Anda di halaman 1dari 253

SYEKH MUHAMMAD ’ABDUH

RISALAH TAUHID

terjemahan :
K.H. FIRDAJJS A.N.

PENERBIT JAKARTA

Kramat Kwitang 1/8 Telp. 342883-346247


(WASIAT SUNAN DRAJAT)
1. WKNKIIONOTK.KKN MAR ANG WONG KANG WUTIIO
(MI'.M ItER IKAN TONGKAT KEPADA OR ANG VAN(, ' TIHAK

MAMl’ll MEUHAT)

2. WENEHONO MANGAN MARANG WONG KANG LITWE


(MEMBERIKAN MAKANAN KEPADA ORANG YANG
KEEAPARAN)
3. WENEIIONO UUisONO MARANG WONG KANG WUDIIO
(MEMBERIKAN PAKAIAN KEPADA ORANG YANG TIDAK
BERPAKAIAN)
4. WENEHONO PAYUNG
MARANG WONG KANG KUDANAN ,
(MEMBERIKAN PERLINDUNGAN BAGI ORANG YANG
KEHUJANAN)

"SAKJERONINQr SUKO KUDU ELING LAN WASPODO”


(DI DALAM KESENANGAN HARUS 7INGAT
DAN WASP ADA)

£\o\b , e>!o\

Asti buku dalam bahasa Arab, berjudut "Risalatu’t Tauhid”.


Diberi anotasi oleh Said Muhammad Rasyid Ridla, pemim- pin dan
penerbit majalah Al-Manar, sebuah majalah terkenal yang terbit di Mesir.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh K.H. Firdaus A.N.
dari cetakan ke-VII, terbitan Al-Manar — Mesir 1353.H.
KENANG-KENANGAN KEPADA GURUKU SYEKH IBRAHIM MUSA
PARABEK
Penterjemah

m.

Syekh Ibrahim Musa Paiabek (1884 - 1963)


Banyak jasanya melahirkan XJlama-Ulama Indonesia ahgkatan baru yang tersebar ke
seluruh Indonesia dan Malaysia. Meninggal dunia 25 Juli 1963.
Alhamdulillah, sambutanmasyarakat terhadap terbitnya ’’RISALAH
TAUHID” cetakan pertama adalah menggembirakan. Dan karena minat dan
sambutan masyarakat serta banyaknya permintaan itulah an tarn lain, maka buku
ini segera mengalami cetakan kedua.
CETAKAN KELIMA

Ini suatu bukti, bahwa pelajaran Ilmu Tauhid (science of Islamic Theology)
yang dibahas dan diungkapkan secara ilmiah dan filosofis dapat memenuhi hasrat
para pembaca terutama dunia Universitas.
Dalam cetakan kedua ini terdapat perbaikan dan penyempurnaan di sana-
sini, dan segala saran dan usul perbaikan yang bermanfa’at ke arah itu akan
senantiasa diterima dengan tangan terbuka.
Dan atas segala minat dan sambutan para pembaca dan masyarakat
umumnya terhadap buku ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih.
Mudah-mudahan buku ini akan lebih luas gunanya untuk pembangumn
kerohanian ummat dan generasi kita. Amien !
Jakarta, A gust us 1965. Penterjemah & Penerbit

. ■ . CETAKAN KETIGA
Alhamdulillah, sambutan masyarakat terhadap cetakan kedua tetap
menggembirakan. Pada cetakan ketiga ini tidak terdapat perubahan yang
prinsipiil. Namun usaha ke arah kesempurnaan tetap dilakukan, mengingat buku
ini adalah buku wajib pada Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta.
Jakarta, Agustus 1969. Penterjemah & Penerbit

CETAKAN KEEMPAT

Alhamdulillah, sambutan masyarakat terhadap cetakan ketiga tetap


menggembirakan. Pada cetakan keempat ini juga tidak terdapat perubahan yang
prinsipiil. Namun usaha ke arah kesempurnaan terns dilakukan, mengingat buku
ini adalah buku wajib pada Perguruan Tinggi Negeri mai.pun swasta.
Perubahan, jumiah halaman buku ini adalah disebabkan karena perubahan
jenis huruf dan tekhnis belaka.
Jakarta, Agustus 1972. Penterjemah & Penerbit
Alhamdulillah, sambutan masyarakat terhadap cetakan keempat tetap
menggembirakan seperti apa yang diharapkan. Pada cetakan kelima ini tidak ad a
perubahan yang prinsipiil, namun perbaikan ke arah kesempurnaan tetap
dilakukaa, mengingat buku ini adalah buku wajib bagi Perguman Tinggi Negeri
maupun swasta.
Kesalahan cetak pada cetakan keempat telah diperbaiki, dan mulai cetakan
kelima ini buku ini memakai ejaanbaru.

Jakarta, Agustus 1975. Penterjemah & Penerbit

CETAKAN KEEN AM

Alhamdulillah, sambutan masyarakat terhadap cetakan kelima tetap


menggembirakan seperti apa yang diharapkan. Juga pada cetakan yang keenam ini
tidak ada perubahan yang prinsipiil, namun usaha ke arah-kesem- purnaan tetap
dilakukan, mengingat buku ini adalah buku wajib bagi Perguru- an Tinggi Negeri
maupun swasta,

Semoga berbahagialah mereka yang membaca buku ini!

Jakarta, April 1976. Penterjemah & Penerbit

CETAKAN KETUJUH
Alhamdulillah, sambutan masyarakat pada cetakan keenam tetap
menggembirakan, Dalam cetakan ketujuh ini tidak terdapat perubahan yang
prinsipiil. Hanya terdapat sedikit tambahan tentang riwayat hidup pengarang;
yakni bagian-bagian yang dirasa penting dalam kehidupan beliau. Yaitu tentang
"Sumpah Perjuangan” beliau dan "Cum Laude”yangdatang terlam- bat.
Semoga berbahagialah mereka yang membaca buku ini!

Jakarta, Oktober 1979. Penterjemah Penerbit


CETAKAN KELIMA

Syekh Muhammad ’Abduh (1849 — 1905)


Said Muhammad Rasyid Ridla (1856 — 1935).
Murid dan sahabat Muhammad ’Abduh yang setia dan berjasa kepada dunia
Islam,
DAFTARISI
Halaman
1. Syekh Muhammad ’Abduh dan Peijuangannya . . . . . . . . . . . . . . 17
2. ............................................................. Pengantar Penerbit . . . ............. .... . .
26
3. Kata’Peindahuluan Pengarang . . . . . . . . ................................................. . . . 32

4. jj ............................................................................................................................. Pengantai
Pembahasan (Sejarah Ilmu Tauhid) . . . ......................................................................... 36
s
ST Sunnatullah (hukum alam) pada segala njakhluk . . , ........................................ 39
6. Faham akaid di zaman para Khalifah dan timbulnya huru hara fitnah . . 41
7. Timbulnya bid’ah da 14m akidah dan khilafah di zaman inflltrasi
^ Abdullah bin Saba’ .................................................... .................... ..... 43
Qf Terpecahnya Ummat Islam kepada tiga golongan dan kefanatikan kaum ■ - '-
Khawarij danSyi’ah ......................................... ... ................................ ....... 44
,9. Awal kesibukan dalam Ilmu Kalam. Timbulnya kaum Multazilah
(’"'pX, . . . . . . . . .................. . . . . . . . . • ... • • • • 45
10. y Golongan-golongan Mu’tazilah dan disokongnya mereka itu oleh pe- merintahan
Abbasiah ........................................................................................ ... 47
11. Tersebarnya kaum Zindiq Persia yang Mulhid, dan .timbulnya fitnah
tentang kejadian Al-Quran ......................................................................................... - 48
12. .
Timbulnya kaum Kebatinan sebagai penganjur kaum Mulhid . . . . . . . 49
1 Tsf Imam Al-Asy’ary dan mazhabnya serta tarikat (metode) tokoh-tokoh
pengikutnya ..................................................................................................................... 501/
14. Mazhab-mazhab Filsafat dalam Islam ............................................................ . 52
15. Bahayanya mempercampur-adukkan Filsafat dan ilmu-pengetahuan
duniawi dengan Agama . .............................................................................. . v . . 53
16. Seb&b bercampurnya Ilmu’Akaid dengan Filsafat . . . . . . . . . . . . 54
17. Perbaikan Agama yang dilakukan oleh Ibnu Taiiriiah. ...................................... . 55
18. Agama Islam dan Ratio dan puncak Ilmu Tauhid . . . ......................................... 56

II

19) Pembagian Hukum Akal ................................................................ ..... ................ S7


"’ZD. Hukum Mustahil yang tidak ada hakikatnya .................................. ...................... 58
21. Hukum Mungkin, keadaannya tidak bisa terwujud kecuali dengan sebab
59
dan illat yang maujud dan pelakunya ........................................................• • • •
22. Wujud yang Mungkin pasti menghendaki adanya Wujud yang Wajib Ada. 62

III

23. Hukum-hukum Wajib: Kidam, Baka dan Nafi Tarkib 64


24. Pendapat Pengarang tentang hakikat ’ak liah dan jauhar fardi (atom). 65
25. Sifat Al-Hayat, Ta’rifnya dan dalil bersifatnya yang Wajib Wujud (Allah)
dengan sifat itu ....................... ........................... ......... .................. ..... . ............. 66

10
I26f. ' Sifat Ilmu (Maha Mengetahui) ............................ .............................. .............. 68
v
27<pr Dalil Mengetahuinya Allah bagi segala yang maujud dan berlainNya
.*4 dari segala Ilmu makhJukNya . . ...................................................................... . 70
Sifat Iradat (Kemauan) ... ............................... ..... ................... .......................... ..... 72
^29/ Sifat Kudrat/Ikhtiar .................................................... . ........................................................ 73
3®; Sifat Maha Esa ................................................................................. . ................. . . 74
31. Sifat sifat Sam’iyah yang wajib mengi’tikadkannya. ........................................ .... 77
32. Kalam Allah Ta’ala (FirmanNya), Maha Mendengar dan Maha Melihat 78
33. Pembicaraan tentang sifat-sifat Allah secara ringkas . ........................................ . 79
34. Manusia tak berdaya untuk mengetahui rahasia 'hakikat khalik . . . . . . 81
35. Sebagian jumlah yang wajib mengetahuinya tentang sifat-sifat Allah . .

IV
36. Perbuatan-perbuatan Allah................................................................................................ 84
37. Masalah tentang kemaslahatan dalam kebijaksanaan ..................................................... 85
38. Dalil atas bijaksananya Allah dalam segala perbuatan-perbuatanNya . . 86
39. Adanya hikmat dan terbuktinya janji yang mengandung harapan dan an-
caman .............................................................................................................. . 87
40. Hikmat Ilahi mengandung Illat, tujuan dan maksud ... ................................................... 89

' V
Perbuatan-perbuatan Manusia. ..................................................................................... 91
42 Rahasia Qadar Ilahi yang dilarang membahasnya secara mendalam. ... 93
Hakikat Syirik dan Tauhid. . . ...................................................................................... 94
44. ILMU Allah tentang perbuatan-perbuatan manusia yang ikhtiari . . . . 96

VI
Perbuatan-perbuatan baik dan buruk ................................................................. 991"
Keindahan apa yang dirasa dan yang diflkirkan serta keburukannya ... 100
Pengertian baik dan buruk dengan arti lazat dan merusak ......................................... 101
Kesakitan yang dipandang baik dan kelazatan yang buruk menurut
pandangan akal ............................................................................................................. 103
Akal dapat membedakan antara sesuatu yang utama dan yang nista,
baik dengan yang buruk ................................................................................................ 104
Mengenal Zat Yang Wajib Wujud dan sifat-sifatNya. yang maha sem-
purna dengan jalan ratio (akal) . .................................................................................. 105
Hajat-kebutuhan manusia, dan tiga faktor pangkal kekuatannya ..... 107
Kelurusan-ingatan, khayal, fikiran dan penyelewengannya ........................ 108
Berlebih-kurangnya akal manusia, dan apa yang tidak dapat dicapainya. 109
Keberhalaan membinasakan akal manusia dan melemahkannya dari
mengenal Allah dan kehidupan dihari akhirat ........................................................ - 110
Berlebih-kurangnya kapasitas akal manusia dan perlunya kepada pim- pinan Kenabian
112
56. Kenabian dan ketentuan-ketentuannya tentang akidah kepercayaan,
pembalasan dan bermacam-macam amal perbuatan manusia . . . . . . . 113

11
VII
57. Kerasulan Yang Umum ......................................................................................... . 117 -
58. Mu’jizat dan dalilnya atas kebenaran Rasul, yang jaiz dan apa yang
terlarang .................................................. . . . . . . . . . . . . . . .......................... 118
59. Apa-apa yang Wajib bagi para Rasul, yang Jaiz dan yang terlarang . . . . 120
tfbO) Kisah Adam dan makna pendurhakaannya .......................................................... . 121
V■
VIII

61. Kebutuhan ummat manusia kepada Rasul ditinjau dari duajurusan .. . 123
62 Tinjauan pertama dari segi kepercayaan manusia terhadap hari akhirat . 123
63. Ilham dan perasaan-ingatan manusia kepada kehidupan hari akhirat. . . 125
64. Kelemahan manusia untuk mengetahui alamgaib disamping mengenang-
kannya ......................................................................................................................... 127
65. Martabat para Rasul diantara alam gaib disamping mengenangkannya . . 128
IX

66. Manusia itu menurut nalurinya tidak bisa melepaskan diri dari pimpinan
Rasul .................................................................................................................. . 131
67. Tinjauan yang kedua tentang penjelasan hajat-kebutuhan manusia kepada
Kerasulan yang beialasan kepada watak-tabi’at manusia itu sendiri
secara sosiologis ........................................................................................................... 132 .
68. Cinta-kasih dan hajat-kebutuhan manusia kepadanya . . . . . . . . . . (VS'i \'L
69. Keinginan manusia kepada partgkat kedudukan dan mencapainya de- —
ngan segala jalan apapun sekalipun berbahaya ............................................................ 135
70.
Kebutuhan manusia kepada kasih-sayang dan keadilan . . . . . . . . . J
71. Ingatan manusia kepada kekuasaan gaib ...................................................................... W?8
72. Gambaran khayal manusia bagi kekuatan Ilahiyah dan kudrat Zat Yang
Wajib Wujud ................................................................................................................ 140
73. Kelemahan manusia mengetahui Tuhannya .................................................................... 141
74. Petunjuk Allah kepada manusia supaya tunduk kepada kekuasaan gaib
karena temyata mereka lemah ..................................................................................... 142
75. Petunjuk para Rasul kepada manusia beidasar ketentuan-ketentuan
khusus dari pada Allah. ................................................................................................ 143

76. Wahyu, Ta’rifnya dan kemungkinan teijadinya ............................................................. 144


77. .......................................................................................................................... Peibedaan yang
besai antaia akal dan kemauan . ...................................................................................... • 146
78, Pengetahuan paia Rasul lebih dekat kepada mengetahui yang gaib dari
pada pengetahuan orang lain..................................... 147
7.9. Keadaan para Wali Allah, para Syuhada’ yang mengiringi martabat '
kedudukan Nabi-nabi . ................................................................................................ 149
80. Terjadinya Wahyu dan Kerasulan ................................................................................ 151
81. Sifat-sifat para Rasul yang dapat diketahui dengan berita Hadits

12
Mutawatir . . . . ............................................................................. * ..................... 152

XI -
82. FungsiPara Rasul’alaihimussalam ............................. ........ ... . 155
Ajaian-ajaran para Rasul merigenai moral, kemasyarakatan dan hak-
hak asasi manusia . ................................................ ............................................. .... 157
84. Penerangan para Rasul tentang perkara akhirat, alam gaib dan persiapan
untuk mencapai kebahagiaan ...................... ...... ................................ ................. 158
85. Mengajarkan ilmu kesenian, perekonomian dsb. bukanlah menjadi tugas
para RasuL ................................... ..... 15 9

XII

86. Kritik yang mashur atau kecaman kepada Agama karena buruknya

tingkah-laku para penganut Agama itu sendiri . . . . . . . . . . . . . 161

87. Perbaikan yang diberikan Agama kepada bangsa-bangsa selama mereka patuh
kepada petunjuk Agama dan rusaknya mereka karena mengabai-
kan atau mengadakan bid’ah kepada Agama itu ................................................. .... 162
88. Khusyu* dan menangis dikala mendengarkan nasihat para Muballigh, /f
tetapi tidak diwaktu mendengarkan ahli kebudayaan dan politik . . /lb3
89: Bencana meninggalkan petunjuk Agama, dan mencari jalan kembali /
kepadanya ................................................... ....................................................... 164
901 Fungsi Agama dan Akal dan perbandingan antara keduanya. . . . . . . 166

/ XIII

91. Kerasulan Muhammad s.a.w. ............................................................................................ 168^


92. Keadaan bangsa-bangsa, Negara-negara dan Kepala-kepala Agama terhadap rakyat di
masa diutusnya Muhammad s.a.w. menjadi Rasul . . * 169
93. Keadaan bangsa Arab diwaktu Muhammad diangkat menjadi RasuL 171
94. Dibesaikannya Nabi s.a.w. dan keadaan masyarakat kaumnya. ......................... 172
95. Sucinya Muhammad dari menuntut kedudukan Raja dan menjadi pem-
besar dengan da’wah ....................................................................................... 174
96. Gambaian masuknya kehidupan Nabi s.a.w. dalam periode Kerasulan
dan- keringkasan da’wahnya ...................... ........... ............................................ 175
97 Da’wahnya Nabi s.a.w. kesegala lapisan tingkat manusia padasekaliafi
Agama .................................................. *....................................... • • • . . 7 7 . 178
98. Senjata Muhammad mengatasi persediaan perseorangan dan seanua Kaumnya,
dan senjata itu (Al-Qur-an) menjadi mu’jizat bagi diri
beliau ........................................................................................................................... 183
XIV
99. Al-Qur-an ............................................. '. . . . ......................................... .... 185
100. Turunnya Al-Qur-an dalam puncak zaman kemajuan sastra bangsa Arab

13
dan tantangan mereka kepadanya ......................... ............. ..................... .... 186
101. Jawaban Nabi terhadap tantangan itu dengan sebuah surat yang ter-
pendek dari Al-Qur-an dan lemahnya mereka menghadapinya . . . . 187
102. Perbedaan antara semata-mata dapat mematahkan lawan dengan adaoya
hujjah I’jazul Qur-3n ........................................... ...... ........................................ 188
103. Ketetapan sahnya Kenabian dengan senjata Al-Qur-an yang ampuh ... 190

XV
104. Agama Islam ...................... .... . ................................. ..... .................................. 193 ^
105. Mensyukuri Allah dengan jalan mempergunakan nikmat pancaindera
menurut apa kegunaannya ia dijadikan Tuhan ............................................. .... 195
106. Membatalkan paham keberhalaan (polytheismus) dengan penjelasan,
bahwa kekuasaan gaib itu hanya pada Allah satu-satunya . . . . . . . 196
107. Membebaskan manusia dari pengabdian bagi lain dari pada Allah . . . . 197
108. Menurut Islam, kebahagiaan dunia-akhirat itu hanya bisa didapat dengan
kerja ............................................................................................................................... 199
109. Islam membatalkan taklid dan berteriak membarigunkan akal (ratio) . . 200
110. Kelebihan generasi angkatan yang akan datang dari yang telah silam
' dan melepaskan akal dari iantai belenggu adat-adat yang kolot ................................ 202
111. Islam menetapkan kemerdekaankemauan dan kebebasanberfikir . . . . 203
112. Para ahli Kitab hanya mengabdi kepada teks-teks (Lafazh-lafazh) Kitab
Sucinya saja tanpa mendalami naksudnya yang sebenarnya ...................................... 204
113 Islam mewajibkan untuk memahamkan isi Kitab Sucinya kepada para
penganut Islam ............................................ . . ............................................. . 205
114. Islam menetapkan bahwa sebenarnya Agama Allah itu adalah satu dan
penjelasan asal-usul Agama itu ......................................................................... - 207
115. Hikmah perbedaan-perbedaan Ibadat dan sebagainya dalam Agama-
agama para Rasul .......................................................................................................... 209

XVI
116 Perkembangan kemajuan Syari’at Agama-sesuai dengan taraf kemajuan
Manusia .................................................................................................................... 211
117. Nasrani dan Yahudi dan bid’ah-bid’ah yang dimasukkan oleh para
penganut Agama itu kepada Agamanya ........................................................................ 212
118. Munculnya Agama Islam sebagai suatu Agama yang memberikan kecer-
dasan kepada ummat manusia ................................................................................... 214
119. ............................................................................................................ Kelebihan Agama Islam
dari segala Agama ................................................................................................ .... . . 216
120. Islam melarang paksaan dalam memeluk Agama dan perbedaan golong-
an jenis manusia . . . . .................................................................................................... 217
121. Segala upacara ibadat Islam dapat dimengerti semua faidahnya (rasionil),
kecuali sedikit ............................................................................................... . . 219
122. Hikmah yang diberikan Tuhan kepada ibadat shalat, puasa dan haji
(lihat anotasi) . . . . . . . . . . . . . . . ..................................... ........... . , , 220
123. .................................................................................................................... Sunnah Allah pada
manusia dan alam semesta . . . . . ............................................................................. . . . 222

14
124. Sebab-sebab nikmat dan bencana pada diri pribadi manusia dan bangsa-
bangsa 222
125. Sebab-sebab kenidupan bangsa-bangsa, celakanya .................................................... 223
126. Kewajiban Islam mengembangkan Ilmu-pengetahuan dan mencerdaskan '
orang awam .......................' .......................................................................................... 225
127. .................................................................................................................... Kewajiban
melakukan amar ma’ruf dan nahi-mungkar ................................................................ . 226
128. Zakat, Hukumnya dan faidah-faidahnya .................................................................... 228
129. Memelihara akal dan harta-benda dengan jalan mengharamkan mihuman
alkohol, judi dan riba (rente) ...................................................................................... 229

XVII
130. Cepatnya Islam berkembang tak ada bandmgannya dalam sejarah . . . . 231
131. Perlawanan terhadap Islam dan kemenangan Islam terhadap semua Agama ... . 232
132. Sebab kemenangan Islam dan sejarah kaum Muslimin berkenaan dengan
itu .................................. ..... ......................................................... ...... . . . . 233
133. Keadilan, rahmat dan kemerdekaan Agama dalam Islam ............................................ 235
134. Masuknya bangsa-bangsa ke dalam Islam dan pengaruh ajaran-ajaran
yang dibawanya ........................................................................................................... 236
135. Keadilan Islam dan ajakannya untuk melenyapkan perbedaan tingkat-
an manusia (feodalisme) ............................................................................................ 238
136. Roh-semangat Islam yang tertanam dalam dada pemeluknya dapat me-
narik para lawannya untuk memasukinya .................................................................... 239
137. Batalnya dakwaan, bahwa agama Islam itu tersiar dengan mata-pedang 240
138. Sepuluh abad lamanya kaum Nasrani mengadakan paksaan dalam me-
nganut agamany a dengan jalan peperangan ................................................................ 241
139. Penyerbuan tentara Tartar dan tentara Salib serta apa-apa yang diambil
oleh orang-orang Eropa dari pengetahuan kebudayaan Islam . . . . . . . 243
XVIII
140. Beberapa persoalan yang mudah timbul sewaktu-waktu sebagai kritik
terhadap Islam ............................................................................................................ 248
141. Tingkah-laku kaum Muslimin sendiri dijadikan alasan untuk menyerang
Islam ............................................................................................................................ 249

15
142. Jawabnya, bahwa Islam itu memang meiyadi hajjah terhadap orang yang
meninggalkan hidayah- petunjuknya, bukan sebaliknya ................................. . 253

XIX
143. Membenaikan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. 255^
144. ............................................................................................................ Soal I 256
man (ptrcaya) kepada khabai Ahad ................................................................... . ... . 258
Masalah melihat Tuhan dihari Akhirat nanti ............................ ... ......................
146. Masalah kramat; orang-orang yang mengingkarinya, dan mereka yang
menetapkannya serta dalil-dalilnya masing-masing. ................................ .... 258
'
147. ................................ Anggapan orang, bahwa kramat-kramat itu menjadi
sumber pencaharian rezeki , ............................ . 262
............................................ 263
265

16
148. ................................ Penutup ........ .....
DAFTAR NAMA-NAMA DAN ISTILAH

17
SYEKH MUHAMMAD ’ABDUH DAN PERJUANGANNYA
Asal - usulnya
Syekh Muhammad. ’Abduh seorang putera Mesir, lahir pada tahun 1849
dan wafat pada tahun 1905. Ayahnya, ’Abduh bin Hasan Khairallah, mempunyai
silsilah keturunan dengan bangsa TurkL Sedang ibunya, mem- punyai silsilah
keturunan dengan orang besar Islam, ’Umar_binKhaththab, khalifah yang kedua.
Pendidikannya
Selaku anak dari keluarga yang ta’at beragama, mula-mula Muhammad
Abduh diserahkan oleh orang tuanya belajar mengaji Al-Qur-an. Berkat
otaknya yang cemerlang, maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal
kitab suci itu seluruhnya, pada hal ketika itu ia masih berusia 12 tahun.
Kemudian, ia meneruskan pelajaran pada perguruan agama di masjjxi—-
"Ahmadi", yang terletak di desa Thantha. Akhirnya ia melanjutkan pada
Perguruan Tinggi Islam ”Al Azhar” di Kairo. Ia menamatkan kuliahnya pada
tahun 1877, dengan hasil yang baik. ■■ 'P's? 7?
: /<<vV j_r
2Sr
Belajar dengan Said Jamaluddin A1 Afghany
Pada tahun 1869, datang ke Mesir seorang ’alim besar, Said Jamaluddin Al
Afghany, ierkenal dalam dunia Islam sebagai Mujahid (pejuang), Mujaddid
(pembaharu, reformerj dan Ulama yang sangat ’alim. Ketika itu Muhammad
’Abduh sedang menjadi mahasiswa pada Al-Azhar. Muhammad ’Abduh bertemu
dengan Said Jamaluddin untuk pertama kalinya, ketika ’Abduh datang ke
rumahnya, bersama-sama dengan Syekh Hasan At Tawil, dimana dalam
pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu ’’tasauf’ dan "tafsir.”
Seiak itulah ’Abduh tertarik kepada Said Jamaluddin, oleh ilmunya yang
dalam dan cara berfikimya yang modern; sehingga akhirnya ’Abduh
mengaguminya benar-benar dan selalu berada di sampingnya. sambil belajar juga
pada Al-Azhar. Selain ’Abduh sendiri, banyak pula mahasiswa-maha- siswa Al-
Azhar yang, lain ditarik oleh ’Abduh ikut datang kepada Said Jamaluddin untuk
belajar.
Di samping diskusi-diskusi tentang ilmu-ilmu agama, mereka belajar juga
kepada Said Jamaluddin pengetahuan-pengetahuan modern, filsafat, sejarah,
hukum dan ketata-negaraan dan lain-lain. Suatu hal yang istimewa
diberikan oleh Said Jamaluddin kepada mereka, ialah semangat berbakti kepada
masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berpikir
yang fanatik dan merombaknya dengan cara berpikir yang lebih maju.
. Udara barn yang ditiupkan oleh Said Jamaluddin, berkembang (lengan pesat
sekali. di Mesir, terutama sekali di kalangan mahasiswa-mahasiswa Al-Azhar yang

18
dipelopori oleh Muhammad ’Abduh.
Karena ’Abduh telah memiliki cara berpikir yang lebih maju, banyak membaca
buku-buku filsafat, banyak mempelajari perkembangan jalan pikiran kaum Rasionalis
Islam (Mu’tazilah), maka guru-guru Al-Azhar pernah menuduhnya telah
meninggalkan ’’Mazhab Asy’ari”. Terhadap tuduhan itu ’Abduh menjawab: ’’Yang
terang saya teldh meninggalkan taklid kepada Asy’ari, maka kenapa saya harus
bertaklid pula kepada Mu’tazilah ? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun
juga, dan hanya berpegang kepada dalil yang dikemukakan"
Menjadi Dosen Darul Ulum dan Al-Azhar
Setelah ’Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas usaha Perdana
Menteri Mesir Riadl Pasya, ia di -angkat menjadi dosen pada Universitas "Darul
Ulum”, di samping itu menjadi dosen pula pada Al-Azhar. Di dalam memangku
jabatannya itu, ia terus mengadakan perubdhan-perubahan yang radikal sesuai
dengan cita-citanya, yaitu me- masukkan udara baru yang segar ke dalam Perguruan-
perguruan Tinggi Islam itu, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru sesuai
dengan kemajuan zaman, memperkembangkan kesusasteraan Arab sehingga ia me-
rupakan bahasa yang hidup dan kaya-raya, serta melenyapkan cara-cara lama yang
kolot dan fanatik. Tidak saja itu, tetapi ia juga mengeritik politik pemerintah pada
umumnya, terutama sekali politik pengajarannya, yang menyebabkan para mahasiswa
Mesir tidak mempunyai roh kebangsaan yang hidup, sehingga rela dipermainkan oleh
politik penjajahan asing.
Sayang bagi ’Abduh, setelah kurang lebih dua tahun ia melaksanakan tugasnya
sebagai dosen dengan cita-cita yang murni dan semangat yang penuh, maka pada
tahun 1879 pemerintah Mesir berganti dengan yang lebih kolot dan reaksioner; yaitu
turunnya Khedive Ismail dari singgasana, digantikah oleh puteranya Taufiq-Pasya.
Pemerintahan yang betru ini segera memecat ’Abduh dari jabatannya dan mengusir
Said Jamaluddin dari Mesir.
Akan tetapi pada tahun berikutnya, Abduh diberi tugas kembali oleh Pemerintah
menjadi pemimpin majalah "Al Waka’i Al Mishriyah” dan sebagai pemhantunya
diangkat Sa’ad Zaglul Posy a, yang kemudian temyata menjadi pemimpin Mesir . yang
termasyhur. Dengan majalah ini, ’Abduh mendapat kesempatan yang lebih luas kembali
menyampaikan isi hatinya, dengan menulis prtikel-artikel yang hangat dan tinggi
nilainya tentang ilmu-ilmu agama, \filsafaL kesusasteraan dan lain-lain. Dan juga ia
mendapat kesempatan umttk-mengeritik pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan
dan pengajaran di Mesir.
Di Buang ke Syria ( Beirut)
Pada tahun 1882 terjadilah di Mesir suatu pemberontakan, di mana perwira-
perwira tinggi yang tadinya dipercaya setia kepada pemerintah, ikut serta memimpin

19
pemberontakan itu. Pemberontakan itu didahului oleh suatu gerakan yang dipimpin oleh
Arabi Pasya, di mana ’Abduh dianggapnya menjadi penasihatnya. Setelah
pemberontakan itu dapat di- padamkan, ’Abduh di buang ke luar negeri dan ia memilih
Syria (Bei - rut). Di sini ia mendapat kesempatan mengajar pada Perguruan Tinggi
Sulthaniyah, kurang lebih satu tahun lamanya.
Kemudian pada permulaan tahun 1884 ia pergi ke Paris atas panggilan Said
Jamaluddin Al Afghany, yang waktu itu telah berada di sana~
Sumpali Perjuangannya
Walaupun ia berada dalam masa pembuangan yang jauh dari tanah. airnya, namun
semangat juangnya tidak pernah luntur, bahkan lebih menyala- nyala. Sa ’at itu
dipandangnya sebagai suatu kesempatan yang terbaik untuk melebarkan sayap
perjuangannya dan mengembangkan dakwah Islam seiuas- luasnya. Kini dia berdakwah
dalam alam cakrawala dunia Internasional yang lebih luas dan lebih besar. Ia berada di
kota Paris yang terkenal sebagai kota central peradaban dan kebudayaan Eropa itu. Untuk
itu terlebih dahulu dia hams bersumpah dan berjanji untuk dirinya sendiri agar dia betul-
betul berjuang dengan sungguh-sungguh. Dan sumpah jihad Muhammad ’Abduh yang
hebat dan bermutu tinggi itu antara lain berbunyi seperti di bawah ini :
”Saya bersumpah atas nama Allah, balrwa saya akan berpegang teguh kepada
Kitab Allah (Al Qur-an) dalam segala amal-bakti dan sikap moral saya tanpa
penyimpangan dan penyesatan..... v
— "Saya akan senantiasa siap memperkenankan panggilan Tuhan dalam
bentuk perintah atau laranganNya, dan akan berdakwah sepanjang hayatku tanpa
pamrih...........................................
— ’’Saya bersumpah atas nama Allah yang memiliki roh dan harta-benda
saya, yang menggenggam nyawa serta mengendalikan segenap perasaan saya . ... .
; bahwa saya akan rela mengorbankan apa yang ad a pada din saya untuk
menghidupkan rasa solidaritas Islam (Ukhuwwah Islamiyah) yang mendalam.
— ’’Saya bersumpah atas nama Kehebatan dan Kekuasaan Allah, bahwa
saya tidak akan mendahuliikan kecuali apa yang diprioritaskan oleh agama Allah,
dan tidak akan mentakhirkan kecuali apa yang dikemudi- ankan oleh agama; dan
saya tidak akan melangkahkan sesuatu langkah kalau akan membawa kerugian
bagi agama, sedikit ataupun banyak. . . .
— "Dan saya berjanji kepada Allah,' bahwa saya akan selalu berdaya-
upaya mencari segala jalan atau peluang untuk kekuatan Islam dan kaum
Muslimin . . . . ”
Sumpah perjuangan ’Abduh yang ideal itu baikjuga kita renungkan dan kita
hayati bersama.

20
Gerakan A1 ’Urwatul Wutsqa
Bersama-sama dengan Said Jamaluddin Al Afghany disusunlah di Paris, suatu
gerakan bemama "Al ’Urwatul Wutsqa", gerakan kesadaran ummat Islam sedunia.
Untuk mencapai cita-cita gerakan ini diterbitkannya sebuah majalah dengan nama organ
ini juga, majalah "Al 'Urwatul Wutsqa". Dengan perantaraan majalah itulah
ditiupkannya suara keinsyafan ke seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari
tidumya, melepaskan cara berpikir fanatik dan kolot dan bersatu membangun
kebudayaan dunia. Suara itu lantang sekali kedengaran dan dengan pesat menggema ke
seluruh dunia, rnemperlihatkan pengaruhnya di kalangan ummat Islam, sehingga dalam
tempo yang singkat, kaum imperialis menjadi gempar dan cemas oleh karenanya.
Akhimya Inggeris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India; kemudian pada
tahun 1884, setelah majalah itu terbit baru 18 nomor, pemerintah Perancis*
melarangnya terbit. ’Abduh kebetulan di- bolehkan pulang kembali ke Mesir, seddng
Said Jamaluddin mengembara di Eropa dan terus ke Moskow.
i)« Dr. Usman Amin, ’’Muhammad Abduh,” Hal. 73, th. 1944, Cairo.
Kembali ke Mesir
Setibanya ’Abduh di Mesir, ia diberi jabatari penting oleh pemerintah.
Masyarakat sangat menghormatinya, karena memang menanti-nantikannya untuk
melanjutkan kembali bengkalai yang ditinggalkannya dahulu sebelum ia diusir oleh
pemerintah.
Kepada pemerintah Mesir dikemukakannya rencananya. untuk mem- perbaiki
Universitas Al-Azhar. Rencananya itu disokong oleh pemerintah dan beliau sendiri.
ditindungi pula oleh Khedive 'Abbas Hilmi: Namun begitu, beliau senantiasa
mendapat halangan-rintangan dari kaum reaksioner , di sana-sinu .
Jadi Mufti Mesir “
Pada tanggal 3 Juni 1899 beliau diserahi oleh pemerintah untuk memangku
jabatan ’’Mufti” Mesir. Yaitu suatu jabatan yang paling tinggi dipandang oleh kaum
Muslimin. Berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya, 'Abduh tidak mau membatasi
dirinya hanya sebagai alat penjawab per- tanyaan-pertanyaan pemerintah safa, tetapi
ia memperluas tugas jabatan - itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Apa saja
masalah-masalah yang timbul di kalangan kaum Muslimin, terutama bangsa Mesir,
yang dihadap- kan kepadanya, dilayaninya dengan senang hati dan diselesaikannya
dengan baik. Demikianlah jabatan itu dijabatnya hingga ia meninggal dunia.
Di samping itu, beliaupun diangkat pula menjadi anggauta Majlis Perwakilan
(Legislative Council). Dalam badan ini ’Abduh banyak mem- berikan jasa-jasanya,
dan oleh karena itu pula beliau sering ditunjuk menjadi ketua panitia penghubung
dengan pemerintah.
’Abduh pemah juga diserahi jabatan Hakim Mahkamah, dan dalam tugas ini

21
ia dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.
Pembela Islam yang Gagah Berani
Karena ghirah dan ghairahnya kepada Islam, maka 'Abduh sering tampil ke
depan untuk membela Islam dari segala serangan dan peng- hinaan yang datang.
Ditantangnya G. Hanotaux, Menteri Luar Negeri Perancis, karena tulisannya tentang
Islam yang menurut 'Abduh tidak benar dan merupakan suatu penghinaan. Temyata
kemudian G. Hanotaux seolah-olah minta ma’af dalam sebuah tulisannya yang
dimtiat dalam majalah "Al Muayyad”. Kemudian diasahnya pernnya untuk -
menghadapi Farah Anton, seorang Kristen, pemimpin umum majalah "APJami’ah",
yaitu sebuah majalah dari organ Kristen yang terbit di Ka,
Anton menulis dalam majalah itu hal-hal yang menyinggung >
menghinanya. , Banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang rrienunju, «, beraniannya
guna membela Islam, apalagi kalau dihina. Semuanya h dilakukannya, tidak lain
karena ghairahnya terhadap Islam.
Kitab ’’Risalah Tauhid”
Menurut ’Abduh, manusid hidup menurut ’aqidahnya. Bila ’aqidaI nya benar,
maka akan benar pulalah perjalanan hidupnya. Dan ’Aqida itu bisa betul, apabila
orang mempelajarinya dengan cara yang betul pule Pendirian inilah yang mendorong
’Abduh untuk menegakkan ’’tauhid dan berjuang untuk itu dalam hidupnya. la
mengajar dan menulis tentan ’’tauhid” untuk umum dan untuk mahasiswa. Salah satu
di antara kc rangannya ialah kitab ’’Risalah Tauhid” yang kita terjemahkan ini. Buk,
ini bsrasal dari diktat-diktat kuliyah beliau pada Universitas Al-Azha yang kemudian
untuk keperluan pengajaran ilmu tauhid, sengaja dibukukm
oleh pengarang. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika cara peng
uraian dalam buku ini, lain sifatnya dari buku-buku kuno, disesuaikai dengan tingkat
orang-orang yang akan menerimanya; akademis, filosofis mendalam dan tidak dapat
dipahamkan hanya dengan selayang pandani saja, terutama dari halaman 64 sampai
halaman 116.
Saya sendiri mempelajari buku ini kurang lebih dua puluh tahur yang lalu sebagai
text-book (buku wajib) pada "Kulliati-Diyanah ” 1 Parabek Bukittinggi yang diajarkan
langsung oleh Guru Besar kami, Syekl Ibrahim Musa
Karena uraiannya yang representatif,\ maka buku ini telah mendapa sambutannya
yang baik sekali di dunia untuk diajarkan di sekolah-sekolai tinggi, atau dipelajari oleh
orang-orang yang hendak mengetahui seluk belw ’aqidah Islam Universitas Aligarh di

1 Di Indonesia penterjemahan Risalah Tauhid telah dimulai oleh A.D. Haanie di sekitar tahun dua puluhan,
tetapi sayang tidak sempurna lengkap. kemudian pada tahun tiga puluhan T. Yafizham kabarnya konon
telah menterjemahkannya pula. Dan dalam terjemahan saya ini, terjemahan A.D. Haanie telah saya
pergunakan sebagai bahan perbandingan untuk menuju ke arah kesempurnaan. Penterfemah.

22
India, menterjemahkannya ke dalan bahasa Urdu untuk di ajarkan pada sekolah tinggi
tersebut dan padc sekolah-sekolah tinggi Islam lainnya. Terjemahan ke dalam bahasa
Perancis, dikerjakan oleh dua orang pengarang terkemuka, M. Michell dan Syekl
Mustafa Abdur Raziq. Selain dari ke dalam dua bahasa tersebut di atas, telah
diterjemahkan pula ke berbagai bahasa lain, seperti Inggeris dan Indonesia, sedang
terjemanan ke dalam bahasa Mandarin fdnaj diterbitkan di Shanghai pada tahun 1937.
l)
Mengenai pembahasannya tercatat ’Abduh sangat teliti dalam buku ini. Michell
pemah mengatakan: ”Ia selamanya hati-hati menfaga kete- rangannya supaya jangan
keluar dari batas. Dan dimana paham ’Abduh berbeda dengan paham Ahli Sunnah,
maka perbedaan itu hanyalah pada lahimya saja”.
Ke’aliman Muhammad ’Abduh
Tentang ke’aliman Muhamniad ’Abduh, tak ada dunia yang me- nyangsikannya,
baik kawan maupun lawan. Ia termasuk tokoh Islam yang lengkap pengetahuannya (all-
round). Di kala Jamaluddin Al Afghany di- usir dari Mesir, maka terhadap pencinta-
pencintanya yang sedang me- ngaguminya beliau berkata: "Saya tinggalkan Muhammad
’Abduh bersama Saudara-saudara, dan cukuplah ia buat Mesir. ”
Dan waktu dunia Islam berkabung, meratap ketika ’Abduh ber- pulang
kerahmatullah, maka di antara sekian banyak orang yang turut berduka-cita, terdapat
Prof. E. G. Browne, seorang alim Kristen bang- sa Inggeris yang menulis surat kepada
adik Muhammad ’Abduh, Hamudah Bey ’Abduh, menyatakan antara lain:
"Selama umur saya, sudah banyak negeri-negeri dan bangsa-bangsa yang saya
lihat. Tetapi belum pemah saya melihat seorang juga seperti ' almarhum itu, baik
di Timur maupun di Barat. Karena tidak ada bandingannya dalam ilmu
pengetahuan, dalam kesalehan, ketajaman pikiran, kejauhan pandangan,
kedalaman pengertian tentang sesuatu. Tidak saja mengenai lahir, tapi juga
mengenai batin. Tiada bandingannya dalam kesabaran, kejujuran, kepandaian
ber- bicara, gemar beramal dan berbuat kebaikan, takut kepada Tuhan dan
senantiasa bsrjuang di jalan-Nya, pencinta ilmu dan tempat berlindung orang-
orang fakir dan miskin”.
Cum Laude yang datang terlambat
Sebagai mahastswa Al-Azhar yang ,berfikiran dan berfahdm maju, Muhammad
’Abduh sering terbentur pada pertarungan dan perbedaan penda- pat dengan para dosen
Al-Azhar yang kolot-kolot. Dan perbenturan penda- pat itu mencapai puncaknya pada
waktu Muhammad ’Abduh hendak meng akhiri masa kuliahnya dalam suatu
munaqasyah ufian terakhiryang harus di- hadapinya.
Munaqasyah atau ujian terakhir itu merupakan perdebatan ilmiahyan$. amat

23
sengit sekali Para dosen penguji yang didominir oleh para Syekh Azhai yang kolot itu,
jauh-jauh sebelum ujian telah sentimen dan bertekad burul
terhadap ’Abduh, yakni tidak akan meluluskannya dalam ujian terakhir itu,
i ■ .
Tetapi namun demikian ternyata, bahwa di kalangan-para dosen penguji itu ada
yang masih murni dan jernih fikirannya, Karenanya pendapai mereka terpemh dua.
Sekelompok yang terdiri dari para dosen yang kolot cara berfikirnya yang diketuai oleh
Syekh ’Alisy berpendapat, bahwa ’Abduh tidak lulus. Dan yang lain yang berfikiran
maju berpendapat, bahwa Muhammad ’Abduh berhak mendapat nilai nomor satu
bahkan lebih dari itu yaitu Cum Laude. Dengan alasan, bahwa segala pertanyaan yang
diajukan kepada ’Abduh dijawabnya dengan cara yang amat luas secara ilmiah yang
mengagum- kan. Pihak ini memandang Muhammad ’Abduh adalah bintangnya
mahasiswa Al-Azhar dan amat jarang mahasiswa Al-Azhar secerdik semaju Muhammad
'Abduh dalam caranya dia mengungkapkan buah fikiran dan pendapfitnya yang luar
biasa itu. Namun demikian Syekh ’Alisy dan kawan-kawannya yang kolot itu tetap
berkeras kepala, bahwa Abduh tidak lulus, karena fa- hamnya yang maju dan Kara
berfikirnya yang modern itu akan berbahaya bagi Al-Azhar. Akhirnya Rektor Al-Azhar
Syekh Muhammad Al-Abbasy Al-Mahdy turun tangdn untuk menenteramkan
pertarungan pendapat yang sengit itu untuk menjaga suasana Al-Azhar sendiri. Beliau
yang turut menyak- sikan munaqasyah itu dengan secara berat hati menyatakan
Muhammad ’Abduh lulus beroleh syahadah dengan ’’derjat kedua”setelah salah
seorang dosen penguji mengajukan usul jalan tengah seperti itu, yakni setelah terjadi
perdebatan yang lama dan panjang sekali Sebenarnya Rektor sangat kagum terhadap
segala jawaban yang diberikan Muhammad ’Abduh atas segala pertanyaan yang
diajukan oleh para dosen penguji Kekagumannya itu dinyatakannya terus-terang di
antara para dosen itu, "bahwa dia tidak pernah melihat seseorang yang secerdas dan
seteguh ’Abduh itu membela ilmunya,
Ian bahwa dia sesungguhnya berhak mencapai derjat pertama (Ad-Darjatul Jla), bahkan ia
berhak menerima yang lebih tinggi dari itu kalau ada.” **
Tetapi putusan itu belumlah final, karena Rektor sendiri yakin, bahwa mtusan itu
tidaklah adil bagi seorang alim seperti Muhammad 'Abduh itu. Tetapi apa boleh buat,
kondisi dan situasi waktu itu di mana kekoldtan nasih mencekam dan merupakan unsur
yang dominan dalam Al-Azhar, Rektor terpaksa menyetujui putusan yang amat
meragukan itu.
Setelah terjun ke masyarakat, bintang Muhammad ’Abduh makin lama rutkin
terang benderang melangkahi semua mereka yang berkuasa dalam Al-Azhar itu sendiri.
Abduh makin lama makin masyhur di dunia melampaui mtas negerinya sendiri dan
namanya makin harum semerbak karena ilmunya mng tinggi. Hal ini memaksa Al-Azhar
meninjau kembali keputusannya yang idak adil dan tidak tepat dua puluh enam tahun

24
yang laht itu.
Akhirnya 26 tahun kemudian (1904), yakni di kala Rektor Al-Azhar lijabat oleh
Syekh Ali Al-Bablawy, ditetapkanlah, bahwa kepada Syekh Auh.amm.ad ’Abduh harus
diberikan haknya yang sebenarnya, yakni nilai ertinggi yang berupa: Cum Laude. Tetapi
penghargaan ini sebenarnya tidak liperlukannya lagi, karena sebelumnya dia telah
menjadi orang alim yang ermasyhur di seluruh dunia. Ya, tidak diharapkannya lagi,
karena keputusan ’Cum Laude” itu sudah sangat terlambat datangnya, karena setahun
kemudi- n beliau akan berpulang ke rahmatullah, meninggalkan dunia ini dan me-
'.inggalkan ”Al-Azhar” dengan segala kekolotannya yang masih mencekam di ina-sini.
Demikianlah selayang pandang riwayat hidup Muhammad ’Abduh lan
perjuangannya, seorang ulama besar, seorang pembaharu (mujaddid) mng penuh
dedikasi, juru pengubah yang genial, yang hidup sebagai jembatan tenghubung antara
kemajuan abad ke-19 dengan abad ke-20 (1849 — 1905).
Alangkah bahagianya beliau, bila para pembaca buku ’’Risalah” nya :elak
mempunyai Iman dan Aqidah yang murni, sebersih-bemh Tauhid se- <agai landasan
untuk menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sepenuh- 'enuhnya dan seluas-
luasnya !
Mudah-mudahan Allah s.w.t. memberkahi jasa-jasa beliau sebagai mal-saleh dan
memberinya pahala yang berlipat ganda kelak dalam surga mnatunna’im ! Amin !
Penterjemah.
). Dr. Usman Amin, Muhammad Abduh, haL 33, th. 1944, Cairo.

25
PENGANTAR PENERBIT !)

”Hadapkanlah mukamu selurus-lurusrtya kepada agama Tuhan, yang fitrah manusia


dijadikan-Nya sesuai dengan agama itu".
"Tidak ada perubahan bagi ketentuan Allah. Itulah agama yang betul, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya"
"Kembalilah kepada agama Allah flan berbaktilah kepida-Nya, lakukan- lah sembahyang dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang mem- persekdtukan Tuhan I"
"Yaitu orang-orang yang melakukan perpecahan -dalam agama dan mereka hidup berfirkah-
flrkah, dimana mdsing-masing golongan mem- banggakan golongannya sendiri-sendiri."
(Q. S. 30. Rum : 30, 31, 32).

Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung Kekuasaan-Nya dan Maha Dalam


Hikmat-Nya, telah menempatkan manusia dalam kejadian (fitrah) yang jauh lebih tinggi
dari fitrah segala hewan. Tuhan memberikan kepada manusia perasaan (syu’ur), yang
dengan perasaan itu, manusia dapat merasakan nikmat keletatan hidup dan derita
kepahitan-kepahitan yang bukan bersifat jasadiah, yang oleh karenanya juga, hidupnya
berbeda dengan kehidupan binatang (hayawaniyah). Tuhan menjadikan manusia
mempunyai day a untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, carena
Tuhan menciptakannya untuk hidup dalam kehiduppn yang tidak erbatas pula; * dimana
kehidupannya itu, hams bergerak di atas dasar 'cerja-sama dan bermasydrakat, agar
dengan demikian ia dapat melihat iengan nyata apa-apa yang tersimpan di alam raya ini,
baik mengenai lusunan organisasinya, maupun mengenai rahasia-rahasia
keindahannya. Tuhan merijadikan manusia, berlebih berkurang tentang day a
kesediaannya untuk menerima berbagai macam ilmu dan tentang daya kerjanya masing-
masing. Sebenarnya hal itu, untuk memudahkan bagi masing-masing orang
memperkembangkan ilmu dan karyanya. Demikianlah maka kita lihat di dalam
masyarakat, apa yang disebut golongan pelayan, tukang, petani, oemirnpin-pemimpin
yang adil dan yang tidak adil, pembesar-pembesar yang baik dan yang tidak baik, dan
lebih utama dari semuanya itu, ialah para Nabi dan Rasul Allah. Mereka itu semua

26
adalah sama pentingnya, tak ubahnya sebagai pentingnya ingatan, akal, hati dan roh
dalam diri orang-seorang atau sebagai kaki, tangan dan kantong-makanan fma’iddah).

27
Di antara mereka ada yang bekerja dalam bidang yang kelihatannya lebih rendah,
sesuai dengan bakat mereka masing-masing, ada pula yang mendapat hidayah, berhasil
menempati posisi yang kelihatannya lebih terhormat, menurut kapasitas yang ada
padanya, dengan segala kejujuran menjalankan tugasnya. Dan hidayah ini tidak lain,
adalah petunjuk agama yang membimbing fitrah manusia, bergerak mencari
kesempurnaan dalam lapangan ilmu-pengetahuan dan amal-perbuatan.
Agama berjalan menyempurnakan fithrah manusia dalam mencapai kemajiiannya
dengan cara evolusi,. sehingga hal itu telah menjadi sunnah (ketentuanj umum dalam
semua bidang kehidupan manusia. Allah menyempurnakan Agama Islam dengan
perantaraan Nabi Mujiammad yang mengakhiri segala Nabi dan Rasul untuk membawa
ummat manusia kepada martabat kemerdekaan yang lebih sempurtia. Kitab suci agama
Islam menyatakan, bahwa ia adalah agama fithrah bagi ummat manusia dari segala
bangsa dan jenis, agama yang cocok dengan mereka dalam segala tempat, sesuai dengan
kemashlahatan mereka pada setiap zaman. Bagi bangsa-bangsa yang terbelakang, dia
merupakan guru yang ramah dan bagi bangsa-bangsa yang telah maju, dia merupakan
pemimpin (Imam) yang bijaksana. Apabila mereka mengembara dalam arena ilmu-
pengetahuan dan peradaban, menuju kepada suatu tujuan, mereka senantiasa
melihatnya bersinar terang dalam medan perlombaan.
Firman Allah :
(a* - .fit) <p
"Akan Kami (Allah) perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesar Kami di segenap
penjuru (ufuk) dunia ini, dan pada diri mere sendiri, sehingga terang bagi mereka, bahwa
Islam itu adalah benai
(Q. S. 41. FushshUat : S

Kaum Salaf Muslimin i), telah menegakkan agama ini menm cara yang
semestinya. Tetapi orang-orang yang datang kemudian, tel menodai agama irii dengan
bermacam-macam bid’ah, di samping keadat mereka sendiri merupakan alasan kritik
bagi orang banyak di bawi kolong langit ini. Ialah karena mereka berhias diri dengan
pakaian takl dan kebiasaan-kebiasaan kuno, yang semuanya itu mereka jadikan tir
yang membatas antara agama dan kemajuan ilmu-pengetahuan, kebudayc, an dan
perekonomian. Mereka berpecah-belah dalam umsan agama kepac beberapa mazhab
dan golongan. Mereka kurangi apa yang telah menjai ketetapan dalam Sunnah Rasul
(ketentuan Rasul) dan sebaliknya merel tambahkan bid’ah-bid’ah ke dalamnya. Kitab-
kitab akaid mereka jadika gelanggang pertengkaran dan perbantahan antara pentolan-
pentolan mazha, yang telah mati dan yang masih hidup.
Beberapa ttbad lamanya, tidak seorangpun di antara pengaran kaum Muslimin,
yang sanggup menunaikan da’wah Islam (peneranga Islam) menurut cara (methode)
yang memenuhi syarat Ulama Kalai Yakni cara yang menarik orang secara rasionil,

28
mengajak orang men bahas persoalan dengan berpikir hingga tampillah ’’Syekh
Muhammat ’Abduh", yang terkenal pada masa ini dengan nama julukan : Al Usta. Al
Imam, atau Hujjatu’l-Islam (semoga Allah mengkuduskan arwah beliax di surga yang
aman damai). Maka ditulisnya buku "Risalah Tauhid" ini guna menjelaskan hakikat
agama itu. Ia datang dengan syarat-syarat yani layak pada masa ini, yang belum pemah
dilakukan orang seperti iti di antara pemimpin-pemimpin Islam sebelumnya.

Yakni Kaum Muslimin yang hidup dalam zaman keemasan agama Islam, yait pada zaman Sahabat dan
Tabi’ien, kurang lebih seratus tahun setelah Nal Muhammad wafat. Suatu zaman dimana ummat Islam
tidak mengenal adany
sekte-sekte atau mazhab-mazhab.
Saya tidak akan menyebutkan kelebihan-kelebihan buku ini, yaitu, bahwa dengan
tersiamya buku ini di Mesir, maka pokok kepercayaan (akaid) Islam di sana telah
menjadi lebih maju sedemikian rupa, lebih- lebih semenjak diajarkannya dalam kuliah
Universitas Al-Azhar oleh pengarang sendiri; dan saya tidak perlu menyebutkan, bahwa
Ulama India telah menterjemahkannya ke dalam bahasa Urdu untuk mereka ajarkan
pada Universitas Aligarh dari lain-lain; dan saya tidak akan menyebutkan, bahwa
ulama-ulama di seluruh dunia.yang telah menela’ahnya, telah menulis 'irat-surat pujian
kepada pengarangnya dengan penuh kejujuran ; dan saya tidak akan menyebutkan,
bahwa di antara pendeta-pendeta Kristen yang telah membacanya berkata: "Sekiranya
apa yang telah ditulis pengarang dalam kitab ini, itulah hakikat agama Islam,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang pertama masuk ke dalamnya, tetapi ia
hanyalah hasil karya Syekh Muhammad ’Abduh belaka, seorang alim yang kami
percayai kelebihan dan ketinggian martabatnya”. Tidak perlulah rasanya saya ke-
mukakan di sini pujian-pujian seperti itu.
Tetapi akan saya katakan, bahwa buku ini tidak akan sanggup mencapai
suksesnya sedemikian rupa, melainkan karena ia ditulis oleh seorang yang betul-betul
alim tentang ’’Ilmu Kalam” sampai kepada puncaknya, seperti yang telah dapat dicapai
oleh Islam. Ia seorang ulama Islam, yang selalu tegak memperhatikan segala sesuatu
yang ditulis oleh filosof-filosof Eropa, baik yang mehgeritik ajaran agama itu, atau yang
menulis tentang kelebihan-kelebihannya, tentang' ilmu jiwa, akhlak dan tulisan-tulisan
tentang kemasyarakatan dan dunia.
Risalah ini tidak membiarkan sesuatu syubhat dalam agama, kecuali dibukanya;
tidak ada kerut-kerut yang musykil, kecuali diuraikannya. Tetapi biasanya tentang
syubhat itu, disebutnya dengan cara isyarat, bukan secara terbuka dan terus-terang.
Cara demikian itu, lebih dekat untuk tidak meragukan orang yang masih lemah dan
tidak merepotkan orang yang lebih kuat dari tujuan yang mulia. Untuk itu, pengarang
mengisyaratkan dalam kata pendahuluannya dengan kata-kata: Melenyap- kan sengketa
dari tempat yang jauh, hingga kadang-kadang hal itu tidak diketahui, kecuali oleh

29
orang-orang yang cerdas”.
Andai kata pengarang tidak memulai buku yang penting ini dengan memakai
istilah-istilah ’’kalamiyah” (Ilmu Kalam), tentu manfa’atnya akan lebih besar lagi,
karena minat para pembaca akan lebih banyak. Sebab, kebanyakan orang sekarang
tidak begitu mengerti akan istilah-istilah

30
kalamiyah itu, bahkan kadang-kadang menyebabkan orang mundur. Hal ini telah
saya sampaikan sendiri kepada pengarang dan beliaupun meng - akuinya.
Sebahagian besar dari isi Risalah ini, diimlakkan oleh Ustadz Imam di Beirut,
ketika ia mengajar di sana selagi mudanya. Kemudian diktat yang ada di tangan bekas
mahasiswanya, dimintanya lalu diperbaikinya dan segera dicetaknya menjadi buku.
Kemudian buku itu diceramahkannya pula di aula Universitas Al-Azhar, di hadapan
ribuan ulama dan orang- orang terkemuka setempat. Masih kelihatan oleh beliau
beberapa kesa- lahan bahasa- (ibarat) dan beberapa masalah yang dirasanya perlu untuk
diberi penjelasan. Maka' Risalah yang telah dijadikannya bahan kuliah, diperbaikinya
kembali dan ditambahnya di sana-sini dengan beberapa penjelasan. Kemudian beliau
dikritik tentang beberapa persoalan, tetapi beliau merasa puas dengan hal itu. Dan
beliau membuat suatu daftar dari koreksian buku itu, dimana terdapat tujuh puluh
koreksian.
Di samping itu, masih terdapat beberapa kalimat yang ganjil-ganjil, yang harus
diberi penjelasan. Lalu saya bubuhi anotasi, dan saya tinggalkan yang lain menurut
aslinya. Tidak ada yang saya tambahi, kecuali beberapa nama surat dan ay at Qur-an
sebagai dalil. Baiklah saya katakan sekarang : "Inilah beberapa patah kata yang telah
saya tulis dan saya jadikan ’’mukaddimah" pada cetakan yang kedua, kemiidian saya
tambah ko- mentar-komentar pada cetakan-cetakan ulangan, yakni pada cetakan kelima.
Dan segala puji bagi Allah dunia dan akhirat.
Tatkala sahabat saya Hamudah Bey (saudara pengarang sendiri) mengirim surat
izin kepada saya untuk mengulang cetak yang betul, ia memberikan pula tabelnya
sendiri; maka saya sesuaikanlah cetakan penerbit an saya ini dengan tabel koreksiannya
itu dan dengan naskah yang ada pada pengarang sendiri Kemudian saya bubuhi
beberapa catatan (anotasi), sebagai yang pernah saya dengar dari pengarang sendiri, di
waktu beliau memberikan kuliah. Andai kata beliau tidak melarang untuk
mengomentarinya lebih jauh, tentu akan saya beri penjelasan lebih banyak dari pada ini
Tetapi cukuplah apa yang dikemukakan oleh beliau sendiri, karena itulah yang benar
dan apa yang dibawakannya itu merupakan hikmat (ilmu-pengetahuan) dan analisa
yang padat.
Karena buku ini mendapat perhatian yang demikian besamya, maka sementara toko-toko
buku telah berebut-rebut mencetaknya tanpa mem- pedulikan undang-undang hak cipta.
Lagi pula tekniknya buruk sekali,
banyak mengandung kesalahan-kesalahan cetak. Kalau tidaklah pengarang- rtya yang
menegur supaya membetulkannya dengan ralat sebanyak tujuh puluh tempat, di samping
harus menambah dan menguranginya, sesungguh- nya Risalah ini tidak bisa dipegang.
Maka cetakan penerbitan Al-Manar inilah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan yang
tidak akan mengecewa- kan bagi orang yang telah membaca cetakan pertamanya.

31
Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada Al Ustadz Imam dan semoga kitab
Risalahnya ini, memberi manfa’at kepada ummat manusia. Amien!

MUHAMMAD RASYID RIDLA AL HUSAINI (Pemimpin Majalah Al-Manar)

32.
KATA PENDAHULUAN PENGARANG

"Dengan nama AUah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang" ’'Segenap
pujian untuk Allah, Tuhan semesta alam’.’
”Yang Maha Pemurah dan Penyayang ”Yang memerintah hari pembalasan’.’
"Kepada Engkau saja kami menyembah dan kepada Engkau saja kami minta
pertolongan’.’
"Pimpinlah kami ke jalan yang lurus’.'
’’Jalan mereka yang Engkau anugerahi ni'mat; bukan jalan orang-orang yang kena
murka dan bukan pula jalan mereka yang sesat I"
(Q. S. I. Al Fatihah : 1 - 7).
Ketika saya berada di Beirut, 2) termasuk wilayah Syria, yaitu di hari-hari
saya diasingkan dari Mesir karena akibat dari peristiwa- peristiwa yang terjadi
pada tahun 1299 H. dan kemudian pada tahun 1303 H,, saya diminta memberikan
kuliah pada "Perguruan Sulthaniah”; diantaranya saya memandang, bahwa
pembahasan secara ringkas dalam mata pelajaran "Ilmu Tauhid”, tidak dapat
memberikan kepuasan kepada para mahasiswa, sedang pembahasan yang
panjang-lebar jauh lebih tinggi dari kemampuan mereka, dan merupakan susunan
yang sudah tidak cocok lagi dengan zaman.
Maka menurut hemat saya, lebih baik saya imlakkan (diktekan) sendiri
kepada mereka, apa yang kiranya lebih sesuai dengan kemampuan mereka. Oleh
karena itu, kuliah-kuliah diimlakkan berbeda-beda menurut tingkat mereka; dan
yang lebih mendekati kepuasan para mahasiswa, adalah kuliah yang saya
im.la.kkan pada tingkat pertama, dalam gaya bahasa yang tidak begitu sukar
memahaminya dan dengan system (methode): mengemakakan ’’Pengantar
Pembahasan” (Mukaddimah) dan dari situ bertolak kepada inti-inti persoalan
yang dimaksud, tanpa menghiraukan yang lain-lain, kecuali dalil-dalil yang pasti
Susunan cara begini memang agak berbeda dengan susunan yang biasa dilakukan
selama ini bagi suatu karangan. Pertentangan-pertentangan pendapat, ditinjau
dari jauh saja, sehingga kadang-kadang tidak terasa beriar, kecuali oleh
cendekiawan.

2 Sekarang Beirut adalah ibu kota Negara Libanon.

33
Selain apa yang telah diimlakkan itu tidak terpelihara benar, kecuali
catatan-catatan beberapa orang mahasiswa, satupun tidak ada lagi yang tinggal
pada saya. Dan setelah keadaan membolehkan saya kembali ke Mesir, ditakdirkan
Tuhan pula saya sibuk di luar lapangan pengajaran. sehingga saya lalai akan apa
yang telah saya idam-idamkan selama ini untuk kembali kepada apa yang telah
menjadi hobby saya, yaitu mem- pergunakan kesempatan-kesempatan
mengadakan penyelidikan dalam bi- dang ”Ilmu Tauhid". ..maz. lelah—mmiadi -
kevakinan Jtum—sava.—bahwa ilmu itu adalah mempakan tiane vane:, amat
kokoh dari segala ilmu.
Agar tidak terlalu membuang-buang tempo untuk menciptakan lagi sesuatu
yang baru sebagaimana diharapkan, kebetulan saya teringat akan karya-karya
saya yang lama, yang saya imlakkan kepada mahasiswa- mahasiswa di Beimt itu.
Maka saya tulislah surat kepada beberapa orang bekas mahasiswa saya supaya
mereka dapat mengirimkan kepada saya catatan-catatan tentang kuliah-kuliah
yang saya berikan, di antaranya kepada adik saya sendiri 3 \ dan ia
memberitahukan kepada saya, bahwa catatan-catatan itu lengkap, mempakan
suatu naskah yang pemah saya imlakkan pada tingkat pertama.
Setelah catatan itu saya minta dan saya baca, ternyata bahwa naskah itu
memang mempakan suatu naskah yang agak mendekati keinginan saya; amat
diperlukan oleh orang yang masih lemah pengetahuannya, tetapi tidak pula dapat
diabaikan oleh orang-orang cendekiawan yang telah mendalam pengetahuannya.
Di dalamnya terdapat keringkasan (ikhtipar) yang memang disengaja, tetapi
tetap berjalan di atas garis yang telah dilalaui oleh ulama-ulama dahu-

3 Hamudah Bey ’Abduh, yang di waktu itu menjadi mahasiswa pada Perguruan Sulthaniah.

34.
lu (salafj tentang pokok-pokok kepercayaan (akidah) dalam agama, dan
tidak menghiraukan pendapat-pendapat ulama yang datang kemudian (khalaf).
Pembahasannya, sengaja menjauhkan diri dari membicarakari pertentangan-
pertentangan antara mazhab-mazhab, agar terjauh pula dari tiupan-tiupan angin
kegaduhan. Tetapi dalam beberapa bahagian terdapat pemendekan-pemendekan
(ikhtisar) yang kadang-kadang tidak bisa ditembus oleh pikiran para pembaca
(pentala’ah) dan kadang-kadang serasa-rasa mengabaikan bahagian-bahagian
mana yang sebenarnya amat dibutuhkan. Begitu juga, di sana sini terdapat pula
kelebihan keterangan dari apa yang semestinya dapat diringkaskan.
Oleh karena itu, naskah ini saya perluas ibaratnya dan saya bebaskar, dari
kemusykilan-kemusykilan yang terdapat dalam pengantar pembahasar,
(mukaddimah), dengan menambah apa yang kurang dan membuang apt yang
dirasa lebih, sambil bertawakkal kepada Allah tentang penyebarannyc dan
mengharap semoga ia janganlah hendaknya diabaikan oleh karena ringkasnya,
sehingga ia tidak mendapat penghargaan sama sekali
Tidak seorangpun di dunia ini yang sukses tanpa bantuan dan tai ada orang
yang tidak mengharapkan pertolongan. Demi Allah Yang Mah Tunggal, yang
menguasai segala persoalan dan Dialah tempat memint pertolongan.
MUHAMMAD ’ABDU1
RISALAH TAUHI®
PENGANTAR PEMBAHASAN -
(Sejarah Ilmu Tauhid)
Apakah Ilmu Tauhid ?
TAUHID, adalah suatu ilmu yang membahas tentang ’’Wujud
Allah”, tentang -sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya. sifat-sifat yang
boleh disifatkan kepada-Nya dan tentang sifat- sifat yang sama sekali
wajib dilenyapkan dari pada-Nya ; juga membahas tentang Rasul-rasul
Allah, meyakinkan kerasulan mereka, meyakinkan apa yang wajib ada
pada diri mereka, apa yang boleh dihubungkan (nisbah) kepada diri
mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri
mereka.
Asal makna ’’tauhid”, ialah meyakinkan (mengi’tikadkan), bahwa
Allah adalah ”satu”, tidak ada syarikat bagi-Nya. Sebab nya
dinamakan ’’Ilmu Tauhid”, ialah karena bahagiarjnya yang terpenting,
menetapkan sifat ”wahdah*’ (satu) bagi Allah dalam zat-Nya dan
dalam perbuatan-Nya menciptakan alam seluruh- nya dan bahwa Ia
sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan

35
I
segala tujuan. 1) Keyakinan (tauhid ) inilah yang menjadi tujuan paling
besar bagi kebangkitan Nabi s.a.w., seperti ditegaskan oleh ayat-ayat
Kitab suci, yang akan diterangkan kemudian.

1). Lupa pengarang (Ustadz) menerangkan tentang : "Tauhid IbadatIalah me- nyembah AJlah sendiri-
Nya saja, tidak boleh menyembah yang lain-Nya, baik dengan cara berdo’a atau dengan cara-cara
lain, seperti yang dilakukan oleh kaum Musyrik menyembah manusia, berhala dan lain-lainnya,
seperti' nazar dan korban yang dikorbankan atas nama-nama dan di samping berhala-berhala itu.
Dan tauhid ibadat ini, adalah ajaran pertama yang mula-mula diajarkan (diserukan) oleh setiap
Rasul kepada kaumnya dengan seruannya : ’’Sembahlah olehmu akan Allah, tidak ada Tuhan
bagimu selain dari pada-Nya !**
Ilmu Kalam

Kadang-kadang dinamakan juga ia ’’Ilmu Kalam” ialah karena


adakalanya masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan
perbedaan pendapat di antara Ulama-ulama kurun i- : , pertama. yaitu :
apakah ”Kalam Allah” (wahyu) yang dibaca- kan itu ’’baharu” atau
’’kadim” ? Dan adakalanya pula, karena ilmu tauhid itu dibina oleh dalil
akal (ratio), dimana bekasnya nyata kelihatan dari perkataan setiap para
ahli yang turut ber- bicara tentang ilmu itu/ Namun—begitu. amat sedikit
sekali orang yang mendasarkan pendapatnya kepada daliJ-; ”r*aqal” (Al-
Qur-an dan Sunnah Rasul), kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama
ilmu itu ; kemudian orang berpindah dari pada- nya kepada membicaTakan
masalah yang lebih menyerupai ca- bang (furu’), sekalipun cabang itu oleh
orang yang datang kemudian telah dianggap pula sebagai suatu masalah
yang pokok.
Di samping itu ada pula suatu sebab lain yang menyebab- kan
’’Ilmu Tauhid” itu dinamakan orang dengan ’’Ilmu Kalam”. Ialah,
karena dalam memberikan dalil tentang pokolc (usul) agama, ia lebih
menyerupai logika ^mantiq), sebagaimana yang biasa dilalui oleh para
ahli pikir dalam menjelaskan seluk- beluk hujjah tentang
pendiriannya. Kemudian diganti orang Mantiq dengan Kalam, karena

36
pada hakekatnya keduanya adalah berbeda.

Akidah Islam sesuai dengan Dalil Akal dan Naqal


Ilmu semacam ini (science of theology), adalah_'.ilmu-jiimg
menetapkan keyakinan (akidah) dan menjelaskan tentang ajaran vang
dibawa oleh_para._Nabi^ telah dikenal juga oleh bangsa- bangsa
sebelum Islam, karena tiap-tiap bangsa mempunyai pe- mimpin-
pemimpinnya sendiri, yang berusaha menegakkan urusan agama,
menjaga. dan mengokohkannya. Segala keterangan-ke- terangannya
sejak dari permulaan dikemukakan dengan tujuan untuk
memperhebat agama itu. Tetapi, amat sedikit sekali keterangan-
keterangan mereka itu yang dapat ditinjau dengan
dalil-dalil akal, dan keterangan-keterangan tentang akidah yanj sesuai dengan
tabiat dan undang-undang alam. Bahkan ke terangan-keterangan mereka itu,
bertentangan sama sekali dengar akal dan ketentuan-ketentuan agama, serta
berlawanan dengar perasaan hati. Banyak sekali pemuka agama itu
menyatakan bahwa agama itu musuh akal, baik mukaddimahnya maupur
kesimpulannya. Karena itu rusaklah ”ilmu kalam”, dan menyu- suplah ke
dalamnya pentakwilan dan penafsiran yang bukan-bu kan, sehingga orang
merasa sangat kagum dengan mukjizat, atav terlena dengan khayal-khayal
yang tak pemah menjadi kenyataan. Hal mana dapat diketahui oleh orang
yang memperhatikan keadaan bangsa-bangsa sebelum datangnya Islam.
Maka datanglah Al-Qur-an, menggariskan suatu agama di atas jalan
yang terang, yang belum pemah dilalui kitab-kitat suci sebelumnya. Yaitu
jalan yang memungkinkan orang di zaman ia diturunkan dan orang yang
datang kemudian untuk melaluinya. Qur-an tidak merasa cukup untuk
membuktikan ke-Nabian Muhammad s.a.w. dengaii hanya memakai dalil „
yang telah dikemukakan oleh para Nabi yang datang sebelumnya. Tetapi ia
mengemukakan dalil dan bukti atas kenabiannya Muhammad, dengan
turunnya Kitab Suci (Al-Qur-an) itu sendiri kepada beliau. Suatu kitab yang
sangat indah bahasanya (bala- ghah), yang tidak memungkinkan para ahli
sastera untuk me- nandinginya, walaupun hanya dengan mencontoh sebuah
surat- nya yang paling pendek. Isinya menyatakan tentang sifat-sifat Allah
yang diwajibkan Tuhan kepada kita untuk mengetahiiinya. Ia bukanlah
datang hanya membawa cerita-cerita, tetapi juga mengemukakan dalil dan
kenyataan-kenyataan, yang mema- tahkan kepercayaan-kepercayaan orang-
orang yang membantah. Dituntunnya akal, dibangkitkannya fikiran,
kemudian ditunjuk- kannya undang-undang alam, hukum-hukum dan

37
peraturan-per- aturan yang sesuai dengan akal. Dan diajaknya akal memper-
hatikan undang-undang alam itu dengan penuh .perhatian, agar orang yakin
akan kebenaran yang dibawanya. Hingga dalam me- ngisahkan kejadian-
kejadian pada bangsa-bangsa yang telah silam,

38
iapun menunjukkan bukti-bukti yang nyata, sehingga nyata pula satu
kaidah, bahwa segala makhluk itu adalah suatu lingkungan hukum alam
(sunnah) yang tidak berubah-ubah dan tidak ber- tukar-tukar. Allah
berfirman :

’’Itulah sunnah Allah (hukum alam), yang telah berlaku sejak dahulu
kala, dan engkau tiada akan mendapati perubahan tentang sunnah Allah
itu!’
(Q.S. 48, Al Fath: 23).

"Sesungguhnya Allah tiada, akan mengubah nasib sesuatu bangsa


sehingga mereka sendiri lebih dahulu berikhtiar untuk mengubah nasib
mereka”
(Q.S. 13, Ar Ra’d 11).

Cr.
’’Ciptaan Allah, dimana manusia dijadikan-Nya sesuai dengan fitrah-Nya
itu; tidak ada pembahan bagi ketentuan Allah!’
(Q.S. 30, Ar-Rum : 30). Dan
senantiasa pula Al-Qur-an menyertakan dalil-dalilnya, hingga juga
mengenai bab budi-pekerti.
Firman-Nya : _ ■■

(, n cXei ) __
"Tamviklah olehmu keterangan mereka dengan cara yang lebih baik,
maka permusuhan yang selama ini terdapat antara engkau dan dia, akan
berubah menjadi persahabatan yang baik!”
(Q.S. 41 Fushshilat: 34).

39
Dan ia (Al-Qur-an) telah mempertemukan akal (ratio) dengan agama,
pertama-tama kali dalam kitab suci itu sendiri, dengan perantaraan lisan Nabi
yang diutus Tuhan dengan cara terus terang dan tidak memerlukan takwil.
Telah merupakan suatu ketetapan di kalangan kaum Mus- Iimin, kecuali
orang yang tidak percaya kepada akal dan agama- nya, bahwa sebahagian
dari ketentuan-ketentuan agama itu, adalah tidak mungkin untuk
meyakinkannya, kecuali melalui akal. Seperti mengetahui tentang adanya
Allah dan kudrat-Nya untuk mengutus para Rasul, tentang ilmu-Nya
mengenai apa yang diwahyukan-Nya kepada para Rasul itu, tentang iradat
(kehendak)-Nya yang mutlak untuk menentukan siapa yang akan menjadi
Rasul itu, dan tentang segala sesuatu yang ber- sangkut paut dengan
pengertian kerasulan, seperti membenarkan adanya Rasul itu sendiri. Kaum
Muslimin berpendapat juga, bahwa justeru agama itu datang untuk mengatasi
paham dan pengertian manusia yang berakal, maka adalah suatu hal yang
mustahil jika ia membawa sesuatu yang bertentangan dengan akal itu.
Al-Qur-an datang menunjukkari sifat-sifat Allah ; sekalipun ia lebih
dekat untyk ,mensucikan sifat-sifat yang pemah di- lekatkan oleh bangsa-
bangsa yang dulu-dulu. Namun di antara sifat-sifat manusia, ada yang
menyamai sifat-sifat Tuhan dalam nama, seperti kudrat, ikhtiar, mendengar
dan melihat, dan beberapa hal lagi yang terdapat juga persamaannya dengan
manusia, seperti bersila di atas ’arasy, mempunyai muka dan dua tangan.
Kemudian dilanjutkannya tentang hukum Allah (qadla) yang teijadi, tentang
ikhtiar yang diberikannya kepada manusia. Kemudian ia mencela pemuka
mazhab yang keter- laluan. Di samping itu ia juga membawa kabar yang
menggembirakan dan menakutkan untuk perbuatan-perbuatan baik dan
buruk, serta menyerahkan perkara pahala dan siksa kepada kehendak Allah
dan banyak lagi perkara-perkara yang seperti itu diterangkan Al-Qur-an,
yang tidak perlu rasanya diterangkan dalam pengantar pembahasan
(mukaddimah) ini.
Dengan adanya ketentuan mengenai hukum akal, dan ter- dapatnya
ayat-ayat Mutasyabihat di dalam Al-Qur-an, maka hal itu merupakan jalan
peluang bagi mereka yang suka berfikir, terutama karena panggilan agama,
untuk memikirkan semua makhluk Tuhan, tidak terbatas oleh suatu
pembatasan dan tidak pula dengan sesuatu syarat apa juapun, karena
mengerti, bahwa segala pemikiran yang benar akan membawa kepercayaan
terhadap Allah, menurut sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh- Nya dengan
tidak terlalu menganggap sepi dan tidak pula mem- batasi fikiran itu.

40
Masa Kesatuan Faham
Telah berlalu zaman Nabi s.a.w. dimana beliau telah me- lenyapkan
segala kebingungan dan menjadi pelita dalam ke- gelapan syubhat. Dua orang
khalifah sesudah beliau, bexjuang sepanjang umumya melawan musuh-musuh
Islam, sambil me- madu tekad dengan kawan-kawannya, sehingga tidak ada
se- dikitpun peluang bagi orang banyak untuk memperdayakan dan
mengutik-utik dasar kepercayaan (akidah) yang telah ber- kembang dengan
baik.
Bila timbul sedikit saja pertentangan, cepat-cepat persoalan itu dibawa
ke hadapan khalifah, yang dengan putusannya, persoalan menjadi beres ;
yakni setelah dimusyawarahkan lebih dahulu dengan para ahli agama yang
selalu mendampingi beliau- beliau itu.
Biasanya perselisihan-perselisihan itu timbul sekitar cabang- cabang
hukum (furu’) agama, bukan mengenai masalah yang pokok, yakni dasar
kepercayaan (akidah). Keadaan rakyat pada zaman kedua khalifah itu, cukup
mengerti akan isyarat-isyarat Al-Qur-an dan nash-nashnya. Mereka
menganut kepercayaan dengan penuh kesadaran yang diliputi kesucian. Ayat-
ayat yang mutasyabih 1) mereka serahkan kepada Tuhan dan sekali-kali

1) . Ayat-ayat Mutasyabihat, ialah ayat-ayat Al-Qur-an yang samar-samar pengertiannya.


tidak mau mereka beijalan di luar paham yang dinyatakan oleh lahir ayat
Keadaan seperti itu beijalan dengan baik hingga teijadinya peristiwa
yang menimpa khalifah yang ketiga (Usman bin Affan), yaitu peristiwa
terbunuhnya khalifth itu. Sejak teijadinya peristiwa itu, maka rusak
binasalah soko-guru (tiang-agung) khilafah, teijerumuslah Islam dan
pengikut-pengikutnya ke dalam suatu perbenturan, yang menyimpangkan
mereka dari jalan lurus yang selama ini mereka lalui. Namun demikian, Al-
Qur-an tetap utuh dan terpelihara menurut aslinya, berdiri dengan jaya di
tempat- nya semula 2)

’’Sesungguhnya Kami (Allah) yang menurunkan Al-Qur-an, dan Kamilah


yang memeliharanya’.’
(Q.S. 15 Al-Hijr: 9).

Peristiwa terbunuhnya khalifah yang ketiga itu, telah mem- bukakan


pintu bagi manusia untuk melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh
agama, karena khalifah sesungguhnya terbunuh dengan cara yang tidak

41
sesuai sama sekali dengan hukum syara’. Maka timbullah dihati orang
banyak, nafsu-nafsu perseorangan, utama sekali di kalangan orang-orang
yang tidak ada pengaruh Iman dalam hati mereka. Sehingga dendam dan
kemarahan menguasai fikiran kebanyakan orang, lebih-lebih terhadap orang
yang keterlaluan (fanatik) dalam agama. Masing-

1) Pada hakikatnya kaum Salaf, mengambil pengertian tentang sifat-sifat ketuhanan dengan makna-makna
lafadzh - menurut logat, serta mensucikan Allah s.w.t. dari pada menyerupainya dengan sesuatu di antara
makhluk-Nya. Sebagaimana keadaan zat-Nya tidak seperti zat-zat yang lain, maka demikianlah pula sifat-
sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.
2) Timbulnya bencana atas Islam dan pengikut-pengikutnya hanya mengakibatkan kepada diri mereka
sendiri, tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap Al-Qur-an, yang tel^fi dijamin Tuhan untuk
memelihara keasliannya, sehingga ia tetap merupakan"' hujjah di samping mereka.
O7
masing pihak berusaha mempengaruhi orang-orang yang ma - sih tetap baik,
untuk maksud-maksud tertentu dan akhimya timbullah peristiwa-peristiwa
lain, yang sama sekali tidak mereka harapkan.
Kegiatan Abdullah bin Sa$a\ permulaan timbulnya bid’ah, tentang
’akidah
Di antara orang-orang yang giat bekeija melancarkan fitnah ke sana-
sini, adalah Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang baru masuk Islam.
Dengan berpura-pura terlalu fanatik men- cintai Ali Karramallahu wajhahu
(semoga Tuhan memuliakan wajah beliau), ia mendakwakan, bahwa Allah
telah bertempat pada diri Ali 1 \ Ia mendakwakan pula, bahwa Alilah sebenar-
nya yang berhak menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia me- nyerang
Khalifah Usman dengan amat sengitnya, sehingga me- nyebabkan ia dibuang
oleh Khalifah Usman. Kemudian ia pergi ke kota Basrah, di sana
ditiupkannya pula fitnah besar itu. Khalifah Usman memerintahkan supaya
mengusimya dari Basrah. Maka ia pergi ke Kufah, dimana racun fitnah itu
disebarkannya pula. Ia dibuang dari Kufah, lantas pergi ke Syam (Syria). Di
sini ia tidak dapat rnencapai maksudnya, yang menyebabkan ia pergi ke
Mesir, dimana ia mendapatkan para pengikut, hingga akhimya terjadilah apa
yang telah kami sebutkan di atas. Kemudian pada zaman pemerintahan Ali,
dengan cara yang amat menyolok, ia mempropagandakan (demonstrasi) akan
pen- diriannya, sehingga Ali terpaksa membuangnya ke Madain. Namun
begitu, pendirian Abdullah bin Saba’ itu telah merupakan benih dari segala
sengketa yang teijadi kemudian, di samping pendirian-pendirian yang sangat
fanatik.

42
1). Saya memandang, bahwa Ibnu Saba’ dalam tindak-tanduknya, bukanlah sebenarnya mencintai Ali, sebab
Islamnya adalah tipu muslihat semata. Untuk jasa-jasanya ia diberi penghargaan oleh kaum Yahudi. Seperti
itu pulalah sikap kaum Majusi di Persia, yakni berusaha menonjol-nonjolkan Ali dan kaum keluarga Nabi
dengan tujuan untuk membinasakan Islam dan melenyapkan pengaruhnya, dengan cara memecah belah di
antara penganut-penganutnya sendiri, sebagaimana dibayangkan oleh pengarang sendiri di halaman 46.
Lahirnya Partai Syi’ah dan Khawarij
Berturut-turut peristiwa yang menyedihkan seperti itu tim- bul
kemudiannya. Sebahagian orang-orang yang turut membai’at Khalifah yang
keempat (khalifah Ali), mengkhianati janji-janji mereka.. Karena itu
timbullah huru-hara perang saudara di ka- langan kaum Muslimin, sampai
pemerintahan dipegang oleh Bani Umaiyah. Tetapi pembinaan masyarakat
Ummat Islam telah hancur berantakan dan tali kesatuan yang mengikat me-
reka telah putus. Perselisihan paham memperebutkan kursi khalifah selalu
ada. Masing-masing golongan memperkuat pen- dirian. mereka dan berusaha
keras mengalahkan lawannya, baik dengan kata-kata, maupun dengan
langkah dan perbuatan. Dalam pada itu timbul pula gejala-gejala lain, yaitu
membikin- bikin riwayat hadist dan takwil. Tiap-tiap kabilah menjadi
keterlaluan (fanatik), yang akibatnya memecah-belah ummat Islam kepada
partai-partai : Syi’ah, Khawarij dan golongan Per- tengahan (Al Mu’tadilin,
Moderat). Kaum Khawarij mempunyai sikap yang berlebih-lebihan, sehingga
mereka mengkafirkan siapa saja yang berdiri di luar golongan mereka. Di
samping itu, mereka menuntut sekeras-kerasnya, supaya pemerintahan di-
bentuk secara Republik.
Yang menentang pendirian inipun, mereka anggap kafir pula. Lama
juga usaha mereka ini baru dapat dilumpuhkan, yaitu hingga berkotxamya
api peperangan yang banyak sekali menelan korban kaum Muslimin.
Akhirnya mereka lari kucar- kacir, bertebaran di pinggir-pinggir negeri
Islam. Namun begitu, mereka tidak jera-jeranya menimbulkan huru-hara.
Sisa-sisa mereka hingga sekarang, masih terdapat di tepi-tepi negeri Afrika
dan di pinggir-pinggir jazirah Arab 4\ Di samping itu, sebahagian dari
golongan Syi’ah bersikap keterlaluan pula. Mereka agungkan Ali atau di
antara anak cucu ’Ali, hingga meiiempat- kan setaraf dengan kedudukan
Tuhan atau mendekati itu. Per- pecahan yang demikian, merembet-rembet
kepada segi-segi dari bidang kepercayaan (akidah).
Walaupun sudah demikian rupa perpecahan itu terjadinya, sedikitpun
tiadalah menghalangi jalannya da’wah (seruan) Islam dan tidak pula menutup
sinamya cahaya Al-Qur-an, hingga menyorot sampai ke pelosok-pelosok

4 Mereka adalah kaum Abadhiyah di Tripoli Barat, di padang pasir Al Jazair dan Zanzibar, dan di Aman,
termasuk jazirah Arab, tetapi sebenarnya mereka lebih dekat kepada golongan moderat.

43
negeri, yang menyebabkan bangsa-bangsa berbondong-bondong memeluk
Islam, sejak dari Persia, Syria dan sekitamya, Mesir, Afrika dan bangsa-
bangsa lain.
Kemudian, datanglah masanya bagi kaum Muslimin untuk beristirahat,
yang selama ini beijuang menegakkan kekuasaan Islam. Kesempatan ini
mereka pergunakan untuk menumpahkan perhatian dalam lapangan pokok
kepercayaan (akidah) dan hukum, sesuai dengan petunjuk Al-Qur-an kepada
mereka. Mereka bekeija berpedoman kepada Kitab dan Sunnah, dengan tidak
mengabaikan pertimbangan akal dan tidak pula menutup mata tentang hasil
tinjauan fikiran. Di antara orang yang be- kerja ikhlas, terdapat pula orang
yang menumpahkan perhatian- nya kepada ilmu, sambil menunaikan
kewajibannya untuk meng- ajar. Yang paling masyhur di antara mereka itu,
adalah Hasan At Basri. Beliau mempunyai pesantren (perguruan) di Basrah,
dimana para mahasiswanya berdatangan dari berbagai daerah mengaji
(mempelajari) berbagai masalah dari segala macam seginya. .
Dalam pada itu, banyak orang dari bermacam-macam agama terdorong
masuk Islam, sambil membawa kepercayaan yang selama ini mereka anut ;
mereka ingin sekali mempertemukan Islam dengan apa yang telah mereka
peroleh sebelumnya. Akibatnya timbullah dalam agama beraneka-rupa
syubhat, setelah taufan fitnah yang baru saja reda di tengah-tengah ummat
Islam. Tiap-tiap penyelidik tentang apa-apa yang dijelaskan oleh Al- Qur-an,
memegang teguh kemerdekaannya berfikir, menema- ni orang-orang yang
baru masuk Islam itu yang terdiri dari sarjana ilmu pengetahuan yang
terkemuka. Karena itu, tampak- lah menonjol dengan jelas, tokoh-tokoh yang
bekerja keras, yang menyebabkan martabat mereka menjadi tinggi di
kalangan kaum Muslimin.
Awal masalah yang menimbulkan pertikaian di antara mereka, adalah
masalah ’’ikhtiar”, kebebasan kemauan rrtanu - sia dan perbuatannya dengan
ikhtiar itu, dan masalah tentang orang yang melakukan dosa besar, sedang ia
tidak tobat. Dalam masalah tersebut, pendapat Wasil bin ’Atha’, telah berbeda
dengan pendapat gurunya, Hasan Al Basri. Wasil kemudian memisahkan diri
dari gurunya, yang lantas mengajarkan pula pokok-pokok agama, baik yang
diterimanya dari gurunya atau- pun pendapatnya sendiri. Akan tetapi dalam
masalah itu; ke- banyakan kaum Salaf, di antaranya termasuk Hasan Al Basri
sendiri, setuju dengan pendapat, bahwa seorang hamba, bebas melakukan
perbuatan-perbuatannya yang ditimbulkan oleh ilmu dan kemauannya. 5

5 Pendapat jumhur ulama Salaf berkeyakinan demikian, dan keyakinan mereka itu diikuti pula oleh

44
Golongan Jabbariah membantah pendapat itu dan berpendirian, bahwa
manusia dalam segala kehendak perbuatannya tak ubahnya seperti ranting-
ranting pohon kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka.
Semua kejadian itu berlangsung sedemikian rupa, sedang pihak
pemerintah Bani Marwan tampaknya tidak ada keinginan untuk turut
mencarikan penyelesaian dan membawa orang banyak kepada persoalan yang
pokok, atau mengajak mereka untuk bersama-sama mencari suatu titik
pertemuan, yang dapat memberikan kepuasan kepada semua pihak. Akhimya
semua golongan beijalan sendiri-seridiri menurutkan kehendak hatinya
masing-masing, kecuali Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah ini
memerintahkan kepada Az Zuhri, 2> supaya membukukan (kodiflkasi) segala
hadits yang sampai kepadanya, dan temyata beliaulah orang pertama yang,
menghimpunkan hadits.
p-
Lahimya Kaum Mu’tazilah.
Kemudian, rupaaya perselisihan-perselisihan pendapat itu tidaklah
terbatas kepada dua masalah yang tersebut di atas saja, akan tetapi telah
menjalar kepada menetapkan (itsbat) sifat-sifat ma’ani ^ bagi zat Tuhan, atau
meniadakan (nafi) sifat-sifat itu dari pada-Nya. Seterusnya sampai kepada
menetapkan kekuasaan akal untuk mengetahui segala hukum- hukum agama,
menentukan mana yang furu’, mana yang ibadat (karena keterlaluan dalam
menarik garis Al-Qur-an), meng - khususkan (menentukan) kekuasaan akal
itu tentang pokok- pokok yang pertama saja, seperti yang telah dijelaskan
sebelum- nya.
Sesudah itu muncul lagi kelompok golongan fanatik yang lain. Jumlah
mereka hanya sedikit, tetapi mereka menghapus- kan sekali gus golongan-
golongan yang menetapkan kekuasaan akal bagi hukum-hukum agama dan
menentang hal-hal yang demikian, sesuai dengan keterangan Kitab. Di
samping itu, pendapat-pendapat tentang masalah ’’khiiafat” terus juga ber-
jalan,. seiring dengan pendapat-pendapat tentang kepercayaan (akidah), yang
kalau dilihat sepintas lalu, seolah-olah masalah khiiafat ini termasuk pula
salah satu sendi-sendi kepercayaan Islam.
Telah banyak simpang siumya paham Wasil dan pengikut- pengikutnya.
6
) Di antaranya, mereka memperdapat ilmu pengetahuan dari buku-buku
Yunani, sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka mengira, bahwa

kebanyakan ahli hadits.


/
6 Merekalah yang disebut kaum Mu’tazilah (RaSionalis fslam).

45
memperkuat kepercayaan agama dan menetapkannya dengan ilmu tanpa
mengadakan pembedaan apakah ia sesuai dengan pandangan akal ataukah
duga-dugaan belaka, adalah termasuk pengabdian kepada Tuhan. Oleh
karena itu mereka campur-adukkan saja pengetahuan-pengetahuan agama
dengan apa yang sama sekali tidak sesuai dengan salah satu pokok-pun di
antara pokok-pokok fikiran yang rasionil. Mereka lanjutkan gerakan mereka,
hingga golongan mereka menjadi banyak, yakni berkat sokongan yang kuat
dari kefajaan Abbasiyah yang sedang berada dalam puncak kekuatannya.
Maka menariglah pendirian mereka dan para alim ulama mereka mulai
mengarang- kan beberapa jumlah buku. Namun demikian, orang-orang yang
berpegang teguh kepada keyakinan kaum Salaf, dengan kepercayaan yang
kokoh, tetap menantang pendirian tersebut di atas sekalipun mereka tidak
mendapat sokongan pembesar- pembesar negara.
Daulat Abbasiyah mengerti akan jasa-jasa dan pengorbanan yang
diberikan oleh bangsa Persia dalam menegakkan kerajaan mereka dan
menggulingkan kerajaan Bani Umaiyah. Untuk itu mereka menyediakan
jabatan-jabatan tinggi bagi orang-orang Persia, di antaranya jabatan Menteri
dan jabatan wakil Menteri, walaupun kebanyakan orang-orang Persia itu
tidak mengerti masalah-masalah agama. Di antara orang-orang Persia yang
diberi kedudukan atau jabatan-jabatan tinggi itu, terdapat pengikut-
pengikut mazhab Al Manawy dan Yazidiyah, serta orang-orang yang tidak
menganut agama sama sekali. Dengan kedudukan dan jabatan yang mereka
pegang, orang-orang Persia itu mendapat kesempatan luas dan leluasa untuk
menghembuskan buah fikiran mereka, baik dengan cara halus atau terus
terang, agar orang tertarik dengan buah fikiran mereka dan kemudian
mengekor kepadanya. Akibafnya lahirlah kekafiran dan muncullah tokoh-
tokoh kaum Zindiq (kaum sesat), hingga datang pula Khalifah Al Mansur,
yang memerintahkan supaya menerbitkan buku-buku bariT'guna
membukakan tabir kegelapan itu dan membatalkan segala pendapat yang
diindoktrinasikan selama ini.
Sekitar masa inilah tumbuhnya ”Ilmu Tauhid”, tetapi belum begitu
sempuma berkembangnya dan belum begitu tinggi
mutunya. Dan mulailah pembicaraan tentang ’’Ilmu Kalam”, yakni dengan
menghubungkanjiya kepada pokok pemikiran tentang kejadian alam, sesuai
dengan ketentuan Al-Qur-an tentang hal itu. Kemudian timbullah masalah
yang menimbulkan bencana (fitnah), yaitu masalah tentang kejadian Al-
Qur-an. Apakah Al-Qur-an itu ’’makhluk”, atau barang yang ’’azali”, yang
tidak ada permulaan. Pendirian yang pertama dikuatkan oleh se- golongan

46
dari khalifah-khalifah Abbasiyah, sedang keyakinan yang kedua, yakni
yang mengatakan, bahwa Al-Qur-an itu ’’azali”, dipegang teguh oleh
kelompok-kelompok yang be'r- sandar kepada nash-nash Kitab dan Sunnah
Rasul, atau oleh mereka yang“ menjaga dirinya untuk berbicara tentang
hal-hal yang mungkin membawa bid’ah. Oleh karena perbedaan pendapat
yang seperti itu, mengalir pulalah darah dengan cara yang tidak * wajar
dan banyak pulalah ahli-ahli ilmu dan orang yang tak - wa mendapat
bencana. Begitulah keadaannya, orang-orang me- langgar batas-batas
agama dengan memakai nama agama itu sendiri. .

Kaum Kebatinan.
Di tengah-tengah situasi yang seperti ini pulalah timbulnya sengketa
di antara golongan-golongan yang berlebih-lebihan mem- perturutkan
kemerdekaan berfikir dengan golongan pertengahan (moderat), atau
dengan golongan yang terlalu teguh berpegang kepada lahir syari’at
belaka. Akan tetapi, namun semuanya ini sepakat mengenai satu
ketentuan, bahwa segala hukum agama wajib dipatuhi, baik yang
berkenaan dengan soal-soal ibadat, soal mu’amalat ataupun soal-soal
kerohanian. Di belakang mereka ini, terdapat iagi golongan yang
menganggap dirinya telah berhubungan batin dengan Tuhan sehingga
mengatakan, bahwa Tuhan telah bertempat dalam dirinya (hulul,
immanence); atau kaum Mate- rialism-atheism (Dahriyun), yang berusaha
hendak membawa Al Qur-an ke arah lain, sesuai dengan pendirian
mereka, yang selama ini telah di-infiltrasikannya Ke dalam Islam.
Komentar (takwil) mereka sangat berlebih-lebihan dan memutar
balikkan amal lahir menjadi rahasia batin. Kitab suci, mereka tafsirkan
semau-maunya, jauh dari apa yang dimaksud oleh nash ay at dan
menyimpang dari mestinya. Mereka ini terkenal juga dengan nama kaum
"Kebatinan” (Bathiniyah) atau ”IsmaiUyah” 7 . Dan masih banyak lagi nama-
nama lain yang diberikan kepada mereka, sebagaimana terdapat dalam
sejarah.
Pendirian mereka di segala lapangan merusak agama, meng-
goncangkan keyakinan-keyakinan, menimbulkan fitnah dan huru- hara yang
termasyhur.

Syekh Abu Hasan Al Asy’ary

7 Lahir tahun 210 H. (dan ada yang mengatakan tahun 260), wafat tahun 330 H.

47
Dengan timbulnya kata sepakat antara kaum Salaf dengan golongan-
golongan yang sehaluan dengan mereka untuk bersama- sama menentang
kaum zindiq dan kelompok-kelompok yang sehaluan dengan itu, maka
memuncak pulalah perselisihan di antara mereka. Hari-hari kemenangan silih
berganti berada di antara kedua pihak. Tetapi, namun demikian hebatnya
per- tengkaran di antara mereka, hal itu tidaklah menjadi halangan bagi
masing-masing pihak untuk memperdalam ilmu dan mengambil sesuatu
v yang berfaedah bagi mereka tentang ke- ilmuan, oleh salah satu fihak dari
yang lainnya atau sebaliknya. Keadaan itu berlangsung pula sedemikian rupa,
hingga muncul pUla Syekh Abu Hasan Al Asy’ary, pada awal kurun keempat 21
Beliau beijalan di tengah, yakni antara keyakinan kaum Salaf dan keyakinan
orang yang menentang mereka (suatu synthese). Ia menetapkan pokok
kepercayaan (akidah) menurut pokok- pokok yang sesuai dengan tujuan akal.
Tetapi kaum Salaf me- ragukan kebenaran pendirian beliau itu dan banyak di
antaranya ‘ yang , menyerang akidahnya yang demikian itu, sehingga peng-

48
ikut-pengikut mazhab Hanbali, mengkafirkan pendirian itu dan
menghalalkan darah orang yang menganutnya. Sebaliknya, kemudian beliau
dibela oleh suatu jama’ah ulama-ulama terke- muka, • di antaranya seperti
Abu Bakar Al Baqilany, Imam Haramain, Imam Al As Faraini dan lain-lain. 1(.
Dan pendirian beliau ini mereka namakan dengan "Mazhab Ahli Sunnah
8
wal Jama’ah. Akhirnya lenyaplah dari hadapan ulama-ulama terkemuka tadi
dua macam unsur kekuatan yang besar : pertama, kekuatan dari pihak orang-
orang yang berpegang teguh kftpada lahir (letterlijk) ayat dan hadits ; kedua,
kekuatan dari pihak orang - orang yang gegiaL-kepada dugaan-dugaan
(hypothesis) fikiran belaka. Dua abad kemudian, kedua macam golongan itu
sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa kelompok kecil yang terdapat di
pinggir-pinggir negeri Islam.
Para pendukung ’’mazhab Asy’ary”, setelah menetapkan ajarannya
yang berfikir sesuai dengan undang-undang alam, mewajibkan pula bagi
orang yang mempercayai ajaran itu, untuk meyakinkari kebenaran jalan
fikiran yang demikian dengan segala konklusinya, sebagaimana ia harus yakin
kepada akidah- akidah iman. Karena mereka berpendapat, bahwa tanpa ada-
nya dalil, menunjukkan kepada tidak adanya barang yang di- buktikan.
Begitulah keadaan itu. beijalan, sampai datang Imam Al-Gazali, Imam Al-
Razy dan orang-orang yang sependirian dengan keduanya. Tokoh-tokoh
ulama ini menentang mazhab Al-Asy’ary tentang jalan fikiran mereka di atas.
Ulama-ulama
ini berpendapat, bahwa sebuah dalil atau dalil-dalil yang banyak itu,
kadang-kadang nyata batalnya, tetapi untuk membuktikan sesuatu, orang
harus mencarikan bukti yang lebih kuat, maka tidak ada gunanya ”batu”
untuk dijadikan bukti.
Adapun ’’mazhab filsafat”, maka ia senantiasa mendasarkan
pendapatnya kepada fikiran semata-mata. Dan tidak ada cita-cita kaum
filsafat itu, kecuali untuk menemukan ilmu dan menyem- purnakan apa
yang membawa kepuasan akalnya dalam mem- bukakan tabir rahasia

8 Nama ini diberikan mereka, karena tingginya kedudukan tokoh-tokoh itu dalam pandangan para khalifah dan
raja-raja dan karena banyaknya pengikut mereka di kalangan ulama-ulama. Imam Asy’ari sendiri pada
mulanya adalah seorang
• mu’tazilah, kemudian 'ruju’ kepada mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah dalam beberapa masalah penting
yang menjadi perselisihan" di antara mereka dengan kaum mu’tazilah itu. ■ Kemudian ia kembali benar
kepada paham Salaf hingga akhir hayatnya dalam segala segj, dan dengan terus-teivng ia menyatakan,
bahwa ia mengikut Imam Ahmad bitf Hanbal sebagaimana terbukti dengan kitabnya ”Al-lbanah”, begitu
pula dengan pengikut-pengikutnya yang terkemuka, seperti Imam Haramain, Imam Al-Juaini, Gazali dan
Razi.
sesuatu yang belum diketahui, atau mengemukakan apa yang menjadi hasil
pemikiran akal. Mereka mungkin dapat mencapai apa yang mereka cita-
citakan dengan cara yang mereka maui. Dalam hal itu mereka dilindungi
oleh segolongan besar ahli agama dan membiarkan mereka puas dalam
usaha mereka mencari kelazatan akal, memajukan kesenian dan
memperkuat sendi-sendi susunan masyarakat ummat manusia dengan hasil
usaha mereka dalam membukakan tabir-ta"bir rahasia apa yang
tersembunyi dalam alam, yakni apa yang oleh Tuhan diberikan kesempatan
kepada kita untuk menyelaminya dengan ' akal fikiran kita, sebagaimana
tersebut dalam firman-Nya:

"Ia (Allah) jadikan untuk kamu apa yang ada di


bumi semuanya’
(Q. Al Baqarah, Si- 2 : 29)*
Dalam firman-Nya itu tak ada sesuatu yang dikecualikan oleh
Tuhan, baik yang lahir maupun yang tersembunyi. Dan tak seorangpun di
antara pemikir-pemikir Muslim yang menutup jalan atau merintangi jalan
yang mereka lalui dalam mencari petunjuk yang benar, yakni setelah Al-
Qur-an mengangkat daijat akal pada kedudukan yang setinggi-tingginya,
sehingga diserahi mencari jalan yang dapat membawa kebahagiaan,
membedakan mana yang hak dan yang batil, yang merusak dan yang
memberi manfa at. Apalagi setelah Nabi s.a.w. menegaskan dalam sabda
beliau :

"Kamu (tentuj lebih tahu tentang urusan-urusan duniamu” ^


Dan setelah Nabi menunjukkan contoh pengalaman di perang Badar yang
dapat dipercaya yang terbukti kebenarannya.
Tetapi sungguhpun demikian, ada dua perkara yang telah
berpengaruh besaL kepada kaum filsafat itu. Pertama terlalu kagum kepada
ajaran filosof-filosof Yunani yang sampai kepada mereka, terutama sekali
tentang buah fikiran Aristoteles dan Plato. Mereka merasa senarig untuk
bertaklid (mengekor) kepada keduanya dengan cara membuta tuli sejak dari
permulaan. Kedua, pengaruh hawa nafsu pada diri orang banyak pada waktu
itu ; dan ini lebih berbahaya dari yang pertama. Mereka meneijunkan dirinya
ke dalam berbagai sengketa yang tumbuh di kalangan para penyelidik agama.

50
Sekalipun jumlah mereka tidak banyak, tetapi dengan ilmu pengetahuan yang
ada pada diri mereka, mereka (kaum filsafat Islam) telah bertabrakan dengan
keyakinan yang dipergantungi oleh orang banyak. Karena- nya, bangkitlah
para pembela agama, bersama-sama menentang kaum filsafat itu. Tampillah
Gazali dengan para mahasiswanya menyelidiki segala ajaran-ajaran yang
tertulis dalam kitab-kitab kaum filsafat, yang berkenaan dengan masalah ke-
Tuhanan, soal-soal umum yang berhubungan _ dengan itu, soal hukum ke-
bendaan (jauhar), keadaan (aradl) dan pendapat-pendapat mereka mengenai
materi dan susunan benda-benda, pendeknya segala apa yang dianggap oleh
ahli-ahli ilmu kalam (tauhid) menying- gung sesuatu dasar dari sendi-sendi
agama. Dalam hal ini mereka menyerang kaum filsafat itu dengan sengitnya.
Tetapi ahli-ahli ! filsafat yang datang kemudian, telah bersikap terlalu
berlebih- lebihan pula dalam mengikuti jejak mereka yang terdahulu, sedang
orang banyak menyingkirkan kaum filsafat itu, dan kaum cendekiawan tidak
menghormati mereka lagi. Demikianlah zaman itu pergi dengan kekecewaan
dunia Islam atas kegagalan usaha kaum filsafat itu.
Inilah yang menjadi sebab kenapa masalah-masalah ilmu kalam
(tauhid) bercampur-aduk dengan ajaran-ajaran filsafat dalam kitab-
kitab yang dikarang oleh orang yang datang kemudian, sebagaimana
terdapat dalam buku-buku karangan Baidawi dan lain-lain. Beliau
menghimpun beberapa macam ilmu akal yang berbeda-beda menjadi
satu ilmu, Dam ilmu itupun sejak dari mukaddimah sampai kepada
pembahasannya, dipelajari dengan cara yang lebih dekat kepada turut-
turutan, tanpa mempergunakan fikiran sendiri. Karenanya terhentilah
kemajuan ilmu pengetahuan.
Kemudian timbul persengketaan (fitnah) pada beberapa golongan
yang memperebutkan kekuasaan negara. Tetapi dalam sengketa itu
pihak yang bodoh yang tidak berilmulah yang mendapat kemenangan.
Maka dihapuskannyala'h sisa-sisa yang masih tinggal dari bekas
pengaruh ilmu akal yang selama ini memancar dari mata air agama
Islam, sehingga orang melalui jalan yang sesat. Tak ada lagi orang
mempelajari kitab-kitab kuno (klasik) yang berharga, kecuali
membicarakan soal-soal lafazh, kata-kata dan susunan bahasanya.
Inipun terbatas kepada buku-buku. yang tidak bermutu, yang dipilih
karena kebodohan dan kelalaian 9 \ Kemudian menjalarlah Krisis di

9 Yakni, bahwa kaum mutaakhirin telah salah dalam memilih kitab-kitab kuno. Daii di samping itu
metode pengajaran mereka itupun di titik beratkan pada pembahasan tentang lafazh-lafazh dan

51
lapangan ilmu akal di kalangan kaum Muslimin, dipimpin oleh
pemimpin- pemimpin (pembesar-pembesar) yang bodoh-bodoh itu.
Maka datang pulalah segolongan orang yang mengemukakan
konsepsinya, yang sama sekali tidak diakui oleh ilmu pengetahuan.
Kemudian mereka membuat undang-undang yang dianggap tidak
pemah ada dalam Islam sebelum itu. Namun demikian mereka dapat
sokongan juga, ialah karena kekurangan pendidikan di- mana-mana dan
karena orang telah jauh dari sumber-sumber mata air Islam. Mereka
jatuhkan kedudukan akal dari singga- sananya. Dengan gampang
mereka bersikap berlebih-lebihan, sehingga mereka meniru-niru pula
tingkah laku orang yang dulu-dulu yang mendakwakan adanya
permusuhan antara ’’ilmu” dan ’’agama”. Lisan mereka dengan
gampang mengucapkan kata-kata dusta : ”Ini halal dan ini hajam. Ini
kafir dan ini Islam !” Sedang agama jauh sama sekali dari pada yang
mereka sangka. Allah Yang Maha Agung di atas dari apa yang mereka
duga-duga dan gambarkan itu. 10
Tetapi bencana apakah yang telah menimpa orang umum dalam
akidah sebagai sumber amal perbuatan mereka yang berpengaruh
pada jiwa mereka, setelah masa kekalutan yang panjang dan
konplikasi itu liwat ? Hanya bencana besar dan malapetaka yang
merata !
Inilah sekedar keringkasan dari sejarah pertumbuhan ilmu ini, 7 )
yaitu sekedar memperlihatkan bagaimana pada mulanya ilmu ini
didirikan di atas dasar-dasar dan kaidah Kitab Suci. Tetapi betapa
akhirnya, ia menjadi permainan di tangan orang- orang yang suka
bersilang-sengketa, sehingga mereka menyim- pangkannya dari
tujuannya semula dan • menjauhkannya dari batas-batasnya yang
tertentu.
Keyakinah yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama Islam adalah
agama (kepercayaan) ’’Tauhid” (monotheismus), bukan agama yang
berpecah-pecah dalam kepercayaan-keper- cayaan itu. Akal adalah
pembantunya yang paling utama dan naqal (Al-Qur-an dan Sunnah)

uslub-uslub (gaya dan tatabahasa), bukan tentaitg masalah-masalah ilmu dan penelitiannya yang
dibahas secara bebas. Terhadap mereka itu, Muhammad *Abduh mengatakan, bahwa mereka
sebenarnya mempelajari kitab bukan itmu.
10 Lihat keterangan Asy’ari dalam "Thabaqat Al-Kubra” oleh Subki.

52
adalah merupakan sendi-sendinya yang paling kokoh. Di balik itu
hanyalah goda-godaan setan belaka dan nafsu-nafsu orang yang haus
kekuasaan. Qur-an menjadi saksi bagi segala amal perbuatan manusia
dan menjadi hakim' yang menghukum benar atau salahnya masing-
masing orang dalam amalnya itu.
Tujuan terakhir dari ilmu ini, ialah menegakkan suatu kewajiban
yang sama-sama disepakati, yaitu mengenai Allah Yang Maha Tinggi
dengan segala sifat-sifat yang wajib melekat pada diri-Nya, serta
mensucikan-Nya dari sifat-sifat yang mustahil bagi Zat-Nya.
Membenarkan para Rasul-Nya dengan keyakinan yang dapat
menenteramkan jiwa, dengan jalan ber- pegang teguh kepada dalil,
bukan semata-mata menyerah kepada taklid buta, sesuai dengan yang
ditunjukkan oleh Al-Qur-an kepada kita. Ia menganjurkan kepada kita
untuk melakukan penyelidikan (research) dengan mempergunakan akal,
kepada benda-benda alam yang terdapat di sekitar kita, menembus
rahasia-rahasia alam itu sekedar yang dapat dicapai, sehingga timbul
keyakinan terhadap apa-apa yang telah dianjurkan kita menyelidikinya.
Al-Qur-an melarang kita taklid kepada apa-apa yang diceritakan oleh
para leluhur tentang hikayat-hikayat bangsa purba, dan perbuatan-
perbuatan demikian itu sangat dicela oleh Al-Qur-an. Mengekor seperti
itu, dapat meruntuhkan keyakinan dan menghapus wujud keagamaan.
Dan benarlah ucapan yang mengatakan : ’’Bahwa taklid itu,
sebagaimana ia terdapat dalam perkara yang hak, ia terdapat dalam hal
yang memberi manfa’at, ia tentu akan datang pula dalam hal yang
membawa kerusakan. Pendeknya ia menyesatkan, yang hewan sendiri
merasa keberatan terhadapnya, karena memang taklid itu tidak dapat
membawa kemajuan kepada ummat manusia!’
PEMBAGIAN HUKUM AKAL
PARA ahli tauhid (ilmu kalam), membagi yang "Maklum” (Al-
Maklum : yang dapat dicapai oleh akal) kepada tiga bahagian. Yaitu
’’Mungkin” bag. zatnya, "Wajib” bagi zatnya dan ’’Mustahil” bagi
zatnya. 11 > '

11 Pembagian ini adalah khusus bersangkut-paut dengan hukum akal (logika). Karena segala sesuatu yang
bersangkut-paut dengan ilmu adakalanya sesuatu itu ’’wajib” tetap adanya dan tak mungkin tidak ada ;
dan ada kaianya menunjukkan sebalik- nya, yaitu yang ’’mustahil” adanya ; dan adakalanya pula berjalan
di tengah antara keduanya, yakni boleh ada dan boleh pula tidak adanya zat itu, karena sesuatu ilat
(sebab) yaitu ’’mungkin”. Makna sesuatu itu ’’mungkin” atau ’’mustahil” atau ’’wajib” ada zatnya, ialah

53
Adapun yang ’’mustahil” menurut istilah mereka, ialah sesuatu
yang zatnya memang tidak mungkin ada. Adapun yang ’’wajib”, ialah
sesuatu yang zatnya memang sudah semestinya ada. Sedang yang
’’mungkin”, ialah sesuatu yang tidak ada wujudnya, tetapi tidak pula
dapat dikatakan tidak' ada zatnya,

karena memang keadaannya sudah begitu tanpa adanya sebab (ilat) yang menghendakinya demikian,
selain zat dan. hakikatnya sendiri. Yakni, jika zatnya itu difikir-fikir terlepas dari gambaran sesuatu,
memang begitulah keadaannya. Dan yang dimaksud dengan mungkin, wajib dan mustahil di sini, ialah
barang yang sudah demikian keadaannya menurut hukum akal ( logi - ka) yang pasti, bukan yang
menurut hukum adat~Ke6Jasaan. Adapun barang yang mustahil, seperti menghimpunkan dua yang
berlawanan, yakni sesuatu itu harus ada' dan tidak ada dalam satu waktu yang sama, artinya : ia ada dan
ia tidak ada dalam sa’at yang sama sekali gus. Dalam hal ini, telah menjadi ketetapan ilmu, bahwa akal
telah memastikan, yang demikian itu tidak akan mungkin diwujudkan. Yakni, bahwa hal itu mungkin
terjadi. Tak ubahnya seperti manusia berjalan kaki di atas air atau terbang melayang di angkasa tanpa
alat, tetapi yang tersebut belakangan ini adalah suatu hal yang mustahil menurut adat.
Dan misal yang waiib menurut akal, ialah adanya sesuatu wujud yang mutlak. Seperti adanya ’’empat”
merupakan suatu bilangan yang genap. Kita tentu tidak mungkin mengatakan ’’tidak” sama sekali dan
tidak Dula bisa menyangkal, bahwa bilangan empat itu suatu bilangan yang genap. Adapun misal yang
’’mungkin”, sudah jelas. Yaitu, semua benda-benda yang maujud, yang dapat kita kenal dengan
pancaindera kita, adalah suatu yang ’’mungkin” adanya. Dan keterangan lebih lanjut nanti akan dapat
dibaca dalam Risalah ini.

54
karena ia bisa juga terwujud oleh sesuatu sebab yang menyebabkan
adanya. ■
Pemakaian kata-kata ”A1-Maklum” (yang dapat dicapai oleh akal)
kepada yang ’’mustahil”, adalah termasuk majazi (bukan hakikat yang
sebenarnya). Sebab yang maklum itu, adalah suatu hakikat yang mesti ada
dalam kenyataannya, sesuai denganilmu. Sedang yang mustahil, bukanlah
termasuk ke dalam perkara seperti ini, sebagaimana hukum-hukumnya
kelak dapat dilihat sendiri. Tetapi yang dimaksud, ialah sesuatu yang dapat
melekat- kan hukum kepadanya, sekalipun dalam bentuk yang dapat
dilukiskan oleh akal, agar ia bisa menceritakan tentang hal yang mustahil
itu.
Hukum Mustahil ,
Hukum yang mustahil bagi zatnya ialah, .bahwa tidak mungkin bisa
teijadi wujudnya, karena ’’tidak ada” (adam), telah menjadi kemestian
bagi mahiyah (hakikat) sesuatu. itu, Maka sekiranya dia dibolehkan wujud,
tentulah tercabUt ke- lazirrian mahiyah -itu dari dirinya sendiri dengan
cara yang menyolok. Maka sesuatu yang mustahil itu, memang tidak bisa
diwujudkan dan memang ia sesuatu yang tidak akan ada dengan pasti,
bahkan akal tidak mungkin menggambarkan hakikat (mahiyah) sesuatu -
yang mustahil itu, seperti apa yang telah kami isyaratkan tadi. Sebab ia
bukanlah sesuatu yang maujud (ada), baik di luar dan maupun di dalam
fikiran sendiri.
Hukum Mungkin
Di antara hukum-hukum yang mungkin bagi zatnya ialah, bahwa ia
tidak mungkin ”ada” kecuali dengan sesuatu sebab. Begitu pula, bahwa ia
tidak mungkin ’’tidak ada” kecuali dengan sesuatu sebab juga. Demikian,
adalah karena tidak satupun di- antara dua perkara itu (ada dan tidak)
yang dimiliki oleh sesuatu itu secara sekaligus. Maka menurut zatnya,
kedug. perkara tadi adalah sama. Jika bisa kejadian salah satu di antara
keduanya (ada dan tiada) tanpa ada sesuatu sebab, pastilah teijadi
mehguatkan salah satu dua yang bersamaan atas yang lain tanpa alasan
yang menguatkannya ; dan itu adalah jelas mustahil.
Sebahagian di antara hukum-hukum.’’mungkin”, ialah bahwa sesuatu
yang maujud itu adalah "baha.ru”. Karena-telah pasti, bahwa dia tidak
bisa wiijud (ada), kecuali dengan sesuatu sebab. Adapun kemungkinan
terdahulunya sesuatu itu dari pada wujud sebabnya, atau bersama-sama,
atau terkemudian, maka yang pertama adalah keliru. Kalau tidak begitu,
lazimlah mendahulu- kan adanya orang yang berkehendak atas apa yang

55
dikehendaki- nya. Itu berarti menghilangkan arti kehendak (hajat),
padahal sudah terang bukti untuk itu. Maka hal itu membawa sesuatu
kepada yang tidak menurut semestinya. Dan yang kedua, seperti demikian
juga (tak bisa kejadian). Jika tidak, tentu akan sama keduanya dalam
martabat wujud 12. Hukum menetapkan, bahwa salah satu di antara
keduanya adalah ’’bekas” dan yang lain ’’memberi bekas” ; dan kalau
begitii teijadinya taijih tanpa ada alasan yang menguatkan. Hal ini tidak
bisa diterima oleh akal; di samping menganggap satu di antaranya adalah
sebab (’illat) dan yang lain adalah yang diberi sebab (ma’lul), juga
termasuk menguatkan salah satu keduanya atas yang lain tanpa ada alasan
yang kuat. Dan ini jelas mustahil. Karena itu, dapatlah dibenarkan
kemungkinan yang ketiga, yakni wujud (ada) nya sesuatu itu setelah wujud
sebabnya. Jadi wujudnya itu didahului oleh "tiada” (’adam), dalam
martabat adanya sebab.
Oleh sebab itu, ia adalah sesuatu yang ”baharuSebab yang ’’baharu”
itu ialah, sesuatu yang wujudnya didahului oleh ’’tiada” (’adam). Maka
karenanya jelaslah, bahwa segala sesuatu yang "mungkin ada", adalah
"baharu"
Barang yang ’’mungkin” dalam keadaan ’’tiadanya”, tidak
berkehendak kepada sebabnya yang wujud. Karena suatu yang ’’tiada”
(’adam), adalah negatif. Dan yang negatif tidak memerlu- kan kepada
wujud yang nyata. Maka adanya ’’ketidak mungkinan” itu, ialah tidak ada
bekasnya, atau karena tidak ada sesuatu sebab yang menyebabkan
kekalnya. Adapun dalam wujudnya suatu itu terang memerlukan sebab
yang pasti. Karena sesuatu yang ’’tiada” (’adam) tidak bisa mengadakan
sesuatu. Tetapi yang maujud itu bila ia terjadi, maka terjadinya itu dengan
’’diadakan” lebih dahulu. Demikian itu sudah terang.
Sebagaimana yang ’’mungkin” itu memerlukan sebab dalam
permulaan wujudnya, juga ia memerlukan yang demikian itu dalam
kekalnya. Karena zat yang mungkin itu, tidak meng- hendaki wujud, dan
tidak dapat menguatkan yang wujud itu dari pada yang tiada1 (’adam),
kecuali dengan sesuatu sebab luaran yang wujudi (ada). Demikian itu
memang sudah menjadi

12 Yakni bahwa adanya sesuatu sebelum adanya sebab, berarti menghimpun dua y^g berlawanan.
Yaitu, adanya sesuatu itu mungkin berkehendak kepada adanya Mbab, sedang sebab itu tidak
berkehendak kepadanya. Adapun yang dimaksud dengan kalimat : "Yang kedua seperti demikian
juga”, sudah *las
Karena adanya sesuatu persamaan dengan sebabnya, yakni sebab tidak mendahului

56
yang disebabkan, — menghendaki bahwa apa yang dltetapkan oleh sebab itu, bukanlah sebab
yang sebenarnya. Dan kalimat yang berbunyi : ”Jika tidak tentu akan sama keduanya dalam
martabat wujud” ialah seperti akan ditemui bapak dan anak yang dilahirkan keduanya dalam
waktu yang sama. Yang jelas, dua pribadi yang dilahirkan keduanya dalam waktu yang sama,
tidak mungkin bahwa satu di antara keduanya bapak dan yang lain anak.
suatu keiaziman dan kelaziman-kelaziman mahiyah (hakikat) yang
mungkin, yang tak dapat dipisah-pisahkan dari padanya. Maka yang
mungkin itu dalam keadaan bagaimanapun, tidak bisa wujud dengan
zatnya sendiri, karena dalam segala keadaan ia memerlukan kepada adanya
pendorong bagi munculnya wujud itu dari pada tiadanya, tanpa ada
perbedaan antara yang per- mulaan dengan yang kekal adanya.
Pengertian ’’sebab” dari apa yang telah kami kemukakan tadi, ialah
yang menciptakan dan yang memberi wujud. Dengan lain ibarat, ialah :•
Yang mewujudkan, sebab yang melahirkan sebab yang melakukan.
pencipta yang hakiki, dan lain-lain ; sebab itu dari ibarat-ibarat yang
berbeda susunan katanya, tetapi tidak berbeda artinya. Kadang-kadang
dipakaikan pula ’’sebab” itu kepada ’’syarat”, atau orang yang
mempersiapkan sesuatu yang mungkin itu untuk menerima wujud dari
yang mewujudkannya. Dan ia (sebab) dalam pengertian seperti ini hanya
perlu pada permulaan wujud saja, dan tidak pada kekalnya.
Kadang-kadang terdapat hajat (kebutuhan) kepada ada (wujud)-nya
sesuatu dan kemudian kepada tiada (adam)-nya. Dalam hal ini, contohnya
ialah seperti wujud (ada)-nya tukang yang membuat rumah. Tukang itu
menjadi syarat bagi terwujud- nya rumah. Kadang-kadang tukang yang
membuat rumah telah mati sedang rumah masih tetap ada. Sebenamya
dalam hal ini, tukang itu bukanlah yang memberikan wujud bagi rumah itu,
hanya gerak-gerik tangan, fikiran dan tingkat-tingkat kemauan- nya adalah
merupakan syarat bagi adanya rumah menurut rencana' yang sudah
ditentukannya. Pendeknya memang terdapat perbedaan antara
bergantungnya kemungkinan pada suatu barang dan antara mengambil
faedah dari wujudnya. Maka bergantungnya kemungkinan itu kadang-
kadang terdapat pada suatu wujud, kemudian kepada tiadanya wujud itu.
Seperti bergantungnya gerak-langkah kaki yang kedua atas gerak-langkah
kaki yang pertama. Langkah yang pertama tidaklah memberikan wujud
bagi langkah yang kedua. Kalau tidak demikian, tentu wajib wujudnya
sama-sama, sedangkan r.yatanya, langkah yang kedua tidak bisa terwujud
kecuali setelah tiadanya lebih dahulu langkah yang pertama.
Adapun tentang mengambil faedah dari wujud sesuatu, maka itu
memerlukan adanya lebih dahulu pemilik bagi sesuatu wujud, yang akan
diberikannya kepada orang yang mengharap- kan manfa’at dari dirinya.

57
Dan bahwa adanya si pengharap manfa’at itu bersandar pula kepada
adanya (wujud) si pemberi sendiri, yang tidak bisa dilaksanakan, kecuali
dengan adanya si pemberi itu. Oleh karena itu, dalam beberapa perkara
tidak ada orang yang bisa berbuat dengan leluasa menurut kemauan- nya
sendiri.
Yang ’’Mungkin” itu Pasti Ada
Kita perhatikan segala sesuatu itu teijadi, setelah ia lebih dahulu tidak
ada, dan kemudian lenyap. Seperti halnya alam tumbuh-tumbuhan dan
binatang-binatang. Maka segala sesuatu yang ada ini, adakalanya mustahil,
atau wajib atau mungkin terjadi.
Tidak perju rasanya untuk membahas yang pertama (mustahil),
karena yang mustahil itu tidak terwujud. Begitu pula yang kedua (wajib)
karena yang wajib itu telah mempunyai wujud yang zati. Segala sesuatu
yang mempunyai wujud tidak bisa dikatakan tidak ada, dan tidak pula
didahului oleh tiada, sebagaimana akan datang penjelasannya dalam
menerangkan hukum-hukum yang wajib. Kalau demikian halnya, maka
yang perlu dibahas ialah "yang mungkin’,’ Yang mungkin itu pasti ada.
Adanya ’’Yang Mungkin” itu Pasti Menghendaki akan Adanya ’’Yang
Wajib”
Segala yang mungkin yang telah ada itu, merupakan suatu
kemungkinan yang tetap. Dan tiap-tiap yang mungkin ada, berkehendak
sepenuhnya kepada yang mengadakan (mewujud- kan)-nya. Tetapi apakah
yang mengadakan itu dirinya (zat)-nya sendiri ? Itu mustahil, sebab hal itu
berarti mendahulukan
sesuatu atas dirinya sendiri. Atau apakah yang mengadakan itu bagian
(fragment) dari dirinya sendiri ? Dan ini juga mustahil karena berarti
menetapkan sesuatu menjadi sebab bagi dirinya sendiri, dan barang yang
mendahuluinya jika yang pertama memang telah ada. Dan hal inipun
terang batalnya. Maka oleh sebab itu wajiblah ada sebab yang berdiri di
belakang segala ”yang mungkin.” Dan segala wujud yang terjadi tanpa
sebab yang memungkinkan, adalah wajib, karena tidak ada di balik yang
mungkin itu kecuali yang mustahil dan yang wajib. Sedang yang mustahil
itu tidak bisa diwujudkan ; karena .itu tinggal lagi yang wajib. Maka
tetaplah, bahwa segala yang mungkin , yang telah ada terwujud, pasti ada
yang mewujudkannya (causa efficiens), yaitu Zat Yang Wajib Ada. 13 >

13 lnilah yang merupakan natijah (konklusi) dari segala mukaddimah yang tersebut di atas. Ringkasnya,
bahwa yang mustahil itu tidak bisa diwujudkan sedang yang mungkin bisa .diwujudkan. Wujudnya itu
membuktikan dengan pasti atas adanya Zat Yang Wajib Ada.

58
Segala sesuatu yang mungkin ada, baik yang adanya itu
mempunyai limit tertentu ataupun yang tidak mempunyai limit,
semuanya itu berdiri di atas wujud. Maka wujud yang demikian itu,
tentu bersumber dari zat yang mungkin dan hakikat-hakikat (mahiyat)
zat yang mungkin 14 > itu.
Dan ini adalah mustahil (batal), sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam keterangan-keterangan yang lalu tentang hukum-
hukum yang mungkin. Karena tidak ada sesuatupun di antara mahiyah
(hakikat) yang mungkin itu yang memastikan (memberikan) bagi
wujud. Maka dari itu, teranglah sumber bagi sesuatu yang wujud itu
adalah lain dari itu, yakni Zat- Yang Wajib Wujud-Nya dengan pasti.

14 Yang dimaksud dengan istilah ’’yang mungkin” (Al-Mumkin) dalam ilmu Kalam, ialah sesuatu yang
tercipta karena sesuatu sebab.

59
Ill '
HUKUM-HUKUM WAJIB

Kidam, Baka dan Tidak Tersusun


DI ANTARA hukum-hukum wajib, bahwa Ia adalah kadim (tidak
berpermulaan), lagi pula azali. Karena Ia kalau tidak begitu, tentu Ia
menjadi baharu. Sedang yang baharu, ialah sesuatu yang terjadi didahului
oleh tiada (’adam). Dan segala sesuatu yang wujudnya didahului oleh tiada,
memerlukan kepada sebab yang memberinya wujud,v*Kalau tidak
demikian, tentu lazimlah menguatkan adanya sesuatu dengan tiada alasan
yang kuat, dan itu mustahil. Sekiranya tidaklah yang Wajib Ada itu
’’kadim”, tentu Ia dalam wujudnya itu berkehendak kepada adanya yang
lain yang mewujudkannya. Pada hal telah dite - rangkan sebelumnya,
bahwa yang Wajib Ada itu mempunyai Zat wujudnya sendiri. Dan
sekiranya Yang Wajib Ada itu masih didahului oleh tiada, maka bukanlah
’’Wajib Ada” nama- nya, dan hal itu adalah suatu paradox yang mustahil.
Di antara hukum-hukum yang Wajib, ialah bahwa Ia tidak akan
dikenal oleh tiada (’adam). Kalau tidak demikian, tentulah tercabut dengan
sendirinya apa yang melekat pada zat-Nya. Sedangkan itu kembali kepada
persoalan tentang hukum ter- cabutnya sesuatu dari dirinya sendiri, yang
sudah terang mustahil terjadinya.
Termasuk pula kepada hukum-hukum Wajib itu, bahwa Ia tidak
tersusun dari sesuatu zat. Karena bila Ia tersusun dari sesuatu unsur,
tentulah adanya tiap-tiap bahagian dari bahagi- an-bahagiannya itu
mendahului akan wujud jumlahnya yang merupakan zat baginya, sedang
tiap-tiap bahagian dari bahagian- bahagiannya itu mestilah bukan zatnya.
Maka karena itu, wujud-
nya jumlah (zat itu seluruhnya) perlu berkehendak kepada wujud yang
lain. Padahal telah dijelaskan di atas tadi, bahwa yang Wajib Adanya
itu, mempunyai zat wujudNya sendiri. Begitu pula, sekiranya zatnya itu
tersusun dari pada berbagai unsur zat tentulah hukum wujudnya
bergantung atas hukum wujud bahagian-bahagiannya itu ; dan telah
kita katakan, bahwa Dia Wajib mempunyai zat wujudnya sendiri.
Begitu juga hal yang demikian itu tidak mempunyai alasan yang
menguatkan , yakni andaikata jumlah zat itulah yang wajib ada, bukan
tiap- tiap bahagian dari bahagian-bahagiannya. Tetapi justeru bahagian
bahagian itulah yang lebih berhak bagi wajib ada lebih dahulu ; maka
karena itu, dialah yang wajib bukan yang lain.
Meniadakan susunan (tarkib) pada Zat Yang Wajib Ada - itu
meliputi juga akan apa yang mereka namakan dengan ’’hakikat akliah”
.60
ataupun ’’kharijiah” (d|.Juar_akal). Karena tidak mungkin bagi akal
menggambarkan, bagaimana zat yang Wajib Ada itu bisa tersusun dari
beberapa bahagian (tarkib). Sebab bahagian-bahagian yang digambarkan
oleh akal, tentu tak dapat tidak mempunyai sumber luaran. Sekiranya
hakikat yang dapat digambarkan oleh akal tadi tersusun pula (tarkib),
tentu hakikat itu, juga tersusun di luar akal. Jika tidak demikian
keadaannya maka apa yang dianggap hakikat menurut akal, adalah suatu
gambaran yang salah 15\ tidak menurut yang sebenarnya.
Sebagaimana Zat Yang Wajib Ada itu tidak tersusun (tarkib) dari
beberapa bahagian, begitu pula ia tidak menerima
(tidak bisa) dibagi-bagi menurut salah satu ukuran kaedah yang tiga
(panjang, lebar, tinggi, penterjemah). Artinya, Ia tidak berhak diukur.
Karena bila Ia dapat dibagi-bagi, tentulah Ia kembali kepada yang lain
dari wujudnya semula, dan jadilah Ia merupakan beberapa wujud yang
banyak, yakni wujud yang telah merupakan bahagian-bahagian sebagai
hasil dari pemba- hagian tersebut. Maka bila telah demikian halnya, tentu
ia bisa menerima Jiada,. atau tarkib, dan kedua-duanya itu adalah
mustahil seperti telah dijelaskan semula.

Hidup ( Al - Hayat)
Arti wujud (ada) sekalipuii telah terang bagi akal, tetapi masih dapat
digambarkan dengan : kenyataan, tetap dan kekal. Dan kesempurnaan
wujud, serta kekuatannya bergantung pula pada kesempurnaan makna ini.
Tiap-tiap martabat dari martabat-martabat wujud, perlu diikuti
dengan beberapa sifat wujudiah, yakni untuk menyem- pumakan martabat
yang demikian, dalam makna yang tersebut duluan. Jika tidak begitu,
jadilah makna wujud itu untuk martabat yang lainnya, padahal ia telah
ditentukan baginya.
Contoh-contoh yang nyata bagi fikiran, tentang gambaran yang
wujud itu tidak terhingga banyaknya. Contoh yang paling sempuma dalam
martabatnya, ialah bukti tentang susunan alam dengan cara yang tidak ada
cacatnya dan tidak mengacaukan. Sekiranya susunan peraturan yang
demikian itu dilakukan me- nurut cara yang sesuai dengan wujud yang
abadi sekalipun, dalam macam ini saja, ia telah berhasil untuk
menunjukkan bukti yang sempuma bagi makna wujud untuk kepentingan
apa yang dimisalkan itu.

15 Gambaran yang dibikin-bikin saja, yang tidak terbukti kebenarannya dalam kenyataan. Dan
ibarat susunan kata-kata dan jalan fikiran yang demikian itu adalah secara biasa terpakai
dalam gaya mantik (logika), bukan menurut gaya bahasa Arab yang faseh.

61
Maka sekiranya terang bagi fikiran suatu martabat di antara
martabat-martabat wujud yang banyak, bahwa ia merupakan sumber bagi
tiap-tiap susunan peraturan, itu menjadi tanda, bahwa martabat itu paling
sempuma, paling tinggi paling jaya dan paling kuat.
Yang Wajib Ada itulah yang menjadi sumber bagi segala yang
mungkin ada, seperti telah kami terangkan dengan jelas beserta bukti yang
meyakinkan, Dengan demikian, Ia merupakan wujud yang paling kuat dan
yang paling tinggi. Ia diiringi dengan sifat-sifat (atribut-atribut) wujudiah
yang sesuai dengan kedudukan dan martabatNya yang tinggi itu. Segala apa
yang dapat di- bayangkan oleh akal tentang wujud yang sempuma yang
dapat dicakup oleh makna tetap, kekal dan nyata, serta sifat yang mungkin
dapat dilekatkan kepada wujud yang sempuma itu, wajiblah hal itu
disifatkan kepada diriNya. 16 > Dan karena Ia merupakan sumber
peraturan alam yang bergerak dengan amat teliti, yang dapat dijadikan
bukti dari kesempumaan Wujod-Nya seperti yang telah kami sebutkan di
atas tadi, maka wajiblah sifat-sifat dan wujud yang demikian itu tetap bagi
dirinya. Maka wujud yang Wajib Ada itu diikuti oleh sifat-sifat wujudiah
yang diperlukan oleh martabat yang mulia ini, sifat-sifat yang mungkin
melekat pada zat-Nya.
Di antara sifat-sifat yang wajib ada pada diri-Nya ialah, sifat ’’hidup”
(Al-Hayat). Sifat itu diiringi oleh ’’ilmu” dan ’’iradah” (kemauan). Demikian
itu, disebabkan oleh karena ’’hidup” (Al-Hayat) adalah jelas termasuk sifat
kesempumaan bagi wujud-Nya. Maka sifat hidup dan sifat-sifat yang meng-
iringinya, adalah menjadi sumber segala peraturan dan menjadi
kebijaksanaan. Hidup (Al-Hayat) dalam segala' martabatnya, menjadi
pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan yang kekal. Nyatalah,
bahwa Ia mempunyai wujud yang sem- > purna dan bersifat dengan dia zat
yang Wajib Ada. Begitu juga segala yang mempunyai wujud yang
sempuma yang mungkin menjadi sifat-Nya, wajiblah sifat itu tetap bagi-
Nya.
Maka Yang Wajib Ada itu, pasti Ia hidup, sekalipun hidup nya
berlainan dengan segala sesuatu yang mungkin hidup. Maka
sesungguhnya sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud,

16 Ditanyakan kepada pengarang di waktu beliau memberikan kuliah : ’’Apakah benar kata orang, bahwa jauhar
fardi (benda yang sangat haius) itu tidak bisa dibagi- bagi baik dalam praktek maupun menurut akal, dan tidak
pula menurut dua- duanya ?” Beliau menjavab : ’’Jauhar fardi (atom) menurut pengertian ini, tidak ada hakikat
baginya. pan kita membawakan pembicaraan orang yang berbicara tentang jauhar fardi, hahwa ia tidak bisa
dibagi-bagi dalam praktek, ialah kare > na sangat halusnya. Ini sebenaraya tidak menjadi tujuari pembicaraan
kita di sini”. Menurut perkembangan ilmu alam modern, bahwa atom ternyata masih dapat dibagi-bagi menjadi
electron, proton dan neutron. Bahkan bukan saja bisa dibagi- bagi, tetapi ia dapat meledak menghancurkan
negeri seperti kota-kota Nagasaki dan Hirosyima di Jepang pada Perang Dunia ke II yang lalu. Penterjemah.

62
tentulah ia sumber bagi ilmu dan iradat. Dan kalau sifat ini tidak tetap
bagi-Nya tentulah terdapat dalam segala sesuatu
yang mungkin ada, apa yang wujudnya lebih sempuma dari
pada-Nya. Padahal dalam keterangan yang lalu dikatakan, bahwa zat
yang Wajib Ada itu adalah merupakan wujud (substansi) yang paling
tinggi dan paling sempuma.
Zat Yang WajibAda itulah yang memberi wujud, begitu
pula sifat-sifat yang mengiringinya. Bagaimana kiranya hal itu
bisa terjadi kalau Ia sendiri tidak memiliki hidup yang akan diberikan-
Nya ? Oleh sebab itu Ia harus hidup sebagaimana Ia adalah sumbemya
kehidupan.
Ilmu (Maha Mengetahui)
Di antara sifat yang wajib bagi Zat Yang Wajib Ada, adalah sifat
"ilmu” (maha mengetahui). Yang dimaksud, ialah terbuka nya tabir
sesuatu bagi Zat yang telah tetap sifat itu baginya , yakni yang menjadi
sumber, pokok pangkal bagi terbukanya tabir sesuatu itu. Sebab sifat
ilmu, termasuk sifat-sifat wujudiah yang menjadi sifat bagi Yang Wajib
Ada. Segala sifat yang dipandang menjadi kesempurnaan bagi wujud,
wajiblah ada pada dirinya. Maka karena itu teranglah, bahwa Zat Yang
Wajib Ada itu berilmu (’Alim, Maha Mengetahui).
Kenyataan menunjukkan, bahwa ilmu menjadi kesempur- naan bagi
segala sesuatu yang mungkin wujud (ada). Dan di antara yang termasuk
mungkin wujud itu ialah Zat yang mempunyai ilmu (’Alim). Maka kalau
sekiranya Yang Wajib Ada itu tidak ’Alim (tidak berilmu), tentu akan
terdapat dalam segala sesuatu yang mungkin ada itu, zat (substansi) yang
lebih sempuma keadaannya dari pada Zat Yang Wajib Ada. Sedang itu
mustahil, sebagaimana yang telah kami terangkan.
Kemudian Zat Yang Wajib Ada itulah yang menjadi pemberi ilmu
dalam alam yang mungkin ini. Tentu tidak masuk akal sama sekali, bahwa
Yang menjadi Sumber Ilmu tidak mempunyai ilmu.
Berilmunya Zat Yang Wajib Ada itu adalah termasuk di antara hal-
hal yang lazim bagi wujud-Nya, sebagaimana telah diketahui. Ilmu-Nya,
mengatasi segala macam ilmu, - karena tinggi martabat wujud-Nya di atas
segala yang maujud (ada). Oleh karena itu tak dapat dibayangkan, kalau
ada ilmu yang lebih tinggi dari ilmu-Nya itu. Maka teranglah pula, bahwa
ilmu-Nya itu meliputi segala sesuatu yang dapat dicapai oleh ilmu
pengetahuan. Kalau tidak demikian, tentulah akal sanggup membayangkan
suatu ilmu yang lebih luas lagi. Dan ini bisa kejadian bagi suatu wujud yang
lebih sempuma lagi dari wujud Yang Wajib Ada itu. Hal itu mustahil.

63
Sifat-sifat yang lazim bagi Zat Yang Wajib wujud, jadi lenyap dengan
lenyapnya yang Wajib, dan kekal bersama dengan kekalnya Zat Yang
Wajib itu. Dan berilmunya Yang Wajib wujud (Ada), adalah suatu di
antara kelaziman (kemestian) bagi wujud-Nya. Maka dari itu Ia tidak
berkehendak kepada sesuatu selain kepada zat-Nya sendiri. Ia adalah
’’azali”. Zat yang wujudnya tidak berawal dan tidak pula berakhir (abadi),
bebas tidak bisa dicapai oleh alat-alat (media-media) dan oleh ketajaman-
ketajaman pikiran dan kegiatan-kegiatan otak. Jadi Ia berlainan dengan
segala yang berilmu dari sesuatu alam yang mungkin.
Apa yang dapat diketahui dari segala yang mungkin ada ini sesuai
dengan apa yang telah dibukakan oleh tabir ilmu dari Zaf Yang Wajib
Wujud tadi. Jika bukan demikian, ia bu- kanlah ilmu.
Di antara dalil-dalil yang membuktikan tentang tetap adanya Ilmu
bagi Zat Yang Wajib Wujud, ialah apa yang kita saksikan sendiri pada
struktur (susunan) alam yang mungkin ini, berupa hukum-hukum dan
kerapiannya, terletaknya segala sesuatu pada tempat yang semestinya,
tetapnya masing-masing dalam bidang yang diperlukan dalam wujud dan
kekalnya. Ini nyata dengan jelas bagi mata orang yang suka memperhati-
kan apa yang ditunjukkan oleh benda-benda alam, baik besar (macro)
maupun yang kecil (micro), tinggi maupun yang rendah.
Hal ini terdapat dalam ikatan pertalian antara semuanya, serta
ketentuan gerak cepatriya di atas suatu kaidah yang men- jamin tetapnya
pada garis yang telah ditentukan serta memesti kan tiap-tiap bintang
berjalan mejalui garis edarnya masing- masing yang bila ia keluar garis
yang telah ditentukan itu sesungguhnya menjadi berantakanlah segala
susunan alam planit, dan hancur binasalah alam ini dengan segala isinya ;
dan lain- lain dari demikian yang dapat diterangkan dalam pembicaraan
ilmu gerak planit-planit (astronomie). Semua itu menjadi bukti akan Ilmu
Yang Menciptakannya dan hikmat kebijaksanaan Zat Yang mengatumya.
Cob alah perhatikan segala yang terlihat pada jenis tumbuh-
tumbuhan dan binatang-binatang, bagaimana lengkap kekuatan dan
kesanggupannya untuk. memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, untuk
memelihara wujud hidupnya dengan mempergunakan alat-alat dan anggota-
anggotanya yang masing-masing terletak di badannya. Dan perhatikan
pulalah alam yang tidak mempunyai perasaan panca indera seperti tumbuh-
tumbuhan itu, bagaimana ia telah diberikan kekuatan menghirup guna me-
ngambil makanan-makanan yang sesuai baginya dan tidak mau mengambil
apa yang tidak cocok bagi dirinyaT Dapat dilihat,
Diji semangka yang ditanamkan di samping biji batikh (semacam labu air),

64
kemudian disirami dengan air yang sama, ia tumbuh berkat bantuan udara
yang sama, tetapi kenapa yang satu bisa menghirup zat-zat yang bisa
menjadikan buah yang pahit, sedang yang lain menjadikan buah yang manis
rasanya. Per- hatikan pula alam yang tidak mempunyai daya-rasa, memper-
gunakan kesanggupan menurut yang telah ditentukan baginya. Dialah yang
mengetahui keadaan bayi dalam kandungan selagi ia masih merupakan
mani (sperma), kemudian menjadi segumpal darah (’alaqah). Ia mengetahui
segala keperluan bayi itu ; yakni bila kejadiannya merupakan makhluk yang
sempuma, bebas dalam gerak-geriknya, mempunyai tangan, kaki, mata,
hidung, telinga dan lain-lain alat panca indera baik lahir maupun batin
(sensus interior), yang semuanya itu untuk keutuhan wujudnya dan menjadi
perisai baginya dari bermacam-macam bahaya yang mungkin datang. Ia
(Zat Yang Wajib Wujud), mengetahui pula akan hajat bayi itu kepada alat
kantong-makanan (ma- ’iddah), hati, paru-paru dan yang seumpama itu
dari anggota badan, yang diperlukan untuk pertumbuhan badan dan hingga
ia sampai kepada batas ajal yang telah ditentukan baginya.
Dialah yang mengetahui keadaan anak anjing. Umpama- riya, bila
anak anjing itu telah besar, tentu ia akan menjadi induk yang juga akan
melahirkan beberapa ekor anak. Oleh sebab itu, anjing diberi-Nya tetek
yang banyak ; dan banyak lagi perkara-perkara yang seperti itu, yang tidak
terhitung banyaknya.
Banyak di antara persoalan-persoalan seperti itu yang telah diuraikan
dalam kitab-kitab ilmu tumbuh-tumbuhan, dalam ilmu hewan (Zoologie)
dan dalam ilmu sejarah alam, ilmu fa’al (fisiologi), ilmu kedokteran dan
yang bertalian dengan itu. Tetapi walaupun para ahli telah melakukan
pembahasannya secara mendalam, menumpahkan kesungguhan dari minat
mereka untuk menyingkapkan tabir-tabir rahasia semuanya itu dengan ilmu
mereka, namun mereka baru berada dalam taraf pem- bahasan tingkat
permulaan.
Hasil ciptaan ini, andaikata akal mendapat kehormatan untuk
memahami rahasia-rahasianya dan merasa kagum tentang kebagusan
hukumnya, apakah itu bukan merupakan bukti yang menunjukkan, bahwa
Penciptanya yang utama adalah Zat Yang Mengetahui segala sesuatu, yang
memberikan sesuatu kepada makhluk-Nya, kemudian dipimpin-Nya ? !
Apakah mungkin ter- jadi dengan kesempatan yang tiba-tiba saja lahimya
organisasi alam ini dan terletaknya sendi-sendi, dimana ditegakkan di
atasnya wujud alam semesta, yang besar maupun yang kecil ?.
Sekali-kali tidak ! Tetapi yang menjadi Pencipta bagi se- muanya itu,
ialah ”Dia” (Zat, Substansi) yang tidak ada ter- sembunyi bagi Ilmu-Nya

65
sebesar atom-pun benda yang ada di bumi ini dan tidak pula benda yang
ada di ruang angkasa. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

Kemauan (Al-Iradat)
Di antara sifat yang wajib bagi Zat Yang Wajib Wujud, adalah
’’Iradat” (Kemauan). Ia adalah sifat (atribut) yang dapat menentukan,
untuk penciptaan alam ini dengan salah satu jalan-jalannya yang mungkin.
Setelah tetap bahwa Zat Yang Memberikan wujud kepada segala yang
mungkin ada, Wajib Adanya, dan bahwa Ia adalah Mengetahui (’Alim), dan
bahwa segala wujud yang mungkin ini tak dapat tidak mesti sesuai dengan
ilmu-Nya, tetap pulalah dengan pasti, bahwa Ia mempunyai ’’Kemauan”,
sebab Ia hams berbuat sesuai dengan Ilmu-Nya.
Kemudian perlu dijelaskan, bahwa segala yang maujud harus menurut
ketentuan yang khusus dan sifat tertentu, menurut waktu, tempat dan ruang
yang tertentu pula. Jalan ini telah ditentukan bagi yang maujud itu dan
bukanlah jalan- jalan yang lain. Ketentuan yang demikian itu harus sesuai
dengan Ilmu, dan tidak ada makna lain bagi Iradat (Kemauan) kecuali ini.
Apa yang dikenal orang selama ini tentang arti ’’Jradah” ialah,
bahwa orang yang berkemauan leluasa melaksanakan kehendaknya atau
untuk mengurungkannya dengan .semaunya.
Pengertian yang seperti itu adalah mustahil pada diri Zat Yang
Wajib Wujud. Karena makna seperti ini adalah merupakan keinginan-
keingman alam (manusia) biasa, dan merupakan cita- cita yang merusak,
karena makna yang demikian adalah kelan- jutan dari kekurangan ilmu
pengetahuan. Kemauan yang seperti itu akan berubah-ubah menurut
perubahan hukum, dan meragu- kan orang yang mempunyai kemauan
itu sendiri, untuk mem- buat keputusan dalam situasi : terus berbuat,
atau tidak.
Kuasa (Al-Qudrat)
Di antara sifat yang wajib bagi Zat Yang Wajib Ada itu adalah
’’Kuasa” (kudrat). Ia adalah merupakan suatu sifat, yang dengannya,
Zat Yang Wajib Ada itu mengadakan dan meniadakan apa yang
dikehendaki-Nya. Bila telah jelas, bahwa Zat Yang Wajib Ada itulah
yang menciptakan alam semesta menurut kehendak Ilmu dan Iradat-
Nya, maka tidak dapat diragukan lagi, bahwa „Ia Berkuasa” dengan
pasti. Karena per- buatan Zat Yang Mengetahui lagi mempunyai
Kemauan dalam apa-apa yang diketahui dan dikehendakinya, tentu
hanya bisa terjadi dengan adanya Kekuasaan bagi-Nya untuk berbuat.

66
Dan tidak lain makna Kudrat, kecuali kekuasaan yang penuh dan mutlak
seperti ini.
Ikhtiar (kebebasan berbuat)
Tetapnya sifat-sifat yang tiga ini (Ilmu, Iradat dan Kudrat) bagji
Zat Yang Wajib Wujud, melazimkan pula tetapnya sifat „Ikhtiar” bagi-
Nya dengan pasti. Karena tak ada makna bagi' Ikhtiar itu kecuali
menimbulkan bekas perbuatan dengan Kudrat- kekuasaan-Nya menurut
ketentuan Ilmu dan hukum Kemauan- Nya. Maka Ia berbuat dengan
kemauan yang bebas, tidak satupun diantara perbuatan-perbuatan dan
tindakan-Nya dengan segala aktivitas-Nya menciptakan makhluk-
makhluk-Nya, yang timbul

67
karena sesuatu sebab yang datang. Atau karena adanya sesuatu tekanan,
tanpa perasaan kemauan (iradat)-Nya sendiri. Tidak satupun diantara
kepentingan-kepentingan alam ini yang dapat memaksa-Nya untuk
mengawasi semuanya. Hingga sekiranya Ia tidak berbuat demikian, Ia akan
menjadi sasaran kritik ? Pada hal Ia bersih dari cacat dan cela. Maha Suci
Allah dari keadaan yang demikian itu, Maha Tinggi dan Maha Agung !
Tetapi sebaliknya, ofganisasi alam dan kemaslahatan-kemas-
lahatannya yang besar, hanya tetap dengan suatu hukum Kudrat. Bahwa ia
adalah bekas ciptaan dari Zat Yang Wajib Wujud, dari Sumber Wujud
yang paling sempuma dan paling tinggi. Kesempurnaan dalam ciptaan
harus berarti karena kesempurnaan Penciptanya sendiri, dan kerapian
dalam ciptaan, adalah merupakan manifestasi bagi ketinggian martabat
Yang Menciptakan. Pembuktian dengan alam raya yang paling tinggi dan
paling sempuma susunan organisasinya ini, semuanya itu bergantung
kepada Ilmu yang luas merata serta Iradat Kemauan yang mutlak (absolut).
Maka muncul dan lahirlah segala sesuatu menurut jalan ketentuan yang

(vo . tinggi ini.


’’Apakah kamu kira, bahwa apa-apa yang Kami (Allah) jadikan itu ■ tidak
ada gunanya ? Dan bahwa kamu tidak akan di-
kembalikan kepada Kami?” .. , .
(Q. S. Al Mu minun, 23 : 115).
Inilah makna perkataan, bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan itu tidak
bergantung kepada sesuatu sebab, dan ia suci dari sifat main-main ;
mustahil sekali, bahwa segala karya perbuatan Tuhan itu sunyi dari hikmat,
sekalipun hikmahnya itu tersem- bunyi dari tanggapan pikiran-pikiran kita.
17
^
Maha Esa (Al Walidah)
Di antara sifat yang wajib juga bagi-Nya adalah sifat Esa. Esa dalam Zat,
dalam sifat, dalam wujud dan dalam perbuatan.

17 Kadang-kadang hikmah sesuatu itu beberapa lamanya tersembunyi bagi manusia, tetapi kemudian ia menjadi
jelas sebagaimana banyak kejadian begitu.

68
Adapun Esa dalam Zat, maka telah kami terangkan dalam keterangan yang
terdahulu, bahwa Zat itu tidak menerima tarkib (tidak tersusun dari
berbagai unsur), baik di luar maupun di dalam akal sendiri. Tentang Esa
(ke-Esaan, Tunggal) dalam sifat-Nya, ialah bahwa tidak ada yang
menyamai-Nya dalam sifat-sifat yang tetap bagi-Nya di antara yang maujud
ini. Sebagaimana telah kami kemukakan, bahwa sifat itu harus meng- ikut
bagi martabat sesuatu yang maujud, tetapi tidak ada sesuatupun di antara
yang maujud ini yang dapat menyamai Yang Wajib Wujud dalam martabat
wujudnya. Maka karena itu juga, hal itu berlaku pada sifat-sifat yang
menyertai-Nya.
Adapun mengenai Esa (Ke-Esaan, Tunggal) dalam .wujud dan
perbuatan, maksudnya ialah, zat-Nya sendiri yang wajib wujud (ada), dan
Ia sendirilah (tanpa campur tangan orang lain) untuk mengadakan. segala
apa yang mungkin ada ini. Memang benarlah demikian ; karena sekiranya
Zat Yang Wajib Wujud itu terdiri dari beberapa wujud (Zat) yang banyak,
pastilah masing-masingnya mempunyai wujud (substansi) yang berbeda
dengan substansi yang lain. Kalau tidak begitu, tentu tidak hasil pengertian
berbilang wujud. Dan tiap-tiap apa yang berbeda wujud kenyataannya,
tentulah berbeda-beda pula sifat- sifat yang melekat bagi zat-zat yang
wujud itu, karena sifat itu menjadi kenyataan dan mencapai ketentuan yang
khas baginya dengan menyatakan zat wujud yang mesti disifatinya. Kalau
demikian halnya, tentulah Ilmu dan Iradah itu bisa ber- selisih, tersebab
berselisihnya zat-zat yang wajib wujud tadi.'Karena masing-masing Zat itu
akan mempunyai Ilmu dan Iradat (kemauan) yang melaini sama sekali akan
Ilmu yang lain dan Iradat- Nya, dengan begitu jadilah bagi tiap-tiap Zat itu
Ilmu dan Iradat yang sesuai dengan zat dan ketentuan yang khas.
Perselisihan ini adalah mengenai zat. Karena ilmu Zat Yang Wajib
Wujud dan Iradatnya melazimi terus akan zatnya itu bukan karena sebab
yang datang dari luar. Maka karena itu tidak ada jalan untuk Ia berubah
dan berganti seperti keterangan yang lalu. Telah diterangkan juga, bahwa
perbuatan
Zat Yang Wajib Wujud itu lahir menurut Ilmu dan hukum Iradat
(Kemauan)-Nya. Bila Zat Yang Wajib Wujud itu banyak, maka perbuatan
masing-masing tentu lahir menurut hukum yang menyalahi yang lain dalam
zatnya. Sekiranya Yang Wajib Wujud itu berbilang banyaknya tentu akan
berbeda-beda pula- lah perbuatan mereka menurut perbedaan ilmu dan
iradat masing-masing. Perbedaan-perbedaan yang teijadi seperti itu
mustahil akan dapat melahirkan kesepakatan. Sebab masing- masing zat
yang dikatakan wajib ada itu, menurut kehendak wajibnya sendiri-sendiri
beserta sifat-sifat yang mengikutinya urituk berkuasa dalam memberikan

69
wujud pada umumnya segala yang mungkin. Dalam hal itu, masing-masing
leluasa melakukannya menurut ilmu, iradat dan kekuasaannya masing-
masing, di samping tidak ada satu kekuatan yang dapat me- ngalahkan
kekuasaan yang satu atas kekuasaan zat yang lain. Maka teijadilah
perbenturan (clash) dalam tindakan perbuat - an mereka, disebabkan
perbenturan dalam ilmu dan kemauan mereka. Akibatnya rusak-binasalah
susunan alam ini. Tetapi justeru dalam keadaan yang seperti itu, mustahil
bisa ada organisasi, dan mustahil pula bisa ada wujud yang mungkin di
antara segala yang mungkin ada ini, karena wujud segala yang mungkin itu
tak dapat tidak nanti akan bergantung kepada wujud menurut ilmu-ilmu
dan kemauan-kemauan yang berbeda-beda atau berselisih itu. Maka
mestilah timbul dalam satu Zat, beberapa wujud yang banyak. Sedang ini
mustahil. Karena, kalau sekiranya terdapat pada keduanya (langit dan
bumi) ada Tuhan selain dari pada Allah, pastilah keduanya akan menjadi
hancur binasa.
Tetapi kehancuran itu nyatanya dapat tercegah. Itulah huktinya,
bahwa Dia Yang Maha Agung kedudukan-Nya adalah Esa (Tunggal)
dalam Zat-Nya, dalam sifat-sifat-Nya, tidak ada serikat bagi-Nya dalam
wujud-Nya, dan tidak pula dalam segala tindak perbuatan-Nya.
Sifat - sifat Sam’iyah
Apa-apa yang telah kami kemukakan dari sifat-sifat yang wajib di-
i’tikadkan tetapnya sifat-sifat itu bagi Yang Wajib Wujud, ialah, apa yang
telah ditunjukkan dengan bukti yang jelas oleh syari’at Islam, dan oleh
syari’at-syari’at suci seb^um- .. .,, Islam. Untuk meyakinkan kebenarannya,
Dia menyeru ^fifaii)^ ' perantaraan lisan Nabi kita Muhammad s.a.w. begitu
puMf^eijjg^ lisan para Nabi yang terdahulu, semoga Tuhan membeii
;s^|s'at kepada mereka. \ ^ '
Di antara sifat-sifat yang dijelaskan oleh Usarl^-syari’at,'. tidak dapat
dimustahilkan oleh ’akal, karena sifat it^d^njta§ . ^ dilekatkan bagi Zat
Yang Wajib Wujud. Tetapi ’akal Sfe^dki.- saja tidak sanggup
memikirkannya. Namun demikian, wapT*”^ meyakinkan, bahwa zat Yang
Maha Tinggi bersifat dengan dia, karena mengikut bagi apa yang telah
ditetapkan oleh Syara’ serta membenarkan apa yang telah diberitakannya
tentang itu.
Sifat-sifat yang demikian keadaannya, di antaranya ialah sifat
’’Kalam” (Berbicara, Berfirman). Telah menjadi kepercayaan, bahwa Allah
berbicara dengan sebahagian di antara para Nabi-Nya. Al-Qur-an sendiri
mengatakan, bahwa lafazh- lafazh Al-Qur-an itu sendiri adalah ’’kalam
Allah’.’ Maka hal firman (kalam) yang didengar dari Allah s.w.t. itu

70
pastilah merupakan suatu sifat dari sifat-sifat-Nya yang kadim (adanya
tanpa permulaan) seperti kadimnya Allah itu. 18 >
Di antara sifat sam’iyah yang wajib tetap bagi Allah menurut yang
diterangkan oleh Nabi, ialah sifat ’’Bashar” (Melihat). Yakni, dengan sifat
itu tersingkaplah segala apa yang akan dilihat. Dan sifat ’’Sama”
(Mendengar), yang dengan dia tersingkaplah apa-apa yang akan didengar
atau kedengaran, dan Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tetapi kita
wajib meng- i’tikadkan (meyakini), bahwa tersingkapnya itu tanpa
memakai alat, tidak mempergunakan anggota badan (panca indera), dan
tidak karena ketajaman pendengaran dan pandangan sebagaimana yang
biasa dikenal di kalangan kita ummat manusia.
Pembicaraan tentang Sifat-sifat secara Ringkas.
Saya mulai membicarakan apa yang saya maksud, dengan mengutip

18 Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menjadikan bagi manusia jalan (alat) yang
umum kegunaannya, seperti panca indeia (hawas) dan akal, yang dengan itu
mereka mencari ilmu. Dengan pemberian Allah itu mereka dapat mencapai ilmu itu menurut
kadai kesungguhan mereka. Di samping itu Ia (Allah) memberikan ilmu itu khusus kepada orang-
orang yang dipibh-Nya, memasukkan ke dalam hati mereka dan melimpahkan ke d^lam roh mereka,
tanpa usaha yang susah ■ payah dari merekasendiri (dengan ilham, intuisi,
penterjemah). Oleh karena
manusia mempunyaikekuatan atau sifat yang memungkinkannya untuk mem
berikan faedah ilmunya kepada orang lain, maka itti dinamakan ”kalam nafsi”. Alat yang biasa
memberikan faedah itu dalam perbuatan, yang berupa perkataan atau tulisan, dinamakan dengan
"kalam lafzhi”. Kemudian pemakaian istilah ini dipakaikan kepada Allah, karena dengan kalam
itu Allah mewahyukan kepada para Nabi-Nya apa-apa yang dikehendaki-Nya berupa ilmu. Ia
berkata-kata kepada orang yang dikehendaki-Nya dari belakang hijab. Dikatakan bahwa Allah
mempunyai Kalam (berkata-kata), yang merupakan sifat bagi-Nya, yakni suatu keadaan yang ada
pada diri-Nya, yang merupakan sumber wahyu dan pemberi ilmu kepada para Nabi dan Malaikat-
malaikat-Nya. Apa-apa yang diwahyukan kepada mereka itu dinamakan ’’Kalam” juga.
Tak terdapat dalam bahasa manusia suatu lafazh yang dapat menggantikan lafazh ”J£alam”.
Sebab kita tahu, bahwa ’’Kalam Allah” itu bersih dari segala apa yang menyerupai kata-kata
(kalam) mapusia. Begitu juga Ilmu-Nya A], - lah dengan ilmu manusia, dan kudrat Allah dengan
kudrat manusia.
Manusia dewasa ini telah mendapat pengetahuan yang memungkinkan orang berbicara kepada
siapa saja yang dikehendakinya dengan caia yang cepat sekali. Ia berbicara dengan orang lain
yang jauh dari padanya beribu-ribu mil tanpa suara (morse), yang dikenal dengan Teiegrafi, atau
Radio Telegrafi. Pembicaraan seperti itu dinamakan juga dengan ’’kalam”.
Inilah contoh yang paling jelas sebagai perbandingan bagi wahyu, dan bersih sucinya Kalam Allah
dari menyeiupai kalam (pexkataan) makhluk. Kami telah membuang dalam pembahasan ini lebih-
kurang satu halaman Risalah, yang mem- bicarakan masalah khilaflah tentang kejadian Al-Qur-an
(apakah ia makhluk atau tidak), karena mengindahkan perintah pengarang sendiri yang
mengatakan antara lain : Dalam cetakan yang kedua hendaklah dibuang pembicaraan tentang
masalah kejadian Al-Qur-an. Beliau sendiri menjelaskan sebabnya kepada kami di waktu
memberikan kuliah. Beliau mengatakan, bahwa masalah ini tidak layak dimuat dalam Risalah,
karena tidak sesuai dengan pendirian kaum Salaf. Masalah ini termasuk soal bid’ah dan tidak ada
minat membicarakannya dalam mazhab mereka. Yang memperingatkan beliau (pengarang) dalam
hal ini adalah Syekh Muhammad Mahmud As-Syanqithy, semoga Tuhan memberi rahmat kepada
keduanya. Beliau mengingatkan hal ini dalam kuliah, sedang kami menyambutnya dengan baik
dalam majalah Al-Manar nomor 25, tahun pertama, dalam suatu artikel yang berjudul : ”Budi ’Ulama
(Sajaya al—’Ulama’).

71
sebuah hadits, yang andaikata Hadits itu tidak sahih, maka Kitab Allah (Al-
Qur-an) dengan jelas menguatkan pengertian hadits itu. Yaitu sabda Nabi
yang berbunyi :

’’Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan kamu berpikir


tentang Zat-Nya, niscaya kamu celaka”. ^
Apabila kita menilai akal manusia menurut penilaian yang semestinya,
niscaya kita melihat, bahwa setinggi-tinggi kekuatan (kapasitas)-nya,
hanyalah sehingga mengetahui keadaan sebahagian (fragment) alam raya
ini, yang dicapai oleh panca indera manusia, baik oleh perasaan maupun
oleh kekuatan batinnya ataupun oleh kekuatan pikirannya. Dari situ ia
melangkah untuk mengetahui sumber-sumber pokok kejadian alam dan
mendapatkan macam-macam wama-waminya yang umum guna mengetahui
tentang kaidah-kaidah yang ada pada sesuatu benda alam itu.
Adapun untuk sampai kepada mengetahui hakikat benda alam yang
sejati, tidak akan sampai kekuatan akal manusia. Karena untuk mengetahui
hakikat sesuatu zat yang tersusun dari beberapa bahagian harus lebih
dahulu mengetahui bahagian- bahagiannya, sampai kepada butir-butir sel
kejadian yang se- halus-halusnya yang tidak terhitung banyaknya. Dan
untuk itu pasti tidak ada jalan yang mungkin, karena puncak maksimum
yang mungkin untuk diketahui, ialah sifat-sifat dan bekas- bekas sesuatu
benda itu.
Ambillah sebagai contoh, sesuatu yang paling nyata dan paling terang,
seperti ’’cahaya”. Para ahli telah menetapkan, bahwa cahayaitu mempunyai
hukum-hukum yang banyak segi-
seginya, yang mereka jelaskan dalam suatu ilmu yang khusus
mengenai itu. Tetapi tak ada satupun para ahli yang dapat
memahami apakah sebenamya yang dikatakan cahaya itu. Dan tidak pula
ada yang tahu makna cahaya itu sendiri. Hanya yang dapat diketahui, ialah
apa yang biasa dikenal oleh tiap- tiap orang yang mempunyai dua mata.
Begitulah dapat di- kiaskan seterusnya.
Kemudian, sesungguhnya Allah tidak menjadikan manusia
mempunyai hajat yang mendorongnya untuk mengetahui tentang hakikat
sesuatu dari benda-benda alam semesta ini. Tetapi, mempunyai hajat untuk
mengetahui sifat-sifat dan khasiat- khasiatnya benda-benda itu. Kelezatan
(kepuasan) akal manusia

72
Di antara sifat sam’iyah yang wajib tetap bagi Allah menurut yang
diterangkan oleh Nabi, ialah sifat ’’Bashar” (Melihat). Yakni, dengan sifat
itu tersingkaplah segala apa yang akan dilihat. Dan sifat ’’Sama”
(Mendengar), yang dengan dia tersingkaplah apa-apa yang akan didengar
atau kedengaran, dan Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tetapi kita
wajib meng- i’tikadkan (meyakini), bahwa tersingkapnya itu tanpa
memakai alat, tidak mempergunakan anggota badan (panca indera), dan
tidak karena ketajaman pendengaran dan pandangan sebagaimana yang
biasa dikenal di kalangan kita ummat manusia.
Pembicaraan tentang Sifat-sifat secara Ringkas.
Saya mulai membicarakan apa yang saya maksud, dengan mengutip
sebuah hadits, yang andaikata Hadits itu tidak sahih, maka Kitab Allah (Al-
Qur-an) dengan jelas menguatkan pengertian hadits itu. Yaitu sabda Nabi
yang berbunyi:

Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah dan jangan kamu berpikir


tentang Zat-Nya, niscaya kamu celaka”. ^

1) Hadits ini telah disepakati lafazh dan maknanya. Berkata Hafizh ’Iraqi dalam Takhrij, bahwa hadits
ini diiiwayatkan oleh Abu Nu’aim dengan maifu’, dengan memakai sanad yang dla’if (lemah).
Dan Asfahani meriwayatkannya dalam kitab Targhieb wat Tarhieb dengan jalan yang lebih shahih.
Tabrarti meriwayatkannya dalam kitab Al-Ausath dan Baihaqi dalam Sya’bi dengan sanad haditsnya
Ibnu Umar. Beliau mengatakan, bahwa terhadap sanadnya harus ada peninjauan. Saya
mengatakan, bahwa dalam sanadnya terdapat Waziqh bin Nafi’ yang haius di- tinggalkan. Zabidi
menambahkan dalam syarahnya : ’’Saya berkata, bahwa hadits Ibnu Umar itu lafazhnya berbunyi:
’’Tafakkaru fi Alaaillah wa la tafakkaru fillah” (Berpikirlah tentang pemberian-pembeiian Allah
dan jangan kamu ber- pikir tentang Zat Allah). Beginilah bunyi riwayat Ibnu Abi Dunya dalam
kitab Tafakkur, dan Abu Syekh dalam ’Uzmah, Tabrani dalam Ausath, Ibnu 'Adi dan Ibnu Mardawiyah
serta Baihaqi. Tetapi beliau memandangnya lemah; Ashfahani dan Ibnu Mansur dalam "Al-Ibanah”
mengatakan riwayat hadits itu seorang saja (gharib). Abu Syekh meriwayatkannya dari Hadits
Ibnu Abbas dengan. bunyi: ’’Berpikirlah kamu tentang makhluk dan jangan berpikir tentang
Khalik karena kamu tidak sanggup mengira-ngiiakan kadamya”.
Ibnu Najjar dan Rafi’i meriwayatkannya dari hadits Abu Hurairah dengan bunyi: ’’Berpikirlah
kamu tentang makhluk Allah dan jangan berpikir tentang Allah”. Banyaknya riwayat itu akan
menambah kekuatan dan makna yang benar dari hadits itu, sebagaimana yang dikatakan oleh
Hafizh As-Sakhawi dalam kitabnya yang bemama ,r Al Maqasid”.
Apabila kita menilai akal manusia menurut penilaian yang semestinya,
niscaya kita melihat, bahwa setinggi-tinggi kekuatan (kapasitas)-nya,
hanyalah sehingga mengetahui keadaan sebaha- gian (fragment) alam raya
ini, yang dicapai oleh panca indera manusia, baik oleh perasaan maupun
oleh kekuatan batinnya ataupun oleh kekuatan pikirannya. Dari situ ia
melangkah untuk mengetahui sumber-sumber pokok kejadian alam dan
mendapatkan macam-macam wama-waminya yang umum guna mengetahui
tentang kaidah-kaidah yang ada pada sesuatu benda alam itu.

79
Adapun untuk sampai kepada mengetahui hakikat benda alam yang
sejati, tidak akan sampai kekuatan akal manusia. Karena untuk mengetahui
hakikat sesuatu zat yang tersusun dari beberapa bahagian harus lebih
dahulu mengetahui bahagian- bahagiannya, sampai kepada butir-butir sel
kejadian yang se- halus-halusnya yang tidak terhitung banyaknya. Dan
untuk itu pasti tidak ada jalan yang mungkin, karena puncak maksimum
yang mungkin untuk diketahui, ialah sifat-sifat dan bekas- bekas sesuatu
benda itu.
Ambillah sebagai contoh, sesuatu yang paling nyata dan paling terang,
seperti ’’cahaya”. Para ahli telah menetapkan, bahwa cahaya itu
mempunyai hukum-hukum yang banyak segi- seginya, yang mereka
jelaskan dalam suatu ilmu yang khusus mengenai itu. Tetapi tak ada
satupun para ahli yang dapat memahami apakah sebenarnya yang
dikatakan cahaya itu. Dan tidak pula ada yang tahu makna cahaya itu
sendiri. Hanya yang dapat diketahui, ialah apa yang biasa dikenal oleh tiap-
tiap orang yang mempunyai dua mata. Begitulah dapat di- kiaskan
seterusnya.
Kemudian, sesungguhnya Allah tidak menjadikan manusia
mempunyai hajat yang mendorongnya untuk mengetahui tentang hakikat
sesuatu dari benda-benda alam semesta ini. Tetapi, mempunyai hajat untuk
mengetahui sifat-sifat dan khasiat- khasiatnya benda-benda itu. Kelezatan
(kepuasan) akal manusia
itu kalau selamat, tidak tergelincir — terletak dalam berhasil- nya
menetapkan kaidah-kaidah yang menjadi dasar bagi benda itu. Karena
itu, kesibukan untuk mencari hakikat sejati dari sesuatu benda, hanya
akan membuang-buang waktu dan me- meras keringat, untuk sesuatu
yang tidak pada tempatnya.
Manusia sibuk untuk mencari pengertian (ilmu) tentang sesuatu
yang paling dekat kepadanya, yaitu ’’diri” (roh)-nya sendiri. Ia ingin
sekali mengetahui sebahagian dari sifat-sifat (’awaridlnya), apakah ia
’aradl (keadaan, accidental) ataukah ia jauhar (zat yang paling halus) ?
Apakah roh itu teijadi se- belum adanya badan (jisim) atau sesudahnya
? Apakah ia di dalam badan itu atau di luamya ? Segala sifat-sifat yang
di- tanyakan ini tidak sampai akal untuk memberikan keputusan- nya
yang disepakati. Tetapi puncak penyelidikannya cuma dapat
mengatakan, bahwa ia (roh) itu suatu yang memang ada, yang hidup
mempunyai ingatan dan kemauan. Segala yang meliputi roh, yang
berupa hakikatnya yang sejati, kembali kepada sifat-sifat yang ada
pada roh itu sendiri. Adapun hakikatnya benar dan bahkan bagaimana

80
caranya roh itu ber- sifat dengan sebahagian sifat-sifat itu, semuanya
itu adalah suatu hal yang tidak dikenal sama sekali. Rupanya tidak ada
jalan bagi ilmu untuk mengetahuinya.
Beginilah lemahnya akal manusia, terhadap perbuatan- perbuatan
yang timbul dari padanya sendiri, seperti ’’berpikir” • dan
perhubungannya dengan ’’gerak-gerik” dan ’’bicara!’ Maka
bagaimanakah lagi keadaannya bila dibandingkan kepada wujud Yang
Maha Tinggi itu ? Alangkah kagumnya ia, bahkan akal itu akan gagal,
patah apabila ia mencobakan pikirannya kepada zat yang wujudnya tidak
berkesudahan dan tidak -pula ber- permulaan, Yang Azali lagi Abadi !
-
Berpikir tentang makhluk pasti membawa manfa at duniawi,
memberikan cahaya bagi jiwa untuk mengetahui Zat yang menjadikan
bekas-bekas (makhluk) itu. Dengan itu menjadi terang- lah cahaya
Tuhan kelihatan, dan bersinarlah jiwa untuk mengetahui sifat-sifat-Nya
yang sempuma, yang tanpa sifat-sifat-,
Nya itu tentu tidak bisa lahir dari pada-Nya bekas-bekas wujud yang nyata
ini yang kelihatan tersusun dengan rapi. Timbulnya pertentangan pikiran
tentang alam Ilahi ini adalah merupakan pertarungan hak dengan yang
batil. Dan pastilah kemenangan berada di pihak yang hak (benar) dan ia
akan menang atas yang batil, dengan adanya keijasama pikiran-pikiran
yang benar, yang memang kuat dan harus menang terhadap yang lemah.
Adapun berpikir tentang Zat Yang Menjadikan (Khalik), maka itu
berarti. menjadi hakikat Zat Yang Menjadikan itu dari satu segi. Hal itu
terlarang bagi akal manusia, yakni karena tidak kena mengenanya (tidak
seimbang) antara dua wujud itu (wujud Khalik dan wujud akal) dan karena
mustahilnya zat Khalik itu tersusun dari bahagian-bahagian. Dari segi lain,
juga berarti menghabiskan umur untuk menyelami sesuatu yang tidak
sampai kekuatan manusia kepadanya. Maka hal itu per- cuma sama sekali,
bahkan membawa celaka. Percum^ karena berusaha untuk apa yang tidak
akan bisa didapat, dan celaka karena ia akan membawa kepada kerusakan
kepercayaan (i’tikad). Sebab ia memberikan ketentuan kepada sesuatu (Zat
Tuhan) yang tidak diperbolehkan memberikan ketentuannya, dan mem-
berikan kesimpulan kepada sesuatu yang tidak diperkenankan berbuat
demikian terhadap diri-Nya.
Tidak ragu lagi, bahwa hadits tersebut di atas dan ke- terangan-
keterangan yang telah kami berikan mengenai Zat, demikian pula tentang
sifat-sifat Zat itu, di samping adanya larangan, memang mustahil untuk
dapat mengetahui hakikat Zat itu. Cukuplah bila kita mengetahui, bahwa

81
Zat Allah itu ada dan bersifat dengan segala sifat-sifat yang sempuma.
Adapun yang di balik itu terserahlah kepada pengetahuan-Nya sendiri,
karena tidaklah mungkin akal kita untuk dapat mencapainya. Sebab
terhadap hal ini tidak diterangkan oleh kitab suci Al- Qur an dan kitab-
kitab suci sebelumnya, kecuali hanya ajakan supaya men,umpahkan akal
pikiran kepada alam yang dicipta- kan-Nya. Agar dengan itu akal dapat
menembus dan meyakinkan wujud penciptanya dan sifat-sifat-Nya yang
sempuma.
Tentang bagaimana caranya sifat-sifat yang sempuma itu bersifat
kepada Zat Pencipta itu, maka hal itu tidaklah dalam bidang
(kompetensi) kesanggupan kita untuk membahasnya.
Yang wajib kita imani (percayai) ialah, bahwa Zat itu maujud
(ada) dan tidak menyerupai apa yang ada dalam alam semesta ini. Ia
Azali, Abadi, Hidup, Mengetahui, Berkemauan (Berkehendak), Kuasa,
Sendiri (tunggal) dalam segala hal, baik dalam kesempumaan sifat-
sifatNya dan dalam menciptakan segala makhlukNya. Dia berkata-kata
(berfirman), mendengar, dan sifat-sifat lain seperti yang diterangkan
oleh Syara’.
Apakah sifat-sifat itu merupakan tambahan kepada Zat (Substansi)
? Apakah Kalam merupakan sifat yang lain dari apa yang diterangkan
dalam Kitab Suci ? Apakah sifat Mendengar dan Mengetahui, lain dari
segala yang dapat mendengar dan melihat ? Dan lain-lain masalah seperti
itu yang telah merupakah perkara- perkara yang diperselisihkan oleh
akal dan yang telah menyebabkan pertengkaran dalam beberapa
mazhab, maka itu semua adalah suatu perkara yang tidak perlu terlalu
didalami untuk dipertengkarkan. Karena tidak mungkin akal manusia
sampai kepadanya dan tidak cukup kata-kata yang dapat mencakup
untuk menerangkannya, sehingga dikhawatiri akan merupakan penipuan
terhadap agama. Karena, tak ada bahasa yang dapat mencakup
ketentuan hakikat Zat yang Wajib Ada itu. Andaikata dicobakan juga,
maka pemakai- an bahasa itu tidak bisa teijamin untuk menerangkan
wujud Zat itu yang hakiki. Tetapi yang demikian itu dilakukan juga oleh
mazhab-mazhab filsafat, yang andaikata segolongan diantara mereka
tidak tersesat, maka golongan yang lain pun tidak dapat petunjuk yang
memuaskan ; baiklah mereka berhenti membicara- kannya ! Karena itu
tidak ada jalan lain bagi kita, kecuali berhenti pada titik puncak dari
kesanggupan akal kita. Kita berdo’a kepada Tuhan semoga Ia memberi
keampunan bagi orang-orang yang percaya (iman) kepadaNya dan
kepada para RasulNya, yakni, ampunan kepada orang-orang yang telah
mendahului kita, yang selama wi suka berlarut-larut mendalami tentang

82
.hakikat Zat Allah itu.
PERBUATAN - PERBUATAN ALLAH

Segala perbuatan Allah, terbit dari Ilmu dan Iradat-Nya.


) Tiap-tiap sesuatu yang terbit dari Ilmu dan Iradat, berpangkal pula
kepada Ikhtiar (Kebebasan). Tiap-tiap yang terbit dari Ihktiar, tidak
satupun yang wajib dilakukan oleh yang mempunyai Ikhtiar, Oleh
karena itu, tidak ada satupun diantara perbuatan- perbuatanNya, yang
wajib dilakukan oleh ZatNya. Maka segala perbuatan Allah, seperti
mencipta, memberi rezeki, menyuruh dan mencegah, mengazab clan
memberi nikmat, adalah merupakan suatu yang tetap bagi Allah
dengan* kemungkinan yang khusus. Tidak dapat dibayangkan oleh
akal, bahwa karena ilmu dan ke- mauanNya Allah berbuat sesuatu
dengan perbuatan-perbuatanNya „wajib” dilakukan oleh ZatNya,
seperti halnya sesuatu barang yang terpaksa karena keperluannya.
Atau menggambarkan, bahwa Allah itu wajib bersifat dengan sifat
sesuatu yang menyerupainya. Demikian itu jelas suatu hal yang
paradox, yang mustahil teijadi seperti telah diisyaratkan diatas tadi.
Ada suatu persoalan yang masih tinggal dan memerlukan
peninjauan, ialah suatu pembicaraan yang timbul karena kebodoh- an
dan telah dihebohkan oleh suatu kaum diantara sesama mereka, yang
menyebabkan mereka melalui jalan yang bersimpang siur menuju satu
tujuan yang sama. Kemudian mereka bertemu di- tengah- malam buta.
Masing-masing golongan berteriak kepada yang lain hendak
menanyakan suatu berita, sehingga mereka menyangka, bahwa yang
berteriak itu adalah musuhnya sendiri yang bermaksud hendak
merampok barang perbekalannya. Hal itu telah menyebabkan
timbulnya perkelahian dan pembunuhan- pembunuhan diantara
mereka, sehingga banyak diantara mereka
yang gugur. Akhimya mereka tidak dapat mencapai maksud dari
peijalanan semula. Tatkala hari telah pagi dan banyak muka yang kenal-
mengenal, timbullah kembali kesadaran pada sisa-sisa ke- lompok yang
masih tinggal. Andaikata mereka berkenalan lebih dahulu satu sama lain
sebelum teijadi peristiwa berdarah yang terburu nafsu itu, tentu mereka
dapat bekeija samaseluTuh- nya untuk mencapai cita-cita mereka semula
dan mendapatkan tujuan mereka bersama-sama secara persaudaraan.
Kami maksudkan dengan pembicaraan yang bodoh itu, ialah
persoalan : Wajibkah bagi Allah menjaga maslahat dalam segala
perbuatan-perbuatan-Nya serta menunjukkan bukti ancaman Nya

83
kepada hamba-hamba-Nya yang melanggar batas-Nya ? Begitu juga
persoalan-persoalan yang menempatkan perbuatan-perbuatan- Allah itu
dibawah suatu illat (kausal) dan tujuan-tujuan. Persoalan- persoalan ini
telah menyebabkan suatu golongan berlebih-lebih- an dalam
mempositifkannya demikian rupa, sehingga orang yang memperhatikan
pendirian mereka menganggap bahwa Tuhan telah merupakan seorang
yang telah diberi beban diantara orang-orang yang mukallaf, yang
diwajibkan kepada-Nya agar sungguh-sungguh menunaikan kewajiban-
kewajiban-Nya. Maha Tinggi Allah dari hal yang seperti itu, Tinggi lagi
Agung ! Golongan lain yang menentang, sangat keterlaluan pula dalam
meniadakan ta’lil (kausal) dari segala perbuatan Tuhan. Sehingga
tergambarlah bagi orang yang menumpahkan minatnya terhadap kata-
kata yang mereka keluar- kan, bahwa mereka tidak redla kepada Allah,
karena Tuhan mau mengubah-ubah pendirian-Nya, putusan-Nya hari ini
bisa merubah putusan yang kemaren, besuk ia berbuat lain dari apa yang
di- beritahukan-Nya hari ini, atau Tuhan lalai, tidak ingat akan
konsekwensi dari perbuatan-Nya. Maha suci Tuhan, dari pada yang
mereka sifatkan. Ia lebih bijaksana dari segala yang bijaksana. Yang
paling benar ucapan-Nya. Kejayaan Allah dan kesucian agama-Nya lebih
Agung dan lebih tinggi dari semua ini.
Namun demikian, semua telah sepakat atas keterangan yang
mengatakan, bahwa perbuatan-perbuatan Allah s.w.t. tidak lepas dari
hikmatnya. Baik pihak yang keterlaluan, maupun pihak
yang sederhana sekali, terang-terangan mengatakan, bahwa Allah, bersih
dari kesia-siaan dalam segala perbuatan-Nya, dan bersih dari dusta
dalam perkataan-perkataan-Nya. Tetapi setelah itu mereka tuduh
menuduh pula dan bersengketa dalam berbagai persoalan. Tidak tahu
kemana tujuan persengketaan itu. Maka baiklah kita ambil apa-apa yang
telah mereka sepakati itu dan kita pulangkan saja apa yang mereka
pertengkarkan itu kepada satu hakikatnya yang pokok.
Hikmat tiap-tiap perbuatan itu terletak dalam apa yang
ditimbulkannya, yang dapat menjaga ketertiban ataupun menolak
kerusakan baik khusus ataupun umum, yang andaikata dibukakan
kepada akal dari segi apa saja ia berfikir dan memberikan hukum, ia
akan mengakui, bahwa perbuatan itu tidak percuma dan tidak main-

84
main saja. Siapa yang mendakwakan ada arti hikmat lain dari pengertian
ini, maka kami serahkan ia untuk minta pertim- bangan hukum kepada
arti bahasa dan keterangan akalnya sendiri. Tidak dapat dinamakan apa
yang dilahirkan oleh perbuatan itu, itulah yang dimaksud oleh yang
melakukan perbuatan orang memperbuatnya. Kalau tidak demikian,
niscaya orang yang sedang tidurpun dapat dikatakan bijaksana dalam
segala gerak yang dilakukannya diwaktu tidumya, apakah ia membunuh
kalajengking yang hampir menyengat anak kecil, ataupun membela anak
kecil yang hampir masuk lobang, bahkan banyak binatang- binatang
yang dapat dikatakan bijaksana, apabila gerak-geriknya menimbulkan
sebagian manfa’at yang khusus ataupun umum. tetapi kenyataan tidak
dapat membenarkan hal itu. (Sebab, hikmat kebijaksanaan itu harus
lahir dari kemauan yang sadar dari yang melakukannya, Pen.)
Diantara kaidah-kaidah yang benar, yang dapat diterima oleh
semua orang yang berakal, ialah : ’’Bahwa segala perbuatan orang yang
berakal tidak ada yang percuma!’ Yang mereka maksudkan dengan
’’orang yang berakal”, ialah orang yang mengetahui segala
perbuatannya, terbit dari kesadaran dan ke- mauannya sendiri. Yang
mereka maksudkan dengan ’’tidak ada yang percuma,” ialah bahwa
perbuatan-perbuatan itu tidak akan
lahir kecuali karena ada tujuannya. Dan sekiranya hal ini bisa terjadi
pada diri orang yang berakal, padahal ia adalah makhluk yang baharu
(adanya karena diadakan), maka bagaimana pendapat Anda pada diri
Zat yang menciptakan segala akal ? Yang paling sempuma Ilmu dan
Hikmat kebijaksanaanNya ? Ini semua dapat diterima dan tidak
seorangpun yang akan mem- bantah.
Ciptaan Allah, Yang memberikan hikmat kepada segala sesuatu i)
dan menciptakan makhluk-Nya dengan sebaik-baik- nya , adalah penuh
dengan bermacam-macam hikmat. Da- lam hikmat-Nya itu terletak
dasar kejadian langit dan bumi dan apa-apa yang terdapat antara
keduanya. Dengan dia terpelihaia susunan alam dan rahasianya, dan
Dia menjagariya dari kebinasaan dan dari keruntuhan. Di dalam
hikmat-Nya itu terletak kemas- lahatan segala yang maujud ini
menurut batas-batas yang ditentukan. Terutama wujud hayati, seperti
tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang. yang kalau tidaklah

85
memperhatikan hikmat- hikmat yang indah mengagumkan ini, tidaklah
mudah bagi kami untuk membuktikan Ilmu Allah itu.
Hikmat kebijaksanaan inilah yang kita kenal sekarang dengan
sebutan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya masing- masing
dan memberikan kepada tiap-tiap yang berkehendak akan apa yang
dikehendakinya, adakalanya ilmunya itu disertai dengan kemauan
berbuat, atau tidak. Yang terakhir ini tidak mungkin terjadi, karena
tidak ada artinya ilmu itu dengan tidak ada kemauan. Atau tentu dapat
dikatakan Tuhan itu lalai sekiranya perbuatan-perbuatan-Nya itu
dilakukan tanpa kemauan (Iradat). Padahal telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa flmu Allah meliputi segala sesuatu, dan mustahil
bekas-bekas perbuatan-Nya itu lepas dari kemauan-Nya. Maka dialah
yang menghendaki berbuat dan

1) . Petikan dari Surat An-Naml 27 : 2 8


2) . Petikan dari Surat Alif-lara-mim Sajadah 32 : 7.

86
menghendaki hikmat yang lahii dari perbuatan itu. Tidaklah ada lain
makna, kecuali memang. telah menjadi kehendak Tuhan menyertai
hikmat dengan perbuatan-Nya; dan termasuk hal yang mustahil, bahwa
hikmat itu tidak dikehendaki oleh perbuatan- Nya. Karena itu wajiblah
mengiktikadkan, bahwa perbuatan perbuatan Tuhan itu mustahil sunyi
dari hikmat, dan bahwa hikmat itu mustahil tidak dikehendaki oleh
perbuatan Tuhan. Karena kalau dapat diterima, bahwa hikmat itu tidak
dikehendaki oleh perbuatan, akan menjadi keraguan lagi, bahwa apa-apa
yang lahir dari perbuatan itu tidak dikehendaki, tidak dipandang sebagai
hikmat, sebagaimana yang telah ditetapkan tadi.
Maka ketentuan wajibnya hikmat dalam segala perbuatan Allah,
mengikuti pula akan wajib sempumanya Ilmu dan Iradat- Nya; hal itu
tidak menjadi buah perselisihan diantara segala pihak yang suka
bertengkar. Begitu juga dikatakan tentang wajib membuktikan ancaman
dan pahala sebagai dijanjikan, maka itu juga mengikuti akan
kesempurnaan Ilmu dan Iradat-Nya, dan memang ia adalah yang maha
benar.
Apa-apa yang tersebut dalam Kitab dan Sunnah yang kiranya dapat
meragukan, wajib mengembalikannya kepada ayat-ayat (atsar-atsar) yang
lain, sehingga semuanya menjadi sesuai dengan kenyataan, sebagaimana
yang kami maksudkan dalam keterangan yang lalu, sesuai pula dengan
kesempurnaan Allah dan ketinggian hikmat-Nya serta kemuliaan-Nya.
Dan yang menjadi sumber pokok, kemana harus dikembalikan segala
persoalan yang timbul dalam bab ini, adalah firman Allah Ta’ala yang
tersebut dibawah ini :

„Dan tidak Kami (Allah) jadikan langit dan bumi dan apa-apa yang
terdapat diantara keduanya dengan percuma’.’
(Q.S. Anbiya, 21 : 16).

87
88
„Jikalau Kami main-main belaka sesungguhnya Kami ambil permainan itu
untuk Kami sendiri, sekiranya Kami memang berbuat demikian’’
(Q.S. Anbiya, 21 : 17).

' ( u>ui>>0
„Tetapi Kami (Allah) lepaskan kebenaran itu kepada yang bathil, maka
dikalahkannya yang bathil dan yang bathil itu harus lenyap, dan ganjaranmu
adalah api neraka karena kata-kata yang kamu ucapkan mengenai Tuhan’.’
(Q.S. Anbiya, 21 : 18).

Firman-Nya yang berbunyi ’’sesungguhnya Kami ambil per- tnainan


itu untuk Kami”, yakni berarti : sesungguhnya hal yang demikian itu
terbitnya dari pihak Zat Kami sendiri yang sempurna mutlak (Absolut
Substansi) yang tidak sedikitpun cacat-celanya;
dan hal itu mustahiL Dan arti ’’sekiranya” yang terdapat dalam firman-
Nya ’’sekiranya Kami berbuat demikian”, adalah berarti na-fi
(menidakkan) dan ia merupakan natijah (konklusi) bagi kias yang
terdahulu.
Tinggal lagi sekarang yang harus disesalkan ialah, bahwa para
peminat tentang hakikat-hakikat ini telah terpecah menjadi dua golongan.
Sebagian mereka terdapat orang-orang yang mencari pengetahuan
ketuhanan karena pengetahuan itu merupakan keinginan dan
kelezatannya. Dan golongan ini memberikan beberapa arti tertentu
kepada nama-nama Tuhan, tanpa mengindahkan boleh atau tidaknya hal
itu dipakaikan kepada Tuhan menurut syara’ (agama). Mereka
menamakan ”hikmat” tadi dengan "tujuan" dan’’sengaja”, "tujuan
terakhir’’ dan “menjaga kemaslahatan”. Tidak terfikir olehnya diwaktu
menggariskan penanya apakah pemakaian itu telah sah atau tidak asal
artinya telah betul. Merekamenggantiistilah ”Al-Wajib lahu” (wajib bagi
Allah) dengan “Al-Wajib ’alaihi” (wajib atas Tuhan) tanpa mempedulikan
pemakaian lafazh-lafazh yang meragukan.
Golongan lain mencari pengetahuan tentang ketuhanan ini serta
merasakan, bahwa hal itu adalah agama dimana harus merupakan tempat
berbakti dan juga merupakan kepercayaan kepada Allah yang Besar,

89
yang harus disembah dengan tahmid dan ta’zhiem (puji dan sanjung).
Oleh karena itu wajib berusaha keras untuk membersihkan Tuhan dari
segala kekurangan pada diri-Nya, sekalipun dengan cara memelihara
lisan dari bercakap- cakap membicarakan persoalan seperti di atas tadi.
Ia berlepas diri dari mempergunakan lafazh-lafazh yang meragukan itu,
baik yang “mufrad” maupun "murakkab” nya. Karena istilah ”wa - jib
atas-Nya” (wajib ’alaihi) bisa meragukan kepada taklif (menga- dakan
paksaan kepada Tuhan) dan menentukan sesuatu kernes - tian yang
menjadi beban atas-Nya. Dengan kata lain, bahwa Allah itu terpaksa dan
terpengaruh oleh sesuatu yang lain dari diri-Nya sendiri. Dan istilah
kalimat ’’ri’ayatul mashlahat”(men- jaga kemaslahatan), dapat membawa
pengertian ’’mempergunakan otak dan fikiran”, kedua-dua istilah itu,
pasti menurijukkan kekurangan dalam ilmu pengetahuan. Dan mengenai
’’tujuan dan tujuan terakhir, sertasengaja ” (ghayah, ’illatul-ghayah wal
ghardl), dapat membawa pengertian kepada adanya gerak padajiwa (roh't
seseorang yang melakukan perbuatan sebelum mulai perbuatan itu
sampai selesainya- Ini juga menunjukkan kekurangan dalam ilmu
pengetahuan.
Tetapi Allah Maha Besar ! Apakah. kebebasan dalam ilmu
pengetahuan untuk memakaikan istilah-istilah sendiri-sendiri, ataupun
menutup mulut untuk tidak mau bicara sama sekali, boleh dijadikan
alasan untuk mengobarkan perpecahan di kalangan orang-orang
beriman, dan menjadikannva gelanggang perteng- karan, sehingga
perpecahan itu membawa mereka ke dalam suatu posisi yang buruk sekali
?
PERBUATAN-PERBUATAN MANUSIA

Orang yang mempunyai akal dan perasaan (pancaindera) yang


sehat, mengakui dengan menyaksikan, bahwa dirinya sendiri adalah
maujud (ada). Untuk itu orang tidak memerlukan dalil buat
membenarkannya dan tidak berkehendak kepada seorang guru untuk
mengajarkannya. Demikian pulalah ia menyaksikan, bahwa ia
mempunyai kemauan untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan
ikhtiar, yang ditimbangnya dengan akal dan ditentukannya dengan
iradat (kehendak)nya sendiri. Kemudian barulah perbuatan itu
dilaksanakannya dengan se- penuh kodrat yang ada dalam dirinya.

90
Siapa yang berani meng- ingkari ketentuan seperti itu, dianggap sama
dengan mengingkari wujud dirinya sendiri, karena ketentuan itu
merupakan kehyataan yang logis dan dibenarkan oleh akal.
Tiap-tiap manusia mengakui hal yang demikian ada pada dirinya
sendiri, dan pada orang lain yang sehat akal dan pan- cainderanya.
Begitulah, kadang-kadang manusia bermaksud baik atau berikhtiar
untuk menyenangkan hati kawan, tetapi sebaliknya yang datang, kawan
itu marah kepadanya. Ia mem- banting tulang mencari rezeki, tetapi
yang dicari itu luput juga. Kadang-kadang orang mencari kebahagiaan,
tetapi men- dapatkan sebaliknya; ia jatuh ke dalam lembah
kesengsaraan. Nasib yang demikian itu menyebabkan ia menyesali
dirinya sendiri, kenapa ia tidak berhati-hati dalam menjalankan per-
buatannya. Hal itu dipandangnya sebagai pengalaman, .yang akan
menjadi guru baginya buat masa yang akan datang. Kemudian ia
bekerja lagi dengan sistim yang lebih benar dan langkah-langkah yang
lebih teratur.
Akan tetapi bila nasib buruk yang menimpa dirinya itu disebabkan
oleh perbuatan orang lain, ia melepaskan marahnya kepada orang itu
sebagai tantangan. Tempo-tempo nasib itu datang dari kekuasaan yang
lebih tinggi dari dirinya sendiri, bukan karena kelalaiannya dan bukan
pula karena perbuatan orang lain, maka hal itu termasuk kepada takdir
yang tak dapat dielakkannya dalam perbuatannya itu; seperti: angin
ken- cang datang berhembus melanggar perahunya sehingga teng- gelam
bersama barang dagangannya, atau petir menyambar, sehingga mati
terbakar binatang-binatang ternaknya; atau ia meilggantungkan
harapannya kepada seorang yang suka me- nolong, maka orang itupun
meninggal dunia; atau kepada- seorang yang mempunyai kedudukan
penting, tetapi kemudian orang itupun dipecat dari jabatannya. Hal ini
menyebabkan ia insaf, bahwa dalam alam ini ada suatu kekuatan yang

91
lebih tinggi untuk dapat dicapai oleh kodrat dirinya, dan ada pula zat
yang maha mengatur-mengendalikan yang tidak bisa di- jangkau oleh
kekuatannya. Maka andaikata ia telah mendapat petuiyuk dan dipimpin
oleh dalil yang benar, untuk mengakui, bahwa segala peristiwa-peristiwa
alam dengan xahasia-rahasia- nya, semua bersandar kepada zat yang
wajib wujud, yang mengendalikan semua itu sesuai dengan Ilmu dan
KemauanNya -, niscaya khusyu’ dan tunduklah hatinya, kemudian
mengem- balikari segala kejadian-kejadian yang menimpa dirinya itu
kepada ’’takdir” yang tidak bisa ditolak. Namun demikian, ia tidak akan
bersikap fatalistis buat selanjutnya.
Orang yang beriman, menyaksikan dengan dalil dan bukti yang
nyata, bahwa ’’kodrat” pencipta alam semesta ini lebih tinggi dari kodrat
yang ada pada segala makhluk —, tentu ia menyaksikan pula dengan
terang, bahwa ia dalam segala aneka- warna perbuatannya yang ikhtiari
(bebas), baik perbuatan akal maupun jasmani adalah tegak untuk
mempergunakan semua pengetahuan dan kekuatan yang diberikan Allah
kepadanya menurut ketentuan yang semestinya.- Kaum ’Ulama telah
memberikan definisi tentang arti ’’syukur nikmat” ialah; ”Mem- y
pergunakan (memanfaatkan) segala kurnia Tuhan sesuai dengan maksud
nikmat itu dijadikan oleh Tuhan!’
Di atas ketentuan ’’Takdir” dan ’'Ikhtiar’’ inilah berjalan- nya syari’at
(agama) dan di atas ketentuan itu pulalah berdiri- nya taklif-taklif (perintah-
perintah) Tuhan. Siapa yang berani mengingkari salah satu di antaranya,
nyatalah ia memungkiri sumber iman pada dirinya sendiri, yakni akalnya;
akal yang telah mendapat kehormatan dari Allah untuk dapat memikirkan
perintah-perintah dan larangan-laranganNya.
Adapun pembahasan dibalik itu, yakni bagaimana menye- suaikan dalil-
dalil tentang kekuasaan Ilmu Allah dan Kemauan (Iradat)-Nya dengan
kenyataan-kenyataan adanya kebebasan ikhtiar manusia dalam memilih
perbuatan-perbuatan yang ada hak ikhtiar di dalamnya, maka itu berarti
mencari rahasia ka- dar Ilahi yang kita dilarang untuk menggalinya lebih
dalam serta menghabiskan energi kepada apa yang tidak bisa dicapai oleh
akal. Memang kaum yang terlalu fanatik dari segala Agama, terutama kaum
Masehi dan Muslimin, telah menjerumuskan diri untuk mendalam-daiami
masalah Takdir dan Kebebasan Manusia itu. Tetapi setelah lama bertengkar
menghabiskan energi dan waktu> temyata mereka tidak maju-majunya, ter-
paksa berhenti pada titik tolak yang pertama juga.
Akhirnya perbuatan mereka itu tidak lain dari perpecahan dan
percekcokan. Di antara mereka ada yang mengatakan, bahwa manusia itu
berkuasa menentukan segala macam per- buatannya dan ia mempunyai
92
kebebasan yang mutlak sekali. Pendapat semacam ini, yakni pendapat kaum
Qadariah, nyata suatu penipuan. Ada pula yang mengatakan, bahwa manusia
itu dipaksakan sama sekali, dan tak ada kebebasan untuk menentukan
perbuatannya, yakni pendapat kaum Jabariah. Terhadap pendapat yang
demikian itu jelas pendukung-pendu- kungnya membelanya mati-matian. J)
Dan ada pula orang- orang yang berfaham seperti yang ^tersebut belakangan
ini
1) Dalam sejarah perkembangan Agama dan filsafat Barat, faham aliran Jabariah dan Qadariah ini muncul dengan
istilah-istilah : Determinismus (serba Takdir) dan Indeterminismus (serba ikhtiar). Faham yang pertama disokong
oleh Augustinus, Luther, Spinoza, Priestly; yang mengajarkan, bahwa iradat-kemauan manusia itu tidaklah
merdeka. Sedang faham yang kedua dibela oleh Immanuel Kant, Thomas v. Aquino, Boutrox dan Bergson, yang
mengajarkan sebaliknya. Dan ajaran Islam yang murni melalui jalan-tengah di antara keduanya. Penterjemah.
tetapi ia tidak mau terang-terangan mengaku sebagai kaum ’’Jabariah!’
Tetapi keyakinan seperti itu adalah berarti me- runtuhkan Syari’at
(Agama), menghapuskan hukum taklif (adanya perintah Allah) dan
membatalkan hukum akal yang logis, padahal ia adalah merupakan
pilar (tiang) Iman.
Ada tuduhan yang mengatakan, bahwa i’tikad yang meman- dang
kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya merupakan syirik.
Tuduhan itu adalah suatu kezaliman yang besar yakni tuduhan orang
yang tidak mengerti arti syirik menurut yang dijelaskan oleh Al-Quran
dan Sunnah. Karena yang di- sebut'syirik itu ialah, percaya, bahwa ada
yang memberi bekas selain Allah, dan percaya, bahwa ada sesuatu yang
mempunyai kekuasaan yang mutlak selain Allah. Seperti i’tikad
(kepercayaan) orang-orang yang mengabdi kepada berhala dan meminta
pertolongan kepadanya dalam hal-hal yang tidak disanggupi oleh
perbuatan manusia, seperti meminta menang xlalam pepe- rangan tanpa
kekuatan tentara, dan minta sembuh dari penyakit tanpa obat yang
telah ditunjukkan oleh Allah untuk pengo- batan; meminta pertolongan
untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi ataupun ukhrawi dengan
jalan lain dari yang dianjur- kan oleh Agama. Inilah syirik yang
dilakukan oleh kaum -wa- tsani (penyembah berhala, tugu dan
sebagainya). dan orang-orang yang seperti mereka itu. Maka kemudian
datanglah Syari’at meng- hapuskannya, dan menganjurkan untuk
mengembalikan perkara- perkara yang di luar kekuasaan manusia dan
sebab-sebab alami kepada Allah yang Maha Esa sendiriNya saja.
Menurut ketetapan Agama, ada dua perkara besar yang merupakan
tiang kebahagiaan dan pembimbing segala amal- perbuatan manusia.
Pertama : bahwa manusia mempunyai usa-^/ ha vang bebas dengan
kemauan dan kehendaknya _untuk mencari jalan -yang^—dapat
membawakannya kepada kebahagiaan. Kedua; bahwa Kodrat Allah tempat
kembalinya segala makhluk.
93
Di antara tanda (bekas) kodrat kekuasaan Allah itu ialah, bahwa Ia
sanggup memisahkan manusia (makhluk) dari apa
mg dimauinya, dan tidak seorangpun selain daripada Allah ing sanggup
menolong manusia dalam apa yang tidak mungkin icapainya.
Agama (Syari’at) telah datang menetapkan ketentuan se- erti itu dan
mengharamkan bagi manusia meminta pertolongan slain dari Khalik
(Tuhan) yang menciptakannya sendiri, dalam lencapai kesempurnaan ke
arah itu. Tuhan memerintahkan epada manusia supaya menghadapkan
himmah (cita-citanya) ntuk menujukan permohonan kepada Al-Khalik
Yang Maha 'unggal setelah manusia itu menumpahkan minatnya yang
sung- uh-sungguh dalam berfikir benar dan bekerja secara teratur. Baik
kal maupun agama tidak mengizinkan seseorang untuk mencari iendirian
yang lain dari pada yang demikian itu.
Pendirian semacam inilah yang telah kami tegaskan. Kaum ialaf
(para perintis Islam sejak zaman sahabat) telah terpimpin >leh paham
yang demikian itu. Mereka telah bangkit melahirkan lasil-hasil karya yang
menakjubkan bangsa-bangsa dunia. Imam laramaini Al-Juwaini
rahimahullah, seorang ahli fikir Islam nutaakhir, juga berpegang kepada
pendirian seperti itu, sekalipun ida orang yang tidak mengerti yang
mengingkarinya.
Saya ulangi kembali mengatakan, bahwa irhan dengan wah- laniyat
Allah (percaya bahwa Tuhan itu Tunggal) tidak meng- lendaki dari orang
yang mukallaf kecuali mengi’tikadkan, bahwa Mlah menguasai mereka
dengan Kodrat-Nya. Maka manusia larus percaya dan harus menunaikan
segala perintah-perintah Mlah, begitu pula mengi’tikadkan, bahwa
Kodrat Allah berada ii atas kodratnya. N
Kadrat Allah yang Tunggal itu, adalah suatu kekuasaan yang paling
tinggi dalam menyempurnakan cita-cita manusia dengan jalan
melenyapkan rintangan-rintangan yang menghalang ataupun untuk
menyempurnakan syarat-syarat kesempurnaan yang diperlukan sebagai
suatu perkara yang tidak diketahui oleh manusia dan tidak termasuk di
bawah iradatnya.
Adapun untuk menggali pengertian yang lebih dalam dari itu lagi,
maka itu tidak dikehendaki oleh Iman sebagaimana kami terangkan tadi.
Karena adalah suatu kelobaan akal untuk mencoba-coba menyingkapkan
rahasia-rahasia Tuhan. Saya tidak memungkiri, bahwa ada sarjana yang
dengan kekuatan ilmu dan ketekunan mereka yang kontinu mencari apa
yang mereka harapkan itu, telah sampai kepada kepuasan yang menente-
ramkan hati serta melenyapkan keragu-raguan mereka. Tetapi jumlah
mereka sedikit sekali. Karena hal itu adalah bergan- tung kepada Nur
94
Ilahi yang dipancarkanNya kepada siapa yang dikehendaMNya;
khususnya kepada para wali dan orang-orang yang suci (Insan Kamil). Di
samping itu telah banyak kaum yang sesat dan kemudian mereka
menyesatkan orang lain pula, karena perkataan-perkataan dan tulisan-
tulisan mereka mempunyai pengaruh yang paling buruk kepada kaum
Muslimin dewasa ini.
Saya ingin memberikan pengertian yang lebih dekat, untuk
menjangkau yang jauh. Setengah dari rahasia kejadian benda- benda alam
ini ialah, adanya beraneka-macam makhluk dalam kejadiannya. Masing-
masing mempunyai ketentuan yang khnsus bagi dirinya. Begitulah keadaan
masing-masing, berbeda satu sama lainnya. Maka Tuhan yang memberi
wujud telah memberikan kepada macam-macam jenis dan oknunwaknum
itu akan ketentuan wujudnya masing-masing menurut patut. Kemudian,
tiap-tiap wujud itu mempunyai pula sifat-sifat yang mengikutinya. Di anta-
ra kejadian makhluk yang bermacam-macam itu adalah manusia itu
sendiri. Ciri-ciri yang menyebabkan ia berbeda dari segala hewan ialah,
bahwa ia berfikir (Homo Sapiens), mempunyai ^ ikhtiar (usaha bebas) dalam
amal-perbuatannva menurut petun- juk fikirannya. Begitulah wujud yang
diberikan Tuhan kepada manusia, disertai dengan ciri-ciri yang khusus
baginya. Sekiranya ada di antara ciri-ciri yang melekat pada manusia itu
dicabut, maka ia akan berubah, apakah ia akan merupakan malaikat atau
hewan yang lain. Tetapi karena ia adalah makhluk insani, maka pemberian
wujud kepadanya tak satupun yang dapat membawa paksaan baginya
untuk beramal. Kemudian, ilmu Tuhan mengetahui semua yang dilakukan
manusia dengan kehendaknya. Ia . tahu, bahwa perbuatan ini dilakukan
pada sa’at begini. Jika perbuatan itu baik, diberi pahala yang
melakukannya. Begitu pula
lerbuatan yang jahat, pelakunya akan disiksa menurut siksaan
lerbuatan jahat. Jelaslah, bahwa keija-keija manusia itu timbul iari
usaha dan ikhtiamya sendiri, tidak ada ilmu yang kompeten aerintangi
manusia untuk berikhtiar dalam usahanya, dan keadaan pa yang ada
dalam ilmu itu tidak mustahil bisa teijadi; sedang pa yang terjadi itu
adalah suatu kenyataan dan kenyataan itu idak bisa dimungkiri. ,
Pengetahuan kita tentang peristiwa-peristiwa yang biasa erjadi
dapat dijadikan perumpamaan yang lebih dekat. Seorang >enjahat
mengetahui secara yakin (ilmul yaqin), bahwa kejahatan /ang
dilakukartnya dengan ikhtiamya sendiri terhadap Rajanya
nenyebabkannya tidak mustahil bisa dijatuhi hukuman.
Tetapi namun begitu, perbuatan jahat itu dilakukannya uga,
kemudian ia datang untuk dihukum. Jelas, bahwa ilmu tahu)nya tentang
95
apa yang kejadian bagi dirinya, serta cocoknya lengan kenyataan
hukuman yang diterimanya, tidak mempunyai jengaruh sama sekali
terhadap ikhtiamya, tidak bisa mencegahnya lan tidak pula memastika,n.
Menurut pandangan orang yang ber-^ ikal, bahwa sesuatu yang akan
menjadi kenyataan itu tidak bisa iiforsil dan tidak bisa pula dirintangi.
Tetapi sering menjadikan orang ragu-ragu, ialah adanya ibarat-ibarat
yang berubah-ubah dan lafazh-lafazh yang bercabang-cabang.
Andaikata perlu memberikan keterangan yang lebih lanjut lagi
saya bisa menambahnya, dan berharap supaya keterangan- keterangan
itu tidak jauh dari penerimaan akal yang sehat, serta kesuciannya tidak
akan menjadi rusak dengan gambaran lafazh- lafazh yang berbelit-belit.
Tetapi saya terlarang untuk merentang- panjang masalah ini. lebih jauh
karena tidak diperlukan dan untuk menjaga kemumian iman; lagi pula
akal-fikiran orang a warn tidak menjangkau persoalan sampai kepada
zatnya, yakni bila pembicaraan telah sampai kepada penjelasannya yang
pelik-pelik. Apalagi fikiran orang awam itu telah diserang penyakit
taklid berbeda dengan kaum cerdik-pandai. Kaum awam biasa menga-
nut suatu keyakinan (i’tikad) lebih dahulu, kemudian baru me-
reka mencari dalilnya. Dan mereka tidak mau menerima dalil yang
dikemukakan orang, kecuali yang sesuai dengan i’tikad yang telah mereka
anut itu. Maka jika diberikan kepada mereka dalil-dalil yang menyalahi
i’tikad mereka, dalil itu mereka lem- parkan dan mereka bangkit
menantangnya, sekalipun sikap mereka itu melawan kemurnian akalnya
sendiri. Ya, begitulah kebanyakan orang, menganut i’tikad lebih dahulu,
baru mencari dalil untuk dijadikan i’tikad (keyakinan). Maka bila ada
suara kebenaran berteriak dari hati nurani yang ikhlas: Celakalah orange
yang memutar-balikkan Sunnah Allah pada segala makhlukNya, yang
beijalan merangkak-rangkak dalam gelap tanpa pedoman, dan menyalah-
gunakan petunjukNya dalam AgamaNya, suara yang demikian
mengejutkan mereka karena khawatir; tetapi kemudian mereka diam
kembali seperti sediakala, beralasan, bahwa perkara taklid itu adalah suatu
hal yang sangat disenangi.
Namun begitu, kami tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali yang
makruf. Tak ada daya dan tak ada kekuatan melainkan di tangan Allah
jua !
PERBUATAN-PERBUATAN BAIK PAN BURUK

Segala perbuatan yang ikhtiari, tidaklah akan keluar dari


ketentuan yang teijadi di bawah penilikan kita. Apa-apa yang dirasakan
oleh roh kita atau yang rupariya digambarkan kepada kita, adalah

96
sama dengan apa-apa yang dirasakan oleh panca- indera kita setelah
teijadinya sesuatu itu, atau hadirnya di dalam khayal-fantasi fikiran
kita. Hal itu sudah terang dan tidak memerlukan bukti lagi.
Dalam diri kita pasti kita temui sesuatu kodrat yang dapat
membedakan antara yang indah dan yang jelek. Sekiranya kaum priya
berbeda pendapat tentang penilaian wanita yang cantik, atau kaum
wanita berlainan pendapat tentang arti laki-laki yang gagah, tetapi
seorangpun tidak berbeda pendapatnya tentang keindahan Wama-
warni bunga-bungaan dan kerapian susunan daun-daun tumbuh-
tumbuhan dan kayu-kayuan, apalagi bila kem- bang-kembang itu
disusun menurut kombinasi warna yang cocok dan harmonis satu sama
lain.
Begitu pula orang tidak akan berbeda pendapat tentang buruknya
daun-daun yang berserak-serak, terpisah satu dari yang lain dengan
centang-prenang tidak teratur. Jiwa kita merasa senang dan kagum
kepada sesuatu yang indah, jijik kepada sesuatu yang buruk.
Sebagaimana pembedaan-pembedaan itu terdapat pada sesuatu yang
dilihat, maka demikian juga hal itu berlaku pada segala yang, didengar,
disentuh, dirasa dan yang didum dan segala yang dapat dikenal oleh
salah satu panca- indera anak-cucu Adam ini.
Di sini bukan tenjpatnya untuk memberikan definisi (ketentuan)
tentang apa yang dikatakan indah dan yang disebut
buruk Tetapi tidak seorangpun yang akan membantah kami, bahwa untuk
menentukan pembatasan arti manusia bahkan juga sebagian dari hewan, ada
terdapat ciri-ciri yang iriem- bedakan antara keduanya. Di atas ciri-ciri itulah
dapat di- bangunkan beberapa industeri (perekonomian) dalam beberapa
tirtgkat-tingkat kemajuan sampai kepada batas yang sama-sama dapat kita
saksikan sekarang ini. Sekalipun perasaan dari selera berlain-lain, namun
dalam segala sesuatu itu ada terdapat baik dan buruk.

97
Begitulah duduknya persoalan baik dan buruk menurut apa yang didapat
oleh pancaindera, telah jelas seperti keterangan yang lalu itu. Barangkali tidak
akan kurang jelasnya, tentang baik dan. buruk menurut penilaian akal
terhadap segala yang maujud ini sekalipun penilaian pendapat tentang yang
baik atau indah berbeda-beda.
Kesempumaan yang terdapat dalam sesuatu yang logis adanya
(ma’qulat), seperti adanya Zat Yang Wajib Ada (Tuhan), roh-roh yang halus
dan. sifat-sifat rohani manusia, semua itu mempunyai rasa keindahan yang
dapat dirasakan sendiri oleh rohani orang yang mengenalinya, dan dapat
menarik perhatian orang yang mempunyai minat padanya, Sebaliknya dalam
sesuatu ada kekurarigannya. terdapat keburukan. vang tidak dapat di-
mungkiri oleh orang-orang yang tinggi cara berfikirnya sekalipun ada
perbedaan pada suatu waktu antara kesan yang buruk menurut wijdan
(intuisi) dan kesan yang buruk menurut pancaindera, tentang segala sesuatu
yang dapat dirasa. Apakah ada manusia yang mengingkari buruknya
kekurangan akal, patah cita-cita dan lemah kemauan ? Cukuplah menjadi
bukti, bahwa orang-orang yang memiliki kekurangan-kekurangan dalam hal
itu telah berjuang sekuat tenaga untuk melenyapkannya dan suatu ketika
mereka akan menjadi bangga, bahwa mereka telah dapat bersifat dengan
sebaliknya.
y Kadang-kadang yarig buruk itu menjadi baik dengan melihat bfekasnya yang
baik, sebaliknya yang baik itu bisa di-
>andang buruk karena melihat akibatnya buruk. Begitulah se- uatu yang
pahit itu buruk, karena bisa memuntahkan; dan aja yang cacat anggota
badannya tak sedap dipandang mata. Tetapi bekas yang pahit yang
terletak dalam memberantas penya- dt, keadilan yang dilakukan oleh
raja yang cacat itu kepada rakyatnya ataupun budi baiknya terutama
kepada Anda sendiri, merubah pandangan Anda tatkala melihat
rupanya. Karena bekas yang baik itu memberikan cahaya kepada yang
mempunyainya karena kebijaksanaannya. Maka ingatan hanya tertuju
kepada kebaikan orangnya saja. Demikian pula dikatakan yang manis
itu buruk, apabila ia merusakkan dan jijiknya diri kita melihat orang
yang indah rupanya, apabila ia zalim dan merusak.
Apakah mungkin bagi orang yang sehat akalnya untuk tidak mengatakan
tentang perbuatan-perbuatan manusia yang ikhtiari sebagaimana ia harus
berkata tentang segala sesuatu yang maujud di alam ini? Padahal perbuatan-
perbuatan manusia yang ikhtiari itu adalah semacam dari yang maujud dan
terjadi di bawah pancaindera dan pendapatan akal kita, baik dari perbuatan-
perbuatan itu sendiri maUpun bekasnya; dan jiwa kita y, sendiri dapat
merasakan perbuatan-perbuatan itu sebagaimana ia merasakan gambaran-
98
gambaran yang maujud di alam ini? Tentu tidak mungkin /iSebab perbuatan-
perbuatan manusia yang ikhtiari, adalah merupakan bagian dari segala yang
maujud, di mana hukum yaftg berlaku padanya jelas sama dengan hukum apa
yang berlaku pada yang maujud itu pula.
J>
"Di antara perbuatan-perbuatan manusia yang ikhtiari, ada yang
mempunyai daya penarik pada dirinya, di mana hati ter- tarik
kepadanya seperti melihat kejadian yang menarik, seumpa- ma parade
militer yang teratur, bersenam yang menunjukkan ke- mahiran bermain
dan seperti nada irama musik yang mengharukan bagi orang yang
mengerti tentang kaidah permainan itu.
Dan di antara perbuatan-perbuatan ikhtiari itu ada pula yang
buruk pada dirinya dan menimbulkan perasaan yang tidak enak bagi
siapa yang melihat, seperti : kekalutan orang yang
lemah jiwa tatkala datang panik, buah ratap wanita-wanita yang sedang
meratap, dan pekik-teriak orang-orang yang ketakutan.
Sebagiannya lagi ada pula perbuatan-perbuatan ikhtiari itu yang
jelek karena akibatnya mertyakiti dan ada pula yang baik karena ia
menimbulkan kelezatan atau menolak bahaya \j (penyakit). Yang pertama
seperti memukul, melukai dan semua perbuatan manusia yang
menyakitkan. Yang kedua seperti makan karena lapar, minum karena
haus, dan segala perbuatan manusia yang menimbulkan kelezatan atau
menolak bahaya yang
v'tidak ter hingga banyaknya. ^Dan pengertian baik di sini adalah dengan
arti : apa yang membawa kelezatan sedang pengertian buruk adalah
dengan arti yang menyakitkan.
Pengertian baik dan buruk menurut dua makna yang tersebut tadi
sedikit sekali mengandung ciri-ciri yang dapat mem- . bedakan antara
manusia dan binatang-binatang yang maju (primat)^ dalam silsilah
wujudnya, kecuali hanya terletak : dalam kekuatan wijdan (intuisi,
perasaan), dan pembatasan nilai (martabat) baik dan buruk.
,A Dan di antara perbuatan-perbuatan manusia yang ikhtiari ada yang
baik karena memandang manfa‘at yang ditariknya dan ada yang buruk
karena melihat kerusakan yang ditimbulkan- nya^Eengertian yang
seperti ini khusus diberikan kepada manusia, yakni bila makna yang
menjadi ciri bagi buruk dan baik itu diambil dari seginya yang lebih
sempuma. Amat sedikit sekali hewan-hewan lain yang menyertai
manusia dalam ciri-ciri yang seperti itu, kecuali bila orang melihat dari
segi pengertian yang lebih dangkal. Inilah dia keutamaan akal dan
rahasia hikmat dalam pemberian rahmat berfikir.
Tetapi di antara yang lezat itu ada yang buruk karena akibatnya
99
yang merusak seperti makan dan minum yang ber- lebih-lebihan, terus
menerus mendengarkan nyanyian musik tanpa henti-hentinya, dan
memperturutkan kehendak hawa nafsu yang melewati batas. Karena
semua itu bisa merusakkan kesehatan, meletihkan otak, membuang-
buang harta-benda yang menyebab- kan orang menjadi lemah dan lesu.
Dalam analisa ini, yang lezat itu dipandang buruk, ialah karena
masanya terlalu singkat dibanding dengan lamanya penderitaan yang
harus ditanggUngkan se- seorang, akibat dari memperturukan
kelezatan dengan tidak habis-habisnya, bahkan ada yang diakhiri
dengan kematian yang paling buruk keadaannya, karena tidak
seimbangnya antara kelezatan yang dikecap dengan penderitaan yang
maha getir itu. Dan sebaliknya di antara yang membawa penderitaan
itu ada yang dipandang baik. Seperti orang yai^Jbekerja bersusah-
payah membanting tulang untuk mencari rezeki dan guna menenteram-
kan hati sebagai jaminaa hidup di waktu badan telah lemah (haritua);
berjuang melawan keingirian-keinginan hawa nafsu, mengadakan diet,
pantangan memakan makanan yang lezat-lezat buat sementara waktu
untuk menimbulkan kekuatan badaniyah dan akliah dan begitupun
membatasi kesenangan-kesenangan lain secara kontinu sekedar tidak
menimbulkan reaksi yang hebat kepada badan yang dapat mengganggu
bagi kehidupan.
Barang yang membahayakan yang dipandang baik oleh akal manusia,
ialah tantangan manusia kepada musuhnya apakah v musuh itu dari jenis
sendiri atau yang lainnya, yakni untuk mem- pertaharikan diri atau
menolong kawan-kawannya, orang tuanya, sukunya, bangsanya dan
ummatnya — menurut luas kemajuan perasaanya sendiri dalam pergaulan
yang harus dibelanya dalam keadaan yang demikian berbahaya, sekalipun
dengan jalan mem- pertaruhkan jiwa-raganya untuk itu. Seolah-olah ia
melihat, ketika ia tampil mengorbankan hidupnya itu, suatu jaminan
kehidupan orang lain yang dikenangkannya, sekalipun akalnya tidak menen -
tukan demikian.
Di antara yang membahayakan yang dipandang baik, ialah
mengerahkan segenap energi untuk mencari rahasia yang selama ini gelap
bagi dunia ilmu tentang hakikat-hakikat kejadian alam. Seolah-olah orang
yang bekeija di lapangan ini tidak mempeduli- kan kesukaran-kesukaran
yang merintanginya sedikit juga, karena membandingkan kelak usahanya
itu dengan kelezatan (kepuasan) yang akan dikecapnya nanti
Dan di antara kelezatan yang dipandang bliruk ialah meng- ulurkan
tangan atas hasil jerih payah orang lain; dan meng- obati penyakit irihati
dengan melenyapkan nyawa orang yang diiri hati atau hartanya, sebab cara
yang demikian itu me- nimbulkan ketakutan bagi umum bahkan juga bagi
100
yang berbuat sendiri. Tentu dapat digambarkan apa akibatnya janji- janji
yang ditepati dan yang hanya penuh tipuan.
Segala keterangan yang tersebut itu telah dikenal oleh akal fikiran
manusia yang sehat, akal yang dapat membedakan barang yang menisak
dengan yang berguna Yang pertama di- katakan perbuatan buruk dan yang
kedua amal yang baik. Pembedaan yang begitulah yang dapat menentukan
ciri mana yang utama dan mana yang rendah. Para ahli fikir telah mem-
berikan pembatasan tentang kedua masalah itu, pembahasan secara ringkas
maupun analisa yang panjang lebar dan berlebih berkurang menurut
derajat nilai akal para penyelidik sendiri. Persoalan buruk dan baik itu
menjadi pangkal kebahagiaan atau celakanya ummat manusia dalam
nienempuh kehidupan duniawi ini, sebagaimana juga keduanya menjadi
pokok bagi pertumbuhan kemakmuran dan kebinasaannya, kemuliaan dan
kehinaannya, kelemahan dan kekuatannya. Dan sekalipun para penyelidik
dan orang-orang yang mengambil bahagian dalam membahas masalah itu
secara benar, adalah hanya terdiri sebagian kecil dari para ahli fikir.
Semua persoalan yang berada dalam bidang kekuasaan akal ini tidak
ada menimbulkan perselisihan di kalangan pendukung- pendukung agama
dan tidak pula di kalangan kaum filosof. Maka begitulah dalam segala
perbuatan-perbuatan manusia yang ikhtiari terdapat yang baik maupun
yang buruk dalam dirinya, atau dengan melihat kepada bekas perbuatan itu
yang umum maupun yang khusus. l/Pancaindera atau akal sanggup
memberikan ciri- ciri perbedaan tentang yang buruk dan yang baik,
menurut pengertian seperti yang tersebut di atas tanpa menunggu
penjelasan lebih lanjut. Sebagian bukti atas kebenaran yang kami
kemukakan itu adalah apa yang kita lihat pada sebagian macam-macam
hewan dan apa yang kita saksikan sendiri dalam tingkah-laku kanak-kanak
sebelum ia dapat berfikir tentang arti syari’at (agama) dan dalam
mempelajari sejarah kemajuan manusia sampai kepada zaman kita dewasa
ini sejak dari zaman jahiliahnya.
Baik kami kemukakan di sini apa yang pernah disaksikan sendiri
kebenarannya oleh sebagian para ahli tentang keadaan masyarakat
’’semut.” Ada sekelompok semut yang sedang sibuk membuat rumah
(sarang)-nya. Kemudian datang pula seekor semut memperhatikan
pekerjaan semut yang banyak itu. Di- lihatnya semut-semut yang bekeija
sibuk itu telah meletakkan atap di bawah dari ukuran tinggi yang cocok
dengan tinggi yang sebenarnya. Maka ia mertierintahkan supaya
pemasangan itu diTombak kembali. Kemudian ditinggikanlah bangunan
itu sampai batas yang sesuai dan barulah atap dipasangkan kembali lebih
tinggi dari yang semula, setelah meruntuh atap yang lama. Inilah bukti,
bahwa hewan sendiri dapat menentukan perbedaan antara yang memberi
101
mudharat dan yang bermanfa’at (buruk) dan baik. Maka siapa yang
mendakwakari, bahwa dalam perbuatan- perbuatan itu tidak ada baik dan
buruknya sama sekaili, berarti ia seorang yang kurang akal, bahkan lebih
bodoh dari semut^
Telah kita terangkan, bahwa Zat Yang Wajib Wujud (Tuhan) dengan
sifat-sifatNya yang utama, dapat diterima oleh akaL Andaikata orang yang
mencari bukti dengan dalil yang didapat- nya sampai kepada menetapkan
adanya Yang Wajib Wujud dengan sifat-sifatnya yang utama lain dari sifat-
sifat sam’iyah, tetapi tidak berhasil mendapatkan kepuasan sebagaimana
yang didapat oleh sementara manusia; kemudian ia pindah untuk
memikirkan apa yang ada dalam lingkungan dirinya sendiri (roh)-nya
sehingga ia berkeyakinan, bahwa roh yang menjadi penggerak akal
manusia itu adalah kekal sesudah manusia mati, sebagaimana orang lain
juga berkeyakinan demikian; kemudian ia pindah lagi berfikir lebih jauh
— entah fikiran itu benar atau tidak —, bahwa kekalnya roh manusia itu
sesudah ia meninggal menyebabkan ia menerima pembalasan, bahagia atau
celaka; kemudian dikata- kannya, bahwa kebahagiaan manusia setelah
mati itu hanya bisa didapat karena mengenal Allah dan melakukan
perbuatan-per- buatan kebajikan, dan sebaliknya jatuhnya dalam
kecelakaan adalah karena tidak mengacuhkan perintah-perintah Tuhan
serta melakukan perbuatan-perbuatan yang hina-dina; maka di atas
pandangan yang demikian itulah orang tadi menetapkan, bahwa di antara
perbuatan-perbuatan manusia ada yang berguna bagi dirinya setelah mati
dengan mendapatkan kebahagiaan, dan ada V pula yang membawa
madharat bagi diri manusia itu dengan jatuhnya ke dalam kecelakaan.
Maka setelah itu apakah adalarangan dari akal ataupun syara’ (agama)
bila yang tadi berkata sesuai dengan hukum logikanya, bahwa mengetahui
Allah itu adalah suatu yang wajib ? Bahwa segala perbuatan kebajikan dan
apa yang mengikutinya berupa amal-amal yang berguna adalah suatu
keharusan dan sebaliknya, bahwa semua perbuatan yang rendah lagi nista
dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, adalah suatu yang terlarang ?
Apakah ada yang melarang, bahwa untuk itu ia membuat ketentuan-
ketentuan peraturan guna mengajak manusia lain supaya turut
berkeyakinan seperti i’tikad yang dianutnya itu dan mengajar mereka
turut mengambil bagian dalam beramal seperti yang dilakukannya dalam
garis-garis yang tidak dilarang oleh Agama ?
Tetapi buat orang kebanyakan saja, tentu tidak bisa orang mengajak
akal mereka berfikir, bahwa mengetahui Allah itu wajib, bahwa perbuatan-
perbuatan kebajikan itu menjadi pangkal bahagia pada kehidupan yang
kedua (akhirat), dan bahwa perbuatan- '' perbuatan mungkar itu pangkal
celaka. Karena bukti menunjuk- kan, bahwa orang yang berkata demikian
102
dianggap sesat oleh mereka.
Dan kalau sekiranya kebutuhan manusia dan kekhawatir- annya
dalam menempuh kehidupan ini dapat dibatasi seperti halnya dengan
hajat-kebutuhan gajah dan singa umpamanya, kemudian fikirannya
berhenti pada batas hajat. kebutuhannya itu, sungguh manusia itu akan
terpimpin ke arah mencapai manfa’at dan terjauh dari bahaya-bahaya
pada suatu jalan yang tidak akan menimbulkan sengketa-sengketa
pribadi, dan sungguh manusia itu akan mendapat kehidupan yang
bahagia, masing-masing
akan selamat 'dari kejahatan yang lain, dan lain-lain binatangpun akan
bebas dari gangguannya.
Tetapi telah menjadi ketentuan hukum bagi jenis manusia, bahwa
keinginannya tidak terbatas dan penghidupannya tidak bisa dihalangi
oleh rriusim apapun dan tidak pula oleh keadaan tempat. Ia diberi
Tuhan kekuatan berfikir yang dapat diperguna- kannya untuk mencapai
keinginannya dan untuk mendapatkan apa yang disukainya diiklim yang
bagaimana dan keadaan apapun. Dan lahirnya kekuatan akal itu
berbeda-beda pula dalam kapasitas dan bekasnya menurut perbedaan
macamnya, bangsanya dan orang-orangnya, perbedaan yang tidak akan
berkesudahan. Kalau tidaklah karena hal yang demikian, tentu manusia
itu tidak akan berbeda keadaannya dengan jenis hewan-hewan kecuali
karena badan yang berdiri tegak lurus dan paruh yang panjang.
Tuhan memberikan kepada manusia atau menjadikannya(V "
mempunyai tiga kekuatan yang tidak ada pada hewan : ingatan, khayal dan
fikiran. Maka kekuatan ingatan manusia itu dapat mengingat rupa kejadian
yang telah lalu, yang tertutup oleh kesibukan-kesibukan dewasa ini,
Begitulah ingatan itu dapat mendatangkan kembali apa-apa yang selama ini
disenangi ataupun yang dibenci, yakni apa-apa yang serupa ataupun
berlawanan dengan yang dihadapi manusia itu dengan jalan mengingat se-
suatu dengan apa yang menyerupainya (asosiasi fikiran) dan tempo-tempo
dengan lawannya, sebagaimana takasing lagi. Dan' kekuatan khayal (fantasi)
dapat menggambarkan peristiwa-pe~ ristiwa yang sudah terjadi dan
keadaan-keadaan yang mem- pengaruhi manusia itu sehingga peristiwa itu
seakan-akan tampak di matanya sendiri. Kemudian khayal itu dapat
menggambarkan kelezatan atau kesakitan di zaman yang akan datang
dengan membandingkannya dengan apa-apa yang telah berlalu, sehingga
kemudian hati tertarik untuk mengejamya atau menjauhkan diri dari
padanya. Maka karena itu manusia berlindung kepada fikiran, untuk
mengatur cara-cara yang baik untuk mencapai- nya. Begitulah, di atas tiga
kekuatan ini tergahtung kehidupan bahagia manusia dan celakanya.
Di antara manusia ada orang yang normal ingatannya, tenang khayalnya
103
dan sehat cara berfikirnya. Seumpama ia melihat orang yang boros,
membuang-buang uangnya kepada yang tidak berguna, padahal ia sendiri
berada dalam kesempitan — maka teringatlah olehnya bagaimana pedihnya
karena hajat tidak sampai. Kemudian tergambarlah baginya harta dan
manfa’at- manfa’at yang dapat dihasilkannya kelezatan-kelezatan yang dapat
dikecapnya, apakah kelezatan dalam memenuhi kebutuhan- nya sendiri atau
dalam menolak kepedihan hidup yang diderita oleh orang lain dengan jalan
menyumbangkan harta itu kepada orang yang sangat terdesak untuk dapat
menghilangkan kesempitan hidupnya itu. Kemudian tergambar pula olehnya
bagaimana kalau harta yang didapatnya itu datang dengan jalan tidak meng-
ganggu hak-hak orang lain. Waktu itu ia menghadapkanfikirannya untuk
mencari jalan yang sah itu dengan bekerja secara benar, mengerahkan
segenap kekuatan yang diberikan Tuhan dalam dirinya dan mempergunakan
kekuatan-kekuatan alam yang ada di sekitarnya. '
Ada pula di antara manusia yang tidak normal keadaanoya. Seumpama
ia melihat harta orang lain, maka ia teringat kesenangan yang lalu, yang
pernah dirasakannya karena mempunyai harta seperti yang di tangan orang
lain itu. Besarlah khayalnya tentang kelezatan itu buat zaman yang akan
datang, khayal tentang kelezatan dan kesenangan itu semakin besar dalam
kenangannya sehingga bayangan khayalnya itu menghalangi jalan berfikir
yang baik ke arah berusaha. Kemudian ia hanya ber- maksud
mempergunakan kekerasan dan akal busuknya untuk merenggutkan harta itu
dari tangan yang punya buat dipergunakan- nya ke arah manfa’at pribadi
sebagai apa yang dikhayal-khayal kannya selama ini. Maka dengan cara yang
seperti itu ia telah menyalah-gunakan kekuatan yang diberikan Tuhan
kepadanya dan merusakkan ketenteraman yang dititipkan Allah kepada se-
genap hambaNya. Dan dengan begitu ia telah merintis jalan per- musuhan
sehingga tidak mudah baginya dan bagi orang lain
untuk mendapatkan ketenteraman dari tindak-tanduk orang yang berbuat
seperti yang dilakukannya itu.
Sedikit tinjauan tentang perbuatan-perbuatan manusia telah menarik
yang lain menurut dua contoh yang kita kemukakan di atas. Maka
begitulah kekuatan ingatan dan lemahnya, khayal yang berlebih-lebihan
dan yang sederhana, fikiran yang bengkok dan yang lurus, adalah
mempunyai pengaruh yang besar sekali untuk membedakan antara yang
baik dan yang buruk dalam perbuatan-perbuatan manusia. Begitu pula
pergaulan dan lingkungan (milieu) dan apa yang berpengaruh kepada
seseorang seperti keluarga dan sanak famili, kawan-kawan, adalah besar
pengaruhnya kepada khayal dan fikiran, bahkan padajalannya ingatan.
104
Manusia telah sepakat mengatakan, bahwa perbuatan-perbuatan
manusia itu ada yang bermanfa’at dan ada pula yang berbahaya, Dengan
lain perkataan, ada yang baik dan ada yang buruk. Di antara kaum cerdik
pandai dan orang yang mempunyai tinjauan yang benar dan pertimbangan
yang adil ada yang mungkin dapat mencapai demikian itu dengan jalan
pengetahuan yang benar. Mereka sepakat, bahwa yang baik itu ialah: apa
yang lebih kekal faedahnya, sekalipun menimbulkan kesakitan dalam me-
lakukannya. Dan yang buruk ialah : barang yang merusak bagi kepentingan
perseorangan maupun kepentingan umum dan bagi siapa saja yang
berhubungan dengannya, sekalipun besar sekali kelezatannya
sekarang.v/Tetapi manusia itu berbeda pula pe-/ nilaiannya terhadap
masing-masing perbuatan itu sendiri, sebagaimana mereka berbeda dalam
mentalitet mereka pula, dalam penyelidikan, dalam lingkungan pergaulan
dan dalam segala apa yang dapat mempengaruhi pendapat mereka itu.
Itulah sebabnya, di antara mereka ada yang teijerumus ke dalam kejahatan
dalam tiap-tiap jalan yang dilaluinya, karena masing-masing mereka me-
ngira, bahwa jalan yang dilaluinya itu adalah memberi manfa’at dan
menjauhkan diri dari bahaya. Karena itu teranglah, bahwa akal manusia
&7/a tidaklah sanggup. untuk menvampaikan oranp
buat-Jtnen capai kebahagiaan hidup dt dunia ini, kecuali beberapa pribadi
yang tidak seberapa jumlahnya yang tidak dikenal oleh se- jaiah. Maka
sekiranya jumlah mereka yang sedikit itu mempunyai pengaruh besar yang
menyebabkan mereka dikenal orang, tentulah masa tidak lupa memberikan
isyarat kepadanya dengan perantaraan telunjuk jari orang banyak. -
^kal manusia tidaklah sama tentang mengetahui persoalan adanya
Allah dan tentang mengetahui persoalan adanya hidup sesudah hidup yang
sekarang ini. Sekalipun mereka telah sesuai untuk tunduk menekurkan
kepala terhadap kekuatan zat yang lebih kuasa dari mereka sendiri, dan
sebagian dari manusia itu telah ingat akan adanya hari akhirat sesudah
duniawi ini, tetapi sayang, akal mereka telah dirusakkan oleh paham
pemujaan dewa-dewa (watsaniyah, idolater, animisme), yang
memalingkannya dari jalan yang menuju kepada kebahagiaan.
Sebenarnya bukanlah menjadi kemampuan akal manusia rata-rata
untuk mengetahui apa yang wajib diketahuinya, dan tidak pula mampu
untuk memahamkan dengan sungguh-sungguh tentang kehidupan hari
akhirat itu apa yang semestinya di- pahaminya, dan tidak pula untuk
menentukan macam-macam perbuatan mana yang akan menerima
pembalasannya di negeri akhirat itu.
Memang sedikit sekali orang yang dapat memahami hal itu, yakni
orang-orang yang diistimewakan Allah dengan kesempur- an akal dan nur-
105
cahaya hati, sekalipun orang-orang itu tidak mendapat kehormatan beroleh
petunjuk Nabi. Tetapi andaikata petunjuk Nabi itu sampai kepadanya,
Sesungguhnya pastilah ia merupakan manusia yang paling cepat menjadi
pengikiit Nabi itu. Namun dengan kekuatan fikiran mereka, mereka
berhasil mengeta- huinya menurut jalan, yang pada hakikatnya tidak wajar
untuk memandang kebesaran Ilahi dari jalan itu.
Kemudian, diantara keadaan-keadaan yang berlaku pada kehidupan-
hari akhirat itu ada yang sama sekali tidak mungkin bagi akal manUsia
sendirinya saja untuk mengetahuinya, seperti penjelasan tentang
keterangan berbagai kelezatan, tentang siksaan-

106
siksaan, tentang cara menimbang segala perbuatan-perbuatan yang
dikerjakan oleh manusia di dunia ini, sekalipun orang mempunyai hasrat
yang kuat untuk mengetahuinya dengan jalan apapun.
Di antara amal-amal ibadat manusia ada yang tidak mungkin untuk
mengetahui faedah hikmatnya 19"> ’’tidak diwaktu hidup di dunia ini dan
tidak pula kemudiannya dihari akhirat”, seperti ketentuan sebagian rupa
ibadat sebagaimana dapat di- lihat dalam perbedaan raka’at-raka’at
sembahyang; sebagian pe- keijaan amal ibadat haji menurut agama Islam,
dan sebagian dari upacara-upacara majlis
pertemuan dalam agama Nabi Musa 2)

19 Yakni tidak diketahui dengan pasti faedah yang terkandung dalam diri ibadat
itu sendiri selain keadaannya merupakan suatu hal yang "ta'abbudi", yaitu suatu amal-ibadat yang
berfaedah yang dilakukan karena semata-mata patuh kepada perintah Allah s.w.t. belaka tanpa
memperhatikan kepada manfa'atnya yang khas. Para ahli menyebut bagian Ibadat yang seperti
ini dengan: ibadat yang tidak ma’kul makna (ta'abbudi) Pen), dan sebaliknya dinamakan: ibadat
yang ma’kul makna (ta'aqquli), yaitu yang dapat diterangkan makna seluruh-
nya oleh akal sampai ke detailnya; seperti mengambil air-sembahyang, mandi-
wajib, m ember sihkan badan dan pakaian. Maka hygienis, hal itu berfaedah
untuk menjaga kesehatan, kesegaran badan dan kesenangan kehidupan lahir. Demikian pula halnya
dengan hikmat faedah ibadah shalat pada umumnya, puasa, zakat dan Iain-lain hukum Ibadat yang
Ill
telah dijelaskan oleh Pengarang di waktu membicarakan tentang Agama Islam. Dan cuma yang agak
ganjil kedengarannya ialah, kalimat beliau di atas yang berbunyi: "tidak di waktu - hidup ini dan tidak
pula kemudiannya".
Dan bermacam-macam tawassul (supplication, permohonan), dan
kezuhudan (tidak mementingkan kelezatan duniawi, indifference) dalam
agama Nabi Isa. Semua itu tidak mungkin akal manusia sendiri untuk
mengetahui apa rahasia faedahnya, akan tetapi Allah mengetahui, bahwa
kebahagiaan manusia terletak dalam mengerjakan amal-ibadat itu
Oleh karena itu semua, maka akal manusia menghajatkan pimpinan
yang kuat, baik rohaniah (mental-spirituil) maupun badaniahnya, yang
dapat membawanya beruntung dalam dua kehidupan duniawi dan ukhrawi;
ia memerlukan kepada juru penolong yang diharapkan pertolongannya
dalam menentukan batas-batas hukum perbuatan-perbuatan manusia itu
dan me- nerangkan tentang kepercayaan (i’tikad) kepada.Tuhan dengan
sifat-sifat Ketuharian yang sempuma, untuk mengetahui apa-apa yang patut
diketahui tentang keadaan-keadaan berita mengenai hari akhirat;
ringkasnya, segala jalan yang dapat membawa ma—- nusia berbahagia di
dunia dan akhirat. Dan penolong itu tidak. mempunyai kekuasaan yang
harus ditakutkan pada dirinya, sehingga ia harus muncul dari jenisnya
manusia itu sendiri, supaya masing-masing dapat memahami apa yang
diucapkannya; penolong itu harus mempunyai kelebihan yang luar biasa
(mu’jizat) dan yang di luar hukum alam yang biasa, Hal itu adalah sebagai
bukti baginya, bahwa apa yang disampaikannya kelak adalah berasal dari
kalam Allah, Tuhan Yang Maha Mengetahui kemas- lahatan ummat
manusia. Penolong itu juga mengajarkan tentang sifat-sifat Tuhan yang
sempurna dan segala, apa yang patut diketahui tentang sifat-sifat itu, tentang
kehidupan hari akhirat; serta apa yang dikatakannya tentang akhirat itu
adalah meru-
pakan pengertian yang datang daripada Allah. Akhirnya, prolong itu
haruslah diperqayai, bahwa segala yang dikatakannya itu adalah berasal
daripada Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana untuk
menolong akal dalam memecahkan per- kara yang pelikpelik baginya atau
memberitahukan apa yang tak sanggup akal manusia untuk mencapainya.
Juru Penolong itu adalah Nabi
Tugas Nabi adalah memberikan batas terhadap apa yang seharusnya
diperhatikan tentang sesuatu yang berkenaan dengan ^ Zat Yang Wajib
Wujud berupa sifat-sifatNya yang sempurna dan apa-apa yang dibutuhkan-
oleh ummat manusia kepadaNya. Nabi itu memberikan isyarat kepada orang-
orang terkemuka agar bersifat dengan sifat keutamaan, yang melebihkannya
dari orang lain dalam kedudukan pengetahuan mereka yang terhor- mat.
Akan tetapi ia tidak mewajibkan kecuali yang memadai buat keperluan
orang a warn. Begitulah Nabi itu datang mengan- jurkan kepada ummat
manusia untuk menganut kepercayaan (i’tikad) dengan adanya Allah, dengan
112
ke-EsaanNya dan dengan sifat-sifat yang sempurna seperti apa yang telah
kami jelaskan. Untuk membuktikan demikian, Nabi itu telah memberikan pe-
tunjuk cara-caranya. Maka wajiblah mengetahui adanya Allah itu menurut
cara yang ditentukan itu dan kebaikannya mengetahui serta terlarangnya
bersikap masabodoh (apatis), atau men- durhakai apa-apa yang diwajibkan
oleh Syari’at (Agama) dalam hal yang demikian itu, serta buruknya ingin
tahu dari apa-apa yang memang tidak bisa diketahui kecuali dengan melalui
jalan syari’at yang dapat menenteramkan hatl Sekiranya akal manusia
dibiarkan' sendirian untuk mengetahuinya, tentu ia tidak akan sampai
kepada apa yang diharapkan, yakni pengetahuan yang pasti, yang
meyakinkan, dan yang memberikan kepuasan. Ke- puasan mana adalah
merupakan sendi ketenteraman hati. Maka jika yang lebih baik dari itu,
adalah mengetahui menurut pe- tunjuk-petunjuk yang telah diberikan
agama, yakni jalan yang berhak orang mendapat pahala, sedangkan bagi
yang sebaliknya adalah berhak beroleh ikab-siksaan —, menjadi jelaslah,
bahwa jalan yang dipakai untuk mengetahui adanya Allah dan sifat- sifatNya
yang sempurna adalah jalan Syari’at (Agama) semata- mata; dengan
pengertian, bahwa hal itu tidak menafikan sama sekali, bahwa mengetahui
Allah dengan melalui akal (ratio) ada juga baiknya. Tetapi syari’at itu datang
sebenarnya menjelaskan apa yang sesuai dengan kenyataan, bukan mengada-
adakan barang yang baru seperti yang dikuatkan oleh nas-nas syari’at itu
sendiri. Ambillah — satu di antara nas itu sebagajmana yangdi- firmankan
Allah melalui lisan Nabi Yusuf yang berbunyi:

"Apakah Tuhan-Tuhan yang berlain-lainan itu yang lebih baik ataukah Allah Yang
Maha Tunggal lagipun Maha Gagah ?!" (Q.S. 12, Yusuf:39).
Ayat ini menunjukkan isyarat yang nyata, bahwa memper-.
beda-bedakan Tuhan menimbulkan perpecahan di dalam pendirian manusia
dalam mencari kekuasaan yang lebih tinggi di luar kekuatan akal mereka
sendiri. Hal itu menyebabkan masing- masing, merusakkan susunan
pergaulan mereka sebagaimana yang tidak tersembunyi lagi. Tetapi i’tikad
(keyakinan) mereka yang sama kepada Tuhan Yang Esa, dapat
mentauhidkan (menyatu- kan) pendirian mereka yang terpecah-pecah
kepada satu Kekuasaan, di mana semua tunduk bernaung di bawah hukum
kekua- saanNya. Di situlah terletak jalinan tali persaudaraan mereka. Itulah
kaidah bahagia mereka, yang menurut keyakinan saya,
lambat-laun ummat manusia akan kembali kepada kepercayaan
yang seperti demikian itu 20).

20 ■ Adalah pengarang radiyallahu 'anhn berkeyakinan, bahwa kemajuan bangsa-


bangsa dengan pengetahuan ilmu alam, ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan, mereka akhirnya
113
akan sampai kepada tauhid (mengesakan Tuhan) dan mem- benarkan apa yang telah ditetapkan
Sebagaimana Syari’at (Agama) Islam datang menganjurkan
manusia supaya menganut suatu i’tikad (Kepercayaan) tertentu, ia juga
datang membawa petunjuk-petunjuk tentang cara yang baik dalam
menganut kepercayaan itu.
Jabatan ke-Nabian itu juga menentukan batas amal-amal yang
membawa bahagia manusia di dunia dan akhirat, dan dengan perantaraan
perintah Tuhan, Nabi itu menganjurkan kepada manusia supaya berhenti
pada batas-batas yang telah ditentukan Allah itu. Banyak sekali manusia
mendapat pene- / rangan dengan demikian itu tentang jalan-jalan yang baik
atau- pun yang buruk yang bersangkut-paut dengan perintah dan la- rangan
yang harus diperhatikan oleh ummat manusia. Maka karena itu wajiblah
mengamalkan apa-apa yang diperintahkan atau- pun yang dianjurkan
supaya manusia mengeijakannya dan meng- hentikan perbuatan yang
hukumnya terlarang ataupun yang tidak disukai menurut jalan yang telah
dibatasi oleh syari’at. Dan manusia itu akan diberi pahala dengan
melakukan perintah- perintah agama itu, sebaliknya akan beroleh siksaan
karena melanggarnya; hal mana adalah termasuk pula masalah yang tidak
dapat akal sendiri mengetahuinya. Tetapi justeru menge- tahuinya adalah^
dengan perantaraan petunjuk syari’at (agama). Hal itu pula tidak
memungkiri, bahwa yang diperintahkan itu adalah baik pada zatnya, dengan
arti, bahwa ia dapat memberi manfa’at duniawi ataupun ukhrawi dengan
memandang bekasnya dalam hal-ihwal kehidupan duniawi; atau pada
kesehatan badan atau dalam menjaga diri, harta, kehormatan, atau dalam
ber- tambah eratnya hubungan jiwa dengan Allah Yang Maha Agung,
sebagaimana diterangkan dengan panjang lebar dalam hukum- hukum
Syari’at. Kadang-kadang di antara amal-amal yang diperintahkan kepada
manusia itu ada yang tidak mungkin dise- lami kebaikan apa yang
terkandung di dalamnya, begitu juga di antara perbuatan-perbuatan yang
terlarang itu ada yang tak dapat diketahui di mana letak buruknya. Dalam
hal yang seperti ini hanya dapat dikatakan, bahwa tidak ada kebaikan di
dalam*
nya melainkan karena ia adalah suatu perintah Agama, dan tidak ada
buruknya, melainkan karena ia adalah suatu larangan agama. Wallahu
a’lam (Tuhan jugalah yang lebih Mengetahui)!

oleh kitab Suci Al-Qur‘an tentang pokok- pokok Agama. Ayat (4 : 34) berbunyi: ”Nanti akan
Kami (Allah) perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebenaran Kami di seiuruh penjuiu alam
dan dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Islam ita benar. Apakah
belum juga cukup bukti tentang adanya Tuhan engkau itu, bahwa Ia menyak- akan segala
sesuatu ?” (Fushshilat: 53). ’Tet^i lihatlah mereka masih ragu- ragu juga untuk menemui Tuhan
mereka, ketahuilah, bahwa Allah itu menoa- kup segala sesuatu” (Fushshilat: 54).
114
VII
KERASULAN YANG UMUM

Kami maksudkan dengan Kerasulan yang Umum, ialah


pengangkatan para Rasul untuk menjalankan missinya menyam- paikan
sesuatu i’tikad (kepercayaan)' dan hukum-hukum Allah Yang
menciptakan ummat manusia ini, bahwa Tuhanlah yang mencukupkan
kebutuhan-kebutuhan manusia yang pokok (pri- mair) sebagaimana Ia
juga memberikan kepada makhluk yang lain-lain guna memenuhi
kebutuhan serta menjaga wujudnya menurut kadar yang ditentukan
sesuai dengan martabatnya masing-masing dalam wujud. Pembahasan
kami dalam masalah ini ditinjau dari dua jurusan. Pertama, yakni yang
paling mudahbagi ahli ilmu Kalam, yaitu jurusan, bahwa menganut
i’tikad tentang diutusnya para Rasul itu adalah merupakan satu di
antara rukuri Iman (kepercayaan). Maka tiap-tiap orang yang beriman
wajib meyakinkan, bahwa Allah telah mengutus beberapa orang Rasul
dari golongan manusia sendiri untuk menyampaikan pelajaran kepada
ummatnya dan apa saja yang diperintahkan kepada mereka untuk
menyampaikannya, serta menjelaskan hukum- hukum yang berkenaan
dengan perbuatan-perbuatan yang mulia dan sifat-sifat yang dituntut
mereka itu mengerjakannya, begitu pula tentang segala perbuatan yang
buruk serta moral yang rendah yang dilarang manusia melakukannya,
— dan bahwa manusia wajib membenarkan para Rasul itu, bahwa
mereka dalam menjalankan missinya itu adalah berdasarkan perintah
Allah. Dan wajiblah mengi’tikadkan, bahwa mereka itu. wajib benar
dalam perjalanan hidupnya; dan wajib mfcngikuti apa-apa yang
diperintahkan oleh mereka, dan apa-apa yang dicegahnya wajib kita
hentikan. Begitu pula manusia wajib mengi’tikadkan, bahwa
di antara para Rasul itu ada yang diturunkan Allah kepadanya Kitab
Suci yang mengandung perintah dan pengajaran-perigajaran yang

115
harus disampaikan, dan berisi norma-norma dan hukum yang
dipandang baik oleh Allah bagi hamba-hambaNya untuk berdiri pada
norma dan hukum-hukum itu. Dan bahwa semua Kitab Suci yang
diturunkan kepada para Rasul Tuhan itu adalah benar —; dan harus
diyakini, bahwa para Rasul itu didukung oleh kekuatan Tuhan dengan
sesuatu yang tidak bisa diselami akal dan di luar kemampuan ummat
manusia melakukannya, yakni berupa ’’Mu’jizat” yang menjadi bukti
atas kebenaran da’wahnya. Maka karenanya, bila Rasul mendakwakan,
bahwa ia telah diberi tugas Kenabian dan ia membuktikan itu dengan
mu’jizat, wajiblah membenarkan Kerasulannya itu.
Sejajar dengan itu, wajiblah dengan pasti mengi’tikadkan ketinggian
fithrah-kejadian Rasul-Rasul Tuhan itu, sehat akal, benar dalam segala
pembicaraannya, amanah dalam menyampai- kan apa yang diperintahkan
Tuhan kepada mereka untuk me- ^ nyampaikannya dan terpelihara dari
segala perangai manusia yang jelek. Anggota badan mereka selamat dari
cacat yang tidak sedap dipandang mata, yang dapat menyebabkan orang
yang berperasaan sehat menjauhkan diri dari padanya, bersih dari sifat-
sifat sebaliknya dari yang tersebut itu. Roh mereka mempunyai nilai yang
lebih tinggi di sisi Tuhan, yang tidak mungkin roh manusia biasa dapat
menandinginya. Adapun bidang lain dari yang tersebut itu, mereka itu
adalah sebagai manusia biasa juga, yakni makan, minum, tidur; mereka
juga sakit, dan kadang-kadang malahan ada yang dianiaya oleh orang
jahat, mendapat ancaman, bahkan ada di antara Nabi-Nabi itu yang mati
dibunuh orang.
Tentang Mu’jizat, bukanlah suatu barang yang mustahil menurut
akal. Karena tidak ada dalil yang kuat untuk .mengatakan mustahil
terhadap sesuatu yang luar biasa wujudnya Bahkan sering kejadian
yang dapat disaksikan pada keadaan diri orang yang sakit yang tidak
mau makan beberapa waktu -> lamanya, yang kalau sekiranya orang itu
dalam keadaan sehat tidak menelan makanan dalam masa sekian lama
itu, pastilah ia mati, di samping ada faktor yang menyebabkan ia
bertambah lemah, dan lapar yang mendorongnya untuk cepat mati. Jika
ada yang mengatakan, bahwa hal itu adalah menurut hukum alam yang
lain lagi, kami menjawab: ’’Bahwa yang mengada- kan hukum alam itu
Dialah yang menciptakan sekalian alam ini, maka karena itu tidaklah
mustahil bahwa Ia mengadakan pula hukum alam yang khusus dengan

116
sesuatu yang menyalahi kebiasaan” Walhasil kita tidak dapat
menyelami persoalan mu’jizat itu, tetapi kita hanya dapat melihat
bekasnya pada orang yang diberikan Allah kurnia mendapatkannya.
Dengan i’tikad yang kita anut, bahwa Yang Maha Menjadikan alam ini
adalah Maha Kuasa, mempunyai kebebasan, menjadi mu- dahlah kita
tahu, bahwa Dia tidak dapat dirintarigi untuk menjadikan sesuatu
kejadian yang bagaimanapun juga luar bia- sanya, yakni bila sesuatu itu
telah ada dalam IlmuNya, bahwa Ia akan menciptakan seperti ya\g
demikian itu.
Mu‘jizat mestilah muncul bersama-sama dengan keangkatan menjadi.
Nabi. la bisa terwujud dengan seketika sebagai dalil yang meyakinkan bagi
benarnya pengakuan seorang atas Kena- biannya itu. Karena seorang Nabi
perlu bersandar kepada mu'jizat / itu dalam menjalankan tugas da‘wahnya,
bahwa ia benar menyam/ paikan apa yang datang dari Allah. Maka
pemberian mu‘jizat itu kepada Nabi-nabi, berarti penguatkan bagi
kebenaran missinya. Mustahil bagi Allah untuk menguatkan orang dusta,
karena menguatkan orang yang dusta itu berarti membenarkan
kedustaannya, dan membenarkan orang yang lusta itu adalah suatu
kedustaan pula adanya; dan hal itu adalah mustahil bagi Allah.
Apabila mu‘jizat itu telah menampakkan diri, padahal ia suatu
yang di luar kemampuan manusia dapatlah diketahui dengan pasti,
bahwa Allah tidak akan mempertunjukkannya, kecuali untuk
membenarkan orang yang mu‘jizat itu berada ditangannya.
Adapun sihir dan persoalan-persoalan seperti itu, maka

117
jika dapat diterima, bahwa bekasnya adalah juga suatu hal yang
mengagumkan lagi mengatasi kekuatan jasmaniyah biasa, namun ia tidak
dapat mendekati keluar-biasaan yang ada pada mu‘jizat sedikitpun juga.
Wajibnya sifat-sifat tersebut itu tadi pada diri para Nabi, ialah
andaikata fitrah-kejadian mereka lebih rendah dari orang- orang yang
sezaman dengan mereka, atau jiwa mereka lemah menghadapi kekuatan jiwa
orang lain, atau akal mereka mempunyai cacat yang bisa melemahkan,
tentulah mereka tidak berhak untuk mendapatkan kedudukan istimewa yang
diberikan oleh Ilahi, kedudukan. yang mengatasi segala-galanya. Mereka
mendapat keistimewaan dengan wahyu yang diterirnanya, mereka mendapat
keistimewaan dengan terbukanya tabir rahasia-rahasia ilmu bagi mereka.
Dan andaikata badan diri mereka tidak bersih dari cacat yang bisa
menyebabkan orang menjauhkan diri, sungguh akan seganlah hati untuk
melihat wajah mereka, hal . mana akan dijadikan hujjah bagi orang yang
ingkar untuk mengingkari pengakuan mereka sebagai seorang Rasul.
Sekiranya Nabi-nabi itu berdusta atau khianat, atau jelek riwayat hidup
mereka, hal itu tentu akan melemahkan kepercayaan orang kepada mereka,
dan dengan sendirinya mereka akan menjadi juru penyesat', bukan
pembimbing. Dan dengan begitu hilanglah rahasia atau hikmat mengutus
mereka sebagai Rasul. Demikian pula halnya sekiranya mereka lalai ataii
suka lupa dalam menyampaikan akidah-akidah dan hukum-hukum yang
diwajibkan kepada mereka buat menyam- paikannya.
Tentang terjadinya kesalahan pada diri mereka di luar dari tugas
mereka menyampaikan berita yang datang dari Allah, yang tidak ada
hubungan sama sekali dengan Syari‘at, menurut sebagian Ulama, hal itu
boleh saja, sedang pendapat kelompok ter besar para Alim-Ulama
menyanggah pendapat itu.
Apa yang pemah kejadian pada diri Nabi, seumpama beliau pernah
melarang sahabatnya memperkawinkan atau memper- senyawakan (talqih)
bibit korma, tetapi kemudian beliau mem- perbolehkan kembali hal itu
karena ternyata baik pengaruhnya kepada buah, adalah untuk
memberitahukari kepada. manusia, bahwa segala cara yang dapat membawa
hasil baik, begitu pula sistim-sistim pertanian yang lebih bermanfa‘at dalam
urusan duniawi, maka hal itu diserahkan kepada kecerdasan ilmu penge-
tahuan mereka sendiri serta pengalaman-pengalaman mereka, tidak terlarang
asal saja Syari‘at Agama dapat terpelihara dengan baik.

118
Hikayat yang dikisahkan Tuhan dari hal Nabi Adam dan dianggap
durhakanya beliau tersebab memakan buah kayu surga (Khuldi), hal itu
memang termasuk soal yang agak sulit untuk menggali apa rahasianya
larangan memakan buah itu. Begitu juga hukuman yang dijatuhkan Tuhan
kepada Adam sebagai sangsinya. Paling tinggi yang dapat kita ketahui, ialah
bahwa peristiwa itu adalah menjadi sebab ramainya pembangunan di bumi
ini dengan berkembang-biakflya anak-cucu Adam, seolah-olah dengan
adanya larangan memakan buah kayu surga itu dan terjadinya pelanggar-
an, adalah sebagai isyarat kepada' adanya dua tingkat (phase ketika, zaman)
bagi zaman kehidupan Adam ’alaihissalam, atau adanya dua manifestasi bagi
dua macam jenis manusia dalam wu judnya 21 >. Wallahu A‘lam (Allah-lah
yang lebih mengetahui)
Memang sulit untuk menegakkan dalil akal ataupun untuk mem- benarkan
dalil Agama yang dapat meyakinkan orang menurut pendirian yang dianut
oleh kelompok terbesar para Alim Ulama tersebut di atas.

21 Masalah itu telah dibahas oleh pengarang secara panjang lebar dalam menafsjrkan Kisah Adam yang
tersebut dalam Surat Al-Baqarah yang dapat dicari dalam tafsir beliau ”A1-Manar” jilid pertama.
Setahu kami uraian itu penting sekali bagi setiap orang.
Dikatakan, bahwa Adam a.s. waktu ia di dalam Surga, bukanlah seorang Nabi dan Rasul. Ketika
itu ia tidak mempunyai ummat yang dikhawatirkannya akan turut keliru dalam mengikuti
jejaknya. Telah tersebut dalam Hadits Nabi yang sahih, tentang perkara syafa'at, bahwa Nuhlah
awal Rasul Tuhan yang dikirim Allah kepada penduduk bumi ini; dan itu cocok dengan
keterangan yang jelas dari ayat-ayat Al-Quran yang tidak cukup tempat untuk menyebutkannya
semua di sini. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa Kisah Adam tidak dikemukakan menurut dalil
fikiran yang dapat mereka perpegangi sebagai dalil untuk menyatakan, bahwa ma'sumnya
(terpelihara dari kesalahan) Nabi-nabi itu hanya tetap setelah ia diberi besluit Kenabian, tidak
sehelumnya. Dan yang telah disepakati ialah, bahwa Nabi-nabi itu adalah ma‘sum dalam
menyampaikan Risalahnya, atau dari menghilangkan Risalah itu, ma‘sum dari durhaka kepada
Tuhan. Berkata Sa‘ad dalam Syarah Al-Maqashid, bahwa menurut pendirian kami, yang dimaksud
ialah : terjauhnya Nabi-nabi itu dari mengerjakan dosa-dosa besar setelah diangkat jadi Nabi
Secara mutlak, dan dari dosa kecil kalau dengan sengaja, tidak karena lupa; tetapi itupun tidak
terus-menerus, bahkan beliau-beliau itu segera diperingati Tuhan sehingga mereka sadai.
Tentang persoalan pendurhakaan Adam memakan buah kayu itu, beliau menjawab, bahwa hal
itu terang sebelum beliau diangkat jadi Nabi. ’’Betapa tidak”. Kata beliau sedang didalam Surga
waktu itu belum ada umat, dan lagipun Adam waktu itu dalam keadaan lupa”; kaiena mengingat
Firman Allah : ’’Fanasiya” (maka Adampun menjadi lupa) sampai keterangan kepada akhir ayat
seterusnya.

119
VIII
KEBUTUHAN UMMAT MANUSIA KEPADA RASUL

Dalam fasal yang lalu telah dikemukakan pembicaraan yang


penting, berupa tinjauan dari jurusan pertama, yakni se- gi yang wajib
bagi orang yang beriman untuk mengi’tikadkan- nya tentang ke-
Rasulan Rasul-Rasul Tuhan, Dan pembicaraan dalam fasal ini akan
tertuju insya Allah — tentang kebutuhan manusia kepada Rasul-Rasul
itu. Persoalan ini telah merupakan pertentangan faham di antara para
sarjana, persoalan yang sering membawa orang tergelincir dan yang
banyak memeras fikiran para ahli fikir. Dan tidak ada selera untuk
mengemukakan pendapat . yang pertama, dan tidak pula bermaksud
untuk mengemukakan buah fikiran yang Tainnya. Tetapi kami akan
mengetengahkan dalam lembaran kertas ini akan apa-apa yang mesti
kami terangkan, yakni yang bersangkut-paut dengan i‘tikad dan
menjelajah persoalannya dari jalan-jalan yang terdekat tanpa
menyinggung pendapat orang yang kontra ataupun pendirian orang
yang pro, kecuali berupa isyarat yang halus secara sambil lalu, ataupun
uraian yang mendalam yang tidak cukup dengan penjelasan yang
sederhana saja.
Untuk memasuki pembicaraan dan memberikan analisa tentang
kebutuhan manusia kepada Rasul-Rasul Tuhan itu, ada dua jurusan
tempat kita masuk. Pertama, — telah kita singgung tadi — dimulai dari
kepercayaan (i‘tikad) dengan kekalnya roh manusia setelah mati, dan
bahwa bagi manusia ada hidup yang kedua setelah berakhirnya hidup
di dunia ini. Dalam hidup mana mereka akan mengecap nikmat
bahagia atau beroleh celaka dengan azab yang amat pedih.
Bahagia dan celaka dalam kehidupan yang abadi itu adalah menurut
amal perbuatan manusia itu sendiri, selagi berada dalam hidup di dunia yang

120
fana ini, baik perbuatan-perbuatan itu berkenaan dengan kejiwaan
(rohaniyah) seperti berbagai kepercayaan manusia, atau berupa cita-cita dan
kemauan-kemauan, ataupun berbUatan-perbuatan badaniyah seperti
bermacam-macam ibadat dan mu’alamat (ekonomi, perdagangan dan
sebagainya).
Semua . pihak sepakat mengatakan, baik manusia yang ter- golong
kaum yang mempercayai Tuhan Esa (monotheismus) atau yang mempercayai
Tuhan banyak (polytheismus) maupun kaum filosof sendiri kecuali sedikit,
yaitu orang yang kurang pertimbangaiinya, bahwa roh manusia itu adalah
abadi, hidup terus ^setelah ia berpisah dengan badan, tidak akan mati lagi
setelah mengalami kematian yang fana di dunia ini. Sedang masalah
kematian inipun adalah suatu soal yang batin dan rahasia. Demikianlah
mereka telah sepakat mengenai masalah kekalnya roh setelah ia berpisah dari
badan, sekalipun mereka berbeda pendapat tentang cara bagaimana
menggambarkan kekalnya itu, kemana perginya roh itu dan tentang jalan-
jalan mem- buktikannya. Ada yang mengatakan, bahwa roh-roh itu berpin-
dah (transmigrate) ke dalam jasad manusia atau hewan terus- menerus, dan
berpendapat, bahwa perpindahan itu berakhir tatkala roh itu sampai kepada
martabatnya yang paling sempurna. Di antara mereka ada pula yang
mengatakan, bahwa manakala roh itu telah meninggalkan jasad, ia pergi
kembali kepada alam rohani yang bebas dari pengaruh alam kebendaan ini,
di mana ia dapat mengecap kelezatan hidup atau celaka yang harus diderita-
nya. Ada lagi yang berpendapat, bahwa roh itu sekeluarnya dari jasad ia
segera menggabungkan diri dengan jisim (zat) apa yang dinamakan ether
yang sangat jauh lebih halus dari jisim-jisim (benda-benda) yang dapat
dilihat dengan pancaindera.
Perbedaan fikiran tentang rahasia kebahagiaan dan keru- gian di hari
akhirat, tentang kelezatan hidup di hari Akhirat itu serta jalan-jalan yang
dapat membawa kepada beroleh nikmat itu atau untuk teijauh dari siksaan
yang terus menerus, dan
begitupun timbulnya bermacam-macam pendapat ummat-ummat yang
dahulu maupun yang sekarang, memang banyak sekali hampir-hampir
tidak dapat dihitung.
Tanggapan fikiran yang umum merata bagi tiap-tiap pribadi manusia
baik yang cerdik maupun yang bodoh, yang biadab maupun yang sopan,
orang desa maupun orang kota, yang kuno ataupun yang modern, tentang

121
adanya hidup sesudah hidup yang sekarang ini, tidak mungkin dipandang
sebagai fi- ^ kiran yang sesat, ataupun was-was yang diragukan
kebenarannya. Tetapi ia merupakan soal ilham yang khusus diberikan oleh
Allah kepada manusia dalam soal ini. Sebagaimana manusia itu diberi
ilham, bahwa akal dan fikirannya menjadi pokok bagi kehidupannya di
dunia ini, sekalipun ada beberapa gelintir orang yang berpendirian janggal
mengatakan, bahwa akal dan fikiran manusia itu tidak cukup untuk
memimpin manusia dalam melakukan sesuatu amal perbuatan, atau
berpendapat, bahwa tidak mungkin bagi akal untuk menentukan sesuatu
kepercayaan (i’tikad, dogma) dan tidak mungkin pula bagi fikiran untuk
dapat menyampaikannya kepada sesuatu yang belum diketahui, bahkan
mereka mengatakan, bahwa tak ada wujud yang hakikat bagi alam ini,
kecuali dalam ciptaan khayal belaka'; mereka itu menjadi orang yang ragu-
ragu (skepsis, sangsi) hatta pada dirinya sendiri. Pendapat yang ganjil
kedengarannya itu tidak akan dapat mematahkan kebenaran ilham umum
yang telah merata kepada tiap-tiap orang, bahwa akal dan fikiran itu
adalah merupakan rukun hidup dan sendi bagi kebakaan manusia sampai
kepada batas ajal yang telah ditentukan. Demikian pulalah telah
diilhamkarf kepada akal dan diberikan perasaan kepada jiwa (roh), bahwa
umur manusia yang pendek ini pada hakikatnya bukanlah akhir kehidupan
manusia dalam wujudnya ; akan tetapi manusia melepaskan tubuh
kasarnya itu tak ubahnya seperti ia melepaskan kain dari badannya,
kemudian hidup kembali dengan kehidupan yang abadi dalam babak
terakhir sekalipun ia sendiri tidak mengerti akan hakikat kehidupan ter-
akhir itu. **
Ilham itu hampir-hampir dapat mendesak sesuatu kenyataan karena
demikian jelasnya pengertian yang diberikan kepada manusia, di mana
manusia dapat merasakan, bahwa dirinya didptakan oleh Tuhan bersedia
menerima ilmu pengetahuan yang tidak ada akhirnya dan mencari jalan-jalan
yang tidak dapat dibatasi. Manusia gemar kepada kelezatan-kelezatan yang
tidak terbatas, tidak mau berhenti dalam satu garis titik. Ia mempersiapkan
diri guna menqapai darjat yang lebih sempurria yang tidak ada ujungnya.
Manusia juga menderita bermacam- macam penderitaan karena
memperturutkan keinginan hawa- nafsu yang berlebih-lebihan, karena
serangan penyakit ke dalam tubuh serta peijuangan menentang cuaca buruk
dan kebutuhan- kebutuhan hidup yang menekan dan lain-lain sebagainya

122
yang tak dapat disebut dan memang tidak akan habis-habisnya bila dihitung.
IlKam, yang mengajak manusia — kepada pengertian, bahwa Zat yang
memberikan wujud bagi segala jenis makhluk, hanya memberikan persediaan
menurut kadar yang dibutuhkan masing-masing dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya, dan Zat yang memberikan wujud itu tak ada yang
percuma dan tak pemah pula memberikan ukuran secara raba-raba, Maka
karenanya tidaklah sah, bahwa kejadian manusia yang mempunyai persediaan
untuk menerima bermacam-macam ilmu pengetahuan, berbagai penderitaan,
kesenangan-kesenangan dan kesempurnaan- kesempurnaan, bahwa kebakaan
hidupnya terbatas hanya kepada beberapa hari atau beberapa tahun saja.
Perasaan-perasaan seperti itulah yang menggerakkan segala roh untuk
merasakan kehidupan yang baka lagi abadi dan mengenangkan
bagaimanakah keadaannya bila ia telah sampai ke sana ; bagaimanakah
caranya mendapat petunjuk tentang itu dan manakah jalan yang harus
dilaluinya, sedang barang yang dicari itu adalah suatu yang gaib dan dalil
untuk itu adalah amat lemah dan sukar sekali. Perasaan-perasaan kita
menghendaki supaya kita mempergunakan akal untuk menghadapi kehidupan
duniawi yang pendek ini, namun kita tidak mampu untuk berdiri di atas jalan
yang sebaik-baiknya ; bahkan kita harus belajar mendidik dan memimpm
dulu, dan menghabiskan waktu beberapa lama lagi guna membetulkan hasil
penyelidikan dan me- luruskan jalan fikiran, memperbaiki perasaan dan
menjernihkan otak. Dan nyatanya sampai dewasa ini kita senantiasa berada
dalam gangguan kehidupan dunia yang selalu goncang, yang tidak dapat kita
ketahui dengan pasti kapan kita akan t.erlepas dari kegoncangan-
kegoncangan itu. Kita tetap merindukan ketenang- an, tetapi tidak tahu kapan
kita akan sampai kepadanya.
Inilah posisi kita dalam memahamkan alam yang nyata di mata kita,
maka apakah gerangan yang dapat dicapai oleh a'kal dan fikiran kita tentang
apa-apa yang terjadi ai alam gaib ? Apakah ada di antara bukti yang ada di
hadapan kita se- karang suatu tanda yang dapat menuntun kita untuk
mengetahui alam yang gaib itu ? Apakah ada dalam sistim berfikir yang dapat
menyampaikan seseorang untuk mengetahui apa-apa yang ditentukan baginya
dalam kehidupan akhirat yang dikenangkan- nya, bahwa kehidupan itu pasti
akan ditemuinya ? Tetapi ia sendiri tidak diberikan kekuatan yang dapat
menembus rintang- an untuk menerangkan apa-apa yang telah tersedia
baginya dalam kehidupan di sana itu dan menerangkan situasi-situasi yang

123
akan ditemuinya setelah roh itu berpisah dengan badannya, atau urituk
mengetahui tangan siapa yang mengendalikan keadaan- keadaan itu ? Adakah
di antara cara-cara penyelidikan itu yang dapat meyakinkan kita tentang
sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan di sana itu, berupa i’tikad-
i’tikad dan amal-amal perbuatan, padahal alam sana itu masih gelap bagi kita
dan kehidupan yang beriaku di sana adalah suatu masalah yang ter- lalu sulit
dibanding dengan keadaan diri kita sendiri ? Sekali- kali tidak bisa! Karena
perhubungan antara dua alam itu (dunia dan akhirat) hampir terputus
menurut penyelidikan akal dan perasaan dan tak ada pertalian di antara
keduanya kecuali dalam diri sendiri. Maka begitulah peninjauan ke alam yang
nyata di hadapan kita sekarang, tidak dapat menyampaikan kita kepada yakin
tentang hakikat alam-alam yang akan datang itu.
Apakah tidak sebagian dari hikmat-kebyaksanaan Yang Maha
Mendpta lagi Bijaksana - Yang menegakkan urusan manusia menurut
kaidah Pimpinan dan Pengajaran, yang menjadikan manusia dan
memberinya penerangan yang mengajarnya berkataka ta supaya dapat
sating mengerti satu sama lain yang meng- ajamya menulis agar dapat
berkorespondensi (komunikasi) dengan-j yang lain, bahwa Ia jadikan di
antara martabat-martabat ummat manusia itu orang-orang yang
dipilihNya sendiri ? Memang Dialah yang lebih tahu, ke atas pundak siapa
jabatan Kerasulan itu diletak- kanNya ! Dialah (Allah) memberikan ciri-
dri perbedaan kepada Ra- sul-Rasul itu dengan fitrah kejadian yang suci-
mumi. Ia tinggikan martabat rohani mereka sampai kepada martabat yang
sempuma dan wajar untuk menerima nur-cahaya ilmu-Nya dan menerima
amanah (kepercayaan) untuk memelihara rahasiaNya, yang andai- kata
rahasia Allah itu terbuka bagi manusia lain sebagaimana ter- bukanya bagi
para Rasul itu, sungguh akan menjadi kacau-balau- lah jiwa (roh) mereka,
atau mereka menjadi hilang akal karena ketinggian dan kebesaranNya.
Begitulah para Rasul diberi kehor- matan untuk mengetahui yang gaib-
gaib dengan izin Allah, mereka tahu apa yang bakal terjadi pada diri
manusia. Dan adalah mereka dengan martabat Kerasulan yang tinggi itu
berdiri sebagai penghubung dua alam ; yaitu ujung (akliir) alam yang kita
saksikan sekarang ini dan permulaan alam gaib. — Mereka di dunia
seakan-akan bukan penduduk dunia. Mereka adalah merupakan
perutusan akhirat yang mengenakan pakaian yang bukan dari
penduduknya pula. Kemudian Rasul-Rasul itu menerima perintah dari

124
Allah supaya menerangkan kebesaran Ilahi itu kepada manusia dan
memberikan penerangan tentang sesuatu keadaan yang menyangkut
dengan sifat-sifat Allah yang masih gelap bagi akal, padahal ia dikehendaki
Tuhan supaya menjadi i’tikad (kepercayaan) jummat manusia, yang
merupakan sumber kebahagiaan dalam kehidupan hari akhirat nanti. Dan
bahwa mereka harus menjelaskan kepada manusia tentang halj^j ihwal
hari akhirat itu, apa yang harus mereka ketahui, dengan ibarat dan
keterangan yang dapat diterima oleh akal dan tidak jauh dari jangkauan
paham manusia itu. Mereka harus
menyampaikan syari’at-syari’at umum yang datang dari Tuhan, memberikan
ketentuan bagi manusia dalam mengatur diri mereka, menyalurkan
keinginan-keinginan mereka itu dan mengajarkan kepada mereka tentang
kerja-kerja yang membawa bahagia dan mendatangkan celaka kelak di alam
gaib, yang semua itu diberikan secara jelas dengan panjang lebar dan rasa
yang penuhkesadaran. Penerangan secara ringkas pun dapat memasuki
rongga hati- nurani manusia. Dalam penerangan mana telah tercakup segala
hukum-hukum yang bertalian dengan seluruh amal-amal lahir batin.
Kemudian, dalam memberikan penerangan-penerangan itu, para Rasul itu
dibekali dengan suatu kekuatan yang tidak bisa' ditandingi oleh kekuatan
manusia berupa ayat-ayat suci sebagai dasar hukum, di mana mereka
menegakkan hujjah (alasan-alasan yang kuat), sehingga orang menjadi puas
dengan kebenaran Kerasulan. Maka dengan demikian tetaplah mereka”
menjadi utusan Allah kepada makhluk insani sebagai penyampai berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan.
Tidaklah dapat disangsikan, bahwa Zat Yang menciptakan makhluk
dengan ciptaan yang sebaik-baiknya dan menjadikan alam yang amat indah
kejadianrtya ini, Yang bersifat pemurah kepada semua makhluk yang hidup
sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, dan Yang tidak mencegah orang
hina maupun mulia untuk mengecap rahmatNya di antara para makhlukNya
—, tentulah hal itu karena santunNya kepada jenis makhluk yang telah
diciptakanNya dengan sebaik-baiknya, makhluk yang telah diberinya
persiapan untuk dapat menerima ilmu pengetahuan yang dapat mengimbangi
pemberian-pemberian Tuhan kepada makhluk yang lainnya — ; ilmu
pengetahuan mana dapat melepaskan manusia itu dari kebingungan dan yang
menyelamatkan- nya dari kekalutan dalam menghadapi dua kehidupannya
yang penting (dunia dan akhirat) serta menghindarkannya darikesesat- an

125
dalam mengabdi kepada dua keadaan yang pokok itu.
Berhubung dengan itu ada orang yang berkata : ”Dan kena- pa tidak
terdapat dalam naluri manusia (instinct, gharizah) apa yang dibutuhkan oleh
manusia berupa ilmu-pengetahuan dan tidak. diletakkan dalam naluri itu
suatu rasa kepatuhan untuk bekerja dan melalui jalan yang membawa kepada
tujuan mencari kebahagiaan hidup di hari akhirat itu ? Dan Apakah
pengaruh contoh-contoh tentang keajaiban-keajaiban rahmat Ilahi yang
dikemukakan tadi dalam bidang pimpinan dan pengajaran?”
Pertanyaan yang seperti ini lahir dari akal yang kacau dan lengah dari
pokok pembicaraan semula — yaitu yang bersang- kut dengan jenis manusia.
Jenis makhluk manusia itu haruslah menurut apa yang ada pada dirinya dan
apa yang mengendali- kannya, berupa roh yang bisa menggeriakkan fikiran,
dan ber- beda-bedanya kekuatan fikiran itu dengan berbedanya pribadi-
pribadi manusia itu sendiri; dan bahwa tidaklah semua pribadi itu segala bisa
dan tahu dalam segala perkara menurut tabi’atnya, dan bahwa wujud
manusia itu sendiri tetap menjadi _pokok pembahasan dan pembuktian.
Kalaulah manusia itu diberi ilham untuk mendapatkan apa saja yarig
dikehendakinya (tanpa belajar, pen.) sebagaimana yang diberikan kepada
hewan-hewan, tentulah ia bukan menjadi jenis manusia lagi, tetapi bahkan
adakalanya ia menjadi hewan yang lain seperti lebah dan semut, atau sejenis
malaikat diantara malaikat-malaikat yang bukan penduduk bumi ini.
KEBUTUHAN KEPADA RASUL ADALAH DARI TABI’AT
MANUSIA SENDIRI

Dalam perjalanan sejarah ummat manusia sejak zaman pur-


bakala sampai kepada masa modern sekarang ini, kita melihat bahwa di
antara manusia ada yang hidup memisahkan diri dari masyarakat
manusia ramai pergi menghirup udara alam bebas kesementara hutan-
hutan rimba atau ke puncak-puncak bukit, berjinak-jinakan dengan
binatang dan hidup seperti halnya hidup binatang-binatang itu; ia
memakan rumput dan akar-akar kayu dap ia bertempat tinggal dalam
gua-gua dan batu-batu besar, ia memelihara diri dari serangan-
serangan musuh dengan ber- lindung ke dalam lobang batu-batu besar
dan memanjat pohon- pohon; pakaiannya cukup dengan melekatkan
daun-daun kayu ataupun kulit binatang buas yang ada di darat.
Begitulah keadaannya sampai ia meninggalkan dunia yang fana ini

126
Tetapi manusia yang seperti ini, tak ubahnya seperti lebah yang
telah memisahkan diri dari kesatuannya dan hidup dengan kehidupan
yang tidak sesuai lagi dengan apa yang telah ditentukan bagi jenisnya.
Dan memang manusiapun sama halnya dengan macam-macam jenis
makhluk yang lain, yang menurut naluri tabi’atnya, adalah hidup
secara berkelompok, sekalipun kelompok- kelompoknya manusia
banyak golongannya, di mana tiap-tiap jama’ah bekerja untuk
kepentingan semua dalam mempertahankan kebakaan hidupnya dan
semua bekerja untuk kepentingan masing- masing guna pertumbuhan
dan kelangsungan hidupnya pula; tiap-tiap pribadi dalam jamd’ah itu
harus merasakan kepentingan bersama yang meliputi atas nama satu
nama saja. Sejarah perkembangan ummat manusia membuktikan hal
itu, karenanya tidak perlu kepada keterangan yang panjang lebar
dalam pen-
jelasannya. Cukuplah bukti bagi kita, bahwa manusia tidak bisa hidup
kecuali dengan bermasyarakat. Kekuatan bisa bertutur kata yang diberikan
kepada manusia itu, maka dengan dijadikan lidah tidaklah dimaksudkan
untuk menggambarkan arti lafazh- lafazh serta menyusun berbagai ibarat,
melainkan karena sangatnya kebutuhan untuk saling mengerti “di' antara
sesama manusia itu; dan tidaklah kebutuhan yang sangat untuk saling
memahami isi hati di antara dua orang'atau lebih banyak, melainkan suatu
bukti yang paling nyata, bahwa masing-masing manusia memerlu- kan
kepada yang lain.
Kebutuhan masing-masing orang dalam jama’ah kepadayang lain
adalah suatu hal yang tidak diragukan lagi. Manakala banyak sesuatu yang
dibutuhkan seseorang (individu) dalam kehidupannya, makin bertambah
pulalah hajatnya kepada tangan-tangan pertolongan orang banyak. Maka
begitulah hajat kepada kebutuhan itu, makin bertambah-tambah; sebagai
akibatnya terjadilah per- hubungan dari serumah tangga kepada golongan,
dari golongan kepada sebangsa dan kemudian kepada jenis manusia di

127
seluruh dunia dalam bentuk perhubungan yang lebih luas lagi. Hari-hari kita
yang silih berganti dewasa ini cukup membuktikan, bahwa perhubungan
masing-masing yang disertai karena kebutuhan telah menjadi merata bagi
semua bangsa sebagaimana tidak menjadi rahasia lagi.
Kebutuhan yang demikian itu terutama nyata bagi bangsa yang terang
batas tempat tinggal atau tanah air di mana ia berada, Baginya ada
perhubungan dan kontak yang membedakannya dari yang lain; hajat kepada
kebakaan, hajat untuk mengecap kelezatan nikmat-nikmat hidup, hajat
kepada merangkul beberapa keinginan- keinginan dan menolak apa yang
tidak disukai berupa bencana- bencana yang bermacam-macam ragamnya.
Sekiranya urusan manusia berjalan menurut sistim yang disetujui
bersama, tentulah kebutuhan itu tadi merupakan faktor yang paling penting
yang dapat membina cinta-kasih di antara masing-masing pribadi, faktor
yang dapat menginsafkan tiap orang,
bahwa kebakaannya (kelangsungan hidupnya) bergantung kepada
kebakaan semua. Maka semua sama dengan kedudukan sebagian, yang
kekuatannya dipergunakan untuk keperluan yang sebagian itu. Sedang
cinta-kasih adalah merupakan tiang pokok perdamaian dan perutusan
keamanan ke dalam hati manusia la dapat men- dorong masing-masing
pihak yang berkasih-savang untuk bekeria bagi kemaslahatan yang lain
yang dapat membangkitkan semangat masing-masingnya untuk membela
diri di kala kedatangan bahaya. Maka adalah kasih sayang itu menjaga
bagi peraturan yang berlaku bagi bangsa-bangsa dan menjadi jiwa bagi
kebakaannya, sedang kasih-sayang itu memerlukan adanya kebutuhan,
sesuai dengan undang-undang alam. Karena kasih itu mendatangkan
hajat ke butuhan pada diri kita, kepada siapa yang kita kasihi atau apa
yang kita sayangi, maka jika kasih-sayang itu telah mendalarn ia cisa
memabukkan dan mengasyikkan kita
.Akan tetapi adalah menjadi undang-undang bagi cinta, bahwa ia
harus timbul dan kekal di antara mereka yang berkasih- sayang itu, yakni
bila jada hajat-kebutuhan kepada zat yang dicintainya atau apa yang di
tangannya itu tidak hendak dilepas- kannya lagi. Cinta yang seperti ini
tidak akan terdapat dalam diri manusia kecuali bila ia timbul dari
pengaruh yang ada terdapat dalam roh yang dicintainya itu sendiri serta
sifat-sifat pribadinya yang melekat pada dirinya, sehingga kelezatan
perhubungan cinta itu sendiri tidak karena sesuatu pengaruh yang datang
dari luar.

128
Maka sekiranya perhubungan cinta karena pengaruh yang
bertujuan untuk mengharapkan materi sebagai imbangan, berubah- lah
status cinta itu ke arah memancing keuntungan dan bergantung terus atas
dasar mengambil keuntungan itu, bukan lagi karena semata-mata
pengaruh cinta-murni. Dan akhirnya cinta di antara keduanya terdesak,
ada kalanya berubah menjadi cinta paksa, atau karena takut, atau pura-
pura dan hanya karena tipu muslihat dari kedua belah pihak.
Anjing juga mencintai Tuannya, menyelamatkan dan mem-
pertahankan Tuannya itu mati-matian, karena ia melihat bahwa Tuannya
itu adalah sumber kebaikan untuk memenuhi segala kebutuhannya. Maka
gambaran kenyang, puas dan kesetiaan kepada Tuannya itu, disertai
dalam ingatannya dengan gambaran orang yang Tnemeliharanya itu. Ia
merasa khawatir dengan hilang- nya sumber kebaikan itu karena
kepergian Tuannya, maka karenanya ia menjadi loba sekali kepada
kebaikan Tuannya sebagaimana ia mempunyai hasrat untuk mem be la
hidupnya sendiri. Dalam keadaan yang begitu andaikata pemeliharaannya
berpindah kepada orang lain, dan Tuannya tadi lenyap dari pandangan
m^tanya beberapa tahun tetapi secara tiba-tiba ia melihat bekas Tuannya
itu berada dalam bahaya —, kembalilah gambaran baik selama ini
baginya, dan berjuanglah ia sekuat tenaganya untuk melepaskan Tuannya
dari marabahaya yang mengancam.
Hal itu bisa terjadi, ialah karena ilham yang memberi petunjuk
kepada ingatan anjing itu tidak banyak cabang-cabangnya sehingga
perasaannya berkisar hanya antara kebaikan dan siapa yang
memberikannya, dan dibalik itu tidak ada lagi ingatannya. Demikianlah
hajait anjihg itu kepada apa yang menutupi kebutuhannya sama dengan
kebutuhannya kepada Tuan yang memelihara- nya. Maka ia mencintai
Tuannya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri dan untuk itu ia tidak
kikir memberikan tenaganya dan berkhidmat sebagai balas jasa.
Tetapi yang berkenaan dengan manusia — tahukah Anda siapakah
gerangan manusia itu? — Ia lain dari yang tersebut di atas itu. Ia tidak -
saja orang yang diberi ilham, tidak saja diberi pengetahuan, ingatan dan
fikiran, tetapi bahkan kesempumaan jenisnya terletak dalam
kesanggupannya untuk melepaskan fikir- an-fikirannya dari belenggu
keinginan-k'einginannya; dan dirinya yang kecil itu digabungkannya
kepada alam yang lebih luas sehingga dengan kemuliaan dan kebesaran
yang ada pada dirinya kelak ia dapat menentang alam ini dengan segala

129
daya kesanggupan yang tidak terhingga itu; dan dengan kekuatan otak dan
kemampuan kerja yang ada pada dirinya ia dapat mencapai keinginan-
keinginannya itu. Tetapi hal itu akan diiringi oleh kelezatan yang akan
dinikmatinya dan di samping kelezatan itu akan berdiri kesusahan dan
kekhawatiran. Maka begitulah keinginan manusia

130
itu tidak terbatas dan demikian juga kekhaWatiran-kekhawatiran- nya
tidak ada henti-hentinya.

"Sesungguhnya manusia itu dijadikan bersifat loba. Apabila ia ditimpa kerugian


ia mengeluh. Dan apabila ia ditimpa kebaikan ia menjadi kikir, kecuali mereka
yang mendirikan sembahyang”
(Q.S. 70, Al Ma’arij: 19,20; 21,22).
Masing-masing manusia, berbeda-beda alam pengertiannya kapasitas
kerjanya dan dalam kemauan dan cita-citanya. Di antara mereka ada yang
bersikap masabodoh, lemah atau malas yang hanya memperturtitkan
keinginan hawanafsu lagi bersifat tamak; ia melihat kawannya mau
menolongnya dalam keperluan-keperluan hidupnya, tetapi celakanya
kemudian ia berkhayal tentang bagaimana caranfa kelezatan yang ada di
tangan kawannya itu dapat dimonopolinya semua tanpa mengindahkan
perlunya mengganti dengan sesuatu hasil kerja. Dan bahkan ia ingin
mendapatkan kelezatannya secara senang-senang saja tanpa keija, dan yang
baik menurut dia sebagai ganti kerja, ialah memikirkan cara-cara penipuan
agar dia bisa senang dengan segera sekalipun hal : yang demikian adalah
kerja yang tidak ada manfa’atnya sama sekali. Hingga akhirnya terfikirlah
baginya, bahwa tak mengapa hidup di dunia ini sendirian tanpa adanya
kawan yang akan dijadikannya sasaran kekerasan, dan tidak peduli
walaupun dengan jalan me- lenyapkan jiwa orang itu setelah merampas
hartanya. Begitulah, manakala ia didorong oleh ingatan dan khayalnya untuk
me- nangkis kekhawatiran atau untuk meneapai kesenangan, terbuka- lah
baginya fikiran untuk menipu atau untuk mempersiapkan jalan dengan
memakai kekerasan. Maka akhirnya sifat beri-memberi yang beijalan selama
ini berganti corak dengan rampok-merampok, dan kerukunan berubah
menjadi sengketa. Dan waktu itu yang menjadi pemegang peranan dalam
kehidupan manusia satu di antara dua; penipuan atau kekerasan. Apakah
bisa dihentikan

131
gerangan keinginan manusia dalam memperebutkan kesenangan- kesenangan
jasmaniah, dan pertarungan pribadi-pribadi yang loba untuk mencapai
segala apa yang dianggapnya puncak keinginan- keinginannya dan sekalipun
pada hakikatnya keinginan itu tidak ada akhirnya ? Tidak bisa !
Akan tetapi bagi manusia di samping itu telah ditentukan pula
kelezatan rohaniah, dan dalam hal ini himmahnya yang paling besar adalah,
bahwa ia harus menjadi orang yang dihormati di antara orang lain yang
satu jama’ah dengan dia menurut luasnya lingkungan pergaulan jama’ah
itu. Dan keinginan untuk menjadi orang yang harus dihormati ini telah
menjadi demikian rupa sampai hampir saja dapat mengalahkan keinginan
kepada yang lain- lain, dan kelezatan rohani yang dicapainya juga hampir-
hampir tidak bisa ditandingi oleh segala rupa kelezatan, dan ia memang
merupakan suatu faktor utama untuk menjaga kehormatan bangsa dan
mengokohkan perhubungan di antara pribadi-pribadi dan bangsa-bangsa di
dunia, yakni, bila ia dipergunakan menurut garis yang semestinya.
Tetapi orang telah menyimpang dari jalan yang semestinya itu seperti
juga dalam hal-hal yang Iain-lain, karena sebab-sebab . yang telah kami
singgung tadi, yaitu karena berbeda-bedanya^ martabat manusia dalam-
perasaan, kemauan dan cita-citanya^ hingga tergambarlah bagi kaum
cerdik-pandai, bahwa ia harus berusaha untuk mencapai kedudukan yang
lebih tinggi di mata umum dengan jalan mengacau keamanan,
menggoncangkan ke- tenteraman dan menimbulkan ketakutan di dalam hati
orang banyak, yang semuanya itu dianggap seolah-olah tidak terlarang.
Apakah mungkin dengan jalan yang seperti ini akan tegak teratur
urusan masyarakat, di mana organisasi harus dibina, dan kebakaan mereka
dalam hidup bergantung kepada adanya kerja sama di antara mereka, dan
keharusan adanya tolong- menolong dalam berbagai lapangan pekerjaan ?
Apakah perbuatan-perbuatan seperti tersebut itu bukan merupakan sebab
bagi kerubuhan mereka ?! Sebenarnya dalam hal-hal yang se-

132
perti itu’ tadi tidak dapat diragukan lagi kemustahilannya untuk bisa
mempertahankan kebakaan (kelangsungan) hidupnya. Oleh sebab itu
untuk mempertahankan jenisnya dalam memelihara kebakaannya
perlulah ummat manusia itu membina kasih- sayang atau yang identik
dengan itu sebagai gantinya.
Sebagian orang pandai-pandai menurut masanya yang ber- lain-
lainan mencari perlindungan, dan mereka beranggapan sebagaimana
anggapan orang-orang yang mengerti, dan ia berbi- cara tentang suatu
kalimat yang menarik hati : ’’bahwa keadilan adalah gantinya cinta”.
Memang perkataan itu tidak ’ bisa bebas dari hikmat, tetapi siapakah yang
menentukan undang- undang (kaidah-kaidah) keadilan itu dan yang
sanggup membawa semua orang untuk harus memeliharanya ? Ada yang
mengatakan, ’akallah yang bisa berbuat demikian. Maka sebagaimana
fikiran, . ingatan serta khayal bisa merupakan sumber celaka, demikian
pulalah ia bisa menjadi alat untuk mencapai bahagia dan menjadi sumber
bagi ketenteraman. Dan kami telah menyaksikan, bahwa kelurusan
fikiran, keluasan ilmu pengetahuan, kekuatan akal dan kepastian hukum
menjadi lenyap dengan percuma pada kebanyak- an orang, di belakang
tirai-tirai hawa rtafsu yang mengajak manusia itu walaupun untuk
merampungkan hal yang mengerikan sebagaimana yang digambarkannya
dalam khayal selama ini.
Orang-orang cerdik-pandai tadi menyatakan pula, bahwa bagi tiap-
tiap hak itu ada kehormatannya; dan mereka memberikan. perbedaan
antara kelezatan yang akan fana dan manfa’at yang akan berguna buat
selama-lamanya. Dan di antara kaum cerdik-pandai itu yang ada di setiap
bangsa memberikan ke- tentuan-ketentuan dasar tentang keutamaan dan
membuka kedok perbuatan yang hina-dina; dan mereka telah membagi
per- buatari manusia kepada dua macam. Pertama, ialah keija-keija ,
manusia yang lezat dikala mengerjakannya, tetapi buruk akibat- nya —
dan itulah yang harus dijauhi. Kedua, kerja-kerja yang sulit
menyelesaikannya tetapi mengembirakan dalam akibatnya — dan itulah
perbuatan yang baik dikerjakan. Dan di antara kaum cerdik-pandai itu
ada pula yang berjuang mengorbankan

ims.
133
fikiran dan harta bendanya dalam mengajak ummat untuk rnelalui jalan
yang benar menurut konsepsi yang dikemukakan- nya sehingga ia mati
syahid dalam memanggil kaumnya itu untuk mematuhi aturan-aturan yang
dibuat untuk keselamatan mereka. Kaum cerdik-pandai yang demikian
itulah mereka yang seharus- nya membuat undang-undang keadilan, dan
tinggal menjadi kewajiban para penguasalah lagi untuk membawa semua
orang buat menjaga undang-undang itu, dan dengan itulah terjaminnya tata-
tertib urusan ummat manusia dalam segala bidang.
Perkataan ini pada; lahirnya tidak jauh dari kebenaran. Tetapi apakah
pernah terdengar dalam sejarah manusia, dan adakah sesuai dengan tabi’at
manusia itu sendiri, bahwa semua orang atau sebagian besar dari mereka
tunduk kepada kaum cendekiawan karena semata-mata pendapatnya itu
benar ? Dapat- kah memberikan kepuasan kepada masyarakat, golongan dan
bangsa ucapan kaum cendekiawan yang mengatakan, bahwa semua manusia
itu adalah salah dan yang benar ialah apa yang diajak oleh kaum
cendekiawan itu mematuhinya? Dan sekalipun dikemukakannya seribu sate
dalil yang lebih terang dari cahaya dan lebih jelas dark pentingnya kasih-
sayang untuk mempertahan- kan kebakaan hidUp manusia. Pasti hal itu
tidak dapat memberikan kepuasan! Hal itu tidak pernah dikenal dalam
sejarah manusia dan memang tidak cocok dengan tabi’at manusia itu sendiri.
Padahal sebagaimana telah ; kami kemukakan di atas tadi, bahwa di antara
sebab yang membawa cel aka, ialah persengketaan manusia dalam
pendapatnya, sedang kaum cendekiawan tertentu itu tadi mencoba mengajak
orang banyak ke arah persamaan fikiran dan pendekatan dalam soal-soal
pokok; padahal pengertian orang banyak itu tidak sama denagan pengertian
(pendapat) yang ada pada orang cerdik-pandai, melainkan sama saja dengan
pengertian si bodoh. Dan orang yang tidak sama martabat-martabat akalnya
dengan Anda, tentu tidak bisa merasakan keutamaan yang Anda rasakan.
Maka begitulah semata-mata penerangan yang berdasarkan kepada akal saja
tidak akan bisa menolak
adanya persengketaan dan tidak akan berhasil dalam membawa
ketenteraman. Bahkan kadang-kadang orang yang menjalankan
peraturan yang didptakan oleh akal manusia itu, malah ada yang
mengaku atau merasa, bahwa ia lebih tinggi dari yang membuat
peraturan itu sendiri, yang akibatnya manusia itu akan berbuat
menurut kehendak keinginan .nafsunya masing- masing sehingga
hilanglah kewibawaan peraturan itu dan runtuh- lah sendiri

134
kekuatannya dan lenyaplah faktor yang menjadi maksud untuk
membuat peraturan itu sendiri.
Baiklah saya tambahkan kepada uraian-uraian yang telah lalu itu
'yang mengenai perselisihan fikiran dan pertengkaran dalam
memperebutkan keinginan hawanafsu akan faktor ’’ingatan- perasaan”,
yakni suatu hal yang lebih erat hubungannya dengan naluri manusia dan
faktor yang penting baginya. Semua manusia baik yang tinggi fikirannya
dan kuat akalnya ataupun yang t lemah kecerdasannya dan rendah fithrah-
kejadiannya, merasa V dalam dirinya, bahwa ia dikuasai oleh suatu
kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan dirinya sendiri maupun dari
kekuatan orang-orang yang berada disekelilingnya. Dan ia merasa pula,
dirinya di perintah oleh kekuatan Iradat yang menguasai dirinya dan alam
yang lain, yang tidak dapat diketahui oleh orang-orang pandai dan tidak
pula bisa diganggu-gugat oleh iradat manusia- manusia pilihan. Tiap-tiap
diri merasakan, bahwa ia didorong untuk mengetahui kekuatan yang maha
besar itu, sehingga ia kemudian mencari kekuatan itu dengan, perantaraan
perasaan pancainderanya pada suatu ketika dan dengan perantaraan akal-
nya pada waktu yang lain. Tetapi rupanya ia tidak mendapatkan jalan
kecuali dengan jalan yang sudah ditentukan kepada jenisnya, yaitu dengan
jalan berfikir. Tetapi banyak orang mencari kekuatan maharaksasa itu
tidak menurut petunjuk akalnya.
Begitulah ada orang yang mengatakan, bahwa Yang Maha Kuasa
itu terletak pada beberapa binatang tertentu karena banyak
manfa’atnya kepada manusia, atau karena sangat ber- bahayanya.
Dan.ada pula yang menganggap Tuhan itu pada bintang-bintang
karena nyata bekas-faedahnya; dan ada pula
di antara mereka yang menuhankan pohon-pohon besar dan batu-batu
karena ada suatu pandangan tertentu kepadanya. Dan ada pula di antara
manusia itu yang mengatakan, bahwa Tuhan itu ada pada tiap diri
(Pantheisrrius), dan ia berbeda- beda dengan berbedanya jenis diri itu.
Maka akhirnya bagi tiap- tiap macam jenis itu ada Tuhannya masing-
masing.
Akan tetapi ' manakala perasaan itu semakin lialus, otak semakin
jernih dan tinjauan semakin jauh, akan menjadi naiklah tingkat berfikir
dan jelaslah konklusi (natijah) yang dicarinya itu. Maka akhirnya
sampailah ia untuk mengetahui kekuasaan yang , demikian'rupa, dan ia
mepdapat petunjuk, bahwa Yang Maha Kuasa itu adalah Zat Wajibul

135
Wujud (pasti adaNya). Hanya saja, bahwa di antara rahasia-rahasia
Kebesaran Tuhan itu ada yang sangat sukar baginya menyelami sehingga
ia tidak bisa menge- lakkan diri dari kebingungan. Kemudian dengan tidak
adanya juru petunjuk yang memberinya tuntunan, maka senantiasalah
perselisihan itu berkembang terus-menerus di antara manusia itu, sedang
kecerdasan itu menjadi tersia-sia seolah-olah tak ada guna- nya.
Manusia telah sepakat mengakui Zat Maha Kuasa dan yang tak
dapat ditandingi oleh kekuasaan yang ada pada manusia itu. Tetapi
mereka berselisihan pendapat dalam memahamkan Zat yang harus diakui
oleh fithiah-kejadiannya itu, perselisihan yang sangat dalam bekasnya
untuk memutuskan persaudaraan sesama mereka; yang menimbulkan
unsur-unsur yang berbahaya di kalangan mereka karena perselisihan
mereka yang terus me- nerus dalam memahamkan arti baik dan buruk,
perselisihan yang disertai hawa nafsu yang memuncak.
Jika sekiranya hidup bermasyarakat itu telah menjadi ketentuan bagi
fithrah kejadian manusia dan tidak diberikan kepada naluri manusia itu
seperti apa yang diberikan kepada lebah dan beberapa jenis semut
umpamanya, — berupa ilham yang memberinya petunjuk, tetapi hanya
diserahkan saja kepada fikirannya yang berbuat seperti yang diterangkan
ter- dahulu tadi, padahal ia diberikan ingatan perasaan yang men-

136
I
dorong dirinya untuk mengetahui Zat tersebut, di samping tidak
diberi pengertian tentang Zat Yang Maha Kuasa itu dart. tidak pula sifat-
sifatNya, tetapi dilepaskan saja kepada pe- nyelidikan fikirannya sehingga
fikiran manusia itu membawa- nya menerawang sesuka hati, dan akhirnya
terdampar kepada sesuatu pengertian yang seolah-olah ia mengerti,
padahal se- benarnya tidak tahu —, maka semuanya itu adalah merupakan
bencana bagi masyarakat manusia dan bahaya bagi wujud diri manusia itu
sendiri.
Maka apakah barangkali jenis manusia ini dijadikan kurang dan
lalai sehingga ia tidak bisa mendapatkan apa yang hewan sendiri suatu
makhluk yang lebih lemah dari padanya sanggup berbuat ? Ya,
memang demikian keadaannya, andaikata Tuhan Yang Maha Pencipta
tidak memberikan kurnia kepadanya sesuatu yang dapat mengatasi
kelemahannya itu.
Manusia itu adalah makhluk yang menakjubkan keadaannya :
dengan kekuatan akalnya ia bisa naik membubung ke alam malakut
(ketuhanan) yang tinggi, dan dengan fikirannya ia dapat menjangkau
alam kosmus ini, dan dengan kodratnya ia dapat menguasai alam, apa
yang tidak bisa dilakukan Oleh makhluk yang lain, tetapi kemudian ia
menjadi kecil dan lemah dan turun kepada derjat yang sedemikian rupa
seliingga menjadi ter- diam dan menundukkan kepala dengan penuh
khusyu’, yakni manakala dia dihadapkan kepada suatu perkara yang
sebab mu- sababnya tidak dikenalnya sama sekali dan tidak tahu di
mana sumbernya. Demikianlah rahasia keanehan manusia itu yang
sudah tak asing lagi bagi orang yang suka memperhatikan dan dapat
dirasakan oleh setiap manusia itu sendiri.
Dari kelemahan itulah manusia itu dibimbing untuk mendapatkan
petunjuk dan dari kelalaian itu ia dibawa untuk ^ mencapai kehormatan
yang menjadikannya bahagia. Allah yang telah menyempurnakan
karuniaNya kepada manusia itu, telah memberikan apa yang
dibutuhkannya menurut hikmat kebi- jaksanaanNya — akan apa yang
dapat membedakan masing-masing
pribadi dari yang lain, yaitu dengan adanya kekurangan yang terdapat pada
setiap orang. Dan sebagaimana Tuhan telah memberikan karunia akal
kepada setiap orang, akal yang dapat mengen- dalikan pancaindera agar
manusia itu dapat mencari sesuap nasi dan pakaian penutup aurat, menjaga

137
diri dari tekai^an panas dan dingin, maka demikian pula la (Tuhan) telah
memberikan lcarunia- Nya kepada umumnya jenis manusia dengan
keperluan-keperluan yang vital yang sangat dibutuhkan untuk menjaga
kebakaannya, dan yang besar pengaruhnya dalam menjaga dirinya dari
kerun- tuhan yang berbahaya dan yang lebih bisa memelihara aturan- aturan
kemasyarakatan, sesuatu yang merupakan tiang kehidupan manusia
dalam'masyarakat. — Tuhan memberikan kepada manusia sebagai
pengganti yang hakiki dari cinta-kasih yang tersebut di atas tadi, bahkan
yang dapat mengembalikan cinta kasih itu kepada rohani yang telah kosong
dari rasa cinta itu; di mana telah menjadi sunnah manusia yang tidak dapat
dibantah, bahwa kehidtipannya ditegakkan di atas dasar kaidah pengajarart
dan pimpinan. Hanya hal ini dirasakan kepada manusia dari jurusan yang
paling lemah yang terdapat pada diri manusia itu, yakni dari segi
ketundukannya dan kelemahannya. Maka akhirnya Tuhan menjadikan di
antara kalangan manusia itu sendiri para pemimpin yang akan memberikan
pimpinan dan petunjuk. Dan Tuhan membedakan mereka dengan ciri-ciri
khusus yang tidak bisa disamai oleh orang lain; dan Ia memperkuat mereka
dengan Ayat-ayat Suci yang dapat menundukkan pribadi-pribadi dan yang
dapat mematahkan kekuatan akal manusia itu. Dengan begitu menjadi
lemahlah orang yang durhaka selama ini, hinalah orang yang sombong dan
menjadi tunduklah akal orang yang pintar- pintar sehingga ia mau kembali
kepada pimpinan para pemimpin itu tadi, di samping itu orang bodoh
menjadi tercengang kehe- ranan yang menyebabkan ia kembali saja dari
kesesatannya.
Para pemimpin itu mengetok pintu hati manusia dengan perintah
Allah, dan membuat akal mereka kagum dengan ke- indahan-keindahan
Ayat-ayatNya sehingga mereka itfengepung akal manusia itu dengan suatu
yang tidak bisa berbuat lain ke-
cuali menyerah kepadaNya. Dan baik manusia itu Raja maupun yang
bodoh, hina maupun mulia — semua itu sama mengakui, tunduk bagi
segala apa yang dibawa para pemimpin itu. Maka pengakuan itu lebih
serupa kepada pengakuan yang lahir dari watak manusia itu sendiri
daripada pengakuan yang' lahir dari ikhtiar fikiran mereka itu.
Pemimpin-pemimpin itu mengajarkan kepada manusia apa yang
dikehendaki Tuhan untuk kemaslahatan kehidupan mereka y' duniawi dan
ukhrawi, dan apa-apa yang dikehendaki Tuhan untuk menerangkan
kepada manusia itu tentang ZatNya dan kesempurnaan sifat-sifatNya. Dan,

138
para pemimpin itu tidak lain, adalah Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul yang
diutus Tuhan.
Maka dengan keterangan itu jelaslah, bahwa diangkatnya para
Nabi — semoga Tuhan memberikan rahmatNya kepada mereka —
adalah untuk kesempurnaan diri manusia sendiri, dan termasuk di
antara faktor kebutuhannya yang terpenting gui^a menjaga
kebakaannya, sedang nilai kedudukan Nabi-Nabi itu dalam jenis
manusia adalah sama dengan nilai pentingnya kedudukan akal pada
diri tiap-tiap orang. Itulah dia nikmat Allah yang telah
disempurnakanNya kepada ummat manusia ini (’’sehingga tidak ada
alasan lagi bagi manusia untuk mendebat Allah setelah diutusnya para
Rasul itu”); dan baiklah kita bicarakan nanti fungsi mereka dengan
uraian yang lebih luas.
KEMUNGKINAN WAHYU
Pembicaraan tentang kemungkinan adanya Wahyu, akan
dijelaskan nanti setelah mengemukakan definisinya lebih dahulu, yakni
setelah menggambarkan' makna yang dimaksud. Dan baik- lah kita
ketahui makna yang lahir dari kata masdar (Pokok kata) wahyu itu
sehingga dapat: dipahamkan lebih dahulu arti katanya, dan kita
singkirkan pengaruh lafazh-lafazh pada fikiran kita. Dan marilah kita
sebutkan arti logat yang sesuai dengan kata itu.
Dikatakan : Anda mewahyukan kepadanya dan telah mem-
beritakan —, yakni bila Anda berbicara dengan orang itu apa yang
Anda rahasiakan dari orang lainV Wahyu adalah kata rnfisdar yang,
berarti heuta. baik berita itu disampaikan secara tertulis atau lisan,
pendeknya segala berita yang Anda sampai- kan kepada orang lain
supaya orang itu mengetahuinya. Dan kemudian, dibiasakanlah
pemakaiannya kepada segala berita yang disampaikan daripada Allah
kepada para Nabi. Dan ada pula yang mengatakan, bahwa wahyu itu
pemberitahuarf secara rahasia (i- syarat) tetapi yang dimaksudkan
adalah isi berita. Para ahlf telah memberikan definisi menurut istilah
Syara’ (agama), bahwa wahyu iaiah : pemberitahuan Allah kepada Nabi
di antara Nabi- NabiNya tentang hukum syara’ dan yang seperti itu.
Tetapi kami sendiri juga memberikan definisi menurut pengertian kami,
bahwa yang dikatakan wahyu ialah : pengetahuan yang didapat sese-
orang pada dirinya sendiri dengan keyakinan yang penuh, bahwa

139
pengetahuan itu datang dari Allah baik dengan sesuatu perantaraan
ataupun tidak. Yang pertama itu adalah dengan perantaraan suara
yang dapat didengarkan dengan telinga atau tanpa suara sama sekali.
Bedanya dengan Ilham ialah, bahwa Ilham adalah perasaan (Wijdan) yang
meyakinkan hati, dan yang mendorongnya untuk mengikuti tanpa diketahui
dari mana datangnya. Dan ilham itu hampir serupa dengan perasaan lapar,
haus, duka dan suka. ,
Adapun uiituk memahamkan kemungkinan terjadinya wahyu itu, dan
terbukanya rahasia gaib bagi orang-orang yang telah diistimewakan oleh
Tuhan apa yang tidak-dapat diketahui oleh manusia umum, dan mudahnya
hal itu dipahami akal maka saya tidak memandang suatu kesulitan dalam
hal ini; kecuali bagi orang yang tidak ingin mengerti, atau ingin melihat diri-
nya yang bisa mengerti itu berada dalam keadaan tidak mengerti terus-
menerus. Memang kita dapati pada setiap bangsa. dan di semua zaman,
bahwa banyak orang dilemparkan oleh karena kek'urangan ilmu-
pengetahuannya dan kelalaiannya sendiri ke- luar pantai keyakinan,
sehingga ia jatuh ke dalam lembah ke- raguan tentang apa yang tidak dapat
disaksikan oleh panca- inderanyar bahkan ragu terhadap perkara yang
dapat disaksikan sendiri oleh pancaindera itu seperti yang telah kami
terangkan semula. Dengan kejatuhan mereka itu seolah-olah mereka men-
jadi turun ke dasar bawah yang lebih rendah dari martabat hewan. Mereka
telah melupakan akalnya, kekuatan akal itu, rahasianya dan
kemampuannya, dan mereka merasakan hal yang demikian itu sebagai
suatu kelezatan untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan perintah dan
larangan, dan bahkan bebas untuk enggan atau malu-malu melakukan
tindakan yang se- benarnya harUs atau pantas dilakukan, dan sebaliknya,
merasa diri bebas sewenang-wenang tanpa malu-malu untuk berbuat yang
tidak layak samasekali, tak ubahnya seperti perangai makhluk lain dari

140
manusia yang berupa binatang.
Maka apabila datang kepada mereka suatu persoalan yang
membicarakan tentang Keriabian dan soal-soal Agama, serta rohani mereka
menaruh minat yang besar ke arah itu — mereka berdaya-upaya untuk
mengalihkan pandangan ke arah yang lain, dan dengan cara menyolok
berpaling dari pembicaraan itu sambil meletakkan anak-anak jari pada.
telinganya karena khawatir akan berpengaruhnya dalil-dalil itu pada fikiran
mereka sehingga akidah-kepercayaan akan menyelinap ke dalam rongga
hati mereka, kepercayaan yang diiringi oleh Syari’at Agama. Akibatnya
mereka terhalang. sendiri untuk dapat merasakan kelezatan yang pemah
mereka rasakan dan apa yang mereka ingini untuk me- rasakannya. Orang-
orang yang seperti itu adalah sedang menderita penyakit rohani dan jiwa
(Psychosomatik) yang dapat mengganggu kesehatan badan yang Insya Allah
dapat disembuhkan dengan ilmu pengetahuan.
Kataku : di manakah kemustahilan wahyu itu ? Bahwa ada yang
mungkin tersingkap bagi si Anu apa yang tidak bisa ter- singkap bagi yang
lain tanpa memerlukan berfikir dan ungkapan mukaddimah, serta
diketahui pula, bahwa sesuatu itu datang dari pihak Yang Memberikan
fikiran dan Yang Memberikan kecerdasan, yakni manakala orang yang
dikhususkan oleh Tuhan itu telah cukup persediaan untuk menerima
nikmat yang ter- hormat (wahyu) itu ?
Kenyataan menunjukkan, bahwa derjat akal manusia itu berlebih
berkurang satu dengan yang lain, dan bahwa yang paling rendah tidak bisa
mencapai apa yang didapat oleh akal yang tinggi kecerdasannya kecuali
dengan cara sederhana dan ringkas saja, dan bahwa yang demikian itu
bukan saja karena berlebih- kurangnya dasar pendidikan masing-masing,
tetapibahkanjuga karena berlebih-kurangnyafithrah-
kejadianmerekaituyang tidakmasuk dalam bidangikhtiar manusia dan
usahanya. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa sering terjadi bahwa apa
yang masih jadi pemikiran bagi sebagian kaum sarjana, tetapi persoalan itu
telah jelas bagi sarjana lain yang lebih maju daripadanya. Dan begitulah
martabat akal manusia berlumba-lumba ke arah kemajuan tanpa henti-
henti nya. Bahwa di antara orang yang mempunyai kemauan yang kuat dan
berjiwa besar memandang benda yang jauh lagi kecil bisa menjadi seakan-
akan dekat di hadapan mata, maka ia berusaha menuju ke sana yang lantas
mendapatkannya, sedang orang lain masih mengingkari kenyataan itu,

141
tetapi kemudian mereka merasa kagum akan sukses yang didapat, yang
pada akhirnya mereka menghormati juga pendapatan baru itu dan
menjadikan seolah- olah soal biasa yang tidak perlu dipertengkarkan lagi
sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah. Dan bila ada orang yang
masih membantahnya, mereka itu tadi menyerang pembarigkang itu
bersama-sama, tak ubahnya seperti pembangkangan mereka sendiri pada
mulanya terhadap orang yang mengajak mereka dulu untuk membenarkan
da’wah pendapat baru itu. Begitulah keadaannya type segolongan manusia
dan orang-orang yang semacam ini seperti apa yang saya katakan, terdapat
pada segala bangsa sampai hari ini.
Apabila telah diterima — dan memang tidak ada jalan lain kecuali
menerima keterangan yang telah kami kemukakan di- atas, maka hanya
karena kelemahan akal sajalah serta meng- elakkan diri dari konklusi
(natijah) yang semestinya dari analisa tersebut di kala telah sampai kepada
pengambilan kesimpulanriya. Ya, karena kelemahan akal yang tidak mau
mengakui bahwa di antara jiwa ummat manusia itu yang karena kebersihan
fithrah yang dimilikinya ada yang beroleh limpahan kurnia Ilahi yang dapat
membawanya berhubungan dengan alam rohani yang lebih tinggi dan
sampai kepada puncak kemanusiaan yang tertinggi dan ia dapat
menyaksikan persoalan Ilahi tak ubahnya seperti melihatnya dengan mata
kepala sendiri, yakni persoalan yang tidak akan sampai kemampuan akal
manusia lain untuk memikir- kannya. Atau ia dapat merasakan dalil dan
keterangan yang diterimanya sendiri langsung dari hadhirat Yang Maha
Tahu lagi Bijaksana, keterangan-keterangan yang jauh lebih tinggi nilai-
nya dari keterangan yang diberikan oleh profesor-profesor mana saja
kepada kita. Kemudian ilmu yang didapatnya dari Ilahi itu diajarkannya
pula kepada orang lain serta ia menyeru ummat manusia untuk
mengamalkan apa yang tela:h disampaikannya kepada mereka itu. Dan
memang demikianlah sunnah Ilahi pada
-semua ummat di dunia ini di segala masa sesuai dengan kebutuhannya
masing-masing. Dengan rahmatNya, Ia menonjolkan Orang yang
dipilihnya itu dengan pengawasanNya sendiri untuk me- nyempurnakan
kemaslahatan masyarakat manusia sampai ke- tingkat dewasanya
sehingga kelak mudahlah memberitahukan kepada manusia itu jalan
yang dapat menuntunnya kepada kebahagiaan hidupnya. Setelah itu
barulah ditutup Tuhan Kerasulan itu dan dikunciNya pintu Kenabian

142
sebagaimana nanti akan kita jelaskan dalam menerangkan Kerasulan
Nabi kita Muhammad s.a.w.
Tentang wujud sebahagian arwah-arwah yang tinggi — yakni para
malaikat yang dimuliakan Tuhan, dan lahirnya arwah-arwah yang
demikian pada diri orang yang mempunyai martabat yang tinggi itu,
maka hal itu bukanlah suatu hal yang mustahil, yakni setelah kita
mengenai diri kita sendiri dan terutama setelah ilmu- pengetahuan
klasik maupun ilmu-pengetahuan modern memberitahukan kepada kita
tentang adanya suatu wujud di alam ini apa yang lebih halus dari alam
maddah sekalipun ia gaib daripada kita. Maka oleh sebab itu siapakah
yang merasa keberatan, bahwa se- mentara wujud yang halus itu
(malaikat) memancarkan sebagian ilmu Ilahi, dan bahwa rohani para
Nabilah yang mendapat ke- hormatan menerimanya. Maka apabila ada
yang menyampaikan hal itu sebagai suatu berita yang benar, wajiblah
kita mengakui kebenarannya.
Tentang yang berkenaan dengan gambaran suara dan tampak
dengan jelasnya roh-roh itu pada penglihatan orang yang telah diberikan
ketentuan untuk menduduki jabatan yang terhormat itu tadi, maka hal
itu tidak usah mengherankan, karena musuh Nabi-Nabi sendiripun telah
mengetahui apa yang tidak begi- tu jauh bedanya dengan persoalan itu,
yakni apa yang pernah terjadi pada seterigah orang yang ditimpa suatu
penyakit tertentu. Mereka mempercayai, bahwa sebagian dari apa yang
dapat difi- kirkan oleh akal mereka, bisa tergambar dalam khayal dan
kemudian sampai membawanya kepada deijat yang dapat dilihat dengan
panca-indera, sehingga akhirnya, bahwa perkataan si sakit yang
mengatakan, bahwa ia melihat dan mendengar sesuatu,
bahkan pukul-memukul dan berkelahi dengan orang lain, di- benarkan
saja, padahal itu semua pada hakikatnya tidak teijadi.
Bila bisa kelihatan apa yang tergambar oleh akal dan tidak ada lain
sumbernya kecuali pada roh belaka, dan bahwa hal itu bisa terjadi karena
adanya suatu gambaran yang datang ke otak (anima somatica), maka
kenapa tidak boleh menggambarkan hakikat-hakikat sesuatu yang memang
logis adanya pada penglihatan roh-roh yang tinggi lagi mulia martabatnya
tadi ?
Bahwa hal itu terjadi ketika roh-roh suci tadi melepaskan diri dari-
alam nyata ini dan berhubungan dengan alam rohani yang suci; dan bahwa

143
keadaan itu adalah karena berhubung dengan kesegaran akal pada orang-
orang yang beroleh derajat itu (Nabi-Nabi), ialah karena keistimewaan
watak kepribadian mereka dari manusia-manusia lain.
Ringkasnya hal itu disebabkan lain tidak, ialah karena perhubungan
roh-roh dengan badan mereka yang merupakan suatu perkara yang tidak
terdapat pada perhubungan roh dengan badan pada manusia lain dari
mereka itu22). Dan hal ini se- benarnya mudah diterima, bahkan harus
menerimanya, ka-
rena kedudukan para Nabi itu dikalangan ummat manusia bukan
seperti manusia biasa; dan perbedaan ini adalah merupakan unsur yang
terpen ting yang menjadikan mereka manusia istimewa dan bukti yang
menunjukkan bagi Kerasulan mereka. Dan dalil atas kebenaran apa
yang mereka saksikan sendiri dengan mata kepalanya, dan kebenaran
yang mereka beritakan tentang itu, ialah bahwa aneka-warna penyakit
jiwa (rohani) dapat disembuhkan dengan pengobatan mereka; dan
begjtupun penyakit lemah kemauan dan fikiran dapat berubah meryadi
kuat dikalangan ummat mereka yang mengamalkan fatwa-fatwa mereka
itu; dan adalah suatu pemungkiran kenyataan, bahwa kebenaran itu bisa
lahir dari orang yang jahat dan peraturan itu bisa lancar jalannya
dengan adanya perintang-perintang.
Adapun orang yang beijiwa besar dan akal yang tinggi yang terdiri
dari para cendekiawan terkemuka, yakni orang-orang yang tidak begitu
jauh beda martabat mereka dengan para Nabi (yang dalam pengetahuan
modern dapat disebut: orang- orang yang mempunyai kesadaran jagat
raya — cosmisch bewustzijn, wali-wali Allah pen.) dan bahkan rela

22 Telah terbukti dari pengalaman para dokter bahkan oleh kaum Materialis sendiri, bahwa diantara para pasien
ada yang memberitakan bagian hal-hal yang gaib, dan begitu pula beberapa perkara sebelum terjadinya, dan
setelah kejadian memang terbukti sebagai apa yang dikatakan. Ada seorang pasien di Mesir yang banyak ber-
bicara tentang hal yang seperti itu, demikian katanya: „Bahwa Si Anu diantara kenalannya yang tinggal di
Iskandariah telah keluar rumahnya menuju stasion dengan tujuan ke Mesir untuk melihat saya ke sini. .....‘.
Kemudian dikabarkannya pula bahwa Si Anu itu sekarang telah sampai distasion dan naik kereta api.
Kemudian dokter yang merawat sibuk menaruh perhatian kepada pebicaraan pasien itu, sehingga persis datang
waktusampainya kereta api dari Iskandariah di Mesir, pasien itu berkata: nah,
kereta api telah datang dan si Anu telah turun itu dia keluar dari stasion dan
menaiki kendaraan yang akan membawanya ketempat ini” Kemudian ia berkata pula,: „lni dia telah Sampai
—”, dan memang benar tiba-tiba orang itu telah ada dipintu yang lantas orang itu segera masuk.
Maka jelaslah, bahwa roh yang dapat mengetahui seperti kejadian ini pada hal ia berbicara tentang seorang
yang gaib (jauh) memberikan kepada kita suatu dalil yang meyakinkan atas kemungkinannya roh itu
mengetahui yang lebih sempurna dari itu, karena pengetahuan yang gaib itu adalah jauh lebih tinggi lagi dari
apa yang tersebut itu.

144
sebagai pem- bela' Nabi-Nabi itu serta menjalankan syari at yang dibawa
para Nabi dan menerima da’wahnya sebagai amanat — m a k a
banyaklah bilangan mereka diantara manusia yang beruntung mendapat
apa yang ada pada Nabi itu yang dapat meninggikan kedudukan mereka.
Yakni dalam beberapa hal tertentu mereka bisa mengetahui sesuatu
yang gaib, dan pengetahun mereka tentang sementara alam gaib itu ada
yang memang dapat di- buktikan kebenarannya dalam kenyataan. Maka
dengan begitu mereka tidak begitu jauh berbeda tentang kejadian-
kejadian yang gaib yang diceritakan oleh Nabi-Nabi sendiri Dan siapa
yang dapat merasakan hal ini tentu ia akan mengerti dan siapa yang
ingkar, tentu ia akan berpaling.
Sebagai bukti kebenaran pengetahuan tentang yang gaib se perti
yang mereka terangkan, ialah : lahirnya budi-pekerti yang baik pada diri
mereka, selamat-sejahteranya segala perbuatan mereka dari apa yang
menyalahi syari’at para Nabi mereka,
kesucian fitrah mereka dari apa yang ditentang oleh akal yang sehat
atau tidak disukai oleh perasaan yang sejahtera. Dan mereka beijuang
mempertahankan kebenaran yang menjel- ma pada sepak-teijang
mereka sebagai suruhan hatinya yang bersinar-sinar untuk menyeru
orang-orang yang berada dise- kitar mereka kepada apa yang dapat
membawa kebaikan bagi umum dan disamping itu dapat
menyenarigkan hati orang-orang terkemuka (khawash).
Sebenarnya dunia ini tidak bisa sunyi dari orang-orang yang
menyerupai mereka yang baik-baik itu secara bikin-bikin- an (palsu) dan
tetapi alangkah cepatnya rahasia mereka ter- . buka dan jahatnya tujuan
mereka dan tujuan orang orang yang terpedaya oleh mereka. Tak lain
melainkan pengaruh yang buruk untuk menyesatkan akal orang dan
keruntuhan akhlak dan merosotnya gengsi ummat yang telah menjadi
korban mereka itu, sehingga mereka hanya dapat diselamatkan oleh ke-
murahan Ilahi belaka. Maka begitulah kalimat-kalimat keji yang keluar
dari mulut mereka yang palsu itu tak ubahnya seperti pohon kayu yang
merusak yang harus tumbang di atas' muka bumi yang tak ada gunanya
ia tetap hidup berdiri lagi.
Maka akhirnya tidak ada lagi yang bisa tinggal antara orang-
orang yang mengingkari hal ihwal Nabi-Nabi dan kesaksia'n- kesaksian
yang telah ditunjukkan oleh mereka, dan antara mengikrarkan

145
(mengakui) kemungkinannya apa-apa yang di- beritakan para Nabi itu
serta membenarkannya , kecuali hariya satu, yaitu: selubung adat
kebiasaan yang kolot. Dan memang banyak sekali tradisi-adat
kebiasaan yang kolot itu menyelubungi akal manusia hatta untuk
mengetahui perkara- perkara yang sederhana saja.
Wahyu dan Kerasulan
Dalil yang menjadi bukti atas Kerasulan seorang Nabi dan
benarnya ia menyampaikan perintah TuhanNya telah nyata sekali bagi
orang yang dapat hadir menyaksikannya sendiri, yang melihat keadaan
gerak-gerik Nabi itu dari dekat serta melihat
apa yang didatangkan Allah kepadanya berupa ayat-ayat Suci. Hal itu jelas
dan sudah barang tentu tidak memerlukan ke~ terangan lagi sebagaimana
telah diterangkan sebelumnya ke- tika berbicara tentang Kerasulan.
Adapun bagi orang yang tidak menyaksikan sendiri zaman Kerasulan itu
(yang tidak sezaman dengan Nabi), maka yang menjadi dalilnya adalah
berita yang mutawatir. Dan yang dimaksud dengan berita yang mutawatir
sebagaimana yang telah diterangkan dalam ilmu yang lain (mustalah hadits,
pen) — ialah suatu riwayat (berita) yang disaksikan sendiri oleh orang
hanyak (jama’ah yang mem- beritakannya, yang mustahil mereka itu
berdusta dalam hal itu; sebagai tandanya ialah, terpaksanya hati kita
meyakinkan kebenaran isi berita itu. Seperti : berita-berita orang tentang
adanya negeri Makkah, atau berita yang mengatakan, bahwa Peking adalah
ibu kota negeri Tiongkok. Dan sebab mustahil- nya dusta dalam
pemberitaan seperti itu, adalah karena telah cukupnya syarat-syarat
tertentu bagi suatu berita yang di- percaya, dan sunyi dari faktor-faktor
yeng dapat melemahkan kepercayaan kepadanya. " .
Semua itu berpangkal kepada banyaknya bilangan orang yang
memberitakan serta teijauhnya pembawa riwayat (Rawi) dari sifat memihak
kepada kandungan isi berita
Tak ada perselisihan pendapat diantara para alim-ulama (intelektuil)
tentang berita yang semacam ini dapat membawa yakin akan kebenaran
isinya tetapi perselisihan itu biasa terdapat dalam pemakaian kalimat
(lafazh-lafazh) yang dipakai dalam pemberitaan. itu.
Diantara para Nabi terdapat berita-berita yang mencukupi syarat-
syarat mutawatir bagi pemberitaan yang disampaikan orang dari hal
mereka, seperti Nabi Ibrahim Musa dan Isa. Dan diantara berita yang

146
disampaikan itu ialah, bahwa mereka tidaklah termasuk orang yang lebih
berkuasa diantara kaum- nya, bukan pula orang yang lebih banyak
hartanya dan tidak seorangpun pembantu tertentu yang menolong mereka
untuk mengajarkan ilmu yang mereka da’wahkan. Pendeknya mereka
jbukanlah orang-orang yang bercacat pribadinya, yang menimbulkan
rasa jijik dalam hati dan yang tidak sedap dipandang mata. Dengan
keadaan yang demikianlah — sekalipun kekuasaan pemerintah berada
ditangan orang lain begitupun harta benda dan ilmu-pengetahuan —
namun mereka, tegak berdiri untuk mengajak ummat manusia kepada
Allah, sanggup me-. nundukkan Raja-Raja beserta balatentara mereka
dan berteriak kepada Raja-raja itu dengan teriakan yang menggon-
cangkan sendi-sendi mahligai mereka, dan mereka mengaku bahwa ia
menyampaikan perintah-perintah dari Khalik, Pen- cipta planit-planit
dan bumi ini apa yang dikehendaki Tuhan sebagai syari'at bagi ummat
manusia; dan untuk itu mereka tampil dengan dalil yang menyebabkan
lumpuh dan bertekuk- lututnya, kekuatan lawan dihadapannya.
Kemudian terpancang- lah syari’at-syari’at mereka dialam dunia ini
sebagaimana tetap terpancangnya gharizah (naluri) dalam fithrah-
kejadian manusia. Kebaikan ummat mereka terletak dalam mengikut
ajar- an-ajaran yang mereka bahwa — yang menjadikan mereka
mempunyai kekuatan dan beroleh bahagia, yakni selama mereka berada
dalam ajaran-ajaran Nabi itu. Sebaliknya mereka akan kembali menjadi
lemah dan celaka bila berpaling daripadanya dan karena
mempercampurradukkan barang bid’ah ke dalarn ajar an itu.
Segala dalil yang mereka kemukakan untuk menyembah Tuhan
Yang Maha Esa tidaklah pantas menurut akal untuk mengatakan, bahwa
mereka itu dusta dalam menyampaikan berita yang datang dari Allah,
begitu pula tentang pengakuan mereka bahwa segala apa yang telah
mereka sampaikan kepada ummat manusia itu adalah wahyu dari Tuhan.
Di samping itu, bahwa orang yang tidak mempercayai apa yang
diucapkan oleh Nabi itu, kata-katanya tidak mempunyai pengaruh sama
sekali pada akal, karena yang batil itu tidak ada hak untuk tetap, kecuali
karena adanya kelalaian. Tak ubahnya seperti tumbuh-tumbuh- an yang
jelek yang hanya bisa tumbuh dalam tanah yang subur, adalah karena
dibiarkan saja dan ia akan besar terus karena
kelalaian itu. Tetapi bila ia telah diganggu oleh tangan petani, ia tentu

147
menjadi layu dan tinggallah hanya tumbuh-tumbuh- an yang berguna saja.
Tetapi tidak demikian halnya Agama- Agama yang dibawa oleh para Nabi.
Ia berdiri teguh di alam manusia ini dengan segala kekuatannya, sesuai
dengan kehendak Allah - disamping banyaknya penantang yang anti
kepadanya, dan kuatnya kekuasaan yang ada di tangan musuh-musuh
Agama itu, Maka karenanya tidak mungkinlah mengatakan, bahwa asas
Agama itu adalah dusta dan tiangnya adalah tipu muslihat belaka.
Pembicaraan kita ini adalah menyinggung soal soal agama yang prinsipiil
yang bersinar terus selama-lamanya di- tengah-tengah kaum bid’ah yang
suka memasukkan hal-hal yang bukan-bukan ke dalam agama itu. Adapun
tentang Rasul Rasul yang lain yang wajib kita iman kepada mereka, maka
cukuplah menetapkan Kenabian mereka dengan mempefcayai Kerasulan
Nabi kita Muhammad s.a.w. karena beliau telah memberitakan kepada kita
akan Kerasulan mereka itu, dan beliau adalah orang yang benar dalam
pemberitaannya. Dan bakal kita bicarakan nanti tentang Kerasulan Nabi
kita Muhammad s.a.w., dalam suatu bab khusus, Insya Allah.
FUNGSI PARA RASUL ALAIHIMUSSALAM
Telah jelas dari keterangan yang lalu tentang kebutuhan ummat
manusia kepada Rasul-Rasul. Bahwa nilai kedudukan mereka diantara
bangsa-bangsa tak ubahnya seperti pentingnya akal pada diri tiap-tiap
orang. Dan bahwa diutusny a mereka adalah suatu kebutuhan yang
primair diantara banyak kebutuhan akal manusia yang telah ditetapkan
oleh kemurahan Zat Yang Maha Pencipta lagi Bijaksana untuk dapat
memenuhi kebutuhan. Dan merupakan suatu nikmat yang diberikan
oleh Yang memberikan wujud sebagai suatu ciriyang membedakan
makhluk manusia dari makhluk-niakh- luk yang lain di alam ini. Tetapi
kebutuhan itu adalah kebutuhan rohaniah dan segala apa yang
bersangkut-paut dengan perasaan dalam kebutuhan itu, maka yang
dimaksud adalah mengembalikan- nya kepada rohani danmenyucikan
rohani itu dari kotoran hawa- nafsu yangmenyesatkan, atau menuntun
nafsu itu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Untuk menjelaskan secara terperinci segala seluk-beluk jalan me-
ngenai kehidupan manusia sehari-hari (duniawiyah), kepintaran dalam
memilih sistimnya, dan kemajuan akal untuk mendapatkan rahasia-
rahasia ilmu pengetahuan, semuanya itu bukanlah termasuk bidang
tugas para Rasul, kecuali memberikan garis-garis besar yang umum saja
dan menganjurkannya supaya orang berlaku adil dalam hal itu. Dengan

148
syarat, bahwa semua itu tidak akan menimbulkan keragucraguan dalam
i’tikad (kepercayaan), bahwa alam ini mem- punyai Tuhan Yang Maha
Tunggal, Maha Berkuasa, Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Bahwa makhluk adalah ciptaan dari Kodrat-Nya belaka yang cuma
terdapat berlebih-kurang (graduasil dalam kejadiannya, menurut apa
yang telah ditentukan Tuhan baginya masing-masing.
Tuhan memberikan syarat pula, bahwa dalam mencapai tujuan-
tujuan duniawi, seorangpun tidak diperkenankan untuk berlaku jahat
pada diri orang lain, atau pada kehormatannya, atau pada harta-
bendanya, dengan jalan yang tidak benar, sebagaimana yang
dikehendaki oleh peraturan umum yang telah merata pada bangsa-
bangsa dalam perundang-undangan mereka.
Para "Rasul membimbing akal untuk mengenali Allah dan mengenai
sifat-sifat Ketuhanan yang wajib diketahui oleh manusia.
Mereka memberikan batas-batas tertentu dimana orang wajib
berhenti dalam menggali pengetahuan tentang Tuhan 1) pada tem- pat
yang menyulitkan posisi manusia guna menenteramkan hati kepadaNya
2) serta tidak menyia-nyiakan kekuatan akal yang telah diberikan Allah
kepada manusia itu.
Rasul-Rasul itu menyatukan kalimah makhluk ini (kepercayaan-' nya)
untuk mengabdi hanya kepada Satu Tuhan yang tidak bisa dibagi-bagi;
mereka meratakan jalan antara manusia dan Tuhannya yang Satu 3 )dan
mereka menyamakan pengertian pada diri manusia . itu untuk
bergantung padaNya dalam segala perbuatan dan mu-
’amalahnya, dan mereka mengingatkan kepada manusia itu akan _________
kebesaran Tuhannya dengan menjalankan berbagai kewajiban ibadat
dalam waktu-waktu tertentu yang berbeda-beda, sebagai peringatan
kepada orang yang lupa dan penyucian jiwa terus menerus bagi orang
yang takwa. Ibadat-ibadat itu dapat menguatkan apa yang lemah pada

149
mereka dan menambah keyakinan bagi orang yang mengharapkan
keyakinan itu.
Rasul-rasul itu menyatakan kepada manusia apa yang merupakan
pertengkaran fikiran dan keinginan-keinginan mereka, per- tentangan
dalam hal kepentingan dan yang menjadi kesenangan-ke- senangan
mereka. Maka dalam segala rupa persengketaan itu, mereka
(Rasul-Rasul) memisahkannya dengan perantaraan perintah (petunjuk) Allah
yang sakti. Mereka memperkuat ajaran-ajaran yang mereka sampaikan itu
dengan apa yang sangat berguna untuk kepentingan umum serta tidak
menghilangkan manfa’at yang didapat oleh orang perseorangan i). Mereka
mengajak manusia kem bali kepada hidup rukun, dan menjelaskan kepada
mereka rahasia yang terkandung dalam cinta-kasih dan merasakan kepada
manusia itu, bahwa dalam rukun dan cinta-kasih itulah terletaknya keberes-
an masyarakat pergaulan hidup.
Mereka mewajibkan kepada manusia untuk melatih diri guna
menanamkan rasa cinta-kasih itu dalam hati mereka sampai rahasia cinta-
kasih itu terbuka bagi mereka, sehingga jantung mereka terge- tar
merasakannya. Semua ajaran-ajaran itu disampaikan oleh Rasul adalah agar
masing-masing orang memelihara hak orang lain tanpa melupakan hak
dirinya sendiri-sendiri, dan bahwa jangan sampai orang menuntut yang
melebihi dari batas haknya; dan bahwa yang kuat harus membela yang lemah,
dan yang kaya supaya mengulur- kan tangan pertolongannya kepada yang
fakir (miskin), serta orang yang mengerti supaya memberi petunjuk kepada
kawannya yang sesat, danorangyangalimsupaya mengajarkan ilmunya kepada
yang bodoh.
Para Rasul itu meletakkan bagi ummat manusia akan batas-batas larangan
umum menurut yang diperintahkan oleh Allah sehingga memudahkan
manusia itu mengembalikan perbuatan-perbuatan mereka ke dalam batas-
batas larangan umum itu, seperti : menghor- mati darah manusia, kecuali
dengan jalan benar serta adanya alasan yang membenarkan untuk
ditumpahkannya darah itu, dan hararn untuk mengambil sesuatu dari buah
usaha orang lain kecuali dengan benar serta ada pula alasan yang sah yang
membolehkan mengambilnya, menghormati kehormatan diri seseorang
dengan penjelasan apa yang diperbolehkan dan apa pula yang diharamkan
tentang urusan sex (kelamin).
Disamping itu para Rasul mensyari’atkan kepada manusia su-
1) . Yang dimaksud adalah Zakat. / paya membentuk diri mereka sendiri dengan sifa-sifat

150
utama seperti benar, amanah, menyempumakan janji, menghormati sesuatu
peijanjian yang telah ditanda-tangani bersama, 23) bersifat santun kepada
kaum lemah, berani tampil untuk memberikan nasihat kepada orang-orang
yang berkuasa, dan mengakui hak tiap-tiap makhluk tanpa kecuali
(deskriminasi). 24 >
Rasul-Rasul itu membawa manusia untuk memalingkan hawa nafsu
mereka dari mengecap kelezatan dunia yang fana kepada mencapai idea (cita-
cita) yang tinggi. Dalam ajakan ini mereka memakai sistim yang mengandung
daya penarik (targieb) dan ancaman (tarhieb),yakni berita yang mengandung
sanksi dan berita gembira sesuai menurut garis apa yang telah diperintahkan
Tuhan kepada mereka.
Rasul-Rasul itu menjelaskan semua itu kepada manusia apa-apa yang
dapat menempatkan mereka ke dalam keredhaan Ilahi, dan apa-apa yang
membuat Tuhan murka kepada mereka itu. Kemudian penerangan mereka
itu mencakup luas meliputi tentang berita negeri Akhirat dan apa-apa yang
disediakan Tuhan padanya berupa pahaladanpembalasanyangbaik bagi siapa
yang te tap berdiri menurut batas-batasNya serta setia menunaikan perintah-
perintahNya dan menjauhkan diri dari teijun kedalam apa-apa yang
dilarangNya.
Rasul-Rasul itu mengajarkan kepada manusia tentang berita- berita gaib
menurut apa yang diizinkan Tuhan padahamba- Nya untuk mengetahuinya
25
) yang sekiranya hal itu termasuk hal yang sulit bagi akal manusia untuk
mengetahui hakikatnya, tetapi tidak sukar untuk mengakui adanya berita
gaib itu.
Dengan jalan begitu akan menjadi tenteramlah jiwa, sejuklah dada, dan
dapatlah terbujuk orang yang ditimpa musibah dengan bersikap sabar
menunggu nasib yang lebih baik, atau relalah hati para pemimpin yang
ditangannya terletak keberesan persoalan; dan dengan ini pulalah dapat
dirampungkan persoalan-persoalan yang paling sulit dalam masyarakat
ummat manusia di.mana kaum cendekiawan senantiasa selama ini memeras
otaknya untuk dapat me- nyelesaikan persoalan yang musykil hari ini i).
Tetapi bukanlah termasuk fungsi kewajiban para Rasul Tuhan untuk
melakukan apa-apa yang menjadi tugas para guru dan sarja- na-sarjana ahli
ekonomi (perindustrian). Maka karenanya para Rasul itu datang kedunia

23 Diantaianya termasuk peijanjian kenegaraan dengan luar negeri.


24 Tak ada perbedaan dalam hal itu antara Muslim dan kafir, kuat dan lemah dan antara
yang dekat dan yang jauh.
3) . Seperti berita tentang Malaikat, Jin, dan hal-hal yang terjadi dihari Akhirat nanti.
151
untuk mengajarkan sejarah, dan tidak pula menjelaskan segala persoalan
yang menyangkut dengan alam planit- planit, dan tidak menerangkan gerak-
gerik bintang-bintang itu yang berbeda satu dari yang lain; dan tidak untuk
menjelaskan apa yang dikandung oleh bumi yang berlapis-lapis ini (geologi),
dan tidak pula menerangkan berapa panjang dan luasnya bumi itu; dan tidak
pula akan menerangkan ilmu tumbuh-tumbuhan (ilmu hayat) dan bagaimana
cara pertumbuhannya, dan tidak pula akan menerangkan apa yang
dibutuhkan hewan-hewan untuk menjaga kebaka- an dirinya masing-masing
dan jenisnya (Struggle for existence)* dan lain-lain sebagainya yang telah
menjadi pembahasan dalam jurusan ilmunya masing-masing, dimana para
ahli telah berlumba-lumba untuk dapat menyelami paham yang lebih dalam
dan pengertian yang lebih teliti. Maka semuanya itu adalah termasuk
kedalam bidang usaha kegiatan manusia sendiri untuk mencapai kepuasan
yang lebih sempuma, dimana Tuhan telah memberikan petunjuk- Nya kepada
manusia dengan perantaraan kecerdasan akalnya. Ber- bahagialah orang
pintar yang mempergunakan akalnya dan sebaliknya merugilah mereka yang
mengabaikan kemampuan akal itu. Tetapi adalah menjadi sunnah Ilahi dalam
hal yang demikian itu, bahwa manusia itu harus mengikuti jalan evolusi
(perkembangan yang berangsur-angsur) dalam mencapai kesempurnaan.
Sedang syari’at para Nabi telah datang yang pada pokoknya telah mem-
tercapainya kemajuan yang dicita-citakan manusia itu menurut martabat
kemajuan yang sesuai dengan fithrah kemanusiaannya.
Tentang apa yang pemah terdengar diantara pembicaraan para Nabi
yang berupa isyarat yang menyinggung persoalan yang kami sebutkan
diatas tentang hal-ihwal planit-planit atau keadaan bumi, maka yang
dimaksud adalah sekedar untuk mengajak manusia berpikir tentang hikmat
kebijaksanaan Zat Yang menciptakannya, atau untuk mengajak fikiran
untuk menyelami rahasia dan keindahan- keindahan alam itu sendiri.
Tentang bahasa yang dipakai oleh para Rasul ’alaihimussalam itu sebagai
pengantar untuk berbicara dengan ummatnya. Tidak boleh jauh dari apa
ya.ng dapat dijamah oleh faham-pengertian mereka. Kalau tidak begitu
tentu akan menjadi' percumalah Tuhan mengutus mereka ketangah-tengah
ummat itu. Karena kadang-kadangibarat yang dipakai untuk orang awam
perlu kepada takwil, sedang tafsir yang lebih mendalam harus dijelaskan
kepada orang khusus (Ulama, cendekiawan). Dan begitu pula keterangari
untuk orang cerdik-pandai kadang-kadang menghendaki masa yang
152
panjang untuk dapat dipahami kemudian oleh. orang awam. Hal-hal yang
seperti ini sedikit sekali didapati pada keterang- an yang diberikan oleh.
para Nabi, karena keterangan mereka itu dapat dipahami oleh semua
golongan dan lapisan masyarakat ummat.
Pendek kata, Agama tidak boleh dijadikan tabir pembatas antara jiwa
dan akal yang selalu dinamis untuk mengetahui hakikat-haki- kat alam yang
terbentang dihadapan kita irii dengan segala kemampuan yang ada pada
akal itu. Bahkan Agama justru hendaklah menjadi pendorong yang kuat
bagi iimu pengetahuan yang mende- sak akal manusia itu untuk
menghormati bukti-bukti yang nyata, sehingga manusia itu memeras
energinya dengan segala kekuatan akalnya untuk mengetahui rahasia alam-
alam yang ada dihadapan matanya itu, tetapi dengan syarat, bahwa akal itu
tidak akankeluar. dari batas yang wajar, dan kemudian berhenti pada batas
tertentu untuk menjaga keselamatan i’tikad. Dan siapa yang berkata lain
daripada itu, maka berarti ia tidak mengerti Agama, dan ia akan berdosa
dengan dosa yang tidak bisa diampuni oleh Tuhan semesta alam.

153
XII
KRITIK YANG MASYHUR

Ada orang yang berkata : ’’Sekiranya pengangkatan para Rasul itu


adalah satu diantara kebutuhan manusia untuk kesempurnaan susunan
masyarakat mereka dan jalan bagi kebahagiaan mereka dunia-akhirat, maka
kenapa ummat manusia itu senantiasa dalam keadaan celaka serta teijauh dari
bahagia? Mereka senantiasa bersengketa dan tidak pemah Seia-se kata;
mereka berbunuh-bunuh- an dan tidak bantu-membantu; rampas-merampas
tidak ber-mem- beri, masing-masing telah siap untuk memulai agresinya, dan
tidak ada yang ditunggunya kecuali kedatangan giliran (timing) untuk
menyerang. Kulit mereka telah penuh dilumuri kezaliman sedang hati mereka
dipenuhi oleh ketamakan ; tiap-tiap penganut Agama menjadikan Agama
mereka sebagai hujjah untuk menentang orang yang bersengketa dengan
mereka, dan hal itu mereka jadikan suatu sebab yang baru bagi permusuhan
dan sengketa, setelah mereka bersengketa dalam kepentingan dan
keuntungan-keuntungan pribadi ; dan bahkan orang yang satu agamapun
telah bersengketa dan paham mereka itu terpecah-pecah dalam memilih
kepercayaan. Dikalangan mereka telah tersebar debu-debu kejahatan; dan
hawa- nafsu mereka telah penuh dengan bermacam jaring-jaring fitnah. Dan
akhirnya mengalirlah* darah bagaikan anak sungai sehingga orang yang kuat
kesudahannya dapat mengalahkan yang lemah. Maka akibatnya kekuasaan
itu berpindah kepada tangan kekuatan bukan kepada kebenaran dan bukan
pula kepada Agama. Inilah dia Agama yang Anda katakan dapat menghimpun
kalimat kesatuan dan menjadi duta-utusan kasih-sayang, sekarang ia terbukti
pangkal sebab celaka dan yang menyalakan api kebencian, maka karenanya
dimanakah kebenaran pengakuan Anda tadi dan mana buktinya ?”
Kami jawab : semua benar telah teijadi, tetapi setelah ber- akhimya
zaman para Nabi dan selesainya tugas kewajiban mereka, yakni setelah
Agama itu berada di tangan orang-orang yang tidak mengerti ajaran Agama
itu. Atau orang yang mengerti, tetapi amat fanatik, atau tidak terlalu fanatik,
tetapi cintanya kepada Agama itu bukan datang dari hati kecilnya sendiri.
Atau cintanya itu memang dari hati kecilnya tetapi akalnya sangat pitik
sehingga tidak dapat menjalankan agama sebagaimana Nabi-Nabi memeluk 154
Agamanya atau seperti para sahabat Nabi yang terkemuka. Jika ti- dak
demikian, maka coba tunjukkan kepada kami: mana Nabi-Nabi yang tidak
membawa kebaikan yang banyak kepada ummatnya dan kebahagiaan yang
merata; dan mana Nabi yang agamanya tidak dapat mencukupi kebutuhan
pribadi-pribadi dan masyarakat ummat ?
Saya kira, bahwa Anda tidak berbeda pendapat dengan kami, bahwa
sebagian terbesar diantara manusia — bahkan barangkali semuanya kecuali
sedikit — tidak paham tentang filsafat Plato, dan akal serta fikiran mereka
tidak bisa membanding mantik (logika) Aristoteles, bahkaii jika
dikemukakan kepada mereka persoalan- persoalan yang menghendaki
pemikiran yang seksama itu sekalipun diatur dengan ibarat bahasa yang
semudah mungkin pasti mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali
pengelamunan yang tidak ada pengaruhnya dalam membentuk diri mereka,
dan tidak pula dalam perbaikan amal perbuatan mereka.
Maka perhatikanlah beberapa golongan type manusia yang selalu
dipermainkan hawa-nafsu keinginannya, kemudian cobalah Anda ajari dia
untuk dapat meringankan bala bencana yang menimpa dirinya itu, maka
jalan dari jurusan manakah yang lebih dekat bagi Anda untuk dapat
menyerang hawa-nafsunya itu dan kemudian mengembalikannya kepada
keinginan-keinginannya yang sederhana ?
Pasti Anda tidak akan menemukan jalan yang paling dekat untuk
menjelaskan bahayanya meliwati batas dalam memper - turutkan keinginan
hawa-nafsu itu, dan faidah-faidahnya berlaku sederhana dalam mencari
rezeki dan hal-hal lain seperti itu yang tidak disanggupi oleh kaum intelektuil
mengurajkannya kecuali dengan penyelidikan yang lama sekali. Tetapi Anda
akan xnendapat- kan jalan yang lebih dekat dan lebih lurus bila Anda
memasukinya melalui jendela wijdan (bisikan kalbu, intuisi) yang dapat
menying kapkan rahasia yang melingkupi manusia itu dari segala seginya.
Kemudian Anda ingatkanlah kepada manusia itu kodrat I- lahi yang
telah memberikan kepadanya kelapangan dalam persoalan hidup yang
dihadapinya, lagi menguasai dirinya sendiri, dan yang mengendalikan tali les
cita-citanya, dan untuk itu Anda dapat me- ngemukakan contoh-contoh yang
dekat kepada pengertiannya sendiri. Kemudian Anda ceriterakanlah
kepadanya riwayat Agama yang dianutny a sendiri yang berisi berbagai
nasihat dan pengajaran , dan begitupula tentang riwayat kaum salaf yang
merupakah tokoh- tokoh terkemuka Agama itu yang dapat dijadikan ikutan
yang baik. Dan sebagai penutup nasihat Anda itu, Anda bangunkanlah

155
rohnya dengan mengingatkan kepada keridhaan Ilahi bila ia berlaku lurus,
mempunyai karakter dalam hidup (istiqamah), dan akan kemarah- anNya
bila ia semau-maunya saja dalam hidup ini. Waktu itulah hatinya menjadi
khusyu’ dan air matanya mengalir, dan amarahnya menjadi lenyap sedang
hawa nafsunya menjadi terkungkung Sedang sipendengar nasiliat itu sendiri
waktu itu tidak mau tahu lagi kecuali, bahwa ia merasa akan dapat keridhaan
Ilahi dan para wali-wali Allah apabila ia mematuhi nasihat Anda itu, dan
sebaliknya kemurkaan mereka bila ia durhaka. Begitulah keadaan diri
(watak) manusia dari dulu sampai dewasa ini, sedang orang yang memungkiri
hal itu sama dengan memungkiri dirinya, bahwa ia tidak dari golongan
manusia.
Betapa banyaknyakitamendengaradanyamata yang menangis dan nafas
yang tersedu-sedu serta hati yang khusyu’-tunduk dikala orang
mendengarkan muballigh (rohaniawan) memberikan nasihat- nasihat
keagamaan. Tetapi pemankah Anda mendengar hal yang seperti itu dikala
orang mendengarkan nasihat-nasihat ahli-ahli budaya dan pemimpin-
pemimpin politik ?
Bilakah kiiamendengar, bahwa ada satu type manusia diantara
golongan-golongan yang banyak itu orang yang mau melakukan
pekerjaannya karena semata-mata memandang baiknya pekeijaan jtu an
sich ? yakni karena perbuatannya itu mengandung manfa’at bagi umum
atau khusus kepada bebefapa pribadi, dan yang dapat ir.enghilangkan
kejahatan yang menimpa mereka itu ?! Ini memang suatu perbuatan yang
belum pemah ada dalam sejarah manusia dan tidak pula cocok dengan
watak mereka. Hanya yang dapat mem- bentuk watak manusia itu adalah
akidah dan adat lembaga yang / diwarisi turun-temurun, sedangkan kedua-
dua perkara yang tersebut ini tidak bisa, dibina kecuali dengan jalan
Agama. Maka karena- nya, faktor Agama adalah merupakan faktor yang
paling kuat untuk membentuk moral rakyat banyak, bahkan juga orang-
orang terkemuka; dan pengaruh kekuasaan Agama itu ke dalam jiwa
mereka jauh lebih kuat daripada pengaruh akalnya, padahal akal itu
merupakan ciri khusus bagi jenis makhluk manusia itu.
Telah kami katakan diatas, bahwa pentingnya kedudukan Kenabian
para Rasul itu dalam masyarakat adalah seperti pentingnya kedudukan
akal pada diri setiap orang, atau sepefti pentingnya tanda penunjuk jalan
yang terletak pada jalan yang akan dilalui, bahkan jauh lebih penting dari
itu lagi, yakni sama pentingnya dengan pendengaran dan penglihatan.

156
Bukankah fungsi penglihatan itu membedakan antara yang baik dan yang
bunlk dalam segala apa yang dilihat dan antara jalan yang mudah dilalui
dan yang banyak onak durinya ?
Dan kadang-kadang orang salah mempergunakan penglihatan- nya
itu sehingga ia terjerumUs masuk jurang sampai badannya luka-luka
sedang dua matanya itu selamat sejahtera yang tetap ber- cahaya-cahaya
pada wajahnya. Beribu-ribu bukti yang nyata bisa ditunjukkan oleh akal
dan pancaindera atas sesuatu yang membawa bencana sedang pelakunya
sendiri telah mengetahui sebelumnya. Tetapi bukti-bukti yang nyata, itu
dilanggarnya dan ia melakukan perbuatan yang nista karena dorongan
hawa nafsu atau karena pengaruh godaan-godaan lainnya. Tetapi kejadian-
kejadian yang seperti ini tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk
mengurangi nilai pancaindera atau akal itu dalam hikmah penciptaannya.
Demikian pulalah halnya para Rasul alaihimussalam, adalah merupakan
tanda penunjuk yang telah ditancapkan oleh Tuhan untuk menunjukkan
arah jalan yang menuju kepada kebahagiaan Setengah manusia ada yang
dapat menuruti petunjuk itu, maka sampailah ia kepada puncak 'bahagia
hidupnya, dan diantara mereka ada pula yang salah memahami petunjuk
itu dan tersesatlah ia dari jalan yang sebenarnya sehingga ia akhirnya
teijerumus kedalam lembah ke- binasaan. Agama memang suatu
pembimbing bagi manusia, tetapi tempo-tempo kekecewaan menimpa diri
manusia untuk menerima petunjuk itu ;namun kekecewaan pada
sementara manusia itu tidak akan dapat mengurangkan nilai
kesempurnaan Agama itu dan tidak pula dapat untuk meiintangi
kebutuhan yang sangat vital kepadanya.

„Dengan petunjuk Agama itu masih banyak juga orang yang sesat; dan
sebaliknya dengannya banyak yangberoleh petunjuk, dan tak ada yang
sesat itu kecuali orang-orang yang fasik’.’ (Q.S. 2. Al-Baqarah : 26)
Ketahuilah ! bahwa Agama itu adalah tempat ketenangan dan
perlindungan yang menenteramkan hati. Dengan Agama semua orang rela
dengan pembagian rezeki yang diferimanya. Dengan Agama, buiuh
(pekerja) menjadi terpimpin sampai kepada prestasi keijanya yang paling
tinggi. Dengan Agama, semua pribadi tunduk kepada ketentuan hukum
alam yang umum. Dan dengan Agama, orang melihat kepada manusia yang
diatasnya dalam segi ilmu dan kehormatan, dan kepada manusia yang
157
dibawahnya dalam soal harta dan pangkat, sesuai dengan ajaran-ajaran
yang datang dari Ilahi.
Agama itu lebih identik dengan tenaga-tenaga pembangkit fithrah
ilham manusia yang mengajak manusia itu dynamis (giat). Agama adalah
suatu faktor kekuatan manusia yang paling besar tetapi kadang-kadang ia
dihinggapi penyakit apa yang bisa juga datang kepada faktor kekuatan
yang lainnya. Dan segala apa yang
ditujukan orang kepada Agama itu berupa kritik seperti yang kami
kemukakan tadi, maka sebenarnya harus ditujukan pula kepada para
penganut Agama itu sendiri; mereka harus menasihati dirinya sendiri sesuai
dengan ajaran yang dibawa oleh Agamanya itu ; atau kepada mereka yang
terkenal sebagai penjaga dan pembela hukum- hukum Agama dan
menyampaikan kepada hati manusia kandungan maksud hukum-hukum itu
sehingga mereka terpimpin dalam Agama itu dan kembali kepada keaslian
pokok-pokok Agama yang perta - ma yang suci-mumi. Mereka harus
menyingkirkan tirai-tirai bid’ah dari Agama itu sehingga dengan begitu
kembalilah kekuatan Agama itu sebagai semula (sembuh dari penyakit yang
jnenimpanya, pen.) dan menjadi jelaslah menonjol hikmah-rahasia Agama
itu bagi orang yang masih buta selama ini.
Sering orang berkata, bahwa dengan adanya perbandingan ' seperti itu
antara Agama dan akal, orang lebih condong kepada pendapat mereka yang
mengatakan : supaya akal itu dikesamping- kan saja dalam soal-soal yartg
mengenai bidang Agama dan, bahwa dasar Agama itu adalah menyerah dan
tunduk semata-mata, serta memutus jalan fikiran untuk memahamkan lebih
dulu kandungan isi Agama itu yang berupa pengetahuan dan hukum-hukum.
Kami menjawab: Kalau sekiranya apa yang dikatakan diatas itu
benar, tentulah Agama itu bukan perupakan tanda penunjuk jalan yang
dapat dipercaya. Padahal tadi telah ditetapkan, bahwa akal sendirinya saja
tidak bisa sampai untuk mencapai kebahagiaan ummat manusia tanpa
adanya pimpinan Ilahi, sebagaimana hewan sendiri tidak bisa mengetahui
segala yang bisa didapat dengan pancaindera kalau hanya dengan semata
perantaraan pandangan matanya belaka, tetapi harus pula dengan disertai
pendengaran telinga untuk mengetahui segala yang didengar. Maka
demikianpu- lalah Agama, ia adalah suatu perasaan yang dapat mencakup
segala- galanya untuk dapat membukakan segala rahasia kebahagiaan yang
masih samar-samar bagi akal. Dan akal-ratio itulah yang berkuasa untuk
mengetahui perasaan dan mengendalikannya sebagaimana mestinya, dan

158
sebaliknya ia harus tunduk kepada apa yang telah
dibukakan oleh Agama kepadanya itu, yakni dalam menganut keyakinan dan
penentuan batas-batas amal perbuatan.
Bagaimana kita dapat mengingkari kekuasaan akal dalam
mempergunakan haknya dalam hal yang tersebut diatas itu pada hal ia
sendirilah yang turut memperhatikan dalil-dalil yang dengan bukti mana
manusia itu dapat mengetahui segala sesuatu itu, dan bahwa ia datang dari
Tuhan. Cuma setelah akal itu membenarkan Kerasulan Nabi ia harus dengan
sendirinya membenarkan pula segala apa yang dibawa Nabi itu sekalipun ia
tidak sanggup men- dalami sebagian diantara hakikat yang dibawa para Nabi
itu. Ini tidak berarti, bahwa akal mesti menerima barang yang mustahil,
seperti berhimpunnya dua yang berlawanan atau bertentangan dalam suatu
ruanganpada waktu yang sama. Karena Nabi itu suci dari membawa hal yang
seperti itu. Maka andaikata terdapat diantara ayat-ayat yang disampaikan
Nabi itu yang lahimya membawa kesamaran, wajiblah bagi akal untuk
mengi’tikadkan, bahwa yang dimaksudsebenarnyabukanlah arti yang lahir itu
; dan karena- nya dalam hal ini akal boleh menempuh dua jalan :
mentakwilkan ayat itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk sabda Nabi, dan atau
: menyerahkan sepenuhnya pengertian ayat ini kepada ilmu Allah semata.
Dan diantaranya tokoh-tokoh kaum Salaf yang berbahagia ada orang yang
menempuh jalan yang pertama, dan ada pula yang menempuh jalan yang
kedua.
KERASULAN MUHAMMAD S.A.W.
Bukanlah menjadi tujuan kami untuk menuliskan dalam
lembaran kertas ini tentang perkembangan sejarah bangsa-bangsa dan
khususnya sejarah bangsa Arab dizain an Kerasulan Muhammad s.a.w.
untuk menyatakan bagaimana hajat-kebutuhan seluruh pen- duduk
bumi ini kepada suatu peristiwa yang menggemparkan (shocking) yang
menggoyang mahligai Raja-Raja serta menggon- cangkan sendi-sendi
kekuasaan mereka yang zalimitu; dan supaya penguasa-penguasa itu
menekurkan pandangan matanyake bawah guna melihat kepada nasib
rakyat mereka yang lemah-lemah dimana selama ini mata mereka
hanya tahu menengadah ke atas tanpa mempedulikan rakyat yang
tertindas dibawah. Mereka penduduk bumi butuh kepada suatu cahaya
sinar api yang memancar dari langit kebenaran kepada ummat manusia
untuk melenyapkan ke- gelapan-kegelapan kebatilan yang membunuh
akal mereka yang sehat; butuh kepada suatu teriakan yang lantang-

159
bergema yang dapat membangkitkan mereka yang lalai, menyurutkan
langkah mereka yang terlanjur; menanamkan rasa kesadaran kepada
rakyat yang terpimpin, bahwa mereka tidak jauh beda kemanusiaannya
dengan para pembesar yang berlaku zalim itu; butuh kepada orang
yang dapat memberi petunjuk kepada mereka yang sesat dan menjadi
pemimpin bagi mereka yang selama ini tertipu, pendeknya penduduk
dunia itu butuh kepada orang vane akan menuntun mereka kepada
suatu petunjuk vane da oat membawa ummat manusia kepada jalan
yang telah digariskan oleh Allah kepadanya (Sesungguh- nya Kami,
Kami (Allah)-lah yang menunjukkan jalan kepada manusia itu) i) agar
dengan melalui jalan itu manusia dapat mencapai
0 Pengarang mengataKan di waktu beliau memberikan kuliah, bahwa yang dimaksud dengan
sabil (jalan), ialah fithrah Allah di mana Ia menjadikan fithrah-kejadian ummat manusia ini.
kesempumaannya, dan sampai kepada keberuntungan dunia-akhir- at yang
telah disediakan Tuhan bagi manusia itu. Kami tidak akan menerangkan
semuanya itu untuk maksud seperti tersebut, tetapi kami hanya akan
meminjam dari kejadian peristiwa sejarah itu suatu kalimat yang dapat
dipahami oleh siapa yang berfikir sebagaimana yang telah disepakati oleh
para penulis sejarah zaman itu, yakni yang berfikir secara teliti dan penuh
kdsadaran.
Dikaia itu ada dua Kerajaan besar didunia l). Kerajaan Persia di
Timur dan Kerajaan Roma di Barat—masing-masing bersengke- ta dan
berbunuh-bunuhan satu sama yang lain: mengalirlah darah dikedua
penjuru dunia itu, kekuatan menjadi hancur, harta-benda binasa, dan
kezalimanpun menjadi-jadi dengan buasnya. Tetapi walau demikian,
namun foya-foya, hidup mewah, pemborosan uang negara secara menyolok,
kebanggaan dalam yang batil, dan bermacam-macam kesenangan hidup
yang telah sampai dipun cak- nya yang tidak bisa dilukiskan dengan pena,
kesemuanya itu teijadi dalam istana raja-raja dan pembesar-pembesar
negara, pada rumah- rumah para pemimpin militer dan tokoh-tokoh

160
Agama pada seluruh bangsa-bangsa waktu itu.
Adalah suatu kejahatan golongan elite pada segala bangsa, bahwa hal
itu tidak cukup berhenti sampai di situ saja, bahkan lebih dari itu lagi.
Mereka peras rakyat dengan menaikkanpajak, dan mereka gencet dengan
mengambil bea-cukai yang sangat keterlaluan, bahkan memberati beban
rakyat lagi dengan aneka-war- na tuntutan-tuntutan yang bukan-bukan
dengan mengambil hasil kerja keringat rakyat itu. Begitulah kekuatan yang
ada pada pihak yang memegang kekuasaan dipergiinakan untuk merampas
apa yang ada pada tangan silemah, orang yang cerdik berfikir bagaimana
mengelabui orang yang lengah. Hal itu mengakibatkan rakyat pada segala
bangsa itu ditimpa oleh bermacam-macam keme- laratan, kehinaan, rendah
diri, rasa ketakutan dari berada dalam
1) Kata pengarang waktu memberikan kuliah: „Saya lupa di waktu mengarang me- nye ut an
Kerajaan Tiongkok, karena ia juga adalah Kerajaan yang robek-robek arena perang saudara, dan
begitu pula Kerajaan Turki, dan kami ingatkan hal itu dalam cetakan ke dua”.
keadaan kegoncangan yang terus menerus, ialah karena kehilangan
ketenteraman rohani dan keamanan harta-benda mereka.
Kemauan kelas yang berkuasa (ruling class) itu telah menye- lubungi
iradat (kehendak) rakyat banyak sedemikian rupa sehingga rakyat itu tak
obahnya seperti permainan boneka (robot) yang dapat dikendalikan semau-
maunya dari belakang layar sehingga orang yang melihatnya selintas-pandang
mengira, bahwa rakyat itu ceidas-cerdas. Dengan jalan demikian menjadi
hilang lenyaplah kemerdekaan pribadi, sehingga rakyat banyak itu mengira,
bahwa mereka tidak akan lahir kedunia kecuali untuk berchid- mat kepada
para pemimpin mereka yang demikian itu, mencukup- kan segala kemewahan
hidup mereka tak ubahnya seperti kuda pelajang bukit belaka.
Para pemimpin itu telah sesat, baik akidah-kepercaydannya maupun
dalam memperturutkan kehendak hawa nafsunya itu. Tetapi namun begitu
fikirannya masih menghendaki hal yang nista itu supaya terus berlangsung,
dan ia tak putus-putusnya dalam kekhawatiran kalau-kalau cahaya Nur Ilahi
yang melekat pada fithrah kejadian manusia dapat membukakan tirai untuk
menembus relung-relung hati yang gelap dan merobek-robek selu- bung yang
menutupi akal, sehingga kelak rakyat banyak terbuka matanya untuk
mencetuskan pemberontakan kepada kelas yang berkuasa yang sedikit
jumlahnya itu. Oleh karena itulah maka para raja-raja dan para
penguasaitusenantiasa dengan tidak pemah lengah sedikitpun untuk
menciptakan tabir asap kebimbangan serta meng- hidup-hidupkan

161
kebatilandantahyul-tahyulkhurafat yang berbagai
rupa;yakniagarsupayahalitudapat melekat pada akal rakyat umum dan karat
tahyul itu menjadi semakin tebal sehingga dengan begitu menutupi cahaya
fithrah kejadian manusia; dan akhimya sempur- nalah segala apa vane mereka
maui terhadap rakyat banyak itu se- hingga pembesar-pembesar itu berani
mengatakan, bahwa Agama adalah musuh akal. dan musuh segala hasil buah
fikiran (ilmu pengetahuan) kecuali apa yang merupakan tafsir bagi Kitab Suci
belaka. Dan begitulah pembesar-pembesar itu merupakan dewa- dewa yang
harus dipuja serta mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas..
Begitulah nasib ummat dalam pengetahuannya dan begitulah keadaan
penghidupan mereka; rakyat yang diperbudak lagi hina- dina, tenggelam
dalam lautan kejahilan yang gelap-gulita, kecuali mempunyai sedikit
pengetahuan yang klasik dan peraturan-peratui- an yang kuno yang
membelenggu fikiran dan merintangi bagi kemajuan disamping kurangnya
pengetahuan mereka tentang sejarah zaman silam.
Oleh karenanya, hal-hal yang gelap demikian itu menjadi memberontak
kepada pokok-pokok akidah agama dan begitu pula kepada cabang-
cabangnyayangmemutar-bahkican letaknya daritem- pat yang semula. Maka
yang kotor itu telah dipandang orang suci, kelobaan dianggap sebagai
kesederhanaan, dan kezaliman dinanti- kan sebagai keselamatan dan
perdamaian. Dan karena kekurangan penyelidikan terhadap faktor yang
menyebabkannya dan tidaK mendalami persoalan sejak dari mulanya,
datanglah vonisyang menghukum, bahwa semua keburukan-keburukan yang
demikian itu adalah bersumberkan Agama. Akibatnya timbullah kegoncang-
kan fikiran sehingga manusia telah menjadi kacau-balau dalam ea- ranya
berfikir, dan dalam memahamkan syari’at Agamanya sehingga timbullah
faham-faham kaum vrijdenker dan materialisme pada banyak bangsa-bangsa,
dari itu adalah merupakan bencana yang maha-hebat atas diri mereka
melebihi dari segala perkara yang tidak diingini selama ini.
Pada waktu zaman Jahilijah, bangsa Arab adalah merupaxan kabilah-
kabilah (suku-suku) yang terpecah-pecah yang senantiasa hidup dalam
persengketaan, dan memperturutkan keinginan hawa- nafsu. Dan adalah
menjadi kebanggaan bagi masing-masing kabilah membunuh saudara
perempuannya, menumpahkan darah kepala- kepala kabilah itu, merampas
wanitanya, merampok harta-benda- nya, yang semuanya itu dapat
menimbulkan huru-hara peperangan fliantara sesama mereka. Hal yang
seperti itu telah menjadi lum- rah, dan juga karena disebabkan kesalahan

162
kepercayaan (i’tikad) yang mereka anut.
Telah sampailah puncak kebodohan akal bangsa Arab dimana mereka
membuat berhalanya dari gula-gula (manisan), kemudian
mereka sembah-sembah. Maka tatkala mereka merasa lapar, mereka
makanlah itu. Dan telah sampai pula kemerosotan moral bangsa Arab itu
demikian rendahnya sampai-sampai mereka membunuh anak perempuan
kandungnya sendiri karena hendak menghilang- kan rasa ’aib dalam
hidupnya, atau untuk meringankan nafkah kehidupannya sehari-hari.
Telah sampai pula kekejian hidupmere- ka pada batas sedemikian rupa
sehingga mereka tidak mau meng- hargai nilai pentingnya hidup bersih
(terpelihara dari zina). Pendek kata, tali ikatan organisasi kemasyarakatan
itu telah terlepas satu sama lain pada segala bangsa, dan telah putus
hubungannya pada semua golongan.
Oleh karena demikian burukny a nasib ummat di kala.itu, maka
apakah bukan suatu rahmat Ilahi kepada mereka, bahwa Allah, mengatur
kehidupan mereka dengan mengutus seorang laki-laki dari jenis mereka
sendiri, seorang yang diwahyukan kepadanya Kerasulan dan yang diberikan
pertolongan dari pihakNya; dan yang diberiNya kekuatan dengan sesuatu
yang memungkinkan Rasul itu menyingkapkan tabir awan kegelapan itu
yang selama ini menye- lubungi kepala semua orang pada segala bangsa?!
3a, memanglah demikian dan ditanganNya juga terletak putusan segala
perkara pada sebelum dan sesudahnya.
Pada malam kedua belas ) Rabi’ul Awal bertepatan dengan tahun
Gajah dan sesuai dengan tanggal 20 April 571 dari kelahiran Al-Masih
’alaihissalam, dilahirkanlah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthalib
binHasyim Al-Quraisyi dikota Makkah.
Ia lahir sebagai anak yatim, karena ayahnya telah wafat lebih dahulu
sebelum ia dilahirkan, dan tidak meninggalkan harta-benda yang banyak
kecuali hanya lima ekor unta dan beberapa ekor yang betina, dan seorang
budak perempuan; dan ada riwayat yang mengatakan jauh lebih sedikit
dari itu. Dan pada waktu ia berusia enam tahun meninggal pula ibunya,
maka ia lantas diasuh atas
1) Inilah riwayat yang masyhur yang dipegang oleh orang banyak di waktu memperingati hari
Maulid Nabi s.a.w. dalam pidato-pidato dan resepsi-resepsi. Dan memang tanggal itu adalah
diantara beberapa pendapat, dan tetapi yang paling sah menurut kaum ahli Hadits, beliau di
lahirkan pada tanggal kesembilan Rabi’ulawal itu.
pemeliharaan neneknya Abdul Muthalib. Tetapi setelah dua tahun dibawah
asuhan beliau, wafat pulalah neneknya itu, yang lantas ia diasuh kemudian
163
oleh pamannya Abu Thalib. Abu Thalib adalah seorang yang berpengaruh
lagipun terhormat dikalangan kaum , Quraisy, tetapi ia hidup miskin
sehingga ia tidak mempunyai peng- hasilan yang cukup untuk mengasuh
keluarganya. Dan adalah keadaan Nabi s.a.w. dikalangan putera pamannya
dan putera kaum- nya tak ubahnya juga dengan anak putera bangsanya
yang lain yang ditinggalkan oleh kedua orang ibu-bapanya—, hidup dalam
keadaan miskin, tidak mendapat jaminan yang cukup memuaskan dari si
pemelihara sendiri; dan tak ada pula yang membantu untuk me- nuntun
budi-pekerti beliau seorang pembimbingpun. Beliau hidup ditengah
kalangan orang-orang jahiliyah, dikalangan kaum keluarga yang
menyembah berhala, teman-teman yang menyembah patung- patung dan
sahabat-sahabat dari anak-cucu penyembah berhalabelaka. Namun
disamping itu ia tetap tumbuh dan berkembang kearah kesempumaan badan
maupyn akal, budi dan adab sopan-santun, sehingga beliau terkenal
dikalangan penduduk Makkah-pada hal ia selagi masih anak muda sebagai
seorang Al-Amin (pemuda yang dipercaya). Memang suatu budi Ilahi yang
dididikkan oleh Tuhan yang belum pernah terjadi menurut adat, bahwa
seorang anak yatim lagipun miskin terutama dalam arti yang sesungguh-
sungguh- nya dapat mempunyai sifat yang mulia lagi utama.
Maka dibesarkan Muhammad s.a.w. sebagai manusia sempurna,
padahal kaumnya masih mempunyai peradaban yang bersahaja; ia
menjadi orang yang tinggi mutunya tetapi mereka masih jauh dibawah; ia
sebagai manusia yang meng-Esakan Allah dan mereka masih menyembah
berhala; suka hidup rukun, dan kaumnya dalam persengketaan 1); beliau
benar dalam kepercayaan (i’tikad) dan mereka masih ragu-ragu (sesat); ia
menjurus terus kepada kebaikan

1) Pengarang membuktikan hal ini di waktu memberikan kuliah, dengan suatU kisah percekcokan
antara kabilah-kabilah di waktu meletakkan hajar aswad (batu hitam) di waktu pembangunan
Ka’bah, sehingga hampir terjadi bunuh^membunuh* Dan kemudian mereka sepakat untuk
bertahkim kepada Muhammad karena amanah, benamya dan karena inginnya beliau
memperdamaikan kaumnya.

164
sedang mereka masih dalam kebodohan dan menjauhkan diri dari jalan
yang ditunjukkannya.
Menurut sunnah-kebiasaan yang berlaku, bahwa seorang anak yatim
yang mempunyai nasib seperti itu, wataknya akan dibentuk oleh pengaruh
apa yang dilihatnya semenjak kecil sampai tuanya. . Akalnya akan
terpengaruh oleh apa yang didengamya dari teman sepergaulannya dan
apalagi dari orang-orang yang menjadi kaum kerabat dan keluarganyai,
dan tak ada pula Guru yang akan mem- berinya ingat, dan tak ada kawan
yang akan menyokong cita-cita- nya. Maka andaikata perkara itu seperti
halnya berlaku menurut ukuran biasa, tentu mestilah Muhammad itu
dibesarkan menurut kepercayaan sebagai yang dianut oleh kaumnya itu
dan mempunyai pendirian seperti mereka itu pula; barulah kemudian
apabila usianya telah lanjut sedang masih ada kesempatan untuk berfikir,
ia maulah kembali menentang pendapat kaumnya itu yakni bila ia telah
melihat bukti yang menunjukkan kesesatan mereka itu sebagaimana yang
dilakukan oleh beberapa orang tertentu pada zaman- itu *)
Tetapi keadaan berjalan lain dari kebiasaan yang berlaku, bahkan
sejak selagi kecilnya Muhammad s.a.w. itu telah merasa bend kepada
paham menyembah berhala. Beliau amat cepat sekali sued akidahnya
sebagaimana lekasnya ia menganut budi pekerti yang baik.
Adapun mengenai bunyi ayat yang tersebut dalam Kitab Suci Al-Qur-
an (’’Allah menemukan engkau (Muhammad) dalam keadaan keliru, maka
lantas Ia tunjukkan jalan yang benar”), ti- / daklah dapat diartikan, bahwa
Muhammad itu pernah menganut paham menyembah berhala sebelum ia
diberi petunjuk kepada Tauhid (meng-Esakan Tuhan), dan tidak pula boleh
diartikan, bahwa beliau pemah melalui jalan yang tidak benar sebelum
diangkat menjadi Rasul. Maha Suci Allah, sesunggiihnya hal yang demikian
itu adalah suatu dusta yang nyata. Tetapi yang dimak- sud dalam ayat itu
adalah kegelisahan yang menggusarkan hati
1) Seperti Umayyah bin Abi Shalti dan Umar bin Naufal.
beliau sebagai galibnya pada diri orang yang ikhlas berjuang untuk
membebaskan ummatnya serta mencari jalan keluar untuk memim- pinnya
supaya lepas dari kehancuran, dan untuk memberi petunjuk kepada mereka
yang telah terlanjur melalui jalan yang sesat. Dan Allah telah memberi
petunjuk kepada NabiNya apa yang sangat dirasakan perlunya, yakni dengan
terpilihnya beliau sebagai Rasul, terpilih diantara makhluk Ilahi sebagai orang
yang akan menjalankan syari’at Allah dimuka bumi ini.
Beliau mempunyai sekadar harta yang dapat memenuhi kebutuhan
beliau (dan sebagai tambahan dalam belanja hidupnya sehari-hari beliau
mendapatkannya) dengan jalan membantu Sitti Khadijah dalam menjalankan
perusahaannya, dan apalagi setelah Khadijah meletakkan pilihannya kepada
beliau sebagai suami-jun- jungannya. Dan adalah keuntungan yang didapat
beliau berkat hasil cucur keringatnya menjalankan perusahaan Khadijah itu
merupakan suatu kekayaan baginya dan membawanya kepada kedudukan
yang tinggi di mata kaumnya. Tetapi beliau tidak terpengaruh oleh dunia dan
tidak pula silau oleh godaan-godaan harta kekayaan itu, dan tidak pula
menempuh jalan yang biasa dilalui kaum harta wan yang mempunyai
kedudukan seperti beliau itu dengan mempergunakan harta-benda itu untuk
kepentingan hawa nafsunya belaka. Bahkan manakala umumya telah
bertambah lanjut ber- tambah pulalah kebenciannya kepada perangai-
perangai jahat yang dilakukan oleh orang banyak diantara kaumnya itu, dan
sebaliknya ia lebih suka hidup menyendiri dialam bebas, memusatkan
konsentrasi iikirannya, mendekatkan diri kepada Tuhan, bersama- di dengan
munajat (berbisik, zikir) kepada Allah s.w.t. dan berdo’a secara langsung
kepadaNya dengan mengharapkan supaya ia diberikan jalan ke luar dari
kegelisahan yang amat besar untuk dapat melepaskan kaumnya dari keadaan
yang gelap-gulita itu; dan juga bermohon kepada Tuhan untuk
menyelamatkan ummat manusia seluruh dunia dari kehancuran yang
menimpanya. Demikianlah keadaan Muhammad s.a.w sampai kepada beliau
dibukakan Tuhan hijab (tirai) dari alam gaib yang disertai Ilham Ilahi
sehingga me- mancar kepadanya Nur Ilahi yang suci murni, dan aatang Kepada- nya
Wahyu dari Zat Yang Maha Tinggi yang untuk membahasnya panjang lebar
bukanlah di sini tempatnya.
Tidak ada seorangpun di antara keturunan nenek moyang beliau yarig
menjadi raja untuk dijadikan alasan baginya menuntut takhta kerajaan yang
hilang dari tangan keturunannya itu. Dan adalah keinginan hati kaum
familinya itu jauh sekali dari mencari pangkat hendak jadi Raja, tetapi
memandang cukup dengan keturunan yang terhormat yang ada pada mereka
yang telah dapat membawanya kepada pandangan yang terhormat diantara
kaumnya sebangsa. Sebagai bukti atas kebenaran keterangan itu adalah apa
yang' dilakukan oleh nenek beliau Abdul Muthalib diwaktu tentara Habsyi
datang untuk menodai bangsa Arab dengan jalan merubuhkan tempat
peribadatan mereka yang umum dan rumah mereka yang suci (Ka’bah, pen.)

166
tempat perlindungan orang- orang yang bersengketa di antara mereka, tempat
keramat dari tuhan-tuhan mereka (berhala-berhala), dan tempat yang
merupakan puncak kebanggaan kaum Quraisy bagi putera-putera mereka.
Pasukan pelopor tentara Habsyi itu telah maju menyerbu lebih dahulu
masuk kota sehingga ia melakukan perampokan sebanyak dua ratus ekor unta
kepunyaan Abdul Muthalib. Dan kemudian bersama-sama dengan beberapa
orang Quraisy, Abdul Muthalib keluar untuk menemui Raja Habsyi, yang
kemudian memintanya menghadap sambil menanyakan apa maksud keda-
tangannya. Maka beliau mendesak supaya dikembalikan untanya yang
dirampas tentara sebanyak dua ratus ekor itu. Raja Habsyi tu lantas
mencelanya dengan tuntutan yang bukan-bukan itu teruta- _ma disa’at
genting yang berbahaya. Celaan Raja itu dijawabnya dengan ucapan: ’’Saya
adalah tuhan (pembela) unta-unta itu, dan adapun Ka’bah Bait Allah itu ada
Tuhannya sendiri yang akan membelanya pula!’
Ini sebenamya adalah puncak toleransi—pada hal Abdul Muthalib
adalah orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dikalangan kaum
Quraisy. Maka dimanakah terletaknya kedudukan yang tinggi itu pada diri
Muhammad s.a.w. pada hal dirinya sendiri adalah seorang yang melarat dan
kedudukannya hanya
sederhana saja diantara kaum keluarganya sehingga ia akan mem-
butuhkan jadi Raja atau akan merebut kekuasaan? Beliau tidak
mempunyai harta-benda, tak ada pangkat, tak ada tentara, tak pu- nya
penyokong-penyokongnya, tak mempunyai kemahiran ber- sya’irdan
bukan pengarang yang kenamaan, dan bukan pula seorang orator
yangmasyhur;pendeknya tak ada pada diri Muhammad itu faktor yang
dapat menjadikannya berpengaruh pada hati orang banyak atau yang
dapat membawanya meningkat naik yang dapat menandingi kaum atasan
(elite).
Apakah gerangan yang menyebabkan dirinya lebih tinggi dari segala
pribadi ? Apakah yang menyebabkan martabatnya lebih tinggi dari semua
orang ? Apakah gerangan yang menyebabkan himmah cita-citanya lebih
tinggi dari segala cita-cita manusia yang mempunyai idea sehingga ia
sanggup memimpin bangsa-bang- sa dan mencerahkan bagi mereka langit
yang selama ini diliputimen- dung yanggelap, dan bahkan untuk
menghidupkan jiwa yang telah mati ? Tidak lain kecuali apa yang telah
dititipkan Allah ke dalam rongga hati sanubarinya sesuatu yang sangat

167
dibutuhkan oleh seluruh alam untuk membetulkan kepercayaan mereka
yang telah tergelincir selama ini, yang dapat memperbaiki akhlak dan adat-
kebiasaan mereka yang telah rusak-binasa, hal itu tidak lain ialah: Intuisi
(Wijdan)nya yang mendapat angin pertolongan langsung ' dari Tuhan
yangmembantunya dalam menunaikan tugasnya; Intuisi yang
mengantarkan kepada puncak cita-citanya sebelum ajalnya datang. Hal itu
sebenarnya tidak lain dari Wahyu Ilahi yang me- mancarkan nur (cahaya)
Tuhan kepada Muhammad s.a.w itu, yakni cahaya yang menyinari jalan
yang akan dilaluinya dan merupakan bukti yang sempuma bagi Kerasulan
beliau. Hal itu juga tidak lain dari suatu peijanjian langit (maha tinggi
lagipun suci, pen.) yang harus dibelanya mati-matian selaku panglima dan
prajurit secara pahlawan. Apakah Anda tidak perhatikan, bahwa setelah
wahyu itu memancar kepada diri Muhammad — betapa ia telah bangkit
maju melompat kedepan dengan sendiri tanpa kawan,
memanggil ummat manusia seluruhnya supaya meng-Esakan Ilahi
(Tauhid) dan percaya kepada Allah Yang Maha Agung, sedang semua
bangsa waktu itu telah terpecah-pecah kepada berbagai kelompok kaum
penyembah berhala (dewa-dewa), kaum material ismus dan Atheismus
?!
Terhadap kaum penyembah berhala (Heathen, Idolater) ia
menyerukan agar supaya meninggalkan berhalanya dan melempar- kan
patung-patung sembahan mereka itu, dan kepada kaum yang selama ini
mencampur-adukkan dengan menyerupakan saja an - tara Tuhan Yang
Suci dengan jasmani yang kotor ini: supaya mereka membersihkan
kembali i’tikadnya yang menyerupakan Tuhan dengan sesuatu itu
(Anthropomorphismus) ; dan kepada kaum yang menyembah Dua-
Tuhan (dualisme), seperti Tuhan kebajikan (Ahoera Mazda) dan Tuhan
Kejahatan (Aiera Mainyoe Ahriman) pada agama Zoroaster yang dianut
oleh bangsa Iran purba, (Pen), supaya mengabdi kepada Satu Allah
saja., Tuhan Yang Tunggal yang menguasai alam semesta serta
mengembalikan segala sesuatu yang wujud ini kepadaNya —; dan
kepada kaum Naturalismus diajaknya supaya mempeijauh tinjauan
pemandangan mereka kedepan sampai menembus kepada apa yang ada
dibalik tirai alam yang luas terbentang ini (Metapisika), agar mereka
dapat sinarpe- tunjuk tentang rahasia wujud yakni rahasia kejadian

168
alam ini —; dan golongan para pemimpin dipanggilnya dengan teriakan:
supaya merapatkan (mengintegrasikan) diri kepada barisan orang ramai
untuk mengajak mereka mengabdi kepada Kekuasaan Yang Satu yang
berhak disembah. Dialah yang menjadikan langit dan bumi, dan Yang
menggenggam roh-roh yang berada dalam badan mere - ka semua.
Beliau menginsafkan orang-orang yang mengaku sebagai V
perantara antara manusia dengan Khaliknya yang Agung, beliau berikan
penjelasan kepada mereka dengan dalil yang nyata dan membukakan hijab
yang menutup hati mereka dengan pertolongan sinar wahyu —; bahwa
perbandingan orang yang paling terhormat
diantara golongan yang mengaku sebagai perantara antara manusia
dengan Tuhannya itu di mata Allah sama saja dengan golongan yang
lebih rendah dikalangan mereka, dan beliau menuntut per- antara-
perantara itu supaya turun dari ’’takhta ketuhanan” yang dibikin-bikin
itu kepada anak tangga yang paling bawah dalam mengabdi kepada
Allah, dan kemudian bersama-sama dengan semua manusia meminta
pertolongan langsung kepada Tuhan Yang Satu, di mana semua orang
di dalam pandanganNya adalah sama, tidak ada kelebihan antara
seorang manusia dengan manusia yang lain, kecuali karenailmu
pengetahuan atau keutamaan budi pekerti- nya.
Beliau menoleh dengan nasihatnya kepada mereka yang menjadi
hamba dari tradisi-tradisi yang kolot dan yang dikungkung oleh
perbudakan taklid : agar semua mereka, dapat membebaskan jiwa
mereka dari kungkungan perbudakan itu, dan melepaskan beienggu
yang mengikat tangan mereka selama ini dari beramal dan yang
memaksa mereka supaya hidup tanpa cita-cita.
Beliau memandang pula kepada para pembaca kitab-kitab suci yang
datang dari langit, dan kepada mereka yang bertugas menyampaikan
kandungan isi Kitab itu yang berupa syari’at-syari‘at Ilahi. Beliau
mengetok mereka yang karena kebodohannya hanya terbatas kepada
mempermahir membaca huruf Kitab suci itu saja tanpa mengerti dan
mengairialkan isinya, dan mengeritik pula kepada orang yang semaunya
saja memutar-mutar ayat Kitab Suci itu kepada apa yang lain sama sekalf
dari tujuan maksud lafazhnya. Beliau mengajak mereka untuk
memahamkan (merenungkan) isi y* ayat Kitab Suci itu dan meneliti rahasia
ilmu yang terkandung di- dalamnya sehingga mereka semua betul-betul

169
berada dalam sinar yang datang dari Tuhan mereka.
Kemudian beliau mengajak manusia itu supaya menolehkan
pandangannya kepada kurnia-kumia Ilahi yang ada pada manusia itu,
dan semua orang baik laki-laki maupun wanita baik rakyat umum
maupun golongan atas beliau seru supaya menukikkan pandangannya
menekur kepada dirinya sendiri supaya mengenali- nya; dan bahwa
mereka adalah jenis makhluk yang khusus diberi
akal oleh Allah, dan berfikir adalah suatu ciri yang dikhususkan Tuhan
kepada manusia itu. Dan dengan akal dan fikiran itu Tuhan menjadikan
manusia sebagai makhluk yang terhormat dan pula dengan kebebasan
kemauan (iradat, free will) untuk melakukan perbuatan yang ditunjukkan oleh
akal dan fikirannya itu. Bahwa Allah mendatangkan segala apa yang ada
dihadapan mata mereka berupa kejadian-kejadian alam raya, dan Allah
mempersilakan untuk memahaminya dan menggali manfa’at yang ada pada
alam itu tanpa mengemukakah syarat dan sesuatu ikatan apapun kecua- li
supaya berlaku sederhana dan berdiri pada norma-norma aturan keadilan
budi-pekerti yang utama ; dan bahwa Allah telah menen - tukan, bahwa
dengan mempergunakan akal dan fikirannya, manusia itu akan sanggup
mengenal Khaliknya tanpa adanya seorang per- antara juapun, kecuali orang
(Rasul) yang dikhususkan Allah menerima wahyu-Nya, dimana Tuhan telah
menyerahkan kepada para Rasul itu untuk menerangkan kepada manusia
dengan bukti sebagaimana mereka menerangkan tentang Zat Yang Maha
Menjadikan selalu alam ini. Sedang hajat-kebutuhan kepada para Rasul
pilihan Ilahi itu dalam hal ini hanyalah untuk dapat mengetahui sifat-sifat
Tuhan yang diizinkan oleh Allah untuk mengetahuinya, dan bukan tentang
soal i’tikad berkenaan dengan wujud (hakikat Zat) Allah —; dan Allah
menetapkan, bahwa tak seorangpun yang berhak menguasai orang lain kecuali
menurut apa yang telah di- gariskan oleh syari’at dan peraturan yang adil.
Kemudian setelah itu manusia boleh beijalan menurut iradat kemauannya
untuk melakukan apa yang menjadi kesanggupannya sesuai dengan ke-
hendak fithrah kejadiannya.
Ia (Rasul) mengajak manusia untuk mengetahui, bahwa dirinya adalah
terdiri dari badan dan roh, dan dengan demikian manusia itu terdiri dari dua
alam yang berlain-lainan sekalipun keduanya bercampur satu dengan yang
lain, dan bahwa manusia itu dituntut semua supaya menghormati kedua badan
dan roh itu, dan mencukupkan segala apa yang menjadi hak kebutuhan kedua-

170
nya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh kebenaran hikmat Ilahi.
, Beliau menyeru ummat manusia seluruhnya supaya melakukan persiapan
dalam hidup di dunia ini untuk perbekalan dalam menemui hidup dihari
Akhirat nanti, dan dijelaskan kepada mereka itu, bahwa sebaik-baik
perbekalan yang akan dibawa oleh setiap orang yang beramal adalah ikhlas
mengabdi karena Allah semata- mata dalam urusan ibadat, dan ikhlas (jujur)
terhadap sesama manusia dalam meriegakkan keadilan, memberi nasihat dan
dalam memberikan pimpinan.
Beliau beijuang menjalankan da’wah-penerangan raksasa itu dengan
sendirinya belaka, dan tak ada daya dan kekuatan bagi beliau, sedang manusia
ketika itu masih cinta kepada tradisiyang mereka temui selama ini sekalipun
hal. itu sebenarnya merugikan mereka baik dunia maupun akhirat. Mereka
menganggap musuh kepada sesuatu yang baru yang tidak mereka kenal selama
ini sekalipun sebenarnya hal itu memberikan kesenangan hidup dan
kehormatan serta merupakan puncak kebahagiaan bagi mereka. Semua tugas
itu beliau jalankan dengan penuh kesungguhan sedang kaumnya masih saja
memusuhi diri mereka semjiri dan menjadi budak hawa nafsunya ; tidak
mengerti da’wah-penerangan yang beliau bawa, dan ti.dak paham akan
Risalah beliau. Sementara itu pendapat umum telah dipengaruhi sedemikian
rupa oleh apa yang menjadi kemauan dari pihak yang berkuasa, sedangkan
otak orang- orang yang berkuasa itu sendiri telah diselubungi oleh penyakit
godaan gila hormat daripada memikirkan jeritan rakyat^ang fakir seperti diri
beliau lagi pula bodoh itu,di samping rakyat yang miskin itu tidak melihat
adanya posisi yang kuat yang dapat men- dorong mereka untuk memberikan
nasihat kepada para pembesar yang jelek itu dan tidak pula berani menantang
mereka dengan celaan dan perlawanan oposisi yang radikal.
Tetapi beliau (Muhammad s.a.w.) walaupun dalam keadaan miskin dan
posisi yang lemah tetap terus-menerus menantang mereka dengan hujjah yang
kuat dan melawan mereka dengan bikti yang nyata, memberikan mereka
nasihat yang berguna disamping memperingati mereka dengan an cam an yaiig
mengejutkan, membangkitkan perhatian mereka dengan contoh-contoh per-
bandingan, dan terus mengepung dan menghujani mereka dengan pelajaran-
pelajaran yang baik, yang seolah-olah beliau seorang Raja yang gagah perkasa
dalam menjalankan hukum, adil dalam pelaksa- naan perintah dan
larangannya, atau penaka seorang ayah yang bijaksana dalam mendidik
putera-puteranya, yang sangat meng- harapkan supaya anak-anaknya itu

171
menjadi orang yang berguna, santun kepada mereka dalam waktu kesukaran
dan sayang dalam waktu berada.
Kekuatan apakah ini yang tersembunyi dibalik kelemahan yang
demikian itu? Kekuasaan apakah yang disangka lemah tidak bergaya itu?
Ilmu apakah gerangan ini yang berada dibalik kebodoh- an itu? Kemajuan
apakah ini yang berada dalam kegelapan zaman jahiliyah? Tidak lain kecuali
ia adalah suatu titah Ilahi yang Maha Kuasa terhadap sekalian alam, di
manarahmatdanpengetahuanNya meliputi bagi segala sesuatu. Demikian itu
adalah perintah Allah yang memberikan keputusan, yang mengetok telinga,
merobek tirai dan menyingkirkan dinding perintang, dan kemudian me-
nyusup ke dalam hati sanubari dengan perantaraan lisan orang yang
dipilihNya itu. Dan Allah menentukan hal itu ke atas pundak beliau sedangkan
ia (Muhammad) adalah orang yang paling lemah di antara kaumnya; agar
dengan ketentuan yang demikian itu menjadikan suatu bukti yang nyata serta
jauh dari prasangka terhadap kebenaran yang dibawa beliau, bebas dari
tuduhan yang bukan- bukan, karena perintah itu datangnya bukan kepada
manusia biasa diantara makhlukNya.
Apakah ada bukti yang lebih agung dari ini? Seorang yang ummi (buta
huruf) tegak memanggil para pengarang supaya me- mahami apa-apa yang
mereka tulis dan mereka baca, seorang yang jauh dari mendengarkan kuliah
ilmu-pengetahuan, berteriak kepada para alim-ulama (saijana-saijana) supaya
mengadakan research (penelitian saksama) terhadap ilmu-pengetahuan
mereka. Seorang yang jauh dari sumber mata air ilmu tetapi tampil dengan
berse- mangat untuk memberi pengertian kepada kaum cendekiawan.
Seorang yang dilahirkan ditengah-tengah kaum yang penuh dengan khurafat,
tetapi sanggup membetulkan paham kaum filosof yang keliru. Seorang yang
hidup ditengah bangsa yang masih dapat dikatakan primitif yang jauh dari
kemajuan, jauh dari kesanggupan untuk memahami rahasia susunan kejadian
alam ini dan apa lagi untuk memandang kepada Undang-undang alam yang
indah me- ngagumkan itu—tetapi sanggup dan miampu mengatakan dengan
pasti. bahwa bagi seluruh alam ini ada suatu ketentuan peraturan yang tetap.
Dan ia memberikan khittah (garis) yang menuju kepada jalan bahagia, jalan
yang pasti tidak akan celaka siapa yang melaliiinya, dan sebaliknya tidak akan
selamat siapa yang meninggalkan jalan itu.
Kata-kata apakah ini yang mempesonakan, yang tidak bisa didebat lagi?
Dalil-dalil apakah itu gerangan yang menyebabkan mulut terkunci tak bisa

172
bicara? Apakah saya harus berkata, bahwa ini bukan manusia, tetapi adalah
seorang Malaikat yang mulia? Tidak, saya tidak akan berkata demikian, tetapi
saya harus berkata seperti apa yang diperintahkan Allah untuk menyipatkan
diri orang itu: Ia tidak lain kecuali manusia seperti kamu semua juga, tetapi
bedanya terletak, bahwa kepadanya diberikan wahyu. la adalah seorang
diantara Nabi-Nabi yang benar, tetapi tidak puas dengan menyatakan
Kerasulannya itu kalau hanya dengan menggu- nakan mu’jizat yang
mempesonakan pandangan mata, atau menga- gumkan pancaindera, atau
yang mendahsyatkan ingatan-ingatan. Tetapi ia menuntut supaya semua
kekuatan bekerja dalam bidang- nya masing-masing, dan ia menentukan akal
supaya dijadikan ob- jek sasaran menghadapkan kata-kata untuk memikirkan
segala sesuatu yang berupa perintah ataupun larangan, disamping akal itu
sendiri kadang-kadang salah dan benar. Dan beliau menjadikan dalam
kekuatan pengaruh kata-katanya, dalam retorika bahasa- nya yang teratur
indah (balaghah) dan bukti-bukti yang benar, terletak puncak hujjah yang
memberikan keputusart, dan demikian- lah tanda kebenarannya. ’’Kebenaran
yang tidak akan bisa di- hinggapi oleh kebatilan, baik -yang datang dari muka
maupun
dari belakang.. Memang kebenaran yang dibawa Rasul itu adalah datang
dari pihak Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” 1)

173
1) Surat Fushshilat 142.
A L - Q U R A N
Telah datang kepada kita suatu berita yang mutawatir yang tidak
bisa diragukan lagi keb^narannya, bahwa Nabi Muhammad s.a.w.
dibesarkan sebagai seorang ummi sebagaimana telah kami sebutkan
tadi. Dan telah pula merupakan suatu berita yang mutawatir bagi
seluruh bangsa-bangsa di dunia, bahwa beliau datang membawa suatu
Kitab Suci yang dikatakan diturunkan kepada beliau, bahwa Kitab itu
adalah Al- Qur-an yang dituliskan dalam mushaf-mushaf yang
terpelihara dalam. dada semua orang Islam yang mementingkan untuk
menghafalnya sampai dewasa ini. /
Al-Qur-an adalah Kitab yang mengandung berita bangsa- bangsa
yang telah silam yang dapat dijadikan contoh perban- dingan bagi ummat
yang hidup sekarang dan yang akan datang; •memuat berita pilihan yang
dipastikan kebenarannya, dan ^ sebaliknya menghilangkan yang batil-
batil yang bercampur-aduk dengan bermacam-macam khurafat, tegasnya
memilih berita- berita yang berguna untuk dijadikan teladan
perbandingan.
Al-Qur-an menceritakan hikayat para Nabi yang dikehendaki oleh
Allah untuk mengisahkannya kepada kita tentang riwayat hidup
perjuangan mereka, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi antara
mereka dengan ummatnya, dan Allah membersihkan para Nabi itu dari
tuduhan orang-orang, yang kemudian menjadi percaya juga kepada
Kerasulan mereka.
Al-Qur-an mencela para alim-ulama :dari segala agama atas
perbuatan gerak-gerik mereka yang merusakkan sendiri kepercayaan
mereka itu, dan mempercampur-adukkan hukum-hukum agama
mereka, perbuatan mereka yang memutar-balikkan Kitab-Kitab Suci
dengan takwil yang telah jauh menyimpang. Dan Al-Qur-an
mensyari’atkan kepada manusia hukum-hukum yang sangat cocok dengan
kemaslahatan kehidupan mereka, hukum yang telah terbukti faidahnya bila
dipraktekkan dan dipelihara baik-baik. Hukum yang menegakkan keadilan
dan rhengatur masyarakat pergaulan manusia selama oraing berhenti pada
batas yang telah ditentukannya. Kemudian besarlah - bahayanya (risiko)
dalam menghampakan dan berpaling daripadanya, atau menjauhkan diri
dari roh yang dikandung Al-Qur-an itu, Oleh karenanya maka Kitab Suci
Al-Qur-an itu mengungguli segala Undang-undang peraturan yang dibikin

174
oleh manusia (secular) sebagaimana jelas diakui sendiri oleh para
penyelidik perundang-undangan bangsa- bangsa. Kemudian setelah itu, ia
datang dengan hikmat dan pengajaran-pengajaran yang berguna, dan
tuntunan budi-pekerti (kebu'dayaan) yang mengkhusyu’-kan kalbu dan
menggerakkan akal untuk menerimanya serta didorong di belakangnya
oleh himmah yang kuat untuk mencapai jalan yang menuju kebahagiaan
ummat, berupa kemenangan yang dekat.
Al-Qur-an diturunkan Tuhan pada suatu zaman yang telah sepakat
ahli riwayat mengatakan dan telah merupakan berita yang mutawatir,
bahwa zaman itu adalah merupakan puncak kemajuan bangsa Arab dalam
bidang bahasa dan banyak sekali menelorkan angkatan-baru yang fusahat.
Dan zaman itu adalah merupakan ciri yang membedakannya dengan segala
kemajuan yang pernah dicapai oleh mereka, yakni karena banyaknya
muncul para pujangga (sasterawan) dan pahlawan-pahlawan mim- bar
yang ahli pidato. Dan yang paling jago dalam pandangan bangsa Arab
waktu itu, ialah orang yang paling pintar mengeluarkan buah fikirannya
sebagai tanda kecerdasan, yakni : keunggulan dalam memilih kata-kata dan
cepat meresapnya ke dalam hati serta logis menurut akal. Tentang
bagaimana mereka mau habis- habisan berkorban mengeluarkan harta-
bendanya untuk berme- gah-megah dalam perlombaan itu, rasanya tidak
perlu diterangkan panjang -lebar di sini.
Telah mutawatir berita seperti demikian itu, bahwa bangsa Arab itu
telah bernafsu sekali untuk menantang Nabi s.a.w.
dan mereka berusaha mencapai berbagai jalan, dekat maupun jauh untuk
dapat memhatalkannya dalam segala berita yang datang dari pada Allah,
dan semua itu mereka lakukan dengan segala daya-upaya yang ada pada
mereka.
Untuk itu mereka mempunyai banyak Raja di mana takhta- nya yang
tinggi itu dapat mereka pergunakan untuk mela- wan Nabi. Mereka
mempunyai para pembesar yang kekuasaan mereka dapat dipakai untuk
merintangi Nabi. Mereka mempunyai ahli-ahli pidato (orator-orator),
pujangga-pujangga dan penulis- penulis yang kesemuanya itu
menggerenyutkan hidungnya mem- bangkang kepada Nabi. Dan memang
kesemua mereka itu telah keterlaluan sekali dalam pendurhakaannya
sedemikian rupadan telah mengerahkan segenap kekuatannya. Semua itu
tidak lain karena sifat angkuh yang tidak mau tunduk kepada ajaran beliau
dan karena hendak terus berpegang kepada agama-agama tradi- si leluhur
mereka yang sudah kolot, serta menjaga akidah-akidah mereka dan
leluhurnya yang sesat itu.

175
Dalam keadaan suasana yang demikianlah Nabi Muhammad s.a.w
bangkit menyatakan kekeliruan buah fikiran bangsa Arab itu dan
membodohkan segala impian pengelamunan mereka, serta memandang
rendah kepada patung-patung berhala yang mereka sembah; dan di
samping itu beliau mengajak kepada jalan baru apa yang masih asing bagi
mereka selama ini, dan belum ada suatu benderapun yang mereka lihat
berkibar di angkasa seperti yang dikibarkan Nabi itu. Dan tak ada sama
sekali hujjah bagi beliau untuk menjawab tantangan yang dah- syat itu
kecuali : mendesak mereka supaya dapat mengemukakan sesuatu yang bisa
menyerupai sebuah Surat yang terpendek yang dikandung oleh Kitab Al-
Qur-an, ataupun kalau sanggup sepuluh Surat seperti yang dikandung oleh
Al-Qur-an itu. Sekalipun katanya sanggup untuk menghimpun segala alim-
ulama, ahli-ahli sastera dan ahli-ahli balaghah (orator-orator) menurut
kemauan hati mereka untuk dapat mematahkan hujjah beliau serta mem-
bungkemkan beliau sendiri —, tetapi nyatanya mereka tidak sanggup
berbuat demikian.
Telah sampai pula kepada kita kabar mutawatir, bahwa karena
panjangnya masa perlawanan bangsa Arab itu serta lama- nya dendam-
khasumat yang agresip sekali, namun akhimya mereka menjadi lemah
dan kembali dengan menderita kerugian, dan karenanya Kitab Suci Al-
Qur-an itu muncul sebagai kalimah yang Agung yang mengungguli
segala kalimah apapun, dan hukumnya yang tinggi itu telah menjadi
hukum atas segala hukum yang ada. Apakah munculnya Kitab yang
seperti ini yang disampaikan oleh lisan seorang yang ummi (tak
mengerti tulis-baca) bukan suatu mu’jizat yang paling besar dan dalil
bukti yang paling nyata, bahwa ia bukan lahir dari hasil ciptaan
manusia ? dan tetapi ia adalah suatu nur cahaya yang memancar dari
matahari ilmu Ilahi dan hukum yang datang dari hadhirat Rabbani
yang disalurkan dengan perantaraan lisan seorang Rasul yang ummi
s.a.w. ?!
Begitulah, dan telah tersebut dalam Kitab Suci itu beberapa berita
tentang hal yang gaib yang dapat dibuktikan kebenarannya oleh
kejadian peristiwa dunia seperti berita dalam firmanNya (30 : 2).
’’Telah dikalahkan bangsa Rum dalam daerah bumi yang dekat; dan
mereka setelah menderita kekalahan itu beberapa tahun kemudian
akan menjadi pemenang kembali” Dan seperti berita yang mengandung
janji harapan, disebutkan dalam firmanNya (24 : 55). ’’Allah telah
menjanjikan kepada mereka yang percaya (beriman) di antara kamu
dan mereka yang suka melakukan amal kebajikan, bahwa mereka akan

176
memegang kekuasaan di muka bumi ini sebagaimana telah berkuasa
orang-orang yang sebelum mereka”. (Al-Qur-an, Nur : 55). Semuanya
itu telah terbukti kebenarannya. Memang dalam Al-Qur-an banyak
sekali contoh- contoh ayat yang menerangkan kegaiban seperti ini yang
dapat ditemui oleh siapa yang teliti membacanya.
Dan di antara berita gaib yang tersebut dalam Al-Qur-an, ialah
berita yang menyebutkan tantangan orang Arab kepada Kitab Suci itu
sendiri, dan akhirnya kaum beliau itu mundur teratur setelah tantangan
mereka itu dijawab oleh Nabi yang meminta mereka supaya
mendatangkan sebuah surat yang da- pat menandingi Al-Qur-an itu.
Pada hal sebagaimana dimaklumi, bahwa negeri Arabia itu adalah suatu
negeri yang luas dan penduduknya banyak terdiri dari orang-orang yang
ahli bahasa dan letaknya beijauhan satu sama lainnya, sedang
penerangan da’wah Nabi hanya dapat tersiar dengan perantaraan lisan
para delegasi yang berkunjung menemui Nabi ke Makkah yang datang
dari berbagai jurusan tanah Arab itu. Di samping itu Nabi sendiri belum
pernah datang mengembara ke sekeliling tanah Arab dan belum pula
pernah berkenalan dengan tokoh-tokoh terke- muka mereka, padahal
kekurangan ilmu dalam hal ini biasanya merupakan suatu handicap
(rintangan) untuk dapat mengetahui rahasia kekuatan yang tersimpan
dalam batin bangsa yang besar seperti halnya dengan bangsa Arab itu.
Maka jelaslah bahwa jawaban terhadap tantangan bangsa Arab yang
diberikan oleh Nabi itu, yang menyebabkan mereka tidak sanggup untuk
mengemukakan satu Surat seperti halnya dengan apa yang diba^a oleh
beliau (Al-Qur-an) —, teranglah bahwa jawaban itu pada hakikat- nya
bukanlah datang dari kekuatan manusia sendiri (Muhammad s.a.w.
pen). Karena sulit diterima akal, bahwa perlawanan yang maharaksasa
dari bangsa yang paling keras itu (Arab) akan bisa dihadapi oleh
seorang diri beliau saja, sebab perimbangan ke kuatan tidak
mengizinkan dan tidak memenuhi syarat. Dan di samping itu terdapat
dugaan yang keras di kalangan orang yang mempergunakan akalnya,
bahwa dunia ini tentu tidak sunyi dari orang yang mempunyai kekuatan
yang sama dengan beliau. i)
(1) Diberitakan, bahwa sebagian dari penganjur-penganjur agama yang telah sesat di negeri
Persia dan India telah mengadakan tantangan pula seperti ini dalam beberapa tulisan mereka
guna menetapkan dakwanya yang mengaku, bahwa mereka diberi wahyu oleh Ilahi. Dan belum
kami dengar di sana orang-orang yang tampil membantah pengakuan mereka yang sesat
itu. Dan baiklah kami berikan jawaban sekedarnya, bahwa mereka itu sebenarnya
bukanlah terdiri dari kaum ahli fikir, tetapi bahkan termasuk golongan mereka yang
mengacaukan fikiran orang banyak (seperti halnya dengan kaum Qadiani Masih AJ-Hindi

177
Ad-Dajjal). Dan adalah pelajaran-pelajaran yang mereka propagandakan itu lebih dekat
kepada pembicaraan hampa belaka. Dan tidak perlu pula rasanya bagi orang yang berakal
untuk melayani orang-orang gjla, dan tidak -wajar bagi orang yang bijaksana untuk
mengiakan dongeng-dongeng yang tidak masuk
Dari itu nyatalah, bahwa jawaban terhadap tantangan bangsa Arab itu
sebenarnya datang dari Allah yang Maha Kiiasa, Dialah yang sebenarnya
berbicara. Dialah yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Dialah yang
berkata yang disampaikan dengan perantaraan lisan Muhammad s.a.w.
itu. Ilmu-Nyalah yang tahu bahwa ^segala kekuatan akan menjadi lemah
untuk menandingi Al-Qur-an itu dan segala apa yang disampaikan oleh
Muhammad s.a.w. kepada mereka itu.
Tentu ada orang yang masih ragu yang berkata : ’’Bahwa faktor Al-
Qur-an itu mengandung unsur mu’jizat yang dapat mengalahkan
penantangnya, bukan merupakan alasan yang kuat. Karena faktor yang
demikian itu hanya bisa membungkemkan dan memaksa lawan menyerah.
Memang la wan itu kadang-kadang terpaksa menyerah-kalah, sehingga
mulutnya terkunci dan tak sanggup memberikan jawab sehingga ia
diharuskan menerima hujjah. Tetapi cara demikian itu tidak dapat untuk
menundukkan orang lain. Maka mungkin juga dengan cara yang seperti
itu sebenarnya dia tidak menyerah sehingga dalil itu tidak bisa
mematahkan atau membungkemkannya, bahkan juga mungkin ia
mendapat jalan untuk membatalkan hujjah itu dalam masa jangka waktu
yang lebih dekat!’
Begitulah bunyi ucapan keraguan, yang kelak akan sirna dengan
sendirinya sebagaimana keterangan yang telah kami ke- mukakan di atas
tadi. Karena tidak dapat disamakan saja antara ’’mu’jizat Al-Qur-an”
dengan ’’dalil yang bisa mematahkan lawan” walaupun dalam keduanya
itu terdapat unsur yang sama yang

akal dari orang-orang yang sakit. Memang orang-orang yang seperti itu banyak muncul di
negeri ini dan di tempat-tempat lain, tetapi mereka tidak dipe dulikan orang. Tetapi diantara
mereka ada yang beruntung - mendapatkan pasaiannya di negeri-negeri ajam (di luar negeri-
negeri Arab). Tetapi di samping itu ada pula yang mengatakan, bahwa jawaban tantangan
yang mereka berikan itu tidak sama dengan yang diberikan oleh Nabi, tetapi hanya seperti
yang dikemukakan oleh kaum pujangga dan sastrawan belaka seperti yang dikemukakan
oleh Syekh Akhmad Fans dalam bukunya ”As-Saq ’alas Saq”.
dapat melemahkan lawan, tetapi namun pasti ada perbedaan di antara
keduanya, serta jauhnya perbedaan tentang cara peng- ambilan dalil. Maka
mu’jizat Al-Qur-an adalah suatu dalil yang dapat dibuktikan dengan
lemahnya kekuatan manusia untuk menandinginya dalam hal balaghahnya.

178
Kami sebut ’’kekuatan manusia” ialah, karena Qur-an itu datang dengan
bahasa lisan bangsa Arab dan Kitab Suci itu dikenal oleh semua orang.
Arab dalam masa Kenabian, dan sebagaimana apa yang telah kami
sebutkan, bahwa zaman itu adalah merupakan puncak zaman
kesusasteraan Arab berkembang, dan begitupun telah dijelaskan
pendurhakaan bangsa itu kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang sedemikian
rupa. Tetapi namun demikian bangsa Arab itu tidak bisa untuk
mengalahkan Al-Qur-an walaupun setelah memeras otaknya sekuat-daya
upaya mereka. Oleh sebab itu tidak masuk akal, bahwa orang-orang Persia
ataupun India ataupun bangsa Rumawi akan sanggup mengatasi
keunggulan balaghah Arab dalam bidang kesusasteraan Arab untuk
menandingi Al-Quran yang bangsa Arab sendiri tidak sanggup
menghadapinya. Pendek- nya seluruh kekuatan menjadi sia-sia untuk
menghadapinya. Dengan bersamaannya tempat kelahiran dan pendidikan
Nabi dengan mereka itu, dan bahkan banyak di antara bangsa Arab itu
yang ilmu dan pendidikannya lebih tinggi dari Nabi sendiri, adalah suatu
dalil-bukti yang nyata lagi meyakinkan, bahwa Kalam Al-Qur-an itu tidak
lahir dari dada manusia seperti yang biasa diucapkan orang. Tetapi ia
khusus diberikan Allah kepada orang yang bertugas menyampaikan Al-
Qur-an itu dengan lisannya yang suci (Nabi Muhammad s.a.w. pea).
Kemudian apa yang tersebut dalam Al-Qur-an yang berupa kata
putus mengatakan, bahwa manusia itu pasti tidak sanggup menandingi Al-
Qur-an, dan bahwa Al-Qur-an itu mampu meng- hadapi semua tantangan
kekuatan yang dihadapkan mereka kepadanya —, adalah menunjukkan,
bahwa yang mengucapkannya itu percaya kepada dirinya sendiri setelah
mendapat pengalaman yang lama serta berbagai corak-ragamnya
penderitaan yang di- hadapinya yang tidak mungkin orang lain bisa
berbuat demikian

179
sampai ajalnya datang —; semua itu menjadi bukti, bahwa Yang Berbicara
itu pada hakikatnya tidak lain dari Zat Yang Maha Mengetahui alam gaib
f maupun alam yang nyata, bukan orang yang datang memberi pelajaran
dan nasihat secara biasa saja.
Maka telah menjadi ketetapan dengan datangnya mu’jizat yang maha
besar ini, dan telah ditunjukkan dalilnya oleh Kitab Suci yang Abadi ini,
Kitab yang tidak bisa mengalami perubahan dan tidak pula bisa diganti
(walaupun zaman dan suasana berubah-ubah, pen) —, bahwa Nabi kita
Muhammad s.a.w. ada - lah seorang Rasul utusan Allah kepada segenap
makhlukNya. Karenanya, wajiblah membenarkan Risalah Kerasulannya itu
dan mempercayai segala apa yang dibawa oleh Kitab Suci yang diturunkan
kepadanya itu serta mengambil segala apa yang di- tetapkan oleh Kitab itu
sebagai pedoman dan sunnah yang diikut. Dan telah dijelaskan dalam Kitab
Suci itu, bahwa Nabi Muhammad adalah penutup segala para Nabi, maka
oleh sebab itu wajiblah kita iman (percaya) kepada keterangan Kitab Suci
yang demikian itu.
Tinggal lagi satu persoalan yang penting yang menjadi tugas kami,
ialah menguraikan fungsi Agama Islam dan apa yang bersangkut-paut
dengan Agama itu secara singkat.
Dan menerangkan betapa cepatnya tersebar da’wahnya yang terkenal
itu, serta menerangkan apa yang menjadi rahasianya Nabi Muhammad
s.a.w. itu dijadikan sebagai Rasul Tuhan yang terakhir — mudah-mudahan
Allah memberi selawat kepadanya dan kepada seluruh para Rasul!

180
XV
AGAMA ISLAM

Islam ialah Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan
dipelihara serta dipahamkan dengan rapi dan teliti sekali oleh para
sahabat beliau dan orang-orang yang hidup pada zaman sahabat itu. Dan
Agama itu telah dipraktekkan di antara mereka demikian lamanya tanpa
sengketa, tidak me- nyimpang kepada takwil dan tidak memerlukan
adanya go- longan-golongan sekte (mazhab). Saya akan membahasnya se-
cara ringkas dalam bab ini yang cocok dengan keterangan Kitab Al-Quran
yang mulia, di samping menyerahkan kepada kaum cendekiawan yang ahli
dalam hal ini untuk menerangkan dengan panjang lebar. Dan tak ada
sandaran saya dalam uraian saya nanti kecuali Kitab Suci Al-Quran dan
Sunnah Rasul serta petunjuk kaum cerdik-pandai.
Agama Islam datang dengan kepercayaan Tauhid, meng- Esakan
Allah s.w.t. (unity of God) dalam Zat-Nya dan per- buatan-perbuatan-Nya
serta bersihNya dari serupa dengan segala makhluk. Islam mengemukakan
dalil-dalil, bahwa alam ini mempunyai Tuhan Khalik yang satu lagi
mempunyai sifat-sifat utama yang dibuktikan oleh bekas-bekas karya-
ciptaanNya, yaitu: sifat- sifat Ilmu (Mengetahui), Kodrat, Iradat dan lain-
lain. Dan bahwa tidak satupun di antara makhlukNya yang
menyerupaiNya, dan bahwa tak ada nishah antaraNya dengan para
makhluk itu kecuali, bahwa Dialah yang mewujudkan (menciptakan)
mereka itu; dan bahwa mereka itu adalah milikNya dan kepadaNya
mereka semua akan kembali.

"Katakanlah! Dia (Allah) adalah Tunggal Allah itu Pemurah. Ia tidak


beranak dan tidak pula dianakkan dan tak ada seorang- pun yang menyamai-
Nya” (Q.S. 112, Al-Ikhlas 1—4).
Adapun tentang lafazh-lafazh yang tersebut dalam Al-Quran itu
seperti: wajah (muka), dua tangan, bersila (istiwa’), dan lain- lain, adalah
mempunyai arti tersendiri di kalangan orang Arab kepada siapa Kitab Al-
Quran itu pertama kali dihadapkan, dan mereka tidaklah serampangan
mempergunakan kata-kata itu. Bahwa Zat Allah dan sifat-sifatNya
mustahil untuk menyatakan diri ke dalam jasad atau roh seseorangpun di
antara penduduk alam ini (Pantheismus1). Hanya Allah s.w.t.
merigkhususkan

181
J Pantheismus (Wihdatul Wujud, kesatuan Wujud Tuhan dengan alam). Paham kepercayaan ini
bertentangan dengan Islam maupun dengan Kristen atau Yahudi. Pantheismus berasal dari kata
Yunani. Pan, berarti: seluruh atau semua; dan Theos, berarti: Tuhan. Segala-galanya adalah
penjelmaan dan perwujudan zat Tuhan. Menurut ajaran ini, bahwa Tuhan terdapat dalam setiap benda
di alam ini bagaikan Aether yang menyelinap di mana-mana (God is everything and everything God).
Jadi menurut Pantheismus, bahwa Tuhan Allah itu bukanlah suatu zat yang tersendiri wujudnya, yang
bertentangan dengan segala alam yang baharu ini, tetapi sebaliknya.
Spinoza, seorang Belanda-Yahudi (16-32-1677 M) adalah tokoh filosof besar yang
menganut dan menyebarkan faham ini. Ia mati dihukum bunuh karena kesalahannya itu.
Schovenhaur (1788-1860 M) filosof Jerman yang masyhur itu mengatakan, bahwa
Pantheismus itu pada hakekatnya sama dengan Atheis- mus (”Pantheismus ist der vornehme
Form des Atheismus”).
Dalam dunia Tasawuf terkenal nama Al-Hallaj (858-922 M). Ia seorang guru yang menganut
dan mendakwakan paham "Wihdatul Wujud” sehingga sampai berani mengatakan ’’Anal
Haq” (Akulah Tuhan). Islam memandang paham Wihdatul Wujud itu adalah Syirik karena
telah menyimpang dari ajaran Tauhid yang murni. Allah tidak mencmpati ruang dalam alam
ini, karena yang me- nempati ruang itu adalah benda. Atas putusan fatwa Majlis Ulama
Baghdad Al-Hallaj dihukum bunuh dengan pedang setelah lebih dahulu meringkuk dalam
penjara 8 tahun lamanya.
Syekh Siti Jenar dari Lemah Abang yang namanya mirip dengan nama wanita itu, sama
dengarr Al-Hallaj dihukum pancung atas putusan musyawaiah Mahkamah Wali Songo yang
dipimpin oleh Sunan Giri pada pertengahan abad ke 16 karena syirik, mengaku dirinya
sebagai Tuhan (Gusti Allah). Sunan Kali Jaga bertindak sebagai algojo melaksanakan
putusan mahkamah itu. (BacaA. Johns, Dr.Taufik Abdullah, Islam di Indonesia, haL 136).
Tetapi adalah suatu hal yang mengherankan para ahli ilmu Tauhid, bahwa Universitas
Muhammadiyah pada tanggal 3 Agustus 1965 telah memberikan gelar Doctor Honoris Causa
Dalam Falsafah Ilmu Tauhid kepada Dr. IT. H. Sukarno di Istana Negara‘Jakarta, seorang
yang menandaskan dalam pidato penerimaan gelarnya, bahwa ia seorang Pantheist.
’’Mungkin saya punya keyakinan itu lain dari pada orang lain”, katanya.
Baca : Tuhan Hanya Esa itulah Keyakinanku, haL 36, Depaitemen Agama, 1965. Pen.
di antara para hambaNya yang dikehendakiNya untuk memberikan ilmu
dan kekuasaan yang kemudian disuruhnya melakukan perbuatan-
perbuatan menurut apa yang dikehendakiNya sebagai aturan yang telah
ditetapkan dalam IlmuNya yang azali yang tidak bisa dirubah dan tidak
pula bisa didekati oleh per- gantian. Dan Ia (Allah) memperingatkan
kepada orang yang berfikiran agar jangan mau begitu saja mengakui
seseorang yang mendakwakan dirinya sebagai orang pilihan Tuhan (Nabi)
itu, kecuali dengan keterangan yang sangat pasti kebenarannya menurut
hukum perasaan (hissi) 2) dan yang tidak kurang jelasnya, seperti jelas
mustahilnya bisa berhimpun dua yang berlawanan dalam satu ruang atau
kedua-duanya sama lenyap tepat dalam waktu yang sama; atau wajib
benamya, bahwa jumlah (Al-Kull, totalitet) lebih besar dari pada juzu’
(bagian, fragmen), umpamanya. Dan Ia (Allah) menentukan, bahwa para
Nabi itu tak ubahnya juga dengan manusia lain, bahwa mereka tidak
berkuasa atas dirinya dalam hal baik ataupun buruk. Paling-paling mereka
itu adalah hamba Ilahi yang terhormat. Bahwa apa yang berlaku dalam
tangan mereka itu, maka semua adalah dengan izin Allah yang khas,
kemudahan yang khas, pada tempat yang khas, dan karena hikmat yang

182
khas pula. Nabi itu sendiri tidak mengerti hikmat Allah berbuat demikian
kecuali dengan dalil-bukti sebagaimana yang telah terdahulu
keterangannya.
Agama ini mengajarkan sebagaimana yang difirmankan dalam Kitab
Suci:

"Dan Allah melahirkanmu dari kandungan perut ibumu dalam keadaan


tidak mengerti sesuatu apapun. pan Ia jadikan pen- dengaran dan pandangan
serta akal semoga kamu bersyukur!"
,, v . . M .. (Q.S. 16. An-Nahl: 7E).
1)
Yakni para Nabi '
Dan syukur menurut pengertian yang -terkenal di kalangan rang Arab
ialah, mempergunakan nikmat yang diberikan Tuhan intuk kepentingan
yang ^emestinya tanpa disalah gunakan. De- (gan pengertian ini menjadi
jelaslah, bahwa Allah memberikan, :epada kita nikmat pancaindera serta
ditanamkannya ke dalam liri kita kekuatan untuk dapat mempergunakan
pancaindera tu pada jalan yang semestinya menurut apa kegunaannya di-
adikan Tuhan. Maka karenanya tiap-tiap pribadi dapat berbuat untuk
dirinya sendiri baik yang menguntungkan atau yang merugikannya.
Adapun hal-hal yang mengagumkan akal kita dan tidak dapat dicapai oleh
kekuatan yang ada pada diri kita, sedang diri kita merasa, bahwa ada suatu
kekuasaan yang berdiri di belakangnya; atau hal-hal di mana orang harus
minta pertolongan karena lemah menghadapinya, sebab di luar kekuatan
manusia untuk mengetahuinya, dan dalam hal itu orang harus tunduk dan
kembali serta minta bantuan kepada kekuatan gaib yang ada di luar dirinya
— *); maika dalam hal itu manusia hanya boleh kembali kepada Allah
sendiriNya saja, tidak lain. Maka karenanya, manusia itu tidak boleh
tunduk- menyerah kecuali kepadaNya, dan tidak boleh minta keten-
teraman hati kecuali kepadaNya. Begitu pula dalam perkara hari Akhirat
yang menakutkan manusia itu, ataupun pengha- rapan yang dimintanya
supaya amalnya diterima kelak —, maka tidak diperbolehkan ia berlindung
kepada seseorangpun selain dari pada Allah, baik dalam meminta supaya
amalan yang baik- baik itu diterima, ataupun dalam meminta ampun
terhadap dosa-dosa kejahatan yang telah dilakukan. Maka Dia Allah
sendiriNya yang berkuasa pada hari Akhirat itu.

183
Dengan ajaran Islam yang demikian itu terbongkarlah paham
keberhalaan atau serbadewa dan kepercayaan-kepercayaan yang sama
dengan itu sampai ke akar-akarnya, yaitu keperca- in yang walaupun
berbeda rupa dan bentuknya, atau ber- n ibarat dan lafazhnya, tetapi ia
tidak berbeda dalam makna n hakikatnya.
Hal itu diiringi dengan bersihnya akal dari fikiran-fikiran JU
kepercayaan tahyul yang bukan-bukan yang selama ini tak bisa tercabut
dari ’akidah-kepercayaan yang batil itu. jmudian diikuti pula dengan
bersihnya jiwa dari keyakinan- :yakinan yang jahat yang selama ini
melekat dalam bentuk hyul-tahyul itu, dan sucilah jiwa itu disebabkan
bersihnya cal dari menyembah bermacam-macam Tuhan yang disembah-
(mbah dan yang mencelakakan diri mereka sendiri ^ Menja- i naiklah
martabat manusia dan tinggilah nilai mereka secara ;rhormat manakala
ia tidak tunduk mengabdi kepada sese- rangpun jua kecuali kepada Zat
Yang Menciptakan langit dan umi serta menguasai seluruh ummat
manusia. Diperbolehkan 26) agi setiap orang, bahkan diwajibkan ia supaya
berkata- se- iagaimana yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim:

’’Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku terhadap Zat yang Maha


Menjadikan langit dan bumi lagi condong kepada kebenaran, dan tidaklah aku
ini tergolong dari orang yang memperserikatkan
Tuhan
” (Q.S. 6. Al-An am : 79).

Dan sebagaimana Rasulullah diperintahkan untuk meng- ucapkan:

1) Dalam pelajaran kuliah, pengaiang menyinggung tusaknya jalan yang ditempuh oleh kaum sufi
(mistik) dan beimacam-macam metode (tarikat) mereka dalam mengabdi kepada Tuhan. Maka hendaklah
berhati-hati siapa yang mau mengerti !

26 Dipakai kata ’’diperbolehkan” sebagai isyarat, bahwa hal itu dahulunya ter- larang pada
bangsa-bangsa purbakala, karena tidak diperbolehkan seseorang untuk mengabdi kepada Allah
tanpa perantara kepala-kepala agama.

184
’’Sesungguhnya shalat yang saya lakukan dan ibadat hajiku, hidup dan
matiku 1) bagi Allah Tuhan sekalian alam semesta; tidak ada serikat bagi-Nya
dan dengan itulah saya diperintahkan, dan saya adalah awal orang Muslimin.”
(Q.S. 6. Al-An’am : 162, 163).

Dengan begitu menjelmalah kemerdekaan yang terhormat bagi diri


pribadi manusia, dan menjadi lepaslah iradat-kemauan- nya dari belenggu-
belenggu yang selama ini mengungkungnya dengan kemauan yang lain,
apakah kungkungan itu berupa kemauan manusia lain -27) yang
disangkanya sebagai cabang dari kemauan Tuhan — atau seperti kemauan
para pemimpin dan orang-orang yang berkuasa, atau kemauan yang
ditahyulkan oleh khayal manusia sendiri yang disangka berada pada
kubur- kubur, batu-batu, binatang-binatang dan sebagainya. Menjadi
bebaslah cita-cita manusia dari tawanan orang-orang yang mengaku
sebagai perantara antara manusia dengan Khaliknya, dan orang-orang
yang mengaku dapat memberikan syafat, juru- juru nujum, ahli-ahli
ma’rifat, dan orang-orang yang menguasai rahasia hidup seseorang dan
bertindak menentukan batas hu- bungan amal-amal manusia dengan Allah,
yakni mereka yang mendakwakan, bahwa mereka adalah perantara yang
membawa bahagia, dan yang di tangan mereka terletak celaka dan ke-
mujuran. Ringkas kata, dengan ajaran Islam itu roh manusia merdeka dari
perhambaan juru-juru tipu dan manusia-manusia dajjal.
Dengan ajaran Tauhid, jadilah manusia selaku hamba Allah semata-
mata, merdeka dari segala macam perhambaan yang lain dari padaNya. Ia
mempunyai hak asasi sebagai manusia yang merdeka, .yang tidak ada
perbedaan antara hak orang yang mulia dan orang rendah. Tidak ada
dalam Islam orang bawahan dan tidak pula atasan, dan tidak ada
kelebihan antara sesama manusia itu dengan yang lainnya kecuali dengan
kelebihan nilai amal-karya mereka, dan dalam kelebihan akal dan ilmu-
pengetahuan mereka. Dan tak ada yang dapat mendekatkan mereka
kepada Allah kecuali kesucian akal dari debu-debu kotoran waham (ragu)
serta kebersihan amal dari pengaruh penyelewengan dan riya ('show).
Dengan jalan begini menjadi sucilah harta-benda yang berada di tangan
kaum pengusaha serta terjamin di dalamnya hak kaum fakir-miskin dan
kepentingan umum. Akhirnya lenyaplah kaum melarat yang hidup minta-
minta serta terkikislah pencurian (korupsi) yang dilakukan oleh mereka
yang menganggap berhak dalam harta itu karena sifat dan kedudukannya,

27 Seperti kemauan ’’orang-orang suci” (Pendeta-pendeta) dan Kahin-kihin sebagaimana yang


diterangkan Pengarang berikutnya.

185
tanpa mendapatkannya dengan jalan bekeija dan cucur keringatnya
sendiri.
Islam menuntut semua orang yang mempunyai kesanggupan supaya
bekerja. Dan Islam menentukan, bahwa keuntungan ataupun kerugian
tiap-tiap diri itu bergantung kepada keija yang dilakukannya :

"Maka siapa yang- melakukan kerja yang baik walaupun sebesar dzarrah
(atom) niscaya akan dilihatnya buktinya, dan siapa yang mengerjdkan
perbuatan buruk walaupun sebesar dzarrah niscaya akan dilihatnya pula
balasannya’,’ (Q.S. 99. Zilzal: 7,8).
”Dan bahwa tidak ada pembalasan bagi manusia itu kecuali menurut apa yatlg
diikhtiarkannya sendiri” (Q.S. 53. An-Najm : 39).

Bahwa Islam memperbolehkan bagi seseorang untuk men- dapatkan


segala kebaikan yang dikehendakinya berupa makanan, minumaiv pakaian
dan ’perhiasan; dan Islam tidak menghalangi manusia kecuali apa yang
membawa celaka bagi dirinya sendiri atau kepada orang yang berada di
bawah tanggung jawabnya, atau sesuatu perkara yang merusak kepada
orang lain; dan dalam hal itu Islam memberikan batas-batas ketentuan
umum yang sesuai dengan kemaslahatan orang banyak. Maka karenanya
terjaminlah kemerdekaan bagi setiap pribadi untuk berbuat, dan
terbentanglah kesempatan yang seluas-luasnya dalam per- lombaan medan
usaha manusia tanpa ada rintangan kecuali masing-masing harus
menghormati hak orang lain.
Islam menyerang taklid, serangan yang menempatkan taklid itu
sedemikian rupa sehingga tidak ada harganya lagi. Maka ia menghancur-
leburkan balatentara taklid itu yang selama ini menguasai jiwa sanubari
manusia serta membongkar akar-akarnya yang terhunjam dalam fikiran
manusia, dan merubuhkan segala tiang-tiang dan sendi-sendi 28) taklid itu
yang melekat dalam akidah-kepercayaan bangsa-bangsa.

28 Sangat mendewa-dewakan para leiuhur dan guru-guru 2. Meng’itikadkan agungnya pemuka-pemuka agama
yang silam, 3. Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan .diri dari kekolotannya. Yakni, siapa yang
tidak menghormati diri dan kemerdekaan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang
dianggapnya benar — sekalipun ia menyalahi leiuhur dan guru*gurunya baik yang masih hidup atau- pun yang
telah meninggal, yaitu mereka yang tidak maksum dari tersalah. Orang yang begitu tidak akan mungkin untuk
melepaskan diri dari belenggu taklid. Nanti akan dijelaskan apa yang dapat meruntuhkan tiang-tiang taklid itu.

186
la berteriak kepada akal (ratio) dengan teriakan yang mengejutkan
akal itu dari tidurnya, dan menyuruh akal itu bangkit dari kenyenyakan
tidur yang lama itu. Akal yang sedang dibuaikan mimpi, yang manakala
menyingsing kepadanya matahari kebenaran, berbisiklah penjaga patung
waham kekolotan itu kepada telinganya: ’’Tidurlah terus ! Malam masih
gelap, dan jalan amat sukar, sedang tujuan masih jauh, dan unta telah lelah
sedang bekalpun telah tinggal sedikit”
Keraslah nada suara Islam terhadap was-was yang men- dungukan.
Dan dengan lantang dikatakannya, bahwa manusia tidaklah dijadikan
Tuhan untuk diikat dengan bermacam-macam kekangan. Tetapi ia
dijadikan untuk menyiapkan diri terhadap petunjuk-petunjuk ilmu-
pengetahuan dan tanda-tanda yang di- tunjukkan alam dan bukti-bukti dari
peristiwa-peristiwa yang teijadi — ; dan bahwa yang disebut guru yang
sejati ialah, mereka yang menumbuhkan kesadaran dan yang memberikan
petunjuk, dan siap memberikan bimbingan ke jalan pembahasan lebih
lanjut.
Dengan suara terang Islam menyipatkan kaum pendukung
kebenaran, bahwa mereka itu adalah :

"Mereka yang suka mendengarkan penerangan, maka mereka ikut mana


yang lebih baik (benar) daripadanya. ” (Q.S. 39. Az-Zumar: 18).
Maka ia menggambarkan mereka itu sebagai orang-orang yang tidak
memandang pilih-kasih kepada siapa yang memberikan penerangan itu,
tetapi kepada apa isi materi yang dihidangkannya,. agar dengan begitu
mereka dapat mengambil mana yang baik serta melemparkan mana-mana
yang tidak jelas kebenaran dan kegunaannya. Islam menolehkan
pandangan kepada para pembesar, maka diturunkannya mereka dari
takhtanya di mana mereka selama ini memerintah dan melarang orang
semau-maunya saja ; dan diletakkannya mereka itu di bawah penilikan
rakyat yang diperintahnya dengan memberikan hak untuk menyampaikan
berita keluhan dan tuntutan apa yang mereka kehendaki, serta menguji
atau membanding para pembesar itu dalam bleid hukum pemerintahan
yang mereka jalankan, sehingga mereka harus memberikan putusan
menurut ilmu-pengetahuan dan keyakinan mereka, bukan menurut dugaan
dan sangkaan-sangkaan mereka belaka.
Islam mengalihkan jiwa raga manusia dari pergantungan adat-tradisi
nenek-moyang dan paham yang kolot ketinggalan zaman. Dipandangnya
dungu dan bodoh orang-orang yang ber- pegang kepada ucapan-ucapan

187
orang-orang yang kuno-kuno. Di- peringatkannya, bahwa kekunoan itu
bukanlah suatu tanda di antara tanda-tanda kemajuan, bukan
menunjukkan suatu kecer- dasan akal dan kejernihan ingatan. Kaum kuno
dan modern itu dalam soal kede\yasaan fikiran dan fithrah kejadiannya
adalah sama. Tetapi bahkan kaum modern (yang datang kemudian itu)
lebih mengetahui tentang kejadian peristiwa yang lalu, dan per- sediaan
fikirannya tentang itu lebih lengkap dari pada kaum kuno sendiri ; dan
begitu pula dalam pengetahuannya tentang mengambil manfa’at dari alam
apa yang tidak dapat dilakukan oleh orang-orang yang dulu-dulu yakni
para leiuhur mereka. Dan malahan kadang-kadang kaum modern yang
datang kemudian itu dapat mengambil manfa’at pengalaman dari
perbuatan-perbuatan kaum kuno yang buruk-buruk akibatnya, dan begitu
pula dari kejahatan atau kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang
dulu itu.
Islam menerangkan, bahwa pintu-pintu kurnia Ilahi tidak pernah
terkunci bagi siapa yang mencarinya, sedang rahmat- Nya yang, meliputi
segala sesuatu tidak pernah ditahan-tahan untuk kepentingan segala
makhluk yang melata di muka bumi ini.

’’Katakanlah! (Muhammad). Mengembaralah kamu di atas permu-


kaan dunia ini Kemudian perhatikanlah betapa akibatnya perbuatan
orang-orang yang mendustakan Agama itu’’ (Q.S. 6. Al-An’am : 11).
Memang Islam mencela sekeras-kerasnya kepada penganut- penganut
Agama yang sangat fanatik kepada kekunoan para nenek-moyang mereka,
dan hanya mau melalui jalan usang yang d'ibuat oleh leiuhur mereka itu.
Dan mereka membangkang dengan ucapan :

’’Justru kami hanya akan mengikuti jejak


yang ditinggalkan oleh para leiuhur kami’.’

’’Bahwa kami dapati bapak-bapak kami pada '■suatu cara dan


bahwa kami terpimpin menurut jejak-jejak mereka’.’
(Q.S. 43. Az-Zuhruf-: 22) .
Maka dengan ajaran Islam ini menjadi bebas-merdekalah ratio (akal)
manusia dari segala belenggu yang membelitnya,
dibebaskannya dari pengaruh taklid yang memperbudaknya, serta

188
dikembalikannya kepada tempat di mana akal itu bertakhta. Akal itu
dipersilakan untuk memberikan putusan dengan ilmu dan
kebijaksanaannya sendiri di samping harus tunduk hanya kepada Allah
Yang Maha Tunggal semata dan berdiri patuh kepada peraturan syari’at
AgamaNya. Dan tak akan dirintanginya kegiatan (dinamika) akal itu, dan
tidak akan dibatasi kemajuan berfikirnya yang terus meningkat.
Dengan ajaran inilah dan ajaran-ajaran yang dikemukakan seperti di
atas tadi menjadi sempurnalah bagi manusia — sesuai dengan kehendak
dan tuntutan Agama sendiri — dua buah persoalan pokok yang besar yang
selama ini merupakan tabu (hal yang haram) bagi manusia itu
menyentuhnya. Kedua fier- soalan pokok yang besar itu ialah : Kebebasan
kemauan (free will), dan kemerdekaan ratio (akal) dan fikiran. Dengan dua
faktor utama itu menjadi sempurnalah kemanusiaan makhluk insani ini dan
terbukalah kesempatan yang luas baginya untuk mencapai kebahagiaan
yang telah disediakan Ilahi menurut hukum fithrah kejadian manusia itu.
Sebagian para filosof Eropa modern berkata : ’’Bahwa timbulnya
kemajuan Eropa adalah bersendikan dua faktor kebebasan kemauan, dan
kemerdekaan ratio dan fikiran ini. Maka tidak akan bisa akal itu bergerak
untuk mengadakan research (penyelidikan yang amat teliti) dan berfikir
maju, kecuali setelah banyak jumlahnya manusia yang mengenal dirinya
sendiri, dan setelah mereka diberi hak untuk melakukan ikhtiar, diberi hak
untuk mencari hakikat sesuatu dengan akal mereka ; dan bangsa
Eropa tidak bisa sampai kepada taraf yang demikian rupa melainkan
setelah datangnya abad yang keenam belas Masehi”. Para ahli fikir itu
selanjutnya mengakui, bahwa kemajuan peradaban Eropa itu sebenarnya
adalah datang dari cahaya matahari per- adaban-kebudayaan Islam yang
menyingsing kepada mereka, dan begitupun dari ilmu-pengetahuan para
sarjana Islam pada masa itu.
Islam dengan perantaraan Kitab Sucinya yang diturunkan Tuhan —
melemparkan batu besar yang diletakkan selama ini oleh para pemuka
agama (ulama-ulama dan pendeta-pendeta) di atas pundak kepala (akal)
para pemeluknya guna dapat me- mahamkan isi kandungan Kitab Langit
itu. Karena para pemuka Agamaitu terlalu monopolidalam hak
memahamkan
Kitab Suci itu khusus bagi mereka sendiri dan kawan-kawan-
nya, dengan melarang keras orang lain yang tidak memakai
pakaian sebagai apa yang mereka pakai, dan yang tidak melalui jalan
seperti yang mereka lalui untuk mencapai martabat yang suci itu. Mereka
para ulama atau pendeta itu mewajibkan bagi orang umum ataupun

189
memperbolehkan untuk membaca sebagian dari Kitab Suci itu tetapi
dengan syarat ketentuan, bahwa mereka tidak boleh memahamkannya
lebih dalam, dan bahwa mereka tidakdiperkenankan untuk
memperluaspenyelidikan
mereka terhadap tujuan-tujuan yang sebenarnya dari kandungan ayat suci
itu. Kemudian mereka makin bertambah kolotnya dalam hal itu yang
sangat membelenggu fikiran sehingga mengharamkan diri mereka sendiri
untuk memahamkan pengertian isi Kitab itu kecuali sedikit saja. Dan
bahkan mereka menuduh akalnya sendiri: sia-sia untuk dapat
memahamkan apa yang dibawa syari’at dan Kenabian ; akhirnya mereka
terhenti bersama-sama dengan orang awam yang banyak dalam hanya
terbatas kepada membaca teks-teks (lafazh-lafazh) yang mengabdi dengan
suara yang merdu dan memperhatikan aksara (huruf-huruf) kitab itu
belaka, sehingga dengan begitu mereka menghilangkan hikmat mengutus ,
Rasul.
Maka datanglah AlrQuran mencela mereka dalam apa yang mereka
lakukan itu dengan firmanNya :
"Dan sebagian dari mereka kaum Agama itu adalah terdiri dari orang-
orang yang tidak tahu apa-apa tentang Kitab Suci kecuali pengelamunan-
pengelamunan belaka, mereka tidak mengerti isinya kecuali hanya sangka-
sangka’.’ (Q.S. 2. Al-Baqarah : 78).

"Perumpamaan orang-orang yang dibebani untuk mendukung Kitab Suci


Taurat, kemudian mereka tidak mau mendukungnya (mengamalkannyaJ tak
ubahnya seperti binatang keledai yang disuruh mengangkut Kitab-kitab; dan
alangkah buruknya perumpamaan bagi kaum yang terdiri dari orang-orang yang
mendustakan Ayat-ayat Allah! dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada
kaum yang zalim’.’
(Q.S. 62. Al-Jum’ah : 5 ).
Adapun yang dimaksud dengan Al-Amani (pengelamunan-
pengelamunan),-adalah pembacaan-pembacaan semata-mata yang tidak
mengerti akan pengertian isi Kitab Suci yang dibaeanya itu. Dan bila
mereka menduga, bahwa mereka telah berada menurut yang dikehendaki
oleh Kitab Suci itu, maka hal itu tidaklah menurut ilmu dan pengertian
yang sebenarnya, dan apa yang mereka khayalkan sebagai akidah-
kepercayaan agamanya, tidak ada alasannya sama sekali. Bila mereka
berselera untuk menyatakan sesuatu hukum dan maksud Kitab Suci itu

190
menurut kemauan selera nafsunya sfendiri, mereka berbicara dengan
keterangan-keterangan yang tidak ada dalil sandarannya sama sekali dan
mereka menyimpang kepada takwil-takwil yang bukan- bukan dan sambil
dengan seenaknya saja mengatakan, bahwa hal itu datang daripada Allah.

"Maka celakalah orang-orang yang menulis Kitab Suci dengan tangannya


sendiri (membikin-bikin), kemudian mereka mengatakan, bahwa ini datang dari
pada Allah, yakni agar mereka dengan hal itu mendapat sesuatu keuntungan
yang tidak ada harganya’’
(Q.S. 2. Al-Baqarah : 79).
Tentang orang-orang yang mengatakan, bahwa mereka tidak
mendukung Kitab Taurat sedang Kitab itu ada di tangan mereka sendiri
setelah Kitab itu dipangkunya, maka mereka itu adalah golongan orang-
orang yang tidak mengerti apa-apa tentang Kitab Suci itu kecuali teks-
teksnya belaka dan akal mereka tidak sanggup mencapai isi kandungannya
yang berupa Syari’at (per- aturan-peraturan) dan hukum hukum. Maka
karenanya mereka menjadi buta untuk dapat mengambil petunjuk dengan
Kitab Suci itu, dan mata mereka menjadi tertutup untuk dapat melihat
tanda-tanda hidayah yang ditegakkan dengan turunnya Kitab Suci itu.
Dengan begitu tepatlah perumpamaan yang diberikan Tuhan kepada
mereka yang menempatkan mereka dalam kedudukan yang tidak layak,
bagi sifat kemanusiaan pada dirinya lagi : seperti himar (keledai) yang
mengangkut buku-buku yang tidak dapat mengambil manfaat daripadanya
kecuali lelah dan letih belaka serta punggung yang bungkuk dan nafas yang
sesak. Dan alangkah buruknya kaum yang terbalik keadaannya! Apa yang
menjadi sebab kebahagiaan mereka, yakni turunnya Kitab Suci dan
syari’at yang dibawanya, tetapi karena kebodohan mereka sendiri dapat
membawa celaka bagi diri mereka.
Dengan tamparan kritik ini dan yang seumpamanya, dan dengan
seruan umum untuk memahamkan serta ajakan kepada kaum intelektuil
untuk mengadakan research agar dapat men- dalami dan meyakini segala
keterangan yang tersebar dalam Kitab Suci Al-Quran —, maka Islam
mewajibkan kepada se- tiap pemeluk Agama untuk mengambil bahagian
dalam menggali ilmu-pengetahuan yang tersimpan dalam khazanah Kitab
Suci Ilahi itu dan segala peraturan syari’at yang ditetapkannya. Dalam hal
ini semua manusia adalah sama-sama diberikan kesempatan untuk

191
menggali dan memahaminya, yakni setelah

192
masing-masing pribadi mencukupkan syarat persiapan dirinya untuk itu;
dan syarat itu tidakmenyukarkan bagi golongan terbesar para penganut
Agama, karena ia tidak mengadakan deskriminasi kepada suatu golongan
tertentu, dan tidak pula terikat kepada ketentuan batas-batas tertentu pula.
Islam dataing, sedang manusia waktu itu dalam keadaan berpecah-
pecah pada golongan-golongan Agama, sekalipun ada sedikit sekali orang-
orang yang mengabdi kepada Allah dengan keyakinan.
Golongan-golongan Agama itu masing-masing tuduh-me- nuduh,
saling kutuk-mengutuk satu sama lain. Dan dalam keadaan yang demikian
itu mereka masih mendakwakan, bahwa mereka berpegang kepada tali
Allah. Perpecahan, persengketaan, dan teijun ke dalam huru-hara, mereka
kira sebagai langkah yang menuju kepada jalan Tuhan.
Islam mengingkari semua hal yang demikian itu, dan dengan tegas
tanpa ragu-ragu ia menyatakan, bahwa dalam segala zaman dan menurut
keterangan yang disampaikan oleh lisan semua para Nabi —, Agama Allah
itu adalah hanya satu. FirmanAllah :

’’Sesungguhnya Agama di sisi Allah adalah Islam. Dan tidaklah timbul


persengketaan di antara kaum Ahli Kitab, kecuali setelah datang kepada mereka
ilmu pengetahuan, karena kedurhakaan di-

"Ibrahim itu bukan seorang penganut Agama Yahudi dan bu-

193
kart pula Nasrani, tetapi ia adalah seorang yang jauh dari kesesatan (hanif),
seorang Muslim dan sekali-kali bukanlah ia seorang di antara orang-orang
yang musyrikV YQ. S. 3. Ali Imran: 67).

"Allah telah mensyari’atkan kepadamu tentang urusan Agama


sebagaimana yang telah diwajibkanNya kepada Nabi Nuh, dan apa yang
Kami wahyukan kepada engkau, dan yang Kami wajibkan kepada Ibrahim
dan Musa, dan kepada Nabi Isa, yaitu : hendaklah kamu tegakkan Agama
dengan benar dan jangan sekali-kali kamu bercerai-berai padanya. Hal itu
berat bagi kaum musyrikin apa yang kamu serukan mereka kepada Agama
itu’’ (Q.S. Asy-Syuia’ : 13) :

"Katakanlah (Muhammad) : ”Hai kaum ahli Kitab! marilah kamu


semua saya ajak kepada suatu kalimah yang sama (adil) antara kami dan
kamu, bahwa jangan kita sembah selain dari Allah, dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatu juga di antara makhluk ini, dan jangan
pula di antara fcita mengambil Tuhan-Tuhan selain dari Allah. Maka
sekiranya mereka berpaling katakanlah olehmu : saksikanlah oleh kamu
semua, bahwa kami adalah orang-orang Islam!"
(Q.S. 3. Ali Imran : 64).
Banyaklah ayat-ayat Al-Quran seperti itu yang akan banyak sekali
kalau dikemukakan di halaman-halaman kertaf* ini. Dan begitu pula
ayat-ayat Al-Quran yang mencela kaum agama yang senantiasa cekcok
dan bersengketa terus-menerus pada hal hujjah telah jelas dan
teguhnya keterangan itu dalam sesuatu ilmu yang mereka
pertengkarkan itu semua itu dapat diketahui oleh setiap orang yang
membaca Al-Quran dengan penuh ke- telitian.

194
Kitab Al-Quran mengemukakan Nas (dalil) yang terang, bahwa
Agama Allah dalam segala zaman ialah : Meng-Esakan Allah dalam
KetuhananNya, dan menyerahkan diri dalam mengabdi kepadaNya
sendiri. menta’atiNya dalam segala apa yang diperintahkanNya dan
menjauhkan diri dari apa-apa yang di- larangNya, yang kesemUanya
itu adalah merupakan maslahat bagi manusia serta menjadi tiang bagi
kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Dan semua Kitab-Kitab
Ilahi yang diturun- kanNya kepada para Rasul pilihan itu adalah
mengandung ajaran seperti yang tersebut tadi, dan ia mengajak akal
untuk mengamalkannya. Bahwa pengertian Agama seperti ini adalah
pangkalan yang menjadi tempat kembali manakala ber- hembus angin
persengketaan. Dan ialah neraca timbangan di mana kata-kata atau
pendapat ditimbahg seadil-adilnya dikala timbul perselisihan paham.
Islam mengajarkan, bahwa kepala baty dan mau menang sendiri dalam
perdebatan adalah berten- tangan dengan kehendak agama dan jauh
dari sunnah RasulNya. Dengan dipeliharanya baik-baik hikmat-rahasia
Agama itu, dan diperhatikan benar-benar kurnia Ilahi kepada manusia
dalam nikmat beragama itu —, niscaya akan lenyaplah perselisihan dan
kembalilah hati bersatu kepada petuhjuk-petunjuk Agama, dan jadilah
semua orang terpimpin dalam persaudaraan yang mesra lagi sama-
sama berpegang kepada kebenaran, dan bekeijasama untuk
menegakkan kebenaran Agama Allah itu.
Adapun mengenai rupa-rupa ibadat dan bermacam-macam
upacara peribadatan yang berlain-lainan dalam beberapa Agama-
Agama yang sah, dulu dengan sekarang serta berbeda-bedanya yang
dibawa Agama pada waktu dulu itu dengan Agama sekarang —, maka
semua itu adalah berdasarkan rahmat Ilahi dan kemurahanNya, yang
telah memberikan bagi segala bangsa pada segala zaman apa yang
dipandang Tuhan baik dan sesuai dengan zaman ummat itu masing-
masing. Sebagaimana sunnah Tuhan (hukum alam) berlaku, dan Dialah
yang mengatur seluruh alam ini — yakni dengan secara evolusi
(berangsur-angsur) dalam men- didik manusia semenjak selagi
manUsiar itu ke luar dari kandungan perut ibunya yang tidak mengerti
apa-apa, lantas berkembang terus sampai akalnya cerdas tumbuh
sempurria, sehingga dengan akalnya itu manusia dapat merobek-robek
tabir pemisah, dan dengan fikirannya ia dapat menemukan rahasia-

195
rahasia alam. Demikianlah pula sunnah Tuhan tidak berubah dan
pimpinanNya tidak pemah goncang dalam mengatur ummat manusia.
Begitulah keadaan manusia itu dalam keseluruhan dan jenisnya tidak
sama martabat ilmu pengetahuannya dan tak sama daya-reaksi pene-
rimaannya semenjak ia dilahirkan sampai kepada puncak kesem -
purnaannya. Bahkan telah ditetapkan Tuhan, bahwa pertum- buhan
ummat manusia itu adalah berdasarkan ketentuan fithrah- kejadiannya
masing-masing. Dan hal ini sudah jelas yang tidak perlu dipertikaikan
lagi, sekalipun para ahli-fikir sendiri berbeda pendapat dalam
menyatakan pendiriannya tentang seluk-beluk masalah itu dalam ilmu-
ilmu yang membahas masalah pergaulan hidup masyarakat manusia
(sosiologi), terutama. Maka karena itu kami tidak akan menguraikan
masalah itu pula di sini.
PERKEMBANGAN KEMAJUAN AGAMA SESUAI DENGAN
TARAF KEMAJUAN UMMAT MANUSIA, DAN PUNCAK
KESEMPURNAANNYA ADALAH DENGAN ISLAM *)

Waktu Agama-agama kuno itu datang, ummat manusia dalam


memahamkan kemaslahatan-kemaslahatan umum dan bah- kan dalam
memahamkan kepentingan khusus pribadi adalah dalam taraf yang
lebih menyerupai dengan zaman kanak-kanak yang baru lahir ke
dunia. Ia tidak mengerti apa-apa kecuali apa yang dapat dirasakan
oleh pancainderanya. Sukar baginya untuk memberikan pertimbangan
apa yang teijadi hari ini dan peristiwa kemarin, sulit pula bagi otaknya
untuk memikirkan makna-makna sesuatu yang tidak dekat kepada
indera (jamahannya). Belum bertiup angin kesadaran dalam kalbunya
yang berupa kesadaran batin, yakni rasa santun kepada orang lain,
kepada kaumnya atau jenisnya sesama manusia. Ia loba sekali untuk
membina kepentingan diri sendiri-sendiri belaka, tidak mau sibuk
untuk kepentingan lain kecuali untuk mengusahakan makanan untuk
perutnya sendiri, atau untuk mencari kesenangan dalam duduk atau
berdiri belaka. Maka dalam keadaan ummat yang demikian
primitifnya, tidaklah bijaksana kalau sekiranya Agama-agama
purbakala itu bila ia berbicara dengan manusia dengan cara
tinggi lagipun halus untuk mengajak wijdan atau intuisi mereka, atau
mengajaknya naik dengan menggunakan tangga dalil-dalil fikiran yang

196
sulit-sulit. Tetapi adalah merupakan rahmat besar, bila Agama itu
berbicara dengan kaum yang demikian taraf kecerdasannya dengan
menempatkan diri dalam satu keluarga —, semua adalah makhluk Allah —
, tak ada ubahnya seperti seorang ayah berbieara dengan anaknya yang
masih kecil yang masih dalam periode zaman kanak-kanak. Anak itu tidak
diajarnya melainkan apa yang dapat ditangkapnya dengan
pancamderanya, apa yang dapat didengarnya atau yang bisa dilihatnya.
Begitulah Agama-Agama itu datang dengan perintah-perintah yang tegas-
tegas larangan-larangan yang tepat-tepat. Mereka dituntutnya supaya ta’at
dan ia mengajak mereka beramal menurut batas kesanggupan mereka. Ia
memerintahkan ummat itu melakukan sesuatu yang jelas manfa’at
tujuannya sekalipun mereka tidak faham maknanya dan tidak sampai
pengertian mereka untuk mendalami rahasianya. Agama-Agama itu
mengemukakan tanda- tanda kebesaran (mu’jizat) yang dapat
mengagumkan mata- penglihatan mereka dan mempengaruhi perasaan
fikiran mereka, dan kemudian kepada mereka diwajibkan berbagai ibadat
yang sesuai dengan taraf kesederhanaan mereka itu pula.
Kemudian zaman berjalan terus, ada bangsa-bangsa yang bangun
dan kemudian jatuh, dan kadang-kadang kebudayaan mereka tinggi dan
kemudian merosot, ada yang eksperimennya berhasil dan ada pula yang
gagal, ada yang bersengketa dan kemudian sepakat kembali, kadang-
kadang ada yang menderita kesengsaraan beberapa lama, dan kemudian
datang bahaya dan celaka silih-berganti hari demi hari; begitulah manusia
mengalami peristiwa-peristiwa sejarah. Maka pengalaman-pengalaman
pahit- getir yang bermacam-macam aneka-warna itu memberikan kesan
yang lebih dalam dari perasaan pancaideranya sendiri dan lebih masuk
menghunjam ke dalam jiwa raganyS, sekalipun hal itu pada umumnya
tidak lebih tinggi dari perasaan halusnya jiwa kaum wanita dan kaum
muda remaja Maka kemudian suatu Agama 29) datang berbicara dengan
penuh rasa santun, berbisik dengan rasa cinta kasih, ia menyuruh
melembutkan hawa nafsu, dan ia berbicara tentang godaan-godaan hati.
Begitulah ia mengajarkan manusia supaya berlaku zuhud yang dapat

29 Peringatan bagi pembaca, bahwa pembahasan ini adalah demikian pentingnya dan berdalil
ilmiah4osiologis, bahwa Islam menasikhkan (melikwidir) syari’at agama sebelumnya. Karena
ia adalah agama yang terakhir, di mana manusia tidak memerlukan Nabi-Nabi dan wahyu lagi
sesudahftya, maka penting sekali pembicaraan ini sekarang. Dan tidak ada orang yang
memb&hasnya sebelum Usta^z Imam setahu kami.

197
menjauhkan diri dari bermacam-macam godaan dunia pada umumnya dan
mengha- dapkan wajah mereka ke alam malakut yang tinggi. Agama itu
menghendaki orang yang punya hak agar jangan menuntut haknya walau
dengan cara yang benar sekalipun, dan pintu langit (surga) menjadi
tertutup bagi wajah orang-orang yang kaya-kaya, dan ajaran-ajaran lain
seperti itu. Dan Agama itu mengadakan peraturan tentang ibadat kepada
Allah yang sesuai dengan keadaan zaman mereka dan sesuai dengan
maksud ke mana mereka diajak. Maka karenanya ajaran itu dapat
tertanam dalam hati manusia yang memperbaiki kerusakan-kerusakan
jiwa mereka selama ini serta menyembuhkan segala penyakit yang
bersarang dalam jiwa mereka. Tetapi belum lagi berlalu beberapa masa,
telah menjadi lemahlah kemauan manusia untuk mendukung ajaran-
ajaran agama itu, dan tidak pula sanggup berhenti menurut batas-batas
ajaran- nya, mengamalkan segala nasihat-nasihat Agama itu, dan ter-
goreslah dalam persangkaan manusia, bahwa mematuhi nasihat- nasihat
Agama itu adalah suatu kemustahilan.
Bahkan kemudian pemuka-pemuka Agama itu sendiri tampil untuk
merebut kekuasaan dari tangan raja-raja, dan terus men- desak kedudukan
kaum kapitalis dalam perebutanmencari harta kekayaan dalam segala
bidang. Sedang keadaan sebagian terbesar dari para pendukung agama
telah memasukkan takwil yang bukan-bukan ke dalam agama itu, dan
banyaklah mereka cam- pur-adukkan ke dalam agamanya bermacam-
macam kebatilan menurut kemauan hawa nafsu mereka. Beginilah
rusaknya moral dan buruknya tingkah laku yang mereka perbuat : mereka
me- lupakan kesucian Agama itu dan menjual kehormatannya.
Adapun dalam bidang akidah (kepercayaan), maka mereka telah
berpecah-belah ke dalam beberapa golongan (mazhab, sekte), dan telah
menimbulkan bermacam-macam bid’ah keagama- an (novelty) yang tidak-
tidak. Mereka tidak lagi berpegang kepada pokok Agama itu yang murni,
kecuali kepada apa yang mereka sangka sebagai sendi agama yang
terkokoh dan mereka anggap sebagai tiangnya yang paling kuat, yakni:
merintangi akal (ratio) untuk berfikir tentang rahasia Agama itu, bahkan
juga untuk memikirkan yang lain tentang rahasia-rahasia kejadian alam
ini, dan merintangi segala fikiran manusia untuk dapat menembus rahasia
kejadian makhluk Ilahi ini. Sehingga mereka berani berkata dengan cara
yang demonstratif, bahwa tidak ada persesuaian antara Agama dengan

198
akal, dan bahwa Agama adalah musuh ilmu pengetahuan. Dan tidaklah
cukup pandangan yang demikian itu terbatas pada dirinya sendiri saja,
tetapi bahkan ia berusaha dengan lebih giat lagi untuk mengajak manusia
kepada pendiriannya yang demikian itu dengan segala daya-upaya dan
kekuatan. Pandangan yang sangat sesat demikian itu telah menimbulkan
pengaruh yang sangat buruk kepada alam kebudayaan manusia, yaitu
ekses timbulnya perang saudara diantara kaum Agama, karena menyintuh
soal-soal yang menjadi ketetapan Agama. Akibatnya terbongkarlah urat
tunggang pokok agama itu, putuslah perhubungan diantara sekeluarga,
bergantilah kasih-sayang dengan putusnya silaturrahim, tolong-menolong
ber- ubah menjadi permusuhan, dan perdamaian berganti tempat dengan
peperangan yang dahsyat. Demikianlah keadaan ummat manusia sampai
datang zaman Agama Islam.
Kemudian, usia masyarakat manusia telah membawa manusia
kepada umur dewasa, sedang peristiwa-peristiwa kejadian yang silam itu
telah dapat memberikan kesadaran baginya. Maka datanglah Islam
menghadapkan pembicaraan nya kepada akal, dan ia berteriak memanggil
faham-pengertian manusia yang disertakan dengan keinsafan dan
perasaannya — untuk mern- bimbing manusia menuju kepada
kebahagiaan hidupnya dunia dan akhirat. Islam menjelaskan kepada
manusia apa yang menjadi persengketaan diantara mereka, dan
membukakan pula kepada mereka segi-segi mana yang dipersengketakan
itu. Tetapi di- samping itu ia menjelaskan pula kepada mereka, bahwa
Agama
Allah pada semua bangsa dan golongan itu sebenarnya adalah satu; dan
tujuannya untuk memperbaiki keadaan diri dan me- nyucikan hati mereka
adalah satu pula. Dan bahwa ketentuan upacara ibadat sebagaimana yang
tampak di mata itu, pada ha- kekatnya adalah untuk membaharui
peringatan kepada rohani; dan bahwa Allah tidak memandang kepada
wajah-rupa manusia tetapi kepada hatinya.
Islam menuntut kepada manusia yang mukallaf supaya meiyaga
jasadnya sebagaimana ia menuntut supaya manusia itu memelihara
batinnya. begitulah ia memerintahkan supaya me- nyucikan badan lahir
sebagaimana ia mewajibkan agar me- nyucikan batin, dan kedua perkara
itu memang harus disucikan terus-menerus. Dan Islam menjadikan
’’ikhlas” sebagai roh ibadat; dan bahwa segala amal perbuatan yang

199
diperintahkan itu tidak lain adalah untuk menghiasi diri dengan budi yang
mulia.

’’Sesungguhnya ibadat shalat itu adalah mencegah diri


dari melakukan perbuatan-perbuatan keji dan murigkar.”
(Q.S. 29. Al-Ankabut : 45):

”Sesungguhnya manusia itu dijadikan bersifat loba. Apabila ia ditimpa


kesusahan ia mengeluh. Dan apabila mendapat kebaikan ia menjadi kikir.
Kecuali orang-orang yang mengerjakan ibadat shalat’’
(Q.S. 70. Al-Ma’arij : 19 - 22)
Islam mengangkat martabat orang kaya yang pandai ber- syukur
sama dengan martabat orang fakir yang sabar, bahkan tempo-tempo
melebihinya. Islam menyusup ke tengah pergaulan manusia dalam
pengajaran-pengajaran yang diberikannya selaku pergaulan juru
penasihat yang amat pintar memberikan nasihat kepada orang yang telah
dewasa. Ia mengajak mereka untuk
mempergunakan segala kekuatan energi mereka lahir dan batin, dan
dalam hal itulah dengan tidak ragu-ragu dikatakan oleh Islam terletak
keredhaartl Ilahi dan arti syukur nikmatNya Dan Islam menyatakan,
bahwa dunia ini adalah kebun untuk per- bekalan akhirat dan tidak
akan sampai seorang kepada kebahagia- an yang akhir kecuali dengan
berusaha lebih dahulu dalam perbaikan nasibnya di dunia ini.
Kepada manusia-manusia yang berani mengingkari kebenaran
ajaran Islam itu, ia menantang mereka dengan ucapan :

"Katakanlah (hai Muhammad) kemukakanlah dalilmu sekiranya


kamu memang orang yang benar !’’
(Q.S. 2. Al-Baqarah : 1 1 1 , Q.S. 27. An-Nam] :64),

Islam mencela mereka yang gemar sekali bersengketa dan


bertengkar dalam soal-soal pokok ’akidah yang telah jelas ke-

200
terangannya, dan ia nyatakan, bahwa perpecahan itu adalah suatu
pendurhakaan dan keluar dari jalan kebenaran yang telah nyata. la
tidak berhenti pada memberikan pengajaran dengan perkataan dan
memberikan nasihat dengan berbagai penerangan, tetapi bahkan
dengan memberikan peraturan yang cocok dengan masyarakat
pergaulan hidup serta dapat diwujudkan dalam alam praktek. Oleh
sebab itu ia (Islam) mengizinkan orang Islam kawin dengan wanita yang
menganut Agama ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani, pen.), dan
memberikan kelapangan untuk memakan makanan yang disediakan
mereka serta menasehatkan supaya menghadapi kaum ahli Kitab itu
dalam sesuatu pertengkaran dengan cara yang paling baik.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa pergaulan yang mesra adalah
merupakan perutusan cinta-kasih dan ikatan persatuan, sedangkan
perkawinan (ipar-bisan) hanya bisa diwujudkan setelah terjadi lebih
dahulu rasa kasih-sayang antara keluarga kedua belah-pihak suami-
isteri dan setelah diikatnya kedua belah pihak dengan ikatan persatuan
yang erat, dan paling sedikit adanya kecintaan

201
sang suami kepada isteri yang berlainan agama dengan dia itu. Allah swt.
berfirman :

X'O ). A^os^jjo^yi
’’Allah telah menjadikan dari jenismu akan isteri-isteri untuk dapat kamu
menumpahkan ketenangan jiwa kepadanya, dan Ia jadikan antara kamu suami-
isteri rasa cinta dan kasih mesra’.’
(Q.S. 30. Ar-Rum : 21).
Kemudian Islam mewajibkan kepada kaum Muslimin sebagai suatu
ketentuan yang harus mereka penuhi ialah bahwa mereka harus
melindungi orang-orang yang.berada dalam tanggung-jawab mereka
(kaum kafir dzimmi yang rukun dengan pemerintah Islam, pen.),
sebagaimana mereka bertanggung-jawab melindungi diri mereka sendiri;
dan diterangkannya, bahwa mereka mempunyai hak yang sama seperti hak
asasi yang ada pada kaum Muslimin, dan bahwa juga mereka harus
memikul kewajiban sebagaimana kita harus memikulnya. Untuk
perlindungan kaum kafir zhimmi itu, mereka tidak diw^jibkan membayar
pajak kecuali sekadamya saja dari pajak harta kekayaan mereka. Setelah
mereka melunaskan jizyah (pajak) itu, Islam melarang memaksa mereka
untuk memasuki Agama Islam 30). Dan dalam hal ini Islam membujuk hati
kaum Mukminin dengan firmanNya :

_Z.

30 Ayat Al-Quran yang melarang paksaan dalam menganut Agama itu adalah turun sebelum
Surat Al-Baraat (At-Taubat), di mana disyari’atkan memungut pajak (jizyah), Maka paksaan
dalam menganut Agama itu adalah terlarang secaia mutlak. Tetapi bila kaum Muslimin
bermaksud untuk memerangi kaum kafir karena mereka diserang, atau karena penerangan
mereka dirintangi, umpamanya, maka wajiblah lebih dahulu menganjurkan supaya masuk
Agama Islam dengan secara sukarela. Maka bila mereka telah menganut Agama Islam
haramlah memerangi mereka itu. Dan adaikata mereka tidak mau, maka diajak mereka supaya
membayar jizyah, sekiranya mereka termasuk orang yang beihak membayar pajak itu. Seolah-
olah kaum Muslimin itu berkata kepada kaum kafir: kamu mengajak kami untuk tidak
memerangi kamu, dan kami menjawab: Boleh tidak Islam tetapi harus membayar pajak.
Perdamaian yang begini yang disetujui antara kedua belah pihak, tidak ada salahnya.

21.7
"Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu- sendiri, tidaklah akan
menyusahkan mereka yang sesat itu bila kamu telah dapat petunjuk’.’ (Q.S.
5.Al-Maidah : 105).
Maka tugas mereka hanyalah mengajak orang-orang itu kepada jalan
yang baik dengan cara-cara yang lebih terpuji pula. Mereka memang tidak
mempunyai hak dan tidak pula diwajibkan untuk memakai sesuatu jalan
kekerasan guna membawa orang supaya memeluk Islam. Karena
nurcahaya Islam itu wajar untuk dapat menembus semua hati manusia.
Dan ayat di atas itu tidak me- maksa kaum Muslimin untuk menjalankan
sesuatu kebaikan, karena manusia itu tidaklah dikatakan dapat petunjuk
Al-Qur an, kecuali setelah ia menegakkan kebaikan itu. Semua itu adalah
untuk menunjukkan kepada ummat manusia, bahwa Allah tidak akan
mendatangkan agama mereka untuk dijadikan gelanggang sengketa di
antara manusia, tetapi Agama itu didatangkanNya untuk menuntun
mereka kepada kebaikan dalam segala lapangan.
Islam melemparkan segala diskriminasi di antara jenis tingkat- an
golongan manusia dan ia menetapkan bagi semua fitrah manusia
mempunyai nilai sama di mata Tuhan, tak ada yang superior dan tak ada
pula yang inferior di antara kejadian ummat manusia itu. Mereka adalah
jenis makhluk yang terhormat dan mempunyai kehormatan untuk
mendekati Tuhan secara langsung dalam mencapai martabat yang tinggi
yang telah di- sediakan Tuhan bagi setiap makhluk insani. Jauh berlainan
dengan anggapan sementara manusia yang menganggap dirinya manusia
istimewa dengan suatu kelebihan yang terlarang bagi orang lain, ditambah
lagi adanya anggapan rakyat, bahwa mereka tidak akan bisa mengatasi
martabat orang-orang yang terhormat itu. Dengan jalan demikianlah
manusia istimewa itu, mematikan roh- semangat ummat banyak, dan
menjadikan mereka sebagai patung- patung dan tunggul mati belaka.
Di bawah ini akan kita kemukakan beberapa ’ibadat Islam seperti
yang tersebut dalam Kitab Suci dan Sunnah yang sahih, yang sesuai dengan
apa yang pantas dengan ketinggian Ilahi dan kesucianNya dari serupa
dengan segala sesuatu, lagi cocok dengan akal yang sehat kebaikan yang
terdapat dalam ibadat itu. Maka ibadat shalat umpamanya, adalah terdiri
dari ruku’, sujud, gerak dan diam, mengandung do’a merendahkan hati,
tasbih (mensucikan Ilahi), dan ta’zhiem (mengagungkan Allah).
Semuanya itu timbul dari rasa keinsafan akan kekuasaan Ilahi yang

218
menguasai segala kekuatan yang ada pada ummat manusia dan kekuasaan
yang mencakup segala sesuatu. Maka menjadi khusu’-lah hati kepada
Tuhan dan hormatlah kepada Nya semua roh; dan tak satupun hal itu yang
tidak dapat diselami oleh akal kecuali ketentuan bilangan-bilangan raka’at
sembah- yang, atau melempar beberapa buah jumrah di waktu
mengerjakan. ibadat haji, di mana dalam hal yang seperti itu mudahlah
menye- rahkannya kepada hikmat-kebyaksanaan Tuhan Yang Maha Tahu
lagi Maha Bijaksana 31 ^
Dan sama sekali tidak terdapat dalam ibadat itu hal-hal yang nyata
tidak ada gunanya dan yang mustahil pengertiannya, yakni apa yang dapat
merusakkan pokok-pokok yang telah ditentukan Allah untuk dapat
dipahamkan dan difikirkan oleh akal.
Adapun ibadat puasa 32) maka ia adalah suatu pencegahan
yang dapat mengagungkan perintah All ah dalam diri manusia dengan
mengeijakari ibadat puasa itu; dan dengan puasa dapat pula diketahui
nilai harganya nikmat di kala ia sudah tidak ada pada kita, serta dapat
pula diketahui besarnya kemurahan Ilahi di waktu memberikan nikmat
itu kepada kita.

"Diwajibkan kepada kamu mengerjakan ibadat puasa sebagaimana ia


diwajibkan pula kepada orang-orang sebelun kamu mudah-mudahan kamu
menjadi manusia yang takwa.” i)- (Q.S. 2. Al-Baqarah : 183).
Berbicara tentang bermacam-macam amal-perbuatan dalam
upacara ibadat haji, maka itu memperingatkan manusia kepada awal-

31 Imam Al-Gazali mengambil perumpamaan hal ini dengan ukuran resep obat- obat yang terdiri
dari campuran-campuran bahan kimia yang berbeda-beda; ada yang banyak campurannya dan
ada pula yang sedikit. Dan keadaan campuran yang berlebih-berkurang dalam banyak dan
sedikitnya itu baiklah diserahkan saja kepada ilmu pengetahuan dokter yang dapat
menentukan obat. Sedangkan bagi orang yang sakit baiklah ia mempercayai ilmu dokter dan
mengambil manfa’at dengan obat yang diberikannya. Tetapi apabila sisakit itu berkata: saya
tidak dapat menerima resep obat kecuali setelah saya mengetahui dulu faidahnya masing-
masing campuran zat kimia dalam resep itu, dan tahu apa faidahnya memberikan ukuran
banyak sedikitnya resep itu maka nyatalah ia seorang yang paling bodoh, dan niscaya ia akan
mati dengan penyakitnya itu. Bandingkanlah, bahwa kepercayaan orang mukmin terhadap
ilmu Allah dan hikmat kebijaksanaanNya lebih sempurna dari kepercayaan kepada siapapun.
Dan begitulah selanjutnya faidah ibadat sembahyang, haji dan sekalian macam ibadat dalam
membersihkan jiwa dari segala kejahatan dan mencegah dari perbuatan, yang mungkar ...
32 Patut juga di sini dikemulcakan hikmat ibadat zakat, tetapi ia dapat dibaca di belakang nanti
pada halaman 228.

219
awal kebutuhannya, dan digambarkan kepadanya bentuk persamaan di
antara pribadi-pribadi di antara semua orang walaupun ibadat haji itu
dilakukannya sekali dalam seumur hidupnya Di mana lenyap perbedaan
antara manusia yang kaya dan yang miskin, perbedaan antara hamba
dengan raja, dan semua orang sama-sama berkumpul dalam suatu
tempat (padang) yang satu, lagi sama-sama terbuka kepala, lagi tidak
boleh memakai pakaian yang dijahit, di mana mereka sama-sama
menghadapkan pengabdi- annya ke hadirat yang Satu, Allah Tuhan
semesta alam.
Semua itu mereka lanjutkan lagi dalam mengerjakan tawaf, sa’i,
wukuf, dan menyentuh batu hitam (hajar aswad) sebagai kenangan
kepada Nabi Ibrahim ’alaihissalam sebagai Bapak Agama di samping
mengi’tikadkan, bahwa tidak satupun di antara- peninggalan-
peninggalan yang terhormat itu yang dapat memberi madharat atau
memberi manfa’at kepada manusia. Segala mani- festasi yang mulia dari
segala macam bentuk amal-ibadat Islamiyah adalah disertai dengan
bukti yang dapat menyucikan Tuhan dan mengkuduskan Allah dari
segala apa yang diwahamkan oleh tasybih (mengidentikkan) Tuhan
dengan sesuatu. Coba Anda tunjukkan, manakah di antara ibadat-ibadat
yang tersebut itu yang dapat Anda temui dalam upacara-upacara ibadat
kaum-kaum

0 Periksalah tafsir ayat ini dan pendapat pengarang dalam Tafsir Al Manar jilid II ha lam an
157.
yang lain ? Yakni ibadat-ibadat yang menyesatkan akal fikiran manusia
yang tak dapat dikatakan untuk mengikhlaskan hati guna menyucikan
Allah dan mentauhidkanNya.
Islam telah menyingkapkan dari akal manusia gumpalan kabut
kewahaman yang menutupi akal itu tentang kejadian- kejadian alam yang
luas ini (jagat raya), dan alam yang kecil (manusia) Maka Islam
menetapkan, bahwa tanda-tanda kebesaran Ilahi dalam menciptakan
alam ini adalah beijalan menurut Sunnah (aturan) Ilahiyah yang telah
ditentukanNya dalam IlmuNya yang azali, yang tidak dapat diubah-ubah
lagi oleh sesuatu proses kejadian yang datang kemudian selain harus
diyakinkan, bahwa Allah tidak akan lalai dalam menjalankan
pekerjaanNya itu. Tetapi, bahkan wajib bagi seseorang untuk
menghidupkan ingatannya kepada Allah tatkala ia melihat kejadian alam
yang besar itu. Maka telah disampaikan dengan perantaraan lisan Nabi
saw:

220
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dm tanda dari antara tanda-
tanda kebesaran Allah. Tidak akan lenyap sinar keduanya karena
meninggal dunianya seseorang, dan tidak karena lahimya. Maka dari itu
bila kamu melihat gerhana keduanya, maka ingatlah akan Allah sampai
cahavanya timbul kembali
Hal itu jelas membuktikan, bahwa segala tanda-tanda kejadian alam
itu adalah berjalan menurut aturan yang satu, yang tidak bisa ditentukan
kecuali oleh ilmu Ilahi yang telah menentukan sejak dari azali (sebelum
alam ini tercipta) menurut aturan yang telah ditetapkanNya yang harus
dipatuhi.
Kemudian Islam membuang selubung dari diri manusia dalam
mengecap nikmat Ilahi terhadap individu-individu atau

221
ummat banyak, dan begitu pula terhadap musibah-bencana yane
dideritanya. Dan kedua-duanya harus dipisahkan demikian rupa.
Adapun nikmat Allah yang merupakan hiburan yang di- kecap oleh
pribadi-pribadi sebagai suatu kesenangan, dan begitu pula penderitaan
kehidupan yang dideritanya, adalah banyak; seperti harta benda, pangkat-
kedudukan, kekuasaan, anak-anak, ataupun berupa: kefakiran,
kerendahan, kelemahan dan ketiadaan anak, yang kadang-kadang tidak
ada sangkut pautnya dengan amal-perbuatan manusia pribadi dalam
perjalanan hidupnya sehari- hari seperti kejujuran dan kecuranganriya,
atau keta’atan dan kedurhakaannya.
Dan seringkali Allah membiarkan manusia yang jahat lagi durhaka,
ataupun orang yang zalim lagipun fasik untuk menghirup segala
kesenangan hidup duniawi sebagai suatu kesempatan sementara, hingga
keiak mereka menemui azab yang kekal di hari akhirat nanti.
Begitu pula kerapkali Tuhan menguji orang-orang yang saleh di
antara para hambaNya dan menyanjung mereka supaya me- nyerah ta’at
kepada hukumNya. Mereka itulah orang-orang yang apabila mereka
ditimpa oleh sesuatu musibah terbukti keikhlasan mereka menerimanya
dengan ucapari :

’’Sesungguhnya kami ini adalah kepunyaan Allah dan kemudian


kepada-Nya kami akan kembali semuanya’.’
(Q.S. 2. Al-Baqarah : 156) .
Maka karena itu tidak ada kemarahan si Zaid dan tidak pula
kerelaan hati si Umar, kejujuran sikap maupun keburukan amal-
perbuatannya, semua itu tidak ada hubungan sangkut- pautnya dengan
penderitaan-penderitaan dan nikmat-nikmat tertentu yang tersebut itu
tadi, kecuali hanyalah berupa hubungan antara sebab dan akibat seperti
hukum yang biasa berlaku, seperti : hubungan melarat dengan sikap royal,
kerendahan dengan sifat pengecut, kehilangan kekuasaan dengan sebab
berlaku zalim. Dan begitu juga seperti pertalian antara kekayaan dengan
disebab- kan pandai mengatur menurut " semestinya, dan terhormat di
mata orang banyak disebabkan banyaknya berjuang untuk ke- maslahatan
mereka dan lain-lain sebagainya seperti yang sudah dijelaskan dalam suatu
ilmu yang tersendiri pula.
Tetapi keadaan Ummat manusia (bangsa-bangsa) tidaklah seperti
yang digambarkan di atas itu. Sebab roh (semangat) yang diletakkan

222.
Tuhan dalam segala syari’at-syari’at Ilahi yang berupa: berfikir sehat,
membetulkan pandangan, mengatur hawa nafsu, membatasi segala
keinginan syahwat, memasuki segala persoalan dengan secara legal dari
pintunya, mencari sesuatu dengan jalan memenuhi syarat-syarat yang
dapat menjamin berhasilnya, me- melihara amanah-kepercayaan orang,
menyemarakkan persaudaraan, bekeija-sama atas dasar kebaikan, saling
nasihat-menasihati dalam soal baik dan buruk dan lain-lain sebagainya
yang menjadi faktor-faktor pokok kejayaan —, semangat yang demikian
itulah yang merupakan sumber kehidupan ummat dan cahaya
kebahagiaan mereka dalam kehidupan dunia ini sebelum datang akhirat.

"Dan siapa yang menghendaki pahala kebahagiaan


duniawi, kami berikan hal itu kepadanya’.’ (Q-S. 3.
Dan sudah pasti Allah tidak akan mencabut nikmat itu dari sesuatu
Ummat selama roh-semangat ini tetap teijaga pada diri mereka, bahkan
nikmat itu akan ditambahi oleh Allah selama roh itu masih kuat
bersemayam dalam dada mereka, dan sebaliknya mengurangi nikmat itu
dengan lemahnya semangat itu dari batinnya ummat. Hingga bila roh-
semangat itu bercerai dari ummat menjadi lenyaplah kebahagiaan itu dari
bekasnya semula serta diikuti pula oleh tidur nyenyak di dalam gubuknya
yang lama. Di waktu itulah Allah mengganti kehormatan sesuatu kaum
dengan kehinaan, jumlah pengikut mereka yang banyak menjadi sedikit,
nikmat-bahagia berganti dengan celaka, kese- nangan dengan penderitaan,
dan mereka diperintah oleh orang- orang yang zalim ataupun yang adil -,
maka hal itu semuanya
terjadi sedang mereka masih tenggelam dalam gelombang kelalaian
dan kealpaan. Firman Allah :

/ s l/s a
^ S'

"Dan apabila Kami (Allah) bermaksud untuk mencelakakan sesuatu


negeri, Kami perintahkan pemimpin-pemimpinnya yang hidup mewah untuk
menjalankan perintah Kami, tetapi mereka berlaku fasik dalam hal itu.
Maka Karenanya berhaklah mereka menerima ganjaran. Lantas Kami
(Allah) hancurkan mereka sehancur-hancumya.”
(Q.S. 17. Al-Isra’ : 16 ).
223
Kami (Allah) suruh mereka untuk menjalankan yang hak, tetapi
mereka berpaling kepada yang bathil. Kemudian, setelah pembalasan
datang, tidak ada gunanya lagi ratapan dan tangisan, dan tak ada
faedahnya segala rupa amal perbuatan yang lain, sedang do’a mereka
pun tidak diperkenankan lagi, dan tak ada suatu jalan keluar untuk
melepaskan diri dalam keadaan yang sangat kritis yang menimpa
mereka itu kecuali berlindung kepada roh-semangat yang suci-mulia itu
tadi, sambil memohon rahmat dari langit supaya diturunkan fikiran
sehat, ingatan segar, kesabar- an dan pandai bersyukur.

. ^ <i> 3^\>^i 4AM


„Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan apa yang ada
pada sesuatu kaum, hingga lebih dahulu mereka merubah apa yang ada
pada diri mereka sendiri’.’ (Q.S. 13. Ar-Ra’d :11).

Cvr
”Sunnah Allah terhadap orang-orang yang telah lalu sebelum kamu,
dan tidak akan engkau dapati perubahan dalam sunnah Tuhan itu’.’ (Q.S.
33. Al-Ahzab : 62).
Alangkah tinggi nilainya apa yang pernah diucapkan oleh paman
Nabi, Abbas bin Abd. Muthalib dikala beliau berdoa kepada Tuhan
supaya diturunkan hujan :

224.
”Ya Allah ! Bahwa bala itu tidak akan turun kecuali karena perbuatan
dosa, dan tidak bisa terangkat kecuali dengan taubat’.'
Di atas Sunnatullah (hukum alam) yang beginilah berjalan riwayat
kehidupan ummat yang telah silam. Maka dikala kaum Muslimin
menjulang tinggi roh-semangatnya dengan akidah-keper- cayaanyang
agung ini, sedang jiwanya bergelora dengan bermacam- macam amal-karya
yang terhormat —, adalah ummat lain menganggap, bahwa dia dapat
mertggoyangkan dunia ini dengan do’anya, dan memecah falak (planit)
dengan tangisnya saja, pada hal mereka sedang tenggelam. dalam arus
hawa nafsu dan kefanatikan yang meliwati batas; dan anggapan mereka -
yang seperti itu sedikitpun tidak mengandung kebenaran. 33)
Kitab Suci Al-Quran mendorong ummat Islam untuk me-
ngembangkan ilmu pengetahuan, mencerdaskan orang awam,
menganjurkan supaya menabur kebaikan dan menghentikan ke-
mungkaran, maka la berfirman :

’’Kenapakah tidak berangkat suatu rombongan diantara masing- masing


golongan supaya memperdalam pengetahuannya tentang Agama, dan
kemudian mereka memberikan peringatan-peringatan yang ber- harga
kepada kaumnya bila mereka kembali ketengah-tengah masya- rakal
mereka supaya mereka menjadi sadar ?”
(Q.S.9. At-Taubah:122).

33 Yakni, bahwa kaum Muslimin tatkala mereka pada kurun pertama berjalan menurut Sunnah Ilahi
dan berada dalam pimpinan dan kekuatan yang besar - adalah sementara bangsa seperti
ummat Nasrani sedang ditipu oleh agama mereka.. Mereka mengira, bahwa sesungguhnya
mereka dapat mencapai sesuatu dan hal-hal yang luar biasa dengan perantaraan berkat kaum
pastor dan doa-doa mereka saja. Tetapi kemudian keadaan berbalik sebagaimana -yang dapat
anda saksikan sendiri sekarang.
Kemudian hal yang demikian tadi diwajibkan oleh Allah dalam
Firman-Nya :

”Hendaklah muncul diantara kamu suatu golongan yang menga jak


manusia kepada kebaikan, dan menyuruh berbuat kebajikan dan melarang dari
perbuatan mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang menang' s (Q.S. 3.
Ali Imran: 104) .

C.\.o
"Dan janganlah kamu seperti halnya orang-orang yang berpecah- pecah dan
bersengketa setelah mereka mendapat pen erangan-penerangan, dan bagi
merekalah siksa yang besar.” (Q.S. 3. Ali Imran : 105).
i s ’ J A * / ’ ■ Z - ' J ! * j J S *
s'-cs'/

o.i «**?)

"Ingatlah pada hari dimana ada muka manusia yang menjadi putih berseri
dan ada pula wajah yang hitam masam; maka adapun orang- orang yang hitam
masam wajahnya itu kepada mereka dikatakan: Bukankah kamu kafir setelah
lebih dahulu jadi orting beriman ? Maka sekarang rasakarilah pedihnya azab
akibat kedurhakaan kamu itu ”
(Q.S. 3. Ali Imran : 106 ).
/
- \ (S*- * w i - / • / S- ’\ /t ^uv^v'
/ /''W /'• i - ’S'’?'
”Dan adapun mereka yang putih berseri-seri wajahnya, maka^ mereka
beradadalam rahmat Allah dimana mereka kekal-abadipadanya.
(Q.S. 3. Ali Imran: 107).

226
"Demikian itu adalah ayat-ayat Allah, kami bacakan dia kepada engkau dengan
sebenar-benamya; dan Allah itu tidak bermaksud zalim terhadap makhluk di alam ini’.’
(Q.S. 3. Ali Imran : 108).

Dan milik Allah apa yang ada pada planit-planit dan apa yang ada di atas bumi ini, dan
kepada Allah jua dikembalikan segala perkara’.’ (Q.S. 3. Ali Imran : 109).

Kemudian setelah memberikan peringatan keras ini yang


mengejutkan orang-orang yang lalai, dan begitupun setelah menge-
mukakan ancaman yang berhak ditimpakan terhadap pundak mereka
yang suka bersengketa dan berpecah-pecah, Allah menon- jolkan keadaan
pemuka-pemuka yang suka menganjurkan kebaikan dan mencegah yang
mungkar yang dengan tindakan itu mereka dapat mengubah keadaan
nasib ummat, maka Ia berfir-
m3n
.fit * '' •A-'tVY-'Z'Sf

"Adalah kamu sebaik-baik ummat yang dilahirkan di tengah-tengah ummat


manusia, kamu menyuruh dengan kebaikan dan mencegah dari perbuatan-
perbuatan mungkar, dan kamu percaya kepada Allah” (Q.S. 3. Ali Imran : 110)
^

Maka didahulukannya dalam ayat ini menyebutkan amar ma’ruf dan


nahi-mungkar dari menybbutkan iman (percaya) kepada Allah, padahal
iman itu adalah sendi di mana ditegakkan segala amal-amal kebajikan, dan
pokok yang akan menimbulkan bermacam-macam cabang kebaikan —,
adalah sebagai tanda peng- hormatan bagi kewajiban yang demikian itu
dan menunjukkan tinggi mutunya di antara bermacam-macam perintah
yang fardhu- fardhu; bahkan sebagai penegasan, bahwa kewajiban amar-
ma’ruf dan nahi-mungkar itu adalah penjaga iman dan pengendalikannya.
Kemudian Islam menentang dengan kerasnya terhadap kaum yang
melalaikan kewajiban amar-ma’ruf itu, dan begitu pula terhadap
penganut-penganut agama yang menghampakannya maka Allah berfirman
:

227
’’Telah dikutuk kaum Bani Israil yang durhaka dengan perantaraan lisan
Nabi Dawud dan Isa anak Maryam Demikian itu karena mereka telah
durhaka dan melanggar batas. Adalah mereka tidak berusaha men-
cegahnya perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sungguh buruk sekali
apa yang telah mereka perbuat itu’.’ (Q.S. 5. Al-Maidah : 78-79)

Dengan begitu mereka ditimpa oleh kutuk Tuhan, dan itu adalah
merupakan kutuk dan kemarahan Allah yang amat keras sekali.
Islam telah menentukan hak orang-orang fakir-miskin di dalam
harta-milik orang-orang kaya (zakat) menurut kadar yang telah
ditetapkan. Di mana orang kaya memberikan harta itu kepada orang
miskin untuk dapat menutupi hajat kebutuhannya yang ketiadaan, dan
sebagai penggembirakan kesusahan hati orang yang berhutang,
pembebaskan kaum hamba-sahaya dari perbudakan dan peringankan
ongkos perjalanan kaum musafir. Islam tidak pernah memberikan
anjuran terhadap sesuatu yang melebihi anjurannya terhadap
pengorban'an harta-benda untuk sesuatu jalan kebaikan, dan bahkan
banyak sekali hal itu dijadikan sebagai ciri iman seseorang dan sebagai
bukti, bahwa ia terpimpin ke jalan yang benar atau lurus. Maka dengan
begitu dapatlah terhibur hati kaum melarat, lenyaplah keiri-hatian dari
dada mere- ka terhadap orang yang diberikan Allah kurnia lebih dari
mereka dalam soal rezeki. Dan sebaliknya hiduplah dalam perasaan
kaum hartawan itu rasa cinta kasih kepada mereka yang melarat, dan
timbullah rasa santun dan kasihan dalam jiwa kaum berada itu terhadap
orang-orang yang menderita kemelaratan hidup itu. Maka dengan
demikian terhunjamlah ketenteraman dalam hati seluruh ummat
manusia; dan manakah lagi obat penyakit masyarakat (sosial) yang lebih
mujarab dari sistim ini ?

’’Demikian itu adalah kurnia Allah yang diberikanNya kepada siapa yang
dikehendakiNya, dan Allah mempunyai kurnia yang besar sekali’.’ (Q.S. 57. Al-

228
Hadid : 21).
Islam mengunci rapat dua buah pintu kejahatan, menutup dua buah
mata air yang menimbulkan bencana, yaitu : kerusakan akal dan harta-
benda, yakni dengan jalan mengharamkan minuman keras (khamar,
alkohol), permainan judi dan riba tanpa tawar- menawar lagi dalam
haramnya itu.
Setelah ditetapkan beberapa pokok keutamaan yang kita sebutkan
tadi, Islam tidak membiarkannya begitu saja, tetapi harus menjalankan ;
dan tidak ada sesuatu ibu dari segala amal- perbuatan kebajikan, kecuali
Islam menghidup suburkannya; dan tak ada satupun undang-undang yang
menjadi kaidah susunan pergaulan masyarakat kecuali Islam
menghormatinya. Sehingga bila umur manusia itu telah sampai dewasa,
seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, berhimpunlah pada dirinya :
kebebasan berfikir, dan kemerdekaan akal untuk memikirkan apa yang
baik menurut budi yang mulia, keteguhari watak dan apa yang terdapat di
dalamnya berupa kebangkitan kemauan untuk bekeija serta
mendorongnya ke arah jalan berusaha. Siapa yang membaca Kitab Suci
Al-Qur-an dengan sungguh-sungguh ia akan mendapatkan di sana suatu
perbendaharaan yang tidak akan habis dan simpanan yang tidak akan
lenyap. Apakah setelah orang menjadi cerdik-cendekia harus lagi diberikan
tuntunan ? Dan

229
setelah sempurna akal manusia itu harus dipimpin lagi ? Tidak perlu !
Telah jelas perbedaan siapa yang cerdas dan siapa yang bodoh. Dan tidak
ada lagi yang tinggal kecuali hanyalah mengikuti petunjuk dan mengambil
manfa’at dengan apa yang telah diberikan oleh tangan pertolongan Yang
Maha Pengasih untuk dapat mencapai dua kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan ini berakhirlah tugas Kenabian para Nabi itu dengan
Kenabian Muhammad s.a.w. dan selesailah sudah misi Kerasulan para
Rasul itu dengan Kerasulan beliau, sebagaimana hal itu telah ditegaskan
oleh Kitab Al-Qur-an dan dikuatkan lagi dengan keterangan Sunnah Nabi
yang sahih; dan jelaslah kekeliruan orang yang mendakwakan dirinya
sebagai Nabi sesudah Nabi Muhammad itu. Dan senanglah alam
seluruhnya dengan ilmu-pengetahuan yang disampaikan "beliau sehingga
tidak ada jalan lagi untuk membenarkan orang yang mendakwakan, bahwa
ia mendukung jabatan Kenabian itu, dan bahwa ia katanya menerima
wahyu pula daripada Allah s.w.t. Benarlah khabar gaib yang mengatakan :

’’Tidaklah Muhammad s.a.w. itu bapak salah


seorang di antara kamu, tetapi id adalah seorang
Rasul Allah dan seorang Nabi yang meng- akhiri
tugas para Nabi, dan adalah Tuhan-Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu(Q.S. 33. Al-Azhab : 40).

230
XVII
CEPATNYA ISLAM BERKEMBANG TAK ADA BANDINGANNYA
DALAM SEJARAH

Adalah hajat kebutuhan bangsa-bangsa kepada suatu perbaik- an


yang besar telah umum dirasakan oleh semua. Maka oleh sebab itu
Allah menjadikan Kerasulan Nabi yang terakhir adalah umum
(universal) untuk seluruh dunia seperti demikian pula. Tetapi sungguh
mengagumkan akal para penyelidik sejarah ummat manusia dikalaia
melihat, bahwa terhadap Agama ini (Islam) telah ber-
gabungkepadanyabangsa Arab semenjak dari lapisan bawah sampai
cabang atasnya dalam masa yang kurang dari tigapuluh tahun saja.
Kemudian ia telah pula dianut oleh bangsa-bangsa lain yang mendiami
bumi yang terletak antara lautan Atlantik dan dinding tembok besar
(Great Wall) negeri Tiongkok dalam masa yang kurang dari satu abad
dan hal itu adalah merupakan suatu peristiwa yang sama sekali tidak
dikenal dalam sejarah perkembangan agama- agama. Dan oleh
karenanya banyaklah orang yang salah dalam menjelaskan sebab-
sebabnya, sedang ahli sejarah yang adil mendapat petunjuk dalam soal
itu sehingga keheranannya men- jadi hilang lenyap.
Agama ini dimulai dengan da’wah seperti juga halnya dengan
agama-agama yang lain. Dan ia menghadapi perlawanan dari musuh-
musuhnya yang paling hebat melebihi dari apa yang pernah dihadapi
oleh kebenaran di kala ia menghadapi tantangan kebatilan. Penyeru
Islam, Muhammad s.a.w. disiksa dengan bermacam-macam siksaan. Di
hadapannya didirikan oleh musuh-musuhnya beberapa rintangan-
rintangan yang sulit yang sukar menghancurkannya kalau tidaklah
dengan pertolongan Ilahi. Para pengikut yang pertama-tama, yakni
mereka yang memperkenankan seruan beliau
diazab sedemikian rupa, dihalangi dalam mencari rezeki (blokade

231
ekonomi), diusir dari kampung halaman, dan ditumpahkan darah
mereka yang mengalir deras. Tetapi darah mereka yang mengalir
membasahi bumi itu adalah laksana mata air cita-cita yang me- mancar
dari batu besar keuletan. Dengan darah yang mengalir itulah Allah
meneguhkan keyakinan hati orang yang mencari keyakinan itu, dan
sebaliknya dengan darah itu pula Allah menggetar- kan hati orang-orang
yang masih ragu-ragu.
Terhadap mereka yang ragu-ragu, darah itu mengalir meng-
hancurkan watak mereka yang buruk itu, sehingga darah itu ke- luar
dari tenggorokannya tak ubahnya seperti darah-darah koior yang
dikeluarkan oleh tangan dokter-dokter yang pintar sebagai suatu seleksi.

„Supaya Allah menyisihkan yang buruk dari yang baik, dan Allah
menjadikan yang buruk itu berantakan satu sama lainnya; kemudian
dikumpulkanNya semua yang buruk itu. Maka akhimya semua itu
dilemparkanNya ke dalam.api neraka jahannam; mereka itulah orang-
orang yang celakal’ (Q.S.8. Al-Anfal : 37).
Berkumpullah pendukung-pendukung agama-agama yang
bermacam-macam yang menempati jazirah Arabia, dan sekitarnya
menantang Islam, supaya mereka dapat mematahkan benihnya yang
baru tumbuh dan membunuh da’wah-penerangannya yang sedang
beijalan. Maka senantiasalah posisi Islam waktu itu mem- pertahankan
dirinya tak ubahnya seperti kedudukan orang yang lemah menghadapi
kekuatan orang yang kuat, dan sebagai seorang yang fakir menghadapi
orang-orang yang kaya, dan tak ada pembelanya kecuali bahwa ia adalah
suatu yang hak menghadapi kebatilan-kebatilan, suatu petunjuk yang
berada di tengah- tengah kesesatan-kesesatan, sehingga akhirnya ia juga
mendapat kemenang- an dengan jalan yang terhormat, dan kemuliaan
dengan kekuatan
yang tak terkalahkan. Dan telah datang pula ke bumi Arabia itu bangsa
lain yang menganut agama yang lain pula yang mengajak orang
menganut agamanya itu, sedang mereka mempunyai raja-raja yang

232
perkasa, terhormat lagi mempunyai kekuatan-kekuatan. Mereka
datang mengajak bangsa Arab itu dengan paksaan supaya menganut
kepercayaan yang mereka bawa, namun demikian mereka tidak dapat
mencapai kemenangan, dan tak ada faedahnya bagi mereka kekerasan
yang mereka pakai itu.
Islam menggembleng seluruh penduduk Arabia itu menjadi satu
apa yang tidak dikenal oleh sejarah, dan tidak ada contoh kejadian
seperti itu dahulu sebelumnya. Adalah Nabi Muhammad s.a.w. dengan
jiwa besar telah menyampaikan Risalahnya dengan perintah Tuhannya
kepada bangsa-bangsa yang berada di sekitar tanah Arab itu, yaitu
kepada Raja-raja Persia dan Romawi. Tetapi mereka ini membalasnya
dengan sinis dan keengganan, bahkan mereka dengan jahatnya melawan -
Nabi dan pengikut- pengikut beliau. Mereka mengadakan kerusakan di
jalan jalan dan menggencet kaum pedagang. Maka Nabi menghadapi
mereka - dengan dirinya sendiri, dan disamping itu pernah pula dalam
sejarah hidupnya beliau mengirimkan delegasi perdamaian kepada Raja-
raja tersebutitu. Para sahabat tetap setia menjalankan sunnah beliau
selaku pengikut yang patuh kepada pemimpinnya mencari kerukunan
dan menyampaikan da’wah penerangan Islam.
Begitulah mereka mempertahankan kebenaran Islam yang ada
pada tangan mereka sekalipun keadaan diri mereka lemah dan berada
dalam kemiskinan. Namun dengan begitu mereka menghadapi bangsa-
bangsa yang kuat dan kaya, bangsa yang banyak jumlahnya, serta
cukup perlengkapan dan persiapannya, maka semua bangsa-bangsa
yang demikian keadaannya itu mereka kalahkan sebagaimana yang
diketahui dalam sejarah.
Setelah peperangan selesai dan kemenangan yang meyakinkan
serta kekuasaan telah berada di tangan kaum Muslimin yang
menaklukan, mereka bersikap lemah-lembut atas lawannya yang
dikalahkan itu dengan perlakuan yang sopan-santun. Mereka
diperkenankan tetap tinggal memeluk ajaran agama mereka selama
ini serta merdeka dalam keadaan aman-tenteram menjalankan segala
upacara keagamaan itu; dan mereka mengumumkan jaminan
perlindungan terhadap segala gangguan yang menimpa keluarga dan
harta-benda bangsa yang kalah itu, dan untuk mereka diwajibkan
233
mengeluarkan sekedar penghasilan mereka menurut syarat-syarat yang
ditetapkan.
Tetapi berlainan halnya dengan raja-raja yang lain dari kaum
Muslimin, yakni apabila mereka dapat menaklukkan kerajaan negeri
lain, maka tentaranya yang menang itu dengan jalan kekerasan pula
membawa orang kepada agamanya; mereka meng- obrak-abrik rumah-
rumah rakyat dan mendatangi majlis-majlis pertemuan mereka untuk
menarik mereka supaya menganut agama kaum penakluk itu. Satu-
satunya alasan yang mereka kemukakan, ialah kemenangan dan
kekuatan yang sedang berada di tangan mereka. Dan hal yang semacam
itu tidak pemah teijadi bagi penakluk-penakluk Muslimin, dan tidak
pernah dikenal dalam sejarah kemenangan Islam, bahwa ia mempunyai
suatu badan propaganda yang diberikan tugas istimewa untuk
mempropaganda- kan ajaran Islam guna menyuntikkan akidah-akidah
kepercayaan Islam itu di antara orang-orang yang bukan Islam. Akan
tetapi kaum Muslimin demikian mesranya bergaul dengan orang lain itu
dan berbaik-baik dengan mereka dalam mu’amalat kehidupan sehari-
hari. Dunia menyaksikan sendiri dengan teliti, bahwa Islam berlaku sup
cl dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa yang di- kalahkan itu dan
menganggapnya sebagai suatu kehormatan dan kebajikan, di samping
moral orang-orang ErOpa menganggapnya sebagai suatu kelalaian dan
kelemahan. Islam melenyapkan segala beban pajak-pajak harta yang
memberatkan, dan mengembalikan harta orang yang dirampas kepada
yang punyanya, dan mencabut hak-hak dari siapa yang merampasnya,
dan di samping itu mem- perlakukan sama hak antara orang Islam dan
bukan Islam di waktu timbulnya gugat-menggugat di muka hakim.
Bahkan demikian hati-hatinya kaum Muslimin setelah penaklukkan itu,
bahwa mereka tidak mau menerima orang masuk Agama Islam kecuali
bila hal itu dilakukan di hadapan hakim (Qadhi) syar’i, yak- ni dengan
pengakuan Muslim yang baru itu, bahwa ia masuk Islam adalah dengan
kerelaan hati sendiri tanpa paksaan, dan bukan pula karena
menginginkan sesuatu keuntungan duniawi. Sampai pada sebagian
zaman Khalifah-khalifah bani Umaiyah para pejabat pemerintahan
(gubemur) tidak sudi melihat orang-orang beramai- ramai masuk Islam,
karena hal itu menurut hemat mereka akan mengurangkan jumlah pajak

234
(jizyah) yang masuk ke kas negara. Tetapi keadaan pejabat negara yang
seperti itu adalah tidak mustahil merintangi kemajuan Islam sendiri.
Oleh karena itu Khalifah Umar bin Abd. Aziz memerintahkan untuk
mengambil tindakan (ta’zir) kepada penjabat-penjabat negara seperti
itu. 34)
Para Khalifah dan raja-raja Islam di s6gala zaman tahu, bahwa di
antara kaum ahli Kitab (Yahudi, Nasrani) bahkan juga di kalangan lain
terdapat banyak orang-orang yang ahli dalam berbagai lapangan
pekeijaan. Maka mereka itu diangkat sebagai pegawai dan diberi
kedudukan yang lebih tinggi sehingga ada di antara mereka yang
memegang pimpinan militer di Spanyol.
Termasyhurlah adanya kemerdekaan Agama di Negeri-negeri
Islam, sehingga kaum Yahudi yang tinggal di Eropa melarikan diri
dengan agama mereka ke negeri Andalusia dan ke daerah-daerah lain.
Begitulah sikap kaum Muslimin dalam pergaulan hidup mereka
terhadap penganut-penganut agama lain yang mereka lindungi dengan
mata pedangnya. Mereka tidak berbuat sesuatu selain, bahwa mereka
membawakan Kitab Allah dan syari’at-Nya kepada mereka itu dan
meletakkannya di atas meja pertimbangan mereka, terserah bagi
bangsa-bangsa yang menganut agama lain itu untuk menerimanya
ataupun menolaknya, dan untuk itu kaum Muslimin sama sekali tidak
memaksa mereka dengan suatu kekerasan. Dan begitupun berkenaan
dengan pajak (jizyah) mereka tidak

34 Karena.tindakan yang diambii beliau itu, seorang gubernur Mesir mengadu kepadanya. Lantas beliau
menjawab: Bahwa Nabi Muhammad s.a.w. dikirim Tuhan adalah
sebagai pemimpin, dan bukan sebagai penagih pajak*’
235
Maka apakah sebabnya gerangan para penganut agama yang ber- macam-
macam itu kemudian menjadi lebih cinta kepada Islam, dan lebih puas
dikenakan
menerima apa yangyang
kebenaran memberatkan orang untuk
terdapat dalam Islam membayamya.
itu di atas dari apa yang ada pada diri mereka sendiri; sehing-
ga mereka memasuki Islam secara berbondong-bondong, dan mereka
berkorban dalam mengkhidmati Agama Islam itu melebihi pengorbanan
yang diberikan oleh bangsa Arab sendiri ?
Agama Islam muncul di kala jazirah Arab penuh dengan bermacam-
macam ibadat yang mengabdi kepada dewa-dewa, tenggelam
dalamdemoralisasi dan perangai-perangai yang keji yang sangat
mempengaruhi tabi’at penduduk, tetapi semua itu dapat dibasmi oleh Islam
dan penduduknya dibimbingnya ke .arah jalan yang benar. Karenanya
menjadi yakinlah para pembaca Kitab- Kitab Suci, bahwa hal yang demikian
itu adalah bukti kebenaran janji Allah kepada Nabi Ibrahim dan Ismail, dan
terbukti pula terkabulnya do’a Al-Khalil (Nabi Ibrahim) kepada Tuhan-Nya'
yang berbunyi :

„ Ya Tuhan Kami, bangkitkanlah pada mereka:


seorang Rasul dari kalang- an mereka
sendiri!” (Q.S.2. Al-Baqarah : 129).
Bahwa inilah dia Agama yang dengan gembira diberitakan oleh para
Nabi kepada kaumnya yang akan muncul kemudian kelak. Karenanya tidak
ada peluang bagi pemimpin yang jujur untuk menantang kebenaran Agama
itu, maka akhirnya mereka (ahli Kitab) dengan gembira memasuki agama itu
serta meninggal- kan Agama yang mereka peluk bersama kaum mereka
selama ini dengan disertai ketabahan hati menghadapi reaksi dari kaum
reaksioner.
Perubahan sikap yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh pemimpin yang
jujur itu berpengaruh besar kepada para pengikut yang masih ragu-ragu
yang akhirnya mereka sendiri tertarik untuk turut meninjau Agama baru itu,
maka temyata mereka mendapat- kan di dalamnya keramah-tamahan,
kebajikan dan nikmat; tak ada amal yang bertentangan dengan
perikemanusiaan yang merupakan faktor yang menentukan bagi
kemaslahatan dan kasih sayang . Karenanya men gertilah mereka itu, bahwa
Islam mengangkat rohani mansia dengan ingatannya ke alam ketuhanan di

236
mana ia meningkat dari alam yang rendah naik membubung mendekati alam
malakut yang tinggi; dan Islam mengajak rohani manusia itu untuk
menghidupkan ingatan kepada Tuhan dengan melakukan ibadat shalat lima
kali pada setiap hari dan malamnya. Di samping itu Islam tidak melarang
untuk bersenang-senang dengan hiburan yang baik-baik. Ia tidak
mewajibkan latihan-latihan rohani yang berat dan bermacam-
macamlatihanhatin yang membenci dunia yang sukar sekali dapat diterima
oleh fithrah manusia. Karena orang juga bisa mencapai keredhaan Allah dan
mencapai pahalanya walaupun dalam menunaikan hak biologis-badaniah
sekalipun, asal saja hal itu dilakukan dengan niat yang baik dan cara yang
terpuji. Maka apabila suatu waktu syahwat itu bergelora atau hawa nafsu
menjadi memuncak, berleluasa tak terkendalikan lagi oleh manusia —, maka
adalah keampunan Ilahi telah menunggunya asal saja hamba memohon
taubat dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, dan kembali insaf seinsaf-
insafnya terhadap keteledorannya itu. Jelas bagi mereka kemumian Agama
itu tatkala mereka telah membaca Kitab Suci Al-Quran dan melihat riwayat
hidupnya tokoh-tokoh Agama yang bersih yang menyampaikan Agama itu
kepada mereka. Dan nyata bagi mereka perbedaan antara ajaran 35) yang
tidak bisa dimengerti, dan apa yang dapat diterima oleh ilmu-pengetahuan
tanpa susah payah. Maka karenanya mereka datang berbondong-bondong
menuju kepada agama itu dengan tidak merasa keberatan untuk -
melepaskan kepercayaan yang mereka anut selama ini.
Adalah semua ummat meminta agama yang sesuai dengan akal, maka
Islam memenuhi permintaan itu, dan ingin melihat iman yang adil, maka
Islam mendatangkannya. Maka apakah yang menghalanginya sekajang
untuk berlumba-lumba mempraktekkan apa yang telah dimintanya itu ?
Adalah semua pihak mengeluh karena adanya pengaruh perbedaan-
perbedaan tingkatan golongan (feodalisme) atas segolong- an manusia yang
lain yang tak dapat dibenarkan, dan adalah hukum yang berlaku dikalangan
mereka, bahwa pertimbangan terhadap golongan yang rendah harus ditekan
oleh kepentingan hawa nafsu pihak golongan yang lebih tinggi. Kemudian
djatanglah agama memberikan__batas-batas ketentuan hak dan ia
memperlakukan sama antara semua—tingkatan golongan dalam
menghbrmati hak asasi diri mann-iia. agama, kehormatan dan harta-benda

35 Yang pertama, adalah seperti ajaran terpadunya ,,antara tiga dan satu’1 (Trinity dalam Kristen). Dan yang ke dua
(Islam), tentang alam gaib yang tidak mustahil keada- annya.
237
mereka. Karenanya, Islam memberi kesempatan kepada seorang perempuan
yang miskin lagi bukan muslimat untuk menyatakan keberatannya menjual
rumahnya yang kecil walaupun berapa saja dibeli oleh seorang Raja yang
Besar lagi berkuasa mutlak dalam daerah yang besar pula, walaupun hal itu
dilakukannya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi adalah untuk
perluasan masjid, umpama- nya. Maka tatkala bulatlah tekad raja untuk
mengambil rumah itu dengan memberikan ganti kerugian yang berlipat
ganda, mengadu- lah perempuan miskin tadi kepada Khalifah (Kepala
Negara), maka lantas sang Khalifah memerintahkan kepada raja supaya
mengembalikan rumahitu kepada perempuan pemiliknya kembali, serta
mencelaraja(amier)itu dari bleidnya yang tidak bijaksana. 36)
Keadilan Islam, yang'memberikan kesempatan kepada seorang Yahudi
untuk menggugat Ali bin Abi Thalib dalam suatu pengadil- an, pada hal kita
tahu siapa itu Ali bin Abi Thalib. Dan perkara itu diserahkan bulat-bulat
kepada hakim sampai ia menentukan siapa yang benar di antara ke dua
belah pihak.
Inilah dan ajaran-ajaran yang telah terdahulu tadi itu yang dibawa
oleh Islam, itulah yang menyebabkan musuh-musuh Islam menjadi cinta
kepadanya dan yang menyebabkan hasrat hati mereka tertarik kepadanya
sehingga mereka menjadi pembantu dan pem- belanya yang setia.
Pada setiap zaman, kaum Muslimin itu dikendalikan oleh roh Islamnya.
Maka adalah menjadi watak mereka : sayang kepada orang lain yang
menjadi tetangga,mereka itu. Hati mereka tidak mempunyai rasa dendam
permusuhan kepada orang-orang yang berlainan agama dengan mereka,
kecuali bila tetangga itu telah menggencet mereka lebih dahulu. Mereka juga
siap untuk belajar dari orang lain, dan mereka tidak lain dari suatu
kelompok yang suatu waktu bisa mendatangi sesuatu tempat dan kemudian
bersedia pula meninggalkannya untuk pindah ke tempat lain. Maka apabila
sebab-sebab yang melukai hati telah tak ada lagi, maka kembalilah perasaan
hati seperti sediakala penuh dengan lemah-lembut dan kasih sayang.
Di samping itu, bahkan dalam keadaan kaum Muslimin itu lalai tentang
kepentingan Islam, dan perbuatan mereka yang dapat merugikan Agama,
sefta banyaknya usaha orang untuk meruntuhkan agama itu dengan

36 Hal ini pernah terjadi pada seorang wanita Qubtiah (Mesir) beserta Amir (gubernur) Mesir Umar bin Ash, dan
Khalifah tempat perempuan itu mengadu adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a.

238
bersandarkan ilmu pengetahuan atau tidak, tetapi namun tersiamya Agama
Islam itu tidak dapat di- bendung, terutama di negeri Tiongkok dan benua
Afrika. Dan belum pemah zaman melihat Agama-agama yang dapat
menanam- kan akidahnya ke dalam dada orang banyak sebagaimana hasil
yang diperlihatkan oleh Islam, pada hal: tidak ada kekuatan raksasa di
belakangnya,tidak ada barisan pelopor di depannya yang menye- ru untuk
memasukinya.
Tetapi mereka memeluknya adalah semata-mata karena kesadaran
sendiri tentang ajaran-ajaran yang dibawanya serta tidak begitu susah
menggunakan fikiran untuk mengetahui apa-apa yang disyari’atkannya.
Dari sini tahulah Anda, bahwa cepatnya berkembang Agama Islam dan
datangnya manusia dari bermacam-macam agama untuk menganut i’tikad
kepercayaannya, adalah karena mudah dapat diterima oleh akal, mudah
dimengerti hukum-hukumnya serta keadilan syari’atnya.
Pendeknya, karena fithrah manusia itu sendiri mencari agama, tempat
mengembalikan segala persoalan yang menyintuh ke- pentingannya, dan
mencari agama yang lebih dekat kepada hati dan perasaannya, yang lebih
membawanya kepada ketenteraman jiwa raga di dunia dan akhirat. Agama
yang seperti ini keadaannya (Islam), tentulah mudah mendapat tempat yang
berpengaruh dalam hati dan diterima oleh akal, tanpa memerlukan kepada
propagandis- propagandis yang mengeluarkan anggaran belanja yang
banyak dan waktu-waktuyangpanjang, tidak perlu kepada banyaknya cara-
cara dan berbagai media untukdapatmenundukkan hati buat memeluk- nya.
Beginilah keadaannya Agama Islam dalam kemumiannya yang
pertama, kesuciannya yang telah diberikan Tuhan kepadanya, dan
senantiasalah dia dipeluk oleh sebagian besar ummat manusia di seluruh
pelosok dunia dewasa ini.
Terdengarlah bicara orang yang tidak paham terhadap ke- terangan
yang kami kemukakan itu atau memang tidak mau mengerti, katanya:
„Bahwa sesungguhnya Islam tidak akan bisa dianut oleh hati-sanubari orang
di seluruh dunia demikian cepatnya, melainkan karena kilatan mata pedang.
Maka begitulah kaum Muslimin menaklukkan negeri orang lain sedang
Kitab Al-Quran berada pada salah satu dua tangannya dan pedang di tangan
yang sebelah lagi; mereka mengemukakan Al-Quran kepada bangsa yang
dikalahkan, maka bila hal itu ditolak, pedanglah yang menjadi hakim antara
239
dia dan nyawanya”
Amat suci Engkau ya Tuhan, ini tidak lain adalah kebohong- an yang
paling besar! Sebenarnya keterangan-keterangan yang telah kami paparkan
tadi itu yang berupa pergaulan kaum Muslimin beserta orang yang berada di
bawah kekuasaan mereka, memang begitulah yang diceritakan oleh riwayat
yang mutawatir yang teijamin kebenarannya lagi tidak dapat diragukan lagi,
sekalipun terdapat perbedaan pendapat dalam komentamya. Dan adapun
kaum Muslimin itu termasyhur pandai menghunus pedangnya adalah
sekedar untuk mempertahankan diri mereka, dan untuk membendung
serangan musuh guna melindungi agama mereka. Kemudian teijadinya
penaklukkan sesudah itu adalah sebagai suatu kepentingan kerajaan
(Negara) yang logis. Tak ada sikap yang ditunjukkan oleh kaum Muslimin
terhadap penganut agama lain kecuali pergaulan yang mesra antara telangga
dengan tetangganya. Maka hidup bertetangga menurut Islam adalah sebagai
kesempatan baik untuk menyiarkan Islam, dan karena kebutuhan orang
kepada kemerdekaan fikiran dan amal-perbuatan adalah merupakan do-
rongan pula untuk berpindattnya kepada memeluk agama Islam itu.
Kalau sekiranya hendak dikatakan juga, bahwa pedang itu dipakai
sebagai alat untuk menyiarkan agama 37), maka memang ia telah
dipergunakan untuk memaksa orang guna menganut sesuatu agama tertentu
dan memestikannya; dan menteror setiap ummat yang tidak mau
menerimanya dengan cara kekerasan dan menyingkirkannya dari
permukaan bumi sambil dibackingi oleh banyaknya jumlah serdadu,
perbekalan yang sempuma dan dengan segala kekuatan untuk dapat
mencapai maksudnya. Keadaan itu telah dimulai selama tiga abad sebelum
kedatangan Agama Islam, dan senantiasa kekerasan teror itu beijalan tujuh
abad kemudian setelah kedatangan I alam atau lebih, yang kesemuanya itu
lengkap sepuluh abad; namun tidak dapat menandingi hasil yang dicapai
oleh Islam dalam usaha menyebarkan kepercayaannya selama kurang dari
satu abad itu. Dan tidak cukup dengan tekanan militer begitu saja, tetapi
setiap langkah pasukan militer maju ke depan, melainkan di belakangnya
telah menyusul propaganda kaum Zending yang leluasa berkata semau-
maunya saja kepada rakyat di bawah lindungan kilatan mata pedang itu,

37 Inilah bukti yang ditunjukkan oleh bangsa Eropah untuk menyiarkan agama Nasrani dengan paksaan dan tekanan
kekuatan militer sebelum datang Islam dan sesudahnya. Tetapi aneh, dialah yang menuduh kaum Muslimin
berbuat demikian sebagai kebohongan dan kepalsuan.

240
serta gairah yang memancar dari hati, lidah yang fasih bicara dan fonds ke-
uangan yang cukup yang dapat memperdayakan orang-orang yang lemah
imanriya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah bukti- bukti yang
cukup bagi mereka yang ingin melihat kenyataan.
***
*
Jelaslah hikmat Ilahi yang tersimpan dalam Agama ini: Se- buah
sumber mata air kehidupan tumbuh memancar di tanah gurun tandus
Arabia, suatu negeri yang diciptakan Allah terjauh dari kemajuan; mata
air itu melimpah sehingga menggenangi seluruh tanah pasir yang kering
itu, yang kemudian menghidup- suburkannya dalam suatu bentuk
kehidupan bangsa yang bersatu kuat; yang kemudian mata air itu
membanjir jauh sampai menggenangi beberapa kerajaan yang harum
semerbak kelangit biru namanya, yang peradabannya telah terkenal maju
di atas muka bumi.
Arusnya yang tenang mengalir itu telah dapat menggoncang- kan
hati sanubari yang selama ini keras laksana karang, sekarang ia belah
untuk dapat diisi dengan rahasia kehidupan ini. Mereka berkata, bahwa
hal itu tidak bisa lepas -dari suatu gerakan yang dapat memaksakan
kekalahan. Kami menjawab, bahwa yang demikian itu adalah Sunnatullah
(hukum alam) bagi segala makhlukNya, yang berupa: perlawanan yang
terus-menerus antara hak dan batil, perlawanan antara pengertian aengan
kebodohan yang tetap bertarung di atas alam ini sampai keputusan Tuhan
datang menentukan.
Apabila Allah menurunkah hujan kepada suatu daerah bumi yang
kering tandus agar ia dapat menghidupkan tanam-tanaman yang mati,
menggenangi tempat yang kehausan, menambahkan kesuburan padanya,
maka apakah mengurangkan kesanggupanNya untuk mengorak bendung
yang merintangi jalannya, ataupun untuk merubuhkan rumah yang tinggi
sekalipun, yang tegak merintangi jalan air itu ?
Islam telah memancarkan cahayanya yang terang-benderang
terhadap negeri-negeri yang telah sampai ajaran Islam itu kepada
penduduknya 38).

38 Penjelasan terhadap apa yang dilakukan Islam yang memberi petunjuk kepada bangsa-bangsa bukan Arab
sebagaimana juga yang dilakukan oleh Islam terhadap bangsa Arab sendiri.
241
Maka tak ada perhubungan antara para penduduk negeri itu dengan
Islam kecuali mereka sangat tertarik untuk mendengarkan kalam Allah
dan memperdalam pengetahuannya tehtang Islam itu Kaum Muslimin
masing-masingnya sibuk bekerja-sama untuk mencapai kemajuan
beberapa zaman lamanya akan tetapi pada suatu zaman mereka
menyimpang dari jalan agama itu. Dalam keadaan seperti yang tersebut
belakang ini, perkembangan Islam itu ter- henti demikian rupa, tak
ubahnya seperti terhentinya kemajuan seorang panglima perang yang
ditinggalkan oleh pasukan-pasukannya, dan hampir-hampir saja ia belot
lari kebelakang, tetapi Allah mempunyai perhitunganNya sendiri.
Maka dalam pada itu datanglah mengalir banjir serangan tentara
Tartar di bawah komando Jenderal Jengiz Khan menyerbu ke negeri-
negeri Islam, dan mereka melakukan bermacam-macam tindakan
kezaliman dan kebiadaban yang luar biasa kepada kaum Muslimin.
Mereka adalah pendukung agama dewa-dewa (heathen, watshani), mereka
datang adalah semata-mata dengan tujuan hanya untuk mengalahkan,
merampok dan menghancurkan, dan tetapi anehnya, tidak berapa lama
kemudian mereka telah meme- luk Islam sebagai agamanya. Ag^ma ini
mereka bawa pulang ke kampung halaman mereka kembali, maka mereka
siarkanlah Islam itu di kalangan kaum (bangsa) mereka (Mongol) sebagai
juga Islam itu tersebar di negeri-negeri lain. Aneh! mereka datang
membawa malapetaka yang besar, tetapi kembali dengan suatu
kebahagiaan yang tidak ada taranya (menganut Agama Islam, pen.).
Melihat perkembangan Islam yang secepat kilat itu, bangsa- bangsa
Barat bersatu serentak untuk menyerang negeri Timur
(Islam), 39) dimana seluruh lapisan rakyat, — baik raja, maupun rakyat
biasa — turut melakukan penyerangan besar-besaran itu. Dan begitulah
timbul persengketaan yang tidak henti-hentinya antara bangsa-bangsa Barat
dan Timur lebih dari dua ratus tahun lamanya; dimana orang-orang Barat
untuk itu telah menghimpun segenap gairah dan semangat keagamaannya
apa yang belum pernah teijadi sebelumnya. Mereka mengadakan mobilisasi

39 Penjelasan bagi berkobernya Perang Salib untuk menghancurkan Islam di Timur. Dan sepantasnya bagi orang
Islam untuk mengetahui sejarah perkembangannya selanjutny^ serta mengetahui pula manfa’at yang diambil oleh
orang-orang Eropa dari kelebihan- kelebihan Islam yang dibawa mereka pulang ke negerinya untuk perbaikan
urusan dunia dan akhirat mereka; sedang kebanyakan orang Islam tidak mengetahui hal ini.

242
umum untuk jadi militer, mengerahkan segenap persiapan kekuatannya
dengan sekuat daya-upaya mereka, dan dengan itu mereka berangkat me-
nuju negeri-negeri Islam. Tetapi dengan berkat roh-semangat Mam yang
masih tinggal bergelora dalam dadanya kaum Muslimin waktu itu, mereka
dapat memukul dan mengalahkan orang-orang Barat itu pada banyak
negeri-negeri Islam yang diinjak oleh mereka; dan berakhirlah peperangan-
peperangan yang seru dan dahsyat itu dengan terusirnya orang-orang Eropa
(kaum Salib) itu dari negeri-negeri Islam.
Kenapa orang-orang Eropa (kaum Salib) itu datang menyerang negeri-
negeri Islam? dan apakah yang dapat mereka bawa pulang ke negerinya ?
Para pembesar Agama di Barat telah mendapat kemenangan dengan
dapatnya apa yang mereka maui, atau dapat menghasut raja-rajanya dengan
menanamkan perasaan, bahwa mereka mempunyai hak untuk menjajah
negeri -negeri Islam. Karenanya datang- lah mereka ke-Timur lengkap
dengan raja-raja mereka, para pembesar, kaum hartawan serta diiringkan
dengan sejumlah orang-orang yang terkemuka yang banyak sekali; dan
datang pula golongan lapisan rakyat berjuta-juta banyaknya, bahkan
banyak di antara mereka yang sampai sekarang masih bertempat tinggal di
bumi kaum Muslimin itu; dan keadaan yang demikian itu dapatlah
memadamkan api kemarahan mereka selama ini kepada kaum Muslimin
serta dapat menenteramkan fikiran mereka. Kemudian mereka dapat
melihat hal-ihwal orang-orang Islam dari dekat, ber- tukar fikiran dengan
mereka lantas mereka berbuat menurut apa yang dilihat dan didengamya
secara langsung itu.
Maka sekarang jelaslah bagi mereka, bahwa propaganda-pro- paganda
yang berlebih-lebihan dari kepala-kepala Agama mereka tadi adalah suatu
mimpi dan penyakit belaka yang tidak sesuai dengan kenyataan yang mereka
lihat. Kemudian mereka menemu- kan adanya kemerdekaan beragama
dalam Islam, di samping mereka beroleh pengetahuan Islam, peraturan-
peraturannya dan kesenian arsitektumya yang lebih meyakinkan. Dan
mengertilah orang Eropa itu, bahwa kemerdekaan fikiran, keluasan ilmu-
peng& tahuan adalah merupakan faktor-faktor keimanan yang penting,
bukan merupakan rintangan-rintangan. Kemudian mereka kumpul- kan
segala macam segi ilmu kebudayaan sepuas-puas hati mereka, setelah itu
mereka berangkat pulang kembali ke negerinya dengan mata yang
243
membayangkan keriangan hati atas segala hasil ram- pasan yang mereka
dapat dari hasil penyerbuan mereka itu. Inilah pula yang dibawa oleh para
mahasiswa Eropa yang datang dari berbagai kerajaan yang pergi belajar ke
Andalusia di mana mereka bergaul dengan para ahli fikir dan ahli
kebudayan Islam, yang kemudian mereka pulang kembali ke tengah-tengah
bangsa mereka untuk merasakan kepada bangsanya kelezatan ilmu
pengetahuan yang mereka perdapat dari saijana-saijana Islam Andalus itu.
Mulai waktu itulah timbulnya kebebasan fikiran dan ber- tambah-
tambahnya hasrat kerinduan kepada ilmu-pengetahuan dikalangan orang
Barat (renaisance), dan bangkitlah himmah-ke- mauan untuk meniutus-
mutus rantai-rantai belenggu taklid, dan timbullah keinginan untuk
membatasi kekuasaan pembesar-pem- besar Agama serta menarik kembali
nasihat-nasihat Agama yang mereka fatwakan selama ini yang telah jauh
menyimpang dari semestinya dan yang telah mereka ubah-ubah maknanya.
Tak lama kemudian timbullah suatu golongan di antara bangsa Barat itu
yang menyerukan agar manusia kembali memperbaiki agama dan
mengembalikannya kepada kemumiannya semula. Dan dalam perbaikan
yang mereka kehendaki itu, jelas tidak begitu jauh beda- nya dari ajaran
yang dibawa oleh Islam, kecuali sedikit sekali.
Bahkan ada sebagian dari para jum perbaikan itu yang berpendapat
dalam soal akaid 40) yang amat sesuai sekali dengan ’akidah Islam, kecuali
dalam soal membenarkan Kerasulan .Nabi Muhammad s.a.w. sedang ajaran
Agama yang mereka jalankan adalah sama dengan ajaran yang dibawa Nabi
Muhammad, tetapi perbedaan itu adalah terletak dalam nama saja, bukan
dalam maknanya, kecuali dalam gambaran upacara ibadat tiaak lebih.
Kemudian selanjutnya bangsa-bangsa Eropa itu terus ber- kembang
memecahkan rahasia-rahasia kemajuannya serta mem- perbaiki keadaan
masyarakat mereka, sehingga garis-garis kehidupan duniawi mereka adalah
sama dengan apa yang diserukan oleh Islam. Tetapi sayang mereka
melupakan pemimpin yang membawa kemajuan itu kepadanya, tidak mau
tahu lagi kepada penunjuk jalan yang berjasa kepada mereka. Begitulah
pokok-pokok kemajuan dunia Eropa dewasa ini, kemajuan yang dibangga-
banggakan oleh generasi yang datang kemudian, adalah sebenarnya beijalan
menurut pola yang pemah dibuat oleh generasi-generasi yang te - lah silam.

40 Mereka adalah kelompok kaum Monotheismus di Barat, dan kebanyakannya adalah terdiri dari
kaum cendekiawan (ahli fikir) Inggeris dan Amerika.

244
Inilah tetesan air hujan Islam yang mengenai suatu bumi yang baik
(Eropa, pen.), ia menjadi subur dan segar, yang kemudian dapat
menumbuhkan segala tumbuh-tumbuhan yang indah-indah.
Kedatangan bangsa Eropa itu mulanya adalah dengan maksud untuk
menghancur-binasakan, tetapi rupanya setelah ittf, mereka juga mengambil
faidah, dan mereka kembali pulang untuk me- ngembangkan faidah yang
mereka perdapat itu.
Para pembesar Agama tadi mengira, bahwa dengan hasutan mereka
dulu kepada bangsanya itu, adalah sebagai obat yang mujarab untuk
menyembuhkan sakit hati mereka serta untuk

245
menguatkan sendi-sendi kekuasaan mereka, tetapi temyata dugaan mereka
itu meleset bahkan sebaliknya, yaitu kemerosotan prestise- .martabat
mereka dikalangan rakyat dan terjungkirnya kekuasaan mereka sendiri.
Tentang kedudukan Islam seperti apa yang kami kabarkan itu — dan
yang dikenal oleh setiap orang yang mempelajari persoal- annya —,
sungguh telah dapat mengambil keuntungan dari padanya para ahli fikir
(penyelidik) di negeri-negeri Eropa sehingga mereka mengerti hak
penghormatan yang harus mereka berikan kepada Islam, dan mereka
mengakui, bahwa Islam itu adalah mahaguru mereka yang paling utama
yang menyebabkan mereka dapat mengecap kemajuan seperti apa yang
mereka dapati dewasa ini 41). Dan kepada Allah jua akhir putusan segala
perkara !
XVm
v
BEBERAPA PERSOALAN YANG MUDAH TIMBUL SEWAKTU- WAKTU
SEBAGAI KRITIK TERHADAP ISLAM
Banyak orang yang berkata: Apabila benar Agama Islam datang untuk
memanggil mereka yang bersengketa untuk ber- saty, dan Kitab Sucinya
sendiri berfirman:

’’Sesungguhnya mereka yang bersengketa dalam Agama mereka, dan mereka


hidup bergolong-golqngan, bukanlah engkau <Muhammadj dari golongan
mereka dalam halapapun”. (Q.S. Al-An’am: 159),

maka kenapa Agama Islam sendiri telah dirobek-robek oleh bermacam-


macam haluan pendirian, dan terpecah-belah oleh berbagai golongan
mazhab?
Apabila Islam itu datang untuk membina kesatuan, maka ke- napakah
kaum Muslimin itu hidup bercerai-berai? Apabila ia menghendaki wajah
hamba Ilahi dalam mengabdi hanya kepada Zat Yang Menjadikan langit dan
bumi, maka kenapa sebagian besar dari pada mereka masih menghadapkan
wajah mereka kepada menuhankan sesuatu yang tidak kuasa memberi

41 Pengarang telah mengemukakan bukti-bukti yang banyak tentang hal ini dalam Kitabnya ’’Islam dan Nasrani”
(AHslam wan Nashraniyah).
manfa’at dan tidak pula memberi madharat b^gi dirinya, dan tidak pula
sanggup memberikan kebaikan maupun kejahatan selain dari Allah sendiri,
dan bahkan pengabdian yang keliru itu mereka anggap sebagai suatu bagian
dari bagian-bagian Tauhid?
Jika sekiranya Islam itu adalah awal agama yang mengajak akal
bicara, memanggilnya untuk turut memikirkan kejadian alam raya ini, dan
memberikan kebebasan kepada mata untuk melepas- in pandangannya
meninjau alam dimana ia diberi kesempatan ituk menggali rahasia-rahasia
yang tersimpan pada alam itu de- ? an sekuat mungkinnya, tanpa dibatasi
dengan syarat apapun scuali harus menjaga akidah iman agar jangan
menjadi rusak—, laka kenapa kaum Muslimin merasa puas dengan
pengetahuan ang sedikit, sedang kebanyakan mereka membelenggu dirinya
ntuk mengetok pintu ilmu-pengetahuan, tidak lain karena me- gira, bahwa
mereka dapat mencari keredhaan Ilahi cukup dengan :ebodohan belaka, dan
menutup mata dari memperhatikan kein- lahan ciptaan Ilahi yang sangat
rapi ini?
Kenapakahmereka setelah dulunya menjadi duta kasih -sayang, an sekarang
mereka mencarinya tetapi tidak mendapatkannya agi? Kenapakah, setelah
dulu mereka menjadi contoh utama da- am soal kerajinan dan kesungguhan
bekerja, tetapi sekarang telah nenjadi contoh orang yang duduk-duduk
membuang tempo dan nalas bergerak?
Apakah ini yang dimasukkan oleh kaum Muslimin kedalam Agamanya
padahal Kitab Allah terletak dihadapan mereka sebagai neraca keadilan
yang dapat membedakan antara apa yang bid’ah yang mereka bikin-bikin
sendiri, dan apa yang betul-betul mereka diajak untuk mengamalkannya
tetapi mereka tidak mau?
Apabila betul Islam dekat kepada akal dan hati nurani sebagai apa yang
Anda terangkan tadi, maka kenapa menurut pandangan orang, ia telah
mengabaikannya tidak mendekatinya lagi?
Apabila Islam betul mengajak orang untuk merenungkan ajar- annya
dengan sungguh-sungguh, maka kenapa para pembaca Al- Qur-an tidak
membacanya kecuali sekedar melagukannya belaka dengan suara yang
merdu, sedang para Ulama tertentu sebagian besar tidak mengenal
kandungan isinya kecuali dugaan-dugaan belaka?
Apabila betul Islam memberikan kepada akal dan kemauan akan
kehormatan kebebasannya, kenapa mereka membelenggu keduanya
247
demikian kuatnya?
Apabila Islam telah menegakkan sendi-sendi keadilan, maka kenapa
sebagian besar para pembesar mereka menunjukkan suatu contoh kezaliman
yang jahat?
Apabila Agama Islam menganjurkan kemerdekaan para ham- ba-
sahaya maka kenapa mereka beberapa abad lamanya memper- budak
orang-orang yang sudah merdeka?
Apabila Islam memandang diantara sendi-sendi ajarannya adalah:
menghormati janji, berlaku benar, dan menyempurnakan janji, maka
kenapa telah tersebar luas dikalangan mereka penyakit pe- nipu, berdusta,
bicara kosong dan mengadakan fitnah yang bukan- bukan?
Apabila Islam melarang korupsi dan mengharamkan penipuan serta
memperingatkan, bahwa orang yang penipu itu bukanlah termasuk
keluarganya, maka kenapakah mereka mau menipuAllah, menipu Syari’at
dan para wali-Nya?
Apabila Islam telah mengharamkan perbuatan-perbuatan nis- ta, baik
yang lahir maupun yang batin, maka kenapa kami melihat perbuatan keji itu
berjangkit dikalangan mereka, baik secara sem- bunyi-sembunyi maupun
terang-terangan pada diri dan badan mereka sendiri? ~
Apabila telah dinyatakanriya, bahwa Agama itu adalah nasihat
kepunyaan Allah, kepunyaan RasulNya, kepunyaan orang- orang yang
benman baik khusus kepada individu-individu maupun umum kepada
seluruh kaum Muslimin 1), dan (bahwa sesungguh- nya manusia itu akan
celaka, kecuali orang yang beriman dan melakukan amal-amal kebajikan,
dan mereka saling menasehati untuk menegakkan kebenaran, dan saling
menasehati dengan penuh keuletan); dan bahwa mereka jika tidak mau
menyeru kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar—niscaya
mereka akan diperintah oleh orang-orang yang bejat, maka di waktu itu
walaupun pemimpin mereka memanjatkan do’anya kepada Tuhan, tetapi
tidak akan diperkenankan lagi 42) J dan peringatan Islam itu telah
demikian kerasnya kepada diri mereka apa yang pemah diberikan kepada
orang lain. Tetapi kenapa mereka tidak pemah saling me- nasehati, tidak

42 Hikayat Hadis ini sesuai dengan maksud nas Al-Quran.

248
pernah tegur-menegur dengan kebenaran, dan tidak berpegang kepada
kebenaran itu dengan penuh kegigihan, dan tidak pula nasehat-
menasehati dalam hal-hal yang baik maupun yang buruk? Tetapi justru
masing-masing telah meninggalkan kawannya, dan menyerahkan
nasibnya kepada orang lain, sehingga mereka telah hidup bercerai-berai,
dan masing-masing hidup bekerja me- mentingkan dirinya sendiri-sendiri
di mana masing-masing tidak me- rasakan apa yang dilakukan oleh
kawannya yang seolah-olah tidak ada hubungan diantara mereka selama
ini dan tidak pemah pula bergaul bersama-sama.
Apa sebabnya putera-putera sampai hati membunuh para orang
tuanya? Kenapa puteri-puteri berani mendurhakai ibu-ibu kandungnya?
Dimanakah letaknya pergaulan yang ramah? Di mana letak kesantunan
terhadap karib keluarga? Di manakah hak yang harus dikeluarkan dari
harta-harta kaum kapitalis kepada orang- orang fakir miskin, padahal
orang-orang kaya itu telah merampas secara halus akan harta yang ada di
tangan kaum yang melarat?
Barat mengambil sinar-cahaya dari Islam sebagaimana Anda
katakan, dan sinamya lebih besar me man car dan mataharinya besar di
Timur, padahal penduduknya berada dalam kegelapan yang tidak bisa
melihat apapun, apakah hal ini logis menurut akal? Ataukah itu pemah
tersebut dalam ajaran Kitab dan Sunnah? Apakah Anda tidak pemah
memperhatikan mereka yang telah merasakan sedikit lezatnya
pengetahuan diantara para penganut Agama Islam ini, dapat dikatakan,
bahwa kebanyakan dari kaum Muslimin itu membuat khurafat dalam
bidang i’tikad sedang kaidah-kaidah dan hukum-hukumnya adalah kolot?
Dan mereka merasa senang dalam meniru mereka yang suka mengejek
(sinis), yakni orang-orang yang menamakan dirinya berfikiran bebas serta
mempunyai pandangan yang jauh ke depan. Dan begitu pula kepada orang-
orang yang membatasi keinginan mereka hanya untuk mau membaca,
membalik-balik lembaran buku-bukunya sendiri saja, dan menamakan
dirinya sebagai penjaga hukum-hukum Agama itu dan berdiri di atas
syari’at-syari’at (peraturan-peratur- annya). Tetapi betapa mereka menolak
ilmu-ilmu akal yang rasio- nil sambil mengejeknya demikian rupa, dan
mereka melihat, bahwa mempraktekkan 1) ilmu-ilmu akal itu sebagai hal
yang tidak ada gunanya bagi agama dan dunia, dan kebanyakan diantara
249
mereka merasa tenggelam dalam kebodohannya itu, yang seolah- olah
sikapnya yang demikian itu menjauhi perbuatan mungkar dan melepaskan
diri dari perbuatan yang hina-dina?
Dalam keadaan yang seperti itu siapa diantara orang Islam yang
berdiri di pintu ilmu pengetahuan, ia akan melihat keadaan nasib agamanya
tak ubahnya seperti pakaian yang sudah robek- robek (usang) yang malu
untuk dipakainya kemuka orang ramai. Sementara itu ada pula orang yang
menipu dirinya sendiri, yang menganggap, bahwa dia mengerti agama; dan
bahwa dia berpegang teguh kepada akidah-akidah Agama itu—ia
memandang akal (ratio) itu sebagai suatu tabir dan ilmu-pengetahuan itu
sebagai sangkaan- sangkaan belaka.
Apakah hal yang semacam ini bukan merupakan suatu bukti yang
dapat disaksikan oleh Allah, para MalaikatNya dan ummat. manusia
seluruhnya yang menunjukkan, bahwa tidak ada persesu- aian antara akal
dan ilmu disatu pihak dan agama Islam ini dipihak yang lain?
Jawaban:
Agaknya orang yang menggambarkan keadaan kaum Muslimin dewasa
ini bahkan semenjak beberapa masa yang silam seperti
yang tersebut di atas itu tidaklah begitu berlebih-lebihan, dan bahkan
apa-apa yang diKemukakannya itu barulah sebagian kecil den yang
banyak lagi. Imam Gazali rahimahullah dan Ibnu Al-Haj dan Ulama-
ulama yang lain-lain dari kedua beliau itu l) telah melukis- kan keadaan
kaum Muslimin pada zaman mereka baik kaum awam maupun atasan
dalam buku-buku mereka yang meliputi beberapa jilid. Tetapi saya
disini berbicara khusus tentang Agama Islam (bukan kepada tingkah-
laku pemeluknya, pen.) yang cukup dipa- hamkan dengan semata-mata
membaca Kitab Sud Al-Quran dengan penuh saksama dalam
memahamkan pengertian-pengertian- nya, dan kemudian membawa
mereka yang kepada siapa Kitab Suci itu diturunkan untuk
mempraktekkan segala apa yang dipa- hamkan dari hasil pembacaan
yang teliti itu dikalangan mereka. Dan cukup pula mengenal Islam itu
dengan melihat bekas-bekas- nya yang gemilang dengan membaca
halaman-halaman sejarah sebagaimana yang dituturkan oleh para
penulis sejarah Islam yang adil, baik yang ditulis oleh orang Islam
sendiri maupun oleh yang lain; maka demikian itulah Agama Islam.

250
Seperti apa yang telah kami terangkan lebih dahulu tadi, bahwa
Islam adalah suatu petunjuk dan akal (ratio); siapa yang yang pandai
mempergunakannya dan^menjalankan segala petunjuk ' yang
telahdiberikannyaituniscayaiaakanmencapai kebahagiaan se bagai apa
yang telah dijanjikan Allah kepada para pengikutnya. Dan menurut
pengalaman, bahwa hal itu adalah merupakan obat yang mujarab bagi
penyakit masyarakat (sosial). Maka keuntung- annyapun sudah demikian
jelasnya yang tidak bisa diingkari oleh siapapun sekalipun oleh orang buta
dan tuli sekalipun. Dan puncak dari segala kritik yang mereka lemparkan
terhadap Islam dan kaum Muslimin itu ialah, bahwa Islam itu tak
ubahnya dengan seorang Dokter yang telah memberikan obat kepada
orang yang
sakit l) itu menjadi sembuh sedangkan sang Dokter yang mengo- batinya
malah kembali menderita penyakit yang baru saja diobati- nya itu sehingga
ia mengerang-erang kesakitan, padahal obat untuk itu ada dalam rumahnya
sendiri sedang ia tidak mau mengambil- nya. Banyak orang yang datang
menjenguknya kerumaih, atau yang sangat mengharapkan supaya ia sembuh
dari penyakitnya itu, dan yang ingin supaya ia terlepas dari musibahnya itu
mengam- bilkan obat itu untuk diberikan, sebab mereka sendiri telah pemah
sembuh dengan obat itu dari penyakit yang persis seperti diderita sang
Dokter, tetapi beliau tidak mau menelan obat itu. Padahal ia sedang berada
dalam sa’at-sa’at akhir hidupnya yang krisis sekali, menunggu sa’at
kematiannya yang sudah dekat, atau menung- gu suatu ketentuan Tuhan
untuk dapat menyembuhkan penyakit seperti yang sedang dideritanya itu.
Saya tekankan sekali lagi, bahwa pembicaraan kita sekarang adalah
mengenai acara Agama Islam dan keadaannya seperti yang telaih kami
terangkan. Dan adapun mengenai keadaan diri kaum Muslimin yang telah
merupakan alasan yang menimbulkan sasaran kritik kepada Agama mereka,
maka tidaklah kita bicarakan disini sekarang, tetapi Insya Allah akan kita
bicarakan secara luas dalam suatu Kitab yang lain. 2>
MEMBENARKAN AJARAN-AJARAN YANG DIBAWA NABI
MUHAMMAD S.A.W.

Bahwa setelah tetap kenabian Muhammad s.a.w. dengan dalil-


dalil yang meyakinkan sebagai apa yang telah kami terangkan, dan
bahwa beliau menerima berita (wahyu) dari Allah s.w.t., maka
251
karenanya tidaklah diragukan lagi, bahwa wajib membenarkan
wahyunya itu dan mempercayai ajaran-ajaran yang dibawa beliau
ialah, apa-apa yang diterangkan oleh Kitab Al-Quran yang mulia dan
yang disampaikan oleh Hadits yang mutawatir lagipun sahih serta
memenuhi syarat-syarat bagi kebenarannya berita hadits itu; yaitu
berita yang dikabarkan oleh suatu jama’ah (kelompok) yang mustahil
kedustaan mereka semua menurut adat yang biasa dalam suatu perkara
yang dapat dimengerti. Antara lain, ialah berita tentang hal ihwal
peristiwa yang teijadi setelah mati yang beru- pa berbangkit kembali,
berita tfcntang nikmat dalam surga, berita tentang azab api neraka,
tentang perhitungan amal-amal yang baik dan yang buruk dan lain-lain
berita yang sudah dikenal.
Dan wajiblah menganut kepercayaan (i’tikad) menurut berita
yang disampaikan oleh kabar yang sahih itu, dan sekali-kali tidak harus
melebihi maupun mengurangi apa yang telah disampaikan berita itu
secara yakin, dengan sesuatu yang masih dalam taraf kira-kiraan. Dan
sebagai syarat bagi sahnya susuatu i’tikad, ia* lah, bahwa tidak
terdapat didalamnya sesuatu yang menyentuh ke- sucian dan ketinggian
kedudukan Ilahi dari menyerupakanNya dengan makhluk-makhluk.
Dan jika sekiranya terdapat ajaran yang disampaikan oleh kabar
mutawatir itu apa yang lahir teksnya membawa keragu-raguan dalam
pengertiannya, maka wajiblah mening-
galkan pengertian lafazh yang lahir itu, dengan menempuh altema- tif:
adakalanya dengan menyerahkan bulat-bulat pengertiannya kepada ilmu
Allah serta mengi’tikadkan, bahwa pengertian yang lahir itu bukanlah
yang dimaksud sebenarnya; atau dengan menempuh jalan takwil
(penafsiran) yang sesuai dengan karinah-karinah yang dapat diterima akal
lagi cocok dengan Sifat-Sifat Tuhan yang Suci. i)

252
Adapun tentang kabar-kabar (hadits) Ahad, maka wajib percaya
kepadanya siapa orang yang menerima hadits itu sedang ia membenarkan
sah riwayatnya.
Tetapi terhadap orang-orang yang hadits itu tidak sampai
kepadanya atau hadits itu sampai tetapi ia meragukan kebenaran
(sah)nya, padahal ia bukanlah merupakan suatu kabar yang mutawatir—,
maka tidaklah akan merusak bagi imannya andaikata ia tidak mau
membenarkan hadits itu.
Dan yang pokok dalam semua persoalan yang demikian itu ialah,
bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu perkara 2)
pada hal ia mengetahui, bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah
mengucapkannya, atau mentakrirkannya, maka berarti ia telah
menentang kebenaran Kerasulan dan mendustakan misi beliau, dan ia
digolongkan kepada orang-orang yang menganggap sepi kepada berita-
berita hadits yang mutawatir, padahal ia menge-, tahui bahwa hal itu
adalah mengenai ajaran Agama, yaitu apa yang tersebut dalam Kitab
Suci Al-Quran dan sebagian dari Sunnah Rasul untuk diamalkan. 1)
Barangsiapa yang telah mempercayai kebenaran Kitab Al- Quran
Yang Mulia dan apa yang menjadi kandungan isinya berupa
peraturan-peraturan yang akan diamalkan, tetapi sukar baginya untuk
memahamkan tentang kabar-kabar gaib sebagai yang tersebut
menurut lahir teks (nas) ayat-ayat suci itu saja, dan untuk itu ia
mempergunakan ratio (akal)nya untuk mentakwilkannya dengan
hakikat-hakikat yang berlandasan kepada dalil yang kuat disamping
tetap menganut kepercayaan akan adanya hidup yang kedua sesudah
mati, adanya pahala dan ikab sebagai balasan bagi segala-perbuatan
dan kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh makhluk manusia
itu—, asal saja takwil (tafsiran)nya itu tidak mengurangkan sesuatupun
kepada nilai janji-janji baik dan buruk, tidak mengurangkan nilai
kemampuan syari’at untuk dijalankan dalam masyarakat—, adalah ia
seorang yang mukmin sejati, dan sekalipun tidak baik mengambil
teladan kepadanya dalam takwil- penafsiran itu. 2) Sebab Syari’at Ilahi
adalah memperhatikan kepada apa yang menjadi kesanggupan bagi
manusia umumnya, bukan memandang kepada apa yang merupakan
keinginan bagi akal segolongan tertentu.
Dan yang menjadi pokok pegangan dalam hal itu ialah, bahwaIman
253ialah, keyakinan dalam kepercayaa
pada RasulNya dan kepada hari yang akhir tanpa terikat oleh sesuatu
apapun, kecuali harus menghormati apa-apa yang telah disampaikan
dengan perantaraan lisan para Rasul Tuhan.
Tinggal lagi dua buah masalah yang mendapat tempat yang penting
dalam pembahasan Jlmu Tauhid ini dan dalam membahas kedua
persoalan itu, maka satu diantaranya akan saya persingkat saja
keterangannya.
Pertama, tentang dapatnya melihat Allah s.w.t. dihari Akhirat nanti,
dan yang kedua, tentang bolehnya terjadi peristiwa-peristi- wa Keramat
(sakti) dan hal-hal yang luar-biasa pada diri manusia selain daripada
Nabi-Nabi, yakni pada para Wali dan orang-orang yang saleh-saleh.
Adapun berkenaan dengan masalah yang pertama, maka telah
terjadi perselisihan pendapat yang sengit sekali, tetapi kemudian berakhir
dengan persesuaian pendapat di antara para ahli yang men- sucikan Allah
dari hal yang bukan-bukan sehingga tak ada peluang lagi untuk
bersengketa. Maka para ahli tanzih (mensucikan Allah) itu tadi yang
mengatakan dapatnya melihat Allah dihari Akhirat itu telah sepakat
dalam pendapat yang mengatakan, bahwa melihat Allah itu bukanlah
seperti halnya kita melihat dengan mata biasa seperti yang lazim berlaku,
tetapi adalah penglihatan yang tidak dapat ditentukan betapa dan
bagaiman'a ketentuan caranya; dan sudah barang pasti hal yang seperti
itu mestilah dengan penglihatan mata yang telah ditentukan Allah buat
para penduduk surga, atau ketentuan alat penglihatannya itu berubah
dari apa yang di- pergunakan didunia ini l)
Hal ini adalah apa yang tidak mungkin bagi kita untuk rae-
ngetahuinya, dan sekalipun kita sendiri membenarkan teijadinya hal itu
yakni apabila kabar itu sah adanya.
Dan orang-orang yang mengingkari bolehnya teijadi hal itu,
mereka tidaklah mengingkari kasyaf yang sebenarnya hampir me-
nyamai dengan dapatnya melihat Allah seperti yang dikatakan diatas
itu, — apakah kasyaf itu dengan alat penglihatan yang lain dari yang
biasa seperti sekarang ini, ataupun dengan alat indera yang lain lagi—,
maka dalam pengertiannya adalah sama juga se- benamya dengan
perkataan la wan yang diban tahnya itu; dan tetapi memang agaknya
telah menjadi suatu tragik bagi Islam, bahwa kaumnya gemar sekali

254
kepada pertengkaran. Dan Allah diatas dari segala apa yang mereka
sangka-sangka itu.
Tentang masalah yang kedua, maka Abu Ishak Al-Asfarayani
mengingkari boleh teijadinya hal-hal yang keramat-keramat, dan beliau
adalah seorang tokoh terkemuka diantara pengikut Abu Hasan Al-
Asy’ari l), dan demikian pula pendapat kaum Mu’tazilah (Rasionalis),
kecuali Abu Husein Al-Bashri, yang terakhir ini mengatakan boleh
terjadinya kejadian-kejadian yang keramat itu, dan memang begitulah
pendapat segolongan besar kaum Al-Asyariah. Dan orang-orang yang
berpendapat dengan bolehnya teijadi hal yang keramat itu adalah
berdasarkan kisah yang terdapat dalam Kitab Al-Quran sendiri dimana
didalam Al-Quran ada disebutkan
kabar tentang Balqis dimana istananya dapat dihadirkan sekejap mata
saja, dan begitu pula kisah Maryam ibu Nabi Isa, alaihissalam yang
diantarkan rezeki kepadanya, dan begitu pula kisah-cerita pemuda-
pemuda penghuni gua (ashabul kahfi).
Dan kelompok lain mengambil hujjah (keterangan) dengan alasan,
bahwa hal itu dapat dikatakan serupa dengan mu’jizat- mu’jizat, dan
mereka mentakwilkan pengertian apa yang tersebut dalam Al-Quran itu.
Tetapi mengatakan, „bahwa hal yang demi kian itu dapat dikatakan sama
dengan mu’jizat-mu’jizat”, adalah terang tidak benamya. Sebab mu’jizat-
mu’jizat itu lahir diiringi dengan pengakuan Kerasulan dan
menyampaikan berita yang datang dari Allah s.w.t. dan hal itupun harus
didampingi dengan pe- ristiwa-peristiwa biasa disekitamya sehingga dapat
membedakan mu’jizat itu dari yang lain.
Adapun alasan hujjah yang dikemukakan oleh orang-orang yang
membolehkan hal-hal yang keramat itu yang katanya berda- sarkan
keterangan ayat-ayat Al-Quran yang tersebut diatas tadi, maka
sebenarnya alasannya tidak tepat, karena tak ada dalil yang seperti itu
dalam ayat-ayat tersebut. Karena apa yang tersebut dalam kisah Maryam
dan Ashif 1) adalah suatu kisah yang dikhu- suskan Allah teijadinya pada
zaman Nabi-Nabi ’alaihissalam, dan tidak ada pengetahuan kita tentang
peristiwa-peristiwa yang me- ngitarinya, yakni keadaan-keadaan yang
didatangkan Allah kepada para Nabi-Nabi dimasa itu kecuali sedikit
sekali.
Dan berkenaan dengan kisah beberapa pemuda yang tertidur 255
didalam gua, maka Allah s.w.t. telah memberitakannya sebagai suatu
tanda diantara tanda-tanda kekuasaanNya terhadap makh- lukNya, dan
kita mengulangi menyebutnya supaya dapat mengambil i’tibar dari
kenyataan kekuasaan Allah itu terhadap makh- lukNya. Maka karenanya
hal itu tidak termasuk kep'ada pembicaraan umum mengenai hal
kejadian yang keramat.
Maka oleh sebab itu, pembahasan tentang bolehnya teijadi hal-hal
yang keramat itu adalah semacam pembahasan yang ber- sangkutan
dengan kemampuan himmah manusia dan perhubungan- nya dengan
alam yang besar (jagat raya), dan tentang kedudukan amal-amal yang
utama dan kemajuan roh manusia dalam mencapai martabat yang
sempuma disisi Ilahi, dan memang hal itu merupakan suatu pembahasan
yang lebih teliti yang khusus di- bahas dalam ilmu yang lain lagi.
Tentang semata-mata bolehnya teijadi hal-hal keramat itu menurut
akal, bahwa timbulnya kejadian yang luar biasa pada diri manusia lain
dari Nabi yang dianggap sebagai kekuasaan Allah, maka saya tidak
menganggap hal itu sebagai persoalan yang dapat menjadi bahan
perselisihan lagi diantara para cendekiawan. Dan cuma, perhatian wajib
dihadapkan ialah, bahwa kaum ahli Sunnah dan yang lain dari mereka
telah sepakat, bahwa tidaklah wajib mengi’tikadkan (mempercayai)
teijadinya keramat yang tertentu diatas diri wali Allah yang tertentu
setelah timbulnya Agama Islam. Maka dengan Ijma’ kaum Muslimin
mengatakan, bahwa ummat Islam boleh mengingkari timbulnya
bermacam-macam ben- tuk keramat dari wali yang manapun juga; dan
dengan jalan mengingkari yang demikian itu tidaklah ia dipandang
menyalahi suatu ketentuan dari pokok ajaran Agama, dan tidak pula
menyimpang dari Sunnah yang benar dan jalan yang lurus, kecuali apa
yang be- tul-betul benar keterangannya sah dari sahabat Nabi.
Dimanakah datangnya sumber keterangan yang menjadi pe- gangan
bagi sebagian besar kaum Muslimin dewasa ini, dimana mereka mengira,
bahwa bermacam-macam keramat dan hal-hal kejadian yang luar biasa itu
telah merupakan sumber pencarian rezeki, yang menyebabkan para wali
berlumba-lumba padanya dan yang telah merupakan kemegahan pula bagi
kemauan orang-orang tasa- wuf (mistik)? l) Dan tingkah laku yang tidak
terpuji itulah, yang menyebabkan Allah berlepas diri dari padanya; tak
bisa dipertang- gung-jawabkan oleh kemumian Agama Islam dan para

256
wali Allah yang sejali, dan oleh mereka yang berilmu-pengetahuan, yang
ke- semuanya itu mencela perbuatan yang sesat itu.

1) Bahkan meieka mendakwakan, bahwa orang-orang Sufi itu, terutama tokoh- tokohnya yang
termasyhur yang telah meninggal dunia, sepeiti apa yang mereka namakan dengan
„Pemimpin Empat Kutub” (Aqthabul Arba’ah), mereka itulah yang mengendalikan keadaan
alam seluruhnya; dan bahwa mereka dapat menyampaikan hajat-hajat orang-orang yang
memohon kepadanya selain dari pada Allah, atau beserta Allah, dengan melalui kejadian-
kejadian luar biasa yang pernah diberikan Tuhan kepada mereka, baik yang bermanfaat
maupun yang memberi madharat atau lainnya! (La ilaha illalllah wahdahu la syarikalah. Tak ada
Tuhan yang lain dari pada Allah yang Maha Esa, tak ada sekutu bagiNya). Ditanah Suci Makkah dan
Madinah pemujaan kepada makam-makam dan tempat- tempat keramat telah dibasmi
dengan intensif oleh pemerintah. Dan di Indonesia Ilmu-ilmu Klenik, permohonan kepada
makam-makam „Orang Kfamat” dan kepercayaan kepada benda-benda keramat konon
kabarnya sedang mengalami proses pemberantasan oleh pihak yang berwajib, Pen.
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
'Allah telah menjanjikan kepada orang yang beriman diantara
kamu dan mereka yang melakukan amal bakti kebajikan, sungguh la
akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkuasa dimuka
bumi ini sebagaimana telah berkuasa orang-orang yang sebelum mereka,
dan Ia akan tancapkan bagi mereka Agama yang di- redhaiNya untuk
dipeluk mereka itu, dan Ia akan gantikan keta- kutan mereka selama ini
dengan ketenteraman; dengan syarat: mereka harus menyembah Aku dan
tidak menserikatkan Ku dengan sesuatu apapun juga. Dan siapa yang
kafir-durhaka sesudahitu. maka merekalah orang-orang yang fasik” (S.
24 An-Nur : 55J.
257
Dan telah ditafsirkan kata ’’kafir” dalam ayat ini dengan ’’kafir
nikmat. ”
”Dan bahwa kami setelah kami mendengarkan petunjuk Al-Quran itu,
kami lantas percaya kepadanya. Maka siapa yang' percaya kepada
Tuhannya, dia tidak perlu takut kepada keku- rangan dan tidak pula kepada
penganiayaan’.’
"Dan bahwa diantara kita ada banyak orang yang Islam, dan
diantara kita pun ada pula orang-orang yang menyimpang dari jalan
kebenaran. Maka siapa yang menganut Agama Islam, merekalah orang
yang telah menempuh jalan yang lurus.”
"Dan adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran itu
maka ia adalah menjadi kayu bakar api neraka”
”Dan bahwa sekiranya mereka tetap berada dalam melalui jalan
yang benar itu, niscaya sungguh Kami (Allah) tuangkan kepada mereka
air kehidupan yang lezat cita-rasanya’.’
'"Yakni untuk Kami (Allah) uji mereka dengan pemberian yang
lezat itu, dan barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhannya,
niscaya ia akan dimasukkan ke dalam azab yang amat berat.”
”Dan Masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka sekali-kali
janganlah kamu seru yang lain dari pada Allah untuk kamu perserikatkan
dengan DiaV’
”Dan bahwa tatkala berdiri-bangkit hamba Allah beribadat kepada
TuhanNya, hampir-hampir kaum kafir itu berkerumun
membinasakannya (Muhammad)’’
"Katakan! (hai Muhammad): „Saya ini hanya menyeru Tuhanku
dan tidak aku perserikatkan Dia dengan sesuatu jua”, ”Katakanlah!:
,,Saya ini tidak memiliki apa yang mencela- kakan kamu semua dan tidak
pula kesenangan”
"Katakanlah! : „Sesungguhnya saya ini tidak bisa dilepaskan dari
perlindungan Allah oleh siapapun juga, dan saya tidak akan mencari
tempat berlindung selain dari padaNya’.’
"Kecuali bertugas, hanya menyampaikan sesuatu ajaran yang

258
datang daripada Allah dan membawa misiNya, dan siapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya, maka ia akan diazab dalam neraka
jahanam, kekal mereka padanya selama-lamanya. ”
’’Hingga apabila mereka melihat apa yang telah diperingat- kan
kepada mereka dulu, maka tahulah mereka siapa yang paling lemah
pembelanya dan siapa yang sedikit bilangannya”
’’Katakanlah! : „Saya tidak tahu apakah apa yang menjadi
ancaman kepada kamu telah dekat, ataukah masih diperpanjang
masanya oleh Tuhanku’.’
’’Dialah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, maka kegaiban
itu tidak akan diterangkanNya kepada seseorang juapun’’ ’’Kecuali orang
yang Ia redhai dari pada RasulNya, maka Ia (Allah) meletakkan
penjagaan di depan dan di belakang RasulNya itu’.’
’’Agar'supaya terbukti bagiNya, bahwa para Rasul itu telah
menyampaikan misi Tuhan mereka, dan IlmuNya meliputi apa yang ada
pada sisi mereka, dan Ia (Allah) telah menghitung segala sesuatu dengan
perhitungan yang amat teliti’.’ (S. 72 Al Jin : 13 — 28).
Maha benar Allah lagi maha Agung, kebenaran itu sampai kepada
RasulNya yang mulia, celakalah setan yang dirajam (terkutuk) dan syukur
itu adalah menjadi hak Allah Tuhan bagi alam semesta, Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.
TAMAT
DAFTAR NAMA-NAMA DAN ISTILAH
Abbas bin Abd. Muthalib, 224 Bergson, 93 Bid’ah, 49
Abduh bin Hasan Khairullah, 17 biji batikh, 71 Browne,
Abdullah bin Saba’, 43 E.G., 23
Abi Hurairah, 251
Abu Bakar Al-Baqilany, 51
Abu Hasan al-Asy’ari, Syekh, 50
Abu Ishak al-Asfarayani, 259
absolut, 74 .
accidental, 81
Adam, Nabi, 121
aether, 194
ahli tanzih, 258
akaid, 246
Ali bin Abi Thalib, Khalifah, 43, 44, 238
’alaqah, 71 alim, 72
amanah, 11.8,128 analisa, 123 anima
somatika, 149 animisme, 110 apatis, 113
Aiabi Pasya, 19 Aristoteles, 53, 65
’Arasy, 40 artikel, 78 aradl, 53,81
Asy’ari, 18 astronomi, 70 asosiasi,
107 atsar, 88 Augustinus, 93 azali,
69, 49, 81 al-Azhar, 17, 29

Baidawi, 54
Bani Umayyah, 48, 235 balaghah, 38
Boutrox, 93 Bathiniyah, 50 bleid, 201

260
c G
Charles, c. Adam, Dr., 23 al-hayat, 66, 67
clash, 76 heathen watshani, 243
hikmat, 87
cosmisch bewustzijn, 150 D himmah, 96, 186
Dahriyun, 49 delegasi, 189 hijab, 78
demonstrasi, 43 hissi, 195
deskriminasi, 158 diet, 103 homo sapiens, 96
demoralisasi, 236 dinamis, hujjah, 37, 120, 129, 187, 260
160 dinamika, 203 dogma,
125 duniawiy^h, 155 I
Ibnu Taimiyah, 55, 67 Ibnu al-
E
Haj, 253 Ibrahim, Nabi, 152,
electron, 66 energi, 93, 103 197,236 idolater, 110
ikhtiar, 40,73,92,84,203 ilham,
F 78, 125, 134, 145 illat, 60, 85
fana, 124, 131 fanatik, 42,
44, 93 Farah Antan, 21
fatalis, 92 feodalisme, 238
filosof, 104 Firdaus, A.N.,
14 fragmen, 195 free will,
204 furu’, 37, 41 fusahat,
186
Gazali, Imam, 253 geologi,
159 gharizah, 153 graduasi,
155 great wall, 231

H
Haanie, A.D., 23
hakikat akliah, 65
al-Hallaj, 194
Hamudah, 23
Hanotaux, G., 21
Hasan al-Basri, 45, 46
Hasan at-Tawil, 17
hawas, 78
Immanuel Kant, 93 Asy’ariyah, 259 kaum
individu, 132 indefference, Jabariah, 93 kaum filosof,
112 indeterminismus, 93 124 kaum Kebatinan, 49
iradah, 67, 75 intuisi, 78 kaum Mu’tazilah, 259
intelektuil, 152 i’tikad, 94, kaum Salib, 244 kaum
113, 123,251 instinct, 129 Salaf, 44, 78 kaum
insan kamil, 96 reaksioner, 236 kaum
Iskandariah, 149 Watsani, 94 kaum Zending,
Ismailiyah, 50 241 kausal, 85 khalif, 34
khalik, 82 khamar, 229
kharijiah, 65 khawarij, 44
J khawash, 151 Khedevi
Jabbariah, 46 jasad, 124 Abbas Hilmi, 21 khiiafat, 47
jasmaniyah, 120 khianat, 120 khuldi, 121
jauhar, 53, 81 khusu’,92, 141 khurafat,
Jengiz Khan, Jenderal, 243 251 klasik, 148 komunikasi,
jism, 81,124 128 kompetensi, 83 kodrat,
jizyah, 235 193 konfrontasi, 254
juzu’, 195 konplikasj, 55 konklusi,
140, 147 kontra, 123
konsekwensi, 85 kontinu,
K
103 konsepsi, 138

kadim, 37 kaidah, 114 L


kapitalis, 251 kalam lafazh, letterlijk, 51 logika, 37, 65
78 kalam nafsi, 78 kaum
logis, 91,186,251 makhluk, 94,96, 126,117 al Manar, 26 al
Luther, 93 Manawy, 48 manifestasi, 74, 121
ma’qulat, 100 materialis, 149
M materialisme, 254 martabat, 74 maujud,
maddah, 148 57, 69, 72, 83 marfu’, 251 Mazhab, 193
macro, 70 Mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah, 51
mahiyah, 58 Mazhab Asy’ary, 51 Mazhab Hambali,
malaikat, 148 51 Michell, M., 22 micro, 70 milieu, 109
ma’lul, 60 mistik, 262
ma’iddah, 71 monotheismus, 55,124 moderat, 44, 49

262
mobilisasi, 251 Morse, 78 mufrad, 90
Muhammad Abduh, Syekh, 17, 28
Muhammad Al-Birkawy, 253 N
Muhammad Mahmud as-Sanqithy, 78 naluri, 140 naqal, 37 natijah, 140 nazar,
Muhammad s.a.w., Nabi, 191, 193, 246 36 neotron, 66 nisbah, 36,
mu’amalat, 124
murakkab, 90 P
mu’jizat, 188, 190 Pantheismus, 140,194 paradox, 84
Mustafa Abdur Razig, Syekh, 22 phase, 121 pilar, 94 planit, 225 Plato, 53,
mu’tazilah, 47 65, 162 Polytheismus, 76, 124 primair,
mustahil, 69, 76, 118, 119 117 Priestly, 93 propaganda, 234
musyrik, 36 proton, 66 psiologi, 71
mutasyabih, 41 psychosomatik, 146
mukallaf, 95, 85
Q
qadla, 40 al-qudrat, 73

ratio, 37, 40, 114, 203, 252 rasionalis,


259 • al-Razy, 51, research, 203
renaisance, 245 Riadh Pasya, 18
ri’ayatul maslahat, 90 riba, 229 risiko,
186

Sa’ad Zaghlul Pasya, 19


Said Jamaluddin Al-Afghany, 17, 18
salaf, 46
sensus interior, 71 sekte, 193 scular,
186 Schovenhauer, 194 skepsis, 125
show, 199 sperma, 71 Spinoza, 93, 194
Struggle for existence, 159 struktur, 70
substansi, 68, 75, 83 Sukarno, Dr. Ir.
H., 194

264
syafa’at, 198 Syi’ah,
44

T
tahmid, 90 taklif, 90, 94
taklid, 200, 203 takdir,
92,93 ta’lil, 85 talqih,
120 targieb, 158 tarhieb,
158 taijih, 60 tarkib, 65,
66 ta’wil, 40,160
tawassul, 112 ta’zier, 235
ta’zhiem, 90 Thabrani,
251 telegrafi, 78 totalitet,
195 tranzendenz, 65 .
tritunggal, 77 trimurti,
77 transmigrate, 124

U
Umar bin Abdul Aziz,
Khalifah, 46, 235 Umar bin
Khattab,
Amirul Mukminin, 238 Umar
bin Ash, 238 Ummi, 188
1) ”Kulliyah Diyanah” (tiga tahun) sebagai
Perguruan Theologi Islam, lanjutan dan
”Thawalib” (delapan tahun). Tetapi
sekarang terdapat perubahan dalam masa
tahun . pelajaran pada kedua Perguruan
tersebut.
2) Islam and modernism in Egypt - Dr.
Charles C. Adam/Ismail Jamil. Dalam
buku ini, pengarangnya memperkatakan
kitab ”Risalah Tauhid” panjang lebar.
1) Ialah penerbit ”Al Manar” Mesir. Ditulis
untuk cetakan kedua dengan tambahan
pada cetakan keenam.
2) Yang dimaksud adalah peristiwa

269
pemberontakan Arabi Pasya yang
digagalkah
oleh Angkatan Perang Inggeris pada tahun
1882. Arabi Pasya dan kawan-kawan
dibuang seumur hidup ke Ceylon,
sedang Muhammad’Abduh yang disangka
tersangkut dalam peristiwa tersebut
dibuang tiga tahun ke Syria ~se1elah lebih
dahulu meringkuk dalam penjara Mesir
tiga bulan lamanya. (Dr. Usman Amin :
"Muhammad 'Abduh” cetakan Mesir
1944),
2) Yang betul, yang disuruh membukukan
ialah Abu Bakar bin Muhammad bin Umar
bin Hazm ; sedang Muhammad bin
Muslim bin Syjhab Az Zuhri, adalah
penulis Sunnah dan Atsar yang
ditemuinya.
1) Yakni sifat-sifal yang tetap melekat pada
zat Tuhan seperti: Qudrat, Iradat, ’Ilmu,
Hayat, Sama’ (mendengar), Bashar
(melihat) dan Kalam.
1) 'Imam Al-Gazali berkata dalam kitabnya
’’Fadhaihul Bathiniyah'’ : Bahwa tujuan '
mereka yang terbesar ialah membatalkan
syari'at-syari'at Islam.
1) Penyokong-peny,okong ini muncul setelah
wafat beliau.
1) Riwayat Imam Muslim dari hadits Anas
; dan ’Aisyah memakai lafazh ”bi-
amri dun-yakum”
2) Pengarang lupa menyebulkan dalam sejarah
ringkas im> bahwa setelah kaum Asy’ariyah
menonjol pada abad pertengahan dan gerakan
ahli hadits serta pengikut- pengikut kaum
Salaf menjadi lemih, muncullah seorang
mujaddid (pembaharu) yang besar, yakni
Syekh Islam Ahmad Taqiyudin Ibnu
Taimiyah yang belum ada tandingannya
pada masa itu dalam menyatukan ’’ilmu
naqal” (ilmu yang ber- dasarkan nash Qur-an
dan Sunnah) dengan ’’ilmu akal” (ilmu yang
mengutamakan pendapat akal) dengan jalan
mengemukakan dalil-dalit yang kuat. Maka
ungguliah mazhab Salaf di atas semua
mazhab-mazhab Kalamiah dengan
mengetengahkan dalil-dalil akal dan naqal.
Mesir dan India menjadi maju karena buku-
buku beliau itu dan karena buku-buku

269
muridnya yang terkemuka, yakni Allamah
(Sarjana) Ibnu Qaiyim, ialah setelah buku-
buku itu pada mulanya menjadi suluh bagi
negeri Nejed. Bahkan sekarang buku-buku
itu telah tersiar merata ke timur dan ke barat ,
dan ia menjadi pegangan bagi seluruh dunia
Islam.
1) Para ahli tauhid menafsirkan ’’mahiyah”
dengan ’’kenyataan sesuatu barang” Tetapi
kami menjelaskan, bahwa ’’mahiyah” adalah
synonym dengan ’’hakikat - sesuatu”.
Seperti hewan yang berakal (berbicara),
adalah mahiyah dan hakikaT bagi apa yang
disebut ’’manusia”. Tetapi sebutan itu
berbeda-beda. Apabila otak menggambarkan
sesuatu tentang zatnya, dan ia memberikan
jawaban bagi pertanyaan yang berbunyi :
’’Apakah dia sesuatu itu ?”
Maka itulah yang dinamakan ’’mahiyah”.
Dan dinamakan juga dia dengan ’’hakikat”
atau ”zat”, karena memandang hakikatnya
dalam kenyataan. Tetapi mahiyah itu
dipakaikan kepada barang yang tidak nyata
dalam kejadiannya, seperti memaham- kan
cerita burung ajaib, maka kepadanya tidak
dipakaikan lafazh hakikat. Dan sesuatu yang
lazim (mesti), ialah sesuatu yang tak bisa
dipisah-pisahkan, seperti kelaziman dapatnya
dibagi sama-banyak sesuatu bilangan yang
genap.
Kalimat Al-Mahiyah dan tafsirannya,
pertanyaan terhadap sesuatu dengan
memakai kalimat ’’apakah dianya” (ma
huwa ?), apa yang telah menjadi ketentuan
baginya dan syarat-syarat yang diberikan
dalam memakai kalimat jawabnya
pertanyaan itu, maka semua itu adalah
termasuk dalam bidang istilah ’’Ilmu
mantiq”, bukan menurut asal lbgat. Karena
orang Arab mengatakan : ’’Apakah itu” (ma
ka- za ?). Dan mereka menjawabnya dengan
sesuatu sifat yang dapat membedakan antara
sesuatu yang ditanyakan itu dari yang
lainnya.
1) Artinya karena hal itu berarti mengumpulkan
dua barang yang berlawanan vane berarti
pula menyamakan barang yang tidak sama
dalam satu waktu. ’
1) Yang dimaksud dengan ’’hakikat

269
akliah” hanyalah kata-kata sekedar
penjelasan. Jika tidak dijelaskan
begitu, maka tidak akan dikenal di
kalangan ulama, pengertian tentang
hakikat ’akliah yang tidak ada
ketetapan baginya. Kata-kata itu
telah dihilangkan sendiri oleh
pengarang dalam waktu
memberikan kuliah. Dan beliau
telah menetapkan, bahwa tidak ada
di balik hakikat kharijiah itu yang
mungkin, kecuali mendapatkan apa
yang dibayangkan oleh otak
tentang wujud yang khariji. Di
waktu memberikan kuliah ilmu
mantik (logika), beliau
menjelaskan batalnya pendirian
Plato tentang wujud yang akli, dan
begitu pula pendapat Aristoteles,
tentang ’’keadaan gambaran
fikiran”, bahwa itulah dia hakikat-
hakikat dari alam wujud y&ng
khariji (luaran) — ’’transzendenz”.
Sebagaimana diketahui, filsafat
Aristoteles mengatakan, bahwa
Allah itu ’’noesis noeseoos” atau
"akal yang tertiiiggi”.
(Penterjemah).
1) Svaikhul Islam Ibnu Taimyah membuat sebuah
Risalah yang bagus tentang menetapkan,
bahwa Allah bersifat dengan segala sifat
kesempumaan yang terdapat daiam bahagian
kelima dari ’’Majmu’ Rasail”-nya yang
diterbitkan oleh Al-Manar.
1) Ini menjadi dalil yang kedua tentang
’’hidup” bagi Zat yang Wajib Ada.
Kalimat, sesudahnya yang berbunyi
: ”Zat yang wajib ada itulah yang
memberi wujud”, merupakan dalil
yang ketiga.
1) Karena firman Tuhan : (21 : 22)
’’Sekiranya ada pada keduanya Tuhan
selain Allah pastilah keduanya menjadi
binasa”, adalah merupakan dalil yang
meyakinkan (qath’i), bukan dalil
tambahan-tambahan saja seperti yang
dibawakan oleh orang yang tidak
mengerti ayat itu. Dan yang dimaksud
dengan firman-Nya: ’’pada keduanya”,

269
adalah langit dan bumi, yang telah
disebutkan pada ayat sebelumnya.
Dalam melalui jalan Tauhid ini,'
sebahagian manusia ada yang tersesat.
Mereka mendakwakan, bahwa ada
Tuhan kebaikan dan ada pula Tuhan
kejahatan. Dan yang lain lagi
mengatakan, bahwa ada banyak Tuhan
yang disembah (polytheismus).
Pembahasan sebelumnya tentang
ke-Esaan Tuhan yang bersifat
filosofis, nipanya kurang
dibutuhkan pada zaman ini; lebih-
Iebih lagi tentang pembahasan
dalam soal ’’tidak ada tarkib”
dalam zat, kecuali pembahasan
tentang apa yang dikata- kan
’’Tritunggal” oleh kaum Nasrani
dan ’’Trimurti” pada sementara
penganut agama Hindu. Hal itu
tidak tepat demikian.
Pengarang mengelakkan diri
tentang pembahasan Tauhid yang
Agung yang di- tujukan oleh kali
mat ”La Ilaha Illallah” (tidak ada
Tuhan melainkan Allah) yakni
menyembah Allah yang Tunggal
sendirinya, bukan yang lain dari
pada-Nya. Karena pembahasan
dalam hal seperti ini adalah suatu
pembahasan yang bersifat
filosofis. Namun demikian
pengarang membicarakannya
secara filosofis di bahagian lain
seperti dalam membicarakan
perbuatan-perbuatan hamba
(manusia), dan dalam
membicarakan pelajaran yang
dibawa oleh Islam. Semua itu
dijelaskan setelah selesai
pembahasan tentang Risalah
(kerasulan) yang umum.
1). Sifat-sifat Sami’iyah iaiah, Sifat-sifat
Allah s.w.f. yang tidak dapat
dipaham dan dijangkau dengan
semata-mata kekuatan akal-fikiran,
tetapi harus melalui dalil-dalil atau
keterangan yang didengar dan
disampaikan oleh Rasulullah

269
sendiri yang kemudian diterima
dengan sepenuh-penuh Iman oleh
para sahabat dan orang yang-
kemudian. Penterjemah.
1) Hadits ini telah disepakati lafazh dan
maknanya. Berkata Hafizh ’Iraqi dalam
Takhrij, bahwa hadits ini diiiwayatkan
oleh Abu Nu’aim dengan maifu’, dengan
memakai sanad yang dla’if (lemah). Dan
Asfahani meriwayatkannya dalam kitab
Targhieb wat Tarhieb dengan jalan yang
lebih shahih. Tabrani meriwayatkannya
dalam kitab Al-Ausath dan Baihaqi dalam
Sya’bi dengan sanad haditsnya Ibnu
Umar. Beliau mengatakan, bahwa
terhadap Sanadnya harus ada peninjauan.
Saya mengatakan, bahwa dalam
sanadnya terdapat Waziqh bin Nafi’ yang
haxus di- tinggalkan. Zabidt
menambahkan dalam syarahnya : ’’Saya
berkata, bahwa hadits Ibnu Umax itu
lafazhnya berbunyi: ’’Tafakkaru fi
Alaaillah wa la tafakkaru fillah”
(Berpikirlah tentang pemberian-
pemberian Allah dan jangan kamu ber-
pikir tentang Zat Allah). Beginilah bunyi
riwayat Ibnu Abi Dunya dalam kitab
Tafakkur, dan Abu Syekh dalam ‘Uzmah,
Tabrani dalam Ausath, Ibnu 'Adi dan Ibnu
Mardawiyah serta Baihaqi. Tetapi beliau
memandangnya lemah; Ashfahani dan
Ibnu Mansur dalam "Al-Ibanah"
mengatakan riwayat hadits itu seorang
saja (gharib). Abu Syekh
meriwayatkannya dari Hadits Ibnu
Abbas dengan. bunyi: ’’Berpikirlah
kamu tentang makhluk dan jangan
berpikir tentang Khalik karena kamu
tidak sanggup mengira-ngirakan
kadainya”.
Ibnu Najjar dan Rafi’i meriwayatkannya
dari hadits Abu Hurairah dengan bunyi:
’’Berpikirlah kamu tentang makhluk
Allah dan jangan berpikir tentang
Allah”. Banyaknya riwayat itu akan
menambah kekuatan dan makna yang
benar dari hadits itu, sebagaimana yang
dikatakan oleh Hafizh As-Sakhawi
dalam kitabnya yang bemama ,fAl

269
Maqasid”.
2) Bagi saya telah jelas, bahwa hikmat
sebagian ibadat yang berupa
pertemuan- pertemuan bersama
dalam upacara keagamaan Nabi
Musa, ialah untuk me- lukiskan
dalam kenangan mereka suatu
kejadian apa yang pernah ditemui
oleh kaum Yahudi itu di Mesir dan
kemudian di Palestina di mana
mereka melihat kaum penyembah
berhala (wasthani) berkumpul
bersama-sama dengan jiwa yang
khusu’ beribadat kepada Allah
s.w.t. serta fikiran yang peniih
konsentrasi kepadaNya belaka.
Kejadian ini rupanya berkesan dan
berpengaruh kepada kaum Yahudi
sehingga menyebabkan mereka
tidak mau lagi menyembah
Banteng (IjilJ seperti yang pemah
mereka lakukan dahulukala di
padang Teh, dan juga seperti
halnya dengan orang-orang Mesir
purba yang menyembah Sapi yang
disebut dengan ’’Ibis” dan Tuhan-
tuhan lainnya yang disembah
mereka. Dan tentang kezuhudan
yang sangat, yang terkenal
dilakukan Nabi Isa Al-Masih a.s.
maka hikmatnya ialah, sebagai
reaksi yang kontras atas ke-
terlaluannya kaum Yahudi dan
Rumawi pada zaman beliau dalam
mengabdi kepada harta-benda
materi dan syahwat-syahwat-
badaniah. Hal ini sebagai isya- rat
pula bagi kedatangan ajaran Islam
yang senantiasa melalui jalan
tengah yang akan dibawa oleh Roh
Kebenaian Nabi Muhammad i^.w.
yang mereka sendiri telah
diberitahukan oleh Tuhan
mengenai hal itu, dan bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. akan mengajari
mereka tentang segala sesuatunya.
1) Imam Gazali mengadakan
perumpamaan, bahwa bagi orang
mukaUaf (dewasa) wajib

269
meyakinkan tentang faedah ibadat
secara global, tidak untuk mendalami
. detailnya satu persatu, dan hal itu
wajib diserahkan kepada ilmu Allah
s.w.t.; tak ubahnya seperti obat.
Orang sakit mengetahui dengan
pengalaman atau karena percaya
kepjjda doklei, bahwa obat itu dapat
menyembuhkan penyakit, pada hal ia
tidak mengetahui faedah kenapa ia
harus terdiri dari bagian-bagian
bahan campuran itu, ada yang sedikit
seperti sebuah biji gandum atau
duabiji, dan sebagian lagi ada yang
satu aok (1 aok kira-kira 42£ grm;
pen). Dan itu terserah kepada ilmu
dokter sendiri.
1) Seperti bunyi lonceng atau pembicaraan
Maiaikat sebagaimana tersebut dalam
hadits kedua dari Sahih Bukhaxi.
Yakni tidak boleh dibahas tentang hakikat sifat-
sifatNya seperti keterangan yang lalu.
2if Karena akal itu tidak bisa menyelami
apa yang mustahil dapat diketahuinya, yang
y tidak ada jalan Iain kecuali menyerahkan
diri dengan jalan menyuruh akal berhenti
di- tempat sebagai tanda iman.
3) Artinya, mereka para Rasul mengajak
manusia kepada Tuhan dan mangabdi
kepadaNya menurut cara-cara yang
teteh ditentukan oleh Agama, bukan
dengan memakai perantara-perantara
diantara makhluk-Nya.
1) Yakni kemusykilan persoalan kaum buruh dan
persoalan anarkisme dengan berbagai- bagai
macamnya sebagai akibat yang ditimbulkan oleh
persoalan buruh itu. Dan seluruh dunia Eropah
menjadi kagum, bahwa persoalan ini dapat
diselesaikan oleh satu segi saja dari ajaran Islam
yakni kewajiban membayar Zakat dan adanya
perintah bersedekah. Sedang pihak yang
bersangkutan dengan segala senang hati
melakukannya karena dapat mengharapkan
pahala bahagia diakhirat, disamping lebih
mendorong ‘orang supaya giat berusaha.
2) Salah satu di antara Panca-indera.
1) Bahwa perasaan ingatan kepada
adanya kekuatan yang gaib di dalam
alam ini adalah telah menjadi

269
perasaan naluxi manusia itu sendiri.
Tetapi kekuatan itu ialah kepunyaan
Allah- sendiri. Maka tidak boleh
ditunjukkan kepada yang lain
walaupun kepada Nabi atau wali
sekalipun.
1) Yakni, sesungguhnya sembahyang
saya dan segala macam ibadat saya,
hidup dan mati saya dan yang
sesudah mati (hari akhirat), semua
itu adalah bagi Allah. Saya tidak
akan berbuat untuk mencari
keredhaan orang lain selain Allah
itu, dan tidak pula akan minta
pertolongan kepada orang lain
secara maknawi, tetapi hanya
kepada-Nya saja, lagi menurut
segala aturan dan hukum-
hukumNya.
1) Pengarang menyebutkan dalam kuliahnya,
bahwa ada tiga ciri pokok bagi taklid.
1) Yang dimaksud adalah agama Nasrani,
pen.
1) Periksalah tafsir firman Allah s.w.t.
(2:137) ‘Telah berlaku sebelum
kamu aturan-aturan Ilahi", dan
begitupun pendapat pengarang
dalam Tafsimya Al-Manar jilid
11, atau pada halaman 138 jilid
yang ke IV.
1) Lihat tafsir ayat ini dan apa yang
diucapkan pengarang dalam
komentarnya dalam Tafsir Al-Manar
jilid IV, atau dalam Majallah Al-
Manar penerbitan yang ke-X
halaman 571, - 572, - 650, - 72>, -
731.
1) Kandungan sebuah Hadis yang
marfu’ yang diriwayatkan oleh
Thabrani dalam Kitab Al-
Awsath, dengan sanadnya Abi
Huxaixah.
1) Yakni ajaran ilmu-ilmu itu yang berisi
tuntunan bagaimana cara mengatur masya-
rakat; dan yang mengandung berbagai-ilmu
kesenian dan perekonomian (per-
industrian) dsb.
1) Seperti Syathiby dalam

269
Kitabnya ”A1-Ftisham” dan
Muhammad Al-Birkway
dalam Kitabnya ”At-
Tharieqatul
Muhammadiyah”.
1) Orang yang sakit ini yang telah sembuh
dari penyakit-penyakit kebodohan
taklid dan menjilat kepada raja-raja
dan kepala-kepala Agama, telah
disusul lagi dengan penyakit-
penyakit yang lain yang sangat
berbahaya dewasa ini yang
ditimbulkan oleh pengabdian
kepada benda (materiatisme);
kebobrokan yang terdapat dalam
agama, budi-pekerti, dan
membiarkan menulamya perbuatan-
perbuatan nista. Dan tak ada
obatnya semua itu kecuali dengan
obat Islam, dan dimana saja obat itu
dapat digunakannya sendiri dan
keluarganya untuk membasmi
racun-racun penyakit yang
bersaiang dalam tubuhnya sejak
dari penyakit yang tersebut pertama
itu.
2) Mengenai hal ini silakan baca
’’Konfrontasi Islam dan Kristen
dalam Ilmu dan Kebudayaan”
(AHslam wan Nashraniyah ma’al
’Ilmi wal Madaniyah) yang ditulis
oleh pengarang sendiri,
rahimahullah. Beliau dalam Kitab
ini telah menyempurna- kan apa
yang telah dijanjikannya disini. Ia
adalah suatu Kitab yang tidak boleh
diliwatkan membacanya oleh setiap
orang zaman sekarang. Bahkan
salah seorang tokoh terkemuka
Islam pemah mengatakan, bahwa
Kitab itu sepantasnya dibaca sekali
dalam tiap tahunnya. Dan disini
para pembacaannya akan mendapat-
Van penjelasan-penjelasan penting
bagi persoalan-persoalan yang
banyak dising- gung di dalam Kitab

269
Risalah ini secara singkat.
1) Yakni wajiblah mengartikan berita itu
menurut makna yang sesuai dengan
kesudan Ilahi yang telah ditetapkan
oleh dalil-dalil nakal (Al-Quran dan
Sunnah) dan dalil akal yang
ditunjukkan dengan gaya-gaya
bahasa tertentu, dengan menginsyafi,
bahwa segala apa yang disifatkan
kepada Allah untuk diriNya telah
disampaikan dengan memakai kata-
kata yang telah pula dipakai oleh
manusia terhadap makhlukNya,
seperti berbagai istilah ilmu penge-
tahuan dan berbagai cabang
kesenian. Maka itu tidak berarti,
bahwa apa yang dipakai untuk
menyipatkan Allah itu sama persis
dengan sifat yang dipakai oleh
makhluk dalam segala-seginya.
Tetapi adalah sekedar munasabah
(persamaan) yang terbatas pula.
Maka begitulah sifat Ilmu Allah,
Kodrat, Kalam, Rahmat, Kasih
sayang dan murahNya, bukanlah
merupakan hal-ihwal dan sifat- sifat
hati seperti yang ada pada manusia
itu. Tangannya, anak-anak jarinya
bukanlah sama dengan keadaan
anggota manusia; BudiNya, dan
caraNya member] rezeki, dan duduk
bersilaNya diatas ’Arasy (Istiwa’)
bukanlah sama dengan gerakan-
gerakan anggota badan manusia.
Dan tetapi itu tidak berarti, bahwa
makna-makna yang dikandungnya
itu berlain seluruhnya dengan yang
ditunjukkan oleh madlul lafaznya.
Begitulah pengertian kaum Salaf
tentang memahamkan kata; "Istiwa”
itu, yakni arti katanya yang telah
sama dimaklumi (bersila); tetapi
bagaimana caranya tidaklah
diketahui, terserah kepada Tuhan
sendiri Dan begitu pula tentang
masalah melihat Tuhan (Ru’yat).

269
Dan kaidah kaum Salaf dalam hal itu
ialah, bahwa Tuhan bersifat dengan
sifat-sifat yang melekat pada diriNya
tanpa tamsil dan tanpa takwil
sebagaimana terdahulu
keterangannya.
2) Artinya perkara-perkara Agama yang
merupakan thema Kerasulan dan
meriyam- paikan berita yang datang
dari Allah.
1) Kebanyakan dari Sunnah yang
mutawatir adalah yang
berkenaan dengan ibadat
amaliyah seperti halnya dengan
sembahyang dan haji. Dan
adapun hadits-hadits qauliyah
yang mutawatir, maka dapat
dikatakan banyak sekali
jumlahnya.
2) Yakni, bahwa takwil dengan
syarat-r.yarat seperti ini,
tidaklah menafikan bagi sah
Islamnya seseorang. Maka
karenanya tidaklah boleh
mengkapirkan orangnya,
kecuali bila ia tidak mematuhi
ketentuan syarat-syarat itu tadi.
Dan inilah pendirian kaum ahli
Sunnah wal Jama’ah.
1) Pada hakekatnya yang bisa melihat
(mencapai) itu adalah roh, sedang
indera mata itu hanyalah sebagai
alat belaka. Dan telah menjadi
ketetapan berdasarkan pengalaman-
pengalaman para sarjana di Timur
maupun di Barat dewasa ini, bahwa
sebagian diantara manusia ada yang
bisa melihat dan membaca dalam
keadaan mata tertutup, yang mereka
namakan dengan membaca dengan
fikiran hipnotis, dan ia melihat dari
sesuatu benda sebagiannya, tidak
yang lainnya dalam keadaan dirinya
seperti tidur. Dan ada pula orang
yang memandang sesuatu yang jauh
dibelakang tabir penglihatannya

269
persis seperti melihat orangnya
sendiri padahal ia di Mesir sedang
sahabat karibnya itu jauh di Iskandariah,
tetapi jelas tampak
baginya keluar rumah menuju
arah stasion kereta api—seperti
yang dijelaskan dalam halaman
152 yang lalu. Maka apabila
yang seperti ini bisa terjadi dalan.
dunia dengan perbedaan apa
yang dilihat oleh masing-masing
manusia—maka apakah patut
bagi orang yang berakal untuk
merasa musykil terhadap apa
yang lebih hebat dari itu lagi
dalam surga,' pada hal ia adalah
mengenai alam yang gaib yang
sunnah dan peraturannya berbeda
dari alam yang tampak sekarang
ini Dan dapatkati kemusykilan
orang-orang yang mengingkari
melihat Tuhan itu kecuali dengan
suatu sebab yang mengkiaskan
alam dunia ini dalam hal peng-
lihatan dan yang bisa dilihat?
Dan kias yang seperti itu adalah
kias yang batil, dan kebatilannya
itu dalam apa yang dilihat adalah
lebih jelas lag! Dan saya telah
memaparkai masalah ini dalam
Tafsir Al-Manai dengan
penjelasan yang pan- jang lebar.
Silakan lihat tafsir ayat 142 dari
Surat Al-A’raf halaman 122-178,
jilid yang ke IX.
1) Demikian pula Al-Hulaimi yang
termasuk tokoh terkemuka mereka juga.
1) Berkata sebagian para ahli Tafsir dalam menafsirkan firman Allah (,.Berkata
seorang yang mempunyai pengetahuan dari
Kitab Allah: ’’Saya sanggup mem
bawa mahligai raja Balqis kepada
engkau (Sulaiman) sebelum kedipan
mat3 engkau kembali”), bahwa yang
berkata begitu itu adalah wazir
Sulaiman sendiri yang bernama
Ashif bin Barkhaya. Pengarang

269
menyebutkan nama Ashif itu, tetapi
nama ini tidak pernah ada tersebut
dalam Al-Quran, dan tidak pula da-
lam Hadits yang marfu’, tetapi
hanya tersebut dalam cerita-cerita
dongeng kauir Bani Israil. Dan
berkata pula sebagian ahli Tafsir
yang lain, bahwa orang yang di-
maksud dalam ayat itu adalah
Sulaiman sendiri dan pendapat ini
dikuatkar oleh Naisaburi; dan
berkata pula yang lain, bahwa ia
adalah malaikat Jibril, dar ahli Tafsir
yang lain lagi mengatakan: malaikat
yang lain dari Jibril. Ringkasnya
bahwa persoalan menghadirkan
mahligai Balqis itu adalah suatu
mu’jizat bag Nabi Sulaiman
’alaihissalam, yang tidak dapat
dijadikan hujjah bagi masalal
keramat. Demikian pula apa yang
mereka katakan tentang masalah
rezeki yanj diberikan Tuhan kepada
Sitti Maryam yang berupa buah-
buahan musim pa nas yang datang
dimusim dingin, dan yang
sebaliknya, adalah merupakan hadit
yang tidak sah yang tidak pernah
terdapat dalam hadits yang marfu’.
Ma ka hal itu juga adalah termasuk
dongeng-dongeng cerita kaum Bani
Israil,- sebagai mana yang kami
jelaskan dalam Tafsir Al-Manai.

269

Anda mungkin juga menyukai