi Helicobacter pylori.
• Lingkaran setan kompleks diare-MEP(malnutrisi t Ga energi protein)-infeksi.
a
Di negara maju sebagian besar GT k rap
disebabkan kelainan non-organik. Di negara
berkembang sebagain besar GT disebabkanu ntu oleh kompleks diare-MEP-infeksi. Jauh lebih
ro
tingginya kejadian GT/kerdilGdi ast negara berkembang, disamping disebabkan besarnya
A jar
peranan kompleks diare-MEP-infeksi, juga disebabkan terlambat dan kurang adekuatnya
u
penanggulangan penyakit ku organik, misalnya terlambatnya tindakan koreksi pada kelainan
B
jantung bawaanFile
5.6 Patogenesis
Baik pada kelainan non-organik maupun pada kelainan organik, kurangnya pasokan gizi
dibandingkan dengan kebutuhan merupakan mekanisme utama munculnya GT.
Terdapat interaksi timbal balik antara hubungan ibu dan anak. Ibu harus reseptif
dan responsif terhadap berbagai bentuk komunikasi anak (tawa, tangis, mimik, celotehan,
dsb), termasuk ungkapan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis anak yang mencakup
kebutuhan akan makanan, tidur, lingkungan yang higienis dan hangat, proteksi terhadap
rasa sakit, trauma dan penyakit. Ibu juga harus reseptif dan responsif dalam berinteraksi
secara psikis dan emosional dengan anak agar anak senang dan puas. Kegagalan interaksi
ini dapat dalam bentuk kuantitas, sehingga kebutuhan fisiologis dan atau psikologis anak
tidak terpenuhi. Dalam kondisi yang ekstrim dinamakan terjadi deprivasi pada anak.
Tetapi kegagalan juga dapat terjadi pada ketidakserasian pola kepribadian/perilaku anak
dengan perilaku/ekspektasi ibu. Kegagalan interaksi ini dapat menimbulkan anoreksia,
76
Buku Ajar Gastrohepatologi
rasa tidak aman, ansietas, depresi, menarik diri dan lain sebagainya pada anak. Gangguan
proses interaksi dan pola asuh ini dapat menimbulkan berkurangnya pasokan nutrien serta
gangguan pola stimulasi yang dapat bermuara pada GT.
Kelainan atau penyakit dapat menimbulkan kurangnya makanan yang disediakan,
anoreksia, gangguan digesti dan absorpsi, kehilangan nutrien serta meningkatnya
kebutuhan. Lebih dari itu defisit dan gangguan stimulasi, baik fisik maupun psikososial
tidak hanya berpengaruh pada pola perkembangan fungsi tetapi juga dapat menghambat
pertumbuhan fisik.
Pada kelainan organik tertentu, meskipun pasokan gizi dan stimulasi cukup, GT dapat
muncul. Misalnya akibat defisiensi enzim atau kelainan hormonal. Kelainan enzim atau
hormon ini tetap mempunyai dimensi gizi, karena patogenesisnya mencakup gangguan
pendayagunaan nutrien tertentu.
Penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan: (1) gangguan fungsi motorik, baik
berupa obsruksi, gangguan propulsi, maupun menurunnya kapasitas tampung, dan (2)
gangguan digesti dan absorpsi; yang akhirnya bermuara pada berkurangnya absorpsi
nutrien.
Patogenesis kompleks diare-MEP-infeksi tercermin dalam konsep yang dikembangkan
9 usus dianggap
kelompok kerja Lebenthal (Gambar 5.6.1), dimana kerusakan/atrofi mukosa
2 01
merupakan titik sentral dari lingkaran setan keadan patologis yang t
re ditimbulkan diare yang
mencakup malabsorpsi, gangguan hormonal, infeksi berulang, 9 Ma tumbuh ganda, absorpsi
ro
G ast
protein asing yang menimbulkan reaksi alergi, dan gangguan regenerasi vili. Semuanya
dapat bermuara pada semakin beratnya MEP. Jika p atberlanjut dapat berakhir dalam bentuk
ra
GT. tuk n
u
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Infeksi dan Malnutrisi energi
tumbuh ganda protein
Kerusakan muko-
sa usus berlanjut
Gangguan
regenerasi vili hormon enterik
Absorpsi protein
asing
77
Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal
78
Buku Ajar Gastrohepatologi
25 dan sentil 3. Anak dengan kurva pertumbuhan berdasarkan berat untuk tinggi, berada
di bawah sentil 3 atau mean - 2SD, atau kurva pertumbuhannya turun melewati dua garis
baku kurva pertumbuhan berturut-turut selama dua bulan pada anak berusia kurang
dari 6 bulan, atau berturut-turut 3 bulan pada anak usia 6 bulan atau lebih dianggap telah
menderita GT.
Berdasarkan kriteria di atas diagnosis GT membutuhkan pengamatan longitudinal.
Tetapi secara klinis kita dapat menegakkan diagnosis GT berdasarkan riwayat sehingga
berdasarkan pengamatan retrospektif dapat diperkirakan telah terjadi hambatan
pertumbuhan yang telah berlangsung lama, sehingga dapat diperkirakan telah memenuhi
kriteria diagnostik di atas.
Indikator tinggi untuk umur dan berat untuk umur tetap bermanfaat untuk
dianalisis untuk lebih memahami proses gangguan pertumbuhan yang terjadi serta faktor
penyebabnya. Pemahaman akan lebih rinci jika dibantu dengan pengukuran lingkar kepala,
tebal lemak subkutan, serta proporsi bagian tubuh.
Indikator perkembangan fungsi, meskipun tidak dipakai untuk menegakkan diagnosis
GT karena lebih bersifat kualitatif tetap harus dinilai, misalnya dengan memakai standar
DDST. Keberhasilan penanggulangan dinilai tidak hanya melalui perbaikan indikator
antropometrik, tetapi juga melalui indikator fungsi. 9
2 01
Kondisi klinis anak sangat tergantung pada faktor penyebab t
re dan penyakit penyerta
yang harus dielaborasi gejalanya dan ditegakkan permasalahan 9 Mayang ditimbulkannya. Kita
ro
harus mengelaborasi sampai di mana telah terjadi gangguan
G ast fungsi vital serta muncul
keadaan yang membahayakan kehidupan seperti t
ahipoglikema atau hipotermia sehingga
rap
langkah resusitasi dan stabilisasi dapat segeratu k
dilakukan. Nafsu makan, kemampuan makan
dan kemampuan pencernaan anak harus u ndinilai sehingga langkah rehabilitasi gizi dapat
a stro
dimulai. Kedaruratan serta gangguan G makan ini umumnya terkait dengan kompleks diare-
MEP-infeksi. Bagi kita di negara
Ajarberkembang penting untuk mengelaborasi sampai di mana
u
uk telah berkembang, termasuk sampai di mana manifestasi
kompleks diare-MEP-infeksi
B
e
Fil menjadi masalah. Lebih lanjut perlu ditelusuri penyakit penyerta
defisiensi mikronutrien
yang masih aktif serta permasalahan klinis yang ditimbulkannya.
Kemungkinan gangguan pola asuh dan interaksi ibu dan anak sebagai penyebab GT
dapat diduga melalui perilaku anak; kita dapat berhadapan dengan anak yang gelisah,
iritabel dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan diam. Berdasarkan pengalaman di
negara maju, deskripsi dan kepastian terjadinya deprivasi, pengacuhan dan penyimpangan
pola asuh anak, sulit untuk dielaborasi dan ditegakkan diagnosisnya melalui wawancara/
pengamatan di tempat praktik dokter anak. Peranan faktor ini dapat dibuktikan secara
eks-juvantibus dengan merawat anak di rumah sakit, dalam arti kata mengalihkan
pengasuhan anak dari ibu ke petugas kesehatan. Melalui langkah rehabilitasi gizi intensif
disertai dengan asuhan yang atentif dan hangat, biasanya pemulihan dengan cepat terjadi.
Diagnosis penyimpangan perilaku ibu lazimnya membutuhkan penilaian psikologis oleh
ahlinya.
Faktor penyebab organik non-gastrointestinal ada yang dengan mudah diidentifikasi
misalnya kelainan jantung bawaan, tetapi ada juga yang membutuhkan kejelian karena
jarang ditemukan serta membutuhkan pemeriksan yang lebih rumit misalnya kelaian
endokrin atau penyakit metabolik.
79
Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal
5.9 Terapi
Spektrum terapi GT sangat bervariasi sesuai perbedaan penyebab, keberadaan penyakit
penyerta, spektrum keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung,
derajat MEP, serta gannguan pola asuh dan interaksi ibu-anak. Tetapi secara umum
rehabilitasi gizi merupakan langkah awal terapi yang dapat dijadikan pintu masuk untuk
melaksanakan penaggulangan secara menyeluruh.
Pola penanggulangan MEP yang dikembangkan Bagian IKA FKUI dapat dijadikan
sebagai acuan perencanaan rehabilitasi gizi, melalui pendekatan 4 tahap:9 fase penyelamatan,
2 01
fase penyesuaian, fase pemulihan dan fase pembinaan. re t
Pada fase penyelamatan dilaksanakan resusitasi 9dan Ma stabilisasi gangguan fungsi
tro
vital misalnya mengatasi syok/dehidrasi berat sertaasmenanggulangi komplikasi misalnya
t G
hipotermia atau hipoglikemia. a
rap
Pada fase penyesuaian, melaluitukpemberian makanan bertahap jumlah dan
n anak untuk makan dalam jumlah dan volume
komposisinya, kita membiasakan kembali
trou
yang besar serta memilih makanan as secara selektif sesuai denngan kapasitas pencernaan
anak. Pada fase penyesuaian j ar Gkita juga harus memulai penanganan terfokus terhadap
A
defisiensi mikronutrien
u ku serta mengobati penyakit penyerta. Terapi kausal juga dapat
eB
Fil menunggu sampai keadaan umum anak lebih baik yaitu pada fase
dimulai atau dapat
berikutnya. Penyakit penyerta dan penyakit yang mendasari GT tentu harus ditanggulangi
sesuai dengan standar yang berlaku.
Pada fase pemulihan kita memberikan makanan berimbang dengan prosentase kalori
120% - 200% dari perhitungan kebutuhan berdasarkan berat badan. Sasaran kita adalah
mengupayakan kejar tumbuh maksimal. Langkah penyelamatan dan penyesuaian lazimnya
dilakukan di rumah sakit. Fase pemulihan dan pembinaan dilakukan melalui rawat jalan.
Kita harus memberikan nasihat gizi yang operasional, yang secara wajar diperkirakan
dapat dilaksanakan ibu di rumah. Misalnya bagi keluarga mampu kita dapat menganjurkan
pemakaian formula nutrisi lengkap dengan kalori 1 kkal/ml. Sebagai alternatif bagi yang
kurang mampu kita dapat menerapkan konsep “multi-mixed” dari Cameron, di mana
berdasarkan ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan lokal, ibu diajarkan untuk
menyusun menu berdasarkan kombinasi bahan yang ada, berdasarkan pengayaan bahan
pokok (beras) dengan pilihan cerdik sumber protein lokal disertai pemanfaatan minyak
untuk meningkatkan kalori.
Pada fase pembinaan dilaksanaan langkah promotif dan preventif agar GT tidak
muncul kembali. Telah dibuktikan, peningkatatn stimulasi fisik dan psiko sosial akan
meningkatkan keberhasilan upaya promotif secara keseluruhan.
80
Buku Ajar Gastrohepatologi
5.10 Prognosis
Perkembangan longitudinal indikator antropometrik seorang anak dinyatakan dalam
persentil terhadap nilai standar, lazimnya berada pada track tertentu. Anak yang menderita
GT track pertumbuhannya akan menurun. Meskipun GT berhasil ditanggulangi, jika GT
berlangsung lama atau berat, track pertumbuhan anak dapat menetap pada jalur yang lebih
rendah. Penurunan permanen track ini hanya terjadi pada GT usia muda, di bawah usia
5 tahun. Untuk itu kita kita harus memberikan perhatian khusus agar GT pada usia muda
ini dapat dicegah atau ditanggulangi sedini dan seadekuat mungkin. Jika track menetap
pada jalur di bawah 3 persentil (mean-2SD) anak akan menjadi dewasa sebagai orang
kerdil. Secara umum dapat dikatakan, jika terjadi penurunan track pertumbuhan secara
permanen, berarti proses penumbuh-kembangan potensi genetik menjadi potensi dewasa
kurang berhasil.
Sepenuhnya disadari, penurunan track pertumbuhan, akan disertai 9 penurunan
2 01
optimasi perkembangan, baik fisiologis maupun psikososial. Penurunan t kedua dimensi
Mare
tumbuh kembang ini akan menurunkan pula kesempatan9 anak nantinya untuk hidup
ro
secara produktif dan kompetitif setelah dewasa.
G ast
Telah diketahui pertumbuhan dan perkembangan at normal suatu organ dan sistemnya
r ap
yang terkait tidak berlangsung secara linier. kTerdapat waktu puncak (sesuai umur anak)
u ntu
tingkat pertumbuhan dan perkembangan ro yang berbeda untuk berbagai organ dan system
ast organ atau sistem organ sedang berada pada puncak
organ. GT yang terjadi pada saat suatu
G
pertumbuhan dan perkembangan Ajar akan menimbulkan gangguan dan defisit yang lebih
u
menonjol pada organ B uk sistem organ tersebut. Sehungga sesuai dengan waktu puncak
atau
e
il GT yang lazimnya muncul pada usia bayi akan sangat berpengaruh
tumbuh kembang F otak,
terhadap tumbuh kembang otak serta potensi intelektual anak nantinya setelah dewasa.2,10,11
Keberhasilan kejar tumbuh disamping ditentukan oleh kedinian dan intensitas
penggulngan GT, tentu juga ditentukan sampai di mana faktor penyebab dapat di
sembuhkan.
GT yang datang dengan kelainan fungsi vital apalagi kalau disertai gangguan
pencernaan yang berat dengan angka kematian kasus yang cukup tinggi, pada masa
dahulu dapat mencapai 30% - 50%. Tetapi dengan acuan penanganan MEP berat yang
dikembangkan WHO yang juga telah diadopsi di Indonesia, dimana melalui pemahaman
tentang gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan sistem kardivaskuler, serta berbagai
dimensi defisiensi nutrien, telah disusun langkah stabilisasi dan pemulihan yang sesuai
sehingga angka kematian kasus dapat ditekan mendekati 10%. GT yang telah mencapai fase
pemulihan lazimnya angka kematian kasusnya sangat rendah.
81
Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal
5.11 Pencegahan
Untuk kita di negara berkembang, dimana sebagian besar GT muncul dalam bentuk
kompleks diare-MEP-infeksi, langkah pencegahannya sejalan dengan upaya pencegahan
diare. Di samping menekan kejadian diare, kita harus melaksanakan penanggulangan tepat
guna agar diare tidak berlanjut dan dampak gizinya dapat ditekan menjadi seminimal
mungkin.
Identifikasi faktor risiko dan gejala dini deprivasi, pengacuhan anak dan penyimpangan
interaksi ibu dan anak dilanjutkan dengan pembinaan yang tepat dapat menekan kejadian
GT non-organik. Meskipun penanggulangannya secara tuntas membutuhkan disiplin lain,
permasalahan harus diidentifikasi oleh dokter anak.
Langkah lain yang layak untuk dilaksanakan adalah mengidentifikasi penyakit organik
termasuk kelainan gastrointestinal sedini mungkin, melakukan langkah korektif dan
penanggulangan lainnya seadekuat mungkin, disertai dengan bimbingan gizi dan pola asuh
yang baik agar kemungkinan munculnya GT dapat ditekan menjadi seminimal mungkin.
9
2 01
Daftar Pustaka are
t
1. American Academy of Pedaitrics. Failure to thrive (Pediatric 9 M
undernutrition). In: Kleinman RE,
ro
ast IL: American Academy of Pediatric.
ed. Pediatric Nutrition Handbook. 5th ed. Elk Grove Village,
G
2003: 443-457. at
r apClin North Am. Dec 1988; 35(6): 1187-206.
tuk
2. Farnk DA, Zeisel SH. Failure to thrive. Pediatr
3. Zanel JA Jr. Failure to thrive: a generalunpediatrician’s perspective. Pediatr Rev. 1997; 18: 371-378.
tro growth. In: kessler DB, Dawson P, eds. Failure to thrive
as
4. Sherry B. Epidemiology of inadequate
and pediatric undernutrition:
j ar Ga transdisciplinary approach. Baltimore: Brookes. 1999. 19-36.
A
ku a manual for physicians and other senior health workers Child Health/
5. WHO. Failure to thrive:
u
WHO.CDR 95.le2005.B
i
6. Levy Y, LevyF A, Zangen T, et al. Diagnostic clues for identification of nonorganic vs organic
causes of food refusal and poor feeding. J Pediatr Gastroenterol Nutr. MAr 2009; 48(3): 355-62.
7. Wright CM. Identification and management of failure to thrive: a community perspective. Arch
Dis Child. 2000; 82:5-9.
8. Hay WW. Current pediatric diagnosis and treatment. 15th ed. Norwalk, Conn: Appleton &
Lange. 2001: 250.
9. Sills RH. Failure to thrive. The role of clinical and laboratory evaluation. Am J Dis Child. Oct
1978; 132(10): 967-9.
10. Maggioni A, Lifshitz F. Nutritional management of failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Aug
1995; 42(4): 791-810.
11. Reif S, Beler B, Villa Y. Long-term follow-up and outcome of infants with non-organic failure to
thrive. Isr J Med Sci. Aug 1995; 31(8): 483-9.
82
BAB
6
Diare Akut
Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso
6.2 Pendahuluan
Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara
berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus
penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau
parasit. Walaupun umumnya self limited, dehidrasi masih merupakan penyebab morbiditas
yang serius serta kematian dari penderita.
Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan
oleh karena rata–rata sekitar 30 % dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit ditempati
oleh bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan primer,
diare masih menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi.
Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episod diare dapat
menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan
menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak
terhadap pertumbuhan dan kesehatan anak.
6.3 Definisi
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang
berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang
air besarnya lebih dari 3–4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih
bersifat fisiologis atau normal. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare
83
Bab 6 Diare Akut
yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi
cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada
seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan
ini sudah dapat disebut diare.
6.4 Epidemiologi
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk
Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak,
terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya
karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai
gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia hasil
Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang
terbanyak yaitu 42% dibandingkan pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab
kematian karena diare 25,2% dibandingkan pneumonia 15,5%.
Faktor umur
Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi
terjadi pada kelompok umur 6 – 11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping
ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya
kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan
kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak.
Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi
atau penyakit yang berulang, yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit
pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa.
84
Buku Ajar Gastrohepatologi
Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini meningkat
setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik
yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus,
bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan
penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari
adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
yang lain.
Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Didaerah sub tropik,
diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus
terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Didaerah tropik (termasuk
Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan
peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung
meningkat pada musim hujan.
9
2 01
Epidemi dan pandemi re t
Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan9 Ma epidemi dan pandemi
ro pada semua golongan usia.
yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian
G ast
t
Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh aV.pacholera 0.1 biotipe Eltor telah menyebar
ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin, k r
Asia, Timur Tengah dan di beberapa daerah
tu
di Amerika Utara dan Eropa. Dalamrokurun un waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1
st
menjadi penyebab wabah yang besar
r Ga di Amerika Tengah dan terakhir di Afrika Tengah
dan Asia Selatan. Pada akhir jatahun 1992, di kenal strain baru Vibrio cholera 0139 yang
kuA
menyebabkan epidemiBdi u Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah.
i l e
F
6.6 Etiologi
Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-kuman patogen telah
dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 75 % pada kasus yang datang disarana
kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan di masyarakat. Penyebab infeksi utama timbulnya
diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare akut
oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan inflammatory.
Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi enterotoksin
oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan
dan / atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh
bakteri yang menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin.
Beberapa panyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia adalah
sebagai berikut :
85
Bab 6 Diare Akut
Golongan Bakteri :
1. Aeromonas 8. Salmonella
2. Bacillus cereus 9. Shigella
3. Campylobacter jejuni 10. Staphylococcus aureus
4. Clostridium perfringens 11. Vibrio cholera
5. Clostridium defficile 12. Vibrio parahaemolyticus
6. Escherichia coli 13. Yersinia enterocolitica
7. Plesiomonas shigeloides
Golongan Virus :
1. Astrovirus 4. Rotavirus
2. Calcivirus 5. Cytomegalovirus *
3. Enteric adenovirus 6. Herpes simplex virus *
Golongan Parasit :
1. Balantidium coli 5. Giardia lamblia
2. Blastocystis homonis 6. Isospora belli
3. Cryptosporidium parvum 7. Strongyloides stercoralis
4. Entamoeba histolytica 8. Trichuris trichiura
9
Sumber = Nelson Textbook of Pediatric, 2004.
2 01
e t
* umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderitaarimunocompromised
9 M
ro
Di negara berkembang kuman patogen penyebab G ast penting diare akut pada anak-
at
r ap
anak yaitu : Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan
tu k
Cryptosporidium. n
tr o u disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan
Patogenesis terjadinya diareas yang
r G menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung
diare pada manusia secarajaselektif
u A usus halus menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus
villus pada usus halus.ukBiopsi
e B pada lamina propia. Perubahan-perubahan patologis yang diamati
Fl
dan infiltrasi sel ibudar
tidak berkorelasi dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum
penyembuhan diare. Mukosa lambung tidak terkena walaupun biasanya digunakan istilah
“gastroenteritis”, walaupun pengosongan lambung tertunda telah didokumentasi selama
infeksi virus Norwalk.
Virus akan menginfeksi lapisan epitelium di usus halus dan menyerang villus di
usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus
halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang
sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi
cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/
tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus
sehingga cairan beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus,
menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna.
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang
mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan
seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa
dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak
86
Buku Ajar Gastrohepatologi
mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan
elektrolit. Dengan demikian infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan
(1) ketidakseimbangan rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi
karbohidrat kompleks, terutama laktosa.
Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun penderita
terganggu imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal. kenaikan kerentanan
bayi (dibanding dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa) sampai morbiditas berat
dan mortalitas gastroenteritis virus dapat berkaitan dengan sejumlah faktor termasuk
penurunan fungsi cadangan usus, tidak ada imunitas spesifik, dan penurunan mekanisme
pertahanan hospes nonspesifik seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat
memperbesar permeabilitas usus terhadap makromolekul lumen dan telah dirumuskan
menaikkan risiko alergi makanan.
Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak
antara lain :
Kesulitan makan
Defek Anatomis
- Malrotasi
- Penyakit Hirchsprung 9
2 01
- Short Bowel Syndrome re t
9 Ma
- Atrofi mikrovilli ro
- Stricture G ast
at
Malabsorpsi r ap
k
- Defisiensi disakaridase u ntu
ro
ast
- Malabsorpsi glukosa – galaktosa
G
- Cystic fibrosis Ajar
ku
- Cholestosis le Bu
Fi
- Penyakit Celiac
Endokrinopati
- Thyrotoksikosis
- Penyakit Addison
- Sindroma Adrenogenital
Keracunan makanan
- Logam Berat
- Mushrooms
Neoplasma
- Neuroblastoma
- Phaeochromocytoma
- Sindroma Zollinger Ellison
Lain -lain :
- Infeksi non gastrointestinal
- Alergi susu sapi
87
Bab 6 Diare Akut
- Penyakit Crohn
- Defisiensi imun
- Colitis ulserosa
- Gangguan motilitas usus
- Pellagra
Sumber : Nelson Textbook of Pediatric, 2004.
88
Buku Ajar Gastrohepatologi
Gastrin
Disintesis dan dilepaskan oleh sel endokrin G yang terletak pada antrum gaster. Sekresi
sel G yaitu gastrin secara lokal dihambat oleh somatostatin yang berasal dari sel D yang
letaknya berdekatan dengan sel G. Terdapat 2 bentuk gastrin yaitu G-17 dan G-34 dimana
G-34 mempunyai waktu paruh lebih panjang.
Peregangan ringan pada gaster terutama antrum akan mengaktifkan saraf VIP
yang akan menghambat sekresi gastrin dengan cara melepaskan antral somatostatin dan
prostaglandin E (PGE). Pada peregangan yang lebih besar terutama pada proksimal lambung
akan menstimuli pelepasan cholinergic vagal gaster. Sebagian makanan dalam lambung
dan protein duodenum terutama triptofan dan phenylalanin akan merangsang pelepasan
gastrin. Hambatan pelepasan gastrin tidak hanya oleh somatostatin, tapi juga oleh sekretin,
neurotensin, gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan PGE.
Sel-sel somatostatin yang tersebar hingga melewati usus bekerja sebagai hormon
endokrin seperti halnya parakrin yang menghambat sekresi sel G. Lemak usus merupakan
perangsang utama pelepasan somatostatin, sehingga terjadi penurunan gastrin dan
perlambatan pengosongan lambung.
Sekretin terdapat nyata di usus halus proksimal dan dilepaskan karena pengasaman
9
intraduodenal. Neurotensin disintesis di ileum untuk merespon lemak
2 01usus, menurunkan
re t
keasaman lambung. PGE seperti halnya somatostatin bekerja menurunkan produksi asam
oleh sel parietal. 9 Ma
o
str
Ga
p at
Pepsinogen ra
uk
t
Diproduksi oleh sel kepala dan sel mukosa
o un leher fundus, badan dan cardiac gaster. Fundus
st
gaster memproduksi 4 proteinase aacidicr yaitu pepsinogen I atau A, pepsinogen II atau
r G
C, captensin D dan captensinjaA. Sekresi pepsinogen dipacu oleh stimuli cholinergic dan
A
u ku
beta adrenergik. Perangsangan beta adrenergik diperantarai oleh cAMP dan dihambat
e B oleh atropin atau cimetidine. Stimuli cholinergic dihambat oleh
dengan propanolol,iltidak
F
atropin dan mengikuti perubahan Ca intrasel. Pepsinogen juga dirangsang secara langsung
oleh histamin, cholesystokinin (CCK), sekretin dan VIP. CCK bekerja melalui pelepasan
Ca intrasel, sedangkan sekretin dan VIP bekerja melalui cAMP. Somatostatin dan PGE
menghambat sekresi pepsinogen dengan menurunkan cAMP.
Faktor intrinsik
Merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel parietal di mukosa oxyntic badan dan
fundus gaster. Faktor intrinsik didapatkan pada jaringan gaster fetus pada usia kehamilan
11 minggu. Sekresi kontinyu sedikit demi sedikit terjadi di bawah kondisi basal oleh
transpor membran vesikuler. Peningkatan sekresi distimuli oleh agent penginduksi sekresi
sel parietal seperti histamin, acetylcholin, dan gastrin. Puncak pelepasan terjadi 25 sampai
30 menit. Sekresi dihambat oleh H2 reseptor antagonis.
Pada bayi aterm atau pretem sekresi basal ini tidak tergantung sekresi asam gestasi
atau kelebihan nutrisi enteral. Disosiasi stimuli pelepasan asam dan faktor intrinsik secara
baik terdapat pada usia anak mulai berjalan. Sekresi faktor ini mendekati kadar dewasa
pada usia 3 bulan.
89
Bab 6 Diare Akut
Lipase gaster
Aktifitas lipase pada semua usia maksimal di badan gaster dan minimal di antrum. Meski
pH optimun 5.5 tetapi lipase aktif bekerja dalam 1 jam setelah lahir, dan pelepaskan lipolytic
intragaster merangsang sekresi CCK; pelepasan asam lemak rantai sedang menyebabkan
absorbsi lemak langsung segera di gaster.
Mukus gaster
Epitel gaster dan sekresi sel mukus pit merupakan gel mukus tak larut air yang membentuk
lapisan kontinyu dan berfungsi protektif. Sintesis mucin dan volume total mukus meningkat
dengan stimuli oleh histamin, acetylcholin dan gastrin. Mukus bekerja sebagai barier difusi
terhadap pepsin luminal dan HCl. Kerusakan lapisan mukosa menyebabkan difusi kembali
asam peptide dan kehilangan gradien pH bikarbonat, yang penting untuk mempertahankan
integritas epitel dan pembentukan epitel yang baru.
Usus halus
Memanjang dari pilorus hingga cecum. Pada neonatus memiliki panjang 275 cm dan tumbuh
mencapai 5 sampai 6 meter pada dewasa. Epitel usus halus tersusun atas lapisan tunggal sel
19 luas dengan adanya
0lebih
kolumnar disebut juga enterosit. Permukaan epitel ini menjadi 300 kali
t 2
are
vilus dan kripta. Vilus berbeda dalam bentuk dan densitas padaMmasing-masing regio usus halus.
9
Di duodenum vilus tersebut lebih pendek, lebih lebar dan ro lebih sedikit; menyerupai bentuk
jari dan lebih tinggi pada jejunum; serta menjadi t G ast kecil dan lebih meruncing di ileum.
lebih
a
rap vilus tersebut terdapat kripta (Lieberkuhn)
Densitas terbesar didapatkan di jejunum. Di antara
k
tu dan pembaharuan epitel. Terdapat perbedaan
yang merupakan tempat proliferasi enterosit
o un
r
tight junction antara jejunum danstileum, tight junction ini berperan penting dalam regulasi
Ga
A jar
permeabilitas epitel dengan melakukan kontrol terhadap aliran air dan solut paraseluler.
Sel goblet u ku
le B
Merupakan selFipenghasil mukus yang terpolarisasi. Mukus yang disekresi sel goblet
menghampar di atas glikokaliks berupa lapisan yang kontinyu, membentuk barier
fisikokimia, memberi perlindungan pada epitel permukaan. Mukus ini paling banyak
didapatkan pada gaster dan duodenum.
Sel kripta
Sel kripta yang tidak berdiferensiasi merupakan tipe sel yang paling banyak terdapat di
kripta Lieberkuhn. Merupakan prekursor sel penyerap vilus, sel paneth, sel enteroendokrine,
sel goblet dan mungkin juga sel M. Sel kripta yang tidak berdiferensiasi ini mensintesis
dan mengekspresikan komponen sekretori pada membran basolateral, dimana molekul ini
bertindak sebagai reseptor untuk sintesis IgA oleh lamina propria sel plasma.
Sel Paneth
Terdapat di basis kripta. Memiliki granula eosinophilic sitoplasma dan basophil. Granula
lisosom dan zymogen didapatkan juga pada sitoplasma, meskipun fungsi sekretori sel
panet belum diketahui. Diduga berperan dalam membunuh bakteri dengan lisosom dan
imunoglobulin intrasel, menjaga keseimbangan flora normal usus.
90
Buku Ajar Gastrohepatologi
Sel enteroendokrin
Merupakan sekumpulan sel khusus neurosekretori, sel enteroendokrin terdapat di mukosa
saluran cerna, melapisi kelenjar gaster, vilus dan kripta usus. Sel enteroendokrin mensekresi
neuropeptide seperti gastrin, sekretin, motilin, neurotensin, glukagon, enteroglukagon,
VIP, GIP, neurotensin, cholesistokinin dan somatostatin.
Sel M
Merupakan sel epitel khusus yang melapisi folikel limfoid.
Usus besar
Terdiri atas sekum, appendik, kolon, rektum dan anus. Mukosa usus besar bertambah
dengan adanya plika semilunar yang irreguler dan adanya kripta tubuler Lieberkuhn. Tidak
terdapat vilus pada usus besar. Baik permukaan mukosa dan kripta dilapisi oleh sel epitel
kolumnar (kolonosit) dan sel goblet yang membatasi dari jaringan mesenkim lamina
propria. Kolonosit memiliki mikrovilus lebih sedikit dan lebih pendek daripada usus halus.
Epitel bagian bawah kripta terdiri atas proliferasi sel kolumnar yang tidak berdiferensiasi,
sel goblet dan sedikit sel endokrin. Morfologi sel goblet dan sel endokrin mirip seperti pada
usus halus. 9
2 01
Sel kolumnar penyerap berasal dari sel imatur dari bagian t
re bawah kripta yang
berdiferensiasi dan bermigrasi ke bagian atas kripta, akhirnya 9 Ma akan dilepaskan dari
ro
permukaan mukosa ke dalam lumen. Proses siklusGpembaharuan ast sel ini berlangsung 3
sampai 8 hari pada manusia. Kripta dikelilingi oleh p atsarung fibroblas dalam lamina propria,
a
u
mengalami proliferasi dan migrasi secara sinkron
t k r dengan migrasi sel epitel. Jumlah total
n
sel terbanyak pada kripta kolon desenden,
tro u menurun secara progresif di sepanjang kolon
transversum dan kolon desenden as
ja r Gdan meningkat lagi pada sekum.
k uA
Fisiologi absorpsil Bu dan mineral
e air
Fi
Pengaturan transport air dan elektrolit
Pengaturan intraseluler diperankan oleh pembawa pesan intrasel seperti : cyclic AMP, cyclic
GMP, Ca++, dan metabolit dari phosphatidylinositol. Pembawa pesan ini akan ditingkatkan
dengan cara perangsangan reseptor yang diaktifkan oleh enzim adenilate siklase, guanilate
siklase atau phospholipase C.
Kenaikan cAMP dalam sel vilus menghambat proses transport Na+ berpasangan
Cl melalui aktivasi guanilate siklase. Pembawa pesan yang lain bekerja dengan cara yang
-
sama yaitu menghambat transport Na+, perbedaannya terdapat pada protein kinase yang
diaktifkan.
Pengaturan ekstraseluler diperankan oleh sistem hormonal, sistem neuronal dan
sistem imun. Segmen terpenting sistem persarafan usus (enteric nervous system, ENS)
berupa jaringan saraf intrinsik yaitu pleksus myenterik (Auerbach’s) dan pleksus submukosal
(Meissner’s). Lebih dari 20 neurotransmiter dan hormon terdapat dalam sistem persarafan
usus ini. Hormon seperti Acetylcholine (Ach) dan serotonin (5-HT) serta beberapa toksin
kuman dan laksatif meningkatkan konsentrasi Ca++ intrasel. Peningkatan Ca++ intrasel
91
Bab 6 Diare Akut
92
Buku Ajar Gastrohepatologi
yang tinggi dari kimus melalui brush border epitel ke dalam sitoplasma sel. Secara aktif Na+
ini akan keluar sel oleh kerja pompa NaK-ATPase ke ruang paraselluler. Kedua absorbsi
Na+ berpasangan dengan glukosa dan asam amino. Na+ masuk yang masuk ke dalam sel
akibat gradien elektrokimia akan menyediakan energi yang cukup untuk transport solut.
Gradien elektrokimia ini akan dijaga keseimbangannya dengan pengeluaran Na+ secara aktif
oleh pompa NaK-ATPase. Mekanisme ketiga ion Cl- ikut bersama Na+ ditarik diabsorpsi.
Ini terjadi akibat gerakan menurun Na+ melintasi membran apikal ke dalam sel akan
menyediakan energi untuk gerakan Cl- ke dalam sel. Akibat mekanisme absorbsi pasangan
ini, potensial elektrokimia Cl- intraseluler lebih dari kompartemen serosa, Cl- akan keluar
dari sel melalui gerakan menurun atau proses pasif yang membutuhkan energi. Transport
berpasangan Na+ dan Cl- timbul dari mekanisme dua pertukaran meliputi Na+ dan H+
sebagaiman Cl- dengan HCO3-. Absorbsi melalui pertukaran Na+-H+ dikaitkan dengan
transpor ALRP ke dalam sel mukosa yang menghasilkan H+ intrasel. Ion H+ kemudian
keluar dari sel melalui mekanisme berpasangan dengan gerakan masuknya Na+.
Tahap selanjutnya dalam proses transport adalah osmosis air kedalam ruang
paraselular. Osmosis ini disebabkan gradien osmotik yang dibentuk oleh peningkatan
konsentrasi ion di ruang paraseluler. Osmosis ini sebagian besar melalui tight junction,
sebagian kecil melalui sel. Pergerakan osmotik air merupakan aliran kedalam dan melewati
9
paraselular masuk kedalam sirkulasi darah vilus. 01
t2 re
Absorbsi klorida (Cl) 9 Ma
o
Absorbsi Cl- terjadi melalui epitel usus halus dengan str mekanisme. Pertama, melalui
adua
t G
r pa
pertukaran klorida dan bikarbonat yang terjadi aterutama di seluruh membran sel apikal di
jaringan ileum. Kedua, lebih menonjol jaringan tu k jejunum yaitu perpindahan pasif ion Cl-
u n
melalui jalur paraseluler, yang berespon troterhadap sejumlah besar volume Cl yang diabsorbsi
-
93
Bab 6 Diare Akut
ATPase sangat penting. Pertukaran ini untuk mencegah terjadinya pembengkaan sel akibat
kadar Na+ yang cenderung tinggi di dalam sel. Pompa ini terdapat dalam seluruh sel, yang
bertanggung jawab atas pemeliharaan perbedaan konsentrasi Na+ dan K+ antara bagian luar
dan bagian dalam membran sel demikian juga untuk menetapkan potensial listrik negatif
di dalam sel. Pompa ini merupakan dasar fungsi saraf untuk menjalarkan sinyal saraf ke
seluruh sistem syaraf.
Absorbsi secara aktif maupun sekresi K+ keduanya terjadi di kolon, di usus halus
absorbsi terjadi melalui difusi. Serum mempunyai konsentrasi kalium lebih rendah
daripada feses. Absorbsi K+ melalui jalur paraseluler dimana K+ masuk ke sel melalui
membran basolateral karena pompa NaK-ATPase mengikuti keluarnya Na+ dari sel seperti
dijelaskan di atas. Di distal kolon K+ diabsorbsi secara aktif melalui HK-ATPase. Absorbsi
K+ dipengaruhi oleh pelepasan Na+ dan K+, dan dihambat oleh cAMP.
Absorbsi kalsium (Ca)
Diabsorpsi secara aktif dari duodenum. Penyerapan kalsium yang penting dikontrol
hormon parathyroid dan vitamin D. Hormon parathyroid mengaktifkan vitamin D di dalam
ginjal, vitamin D yang teraktifasi akan sangat meningkatkan absorpsi kalsium.
Absorpsi karbonat 9
01
HCO3- disekresi oleh pankreas dan empedu, diabsorbsi direjejunum, t2 dan disekresi di
M a
duodenum, ileum dan kolon. Ion H dalam jumlah cukup
+
banyak disekresikan ke dalam
t o 9+ akan diabsosrbsi. Ion hidrogen
rNa
lumen usus untuk ditukar dengan beberapa Na+, ion a s
akan bergabung dengan ion bikarbonat untukpamembentuktG asam karbonat (H2CO3) yang
r a
kemudian berdisosiasi membentuk air dan k CO2. Ketika H2O tetap berada di lumen usus,
CO2 akan diabsorpsi masuk ke dalam u ntu secara
darah bertahap di ekspirasi. Proses ini disebut
o
a str paru-paru.
absorpsi aktif ion bikarbonat melalui
G
ar
Di jejunum NaHCOA3 jdiabsorbsi melalui pertukaran Na+-H+, sekresi H+ menetralkan
ku
u
HCO3- yang setara Bdalam lumen. Pergerakan Cl- murni terjadi secara pasif. Di ileum dan
i l e
F bikarbonat akan bertukar dengan ion Cl-. Ion Cl- akan berdifusi secara
kolon sekresi ion
pasif melalui membran basolateral. Ion karbonat akan menetralisir asam yang dibentuk
kuman terutama yang banyak berada di kolon.
Sekresi
Sekresi Cl-,Na+ dan air
Kripta merupakan tempat sekresi Na+,Cl- dan air ke dalam lumen usus yang akan
direabsorpsi vilus ( akan bercampur dengan pencernaan usus). Sekresi Cl- terjadi dalam
sel kripta usus karena terdapatnya dua mekanisme spesifik sel: saluran Cl- selektif yang
terdapat di apikal dan kotransport khusus Na+ berpasangan Cl- yang terdapat di membran
basolateral. Gradien Na+ merangsang Cl- melintasi membran basolateral dengan proses
transport NaCl atau Na/K/2Cl. Na+ akan dikeluarkan lagi oleh NaK-ATPase sehingga Cl-
mengumpul di dalam sel pada konsentrasi di atas keseimbangan elektrokimia. Terjadi
peningkatan cyclic AMP, cyclic GMP atau Ca++ bebas merangsang fosforilase membran
protein oleh protein kinase, membuka saluran Cl- di membran sel kripte sehingga terjadi
94
Buku Ajar Gastrohepatologi
95
Bab 6 Diare Akut
air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam
lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar
Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi lainnya
akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg,
glukose, sukrose, laktose, maltose di segmen illeum dan melebihi kemampuan absorpsi
kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dari jus buah, atau bahan
yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan memberikan dampak yang
sama.
Malabsoprsi umum
Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam amino dan
monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus. Kerusakan sel
(yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan virus atau kuman,
seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena
inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau obat-obat tertentu. Gambaran
karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih
lanjut, mikororganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E.
coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran 9 brush border tanpa
01
t2
merusak susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap,rekarbohidrat, dan trigliserid
M a
diakibatkan insufisiensi eksokrin pankreas menyebabkan9malabsorbsi yang signifikan dan
ro
mengakibatkan diare osmotik.
G ast
Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas at menyebabkan kegagalan pemecahan
r ap
k
kompleks protein, karbohidrat, trigliserid,tuselanjutnya menyebabkan maldigesti, malabsorpsi
u n
dan akhirnya menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorpsi protein
a stro
dan karbohidrat dengan asam lemak
G rantai panjang intraluminal, tidak hanya menyebabkan
jar
diare osmotik, tetapi jugaAmenyebabkan pacuan sekresi Cl- sehingga diare tersebut dapat
ku
disebabkan malabsorpsi u karbohidrat oleh karena kerusakan difus mukosa usus, defisiensi
i l eB
F dan defisiensi congenital laktase, pemberian obat pencahar; laktulose,
sukrosa, isomaltosa
pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg), malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan
pada hipermotilitas pada kolon iritabel. Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar
dan cepat, menyebabkan kekambuhan diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH,
setelah mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare. Infeksi virus yang menyebabkan
kerusakan mukosa sehingga menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase, menyebabkan
gangguan absorpsi nutrisi laktose.
Luminal secretorygogues
Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan
96
Buku Ajar Gastrohepatologi
kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta
asam lemak rantai panjang.
Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi
intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase.
Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga
mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain
terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen usus bersama Cl-.
Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase.
Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler., meningkatkan
permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat
menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit
Crohn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi
garam empedu, lemak,
Blood-Borne Secretagogues
Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya disebabkan enterotoksin E.
coli atau Cholera. Derbeda dengan negara berkembang, di negara maju, diare sekretorik jarang
9
ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor seperti
2 01 ganglioneuroma
atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. aPada t
re orang dewasa, diare
sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta 9 M yang menghasilkan VIP,
ro
Polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya (sindroma
G ast watery diarrhe hypokalemia
achlorhydria (WDHA). Diare yang disebabkan tumor p at ini termasuk jarang. Semua kelainan
ra
k berlebihan
mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral
ntu pada vilus dan kripta serta semua
u
ro usus dalam keadaan normal.
enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa
ast
rG
Diare akibat gangguan Aja
uk peristaltik
u
eB
Meskipun motilitas Fil jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan
motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan ataupun penurunan
motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan
bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau
nutrisi akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan
stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare
akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena
hipermotilitas pada kasus kolon iritabel pada bayi. Gangguan motilitas mungkin merupakan
penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai penyakit lain.
Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan.
Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air, eletrolit, mukus, protein dan seringkali sel
darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi
ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik.
97
Bab 6 Diare Akut
Bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction,
menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek
infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi
absorpsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J
dkk. 2003 menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada diare terletak pada
perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan pada
cellular cytoskleleton dan spesifik tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua komponen
tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan hipersekresi clorida
yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile akan menginduksi kerusakan
cytoskeleton maupun protein, Bacteroides fragilis menyebabkan degradasi proteolitik
protein tight junction, V. cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction, sedangkan
EPEC menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton.
98
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 6.9.1. Manifestasi immun mediated ekstraintestinal dan enteropatogen yang terkait
Manifestasi Enteropatogen terkait
99
Bab 6 Diare Akut
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa : berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung
dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi:
kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun-
ubun besar cekung atau tidak, mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata,
bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus
yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena
perfusi dan capillary reffil dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.
100
Buku Ajar Gastrohepatologi
Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara : obyektif
yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan
menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain dapat
dilihat pada tabel berikut.
101
Bab 6 Diare Akut
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan, hanya
pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui
atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat.
Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran
kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut :
Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes
kepekaan terhadap antibiotika.
102
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 6.10.5. Tes laboratorium tinja yang digunakan untuk mendeteksi entereopatogen
Test Laboratorium Organisme diduga / identifikasi
19
0sitotoksin
Mikroskopik : Lekosit pada tinja Invasive atau bakteri yang memproduksi
t 2
re I. belli, Cyclospora
Trophozoit, kista, oocysts, spora
Ma
G. lamblia, E. histolytika, Cryptosporidium,
9
Rhabditiform lava Stongyloides o
str
ajejuni
Spiral atau basil gram (-) berbentuk S Camphylobacter
t G
Kultur tinja : Standard
r pa Salmonella, Camphylobacter jejuni
E. coli,aShigella,
Y.kenterocolitica, V. cholerae, V. parahaemolyticus, C. difficile, E. coli, O 157
ntu: H 7
Spesial
u
ro
Enzym imunoassay atau latex aglutinasi
G ast Rotavirus, G. lamblia, enteric adenovirus, C. difficile
Serotyping j ar E. coli, O 157 : H 7, EHEC, EPEC
kuA
B u
Latex aglutinasi setelah broth enrichment Salmonella, Shigella
e
Fil riset
Test yang dilakukan di laboratorium Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC, EAEC, PCR untuk genus yang
virulen
Sumber: Suparto, 2003.
Pemeriksaan mikroskopik :
Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi
tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit
dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon.
Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau
kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C.
difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P.
shigelloides. Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S.
typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada tinjanya,
pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya lekosit pada tinja minimal.
Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah
banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali
terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk
103
Bab 6 Diare Akut
enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien
yang dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis
dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau
yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna
bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi duodenum
adalah metode yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan
protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
mikroskopik tinja segar. Trofozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan kista
ditemukan pada tinja yang berbentuk. Teknik konsentrasi dapat membantu untuk
menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh karena ekskresi
kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan
konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis tes untuk amuba hampir selalu positif pada
disentri amuba akut dan amubiasis hati.
Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome,
diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita
immunocompromised.
Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V. Parahaemolyticus,
Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter membutuhkan prosedur
19
0pada
laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi catatan et 2 label apabila ada
salah satu dicurigai sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi a r toksin C. difficile sangat
o 9M
r
berguna untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu
dalam menegakkan diagnosis pada penderita dengan G astsimptom kolitis berat atau penyebab
t
inflammatory enteritis syndrome tidak jelas r pa
asetelah dilakukan pemeriksaan laboratorium
pendahuluan. ntuk
ou
astr
j arG
6.11 Terapi Buk
u A
e
Fil umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat membantu
Infeksi usus pada
penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat memperpendek lamanya
sakit dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare
dan dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan terapi :
1. Terapi cairan dan elektrolit
2. Terapi diit
3. Terapi non spesifik dengan antidiare
4. Terapi spesifik dengan antimikroba
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih
dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan
dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara
kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan
dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi
berat, 1 diantaranya disertai komplikasi serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya
cukup rumit. Berdasarkan data diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare
akut dapat dilaksanakan secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral
104
Buku Ajar Gastrohepatologi
serta melanjutkan pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare
tidak direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian
cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi berat.
105
Bab 6 Diare Akut
memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat
dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada
pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan
dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik
adalah pemberian cairan parenteral.
106
Buku Ajar Gastrohepatologi
Atas dasar hasil tersebut WHO dan Unicef mengadakan konsultasi tentang penggunaan
CRO dengan osmolaritas lebih rendah untuk digunakan secara global. Pada tahun 2002
WHO mengumumkan CRO formula baru yang sesuai dengan rekomendasi tersebut dengan
75 mEq/L Natrium, 75 mmol/L glukosa dan osmolaritas total 245 mOsm/L. CRO formula
baru ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak dan dewasa dengan kolera,
meskipun post marketing surveilans sedang dilakukan untuk memastikan keamanan dan
indikasinya.
107
Bab 6 Diare Akut
Terapi medikamentosa
Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti : antibiotika,
antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus. Beberapa
obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek
toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umur kurang dari
2 – 3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk
pengobatan diare akut.
108
Buku Ajar Gastrohepatologi
Antibiotik
Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian
besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh
dengan antibiotika.
Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V.
cholera, Shigella, Enterotoksigenik E. coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.
Bila secara klinis jelas diduga disebabkan oleh karena kuman tersebut, dapat diberikan
antibiotika seperti misalnya tetrasiklin untuk kolera, kotrimoksazole / ampisilin untuk
Shigella dan eritromisin untuk Camphylobacter.
Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan
tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat ini
berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :
Adsorben
Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine. Obat-obat ini
dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya20untuk 19 mengikat dan
t
re diare serta dikatakan
Ma
menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan
mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun o 9 demikian, tidak ada bukti
a str
keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada anak.
G
at
r ap
k
tu
Antimotilitas un
ro
st
(Contoh: loperamide hydrochloride,adiphenoxylate dengan atropine, tinctura opii, paregoric,
r G
codein). Obat-obatan ini dapatjamengurangi frekuensi diare pada orang dewasa akan tetapi
tidak mengurangi volume u A pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan ileus paralitik
ktinja
u
e B fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan memperlambat
Fil
yang berat yang dapat
eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis normal. Tidak
satu pun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan diare.
Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak dengan
diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.
Kombinasi obat
Banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas atau bahan lain. Produsen
obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk digunakan pada berbagai macam
diare. Kombinasi obat semacam ini tidak rasional, mahal dan lebih banyak efek samping
daripada bila obat ini digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk
menggunakan obat ini pada anak dengan diare.
109
Bab 6 Diare Akut
Obat-obat lain :
Anti muntah
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat menyebabkan
mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh karena itu obat
anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah karena biasanya berhenti
bila penderita telah terehidrasi.
Cardiac stimulan
Renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi dan hipovolemi. Pengobatan
yang tepat adalah pemberian cairan parenteral dengan elektrolit yang seimbang.
Penggunaan cardiac stimulan dan obat vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak
pernah diindikasikan.
Gangguan Elektrolit
Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala yang
ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan. Penurunan kadar
natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak.
Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman.
Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45%
saline – 5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan
tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan
rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah
8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam.
Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing.
Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10
ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.
110
Buku Ajar Gastrohepatologi
Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit
garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L). Hiponatremi sering terjadi pada anak
dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif
untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na
dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer Laktat atau
Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang diperiksa dikalikan
0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16
jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.
Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K >5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium
glukonas 10% 0,5–1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5–10 menit dengan monitor detak
jantung.
Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K <3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar 9 K : jika kalium
2,5–3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. tBila2 01< 2,5 mEq/L maka
are 4 jam. Dosisnya: (3,5
diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikanMdalam
9
ro
– kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20
jam berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BBaxt G ast+ 1/6 x 2 mEq x BB).
0,4
Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan k rap otot, paralitik ileus, gangguan fungsi
tu
ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemi o undapat dicegah dan kekurangan kalium dapat
dikoreksi dengan menggunakan oralit r
st dan memberikan makanan yang kaya kalium selama
r Ga
Aja
diare dan sesudah diare berhenti.
u
Buk
e
Kejang Fil
Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang sebelum
atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh karena :
hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia,
kejang terjadi bila panas tinggi, misalnya melebihi 400oC, hipernatremi atau hiponatremi.
111
Bab 6 Diare Akut
6.14 Pencegahan
Upaya pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara :
1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare.
Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal-oral.
Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran
ini.
Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi :
• Pemberian ASI yang benar.
• Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI.
• Penggunaan air bersih yang cukup.
• Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar
dan sebelum makan.
• Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga.
• Membuang tinja bayi yang benar.
2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu (host).
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan dapat
mengurangi resiko diare antara lain :
9
• Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 tahun. 2 01
t
e memberi makan dalam
• Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASIardan
9 M
jumlah yang cukup untuk memperbaiki status rgizi
a st o anak.
• Imunisasi campak. G
p at
Akhir-akhir ini banyak diteliti tentang a
rperanan probiotik, prebiotik dan seng dalam
pencegahan diare. ntuk
o u
astr
j arG
6.15 Probiotikuku A
leB
Probiotik diberiFibatas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang difermentasi
yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan mikroflora intestinal yang
lebih baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan pemberian probiotik dalam waktu
yang panjang terutama untuk bayi yang tidak minum ASI. Pada sistematik review yang
dilakukan Komisi Nutrisi ESPGHAN (Eropean Society of Gastreoenterology Hepatology
and Nutrition) pada tahun 2004, didapatkan laporan-laporan yang berkaitan dengan
peran probiotik untuk pencegahan diare. Saavedra dkk tahun 1994, melaporkan pada
penelitiannya bahwa susu formula yang disuplementasi dengan Bifidobacterium lactis dan
Streptococcus thermophilus bila diberikan pada bayi dan anak usia 5 - 24 bulan yang dirawat
di Rumah Sakit dapat menurunkan angka kejadian diare dari 31% menjadi 7%, infeksi
rotavirus juga berkurang dari 39% pada kelompok placebo menjadi 10 % pada kelompok
probiotik. Penelitian Phuapradit P. dkk di Thailand pada tahun 1999 menunjukan bahwa
bayi yang minum susu formula yang mengandung probiotik Bifidobacterium Bb 12 dan
Streptococcus thermophylus lebih jarang menderita diare oleh karena infeksi rotavirus.
Oberhelman RA dkk tahun 2002 melaporkan penggunaan Lactobacillus GG di Peru
pada komunitas dengan resiko tinggi diare dapat menurunkan episode diare terutama
pada anak-anak usia 18 – 29 bulan dibandingkan dengan placebo (4,7 v 5,9 episod/
112
Buku Ajar Gastrohepatologi
anak/thn dengan p = 0,0005), akan tetapi penelitian yang sama di Finlandia tahun 2001
tidak menemukan adanya efek proteksi pada konsumsi jangka lama susu formula yang
disuplementasi dengan probiotik.
D’Souza dkk tahun 2002 melaporkan bahwa probiotik jika diberikan bersama-sama
dengan antibiotika mengurangi resiko “Antibiotic Associated Diaorrhea”.
Kemungkinan mekanisme efek probiotik dalam pencegahan diare melalui: perubahan
lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti mikroba terhadap
beberapa patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi kuman patogen pada enterosit,
modifikasi toksin atau reseptor toksin efek trofik terhadap mukosa usus melalui penyediaan
nutrien dan imunomodulasi.
Disimpulkan bahwa beberapa probiotik potential mempunyai efek protektif terhadap
diare, tetapi masih diperlukan penelitian dan evaluasi lebih lanjut termasuk efektifitas dan
keamanannya, walaupun sejauh ini penggunaan probiotik pada percobaan klinis dikatakan
aman. Surveilans diperlukan untuk mencari kemungkinan efek samping seperti infeksi
pada kelompok resiko tinggi antara lain bayi prematur dan pasien immuno compromised.
6.16 Prebiotik 01
9
t 2
re makanan. Umumnya
Ma
Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan
kompleks karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang 9
o pertumbuhan flora intestinal
yang menguntungkan kesehatan. a str
G
p at
a
tu kr
Oligosacharida yang ada didalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh
n
karena dapat merangsang pertumbuhan uLactobacilli dan Bifidobacteria didalam kolon bayi
yang minum ASI. Data menunjukanasangkatro kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang
G
A jar
minum ASI. Tetapi pada dua penelitian RCT di Peru th. 2003, bayi-bayi dikomunitas yang
u
diberi cereal yang disuplementasi dengan Fruktooligosakarida ( FOS ) tidak menunjukan
Buk
e
penurunan angka kejadian diare.
Fil
Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu
menunggu penelitian-penelitian selanjutnya.
Daftar Pustaka
1. Dit. Jen PPM, PLP Dep. Kes. RI. PMPD. Buku Ajar Diare. 1996.
2. Parashar UD, HUmmerlman EG, Breese JS, Miller MA, Glass RI. Global illnes and death caused
by rotavirus disease in children. Emerging Infection Disease. 2006; 9: 565-572.
3. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson Textbook
of Pediatrics 17 ed. Saunders. 2004 : 1272-6.
4. Widayana IW, Gandi Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan mortalitas diare di
era otonomi dan krisis. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung, 2003: 45-54.
5. Firmansyah A. Pengaruh malnutrisi terhadap saluran cerna tikus putih: penelitian khusus pada
perkembangan morfologid, biokimiawi dan fisiologis terutama kolon. Disertasi. 1992; 13-20.
6. Rhoads JM, Powell DW. Diarrhea. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds.
Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker
Inc. 1991: 65-73.
7. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IRG. Diare. Dalam: Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo
113
Bab 6 Diare Akut
SM, Ranuh IRG eds. Gangguan absorbsi-sekresi sindroma diare. Graha masyarakat ilmiah
kedokteran FK Unair. 1999: 1-36.
8. Sunoto, Sutoto, Soeparto P, Soenarto Y, Ismail R, Pedoman Proses Belajar Mengajar Diare,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit
Menular. 1990.
9. Hoekstra JH. Acute Gastroenteritis in Industriliazed countries : compliance with guidelines for
treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011; 33: 531-5.
10. Suparto P. Sumbangan dan peran kaum profesional dalam mendukung program penyakit
saluran cerna di era otonomi. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003:
17-27.
11. Tolia V. Acute infections diarrhea in children. Current treatment option in infections disease.
2002; 4: 183-94.
12. Vanderhoof JA. Diarrhea. Dalam : Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease
pathophysiology; diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 187-95.
13. Pickering LK, Cleary TG. Approach to patients with gastrointestinal tract infection and food
poisioning in Feigin RD. Cherry JC eds. Textbook of Pediatric infectious disease 4 Ed WB
Saunders Co. 1998; 1: 567-94.
14. Breese J, Fang, Wang BLE, Soenarto Y, Nelson EA, Tam J, Wilopo SA, Kilgore P, First report from
the asian rotavirus survaillance network. Emerg Infect Dis. 2004; 10(6) : 988-955.
15. Field M. intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. Didapat dari: http://www.
9
jci.oirg. 2 01
t
re : Melbourne. 2007.
Ma Kesehatan Anak. Balai Pnerbit
16. Soenarto, Y. Rotavirus Disease Burden in Indonesia. Grand Round
17. Sonoto. Penyakit radang usus: infeksi. Dalam: Buku Ajar 9
Ilmu
ro
FKUI. 1991; I: 448-66.
G ast
18. Rahmat H. Kebijakan Nasional pemberantasan t
apenyakit menular langsung dan oralit formula
r aIIpBKGAI BAndung. 2003: 91-7.
baru. Kumpulan makalah KOngres Nasional k
19. Antosun DL. Anatomy and physiology u noftuthe small and large intestine. Dalam : Wyllie R, Hyams
ro
JS eds. Pediatric gastrointestinal
G ast disease pathophysiology, diagnosis and management. WB
Saunders Co. 1993: 479-91.
A jar
20. Berkes J, Viswanathan u Savkovic SD, Hecht G. Intestinal ephitel to enteric pathogens: effects
VK,
on tight junction Buk ion transport and inflammation. Didapat dari: http://gut.bmjjournals.
barrier,
e
com/. Fil
21. Burke V. Mechanism of intestinal digestion and absorption. Dalam: Gracey M, Burke V eds.
Gastroenterology and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993:150-6.
22. Desjuex JF. Tranport water and ions. Dalam : Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds.
Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker
Inc. 1991:312-18.
23. Guyton AC, Hall JE. Transport ion dan molekul melalui sel. Dalam: Guyton AC, Hall JE eds.
Buku ajar fisiologi kedokteran. EGC. 1997: 55-69.
24. Lake AM. Anatomy and physiology of stomatch. Dalam : Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric
gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993:
405-11.
25. Weaver LT. Anatomy and embryolgy. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds.
Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker
Inc. 1991: 405-11.
26. Brueton MJ. Immunology of gastrointestinal tract. Dalam: Gracey M, Burke V eds.
Gastroenterology and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993: 224-32.
27. Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Baratawidjaya KG ed. Imunologi Dasar. BPFKUI, 2002; 135-49.
28. American academy of pediatric. The management of acute gastroenteritis in young children.
Pediatrics. 1996; 97: 1-20.
114
Buku Ajar Gastrohepatologi
29. Duggan C, Santosham M, Glass RI. The management of acute diarrhea in children: oral
rehydration, maintenance and nutritional theraphy. MMWR. 1992; 41 (RR-16): 1-20.
30. King CK, Glass R, Bresee JS, Dugaan C. Managing acute gastroenteritis among child; oral
rehydration, maintenance and nutritional theraphy. MMWR. 2003; 52 (RR16): 1-16.
31. Guarino A et al. Oral rehydration towards a real solution. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001; 33:
2-12.
32. Hans S et al. Reduced osmolarity oral rehydration solution fot treating dehydration due to
diarrhea in children: aystemic review. BMJ. 2001; 325: 81-5.
33. WHO, UNICEF. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva. 2006.
34. Altaf Waseef MD. ZInc Supplementation in Oral Rehydration Solution: Experimental Assesment
and Mechanism of Action. Journal of the American Collage of Nutrition. Orlando. 2001.
35. Baqui AH et al. Effect of zinc supplementation started during diarrhea on morbidity and
mortality in Bangladesh Children: Community randomized trial. BMJ. 2002; 325: 1-7.
36. Lukacik M., Ronald L. Thomas.. Jacob V. Aranda. A Meta-Analusis of the effect of Oral Zinc in
the Treatment of Acute and Persistent Diarrhea. 2007.
37. Sandhu BK. Practical guidelines of the management of gastroenteritis in children. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2001; 33: 36-9.
38. Dwiprahasto, I. Penggunaan Antidiare ditinjau dari Aspek Terapi Rasional. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan. 2003; 9(2): 94-101.
39. Dugaan C et al. Oral rehydration solution for acute diarrhea prvents subsequent unscheduled
9
follow up visit. Pediatrics. 1999; 104 (3): 29-33. 2 01
re
40. Bao Bin. Zinc modulates mRNA levels of cytokines. Am J Physiol aEndocrinol
t Metab. Michigan.
2003. 9 M
41. Sazawal S et al. Zinc supplementation in young children tro acute diarrhea in India. N Eng J
aswith
G
Med. 1995; 333: 839-44. at
r ap and pneumonia. BMJ 1999: 1521-3.
42. Yamey G. Zinc supplementation prevents diarrhea k
43. Brown KH and Mac Lean W.C. Nutritional u ntumanagement of acute diarrhea: an appraisal of the
tro
alternatives. Pediatrics. 1984; 73: 2:as119-125.
G
44. Sandhu BK. Rationale for early jar feeding in childhood gastroenteritis. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 2001; 33: 13-6. ku A
u
45. WHO. The treatment
i l e Bof diarrhea: a manual for physicians and other senior health workers Child
Health/ WHO. CDR F 95 (1995).
46. WHO. Hostipal Care for Children. Geneva. 2005.
47. Kandun IN. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat.
48. Juffrie M, et al. The effect of fructooligosaccharide (FOS) in children with diarrhea. J of the
Medical Sciences. 2007; 39: 47-53.
49. Agostoni C et al. Medical position paper. Probiotic bacteria in dietetic product for infants: A
commentary by ESPGHAN committee on nutrition. J Pediatr Gastroenerol Nutr 2004; 38: 365-
74.
50. Szajwska H and Mrukowics JZ. Probiotic in the treatment and prevention of acute infectious
diarrhea in infants and children: A systematic rebiew of published randomized, double blind,
placebo controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001; 33: 17-25.
115
BAB
7
Diare Kronis dan Diare Persisten
Yati Soenarto
Pertanyaan
1. Diagnosis apa yang paling mungkin pada anak ini?
2. Bagaimana anda mengkonfirmasi diagnosis tersebut?
3. Bagaimana tatalaksana pasien ini?
7.2 Pendahuluan
Diare merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas anak di dunia yang
menyebabkan 1,6–2,5 juta kematian pada anak tiap tahunnya, serta merupakan 1/5 dari
seluruh penyebab kematian. Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia menunjukkan
116
Buku Ajar Gastrohepatologi
penurunan angka kematian bayi akibat diare dari 15,5% (1986) menjadi 13,95% (1995).
Penurunan angka kematian akibat diare juga didapatkan pada kelompok balita berdasarkan
survei serupa, yaitu 40% (1972), menjadi 16% (1986) dan 7,5% (2001).
Penurunan mortalitas ini merupakan salah satu wujud keberhasilan ORS (Oral
Rehydration Salt) untuk manajemen diare. Akan tetapi, penurunan angka mortalitas akibat
diare tidak sebanding dengan penurunan angka morbiditasnya. Studi meta-analisis yang
dilakukan oleh Kosek et al. menunjukkan bahwa angka kejadian diare akut cenderung tetap
dari tahun ke tahun. Di negara berkembang setiap anak mengalami rata-rata tiga episode
diare akut tiap tahunnya, sedangkan di Indonesia sebesar 1,3 kali per tahun. Berdasarkan
Survei Kesehatan Nasional yang dilakukan tahun 2003-2004 dilaporkan prevalensi diare
pada anak sebesar 11%.
Di Indonesia penurunan angka mortalitas yang signifikan terjadi sejak tahun 1970-an
saat ORS mulai dimasyarakatkan. Akan tetapi, manfaat manajemen ORS ini kurang terlihat
pada diare persisten sehingga angka kematian akibat diare ini cenderung tetap.
7.3 Definisi 9
2 01
t
Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensiare lebih lunak atau
lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali odalam 9 M 24 jam. Dalam referensi
r
lain disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak
G ast adalah pengeluaran tinja
>10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran p at tinja normal pada bayi sebesar 5-10
a
g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi tu k rdiare akut dan diare yang berkepanjangan
n
(kronis dan/atau persisten). Diare kronis
tro u dan diare persisten seringkali dianggap suatu
as
kondisi yang sama.5,6 Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare
j arG
lebih dari 2 minggu, sedangkan
u A kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau
uk
sukar naik oleh Walker-Smith
B et al. didefinisikan sebagai diare persisten.5,6 Di lain pihak,
i l e
F kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American
dasar etiologi diare
Gastroenterological Association. Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare
lebih dari dua minggu, sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi,
sedangkan definisi menurut The American Gastroenterological Association adalah episode
diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.5,6 Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan
kejadian diare kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana
infeksi merupakan latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab
non-infeksi lebih banyak didapatkan di negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas
penelitian maupun pembahasan lebih didominasi permasalahan diare non infeksi, antara
lain karena dalam tatalaksananya, diare bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya.
Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat dilakukan
pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di lingkungan
masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare
yang berlangsung ≥14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta
diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan tersebut
yang akan dipakai dalam bab Diare Kronis dan Diare Persisten ini.
117
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten
7.4 Kejadian
Diare persisten/kronis mencakup 3–20% dari seluruh episode diare pada balita. Insidensi
diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan
menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini
menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang
mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologis
mengenai diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh
menunjukkan bahwa secara keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum
menurun secara bermakna dalam rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare
persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia
6-11 bulan.
7.5 Etiologi
Sesuai dengan definisi yang digunakan dalam bab ini, terdapat perbedaan etiologi antara
diare persisten dan diare kronis. Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam
kondisi. Di negara maju sebagian besar membahas penyebab non 9 infeksi, umumnya
2 01
meliputi intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6
e tbulan, tinja sering disertai
M
dengan darah); celiac disease (gluten-sensitive enteropathy),
ardan cystic fibrosis. Namun,
9 o
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
perhatian global seringkali tertuju pada diare berkepanjangan yang bermula dari diare akut
akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini banyak terjadi di negara-negara berkembang.
Tabel 7.5.1 menunjukkan enteropatogen penyebab diare di Surabaya dari tahun 1984
hingga 1993, berdasarkan durasi diare. Sayangnya publikasi lain dari studi semacam ini di
Indonesia tidak dapat diperoleh.
118
Buku Ajar Gastrohepatologi
119
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten
120
Buku Ajar Gastrohepatologi
yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada
fungsi transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan
oleh proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi
laktosa. Gangguan fungsi transpor protein misalnya disebabkan gangguan penukar ion
Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat.
Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh
Ghishan, dengan membagi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi
protein transport membran apikal, (4) pengurangan luas permukaan anatomi, dan (5)
perubahan motilitas usus.
Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripte akibat
mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga mencegah
terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairan tidak
dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan
mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam),
konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon
9
terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris 2adalah 01 Vibrio cholerae
e t
di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMPardengan mekanisme yang
9 M
telah disebutkan sebelumnya. ro
G ast
p at
r a
k
Osmotik u ntu
ro
Diare dengan mekanisme osmotik G ast bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses
jar nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan
pencernaan dan/atau penyerapan
A
u
uk Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen
langsung memasuki colon.
B
e
Fil cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung
usus sehingga menarik
pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam
proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama
bila disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan
gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi
laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi,
yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus
besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan
akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat Kondisi
ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi
reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.
121
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten
Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada
kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi polihidramnion,
kelahiran prematur, dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah,
sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai daerah
di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur Tengah,
Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi pada
penukar Na+/H+ dan Na+–protein pengangkut asam empedu.
Roy et al (2006) mengungkapkan bahwa anak dengan diare persisten lebih banyak
menunjukkan manifestasi diare cair dibandingkan diare disentriform. Selain itu, malnutrisi
merupakan gambaran umum anak-anak dengan diare persisten. Studi kohort di Amerika
menunjukkan bahwa gejala penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam
tinja, dan gejala-gejala flu, lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare
akut. Gejala lain yang mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit
yang mendasarinya.
7.8 Diagnosis
Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi:
Anamnesis
Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare, antara lain berapa
122
Buku Ajar Gastrohepatologi
lama diare sudah berlangsung dan frekuensi berak. Selain itu anamnesis juga bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain riwayat pemberian
makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian obat, dan
adanya penyakit sistemik.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup perhatian khusus pada
penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak.
Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan darah
• Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit,
ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12, folat, kalsium, feritin, laju enap darah, dan
protein C-reaktif.
• Pemeriksaan tinja
• Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes fecal
elastase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. 9
2 01 pH tinja <5 atau
t
M ae
adanya subtansi yang mereduksi pada pemeriksaan tinja, rmembantu mengarahkan
kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang 9 telah dijelaskan sebelumnya.
ro
G ast
Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa, seperti
t
pa dengan kejadian diare persisten.
giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan
ra
tuk
o un
7.9 Terapi rG
astr
Aj a
kuharus dilakukan secara bertahap dengan meliputi :
Manajemen diare persisten
u
le B
Penilaian awal,Firesusitasi dan stabilisasi
Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya. Diare
persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit,
khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotik spektrum luas
harus dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan
atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.
Pemberian nutrisi
(i) Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis
Kebutuhan energi dan protein pada diare persisten/kronis berturut-turut sebesar 100
kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung energi 1
kcal/g. Pilihan terapi nutrisi dapat meliputi : diet elemental, diet berbahan dasar susu,
dan diet berbahan dasar ayam.
a. Diet elemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam amino
kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau disakarida, dan kombinasi trigliserida
123
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten
rantai panjang atau sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah harganya mahal.
Selain itu, rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit diterima oleh anak-anak
sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastrik untuk mendapatkan hasil
maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas hanya digunakan di negara
maju.
b. Diet berbahan dasar susu
Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan dalam
mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung nutrisi dalam
jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang tinggi (7 gram laktosa/100gram ASI,
pada susu non-ASI sebanyak 4,8 gram laktosa/100 gram) namun mudah diserap
oleh sistem pencernaan bayi, serta membantu pertahanan tubuh dalam mencegah
infeksi. Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat dibandingkan
susu non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH rendah, dengan
demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI juga
membantu mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena mengandung
epidermial growth factors.
c. Diet berbahan dasar daging ayam
Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas laktosa, hipoosmolar,
9
01
dan lebih murah. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa2pemberian diet berbahan
dasar unggas pada diare persisten memberikan hasil re t
perbaikan yang signifikan.
Ma
9
Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi oMasyarakat FK UGM dengan single
r
blind, randomized-controlled trial menunjukkanG ast durasi diare yang lebih pendek
at
secara bermakna pada anak dengan diare
r ap yang mendapat bubur ayam dibandingkan
k
ntu
yang mendapat bubur tempe (1,92±0,66
u
vs 2,64±0,89, p 0,034). Namun demikian,
ro
mengingat harga bubur refeeding ayam empat kali lebih tinggi daripada bubur
G ast bubur tempe dapat menjadi pilihan tatalaksana diare
refeeding tempe, penggunaan
Ajar kondisi ekonomi.
pada situasi keterbatasan
u
Buk
e
Fil
(ii). Pemberian mikronutrien
Defisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan asupan nutrisi
yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi. Suplementasi
multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA (Recommended Daily
Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1 tahun meliputi asam
folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1
mg, dan magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk
anak berusia <6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia >6 bulan
sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.22 Meta-analisis yang
dilakukan The Zinc Investigator Collaborative Group menunjukkan bahwa pemberian
zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah
kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%.
124
Buku Ajar Gastrohepatologi
(iii). Probiotik
Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung
Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii pada
penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan
durasi muntah yang menyertai. Meta-analisis yang dilakukan Johnston et al. (2006)
menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-
associated diarrhea.
(iv) Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare setelah
2,39 ± 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat
bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 ± 0,33 hari). Sebuah studi uji
klinis randomized controlled double-blind yang dilakukan oleh Soenarto et al (1997)
menunjukkan bahwa formula yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi
diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode
diare akut.
9
2 01
Terapi Farmakologis aret
9M
Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena roterbukti tidak efektif. Antibiotik
diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, G ast infeksi intestinal maupun ekstra-
baik
at
intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, r apsegera diberikan antibiotik yang sensitif
k
untuk shigellosis. Metronidazol oral u(50 ntumg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada
ro
kondisi adanya trofozoit Entamoeba
G ast histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia
lamblia pada tinja, atau jika
A jar tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua
antibotik berbeda yang
u ku biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai penyebab adalah
le B
infeksi lainnya, iantibiotik diseseuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas.
F
Follow up
Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus memantau
perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
terapi diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan
kemungkinan intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung > 2 minggu dimana
50% kebutuhan cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak
ditemukan di negara maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan
manajemen nutrisi ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti
kembalinya tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam
waktu 7 hari. Gambar 7.9.1 menjelaskan alur tata laksana diare persisten/kronis.
125
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten
Diare persisten
(Diare > 14 hari disertai malnutrisi)
ASI diteruskan
Mengurangi asupan laktosa dengan:
Diet susu sereal (umumnya berbahan dasar beras)
Atau mengganti susu dengan yogurt
Suplemen mikronutrien (zink, vit. A, folat)
126
Buku Ajar Gastrohepatologi
Kejadian diare persisten sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan. Penderita
diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan lebih singkat 9 dibandingkan
2 01
kelompok kontrol. Penundaan pemberian ASI pertama pada awal kelahiran e t juga merupakan
salah satu faktor risiko diare peristen. Pemberian makanan M arpendamping terlalu dini
o 9
meningkatkan risiko kontaminasi sehingga insidensi diare r
st persisten semakin tinggi. Oleh
t
karena itu, pencegahan terhadap kejadian diare persistenGa meliputi pemberian ASI eksklusif
pa
rayang
selama 6 bulan, pemberian makanan tambahan k higienis, dan manajemen yang tepat
n tu
u berkepanjangan. Manajemen diare akut yang
pada diare akut sehingga kejadian diareotidak
a str
tepat meliputi pemberian ORS, manajemen nutrisi dan suplementasi zinc.
G
Ajar
u
Buk
i l e
F
7.11 Diare Persisten pada Kondisi Khusus
Diare persisten pada Infeksi HIV
Diare persisten merupakan salah satu menifestasi klinis yang banyak dijumpai pada
penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih
tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang meningkatkan
kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode
diare akut sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5
kali untuk terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining
yang dilakukan di India menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV
seropositif.
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum
diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan
perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik
dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan
bakteri.
127
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten
Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit dapat menyebabkan diare
persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak dijumpai
pada penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Insidensi
infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD4 yang rendah. Schmidt (1997)
mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare persisten
pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan pengurangan luas permukaan villi
usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-pasien HIV tanpa gejala diare
persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi
microsporidiasis. Grohmann et al (1993) menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus,
Calicivirus, dan Adenovirus adalah enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.
Acknowledgement
Terimakasih kepada asisten peneliti di Bagian Ilmu Kesehatan Anak/ RSUP Dr.Sardjito:
dr.Diatrie Anindyajathi, dr. Emi Azmi Choironi, dr Endy Widya Putranto, dr. Vicka Oktaria
dan dr Retno Palupi.
128
Buku Ajar Gastrohepatologi
Daftar Pustaka
1. Attili SVS, Gulati AK, Varma DV, Rai M, Sundar S. Diarrhea, CD4 counts and enteric infections
in a hospital – based cohort of HIV-infected patients around Varanasi, India. BMC Infectious
Diseases 2006, 6:39.
2. Badruddin SH, Islam A, Hendricks KM, Bhutta ZA, Shaikh S, Snyder JD, Molla AM. Dietary
risk factors associated with acute and persistent diarrhea in children in Karachi, Pakistan. Am J
Clin Nutr 1991; 54: 745-9.
3. Baqui AH, Sack RB, Black RE, Chowdhury HR, Yunus M, Siddique AK. Cell-Mediated Immune
deficiency and Malnutrition are Independent Risk Factors for Persistent Diarrhea in Bangladeshi
Children. Am J Clin Nutr 1993; 58: 543-548.
4. Black RE, Morris SS, Bryce J: Where and why are 10 million children dying every year? Lancet
2003;361:2236-2234.
5. Bhutta ZA. Persistent diarrhea in developing countries. Ann Nestle 2006;64:39-47.
6. Bhutta ZA, Bird M, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Hidayat A, Khatun F, Martorell R,
Ninh NX, Penny ME, Rosado JL, Roy SK, Ruel M, Sazawal S, Shankar A (The Zinc Investigator
Collaborative Group). Therapeutic effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in
children in developing countries: pooled analysis of randomized controlled trials. Am J Clin
Nutr 2000;72:1516–22.
7. Bhutta ZA, Hendricks KM. Nutritional Management of Persistent Diarrhea in Childhood: A
9
Perspective from the Developing World. Journal of Pediatric Gastroenterology
2 01 & Nutrition,
[Review] 1996; 22:17-37. re t
8. Budiwiarti, YE. Pengaruh Pemberian Bubur Refeeding Tempe9Terhadap Ma Diare pada Anak Diare
ro
Akut Usia 6-24 Bulan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, FK st UGM, 2005.
9. El Mouzan MI. Chronic diarrhea in children : Part t GII.a Clinical Approach and Management.
a
Saudi J Gastroenterol 1995;1:81-6.
k rap
tu
10. Field M. Intestinal ion transport and the
o un pathophysiology of diarrhea. J Clin Invest. 2003;
111(7):931-943. str
11. Fraser D, Dagan R, Porat N, rEl-On Ga J, Alkrinawi S, Deckelbaum RJ, Abraham D, Naggan L.
ja
u A of Israeli Bedouin Infants: Role of Enteric Pathogens and Family
Persistent Diarrhea in a Cohort
k
u
and Environmental Factors. JID 1998;178:1081–8.
i l e B diarrhea as an emerging child health problem. Saudi J Gastroenterol
F
12. Galal OM. Persistent
1997;3:34-40 .
13. Gaon D, Garcia H, Winter L, Rodriguez N, Quintas R, Gonzales SN, Oliver G. Effect of
Lactobacilles Strain And Saccharomices Boulardie On Persistent Diarrhoea In Children.
MEDICINA, 2003; 63: 293-298.
14. Ghishan RE. 2007. Chronic Diarrhea. In Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. WB
Saunders, Philadelphia.
15. Grohmann GS, Roger GW, Perreira HG, Monroe SS, Hightower AW, Weber R, Brian RT. Enteric
Viruses And Diarrhoea In HIV Infected Patient.1993, NEJM. 329:14-20.
16. Johnston DC, Supina AL, Ospina M, Vohla S. Probiotic For The Prevention Of Pediatric
Antibiotic Associated Diarrhoea. [Review Online]: Cochrain Database Of Systematic Review,
2008, Issue 1.
17. Kandun IN. Situasi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Diare di Indonesia.
Dalam Kumpulan Makalah Kongres Nasional II Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak
Indonesia. Departemen Kesehatan RI, 2003.
18. Kandun, IN. Situasi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Diare di Indonesia
Tahun 2008. Makalah dipresentasikan dalam Annual Scientific Meeting Dies Natalis FK UGM
ke-62 dan HUT RSUP Dr. Sardjito ke-26, Simposium Diare Rotavirus di Indonesia : Tantangan
dan Harapan. 6 Maret 2008.
129
Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten
19. Kere J, Lohi H, Hoglund P. Genetic disorder of membrane transport: III. Congenital Chloride
Diarrhea. Am J Physiol (Gastrointest Liver Physiol.39) 1999;276:7-13.
20. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrhoeal disease, as estimated from
studies published between 1992 and 2000. Bulletin of the World Health Organization 2003;81(3)
21. MoH I. Indonesia: demographic and health survey. Jakarta: Government of Indonesia; 2003.
22. Parthasarathy P, Mittal SK, Sharma VK. Prevalence of Pediatric HIV in New Delhi. [Indian J
Pediatr 2006; 73 (3) : 205-7.
23. Patwari AK, Anand VK, Aneja S, Sharma D. Persistent Diarrhea : Management in a Diarrhea
Treatment Unit, Indian Pediatric Journal, 1995; 32:277-84.
24. Roy RR, Roy E, Sultana S, Kawser CA. Epidemiology and Clinical Characteristics of Children
with Persistent Diarrhea. Journal of Bangladesh College Physicians and Surgeons,2006; Vol 24;3:
105-9.
25. Schmidt W, Schneider T, Heize W, Schultz D, Weinke T, Ignatius R, Owen EY, Zeitz, Reichen T,
Ulrich R.Mucosal Absorbtion In Microsporidiasis. AIDS. 1997, 11:1589-1594.
26. Soenarto, SY. Diarrhea Case Management: Using Research Findings Directly For Case
Management And Teaching In A Teaching Hospital In Yogyakakrta, Indonesia. Amsterdam.
1997.
27. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IGM RG. Gangguan Absorpsi-Sekresi; Sindroma
Diare. Seri Gramik:Gastroenterologi Anak Edisi 2. 1999.
28. Sudigbia I. Pencegahan dan Pengelolaan Diare Kronis. Dalam Sudigbia I, Harijono R, dan
9
Sumantri A: Naskah Lengkap PB IKA Penyakit Gastroenterologi. 1987. 2 01
t
are
29. Sullivan PB. Studies of the Small Intestine in Persistent Diarrhea
Mand
and Malnutrition : The
Gambian Experience, Journal of Pediatric Gastroenterology 9 Nutrition 2002; Supplement
stro
Ga and Other Senior Health Workers.WHO,
Vol 34: S11-S13.
30. The Treatment of Diarrhoea : A Manual for Physicians
p at
a
2005.
tu kr
n
trou
31. Thea DM, St.Louis ME, Atido U, Kanjinga K, Kembo B, Matondo M, Tshiamala T, Kamenga
C, Davachi F, Brown C, Rand aWM, s Keusch GT. A Prospective Study of Diarrhea and HIV-1
r GInfants. N Engl J Med, 1993; 329;1696-1702.
Aja C, Howdel P, Long R, Playford R, Sherriden M, Stevens R, Vallorie
Infection among 429 Zairian
32. Thomas ED, Fortes A, kuGreen
u
i l e B GM, Heal P, Brighden D. Guidelines For The Investigation Of Chronic
R, Walter J, Eddison
Diarrhoea 2ndF Ed. GAD. 2003; 52 [Supplemen V]: V1-V15.
33. Vernacchio L, Zina RM, Mitchell AA, Lesko SM, Laut AG, Achesson DWK. Characteristic Of
Persistent Diarrhoea In A Community Based Cohort, Community Of Young US Children.
Journal Of Pediatric Gastroenterology And Nutrition, 2006. 43; 52-58.
34. Walker-Smith J, Barnard J, Bhutta Z et al. Chronic diarrhea and malabsorption (including short
gut syndrome): Working Group Report of the First World Congress of Pediatric Gastroenterology,
Hepatology, and Nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2002; 33
(supplement).
35. WHO. Persistent diarrhoea in children in developing countries: memorandum from a WHO
meeting. Bull World Health Organ 1988;66: 709-17.
36. WHO, 1997. Persistent Diarrhea and Breastfeeding. WHO. Geneva.
37. WHO. 2006. Pocket Book of Hospital Care for Children: Guidelines for the Management of
Common Illnesses with Limited Resources. WHO Press, Switzerland.
38. Winter H. Gastrointestinal Tract Function and Malnutrition In HIV Infected Children. J. Nutr.
1996.126:2620s-2622s.
39. Wisinski K, Benson III A. Chemoterapy-Induced Mucositis : Focusing on Diarrhea. J Support
Oncol 2007;5:270–271.
130
BAB
8
Muntah
Badriul Hegar
8.2 Pendahuluan
Saluran pencernaan dapat diibaratkan sebagai sekelompok organ berbentuk corong yang
saling berhubungan dan membentuk satu tabung yang dilapisi oleh otot; mulai dari rongga
mulut sampai ke anus. Berdasarkan perbedaan diameter dan fungsi karateristik yang
dimilikinya, saluran tersebut dapat dibedakan menjadi esofagus, lambung, usus halus, usus
besar (kolon), rektum, dan anus. Hati dan limpa merupakan organ lain yang ikut berperan
dalam proses pencernaan dengan mensekresi cairannya ke dalam saluran cerna. Salah
satu manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh seorang anak akibat adanya
131
Bab 8 Muntah
gangguan pada saluran cerna adalah muntah. Keadaan ini dapat merupakan menifestasi
klinis dari satu keadaan yang tidak berbahaya, tetapi dapat pula sebagai tanda dari suatu
penyakit ‘serius’. Muntah bukan merupakan satu penyakit melainkan merupakan salah
satu manifestasi klinis dari suatu penyakit. Oleh karena itu, pendekatan diagnosis dan tata
laksana muntah sangat bervariasi bergantung kepada dugaan penyebabnya.
Dua organ saluran pencernaan yang paling terlibat pada proses muntah adalah
esofagus dan lambung. Oleh karena itu, pemahaman anatomi dan fisiologi kedua organ
tersebut sangat penting.
132
Buku Ajar Gastrohepatologi
terhadap proses menelan, bagian proksimal akan mengalami relaksasi sehingga dapat
mengakomodasi makanan yang masuk ke dalam lambung. Pada saat relaksasi terjadi
peningkatan tekanan intralumen fundus yang berperan dalam pengosongan lambung
dari bahan makanan yang berbentuk cair, sedangkan gerakan peristaltik antrum berperan
penting dalam pengosongan lambung dari bahan makanan berbentuk padat. Bagian distal
lambung memegang peran penting dalam mixing dan emptying.
Saluran cerna juga mendapat persarafan intrinsik dari sistem saraf enterik yang
terdapat pada lapisan muskularis (pleksus mienterikus) dan submukosa (pleksus Meissner).
Nervus vagus menggunakan pleksus mienterikus sebagai relay neurons. Dari berbagai
neurotransmiter yang ada, asetilkolin merupakan neurotransmitter terpenting dalam
aktivitas motorik saluran cerna. Aktivitas motorik saluran cerna terutama diatur oleh
sistem saraf enterik. Sistem saraf enterik dapat menerima impuls aferen secara langsung
dari saluran cerna dan memberikan respons langsung tanpa keterlibatan nervus vagus.
Oleh karena itu, sistem saraf enterik disebut sebagai ‘otak kecil’ saluran cerna.
8.4 Definisi 9
01
a et 2
Secara klinis, kadangkala sulit dibedakan antara muntah, refluks rgastresofagus (RGE), dan
M
regurgitasi. Muntah didefinisikan sebagai dikeluarkannya isi9lambung melalui mulut secara
ro
ekspulsif. Usaha untuk mengeluarkan isi lambung akan
G ast terlihat sebagai kontraksi otot
t
r apa
perut. Sedangkan, RGE didefinisikan sebagai kembalinya isi lambung ke dalam esofagus
tanpa terlihat adanya usaha dari anak. Apabilak bahan dari lambung tersebut dikeluarkan
melalui mulut, maka keadaan ini disebut u ntu regurgitasi.
sebagai
o
astr
j arG
8.5 Patogenesis
Bu
ku
A
i le
Muntah berada diFbawah kendali sistem saraf pusat dan 2 daerah di medula oblongata,
yaitu nukleus soliter dan formasi retikular lateral yang dikenal sebagai pusat muntah. Pusat
muntah di medula diaktivaskan oleh impuls yang berasal dari chemoreceptor trigger zone
(CTZ) yang berada di dasar ventrikel IV. Chemoreceptor trigger zone merupakan tempat
berkumpulnya impuls aferen yang berasal dari bahan endogen/eksogen atau impuls dari
saluran cerna atau tempat lainnya yang dihantarkan melalui nervus vagus. Pada CTZ juga
dtemukan berbagai neurotransmiter, reseptor, dan enzim. Reseptor terhadap dopamin
ditemukan pada daerah ini.
Proses muntah sendiri mempunyai 3 tahap, yaitu nausea, retching, dan emesis. Nausea
merupakan sensasi psikis yang disebabkan oleh berbagai stimulus baik pada organ visera,
labirin, atau emosi. Fase ini ditandai oleh adanya rasa ingin muntah pada perut atau
kerongkongan dan sering disertai berbagai gejala otonom seperti bertambahnya produksi
air liur, berkeringat, pucat, takikardia, atau anoreksia. Pada saat nausea, gerakan peristaltik
aktif berhenti dan terjadi penurunan kurvatura mayor lambung bagian bawah secara
mendadak. Tekanan pada fundus dan korpus menurun, sedangkan kontraksi di daerah
antrum sampai pars desendens duodenum meningkat. Bulbus duodenum menjadi distensi
sehingga dapat menyebabkan refluks duodenogaster. Selain itu juga terjadi peristaltik
133
Bab 8 Muntah
retrograd mulai dari jejunum sampai ke lambung. Adanya refluks duodenogaster tersebut
menerangkan bahwa muntah yang bercampur empedu tidak selalu disebabkan obstruksi
usus. Fase ini tidak selalu berlanjut ke fase retching dan emesis. Muntah yang disebabkan
oleh tekanan intrakranial meninggi dan obstruksi usus tidak memperlihatkan gejala nausea.
Pada fase retching terjadi inspirasi dengan gerakan otot napas spasmodik yang diikuti
dengan penutupan glottis. Keadaan ini menyebabkan tekanan intratoraks negatif dan
pada saat yang sama terjadi pula konstraksi otot perut dan diafragma. Fundus mengalami
dilatasi, sedangkan antrum dan pilorus mengalami kontraksi. Sfingter esofagus bagian
bawah membuka tetapi sfingter bagian atas masih menutup. Fase retching-pun dapat terjadi
tanpa harus diikuti oleh fase emesis.
Fase emesis ditandai dengan adanya isi lambung yang dikeluarkan melalui mulut.
Pada keadaan ini terjadi relaksasi diafragma, perubahan tekanan intratoraks dari negatif
menjadi positif, dan relaksasi sfingter esofagus bagian atas yang mungkin disebabkan oleh
peningkatan tekanan intralumal esofagus.
8.6 Etiologi
19
Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi dan tergantung dari 20usia. Beberapa keadaan
dapat menjadi pencetus terjadinya muntah seperti gangguan a ret pada lambung atau usus
(infeksi, iritasi makanan, trauma), gangguan pada telingao 9 M bagian dalam (dizziness dan
str
motion sicknes), kelainan pada susunan saraf pusat
t Ga (trauma, infeksi), atau akibat makan
a
ap merupakan penyebab muntah pada bayi.
yang berlebihan. Meskipun jarang, obstruksirusus
tu k
Beberapa penyebab muntah yang sering
o un ditemukan pada anak berdasarkan lokasi kelainan
r
ast di bawah ini.
dan usia dapat dilihat pada tabel-tabel
G
A j ar
Tabel 8.6.1. Penyebab muntah pada u
neonatus
Saluran cerna B uk Luar cerna Non-organik
e
Obstruksi FilNon-obstruksi SSP Organ lain
Atresia esofagus Gastroenteritis NEC TIK meninggi Meningitis Sepsis Iritasi C. amnion
Stenosis pilorus Kalasia Efusi subdural Hidrosefalus Insuf. ginjal Teknik minum
M. Hirschsprung Iritasi as.lambung Inf. saluran kemih Obat
Malrotasi usus Hiperplasia adrenal
Hernia hiatus Inborn error metab.
Ileus mekonium
Laktobezoar
(Sumber: Batts, 1998)
Tabel 8.6.2. Penyebab muntah pada bayi
Saluran cerna Luar saluran cerna Non-organik
Obstruksi Non-obstruksi SSP Organ lain
Stenosis pilorus RGE Meningitis Inf. saluran napas Teknik makan
Antral web Intoleransi laktosa Ensefalitis Inf. saluran kemih Erofagi
Intususepsi CMPSE TIK meninggi Otitis media Motion sicknes
Volvulus Gastroenteritis Hepatitis Obat
NEC Insufisiensi adrenal
Gangguan metabolik
(Sumber: Batts, 1998)
134
Buku Ajar Gastrohepatologi
Oleh karena begitu besarnya variasi penyakit atau keadaan yang dapat menyebabkan
muntah pada anak, maka pengenalan keluhan dan gejala klinis yang spesifik dari masing-
masing penyakit tersebut sangat diperlukan oleh seorang dokter sebagai langkah awal
melakukan pendekatan diagnosis. Langkah awal yang tepat akan memberikan keakuratan
diagnosis yang cepat. Pada BAB ini tidak akan dibahas secara rinci penyebab muntah
tersebut, tetapi akan diuraikan pendekatan diagnosis secara umum.
135
Bab 8 Muntah
yaitu (1) nyeri perut yang timbul mendahului muntah, (2) muntah bercampur empedu, dan
(3) distensi perut. Volvulus pada neonatus memperlihatkan muntah berwarna hijau yang
timbul pada hari-hari pertama kehidupan dan selanjutnya diikuti tanda obstruksi saluran
cerna letak tinggi dan peritonitis. Muntah ditemukan pada 90% anak dengan volvulus,
sedangkan sakit perut pada 80% anak.
Muntah dapat pula disebabkan oleh kelainan di luar saluran cerna seperti infeksi
saluran napas atau saluran kemih. Beberapa obat dapat pula sebagai pencetus muntah
pada anak seperti histamin, fenitoin, (obat anti epilepsi), kemoterapi, aspirin, dan beberapa
antibiotika. Muntah setelah trauma kepala yang ringan ditemukan pada 15% anak dan
sebagian besar mempunyai riwayat sakit kepala berulang dan motion sickness. Oleh karena
itu, muntah pada trauma kepala ringan lebih dihubungkan dengan adanya faktor intrinsik
individual. Muntah akibat kelainan fungsional biasanya ditemukan pada anak berusia
2-7 tahun dengan disertai keluhan migrain, motion sickness, dan gangguan saluran cerna
fungsional lainnya (sakit perut, gangguan defekasi). Saat keluhan, adanya gangguan tingkah
perilaku seperti anoreksia atau bulimia nervosa perlu dipikirkan adanya kelainan psikiatri.
Secara garis besar pendekatan diagnosis muntah pada anak dapat dirangkum sebagai
berikut:
- Tegakkan/singkirkan penyakit infeksi sebagai penyebab muntah (misalnya otitis media,
9
diare, infeksi intrakranial, infeksi saluran kemih atau napas, sepsis,
2 01 atau hepatitis)
re t
- Tegakkan/singkirkan kelainan organik saluran cerna (misalnya
9 Ma atresia esofagus, RGE,
stenosis pilorus, M. Hirschsprung, penyakit peptikum) ro
- Cari kemungkinan adanya masalah dalam makanan G ast (misalnya intoleransi laktosa, alergi
at makan/minum yang salah)
makanan, kebanyakan makan, teknik pemberian r ap
k
- Cari kemungkinan adanya pengaruh
u ntu obat-obatan, kelainan psikologi, dan kelainan
o
metabolik. str
a
G
Ajar
u
8.8 Diagnosis
i l e Buk
F
Pemeriksaan penunjang dilaksanakan untuk membantu pendekatan diagnosis. Jenis
pemeriksaan yang dipilih sesuai dengan dugaan diagnosis berdasarkan anamnesis dan
manifestasi klinis. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan darah, radiologis
dengan atau tanpa kontras, ultrasonografi, endoskopi, pemantauan pH esofagus (pH-
metri), uji hidrogen napas, biopsi mukosa saluran cerna.
Muntah hijau pada neonatus baik yang disertai atau tidak disertai distesi abdomen
dapat merupakan petanda awal obstruksi saluran cerna. Pipa nasogastrik harus segera
dipasang untuk dekompresi lambung. Pemeriksaan foto polos perut yang memperlihatkan
dilatasi usus dan air-fluid levels menunjukkan adanya obstruksi saluran cerna yang
memerlukan tidakan bedah. Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan kontras dapat
membedakan adanya atresia duodeni, malrotasi midgut, volvulus, atresia jejunum, atau
ileus yang merupakan penyebab obstruksi saluran cerna paling sering pada neonatus.
Kecurigan klinis adanya stenosis pilorus dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
barium meal atau ultrasonografi yang memperlihatkan gambaran khas. Adanya refluks
gastroesofagus (RGE) dapat dibuktikan dengan pemantauan pH esofagus selama 24 jam
(pH-metri). Indeks refluks di atas 5% menunjukkan adanya RGE patologis. Esofagitis dan
136
Buku Ajar Gastrohepatologi
penyakit peptikum (erosi, ulkus) dapat dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi dan
biopsi mukosa saluran cerna. Kecurigaan terhadap intoleransi laktosa dan overgrowth
bacteria dibuktikan dengan pemeriksaan uji hidrogen napas. Peningkatan kadar H2 napas
diatas 20 ppm pada menit ke 60-120 setelah minum larutan laktosa menunjukkan adanya
malabsorpsi laktosa, sedangkan peningkatan pada menit ke-30 menunjukkan overgrowth
bacteria. Pemeriksaan darah perifer dan urin diperlukan untuk melihat kemungkinan
adanya infeksi yang mendasari keluhan tersebut, sedangkan pemeriksaan analisis gas darah
dan elektrolit dilakukan bila diduga telah terjadi komplikasi gangguan metabolik atau
sebaliknya adanya kecurigaan gangguan metabolik yang mendasari keluhan tersebut.
8.9 Terapi
Terapi utama muntah ditujukan kepada penyebabnya, sedangkan terapi suportif diperlukan
untuk mencegah keadaan yang lebih buruk dan mengatasi komplikasi yang telah terjadi.
Beberapa petunjuk di bawah ini dapat dipakai sebagai terapi awal muntah pada anak, yaitu:
- Apabila tidak ada obstruksi saluran cerna, muntah biasanya akan berhenti dalam waktu
6-48 jam.
- Atasi dan cegah dehidrasi serta gangguan keseimbangan elekrolit. 9
01
- Anak diistirahatkan (sebaiknya di tempat tidur) sampai merasa
re t 2lebih enak atau tidak
ada muntah lagi selama 6 jam.
9 Ma
- Hentikan obat-obatan yang diduga dapat mengiritasi rolambung dan membuat muntah
G ast
bertambah (misalnya aspirin, asetosal, kortikosteroid,
at antibiotik golongan makrolid).
ap
- Hindarkan makanan padat pada 6 jam pertama kr dan berikan rasa nyaman pada anak
ntu
selama periode ini (misalnya denganumenurunkan suhu tubuh).
tr o
- Berikan makanan yang mudah
G as dicerna sehingga membantu proses penyembuhan
r
ja gangguan.
saluran cerna yang mengalami
- Berikan minuman manis ku A seperti jus buah (kecuali jeruk dan anggur karena terlalu
asam), sirup, ataul Bu (untuk anak di atas 1 tahun) secara bertahap setiap 15-20 menit
emadu
Fi
sebanyak 1-2 sendok teh. Cairan lain yang dapat pula diberikan antara lain kaldu ayam,
atau oralit.
- Setelah 1 jam pertama dapat diberikan minuman dengan jumlah yang lebih banyak
(2-4 sendok teh setiap 15-20 menit) secara bertahap dan ditingkatkan 2 kali setiap 1
jam. Apabila terjadi muntah kembali, berikan minuman dalam jumlah lebih sedikit.
Pemberian minum ad libitum pada anak terutama bayi mempunyai risiko terjadi
muntah yang berulang.
- Setelah 3 jam tidak mengalami muntah, dapat diberikan minuman melalui gelas (anak)
atau botol (bayi) dengan jumlah yang ditingkatkan secara bertahap pula.
- Setelah 6 jam tidak mengalami muntah, bayi dapat diberikan buah pisang, sereal, dan
jus apel, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat diberikan roti, krakers, madu, sup
ayam, kentang atau nasi. Jenis dan jumlah makanan juga diberikan secara bertahap. Diet
normal biasanya dapat diberikan setelah 24 jam.
- Hindarkan aktivitas setelah makan.
- Obat anti muntah diberikan bila memang benar-benar diperlukan. Pemberian obat-
obatan ini harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Obat diberikan bila
anak menolak minum setelah muntah atau muntah telah berlangsung lebih dari 24 jam.
137
Bab 8 Muntah
- Pemantauan lebih teliti perlu diberikan bila ditemukan keadaan sebagai berikut: muntah
tetap berlangsung selama 12 jam (untuk bayi) dan 24 jam (untuk anak), muntah disertai
diare, disertai gangguan neurologis, letargi, tanda dehidrasi dan sakit perut, gangguan
pernapasan, atau isi muntah berwarna kehijauan.
Obat anti muntah tidak digunakan secara rutin pada anak, tetapi hanya pada anak
yang menolak minum setelah muntah atau muntah berlangsung lebih dari 24 jam sehingga
dikhawatirkan keadaan tersebut akan menimbulkan komplikasi baik berupa dehidrasi
maupun gangguan keseimbangan elektrolit dan gas darah. Obat anti muntah dapat langsung
diberikan pada kasus yang mendapat kemoterapi atau radioterapi. Hal yang paling penting
adalah harus diyakini bahwa tidak ada obstruksi saluran cerna.
Berbagai jenis obat dilaporkan sebagai obat anti muntah seperti golongan antagonis
reseptor dopamin, antikolenergik, antihistamin, dan antagonis reseptor serotonin.
Pemilihan golongan obat tersebut bergantung dari patofisiologi muntah yang terjadi. Pada
motion sicknes terjadi gangguan sistem vestibular, maka golongan antikolinergik (misalnya
skopolamin) merupakan obat pilihan. Golongan antihistamin (hyoscine hydrobromide,
prometazin) yang bekerja pada ’pusat muntah’ juga dapat digunakan pada keadaan tersebut.
Golongan antagonis reseptor serotonin (ondansetron) yang bekerja pada 9 CTZ sangat efektif
pada kasus yang mendapat kemoterapi dan radioterapi. 2 01
a ret
M
Gangguan pada saluran cerna seperti yang terjadi 9pada infeksi, golongan antagonis
ro
reseptor dopamin yang bekerja pada pusat (CTZ) dan
G ast perifer (saluran cerna) merupakan
obat pilihan. Dari golongan tersebut, metoklopramid at dan domperidon merupakan jenis
obat yang banyak digunakan sebagai uantimuntah.r ap Metoklopramid mempunyai efek
nt k
menghambat reseptor dopamin di CTZ, u sehingga mengurangi nausea dan muntah. Berbagai
ro
gejala seperti ansietas, tremor, G ast
distonia dan diskenesis pernah dilaporkan pada pasien yang
menggunakan obat ini. Ajar
u
Domperidon banyak
Buk digunakan sebagai obat anti muntah karena efeknya yang positif
e
Fil
dan efek sampingnya kecil (0,5%). Obat ini selain menghambat reseptor dopamin di
CTZ, juga pada reseptor dopamin perifer (saluran cerna). Efek positif yang diperlihatkan
setelah pemberian domperidon, antara lain meningkatkan tekanan SEB, meningkatkan
kontraktilitas lambung, memperbaiki koordinasi antroduodenum, dan mempercepat
pengosongan lambung. Domperidon mempunyai bioavailabilitas yang rendah karena
dimetabolisme secara cepat di dinding usus dan hati. Domperidon dapat ditoleransi lebih
baik dan mempunyai efek samping ekstrapiramidal yang lebih kecil dibanding metoklopramid
karena berkemampuan kecil menembus sawar darah otak. Dosis yang dianjurkan pada anak
adalah 0,2 -0,4 mg/kgBB/hari peroral.
8.10 Pencegahan
Pencegahan yang dimaksud di sini adalah pencegahan terjadinya komplikasi akibat
muntah, seperti gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (dehidrasi, asidosis/alkalosis
metabolik, hipokalemia, hiponatremia), aspirasi, gangguan nutrisi, esofagitis peptikum,
dan sindrom Mallory-Weiss. Keadaan tersebut dapat dicegah dengan mengikuti petunjuk
tata laksana muntah pada anak seperti yang diuraikan sebelumnya.
138
Buku Ajar Gastrohepatologi
8.11 Simpulan
Muntah merupakan salah satu manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh
seorang anak yang mengalami gangguan pada saluran pencernaan maupun di luar saluran
pencernaan. Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi, oleh karena itu pengenalan
manifestasi klinis spesifik dari masing-masing penyakit yang sering sebagai penyebab
muntah perlu dipahami oleh seorang dokter. Pendekatan diagnosis yang tepat dan cepat
akan menimbulkan penatalaksanaan yang optimal. Penggunaan obat anti muntah bukan
merupakan pilihan utama pada kasus muntah, tetapi pada beberapa keadaan, obat anti
muntah yang efektif dan aman sangat diperlukan.
Daftar pustaka
1. Batts KF, Munter DW. Metoclopramide toxicity in an infant. Pediatr Emerg care 1998; 14 (1):39-
41.
2. Biancani P, Zabinski M, Kerstein M, Behar J. Lower esophageal sphincter mechanics: Anatomic
and physiologic relationships of the esophagogastric junction of cat. Gastroenterology 1982; 82:
468-75.
3. Brown FD, Brown J, Beatle TF. Why do children vomit after minor head injury ? J Accid Emerg
9
Med 2000;17:268-71. 2 01
t
4. Davies AEM, Sandhu BK. Diagnosis and treatment of gastro-oesophageal
M are reflux. Arch Dis Child
1995; 73: 82-6. 9
ro
5. Dinkevich E, Ozuah PO, Adam HM. Pyloric stenosis. Pediatric
G ast in review 2000;21:1-3.
6. Dodge JA. Vomiting and regurgitation. In: Walker t Durie PR, Hamilton JR, Walker Smith
aWA,
rap
JA, Watkins JB, eds. Pediatric gastrointestinal
tu k diseases, 2nd ed. Philadelphia: BC Decker 1991,
n
32-44. ou
7. Ganzini L, Casey DE, Hoffman WF, a strMcCall AL. The prevalence of metoclopramide induced
G
tardive dyskinesia and acute
A jar extrapyramidal movement disorders. Arch Intern Med
1993;153:1469-75. ku
8. Hegar B, BullerileHA.Bu Breath hydrogen test in lactose malabsorption. Paediatr Indones
1995;35:161-71.F
9. Hegar B, Vandenplas Y. Electrogastrography in delayed gastric emptying. Paediatr Indones
1998;38:181-90.
10. Hegar B, Vandenplas Y. Gastro-esophageal reflux in infancy. J. Gastroenterol Hepatol 1999;14:13-
9.
11. Kimura K, Loening BV, Billious vomiting in the newborn: Rapid diagnosis of intestinal
obstruction. Am Fam Physician 2000;61:2791-8.
12. Kumar D. Gross morphology of the gastrointestinal tract. In: Kumar D, Gustavsson eds.
Gastrointestinal motility, 1st ed. London : John Wiley & Sons, 1988: 3-8.
13. Lerner A, BranskiD, Lebenthal E. Pancreatic diseases in children. Pediatr Clin North America
1996;43:125-34.
14. Peitz HG. Volvulus in childhood. Radiology 1997;37:439-45.
15. Penagini R, Bartesaghi B, Bianchi PA. Effect of cold stress on postprandial lower esophageal
sphincter competence and gastrooesophageal reflux in healthy subjects. Dig Dis Sci 1992; 37:
1200-5.
16. Pope CE. A dynamic test of sphincter strength: Its application to the lower esophageal sphincter.
Gastroenterology 1967; 52: 779-86.
17. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Diseases of gastrointestinal tract. In: Roy CC, Silverman A,
139
Bab 8 Muntah
Alagille D, eds. Pediatric clinical gastroenterology, 1st ed. St Louis: Mosby 1998:20-30.
18. Rule DC. The mouth. Disorders of oral cavity. In : Walker WA, Durie PR, Hamiltn JR, Walker-
Smith JA, Watkins JB. eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. 1st ed. Ontario: BC Decker
1991:255-6.
19. Stendal C. Anatomy of the digestive system. In : Stendal C. ed. Practical guide to gastrointestinal
function testing. 1st ed. London: Blackwell Science, 1997: 1-14.
20. Synectics Medical. Digitrapper Mk III: User manual. Synetics Medical AB, Sweden, 1994.
21. The Italian group for antiemetic research. Dexamethasone alone or in combination with
ondansetron for the prevention or delayed nausea and vomiting induced by chemotherapy. N
Eng J Med 2000;342:1554-9.
22. Tomomasa T, Kuroume T. Developmental physiology. In : Hyman PE, Lorenzo CD eds. Pediatric
gastrointestinal motility disorders, 1st ed. New York : Academy Profesional Information Services,
1994: 1-7.
23. VandenplasY, Hegar B. Diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux diseases in infant
and children. J Gastroenterol Hepatol 2000;15:593-603.
24. Vandenplas Y, Hegar B, Salvatore S, Hauser B. Pharmacotherapy of gastrooesophageal reflux
disease in children: focus in safety. Expert Opin Drug Saf 2002;I(4):355-64.
25. Weber AR. Disorders of the stomach and duodenum. In: Roy CC, Silverman A, Alagille D.
Pediatric clinical gastroenterology. 4th ed. St Louis : Mosby, 1998, 174-81.
26. Weber AR, Hyman PE, Cuuhiara S, Fleisher DR, Hyams JS, Milla PJ, Staiano A. Childhood
functional gastrointestinal disorders. Gut 1999;45(suppl II) 60-8. 201
9
27. Weisbrodt NW. Swallowing. In: Johnson LR, ed. Gastrointestinal
t
re physiology. Mosby, Missouri,
1985; 23-31. 9 Ma
o
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
140
BAB
9
Sakit Perut pada Anak
Aswitha Boediarso
141
Bab 9 Sakit Perut pada Anak
Pada saat kontrol di Poliklinik Gastrohepatologi Anak RSCM satu minggu kemudian,
tidak didapatkan lagi keluhan sakit perut berulang. Evaluasi hasil eradikasi H. pylori pada
satu bulan pasca terapi dengan melakukan endoskopi ulang memberikan hasil gambaran
mukosa esofagus dan lambung normal, sedangkan hasil patologi anatomi jaringan biopsi
memberikan gambaran gastritis kronik nonaktif dengan atrofi ringan serta H. pylori negatif.
9.2 Pendahuluan
Sakit perut pada bayi dan anak merupakan gejala umum dan sering dijumpai dalam praktik
sehari-hari. Tidak semua sakit perut berpangkal dari lesi yang ada dalam abdomen, tetapi
mungkin pula dari daerah di luar abdomen.
Sebagian kasus yang disebabkan oleh gangguan organ datang dalam keadaan akut dan
memerlukan pembedahan. Oleh karena itu tindakan pertama dalam menangani sakit perut
ialah menentukan apakah penyakit tersebut membutuhkan tindakan bedah segera atau
tidak. Disamping sakit perut akut dikenal pula sakit perut berulang.
Adapun yang dimaksud dengan sakit perut berulang pada anak ialah serangan
sakit perut yang berulang sekurang-kurangnya 3 kali dalam jangka waktu 3 bulan dan
9
mengakibatkan aktivitas sehari-hari terganggu. Sakit perut berulang
2 01 biasanya terjadi pada
t
re terbanyak pada usia 5-10
anak yang berusia antara 4 sampai 14 tahun, sedangkan frekuensi
tahun. 9 Ma
o
str
Ga
p at
9.3 Patofisiologi ntu
k ra
u
ro
Sakit perut berasal dari 7 sumber:
G ast
1. Distensi viseral
Ajar
2. Iskemia u
Buk
e
3. Radang intraabdominal
4.
Fil
Kelainan pada dinding abdomen
5. Kelainan ekstraabdominal
6. Kelainan metabolik
7. Kelainan pada susunan saraf
Traktus gastrointestinal dan organ di sekitarnya berdasarkan vaskularisasi dan
persarafannya secara embriologi berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Orofaring,
esofagus, gaster, sebagian duodenum, pankreas, hati, kandung empedu dan limpa berasal
dari foregut. Duodenum bagian distal, jejunum, ileum, apendiks, kolon asenden serta
sebagian kolon transversum berasal dari midgut. Kolon transversum bagian distal, kolon
desenden, sigmoid dan rektum berasal dari hindgut. Rangsang sakit dari ketiga segmen
tersebut dapat tercermin dari letak sakit perut di bagian atas, tengah dan bawah.
Peritoneum berasal dari mesoderm. Peritoneum terdiri dari dua lapis, yaitu peritoneum
viseralis dan peritoneum parietalis. Peritoneum viseralis dipersarafi bilateral oleh sistem
saraf otonom (simpatis dan parasimpatis), sedangkan peritoneum parietalis oleh saraf
somatis dari medula spinalis. Rasa sakit dari peritoneum viseralis dirasakan di garis tengah
perut. Rasa sakit dari peritoneum parietalis terlokalisasi dengan baik, dirasakan di daerah
142
Buku Ajar Gastrohepatologi
organ itu berada dan sakitnya bertambah bila digerakkan (perut ditekan atau penderita
disuruh batuk). Sakitnya dirasakan seperti disayat pisau atau ditusuk-tusuk.
Reseptor rasa sakit di dalam traktus digestivus terletak pada saraf yang tidak bermielin
yang berasal dari sistem saraf otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini disebut sebagai
serabut saraf C yang dapat meneruskan rasa sakit lebih luas dan lebih lama dari rasa sakit
yang dihantarkan oleh serabut saraf A yang terdapat di kulit, otot dan peritoneum parietalis.
Reseptor nyeri pada perut terbatas di submukosa, lapisan muskularis dan serosa dari
organ di abdomen. Serabut C ini bersama dengan saraf simpatis menuju ke ganglia pre dan
paravertebra dan memasuki ganglia akar dorsal. Impuls aferen akan melewati medula spinalis
pada traktus spinotalamikus lateralis menuju ke talamus, kemudian ke konteks serebri.
Impuls aferen dari visera biasanya dimulai oleh regangan atau akibat penurunan hebat
ambang nyeri pada jaringan yang meradang. Nyeri ini khas bersifat tumpul, pegal dan
berbatas tidak jelas serta sulit dilokalisasi. Impuls nyeri dari visera abdomen atas (lambung,
duodenum, pankreas, hati dan sistem empedu) mencapai medula spinalis pada segmen
thorakalis 6, 7, 8 serta dirasakan di daerah epigastrium.
Impuls nyeri yang timbul dari segmen usus yang meluas dari ligamentum Treitz sampai
fleksura hepatika memasuki segmen th 9 dan 10, dirasakan di sekitar umbilikus. Dari kolon
9
distalis, ureter, kandung kemih dan traktus genitalis perempuan, impuls nyeri
2 01 mencapai segmen
t
th 11 dan 12 serta segmen lumbalis pertama. Nyeri dirasakan pada are daerah suprapubik dan
kadang-kadang menjalar ke labium atau skrotum. Jika proseso penyakit9M meluas ke peritoneum
parietalis maka impuls nyeri dihantarkan oleh serabut str
aferen somatis ke radiks spinalis
Ga
segmentalis dan sakit dirasakan di daerah dimana p atorgan itu berada. Penyebab metabolik
a
seperti pada keracunan timah dan porfirin belum tu k r jelas patofisiologi dan patogenesisnya.
n
Patofisiologi sakit perut berulang tro u yang fungsional (tidak berhubungan dengan
as
j arG
kelainan organik) masih sulit dimengerti. Diperkirakan ada hubungan antara sakit perut
berulang fungsional dengan A
penurunan ambang rangsang nyeri. Berbagai faktor psikologis
ku
umediator
dapat berperan sebagai e B atau moderator dari sakit perut berulang fungsional
(Tabel 9.3.1). Fil
Tabel 9.3.1. Mediator dan moderator dari sakit perut berulang fungsional
PSIKOLOGIS FISIOLOGIS
Faktor stres Intoleransi laktosa
Depresi Dismotilitas usus
Ikatan keluarga Konstipasi
Operant conditioning Ketidakstabilan otonom
Somatisasi
Sumber: Hyam JS, 1998.
Juga diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sakit perut berulang
fungsional dengan tipe kepribadian tertentu, yaitu sering cemas/gelisah, dan selalu ingin
sempurna. Pada anggota keluarga lainnya juga sering ditemukan kelainan psikosimatik
seperti migrain dan kolon iritabel.
143
Bab 9 Sakit Perut pada Anak
9.4 Patogenesis
Mekanisme timbulnya sakit perut adalah:
1. Gangguan vaskular
Emboli/trombosis, ruptur, oklusi akibat torsi atau penekanan. Kejadian ini misalnya
terjadi pada putaran kista ovarium dan jepitan usus pada invaginasi.
2. Peradangan
Peradangan organ dalam rongga peritoneal menimbulkan rasa sakit bila proses
peradangan telah mengenai peritoneum parietalis. Mekanismenya seperti pada
peradangan pada umumnya, yang disalurkan melalui persarafan somatik. Rasa sakit ini
dirasakan setempat atau di seluruh perut tergantung pada peritoneum yang meradang,
menetap dan bertambah bila terdapat gerakan peritoneum yang meradang (batuk,
penekanan pada abdomen).
3. Gangguan pasase/obstruksi organ yang berbentuk pembuluh, baik yang terdapat dalam
rongga peritoneal ataupun di retroperitoneal
Organ-organ tersebut ialah saluran pencernaan, saluran empedu, saluran pankreas dan
saluran kemih. Bila pasase dalam saluran-saluran tersebut terganggu, baik total maupun
parsial, akan timbul rasa sakit akibat tekanan intralumen yang meninggi di bagian
9
01
proksimal sumbatan. Sakit dirasakan hilang timbul atau terus 2menerus dengan puncak-
re t
puncak nyeri yang hebat (kolik). a
4. Penarikan, peregangan dan pembentangan peritoneum o 9M
viseralis
str
Misalnya pada pembengkakan hati dan ginjal. a
tG a
k rap
tu
Di dalam praktik, keempat penyebabo un timbulnya rasa sakit jarang ditemukan sendiri-
sendiri, tetapi umumnya merupakan
r
st proses campuran.
r Ga
ja
kuA
u
9.5 Etiologi Fi l eB
Etiologi sakit perut akut biasanya dibagi menurut usia ataupun menurut perlunya tindakan
bedah atau tidak. Pada tabel 9.5.1 dan 9.5.2 dapat terlihat etiologi sakit perut akut menurut
umur dan perlu tidaknya tindakan bedah. Etiologi sakit perut akut pada neonatus dapat
terlihat pada tabel 9.5.3.
144
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 9.5.1. Penyebab utama sakit perut akut menurut umur, yang memerlukan tindakan bedah
Bayi/anak di bawah usia 2 tahun
Abdomen : Perforasi tukak lambung
Obstruksi usus: - intususepsi
- volvulus dan malrotasi
Apendisitis dan enterokolitis nekrotikan
Luar abdomen: Hernia inguinalis dengan strangulasi dan inkarserasi
Anak di atas usia 2 tahun
Abdomen:
Obstruksi
a. Obstruksi usus akibat perlekatan atau volvulus dan malrotasi
Perforasi akibat obstruksi usus
b. Peradangan
Apendisitis
Peritonitis primer
Peritonitis akibat perforasi divertikulum Meckeli
Perforasi ulkus duodeni atau perforasi akibat demam tifoid
Divertikulitis Meckeli
Kolesistitis dengan/tanpa batu empedu
Megakolon toksik dengan perforasi
c. Trauma
Ruptura limpa, buli-buli atau organ visera yang lain
Hematoma subserosa
d. Pendarahan
Pendarahan ke dalam kista ovarium
e. Di daerah Tropis
Perforasi yang berhubungan dengan askariasis, strongiloidiasis, perforasi abses amuba.
9
01
Luar abdomen:
- Torsio testis
t 2
- Hernia inguinalis dengan strangulasi dan inkarserasi
are
Sumber: Ulshen, 1996.
o 9M
str
Ga
Tabel 9.5.2. Penyebab non-bedah sakit perut akut17
p at
Abdomen: Infeksi intestinal: Salmonella, Shigella, Campylobacter,kdllra
Bayi/anak di bawah usia 2 tahun
tu
un
Luar abdomen: Pneumonia
Infeksi traktus urinarius
r o
Anak di atas usia 2 tahun st
Abdomen:
r Ga
a. Intestinal: a
Ajenterocolitica
u
- Infeksi: Salmonella, Shigella, Yersinia
k
- Keracunan makanan: toksin uStaphylococcus, dan lain-lain
- Penyakit Crohn
i l eB - Obstipasi
- Kolitis ulseratif F - Sickle cell anaemia
- Kolitis amuba - Adenitis mesenterika
- Purpura Henoch-Schonlein - Ileus mekonium
b. Hati dan percabangan bilier
- Hepatitis A dan B, mononukleosis infeksiosa
- Kolelitiasis
c. Pankreas
Pankreatitis akut: infeksi, trauma, akibat lesi bilier, idiopatik
d. Renal
- Infeksi traktus urinarius
- Batu
- Nefritis
e. Metabolik
- Porfiria
- Hiperlipidemia
- Ketoasidosis diabetik
- Familial mediterranean fever
f. Ginekologis
Salpingitis
Luar abdomen:
- Pneumonia
- Limfadenitis inguinalis
- Osteomielitis (vertebra, pelvis)
- Hematomata otot abdomen
- Herpes Zoster
- Kompresi saraf spinal
Sumber: Ulshen, 1996.
145
Bab 9 Sakit Perut pada Anak
146
Buku Ajar Gastrohepatologi
ditentukan. Perubahan lokalisasi sakit perlu ditanyakan pada anak. Bila rasa sakit
mula-mula ada di daerah periumbilikus dan kemudian pindah ke daerah perut
kanan bawah, ini adalah tanda apendisitis,
b. Sifat dan faktor yang menambah/ mengurangi rasa sakit
Sakit yang berasal dari spasme otot polos (usus, traktus urinarius, traktus biliaris)
biasanya berupa kolik yang sukar ditentukan lokalisasinya dengan tepat dan tidak
dipengaruhi oleh adanya batuk atau penekanan abdomen. Sakit yang berasal
dari iritasi peritoneum akan terasa menetap di tempat iritasi dan menghebat bila
penderita batuk atau ditekan perutnya. Apakah sakit menetap, bertambah hebat atau
berkurang dan adakah faktor-faktor yang dapat menambah atau mempengaruhi
rasa sakit. Adakah penyebaran rasa sakit.
c. Lama sakit dan pernahkah timbul rasa sakit seperti ini sebelumnya. Bila sakit perut
berlangsung lebih dari 24 jam perlu perhatian serius.
d. Gejala yang mengiringi: anoreksia, muntah, diare dan panas. Muntah yang berwarna
kuning atau hijau merupakan tanda adanya obstruksi usus, begitu pula muntah yang
berlangsung 12 – 24 jam atau lebih memerlukan perhatian serius.
• Pola defekasi: - diare, obstipasi
- darah dalam tinja
• Pola kencing 9
2 01
• Siklus Haid re t
• Gejala/ gangguan traktus respiratorius 9 Ma
ro
• Trauma: trauma tumpul dapat menyebabkan hematoma ast subserosa
G
p at
r a
Pemeriksaan fisik k
u ntu
o
Pemeriksaan fisik harus lengkap dari
a str kepala sampai ujung kaki walaupun titik beratnya
pada abdomen. G
A jar
u
Perhatikan keadaan kumum anak dan posisi anak waktu berjalan atau waktu tidur di
Bu
e
tempat periksa. Apakah anak masih dapat berlompat-lompat. Jika ia terbaring diam dan
Fil
kesakitan bila diubah posisinya maka hal ini mungkin adalah tanda abdomen akut.
Pemeriksaan pada abdomen harus dilakukan pada posisi anak yang santai dan dicari/
dilihat/dilakukan:
• Asimetri perut
• Bentuk perut (buncit, skapoid)
• Gambaran usus
• Nyeri terlokalisasi
• Massa (tumor), cairan ascites
• Ketegangan dinding perut
• Nyeri tekan
• Rebound tenderness
• Bising usus di seluruh perut
• Colok dubur: - darah (?)
• Pemeriksaan ginekologi: atas indikasi
147
Bab 9 Sakit Perut pada Anak
148
Buku Ajar Gastrohepatologi
149
Bab 9 Sakit Perut pada Anak
Etiologi
Beberapa ahli mencoba mengelompokan penyebab SPB ke dalam beberapa golongan.
Konsep pertama yaitu konsep klasik membagi sakit perut berulang ke dalam dua golongan,
organik dan psikogenik (fungsional atau psikosomatik). Pendekatan diagnostik yang
dilakukan adalah dengan mencari dulu penyebab organik, apabila tidak ditemukan baru
dipikirkan kemungkinan penyebab psikogenik. Cara pendekatan seperti ini memerlukan
waktu dan biaya yang besar.
Barr mengajukan konsep kedua yang agak berbeda. Sakit perut berulang digolongkan
atas 3 kelompok, yaitu: organik, disfungsional dan psikogenik. Nyeri organik disebabkan
oleh suatu penyakit, misalnya infeksi saluran kemih. Nyeri disfungsional disebabkan oleh
berbagai variasi fisologi normal dan dibagi dalam 2 kategori, yaitu sindrom nyeri spesifik
(mekanisme penyebab nyerinya diketahui, misalnya defisiensi laktase dan kontipasi) dan
sindrom nyeri nonspesifik (mekanisme penyebab nyeri tidak jelas atau tidak diketahui).
Nyeri psikogenik disebabkan oleh tekanan emosional atau psikososial tanpa adanya
kelainan organik.
Konsep ketiga diajukan oleh Levine dan Rappaport yang menekankan adanya penyebab
multifaktorial. Sakit perut berulang merupakan resultan dari 4 faktor, yaitu: (1) predisposisi
19 dan pola respons,
somatik, disfungsi atau penyakit, (2) kebiasaan dan cara hidup, (3)20watak
t
are berperan meningkatkan
dan (4) lingkungan dan peristiwa pencetus. Faktor-faktor tersebut
M
9
atau meredakan rasa sakit. Dengan demikian dapat diterangkan mengapa beberapa anak
ro
ast
menderita konstipasi tanpa sakit perut berulang.GDemikian pula halnya dengan kondisi
at
psikososial yang buruk akan menimbulkan sakit r ap perut berulang pada anak tertentu, tetapi
k
ntu
tidak pada anak yang lain (Gambar 9.9.1).
ou
a str
G
Ajar
u
Buk
l e
Fi KEBIASAAN DAN CARA HIDUP
Gambar 9.9.1. Konsep yang menggambarkan peran penyebab multifaktorial pada sakit perut berulang
Penyebab sakit perut berulang yang terbanyak adalah faktor psikofisiologi, sedangkan
kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang dahulu hanya dilaporkan pada 5%-
10% kasus, namun sekarang mencapai 30%-40%. Van der Meer dkk (1993) menemukan
150
Buku Ajar Gastrohepatologi
42% kelainan organik pada 106 anak usia diatas 5 tahun yang mengalami keluhan sakit
perut berulang, yaitu malabsorpsi laktosa (15%), duodenitis/gastritis (13%), infeksi H.
pylori (7%), refluks gastroesofageal (4%) dan alergi makanan (3%).
Pada garis besarnya kelainan organik penyebab sakit perut berulang dapat dibagi
intraabdominal dan ekstraabdominal. Penyebab intraabdominal diklasifikasikan menurut
penyebab dari dalam saluran cerna, ginjal dan lain-lain. Kelainan organik sebagai penyebab
sakit perut dapat dilihat pada Tabel 9.9.2.
Manifestasi Klinis
Keluhan sakit perut berulang sering ditemukan pada usia 4 – 14 tahun, dengan frekuensi
tertinggi pada usia 5 – 10 tahun. Pada anak di atas usia 9 tahun keluhan lebih sering
ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki (1,5:1). Manifestasi klinis yang
diperlihatkan bervariasi cukup luas, baik dalam hal frekuensi, waktu, intensitas, lokasi
maupun gejala yang mengikuti. Keluhan mual, berkeringat dingin, muntah, pusing, pucat
dan palpitasi sering menyertai sakit perut berulang. Serangan biasanya berlangsung kurang
dari 1 jam dan diselingi periode bebas serangan. Gejala klinis sakit perut berulang yang
klasik dapat dilihat pada tabel 9.9.3. Etiologi sakit perut berulang yang disebabkan oleh
kelainan organik mempunyai tanda peringatan (alarm symptoms) seperti 9
2 01 yang terlihat pada
Tabel 9.9.4. re t
9 Ma
Tabel 9.9.2. Beberapa penyebab organik sakit perut berulang ro
ast
Intraabdominal tG
aEkstraabdominal
Saluran cerna Di luar saluran cerna r ap Lain-lain
uk
Maltorasi Hati, limpa, pankreasunt Hematologi Keracunan timbal
o
Duplikasi
a str
Pankreatitis kronis Leukemia Porfiria
Gastritis Kolelitiasisr G Limfoma Epilepsi perut
ja
Hernia inguinalis
uA
Kolesistitis
kHepatitis
Sickle cell anemia Migrain
Volvulus
e Bu Talasemia Hiperlipidemia
Ulkus peptikum Fil Splenomegali masif Purpura Henoch-Schönlein Edema angioneurotik
Kolitis ulseratif
Malabsorbsi laktosa Saluran kemih dan kandungan
Refluks gastroesofagal Pielonefritis
Helicobacter pylori Hidronefrosis
Apendisitis kronis Batu ginjal
Divertikulum Meckeli Infeksi di daerah pelvis
Tuberkulosis abdomen Dismenore
Peritonitis Kista ovarium
Konstipasi kronis Endometriosis
Bezoar Kehamilan ektopik
Askariasis
Sumber: Ulshen, 1996.
151
Bab 9 Sakit Perut pada Anak
Tabel 9.9.4. Alarm symptoms sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik
Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus
Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
Nyeri timbul tiba-tiba
Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)
Disertai perdarahan saluran cerna 9
2 01
Terdapat disuria
re t
Berhubungan dengan menstruasi
9 Ma
Terdapat gangguan tumbuh kembang ro
Terdapat gejala sistemik: demam, nafsu makan turun
G ast
at
ap
Terjadi pada usia <4 tahun
Terdapat organomegali k r
Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi u ntu
ro
Kelainan perirektal: fisura, ulserasi
G ast
Sumber: Ulshen, 1996.
ja r
kuA
u
PendekatanFi Diagnosis le B
Untuk membuat diagnosis diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik lengkap dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
1. Usia
Sakit perut berulang biasanya terjadi pada usia 4 – 14 tahun.
2. Rasa sakit: meliputi lokalisasi, sifat dan faktor yang menambah/mengurangi rasa sakit,
waktu timbulnya, frekuensi dan gejala yang mengiringi.
3. Pola makan: banyak mengkonsumsi susu atau produk susu
4. Pola defekasi: obstipasi, diare
5. Pola kencing
6. Siklus haid
7. Akibat sakit perut pada anak
a. Apakah terdapat kemunduran kesehatan pada anak tersebut?
b. Bagaimana nafsu makan anak?
152
Buku Ajar Gastrohepatologi
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus lengkap. Dari hasil pemeriksaan fisik kita dapat mengetahui apakah
penyebab sakit perut berulang tersebut merupakan kelainan organik atau bukan, dengan
memperhatikan adanya tanda peringatan (alarm symptoms) seperti pada tabel 9.9.4.
Pada gambar 9.9.6. dapat dilihat ringkasan pendekatan diganosis secara sistemik pada
anak dengan sakit perut berulang.
153
Bab 9 Sakit Perut pada Anak
Terapi
Pengobatan diberikan sesuai etiologi. Pada sakit perut berulang fungsional pengobatan
ditujukan kepada penderita dan keluarganya, bukan hanya mengobati gejala.
9
2 01
aret
9M
Normal Abnormal ro
Penunjang Penunjang
G ast 2
Tahap Tahap 3
p at
r a
k
u ntu
ro
G ast
D / Kelainan Ajar D / K e l a i n a n o r g a n i k
u
fungsional
Buk
l e
Fi
154
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tujuan pengobatan ialah memberikan rasa aman serta edukasi kepada penderita dan
keluarga sehingga kehidupan keluarga menjadi normal kembali dan dapat mengatasi rasa
sakit sehingga efeknya terhadap aktivitas sehari-hari dapat menjadi seminimal mungkin
(Tabel 9.9.6).
Kadang-kadang diperlukan pula konsultasi ke psikolog dan/atau psikiater anak.
Pemberian obat seperti antispasmodik, antikolinergik, antikonvulsan dan antidepresan
tidak bermanfaat.
155
Bab 9 Sakit Perut pada Anak
13. Ulshen M. Major Symptoms and Signs of Digestive Tract Disorders. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke lima belas.
Philadelphia : Saunders, 1996; h. 1032-7.
14. Van der Meer SB. Chronic recurrent abdominal pain in school children. Tidjschr Kindergeneeskd
1993; 61:69-75 [abstrak].
15. Walker Smith JA, Hamilton JR, Walker WA. Acute abdominal pain. Dalam Practical Paediatric
Gastroenterology. London : Butterworths, 1983; h. 21-9.
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
156
BAB
10
Kembung
Pramita G. Dwipoerwantoro
157
Bab 10 Kembung
lebih jauh kerusakan mukosa kolon yang terjadi secara makroskopik. Selanjutnya perlu
dilakukan biopsi jaringan untuk melihat kelainan secara mikroskopik.
Tata laksana untuk kasus ini adalah pemberian metronidazole selama 1 minggu sambil
menunggu hasil biakan tinja dan resistensi. Disamping suplementasi vitamin yang larut
dalam lemak, perlu pemberian nutrisi yang adekuat. Makanan cair dengan bahan dasar
yang mudah dicerna (bebas laktosa, mengandung glukosa polimer dan asam lemak rantai
sedang) dan berkalori tinggi (1 cc = 1 kalori) dapat diberikan pada minggu pertama, sampai
keluhan gastrointestinal berkurang, sebelum akhirnya mengkonsumsi makanan biasa 1500
kalori.
10.2 Pendahuluan
Kembung merupakan salah satu kondisi yang sering dikeluhan oleh orang tua untuk
membawa anaknya berobat. Penyebab terjadinya kembung non-bedah tersering adalah
intoleransi laktosa, bakteri tumbuh lampau, dan gangguan fungsional saluran cerna (antara
lain dispepsia, irritable bowel syndrome/IBS). Berikut ini akan diuraikan penyebab kembung
akibat intoleransi laktosa dan bakteri tumbuh lampau. Penyebab kembung yang lain akan
9
diuraikan terpisah pada bab tersendiri.
2 01
aret
9M
10.3 Intoleransi Laktosa G ast
ro
at
Susu merupakan sumber nutrien esensialkterutama rap untuk bayi baru lahir dan anak yang
tu
sedang tumbuh dan berkembang karena unmengandung komponen yang diperlukan pada diet
olemak,
yang sehat, antara lain karbohidrat,tr protein dan mineral. Laktosa adalah komponen
as
Gakan
karbohidrat dalam susu yang jar dihidrolisis di usus halus (paling banyak di jejunum)
A
u glukosa dan galaktosa yang mudah diserap.
oleh enzim laktase menjadi
Buk
e
Fil
Defisiensi
Intoleransi laktosa merupakan sindrom klinis (sakit perut, diare, flatus dan kembung) yang
terjadi setelah mengkonsumsi 2 gram laktosa per-kg berat badan, maksimum 50 gram,
dalam 20% larutan (dosis uji toleransi standar terhadap laktosa). Jika terjadi peninggian
maksimum kadar glukosa darah tidak lebih dari 20 mg/dl setelah uji toleransi terhadap
laktosa, maka keadaan ini disebut malabsorpsi laktosa.
Kejadian
Scrimshaw dan Murray (1988) serta Sahi (1994) melaporkan prevalensi maldigesti laktosa
secara global. Prevalensi lebih dari 50% terdapat di negara-negara Amerika Selatan,
Afrika dan Asia, dan mencapai hampir 100% di beberapa negara Asia. Di Amerika Serikat
prevalensi intoleransi laktosa adalah 15% untuk populasi kulit putih, 53% di antara populasi
Meksiko-Amerika dan 80% pada populasi kulit hitam. Di negara Eropa prevalensinya
bervariasi antara 2% di Skandinavia sampai 70% di Sisilia. Prevalensi di negara Australia
dan Selandia Baru adalah 6% dan 9%.
158
Buku Ajar Gastrohepatologi
Etiologi
Intoleransi laktosa dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu primer (genetik),
sekunder, dan bawaan. Disebut primer bila sindrom klinis yang timbul tanpa riwayat atau
penyakit saluran cerna yang mendasari. Jika didapatkan penyakit saluran cerna maka
diklasifikasikan sebagai intoleransi laktosa sekunder. Keduanya paling sering dijumpai
di klinik. Intoleransi laktosa bawaan sangat jarang dijumpai dan biasanya bermanifestasi
sejak lahir. Gambaran histologis mukosa saluran pencernaan biasanya normal akan tetapi
aktivitas enzim laktase di brush-border sangat rendah atau tidak ada sama sekali.
Patogenesis
Pada negara dimana populasi hipolaktasia primer cukup tinggi, seperti di negara Indonesia,
maka aktivitas enzim laktase akan berkurang mulai usia 2-3 tahun. Sebaliknya di Finlandia
onset kebanyakan terjadi pada masa dewasa muda.
Mekanisme tinja cair yang terjadi adalah akibat karbohidrat yang tidak diabsorpsi
dengan baik, sehingga terjadi beban osmotik yang meningkat, menyebabkan sekresi
cairan dan elektrolit. Dilatasi usus halus yang terjadi akibat proses osmosis tersebut, akan
menginduksi percepatan waktu singgah di usus halus, dan hal ini sesuai 9 dengan derajat
maldigesti. Waktu singgah yang cepat ini akan menyebabkan tproses 2 01 hidrolisis akan
re
berkurang, karena berkurangnya waktu kontak antara laktosa
9 Ma dan enzim laktase yang
tersisa. ro
G ast
Gejala perut kembung (distensi abdomen) dan at rasa sakit (cramp) yang terjadi berasal
dari modifikasi keadaan usus halus dan kolon, r ap
seperti waktu singgah dan komposisi flora
ntuk
u
usus, dan hal tersebut mempengaruhi oderajat beratnya gejala. Gejala malabsorpsi laktosa
str
bervariasi di antara individu. Jika alaktosa dikonsumsi dalam jumlah sedikit tetapi dalam
G
jangka waktu yang lama oleh A jarindividu yang intoleransi laktosa, maka flora usus akan
u
beradaptasi terhadap beban
Buk laktosa tersebut, sehingga gejala yang timbul akibat gas dan
l e
asam di kolon akanFiberkurang atau hilang.
Manifestasi Klinis
Aktivitas enzim laktase yang mulai berkurang pada usia 2-3 tahun (pada intoleransi
laktosa primer), biasanya akan memberikan gejala setelah usia lebih dari 6 tahun, dan hal
ini tergantung dari kecepatan penurunan enzim laktase di usus maupun asupan laktosa
pada diet. Gejala klinis intoleransi laktosa dapat berupa kembung, sakit perut, dan flatus
yang terjadi sekitar 1 jam setelah mengkonsumsi susu sapi atau produk susu sapi. Tinja cair
disertai flatus yang berlebihan dan rasa mules dapat terjadi beberapa jam kemudian.
Pada pemeriksaan fisik jarang disertai gangguan tumbuh (gagal tumbuh atau
malnutrisi). Sakit perut yang tidak spesifik dan tidak terfokus biasanya tidak memberikan
rasa sakit yang bermakna pada palpasi, dan biasanya hanya dijumpai keadaan kembung
pada perut. Peningkatan bising usus (borborygmi) sering terdengar pada saat palpasi
ataupun auskultasi di daerah perut.
159
Bab 10 Kembung
Diagnosis
Malabsorpsi laktosa dapat didiagnosis berdasarkan kombinasi manifestasi klinis dan uji
diagnostik antara lain uji toleransi laktosa, uji hidrogen napas (breath hydrogen test), dan
pengukuran enzim laktase melalui biopsi usus halus. Cara lain adalah pemeriksaan pH
(asam) dan reduksi tinja (>0,5%). Tetapi cara ini tidak dianjurkan untuk penelitian karena
uji ini dinyatakan valid bila pengukuran dilakukan setelah laktosa dikonsumsi, waktu
singgah usus harus cepat, tinja dalam keadaan segar dan pemeriksaan dilakukan sesegera
mungkin, serta degradasi laktosa dalam kolon oleh bakteri tidak komplit.
Pengukuran kadar laktase secara langsung dibandingkan dengan sukrase melalui
biopsi jejunum jarang dilakukan karena merupakan pemeriksaan yang invasif. Hal ini sulit
diterapkan terutama untuk pasien klinik.
Pemeriksaan secara tidak langsung yang sering dilakukan adalah pemeriksaan
glukosa darah serial (setiap 2 jam) setelah mengkonsumsi laktosa secara oral (2 g per-kg
berat badan, maksimum 50 g laktosa). Jika kadar gula darah tidak meningkat lebih dari 20
mg/dl, maka diagnosis malabsorpsi laktosa dapat ditegakkan.
Pemeriksaan yang sederhana dan tidak invasif adalah uji hidrogen napas. Dosis
laktosa yang dibutuhkan adalah 2 g laktosa per-kg berat badan dan maksimum 50 g dalam
9
20% larutan dalam air. Setelah puasa sejak malam hari (4 jam pada2bayi 01 kecil), dilakukan uji
re t
hidrogen napas dengan cara mengukur udara ekshalasi sebelum
9 Ma mengkonsumsi laktosa, dan
pada interval 30 menit setelah konsumsi laktosa sampai
a stro total 2-3 jam. Produksi hidrogen
yang diekskresikan melalui udara napas merupakan G hasil fermentasi laktosa yang tidak
p at menit pertama bila terjadi peningkatan
dapat dicerna oleh bakteri dalam kolon. Pada r a 30
<10 ppm dibandingkan nilai basal dianggapntuk normal, sedangkan peningkatan antara 10-
ou
20 ppm dianggap bermakna bilastrdisertai gejala. Nilai peningkatan >20 ppm dianggap
G
malabsorpsi laktosa. Uji hidrogen
a napas dapat memberikan hasil yang negatif palsu bila
A jar
sebelumnya mendapatkantibiotik
u atau bakteri kolon tidak memproduksi hidrogen (sekitar
1% dari populasi).le Bu
Fi
Terapi
Terapi malabsorpsi laktosa tergantung dari usia anak. Pada anak berusia kurang dari
5 tahun, malabsorpsi laktosa yang dibuktikan oleh uji hidrogen napas, menunjukkan
kerusakan usus halus bila terjadi pasca gastroenteritis. Walaupun demikian beberapa
penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari kelompok ini yang memerlukan
susu formula rendah laktosa, karena penggantian epitel yang rusak tersebut sangat cepat dan
tidak semua infeksi usus akan menyebabkan kerusakan mukosa. Selain itu pada bayi berusia
kurang dari 6 bulan sebaiknya diberikan susu formula normal setelah rehidrasi tercapai.
Pada diare persisten sebaiknya upaya pemberian rendah laktosa dengan cara mencampur
susu dengan sereal/susu fermentasi daripada dengan air. Pada anak yang berusia lebih dari
5 tahun, malabsorpsi laktosa dapat akibat kadar enzim laktase yang rendah ataupun karena
mukosa usus yang rusak pasca gastroenteritis.
Jika reduksi ataupun restriksi laktosa dibutuhkan maka perlu substitusi alternatif
sumber nutrien untuk menghindarkan berkurangnya asupan energi dan protein (seperti
live-culture yoghurt) serta kebutuhan kalsium perlu diperhitungkan dalam dietnya.
160
Buku Ajar Gastrohepatologi
Suplementasi kalsium dapat berupa kalsium glukonat cair (untuk bayi dan anak) atau
kalsium karbonat (untuk anak yang lebih besar). Produk lain yang mengandung kalsium
antara lain adalah ikan, sayuran dan kacang-kacangan.
Terapi lain adalah substitusi enzim laktase yang berasal dari ragi yang dapat berupa
preparat tetes (dengan cara menambahkan pada produk susu sapi) ataupun tablet kunyah
(yang dikonsumsi sebelum mencerna makanan yang mengandung laktosa).
Prognosis
Pada umumnya prognosis intoleransi laktosa cukup baik. Karena penyebab kelainan
bawaan sangat jarang terjadi maka diagnosis alergi protein susu sapi pada bayi perlu
dipertimbangkan bila terjadi gejala intoleransi terhadap susu sapi atau produk susu sapi
yang dikonsumsi.
Pencegahan
Untuk mengurangi bertambah buruknya gejala intoleransi laktosa maka perlu dicermati
untuk menghindarkan susu sapi atau produk susu sapi dalam diet. Kegagalan dalam
9 menyebabkan
mengenali “intoleransi laktosa yang sementara” pada bayi maupun anak01dapat
t 2
keluhan diare kronik dan kembung, sehingga mengganggu masukan
are makanan yang adekuat.
Hal ini merupakan pemicu terjadinya gangguan pertumbuhan
o9 Mpada bayi dan anak.
str
Ga
p at
10. 4 Bakteri Tumbuh Lampau
tuk
ra
un
ro steril, segera setelah persalinan, organisme yang
Pada saat lahir usus halus dalam keadaan
G ast
tertelan melalui mulut mulai amembuat kolonisasi di saluran cerna. Lambung maupun
Ajr
ku
usus halus tidak mengandung bakteri dalam jumlah yang bermakna seperti halnya usus
Bu
besar (kolon) yang lnormalnya mengandung 1010 organisme per mililiter (Tabel 10.4.1).
F ie
Mikroflora kolon baru akan berproliferasi di usus halus bila mekanisme klirens di usus
halus terganggu, contohnya pada kondisi stasis.
Definisi
Sindrom klinis yang terjadi mempunyai sebutan bermacam-macam, di antaranya adalah
stagnant loop, blind loop, contaminated small bowel, small bowel stasis, dan small bowel
bacterial overgrowth syndrome (sindrom bakteri tumbuh lampau di usus halus). Karakteristik
sindrom ini selain kembung adalah (1) kolonisasi abnormal usus halus oleh organisme yang
biasanya berada di kolon, (2) stetorrhea, dan (3) anemia.
161
Bab 10 Kembung
Kejadian
Kondisi usus halus yang steril tergantung dari sejumlah faktor yang mengurangi
9
kandungan jumlah kuman serta mencegah kolonisasi kuman. Faktor 2 01 antibakteri ini dapat
re t
berupa sistem imun tubuh ataupun non-imun. Yang termasuk
9 Ma faktor non-imun adalah
asam lambung, gerakan peristaltik usus, enzim pencernaan,
a stro mukus, katup ileo-sekal dan
kandungan bakteri. G
p at
Faktor imunitas tubuh terhadap bakteri a
r usus sejak awal kehidupan diperankan
oleh antibodi dengan cara mengendalikan ntuk kolonisasi bakteri dan penetrasi mukosa oleh
u
tro
bakteri ataupun produk bakteri.asKehilangan kemampuan untuk produksi imunoglobulin
(hipogamaglobulinemia) dan r G
defisiensi sIgA sering menyebabkan kolonisasi parasit tertentu
seperti Giardia lamblia.
Aja
uImunoglobulin G spesifik dan IgA mempercepat eliminasi parasit
u k
e
usus seperti Giardia B dan nematoda. Bakteri tumbuh lampau sering dijumpai pada pasien
Fil
dengan anemia pernisiosa dan pasien dengan hipogamaglobulinemia disertai akhlorhidria.
Etiologi
Beberapa faktor predisposisi terjadinya bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat
dikategorikan menjadi 4 kelompok yaitu (1) kelainan anatomis (divertikula, duplikasi,
striktur, stenosis, web, blind loop), (2) gangguan motilitas usus (pseudoobstruction,
hilangnya fungsi migratory motor complexes/MMC menyebabkan stasis akibat terganggunya
fungsi peristaltik, neuropati otonom pada diabetes, penyakit vaskular kolagen pada
skleroderma), (3) adanya lesi yang menyebabkan peningkatan jumlah bakteri usus halus
bagian proksimal (akhlorhidria, fistula, dan hilangnya katup ileosekal), dan (4) defisiensi
imun pejamu (immunodeficiency, malnutrisi, dan prematuritas).
Etiologi faktor risiko terjadinya bakteri tumbuh lampau sering tumpang tindih.
Pada negara yang belum berkembang sangat sulit memisahkan apakah kondisi tersebut
akibat buruknya higiene perorangan atau akibat malnutrisi. Bayi dengan sindrom usus
pendek sering disertai komplikasi bakteri tumbuh lampau, akibat multi faktor.
162
Buku Ajar Gastrohepatologi
Patofisiologi
Jumlah bakteri intralumen usus yang berlebihan akan menyebabkan perubahan sekresi
dan produksi metabolit, enzim serta toksin intralumen yang akan merusak mukosa dan
selanjutnya akan diabsorpsi. Dampak lanjut terhadap pejamu dapat dibagi menjadi 3
kategori yaitu efek intralumen, efek terhadap mukosa dan efek sistemik (Tabel 10.4.2).
9
01 usus halus bagian
Efek patologis akan maksimal bila bakteri tumbuh lampau menempati
re t2
proksimal. Bakteri anaerob intralumen, terutama yang berasal
9 Madari tinja, memiliki enzim
yang akan mendekonjugasi garam empedu dan mengubah roasam kolat dan kenodeoksikolat
menjadi asam deoksikolat dan litokolat. Hasil akhirnya G ast adalah menurunkan konsentrasi
at
garam empedu di duodenum dan jejunum, menyebabkan r ap trigeliserid dan kolesterol tidak
tu k
dihidrolisis menjadi misel (campuran asam n lemak dan mono serta digliserid) dan garam
empedu, melainkan akan banyak terbentuktro u emulsi yang berbentuk kristal dan tidak larut
as
r G terjadi maldigesti lemak dan malabsorpsi trigliserid
dalam air. Akibat lebih lanjutjaakan
A
ku lemak, dan selanjutnya terjadi malabsorpsi lemak. Bakteri
serta vitamin yang larut dalam
u
B
intralumen terutama
F ileBacteroides dan coliform juga menggunakan B12 sehingga merupakan
kompetitor dan menyebabkan malabsorpsi vitamin B12.
Bakteri yang jumlahnya berlebihan tersebut akan memproduksi enzim dan metabolit
yang dapat merusak mukosa usus. Sebagai akibatnya aktivitas enzim disakaridase akan
berkurang akibat lesi mukosa setempat (patchy) yang menyebabkan atrofi vili dan respon
inflamasi subepitel. Penelitian pada bayi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
antara intoleransi karbohidrat dan bakteri tumbuh lampau. Selain hal tersebut akan terjadi
hilang protein (hipo-proteinemia) dan anemia akibat kehilangan darah kronik.
Produk bakteri dan antigen akan diserap melalui mukosa yang rusak menyebabkan
efek sistemik. Penelitian Riordan dan kawan-kawan menunjukkan bahwa bakteri tumbuh
lampau di usus halus menyebabkan peningkatan permeabilitas usus pada manusia,
sedangkan penelitian lain pada tikus menunjukkan bahwa terjadi peningkatan absorpsi
polimer bakteri (peptidoglikan) pada keadaan bakteri tumbuh lampau di usus halus.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis (Tabel 10.4.3) dapat terjadi pada sepertiga pasien, dan variasi gejala dapat
ringan sampai berat bahkan menjadi kronis. Gejala yang berat sesuai dengan letak bakteri
163
Bab 10 Kembung
tumbuh lampau pada usus halus proksimal, sedangkan makin ke distal maka manifestasi
gejala makin ringan. Gejala sistemik biasanya terjadi setelah operasi pintas (bypass) usus.
Selain gejala klinis pada tabel 10.4.3 dapat terjadi maldigesti lemak, karbohidrat, dan
protein, serta kehilangan protein endogen melalui usus. Sakit perut yang terjadi adalah
akibat intoleransi karbohidrat sekunder. Defisiensi vitamin jarang terdeteksi secara klinis.
Defisiensi vitamin B12 dapat dicegah karena terdapatnya cadangan kobalamin yang
adekuat dalam tubuh. Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena kehilangan besi melalui
usus. Asam folat serum akan meningkat karena bakteri tersebut pun memproduksi vitamin
K dan asam folat. Pneumoperitoneum dan asites dilaporkan dapat terjadi sekunder akibat
bakteri tumbuh lampau.
164
Buku Ajar Gastrohepatologi
Terapi
Tatalaksana bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat dibagi 3 yaitu koreksi penyakit
yang mendasari, pemberian antibiotik dan terapi suportif. Penyebab terjadinya bakteri
tumbuh lampau di usus halus multi faktor, dan sebagian besar dapat dikoreksi secara bedah.
Oleh sebab itu evaluasi ke arah penyebab kasus bedah harus dilakukan dengan cermat.
Gejala akut penyakit Crohn, sebagai penyakit yang mendasari, bila diberikan steroid akan
memperbaiki keadaan. Pemberian cisaprid untuk gangguan motilitas pada pseudoobstruksi
usus dilaporkan efektif.
Pemilihan jenis antibiotik berdasarkan efektivitasnya terhadap Bacteroides. Pilihan
yang utama adalah metronidazol dan dapat diberikan selama 2 sampai 4 minggu. Bila
terjadi kekambuhan dapat diberikan antibiotik dengan spektrum luas, seperti trimetoprim-
sulfametoksazol atau gentamisin. Kloramfenikol dan linkomisin sebaiknya digunakan bila
165
Bab 10 Kembung
terhadap antibiotik yang lain telah resisten. Penggunaan probiotik merupakan alternatif
terapi yang saat ini dilaporkan cukup efektif untuk terapi bakteri tumbuh lampau.
Terapi suportif terutama untuk mencegah komplikasi metabolik dan defisit nutrien.
Pemberian nutrisi dengan bahan dasar yang mudah dicerna dan rendah lemak (mengandung
asam lemak rantai sedang), sangat diperlukan untuk menjaga tumbuh kembang yang
normal. Pemberian suplementasi vitamin yang larut dalam lemak perlu untuk mencegah
komplikasi rabun senja, osteomalasia, ataupun kelainan neurologis.
Prognosis
Prognosis tergantung dari penyakit yang mendasari dan respon terhadap terapi.
Daftar Pustaka
1. Arola H. Diagnosis of hypolactasia and lactose malabsorption. Scand J Gastroenterol
1994;29(Suppl.202):26-35.
2. Bjorneklett A, Fausa O, Midvedt T. Bacterial overgrowth in jejunal and ileal disease. Scand J
Gastroenterol 1983;18:289-98.
3. Büller HA, Grand RJ. Lactose intolerance. Annu Rev Med 1990;41:141-8.9
01 following surgery of
re t2
4. Burke V, Anderson CM. Sugar intolerance as a cause of protracted diarrhea
a
the gastrointestinal tract in neonates. Austr Pediatr J 1986;2: 219-27.
MJac,
5. Chew F, Penna FJ, Peret Filho LA, Quan C, Lopes MC, Mota 9 et al. Is dilution of cow’’s milk
ro
ast
formula necessary for dietary management of acuteGdiarrhea in infants aged less than 6 months?
Lancet 1993;341:194-7. at
r ap
6. Christopher NL, Bayless TM. Role of the
tuksmall bowel and colon in lactose-induced diarrhea.
Gastroenterology 1971;60:845-52. o un
r
7. Committee on Nutrition of American
G ast Academy of Pediatrics. The practical significance of
ar Pediatrics 1978;62:240-5.
lactose intolerance in children.
j
u A H, Heremans JF. The normal microbial flora as a major stimulus for
8. Crabbe PA, Bazin H,kEyssen
B u
ileplasma cell synthesizing IgA in the gut. Int Arch Allergy 1968;34:362-75.
proliferation of
F
9. Donaldson RM. Small bowel bacterial overgrowth. Adv Intern Med 1970;16:191-212.
10. Dolby JR, et al. Bacterial colonization and nitrite concentration in the achlorhydric stomachs
of patients with primary hypogamaglobulinemia or classical pernicious anemia. Scand J
Gastroenterol 1984;19:105-10.
11. Frye RE. Lactose intolerance. eMedcine [serial online] 2002 December 27 [disitasi 2004 Januari
29]:[9 screens] Diunduh dari: http://www.emedicine.com/ ped/ topic1270.htm.
12. Giannella RA, Toskes PP. Gastrointestinal bleeding and iron absorption in the experimental
blind loop syndrome. Am J Clin Nutr 1976;29:754-7.
13. Gracey M, Burke V, Oshin A, Barker J, Glasgow EF. Bacteria, bile salts and intestinal
monosaccharide malabsorption. Gut 1971;12: 683-92.
14. Gregorio GV, Rogacion JM, Gabriel EP, Santos-Ocampo PD. Nutritional intervention in acute
diarrhea: Is lactose free formula essential? Southeast Asian J Trop Med Public Health 1992;23:235-
45.
15. Hill Mj, Drasar BS. Degradation of bile salts by human intestinal bacteria. Gut 1986;9:22-7.
16. Hyman PE, Uc A, Hoon A, Dilorenzo C. Antroduodenal motility in children with chronic
intestinal pseudo-obstruction. J Pediatr 1988;112:899-905.
17. Hyams JS, Stafford RJ, Grand RJ, Watkins JB. Correlation of lactose breath hydrogen test,
intestinal morphology, and lactase activity in young children. J Pediatr 1980;97:609-12.
166
Buku Ajar Gastrohepatologi
18. Kaplan BS, Uni S, Aikawa M, Mahmud AA. Effector mechanism of host resistance in murine
giardiasis: specific IgG and IgA cell-mediated toxicity. J Immunol 1985;134:1975-81.
19. King CE, Toskes PP. Protein-losing enteropathy in the human and experimental rat blind loop
syndrome. Gastroenterology 1972;80:504-9.
20. King CE, Toskes PP. Small intestinal bacterial overgrowth. Gastroenterology 1979;76:1035-55.
21. Klinkhoff AV, Stein HB, Schlappner OL, Boyko WB. Postgastrectomy blind loop syndrome and
the arthritis-dermatitis syndrome. Arthritis Rheum 1985;28:214-7.
22. Konishi T, Takashi M, Ohta S. basic study on 5-(7-hydroxi-3-O-phosphonocholy) aminosalicylic
acid for the evaluation of microbial overgrowth. Biol Pharm Bull 1997;20:370-5.
23. Ladas S, Papanikos J, Arapakis G. Lactose malabsorption in Greek adults: correlation of small
bowel transit time with the severity of lactose intolerance. Gut 1982;23:968-73.
24. Launiala K. The effect of unabsorbed sucrose and mannitol on the small intestine flow rate and
mean transit time. Scand J Gastroenterol 1968;3:665-71.
25. Levitt MD, Hirsch P, Fetzer CA, Sheahan M, Levine AS. H2 excretion after ingestion of complex
carbohydrate. Gastroenterology 1987;92:383-9.
26. Lichtman SN. Bacterial overgrowth. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith
JA, Watkins JB. Pediatric Gastrointestinal Disease 3rd ed. Canada: BC Decker, 2000. pp569-82.
27. Lichtman SN, Keku J, Schwab JH, Sartor RB. Evidence for peptidoglycan absorption in rats with
experimental small bowel bacterial overgrowth 1991;59: 555-62.
28. Lifschitz CH, Schulman RJ. Nutritional therapy for infants with diarrhea. Nutr Rev 1990;48:329-
9
38. 2 01
29. Long SS, Swenson RM. Development of anaerobic fecal flora inarhealthy e t newborn infants. J
Pediatr 1977;91:298-301. 9 M
ro
30. Penny ME, Brown KH. Lactose feeding during persistent
G ast diarrhea. Acta Paediatr 1992; Suppl.
381:133-8. at
r ap ascites secondary to bacterial overgrowth. J
31. Raju GS, Rao SSC, Lu C. Pneumoperitoneum k and
Clin Gastroenterol 1997; 25:688-90. u ntu
o
str of secreted Bacteroides proteases on human intestinal
32. Riepe SP, Goldstein J, Alpers DH. aEffect
G
jar Invest 1980;66:314-22.
brush borders hydrolases. J Clin
A
33. Rings EHHM, Grand RJ, uBüller HA. Lactose intolerance and lactase deficiency in children. Curr
Buk
Opin Pediatrics 1994;6:562-7.
e
Fil CJ, Thomas DH, Duncombe VM, Bolin JD, Thomas MC. Luminal bacteria
34. Riordan Sm, McIver
and small-intestinal permeability. Scand J Gastroenterol 1997;32:556-63.
35. Sahi T. Genetics and epidemiology of adult-type hypolactasia. Scand J Gastroenterol
1994;29(Suppl 202):7-20.
36. Sahi T, LaunialaK, Laitinen H. Hypolactasia in a fixed cohort of young Finnish adult, a follow up
study. Scand J Gastroenterol 1983;18:865-70.
37. Scrimshaw NS, Murray EB. Prevalence of lactose maldigestion. Am J Clin Nutr 1988;48
Suppl:1086-98.
38. Stotzer P-O, Blomberg L, Conway PL, Henriksson A, Abrahamsson H. Probiotic treatment
of small intestinal bacterial overgrowth by Lactobacillus fermentum KLD. Scand J Infect Dis
1996;28:615-9.
39. Vesa TH, Marteau P, Korpela R. Lactose intolerance. J Am Coll Nutr 2000;19Suppl:165-75.
167
BAB
11
Alergi Makanan (Food Allergy)
Liek Djuprie & Pitono Soeparto
11.2 Pendahuluan
Angka kejadian alergi terhadap makanan tampaknya semakin meningkat. Alergi makanan
dapat mengakibatkan terganggunya kualitas hidup dari penderita maupun keluarganya.
Alergi makanan juga sering menyebabkan dokter anak kerepotan dalam menentukan
diagnosis dan memberi penanganan.
Enam hingga delapan persen anak berusia kurang dari 3 tahun pernah mengalami
alergi makanan. Beberapa penelitian di masyarakat menunjukkan bahwa prevalensi alergi
susu sapi terjadi pada 1,9 % sampai 3,9 % anak kecil, alergi telur terjadi pada 2,6 % hingga
anak berusia 2,5 tahun, kacang-kacangan pada 0,4% - 0,6% pada anak usia kurang dari 18
tahun.
11.3 Definisi
Alergi makanan didefinisikan sebagai suatu reaksi terhadap protein makanan yang
merugikan, yang disebabkan oleh suatu hipersensitivitas imun, yaitu suatu interaksi antara
sedikitnya satu protein makanan dengan satu atau lebih mekanisme imun, tidak terbatas
hanya pada IgE.
Sebenarnya reaksi merugikan terhadap makanan merupakan suatu istilah umum yang
dipakai untuk menggambarkan suatu respons klinis abnormal sesudah makan makanan atau
bahan-bahan tambahannya. Dengan demikian reaksi merugikan terhadap makanan dapat
168
Buku Ajar Gastrohepatologi
ditimbulkan dari suatu alergi atau idiosinkrasi atau suatu respons metabolik, farmakologis
atau toksik terhadap protein makanan, bahan tambahannya atau kontaminan makanan.
Reaksi yang merugikan terhadap makanan dapat berupa reaksi toksik atau nontoksik.
Reaksi toksik tidak berhubungan dengan sensitivitas individual tetapi dapat terjadi pada
semua orang yang makan dalam jumlah yang cukup makanan yang mengandung pewarna,
atau pada keracunan makanan yang mengandung toksin bakteri. Sebaliknya, kejadian
reaksi nontoksik terhadap makanan tergantung dari kerentanan perorangan dan dapat
terjadi dengan perantaraan imun (yaitu alergi atau hipersensitivitas makanan) atau tanpa
perantaraan imun (yaitu intoleransi makanan). Alergi makanan biasanya diperantarai
antibodi IgE yang tertuju pada protein makanan spesifik, akan tetapi mekanisme imunologis
lain terutama pada usus dapat pula berperan.
11.4 Epidemiologi
Akhir-akhir ini survei epidemiologi menunjukkan kenyataan adanya kenaikan fenomena
alergi yang cepat. Di negara berkembang, fenomena ini merupakan penyakit kronis yang
paling sering dijumpai dan mencapai sekitar 15% dan 30% dari seluruh populasi. Pada
9
bayi dan anak kecil, prevalensi alergi makanan diperkirakan terjadi sekitar 2 01 2%-3%. Faktor-
t
faktor yang mempengaruhi prevalensi alergi makanan pada berbagai
Mare populasi memberikan
perhatian mengenai dasar genetik dan lingkungan dari kenaikan 9 penyakit atopik pada anak.
ro
Di Asia Tenggara terdapat variasi yang sangat tinggiGmengenai ast budaya, ras dan makanan
yang mungkin dapat berpengaruh terhadap prevalensi p at alergi makanan. Di Australia, telur
a
(3,2%), susu sapi (2%), dan kacang tanah (1,9%) tu k r merupakan alergen makanan yang paling
n
sering dijumpai pada anak hingga berusia tro u 2 tahun. Di Asia, prevalensi alergi makanan tidak
as umum bahwa alergi nasi tidak umum dijumpai;
banyak diketahui. Terdapat pandangan
j arG
kuA
sebaliknya alergi terhadap kerang-kerangan lebih sering dijumpai di Filipina dan Singapura
yang merupakan bagian u
e B dari makanan sejak bayi usia dini. Berbeda dengan insidensi
Fil
hipersensitivitas terhadap kacang tanah di Malysia, Jepang, dan Filipina yang rendah, di
Indonesia dan Australia insidensi alergi terhadap bahan makanan tersebut relatif tinggi.. Di
Amerika Serikat, hingga sepertiga rumah tangga menyatakan bahwa salah satu keluarganya
pernah mengalami reaksi makanan yang merugikan, tetapi prevalensinya pada anak-anak
hanya 6%-8%.
Sejumlah gangguan hipersensitivitas pada anak telah dikemukakan, termasuk sindrom
alergi oral, anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE), enterokolitis karena protein
makanan, sindroma malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif terhadap
protein susu sapi), gastro-enteropati eosinofilik alergik, kolik, refluks gastroesofageal. Di
Skandinavia dengan kriteria ketat didapatkan prevalensi alergi susu sapi sebesar 1.9 %,
sedangkan Hill (1999) melaporkan adanya insidens alergi susu sapi sebesar 2-7.5 % pada
kurun usia bayi sampai 1 tahun. Di Surabaya kejadian enteropati sensitif protein susu sapi
(cow’s milk protein sensitive enteropathy = CMPSE) pada penderita yang menunjukkan diare
kronik dilaporkan sebesar 72.9 %.
Diagnosa CMPSE di Surabaya dilakukan dengan tantangan susu (milk challenge) dan
ditegakkan dengan biopsi usus.
169
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)
11.6 Klinis
Reaksi yang merugikan terhadap makanan dapat merupakan masalah, 9 terutama pada bayi
dan anak, serta dapat memberikan spektrum yang luas dari reaksi-reaksi2 01 klinis seperti
et
gejala pada kulit, gastrointestinal, serta gejala lainnya. Mar
9
Kompleks gejala alergi makanan yang umum sdari tro dermatitis atopik, kolik, refluks
Ga oleh reaksi terhadap makanan yang
at
esofageal dengan esofagitis pada bayi dapat disebabkan
p
a
merugikan baik secara langsung atau melalui
tu k rsusu ibu. Adanya hipotesa bahwa terdapat suatu
n
periode intoleransi protein makanan dimana hal ini merupakan bagian dari perkembangan
trou
s
anak normal yaitu suatu periodeauntuk mendapatkan toleransi imunologis terhadap protein
rG
makanan. Selama periode japerkiraan intoleransi protein makanan ini, bayi dapat tidak
A
ku menujukkan gejala sementara yang ringan atau bahkan gejala
menunjukkan gejala uatau
eB
yang berat yangilmemerlukan diagnosis dan penanganan dietetik yang berkepanjangan.
F
Konsep-konsep ini ditunjang oleh observasi-observasi yang menunjukkan adanya
sensitisasi IgE yang bersifat sementara terhadap makanan pada bayi yang asimptomatik;
adanya intoleransi terhadap protein makanan yang bersifat sementara pada bayi dengan
kolik yang seringkali menghilang dalam 3 bulan usia bayi; adanya kenyataan bahwa alergi
terhadap susu sapi pada umumnya membaik dalam waktu 2 bulan usia bayi; dan adanya
fakta bahwa intoleransi pada beberapa protein makanan membutuhkan dukungan nutrisi
yang berkepanjangan.
Pada bayi-bayi muda, kulit dan saluran gastrointestinal merupakan organ target yang
paling umum terkena, sedangkan gejala-gejala respiratorik sangat jarang tampak.
Spectrum hipersensitivitas makanan:
• Gejala-gejala kulit meliputi:
−− Pruritus
−− Urtikaria
−− Eksema
• Gejala-gejala gastrointestinal meliputi:
−− Sindrom alergi oral
170
Buku Ajar Gastrohepatologi
−−
Anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE)
−−
Enterokolitis karena protein makanan
−−
Kolitis karena makanan
−−
Sindrom malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif protein susu
sapi/ cow’s milk protein sensitive enteropathy).
−− Gastroenteropati eosinofilik alergik
−− Kolik pada bayi
−− Refluks gastrousofageal
• Gejala-gejala respiratorik
−− Asma
−− Rinitis alergika
Sicherer (1999) membagi penyakit alergi makanan dalam gangguan yang diperantarai
IgE dan yang tidak diperantarai IgE sebagai berikut (lihat Tabel 11.6.1):
Tabel 11.6.1. Alergi makanan : organ target dan gangguannya (Sicherer, 1999)
Organ
Dengan perantara IgE Tanpa perantara IgE
Target
19
Urtikaria dan angioedema Dermatitis atopik t 20
Kulit
Dermatitis atopik are
Dermatitis herpetiformis
9M
ro
ast
Proktokolitis
Sindrom alergi oral GEnterokolitis
at
Gastrointestinal “Anafilaksis” gastrointestinal
r ap Gastroenteritis eosinofilik alergik
Gastroenteritis eosinofilik alergik uk Sindrom enteropatia
t
un Penyakit Celiac
stro
Asma Ga
Rinitis alergik jar
Respiratorik Sindrom Heiner
A
u ku yang dipicu makanan
Anafilaksis
eB
Multisistem
Fil Anafilaksis yang berhubungan dg. makanan,
anafilaksis yang dipicu “exercise”
Sumber: Sicherer, 1999.
Pembagian sindrom utama alergi susu sapi menurut Hill (1992) antara lain:
1. Penderita-penderita dengan kemungkinan besar menderita alergi susu sapi (cow’s milk
allergy : CMA).
- Reaksi tipe anafilaktik
- Reaksi tipe gastrointestinal akut
2. Penderita-penderita dengan kemungkinan sedang (moderat) menderita CMA :
- Ekzema kronik pada bayi
- Kolik infantil
- Diare kronik (Enteropati sensitif terhadap protein susu sapi = cow’s milk protein
sensitive enteropathy : CMPSE)
- Sembab (gastroenteropati eosinofilik : eosinophilic gastroenteropathy)
- Diare berdarah (kolitis karena makanan = food induced colitis)
3. Penderita-penderita dengan kemungkinan kecil menderita CMA
171
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)
- Rinitis kronik
- Otitis media berulang
- Batuk berulang termasuk asma
Kompleksnya sistem imun gastrointestinal dan adanya fakta bahwa saluran
gastrointestinal merupakan tempat pertama yang menghadapi sejumlah besar alergen
makanan, sehingga tidaklah mengherankan apabila berbagai ragam gangguan
hipersensitivitas gastrointestinal dapat timbul.
Atas dasar ini Workshop on the Classification of Gastrointestinal Disease of Infants and
Children Nopember 1988 membagi hipersensitivitas gastrointestinal menjadi:
a. Eksklusif dengan perantara IgE
b. Sebagian dengan perantara IgE
c. Eksklusif dengan perantara sel
Tanpa memandang mekanisme imunologi yang terkait, gejala hipersensitivitas GI
biasanya mirip sifatnya satu dengan lainnya, akan tetapi berbeda dalam waktu awal penyakit,
berat serta persistensinya.
IgE Non-IgE
9
2 01
- Hipersensitivitas - Esofagitis eosinofilik t
- Enterokolitisreprotein makanan
GI. Seketika Alergik 9 Ma
o protein makanan
- r Proktitis
ast
- Sindrom alergi oral - Gastritis eosinofilik
Alergik t G
pa
- Gastroenteritis eosinofilik - Enteropati proteinamakanan
r
Alergik tuk
n
t rou
as
j ar G 11.6.1. Gangguan hipersensitivitas GI
Gambar
A Sumber: Sampson, 1999.
u ku
eB
Fil
Dengan perantara IgE
Reaksi tipe anafilaktik
Anafilaksis merujuk pada reaksi multi organ yang dramatik yang berhubungan dengan
hipersensitivitas yang diperantarai IgE. Makanan yang utama penyebab anafilaksis adalah
kacang tanah, kacang pohon (mente) dan kerang-kerangan.
Anafilaksis akibat makanan yang dipacu latihan (exercise) timbul dalam dua bentuk
(1) anafilaksis timbul bila latihan dilakukan menyusul pemberian makanan tertentu yang
sensitivitasnya diketahui diperantarai IgE atau (2) yang lebih jarang adalah yang terjadi
sesudah makan sembarang makanan. Makanan-makanan yang terlibat bersama dengan
latihan atau latihan tanpa makanan makanan tidak menimbulkan gejala.
Reaksi timbul cepat dalam hitungan menit namun dapat juga terjadi hingga 1 jam
setelah meminum susu. Gejala syok anafilaktik dapat timbul apabila jumlah susu yang
diminum besar, sedangkan susu dalam jumlah kecil memberikan gejala urtikaria perioral,
urtikaria umum, angioedema, eksem berulang, rinore, nafas bunyi, stridor, batuk dan
172
Buku Ajar Gastrohepatologi
muntah. Kebanyakan penderita menunjukkan hasil tes tusuk kulit (skinprick test) yang
positif kuat terhadap ekstrak susu sapi
173
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)
bayi-bayi muda, sering dihubungkan dengan GER dan esofagitis. Namun hal ini kemudian
ternyata lebih merupakan asosiasi dari pada hubungan kausal antara tangisan persisten
(distres yang persisten) dan GER.
GER secara tradisional dipandang sebagai gangguan motilitas primer. Namun akhir-
akhir ini, suatu bentuk sekunder karena intoleransi terhadap protein makanan telah pula
dikemukakan kedua bentuk ini seringkali sulit dibedakan pada anak kecil karena tumpang
tindih secara klinis.
Esofagitis secara histologi ditandai oleh hiperplasia basal, perpanjangan dari papila
dan terdapatnya suatu campuran infiltrat keradangan dari neutrofil dan eosinofil. Umumnya
diperkirakan bahwa esofagitis merupakan efek langsung dari jejas peptik karena paparan
asam yang berkepanjangan pada usofagus distal. Eosinofil esofageal telah digunakan sebagai
tanda spesifik dari esofagitis refluks.
Kolik infantil terdiri dari paroksisma tangisan atau kerewelan tanpa sebab yang jelas yang
terjadi pada 15-40% bayi berusia 4 bulan pertama. Kolik yang berhubungan dengan muntah
dikatakan mempunyai kaitan dengan refluks gastroesofageal (GER). Hal ini diperkirakan
primer penyebabnya karena suatu gangguan motilitas, namun akhir-akhir ini dikemukakan
suatu bentuk sekunder yang disebabkan karena intoleransi protein 1makanan. 9 Periode dari
2 0
intoleransi protein makanan merupakan suatu bagian dari perkembangan
re t normal sistem
imun karena pada periode ini bayi dan anak kecil banyak M a
9 menghadapi protein makanan
yang umum dikonsumsi bayi dan anak kecil. stro
Ga
p at
Terdapat pendapat bahwa kolik infantil berhubungan baik dengan interaksi (perilaku)
a
orang tua–anak yang terganggu maupuntudengan kr reaksi hipersensitivitas protein makanan
(alergi) dengan kemungkinan salahrosatu un atau keduanya dapat manifes pada seseorang anak
st
yang mempunyai predisposisiGagangguan motilitas usus. Dikemukakan hipotesa bahwa
j ar
pada bayi dengan kolik terdapat
A intoleransi terhadap protein makanan yang transien yang
u
uk
mempunyai asosiasiBdengan gangguan motilitas usus primer pada minggu-minggu pertama
i l e
F ini dapat menimbulkan distres yang kemudian menetap, suatu hasil dari
usia bayi dan hal
pola perilaku dan gangguan sekunder dalam interaksi orang tua-bayi.
174
Buku Ajar Gastrohepatologi
asites, malabsorpsi, dan anemia kekurangan besi karena kehilangan darah melalui usus,
dan terkadang hanya disertai gejala gastrointestinal lainnya yang minimal (muntah, diare).
Timbulnya penyakit ini biasanya lambat, biasanya terdapat riwayat atopi dalam keluarga
dan tidak responsif terhadap eliminasi diet. Kemungkinan adanya alergen ganda (multiple
allergens) termasuk inhalans berperan dalam gangguan ini.
175
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)
Prototipe dari intoleransi makanan yang bersifat sementara adalah enteropati sensitif
terhadap protein susu sapi (cow’s milk sensitive enteropathy = CMPSE, cow’s milk induced
enteropathy) yang biasanya menghilang sesudah anak berusia 2–3 tahun. Reaksi ini
biasanya tidak bersifat seketika. Terdapat pula kasus-kasus alergi susu sapi dengan disertai
malabsorpsi tetapi tanpa adanya enteropati. Hal ini menyebabkan bahwa diagnosa dengan
cara biopsi saja tidaklah cukup. Didapatkannya enteropati yang tidak merata pada biopsi
usus belumlah merupakan tanda patognomonik untuk menjelaskan etiologinya. Peran
gastroenteritis akut sebagai predisposisi terjadinya alergi susu sapi belum jelas. Defisiensi
disakaridase sekunder pada alergi susu sapi dapat disebabkan karena kerusakan vilimikro
pada permukaan enterosit. Enteropati yang terjadi pada alergi susu sapi bersifat transien
dan reversibel sesudah eliminasi susu sapi.
Konstipasi kronis
Konstipasi kronis terdapat pada 68% dari penderita anak yang mengalami hipersensitivitas
terhadap susu sapi.
176
Buku Ajar Gastrohepatologi
Konstipasi kronik merupakan suatu gejala yang diberi batasan dari segi kesulitan
selama defekasi, interval-interval yang panjang antar buang air besar (BAB), penampang
dan kekerasan tinja. Gejala ditandai dengan gerakan BAB yang nyeri atau mengejan saat
BAB, tinja yang keras, frekuensi BAB kurang dari 3x/minggu selama paling kurang 30 hari,
dengan atau tanpa “soiling”.
Konstipasi adalah salah satu gejala dari intoleransi susu sapi. Uji-uji imunologik
menunjukkan bahwa konstipasi merupakan manifestasi dari alergi susu sapi yang sering
terjadi dengan peranataraan IgE. Selain itu karena tingginya frekuensi fisura berat pada
anak yang timbul kembali setelah pemberian susu sapi dan sebelum permulaan konstipasi,
maka hipotesisnya adalah bahwa nyeri selama BAB dapat menyebabkan retensi, tinja
didalam rektum sehingga memperberat konstipasi.
9
Reaksi tipe gastrointestinal akut 2 01
re t
Gejala-gejala meliputi pucat, kolik, nyeri abdomen dan muntah 9 Madisusul dengan diare serta
ro susu sapi dalam jumlah yang
terkadang kolaps yang terjadi beberapa jam sesudah minum
G ast
cukup besar (30–240 ml). Gejala muntah didahului at oleh tingkah anak yang rewel dan
mudah terangsang. Gejala timbul dengan lambat, r ap diare berlangsung beberapa jam tanpa
k
muntah. Pada bayi-bayi muda, muntah tidak u ntu selalu terjadi segera, dan pada beberapa bayi
tro
diantaranya, muntah pada awalnyaasberupa muntah yang intermiten serta disertai gejala
G
kegagalan pertumbuhan. Padajaranak-anak dengan dermatitis atopik dan alergi makanan,
A
ingesti alergen makanan u kumemicu desensitisasi parsial dari sel-sel mast, menimbulkan
eB
Fil umumnya anak-anak ini pertama kali terlihat mempunyai keluhan
reaksi subklinis. Pada
anoreksi. Kenaikan berat badan yang kurang ideal, dan nyeri abdomen yang berulang,
namun integritas dinding usus menunjukkan adanya malabsorpsi. Kebanyakan penderita
menunjukkan uji kulit negatif terhadap ekstrak susu dan secara serologis tidak menunjukkan
hipersensitivitas IgE terhadap susu sapi. Penderita-penderita dengan gejala yang timbul
lambat biasanya pada pemberian susu yang berulang-ulang akan menimbulkan episoda-
episoda gastroenteritis atau intoleransi laktosa yang berulang.
11.7 Diagnosis
Diagnosis alergi makanan berdasarkan:
• Riwayat medis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan laboratoris
• Eliminasi diet
• Tantangan makanan oral
• Uji diagnostik lain
177
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)
Evaluasi awal dimulai dengan anamnesis riwayat medis dan pemeriksaan fisis yang
mendalam, pertimbangan diagnosis banding, termasuk gangguan metabolik, abnormalitas
anatomik, keganasan, insufisiensi pankreatik, reaksi merugikan terhadap makanan yang
non-imunologik dan gangguan-gangguan lainnya yang dapat memberikan gejala yang
serupa. Reaksi alergik terhadap bahan-bahan selain makanan (mis. bulu binatang, jamur,
debu) harus pula dipertimbangkan.
Riwayat medis
Riwayat medis dari alergi makanan kebanyakan adalah bertumpu pada daya ingat pasien
mengenai peristiwa-peristiwa disekitar timbulnya gejala dan pada umumnya sangat
subyektif. Hanya sekitar 40% dari riwayat medis yang didapatkan dari pasien/orang tua
pasien dapat diklarifikasi. Konsekuensinya adalah bahwa dokter harus membedakan antara
gangguan yang disebabkan hipersensitivitas makanan dengan etiologi lain seperti tertera
pada tabel 11.7.1.
Tabel 11.7.1. Bahan-bahan / keadaan yang dapat memberikan gejala mirip gangguan hipersensitivitas makanan.
1. Gastrointestinal : muntah dan atau diare
9
01
• Abdormalitas struktural (mis. Hernia heatal, Stenosis pilorik)
• Defisiensi ensim : primer vs sekunder (mis. Laktase, galaktosemia dsb.) t 2
re
• Keganasan
9 Ma
• Lain-lain (mis. Fibrosis kistik, tukak peptic)
ro
2. Kontaminasi dan bahan tambahan
G ast
• Bahan penyedap dan pengawet at
r ap
• Bahan warna k
• Toksin u ntu
ro
at
• Bahan yang berhubungan dengan ikanslaut
• Organisme infeksi G
• Antigen jamur A jar
u
• Kontaminan asidental
B uk(logam berat , pestisida, antibiotik)
e
Fil
3. Bahan-bahan farmakologik
• Kofein (kopi, “soft drink”)
• Theobromin (coklat, teh)
• Histamin (ikan)
• Triptamina (format)
• Serotonin (tomat, banana)
• Tiramin (keju)
• Alkaloid glikosidal (kentang)
• Alkohol
4. Reaksi psikologik
Sumber: Sampson, 1999.
Dapat dikatakan bahwa setiap protein makanan mampu menyebabkan suatu reaksi;
namun, hanya sejumlah kecil dari makanan terkait dengan 90% lebih reaksi makanan yang
merugikan,serta sebagian besar pasien sensitif terhadap kurang dari 3 makanan. Pada anak-
anak, makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi adalah telor, susu, kacang tanah,
soya, terigu, kacang-kacangan pohon, ikan dan kerang.
Tanda dan gejala dari reaksi alergik makanan yang berhubungan dengan berbagai
organ target dapat dilihat dalam tabel:
178
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 11.7.2. Tanda & gejala rekasi alergik makanan dalam berbagai organ target
Kulit :
• Urtikaria/angioedema
• Kemerahan
• Bercak pruritis eritematus
• Dermatitis atopik
Gastrointestinal :
• Pruritus dengan/atau pembengkakan bibir, lidah atau mukosa oral
• Mual
• Nyeri abdomen atau kolik
• Muntah atau refluks
• Diare
Respiratorik :
• Hidung tersumbat
• Rinore
• Bersin
• Sembab larings, disfonia
• Nafas bunyi/batuk beruntun
Kardiovaskuler :
• Hipotensi/renjatan
• Pusing
Lain-lain :
9
• Nyeri punggung 201
Sumber: Sampson, 1999. aret
9M
Hal yang perlu diperhatikan adalah: ro
G ast
• Saat terjadi reaksi at
ap
• Makanan yang dicurigai sebagai penyebabk rreaksi
tu
−− Jenis makanan
o un
r
G ast
−− Kurun waktu antara makan-makanan yang dicurigai dan timbulnya gejala
−− Apakah makan makanan r
ja yang dicurigai memberikan gejala yang sama pada waktu
lain. kuA
u
l eB
−− Apakah faktor-faktor
i lain (latihan, alkohol) diperlukan dalam mencetuskan gejala
F
−− Lama waktu sejak terjadinya reaksi terakhir terhadap makanan pada gangguan yang
kronik yang dipicu alergi makanan, riwayat medis mempunyai ketepatan prediksi
yang lemah, berbeda dengan gangguan yang bersifat akut.
Pemeriksaan fisik
Selama pemeriksaan fisis perhatian diarahkan ke sistem kulit, gastrointestinal dan
respiratorik dan kearah deteksi adanya gambaran atopi yang umum didapatkan pada pasien
yang mengalami reaksi-reaksi yang diperantarai IgE. Status gizi umum dari pasien dan
setiap tanda fisis dari gangguan non alergik yang mendasarinya perlu dicatat.
Pemeriksaan laboratorium
Selama riwayat medis dan pemeriksaan fisik, perlu ditentukan apakah temuan-temuan
pada pasien merupakan implikasi alergi makanan. Apakah mekanisme yang diperantarai
IgE ataukah yang tidak diperantarai IgE yang paling mungkin terlibat. Sejumlah penelitian
laboratorium mungkin berguna dalam menentukan makanan spesifik yang terkait
179
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)
dengan reaksi yang diperantarai IgE akan tetapi terbatas nilainya dalam reaksi yang tidak
diperantarai IgE.
Uji serologi
Karena banyaknya mekanisme imun yang terlibat dalam patogenesis alergi, berbagai
uji imunologis yang berbeda sering digunakan dalam mengindentifikasi reaksi alergik
walaupun hanya sebagian kecil saja dari uji ini yang benar-benar dapat dipakai dalam
menunjang diagnosis alergi.
Uji RAST
19
RAST dan esai in vitro yang serupa, termasuk ELISA untuk mendeteksi 20 antibodi IgE spesifik
a ret
makanan dapat dipakai pula untuk menapis (screen) pasien-pasien yang dicurigai menderita
o 9M
alergi makanan dengan perantara IgE. Uji-uji ini pada r umumnya dianggap kurang sensitif
G ast
dibandingkan uji klinis, tetapi suatu studi menunjukkan
at bahwa RAST mempunyai kesamaan
r ap
sensitivitas dan spesivisitas dengan uji kulitkapabila mencapai skor 3 atau lebih.
Dalam penapisan awal untuk alergi makanan ntu yang diperantarai IgE, sering dilakukan penapisan
ou
(skrining) sensitivitas makanan yanga str dicurigai dan kemudian diperoleh tingkat IgE spesifik
G
makanan untuk menentukan
A jar kecenderungan reaktivitas kliniknya. Tingginya antibodi IgE
u
uk angka rujukan untuk memonitor sensitivitas spesifiknya.
awal dapat dipakai sebagai
B
e
Fil
RIFT (Red Cell Immunosorbent Fluorescent Technique)
Antibodi IgG serum spesifik terhadap suatu antigen makanan yang sering ditemukan
lebih merupakan indikasi dari adanya suatu paparan dibandingkan sensitisasi. Dengan
cara semikuantitatif untuk IgG susu sapi (ELISA atau RIFT dapat dibedakan antara
penderita-penderita dengan CMA dengan yang sehat. Uji ini terutama berguna bagi reaksi
alergi pertengahan (intermediate) dan lambat (late reactors) dan tidak berguna reaksi bagi
cepat (immediate reaction). Pada penderita-penderita ini terdapat kecenderungan untuk
terjadinya reaksi gastrointestinal.
180
Buku Ajar Gastrohepatologi
mekanisme hipersensitivitas tipe III. Akan tetapi masih diperlukan data-data dari berbagai
penelitian untuk menetapkan cara pemeriksaan tersebut dalam diagnosis alergi makanan.
Uji inhibisi migrasi leukosit (Leucocyte Migration Inhibition test = LIF test)
Mekanisme imun dengan perantara sel (cell mediated immune mechanism) dengan
pengeluaran limfosit yang tersensitisasi antigen makanan yang spesifik, yaitu faktor
inhibisi migrasi leukosit (leucocyte migration inhibiting factor = LIF) telah dicoba untuk
dipakai sebagai cara diagnostik alergi makanan. Disamping hasil-hasil yang dikatakan
9
menggembirakan, terdapat banyak pula hasil-hasil yang positif palsu 2 01 karena masalah-
t
masalah teknis, selain itu harganyapun mahal. are
M
9
stro
Diet eliminasi alergen diagnostik a
G
p at
r
Begitu sesuatu makanan tertentu dicurigai sebagaia penyebab alergi makanan, dimulailah
suatu diet eliminasi dalam upaya mendukung ntuk diagnosis. Keberhasilan dengan cara ini
u
tro alergen-alergen dalam diet eliminasi, kemampuan
membutuhkan eksklusi dari alergenasatau
G
pasien untuk menjaga dietnya
Ajarbebas dari segala bentuk alergen yang dituju, dan tidak
u
uk mungkin akan memperberat gejala selama masa penelitian.
adanya faktor-faktor yang
B
e
Fil
Apabila semua faktor penganggu disingkirkan, tidak adanya suatu respons terhadap diet
eliminasi secara esensial akan mengeksklusi makanan yang dieliminasi sebagai penyebab
dari gangguan alergi. Namun, pada beberapa alergi makanan gastrointestinal (mis.
esofagitis eosinofilik alergik dan gastroenteritis) penyebab yang dimungkinkan adalah alergi
makanan multipel sehingga suatu diet elemental mungkin diperlukan dalam menegakkan
diagnosis. Apabila gejala penyakit menghilang dengan diet eliminasi, dalam memastikan
diagnosis perlu dilakukan, uji tantangan makanan (food challenge). Pada alergi makanan
gastrointestinal, diagnosis akan menjadi pasti apabila endoskopi dan biopsi menunjukkan
perbaikan patologis sesudah 6–8 minggu dengan diet eliminasi.
181
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)
pembutaan tunggal (single blind, pasien tidak mengetahui, tetapi dokter mengetahui isi
makanan tantangan). Atau secara pembutaan ganda dengan kontrol plasebo (“double-blind
and placebo controlled” atau DBPCFC, baik pasien maupun dokter tidak mengetahui isi
makanan tantangan). DBPCFC dianggap sebagai “baku emas” dalam diagnosis dari alergi
makanan “Sicherer (1999), melakukan dua kali tantangan setiap hari, satu kali berisikan
antigen makanan yang diuji dan yang satu lagi berisikan plasebo. Setiap tantangan dievaluasi
dan diskor dengan menggunakan lembar gejala yang baku. Tantangan yang negatif selalu
perlu dipastikan dengan pemberian secara terbuka makanan yang lebih besar porsinya.
Pasien juga diamati kemungkinan terjadinya reaksi lambat. Apabila dicurigai hanya
beberapa makanan saja, tantangan dengan pembutaan tunggal atau tantangan terbuka
dapat dilakukan untuk menapis (screen) reaktivitasnya.
Uji tantangan dilakukan pada bayi dalam keadaan puasa, dimulai dengan dosis yang
sekiranya tidak memicu gejala (25–500 mg dalam makanan yang diliofili = lyophilized
food). Pada reaksi yang dicurigai dengan perantara IgE, dosis pada umumnya dapat
digandakan setiap 15–60 menit. Namun apabila pasien menunjukkan reaksi yang lebih
lambat, diperlukan waktu interval yang lebih lama. Begitu pasien dapat mentoleransi 10
gram “lyophilized food” yang dibutakan dalam kapsul atau cairan (ekuivalen dengan putih
telor satu butir telor atau satu gelas susu dari 4-oz), maka reaktivitas klinik pada umumnya
9
dapat disingkirkan. 2 01
re t
Pasien dengan tingkat IgE spesifik-alergen makanan dalam
9 Ma serum yang melebihi 95%
dari nilai prediksi dapat dianggap reaktif, dan tantangan ro makanan oral tidak diperlukan.
Pasien dengan tingkat IgE kurang dari 95% G ast prediktif mungkin reaktif tetapi
nilai
at
memerlukan suatu uji tantangan makanan r ap memastikan diagnosis. Terkait dengan
untuk
k
hal tersebut, data-data terakhir menunjukkan
u ntu bahwa pemantauan nilai IgE spesifik alergen
ro
mungkin berguna dalam prediksi
G ast apabila tantangan-tantangan selanjutnya (follow up)
r
cenderung menjadi negatifja(apabila pasien “outgrow” alergi makanannya). Penapisan awal
alergi makanan dengan
A
u perantara IgE seringkali merupakan penapisan bagi sensitivitas
u k
l eB
makanan untuk ikemudian ditentukan tingkat IgE spesifik makanan untuk menentukan
F
reaktivitas kliniknya. Tingkat awal antibodi IgE dapat dipakai sebagai titik rujukan dalam
memantau sensitivitas spesifik.
182
Buku Ajar Gastrohepatologi
kebanyakan dari alergi gastrointestinal, histologi dari bahan biopsi sering memperkuat
diagnosis tetapi tidak menunjukkan makanan mana yang merupakan penyebab dari reaksi.
Tabel 11.7.3. Elemen-elemen yang menunjukkan adanya alergi makanan sebagai penyebab penyakit gastrointestinal
1. Riwayat reaksi alergik atau serupa alergi terhadap makanan
2. Eksklusi dari penyebab-penyebab anatomis, metabolik atau infeksi
3. Penemuan patologik konsisten dengan penyebab alergik (biasanya eosinofilia)
4. Konfirmasi adanya hubungan ingesti dari protein makanan spesifik dan gejala melalui tantangan-tantangan atau paparan berulang
5. Bukti adanya antibodi spesifik dalam tatanan penyakit-penyakit
6. Kegagalan dalam merespons pengobatan, metabolik atau infeksius
7. Perbaikan dalam gejala-gejala dengan eliminasi diet penyebab gangguan (protein makanan)
8. Respons klinis terhadap pengobatan dari keradangan inflamasi (kortikosteroid)
9. Kesamaan sindrom klinis baik yang terbukti ataupun diperkirakan karena mekanisme imunologik
10. Tidak adanya penjelasan untuk reaksi yang menyerupai alergi secara klinis
Sumber: Wesley, 1998.
Tabel 11.7.4. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan alergi makanan sebagai kausa penyakit gastrointestinal
9
01
* Usia pasien muda (< 3 th.)
2
ret
* Riwayat reaksi akut yang diperkirakan karena makanan tertentu
* Penyakit atopik yang menyertai a
a. Dermatitis atopik (lezema) o 9M
str
b. Reaksi alergi makanan akut
Ga
c. Asma p at
d. Riwayat keluarga dengan penyakit atopik k ra
Sumber: Sampson, 1985. u ntu
ro
Gast
Tabel 11.7.5. Jenis diet eliminasi Ajar
u
uk makanan yang berhubungan dengan gejala
A. Eliminasi dari salah satu atau beberapa
B
e
il makanan positif IgE atau makanan dengan kecurigaan
- Berguna untuk reaksiFakut,
tinggi
B. Diet oligoantigenik-makanan yang terspesifikasi yang diperkenankan dalam diet yang diseleksi bagi yang umumnya mengandung
risiko rendah.
- Berguna bila sejumlah besar makanan ada hubungannya dengan gejala
- Dapat menghasilkan hasil yang negatif semu apabila makanan yang sebenarnya tidak dieliminasi
C. Diet elemental-formula hipoalergenik (yaitu formula berdasar asam amino) digunakan sebagai nutrisi total, dapat berisikan beberapa
bahan padat yang “aman”
- Berguna apabila sejumlah besar makanan dicurigai
- Kepatuhan yang rendah dari bayi
Sumber: Wesley, 1998.
183
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)
Perbaikan
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
Diet rumatan
p at
Pertimbangkan pemberian kembali
k ra Makanan dapat
makanan spesifik dan/atau tantangan
u ntu ditoleransi/tantangan dilewati
secara formal (tabel 6) ro
ast
rG
u Aja
Buk tambah makanan
e
Fil
Tantangan positif, Teruskan eksklusi makanan, pada diet
gejala timbul Pertimbangkan re-evaluasi
kembali berkala
Gambar 11.7.1. Skema Umum bagi Evaluasi Peran Alergi Makanan Gastrointestinal (Sicherer, Justinich, 2001)
184
Buku Ajar Gastrohepatologi
185
Bab 11 Alergi Makanan (Food Allergy)
Imunoterapi
Imunoterapi telah dicoba dalam pengobatan gangguan-gangguan alergi yang dipicu
makanan. Dua pendekatan yang sedang ditelusuri yaitu pendekatan menyangkut mutasi
dari epitope yang mengikat IgE pada protein kacang dan yang melibatkan penggunaan
DNA protein kacang yang dikodekan dalam vektor plasmid. Pendekatan ini diharapkan
0 19
2
berhasil dalam upaya “desensitisasi” pada pasien dengan alergi emakanan.
tr
9 Ma
ro
Humanized anti IgE antibody therapy Gast
p at
a
Strategi yang lebih global yang mungkink rberguna dalam pengobatan alergi makanan
tu
yang diperantarai IgE adalah penggunaan
o un terapi antibodi anti IgE. Bentuk pengobatan ini
st
mempunyai keuntungan dalam amengobati r sensitivitas terhadap protein makanan multipel
r G
tanpa memandang spesifisitas
Aj a alergennya.
u ku
B
Fi le
Probiotik
Pada saat ini probiotik, LGG terbukti merupakan organisme yang sangat bermanfaat untuk
allergi makanan maupun pencegahannya. Bakteri probiotik tertentu dapat mengurangi
produksi pro inflamatory cytokines, sehingga probiotik bermanfaat tidak hanya untuk
food(gut) allergy saja, namun berguna juga untuk inflamatory bowel disease, seperti ulceratif
colitis dan crohn disease.Penelitian untuk probiotik jenis lain masih sedang dilakukan.
Daftar Pustaka
1. Bruijnzeel – Koomen C, Ortolani C, Aas K, Bindslev – Jensen C, Bjorksten B, Moneret D, et al.
Adverse reaction to food allergy 1995; 50 : 623-635.
2. Bock SA. The natural history of food sensitivity. J Allergy Clin Immunol 1982; 69 : 173-7.
3. Bock SA, Atkins FM. Patterns of food hypersensitivity during sixteen years of double-blind,
placebo controlled food challenges. J Pediatr 1990; 117 : 561-567.
4. Bock SA, Lee WY, Remigro L, Holst A, May CD. Appraisal of skin tests with food extracts for
diagnosis of food hypersensitivity. Clin Allergy 1978; 8 : 559-564.
5. Bunser O, Araya M. Damage and repair of small intestinal mucosa in acute and chronic
186
Buku Ajar Gastrohepatologi
diarrhoea. In : E Lebenthal ed. Chronic diarrhoea in infancy. New York 1984, Nestle Vevey/
Raven Press, 31-55.
6. Hill D, Hasking CS. Clinical management : Food allergy in Paediatric Clinical Practice. In : KM
Hendricks, W Allan Walker eds. International Seminars in Paediatric Gastroenterology and
Nutrition. Decker Periodicals Inc. pp. 2-7.
7. Hill DJ, Hosking CS, Heine RG. Clinical spectrum of food allergy in children in Australia and
South Eeast Asia : Indentification and targets for treatment. Ann Med 1999; 31 : 272-281.
8. Host A, Koletzko B, Dreborg S, Muraro A, Wahn U et al. Dietary products used in infants for
treatment and prevention of food allergy. Arch Dis Child 1999; 81 : 80-84.
9. Iacono G, Carroccio A, Cavataio F. et al. Gastroesophageal reflux and cow’s milk allergy in
infants : a prospective study. J Allergy Clin Immunol 1996; 97 : 822-827.
10. Iacono G, Cavataio F, Montalto G. et al. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in
children. N Engl J Med 1998; 339 : 1100-4.
11. Jon A, Vanderhoof, MD & Rosemary J. Young, RN, MS. In The role of probiotic in the
management of patients with food allergy. Ann allergy, asthma, immunology 2000. Suplemen
3 : 99-103 .
12. Justinich CJ. Update in gastrointestinal allergic diseases. Curr. Op in Pediatr 2000; 12: 456-459.
13. Motta MEFA. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in children. International
Pediatrics, 2001; 16 : 66-72.
14. Orenstein SR. Gastroesophageal reflux. Curr probl Pediatr 1992; 21 : 193-241.
9 in children and
15. Pascual CY, Crespo JF, Perez PG, Esteban MM. Food allergy and intolerance 2 01
adolescent, an update. Eur J. Clin Nutr 2000; 54 : SI pp 575-578. are
t
16. Romagnani S. Induction of Th1 dan Th2 response : a key roleofor 9 Mthe “natural” immune response
st r
Gaet al. Diagnositic work-up foor food
? Immunol Today 1992; 13 : 379-318.
17. Romano A, Di Fonso M, Ginffreda F, Quaretino at D,
dependent, exercise induced anaphylaxis. Allergy k rap1995; 50 : 817-24.
tu
18. un
Sampson HA, Mc Caskillc CC. Food hypersensitivity
o and atopic dermatitis : evaluation of 113
tr
as
patients. J Pediatr 1985; 107 : 699-675.
19. Sampson HA b. Food allergyjparta r G2 : Diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol 1999,
A
103 : 981-989.
u ku
20. Sampson HA, Albergo e B R d. Compsrisona of result of skin test, RAST and double-blind, placebo
Fil
controlled food challenges in children with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 1989; 74: 26-33.
21. Sampson HA a, Mendelson LM, Rosen JP. Fatal and near fatal anaphylaxis reactions to food in
children and adolescent. N Engl J Med 1992; 327 : 380-4.
22. Seidman E. Immune homeostasis and the gut. In : CC Roy, A Silverman, D Alagille eds. Pediatric
Clinical Gastroenterology, 4th ed. St Louis 1995, Mosby, Ch 12 : 388-416.
23. Sicherer SH. Manifestations of Food Allergy : Evaluation and Management. American Academy
of Family Phys 1999; pp. 1-12.
24. Sicherer SH, Sampson HA. Food hypersensitivity and atopic dermatitis : Pathophysiology,
epidemiology, diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol 1999; 104: S 114-22.
25. Soeparto P, Djupri LS, Noerasid H. Cow’s milk sensitive enteropathy, Kongres Nasional I KOPGI
– KOPEGI Jakarta 1981.
26. Stern M. Gastrointestinal Allergy. In : W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker
Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Philadelphia 1991, BC Decker Inc; 1
: 557-574.
27. Weier DM. Immunology Churchiel Livingstone 1983.
28. Wesley Burks A. The spectrum of food hypersensitivity : Where does it end ? Editorials. J Pediatr
1998; 133 : 175-6.
29. Winter HS, Madara JL, Stafford RJ, Grand RJ, QuinlanJE, Goldman H. Intraepithelial eosinophils:
a new diagnostik criterion for reflux esophagitis. Gastroenterology 1982; 83 : 818-823.
187
BAB
12
Konstipasi pada Anak
Agus Firmansyah
12.2 Pendahuluan
Pola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai pertanda anak sehat. Terutama
pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi, orang tua sangat menaruh perhatian pada
frekuensi defekasi dan karakteristik tinjanya. Adanya penyimpangan dari yang dianggap
normal pada anak, merangsang orang tua untuk membawa anaknya ke dokter. Pada
umumnya orang tua khawatir bahwa tinja anaknya terlalu besar, terlalu keras, nyeri waktu
berhajat atau defekasinya terlalu jarang. Kenyataannya, konstipasi memang merupakan
masalah yang biasa ditemukan pada anak.
Pada awalnya penyebab konstipasi mungkin sederhana saja, misalnya kurangnya
konsumsi serat, tetapi karena tidak ditangani secara memadai perjalanan kliniknya menjadi
kronis, yang membuat frustrasi anak, orangtua dan juga dokter yang merawatnya. Di lain
pihak, terdapat kasus-kasus konstipasi akut yang memerlukan diagnosis etiologi segera
karena memerlukan tindakan yang segera pula. Ringkasnya, ada kasus konstipasi ringan
tetapi memerlukan penanganan yang adekuat, ada kasus yang memerlukan diagnosis
etiologi dan tindakan segera, dan ada pula kasus konstipasi kronis yang memerlukan
kesabaran dan penanganan yang cermat.
Tulisan ini menjelaskan secara ringkas mengenai pendekatan diagnosis dan tatalaksana
konstipasi pada anak, dengan perhatian khusus pada konstipasi fungsional yang sering
ditemukan pada anak.
188
Buku Ajar Gastrohepatologi
12.3 Definisi
Dalam kepustakaan belum ada kesepakatan mengenai batasan konstipasi. Rogers
mendefinisikan konstipasi sebagai kesulitan melakukan defekasi atau berkurangnya
frekuensi defekasi tanpa melihat apakah tinjanya keras atau tidak. Lewis dan Muir
menambahkan bahwa kesulitan defekasi yang terjadi menimbulkan nyeri dan distres
pada anak, sedangkan Abel mengatakan konstipasi sebagai perubahan dalam frekuensi
dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu
frekuensi berhajat lebih jarang dan konsistensi tinja lebih keras dari biasanya. Definisi lain
adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu. Steffen dan Loening-Baucke
mengatakan konstipasi sebagai buang air besar kurang dari 3 kali per minggu atau riwayat
buang air besar dengan tinja yang banyak dan keras. Penulis sendiri berpendapat bahwa
konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna, yang
tercermin dari 3 aspek, yaitu berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang
lebih keras dari sebelumnya, dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) dengan
atau tidak disertai enkopresis (kecepirit).
12.4 Epidemiologi t 2 01
9
189
Bab 12 Konstipasi pada Anak
rektum, akan mendorong tinja keluar melalui anus. Pada keadaan normal, epitel sensorik
di daerah anus-rektum memberitahu individu mengenai sifat tinja, apakah padat, cair, gas,
atau kombinasi ketiganya.
Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja cair yang diterimanya dari
ileum. Makan atau minum merupakan stimulus terjadinya kontraksi kolon (refleks
gastrokolik) yang diperantarai oleh neuropeptida pada sistem saraf usus dan koneksi saraf
visera. Kandungan nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan
frekuensi dan konsistensi tinja. Kurangnya asupan serat (dietary fiber) sebagai kerangka
9
tinja (stool bulking), kurang minum, dan meningkatnya kehilangan 2 01 cairan merupakan
re t
faktor penyebab konstipasi. Berat tinja berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja
9 Ma
yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu singgah o melalui saluran pencernaan lebih
cepat bila mengkonsumsi banyak serat. Waktu singgah a str pada bayi berusia 1-3 bulan adalah
G
8,5 jam. Waktu singgah meningkat dengan bertambahnya p at usia, dan pada dewasa berkisar
r a
antara 30 sampai 48 jam. Berkurangnyanaktivitas tuk fisik pada individu yang sebelumnya aktif
ou
merupakan predisposisi konstipasi,
a str misalnya pada keadaan sakit, pascabedah, kecelakaan
atau gaya hidup bermalas-malasan. G Stres dan perubahan aktivitas rutin sehari-hari dapat
A j ar
mengubah frekuensi defekasi, seperti liburan, berkemah, masuk sekolah kembali setelah
ku
utoilet
liburan, ketersediaan B dan masalah psikososial, dapat menyebabkan konstipasi.
Fi le
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi akibat pengalaman
nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Orangtua sering memberitahu
adanya riwayat darah dalam tinja, popok atau toilet. Pengalaman nyeri berhajat ini dipercaya
menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja
(retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang
menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami
reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan
sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal
anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus
berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-retensi tinja-tinja makin banyak-reabsorpsi
air-tinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu berhajat-dan seterusnya.
Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berada di rektum, kolon sigmoid, dan
kolon desenden dan bahkan di seluruh kolon. Enkopresis atau kebocoran (tidak disengaja;
involuntary) tinja cair atau lembek di sekitar massa tinja merupakan masalah yang
mendorong orangtua membawa anaknya ke dokter. Distensi tinja kronis sebagai akibat
retensi tinja menyebabkan menurunnya kemampuan sensor terhadap volume tinja, yang
190
Buku Ajar Gastrohepatologi
sebetulnya merupakan panggilan atau rangsangan untuk berhajat. Temuan terbanyak pada
pemeriksaan manometri anak dengan konstipasi kronis adalah meningkatnya ambang
rangsang sensasi rektum. Dengan pengobatan jangka panjang, sensasi rektum dapat
menjadi normal kembali. Namun pada sebagian kasus yang sembuh, sensasi rektum tetap
abnormal dan hal ini menjelaskan mengapa konstipasi dan enkopresis mudah kambuh.
Kontraksi puborektalis paradoksal merupakan temuan yang biasa pada pemeriksaan
manometri anorektum pada anak dengan konstipasi kronis. Kontraksi puborektalis
paradoksal didefinisikan sebagai kurangnya kontraksi spingter anus eksterna dan muskulus
puborektasis selama upaya defekasi, bahkan sebaliknya terjadi relaksasi. Anak dengan
kontraksi abnormal sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis selama latihan
defekasi (toilet training) juga mengalami kesulitan mengevakuasi balon berisi air (model
tinja tiruan) dan lebih sering mengalami kegagalan terapi. Pada sekitar 5%-10% bayi dan
anak, konstipasi dapat disebabkan kelainan anatomis, neurologis, atau penyebab lain yang
akan dibahas dalam paragraf tentang diagnosis banding.
191
Bab 12 Konstipasi pada Anak
anak dengan konstipasi dapat dilihat pada Tabel 12.6.1 dan temuan pada pemeriksaan fisik
yang membedakan konstipasi organik dan fungsional dapat dilihat pada Tabel 12.6.2.
192
Buku Ajar Gastrohepatologi
12.7 Diagnosis
Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan
pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang tua bahwa anaknya
menderita konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan
mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi. Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen
yang cermat dan colok dubur perlu dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering
menggeliat, wajahnya memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu
normal dan bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan
fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa kalipun frekuensi defekasi.
Orang tua merasa anaknya memiliki masalah defekasi bila tidak melihat anaknya defekasi
dalam sehari. Oleh karena itu, sebelum memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting
sekali mengidentifikasi kasus pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang tua
mengenai hal ini.
Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan apakah
konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung
kurang dari 1-4 minggu dan konstipasi kronis bila keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan.
Penyebab konstipasi akut yang paling sering terlihat pada Tabel1912.7.1 tetapi perlu
20
dipikirkan kelainan yang mengancam kehidupan, seperi obstruksi
aret usus, dehidrasi dan
botulisme infantil. Penyebab tersering konstipasi akut adalah
o 9 Minfeksi virus. Infeksi virus
r
dapat menyebabkan ileus nonspesifik dan berkurangnya ast frekuensi defekasi. Anak juga
Gmelalui
mengalami anoreksia serta kehilangan banyak cairan at saluran nafas dan demam.
r ap
ntuk
Tabel 12.7.1. Penyebab tersering konstipasi pada anak u
st ro
Ga
o Fungsional
o Fisura ani jar
o Infeksi virus dengan ileus
kuA
u
o Diet
i l eB
o Obat F
Sumber: Steffen, 1999.
Obat juga sering menyebabkan efek samping berupa konstipasi akut, seperti antasida,
antikolinergik, antikonvulsan, antidepresan, diuretika, preparat besi, relaksan otot, narkotika
dan psikotropika. Bila meresepkan obat, dokter harus mengantisipasi konstipasi sebagai
efek samping. Sebagian besar obat yang dapat menyebabkan konstipasi terlihat pada Tabel
12.7.2. Daftar yang ringkas ini dapat dipakai sebagai acuan umum. Beberapa sirup antasida
dapat menimbulkan konstipasi. Obat antikolinergik yang digunakan untuk pengobatan
inkontinensia urin akibat neurogenic bladder pada pasien dengan defek medula spinalis
seperti meningomiokel, adalah oksibutinin klorida. Konstipasi mungkin merupakan efek
samping yang bermakna pada anak yang diobati untuk disritmia jantung, depresi, kejang,
dan sejumlah penyakit lain. Pada sebagian kasus, terapi dapat dilajutkan dengan menangani
konstipasi yang terjadi dengan pelunak tinja atau supositoria dan enema, Kecuali pada anak
dengan diet ketogenik untuk kejang intraktabel. Dalam hal ini, konsultasi pada ahli gizi
mungkin dapat membantu.
193
Bab 12 Konstipasi pada Anak
194
Buku Ajar Gastrohepatologi
Bila diet anak berubah mereka juga dapat mengalami episode konstipasi akut. Hal
ini terjadi misalnya pada waktu liburan. Bila diet mengandung banyak susu atau rendah
buah dan sayuran, kemungkinan penyebab konstipasi adalah faktor diet. Dalam hal ini,
modifikasi diet lebih diutamakan daripada laksatif. Perubahan diet dari ASI ke formula
pada bayi atau dari formula ke susu penuh (fullcream) pada anak usia 1 tahun dapat
menimbulkan konstipasi pada beberapa bayi/anak
Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi kronis
biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit Hirschsprung karena
berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.
Petunjuk penting lain dalam diagnosis banding adalah umur pada saat awitan gejala
timbul. Bila dalam anamnesis didapatkan bahwa gejala timbul sejak lahir, kemungkinan
penyebab anatomis seperti penyakit Hirschsprung harus dipikirkan. Bila awitan gejala
timbul pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan besar penyebabnya fungsional.
Walaupun lebih dari 90% konstipasi pada anak tergolong konstipasi fungsional, pada
beberapa anak etiololginya mungkin mulktifaktorial. Bila terapi logis tidak efektif atau bila
konstipasi terjadi pada masa neonatus atau bayi, eksplorasi untuk mencari penyebab lain
harus dilakukan. Meski masa awitan manifestasi berbagai penyebab konstipasi dapat saling
tumpang-tindih, pengelompokan penyebab berdasarkan umur terlihat 1pada 9 Tabel 12.7.3.
2 0
aret
9M
12.8 Komplikasi ast
ro
G
at komplikasi primer konstipasi pada
Nyeri perut atau rektum dan enkoporesis merupakan r ap
k
anak. Komplikasi lain dapat dilihat pada Tabel
u ntu 12.8.1.
o
Tabel 12.8.1. Komplikasi konstipasi kronis pada anakGa
str
o Nyeri: anus atau abdomen A jar
u
o Fisura ani
B uk
e
Fil
o Enkopresis
o Enuresis
o Infeksi saluran kemih/obstruksi ureter
o Prolaps rektum
o Ulkus soliter
o Sindrom stasis
- Bakteri tumbuh lampau
- Fermentasi karbohidrat, maldigesti
- Dekonjugasi asam empedu
- Steatorea
Sumber: Young, 1996.
Eneuresis dilaporkan terjadi pada lebih dari 40% anak dengan enkoporesis. Pada
beberapa kasus, eneuresis menghilang bila massa tinja dievakuasi sehingga memungkinkan
kandung kemih mengembang. Komplikasi urologis penting lainnya adalah dilatasi kolon
distal, sehingga berperan dalam meningkatkan frekuensi infeksi saluran kemih dan
obstruksi ureter kiri. Dilatasi kolon distal dapat mengurangi tonus kolon yang menyebabkan
terjadinya invaginasi, yang dapat bermanifestasi sebagai prolaps rekti setelah defekasi.
Prolaps kolon ringan tetapi berlangsung lama akan menciptakan suatu ulkus iskemik pada
dinding mukosa rektum (ulkus soliter) yang secara klinis tampak sebagai tinja berlendir
195
Bab 12 Konstipasi pada Anak
dan berdarah apapun konsistensi tinjanya. Iritasi difus pada kolon akibat tinja yang amat
keras bahkan dapat menyebabkan protein-losing enteropathy.
Sindrom stasis terutama terlihat pada pseodo-obstruksi. Stigma sosial yang berkaitan
dengan sering kentut dan kecepirit yang menimbulkan bau tidak sedap dapat mempengaruhi
anak. Sebagian besar anak dengan enkoporesis kronis akan menyangkal bila ditanya tentang
masalah enkoporesisnya dan bahkan sering menyembunyikan celana dalamnya yang kena
kecepirit.
196
Buku Ajar Gastrohepatologi
Terapi rumatan
Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk mencegah
kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian
laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang
sempurna.
Anak dianjurkan untuk banyak minum dan mengkonsumsi karbohidrat dan serat.
Buah-buahan seperti pepaya, semangka, bangkuang dan melon banyak mengandung serat
dan air sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak
terkandung dalam buah prune, pear dan apel, sehingga dapat dikonsumsi dalam bentuk jus
untuk meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja.
Komponen penting dalam terapi rumatan adalah modifikasi perilaku dan toilet
training. Segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan untuk buang air besar.
Tidak perlu terlalu terburu-buru, yang akan membuat anak makin tertekan, tetapi berilah
waktu 10-15 menit bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan
mengembangkan reflek gastrokolik pada anak. Dianjurkan membuat catatan harian yang
mencatat kejadian defekasi dan konsistensi tinja. Sistem pemberian hadiah dapat diterapkan
bila anak berhasil melakukan defekasi. Bila dengan cara di atas tidak berhasil, mungkin
9
perlu dikonsulkan ke ahli psikiatri anak.
2 01
t
re (larutan 70%) dapat
Obat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktulosa
9 Ma
diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Sorbitol (larutan 70%)
a stro
diberikan 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. GMineral oil (parafin liquid) diberikan
at
ap dibawah 1 tahun. Larutan magnesium
1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak dianjurkan untukranak
tuk
hidroksida (400mg/5 ml) diberikan 1-3 nml/kgBB/hari, tetapi tidak diberikan pada bayi
u
dan anak dengan gangguan ginjal.stBila ro respon terapi belum memadai, mungkin perlu
a
ditambahkan cisapride denganadosis
j r G 0,2 mg/kgBB/kali untuk 3-4 kali pada hari selama 4-5
uA
minggu. Terapi rumatan kmungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah
normal, terapi rumatan Budapat dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan masih
Fi le
perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang
banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen.
Rekomendasi umum
• Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat merupakan bagian penting
dari evaluasi komprehensif bayi atau anak dengan konstipasi (III).
• Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat ternyata cukup
untuk mendiagnosis konstipasi fungsional pada banyak kasus (III).
• Uji darah samar dalam tinja dianjurkan pada semua bayi dengan konstipasi dan pada
anak dengan konstipasi yang juga mengalami sakit perut, gagal tumbuh, diare atau
riwayat keluarga menderita polip atau kanker kolorektal (III).
197
Bab 12 Konstipasi pada Anak
• Pada kasus tertentu, pemeriksaan foto polos abdomen, bila diinterpretasi dengan benar,
dapat bermanfaat dalam mendiagnosis fecal impaction (II-2)
• Biopsi rektum dengan pemeriksaan histopatologis dan manometri rektum merupakan
satu-satunya cara yang akurat untuk menyingkirkan penyakit Hirschsprung (II-1)
• Pada kasus tertentu, pengukuran waktu singgah dengan petanda radioopak dapat
menentukan apakah terdapat konstipasi (II-3).
Catatan:
Kategori kualitas bukti adalah sebagai berikut:
198
Buku Ajar Gastrohepatologi
12.11 Simpulan
Konstipasi sering ditemukan pada anak, baik yang akut maupun kronis. Sebagian besar
(90%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional. Pada sebagian besar kasus,
anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah cukup memadai untuk penatalaksanaan anak
dengan konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga penyebabnya organik, beberapa
pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Pengobatan konstipasi
terdiri dari evakuasi tinja bila terjadi skibala dan dilanjutkan dengan terapi rumatan
yang terdiri dari obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orangtua dan konsultasi. Terapi
memerlukan waktu lama (berbulan-bulan) dan memerlukan kerjasama yang baik dengan
orangtua. Prognosis umumnya baik sepanjang orangtua dan anak dapat mengikuti program
terapi dengan baik.
Daftar pustaka
1. Abel E. Managing constipation in a pediatric patient: It is more than a simple problem. Clin
Excell Nurs Pract 2001;5:211-7.
2. Abi-Hanna A, Lake AM. Constipation and encopresis in childhood. Pediatr Rev 1998;19:1-17.
3. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, et al. Constipation in infants and children: evaluation
and treatment. A medical position statement of the North American 1Society 9 for Pediatric
2 0
Gastroenterology and Nutrition. JPGN 1999;29:615-26.
re t
4. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, Croffie JM. Clinical Practice
9 Ma Guideline. Evaluation and
o
str
treatment of constipation in infants and children : Recommendations of the North American
Ga Nutrition. JPGN 2006;43:e1-e13.
Socierty for Pesdiatric Gastroenterology, Hepatologyt and
a
5. Borowitz SM, Cox DJ, Tam A, et al. Precipitants
k rapof constipation during early childhood. J Am
Board Fam Pract 2003;16:213-8. tu
o
6. Burkitt DP, Walker ARP, Painter NS.rEffect un of dietary fiber on stools and transit-times, and its
st
Ga 1972;2:1408-12.
role in the causation of disease. Lancet
r
7. DiPalma JA. Current treatment
u Aja options for chronic constipation. Rev Gastroenterol Dis
2004;4:34-42. u k
eB
Fil disorders of the gastrointesrtinal tract. In: Gracey M, Burke V, editors.
8. Dodge JA. Functional
Pediatric Gastroenterology and Hepatology. Oxford: Blackwell, 1993.p.880-9.
9. Drossman DA, Sandler RS, McKee DC, et al. Bowel patterns among subjects nor seeking health
care. Gastroenterology 1982;83:529-34.
10. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Sari Pediatri 1994;2:51-6.
11. Focht III DR, Baker RC, Heubi JE, Moyer MS. Variability in the management of childhood
constipation. Clin Pediat 2006;45:251-6.
12. Lewis C, Muir J. A collaborative approach in the management of childhood constipation. Health
Visitor 1996;69:424-6.
13. Loening-Baucke V. Sensitivity of the sigmoid colon and rectum in children treated for chronic
constipation. JPGN 1984;3:454-9.
14. Loening-Baucke V. Factors determining outcome in children with chronic constipation and
fecal soiling. Gut 1989;30:999-1006.
15. Loening-Baucke V. Chronic constipation in children. Gastroenterology1993;105:1557-64.
16. Loening-Baucke V. Urinary incontinence and urinary tract infection and their resolution with
treatment of chronic constipation of childhood. Pediatrics 1997;100:228-32.
17. Ludwig S. Constipation. In: Fleisher GR, Ludwig S, editors. Textbook of Pediatric Emergency
Medicine. Baltimore: Williams & Wilkins, 1988.p.118-22.
199
Bab 12 Konstipasi pada Anak
18. Meunir P, Marechal JM, De Beaujeu MJ. Rectoanal pressure and rectal sensitivity studies in
chronic childhood constipation. Gastroenterology 1979;77:330-6.
19. Muller-Lissner SA. Effect of wheat bran on weight of stool and gastrointestinal transit time: a
metaanalysis. BMJ 1988;296:615-7.
20. Preston DM, Lennard-Jones JE. Anismus in chronic constipation. Dig Dis Sci 1985;30:413-8.
21. Rogers J. Childhood constipation and the incidence of hospitalization. Nursing Standard
1997;12:40-2.
22. Roy CC, Silverman A, Alagile D. Pediatric clinical gastroenterology. Mosby, St Louis, 1994.
23. Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. BMJ 2006;333:1051-5.
24. Steffen R, Loening-Baucke V. Constipation and encopresis. In: Wylie RW, Hyams JS, editors.
Pediatric gastrointestinal diseases. Pathophysiology, diagnosis, management. Saunders,
Philadelphia, 1999:43-50.
25. Stefen R, Schroeder TK. Paradoxical puborectalis contraction in children. Dis Colon Rectum
1992;35:1193-4.
26. Taitz LS, Water JKH, Urwin OM, et al. Factors associated with outcome in management of
defecation disorders. Arch Dis Chil 1986;61:472-77.
27. Tobias N, Mason D, Lutkenhoff M, Stoops M, Ferguson D. Management principle of organic
causes of childhood constipation. J Pediat Health Care 2008;22:12-23.
28. Weaver LT, Ewing G, Taylor LC. The bowel habit of young children. Arch Dis Child 1984;59:649-
52.
9
01
29. Weaver LT, Steiner H. The bowel habit of milk-fed infants. JPGN 1988;7:568-71.
2
re t
Ma
30. Whitehead WE, Schuster MM. Anorectal physiology and pathophysiology. Am J Gastroenterol
1987;82:487-97. 9
ro
ast 1996;19:88-93.
31. Young R. Pediatric constipation. Gastroenterol Nursing.
G
p at
r a
k
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
200
BAB
13
Inflammatory Bowel Diseases
Dwi Prasetyo
13.2 Pendahuluan
Inflamatory bowel disease (IBD) adalah istilah umum yang digunakan untuk membedakan
dua kelainan yang berhubungan dengan proses inflamasi di saluran pencernaan, yaitu:
Penyakit Crohn (PC) dan Kolitis Ulserativa (KU). Kelainan ini harus dibedakan dengan
penyakit-penyakit lain yang mempunyai gejala klinis dan laboratoris yang hampir sama,
seperti infeksi, alergi dan neoplasma. Oleh karena IBD juga mempunyai manifestasi
ekstraintestinal, maka sebagai klinikus harus mampu mengenal gejala klinis dengan baik,
hal ini penting untuk dapat mengatasi masalah yang bisa ditimbulkan seperti keterlambatan
pertumbuhan, artritis, hepatitis dan anemia.
13.3 Definisi
Kolitis ulserativa adalah proses peradangan yang mukosanya relatif homogen, dimulai dari
rektum dan meluas sampai kolon proksimal. Abses kripta sering ditemukan. Inflamasi yang
terbatas pada rektum didapatkan pada 10% pasien, dinamakan proktitis ulserativa, 30%
201
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
kasus didapatkan pada kolon bagian kiri dan sekitar 40%-50% didapatkan pada seluruh
kolon, dinamakan pankolitis.
Penyakit Crohn adalah proses peradangan kronis transmural yang dapat ditemukan
di salah satu bagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Pada awalnya
ulkus terjadi superfisial termasuk folikel limfoid (aphthous lesion), kemudian inflamasi dapat
menyebar secara bertahap ke dalam lapisan submukosa, muskularis dan serosa. Peradangan
transmural dapat menyebabkan fistula. Granuloma sebagai gejala yang patognomonik
untuk PC, hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien. Proses inflamasi yang ditemukan di
ileum terminalis berkisar 30% kasus, sedangkan yang disertai ileum dan kolon sekitar 60%,
dan yang terbatas pada kolon 10%-20%. Inflamasi gastroduodenal didapatkan 30%-40%.
202
Buku Ajar Gastrohepatologi
Penyakit Crohn 9
2 01
Penyakit ini terutama terjadi pada dewasa muda, ditandai dengan
aret inflamasi subakut atau
kronis. Ulserasi yang terjadi pada mukosa berhubungan dengan
o 9 M adanya disproporsi reaksi
jaringan ikat pada dinding usus, suatu proses yang sering r
st mengakibatkan stenosis usus dan
berhubungan dengan pembentukan fistula yang multipel. t Ga
a
ap
rnontuberkulosa
Sejak pertama kali dikenal sebagai ileitis k pada tahun 1813 dengan
karakteristik yang unik sebagai chronic u ntu
inflammatory disease, yaitu regional ileitis, oleh
a stro
Crohn, Ginzburg dan Oppenheimer G pada tahun 1932. PC kemudian menjadi lebih
Ajar
heterogen termasuk dalam perubahan anatomi dan histologinya. PC dapat mengenai bagian
u
manapun dari saluran B uk
pencernaan, tidak hanya regional dan gambaran histologisnya tidak
i l e
harus ada gambaran F granulomatosa. Pada anak-anak, PC sama dengan yang terjadi pada
dewasa, kecuali dalam hal pengaruh terhadap pertumbuhan dan pematangan pada anak
dan remaja.
Sekarang telah diketahui bahwa PC adalah suatu penyakit kronis, transmural dan
proses inflamasinya dapat mengenai berbagai segmen saluran cerna, mulai dari mulut
sampai anus, tetapi tidak secara kontinyu. Usus besar adalah sebagai tempat utama yaitu
90% kasus, terutama terjadi pada ileum distal (70%) dan biasanya kombinasi dengan kolitis,
yaitu ileokolitis (50%). PC yang mengenai mulut, esofagus dan gaster frekuensinya jarang
dan biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi disertai dengan kelainan pada tempat lain. Secara
klinis sangat sulit untuk diprediksi dengan berbagai variasi respon terhadap terapi dan
cenderung untuk berulang dan berakhir dengan tindakan operasi.
Epidemiologi
Studi epidemologi penyakit inflamasi saluran cerna pada anak-anak sangat terbatas.
Insidensi PC di Skandinavia adalah 5,3 per 100.000 populasi, dengan insidensi spesifik
pada usia 15-19 tahun, yaitu 16 per 100.000 dan untuk umur kurang dari 15 tahun 2,5 per
203
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
100.000. Di Skotlandia, insidensi PC pada anak kurang dari 16 tahun pada tahun 1983
adalah 2,3 per 100.000. Prevalensi PC pada saat itu diperkirakan sekitar 9,5 per 100.000 anak,
sedangkan survei oleh British Pediatric Gastroenterelogy Group, prevalensi PC adalah 11 per
100.000 anak berusia diatas 18 tahun. Walaupun insidensi PC pada kebanyakan populasi di
negara barat meningkat tajam dari tahun 1950 sampai 1980, tetapi pada penelitian terbaru
memperlihatkan adanya penurunan kasus baru. PC lebih banyak terjadi pada orang berkulit
putih, mengenai pria dan wanita sama banyak. Sekitar 25% kasus baru PC terjadi pada usia
<20 tahun. Puncak insidensi PC muncul pada dekade 2 dan 3 kehidupan, kurang dari 5%
kasus anak terjadi pada usia dibawah 5 tahun .
Suatu penelitian di Stockholm, Swedia pada tahun 1990-2001 didapatkan adanya
peningkatan insidensi PC. Pada tahun 1990-1992 insidensinya 1,7 dan meningkat menjadi
8,4 per 100.000 pada tahun 1999-2001.
PC ini terjadi lebih banyak terjadi pada orang Yahudi dan dari populasi Yahudi ini
PC umumnya mengenai keluarga asli Eropa tengah dari pada asli Polandia dan Rusia. Pada
studi dari Amerika Serikat, PC muncul lebih sering di belahan utara daripada belahan
selatan, seperti perbandingan daerah urban dan rural.
Etiologi 01
9
t 2
Walaupun telah dilakukan investigasi yang intensif, etiologi
MarePC (dan juga KU) masih
9
belum diketahui secara pasti. Diduga ada predisposisi ogenetik pada IBD, karena penyakit
ini cenderung lebih banyak terjadi pada keluarga str
atingkat pertama. Hipotesis tambahan
G
p at
menyatakan bahwa agen infeksius, toksin lingkungan, regulasi imun abnormal, faktor diet,
k ra
u ntu
abnormalitas endokrin, dan faktor psikologis mungkin secara bersama menyebabkan IBD.
ro
G ast
Observasi Genetik jar
u A
Hubungan antara faktor
uk familial dan IBD telah diketahui secara luas. Pada saat diagnosis
e B KU maupun PC ditemukan adanya hubungan famili pada tingkat
ditegakkan, baikilpada
F
pertama sebesar 5%-25%, sedangkan pada anak kembar kasus PC ditemukan 17-35 kali
dibandingkan dengan populasi umum.
Tidak ditemukan adanya marker (penanda) genetik yang spesifik untuk KU maupun
PC. Walaupun demikian diduga bahwa Human Leukocyte Antigen (HLA) B 44 dan CW
5 mungkin berperan dalam perkembangan PC. Telah diduga bahwa predisposisi IBD
adalah diwariskan, tapi faktor lain (lingkungan, infeksi dan imunologi) juga terlibat dalam
patogenesisnya.
Infeksi
Pada awalnya PC diduga disebabkan oleh infeksi, karena banyaknya kesamaan dengan
tuberkolosis usus. Dugaan ini telah menetapkan infeksi Mycobacterium ke dalam
patogenesis PC. Tetapi pada penelitian akhir-akhir ini secara serologis, maupun kultur dan
pemeriksaan imunologis tidak menyokong peran Mycobacterium pada PC.
Walaupun bermacam-macam jenis bakteri (Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, Aeromonas, Clostridium difficile, Escherichia coli) dapat menyebabkan PC atau KU,
tidak satupun yang dapat diisolasi dari feses atau jaringan dari penderita IBD. L-form bakteri
204
Buku Ajar Gastrohepatologi
diduga sebagai penyebab dari PC. Tidak ada bukti kejadian yang telah dilaporkan bahwa
virus atau Chlamydia sebagai faktor etiologi PC dan secara serologis pun tidak menyokong.
Mekanisme imunologi
Sistem imun telah lama diperkirakan berperan penting dalam patogenesis IBD. Bukti yang
menyokong berdasarkan pada gambaran histopatologi lesi intestinal, respon dari penyakit
terhadap terapi imunosupresif, komplikasi sistemik yang diduga disebabkan oleh faktor
imunologi, dan berbagai pemeriksaan laboratorium.
Dilaporkan bahwa sel T CD 4 dan sistem imun yang kompeten berperan penting
dalam patogenesis PC. Penyembuhan jaringan yang terinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma,
makrofag dan sel-sel inflamatorik lain mempengaruhi sistem imun untuk berkembang
menjadi inflamasi saluran pencernaan. Sel limfoid merupakan ¼ jumlah sel yang ada
dalam saluran pencernaan dan GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) merupakan
komponen utama dari sistem imun tubuh. GALT diorganisasikan oleh beberapa komponen
penghubung, termasuk Peyer’s patch, sel limfosit lamina propia, dan sel lymph intraepitel.
Sistem limfoid ini secara tetap distimulasi oleh makanan dan antigen mikroba. Sel M
dalam folikel limfoid Peyer’s patch, tampak sebagai bagian utama dari masuknya antigen.
Walaupun tidak spesifik untuk PC, lesi aphtous atau ulserasi epitel dapat 9
2 01 merupakan gejala
awal PC. Kemungkinan bahwa adanya defek dalam antigen processing t atau imunoregulasi
M are
dapat menyebabkan suatu inflamasi yang kronis. Keadaan 9ini termasuk stimulasi kronis
ro
dan proliferasi limfosit, pelepasan sitokin, pengambilan
G astneutrofil dan sel efektor lain serta
kerusakan jaringan. at
r ap
k intestinal pada PC dilatarbelakangi oleh
ntu
Hipotesis lain menyatakan bahwa kerusakan
u
respons otoimun. Hipotesis ini telahrodisokong dengan ditemukannya antibodi pada sel
st
epitel intestinal. Ga
Ajar
u
Alergi dan diet Buk
l e
Fi
Stimulasi sistem imun saluran pencernaan oleh antigen dietetik merupakan faktor potensial
untuk terjadinya PC. Berdasarkan data yang dilaporkan, reaksi imun yang diperantarai lg-E
mungkin berperan penting. Antibodi serum dari protein susu sapi ditemukan lebih tinggi
pada penderita PC daripada KU maupun kontrol, dan diduga terjadi karena peningkatan
ambilan dari antigen dietetik atau peningkatan respon imunologis. Pemberian ASI dapat
menurunkan ambilan makromolekular oleh saluran cerna imatur, telah ditemukan dalam
satu studi efek proteksi terhadap perkembangan PC. Pada penelitian lain yang lebih besar dan
melibatkan hampir 500 anak dengan IBD dari beberapa negara, tidak ditemukan hubungan
antara perkembangan penyakit dan frekuensi pemberian ASI atau faktor diet yang lain.
Faktor psikologis
Faktor emosional telah lama dipikirkan menjadi hal penting dalam potogenesis IBD,
tetapi tidak terdapat hubungan sebab akibat yang dapat diperlihatkan, dan adanya stres
pada kehidupan yang terjadi sebelum onset penyakit adalah tidak biasa pada IBD daripada
kontrol. Sebagai tambahan, tidak didapatkan kejadian stres atau depresi yang dapat
mempresipitasi eksaserbasi penyakit. Walaupun tidak secara langsung menyebabkan PC,
205
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
tetapi telah diyakini bahwa perubahan status emosional dapat mempengaruhi sistem imun
dan selanjutnya dapat mempengaruhi aktifitas penyakit.
Patologi
Gambaran makroskopis
Gambaran makroskopis pada usus ditandai dengan penebalan dinding sebagai hasil edema
transmural dan inflamasi kronis. Penebalan mural sering dihubungkan dengan penyempitan
lumen yang dapat menyebabkan obstruksi. Mesenterium menebal dengan edema, indurasi
lemak berpindah ke permukaan serosa usus, kelenjar limfe mesenterium kadang juga ikut
membesar. Pada mukosa usus dapat terjadi lesi-lesi kecil, yang dapat bergabung menjadi
besar tak beraturan atau ulkus yang dalam. Inflamasi usus dan ulkus dapat konfluens, tetapi
yang lebih karakteristik adalah adanya titik-titik kecil dengan skip areas dan bahkan secara
mikroskopis seperti pada mukosa normal. Gambaran cobblestone pada batas permukaan
dapat terjadi sebagai hasil dari perluasan linier dan ulserasi mukosa yang berhubungan
dengan regenerasi dan hiperplasi. Produksi beberapa sitokin pada jaringan yang inflamasi
dapat berperan sebagai stimulus untuk sintesis kolagen.
Intestinal loop dapat menjadi lebih tebal karena inflamasi pada serosa dan mesenterium.
9
Fistula-fistula dapat muncul ketika inflamasi pada transmural usus 2 01meluas melalui serosa
t
ke dalam struktur yang lebih luas, seperti dinding abdomen,
M aresaluran kemih, vagina atau
9
perineum. Kadang-kadang saluran fistula dapat berakhiro sebagai massa inflamasi (flegmon)
yang meluas ke saluran cerna dan bagian-bagian tr
assaluran cerna seperti mesenterium,
t G
kelenjar limfe, dan kadang sebagai rongga abses p ayang bersifat kronis aktif .
a
r
tuk
un
ro
Gambaran mikroskopis
G ast
r
Temuan dari pemeriksaanjahistologis PC tergantung pada berapa lama penyakit sudah
A
udemikian, gambaran klasik lesi PC adalah enterokolitis transmural.
berlangsung. Walaupun k
Pada awal penyakitl Bu bermanifestasi sebagai lesi aphthoid superfisial dari mukosa, biasanya
edapat
Fi
berada di atas folikel limfoid. Granuloma sering terdapat pada stadium awal. Sesuai dengan
perjalanan penyakit, ulkus mukosa dapat menjadi konfluens. Dalam perkembangannya ulkus
pada mukosa dapat meluas menjadi konfluen dan menghasilkan ulkus yang luas dan dalam.
Inflamasi ini secara karateristik menyebar ke submukosa dan ditandai dengan edema, dilatasi
limfatik, dan deposisi kolagen. Terakhir adalah kemungkinan adanya obliterasi submukosa,
yang mengakibatkan striktur, obstruksi, atau keduanya. Ulserasi fisura yang dalam ke bagian
muskularis propria sering terjadi dan merupakan gambaran yang khas untuk PC, walaupun
tidak terdapat granuloma. Abses kripta dan pengeluaran sel goblet umum terlihat tapi bukan
sebagai tanda utama KU. Metaplasia pilorik dan hiperplasia neuronal sering terdapat pada
pemeriksaan histologis, tetapi tidak spesifik.
Walaupun didapatkan gambaran histologis yang klasik pada PC, granuloma dapat
tidak ditemukan pada 40% kasus bedah yang direseksi dan 60%-80% dari biopsi mukosa.
Granuloma dapat ditemukan pada lapisan manapun dari dinding usus, tetapi kebanyakan
terdapat pada submukosa superfisial. Granuloma tersebut dapat pula tampak pada struktur
ekstraintestinal seperti kelenjar limfe mesenterium dan peritoneum.
206
Buku Ajar Gastrohepatologi
Distribusi anatomi
Gambaran anatomi gastrointestinal pada anak dan dewasa dengan PC adalah berdasarkan
gambaran radiologis. Sekarang telah diketahui bahwa pemeriksaan endoskopi dan histologi
dapat menemukan suatu inflamasi meskipun secara radiografi saluran cerna masih normal.
Pada pemeriksaan radiografi, daerah yang paling banyak terkena adalah ileum terminalis
(50%-60%) dan berbagai bagian dari kolon, terutama pada kolon asenden. Sekitar 30%-
35% terdapat hanya pada usus kecil, dan 10%-15% penderita terbatas pada usus besar,
sedangkan yang mengenai esofagus, gaster atau duodenum kurang dari 5%.
Manifestasi Klinik
Gambaran klinis PC pada anak dan remaja dapat dilihat pada Tabel 13.5.2 yang menonjol
adalah gejala nyeri abdomen dan diare.
207
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
Bentuk dari nyeri perut bervariasi tergantung pada daerah usus mana yang terkena.
Ketidaknyamanan pada daerah perut kanan bawah biasanya pada kelainan ileum terminalis
dan sekum yang bisa diperiksa dengan palpasi. Nyeri pada daerah umbilikal biasanya karena
kelainan kolon atau kelainan usus yang difus. Nyeri perut terdapat pada 70% anak-anak
yang mempunyai kelainan gastroduodenal. Odinofagia dan disfagia terdapat pada PC yang
mengenai esofagus. Biasanya nyeri perut akibat PC bersifat persisten dan sering membuat
anak terbangun dari tidurnya. Nyeri perut ini biasanya memburuk bila makan dan bila
kolon terlibat maka akan bertambah sakit pada saat defekasi.
Diare terdapat pada dua pertiga anak dan bila anak terbangun pada malam hari kerena
diare maka hal ini adalah suatu keadan yang selalu patologis. Perdarahan biasanya setelah
ada ulserasi pada dinding usus dan melibatkan pembuluh darah besar. Demam terdapat
pada 50% pasien, sering disertai mual-muntah, anoreksia dan kehilangan berat badan.
Kadang sebelum diagnosis PC ditegakkan, ditemukan inflamasi perirektal seperti fisura
dan fistel yang memberikan gambaran hemoroid atau kondiloma perianal.
Manifestasi Ekstraintestinal
Gejala klinis di luar saluran pencernaan sering didapatkan pada PC (3,4,5).
9
2 01
t
Persendian
M are
Artralgia dan artritis didapatkan sampai 15% pada anak 9 dengan PC dan mungkin dapat
timbul beberapa tahun sebelum gejala pada saluran a tro
spencernaan muncul. Pada umumnya
G
terjadi pada persendian besar di kaki. Artritis p at umumnya tidak menyebabkan kelainan
a
bentuk, bersifat sementara dan asimetrik. tu kr
Ankilosing spondilitis ditemukan sekitar 2%-6%,
biasanya berhubungan dengan HLA-B27. o un
str
r Ga
ja
Muskuloskeletal
kuA
u
i l eB
Mialgia sering dilaporkan, terutama bila mendapat kortikosteroid dosis tinggi. Miositis
granulomatosa,Fmiopati, dan dermatomiositis juga pernah dilaporkan.
Kulit
Manifestasi pada kulit diadapatkan lebih kurang 1%-4%, dapat berupa eritema nodosum,
pioderma gangrenosa, epidermolisis bulosa akuisita, poliartritis nodosa dan PC metastatik.
Mukosa mulut
Sariawan sering ditemukan pada anak dengan PC, meskipun tidak begitu sakit tetapi
membuat keadaan menjadi tidak nyaman.
Kelaian mata
Hampir 10% pasien mempunyai komplikasi pada mata, termasuk iritis, episkleritis, uveitis
dan pseudotumor orbital. Katarak subkapsular posterior didapatkan pada pemakaian
kortikosteroid dalam jangka lama.
208
Buku Ajar Gastrohepatologi
Vaskular
Manifestasi vascular antara lain trombositosis, peningkatan fibrinogen, faktor V dan faktor
VIII, serta penurunan antithrombin III. Komplikasi vaskular yang lain misalnya trombosis
vena, emboli pulmonal dan penyakit neurovaskular dengan kejang dan ensefalopati. Juga
didapatkan vaskulitis pada aorta dan arteri subklavia.
Ginjal
Obstruksi ureteral dan hidronefrosis dapat ditemukan pada kasus inflamasi ileokolon,
gejala lain yang ditemukan adalah fistula enterovesikel, infeksi perivesikal, abses perinefrik
dan nefrolitiasis.
Hepatobiliaris
Didapatkan abnormalitas hati dan sistem biliaris termasuk fatty liver, perikolangitis,
skelerosing kolangitis, hepatitis kronis, sirosis, granuloma hepatik, abses hati, kolelitiasis,
kolesistitis granulomatosa dan kolesistitis akalkulosa. Steatosis hepatis sering ditemukan
pada anak dengan malnutrisi dan lebih buruk bila mendapat terapi kortikosteroid
9
Komplikasi Gastrointestinal 201
aret
Pendarahan
o 9M
r
Perdarahan masif pada saluran pencernaan didapatkan
G astlebih kurang 1%. Perdarahan ini
t
pa
disebabkan karena ulserasi pembuluh darah besar.
ra
tuk
Obstruksi un
o
a str
G
Obstruksi saluran pencernaan terjadi sekunder akibat peradangan dinding usus yang berat
dengan atau tanpa flegmon Ajar abses. Striktur biasanya berhubungan dengan inflamasi
atau
ku
uoperasi
yang kronis atau akibat
e B sebelumnya. Hal lain yang dapat menyebabkan obstruksi,
Filgiant pseudopolyposis, gallstone ileus dan karsinoma. Obstruksi letak
tetapi jarang adalah
rendah yang kronis dapat menyebabkan bakteri tumbuh lampau.
Perforasi
Perforasi jarang terjadi pada PC, bila didapatkan biasanya pada daerah ileum, meskipun
demikian dapat juga terjadi di bagian lain dari saluran cerna.
Abses
Inflamasi usus transmural yang disertai fistula dan perforasi dapat menyebabkan abses,
dapat berupa abses enteroperitoneal, interloop, intramesenterik, retroperitoneal-ileopsoas,
hepatik, splenik atau subdiafragmatika.
Fistula
Fistula sering terjadi pada PC, terutama pada daerah perianal dan perirektal, dapat juga
terjadi pada enteroenterik, enterovesikal, enterovaginal dan enterokutaneus.
209
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
Megakolon toksik
Frekuensinya pada anak-anak belum diketahui, tetapi sangat rendah, sedangkan pada
dewasa didapatkan 2%-11%.
Karsinoma
Kemungkinan karsinoma usus pada penderita PC lebih kurang 20 kali lebih besar dari
populasi normal.
Malnutrisi
Penyebab malnutrisi biasanya multifaktorial, termasuk intake diet yang suboptimal,
pengeluaran gastrointestinal yang bertambah, malabsorpsi dan peningkatan kebutuhan
akibat proses inflamasi. Anoreksia adalah tanda penting. Anak-anak tidak makan karena
takut nyeri abdomen atau buang air besar yang bertambah banyak. Inflamasi mukosa
mengakibatkan hilangnya unsur-unsur sel dan hematochezia, serta dapat terjadi protein-
lossing enteropathy dan anemia defisiensi besi.
Malabsorpsi komponen-komponen makanan dapat terlihat pada PC. Malabsorpsi
lemak bisa terjadi karena: 9
1. Berkurangnya bile acid pool sekunder akibat malabsorpsi asam 2 01empedu dari penyakit
re t
ileum atau akibat reseksi ileum.
9 Ma
2. Meluasnya penyakit pada mukosa usus halus. o
str
Ga proksimal.
3. Pertumbuhan berlebih bakteria pada daerah tusus
a
r ap
ntuk
u
ro
G ast
Ajar
Peningkatan kebutuhan Pemasukan sub-optimal
u
Buk
e
Fil
Peningkatan kehilangan
Malabsorbsi di sistem gastrointestinal
MALNUTRISI
GAGAL TUMBUH
Kortikosteroid
Gambar 13.5.1. Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya malnutrisi dan gagal tumbuh pada anak dan remaja dengan IBD
Sumber: Wylie & Hyams, 1993.
210
Buku Ajar Gastrohepatologi
Malabsorbsi laktosa terjadi pada 30% anak dengan PC. Hipoalbuminemia sering
ditemukan. Dapat terjadi pula defisiensi besi, asam folat, vitamin B 12, asam nikotinat,
vitamin. D, vitamin K, kalsium, magnesium dan seng.
Gagal Tumbuh
Gangguan pertumbuhan pada anak dengan PC adalah akibat rendahnya nutrisi yang
berlangsung lama. Idealnya dilakukan pengukuran secara serial dengan interval 6-12 bulan
untuk mengukur kecepatan pertumbuhan, kemudian dibuat perbandingan dengan nilai
normal yang diharapkan untuk kecepatan pertumbuhan terhadap umur dan jenis kelamin.
Pada anak dengan PC yang terdapat gangguan pertumbuhan, didapatkan kadar
insulin-like growth factor 1 (IGF –1, disebut juga somatomedine C) yang rendah, sedangkan
kadar growth hormone biasanya normal. Dosis terapi kortikosteroid yang tinggi dan lama
secara signifikan berhubungan dengan gangguan kecepatan pertumbuhan.
Gangguan Psikologis
Perhatian yang mendalam telah dilakukan terhadap implikasi psikologis pada anak-anak
dan dewasa dengan IBD. Gangguan yang sering ditemukan adalah depresi, yang dapat
timbul pada saat diagnosis atau dalam perjalanan penyakitnya. 19
20 t
Mare
Diagnosis 9
ro
G ast
Diagnosis PC ditegakkan berdasarkaan kombinasi at pemeriksaan klinis dan laboratorium
seperti pemeriksaan radiologi, endoskopi k dan rap histologi. Karena pemeriksaan fisik
tu
melibatkan berbagai sistem di luar saluran
o un pencernaan, diagnosis kadang-kadang menjadi
st
terlambat beberapa bulan hingga beberapar tahun sebelum diagnosis yang tepat ditegakkan.
r Ga
Aj a
Pemeriksaan fisik u ku
B
ile seorang anak tersangka PC sebaiknya dilakukan pemeriksaan
Pada pemeriksan Ffisik
abdomen secara berhati-hati dengan memperhatikan kekenyalan, kepadatan atau massa.
Pemeriksaan yang lembut dilakukan untuk mendapatkan tanda-tanda iritasi peritoneal.
Sebaiknya dilakukan inspeksi yang teliti pada daerah perirektal dan perineum. Adanya
stomatitis, clubbing, artritis, eritema nodosum, atau pioderma gangrenosa mengarah pada
IBD. Tinggi dan berat saat pemeriksaan harus dicatat dan dibandingkan dengan tinggi dan
berat sebelumnya untuk melihat perubahannya.
Pemeriksaan laboratorium
Dalam menilai seorang anak atau remaja dengan tersangka PC seringkali perlu
dilakukan beberapa pemeriksaaan hematologi dan biokimia untuk keperluan skrining
sebelum dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih mahal dan invasif. Kelainan yang
sering ditemukan adalah anemia (70%), peningkatan laju sedimentasi eritrosit (80%),
Hipoalbuminemia (60%) dan Guiaiac – positif stool (35%). Meskipun trombositosis sering
terjadi, jumlah leukosit pada umumnya normal. Anemia yang paling sering ditemukan
terjadi sekunder karena defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan darah dan kadar
Fe serum dan feritin serum yang rendah. Makrositosis mengarah pada defisiensi folat atau
vitamin B12.
211
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
Kadar seng, magnesium, kalsium dan fosfor dalam serum bisa rendah pada pasien
dengan kekurangan nutrisi. Kadar aminotransferase serum abnormal pada kira-kira 10%
pasien ketika didiagnosis. Breath hydrogen test yang digunakan untuk untuk memeriksa
malaborsitasi laktosa dapat membantu dalam pengelolaan makanan. Pemeriksaan yang
teliti terhadap spesimen feses yang multipel sebaiknya dilakukan untuk bakteri usus
patogen dan parasit. Alfa-1 antitripsin feses, meskipun tidak biasa dilakukan, abnormal
pada hampir 90% kasus. Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan piuria atau
infeksi yang berhubungan dengan fistula enterovesikal.
Pemeriksaan radiologi
Pada seluruh kasus dengan tersangka IBD, pemeriksaan radiologi gastrointestinal dilakukan
untuk mengkonfirmasi diagnosis, mengetahui penyebaran penyakit, dan membantu
membedakan PC dan KU. Pada penderita dengan suspek kolitis akut yang berat, barium
enema harus ditunda karena mempunyai risiko terjadinya perforasi atau megakolon toksik.
Meskipun barium mempunyai sejarah sebagai pemeriksaan primer untuk memeriksa
penyakit kolon, kedudukannya tergeser oleh pemeriksaan kolonoskopi dimana telah
memberikan andil besar dalam pemeriksaan anak. Bila memungkinkan double contrass (air-
barium) enema lebih baik dibandingkan pemeriksaan single contrass19dalam melihat detail
20 adanya irregularitas,
ret
mukosa. Fluoroskopi yang teliti dilakukan untuk mengidentifikasi
a
nodularitas (coblestoned), penebalan lengkungan usus seperti
o 9 M area stenosis (string sign),
r
ast
ulkus yang dalam, dan fistula. Nodularitas ileal sering ditemukan pada PC dan mungkin
G
at
sulit dibedakan dengan nodular lymphoid hyperplasia (NLH). Meskipun NLH biasanya
mempunyai diameter 3 milimeter atau kurang, r ap inflamasi, edema, fibrosis dan spasme
memberikan gambaran seperti massaundan tuk menyebabkan kesulitan membedakannya dari
ro
limfoma.
G ast
jar di kuadran kanan bawah pasien PC mengambarkan sebuah
Adanya massa yang kenyal
A
u
flegmon inflamasi atau
Bukabses. Pemeriksaan USG memperlihatkan penebalan dinding usus.
e
CTscan membantu Fil menggambarkan perluasan ekstramural dari peradangan dengan
fistulasi, abses abdomen dan pelvis. Pemeriksaan radioisotop dengan memberi label
pada leukosit dengan indium-111 (In-111) telah digunakan pada pasien dewasa untuk
mengidentifikasi keterlibatan segmen usus, diantaranya mengidentifikasi abses. Pada anak,
skintigrafi In-111 kurang sensitif dan spesifik dibandingkan kolonoskopi dan biopsi untuk
mendeteksi IBD pada kolon karena indium mempunyai waktu paruh yang panjang (3 hari).
212
Buku Ajar Gastrohepatologi
pada kolon dan lebih banyak ditemukan dengan biopsi multipel. Fosfo-soda enema dan
bisakodil supositoria dapat menyebabkan perubahan inflamasi nonspesifik pada mukosa
rektum, sehingga sebaiknya dihindari penggunaannya pada pasien yang akan menjalani
pemeriksaan sigmoidoskopi. Esofagogastroduodenoskopi dan biopsi lebih sensitif daripada
pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi PC pada saluran pencernaan atas.
Diferensial diagnosis
Berbagai variasi gambaran PC memberikan diagnosis diferensial yang banyak. Nyeri
pada kuadran kanan bawah memberi kesan apendisitis, infeksi (Campylobacter, Yersinia),
neoplasma (khususnya limfoma), penyakit pada ovarium, intususepsi, adenitis mesenterika
dan divertilkulum Meckel. Nyeri periumbilikal kronis atau nyeri perut pada epigastrium
sering dipertimbangkan sebagai irritable bowel syndrome, konstipasi, intoleransi laktosa,
penyakit lambung atau kelainan saluran kemih. Jika ditemukan diare berdarah maka hal
ini lebih mengarah pada infeksi, hemolytic uremic syndrome, Henoch-Schonlein purpura,
dan ischemic bowel. Adanya diare cair yang kronis dipertimbangkan sebagai irritable bowel
syndrome, intoleransi laktosa, giardiasis atau pemakaian sorbitol yang berlebihan. Inflamasi
perirektal, fisura atau tags mungkin diduga sebagai infeksi streptokokus pada perianal,
hemoroid dan kondiloma. Perawakan pendek dan keterlambatan perkembangan pubertas
0 19
seringkali diperiksa untuk menentukan apakah penyakitnya merupakan t 2 kelainan endokrin
sebelum diputuskan sebagai PC. Anoreksia dan penurunan berat Marebadan dapat dikacaukan
9
dengan anoreksia nervosa. Demikian juga gejala persendian stro yang persisten dan terutama
Ga
p at
artritis panggul sering diduga sebagai juvenile rheumatoid arthritis jika tidak terdapat
r a
keluhan gastrointestinal. Pada PC perlu dipertimbangkan hepatitis kronis bila didapatkan
gangguan hati. ntuk
u
o
astr
Terapi j arG
u A
Sampai saat ini belumBada uk terapi secara kuratif untuk PC, terapi yang ada hanya untuk
e
menghilangkan gejalaFil dan komplikasinya. Terapi PC dapat dibagi 4 kategori dasar, yaitu
farmakologis, nutrisi, bedah, dan psikologis. Masing-masing mempunyai keterbatasan, dan
biasanya diberikan secara kombinasi.
Suatu penelitian di Inggris menyatakan bahwa terapi IBD sangat kompleks, sehingga The
British Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition merekomendasikan
untuk terapi anak dengan IBD sebaiknya ditangani oleh unit gastroenterologi anak.
Farmakologis
Beberapa kombinasi terapi dapat efektif dan menyebabkan remisi dari PC. Setelah tercapai
keadaan remisi maka dosis dapat diturunkan secara bertahap. Jadwal, dosis, dan indikasi
dapat dilihat pada tabel 13.5.3.
Kortikosteroid
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kortikosteroid secara signifikan efektif
menyebabkan remisi pada pasien PC, baik pada usus halus maupun usus besar.
Mekanismenya adalah menghambat reaksi imun yang diperantarai netrofil dan monosit
213
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
dengan cara menghambat produksi leukotrien dan prostaglandin. Bila remisi telah tercapai,
dosis diturunkan secara bertahap dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Absorbsi
prednison kurang baik, dan beberapa pasien pada awalnya membutuhkan pemberian
secara parenteral. Walaupun beberapa pasien memerlukan perawatan di rumah sakit dan
mendapat kortikosteroid secara parenteral, tetapi belum ada penelitian yang menyatakan
bahwa pemberian secara parenteral lebih baik daripada pemberian secara oral. Pemberian
kortikosteroid harus berhati-hati pada pasien PC dengan sepsis intraabdominal, karena
dengan dosis yang tinggi dapat menghilangkan gejala infeksi intraabdominal atau bahkan
gejala perforasi (masking effect). Efek samping pemberian yang lama dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan, katarak subkapsular posterior dan glaukoma, juga nekrosis aseptik
kaput femoris, kolaps vertebra, hipertensi dan depresi. Dapat juga efek samping kosmetik,
seperti akne, facial puffines, hirsutisme dan striae. Dengan cara pemberian selang sehari
(0,2-0,5mg/kgBB), efek samping dapat dikurangi.
Sulfasalazin
Obat ini hanya efektif untuk PC pada usus halus. Obat terbaru golongan ini (aminosalicylic
acid/ASA) yaitu 5-ASA adalah yang sering digunakan, tetapi belum direkomendasikan
untuk anak-anak. Banyak peneliti menggunakan 5-ASA enema (mesalamin) 9 yang efektif
untuk pengobatan penyakit pada kolon bagian distal. Efek antiinflamasi 2 01 dari sulfasalazin
t
redengan
adalah menurunkan sintesis prostaglandin dan leukotrien Ma menghambat jalur
9
siklooksigenase dan lipooksigenase dari metabolisme tasam ro arakhidonat.
G as
Efek samping pada awalnya adalah mual, nyeri at perut dan sakit kepala, sedangkan bila
telah berlangsung lama dapat menyebabkan r aprash hipersensitif, depresi sumsum tulang,
tuk
un yang reversibel.
pankreatitis dan infertilitas pada laki-laki
o
astr
j arG
Antibiotika A
u ku
Antibiotika spektrum
i l e B luas sering dibutuhkan untuk mengobati abses intraabdominal
yang merupakan F salah satu manifestasi PC. Kombinasi 3 macam obat sering digunakan,
yaitu ampisilin, gentamisin dan metronidazol. Pertimbangan menggunakan metronidazol
biasanya pada daerah kolon (perirektal). Mekanismenya masih belum jelas, tapi diduga
karena efeknya terhadap bakteri anaerob. Efek samping yang sering ditemukan pada
penggunaan jangka panjang (4-11 bulan) adalah neuropati perifer, yang bersifat reversibel.
Imunosupresif
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, digunakan pada pasien yang telah mengalami
ketergantungan kortikosteroid dosis tinggi. Dengan obat ini, dapat menghilangkan gejala
dengan prosentase keberhasilan 75%, diikuti dengan penurunan dosis kortikosteroid.
Kebanyakan pasien mengalami perbaikan setelah pengobatan selama 3-4 bulan. Efek
sampingnya berupa pankreatitis, depresi sumsum tulang, reaksi alergi dan drug induced
hepatitis.
6-merkaptopurin juga digunakan pada kasus perirektal yang berat atau adanya fistula
internal, serta sebelum panproktokolektomi dan ileostomi pada pasien dengan gejala yang
intractable atau PC berat.
214
Buku Ajar Gastrohepatologi
Nutrisi
Penderita PC terjadi mengalami defisiensi makronutrien maupun mikronutrien, sehingga
peran terapi nutrisi menjadi sangat penting. Penilaian status gizi dilakukan dengan
mengukur berat badan, tinggi badan, growth velocity, data antropometrik dan kadar protein
serum. Defisiensi mineral dan vitamin (besi, asam folat, vitamin B12, kalsium, magnesium
dan seng) diterapi secara spesifik.
9
01 tambahan dan
Terapi nutrisi dibagi menjadi 3 bagian, yaitu terapi primer,t 2terapi
re
persiapan preoperatif. Ma 9
stro
Terapi primer G a
p at
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa a
r masa remisi pasien PC aktif yang mendapat
ntuk
terapi diet elemental sama dengan yang mendapat u kortikosteroid, tetapi pada penelitian akhir-
akhir ini didapatkan peningkatan dan a tro cepat terjadinya remisi pada pasien yang mendapat
slebih
G
jar dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan nutrisi
terapi kortikosteroid dan sulfasalazin
A
u
Buk
enteral dengan diet oligopeptida. Pemberian nutrisi parenteral tidak lebih efektif untuk remisi
i l
daripada diet elemental. e Telah diketahui bahwa diet elemental dapat menurunkan inflamasi
F
intestinal dengan menurunkan stimuli antigen ke saluran pencernaan. Kadang-kadang anak
dengan PC yang disertai gangguan pertumbuhan, tetapi gejala pada saluran cernanya minimal
dapat diterapi hanya dengan diet elemental jangka panjang tanpa disertai obat-obatan.
Terapi tambahan
Dukungan nutrisi yang intensif dapat digunakan sebagai terapi tambahan terhadap terapi
farmakologis dalam beberapa keadaan klinis. Pada pasien dengan PC berat dan disertai
malnutrisi, nutrisi parenteral total berguna untuk meningkatkan simpanan protein tubuh.
Terapi preoperatif
Perbaikan suatu defisiensi nutrisi mutlak dibutuhkan untuk persiapan operasi yang besar
pada pasien PC.
Bedah
Lebih kurang 50%-70% anak atau dewasa dengan PC membutuhkan tindakan bedah dalam
10-15 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Indikasi untuk tindakan bedah dapat dilihat
215
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
pada tabel 13.5.4. Paling sering dilakukan tindakan bedah bila gejalanya masih menetap,
meskipun telah mendapat terapi farmakologis. Pasien dengan penyakit pada ileum lebih
cenderung mengalami obstruksi dan membutuhkan tindakan bedah daripada bila terjadi
di kolon.
Reseksi bukan merupakan terapi kuratif, sehingga pasien dan keluarganya harus
diberi inform concent yang jelas tentang resiko kemungkinan rekurensi. Lebih kurang 80%
anak-anak dengan reseksi ileum terminalis atau ileosaekal secara klinis membaik 4 tahun
setelah tindakan bedah. Rekurensi setelah panproktokolektomi dan ileostomi tergantung
keadaan saat operasi, bila operasi untuk ileokolitis maka rekurensinya 70% dalam 5-10
tahun, sedangkan bila hanya kolitis rekurensinya 15%.
Psikiatri
Sangat penting untuk memonitor secara psikologis dan sosial akibat dari IBD. Sering kita
dapatkan keadaan gangguan psikologis, terutama depresi. Oleh karena itu penanganannya
harus secara tim, termasuk anak tersebut dan keluarganya. Anak-anak harus diajak untuk
membicarakan aktifitasnya yang sesuai dengan kemampuannya, karena sering kali pada
saat mencapai masa remaja masih belum dapat mandiri.
Prognosis
PC merupakan penyakit kronik dengan periode eksaserbasi dan remisi, hanya 1% pasien
yang mengalami satu kali relaps setelah diagnosis dan terapi awal. Pada umumnya pasien
dengan ileokolitis mempunyai respon yang buruk terhadap terapi medikamentosa dan
memerlukan tindakan bedah bila dibandingkan dengan yang hanya terbatas pada usus halus.
216
Buku Ajar Gastrohepatologi
Suatu penelitian melaporkan, lebih dari 40% eksaserbasi pada anak-anak berhubungan
dengan adanya infeksi virus sebelumnya, terutama virus Epstein-Barr atau adenovirus.
Infeksi virus menyebabkan penurunan sistem imunitas tubuh, sehingga memudahkan
terjadinya eksaserbasi.
Mortalitas PC berbeda pada beberapa penelitian, bervariasi dari 0 sampai 2 kali lipat
dari populasi normal. Kematian akibat PC pada anak-anak sangat jarang.
Kolitis Ulserativa
Lebih dari seabad sejak Wilks dan Moxon memperkenalkan KU sebagai IBD idiopatik
yang meliputi mukosa kolon dan rektum. Langkah besar telah dibuat untuk memahami
gambaran patologi klinik, riwayat alamiah, dan komplikasi penyakit. KU biasanya terjadi
pada populasi muda, lebih kurang 20% didiagnosis sebelum umur 20 tahun. Peningkatan
dalam akurasi diagnosis seperti juga perbaikan terapi medis dan bedah telah meningkatkan
perhatian pada anak dengan KU.
Epidemiologi
Terdapat perbedaan insidensi di tiap negara. KU paling sering terjadi di 9 Amerika Utara,
Skandinavia, dan Eropa, dimana terjadi peningkatan frekuensi dit 2daerah 01 selatan Eropa
are
dan beberapa negara yang sedang berkembang di benua lain. M Laporan insidensi bervariasi
9
antara 2 sampai 14 per 100.000 populasi, dengan umurstinsidensi ro spesifik pada 10 hingga
19 tahun. Dibandingkan dengan PC insidensi KU astabil G a atau menurun di beberapa negara,
t
seperti Inggris, Denmark, Finlandia dan Swedia. r ap
k
Prevalensi KU berkisar antara 6 hingga u ntu100 pasien per 100.000 tergantung pada tempat
ro
G ast
yang disurvei. Seluruh laporan memperkirakan prevalensi KU di Eropa Utara dan Amerika
menjadi 50 hingga 75 per 100.000,j ar penyakit ini sama terjadi pada laki-laki dan perempuan.
A
KU jarang terjadi pada anak
u ku di bawah 5 tahun, meskipun onset pada bayi pernah dilaporkan.
e B dan dewasa muda paling sering muncul antara usia 15 dan 25
Fil
Onsetnya pada anak-anak
tahun, dan lebih banyak terjadi pada ras kulit putih, khususnya Yahudi.
KU bisa bersifat familial (diwariskan), dan telah diketahui dengan baik, dengan
kejadian berkisar dari 5%-29%. Diturunkan pada tingkat pertama lebih tinggi daripada
tingkat dua atau tiga dengan adanya riwayat KU pada keluarga. Studi pada anak kembar
memperlihatkan bahwa kejadian PC (44%) lebih tinggi daripada KU (6,3%). Beberapa
faktor lingkungan seperti merokok, pil kontrasepsi dan faktor makanan merupakan faktor
risiko terjadinya KU.
Etiologi
Etiologi KU masih belum diketahui dengan pasti, walaupun telah banyak penelitian yang
dilakukan. Beberapa teori telah diajukan seperti faktor genetik, perubahan imunitas, infeksi,
alergi, diet, dan faktor psikologis.
Pengaruh genetik
Studi epidemiologi yang memperlihatkan peningkatan prevalensi KU dalam keluarga
tingkat pertama mendukung bahwa faktor genetik memberikan kontribusi pada
217
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
Imunitas
Antineutrophil cytoplasmic antibodies pada pasien dengan KU telah diidentifikasi dengan
jelas dan terdapat pada mayoritas pasien KU tetapi tidak pada PC. Sebuah penelitian
yang membandingkan spesifisitas antineutrophil cytoplasmic antibodies dari KU dengan
peradangan usus lainnya menunjukkan bahwa antibodi tersebut sensitif dan spesifik
terhadap KU hingga sebesar 60% dan 94%. Antibodi ini juga berhubungan dengan kolangitis
skerosing. Peranan spesifik antineutrophil antibodies dalam patogenesis KU masih belum
jelas.
Infeksi
9
Sampai sekarang tidak terdapat bukti yang kuat yang mendukung2 01 bahwa infeksi
re t
bertanggung jawab secara langsung dalam patogenesis KU.a Beberapa agen infeksi telah
diselidiki, termasuk beberapa bakteri dan virus. 9M
ro
G ast
Alergi dan diet p at
r a
ktu
Alergi terhadap antigen dalam diet adalah
o un salah satu diantara teori awal yang menjelaskan
penyebab KU. Alergi protein susu r
stsapi telah secara luas dipelajari dan menyokong teori di
r Ga
atas, salah satu penelitian memperlihatkan adanya perbaikan gejala ketika penderita diberi
Aja
diet bebas susu dan relapsu
Buk jika diberi lagi.
e
Fil
Masalah pemberian makan dini pada bayi dan penyapihan dini masih menjadi
perdebatan, apakah merupakan presipitasi terjadinya KU. Beberapa studi mengenai hal ini
masih kontroversial.
Faktor psikologi
Hubungan antara faktor psikologis dengan KU masih merupakan tanda tanya pada
beberapa dekade, beberapa laporan ada yang menyatakan berhubungan dan sebagian lagi
menyatakan tidak.
Patologi
Gambaran makroskopis
Gambaran makroskopis KU bervariasi tergantung pada berat dan lamanya penyakit,
umumnya hanya mengenai kolon dan rektum, dan jarang meluas ke ileum terminalis.
Daerah yang terkena adalah kelanjutan dari rektum proksimal disertai mukosa yang
abnormal.
218
Buku Ajar Gastrohepatologi
Pada fase awal kerusakan mukosa terlihat adanya peningkatan aliran darah permukaan
yang memberikan gambaran eritem yang difus. Dengan meningkatnya proses inflamasi,
arsitektur vaskular rusak; menyebabkan edema yang dikenal sebagai granularity. Karena
adanya peningkatan inflamasi dan perluasan abses kripta, batas mukosa menjadi tidak jelas,
sehingga menyebabkan pengelupasan daerah superfisial menjadi ulserasi dan meyebabkan
perdarahan spontan. Pada kerusakan yang progresif, abses kripta ruptur dan bersatu pada
dasar kripta, kemudian membelah daerah superfisial mukosa dan muskularis mukosa,
selanjutnya menjadi besar, datar, dan menjadi ulkus mukosa yang dipisahkan oleh daerah
inflamasi nonulserasi yang tampak sebagai nodular, polipoid atau pseudopolip filamentosa.
Mucosal bridge terbentuk dari gabungan satu polip dengan yang lainnya. Karena KU adalah
penyakit yang mengenai mukosa, maka serosa biasanya tampak normal, tetapi dapat terlihat
berbagai tingkatan hiperemia. Inflamasi yang aktif dapat menembus dinding kolon dan
menyebabkan abses perikolik yang kecil. Pada keadaan remisi, vaskular dan ulkus sembuh
tetapi pseudopolip menjadi fibrosis dan terjadi penebalan dinding.
Gambaran mikroskopis
Secara histologi KU akut ditandai oleh inflamasi dalam kripta, tidak adanya sel goblet dan
adanya inflamasi kronis pada lamina propria. Gambaran histologis awal adalah 9 adanya edema
pada lamina propria dan kongesti pembuluh darah mukosa, disertai 2 01 dengan kumpulan
t
sel polimorfonuklear pada lamina propria dekat dengan dasarMkripta. are Pada KU yang akut
9
didapatkan kumpulan dari limfosit, eosinofil, dan sel mast
s tro pada lamina propria, sehingga
dapat membantu untuk meyingkirkan diagnosis kolitis a sebab yang lain. Infiltrasi neutrofil
Goleh
p at
yang berasal dari penumpukan kecil dalam epitel a
tu k r kripta (Cryptitis) menginvasi lumen kripta
(Crypt abcess). Sejalan dengan perkembangan un penyakit, abses menyebar pada kripta yang
lain dan membesar, dan timbul ulserasi tr o mukosa. Epitel kripta memperlihatkan penurunan
s
jumlah sel penghasil mukosajaryang Ga menggambarkan tingkat inflamasi akut, sedangkan
A
penurunan jumlah sel goblet
u ku dalam kripta menggambarkan tingkat yang lebih lanjut. Lesi
eB
pada KU umumnyailterbatas pada mukosa meskipun pada kasus yang berat dapat meluas
F
pada submukosa, bahkan bisa sampai ke seluruh lapisan termasuk serosa.
Penyembuhan proses inflamasi mempunyai gambaran yang bervariasi. Pada proses
penyembuhan umumnya, mucin pada bagian superfisial kripta meningkat kembali ke
keadan normal. Regenerasi kripta dapat menyebabkan pemendekan muskularis mukosa,
meskipun pada permukaan tampak relatif normal. KU memperlihatkan distorsi arsitektur
dari mukosa dengan Paneth’s cell metaplasia, enteroendocrine cell hyperplasia, dan sedikit
infiltrasi limfoid, tetapi tanpa infiltrasi neutrofil, kriptitis, abses kripta, atau kerusakan epitel.
Gambaran klinis
Kebanyakan pasien anak dengan diagnosis KU terjadi pada saat remaja. Gejala yang
terpenting adalah diare. Dari 125 anak yang didiagnosis KU terdapat gejala diare (93%),
perdarahan rektal atau nyeri perut (86%), kelemahan (67%), penurunan berat badan (51%),
mual dan muntah (42%), serta demam (37%). Setengah dari anak dan remaja mempunyai
onset yang insidious disertai demam intermiten yang tidak begitu tinggi disertai diare ringan
dan pendarahan rektal, dan hampir selalu disertai nyeri perut ringan tanpa kehilangan berat
219
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
badan atau hipoalbuminemia. Pada kasus yang lebih berat, didapatkan pada 1/3 pasien
dengan diare berdarah, tenesmus, demam ringan, penurunan berat badan dan anemia
ringan. Kasus fulminan terjadi pada 10% anak, dengan tinja berdarah lebih dari 6 kali
per hari, demam, penurunan berat badan dan takikardi. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan hipoproteinemia, anemia, leukositosis, dan trombositosis. Keadaan yang
ekstrim adalah megakolon toksik yang ditandai dengan distensi abdomen, demam dan
takikardi. Tanda lainnya adalah hipotensi, dehidrasi dan perubahan status mental.
Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
endoskopi, radiografi dengan barium dan histopatologi.
Pemeriksaan laboratorium
Penderita KU pada anak 50% memiliki anemia hipokromik, peningkatan laju endap darah
atau trombositosis. Hipoalbuminemia banyak terdapat pada pasien dengan KU berat dan
biasanya berhubungan dengan kerusakan mukosa. Pada pemeriksaan tinja didapatkan
leukosit dan darah. Pemeriksaan mikrobiologi dari feses diperlukan untuk mencari adanya
telur, parasit, bakteri patogen, dan toksin Clostridium difficile. 9
201
aret
Endoskopi 9M
tro s
Walaupun banyak perbedaan pada pemeriksaan klinis
t Ga dan radiologi yang ditemukan pada
a
rap diagnosisnya tidak mudah. Pemeriksaan
KU, PC dan kolitis yang lain, tetapi kadang-kadang
k
tu
endoskopi pada mukosa kolon secara nvisualisasi langsung dapat membantu menegakkan
o u
diagnosis. str
r
Secara endoskopi, manifestasiGa dini dari luka di kolon adalah bertambahnya aliran
ja
darah pada mukosa sehinggaku A terjadi eritema difusa. Hilangnya gambaran vaskular normal
u
menghasilkan gambaran
i l eB mukosa granular, dimana terjadi pembengkakan mukosa karena
edema. UlserasiF kecil pada permukaan yang disertai kerusakan mukosa menyebabkan
pendarahan spontan. Ulkus kecil bisa menjadi ulserasi yang luas, dan tidak pernah
dikelilingi oleh mukosa normal tetapi selalu dikelilingi dengan peradangan.
Ulkus pada PC, khas didapatkan di submukosa, pada endoskopi tampak berupa ulkus
aphthosa pada area mukosa yang normal. Pengerasan yang disebabkan oleh inflamasi
submukosa adalah patognomonik untuk PC. Pengerasan yang berat dapat dikacaukan
dengan bentuk pseudopolip; pseudopolip umumnya tinggi dan ramping, serta mukosa yang
berdekatan biasanya flat. Walaupun tidak spesifik, secara endoskopi ada gambaran yang
membedakan antara kolitis akibat infeksi dengan IBD, yaitu adanya eksudat kekuningan
yang sebagian menutupi permukaan mukosa, tak ada ulserasi dan mukosa yang hiperemis.
Kolonoskopi atau sigmoidoskopi dipakai untuk membuat diagnosis yang spesifik,
dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsi.
Radiografi
Gambaran radiologi abdomen pada penyakit ringan-sedang biasanya normal, sedangkan
pada kolitis yang berat terdapat thumbprinting akibat adanya edema mukosa, dilatasi
220
Buku Ajar Gastrohepatologi
Diagnosis Diferensial
Tanda yang predominan dari KU pada anak adalah diare, perdarahan rektal, dan nyeri
perut. Sedangkan kolitis infeksiosa disebabkan oleh Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Yersinia, enterohemorrhagic E. coli, Aeromanas atau Entamoeba dan dapat memberikan
gejala yang sama dengan KU dan dapat dibedakan dengan kultur feses. Diare berdarah
dari sindroma hemolitik uremik dapat menyerupai KU. Kolitis akibat C. difficile mungkin
9
2 01
bisa menyerupai KU, dan identifikasi toksin pada tinja dan adanya pseudomembran pada
pemeriksaan endoskopi menolong dalam penegakkan diagnosis.aBila t
re gejala kolitis menetap
9M
atau relaps walaupun terapi untuk kolitis infeksiosa telah odilakukan, maka diagnosis dari
str
KU harus dipikirkan. a
atG
Irritable bowel syndrome dapat disertai diare p
ra dan nyeri perut, tapi tanpa pendarahan
tuk
rektal. Pada pemeriksaan fisik normal, nlaboratorium, dan proktosigmoidoskopi dapat
o u
menyingkirkan diagnosis KU. Kolitis stralergi umumnya timbul pada bayi, sedangkan pada
G a
anak yang lebih besar kolitis eosinofilik dapat mirip dengan KU.
j ar
kuA
u
le B
Manifestasi Ekstraintestinal
Fi
Komplikasi sistemik dari IBD dapat terjadi pada hampir setiap organ tubuh. Manifestasi
ekstraintestinal dapat mendahului, menyertai atau mengikuti. Patogenesis dari gejala-gejala
tersebut masih belum jelas.
Muskuloskeletal
Artralgia dan artiritis monoartikular persendian besar adalah gejala terbanyak dari
manifestasi ekstraintestinal KU. Lebih kurang pada 10% anak, artritis bersifat migratorik
dan asimetrik pada sendi besar ekstremitas bawah. Kemerahan umumnya berhubungan
dengan IBD aktif, tetapi deformitas sendi jarang terjadi. Ankilosing spondilitis terjadi pada
6% penderita dan memiliki progresifitas pada penyakit spinal.
Dermatologis
Eritema nodosum dengan gambaran kemerahan, menonjol, tegas, nodul kecil dari 1
sampai beberapa sentimeter, biasanya terdapat pada permukaan ekstensor ekstremitas
atas dan bawah. Frekuensinya lebih banyak (<5%) daripada pioderma gangrenosa (<1%)
221
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
pada pasien dengan KU. Pioderma gangrenosa merupakan lesi ulseratif kutan yang klasik
pada KU tapi terdapat juga pada PC. Kebanyakan pasien dengan pioderma gangrenosa
mempunyai pankolitis.
Hepatobiliaris
Laporan insidensi masalah hepatobiliaris bervariasi antara 5%-10%, hubungannya masih
belum jelas. Lesi hepatobiliaris yang dilaporkan antara lain adalah perlemakan hati,
perikolangitis, sklerosing kolangitis, sirosis dan hepatitis kronis.
Infiltrasi lemak bersifat makrovesikular, nonspesifik, reversibel dan tidak pernah
menjadi kelainan yang permanen. Perikolangitis sering ditemukan pada spesimen biopsi
dari IBD. Insidensi sirosis pada KU berkisar 1%-5%, sedangkan hepatitis kronis masih
belum diketahui dengan pasti. Sklerosing kolangitis primer adalah suatu sindroma kolestasis
kronik yang ditandai adanya inflamasi fibrotik duktus biliaris, berakibat timbulnya obliterasi
duktus biliaris, sirosis dan gagal hati, yang terjadi pada lebih kurang 4% dari IBD, terutama
KU.
Hematologi
9
2 01
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan sebagai akibat
e t
dari kehilangan darah melalui saluran cerna. Pada pasien yangarmendapat sulfasalazin dapat
terjadi anemia makrositik. Hal ini berhubungan dengan 9 Mmalabsorbsi folat atau anemia
ro
hemolitik, tetapi jarang terjadi. ast
G
p at
r a
Vaskular k
u ntu
Tromboemboli yang terjadi padasIBD,
a tro lebih kurang 1,3%, terdiri dari trombosis vena yang
dalam, emboli paru, trombosis G
arteri dan vaskulitis serebral. Penyebab trombosis ini belum
diketahui, meskipun telah Ajar
ditemukan adanya bekuan yang abnormal.
u
Buk
e
Okular Fil
Uveitis asimtomatik pernah dilaporkan pada anak dengan IBD. Kelainan yang lain
adalah episkleritis, katarak, keratopati, ulserasi kornea marginal dan retinopati. Katarak
subkapsular dapat terjadi akibat pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dan lama.
Ginjal
Kalkuli ginjal terjadi lebih kurang 5% pada KU. Faktor litogenik mungkin berperan seperti
dehidrasi yang berlangsung lama, oliguria, menurunnya absorbsi air dan infeksi.
Gagal tumbuh
Retardasi pertumbuhan pada KU lebih jarang daripada PC. Gagal tumbuh yang berat pada
anak terjadi pada lebih kurang 2%. Motil dkk meneliti gagal tumbuh yang terjadi pada KU
19% dan PC 56%.
222
Buku Ajar Gastrohepatologi
Komplikasi
Perdarahan
Perdarahan rektum merupakan tanda yang sering didapat pada KU. Perdarahan hebat
jarang terjadi, insidensinya lebih kurang 3%. Penderita ini terlihat sakit berat dengan
perdarahan yang tiba-tiba sehingga memerlukan transfusi darah segera. Berbeda dengan
PC, kebanyakan didapat pada satu lokasi perdarahan yang tidak dapat diidentifikasi dan
hanya terlihat pada tempat erosi yang luas. Kebanyakan kasus ini diterapi secara konservatif.
Perforasi
Perforasi bebas pada kolon merupakan komplikasi serius pada KU, karena sering berakibat
peritonitis umum yang fatal pada 75% penderita yang dilaporkan pada tahun 1964. Hal ini
sering terjadi megakolon toksik atau kolitis yang berat, tetapi dapat juga terjadi pada kasus
yang sedang. Kebanyakan perforasi terjadi pada kolon sebelah kiri dan melibatkan berbagai
lokasi.
Gejala perforasi adalah nyeri perut yang menyeluruh, distensi, kaku dan tidak ada
bising usus. Terapi kortikosteroid dosis tinggi dapat menutupi gejala perforasi dan pada
penderita yang mendapat terapi ini harus dilakukan pemeriksaan foto abdomen untuk
mendeteksi adanya udara bebas. Hal ini merupakan indikasi untuk 19
0dilakukan kolektomi
t 2
emergensi. are
9M
stro
Striktur Ga
p at
Striktur kolon sebagai komplikasi kronis KU a
r dapat terjadi kapan saja. Berdasarkan
ntuk terjadi dalam 5 tahun pertama dari onset
pengamatan Edwards dan Truelove, sepertiganya
ou
penyakit, kebanyakan pada umur a5str– 25 tahun. Goulston dan McGovern menemukan
G
striktur pada 12% kasus operasi
Ajaryang dipantau dari penderita dengan kondisi berat, kronik,
u
uk Gambaran histologis tidak menunjukkan fibrosis yang berat
dan penyakit yang berlanjut.
B
il e
tetapi didapatkan Fhipertrofi dan penebalan lapisan muskularis mukosa. Striktur banyak
ditemukan di rektum dan sigmoid, tetapi dapat juga ditemukan pada seluruh bagian kolon.
Umumnya panjang striktur 2–3 cm, tetapi yang tepanjang adalah 15-30 cm.
Penanganan penderita dengan srtiktur kolon biasanya dengan tindakan bedah.
Ditemukannya striktur secara otomatis meningkatkan kemungkinan terjadinya karsinoma
dan lesi-lesi ini harus diperiksa dengan kolonoskopi dan biopsi untuk menyingkirkan
kemungkinan keganasan. Pemeriksaan ini mungkin tidak dapat membedakan jinak dari
keganasan striktur, terutama pada penderita yang telah mengidap KU selama 7-10 tahun.
Megakolon toksik
Megakolon toksik adalah suatu dilatasi kolon akut yang merupakan komplikasi yang jarang
terjadi, tetapi sangat berbahaya. Insidensinya pada KU sekitar 3%-5%. Megakolon toksik
bukan hanya merupakan komplikasi dari KU, tetapi kondisi ini dapat juga timbul pada
PC atau akibat infeksi. Pada suatu penelitian, dari 615 penderita PC didapatkan toksik
megakolon berkisar 3,7%. Jika kejadian PC dibatasi hanya pada kolon, insidensi megakolon
toksik 11%.
223
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
Beberapa faktor predisposisi terjadinya megakolon toksik adalah lama penyakit tidak
kurang dari 5 tahun, pankolitis, derajat beratnya penyakit, penggunaan opiat atau anti
kolinergik, penggunaan barium enema dan kolonoskopi.
Patofisiologinya belum dimengerti sepenuhnya. Hasil temuan patologinya adalah
inflamasi berat transmural dengan destruksi otot dan inflamasi serosa. Pada Lapisan otot
terjadi inflamasi dan infiltrasi sel menembus sampai ke lapisan terdalam dari dinding kolon,
sehingga terjadi gangguan fungsi otot polos, dengan manifestasi tidak adanya peristaltik
dan dilatasi kolon. Fungsi pertahanan kolon rusak, terjadi peritonitis lokal, kebocoran
toksin, pelepasan antigen bakteri dan akhirnya toksemia sistemik.
Kriteria untuk mendiagnosis megakolon toksik ada dua (Jalan dkk), yaitu: (1) dilatasi
kolon harus terlihat secara klinis (distensi abdomen atau tanda peritoneal) atau secara
radiografis (segmental atau distensi total kolon), dan (2) adanya tanda toksisitas seperti
demam, takikardi, leukositosis, dan anemia. Tanda yang lain adalah dehidrasi, perubahan
status mental, gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia dan hipotensi.
Penanganan megakolon toksik termasuk pengobatan inisial dan mempertimbangkan
kemungkinan tindakan bedah. Megakolon toksik harus diantisipasi pada setiap kasus IBD
khususnya pada penderita dengan pankolitis berat, serangan pertama kolitis atau riwayat
megakolon toksik. Jika kolitis berat tidak berespon dalam 2-3 hari, penderita9 harus dirawat
2 01
di rumah sakit. Penderita harus lebih diperhatikan adanya rdistensi e t abdomen, kejadian
toksis, atau adanya sejumlah udara dalam abdomen. Secara Ma radiografis pengembangan
9
selalu segmental dengan lokasi tersering adalah kolon strotransversum dan fleksura lienalis.
Ga
Gambaran lain adalah hilangnya haustrasi/lekukan. p at Ulserasi dinding kolon dapat terlihat.
a
Pada penelitian Fazio rata-rata garis tengah
tu k rkolon pada dilatasi maksimun adalah 9,2 cm
n
dengan range 5-16 cm.
trou
s
Ga
Karsinoma Ajar
u
uk resiko karsinoma kolon. Pada suatu penelitian jangka panjang
Penderita KU mempunyai
B
e
Fil
penderita KU, setelah satu dekade mempunyai risiko kanker 0,5%-1%. Resiko terjadinya
karsinoma kolon pada penderita KU sekitar 15% dibandingkan dengan 5% pada populasi
umum. Angka kejadian karsinoma kolon pada penderita di bawah 21 tahun bervariasi 9%-
20% pada rentang 20 tahun. Penderita paling muda dengan karsinoma kolon adalah 16
tahun dan stadium awal karsinoma terjadi 11 tahun setelah diagnosis tegak.
Karsinoma kolorektal yang muncul dengan latar belakang KU adalah adenokarsinoma.
Berbeda dengan adenokarsinoma lain, karsinoma kolorektal lebih infiltratif dan kurang
eksofilik. Tumor ini biasanya datar atau sedikit menonjol dan tidak lebih tinggi dari
polip adenomatosa, tetapi timbul secara langsung dari mukosa yang datar dan kemudian
menyebar melalui kolon.
Terapi
Tujuan terapi KU adalah penyembuhan inflamasi kolon, mencegah terjadinya eksaserbasi
dan komplikasi. Berbagai macam terapi dapat diberikan untuk KU, namun tidak satupun
yang memberikan hasil yang memuaskan.
224
Buku Ajar Gastrohepatologi
Sulfasalazin
Sulfasalazin (SASP) adalah obat yang dikembangkan oleh Svartz lebih dari 4 dekade
terakhir untuk mengobati reumatoid artritis. SASP kurang diabsorbsi di lambung dan usus
halus, setelah pemberian peroral hanya 10% yang berada dalam sirkulasi sistemik. SASP
terutama dimetabolisme di kolon menjadi sulfapiridin (SP) dan 5-aminosalicylic acid (5-
ASA) oleh bakteri anaerob dengan bantuan enzim azo-reduktase. SP dalam jumlah besar
diabsorbsi dan kemudian dimetabolisme di hati melalui proses asetilasi, glukuronidasi dan
hidroksilasi. Proses eliminasi terutama melalui jalur asetilasi. Dibandingkan dengan SP,
5-ASA tidak sepenuhnya diabsorpsi di kolon, yang dapat dilihat dengan rendahnya kadar
5-ASA pada serum dan urin.
Mekanisme pasti SP dan metabolitnya masih belum diketahui. SP dan 5-ASA
menunjukkan beberapa mekanisme kerja pada metabolisme eikosanoid dan folat, motilitas
leukosit dan bakteri flora usus. Mekanisme kerja ini menghambat sintesis prostaglandin
dan leukotrien, serta menurunkan aktivitas kemotaktik peptida bakteri, sehingga mencegah
pengambilan limfosit dan netrofil, dan memperkuat respon inflamasi. SP dan 5-ASA
tampaknya dapat menekan platelet activating factor.
Pada penelitian SP terdahulu, dengan dosis 4-6 gram perhari pada KU ringan dan
sedang memberikan hasil yang baik, namun terapi dosis tunggal untuk 9
2 01 KU akut berat
t
are
belum diteliti. Setelah terjadi remisi, pengobatan diteruskan selama setahun dengan dosis
2 gram perhari untuk mempertahankan remisi dan mencegah M relaps. Dosis tinggi 4 gram
t o9
rmemberikan
perhari, menurunkan relaps pada orang dewasa, tetapi s efek samping yang
t Gaefikasi SASP belum ada. Beberapa
pa
tidak dapat ditoleransi. Penelitian pada anak tentang
ra
tuk
Tabel 13.5.5. Efek samping SASP o un
astr
Hipersensitivitas
j arG
Demam A
Ruam (rash) u ku
eB
Artritis Fil
Perikarditis
Pleuritis
Pankreatitis
Hepatitis
Anemia autoimun
Diare berdarah
Kolitis akut
Reversibel
Oligospermia
Berkaitan dengan absorbsi folat
Anemia megaloblastik
Berkaitan dengan dosis
Dispepsia
Nyeri kepala
Anoreksia
Mialgia
Atralgia
Sumber: Wylie & Hyams, 1993.
225
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
Aminosalisilat
Hipotesis tentang toksisitas SASP menyebabkan berkembangnya zat ASA baru untuk
pengobatan KU dan PC. Obat baru ini baik topikal maupun sistemik dapat memperluas
jangkauan terapi IBD.
Imunosupresif
6-Merkaptopurin dan Azatioprin
6-Merkaptopurin (6-MP) adalah analog purin yang berperan mengintervensi sintesis asam
nukleat. Azatioprin bekerja dengan menurunkan inaktivasi 6-MP. Meskipun mekanisme
kerjanya belum diketahui dengan pasti, tetapi telah diketahui bahwa keduanya menurunkan
toksisitas limfosit dan menekan amplifikasi dari cell-mediated immunity.
Siklosporin A
Siklosporin adalah supresor dari cell-mediated immunity. Bekerja menghambat produksi
limfokin dari helper T cells (gamma interferon and IL-2), dengan menghambat T cell-
226
Buku Ajar Gastrohepatologi
dependent B cell activation and expantion of helper and cytotoxic T cell subsets and by
promoting antigen-specific suprresors T cells.
Penggunaan siklosporin pada KU masih terbatas. Pada kasus proktokolitis pada orang
dewasa yang mendapat siklosporin 12 mg/kgBB, menunjukkan perbaikan secara klinis dan
histologis setelah terapi selama 6 minggu.
Metotreksat
Metotreksat adalah suatu antagonis asam folat. Suatu penelitian melaporkan efektifitas
penggunaan metotreksat 25 mg perminggu secara intramuskular pada 21 pasien KU atau
PC yang refrakter. Lima dari 7 pasien KU menunjukkan perbaikan klinis. Penggunaan
masih sangat terbatas oleh karena efek samping jangka panjang, seperti pneumonitis dan
fibrosis hepar.
Terapi suportif
Nutrisi
Nutrisi parenteral pada pasien KU masih belum dapat diprediksi dan umumnya tidak
9
terjadi remisi jangka panjang. Werlin dan Grand melaporkan 14 remaja1dengan kolitis berat
2 0
yang mendapat nutrisi parenteral pada awalnya mengalami perbaikan,t tetapi hanya satu
M are
pasien yang dapat mempertahankan remisinya setelah 2 tahun. Nutrisi parenteral tidak
direkomendasikan sebagai terapi primer untuk KU. astr
o9
G
p at
r a
Antimikrobia k
u ntu
Metronidazol bekerja mempertahankan ro remisi dari KU tanpa komplikasi. Sedangkan
pada KU yang berat, pemakaianr G ast
metronidazol secara tunggal maupun kombinasi dengan
A j a
kortikosteroid tidak berespon
u dengan baik.
Buk
le
Tindakan bedah Fi
Kebanyakan pasien dengan KU adalah ringan sampai sedang, yang dapat dikelola dengan
hanya terapi medikamentosa. Lebih kurang 5%-10% membutuhkan tindakan bedah segera,
oleh karena tidak berespon dengan terapi medikamentosa atau keadaan yang mengancam
jiwa akibat komplikasi (misalnya: perdarahan, perforasi atau megakolon toksik).
Elektif
Penyakit yang kronis
Ketergantungan streroid yang kronis
Keganasan atau displasia tingkat tinggi
Sumber: Wylie & Hyams, 1993.
227
Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases
Prognosis
Kematian akibat KU pada anak sangat jarang. Kebanyakan penyebab kematian tidak
berhubungan atau tidak diketahui dan sebagian kecil akibat komplikasi operatif atau
karsinoma kolon. Lebih kurang 20% KU pada anak mempunyai kualitas hidup yang baik
(gangguan motilitas kurang dari 3 kali, sekolah seperti biasa). Hanya sebagian kecil (6%)
yang tidak dapat mengikuti sekolah regular, nyeri perut, dan diare. Tidak ada perbedaan
aktivitas antara yang dioperasi dan tidak.
Anak dan remaja dengan KU harus diamati secara terus menerus. Harus dikenali
tentang relaps, komplikasi, dan memberi dukungan serta edukasi kepada pasien. Masa
transisi dari remaja ke dewasa muda adalah masa yang kritis dari segi psikologis, pasien
harus mengerti betul tentang penyakitnya dan untuk kontrol selanjutnya dianjurkan ke ahli
gastroenterologi dewasa.
Daftar Pustaka
1. Fiocchi C. Inflamatory Bowel Disease. Etiology and Pathogenesis. Gastroenterology, Vol 115,
No1. 1998.
2. Hildebrand H, Finkel Y, Grahnquist L, Lindholm J, Ekbom A, Askling J. Changing pattern of
9 Gut 2003;52:1432-
paediatric inflammatory bowel disease in northern Stockholm 1990-2001.
2 01
1434. re t
3. Hyams JS. Inflammatory Bowel Disease. Pediatr Rev 2000;21. 9 MaNo 9.
o
str
4. Jackson WD, Grand RJ. Crohn’s Disease. In: PediatricaGastrointestinal Disease. Pathophysiology,
t
diagnosis, management, Vol 1. Philadelphia: BCaDeckerG Inc; 1991.h. 592-618.
5. Kirschner BS. Ulcerative Colitis In Children.
p
raPediatr Clin North Am. 1996;43:235-254.
k
tuCrohn’s Disease. Small and Large Intestine. 1708-1734.
6. Kornbluth A, Sachar DB and Solomon n
P.
ou
7. Sawchenko A, Lynn R and Sandhu
a str BK. Variations in initial assessment and management of
G
inflammatory disease across
A j ar Great Britain and Ireland. Arch Dis Child 2003;88:990-994
8. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric
u Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, diagnosis, management.
uk
Philadelphia: WBBSaunders Co; 1993.h. 742-787.
e
Fil
228
BAB
14
Pankreatitis pada Anak
Budi Santosa
14.2 Pendahuluan
Pankreatitis adalah inflamasi pada pankreas yang ditandai dengan gambaran klinis berupa
nyeri perut di daerah epigastrium yang disertai dengan peningkatan kadar enzim-enzim
pankreas yaitu amilase dan lipase. Pankreas merupakan kelenjar besar di belakang lambung
dan dekat duodenum. Doudenum adalah bagian proksimal dari usus halus. Pankreas
mensekresi enzim pencernaan ke dalam usus halus melalui duktus pankreatikus. Enzim-
enzim tersebut membantu pencernaan lemak, protein dan karbohidrat dari makanan.
Pankreas juga melepaskan hormon insulin dan glukagon. Hormon tersebut membantu
tubuh dalam menggunakan glukosa dari makanan untuk menghasilkan tenaga.
229
Bab 14 Pankreatitis pada Anak
Hati
Saluran
Empedu
Pankreas
Kantung Empedu Saluran
Duodenum Pankreas
230
Buku Ajar Gastrohepatologi
berlangsung cepat dengan ciri khas nyeri perut yang berat yang sering dikelirukan dengan
ileus. Pankreatitis akut sering memberikan patogenesis yang tersamar sehingga untuk
menegakkan diagnosis diperlukan berbagai prosedur diagnostik. Dengan kemajuan sarana
diagnosis dan kemajuan terapi seperti sekarang morbiditas dan mortalitas berkurang.
Patogenesis
Penyebab pankreatitis bervariasi. Perbedaan mekanisme tiap penyebab tidak jelas. Secara
umum dapat diterima bahwa pankreatitis akut disebabkan oleh aktivitas zimogen pankreas
yang tidak wajar terhadap enzim aktif di dalam parenkim pankreas yang mengakibatkan
autodigesti jaringan pankreas..
Patogensis pankreatitis akut banyak yang belum diketahui. Beberapa mekanisme yang
dapat memicu terjadinya inflamasi pankreas meliputi meningkatnya permeabilitas duktus
pankreatikus, overstimulasi kelenjar, obstruksi pada aliran pankreas dan abnormalitas
metabolik (misalnya hiperkalsemia dan hipertrigliseridemia).
Hipotesis pertama patogenesis pankreatitis diajukan oleh Opie (1901) yang
menekankan pada potensi faktor mekanik. yaitu adanya obstruksi pada atau dekat dengan
ampulla Vateri akan menyebabkan refluks empedu ke dalam duktus pankreatikus yang
9
mengakibatkan aktivasi zimogen dalam duktus dan sebagai akibatnya 2 01 terjadi kerusakan
re t
pankreas. Tetapi hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan padaapercobaan binatang.
9 M
Hipotesis kedua yaitu adanya hipertensi duktus pankreatikus ro (sebagai akibat obstruksi)
akan meningkatkan permeabilitas duktus yang mendorong G ast terjadinya kebocoran sekresi
p at
pankreas dengan aktivasi enzim digesti usus dan a sebagai akibatnya terjadinya kerusakan
tu kr
sel asinar. Hipotesis yang kedua ini dapat ndibuktikan dengan beberapa macam percobaan
pada binatang. trou
s
Ga
rbahwa
Ada yang mengemukakan
A j a kelenjar eksokrin pankreas mengaktifkan proenzim
pankreas yang disebabkan k ubeberapa faktor induksi seperti trauma, iskemia, toksin, infeksi,
Bu
e
Fil zimogen, terutama tripsin, dapat mengaktifkan enzim lain yang
dan lain-lain. Aktivasi
mengakibatkan autodidesti pankreas dan jaringan sekitarnya.
Proses lokal menyebar ke ruang peripankreas dengan pengeluaran substansi di atas
yang bersifat toksik ke rongga peritoneal dan secara sistematis menyebabkan komplikasi
dan kegagalan multiorgan.
Fosfolipase A dan elastase yang diaktifkan oleh tripsin bertanggung jawab terjadinya
nekrosis jaringan pada pankreatitis akut. Sel-sel asini pankreas yang rusak akibat
aktivasi zimogen akan menarik sel-sel inflamasi dan mengatifkan trombosit serta sistem
komplemen yang menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin (seperti tumor necrosis factor-
alpha, interleukin-1, nitrat oksida (nitric oxide) dan platelet activating factor). Radikal bebas
oksigen mempunyai peran pada perkembangan inflamasi pada pankreatitis akut, sedangkan
substansi-substansi vasoaktif (histamin, kinin, kalikrein) peran utamanya meningkatkan
permeabilitas kapiler yang mengakibatkan transudasi eksudat. Substansi-substansi tersebut
merusak kelenjar secara langsung, menyebabkan edema, iskemia, nekrosis dan hilangnya
jaringan kelenjar.
Pada keadaan normal terdapat beberapa mekanisme protektif mencegah pengaruh
aktivitas enzim-enzim pankreas yang prematur. Enzim-enzim proteolitik (tripsin,
231
Bab 14 Pankreatitis pada Anak
Proses Induksi
Trauma Pankreas
Syok
Kerusakan Vaskular
Aktifasi Enzim
Enterokinase
atau autoaktivasi
Inaktivasi oleh
inhibitor tripsin Tripsin Edema, nekrosis, dan perdarahan
pankreatik
232
Buku Ajar Gastrohepatologi
kimotripsin, karboksipeptidase dan elastase) disintesis dan disimpan dalam bentuk tidak
aktif. Sintesis dan penyimpanan zimogen terjadi pada pH 6,2 yang akan meminimalkan
autokatalisis tripsin dalam organela. Adanya granula zimogen, jaringan pankreas, getah
pankreas dan serum mempunyai potensi sebagai inhibitor protease.
14.6 Etiologi
Penyebab pankreatitis akut pada kelompok umur anak-anak sangat bervariasi. Tetapi
sebagian besar diantaranya patofisiologinya belum terbukti, sehingga tidak memiliki
hubungan kausatif. Berbeda pada orang dewasa, 80% penyebab pankreatitis akut adalah
penyakit saluran empedu dan alkoholisme. Sedangkan pada anak-anak pada umumnya
disebabkan infeksi, trauma, penggunaan obat, kelainan bawaan (pankreas divisum),
penyakit metabolik dan sistemik dan kondisi herediter dan idiopatik.
233
Bab 14 Pankreatitis pada Anak
tersebut bukan merupakan tanda patognomonis pankreatitis akut karena disebabkan darah
yg merembes sehingga menimbulkan ekimosis. Tanda fisik lain pankreatitis akut adalah
ketidakseringnya dan ketidaktetapan dalam kejadian yang umumnya tidak spesifik yang
meliputi koma, efusi pleura, distress pernafasan, asites, ikterus, adanya massa abdomen,
melena dan hematemesis.
234
Buku Ajar Gastrohepatologi
TANDA
Ketegangan daerah epigastrium (localized epigastric tenderness)
Kekakuan dinding perut (abdominal wall rigidity)
Ketegangan yang kambuh (rebound tenderness)
Distensi perut
Bising usus lemah atau tidak ada
Hipotensi dan syok
Panas subfebril
Efusi pleura
Asites
Oliguria/anuria
Distres pernafasan
Gray-Turner’s sign 9
Cullen’s sign 201
Sumber: Wezman, 1993. aret
o 9M
str
Ga
14.8 Diagnosis rap at
n tuk
Diagnosis sulit ditegakkan kecuali bila
tro uindeks kecurigaan pada manifestasi klinis dan
as
pemeriksaan fisik menetap tidak hilang timbul. Gabungan dari tanda dan gejala klinis
dengan kelainan biokimiawi j ar G menunjang dan teknik pencitraan (imaging) dapat
yang
A
u ku
melengkapi kepastian diagnosis. Tidak ada tes tunggal diagnostik untuk pankreatitis
e B
Fil histologis inflamasi pankreas jarang tersedia. Beberapa tes dapat
akut, dan konfirmasi
menyesatkan karena kurangnya spesifisitas. Kadang-kadang diagnosis hanya dibuat dengan
kepastian pada saat laparatomi atau otopsi.
Pemeriksaan laboratorium
Tes laboratorium nonspesifik
Kelainan laboratorium sangat bervariasi pada pankreatitis akut dewasa, tetapi data pada
anak-anak jarang didapatkan. Pemeriksaan darah lengkap dengan peningkatan sel darah
putih sering terjadi pada pankreatitis akut, sering dengan peningkatan bentuk batang dan laju
endap darah sering meningkat ringan. Pada keadaan berat menunjukkan hemokonsentrasi.
Kerusakan pada sel-sel endokrin ditunjukkan dengan hiperglikemia transien yang
dijumpai pada 15-25% dari kasus. Keadaan ini disebabkan oleh kelebihan glukagon
sedangkan insulinnya menurun. Hipokalsemia tejadi pada 15% kasus. Peningkatan secara
transien fosfatase alkali dan aminotranferase serum dengan disertai hiperbilirubinemia.
Peningkatan nilai laktat dehidrogenase serum, azotemia, hipoalbnuminemia dan
hipoksemia menunjukkan beratnya penyakit.
235
Bab 14 Pankreatitis pada Anak
Amilase urin
Peningkatan kadar amilase urin dapat berada 24 jam setelah normalisasi serum
PENYAKIT SISTEMIK
Asidosis metabolik (syok )
Insufisiensi ginjal & transplantasi
Kombusio
Kehamilan
Obat (morfin)
Trauma kepala
Cardiopulmonary bypass
CMV = cytomegalovirus; HIV = human immunodeficiency virus; EBV = Epsein-Barr virus
Sumber: Werlin, 2004.
236
Buku Ajar Gastrohepatologi
Isoamilase serum
Pada keadaan normal 60% dari serum amilase adalah saliva dan tersimpan di pankreas.
Walaupun pada pankreatitis akut sebagian besar dari amilase serum berasal dari pankreas,
keadaan abdomen lainnya meningkatkan isoenzim isoamilase. Sekarang sudah tersedia
bermacam-macam teknik untuk mengukur isoform dari amilase yaitu dengan elektroforesis,
ion exchange chromatography dan yang terbaru dengan teknik radioimmunoassay dengan
menggunakan antibodi monoklonal. Isoamilase lebih sensitif dan spesifik daripada amilase
total.
Lipase serum
Nilai lipase serum biasanya meningkat pada pankreatitis akut dan masih meningkat lebih
lama dibanding nilai amilase serum. Kadar lipase serum memiliki sensitivitas klinis 86%-
100% dan spesifisitas klinis 50%-99%. Dengan meningkatkan batas lebih dari 3 kali dari
batas atas normal, sensitivitas dapat ditingkatkan hingga 100% dan spesifisitas hingga
99%. Walaupun masih ada kontroversi hal tersebut. Kadar lipase serum mulai meningkat
dalam 4-8 jam setelah gejala, memuncak pada 24 jam dan menurun setelah 8-14 hari.
Derajat peningkatan amilase dan lipase serum tidak mencerminkan keparahan penyakit
pankreasnya. Dengan menggabungkan penentuan kadar amilase serum 9 dan lipase serum
2 01
secara bersama-sama sensitivitas diagnosis pankreatitis meningkat
re thingga 94%.
9 Ma
ro
Tripsin imunoreaktif serum
G ast
Sumber tripsin pada manusia hanya pada pankreas. at
r ap Tripsin imunoreaktif total pada serum
meningkat lebih awal dibanding amilase serum k pada pankreatitis akut. Sensitivitasnya lebih
u ntu
tinggi dibanding lipase dan isoamilaseropankreas dengan spesifisitas yang sama.
ast
rG
Ribonuklease Aja
uku
i l e B pada serum rendah. Ribonuklease pankreas dapat dibedakan
Konsentrasi ribonuklease
secara imunologisFdari sumber ribonuklease lainnya. Peningkatan ribonuklease pankreas
pada serum dianggap sebagai indikasi adanya nekrosis pankreas.
Elastase-1 pankreas
Diukur dengan radioimmunoassay. Pada pankreatitis akut menunjukkan sensitivitas lebih
tinggi daripada lipase, amilase total maupun tripsin terutama selama stadium akhir dari
panyakit.
Fosfolipase A2
Merupakan enzim prediktif yang lain. Mempunyai peran kunci pada patogenesis awal dari
pankreatitis akut.
237
Bab 14 Pankreatitis pada Anak
Bila dilakukan secara benar sensitivitas dan spesifisitas berkisar 90%-100%. Pemeriksaan
ini langsung karena mengambil sampel langsung dari duktus pankreatikus bukan secara
tidak langsung (dari serum). Tetapi karena prosedur pemeriksaan ini sifatnya invasif,
kompleks, mahal dan hanya dilakukan di pusat kesehatan tertentu, sehingga tidak dapat
dilakukan secara rutin.
Pencitraan
Foto polos abdomen
Menunjukkan adanya ileus dengan dilatasi kolon, sentinel loop (distensi bagian usus halus
dekat dengan pankreas), batas psoas yang kabur atau halo yang radiolusen di sekitar ginjal
kiri. Pemeriksaan radiologis ini nilai diagnostiknya terbatas. Tetapi sebaiknya setiap anak
yang menderita nyeri perut akut harus dilakukan prosedur ini karena dapat menyingkirkan
kegawatan abdomen yang lain seperti perforasi atau appendikolith yang memberikan kesan
sebagai apendisitis.
Foto dada
Dilakukan pada semua kasus yang diperkirakan untuk menentukan19terkenanya diafragma
20
ret paru dan efusi pleura.
atau komplikasi paru pada pankreatitis akut, seperti infiltrat, edema
9 Ma
ro
Seri barium saluran pencernaan atas ast
atG
Pemeriksaann ini jarang memberikan informasi
k rap yang berguna dan sudah ditinggalkan
tu
diganti pencitraan alternatif lain (ultrasonografi) dan ERCP (Endoscopic Retrograde
o un
Cholangio Pancreatography). str
a
j arG
Ultrasonografi A
u ku
e B merupakan prosedur yang paling sering digunakan pada penderita
Fil
Ultrasonografi abdomen
yang dicurigai menderita pankreatitis akut. Pada pankreatitis akut akan didapatkan
penurunan ekogenitas, peningkatan ukuran pankreas, perubahan ekostruktur & bentuk
serta adanya pelebaran duktus pankreatikus. Terdapat hipoekogenitas pankreas pada 40%
kasus pankreatitis akut. Laporan dari Swischuk dan Hayden menunjukkan bahwa pada
pankreatitis akut secara sonografi biasanya normal tetapi ruang pararenal-nya hiperekoik
selama inflamasi.
238
Buku Ajar Gastrohepatologi
14.9 Komplikasi
Komplikasi dapat bersifat lokal maupun sistemik yang dapat terjadi sebagai komplikasi awal
atau lanjut. Selama minggu pertama perawatan komplikasi potensial adalah gagal organ
multi sistem terutama sistem pulmonar, kardiovaskular, dan renal. Pada 9 minggu kedua
2 01
sakit, jaringan nekrotik pankreas atau peripankreas terinfeksi dapatt diobservasi. Keduanya
are
dapat dibedakan oleh sonografi atau aspirasi perkutan yang M dipandu CT. Komplikasi
ro9
lanjut terjadi sesudah minggu kedua sakit dan termasuk ttimbulnya pseudokista dan abses.
s
abila
Kejadian pseudokista pankreas sering terjadi, sehinggaG hiperamilase berlanjut sesudah
p at
a
kr
4 minggu mungkin diperlukan tindakan pembedahan.
untu
ro
14.10 Tata laksana jar G ast
uA
Pengobatan yang utama Buk bersifat suportif yang meliputi menghilangkan rasa nyeri
l e
dan memperbaikiFihomeostasis metabolik dengan cara hidrasi yang adekuat dengan
pemberian cairan intravena atau koloid untuk menjaga volume intravaskular. Dengan
mempertimbangkan keseimbangan cairan, elektrolit dan mineral untuk perbaikan dan
pemeliharan. Kadang-kadang memerlukan tindakan agresif untuk mencegah syok,
kegagalan respirasi dan katabolisme protein.3 Pada sebagian besar pankreatitis akut bersifat
self limited dalam beberapa hari.
Menghilangkan nyeri dengan opiat (morfin) akan memperburuk gejala karena
meningkatkan spasme sfingter Oddi. Meperidin sebagai agonis reseptor opiat murni yang
merupakan pilihan analgesik untuk pankreatitis akut karena hanya menyebabkan sedikit
peningkatan tekanan intrabiliaris. Sebagai alternatif penggantinya yaitu pentazosin yang
merupakan campuran analgesik opiat dengan obat yang mempunyai peran antagonis-
agonis.
Strategi pengobatan spesifik dan nonspesifik selanjutnya meliputi:
1. Menghilangkan proses yang mengawali (misalnya obat atau toksin)
2. Menghentikan melanjutnya proses autodigesti dalam pankreas
3. Menghambat dan/atau menghilangkan enzim pencernaan dan bahan toksik lain dalam
kavum peritoneal dan atau sirkulasi
239
Bab 14 Pankreatitis pada Anak
14.11 Prognosis
Prognosis bervariasi tergantung keadaan klinis pankreatitis akut pada anak. Pankreatitis
akut pada anak tanpa komplikasi akan membaik dan sembuh setelah 2-5 hari.
240
Buku Ajar Gastrohepatologi
241
Bab 14 Pankreatitis pada Anak
Daftar Pustaka
1. Lerner A, Branski D, Lebenthal E. Pancreatic Disease In Children.. Pediatric Clinics of North
America .1996.43.1 : 125 – 156.
2. Pietzak MM, Thomas W. Pancreatitis in childhood. Amarican Academy of Pediatrics 2000 : 2
3. Robertson MA, Durie PR. Pancreatitis. In Walker A, Durie PR, Hamilton JR, et al, eds. Pediatric
Gastrointestinal Disease. St Louis, WB Saunders, 2 nd, 1996: 1436 – 1465.
19
0Pediatric
4. Weizman Z. Acute Pancreatitis . In Wyllie R and Hyam JS, eds. t 2 Gastrointestinal
Disease, Philadelphia, WB Saunders 1993 : 873 -879 are
5. Werlin SL. Exocrine Pancreas. In Behrman RE, Kleigman o 9 M Jenson HB. Nelson Text Book of
RM,
str
Ga: 1298 – 1303.
Pediatrics, Philadelphia, WB saunders,2004,17 th Edit
at
r ap
k
untu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
242
BAB
15
Ikterus
Iesje Martiza
15.2 Pendahuluan
Peningkatan kadar biliribun serum (hiperbilirubinemia) merupakan masalah yang sering
dijumpai pada minggu pertama kehidupan. Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat
yang dapat hilang spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang
serius, bahkan mengancam jiwa. Sebagian besar bayi cukup bulan yang kembali ke rumah
sakit dalam minggu pertama kehidupan berhubungan dengan keadaan hiperbilirubinemia.
Dengan kondisi perawatan yang memulangkan neonatus secara dini, dapat meningkatkan
risiko terjadinya kernikterus pada bayi cukup bulan apabila dipulangkan dalam 48 jam
setelah lahir. Alpay dan kawan-kawan melaporkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara penurunan lama tinggal dan risiko kembali ke rumah sakit, dan penyebab
utama kembalinya ke rumah sakit selama periode awal neonatus adalah hiperbilirubinemia.
Terlepas dari penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat toksik
terhadap bayi baru lahir.
Bab ini dimulai dengan ulasan tentang metabolisme bilirubin perinatal, berikut
penilaian, penyebab, toksisitas dan terapi kernikterus neonatorum.
243
Bab 15 Ikterus
15.3 Definisi
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat
peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin
serum > 2 mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin >5 mg/dl.
Transpor bilirubin
Bilirubin dibentuk dari degradasi zat yang mengandung heme. Pembentukan bilirubin
dimulai dengan memutuskan cincin tetrapirol protoheme (protoporfirin IX) sehingga
terbentuklah tetrapirol rantai lurus (biliverdin). Enzim yang pertama kali terlibat dalam
0 19
pembentukan bilirubin adalah mikrosomal heme-oksigenase. Telah 2
et diketahui ada 2 bentuk
utama heme-oksigenase: yang pertama terdapat di dalam hepar M ardan lien; yang kedua terdapat
o 9
di dalam otak dan testis. Heme-oksigenase menyebabkan str reduksi besi porfirin (Fe3+ menjadi
a
t G α ini dioksidasi dari cincin tetrapirol
Fe2+) dan hidroksilasi karbon α-methine, dimanaakarbon
ap
sehingga menghasilkan karbon monoksida.k rPemotongan ini membuka struktur cincin dan
tu
berhubungan dengan oksigenasi kedua
o un atom karbon di kedua ujung rantai. Αtom karbon
tr
yang dipotong, diekskresi sebagaiaskarbon monoksida yang juga merupakan neurotransmiter.
r G
ja
Besi yang dilepas oleh heme-oksigenase dapat digunakan kembali oleh tubuh. Hasil akhir
u A biliverdin IXα. Stereospesifisitas enzim yang menyebabkan
tetrapirol rantai lurusukadalah
eB
Fil
pemutusan hampir pasti terdapat pada α-karbon tetrapirol. Hal ini berbeda dari hasil yang
didapatkan pada oksidasi kimiawi in vitro, di mana pemutusan dapat terjadi di antara keempat
atom karbon (α, β, γ, δ) yang menghubungkan keempat cincin pirol dan menghasilkan
jumlah isomer α, β, γ dan δ yang sama. In utero, bilirubin IXβ merupakan pigmen empedu
yang pertama kali ditemukan, dan dapat ditemukan di empedu atau mekonium pada usia
kehamilan 15 minggu. Sejumlah kecil bilirubin IXβ juga ditemukan pada empedu orang
dewasa. Kemudian, atom karbon sentral pada biliverdin IXα direduksi dari methine menjadi
kelompok methilene, membentuk bilirubin IXα, yang diselesaikan oleh enzim biliverdin
reduktase sitosolik. Kedekatan enzim ini menyebabkan sangat sedikitnya biliverdin yang
dapat ditemukan di sirkulasi. Pembentukan bilirubin dapat dinilai dengan mengukur produksi
karbon monoksida. Pembentukan ini menunjukkan rata-rata produksi bilirubin pada bayi
matur sehat = 6-8 mg/kg BB/hari, dan pada orang dewasa sehat = 3-4 mg/kg BB/hari. Pada
mamalia, ± 80% bilirubin yang diproduksi setiap hari berasal dari hemoglobin. Pemecahan
heme hepatik dan renal tampaknya berperan pada 20% sisanya, menunjukkan begitu cepat
turn over protein heme. Walaupun tidak diketahui dengan pasti, turn over mioglobin heme
sangatlah lambat sehingga tidak signifikan. Katabolisme hemoglobin terutama berasal dari
sekuestrasi eritrosit pada akhir masa hidupnya (120 hari pada orang dewasa, 90 hari pada
bayi, dan 50-60 hari pada tikus). Sejumlah kecil fraksi hemoglobin yang baru disintesis,
244
Buku Ajar Gastrohepatologi
didegradasi dalam sumsum tulang. Proses ini yang disebut sebagai eritropoesis yang
tidak efektif, biasanya terdapat kurang dari 3% dari produksi bilirubin harian, tetapi dapat
meningkat pada orang-orang dengan hemoglobinopati, defisiensi vitamin, dan keracunan
logam berat. Bayi menghasilkan lebih banyak bilirubin perkilogram berat badannya, karena
jumlah eritrosit mereka lebih banyak, dan umur hidup eritrositnya lebih pendek. Walaupun
sudah lama bilirubin dianggap sebagai produk sisa katabolisme heme, ternyata ada data yang
menduga bahwa hiperbilirubinemia ringan mempunyai manfaat yang baik karena bilirubin
mempunyai kapasitas antioksidan dan berperan sebagai pemusnah radikal bebas.
Bilirubin sukar larut dalam air, sehingga memerlukan biotransformasi supaya dapat
diekskresi dari tubuh. Sifat bilirubin yang sukar larut ini berhubungan dengan struktur
bilirubin. Dibandingkan dengan bentuk rantai lurus, bilirubin cenderung terikat dengan
hidrogen. Hal ini terjadi karena atom karbon jenuh yang terletak di tengah memungkinkan
kedua belah molekul bilirubin berputar sedemikian rupa sehingga pirol nitrogen dan laktam
oksigen dari sisi yang satu membentuk ikatan hidrogen dengan kelompok karboksil asam
propionat pada sisi yang lain, sehingga menghalangi sisi asam propionat yang polar dan
membuat bilirubin menjadi lipofilik dan sangat tidak polar. Ikatan rangkap C=C pada posisi
C4-C5 dan C15-C16 dapat membentuk 2 konfigurasi yang berbeda (mirip dengan “cis” dan
“trans”) tergantung apakah atom-atom itu terletak pada sisi ikatan rangkap yang sama atau
9
bersebrangan (Z = zusammen = together; E = entgegen = opposito).tBentuk 2 01 alami bilirubin
re
(4Z,15Z-bilirubin IXα) dapat berupa salah satu dari ketiga struktur
9 Ma yang ada. Pengetahuan
stereokimia ini penting untuk dapat memahami fototerapi.
a stro Ikatan hidrogen pada bilirubin
membuatnya menjadi sangat hidrofobik dan tidak larut G dalam media air.
p at
Sifat bilirubin yang sukar larut dalam air ini a
rmenyebabkan diperlukannya molekul karier
untuk transport bilirubin dari tempatnya n uk
tdiproduksi di dalam sistem retikuloendotelial
tro u karier yang dimaksud adalah albumin. Setiap
ke dalam hati untuk diekskresi. Molekul as
molekul albumin mampu mengikat j ar G 1 molekul bilirubin (Ka = 7.107/M). Artinya, pada
A
kadar bilirubin serum yang u ku normal, semua bilirubin yang dibawa ke dalam hati berikatan
e B sejumlah kecil bilirubin bebas yang berdifusi ke jaringan lain.
Fil
dengan albumin, dengan
Selain itu, albumin juga merupakan karier untuk zat lainnya, misalnya xenobiotik dan
asam lemak. Perlu diingat bahwa daya ikat albumin berbeda-beda untuk setiap spesies.
Rata-rata konsentrasi albumin serum pada bayi baru lahir cukup bulan adalah 3 sampai
3,5 g/dl, albumin dapat mengikat bilirubin pada konsentrasi maksimum sekitar 450 µM/h
(25-30 mg/dl). Dikatakan bahwa albumin pada neonatus mempunyai afinitas yang kurang
terhadap bilirubin bila dibandingkan dengan albumin pada orang dewasa. Bilirubin yang
bebas dapat masuk ke dalam otak dan merusak jaringan saraf.
245
Bab 15 Ikterus
246
Buku Ajar Gastrohepatologi
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Gambar 15.4.1 Skema metabolisme bilirubin pada janin, neonatus dan orang dewasa
Keterangan:
R, membrane carrier; GST, glutation S-transferase (ligandin); UDPG, uridin diphosphat glukose; UDPGA, uridin diphosphat glukoronic acid; UDPNAG,
uridin diphosphat N-asetyl glukosamin; P, permease; UGT1A1, bilirubin glukoronosyltransferase; NDPase, nukleoside diphosphatase; PPi, inorganik
pyrophosphat,BDG/BMG,bilirubindiataumonoglukoronidase;cMOAT,transporteranionorganikkanalikulermultispesifik;BG,bilirubinglukoronidase.
247
Bab 15 Ikterus
UGT1A1 (nama dagang = HUG-Brl, EC.2.4.1.17), yang merupakan bagian dari enzim
uridine diphosphate glycosyltransferase, yang diikuti kompleks gen UGT pada kromosom 2.
Gen UGT, mengkode beberapa isoform, dan memiliki struktur kompleks yang terdiri dari
4 ekson yang umum dan 13 ekson variabel yang mengkode isoform yang berbeda-beda.
Pada tahun 1997, paling sedikit 30 UGT, alel mutan yang berbeda-beda telah dianggap
sebagai penyebab Sindroma Gilbert (GS) dan Sindroma Crigler-Najjar I dan II. UGT1A1
mengkatalisis bilirubin monoglukuronidase dan bilirubin diglukoronidase. Sejumlah
kecil bilirubin (15%) juga diekskresikan bersamaan dengan sangat sedikit bilirubin tak
terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi lainnya (misalnya glukosa, xilosa dan diester).
Pada bayi, karena aktivitas UGT1A1 rendah, empedu mengandung lebih sedikit bilirubin
diglukoronida dan lebih banyak bilirubin monoglukoronida daripada orang dewasa.
248
Buku Ajar Gastrohepatologi
peningkatan kadar bilirubin dikonjugat dalam serum (0,55 ± 0,25% pada umur 2-4 hari,
sampai 1,62 ± 0,99% pada umur 9-13 hari), yang konsisten dengan maturasi glukuronidasi
bilirubin. Sebaliknya, pada bayi prematur dengan usia kehamilan kurang dari 33 minggu,
kadar bilirubin diconjugates-nya sangat rendah, yang menunjukkan adanya gangguan
maturasi proses glukoronidasi.
Dalam banyak keadaan patologis, bilirubin mono dan diglukuronida tidak diekskresi
cukup cepat dari hepatosit untuk mencegah refluks ke sirkulasi. Peningkatan kadar bilirubin
terkonjugasi serum menyebabkan transesterifikasi bilirubin glukuronida dengan kelompok
amino dalam albumin, menghasilkan ikatan kovalen antara albumin dan bilirubin. Produk
ini terbentuk secara spontan, dan dikenal sebagai bilirubin delta, atau bilirubin-albumin.
Reaksi nonenzimatik serupa juga ditemukan antara albumin dan beberapa obat. Bilirubin
delta tidak terbentuk pada hiperbilirubinemia kecuali jika terdapat peningkatan fraksi
bilirubin terkonjugasi. Baik bilirubin delta maupun bilirubin terkonjugasi bereaksi langsung
yang menjelaskan suatu keadaan yang telah lama membingungkan para klinikus.
Berdasarkan keempat tahapan tersebut, ikterus dapat terjadi karena:
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
2. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Defek konjugasi bilirubin 9
4. Penurunan ekskresi bilirubin 2 01
t
re yang berlebihan dan
5. Campuran; peningkatan kadar bilirubin terjadi karena prosuksi
9 Ma
sekresi yang menurun ro
G ast
Gangguan berupa pembentukan bilirubin pyang at berlebihan, defek pengambilan dan
konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan r a
bilirubin indirek. Penurunan ekskresi bilirubin
ntuk
u
akan menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis, sedangkan bila
ro
ast peningkatan bilirubin direk maupun indirek.
mekanismenya bersifat campuran,Gterjadi
Ajar
u
uk
Sirkulasi enterohepatik
Fil
e B
Jika bilirubin terkonjugasi memasuki lumen usus (Gambar 15.4.1), ada beberapa
kemungkinan terjadinya metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, flora normal akan
menghidrogenasi karbon ikatan rangkap dalam bilirubin untuk menghasilkan urobilinogen.
Oksidasi atom karbon tengah menghasilkan urobilin. Karena adanya sejumlah besar ikatan
tak jenuh di dalam bilirubin, maka ada banyak bentuk reduksi dan oksidasi dari ikatan-
ikatan ini. Keluarga besar reduksi-oksidasi hasil bilirubin ini dikenal sebagai urobilinoid,
diekskresikan ke dalam feses. Bakteri yang paling penting dalam peranannya memproduksi
urobilinoid adalah Clostridium ramosum, yang bekerja sama dangan Escherichia coli.
Konversi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid penting untuk menghalangi absorbsi
bilirubin di intestinal yang dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Neonatus hanya sedikit
memiliki flora intestinal, sehingga lebih banyak mengabsorbsi bilirubin dari intestinum.
Perbedaan antara ekskresi pigmen empedu pada orang dewasa dan pada neonatus,
dibandingkan dalam Gambar 15.4.2 dan 15.4.3.
249
Bab 15 Ikterus
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Gambar 15.4.2. Gambaran eksresi empedu pada orang Gambar 15.4.3. Gambaran eksresi empedu pada bayi baru
dewasa, dengan menggunakan larutan khromatografi high lahir, dengan menggunakan larutan khromatografi high
performance performance
250
Buku Ajar Gastrohepatologi
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Gambar 15.4.4. Reduksi dan oksidasi bilirubin menjadi sebuah kelompok yang
mempunyai kesamaan komposisi yaitu urobilinoid
β-glukuronidase, dan hal ini sudah diduga merupakan salah satu faktor yang berhubungan
dengan tingginya kadar jaundice pada bayi-bayi yang mendapat ASI.
Penilaian jaundice
Jaundice dan ikterus, keduanya menunjuk kepada keadaan diskolorasi kuning pada jaringan
(kulit, sklera, dan lain-lain), yang disebabkan oleh deposisi bilirubin. Jaundice berasal dari
bahasa Perancis: jaune, yang berarti kuning. Ikterus berasal dari bahasa Yunani: ikteros.
Jaundice merupakan tanda adanya hiperbilirubinemia (misalnya kadar total bilirubin serum
lebih dari 1,4 mg/dl setelah usia 6 bulan; 1 mg/dl = 17 μM). Derajat kuning berhubungan
dengan kadar bilirubin serum dan jumlah deposisi bilirubin dalam jaringan ekstravaskuler.
Hiperkarotenemia dapat menyebabkan kulit berwarna kuning, tetapi sklera akan tetap
berwarna putih. Ada banyak keadaan yang berhubungan dengan neonatal jaundice. Beberapa
251
Bab 15 Ikterus
dari keadaan ini begitu umumnya sehingga disebut fisiologis. Sebaliknya jaundice dapat
merupakan tanda hemolisis, infeksi, ataupun gagal hati. Pengukuran kadar total bilirubin
serum menunjukkan beratnya jaundice. Pengukuran semacam ini sangat sering dilakukan
pada neonatus, dan ada penelitian yang menunjukkan bahwa pengukuran ini dilakukan
minimal satu kali dari 61% neonatus cukup bulan. Dua komponen bilirubin total serum
dapat diukur secara rutin di laboratorium klinik, yaitu bilirubin terkonjugasi (disebut juga
sebagai bilirubin direk, karena pada test van den Bergh, pewarnaan dapat langsung terjadi
tanpa penambahan metanol), dan bilirubin tak terkonjugasi (yang disebut juga sebagai
bilirubin indirek). Walaupun penggunaan kata direk dan indirek sama dengan bilirubin
terkonjugasi dan tak terkonjugasi, tetapi sekarang telah diketahui bahwa hal itu tidaklah
benar-benar tepat, karena fraksi bilirubin direk terdiri dari baik bilirubin terkonjugasi
maupun bilirubin delta. Peningkatan kadar bilirubin yang manapun dapat menimbulkan
jaundice.
Metode laboratoris otomatis yang dulu digunakan untuk mengukur kadar bilirubin
serum telah direvisi dimana-mana. Prosedur Jendrassik-Grof merupakan metode terpilih
untuk mengukur bilirubin total, walaupun prosedur ini juga mempunyai masalah. Jika
kadar total bilirubin serum tinggi, fraksi direk yang sebenarnya tidak meningkat dapat
tampak seolah-olah meningkat.
9
Tiga metode yang lebih baru yang telah dikembangkan dapat 2 01 menentukan macam-
re t
9 Ma
macam fraksi bilirubin (tak terkonjugsi, monokonjugasi, dikonjugasi, dan bilirubin yang
terikat albumin atau bilirubin delta) dengan lebih akurat: ro yaitu dengan high performance
st
adan
liquid chromatography (HPLC), multilayered slides G bilirubin oksidase. Analisis HPLC
p at
memang yang terbaik, tetapi terlalu mahal a
rdan memerlukan waktu yang terlalu banyak
untuk laboratorium klinik. Analisis HPLC ntukuntuk serum bayi normal pada 4 hari pertama
ou
kehidupan menunjukkan bahwa a str kadar bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi
G
jar fraksi terkonjugasi hanya 1,2-1,6% dari pigmen total (3,6%
meningkat secara paralel dengan
A
pada orang dewasa). u ku
Walaupun kadar absolut bilirubin terkonjugasi 2-6 x lebih tinggi pada
e B
Fl
neonatus, hanya i20% dari bilirubin terkonjugasi yang merupakan dikonjugasi. Data HPLC
yang sensitif ini konsisten dengan peningkatan produksi bilirubin dan defisiensi relatif
glukuronidasi yang ditemukan pada neonatus. Saat ini sudah tersedia teknik analisis dengan
multilayered slides otomatis yang sudah digunakan di beberapa laboratorium klinis. Hal ini
memungkinkan pengukuran fraksi bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi spesifik tanpa
pengaruh bilirubin delta. Pengukuran kadar bilirubin terkonjugasi merupakan indikator
dini kolestasis bilier dibanding bilirubin direk, karena lamanya waktu paruh bilirubin delta.
Analisis terbaru dan perbandingan metode bilirubin oksidase dengan metode sebelumnya
untuk menentukan bilirubin total serum menyimpulkan bahwa penentuan kadar bilirubin
total serum pada neonatus tidak dapat menggunakan metode ini.
Masih ada perdebatan tentang keakuratan kadar bilirubin serum dari vena
dibandingkan kapiler. Maxele telah membuat literatur tentang kernikterus, fototerapi, dan
exchange transfusion berdasarkan pengukuran kadar bilirubin kapiler.
Metode noninvasif untuk mengukur kadar jaundice sudah diterapkan pada neonatus,
misalnya dengan menggunakan jaundicemeter yang memakai reflectance spectrophotometry
untuk mengukur warna kulit. Jaundicemeter diletakkan di kulit dengan perlahan-lahan,
dan memberikan hasil berupa “indeks jaundice”. Sejumlah penelitian sudah menunjukkan
252
Buku Ajar Gastrohepatologi
korelasi yang tinggi (r>0,9) antara indeks jaundice dan kadar bilirubin serum. Di pasaran,
jaundicemeter sudah dijual dengan beberapa variasi interinstrumen untuk pengukuran
berulang. Lebih jauh lagi, dalam suatu penelitian telah tampak bahwa baik indeks jaundice
pada usia 24 jam, dan ratio peningkatan indeks jaundice selama 24 jam pertama perkilogram
berat badan, berguna untuk memperkirakan timbulnya hiperbilirubinemia. Jaundicemeter
telah dianjurkan sebagai sarana skrining yang berguna. Sebagai tambahan, beberapa
orang menyatakan bahwa warna kuning pada kulit merupakan indikator risiko yang lebih
baik untuk menilai kerusakan otak akibat bilirubin dibandingkan kadar bilirubin serum.
Metode yang lebih manual untuk menilai jaundice adalah dengan menggunakan plexiglas
color chart yang ditekan ke hidung bayi, ternyata berguna dan lebih murah daripada
jaundicemeter dalam penilaian jaundice. Saat ini telah dikembangkan metode noninvasif
yang lebih baru, yang dapat membaca bilirubin serum dalam satuan miligram perdesiliter
dan efektif terhadap semua warna kulit dan usia kehamilan.
253
Bab 15 Ikterus
HIPERBILIRUBINEMIA HIPERBILIRUBINEMIA
DIREK INDIREK
SKRINING PENYAKIT HEMOLITIK
CARI PENYEBAB DI PADA BAYI BARU LAHIR
TEKSBOOK DAN EVALUASI (COOMBS'S, GOL DARAH)
Mare Rh
9
ANGKA REKTIKULOSIT ro
G ast
at
rap
DX: POLISITEMIA
k
u nt- uTRANSFUSI MATERNAL FETAL
ro - TWIN-TWIN TRANSFUSI
l e
Fi
TINGGI
NORMAL MORFOLOGI SEL DARAH MERAH
254
Buku Ajar Gastrohepatologi
Bayi yang baru lahir yang segara dibawa pulang, di rumah mengalami
hiperbilirubinemia (30-40 mg/dl) dan menjadi kernikterus. Walaupun ASI hari pertama
post partum memiliki keuntungan-keuntungan, salah satu kerugian adalah risiko yang
berhubungan dengan diagnosis severe hiperbilirubinemia yang terlambat. The American
Academy of Pediatrics telah merekomendasikan bahwa bayi-bayi yang dibawa pulang
sebelum berumur 48 jam, perlu difollow up dalam 48 jam setelah pulang. Banyak dokter
yang tidak mengikuti rekomendasi ini walaupun pengaruh serius rawat inap yang singkat
berpengaruh pada jaundice neonatus. Jaundice dapat disebabkan oleh peningkatan
produksi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin, atau kombinasi mekanisme ini. Gambar
15.5.1 menampilkan satu pendekatan klinik untuk menilai diagnosis ini. Pendekatan lain
pun telah dipublikasikan. Walaupun Newman dan kawan-kawan menemukan bahwa
perolehan pengukuran bilirubin direk jarang menolong karena spesifisitasnya rendah,
lainya menganjurkannya. Pengukuran kadar bilirubin terkonjugasi dini sebagai uji skrining
populasi yang dapat menegakkan diagnosis dini penyakit hati pada neonatus. Buyhani dan
kawan-kawan menganjurkan pengukuran bilirubin universal untuk mengidentifikasi bayi-
bayi yang berisiko menderita severe hiperbilirubinemia sebagai dasar untuk pengukuran
kadar bilirubin total serum spesifik sebelum bayi dibawa pulang. Walaupun ada banyak
penyebab neonatal jaundice, tetapi masih ada penyebab yang tidak dapat diidentifikasi
9
pada ½ dari 447 bayi yang dievaluasi selama penelitian ini. 2 01
t
re jaundice yang sering
Batasan jaundice fisiologis telah digunakan untuk menerangkan
9 Ma
ditemukan pada neonatus yang betul-betul normal. Tetapi
a stro jaundice fisiologis merupakan
hasil dari beberapa faktor termasuk peningkatant Gproduksi bilirubin dan penurunan
a
ekskresinya. Jaundice harus dianggap sebagai sebagai
k rap tanda penyakit dan tidak secara rutin
tu
dianggap fisiologis. Karakteristik spesifik nneonatal jaundice harus dianggap tidak normal
o u
r
sampai terbukti sebaliknya, termasukstyang timbul sebelum usia 36 jam, persisten selama 10
a
hari, berhubungan dengan kadar
j ar Gbilirubin serum >12 mg/dl dalam waktu kapanpun, dan
peningkatan fraksi bilirubin A
u ku direk (>2mg/dl atau 30% dari bilirubin serum total), dalam
waktu kapanpun. le B
Fi
Ada sejumlah faktor epidemiologis yang berhubungan dengan neonatal jaundice
yang telah diulas. Beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin
neonatus adalah jenis kelamin laki-laki, berat lahir rendah, prematuritas, etnis tertentu
(Oriental, Indian Amerika, Yunani), obat-obatan pada ibu (misalnya oksitosin. Prometasin,
obat yang mengandung Hidroklorida, ketuban pecah dini, penurunan berat badan
setelah lahir yang cepat, keterlambatan pasase mekonium, pemberian ASI dan infeksi
neonatus. Proses kelahiran dengan ekstraksi vakum meningkatkan resiko sefalhematom
dan neonatal jaundice. Data yang ada menunjukan bahwa pankuronium berhubungan
dengan peningkatan risiko hiperbilirubinemia. Ada hubungan yang jelas antara kadar
bilirubin serum tali pusat dengan hiperbilirubinemia. Kadar bilirubin ibu saat melahirkan
dan gradien bilirubin transplasenta juga mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi
bilirubin serum neonatus. Faktor lain yang berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin
neonatus, termasuk ibu perokok, ras kulit hitam dan obat-obat tertentu yang diberikan
kepada ibu (termasuk fenobarbital).
255
Bab 15 Ikterus
256
Buku Ajar Gastrohepatologi
Danish. Selama pemisahan plasenta pada saat lahir, dapat terjadi perdarahan dari sirkulasi
maternal kedalam sirkulasi fetal (maternal-fetal transfusion) atau karena keterlambatan
penjepitan tali pusat. Twin-to-twin transfusion juga dapat menyebabkan polisitemia.
Serupa juga hipoksia intrauterine dan penyakit-penyakit pada ibu seperti diabetes melitus
dapat menyebabkan polisitemia neonatus. Terapi untuk polisitemia simtomatik adalah
partial exchange-tranfusion, sedangkan untuk terapi polisitemia yang asimtomatik masih
kontroversial.
Jumlah abnormalitas spesifik yang berhubungan dengan eritrosit dapat menyebabkan
neonatal jaundice, termasuk hemoglobinopati, defek membran eritrosit dan enzim.
Sferositosis herediter bukan merupakan masalah neonatal, tetapi krisis hemolitik dapat
timbul dan tampak sebagai peningkatan kadar bilirubin dan penurunan hematokrit.
Adanya riwayat keluarga dengan sferositosis, anemia atau penyakit batu empedu pada usia
<40 tahun, membantu menegakkan diagnosis ini. Karakteristik sferositosis yang tampak
pada apusan darah tepi tidak mungkin dapat dibedakan dari yang terjadi pada hemolitik
ABO. Anemia hemolitik lainnya yang berhubungan dengan neonatal jaundice termasuk
hemolisis akibat obat-obatan, defisiensi enzim-enzim eritrosit (G6PD, piruvat kinase, dll)
dan hemolisis yang diinduksi oleh vitamin A dan bakteri. Talasemia αβ dapat mengakibatkan
hemolisis berat dan hidrops fetalis letal. Talasemia αβ juga dapat tampak sebagai hemolisis
9
dan hiperbilirubin neonatal berat. 2 01
re t
Ovalositosis pada orang-orang Asia Tengggara berhubungan
9 Madengan hiperbilirubinemia
berat. Obat-obatan atau zat dapat melewati plasenta ke dalam tro fetus atau melalui ASI. Induksi
asneonatal
partus dengan oksitosin tampak berhubungan dengan G jaundice. Ada hubungan
p at
yang signifikan antara hiponatremia dan jaundice a
r pada bayi atau ibu yang mendapatkan
n tuk like– action dan oksitosin memacu transpor
oksitosin untuk induksi partus. Efek vasopressin
ou
str eritrosit dan peningkatan fragilitas osmotik dan
elektrolit dan air seperti pembengkakan
a
G
Ajar
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Pemberian steroid pada permulaan pemberian
u dapat mencegah hiperbilirubinemia ini.
oksitosin dan 4 jam berikutnya
k
u B
e
Fil
Penurunan ekskresi bilirubin
Peningkatan bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik diyakini merupakan hal yang penting
pada neonatal jaundice. Neonatal berisiko untuk mengabsorpsi bilirubin intestinal karena
empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukuronida yang tingggi sehingga
lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukuronidase
dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin
yang mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora
intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid dan mekonium,
intestinal mengandung akumulasi selama kehamilan, mengandung bilirubin dalam
jumlah yang signifikan. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekoniom (misalnya
penyakit Hirschsprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan dengan
hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium tampak berhubungan dengan kadar bilirubin
serum yang lebih rendah. Hal ini dapat dipicu dengan pengukuran-pengukuran suhu
rektal selama periode neonatal. Sirkulasi enterohepatik bilirubin dapat dihambat dengan
pemberian secara parenteral zat-zat yang mengikat bilirubin seperti agar, charcoal, dan
kolestiramin.
257
Bab 15 Ikterus
258
Buku Ajar Gastrohepatologi
259
Bab 15 Ikterus
opistotonus, hipotonia, vomitus, high-pitch cry, hiperpireksia, kejang, setting sun sign, krisis
okulogirik, dan kematian. Manifestasi jangka panjang berupa spastisitas, koreoatetosis, dan
tuli sensorineural. Bentuk ringan bilirubin ensefalopati termasuk disfungsi kognitif dan
gangguan belajar. Pada anak laki-laki 17 tahun mempunyai risiko IQ<85 lebih tinggi pada
mereka yang sewaktu bayinya adalah bayi cukup bulan yang kadar bilirubinnya >20 mg/
dl. Walaupun periode neonatal merupakan waktu paling sering timbulnya kerusakan otak
akibat bilirubin, efek neurotoksisitas bilirubin juga tampak pada sindroma Crigler-Najjar
tipe I .
Kadar absolut bilirubin serum bukanlah prediktor yang baik untuk menentukan risiko
severe neonatal jaundice. Tetapi sudah lama diketahui bahwa kernikterus berhubungan
dengan keadaan bilirubin >30 mg/dl dan jarang terjadi jika <20 mg/dl. Pada suatu
penelitian, 90% pasien yang mempunyai kadar bilirubin >35 mg/dl akan meninggal,
menjadi cerebral palsy atau retardasi fisik. Sebaliknya tidak ada retardasi perkembangan
yang ditemukan pada 129 orang bayi dengan kadar bilirubin <20 mg/dl. Kadar albumin
merupakan variabel yang penting karena afinitasnya yang tinggi dengan bilirubin. Obat-
obatan dan anion organik juga mengikat albumin dan dapat menggeser bilirubin, sehingga
meningkatkan kadar bilirubin bebas yang dapat berdifusi ke dalam sel dan menyebabkan
toksisitas. Contoh yang paling dapat diamati dalam hal ini adalah kernikterus yang muncul
dengan kadar bilirubin yang rendah jika pada bayi-bayi prematur 19
0diberikan sulfisoksazol.
t 2
Bilirubin yang dipicu oleh obat adalah hal-hal yang dapat M are
dipertimbangkan sebagai risiko
ensefalopati bilirubin pada bayi cukup bulan dengantranggapano9 bahwa bayi-bayi ini tidak
berisiko sampai kadar bilirubin meningkat >20t mg/dl a s walaupun sudah diketahui bahwa
G
p a terpenting yang berhubungan dengan
bilirubin total serum bukan merupakan faktor r a
risiko, tetapi pada saat ini ada beberapa ntuk pemeriksaan yang dapat diterima (misalnya
o u atau bilirubin bebas) yang lebih membantu dalam
str
saturasi albumin, kapasitas ikat bilirubin
a
mengidentifikasi bayi-bayi yang G berisiko untuk terkena bilirubin ensefalopati. Pendekatan
Ajar
lain bertujuan untuk mengukur
ku perubahan–perubahan dini pada SSP yang disebabkan oleh
bilirubin telah dinilaiBudengan brainstem auditory evoked potentials (BAEPs). Abnormalitas
Fi le
pada BAEP telah tampak pada bayi dengan jaundice dan tampak membaik setelah exchange
transfusion. Data telah menunjukan bahwa hiperbilirubinemia moderat (SD = 14,3 ±
2,8 mg/dl) mempengaruhi BAEPs. Tampilan komponen spesifik Brazelton Neonatal
Behavioral Assessment Scale, dan karakteristik tangisan. Data dari tikus Gunn menyatakan
bahwa perbedaan gelombang binaural (perbedaan antara 2 monoaural gelombang BAEP
dan binaural BAEP) dapat merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi toksisitas
bilirubin. Evoked potential somatosensoris yang melalui ganglia basalis, suatu tempat yang
sering terpengaruh kernikterus, juga menunjukan abnormalitas pada jaundice dan telah
disarankan sebagai metode lain untuk mengawasi pengaruh bilirubin pada SSP. Saat ini
baik BAEP maupun evoked potential somatosensoris bukan merupakan pengukuran rutin
untuk menilai potensi toksisitas bilirubin.
Hal-hal lain yang berhubungan dengan toksisitas neonatal jaundice tidak berhubungan
dengan SSP bayi jaundice tetapi lebih kepada tingkah laku orangtua bayi. Sang ibu
menunjukan tingkah laku ”vulnerable child syndrome”, termasuk kunjungan yang tidak
perlu ke dokter karena persepsi yang tidak realistik tentang penyakit, kesulitan berpisah
260
Buku Ajar Gastrohepatologi
261
Bab 15 Ikterus
proteksi antioksidan akibat rendahnya kadar bilirubin serum. Fototerapi sebaiknya tidak
dilakukan tanpa sebelumnya dilakukan evaluasi diagnostik penyebab jaundice. Walaupun
sudah dianjurkan agar posisi bayi diubah tiap 6 jam selama mendapat fototerapi, tetapi
ada data dari suatu penelitian bahwa perubahan posisi tidak berpengaruh terhadap kadar
bilirubin serum. Suatu penelitian yang melibatkan 164 bayi (beberapa di antaranya dengan
jaundice hemolitik) yang mendapat fototerapi selama 121 jam tidak mengalami rebound
hyperbilirubinemia. Hal serupa juga juga didapatkan pada 163 bayi matur dengan jaundice
nonhemolitik yang mendapat fototerapi selama 54-65 jam. Bayi-bayi sehat cukup bulan,
fototerapi dapat dihentikan jika kadar bilirubin serum sudah < 14-15 mg/dL, sehingga bayi
dapat dipulangkan tanpa perlu mengamati “rebound”.
Exchange tranfusion merupakan metode tercepat untuk menurunkan konsentrasi
bilirubin serum. Indikasi exchange tranfusion beragam dan telah banyak diterbitkan dan
dapat berhubungan baik dengan adanya anemia maupun peningkatan kadar bilirubin
serum. Pada penyakit hemolitik neonatal, indikasi tranfusi antara lain adalah anemia
(hematokrit <45%), direct Coombs’s test (+), dan kadar bilirubin darah umbilikus >4 mg/
dl, peningkatan kadar bilirubin serum >1 mg/dl/jam selama lebih dari 6 jam, anemia
progresif dan kecepatan peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl/jam. Kadang-
kadang exchange tranfusion untuk kasus hemolisis dapat dihindari dengan menggunakan
imunoglobulin intravena dosis tinggi. Indikasi exchange tranfusion 19 hiperbilirubinemia
0atas
t 2
sendiri adalah: (1) kadar bilirubin >15 mg/dl selama lebih M are48 jam, (2) indeks saturasi
dari
9
salisilat >8,0 dan HABA binding <50% pada 2x pengambilan
a stro berjarak 4 jam, (3) rasio
kadar bilirubin total serum (mg/dl) dibanding kadar G protein total serum (g/dl) >3,7, dan
p at protein total serum >0,7. Walaupun ada
(4) rasio kadar bilirubin serum dibanding kadar r a
banyak risiko exchange tranfusion yang ntelah tuk dijabarkan, angka mortalitasnya masih rendah
ou
(<0,6%) jika dilakukan dengan benar.
a str
G
Ada sejumlah pendekatan
Ajar farmakologis untuk mencegah dan mengobati
ku
hiperbilirubinemia neonatal, sirkulasi enterohepatik dapat diinterupsi dengan pemberian
Bu
e
Fil
parenteral. Zat-zat yang dapat mengikat bilirubin dalam intestinum dan mencegah resorbsi
zat-zat ini antara lain adalah agar, kolestiramin, charcoal aktif, dan kalsium fosfat. Mungkin
akan terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai suatu upaya untuk mempersingkat waktu
absorbsi bilirubin. Pemberian makanan yanng sering dan stimulasi rektal berhubungan
dengan penurunan kadar bilirubin serum. Pemberian bilirubin oksidase perenteral, suatu
enzim yang memecah bilirubin menjadi biliverdin, diperol dan produk lainnya, merupakan
cara lain untuk memghambat sirkulasi enterohepatik, yang sampai saat ini masih diuji coba.
Pendekatan eksperimental lain menggunakan bilirubin oksidase intravena.
Karena aktivitas BUGT hepatik neonatal masih rendah, tidaklah mengherankan
bahwa induksi BUGT hepatik menyebabkan penurunan kadar bilirubin. Induksi semacam
ini pada neonatus dapat dilakukan dengan pemberian fenobarbital atau difenilhidantoin
pada ibu sebelum melahirkan, bahkan bayi dengan berat badan lahir rendah (<2000 gram)
memberikan respons terhadap terapi fenobarbital in utero dengan peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi serum dan penurunan kebutuhan fototerapi. Pada periode pasca
natal, penggunaan fenobarbital pada neonatus juga mempunyai efek penurunan bilirubin
yang sama. Klofibrat sebagai terapi farmakologi yang sederhana dan non toksik. Yang dapat
262
Buku Ajar Gastrohepatologi
menginduksi BUGT dan di Perancis digunakan untuk mencegah dan mengobati neonatal
jaundice.
Optimisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar
bilirubin meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan
interval 2 jam dan tidak memberikan makanan tambahan, atau setidaknya 8-10x per 24
jam. Ada hubungan yang jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi
hiperbilirubinemia. Pemberian yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake
tetapi akan meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi
bilirubin. Pemberian ASI dalam 24 jam pertama berhubungan nyata dengan frekuensi
pasase mekonium. Kadar bilirubin serum berapa yang memerlukan penghentian ASI
masih kontroversial antara 14-20 mg/dl. Jika pemberian ASI dihentikan, pemberian PASI
dapat dimulai selama 24-48 jam, atau ASI dan PASI diberikan selang seling. Belum ada
penelitian yang menunjukan efektivitas dari segi biaya tentang susu formula dan efeknya
untuk menurunkan jaundice, walaupun dua penelitian yang terpisah menunjukan bahwa
bayi-bayi yang hanya diberi Nitramigen (susu formula dengan hidrolisat kasein, buatan
Mead Johnson) mengalami jaundice yang lebih ringan dibanding bayi yang mendapat susu
formula biasa. Pemberian ASI yang dipanaskan juga dikatakan dapat menurunkan kadar
bilirubin serum. Penurunan kadar bilirubin serum 2-5 mg/dl sesuai dengan diagnosis breast-
9
milk jaundice. Jadi pemberian ASI dapat dilanjutkan, karena walaupun 2 01 kadar bilirubin
re t
serum dapat meningkat selama beberapa hari, tetapi akan turun
9 Ma lagi secara bertahap. Jika
pemberian ASI dilanjutkan lagi, penting untuk memberikan
a stro ASI dengan menggunakan
pompa payudara. Pada suatu penelitian, penghentiant G ASI selama 50 jam (selama pemberian
p abilirubin yang sesuai dengan pemberian
susu formula) tampak mempunyai efek penurunan r a
fototerapi. Penghentian ASI selama 24-48 njam tukberhasil menurunkan kadar bilirubin serum
ou
dan menurunkan kebutuhan fototerapi
a str pada 81-87 bayi jaundice. Pemberian susu formula
pada bayi-bayi Asia menunjukkan G penurunan kadar bilirubin serum yang lebih besar
Ajar
daripada bayi-bayi yang mendapat
u ASI. Konseling yang cermat dan pemberian dukungan
dapat mencegah penghentianBuk ASI sementara supaya tidak dihentikan selamanya.
e
Fil
Pendekatan alternatif untuk mengatasi neonatal hiperbilirubinemia adalah dengan
menahan enzim pertama yang bertanggungjawab terhadap produksi bilirubin adalah heme
oksigenase. Sn-protoporfirin telah sukses digunakan pada terapi eksperimental jaundice
pada neonatal jaundice dengan inkompatibilitas ABO. Penanganan neonatal jaundice
dengan penghambatan heme oksigenase saat ini masih dalam tahap eksperimen, walaupun
penelitian klinik tampaknya menjanjikan. Sebagai tambahan, untuk menghambat produksi
bilirubin, metaloporfirin merupakan fotosensitizer yang dapat mempercepat destruksi
biliriubin oleh cahaya, tetapi juga dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan.
Sekarang CO dianggap merupakan neurotransmiter yang signifikan dan penghambatan
aktivitas heme oksigenase pada awal kehidupan bukanlah merupakan proses yang tidak
berbahaya. Pemikiran besar tentang metaloporfirin masih memerlukan penelitian jangka
panjang untuk mengetahui keamanannya.
Tetapi percobaan lain untuk hiperbilirubinemia neonatal adalah hemoperfusi.
Penelitian tentang metode ini telah menjalankan hemoperfusion dengan ion-exchange,
bilirubin oksidase dan sorben. Hemoperfusi sodium bezoat-augmented memberikan hasil
yang memuaskan pada anjing.
263
Bab 15 Ikterus
Daftar Pustaka
1. Alpay F, Sarici SU, Tosuncuk HD. The value of first day bilirubin measurement in predecling
the development of significant hyperbilirubinemia in healthy term newborn. Pediatrics
2000;106(2):e16
2. Gartner LM. Neonatal jaundice. Pediatrics in Review 1994;11:422-32.
3. Gourley GR. Neonatal jaundice and disorders of bilirubin metabolism. Dalam: Suchi FY, Sokol
RJ, Belistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Lippincott; Williams &
Wilkins: 2001.h.275-314.
4. Robert EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting. Disease of the liver and biliary
system in children. Foreword by Sherlock DS. London; Blackwell Science: 1999.h.11-45.
5. Maisels NY. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam Klaus MH, Fanaroff AA, penyunting. Cure of
the high risk neonate. Edisi ke-5. Philadelphia; WB Saunders: 2001.h.324-61.
6. Maisels NY. Gifford K, Antle CE, Leib GR. Jaundice in the healthy newborn infant: A New
Approach to an old problem. Pediatrics 1988;31:505-11.
7. Schwartz NW. Jaundice. Clinical handbook of pediatrics. Baltimore; William & Wilkins:
1999.h.420-8.
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
264
BAB
16
Hepatitis Virus
Sjamsul Arief
16.2 Pendahuluan
Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat
disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan
autoimun. Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab
terbanyak hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari infeksi
tersebut. Pada makalah ini hanya diuraikan tentang hepatitis virus. Hepatitis virus masih
merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara yang sedang berkembang maupun
negara maju.1
Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi sistemik dimana hati merupakan organ
target utama dengan kerusakan yang berupa inflamasi dan/atau nekrosis hepatosit serta
infiltrasi panlobular oleh sel mononuklear. Dengan kemajuan di bidang biologi molekular,
saat ini identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik. Terdapat
sedikitnya 6 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A,
B, C, D, E, dan G. Semuanya memberi gejala klinis hampir sama; bervariasi mulai dari
asimtomatis, bentuk klasik, sampai hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian.
Kecuali virus hepatitis G yang memberikan gejala sangat ringan, semua infeksi yang
disebabkan oleh virus hepatitis dapat berlanjut dalam bentuk subklinis atau penyakit hati
yang progresif dengan komplikasi sirosis atau timbulnya karsinoma hepatoselular. Virus
hepatitis A, C, D, E, dan G adalah virus RNA sedang virus hepatitis B adalah virus DNA.
Virus hepatitis A dan virus hepatitis E tidak menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus
hepatitis B, D, dan C dapat menyebabkan infeksi kronis.2
265
Bab 16 Hepatitis Virus
9
2 01
16.4 HEPATITIS A aret
9M
ro
Pendahuluan G ast
at
Hepatitis A merupakan penyakit self-limiting r apdan memberikan kekebalan seumur hidup.
k
ntu berkembang seperti Asia, Afrika, Mediterania,
Insidensi tinggi banyak didapatkan di unegara
ro
dan Amerika Selatan dimana anak
G ast yang berusia sampai 5 tahun mengalami infeksi virus
jar subklinis sehingga lebih dari 75% memiliki anti HAV (+).
hepatitis A (HAV) dalam bentuk
A
u
Pada anak yang
Buk terinfeksi HAV, hanya 30% yang menunjukkan gejala klinis
e
Fil
(simtomatis), sedangkan 70% adalah subklinis (asimtomatis). Bentuk klasik yang meliputi
80% penderita simtomatis biasanya akut dan sembuh dalam waktu 8 minggu, tetapi dapat
terjadi bentuk yang berbeda yakni protracted, relapsing, fulminant, cholestatic, autoimmune
trigger, dan manifestasi ekstrahepatik seperti gagal ginjal akut, hemolisis yang sering terjadi
pada penderita defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), efusi pleural dan
perikardial, gangguan neurologis, vaskulitis, dan artritis. Manifestasi ekstrahepatik timbul
karena adanya kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.4
Sejarah4
• Tahun 1820-1879: lebih dari 50 epidemi hepatitis terutama saat peperangan terjadi di
Eropa, mungkin disebabkan oleh hepatits A.
• Tahun 1912: Cockayne memberi nama hepatitis infeksiosa untuk penyakit kuning yang
menular.
• Tahun 1923: Blummer membuat ringkasan tentang penyakit ini dari evaluasi kasus
epidemi jaundice di Amerika Selatan.
• Tahun 1950-1970: Krugman meneliti pola epidomiologi untuk tujuan pencegahan.
• Tahun 1973: virus hepatitis A terlihat pada mikroskop elektron.
266
Buku Ajar Gastrohepatologi
Virologi
HAV adalah virus RNA 27-nm nonenvelop, termasuk genus Hepatovirus, famili Picornavirus.
Genom terdiri atas 5’NTR-P1-P2-P3-3’NTR. VHA bersifat termostabil, tahan asam, dan
tahan terhadap empedu sehingga efisien dalam transmisi fekal oral. Terdapat 4 genotipe
tapi hanya 1 serotipe.7
Epidemiologi
Di negara berkembang dimana HAV masih endemis seperti Afrika, Amerika Selatan, Asia
Tengah, dan Asia Tenggara, paparan terhadap HAV hampir mencapai 100% pada anak
berusia 10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar
antara 35%-45% pada usia 5 tahun, dan mencapai lebih dari 90% pada usia 30 tahun. Di
Papua pada umur 5 tahun prevalensi anti HAV mencapai hampir 100%. Di negara maju
prevalensi anti HAV pada populasi umum di bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih
tua daripada negara berkembang.4
Adanya perbaikan sanitasi lingkungan akan mengubah epidemiologi hepatitis A
9
sehingga kasus infeksi bergeser dari usia muda pada usia yang lebih tua,1diikuti konsekuensi
2 0
timbulnya gejala klinis. Infeksi pada anak menunjukkan gejala klinis
e t ringan atau subklinis,
sedangkan infeksi pada dewasa memberi gejala yang lebih berat. MarWalaupun jumlah infeksi
o 9
pada dewasa berkurang tetapi kasus hepatitis A akutasyangtr manifes maupun berat, dan
kadang-kadang fulminan lebih sering dijumpai.6 pat G
ra
tuk
un
Patogenesis ro
G ast
HAV masuk ke hati dari saluran
Ajar pencernaan melalui aliran darah, menuju hepatosit, dan
u
melakukan replikasi diukhepatosit yang melibatkan RNA-dependent polymerase. Proses
e B
il
replikasi ini tidak Fterjadi di organ lain. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa HAV
diikat oleh imunoglobulin A (IgA) spesifik pada mukosa saluran pencernaan yang bertindak
sebagai mediator antara HAV dengan hepatosit melalui reseptor asialoglikoprotein pada
hepatosit. Selain IgA, fibronectin dan alfa-2-makroglobulin juga dapat mengikat HAV.
Dari hepar HAV dieliminasi melalui sinusoid, kanalikuli, masuk ke dalam usus sebelum
timbulnya gejala klinis maupun laboratoris. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV
belum sepenuhnya dapat dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung
menyimpulkan adanya suatu mekanisme imunopatogenetik. Tubuh mengeliminasi HAV
dengan melibatkan proses netralisasi oleh IgM dan IgG, hambatan replikasi oleh interferon,
dan apoptosis oleh sel T sitotoksik (cytotoxic T lymphocyte/ CTL).6
Gejala klinis
Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut.
Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali, dan jarang terjadi
ikterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%)
simtomatik dan dapat menjadi berat. Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian
besar penderita sembuh total, tetapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak
267
Bab 16 Hepatitis Virus
Diagnosis
Diagnosis hepatitis A dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan IgM anti-HAV. Antibodi
ini ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi HAV dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan.
Sedangkan IgG anti-HAV dapat dideteksi 5-6 minggu setelah terinfeksi, bertahan sampai
beberapa dekade, memberi proteksi terhadap HAV seumur hidup. RNA HAV dapat
dideteksi dalam cairan tubuh dan serum menggunakan polymerase chain reaction (PCR)
tetapi biayanya mahal dan biasanya hanya dilakukan untuk penelitian.21
Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai
5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit maupun
prognosisnya. Pemanjangan waktu (masa) protrombin mencerminkan nekrosis sel yang
luas seperti pada bentuk fulminan. Biopsi hati tidak diperlukan untuk menegakkan
diagnosis hepatitis A.25
268
Buku Ajar Gastrohepatologi
Pengobatan
Tidak ada pengobatan anti-virus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat dicegah dengan
pemberian imunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin.
Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, tetapi 13% penderita memerlukan
rawat inap, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi, koagulopati, dan ensefalopati.
Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya
asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka
pendek. Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi
waktu protrombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik
adalah:25 (1) pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik, (2) umur penderita kurang
dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun, dan (3) kadar bilirubin serum lebih dari 17 mg/dl
atau waktu sejak dari ikterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.
Pencegahan
Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih
diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang
dewasa dengan risiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati
9
2 01
kronis. Terdapat 2 bentuk imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan imunoglobulin (IG), dan
re t
imunisasi aktif dengan inactivated vaccines (Havrix, Vaqta dan aAvaxim). 28
9 M
stro
G a
p at
r a
tuk
Simtomatiso un Anti-HAV
r
G ast (IgG)
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Infeksi
Anti-HAV
(IgM)
Fekal
HAV
0 4 8 12 16 20
Gambar 16.4.1. Pola respons terhadap infeksi HAV
Imunisasi pasif
Indikasi pemberian imunisasi pasif29:
1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita
2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau
269
Bab 16 Hepatitis Virus
Tabel 16.4.1. Dosis imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah paparan
Kejadian Lama perlindungan dalam bulan Dosis IG (ml/kgBB)
Sebelum paparan Jangka pendek (1-2) 0.02
Saat paparan Jangka panjang (3-5) 0.06
Sesudah paparan - 0.02 9
2 01
Sumber: Snyder, 2000.
aret
o 9M
str
Ga
Imunisasi aktif p at
kTM ra
Vaksin yang beredar saat ini adalah Havrix ntu (Smith Kline Beecham) dan Vaqta (Merck),
TM
u
Avaxime (Avantis Pasteur). Semuanya
TM
ro berasal dari inaktivasi dengan formalin dari sel
kultur HAV. HavrixTM mengandung G ast preservatif (2-phenoxyethanol) sedangkan VaqtaTM
A ar
jsecara
tidak. Vaksin disuntikkanu intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak
diberikan pada anak Buk
dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia
e
ini.29 Fil
Tabel 16.4.2. Dosis HavrixTM yang dianjurkan
Umur anak (Tahun) Dosis (EL.U) Volume (mL) Jumlah dosis Waktu dalam bulan
2-18 720 0.5 2 0.6-12
>18 1440 1.0 2 0.6-12
Sumber: Snyder, 2000.
Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik
rata-rata anti-HAV pada VaqtaTM lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/l
pada HavrixTM dan 10 mIU/l pada VaqtaTM mempunyai nilai protektif. Kadar protektif
antibodi mencapai 88% dan 99% pada HavrixTM dan 95% dan 100% pada VaqtaTM pada
bulan ke-1 dan ke-7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara
5-10 tahun atau lebih. Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun
setelah imunisasi.29
Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan. Seperti pada
vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah dilaporkan (sindroma
270
Buku Ajar Gastrohepatologi
Virologi
Virus hepatitis B (HBV) manusia (human HBV) termasuk golongan hepadnavirus tipe 1
dan merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan
pada marmut, tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat
menular pada manusia. Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi simpanse.
Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari
3200 nukleotida dengan diameter 42 nm dan dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan
dalam 3 komponen yaitu partikel lengkap berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter
22 nm, dan partikel batang dengan lebar 22 nm dengan panjang bervariasi sampai 200
nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang terdiri atas
271
Bab 16 Hepatitis Virus
protein, cairan, dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B surface antigen (HBsAg) dan
antigen pre-S. Bagian dalam dari virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B
core antigen (HBcAg) yang membungkus DNA, DNA polimerase, transkriptase, dan protein
kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis
B e antigen (HBeAg). Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi
pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas, dan terutama hati. HBeAg merupakan petanda tak
langsung derajat beratnya infeksi.31-33
Telah ditemukan beberapa genotip dan serotip antigen berdasar pada subdeterminan
HBsAg. Grup “a” paling banyak terdapat pada semua isolat, dan antibodi terhadap
determinan “a” ini memberi kekebalan terhadap semua serotipe HBV. Subdeterminan yang
lain adalah d, y, w dan r sehingga 4 determinan utama mencakup adw, adr, ayw, dan ayr.
Selain 4 subdeterminan tersebut, mutasi jangka lama juga menghasilkan 9 subtipe minor.
Terdapat 7 genotipe yaitu A-G. Pembagian genotip dan serotip ini penting karena masing-
masing mempunyai distribusi geografi tertentu; seperti genotip B dan C banyak didapat
di Asia, A dan D di Eropa dan India, E di Afrika, F di Amerika Tengah dan Selatan, serta
G di Prancis dan Amerika Utara. Genotip B dan C banyak terdapat di daerah dengan
endemisitas tinggi seperti Asia, dimana penularan secara vertikal atau perinatal memegang
peranan penting. Sebaliknya genotip A, D, E, F, dan G banyak terdapat di daerah dengan
9
transmisi horisontal. 01
t2
re
9 Ma
Epidemiologi ro
G ast
t pengidap HBV pada tahun 2000. Pola
WHO memperkirakan adanya 400 juta orangasebagai
r pa
k
prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3tugolongan yaitu prevalensi rendah (HBsAg 0,2%-
u n
0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7% dan anti-HBs 20%-55%), dan
a stro
prevalensi tinggi (HBsAg 7%-20% G dan anti-HBs 70%-95%). Di negara maju seperti Inggris,
Ajar
Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia prevalensi HBsAg bervariasi antara 0,1%-
u
uk dan Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang
0,2% sedangkan di BAfrika
e
Eskimo di AlaskaFilprevalensi dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%.
Pada daerah dengan endemisitas tinggi infeksi sering terjadi pada usia dini, ditularkan
secara vertikal dari ibu ke anak maupun horisontal diantara anak kecil. Sebagai contoh di
daerah pedesaan Senegal (Afrika Barat) angka infeksi mencapai 25% populasi pada umur
2 tahun, 50% pada umur 7 tahun, dan 80% pada umur 15 tahun. Sedangkan pada daerah
dengan endemisitas sedang-tinggi antara 8%-20% infeksi terjadi pada umur yang lebih tua,
ditularkan secara horisontal pada masa anak dengan kontak erat seperti penggunaan sikat
gigi, pisau cukur atau berciuman, dan kontak seksual pada dewasa muda. Sebaliknya pada
daerah dengan prevalensi rendah penularan secara horisontal terjadi oleh penyalahgunaan
obat, penggunaan instrumen yang tidak steril pada klinik gigi, tusuk jarum, tindik daun
telinga, dan tatu (tatoo). Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa
kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2,5%-36,2%.35-48
Pada ibu yang melahirkan dengan HBeAg positif, bayi memiliki risiko tertular sebesar
90%, sedangkan bila hanya HBsAg yang positif maka risikonya 10% apabila tidak dilakukan
tindakan imunoprofilaksis. Sembilan puluh persen bayi yang tertular akan berkembang
menjadi infeksi kronis dan 25% akan meninggal karena penyakit hati kronis. Penularan
272
Buku Ajar Gastrohepatologi
vertikal dapat terjadi pada masa intrauterin maupun pada saat kelahiran dan masa perinatal.
HBV tidak selalu didapatkan dalam air susu ibu, namun yang dikawatirkan adalah luka
pada puting susu sehingga bayi menelan ASI yang mengandung darah dan HBV. Bayi dari
ibu pengidap HBV yang mendapat ASI dan belum menerima imunoprofilaksis mempunyai
risiko tertular hampir sama besar dengan bayi yang minum susu formula (PASI).36
Patogenesis
Virus hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan
melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat
respons imunologis. Pada hepatosit yang terinfeksi oleh HBV melalui mekanisme imunitas
selular terjadi eksposisi antigen virus, yaitu HBcAg dan HbeAg, pada permukaan sel yang
bergabung dengan class I major histocompatibility complex (MHC I) dan menjadi target
dari sel T sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang tidak utuh dan
berasal dari sel yang lisis tidak menimbulkan infeksi, sedangkan virus utuh yang keluar
akan dinetralisir oleh antibodi penetral (neutralizing antibody). Mekanisme imunologis juga
berperan pada manifestasi ekstrahepatik. Kompleks imun yang mengandung HBsAg dapat
menimbulkan poliarteritis nodosa, glomerulonefritis membranosa, polimialgia, vaskulitis,
9
dan sindroma Guillain-Barre.30 2 01
re t
Mekanisme timbulnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh
9 Ma gangguan imunologis;
sehingga HBcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi tpada
s ro permukaan sel, atau sel T
sitotoksik tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah a
G mengalami infeksi kronis daripada
p atsangat berpengaruh terhadap kejadian
anak perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi r a
infeksi kronis. Infeksi HBV dibawah umur ntu3k tahun lebih sering menimbulkan hepatitis
o u 30
kronis daripada infeksi diatas umur s3trtahun.
G a
Ajar
HBeAgBu
ku Anti-HBe
e
Fil
Infektif
Anti-HBs
Simptomatis
Anti-HBc
HBsAg
0 8 16 24 32 40 52 Minggu
273
Bab 16 Hepatitis Virus
Gejala Klinis
Hepatitis akut
Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari
tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala
hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih
berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia,
mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati; dan berakhir setelah
6-8 minggu.Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST
sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus
dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria,
purpura, makula dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai
timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini
jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun, dan 30% pada
dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi
kronis pada 10% dewasa, 25% anak, dan 80% bayi.36
Hepatitis kronis
19
20
Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau HBsAg
aret
dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sebagian besar penderita M hepatitis kronis adalah
9
ro
asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik.stPeningkatan kadar aminotransferase
G a
serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 at kali nilai normal) menunjukkan adanya
r
kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi ap kadar aminotransferase serum mempunyai
k
koreleasi dengan respons imun terhadap u ntu HBV. Pada saat kadar aminotransferase serum
ro
ast hepatitis dan IgM anti-HBc. Namun gejala klinis ini
meningkat dapat timbul gejala klinis
G
tidak berhubungan langsung
Ajardengan beratnya penyakit, tingginya kadar aminotransferase
u
serum, atau kerusakan
Bukjaringan hati pada biopsi. Pada penderita hepatitis kronis-aktif yang
e
Fil
berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan
berkembang menjadi sirosis hati setelah 4 tahun, sedangkan penderita hepatitis kronis-
aktif sedang akan menjadi sirosis setelah 6 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin
berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari waktu ke
274
Buku Ajar Gastrohepatologi
waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan timbulnya sirosis pada individu sukar
untuk ditentukan.37
Pengidap Sehat
Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum
berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi
kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik yang
terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah: (1) membaik
(anti-HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur diatas 30
tahun sebesar 1%, dan (3) menderita karsinoma hati kurang dari 1%.2019
t
Mare
9
Diagnosis ro
G ast
Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis at
r ap dan serologis. Pada saat awal infeksi
HBV terjadi toleransi imunologis, dimanatuvirus k masuk ke dalam sel hati melalui aliran
darah dan dapat melakukan replikasi tanpa u nadanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala
ro
klinis. Pada saat ini DNA HBV, G ast
HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum.
r
jaselama
Keadaan ini berlangsung terus A bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak
u
yang dinamakan sebagai Bukpengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis
e
Fil
dengan akibat kerusakan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh
atau berkembang menjadi hepatitis kronis.
275
Bab 16 Hepatitis Virus
Pengobatan
Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi
kronis. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak di bawah 3 tahun dimana
infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan
menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit; sampai saat
ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B kronis
adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus tersebut dieliminasi dari tubuh
dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirosis serta
komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan replikasi aktif (ditandai dengan
HBeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis dengan peningkatan kadar
aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap pengobatan.
Interferon alfa
Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-α2b) adalah pengobatan standar untuk
penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati,
koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HBeAg dan DNA
HBV) serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan
9
interferon adalah neutropenia, trombositopenia, ganguan jiwa, 2adiksi 01 terhadap alkohol,
t
re2 secara subkutan tiga kali
dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m
9 Ma
dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu. 53
o
str
Efek samping interferon dapat berupa t efek Ga sistemik, autoimun, hematologis,
a
imunologis, nerologis, dan psikologis. Efek
k rapsistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri
tu
un penurunan berat badan, mual, muntah, diare,
kepala, nyeri otot, nyeri sendi, anoreksia,
o
r
st autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi,
nyeri perut, dan rambut rontok.aEfek
r G
antibodi anti-interferon, hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik,
Aja
u
dan purpura trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit,
Buk
jumlah sel darahileputih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena
infeksi bakterialF seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis,
dan sepsis. Efek nerologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan
tidur, delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinitus, vertigo,
penurunan penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah,
iritabel, depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.
Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan
laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu
selama pengobatan. Pemeriksaan HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat
mulai, selesai pengobatan dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus diturunkan
atau pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati, depresi sumsum
tulang, depresi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 10%-40% penderita
memerlukan pengurangan dosis, dan 5%-10% pengobatan harus dihentikan. Sekitar 2%
timbul efek samping berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi kejiwaan
berat, kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan pneumonia.
Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum,
relatif rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari
276
Buku Ajar Gastrohepatologi
Asia, serta adanya gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian
didapatkan 46% penderita yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya antibodi
anti-HBe dan 8% dengan timbulnya antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-Hbe dan hilangnya
DNA HBV menurunkan kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14%
penderita pada tahun pertama setelah pengobatan.
Analog nukleosida
Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang menghambat
replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang meimbulkan efek samping daripada interferon.
Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi perbaikan
gambaran histologis pada 52%-67% kasus, sedangkan hilangnya HBeAg dan timbulnya
anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi HBeAg menjadi
anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin memperbaiki skor
Child-Pugh.
Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan
kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon
terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi pre-core
HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi.20Pada 19 penderita yang
t
mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan
Mare lamivudin. Apabila
dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada 9
o HBV, maka dapat diberikan
adefovir atau gansiklovir. a str
tG
a52
Penggunaan lamivudin pada anak selama r ap minggu dengan dosis 3 mg/kgBB
tuk Kombinasi terapi antara interferon dengan
memberi respons yang signifikan terhadapnvirus.
ou
str pengobatan dengan lamivudine saja.
lamivudine tidak lebih baik dibanding
a
G
Ajar
u
Buk
Pencegahan Fi l e
Indonesia termasuk negara dengan endemisitas sedang-tinggi maka. Semua orang di
Indonesia mempunyai kemungkinan untuk tertular. Saat ini program imunisasi masal
HBV dilakukan di 130 dari 216 negara, tetapi pada negara berkembang cakupan imunisasi
masih terbatas karena permasalahan dana. Vaksin pertama yang beredar sejak tahun 1981
adalah derivat plasma. Vaksin jenis ini relatif murah, diproduksi dengan cara konsentrasi,
pemurnian, dan pemrosesan kimiawi HBsAg yang diisolasi dari plasma karier HBV. Vaksin
ini mempunyai imunogenisitas dan efikasi perlindungan yang sangat baik. Vaksin HBV
rekombinan pertama diperkenalkan pada tahun 1986 dan yang kedua pada tahun 1989.
Saat ini ada 10 produk vaksin rekombinan.
Prioritas utama vaksinasi adalah bayi, anak, kelompok berisiko tinggi (misalnya
kontak erat dengan pengidap), petugas laboratorium, petugas rumah sakit (terutama unit
hemodialisis), dan penderita penyakit darah.
Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang
ibu yang melahirkan dengan HBsAg positif dengan atau tanpa adanya HbeAg, maka
kepada bayinya diberikan vaksinasi pasif HBIG dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIG
saja tanpa vaksinasi aktif hanya memberi perlindungan selama 6 bulan sehingga masih
277
Bab 16 Hepatitis Virus
memungkinkan terjadinya infeksi HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis
adalah dosis vaksin, umur, dan kondisi imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai
dengan rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila dosis dikurangi maka nilai titer antibodi
juga turun. Lebih tua umur, serokonvensi makin berkurang. Biasanya nonresponder
terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas. Kadang terjadi nonresponder
palsu karena kesalahan tempat penyuntikan yaitu masuk ke subkutan bukan ke otot.
16.6 HEPATITIS C
Pendahuluan
Virus Hepatitis C (HCV), pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai penyebab kasus
Hepatitis Non A Non B (NANB) yang merupakan sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian
Hepatitis paska transfusi Saat ini Virus Hepatitis C merupakan salah satu penyebab utama
278
Buku Ajar Gastrohepatologi
penyakit hati kronis. Hanya sekitar 20%-30% penderita yang terinfeksi Virus hepatitis C
sembuh setelah fase akut. Fase kronis penyakit HCV ini ditandai dengan gejala klinis yang
minimal dan apabila timbul, gejala tersebut ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah,
lemah, mual, nafsu makan turun, dan mialgia.63
Pada tahun 1987 Chiron Corperation Emmerville CA, USA bersama dengan Centre for
Desease Control (CDC) berhasil melakukan cloning genom virus hepatitis C. Choo (1987)
dan Quo (1989) berhasil menemukan teknik pemeriksaan anti–HCV, yaitu suatu uji yang
sensitif dan spesifik terhadap antibodi virus pada penderita hepatitis NANB.
Kemudian secara berturut-turut ditemukan susunan nukleotida yang lengkap dari
genom HCV oleh Choo dkk (1991) dan Han dkk (1991), yaitu isolat HCV– dan HCV–H
di Amerika Serikat. Kato dkk (1990) menemukan isolat HCV–J, Takamizawa dkk (1991)
menemukan isolat HCV–BK, Okamoto dkk (1990) menemukan isolat HCV–J4 dan HCV–
J6 dari Jepang, Kremsdorf dkk (1991) menemukan isolat HCV–E1 dari Perancis, Fuch dkk
(1991) menemukan isolat HCV–GM 1 dan 2 dari Jerman, sedangkan Chen dkk (1991)
menemukan isolat HCV–T3 dari Taiwan.64
Sampai saat ini telah ditemukan 6 genotip HCV. Masing-masing genotip mempunyai
beberapa subtipe, dan masing-masing subtipe mempunyai banyak isolat. Aspek medis
9
dari infeksi HCV terutama adalah resiko terjadinya sirosis hati dan keganasan oleh karena
2 01
perjalanan penyakitnya adalah infeksi kronis.(64,65) re t
9 Ma
ro
Virologi ast
G
p at
a
HCV merupakan virus RNA dengan genom k r positif, termasuk famili Flaviviridae dan
ntu saling menyerupai. HCV berdiameter 30–60
Pestivirus karena organisasi genetikanya uyang
ro
nm, dengan panjang 9,4 kb atau 9413
G ast nukleotida, mempunyai suatu open reading frame
(ORF) dapat melakukan mengkode
Ajar suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.
u
Buk
RNA HCV terdiri F atase
il bagian-bagian :
1. 5 noncoding region
’
279
Bab 16 Hepatitis Virus
280
Buku Ajar Gastrohepatologi
Harga tersebut akan sangat berbeda apabila kelompok yang diteliti merupakan
kelompok yang lebih khusus, misalnya: penderita yang mendapat hemodialisis berulang
sebesar 76,3%, penderita hepatitis kronis sebesar 80,4%, dan penderita talasemia pada
anak yang mendapat transfusi berulang sebesar 21,4%. Sedangkan penderita karsinoma
hepatoselular mempunyai prevalensi anti HCV sebesar 64,7%.
Secara umum, angka tertinggi prevalensi anti HCV didapatkan pada mereka yang
sering mengalami direct percutaneous exposure seperti pada pengguna obat bius dengan
suntikan dan penderita yang mendapat transfusi berulang (antara 60%–90%). Angka yang
sedang didapatkan pada penderita hemodialisis (20%) dan harga yang rendah didapat pada
inapparent parenteral atau paparan terhadap mukosa seperti kelakuan seksual yang berisiko
tinggi, kontak seksual maupun keluarga dari penderita (1%-10%).74
Penularan
Epidemiologi virus hepatitis C (HCV) masih belum jelas karena lebih dari separuh jumlah
pengidap kronis tidak diketahui dengan jelas dari mana sumber infeksinya. Walaupun dapat
mengenai seluruh golongan umur, tetapi infeksi pada anak relatif sangat jarang terjadi.
Distribusi yang berkaitan erat dengan umur ini, berhubungan erat dengan cara
9
penularannya. Penularan melalui tranfusi darah, penggunaan obat-obatan2 01 intravena,
t
e banyak terjadi pada
hemodialisis, tertusuk jarum suntik, tatu, dan hubungan seksual,arlebih
orang dewasa daripada anak-anak. Penularan melalui rkontak o 9 M keluarga adalah rendah.
st
Transmisi vertikal saat ini merupakan cara penularan
t Ga yang paling sering dijumpai pada
a
anak.Dibawah ini diuraikan cara penularan virus
kraphepatitis C.
u ntu
ro
Pemaparan terhadap darah dan produk
G ast yang berasal dari darah
Cara penularan paling efisien
A jar adalah dengan pemaparan langsung kerusakan kulit
ku misalnya transfusi darah yang terinfeksi HCV dan produk-
dengan darah penderitauHCV,
e B
Fil
produknya, transplantasi organ dari donor pengidap kronis HCV, dan pengguna obat bius
dengan suntikan intravena.
Di Amerika Serikat sebelum tahun 1986 kejadian hepatitis C paska transfusi berkisar
5% sampai 13%. Dari tahun 1986 sampai 1990, dengan adanya larangan bagi golongan
berisiko tinggi untuk menjadi donor dan dilakukannya pemeriksaan LFT pada donor,
angka tersebut turun menjadi 1,5%. Dengan adanya pemeriksaan anti HCV untuk skrining
donor, angka kejadian hepatitis C paska transfusi menjadi 1,0% pada awalnya dan akhirnya
menjadi <0,1%.
Apabila dengan cara ini masih terjadi infeksi hepatitis C paska transfusi, hal ini
mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan pemeriksaan anti HCV generasi kedua untuk
mendeteksi anti HCV pada penderita yang berada dalam masa antara mulai terjadinya
infeksi sampai timbulnya anti HCV (antara 4-6 minggu).
Pada tahun 1994 di Amerika Serikat terjadi outbreak infeksi HCV yang disebabkan oleh
intravenous immunoglobulin. Hal serupa juga terjadi di Eropa. Pada saat ini, semua produk
imunoglobulin dengan standard RNA HCV negatif saja yang boleh beredar di Amerika
Serikat. Cara yang paling aman dalam pencegahan penularan melalui tranfusi darah adalah
memeriksan sampel darah dengan uji anti HCV sebelum diberikan kepada penderita.
281
Bab 16 Hepatitis Virus
282
Buku Ajar Gastrohepatologi
Gejala klinis hepatitis akan terlihat pada usia diatas 3 bulan, apabila bayi berumur
3 bulan sampai 18 bulan tidak terjadi gejala hepatitis, maka kemungkinan tidak terjadi
penularan secara perinatal.
Penularan infeksi HCV melalui air susu ibu (ASI) belum pernah dilaporkan walaupun
anti HCV dan RNA HCV juga ditemukan pada ASI. Angka penularan HCV dari bayi yang
minum ASI sama dengan bayi yang minum susu botol, sehingga infeksi HCV pada ibu
bukan merupakan kontraindikasi untuk pemberian ASI. Kemungkinan adanya RNA HCV
pada ASI adalah karena terjadinya lecet puting susu sehingga terjadi occult hemorrhage.
Kemungkinan rendahnya penularan infeksi HCV melalui ASI dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Jumlah RNA HCV pada ASI sangat rendah sehingga tidak terjadi infeksi
2. Mungkin jumlah yang kecil tersebut dapat dinetralisir pada saluran cerna
3. Mukosa saluran cerna yang intak mencegah penularan melalui oral
283
Bab 16 Hepatitis Virus
Sirosis hati
Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam dua atau tiga
dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervarisi antara
20%-30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis sangat minimal
sampai timbulnya komplikasi akibat sirosis. Terdapat beberapa faktor prediktif terjadinya
progresitifitas penyakit yaitu:69
1. Umur lebih dari 40 tahun saat terinfeksi
2. Laki-laki
284
Buku Ajar Gastrohepatologi
Karsinoma hepatoselular
Perkiraan insidens karsinoma hepatoselular karsinoma sekitar 0,25-1,2 9
2 01 juta kasus baru
setiap tahun, sebagian besar berasal dari penderita dengan sirosis.t Resiko terjadinya
Mare
karsinoma hepatoselular pada penderita sirosis karena hepatitis C kronis diperkirakan
o9
sekitar 1%-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksiaHCVstr sampai timbulnya karsinoma
G
at memperkirakan bahwa antara 1,9%-
hepatoselular berkisar antara 10-50 tahun. DiBisceglie
p
r a
uk HCC setelah 10 tahun.
6,7% penderita sirosis HCV berkembang menjadi
nt
u
ro
ast
Diagnosis jar
G
u A
uk terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2 golongan besar yaitu
Secara garis besar diagnosis :
(69-70)
e B
Fil
1. Uji saring
Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai beberapa keuntungan
yaitu mudah tersedia, mudah dilakukan dan murah. Negatif palsu didapatkan pada
penderita dengan gangguan imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi,
misalnya pada penderita transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV, dan juga
pada awal perjalanan penyakit dengan adanya window period yakni belum terbentuknya
antibodi.
1. Uji konfirmasi
Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji konfirmasi walaupun
perbaikan pemeriksaan serologis EIA generasi ketiga dapat menyamai atau tidak
memerlukan uji konfirmasi. Tes konfirmasi digunakan juga pada mereka dengan hasil
pemeriksaan yang rendah tetapi dicurigai tertular HCV seperti pada donor darah. Uji
konfirmasi ini meliputi :
a. Recombinant immunoblot assay ( RIBA–1, RIBA-2, RIBA-3 )
b. Deteksi virologis
c. Biopsi hati
285
Bab 16 Hepatitis Virus
Tes konfirmasi dan genotip rutin dilakukan sebelum memulai pengobatan dengan
obat-obat anti virus. Pembagian lain untuk pemeriksaan HCV dapat digolongkan dalam 2
golongan besar, yaitu pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular.
Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis dilakukan untuk menemukan antibodi dari berbagai bagian dari
antigen HCV. Juga disebut sebagai diagnosis serologis untuk menemukan adanya IgG
anti HCV. IgM anti HCV tidak digunakan secara rutin. Pemeriksaan paling populer
adalah dengan cara Enzyme Immuno Assays (EIA). EIA generasi pertama ditujukan untuk
menemukan antibodi terhadap protein nonstruktural (C-100) NS-4 dari HCV. EIA generasi
kedua merupakan kombinasi antara protein struktural yaitu antigen core atau C-22 dengan
protein nonstruktural dari NS-3 yaitu C-33 c dan NS-4 yaitu C-100 dan C5-1-1 dengan cara
mencari antibodi yang spesifik. EIA generasi kedua jauh lebih sensitif dan spesifik daripada
EIA generasi pertama, dimana generasi kedua ini dapat menemukan 95% penderita infeksi
HCV. Disamping itu generasi kedua dapat menemukan timbulnya serokonversi anti HCV
dengan lebih cepat yaitu antara 4–6 minggu paska infeksi.84
Pemeriksaan IgM anti HCV kurang bermanfaat karena IgM anti HCV dari daerah
9
core tidak timbul pada semua penderita hepatitis C akut, tetapi 2tetap01 ada pada penderita
hepatitis C kronis. Chey menemukan adanya IgM anti HCVarpada e t 50% penderita infeksi
9 M
kronis. Sedangkan titer IgG anti HCV berhubungan eratodengan viremia, sehingga mungkin
r
titer IgG tersebut tidak terdapat pada penderita dengan
G ast viremia yang rendah.
at sensitifitas dari generasi kedua, sebab
EIA generasi ketiga merupakan peningkatan
r ap
tuk dari core, NS-3 dan NS-4, masih ditambah
selain antibodi terhadap protein yang nberasal
u
dengan protein rekombinan dari sdaerah ro NS-5. Penggunaan protein daerah NS-5 ini dapat
G a84t
menyebabkan hasil positif palsu.
A jar
u
uk untuk konfirmasi dari EIA adalah RIBA (recombinat immunoblot
Pemeriksaan serologis
B
e
Fil
assay) yang melakukan deteksi antibodi monospesifik HCV oleh protein rekombinan yang
diikat lapisan nitroselulosa. Pemeriksaan ini bukan merupakan konfirmasi yang sebenarnya
karena menggunakan antigen yang sama, dan dapat terjadi kesalahan interpretasi dalam
pembacaan hasil. RIBA 3 merupakan perbaikan dari RIBA 2 dengan cara mengurangi hasil
yang meragukan (Indeterminate).
Chien dkk berusaha meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan anti HCV
dengan menambahkan epitop dari daerah E1–E2 dengan cara menggabungkan semua
epitop yang imunodominan dari 7 daerah genom HCV, yang dinamakan single multiple
epitope fusion antigen (MEFA, MEFA-6) yaitu protein dari daerah core, E1-E2, NS-2, NS-3,
NS-4, dan NS-5. Hasilnya adalah sensitivitasnya sesuai dengan EIA generasi ketiga.
Aoyagi dkk menggunakan pemeriksaan terhadap HCV-c antigen dengan metoda EIA
dan menyatakan bahwa dengan cara ini dapat dideteksi adanya viremia pada fase akut,
di mana antibodi terhadap antigen-c belum terbentuk (window period). Pemeriksaan ini
juga dapat digunakan pada penderita HCV dengan gangguan imunitas seperti infeksi HIV;
sensitivitasnya mendekati pemeriksaan RNA HCV.
286
Buku Ajar Gastrohepatologi
Pemeriksaan molekular
Pemeriksaan secara molekular bertujuan untuk menemukan nukleotida virus, dan
juga dapat untuk melakukan penghitungan densitas virus. Pemeriksaan ini juga disebut
diagnosis molekular.
Ada 4 cara diagnosis molekuler terhadap HCV(88-89) :
1. Polymerase chain reaction (PCR)
2. Nucleic acid sequence based amplification (NASBAtm)
3. Ligase chain reaction (LCR)
4. Branched DNA assay (b DNA assay)
PCR, NASBA, dan LCR merupakan pemeriksaan yang berdasar pada teknik target
amplification, sedangkan branched DNA assay berdasar pada teknik signal amplification.
Kelebihan lain dari b DNA assay adalah prosedur ekstraksi RNA yang mudah dilakukan
dan seperti deteksi signal pada ELISA reader, pemeriksaan ini lebih toleran terhadap
adanya kontaminasi.
Pengobatan
9
Tujuan pengobatan adalah mengeliminasi virus dan mencegah progresivitas
2 01 penyakit
re
menjadi sirosis maupun karsinoma hepatoselular. Saat ini rekomendasit dari FDA adalah
a
(100-104) M
pengobatan dengan kombinasi interferon dan ribafirin. o 9
str
Ga
p at
Tabel 16.6.1. Indikasi dan kontraindikasi pengobatan hepatitis C kronis
k ra
tu
Indikasi un Interferon
Kontraindikasi pada
o
Kontraindikasi pada Ribavirin
Peningkatan AST/LST str
Depresiaberat Anemia (Hgb <11 g/dl)
rG
Ditemukan HCV-RNA
uAjaDekompensasi hati Tidak tahan anemia
B ukhati
Fibrosi portal atau inflamasi pada biopsi Pengguna alkohol Penyakit jantung koroner
e
Fil Pengguna obat-obatan Kehamilan
Penyakit autoimun Tidak tahan kontrasepsi
Penyakit penyerta berat Penyakit vaskular perifer
Diabetes berat Gagal ginjal
Hipertensi berat Gout
287
Bab 16 Hepatitis Virus
infeksi dengan HIV, konsentrasi virus lebih tinggi dan gambaran histologis cenderung
lebih progresif; maka pemberian pegylated interferon bersama ribavirin diharapkan dapat
memberikan hasil yang lebih baik.
288
Buku Ajar Gastrohepatologi
16.7 Hepatitis D
Pendahuluan
Virus hepatitis delta (HDV) ditemukan pertama kali oleh Rizzetto dkk di Italia pada
tahun 1977 dengan menemukan adanya antigen hepatitis delta pada sediaan biopsi hati.
Pemeriksaan serologis untuk mendiagnosis HDV baru dikembangkan pada tahun 1980.
Virus hepatitis D (HDV) merupakan virus terkecil, tidak dapat menyebabkan infeksi bila
tidak bersamaan dengan infeksi HBV, dan ditemukan pertama kali sebagai inti antigen
pada sel hati dari penderita yang terinfeksi HBV.109 Dahulu HDV dianggap sebagai bagian
dari HBV, namun ternyata merupakan suatu virus RNA lain yang tidak dapat memproduksi
protein penutup sehingga bagian luar dari virus ini ditutup oleh antigen permukaan dari
HBV (HBsAg) dan selalu dihubungkan dengan gejala klinis yang berat.
Virologi
HDV adalah virus RNA berdiameter 36 mm. Lapisan luarnya adalah HBsAg yang
membungkus genom RNA dan antigen delta. Genom ini terdiri dari 1700 nukleotida rantai
tunggal sirkular dengan kandungan G dan C yang tinggi (60%). HDAg 19 adalah protein
yang dikode oleh RNA-HDV ditemukan pada serum dan sel hati ependerita 2 0 dengan massa
t
molekul 27000 kD dan 24000 kD. Oleh karena dibungkus olehM ar maka cara masuknya
HBsAg
9
HDV ke dalam sel hati kemungkinan besar menggunakan stro reseptor untuk HBV. Apabila
Ga
sudah berada di dalam sel hati maka HDV melakukan
p at replikasi tanpa adanya HBV. Replikasi
a
dari HDV terjadi di dalam inti sel hati dengan
tu k rcara yang sama seperti virus lain walaupun
mekanisme transkripsi RNA-HDV belumunjelas. Cara interaksi antara HDAg dengan HBsAg
ro
masih belum jelas.(110-111) astG
Ajar
u
Epidemiologi Buk
i l e
F minimal 15 juta orang terinfeksi HDV di seluruh dunia dengan
Diperkirakan terdapat
asumsi 5% pengidap HBV terinfeksi oleh HDV. Infeksi HDV terjadi di seluruh dunia
dengan prevalensi tinggi di Amerika Selatan, Afrika Barat, Timur Tengah, Mediterania, dan
beberapa pulau di Kepulauan Pasifik. Masa inkubasi pada superinfeksi antara 2-8 minggu
sedangkan pada ko-infeksi sama dengan infeksi HBV. HDV tidak menimbulkan infeksi
tanpa adanya HBV sebagai virus pembantu. Infeksi HDV dapat terjadi pada saat awal yang
sama dengan infeksi HBV (koinfeksi) atau menimbulkan infeksi pada penderita yang sudah
terinfeksi HBV (superinfeksi). HDV adalah virus blood born sehingga penularan terjadi
secara parenteral. Penularan biasanya terjadi melalui kontak yang erat dalam keluarga pada
daerah dengan prevalensi tinggi terutama di negara berkembang dengan cara inapparent
parenteral. Sedangkan di daerah dengan prevalensi rendah maka penularan melalui lesi
pada kulit lebih sering terjadi terutama pada penggunaan obat secara suntikan, transfusi
pada penderita penyakit darah, dan infeksi nosokomial.112
Patogenesis
Oleh karena dibungkus HBsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati kemungkinan
289
Bab 16 Hepatitis Virus
besar juga menggunakan reseptor untuk HBV. HDV merupakan virus sitopatik
menyebabkan kerusakan langsung pada sel hati. Tidak ditemukan adanya gambaran spesifik
pada pemeriksaan histopatologi hati kecuali tingkat kerusakan yang lebih berat.
Mekanisme bagaimana infeksi HDV menyebabkan kerusakan hati masih belum jelas.
Pada binatang percobaan tidak terbukti adanya efek sitopatik, namun pada penderita
dengan infeksi HDV kronis terjadi replikasi intraselular yang hebat dimana pada kondisi
ini beban replikasi virus yang tinggi dapat memberi efek langsung berupa kerusakan sel
hati (sitopatik). Peranan sistem imun pada infeksi HDV tidak jelas. Terjadi infiltrasi sel
Ikterus
Gejala
ALT
Anti-HBs
Anti-HDV 9
2 01
aret
9M
HDV-RNA
o
str
Ga
HBsAg p at
ra IgM Anti-HDV
tuk
o un
0 1 2a st3r 4 5 6 12 24
j arG
u A
uk
le B 16.7.1. Perubahan serologis dan biokimia pada koinfeksi HDV.
Gambar 4
Fi
Gejala
Anti-HDV
IgM Anti-HDV
ALT
HDV-RNA
HBsAg
0 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
290
Buku Ajar Gastrohepatologi
radang kronis pada portal trek yang menandakan peranan sistem imun, namun pengobatan
kortikosteroid tidak memberikan efek yang menguntungkan. Terdapat beberapa auto-
antibodi pada serum penderita dan infeksi kronis HDV namun peranannya pada terjadinya
)kerusakan sel hati tidak jelas.(113-116)
Gambaran klinis
Gambaran klinis infeksi HDV tergantung pada mekanisme infeksi. Pada koinfeksi gejala
klinis hepatitis akut lebih berat daripada gejala klinis HBV saja. Namun untuk menjadi
hepatitis kronis kemungkinannya adalah rendah. Pada superinfeksi jarang terjadi gejala
klinis hepatitis akut namun sering terjadi hepatitis kronis dan pada kejadian superinfeksi
risiko terjadinya hepatitis fulminan lebih tinggi. Pada anak yang menderita gagal hati
fulminan harus dipikirkan kemungkinan infeksi HDV.117
Koinfeksi Superinfeksi
9
01
Fulminan Sembuh Kronis Kronis re t2
Sembuh Fulminan
a
2%-20% 90%-95% 2%-7% 70 -90%
o 9 M5%-10% 10%-20%
str
Ga
p at
a
tu kr
Sirosis
n
u70%-80%
o
astr
j arG
u A Karsinoma
Buk hepatoselular
l e
Fi (?)
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan adanya IgM anti HDV yang timbul sekitar 2-4 minggu
setelah infeksi secara koinfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi, menggunakan metoda
RIA atau Elisa. HDAg dapat ditemukan pada sel hati menggunakan pengecatan khusus
immunoflourescence. HDAg juga terdapat pada serum penderita menggunakan metode
analisis Western blot. RNA HDV hapatik dan RNA HDV serum dapat ditemukan dengan
cara Northren blot, Hibridisasi Insitu. Metoda PCR juga dapat digunakan untuk mencari
HDV RNA. 118
291
Bab 16 Hepatitis Virus
Pengobatan
Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dengan HDV menyebabkan pengobatan
lebih sukar daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV. Penggunaan interferon-alfa
pada penderita HDV kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil
dimana kadar ALT tetap tinggi dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan.
Bila terjadi respons positif ditandai dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal,
maka pemberian interferon diteruskan sampai HBsAg hilang dari serum. 118
Pencegahan
Belum ditemukan vaksin terhadap HDV, namun karena replikasi HDV tidak dapat terjadi
tanpa adanya infeksi HBV maka imunisasi terhadap HBV juga mencegah terjadinya infeksi
HDV.(119-120)
16.8 Hepatitis E
Pendahuluan 9
01
Hepatitis E ini dulu disebut sebagai hepatitis non-A non-B dengan
r e t 2 transmisi secara enterik
(ET-NANB). Jenis hepatitis ini ditemukan pertama kali diMNew a Delhi, India pada tahun
o 9
1955 di mana terdapat 29000 kasus ikterus yang diidentifikasi penyebarannya melalui air
str
Ga Pada tahun 1980 ditemukan bahwa
dari perusahaan air minum kota yang tercemar ttinja.
a
rap bukan hepatitis A (HAV) dan juga bukan
jenis hepatitis ini secara pemeriksaan serologis
k
tu
hepatitis B (HBV).119 un o
astr
j arG
Virologi ku
A
Bu
Virus hepatitis Elemempunyai berdiameter 32-34 nm, berbentuk sferis dan merupakan
i
F mempunyai penutup. Merupakan virus RNA yang terdiri dari 7500
partikel yang tidak
pasangan nukleotida rantai tunggal. 120
Epidemiologi
Selain di India, epidemi juga terjadi di Republik Kirgiz, Uni Soviet pada tahun 1955-1956
yang menyerang 10800 penderita terutama anak muda sampai usia pertengahan. Juga terjadi
di Burma dan Nepal pada tahun 1976 dengan 20000 dan 10000 kasus. Epidemi juga terjadi
di Afrika pada tahun 1980-1981. Di Indonesia terjadi wabah hepatitis E di Kalimantan
Tengah pada tahun 1987-1988 dengan jumlah penderita 2000 orang.118
Patogenesis
HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik. Gambaran histopatologisnya
menyerupai hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe
kolestatik dan tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus
292
Buku Ajar Gastrohepatologi
hepatitis lain yaitu pembengkaan sel hati, digenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PNM
pada daerah intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan
stasis empedu pada kanalikuli dan parekim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM
dan IgG anti HEV. IgM menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens
sedangkan IgG anti HEV dapat bertahan sampai 10 tahun. Mekanisme kerusakan sel
hati pada infeksi HEV masih belum jelas; namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan
ditemukannya cytotoxic supression immunophenotype menandakan bahwa kerusakan sel
hati disebabkan oleh mekanisme imunologis selular dan humoral.
Gambaran klinis
Gambaran klinis hepatitis E bervariasi antara bentuk ringan atau subklinis sampai kasus
fatal yang menyebabkan kematian. Masa inkubasinya 2-9 minggu. Bentuk subklinisnya
tidak dapat dikenali karena memberikan gejala seperti flu. Bentuk klinis yang manifes
dengan ikterus akan sembuh sendiri seperti hepatitis A. Perbaikan hiperbilirubinemia dan
ALT dicapai setelah 3 minggu sejak mulai timbulnya sakit. Kasus yang ringan terutama
terjadi pada kelompok anak muda berupa gejala subklinis. Bentuk klinis dan simtomatis
timbul pada dewasa muda dan umur pertengahan. Kasus yang berat dan menyebabkan
19
kematian terjadi pada wanita hamil. Tidak pernah didapatkan bentuk0kronis. 121
2
aret
9M
Diagnosis ro
G ast
Diagnosis hepatitis E akut ditentukan dengan cara: t
a122
r ap
a. Mikroskop elektron imun (IEM); memeriksa k virus pada tinja penderita.
b. Deteksi antibodi spesifik terhadap u ntu menggunakan fluorescent antibody-blocking
virus
ro
assay. G ast
jar Western blot dan EIA; IgM anti HEV ditemukan satu
c. IgM dan IgG anti HEV Asecara
u
uk klinis.
minggu timbulnyaBgejala
e
Fil RNA HEV dari serum dan tinja.
d. PCR untuk mencari
Pencegahan
Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Imunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV.
Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan
adalah penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian
klor untuk mencegah infeksi HEV.123
16.9 Hepatitis G
Pendahuluan
Walaupun diagnosis hepatitis A, B, C, D, dan E telah dapat dibuat namun masih ada
sekelompok penderita hepatitis paska transfusi dan sporadik di masyarakat yang belum
diketahui penyebabnya. Dahulu hepatitis jenis ini dinamakan non-A-E. Pada tahun 1996
ditemukan suatu virus baru penyebab hepatitis non-A-E yang dinamakan dengan virus
293
Bab 16 Hepatitis Virus
hepatitis G dan isolat lainnya virus GB-C. Secara filogenetik berhubungan dengan virus
hepatitis C tetapi tidak menyebabkan gangguan yang serius pada hati. 124
Virologi
Virus hepatitis G (HGV), virus GB-C merupakan virus RNA rantai tunggal yang terdiri atas
9400 pasang nukleotida dan termasuk golongan flaviridae, ditularkan secara parenteral. 125
Epidemiologi
HGV/ virus GB-C adalah virus ditularkan melalui darah, sering didapatkan pada penderita
penyakit darah yang mengalami transfusi berulang. Juga pengguna obat secara intravena.
Cara lain adalah inapparent parenteral. Juga dikenal penularan secara vertikal dari ibu ke bayi
yang terjadi selama proses kelahiran dan perinatal. HGV tidak mampu menembus plasenta.
Prevalensi HGV/ virus GB-C pada donor darah dan populasi umum di negara maju antara
1-2%. Di negara tropis dan subtropis prevalensi antara 5%-10%. Tingginya prevalensi
HGV/VGB-C di daerah tropis dan subtropis mungkin disebabkan adanya serangga dan
vektor lain. Sebagian besar penderita yang terinfeksi di masyarakat mempunyai kadar ALT
serum normal. 127 19
0
2
aret
Patogenesis o 9M
str
Sebagian besar penderita yang terinfeksi HGV/ virus Ga GB-C mengalami viremia tetapi tidak
p at
didapatkan perubahan gambaran histopatologis a yang berarti dan kadar ALT dalam batas
t u kr
normal. Sampai saat ini tidak didapatkan un bukti bahwa infeksi HGV menyebabkan gejala
klinis. Ditemukannya HGV/ virussGB-C tro pada limfosit dianggap bahwa virus ini mempunyai
r Ga
sifat biologis seperti virus Epstein-Barr atau CMV. 126
a j
kuA
u
Gambaran klinis
Fi le B
Infeksi HGV/ virus GB-C tidak menimbulkan gejala peradangan pada hati. Koinfeksi
dengan virus lain tidak memperberat perjalanan penyakit HBV maupun HCV. Tidak
ditemukan kasus hepatitis kronis pada penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C.128
Diagnosis
Diagnosis HGV/ virus GB-C berdasarkan ditemukanya virus RNA dengan cara RT-PCR.
Cara lain adalah metode branched DNA. Antibodi terhadap protein E2 secara ELISA dapat
ditemukan pada fase kesembuhan atau infeksi lampau. (129-130)
Pencegahan
Tidak ada metode pencegahan terhadap infeksi HGV/ virus GB-C.
294
Buku Ajar Gastrohepatologi
Daftar pustaka
1. Koff RS. Viral hepatitis in Walker Durie, Hamilton, Walker Smith, Watkins: Pediatric
Gastrointestinal Disease. B.C. Decker Inc. Philadelphia 1st. 1991:857-874.
2. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford
Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999:827-70.
3. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson
textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004:1324-32.
4. Dentinger CM, Heinrich NL, Bell BP, et al. A prevalence study of hepatitis A virus infection in
migran community: Is hepatitis A vaccine indicated. J Pediatr. 2001;138:705-9.
5. Dienstag JL. Hepatitis A. In: Bircher J, Benhamou JP, Rizetto M, et al, Eds. Oxford Textbook of
Clinical Hepatology 2nd ed. Oxford University Press, 1999:1-15.
6. Dienstag JL. Hepatitis A. In: Bircher J, Benhamou J.P., Rizzeto M. , et al. Oxford text book of
clinical hepatology 2nd ed. Oxford: Oxford University Press, 1999; 871-875.
7. Dotzauer A, Gebhardt U, Bieback K, et al. Hepatitis A Virus-Specific Immunoglobulin A
Mediates Infection of Hepatocytes with Hepatitis A Virus via the Asialoglycoprotein Receptor. J
Virol. 2000;74:10950-10957.
8. Feinstone SM, Kapikian AZ, Purcell RH. Hepatitis A: Detection by immune electron microscopy
of a virus like antigen associated with acute illness. Science, 1973;182:1026. Citation.
9. Glikson M, Galin E, Oven R. Relapsing hepatitis A. Review of 14 cases and literature survey.
9
Medicine. 1992;71:14-23. Abstract.
2 01
t
10. Han Y, Hillman M, Oren R, et al. Vasculitis and cryoglobulinemia
areassociated with persisting
M85:585-587.
cholestatic hepatitis A virus infection. Am J Gastroenterol. 1990; 9 Citation.
11. Huo TL, Wu CJ, Chiu CF, et al. Severe hyperbilirubinemiasdue tro to acute hepatitis A superimposed
Ga
p at
on a chronic hepatitis B carrier with glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Am J
Gastroenterol. 1996;91:158-159. r a
12. Inman RD, Hodge M, Johnston ME, etunal. tukVasculitis and cryoglobulinemia associated with
ro Intern. Med. 1986; 105:700-703. Citation.
relapsing hepatitis A virus infection.stAnn.
13. Jacobson IM, Nath BJ, and Dienstag G a JL. Relapsing viral hepatitis type A. J Med Virol. 1985;16:163-
169. Ajar
u
14. Kemmer NM, Mikovsky Buk EP. Infection of the Liver, Hepatitis A. Infect Dis Clin North Am.
e
2000;14:1-11. Fil
15. Koff R. Hepatitis A. Lancet. 2000; 341:1643-1649.
16. Lemon SM. Type A Viral Hepatitis. In: Prieto J, Rodes J, Shafritz DA. Hepato Biliary Diseases.
Berlin Springer Verlag. 1992:495-510.
17. Lemon SM, Binn LN. Serum neutralizing antibody response to hepatitis A virus. J Infect Dis.
1983;148:1033-1039. Citation.
18. Keeffe EB. Clinical reviews: Is hepatitis A more severe in patient with chronic hepatitis B and
other chronic liver diseases. Am J Gastro 1995;90:201-05.
19. Margolis HS, Nainan OV. Identification of virus components in circulating immune complexes
isolated during hepatitis A virus infection. Hepatology. 1990; 11:31-37. Citation.
20. Sherlock S. disease of the liver; 10nd ed. Oxford: Blackwell Scientific Publications, 1999:1-15.
21. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson
textbook of pediatrics, 16th ed, W.B. Saunders Co. 2000;768-75.
22. Stapleton JT, Lange DK, LeDuc JW, et al. The role of secretory immunity in hepatitis A virus
infection. J Infect Dis. 1991;163:7-11. Citation.
23. Sulaiman HA, Junitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan penerbitan IDI.
1995:1-15.
24. Tong MJ, El-Farra NS, and Grew MI. Clinical manifestation of hepatitis A: recent experience in
community teaching hospital. J Infect Dis. 171(Suppl,1) 1995: S15-S18.
295
Bab 16 Hepatitis Virus
25. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Hepatitis A virus infection and the interferon system. J
Infect Dis. 1985;152:211-213. Citation.
26. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Cell-mediated cytotoxicity and hepatitis A virus infection.
Hepatology. 1986;6:1308-1314. Abstract.
27. Vallbracht A, Maier K, Stierhof YD, et al. Liver-derived cytotoxic T cell in hepatitis A virus
infection. J Infect Dis. 1989;160:209-217. Citation.
28. Vento ST, Garofano G, Di Perri, et al. Identification of hepatitis A virus as a trigger for
outoimmune chronic hepatitis type 1. Lancet 1991;337:1183-1187. Citation.
29. Weitz M, Siegl G. Structure and molecular virology of hepatitis A. In: Zuckerman AJ, Thomas
HC. Viral Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st
ed. 1993:21-34.
30. Anonymous. General recommendation on immunization. Recombination of the advisory
committe on immunization practices (ACIP) and the American Academy of Family Physicians
(AAFP). MMWR. 2002;51:1-35.
31. Befeler AS, Di Bisceglie AM. Infections of the liver, hepatitis B. Infect Dis Clin North Am.
2000;14:617-32.
32. Blumberg BS, Alter HJ, Visnich S. A “new” antigen in leukemia sera. JAMA. 1965;191:541-6.
Citation.
33. Chisari FV. Cytotoxic T cells and viral hepatitis. J Clin Invest. 1997;99:1472-7. Citation.
34. Dienstag J, Schiff E, Wright T, et al. Lamivudine as initial treatment for chronic hepatitis B in the
9
United States. N Engl J Med. 1999;341:1256-63. 2 01
t
re associated, Australia antigen
Ma
35. Dudley FJ, Fox RA, Sherlock S: Celluler immunity and hepatitis
liver disease. Lancet 1: 1972;723-26. Citation. 9
ro
36. Fattovich G, Brollo L, Giustina G, et al. Natural history
G ast and prognostic factors for chronic
hepatitis type B. Gut 1991;32: 294-98. Abstract.pat
a
37. Guidotti LG, Chisari FV. Noncytolytic control
tu k r of viral infection by the innate and addactive
n
immun response. Annu Rev Immunol.
tro u 2001;19:65-91. Abstract.
38. Gupta S, Shafritz DA. Viral hepatitiss B and D in Prieto J, Rodes J, Shafritz DA: Hepatobiliary
r Ga1st ed. 1992:528-71.
ja
disease. Springer-Verlag Berlin
39. Hoofnagle JH, Di Bisceglie
ku A AM: The treatment of chronic viral hepatitis. N Engl J Med.
u
1997;336:347-56.
i l e BCitation.
40. InternationalFTask Force on hepatitis B Immunization, Field strategies for the control of hepatitis
B in areas of intermediate and high prevalence April 1988.
41. Jacyna MR, Thomas HC. Pathogenesis and treatment of chronic infection in Zuckerman AJ,
Thomas HC. Viral Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone
London 1st ed. 1993:185-205.
42. Jonas NM, Kelley DA, Mizerski J, et al. Clinical trial of lamivudine in children with chronic
hepatitis B. N Engl J Med. 2002;346:1706-1713.
43. Jung MC, Paper GR. Immunology of hepatitis B infection. Lancet Infect Dis. 2002;2:43-50.
44. Kao JH, Chen DS. Global control of hepatitis B virus infection. Lancet Inf Dis. 2002;2:395-403
45. Koff RS. Vaccines and Hepatitis B. Clin Liver Dis.1999;3:417-28.
46. Lee WM. Hepatitis B virus infection. N Engl J Med. 1997;337:1733-45. Citation.
47. Lee WM. Medical progress: Hepatitis B virus infection. N Engl J Med. 1997: 337;1733-45.
Citation.
48. Liu CJ, Kao JH, Chen PJ, et al. Molecular epidemiology of hepatitis B viral serotypes and
genotypes in Taiwan. J Biomed Sci. 2002;9:166-70.
49. Magnius LO, Norder H. Subtypes, genotypes and molecular epidemiology of the hepatitis B
virus as reflected by sequence variability of the S-gen. Intervirology. 1995;38:24-34.
296
Buku Ajar Gastrohepatologi
50. Margolis HS. Hepatitis B virus infection. Bull WHO. 1998;76:152-3. Citation.
51. McMahon BJ, Alward WL, Hall DB, et al. Acute hepatitis B virus infection: Relation of age to
the clinical expression of disease and subsequence development of the carrier state. J Infect Dis.
1985 151:599-603. Abstract.
52. Miller RH. Proteolytic self cleavage of hepatitis B virus core protein may generate serum e
antigen. Science. 1987;236:722-25. Citation.
53. Mutinger D, Naoumov N, Honkoop P, et al. Combination alfa-interferon and lamivudine therapy
for alfa-interferon resistant chronic hepatitis B infection: Results of pilot study. J Hepatol.
1998:28;923-29. Abstract.
54. Okamoto H, Tsuda F, Sakugawa H, et al. Typing hepatitis B virus by homology in nucleotide
sequence: comparison of surface antigen subtypes. J Gen Virol. 1988;69:2575-83. Abstract.
55. Perrillo RP, Schiff ER, Davis GL, et al. A randomized, controlled trial of interferon alfa-2b
alone and after prednisone withdrawal for the treatment of chronic hepatitis B. The Hepatitis
Interventional Therapy Group. N Engl J Med. 1990;323:295-301. Citation.
56. Pilot J, Poynard T, Elias A, et al. Weak immunogenecity of the pre-S2 sequence and lack of
circumventing effect on the responsiveness to the hepatitis B virus vaccine. Vaccine. 1995;13:289.
Citation.
57. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford
Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999: 876-96.
58. Sulaiman A, Julitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan Penerbitan IDI. Jakarta.
9
Cetakan pertama. 1995:19-20. 2 01
t
59. Stevens CE, Neurath RA, Beasley RP, et al. HBeAg and anti-HBe detectionare by radioimmunoassay:
correlation with vertical transmission of hepatitis B virus in o 9 M J Med Virol. 1979;3:237-41.
Taiwan.
r
Abstract.
G ast
60. Stevens CE, Toy PT, Tong MJ, et al: Perinatal hepatitis at B virus transmission in the United States.
r ap 1985;253: 1740-45. Abstract.
t k
Prevention by passive-active immunization.uJAMA.
61. Villeneuve J, Condreay L, Willem B, et u al.n Lamivudine treatment for decompensated cirrhosis
o
str
resulting from chronic hepatitis B.aHepatology 2000;31:207-10.
r G
62. Zuckerman AJ, Zuckerman JN,
A ja Harrison TJ. Prevention and control hepatitis B in Zuckerman
u
AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone
Buk
London 1st ed. 1993:219-26.
e
63. Cheney CP, ChopraFil S, Graham C: Infection of the Liver. Hepatitis C. Inf Dis Clin N Am.
2000;14:633-67.
64. Albert A, Bartolotti F, Bircher J, et al: Clin Hepatology, Oxfort Univ Press, 2nd ed. 1999:903-22.
65. Tapia MS: Viral Hepatitis C in Prieto J, Riodes J, et al: Hepato Biliary Disease. Springer verlag.
Berlin, 1st Ed. 1992:573-609.
66. Esomi M, Shikata T: Hepatitis virus C and Liver Desease. Patologi International. 1994;44:85-95.
67. Okamoto H, Kurai K, Okada SI, et al. Full length sequence at a hepatitis c virus genome having
poor honology to reported isolates comparition study of four distinct genotype. Virology.
1992;188:331–41.
68. Simmonds P, Holmes EC, Cha TA, et al: Classification of Hepatitis C virus into six major
genotype and a series of subtypes by philogenetic analysisi of the NS-5 region J. Gen. Virol.
1993;74:2391-99.
69. Houghton M, Han J, Kuo G, et al: Viral hepatitis, scientific basis and clinical management.
Churchill Livingstone 1st ed. 1993:229-40.
70. Halsey NA, Abramson JS: Comitte in infections diseases hepatitis c virus infection. Pediatr.
1998;101:481-85.
71. Nelson DR: The immuno pathogenesis of hepatitis c virus infection. Clin in Liver Dis. 2001;5:931-53.
72. Bortolotti F, Resti M, Giochimo R, et al: Changing epidemiologic patterm of chronic hepatitis C
297
Bab 16 Hepatitis Virus
298
Buku Ajar Gastrohepatologi
95. Widawati S, Adi P. Soetjipto, Lusida MI: Penularan HCV pada keluarga. Buletin PGI – PPHI –
PEGI. Surabaya. 1994;1:35-39.
96. Arief S : Penularan virus Hepatitis C (HCV) pada anggota keluarga. Bull. Ilmu Kesehatan Anak
FK. Unair. 1998;2:18 – 23.
97. Roth WK, Zeuzem S: Serological and molecular diagnosis of Hepatitis C Virus infection in
Darmadii S. Serologic marker in the diagnosis of viral hepatitis. Seminar on viral hepatitis up
date. TDC. Airlangga Univ. Surabaya, 1998:31-50.
98. Chien DY, Arcangel P, Thelby AM, et al: Use of a polypeptide for diagnosis of HCV infection. J
Clin Microbiol. 1999;37:1393-97.
99. Aoyagi K, Ohue C, Ilda K, et al. Development of a simple and highly serotive enzyme immuno
assay for hepatitis C virus core antigen. J Clin Microbiol. 1999;37:1802-08.
100. Morishima C, Greth DR: Clinical use of hepatitis C virus test for diagnosis and monitoring
during therapy. Clin in Liver Dis. 1999;3:717-46.
101. Marcellin P, Martinat M, Boyer N, et al: Treatment of hepatitis C. Clin in Liver Dis. 1999;3:843-53.
102. Shad JA, Mc Hutchison JG: Current and future therapies of hepatitis C. Clin in Liver Dis.
2001;5:335-60.
103. Jonas MM: Challenges in the treatment of hepatitis C in children. Clin in Liver Dis. 2001;5:1063-71.
104. Cotler SJ, Jensen DM: Treatment of hepatitis C virus and HIV Co-infection. Clin in Liver Dis.
2001;5:1045-61.
105. Farrel GC: Management of hepatitis C draft working party reports from asia pasific concensus on
9
prevensen and management of chronic hepatitis C and B. Black well Pty, Kyoto 2 01 Japan, 4i-Viii, 1999.
t
reof a new antigen-antibody
Ma in serum of HBsAg carriers.
106. Rizzetto M, Canese MJ, Arico S, et al. Immunoflorescence detection
system (delta/anti-delta) associated to hepatitis B virus in liver 9 and
ro
Gut. 1977;18:997-1003.
G ast
107. Smedile A. Infection with HBV associated delta p at
antigen in HBsAg carriers. Gastroenterology.
r a
1981;81:992-7. Citation. k
ntu
108. Monjardino J, Lai MMC. Sructure and umolecular virology of hepatitis D virus in Zuckerman
t ro
as
AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone
London 1st ed. 1993:329-40. jar G
109. Rizzetto M, Ponzzetto k A
A,u Forzani I. Epidemiology of hepatitis delta virus: overview in Gerin
Bu
JL, Purcell RH, Rizzetto M. The hepatitis delta virus. Wiley-Liss New York. 1991:1-20. Citation.
e
Fil LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson
110. Snyder JD, Pickering
textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004:1324-32.
111. Taylor JM, Manson W, Summers J, et al. Replication of human hepatitis delta virus in primary
culture and woodchuck hepatocytes. J Virol. 1988;62:2981-85.
112. Negro F, Rizzetto M. Pathobiology of hepatitis delta virus. In: Hollinger FB, Lemon SN, Margolis
HS. Viral hepatitis and liver disease. Williams and Wilkins, Baltimore. 1991:477-80.
113. Bonino F, Brunetto MR, Negro F. Factors influencing the natural course of HDV hepatitis in:
Gerin JL, Purcel RH, Rizzetto M. The hepatitis delta virus. Wiley-Liss, New York. 1991:137-46.
Citation.
114. Di Bisceglie AM. Epidemiology and diagnosis of hepatitis D virus. in: Zuckerman AJ, Thomas
HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st
ed. 1993:351-61.
115. Conjeevaram HS, Di Bisceglie AM. Natural history of hepatitis D virus. in: Zuckerman AJ,
Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone
London 1st ed. 1993:341-49.
116. Buitrago B, Popper H, Hadler SC, et al. Specific histological features of Santa Marta hepatitis:
a severe form of hepatitis delta virus in Northern South America. Hepatology. 1986;6:1285-91.
Citation.
299
Bab 16 Hepatitis Virus
117. Rizzetto M, Rosina F. Treatment of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral
Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed.
1993:363-69.
118. Viswanathan R. Infectious hepatitis in Delhi (1955-56): a critical study; epidemiology. Indian
Journal of Medical Research. 1957;45:1-30. Citation.
119. Bradley DW, Andjaparidze A, Cook EH, et al. Aetological agent of enterically transmitted
non-A, non-B hepatitis. J Gen Virol. 1988;69:731-38. Citation.
120. Bradley DW, Krawczynski K, Purdy MA. Hepatitis E virus. in: Zuckerman AJ, Thomas HC.
Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed.
1993:373-89.
121. Krawczynski K. Hepatitis E. In: Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford
Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999:922-26.
122. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson
textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004:1324-32.
123. Khuroo MS. Incidence and severity of viral hepatitis in pregnancy. Am J Med. 1981;70:252-55.
124. Alter HJ, Bradley DW. Non-A, non-B hepatitis unrelated to the hepatitis C virus (non-ABC).
Seminar in liver disease. 1995;15:110-20.
125. Alter MJ, Gallager M, Morris TT, et al. Acute non-A-E hepatitis in the United States and the
role of hepatitis G virus infection. Sentinel counties viral hepatitis study team. N Engl J Med.
1997;336:741-46.
9
126. Deinhardt F, Holmes AW, Capps PB, et al. Studies on the transmission 2 01of disease of human viral
e
hepatitis to marmoset monkeys. Transmission of disease, serialarpassage
t and description of liver
lesions. J Exper Med. 1967;125:673-87. 9 M
o
127. Hadziyannis S, Hess G. Epidemiology and naturalahistory str course of G/GBV-C infection. In
t G
Zuckerman A and Thomas H. Viral Hepatitis. p2nd a ed. Livingstones, in press. Citation.
r a
tuk
128. Karayiannis P. Hepatitis G virus infection. Clinical characteristics and response to interferon. J
n
ou
Viral Hepatitis. 1997;4:37-44. Citation.
129. Leary TP. Sequence and genomic a strorganization of GBV-C: a novel member of the flaviviridae
G hepatitis. J Med Virol. 1996;48:60-7.
jar
associated with human non-A-E
A
130. Snyder JD, PickeringkuLK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson
u
le B Saunders. Philadelphia 17 ed. 2004:1324-32.
textbook of pediatrics. th
Fi
300
BAB
17
Drug Induced Hepatitis
Ina Rosalina
17.2 Pendahuluan
Hati merupakan organ lintas pertama dari obat yang diabsorpsi dari mukosa lambung
dan mukosa usus halus sebelum mencapai bagian tubuh lainnya. Obat akan mengalami
biotransformasi oleh hati. Fungsi tersebut akan mengakibatkan hati mempunyai risiko
tinggi untuk mengalami intoksikasi oleh obat-obatan.
Biotransformasi mempunyai dua tahap, pertama disebut tahap aktivasi dan kedua
disebut tahap detoksifikasi. Obat-obat hepatotoksik pada proses keseimbangan ini sangat
kritis sehingga penggunaannya harus hati-hati.
Sherlock (1993) melaporkan sekitar 2% dari semua kasus ikterus yang dirawat adalah
disebabkan oleh penggunaan obat. Sekitar seperempat kasus kegagalan hati fulminan di
Amerika Serikat berhubungan dengan pemakaian obat serta 4 dari 23 kasus hepatitis kronis
aktif.
Pasien dengan penyakit hati perlu ditelusuri riwayat pemakaian obat-obatan sejak tiga
bulan terakhir termasuk dosis, rute pemberian, lama serta kombinasi dari obat tersebut.
Kerusakan hati yang ditimbulkan oleh obat-obat hepatotoksik secara histopatologi beraneka
ragam, namun ada 2 bentuk yang sering yaitu bentuk hepatitik dan bentuk kholestatik.
Kedua bentuk ini dapat terjadi bersamaan pada satu jenis obat pada orang yang sama.
Pada makalah ini akan dibahas metabolisme obat dan mekanisme kerusakan hati
oleh obat hepatotoksik serta obat-obat yang sering digunakan dalam terapi yang dapat
menyebabkan kerusakan hati khususnya bentuk hepatitik, gambaran klinis, pengobatan
serta prognosisnya.
301
Bab 17 Drug Induced Hepatitis
Tahap I Tahap II
Bahan Obat Bentuk antara Detoksifikasi
Tahap I Tahap II
Bahan Obat Bentuk antara Detoksifikasi
Katalisator: Katalisator:
Kompleks enzim sitokrom P-450 Sulfotransferase
Katalisator: Katalisator:
Glukuroniltrasferase
9
Kompleks enzim sitokrom P-450 Sulfotransferase
Glutationtransferase
2 01
ret
Glukuroniltrasferase
Asetiltransferase
a
Glutationtransferase
Epoxidhidrolase
9M
Asetiltransferase
ro
Epoxidhidrolase
G ast
at
r ap tahap I dan tahap II
Gambar 17.3.1. Metabolisme
k
u ntu
o
a str
G
Pada obat hepatotoksikarhal ini perlu berhati-hati karena berada dalam keseimbangan
j
yang kritis. Pada tahapkuI A
metabolisme obat hepatotoksik disamping dapat menjadi bahan
u menjadi bahan kimia lain yang selanjutnya merupakan bahan
i l eB
aktif juga dapat berubah
toksik. F
Membentuk makromolekul
Membentuk makromolekul
302
Buku Ajar Gastrohepatologi
303
Bab 17 Drug Induced Hepatitis
Asetaminofen
Asetaminofen (parasetamol) merupakan derivat para-amino-fenol yang mempunyai efek
antipiretik dan analgetik, sering dipakai untuk anak. Hepatotoksik dapat terjadi dengan
pemberian dosis tinggi sehingga dapat menimbulkan kerusakan hati.
304
Buku Ajar Gastrohepatologi
305
Bab 17 Drug Induced Hepatitis
glukuronidasi 9
2 01Senyawa nontoksik
Asetaminofen
aret
sulfasi
o 9M
str
Ga
p at
ra
uk
ntkompleks
katalisator:
u enzim sitokrom P450
ro
G ast
Ajar
u
Buk
i l e
FBentuk tak stabil
glutation
306
Buku Ajar Gastrohepatologi
Isoniazid
Isoniazid menyebabkan kira-kira 7% kelainan hati pada anak. Hal ini jarang terjadi pada
bayi dan insiden akan meningkat dengan bertambahnya usia. Dikatakan bahwa INH dapat
menyebabkan hepatitis pada pemakainan lama. Kira-kira 10%-20% kasus akan mengalami
gangguan fungsi hati pada pemakaian lama dengan dosis 10 mg/kgBB/hari sedangkan
dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari angka ini akan turun hingga 2%. Efek toksik obat ini
disebabkan oleh metabolisme asetilat menjadi asetil isoniazid dan asetil hidralazin.
Isoniazid
Asetil-isoniazid
9
201
Asetil hidralazin aret
o 9M
r
ast
katalisator:
G
t
kompleks
a enzim sitokrom P450
r ap
ntuk
Acylating agent o u
astr
j arG
u A
Buk
e
Fil
Nekrosis sel hati
307
Bab 17 Drug Induced Hepatitis
Rifampisin
Rifampisin dieksresi melalui saluran empedu. Obat ini dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, baik terkonjugasi maupun yang tak terkonjugasi. Rifampisin biasanya
dikombinasikan dengan INH untuk digunakan pada penderita tuberkulosis, dan keduanya
bersifat hepatotoksik. Mekanismenya tidak diketahui, kemungkinan melalui induksi enzim.
Metotreksat
Efek hepatotoksik dari metotreksat sama seperti pada dewasa dimana pada dosis rendah
dan pemakaian lama biasanya menyebabkan kelainan berupa steatosis dan fibrosis. Tetapi
pada pemakaian dosis tinggi pada pengobatan kanker dapat mengakibatkan hepatitis akut.
Mekanisme hepatotoksik metotreksat tidak diketahui. Sangat berhubungan dengan dosis
dan lama pemakaian.
Kloramfenikol
Kloramfenikol dalam beberapa kasus dilaporkan dapat menyebabkan ikterus yang
berhubungan dengan nekrosis sel hati. Mekanisme terjadinya tidak jelas, tetapi dikatakan
9
kerusakan sel hati bersamaan dengan terjadinya kerusakan sumsum01tulang.
2
aret
Halotan 9M
ro
G ast
Mekanisme kerusakan hati akibat halotan tidakajelas,t namun ada yang berpendapat bahwa
r
hal ini disebabkan oleh faktor alergi. Penggunaanap halotan berulang kali dapat menyebabkan
k
kerusakan hati yang bersifat alergi berupa
u ntunekrosis sel hati yang letaknya sentrolobular. Hal
o
str
ini sesuai dengan konsep yang amengatakan bahwa mekanisme terjadinya kerusakan hati
r G
A j a
tersebut berkaitan dengan hipersensitivitas, hipoksia dan pembentukan hapten..
u ku halotan biasanya terjadi setelah 1 – 2 minggu setelah penggunaan
Hepatitis oleh karena
eB
Fil umumnya pada pemakaian yang berulang dalam 3 bulan. Kejadian pada
(post operasi) dan
anak jarang, diperkirakan sekitar 1:82.000 anak yang mendapat anastesi dengan halotan.
Menurut Dukes (1985) ada 2 gambaran kerusakan hati karena halotan; (1) yang sering
terjadi yaitu adanya peningkatan kadar enzim aminotransferase serum yang ringan sampai
sedang dengan gejala hepatitis ringan. Kedua gambaran nekrosis hati meluas sehingga dapat
menimbulkan kematian. Pada keadaan seperti ini dilaporkan angka kematian mencapai
14% bahkan sampai 71%. Insiden tipe berat ini diperkirakan berkisar antara 1:6000 sampai
1:20.000. perbandingan antara laki dan perempuan 2:1.
Ampisilin
Nekrosis sel hati akibat ampisilin telah dilaporkan pada 1 kasus, terjadi setelah 15 hari
pengobatan dengan ditandai adanya ruam dan eosinofilia dan berakhir fatal.
308
Buku Ajar Gastrohepatologi
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
309
Bab 17 Drug Induced Hepatitis
17.8 Pengobatan
Pada drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus. Umumnya sembuh spontan bila
obat dihentikan. Seperti halnya hepatitis virus, pengobatan drug induced hepatitis berupa
simtomatis dan suportif.
Penggunaan kortikosteroid diperlukan pada drug induced hepatitis yang berat yang
disebabkan oleh reaksi hipersensitif, tetapi masih kontroversial. Pada kasus yang berat perlu
dipertimbangkan transplantasi hati untuk memperpanjang harapan hidup.
17.9 Prognosis
Umumnya prognosisnya baik, tetapi pada nekrosis hati yang masif sering berakibat
kegagalan hati sehingga prognosis menjadi buruk.
17.10 Ringkasan
Telah dibahas tentang hepatitis yang disebabkan obat-obatan (drug1induce
9 hepatitis). Hati
2 0 sistem enzim yang
berfungsi dalam biotransformasi obat dalam mikrosom sel melalui
re t
sangat kompleks dan mengubah bentuk antara menjadi 9bentuk Ma tidak toksik yang mudah
ro
ast
larut dalam air sehingga dapat diekskresi keluar tubuh.
G
Sehubungan dengan fungsi tersebut, pada at obat-obat tertentu (hepatotoksik) hati
berisiko mengalami kerusakan yang tergantung r ap dari jenis obatnya. Mekanisme terjadinya
k
ntu pasti, namun ada yang berpendapat bahwa
kerusakan tersebut belum diketahui udengan
ro
ast adalah: (1) yang berhubungan langsung dengan obat
secara garis besar mekanisme tersebut
G
r (2) reaksi imunologi.
(dosis dan lama pemberian)jadan
u A
Dalam pengobatanuk drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus (sama halnya
e B Cukup dengan penghentian penggunaan obat dan terapi suportif
dengan hepatitisilvirus),
dan simtomatis.F Pada kasus yang berat perlu dipertimbangkan transplantasi hati untuk
memperpanjang harapan hidup.
Daftar Pustaka
1. Colon AR. Textbook of Pediatric Hepatology; Edisi ke-2. Chicago; Year Book Medical Publishers,
1990;65-77.
2. Farrel GC. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Bayless TM, eds. Current Therapy in
Gastroenterology and Liver Disease; edisi ke-3. Philadelphia ; BC Decker, 1990;460-4
3. Gryborski J, Waklker WA. Gastrointestinal Problem in the Infant; edisi ke-2 Philadelphia: WB
Sounders Co, 1983;337-43.
4. Olson KR. Poisoning & Drug Overdose; edisi ke-2. USA; Appleton & Lange,1994.
5. Ockner RK. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Zakim D, Boyer TD. Textbook of Liver Disease.
Philadelphia; WB Sounders Company, 1982;691-5.
6. Poley JR. Effects of Drug on the Liver. Dalam;Gracey M, Burke V,eds. Pediatric Gastroenterology
and Hepatology; edisi ke-3. London Blackwell Scientific Publication, 1993;726-30.
310
Buku Ajar Gastrohepatologi
7. Roberts EA, Spielberg SP. Drug-Induced Hepatotoxic Children. Dalam: Walker WA,
Durie PR, Hamilton JR, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease; ed.ke-3, Philadelphia:
B.C.Decker,1991;898-912.
8. Sherlock S, Dooley J. Disease of the Liver and Biliary System; ed.ke-9. London: Blackwell
Scientific Publication, 1993;322-51.
9. Stricker BH, Spoelstra P. Drug Induced Hepatic Injury; Vol 1. Amsterdam: Elsevier Science
Publishing, 1985.
10. Zimmerman HJ, Maddre WC. Toxic and drug-Induced hepatitis. dalam: Schiff L, Schiff ER, eds.
Diseases of the liver. Philadelphia: lippincot Company, 1993:707-83.
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
311
BAB
18
Penyakit Sistemik yang Berpengaruh
pada Hati
Atan Baas Sinuhaji
312
Buku Ajar Gastrohepatologi
Pada pemeriksaan anak kelihatan kurus tetapi sehat dan aktif. Tidak ada tanda-tanda
distres pernafasan akut. Ikterus (-). Berat badan =16.1 kg (75th percentile) dan tinggi badan
= 102 cm (95th percentile). Temperatur = 40.5 oC. Denyut nadi = 132 x/menit, frekuensi
pernafasan 18 x/menit.
Pemeriksaan fisik lain didapatkan normal, kecuali hepar membesar simetris 5 cm di
bawah arkus kosta kanan, permukaan rata dengan tepi yang tajam. Lien dan ginjal tidak
teraba. Tidak ada pembesaran kelenjar limfe. Pemeriksaan funduskopi dan neurologi tidak
ada kelainan.
Hasil laboratorium darah sewaktu masuk rumah sakit menunjukkan: Hb= 10,7g%;
leukosit 7300/mm3; hitung jenis: E =0/B=0/batang = 12%/ segmen = 53%/ limfosit = 31%/
monosit = 2%/ limfosit atipikal = 2%; laju endap darah = 43 mm/jam; bilirubin total =
1.6 mg%; dehidrogenase laktat = 421 U/l; transpeptidase gamma glutamil = 424 U/l;
aminotransferase aspartat = 99 U/l, aminotransferase alanin =94 U/l, amilase= 35 Somogyi
U/l. Natrium = 125 mEq/l; Kalium = 4 mEq/l: Klorida = 9.6 mEq/l; CO2 = 23 mEq/l). Hasil
urinalisis : trace bilirubin (+).
Pemeriksaan tinja: tidak dijumpai telur cacing, parasit lain atau lekosit. Kultur urin, darah
dan tinja yang dilakukan beberapa kali setelah 2 hari dirawat hasil (-). Hasil pemeriksaan
serologi terhadap sitomegalovirus, virus Hepatitis A dan B juga negatif. 9 Pemberian 5
TU intradermal purified protein derivative (PPD): tidak ada reaksi 2 01
(alergi). Kadar serum
aret
imunoglobulin: normal. Hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan noduler retikular
o 9M
yang difus di kedua paru/miliary pattern tanpa pembesaran str kelenjar hilus.
Ultrasonografi abdomen menunjukkan: pembesaran t Ga hepar dengan parenkim yang
r pa
anormal.
homogen tanpa lesi fokal. Lien dan pankreas Kandung empedu normal tanpa
ntuk
distensi saluran biliaris intrahepatik ataupunu pembesaran kelenjar retroperitoneal. Kedua
ro
stpenyakit
ginjal membesar yang diduga karena G a infiltrasi. Kandung kemih normal tanpa ada
massa. Hasil pungsi sumsumAtulang jar menunjukkan gambaran hiperselular yang didominasi
u
sel plasma, eosinofil danukkompleks hematofagositik. Gambaran ini sekunder oleh infeksi
e B
il
bakteri (tidak ada Ftanda-tanda keganasan).
Pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan bilasan lambung selama 3 hari berturut–
turut. Pada bilasan hari ke-3 dijumpai basil tahan asam. Hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan tanda–tanda meningitis serosa. Selama perawatan o.s tetap
demam tinggi dan pada minggu pertama perawatan dijumpai distres pernafasan. Dengan
restriksi cairan, hiponatremia membaik. Diduga hiponatremia terjadi oleh karena SIADH
(Syndrome of Inappropriate Secretion of Anti Diuretic Hormone).
Diagnosis klinis ditegakkan dengan tuberkulosis milier disertai komplikasi hepatitis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis, renal tuberkulosis disertai SIADH. Pada penderita
dengan infeksi susunan saraf pusat dan tuberkulosis paru sering terjadi SIADH. Penyebab
lain SIADH dapat dilihat pada tabel 18.1.1.
Hasil ini didukung dengan pemeriksaan biopsi paru dimana dijumpai granuloma
pengkejuan yang multipel dengan basil tahan asam. Empat minggu setelah dirawat hasil
kultur cairan serebrospinal, urin, bilasan lambung dan jaringan paru menunjukkan
pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis. Sayangnya pemeriksaan biopsi hepar tidak
dilakukan karena masa tromboplastin parsial yang memanjang.
313
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati
Kasus ini merupakan rujukan ke Bagian Anak The John Hopkin’s Hospital, Baltimore
USA dan menjadi bahan konferensi klinik. Anak laki–laki berumur 3 tahun dengan
keluhan demam tanpa diketahui sebabnya, hepatomegali dan penurunan berat badan (BB).
Selain hepatomegali, keluhan lain seperti demam yang tidak diketahui penyebabnya dan
penurunan berat badan, tidak spesifik untuk kelainan hepar. Setelah dilakukan serangkaian
pemeriksaan, termasuk menyingkirkan penyebab kelainan hepar primer dan drug induced
liver disease, ternyata kelainan hepar ini (hepatomegali disertai kelainan hasil pemeriksaan
laboratorium) sekunder akibat infeksi/kelainan sistemik (tuberkulosis).
Tabel 18.1.1. Penyebab utama Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)
1. Ektopik
Oat cell lung carcinoma
Karsinoma pankreas
Timoma
Penyakit Hodgkin
Tumor karsinoid
2. Eutopik
Pulmoner
- pneumonia
- tuberkulosis 9
2 01
- gagal nafas akut t
Susunan saraf
Mare
- trauma 9
ro
- meningitis
G ast
- abses at
- ensefalitis r ap
k
- vascular accident
u ntu
ro
ast
- dan lain-lain
3. Iatrogenik G
Drug induced, misalnya: Ajar
u
- karbamazepin
B uk
e
Filmonoamin
- klofibrat
- inhibitor oksidase
- sulfonilurea (klorpropamid
18.2 Pendahuluan
Hepar merupakan organ parenkim terbesar dalam tubuh manusia, yang menerima hampir
¼ dari curah jantung dan memerlukan hampir 1/5 dari konsumsi oksigen dalam keadaan
istirahat. Di samping itu hepar memegang peranan fungsi metabolik yang esensial (seperti
mempertahankan kadar protein dan glukosa plasma tetap normal, sintesis empedu dan
lain-lain), biotransformasi xenobiotik (obat, food additives, pollutant dan lain-lain) dan
respon imunologis.
Hepar sendiri merupakan organ tubuh selanjutnya yang pertama sekali kontak dengan
nutrien dan xenobiotik (maupun mikroorganisme) yang masuk secara enteral melalui vena
porta; sedangkan bila bahan-bahan tersebut/mikroorganisme masuk melalui rute parenteral
juga akan mencapai hati melalui arteri hepatika. Bahan-bahan tersebut/mikroorganisme
314
Buku Ajar Gastrohepatologi
yang masuk melalui vena porta maupun arteri hepatika akan bertemu di sinusoidal. Untuk
sampai ke hepatosit, bahan tersebut/mikroorganisme harus melalui barier yang terdapat
di dinding sinusoid (sel endotel, sel Kupffer dan sel stelat = sel Ito). Sel Kupffer berfungsi
sebagai makrofag sedangkan sel stelate (sel Ito) berfungsi untuk penyimpanan lemak dan
vitamin A (lihat gambar 18.2.1)
Arteri hepatika
Kanalikuli
X
X
HEPATOSIT
9
2 01
aret
9M
ro
G ast
at Saluran empedu yang
rap lebih besar
k
u ntu
tro arteri hepatika, v. porta, sinusoid dan hepatosit
asantara
Gambar 18.2.1. Hubungan
G
A jar
u
Buk
l e
Berdasarkan Fihal-hal tersebut di atas, (ukuran hepar, fungsi metabolik dan
biotransformasi, posisi sentral dalam sirkulasi/saluran cerna dan respon imunologis), tidak
dapat disangkal lagi bahwa hepar merupakan organ tubuh yang secara insidental sangat
rentan dipengaruhi oleh penyakit/kelainan sistemik. Yang dimaksud dengan hepar di sini
adalah hepar dan saluran empedu (hepatobilier). Karena itu dapat didefinisikan penyakit
sistemik yang berpengaruh pada hati adalah kelainan hepar (baik klinis, laboratorium dan
histologi) yang sekunder terjadi oleh karena penyakit/kelainan sistemik yang primernya di
luar hati. Penyakit/kelainan sistemik adalah penyakit/kelainan yang mempengaruhi tubuh
secara keseluruhan.
Dalam tulisan ini akan diuraikan secara umum mengenai kejadian, etiologi,
patogenesis, manifestasi, diagnosis, terapi, prognosis dan pencegahan kelainan hepar
sekunder yang disebabkan oleh penyakit/kelainan sistemik. Juga akan dipaparkan beberapa
penyakit/kelainan di luar hepar yang menyebabkan kelainan hepar. Penyakit yang diuraikan
hanya menggambarkan hepar sangat mudah terkena oleh berbagai penyakit/kelainan
sistemik. Drug induced liver diseases tidak akan diuraikan dalam tulisan ini.
315
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati
18.4 Patogenesis
Walaupun patogenesis terjadinya kerusakan hepatobiliaris sekunder oleh karena penyakit/
kelainan sistemik belum begitu jelas dalam beberapa hal, namun mekanisme terjadinya
9
kelainan hepatobiliaris (baik infeksi maupun non-infeksi) dapat 2 01 disimpulkan sebagai
berikut: re t
9 Ma
1. Invasi langsung parenkim hati oleh mikoorganismeromelalui darah/limfe.
st
t Ga
2. Kerusakan hepatobiliaris karena produk mikroorganisme dengan bantuan mediator
proinflamasi (seperti tumor necrosis factor, p a
platelet activating factor, dll).
k ra
3. Kerusakan hepatosit karena penumpukan tu bahan-bahan baik hasil metabolisme atau
proses peradangan (amiloidosis o un
hepatik, kelainan hepar pada hemoglobinopati).
str
4. Kerusakan hepatosit karena G aanoksia dan penekanan (misal: kelainan hepar karena gagal
A j ar
jantung).
ku
u(baik
5. Gangguan nutrisi
e B kekurangan/kelebihan nutrien atau efek pemuasaan), misalnya:
Filpada nutrisi parenteral total.
kelainan hati
6. Kerusakan hepar karena hiperpireksia (misal: kelainan hepar pada infeksi susunan saraf
pusat).
Tidak ditemukannya mikroorganisme pada parenkim hepar, tidak menyingkirkan
kemungkinan kerusakan hepar oleh infeksi. Harus diingat bahwa salah satu fungsi hepar
adalah pertahanan imunologis tubuh. Darah akan dibersihkan dari bahan-bahan patogen
dengan bantuan fagositosis dari sel Kupffer. Kemungkinan mikroorganisme yang dimakan
sel Kupffer menimbulkan cedera hepatobiliaris dan selanjutnya mengalami disolusi.
Meskipun pada beberapa kasus toksin tidak ditemukan dalam sirkulasi, namun produk
dari mikroorganisme tersebut terbukti menyebabkan kerusakan hepar.
Selain itu harus dipertimbangkan peranan efek nonspesifik seperti malnutrisi, anoksia
dan hiperpireksia pada kerusakan hepatosit oleh karena infeksi.
316
Buku Ajar Gastrohepatologi
317
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati
18.6 Diagnosis
Adanya gejala kelainan hati (baik klinis atau laboratorium) harus dipikirkan apakah
gangguan hati tersebut merupakan kelainan hati primer atau sekunder karena penyakit/
kelainan sistemik ataupun obat-obatan yang digunakan. Baik untuk pengobatan penyakit
hati primer maupun penyakit/kelainan sistemik (drug induced liver disease).
Kecurigaan terhadap penyakit hepar primer dapat dibuat berdasarkan perjalanan/
gejala klinis dan didukung pemeriksaan biokimia hati. Pada keadaan ini penyebab viral,
autoimmun dan gangguan metabolisme harus dipertimbangkan. Pemeriksaan serologi
terhadap penyebab infeksi yang sering (seperti virus Hepatitis A, virus Hepatitis B, virus
Hepatitis C, sitomegalovirus dan virus Epstein-Barr) harus dilakukan. Juga pemeriksaan
serologi untuk hepatitis autoimmun (antinuclear antibody dan smooth muscle antibody).
Gangguan metabolik seperti penyakit Wilson dan defisiensi antitripsin alfa-1 juga harus
dipertimbangkan. Pemeriksaan tambahan seperti ultrasonografi dapat dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan kolelitiasis, kolesistitis ataupun massa di hepar (kista, tumor).
318
Buku Ajar Gastrohepatologi
9
18.7 Pengobatan, prognosis dan pencegahan
re t 2 01
a
Tidak ada pengobatan spesifik untuk kelainan hepatobiliaris o 9 Msekunder karena penyakit/
kelainan sistemik. Pengobatan ditujukan pada apenyakit/kelainan str sistemik yang
t G
menyebabkannya. Abnormalitas biokimia hepar p a
akan kembali normal setelah penyakit/
k ra
kelainan sistemik mengalami penyembuhan. tu
o unensefalopati hepatik (gagal hati), maka pengobatan
Bila ada kolestasis, perdarahan ataupun r
terhadap gangguan ini sama seperti ast gangguan ini disebabkan kelainan hepatobilier primer.
Gbila
jar
Misalnya, pemberian vitamin
ku AA, D, E, dan K, urseodeoksikolat, dll pada kolestasis.
u
Prognosis sangati l e Btergantung dari penyakit/kelainan sistemik yang menyebabkannya.
F
Penderita amiloidosis sistemik umumnya memiliki prognosis buruk dengan median
survival kurang dari 2 tahun. Umumnya penderita meninggal karena kelainan jantung atau
ginjal, jarang karena kelainan hepar. Walaupun pada beberapa kasus dilaporkan bahwa
pemberian mefalan dan prednison bermanfaat. Pengobatan sistemik amiloidosis dengan
kemoterapi tidak dianjurkan. Mortalitas penderita hepatitis iskemik (shock liver), (yang
merupakan komplikasi gagal jantung kiri akut), mencapai 40-50% tetapi tidak ada korelasi
dengan abnormalitas biokimia hepar. Adanya sirosis kardiak yang merupakan komplikasi
hepatopati kongestif, tidak mempengaruhi prognosis. Pada penderita yang meninggal
karena gagal jantung kongestif/gagal jantung kanan, sirosis kardiak dijumpai pada 4%-10%
kasus.
Bila penyakit berlangsung progresif yang ditandai dengan penurunan kesadaran,
gangguan pembekuan yang tidak bisa dikoreksi dan penurunan kadar aminotransferase
alanin yang disertai peningkatan kadar bilirubin serum, maka merupakan indikator
prognosis yang buruk. Pada keadaan ini dapat dipertimbangkan transplantasi hepar.
Adanya infeksi sistemik pada penderita penyakit hepar kronis akan mencetuskan
eksaserbasi. Karena itu mencegah penyakit yang menimbulkan gangguan hepar kronis (misal
319
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati
320
Buku Ajar Gastrohepatologi
klinis, biokimia dan gambaran histologis hepar akibat kedua hal ini berbeda, tetapi
dipengaruhi oleh keseimbangan antara disfungsi jantung kanan dan jantung kiri.
Berkurangnya curah jantung akut sekunder terhadap gagal jantung kiri akut
menyebabkan hepatitis iskemia (shock liver). Dua pertiga dari aliran darah ke hepar
berasal dari vena porta yang kaya akan nutrien, hormon dan enzim yang berasal dari
saluran pencernaan. Sisanya berasal dari arteri hepatika yang kaya akan oksigen. Karena
itu daerah periportal mendapat darah yang kaya akan nutrien, oksigen, hormon dan
enzim untuk pernafasan sel. Sedangkan daerah perisentral mendapat darah yang miskin
akan substrat-substrat tersebut dan oksigen. Bila ada gangguan sirkulasi akut, maka
yang pertama sekali menderita adalah daerah perisentral. Area perisentral akan nekrosis
tanpa adanya inflamasi. Karena itu penamaan hepatitis iskemik tidaklah tepat. Nekrosis
hepatik menyebabkan ikterus, asidosis laktat, peningkatan kadar aminotransferase serum,
pemanjangan masa protrombin dan hipoglikemia. Manifestasi hepatitis iskemik lebih
banyak bersifat laboratoris. Peningkatan kadar aminotransferase serum dan dehidrogenase
laktat >25 kali di atas nilai normal dalam 1-3 hari setelah episode hipotensi sistemik akan
diikuti nilai normal dalam 7-10 hari bila gagal jantung sembuh.
Tekanan atrium kanan yang meningkat akibat gagal jantung kanan menyebabkan
kongesti venosa hepatik (hepatopati kongestif). Akibatnya terjadi distensi 9 sinusoidal
sentrizonal. Distensi menyebabkan asites dan gejala hipertensi porta 2 01
lainnya. Distensi juga
aret
akan mengganggu difusi oksigen ke hepatosit sentrolobulerM(hipoksia), sehingga terjadi
9
stro
G a
p at
r a
k
u ntu
ro
ast (Rappaport)
Asinus Hepar
G
Ajar
ku
e Bu
Fil
Zone 1 Zone 2 Zone 3
(Periportal) (Midzonal) (Perisentral/Sentrizonal)
Perilobular Sentrolobular
Gambar 18.8.1. Hubungan masing-masing area menurut asinus hepar dari Rappaport (pusat di
triade portal) dan lobulus hepar klasik dari Kiernan (pusat di vena sentralis)
321
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati
perdarahan, atrofi karena tekanan, dan nekrosis hepatosit. Ikterus dan pembesaran yang
disertai nyeri hepar akan dijumpai. Nekrosis hepatoselular tidak absolut berkorelasi dengan
beratnya gagal jantung. Perdarahan menyebabkan area sentrolobular yang berwarna merah
yang kontras dengan area midzonal dan periportal yang berwarna pucat/normal. Pada
irisan hepar, gambaran ini disebut nutmeg appearance. Bila kongestif berat dan berlangsung
lama, anyaman retikulin di sekitar vena sentralis akan kolaps, dan jaringan ikat dan
retikulin yang kolaps akan meluas dari satu vena sentralis ke vena sentralis lainnya. Jaringan
ikat yang menghubungkan vena sentralis yang berdekatan membentuk reverse lobulation,
ini merupakan gambaran yang unik dari sirosis kardiak. Pembentukan nodul yang lebih
luas jarang dijumpai pada sirosis kardiak, karena penderita umumnya meninggal lebih
awal akibat gagal jantung. Sirosis kardiak tidak akan menyebabkan hipertensi porta yang
berat seperti pecahnya varises esophagus. Stigmata penyakit hepar kronis seperti eritema
palmaris, spider angioma dan caput medusae jarang dijumpai. Pemeriksaan laboratorium
tidak dapat membedakan sirosis kardiak dengan hepatopati kongestif nonsirosis. Hubungan
masing-masing area lobulus hepar dapat dilihat pada gambar 18.8.1.
322
Buku Ajar Gastrohepatologi
Endotoksin sirkulasi
Edema periduktular
Kolestasis 9
2 01
Gambar 3. Patogenesis kelainan hepatobiliaris pada sepsis re t
Mapada sepsis
Gambar 18.8.2. Patogenesis kelainan hepatobiliaris
9
ro
G ast
at
r ap
Kelainan hepar pada nutrisi parenteral ntu
k total
Kelainan hepar akibat nutrisi parenteral o u
str total tergantung pada umur penderita dan lamanya
Ga bayi, kolestasis merupakan gejala dominan sedangkan
mendapat nutrisi parenteral total.r Pada
ja
pada anak yang lebih tua dan
ku A dewasa
u
i l eB
F s kelainan hepar bervariasi dan tidak
spesifik. Area porta edematosa dan kolestasis diperberat dengan terbentuknya jaringan ikat.
Bila proses berlanjut, terbentuklah fibrosis yang menghubungkan satu area porta dengan
area porta lainnya disertai proliferasi saluran empedu. Hampir semua menunjukkan
gambaran perikolangitis yang diinfiltrasi granulosit dan sel mononuklear.
Berdasarkan perjalanan penyakit, manifestasi kelainan hepar karena nutrisi parenteral
total dapat dibagi atas gejala awal dan gejala lambat. Gejala awal yang merupakan
manifestasi kolestasis, umumnya dijumpai 2-3 minggu setelah pemberian nutrisi parenteral
total yang ditandai dengan peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi, fosfatase alkali, dan
transpeptidase gamma glutamil dalam serum. Bila pada saat ini nutrisi parenteral total
dihentikan, hasil pemeriksaan biokimia hepar kembali normal dan tidak akan dijumpai
gejala lambat. Berlanjutnya pemberian nutrisi parenteral total akan menyebabkan terjadinya
kerusakan hepar permanen, misalnya fibrosis dan sirosis hepatis.
Patogenesis kelainan hepar pada nutrisi parenteral total, kemungkinan multifaktorial.
Saluran pencernaan sangat erat hubungannya dengan hepar baik secara anatomi maupun
fisiologi. Makanan dalam saluran pencernaan merangsang sekresi hormon pencernaan
323
Bab 18 Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati
324
Buku Ajar Gastrohepatologi
Daftar Pustaka
1. Beath SV. The liver disease in systemic illness. Dalam: Kelly DAA, penyunting. Edisi pertama.
Oxford: Blackwell Science ltd, 1999. h. 213-27.
2. Cello JP, Grendell JH. The liver systemic condition. Dalam: Zakim D, Boyer TD, penyunting.
Hepatology. A textbook of liver disease. Volume 2. Edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Co,
1990. h.1411-35.
3. Dickson RC. The liver in systemic disease. Dalam: O’Grady JG, Lake JR, Howde PD, penyunting.
Comprehensive clinical hepatology. London: Mosby, 2000. h. 3202-12.
4. Farel MK, Bucuvalas JC. Systemic disease and the liver. Dalam: Suchy FJ, penyunting. St.Louis:
Mosby, 1994. h. 580-97.
5. Fischer RL. Hepatobiliary abnormalities with total parenteral nutrition. Gastroenterol Clin
North Am 1989;September:645-66.
6. Ganong WF. Review of medical physiology. Edisi ke-21. New York: Lange Medical Book/
McGraw-Hill Medical Publishing Division, 2003. h. 483-516.
7. Grendell JH. The liver in systemic disease. Dalam: Friedman LS, Keeffe EB, Maddrey WC.
Handbook of liver disease. Philadelphia: Churchill-Livingstone, 1998. h. 305-13.
8. Holdaway IM. Inappropriate secretion of ADH. Pathogenesis work-up and management.
Medical Progress 1988;15(6).
9. Junqueira LC, Carneiro J, Kelley RO. Basic histology. Edisi ke-8. London: Prentice-Hall
9
International Inc, 1995. h. 301-24.
2 01
t
are
10. Klatskin G. Hepatitis associated with systemic infection. Dalam: Schiff L, penyunting. Disease of
the liver. Philadelphia: J.B.Lippincot Co. h. 395-419. 9 M
11. Markel H. Fever unknown origin, weight loss, and hepatomegaly s tro in a 3-year-old boy. J Pediatr
G a
1988;112(2):308-13. at
12. O’Brien CB. Systemic condition affecting the liver. r ap Dalam: Parker WA, Durie PR, Hamilton JR,
k
Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting.
u ntuPediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology,
tro
diagnosis, management. Volume 2. sPhiladelphia:
adisease
BC.Decker Inc, 1991. h.1081-86.
13. Schwimmer J, Balisteri WF. Liver r G associated with systemic disorders. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson A jaHB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17.
u
Philadelphia: WB Saunders,ku 2004. h. 1333-5.
eB
Fil
325
BAB
19
Hepatitis Kronis pada Anak
Nenny Sri Mulyani
19.2 Pendahuluan
Manifestasi klinis hepatitis kronis sangat bervariasi dari yang tidak bergejala, yang bergejala
nyata dengan tanda klinis penyakit hati yang jelas, hingga yang sudah menunjukkan
komplikasi berupa karsinoma hepatoselular. Contoh jelasnya adalah hepatitis B tanpa gejala,
dimana manifestasi sirosis baru tampak jauh setelah sirosis itu sendiri terjadi. Oleh sebab
itu, banyak penderita datang dalam keadaan fase lanjut. Akan tetapi pada keadaan tertentu,
misalnya penyakit hati metabolik autoimun, sudah dapat diprediksi bahwa perjalanan
penyakit akan menjadi kronis.
19.3 Definisi
Hepatitis kronis didefinisikan sebagai peradangan kronis hati tanpa tanda perbaikan yang
berlangsung selama enam bulan atau lebih.
326
Buku Ajar Gastrohepatologi
19.5 Etiologi
Penyebab hepatitis kronis yang penting pada anak adalah sebagai berikut: hepatitis autoimun,
penyakit hati metabolik misalnya defisiensi α1 antitripsin, tirosinemia, galaktosemia,
penyakit Wilson, beberapa tipe glycogen storage disease (terutama tipe IV), hepatitis virus B
dan D, dan sindroma Alagille.
19.6 Patogenesis
Akan dibahas beberapa contoh patogenesis hepatitis kronis dilihat dari beberapa penyebab
penting:
Hepatitis autoimun
Penyebab penyakit hati autoimun adalah multifaktorial. Terdapat 2 tipe hepatitis autoimun
berdasarkan antibodi yang terdeteksi saat diagnosis, yaitu: (1) hepatitis autoimun tipe I
yang memiliki anti-smooth muscle antibody (SMA) atau antinuclear antibody (ANA), dan
(2) hepatitis autoimun tipe II yang memiliki anti-liver kidney microsome9 antibody (LKM1)
01
re t 2 dalam patogenesis
atau anti-liver cytosol type 1 antibody (LC1). Faktor-faktor yang terlibat
Ma genetik, usia dan jenis
hepatitis autoimun dapat dibagi menjadi empat grup yaitu penyebab
9
kelamin, sistem imun, serta faktor lingkungan. tro as
G
p at
Faktor genetik r a
tuk
un
Telah dilaporkan adanya kasus hepatitisroautoimun yang bersifat familial. Pada sebuah studi di
a st
Eropa prevalensi haplotipe HLA A1-B8-DR3 dan HLA A1-B8-DR3-DR52a secara signifikan
j arG
lebih tinggi pada anak dengan hepatitis autoimun tipe 1 daripada populasi kontrol. Pada
uA
uk
populasi anak dengan Bhepatitis autoimun tipe 1 di Amerika Selatan ditemukan hubungan
le
yang kuat denganFihaplotipe HLA DRB1*1301-DQB1*0603; sedangkan keberadaan alel
DRB1*07 meningkat secara signifikan pada hepatitis autoimun tipe II. Sesuai perannya
sebagai molekul yang mempresentasikan antigen, alel-alel HLA, kemungkinan berperan
juga dalam munculnya atau resistennya individu terhadap penyakit ini.
327
Bab 19 Hepatitis Kronis pada Anak
Respons imun
Autoantibodi dapat menyebabkan manifestasi hepatitis autoimun apabila terdapat
autoantigen pada membran hepatosit. Sitokrom P450 2D6 adalah antigen yang dapat
dikenali oleh LKM1, tetapi perannya dalam hepatitis autoimun masih diperdebatkan.
Penyakit Wilson
Adanya mutasi gen pada kromosom 13 yang mengkode ATP-ase tipe P menyebabkan
gangguan ekskresi tembaga di saluran biliaris sehingga terjadi akumulasi progresif tembaga
di hati, dan pada akhirnya berakibat kerusakan hati. Hal ini juga menyebabkan penumpukan
tembaga di organ lain sehingga manifestasi klinisnya bervariasi. Kelainan pertama yang
terjadi adalah penumpukan tembaga di hati yang terjadi pada awal kehidupan. Umumnya,
pada dekade 1 atau 2 kehidupan deposit tembaga di hati sudah berlebih, sehingga akhirnya
tembaga keluar dari hati menuju organ lain melalui sirkulasi darah. Pada saat tersebut kadar
tembaga di hati turun, sebaliknya kadar tembaga di organ lain seperti otak, ginjal, mata dll
meningkat sehingga terjadi gangguan neurologi, gangguan mata, ginjal, dll.
Defisiensi α1 antitripsin 9
2 01
t
Ada beberapa teori yang menjelaskan patogenesis kerusakanre sel hati pada defisiensi α1
antitripsin. Teori umum yang diterima adalah teori akumulasi. 9 Ma Teori ini menyatakan
bahwa kerusakan hati terjadi akibat akumulasi protein stromutan dari α antitripsin di sistem
Ga 1
at
retikuloendotelial sel hati. Akumulasi tersebut pmenyebabkan pembentukan polimer protein
a
unik, aktivasi autofagi, kerusakan mitokondria,
tu k r stres pada retikulum endoplasmikum, serta
aktivasi kaspase yang menyebabkanokerusakanun hepatoselular.
str
G a
jar
Hepatitis B kronisku A
u
Perjalanan penyakit
i l e B hepatitis B tergantung pada replikasi virus pada hepatosit yang
F
berkelanjutan serta status imunologi penderita. Virus tidak langsung berefek sitopatik dan
progresivitas hepatitis kronik tergantung pada respon imun hospes. Perjalanan infeksi akut
virus hepatitis B yang akhirnya menjadi hepatitis kronis disebabkan oleh respon imun
selular yang buruk dalam mengeliminasi virus hepatitis. Pada respon imun selular yang
adekuat, hepatosit yang terinfeksi akan dilisiskan oleh sel T sitotoksik, namun jika tidak
adekuat maka virus akan berproliferasi dengan fungsi hati yang normal.
Perjalanan penyakit hepatits B kronis mencerminkan interaksi dinamis antara hospes
dan virus. Interaksi tersebut terkait dengan keadaan imun hospes, yang tergambar dari
manifestasi klinis infeksi virus hepatitis B yang berbeda pada anak bila dibandingkan dengan
dewasa. Manifestasi klinis infeksi virus hepatitis B pada anak sangat tergantung pada umur
terjadinya infeksi. Kenyataan bahwa hampir 90% infeksi hepatitis B terjadi pada saat bayi,
dan 40%-70% sebelum umur tiga tahun menunjukkan bahwa belum sempurnanya sistem
imun anak erat kaitannya dengan kejadian infeksi. Pada anak, perjalanan penyakit hepatitis
B dapat disertai gejala maupun tanpa gejala. Ini menyulitkan dalam penentuan durasi yang
diperlukan hepatitis B kronik untuk akhirnya menjadi sirosis hepatis. Terdapat beberapa
kasus sirosis hepatis yang terdiagnosis pada anak usia 3-6 tahun dan bayi.
328
Buku Ajar Gastrohepatologi
Sebagian kecil hepatitis kronis pada anak didahului adanya suatu periode akut infeksi
virus hepatits B. Periode akut ini terjadi karena sistem imun bereaksi dan menimbulkan
respon imun terhadap virus. Sistem imun bereaksi terhadap infeksi virus hepatitis B
melalui innate immunity dan adaptive immunity, yang terdiri dari imunitas seluler maupun
imunitas humoral. Innate immunity bereaksi pertama kali dalam usaha menghadapi infeksi
virus hepatitis B. Mekanisme imun ini dicetuskan sendiri oleh hepatosit yang terinfeksi
dengan mensekresi interferon (IFN) alfa dan beta yang akan menghambat replikasi virus
dan selanjutnya mengaktifkan sel NK (natural killer). Mekanisme respon imun selular
merupakan mekanisme imun spesifik terhadap virus hepatitis B. Respon imun ini juga
banyak terlibat dalam cedera hepatosit melalui cara-cara antara lain sebagai berikut:
1. Ekspresi MHC (HLA) kelas I terhadap HBcAg atau HBeAg pada membran hepatosit yang
terinfeksi oleh virus hepatitis B disertai dengan produksi sitokin berupa interferon-ά
untuk menghambat sintesis protein virus dan melindungi hepatosit yang lain.
2. Terjadi efek sitopatik langsung akibat ekspresi dari HBcAg pada hepatosit terinfeksi,
melalui ekspresi liver specific antigen pada membran yang antigenik dan menjadi sasaran
dari sel T sitotoksik.
3. Terjadi proses kenaikan kadar HBsAg yang cukup tinggi dan terjadi eradikasi yang
tidak efisien terhadap HBsAg yang beredar.
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Gambar 19.6.1. Mekanisme respon imun selular terhadap infeksi virus hepatits B
Kronisitas hepatitis B tergantung dari proses eradikasi virus dari hepatosit melalui
mekanisme imunitas selular dengan perantara sel T sitotoksik. Jika sel T sitotoksik tidak
berhasil menghancurkan semua hepatosit maka proses akan berkepanjangan dan menjadi
kronis. Ini dapat disebabkan kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi.
Hepatitis kronis umumnya berlangsung bertahun-tahun, selama waktu tersebut
penderita melewati beberapa fase dari hepatits kronis, diantaranya sebagai berikut:
329
Bab 19 Hepatitis Kronis pada Anak
1. Fase Imunotoleran
Fase imunotoleran terjadi pada umur muda dan biasanya berlangsung selama 10-30
tahun setelah masa infeksi perinatal dengan status HBeAg positif, dengan kadar HBV
DNA 2 x 104–2 x 108 IU/ml dan kadar ALT yang persisten normal
2. Fase imunoaktif
Fase imunoaktif ditandai dengan status HBeAg positif atau negatif, status kadar HBV
DNA 2 x 103–2 x 107 IU/ml, dan level ALT yang meningkat secara persisten, pada
fase ini pasien bisa simtomatik.
3. Fase non-replikatif
Fase non-replikatif terkait dengan karier HBsAG negatif, selama serokonversi karena
proses spontan atau karena pengobatan, terjadi kondisi karier HBsAG negatif dengan
status HBeAg negatif. Fase ini ditandai dengan kadar HBV DNA <2 x 103 IU/ml (sering
tidak terdeteksi), denagn ALT normal atau sedikit meningkat.
4. Fase residual
Virus hepatitis B pada fase ini berintegrasi dan bereplikasi di dalam hepatosit. Proses
berlangsung tanpa onkogenesis langsung dari virus yang bisa berakibat menjadi sirosis
dan karsinoma hepatoselular. Pada fase ini terjadi reaktivasi hepatitis dan kadang-
kadang disertai dengan dekompensasi hati.
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Perjalanan Infeksi virus hepatits B menjadi kronik dapat berlangsung lama, kira-kira
selama 30 tahun. Beberapa penderita hepatits B kronis pada akhirnya akan menderita
karsinoma hepatoselular. Kejadian ini terutama terjadi pada laki-laki dengan sirosis yang
terinfeksi virus hepatits B pada masa awal anak-anak. Sekitar 60%-90% pasien karsinoma
hepatoselular memiliki latar belakang sirosis hepatis namun hanya sekitar 5% dari kasus
sirosis hepatis yang berkembang menjadi kasus karsinoma hepatoselular. Hampir sekitar
80% kasus kanker hati di dunia disebabkan oleh virus hepatitis B.
330
Buku Ajar Gastrohepatologi
Kanker
Hati
5-10% (7)
Hati tidak
terkompensasi
9
19.7 Manifestasi Klinis t 2 01
re
Manifestasi hepatitis kronis persisten biasanya tidak jelas 9 Ma tanpa gejala. Penderita
atau
ro nafsu makan memburuk,
mengeluhkan sesuatu yang tidak khas seperti kelelahan,
G ast
intoleransi lemak serta rasa tak nyaman di daerah at
r ap hati. Pemeriksaan fisik bisa saja normal
atau terdapat ikterus yang ringan sampai tu k
sedang, hati dapat besar (hepatomegali) atau
un palmaris, spider vascular dan splenomegali.
mengecil, bisa didapatkan nyeri tekan,roeritema
st
r Ga
Hepatitis kronis karena autoimun menunjukkan gejala dan tanda yang melibatkan
A j a
organ lain seperti terdapatnya artritis, vaskulitis, nefritis, tiroiditis, anemia hemolitik dan
ku
terdapatnya ruam. e Bu
Fil sama dengan etiologi yang lain akan menunjukan gejala dan tanda
Penyakit Wilson
hepatitis kronis seperti hepatomegali asimtomatik dengan atau tanpa splenomegali,
hipertensi portal, asites, edema, perdarahan varises esofagus, atau efek yang timbul oleh
kelainan fungsi hati seperti pubertas terlambat, amenorea, dan gangguan pembekuan darah.
Penderita anak awalnya lebih menunjukkan penyakit hati kronis, seiring bertambahnya
umur manifestasi ekstrahepatik lebih dominan antara lain tremor, disartria, distonia,
deteriorasi di sekolah atau perubahan perilaku.
Penderita dengan defisiensi α1 antitripsin manifestasi penyakitnya bervariasi.
Kolestasis dan hepatomegali dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan namun
ikterik biasanya menghilang pada umur 2-4 bulan. Penyakit akan berlanjut menjadi hepatitis
kronis dan sirosis. Anak yang lebih besar akan lebih menunjukkan gejala dan tanda karena
sirosis dan komplikasinya seperti hipertensi portal.
Hepatitis B kronis dapat berkembang menjadi sirosis dan karsinoma hepatoselular
sehingga manifestasi klinisnya sesuai manifestasi klinis sirosis yang terkompensasi ataupun
yang dekompensata, dan karsinoma hepatoselular.
331
Bab 19 Hepatitis Kronis pada Anak
19.8 Diagnosis
Hepatitis kronis diketahui secara kebetulan pada saat pemeriksaan AST, ALT ataupun
apabila ditemukan tanda-tanda stigmata penyakit hati kronis. Diagnosis etiologi ditegakkan
dengan upaya-upaya anamnesis dan pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk masing-
masing penyebab.
Hepatitis autoimun
Adanya hepatitis kronis dan manifestasi sistemik lain seperti atralgia, akne, amenorrhea
adalah khas pada hepatitis autoimun. Diagnosis ditegakkan dengan adanya tanda di atas
ditambah ANA positif, SMA positif, dan LKMA positif
Penyakit Wilson
Diagnosis penyakit Wilson ditegakkan dengan adanya manifestasi klinis dari penyakit
hepar dan manifestasi ekstrahepatik seperti gangguan neurologis serta adanya penurunan
kadar seruloplasmin dalam serum kurang dari 20 mg/dl (nilai normal: 23- 43 mg/dl), tetapi
pada keadaan akut fulminan kadar tembaga sangat meningkat karena 19 nekrosis hati hepar
2 0
yang masif yang mengeluarkan banyak tembaga, peningkatanet ekskresi tembaga di urin
r
9 Ma
dalam 24 jam (lebih dari 190 μg/d), adanya cincin Kayser-Fleischer di iris, tembaga pada
ro
at
hepar lebih dari 250 μg/g (normalnya < 20 μg/g padasjaringan basah). Adanya tanda-tanda
G
at dan fosfatase alkali yang rendah adalah
anemia hemolitik, bilirubin yang sangat meningkat
khas untuk penyakit Wilson akut. r ap
k
untu
ro
Defisiensi α1 antitripsin G ast
ar A j
Diagnosis ini ditegakkanku dengan adanya kadar α1 anittripsin serum <50–80 mg/dl,
ditemukan fenotip Bu
spesifik (Pi ZZ, SZ), deteksi deposit dari diastase-resistant glycoprotein
Fi le
di periporta hepatosit, biopsi hati menunjukkan bukti adanya penyakit hati dan riwayat
keluarga adanya penyakit paru atau hati pada usia muda.
Hepatitis B kronis
Untuk menetapkan diagnosis hepatitis B kronis digunakan kriteria diagnostik yang
mencakup antara lain:
• Status HbsAg positif selama lebih dari enam bulan
• Pada pemeriksaan serologi didapatkan kadar HBV DNA di serum 20,000 IU/ml
(100.000 kopi/ml) atau batas terendah 2.000-20.000 IU/ml (10.000-100.000 kopi/ml)
• Kenaikan kadar AST /ALT di dalam serum yang persisten atau intermiten
• Pada biopsi hati terlihat gambaran hepatitis kronis dengan nekrosis dan inflamasi
sedang sampai berat
Penderita hepatitis B kronis dikatakan sebagai karier HBsAg inaktif jika memenuhi
kriteria berikut: (1) status HBsAg menetap lebih dari enam bulan, (2) HBeAg negatif dengan
anti-HBe positif, (3) kadar HBV DNA dalam serum 2.000 IU/ml, dan (3) kadar ALT/AST
dalam serum dan biopsi hati persisten normal. Seseorang dikatakan sembuh dari hepatitis
332
Buku Ajar Gastrohepatologi
B jika adanya riwayat hepatits akut atau kronik, status anti HBc positif dengan atau tanpa
anti HBs, HBsAg negatif, HBV DNA tidak terdeteksi di serum dan kadar AST/ALT serum
normal. Biopsi hati dilakukan untuk menentukan tingkat keparahan (grade) dan stadium
dari penyakit (stage).
Tabel 19.8.1. Berikut parameter laboratorium dan penanda imunologi pada hepatitis B
Petanda imunologi akut kronik Pernah terinfeksi
HBsAg + + -
HBeAg awal + kemudian - +/- -
anti-HBs - - +
IgM anti-HBc + - -
IgG anti-HBc + + +
anti-HBe awal - kemudian + + +
HBV DNA awal + kemudian - + -
ALT sangat ↑ ↑ ringan-moderat normal
Sumber: Ganem, 2004.
9
2 01
19.9 Penatalaksanaan aret
9M
st
Dalam melakukan tatalaksana harus selalu disesuaikanadengan EBM yang selalu dilakukan
ro
t G
up date. p a
a r
tuk
un
Hepatitis autoimun ro
G ast
jar adalah mengurangi dan menghilangkan peradangan hati
Tujuan terapi hepatitis autoimun
A
u Golongan kortikosteroid prednison bisa digunakan dengan
uk
dengan efek samping minimal.
B
e
Fil
dosis awal of 1–2 mg/kgBB/hari, dan dilanjutkan sampai nilai transaminase kembali sampai
kurang dari 2 kali batas atas normal. Dosis diturunkan sampai 0,2–0,3 mg/kgBB/hari untuk
pemeliharaan. Obat-obatan imunosupresif seperti azatioprin digunakan jika tidak ada
respon terhadap pengobatan steroid.
Penyakit Wilson
Terapi pada penyakit Wilson adalah pemberian copper chelating agents seperti penisilamin
atau trientin dan pemantauan ekresi tembaga dalam urin. Jika eksresi tembaga urin
menurun maka bisa diberikan garam seng. Terapi yang adekuat juga dilakukan untuk
mencegah gangguan sistem saraf yang lebih lanjut.
Defisiensi α1 antitripsin
Sampai saat ini belum ada terapi untuk penyakit ini. Tata laksana dilakukan secara suportif
untuk mengurangi derajat kerusakan hati. Transplantasi hati adalah salah satu metode
kuratif saat ini. Di masa depan mungkin bisa dilakukan terapi gen.
333
Bab 19 Hepatitis Kronis pada Anak
Hepatitis B kronis
Terapi Medikamentosa
Penatalaksanaan hepatitis kronis khususnya hepatitis B kronis bertujuan mengeradikasi
virus dari dalam tubuh atau mengurangi tingkat replikasi virus dan terjadinya penyembuhan
penyakit hati yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg, HBeAg, DNA polimerase dan
HBV DNA dan juga perubahan kadar SGOT dan SGPT dalam batas normal. Tujuan utama
adalah mencegah hepatitis kronis berkembang menjadi sirosis hepatis, gagal hati dan
karsinoma hepatoselular. Tujuan lain hanya untuk memperbaiki derajat penyakit, dengan
menghilangkan gejala klinik, memperbaiki hasil laboratorium seperti SGOT, SGPT dan
fungsi hati.
Secara garis besar terdapat tiga macam obat yang digunakan dalam pengobatan
terhadap hepatits B kronik. Obat-obatan bekerja dengan cara mencegah proses replikasi
virus hepatits B. Obat-obat yang digunakan antara lain interferon alfa dan obat-obatan
antiviral, seperti lamivudin dan adefovir.
• Interferon alfa
Interferon alfa bekerja sebagai antivirus, antiproliferatif dan imunomodulator.
Interferon alfa diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun dengan status
9
HBeAg positif dan HBV DNA positif serta kadar ALT setidaknya 2 01 dua kali lipat batas
re t
normal. Pemberian interferon alfa pada anak kurang dari
9 Ma 2 tahun bisa menyebabkan
retardasi pertumbuhan. Beberapa ahli tidak mendapatkan
a stro retardasi pertumbuhan
yang signifikan pada anak berusia dibawaht 2Gtahun yang diterapi dengan interferon
a2
alfa. Dosis yang digunakan adalah 5 MU/m
k rap dengan dosis maksimum 10 MU secara
u
intramuskular atau subkutan 3 kalintseminggu selama 4 sampai 6 bulan. Keberhasilan
o u
r
terapi ditandai dengan kadarstHBV DNA yang rendah dalam serum. Sekarang telah
a
j ar G alfa yang lebih mudah pemberiannya.
tersedia Pegylated Interferon
uA
Efek samping kinterferon alfa yang paling sering adalah influenza-like illness yang
ditandai dengan Budemam, menggigil, sakit kepala, badan lemah dan nyeri otot. Efek
Fi le
samping yang lain adalah lesu, anoreksia, kehilangan berat badan dan kerontokan
rambut. Interferon alfa bisa berefek mielosupresif, tetapi netropenia (1000/mm3) dan
trombositopenia (50,000/mm3) yang signifikan sangat jarang terjadi.
• Lamivudin
Obat lain yang digunakan antara lain adalah lamivudin, suatu agen antivirus yang
bekerja pada DNA polimerase virus. Lamivudin diindikasikan pada penderita yang
tidak berespons terhadap interferon atau kontraindikasi untuk terapi interferon. Dosis
yang digunakan adalah 3 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 100 mg/hari selama
1 tahun yang sama efektif dengan terapi satu seri interferon alfa. Pada umumnya
lamivudin bisa ditoleransi dengan baik oleh anak, tetapi beberapa ahli mendapatkan
trombositopenia yang diinduksi oleh lamivudin. Resistensi lamivudin berkaitan dengan
adanya covalently closed circular (ccc) HBV DNA pada sekitar 14%-32% pendeita
dengan HBeAg positif setelah terapi lamivudin selama setahun.
• Adefovir
Obat antiviral lain yang direkomendasikan FDA dan telah digunakan di Amerika dan
Eropa adalah adefovir, suatu suatu analog adenosin monofosfat yang bekerja pada
enzim reverse trancriptase dan DNA polymerase serta menyebabkan terminasi rantai
334
Buku Ajar Gastrohepatologi
Preventif
Upaya preventif dilakukan dengan imunisasi aktif pada populasi yang berisiko untuk
memotong jalur transmisi. Sasaran utama adalah bayi baru lahir yang9divaksinasi segera
01
setalah lahir dalam waktu 12 jam pertama kehidupan et 2 r
9 Ma
ro
Daftar Pustaka ast
tGa 17th edition, Elsevier, Philadelpia, 2004
ap
1. Behrman, Richard E. et al, Nelson Textbook of Pediatrics
2. EASL International Consensus Conferencetuon k r Hepatitis B, Geneva, Switzerland, Journal of
Hepatology volume 38; page 533–540,ro2002. un
st
aHepatitis
3. Ganem, Don; Prince Alfred M. B Virus Infection, Natural History and Clinical
Consequences, New England j ar G of Medicine 350:1118-1129, 2004.
Journal
A
4. Hepatitis B. Geneva, u ku Health Organization, WHO,available at http://www.who.int/csr/
World
eB
Fil
disease/hepatitis/HepatitisB_whocdscsrlyo2002_2.pdf, 2002.
5. Jonas, Maureen M et al, Clinical Trial of lamivudine in Children with Chronic Hepatitis B, New
England Journal of Medicine 346:1706-1713, 2002.
6. Kliegman, Robert M.; Marcdante, Karen J.; Jenson Hal B.; Berhman, Richard E Nelson Essentials
of Pediatrics fifth edition, Elsevier Saunders, Philadelphia, 2006.
7. Liberek Anna, arska-Popławska Anna Szafl, Korzon Maria, Łuczak Grażyna, Góra-Gębka
Magdalena, Łoś-Rycharska Ewa, Bako Wanda, Czerwionka-Szafl arska Mieczysława, Lamivudine
therapy for children with chronic hepatitis B, World Journal of Gastroenterology 12(15):2412-
2416, 2006.
8. Liberek, Anna; Luczak Graeyna; Gora-Gebka Magdalena; Landowski Piotr; Management of
Chronis Hepatitis B in Children, Journal of Hepatitis B Annual, volume 3, page 106-127, 2006.
9. Lok, Anna S. F. and McMahon, Brian J. Chronic Hepatitis B, Hepatology, Vol. 45, No. 2, 2007.
10. Medical Management of Chronis hepatitis B and Chronic Hepatitis C, IDU HIV Prevention CDC,
available at http://www.cdc.gov/idu, 2002.
11. Management of hepatitis B and HIV coinfection, Clinical Protocol for the WHO European region,
Geneva, World Health Organisation, WHO, available at www.euro.who.int/document/SHA/
e90840_chapter_7.pdf, 2005.
12. Perlmutter,David H., Alpha-1-antitrypsin deficiency: diagnosis and treatment, Clinical Liver
Disease (8) 839– 859, 2004.
335
Bab 19 Hepatitis Kronis pada Anak
13. Suchy, Frederick J, Sokol, Ronald J., Balistreri, William F. (eds.) Liver Disease in Children.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2004.
14. Teckman, Jeffrey H.; Lindblad,Douglas, Alpha-1-Antitrypsin Deficiency: Diagnosis,
Pathophysiology and Management, Current Gastroenterology Reports, 8:14–20, 2006.
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
336
BAB
20
Kolestasis Intrahepatik
pada Bayi dan Anak
Julfina Bisanto
20.2 Pendahuluan
Kolestasis intrahepatik atau disebut juga kolestasis hepatoselular, adalah sindrom klinik yang
timbul akibat hambatan sekresi dan/atau aliran empedu yang terjadi di dalam hati. Pada
bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan disebut pula sebagai sindrom
hepatitis neonatal. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi, retensi, serta regurgitasi bahan-
bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol
ke dalam plasma dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan
337
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak
penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati. Penumpukan
bahan yang harus diekskresikan oleh hati tersebut akan merusak sel hati dengan berbagai
tingkat gejala klinik yang mungkin terjadi serta pengaruhnya terhadap organ sistemik
lainnya tergantung dari lamanya kolestasis berlangsung serta perjalanan penyakit primer
yang menjadi penyebab kolestasis tersebut.
Penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi lebih beragam dibandingkan anak yang
lebih besar karena hati bayi yang masih imatur. Penyebab tersebut antara lain infeksi,
kelainan genetik, endokrin, metabolik, atau tumor. Penelitian mengenai patofisiologi dan
patogenesis kolestasis ini pada tingkat molekular serta perubahan dalam tes diagnostik
masih terus terjadi secara berkesinambungan.
Selanjutnya akan dibahas berbagai aspek mengenai kolestasis intrahepatik pada
bayi atau sindrom hepatitis neonatal dan kolestasis intrahepatik pada anak secara umum
termasuk etiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan komplikasinya, diagnosis, tatalaksana
serta prognosisnya dan secara khusus pada beberapa penyakit dengan singkat.
M ar
Bayi baru lahir mengalami suatu periode kolestasis relatif 9(disebut juga kolestasis fisiologis)
tro
tanpa menderita sesuatu penyakit. Keadaan ini terjadi s antara lain karena pada periode
t Ga
tersebut ukuran pool asam empedu masih kecil, a ambilan serta transportasi asam empedu
r ap
belum efisien (Tabel 20.3.1) sehingga bayiuktersebut lebih rentan untuk menderita kolestasis
t
akibat berbagai keadaan/penyakit. o un
r
G ast
ar menderita kolestasis intrahepatik
Tabel 20.3.1. Faktor predisposisi neonatusjuntuk
A
Konsentrasi asam empedu serumubasal ku tinggi.
e B
Ambilan asam empedu oleh
Fil hepatosit serta transportasinya belum efisien.
Konjugasi, sulfatisasi, serta glukuronidasi asam empedu masih sedikit.
Adanya asam empedu abnormal (atipik).
Ukuran bile acid pool kecil.
Sekresi asam empedu kurang.
Konsentrasi asam empedu di lumen usus masih rendah.
Reabsorpsi asam empedu di ileum masih sedikit .
Sumber: Arce, 2000.
338
Buku Ajar Gastrohepatologi
20.5 Etiologi
19
20
art
Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik, eendokrin atau imunologi
dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik seperti tercantum 9 M
pada tabel 20.5.1 untuk bayi
ro
ast
dan tabel 20.5.2 untuk anak. Biasanya dalam klinik, sukar untuk membedakan bermacam-
t G sindrom hepatitis neonatal seperti
macam etiologi kolestasis intrahepatik pada bayi aatau
rap akhirnya lebih dari setengahnya akan
tercantum di dalam tabel 20.5.1 tersebut, sehingga
k
tu yang diklasifikasikan sebagai idiopatik ini
un
dilabel sebagai “idiopatik”. Penderita kolestasis
o
t
makin berkurang dengan kemajuanasteknikr pencitraan, bidang virologi serta pemeriksaan
r G
a
biokimia yang canggih. Untukjinfeksi di Asia tampaknya CMV dan infeksi traktus urinarius
uA
merupakan penyebab yang uk paling sering.
B
e
Fil
339
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak
Tabel 20.5.1. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada bayi dan upaya diagnostiknya
Penyakit Strategi diagnostik utama
1. Infeksi
*Infeksi -kongenital
- Toksoplasma IgM-anti toksoplasma
- Rubella IgM-anti rubella,
- Cytomegalovirus Kultur virus urin, IgM-anti CMV
- Herpes simpleks Mikroskop elektron/ kultur virus vesikel
- Sifilis STS,VDRL, FTA-ABS, Ro.tul.panjang
- Human herpesvirus-6, herpes zoster Serologi
- Hepatitis B HBsAg, IgM-antiHBc, HBV-DNA
- Hepatitis C HCV-RNA (RT-PCR)
- Human immunodeficiency virus Anti-HIV, immunoglobulin, CD4
- Parvovirus B19 IgM antibodi
- Syncytial giant cell hepatitis Giant cell hepatitis pada biopsi hati
* Infeksi lain
- Tuberkulosis Mantoux, radiologi toraks
- Sepsis Kultur darah
- Sepsis virus enterik (echoviruses, Serologik, kultur virus cairan likuor
Coxsackie A dan B, adenovirus)
2. Kelainan genetik
9
- Trisomi 18 (21), cat eye syndrome
- Penyakit Byler
Kariotip
GGT, tes genetik et 2
01
r
3. Kelainan endokrin
9 Ma
- Hipopituitarism (displasia septo-optik) Kortisol↓, TSH ↓, T4↓ ro
- Hipotiroidism
TSH↑, T4↓, free T4↓, T3↓
G ast
at
4. Paucity duktus biliaris
r ap Ekokardiogram, embriotokson posterior,
- Sindrom Alagille k
u ntu “butterfly vertebrae”
- Paucity duktus non sindromik stro Paucity pada biopsi
- 5. Kelainan struktur r Ga
- Carolli disease
u Aj a USG, kolangiografi
6.Kelainan metabolik u k
B
F i le
- Def. alfa 1 antitripsin Kadar alfa 1 antitripsin serum, tipe PI
- Fibrosis kistik Sweat chloride, immunoreactive trypsin
- Galaktosemia Galaktose 1-6 phospate uridyltransferase
-Tirosinemia Tirosin serum, methionin, AFP,
suksinilaseton urin
- Fruktosemia herediter Biopsi hati: mik.elektron, aktivitas enzim
- Glycogen storage disease tipe IV Biopsi hati
- Niemann-Pick Tipe A Aspirasi sum –sum tulang, spingomielinase
- Niemann-Pick tipe C Storage cells pada aspirasi sum-sum
tulang,hati; biopsi rektum
- Penyakit Wolman Radiologi kel.adrenal
- Kel.sintesis as.empedu primer As.empedu urin
- Sindrom Zellweger Gambaran very long chain fatty acid
7. Imunologik
- L.E. neonatal Antibodi anti-Ro (bayi dan ibu)
- Hepatitis neonatal dengan AHA Coombs’ test, giant cell hepatitis
8. Toksik
-TPN Riwayat TPN/
-Obat obat
Sumber: Chang, 1996.
340
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 20.5.2. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada anak yang lebih besar
Infeksi virus akut (terutama HVA)
Kelainan yang diturunkan: penyakit Wilson, fibrosis kistik
Keganasan: leukemia, limfoma, tumor hati
Bahan toksik: obat/ jamur
Infeksi parasit: leptospirosis, skistosomiasis
Idiopatik/ lesi sekunder: hepatitis kronik, kolitis ulserativa, artritis reumatoid, obesitas
Sumber: Chang, 1996.
341
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak
kolestasis tersebut serta tergantung pula pada lamanya kolestasis berlangsung, dan juga
luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan
hepatomegali dan pada 40%-60% kasus juga ditemukan splenomegali.
Mekanisme terjadinya gejala klinik serta kelainan pemeriksaan laboratorium pada
kolestasis adalah keadaan sebagai berikut:
1. Berkurangnya garam empedu yang masuk ke usus sehingga mengakibatkan malabsorpsi
lemak dan vitamin yang larut di dalamnya, dan juga diare. Warna tinja menjadi lebih
pucat sampai dempul, dan urobilinogen urin berkurang atau tidak ada. Perubahan
warna tinja serta urobilinogen urin ini, sejalan dengan jenis serta beratnya hambatan
empedu tersebut dan berkorelasi pula dengan lamanya kolestasis yang berlangsung, serta
luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada kolestasis kronis, anak akan menderita
malnutrisi dan retardasi pertumbuhan serta gejala defisiensi vitamin yang larut dalam
lemak yaitu defisiensi vitamin A berupa kulit menebal dan rabun senja. Defisiensi
vitamin A ini terjadi pada 35%-69% kolestasis kronis. Defisiensi vitamin D yang berupa
osteopenia ditemukan pada 66% kolestasis kronis bila tidak mendapat suplementasi
vitamin D. Defisiensi vitamin E yang berupa degenerasi neuromuskular, dan anemia
hemolitik ditemukan pada 49%-77% bila tidak mendapat suplementasi vitamin tersebut.
Defisiensi vitamin K dapat terjadi pada 25% kasus yang tidak mendapat suplementasi
9
dan dapat mengakibatkan hipoprotrombinemia yang mungkin 2 01 menunjukkan gejala
re t
perdarahan.
9 Ma
2. Penumpukan komponen empedu dalam darah yang
a stro mengakibatkan terjadinya ikterus,
pruritus, xantomatosis dan hiperkolesterolemia. G Kerusakan sel hati terjadi akibat
p atasam empedu primer dan sekunder, serta
penumpukan komponen empedu terutama r a
mineral, misalnya cuprum (Cu/ tembaga),
ntuk yang bersifat hepatotoksik. Pada kolestasis
o u
r
kronik, kelainan hati menjadistprogresif, dan selanjutnya terjadi sirosis biliaris dengan
Ga
berbagai komplikasinya.ar Secara skematis, sekuele kolestasis bila telah berlangsung
Aj
kronik tersebut dapatu dilihat pada gambar 20.8.1.
Buk
e klinik lain yang dapat memberikan petunjuk penyebab kolestasis pada
Fil
Beberapa gejala
bayi dapat dilihat pada tabel 20.8.1.
20.8 Diagnosis
Diagnosis kolestasis intrahepatik dibuat berdasarkan:
Gejala klinik
Dari anamnesis mungkin terdapat riwayat kolestasis pada saudara kandung, bila
penyebabnya kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai riwayat morbiditas
selama kehamilan (infeksi TORCH, hepatitis B serta infeksi lainnya) dan riwayat kelahiran
(adanya infeksi intrapartum, berat lahir), morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi
parenteral, tranfusi serta penggunaan obat hepatotoksik yang mungkin ada bila keadaan
tersebut merupakan penyebab kolestasis pada bayi tersebut. Gejala muntah dan riwayat
hipoglikemia, mungkin ada bila penyebabnya sepsis, galaktosemia, intoleransi fruktosa
atau tirosinemia.
342
Buku Ajar Gastrohepatologi
Kolestasis
(aliran empedu )
Retensi/regurgitasi Malabsorpsi
- lemak
* Asam empedu + malnutrisi.
- pruritus (?) + retardasi pertumbuhan
- hepatotoksik + diare/steatorea
* Bilirubin kehilangan kalsium
- ikterus - vitamin yang larut
dalam lemak
* Kolesterol . A - kulit tebal
-- hiperkolesterolemia - rabun senja
. D - osteopenia
. E + degenerasi
Xantomatosis neromuskuler
19
20 hemolitik
+ anemia
- Mineral * trace elemen hepatotoksik
ret
. KMa– hipoprotrombinemia
-(tembaga dll)
9
stro
G a
p at
a
Penyakit hatik rprogresif
tu
o un bilier)
(sirosis
Gagal hati
Hipertensi porta st r
a
+ Hipersplenisme
j arG
+ Asites u A
Buk
+ Perdarahan (varises)
e
Fil
Gambar 20.8.1. Sekuele kolestasis kronik
Tabel 20.8.1. Gejala klinik pada beberapa penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi
Penyebab Gejala klinik
Infeksi CMV Mikrosefali, kalsifikasi ventrikuler, tuli saraf, korioretinitis, ventrikulomegali
Infeksi Toksoplasma Hidrosefalus, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi psikomotor
Infeksi Rubella Katarak, petekie, tuli saraf, mikrosefali, kelainan jantung, korioretinitis
Infeksi Herpes Rash, keratokonjungtivitis, ensefalitis
Infeksi Sifilis Rinitis, rash, kelainan tulang
Galaktosemia Muntah, FTT, perdarahan kulit, sepsis, katarak.
Trisomi 21,18,13 Anomali kongenital multipel
Sindrom Alagille Dismorfik, embriotokson, kelainan jantung, vertebra
Sumber: Boyer, 1996.
343
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak
Keadaan umum penderita kolestasis intrahepatik pada bayi biasanya tampak sakit
berat terutama akibat infeksi kongenital dan mungkin disertai dengan kelainan non hepatik
lain seperti katarak, kalsifikasi intrakranial, wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal
lainnya.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus
Kadar bilirubin direk darah meningkat ≥1,5 mg/dl tanpa peningkatan kadar bilirubin
indirek atau peningkatan ≥15% bilirubin total. Dalam urin ditemukan bilirubin.
Aminotransferase serum seringkali meningkat 2-4 x nilai normal; bila lebih tinggi
memberi petunjuk adanya proses infeksi. Fosfatase alkali mungkin normal atau agak
meningkat. Bila kadarnya lebih tinggi, lebih mengarah pada atresia biliaris atau ricketsia.
Gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) mungkin meningkat. Bila fosfatase alkali tinggi
dan GGT rendah (<100 U/l), mungkin suatu kolestasis familial progresif Byler atau
gangguan sintesis garam empedu. Albumin biasanya masih normal pada awal perjalanan
penyakit, tetapi akan menjadi rendah bila kelainan hati sudah berlanjut atau pada penyakit
prenatal yang berat. Masa protrombin biasanya normal tetapi mungkin memanjang yang
9
dapat dikoreksi dengan vitamin K parenteral, kecuali bila telah terjadi
2 01 gagal hati. Kolesterol
t
re ditemukan hipoglikemia
biasanya masih dalam batas normal pada 4 bulan pertama. aBila
9 M
harus dicurigai adanya kelainan metabolik, endokrinroatau kelainan hati lanjut. Dengan
pemeriksaan khusus yaitu spektrometri terhadap Gurin ast penderita, dapat dideteksi kelainan
at
ap
metabolisme asam empedu seperti defisiensir3-β-hidroksisteroid dehidrogenase/ isomerase
yang bermanifestasi sebagai penyakit hati tu k
yang berat. Pemeriksaan khusus serologis untuk
o un
tr
mendeteksi infeksi toksoplasma, srubella, cytomegalovirus dan herpes (TORCH), hepatitis
B (pemeriksaan pada bayi dan G a
ibu), kultur darah dan urin, serta kadar α-1-antitripsin dan
A jar
fenotipenya seyogianya udikerjakan. Untuk pemeriksaan khusus lainnya seperti hormon
tiroid, asam amino Buk serum dan urin, zat reduktor di urin, galaktose-1 fosfat uridil
dalam
e
Fil
transferase, uji klorida keringat dan pemeriksaan kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu
bila ada gejala klinik lainnya yang mendukung ke arah penyakit-penyakit tersebut. Kelainan
oftalmologis yang berupa korioretinitis mungkin ditemukan pada infeksi cytomegalovirus,
toksoplasmosis dan rubella, embriotokson posterior pada sindrom Alagille, dan katarak
pada galaktosemia atau cherryed spot pada lipid storage disease.
Pencitraan
• Ultrasonografi: dilakukan setelah penderita dipuasakan minimal 4 jam dan diulang
kembali setelah bayi minum (sebaiknya dikerjakan pada semua penderita kolestasis,
karena tekniknya sederhana, relatif tidak mahal, noninvasif, serta tanpa sedasi).
Pada kolestasis intrahepatik, kandung empedu terlihat waktu puasa dan mengecil
pada ulangan pemeriksaan sesudah bayi minum. Akurasi diagnostik pemeriksaan
ultrasonografi ini untuk kasus kolestasis hanya 80%.
• Skintigrafi pada kolestasis intrahepatik (hepatoselular) menunjukkan ambilan kontras
oleh hati yang terlambat tetapi ada ekskresi ke dalam usus. Dua hal yang harus dicatat
344
Buku Ajar Gastrohepatologi
pada pemeriksaan skintigrafi adalah realibilitas yang berkurang bila kadar bilirubin
direk sangat tinggi (>20 mg/dl) dan false positive dan negatifnya sebesar 10%. Karena
pemeriksaan ini memakan waktu yang banyak, maka tidak banyak para ahli yang
menggunakannya pada evaluasi diagnostik kolestasis.
Biopsi hati
Biopsi hati dianggap sebagai cara yang paling dapat dipercaya untuk membuat diagnosis
bayi dengan kolestasis. Akurasi diagnosis mencapai 95%-96,8% bila dibaca oleh ahli patologi
yang berpengalaman.1,5,13 Pada hasil biopsi yang representatif, paling sedikit harus dapat
diperlihatkan 5 portal tracts. Gambaran hispatologis hepatitis neonatal adalah perubahan
arsitektur lobulus yang mencolok, nekrosis hepatoselular fokal, pembentukan pseudoroset,
ada giant cells dengan balloning pada sitoplasma. Disamping itu, pada kolestasis intrahepatik
ini, lebih banyak terlihat fokus hematopoesis ekstramedulr, deposit hemosiderin pada sel
hati dan sel Kupffer, inflamasi intralobular dan hiperplasia sel Kupffer. Selanjutnya ahli
patologi dapat pula menentukan apakah ada penyakit Wilson, glycogen storage disease,
neonatal iron storage diseases, fibrosis hati kongenital maupun defisiensi α-1-antitripsin.12
Adakalanya diperlukan biopsi ulang untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika
penyakitnya yang dapat menolong memastikan diagnosis. 9
2 01
aret
9M
20.9 Beberapa Etiologi Kolestasis GIntrahepatik
ast
ro pada Bayi
at
r ap
Infeksi tuk
o un
r
Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks (TORCH)
G ast
r
ja beberapa gambaran klinik yang serupa, yaitu kuning,
Infeksi kongenital ini memberikan
kuA
hepatosplenomegali, pneumonitis, petekie atau purpura dan kecenderungan untuk
Bu
e
Fil
prematur atau pertumbuhan intrauterin yang terhambat.
• Toksoplasmosis: toksoplasmosis kongenital jarang terjadi. Gambaran klinik lainnya
adalah kelainan yang nyata dari sistem saraf pusat berupa hidrosefalus, mikrosefalus,
kalsifikasi intrakranial, kejang, nistagmus dan tanda tekanan intrakranial yang meningkat
serta kelainan mata berupa korioretinitis. Gambaran biopsi hati menunjukkan hepatitis
nonspesifik atau fibrosis portal dengan proliferasi duktulus biliaris. Terapi spiramisin
dapat mencegah progresivitas kelainan hati dan susunan saraf pusat. Prognosis
tergantung dari luasnya kelainan mata dan neurologis yang terjadi.
• Rubella: infeksi kongenital rubella saat ini jarang terjadi karena ada imunisasi untuk
penyakit ini. Gejala klinik lainnya adalah anemia, trombositopenia, kelainan jantung
kongenital (PDA atau stenosis arteri pulmonal), katarak, korioretinitis, retardasi
mental dan tuli neurosensorik. Gambaran histologis hati menunjukkan hepatitis giant
cells yang tipikal. Penyakit ini mungkin self limited atau berlanjut menjadi sirosis
• Sitomegalovirus: Sitomegalovirus adalah penyebab infeksi kongenital yang paling
banyak, dan terjadi pada 1%-2% neonatus, tetapi sebagian besar asimtomatik. Yang
bergejala, selain gejala yang dicantumkan di atas mungkin pula ada asites; tetapi jarang
menimbulkan gagal hati akut. Gejala lainnya adalah gejala susunan saraf sentral berupa
mikrosefali, kalsifikasi intrakranial dan korioretinitis. Tuli neurosensorik yang progresif
345
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak
serta cerebral palsy mungkin baru terlihat kemudian. Diagnosis pasti memerlukan
pemeriksaan kultur virus dalam 4 minggu pertama. Pemeriksaan serologis dan klinis
dapat menunjang adanya infeksi sitomegalovirus, tetapi tidak dapat membedakan
antara infeksi kongenital dan infeksi postnatal dini. Pada sebagian besar anak yang
terinfeksi sitomegalovirus, gejalanya ringan dan sembuh sempurna tetapi pernah
dilaporkan terjadinya fibrosis, sirosis dan hipertensi porta nonsirotik. Yang menjadi
problem menetap biasanya adalah kelainan perkembangan neurologis yang mungkin
atau sudah terjadi.
• Herpes simpleks: Pada neonatus, infeksi virus ini (tipe 1 atau 2, terutama tipe 2)
dapat menimbulkan kelainan multisistem yang sangat berat termasuk gejala ensefalitis,
hepatitis berat atau gagal hati fulminan. Pada biopsi hati dapat dilihat area nekrosis
dengan inklusi virus dalam sel hepatosit yang masih utuh. Pada kerokan lesi vesikel
ditemukan virus herpes simpleks tetapi pada neonatus mungkin tidak ditemukan lesi
herpes yang khas pada kulit, mulut, maupun mata.
Sifilis
Sifilis kongenital saat ini jarang terjadi di negara maju. Gejala yang timbul juga mengenai
multisistem termasuk retardasi perkembangan intrauterin dan selanjutnya 9 gagal tumbuh,
2 01
anemia berat dan trombositopenia, sindrom nefrotik, periostitis, t nasal discharge, rash pada
Mare
kulit, limfadenopati difus dan hepatomegali. Kuning mungkin 9 sudah terlihat dalam 24 jam
pertama. Pada beberapa bayi mungkin sama sekali tidak stro kuning, tetapi ada rash yang khas
Ga
pada telapak tangan dan kaki atau hanya ada demam p at dengan hepatomegali yang menyolok.
a 30% kasus. Pemeriksaan histologis hati
Gejala susunan saraf pusat terjadi padausampai
t kr
n hati. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
memperlihatkan Treponema pada jaringan
trou
serologis termasuk tes VDRL G as antibodi antitreponema. Pemeriksaan radiologis tulang
dan
panjang mungkin memperlihatkanj ar kelainan radiologis yang khas dalam 24 jam pertama
u A
dan menolong membuat k
u diagnosis secepatnya.
e B
Fil
Varisela
Varisela mungkin terjadi pada neonatus bila ibu terinfeksi dalam 2 minggu sebelum
melahirkan. Gejalanya cenderung lebih berat pada bayi prematur dan ringan pada bayi
cukup bulan yang berumur lebih dari 10 hari. Manifestasi yang timbul dini serta infeksi
yang terjadi selama masa kehamilan dapat berakibat fatal. Gejala klinisnya berupa kuning,
kelainan kulit yang luas dan keterlibatan multisistem terutama pneumonia dan kelainan
parenkim hati pada kasus yang fatal.
346
Buku Ajar Gastrohepatologi
menimbulkan gejala klinik yang serupa, hanya miokarditis dan gagal jantung lebih condong
akibat infeksi virus Coxsackie.
Tuberkulosis
Tuberkulosis kongenital jarang terjadi, tetapi pada beberapa tahun terakhir akibat
meningkatnya prevalensi tuberkulosis pada ibu usia subur, maka tuberkulosis pada bayi
menjadi lebih sering terjadi. Neonatus mungkin terinfeksi melalui cairan amnion atau
sekret serviks yang terinfeksi pada saat lahir. Diagnosis tuberkulosis pada neonatus dibuat,
bila ada salah satu gejala berikut: lesi pada minggu pertama kehidupan, kompleks hepatik
primer atau granuloma kaseosa di hati, infeksi tuberkulosis pada plasenta atau genitalia
ibu, dan tidak ada infeksi postnatal. Hepatomegali sering ditemukan, tetapi kuning jarang
terjadi dan bila ada merupakan tanda beratnya penyakit. Gejala lainnya 9yang sering adalah
01
distres pernafasan, kesukaran minum, dan demam. Mortalitas mencapaiet 2 30%.
r
9 Ma
ro
Hepatitis neonatal idiopatik ast
tG
a
Etiologi kolestasis pada bayi yang terjadi dalam
k rap3 bulan pertama tidak dapat ditemukan
pada 25% kasus dan kelompok bayi ini disebuttu hepatitis neonatal idiopatik yang cenderung
un masa kehamilan yang mungkin merefleksikan
ro
merupakan bayi prematur atau kecilstuntuk
a
j arG
kelainan genetik atau infeksi intrauterin. Pada 5%-15% kasus, lebih dari 1 anak dalam
keluarga menderita penyakit A
u yang sama. Pada biopsi hati dapat ditemukan giant cell
Buk inflamasi, tetapi duktus bilier biasanya normal.
transformation luas dengan
e
Fil
347
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak
• Kelainan mata yang terjadi dapat sangat beragam. Yang paling sering dan memerlukan
pemeriksaan dengan slit-light adalah embriotokson posterior dan Schwalbe’s line yang
abnormal.
• Kelainan jantung dapat berupa stenosis arteri pulmonal, tetralogi Fallot, stenosis katup
pulmonal, stenosis aorta, dan ASD. Beratnya kelainan jantung bervariasi.
• Gagal tumbuh yang dihubungkan dengan retardasi intrauterin.
Malnutrisi berat ditemukan pada ±50% penderita yang mungkin merupakan
bagian dari sindrom Alagille atau sekunder terjadi akibat malabsorpsi atau refluks
gastroesofageal.
348
Buku Ajar Gastrohepatologi
PFIC- 2
Pada PFIC-2 ini, mutasi terjadi pada kromosom 2q24. Gejalanya sama dengan PFIC-1,
hanya tidak ada diare serta pankreatitis.
PFIC-3
PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang mempunyai kadar GGT yang meningkat. Kuning
kurang mencolok dibandingkan pruritus dan sistem biliaris dalam batas normal pada
pemeriksaan pencitraan. Pada semua tipe PFIC, diversi biliaris dapat menghilangkan
pruritus bila dikerjakan sebelum terjadi fibrosis hati yang bermakna.
349
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak
bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu metabolisme beberapa
obat diantaranya vitamin D, sehingga dapat mengeksaserbasi ricketsia.
Dosis: 3-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis.
• Asam ursodeoksikolat: asam empedu tersier yang mempunyai sifat lebih hidrofilik
serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer serta
sekunder sehingga merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik.
Selain itu asam ursodeoksikolat ini merupakan suplemen empedu untuk absorpsi
lemak. Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena antara lain dapat
menstabilkan dan melindungi membran sel hati serta sebagai bile flow inducer
karena meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas transporter pada membran sel
hati.
350
Buku Ajar Gastrohepatologi
- E : 25-50 IU/kgBB/hari
- K : Kl 2,5-5 mg/2-7x/minggu
3. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
20.11 Prognosis
Tergantung penyakit dasar, prognosis umumnya baik yaitu 60% sembuh pada kasus
sindrom hepatitis neonatal yang sporadik, sementara pada kasus yang bersifat familial,
prognosisnya buruk (60% meninggal). Prognosis hepatitis neonatal idiopatik biasanya baik
dengan mortalitas sebesar 13%-25%. Prediktor untuk prognosis yang buruk adalah: kuning
hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul, riwayat penyakit 9 dalam keluarga,
2 01
hepatomegali persisten dan terdapatnya inflamasi hebat pada hasil
re t
biopsi hati.
9 Ma
ro
Daftar Pustaka G ast
pat
1. Arce DA, Costa H, Schwarz SM. Hepatobiliaryradisease in children. Clinics in Family Practice
2000;2:1-36 tu k
n
ro u SP. Gambaran kolestasis pada bayi di Departemen
2. Bisanto J, Jong DM, Oswari H, Purnamawati
t
as
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
j ar G Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam, 12-14 Juli 2004.
uA
3. Bisanto J, Putra IA, Hadinegoro SR. Clinical and laboratory manifestations of cholestasis in
infancy. In Press. Buk
e
4. Bolder U, Ton-NuFil HT, Schteingart CD, Frick E, Hofmann AF. Hepatocyte transport of bile
acids and organic anions in endotoxemic rats: Impaired uptake and secretion. Gastroenterology
1997;112:214-25.
5. Boyer JL. Bile secretion models, mechanisms, and malfunctions. A perspective on the
development of modern cellular and molecular concepts of bile secretion and cholestasis. J
Gastroenterol 1996;3:475-81.
6. Bull LN, Carlton,VE, Stricker NL et al. Genetic and morphological findings in progressive familial
intrahepatic cholestasis(Byler disease PFIC-1 and Byler syndrome) evidence for heterogeneity.
Hepatology 1997;26:155-64
7. Chang MH. Differential diagnosis of cholestasis in infancy. Dalam: Suharyono, Firmansyah
A, Syarif BH, penyunting. Asian Pan Pacific society for paediatric gastroenterology and
nutrition.Coordinating Working Unit of Gastroenterology Indonesian Society of Paediatricians
; December 16-19, 1996; Jakarta: IDAI; 1996. h . 213-24.
8. D’Agata ID, Balistreri WF. Evaluation of liver disease in the pediatric patient. Pediatr Rev.
1999;20:376- 89.
9. Desmet VJ, Callea F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood. Dalam: Zakim D, Boyer
TD, penyunting. Hepatology. A Textbook of liver disease; edisi ke-2. Philadelphia: Saunders,
1990. h . 1355-95.
351
Bab 20 Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak
352
BAB
21
Hipertensi Porta
Hanifah Oswari
21.2 Pendahuluan
Pada hipertensi porta terjadi abnormalitas hemodinamik. Pada orang dewasa, hipertensi
porta umumnya disebabkan oleh sirosis hepatis, sedangkan pada anak lebih banyak
353
Bab 21 Hipertensi Porta
disebabkan oleh kelainan ekstrahepatik dengan fungsi hati yang normal. Hipertensi
porta dan komplikasinya seperti varises esofagus dan asites sering terjadi pada orang
dewasa dengan penyakit hati kronis. Perdarahan gastrointestinal merupakan manifestasi
klinis hipertensi porta yang paling berat baik pada dewasa maupun anak. Perdarahan
gastrointestinal akibat hipertensi porta paling sering disebabkan oleh perdarahan varises
esofagus dan gaster.
21.3 Definisi
Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan tekanan porta di atas nilai normal, yaitu
1-5 mmHg. Secara klinis hipertensi porta yang signifikan didefinisikan sebagai tekanan
porta di atas 12 mm Hg karena berhubungan dengan kemungkinan terjadinya perdarahan
akibat hipertensi porta. Perdarahan gastrointestinal akibat hipertensi porta ini berhubungan
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
21.6 Patogenesis/Patofisiologi
Peningkatan tekanan porta disebabkan oleh peningkatan resistensi vaskular dan
peningkatan aliran darah porta. Tempat peningkatan resistensi tergantung pada
proses penyakitnya. Tempat obstruksi dapat terjadi prehepatik (obstruksi vena porta),
intrahepatik (presinusoid: misalnya fibrosis hepatik kongenital; parasinusoidal: sirosis,
terapi obat hepatotoksik, hepatotoksitas vitamin A; postsinusoidal: venocclusive disease)
dan/atau posthepatik (sindrom Budd-Chiari, perikarditis konstriktiva).
354
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 21.6.1. Penyakit anak yang berhubungan dengan hipertensi porta-klasifikasi berdasarkan patofisiologi
I. Kelainan prehepatik
a. Peningkatan resistensi
Trombosis vena porta-transformasi kavernosa
Omphalitis, kateterisasi neonatal, trauma, sepsis, peritonitis, dehidrasi
kelainan pembekuan (defisiensi protein S, C)
Trombosis vena lienalis
Primer, sekunder (pankreatitis)
b. Peningkatan aliran darah
Fistula A-V
Giant hemangiomatosis
Splenomegali masif kronis
II. Kelainan intrahepatik
a. Hepatoselular
Hepatitis kronis (virus)
Hepatitis autoimun
Fibrosis hati kongenital
Penyakit Wilson
Defisiensi alfa-1 antitripsin
Glycogen storage disease tipe IV
Hepatotoksisitas kronis
9
Histiositosis
2 01
Schistosomiasis
re t
Hepatic storage disease-Gaucher’s disease
9 Ma
b. Penyakit saluran bilier ro
Atresia biliaris ekstrahepatik
G ast
at
Penyakit kolestasis intrahepatik (Sindrom Alagille, PFIC)
r ap
Cystic fibrosis k
Sclerosing cholangitis u ntu
o
Choledochal cyst
astr
G
Ajar
III. Kelainan posthepatik u
a. Sindrom Budd-Chiari Buk
Hiperkoagulopati Fi l e
Neoplasma, penyakit kolagen, penggunaan kontrasepsi oral
b. Trauma, idiopatik
c. Penyakit jantung kongenital
d. Obstruksi vena kava inferior
e. Penyakit veno-eksklusif
Hipertensi porta idiopatik
A-V = arteriovena ; PFIC = Progressive familial intrahepatic cholestasis
Sumber: Chen, 1996.
Secara praktis yang penting adalah menentukan apakah ada penyakit parenkim hati atau
tidak. Penyakit hati terjadi pada semua kelompok di atas kecuali pada kelainan prehepatik.
Hipertensi porta terjadi karena: (1) peningkatan resistensi vaskular intrahepatik
dan (2) peningkatan aliran vena porta. Pada sirosis terjadi perubahan struktural berupa
peningkatan tahanan vaskular intrahepatik melalui gangguan langsung pada aliran darah
di sinusoid. Selain itu pada hati yang sirosis terjadi peningkatan tonus vaskular akibat
defisiensi relatif vasodilator lokal intrahepatik, terutama nitrat oksida (nitric oxide).11
355
Bab 21 Hipertensi Porta
Selain peningkatan resistensi vaskular intrahepatik, terjadi juga peningkatan aliran darah
porta karena vasodilatasi splanknik yang diperantarai oleh nitrat oksida. Akibatnya
terjadi sirkulasi hiperdinamik yang tergantung pada vasodilatasi perifer dan retensi
natrium kompensatorik dengan ekspansi volume plasma karena pengaktifan sistem renin-
angiotensin-aldosteron. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis dapat dilihat pada Tabel
21.7.1. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta dapat dilihat pada Tabel 21.7.2.
21.7 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis hipertensi porta umumnya mengejutkan. Kira-kira dua pertiga anak
dengan hipertensi porta datang dengan hematemesis-melena, biasanya karena pecahnya
varises esofagus. Perdarahan gastrointestinal juga dapat terjadi karena gastropati hipertensi
porta, gastric antral vascular ectasia (GAVE), atau dari varises gaster, duodenum,
periostomal atau rektum. Perdarahan dapat sangat hebat dan mengancam kehidupan.
Hampir seluruh pasien yang dilaporkan di atas juga dengan splenomegali pada saat datang
dengan perdarahan, oleh sebab itu kombinasi perdarahan gastrointestinal dan splenomegali
perlu dipikirkan akibat hipertensi porta terlebih dahulu sampai terbukti bukan.
9
Tabel 21.7.1. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis
2 01
I. Peningkatan resistensi aret
9M
A. Makroskopis (irreversibel?)
ro
1. Nodul regenerasi
G ast
t
2. Fibrous septa pa
3. Trombosis vena intrahepatik k ra
4. Ablasi parenkim hati unt
u
B. Mikroskopis (reversibel) st r o
a
1. Pembengkakan
j ar Gsel hepatosit
Ahepatic stellate cell (HSC) perisinusoidal
2. Aktivasi
ku
3. uKolagenosis perisinusoidal
i l
II. Peningkatan aliraneBdarah vena porta
F
A. Dilatasi vena porta
B. Peningkatan produksi vasodilator
C. Splenomegali
D. Sirkulasi hiperdinamik sistemik
Sumber: de Franchis, 2004.
TAHAP AKHIR
Ekspansi volume darah
Vasodilatasi umum
• Peningkatan vasodilator yang bersirkulasi (nitrat oksida, prostasiklin, glukagon, dll)
• Penurunan respons vaskular vasokonstriktor yang bersirkulasi
Peningkatan pirau (shunting)
Sumber: de Franchis, 2004.
356
Buku Ajar Gastrohepatologi
Hipertensi porta perlu dipikirkan pada anak dengan perdarahan gastrointestinal yang
signifikan atau splenomegali yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Pemeriksaan fisik
dilakukan untuk mencari tanda-tanda penyakit hati kronis. Pemeriksaan juga diperlukan
untuk menilai adanya gangguan pertumbuhan, lesi kutaneus yang mengarah pada
kelainan hati kronis (misalnya teleangiektasia, eritema palmaris). Kombinasi perdarahan
gastrointestinal dan splenomegali sangat sugestif untuk hipertensi porta. Pemeriksaan
laboratorium ditujukan untuk menilai fungsi hati. Pemeriksaan jumlah leukosit dan
trombosit dapat mengarah pada hipersplenisme.
Idealnya adanya hipertensi porta ditentukan dengan menentukan tekanan porta secara
langsung. Jika tekanan porta meningkat di atas batas normal maka disebut hipertensi porta,
tetapi pengukuran langsung tekanan porta bersifat invasif dan tidak praktis sehingga dicari
metode lain untuk menentukannya. Metode yang dapat digunakan adalah: (1) pengukuran
gradien tekanan vena porta, (2) USG Doppler abdomen, dan (3) endoskopi.
357
Bab 21 Hipertensi Porta
Endoskopi
Endoskopi gastrointestinal atas lebih tersedia dibandingkan pengukuran HVPG dan metode
yang lebih disukai untuk menilai hipertensi porta. Dengan endoskopi dapat dinilai ada
tidaknya varises esofagus atau gaster, ukuran varises, gastropati hipertensi porta. Endoskopi
terutama bermanfaat untuk menentukan sumber perdarahan, apakah karena pecahnya
varises atau karena sebab lain seperti gastritis atau ulkus peptikum. Terdapat kesepakatan
interobserver dalam menilai ukuran varises dan dicapai akurasi yang cukup memuaskan.
21.9 Terapi
Terapi hipertensi porta tergantung pada 3 keadaan klinis yaitu: (1) pencegahan perdarahan
varises pertama kali (profilaksis primer), (2) pengobatan perdarahan akut, dan (3)
pencegahan perdarahan varises berikutnya (profilaksis sekunder).
358
Buku Ajar Gastrohepatologi
359
Bab 21 Hipertensi Porta
sebaiknya digunakan sebagai pilihan utama pada pasien dengan kontraindikasi atau
menunjukkan intoleransi terhadap beta blocker.
Pemberian profilaksis untuk perdarahan varises pertama kali pada anak masih
kontroversial. Endoskopi surveilans pada anak dengan penyakit hati dan stigmata hipertensi
porta hanya dibenarkan jika dokter mengantisipasi pemberian profilaksis, baik beta blocker
atau ligasi dengan endoskopi. Terapi beta blocker pada hipertensi porta memberikan
efek primer penghambatan reseptor q2 pada splanchnic bed, yang menyebabkan tidak
dihambatnya stimulasi terhadap reseptor qqadrenergik, sehingga menurunkan perfusi
splanknik dan porta. Selain itu beta blocker juga menurunkan frekuensi denyut jantung
karena penghambatan reseptor q1 adrenergik sehingga menurunkan cardiac output dan
perfusi porta. Propranolol juga diketahui menurunkan sirkulasi kolateral seperti aliran
darah di vena azigos. Dosis terapeutik diharapkan dapat menurunkan frekuensi denyut
nadi minimal 25% dari frekuensi basal saat istirahat. Dosis propranolol 0,6 sampai 8,0 mg/
kgBB/hari dibagi 2-4 dosis perhari diperlukan untuk mendapatkan efek terapeutik. Efek
samping utama penggunaan propranolol adalah blok jantung dan eksaserbasi asma. Beta
blocker juga berpotensi mengganggu respons fisiologis terhadap hipoglikemia sehingga
obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan diabetes.
9
2 01
Pengobatan perdarahan akut aret
Penatalaksanaan perdarahan akut terdiri dari penilaian 9Mo awal pasien, resusitasi efektif,
diagnosis, pengendalian perdarahan dan pencegahan a str berulang dini, dan pencegahan
G
p at
komplikasi seperti infeksi, gagal ginjal atau ensefalopati hati.
r a
k
u ntu
Penilaian awal pasien ro
G ast
Adanya konsumsi obat-obat Ajar NSAID atau aspirin, riwayat perdarahan sebelumnya dan
u
diagnosis penyakit hati
Buk sebelumnya perlu ditanyakan. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan
il e
untuk mencari Ftanda-tanda penyakit hati kronis. Pemeriksaan awal perlu menilai beratnya
perdarahan (takikardi, hipotensi), disfungsi ginjal atau penyakit lain, beratnya penyakit
hati (Child-Pugh score) dan ada tidaknya infeksi (kultur). Pasien yang sedang menggunakan
beta blocker mungkin tidak ditemukan gejala takikardi walaupun telah terjadi gangguan
hemodinamik sehingga meningkatkan risiko terjadinya gangguan hemodinamik yang
lebih berat karena keadaan yang sebenarnya tidak dikenali.
Resusitasi
Pasien perlu dihindarkan dari kemungkinan aspirasi, terutama bila pasien tidak sadar.
Jalur intravena perlu dipasang. Pemberian volume cairan untuk menggantikan perdarahan
perlu diperhatikan dengan seksama karena pemberian volume restitusi sepenuhnya justru
akan meningkatkan tekanan vena porta melebihi yang semestinya sehingga berisiko
menimbulkan perdarahan selanjutnya. Saat ini bila akan memberikan transfusi packed red
cells dianjurkan untuk mempertahankan hematokrit antara 25%-30% saja.
Pemasangan nasogastric tube (NGT) aman dilakukan serta perlu untuk menilai
perdarahan yang masih berlangsung dan mengeluarkan darah. Darah merupakan sumber
protein yang dapat mempresipitasi ensefalopati. Selain itu darah di dalam lambung akan
360
Buku Ajar Gastrohepatologi
meningkatkan aliran darah splanknik dan berpotensi memperburuk hipertensi porta dan
perdarahan berikutnya.
Trombosit perlu diberikan bila jumlahnya kurang dari 50.000/ml dan koagulopati
perlu dikoreksi dengan vitamin K atau dengan fresh frozen plasma terutama pada pasien
dengan kolestasis. Antibiotik intravena sangat dianjurkan untuk diberikan pada pasien
dengan asites karena risiko terjadinya peritonitis bakterial spontan meningkat pada keadaan
perdarahan varises terutama yang membutuhkan endoskopi emergensi.
Diagnosis
Secepatnya pasien stabil, endoskopi perlu dilakukan untuk menentukan apakah perdarahan
memang berasal dari pecahnya varises. Tanda perdarahan baru adalah adanya bekuan
darah, adanya varises dengan perdarahan baru di lambung, dan tidak adanya sumber
perdarahan yang lain. Endoskopi merupakan bagian terintegrasi penanganan emergensi
perdarahan gastrointestinal akut pada anak dengan hipertensi porta. Cukup banyak pasien
dengan penyakit hati kronis dan perdarahan gastrointestinal dengan sumber perdarahan
bukan dari varises, misalnya ulkus duodenum atau ulkus gaster, tetapi farmakoterapi untuk
perdarahan akut tidak perlu ditunda sampai endoskopi dilakukan.
9
2 01
t
Pengontrolan perdarahan dan pencegahan perdarahan M are
berulang dini
9
Pengobatan perdarahan varises akut perlu ditujukan untuk ro mengontrol perdarahan dan
G
mencegah perdarahan dini. Terapi farmakologis (vasopressin,ast somatostatin, octreotide) dan
p at
a
r untuk mengontrol perdarahan akut.
terapi endoskopi (skleroterapi atau ligasi) efektif
ntuk
ou
Terapi farmakologis adalah menggunakan vasopressin atau somatostatin (atau
analognya). Vasopressin paling lama a str digunakan, bekerja dengan cara meningkatkan
tonus vaskular splanknik dan rG
jaakhirnya menurunkan aliran darah porta. Penggunaannya
u A
dibatasi oleh efek sampingk
u yang mungkin timbul, seperti gagal ventrikel kiri, iskemia
le B dan perut. Akibat dari efek samping yang mungkin timbul ini,
usus, angina, nyeriFidada
penelitian-penelitian dilakukan untuk mendapatkan alternatif terapi. Somatostatin dan
homolog sintetis octreotide juga menunjukkan penurunan aliran darah splanknik. Efek
ini dianggap karena penghambatan sekresi peptida vasoaktif peptida di usus. Efek obat ini
untuk perdarahan akut serupa dengan vasopressin, tetapi dengan efek samping yang lebih
rendah. Dosis octreotide yang dianjurkan untuk anak adalah 1,0 – 5,0 mg/kgBB/jam dengan
infus kontinyu, didahului pemberian bolus 1 kali dosis yang setara pemberian infus 1 jam.
Terapi kombinasi dengan obat vasoaktif (terlipressin, somatostatin atau analog-
octreotide atau vapreotide) dengan terapi endoskopi (skleroterapi atau ligasi) dievaluasi secara
luas. Studi meta-analisis menunjukkan bahwa terapi farmakologis dengan endoskopi lebih
efektif daripada terapi endoskopi tersendiri untuk mengontrol perdarahan dan mencegah
perdarahan berulang dalam 5 hari, tetapi tidak ada perbedaan mortalitas. Kombinasi terapi
endoskopi dan farmakologis dapat mengontrol perdarahan pada 90% pasien dan mencegah
perdarahan berulang dini sekitar 80%. Algoritme tatalaksana perdarahan yang dicurigai
varises dapat dilihat pada Gambar 21.9.1.
361
Bab 21 Hipertensi Porta
Curiga
perdarahan
varises
Resusitasi
Dengan obat vasoaktif
(misalnya octreotide)
Tidak tersedia
Endoskopi
fasilitas dan
diagnosis
tenaga ahli
Ligasi atau
9
Obat vaso aktif- Skleroterapi 2 01
Transfer ke RS yang aret
o 9M
ada fasilitas tsb
a str
atG Survailans
Perdarahan
ap
tu kr
terkontrol?
YA Endoskopi
n + Obat
trou
G as
Ajar Tidak
u
Buk
l e
Fi
TIPS
Ya
Berhasil
Tidak
Operasi pirau
362
Buku Ajar Gastrohepatologi
Pencegahan komplikasi
Infeksi bakteri merupakan komplikasi serius pada sirosis lanjut, terutama pada pasien
dengan perdarahan. Pada keadaan ini, infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, asites,
atau infeksi pada berbagai tempat dapat terjadi. Infeksi umumnya berasal dari flora usus,
dan yang paling sering adalah karena E. coli. Infeksi terjadi pada lebih dari sepertiga
pasien sirosis dengan perdarahan dalam waktu 7 hari perawatan, dan berhubungan
dengan kegagalan pengendalian perdarahan, perdarahan berulang dini, dan kematian dini.
Profilaksi antibiotik sudah merupakan bagian integral penanganan perdarahan pada pasien
sirosis.
363
Bab 21 Hipertensi Porta
Pada dua studi meta-analisis yang melaporkan perbandingan TIPS dengan terapi
endoskopi memberikan hasil yang sama yaitu TIPS secara bermakna menurunkan
perdarahan berulang dibandingkan dengan terapi endoskopi (19% vs 47%, p<0,001),
tetapi secara bermakna meningkatkan ensefalopati (34% vs 19%; p<0,001), dan tidak ada
perbedaan angka survival. TIPS pada anak telah dilakukan pada dua seri kasus yang kecil.
Daftar Pustaka
1. Banares R, Albillos A, Rincon D, Alonso S, Gonzalez M, et al. Endoscopic treatment versus
endoscopic plus pharmacologic treatment for acute variceal bleeding: a meta-analysis.
Hepatology 2002;35:609-15.
2. Bernard B, Cadranel JF, Valla D, Escolano S, Jarlier V, Opolon P. Prognostic significance of
bacterial infection in bleeding cirrhotic patients. Gastroenterology 1995;108:1828-34.
3. Borroni G, Salerno F, Cazzaniga M, Bissoli F, Lorenzano E, et al. Nadolol is superior to isosorbide
mononitrat for prevention of the first variceal bleeding in cirrhotic patients with ascites. J
Hepatol 2002;37:315-21.
4. Borzio M, Salerno F, Piantoni L, Cazzaniga M, Angeli P, et al. Bacterial infection in patients with
advanced cirrhosis: a multicenter prospective study. Dig Liv Dis 2001;33:41-8.
5. Botha JF, Campos BD, Grant WJ, Horslen SP, Sudan DL, et al. Portosystemic 9 shunts in children:
A 15 year experience. J Am Coll Surg 2004;199:179-85. 2 01
t
6. Burroughs AK, McCormic PA, Hughes MD, Sprenger D, D’Heygere
M are F, MCIntyre N. Randomized,
9
double-blinded, placebo-controlled trial of somatostatin
stro for variceal bleeding: Emergency
a
control and prevention of early variceal rebleeding.GGastroenterology 1990;99:1388-95.
7. Cales P, Oberti F, Payen JL, Naveau S, Guyader p at Blanc P, et al. Lack of effect of propranolol in
D,
the prevention of large oesophageal varices
ra patients with cirrhosis: a randomized tial. Eur J
k inth
ntu
Gastroenterol Hepatol 1999;11:741-5
trou
8. Chen L, Groszmann RJ. Bloodain s the gastric lumen increases splanchnic blood flow and portal
j ar G rats. Gastroenterology 1996;111:1103-10.
pressure in portal hypertension
A
9. Choi YJ, Baik SK, Parku ku DH, Kim MY, Kim HS, et al. Comparison of Doppler ultrasonography
B
and the hepatic
F ile venous pressure gradient in assessing portal hypertension in liver cirrhosis. J
Gastroenterol Hepatol 2003;18:424-9.
10. Conn HO, Lindenmuth WW, May CJ, Ramsby GR. Prophylactic portocaval anastomosis; a tale
of two studies. Medicine 1972;51:27-40.
11. D’Amico G, Pagliaro L, Bosch J. The treatment of portal hypertension: a meta-analytic review.
Hepatology 1995;22:332-54.
12. D’Amico G, Paglioro L, Bosch J. Pharmacologic treatment of portal hypertension: an evidence-
based approach. Semin Liver Dis 1999;19:475-505.
13. de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: report of the Baveno III consensus
workshop on definitions, methodology and therapeutic strategies in portal hypertension. J
Hepatol 2000;33:846-52.
14. de Franchis R, Dell’Era A, Iannuzzi F. Diagnosis and treatment of portal hypertension. Digestive
and Liver Disease 2004;36:787-798.
15. de Franchis R, Primignani M. Endoscopic treatments for portal hypertension. Semin Liver Dis
1999;19:439-55.
16. Feu F, Garcia-Pagan JC, Bosch J, Luca A, Teres J, Escosell A, et al. Relation between portal
pressure response to pharmacotherapy and risk of recurrent variceal haemorrhage in patients
with cirrhosis. Lancet 1995;346:1056-9.
17. Garcia-Tsao G. Portal hypertension. Curr Opin Gastroenterol 2003;19:250-8.
364
Buku Ajar Gastrohepatologi
18. Garcia-Tsao G, Groszmann RJ, Fisher RL, ConnHO, Atterbury CE, Glickman M. Portal pressure,
presence of gastro-esophageal varices and variceal bleeding. Hepatology 1985;5:419-24.
19. Grace ND. Diagnosis and treatment of gastrointestinal bleeding secondary to portal
hypertension. American College of Gastroenterology Practice Parameters Committee. Am J
Gastroenterol 1997;92:1081-91.
20. Graham DY, Smith JL. The course of patients after variceal hemorrhage. Gastroenterology
1981;80:800-9.
21. Groszmann R, Garcia-Tsao G, Makuch R, Bosch J, Escorsell A, et al. Multicenter randomized
trial of non-selective beta blocker in the prevention of complications of portal hypertension:
final result and identification of a predictive factor. Hepatology 2003;38:206A
22. Groszmann RJ, Wongcharatrawee S. The hepatic vein pressure gradient: anything worth doing
should be done right. Hepatology 2004;39:280-2.
23. Heyman MB, LaBerge JM, Somberg KA, Rosenthal P, Madge C, et al. Transjugular intrahepatic
portosystemic shunts (TIPS) in children. J Pediat 1997;131:914-9.
24. Heyman MB, LaBerger JM. Role of transjugular intrahepatic portosystemic shunts in the
treatment of portal hypertension in pediatric patients. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999;29:240-
9.
25. Imperiale TF, Chalasani N. A meta-analysis of endoscopic variceal ligation for primary
prophylaxis of esophageal variceal bleeding. Hepatology 2001;33:802-7.
26. Kravets D, Bosch J, Teres J, Bruix J, Rimola A, Rodes J. Comparison of intravenous somatostatin
9
01
and vasopressin infusions in the treatment of acute variceal hemorrhage.2Hepatology 1984;4:442-
re t
Ma concepts in diagnostic and
6.
27. Krowka MJ, Cortese DA. Hepatopulmonary syndrome: current 9
therapeutic considerations. Chest 1994;105:1528-37. ast
ro
G
28. Lange PA, Stoller KJ. The hepatopulmonary syndrome. at Ann Intern Med 1995; 122:521-9.
r ap
tuk meta-analysis of randomized clinical trials.
29. Luca A, D’Amico G, La Galla R, Midiri M, Morabito A, Pagliaro L. TIPS for prevention of
n
ou
recurrent bleeding in patients with cirrhosis:
Radiology 1999;212:411-21. a str
G P, Duche M, Bernard O. Risk of gastrointestinal bleeding
jar
30. Lykavieris P, Gauthier F, Hadchouel
A
during adolescentce and uearly adulthood in children with portal vein obstruction. J Pediatr
2000;136:805-8. le B
uk
Fi M, Bellon S, Zuin R, Noventa F, Finucci G, et al. Prognostic usefulness of
31. Merkel C, Bolognesi
hepatic vein catheterization in patients with cirrhosis and esophageal varices. Gastroenterology
1992;102:973-9.
32. Merkel C, Marin R, Angeli P, Zanella P, Felder M, et al. Beta-blockers in the prevention of
the aggravation of esophageal varices in patients with cirrhosis and small varices:a placebo-
controlled clinical trial. Heptology 2003;38:217A
33. McKieman PJ. Treatment of variceal bleeding.Ped Gastroint Endosc 2001;11:789-813.
34. Molleston JP. Variceal bleeding in children. JPGN 2003;37:538-45.
35. Ozsoylu S, Kocak N, Yuce A. Propranolol therapy for portal hypertension in children. J Pediatr
1985;106:317-20.
36. Papatheodoridis GV, Goulis J, Leandro G, Patch D, Burroughs AK. Transjugular intrahepatic
portosystemic shunt compared with endoscopic treatment for prevention of variceal rebleeding:
a meta-analysis. Hepatology 1999;30:612-22.
37. Reif S, Blendis L. Portal hypertension and ascites.Dalam: Walker WA,Durie PR, Hamilton JR,
Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease, edisi ke-3. Canada:
BC Decker; 2000. h. 233-43.
38. Rolando N, Gimson A, Philpot-Howard J, et al. Infectious sequelae after endoscopic sclerotherapy
of oesophageal varices:role of antibiotic prophylaxis. J Hepatol 1993;18:290-4.
365
Bab 21 Hipertensi Porta
39. Sabba C, Merkel C, Zoli M, Ferraioli G, Gainani S, Sacerdoti D, et al. Interobserver and
interequipment variability of echo-Doppler examination of the portal vein: effect of a cooperative
training program. Hepatology 1995;21:428-33.
40. Sacerdoti D, Gaiani S, Buonamico P, Merkel C, Zoli M, et al. Interobserver and interequipment
variability of hepatic, splenic and renal artery Doppler resistance indices in normal subjects and
patients with cirrhosis. J Hepatol 1997;27:886-92.
41. Shah SHA, Hayes PC, Allan PL, Nicholl J, Finlayson ND. Measurement of spleen size and its
relationship to hypersplenism and portal hyperdinamics in portal hypertension due to hepatic
cirrhosis. Am J Gastroenterol 1996;91:2580-83
42. Shashidhar H, Langhans N, Grand RJ. Propranolol in prevention of portal hypertension
hemorrhage in children: a pilot study. J Pediatr Gastroenterol Nur 1999;29:12-7.
43. Shneider BL. Portal hypertension. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, editors. Liver disease
in children. Philadelphia:Lippincott WW, 2001, edisi ke-2. h. 129-51.
44. Soh H, Hasegawa T, Sasaki T, Azuma T, Okada A, et al. Pulmonary hypertension associated with
postoperative biliary atresia: report of two cases. J Pediatr Surg 1999;34:1779-81.
45. Sokal EM, VanHoorebeeck N, VanObbergh L. Upper gastrointestinal track bleeding in cirrhotic
children candidates for liver transplantation. Eur J Pediatr 1992;151:326-8
46. Stringer MD, Howard ER, Mowat AP. Endoscopic sclerotherapy in the management of
oesophageal varices in 61 children with biliary atresia. J Pediatr Surg 1989;24:438-42.
47. The North Italian Endoscopic Club for the Study ant Treatment of Esophageal Varices. Prediction
of the first variceal hemorrhage in patients with cirrhosis of the liver 19 esophageal varices. N
0and
t 2
re
Ma Its role in the regulation of
Engl J Med 1988;319:983-9.
48. Weist R, Groszmann RJ. Nitric oxide and portal hypertension: 9
ro
intrahepatic and splanchnic vascular resistance (review).
G ast Semin Liver Dis 1999;19:411-26
49. Villanueva C, Minana J, Ortiz J, Gallego A, Soriano at G, et al. Nadolol plus isosorbid mononitrate
r apvariceal rebleeding. N Engl J Med 1996;334:1624-
compared with sclerotherapy for prevention k of
9. u ntu
50. Vivas S, Rodriguez M, PalacioasMA, tro Linares A, Alonso JL, Rodrigo L. Presence of bacterial
G
jar patients is independently associated with early mortality and
infection in bleeding cirrhotic
A
u Dig Dis Sci 2001;46:2752-7.
failure to control bleeding.
51. Westaby S, WilkinsonBuk SP, Warren R, Williams R. Spleen size and portal hypertension in cirrhosis.
e
Fil
Digestion 1978;17:63-8.
52. Zargar SA, Javid G, Khan BA, Yatto GN, Shah AH, et al. Endoscopic ligation compared with
sclerotherapy for bleeding esophageal varices in children with extrahepatic portal venous
obstruction. Hepatology 2002;36:666-72
366
BAB
22
Gangguan Saluran Cerna Fungsional
(FGID)
Reza Gunadi Ranuh
22.2 Pendahuluan
Gangguan saluran cerna fungsional adalah gangguan fungsi saluran cerna tanpa ada
kelainan organik saluran cerna. Prevalensi gagangguan gastrointestinal fungsional
(functional gastrointestinal disorder/FGID) pada anak di Indonesia belum diketahui. Studi
di negara barat melaporkan, prevalensi FGID pada anak usia sekolah mencapai 20-29%,
sedangkan prevalensi pada kelompok usia bayi dan balita sebagian besar tidak diketahui.
Beberapa hal yang mempengaruhi prevalensi FGID pada anak antara lain pola infeksi dan
pelayanan kesehatan berbeda, penggunaan antibiotik dalam 2 tahun pertama kehidupan,
infeksi saluran cerna maupun infeksi usus ekstraintestinal, alergi gastrointestinal, diet, dan
lama menyusui, serta persepsi orang tua tentang penyakit dan kekhawatiran orang tua yang
sangat bervariasi.
Patogenesis FGID ini belum diketahui dengan jelas. Namun diyakini bahwa unsur-
unsur hormonal, neuronal dan psikogenik berperan dalam timbulnya gejala FGID.
Beberapa faktor penting yang diperkirakan mempunyai pengaruh pada FGID antara lain
sistem saraf enterik (ENS), motilitas, sekresi enzim dan mikrosirkulasi, respon imun dan
367
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)
inflamasi saluran cerna. Kemampuan respon adaptif dari ENS sebagai pemicu fisiologis dan
stres mempengaruhi terjadinya FGID.
Gejala penyakit saluran cerna pada umumnya disebabkan karena masalah organik
atau masalah fungsional. Penyebab organik timbul sebagai akibat kerusakan dari jaringan
penyusun organ tersebut, dan akan menimbulkan gejala gangguan fungsi saluran cerna.
Sedangkan gangguan saluran cerna fungsional adalah gejala saluran yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya baik secara struktur maupun biokimia.1 Gangguan saluran cerna
fungsional umumnya disebabkan oleh berbagai hal kompleks yang saling berinteraksi,
mulai dari faktor biologis, psikososial, lingkungan, maupun budaya.
Beberapa keadaan klinis yang termasuk didalam FGID antara lain kolik, kembung,
regurgitasi, dan konstipasi. Prevalensi ganggguan saluran cerna fungsional cukup besar
pada bayi usia kurang dari 12 bulan, mencakup kolik infantil sebesar 20%, regurgitasi
30%, konstipasi fungsional 15%. Keadaan tersebut bila tidak ditasi dengan tepat, akan
mengakibatkan gangguan kesehatan anak di masa akan dating.2,3
Tata laksana gangguan saluran cerna fungsional diawali dengan melakukan koreksi
cara memberikan nutrisi dengan tepat dan informasi yang dapat meyakinkan keluarga.
Sebagai klinisi, sangat penting untuk memahami hal ini, sebelum melakukan evaluasi dan
tata laksana lanjutan, khususnya mengenal tanda-tanda bahaya “red 9flags” yang mungkin
2 01
e t
menyertainya, seperti turunnya berat badan dan gejala alergi seperti misalnya eksema atau
wheezing yang mungkin menyertai FGID. Gejala dan tanda M arsangat
ini mungkin merupakan
o 9
r
ast
indikator kelaian organik atau patologi yang harus diwaspadai.
G
p at
r a
k
22.3 Patogenesis ro
u ntu
Patogenesis FGID belum sepenuhnyaG ast
dipahami. Namun sebagian besar peneliti setuju
Aj ar
bahwa penyebab dari FGID multifaktorial dan adanya interaksi antara otak dan usus (Gut-
ku
uoptimal.
Brain Axis) yang tidakB Model biopsikososial, kerangka kerja yang mengintegrasikan
i le
proses biologis,Fpsikologis, dan sosial, adalah pola pemikiran yang banyak diterima saat
ini. Interaksi faktor genetik dan lingkungan tampaknya mempengaruhi perkembangan
hubungan antara sistem saraf pusat dan saluran cerna. Mutasi genetik pada awal kehidupan
serta masalah social budaya dan mekanisme koping, dapat menjelaskan variabilitas dalam
penampilan klinis antar individu.
Gangguan Motilitas
Motilitas saluran cerna normal merupakan hasil dari integrasi antara aktivitas myoelectrical,
kontraktilitas, kekuatan dan transit time usus. Penelitian pada orang dewasa, menujukkan
bahwa perubahan kualitas motilitas, akan menyebabkan timbulnya gejala FGID. Dismotilitas
dan perubahan transit time pada usus halus dan usus besar, akan mempengaruhi berat
ringannya gejala FGID. Jumlah dan amplitudo kontraksi kolon lebih nyata pada pasien
dengan Irritable Bowel Syndrome (IBS), namun hasil penelitian ini masih belum bisa secara
signifikan menjelaskan hubungan antara gangguan motilitas dengan gejala FGID.
368
Buku Ajar Gastrohepatologi
Hipersensitivitas Viseral
Studi pada sensasi viseral, merupakan aspek penting dari fungsi usus, memperjelas
patofisiologi FGIDs. Hipotesis adanya hipersensitivitas viseral dapat menjelasakan gejala
klinis pada IBS. Pada penelitian membuktikan bahwa pasien dewasa dan anak dengan IBS
mengalami hipersensitivitas viseral lebih besar dibandingkan dengan pasien kontrol.
Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara predisposisi genetik dan
pengaruh sosial dalam perkembangan FGID pada anak. Anak dengan keluhan sakit perut
berulang, secara signifikan mempunyai orang tua dengan riwayat keluhan saluran cerna
lebih dominan dibandingkan kontrol.
Kembar satu telur mempunyai resiko FGID dua kali lebih besar dibandingkan kembar
dua telur. Studi lain juga menunjukkan bahwa orang tua dengan riwayat IBS adalah
prediktor lebih kuat timbulnya IBS dibandingkan dengan penderita kembar dengan IBS.
Meskipun beberapa genetik telah dilakukan, namun ini masih merupakan data awal yang
belum bisa menjelasan hubungan antara faktor genetik dengan terjadinya FGID pada anak.
Serotonin transporterprotein (SERT) dan p11 merupakan reseptor 9 serotonin dan
2 01
t
serotoninergic sangat terkait dengan kondisi psikologis dan komormiditas pasien dengan
FGID. M are
9
Pada hewan coba dibuktikan bahwa turunnyaaskadar tro SERT akan meningkatkan
G
motilitas usus dan kadar air di dalam usus besar.p at Hal sesuai dengan penampilan klinis
r a
tuk secara bergantian, tanpa adanya kelainan
IBS, yaitu timbulnya keluhan diare dan sembelit
n
organik. u
ro
ast
rG
Aja
22.4 Regurgitasi
eB
uk
u
il
Regurgitasi adalahF dikeluarkannya isi refluks dari esofagus ke dalam rongga mulut
dan kemudian dikeluarkan dari rongga mulut. Refluks gastroesogfagus (RGE) adalah
kembalinya isi lambung (makanan, minuman, asam, pepsin, asam empedu, dsb) ke dalam
esofagus tanpa terlihat adanya upaya dari bayi untuk mengeluarkannya. Sebagian besar isi
refluks tersebut masuk ke dalam rongga mulut sebagai regurgitasi. Isi refluks asam yang
terlalu lama dan sering berada di dalam esofagus dapat menyebabkan kerusakan mukosa
esofagus dan berlanjut menyebabkan berbagai komplikasi. Keadaan ini disebut sebagai
esofagitis atau penyakit RGE (PRGE). Penyakit RGE merupakan kondisi patologis RGE atau
regurgitasi.4 Refluks gastroesofagus dan regurgitasi dikaitkan dengan belum sepenuhnya
fungsi motilitas saluran cerna bayi berkembang. Regurgitasi merupakan keadaan fisiologis
pada bayi berusia di bawah 12 bulan.
Sebagian besar (80%) bayi berusia 1 bulan mengalami regurgitasi, minimal 1 kali
sehari. Frekuensi dan volume regurgitasi berkurang sesuai dengan bertambahnya usia bayi,
sekitar 40-60% pada usia 5-6 bulan dan 5-10% pada usia 12 bulan. Sebagian besar episode
RGE berlangsung <3 menit, terjadi saat post prandial.5–11 Sebagian besar gejala refluks dan
regurgitasi berangsur-angsur akan hilang pada usia 6 bulan pertama.
369
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)
Patogenesis
Refluks dapat terjadi ketika sfingter esofagus bagian bawah rileks. Pada orang dewasa tegak,
gas akan keluar perut selama sfingter esofageal bagian bawah dalam keadaan relaksasi
transien (TLESRs), dan keadaan ini akan menyebabkan sendawa.
Kriteria Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis refluks gastroesofagus (RGE) dan regurgitasi cukup
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Gejala regurgitasi dan refluks
yang berlangsung selama kurang dari tiga menit setelah minum susu, merupakan tanda
yang paling sering timbul, tanpa disertai dengan gejala lain seperti misalnya penurunan
berat badan, dan gejala lainnya yang termasuk didalam tanda bahaya “red flags”.
Pemeriksaan fisik, tampak bayi yang sehat, disertai tumbuh kembang yang baik. Gejala
ini pada umumnya akan menghilang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya semua
gejala akan hilang pada saat usia 6 bulan pertama. Gejala klinis pada PRGE sangat tidak
spesifik, sehinga tidak direkomendasikan menegakkan diagnosis PRGE hanya berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, tetapi diperlukan dukungan pemeriksaan penunjang
yang akurat. Diagnosis PRGE dan terapi proton pump inhibitor atau H2 antagonis hanya
9
berdasarkan bayi menangis berkepanjangan dan rewel adalah tidak01rasional, karena kedua
12et
2
keadaan tersebut merupakan kondisi fisiologi pada bayi sehat. ar
Pemeriksaan penunjang akurat yang diperlukanrountuk 9 M mendiagnosis PRGE adalah
st endoskopi disertai pemeriksaan
pemeriksaan pH meter untuk memantau pH esofagus,
t Ga
patologi anatomi jaringan biopsi esofagus. rapa
k
Pemeriksaan pH meter ini merupakan u ntu baku emas untuk menentukan adanya aliran
ro
balik isi lambung ke arah esofagus
G ast serta untuk menilai respon terapi yang diberikan.
Kedua pemeriksaan penunjang
A jar tersebut hanya dimiliki oleh rumah sakit besar di wilayah
provinsi, sehingga dokter u yang bekerja di wilayah lain seringkali mendapat kendala dalam
Buk
menegakkan diagnosis
il e dan memberikan terapi rasional PRGE. Untuk mengatasi keadaan
ini, keberadaanF kuesioner untuk menapis PRGE di praktik klinis sangat diperlukan.
Meskipun nilai sensitivitas dan spesifitas hanya sekitar 50%, Infant Gastroesophageal
Questionnaire (I-GERQ) telah digunakan di berbagai pusat pelayanan kesehatan anak untuk
meningkatkan efisiensi dan akurasi diagnosis klinis PRGE. Skor ≥9 disimpulkan probable
reflux, sehingga bayi memerlukan pemeriksaan akurat lanjutan untuk membuktikan adanya
PRGE, sedangkan bayi dengan nilai skor <9 tidak memerlukan terapi khusus, merupakan
variasi gejala klinis pada bayi normal.
370
Buku Ajar Gastrohepatologi
Muntah merupakan gejala umum yang sering dijumpai pada usia anak. Muntah
berulang, berlebihan, yang menyebabkan dehidrasi atau disertai dengan tanda-tanda
sistemik seperti misalnya demam, gangguan kesadaran perlu diwaspadai diwaspadai dan
ditindaklanjuti untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.
371
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)
Regurgitasi
Kriteria Rome
hingga 4 minggu, berikan dukungan nutrisi dengan formula hidrolisa ekstensif atau formula
asam amino bila gejala regurgitasi menetap selama 4 minggu. Penapisan PRGE dilakukan
dengan Kuesioner PRGE, sedangkan pembuktian PRGE dengan pemeriksaan endoskopi
atau pemantauan pH esofagus 24 jam. Terapi empiris PRGE tidak dianjurkan pada bayi
rewel dan menangis.1 Pada kondisi pemeriksaan penunjang tidak dapat dilakukan untuk
membuktikan PRGE, terapi empiris PPI dengan dosis 1mg/kg BB, sekali sehari selama 2
minggu dapat dipertimbangkan pada bayi regurgitasi dengan ‘tanda bahaya’, selanjutnya
dilakukan evaluasi klinis. Obat-obat golongan anti secretory dan prokinetic terbukti tidak
ada manfaatnya.
372
Buku Ajar Gastrohepatologi
Penyebab
Kolik infantil bukanlah suatu penyakit, berat badan bayi tetap naik sesuai usianya.19 Hanya
sebagian kecil (5-10%) disebabkan oleh gangguan organik.3,20 Penyebab kolik pada bayi
9
hingga saat ini belum diketahui dengan jelas. Berbagai faktor dianggap
2 01 berperan terhadap
t
kolik infantil, antara lain psikososial dan hubungan ibu dan anak areyang kurang baik, alergi
protein susu sapi, atau PRGE.2,19,20 Alergi protein susu sapi9 M dianggap sebagai salah satu
ro
penyebab kolik pada bayi, namun kenyataan dalam praktek
G ast dilaporkan bahwa modifikasi
diet ibu dan penggunaan susu bebas protein sapi at
r ap tidak mengurangi gejala kolik secara
signifikan. k
ntu
21
Kriteria Diagnosis
1. Usia ≤ 3 bulan
2. Sering rewel, marah, atau menangis
3. Episode berlangsung > 3 jam perhari, > 3 hari perminggu dan terjadi minimal dalam
satu minggu
4. Tidak ada gangguan pertumbuhan.
373
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)
Penyapihan
Bifidobakteria
(komposisi spesies khas)
Anaerob
Jumlah relatif Tidak dapat dikultur?
Akumulasi cepat
pertumbuhan anaerob
Anaerob Fakultatif
Usia
Genetik jenis Jenis pemberian makan
persalinan Paparan lingkungan
9
01
t 2 1984)
Gambar 22.5.1. Kolonisasi mikrobiota usus (Dimodifikasi dari Mitsuoka,
re
9 Ma
ro
ast
Tanda Bahaya p at
G
r a
tuk
Sekitar 5% kolik infantil disebabkan oleh gangguan organik. Secara umum gejala kolik akan
un
berkurang secara bertahap setelah omelewati usia 3-4 bulan. Jarang gejala kolik menetap
r
pada usia lebih dari 6 bulan.GJikaast tidak ditemukan tanda bahaya, perlu dievaluasi cara
pemberian makan bayi sebagaiAjar penyebab timbulnya kolik.29 Refluks gastroeosfagus (RGE)
u
perlu diwaspadai sebagai
Buk tanda bahaya bila disertai gejala lainnya. Beberapa gejala klinis
e
Fil
yang perlu diwaspadai sebagai tanda bahaya yang menyertai RGE dan dikaitkan dengan
kolik infantil, antara lain bayi sering memperlihatkan posisi tubuh sandifer, hematemesis,
gagal tumbuh serta adanya kesulitan atau penolakan makan.30
Kolik infantil juga sering dikaitkan dengan kondisi alergi. Alergi makanan terutama
terhadap protein susu sapi, atau bila didapatkan riwayat atopi pada bayi maupun dalam
keluarga, perlu diwaspadai sebagai tanda bahaya. Meskipun banyak peneliti belum bisa
memastikan keterkaitan antara kolik infantil dan alergi protein susu sapi, menyingkirkan
alergi protein susu sapi dan mencari riwayat atopi keluarga merupakan tahapan yang
penting dalam tata laksana kolik infantil.31
Intoleransi laktosa akibat fermentasi laktosa yang tidak terhidrolisa di dalam usus
halus oleh bakteri di dalam usus besar sering dianggap sebagai penyebab kolik infantil.
Proses fermentasi di dalam usus akan menghasilkan asam laktat, gas hidrogen, dan
peningkatan tekanan osmosis intralumen. Peningkatan tekanan di dalam usus ini yang
akan menyebabkan distensi usus dan akhirnya menimbulkan rasa tidak nyaman hingga
rasa nyeri. Secara klinis, gejala intoleransi laktosa mencakup kolik, flatus berlebihan,
diare cair, distensi abdomen, ruam kulit perianal. Penelitian double-blind randomized
374
Buku Ajar Gastrohepatologi
375
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)
Kolik Infantil
Kriteria Rome
Ajar
u
Buk Gambar 22.5.2. Algoritma tata laksana kolik
l e
Fi
laktase yang rendah dapat menyebabkan bayi menangis berlebihan masih sangat terbatas.
Beberapa data lain yang tidak memperlihatkan hubungan tersebut, menjadikan peran
aktivitas laktase pada kolik kecil. Walaupun para ahli di Inggris menganjurkan pemberian
laktase selama 1 minggu, tetapi beberapa RCTs tidak memperlihatkan perbedaan kejadian
kolik infantil pada bayi yang mendapat enzim laktase dan plasebo. Dengan demikian,
bukti ilmiah yang mendukung rekomendasi ini sangat terbatas.20,46,47 Sebuah meta-analisis
memperlihatkan pemberian ‘strain’ tertentu sebagai probiotik pada bayi yang mendapat
ASI eksklusif dapat mengurangi gejala kolik infantil. Walaupun demikian ada beberapa hal
yang perlu mendapat perhatian, yaitu aksi mekanisme efikasi masih belum jelas, penemuan
ini tidak boleh diekstrapolasi untuk probotik lainnya, efikasi hanya terlihat pada bayi ASI
eksklusif, dan tidak ada data untuk pemberian probiotik dalam susu formula. Dengan
demikian pemberian ‘strain’ tertentu mikroflora sebagai probiotik dapat diterapkan sebagai
sebuah ‘pertimbangan’ dan ‘tidak sebagai rekomendasi’.19 Pemberian obat pada kolik infantil
tidak direkomendasikan. Simetikon menurunkan gas intralumen saluran cerna. Suatu
penelitian multisenter ‘randomized placebo controlled’ memperlihatkan tidak ada perbedaan
376
Buku Ajar Gastrohepatologi
22.6 Konstipasi
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang buang air besar yang terjadi selama setidaknya
dua minggu. Konstipasi merupakan 5-30% keluhan anak yang menyebabkan orangtua
membawa anaknya berobat ke dokter. Rerata 5-10 anak dari 100-150 anak 19 berusia 4-5 bulan
2 0spesialis
dan sepertiga anak berusia di atas 5 tahun yang berobat ke dokter
re t anak setiap
Ma menjadi kronis bila tidak
bulannya mengalami konstipasi. Sepertiga kasus konstipasi 9akan
ro
G ast
ditangani dengan baik. Berdasarkan patofisiologis, konstipasi diklasifikasikan menjadi
t
konstipasi akibat kelainan organik dan konstipasi afungsional. Konstipasi yang dikeluhkan
rap yang dihubungkan dengan gangguan
oleh sebagian besar anak adalah konstipasi fungsional
k
tu
motilitas atau anorektal.52–54 uno
astr
j arG
Kriteria Diagnosis ku
A
Bu III, diagnosis konstipasi fungsional ditegakkan bila bayi dan
Berdasarkan KriterialeRome
i
F dalam 1 bulan minimal memperlihatkan 2 gejala berikut:55
anak usia < 4 tahun,
1. Defekasi ≤ 2 kali/minggu
2. Minimal 1 episode inkontinens/minggu (setelah anak terlatih ke toilet)
3. Riwayat retensi feses yang berlebihan
4. Riwayat mengedan yang sulit atau sangat sakit
5. Adanya massa feses yang besar pada rektum
6. Riwayat adanya feses dengan diameter besar sehingga menyumbat toilet.
Gejala-gejala tersebut dapat disertai dengan gejala penyerta seperti iritabilitas, napsu
makan menurun, dan atau rasa cepat kenyang. Gejala penyerta akan hilang setelah tinja
besar berhasil dikeluarkan.55
Tanda Bahaya
1. Tidak ada mekonium >48 jam
2. Distensi abdomen
3. Muntah
4. Gagal tumbuh
377
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)
5. BAB berdarah
6. Perkembangan saraf terhambat
7. Ketidaknormalan pada anus
8. Gejala penyebab organik lain.
378
Buku Ajar Gastrohepatologi
Konstipasi Fungsional
Konstipasi usia < 1 tahun
Edukasi orangtua
Disimpaksi Laktosa
PED Iusia > 6 bulan) Ada9respon
1
Pertimbangkan eHF 20
(bila ada riwayat atopi) aret
o 9M
str
Ga
p at
Laktolosa
k ra
PEG (usia > 6 bulan)
u ntu
ro
Pertimbangkan eHF
(bila ada riwayat atopi)
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi Respon sebagian
Tidak ada respon
Konsultasikan ke
Konsultan GH
Edukasi
Edukasi merupakan hal utama yang harus dilakukan pada saat kunjungan pertama. Para
klinisi diharapkan mampu menghilangkan rasa khawatir orang tua. Reassurance dan
follow-up teratur merupakan salah satu bentuk terapi awal. Saat edukasi, dokter harus
menyampaikan rencana terapi secara detail, mencakup terapi disimpaksi, rekomendasi
diet, terapi rumatan, dan pemantauan rutin. Dokter juga harus menjelaskan efek samping
yang mungkin terjadi akibat terapi laksatif yang diberikan. Suatu studi acak terkontrol
memperlihatkan suplementasi serat memberikan efek yang lebih baik dibandingkan
plasebo, terutama pada anak dengan enkopresis. Edukasi dan peran serta orang tua
16
dalam memperbaiki pola defekasi anak sangat penting. Toilet training diperlukan untuk
membentuk kebiasaan buang air besar secara teratur. Toilet training dilakukan pada anak
379
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)
berusia di atas 3 tahun, setelah rasa takut dan nyeri berdefeksi teratasi. Oleh karena itu,
evakuasi tinja dalam rektum yang kerap kali sebagai penyebab rasa nyeri harus dilakukan
pada anak dengan impaksi. Beberapa ahli menyukai menggunakan nonstimulan laksatif,
misalnya PEG, minyak mineral, atau laktulosa yang secara perlahan dapat melunakan
tinja. Dosis laktulosa yang dianjurkan untuk melunakkan tinja adalah 1-2gr/kgBB/hari
untuk satu atau dua kali dosis sehari. Tata laksana medikamentosa ini berfungsi untuk
mengembalikan kontrol dinding dasar pelvis. Kunci keberhasilan terapi maintenace adalah
menjamin defekasi tanpa rasa nyeri, sehingga anak merasa nyaman dan terlatih ke toilet.55,63
Daftar Pustaka
1. Rasquin A, Di Lorenzo C, Forbes D, Guiraldes E, Hyams JS, Staiano A, et al. Childhood Functional
Gastrointestinal Disorders.Child/Adolescent. Gastroenterology.2006;130(5):1527–37.
2. Iacono G, Merolla R, D’Amico D, Bonci E, Cavataio F, Di Prima L, et al. Gastrointestinal
symptoms in infancy.A population-based prospective study. Dig Liver Dis. 2005;37(6):432–8.
3. Vandenplas Y, Abkari A, Bellaiche M, Benninga M, Chouraqui JP, Çokura F, et al. Prevalence
and Health Outcomes of Functional Gastrointestinal Symptoms in Infants From Birth to 12
Months of Age. J Pediatr Gastroenterol Nutr.2015;61(5):531–7.
9
4. Hegar B, Vandenplas Y. Gastroesophageal reflux: natural evolution,01diagnostic approach and
e t 2
treatment. Turk J Pediatr . 2017;55(1):1–7. r
5. Hegar B, Dewanti NR, Kadim M, Alatas S, Firmansyah A,9 Vandenplas Ma Y. Natural evolution of
stro
regurgitation in healthy infants. Acta Paediatr . 2009;98(7):1189–93.
a
6. Osatakul S, Sriplung H, Puetpaiboon A, JunjanaatC,GChamnongpakdi S. Prevalence and natural
ap
course of gastroesophageal reflux symptoms:
tu k r a 1-year cohort study in Thai infants. J Pediatr
Gastroenterol Nutr . 2002;34(1):63–7.un
ro
7. Nelson SP, Chen EH, Syniar GM,
G ast Christoffel KK. Prevalence of symptoms of gastroesophageal
r
reflux during infancy. A pediatric practice-based survey. Pediatric Practice Research Group.
Arch Pediatr Adolesc uMedAja. 1997;151(6):569–72.
8. Miyazawa R, TomomasaBuk T, Kaneko H, Tachibana A, Ogawa T, Morikawa A. Prevalence of
e
Fil reflux-related symptoms in Japanese infants. Pediatr Int . 2002;44(5):513–6.
gastro-esophageal
9. De S, Rajeshwari K, Kalra KK, Gondal R, Malhotra V, Mittal SK. Gastrooesophageal reflux in
infants and children in north India. Trop Gastroenterol 2017;22(2):99–102.
10. Martin AJ, Pratt N, Kennedy JD, Ryan P, Ruffin RE, Miles H, et al. Natural history and familial
relationships of infant spilling to 9 years of age. Pediatrics . 2002;109(6):1061–7.
11. Hegar B, Boediarso A, Firmansyah A, Vandenplas Y. Investigation of regurgitation and
other symptoms of gastroesophageal reflux in Indonesian infants. World J Gastroenterol .
2004;10(12):1795–7.
12. Vandenplas Y, Rudolph CD, Di Lorenzo C, Hassall E, Liptak G, Mazur L, et al. Pediatric
Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines.Joint Recommendations of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (NASPGHAN)
and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, a. J Pediatr Gastroenterol
Nutr . 2009;49(4).
13. Hyman PE, Milla PJ, Benninga MA, Davidson GP, Fleisher DF, Taminiau J. Childhood Functional
Gastrointestinal Disorders: Neonate/Toddler. Gastroenterology . 2006;130(5):1519–26.
14. Ammoury RF, Pfefferkorn MDR, Croffie JM. Functional gastrointestinal disorders: past and
present. World J Pediatr . 2009;55(22):103–12.
15. Wake M, Morton-Allen E, Poulakis Z, Hiscock H, Gallagher S, Oberklaid F. Prevalence,
Stability, and Outcomes of Cry-Fuss and Sleep Problems in the First 2 Years of Life: Prospective
380
Buku Ajar Gastrohepatologi
381
Bab 22 Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID)
39. Rautava P, Lehtonen L, Helenius H, Sillanpää M. Infantile colic: child and family three years
later. Pediatrics . 1995;96(1 Pt 1):43–7.
40. Wolke D, Gray P, Meyer R. Excessive infant crying: a controlled study of mothers helping
mothers. Pediatrics . 1994 Sep [cited 2017 Jan 25];94(3):322–32. Available from: http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8065857
41. Gunasekaran TS, Singla S, Dahlberg M. Prescribing proton-pump inhibitors to irritable infants:
where is the evidence? Ped Health . 2009;3(3):213–5.
42. Chen I-L, Gao W-Y, Johnson AP, Niak A, Troiani J, Korvick J, et al. Proton Pump Inhibitor Use
in Infants. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2012;54(1):8–14.
43. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, et al. Guidelines for
the diagnosis and management of cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child .
2007;92(10):902–8.
44. Garrison MM, Christakis DA. A systematic review of treatments for infant colic. Pediatrics .
2000;106(1 Pt 2):184–90.
45. UKK Alergi-Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik.
Rekomendasi Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu Sapi. 2014.
46. Gormally S. Clinical clues to organic etiologies in infants with colic. In: Barr RG, James-Roberts
IS, Keefe MR, Brody RI, editors. Pediatric Round Table New Evidence on Unexplained Early
Infant Crying: Its Origins, Nature and Management. Johnson & Johnson Pediatric Institute,
L.L.C.; 2001. p. 133–49.
9
47. Critch J. Infantile colic: Is there a role for dietary interventions? 2 01Paediatr Child Health .
re t
Mathe treatment of infant colic: a
2011;16(1):47–9.
48. Metcalf TJ, Irons TG, Sher LD, Young PC. Simethicone 9 in
ro . 1994;94(1):29–34.
ast
randomized, placebo-controlled, multicenter trial. Pediatrics
G
49. Aggett PJ, Agostoni C, Goulet O, Hernell O, t
aKoletzko B, Lafeber HL, et al. Antireflux or
r apyoung children: a commentary by the ESPGHAN
antiregurgitation milk products for infants k
and
u ntu
Committee on Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2002;34(5):496–8.
ro
50. Bellaïche M, Levy M, Jung C.astTreatments for Infant Colic. J Pediatr Gastroenterol Nutr .
G
2013;57:S27–30.
A jar
51. Savino F, Ceratto S, kDeu Marco A, Cordero di Montezemolo L. Looking for new treatments of
BuJ Pediatr . 2014;40(1):53.
Infantile Colic.leItal
52. Biggs WS, DeryFi WH. Evaluation and Treatment of Constipation in Infants and Children. North
American Society for Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition. Evaluation and
Treatment of Constipation in Children. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2006;43(3):405–7.
53. Ranuh R. Gangguan Defekasi pada Bayi dan Anak. In: Simposium Paralel dan Temu Ahli
Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-7, Ilmu Kesehatan Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015.
p. 287–94.
54. Tabbers MM, DiLorenzo C, Berger MY, Faure C, Langendam MW, Nurko S, et al. Evaluation and
Treatment of Functional Constipation in Infants and Children: evidence-based recommendations
from ESPGHAN and NASPGHAN. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2014;58(2):265–81.
55. Pashankar DS. Childhood constipation: evaluation and management. Clin Colon Rectal Surg .
2005;18(2):120–7.
56. Youssef NN, Peters JM, Henderson W, Shultz-Peters S, Lockhart DK, Di Lorenzo C. Dose response
of PEG 3350 for the treatment of childhood fecal impaction. J Pediatr . 2002;141(3):410–4.
57. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, Croffie JM, Di Lorenzo C, Ector W, et al. Constipation in
infants and children: evaluation and treatment. A medical position statement of the North
American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr .
1999;29(5):612–26.
58. Pashankar DS, Bishop WP. Efficacy and optimal dose of daily polyethylene glycol 3350 for
treatment of constipation and encopresis in children. J Pediatr . 2001;139(3):428–32.
382
Buku Ajar Gastrohepatologi
59. Ismail EA, Al-Mutairi G, Al-Anzy H. A fatal small dose of phosphate enema in a young child
with no renal or gastrointestinal abnormality. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2000;30(2):220–1.
60. El-Hodhod MA, Younis NT, Zaitoun YA, Daoud SD. Cow’s milk allergy related pediatric
constipation: Appropriate time of milk tolerance. Pediatr Allergy Immunol . 2010;21(2p2):e407–12.
61. Irastorza I, Ibañez B, Delgado-Sanzonetti L, Maruri N, Vitoria JC. Cowʼs-Milk–free Diet
as a Therapeutic Option in Childhood Chronic Constipation. J Pediatr Gastroenterol Nutr .
2010;51(2):171–6.
62. Heyman MB. Lactose Intolerance in Infants, Children, and Adolescents. Pediatrics. 2006;118(3).
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
383
BAB
23
Gangguan Motilitas Saluran Cerna
Satrio Wibowo
23.2 Pendahuluan
Gangguan motilitas saluran cerna pada anak merupakan salah satu keadaan yang sering
dijumpai pada praktek klinis seorang dokter. Sekitar 15% anak yang mengalami kegagalan
pada sistem pencernaan, ditandai dengan adanya gangguan motilitas.1 Gangguan motilitas
seringkali muncul dalam berbagai gejala, seperti : muntah yang berulang, kesulitan menelan,
sering bersendawa,kembung atau susah buang air besar. Keadaan-keadaan tersebut, dalam
jangka panjang, dapat menyebabkan defisiensi nutrisional dan elektrolit, berkurangnya
kemandirian dalam kehidupan sehari-hari serta berkurangnya aktivitas dan mobilitas anak.
Gangguan motilitas saluran cerna bukan merupakan suatu diagnosis, melainkan
merupakan salah satu atau kumpulan gejala dari suatu penyakit. Berbagai penyakit pada
saluran cerna seringkali ditandai dengan gangguan motilitas, mulai dari penyakit yang
paling ringan dan sering dijumpai, seperti : Gastroesophageal Reflux (GER) hingga pada
diagnosis yang jarang dan kompleks seperti Chronic Intestinal Pseudo-obstruction (CIP)
dan Hirschsprung’s Disease.1
Pemahaman tentang patofisiologi, pola gangguan motilitas, onset dari gangguan
dan pengenalan bentuk atau gejala klinis yang khas, akan membantu seorang klinisi
dalam mendiagnosis penyakit yang mendasari. Penanganan klinis yang komprehensif
dan multidisipliner, termasuk dukungan psikologis dan sosial, diperlukan untuk dapat
memberikan tata laksana yang optimal pada pasien.
384
Buku Ajar Gastrohepatologi
23.4 Klasifikasi
Terdapat berbagai klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu seorang dokter
dalam mencari penyebab gangguan motilitas ini. Klasifikasi yang paling lazim digunakan
untuk pasien anak adalah pembagian berdasarkan ada atau tidaknya gejala saat lahir,
dimana gangguan motilitas saluran cerna dapat dibagi menjadi kongenital atau didapat,.3,4
Gangguan kongenital biasanya menimbulkan gejala dalam 2 bulan pertama kehidupan dan
dapat bersifat sporadik maupun familial. Gangguan yang didapat muncul dalam waktu
9
yang lebih lambat dan umumnya bersifat sekunder yang diakibatkan 2 01 oleh berbagai hal
t
antara lain infeksi dan efek samping obat. are
2
9 M
Berdasarkan histopatologi dan pola abnormalitas omotilitas, penyebab gangguan
r
motilitas saluran cerna dapat diklasifikasikan menjadi: G astgangguan sistem saraf, atau yang
disebut sebagai neuropati viseral, dan gangguan at
ap pada sistem otot atau miopati viseral.
5
r
Gangguan neuropati lebih sering terjadi,tuknamun gangguan miopati pada umumnya
berhubungan dengan gejala yang lebih oberat. un 4,5
tr
Berdasarkan penyebabnya kelainan as pada sistem neuromuskular intrinsik, dapat dibagi
menjadi penyebab primer dan j arG
sekunder. Penyebab primer pada umumnya ditandai dengan
kelainan bawaan pada lapisan ku A otot polos, sistem saraf enterik (enteric nervous system), dan
u
sel interstitial Cajal i l eB
(interstitial cells of Cajal) itu sendiri, seperti: maturasi yang terlambat
F
pada sistem saraf enterik atau sel-sel interstitial dari Cajal,7 dan gangguan enzim-enzim
yang berperan para rantai transport elektron mitokondria.8 Diduga terdapat peran dari
mutasi genetik pada keadaan miopati dan neuropati viseral. Miopati mitokondrial diketahui
berhubungan dengan berbagai gejala klinis termasuk CIP.8 Sedangkan penyebab sekunder
dapat berasal dari infeksi, toksin, obat dan inflamasi atau penyakit-penyakit autoimun.1,2
385
Bab 23 Gangguan Motilitas Saluran Cerna
Tabel 23.5.1. Tanda dan gejala gangguan motilitas dan organ yang diduga terlibat
Tanda dan gejala Organ yang diduga terlibat
Muntah Esofagus, Gaster
Regurgitasi Contoh : akalasia esofagus, refluks gastroesofagel, malrotasi gaster
Kesulitan atau sering sendawa
Disfagia, kesulitan menelan, kesulitan makan
Makan yang lambat (dilaporkan oleh keluarga)
Muntah berulang, muntah kehijauan Gaster, Duodenum
Kembung, sakit perut/nyeri uluhati Contoh : Atresia/stenosis duodenum, duodenal web, pancreas
anulare
Muntah, kembung, sakit perut Yeyunum, Ileum atau Colon
Distensi abdomen, konstipasi Contoh : ileus, pseudo obstruction, pasca operasi pada yeyunum/
Bising usus yang meningkat atau menurun ileum
Gambaran darm steifung atau darm contour (+)
Nyeri perut, rasa tidak nyaman Kolon
Distensi abdomen Contoh : Hirschsprung’s disease
Konstipasi atau diare kronis (berhubungan dengan enterokolitis
Tinja yang berbau busuk
Akalasia Esofagus
Akalasia esofagus merupakan gangguan motilitas esofagus primer yang ditandai dengan
gangguan relaksasi dari lower esophageal sphincter (LES) sebagai respon terhadap
penelanan makanan dan kurangnya gerak peristaltik. Gangguan ini jarang terjadi di masa
remaja dan memiliki frekuensi yang lebih kecil pada anak yang lebih muda.15 Gangguan
sering menyertai anak dengan dengan trisomi 21, triple A (achalasia- addisonian-alacrima)
syndrome, and familial dysautonomia.16,17
386
Buku Ajar Gastrohepatologi
Gastroskizis
Gastroskizis merupakan defek seluruh ketebalan dinding abdomen yang meliputi herniasi
para umbilical saluran cerna. Gangguan ini terjadi pada 2.6 bayi per 10.000 kelahiran hidup.
Sumber yang lain mengatakan1 kasus setiap 2000 kelahiran.17
Hirschsprung’s Disease
Hirschsprung’s disease merupakan suatu keadaan dimana terdapat segmen aganglionik pada
sebagian kolon. Ketiadaan saraf enterik pada segmen tersebut menyebabkan kegagalan
kontraksi dan relaksasi otot polos yang mengakibatkan gangguan motilitas. Menurut
9
2 01
American Pediatric Surgical Association, Hirschsprung’s disease didapatkan pada 1 dari
4400-7000 kelahiran hidup. 19
re t
a M
9
stro
a
23.7 Tanda dan Gejala r ap at
G
tuk
Tanda dan gejala yang menyertai berbagai
o unbentuk gangguan motilitas saluran cerna sangat
tr
bervariasi berdasarkan etiologi danaspenyakit yang mendasari. Berikut adalah rangkuman
tanda dan gejala dari beberapa r G
keadaan atau penyakit yang ditandai dengan gangguan
Aja
motilitas saluran cerna. ku
e Bu
Fil
23.8 Tanda Bahaya atau Red Flag pada Gangguan
Motilitas
Bagiseorang klinisi, yang terpenting adalah mengenali sedini mungkin ada tidaknya tanda
bahaya atau red flag, antara lain: penurunan berat badan yang menyertai gejala umum
gangguan motilitas (muntah, kembung, sulit BAB), muntah bilous atau kehijauan, muntah
yang proyektil, muntah yang profuse, distensi abdomen, nyeri perut yang hebat, perdarahan
melalui anus atau penyerta seperti panas tinggi. Pada keadaan-keadaan seperti ini,
sebaiknya penderita segera dirujuk pada pusat-pusat pelayanan kesehatan yang memadai.
Tanda-tanda klinis gangguan motilitas saluran cerna dapat dilihat pada Tabel 23.8.1.
387
Bab 23 Gangguan Motilitas Saluran Cerna
388
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 23.8.2. Tanda dan gejala gangguan motilitas saluran cerna dari beberapa penyakit1
Gangguan motilitas Tanda dan gejala
Akalasia esofagus Disfagia terhadap makanan cair dan padat
Regurgitasi (juga pada malam hari)
Kesulitan sendawa
Nyeri dada
Makan lambat (dilaporkan oleh keluarga)
Gerakan menjulurkan leher dan punggung setelah makan
Gangguan setelah operasi atresia intestinal Nyeri dan distensi abdomen
kongenital Konstipasi atau diare
Muntah
Intoleransi terhadap pemberian makan TPN
Berhubungan dengan gastroskizis Muntah
Kembung
Nyeri abdomen
Diare kronis
Masalah pemberian makan yang signifikan termasuk diantaranya intoleransi terhadap TPN
Chronic intestinal pseudo-obstuction Nyeri, distensi abdomen
Konstipasi
Mual, muntah
Manifestasi yang lambat berupa : kembung, konstipasi, muntah bilous
Keadaan-keadaan yang berhubungan dengan komplikasi : diare oleh karena bacterial
overgrowth dan angguan pengosongan kandung kemih (berhubungan dengan keterlibatan
9
saraf dan gerakan otot)
2 01
Gangguan setelah transplantasi Peningkatan produksi stoma aret
intestinal Demam 9M
ro
ast
Nyeri dan distensi abdomen
Ileus G
at
HIrschsprung’s disease r ap
Nyeri perut, rasa tidak nyaman
k
ntu dengan enterokolitis)
Konstipasi
u
Diare kronis (berhubungan
Muntahstro
Ga
rHirschsprung’s Associated Entero-Colitis (HAEC), ditandai dengan diare yang menyemprot,
Aj a berbau busuk, demam, muntah, nyeri perut yang menyertai distensi abdomen
u
uk 2010
* diterjemahkan/ditulis ulang dari Mousa,
B
e
Fil
Muntah berulang, distensi abdomen, sakit perut berulang , bising usus Obstruction atau Pseudo-obstruction ileus, malrotasi saluran cerna
menurun atau meningkat,metalic sound, gambaran Darm Steifung dan parsial atau total
darm Contour pada pemeriksaan fisik, tumbuh kembang yang buruk
Impaksi fekal refrakter terhadap terapi medis, penambahan berat HIrschsprung’s disease, mkrokolon atau small left colon syndrome,
badan yang buruk, distensi abdomen atresia/stenosis
389
Bab 23 Gangguan Motilitas Saluran Cerna
390
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 23.10.1. Pendekatan pembedahan, nutrisional dan farmakologis untuk tata laksana gangguan motilitas saluran cerna1
Gangguan motilitas Pembedahan Nutrisional Farmakologis
Akalasia esofagus Pneumatic balloon dilatation Toksin botulinum
Lower esophageal sphincter Calsium channel blockers
myotomy Nitrat
Prosedur antirefluks Inhibitor fosfodiesterase
Nifedipin
Gangguan setelah operasi atresia Revisi Probiotik Agen antimikrobial
intestinal Oral feeding jika mampu Prokinetik
ditoleransi Eritromisin
Continous G-tube/J-tube feeding Amoksisilin
TPN selama beberapa minggu
Berhubungan dengan Penutupan dengan pembedahan Probiotik Agen motilitas
gastroskizis Betanekol
Antibiotik
Chronic intestinal pseudo- Mungkin dibutuhkan Continous G-tube/J-tube feeding
obstuction transplantasi ileostomi intestinal TPN
Surgical bypass
Gastric/intestinal pacemakers
(antegrade enema)
0 19
Gangguan setelah transplantasi Penapisan dan pemantauan t 2Medikasi anti-rejeksi
intestinal regular are Steroid
o 9M Antibiotik
r
ast Antikolinergik
atG
HIrschsprung’s disease Reseksi
k rapseratterstrukur
Terapi Antikolinergik
u
nt
Makanan
u
* diterjemahkan/ditulis ulang dari Mousa, 2010 ro
G ast
jar
23.11 Penutup Buk
u A
i l e
Sebagai penutup, Fgangguan motilitas masih merupakan salah satu penyebab tersering
gangguan cerna pada anak. Gangguan motilitas bukan suatu diagnosis melainkan satu atau
lebih gejala dari penyakit yang mendasari. Terdapat beberapa klasifikasi gangguan motilitas
saluran cerna yang dapat membantu klinisi dalam menentukan penyebab penyakit utama
pada penderita. Pemahaman tentang patofisiologi, pola gangguan motilitas, onset dan
pengenalan bentuk atau gejala klinis yang khas, akan membantu seorang klinisi dalam
mendiagnosis penyebab gangguan motilitas. Diagnosis akurat secara dini dan terapi
berperan penting dalam tata laksana serta perbaikan kualitas hidup.
Daftar Pustaka
1. Mousa H. Disorders of Gastrointestinal Motility. In : Pediatric Practice Gastroenterology.
McGraw Hill. 2010:277-94.
2. Quitadamo P, Saliakellis E, Borelli O Taphar N. Neurogastroenterology and Motility Disorders.
In : Textbook of Pediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition. Jaypee Brothers Medical
Publishers. 2015:78-92.
3. Mousa H, Hyman PE, Cocjin J, et al. Long-term outcome of congenital intestinal
391
Bab 23 Gangguan Motilitas Saluran Cerna
392
BAB
24
Perdarahan Saluran Cerna
Bagian Atas
Deddy Satriya Putra
24.2 Pendahuluan
Perdarahan saluran cerna akut pada anak baik berupa muntah darah atau darah segar dari
rektrum merupakan suatu keadaan yang menakutkan anak dan orang tuanya meskipun
jumlahnya sedikit.1 Perdarahan saluran cerna merupakan 10-15% kasus yang dirujuk ke
Gastroenterologi Anak.2 Perdarahan saluran cerna pada anak dapat bermanifestasi berupa
muntah darah (hematemesis), keluarnya darah bewarna hitam dari rektum (melena),
tinja yang berdarah atau keluarnya darah segar melalui rektum (hematokezia/enteroragia)
dan darah samar di feses. Hematemesis merupakan perdarahan yang berasal dari saluran
cerna atas dengan batas di atas ligamentum Treitz. Melena lebih kurang 90% berasal dari
saluran cerna atas terutama usus halus dan kolon proksimal, hematokezia yang merupakan
perdarahan saluran cerna yang berasal dari kolon, rektum atau anus/saluran cerna bawah
atau bisa juga dari saluran cerna atas dengan perdarahan yang banyak dengan waktu singgah
usus yang cepat, sedangkan darah samar feses merupakan kehilangan darah melalui feses
yang secara makroskopis tidak terlihat umumnya perdarahaan berasal usus halus atau
saluran cerna atas.1,3
Dalam mencari penyebab perdarahan saluran cerna pada anak ada lima informasi
penting yang harus diketahui oleh para klinisi yaitu : umur anak, asal perdarahan, warna
393
Bab 24 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
darah dan beratnya perdarahan, ada atau tidaknya nyeri perut dan terdapatnya diare.2,3
Umumnya sumber perdarahan ditentukan dalam dua golongan besar yaitu:4
1. Perdarahan gastrointestinal atas meliputi dari mulut hingga ligamentum Treitz
2. Perdarahan gastrointestinal bawah yang berasal dari daerah di bawah ligamnetum Treitz.
24.3 Definisi
Perdarahan saluran cerna atas merupakan kehilangan darah dalam lumen pembuluh
saluran cerna mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (proksimal dari ligamentum
Treitz ).5
24.4 Epidemiologi
Insiden perdarahan saluran cerna atas dilaporkan oleh El Mouzan sebesar 5% dengan umur
5-18 tahun. Perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 7:1 dengan keluhan utama
sebanyak 69% berupa sakit perut kronik, 21% dengan hematemesis melana dan sisanya
dengan gejala muntah disertai sakit perut.6 Pediatric Endoscopy Database System-Clinical
Outomes Research Initiative (PEDS-CORI), Brabcoft dan kawan-kawan 9 menemukan 5%
2
(327 dari 6337) kasus hematemesis yang diindikasikan dilakukannya 01 endoskopi atas.7
t re
9 Ma
ro
24.5 Etiologi G ast
p at
r a
tuk anak dapat di lihat pada Tabel 24.5.1:
Etiologi perdarahan saluran cerna atas pada
un
tro anak8,9
Tabel 24.5.1. Etiologi perdarahan saluran cerna atasspada
a
G
Neonatus (lahir-1 bulan)
A jar Bayi/remaja (1 bulan-18 tahun)
Tertelan darah maternal u Gastritis
Gastritis hemoragik B uk Esofagitis
e
Esofagitis Fil Ulkus gastroduedum
Ulkus gastroduodenal Robekan Mallcory-Weiss
Koagulopati karena infeksi Varises
Anomali vaskular Duplikasi gastrointestinal
Penyakit hemoragik (defisiensi vitamin K) Anomali vaskular
Idiopatik Koagulopati
Ingesti toksik
Usia prasekolah (2-5 tahun) Usia sekolah (>5 tahun)
Epistaksis Gastritis
Gastritis Robekan Mallcory-Weiss
Esofagitis Ulkus peptikum
Ulkus gastroduodenal Ingesti toksik
Robekan Mallcory-Weiss Esofagitis
Varises Penyakit inflamasi usus
Benda asing Varises
Anomali vaskular Anomali vaskular
Ingesti toksik Hemobilia
Hemobilia
394
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 24.5.2. Diagnosis bandingl perdarahan saluran cerna atas berdasarkan manifestasi klinis9
Hematemesis
l Tertelan darah
Epistaksis, nyeri tenggorokan, menyusu, tindakan gigi, atau tonsilektomi
l Defisiensi vitamin K pada neonatus
l Esofagitis erosif
l Robekan Mallory-Weiss
l Hemorrhagic gastritis
Trauma, pembedahan, luka bakar, atau stres sistemik berat (pasien ICU)
l Gastritis reaktif
Obat anti inflamasi non steroid (gastropagi OAINS), gastritis alkoholik, ingesti kokain, ingesti bahan kaustik, stres, trauma mekanik,
infeksi virus, penyakit Crohn, vaskulitis (Henoch-Schönlein), radiasi, refluks empedu, bezoar, hernia hiatus, prolaps gastroesophageal
junction, atau gastropati kongestif (karena hipertensi portal)
l Ulkus peptikum
l Perdarahan varises (karena hipertensi portal)
l Massa submukosa
Lipoma, tumor stroma, duplikasi
l Malformasi vaskular
Angiodisplasia, hemangioma, lesi Dieulafoy
l Hemobilia
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
Melena p at
l Iskemia intestinal k ra
u ntu atau trombosis mesenterik
Intususepsi dengan komplikasi, volvulus mid-gut, hernia inkarserata,
ro
ast
l Divertikulum Meckel
G
l Perdarahan saluran cerna atas: lihat hematemesis
l Vaskulitis Ajar
Purpura Henoch-Schönlein uku
l Polip yang terkelupas ile
B
F
l Gastropagi OAINS intestinal
l Malformasi vaskular
Penyebab yang utama dari perdarahan usus halus pada anak adalah divertikulum
Meckel (terdapat 2% dari populasi), yang berisikan mukosa ektopik gaster atau pankreas
dan dapat terjadi ulserasi. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan scanning radionuklir
dan terapi dilakukan dengan reseksi divertikulum.8,9 Duplikasi merupakan penyebab kedua
tersering perdarahan usus halus pada anak dan terapinya juga dengan reseksi. Ulkus pada
anak sering terjadi selama perawatan di NICU pasca operasi. Chaibou M melaporkan bahwa
beberapa faktor risiko terjadinya perdarahan saluran cerna atas pada anak yang dirawat
intensif ádalah gagal napas, coagulopathy dan nilai PRIMS (pediatric risk of mortality store)=
10.11 Helicobacter pylori dapat menyebabkan gastroduodenal ulcerasi tetapi gambaran lesi
noduler yang difus lebih sering ditemukan pada anak. El Mouzan melaporkan dari 15 anak
yang dilakukan biopsi antrum melalui endoskopi didapatkan 13 diantaranya (87%) positif
H. Pylori.6 Esophagitis karena refluks yang berat pada esophagus dapat disebabkan karena
penyakit neuromuskuler, trauma mekanik karena benda asing, dan trauma kimia karena
tertelan bahan kaustik, obat-obatan dan infeksi. Varises esophagus pada anak disebabkan
hipertensi portal baik intrahepatik maupun ekstrahepatik. Trombosis vena splanikus
395
Bab 24 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
dengan vena portal akan menyebabkan terjadinya varises esophagus.12 Kelainan vaskuler
dan duplikasi saluran cerna merupakan penyebab lainya yang jarang ditemukan pada anak.8
Pada bayi baru lahir pernyebab perdarahan saluran cerna sangat bervariasi. Perdarahan
dapat terjadi karena tertelan darah ibu sewaktu persalinan atau menyusui, dapat juga terjadi
karena esofagitis, gastritis dan ulserasi gastroduodenal. Untuk dapat membedakan apakah
darah berasal dari bayinya atau darah ibu yang tertelan dapat dilakukan tes APT. Caranya 1
mL muntah bayi dicampur dengan 5 mL air kemudian disentrifugasi untuk mendapatkan
supernatan yang bewarna merah muda. Ambil 1 mL supernatan dan ditambahkan ke dalam
4 mL natrium hidoksida 1%, tunggu selama 2 menit. Jika larutan tetap bewarna merah
muda berarti darah bayi dan apabila berubah jadi kuning kecoklatan berarti berasal dari
darah ibu yang tertelan.5
Hematemesis dapat terjadi karena alergi susu sapi pada bayi yang dapat susu formula,
dan defisiensi vitamin K.8 Mahcado RS melaporkan dua kasus hematemesis sekunder
oleh karena gastritis hemoragik yang disebabkan karena alergi susu sapi.13 Pada remaja
penggunaan analgetik nonsteroid (OAINS) sering menimbulkan ulkus peptikum yang
menyebabkan perdarahan selain robekan Malorry-Weiss, varises gastroesofagus dan
gastritis karena alkohol.6 Romanisizen melaporkan kejadian Malorry-Wess pada anak
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Gambar 24.5.1. Ulkus gastrikum anak perempuan Gambar 24.5.2. Esofagitis pada anak
12 th perempuan 10 th
Gambar 24.5.3. Varises esofagus anak laki-laki Gambar 24.5.4. (PA) Adenoma duodenum anak
3 thn laki-laki 14thn
396
Buku Ajar Gastrohepatologi
Gambar 24.5.5. Gastritis erosif anak laki-laki 8 thn Gambar 24.5.6. Ligasi varises esofagus anak
laki-laki 11 thn
(Sumber: koleksi pribadi)
sekitar 0.3%. Banyak faktor yang menyebakan terjadinya Malorry–Weiss síndrome pada
anak dan biasanya bersamaan dengan penyakit saluran cerna lainya seperti 9 gastritis dan
01
t 2 bronkial.13 Riwayat
duodenitis, infeksi Helicobacter pylori, refluks gastroesofageal danreasma
muntah yang hebat dan kemudian muntah darah khas untuk
a
Mgejala Malorry-Weiss, pada
o 9
dewasa sering dihubungkan dengan konsumsi alkohol.ast r
10,15
G
p at
r a
k
ntu
24.6 Diagnosis dan TatatrLaksana
ou
G as
Menyingkirkan penyebab palsu
Ajar perdarahan seperti tertelan darah sewaktu menyusu,
u
epistaksis, hemoptisis, penggunaan obat atau makanan yang merubah warna feses seperti
Buk
bismut, besi, coklat, e berri, bit dan lain-lain dapat menghindarkan dari pemeriksaan
Fil
atau prosedur diagnosis yang berlebihan.10,15,16 Langkah pertama menghadapi pasien
dengan perdarahan saluran cerna adalah dengan memastikan pemberian oksigen yang
adekuat, resusitasi cairan dan darah, memastikan akses vena terpasang dan koreksi bila
terdapat gangguan pembekuan. Pemasangan pipa nasogastrik dapat membedakan kedua
golongan perdarahan diatas. Bila pada pipa nasogastrik mengalir darah ini berarti sumber
perdarahan dari gastrointestinal atas. Kita dapat memonitor perdarahan dan menentukan
beratnya perdarahan yang terjadi. Pemasangan pipa nasogastrik bukanlah merupakan
kontraindikasi pada perdarahan esofagus. Dengan cara ini kita dapat membersihkan
lambung dan mengurangi risiko aspirasi.2,4,16 Berat ringannya perdarahan saluran cerna atas
akut pada anak dapat ditentukan melalui tampilan klinis anak, dan status hemodinamik
pasien, estimasi jumlah volume darah yang hilang dan warna darah yang keluar. Indikator
terbaik yang dapat dipakai untuk kehilangan sejumlah volume darah adalah peningkatan
denyut nadi 20x/menit atau penurunan tekanan darah sistolik 10 mmHg atau lebih pada
perubahan posisi anak dari berbaring ke posisi duduk.16
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik dalam evaluasi perdarahan saluran cerna
atas pada anak. Keamanan endoskopi pada anak sama dengan dewasa meskipun masih
sedikit publikasi tentang endoskopi pada anak. Endoskopi lebih diutamakan untuk evaluasi
397
Bab 24 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
dan pengobatan pada ulkus dan varises esofagus. Seleksi pasien yang akan dilakukan
endoskopi biasanya sangat teliti. Bayi atau anak yang menderita anemia, dengan tes darah
samar pada feses positif dan tidak terdapatnya melena, hematokezia atau hematemesis
memerlukan pemeriksaan endoskopi untuk evaluasi.16 Tindakan bedah diindikasikan jika
terjadi kegagalan tindakan non-invasif atau endoskopi.8
Tabel 24.7.1. Terapi obat-obatan pada perdarahan saluran cerna atas 9,10
Indikasi Kategori obat Dosis*
Perdarahan aktif
Inhibitor sekresi asam lambung intravena
Antagonis histamin 2 Infus berkelanjutan, 1 mg/kg BB diikuti dengan infus 2-4 mg/kg BB/
Ranitidin hari
Infus bolus: 3-5 mg/kg BB/hari, dibagi per 8 jam
Omeprazol Proton pump inhibitor Anak <40 kg: 0,5-1 mg/kg BB/hari, IV 1x/hari
Anak >40 kg: 20-40 mg, 1x/hari, maks. 40 mg/hari
Golongan vasoaktif intravena
Okreotid Analog somatostatin 1 mkg/kg, bolus IV (maks. 50 mkg), diikuti 1 mkg/kg BB/jam
Kecepatan infus bisa dinaikkan setiap jam sampai 4 mkg/kg BB/jam
(maks. 250 mkg/jam)
9
01penurunan 50% setiap 12 jam
Jika perdarahan terkendali, lakukan
2
t
are 25% dari dosis awal
Dapat dihentikan jika mencapai
M
Vasopresin Hormon antidiuretik 9
0,002 -0,005 unit/kg
o
BB/menit, 12 jam, kemudian turunkan dalam
waktu 24-48
a strjam (maks. 0,2 unit/menit)
G
Pencegahan perdarahan ulang
p at
Inhibitor sekresi asam lambung per oral r a
Antagonis histamin 2 unt
uk 2-3 mg/kg BB/dosis, 2-3 x/hari (maks. 300 mg/hari)
Ranitidin o
a str
Famotidin G
Antagonisr histamin 2 0,5 mg/kg BB/dosis, 2x/hari (maks. 40 mg/hari)
a
Ajpump
ku
Lansoprazol Proton inhibitor 1 -1,5 mg/kg BB/hari, 1-2 x/hari (maks. 30 mg, 2x/hari)
u
Omeprazol
i l e B Proton pump inhibitor 1 -1,5 mg/kg BB/hari, 1-2 x/hari (maks. 20 mg, 2x/hari)
Proteksi adhesif mukosaFyang mengalami ulserasi oral
40 -80 mg/kg BB/hari, dalam dosis terbagi (maks. 1.000 mg/dosis
Sukralfat Pasta adhesif lokal
dalam dosis terbagi)
Pencegahan perdarahan ulang varises per oral
Propranolol Mengurangi aliran darah 1 mg/kg BB/hari, dalam 2-4 dosis terbagi
mesenterik (penyekat beta- Bisa dinaikkan setiap 3-7 hari sampai maks. 8 mg/kg BB/hari untuk
adrenergik) mencapai reduksi 25% dari denyut jantung awal
24.7 Simpulan
Perdarahan saluran cerna atas pada anak berasal dari mulut hingga duodenum setinggi
ligamentum Treitz. Hal yang utama diperhatikan pada perdarahan saluran cerna atas
pada anak adalah mengatasi agar tidak terjadi syok hipovolemik karena perdarahan. Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah memastikan lokasi perdarahan. Dengan pemasangan
pipa nasogastrik, anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tepat akan menghindari kita dari
pemeriksaan penunjang yang berlebihan.
398
Buku Ajar Gastrohepatologi
Daftar Pustaka
1. Boediarso A, Perdarahan gastrointestinal pada bayi dan anak 1 : Gastroenterologi anak praktis,
Ed Suharyono, Aswitha B, EM Halimun: edisi ke 2 Jakarta 1994: Balai Penerbit FK-UI hal 231-
40.
2. Simon Chin ed PK Gastro-intestinal bleeding in children and Adolescents: Paediatric Chinical
Clinical Guidelines 2001, hal 1 – 5.
3. Elisa de Carvalho, 1 Miriam H. Nita,2 Liliane M.A. Paiva,2 Ana Aurelia R. Silva2 Gastrointestinal
bleeing J Pediart (Rio J) 2000; 76(Sup.2):S1 35-S146:
4. Halimun EM,Suwarso R,Perdarahan gastrointestinal pada bayi dan anak 2 : Gastroenterologi
anak praktis,Ed Suharyono, Aswitha B, EM Halimun: Edisi ke2 Jakarta 1994 : Balai Penerbit
FK – UI hal 241-49.
5. Gilger M. Upper gastrointestinal Bleeding in Pediatric Gastrointestinal Disease, volume 1 , ed
Allan Walker, 4th edition,USA 2004, hal 258-65.
6. El Mauzan: M I,Abdullah A M Peptic Ulcer Disease in Children and Adolescent of Tropical
Pediatrics; Dec 01,2004, 2004;50,6; hal 328-30.
7. Bancroft J. Dietrich C. Gilger M, et al. Upper endoscopic finding in children with hematemesis
(abstract).Gastrointest Endosc 2003;57:AB 121.
8. Hamoui N, Docherty S D. Crookes P F.Gastrointestinal hemorrhage : is the surgeon obsolete?
Emerg Med Clin N Am 21 (2003) 1017-56.
9
9. Hanna Eyad. Gastointestinal Bleeding in textbook of pediatricpractice 01 Gasrtoenterology
ed.Warren P.Bishop .The McGraw-Hill Companies 2010.hal 65-79. ret 2
10. Kharasch SJ. Gastrointestinal Bleeding in textbook of Pediatric M a
Emergency Medicine, ed. Gary
9
tro 275 – 78.
R. Fleiser, Stephen Ludwig. 4th edition Philadelphia 2000.shal
11. Chaibou M, Tucci M, Marc-Andre, D Farrell CA,atProulx Ga F, Lacroix J, Clinically Significant
p
Upper Gastrointestinal Bleeding Acquired in raaPediatric Intensive Care Unit; A Prospective
tu k
Study, PEDIATRICS Vol 102 No. 4; hal 933-38.
un
ro
12. Pediatrics gastrointestinal bleeding s,tDesember 2009 di unduh dari http://emedicine.medscape.
com/article/802064. G a
13. Machoda RS Kawakami E, Ajar
Goshima S, Patricio FR, Neto UF Hemorrhagic gastritis due to cow’s
milk allergy: report of u ku cases, Jornal de Pediatria – Vol. 79,No4,2003,hal 363-69
two
e B EM, Czkwianianc E, Maoecka IP Mallory weiss syndrome in children,
Fil
14. Romaniszyn LB,Panas
Diseases of the Esophagus 1999,12 hal 65-67.
15. Kay M and Wyllie R. Gastrointestinal hemorrhage, inPediatric Gastrointestinal and Liver
Disease, ed Robert Wyllie, Jeffrey S Hyams, 3rd editionnetherlands 2006 hal : 203- 11
16. Boyle J T . Gastrointestinal Bleeding in Infant and children in pediatric Rev 2008 : 29. 39-52.
399
BAB
25
Perdarahan Saluran Cerna
Bagian Bawah
Supriatmo
25.2 Pendahuluan
Perdarahan saluran cerna bagian bawah (PSMBB) ditandai dengan keluar darah dari
saluran cerna mulai dari daerah ligamentum Treitz ke arah distal hingga rektum.1-3 PSMBB
dilaporkan terjadi pada sekitar 20% dari seluruh perdarahan saluran cerna akut.4 Disebut
akut jika perdarahan terjadi kurang dari 3 hari dan biasanya secara klinis lebih berat dan
tidak jarang mengganggu kestabilan hemodinamik dan menyebabkan anemia yang sering
memerlukan tranfusi darah. Sementara itu disebut kronik jika keluar darah dari rektum
selama beberapa hari atau bahkan bisa lebih lama lagi dan umumna perdarahan yang terjadi
hilang timbul dan sedikit-sedikit.5-8 Angka kejadian PSMBB pada anak belum diketahui
dengan pasti, sementara pada orang dewasa dilaporkan berkisar antara 20-27 kasus per
100.000. Angka kematian lebih rendah dibanding perdarahan saluran cerna bagian atas
dan perdarahan berulang terjadi pada 4% kasus yang telah ditangani.9-11 Perdarahan pada
kolon memerlukan lebih sedikit transfusi darah dibanding perdarahan dari usus halus.
Angka kematian secara keseluruhan berkisar dari 2-4 %.11-12 Pada orang dewasa perdarahan
400
Buku Ajar Gastrohepatologi
saluran cerna bagian atas terjadi paling sedikit lima kali dibanding PSMBB dan kejadian
meningkat sejalan dengan penambahan usia. Data epidemiologi perdarahan saluran cerna
pada anak masih belum memuaskan.13-16
Menarik disimak bahwa PSMBB pada anak umumnya tanpa disertai penyakit
penyerta. Tidak ada data pada anak yang menjelaskan pengaruh obat-obatan sebagai faktor
risiko terjadi perdarahan dan kejadian perdarahan berulang.1,4,5
Pada kebanyakan kasus, gejala klinis membantu menjelaskan sumber perdarahan.
Pada seorang anak yang datang ke rumah sakit dengan hematemesis, sumber perdarahan
dapat diduga berasal dari saluran cerna bagian atas, walaupun bisa juga kibat tertelan
darah pada bayi baru lahir dan epistaksis pada anak. Sementara jika klinis menunjukkan
ada darah segar atau diare bercampur darah biasanya sumber perdarahan dari bagian
bawah, utamanya kolon. Sangat jarang, perdarahan saluran cerna bagian atas masif
menyebabkan hematokesia. Perdarahan saluran cerna bisa samar dan nyata. Perdarahan
samar menunjukkan klinis fatig, anemia defisiensi besi, atau diketahui dengan pemeriksaan
darah samar tinja. Walau bagaimanapun perdarahan nyata bisa sangat menakutkan.16-18
401
Bab 25 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
3. Perdarahan samar dengan gejala fatig atau pucat. Dapat dipastikan dengan pemeriksaan
laboratorium darah dan feses (darah samar feses)
4. Gejala kehilangan banyak darah, seperti malaise, takikardia atau bahkan syok
hipovolemik.
a pa
1. Neonatus: menelan darah ibu, intoleransi
tu k rdiet protein, enterokolitis nekrotikan, malrotasi
n
dan volvulus, defisiensi vitamin K,uhemophilia,
tro
s
2. Bayi: fissura ani, invaginasi, kolitis infeksi, intoleransi diet protein, divertikulum Meckel,
Ga
malformasi pembuluhAdarah.jar
ku infeksi, polip, hiperplasia limfoid nodular, invaginasi, purpura
3. Anak: fissura ani,ukolitis
e B
Fil
Henoch Schönlein, divertikulum Meckel, sindroma hemolitik uremik, kolitis iskemik,
malformasi pembuluh darah.
4. Remaja: kolitis, penyakit Chron dan kolitis ulseratif, fissura ani, polip, hemoroid,
malformasi pembuluh darah.
402
Buku Ajar Gastrohepatologi
403
Bab 25 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dilakukan pada pasien perdarahan saluran cerna untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan pengobatan sesuai tempat perdarahan jika memungkinkan.
Selama dilakukan endoskopi, mukosa yang terlihat akan dinilai, mengidentifikasi tempat
perdarahan, biopsi serta melakukan kultur.3,7,9
Faktor risiko terjadinya perdarahan kembali pada ulkus seperti pembuluh darah yang
terlihat dapat diidentifikasi dan diobati pada saat dilakukan endoskopi. Pada pasin yang
mendapat terapi dengan endoskopi, lesi khas yang dapat diidentifikasi dan ditatalaksana
seperti skleroterapi varises atau ligase dan ablasi varises.9,11,14
Tabel 25.8.2. Pemeriksaan endoskopi yang dapat dilakukan pada PSMBB 7,9,16
Pemeriksaan Indikasi
Esofagogastroduodenoskopi Hematemesis
Melena
Hematokesia
Sigmoidoskopi fleksibel Hematokesia
Kolonoskopi Hematokesia
Enteroskopi usus halus Obscure GI blood loss
Video capsule endoscopy 9
Obscure GI blood loss
2 01
t
M are
Persiapan pada pemeriksaan endoskopi sangat penting 9
o baik dalam segi keamanan serta
keefektivan pemeriksaan. Pada pasien yang memerlukan a str perawatan segera, resusitasi pasien
G
sangat diprioritaskan dibanding dilakukan pemeriksaanp at pada saat kondisi pasien yang tidak
r a
k
u ntu
stabil. Perlunya pendamping anestesi atau ahli gawat darurat selama pemeriksaan untuk menjaga
jalan nafas serta pemilihan obat sedasi oyang aman dan efektif pada saat pemeriksaan.10-14
a str
G
A jar
Enteroskopi UsusuHalus ku
e B
Fil
Penggunaan enteroskopi usus halus dapat dilakukan pada anak dengan perdarahan saluran
cerna yang nyata, yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan video capsule endoscopy
(VCE) atau CT angiography (CTA) untuk mengetahui lokasi lesi. Tindakan terdiri dari
penekanan dengan balon tunggal atau ganda menggunakan enteroskopi spiral. Penekanan
enteroskopi melewati duodenum menuju jujunum tanpa penambahan alat lain. Enteroskopi
spiral menggunakan overtube khusus dan bisa juga dipakai kolonoskop anak. Penggunaan
enteroskopi balon ganda untuk menegakkan diagnoda dini menentukan sumber perdarahan
samar sekitar 50-77% lebih efektif pada dewasa dibanding pada anak.7,10,13
Skintigrafi
Skintigrafi nuklear telah digunakan selama beberapa dekade untuk menentukan lokasi
perdarahan saluran cerna bagian bawah. Penggunaan techneticum-labeled red bloodcell (Tc-
RBC) scanning lebih disukai. Rata-rata skintigrafi nuklear dapat mendeteksi perdarahan
sekitar 0,5 mL per menit jika memungkinkan, dengan akurasi sekitar 41-94 %. Interval
akurasi yang begitu lebar menyebabkan scan skintigrafi nuklear sebagai panduan intervensi
pembedahan tiidak disarankan. Banyak penelitian merekomendasikan penggunaan Tc-
RBC scan sebagai skrining utama pada angiografi atau kolonoskopi. Tc-RBC scanning
404
Buku Ajar Gastrohepatologi
aman dengan tingkat morbiditas yang minimal. Kemampuan untuk menscan pasien dua
kali lebih baik khususnya digunakan pada perdarahan intermitten, dan saat positif dapat
membantu intervensi angiografi secara langsung.5-8
Angiografi
Dianostik angiografi mesenterika merupakan pemeriksaan invasif yang dapat menentukan
lokalisasi perdarahan GI. Salah satu keuntungan angiografi sebagai intervensi terapeutik
pada saat diagnosis dan kemampuan untuk menentukan lokasi perdarahan dengan adanya
tes provakatif. Pemilihan pasien untuk tindakan harus sangat hati-hati, karena kontrasnya
dapat menyebabkan nefropati.12,13
Dalam mendeteksi rata-rata perdarahan memerlukan sekitar 1,0-1,5 mL/menit,
dengan akurasi sekitar 40-86%. Uji provokatif digunakan untuk meningkatkan diagnostik
dari angiografi. Teknik ini tidak dapat bekerja dengan penggunaan heparin, trombolitik,
vasodilator atau kombinasi untuk memprovokasi perdarahan atau lokasi perdarahan.12,14
Penggunaan uji provokasi dianjurkan untuk meningkatkan hasil yang potensial
namun penggunaan ini harus seimbang dengan risiko terjadinya perdarahan GI yang tidak
terkontrol atau perdarahan intrakranial. Komplikasi dari penggunaan angiografi ini belum
9
pernah dilaporkan. Akurasi sebagai diagnostik sekitar 29-100% namun 2 01 penggunaan yang
t
terlalu turin tidak dianjurkan.5,8,12 are M
9
stro
G a
Computed Tomography Angiography (CTA)
ap
at
r
k
CT-scan digunakan untuk berbagai kondisitumedis, penggunaannya meningkat dalam tata
u n
ro
laksana pasien dengan hematokesia. CT-scanner yang ganda dan angiografi dapat membantu
st
menentukan lokasi perdarahan rGI. Ga Penggunaan scan ini tidak memerlukan konstras oral
Aja
dan studi yang baik dalam memprediksi
u secara visualization of intraluminal extravasation of
intravenous constrast. B5,8,12u k
i le
SensitivitasF CTA dalam menentukan lokasi perdarahan GI sekitar 91-92% pada
perdarahan yang aktif, sensitivitas ini akan menurun pada penrdarahan yang intermitten
sekitar 45-47%. Pemeriksaan CTA memberikan hasil yang cepat, relatif non-invasif dan
efektif dalam menentukan lokasi perdarahan, khususnya pada pasien dengan perdarahan
berlanjut.11-16
405
Bab 25 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah
Angiografi Terapeutik
Angiografi seperti kolonoskopi berpotensial terhadap intervensi terapeutik intermedia
setelah diagnosis. Adanya kecurigaan pada daerah kontras yang telah diidentifikasi, tata
laksana dapat dilakukan dengan infus vasopresin atau embolisasi yang selektif. Transcatheter
superselective embolization, merupakan prosedur yang aman dan lebih efektif. Penggunaan
kateterisasi mikro sebagai target embolisasi pada cabang arteri perifer subsegmental
menunjukkan keberhasilan sekitar 80-100% dengan angka rekuren 14-29%. Efek samping
seperti iskemik mukosa atau formasi striktur dapat dialami sekitar 23% dari pasien tanpa
disertai gejala.5,7-11
Penggunaan terapi ini aman dan efektif, beberapa peneliti menganjurkan embolisasi
super selectif sebagai terapi angiografi lini pertama pada PSMBB.5,7,11
Pembedahan
Sekitar 18-25% pasien memerlukan intervensi operatif. Intervensi operatif umumnya
dilakukan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, memerlukan transfusi darah
massif, dan perdarahan intermitten walaupun diberhentikan melalui metode intervensi
lain.5,7,9 9
2 01
Pemilihan tindakan laparatomi eksplorasi dilakukan rpada e t perdarahan berlanjut
yang tidak dapat ditentukan lokasi perdarahannya. Selama Ma tindakan ini dapat disertai
o 9
r
st pada lesi perdarahan. Jika sumber
kolonoskopi dan/atau enteroskopi, dan dilakukan reseksi
t Ga “blind” subtotal kolektomi dengan
perdarahan tidak dapat diidentifikasi, dapat dilakukan
a
ileostomi atau ileoproktostomi.15-17 k rap
u nt
u
ro
G ast
A jar
Daftar Pustaka Buku
e
Fil ML, Fields JM, Neville HL, Perez EA, Sola JE. Use of CT enterography for the
1. Davis JS, Ryan
diagnosis of lower gastrointestinal bleeding in pediatric patients. J Ped Surg. 2013;681-4.
2. Pillai RB, Tolia V. Gastrointestinal bleeding in infants and children. Therapy. 2008;5(4):465-73.
3. Dar IA, Dar WR, Khan MA, Kasana BA, Sofi NU, Hussain M, dkk. Etiology, clinical presentation,
diagnosis and management of lower gastrointestinal bleed in a Tertiary Care Hospital in India: a
retro-prospetive study. J Dig Endosc. 2015;6:101-9.
4. Mandhan P. Sig oidoscopy in children with chronic lower gastrointestinal bleeding. J Pediatr
Child Health. 2004;40:365-8.
5. Deeb MM, El-Zayat RS, Abo El-Khair H. Colonoscopic findings in children with lower
gastrointestinal bleeding. Menoulia Med J. 2016;29:247-51.
6. Rahme E, Bernatsky S. NSAIDs and risk of lower gastrointestinal bleeding. Lancet. 2010;376:146-
8.
7. Sahn B, Bitton S. Lower gastrointestinal bleeding in children. Gastrointest Endoscopy Clin N
Am. 2016;26:75-98.
8. Zahmatkeshan M, Fallahzadeh E, Najib K, Geramizadeh B, Haghighat M, Imanieh MH. Etiology
of lower gastrointestinal bleeding in children: a single center experience from Southern Iran.
Middle East J Dig Dis. 2012;4:216-23.
9. Avula S, Teli B, Arakeri S, Venugopal. Prolapsed rectal polyp in an infant with massive lower
gastrointestinal bleeding: case report. Int Surg J. 2015;2(2):320-2.
406
Buku Ajar Gastrohepatologi
10. Strate LL, Gralnek IM. ACG clinical guideline: management of patients with acute lower
gastrointestinal bleeding. Am J Gastroenterol. 2016;1:1-16.
11. Moravej H, Dehghani SM, Nikzadeh H, Malekpour A. Lower gastrointestinal bleeding in
children: experiences from referral center in Southern Iran. J Compr Ped. 2013;3(3):115-8.
12. Motamed F, Najafi M, Khodadad A, Fallahi G, Farahmand F, Sobhani M. Colonoscopic findings
in children with lower gastrointestinal bleeding. Spring. 2008;13(3):54-7.
13. Hulme B, Wilcox S. Guidelines on the management of bleeding for palliative care patients with
cancer. Yokshire Palliative Med Clin Guidelines Group. 2008;1-84.
14. Park JH. Role of colonoscopy in the diagnosis and treatment of pediatric lower gastrointestinal
disorders. Korean J Pediatr. 2010;53(9):824-9.
15. Khushdil A, Malik R, Farrukh H. Etiology of lower gastrointestinal bleeding in paediatric
patients, a colonoscopic surgery. Pak Armed Forces Med J. 2014;64(3):484-7.
16. Raphaeli T, Menon R. Current treatment of lower gastrointestinal hemorrhage. Clin Colon
Rectal Surg. 2012;25:219-29.
17. Genel S, Lucia SM, Daniel SG, Emanuela F. Gastrointestinal bleeding in children can have many
cause. Pharm Anal Acta. 2016;7(2):1-2.
18. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of acute upper and lower
gastrointestinal bleeding a national clinical guideline. 2008;1-64.
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
407
BAB
26
Endoskopi Gastrointestinal pada Anak
Andy Darma
408
Buku Ajar Gastrohepatologi
juga telah berkembang endoskopi terapeutik meskipun karena indikasi dan usia mempunyai
lebih banyak keterbatasan dibanding endoskopi gastrointestinal dewasa.
Endoskopi gastrointestinal pada anak meliputi:
1. Endoskopi saluran cerna bagian atas (esofago-gastro-duodenoskopi))
2. Endoskopi saluran cerna bagian bawah (kolonoskopi)
3. Enteroskopi (single/double baloon)
4. Capsule endoscopy
5. Endoscopic retrograde Cholangiopancreatographi (ERCP)
6. Endoscopic ultra sound (EUS)
7. Endoskopi terapeutik
Belum semua pusat endoskopi anak mempunyai kemampuan untuk melakukan semua
prosedur endoskopi diatas. Di negara berkembang biasanya hanya melakukan endoskopi
saluran cerna atas dan bawah disertai beberapa indikasi untuk endoskopi terapeutik. Di
beberapa kota besar di Indonesia hanya melakukan endoskopi terapeutik polipektomi dan
pengambilan benda asing yang tertelan sedangkan selebihnya hanya melakukan prosedur
diagnostik.9,10 Pusat endoskopi anak di Malaysia juga memberikan gambaran yang hampir
sama dengan situasi di Indonesia.8
Enteroskopi dapat dilakukan pada pasien anak dengan berat badan 1lebih 9 dari 10 kg pada
2 0
kasus kasus yang melibatkan usus halus yang tidak dapat diperiksa t dengan menggunakan
endoskopi saluran cerna atas ataupun bawah. Pada kasus penyakit M are Crohn’s dan striktura
usus halus dikatakan enteroskopi mempunyai hasil yang t o 9 baik dibandingkan dengan
rlebih
s
Ga
MRI usus halus.11,12 p at
a
Indikasi wireless capsule endoscopy padatu k ranak meliputi perdarahan gastrointestinal
n
yang tidak jelas penyebabnya, penyakit
tro u Crohn’s, penyakit seliak, poliposis herediter.13
Penggunaan metode ini aman danGsudah as disetujui oleh FDA untuk anak dengan usia diatas 2
j ar
tahun. Pada anak yang belumAbisa menelan, kapsul dapat dilepaskan dengan menggunakan
prosedur endoskopi atas. ku
u13,14
e B
Fil
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatographi (ERCP) juga dilakukan pada
penderita anak dengan indikasi yang hampir sama dengan penderita dewasa hanya jumlah
kasusnya tidak sebanyak dewasa,15 kasus-kasus dengan masalah bilier dan pankreas
yang banyak menggunakan ERCP seperti koledokolitiasis, kolangitis skerosis primer,
kolesistektomi dan kasus pankreatitis akut, kambuhan dan pankreatitis kronis.16–18
Endoscopic Ultra Sound adalah modalitas diagnostik baru yang memudahkan dalam
mengevaluasi mukosa dan submukosa, serta kasus yang melibatkan pankreas, duktus
pankreatikus dan duktus bilier. Endoscopic Ultra Sound dapat digunakan untuk anak
dengan tumor pada saluran cerna atas, gangguan pankreas, karakteristrik striktura esofagus
dan duplikasi enterik.19,20
409
Bab 26 Endoskopi Gastrointestinal pada Anak
26.4 Indikasi
Indikasi Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas (Gastroskopi)
Terdapat tiga kategori penting dalam menentukan indikasi endoskopi pada kelainan saluran
cerna bagian atas berdasarkan urgensi dan tujuan endoskopi (Tabel 26.4.1):7
410
Buku Ajar Gastrohepatologi
411
Bab 26 Endoskopi Gastrointestinal pada Anak
ketidaksengajaan atau kecelakaan sedang pada kasus dewasa terdapat kasus dengan
kesengajaan atau usaha suicidal.15,21,31
Keluhan utama pada kasus tertelannya larutan korosif adalah disfagia, drooling,
feeding refusal, nyeri dada retrosternal, nyeri perut dan muntah yang kadang disertai
dengan hematemesis. Meskipun keluhan yang didapatkan ringan tidak selalu berhubungan
dengan kerusakan mukosa yang didapat tetapi semakin banyak keluhan yang didapat
meningkatkan kemungkinan terjadi kerusakan mukosa yang signifikan.31
Tertelannya larutan korosif sangat ditentukan oleh jenis larutan yang terminum
apakah bersifat alkali atau asam. Keberadaan luka etsa atau lesi mukosa di rongga mulut
karena larutan korosif merupakan salah satu tanda keparahan yang penting.15,21,31,32
Meskipun tindakan endoskopi untuk menentukan luas dan jenis lesi yang terjadi
sangat menentukan staging dari kelainan yang terjadi sehingga sangat menentukan
tatalaksana dan prognosis dari setiap kasus, tetapi masih terdapat banyak pendapat
tentang saat yang tepat untuk melakukan endoskopi. Pada umumnya pendapat para ahli
merekomendasikan untuk melakukan endoskopi minimal setalah 12 jam dan sebelum 48
atau 72 jam setelah kejadian.15,21,31,32
9
Nyeri Perut Berulang 2 01
re t
Nyeri perut berulang atau nyeri perut kronis adalah indikasi
9 Ma endoskopi saluran cerna
atas yang paling sering dilakukan baik di negara tmaju
s ro ataupun negara yang sedang
berkembang. 7,9,15,33–36
G a
p at
Nyeri perut berulang atau nyeri perut a
r kronis pada anak mempunyai etiologi yang
ntukataupun psikis. Prosedur endoskopi memberikan
sangat luas mulai dari yang bersifat organik
ou
keuntungan dalam menegakkanaatau str menyingkirkan diagnosis banding sebesar 38%33 dan
G dalam 66% kasus.37
mengubah tatalaksana nyerijarperut
A
u Helicobacter pylori sering dihubungkan dengan kejadian nyeri
Keberadaan infeksi
B uk
il e
perut berulang.FTindakan endoskopi dan pemeriksaan histopatologi adalah standar emas
dalam menegakkan diagnosis infeksi Helicobacter pylori.38
Temuan yang sering didapatkan dalam endoskopi saluran cerna atas dalam kasus
nyeri perut kronois atau berulang pada anak adalah esofagitis, gastritis, duodenitis, tukak
lambung dan juga tukak duodenum.8–10,33,34
412
Buku Ajar Gastrohepatologi
G ast
p at
r a
26.5 Ringkasan u ntu
k
ro
ast mempunyai peranan yang sangat penting dalam
Endoskopi gastrointestinal pada anak
G
menegakkan diagnosis pada A jar gastroenterologi anak. Peningkatan kemampuan sumber
kasus
u
uk endoskopi anak sangat dibutuhkan.
daya manusia dalam bidang
B
e
Fil
Daftar Pustaka
1. Thomson M, Tringali A, Dumonceau J-M, Tavares M, Tabbers MM, Furlano R, et al. Paediatric
Gastrointestinal Endoscopy: European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology
and Nutrition and European Society of Gastrointestinal Endoscopy Guidelines. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2017 Jan;64(1):133–53.
2. Tringali A, Thomson M, Dumonceau JM, Tavares M, Tabbers MM, Furlano R, et al. Pediatric
gastrointestinal endoscopy: European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) and
European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (ESPGHAN)
Guideline Executive summary. Endoscopy. 2016;83–91.
3. Gershman G. Introduction. In: Gershman G, Thomson M, Ament M, editors. Practical Pediatric
Gastrointestinal Endoscopy. 2nd ed. New Jersey: Blackwell; 2012. p. 3.
4. Guarino A, Sibal A. Introduction to the FISPGHAN Working Group reports. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2012 Nov;55(5):619–21.
5. Thomson M, Elawad M, Barth B, Seo JK, Vieira M. Worldwide strategy for implementation of
paediatric endoscopy: Report of the FISPGHAN Working Group. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2012 Nov;55(5):636–9.
413
Bab 26 Endoskopi Gastrointestinal pada Anak
414
Buku Ajar Gastrohepatologi
27. Ikenberry SO, Jue TL, Anderson M a., Appalaneni V, Banerjee S, Ben-Menachem T, et
al. Management of ingested foreign bodies and food impactions. Gastrointest Endosc.
2011;73:1085–91.
28. Chauvin A, Viala J, Marteau P, Hermann P, Dray X. Management and endoscopic techniques for
digestive foreign body and food bolus impaction. Dig Liver Dis. 2013;45(7):529–42.
29. Kramer RE, Lerner DG, Lin T, Manfredi M, Shah M, Stephen TC, et al. Management of Ingested
Foreign Bodies in Children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2015;60(4):562–74.
30. Hussain SZ, Bousvaros A, Gilger M, Mamula P, Gupta S, Kramer R, et al. Management of
ingested magnets in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2012;55(3):239–42.
31. Kay M, Wyllie R. Caustic ingestions in children. Curr Opin Pediatr. 2009;21:651–4.
32. Riffat F, Cheng a. Pediatric caustic ingestion: 50 consecutive cases and a review of the literature.
Dis Esophagus. 2009;22:89–94.
33. Thakkar K, Chen L, Tatevian N, Shulman RJ, Mcduffie a., Tsou M, et al. Diagnostic yield of
oesophagogastroduodenoscopy in children with abdominal pain. Aliment Pharmacol Ther.
2009;30(6):662–9.
34. Sheiko M a., Feinstein J a., Capocelli KE, Kramer RE. Diagnostic yield of EGD in children: A
retrospective single-center study of 1000 cases. Gastrointest Endosc. 2013;78(1):47–54.e1.
35. Kim YJ. General considerations and updates in pediatric gastrointestinal diagnostic endoscopy.
Korean J Pediatr. 2010;53:817–23.
36. Kelly D, Bremner R, Hartley J. The child with abdominal pain. In: Kelly D, Bremner R, Hartley
9
J, editors. Practical Approach to Paediatric Gastroenterology, Hepatology 2 01and Nutrition. 1st ed.
t
New Jersey: Blackwell; 2014. p. 6–14. are
9M
37. Thakkar K, Dorsey F, Gilger M a. Impact of endoscopy on omanagement of chronic abdominal
str
Ga
pain in children. Dig Dis Sci. 2011;56:488–93.
38. Koletzko S, Jones NL, Goodman KJ, Gold B, Rowland p at M, Cadranel S, et al. Evidence-based
a
guidelines from ESPGHAN and NASPGHAN
tu k rfor Helicobacter pylori infection in children. J
n
tr ou
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011;53(2):230–43.
39. Lee YW, Chung WC, Sung HJ, Kang s YG, Hong SL, Cho KW, et al. Current Status and Clinical
r GaKorea. Korean J Gastroenterol. 2014;64(6):333–9.
Impact of Pediatric Endoscopy ja in
kuA
40. Gershman G. Pediatric Colonoscopy. In: Gershman G, Thomson M, Ament M, editors. Practical
Bu Endoscopy. 2nd ed. New Jersey: Blackwell; 2012. p. 104–31.
Pediatric Gastrointestinal
le
FiLee
41. Lee BG, Shin SH, YA, Wi JH, Lee YJ, Park JH. Juvenile Polyp and Colonoscopic Polypectomy
in Childhood. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. 2012;15(4):250–5.
42. Yamashita M, Nomura K, Fujimoto Y, Morimoto Y, Ohshiro M, Tsutsumi Y, et al. Length of
vancomycin administration for treatment of clostridium difficile-associated diarrhea may
depend on presentation of colonic ulcer. Hepatogastroenterology. Jan;56(90):313–6.
43. Jang HJ, Kim AS, Hwang JB. The etiology of small and fresh rectal bleeding in not-sick neonates:
Should we initially suspect food protein-induced proctocolitis? Eur J Pediatr. 2012;171:1845–9.
415
BAB
27
Diare pada Anak Penderita HIV
Muzal Kadim
27.2 Pendahuluan
Penyakit HIV saat ini sudah menjadi epidemik global di dunia, termasuk di Indonesia.
Jumlah total penderita HIV di seluruh dunia pada tahun 2002 adalah sekitar 40 juta kasus
dengan penderita anak sebanyak 3 juta kasus.1 Di Indonesia sendiri, berdasarkan data
statistik kasus HIV sampai bulan Maret 2006 telah terdapat sekitar 10.156 kasus, masing-
masing 4333 kasus HIV dan 5823 kasus AIDS. Jakarta merupakan provinsi yang mempunyai
angka kejadian tertinggi dengan jumlah total penderita HIV sekitar 3601 penderita.2 Data
Kementrian Kesehatan tahun 2008 menunjukkan jumlah penderita HIV di Indonesia usia
di bawah 14 tahun adalah 2,27%, 77% di antaranya berusia kurang dari 4 tahun dan 31,67%
berusia kurang dari 1 tahun.3 Infeksi HIV pada anak banyak yang terjadi pada usia muda
karena sebagian besar (>80%) infeksi HIV pada anak adalah akibat transmisi vertikal dari
ibu ke anak. Lima puluh persen kasus infeksi HIV pada anak terjadi pada umur kurang dari
1 tahun, dan 82% berumur kurang dari 3 tahun. Meskipun demikian terdapat juga bayi
yang terinfeksi HIV secara vertikal, yang belum memperlihatkan gejala AIDS pada usia 10
tahun.4
Penderita HIV cenderung menderita berbagai macam penyakit selama hidupnya
karena keadaan imunitas tubuh yang rendah dan diare merupakan salah satu masalah
yang cukup sering terjadi. Sebhat melaporkan beberapa gejala klinis yang sering menjadi
keluhan anak penderita HIV yaitu, gangguan pernapasan, atau tuberkulosis atau pneumonia
416
Buku Ajar Gastrohepatologi
(58,4%), diare (52,8%) dan gizi buruk (56,9%). Diare pada HIV dapat berupa diare akut
namun sebagian besar merupakan diare persisten (35%).5 Angka kejadian diare pada
penderita HIV rata-rata 30-70% di negara maju dan dapat mencapai sekitar 100% di negara
berkembang.6 Sejak Februari 2007 sampai Desember 2008 telah dirawat sebanyak 28 kasus
HIV di Departemen Ilmu Kesehatan anak FKUI-RSCM, 64% diantaranya menderita diare
persisten. Jumlah kasus HIV anak yang tercatat di Departemen IKA FKUI-RSCM selama 2
tahun sejak 2008 sampai 2010 dilaporkan 96 kasus, sekitar 50% menderita diare persisten.
Diare merupakan gejala terbanyak kelima dan menjadi alasan kedua yang terbanyak
yang membuat penderita HIV datang ke rumah sakit.7,8 Diare merupakan penyebab utama
morbiditas yang dapat menurunkan kualitas hidup dan ketahanan tubuh sehingga dapat
meningkatkan angka mortalitas penderita HIV.9 Pasien HIV yang menderita diare termasuk
dalam klasifikasi infeksi HIV sedang atau berat.
417
Bab 27 Diare Pada Anak Penderita Hiv
Tabel 27.3.3. Stadium klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi HIV (lanjutan)
Stadium klinis III
Malnutrisi sedang yang tidak diketahui sebabnya dan tidak berespon adekuat terhadap terapi
Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan(lebih dari 14 hari)
Demam persisten yang tidak diketahui sebabnya (di atas 36,7°, selama sebulan intermiten maupun terus menerus)
Kandidiasis oral persisten (setelah umur 6-8 minggu)
Oral hairy leukoplakia
Acute necrotizing ulcerative gingivitis atau periodontitis
Tuberkulosis pulmonal
TB kelenjar
Pneumonia bakteri berat yang berulang
Pneumonitis intersisialis limfositik simtomatik
Penyakit paru-paru kronik yang berhubungan dengan HIV termasuk bronkiektasis
Anemia (<8 g/dL), neutropenia (<500/ml) dan trombositopenia (<50.000/mL) kronik yang tidak diketahui sebabnya.
Stadium klinis IV
Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak respon terhadap terapi standar
Pneumonia pneumositis
Infeksi bakteri berat yang berulang (misal:empiema, piomyositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial atau kutaneus lebih dari sebulan atau viseralis pada lokasi manapun)
Tuberkulosis ekstrapulmonal
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofageal (atau kandida pada trakea, bronkus dan paru-paru) 19
20
Infeksi sitomegalovirus; renitis atau infeksi cytomegalovirus pada organ lain, onset pada usia >e1tbulan
r
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (setelah periode neonatal)
9 Ma
Kriptokokus ekstrapulmonal (termasuk meningitis) ro
Ensefalopati HIV G ast
at
ap
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis ekstrapulmonal, koksidiomikosis)
r
Kriptosporidiosis kronik (dengan diare) k
Isosporiasis kronik u ntu
Mikobakterium non- TBC yang menyeluruh stro
a
j arG
Lymfoma serebral atau limfoma sel B non-Hodgkin
Leukoensefalopati progresif multifokalA
Kardiomiopati atau nefropati u ku disebabkan HIV
yang
e B
Fil
418
Buku Ajar Gastrohepatologi
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
ast
r G Mekanisme malnutrisi pada anak dengan HIV
Gambar 27.4.1. 14
ja
kuA
u
le B
Fi
Virus HIV dianggap sebagai penyebab patogen terjadinya diare, karena protein virus
telah ditemukan dalam saluran pencernaan. Pada spesimen histologi dari jaringan saluran
pencernaan, ternyata sekitar 40% penderita dapat ditemukan virus tersebut. Infeksi virus
HIV terbatas pada lamina propria, makrofag dan sel enterokromafin, dan tidak ditemukan
pada sel epitel. Selain itu, infeksi virus ini juga dapat mempengaruhi imunitas humoral
lokal, menyebabkan gangguan motilitas melalui efek saraf autonom, dan atrofi mukosa
usus yang akan menyebabkan gangguan absorbsi.14 Keadaan diare tanpa ditemukannya
mikroorganisme patogen atau enteropati HIV pertama kali dideskripsikan oleh Kotler
pada tahun 1984. Angka kejadian enteropati HIV sekitar 15-20%. Patofisiologi terjadinya
enteropati HIV sangat kompleks dan mungkin merupakan efek tidak langsung dari virus
HIV terhadap homeostasis usus. Pada beberapa kasus ditemukan pembukaan “tight
junction” antara sel epitel yang disebabkan oleh pelepasan sitokin yang distimulasi HIV. Hal
ini mengakibatkan fungsi sawar epitel usus menjadi lemah, meningkatkan permeabilitas
usus, dan terjadi mekanisme kebocoran yang terus menerus yang akan menimbulkan
diare.14
Sekitar 75-80% kasus diare disebabkan karena infeksi mikroorganisme patogen, baik
virus, bakteri maupun parasit.9 Berbagai macam mikroorganisme patogen, baik yang tipikal
419
Bab 27 Diare Pada Anak Penderita Hiv
maupun atipikal dapat menyebabkan diare pada penderita HIV. Agen infeksius ini biasanya
dapat diisolasi dari tinja atau pada hasil biopsi mukosa usus penderita. Beberapa macam
patogen tipikal yang sering menyebabkan diare biasanya bersifat oportunistik, antara lain:
cryptosporidia, microsporidia, cytomegalovirus dan mycobacterium avium complex (MAC).15
Secara umum, agen infeksius penyebab diare pada HIV dapat dilihat pada Tabel 27.4.1.15
Tabel 27.4.1. Gangguan fungsi usus dan pankreas pada anak dengan HIV
Bentuk gangguan Prevalens (%)
Malabsorpsi besi 45
Steatorea 30-40
Insufisiensi pankreas 30
Malabsorpsi laktosa 25-30
Permukaan absorpsi usus ↑ 25
Kehilangan protein 15
Peningkatan permeabilitas 15
420
Buku Ajar Gastrohepatologi
mukosa usus merupakan faktor penting untuk mencegah terjadinya diare. Kehilangan sel
CD4 dalam mukosa usus biasanya lebih banyak dibanding kadar CD4 perifer, sehingga
pada penderita dengan jumlah CD4 perifer yang masih baik tetap dapat terjadi diare
karena imunitas mukosanya sudah rendah.7 Selain itu, dapat terjadi ketidakseimbangan
flora normal usus dan penurunan elemen lainyang berfungsi sebagai sistem pertahanan
dalam usus. Glutamin sebagai bahan utama bagi pembentukan enterosit usus halus dan
berhubungan dengan sistem imun dalam lambung dapat berkurang akibat penyakit berat,
seperti pada HIV. Penurunan sistem imun lokal tersebut menyebabkan antigen dapat
melewati lambung yang menjadi permeabel dan mempermudah translokasi ke dalam aliran
darah.16
Penggunaan terapi antiretroviral aktif (highly active anti retroviral therapy/
HAART) dapat menurunkan frekuensi terjadinya diare akibat patogen infeksius yang
bersifat oportunistik, meningkatkan konsistensi tinja dan membersihkan ookista dan spora
parasit dari tinja. Selain itu, dapat pula menurunkan replikasi virus yang ditandai dengan
peningkatan jumlah CD4 dan menurunkan progresivitas penyakit. Namun ternyata,
obat-obat antiretroviral aktif yang digunakan mempunyai efek samping yang juga dapat
menyebabkan timbulnya diare.9 Sehingga, terjadi perubahan etiologi diare pada HIV sejak
digunakannya terapi antiretroviral ini, yaitu peningkatan insidens penyebab non-infeksi
9
dan penurunan insiden dari penyebab infeksi oportunistik. 6,9 2 01
t
re besar yaitu:
Secara umum obat antiretroviral dapat dibagi dalam 3 kelompok
9 Ma
• Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors ro(NRTI): zidovudin, zalsitabin,
stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir G ast
at
• Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase r ap inhibitors (NNRTI): efavirens, nevirapin
k
• Kelompok protease inhibitors (PI): sakuinavir,
u ntu ritonavir, nelvinavir, amprenavir.
tro
as
Efek samping diare akibatGantiretroviral aktif biasanya timbul pada masa awal
pengobatan dan dalam jangka j arpendek. Mekanisme timbulnya diare belum jelas, namun
A
mungkin berhubungan udengan ku hipersensitivitas. Risiko akan meningkat jika sudah ada
i l eB
gejala diare dan malnutrisi sebelumnya. Beberapa obat yang sering menimbulkan diare,
F
antara lain: nelfinavir (14-32%), atazanavir (23-31%), sakuinavir (20%), tenofovir, dan
didanosin/ddI (15%-28%). Pada penderita HIV yang menggunakan ddI, diare dapat
mengindikasikan terjadinya pankreatitis.17 Selain antiretroviral aktif, penggunaan
antibiotika yang biasa digunakan sebagai terapi dan profilaksis terhadap infeksi oportunistik
pada penderita HIV juga dapat menimbulkan diare. Antibiotika dapat mematikan bakteri
baik dalam usus dan menimbulkan pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri oportunistik,
antara lain Clostridium difficille.6 Diare terjadi pada pasien yang mendapat terapi ampisilin,
amoksisilin-klavulanat, sefiksim, dan sefalosporin jenis yang lain, fluorokuinolon,
azitromisin, claritromisin, eritromisin, dan tetrasiklin.
Diare akibat C. difficile terutama disebabkan oleh toksin A dan toksin B dalam
lumen usus selama multiplikasi. Toksin ini terikat pada mukosa kolon dan menyebabkan
kerusakan. Kebanyakan isolate toksigenik menghasilkan kedua toksin tersebut. Sekitar
5-10% isolat tidak menghasilkan toksin dan tidak menyebabkan diare atau kolitis. Toksin
A bersifat sitotoksik, merupakan aktivator makrofag dan sel mast, sehingga mampu
menyebabkan keluarnya beberapa mediator inflamasi. Toksin A mampu menyebabkan
disagregasi aktin, melepaskan kalsium intraseluler, dan merusak neuron.18 Toksin B dapat
421
Bab 27 Diare Pada Anak Penderita Hiv
menyebabkan depolimerisasi filamen aktin. Pada beberapa spesies binatang toksin B tidak
bersifat sitotoksik pada mukosa kolon, sehingga peranannya untuk kolitis dianggap kecil.
C. Difficile jarang menyebabkan kerusakan mukosa karena invasi langsung. Diare akibat
C. Difficile disebabkan oleh efek toksin yang diproduksi di dalam lumen dan melekat di
permukaan mukosa.19
Tabel 27.5.1. Terapi spesifik infeksi usus pada anak penederita HIV
Patogen Terapi
Salmonella Ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, sefotaksim, seftriakson
Shigella Ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, sefotaksim, seftriakson, sefiksim, siprofloksasin
Campylobacter Eritromisin, siprofloksasin
Giardia lamblia Metronidazol, tinidazol, flurazolidon, paromomisin
C. difficile Metronidazol, vankomisin, spiramisin
Criptosporidium Paromomisin, azitromisin, nitazoxanid
M. avium dan Klaritromisin/azitromisin dan etambutol ditambah rifampisin, klofazimin, siprofloksasin atau amikasin
M. intracellulare
Rotavirus Human serum immunoglobulin
Cytomegalovirus Gansiklofir, foskarnet
422
Buku Ajar Gastrohepatologi
27.6 Penutup
Diare pada penderita HIV merupakan masalah yang cukup besar, baik bagi pasien, maupun
bagi para dokter yang merawat. Penyebab diare sangat kompleks dan multifaktorial, sehingga
diare yang terjadi dapat menjadi kronik dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada
penderita. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui penyebab diare pada HIV dan dapat
melakukan tata laksana secara komprehensif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
penderita HIV. Terapi rehidrasi dan nutrisi harus segera diberikan untuk mencegah pasien
jatuh dalam keadaan dehidrasi dan malnutrisi. Pengaobatan spesifik segera dilakukan dan
tertuju pada patogen penyebab diare, untuk mencegah pengobatan yang tidak perlu. Terapi
empiris dengan metronidazole saja atau kombinasi dengan garamisin oral atau sefiksim
dapat diberikan sambil menunggu pemeriksaan lebih lanjut.
Daftar Pustaka
1. UNAIDS. Report on the global HIV epidemic. Geneva: 2002. Diunduh dari: http://www.who.
int/hiv/pub/epidemiology/pubepidemic2002/en/. Diakses tanggal 12 Juni Larutan 2006.
2. Direktorat Jendral PPM&PL, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 9Statistik kasus HIV
2 01
di Indonesia. Jakarta: 2006. t
3. Direktorat Jendral PPM & PL, Departemen Kesehatan RepublikM are
Indonesia. Statistik kasus HIV
o 9
di Indonesia. Jakarta: 2008.
str
4. Matondang CS, Kurniati N. Infeksi HIV pada bayit dan Ga anak. Dalam: Akib AAP, Munasir Z,
a
Kurniati N. Buku ajar alergi-imunologi anak. rEd ap ke-2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2007. h.
379-416. tu k
o un of HIV /AIDS in children in Northwest Ethiopia.
5. A. Sebhat, A. Solomon. Clinical manifestation
str
Ga
Ethiop. J. Health Dev 2005;19(1):24-28.
r
6. Call SA, Heudebert G, SaagAM, ja Wilcox CM. The Changing etiology of chronic diarrhea in HIV-
ku
u cell counts less than 200 cells/mm3. Am J Gastroenterol 2000;95:3142-
infected patients with CD4
B
e
6. Fil
7. Attili SVS, Gulati AK, Singh VP, Varma DV, Rai M, Sundar S. Diarrhea, CD4 counts and anteric
infections in a hospital-based cohort of HIV-infected patients around Varanasi, India. BMC
Infect Dis 2006;6:1-8.
8. Hamilton MJ, Sefcik E, Tsai Y, Nicholas P, Corless I, Dole P, et al. Symptom management of
diarrhea in HIV. Int Conf AIDS, July 2004 [Abstrak].
9. Anastasi JK, Capili B. HIV-related diarrhea and outcome measures. J Association Nurses in
AIDS Care 2001;12:44-50.
10. World health Organization. Antiretroviral therapy for HIV infection in infants and children:
toward universal access: recommendation for a public health approach. Geneva: WHO press,
2007.
11. Centers for Disease Control and Prevention. 1994 Revised classification system for human
immunodeficiency virus infection codes and official guidelines for coding and reporting ICD-9.
MMWR 1994;43 (No.RR-12):1-10
12. E Tekola. Intestinal mikrosporodiosis in diarrheal patients infected with HIV-1 in Addis Ababa,
Ethiopia. Jpn. J. Infect. Dis 2006;59:306-310.
13. HIV management in selected clinical settings. Diunduh dari: www.info.gov.hk/aids/ pdf/
g104chp/chp7.pdf. Diakses tanggal 12 Juni 2006.
423
Bab 27 Diare Pada Anak Penderita Hiv
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
424
BAB
28
Aspek Nutrisi pada Kelainan
Saluran Cerna Anak
I Putu Gede Karyana
28.2 Pendahuluan
Diet dan nutrisi adalah komponen utama dalam tata laksana pasien dengan masalah
saluran cerna. Masalah yang dihadapi sangat beragam dan memerlukan pemahaman fungsi
normal saluran cerna sebelum diet yang benar disarankan. Masalah beragam seperti diare,
konsitipasi dan dismotilitas saluran cerna dapat mempengaruhi asupan normal dan absorpsi
nutrien. Manipulasi nutrien dan diet seringkali merupakan perlakuan utama terhadap
kelainan saluran cerna yang dihadapi.1 Oleh karenanya, aspek nutrisi pada gastroenterologi
anak merupakan bidang yang menarik dan menantang. Selain mengatasi masalah yang
mendasari, juga harus tetap memfasilitasi dan mempertahankan agar tumbuh kembang
anak tetap optimal.2
425
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
pada umumnya akan cukup, dengan energi dan protein tambahan yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan catch-up. Apabila malabsorpsi terjadi, kebutuhan nutrisi harus ditingkatkan
untuk menutupi kekurangan, terutama cairan, elektrolit, energi, dan protein. Bayi memiliki
kebutuhan yang sangat tinggi. Diperlukan pemantauan status nutrisi secara antropometrik
dan biokimia. Tabel 28.3.1 dapat digunakan sebagai panduan untuk bayi dengan
malabsorpsi yang makan secara enteral dan didasarkan pada berat badan.2
426
Buku Ajar Gastrohepatologi
WHO telah merekomendasikan komposisi larutan rehidrasi oral (oralit) untuk anak-
anak dengan diare:4
• Oralit harus mengandung 75 mmol/L natrium untuk meminimalkan risiko
hipernatraemia
• Kalium ditambahkan untuk mengganti kehilangan lewat feses
• Osmolalitas harus rendah (200-250 mOsm/kg H2O) untuk memastikan penyerapan air
yang optimal.
Systematic review telah mengonfirmasi bahwa komposisi oralit ini merupakan
komposisi terbaik untuk anak-anak dengan diare.5
427
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
Mekanisme
Mekanisme terjadinya sampai saat ini masih belum jelas. Anak dengan kelainan ini diketahui
memiliki waktu transit usus yang cepat dan motilitas usus secara umum diperkirakan
adalah abnormal, mesti tidak pasti apakah ini disebabkan oleh transit kolon yang menurun
atau gangguan pada motilitas pada usus halus. Malabsorpsi karbohidrat, terutama fruktosa,
telah diteliti secara mendalam pada kelainan ini. Fruktosa diketahui diabsorpsi secara
lambat pada usus kecil dan seringkali terdapat dalam jumlah yang besar pada jus buah.
Dalam beberapa tahun terakhir, anak-anak mengonsumsi sari dan jus buah mengalami
peningkatan.12 Jus apel merupakan salah satu penyebab toddler diarrhea, selain jus anggur
9
dan bilberry. Kandungan monosakarida dan oligosakaridanya seperti
2 01 asam galakturonat
e t
tidak dapat diabsorbsi di usus. Diduga bahwa ini yang dapatarmenyebabkan masalah pada
individu yang sensitif, bukannya fruktosa.13 9M
ro
G ast
at
Terapi Nutrisi pada Toddler Diarrhoea r ap
k
Semua sumber menyetujui bahwa menenangkan
u ntu orang tua adalah sangat penting. Tujuan
tro
diet pada kelainan ini masihaskontroversial. Saran diperlukan untuk memperbaiki
14
G
ketidakcocokan diet. Hindari
Ajar asupan cairan yang berlebihan, terutama jus dan sari buah.
u
Buk
Asupan serat harus dikembalikan sesuai dengan kebutuhan normal yang biasanya dikurangi
e
Fil
oleh orang tua. Seringkali orang tua berusaha untuk mengeluarkan makanan dari diet anak,
karena menduga terjadi intoleransi makanan. Saat diagnosis telah ditetapkan, makanan ini
perlu diperkenalkan kembali.15
428
Buku Ajar Gastrohepatologi
429
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
430
Buku Ajar Gastrohepatologi
tersebut. Bayi selama 6 bulan pertama kehidupan sangat sensitif perkembangannya.30 Pada
bayi diperkirakan jumlah isoflavon yang dikonsumsi dari formula soya adalah 4 mg/kg/
hari dibandingkan dengan orang dewasa dengan menggunakan produk soya adalah 3 mg/
hari. Sehingga penggunaan formula soya pada anak dengan atopi atau alergi harus hati-hati
dalam 6 bulan pertama kehidupan. 31
Protein soya memiliki berat molekul yang sangat besar dan menghasilkan sejumlah
besar alergen yang potensial menimbulkan masalah pada saluran cerna, seperti enteropati,
enterokolitis dan proktitis. Mukosa usus yang rusak oleh protein susu sapi memungkinkan
peningkatan penyerapan dan reaksi imunologi terhadap protein soya. Dilaporkan bahwa
60% dari bayi dengan enterokolitis yang diinduksi oleh protein susu sapi sama-sama sensitif
terhadap soya. Untuk alasan ini formula berbasis protein soya tidak direkomendasikan
untuk tatalaksana enteropati atau enterokolitis yang diinduksi susu sapi.29
Pada konstipasi atau muntah karena alergi susu sapi, dimana mukosa tidak rusak,
soya dapat digunakan sebagai sumber protein makanan. Formula soya memiliki manfaat
setidaknya harga lebih murah dibandingkan formula hidrolisat.32,33
Formula Terhidrolisa
Pembuatan protein hidrolisat adalah melalui proses denaturasi dengan 9
2 01 pemanasan dan
t
are
hidrolisis oleh enzim proteolitik yang menghasilkan peptida kecil dan asam amino bebas.
Enzim-enzim tersebut kemudian dilemahkan dengan pemanasan, 9 M dan bersama dengan sisa
peptida besar akan dieliminasi dengan filtrasi.34 stro
Ga
Pada formula hidrolisat masih ada potensiap at sekuensial dikenali oleh bayi yang
epitop
r
tuk bervariasi dalam profil berat molekul dan
sensitif. Protein terhidrolisa ekstensif masih
n
u
dengan demikian masih mungkin bersifat
a stro sebagai35,36alergen. Makanan dengan peptida dari
>1500 Da telah terbukti memiliki Gaktivitas alergi. Tingkat hidrolisis tidak memprediksi
imunogenik atau efek alergi Ajar bayi yang mengkonsumsi.37
pada
u
B
Hambatan penggunaanuk susu formula terhidrolisa ekstensif:2
e
• Adanya kandunganFil peptida yang rasanya pahit. Hal ini sangat penting pengaruhnya
terhadap penerimaan pada bayi usia lebih dari 3 bulan.
• Adanya ko-malabsorpsi lemak, di mana dibutuhkan trigliserida rantai menengah
(MCT).
• Harga formula hidrolisat relatif mahal, hampir 2 kali harga formula standar.
Pengenalan susu formula hidrolisat harus perlahan-lahan untuk bayi dengan gejala
saluran cerna yang parah, karena mereka memiliki osmolalitas lebih tinggi dari susu formula
standar. Kecepatan pengenalan tergantung pada gejala klinis. Minimal 12 jam pertama
diberikan separuhnya sebelum pengenalan formula secara penuh sesuai dengan yang
disarankan. Jika muncul diare yang berat, mungkin diperlukan pengenalan seperempatnya,
kemudian dinaikkan bertahap sampai mencapai makanan penuh dalam 4 hari. Pada
pemberian rawat jalan atau gejala yang ringan, formula sepenuhnya dapat diperkenalkan
sejak awal. Untuk mendorong penerimaan, mungkin ada manfaatnya untuk mencampur
hidrolisat dengan formula yang biasa dikonsumsi untuk perlahan-lahan
memperkenalkan
rasa baru. Atau, tambahkan sukrosa dengan konsentrasi 2-4% untuk mencampur formula
jika tidak ada kontraindikasi. Jika bayi tetap menolak minum formula hidrolisat tabung
431
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
Baku emas diagnosis adalah biopsi usus halus dimana tampak kerusakan mukosa
diikuti dengan respons klinis terhadap eliminasi gluten. Pasien dengan kecurigaan penyakit
Seliak perlu mempertahankan diet normal sampai diagnosis dengan biopsi ditegakkan.2
Eliminasi dilakukan terhadap semua sumber makanan dari gluten, protein gandum,
gandum hitam, dan barley seumur hidup. Gluten terbagi menjadi 4 sub-kelompok: gliadin,
glutenins, albumin dan globulin. Bahan utama gandum yang berbahaya adalah fraksi
prolamin dari α-gliadin, atau sekalin pada gandum hitam dan hordein barley. Provokasi
gluten hanya diperlukan bila ada keraguan pada saat diagnosis awal, misalnya jika hasil
biopsi awal atipikal atau diet bebas gluten telah dimulai sebelum biopsi dilakukan. Gluten
sebagai uji provokasi diperkenalkan ke dalam diet setiap hari dalam jumlah yang cukup
untuk menjamin tantangan yang memadai.39
432
Buku Ajar Gastrohepatologi
r ap
ntuk
u
28.8 Intoleransi Karbohidrat
Ga
str
o
ar
j
u A beban osmotik saluran cerna, sehingga menarik air ke
Malabsorpsi gula meningkatkan
k
l Bu
dalam usus halus dan emengakibatkan diare. Keparahan tergantung pada jumlah karbohidrat,
i
aktivitas metabolikF bakteri kolon, dan kemampuan absorpsi kolon terhadap air dan asam
lemak rantai pendek. Bayi lebih berat dibandingkan dewasa karena usus halus lebih pendek
dan kapasitas usus besar untuk menyerap cairan kurang. Waktu transit usus lebih cepat
sehingga waktu untuk jalur alternatif pencernaan karbohidrat menjadi lebih singkat. Gula
yang belum dicerna sempurna dapat diekskresikan utuh atau difermentasi oleh bakteri di
usus besar menjadi asam lemak rantai pendek dan asam laktat.2
433
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
434
Buku Ajar Gastrohepatologi
435
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
Terapi
Rehidrasi intravena diperlukan pada penanganan awal. Penggunaan oralit, yang semuanya
berbasis glukosa atau pati, merupakan kontraindikasi. Susu formula bayi berbasis fruktosa
(Formula Galactomin 19), harus diperkenalkan perlahan, awalnya seperempat dan setengah
dosis dengan dukungan infus karbohidrat dan elektrolit untuk menghindari asidosis
metabolik.
Orang tua harus didorong untuk melanjutkan formula berbasis fuktosa ini selama
mungkin. Hal ini juga dapat bermanfaat bagi anak yang lebih besar yang memasuki masa
remaja, yang sulit memenuhi kebutuhan peningkatan energi dari konsumsi makanan
dengan kadar pati rendah. Fruktosa dapat digunakan untuk mempermanis makanan untuk
anak yang lebih besar dan sebagai sumber energi tambahan. Penting untuk memastikan
bahwa semua obat-obatan bebas karbohidrat.2
Awal pengenalan makanan padat hendaknya mengandung jumlah pati, sukrosa,
laktosa atau glukosa yang minimal. Makanan bayi pabrikan umumnya tidak cocok untuk
penderita. Semua makanan harus dimasak tanpa garam dan dihancurkan sampai teksturnya
sangat halus. Orang tua dapat menyiapkan makanannya sebelumnya dan dibekukan
untuk mempersingkat waktu. Dengan bertambahnya usia anak secara bertahap mulai
9
mengonsumsi karbohidrat yang dibutuhkan untuk melindungi kolon.
2 01 Peningkatan jumlah
t
re diare, diet dikembalikan
glukosa dan galaktosa pada makanan harus bertahap. Bila terjadi
9
ke pola sebelumnya yang dapat ditoleransi baik dan dicoba Madiperkenalkan lagi beberapa
ro
bulan kemudian.2 ast G
p at
r a
tu k
28.13 Malabsorpsi Lemak
tro un
s
r Ga
Limfangiektasis Usus uA
j a
Keadaan ini ditandai u k
e B dengan dilatasi pembuluh limfatik usus yang pecah dan cairan
Fildalam usus, yang menyebabkan kehilangan protein. Manifestasi klinisnya
limfatik bocor ke
bervariasi sering nampak berupa diare, edema karena hipoproteinemia, dan gagal tumbuh.
Manifestasi pada anak biasanya muncul pada 2 tahun pertama kehidupan, meskipun
pernah dilaporkan kasus yang terdiagnosis pada usia 15 tahun.45
Diagnosis definitif ditegakkan dengan biopsi usus halus yang menunjukkan
kelainan limfatik, walaupun tampak sebagai suatu lesi kecil (patchy), biopsi negatif tidak
menyingkirkan diagnosis. Pengembangan enteroskopi dengan kapsul video yang melewati
usus halus akan membantu diagnosis.46
436
Buku Ajar Gastrohepatologi
dapat dihentikan dengan mengurangi aliran limfatik, asupan protein tinggi seharusnya
tidak diperlukan. Kehilangan protein enterik dapat dipantau dengan mengukur kadar α1-
antitripsin feses. MCT dapat digunakan sebagai sumber energi dan untuk meningkatkan
palatabilitas diet karena molekulnya langsung terserap ke sistem portal, tidak melalui
limfa.46
Pemberian makanan pada bayi dan anak usia dini disarankan formula dengan
kandungan protein dan energi yang lebih tinggi dan menurunkan konten LCT. Protein
tambahan dapat ditambahkan ke makanan lengkap jika protein tambahan diperlukan
untuk mempertahankan kadar albumin plasma. Kandungan lemak dan elektrolit dari
produk ini perlu diperhitungkan untuk menjamin kecukupan tubuh di samping jumlah
yang disediakan oleh makanan.2
Pengenalan makanan padat dengan kandungan lemak minimal diperkenalkan dan
ditingkatkan bertahap sampai asupan total LCT di bawah 10 g/hari, terutama pada 2 tahun
pertama kehidupan. Asupan tinggi protein dan makanan tambahan sangat rendah lemak
harus diperhatikan. Pembatasan diet perlu dilakukan mengingat penyakit ini merupakan
masalah seumur hidup terutama sampai pada akhir pacu tumbuh pada masa pubertas
walaupun mempertahankan asupan rendah lemak sulit dilakukan pada anak yang lebih
besar. 2
19
Jumlah asam lemak esensial yang direkomendasikan perluretdipastikan 20 saat volume
formula bayi mulai dikurangi karena adanya pembatasan 9diet Ma jangka panjang. Minyak
ro
kenari mengandung konsentrasi EFAs paling tinggi dan
G astdapat diberikan sebagai suplemen
makanan sehari-hari. Jumlah yang disarankan 0,1pamL t per 56 kcal (234 kJ) untuk makanan
dan minuman tidak mengandung EFAs. Suplementasi r a vitamin yang larut dalam lemak (A,
n tuk
D, E) untuk memenuhi kebutuhan harus o u diberikan secara terpisah. Suplementasi vitamin
a str
tidak diperlukan bila diet yang dikonsumsi telah difortifikasi. 46
G
Ajar
u
Buk
i l e
F
28.14 Makanan Modular pada Diare Berkepanjangan
atau Sindrom Usus Pendek
Diare berkepanjangan dapat didefinisikan sebagai diare kronis tanpa adanya bukti bakteri
patogen dengan durasi lebih 2 minggu, disertai dengan kegagalan peningkatan berat badan.
Beberapa bayi dengan enteropati berat atau sindrom usus pendek gagal berespon terhadap
manipulasi diet dengan protein hidrolisat atau formula berbasis asam amino dengan
demikian diperlukan makanan modular sebagai manipulasi diet khusus.47 Penilaian dan
pengawasan yang hati-hati penting untuk mencegah kurang gizi dan untuk mengevaluasi
respon terhadap manipulasi diet. Pendekatan ini dapat membantu mendiagnosis masalah
dasarnya.
Teori tentang makanan modular dapat berespon, antara lain:2
• Tidak adanya bahan yang sulit ditoleransi
• Modus pengenalan yang sangat lambat memungkinkan adaptasi usus
• Keterlambatan penambahan lemak pada makanan dapat merubah respon inflamasi di usus.
437
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
Tak satu pun dari teori ini terbukti tetapi pengalaman klinis menunjukkan efektifitas
pendekatan ini.
Bahan Makanan
Pembentukan tim dan diskusi dengan staf medis tentang komposisi makanan yang tepat
untuk pengelolaan nutrisi bayi harus dilakukan sebelum memulai intervensi. Tujuannya
adalah untuk menghasilkan makanan yang ditoleransi dengan baik dan memenuhi
kebutuhan gizi bayi. Parameter yang harus dipertimbangkan:47
• Kandungan energi total dan rasio energi dari lemak dan karbohidrat yang sesuai
• Protein, baik jenis dan kuantitasnya
• Asupan asam lemak esensial
• Suplementasi vitamin dan mineral, termasuk elemen-elemen penting
• Konsentrasi elektrolit yang sesuai
• Osmolalitas makanan.
• Penilaian gejala dan dukungan nutrisik rpadaap bayi perlu dilakukan sebelum memulai
tu
makanan modular.
o un
• Kandungan karbohidrat tidak r
st boleh kurang dari 4 g/100 mL pada situasi dimana
r Ga
glukosa intravena tidakjatersedia, karena risiko hipoglikemia.
A
• Pengenalan secara u kuperlahan dari makanan modular berbasis asam amino dapat
B sumber protein lain. Peningkatan dapat dilakukan setiap 24 jam,
i le
digunakan Fsebagai
jika toleransi.
• Respon bayi pada setiap perubahan diet harus dinilai setiap hari sebelum membuat
perubahan lebih lanjut.
438
Buku Ajar Gastrohepatologi
mengalami regurgitasi setidaknya sekali sehari, dan pada mayoritas anak hilang secara
spontan pada usia 12-15 bulan. Kondisi ini disebabkan oleh memanjangnya esofagus dan
berkembangnya sfingter gastro-esofageal.2,48
Bentuk yang lebih berat dapat terjadi ketika bayi dengan regurgitasi tidak membaik
terhadap perawatan yang sederhana dan berkembang menjadi penyakit refluks
gastroesofagus (PRGE). Akan terbentuk lesi akibat asam pada esofagus dan terjadi
esofagitis dan ini berhubungan dengan gejala lain, seperti gagal tumbuh, hematemesis,
gejala pernapasan, apnea, iritabilitas, gangguan minum dan anemia defisiensi besi. RGE
merupakan temuan yang umum pada bayi dengan masalah neurologis.48
Perawatan
Penting untuk menenangkan orang tua, dan ini perlu dilakukan sebelum melaksanakan
tindakan lainnya. Namun, gejala yang berulang berupa tangisan yang tidak dapat dihentikan
atau iritabilitas, kesulitan pemberian makan atau tidur, regurgitasi yang persisten atau
muntah dapat menyebabkan stres pada orang tua.
Pengaturan Posisi
9
Pengaturan postural pada bayi telah menunjukkan dapat membantu 01
re t 2 dan posisi pronasi
dengan elevasi 30° paling sukses dalam mengurangi RGE.a Namun, sejumlah studi
M
9death
menunjukkan adanya peningkatan risiko sudden infant tro syndrome (SIDS) pada
a
posisi tidur pronasi, sehingga metode ini muali ditinggalkan. s Suatu tinjauan sistematis
G 49
439
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
yang dimasak kemudian dibiarkan menjadi dingin sampai suhu ruangan untuk mencegah
terbentuknya gumpalan dan botol minumnya kemudian perlu digulingkan di antara
kedua tangan untuk memastikan isinya tercampur dengan baik. Formula tersebut akan
mengental begitu kontak dengan pH asam lambung. EC Scientific Committee of Food
merekomendasikan tambahan pati sampai maksimum 2 g/100 mL pada formula bayi.
Rekomendasi menyarankan bahwa labelnya menyatakan dengan jelas bahwa ‘AR’ berarti
‘anti-regurgitation’ dan bukan ‘anti-reflux'.54
Saat gagal tumbuh menjadi masalah, suatu pengental berbahan pati dapat digunakan
untuk menyediakan energi lebih. Jumlah terkecil pengental diberikan pada awal dan jumlah
ditingkatkan secara bertahap sampai kadar maksimum jika gejala tidak membaik. Saat
minum gunakan dot dengan lubang yang sedikit lebih besar, atau dot dengan aliran yang
dapat diubah. Tepung jagung biasa juga digunakan sebagai agen pengental pada minuman
bayi namun menyebabkan ketidaknyamanan karena harus dimasak. Minuman seperti ini
biasanya perlu disaring sebelum dapat digunakan.
440
Buku Ajar Gastrohepatologi
perawatan medis atau pembedahan dengan perilaku melawan yang terus-menerus karena
nyeri yang berhubungan dengan pengalaman minum sebelumnya.58
Jika terdapat kesulitan memberi minum, dapat diperlukan untuk memulai pemberian
minum melalui selang nasogastrik atau gastrostomi untuk memastikan asupan nutrisi
yang adekuat. Bilamana mungkin, asupan oral, seberapa kecil pun, perlu dipertahankan
untuk mengurangi kesulitan pemberian minum di masa mendatang. Makanan anak harus
diberikan oral atau bolus harian dengan pemberian makan yang kontinyu selama waktu
malam dengan jumlah yang rendah untuk mencegah terjadinya aspirasi. Volume makanan
mungkin perlu dikurangi di bawah jumlah yang direkomendasikan untuk usianya untuk
memastikan toleransi. Makanan hendaknya diperkaya dengan nutrien dengan cara biasa
untu memastikan anak mendapatkan nutrisi yang adekuat untuk mengejar ketertinggalan
pertumbuhan. Tidak terdapat bukti bahwa makanan rendah lemak meningkatkan
pengosongan lambung dan mengurangi RGE pada bayi-bayi ini.54
Perlunya pemberian makan melalui selang dapat berlangsung untuk waktu yang lama,
bahkan mencapai 36 bulan pada suatu studi.59 Orang tua bayi dengan masalah makan
yang sekunder akibat RGE memerlukan banyak dukungan. Tata laksana yang optimal
perlu memanfaatkan tim dari multidisipliner, termasuk seorang psikolog berpengalaman
menangani anak dengan masalah ini, spesialis anak, ahli gizi dan terapis9bicara dan bahasa.
2 01
aret
9M
28.16 Konstipasi ast
ro
G
at
Konstipasi merupakan suatu gejala, bukan suatu r ap penyakit dan dapat disebabkan oleh
k
ntu Konstipasi idiopatik tidak berhubungan
kelainan anatomi, fisiologi atau histopatologi.
u
o
a str
dengan salah satu kelainan ini dan diperkirakan paling sering disebabkan karena menahan
G
defekasi dengan sengaja atau dir bawah sadar setelah suatu kejadian akut yang menjadi
ja
u A mendasari sampai 3% kunjungan ke klinik rawat jalan
pencetus. Konstipasi ditemukan
k
anak umum dan 10-25%
l e Bu kunjungan ke ahli gastroenterologi anak, sehingga merupakan
i
F 60
masalah yang besar.
Frekuensi defekasi rata-rata diperkirakan adalah empat kali selama minggu pertama
kehidupan, dua kali per hari saat umur 1 tahun, dan menurun ke pola dewasa antara tiga
kali per hari sampai tiga kali per minggu saat mencapai usia 4 tahun. Terdapat variasi yang
besar dalam pola ini. Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology (PACCT)
Group mendefinisikan konstipasi kronis sebagai kejadian dua atau lebih karakteristik
berikut selama 8 minggu terakhir:61
• Kurang dari tiga kali defekasi per minggu
• Lebih dari satu episode inkontinensia feses per minggu
• Massa feses yang besar di dalam rektum atau dapat dipalpasi pada pemeriksaan abdomen
• Defekasi dengan feses yang besar sampai menyumbat toilet
• Perilaku retentive posturing dan withholding
• Defekasi yang nyeri.
Pada konstipasi idiopatik, peregangan dinding anus yang berkepanjangan berhubungan
dengan retensi feses kronis menyebabkan rektum yang atonik dan mengalami desensitisasi.
Ini memperberat masalah karena volume feses yang besar diperlukan untuk merangsang
441
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
Perawatan
Konstipasi akut sederhana biasanya dirawat dengan diet tinggi serat, asupan cairan yang
cukup, mengisi catatan harian frekuensi defekasi dan toilet training. Perawatan konstipasi
kronik didasarkan pada empat fase:62
• Edukasi terhadap keluarga untuk menjelaskan patogenesis konstipasi
• Disimpaksi menggunakan obat-obatan oral atau rektal
• Pencegahan terjadi akumulasi berulang feses menggunakan intervensi diet, modifikasi
perilaku dan laksatif (campuran laksatif osmotik, seperti laktulosa; stimulan seperti
senna dan minyak mineral dapat digunakan)
• Pemantauan
Serat makanan dapat diklasifikasikan menjadi bentuk yang larut dalam air dan tidak
larut. Termasuk dalam kelompok yang pertama adalah pektin, frukto-oligosakarida (FOS),
gums dan mucilage yang difermentasikan oleh bakteri kolon untuk menghasilkan asam
lemak rantai pendek, sehingga mampu meningkatkan kandungan air dan volume feses. Serat
9
yang tidak larut terutama bertindak sebagai kerangka feses dengan
2 01menahan air di dalam
saluran cerna dan bertindak seperti spons. Keduanya memperlunak re t dan memperbesar
feses dan mengurangi masa transit saluran cerna. 9 Ma
ro
Survei menunjukkan bahwa anak yang mengalami
G ast konstipasi seringkali makan lebih
sedikit serat daripada anak yang tidak mengalami at konstipasi. Bahkan setelah disarankan
untuk meningkatkan asupan serat oleh dokter, r apasupan serat mereka hanya setengah jumlah
k
populasi kontrol. Tampaknya untuk membuatu ntu perubahan diperlukan konseling diet yang
tro
as
spesifik.63 Anak-anak dengan konstipasi
Gyang
kronis juga memiliki asupan energi yang lebih
rendah dan insiden anoreksia jar lebih tinggi. Sulit untuk mengetahui apakah keadaan
ini sudah ada sebelumnya u A dan menjadi faktor predisposisi untuk kondisi ini atau apakah
kondisi ini disebabkanBukoleh cepat kenyang yang sekunder akibat konstipasi.64
e
RekomendasiFil kebutuhan serat pada anak setiap hari adalah jumlah serat dalam gram
yang setara dengan usia mereka dalam tahun ditambah 5 g.65 Selama masa bayi dan anak-
anak penting untuk memastikan bahwa ada asupan cairan yang adekuat. Sebagai panduan,
anak-anak harus mendapatkan 6-8 kali minum per hari, jika mungkin air atau jus buah dan
termasuk di dalamnya adalah susu. Untuk anak yang kurang minum, perlu disarankkan
makanan dengan kandungan cairan yang tinggi. Buah, sayuran dan salad memliki
kandungan cairan yang tinggi selain menjadi pilihan karena kandungan seratnya.
Dalam pedoman berbasis bukti Amerika pada tahun 1999, tidak satu pun penelitian
klinik acak menunjukkan adanya efek dari perubahan diet terhadap feses anak yang
mengalami konstipasi.62 Fakta bahwa konstipasi tidak umum terjadi di masyarakat yang
mengkonsumsi diet tinggi serat telah digunakan untuk membenarkan perawatan ini. Suatu
penelitian klinik acak tersamar ganda yang meneliti efek sereal bayi yang disuplementasikan
dengan FOS pada bayi normal menunjukkan defekasi menjadi lebih sering dan lunak.66
Suatu penelitian klinik acak buta ganda lain menggunakan glucomannan sebagai suplemen
serat larut air dalam diet anak-anak berusia 4 tahun atau lebih dengan konstipasi kronis
menunjukkan hasil yang menguntungkan.67
442
Buku Ajar Gastrohepatologi
Aj a
Di usus halus, aktivitasku motorik dijalankan oleh kontraksi otot halus yang diatur
oleh faktor miogenik, u
Bneural dan kimiawi. Pada keadaan puasa, usus memiliki aktivitas
Fi le
kontraktil yang memertahankan bakteri lumen di kolon. Abnormalitas pada aktivitas fase
ini dapat menyebabkan bakteri tumbuh lampau di usus halus dan malabsorpsi. Aktivitas
post-prandial diawali oleh hormon dan makanan yang dikonsumsi untuk menimbulkan
terjadinya peristalsis di usus. Gangguan pada sistem yang terkoordinasi ini dapat terjadi
pada semua tingkatan.
443
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
disebabkan oleh suatu respon imun yang tidak sesuai terhadap antigen dari bakteri flora
normal pada seseorang yang mengalami kerentanan secara genetik.72
Tampilan penyakit Crohn pada anak sangat tergantung pada lokasi dan luasnya
inflamasi. Pada kebanyakan kasus timbul secara perlahan dengan gejala saluran cerna
yang tidak spesifik dan adanya gagal tumbuh yang seringkali berakibat diagnosis awal
tidak tepat. 73 Penyakit ini juga dapat berhubungan dengan kondisi inflamasi lainnya yang
mempengaruhi sendi, kulit dan mata.
Gejala penyakit ini dapat adalah mual, anoreksia dan malabsorpsi. Asupan energi rata-
rata daripada pasien dengan penyakit Crohn aktif ditemukan sampai 420 kkal/hari lebih
rendah daripada kontrol dengan usia sama.74 Defisit energi dan protein tampak sebagai
berkurangnya berat badan (terjadi pada lebih dari 80% anak) dan kecepatan pertumbuhan
tinggi badan yang menurun.75 Gagal tumbuh terjadi pada 15-40% anak dengan penyakit
Crohn. Selain asupan oral yang berkurang, sitokin pro-inflamasi yang meningkat pada
penyakit Crohn telah diketahui mempengaruhi pertumbuhan.76 Defisiensi nutrien spesifik,
seperti kalsium, magnesium, zink, besi, folat, B12, dan vitamin yang larut dalam lemak
merupakan hal yang umum ditemukan. Selama periode inflamasi aktif, seringkali terdapat
kebocoran protein enterik yang menyebabkan hipoalbuminemia. Turut menyertai adalah
mineralisasi dan perkembangan tulang yang terlambat dan keterlambatan
9 pubertas.77,78
201
aret
Terapi 9M
as tro
Penyakit Crohn merupakan penyakit kronis dalamGtatalaksananya memerlukan kombinasi
at
dukungan nutrisi, penggunaan obat-obatan p
a yang dipertimbangkan dengan baik dan
pembedahan yang sesuai. tu kr
n
ou
a str
G
Nutrisi Enteral sebagai
Aja Terapi Utama
r
u
Banyak percobaan telahBuk dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivas makanan
e
il utama. Percobaan juga telah membandingkan pemberian makanan
enteral sebagai Fterapi
enteral kombinasi dengan kortikosteroid, yang diketahui kemudian efektif dalam perawatan
penyakit Crohn. Percobaan ini juga telah membandingkan efektivitas makanan yang
berbeda yaitu elemental, hidrolisat dan polimerik.
Tinjauan sistematis yang diterbitkan pada tahun 2001 menyimpulkan bahwa steroid
lebih efektif daripada nutrisi enteral dalam menginduksi remisi pada penyakit Crohn aktif,
meski nutrisi enteral efektif dalam menginduksi remisi penyakit pada jumlah pasien yang
signifikan. Tidak ada bukti yang mendukung keuntungan formula enteral tertentu, yaitu
makanan yang tradisional digunakan pada penyakit Crohn, dibandingkan dengan makanan
polimerik (protein utuh).79
Suatu indeks aktivitas penyakit Crohn telah digunakan untuk menilai respon klinis
terhadap perawatan. Indeks ini didasarkan pada suatu kombinasi data klinis dan biokimiawi
dan telah diketahui bahwa steroid memberikan hasil yang baik pada indeks tersebut karena
menyebabkan perasaan baik pada pasien.72 Suatu meta-analisis percobaan pediatrik yang
kurang mendalam menunjukkan bahwa perawatan nutrisi dan steroid sama efektifnya pada
anak.80
444
Buku Ajar Gastrohepatologi
Modulen IBD adalah suatu makanan yang telah didesain secara spesifik untuk pasien
dengan penyakit Crohn. Makanan ini dilaporkan memiliki efek imunomodulator yang
diperankan oleh transforming growth factor β (TGF-β), suatu sitokin anti-inflamasi yang
terdapat pada kasein. Saat ini bukti makanan enteral sebagai perawatan pada penyakit
Crohn aktif masih tidak jelas.75 Sebagian pusat perawatan pediatri menggunakan makanan
enteral sebagai terapi utama, meski memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan
dengan steroid. Karena anak dengan penyakit Crohn seringkali mengalami malnutrisi
kronis, makanan enteral penting untuk memperbaiki nutrisi. Makanan ini juga menjadi
pilihan sebagai perawatan lini pertama karena efek buruk steroid terhadap pertumbuhan.
Saat ini hanya terdapat bukti dengan kualitas rendah untuk mengonfirmasi keuntungan
makanan terhadap pertumbuhan pada anak-anak.76
445
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
pasien memilih selang nasogastrik, maka pasien diajari untuk memasangnya setiap malam
dan melepasnya setiap pagi.
Monitoring Nutrisi
Sebagian besar studi gagal untuk menunjukkan adanya kebutuhan energi basal yang
meningkat pada penyakit Crohn kecuali pasien tersebut mengalami demam.24,83 Sebuah
studi terkini mengonfirmasi bahwa resting energy expenditure (REE) yang diukur pada anak
dengan penyakit Crohn yang diberi makan menggunakan nutris parenteral berkolerasi baik
dengan REE yang diprediksi menggunakan rumusan FAO/WHO/UNU dan ditemukan
tidak meningkat.84 Perlu dijelaskan bahwa anak-anak diizinkan untuk menghabiskan
volume makanan enteral yang lebih besar jika mereka masih merasa lapar. Anak-anak
ini harus ditimbang teratur dan diatur untuk melakukan pertemuan 2-3 minggu setelah
keluar rumah sakit untuk memastikan bahwa pasien berespon terhadap perawatan dan
peningkatan berat badan telah tercapai.
Bu
le
Beattie danFiWalker-Smith 87
menyimpulkan bahwa tidak satu pun studi mengonfirmasi
bahwa intoleransi terhadap bahan makan tertentu tampak pada penyakit Crohn dan tidak
ada makanan tertentu diketahui mengeksaserbasi gejala pada sekelompok besar pasien.
Sebelum ada bukti lebih lanjut, diputuskan untuk mengurangi volume makanan
enteral dalam periode 2-4 minggu dan secara gradual memperkenalkan diet normal, dengan
memastikan bahwa tetap mempertahankan peningkatan berat badan yang kontinyu. Pasien
yang memiliki riwayat atopi dan memerlukan makanan hidrolisat atau berbahan dasar asam
amino perlu disarankan untuk pertama mengeluarkan alergen makanan yang dicurigai, dan
memastikan adanya asupan energi dan kalsium yang adekuat. Passen dengan striktur yang
sempit pada ileum dapat memerlukan diet rendah serat untuk mengontrol gejala mereka
sampai striktur tersebut dapat diangkat melalui pembedahan.
Beberapa pasien memerlukan bantuan nutrisi yang berkelanjutan, baik melalui
selang nasogastrik, gastrostomi atau secara oral jika selera makan tetap kurang. Pengunaan
suplemen makanan enteral berkepanjangan selain diet normal berhubungan dengan masa
remisi penyakit yang lebih lama dan pertumbuhan linier yang lebih baik. 82,88
446
Buku Ajar Gastrohepatologi
Daftar Pustaka
9
1
1. Beyer PL. Gastrointestinal disorders: Roles of nutrition and the dietetics20practitioner. J Am Diet
re t
Assoc. 1998; 98: 272-277.
M a
2. Sarah MD. Clinical Dietetic: Gastroenterology. Dalam: ShawoV, 9 Lawson M, penyunting. Clinical
r
st 2007. h.90-123.
a
Pediatric Dietetics. Edisi ke-3. Oxford: Publishing Blackwell;
G
3. Bryce PJ, Terreri N, Victoria CG, Mason E, Daelmans p at B, Bhutta ZA, dkk. Countdown to 2015:
r a
tuk Lancet. 2006; 368: 1067-76.
tracking intervention coverage for child survival.
n
ou
4. World Health Organization. Oral Rehydration Salt Production of new ORS. Geneva: World
Health Organization; 2005.p.1-30.astr
G
5. Hahn et al. Reduced osmolarity
A jar oral rehydration for treating dehydration caused by acute
u
diarrhea in children. Cochrane Database Syst Rev 2002; 1 CD002847.
Buk for Early Feeding in Childhood Gastroenteritis. J Pediatr Gastroenterol
e
6. Sandhu B et al. Rationale
Fil
Nutr. 2001; 33: S13-16.
7. Kaila M, et al. Treatment of acute diarrhea in practice. Acta Paediatr. 1997; 86: 1.340-4.
8. Brown KH et al. Use of non-human milks in the dietary management of young children diarrhea:
a meta-analysis of clinical trials. Pediatrics. 1994; 93: 17-27.
9. Sandhu BK et al. Early feeding in childhood gastroenteritis. A multicenter study on behalf of
the European Society of Paediatric Gastroenterology and Nutrition working group on acute
diarrhea. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1997; 24: 522-527.
10. Sandhu B, Devadason D. Management of Diarrhea. Pediatric Gastrointestinal & Liver Disease.
Edisi ke-3. New York: Saunders Elsevier; 2006.h.1165-1176.
11. World Health Organization. Diarrhoea Treatment Guidelines. Geneva: World Health
Organization; 2009.h.1-46.
12. Petter LPM et al. Is water out of vogue? A survey of the drinking habits of 2-7 years old. Arch
Dis Child. 1995; 72: 137-40.
13. Hoekstra JH. Toddler diarrhea: more a nutritional disorders than a disease. Arch Dis Child.
1998; 79: 2-5.
14. Walker Smith J, Murch S. Disease of the Small Intestine in Childhood. Edisi ke- 4. New York: Isis
Medical Media Ltd, 1999.
447
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
15. Kneepekens CMF, Hoestra JH. Chronic non-specific diarrhoea of childhood, pathophysiology
and management. Paediatr Clin North Am. 1996; 43: 375-390.
16. Sampson HA. Food Allergy. JAMA. 1997; 278: 1888-1894.
17. Johansson SGO et al. A revised nomenclature for allergy. Allergy. 2001; 56: 813-24.
18. Murch S. Allergy and Intestinal Dysmotility-Causal or Coincident Links? J Pediatr Gastroenterol
Nutr 2005; 41: S14-16.
19. Nowak-Wegrzyn A et al. Food protein-induced enterocolitis syndrome caused by solid food
proteins. Pediatrics. 2003; 111: 829-35.
20. Latcham F et al. A Consistent pattern of minor immunodeficiency and subtle enteropathy in
children with multiple allergy. J Pediatr. 2003; 143: 39-47.
21. Wyllie R. Cow’s milk protein allergy and hypoallergenic formula. Clin Pediatr. 1996; 35: 497-
500.
22. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hil D, Isolauri E, Koletzko, et al. Guideline for the diagnosis
and the management cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child. 2007; 92: 902-908.
23. Norwak-Wegrzyn A, Sampson HA. Adverse reaction to food. Med Clin N Am. 2006; 90: 97-127.
24. Boissieu D et al. Multiple food allergy: a possible diagnosis in breastfed infantsI. Acta Paediatr.
1997; 86: 1.042-6.
25. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Andersen K, Davidson GP, Day AS, et al. Guideline for the use of
infant formulas to treat cows milk protein allergy: an Australian consensus panel opinion. MJA.
2008; 188: 109-112.
9
26. Brill H. Approach to milk protein allergy in infant. Can Fam Phycisian. 2 01 2008; 54: 1258-1264.
t
27. Osborn DA, Sinn JKH, Formula containing hydrolyzed protein
M arefor prevention of allergy and
food intolerance jn infants. Cohrane Database of Systematic o 9 Review 2006;I CD003664.
28. Committee on Nutrition American Academy of aPediatric. str Hypoalergenic infant formula.
G
Pediatric. 2000; 106: 346-349. p at
a
r on Nutrition Soy protein-based formulas:
29. American Academy of Pediatrics Committee
n uk
tPediatrics.
recommendation for use infant feeding.
trou 1998; 101: 148-153.
30. COT (2003): Fitoestrogen and as health. FSA www.foodstandards.gov.uk/multimedia/pdfs/
phytoreport0503. j arG
A Statement on the use of soya protein for infant. British Dietetic
ku
31. Paediatric Group Position.
u
B
Association, Birmingham, 2003.
i le
32. Zeiger RS et Fal. Soy Allergy in infant and children with IgE-associated cow’s milk allergy. Pediatr
1999; 134: 614-22.
33. Businco L et al. Allergenicity and nutritional adequacy of soy protein formulas. J Pediatr. 1992;
121: S21-8.
34. Lee YH. Food processing approaches to altering allergenic potential of milk based formula. J
Pediatr. 1992; 121: S47-50.
35. Wahn U et al. Comparison of residual allergenic activity of six different hydrolyzed protein
formula. J Pediatr. 1992; 121: S80-84.
36. Vanderhoof JA et al. Intolerance to protein hydrolysate infant formulas: an under-recognized
cause of gastrointestinal symptom in infants. J Pediatr. 1997; 131: 741-744.
37. Host A et al. Dietary product used in infant for treatment and prevention. Joint statement of the
ESPACI Committee on allergenic formula and the EPSGAN Committee on nutrition. Arch Dis
Child. 1999; 81: 80-84.
38. Henriksen C et al. Nutrient intake among two-years old children on cow’s milk-restric diets.
Acta Paediatr. 2000; 89: 272-8.
39. Hill et al. Guideline for the diagnosis and treatment of seliak disease in children: recommendation
of the North American Society for Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005; 40: 1-19.
448
Buku Ajar Gastrohepatologi
40. Hogberg L et al. Oats to children with newly diagnosed seliak disease: a randomized double
blind study. Gut. 2004; 53: 649-54.
41. Berera G et al. Longitudinal Changes in bone metabolism and bone mineral content in chidren
with Seliak disease during consumption of gluten-free diet. Am J Clin Nutr. 2004; 79: 148-54.
42. Treem WR. Congenital sucrase-isomaltase deficiency. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1995; 21:
1-14.
43. Treem WR et al. Sacrosidase therapy for congenital sucrase-isomaltase deficiency. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1999; 28: 137-42.
44. Heyman MB. Lactose intolerance in infant, children and adolescents. Pediatrics. 2006; 118:
1279-1286.
45. Vardy PA et al. Intestinal lymphangiectasia: a reappraisal. Pediatr. 1975; 55: 842-51.
46. Walker Smith J, Murch S. Disease of the Small Intestine in Childhood. Edisi ke-4. New York: Isis
Medical Media,1999.
47. Walker Smith JA. Nutritional management of enteropathy. Nutr. 1998; 14: 775-779.
48. Vandenplas Y, Badriul H. Diagnosis and treatment of gastro-oesophageal reflux disease in
infants and children. J Gastroenterol and Hep. 2000; 15: 593-603.
49. Vandenplas Y, Belli DC, Dupont C, Kneepkens CMF, Heymans HAS. The relation between
gastro-oesophageal reflux, sleeping position, and sudden infant death and its impact on position
therapy. J Pediatr. 1997; 156: 104-106.
50. Craig WR et al. Metoclopramide, Thickened feedings, and positioning for gastro-oesophageal
9
reflux in children two years. Cochrane database Syst Rev. 2004; 3 CD003502. 2 01
51. Orenstein SR et al. Thickening of infant feeding for therapy foratherapyre t of gastroesophageal
reflux. J Pediatr. 1987; 110: 181-6. 9 M
ro
52. Vandenplas Y, Belli DC, Dupont C, Kneepkens CMF.
G astCurrent concept and issues in the
management of regurgitation of infants: a reappraisal. at Acta Paediatr. 1996; 85: 531-4.
r ap products for infant and young children: a
tuk
53. Aggett PJ et al. Antireflux or antiregurgitation milk
commentary by ESPGHAN Committeeunon Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2002; 34:
ro
96-8.
G ast
r
Aja
54. Vandenplas Y, Dupont C, Kneepkens CMF, Heymans HAS. Dietary treatment for regurgitation
–recommendation fromku a working party. Acta Pediatr. 1998; 87: 462-468.
u
i l e B and pH-metric characteristic of gastro-oesophageal reflux secondary to
55. Cavataio F et al. Clinical
cow’s milk proteinF allergy. Arch Dis Child. 1996; 75: 51-6.
56. Cavataio F et al. Gastroesophageal reflux and cow’s milk protein allergy in infants: a prospective
study. J Allergy Clin Immunol. 1996; 97: 822-7.
57. Ravelli AM et al. Vomiting and gastric motility in infants with cow’s milk allergy. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2001; 32: 59-64.
58. Mathisen B et al. Feeding problems in infants with gastro-oesophageal reflux disease: a controlled
study. J Paediatr Child Health. 1999; 35: 163-9.
59. Dellert SF et al. Feeding resistance and gastro-oesophageal reflux in infant. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 1993; 17: 66-71.
60. Rogers J. Childhood constipation and the incidence of hospitalization. Nursing standard. 1997;
12: 40-42.
61. Benninga M. The Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology (PACCT) Group. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005; 40: 66-71.
62. Baker SS et al. Constipation in infants and children: evaluation and treatment. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1999; 29: 612-626.
63. Mc Clung HJ et al. Constipation and dietary fiber intake in children. Pediatrics. 1995; 96: 999-
1000.
64. Roma et al. Diet and chronic constipation in children: the role of fiber. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 1995; 28: 16-174.
449
Bab 28 Aspek Nutrisi Pada Kelainan Saluran Cerna Anak
65. Williams CL et al. A new recommendation for dietary fiber in childhood. Pediatrics. 1995; 96:
985-988.
66. Moore N et al. Effect of fructo-oligosaccharide supplemented infant cereal: a double blind,
randomized, trial. Br J Nutr. 2003; 90: 581-587.
67. Leoning-Baucke V et al. Fiber (glucomannan) is beneficial in the treatment of childhood
constipation. Pediatrics. 2004; 113: 259-264.
68. Iacona G et al. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in children. N Eng J Med.
1998; 339: 1100-1104.
69. Leoning-Baucke V. Constipation in children. N Eng J Med. 1998; 339: 1155-1156.
70. Carrocio A et al. Chronic constipation and food intolerance: a model of proctitis causing
constipation. Scand J Gastroenterol. 2005; 40: 33-42.
71. Tolia V et al. Gastric emptying using three different formulas in infant with gastroesophageal
reflux. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1992; 15: 297-301.
72. Beattie M et al. Childhood Crohn’s disease and the efficacy of enteral diets. Nutr. 1998; 14: 345-
50
73. Walker-Smith JA. Management of growth failure in Crohn’s disease. Arch Dis Child. 1996; 75:
351-354.
74. Thomas AG et al. Dietary intake and nutritional treatment in childhood Crohn’s disease. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 1993; 17: 75-81.
75. Griffiths AG. Inflammatory bowel disease. Nutr. 1998; 14: 788-791.
9 disease. Cochrane
76. Newby EA et al. Intervention for growth failure in childhood 2Crohn’s 01
re t
Ma1996; 43: 255-77.
Database Syst Rev. 2005; 3 CD003873.
77. Hyams JS. Crohn’s disease in children. Pediatr Clin North 9
Am.
ro
78. Boot AM et al. Bone mineral density and nutritional status
G ast in children with chronic inflammatory
bowel disease. Gut. 1998; 42: 188-94. at
r ap
t k
79. Zachos M et al. Enteral nutrition therapy u for induction of remission in Crohn’s disease. Cochrane
n
Database Syst Rev. 2001; 3 CD000542.
ou
80. Heuschkel R et al. Enteral nutrition
a str and corticosteroids in the treatment of acute Crohn’s disease.
G
jar 2000; 31: 8-15.
J Pediatr Gastroenterol Nutr.
A
u
81. Johnson T et al. Treatment of active Crohn’ disease in children using partial enteral nutrition
with liquid formula:Buka randomized controlled trial. Gut. 2006; 55: 356-61.
i le
82. WilschanskiFM et al. Supplementary enteral nutrition maintains remission in paediatric Crohn’s
disease. Gut. 1996; 38: 543-8.
83. Azcue M. Energy expenditure and body composition in children with Crohn disease effect
enteral nutritition and treatment with prednisolone. Gut. 1997; 41: 203-8.
84. Cormier K et al. Resting energy expenditure in the parenterally fed pediatric population with
Crohn’s disease. J Nutr enteral Parenteral, 2005, 29 102-7.
85. Riordan AM et al. Treatment of active Crohn’s disease by exclusion diet: East Anglian multicentre
controlled trial. Lancet. 1993; 342: 1131-1134.
86. Woolner JT et al. The development and evaluation of diet for maintaining remission in Crohn’s
disease. J Hum Nutr Diet. 1998; 11: 1-11.
87. Beattie RM, Walker-Smith JA. Treatment of active Crohn’s disease by exclusion diet. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1994; 19: 135-6.
88. Verma S et al. Oral nutritional supplementation is effective in the maintenance of remission in
Crohn’s disease. Dig Liver Dis. 2000; 32: 769-74.
450
BAB
29
Terapi Farmakologi pada Muntah
Subijanto Marto Sudarmo
29.2 Pendahuluan
Mual dan muntah merupakan manifestasi dari berbagai kondisi, termasuk efek samping
dari obat; gangguan sistemik atau infeksi; kehamilan; disfungsi vestibular; infeksi sistem
saraf pusat atau peningkatan tekanan intrakranial; peritonitis; gangguan hepatobiliari;
radiasi atau kemoterapi; dan obstruksi gastrointestinal, dismotilitas, atau infeksi.7,8
Penggunaan obat mual dan muntah harus tepat indikasi, tidak boleh diberikan
pada mual-mual dan muntah yang disebabkan oleh obstruksi gastrointestinal yang
pengobatannya adalah intervensi bedah.
Pada makalah ini yang akan dibahas adalah obat mual dan muntah yang dapat
digunakan pada penyakit gastroenteritis atau diare. Untuk dapat memahami dengan baik
penggunaan obat muntah, akan dibahas lebih dulu patofisiologi muntah sehingga pemilihan
obat muntah untuk diare lebih tepat oleh karena tidak semua obat muntah mempunyai titik
tangkap cara kerja yang sama.
29.3 Patofisiologi
“Pusat muntah” di batang otak adalah wilayah neuronal yang terorganisir secara longgar,
terletak dilateral dari medullary reticular formation dan berkoordinasi untuk menimbulkan
proses muntah yang kompleks melalui interaksi dengan saraf kranial VIII dan X dan
jaringan saraf di nukleus traktus solitarius yang mengontrol pernapasan, salivasi, dan pusat
451
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
9
2 01
t
vasomotor. Konsentrasi tinggi reseptor muskarinik M1, histamin
M are H1, neurokinin 1 (NK1),
dan serotonin 5-HT3 telah diidentifikasi di pusat muntah. 92–4
ro
G ast
at
Ada empat sumber penting input aferen ke pusat
r ap muntah, diantaranya adalah:
1. “Chemoreceptor Triger Zone” atau area uk
ntpostrema yang terletak di ujung kaudal dari
ventrikel keempat. Wilayah ini o u
berada luar sawar darah-otak dan dapat diakses oleh
r
G
rangsangan emetogenik dalam ast darah atau cairan serebrospinal. Chemoreceptor Trigger
A
Zone kaya akan reseptorjar dopamin D2 dan reseptor opioid, dan mungkin reseptor
ku reseptor NK1.2,3
udan
serotonin 5-HT3
e B
Fil penting dalam motion sickness melalui saraf kranial VIII. Sistem ini
2. Sistem vestibular
kaya reseptor muskarinik M1 dan histamin H1.
3. Saraf aferen vagal dan spinal dari saluran pencernaan kaya akan reseptor 5-HT3. Iritasi
mukosa gastrointestinal oleh kemoterapi, terapi radiasi, distensi, atau gastroenteritis
akut infeksius menyebabkan pelepasan serotonin dan aktivasi reseptor mukosa, yang
merangsang input aferen vagal ke pusat muntah dan Chemoreceptor Trigger Zone.4
4. Sistem saraf pusat berperan dalam muntah karena gangguan psikiatrik, stres, dan
muntah antisipatif sebelum kemoterapi kanker.1
Identifikasi neurotransmitter yang terlibat dengan proses emesis telah memungkinkan
pengembangan berbagai kelompok obat antiemetik yang memiliki afinitas untuk berbagai
macam reseptor. Kombinasi dari agen antiemetik dengan mekanisme yang berbeda sering
digunakan, terutama pada pasien dengan muntah karena obat-obatan kemoterapi.
Obat anti emetik adalah obat yang digunakan untuk mengobati mual, mencegah mual
dan untuk menghentikan muntah.
452
Buku Ajar Gastrohepatologi
Penggunaan klinis
1. Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE).
Metoklopramid tersedia untuk penggunaan klinis di Amerika Serikat; domperidone
tersedia di banyak lainnya negara. Agen-agen ini kadang-kadang digunakan dalam
pengobatan gejala PRGE tetapi tidak efektif pada pasien dengan esophagitis erosif.
Oleh sebab khasiat yang superior dan keamanan dari agen antisekresi asam lambung
dalam pengobatan heartburn, agen prokinetik sering digunakan dalam kombinasi
dengan agen antisekresi asam lambung pada pasien dengan regurgitasi atau heartburn
refrakter.6,10
2. Gangguan pengosongan lambung.
Agen ini banyak digunakan dalam pengobatan pasien dengan gangguan pengosongan
lambung karena gangguan pasca operasi (vagotomy, antrectomy) dan gastroparesis
453
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Dampak buruk
Efek samping yang paling umum dari metoklopramid adalah efek samping yang melibatkan
sistem saraf pusat. Gelisah, mengantuk, insomnia, kecemasan, dan agitasi terjadi pada
10-20% pasien, terutama pada pasien tua. Efek ekstrapiramidal (distonia, akatisia, fitur
parkinsonian) karena untuk blokade reseptor dopamin sentral terjadi secara akut pada
25% pasien yang diberikan dosis tinggi dan 5% dari pasien yang menerima terapi jangka
454
Buku Ajar Gastrohepatologi
Penggunaan Klinis
1. Mual dan muntah yang diinduksi oleh kemoterapi.
Antagonis reseptor 5-HT3 adalah agen utama untuk pencegahan mual dan muntah akut
akibat kemoterapi. Ketika digunakan sebagai obat tunggal, obat ini memiliki sedikit atau
tidak ada khasiat untuk pencegahan mual dan muntah yang tertunda pasca kemoterapi
(yaitu, mual dan muntah yang terjadi > 24 jam setelah kemoterapi). Obat ini paling
efektif apabila diberikan sebagai injeksi intravena, dosis tunggal 30 menit sebelum
pemberian kemoterapi dalam dosis berikut: ondansetron, 8 mg; granisetron, 1 mg;
dolasetron, 100 mg; atau palonosetron 0,25 mg.4,15,18 Pemberian dosis oral tunggal yang
diberikan 1 jam sebelum kemoterapi mungkin sama efektif dengan pemberian intravena
455
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
Efek Samping 01
9
e t 2
Antagonis reseptor 5-HT3 yang ditoleransi agen dengan profil arkeamanan yang sangat baik.
9 M pusing, dan sembelit. Semua
Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah sakit okepala,
r
keempat agen ini menyebabkan sedikit perpanjangan
G ast interval QT tapi tidak signifikan
secara statistik, tapi temuan ini paling menonjol at
r ap pada dolasetron. Meskipun aritmia jantung
belum dikaitkan dengan dolasetron, obattuini k tidak boleh diberikan untuk pasien dengan QT
u n
berkepanjangan atau bersama dengan o obat lain yang dapat memperpanjang interval QT.23–25
a str
G
A jar
Interaksi Obat uku
eB
Fil obat signifikan yang telah dilaporkan dengan antagonis reseptor
Tidak ada interaksi
5-HT3. Semua keempat agen akan mengalami metabolisme oleh sistem sitokrom P450 hati
tetapi mereka tidak mempengaruhi metabolisme obat lain. Namun, obat-obat lain dapat
mengurangi klirens hati dari antagonis reseptor 5-HT3 yang kemudian akan mengubah
waktu paruh serum mereka.26–28
456
Buku Ajar Gastrohepatologi
Gambar 29.6.1. Mekanisme fisiologis sekresi ion hydrogen oleh sel parietal93
Keterangan: ATPase, H+ /K+-ATPase proton pump; CCK, kolesitokinin; M3-R, reseptor muskarinik
(Dimodifikasi dari Kenneth R. McQuaid, MD. Drugs Used in the Treatment of Gastrointestinal Disease http://basicmedicalkey.com/
drugs-used-in-the-treatment-of-gastrointestinal-disease/)
457
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
Sel parietal memiliki sel tetangga yaitu gut endocrine cells yang disebut sel
enterochromaffin-like (ECL). Sel ECL juga memiliki resptor untuk gastrin dan asetilkolin,
yang akan menstimulasi pelepasan histamin. Histamin berikatan dengan reseptor H2 di sel
parietal, yang akan mengaktivasi adenilil siklase dimana akan meningkatkan kadar cyclic
adenosine monophosphate intrasel dan mengaktivasi protein kinase yang menstimulasi
sekresi asam lambung melalui H+/K+-ATPase. Pada manusia, dipercaya bahwa efek gastrin
pada sekresi asam lambung lebih dimediasi secara tidak lansung melalui rpelepasan
histamin dari sel ECL daripada melalui stimulasi langsung ke sel parietal, hal ini sangat
berbeda dengan asetilkolin yang mampu menstimulasi sel parietal secara langsung.30,35,37,38
Gambar skema model untuk kontrol fisiologis sekresi ion hidrogen (asam) oleh sel
parietal dari kelenjar fundus lambung. Sel parietal dirangsang untuk mensekresi asam (H+)
oleh gastrin (bekerja pada reseptorgastrin/CCK-B), asetilkolin (reseptor M3), dan histamin
(reseptor H2). Asam disekresi di membran kanalikular sel parietal oleh proton pump H+
/K+-ATPase ke lumen lambung. Gastrin disekresi oleh sel G antral ke dalam pembuluh
darah sebagai respon dari adanya peptida makanan intraluminal. Di lambung, gastrin
keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan submukosa dari kelenjar fundic, dimana
ia akan mengikat reseptor gastrin-CCK-B pada sel parietal dan enterochromaffin-seperti
(ECL) sel. Saraf vagus akan merangsang neuron postganglionik dari sistem saraf enterik
9
untuk melepaskan asetilkolin (Ach), yang mengikat reseptor M3 2 01 sel parietal dan sel
pada
t
are
ECL. Stimulasi sel ECL oleh gastrin (CCK-B reseptor) atauMasetilkolin (reseptor M3) akan
9
merangsang pelepasan histamin. Di dalam lumen antrum
a stro lambung, stimulasi vagal dari
neuron enterik postganglionik akan meningkatkan G pelepasan gastrin secara langsung oleh
p atpeptide, GRP) dan secara tidak langsung
a
stimulasi sel G antral (melalui gastrin-releasing
kr
akan menghambat sekresi somatostatin ntudari sel D antral. Sel D antral dirangsang untuk
ou
a str
G
Ajar
u
Buk
l e
Fi
Gambar 29.6.2. Mekanisme kerja obat-obat menetralisir dan menekan produksi asam lambung94
(Dimodifikasi dari S.J. Konturek, T. Brzozowski, P.C. Konturek, M.L. Schubert, W.W. Pawlik, S. Padol, J. Bayner http://www.
aboutcancer.com/stomach_anatomy.htm. http://www.jpp.krakow.pl/journal/archieve/08_08_s2/article/01_article.html)
458
Buku Ajar Gastrohepatologi
9
2 01
t
M are
Gambar 29.6.3. Aspek fungsional dari sekresi lambung, menunjukkan jalur stimulasi dan penghambatan utama yang mengatur
9
sekresi asam lambung
ro
95
ast
(Dimodifikasi dari http://alviziahealthcare.com/ATMOZOLE-D.html)
G
at
r ap
melepaskan somatostatin oleh kenaikan konsentrasi tuk H+ intraluminal dan oleh CCK yang
dilepaskan ke dalam aliran darah olehrosel unI duodenum dalam menanggapi adanya protein
st
dan lemak (tidak ditampilkan). Pengikatan
r Ga reseptor somatostatin pada sel G antral yang
berdekatan akan menghambat j a
A pelepasan gastrin lebih lanjut.
u ku
eB
Fil
Agonis Reseptor H2
Sejak diperkenalkan pada tahun 1970-an sampai awal 1990-an, antagonis reseptor H2
(umumnya disebut H2 blocker) merupakan obat yang paling banyak diresepkan di dunia.
Dengan diketahuinya peran Helicobacter pylori pada penyakit ulkus peptikum (yang dapat
diterapi dengan pengobatan antibiotik yang memadai) dan mulainya penggunaan PPI,
maka penggunaan H2 blocker saat ini sudah banyak ditinggalkan.
459
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
Sirkulasi darah H H H
AA
COX1 Antagonis H2
OAINS Minoprostat
Okreotid/SST Antagonis H2 PGE &I
Antikolinergik
ST2 - Antikolinergik M? +
EP3 + EP3 + M3 + H G(CCK B) +
1
Sel epitel
Sel epitel mukosa
Sel G Sel D mukosa SEL PARIETAL
non-parietal
+
ATPase H
460
Buku Ajar Gastrohepatologi
Penggunaan Klinik
Antagonis reseptor H2 saat ini masih diresepkan, tetapi PPI mulai menggeser peran antagonis
H2 untuk banyak indikasi klinis. Meskipun begitu obat-obat formulasi OTC antagonis H2
masih cukup banyak digunakan oleh masyarakat.
1. Penyakit refluks gastroesofagus.
Pasien dengan heartburn dan dyspepsia yang jarang (< 3 x/minggu) dapat mengonsumsi
antasid atau antagonis H2 secara intermiten. Tetapi efek dari antasid adalah sangat
pendek (1-2 jam). Antagonis H2 dapat diberikan untuk profilaksis sebelum makan
untuk tujuan mengurangi terjadinya heartburn. Heartburn yang sering dapat diterapi
dengan antagonis H2 2x/hari atau PPI. Pada pasien dengan erosif esofagitis (yang
ditemukan pada 50% penderita GERD), antagonis H2 dapat memberikan kesembuhan
pada 50% pasien tersebut, karenanya PPI lebih dipilih karena inhibisi asam lambung
yang lebih superior.34,45,46
2. Penyakit ulkus peptikum.
PPI sebagian besar telah mengganti antagonis H2 pada terapi untuk penyakit ulkus
peptikum akut. Namun, antagonis H2 terkadang masih digunakan. Supresi asam
lambung nokturnal oleh antagonis H2 memberikan efek penyembuhan ulkus pada
sebagian besar penderita ulkus peptikum dan duodenal yang tidak terkomplikasi.Oleh
9
karena itu, semua agen dapat diberikan satu kali sehari saatt sebelum 2 01 tidur malam,
a re
dengan tingkat kesembuhan mencapai 80-90 % setelahM6-8 minggu terapi. Untuk
9
pasien dengan ulkus yang disebabkan oleh aspirin atau stroOAINS yang lain, OAINS harus
dihentikan.47 Jika OAINS tetap harus diberikan Ga
p at untuk alasan klinis tertentu meskipun
ra
dengan adanya ulkus yang aktif, PPI haruskdiberikan sebagai pilihan pertama dibanding
Antagonis H2 untuk memberikan penyembuhan ntu ulkus. Untuk pasien dengan ulkus
u
peptikum akut yang disebabkanasoleh tro Helicobacter pylori, antagonis H2 sudah tidak lagi
G
mampu untuk memberikan
Ajar efek terapi yang signifikan. H. pylori sebaiknya diterapi
dengan regimen terapi kuPPI dan dua antibiotik selama 10-14 hari.48
u
3. Dispepsia non-ulkus.
i l eB
F
Antagonis H2 umumnya digunakan sebagai obat OTC dan resep sebagai terapi untuk
dispepsia intermiten yang tidak disebabkan oleh ulkus peptikum. Meskipun begitu,
keuntungan dibandingkan plasebo tidak pernah ditunjukkan.
4. Perlindungan terhadap stres akibat gastritis.
Perdarahan gastrointestinal bagian atas akibat erosi atau ulkus yang bermakna secara
klinis pada 1-5 % pasien sakit kritis sebagai hasil dari pertahanan mukosa yang terganggu
akibat perfusi darah yang kurang. Meskipun kebanyakan dari pasien sakit memiliki
sekresi asam lambung yang kurang atau normal, banyak studi menunjukkan bahwa
agen yang meningkatkan pH intragastrik (antagonis H2 dan PPI) mengurangi insiden
perdarahan yang signifikan tetapi untuk agen yang memiliki kemampuan optimal
belum diketahui. Untuk pasien tanpa nasoenteric tube atau tanpa ileus yang signifikan,
antagonis H2 intravena lebih dipilih daripada PPI intravena karena efikasi yang terbukti
dan biaya yang lebih rendah. Pemberian secara berkelanjutan dari antagonis H2 lebih
dipilih daripada pemberian secara bolus karena antagonis H2 lebih mampu mencapai
kadar serum yang konsisten dan mampu mempertahankan peningkatan dari pH
intragastrik.49–52
461
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
Efek Samping
Antagonis H2 adalah obat yang sangat aman. Efek samping muncul pada kurang dari
3% pasien yaitu diare, nyeri kepala, rasa lelah, nyeri otot, dan konstipasi. Sebagian studi
memberikan bahwa antagonis H2 intravena (atau PPI) meningkatkan resiko pneumonia
nosokomial pada pasien sakit kritis. Perubahan status mental (kebingungan, halusinasi,
agitasi) dapat terjadi dengan pemberian antagonis H2 intravena, terutama pada pasien yang
dirawat di unit perawatan intensif, yang sudah lanjut usia, atau yang memiliki disfungsi
ginjal atau hati. Peristiwa ini mungkin lebih sering terjadi pada penggunaan simetidin,
sedangkan efek samping perubahan status mental jarang terjadi pada pasien rawat jalan.53–55
Simetidin dapat menghambat pengikatan dihidrotestosteron dengan reseptor
androgen, menghambat metabolisme estradiol, dan meningkatkan kadar serum prolaktin.
Ketika digunakan jangka panjang atau dalam dosis tinggi, dapat menyebabkan ginekomastia
atau impotensi pada pria dan galaktorea pada wanita. Efek khusus ini hanya terjadi pada
pemakaian simetidin dan tidak terjadi dengan antagonis H2 lainnya.53,54
Meskipun tidak ada efek berbahaya yang diketahui pada janin, antagonis H2 dapat
melewati plasenta. Oleh karena itu, antagonis H2 tidak harus diberikan kepada wanita
hamil kecuali benar-benar diperlukan. Antagonis H2 disekresikan ke dalam ASI dan karena
9
itu dapat mempengaruhi bayi yang menyusui. Antagonis H2 mungkin
2 01 jarang menyebabkan
diskrasia darah. Blokade reseptor H2 jantung dapat menyebabkan re t bradikardia, tapi
9
hal ini jarang menimbulkan signifikansi secara klinis. Bolus Ma intravena yang cepat dapat
ro
menyebabkan bradikardi dan hipotensi melalui blokade
G ast reseptor H2 jantung; oleh karena
at
itu, suntikan intravena harus diberikan dalamapwaktu kurang lebih 30 menit. Antagonis H2
r
k reversibel.40,55
jarang menyebabkan kelainan kimia hatituyang
un
ro
G ast
Interaksi Obat jar
Simetidin mengganggu u A
Buk beberapa jalur metabolisme obat sitokrom P450 di hati yang penting,
e
termasuk yang dikatalisasi oleh CYP1A2,CYP2C9, CYP2D6, dan CYP3A4. Oleh sebab itu,
Fil
waktu paruh obat yang dimetabolisme oleh jalur tersebut dapat diperpanjang. Ranitidin
memiliki ikatan 4-10 kali lebih kuat dari simetidin untuk sitokrom P450. Interaksi dapat
diabaikan pada nizatidin dan famotidin.56–58
Antagonis H2 bersaing dengan kreatinin dan obat-obatan tertentu (misalnya,
procainamide) untuk sekresi tubular ginjal. Semua agen ini kecuali famotidine menghambat
lambung first pass metabolism etanol, terutama pada wanita. Meskipun pentingnya hal
ini masih diperdebatkan, meningkatnya bioavailabilitas etanol dapat menyebabkan
peningkatan kadar etanol darah.
462
Buku Ajar Gastrohepatologi
tu
un
PPI adalah senyawa basa lemaholipofilik (pKa 4-5) dan setelah penyerapan pada
tr
s membran lipid ke kompartemen yang bersifat asam
usus akan mudah berdifusi melintasi
G a
jar
(misalnya, kanalikuli sel parietal).
A Prodrug dengan cepat menjadi terprotonasi dalam
k
kanalikuli dan terkonsentrasiu
u lebih dari 1000 kali lipat oleh jebakan Henderson-Hasselbalch.
Disitu, dengan cepat i l eB
mengalami konversi molekuler untuk menjadi bentuk yang aktif, kation
F
tiofilik sulfenamid yang reaktif, yang membentuk ikatan disulfida kovalen dengan H+/K+
-ATPase, menonaktifkan enzim secara ireversibel. Sediaan immediate-release omeprazol
memiliki onset lebih cepat pada penghambatan asam daripada formulasi oral lainnya.60–62
Meskipun perbedaan profil farmakokinetik dapat mempengaruhi kecepatan onset dan
durasi inhibisi asam di beberapa hari awal terapi, profil farmakokinetik pada penggunaan
PPI secara terus menerus tidak begitu penting secara klinis. Bioavailabilitas semua agen
akan menurun sekitar 50% oleh karena diberikan bersama dengan makanan; karenanya,
obat harus diberikan pada waktu perut kosong. Dalam keadaan puasa, hanya 10% dari
pompa proton yang secara aktif mensekresi asam dan rentan terhadap penghambatan. PPI
harus diberikan sekitar 1 jam sebelum makan (biasanya saat sarapan), sehingga konsentrasi
serum puncak bertepatan dengan aktivitas maksimal sekresi proton-pump. Obat-obatan
PPI memiliki waktu paruh serum yang pendek, hanya sekitar 1,5 jam, tetapi penghambatan
asam dapat berlangsung hingga 24 jam karena inaktivasi ireversibel dari pompa proton.
Setidaknya diperlukan 18 jam untuk sintesis molekul pompa H+/ K+ ATPase yang baru.
Tidak semua pompa proton di lambung akan menjadinon-aktif dengan dosis pertama
obat, sehingga diperlukan 3-4 hari pengobatan sebelum potensi penghambatan asam
463
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
tercapai secara penuh. Demikian pula,setelah obat dihentikan, dibutuhkan 3-4 hari untuk
mengembalikan sekresi asam lambung seperti semula.60,63,64 PPI dimetabolisme di hepar
dan memiliki renal clearance yang dapat diabaikan. Pengurangan dosis tidak diperlukan
pada pasien dengan insufisiensi hati ringan sampai sedang, tetapi harus dipertimbangkan
pada pasien dengan gangguan hati yang berat. Meskipun pompa proton ada di bagian tubuh
lain selain lambung, H+/ K+-ATPase tampaknya hanya ada di sel parietal dan berbeda secara
struktural dan fungsional dari pompa proton lainnya.62,63
Formulasi intravena esomeprazol dan pantoprazol memiliki karakteristik yang
mirip dengan sediaan obat oral. Ketika diberikan kepada pasien yang sedang puasa,
mereka menonaktifkan pompa proton yang aktif, tetapi tidak memiliki efek pada pompa
yang tidak aktif. Oleh sebab waktu paruh injeksi tunggal dari formulasi intravena yang
pendek, sekresi asam akan kembali setelah beberapa jam kemudian karena pompa proton
akan kembali bergerak dari tubulovesikel ke permukaan kanalikular. Dengan demikian,
untuk memberikan efek penghambatan yang maksimal selama 24-48 jam pertama dari
pengobatan, maka formulasi intravena harus diberikan sebagai continous infusion atau
sebagai suntikan bolus berulang. Dosis optimal PPI intravena untuk mencapai blokade
maksimal pada pasien yang berpuasa belum ditetapkan. Dari perspektif farmakokinetik,
PPI adalah obat yang ideal: mereka memiliki waktu paruh serum pendek, terkonsentrasi
19 65–67
20
dan diaktifkan di dekat situs aksi, dan memiliki durasi aksi yangtpanjang.
re
9 Ma
Farmakodinamik ro
astG sekresi asam lambung yang dipicu
Berbeda dengan antagonis H2, PPI menghambat p at
r a
t k
oleh puasa dan makan karena mereka umemblokir jalur akhir yang umum dari sekresi
asam, yaitu pompa proton. Dalam odosis n
u standar, PPI mampu menghambat 90-98% dari
sekresi asam dalam 24 jam. Bila tr
asdiberikan pada dosis yang ekuivalen, agen yang berbeda
G
r dalam keberhasilan klinis. Dalam sebuah studi crossover
j
menunjukkan sedikit perbedaan a
pasien yang menerima u A jangka panjang dengan lima PPI, pH intragastrik 24 jam rata-
kterapi
u
eB
Fil 3,3 (pantoprazol, 40 mg) menjadi 4,0 (esomeprazol, 40 mg) dan lama
rata bervariasi dari
waktu (dalam jam) rata-rata saat pH lebih tinggi dari 4 bervariasi dari 10,1 (pantoprazol,
40 mg) menjadi 14,0 (esomeprazol, 40 mg). Meskipun dexlansoprazole memiliki formulasi
rilis lambat yang menghasilkan Tmax yang lebih lama dan AUC yang lebih besar dari PPI
lainnya, dekslanzoprazol sebanding dengan agen lain dalam kemampuan untuk menekan
sekresi asam. Hal ini karena penekanan asam lebih tergantung pada inaktivasi ireversibel
pompa proton daripada profil farmakokinetik masing-masing agen.62,64–66
Penggunaan Klinik
1. Penyakit refluks gastroesofageal (PRGE).
PPI adalah agen yang paling efektif untuk pengobatan penyakit refluks nonerosive dan
erosif, komplikasi penyakit reflux esophageal (striktur lambung atau esofagus Barrett),
dan manifestasi penyakitrefluks ekstraesofageal. Dosis sekali sehari memberikan
pengurangan gejala yang efektif dan penyembuhan jaringan di 85-90% pasien; sebagian
15% dari pasien memerlukan dosis dua kali sehari. Gejala PRGE kembali kambuh di
lebih dari 80% dari pasien dalam waktu 6 bulan setelah penghentian PPI. Untuk pasien
dengan esofagitis erosif atau komplikasi esofageal, terapi rutin jangka panjang dengan
464
Buku Ajar Gastrohepatologi
dosis penuh atau setengah dosis PPI biasanya diperlukan. Banyak pasien dengan PRGE
nonerosive berhasil diobati dengan program PPI atau antagonis H2 intermiten yaitu
minum obat sesuai kebutuhan (“on demand”) untuk setiap saat gejala berulang. Dalam
praktek klinis saat ini, banyak pasien dengan gejala PRGE diterapi secara empiris dengan
obat tanpa dilakukan endoskopi sebelumnya, tanpa diketahui apakah pasien memiliki
penyakit erosif atau refluks nonerosiva. Pengobatan empiris dengan PPI mampu
mengurangi gejala-gejala di 70-80% pasien secara berkelanjutan, dibandingkan dengan
hasil pengurangan gejala sebesar 50-60% dengan antagonis H2. Semakin menurunnya
harga PPI akhir-akhir ini, membuat PPI semakin banyak digunakan sebagai terapi lini
pertama untuk pasien dengan gejala PRGE.68–70
Penekanan asam secara berkelanjutan dengan PPI dua kali sehari selama 3 bulan
digunakan untuk mengobati komplikasi penyakit extraesophageal refluks (asma, batuk
kronis, radang tenggorokan, dan nyeri dada nonkardiak).
2. Penyakit ulkus peptikum.
Dibandingkan dengan antagonis H2, PPI mampu menghilangkan gejala dan
menyembuhan ulkus lebih cepat pada ulkus duodenum dan ulkus lambung. Semua PPI
mampu menyembuhkan lebih dari 90% dari ulkus duodenum dalam waktu 4 minggu
dan ulkus lambung dalam waktu 6-8 minggu.
9
a. Ulkus yang terkait H. pylori. 2 01
Untuk ulkus yang terkait H. pylori, ada dua tujuan arterapi, e t yaitu: untuk me
nyembuhkan ulkus dan untuk membasmi organisme. 9 M
o Rejimen yang paling efektif
untuk pemberantasan H. pylori adalah kombinasi a strdari dua antibiotik dan PPI. PPI
tG
amekanisme:
memberantas H. pylori melalui beberapa
r ap sifat antimikroba langsung
(minor) dan-dengan meningkatkannmenurunkantu k pH intragastrik dapat menurunkan
minimal inhibitory concentration o uantibiotik terhadap H. pylori. Rejimen pengobatan
str
terbaik terdiri dari 14-hari r Garejimen “triple therapy” yang terdiri dari: PPI dua kali
ja
sehari; klaritromisin,
ku A500 mg dua kali sehari; dan amoksisilin, 1 g dua kali sehari,
u
i l e B 500 mg dua kali sehari. Setelah selesainya triple therapy, PPI harus
atau metronidazol,
dilanjutkanF sekali sehari untuk total 4-6 minggu untuk memastikan penyembuhan
ulkus yang lengkap. Atau, pengobatan selama 10 hari yang disebut sebagai “sequential
treatment” yaitu pengobatan yang terdiri dari hari ke 1-5 menggunakan PPI 2x/
hari ditambah amoksisilin 1 gram 2x/hari, dan diikutipada hari ke 6-10 lima hari
tambahan PPI 2x/hari, ditambah klaritromisin 500 mg 2x/hari, dan tinidazol 500 mg
2x/hari, juga terbukti sebagai rejimen pengobatan yang sangat efektif.71–73
b. Ulkus terkait OAINS.
Pada pasien dengan ulkus terkait OAINS yang disebabkan oleh aspirin atau OAINS
lainnya, pemberian baik antagonis H2 atau PPI dapat memberikan penyembuhan
ulkus dengan cepat selama penggunaan OAINS dihentikan. Pada pasien dengan
ulkus terkait OAINS yang tetap memerlukan melanjutkan terapi OAINS,
pengobatan dengan PPI sekali-atau dua kali dosis sehari tetap dapat membantu
penyembuhan ulkus. Ulkus peptikum yang asimtomatik dapat muncul pada 10-20%
dari orang yang sering menggunakan OAINS, dan komplikasi yang berhubungan
dengan ulkus (perdarahan, perforasi) dapat berkembang di 1-2% dari orang per
tahun. Penggunaan PPI sekali sehari efektif dalam mengurangi kejadian ulkus dan
komplikasi ulkus pada pasien yang memakai aspirin atau OAINS lainnya.74,75
465
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
466
Buku Ajar Gastrohepatologi
Efek Samping
1. Umum.
Penggunaan PPI sangat aman. Diare, sakit kepala, dan sakit perut dilaporkan pada 1-5%
dari pasien, meskipun frekuensi peristiwa ini hanya sedikit meningkat dibandingkan
dengan plasebo. Peningkatan kasus nefritis interstitial akut telah dilaporkan. PPI tidak
teratogenik pada hewan coba; namun, keamanan selama pengunaan dalam kehamilan
belum dapat ditetapkan.
2. Nutrisi.
Asam lambung penting dalam melepaskan vitamin B12 dari makanan. Sedikit
penurunan dalam penyerapan oral cyanocobalamin terjadi selama penggunaan proton
pump inhibitor, sehingga akan berpotensi menyebabkan penurunan kadar vitamin
B12 dengan terapi berkepanjangan. Asam lambung juga berperan dalam proses
penyerapan mineral yang terikat dalam makanan (besi non-heme, garam kalsium
yang tidak larut, magnesium). Beberapa studi case-control telah menunjukkan adanya
sedikit peningkatan dalam risiko patah tulang pinggul pada pasien yang memakai PPI
selama jangka panjang dibandingkan dengan kelompok kontrol. Meskipun hubungan
kausal tidak terbukti, PPI dapat mengurangi penyerapan kalsium atau menghambat
fungsi osteoklas. Sambil menunggu hasil studi lebih lanjut, pasien 9yang memerlukan
01
jangka panjang PPI, terutama mereka yang memiliki faktor risiko
re t 2 untuk osteoporosis,
harus melakukan pemantauan kepadatan tulang dan harus
9 Ma menkonsumsi suplemen
kalsium tambahan. Beberapa kasus hipomagnesemia royang mengancam jiwa dengan
hipokalsemia sekunder karena PPI telah dilaporkan, G ast namun mekanismenya belum
at
diketahui. r ap
k
3. Infeksi pernapasan dan enterik. u ntu
ro
Asam lambung merupakan penghambat
G ast penting untuk kolonisasi dan infeksi dari
lambung dan ususdari bakteri r
ja yang tertelan. Peningkatan konsentrasi bakteri lambung
u A memakai PPI, yang tidak diketahui apakah bermakna secara
terdeteksi pada pasienkyang
Bu telah melaporkan peningkatan risiko dari infeksi pernapasan
klinis. Beberapailestudi
F
community aqcuired dan nosokomial pada pasien yang memakai PPI.
Ada dua sampai tiga kali lipat peningkatan risiko infeksi Clostridium difficile yang
berasal dari komunitas dan rumah sakit pada pasien yang memakai PPI. Juga didapatkan
peningkatan kecil untuk risiko infeksi enterik lainnya (misalnya, Salmonella, Shigella,
Escherichia coli, Campylobacter),yang harus dipertimbangkan terutama ketika bepergian
di negara-negara terbelakang.
4. Potensi masalah timbul karena meningkatnya kadar serum gastrin.
Kadar gastrin diatur berdasarkan oleh keasaman intragastrik. Supresi asam lambung
akan menghambat umpan balik inhibisi yang normal sehingga kadar median gastrin
serum meningkat 1,5 sampai dua kali lipat pada pasien yang memakai PPI. Meskipun
kadar gastrin tetap dalam batas normal pada sebagian besar pasien, beberapa kadarnya
dapat melebihi 500 pg/mL (kadar normal, <100 p /mL) di 3% pasien. Setelah obat
dihentikan, kadarnya akan normal kembali dalam waktu 4 minggu. Kenaikan kadar
serum gastrin dapat merangsang hiperplasia dari ECL dan sel parietal, yang dapat
menyebabkan rebound sementara dari hipersekresi asam dengan peningkatan gejala
dispepsia atau sakit maag setelah penghentian obat, yang akan mereda dalam waktu 2-4
minggu setelah kadar gastrin dan sekresi asam normal kembali. Pada tikus betina yang
467
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
diberikan PPI untuk jangka waktu yang lama, hipergastrinemia akan menyebabkan
timbulnya tumor karsinoid lambung yang berkembang di daerah hiperplasia ECL.
Meskipun pada manusia yang menggunakan PPI untuk waktu yang lama juga dapat
menimbulkan hiperplasia ECL, sedangkan pembentukan tumor karsinoid belum
didokumentasikan. Saat ini, pemantauan rutin kadar gastrin serum tidak dianjurkan
pada pasien yang menerima terapi PPI berkepanjangan.
5. Potensi masalah lain karena penurunan keasaman lambung.
Pada pasien yang terinfeksi H. pylori, penekanan asam jangka panjangakan menyebabkan
peningkatan peradangan kronis di corpus lambung dan penurunan peradangan pada
antrum. Dikhawatirkan bahwa peningkatan peradangan lambung dapat mempercepat
atrofi kelenjar lambung (gastritisatrofi) dan intestinal metaplasia yang merupakan
adenokarsinoma lambung. Sebuah Komite Penasehat Khusus Gastrointestinal FDA
menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa terapi PPI berkepanjangan menghasilkan
atrophic gastritis (gastritis atrofi multifokal) atau metaplasia intestinal yang berhubungan
dengan peningkatan risiko adenokarsinoma. Pengujian rutin untuk H. pylori tidak
dianjurkan pada pasien yang membutuhkan terapi PPI jangka panjang. Terapi PPI
jangka panjang dikaitkan dengan perkembangan polip kelenjar lambung jinak pada
fundus di sejumlah kecil pasien, yang dapat hilang setelah penghentian terapi dan
signifikansi klinisnya yang masih belum diketahui secara pasti. 19
20
81–86
t
Mare
Interaksi Obat 9
ro
G ast
Penurunan keasaman lambung dapat mengubah t penyerapan obat yang bioavailabilitasnya
dipengaruhi oleh keasaman dalam lambung, r pa
amisalnya, ketokonazol, itrakonazol, digoksin,
dan atazanavir. Semua PPI dimetabolisme ntuk oleh sitokrom P hati, termasuk CYP2C19
ou
strPPI yang pendek, interaksi obat yang signifikan secara
450
dan CYP3A4. Karena waktu paruh a
G
jar dapat menghambat metabolisme warfarin, diazepam, dan
klinis cukup jarang. Omeprazol
A
u dapat menurunkan metabolisme diazepam. Lansoprazol dapat
fenitoin. Esomeprazolukjuga
e B
Fil
meningkatkan klirens dari teofilin. Rabeprazoe dan pantoprazol tidak memiliki interaksi
obat yang signifikan. FDA telah mengeluarkan peringatan tentang interaksi penting yang
memiliki potensi merugikan antara clopidogrel dan PPI. Klopidogrel adalah prodrug
yang memerlukan aktivasi oleh isoenzim hati P450 CYP2C19, yang juga terlibat dalam
metabolisme PPI (terutama omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, dan dekslansoprazol).
Dengan demikian, PPI bisa mengurangi aktivasi klopidogrel (dan efek antiplatelet) pada
beberapa pasien. Beberapa penelitian retrospektif besar telah melaporkan peningkatan
insiden kardiovaskular serius pada pasien yang memakai klopidogrel dan PPI. Sebaliknya,
pada tiga percobaan acak prospektif kecil hasilnya menunjukkan belum terdeteksi adanya
peningkatan risiko kardiovaskular. Sambil menunggu hasil studi lebih lanjut, PPI harus
diresepkan untuk pasien yang memakai klopidogrel hanya jika mereka memiliki peningkatan
risiko perdarahan gastrointestinal atau untuk pengobatan refluks gastroesofageal kronis
atau penyakit ulkus peptikum, dalam hal ini penggunaan agen dengan penghambatan
CYP2C19 minimal (pantoprazol atau rabeprazol) dapat dipertimbangkan.56–58,87–89
468
Buku Ajar Gastrohepatologi
Daftar Pustaka
1. Hesketh PJ. Chemotherapy-induced nausea and vomiting. N Engl J Med. 2008 Jun;358(23):2482–94.
2. Chepyala P, Olden KW. Nausea and vomiting. Curr Treat Options Gastroenterol. 2008
Apr;11(2):135–44.
3. Miller AD, Leslie RA. The area postrema and vomiting. Front Neuroendocrinol. 1994
Dec;15(4):301–20.
4. Becker DE. Nausea, Vomiting, and Hiccups: A Review of Mechanisms and Treatment. Vol. 57,
Anesthesia Progress. 211 East Chicago Ave. Suite 780 Chicago, IL 60611; 2010. p. 150–7.
5. Pinder RM, Brogden RN, Sawyer PR, Speight TM, Avery GS. Metoclopramide: a review of its
pharmacological properties and clinical use. Drugs. 1976;12(2):81–131.
6. Parkman HP, Mishra A, Jacobs M, Pathikonda M, Sachdeva P, Gaughan J, et al. Clinical
response and side effects of metoclopramide: associations with clinical, demographic, and
pharmacogenetic parameters. J Clin Gastroenterol. 2012 Jul;46(6):494–503.
7. Gralla RJ. Metoclopramide. A review of antiemetic trials. Drugs. 1983 Feb;25 Suppl 1:63–73.
8. Brunton L. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, Twelfth
Edition. 2011.
9. J R. Rang & Dale’s Pharmacology 8 th edition. 2015.
9 reflux disease in
10. Hibbs AM, Lorch SA. Metoclopramide for the treatment of gastroesophageal 2 01
infants: a systematic review. Pediatrics. 2006 Aug;118(2):746–52. are t
11. Albibi R, McCallum RW. Metoclopramide: pharmacologyrand o 9M clinical application. Ann Intern
Med. 1983 Jan;98(1):86–95. a st
G
p at to emesis. Dig Dis Sci. 1999 Aug;44(8
12. Hasler WL. Serotonin receptor physiology: relation
r a
Suppl):108S–113S. ntuk
ou
13. Navari RM. 5-HT3 receptors asstrimportant mediators of nausea and vomiting due to
chemotherapy. Biochim Biophys G a
Acta. 2015 Oct;1848(10 Pt B):2738–46.
Ajar
14. Thompson AJ, Lummis uSCR. The 5-HT(3) receptor as a therapeutic target. Vol. 11, Expert
B
opinion on therapeuticuktargets. 2007. p. 527–40.
e
15. Balfour JA, Goa FilKL. Dolasetron. A review of its pharmacology and therapeutic potential in
the management of nausea and vomiting induced by chemotherapy, radiotherapy or surgery.
Drugs. 1997 Aug;54(2):273–98.
16. Aapro M. Granisetron: an update on its clinical use in the management of nausea and vomiting.
Oncologist. 2004;9(6):673–86.
17. Machu TK. Therapeutics of 5-HT(3) Receptor Antagonists: Current Uses and Future Directions.
Vol. 130, Pharmacology & therapeutics. 2011. p. 338–47.
18. Reeves JJ, Shannon MW, Fleisher GR. Ondansetron decreases vomiting associated with acute
gastroenteritis: a randomized, controlled trial. Pediatrics. 2002 Apr;109(4):e62.
19. Ruhlmann C, Herrstedt J. Palonosetron hydrochloride for the prevention of chemotherapy-
induced nausea and vomiting. Expert Rev Anticancer Ther. 2010 Feb;10(2):137–48.
20. Yang LPH, Scott LJ. Palonosetron: in the prevention of nausea and vomiting. Drugs. 2009
Nov;69(16):2257–78.
21. Caron E, Bussieres J-F, Lebel D, Mathews S, Milot J, Jacob J-L, et al. Ondansetron for the
prevention and treatment of nausea and vomiting following pediatric strabismus surgery. Can
J Ophthalmol. 2003 Apr;38(3):214–22.
469
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
22. Kohler DR, Goldspiel BR. Ondansetron: a serotonin receptor (5-HT3) antagonist for
antineoplastic chemotherapy-induced nausea and vomiting. DICP. 1991 Apr;25(4):367–80.
23. Kuryshev YA, Brown AM, Wang L, Benedict CR, Rampe D. Interactions of the
5-hydroxytryptamine 3 antagonist class of antiemetic drugs with human cardiac ion channels.
J Pharmacol Exp Ther. 2000 Nov;295(2):614–20.
24. Baguley WA, Hay WT, Mackie KP, Cheney FW, Cullen BF. Cardiac dysrhythmias associated
with the intravenous administration of ondansetron and metoclopramide. Anesth Analg. 1997
Jun;84(6):1380–1.
25. Chandrakala R, Vijayashankara CN, Kumar KK, Sarala N. Ondansetron induced fatal
ventricular tachycardia. Vol. 40, Indian Journal of Pharmacology. India; 2008. p. 186–7.
26. Blower PR. 5-HT3-receptor antagonists and the cytochrome P450 system: clinical implications.
Cancer J. 2002;8(5):405–14.
27. Wolf H. Preclinical and clinical pharmacology of the 5-HT3 receptor antagonists. Scand J
Rheumatol Suppl. 2000;113:37–45.
28. Niwa T, Yamamoto S, Saito M, Kobayashi N, Ikeda K, Noda Y, et al. Effects of serotonin-3
receptor antagonists on cytochrome P450 activities in human liver microsomes. Biol Pharm
Bull. 2006 Sep;29(9):1931–5.
29. Helander HF, Keeling DJ. Cell biology of gastric acid secretion. Baillieres Clin Gastroenterol.
9
1993 Mar;7(1):1–21.
2 01
30. Yarze JC. Physiology of gastric-acid secretion. Vol. 350, Lancet t
re(London, England). England;
1997. p. 446; author reply 447. 9 Ma
o
31. Takashima M, Furuta T, Hanai H, Sugimura H, str
aKaneko E. Effects of Helicobacter pylori
t G
infection on gastric acid secretion and serum p agastrin levels in Mongolian gerbils. Gut. 2001
Jun;48(6):765–73. k ra
tu
o
32. Calam J. Helicobacter pylori modulationun of gastric acid. Vol. 72, The Yale Journal of Biology
str
Ga
and Medicine. 1999. p. 195–202.
r
ja
33. El-Omar EM, Oien K,AEl-Nujumi A, Gillen D, Wirz A, Dahill S, et al. Helicobacter pylori
ku
u
infection and chronic gastric acid hyposecretion. Gastroenterology. 1997 Jul;113(1):15–24.
i l eB
34. De Giorgi F,FPalmiero M, Esposito I, Mosca F, Cuomo R. Pathophysiology of gastro-oesophageal
reflux disease. Vol. 26, Acta Otorhinolaryngologica Italica. Ospedaletto (Pisa), Italy; 2006. p.
241–6.
35. Helander HF. Physiology and pharmacology of the parietal cell. Baillieres Clin Gastroenterol.
1988 Jul;2(3):539–54.
36. Spenney JG. Biochemical mechanisms of acid secretion by gastric parietal cells. J Clin
Gastroenterol. 1983;5 Suppl 1:7–15.
37. Wolfe MM, Soll AH. The physiology of gastric acid secretion. N Engl J Med. 1988
Dec;319(26):1707–15.
38. Lindstrom E, Chen D, Norlen P, Andersson K, Hakanson R. Control of gastric acid secretion:the
gastrin-ECL cell-parietal cell axis. Comp Biochem Physiol A Mol Integr Physiol. 2001
Mar;128(3):505–14.
39. Huang JQ, Hunt RH. Pharmacological and pharmacodynamic essentials of H(2)-receptor
antagonists and proton pump inhibitors for the practising physician. Best Pract Res Clin
Gastroenterol. 2001 Jun;15(3):355–70.
40. Bertaccini G, Coruzzi G. Control of gastric acid secretion by histamine H2 receptor antagonists
and anticholinergics. Pharmacol Res. 1989;21(4):339–52.
470
Buku Ajar Gastrohepatologi
471
Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah
59. Robinson M. New-generation proton pump inhibitors: overcoming the limitations of early-
generation agents. Eur J Gastroenterol Hepatol. 2001 May;13 Suppl 1:S43-7.
60. Katashima M, Yamamoto K, Sugiura M, Sawada Y, Iga T. Comparative pharmacokinetic/
pharmacodynamic study of proton pump inhibitors, omeprazole and lansoprazole in rats.
Drug Metab Dispos. 1995 Jul;23(7):718–23.
61. Litalien C, Theoret Y, Faure C. Pharmacokinetics of proton pump inhibitors in children. Clin
Pharmacokinet. 2005;44(5):441–66.
62. Gesheff MG, Franzese CJ, Bliden KP, Contino CJ, Rafeedheen R, Tantry US, et al. Review of
pharmacokinetic and pharmacodynamic modeling and safety of proton pump inhibitors and
aspirin. Expert Rev Clin Pharmacol. 2014 Sep;7(5):645–53.
63. Shin JM, Sachs G. Pharmacology of Proton Pump Inhibitors. Vol. 10, Current gastroenterology
reports. 2008. p. 528–34.
64. Katashima M, Yamamoto K, Tokuma Y, Hata T, Sawada Y, Iga T. Comparative pharmacokinetic/
pharmacodynamic analysis of proton pump inhibitors omeprazole, lansoprazole and
pantoprazole, in humans. Eur J Drug Metab Pharmacokinet. 1998;23(1):19–26.
65. Ward RM, Kearns GL. Proton Pump Inhibitors in Pediatrics: Mechanism of Action,
Pharmacokinetics, Pharmacogenetics, and Pharmacodynamics. Vol. 15, Paediatric Drugs.
Cham; 2013. p. 119–31.
66. Bardou M, Martin J, Barkun A. Intravenous proton pump inhibitors:0an 19 evidence-based review
t 2
are
of their use in gastrointestinal disorders. Drugs. 2009;69(4):435–48.
67. Peura DA, Berardi RR, Gonzalez J, Brunetti L. The Value 9ofMBranded Proton Pump Inhibitors:
ro
G ast
Formulary Considerations. Vol. 36, Pharmacy and Therapeutics. 2011. p. 434–45.
t
a (PPI) test in GERD: does it still have a role?
rap
68. Gasiorowska A, Fass R. The proton pump inhibitor
J Clin Gastroenterol. 2008 Sep;42(8):867–74.
tu k
o un
69. Bruley des Varannes S, Coron E, rGalmiche J-P. Short and long-term PPI treatment for GERD.
Do we need more-potent G ast
anti-secretory drugs? Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2010
Dec;24(6):905–21. Ajar
u
70. Badillo R, FrancisBuD.k Diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux disease. Vol. 5, World
e
Fil
Journal of Gastrointestinal Pharmacology and Therapeutics. 2014. p. 105–12.
71. Kuipers EJ, Klinkenberg-Knol EC, Meuwissen SG. Helicobacter pylori, proton pump inhibitors
and gastroesophageal reflux disease. Vol. 72, The Yale Journal of Biology and Medicine. 1999. p.
211–8.
72. Keum B, Lee SW, Kim SY, Kim JM, Choung RS, Yim HJ, et al. [Comparison of Helicobacter
pylori eradication rate according to different PPI-based triple therapy--omeprazole, rabeprazole,
esomeprazole and lansoprazole--]. Korean J Gastroenterol. 2005 Dec;46(6):433–9.
73. Hagiwara T, Mukaisho K-I, Nakayama T, Hattori T, Sugihara H. Proton pump inhibitors and
helicobacter pylori-associated pathogenesis. Asian Pac J Cancer Prev. 2015;16(4):1315–9.
74. Scheiman JM. The use of proton pump inhibitors in treating and preventing NSAID-induced
mucosal damage. Vol. 15, Arthritis Research & Therapy. 2013. p. S5.
75. Lazzaroni M, Porro GB. Management of NSAID-induced gastrointestinal toxicity: focus on
proton pump inhibitors. Drugs. 2009;69(1):51–69.
76. Lin H-J. Role of proton pump inhibitors in the management of peptic ulcer bleeding. Vol. 1,
World Journal of Gastrointestinal Pharmacology and Therapeutics. 2010. p. 51–3.
77. Leontiadis GI, Howden CW. The role of proton pump inhibitors in the management of upper
gastrointestinal bleeding. Gastroenterol Clin North Am. 2009 Jun;38(2):199–213.
472
Buku Ajar Gastrohepatologi
78. Buendgens L, Koch A, Tacke F. Prevention of stress-related ulcer bleeding at the intensive
care unit: Risks and benefits of stress ulcer prophylaxis. Vol. 5, World Journal of Critical Care
Medicine. 2016. p. 57–64.
79. Mohebbi L, Hesch K. Stress ulcer prophylaxis in the intensive care unit. Vol. 22, Proceedings
(Baylor University. Medical Center). 2009. p. 373–6.
80. Plummer MP, Blaser AR, Deane AM. Stress ulceration: prevalence, pathology and association
with adverse outcomes. Vol. 18, Critical Care. 2014. p. 213.
81. Banasch M, Schmitz F. Diagnosis and treatment of gastrinoma in the era of proton pump
inhibitors. Wien Klin Wochenschr. 2007;119(19–20):573–8.
82. Ito T, Jensen RT. Association of Long-term Proton Pump Inhibitor Therapy with Bone Fractures
and effects on Absorption of Calcium, Vitamin B12, Iron, and Magnesium. Vol. 12, Current
gastroenterology reports. 2010. p. 448–57.
83. Metz DC. Long-term Use of Proton-Pump Inhibitor Therapy. Vol. 4, Gastroenterology &
Hepatology. 2008. p. 322–5.
84. Heidelbaugh JJ, Kim AH, Chang R, Walker PC. Overutilization of proton-pump inhibitors:
what the clinician needs to know. Vol. 5, Therapeutic Advances in Gastroenterology. Sage UK:
London, England. 2012. p. 219–32.
85. Sheen E, Triadafilopoulos G. Adverse effects of long-term proton pump inhibitor therapy. Dig
9
Dis Sci. 2011 Apr;56(4):931–50.
2 01
86. Corleto VD, Festa S, Di Giulio E, Annibale B. Proton pump inhibitor t
re therapy and potential
Ma
long-term harm. Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes. 20149Feb;21(1):3–8.
ro
87. Madanick RD. Proton pump inhibitor side effects G ast drug interactions: much ado about
and
at
nothing? Cleve Clin J Med. 2011 Jan;78(1):39–49.
r ap
k
88. Ogawa R, Echizen H. Drug-drug interaction
u ntu profiles of proton pump inhibitors. Clin
Pharmacokinet. 2010 Aug;49(8):509–33. ro
st
89. Lau WC, Gurbel PA. The rdrug–drugGa interaction between proton pump inhibitors and
A
clopidogrel. Vol. 180, CMAJ :ja Canadian Medical Association Journal. 2009. p. 699–700.
u
Buk New England Journal Medicine. 2005; p. 352-817.
90. Krakaauer. Antiemetics.
e
Fil 2004.
91. Sunee. Antiemetics.
92. Kenneth R. McQuaid, MD. Drugs Used in the Treatment of Gastrointestinal Disease. 2016.
94. S.J. Konturek, T. Brzozowski, P.C. Konturek, M.L. Schubert, W.W. Pawlik, S. Padol, J. Stomach
Anatomy. 2016.
95. Alvizia Health Care. ATMOZOLE-D. 2016.
96. Adam L. VanWert, Pharm.D., Ph.D. Determinants of Gastric Acid Secretion. 2012.
473
BAB
30
Terapi Farmakologi pada Diare
Alpha Fardah Athiyyah
30.2 Pendahuluan
Kasus yang dialami oleh anak B di atas merupakan kasus yang banyak dialami oleh anak-
anak di seluruh dunia. World Health Organization melaporkan bahwa setiap tahun sekitar
2,5 miliar kasus diare terjadi pada anak usia balita. Kematian akibat diare telah menurun
dalam dua dekade terakhir dari sekitar 5 juta menjadi 1,5 juta kematian balita pada tahun
2004. Meskipun terjadi penurunan, diare masih menjadi penyebab kedua terbanyak dari
kematian balita secara global, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.1
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair sekurang-kurangnya 3 kali
sehari, atau lebih sering dari normal. Diare akut dapat menimbulkan komplikasi kehilangan
cairan atau dehidrasi yang dapat menyebabkan kematian. Mayoritas diare akut pada balita
disebabkan oleh rotavirus, patogen lain yang dapat menyebabkan diare akut adalah E. Coli,
Shigella, Campylobacter, Salmonella, dan V. cholerae.1,2
Menurut hasil Riskesdas 2007, diare adalah penyebab kematian nomor 1 pada bayi
dan balita di Indonesia. Pada tahun 2012 angka kesakitan diare pada balita adalah 900 per
1000 penduduk. Sedangkan hasil Riskesdas 2013 menunjukkan insiden diare pada balita di
Indonesia adalah 6,7%. Pada tahun 2014 terjadi KLB diare di 5 provinsi dan 6 kabupaten/
kota. Target angka kematian akibat KLB diare di Indonesia adalah < 1%, namun angka
kematian nasional pada KLB diare mencapai 1,14%, sehingga target tersebut tidak tercapai.3,4
474
Buku Ajar Gastrohepatologi
475
Bab 30 Terapi Farmakologi Pada Diare
o 9
begitu anak-anak di negara dengan penghasilan yang r rendah seperti Indonesia berisiko
ast
tG
kekurangan zinc. Hal ini menjelaskan anjuranapemberian suplementasi zinc pada anak-
r
anak di Indonesia baik di bawah 6 bulan maupun ap di atas 6 bulan.
ntuk
u
Beberapa studi menunjukkan obahwa suplementasi zinc sebanyak 10-20 mg per hari
dalam waktu 10-14 hari juga dapat
r
stmenurunkan kejadian diare pada 2-3 bulan mendatang.6
G a
r
Aja
Dengan demikian, zinc diberikan pada semua anak dengan diare akut dengan dosis 10 mg
untuk bayi berusia <u6kubulan, dan 20 mg untuk anak > 6 bulan setiap hari selama 10-14
e B diberikan adalah zinc sulfat, zinc asetat atau zinc glukonat yang
Fil biasa
hari.15 Zinc yang
kesemuanya larut air. 12
Efek fisiologis dari zinc pada transportasi ion usus masih belum jelas, penelitian
menunjukkan bahwa zinc menghambat sekresi cairan yang diinduksi oleh cAMP dan
bersifat chloride dependent dengan menghambat kanal potasium basolateral. Zinc bersifat
spesifik pada kanal tersebut dan tidak menghambat kanal lain yaitu kanal potasium
yang dimediasi oleh kalsium.15 Zinc dapat memperbaiki absorbsi dari air dan elektrolit,
regenerasi dari epitel usus, meningkatkan enzim brush border, meningkatkan sistem imun
dengan meningkatkan produksi antibodi dan limfosit, dan memungkinkan pembersihan
dari patogen dengan lebih baik.12,16
Absorbsi zinc pada saluran cerna hanya sekitar 20-30 %, zinc endogen direabsorbsi
di ileum dan kolon dalam sirkulasi enterohepatik. Setelah diserap, zinc akan terikat pada
protein metalohionein pada usus, dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Penyimpanan zinc
di dalam tubuh ialah pada sel darah merah, sel darah putih, otot, kulit, ginjal, hati, pankreas,
retina dan prostat. Puncak konsentrasi plasma didapatkan setelah kira-kira 2 jam. Sembilan
puluh persen zinc diekskresikan melalui feses dan hanya sedikit yang ditemukan di urin.15
476
Buku Ajar Gastrohepatologi
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh pemberian zinc adalah muntah karena rasa
metalik dari zinc. Pada dosis yang tinggi zinc juga dapat menyebabkan nyeri epigastrium,
letargi dan kelelahan.14,17 Sebuah studi juga menyebutkan anak dengan malnutrisi sedang
dan berat memiliki kadar tembaga plasma yang lebih rendah secara signifikan setelah
pemberian zinc dengan dosis 3 mg/kg/hari selama 14 hari.18
Probiotik
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang memberikan manfaat kesehatan bagi
host apabila diberikan dalam jumlah yang adekuat.19 Istilah probiotik berasal dari
bahasa Latin, yang berarti “untuk kehidupan.’’ Probiotik yang paling umum digunakan
adalah Lactobacillus, Bifidobacterium, dan Saccharomyces boulardii. Lactobacillus dan
Bifidobacterium adalah batang Gram-positif obligat fakultatif anaerob dan S. boulardii
adalah ragi. Lactobacillus meliputi beberapa spesies individu, yang paling terkenal meliputi
L. acidophilus, L. rhamnosus, L. bulgaricus, L. reuteri, dan L. casei. Spesies Bifidobacterium
yang paling umum digunakan dalam probiotik adalah B. animalis, B. infanti, B. lactis,
dan B. longum. Perlu dicatat bahwa tidak semua spesies probiotik merupakan bagian dari
normal flora usus manusia dan bahwa efek menguntungkan dari 1 galur probiotik tidak
dapat digeneralisasi untuk galur-galur lainnya.20 9
2 01
t
Pada penatalaksanaan diare, probiotik dapat membantu mempercepatare penyembuhan.
Durasi dari BAB cair lebih dari 3 hari lebih banyak ditemukanopada 9 M kelompok yang tidak diberi
probiotik.21 Studi lain juga menyebutkan bahwa kelompok tr diare yang diberi suplementasi
asanak
G
probiotik Bifidobacterium lactis pada susu formula at
r apdapat mengurangi frekuensi, durasi diare,
k
dan lama rawat inap di rumah sakit secara signifikan dibandingkan dengan kelompok anak
u ntu
yang tidak diberi probiotik.22 Beberapa rmeta analisis menemukan bahwa pemberian probiotik
a sto
pada anak-anak yang dirawat di rumah G sakit dapat mengurangi durasi rata-rata rawat inap
sebanyak kurang lebih 1,12 hariAjar[confidence interval (CI) 95% -1,16 - 0,38].23–29 Analisis yang
u
dilakukan terhadap sebuah Buk subkelompok yang terdiri dari 4 randomised controlled trial
e
Fil
(RCT) (n=1615) menunjukkan penurunan durasi perawatan di rumah sakit diare pada anak-
anak yang diobati dengan Lactobacillus GG (LGG) dibandingkan dengan kelompok kontrol
[perbedaan rata-rata/mean difference (MD) = 0,82 hari, 95% CI, 0,95-0.69). Meski demikian,
hasil ini tidak terkonfirmasi dalam model efek acak (random effect model) (MD=1,42 hari,
95% CI 3,05-0,21), mungkin dikarenakan perbedaan yang tidak signifikan antara durasi diare
kelompok anak-anak dengan perlakuan dengan kelompok anak-anak kontrol (n=1768, MD
0,61 hari, 95% CI 1,4-0,19). Meskipun pengaruh penggunaan probiotik terhadap pada lama
rawat inap di rumah sakit tidak konklusif, penggunaan probiotik memiliki dampak yang
signifikan terhadap beban biaya perawatan gastroenteritis akut dan biaya terkait diare.30
Sebuah studi membandingkan 5 systematic review yang mengidentifikasi 30 penelitian
RCT, didapatkan bahwa probiotik lebih efektif dalam mengurangi durasi diare dan lama
rawat inap pada anak dengan diare dibandingkan dengan plasebo, akan tetapi kualitas
dari bukti-bukti tersebut sangat rendah (very low quality evidence).31 Kurangnya bukti
ilmiah dari studi yang dilakukan pada kelompok masyarakat menyebabkan WHO belum
merekomendasikan probiotik sebagai bagian dari tata laksana pengobatan diare. Walaupun
belum dimasukkan dalam rekomendasi pengobatan diare, namun menurut WHO probiotik
mungkin bermanfaat untuk antibiotic associated diarrhea (AAD).5
477
Bab 30 Terapi Farmakologi Pada Diare
AAD adalah diare yang tidak dapat dijelaskan yang berhubungan dengan terapi
antibiotik.32 AAD dapat terjadi beberapa jam setelah pemberian antibiotik atau hingga
beberapa bulan setelah penghentian penggunaan antibiotik.33 Penggunaan probiotik
sebagai terapi AAD berdasarkan asumsi bahwa AAD disebabkan oleh gangguan mikrobiota
komensal usus akibat terapi antibiotik.34 Dua meta analisis menyebutkan bahwa terdapat
penurunan dari AAD sebanyak 60% pada pemberian probiotik Saccharomyces boulardii
dan Lactobacillus GG pada anak. Meta analisis terbaru juga menunjukkan probiotik cukup
efektif dalam mencegah AAD pada anak.35–38
Tabel 30.3.1. Indikasi, jenis, serta dosis probiotik yang disarankan untuk masing-masing diagnosis20
Indikasi Jenis probiotik dan dosis yang disarankan
Traveler’s diare LGG = 2x109 CFU/hari, dimulai 2 hari sebelum keberangkatan dan dilanjutkan sampai
kembali
S. boulardii = 5x109-10/hari, dimulai 5 hari sebelum keberangkatan
Diare akut pada bayi dan anak-anak LGG = 1010 CFU dilarutkan dalam 250 mL cairan rehidrasi oral
L. reuteri = 1010-11 CFU/hari selama 5 hari
Diare terkait antibiotik LGG = 6x109 CFU/hari selama 1-4 minggu
S. boulardii = 4x109 CFU/hari selama 1-4 minggu
L. acidophilus dan L. bulgaricus = 2x109 CFU/hari selama 1 9
2 07 hari
t
are
Clostridium difficile 2x1010 CFU/hari selama 4 minggu ditambah vankomisisn dan/atau metronidazol
Irritable bowel syndrome VSL# 3=9x1011 CFU/hari selama 8 minggu M
9
tro selama 4 minggu
Bifidobacterium infantis = 106-10 CFU/hari
s
a
LGG = 8-9x109 CFU/hari selama
at G 6 bulan
Ulcerative colitis Chron’s disease p
Escherichia coli Nisslera1917 = 5x1010 CFU 3x/hari sampai terjadi perbaikan
k 3x/hari selama 6 minggu dengan terapi standar.
VSL # 3=8x10t12ubakteri,
u n250 mg 3x/hari
o
S bouardii = selama 4 minggu + mesalazin 1g/hari selama 6 bulan
Dermatitis atopi a st=r 1012 CFU selama 2-14 minggu sebelum lahir dilanjutkan pemberiannya saat bayi
LGG
G
jar selama 6 bulan
A
u ku
Fi le B
Obat-obatan Lain
Obat-obatan Anti Motilitas
Obat anti motilitas secara luas digunakan sebagai salah satu terapi diare pada orang dewasa,
misalnya loperamide HCl, difenoksilat dengan atropin, golongan opium, paregorik, dan
kodein. Obat-obatan tersebut dapat mengurangi frekuensi BAB pada orang dewasa, namun
tidak mengurangi volume feses pada anak-anak. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
ileus paralitik yang dapat berakibat fatal, yaitu memperlama masa infeksi dengan menunda
eliminasi dari organisme penyebab. Efek samping berupa sedasi juga dapat terjadi pada
pemberian dosis terapeutik dan dapat menimbulkan toksisitas pada sistem saraf pusat pada
beberapa jenis obat. Pemberian obat-obatan anti motilitas tersebut tidak disarankan pada
anak-anak.6
Sebuah systematic review dan meta analisis menunjukkan bahwa pemberian
loperamid dibandingkan dengan plasebo pada anak diare dapat mengurangi durasi dari
diare sebesar 0,8 hari (CI 95%: 0,7-0,9 hari), mengurangi jumlah BAB dalam 24 jam
(0,84, CI 95%: 0,77-0,92), dan lebih sedikit anak yang diarenya berlanjut hingga 24 jam
478
Buku Ajar Gastrohepatologi
(prevalence ratio 0,66, CI 95%: 0,57-0,78). Namun efek samping yang serius seperti ileus,
letargi, atau bahkan kematian dilaporkan pada 8 dari 927 anak yang diberi loperamid (0,9%
CI 95%: 0,4%-1,7%). Efek samping yang serius ini didapatkan pada anak-anak berusia di
bawah 3 tahun. Karena efek samping loperamid yang lebih berbahaya, bahkan pada dosis
≤ 0,25mg/kg/hari, dibandingkan dengan manfaat yang diberikan, maka pemberiannya
tidak dianjurkan pada anak dibawah 3 tahun. Walau begitu pada anak > 3 tahun tanpa
atau dengan dehidrasi minimal, loperamid dapat diberikan sebagai tambahan dari rehidrasi
oral dan pemberian nutrisi dini.39 WHO dan American Academy of Pediatrics juga tidak
menganjurkan penggunaan loperamid pada anak dibawah 12 tahun.30 Obat ini tidak
diizinkan untuk digunakan pada anak di kebanyakan negara, namun di Amerika Serikat,
loperamid di izinkan untuk diberikan pada anak usia > 2 tahun oleh FDA. Loperamid tidak
boleh digunakan bila terdapat kecurigaan inflammatory disease (BAB darah, disentri, atau
kolitis akut).40
Obat-obatan Adsorben
1. Diosmektit
Diosmektit adalah komponen mineral yang memiliki efek yang luas terhadap saluran
9
cerna. Komponen ini menyerap bakteri, toksin-toksin yang dikeluarkan
2 01 (endotoksin
dan eksotoksin) dan rotavirus. Komponen ini juga meningkatkan r e t penyerapan elektrolit
dan air serta mengembalikan fungsi penghalang yang9 dimiiki Ma oleh epitel intestinal
ro
setelah adanya paparan terhadap tumour necrosis factor
G ast α.41–43
Sebuah penelitian meta-analisis yang dipublikasikanat pada tahun 2006 menujukkan
r ap
bahwa diosmektit dapat mengurangi durasi k diare pada anak dengan gastroenteritis
akut.44 Pada tahun 2015, dipublikasikanu ntu kembali sebuah penelitian meta-analisis
ro
mengenai peran diosmektit G ast
terhadap diare akut pada anak. Dari 384 sumber yang
r
ja(2164
diteliti, 13 penelitian RCT
A anak-anak, usia 1–60 bulan) dimasukkan ke dalam
u
uk ini. Diosmektit dengan dosis 3–6 gram/hari diberikan dari 3
penelitian meta analisis
B
e
Fil Dibandingkan dengan kelompok yang diberi plasebo, diosmektit
hari hingga pulih.
secara signifikan dapat menurunkan durasi diare akut (MD −23.39; 95% CI −28.77
- −18.01), dan meningkatkan angka kesembuhan (%) pada hari ke-5 (OR,4.44; 95%
CI 1.66 - 11.84), tanpa adanya peningkatan risiko terjadinya efek samping. Diosmektit
effektif untuk semua jenis diare akut pada anak kecuali disentri. Karena tingginya angka
kemungkinan terjadinya bisa yang tinggi, hasil penelitian ini tergolong ‘low quality’.45
Namun, diosmektit dapat dipertimbangkan masuk dalam tata laksana dari diare akut
pada anak (rekomendasi II, B).30
2. Diosmektit dan LGG
Di negara-negara dimana LGG dan diosmektit tersedia, penggunaan secara bersamaan
sering dipraktekkan. Pada sebuah studi RCT ditemukan bahwa pasien yang diberikan
LGG ditambah diosmektit dibandingkan dengan pasien yang diberikan LGG saja
memiliki durasi diare yang serupa (P = 0,43) dengan jumlah yang diberikan LGG/
diosmektit (n = 44) dan LGG / plasebo (n = 37). Dengan demikian LGG dengan smectite
maupun tanpa smectite sama efektifnya dalam mengobati anak dengan diare akut.46
479
Bab 30 Terapi Farmakologi Pada Diare
3. Adsorben lain
Adsorben lain/arang aktif (kaolin–pektin dan attapulgite) tidak direkomendasikan (III,
C) untuk penanganan diare akut pada anak. Nilai praktis dari penggunaan adsorben
dalam pengobatan rutin dari diare akut belum terbukti.6 Hanya didapatkan 1 penelitian
mengenai arang aktif, yang tidak disertakan dalam pedoman ESPGHAN/ESPID tahun
2008 yang menunjukkan hasil positif terhadap penurunan durasi diare pada anak.
Penelitian yang menggunakan 39 anak yang berusia 6 minggu sampai 10 tahun dengan
didiagnosis GEA dengan dehidrasi berat ini, menggunakan metode pengacakan yang
tidak jelas, dan alokasi, tindak lanjut, serta dasar komparabilitas tidak seluruhnya
diungkapkan.30
Obat-obatan Antisekretorik
1. Rasekadotril
Rasekadotril adalah agen antisekretorik yang dapat mencegah hilangnya cairan/elektrolit
dari usus sebagai dampak dari diare akut, tanpa mempengaruhi motilitas usus.47 Sebuah
studi meta analisis dan review sistematis membandingkan tujuh studi RCT. Lima di
antaranya membandingkan rasekadotril dengan plasebo atau tanpa intervensi, satu
9
2 01
membandingkan dengan pektin / kaolin dan yang terakhir membandingkannya dengan
e t
loperamide. Terdapat risiko sedang hingga tinggi untukarterjadinya bias pada semua
9M
studi. Tidak ada perbedaan signifikan pada studiroperbandingan antara keuntungan
dan kerugian penggunaan rasekadotril dengan a st loperamide. Sebuah studi meta-
G
p at
analisis yang membandingkan tiga studi a dengan 642 peserta menunjukkan adanya
tu
durasi gejala diare yang secara signifikank r lebih singkat pada penggunaan rasekadotril
un
o(perbedaan
dibandingkan dengan plasebo str rata-rata perbedaan -53,48 jam, CI 95%
G
-65,64 hingga -41,33). Studi
a
r meta-analisis lain yang membandingkan lima penelitian
Aja
dengan 949 pesertaumenunjukkan tidak ada perbedaan efek samping yang signifikan
B
antara rasekadotrilukdengan plasebo (RR 0,99, CI 95% 0,73-1,34).47
e
Fil
Telah dibuktikan bahwa anak-anak diare akut yang mendapatkan rasekadotril
mengalami diare dengan durasi dan volume yang lebih rendah dibandingkan dengan
anak-anak yang mendapat plasebo maupun yang tidak mendapatkan pengobatan sama
sekali. Meski begitu, secara keseluruhan kualitas bukti-bukti penggunaan terapi ini
terbatas karena jarangnya data, tingginya heterogenitas, dan adanya risiko bias. Namun,
secara umum, Rasekadotril tampaknya aman dan dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh.47 Rasekadotril dapat dipertimbangkan masuk dalam tatalaksana diare akut pada
anak (rekomendasi II, B).30
2. Bismuth Subsalisilat
Bismuth subsalisilat dapat menurunkan jumlah BAB cair dan keluhan subjektif
pada orang dewasa dengan traveller’s diarrhoea. Jika diberikan setiap 4 jam, obat ini
dapat mengurangi output BAB pada anak dengan diare akut sebanyak 30%6. Namun
bismuth subsalisilat tidak direkomendasikan untuk penanganan diare akut pada anak
(rekomendasi III, C).30
480
Buku Ajar Gastrohepatologi
Obat-obatan Lain
Terdapat jenis-jenis terapi lain yang secara luas dipraktikkan, seperti sinbiotik, prebiotik,
asam folat, maupun gelatin tannat, namun kesemuanya tidak direkomendasikan untuk
penanganan diare akut pada anak.30
Daftar Pustaka
1. The United Nations Children’s Fund (UNICEF)/World Health Organization (WHO). Diarrhoea:
Why Children are Still Dying and What can Be Done. 2009.
2. WHO. Global networks for surveillance of rotavirus gastroenteritis, 2001-200. Wkly Epidemiol
Rec 2008;83:421–5.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.
Lap Nas 2013 2013;1–384.
4. Kementerian Kesehatan. Profil Kesehatan Indonesia.2014.
5. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI. Buku Saku
Petugas Kesehatan. 2011;1–40.
6. World Health Organization. The Treatment of Diarrhoea. A Man physicians other Sr Heal Work
2005;1–50.
7. Halim I. Pola Tatalaksana Diare Akut pada Anak Usia 1-24 Bulan di01Poliklinik 9 Puskesmas
e t 2
Tanjung Pinang. Cermin Dunia Kedokt 2015;42:247–50. r
8. Tarigan A, Umiana S, Pane M. The Conformity Therapy of Diarrhea 9 Ma Disease in Children with
o
Manual Therapy Diarrhea in Children According RI aKemenkes str at Puskesmas Kota Karang
t G
Bandar Lampung City Period 2013 Tarigan A , Umiana a S , Pane M Faculty of Medicine Lampung
rap
Univesity Abstract Kes. Med J Lampung Univk2013;100–8.
tu
9. Wardani S. Manajemen diare pada anak
o un oleh perawat di rumah sakit. J Keperawatan
Muhammadiyah 2016;1:25–31. ast r
G
10. Sari A, Rahmawati E. Evaluasiarpemberian antibiotik pada pasien anak diare spesifik di instalasi
Aj
u
rawat inap RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. In: Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ikatan ApotekerBuk Indonesia. 2016. p. 127–32.
i le
11. World Health FOrganization. Implementing the new recommendations on the clinical
management of diarrhoea: guidelines for policy makers and programme managers. Geneva
World Heal Organ 2006;1–38.
12. Lazzerini M, Wanzira H. Oral zinc for treating diarrhoea in children ( Review ) Summary of
findings for the main comparison. 2016.
13. Wessells KR, Singh GM, Brown KH. Estimating the Global Prevalence of Inadequate Zinc Intake
from National Food Balance Sheets: Effects of Methodological Assumptions. PLoS One 2012;7.
14. International Zinc Nutrition Consultative Group (IZiNCG), Brown KH, Rivera JA, Bhutta Z,
Gibson RS, King JC, et al. International Zinc Nutrition Consultative Group (IZiNCG) technical
document #1. Assessment of the risk of zinc deficiency in populations and options for its control.
Food Nutr Bull 2004;25:S99-203.
15. Bajait C, Thawani V. Role of zinc in pediatric diarrhea. Indian J Pharmacol 2011;43:232–5.
16. Zinc supplementation helps diarrhea symptoms. 2008.
17. Fontaine O. Effect of zinc supplementation on clinical course of acute diarrhoea. J Health Popul
Nutr. 2001;19:339–46.
18. Bhutta ZA, Nizami SQ, Isani Z. Zinc supplementation in malnourished children with persistent
diarrhea in Pakistan. Pediatrics. 1999;103:e42.
19. Guarner F, Ellen Sanders M, Gibson G, Klaenhammer T, Cabana M, Scott K, et al. Probiotic and
prebiotic claims in Europe: seeking a clear roadmap. Br J Nutr. 2011;106:1765–7.
481
Bab 30 Terapi Farmakologi Pada Diare
20. Senok AC, Ismaeel AY, Botta GA. Probiotics: facts and myths. Clin Microbiol Infect. 2005;11:958–
66.
21. De T, Kondekar S, Rathi S. Hospital based prospective observational study to audit the
prescription practices and outcomes of paediatric patients (6 months to 5 years age group)
presenting with acute diarrhea. J Clin Diagnostic Res 2016;10:SC01-SC05.
22. El-Soud Said, Reem Nabil, Mosallam, Dalia Sayed, Barakat, Nahla Abdel Moniem, Sabry,
Mohamed Ahmed NHA. Bifidobacterium lactis in treatment of children with acute diarrhea. A
randomized double blind controlled trial. Maced J Med Sci 2015;3:403–7.
23. Van Niel CW, Feudtner C, Garrison MM, Christakis DA. Lactobacillus therapy for acute
infectious diarrhea in children: a meta-analysis. 2002;109:678–84.
24. Huang JS, Bousvaros A, Lee JW, Diaz A, Davidson EJ. Efficacy of probiotic use in acute diarrhea
in children: a meta-analysis. Dig Dis Sci. 2002;47:2625–34.
25. Szajewska H, Mrukowicz JZ. Probiotics in the treatment and prevention of acute infectious
diarrhea in infants and children: a systematic review of published randomized, double-blind,
placebo-controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001;33 Suppl 2:S17-25.
26. Sj A, Eg M, Gv G, Lf D. Probiotics for treating acute infectious diarrhoea ( Review ). Cochrane
Collab 2010;125.
27. Szajewska H, Skórka A, Ruszczyński M, Gieruszczak-Białek D. Meta-analysis: Lactobacillus GG
for treating acute gastroenteritis in children - updated analysis of randomised controlled trials.
Aliment Pharmacol Ther. 2013;38:467–76.
9
28. Dinleyici EC, Vandenplas Y, Vandenplas Y. Lactobacillus reuteri DSM 2 0117938 effectively reduces
re t
MaY. Effectiveness and safety of
the duration of acute diarrhoea in hospitalised children. Acta Paediatr. 2014;103:n/a-n/a.
29. Dinleyici EC, Eren M, Ozen M, Yargic ZA, Vandenplas 9
ro
Saccharomyces boulardii for acute infectious diarrhea.
G astExpert Opin Biol Ther. 2012;12:395–410.
30. Ashkenazi S, Gendrel D, Vecchio A Lo, Shamir t Szajewska H. Infectious Diseases Evidence-
aR,
r ap Gastroenteritis in Children in Europe : Update
Based Guidelines for the Management ofuAcute k
2014. 2014;59:132–52. u nt
ro
G ast
31. Dalby-Payne JR, Elliott EJ. Gastroenteritis in children. BMJ Clin Evid. 2011;2011:1–64.
ja r
32. Bartlett JG. Antibiotic-Associated Diarrhea. N Engl J Med. 2002;346:334–9.
33. Coté GA, Buchman AL. u A
Antibiotic-associated diarrhoea. Expert Opin Drug Saf. 2006 ;5:361–72.
B uk
34. Surawicz CM. lProbiotics, antibiotic-associated diarrhoea and Clostridium difficile diarrhoea in
ie
humans. BestF Pract Res Clin Gastroenterol. 2003;17:775–83.
35. McFarland LV. Deciphering meta-analytic results: a mini-review of probiotics for the prevention
of paediatric antibiotic-associated diarrhoea and Clostridium difficile infections. Benef
Microbes. 2015;6:189–94.
36. D’Souza AL, Rajkumar C, Cooke J, Bulpitt CJ. Probiotics in prevention of antibiotic associated
diarrhoea: meta-analysis. BMJ. 2002;324:1361.
37. Cremonini F, Di Caro S, Nista EC, Bartolozzi F, Capelli G, Gasbarrini G, et al. Meta-analysis: the
effect of probiotic administration on antibiotic-associated diarrhoea. Aliment Pharmacol Ther.
2002;16:1461–7.
38. Szajewska H, Mrukowicz J. Meta-analysis: non-pathogenic yeast Saccharomyces boulardii in the
prevention of antibiotic-associated diarrhoea. Aliment Pharmacol Ther. 2005;22:365–72.
39. Li S-TT, Grossman DC, Cummings P. Loperamide therapy for acute diarrhea in children:
systematic review and meta-analysis. PLoS Med 2007;4:e98.
40. Faure C. Role of antidiarrhoeal drugs as adjunctive therapies for acute diarrhoea in children. Int
J Pediatr 2013;2013:612403.
41. Moré J, Bénazet F, Fioramonti J, Droy-Lefaix MT. Effects of treatment with smectite on gastric
and intestinal glycoproteins in the rat: a histochemical study. Histochem J 1987;19:665–70.
482
Buku Ajar Gastrohepatologi
42. Mahraoui L, Heyman M, Plique O, Droy-Lefaix MT, Desjeux JF. Apical effect of diosmectite
on damage to the intestinal barrier induced by basal tumour necrosis factor-alpha. Gut.
1997;40:339–43.
43. Dupont C, Moreno JL, Barau E, Bargaoui K, Thiane E, Plique O. Effect of diosmectite on
intestinal permeability changes in acute diarrhea: a double-blind placebo-controlled trial. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 1992;14:413–9.
44. Szajewska H, Dziechciarz P, Mrukowicz J. J. Meta-analysis: Smectite in the treatment of acute
infectious diarrhoea in children. Aliment Pharmacol Ther. 2006;23:217–27.
45. Das RR, Sankar J, Naik SS. Efficacy and safety of diosmectite in acute childhood diarrhoea : a
meta-analysis. 2015;704–12.
46. Pieåcik-Lech M, Urbańska M, Szajewska H. Lactobacillus GG (LGG) and smectite versus
LGG alone for acute gastroenteritis: A double-blind, randomized controlled trial. Eur J Pediatr
2013;172:247–53.
47. Gordon M, Akobeng A. Racecadotril for acute diarrhoea in children : systematic review and
meta-analyses. 2016;234–40.
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
483
BAB
31
Kelainan Fungsi Hati
Hasri Salwan, Achirul Bakri
31.2 Pendahuluan
Hati merupakan organ kelenjar terbesar tubuh dengan berat pada orang dewasa 1.500 gram
(2,5% BB). Terdiri dari dua lobus utama, yakni kanan dan kiri yang dapat dipisah menjadi
delapan lobus yang dapat berfungsi sendiri-sendiri. Hati berhubungan erat dengan saluran
empedu dan pankreas. Ketiganya berkembang secara embriologis dari bagian usus depan
yang membentuk duodenum. Unit fungsional terkecil hati secara anatomis adalah lobulus
hati, dengan diameter 0,8-2 mm dan panjang beberapa mm, dengan jumlah total lobulus
50.000-100.000 buah. Unit fungsional hati menurut Rappaport adalah asinus yang dibentuk
oleh cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan duktus empedu dengan parenkim hati
di sekitarnya. Sinusoid merupakan kapiler diantara lempeng sel hati, merupakan cabang
vena porta dan arteri hepatika, yang dibatasi oleh sel Kupffer (sistem monosit-makrofag).
484
Buku Ajar Gastrohepatologi
Hati terlibat dalam berbagai fungsi metabolisme tubuh. Membicarakan kelainan fungsi hati
tak bisa dilepas dengan kerusakan sel-sel dalam hati dan fungsi hati secara keseluruhan.1,2,3
Fungsi hati sangat vital, berperan pada hampir setiap fungsi metabolik tubuh. Hati
bertanggung jawab atas lebih dari 500 fungsi metabolik tubuh. Cadangan hati sangat besar,
fungsi hati dicukupi hanya dengan 10-20% bagian saja. Kelainan fungsi hati disebabkan
kerusakan sel-sel hati, tetapi kerusakan sel-sel hati tidak serta merta diikuti dengan gangguan
fungsi hati. Kedua keadaan ini harus dapat dibedakan. Regenerasi sel hati dilakukan secara
cepat dan sangat baik jika terjadi kerusakan, walaupun usia sel hati 150 hari. Kerusakan
yang terjadi secara cepat dan mendadak dapat menyebabkan gagal hati akut yang dapat
diantipasi tanpa menimbulkan gejala sisa. Kegagalan regenarasi pada kerusakan akut
menyebabkan gagal hati akut yang dapat berakhir dengan kematian, walaupun keadaan
ini sangat jarang terjadi. Kerusakan yang terjadi pelahan, menimbulkan proses nekrosis
yang diikuti dengan fibrosis dan regenerasi, menimbulkan sirosis akibat rusaknya struktur
normal hati. Jika terjadi sirosis maka prosesnya tidak dapat dihentikan dan berlanjut dengan
perjalanan yang progresif. Fase akhir kerusakan hati yang kronis ditandai dengan gangguan
fungsi hati yang ekstrim tetapi tanda kerusakan hati yang minimal.1,2,3,4
Ada dua proses yang saling berkaitan tetapi harus dipisahkan, yakni kerusakan
struktur hati, termasuk hepatosit, dan gangguan fungsi hati. Kerusakan struktur
9 hati belum
tentu menimbulkan gangguan fungsi hati. Gangguan fungsi hati terjadi 2 01 setelah kerusakan
t
hati melebihi 80%. Jadi ada dua pemeriksaan yang harus dibedakan, Mare yakni kerusakan hati
9
dan gangguan fungsi hati. Fungsi dasar hati adalah (1) fungsistro metabolisme tubuh, (2) fungsi
sekresi dan ekresi banyak zat-zat dan (3) fungsi vaskuler:Ga
p at menyimpan dan menyaring darah.
a
Ganguan fungsi hati menyebabkan paling tidak k r gangguan ketiga fungsi tersebut.
2-5
untu
ro
ast
31.3 Fungsi Metabolisme
Ajar
G Makronutrien Hati dan
u
Kelainannyaile Buk
F
Makronutrien terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak. Metabolisme makronutrien
hampir selalu melibatkan hati, dan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Pertama
fungsi sintesis: protein (albumin, globulin, PT, kolinestrase, dan lain-lain), lemak
(kolesterol), dan karbohidrat (glikogenesis, glikogenolisis, dan glukoneogenesis). Kedua
fungsi katabolik/ penguraian zat-zat tersebut. Ketiga: penyimpanan: glukosa/glikogen,
asam amino/protein, dan lemak.4
Fungsi metabolik hati terhadap karbohidrat melalui pembentukan dan penyimpanan
glikogen, pengubahan galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis,
pembentukan senyawa lain dari metabolisme karbohidrat, sehingga fungsi hati
mempengaruhi kadar glukosa darah. Metabolisme karbohidrat oleh hati berperan penting
mempertahankan glukosa dalam darah, melalui proses glikogenolisis, glikogenesis dan
glukoneogenesis. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah, tetapi kerusakan
hati yang parah menyebabkan hipoglikemia.2-5
Fungsi metabolik hati terhadap lemak melalui oksidasi asam lemak beta untuk
mensuplai energi tubuh, pembentukan sebagian besar lipoprotein, pembentukan sejumlah
besar kolesterol dan fospolipid, pengubahan karbohidrat dan protein menjadi lemak. Hati
485
Bab 31 Kelainan Fungsi Hati
berperan penting dalam sintesis kolesterol, sebagian besar diekresi dalam empedu sebagai
kolesterol dan garam-gram empedu. Kadar kolesterol total pada penyakit hati umumnya
menurun tetapi dapat normal atau sedikit meningkat, sedangkan pada kolestasis ektra
hepatik meningkat. Hati berfungsi memproduksi kolesterol tetapi pada saat bersamaan hati
juga memproduksi kolesterol-esterase (enzim penghancur kolesterol). Kerusakan hati dapat
menyebabkan produksi kolesterol dan kolesterol-esterase menurun, dimana kadar kolesterol
serum tergantung pada hasil resultante penurunan produksi keduanya. Kadar lipoprotein
biasanya mengalami gangguan pada penyakit hati baik intrahepatik maupun ektrahepatik,
karena hati berperan penting dalam produksi dan degradasinya. Pasien dengan gagal hati
akut terjadi peningkatan kadar trigleserid plasma, penurunan ester-ester kolesterol, dan
pola abnormal dari lipoprotein elektroforetik. Gambaran kerusakan hepatoseluler akut
adalah hipertrigliseridemia dengan akumulasi kadar low-density lipoprotein.2-4
Fungsi metabolik hati terhadap protein melalui (1) deaminasi asam amino, (2)
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari tubuh, (3) pembentukan protein
plasma, dan (4) interkonversi asam amino. Adanya gangguan fungsi sintesis hati terhadap
protein dapat mendeteksi adanya kerusakan hati akut dan kronik. Fraksi protein dengan
waktu paruh yang lama (20 hari) adalah albumin dan yang terpendek (4 jam) adalah faktor
VII. Albumin digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan yang berlangsung kronik
9
sedangkan faktor VII, yang diperiksa melalui protrombin time, untuk 2 01 kerusakan hati akut.
re t
Albumin merupakan 2/3 fraksi protein dan rentang kadar nilai
9 Ma normal yang besar sehingga
perubahan sedikit sulit terdeteksi. Banyak faktor yang
a stro mempengaruhi kadar albumin,
diantaranya masukan/diet protein, adanya edema, Gkerusakan ginjal, kelainan usus (protein
p at hati itu sendiri. Jadi kadar yang rendah
lossing enterophaty), disamping gangguan pada r a
tidak serta-merta adanya gangguan fungsi ntukhati, walaupun kadar albumin selalu menurun
ou
pada kerusakan hati kronis. Seluruh
a str faktor koagulasi disentesis oleh hati kecuali faktor
VIII. Waktu paruh terpendek G
adalah VII kemudian IX, X, karena itu turunnya kadar faktor-
Ajar
faktor tersebut dapat mengindikasikan
ku adanya gangguan fungsi hati akut. PT (prothrombin
Bu
time) dan aPTT le(activated partial thromboplastin time) digunakan untuk mendeteksi
adanya gangguan Fi fungsi hati akut. Diagnosis gagal hati akut paling tidak melibatkan tiga
komponen yakni PT yang memanjang, kerusakan hepatosit dengan ditandai SGPT (serum
glutamic pyruvic transaminase) dan SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase) yang
sangat meningkat, dan adanya gejala ensefalopati akibat fungsi detoksifikasi terganggu.
PT menilai faktor I, II, V, VII, X dan aPTT menilai faktor VIII dan IX, sehingga pada
kerusakan hati akut keduanya PT dan aPTT meningkat. PT memanjang menunjukan (1)
fungsi sintesis hati menurun karena kerusakan hati, (2) kurang vitamin K karena kolestasis
menyebabkan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, K) berkurang. Kedua
keadaan ini dibedakan terhadap respon penurunan PT saat pemberian pemberian vitamin
K. Nilai kembali normal menunjukkan adanya defisiensi vitamin K, tetapi jika tidak
mengalami perbaikan menunjukkan adanya kerusakan sel-sel hati. Kadar vitamin K yang
menurun menyebabkan faktor-faktor yang tergantung vitamin K yakni: faktor II, VII, IX,
dan X kadarnya menurun.2-6
Kadar PT dan aPTT pada awal kehidupan yang dapat memanjang harus disadari
sebagai keadaan yang normal pada bayi prematur (usia gestasi 30-36 minggu) yang baru
lahir dan sehat. Tabel 31.3.1 adalah rujukan nilai normal PT dan aPTT bayi prematur.3
486
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tabel 31.3.1. Rujukan nilai normal PT dan aPTT pada bayi prematur (usia gestasi 30-36 minggu) yang baru lahir dan sehat.
Usia postnatal PT (detik) aPTT (detik)
9
Hari ke-1 13,0 (10,6-16,2) 01
53,6 (27,5-79,4)
2
Hari ke-5 12,5 (10,0-15,3) re t
50,5a(26,9-74,1)
Hari ke-30 11,8 (10,0-13,6) 9 M
44,7 (26,9-62,5)
ro 39,5 (28,3-50,7)
Hari ke-90 12,3 (10,0-14,6)
G ast
at
ap
Hari ke-180 12,5 (10,0-15,0) 37,5 (21,7-53,3)
Dewasa 12,4 (10,8-13,9) k r 33,5 (26,6-40,3)
u
nt
u
ro
ast
ja rG
menjadi urea atau glutamin.AKerusakan hati yang kronik atau yang lanjut menyebabkan
ku
B u
terjadi penumpukan amonia dalam darah.4
e
Fil
487
Bab 31 Kelainan Fungsi Hati
(serum albumin asites gradient) dipakai untuk mendeteksi proses penyebab terbentuknya
asites. Perbedaan kadar albumin antara serum dan asites (SAAG) : ≥ 1,1 g/dl menunjukkan
adanya hipertensi portal, jika < 1,1 g/dl menunjukkan tekanan vena portal normal dan
asites disebabkan proses peradangan. Asites dari hati (cirrhotic ascites); SAAG 80-90%.
Asites dari mesentrik (non cirrhotic ascites); SAAG 1/5.2,4
Hati juga mengandung sistem makrofag hapatik (sel-sel Kuffer) yang berfungsi dalam
proses peradangan terutama oleh mikroorganisme. Infeksi sistemik dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati dan kerusakan sel-sel hati. Hati juga terlibat pada beberapa kelainan
hematologi yang mengakibatkan kerusakan dan gangguan fungsi hati. Anemia hemolitik
menyebabkan peningkatan kadar laktat dehidogenase dan SGOT serum meningkat.
Neoplasma umumnya jarang menimbulkan gangguan fungsi hati dan dapat disertai
kerusakan hati yang minimal. Beberapa keadaan dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati yang parah dan kerusakan sel-sel hati yang masif. Infiltrasi sel-sel leukemia yang masif
dapat menyebabkan gagal hati fulminan.3,7
488
Buku Ajar Gastrohepatologi
2 sampai 5 kali maka dosis obat diturunkan separuhnya, sementara jika lebih dari 5 kali
pemberian obat harus dihentikan.8,9
Hepatitis virus adalah suatu penyakit yang menyerang hati pada tingkat sel
(hepatosit), memberikan gambaran yang khas kerusakan pada tingkat sel (intrahepatik).
Gambaran laboratorium hepatitis akut adalah SGOT & SGPT meningkat lebih dari 50
kali, dimana SGPT lebih meningkat dibandingkan SGOT. Hepatitis kronik aktif, SGOT &
SGPT meningkat lebih dari 10 kali, sedangkan hepatitis kronik persisten, SGOT & SGPT
meningkat kurang dari 10 kali.3,4,5
Kolestasis ektrahepatik menyebabkan terjadinya hiperplasi dan hipertropi epitel
saluran empedu intrahepatik, sehingga enzim-enzim yang dihasilkan efitel saluran empedu
meningkat, misalnya GGT, alkalin fosfatase dan 5-nekleotidase. GGT diproduksi berbagai
organ tubuh, lokasi di hati terdapat pada efitel duktulus/saluran empedu yang kecil,
hepatosit. Lokasi lainnya: pankreas, lien, otak, usus kecil, dan mammae. GGT meningkat
pada keadaan kolestasis (meningkat bersama fosfatase alkali) dan metastasis di hati. GGT
juga meningkat pada masa awal kehidupan (Tabel 31.5.1). 3,4,5
Tabel 31.5.1. Rujukan nilai normal kadar gamma glutamil-tranferase sesuai umur
Umur pasien Jenis kelamin Kadar (U/L) 9
< 1 bulan L,P <385 t 20
1
1-2 bulan L,P a
<225r e
9 M
2-4 bulan L,P ro <135
4-7 bulan L,P G ast <75
at
bulan-15 tahun L,P ap <45
>15 tahun Laki-laki tu kr <75
n
>15 tahun Perempuanro u <55
ast
rG
Alkali fosfatase berasal Aja
ku dari hati. Produksi terhambat jika sintesis protein dalam hati
Bu
terhambat. Produksilemeningkat jika terjadi kholestasis intra/ektrahepatik. Alkali fosfatase
Fi
meningkat pada keadaan ikterus kolestatik (4-5 x), ikterus hepatoseluler (kadarnya lebih
rendah jika dibandingkan dengan kolestatik ektraseluler), tumor hati, abses, leukemia,
granuloma, penyakit tulang, dan usia pertumbuhan.3,4,5
5-nukleotidase, menghidrolisis nukleotida pada C-5 pentosa. Lokasi di hati : membran
kanalikuli dan sinosoidal. 5-nukleotidase meningkat pada kolestatik dan biasanya diperiksa
untuk memastikan peningkatan alkali fosfatase.3,4,5
31.6 Diagnosis
Banyaknya kelainan ataupun penyakit yang menyerang hati dan banyaknya zat yang
dimetabolisme dan dihasilkan di hati menyebabkan tidak ada satu pemeriksaanpun yang
khas untuk suatu penyakit. Kerusakan hati dapat didetedeksi paling tidak dengan adanya
peningkatan SGPT dan SGOT plasma. Kelainan fungsi hati dapat dideteksi paling tidak
dengan adanya peningkatan bilirubin direk plasma. Kadar bilirubin indirek dalam keadaan
normal sekitar 70-85% dari bilirubin total. Persentase bilirubin direk yang melebihi 15-20%
bilirubin total menandakan adanya kolestasis, suatu istilah adanya hambatan sekresi garam
489
Bab 31 Kelainan Fungsi Hati
empedu. Peningkatan bilirubin total 5 mg/dl atau lebih untuk neonatus dan 2% atau lebih
untuk bayi yang lebih besar menimbulkan gejala kuning (jaundice). Jaundice adalah gejala
umum peningkatan kadar bilirubin. Jaundice dibagi menjadi 2 kelompok yakni peningkatan
bilirubin indirek yang disebut hiperbilirubinemia indirek. Hiperbilirubinemia indirek pada
masa neonatus dapat disebabkan jaundice fisiologis, breastmilk jaundice, kelainan sistemik
(hemolisis, hipotiroid di masa awal, obstruksi saluran cerna bagian atas, sepsis, hipoksia,
hipoglikemia, galaktosemia, intoleransi laktosa), atau kelainan herediter (sindroma Crigler
Najjar tipe I dan tipe II dan sindroma gilbert). Hiperbilirubinemia indirek pada anak yang
lebih besar umumnya disebabkan adanya proses hemolisis. Proses hemolisis jarang disertai
kelainan sistem hati dan saluran empedu, tetapi jika berlangsung kronis atau berulang dapat
disertai kelainan sistem tersebut.10,11
Diagnosis kolestasis ditegakkan jika kadar bilirubin direk meningkat. Langkah awal
adalah klassifikasi berdasarkan onset pertama kali terjadinya ikterus, jika dibawah umur
3 bulan pertama kehidupan, maka digolongkon prolong jaudice. Hiperbilirubinemia direk
pada anak yang besar dapat disebabkan oleh penyakit hati autoimun, penyakit hati karena
obat, kelainan struktur dan kongenital hati, steatosis nonalkoholik, dan penyakit hati karena
infeksi. Gambaran laboratorium secara garis besar dapat dibedakan intrahepatik dan
ektrahepatik. Pembagian ini dapat mengarahkan ke diagnosis. Hepatitis virus memberikan
9
gambaran murni kelainan intrahepatik. Hepatitis virus dapat dipikirkan 2 01 sebagai penyebab
t
re endemik, sehingga harus
utama kelainan hati pada anak yang besar di daerah-daerah Ma
dipikirkan diawal pemeriksaan. Primary scleerosingtrcholangitis o9 memberikan gambaran
yang khas untuk kelainan ektrahepatik. a s
10,11
G
p at
a
Kolestasis yang onsetnya terjadi dalam k r 3 bulan pertama kehidupan harus dibedakan
tuatau
apakah disebabkan proses intrahepatik n ektrahepatik. Anamnesis: riwayat penyakit
tro u (TORCH), riwayat kelahiran (BBLR, infeksi),
keluarga (genetik), riwayat prenatalas
morbidibitas perinatal, riwayat
j ar G pemberian nutrisi parenteral, obat, transfusi mengarah
A
kekelainan intrahepatik.u ku Adanya kelainan pemeriksaan fisik lebih mengarah ke kelainan
e B tubuh yang abnormal mengarah ke kelainan intraheptik, sindromik
Fil
intrahepatik. Bentuk
mengarah ke kelainan metabolik dan paucity bile duct intrahepatik. Kelainan yang melibatkan
kepala (mikro atau makrosefali), telinga, jantung, kulit, dan hepatosplenomegali dapat
mengarah ke kelainan hati disebabkan TORCH. Anamnesis dan pemeriksaan fisik, selain
gejala ikterus, dalam batas normal dapat disebabkan kelainan intrahepatik dan ektrahepatik.
Pemeriksaan laboratorium, USG sistem bilier 2 fase, dan biopsi hati memperkuat adanya
kelainan intra hepatik ataupun ektrahepatik.3,10,11
Kelompok ekstrahepatik ditandai dengan “patent ductus biller” sulit dibuktikan
baik secara USG ataupun patologi anatomi, bayi dengan riwayat kehamilan ibu dan
kelahiran yang normal, bayi proposional dengan keadaan umum pada awalnya baik. Hasil
laboratorium peningkatan SGPT dan SGOT tidak melebihi 5 kali, GGT sangat meningkat
tergantung dari umur (lihat tabel) yang disertai peningkatan alkali fosfatase lebih dari 600
mg/dL, kadar kolesterol lebih dari 200 mg/dL. Gambaran kolestasis ektrahepatik lebih khas
karena kerusakannya terjadi di saluran empedu ektra hepatik atau 1/3 bagian distal saluran
empedu intra hepatik. Kolestasis intra hepatik dapat memberikan gambaran laboratorium
yang khas jika proses terjadi pada tingkat hepatosit (misalnya hepatitis virus) tetapi dapat
juga tumpang tindih dengan kelainan ektrahepatik jika selain proses melibatkan hepatosit
490
Buku Ajar Gastrohepatologi
Kolestasisi neonatal
Daftar Pustaka
1. Wuestefeld T, Zaret KS. Liver development: from endoderm to hepatocyte. Dalam: Suchy
FJ, Sokol RJ, Balistreri WF: Liver disease in children. Third edition. Cambridge, Cambridge
University Press 2007. Hal 3-13.
2. Baumann U, Millar AJW, Brown RM. Structure function and repair of the liver. Dalam: Kelly
D: Diseases of the liver and biliary system in children. Third edition. Singapore, Blackwell
Publishing Ltd. 2008. Hal 3-17.
491
Bab 31 Kelainan Fungsi Hati
3. Lee Ng V: Laboratory assessment of liver function and injury in children. Dalam: Suchy FJ, Sokol
RJ, Balistreri WF: Liver disease in children. Third edition. Cambridge, Cambridge University
Press 2007. Hal 163-75.
4. Guyton, Hal. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 9. Jakarta, EGC, 1997. Hal: 1103-10.
5. Thapa BR, Goyal RSrikanth KP. Interpretation of liver function test. Dalam: Sibal A, Gopalan
S, Kapoor A, Bhatia V: Textbook of pediatric gastroenterology, hepatology and nutrition. New
Delhi, The Health Sciences Publisher, 2015. Hal 294-308.
6. Whitington PF, Soriano HE, dan Alonso ES. Fulminant hepatic failure in children. Dalam: Suchy
FJ, Sokol RJ, Balistreri WF: Liver disease in children, Third edition. Cambridge, Cambridge
University Press 2007. Hal 63-88.
7. Murakani J, Shimizu Y. Hempatic manifestation in hematologic disorder. Int J hem, vol 2013.
Diunduh dari: http://dx.doi.org/10.1155/2013/484903.
8. Lee WM. Drug-induced hepatotoxicity. N Eng J Med 2003;349(5):474-85.
9. Burman WJ, Reves RR. Hepatotoxicity from rifampin plus pyrazinamide lessons for policymakers
and messages for care providers. Am J Respir Crit Care Med 2001;164(7):1112-3.
10. Roberts EA. The Jaudice baby. Dalam: Kelly D. Diseases of the liver and biliary system in
children. Third edition. Singapore, Blackwell Publishing Ltd. 2008. Hal 57-105.
11. Huang J, Aw MM. Neonatal cholestasis. Dalam: Sibal A, Gopalan S, Kapoor A, Bhatia V.
Textbook of pediatric gastroenterology, hepatology and nutrition. New Delhi, The Health
Sciences Publisher, 2015. Hal 309-25.
9
201
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
492
BAB
32
Atresia Bilier
Jeanette Irene Christiene Manoppo
32.2 Pendahuluan
Atresia bilier (AB) merupakan kolangiopati idiopatik, suatu penyakit yang disebabkan
kerusakan progresif saluran empedu ekstrahepatik akibat adanya lesi fibroskleroris
obliteratif, yang merupakan penyebab paling sering terjadinya sirosis hati, gagal hati,
dan kematian apabila tidak diterapi. Selain itu AB juga merupakan indikasi utama untuk
dilakukan transplantasi hati pada populasi anak, terhitung sebanyak 75% transplantasi hati
pada anak usia <2 tahun.1
Atresia bilier tampak dengan adanya serangkaian temuan: (1) obstruksi seluruh
saluran empedu ekstrahepatik yang didokumentasikan oleh cholangiography atau histologi
saluran empedu, (2) proliferasi saluran empedu intrahepatik pada biopsi hati, dan (3)
fibrosis intrahepatik yang diidentfikasi pada usia dini.2 Insidens atresia bilier lebih tinggi di
Asia, Taiwan (1:6.750) dibandingkan di Eropa (1:17.000-19.000) sehingga kita perlu lebih
berhati-hati untuk kemungkinan menemukan pasien AB.3
Tujuan awal dari manajemen klinis adalah melakukan diagnosis segera sehingga
intervensi bedah dapat menghilangkan sisa-sisa atresia empedu dan membuat saluran usus
Rouxen-Y untuk drainase empedu, yang juga dikenal sebagai hepatoportoenterostomi Kasai.4
Sayangnya, 40-50% pasien masih tidak mengalami perbaikan drainase empedu setelah
493
Bab 32 Atresia Bilier
32.3 Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di semua benua, dengan frekuensi geografis bervariasi mulai dari 1 dari
15.000 di Amerika Serikat dan 1 dari 19.000 kelahiran hidup per tahun di Belanda.6 Insiden
di Asia lebih tinggi, di Taiwan berkisar antara 1 : 5400 – 5800 kelahiran hidup, dan di Jepang
1 : 9000 – 10000 kelahiran hidup.7 Atresia bilier sedikit lebih banyak didominasi oleh jenis
kelamin perempuan (1,25:1), terutama pada pasien yang juga memiliki kelainan limpa
dan insiden tersebut secara substansial lebih tinggi pada bayi ras kulit putih. Ditemukan
adanya hubungan penyakit dengan usia ibu yang lebih tua, paritas yang lebih tinggi dan
kecenderungan terjadinya keguguran pada awal kehamilan. Atresia 9 bilier merupakan
2 01
penyakit dengan rekurensi familial yang jarang terjadi, pada tpenelitian dengan subjek
M are
kembar menunjukkan bahwa sebagian besar bayi kembar9tidak mengalami penyakit secara
ro
bersamaan.8 ast
G
p at
r a
k
32.4 Etiologi ro
u ntu
Etiologi atresia bilier masih
ast
G belum diketahui. Adanya gambaran inflamasi yang
A jar
menyebabkan terjadinya
ku proses destruksi saluran bilier ekstrahepatik menyebabkan para
Bu
ahli memikirkan leetiologinya adalah infeksi. Berbagai virus dihubungkan dengan atresia
Fi
bilier diantaranya virus sitomegalo, rubella, rotavirus, tetapi sampai saat ini belum satupun
dapat dibuktikan sebagai penyebab atresia bilier. Imaturitas sistem imun dan faktor genetik
mungkin berkontribusi pada patogenesis penyakit ini. Hipotesis lain adalah adanya
defek atau gangguan penyusunan pada perkembangan duktus biliaris pada saat dini yang
mungkin berhubungan dengan kelainan kongenital yang khas untuk atresia bilier dengan
malformasi splenik (BASM).2
494
Buku Ajar Gastrohepatologi
Defek Embriogenesis
Defek pada perkembangan hati dan saluran empedu mungkin diakibatkan oleh
pengaruh genetik atau mungkin timbul dari gangguan sirkuit biologis yang penting
pada organogenesis. Mutasi genetik dan/atau varian yang relevan dengan embriogenesis
mungkin berhubungan dengan patogenesis atresia bilier, seperti yang diduga terjadi pada
9
BASM dan defek lateral (anomali determinasi organ viseral kiri-kanan) 2 01 dibandingkan
e t
dengan jenis antesia bilier lainnya. Gangguan molekuler sirkuitarkompleks selama periode
M
9yang
embriogenesis yang rentan juga bisa terjadi akibat gangguan tro terjadi pada waktu yang
tepat dalam embriogenesis, dengan potensi memprogram a s ulang diferensiasi selular dan
G
p at gangguan yang secara khusus terjadi
luaran perkembangan abnormal. Meskipun tidak r a ada
selama embriogenesis yang dikaitkan langsungntuk dengan terjadinya atresia bilier, adanya sel
ou
abnormal pada perkembangan saluran
a str empedu diduga17menghasilkan malformasi yang
bertahan sampai setelah bayi lahirG
j ar pada beberapa pasien.
kuA
u
Sirkulasi Abnormal
Fi le B
Janin Atau Prenatal
Potensi defek sirkulasi prenatal berhubungan dengan patogenesis penyakit berdasarkan
adanya varian anatomis arteri hati pada beberapa pasien dengan atresia bilier, temuan
hiperplasia arteri atau hipertrofi pada spesimen hati dan tentang pentingnya aliran darah
arteri terhadap integritas duktus bilier/saluran empedu.18 Meskipun hanya terdapat data
terbatas yang mendukung mekanisme ini, namun dapat terjadi perubahan arteri yang
mungkin didorong oleh sinyal pertumbuhan primer, atau respon yang mewakili lingkungan
mikro penyakit dimana mungkin memiliki banyak sinyal pertumbuhan yang mendukung
terjadinya angiogenesis.1
Dismaturitas
Atresia bilier kongenital dicurigai berasal dari inflamasi duktus biliaris pada masa prenatal
yang akhirnya menyebabkan sklerosis dan obliterai sistem bilier. Agen penyebab inflamasi
dapat berupa infeksi, zat kimia ataupun proses imunologi. Dismaturitas menyebabkan
insufisiensi induksi, produksi atau aktifitas hormon intrinsik usus sehingga menyebabkan
gangguan aliran bilier atau bahkan pengentalan cairan empedu.20
495
Bab 32 Atresia Bilier
Faktor Genetik
Berdasarkan wujud klinis AB dapat dibedakan menjadi bentuk embrionik atau fetal
(kongenital) dan bentuk progresif post natal (posteriori). Mutasi gen yang mengatur
pembentukan duktus biliaris dapat bertindak sebagai faktor yang rentan atau sebagai gen
pengubah (modifier gene). Dalam satu studi genetik pada 102 kasus AB, sembilan pasien
mengalami mutasi abnormal pada jagged 1, suatu ligan signaling Notch. Studi lain meneliti
ekspresi reseptor Notch di hepar pasien dengan AB dan menemukan bahwa ekspresi Notch
3 meningkat pada sel mesenkim dan neovessels. Hasil ini menunjukkan bahwa abnormalitas
signaling Notch dapat menjadi predisposisi kejadian AB. Penting untuk dicatat bahwa sekitar
10% pasien AB juga memiliki malformasi kongenital lainnya yang berhubungan dengan
abnormalitas aksis kiri-kanan, sehingga menunjukkan bahwa protein yang meregulasi
pola kiri-kanan juga terlibat dalam proses penyakit. Termasuk didalamnya adalah silia
terkait protein Inversin, Nodal co-factor Cryptic (CFC1), dan zinc finger transcription factor
ZIC3. Mutasi heterozigot pada CFC1 ditemukan pada pasien AB dan polisplenia, serta
polimorfisme CFC1 (Ala145Thr) diidentifikasi pada 5 dari 10 pasien. Selain itu, analisis
komparatif ekspresi gen di hepar yang menunjukkan bentuk kongenital dan AB posteriori
memperlihatkan gambaran ekspresi gen unik dalam bentuk kongenital. Jumlah chromatin-
modifying genes meningkat, namun yang lebih signifikan adalah19ekspresi gen lateralis
20
ret
SPROUTY4, LEFT-YA dan ZIC3 yang berbeda antara bentuk AB kongenital dan posteriori.
Analisis gene pada hepar yang memiliki bentuk AB posteriori M a menunjukkan anomali pada
9
ekspresi beberapa gen yang terlibat dalam morfogenesis,stro fibrogenesis, regulasi transkripsi
Ga gen ini menunjukkan mekanisme
dan cell signaling. Namun demikian, apakah anomali
p at
ra
patogenik atauah hasik dari perkembangank penyakit sampai saat ini masih belum jelas.21
untu
ro
Infeksi Virus G ast
Ajar
Agen mikroba, terutama u virus, telah terlibat dalam etiologi atresia bilier. Virus seperti
B
cytomegalovirus, humanuk papillomavirus, herpes virus 6 manusia, virus Epstein-Barr, reovirus
e
Fil
dan rotavirus ditemukan pada kelompok pasien tertentu.22Salah satu faktor yang mungkin
membatasi identifikasi virus termasuk variabilitas dalam metodologi yang digunakan
untuk mendeteksi infeksi. Misalnya infeksi sitomegalovirus terdeteksi dengan mengukur
kadar serum antibodi IgM anti-cytomegalovirus, aktivasi limfosit dan footprinting molekul
respon kekebalan terhadap infeksi virus. Infeksi Reovirus terdeteksi dengan mengukur
kadar serum antibodi IgG dan IgM anti-reovirus 3.23,24
496
Buku Ajar Gastrohepatologi
32.6 Klasifikasi
Atresi bilier sering kali timbul terisolasi tanpa disertai dengan malformasi lainnya (~90%),
namun dapat juga menjadi suatu bagian dari sindroma. Atresia bilier sindromik dapat
dihubungkan dengan berbagai macam anomali kongenital seperti polisplenia atau asplenia
(100%), situs inversus (50%), vena porta perduodenal (60%), tidak ditemukanya vena cava
inferior retrohepatik (40%) atau anomali kardiak (50%).26
Berdasarkan anatomi AB diklasifikasikan sesuia dengan derajat berat obstruksi.
Klasifikasi yang umum digunakan adalah klasifikasi Jepang dan Anglo-Saxon yang terdiri
dari 3 jenis utama, yaitu :27
• Tipe I: atresia terbatas pada duktus biliaris komunis saja, kandung empedu dan duktus
hepatikus paten (AB distal).
• Tipe II: atresia mempengaruhi duktus hepatikus, namun duktus intrahepatik
proksimalnya paten (AB proksimal).
o Tipe IIa: kandung empedu dan duktus biliaris komunis paten (kadang disertai
dengan kista pada hilus (AB kistik)),
o tipe IIb: terdapat obliterasi kandung empedu, duktus sistikus dan duktus biliaris
komunis. 9
• Tipe III: terdapat diskontinuitas duktus hepatikus intrahepatika 2 01 bilateral dan juga
re t
seluruh traktus biliaris ekstrahepatik (AB komplit).
9 Ma
Atresia bilier komplit (Jepang/ Anglo-Saxon tipe III) ropaling sering ditemukan (73%),
diikuti dengan subkomplit (tipe IIb, 18%), kemudian G ast AB kistik (tipe IIa, 6%) dan AB
at
distal (tipe I, 3%).26 r ap
k
untu
ro
ast
32.7 Diagnosis jar
G
u A
uk
Diagnosis Prenatale B
Fil
Atresia bilier dapat dicurigai sebelum kelahiran, ketika diamati adanya struktur kistik pada
porta hepatis. Jika demikian maka pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan segera setelah
lahir, untuk membedakan dengan kista koledokus, yang tidak memerlukan intervensi
segera, dengan bentuk kistik AB, yang memerlukan tindakan operatif segera.28
Gambaran Klinis
Setelah lahir, trias klasik AB terdiri dari (i) ikterus (terkonjugasi, dan menetap lebih dari usia
dua minggu setelah lahir), (ii) tinja akolik dan warna urine gelap, serta (iii) hepatomegali.
Warna tinja akolik/ dempul ini sangat penting untuk dipastikan bukan hanya dengan cara
melakukan anamnesis, tetapi lebih baik apabila dilihat sendiri oleh dokter. Dokter dapat
meminta orangtua untuk mengumpulkan tinja bayinya selama sehari dalam 3 periode
masing-masing 8 jam. Tinja yang berasal dari 3 waktu yang berbeda tersebut disebut tinja 3
porsi. Pada atresia bilier hasil pengumpulan tinja 3 porsi pada umumnya seluruhnya akan
berwarna putih pucat (dempul). Seluruh kasus ikterus neonatorum yang menetap lebih
dari 14 hari harus dicurigai sebagai AB atau kolestasis neonatorum dengan penyebab lain.
497
Bab 32 Atresia Bilier
Pada stadium dini bayi tampak sehat dan tidak ada tanda- tanda gagal tumbuh. Namun
pada stadium lanjut akan tampak gejala klinis yang jelas, seperti splenomegali dan asites,
yang merupkan tanda hipertensi portal, serta perdarahan gastrointerstinal dan intrakranial
akibat hipertensi portal atau gangguan absorbsi vitamin K.29
Pemeriksaan Laboratorium
Pada kasus AB, uji biokimia fungsi hati akan serupa dengan gambaran kolestasis, dengan
peningkatan kadar bilirubin total dan terkonjugasi (bilirubin total >20 μmol/L, dimana >20%
terkonjugasi), disertai dengan kadar gamma-glutamil transpeptidase dan alkali fosfatase
meningkat. Kadar bilirubin direk serum umumnya berkisar 3-12 mg/dl, aminotrasferase
abnormal, dan kadar SGOT dan SGPT berkisar antara 80-200 IU/L. Gamma-glutamyl
transpeptidase (GGT) seringkali meningkat, berkisar 100-300 IU/L. Kadar kolesterol
serum umumnya meningkat pada AB tetapi trigliserida normal. Kadar albumin dan waktu
protrombin pada umumnya masih normal pada awal penyakit, tetapi abnormal pada
keadaan lanjut.30
Pemeriksaan Radiologi
190
Ultrasonografi abdomen merupakan pemeriksaan radiologi non-invasif t2 pilihan pertama
dan menjadi baku emas dalam menegakkan diagnosis AB.M are
Pemeriksaan dilakukan setelah
9 empedu menciut, hilus hepar
8-12 jam puasa, dimana dicurigai AB jika didapatkan kandung
stro
tampak hiperekoik (“triangular cord sign”) atau jika Ga
p at didapatkan kista pada hilus hepar tanpa
dilatsi duktus biliaris. Polisplenia, vena portarapreduodenal, atau tidak tampaknya vena cava
retrohepatika dapat dijumpai pada bayi tuk
ndengan AB sindromik. Kurang lebih 20% kasus AB
31ro
u
memiliki kandung empedu paten. ast
Skintigrafi hepatobilier
j ar G menggunakan derivat technetium-labeled iminodiacetic
A
ku
acid bertujuan untuk umelakukan penilaian yang dinamis dan objektif pada fungsi parenkim
e B
Fil
hati dan juga ekskresi bilier. Pada AB hasil pemeriksaan ini akan menunjukkan kurangnya
ekskresi radio-isotop pada usus; namun hal ini juga dapat dijumpai pada kolestasis neonatal
yang non-obsruktif.32
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) mulai banyak digunakan
pada kasus kolestasis neonatal, pemeriksaan ini memberikan visualisasi struktur traktus
bilaris sehingga dapat menyingkirkan adanya AB. Pada studi di Korea, diagnosis AB
menggunakan MRCP memberikan akurasi 98%, dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas
96%. Namun demikian kolangiografi masih tetap dijadikan baku emas diagnosis AB.33
Pemeriksaan Invasif
Ketika AB belum dapat dieksklusi, khususnya karena kandung empedu masih tampak,
maka kolangiografi diperlukan untuk menilai morfologi traktus biliaris dan menyakinkan
bahwa ada patensi antara hepar dengan usus. Kolangiogram dapat dilakukan melalui
perkutaneus, laparoskopi, laparotomi terbuka, atau melalui endoscopic retrograde cholangio-
pancreatography (ERCP). Uji definitif lain untuk menegakkan diagnosis AB adalah dengan
biopsi hepar, umumnya dilakukan bersamaan dengan kolangiografi. Gambaran utama
AB adalah traktus biliaris berisi sel radang dan fibrotik yang melingkupi duktus, dengan
498
Buku Ajar Gastrohepatologi
fibrosis pada parenkim hepar yang merupakan tanda adanya kolestasis, serta proliferasi
stuktur neoduktal biliaris.34
499
Bab 32 Atresia Bilier
1 mg/kg BB/hari selama 2 minggu kemudian di tappering off selama 2-4 bulan, terbukti
aman dan memberikan dampak yang positif.39
Transplantasi Hepar
Jika operasi Kasai tidak berhasil, dimana tidak terjadi perbaikan pada aliran bilier, dan/
atau timbul komplikasi medis berupa sirosis bilier (walaupun ikterus sudah menghilang),
maka transplantasi hepar harus dilakukan. Umumnya transplantasi hepar pada pasien AB
dilakukan pada tahun pertama atau kedua kehidupan. Transplantasi hepar tidak ditunda
terlalu lama jika tanda dan gejala yang mengindikasikan sudah tampak jelas. Tujuan
transplantasi hepar adalah mencapai kehidupan normal, sehingga perkembangan fisik,
intelektual, psikologis, seksual dan sosial dapat berjalan dengan normal.40
32.10 Komplikasi
Komplikasi Bedah
Komplikasi bedah setelah HPE jarang ditemukan. Komplikasi merupakan komplikasi
9 ileus, kebocoran
01
standar yang didapatkan setelah operasi abdomen antara lain 2adhesi
re t
anastomosis usus atau intususepsi pada titik pangkal Roux-en-Y,
Ma
serta hernia internal.
9
Perdarahan porta hepatis atau kebocoran pada hilusroanastomosis spesifik untuk HPE,
st
namun sangat jarang ditemukan.4 Ga
at
r ap
k
Komplikasi Pasca Bedah untu
ro
Kolangitis ast
G
Ajar
u ku
Bayi rentan terhadap kolangitis asendens selama minggu pertama setelah operasi, diman
terjadi pada 30-60%B
e kasus. Infeksi ini dapat menjadi berat dan mematikan. Secara klinis
Fil dan gejala sepsis, ikterus timbul kembali, tinja akolik dan kemungkinan
akan tampal tanda
nyeri perut; kultur darah dapat positif. Terapi meliputi antibiotik intavena selama 2 – 3
minggu. Kolangitis rekuren mungkin membutuhkan antibiotik profilaksis kontinu. Jumlah
episode kolangitis memberikan dampak negatif pada keberhasilan operasi Kasai. Semakin
sering episode kolangitis maka probabilitas kejadian sirosis akan lebih besar dan luaran
HPE akan lebih buruk.42
Hipertensi Portal
Hampir setengah dari pasien AB menunjukkan tanda fibrosis pada saat dilakukan
prosedur Kasai. Temuan ini berhubungan dengan tekanan portal yang tinggi, yang
kemudian berpengaruh pada menurunnya tingkat kesuksesan operasi dan meningkatkan
pembentukan hipertensi portal. Seiring dengan perjalanan penyakit, semua pasien dengan
AB akan mengalami fibrosis portal, sirosis dan hipertensi portal. Lokasi paling umum
terjadinya varises adalah esofagus, lambung, anastomosis Roux loop pada daerah jejunum
dan anorektal. Pda kasus hipertensi portal yang berkaitan dengan gagal hepar progresif
dan/atau ikterus persisten maka transplantasi hepar harus dilakukan.43
500
Buku Ajar Gastrohepatologi
Keganasan
Sirosis hati dapat berkembang lebih lanjut menjadi keganasan seperti karsinoma
hepatoseluler, hepatoblastoma, dan kolangiokarsinoma. Uji tapis alpha-fetoprotein dan
pemeriksaan USG harus dilakukan pada pasien AB dengan sirosis bilier sekunder untuk
deteksi dini.45
19
32.11 Luaran Pasien dengan Atresia Bilieraret 20
Sebelum operasi Kasai berkembang, hampir semua pasientrAb
9M
o meninggal sebelum mencapai
usia 2 tahun. Tindakan Kasai sejak tahun 1970 telahG as merubah prognosis penyakit ini,
at
namun demikian masih banyak yang meninggal r ap akibat komplikasi sirosis bilier. Setelah
tuk 1980, luaran AB meningkat signifikan,
diperkenalkan transplantasi hepar padauntahun
ro
ast berkembang mencapai 90%.
dimana angka kesintasan pada negara 46
G
Ajar
u
Buk
i l e
Daftar PustakaF
1. Butler AE, Schreiber RA, Yanchar N, Emil S, Laberge JM. The Canadian biliary atresia registry :
Improving the care of Canadian infants with biliary atresia.Paediatr Child Health. 2016; 21:131-
4.
2. Sokol RJ, Mack C, Narkewicz MR, Karrer FM. Pathogenesis and outcome of biliary atresia:
current concepts. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2003;37:4–21.
3. McKiernan PJ, Baker AJ, Kelly DA. The frequency and outcome of biliary atresia in the UK and
Ireland. Lancet. 2000;355:25-9.
4. Kasai M, Suzuki S. A new operation for “non-correctable” biliary atresia, hepatic portoenterostomy.
Shujutsu. 1959; 13:733–739.
5. Chardot C, et al. Improving outcomes of biliary atresia: French national series 1986–2009. J.
Hepatol. 2013; 58:1209–1217.
6. Hsiao CH, et al. Universal screening for biliary atresia using an infant stool color card in Taiwan.
Hepatology. 2008; 47:1233–1240.
7. Hsiao CH, Chang MH, Chen HL, Lee HC, Wu TC, Lin CC et al. Universal screening for biliary
atresia using an infant stool color card in Taiwan. Hepatology. 2008;47:1233–40.
8. Fallon SC, Chang S, Finegold MJ, Karpen SJ, Brandt ML. Discordant presentation of biliary
atresia in premature monozygotic twins. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2013;57:22–3.
501
Bab 32 Atresia Bilier
502
Buku Ajar Gastrohepatologi
503
BAB
33
Non Alcoholic Fatty Liver Disease
Ninung RD Kusumawati
33.2 Pendahuluan
Saat ini penyakit perlemakan hati non-alkohol (non alcoholic fatty liver disease/NAFLD)
merupakan kelainan hati yang sering dijumpai. Prevalensinya mencapai 25% dari seluruh
populasi dan prevalensinya meningkat menjadi sekitar 70 % pada penderita obesitas.
Jumlah penderita NAFLD diprediksi semakin meningkat seiring dengan kenaikan jumlah
penderita obesitas. 1
Penyakit perlemakan hati non alkohol (NAFLD) merupakan kumpulan gangguan
yang ditandai dengan steatosis hati makrovesikular, fibrosis, dan penyakit hati stadium
akhir, dan muncul pada individu tanpa adanya hubungan dengan konsumsi alkohol.2,3,4
Simple steatosis menggambarkan akumulasi abnormal lemak di lebih dari 5% dari hepatosit,
tanpa bukti cedera hepatoseluler atau fibrosis. Pasien-pasien dengan simple steatosis dapat
melanjut menjadi non-alcohol steatohepatitis (NASH), suatu keadaan dimana steatosis
disertai dengan cedera hepatoselular dan peradangan, yang dapat memicu nekrosis hati,
fibrosis dan sirosis, yang kemudian akan meningkatkan terjadinya karsinoma hepatoselulea.5
NAFLD merupakan komponen dari suatu sindrom metabolik yang ditandai dengan
obesitas, hiperinsulinemia, resistensi insulin perifer, diabetes, hipertrigliseridemia, dan
hipertensi.6 NAFLD kini diketahui sebagai salah satu bentuk tersering penyakit hati
kronik di negara-negara berkembang dengan prevalensi diperkirakan mencapai 10-24%
dari seluruh populasi.7 Dari penelitian Arthur didapatkan data bahwa semua anak dengan
NAFLD menderita obesitas.8 Dari keseluruhan pasien dengan NAFLD, 5% akan berkembang
menjadi sirosis hepatis dalam waktu 7 tahun dan 1.7% meninggal karena sirosis hepatis.9
504
Buku Ajar Gastrohepatologi
33.3 Definisi
Penyakit perlemakan hati non alkohol atau non alcoholic fatty liver disease (NAFLD)
didefinisikan sebagai deposisi atau timbunan lemak di hati yang berhubungan dengan
resistensi insulin dimana pada individu yang rentan dapat berhubungan dengan kerusakan
hepatoselular oksidatif, inflamasi dan aktivasi fibrinogenesis. Sehingga dikatakan bahwa
spektrum klinis-patologis NAFLD dimulai dari steatohepatitis (NASH) sampai sirosis dan
penyakit hati stadium akhir yang ditandai dengan steatosis hati makrovesikular, fibrosis,
dan muncul pada individu tanpa adanya hubungan dengan konsumsi alkohol.2,3,4,10,11
Pustaka lain menyebutkan bahwa definisi NAFLD memerlukan adanya bukti steatosis liver
baik secara pencitraan maupun secara histologi dan tidak ditemukan sebab lain untuk
akumulasi lemak dalam liver seperti konsumsi alkohol, obat-obat steatogenik atau kelainan
heriditer.12
505
Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease
33.5 Skrining
Sama seperti penyakit hati kronis yang lain, NAFLD sering asimptomatik. NAFLD sering
ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan penunjang baik laboratorium
maupun radiologi untuk penyakit lain. Skrining untuk NAFLD sebaiknya dilakukan,
mengingat bila diketahui dan dilakukan intervensi dini, maka progresifitas NAFLD
menjadi penyakit hati yang irreversible dapat dicegah. Diagnosis NAFLD harus secara aktif
dipertimbangkan pada seluruh anak > 10 tahun dengan overweight atau obesitas, khususnya
yang disertai hipertensi, hepatomegali, acanthosis nigrans, resistensi insulin dan diabetes
mellitus tipe II. 14,15
506
Buku Ajar Gastrohepatologi
yang berlebihan atau munculnya masalah kesehatan lain yang meningkatkan risiko
NAFLD, seperti diabetes tipe 2 atau OSA. [Strength 2, Evidence C]
33.6 Diagnosis
Ada 3 jalur besar yang bisa dipikirkan saat secara klinis muncul kecurigaan akan NAFLD
(Gambar 33.6.1). Pasien yang didiagnosis NAFLD pada awalnya dapat muncul dengan
enzim hati yang abnormal atau hasil penunjang radiologis yang abnormal pada saat
dilakukan pemeriksaan untuk menegakkan kelainan lain.14
Pada praktek klinis, NAFLD biasanya dicurigai berdasarkan pada temuan adanya
peningkatan enzim transaminase dan atau temuan bright liver pada pemeriksaan USG
yang dijumpai pada anak yang tampak sehat dengan overweight (BMI antara persentil 85
dan 94) atau anak dengan obesitas (BMI ≥ 95th persentil). Prosedur diagnostik yang tersedia
meliputi temuan klinis, test laboratorium, dan pemeriksaan penunjang radiologis.15
NAFLD adalah suatu diagnosis eksklusi dimana diperlukan adanya steatosis
hepatis dengan tanpa ditemukannya penyebab lain dari steatosis hepatis selain NAFLD.
9
Mengevaluasi penyebab kenaikan kronis enzim hati untuk menegakkan 2 01 diagnosis NAFLD
t
sangat penting karena prosedur ini akan mengeksklusi penyebab
Mare lain penyakit hati
yang mungkin memerlukan tatalaksana spesifik yang berbeda 9 dengan NAFLD. Sampai
ditemukannya metode yang spesifik untuk NAFLD, a tro NAFLD masih merupakan
smaka
G
diagnosis eksklusi.13 p at
r a
tuk
Biopsi hati adalah standar untuk nmenentukan diagnosis dan tingkat keparahan
o u
NAFLD, termasuk adanya NASH, dan r
st mengeliminasi kemungkinan penyebab lain dari
kelainan hati. Biopsi hati memiliki r Gaketerbatasan dalam penentuan staging NSFLD karena
ja
u A bagian hati yang sulit diwakili oleh sebagian kecil sampel
keberagaman penyakit di kseluruh
u
yang diambil pada saat
i l e Bbiopsi. Sampel yang adekuat (≥ 2 cm) menurunkan risiko kesalahan
F tidak menutup kemungkinan adanya misklasifikasi. Liver biopsi
klasifikasi akan tetapi
merupakan prosedur yang aman pada anak-anak termasuk pada anak dengan overweight
atau obesitas. Keuntungan biopsi hati diantaranya adalah dapat mengidentifikasi penyakit
yang lebih berat dan progresif.13
Untuk menentukan derajat fibrosis pada NAFLD digunakan histologi hati dengan
menggunakan skala semi kuantitatif (0-4). Anak-anak dengan NAFLD dapat menderita
fibrosis tanpa menderita NASH. Secara umum, tanda dan gejala fibrosis yang parah dan
sirosis dapat berupa fatig, splenomegali, trombositopenia, rasio AST/ALT >1, spider
angiomata dan eritema palmaris. Sirosis dekompensasi dapat ditandai dengan abnormal
bruishing, pecahnya varises, asites, ikterik, pruritus, dan ensefalopati. Namun demikian
tanda dan gejala yang jelas dari sirosis sangat jarang ditemukan pada anak dengan NAFLD
dan NASH.13
Rekomendasi NAPSGHAN 13
1. Saat mengevaluasi anak yang dicurigai menderita NAFLD, direkomendasikan untuk
mengeksklusi etiologi yang mungkin menjadi penyebab peningkatan ALT dan atau
507
Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease
9
01
Gambar 33.6.1. Investigasi pasien dengan NAFLDr14et 2
9 Ma
ro
G ast
steatosis hepatis dan mencari kemungkinan at adanya penyakit hati kronis yang lain.
r ap
[Strength 1, Evidence A] tuk
ndigunakan
2. Biopsi hati dipertimbangkan untuk u sebagai assessment NAFLD pada anak-
ro
anak yang berisiko tinggi G ast
menderita NASH dan atau Fibrosis berat. Tanda klinis yang
A jar
potensial untuk mengidentifikasi peningkatan risiko fibrosis meliputi nilai ALT yang
u
ksplenomegali,
tinggi (>80 U/L), Bu dan rasio AST/ALT >1. Faktor risiko klinis untuk
i le
NASH danFfibrosis berat meliputi panhypopituitarism dan diabetes tipe 2. [Strength 1,
Evidence B]
3. Penggunaan USG tidak direkomendasikan untuk penentuan steatosis berkait kurangnya
spesifitas dan sentivitas USG. USG dapat digunakan untuk menentukan penyakit hati
lain seperti massa, penyakit kandung empedu, perubahan yang berkait dengan hipertensi
portal, dll. [Strength 1, Evidence B]
4. Penggunaan CT-scan tidak direkomendasikan untuk menentukan steatosis berkait
risiko radiasi. [Strength 1, Evidence B]
508
Buku Ajar Gastrohepatologi
ALAT DIAGNOSTIK
Kecurigaan klinis tinggi
1 2 3 4
Gambaran klinis Biomarker serum Biomarker serum Biomarker serum
• Kelebihan BB/obesitas • Transaminase ALT, AST • USG abdomen • Inflamasi
• Hipertensi (penyakit • Bilirubin total • MRI • Fibrosis
kardiovaskular) • Penanda proinflamasi • Computerised tomography • Infiltrasi selular
• Resistensi insulin (DM • Penanda profibrogenik • Elastografi transien
tipe 2) • Sitokin
• > 3 tahun • Penanda apoptosis
• Riwayat keluarga hepatosit
dengan NAFLD • Profil lipid (trigliserida,
• Hepatomegali asam lemak bebas,
• Acanthosis nigricans kolesterol)
• Autoantibodi serum
Gambar 33.6.2 Alat diagnostik untuk anak dan remaja dengan NAFLD5
kasus pediatrik NAFLD karena lesi steatosis hati kurang menyebar dan 9 ditandai dengan
2 01
perubahan histopatologi yang kurang jelas.5,10,17,18 re t
Peningkatan kadar berbagai biomarker telah diketahui 9 Ma pasien dengan NAFLD,
pada
ro apolipoprotein A1, bilirubin
termasuk AST dan ALT, fragmen sitokeratin 18 (CK-18),
G ast
total, asam hyaluronic, C-reaktif protein, fibroblast at
r ap growth factor-21, antagonis reseptor
interleukin 1, adiponektin, dan TNF. Namun, k sampai saat ini, belum ada biomarker yang
u ntu
dapat membedakan antara simple steatosis o dan NASH.5
a str
Aminotransferase (AST dan GALT) adalah biomarker serum yang paling sering dirujuk
A j ar
untuk mengetahui kerusakan u hati pada berbagai macam penyakit hati, termasuk NAFLD.
Pemeriksaan ini dapat B uk
diakses dengan mudah, biayanya rendah dan peningkatannya pada
e
Fil dengan diagnosis dan tingkat keparahan NAFLD pada dewasa.5,16,19,20,21
berbagai studi dikaitkan
Pada sebuah studi multisenter dengan sampel 176 anak, AST dan GGT dapat
memprediksi baik NAFLD maupun NASH tetapi kurang dapat membedakan secara
akurat dan andal kasus NASH dari steatosis sederhana.22 Namun, konsensus mengenai
nilai normal aminotransferase sampai saat ini belum ditentukan. Penelitian lain dari 502
subyek usia 18-64 tahun dengan NAFLD menunjukkan penurunan progresif ALT berjalan
linier seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan AST tetap stabil, hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan ALT pada usia anak mungkin kurang dapat digunakan sebagai alat
diagnosa dibanding pada dewasa.21 Hal penting yang harus diketahui adalah beberapa
studi telah melaporkan bahwa pada dua pertiga dari anak-anak dengan NASH tidak
didapatkan peningkatan serum ALT dan AST, bahkan pada penyakit yang parah.23-25 Nilai
AST dan ALT yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan adanya kerusakan hati yang
parah atau adanya fibrosis pada NAFLD anak. Ketika dijumpai nilai AST dan ALT yang
meningkat maka kecurigaan akan adanya kelainan hati harus ditingkatkan, terutama pada
anak dengan obesitas dan overweight dengan riwayat keluarga NAFLD, sehingga AST dan
ALT dapat digunakan sebagai alat skrining NAFLD.5
509
Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease
USG dikatakan merupakan alat yang efektif untuk mengidentifikasi steatosis hepatis
dan NASH ringan pada anak. Pada penderita NAFLD hati biasanya membesar dan tampak
echogenic atau bright, yang mengindikasikan adanya akumulasi lemak dalam parenkim hati.
Namun demikian USG tidak dapat menghitung peningkatan sesungguhnya dari steatosis
yang terjadi. Dan sensitivitas USG menurun secara signifikan pada kasus-kasus dimana
akumulasi lemak di hati < 30% pada individu dengan obesitas berat dan pada NASH
berat.19,26,27 USG juga tidak dapat membedakan antara steatosis fokal dan steatohepatitis.
Efektivitas USG juga sangat tergantung pada operator.5
Biopsi hati tetap merupakan baku emas untuk mendiagnosis NAFLD, membedakan
antara simpel steatosis dan NASH dan menentukan tingkat keparahan kerusakan hati,
inflamasi dan fibrosis.12,28 Biopsi juga dapat menyingkirkan kelainan hati yang lain, akan
tetapi biopsi hati merupakan prosedur yang invasif dengan risiko yang tentunya lebih
besar dibanding prosedur lain dan tidak cocok digunakan sebagai alat skrining, khususnya
pada anak-anak. Biopsi juga mahal dan kemungkinan kesalahan saat sampling juga ada,
dimana analisa histologi dengan sampel yang kecil tidak dapat mewakili keseluruhan liver.
Sehingga, bahkan hasil biopsi yang normal tidak dapat mengeksklusi NAFLD dan harus
selalu dipertimbangkan dalam hubungannya dengan gambaran klinis yang lebih luas.5
Guideline terbaru yang dipublikasikan oleh American Association 9 for the Study of Liver
Diseases (AASLD) merekomendasikan biopsi hati hanya dilakukan 2 01pada pasien di bawah
t
M are
10 tahun dengan riwayat keluarga dengan NAFLD, hepatosplenomegali, hasil laborat
o 9
yang abnormal, yang meliputi peningkatan transaminase,str resistensi insulin, tidak adanya
Ga
autoantibodi dan hasil yang inkonklusif dari tesatbiokimia untuk penyakit liver yang berat/
ap
progresif.12 kr
untu
ro
ast
33.7 Tata Laksana
Aja
rG
ku
Bu anak dengan NAFLD sampai saat ini merupakan tantangan. Hal
Tatalaksana efektife untuk
l
i
ini dikarenakanF kurangnya validasi biomarker non-invasif dan kurangnya pengetahuan
tentang perjalanan alamiah penyakit. Penelitian yang berkualitas tentang tatalaksana
NAFLD memerlukan penilaian histologis asessmen hati atau, minimal, pengukuran
kuantitatif non-invasif dari lemak hati dan / atau fibrosis dan pengukuran biokimia tentang
inflamasi hati (ALT). Penurunan ALT yang bermakna atau normalisasi juga dapat menjadi
pengganti pada uji coba pengobatan NAFLD, khususnya dalam studi fase awal, tapi kurang
akurat dibanding pemeriksaan histologi atau radiologi.13
Target terapi NAFLD adalah tercapainya regresi NAFLD, dimana hal ini didefinisikan
sebagai penurunan steatosis, inflamasi dan / atau fibrosis. Tujuan berikutnya adalah resolusi
NASH. Pada anak waktu pencapaian regresi ini tidak diketahui. Penurunan ALT dapat
digunakan sebagai penanda perbaikan histologi NAFLD.29,30 Pengukuran ALT pada 1 titik
kurang memiliki korelasi dengan fenotip NAFLD, penurunan nilai ALT 10 U/L lebih dari
96 minggu berhubungan dengan 1.28 odds ratio peningkatan keadaan histologi dan 1.37
odds rasio resolusi NASH.30
Tujuan lain dari terapi NAFLD adalah untuk mengurangi kelebihan adiposa dalam
rangka memperbaiki dislipidemia, resistensi insulin, tekanan darah tinggi dan adipositas
sentral, yang semuanya terkait erat dengan NAFLD, dan juga dengan Diabetes Mellitus
510
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tipe 2 (DMT2) dan risiko Cardio Vascular Disease (CVD). Pada anak-anak, komorbiditas
NAFLD (diabetes, CVD, dan hipertensi) merupakan pertimbangan penting dalam
tatalaksana NAFLD dalam rangka meningkatkan pencapaian klinis di masa depan.13
Rekomendasi13
1. Sampai saat ini penanda non invasif untuk peningkatan NAFLD belum didapatkan,
sehingga penurunan terus-menerus dari ALT dari baseline dapat digunakan sebagai
penanda respon terhadap pengobatan, khususnya untuk jangka waktu ≤ 1 tahun. [Strength
2, Evidence C]
2. Penilaian derajat fibrosis dari waktu ke waktu merupakan penanda yang dapat diterima
sebagai penilaian hasil pengobatan pada anak-anak selama periode waktu yang lebih
lama (≥ 2 tahun) dimana cara ini membutuhkan biopsi hati untuk menentukan derajat
fibrosis. [Strength 2, Evidence C]
Saat ini intervensi perubahan pola makan dan gaya hidup merupakan terapi utama
untuk pediatric NAFLD karena eratnya hubungan antara NAFLD dengan berat badan lebih
dan obesitas.13 Pendekatan perubahan gaya hidup multidisiplin intensitas sedang hingga
tinggi (> 25 jam kontak selama lebih dari 6 bulan) telah terbukti paling efektif dalam
9
penatalaksanaan masalah berat badan anak.31 2 01
re t
Data yang tersedia tidak mendukung keunggulan satu diet
9 Ma dibanding diet yang lain
untuk pengobatan NAFLD (misal: diet indeks glikemik trendah o dibandingkan diet rendah
sr
lemak). Dua percobaan RCT besar menunjukkan tbahwa Ga pengurangan minuman manis
dapat menurunkan adipositas pada anak-anakradengan pa NAFLD.32,33 Didapatkan manfaat
tu k
yang jelas dari intervensi diet dan aktivitas
o un fisik pada anak-anak dengan NAFLD, sehingga
r
Gast
perubahan diet dan aktivitas fisisk merupakan lini pertama teraapi NAFLD pada anak.13
Ajar
u
Rekomendasi13 Buk
i l e
1. Modifikasi gaya F hidup yang terdiri dari perbaikan pola makan dan peningkatan aktivitas
fisik direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk semua anak dengan
NAFLD. [Strength 1, Evidence B]
2. Menghindari minuman manis direkomendasikan sebagai strategi untuk mengurangi
adipositas. [Strength 1, Evidence A]
3. Meningkatkan aktivitas fisik intensitas sedang hingga tinggi dan membatasi waktu di
depan layar TV/monitor <2 jam per hari dianjurkan untuk semua anak termasuk anak
dengan NAFLD. [Strength 1, Evidence B]
511
Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease
dengan penurunan skor aktivitas NAFLD dan resolusi pada NASH yang lebih besar. Pada
dewasa pemberian Vitamin E dosis tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular dan kanker prostat yang akan meningkatkan angka mortalitas. Tapi hal ini
tidak dikonfirmasi oleh penelitian lain.42,43,44 Meskipun tidak ada risiko yang signifikan yang
diamati pada anak yang mendapatkan Vitamin E dosis tinggi, namun keuntungan maupun
risiko untuk penggunaan Vitamin E jangka panjang masih belum diketahui.13
Penelitian TONIC menemukan bahwa pemberian 500 mg metformin dua kali
sehari yang dikombinasi dengan perubahan gaya hidup tidak berbeda bermakna dalam
hal perbaikan ALT maupun skor NASH dibandingkan dengan placebo.29 Penelitian lain
menggunakan asam dokosaheksaenoat (docosahexaenoic acid/DHA) dan minyak ikan.
Pemberian DHA selama 6 bulan pada penelitian RCT terbatas pada anak dengan NAFLD
menunjukkan hasil yang tidak berbeda bermakna dengan plasebo dalam hal perbaikan
ALT.45
Probiotik (Lactobacillus GG dan VSL #3) telah diteliti dalam 2 penelitian kecil dengan
durasi pendek (2-4 bulan); kedua penelitian ini menggunakan pengukuran dengan USG.46,47
ALT secara signifikan menunjukkan peningkatan disbanding plasebo, dan temuan ini dapat
digunakan sebagai dasar untuk penelitian-penelitian di masa mendatang. Secara ringkas
dikatakan sampai saat ini belum ada obat atau suplemen yang menunjukkan 9 signifikansi
dalam tata laksana NAFLD pada anak.13 2 01
et
r
9 Ma
ro
Rekomendasi13 G ast
at
ap suplemen yang direkomendasikan untuk
1. Sampai saat ini belum didapatkan obat ratau
tu k
tatalaksana NAFLD karena tidak ada
o un obat dan atau suplemen yang nampak memberikan
tr
manfaat pada sebagian besaraskasus NAFLD. [Strength 2, Evidence C]
r G
Bariatrik atau operasija penurunan berat badan (weight loss surgery=WLS) dapat
A
menyebabkan penurunanu ku secara signifikan berat badan pada remaja yang sangat gemuk
B
(minimum BMIFi≥le35 kg/m2) dengan pengurangan BMI rata-rata sekitar 30% pada 1 tahun
pasca operasi setelah baik prosedur bypass lambung roux-en-y maupun vertical sleeve
gastrectomy pada penelitian kohort multisenter pada remaja.48
Rekomendasi14
1. Operasi bariatrik tidak dianjurkan sebagai terapi khusus untuk NAFLD dan tidak ada
data pada dewasa muda. Operasi bariatrik dapat dipertimbangkan untuk kasus tertentu
dengan BMI ≥ 35 kg/m2, dengan NAFLD non-sirosis dan komorbiditas serius lainnya
(misalnya DMT2, sleep apnea parah, idiopatik hipertensi intrakranial) yang cenderung
membaik dengan WLS. [Strength 1, Evidence B]
Pada anak-anak dengan NAFLD, diet dan olahraga dapat mengurangi steatosis, tetapi
tidak mempengaruhi degenerasi balloning, inflamasi dan fibrosis. Meskipun pada beberapa
penelitian menunjukkan terapi berbasis obat, seperti vitamin E dan metformin, dan suplemen
makanan, termasuk probiotik dan DHA, telah menunjukkan efek menguntungkan pada
degenerasi balloning, steatosis dan inflamasi, akan tetapi lesi fibrotik Nampak refrakter
terhadap pengobatan dan terapi jangka panjang anak dengan NASH tetap kurang baik. Diet
512
Buku Ajar Gastrohepatologi
dan aktivitas fisik memperbaiki steatosis dan peradangan hati pada anak dengan NAFLD,
tetapi tidak terbukti memberikan efek menguntungkan pada fibrosis. Tidak ada pengobatan
yang aman yang telah terbukti efektif pada fibrosis anak dengan NAFLD.49
Daftar Pustaka
1. Townsend SA, Newsome NP. Non-alcoholic fatty liver disease in obesitas 2016. British Medical
Bulletin, 2016, 1–14
2. Pagano C, Soardo G, Esposito W, Fallo F, Basan L, Donnini D, et all. Plasma adiponectin is
decreased in nonalcoholic fatty liver disease.Eur J Endocrinol 2005;152:113-118
3. Zou Chun C, Liang L, Hong F, Feng Fu J and Yan Zhou Z. Serum adiponectin resisten levels and
non-alcoholic fatty liver disease in obese children. Endocrine Journal 2005;52:519-524
4. Mathur P, Das MK, Arora NK. Non-Alcoholic Fatty Liver Disease and Childhood Obesity.
Indian J Pediatr 2007; 74 (4) : 401-407
5. Temple JL, Cordero P, L. Jiawei, Nguyen V, Oben JA. Guide to Non-Alcoholic Fatty Liver Disease
in Childhood and Adolescence .Int. J. Mol. Sci. 2016, 17, 947
6. Kim SG, Kim YH, Seo JA, Lee KW, Oh JH, Kim NH, et all. Relationship between serum
adiponectin concentration, pulse wave velocity and nonalcoholic fatty liver disease. Eur J
Endocrinol 2005; 152: 225-231
7. Sey Victor A, MD. Nonalcoholic fatty liver disease : Epidemiology and 19
0diagnosis. Hepatology
e t 2
2003;37:917-923 r
8. Day PC and Daly AK. NASH is a genetically determined disease. 9 MaDalam: Nicoll D, McPhee SJ,
ro
Pignone M, Detmer WM dan Chou TM, penyunting. Pocket
G ast guide to diagnostic test. McGraw-
Hill International 1st Edition;2001.h.66-73 at
r apA, Yamaguchi H, et all. Decreased serum levels
9. Daimon M, Oizumi T, Saitoh T, Kameda W, Hirata k
u ntu to type 2 diabetes in the Japanese population.
of adiponectin are risk factor for the progresion
Diabetes Care 2003; 26: 2015-2020astr
o
G
jar A, McKiernan P, Baumann U, Durmaz O,Lacaille F, McLin V,
10. Vajro P, Lenta S, Socha P, Dhawan
A
u
Nobili V. Diagnosis of Nonalcoholic Fatty Liver Disease in Children and Adolescents: Position
Paper of the ESPGHAN BukHepatology Committee. JPGN 2012;54:700-713
i le
11. Dongiovanni P,F Anstee QM, Valenti L. Genetic Predisposition in NAFLD and NASH:
Impact on Severity of Liver Disease and Response to Treatment.Current Pharmaceutical
Design2013;19:5219-38
12. Chalasani N, Younossi Z, Lavine JE, Diehl AM, Brunt EM, Cusi K, Charlton M, Sanyal AJ. The
Diagnosis and Management of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease: Practice Guideline by the
American Association for the Study of Liver Diseases, American College of Gastroenterology,
and the American Gastroenterological Association. Hepatology 2012;55:2005-23
13. Vos MB, Abrams SH, Barlow SE, Caprio S, Daniels SR, Kohli R, et all. NASPGHAN Clinical
Practice Guideline for the Diagnosis and Treatment of Nonalcoholic Fatty Liver Disease in
Children
14. Patel V, Sanyal AJ, Sterling R. Clinical Presentation and Patient Evaluation in Nonalcoholic Fatty
Liver Disease. Clin Liver Dis. 2015
15. Clemente MG, Mandato C, Poeta M, Vajro P. Pediatric non-alcoholic fatty liver disease:
Recent solutions, unresolved issues, and future research directions. World J Gastroenterol 2016
September 28; 22(36): 8078-8093
16. Ratziu V, Bellentani S, Cortez-Pinto H, Day C, Marchesini G. A position statement on NAFLD/
NASH based on the EASL 2009 special conference. J. Hepatol. 2010, 53, 372–384.
17. Chalasani N, Younossi Z, Lavine J.E, Diehl A.M, Brunt E.M, Cusi K, Charlton M, Sanyal A.J.
The diagnosis and management of non-alcoholic fatty liver disease: Practice guideline by the
513
Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease
American association for the study of liver diseases, American college of gastroenterology, and
the American gastroenterological association. Am. J. Gastroenterol. 2012, 107, 811–826.
18. Wu S, Tu R, Liu G, Huang L, Guan Y, Zheng E. Focal fatty sparing usually does not arise in preexisting
nonalcoholic diffuse homogeneous fatty liver. J. Ultrasound Med. 2014, 33, 1447–1452.
19. Mencin AA, Lavine J.E. Advances in pediatric nonalcoholic fatty liver disease. Pediatr. Clin. N.
Am. 2011, 58, 1375–1392.
20. Lerret SM, Garcia-Rodriguez L, Skelton J, Biank V, Kilway D, Telega G. Predictors of nonalcoholic
steatohepatitis in obese children. Gastroenterol. Nurs. 2011, 34, 434–437.
21. Goh GB, Pagadala MR, Dasarathy J, Unalp-Arida A, Pai RK, Yerian L, Khiyami A,
Sourianarayanane A, Sargent R, Hawkins C, et al. Age impacts ability of aspartate-alanine
aminotransferase ratio to predict advanced fibrosis in nonalcoholic fatty liver disease. Dig. Dis.
Sci. 2015, 60, 1825–1831
22. Patton HM, Lavine JE, van Natta ML, Schwimmer J.B, Kleiner D, Molleston J, Nonalcoholic
Steatohepatitis Clinical Research Network. Clinical correlates of histopathology in pediatric
nonalcoholic steatohepatitis. Gastroenterology 2008, 135, 1961–1971
23. Fracanzani AL, Valenti L, Bugianesi E, Andreoletti M, Colli A, Vanni E, Bertelli C, Fatta E,
Bignamini D, Marchesini G, et al. Risk of severe liver disease in nonalcoholic fatty liver disease
with normal aminotransferase levels: A role for insulin resistance and diabetes. Hepatology 2008,
48, 792–798.
24. Mofrad P, Contos MJ, Haque M, Sargeant C, Fisher RA, Luketic VA, Sterling RK, Shiffman
9
2 01
ML, Stravitz RT, Sanyal AJ. Clinical and histologic spectrum of nonalcoholic fatty liver disease
associated with normal ALT values. Hepatology 2003, 37, 1286–1292. re t
25. Vernon G, Baranova A, Younossi ZM. Systematic review: 9 MaThe epidemiology and natural
ro steatohepatitis in adults. Aliment.
ast
history of non-alcoholic fatty liver disease and non-alcoholic
G
Pharmacol. Ther. 2011, 34, 274–285. at
r ap H, Aigner K, Browne A, Holterman M .
26. Holterman AX, Guzman G, Fantuzzi G, k Wang
u ntu obese adolescent and adult patients. Obesity 2013,
Nonalcoholic fatty liver disease in severely
ro
21, 591–597.
G ast
27. Yilmaz Y, Ergelen R, AkinjaH, r Imeryuz N. Noninvasive detection of hepatic steatosis in patients
u
without ultrasonographic A evidence of fatty liver using the controlled attenuation parameter
B uk elastography. Eur. J. Gastroenterol. Hepatol. 2013, 25, 1330–1334.
evaluated withltransient
e
28. Fi L, Kohli R, Xanthakos S, Angulo P, Ling S, Lopez R, Christine CK, Feldstein
Mansoor S, Yerian
AE, Alkhouri N. The evaluation of hepatic fibrosis scores in children with nonalcoholic fatty
liver disease. Dig. Dis. Sci. 2015, 60, 1440–1447
29. Lavine JE, Schwimmer JB, Van Natta ML, Molleston JP, Murray KF, Rosenthal P, et al. Effect
of vitamin E or metformin for treatment of nonalcoholic fatty liver disease in children and
adolescents: the TONIC randomized controlled trial. JAMA. 2011;305(16):1659-68.
30. Vuppalanchi R, Jain AK, Deppe R, Yates K, Comerford M, Masuoka HC, et al. Relationship
between changes in serum levels of keratin 18 and changes in liver histology in children and
adults with nonalcoholic fatty liver disease. Clin Gastroenterol Hepatol. 2014;12(12):2121-30.
e1-2.
31. Force USPST, Barton M. Screening for obesity in children and adolescents: US Preventive
Services Task Force recommendation statement. Pediatrics. 2010;125(2):361-7.
32. de Ruyter JC, Olthof MR, Seidell JC, Katan MB. A trial of sugar-free or sugar-sweetened
beverages and body weight in children. N Engl J Med. 2012;367(15):1397-406.
101.
33. Ebbeling CB, Feldman HA, Chomitz VR, Antonelli TA, Gortmaker SL, Osganian SK, et al. A
randomized trial of sugar-sweetened beverages and adolescent body weight. N Engl J Med.
2012;367(15):1407-16.
514
Buku Ajar Gastrohepatologi
34. Schwimmer JB, Middleton MS, Deutsch R, Lavine JE. A phase 2 clinical trial of metformin as a
treatment for non-diabetic paediatric non-alcoholic steatohepatitis. Aliment Pharmacol Ther.
2005;21(7):871-9. 104.
35. Nadeau KJ, Ehlers LB, Zeitler PS, Love-Osborne K. Treatment of non-alcoholic fatty liver disease
with metformin versus lifestyle intervention in insulin-resistant adolescents. Pediatr Diabetes.
2009;10(1):5-13.
36. Freemark M. Liver dysfunction in paediatric obesity: a randomized, controlled trial of
metformin. Acta Paediatr. 2007;96(9):1326-32. 106. Nobili V, Manco M, Ciampalini P, Alisi A,
Devito R, Bugianesi E, et al.
37. Metformin use in children with nonalcoholic fatty liver disease: an open-label, 24-month,
observational pilot study. Clin Ther. 2008;30(6):1168-76.
38. Lavine JE. Vitamin E treatment of nonalcoholic steatohepatitis in children: a pilot study. J
Pediatr. 2000;136(6):734-8. 108.
39. Vajro P, Mandato C, Franzese A, Ciccimarra E, Lucariello S, Savoia M, et al. Vitamin E treatment
in pediatric obesity-related liver disease: a randomized study. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2004;38(1):48-55.
40. Nobili V, Manco M, Devito R, Di Ciommo V, Comparcola D, Sartorelli MR, et al. Lifestyle
intervention and antioxidant therapy in children with nonalcoholic fatty liver disease: a
randomized, controlled trial. Hepatology. 2008;48(1):119-28. 110.
41. Akcam M, Boyaci A, Pirgon O, Kaya S, Uysal S, Dundar BN. Therapeutic effect of metformin and
9
01
vitamin E versus prescriptive diet in obese adolescents with fatty liver. 2International journal for
re t
Ma 406.
vitamin and nutrition research Internationale Zeitschrift fur Vitamin- und Ernahrungsforschung
9
Journal international de vitaminologie et de nutrition. 2011;81(6):398-
ro
ast meta-analyses, and trial sequential
42. Bjelakovic G, Nikolova D, Gluud C. Meta-regression analyses,
G
at
analyses of the effects of supplementation with beta-carotene, vitamin A, and vitamin E singly
r ap do we have evidence for lack of harm? PLoS
k
or in different combinations on all-cause mortality:
One. 2013;8(9):e74558. u ntu
43. Bjelakovic G, Nikolova D, GluudasLL, troSimonetti RG, Gluud C. Antioxidant supplements for
G
A jar
prevention of mortality in healthy participants and patients with various diseases. Cochrane
u
Database Syst Rev. 2012;3:Cd007176. 113.
44. Gerss J, Kopcke W. Bukquestionable association of vitamin E supplementation and mortality
The
e
Fil of different meta-analytic approaches. Cellular and molecular biology
inconsistent results
(Noisy-le-Grand, France). 2009;55 Suppl:Ol1111-20.
45. Nobili V, Bedogni G, Alisi A, Pietrobattista A, Rise P, Galli C, et al. Docosahexaenoic
acid supplementation decreases liver fat content in children with non-alcoholic fatty liver
disease: double-blind randomised controlled clinical trial. Archives of disease in childhood.
2011;96(4):350-3.
46. Alisi A, Bedogni G, Baviera G, Giorgio V, Porro E, Paris C, et al. Randomised clinical trial:
The beneficial effects of VSL#3 in obese children with non-alcoholic steatohepatitis. Alimentary
pharmacology & therapeutics. 2014;39(11):1276-85. 122.
47. Vajro P, Mandato C, Licenziati MR, Franzese A, Vitale DF, Lenta S, et al. Effects of Lactobacillus
rhamnosus strain GG in pediatric obesity-related liver disease. Journal of pediatric
gastroenterology and nutrition. 2011;52(6):740-3.
48. Inge TH, Courcoulas AP, Jenkins TM, Michalsky MP, Helmrath MA, Brandt ML, et al. Weight
Loss and Health Status 3 Years after Bariatric Surgery in Adolescents. N Engl J Med. 2015.
49. Marchesin G, Day CP, Du- four JF, Canbay Aly, Nobili V, Ratziu V, et all. EASL-EASD-EASO
Clinical Practice Guidelines for the Management of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease Obes
Facts 2016;9:65–90
515
BAB
34
Penyakit Kandung Empedu pada Anak
Sjamsul Arief
34.2 Pendahuluan
Penyakit kandung empedu pada anak akhir-akhir ini banyak menarik perhatian para ahli
karena frekuensinya meningkat, ditandai dengan peningkatan angka kolesistektomi pada
anak.1-8 Glenn F melaporkan prevalensi kolelitiasis pada anak usia < 16 tahun sebesar 0.15%
dari 5037 pasien dengan diagnosis non malignant biliary tract disease.9 Antara tahun 1971-
2003 dilaporkan adanya peningkatan prevalensi penyakit kandung empedu dari 1,9 %
menjadi 4, 0 %.10 Yang termasuk di dalam penyakit kandung empedu pada anak adalah:
batu empedu, diskinesia kandung empedu, kolesistitis dan koledokolitiasis.
516
Buku Ajar Gastrohepatologi
Patofisiologi
Stadium awal pembentukan batu empedu adalah pengendapan bahan yang tidak larut
seperti kolesterol, pigmen empedu dan garam kalsium. Batu empedu diklasifikasi menjadi
tiga golongan berdasarkan kandungannya yaitu kolesterol, pigmen dan campuran kolesterol
dan pigmen. Batu empedu yang paling sering ditemukan adalah jenis campuran kolesterol
dan pigmen. Ketidakseimbangan kandungan bahan-bahan kolesterol, lesitin, dan garam
empedu merupakan penyebab utama terbentuknya batu empedu. Peningkatan kadar
kolesterol akan menyebabkan meningkatnya kristalisasi. Terbentuknya batu empedu pada
bayi berhubungan dengan faktor prematuritas, pemberian TPN, pembedahan abdomen
dan sepsis.15-17 Laporan penelitian sebelumnya menyebutkan pada masa remaja penyakit
517
Bab 34 Penyakit Kandung Empedu pada Anak
hemolitik merupakan faktor utama terbentukya batu empedu, namun data terakhir
menunjukkan bahwa obesitas, penggunaan kontrasepsi oral dan kehamilan menjadi faktor
risiko utama. Kecenderungan semakin meningkatnya prevalensi obesitas pada anak yang
didukung data dari NHANES tahun 2003-2014 sebesar 17,1%, tahun 1999-2000 sebesar
13,9% . Obesitas berat tahun 1976-2000 sebesar 0.8% menjadi 3,8% pada tahun 1999-2004
menyebabkan obesitas menjadi perhatian utama masalah kesehatan terkait penyakit batu
empedu.11-13, 18 Saat ini disimpulkan bahwa faktor risiko penyakit kandung empedu pada
anak menyerupai dewasa yaitu wanita, ras dan obesitas.19, 20
Batu Pigmen
Batu pigmen terbentuk terutama pada masa remaja dan berwarna abu-abu kehitaman.
Biasanya batu pigmen banyak dilaporkan pada kasus-kasus hemolitik, sirosis dan infeksi
saluran empedu.22,23
518
Buku Ajar Gastrohepatologi
Gejala Klinis
Pada sebagian besar kasus batu empedu gejalanya asimtomatis. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Batu empedu dapat menimbulkan gejala klinis
apabila disertai kolestasis, kolesisitis dan kolangitis. Gejala utama yang muncul adalah
kuning, nyeri abdomen, mual, muntah dan Murphis sign.20,23
Diagnosis
Ultrasonografi hati, saluran empedu dan kandung empedu mempunyai sensitivitas dan
spesifitas cukup tinggi untuk mendiagnosis batu empedu. Foto polos abdomen hanya dapat
melihat batu pigmen tetapi tidak bisa mendeteksi batu kolesterol dan batu radiolusen.20,23,25
Apabila sudah ditetapkan diagnosis batu empedu maka harus dicari penyakit yang mungkin
berhubungan seperti penyakit hemolitik pada keluarga, penyakit metabolisme, riwayat
ikterus, anemia, gejala penyakit hati kronis, diare kronis, berat badan yang menurun, gatal-
gatal pada kulit dan obesitas.
Penggunaan seftriakson yang sering merupakan penyebab farmakologis batu empedu.
Selain USG dapat pula dilakukan pemeriksaan darah rutin, Coombs test, G6PD, LFT,
amilase, lipase, Cu serum, tes keringat. 9
201
aret
Pengobatan o 9M
str
Pengobatan batu empedu dipengaruhi oleh beberapa Gafaktor seperti lokasi batu. Apabila
p at
batu terletak di duktus koledokus atau sekitarraujung kandung empedu maka seringkali
k
menyebabkan kolangitis, terhambatnya ualiran ntu empedu dan ikterus sehingga perlu segera
ro batu (kolesistektomi). Tindakan kolesistektomi
ast
dilakukan tindakan operasi pengambilan
G
pada anak untuk mengambilar batu merupakan adopsi dari metode yang dilakukan
pada orang dewasa. Terapi Aj bedah saat ini banyak dilakukan, namun hal ini masih
u non
u k
merupakan kontroversi.
i l e B Batu dengan diameter kurang dari 1 cm yang terapung tanpa
gejala klinis harus Fdiikuti dengan pemeriksaan penyakit-penyakit penyebab batu dan diberi
pengobatan. Batu dengan diameter beberapa mm, mengapung tanpa gejala klinis hanya
memerlukan monitoring setiap 6 bulan. Anak dengan batu empedu kurang dari 2 cm
perlu dievaluasi dengan USG untuk mengetahui resolusi dan hilangnya batu, bila diameter
> 2 cm kemungkinan hilang spontan kecil sehingga harus dilakukan pengobatan untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya keganasan kandung empedu setelah beberapa dekade
kemudian.19,20,23,26,27,28
Pengobatan Medikamentosa
Asam ursodeoksikolat dan asam kenodeksikolat berguna untuk pengobatan batu kolesterol.
Pemberian hidroksi urea dapat menurunkan frekuensi batu empedu pada penyakit
hemolitik. Extra corporeal shock wave litotrophy dapat digunakan pada batu empedu tanpa
gejala dan radiolusen.29,30
519
Bab 34 Penyakit Kandung Empedu pada Anak
34.5 Ringkasan
Penyakit kandung empedu pada anak sebagian besar asimtomatis. Faktor risiko utama batu
empedu antara lain penyakit hemolitik, obesitas, umur, gender, genetik, ras dan geografi.
Pemberian seftriakson yang terlalu sering dapat menjadi faktor risiko. Walaupun kedua
jenis kelamin pada anak dapat terkena batu empedu, tetapi mulai usia 9 pubertas risiko anak
2 01
perempuan menderita batu empedu meningkat dibanding laki-laki. t Pada setiap penyakit
batu empedu perlu dicari kemungkinan penyebabnya Batu Mare
empedu dengan ukuran < 2 cm
o 9
r
st > 2 cm perlu diberikan pengobatan
perlu dilakukan evaluasi secara periodik, sedang bila
untuk mencegah komplikasi. t Ga
pa ra
tuk
o un
astr
Daftar Pustaka j arG
1. Miltenburg DM, Schaffer u A
R, III, Breslin T, Brandt ML.Changing indications for pedi-
Buk
atriccholecystectomy.Pediatrics.2000;105 (6):1250–1253.
i le
2. Friesen CA, FRoberts CC. Cholelithiasis.Clinical characteristics in children. Case analysis and
literature rreview. Clin Pediatr(Phila).1989;28(7):294–298.
3. Shafer AD, Ashley JV,Goodwin CD, Nangas VN Jr, Elliott D. A newlook at the multi- factorial
etiology of gall bladder disease in children. Am Surg.1983;49(6):314–319.
4. WesdorpI, Bosman D, de Graaff A , Aronson D, van der Blij F, Taminiau J . Clinical pre-sentations
and predisposing factors of cho-lelithiasis and sludge in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2000;31(4):411–417.
5. Lobe TE. Cholelithiasis and cholecystitisin children. Semin Pediatr Surg.2000;9(4): 170–176.
6. Calabrese C, Pearlman DM. Gallbladder disease below the age of 21 years.Surgery 1971; 70(3):
413–415.
7. Herzog D,BouchardG.High rate of complicated idiopathic gallstone disease in pediatric patients
of a North American ter-tiary care center. World J Gastroenterol. 2008;14(10):1544–1548.
8. Bogue CO, Murphy AJ, Gerstle JT, Moineddin R, Daneman A. Risk factors, complications,
and out comes of gallstones in children :a single-center review. J Pediatr Gastro- enteral
Nutr.2010;50(3):303–308.
9. Glenn F.25-year sex perience in the surgical treatment of 5037 patients with non- malignant
biliary tract disease. Surg Gynecol Obstet. 1959;109:591–606.
10. Al-Homaidhi HS, Sukerek H, Klein M, Tolia V. Biliary dyskinesia in children. Pediatr Surg. Int.
2002;18(5-6):357–360.
520
Buku Ajar Gastrohepatologi
11. Holcomb GW, Jr, O’NeillJA, Jr, Holcomb GW III. Cholecystitis, cholelithiasis and common
ductstenosis in children and adolescents. Ann Surg. 1980;191(5):626–635.
12. Kaechele V, Wabitsch M, Thiere D, et al. Prevalence of gallbladder stone disease in obese
children and adolescents: influence of the degree of obesity, sex, and pubertal development. J
Pediatr Gastroenterol Nutr 2006;42(1):66–70.
13. Koivusalo AI, Pakarinen MP, Sittiwet C, etal. Cholesterol, non cholesterolsterols and Bile acids
in paediatric gallstones. Dig Liver Dis. 2010;42(1):61–66.
14. Friesen CA, Roberts CC. Cholelithiasis. Clinical characteristics in children. Case analysis and
literature review. ClinPediatr (Phila) 1989;28(7):294-8.
15. Roslyn JJ, Berquist WE, PittHA, etal. Increased risk of gallstones in children receiving total
parenteral nutrition. Pediatrics 1983;71(5):784–789.
16. King DR, Ginn-Pease ME, Lloyd TV, Hoffman J, Hohenbrink K. Parenteral nutrition with
associated cholelithiasis: another iatrogenic disease of infants and children. J Pediatr Surg.1
987;22(7):593–596.
17. Debray D, Pariente D, Gauthier F, Myara A, Bernard O. Cholelithiasis in infancy: a study of 40
cases. J Pediatr 1993;122(3) :385–391.
18. Ogden CL,Carrol MD, Curtin L R, Mc Dowell MA, Tabak CJ, Flegal KM. Prevalence of
overweight and obesity in the United States, 1999-2004. JAMA.2006;295(13):1549–1555.
19. Angelico M, Gandin C, Canuzzi P, Bertasi S, Cantafora A, De Santis A, etal. Gallstones in cystic
fibrosis: a critical appraisal. Hepatology. 1991;14(5):768–75.[PubMed:1937382].
9
20. Stringer MD, Taylor DR, Soloway RD. Gallstone composition: are children 2 01 different? .J Pediatr.
t
2003;142(4):435–40. are
21. Mehta S, Lopez M, Chumpitazi BP, Mazzioti MV, Brandto ML, 9 M and Fisherman DS. Clinical
r
Characteristics and Risk Factors for Symptomatic Pediatric
G ast Gallbladder Disease. Pediatr 2012,
129: e 82 – 88. at
r ap A, Vacca M, Baldassarre G, et al. Impaired
22. Portincasa P, Moschetta A, Berardino M, Di-Ciaula k
gallbladder motility and delayed oro-cecal u ntutransit contribute to pigment gallstone and biliary
ro
sludge formationin beta-thalassemia
G ast major adults. World J Gastroenterol. 2004;10(16):2383–90.
A jar
23. Friesen CA, Roberts CC. Cholelithiasis. Clinical characteristics in children. Case analysis and
ku
literature review. Clin Pediatr
uAA,
(Phila) 1989;28(7):294-8[PubMed:2661103].
24. Karami H, Sahebpour e B Ghasemi M, Karami H, Dabirian M, Vahid-shahi K, et al. Hyaline
Fil
vascular-type Castleman’s disease in the hilum of liver: A case report. Cases J. 2010;3:74.doi:
10.1186/1757-1626-3-74.
25. Reif S, Sloven DG, Lebenthal E. Gallstones in children. Characterization by age, etiology, and
outcome. Am J Dis Child. 1991;145(1):105–8.
26. Bailey PV, Connors RH, Tracy TJ, Sotelo-Avila C, Lewis JE, Weber TR. Changing spectrum
of cholelithiasis and cholecystitis in infants and children. Am J Surg. 1989;158(6):585–8.
[PubMed:2511775].
27. Wyllie R, Hyams JS, Kay M. Pediatric gastrointestinal and liver disease. 5th ed. Philadelphia, PA:
Elsevier ;2016.
28. Vegunta RK, Raso M, Pollock J, Misra S, Wallace LJ, Torres AJ, et al. Bil-iary dyskinesia: the most
common indication for cholecystectomy in children. Surgery. 2005;138(4):726–31.
29. Carey MC, Small DM. The physical chemistry of cholesterol solubility in bile. Relationship of all
stone formation and dissolution in man. J Clin Invest. 1978;61(4):998–1026.
30. Mousavi SA, Karami H, Barzegarnejad A.The effect of extra corpo-real shock wave lithotripsyin
the management of idiopathic gall-stones in children. JIndian Assoc Pediatr Surg. 2014;19(4):218–
21.doi:
521
BAB
35
Sirosis Hati pada Anak
Bagus Setyoboedi
35.2 Pendahuluan
Sirosis adalah proses difus, ditandai dengan fibrosis dan regenerasi nodular, yang
menyebabkan disorganisasi arsitektur hati. Sirosis dapat diklasifikasikan dalam beberapa
cara, berdasarkan morfologi, histologi, etiologi dan kriteria klinis. Karena sirosis adalah
tahap akhir dari beberapa jenis penyakit hati yang progresif, klasifikasi etiologi sering
penting untuk perencanaan terapi.1
Sirosis merupakan penyebab utama rawat inap dan kematian karenapenyakit hati
pada penderita dewasa. Sementara kejadianpada anak masih belum banyak diketahui.
Kemajuan dalam teknologi diagnostik dan pengobatan, terutama operasi transplantasi
liver, memberikan kontribusi signifikan terhadap tata laksana penderita dengan sirosis
hati. Saat ini, mayoritas anak-anak yang didiagnosis dengan sirosis pada tahun-tahun
pertama kehidupannya dapat tumbuh dan berkembang mencapai usia dewasa.1,2
522
Buku Ajar Gastrohepatologi
Infeksi virus hepatitis dan alkohol merupakan penyebab paling umum sirosis hati pada
dewasa. Pada anak, atresia bilier dan sindroma kolestasis intrahepatik herediter merupakan
penyebab terbanyak penyakit hati kronis yang dapat berakhir dengan sirosis.2 Penyebab
paling umum dari sirosis pada tahun-tahun pertama kehidupan adalah atresia bilier dan
penyakit metabolik bawaan, sedangkan pada anak-anak, sirosis biasanya disebabkan oleh
penyakit hepatitis virus kronis dan autoimun. Penyebab 5-15% kasus sirosis pada anak
tidak dapat ditentukan, kondisi ini disebut kriptogenik. Sirosis kriptogenik pada anak
diduga disebabkan oleh perkembangan penyakit perlemakan hati atau sindrom metabolik
yang kompleks, seperti mitokondriopati.3
Tabel 35.2.1. Berbagai penyakit yang berpotensi mengakibatkan sirosis pada anak1
Obstruksi saluran empedu Obat dan racun:
• atresia bilier • nutrisi parenteral total
• kista duktus koledokus • isoniazid
• batu empedu • metotreksat
• stenosis saluran empedu • keracunan vitamin A
Kolestasis intrahepatik familial: Penyakit autoimun:
• sindroma Alagille • hepatitis autoimun
• defisiensi FIC1 (ATP8B1) • primary sclerosing cholangitis
9
• defisiensi BSEP (ABCB11) 2 01
• defisiensi MDR3 (ABCB4) aret
• gangguan sintesis asam empedu 9M
ro
Infeksi virus hepatotropik: ast
Perubahan vaskuler
• hepatitis B dan D • a t G Budd-Chiari
sindroma
• hepatitis C k r• appenyakit veno-oklusif
tu • ardiopati kongenital
• hepatitis E
o un
str • gagal jantung kongestif
Ga • perikarditis konstriktif
jar
uA
Penyakit genetik-metabolik yang diwariskan: Lainnya
• defisiensi alfa-1-antitripsin Buk • penyakit perlemakan hati
e
FiIVl
• glicogenosis tipe III dan • hepatitis neonatal
• galaktosemia • penyakit Zellweger
• fruktosemia
• tirosinemia tipe 1
• penyakit Wilson
• hepatopati mitokondrial
• porfiria kulit lanjut
• fibrosis kistik
• hemokromatosis
• penyakit Wolman
35.3 Patogenesis
Berbagai jenis cidera hati kronis dapat menyebabkan fibrosis. Penyakit hati akut yang
dapat sembuh sendiri (misalnya hepatitis A akut), tidak selalu merusak arsitektur hati
sehingga tidak menyebabkan fibrosis meskipun terjadi kerusakan hepatosit, bahkan pada
tipe fulminan. Pada tahap awal, fibrosis hati dapat mengalami regresi jika penyebabnya
bersifat reversibel dan dapat kita hilangkan. Setelah berlangsung lama (berbulan-bulan atau
523
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak
tahun) atau cedera kronis berulang, fibrosis akan menjadi permanen. Fibrosis hati dapat
berkembang lebih cepat, misalnya pada obstruksi saluran bilier.4
Dua hal utama yang mendasari patofisiologi sirosis hati, yaitu: fibrosis hati dan
regenerasi sel-sel hati. Fibrosis hati dapat terjadi akibat reaksi penyembuhan luka yang
berlebihan pada hati yang dipicu adanya suatu cedera kronis terutama jika ada komponen
inflamasi. Keadaan tersebut menyebabkan tertimbunnya jaringan ikat di hati akibat
produksi berlebih dan/ degradasi yang tidak sempurna dari matriks ekstraseluler. Regulator
pertumbuhan mendorong hiperplasia hepatoselular (menghasilkan nodul regenerasi)
dan pertumbuhan arteri (angiogenesis) sebagai respon terhadap adanya kerusakan dan
hilangnya sel-sel hati. Regulator pertumbuhan yang ada di hati meliputi sitokin dan
hepatic growth factor(epithelial growth factor, hepatocyte growth factor, transforming growth
factor-α, dan tumor necrosis factor). Insulin, glukagon, dan pola aliran darah intrahepatik
menentukan bagaimana dan di mana nodul berkembang.5
Mekanisme lain terjadinya fibrosis atau sirosis hati adalah melalui mekanisme
kolangiopati. Kolangiopati merupakan reaksi duktus (proliferasi sel-sel duktus empedu
atau kolangiosit) terhadap kerusakan atau sumbatan saluran bilier, yang diketahui
sebagai pemicu terjadinya fibrosis porta. Proliferasi intensif sel-sel epitel saluran empedu
(kolangiosit) ini berhubungan dengan perubahan signifikan pada 9sel-sel mesenkim di
1
sekitarnya. Awalnya terjadi pada fibroblas porta, diikuti aktifasi e 20
t hepatic stellate cell (HSC)
melalui invasi parenkim dan matriks ekstra seluler (ECM).M 5,6 ar
9
Dalam selubung fibrosa yang mengelilingi nodul stro terjadi pembentukan pembuluh
Ga
darah baru akibat proses angiogenesis. Pada p atperkembangannya, proses tersebut akan
a arteri hepatika dan vena porta dengan
membentuk “jembatan” yang menghubungkan
tu kr
n jalur sirkulasi intrahepatik. Interkoneksi yang
vena hepatika sebagai usaha memulihkan
trou
terjadi menyebabkan volume Gdarah as menjadi relatif rendah dan tekanan drainase vena
tinggi, sehingga tidak dapat j ar mengakomodasi darah dalam jumlah yang banyak seperti
A
biasa. Kondisi tersebut u kuberakibat terjadi peningkatan tekanan vena porta dan hipertensi
B
i le
porta.7 Tingkat Fperkembangan dari fibrosis menjadi sirosis dan morfologi sirosis bervariasi
pada setiap penderita. Variasi tersebut kemungkinan disebabkan tingkat paparan terhadap
stimulus/bahan berbahaya dan respon individu.8
35.4 Diagnosis
Riwayat Penyakit dan Manifestasi Klinis
Diagnosis sirosis hati dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan, meliputi :9
• Tes fungsi hati, tes koagulasi, darah lengkap, dan tes serologi virus penyebab
• Biopsi hati
• Identifikasi penyebab berdasarkan evaluasi klinis
Pendekatan umum
Penderita dengan manifestasi komplikasi seperti tertera pada Tabel 35.4.1 dapat dicurigai
kemungkinan adanya sirosis. Terutama pada manifestasi komplikasi hipertensi porta atau
asites perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan ada atau tidaknya
524
Buku Ajar Gastrohepatologi
sirosis. Sirosis dini harus dipertimbangkan pada penderita dengan gejala nonspesifik atau
kelainan laboratorium yang terdeteksi secara kebetulan saat pemeriksaan laboratorium,
khususnya pada penderita yang memiliki suatu kelainan atau mengkonsumsi obat yang
dapat menyebabkan fibrosis. Pemeriksaan yang dilakukan bertujuan untuk mendeteksi
sirosis dan setiap komplikasi yang terjadi, serta menentukan penyebabnya.10
Pemeriksaan Laboratorium
Uji diagnostik diawali dengan tes fungsi hati, tes koagulasi, darah lengkap, dan tes serologi
untuk virus penyebab (misalnya, hepatitis B dan C). Pemeriksaan laboratorium sendiri dapat
meningkatkan kecurigaan pada sirosis tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis.11 Biopsi
hati penting untuk menegakkan diagnosis, karena diagnosis yang jelas akan mengarah pada
manajemen dan hasil yang lebih baik.12
Hasil pemeriksaan laboratorium mungkin normal atau mendeteksi adanya kelainan
nonspesifik akibat komplikasi sirosis. Kadar ALT dan AST umumnyahanya sedikit
meningkat. Kadar alkali fosfatase dan γ-glutamil transpeptidase (GGT) biasanya normal,
jika meningkat menunjukkan adanya kolestasis atau obstruksi saluran empedu. Bilirubin
umumnya juga normal, tetapi bila meningkat menunjukkan proses sirosis sedang
berlangsung, terutama pada sirosis bilier. Penurunan serum albumin dan pemanjangan
525
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak
waktu protrombin (PT) mencerminkan terjadinya gangguan fungsi sintesis hati yang
merupakan tahap akhir penyakit. Serum globulin meningkat pada sirosis dan gangguan
hati yang disertai komponen inflamasi. Anemia umum terjadi dan biasanya normositik
dengan RDW tinggi. Penyebab anemia sering multifaktorial: mikrositik dari perdarahan
gastrointestinal kronis; makrositik karena kekurangan asam folat atau hemolisis dan
hipersplenisme.13
Diagnostik Radiologis
Pemeriksaan radiologis sangat tidak sensitif atau spesifik untuk diagnosis sirosis, tetapi
seringkali dapat mendeteksi komplikasi yang terjadi. Pada sirosis lanjut, ultrasonografi
menunjukkan gambaran nodular dan ukuran hati mengecil. Ultrasonografi juga dapat
mendeteksi adanya hipertensi porta dan asites.10
CT-scan juga dapat mendeteksi tekstur nodular, tetapi tidak lebih baik dari
ultrasonografi. Radio-nuklir hati menggunakan technetium-99m mungkin dapat
menunjukkan serapan tidak beraturan pada hati, serta meningkat limpa dan sumsum
tulang serapan. Sedangkan pemeriksaan MRI biayanya lebih mahal dan hanya memiliki
sedikit keuntungan.14
9
2 01
Endoskopi aret
9M
ro
Endoskopi merupakan metode terbaik untuk evaluasi
G ast keberadaan, ukuran dan perluasan
varises lambung, esofagus dan duodenum. Selain at itu, dapat juga membantu mendiagnosa
gastropati hipertensi (kongesti).9,15 Sebuah r ap prospektif temuan endoskopi pada anak-
studi
tuk
nbahwa
anak dengan atresia bilier menemukan o u adanya red cherry sign dan varises lambung
str perdarahan gastrointestinal.16 Kerusakan mukosa
berkaitan dengan peningkatan arisiko
G
lambung atau gastropati A jar
hipertensi ditandai dengan dilatasi atau ektasi pembuluh darah
di mukosa dan submukosa ku tanpa tanda-tanda inflamasi. Meskipun kriteria ini tidak selalu
u
le B
digunakan padaFianak-anak, studi temuan endoskopi pada 51 anak-anak dengan hipertensi
porta ditemukan kondisi tersebut pada 59% dari 28 anak dengan sirosis.17Endoskopi juga
penting untuk menyingkirkan penyebab lain dari perdarahan gastrointestinal, seperti ulkus
lambung atau duodenum dan Mallory-Weiss.18
Biopsi Hati
Jika hasil pemeriksaan klinis dan penunjang noninvasif masih meragukan, maka
dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi hati yang memiliki sensitifitas mendekati
100%. Non-alkohol steatohepatitis (NASH), yang sering dikaitkan dengan obesitas,
diabetes, atau sindrom metabolik, dapat terlihat pada USG scan tetapi memerlukan biopsi
hati untuk konfirmasi. Pada kasus sirosis yang ditandai dengan koagulopati, hipertensi
porta, asites, dan kegagalan hati, biopsi sebaiknya tidak dilakukan bila tidak merubah
tatalaksana penderita.19,20
526
Buku Ajar Gastrohepatologi
Tes Lain
Pengukuran HVPG orang dewasa merupakan metode terbaik untuk menilai keberadaan
dan tingkat keparahan hipertensi portal, dan dapat digunakan untuk memantau efektivitas
pengobatan.21 Namun, prosedur ini masih belum rutin dilakukan pada anak-anak.
CT-scan dan MRI perut perlu dilakukan untuk penilaian pre-transplantasi penderita
dengan atresia bilier. Modalitas pencitraan tersebut memungkinkan identifikasi anomali
kongenital atau perubahan akibat sirosis (pirau portosistemik, trombosis porta) yang
mungkin memerlukan modifikasi teknik bedah.22 Sebagian besar dari metode ini belum
diteliti secara ekstensif pada anak karena invasif. Pemeriksaan angiografi biasanya hanya
dilakukan pada anak sebagai bagian dari penilaian pra operasi portosystemic shunt atau
transplantasi hati.21
Identifikasi Penyebab
Identifikasi penyebab spesifik dari sirosis membutuhkan informasi klinis dari riwayat
penyakit, temuan pada pemeriksaan fisik, dan pemeriksan penunjang.10
Sirosis bilier akibat sumbatan saluran bilier (misalnya atresia bilier) merupakan
9
penyebab terbanyak sirosis pada usia dini (bayi). Umumnya didapatkan 2 01 riwayat ikterus
t
sejak tiga bulan pertama kehidupan, disertai adanya feses pucat,
Mare kencing gelap (seperti
teh), dan perut membesar (hepatomegali). Pada pemeriksaan o 9 laboratorium didapatkan
a
peningkatan bilirubin direk, alkali fosfatase, dan γ-glutamil str transpeptidase (GGT).23
G
at
Pemeriksan serologi virus hepatitis B rdan ap C penting, jika didapatkan adanya
k
paparan terhadap virus tersebut baik secara u ntu vertikal maupun horizontal. Deteksiantigen
o
permukaan hepatitis B (HBsAg) danstrantibodi IgG pada hepatitis B (anti-HBc IgG) dapat
G a
mengkonfirmasikan adanya hepatitis
jar B kronis, sedangkan identifikasi antibodi serum
A
hepatitis C (anti-HCV) dan
u ku HCV-RNA untuk hepatitis C.13
B
Jika penyebabileumum seperti sirosis bilier atau hepatitis virus tidak didapatkan,
F
dipertimbangkan untuk mencari penyebab lainnya yang lebih jarang terjadi:4
• Keberadaan antibodi antimitokondrial (AMA) pada 95% penderita sirosis empedu
primer (PBC).
• Sumbatandan dilatasi dari saluran empedu ekstrahepatik dan intrahepatikpada
pemeriksaan magnetic resonance cholangio-pancreatography (MRCP) menguatkan
dugaan kolangitis sclerosing primer (PSC).
• Peningkatan Fe dan transferin serum didukung hasil pemeriksaan genetik mengarah
pada hemochromatosis.
• Penurunan seruloplasmin serum dan peningkatan tembaga menunjukkan penyakit
Wilson.
• Hipergamaglobulinemia dan adanya autoantibodi (antinuclear antibodies/ANA or anti-
smooth antibodies/SMA) mengarah pada hepatitis autoimun.
• Alkohol merupakan kemungkinan penyebab pada penderita dengan riwayat
peminum alkohol dan didukung temuan klinis seperti ginekomastia, spider angiomas
(telangiektasia), atrofi testis.
527
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak
Pengobatan Suportif
19
Secara umum, pengobatan suportif meliputi penghentikan eobat-obatan 20 hepatotoksik,
art
dukungan nutrisi (termasuk vitamin tambahan), serta penanganan
9 M kelainan dasar dan
komplikasiyang terjadi. Dosis obat yang dimetabolisme s tro hati harus dikurangi. Penderita
dalam
dengan varises esophagus perlu diberikan terapiatuntuk Ga mencegah perdarahan.9,10
rap
Sebagian besar penderita mengalami
tu kanoreksia, yang mungkin juga diperburuk oleh
un
kompresi asites pada saluran cerna.o Penderita harus menerima cukup kalori dan protein
r
dalam makanan mereka, sehingga G ast penambahan suplemen nutrisi cair dan bubuk sering
bermanfaat bagi. Jarang A jar
didapatkan penderita yang mengalami intoleransi protein, baik
dalam bentuk ayam, u ku sayuran, dan suplemen gizi. Anjuran pemberian diet rendah
ikan,
B
i le
protein untuk Fmengantisipasi terjadinya ensefalopati hepatik mungkin menempatkan
penderita pada resiko semaki berkurangnya massa otot (wasting).10
Pemberian asam ursodeoksikolat (15 mg/kg, po, 1x/hari) dapat menghambat laju
kerusakan hati, memperpanjang hidup, dan menunda kebutuhan transplantasi hati. Sekitar
20% penderita akan jatuh pada kondisi lanjut yang tidak menunjukkan perbaikan biokimia
setelah ≥ 4 bulan, dan memerlukan transplantasi hati dalam beberapa tahun.10,23
Pruritus dapat dikontrol dengan kolestiramin 6-8 g, po, 2x/hari. Obat pengikat
anionik ini akan mengikat garam empedu dalam lumen usus, sehingga dapat memperburuk
terjadinya malabsorpsi lemak. Jika kolestiramin diberikan dalam jangka panjang, perlu
dipertimbangkan pemberian suplemen vitamin yang larut dalam lemak. Kolestiramin dapat
mengurangi penyerapan asam ursodeoksikolat, sehingga obat ini tidak boleh diberikan
secara bersamaan.Beberapa penderita dengan pruritus respon terhadap pemberian asam
ursodeoksikolat dan sinar ultraviolet, namun ada juga yang tidak menunjukkan respon
sehingga perlu dipertimbangkan pemberian rifampisin atau antagonis opioid (naltrekson).10
Penderita dengan malabsorpsi lemak akibat gangguan aliran empedu ke usus perlu
diberikan suplemen vitamin A, D, E dan K.9,10,23
528
Buku Ajar Gastrohepatologi
Pengobatan Antifibrosis
Pengobatan yang ditujukan untuk membalik proses fibrosis umumnya terlalu toksik
untuk penggunaan jangka panjang (misalnya kortikosteroid, penisilamin), dan tidak
terbukti efektif (misalnya, kolkisin). Beberapa pengobatan antifibrotik lainnya masih
dalam penelitian. Kombinasi beberapa obat antifibrotik mungkin akan terbukti lebih
menguntungkan.24
35.6 Komplikasi
Gangguan Nutrisi
Malnutrisi merupakan faktor prognostik yang penting, yang dapat mempengaruhi
perjalanan klinis penyakit hati kronis dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas
baik pada periode pra dan post-transplant.25 Kebutuhan energi yang tinggi pada anak dan
remaja, disertai gejala anoreksia dan mual dapat mempersulit penanganan gizi buruk.26
Anak dengan penyakit hati kronis kebutuhan gizinya meningkat. Penderita dengan
risiko kekurangan gizi memerlukan 20-80% lebih banyak kalori daripada anak sehat untuk
mencapai pertumbuhan normal.27 Rekomendasi ini bertujuan untuk01memastikan 9 bahwa
e t 2
anak memiliki energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ar mengatasi defisit
gizi yang disebabkan oleh kebutuhan energi meningkat akibat 9 Mpenyakit hati sirosishati dan
tro
mencegah katabolisme protein. 28
a s
atG
p
Asupan protein tidak perlu dibatasi bilaratidak ada hiperamonemia. Bayi dengan
k
sirosis disertai kolestasis memerlukan asupan
u ntu protein 2-3 g/kg BB/hari untuk mencapai
pertumbuhan yang normal dan sintesis ro endogen. Suplementasi protein hingga 4 g/kg
BB/hari umumnya aman dan diperlukan G ast untuk menjaga pertumbuhan yang normal dan
A j ar
menghindari katabolisme berlebihan.
u
27
B uk
Lipid merupakan e komponen makanan penting pada anak dengan penyakit hati, dan
harus diperhitungkanFil berkisar 30-35% dari total kalori dalam diet. Medium-chain triglycerides
(MCT) harus 30-50% dari asupan lemak, karena dapat diserap langsung oleh epitel usus
dan tidak memerlukan garam empedu untuk pencernaan dan penyerapan. Meskipun
suplemen MCT sangat penting untuk pengelolaan gizi anak dengan kolestasis, trigliserida
rantai panjang tidak boleh dihilangkan, untuk tetap menyediakan asam lemak esensial dan
penyerapan molekul larut lemak.25,26
Kekurangan vitamin larut lemak merupakan masalah umum, terutama pada anak-
anak dengan kolestasis. Oleh karena itu, kadarnya harus tetap dipantau.28 Nutrisi oral harus
selalu jadi pilihan utama, meskipun suplemen enteral atau parenteral mungkin diperlukan
jika tidak semua kebutuhan gizi dapat dipenuhi dari asupan oral. Suplementasi enteral
umumnya direkomendasikan ketika asupan oral kurang dari 60% dari kebutuhan energi
yang direkomendasikan atau dalam kasus-kasus gizi buruk.29
Infeksi
Penderita dengan sirosis sangat rentan terhadap infeksi, dan yang paling umum adalah
peritonitis bakterial spontan (SBP). Infeksi saluran kencing dan pernapasan juga umum
529
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak
Asites
Asites adalah komplikasi umum pada sirosis anak, terutama anak19dengan penyakit hati
20
terminal pada usia yang lebih muda dan umumnya dengan prognosis
ret yang buruk. Penderita
33
a
anak dengan peningkatan mendadak dalam asites atau episode
o 9 M baru dari retensi air perlu
r
ast untuk membedakan asites dari
dilakukan paracentesis.34 Analisis cairan asites berguna
G
hipertensi portal dengan penyebab lain. Gradien t antara albumin serum dan cairan asites
r pa
adihitung
(serum-ascites albumin gradient/SAAG) yang dengan mengurangkan konsentrasi
ntuk dapat mendiagnosa hipertensi portal dengan
albumin dari cairan asites dari serum albumin
u
tro g/dL. Uji amilase, sitologi, reaksi polimerase berantai
akurasi 97% jika lebih besar darias1,1
G
Ajar
(polymerase chain reaction/PCR) dan kultur bakteri/jamur juga harus dilakukan pada
ku
kasus dengan ketidakpastian diagnostik atau jika diduga asites pankreas, tumor ganas atau
Bu
tuberkulosis. Fil
35 e
Dalam kebanyakan kasus, asites akibat sirosis dapat diatasi pembatasan diet sodium
dan penggunaan diuretik. Namun, anak dengan diet rendah sodium harus dipantau secara
hati-hati, karena pembatasan diet tersebut sering membuat rasa tidak enak dan mengurangi
asupan makanan. Pembatasan cairan sangat dianjurkan dalam kasus hiponatremia dengan
kadar natrium serum di bawah 125 mEq/L. Jika diperlukan diuretik, spironolactone (1-6
mg / kg per hari) sebagai pilihan utama dan jika perlu dikombinasikan dengan loop diuretik
seperti furosemide (1-6 mg/kg/hari). Kombinasi dengan furosemide menurunkan risiko
hiperkalemia karena peningkatan ekskresi kalium. Diuretik tiazid dapat digunakan untuk
terapi pemeliharaan. Selama perawatan diuretik hingga penderita stabil, pemeriksaan
laboratorium harus sering dilakukan untuk memverifikasi elektrolit serum, kreatinin,
urea darah dan kadar natrium urin. Kehilangan cairan berlebih dapat menyebabkan
berkurangnya plasma dan kerusakan fungsi ginjal.18
Penderita dengan asites refrakter disertai gangguan pernapasan dapat diobati dengan
paracentesis dengan volume besar. Pengeluaran cairan asites bisa dilakukan hingga 100
mL/kg pada satu waktu dengan back-up infus albumin pasca-paracentesis (1 g/kg albumin
25%). Infus albumin dan furosemide dapat digunakan untuk mengobati penderita dengan
530
Buku Ajar Gastrohepatologi
albumin serum di bawah 2 mg / dL. Pada asites refrakter berat atau berulang, dapat dilakukan
transjugular intrahepatic portosystemic shunt / TIPS sebagai jembatan untuk transplantasi
hati. Namun, prosedur ini mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko gagal ginjal
dan ensefalopati.18
Penderita dengan asites harus menghindari beberapa obat, misalnya antibiotik
aminoglikosida dapat meningkatkan risiko gagal ginjal, dan anti-inflamasi non-steroid
menyebabkan risiko tinggi retensi natrium, hiponatremia dan gagal ginjal.35
9 M
SBP harus selalu dipertimbangkan pada anak dengan ro sirosis dan asites bila disertai
a st
dengan demam, sakit perut atau leukositosis. FaktorGrisiko SBP diantaranya adalah asites,
at
p
hipoalbuminemia, perdarahan gastrointestinal,raperawatan di pediatric intensive care unit/
k
PICU dan pemeriksaan endoskopi.37
u ntu
ro
Anak dengan SBP biasanya diobati
G ast dengan sefalosporin intravena generasi ketigaselama
A jar
14 hari. Sebagai pencegahan, antibiotik harus selalu digunakan selama prosedur invasif. Jika
SBP berulang, penggunaan uantibiotik profilaksis oral seperti kotrimoksazol, ciprofloksasin
Buk
atau norfloksasin dapatil e dipertimbangkan. 37
F
Ensefalopati Hepatik
Ensefalopati hepatik (hepatic encephalopathy/HE) adalah gangguan fungsi otak yang
disebabkan oleh insufisiensi hati dan/atau portosystemic shunt. Penyebab utama HE
adalah infeksi. Perdarahan gastrointestinal, dosis diuretik berlebihan, ketidakseimbangan
elektrolit dan konstipasi juga sering dikaitkan dengan kondisi ini. HE juga dapat disebabkan
oleh kelebihan asupan protein, obat anestesi dan penenang. Penderita dengan HE datang
dalam berbagai manifestasi neurologis dan psikiatris, mulai dari perubahan subklinis
hingga koma. Gejala awal HE pada anak kadang tidak nyata, diantaranya keterlambatan
perkembangan, kesulitan akademis, lesu atau gangguan pola tidur. Perubahan kepribadian,
gangguan intelektual, berkabut kesadaran (obtundation), pingsan dan koma mungkin juga
terjadi pada anak dengan HE.38
Diagnosis HE pada anak melibatkan indeks kecurigaan yang tinggi. HE ringan bahkan
lebih sulit untuk didiagnosa, mengingat kesulitan melakukan tes psikometri dan tidak
adanya pengukuran tervalidasi yang dapat digunakan. HE pada anak biasanya didiagnosis
berdasarkan gejala klinis. Tes psikometri yang mengevaluasi fungsi memori dan neuromotor
531
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak
Sindroma Hepatorenal
Sindroma hepatorenal merujuk pada penderita dengan sirosis yang menunjukkan penurunan
progresif fungsi ginjal. Ada dua jenis sindroma hepatorenal (hepatorenal syndrome/HRS),
yaitu: HRS Tipe 1 dikaitkan dengan gagal ginjal progresif cepat dan memiliki harapan hidup
yang sangat rendah (waktu hidup rata-rata hanya 2 minggu jika tidak diobati); HRS tipe 2
berhubungan dengan gagal ginjal progresif lambat dan memiliki prognosis yang lebih baik
532
Buku Ajar Gastrohepatologi
dari pada tipe 1. Anak-anak juga bisa menunjukkan perubahan dalam fungsi ginjal setelah
transplantasi hati, terutama karena pengobatan dengan inhibitor kalsineurin.35
Perubahan Hematologi
Pemeriksaan laboratorium koagulasi dasar (PT, APTT) yang digunakan untuk mengevaluasi
risiko perdarahan, mempunyai hubungan yang lemah dengan kejadian atau durasi
perdarahan setelah biopsi hati atau prosedur yang berpotensi menimbulkan perdarahan
lainnya. Namun demikian, penderita dengan kolestasis dan waktu protrombin memanjang
harus menerima suplemen vitamin K parenteral. Dosis yang dianjurkan untuk anak adalah
2-10 mg IV, 1x/hari selama 3 hari, atau 5-10 mg IM/minggu. Infus plasma segar beku/FFP
(5-10 mL/kg) dan krioglobulin dan/atau transfusi trombosit juga dapat digunakan sebagai
pengobatan untuk perdarahan atau profilaksis terhadap pendarahan selama prosedur
biopsi hati.43
Anemia kronis umum terjadi pada penderita dengan sirosis, dan kemungkinan
disebabkan oleh kehilangan darah, kekurangan zat besi dan kadar asam folat rendah akibat
retensi natrium dan air, dan hemolisis sekunder pada hipersplenisme.18
9
2 01
Karsinoma Hepatoseluler aret
9M
Karsinoma hepatoseluler (hepatocellular carcinoma/HCC)
a stro dapat terjadi pada penderita
dengan penyakit hati kronis. Pada penderita anak, HCC t G mungkin terjadi dari perkembangan
pa
penyakit kolestatik, metabolik, maupun virus. raPatogenesisnya kompleks dan melibatkan
tu k
baik faktor genetik maupun lingkungan. Gejala-gejala yang umum didapatkan adalah rasa
o un
tr
tidak nyaman di perut, distensi, dan skesulitan makan. Massa abdomen juga dapat dideteksi
r Ga
pada pemeriksaan fisik atau USG, disertai peningkatan kadar alpha-fetoprotein.44
Aja
ku
Penelitian di Italiaumenemukan HCC pada 2% dari 103 anak-anak dengan sirosis
e B
yang menjalani transplantasi hati primer. Meskipun muncul pada usia dini, prognosisnya
Fil
setelah transplantasi hati sangat baik dan tidak didapatkan kekambuhan.45 Kejadian HCC
dilaporkan pada anak dengan atresia bilier dan sindroma Alagille46, serta remaja dengan
hepatitis B atau C kronis.47,48 Anak-anak dengan sirosis apapun etiologinya harus menjalani
pemeriksaan USG perut dan pengukuran kadar alpha-fetoprotein setiap 6 bulan atau
setidaknya setiap tahun.44,49
533
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak
534
Buku Ajar Gastrohepatologi
Daftar Pustaka
1. Pinto RB, Schneider ACR, da Silveira TR. Cirrhosis in children and adolescents: An overview.
World J Hepatol. 2015; 7(3): 392-405.
2. Santos JL, Choquette M, Bezerra JA. Cholestatic liver disease in children. Curr Gastroenterol
Rep. 2010;12:30–39.
3. Molleston JP, Sokol RJ, Karnsakul W, Miethke A, Horslen S, Magee JC, Romero R, Squires
RH, Van Hove JL. Evaluation of the child with suspected mitochondrial liver disease. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2013;57:269–276.
4. Crawford JM. Liver and biliary tract. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, eds. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia, Pa.: Elsevier Saunders, 2005:877-938.
5. Kuntz E and Kuntz HD. 2006. Hepatology, Principles and Practice. Second edition. Springer
Medizin Verlag Heidelberg. p. 405-408.
6. Glaser SS, Gaudio E, Miller T. Cholangiosyte proliferation and liver fibrosis. Expert Rev Mol
Med 2009;11:e7.
7. Chen ML, Zeng QY, Huo JW, Yin XM, Li BP, Liu JX. Assessment of the hepatic microvascular
changes in liver cirrhosis by perfusion computed tomography. World J Gastroenterol 2009;
15(28): 3532-3537.
8. Blomley MJ, Lim AK, Harvey CJ, et al. Liver microbubble transit time compared with histology
and Child-Pugh score in diffuse liver disease: a cross sectional study. Gut 2003;52:1188–93.
9. Sherlock S.; Dooley J., editors. Diseases of the Liver and Biliary System. 011th 19 Edition. Blackwell
t 2
are
Science; Oxford, UK; Malden, MA: 2002.
10. Heidelbaugh JJ, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver9 M failure. Part I: Diagnosis and
ro
ast LB. Diagnosis and monitoring of
Evaluation. Am Fam Physician 2006;74:756-62, 781.
11. Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch DR, Koff aRS, t GSeeff
ap
hepatic injury. I. Performance characteristics ofrlaboratory tests. Clin Chem 2000;46:2027-2049.
12. Skelly MM, James PD, Ryder SD. Findingsnon tukliver biopsy to investigate abnormal liver function
o u J Hepatol 2001;35:195-199.
str
tests in the absence of diagnostic serology.
a
r G DR, Koff RS, Seeff LB. Diagnosis and monitoring of hepatic
13. Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch
jafor
injury. II. Recommendations A use of laboratory tests in screening, diagnosis, and monitoring.
u ku
Clin Chem 2000;46:2050-2068.
le BAyuso C, et al. MRI angiography is superior to helical CT for detection of
14. Burrel M, LlovetFiJM,
HCC prior to liver transplantation: an explant correlation. Hepatology 2003;38:1034–1042.
15. Whitington PF. Portal hypertension in children. Pediatr Ann. 1985;14:494–495, 498-499.
16. Duché M, Ducot B, Tournay E, Fabre M, Cohen J, Jacquemin E, Bernard O. Prognostic value
of endoscopy in children with biliary atresia at risk for early development of varices and
bleeding. Gastroenterology. 2010;139:1952–1960.
17. Aydoğan A, Güllüoğlu M, Onder SY, Gökçe S, Celtik C, Durmaz O. Portal gastropathy and
duodenopathy in children with extrahepatic and intrahepatic portal hypertension: endoscopic
diagnosis and histologic scoring. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011;52:612–616.
18. Hsu EK, Murray KF. Cirrhosis and chronic liver failure. In Suchy F. Liver disease in children. 4th
edition. Cambridge: Cambridge University Press; 2014. pp. 1–46.
19. Skelly MM, James PD, Ryder SD. Findings on liver biopsy to investigate abnormal liver function
tests in the absence of diagnostic serology. J Hepatol 2001;35:195-199.
20. Bravo AA, Sheth SG, Chopra S. Liver biopsy. N Engl J Med 2001;344:495–500.
21. Bari K, Garcia-Tsao G. Treatment of portal hypertension. World J Gastroenterol 2012;18:1166–
1175.
22. Miraglia R, Caruso S, Maruzzelli L, Spada M, Riva S, Sciveres M, Luca A. MDCT, MR and
interventional radiology in biliary atresia candidates for liver transplantation. World J
Radiol. 2011;3:215–223.
535
Bab 35 Sirosis Hati pada Anak
536
Buku Ajar Gastrohepatologi
42. Hoeper MM, Krowka MJ, Strassburg CP. Portopulmonary hypertension and hepatopulmonary
syndrome. Lancet. 2004;363:1461–1468.
43. Tripodi A, Mannucci PM. The coagulopathy of chronic liver disease. N Engl J Med. 2011;365:
147–156.
44. Walther A, Tiao G. Approach to pediatric hepatocellular carcinoma. Clin Liver Dis. 2013;2:
219–222.
45. Romano F, Stroppa P, Bravi M, Casotti V, Lucianetti A, Guizzetti M, Sonzogni A, Colledan M,
D’Antiga L. Favorable outcome of primary liver transplantation in children with cirrhosis and
hepatocellular carcinoma. Pediatr Transplant. 2011;15:573–579.
46. Bhadri VA, Stormon MO, Arbuckle S, Lam AH, Gaskin KJ, Shun A. Hepatocellular carcinoma
in children with Alagille syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;41:676–678.
47. Bortolotti F, Guido M, Bartolacci S, Cadrobbi P, Crivellaro C, Noventa F, Morsica G, Moriondo
M, Gatta A. Chronic hepatitis B in children after e antigen seroclearance: final report of a 29-
year longitudinal study. Hepatology. 2006;43:556–562.
48. Strickland DK, Jenkins JJ, Hudson MM. Hepatitis C infection and hepatocellular carcinoma
after treatment of childhood cancer. J Pediatr Hematol Oncol. 2001;23:527–529.
49. Mack CL, Gonzalez-Peralta RP, Gupta N, Leung D, Narkewicz MR, Roberts EA, Rosenthal
P, Schwarz KB. NASPGHAN practice guidelines: Diagnosis and management of hepatitis C
infection in infants, children, and adolescents. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2012;54:838–855.
50. Heidelbaugh JJ, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver failure. Part II: Complications and
9
treatment. Am Fam Physician 2006;74:765-74, 779. 2 01
t
re compared with histology
Ma Gut 2003;52:1188–93.
51. Blomley MJ, Lim AK, Harvey CJ, et al. Liver microbubble transit time
and Child-Pugh score in diffuse liver disease: a cross sectional
o 9study.
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
537
BAB
36
Asites Refrakter
Titis Widowati
36.2 Pendahuluan
Hingga saat ini asites masih menjadi masalah klinis yang penting pada anak dengan
penyakit hati kronis. Asites refrakter adalah kondisi yang jarang terjadi, yaitu hanya 5-10%
pada pasien sirosis yang dirawat di RS karena asites permagna dan tidak berespon dengan
diuretik atau mengalami komplikasi sehingga tidak dapat diberikan terapi diuretik dengan
dosis adekuat. Asites refrakter biasa dialami oleh penderita penyakit hati kronis dengan
retensi natrium urin yang berat sehingga prognosisnya buruk. Pasien yang mengalami
asites refrakter 50% nya berisiko mengalami kematian dalam 1 tahun pertama jika tidak
dilakukan transplantasi hati.1
36.3 Definisi
Asites adalah akumulasi cairan serous di rongga peritoneal.2,3 Kata asites berasal dari bahasa
Yunani “askites” dan “askos” yang mempunyai arti kantong, bladder atau belly. Asites
refrakter menurut kriteria International Ascites Club (IAC) didefinisikan sebagai asites
yang tidak dapat dimobilisasi atau mulai terjadinya kekambuhan asites (asites berulang)
setelah dilakukan large volume paracenthesis (LVP)dan dengan terapi pencegahan tidak
memberikan hasil yang memuaskan.4
538
Buku Ajar Gastrohepatologi
36.4 Etiologi
Penyebab asites bervariasi tergantung usia pasien:
1. Asites Fetal.
Walaupun pemeriksaan ultrasonografi antenatal sudah banyak dilakukan namun
laporan kasus adanya isolated fetal ascites jarang dilaporkan. Tampaknya asites fetal
sering menghilang spontan sehingga tidak berhubungan dengan penyakit kronis di
kemudian hari ataupun luaran klinis yang buruk. Infeksi sitomegalovirus (CMV)
merupakan salah satu infeksi kongenital yang paling sering menyebabkan asites fetal
dan penyakit hati. Penyakit-penyakit yang sering menyebabkan asites fetal dapat dilihat
pada Tabel 36.4.1.5
2. Asites Kongenital/ Asites Neonatal.
Asites neonatal seringkali disebabkan oleh penyakit-penyakit yang sama yang
menyebabkan fetal asites seperti dapat dilihat pada Tabel 36.4.2. Beberapa kasus
disebabkan oleh kondisi iatrogenik seperti ruptur bladder atau ekstravasasi parenteral
nutrisi melalui kateter femoral atau umbilikal.5
3. Asites pada usia anak-anak.
Asites yang paling sering terjadi pada usia anak-anak biasanya berhubungan dengan
19
20 pada Tabel 36.4.3.
penyakit hati kronis (sirosis atau hipertensi portal)2,5 seperti tertera
t
Mare
9
ro
ast
Tabel 36.4.1. Penyakit penyebab asites fetal5,6,7,8,9,10
G
Kelainan saluran cerna at
Chylous ascites
Peritonitis mekonium r ap jantung
Kelainan
k
Malrotasi usus
ntu Aritmia
Atresia usus halus atau kolon ou Gagal jantung
Intususepsi a str Kelainan kromosom
G
Volvulus
Ajar Trisomi
u Sindroma Turner
Fibrosis kistik Buk Neoplasma
l e
Atresia bilier
Malformasi vena portal
Fi Hematologik
Anemia hemolitik
Infeksi Hemokromatosis neonatus
Parvovirus Kelainan metabolik
Niemann-Pick tipe C
Sifilis Kelainan glikosilasi kongenital
Sitomegalovirus
Toksoplasmosis Penyakit Wolman
Hepatitis maternal akut Lysosomal storage disease
Kelainan genital/saluran kemih Lain-lain
Hidronefrosis Kekerasan pada ibu/janin
Penyakit ginjal polikistik Idiopatik
Obstruksi urin
Kista ovarium
Kloaka persisten
539
Bab 36 Asites Refrakter
540
Buku Ajar Gastrohepatologi
Berbagai penyebab asites di atas dapat menyebabkan asites refrakter bila memenuhi
kriteria diagnostik seperti tampak pada Tabel 36.6.3.
36.5 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya asites pada umumnya dibagi sebagai berikut:
Asites Sirosis
Asites biasanya merupakan komplikasi dari sirosis hati. Patofisiologi terbentuknya
asites terjadi melalui gabungan 3 proses yaitu hipertensi portal, vasodilatasi dan
hiperaldosteronisme. Berikut adalah beberapa teori yang mendasari terbentuknya asites
sirosis :3,5,11,12,13
1. The underfilling theory.
Awalnya terjadi akumulasi cairan di dalam vascular bed sistem splanknik akibat
hipertensi portal yang mengakibatkan menurunnya volume efektif sirkulasi darah.
Kondisi ini menstimulasi pelepasan renin plasma, aldosteron dan aktifitas 9 sistem saraf
2 01
simpatik sehingga menyebabkan terjadinya retensi natrium dan re t air.
2. The overflow theory. 9 Ma
ro adalah terjadinya retensi air
Teori ini menyebutkan bahwa awal timbulnya gangguan
G ast
dan natrium ginjal walaupun tidak ada volume at deplesi. Teori ini berkembang dari
r ap
pengertian bahwa pasien dengan sirosis kakan mengalami hipervolemia intravaskular
dibanding hipovolemia. u ntu
ro
ast hypothesis.:
3. The peripheral arterial vasodilation
G
Faktor utama pembentukan Ajar cairan asites adalah terjadinya vasodilatasi sistem
ku
splanknik.14 SirosisBumenyebabkan peningkatan resistensi intrahepatik ke aliran porta
i l e
yang menyebabkan F hipertensi porta dan shunting aliran darah ke sirkulasi sistemik.
Produksi lokal vasodilator terutama nitrat oksida akibat hipertensi porta menyebabkan
vasodilatasi splanknik dan perifer. Kondisi ini menyebabkan penurunan volume efektif
sirkulasi darah arteri. Penurunan yang progresif dari fungsi liver, hipertensi porta,
vasodilatasi arteri splanknik dan penurunan tekanan onkotik plasma akibat rendahnya
serum albumin bersama-sama berkontribusi dalam pembentukan asites. Perubahan
dalam hemodinamik ginjal dan fungsi tubular berperan dalam pembentukan asites
refrakter dan sindrom hepatorenal.
Ketiga teori tersebut tidak terjadi sendiri-sendiri, namun pada tingkat tertentu secara
fisiologis saling terkait.13
Asites Non-sirosis
1. Karsinomatosis peritoneal.
Terjadinya asites akibat sekresi bahan protein dari sel-sel ganas yang mempengaruhi
tekanan osmotik sehingga menyebabkan cairan berpindah ke rongga peritoneum.5
2. Asites tuberkulosa atau asites dari proses inflamasi lain/
541
Bab 36 Asites Refrakter
Terjadinya asites melalui sekresi cairan protein dari proses inflamasi yang menyebabkan
perpindahan cairan ke rongga peritoneum.5
3. Gagal jantung dan sindrom nefrotik.
Menyebabkan penurunan volume darah arteri efektif (effective arterial blood volume/
EABV) sehingga terjadi aktivasi sistem saraf simpatik, sistem renin-angiotensin-
aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) sehingga terjadi retensi air dan garam.
Pada sindrom nefrotik tahap lanjut, terjadinya hipoalbuminemia akan menyebabkan
penurunan tekanan onkotik intravaskular diikuti terjadinya perpindahan cairan plasma
ke ruang interstitial.3,15
Sirosis
Hipertensi portal
9
2 01
ret
Vasodilatasi splanknik
a
o 9M
str
↑ tekanan kapiler splanknik Ga arteri kurang
Pengisian Reseptor arteri & kardio-
at pulmonal
k rap
u ntu Aktivasi vasokonstriktor &
ro
Pembentukan limfe
ast
melebihi limfe yang faktor-faktor anti-
natriuretik
kembali G
Ajar
u
Asites e B
uk
Fil
Retensi natrium & air Gangguan ekskresi Vasokonstriksi renal
air-bebas
Asites Refrakter
Pada awalnya pergeseran cairan akan dikompensasi oleh peningkatan drainase limfatik.
Namun seiring denganproses sirosis yang makin lanjut, kecepatan perpindahan cairan
542
Buku Ajar Gastrohepatologi
543
Bab 36 Asites Refrakter
Tabel 36.6.3. Pengertian dan kriteria diagnostik asites refrakter pada sirosis
Diuretic-resistant ascites: Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau terjadi kekambuhan awal yang tidak dapat dicegah karena respon
terhadap terapi restriksi natrium dan diuretik rendah
Diuretic-intractable ascites: Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau terjadinya kekambuhan awal yang tidak dapat dicegah karena
timbulnya komplikasi akibat pemberian diuretik sehingga menghalangi pemberian dosis diuretik yang efektif.
Persyaratan :
1. Durasi terapi: Pasien harus dalam terapi diuretik intensif (spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160 mg/hari) sedikitnya 1 minggu
dan sedang mendapat diit rendah garam kurang dari 90 mmol/hari.
2. Kurangnya respon: Rerata penurunan berat badan <0,8 kg selama 4 hari dan output natrium urin kurang dari asupan natrium
3. Terjadi kekambuhan asites awal: Muncul kembali asites grade 2 atau 3 dalam waktu 4 minggu sesudah mobilisasi awal asites
4. Terapi diuretik yang memicu komplikasi : encefalopati hepatikum yang dipicu diuretik adalah terjadinya ensephalopati tanpa adanya
faktor presipitasi lain. Gangguan fungsi ginjal yang dipicu diuretik ditandai dengan peningkatan kreatinin serum >100% untuk kadar
>2 mg/dL pada pasiendengan asites yang berespon terhadap terapi. Hiponatremia yang dipicu diuretik didefinisikan sebagai penurunan
natrium serum >10 mmol/lLsampai <125 mmol/L. Hipo atau hiperkalemia didefinisikan sebagai perubahan kadar kalium serum < 3
mmol/lLatau >6 mmol/L meskipun dengan pengukuran yang tepat.
(Modifikasi dari Moore et al., 2003).
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan gejala dan tanda yang mengarah pada etiologi tertentu
dan kemungkinan komplikasinya.
Pemeriksaan Fisis
Asites dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis shifting dullness yang mempunyai sensitivitas
60-88% dan spesifisitas 56-90%. Pemeriksaan yang lebih sensitif dan lebih mudah dikerjakan
untuk memeriksa cairan asites pada anak kecil adalah "puddle sign". Pemeriksaan undulasi
memerlukan 2 pemeriksa, posisi pasien terlentang dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan
ini mempunyai sensitivitas 20-80% tetapi spesifisitasnya cukup tinggi yaitu 82-100%.11
544
Buku Ajar Gastrohepatologi
Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan
1. Foto polos abdomen
Walaupun tidak terlalu jelas untuk mendiagnosis asites, namun hasil foto polos
abdomen mungkin bisa memberikan gambaran asites berupa pergeseran colon ke tepi
garis preperitoneal, di bagian central terlihat gambaran usus halus yang mengambang
dan terpisah dari batas tepi liver dan limpa. Adanya akumulasi cairan di rongga pelvis
memberikan gambaran peningkatan densitas di atas kandung kemih yang disebut dog-
ears signs.2
2. Ultrasonografi abdomen
USG abdomen cukup sensitif untuk mendeteksi asites. USG abdomen dapat mendeteksi
minimal 100 ml cairan asites di rongga peritoneal. Bila cairan asites bertambah banyak
akan tampak akumulasi cairan di area pericolic gutters (Morison’spouch), di sekitar liver
dan limpa. Adanya gambaran ekho pada cairan asites menunjukkan adanya eksudat,
jendalan darah atau keganasan.2,11
545
Bab 36 Asites Refrakter
Parasentesis
Indikasi
1) Asites yang baru pertama kali terjadi
2) Pasien sirosis dengan asites pada saat rawat inap
3) Pasien sirosis dengan asites disertai tanda-tanda infeksi
4) Pasien sirosis disertai asites dengan perburukan kondisi yang tidak diketahui
penyebabnya.11,19
Kontraindikasi
1) Disseminated intravascular coagulation (DIC)
2) Fibrinolisis primer
3) Ileus dengan distensi abdomen
4) Bekas luka operasi pada area akan dilakukan parasentesis.22
9
Analisis cairan asites 2 01
aret
1. Warna dan konsistensi. 9M
st ro
Ga dan kekuningan. Perubahan warna
Cairan asites biasanya berwarna spesifik translusen
t
dan konsistensi cairan asites dapat mengarah a pada penyakit yang mendasarinya (Tabel
k rap
36.7.1). tu n
trou
s
Ga tergantung penyakit yang mendasarinya
Tabel 36.7.1. Warna cairan asites secara makroskopis 2
ja r
uA
Warna cairan asites Penyakit
k
u Hipertensi portal
e B Keganasan, trauma abdomen, tindakan invasif seperti biopsi hati atau kolangiografi transhepatik
Jernih atau pucat
Berwarna merah darah Fil
Purulen Peritonitis piogenik
Chylous (seperti susu) Sirosis, trauma duktus torakikus, limfoma
Hitam/ seperti teh Asites karena penyakit pankreas
Coklat Hiperbilirubinemia (paling sering), kandung empedu atau perforasi bilier, kista duktus koledokus
3. Pengecatan Gram
Pada SBP pengecatan gram memberikan hasil positif kurang dari 10%. Pemeriksan ini
mungkin bermanfaat pada kasus SBP dengan kecurigaan perforasi karena biasanya
terdapat infeksi multi organism.2
546
Buku Ajar Gastrohepatologi
547
Bab 36 Asites Refrakter
t
Investigasi Kadar
o un Interpretasi
Trigliserida str
↑ (>200amg/dL) Asites chylous
Amilase r G IU/L) atau 5x kadar serum
↑ja(>1000 Pankreatitis, trauma pankreas
A
Glukosa
u ku ↓ Tuberkulosis dan peritonitis bakterial
eB ↑ (> 240 IU/L)
Fil
Alkalin fosfatase Perforasi usus halus, hollow viscous trauma
Bilirubin ↑ (> 6 mg/dL) dan lebih dari bilirubin serum Asites bilier (ruptur kista koledokus), perforasi
duktus bilier
Adenosine deaminase (ADA) ↑ (> 20–40) U/L Asites tuberkulosis
548
Buku Ajar Gastrohepatologi
Terapi Diuretik
Asites refrakter ditentukan bila tidak berespon dengan terapi diuretik berikut: tujuan terapi
diuretik adalah mencapai keseimbangan negatif sebesar 10 mL/kg/hari. Ada beberapa obat
diuretik yang biasa digunakan pada anak-anak baik diberikan sebagai terapi tunggal atau
terapi kombinasi.
Pilihan obat diuretik dengan terapi tunggal yang pertama adalah spironolakton
dengan dosis awal 100-200 mg/hari dibagi dalam 2 dosis. Bila tidak berespon dosis dapat
ditingkatkan100 mg tiap 3 atau 4 hari sampai maksimum dosis 600 mg/hari hingga
konsentrasi natrium urin lebih tinggi dibanding konsentrasi kalium 1urin. 9 Dengan dosis
2 0
ret
tersebut biasanya spironolakton akan memberikan respon diuresis yang optimal pada 50-
90% kasus. Dosis awal pada bayi 0,5-1 mg/kg BB/hari sedang9pada Ma anak kecil spironolakton
ro
ast
dimulai dengan dosis 1-3 mg/kg BB/hari dan dapat dinaikkan 1 mg/kg BB/hari hingga
G
mencapai dosis maksimum 6 mg/kg BB/hari. at
r ap
Bila spironolakton tidak memberikanukrespon baik (penurunan berat badan dan
t
natriuresis tidak optimal) maka pemberian o un terapi kombinasi dengan loop diuretic seperti
r
furosemid bisa dipertimbangkan.GAlasanast lain pemberian terapi kombinasi adalah bila asites
r
Aja cepat untuk mengurangi asites, sedangkan spironolakton
sangat masif sehingga perlu respon
u
memerlukan beberapaBhari k
u (3-5 hari) untuk memberikan respon terapi.
i l e
F
Furosemid dimulai dengan dosis awal 40 mg/hari dibagi dalam 2 dosis. Dosis dapat
ditingkatkan 40 mg/hari hingga mencapai dosis naksimum 240 mg/hari. Pada bayi dan
anak kecil dosis awal furosemid dimulai 0,5-2 mg/kg BB/hari dan dapat dinaikkan 1 mg/
kg BB/hari hingga dosis maksimum 6 mg/kg BB/hari. Efek samping hipokalemia sering
terjadi sehingga direkomendasikan untuk memberikan suplemen kalium, namun bila
furosemid diberikan bersama-sama spironolakton maka tidak perlu penggantian kalium.
Terapi kombinasi spironolakton dan furosemid biasanya diberikan dengan perbandingan
5:2 untuk memelihara kondisi normokalemia.
Obat diuretik secara umum dapat menimbulkan komplikasi berupa azotemia,
hipokalemia, hiperkalemia, alkalosis metabolik, sindrom hepatorenal dan ensefalopati
hepatik. Efek samping spesifik spironolakton sebagai potassium sparing diuretic adalah
hiperkalemia, ruam kulit dan ginekomastia pada laki-laki. Monitoring keberhasilan terapi
diuretik bisa dilihat dari hasil ekskresi natrium urin.3,22,23
549
Bab 36 Asites Refrakter
anak-anak pembatasan konsumsi natrium sekitar 1–2 mEq/kg BB/hari, sedang pada anak
remaja direkomendasikan 1–2 g/hari. Pembatasan natrium ini tidak perlu untuk bayi yang
masih mendapat ASI eksklusif, karena ASI mengandung natrium rendah.23 Pembatasan
cairan hanya diperlukan bila terjadi hiponatremia dilusi atau hiponatremia persisten (Na
<120 mEq/L).2,11
550
Buku Ajar Gastrohepatologi
9
2 01
aret
o 9M
str
Ga
p at
k ra
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
551
Bab 36 Asites Refrakter
Transplantasi Hati
Transplantasi hati adalah satu-satunya pengobatan untuk menyelamatkan pasien penyakit
hati stadium akhir dengan asites refrakter. Luarannya akan lebih baik bila transplantasi hati
dikerjakan sebelum terjadinya sindrom hepatorenal dan mereka yang tidak melakukan
operasi bedah shunting porto-sistemic.2
36.9 Komplikasi
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
Komplikasi asites yang paling serius adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP). SBP
dijumpai pada 10-30% pasien sirosis dengan asites. SBP mempunyai mortalitas tinggi
bila penanganannya tertunda. Pasien dengan penyakit hati berat mempunyai defisit
imunologi yang meningkatkan risiko bakteremia berulang dan berkepanjangan, termasuk
defek pada sistem retikuloendotelial, fungsi neutrofil yang abnormal, dan defisiensi
komplemen. SBP merupakan peritonitis bakterial yang tidak disebabkan oleh perforasi
usus atau penyebab sekunder yang lain. Penyebab mikroorganisme SBP pada anak-anak
khususnya adalah mikroorganisma tunggal seperti Klebsiella spp 1(18%), 9 E. coli (15%),
2 0
Enterococcus, Streptococcus pneumoniae (73%) dan akhir-akhir re t ini adalah methicillin
Ma
resistant Staphylococcus aureus. Penyebab lain infeksi 9bakteri cairan asites pada anak
29
ro
G ast
dengan sirosis tampak pada Tabel 36.9.1.2 Mikroorganisma campuran biasanya dijumpai
t
bila usus mengalami perforasi dan terjadi peritonitis sekunder.
pa a
tu kr
n sirosis hati2
Tabel 36.9.1. Varian asites dengan infeksi bakteri pada anakudengan
tr o
as Terapi
Varian
j arG PMN absolut, /mm3 Kultur bakteri
antibiotik
u A
SBP
Buk ≥ 250 Positif Ya
i l e untuk organisme tunggal
F
Asites neutrositik kultur negatif (culture-negative neutrocytic ≥ 250 Negatif Ya
ascites/CNNA)
Antibiotik (-) dalam 7 hari terakhir
Tidak ada penyebab lain
Bakterasitis polimikroba <250 Positif Ya
SBP harus dicurigai pada pasien dengan asites yang mengalami peningkatan distensi
abdomen progresif, demam berulang, nyeri perut, ikterik yang meningkat, leukositosis,
encephalopaty yang memburuk dan hipotensi. Sekitar 10% SBP tidak disertai gejala
peritonitis, sehingga direkomendasikan untuk melakukan parasentesis diagnostik bila
dijumpai asites yang baru pertama kali muncul pada saat rawat inap atau ketika terjadi
perburukan kondisi umum, demam yang tidak diketahui sumbernya, nyeri perut, atau
gejala lain kearah SBP.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kultur cairan asites. Hasil analisis cairan asites
bila dijumpai leukosit >500 sel/mm3 dan jumlah PMN absolut >250 sel/mm3 sangat
dicurigai infeksi bakteri. Jika dicurigai SBP maka terapi empirik bisa diberikan. Sefotaksim
merupakan pilihan antibiotik yang efektif terhadap kuman tunggal dan mempunyai
552
Buku Ajar Gastrohepatologi
konsentrasi yang tinggi di dalam cairan asites. Antibiotik lain yang cukup sensitif antara
lain seperti seftriakson dan amoksisilin-asam klavulanat. Durasi pengobatan sekitar 5-7
hari. Pemberian 1,5 g albumin/kg pada saat SBP terdiagnosis, diikuti 1 g albumin/kg pada
hari ke 3 dapat membantu menurunkan risiko gangguan ginjal dan memperbaiki harapan
hidup.30
Monitoring terapi dengan parasentesis hanya diindikasikan bila dicurigai terjadi
peritonitis sekunder atau bila terdapat respon buruk antibiotik. Pemberian norfloksasin
jangka panjang (5–7.5 mg/kg/hari) sekali sehari direkomendasikan untuk pasien sirosis
yang sembuh dari SBP pertama kali dan pasien yang mengalami perdarahan gastrointestinal
dengan profilaksi jangka pendek. Pasien asites yang mengalami SBP berisiko mengalami
kekambuhan dengan rerata kekambuhan 69% dalam 1 tahun.2, 5,19, 22, 25
Ada 2 tipe HRS yaitu tipe 1 adalah gagal ginjal akut progresif cepat yang seringkali
berhubungan dengan faktor pencetus adanya gangguan fungsi hati dan organ lain.
Diagnosis HRS tipe 1 ditegakkan bila kreatinin serum meningkat lebih 100% dari baseline
kadar akhir kreatinin > 2,5 mg/dL (221 lmol /L). 1 ditandai dengan peningkatan kadar
kreatinin tidak lebih dari 2.5 mg/dL dari dua kali nilai batas normal pasien. Pasien bisa juga
ditandai dengan penurunan hingga 50% dalam klirens kreatinin dalam 24 jam dari data
baseline menjadi kurang dari 20 mL/menit kurang dari 2 minggu. HRS tipe 2 terjadi pada
pasien asites refrakter dengan gagal ginjal fungsional yang stabil atau moderat dan sering
553
Bab 36 Asites Refrakter
disertai dengan retensi natrium. HRS tipe 2 dapat memicu terjadinya HRS tipe 1 secara
spontan atau sesudah adanya faktor pencetus seperti SBP.
HSR diduga disebabkan karena retensi air dan natrium yang berkepanjangan akibat
peningkatan produksi agen vasoaktif yang diaktivasi oleh vasodilatasi splanchnik pada
pasien dengan penyakit hati berat. Ada empat faktor yang terlibat dalam patogenesis HRS: (1)
Terjadinya vasodilatasi splanknik yang menyebabkan penurunan volume darah arteri yang
efektif dan penurunan tekanan arteri rata-rata, (2) Aktivasi sistem saraf simpatik dan renin-
angiotensin-aldosteron sistem yang menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan pergeseran
kurva autoregulasi ginjal sehingga aliran darah ginjal mudah terpengaruh oleh perubahan
tekanan arteri rata-rata, (3) Penurunan fungsi jantung yang disebabkan kardiomiopati
sirosis, sehingga terjadi penurunan relatif dari peningkatan kompensasi curah jantung
akibat sekunder vasodilatasi, (4) Peningkatan sintesis beberapa mediator vasoaktif yang
dapat mempengaruhi aliran darah ginjal atau glomerulus microcirculatory hemodynamics,
seperti leukotrien cysteinyl, tromboksan A2, prostan F2-iso-, dan endotelin-1, namun peran
faktor-faktor ini dalam pathogenesis HRS hingga saat ini masih belum jelas.22,25,32,33
Tata laksana secara umum:
1. Monitoring ketat untuk pasien HRS tipe 1 yaitu diuresis, keseimbangan cairan, tanda
vital dan tekanan arteri. Pasien dianjurkan untuk dirawat di ruang 9 intensif atau semi
intensif 2 01
t
2. Skrining infeksi dengan pemeriksaan kultur darah, urine, Mare cairan asitesi dilanjutkan
9
stro
terapi antibiotik. Antibiotik empirik tidak direkomendasikan
3. Large Volume Paracentesis cukup bermanfaat Ga
p at untuk mengurangi keluhannya bila
a
asitesnya sangat masif
tu kr
4. Semua diuretik harus dihentikanupada n saat investigasi dan diagnosis awal. Furosemid
tro memelihara luaran urin atau bila ada bukti volume
mungkin bisa digunakan untuk as
j ar G tidak dianjurkan karena risiko hiperkalemia.
overload sentral. Spironolakton
A
ku
Terapi spesifik uadalah pemberian obat vasokonstriktor (terlipressin, noradrenalin
i
dan midodrin dengan l e B okreotid). Terapi lini pertama untuk HRS tipe 1 adalah pemberian
F
terlipressin (15-20 µg/4 jam bolus intravena) disertai pemberian albumin (Yousef N, 2010).
Tujuan terapi adalah memperbaiki fungsi ginjal dengan menurunkan kreatinin serum ≤
133 lmol/L (1.5 mg/dL). Jika tidak terjadi penurunan sedikitnya 25% sesudah 3 hari, dosis
terlipressin harus dinaikkan bertahap sampai maksimum 2 mg/4 jam. Untuk pasien yang
memberikan respon parsial kreatinin serum tidak menurun <133 lmol/L) atau tidak ada
reduksi sama sekali maka terapi harus dihentikan dalam 14 hari. Kontraindikasi terlipressin
adalah penyakit jantung iskemia. Komplikasi terlipressin antara lain aritmaia, iskemia
splanknik, overload cairan. Terapi terlipressin dan albumin terbukti efektif pada 60-70%
pasien HRS tipe 2. TIPS telah menunjukkan dapat memperbaiki fungsi renal pada pasien
dengan HSR, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan luaran jangka
panjang harapan hidup. Transplantasi hati merupakan terapi definitifuntuk HRS tipe 1
maupun tipe 2. 20,33
HRS merupakan komplikasi sirosis yang serius dan mempunyai prognosis buruk.
Lebih kurang 10% pasien dengan gagal ginjal akut atau sirosis lanjut akan mengalami HRS.
Terjadinya HRS akan meningkatkan mortalitas dibanding bila hanya terjadi asites refrakter
saja. Infeksi bakteri terutama SBP merupakan faktor risiko penting terjadinya HRS. HRS
554
Buku Ajar Gastrohepatologi
terjadi pada 30% pasien yang mengalami SBP. Terapi albumin dan antibiotik dilaporkan
dapat menurunkan risiko terjadinya HRS dan memperbaiki harapan hidup. Prognosis
HRS sangat buruk, dengan rerata harapan hidup pasien lebih kurang 3 bulan. HSR tipe
1 mengakibatkan mortalitas hingga 80% dalam 2 minggu sejak munculnya gejala. Rerata
harapan hidup pasien HRS tipe 1 yang tidak diterapi lebih kurang 1 bulan. HRS tipe 1 yang
berhubungan dengan HRS tipe 2 merupakan bentuk paling banyak dijumpai. HRS tipe 2 ini
yang sering berhubungan dengan asites refrakter.20
36.10 Prognosis
Asites refrakter mempunyai prognosis yang buruk karena berhubungan dengan komplikasi
seperti hiponatremi dilusi, sindrom hepatorenal, empiema bakterial spontan, hidrothoraks
hepatik, SBP, hernia umbilikalis. Tata laksana asites refrakter hingga saat ini hanya bertujuan
untuk mengurangi gejalanya dan bukan terapi kuratif. Terapi efektif untuk mengontrol asites
refrakter adalah LVP dan TIPS yang mempunyai keuntungan meningkatkan keamanan dan
efikasi. Survival rate pada pasien asites dengan fungsi hati normal dan natrium normal dapat
mencapai 80% pada tahun ke 3. Asites refrakter dengan tanda-tanda dekompensasi hati
mempunyai survival rate sangat rendah yaitu 50% pada bulan ke 6-12 sesudah menderita
0 19
asites refrakter. Hingga saat ini transplantasi hati menjadi satu-satunya
t 2 terapi kuratif pada
Mare
pasien dengan asites refrakter. Pasien asites refrakter yang mengalami SBP mempunyai
o 9
mortalitas tinggi (sekitar 20%).1, 25 str
G a
p at
r a
k
Daftar Pustaka u ntu
ro
G ast ascites. Rev Article. Dig Dis2005;23:30–38.
1. Cárdenas A and Arroyo V. Refractory
jar Acites in children. Review article Indian J Pediatr 2016; 1-7.
2. Ashish Bavdekar dan NitinAThakur.
u
uk Ascites in Childhood Liver Disease.Indian J Pediatr 2006; 73 (9) :
3. Yachha K.S and Khanna,V.
B
e
819-824. Fil
4. Moore KP and Aithal GP. Guidline in the management of ascites in chirosis. Gut 2006;55(Suppl
VI): vi1-12.
5. Giefer,J.M, Murray,F.K and Colletti,B.R. Pathophisiology, Diagnosis and Management of
Pediatric Ascites. JPGN 2011;52: 503–513.
6. Machin GA. Diseases causing fetal and neonatal ascites. Pediatr Pathol 1985;4:195 – 211.
7. Yang JI, Kim HS, Chang KH, et al. Intrauterine intussusception presenting as fetal ascites at
prenatal ultrasonography. Am J Perinatol2004;21:241 – 6.
8. Zelop C, Benacerraf BR. The causes and natural history of fetal ascites. Prenat Diagn1994;14:941–6.
9. El Bishry G. The outcome of isolated fetal ascites. Eur J ObstetGynecol Reprod Biol2008;137:43 – 6.
20.
10. Sun CC, Keene CL, Nagey DA. Hepatic fibrosis in congenital cyto-megalovirus infection: with
fetal ascites and pulmonary hypoplasia.Pediatr Pathol 1990;10:641 – 6.
11. Tomar, BS. Pediatric Ascites Revisited. Int J Gastroenterol Hepatol Transpl Nutr 2016; 1(i): 55-
73.
12. Dudley FJ. Pathophysiology of ascites formation. Gastroenterol. Clin North Am 1992; 21: 215-
235.
13. Sabri.M,. Saps, M., and John M. Peters,M.J. Pathophisiology and Management of Pediatric
Ascites. Current Gastroenterology Reports2003, 5:240–246.
555
Bab 36 Asites Refrakter
14. Gines P, Cardenas A, Arroyo V, Rodes J. Management of cirrhosis and ascites. N Engl J Med
2004; 350 : 1646-1654.
15. Schrier RW. Pathogenesis of sodium and water retention in high-output and low-output cardiac
failure, nephrotic syndrome, cirrhosis, and pregnancy (2). N Engl J Med 1988;319:1127 – 34.
16. Singhal S, Baikati K.K, Jabbour II., and Anand S. Management of refractory ascites. American
Journal of Therapeutics 2012; 19(2): 121–132.
17. Arroyo V, Ginès P, Gerbes AL, Dudley FJ, et al. Definition and diagnostic criteria of refractory
ascites and hepatorenal syndrome in cirrhosis. Hepatology1996;23:164–176.
18. King LR, Siegel MJ, Balfe DM. Acute pancreatitis in children: CT findings of intra- and
extrapancreatic fluid collections. Radiology1995;195:196 – 200.
19. Shepherd R. Complications and management of chronic liver dis- ease. In: Kelly D, editor.
Diseases of the liver and biliary system in children. Birmingham: Wiley-Blackwell; 2008. p. 351–
78.
20. European Association for the Study of Liver. EASL clinical practice guidelines on the management
of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol.
2010;53:397–417.
21. Younas M, Satar A, Hashim R, Ijas A, Dilawar M, Manzoor SM, Ali A, Ahmad Khan F. Role
of serum-ascites albumin gradient in the differential diagnosis of ascites. J Ayub Med Coll
Abbottabad 2012;24(3-4).
22. Hardy S, Kleinman RE. Chirosis and Chronic Liver Failure in Suchi FJ, Sokol RJ, Balistreri WF:
Liver Disease in Children 2001,89-128, Lippincot William&Wilkins,20Second 19 Ed.
t
23. Erin R Lane, Evelyn K Hsu & Karen F Murray. Management of ascites are in children.Expert Review
of Gastroenterology & Hepatology2015; 9:10, 1281-1292.o 9 M
r
24. Kramer RE, Sokol RJ, Yerushalmi B, et al. Large-volume
G ast paracentesis in the management of
ascites in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. t
a2001;33:245–9.
r apPathogenesis, Clinical Impact, and Management.
tuk647-56.
25. Siqueira F, Kelly T, Saab S. Refractory Ascites:
Gastroenterology & Hepatology 2009; u n5:9,
26. Moore KP, Wong F, Ginès P, et al. tro management of ascites in cirrhosis: report on the consensus
asThe
G
jar Ascites Club. Hepatology2003;38:258–266.
conference of the International
A
27. Rosemurgy AS, Zervos ku EE, Clark WC, Thometz DP, Blak TJ, Zwiebel BR, Kudryk BT, Grundy S,
Bu Peritoneovenous Shunt in the Treatment of Medically Intractable Ascites.
Carey,LC. TIPSleVersus
Fi
AnnSurg 2004;239: 883–8ites91.
28. Salerno F, Camma C, Enea M, Rossle M,Wong F. Transjugular Intrahepatic Portosystemic
Shunt for Refractory Ascites: A Meta-analysis of Individual Patient Data.Gastroenterologi.
2007;133:825–834.
29. Fernández J, Navasa M, Gómez J, Colmenero J, Vila J, Arroyo V, Rode’s J.Bacterial infections
in cirrhosis: epidemiological changes with invasive procedures and norfloxacin prophylaxis.
Hepatology. 2002;35:140–8.
30. Narula N, Tsoi K, Marshall JK. Should albumin be used in all patients with spontaneous bacterial
peritonitis? Can J Gastroenterol. 2011;25: 373–6.
31. Yousef N, Habes D, Ackermann O, Durand P, Bernard O, and Jacquemin E. Hepatorenal
syndrome : Diagnosis and effect of Terlipressin therapy in 4 padiatric patients. JPGN 2010;
51(1);100-2.
32. Ginès P, Schrier RW. Renal failure in cirrhosis. N Engl J Med 2009;361:1279–1290.
33. Dagher L, Moore K. The hepatorenal syndrome. Gut 2001;19:729–737.
556
BAB
37
Prosedur Diagnostik Penyakit Hati
Yusri Diane Jurnalis
557
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati
Indikasi1
1. Hepatomegali
2. Abses hepar
3. Kolestasis
4. Trauma abdomen
5. Asites
6. Metastase pada hepar
7. Massa pada hepar
8. Nyeri abdomen kuadran kanan atas
9. Skrining untuk ekinokokosis endemik.
Kontraindikasi2
Tidak ada kontraindikasi, karena bukan merupakan tindakan invasif.
Persiapan Pasien1,2,3
• Pada pemeriksaan USG vesika felea, anak tidak perlu puasa.
• Untuk pemeriksaan kolestasis, dilakukan pemeriksaan USG 2 fase; yaitu fase pertama
dengan persiapan puasa minimal 4 jam dan fase kedua USG 19
0dilakukan setelah anak
e t 2
minum. ar
9 M
stro
G a
Gambaran ap at
rk
Atresia bilier u ntu
ro
Saat puasa kandung empedu dapat
G ast tidak terlihat yang membuat kita berpikir ada gangguan
patensi duktus hepatikus dan
Ajar duktus hepatikus komunis sehingga terjadi gangguan aliran
u
empedu dari hati ke saluran empedu ekstrahepatik. Pada keadaan kandung empedu tidak
Buk
terlihat saat puasa,e maka USG setelah minum tidak perlu dilakukan lagi.
Fil
Pada keadaan lain, saat puasa kandung empedu terlihat kecil tetapi setelah minum
ukuran kandung empedu tidak berubah, hal ini mengarah pada kemungkinan adanya
gangguan aliran empedu dari kandung empedu melalui duktus sistikus melewati duktus
koledokus komunis ke duodenum. Kedua gambaran ini mengarah akan kemungkinan
atresia bilier. Tanda karakteristik lain adalah triangular cord yaitu ditemukan adanya densitas
ekogenik triangular atau tubular di kranio bifurkasio vena porta yang sangat sensitif dan
spesifik menunjukkan adanya atresia bilier (sensitivitas 93%, spesifisitas 96%).3,4,5
558
Buku Ajar Gastrohepatologi
Penyakit Hemangioma
Gambaran USG berupa kavernosa hati dengan lesi hiperekogenik terlokalisir. Pada penyakit
kista hepar tampak kista berbatas jelas, echo-free content, peripheral echo enhancement. Pada
tumor ganas (hepatoma dan karsinoma hepatoselular) tampak gambaran area hipo dan
hiperekhogenik. Pada metastase tumor ke hepar tampak lesi hipo atau hiperekhogenik
dibandingkan parenkim sekitar atau ekogenik campuran sering multipel.7
Pankreatitis Akut
Didapatkan penurunan ekogenitas, peningkatan ukuran pankreas, perubahan ekhostruktur
dan bentuk serta adanya pelebaran duktus pankreatikus. Terdapat hipoekogenitas pankreas
pada 40% kasus pankreatitis akut. USG mempunyai sensitivitas 62%-95% untuk mendeteksi
pankreatitis akut.8,9
Batu Empedu
USG merupakan prosedur pilihan untuk mengidentifikasi batu empedu. Alat USG dengan
resolusi tinggi dapat mengidentifikasi batu empedu berukuran 2 mm, dengan sensitivitas
9 yang ekogenik
yang lebih besar dari 95%. Gambaran USG batu empedu berupa massa
2 01
re t
dengan bayangan akustik. Sedangkan pada kolesistisis USG memberikan gambaran distensi
kandung empedu dengan penebalan dinding (˃ 3 mm) disertai 9 Ma debris intra luminal yang
ro
ekogenik.10 astG
p at
r a
k
Sirosis Hepatis u ntu
ro
ast biliaris. Pada sirosis hati memberikan gambaran
Dapat dinilai dari hati, limpa dan traktus
G
Ajar
iregularitas dan penebalan permukaan hepar, membesarnya lobus kaudatus, rekanalisasi v.
ku
umbilikus dan asites. Ekhoparenkim sangat kasar menjadi hiperekhoik karena fibrosis dan
Bu
e
Fil
pembentukan mikronodul menyebabkan permukaan hati sangat ireguler, hepatomegali;
kedua lobus hati mengecil atau mengerut atau normal. Terlihat pula tanda sekunder berupa
asites, splenomegali, adanya pelebaran dan kelokan-kelokan v. hepatika, v. lienalis, v. porta
(hipertensi portal). Duktus biliaris intrahepatik dilatasi, ireguler dan berkelok-kelok.11
Limpa
Pada limpa tampak peningkatan ekhostruktur limpa karena adanya jaringan fibrosis,
pelebaran diameter vena lienalis serta tampak lesi sonolusen multipel pada daerah hilus
lienalis akibat adanya kolateral. Sedangkan pada traktus biliaris tampak lumpur empedu
(sludge) yang terlihat sebagai material hiperekhoik dan menempati bagian terendah kandung
empedu, sering bergerak perlahan-lahan sesuai dengan posisi penderita, selalu membentuk
lapisan permukaan dan tidak memberikan bayangan akustik di bawahnya. Lumpur empedu
tersebut terdiri atas granula kalsium bilirubinat dan kristal-kristal kolesterol sehingga
mempunyai viskositas yang lebih tinggi daripada cairan empedu sendiri. Dinding kandung
empedu terlihat menebal. Duktus biliaris ekstrahepatik seringkali didapatkan normal.11
559
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati
Indikasi12
1. Menilai ukuran hati dan mendapatkan informasi dari penyakit parenkim fokal dan
difus secara tegas.
2. Menilai empedu dan struktur anatominya terkait tumor dan lesi lainnya, luka,
perdarahan, infeksi, abses, atau kondisi lain terutama bila pemeriksaan fisik dan
penunjang lain seperti X-ray dan USG tidak konklusif.
3. Membedakan antara ikterus obstruktif dan non-obstruktif.
4. Memberikan panduan untuk biopsi atau aspirasi jaringan hati atau kandung empedu.
9
Tujuan CT-scan dengan kontras12 201
aret
Organ yang diperiksa terlihat lebih jelas.
o 9M
str
Ga
Kontraindikasi12 p at
k ra
ntukontras.
Gagal ginjal jika CT- scan menggunakan
u
ro
G ast
Risiko12 Ajar
u
1. Paparan radiasi Buk
l e
Fiterhadap
2. Reaksi alergi kontras
Persiapan
Pasien dianjurkan puasa selama 4 jam sebelum pemeriksaan. Kontras dapat diberikan
peroral atau intravena. Anak diberi sedatif 60 ml Bicitra yang dicampur dengan hypaque,
air dan jus. Jika pasiennya tidak kooperatif, maka nasogastric tube (NGT) harus dipasang
agar kontras bisa diberikan secara oral. Pada anak yang tidak mendapatkan sedatif, maka
dapat diberikan kontras secara oral 1 jam sebelum pemeriksaan, dengan memakai hypaque
dengan konsentrasi garam 40%, sedangkan gastrografin mempunyai kadar konsentrasi
garam 76%.1
Gambaran
Adenoma dan Hiperplasia Fokal
Adenoma dan hiperplasia fokal akan memberikan gambaran isodens atau hipodens pada
CT scan tanpa kontras, dengan kontras akan tampak gambaran yang lebih jelas. Kista hepar
560
Buku Ajar Gastrohepatologi
akan memberikan gambaran lesi berbatas tegas terdiri dari kandungan cairan dan dinding
kista, sering terdapat kalsifikasi. Tumor ganas (hepatoma dan karsinoma hepatoselular).
CT scan tanpa kontras akan memberikan gambaran isodens dengan lesi SOL, sedangkan
dengan kontras menunjukkan gambaran kontras yang tidak rata, yaitu densitas berkurang
di bagian sentral (nekrosis), sering juga ditemukan kelainan pada vena porta atau vena
hepatika.7
Metastase ke Hati
Gambaran CT scan metastase ke hati menunjukkan lesi hipodens meskipun telah
disuntikkan kontras. Beberapa metastase memberikan gambaran hipervaskular. Abses
hepar akan memberikan gambaran hipodens dengan kontras mengisi dinding abses. Pada
hepatomegali yang disebabkan oleh gagal jantung kongestif, hepar terlihat membesar dan
ekhogenik, tampak dilatasi vena hepatika dan bagian inferior vena cava.7
Penyakit Pankreas
CT scan dilakukan apabila hasil USG tidak memuaskan atau membutuhkan gambaran
anatomi lebih baik. CT scan dengan kontras merupakan metode pencitraan pilihan dalam
9
menggambarkan pankreas (perubahan ukuran, tekstur), evaluasi beratnya
2 01 dan mendeteksi
t
are pembesaran duktus,
komplikasi pankreatitis akut seperti pseudokista, abses, kalsifikasi,
M
edema peripankreatik, eksudat peritoneal dan distensi usus.9
o CT abdomen lebih sensitif
dibandingkan USG dalam mendiagnosis pankreatitis a str dengan sensitivitas lebih dari
berat
G
at
ap penyakit dan prognosis penyakit.
94%. CT juga dapat menentukan derajat keparahan 13
r
tuk
un
st ro
37.4 Skintigrafi Hepatobilier
jar Ga
A
u
uk suatu studi pencitraan diagnostik radionuklir yang digunakan
Skintigrafi hepatobiliar adalah
B
e
untuk mengevaluasi Filfungsi hepatoselular dan sistim empedu dengan menelusuri produksi
dan aliran empedu dari fase formatif dalam hati, sistem empedu hingga ke dalam usus.
Tujuan skintigrafi hepatobilier untuk membantu dokter melihat kelainan pada penyakit
hati dan sistem empedu.14 Pemeriksaan technetium-diisopropyl acid (Tc-DISIDA) untuk
atresia bilier memberikan sensitivitas hingga 100% dan spesifisitasnya 40%, tapi false positif
dan false negatifnya cukup tinggi mencapai 10% dan reabilitasnya berkurang bila kadar
bilirubin sangat tinggi.4,15
Technetium-trimetil bromo iminodiasetic acid (Tc-BRIDA) lebih banyak dipakai
daripada Tc-DISIDA, karena BRIDA lebih banyak diambil oleh hati dan dieksresikan ke
dalam empedu dibandingkan dengan DISIDA. Di samping itu spesifisitas terhadap jaringan
hati lebih tinggi, dan eksresinya melalui ginjal sangat sedikit sehingga mengurangi resiko
kesalahan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan. Pemberian fenobarbital (5 mg/kgBB)
selama 3-5 hari sebelum pemeriksaan akan meningkatkan spesifisitas pemeriksaan (dari 63%
menjadi 94%) dan menurunkan angka positif palsu karena fenobarbital dapat meningkatkan
ambilan dan eksresi komponen empedu. Yang harus dicatat pada pemeriksana skintigrafi
adalah reliabilitasnya akan berkurang bila kadar bilirubin direk sangat tinggi (>20 mg/dl)
di samping false positif dan negatifnya sebesar 10%.4,15
561
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati
Indikasi14
1. Kolesistitis akut
2. Untuk mengetahui kondisi sistem bilier
3. Kebocoran empedu
4. Kista koledokus
5. Menghitung ejeksi fraksi kantong empedu
6. Menilai fungsi hati sebelum hepatektomi parsial
7. Menilai anomali lobulasi hepar
8. Menilai bypass enteric empedu ( misalnya prosedur Kasai)
9. Refluks enterogastrik (duodenogastrik)
10. Refluks empedu-esofagus setelah gastrektomi
11. Disfungsi spingter oddi.
Kontraindikasi14
Hipersensitivitas terhadap zat radioaktif.
Persiapan14
9
Anak dipuasakan 2-4 jam dan bayi dipuasakan 2 jam sebelum injeksi
2 01 zat radioaktif. Puasa
t
re menyebabkan kantong
lebih dari 24 jam (termasuk pada nutrisi parenteral total), adapat
9M
empedu tidak mengisi radiotracer dalam waktu yang diharapkan.
o
str
Ga
p at
Gambaran ra
nt uk
Pada penyakit kolestasis intrahepatik uambilan kontras oleh hati biasanya lebih lambat, tapi
tro
ada eksresinya ke dalam usus. Padaas atresia bilier ambilan kontras oleh hati biasanya cepat
r Gusus tidak ada.4,15 Pada hepatitis neonatal idiopatik, ambilan
atau normal, tapi eksresinyajake
uA
uk tapi eksresinya normal.
kontras oleh hati tertunda, 4
e B
Fil
37.5 Tes Aspirasi Duodenum (duodenal aspiration test /
DAT)
Tes aspirasi duodenum adalah uji bilirubin pada cairan duodenum yang diperoleh melalui
aspirasi dengan menggunakan sonde (Levin tube).16
Persiapan
Pasien dipuasakan 3-4 jam sebelum pemeriksaan dilakukan. Pada saat akan dilakukan DAT,
pasien diberi sedatif (luminal, valium, atau kloralhidrat). Bila pasien dirawat di rumah sakit,
maka puasa dilakukan 24 jam dan diberikan cairan intravena. Pemeriksaan aspirasi cairan
lambung dapat dikerjakan tiap 4 jam. Untuk mempercepat peristaltik usus, dapat diberikan
metoklorpramid 0,4 mg/kgBB.16
Setelah pasien tenang, dimasukkan sonde lambung (Levin tube) no. 8 untuk anak
usia <1 bulan dan no. 12 untuk anak usia >1 bulan. Setelah sonde mencapai lambung
562
Buku Ajar Gastrohepatologi
pasien dimiringkan ke kanan. Kemudian masukkan udara 100 mL dengan spuit 20 cc,
dan dalam posisi miring ke kanan lambung dimasase untuk mendorong sonde masuk ke
dalam pilorus. Biasanya dalam waktu 15-30 menit sonde telah masuk ke duodenum. Untuk
membuktikan sonde telah masuk ke duodenum, dilakukan kontrol dengan foto rontgen
atau dengan fluoroskopi. Ujung sonde yang diberi tanda radioopak harus terletak setinggi
vertebra L1-2. Sesudah itu sonde diisap dan akan keluar cairan jernih berwarna kuning/
hijau yang dibuktikan bersifat alkalis dengan kertas lakmus.16
Setelah sonde masuk ke duodenum, dimasukkan magnesium sulfat 25% sebanyak 2 mL/
kg BB melalui spuit untuk melemaskan sfingter Oddi dan untuk meransang cairan empedu
keluar. Dua puluh menit kemudian cairan empedu dihisap dan ditampung untuk dilakukan
uji bilirubin dengan Ictotest. Ictotest adalah reagen yang berbentuk tablet yang digunakan
untuk menunjukkan ada/tidaknya bilirubin. Cara kerja Ictotest adalah dengan meneteskan
5 tetes cairan duodenum pada kertas absorben, kemudian tablet Ictotest diletakkan di atas
kertas absorben, teteskan 2 tetes air di atas tablet, hasilnya dibaca 60 detik kemudian.16
Kelebihan 16
Ketepatan diagnosisnya tinggi, cara relatif mudah, murah, dan akurat.
9
201
aret
Interpretasi18 9M
ro
• Hasil positif: bila timbul warna ungu/biru di Gsekitarast tablet, berarti dalam cairan
duodenum tersebut mengandung bilirubin. apa t
r
• tuksekitar tablet, berarti dalam cairan duodenum
Hasil negatif : bila timbul warna merah di
n
u
tidak mengandung bilirubin. troas
G
Ajar
37.6 Biopsi Hati l e Buk
u
Fi
Biopsi hati merupakan baku emas pada berbagai penyakit hati seperti sirosis hepatis,
tumor, abses, dan kista hepar. Biopsi hati merupakan tes diagnostik definitif untuk evaluasi
penyebab kolestasis pada bayi, dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 95%.4 Beberapa
penelitian membuktikan bahwa biopsi hati dapat menegakkan diagnosis hampir 90%
pasien dengan gangguan fungsi hati yang tidak jelas penyebabnya. Pemeriksaan biopsi hati
juga dapat mengarahkan pada penyakit sistemik yang kelainannya bisa terdapat di hati,
seperti limfoma dan amiloidosis.17
Indikasi17
1. Menentukan grading atau staging hepatitis kronis
2. Mencari penyebab kolestasis yang belum jelas etiologinya
3. Evaluasi tes fungsi hati yang abnormal dengan hasil serologi negatif
4. Menilai kandungan zat dalam hati
5. Evaluasi efikasi pasca terapi (contoh interferon pada hepatitis virus)
6. Menilai efek samping pengobatan
7. Diagnosis massa di hati
563
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati
Teknik Biopsi17
Biopsi hati per-kutan (interkostal)
Menjadi pilihan pada kelainan hati yang difus. Tindakan dapat dilakukan tanpa panduan
USG atau CT-scan bila pekak hati ditemukan minimal sepanjang 5 cm longitudinal mid
aksila kanan.
Jarum untuk biopsi hati perkutan dibagi atas 3 jenis
1. Suction neddle: jarum Menghini, jarum Klatskin, jarum Jamshidi
2. Cutting needles: jarum Vim Silverman, jarum Tru-cut
3. Spring-Loadedcutting needle.
564
Buku Ajar Gastrohepatologi
Persiapan17
1. Informed concent
2. Pemeriksaan hemostasis 9
2 01
Pemeriksaan masa protrombin, masa perdarahan, masa pembekuan t dan trombosit
dilakukan 24 jam sebelum tindakan. Mare
9
3. Vitamin K, fresh frozen plasma (FFP) dan trombosit stro
Ga
Sering diberikan untuk mengoreksi kelainan hemostasis
p at menjelang biopsi hati. Vitamin
K diberikan 6 jam sebelumnya. Jika pemberian r a vitamin K tidak berhasil memperbaiki
k
masa protrombin diberikan FFP sebelum u ntu prosedur biopsi dengan dosis 12-15 mL/kg
ro
BB dengan target perbaikan masa
G ast protrombin. Pada trombositopenia disarankan untuk
jar kg BB dilanjutkan dengan pemeriksaan kadar trombosit 1
transfusi trombosit 1 unit/10
A
u
uk
jam setelah selesai transfusi.
B
4. USG pra biopsiFil e
Manfaat USG pra biopsi adalah menemukan masa yang tidak terdeteksi secara palpasi dan
menggambarkan anatomi hati serta posisi relatif kandung empedu, paru-paru dan ginjal.
Komplikasi17
Nyeri
Nyeri di perut kanan atas atau pundak kanan serta rasa tidak nyaman sering terjadi setelah
menjalani biopsi hati. Dapat diatasi dengan analgetik parasetamol. Nyeri yang hebat dapat
sebagai tanda perdarahan atau akumulasi cairan empedu di subkapsular hati. Bila nyeri
hebat bersifat mendadak harus dicurigai peritonitis bilier akibat tusukan jarum biopsi yang
menimbulkan perforasi empedu.
Perdarahan
Perdarahan hebat umumnya terjadi intraperitoneal, tapi dapat pula intratorakal dari arteri
interkostalis. Perdarahan biasanya akibat perforasi vena porta yang melebar, tusukan
langsung arteri hepatika atau robekan hati ketika pasien menarik nafas dalam.
565
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati
Monitoring17
• Pasien berbaring di tempat tidur, sebaiknya miring ke arah luka selama 2 jam.
• Tekanan darah dan nadi diperiksa setiap 15-30 menit.
19
• Bila perlu berikan obat analgetik seperti parasetamol. 20 t
Mare
9
Gambaran ro
G ast
Gambaran biopsi hati pada atresia bilier ditemukan at tanda karakteristik adanya obstruksi
r ap
tuk duktus biliaris, fibrosis portal, bile plug pada
duktus biliar komunis antara lain proliferasi
un edema yang dapat dilihat pada umur 4-7 minggu.
duktus biliaris, pelebaran portal tracko dan
Oleh karena itu biopsi hati untuk tr
asmenegakkan diagnosis atresia bilier baru dapat dilakukan
r G
setelah bayi berumur 4 minggu.
Aj a Pada hepatitis neonatal: tampak perubahan arsitektur
lobulus yang menyolok, u kunekrosis hepatoseluler fokal, pembentukan pseudoroset, dan giant
e B pada sitoplasma.4,15,17
Fil
cells dengan balloning
Pada hepatitis akibat infeksi CMV atau herpes simpleks ditemukan badan inklusi
virus.19 Pada kolestasis intrahepatik lebih banyak terlihat fokus hematopoesis ekstrameduler,
deposit hemosiderin pada sel hati dan sel Kupffer, inflamasi intralobuler, dan hiperplasia
sel Kupffer. Pada sindrom Alagille tampak paucity duktus biliaris dengan paling sedikit 3
kelainan utama. Terlihat jumlah duktus bilier berkurang, dengan rationya terhadap portal
tract kurang dari 0,9 (Normal : 0,9 – 1,8).15
37.7 Kolangiografi
Kolangiografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk atresia bilier, dengan sensitivitas
100% dan spesifisitas 95%.4 Kolangiografi adalah prosedur yang memungkinkan visualisasi
saluran empedu dan duktus kistik yang membawa empedu dari hati dan kantong empedu
ke dalam usus. Setelah suntikan pewarna radioopak (meglumine iodipamide) ke dalam
saluran, gambar X-ray (kolangiogram) diambil di daerah perut sesuai lokasi saluran
empedu. Tidak adanya pewarna pada saluran-saluran empedu memberikan bukti bahwa
saluran tersebut terhambat.18
566
Buku Ajar Gastrohepatologi
Indikasi18
9
1. Kolestasis yang sebabnya tidak jelas.
2 01
t
2. Batu di saluran empedu.
Mare
3. Keganasan pada sistem hepatobilier dan pankreas. 9
ro
4. Pankreatitis kronis. G ast
at
5. Tumor pankreas termasuk kista.
r ap
kberat badan menurun, untuk menyingkirkan
ntu
6. Diabetes mellitus dengan nyeri perut atau
u
pancreatitis atau karsinoma. ro
7. Divertikel duodenum sekitarr G ast
papil.
ja
u A bilier atau pankreas.
8. Metastase tumor ke sistem
k
u tanpa kelainan pada pankreas, lambung, duedonum dan hati.
9. Nyeri perut bagianBatas
e
Fil
Kontraindikasi18
1. Syok berat karena perdarahan, oklusi koroner akut, gagal jantung berat, koma, emfisema,
dan penyakit paru obstruktif berat.
2. Luka korosif akut pada esofagus, aneurisma aorta, aritmia jantung yang berat.
3. Pasien pasca bedah abdomen.
4. Alergi kontras iodium.
Komplikasi18
1. Perdarahan
2. Perforasi atau pembentukan kista submukosa duodenum
3. Infeksi
567
Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati
Persiapan18
1. Pasien dipuasakan minimal 6 jam lalu diberikan premedikasi hyosine N butil bromide
40 mg (Buscopan) dan sulfas atropin 0,5 mg. Dimetikon diberikan 15 cc untuk
menghilangkan buih dari saluran cerna dan disemprotkan anastesi lokal silokain 10 %.
2. Pasien berbaring ke kiri dengan tangan kiri dibelakang punggung agar mudah
ditelungkupkan. Lazimnya diberikan diazepam 10 mg IV sebelum pemeriksaan dimulai.
u A
Buk
Pemeriksaan kolangiografi ini merupakan baku emas untuk memastikan diagnosis
i l
atresia bilier. Sindrome Alagille merupakan keadaan yang dapat mirip dengan atresia bilier
F
dan apabila tidak dilakukan kolangiografi akan membuat pasien menjalani prosedur Kasai.
Bila hal ini terjadi, potoenterostomi akan menyebabkan pasien Alagille mengalami sirosis
bilier dan memperburuk diagnosis.5
Daftar Pustaka
1. Breyer B, Bruguera C.A, Gharbi H.A, et al. Hepar. Dalam : Palmer P.E.S, penyunting. Panduan
pemeriksaan diagnostik USG. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002: h71-3.
2. Goldberg BB. Ultrasonography. Dalam: Goldberg BB, Petterson H, penyunting. A Global
textbook of radiology.1996. The Nicer Institute. h452-5.
3. Bisanto Julfina. Kolestasis pada bayi. Dalam : Trihono Partini, dkk, penyunting. Hot topics in
pediatrics II.Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2002:h84-99.
4. Juffrie M, Mulyani NS, editor. Modul kolestasis. UKK Gastro-Hepatologi IDAI. Jakarta. 2008.
5. Oswari H. Kolestasis: atresia bilier dan sindrom hepatitis neonatal. Dalam: Diagnosis dan
tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning.PKB IKA LIII. Penerbit FKUI.Jakarta. 2007:
h42-54.
568
Buku Ajar Gastrohepatologi
6. Wulandari HF. Peranan pencitraan pada diagnosis ikterus. Dalam : Diagnosis dan tatalaksana
penyakit anak dengan gejala kuning. PKB IKA LIII. Penertbit FKUI.Jakarta. 2007: h87-91.
7. David J. Allison, Carl Gustuf. Chapter 23 The Liver, biliary tract, pancreas, and speen. Dalam:
Petterson, penyunting. A global text book of radiology. The Nicer Institute Norwegiac.
1995:h1027-78.
8. Santosa B. Pankreatitis pada anak. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, dkk,
penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi, UKK Gastroenterologi-hepatologi IDAI.
Jakarta, 2010;h247-61.
9. Whitcomb DC, Lowe ME. Pancreatitis. Dalam: Walker WA, Goulet O, Kleinman RE, Sherman
PM, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. 4th ed. Boston, BC Becker Inc; 2004;h1585-
94.
10. Brunetti J.C. Cholelithiasis Imaging. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/
article/366246-imaging. Update: May 7,2009.
11. Suyono,dkk. Sonografi Sirosis Hepatis di RSUD Dr Moewardi. Cermin Dunia Kedokteran No.
150, 2006.
12. Pettesson H,MD. Computed tomography. Dalam : Pettersson H, penyunting.A Global Textbook
Of Radiology.The Nicer Institute.1996.h1028-29.
13. Steere M, Joseph MM. Pancreatitis. Dalam: Baren JM, Rothrock SG, brennan JA, et all,
penyunting. Pediatric emergency medicine. Philadelphia: Saunders;2008;h613-7.
14. Society of Nuclear Medicine Procedure Guideline for Hepatobiliary Scintigraphy Revisi 2010.
9
01 : Trihono Partini,
15. Bisanto Julfina. Kolestasis pada bayi. Dalam : Hot topics in pediatrics II.2Editor
re t
Ma Boediarso A, Halimun EM,
dkk. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2002: p84-99.
16. Suharyono. Duodenal Aspiration Test (DAT). Dalam : Suharyono, 9
ro
penyunting. Gastroenterologi anak praktis.. Balai Penerbit
G ast FKUI. 1988. h385-7.
at
17. Arora G. Percutaneous liver biopsy. Diunduh daripwww.emedicine.medscape.com.
r a
k
18. Rani AA. Kolangio pankreatografi retrograduendoskopik. Dalam : Hadi S, Thahir G, Daldijono,
nt bidang gastro entero hepatologi. . Balai Penerbit
Rani A, Akbar N, penyunting. Endoskopiudalam
ro
FKUI. Jakarta. 1987.
Gast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
569
BAB
38
Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati
Sulaiman Yusuf
38.2 Pendahuluan
Hati merupakan organ yang sangat penting dalam pengaturan homeostasis tubuh meliputi
metabolisme, biotransformasi, sintesis, penyimpanan dan imunologi. Penyebab penyakit
hati bervariasi, sebagian besar disebabkan oleh virus yang menular secara fekal-oral,
parenteral, seksual, efek toksik dari obat-obatan, akohol, racun, jamur dan lain-lain.
Walaupun angka pasti prevalensi dan insidens penyakit hati di Indonesia belum diketahui,
tetapi data WHO menunjukkan bahwa untuk penyakit hati yang disebabkan oleh virus,
Indonesia termasuk dalam peringkat endemik yang tinggi.
38.3 Terapi
Hati yang normal akan terasa halus dan kenyal bila disentuh. Ketika hati terinfeksi suatu
penyakit, hati menjadi bengkak. Sel hati mulai mengeluarkan enzim alanin aminotransferase
ke dalam darah. Dengan keadaan ini dokter dapat memberitahukan pasien apakah hati sudah
rusak atau belum. Bila konsentrasi enzim tersebut lebih tinggi dari normal, menandakan
hati mulai rusak. Sewaktu penyakit hati berkembang, perubahan dan kerusakan hati
meningkat. Pengendalian atau penanggulangan penyakit hati yang terbaik adalah dengan
terapi pencegahan agar tidak terjadi penularan maupun infeksi.
Terapi penyakit hati dapat berupa:
a. Terapi tanpa obat
b. Terapi dengan obat
c. Terapi dengan vaksinasi
d. Terapi transplantasi hati
570
Buku Ajar Gastrohepatologi
Terapi tanpa obat tidak menjamin kesembuhan, untuk itu dilakukan cara lain
dengan menggunakan obat-obatan. Golongan obat yang digunakan antara lain adalah
aminoglikosida, antiamuba, antimalaria, antivirus, diuretik, kolagogum, koletitolitik dan
hepatic protector dan multivitamin dengan mineral.
Aminoglikosida
Antibiotik digunakan pada kasus abses hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Preparat
ini diberikan 3x/hari secara teratur selama tidak lebih dari 7 hari. Gagal pengobatan maka
efeknya berkembang ke arah resistensi bakteri terhadap preparat tersebut. Antibiotik
kombinasi biasanya digunakan untuk mencegah ketidakefektifan obat yang disebabkan
enzim yang dihasilkan bakteri. Obat tersebut biasanya mempunyai derajat keaktifan
antibakterial, tetapi umumnya digunakan untuk melawan degradasi dari enzim tersebut.
Obat-obat yang masuk ke dalam golongan aminoglikosida adalah streptomisin, gentamisin,
kanamisin, amikasin, dibekasin tobramisin, netilmisin, neomisin, paromomisin, dan
framisetin.
Antiamuba
19
Antiamuba seperti dehidroemetin, diiodohidroksikuinolin, diloksanid 20 furoat, emetin,
aret adalah preparat yang
etofamid, metronidazol, seknidazol, teklozan, tibrokuinol, tinidazol
digunakan untuk amubiasis. Dengan terapi ini maka risiko o 9M
terjadinya abses hati karena
r
amuba dapat diminimalkan. G ast
t a
r ap
ntuk
u
Antimalaria ast
ro
G
jar dapat juga digunakan untuk mengobati amubiasis. Obat
Antimalaria, misalnya klorokuin,
A
ini mencegah perkembangan u
Buk abses hati yang disebabkan oleh amuba.
e
Fil
Antivirus
Lamivudin adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita hepatitis B. Virus hepatitis
B membawa informasi genetik DNA. Obat ini mempengaruhi proses replikasi DNA dan
membatasi kemampuan virus hepatitis B berproliferasi. Lamivudin merupakan analog
nukleosida deoksisitidin dan bekerja dengan menghambat pembentukan DNA virus
hepatitis B. Pengobatan dengan lamivudin akan menghasilkan HBV DNA yang menjadi
negatif pada hampir semua pasien yang diobati dalam waktu 1 bulan. Lamivudine akan
meningkatkan angka serokonversi HBeAg, mempertahankan fungsi hati yang optimal,
dan menekan terjadinya proses proses nekrosis-inflamasi. Lamivudin juga mengurangi
kemungkinan terjadinya fibrosis dan sirosis serta dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya kanker hati. Profil keamanan lamivudin sangat memuaskan, dimana profil
keamanannya sebanding dengan plasebo. Lamivudin diberikan peroral sekali sehari,
sehingga memudahkan pasien dalam penggunaannya dan meningkatkan keteraturan
pengobatan. Oleh karenanya penggunaan lamivudin adalah rasional untuk terapi pada
pasien anak dengan hepatitis B kronis aktif.
571
Bab 38 Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati
Diuretik
Diuretik tertentu, seperti furosemid, dapat membantu mengatasi edema yang menyertai
sirosis hati, dengan atau tanpa asites. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan
gangguan keseimbangan elektrolit atau gangguan ginjal berat karena menyebabkan
ekskresi elektrolit. Obat diuretik lain yang digunakan dalam pengobatan penyakit hati
selain furosemid adalah spironolakton yang efektif untuk pasien yang gagal memberikan
respon terhadap furosemid. Obat lain seperti tiazid atau metolazon dapat bermanfaat pada
keadaan tertentu.
Pengobatan bersama obat yang dapat meningkatkan konsentrasi kalium (misal ACE
inhibitor) dapat meningkatkan risiko hiperkalemia. Hindari kombinasinya atau dengan
memonitor konsentrasi kalium. Pada pasien dengan kerusakan ginjal dapat meningkatkan
risiko hiperkalemia. Hindari penggunaan spironolakton pada pasien dengan kerusakan
ginjal berat.
Pada pasien dengan sirosis, spironolakton dapat memperburuk gagal ginjal,
hyperchloreamic metabolic acidosis dan ensefalopati hati. Risiko menjadi lebih besar jika
spironolakton digunakan bersama diuretik lainnya.
9
Kolagogum, Kolelitolitik dan Hepatic protector 2 01
re t
Golongan ini digunakan untuk melindungi hati dari kerusakan 9 Ma yang lebih berat akibat
ro
hepatitis dan kondisi lain. Kolagogum misalnya kalsium st pantotenat, L-ornitin-L-aspartat,
laktulose, metadoksin, fosfatidil kolin, silimarin, t Ga dan asam ursodeoksikolat, dapat
a
digunakan pada kelainan yang disebabkan k rapkarena kongesti atau insufisiensi empedu,
tu
misalnya konstipasi biliari yang keras,
o unikterus dan hepatitis ringan, dengan menstimulasi
tr
aliran empedu dari hati. Namunasdemikian, jangan gunakan obat ini pada kasus hepatitis
r G
Aj
viral akut atau kelainan hati ayang sangat toksik.
u ku
eB
Fil
Multivitamin dengan Mineral
Golongan ini digunakan sebagai terapi penunjang pada pasien hepatitis dan penyakit hati
lainnya. Biasanya penyakit hati menimbulkan gejala-gejala seperti lemah, malaise, dan
lain-lain, sehingga pasien memerlukan suplemen vitamin dan mineral. Hati memainkan
peranan penting dalam beberapa langkah metabolisme vitamin. Vitamin terdiri dari
vitamin-vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E dan K atau yang larut
dalam air (water-soluble) seperti vitamin C dan B-kompleks.
Kekurangan vitamin-vitamin yang larut dalam air dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit hati tahap lanjut, tetapi hal ini biasanya terjadi karena masukan makanan dan gizi
yang kurang atau tidak layak. Penyimpanan vitamin B12 biasanya jauh melebihi kebutuhan
tubuh; defisiensi jarang terjadi karena penyakit hati atau gagal hati. Tetapi, ketika masukan
gizi makanan menurun, biasanya tubuh juga kekurangan tiamin dan folat. Biasanya
suplemen oral cukup untuk mengembalikan tiamin dan folat ke level normal.
Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak tidak hanya membutuhkan asupan gizi
makanan yang cukup tetapi juga pencernaan yang baik serta penyerapan yang baik oleh
tubuh. Oleh sebab itu, produksi bilirubin dalam jumlah normal sangat penting. Bilirubin di
572
Buku Ajar Gastrohepatologi
dalam saluran cerna atau usus dibutuhkan untuk penyerapan vitamin-vitamin larut lemak
ke dalam tubuh. Bilirubin bekerja sebagai deterjen, memecah-mecah dan melarutkan
vitamin-vitamin ini agar mereka dapat diserap tubuh dengan baik. Jika produksi bilirubin
buruk, suplemen oral vitamin-vitamin A, D, E, K mungkin tidak akan cukup untuk
mengembalikan level vitamin ke level normal. Penggunaan larutan serupa deterjen dari
vitamin E cair meningkatkan penyerapan vitamin E pada pasien dengan penyakit hati
tahap lanjut. Larutan yang sama juga dapat memperbaiki penyerapan vitamin A, D, dan K
jika vitamin K diminum secara bersamaan dengan vitamin E.
Asupan vitamin A dalam jumlah cukup dapat membantu mencegah penumpukan
jaringan sel yang mengeras, yang merupakan karakteristik penyakit hati. Tetapi penggunaan
vitamin yang larut lemak ini untuk jangka panjang dan dengan dosis berlebihan dapat
menyebabkan pembengkakan hati dan penyakit hati.
Vitamin E dapat mencegah kerusakan pada hati dan sirosis, menurut percobaan dengan
memberi suplemen vitamin E pada tikus dalam jumlah yang meningkatkan kosentrasi
vitamin E hati. Tikus-tikus itu kemudian diberi karbon tetraklorida untuk mengetes apakah
perawatan dengan vitamin E yang dilakukan sebelumnya dapat melindungi mereka baik dari
kerusakan hati akut atau kronis dan sirosis. Suplemen vitamin E meningkatkan kandungan
vitamin dalam tiga bagian hati dan mengurangi kerusakan oksidatif pada9 sel-sel hati, tetapi
01
tidak memiliki dampak perlindungan apapun pada infiltrasi lemakehati.
r t 2 Sirosis juga tampak
dapat dicegah dalam kelompok tikus yang diberi suplemen vitamin
9 Ma E. Tampaknya vitamin
E memberi cukup perlindungan terhadap nekrosis akibat rokarbon tetraklorida dan sirosis,
mungkin dengan mengurangi penyebaran proses oksidasi G ast lipid dan mengurangi jangkauan
at
kerusakan oksidatif hati. r ap
k
u ntu
ro
ast
38.4 Obat untuk Komplikasi
Aja
rG Sirosis Hati
u
Buk
Asites Fil
e
573
Bab 38 Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati
Ensefalopati Hati
Tabel 38.4.2. Obat-obat untuk terapi ensefalopati hati
Obat Dosis Efek sampinng
Laktulose 15-30 mL per oral 2-4 x sehari Flatulen, rasa tidak enak pada perut, diare ketidakseimbangan
elektrolit
Metronidazol 35-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis Gangguan saluran cerna, mual, anoreksia, rasa kecap logam,
muntah, urtikaria, pruritus
Neomycin 50-100 mg/kgBB/hari per oral dibagi 4 dosis Nausea, muntah, diare, reaksi alergi, diare, jarang ototoksisitas,
nefrotoksisitas
Abses Hati
Tabel 38.4.3. Obat-obat untuk terapi abses hati
Obat Dosis Efek samping Interaksi obat
Dibekasin Dewasa: IM 100mg/hari Syok, ototoksisitas, nefrotoksisitas Anestesi, diuretik, karbenisilin,
Anak: 1-2mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi sulbenisilin, tikarsilin, piperasilin
Netilmisin Dewasa: 4-5g/kg/hari dibagi dalam 8-12 jam Ototoksisitas, nefrotoksisitas Obat ototoksik, nefrotoksik
Anak: 6-7,5 mg/kg/hari terbagi dalam 8 jam
9
diberikan 7-14 hari
2 01
t
ae
Kanamisin Dewasa: 15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, Ototoksisitas, nefrotoksisitas,ralergi Diuretik, anestetik
maksimum 1,5 g/hari
9 M
Anak: 15 mg/kg/hari dalam dosi terbagi
s tro
a
Bayi baru lahir 7,5 mg/kg/ hari dalam dosis terbagi
a tG
Gentamisin Dewasa: IM/IV 4-7 mg/kg 1x sehari p
ra vertigo, tinnitus, telinga
Pusing, Obat ototoksik, nefrotoksik,
Anak: 1bulan-10tahun, IM/IV 7,5 mg/kg 1xsehari tu k berdengung dan kehilangan neurotoksik, diuretik, anestesi
atau 2,5 mg/kg setiap 8 jam u n pendengaran, depresi napas, letargi, umum
o
str 8 jam gangguan penglihatan, hipotensi,
anak >5 tahun 1,5-2,5mg/kg/ hariasetiap
G
ar atau 1-2mg/ ruam, urtikaria
>10 tahun, IM/IV 6mg/kgj1xsehari
A
kg setiap 8 jam u
Amikasin Dewasa: IM/IV B uk mg/kg 1x sehari atau dalam Ototoksisitas, nefrotoksisitas
16-24 Diuretik poten, anestesi
il e
2-3 dosisFterbagi
Anak >10tahun, IM/IV 18 mg/kg 1x sehari atau 15
mg/kg/hari dalam 2-3 dosis
Anak <10tahun, IM/IV 22,5 mg/kg 1x sehari atau
7,5 mg/kg 3xsehari
Metronidazol Dewasa: 500-750mg 3x sehari selama 5-10 hari Mual, anoreksia, rasa kecap logam, Alkohol (menimbulkan reaksi
Anak: 35-50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi muntah, gangguan saluran cerna, seperti disulfiram), meningkatkan
selama 10 hari urtikaria, pruritus, angioedema, efek antikoagulan dengan
anafilaksis warfarin
Tinidazol Dewasa: 2g sebagai dosis tunggal selama 3 hari Gangguan neurologi, gangguan Intoleransi alkohol
atau 600mg 2x sehari selama 5 hari saluran cerna, anoreksia, rasa logam,
Anak: dosis tunggal 50-60 mg/kg selama 3 hari reaksi hipersensitif, leukopenia, sakit
kepala, lelah
Senknidazol Dewasa: 1,5 g/hari dalam dosis tunggal atau Rasa kecap logam, glositis, urtikaria, Menimbulkan potensiasi efek
terbagi untuk 5 hari erupsi, bingung, gelisah warfarin
Anak: 2-30 mg/kg/hari dosis tunggal
Klorokuin Dewasa: hari ke-1 dan ke-2 600mg, hari ke-3 Sakit kepala, gatal, ansietas, jarang Fenilbutazon yang menyebabkan
300mg aritmia reaksi dermatitis
Anak: hari ke1 dan ke-2 10 mg/kg, hari ke-3 5
mg/kg
574
Buku Ajar Gastrohepatologi
575
Bab 38 Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati
Daftar Pustaka
1. Wells, Barbara G., Dipiro Joseph T., Schwinghammer Terry L., Hamilton Cynthia W.,
Pharmacotherapy hand book, Fifth Edition. McGraw-Hill Companies, USA, 2003: 195-246.
2. Tjay TH. Obat-obat penting khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingnya, Jakarta. Elex Media
Komputindo. 2002.
3. Walker Roger, Edwards Clive. Clinical pharmacy therapeutics, Third edition, Churchill
Livingstone, 2003: 209-245.
4. Anonim, MIMS Petunjuk Konsultasi, PT. InfoMaster Lisensi CMP Medica, 2005: 84-87.
5. Dipiro, Joseph T., Gastrointestinal Disorders, hal 195-246.
6. Hayes C. Peter, Mackay, Thomas W., Buku Saku Diagnosis dan Terapi, cetakan I, EGC, Jakarta,
1997: 165-184.
7. http: // www.Labtestonline.org/understanding/conditions/Hati_disease-4.html.
8. Anonim, AMH (Australian Medicines Handbook), 2005.
9. http://medicastore com//hepatitis C.
10. Anonim, Martindale The Extra Pharmacopoeia, Ed 30th, The Pharmaceutical Press, London,
1993.
11. Price, Sylvia Anderson, Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, Buku 2, Alih bahasa
oleh Lorraine M. Wilson, EGC, Jakarta, 1995: 426-457.
12. White, Heather M. Penyakit-penyakit hati. Dalam: Woodley, Michele & Alison Whelan (eds),
9
Pedoman pengobatan. Edisi ke-27. Terjemahan dari : Manual of medical
2 01 therapeutica. Essensia
t
are
medika, 1995: 473-492.
13. Siregar Charles J.P., Pharmaceutical care. Editor: Lia Amalia,
9 M
Diky Mudhakir, Tomi Hendrayana,
o
MIPA Farmasi, ITB, 2002. str a
G
p at
r a
k
u ntu
ro
G ast
Ajar
u
Buk
l e
Fi
576
Buku Ajar Gastrohepatologi
Indeks
490–492, 498–503, 499–503, 509–515, 522–
537, 527–537, 538–556, 548–556, 561–569,
562–569, 563–569, 572–576, 573–576
577
Indeks
451–473, 462–473, 474–483, 475–483, 476– Gangguan menelan 51, 58, 59, 60, 61, 64, 80
483, 477–483, 478–483, 479–483, 480–483, Gastritis eosinofilik alergik 174
481–483, 519–521, 573–576, 574–576 Gastroskizis 345, 349, 386–392, 388–392,
Disfagia 26, 43, 50, 51, 53, 64 389–392, 390–392, 391–392, 566–569
Domperidon 39, 138, 440–450, 453–473 Granuloma 206, 209, 212, 313, 318, 347,
Drug induced 214, 302, 310, 314, 318, 319 489–492
E H
Edema 3, 4, 9, 10, 78, 110, 206, 212, 219, 220, Hepatitis A 145, 234, 266, 268, 295, 296, 313,
231, 238, 256, 318, 322, 331 318
Efikasi 225, 277, 283, 293, 359 Hepatitis B surface antigen 271
Elektrolit 2, 3, 8, 9, 10, 11, 19, 22, 28, 29, 30, 34, Hiperbilirubinemia 235, 243, 245, 249, 251,
40, 81, 91, 92, 98, 102, 104, 105, 106, 110, 253, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 262, 263,
122, 123, 126, 137, 138, 159, 190, 198, 207, 293, 308, 322
224, 229, 239, 240, 257, 367–383, 378–383, Hipersensitivitas 61, 98, 168, 169, 170, 172,
384–392, 390–392, 422–424, 426–450, 436– 173, 174, 175, 176, 177, 178, 181, 185, 308,
450, 437–450, 438–450, 476–483, 479–483, 369–383, 562–569, 578–580
480–483, 499–503, 530–537, 531–537, Hipertensi porta 354, 355, 357, 524–537,
550–556, 572–576, 574–576 525–537, 526–537, 541–556
Eliminasi 22, 109, 162, 170, 175, 176, 181, 183, 19
Hipertonik 2, 10, 99, 0196
t 2
a e40, 41, 134, 136, 146, 194,
185, 225, 261, 375–383, 378–383, 429–450, Hipovolemia 8, r10, 34, 99, 110, 541–556
432–450, 478–483, 575–576 Hirschsprung 9 M 32,
Endoskopi 33, 35, 36, 53, 60, 131, 136, 137, 141, ro 198, 257, 384–392, 386–392,
195,st196,
Ga
142, 181, 207, 211, 212, 220, 221, 357, 358,
p at 387–392, 388–392, 389–392, 392, 578–580
360, 361, 363, 364, 370–383, 372–383, 394– ra Hormon 6, 14, 17, 18, 19, 20, 68, 77, 89, 91, 94,
k
399, 395–399, 397–399, 398–399, 403–407,
u ntu 97, 128, 229, 240, 258, 259, 321, 323, 344,
404–407, 405–407, 408–415, 409–415, tro 410– 349
415, 411–415, 412–415, 413–415, G as429–450, Hormon antidiuretik 6
465–473, 526–537, 530–537, A jar531–537 H. pylori 37, 141, 142, 151
u
Enkopresis 189, 191 Buk
e
Enteropati 119, 169,Fil 171, 174, 175, 176, 185 I
Evakuasi tinja 189, 196, 197, 198, 199
Exchange transfusions 256 Idiosinkrasi 169, 303
Imunisasi pasif 269, 271
Imunopatogenetik 267
F Imunoterapi 186
Faktor risiko 82, 119, 123, 127, 162, 217, 241, inflammatory 177, 201, 228, 317, 371–383, 450,
282, 283 479–483
Fatty liver 209, 504–515, 513–515, 515 Inkompabilitas 255, 256, 258
Fecal impaction 196 Innate immunity 329
Fekal - oral 112 interferon 226, 267, 276, 277, 282, 283, 287,
Fosfatase alkali 235, 265, 284, 301, 318, 322, 288, 292, 296, 297, 300, 329, 334, 502–503,
323, 332, 344 528–537, 563–569, 579–580
Fosfat hipertonik 196 Intoleransi Laktosa 158
Fosfolipase 231 Intususepsi 30, 32, 40, 41, 43, 134, 135, 146, 148
Involuntary 190
G Irritable bowel syndrome 158, 213, 368–383
Isoniazid 266, 307
Gagal tumbuh 67, 68, 69, 73, 159, 173, 174, 175, Isotonik 2, 3, 8, 9, 99
197, 210, 222, 341, 346
578
Buku Ajar Gastrohepatologi
579
Indeks
Penyakit Crohn 76, 97, 122, 165, 317, 443–450, Skibala 189, 190, 196, 199
444–450, 445–450, 540–556, 579–580 Skleroterapi 36, 359, 361, 363
Perdarahan Saluran Gastrointestinal 30 Somatostatin 36, 42, 89, 89–115, 91, 240, 361,
Peritonitis 145, 151, 236, 525–537, 531–537, 361–366, 364, 365
539–556, 546–556, 547–556, 548–556, Sukralfat 37, 398–399, 580
552–556, 566–569, 579–580 Sulfasalazin 215, 225
Persentil 73, 74, 78, 81, 116, 506–515, 507–515
Perut kembung 159
pH-metri 131, 136
T
Prebiotik 113 Terapi bicara 59, 60
Probiotik 112, 125 Toilet training 191, 195, 197
Propanolol 89 Tonisitas 2
Protein-losing enteropathy 167 TORCH 342, 344, 345
Pseudokonstipasi 193 Transaminase 153, 276, 284, 304, 307, 333
Pseudopolip 219, 220, 221 Transmisi 17, 24, 267, 272, 282, 292, 335, 347
Tuberkulosis 308, 312, 313, 314, 320, 347
Tumbuh kembang 51, 61, 73, 74, 78, 81, 122,
R 125, 152, 166, 350
Rasa haus 6, 7, 11
RAST 180, 187 U 9
Refluks gastroesofagus 57, 131, 136
2
Uji hidrogen napast 136,01 137, 160
are
Regurgitasi 368–383, 369–383, 370–383, 371–
383, 372–383, 375–383, 376–383, 439–450, Uji kulit 177,M 180
9
o 181, 182
Uji tantangan
453–473
Uji a str kulit 175
tusuk
G
Regurgitasi 131, 132, 133, 173, 337, 339
p at 135, 151, 195, 220, 234
Ulkus
Rehidrasi Oral 105, 106, 107, 111 r a
Retching 133, 134 ntuk
ou V
str
Rotavirus 85, 109, 112, 418–424, 427–450,
a
G
435–450, 474–483, 479–483,r481–483, Vaksinasi 271, 277, 278, 530–537, 570–576
494–503, 496–503 Aja
u Varises 35, 36, 37, 322, 331, 353, 354, 356, 358,
Buk 359, 360, 361, 362, 363
e
S Fil Vasopresin 35, 36, 406–407
Sakit perut berulang 141, 142, 143, 149, 150, Vilus 90, 91, 92, 93, 94, 97, 175, 176
151, 152, 153, 154, 155 Virus hepatitis 265, 271, 273, 278, 289, 292,
Sfingter esofagus 56, 58, 132, 134, 173 294, 295, 297, 330
Siklosporin 226 Volvulus 27, 41, 122, 136, 145, 146 ,395–399,
Sirosis 10, 209, 222, 265, 274, 275, 276, 279, 402–407
284, 284–300, 285, 287, 304, 318, 319, 322,
322–325, 323, 326, 328, 330, 331, 334, 342, W
345, 346, 348, 353, 354, 355, 356, 358, 363, Waktu singgah 159, 160, 164, 198
501–503, 505–515, 507–515, 522–537, 523–
537, 525–537, 527–537, 540–556, 541–556,
542–556, 546–556, 547–556, 548–556, Z
553–556, 558–569, 559–569, 569, 573–576 Zinc 107, 124, 129, 475–483, 476–483, 477–
Sitokin 68, 72, 98, 205, 206, 231, 283, 322, 483, 481–483, 496–503, 528–537
329, 419–424, 429–450, 444–450, 445–450,
496–503, 524–537
580