Nafiri Comp Oct2020 Wk3
Nafiri Comp Oct2020 Wk3
Hukuman atau
anugerah?
Di rumah yang
diubah jadi pos PI ini,
ruang rapatnya sangat
kecil, padahal rapat
biasa berlangsung
berjam-jam. “Kadang
saya bercanda kok
mau ya hari Minggu
siang rapat di ruangan
sempit sampai lama
sekali. Kok bisa
saya ‘terdampar’ di
sini,” canda Handi.
“Ini hukuman atau
anugerah Tuhan?”
Namun, lulusan Teknik Sipil Universitas Parahyan-
gan dan MBA dari Prasetya Mulya ini sepenuhnya
menyadari bahwa apa yang dia alami adalah buk-
ti betapa baiknya Tuhan pada diri dan keluarganya.
“Tuhan itu sangat baik… Semua yang sudah terja-
di pada saya sepertinya mustahil, tetapi terjadi dan
saya bersyukur dapat mengalami semua ini.”
Pelayanan yang dimulai pada tahun 1999 ini
menjadi awal perjalanan panjang Handi bersama
Tuhan di lingkungan GKY.
Dia dipilih jadi anggota majelis tahun 2003-
2009 dan pada tahun 2012 hingga 2018 bahkan
dipercaya menjadi ketua majelis.
Saat ini, Tuhan bahkan menghantar pria
energik kelahiran Tangerang ini melayani di
tingkat Sinode di Badan Pekerja Majelis yang
menangani tata gereja dan bidang hukum.
“Saya berharap dapat ikut membantu GKY agar
terus dikelola secara benar dan transparan.
Selain itu juga agar GKY boleh terus menjadi
berkat dengan ajaran-ajaran yang sepenuhnya
didasarkan pada Alkitab.”
Handi, yang bertahun-tahun terjun dalam
bisnis konstruksi, sejak akhir 2019 mulai
mengurangi aktivitas bisnis di bidang ini.
Dia mulai lebih banyak mendukung Fanda,
khususnya dalam proses produksi sejumlah
produk-produk kecantikan Fandaesthetic,
seperti sabun, obat jerawat, cleansing cream,
moisturizer, aging serum, suncare gel, squalene
oil, dan lain-lain.
Fanda, yang berasal dari Surabaya, sempat
bekerja selama lima tahun di bidang kecantikan
di Ristra House dan aktif mendalami dunia
kecantikan melalui berbagai pelatihan.
Pada tahun 2000 dia membuka Fanda
Beauty Clinic (FBC) di BSD dan kemudian
juga membuka cabang di Gading Serpong.
Sejalan dengan kemajuan kliniknya, FBC
mulai memproduksi sendiri produk-produk
kecantikan untuk digunakan di kliniknya dan
dipasarkan secara lebih luas.
“Kami bekerjasama dengan lima pabrik yang
mempunyai reputasi baik dalam pembuatan
produk-produk kecantikan ini.
Semua resep untuk produk-produk itu dan
mereknya kami yang menentukan. Pabriknya
tinggal membantu mengolah dan mengemas
produk-produk kami,” kata Handi.
Pandemi Covid-19 ikut mengguncang FBC.
Klinik ini sempat ditutup oleh Fanda pada
pertengahan Maret 2020 sebelum mulai buka
lagi secara terbatas sejak April. “Awalnya kami
tidak membuka layanan langsung karena
layanan kecantikan harus ada kontak fisik. Kami
hanya membuka layanan pembelian produk-
produk kecantikan saja termasuk pemesanan
online,” kata Handi.
Mayoritas karyawan dirumahkan karena
kegiatan di klinik sangat minimal. “Perusahaan
mengalami bleeding karena omzet bisnis anjlok
hingga kurang dari 30 persen. Bersyukur sampai
bulan September kami bertahan untuk tidak
melakukan PHK.”
Handi dan Fanda berdialog dengan para
karyawan dan semua sepakat mereka ada
di ‘kapal yang
sama’ yang sedang
dihempas badai.
Itu sebabnya,
karyawan sepakat
gajinya dikurangi di
masa yang sulit ini
asal tidak di-PHK.
“Kerelaan… Ini
nilai yang sama-
sama kami jalani
dalam beberapa
bulan ini,” ujar
Handi.
“Mereka sudah cukup lama berjasa bagi
perusahaan di waktu lalu. Kini saatnya kami juga
berusaha sejauh mungkin untuk menghargai
kontribusi mereka. Inilah nilai yang diajarkan
Tuhan pada kami pada masa pandemi ini, yaitu
bagaimana kami bisa tetap berlaku adil kepada
para karyawan.”
Walaupun sangat berisiko, Fanda juga selalu
hadir di klinik untuk mendukung para karyawan
yang bertugas. Tentunya, Fanda dan para
karyawan menerapkan protokol kesehatan
sangat ketat. Komitmen dokter yang hobby
membaca buku kesehatan, kecantikan dan
buku-buku rohani ini sangat dihargai oleh para
karyawan.
Handi juga sempat merumahkan supir untuk
sementara agar sopirnya yang sudah tua tidak
tertular Covid-19. Handi sendiri yang mengantar
dan menjemput Fanda jika tidak ada urusan
sangat urgent.
“Aktivitas layanan di klinik perlahan-lahan
semakin meningkat akhir-akhir ini walau masih
jauh dari normal.” Handi dan Fanda berharap
pandemi akan cepat berakhir sehingga FBC bisa
beroperasi dengan lancar lagi.
Double degree
Bagaimana kabarnya dengan bayi Kenneth
yang pernah kejang-kejang? Kenneth Samuel
Chuhairy (22) baru saja meraih BA di bidang
Industrial Engineering dari University of
Minnesota di America Serikat. Pada semester
kedua 2020 ini, dia melanjutkan kuliah di
Cornell University di Ithaca, New York. Jika
semua lancar, dia akan meraih double degree
sebagai Master of Engineering di bidang-
di bidang
Operations
Research dan
Master in Business
Administration.
Melalui kontak-
kontak video call dengan papa dan mamanya,
Kenneth sangat gembira karena walaupun
berada di belahan dunia yang lain, dia tetap
bisa mengikuti ibadah-ibadah streaming yang
diadakan oleh GKY BSD.
“Saya sangat bersyukur Kenneth bisa terus
menjaga imannya pada Tuhan,” kata Fanda.
Handi dan Fanda menikah tahun 1993. Setelah
beberapa tahun, Fanda belum juga hamil. Mereka
terus memohon agar Tuhan mengaruniakan
seorang anak.
Pada Juni 1997, hamba Tuhan Daniel Alexander
dan istrinya, yang sudah lama mereka kenal,
datang dan menginap di rumah mereka di BSD.
Paginya, dia berkata pada Handi dan Fanda bahwa
Tuhan berbicara dalam doanya kalau mereka akan
dikaruniai seorang anak.
Handi yang awalnya masih skeptis dan
terkejut ketika menjelang libur akhir tahun
Fanda menelepon memberitahukan kalau dia
melakukan tes kehamilan di rumah dan hasilnya
positif.
Handi sampai minta Fanda tes sekali lagi
untuk memastikan. Tetap positif. Handi pun
mengajak Fanda ke dokter kandungan untuk
memeriksakan kehamilannya.
“Ketika anak kami lahir, kami beri nama
tengah Samuel karena itu adalah anak
yang telah kami minta pada Tuhan (dan Dia
mendengar serta mengabulkan).”
Handi bersyukur dia mendapat kesempatan
banyak sekali untuk mendampingi Kenneth
pada masa mudanya. Dan banyak kesempatan
itu terjadi di lapangan golf. Sejak 2002, Handi
mulai menekuni olahraga golf. Ketika Kenneth
masih enam tahun, dia mulai sering diajak ke
lapangan golf. Usia delapan, dia mulai belajar
memukul-mukul bola golf dan pada usia 11 dia
sudah bisa bersaing dengan ayahnya.
Selama bertahun-tahun, pengagum Tiger
Woods ini secara khusus meluangkan waktu
berjam-jam untuk mendampingi Kenneth
bermain golf berdua sehingga mereka dapat
membangun hubungan yang sangat erat.
Teman-teman saya sampai menyesal karena
mereka lebih banyak memuaskan diri sendiri di
lapangan golf dan kurang membina hubungan
dengan anak-anak mereka.”
Fanda dan Handi terus menyerahkan masa
depan Kenneth pada pengaturan Tuhan. “Kami
hanya bisa meyakini Tuhan punya rancangan
terbaik bagi Kenneth,” Fanda berbagi.
“Semula Kenneth berancang-ancang setelah
dapat BA dia akan lanjut kuliah di Georgia
University di Atlanta.”
Ternyata Tuhan punya rancangan lain.
Kenneth justru diterima lebih dulu di Cornell
University, universitas terkemuka di Amerika.
“Tuhan memberikan yang tidak pernah kami
bayangkan.” Fanda dan Handi hanya dapat
berdoa agar Tuhan terus memimpin dan
memakai kehidupan Kenneth.
Sejak Kenneth di luar negeri, Handi dan
Fanda terus menikmati kebersamaan sebagai
pasangan. Pada akhir pekan, mereka rajin jalan
kaki atau bersepeda keliling komplek rumahnya
di BSD atau di Alam Sutera. Vitamin D dan
kesehatan yang prima sangat penting untuk
melawan Covid-19, bukan?
Ayo ikut rajin berjemur dan berolahraga
seperti Handi dan Fanda.
***
Jutaan Kenangan Tersimpan
di Hagia
Sophia
Anton Utomo
Sumber :
1. https://www.history.com/topics/ancient-greece/hagia-
sophia
2. https://www.pallasweb.com/deesis/hagiasophia.html
3. https://www.britannica.com/topic/Hagia-Sophia
4. https://www.livescience.com/27574-hagia-sophia.html
5. https://en.wikipedia.org/wiki/Hagia_Sophia
6. https://www.dw.com/en/turkeys-hagia-sophia-becomes-a-
political-battleground/a-54018499
7. https://www.nytimes.com/2020/07/14/opinion/hagia-
sophia-turkey-mosque.html
SETITIK
BARA,
Sepotong
Harapan
Titus Jonathan
“You can cut all the flowers but you cannot keep
spring from coming” – Pablo Neruda
S eperti musim semi, demikianlah harapan
harusnya mewujud. Musim semi menggantikan
kebekuan musim dingin. Ia menumbuhkan tunas-
tunas kecil pada ranting yang daunnya meranggas.
Lalu helai demi helai daun bermunculan, dan
warna-warni bunga setelahnya. Alam selalu patuh
pada waktu dan sabar menunggu gilirannya.
Musim semi selalu menghembuskan
kehangatan dan membawa perubahan. Ia
menerbitkan harapan. “When flowers bloom, so
does hope,” kata tulisan di sebuah tembok kota.
Ada yang bilang, jangan pernah kehilangan
harapan, karena ada saatnya dalam suatu episode
hidup, tiba-tiba kita terseret masuk dalam
kegelapan, bahkan kegelapan yang paling pekat.
Jika kita tak mampu menghalau petaka
menghabiskan segala yang kita miliki, sisakan
harapan.
Itulah yang diceritakan oleh ayah saya tentang
harapan yang dimilikinya.
Waktu itu saya masih berumur empat tahun.
Saya sendiri tak pernah ingat peristiwa ini jika
bukan ayah saya yang menceritakannya setelah
saya beranjak dewasa.
Di usia sangat muda itu—bahkan saya belum
sekolah—saya sakit. Perut saya mengeras. Sehari-
hari hanya menangis saja yang bisa saya lakukan.
Dengan uang yang ada, ayah saya membawa
saya berobat ke sana kemari, tetapi saya tak
kunjung sembuh. Perut saya semakin mengeras.
Kalau dipegang seperti batu, kata ayah saya. Dan
akhirnya uang ayah yang tidak seberapa itu ludes.
“Lalu, apa yang Papa lakukan saat itu?” tanya
saya.
“Bingung. Uang ludes, tapi kamu belum
sembuh, bahkan kondisimu makin parah,” jawab
ayah saya.
“Benar-benar ludes? Habis-habisan? Nggak
punya apa-apa lagi?” sergah saya.
“Masih ada ... hmm ....”
“Punyanya apa? Berapa?”
“Ini!” jawab ayah saya sambil meraba
dadanya. Saya tidak menangkap maksudnya.
Tapi sebelum saya bertanya lagi, sepertinya saya
mengerti bahwa yang sebenarnya ia maksud
adalah harapan. Ia tak berkata apa-apa untuk
menjelaskan, tetapi pandangan matanya seakan
menyampaikan pesan, “That’s all I have.”
Lalu ayah saya menceritakan bagaimana
setelahnya ia hanya bisa mengunci diri di
kamar dan berdoa, sementara saya dibaringkan
di tempat tidur, dengan isak tangis yang tak
berhenti.
“Memang Papa tidak berdoa sebelumnya?”
tanya saya.
“Berdoa juga, tapi sambil lalu,” jawabnya.
“Dan berdoa sambil lalu sama saja dengan tidak
berdoa,” katanya.
Uang di kantongnya itulah yang membuatnya
overconfident, sok gagah, sombong. Disangkanya
uangnya bisa membeli kesembuhan saya.
“Waktu itu apakah Papa menyangka saya bakal
‘lewat’?” tanya saya.
“Tidak. Papa yakin kamu sembuh.”
“Kenapa?”
Ia tak menjawab, mungkin tak tahu bagaimana
harus menjawab, atau tak mampu membahasakan
apa yang ingin ia ucapkan. Tetapi seandainya ia
pandai bicara, seolah-olah ia ingin mengatakan,
“Harapan itu masih papa simpan, walaupun
tinggal sisa-sisa.”
Betapa kuatnya sebuah harapan. Ia tak tunduk
pada kegelapan. Justru dalam kegelapanlah setitik
cahaya paling kecil sekalipun akan tampak. Kira-
kira sekecil itu harapan yang dimiliki ayah saya.
Dan itu sudah cukup.
Maka dengan menggenggam harapan itu, ayah
membawa saya ke dokter, dengan saku yang
kosong. Dibaringkannya tubuh saya di depan
dokter itu. Dokter itu cuma mengelus-elus perut
saya yang keras, di sela-sela tangis saya. “Rapopo
… sesuk bocah iki waras (tidak apa-apa, besok
anak ini sembuh) ...,” kata dokter itu.
Lalu ayah membawa saya pulang.
“Besoknya kamu sudah lompat-lompat dan lari-
lari,” kata ayah.
Ayah sudah pulang ke rumah kekalnya di tahun
2004, membawa harapannya. Ia memberikan
sepotong kecil harapan yang ia miliki, sebelum ia
berpulang. Walaupun hanya sepotong, harapan
itu seperti bara api. Saya simpan di sebuah sudut
di hati saya, dan selalu saya bawa mengembara ke
mana pun.
Di kemudian hari ketika saya mulai bekerja
dan membangun keluarga, harapan itulah yang
mengajar saya arti dari kesabaran dan ketekunan
dalam menjalani kehidupan. Pada saat saya dalam
kegelapan, bara itu memercikkan api.
Ketika bulan Juli yang lalu saya mendapat
kabar tentang kakak saya yang tinggal di
Sidoarjo dinyatakan positif Covid-19, saya
mengingatkannya tentang harapan. Ia dirawat di
Rumah Sakit RKZ di Surabaya. “Kayak mau mati
.… Aku gak kuat …,” itulah pesan WhatsApp yang
saya terima.
Melalui video call, saya menghubunginya.
Selang oksigen menancap di lubang hidungnya,
napasnya ngos-ngosan, cepat. Saya lihat berat
sekali, sampai tak mampu bicara. Akhirnya saya
minta ia mendengarkan saja dan hanya menjawab
dengan isyarat.
Saya sampaikan, “Jangan kehilangan harapan.”
Hanya itu yang berulang kali saya sampaikan, lalu
saya ajak berdoa melalui video call itu.
Keesokan harinya, anaknya menelepon saya.
“Dokter menyarankan transfusi plasma darah
dari penderita Covid-19 yang telah sembuh,
bagaimana Engku?” tanyanya. Saya jawab, ikuti
saja saran dokter. Saya berdoa dari Serpong
untuknya.
Setelah transfusi kantong pertama, keadaannya
berangsur-angsur membaik. Anaknya chat ke saya,
“Mami sudah mulai mau makan, walaupun masih
sedikit,” katanya. Memang sebelumnya ia tak mau
makan apa-apa, karena tenggorokannya sakit
sekali. Keesokan harinya, ia mendapatkan lagi
transfusi dengan plasma darah kantong kedua,
lalu ketiga.
Ketika masih menunggu pemulihan di rumah
sakit, anaknya yang pertama positif Covid. Tak
pelak lagi, menyusullah ia ke RKZ, dirawat di
dalam kamar yang sama. Anaknya yang kedua
mondar-mandir mengurus ini dan itu untuk mama
dan kakaknya. Dan pada saat keduanya sembuh
dan keluar dari RKZ, gantian anaknya yang kedua
masuk RKZ sebagai pasien Covid.
“Jangan pernah kehilangan harapan,” pesan
saya kepada mereka. Sekarang ketiga-tiganya sudah
sehat.
Virus yang dinamai Covid-19 ini memang rakus
sekali. Setelah gentayangan ke sana kemari, ia
datang meminta tubuh. Setelah dikasih tubuh,
ia meminta nyawa. Tak hanya tubuh dan nyawa,
ia merampas segala-galanya: bisnis, pekerjaan,
nafkah, rencana, dan cita-cita; apa lagi? Kecantikan
pun ikut terampas karena lenyap dari pandangan
sehari-hari lantaran tertutup masker.
Betapa kegelapan ini masih merajai. Masih
adakah bara api tersimpan di hati?
Jika bara itu mati, betapa gelapnya kegelapan itu.
Harapan membuat ayah saya memiliki kekuatan
untuk mempertahankan nyawa saya. Harapan
membuat kakak saya
dan dua anaknya
mengalahkan Covid.
Karena harapan,
Winston Churchill
berseru, “We shall
never surrender!”
di saat paling gelap
dan kritis di hadapan
parlemen Inggris dan
mengubah Dunkirk
yang akan dijadikan
kuburan massal oleh
Hitler menjadi pantai
kemenangan bagi rakyat Inggris (cerita ini dapat
ditonton di film Darkest Hour yang rilis di tahun
2017, disutradarai oleh Joe Wright).
Harapan itulah yang membuat Ayub—orang
yang kita anggap sebagai orang yang paling
malang dalam sejarah—justru berkata, “Tetapi
aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan
bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku
sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan
melihat Allah.” (Ayub 19: 25–26).
Kalimat macam apakah itu jika bukan keluar dari
hati yang masih menyimpan bara api?
Jangan pernah kehilangan harapan, karena
ia tak pernah pergi, kecuali kita sendiri yang
membiarkannya pergi.
Demikianlah kita harusnya mengerti, pada
akhirnya akan tinggal ketiga hal ini: yaitu iman,
pengharapan, dan kasih. Walaupun dari ketiga
hal ini yang terbesar adalah kasih, tetapi harapan
akan abadi, seabadi ayah saya yang telah pergi.
“But I know, somehow, that only when it is dark
enough can you see the stars.” – Martin Luther
King, Jr.
***
TO BE CONTINUED...
Nafiri Oktober 2020
Part 4