Anda di halaman 1dari 6

PROPOSAL SKRIPSI

Judul:
Pemodelan Putus Sekolah Siswa Berusia 7 – 18 Tahun di Papua pada Tahun 2011
Dengan Regresi Spasial

Nama : Pray Putra Hasianro Nadeak


NIM/Kelas : 09.6087
Usulan Dosen Pembimbing : Budi Santoso, SST, M.Si. (Direktorat Statistik
Kesejahteraan Rakyat, Sub Direktorat Statistik
Pendidikan BPS RI)

Latar belakang

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu


tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Selain itu, di era globalisasi sekarang ini juga bangsa Indonesia
sangat memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cerdas, berkualitas dan berdaya
saing agar bangsa Indonesia mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya dalam
tataran global. Untuk mewujudkannya, maka pendidikan merupakan hal yang sangat
penting untuk diperhatikan.

. Undang-Undang Dasar Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan


merupakan hak penduduk Indonesia sebagai warga Negara, termasuk penduduk
Provinsi Papua. Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 pasal 56 ayat (1) tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur,
dan jenis pendidikan di Provinsi Papua dan juga ayat (3) menyatakan bahwa setiap
penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban
masyarakat serendah-rendahnya. Namun pada kenyataannya, belum sepenuhnya
penduduk di Provinsi Papua dapat menikmati pendidikan secara utuh. Banyak dari
mereka yang pada akhirnya putus sekolah karena faktor-faktor tertentu.

1
Fenomena putus sekolah ini dapat dilihat dari Angka Partisipasi Kasar (APK),
Angka Partisipasi Murni (APM) dan rata-rata lama sekolah. APK dan APM erat
kaitannya dengan remaja putus sekolah di setiap jenjang pendidikan, karena didalam
perhitungan APK dan APM dihitung dari jumlah siswa yang sekolah di setiap jenjang
pendidikan. Jika jumlah siswa yang bersekolah lebih rendah daripada jumlah usia
sekolah di setiap jenjang pendidikan, maka nilai APK dan APM menjadi rendah.
Semakin banyak siswa di jenjang pendidikan yang putus sekolah maka semakin sedikit
nilai persentase APK dan APM. Rata-rata lama sekolah pun cukup erat kaitannya
dengan remaja putus sekolah, dimana semakin banyak siswa di jenjang pendidikan yang
putus sekolah maka semakin rendah pula rata-rata lama sekolahnya.

Tabel 1. Angka Partisipasi Kasar dan Angka Partisipasi Murni Provinsi Papua Menurut
Pendidikan Tahun 2005 - 2011

APM (%) APK (%)


Tahun
SD SMP SMA/SMK SD SMP SMA/SMK
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
2005 81.05 44.95 40.49 99.51 69.50 56.38
2006 78.11 47.36 33.36 98.83 71.87 49.41
2007 80.94 48.69 35.78 102.69 77.95 53.34
2008 81.76 48.95 35.79 101.14 73.18 52.68
2009 76.09 49.08 35.77 91.28 58.35 52.57
2010 76.22 49.62 36.06 93.27 60.05 48.20
2011 70.13 46.03 32.45 84.59 68.69 47.69

Sumber : http://www.bps.go.id/

Dapat dilihat pada tabel 1 bahwa APK dan APM pada tahun 2005 – 2011 di
Provinsi Papua sebagian besar belum mencapai angka 95%, padahal menurut Rasiyo
(2008) salah satu parameter keberhasilan pendidikan adalah menuntaskan Angka
Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) mutu pendidikan untuk
mencapai 95%. Selain itu, rata-rata lama sekolah di Provinsi Papua pada tahun 2009 dan
tahun 2010 adalah 6,57 tahun dan 6,66 tahun, yang berarti penduduk usia sekolah hanya
sanggup menyelesaikan pendidikan hingga jenjang pendidikan SD saja. Nilai ini masih
berada di bawah rata-rata lama sekolah nasional pada tahun 2009 dan tahun 2010, yaitu

2
7,32 tahun dan 7,92 tahun. Selain itu, Provinsi Papua Barat sebagai tetangga dari
Provinsi Papua, rata-rata lama sekolahnya jauh lebih tinggi daripada Provinsi Papua,
yaitu 8,01 tahun pada tahun 2009 dan 8,21 tahun pada tahun 2010. Hal ini cukup
kontras mengingat kedua provinsi berada dalam satu lingkup geografis (pulau) yang
sama.

Identifikasi Masalah

Dari penjabaran sebelumnya dapat dilihat bahwa masalah putus sekolah adalah
masalah yang cukup krusial untuk ditangani, terutama fenomena putus sekolah yang
terjadi pada penduduk yang berusia 7 – 18 tahun (penduduk yang berpotensi
mengenyam pendidikan di jenjang pendidikan SD hingga SMA/SMK).

Berbagai kebijakan dan strategi yang tepat dibutuhkan oleh pemerintah daerah
Papua untuk mengatasi masalah putus sekolah ini. Agar kebijakan dan strategi yang
telah disusun tepat sasaran, maka perlu diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi siswa berusia 7 – 18 tahun untuk putus sekolah dan persebaran siswa
putus sekolah tersebut berdasarkan letak dan kondisi geografis Provinsi Papua karena
menurut BPS (2011), angka putus sekolah memiliki keterbatasan dalam menyajikan
fenomena yang menyebabkan anak putus sekolah dan BPS sendiri hanya menyajikan
perhitungan angka putus sekolah secara nasional, belum sampai pada level penyajian
provinsi dan kabupaten.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk ingin mengetahui karakteristik siswa putus
sekolah 7 – 18 tahun di Provinsi Papua pada tahun 2011 dan persebarannya dengan
pemodelan regresi spasial beserta faktor-faktor yang dominan mempengaruhi siswa 7 –
18 tahun untuk putus sekolah.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pemerintah daerah Papua
sebagai bahan evaluasi kebijakan terkait pendidikan yang selama ini telah dilakukan,
terutama kebijakan terkait aksesibilitas dan fasilitas untuk bersekolah.

3
Landasan Teori

Menurut Asuroh (2005), putus sekolah adalah mereka yang masuk/mengikuti


pendidikan di Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah, tetapi mereka mengalami
kegagalan karena berbagai hal, sehingga berhenti tanpa memiliki STTB (Surat Tanda
Tamat Belajar).

Berdasarkan penelitian tentang anak putus sekolah di Kecamatan Jangka


Kabupaten Bireuen oleh Grahacendikia (2009) serta di Madura dan Sumatera Selatan
oleh Abiyoso Alifianto (2008) ditemukan penyebab anak putus sekolah adalah dari
faktor demografi, geografis, sosial budaya, dan ekonomi. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen, Aceh, secara umum
masalah utamanya adalah kondisi ekonomi keluarga yang kurang mendukung dan
sebagian lagi adalah faktor keluarga. Sedangkan hasil penelitian di Kecamatan Omben,
Kabupaten Sampang, Madura bahwa penyebab anak putus sekolah dari faktor sosial
budaya antara lain motivasi rendah, menjaga adik, malu, tidak naik kelas, nikah muda.
Dari faktor geografis antara lain daerah perbukitan dan jarak sekolah yang jauh dari
rumah. Dari faktor ekonomi antara lain tidak ada biaya, bekerja, membantu orang tua.
Dari ketiga faktor tersebut permasalahan ekonomi sangat dominan menjadi penyebab
anak putus sekolah. Hasil penelitian di Kecamatan Selangit, kabupaten Musi Rawas,
Propinsi Sumatera Selatan ditemukan penyebab anak putus sekolah dari faktor sosial
budaya antara lain malas, nakal, takut dengan guru, tidak naik kelas, masalah keluarga.
Dari faktor geografis antara lain jalan rusak dan jarak sekolah yang jauh dari rumah.
Faktor ekonomi indikatornya antara lain tidak ada biaya dan bekerja. Dari ketiga faktor
tersebut permasalahan geografis sangat dominan menjadi penyebab anak putus sekolah.

Metode Analisis
Penelitian ini memanfaatkan data sekunder, yaitu data Susenas KOR 2011 dan
data dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Data ini nantinya akan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif untuk
menggambarkan karakteristik dari siswa berusia 13 – 18 tahun di Indonesia dan
persebarannya pada tahun 2012, sedangkan untuk analisis inferensia menggunakan
Analisis Regresi Spasial dengan bentuk umum :

4
(1)
(2)

dengan tahapan analisis sebagai berikut:


1. Melakukan eksplorasi data peta tematik untuk mengetahui pola penyebaran dan
dependensi pada masing- masing variabel serta scatterplot untuk mengetahui
pola hubungan variabel X dan Y.
2. Melakukan pemodelan regresi dengan metode Ordinary Least Square (OLS)
yang meliputi estimasi parameter, estimasi signifikansi model, uji asumsi
residual (identik, independen, dan berdistribusi normal).
3. Uji dependensi dan heterogenitas spasial atau korelasi.
4. Identifikasi tentang keberadaan efek spasial dengan menggunakan uji Lagrange
Multiplier (LM). Pengujian LM dilakukan untuk mengetahui model apa yang
sesuai dengan prosedur.
5. Melakukan pemodelan Spatial Autoregressive Model (SAR).
6. Melakukan pemodelan Spatial Error Model (SEM).

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2011. Indeks Pembangunan Manusia 2009 - 2010. Jakarta :
Badan Pusat Statistik.

__________________. 2010. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2009. Jakarta : Badan


Pusat Statistik.

__________________. 2011. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2010. Jakarta : Badan


Pusat Statistik.

http://tolikarakab.bps.go.id/ensiklopedia/pendidikan/31-angka-putus-sekolah

http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=28%20&notab=3

http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=28%20&notab=4

5
Mennis, Jeremy. 2006 Mapping the Results of Geographically Weighted
Regression.[Jurnal] Inggris : The British Cartographic Society

Rasiyo. 2008. Pemerataan Pendidikan Belum Tercapai. Diunduh dari alamat


http://els.bappenas.go.id/upload/kliping/Pemerataan%20Pendidikan%20blm.pdf
pada hari Rabu, 14 November 2012, 09.00 a.m.

Septiana, Liska dan Sri Pingit Wulandari. Pemodelan Remaja Putus Sekolah Usia SMA
di Provinsi Jawa Timur Dengan Menggunakan Metode Regresi Spasial.
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-16199-Paper-pdf.pdf

Anda mungkin juga menyukai