Anda di halaman 1dari 34

BRO The Art of Self-love:

GROWING
GAMAL

BREWOK
Tentang brewok
yang memulai
segalanya.

Vol.

01
VALUE
Ada seorang bapak-bapak bule bernama George Herbert yang pernah
bikin mantra sejuta umat buat orang-orang ambis sedunia:

When there is
a will, there is
a way
Entah dari mana Pak George dapat ilham, tapi kata-kata beliau
sudah terbukti dari jaman Romawi sampai Obama naik jadi presiden:
kalaupun kita nggak punya sumber daya atau skill mumpuni, usaha
adalah modal yang lebih dari cukup. Bahwa terlepas dari hasil, yang
pada akhirnya dikenang orang dan jadi quote inspirasi itu bukan tujuan
akhirnya, tapi perjalanan dan jatuh bangunnya.
Gue nggak mengira numbuhin brewok bakal jadi katalis perjalanan
panjang gue, yang kemudian bakal dipenuhi segudang ambisi lainnya.
Dari sesuatu sesimpel penasaran sama rasanya punya rambut di muka,
hidup gue bisa berubah.

Maka dengan tekad di hati dan modal seadanya di dompet, gue, Fariz
Gamal (yang setelah ini akan kita sebut Gamal) matenin mantra gue
sendiri yang akhirnya ngalahin mantra Pak George:

Gue mau brewokan!

The Art of Self-love: Growing Brewok Value 1


Part 1

KELAS
11 SMA,
CIRCA 2010,
JAKARTA.
The Art of Self-love: Growing Brewok Value 3
Perhatiin, deh. Nggak ada anak laki SMA yang nggak pernah kepikiran
di kepalanya bahwa dia kepengen brewokan, barang sekalipun
dalam hidupnya. Alasannya pun teramat simpel: sepanjang sejarah
umat manusia, brewok adalah salah satu simbol paling mentereng
maskulinitas seorang cowok. Otot? Lewat. Brewok nggak cuma jadi
mantra penggaet cewek paling ampuh, tapi juga bisa melunturkan
segala imej kecupuan gue yang masih nempel sejak jaman rutin dibully
temen sekelas pas SMP. Ya sedikit info, SMP gue itu entah kenapa
anaknya badung-badung, pada demen banget ngebully yang cupu, dan
akhirnya saat gue sudah hampir ditelanjangin rame-rame depan kelas
gue putuskan untuk setuju membayar upeti setiap minggunya selama 3
tahun sekolah.

Tekad gue selanjutnya:

Masa SMA gue haram


hukumnya habis dalam
kondisi cupu!
Permasalahannya cuma satu: gue nggak ada gen brewok sama sekali.
Darah Arab dari ibu sudah campur aduk sama darah Cirebon tulen
bapak. Maka lunturlah segala kesempatan gue buat numbuhin brewok
secara alami. Jangankan numbuh kumis atau jenggot, ada rambut tiga
helai tumbuh di ujung dagu juga udah syukur.

4 The Art of Self-love: Growing Brewok Value


Layaknya anak SMA yang pantang menyerah, segala produk mulai
gue coba. Kata-kata Pak George terngiang di kepala gue. Pasti ada
jalan, gue batin sembari terpaksa ngebuang satu lagi minyak absurd
yang gue coba beli dari kaskus. Dari minyak zam-zam sampai minyak
“surga”, rasanya nggak ada toko offline maupun online yang belum
gue sambangi demi mengejar mimpi gue.

Belinya dimana, gue udah lupa. Tapi semuanya gagal. Total.


Sembari membuang segala sisa produk apes tersebut, malam itu
gue kubur dalam diam segala mimpi gue buat numbuhin brewok. Dan
masa SMA gue sayangnya habis dalam kondisi cupu.

*****

The Art of Self-love: Growing Brewok Value 5


Part 2 John Wayne

YOU HAVE
TO BE
A MAN
BEFORE YOU
CAN BE A
GENTLEMAN.
The Art of Self-love: Growing Brewok Value 7
Sebuah kampus pinggir ibukota, 2013.

Nggak ada maba yang nggak jiper sama jenderal pas OSPEK. Tapi di
mata gue, para jenderal ini - istilah khusus buat anggota kedisiplinan
yang bertugas jadi polisi maba - sangat, SANGAT enggak jelas.
Fungsi mereka apa sih? Maba lewat, marah-marah. Maba selonjoran,
marah-marah. Maba nunduk nggak 90 derajat, marah-marah. Heran,
sebenernya apa sih yang bikin para maba di sekitar gue ini tunduk
banget sama para jenderal?

Rupanya masa-masa inilah pembuktian akan teori gue yang


terkubur dalam waktu SMA.

Konon, jurnal Psychological Science pernah bikin riset tahun lalu


demi mengetahui, apa sih yang dilihat dari orang yang punya brewok?
Yang mereka temukan adalah brewok membuat seorang pria dipandang
maskulin, dominan dan agresif.

Persis seperti jenderal senior yang sering bertandang di barisan


program studi gue.

Sebutlah oknum ini Senior A. Doi ini adalah salah satu dari para
jenderal yang tugasnya selain mendisiplinkan barisan-barisan prodi,
juga nyemprot maba pagi-pagi dengan angkara murka sebelum apel
pembukaan. Dan nggak cuma rekan-rekan sejurusan gue, tapi maba-
maba dari barisan lain yang notabene beda jurusan pun tunduk pada
Senior A ini.

8 The Art of Self-love: Growing Brewok Value


Saat itulah gue sadar. Doi disegani karena brewoknya.

Perlahan-lahan hasrat gue untuk punya brewok yang sudah


terpendam sejak gue puber bangkit lagi. Seakan wibawa dan karisma
Senior A ini terpusat semua di brewoknya yang gahar dan sangar,
kelihatan jelas terurus dan niat ditumbuhkan brewoknya. Sementara
maba-maba cowok kesel setengah iri tiap kali dia berkoar, maba
cewek justru sumringah dan dengan sukarela manut dengan segala
perintahnya.

Dan kembalilah bisikan itu dalam kepala gue.

Masa gue nggak bisa punya brewok kayak dia?

Di titik ini gue sampai merasa mantra gue waktu SMA berubah
jadi semacam jimat yang muncul di saat-saat yang paling nggak
disangka. Pasalnya, kekesalan gue tersebut dijawab dalam bentuk
algoritma simalakama Youtube. Seorang vlogger yang tanpa sengaja
videonya muncul di feed rekomendasi gue mengupas habis sepak
terjangnya numbuhin alis menggunakan sebuah produk bernama
minoxidil. Scrolling lebih jauh membawa gue ke komentar-komentar
yang meyakinkan gue bahwa nggak hanya produk ini manjur buat
alis, tapi juga buat kumis dan jenggot.

Mata gue berkilat bak protagonis anime yang siap melancarkan


jurus. Ini kah akhirnya awal jalan gue mengejar brewok idaman? Dalam
hati gue berusaha nggak terlalu berekspektasi tinggi. Jatuh bangun
nyoba produk waktu SMA masih membekas, dan kalo misalnya

The Art of Self-love: Growing Brewok Value 9


gagal lagi, gue akan lepas mimpi gue punya brewok untuk selama-
lamanya, dan gue ikhlaskan kayak dulu mengikhlaskan layangan putus.
Nggak ada lagi saldo ATM sedih demi obat yang ujung-ujungnya kayak
harapan dari cewek, PALSU.

Di situs ebay, gw menemukan produk minoxidil ini. Rupanya produk


tersebut belum mendarat di situs e-commerce lokal manapun, dan
satu-satunya opsi adalah untuk pesan dari luar negeri. Hingga akhirnya
sebotol minoxidil itu sampai di tangan gue, dan isinya pun teroles di
wajah gue.

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan. Mulai tumbuh bulu-bulu halus
alias velus di sekitar dagu gue. Sumringah, deg-degan, sujud syukur.
Gue pupuk terus harapan masa remaja gue, sembari rajin mengoleskan
area wajah gue dengan minoxidil ini. Walau masih malu-malu, semangat
gue nggak pernah layu.

Rupanya benar kata Pak George. Mimpi dan ngotot memang tak
pernah mengkhianati hasil. 5 bulan kemudian, bahagia di dada ini lebih
luar biasa rasanya dibanding diterima cewek. Suatu pagi, gue pandang
diri gue di kaca, dan akhirnya gue bisa berkata,

“Akhirnya gue brewokan!”


*****

10 The Art of Self-love: Growing Brewok Value


The Art of Self-love: Growing Brewok Value 11
Part 3 John D. Rockfeller

THE MAN WHO


STARTS OUT
SIMPLY WITH
THE IDEA OF
GETTING RICH
WON’T SUCCEED,
YOU MUST
HAVE A LARGER
AMBITION.
The Art of Self-love: Growing Brewok Value 13
Nggak jarang, ambisi yang sudah tercapai kemudian hangus saja
dimakan waktu. Setelah tercapai, lalu apa? Jalur buntu macam ini
yang kerap kali membuat banyak ambisi mati sebelum waktunya --
yang sudah tercapai bukan berarti sudah selesai.

Sama dengan situasi gue setahun setelah gue sukses menemukan


senjata pamungkas kebrewokan. Resmi jadi lelaki brewok, gue kira
purpose gue berikutnya itu simpel: cari pacar.

Oke, mungkin nggak sesimpel itu, tapi seenggaknya dengan


brewok yang gue miliki sekarang, jauh lebih mudah menarik perhatian
cewek dibanding saat gue masih jadi low-value male jaman SMA
dahulu kala.

Tahun 2014 gue kickstart proyek teranyar gue, yaitu mencari


pasangan. Yang jujur nggak mudah karena 20 tahun gue hidup tanpa
rambut di muka selain alis dan bulu mata, susahnya setengah mati
buat ngumpulin keberanian nembak cewek dan ngajak jalan. Cuma
minder, minder, dan minder. But that’s about to change.

Catet ye, khususnya wahai maba. Brewok itu bagaikan peta buat
kalian sampai ke tujuan kalian. Tapi pilihan buat naik mobil, motor,
sepeda, atau nebeng di tengah jalan, itu faktor lain. Dan itulah fungsi
kepanitiaan. Wibawa yang sudah memancar dari brewok gue, nggak
mau gue sia-siakan. Gue manfaatkan lewat ikut berbagai kepanitiaan
kampus, sampai akhirnya gol manis, gue dapet pacar. Cantik, aktif di
kampus, tajir pula. Bangga nggak kepalang, semua terimakasih pada
brewok gue tentunya.

14 The Art of Self-love: Growing Brewok Value


Ternyata gue salah besar.

Baru satu minggu, kisah cinta gue kandas. Entah apa masalahnya,
doi nggak mau bilang jujur. Padahal, sebelum gue memberanikan
diri buat terjun ke dunia romansa, gue pikir bekal gue ikut seminar
percintaan sudah cukup. Namun otak dan hati gue bilang, value
gue sebagai lelaki masih lumayan low, clingy dan needy sama pacar.
Sampah memang. Dari situ gue belajar fakta pahit: bahwa butuh
lebih dari sekedar brewok kalau mau jadi High Value Male, dan
seminar percintaan itu nggak bikin kalian bisa longlast sama pacar
kalian. Serius.

Tapi yang lebih pahit lagi, gue sadar ambisi yang mau gue capai
dengan brewok gue terlalu cetek. Sebuah pengkhianatan pada
perjalanan gue yang sudah panjang tapi kok target gue sedangkal ini,
cuma sebatas mau punya pacar doang. Kalau ternyata jalan hidup
gue bukan disini, kemana lagi gue mesti melangkah?

Ah, memang semesta maha mejik. Pasca putus, beragam kawan


dari berbagai kepanitiaan yang gue ikuti mulai sering ngobrol. Tapi
lebih dari itu, mereka justru gencar nanya tentang brewok gue.
Datangnya dari mana, berapa lama numbuhnya, sampai barbershop
langganan gue dimana. Dengan lugas gue jawab semua pertanyaan
mereka dengan satu kata: minoxidil.

Tentunya ini rahasia kecil antara gue dan kawan-kawan gue yang
kebelet brewok juga. Mereka adalah kalangan rebahan supermager
yang ngulik credit card payment eBay aja males. Online shopping

The Art of Self-love: Growing Brewok Value 15


memang belum marak waktu itu, dan sebagai anak Kaskus yang
lumayan terbilang hi-tech, dengan senang hati gue bantu mereka pesan
minoxidil dari eBay.

Dari cuma seorang, sampai 5 orang, pelan-pelan ucapan terimakasih


mengalir dari mereka yang berprogress dalam karir penumbuhan
brewok, persis seperti gue waktu maba. Di wajah mereka mulai tumbuh
bulu velus, dan semuanya satu per satu dapat pacar di luar circle
kepanitiaan kami. Dari satu mulut ke mulut lainnya, nama gue mereka
rekomendasikan dan alhasil jadi “Mario Teguh” bagi mereka yang juga
ingin mengejar mimpi punya brewok.

Disini ada dua hal yang tergerak: hati gue yang menyadari bahwa
ini bisa jadi panggilan dan ambisi gue berikutnya, serta otak bisnis gue
yang memanfaatkan situasi orang-orang mager yang ingin cepat sukses.
Dari “lebihan-lebihan” jasa gue sebagai bandar minoxidil fakultas,
yang menebal bukan cuma dompet, tapi juga kepedean gue buat PDKT
lagi dengan cewek-cewek yang (mostly) jomblo di sekitar lingkungan
kampus.

Gaung nama gue mulai meluas, tapi gue percaya ini nggak bisa
dibiarkan cuma mouth-to-mouth. Kedengeran receh memang, tapi
rupanya banyak self-esteem orang yang terbantu dengan jasa gue ini.
Maka hati gue mantap menjadikan ini ambisi kedua, next level dari
keinginan polos seorang Gamal untuk memiliki brewok.

Tahun kedua kuliah ditandai dengan maraknya online shop


Instagram. Tanpa pikir panjang gue langsung ikut terjun, walaupun

16 The Art of Self-love: Growing Brewok Value


nggak pakai identitas asli lantaran malu kalau sampai ketahuan satu
kampus kalo brewok gue ini hasil obat dan bukan genetik. Maskulinitas
yang baru dibangun jangan sampai hancur gara-gara dikira maksa mau
jadi manly.

Agak lama mikirin nama panggung yang cukup keren dan


merangkum perjuangan gue buat brewok demi jadi personal branding
gue. Tapi kemudian gue mikir, kenapa mesti ribet? 12 Januari 2015 jadi
hari dimana gue mencetuskan nama Misterbrewok. Perlambang pria
dan rambut wajah yang ia damba. Meskipun awalnya banyak orang yang
skeptis sama langkah yang gue ambil “apaan sih jualan obat brewok gak
jelas banget ente” tapi sangking bangganya gue sama brewok, maka gue
katakan “i dont give damn!”

Hingga sekarang, Misterbrewok jadi lebih dari hanya sekadar nama.

*****

The Art of Self-love: Growing Brewok Value 17


Part 4 Frederick William Robertson

IT IS NOT THE
SITUATION
WHICH MAKES
THE MAN, BUT
THE MAN WHO
MAKES THE
SITUATION.
The Art of Self-love: Growing Brewok Value 19
Tahun 2015-2016, media sosial dan para kreator kontennya makin
menguasai jagat internet. Di tengah huru hara nama Misterbrewok
yang (di luar ekspektasi gue) makin naik daun, gue mengambil
keputusan untuk makin meroketkan brand ini via sebuah channel
Youtube yang gue luncurkan sekitar tahun 2016.

Sebutlah ini bentuk apresiasi. Gue sangat terkejut dan terharu


karena sejak Misterbrewok resmi berdiri, tanpa henti gue mendengar
testimoni bahagia dari ratusan pelanggan pertama gue. Bukan, yang
bikin gue sumringah bukan perihal branding yang makin kenceng --
justru, bahagianya orang-orang ini yang membuat gue sadar bahwa
gue telah berhasil membuat mereka makin cinta dengan diri sendiri.

Konsep self love ini yang nggak pernah gue sangka akan jadi
jantung dari Misterbrewok. Selama kiprah gue dalam hidup,
permasalahan self love selalu jadi isu yang nggak pernah selesai. Untuk
bisa sayang dengan diri sendiri, bangga diri sendiri, sulitnya bukan
main. Tapi sekarang, semesta justru memperlihatkan gue pada orang-
orang yang menemukan cinta buat diri sendiri lewat produk yang gue
besut.

Sensasi ini bikin gue tertegun, tapi lebih dari itu, sangat sangat
terharu.

Nggak cuma itu, ternyata post-post motivasi di instagram nggak


semuanya bullshit. Efek nggak langsung dari kecipratan self love dari
para customer gue ini adalah, gue berhasil dapet pacar lagi!

20 The Art of Self-love: Growing Brewok Value


Oke, mungkin nggak nyambung-nyambung banget. Tapi percaya
deh - menghargai diri sendiri, bakal bikin kalian dihargai orang lain
pula. Apalagi dicintai.

Buat kalian yang pernah ikut gathering Misterbrewok yang


pertama pada tahun 2016, di gathering pertama ini pula gue
menyadari gaung Misterbrewok yang rupanya sudah jauh diluar
dugaan. Dua lusin manusia hadir dan bercengkrama maha seru
tentang diri mereka, dan pulang bawa teman baru. Ini lah saat
Misterbrewok dengan resmi meluncur, berbekal pengalaman
seadanya, yang kemudian berujung pada wawancara pertama gue
dengan Wall Street Journal, sebuah WSJ nge-notice gue? Gila.

Setelah WSJ nge-notice gue, banyak orang yang mulai sadar


bahwa Misterbrewok ini ga kacangan-kacangan banget, setelah
vakum ikut Lebaran selama 2-3 tahun akhirnya gue putuskan untuk
ikut lebaran lagi ketemu keluarga-keluarga jauh, oiya jadi sejak awal
kuliah sampe 2016 itu gue selalu ga ikut muter-muter lebaran karena
gue lelah tiap lebaran ditanya kuliah dimana dan saat gue jawab gue
kuliah sastra pasti dibilang “wah mau jadi apaan ente” hahaha jadi
gue putuskan sayonara deh!

2016 - 2017 bisa dibilang periode yang cukup gila, penuh


pencapaian dan pembelajaran. Secara bisnis, maupun secara
personal. Dari meluncurkan Misterbrewok, gue telah secara sadar
memupuk kepercayaan atas diri sendiri, tanpa harus underestimate
kemampuan gue. Dari setiap kejadian yg gue alami, selalu ada
kesempatan untuk belajar dari awal. Walaupun belajar tersebut harus

The Art of Self-love: Growing Brewok Value 21


diawali dengan ketidaknyamanan. Justru journey itu yang bikin asik -
dengan brewok yang sekarang sudah gue miliki, apapun rintangannya
itu bukan halangan, tapi tantangan.

“Jadi sebenernya, apa sih yang bikin lo pengen numbuhin brewok?”

Gue pernah melempar pertanyaan itu ke beberapa customer


Misterbrewok, dan penasaran apakah alasan mereka nggak jauh beda
dengan alasan kenapa gue merintis brand ini, atau asumsi gue meleset
jauh dan mereka punya angan-angan baru di kepala mereka. Ternyata
macam-macam alasannya: ada yang karena alasan relijius, ada yang
ingin lebih maskulin dan ganteng.

Menariknya, setelah gue korek lebih dalam, mayoritas dari para


customer ini memiliki keinginan terpendam untuk menarik wanita
lewat brewok mereka. Dalam hati gue cuma bisa membatin, begitulah
laki-laki. Pada akhirnya, segala dari yang kita lakukan, entah itu
profesi, olahraga, ataupun studi, selalu berujung pada misi mencari
cewek yang diidamkan.

Ironis. Ini bukan definisi high value male yang ingin gue capai.

*****

22 The Art of Self-love: Growing Brewok Value


The Art of Self-love: Growing Brewok Value 23
Part 5 Frederick William Robertson

MANLINESS MEANS
PERFECT MANHOOD, AS
WOMANLINESS IMPLIES
PERFECT WOMANHOOD.
MANLINESS IS THE
CHARACTER OF A MAN
AS HE OUGHT TO BE, AS
HE WAS MEANT TO BE.
The Art of Self-love: Growing Brewok Value 25
Oke, Pak James Freeman Clarke. Kurang lebih kalau diterjemahkan,
manliness adalah karakter seorang pria, seorang male, sebagaimana ia
mestinya dan sebagaimana ditujukan.

Hmm, kalau gitu, bagaimana kita menujukan diri menjadi seorang


yang manly? Seorang High Value Male?

Buat gue, High Value Male adalah saat dimana tujuan hidup kita
sudah jelas, setiap bangun tidur tahu apa yang harus dilakukan, karena
memang kita sudah punya purpose yang jelas. Itulah saat dimana hidup
bukan melulu soal cewek, romansa, dan tetek bengek lainnya.

Tahun 2018, sebagaimana sarjana segar pada masanya gue bingung


harus ngapain dengan hidup gue. Saat itulah gue putuskan untuk cari
inspirasi dan meninggalkan hidup gue untuk sementara. Gue milih
untuk tinggal di London selama satu bulan, dimana bisa dibilang gue
melihat banyak hal baru dan mata gue mendadak terbuka bahwa hidup
luas, dunia tak terbatas, apalagi kalau batasnya hanya relationship.

Orang yang hidupnya melulu soal cewek nggak akan pergi jauh
kemana-mana dibanding mereka yang fokus pada purpose -- disitulah
momen dimana gue menemukan makna High Value Male ini. Gue
mulai baca banyak buku soal HVM dan tanpa gue sangka, ini ilmu non-
nujum yang rupanya teramat keren. Gue pelajari dalam dan mulai gue
terapkan selepas gue pulang ke ibukota. Terlebih tentang Mastering
the ability to be alone, yang gue sangat terapkan saat gue di London
dimana gue banyak menghabiskan waktu sendirian. Gue tinggal di
sebuah homestay, dimana walaupun siang gue ketemu dengan teman-

26 The Art of Self-love: Growing Brewok Value


teman dalam rumah, gue habiskan tiap malamnya jalan-jalan keluar
sendirian. Rupanya kesendirian nggak akan membunuh lo – justru,
tanpa noise yang seringkali kita dapat dan terima dengan begitu banyak
orang di sekitar kita, banyak inspirasi yang akan kita dapat.

Ini tentunya terobosan luar biasa buat gue yang selalu mikir bahwa
gue butuh cewek untuk bahagia. Keinginan untuk selalu ada yang
nemenin, sampai bela-belain memperbaiki diri demi dapet cewek, itu
semua SALAH BESAR. Memperbaiki diri versi gue sekarang adalah demi
bikin diri sendiri bahagia! Perkara cewek dateng apa engga itu urusan
nanti, tapi untuk bisa bahagia dengan diri sendiri itu adalah perasaan
luar biasa.

Kesadaran berikutnya adalah saat gue melihat dan mendengar


teman-teman sekelas gue di London yang sangat purposeful dengan
hidup mereka masing-masing. Nggak ada omongan tentang cewek,
hanya cita-cita, tujuan, dan segudang ambisi yang mau mereka capai.
Sehingga gue putuskan – Gamal yang pulang ke Indonesia, adalah
Gamal yang berubah 180 derajat.

Dan itulah yang gue lakukan. Gue perbanyak baca buku, mencari
pencerahan baru, karena gue paham bahwa dengan knowledge, maka
purpose akan terbentuk dengan alamiah. “I know what I am going to
do.”

Catat ya, knowledge nggak cuma berasal dari baca buku, ketemu
orang-orang baru juga termasuk knowledge lho. Demi knowledge
ini pun gue jadi punya tujuan khusus buat main dating app: ngobrol

The Art of Self-love: Growing Brewok Value 27


dengan orang baru. Rupanya justru dari orang-orang baru ini (yang
kebanyakan memang cewek) gue belajar banyak sekali perspektif
yang, sebagai seorang wirausaha, sangat penting karena ini memberi
jendela buat gue memahami beragam karakter orang. Market research,
bisa dibilang.

Dengan seringnya main tinder dan ketemu puluhan bahkan


ratusan manusia, gue pun akhirnya meninggalkan kecanggungan
gue dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Gue nggak lagi takut
kehilangan, dan lambat laun merambah menjadi definisi High Value
Male sesungguhnya. Gue sadar, dengan kesendirian pun datang
kebebasan – kebebasan gue untuk kemudian menjadi High Value Male
yang gue dambakan.

Berbagai sisi seorang High Value Male dan cara mencapainya bakal
ngabisin banyak sekali halaman kalau kita bahas disini. Pasalnya, ini
pun adalah salah satu bagian terbaik dari kiprah pribadi gue. 2018-
2019 saking luar biasanya, bisa habis 20 halaman sendiri. Instagram
@bro.gamal mungkin bisa memberikan kalian sneak peek dari konsep
HVM ini, dimana series HVM gue mengupas nyaris tuntas segala seluk
beluknya.

Dan Misterbrewok? Sekarang, brand yang berawal dari pencarian


panjang gue akan identitas diri menjadi satu aspek hidup yang paling
gue syukuri. Brand maupun brewoknya, luar dalam mengubah gue 180
derajat, sampai ke titik orang kenal dan inget gue karena brewok ini.

28 The Art of Self-love: Growing Brewok Value


Lalu dengan tercapainya segala mimpi masa remaja gue, apa yang
terjadi setelahnya? Apakah dengan menjadi High Value Male maka
purpose gue sudah tercapai? Tentu tidak. Justru, menjadi High Value
Male adalah sebuah proses, perjalanan yang tujuannya akan selalu di
depan mata. Seperti apa perjalanan gue sejak 2018-2019, dan gimana
gue akhirnya nyebrang kanal ke YouTube untuk kenalkan dunia pada
purpose dari brewok ini? Kita tunggu kelanjutannya di Volume 2
setelah ini!

*****

The Art of Self-love: Growing Brewok Value 29


30 The Art of Self-love: Growing Brewok Value
EPILOG

Novella supersingkat ini ditulis semata-mata buat membeberkan


usaha jungkir balik gue dalam menggapai apa yang gue ingin
gapai. Buat menunjukkan bahwa dari satu percik nekat, impact dari
langkah pertama itu bisa jauh di luar bayangan kalian.
Misterbrewok buat para penggunanya nggak lagi tentang brewok,
tapi tentang identitas. Nggak sedikit testimoni di sosmed yang
bercerita tentang bukan hanya perubahan penampilan, tapi juga
perubahan diri. Akhir-akhir ini yang menarik adalah permasalahan
botak -- produk Misterbrewok nggak hanya ampuh di bawah kepala,
tapi di atas pun bisa!

Kelanjutan dari kiisah legendaris ini bakal dilanjutkan di Volume


2, dimana gue akan bahas lebih dalam mengenai sepak terjang
Misterbrewok dan Gamal di periode 2018 hingga 2020. Jauh lebih
menarik, karena nggak hanya Misterbrewok, kalian juga akan
mendapat inside scoop GAMAL, platform Ganteng Maksimal
yang gue luncurkan pada Januari 2020 serta cerita lengkap dibalik
penyebrangan gue dari dunia haircare ke skincare dan ke dunia
perHVM-an, ga ketinggalan alasan kenapa gue gedeg banget ama
bucin tentunya bakal gue ceritain juga lah!

Ingat, ini semua adalah sebuah perjalanan. Dan semoga perjalanan


kalian setidaknya bisa dimulai disini, bersama-sama menjadi gamal,
ganteng maksimal. Adios for now!

The Art of Self-love: Growing Brewok Value 31


Vol. The Art of Self-love:

01 GROWING
BREWOK
Tentang brewok
yang memulai
segalanya.

BRO
GAMAL VALUE

Anda mungkin juga menyukai