Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“KEBIJAKAN MINYAK DAN GAS”

Disusun oleh :

LisdaYanti 2015070267

NelaYunita 2015070258

Raiman 2015070205

Syifa Khoiriyah 2015070220

ayan Wiatna 2015070166

Zolanita Fajar Islami 2015070082

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2018

1
BAB I
PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Migas atau sering disebut juga dengan Minyak dan Gas Bumi mempunyai suatu
Lembaga / institusi yang bernama Perusahaan Migas, yang bergerak di bidang kegiatan
pertambangan, pengolahan, pembuatan, dan pengeboran bahan bakar minyak yang
berasal dan diolah dari bumi. Dimana pengertian Minyak Bumi Menurut Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi Pasal 1 angka 1
Menyebutkan bahwa Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang
dalam kondisi tekanan dan temperature atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk
aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan, tetapi tidak termasuk batu bara atau endapan hidrokarbon lain yang
berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan
usaha Minyak dan Gas Bumi.

Pemanfaatan dan penggunaan minyak bumi dimulai oleh bangsa Indonesia


sejak abad pertengahan. Menurut sejarah, orang Aceh menggunakan minyak bumi
untuk menyalakan bola api saat memerangi armada Portugis. Selama ini yang lebih
dikenal sebagai awal eksplorasi atau pencarian migas dilakukan adalah pengeboran
sumur Telaga tunggal oleh Zijker, namun penelitian yang dilakukan oleh salah satu
anggota IAGI (Awang HS) menemukan bahwa usaha pengeboran pertama kali
sebenarnya sudah dil akukan oleh Jan Reerink, tahun 1857.

Jan Reerink adalah seorang anak laki-laki saudagar penggilingan beras pada
zaman Belanda di Indonesia pada paruh kedua abad ke-19. Reerink ditugaskan ayahnya
menjaga sebuah toko kelontong di Cirebon. Tetapi, Reerink selalu melamunkan
penemuan minyak seperti yang dilakukan Kolonel Drake di Pennsylvania pada tahun
1857. Akhirnya, sebuah berita ia terima bahwa ada rembesan minyak keluar dari lereng

2
barat Gunung Ciremai di kawasan Desa Cibodas, Majalengka. Reerink berketetapan
hati akan membor rembesan minyak itu.

Awal sejarah perkembangan eksplorasi dan eksploitas migas secara modern di


Indonesia ditandai saat dilakukan pengeboran pertama pada tahun 1871 ini, yaitu
sumur Madja-1 di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat, oleh pengusaha belanda
bernama Jan Reerink diatas. Akan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan
dan akhirnya sumur pengeborannya ditutup. Telaga Tunggal, tokoh yang terkenal
adalah Jan Zijlker (nama Jan adalah nama “pasaran” orang Belanda). Tahun 1880, ia
ditugaskan atasannya mengunjungi sebuah perkebunan tembakau di Sumatra Utara.
Jan Zijlker adalah manager of the East Sumatra Tobacco Company. Di sana, ia melihat
penduduk setempat (Langkat) menggunakan obor dengan suatu zat untuk membuatnya
tahan lama menyala. Zijlker mengenal zat itu sebagai minyak tanah.

Penemuan sumber minyak dengan pengeboran moderen yang pertama di


Indonesia ini yang akhirnya lebih dikenal sebagai awal eksplorasi yang terjadi pada
tahun 1883 yaitu diketemukannya lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga Said di
dekat Pangkalan Brandan oleh seorang Belanda bernama A.G. Zeijlker. Penemuan-
penemuan selanjutnya juga dilakukan dengan pengeboran sumur ini kemudian disusul
oleh penemuan lain yaitu di Pangkalan Brandan dan Telaga Tunggal. Penemuan
lapangan Telaga Said oleh Zeijlker menjadi modal pertama suatu perusahaan minyak
yang kini dikenal sebagai Shell. Pada waktu yang bersamaan, juga ditemukan lapangan
minyak Ledok di Cepu, Jawa Tengah, Minyak Hitam di dekat Muara Enim, Sumatera
Selatan, dan Riam Kiwa di daerah Sanga-Sanga, Kalimantan.

Menjelang akhir abad ke 19 terdapat 18 prusahaan asing yang beroperasi di


Indonesia. Pada tahun 1902 didirikan perusahaan yang bernama Koninklijke Petroleum
Maatschappij yang kemudian dengan Shell Transport Trading Company melebur
menjadi satu bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell Petroleum
Company. Pada tahun 1907 berdirilah Shell Group yang terdiri atas B.P.M., yaitu

3
Bataafsche Petroleum Maatschappij dan Anglo Saxon. Pada waktu itu di Jawa timur
juga terdapat suatu perusahaan yaitu Dordtsche Petroleum Maatschappij namun
kemudian diambil alih oleh B.P.M.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan tersebut, masalah yang dibahas


adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana sejarah awal masuk Amerika dalam industri Migas Indonesia


2. Bagaimana Perkembangan Sektor Minyak di Indonesia di masa mendatang?

1.3 Tujuan Penelitian


Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui sejarah awal masuk Amerika dalam industri Migas Indonesia


2. Mengetahui Perkembangan Sektor Minyak di Indonesia di masa mendatang

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian bagi penulis yaitu untuk menambah wawasan dan

pengetahuan tentang sejarah dan perkembangan minyak dan gas.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. AWAL MASUK AMERIKA DALAM INDUSTRI MIGAS INDONESIA

Minyak bumi atau petroleum - bahan bakar fosil yang merupakan bahan baku
untuk bahan bakar minyak, bensin dan banyak produk-produk kimia - merupakan
sumber energi yang penting karena minyak memiliki persentase yang signifikan dalam
memenuhi konsumsi energi dunia. Citra yang sangat negatif dari minyak adalah - mirip
dengan pembakaran batubara - pemakaian bahan bakar minyak adalah kontributor
terbesar untuk peningkatan CO2 di atmosfir bumi. Tumpahan-tumpahan minyak dari
kapal-kapal tanker juga telah menyebabkan kerusakan berat pada lingkungan hidup
bumi.

Pada tahun 1912, perusahaan minyak Amerika mulai masuk ke Indonesia.


Pertama kali dibentuk perusahaan N.V. Standard Vacuum Petroleum Maatschappij
atau disingkat SVPM. Perusahaan ini mempunyai cabang di Sumatera Selatan dengan
nama N.V.N.K.P.M (Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij) yang
sesudah perang kemerdekaan berubah menjadi P.T. Stanvac Indonesia. Perusahaan
ini menemukan lapangan Pendopo pada tahun 1921 yang merupakan lapangan
terbesar di Indonesia pada jaman itu. Untuk menandingi perusahaan Amerika,
pemerintah Belanda mendirikan perusahaan gabungan antara pemerintah dengan
B.P.M. yaitu Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij. Dalam perkembangan
berikutnya setelah perang dunia ke-2, perusahaan ini berubah menjadi P.T. Permindo
dan pada tahun 1968 menjadi P.T. Pertamina.
Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan pembedaan antara
Shell dengan perusahaan lain. Pada tahun 1920 masuk dua perusahaan Amerika baru
yaitu Standard Oil of California dan Texaco. Pada tahun 1920 ini di Amerika
diundangkan “General Lisentercing Act” yang mengusulkan untuk non discriminasi.
Kemudian, pada tahun 1930 dua perusahaan ini membentuk N.V.N.P.P.M

5
(Nederlandsche Pasific Petroleum Mij) dan menjelma menjadi P.T. Caltex Pasific
Indonesia, sekarang P.T. Chevron Pasific Indonesia. Perusahaan ini mengadakan
eksplorasi besar-besaran di Sumatera bagian tengah dan pada tahun 1940 menemukan
lapangan Sebangga disusul pada tahun berikutnya 1941 menemukan lapangan Duri.
Di daerah konsesi perusahaan ini, pada tahun 1944 tentara Jepang menemukan
lapangan raksasa Minas yang kemudian dibor kembali oleh Caltex pada tahun 1950.
Pada tahun 1935 untuk mengeksplorasi minyak bumi di daerah Irian Jaya
dibentuk perusahaan gabungan antara B.P.M., N.P.P.M., dan N.K.P.M. yang bernama
N.N.G.P.M. (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Mij) dengan hak eksplorasi
selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil ditemukan lapangan minyak
Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele. Namun, karena
hasilnya dianggap tidak berarti akhirnya diseraterimakan kepada perusahaan SPCO
dan kemudian diambil alih oleh Pertamina tahun 1965. Setelah perang kemerdekaan
di era revolusi fisik tahun 1945-1950 terjadi pengambilalihan semua instalasi minyak
oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1945 didirikan P.T. Minyak
Nasional Rakyat yang pada tahun 1954 menjadi perusahaan Tambang Minyak
Sumatera Utara (PT MTMSU). Perusahaan ini bersifat lokal. Operasinya belum
secara nasional. Pada tahun 1957 didirikan P.T. Permina oleh Kolonel Ibnu Sutowo
yang kemudian menjadi P.N. Permina pada tahun 1960. Pada tahun 1959, N.I.A.M.
menjelma menjadi P.T. Permindo yang kemudian pada tahun 1961 berubah lagi
menjadi P.N. Pertamin. Pada waktu itu juga telah berdiri di Jawa Tengah dan Jawa
Timur P.T.M.R.I (Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia) yang menjadi
P.N. Permigan dan setelah tahun1965 diambil alih oleh P.N. Permina.
Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan
sistem kontrak karya. Tahun 1964 perusahaan SPCO diserahkan kepada P.M.
Permina. Tahun 1965 menjadi momen penting karena menjadi sejarah baru dalam
perkembangan industri perminyakan Indonesia dengan dibelinya seluruh kekayaan
B.P.M. – Shell Indonesia oleh P.N. Permina. Pada tahun itu diterapkan kontrak bagi
hasil (production sharing) yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia
merupakan daerah konsesi P.N. Permina dan P.N. Pertamin. Perusahaan asing hanya

6
bisa bergerak sebagai kontraktor dengan hasil produksi minyak dibagikan bukan lagi
membayar royalty.
Tahun 1960 anjungan pengeboran (Jack-up Rig) mulai beroperasi secara
massal. Dan sSejak tahun 1967 eksplorasi besar-besaran juga dilakukan di Indonesia
baik di darat maupun di laut oleh P.N. Pertamin dan P.N. Permina bersama dengan
kontraktor asing. Tahun 1968 P.N. Pertamin dan P.N. Permina digabung menjadi P.N.
Pertamina dan menjadi satu-satunya perusahaan minyak nasional. Di tahun 1969
ditemukan lapangan minyak lepas pantai yang diberi nama lapangan Arjuna di dekat
Pemanukan, Jabar. Tidak lama setelah itu ditemukan lapangan minyak Jatibarang oleh
Pertamina. Kini perusahaan minyak PERTAMINA ini tengah berbenah diri menuju
perusahaan bertaraf internasional. Pertumbuhan dan pengembangan lapangan migas
di Indonesia mencapai puncaknya ketika produksi minyak Indonesia mencapai diatas
satu setengah juta barel perhari yang dicapai pada tahun 1977.
Negara-negara produsen minyak terbesar, yang bila dikombinasikan
memproduksi hampir 45% dari total produksi minyak mentah dunia, adalah Amerika
Serikat (AS), Arab Saudi, Russia, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Produsen Minyak Bumi Terbesar pada Tahun 2015:
1) Amerika Serikat 12,704,000 bpd
2) Saudi Arabia 12,014,000 bpd
3) Russia 10,980,000 bpd
4) Kanada 4,385,000 bpd
5) China 4,309,000 bpd
6) Indonesia 825,000 bpd
bpd = barrels per day

Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2016

Meskipun saat ini banyak negara yang mendalami potensi energi terbarukan,
pentingnya - dan ketergantungan pada - minyak di dunia tidak bisa dipungkiri,
ataupun diabaikan. Bahan bakar fosil akan tetap menjadi sumber energi paling
penting, dengan minyak berkontribusi 33%, batubara 28% dan gas alam 23% dari

7
total sumber energi (IMF: April 2011). Sumber energi terbarukan hanya berkontribusi
sedikit pada total suplai energi primer dunia (energi primer termasuk bahan bakar fosil
- minyak, batubara dan gas alam -, energi nuklir dan energi terbarukan - geotermal,
tenaga air, sinar matahari dan angin).
Peningkatan permintaan untuk minyak mentah dikombinasikan dengan
kekuatiran mengenai ketersediaannya menyebabkan harga minyak mencapai rekor
tinggi dalam sejarah pada tahun 2000an. Meskipun tren yang meningkat ini diganggu
sementara oleh krisis finansial global 2008-2009, permintaan minyak dunia
meningkat secara signifikan setelah 2009 (dan karenanya harganya naik sejalan
dengan itu), sebagian besar disebabkan karena level konsumsi minyak mentah yang
meningkat di negara-negara berkembang yang menunjukkan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) yang subur. RRT berkontribusi untuk sebagian besar dari
konsumsi energi dunia dan karenanya mempengaruhi harga pasar dunia untuk sumber
energi primer.
Kendati begitu, sejak pertengahan 2014, harga minyak dunia mulai menurun
tajam karena lambatnya aktivitas perekonomian dunia (terutama karena pertumbuhan
ekonomi yang jatuh di RRT saat pemerintahannya berusaha mengalihkan
perekonomiannya dari berorientasi ekspor kepada berorientasi konsumsi) dan
peningkatan produksi shale oil AS, sementara Organization of Petroleum Exporting
Countries (OPEC) memutuskan untuk tidak mengurangi tingkat produksi. Pada bulan
Februari 2016 harga minyak sentuh titik terendah selama 13 tahun. Namun,
setelahnya mulai pulih.

B. AWAL PRODUKSI GAS DI INDONESIA

Produksi gas mulai menggeliat ketika gas mulai diperdagangkan dan mulai
dipergunakan sebagai energi. Pada tahun 1972 ditemukan sumber gas alam lepas
pantai di ladang North Sumatra Offshore (NSO) yang terletak di Selat Malaka pada
jarak sekitar 107,6 km dari kilang PT Arun di Blang Lancang. Selanjutnya pada tahun
1998 dilakukan pembangunan proyek NSO “A” yang diliputi unit pengolahan gas

8
untuk fasilitas lepas pantai (offshore) dan di PT Arun. Fasilitas ini dibangun untuk
mengolah 450 MMSCFD gas alam dari lepas pantai sebagai tambahan bahan baku
gas alam dari ladang arun di Lhoksukon yang semakin berkurang. Tanggal 16 Maret
1974, PT Arun didirikan sebagai perusahaan operator. Perusahaan ini baru diresmikan
oleh Presiden Soeharto pada tanggal 19 September 1978 setelah berhasil mengekspor
kondensat pertama ke Jepang (14 Oktober 1977).
Produksi gas Indonesia terus meningkat hingga tahun 2000 ini dan masih
menunjukkan produksi yang terus meningkat setelah gas dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri dengan pemipaan (pipe gas). Penemuan
lapangan gas terbesar di Indonesia diketemukan di Laut Natuna di Lapangan D-
Alpha. Lapangan ini memiliki kandungan gas lebih dari 200 TCF, namun hampir 70%
merupakan CO2. Total hydrocarbon (combustible) gas sekitar 40 TCF. Karena
banyaknya porsi kandungan CO2 ini menjadikan pengembangan lapangan ini terus
tertunda hingga saat ini.
Penemuan lapangan-lapangan minyak semakin sulit dan gas di Indonesia ini
membuat pengelolaan migas dengan PSC (Production Sharing Contract) ini harus
selalu dikembangkan. Sistem bagi hasil ini sebenarnya sudah dikenalkan pada tahun
1951, namun sistem PSC modern memang dimulai pada tahun 1966 setelah 2 tahun
negosiasi antara PERMINA dengan IIAPCO untuk WK ONWJ. Disebut sebagai PSC
modern karena pokok-pokok kontrak tersebut hingga saat ini masih dipakai.
Sedangkan kalau dilihat perkembangann PSC dengan digabungkan UU-nya maka :

1. PSC Generasi pertama (1960 – 1976) :

1) Produksi minyak an gas bumi setiap tahun dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a) 40% pertama disebut sebagai cost oil yang dialokasikan untuk
pengembalian biaya eksplorasi dan eksploitasi. (Ceiling Cost Recovery)
b) 60% sisanya disebut sebagai profit oil atau equity oilyang dibagi:
 65% untuk PERMINA dan 35% untuk Kontraktor untuk produksi 75
ribu BOPD

9
 67.5% % Pertamina, 32 % % Kontraktor untuk produksi antara
75.000 sid 200.000 per hari
 70 % Pertamina, 30 % Kontraktor untuk produksi di atas 200.000
barrel per hari
2) Jangka Waktu eksplorasi selama 6 Tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali
(masing-masing 2 tahun)
a) Pajak Sebesar 56% dan tidak dibedakan antara pajak coorporate dan
dividen.
b) Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 49%
dari pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor.
c) DMO sebesar 25% dari milik kontraktor dengan pembayaran sebesar
US$0.2/bbl.

2. PSC Generasi kedua (1976 – 1988) :

Dalam usahanya pemerintah meningkatkan keuntungan, pemerintah berusaha untuk


mengganti model yang sebelumnya memberikan dua level bagi hasil dihapuskan dan
menjadi satu bagi hasil sebesar 85:15 (70:30 untuk gas) bagi Pertamina. Perkecualian
untuk Rokan PSC di mana bagi hasilnya 88:12 untuk Pertamina.

Penerimaan Negara dibagi dalam dua kelompok yaitu :

1) Penerimaan Negara berupa Pajak Perseroan dan Dividen termaksud dalam


peraturan perpajakan yang berlaku pada saat penandatanganan perjanjian
2) Penerimaan Negara diluar pajak-pajak tersebut dalam butir 1 di atas, termasuk
bagian produksi yang diserahkan kepada Negara sebagai pemilik kuasa atas
sumber daya minyak dan gas bumi, kewajiban kontraktor menyerahkan
sebagian dari produksi yang diterimanya untuk kebutuhan dalam negeri, bea
masuk, iura pembanguna daerah (PBB), bonus, dan lain-lain.

10
3) Pajak sebesar 56% yang terdiri dari 45% pajak Coorporate dan 11% pajak
Dividen.
4) Limit cost recovery yang sebelumnya 40% dihapuskan, sehingga Kontraktor
dapat mendapatkan kembali maksimum 100% dari revenue untuk penggantian
biaya dan didasarkan pada Generally Accepted Acounting principle (GAAP).
5) Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian
dibagi antara Pertamina dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% :
34.09% (minyak) 31.82% : 68.18% (gas). Bagian Kontraktor akan dikenakan
pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak
dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak adalah : 85% : 15%
(minyak) dan 70% : 30% (gas).
6) Pajak turun dari 56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian
(share) diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi :
71.15% : 28.85% (minyak) dan 42.31% : 57.69% (gas).
7) Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari
pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi. dan diberikan DMO Holiday
selama 5 tahun.
8) DMO sebesar 25% dari milik kontraktor dengan pembayaran sebesar
US$0.2/bbl.
9) Jangka Waktu Eksplorasi selama 6 Tahun, dan tidak dapat diperpanjang (dalam
beberapa kontrak dapat diperpanjang satu kali selama 2 tahun).
10) Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 49% dari
pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor

3. PSC Generasi ketiga (1988 – 1993) :

Pada tahun 1988 dan 1989, fiscal term yang telah direvisi tersebut
diperkenalkan sebagai model PSC baru. Perubahan penting dalam model PSC tersebut
adalah diberlakukannya FTP, kenaikan besaran DMO fee, dan perbaikan terms untuk
proyek-proyek marginal, frontier, deepwater dan reservoir pre-tersier . Pada tahun

11
1988 Pertamina memperkenalkan beberapa terms and condition yang berbeda untuk
kontrak area baru dan perpanjangan. Kontrak area baru dibagi menjadi 2 kategori yaitu
konvensional dan frontier. Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara
adalah 25% dari pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor.

4. PSC Generasi keempat (1994 – 2001) :

1) Titik acuan PP Nomor 35 Tahun 1994


2) Dana ASR
3) Besaran pajak berubah dari 48% menjadi 44% yang terdiri dari 30% dan pajak
dividen sebesar 14%.
4) Standar investment credit untuk keperluan cost recovery turun dari 17%
menjadi 15.78%.
5) Skema bagi hasil sebelum pajak juga berubah menjadi 73.22%:26.78%.
6) DMO sebesar 25% dari milik kontraktor (15% dari harga export setelah 5 tahun
pertama produksi)
7) Jangka Waktu Esplorasi selama 6 tahun dan hanya dapat diperpanjang 1 kali
selama 4 tahun
8) Komersialitas tidak diberi batasan minimum pendapatan pemerintah.
9) Sebelum melakukan kegiatannya Kontraktor diwajibakan
melakukan environmental base line study.

 Perubahan ke satu

Pada tahun 1997, Pertamina merubah beberapa pokok terms & condition dalam
rangka meningkatkan kegiatan eksplorasi. Pokok-pokok tersebut adalah :

Sebelum generasi keempat komitmen dalam bab IV PSC berupa komitmen


finansial maka dalam PSC generasi ini komitmen berubah menjadi komitmen Finansial
dan Kegiatan. Namun pelaksanaannya masih dihitung secara finansial.

12
Sebelum generasi keempat komitmen dalam bab IV PSC berupa komitmen
finansial tanpa ada pembagian jenis komitmen maka dalam PSC generasi ini berubah
menjadi untuk 3(tiga) tahun atau 2 (dua) tahun pertama disebut sebagai komitmen pasti.
Apabila gagal memenuhi komitmen pasti dan kontraktor mengembalikan wilayah kerja
tersebut maka kontraktor wajib membayar kekurangan pelaksanaan komitmen pasti
tersebut.

 Perubahan kedua

Pada tahun 1998, besaran harga DMO berubah dari 15% menjadi 25% harga
ekspor.

 Perubahan ketiga

Pada tahun 1999, mulai diperkenalkan istilah performance deficiency notice.

5. PSC Generasi kelima: 2001-2007:

Perubahan dari finansial komitmen menjadi work program Komitmen

6. PSC Generasi Keenam: 2008-skrg:

POD Basis, dana ASR dalam escrow account, LCCA, Subsequent Petroleum
Discovery, persyaratan perpanjangan jangka waktu eksplorasi dipertegas, penurunan
pajak penghasilan mengikuti UU No.36 Tahun 2008.

 Perubahan pertama-2009 : untuk WK GMB diperkenalkan Handling production


sebelum POD
 Perubahan Pengelolaan Migas Pasca Reformasi

13
Setelah Reformasi politik terjadi di Indonesia tahun 1998, perubahan pengelolaan
migas berubah menjadi sangat berbeda.

Pada tanggal 23 Nopember 2001 telah diundangkan Undang-Undang Nomor


22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dimana yang menjadi dasar
pertimbangan diundangkannya Undang-Undang tersebut adalah sudah tidak sesuainya
lagi UU No. 44 Prp. Tahun 1960 dengan perkembangan usaha pertambangan migas
baik dalam taraf nasional maupun internasional. UU 22/2001 ini terutama merubah
sisi downstream atau hilir menjadi terbuka utk perusahaan asing dari luar negeri.

C. DANA EKSPLORASI MIGAS DARI APBN

Didalam pengusahaan migas untuk menjamin ketersediaan serta


kesinambungan produksi maka usaha eksplorasi-lah yang merupakan satu-satunya cara
untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi. Permasalahan yang sering
dijumpai investor dalam usaha penemuan minyak (eksplorasi) ini terutama tumpang
tindih lahan, tumpang tindih aturan ( ESDM – KEHUTANAN – PERIKANAN –
KELAUTAN- PERHUBUNGAN), keterbatasan data, serta sulitnya akses dan
minimnya infra struktur. Lemahnya niat pemerintah dalam usaha peningkatan produksi
dengan usaha eksplorasi ini tercermin pada minimnya dana Plow Back (yaitu dana
untuk kebutuhan eksplorasi migas yang diperoleh dari keuntungan usaha eksplorasi itu
sendiri). Dari penerimaan Negara Dari Sektor Migas Sebesar 28% hanya
diberikan Plow Back Migas 0,07% Dari Penerimaan Sektor ESDM Tahun 2011. Rata-
rata perusahaan migas akan mengeluarkan 10-20% anggarannya untuk usaha
eksplorasi (pencarian lapangan baru).

Dalam dunia eksplorasi termasuk eksplorasi migas, “data geologi” yang


menjadi bahan dasar untuk kegiatan eksplorasi merupakan “soft infrastrcuture“.
Pengambilan data baru oleh pemerintah yang diambil dari dana APBN perlu ditambah
untuk membantu serta mempercepat usaha eksplorasi, dimana nantinya akan

14
membantu menjamin ketersediaan energi migas dimasa mendatang. Dengan cara
investasi seperti inilah perusahaan dapat bertahan bahkan meningkatkan produksinya.
Semestinya negara (pemerintah) juga memberikan batuan akselerasi waktu dalam
melakukan usaha eksplorasi dengan memberikan dana belanja untuk penyediaan dan
akuisisi data baru untuk melakukan penelitian sebagai bagian dari perbaikan
infrastruktur eksplorasi.

D. MINYAK MENTAH DI INDONESIA

Produksi Minyak yang Menurun dan Konsumsi Minyak yang Meningkat di


Indonesia. Sejak tahun 1990an produksi minyak mentah Indonesia telah mengalami
tren penurunan yang berkelanjutan karena kurangnya eksplorasi dan investasi di sektor
ini. Di beberapa tahun terakhir sektor minyak dan gas negara ini sebenarnya
menghambat pertumbuhan PDB. Target-target produksi minyak, ditetapkan oleh
Pemerintah setiap awal tahun, tidak tercapai untuk beberapa tahun berturut-turut karena
kebanyakan produksi minyak berasal dari ladang-ladang minyak yang sudah menua.
Saat ini, Indonesia memiliki kapasitas penyulingan minyak yang kira-kira sama dengan
satu dekade lalu, mengindikasikan bahwa ada keterbatasan perkembangan dalam
produksi minyak, yang menyebabkan kebutuhan saat ini untuk mengimpor minyak
demi memenuhi permintaan domestik.

Penurunan produksi minyak Indonesia dikombinasikan dengan permintaan


domestik yang meningkat mengubah Indonesia menjadi importir minyak dari tahun
2004 sampai saat ini, menyebabkan Indonesia harus menghentikan keanggotaan jangka
panjangnya (1962-2008) di OPEC. Kendati begitu, Indonesia akan bergabung kembali
dengan OPEC pada Desember 2015.

Kurangnya eksplorasi dan investasi-investasi lain di sektor minyak ini telah


menyebabkan penurunan dalam produksi minyak Indonesia yang disebabkan karena
manajemen yang lemah dari pemerintah, birokrasi yang berlebihan, kerangka peraturan
yang tidak jelas serta ketidakjelasan hukum mengenai kontrak. Hal ini menciptakan

15
iklim investasi yang tidak menarik bagi para investor, terutama bila melibatkan
investasi jangka panjang yang mahal.

Secara kontras, konsumsi minyak Indonesia menunjukkan tren naik yang stabil.
Karena jumlah penduduk yang bertumbuh, peningkatan jumlah penduduk kelas
menengah, dan pertumbuhan ekonomi; permintaan untuk bahan bakar terus-menerus
meningkat. Karena produksi domestik tidak bisa memenuhi permintaan domestik,
Indonesia mengimpor sekitar 350.000 sampai 500.000 barel bahan bakar per hari dari
beberapa negara.

Kebanyakan proses produksi minyak Indonesia terkonsentrasi di cekungan-


cekungan yang ada di wilayah barat negara ini. Namun, karena hanya sedikit penemuan
minyak baru yang signifikan di wilayah Barat ini, Pemerintah telah mengubah
fokusnya ke wilayah Timur Indonesia. Kendati begitu, cadangan minyak yang terbukti
di seluruh negara ini telah turun dengan cepat menurut sebuah publikasi dari
perusahaan minyak BP. Di 1991 Indonesia memiliki 5,9 miliar barel cadangan minyak
terbukti namun jumlah ini telah menurun menjadi 3,7 miliar barel pada akhir 2014.
Sekitar 60% dari potensi ladang minyak baru Indonesia berlokasi di laut dalam yang
membutuhkan teknologi maju dan investasi modal yang besar untuk memulai produksi.

1. Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Konsumsi Minyak Indonesia

Salah satu kebijakan Pemerintah yang telah sangat dikritik adalah kebijakan
subsidi bahan bakar yang berumur beberapa dekade yang - untuk sebagian besar -
disubsidi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Walaupun
kebijakan ini bertujuan mendukung masyarakat miskin Indonesia, segmen yang lebih
mampu (termasuk kelas menengah) yang paling banyak diuntungkan oleh kebijakan
bahan bakar bersubsidi.

Terlebih lagi, kebijakan ini menyebabkan peningkatan signifikan untuk


permintaan bahan bakar, dan karenanya menyebabkan tekanan besar pada defisit
APBN (bahkan hal ini mengimplikasikan bahwa APBN secara langsung terhubung

16
dengan harga minyak yang cenderung volatil). Alokasi-alokasi ekstra untuk memenuhi
permintaan bahan bakar bersubsidi yang meningkat dilakukan setiap tahunnya,
sementara harga penetapan yang rendah menyebabkan distorsi pasar. Pengurangan atau
penghapusan subsidi bahan bakar adalah isu yang sangat sensitif di Indonesia karena
hal ini menyebabkan demonstrasi masal di seluruh negeri (mengimplikasikan risiko-
risiko politik untuk elit yang memerintah).

Setelah dua kenaikan harga bahan bakar bersubsidi di Juni 2013 dan November
2014 (memicu inflasi tinggi dan demonstrasi), Pemerintah Indonesia akhirnya
memutuskan untuk menghapuskan subsidi bensin pada Januari 2015 (sebuah tindakan
yang relatif mudah karena rendahnya harga minyak bumi dunia pada awal 2015) sambil
memperkenalkan subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per liter untuk diesel. Tindakan ini
didukung oleh organisasi-organisasi internasional seperti Bank Dunia dan International
Monetary Fund (IMF).

2. Kontribusi Minyak untuk Perekonomian Domestik Indonesia

Sektor minyak dan gas Indonesia secara rutin berkontribusi signifikan untuk
perekonomian Indonesia melalui pendapatan ekspor dunia dan cadangan devisa negara.
Kendati begitu, karena kontribusi minyak telah menurun selama satu dekade terakhir,
begitu pula dengan kontribusinya untuk APBN, Saat ini, kombinasi minyak dan gas
berkontribusi untuk sekitar 13% dari pendapatan domestik (di tahun 1990 angka ini
mencapai 40%). Seperti yang disebutkan di atas, sektor minyak saat ini sebenarnya
menghambat perekonomian Indonesia untuk mencapai level pertumbuhan yang lebih
tinggi.

Menurut informasi dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral


(ESDM), cadangan minyak mentah terbukti yang ada saat ini akan bertahan untuk
sekitar 23 tahun. Kebanyakan produksi minyak di Indonesia dilaksanakan oleh para
kontrakor asing menggunakan pengaturan kontrak pembagian produksi. Chevron
Pacific Indonesia, anak perusahaan Chevron Corporation, adalah produsen minyak
mentah terbesar di negara ini, berkontribusi sekitar 40% dari produksi nasional.

17
Pemain-pemain besar lainnya di industri minyak Indonesia adalah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) Pertamina, Total, ConocoPhillips, PetroChina, CNOOC, Medco, BP,
Kodeco, dan Exxon Mobil.

3. Proyek Minyak Cepu; Ladang Banyu Urip

Ladang Minyak Banyu Urip di Jawa Timur, bagian dari Blok Cepu, memiliki
cadangan minyak terbesar (mengandung sekitar 450 juta barel minyak) yang belum
dieksploitasi dan dapat berkontribusi secara signifikan untuk volume produksi minyak
Indonesia. Proyek bernilai 2,5 miliar dollar Amerika Serikat (AS) ini, yang dikelola
Exxon Mobil dan Pertamina dengan kepemilikan saham masing-masing 45% (melalui
anak-anak perusahaannya Mobil Cepu dan Pertamina EP Cepu), mulai beroperasi di
2015. Produksi diperkirakan untuk mencapai tingkat puncak pada 165.000 barel per
hari di 2016.

Lebih lanjut lagi, Ladang Minyak Bukit Tua (bagian dari Blok Ketapang di
Jawa Timur, dioperasikan oleh Petronas Carigali) mulai beroperasi di bulan Maret
2015 dan produksi mungkin meningkat menjadi 20.000 barel per hari pada akhir 2015.

E. PROYEKSI MASA MENDATANG SEKTOR MINYAK DI INDONESIA

Mirip dengan banyak negara-negara lain, Indonesia berusaha mengurangi


ketergantungannya pada minyak sebagai sumber energi karena harga minyak yang
tinggi dan masalah lingkungan hidup. Saat ini, kira-kira 50% energi negara ini
bersumber dari minyak; angka yang ingin dikurangi Pemerintah menjadi 23% pada
tahun 2025 dengan menempatkan lebih banyak penekanan pada sumber-sumber
terbarukan dan batubara.

Pemerintah Indonesia masih memiliki harapan tinggi untuk memulihkan


kekuatan sektor minyak karena negara ini masih memiliki cadangan minyak yang
besar, dan permintaan minyak (terutama domestik) yang meningkat. Sementara itu,

18
industri minyak tetap industri yang menguntungkan (walaupun harga telah sangat
menurun di 2015) seperti yang dibuktikan oleh angka-angka laba bersih Pertamina.
Kendati begitu, akan dibutuhkan usaha-usaha serius dari semua pemangku kepentingan
(terutama Pemerintah Indonesia) untuk kembali mencapai kuantitas produksi lebih dari
1 juta barel (sebuah target ambisius yang masih ditargetkan Pemerintah).

Dalam rangka mencapai target ini, dibutuhkan investasi-investasi skala besar


dan didukung oleh kerangka peraturan yang transparan dan pasti (yang juga
memperkirakan koordinasi yang baik antara berbagai kementerian dan pemerintah-
pemerintah daerah). Kurangnya investasi dalam eksplorasi minyak yang baru telah
menyebabkan penurunan level produksi minyak selama dua dekade terakhir karena
penuaan ladang-ladang minyak negara ini. Bila Pemerintah tidak menyediakan
insentif-insentif yang menstimulasi investasi-investasi dalam pengembangan sektor
minyak hilir, tren penurunan ini kecil kemungkinannya dapat berubah arah.

1. Permasalahan Regulasi Sektor Hulu Minyak dan Gas Indonesia

Selama bertahun-tahun, aspek regulasi di sektor hulu migas Indonesia selalu


berkaitan dan berkutat dengan 3 masalah utama berikut (1) Ketidakpastian hukum
(aturan), (2) Ketidakpastian fiskal (ekonomi), dan (3) Proses administrasi / birokrasi /
izin yang rumit. Permasalahan (1) dan (2) menjadi sangat berpengaruh pada kondisi
tidak dihormatinya Kontrak Kerja Sama yang berlaku (dishonored of contract sanctity),
yang secara mendasar merupakan syarat utama bagi iklim investasi yang kondusif.
Penerbitan peraturan baru, deregulasi dan debirokrasi yang baru-baru ini dilakukan
oleh Pemerintah cukup positif, namun masih tidak dapat secara efektif menangani 3
masalah utama tersebut. Upaya-upaya tersebut belum secara konkret menangani
masalah dan beberapa bahkan menambah komplikasi permasalahan.

Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) No. 15
Tahun 2018 tentang Kegiatan Pasca Operasi pada Kegiatan Hulu Migas. Pasal 20 dan
21 Permen ESDM 15/2018 menyebutkan bahwa Kontrak Kerja Sama yang lama harus
mengadopsi aturan ini, yang artinya menuntut adanya perubahan isi kontrak. Pasal 11

19
menyebutkan adanya kewajiban bagi KKKS untuk mengalokasikan dan menyetorkan
dana, yang artinya memiliki implikasi terhadap arus kas dan hitungan keekonomian
suatu investasi migas. Sementara Pasal 6 yang menyebutkan bahwa di dalam
pelaksanaannya aturan ini tidak hanya akan melibatkan KKKS dan SKK Migas, tetapi
juga Ditjen Migas dan pihak/instansi lain terkait, akan memiliki konsekuensi terhadap
aspek administrasi dan birokrasi serta perizinannya. Contoh lainnya adalah Permen
ESDM No. 47/2017 (revisi atas Permen ESDM 26/2017 tentang Mekanisme
Pengembalian Investasi pada Kegiatan Usaha Hulu Migas, Permen ESDM 52/2017
(revisi atas Permen ESDM 8/2017) tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, dan
Permen ESDM 37/2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10 % Pada
Wilayah Kerja Migas.

Di luar Permen ESDM, di tingkatan Peraturan Presiden (Perpres), ada Perpres


40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Sementara itu, di tingkat Peraturan
Pemerintah (PP), dua aturan yang dianggap akan dapat memberikan kepastian dan
sekaligus memberikan insentif fiskal untuk hulu migas, yaitu PP 53/2017 tentang
Perlakuan Perpajakan Pada Kegiatan Usaha Hulu Migas dengan Kontrak Bagi Hasil
Gross Split dan PP 27/2017 (revisi atas PP 79/2010) juga belum efektif karena secara
administrasi dan birokrasinya masih harus menunggu diterbitkannya peraturan-
peraturan pelaksana di bawahnya, baik di tingkat menteri maupun dirjen.

Analisis dan identifikasi studi ReforMiner menemukan bahwa terus


berkutatnya sektor hulu migas di dalam 3 permasalahan utama di atas, adalah karena
ada 3 elemen fundamental yang diperlukan dalam Kontrak Kerja Sama yang selama
ini hilang dari regulatory framework sektor hulu migas yang ada, yaitu: (1) penerapan
assume and discharge di dalam hal perpajakan Kontrak Kerja Sama, (2) pemisahan
urusan administrasi dan keuangan Kontrak Kerja Sama dengan urusan pemerintahan
dan keuangan negara (state finance), dan (3) penerapan prinsip single door bureaucracy
/single institution model yang mengurus hal administrasi/birokrasi/perizinan Kontrak
Kerja Sama.

20
Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi 22/2001 tidak memiliki ketiga elemen
fundamental tersebut, sehingga regulatory framework pengelolaan hulu migas yang
selama ini didasarkan atasnya selalu “conflicting” atau tidak sinkron dengan bentuk
Kontrak Kerja Sama yang dijalankan, sehingga memunculkan ketiga masalah utama di
atas.

21
DAFTAR PUSTAKA

Teuku H. Moehammad Hasan 1985, “Sejarah Perjuangan Perminyakan Nasional”.


: Yayasan Sari Pinang Sakti Jakarta.

Ika Ratna Sari, S.Pd. 2006. Metode Belajar Efektif Kimia : Jawa Tengah. CV Media
Karya Putra.

22

Anda mungkin juga menyukai