Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH PERMINYAKAN INDONESIA

Minyak bumi tak bisa dipisahkan dari perjuangan bangsa ini. Setelah bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, tugas seluruh komponen bangsa
adalah mempertahankan kemerdekaan dan mewujudkan kedaulatan atas tanah air beserta
seluruh kekayaan alamnya. Penguasaan atas bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Jauh sebelum Perang Dunia II dan perang kemerdekaan, perusahaan-perusahaan
minyak asing telah membangun kilang minyak di beberapa tempat di Indonesia seperti
Wonokromo, Pangkalan Berandan, Cepu, Balikpapan, Plaju, dan Sungai Gerong.
Kilang Wonokromo merupakan kilang tertua di Indonesia. Dibangun 1889 setelah
ditemukan minyak di daerah konsesi Jabakota dekat Surabaya oleh De Dordtsche Petroleum
Maatschappij. Kilang ini merupakan unit distilasi atmosfir.
Kilang Pangkalan Berandan dibangun De Koninklijke pada 1891. Dirancang untuk
mengolah crude dari Sumatera bagian utara.
Kilang Cepu dibangun oleh De Dordtsche Petroleum Maatschappij pada 1894.
Mengolah crude lapangan-lapangan sekitar Cepu dengan proses distilasi atmosfir. Dibeli
BPM 1911.
Kilang Balikpapan dibangun 1894 oleh Shell Transport and Trading Company sebelum
bergabung dalam Royal Dutch Shell. Mengolah minyak yang diproduksi lapangan Sangasanga.
Kilang Plaju. BPM mendirikan kilang ini dan beroperasi 1904. Dirancang mengolah
crude dari lapangan sekitar Palembang. Kilang Plaju terus dilengkapi.
Kilang Sungai Gerong. Dibangun oleh Stanvac, mulai beroperasi Mei 1926. Bahan
baku kilang ini berasal dari lapangan Talang Akar, Jirak, Benakat, Lirik, Pendopo, dan Selo.
1945 1950
Di periode ini perusahaan migas pribumi yang sudah berdiri adalah Perusahaan
Tambang Minyak Negara Republik Indonesia Sumatera Utara (PTMNRI Sumatera Utara),
Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (Permiri) Sumsel dan Jambi, dan
Perusahaan Tambang Minyak Negara Cepu (PTMN Cepu). Ketiga perusahaan ini berdiri
tahun 1945. Tetapi hingga 1950 tinggal Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia
(PTMRI Sumatera Utara) dan PTMRI Cepu,
Pada masa Hindia Belanda terdapat dua perusahaan minyak yang beroperasi dalam
penyediaan dan pemasaran BBM, yaitu BPM dan Stanvac. Dalam zaman pendudukan Jepang
penyediaan dan pemasaran BBM untuk masyarakat sangat terbatas karena BBM yang
dihasilkan terutama digunakan untuk keperluan perang.
Dalam perang kemerdekaan para pejuang berusaha merebut dari Jepang penguasaan
atas pembekalan BBM di dalam negeri beserta sarana penimbunan dan pengangkutannya.

Usaha tersebut tidak berjalan lancar karena kedatangan kembali Belanda dalam pasukan
NICA. Terjadilah bentrokan-bentrokan senjata antara pejuang Indonesia dan tentara Belanda.
Sebagai akibat serbuan Belanda dalam Agresi I Belanda tahun 1947, wilayah Indonesia
terpecah menjadi dua daerah kekuasaan, yaitu daerah kekuasaan Republik Indonesia dan
derah pendudukan Belanda.
Daerah pendudukan Belanda terutama daerah yang memiliki potensi ekonomi yang
menguntungkan Belanda. Karena terpecahnya kedua daerah kekuasaan itu, terjadi pemisahan
dalam penyediaan BBM.
Sebelum Agresi I Belanda, Cepu dan sekitarnya menjadi penyedia BBM yang utama
untuk Pulau Jawa. Hal ini karena kilang Wonokromo hancur oleh pemboman tentara Sekutu.
Dalam daerah yang dikuasai pasukan Indonesia, distribusi minyak dilakukan melalui
kereta api atau dengan cara pengangkutan beranting, entah dengan sepeda atau pikulan. Yang
mengurusnya PTMN. Perusahaan ini selain menggunakan minyak Cepu, juga dari lapangan
Bongas dan Randegan di Jawa Barat.
Kalau daerah yang dilayani sangat luas dan permintaan BBM jauh melampaui
kemampuan penyediaannya, maka sebagian besar rakyat tidak dapat menikmati hasil minyak
bumi. Mereka menggunakan minyak kelapa atau minyak jarak untuk penerangan lampu dan
keperluan-keperluan lainnya.
Keadaan di Pulau Jawa menjadi semakin sulit setelah Belanda berhasil menguasai
kilang Cepu dan lapangan kawengan dalam Agresi II Belanda tahun 1948. Sumber
penyediaan minyak untuk pasukan Indonesia dan masyarakat menjadi berkurang. Apalagi
lapangan Bongas dan Randegan telah diledakkan Belanda.
Tak hanya di Jawa. Di Sumatera Utara, Agresi I Belanda telah mengakibatkan kilang
Pangkalan Berandan dibumihanguskan pasukan Indonesia. Dalam keadaan itu, para pejuang
memanfaatkan kilang-kilang sederhana yang dibangun oleh Jepang di lapangan minyak di
sektiar Pangkalan Berandan dan Aceh Timur sebagai basis penyediaaan minyak.
Sementara itu, produksi kilang kecil di lapangan-lapangan Jambi, Pendopo, dan
Prabumulih menjadi pusat penyediaan BBM para pejuang, bukan hanya daerah Jambi dan
Sumatera bagian selatan, tetapi sampai Sumatera bagian utara dan Sumatera Barat. Pada masa
itu kilang Plaju dan Sungai Gerong telah direbut kembali oleh Belanda dalam Perang Lima
Hari di Palembang.
Dalam masa perjuangan, peranan minyak pun tidak terbatas sebagai bahan bakar, tetapi
juga sebagai komoditi ekspor.
Walaupun banyak instalasi yang telah dibumihanguskan oleh pejuang-pejuang
Indonesia, namun Belanda mengusahakan perbaikan kembali, termasuk rehabilitasi lapangan
dan kilang minyak. Termasuk perbaikan sarana seperti instalasi penimbunan, sarana
distribusi,dan pengankutan.
Kebutuhan di daerah pendudukan Belanda dipenuhi dari kilang Wonokromo, Plaju,
Sungai Gerong, dan Balikpapan, melalui depot-depot laut di daerah pendudukan Belanda:
Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin, Makassar, Menado, dan kota-kota
lainnya.Pengangkutan BBM saat pendudukan Belanda dilakukan oleh Koninklijke Paketvaart

Maatschappij (KPM) dengan memakai drum. Di darat dilakukan dengan kereta api milik
maskapai Staats Spoorwegen (SS) dan mobil-mobil tangki BBM. Juga terlibat BPM dan
Stanvac.
1950 1960
Sebenarnya di periode ini lahir Perseroan Terbatas Eksploitasi Tambang Minyak
Sumatera Utara (PT ETMSU) berdiri 22 Juli 1957 lalu berubah menjadi PT Perusahaan
Minyak Nasional (PT Permina) yang berdiri pada 10 Desember 1957, sebagai cikal bakal
Pertamina. Lalu di tahun 1959 ada NV Niam(NV Nederlans Indische Aardolie Maatschappij)
yang lalu menjadi PT Permindo (PT Pertambangan Minyak Indonesia), 31 Desember 1959,
Tetapi pembekalan BBM untuk keperluan dalam negeri sampai akhir 1960 hampir
sepenuhnya dilaksanakan oleh perusahaan minyak asing Shell, Stanvac, dan Caltex. Bisnis!
Melihat keadaan yang tidak sesuai dengan perkembangan kebijaksanaan perekonomian
nasional, Pemerintah mulai melaksanakan kebijaksanaan pengendalian harga BBM. Pada
tahun 1958 Pemerintah menetapkan pembatasan harga jual BBM di dalam negeri.
Kebijaksanaan tersebut dianggap oleh perusahaan minyak asing sebagai campur tangan
Pemerintah yang merugikan. Perusahaan minyak merasa tidak bebas lagi menjalankan politik
hrga sesuai keinginannya. Di samping berkurang keuntungan dari penjualan BBM,
perusahaan minyak menghadapi kesulitan karena merosotnya nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS.
1960 1966
Hingga 1961 kita memiliki PN Permina, PN Pertamin (Perusahaan Negara
Pertambangan Minyak Indonesia) perkembangan dari PT Permindo, dan PN Permigan
(Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional). Tetapi pada 4 Januari
1966 PN Permigan dilikuidasi karena berafiliasi ke PKI.
Usaha pemurnian dan pengolahan serta pembekalan BBM yang masih dikuasai
perusahaan asing tidak sesuai dengan dasar hukum yang berlaku, karena cabang produksi
yang demikian penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai dan
diselenggarakan oleh Negara.
Sampai akhir 1966 kegiatan pemurnian dan pengolahan sebagai rangkaian usaha
pertambangan minyak dan gas bumi, dilaksanakan oleh PT Shell yang mengoperasikan
kilang-kilang Plaju, Wonokromo, dan Balikpapan. Sedangkan Cepu dioperasikan PT Shell
sampai tahun 1962 yang kemudian dibeli Pemerintah dan dioperasikan PN Permigan. PT
Stanvac mengoperasikan kilang minyak Sungai Gerong. Kegiatan pembekalan BBM di
dalam negeri sampai 1966 dikuasai PT Shell dan PT Stanvac. Mereka berbisnis murni dengan
meraih keuntungan normal sebagai bidang usaha. Jenis BBM yang dipasarkan di dalam
negeri masih terbatas, terutama bensin dan minyak tanah.
Di tahun 1960-1966 ini penyediaan sarana tidak memadai karena tidak mengalami
perubahan sejak 1950. Letak instalasi/depot dan fasilitas pemasaran lainnya tidak cukup
merata. Letaknya hanya pada tempat-tempat pemasaran yang dianggap menguntungkan PT
Shell dan PT Stanvac. Akibatnya distribusi dan pelayanan BBM menjadi tidak merata.

Demikian juga keadaan sarana pengangkutan yang serba terbatas. Yaitu hanya 125 buah
mobil tangki dengan daya angkut 1.000 kiloliter untuk melayani seluruh Indonesia.
Keadaan ini akhirnya menyebabkan semakin memburuknya pembekalan BBM untuk
masyarakat. Juga tidak terjaminnya penyediaan minyak untuk kepentingan angkatan
bersenjata.
versi lain;
Di Sumatra :
1871

Seorang pedagang Belanda di Cirebon, Jan Reerink merupakan orang pertama


yang mencoba melakukan eksplorasi minyak di Indonesia (dulu Hindia
Belanda)
Mulai mengebor sumur di Cibodas, sebuah desa dekat Majalengka dan Kadipaten, di
kaki gunung Cireme, hasilnya gagal.
Kemudian ia melakukan pengeboran di desa Panais, Majalengka, Cipinang dan
Palimanan, dengan mengunakan tenaga uap yang didatangkan dari Canada,
menghasilkan minyak yang sangat kental disertai dengan air panas yang mancur
setinggi 15 meter.

1876

Dengan tidak mendapat pinjaman modal dari Nederlandsche


Maatschappij, ia menyerah dan kembali ke usaha dagang sebelumnya.

Handel

1880

Aeilko Jans Zijker, seorang petani tembakau yang pindah dari Jawa ke Sumatra;
di Langkat ia menemukan minyak yang merembes ke permukaan, kemudian
minyak yang sudah menguap tersebut dibawa ke Jakarta (dulu Batavia) untuk
dianalisis, dan dari hasil penyulingan minyak tersebut menghasilkan 59 % minyak
untuk penerangan.

1882

Zijker mencari dana ke negeri Belanda untuk explorasi minyak di Sumatra


Utara.

1883

Zijker mendapat konsesi Telaga Said dari Sultan Langkat.

1884

1885

Zijker mulai mengebor sumur pertama, ternyata gagal.

Sumur kedua, dinamakan Telaga Tunggal, berhasil menemukan minyak di


kedalaman 22 meter, dan sumber utamanya di kedalaman 120 meter.

1890

Zijker memindahkan konsesinya ke Royal Dutch Petroleum,


Zijker
meninggal Desember 1890 dengan tiba-tiba di Singapore. Kepemimpinan
perusahaan digantikan oleh De Gelder yang berkantor di Pangkalan Brandan. Fasilitas
lainnya dipasang di Pangkalan Susu.

1892

Kilang Pangkalan Brandan dibangun, selesai dan mulai berproduksi dari hasil
minyak ladang Telaga Said.

1914

NIAM (Nederlandshe Indische


Jambi dan di Bunyu, Kalimantan.

Aardolie

Maatschappij)

mendapat konsesi di

Riwayat Stanvac
1914

NKPM anak perusahaan Standard New Jersey menemukan ladang Talang Akar
di Sumatra Selatan, yang berkembang menjadi ladang minyak terbesar yang
ditemukan sebelum PD-2.

1926

Untuk mengolah minyak Talang akar NKPM membangun kilang di Sungai


Gerong, Palembang. Pipa transmisi juga dibangun dari Lapangan Talang
Akar ke Kilang Sungai Gerong dan selesai, kemudian digunakan bersama
pengoperasian kilang mulai bulan
Mei 1926 dengan kapasitas awal 3500
barrel perhari.

1933

Standard Oil New Jersey menyatukan sahamnya dengan NKPM menjadi


Standard Vacuum Petroleum Maatschappij (SVPM), yang kemudian diubah
namanya menjadi PT Stanvac. Perusahaan ini adalah hasil penyatuan
produksi dan pengilangan Standard of New Jersey dengan jaringan pemasaran
yang luas, kepunyaan Socony Vacuum (Standard of New York, sekarang
menjadi MOBIL OIL) di seluruh Asia, Australia dan Afrika Timur.

Dengan terbentuknya perusahaan baru ini dan penemuan dari ladang-ladang baru,
pemasangan pipa tambahan (looping) baru dilakukan dan kilang minyak Sungai Gerong
diperbesar kapasitasnya menjadi 40.000 bpd pada tahun 1936 dan menjadi 46.000
bpd mulai tahun 1940.
Ladang minyak Lirik diketemukan di tahun-tahun sebelum penyerbuan Jepang, pada
Perang Dunia ke-2.

Anda mungkin juga menyukai