Anda di halaman 1dari 37

Hendro Suwito

Akhir 1998. Bayi Kenneth baru berusia tiga


bulan ketika badannya mendadak kejang-
kejang. Walaupun Fanda Bachtiar, mamanya,
seorang dokter dan papanya, Handi Widjaja
Chuhairy juga seorang yang sangat cool, tetap
saja mereka berdua dilanda kepanikan luar
biasa. Apalagi, pasangan muda ini sudah
merindukan kehadiran seorang anak selama
lima tahun sebelum akhirnya Kenneth lahir
ditengah keluarga mereka.
Mereka segera membawa Kenneth ke
rumah sakit agar mendapat pertolongan
untuk melewati masa kritisnya. Bayi mungil
ini menjalani macam-macam pemeriksaan,
tetapi dokter belum juga menemukan apa
yang menjadi sebab kejang-kejang yang dia
derita. Dia pun diobati untuk mengurangi
penderitaannya.
Pada saat yang sangat sulit ini, Fanda
mengajak Handi untuk konsultasi dengan
hamba Tuhan, Pdt Joshua Lie yang pernah
membimbing Fanda saat kuliah kedokteran di
Universitas Brawijaya di Malang.
Mereka berdua berbincang panjang-lebar
dengan Pdt Joshua sampai pada suatu titik tiba-
tiba Pdt Joshua melontarkan pertanyaan,
“Apa ada janji pada Tuhan yang saat
ini belum dipenuhi?”
Jantung Handi seakan berhenti. Dia pun
teringat pada janji yang pernah dia lantunkan
dalam doanya pada Tuhan bahwa dia akan
terjun melayani Tuhan jika nantinya dikaruniai
seorang anak.
Handi pun mohon pengampunan Tuhan dan
memperbaharui komitmennya untuk terjun
dalam pelayanan. Tak lama, bayi Kenneth pun
sembuh total dan tumbuh dengan kesehatan
prima.
Pada mulanya Handi dan Fanda masih
berbeda aspirasi dan setiap Minggu selang-
seling menghadiri tiga gereja yang berbeda.
Mereka akhirnya membuat keputusan untuk
berjemaat di satu gereja saja.
Dengan masukan dari Fanda, mereka sepakat
bergereja di Pos PI GKJMB (yang kemudian
berganti nama jadi GKY) di Rawa Buntu,
Serpong.
“Saya ikut katekisasi tiga bulan dibimbing
GI Agus M. Susanto,” kenang Handi.
Dia akhirnya dibaptis sidi dan langsung
‘ditodong’ menjadi anggota tim KKP (Kelompok
Pekerja Pos).
Rekan pelayanannya
antara lain Henry
Swabawa, Sadikin
Kuswanto, Subandi
dan Juan Panca
Wijaya. Tiga
tahun penuh dia
mendukung KKP.

Hukuman atau
anugerah?
Di rumah yang
diubah jadi pos PI ini,
ruang rapatnya sangat
kecil, padahal rapat
biasa berlangsung
berjam-jam. “Kadang
saya bercanda kok
mau ya hari Minggu
siang rapat di ruangan
sempit sampai lama
sekali. Kok bisa
saya ‘terdampar’ di
sini,” canda Handi.
“Ini hukuman atau
anugerah Tuhan?”
Namun, lulusan Teknik Sipil Universitas Parahyan-
gan dan MBA dari Prasetya Mulya ini sepenuhnya
menyadari bahwa apa yang dia alami adalah buk-
ti betapa baiknya Tuhan pada diri dan keluarganya.
“Tuhan itu sangat baik… Semua yang sudah terja-
di pada saya sepertinya mustahil, tetapi terjadi dan
saya bersyukur dapat mengalami semua ini.”
Pelayanan yang dimulai pada tahun 1999 ini
menjadi awal perjalanan panjang Handi bersama
Tuhan di lingkungan GKY.
Dia dipilih jadi anggota majelis tahun 2003-
2009 dan pada tahun 2012 hingga 2018 bahkan
dipercaya menjadi ketua majelis.
Saat ini, Tuhan bahkan menghantar pria
energik kelahiran Tangerang ini melayani di
tingkat Sinode di Badan Pekerja Majelis yang
menangani tata gereja dan bidang hukum.
“Saya berharap dapat ikut membantu GKY agar
terus dikelola secara benar dan transparan.
Selain itu juga agar GKY boleh terus menjadi
berkat dengan ajaran-ajaran yang sepenuhnya
didasarkan pada Alkitab.”
Handi, yang bertahun-tahun terjun dalam
bisnis konstruksi, sejak akhir 2019 mulai
mengurangi aktivitas bisnis di bidang ini.
Dia mulai lebih banyak mendukung Fanda,
khususnya dalam proses produksi sejumlah
produk-produk kecantikan Fandaesthetic,
seperti sabun, obat jerawat, cleansing cream,
moisturizer, aging serum, suncare gel, squalene
oil, dan lain-lain.
Fanda, yang berasal dari Surabaya, sempat
bekerja selama lima tahun di bidang kecantikan
di Ristra House dan aktif mendalami dunia
kecantikan melalui berbagai pelatihan.
Pada tahun 2000 dia membuka Fanda
Beauty Clinic (FBC) di BSD dan kemudian
juga membuka cabang di Gading Serpong.
Sejalan dengan kemajuan kliniknya, FBC
mulai memproduksi sendiri produk-produk
kecantikan untuk digunakan di kliniknya dan
dipasarkan secara lebih luas.
“Kami bekerjasama dengan lima pabrik yang
mempunyai reputasi baik dalam pembuatan
produk-produk kecantikan ini.
Semua resep untuk produk-produk itu dan
mereknya kami yang menentukan. Pabriknya
tinggal membantu mengolah dan mengemas
produk-produk kami,” kata Handi.
Pandemi Covid-19 ikut mengguncang FBC.
Klinik ini sempat ditutup oleh Fanda pada
pertengahan Maret 2020 sebelum mulai buka
lagi secara terbatas sejak April. “Awalnya kami
tidak membuka layanan langsung karena
layanan kecantikan harus ada kontak fisik. Kami
hanya membuka layanan pembelian produk-
produk kecantikan saja termasuk pemesanan
online,” kata Handi.
Mayoritas karyawan dirumahkan karena
kegiatan di klinik sangat minimal. “Perusahaan
mengalami bleeding karena omzet bisnis anjlok
hingga kurang dari 30 persen. Bersyukur sampai
bulan September kami bertahan untuk tidak
melakukan PHK.”
Handi dan Fanda berdialog dengan para
karyawan dan semua sepakat mereka ada
di ‘kapal yang
sama’ yang sedang
dihempas badai.
Itu sebabnya,
karyawan sepakat
gajinya dikurangi di
masa yang sulit ini
asal tidak di-PHK.
“Kerelaan… Ini
nilai yang sama-
sama kami jalani
dalam beberapa
bulan ini,” ujar
Handi.
“Mereka sudah cukup lama berjasa bagi
perusahaan di waktu lalu. Kini saatnya kami juga
berusaha sejauh mungkin untuk menghargai
kontribusi mereka. Inilah nilai yang diajarkan
Tuhan pada kami pada masa pandemi ini, yaitu
bagaimana kami bisa tetap berlaku adil kepada
para karyawan.”
Walaupun sangat berisiko, Fanda juga selalu
hadir di klinik untuk mendukung para karyawan
yang bertugas. Tentunya, Fanda dan para
karyawan menerapkan protokol kesehatan
sangat ketat. Komitmen dokter yang hobby
membaca buku kesehatan, kecantikan dan
buku-buku rohani ini sangat dihargai oleh para
karyawan.
Handi juga sempat merumahkan supir untuk
sementara agar sopirnya yang sudah tua tidak
tertular Covid-19. Handi sendiri yang mengantar
dan menjemput Fanda jika tidak ada urusan
sangat urgent.
“Aktivitas layanan di klinik perlahan-lahan
semakin meningkat akhir-akhir ini walau masih
jauh dari normal.” Handi dan Fanda berharap
pandemi akan cepat berakhir sehingga FBC bisa
beroperasi dengan lancar lagi.
Double degree
Bagaimana kabarnya dengan bayi Kenneth
yang pernah kejang-kejang? Kenneth Samuel
Chuhairy (22) baru saja meraih BA di bidang
Industrial Engineering dari University of
Minnesota di America Serikat. Pada semester
kedua 2020 ini, dia melanjutkan kuliah di
Cornell University di Ithaca, New York. Jika
semua lancar, dia akan meraih double degree
sebagai Master of Engineering di bidang-
di bidang
Operations
Research dan
Master in Business
Administration.
Melalui kontak-
kontak video call dengan papa dan mamanya,
Kenneth sangat gembira karena walaupun
berada di belahan dunia yang lain, dia tetap
bisa mengikuti ibadah-ibadah streaming yang
diadakan oleh GKY BSD.
“Saya sangat bersyukur Kenneth bisa terus
menjaga imannya pada Tuhan,” kata Fanda.
Handi dan Fanda menikah tahun 1993. Setelah
beberapa tahun, Fanda belum juga hamil. Mereka
terus memohon agar Tuhan mengaruniakan
seorang anak.
Pada Juni 1997, hamba Tuhan Daniel Alexander
dan istrinya, yang sudah lama mereka kenal,
datang dan menginap di rumah mereka di BSD.
Paginya, dia berkata pada Handi dan Fanda bahwa
Tuhan berbicara dalam doanya kalau mereka akan
dikaruniai seorang anak.
Handi yang awalnya masih skeptis dan
terkejut ketika menjelang libur akhir tahun
Fanda menelepon memberitahukan kalau dia
melakukan tes kehamilan di rumah dan hasilnya
positif.
Handi sampai minta Fanda tes sekali lagi
untuk memastikan. Tetap positif. Handi pun
mengajak Fanda ke dokter kandungan untuk
memeriksakan kehamilannya.
“Ketika anak kami lahir, kami beri nama
tengah Samuel karena itu adalah anak
yang telah kami minta pada Tuhan (dan Dia
mendengar serta mengabulkan).”
Handi bersyukur dia mendapat kesempatan
banyak sekali untuk mendampingi Kenneth
pada masa mudanya. Dan banyak kesempatan
itu terjadi di lapangan golf. Sejak 2002, Handi
mulai menekuni olahraga golf. Ketika Kenneth
masih enam tahun, dia mulai sering diajak ke
lapangan golf. Usia delapan, dia mulai belajar
memukul-mukul bola golf dan pada usia 11 dia
sudah bisa bersaing dengan ayahnya.
Selama bertahun-tahun, pengagum Tiger
Woods ini secara khusus meluangkan waktu
berjam-jam untuk mendampingi Kenneth
bermain golf berdua sehingga mereka dapat
membangun hubungan yang sangat erat.
Teman-teman saya sampai menyesal karena
mereka lebih banyak memuaskan diri sendiri di
lapangan golf dan kurang membina hubungan
dengan anak-anak mereka.”
Fanda dan Handi terus menyerahkan masa
depan Kenneth pada pengaturan Tuhan. “Kami
hanya bisa meyakini Tuhan punya rancangan
terbaik bagi Kenneth,” Fanda berbagi.
“Semula Kenneth berancang-ancang setelah
dapat BA dia akan lanjut kuliah di Georgia
University di Atlanta.”
Ternyata Tuhan punya rancangan lain.
Kenneth justru diterima lebih dulu di Cornell
University, universitas terkemuka di Amerika.
“Tuhan memberikan yang tidak pernah kami
bayangkan.” Fanda dan Handi hanya dapat
berdoa agar Tuhan terus memimpin dan
memakai kehidupan Kenneth.
Sejak Kenneth di luar negeri, Handi dan
Fanda terus menikmati kebersamaan sebagai
pasangan. Pada akhir pekan, mereka rajin jalan
kaki atau bersepeda keliling komplek rumahnya
di BSD atau di Alam Sutera. Vitamin D dan
kesehatan yang prima sangat penting untuk
melawan Covid-19, bukan?
Ayo ikut rajin berjemur dan berolahraga
seperti Handi dan Fanda.

***
Jutaan Kenangan Tersimpan
di Hagia
Sophia

Anton Utomo

Kabar mengejutkan datang dari Turki pada bulan


Juli lalu. Museum Hagia Sophia yang terletak
di Kota Istanbul resmi diubah kembali menjadi
masjid setelah hampir seratus tahun berfungsi
sebagai salah satu museum paling terkenal di
Turki, bahkan di seluruh dunia.
Sikap masyarakat dunia kembali terbelah dengan
keputusan ini, sebagian bersorak gembira, namun
tak sedikit yang geram dan berteriak protes.
Pemimpin Gereja Ortodoks di Yunani paling
lantang menyampaikan penolakan, sedangkan
Paus Francis dengan lirih berkata, bahwa hatinya
‘sangat sakit’. Bagaimana dengan pemimpin
gereja-gereja protestan? Apakah tidak seharusnya
‘nasib malang’ yang menimpa gereja antik dan
sarat sejarah ini diratapi umat Kristiani di seluruh
dunia? Mari kita telusuri riwayat Hagia Sophia,
sebuah gedung dengan desain arsitektur paling
ikonik yang terus menginspirasi dan menuai
kekaguman sepanjang zaman.

Bizantium, Tonggak Kekristenan


Selama Sebelas Abad
Mari sejenak membayangkan kita menjadi
Konstantin I, kaisar Romawi pertama yang
memeluk agama Kristen. Setelah menyatukan
Romawi Barat dan Timur lewat peperangan dan
penaklukan, ia memilih Bizantium, saat itu sebuah
desa di perbatasan Eropa dan Asia, menjadi
ibukota Romawi selanjutnya, dan menamainya
Konstantinopel (Constantinople), sesuai dengan
namanya sendiri.
Mengapa tempat itu yang dipilihnya? Mengapa
tidak tetap di Roma, ‘ibukota dan kiblat dunia’
kala itu?
SEA of MARMARA

Bila kita pernah berkunjung ke Istanbul (nama


Kota Konstantinopel sekarang), maka kita pun
akan sepakat dengan Konstantin. Amati baik-baik
peta Konstantinopel abad keempat. Terletak di
sebuah tanjung kecil yang mirip tanduk, area itu
dikelilingi lautan di ketiga sisinya: Laut Marmara
di selatan, Selat Bosporus di timur, dan selat
kecil Golden Horn (Tanduk Emas) di utara. Hanya
sisi barat yang bersambung dengan daratan
luas Eropa. Selain memiliki pemandangan yang
indah menawan di semua sisinya, kota ini juga
menyediakan perlindungan alam yang sangat
kuat. Apalagi ketika Tembok Konstantinopel
dibangun di sisi barat dan sekeliling kota pada
tahun 330, kemudian Tembok Theodosius di
sebelah luarnya didirikan seratus tahun kemudian,
maka sempurnalah Kota Konstantinopel menjadi
benteng pertahanan yang tak terkalahkan.
Diawali Bangunan Sederhana Beratap Kayu
Riwayat Hagia Sophia identik dengan kisah
panjang Bizantium (Romawi Timur). Sama seperti
Daud yang gagal mendirikan bait Allah, Kaisar
Konstantin I juga tidak tercatat mendirikan
gereja megah untuk beribadah. Adalah anaknya,
Konstantinus, yang pertama kali mendirikan
kompleks
peribadatan
(disebut basilika)
di area bekas
kuil Romawi
pada tahun 360,
awalnya hanya
berdinding dan
beratapkan kayu
dan kemudian dinamai
Hagia Sophia (orang
Turki menyebutnya
Aya Sofya), yang
berarti holy wisdom.
Namun, bukan di
tahun ini orang
kemudian mengingat berdirinya Hagia Sophia,
karena bangunan kayu itu sempat terbakar
dan hancur berulang kali akibat bencana alam
maupun kerusuhan dan pemberontakan. Barulah
sekitar dua ratus tahun kemudian, pada masa
pemerintahan Justinian I, Hagia Sophia dibangun
dengan spektakuler. Justinian dan permaisurinya
Theodora adalah salah satu pasangan raja dan
ratu Romawi Timur (Bizantium) yang paling
dikenang sepanjang
sejarah. Sempat
terkena wabah pes
namun selamat
(lihat artikel Nafiri
daring edisi lalu:
“Wabah Melintas
Sejarah”), Justinian
juga lolos dari berbagai pemberontakan yang
menyerang kerajaannya. Pemberontakan terbesar
yang pernah terjadi adalah Revolusi Nika yang
hampir-hampir menjatuhkan Justinian dari
takhtanya. Bersama Theodora, pemberontakan
Nika bisa dikalahkan, namun Hagia Sophia
terbakar dan rusak berat.
Mendapati Hagia Sophia sangat parah
kondisinya, gereja itu kemudian diratakan dengan
tanah pada tahun 532. Kemudian, hanya dalam
lima tahun, sebuah bangunan megah dengan
desain ikonik hasil karya dua arsitek kenamaan
yang juga ahli mekanika dan matematika,
berhasil didirikan dengan kokohnya. Anthemius
dan Isodorus, kedua arsitek pilihan Justinian,
meletakkan struktur kubah (dom) di puncak
gedung, disangga oleh struktur persegi empat
yang disebut pendentives dan dua semidome di
kanan dan kirinya. Dengan desain ini, diperoleh
ruang interior yang lega dengan atap yang tinggi
dan bebas pilar. Untuk menyempurnakannya,
bahan bangunan dan interior didatangkan khusus
dari berbagai penjuru negeri. Marmer untuk
lantai dan langit-langit dikirim dari Anatolia dan
Syria, sementara batu bata untuk dinding datang
dari Afrika Utara, kemudian seratus empat kolom
dikirim khusus dari reruntuhan kuil Artemis di
Efesus.
Marmer
ukuran besar
untuk interior
dirancang
begitu
indahnya
sehingga
menyerupai
air mengalir.
Mosaik yang
menggambarkan malaikat, figur raja-raja masa
itu dan sebelumnya, serta tokoh-tokoh Alkitab,
termasuk Maria dan Yesus, mewarnai dinding
dan kubah. Yang luar biasa, pembangunan gereja
megah itu diselesaikan hanya dalam lima tahun,
sehingga pada 27 Desember 537 diresmikan oleh
Justinian dengan upacara mahamegah. Saat itu,
Justinian dikisahkan bersyukur dalam doanya, ”O
Tuhan, terima kasih telah memberiku kesempatan
membangun tempat ibadah seindah ini.” Namun,
ia juga dilaporkan menengadah dan berkata
lantang, ”Hai Salomo, aku telah melebihimu!”
Bagaimanapun, gedung gereja yang dibangun
jauh lebih awal dibandingkan gedung-gedung
gereja megah di Eropa Barat itu memang pantas
dikagumi siapa pun. Sebagai perbandingan,
Gereja Notre Dame di Paris dibangun enam ratus
tahun kemudian (1163) dan pembangunannya
membutuhkan waktu hampir satu abad.

Demikianlah, sejak tanggal peresmian oleh


Justinian, Hagia Sophia mulai menghitung
sejarahnya sebagai gereja sampai sembilan ratus
tahun kemudian. Bila dapat bercerita; dinding
gereja megah itu akan mengisahkan jutaan kisah
indah yang mengharukan tentang para raja,
imam dan uskup, maupun rakyat jelata yang
pernah singgah dan menikmati kehangatan dan
kemegahan Hagia Sophia. Di batu altar yang
masih ada sampai sekarang, raja demi raja yang
jumlahnya puluhan, telah ditahbiskan; anggota
paduan suara yang konon mencapai 170 orang di
abad ketujuh, melantunkan litani dan puji-pujian
nan syahdu di sudut yang lain; pembaptisan dan
pemberkatan pernikahan sebagian besar warga
Kota Konstantinopel juga dilakukan di Hagia
Sophia. Pendeknya, selama hampir seribu tahun
usianya, ketika puluhan generasi silih berganti,
setiap orang di kerajaan Bizantium tentu memiliki
kenangan indah tak terlupakan di Hagia Sophia;
lebih dari sekadar gemerlapnya cahaya lilin saat
senja, atau parade ikon (tradisi Gereja Ortodoks),
maupun harum bakaran kemenyan yang dibawa
para imam.
Mehmed II Sang Penakluk Bizantium
Sepanjang sejarah, tak terhitung banyaknya
penyerbuan dan pengepungan Kota
Konstantinopel oleh pasukan musuh. Sejak
masa awal Islam, bahkan tentara Arab sudah
sampai di pintu gerbang kota, namun gagal
mendobrak kubu pertahanan tentara Bizantium
yang kokoh. Berulang kali penyerbuan musuh
dari Asia maupun Eropa dapat digagalkan, hingga
kisah keperkasaan benteng Kota Konstantinopel
melegenda dan mitos benteng yang tak
terkalahkan menyebar ke seluruh dunia. Selama
itu pula Hagia Sophia, katedral utama masyarakat
Bizantium tetap berfungsi menjadi gereja induk
bagi seluruh umat Kristen Ortodoks. Namun,
ternyata ada masa singkat dimana gereja itu
berubah menjadi Gereja Katolik, yaitu pada masa
Pasukan Salib dari Eropa Barat menjarah dan
menguasai Kota Konstantinopel (1204–1261).
‘Saudara seiman’ yang dikirim oleh Paus dan raja-
raja Eropa Barat ternyata berperilaku tak kalah
ganas dibandingkan musuh utama mereka dari
Timur.
Sejak awal Perang Salib berkecamuk pada abad
kesebelas, pamor Bizantium terus melorot. Masa
keemasan kala dipimpin Justinian yang menguasai
area luas di Eropa Timur, Asia Kecil, Mesir, dan
Afrika Utara; semakin lama semakin menyusut.
Sementara itu, bangsa-bangsa pengembara
dari Asia Tengah, salah satunya bangsa Turki,
semakin kuat dan terus menggerogoti lahan milik
Bizantium.
Akhir kisah kekaisaran Bizantium (penerus
Romawi) terjadi saat bangsa Turki Utsmani
(Ottoman) dipimpin Mehmed II (Muhammad
al-Fatih), sultan yang masih remaja saat
menggantikan takhta sang ayah. Saat itu,
Bizantium bagai kakek renta, daerah kekuasaannya
hanya seputaran Benteng Konstantinopel
ditambah secuil daratan Eropa. Area di seberang
Selat Bosphorus yang dulu disebut Asia kecil telah
jatuh satu per satu ke tangan Turki Utsmani. Jadi,
saat itu, Bizantium dan Turki telah berhadapan
‘muka dengan muka’.
Awalnya, Sultan Mehmed pun tak menyangka
bisa menembus pertahanan Kota Konstantinopel
yang dianggapnya tak pernah dapat ditembus
musuh, seperti yang sudah dibuktikan oleh
para leluhurnya. Namun, seorang tamu yang
datang dari Hongaria (Eropa Timur), mengubah
segalanya. Orban, nama tamu itu, adalah seorang
pandai besi dan insinyur yang menawarkan cara
pembuatan senjata artileri kelas berat semacam
meriam untuk digunakan dalam pengepungan
Benteng Konstantinopel. Tentu saja, motivasinya
semata-mata untuk uang. Ironisnya, setahun
sebelumnya, ia bertandang ke Konstantinopel
dan menawarkan senjata yang sama kepada
Konstantin XI, penguasa Bizantium pada masa
itu. Namun, Bizantium tak memiliki uang untuk
dihamburkan membeli senjata mewah. Lagipula,
Konstantin XI terlalu percaya diri akan benteng
kotanya yang sudah bertahan lebih dari seribu
tahun.
Maka, selanjutnya adalah sejarah. Walaupun
dibantu ‘meriam’ buatan Orban yang ditarik 60
sapi, sambil mengerahkan 200 ribu tentara, dan
320 kapal mengepung Konstantinopel dari segala
penjuru mata angin; tetap saja butuh kesabaran
dan daya tahan yang tinggi untuk menembus
Benteng Konstantinopel. Diperlukan waktu 57
hari pengepungan, sejak awal April, sampai 29
Mei 1453, sebelum tembok Kota Konstantinopel
dapat ditembus tentara Turki. Kala tentara
elite Turki yang disebut Janissary berhamburan
memasuki gerbang Kota Konstantinopel, maka
berakhirlah kisah penerus kekaisaran Romawi
yang berdiri sejak tahun 330, demikian juga
berakhirlah kisah Hagia Sophia sebagai katedral
utama Kristen Ortodoks. Konstantin XI turut tewas
dengan gagah perkasa saat mempertahankan
kota dan kerajaannya. Keluarganya dan sebagian
besar rakyat ditahan dan kemudian dijadikan
budak oleh penguasa Turki. Sultan Mehmed II
dilaporkan langsung mengunjungi Hagia Sophia.
Ia pun terpesona oleh kemegahan gedung
tua itu dan serta merta mendeklarasikannya
sebagai masjid tanpa menghancurkan interior di
dalamnya. Bahkan, sebagian besar mosaik tidak
dihapus, hanya ditutup dengan bahan cat yang
bisa dikupas. Itulah sebabnya sampai saat ini kita
masih bisa melihat sebagian lukisan mosaik di
dinding.
Memang ada banyak perubahan dilakukan:
di antaranya pembangunan empat menara
setinggi enam puluh meter (minaret) di
keempat sisi gedung, penambahan mimbar dan
mihrab (petunjuk arah kiblat dan tempat imam
memimpin shalat), serta empat monogram besar
bertuliskan empat khalifah.

Masa Depan Hagia Sophia


Sejak dikuasai oleh Turki, Konstantinopel
dijadikan ibukota Turki dan namanya diubah
menjadi Istanbul. Hagia Sophia berubah
menjadi masjid sampai masa Turki modern di
tahun 1935. Di tahun itu, Kemal Ataturk, Bapak
Turki Modern yang telah mengganti sistem
pemerintahan dari kekhalifahan menjadi republik,
secara resmi mengubah Hagia Sophia menjadi
museum. Namun, perubahan iklim politik di
Turki yang awalnya sekuler namun kini semakin
religius—terutama setelah partai AKP pimpinan
Erdogan menang pemilu pada dua dekade lalu—
menyebabkan tuntutan perubahan fungsi Hagia
Sophia menjadi masjid kembali menguat. Presiden
Erdogan, yang beberapa tahun lalu mengabaikan
tuntutan ini, bahkan pernah berkata bahwa
Hagia Sophia akan tetap berdiri sebagai museum
sampai kapan pun, telah mengubah pendiriannya
demi merebut hati para pendukungnya. Apalagi,
tahun lalu, kandidat walikota Istanbul pilihan
AKP dikalahkan oleh lawan politik mereka yang
sekuler. Itulah sebabnya, banyak pengamat politik
di dalam dan luar negeri Turki mengatakan bahwa
Hagia Sophia telah menjadi korban pertarungan
politik penguasa dan oposisi.
Yunani yang gerejanya memiliki ikatan kuat
dengan Hagia Sophia merasa paling terpukul dan
langsung menyiapkan tindakan balasan, misalnya
menunda peresmian masjid di Yunani. Paus
Francis yang juga menyampaikan keprihatinan,
langsung dibalas dengan sindiran oleh pihak
Turki, bahwa mereka juga pernah mengubah
Hagia Sophia menjadi katedral Katolik ratusan
tahun yang lalu, malah diwarnai kekerasan dan
penjarahan di sana sini. Gereja-gereja Protestan
yang tak memiliki ‘ikatan batin’ dengan Hagia
Sophia memang tak terdengar menyampaikan
protes. Namun, bila perubahan fungsi museum
Hagia Sophia hanyalah sebuah agenda
politik, mengapa kita harus terpancing untuk
menyampaikan protes berlebihan? Bila Tuhan
berkehendak, saat iklim politik berubah lagi,
bukan tak mungkin Hagia Sophia kembali menjadi
museum bahkan gereja seperti aslinya dulu.
Mungkin banyak kenangan indah tersimpan
di Hagia Sophia atau gedung gereja yang lain,
namun iman kita tentu tidak terikat kepada
gedung, seberapa pun megahnya. Sebagaimana
pujian yang sering kita lantunkan saat ulang
tahun gereja, “Kitalah gereja, umat pilihan, setia
memberitakan firman-Nya ….” Tanpa gedung,
seperti di masa pandemi saat ini, kita tidak
kehilangan hakikat sebagai gereja dan umat
Tuhan, yang bersama saudara seiman lain tetap
dapat beribadah bersama di mana pun, dengan
bantuan teknologi yang mengagumkan.

Sumber :
1. https://www.history.com/topics/ancient-greece/hagia-
sophia
2. https://www.pallasweb.com/deesis/hagiasophia.html
3. https://www.britannica.com/topic/Hagia-Sophia
4. https://www.livescience.com/27574-hagia-sophia.html
5. https://en.wikipedia.org/wiki/Hagia_Sophia
6. https://www.dw.com/en/turkeys-hagia-sophia-becomes-a-
political-battleground/a-54018499
7. https://www.nytimes.com/2020/07/14/opinion/hagia-
sophia-turkey-mosque.html
SETITIK
BARA,
Sepotong
Harapan
Titus Jonathan

“You can cut all the flowers but you cannot keep
spring from coming” – Pablo Neruda
S eperti musim semi, demikianlah harapan
harusnya mewujud. Musim semi menggantikan
kebekuan musim dingin. Ia menumbuhkan tunas-
tunas kecil pada ranting yang daunnya meranggas.
Lalu helai demi helai daun bermunculan, dan
warna-warni bunga setelahnya. Alam selalu patuh
pada waktu dan sabar menunggu gilirannya.
Musim semi selalu menghembuskan
kehangatan dan membawa perubahan. Ia
menerbitkan harapan. “When flowers bloom, so
does hope,” kata tulisan di sebuah tembok kota.
Ada yang bilang, jangan pernah kehilangan
harapan, karena ada saatnya dalam suatu episode
hidup, tiba-tiba kita terseret masuk dalam
kegelapan, bahkan kegelapan yang paling pekat.
Jika kita tak mampu menghalau petaka
menghabiskan segala yang kita miliki, sisakan
harapan.
Itulah yang diceritakan oleh ayah saya tentang
harapan yang dimilikinya.
Waktu itu saya masih berumur empat tahun.
Saya sendiri tak pernah ingat peristiwa ini jika
bukan ayah saya yang menceritakannya setelah
saya beranjak dewasa.
Di usia sangat muda itu—bahkan saya belum
sekolah—saya sakit. Perut saya mengeras. Sehari-
hari hanya menangis saja yang bisa saya lakukan.
Dengan uang yang ada, ayah saya membawa
saya berobat ke sana kemari, tetapi saya tak
kunjung sembuh. Perut saya semakin mengeras.
Kalau dipegang seperti batu, kata ayah saya. Dan
akhirnya uang ayah yang tidak seberapa itu ludes.
“Lalu, apa yang Papa lakukan saat itu?” tanya
saya.
“Bingung. Uang ludes, tapi kamu belum
sembuh, bahkan kondisimu makin parah,” jawab
ayah saya.
“Benar-benar ludes? Habis-habisan? Nggak
punya apa-apa lagi?” sergah saya.
“Masih ada ... hmm ....”
“Punyanya apa? Berapa?”
“Ini!” jawab ayah saya sambil meraba
dadanya. Saya tidak menangkap maksudnya.
Tapi sebelum saya bertanya lagi, sepertinya saya
mengerti bahwa yang sebenarnya ia maksud
adalah harapan. Ia tak berkata apa-apa untuk
menjelaskan, tetapi pandangan matanya seakan
menyampaikan pesan, “That’s all I have.”
Lalu ayah saya menceritakan bagaimana
setelahnya ia hanya bisa mengunci diri di
kamar dan berdoa, sementara saya dibaringkan
di tempat tidur, dengan isak tangis yang tak
berhenti.
“Memang Papa tidak berdoa sebelumnya?”
tanya saya.
“Berdoa juga, tapi sambil lalu,” jawabnya.
“Dan berdoa sambil lalu sama saja dengan tidak
berdoa,” katanya.
Uang di kantongnya itulah yang membuatnya
overconfident, sok gagah, sombong. Disangkanya
uangnya bisa membeli kesembuhan saya.
“Waktu itu apakah Papa menyangka saya bakal
‘lewat’?” tanya saya.
“Tidak. Papa yakin kamu sembuh.”
“Kenapa?”
Ia tak menjawab, mungkin tak tahu bagaimana
harus menjawab, atau tak mampu membahasakan
apa yang ingin ia ucapkan. Tetapi seandainya ia
pandai bicara, seolah-olah ia ingin mengatakan,
“Harapan itu masih papa simpan, walaupun
tinggal sisa-sisa.”
Betapa kuatnya sebuah harapan. Ia tak tunduk
pada kegelapan. Justru dalam kegelapanlah setitik
cahaya paling kecil sekalipun akan tampak. Kira-
kira sekecil itu harapan yang dimiliki ayah saya.
Dan itu sudah cukup.
Maka dengan menggenggam harapan itu, ayah
membawa saya ke dokter, dengan saku yang
kosong. Dibaringkannya tubuh saya di depan
dokter itu. Dokter itu cuma mengelus-elus perut
saya yang keras, di sela-sela tangis saya. “Rapopo
… sesuk bocah iki waras (tidak apa-apa, besok
anak ini sembuh) ...,” kata dokter itu.
Lalu ayah membawa saya pulang.
“Besoknya kamu sudah lompat-lompat dan lari-
lari,” kata ayah.
Ayah sudah pulang ke rumah kekalnya di tahun
2004, membawa harapannya. Ia memberikan
sepotong kecil harapan yang ia miliki, sebelum ia
berpulang. Walaupun hanya sepotong, harapan
itu seperti bara api. Saya simpan di sebuah sudut
di hati saya, dan selalu saya bawa mengembara ke
mana pun.
Di kemudian hari ketika saya mulai bekerja
dan membangun keluarga, harapan itulah yang
mengajar saya arti dari kesabaran dan ketekunan
dalam menjalani kehidupan. Pada saat saya dalam
kegelapan, bara itu memercikkan api.
Ketika bulan Juli yang lalu saya mendapat
kabar tentang kakak saya yang tinggal di
Sidoarjo dinyatakan positif Covid-19, saya
mengingatkannya tentang harapan. Ia dirawat di
Rumah Sakit RKZ di Surabaya. “Kayak mau mati
.… Aku gak kuat …,” itulah pesan WhatsApp yang
saya terima.
Melalui video call, saya menghubunginya.
Selang oksigen menancap di lubang hidungnya,
napasnya ngos-ngosan, cepat. Saya lihat berat
sekali, sampai tak mampu bicara. Akhirnya saya
minta ia mendengarkan saja dan hanya menjawab
dengan isyarat.
Saya sampaikan, “Jangan kehilangan harapan.”
Hanya itu yang berulang kali saya sampaikan, lalu
saya ajak berdoa melalui video call itu.
Keesokan harinya, anaknya menelepon saya.
“Dokter menyarankan transfusi plasma darah
dari penderita Covid-19 yang telah sembuh,
bagaimana Engku?” tanyanya. Saya jawab, ikuti
saja saran dokter. Saya berdoa dari Serpong
untuknya.
Setelah transfusi kantong pertama, keadaannya
berangsur-angsur membaik. Anaknya chat ke saya,
“Mami sudah mulai mau makan, walaupun masih
sedikit,” katanya. Memang sebelumnya ia tak mau
makan apa-apa, karena tenggorokannya sakit
sekali. Keesokan harinya, ia mendapatkan lagi
transfusi dengan plasma darah kantong kedua,
lalu ketiga.
Ketika masih menunggu pemulihan di rumah
sakit, anaknya yang pertama positif Covid. Tak
pelak lagi, menyusullah ia ke RKZ, dirawat di
dalam kamar yang sama. Anaknya yang kedua
mondar-mandir mengurus ini dan itu untuk mama
dan kakaknya. Dan pada saat keduanya sembuh
dan keluar dari RKZ, gantian anaknya yang kedua
masuk RKZ sebagai pasien Covid.
“Jangan pernah kehilangan harapan,” pesan
saya kepada mereka. Sekarang ketiga-tiganya sudah
sehat.
Virus yang dinamai Covid-19 ini memang rakus
sekali. Setelah gentayangan ke sana kemari, ia
datang meminta tubuh. Setelah dikasih tubuh,
ia meminta nyawa. Tak hanya tubuh dan nyawa,
ia merampas segala-galanya: bisnis, pekerjaan,
nafkah, rencana, dan cita-cita; apa lagi? Kecantikan
pun ikut terampas karena lenyap dari pandangan
sehari-hari lantaran tertutup masker.
Betapa kegelapan ini masih merajai. Masih
adakah bara api tersimpan di hati?
Jika bara itu mati, betapa gelapnya kegelapan itu.
Harapan membuat ayah saya memiliki kekuatan
untuk mempertahankan nyawa saya. Harapan
membuat kakak saya
dan dua anaknya
mengalahkan Covid.
Karena harapan,
Winston Churchill
berseru, “We shall
never surrender!”
di saat paling gelap
dan kritis di hadapan
parlemen Inggris dan
mengubah Dunkirk
yang akan dijadikan
kuburan massal oleh
Hitler menjadi pantai
kemenangan bagi rakyat Inggris (cerita ini dapat
ditonton di film Darkest Hour yang rilis di tahun
2017, disutradarai oleh Joe Wright).
Harapan itulah yang membuat Ayub—orang
yang kita anggap sebagai orang yang paling
malang dalam sejarah—justru berkata, “Tetapi
aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan
bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku
sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan
melihat Allah.” (Ayub 19: 25–26).
Kalimat macam apakah itu jika bukan keluar dari
hati yang masih menyimpan bara api?
Jangan pernah kehilangan harapan, karena
ia tak pernah pergi, kecuali kita sendiri yang
membiarkannya pergi.
Demikianlah kita harusnya mengerti, pada
akhirnya akan tinggal ketiga hal ini: yaitu iman,
pengharapan, dan kasih. Walaupun dari ketiga
hal ini yang terbesar adalah kasih, tetapi harapan
akan abadi, seabadi ayah saya yang telah pergi.
“But I know, somehow, that only when it is dark
enough can you see the stars.” – Martin Luther
King, Jr.
***
TO BE CONTINUED...
Nafiri Oktober 2020
Part 4

Anda mungkin juga menyukai