Anda di halaman 1dari 8

Asal mula[sunting 

| sunting sumber]
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman
asli dari Afrika Barat dan Afrika Tengah.[1] Di Indonesia, sejarah kelapa sawit berawal dari empat biji
kelapa sawit yang dibawa oleh Dr. D. T. Pryce[2], masing-masing dua benih dari
Bourbon, Mauritius dan dua benih lainnya berasal dari Hortus Botanicus,[3] Amsterdam, Belanda,
pada tahun 1848.[4]

Monumen kelapa sawit di Kebon Raya Bogor, tempat empat biji kelapa sawit dari Mauritius dan Hortus
Botanicus, ditanam.

Empat biji kelapa sawit tersebut kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor yang ketika itu dipimpin
oleh Johanes Elyas Teysman dan berhasil tumbuh dengan subur.[5] Di Kebon Raya Bogor, pohon
kelapa sawit tersebut tumbuh tinggi dengan ketinggian 12 meter dan menjadi pohon kelapa sawit
tertua di Asia Tenggara.[6] Namun, pada 15 Oktober 1989, induk pohon kelapa sawit itu mati.
Pada tahun 1853 atau lima tahun setelah ditanam, pohon kelapa sawit di Kebon Raya Bogor
menghasilkan buah. Biji-biji kelapa sawit itu kemudian disebar secara gratis, termasuk dibawa ke
Sumatra pada tahun 1875[1], untuk menjadi tanaman hias di pinggir jalan.[3] Tidak disangka, ternyata
kelapa sawit tumbuh subur di Deli, Sumatra Utara, pada tahun 1870-an, sehingga bibit-bibit kelapa
sawit dari daerah ini terkenal dengan nama kelapa sawit "Deli Dura".[6]

Era Hindia Belanda[sunting | sunting sumber]


Semula, orang-orang Belanda tidak terlalu menaruh perhatian besar terhadap kelapa sawit. Mereka
lebih mengenal minyak kelapa. Namun, revolusi industri (1750–1850) yang terjadi di Eropa,
mendorong terjadinya lonjakan permintaan terhadap minyak. Hal ini mendorong pemerintahan
Hindia Belanda mencoba melakukan penanaman kelapa sawit di beberapa tempat. Percobaan
penanaman kelapa sawit pertama kali dilakukan di Karesidenan Banyumas antara tahun 1856
hingga 1870, namun tidak menghasilkan minyak yang baik meski berbuah empat tahun lebih cepat
dibandingkan di Afrika yang membutuhkan waktu 6–7 tahun. Selanjutnya, percobaan penanaman
kedua dilakukan pemerintahan Hindia Belanda di Palembang, di Muara Enim tahun 1869, Musi Ulu
tahun 1870, dan Belitung tahun 1890. Namun, hasilnya masih kurang baik, karena cuaca di
Palembang, yang tidak cocok. Hal yang sama juga terjadi di Banten, meski coba dilakukan
perkebunan kelapa sawit pada tahun 1895.[3]
Kehadiran perusahaan-perusahaan perkebunan asing juga didorong oleh pemberlakuan UU Agraria
(Agrarisch Wet) oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870. Undang-undang ini memberikan
konsesi berupa hak guna usaha atau hak erfpacht kepada para pemodal asing.[7]

Perintis[sunting | sunting sumber]
Jalur kereta api yang melintasi perkebunan kelapa sawit Deli Maatschappij Stabat, di Johor Lama, Langkat,
pesisir timur Sumatra, tahun 1898.
Perkebunan kelapa sawit berskala besar kemudian dibuka untuk pertama kalinya pada tahun 1911
oleh perusahaan yang didirikan oleh Adrien Hallet asal Belgia dan K. Schadt di Pantai Timur
Sumatra (Deli) dan Sungai Liat, Aceh, melalui perusahaannya yang bernama Sungai Liput Cultuur
Maatschappij,[3] dengan luas 5.123 hektare.[6]
Pada tahun 1911 tercatat ada tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni Onderneming
Soengei Lipoet, Onderneming Kuala Simpang, N.V Moord Sumatra Rubber Maatschappij,
Onderneming Soengei Ijoe, Tanjung Suemanto', Batang Ara, dan Mopoli, yang sebagian besar
memiliki kebun-kebun karet. Di Aceh Timur pada tahun 1912 terdapat 18 konsesi perkebunan karet
dan kelapa sawit dan kembali bertambah menjadi 20 perusahaan perkebunan pada tahun 1923,
dengan rincian 12 adalah perusahaan perkebunan karet, tujuh perkebunan kelapa sawit dan satu
perkebunan kelapa.[8]
Pada tahun 1910, organisasi perusahaan perkebunan bernama Algemene Vereneging voor
Rubberpalnters ter Oostkus van Sumatera (AVROS), berdiri di Sumatra Utara dan Rantau Panjang,
Kuala Selangor.[6] AVROS merupakan organisasi yang menaungi berbagai macam perusahaan
perkebunan dengan didasari kepentingan yang sama, yakni menyikapi persoalan yang timbul,
seperti kekurangan pekerja perkebunan, menjalin hubungan dengan sesama pengusaha dan
komunikasi dengan pemerintah, dan permasalahan transportasi.[9]

Bangunan gedung A.V.R.O.S. (Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra) di
Kampung Baru, Medan, antara tahun 1921-1926

AVROS kemudian mendirikan pusat penelitian perkebunan bernama Algemeene Proefstation der
AVROS atau APA pada tanggal 26 September 1916. Awalnya, APA didirikan untuk penelitian
mengenai budidaya karet, namun berkembang meneliti juga kelapa sawit dan teh. Selain itu, Handle
Vereeniging Amsterdam (HVA) juga mendirikan Balai Penelitian Sisal di Dolok Ilir dan berhasil
menghasilkan varietas unggul jenis Psifera. Pada tahun 1921, APA mendapat penghargaan pada
ajang 5th International of Exhibition Rubber and Other Tropical Products di London dan pada 1924
kembali mendapat penghargaan pada ajang serupa di Brussels.[10]
Ekspor kelapa sawit pertama terjadi pada tahun 1919 yang berasal dari perkebunan di Pesisir Timur
Sumatra. Namun, memasuki Perang Dunia Pertama, produksi kelapa sawit berjalan lambat dan
baru setelah Depresi Besar tahun 1921, aktivitas penanaman kelapa sawit kembali bergairah. Pada
tahun 1924, luas area perkebunan kelapa sawit meningkat dari 414 hektare menjadi 18.801 hektare.
Di Jawa juga muncul pabrik-pabrik minyak kelapa sawit berskala kecil yang memproduksi sabun dan
mentega.[3]
Pada tahun 1925, lahan kelapa sawit yang telah ditanami di Sumatra mencapai 31.600 hektare dan
terus bertambah menjadi 75.000 hektare pada tahun 1936[1] dari hanya seluas 6.920 hektare tahun
1919. Produksi kelapa sawit dari tahun 1919 ke tahun 1937 melonjak drastis dari 181 ton menjadi
190.627 ton minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) dan 39.630 ton minyak kernel.[11]
Di Aceh Timur, produksi kelapa sawit berhasil melampaui produksi karet pada tahun 1935 dan pada
tahun 1939 perkebunan di wilayah tersebut mampu menghasilkan kelapa sawit sebanyak 2.627 ton.
Pada umumnya, perusahaan perkebunan menanam tidak hanya satu komoditas saja tapi
mencampurnya dalam satu area lahan perkebunan dengan tanaman karet dan kelapa sawit.
Kehadiran perkebunan besar turut mendorong munculnya perkebunan-perkebunan rakyat di
sekitarnya.[8]
Hingga tahun 1940 total area luas perkebunan kelapa sawit di Hindia Belanda telah mencapai
100.000 hektare yang dimiliki oleh 60 perusahaan. Kapal-kapal tanker berisikan minyak kelapa sawit
terus-menerus dikirim dari Aceh, Asahan, dan Lampung menuju Rotterdam, Belanda, untuk
memenuhi kebutuhan pabrik sabun dan margarin di Eropa.[3]
Perkembangan pesat perkebunan ini tidak terlepas dari sistem rekrutmen kuli-kuli yang didasari tiga
peraturan, yakni pertama koeli Ordonantic (1880, 1884, dan 1893). Dengan adanya peraturan koeli
Ordonantic, manajer atau mandor-mandor perkebunan memiliki kewenangan hukum yang efektif
atas kuli selama masa kontraknya masih berlaku. Peraturan kedua adalah Poenalic Sancfie yang
memuat pasal sanksi di dalam kontrak untuk menghukum kuli-kuli yang melanggar kontrak, berupa
penangkapan bagi mereka yang melarikan diri dan dipaksa kembali bekerja atau dihukum dengan
cara lain. Ketiga, melalui perkumpulan pengusaha perkebunan bernama Deli Planters Vereeniging
yang dibentuk tahun 1879 agar tidak terjadi perebutan kuli-kuli.[9]

Perkebunan kelapa sawit tertua[sunting | sunting sumber]


Sime Darby Plantation[sunting | sunting sumber]
Kehadiran Sime Darby Plantation terjadi pada tahun 1907, ketika Crosfield, Lampard & Co,
mengakuisisi lahan perkebunan di Malacca, Selangor, dan Perak, seluas 6.673 hektare dan
mengakuisisi lahan perkebunan Begerbang di Sumatra. Sebelumnya, Harrisons & Crosfield
mengakuisisi Pataling Company, perusahaan perkebunan karet di Selangor, pada tahun 1903. Pada
tahun yang sama, Guthrie & Co kemudian bekerja sama dengan Scott & Co mendirikan perusahaan
patungan bernama Guthrie and Company Ltd dengan modal sebesar RM 1 juta.[12]
Pada tahun 1910, William Middleton Sime, Henry d'Esterre Darby dan Herbert Milford Darby
mendirikan Sime, Darby & Co di Malacca. Pada tahun 1912, Guthrie menjadi agen perkebunan di
Borneo (Kalimantan) dan Sumatra, termasuk perusahaan asuransi, bank, distributor sepeda motor,
mobil dan Singapore Electric Tramway Company. Baru pada tahun 1920, Guthrie and Co
mengakuisisi lahan perkebunan di Mengkibol, Johor, dan menanaminya dengan kelapa sawit.[13]
Socfin Indonesia[sunting | sunting sumber]
Perusahaan perkebunan yang kini bernama Socfin Indonesia (Socfindo) didirikan pada tahun 1908
oleh seorang teknisi agronomi asal Belgia bernama Adrien Hallet (1867–1925). Setelah sukses
menjadi pengusaha perkebunan di Kongo, Afrika, Hallet memutuskan pergi ke Malaysia. Di negeri
tersebut, Hallet mendirikan perusahaan bernama La Compagnie du Selangor pada tahun 1906.[14]
Hallet lalu memutuskan pergi ke Hindia Belanda, persisnya ke Sumatra, kemudian mendirikan dan
menjadi direktur perusahaan bernama Sungei Lipoet Cultuur Maatschaappij yang mengelola lahan
perkebunan karet seluas 1.500 hektare di Tamiang, Aceh. Pada tahun 1909, Hallet turut menjadi
salah satu pendiri perusahaan Société Financière des Caoutchoucs Societé Anonyme (Socfin SA)
yang tercatat di Brussels, Belgia.[15] Setahun kemudian dia bekerja sama dengan Rivaud Group
untuk mencari lokasi ideal di Indochina untuk menanam karet dan pada tahun 1919, saham
perusahaan Socfin S.A diambil alih oleh Rivaud Group.[14]
Baru pada tahun 1911, Hallet membuka lahan perkebunan kelapa sawit di atas area lahan seluas
5.123 hektare.[6] Fasilitas penelitian dan pengembangan didirikan pada tahun 1918 di Medan.
[14]
 Setelah itu, Sungei Lipoet Cultuur Maatschaappij kemudian berturut-turut membuka area
perkebunan lainnya di Sumatra Utara, yakni di Mata Pao tahun 1927, Negeri Lama tahun 1928, dan
Tanah Bersih (1937). Di Aceh, area perkebunan sawit yang dibuka adalah di Seunagan (1930),
Seumanyam (1936), dan Lae Butar (1938).[15]
Hallet sendiri meninggal dunia pada tahun 1925 dengan meninggalkan sejumlah perusahaan yakni
Socfin S.A and Banco yang beroperasi di Afrika, Indochina dan Asia Tenggara. Area perkebunan
yang dimiliki pada saat itu sudah mencaai 73 ribu hektare perkebunan karet, 29 ribu hektare
perkebunan kelapa sawit dan 21 ribu hektare perkebunan kopi. Generasi penerusnya, yakni Robert
Hallet, kemudian mengambil alih kepemimpinan perusahaan dan bisnis perusahaan terus
berkembang pesat.[14]
Sebelum meninggal pada tahun 1947, Robert Hallet berhasil mengembangkan perusahaan dengan
total luas area mencapai 350 ribu hektare pada tahun 1940, terdiri atas 73 ribu hektare perkebunan
karet, 31 ribu hektare perkebunan kelapa sawit, dan 36 ribu hektare perkebunan kopi. Grup
perusahaan berhasil memproduksi 6% dari pasar karet internasional dan 20% pasar kelapa sawit
dunia pada saat itu dan secara bertahap mulai meninggalkan perkebunan kopi.[14]
Di Indonesia, perusahaan ini kemudian terkena nasionalisasi pada tahun 1965 berdasarkan
Peraturan Presiden No 6 tahun 1965 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Dari empat kelompok
Perusahaan Perkebunan Negara Ex Perkebunan Asing (PPN Expera), Socfin masuk kelompok
kedua.[16] Baru pada tahun 1968, Presiden Soeharto mengembalikan perusahaan-perusahan asing
ke pemiliknya, termasuk PT Socfin Indonesia yang kemudian didirikan melalui kerja sama patungan
antara Plantation Nord Sumatra (PNS Ltd) sebesar 60% dan Republik Indonesia sebesar 40%.
Setelah itu, Socfindo baru kembali membuka lagi area perkebunan baru di Sumatra Utara, yakni di
Bangun Bandar/Tanjung Maria dan Aek Loba/Padang Pulo (1970), Aek Pamienke (1979), dan
Tanah Gambus/Lima Puluh (1982).[15] Kepemilikan saham tersebut kembali berubah menjadi PNS
Ltd 90% dan Republik Indonesia sebesar 10% pada tahun 2001.[15]
PP London Sumatra Indonesia[sunting | sunting sumber]
Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia (dikenal dengan Lonsum) berdiri pada tahun
1906 oleh Harrisons & Crosfield Plc yang berbasis di London, Inggris. Meski sudah memiliki
diversifikasi perkebunan tanaman karet, teh, dan kakao, Lonsum pada awal kemerdekaan masih
mengkonsentrasikan lini bisnisnya pada tanaman karet, sedangkan kelapa sawit baru mulai
produksi pada tahun 1980-an.[17]
Pada tahun 1994, Harrisons & Crosfield menjual 100% kepemilikan sahamnya di Lonsum kepada
PT Pan London Sumatra Plantation. Indofood Agri Resources Ltd melalui PT Salim Ivomas Pratama
kemudian menguasai Lonsum pada Oktober 2007.[17]
Bakrie Sumatera Plantations[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Bakrie Sumatera Plantations

Sebuah gerbong kereta api tipe Schoma CFL45B (4872A) melintasi jalur kereta api peninggalan kolonial Hindia
Belanda di perkebunan kelapa sawit PT Bakrie Sumatera Plantations, di Bunut, Kecamatan Kota Kisaran
Barat, Asahan, Sumatra Utara.

Bakrie Sumatera Plantations adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berdiri pada tahun
1911 dengan nama Naamlooze Vennootschap Hollandsch Amerikaansche Plantage Maatschappij,
yang awalnya adalah perusahaan perkebunan karet. Pada tahun 1957, nama perusahaan berganti
nama menjadi PT United States Rubber Sumatera Plantations setelah diakuisisi oleh Uniroyal Inc.[18]
Selanjutnya, pada tahun 1965, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap PT United
States Rubber Sumatera Plantations. Pada tahun 1985, nama perusahaan berganti menjadi PT
Uniroyal Sumatera Plantations (UNSP) dan setahun kemudian sebanyak 75% saham perusahaan
diakuisisi oleh PT Bakrie & Brothers. Nama perusahaan pun berganti nama menjadi PT United
Sumatera Plantations dan tahun 1992 kembali berganti nama menjadi PT Bakrie Sumatera
Plantations.[18]
Meski awalnya adalah perusahaan perkebunan karet, PT Bakrie Sumatera Plantations pada tahun
2019 hanya memiliki area kebun karet seluas 16.532 hektare di Sumatra Utara melalui PT BSP
Kisaran, Bengkulu seluas 2.610 hektare melalui PT AMR, dan di Lampung seluas 3.331 hektare
melalui PT HIM.[18]
Per September 2019, PT Bakrie Sumatera Plantations memiliki area perkebunan inti kelapa sawit
yang telah ditanami seluas 43.262 hektare di Sumatra Utara melalui PT BSP Kisaran (9.924
hektare) dan PT GLP (7.626 hektare); di Sumatra Barat melalui PT BPP (8.820 hektare) dan PT CCI
(1.965 hektare); di Jambi melalui PT AGW (4.387 hektare) dan PT SNP (6.111 hektare); dan di
Kalimantan Selatan melalui PT MIB seluas 4.429 hektare. Adapun perkebunan plasma seluas
14.976 hektare, dengan rincian seluas 6.347 hektare di Sumatra Barat melalui PT BPP, 7.701
hektare di Jambi melalui PT AGW, dan 928 hektare di Jambi melalui PT SNP.[18]
Perusahaan memiliki lima pabrik pengolahan kelapa sawit, berkapasitas 225 metrik ton, masing-
masing dua pabrik di Sumatra Uatra, satu pabrik di Sumatra Barat, dan dua pabrik di Jambi. Selain
itu ada lima pabrik pengolahan oleo chemical, yakni satu pabrik pengolahan Fatty Acid FSC
berkapasitas 52.800 metrik ton per tahun di Tanjung Morawa, Sumatra Utara dan empat pabrik
pengolahan fatty acid di Kuala Tanjung, Sumatra Utara, yakni fatty acid I berkapasitas 99 ribu metrik
ton/tahun, pabrik pengolahan fatty alcohol I berkapasitas 33 ribu metrik ton/tahun, pabrik
pengolahan fatty acid II berkapasitas 82.500 metrik ton/tahun, dan pabrik pengolahan fatty alcohol II
berkapasitas 99 ribu metrik ton/tahun.[18]

Era pendudukan Jepang[sunting | sunting sumber]


Pada zaman pendudukan Jepang (1942–1945), perkebunan kelapa sawit Indonesia menurun tajam.
Jumlah lahan perkebunan kelapa sawit menyusut 16% yang membuat produksi minyak sawit anjlok
menjadi 56 ribu ton pada tahun 1948/1949, padahal pada tahun 1940, Indonesia dapat mengekspor
sebanyak 250 ribu ton dan baru meningkat kembali menjadi 200 ribu ton pada tahun 1950-an.[19]
Ketika itu, Jepang juga mengambil alih penguasaan perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur dari
pengusaha-pengusaha kecil, sehingga mengubah struktur kepemilikan. Oleh Jepang, hasil kelapa
sawit bukan untuk diekspor namun untuk memenuhi kebutuhan perang. Sayangnya, blokade yang
dilakukan pasukan Sekutu terhadap kapal-kapal Jepang di Selat Malaka membuat Jepang tidak bisa
mengirim hasil kelapa sawit hingga menumpuk di gudang-gudang perkebunan.[4]

Era Kemerdekaan[sunting | sunting sumber]


Sepanjang periode 1945 hingga tahun 1950, pemerintah Indonesia belum terlalu fokus pada
pembangunan ekonomi. Perkebunan-perkebunan besar dan perusahaan lainnya masih dikuasai
oleh perusahaan Hindia Belanda. Selain itu, pemerintah Indonesia juga masih disibukkan dengan
pemberontakan-pemberontakan berskala kecil di berbagai daerah dan konflik memperebutkan Irian
Barat.[8]
Pada 13 Desember 1957, KASAD Mayor Jenderal AH Nasution selaku penguasa perang pusat
(Peperpu) mengeluarkan surat perintah bahwa proses pengambilalihan perusahaan asing di bawah
kontrol militer. Setahun kemudian, Peraturan Pemerintah (PP) No 28 tahun 1958 tentang
Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia baru diterbitkan dan peraturan ini berlaku surut
sejak tahun 1957. Seluruh perusahaan yang dinasionalisasi kemudian dikelola oleh Badan
Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) yang dibentuk tahun 1959, yang disertai dengan
pembayaran ganti rugi kepada pemilik perusahaan yang diambil alih.[8]
Sebanyak 76 perusahaan perkebunan berumur panjang dinasionalisasi, baik yang berada di
Sumatra Utara maupun Aceh, dengan rincian 54 merupakan perusahaan perkebunan karet, 13
perkebunan kelapa sawit, lima perkebunan teh, dan empat perkebunan sisal dan tanaman berserat
lainnya. Beberapa perusahaan besar yang terkena nasionalisasi adalah United Deli Company yang
memiliki 12 perkebunan, empat perkebunan milik Senembah Maatschappij, HVA (empat
perkebunan), Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam (12 perkebunan), dan Nederlandsche
Handel Maatschappij (NHM) empat perkebunan. Pada awal tahun 1960 sudah ada 101 dari 217
perusahaan perkebunan di Sumatra Utara yang beralih kepemilikannya kepada pemerintah
Indonesia.[8]
Namun, proses nasionalisasi ini belum mampu meningkatkan produksi kelapa sawit secara besar-
besaran mengingat masih terjadinya beberapa pemberontakan di daerah dan keterbatasan
pengetahuan petani.[3]
Jumlah perusahaan Belanda yang dinasionalisasi pada awalnya adalah perusahaan perkebunan
tembakau berjumlah 38 perusahaan, kemudian ditambah lagi 205 perusahaan perkebunan dengan
mayoritas adalah perkebunan karet, disusul teh, kopi, tebu berikut pabrik gulanya, kelapa, kelapa
sawit, cengkih dan lain sebagainya. Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia kembali
menasionalisasi 22 perusahaan perkebunan pala. Seluruh perusahaan perkebunan hasil
nasionalisasi kemudian disatukan di bawah Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Baru yang
berdiri pada tahun 1957.[20]
PPN-Lama yang berjumlah 40 perusahaan perkebunan yang dinasionalisasi pada September 1950,
kemudian digabungkan dengan PPN-Baru di bawah naungan Badan Pimpinan Umum Perusahaan
Perkebunan Negara (BPU-PPN) dengan pembagian berdasarkan komoditas, yakni karet, gula,
tembakau, dan aneka tanaman, dengan total keseluruhan 88 PPN. Pada tahun 1967, BPU-PPN
dibubarkan dan pemerintah mengubah status perusahaan perkebunan PPN menjadi perseroan
terbatas dengan membaginya menjadi PT Perkebunan (PTP) I hingga PT Perkebunan IX dan
selanjutnya dipisahkan menjadi PTPN I hingga PTPN XIV.[20]
PT Perkebunan Nusantara I adalah perusahaan hasil nasionalisasi dari perusahaan perkebunan
swasta milik Hindia Belanda dan Jepang. Perusahaan hasil nasionalisasi ini diberi nama PPN
Kesatuan Aceh berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 142 tahun 1961 dan berganti nama
menjadi PNP-1 berdasarkan PP No 14 Tahun 1968. Baru pada 2 Mei 1981, perusahaan berganti
nama menjadi PT Perkebunan-I dan menjadi PT Perkebunan Nusantara I pada tanggal 14 Februari
1996, hasil penggabungan PT Perkebunan I, PT Cot Girek Baru, PT Perkebunan V dan PKS Cot
Girek PT Perkebunan IX.[21]
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit baru terjadi pada tahun
1980-an. Pada awal tahun 1980-an, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 200.000 hektare,
yang umumnya adalah kebun-kebun peninggalan kolonial Hindia Belanda. Melalui
program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Transmigrasi dan program kredit Pengembangan Besar
Swasta Nasional (PBSN), perkebunan kelapa sawit berkembang pesat.[5]
Pemerintah mengembangkan empat tipe program Perkebunan Inti Rakyat, yakni pertama, PIR
khusus dan lokal tersebar di 12 provinsi pada tahun 1980. Hasilnya tercipta lahan perkebunan
kelapa sawit baru seluas 231.535 hektare, terdiri atas 67.754 hektare perkebunan inti dan 163.781
hektare perkebunan plasma. Kedua adalah program PIR Transmigrasi yang dimulai pada tahun
1986 di 11 provinsi. Program ini menghasilkan perkebunan kelapa sawit baru seluas 566 ribu
hektare terdiri atas 70% perkebunan plasma dan 30% berupa perkebunan plasma. Ketiga adalah
program PIR Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (PIR-KKPA) dengan melibatkan 74 Koperasi
Unit Desa. Keempat adalah PIR Revitalisasi Perkebunan yang dimulai pada tahun 2016 melalui
PMK No 117/PKM.06/2006 dengan memberikan subsidi bunga kredit untuk pengembangan energi
nabati dan revitalisasi perkebunan rakyat. Program PIR ini menghasilkan peningkatan area
perkebunan kelapa sawit milik rakyat dari 6 ribu hektare pada tahun 1980 menjadi 5,81 juta hektare
tahun 2019.[22]
Program Pengembangan Besar Swasta Nasional (PBSN) dirintis pada tahun 1977 dan terbagi
menjadi tiga tahapan, yakni PBSN I periode 1977-1981, PBSN II periode1981-1986 dan PBSN III
periode 1986-1990.[23]
Luas lahan perkebunan sawit pada tahun 1979-1980 tercatat masih 289.526 hektare yang
didominasi oleh perusahaan perkebunan besar. Luas lahan tersebut kemudian bertambah menjadi
5,958 juta hektare pada tahun 2006, dengan rincian perkebunan rakyat seluas 2.120.338 hektare,
perkebunan besar negara seluas 696.699 hektare, dan perkebunan besar swasta seluas 3.141.02
hektare. Adapun produksi CPO yang dihasilkan mencapai 14,2 juta ton.[24]

Sebaran lahan perkebunan[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 2006, lahan perkebunan kelapa sawit sudah tersebar di 21 provinsi, dengan lima
provinsi yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit terluas berada di Riau 1,3 juta hektare,
Sumatra Utara 964,3 ribu hektare, Sumatra Selatan 532,4 ribu hektare, Kalimantan Barat 466,9 ribu
hektare, dan Jambi 466,7 juta hektare.[24]

Perkebunan kelapa sawit terbesar[sunting | sunting sumber]


Astra Agro Lestari[sunting | sunting sumber]
Per Desember 2018, Astra Agro Lestari memiliki 285 ribu hektare perkebunan kelapa sawit tersebar
di Sulawesi seluas 50,6 hektare (17,8%), Kalimantan 129,8 hektare (45,5%), Sumatra 104,6 hektare
(36,7%). Area perkebunan kelapa sawit inti yang dimiliki perusahaan adalah seluas 218,4 hektare
(76,6%) dan sisanya seluas 66,6 hektare dimiliki oleh petani plasma.[25]
Astra Agro Lestari berdiri pada 3 Oktober 1988 oleh kelompok usaha Astra International dengan
nama PT Suryaraya Cakrawala dan kemudian berganti nama menjadi PT Astra Agro Niaga pada
Agustus 1989. Nama perusahaan berganti nama menjadi Astra Agro Lestari pada 30 Juni 1997
ketika terjadi merger antara PT Suryaraya Bahtera dengan PT Astra Agro Niaga. Perusahaan
berhasil memproduksi satu juta ton minyak kelapa sawit (crude palm oil) untuk pertama kalinya pada
tahun 2009.[26]

Sampoerna Agro[sunting | sunting sumber]


Per Desember 2018, Sampoerna Agro memiliki 170 ribu hektare lahan perkebunan yang telah
ditanami baik kelapa sawit, karet dan sagu dari total kepemilikan seluas 363 ribu hektare. Khusus
kelapa sawit, perusahaan memiliki 137 ribu hektare lahan yang telah ditanami dari total area
perkebunan kelapa sawit yang dimiliki seluas 242 ribu hektare. Perusahaan juga memiliki delapan
pabrik kelapa sawit berkapasitas 515 ton per jam. Area perkebunan tersebar di Sumatra Selatan
seluas 120 ribu hektare (87 ribu hektare telah ditanami) dan Kalimantan seluas 122 ribu hektare (50
ribu hektare telah ditanami).[27]
Sampoerna Agro memiliki perusahaan di bawah naungannya pada tahun 1976, yakni PT Aek
Tarum, kemudian pada tahun 1989 mulai melakukan penanaman kelapa sawit di kebun Mesuji dan
Belida, di Sumatra Selatan. Pada tahun 1992, PT Binasawit Makmur didirikan dengan fokus untuk
memproduksi bibit kelapa sawit. Baru pada tahun 1993, PT Selapan Jaya berdiri yang kemudian
berganti nama menjadi PT Sampoerna Agro setelah diakuisisi oleh Grup Sampoerna pada tahun
2007.[28]
Perusahaan melalui PT Binasawit Makmur mengembangkan varietas bibit unggul kelapa sawit.
Setelah pada tahun 1994 perusahaan melalui Binasawit Makmur memperoleh izin mendatangkan
bibit kelapa sawit baru dari Kosta Rika bernama DxD, TxP, dan DxP, pada tahun 2004 , perusahaan
kemudian meluncurkan bibit bernama DxP Sriwijaya 1-5 yang diresmikan oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri ketika itu. Pada tahun 2014, BSM memperkenalkan tiga bibit varian baru bernama
DxP Sriwijaya Semi Klon dan disetujui oleh Kementerian Pertanian tahun 2015.[28]

Sinar Mas Agro Resources and Technology[sunting | sunting sumber]


PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) memiliki lahan perkebunan kelapa sawit
seluas 137.900 hektare per Desember 2018, terdiri dari perkebunan inti seluas 106.324 hektare dan
perkebunan plasma seluas 31.304 hektare. Perusahaan juga memiliki 16 pabrik pengolahan kelapa
sawit dengan kapasitas 4,2 juta metrik ton tandan buah segar per tahunnya.[29]
SMART bekerjasama dengan Centre de cooperation Internationale en Recherche Agronomique
pour le Development (CIRAD) di bidang penelitian dan pengembangan kelapa sawit. PT Ivo Mas
Tunggal, perusahaan afiliasi, memiliki kebun bibit Dami Mas berkapasitas 24 juta bibit per tahun.
Pada tahun 2017, perusahaan meluncurkan bibit tanam baru berkualitas unggul yang dinamakan
Eka 1 dan Eka 2. Perusahaan berdiri pada tahun 1962 dengan nama PT Maskapai Perkebunan
Sumcama Padang Halaban.[29]

Regulasi dan isu-isu[sunting | sunting sumber]


 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. UU ini mengharuskan adanya
kewajiban memiliki izin usaha perkebunan dari gubernur dan bupati/walikota bagi yang akan
melakukan usaha perkebunan, baik budidaya tanaman perkebunan maupun industri
pengolahan hasil perkebunan dengan luasan dan kapasitas produksi tertentu. Selain itu,
perusahaan perkebunan juga diharuskan melakukan kemitraan minimal selama tiga tahun.[24]
 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman
Perizinan Usaha Perkebunan. Peraturan Menteri Pertanian ini mengatur luasan lahan yang
harus mendapat izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUP-B) adalah lahan perkebunan di
atas 25 hektare. Peraturan ini juga mengharuskan perusahaan mengalokasikan minimal 20%
dari luas total area perkebunan yang dimilikinya untuk masyarakat, yang bisa dilakukan melalui
pola kredit, hibah, atau bagi hasil. Surat izin usaha perkebunan untuk pengolahan (IUP-P)
diharuskan bagi perusahaan yang mendirikan pabrik pengolahan berkapasitas minimal 5 ton
tandan buah segar per jam.[24]
 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1/Permentan/KB.120/1/2018 tentang Pedoman
Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun.[30]

Kontribusi[sunting | sunting sumber]
Kelapa sawit juga pernah dipakai oleh pemerintah Indonesia untuk imbal dagang dalam pengadaan
11 pesawat Sukhoi Su-35 senilai Rp 15,16 triliun. Imbal dagang tersebut dilakukan melalui PT
Perusahaan Indonesia dengan Rostec Corporation. Imbal dagang mencakup 30 komoditas mulai
dari kelapa sawit, karet, kakao, teh, kopi, tekstil, dan lain sebagainya, dengan total nilai US$ 192 juta
dan kelapa sawit berkontribusi sebesar US$ 15 juta yang harus dikapalkan ke Rusia pada bulan
Mei-Juli 2003 dengan taksiran sekitar 37 ribu ton.[31]

Anda mungkin juga menyukai