Anda di halaman 1dari 11

Eksplorasi Minyak Bumi

Eksplorasi atau pencarian minyak Bumi merupakan suatu kajian panjang yang melibatkan beberapa bidang kajian
kebumian dan ilmu eksak. Untuk kajian dasar, riset dilakukan oleh para geologis, yaitu orang-orang yang menguasai
ilmu kebumian. Mereka adalah orang yang bertanggung jawab atas pencarian hidrokarbon tersebut.
Perlu diketahui bahwa minyak di dalam Bumi bukan berupa wadah yang menyerupai danau, namum berada di dalam
pori-pori batuan bercampur bersama air. Ilustrasinya seperti gambar di bawah ini

Batuan Sumber (Source Rock)

Yaitu batuan yang menjadi bahan baku pembentukan hidrokarbon. biasanya yang berperan sebagai batuan sumber
ini adalah serpih. batuan ini kaya akan kandungan unsur atom karbon (C) yang didapat dari cangkang - cangkang fosil
yang terendapkan di batuan itu. Karbon inilah yang akan menjadi unsur utama dalam rantai penyusun ikatan kimia
hidrokarbon.

Tekanan dan Temperatur

Untuk mengubah fosil tersebut menjadi hidrokarbon, tekanan dan temperatur yang tinggi di perlukan. Tekanan dan
temperatur ini akan mengubah ikatan kimia karbon yang ada dibatuan menjadi rantai hidrokarbon.

Migrasi

Hirdokarbon yang telah terbentuk dari proses di atas harus dapat berpindah ke tempat dimana hidrokarbon memiliki
nilai ekonomis untuk diproduksi. Di batuan sumbernya sendiri dapat dikatakan tidak memungkinkan untuk di
ekploitasi karena hidrokarbon di sana tidak terakumulasi dan tidak dapat mengalir. Sehingga tahapan ini sangat
penting untuk menentukan kemungkinan eksploitasi hidrokarbon tersebut.

Reservoar

Adalah batuan yang merupakan wadah bagi hidrokarbon untuk berkumpul dari proses migrasinya. Reservoar ini
biasanya adalah batupasir dan batuan karbonat, karena kedua jenis batu ini memiliki pori yang cukup besar untuk
tersimpannya hidrokarbon. Reservoar sangat penting karena pada batuan inilah minyak Bumi di produksi.

Perangkap (Trap)

Sangat penting suatu reservoar di lindungi oleh batuan perangkap. tujuannya agar hidrokarbon yang ada di reservoar
itu terakumulasi di tempat itu saja. Jika perangkap ini tidak ada maka hidrokarbon dapat mengalir ketempat lain yang
berarti ke ekonomisannya akan berkurang atau tidak ekonomis sama sekali. Perangkap dalam hidrokarbon terbagi 2
yaitu perangkap struktur dan perangkap stratigrafi.
Kajian geologi merupakan kajian regional, jika secara regional tidak memungkinkan untuk mendapat hidrokarbon
maka tidak ada gunanya untuk diteruskan. Jika semua kriteria di atas terpenuhi maka daerah tersebut kemungkinan
mempunyai potensi minyak Bumi atau pun gas Bumi. Sedangkan untuk menentukan ekonomis atau tidaknya
diperlukan kajian yang lebih lanjut yang berkaitan dengan sifat fisik batuan. Maka penelitian dilanjutkan pada langkah
berikutnya.
Kajian Geofisika
setelah kajian secara regional dengan menggunakan metoda geologi dilakukan, dan hasilnya mengindikasikan potensi
hidrokarbon, maka tahap selanjutnya adalah tahapan kajian geofisika. Pada tahapan ini metoda - metoda khusus
digunakan untuk mendapatkan data yang lebih akurat guna memastikan keberadaan hidrokarbon dan
kemungkinannya untuk dapat di ekploitasi. Data-data yang dihasilkan dari pengukuran pengukuran merupakan
cerminan kondisi dan sifat-sifat batuan di dalam Bumi. Ini penting sekali untuk mengetahui apakan batuan tersebut
memiliki sifat - sifat sebagai batuan sumber, reservoar, dan batuan perangkap atau hanya batuan yang tidak penting
dalam artian hidrokarbon. Metoda-metoda ini menggunakan prinsip-prinsip fisika yang digunakan sebagai aplikasi
engineering.
Metoda tersebut adalah:

1.

Eksplorasi seismik
Ini adalah ekplorasi yang dilakukan sebelum pengeboran. kajiannya meliputi daerah yang luas. dari hasil
kajian ini akan didapat gambaran lapisan batuan di dalam Bumi.

2.

Data
resistiviti
Prinsip dasarnya adalah bahwa setiap batuan berpori akan di isi oleh fluida. Fluida ini bisa berupa air, minyak
ataupun gas. Membedakan kandungan fluida di dalam batuan salah satunya dengan menggunakan sifat
resistan yang ada pada fluida. Fluida air memiliki nilai resistan yang rendah dibandingkan dengan minyak,
demikian pula nilai resistan minyak lebih rendah dari pada gas. dari data log kita hanya bisa membedakan
resistan rendah dan resistan tinggi, bukan jenis fluida karena nilai resitan fluida berbeda beda dari tiap
daerah. sebagai dasar analisis fluida perlu kita ambil sampel fluida di dalam batuan daerah tersebut sebagai
acuan kita dalam interpretasi jenis fluida dari data resistiviti yang kita miliki.

3.

Data porositas

4.

Data berat jenis

Data berat jenis

Data ini diambil dengan menggunakan alat logging dengan bantuan bahan radioaktif yang memancarkan sinar
gamma. Pantulan dari sinar ini akan menggambarkan berat jenis batuan. Dapat kita bandingkan bila pori batuan berisi
air dengan batuan berisi hidrokarbon akan mempunyai berat jenis yang berbeda

Sejarah Minyak dan Gas Bumi di Indonesia

MASA PIONIR (1850 - 1945)


Industri perminyakan di Hindia Belanda (dan kemudian di Indonesia setelah tahun 1945) diawali dengan laporan
penemuan minyak bumi oleh Corps of the Mining Engineers, institusi milik Belanda, pada dekade 1850-an, antara lain
di Karawang (1850), Semarang (1853), Kalimantan Barat (1857), Palembang (1858), Rembang dan Bojonegoro (1858),
Surabaya dan Lamongan (1858). Temuan minyak terus berlanjut pada dekade berikutnya, antara lain di daerah Demak
(1862), Muara Enim (1864), Purbalingga (1864) dan Madura (1866). Cornelis de Groot, yang saat itu menjabat sebagai
Head of the Department of Mines, pada tahun 1864 melakukan tinjauan hasil eksplorasi dan melaporkan adanya area
yang prospektif. Laporannya itulah yang dianggap sebagai milestone sejarah perminyakan Indonesia (Abdoel Kadir,
2004).
Selanjutnya, pada 1871 seorang pedagang Belanda Jan Reerink menemukan adanya rembesan minyak di daerah
Majalengka, daerah di lereng Gunung Ciremai, sebelah barat daya kota Cirebon, Jawa Barat. Minyak tersebut
merembes dari lapisan batuan tersier yang tersingkap ke permukaan. Berdasarkan temuan itu, ia lalu melakukan
pengeboran minyak pertama di Indonesia dengan menggunakan pompa yg digerakkan oleh sapi. Total sumur yang
dibor sebanyak empat sumur, dan menghasilkan 6000 liter minyak bumi yang merupakan produksi minyak bumi
pertama di Indonesia.
Pengeboran ini berlangsung hanya berselang dua belas tahun setelah pengeboran minyak pertama di dunia oleh
Kolonel Edwin L Drake dan William Smith de Titusville (1859), di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Dengan
demikian, pengelolaan minyak bumi di Hindia Belanda termasuk pionir (tertua) di dunia. Namun, sektor
pertambangan, khususnya minyak bumi, belum menjadi andalan pendapatan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Hal ini bisa dilihat dari adanya Indische Mijnwet, produk undang-undang pertambangan pertama, yang baru dibuat
pada tahun 1899.
Kemudian Reerink juga melakukan pengeboran di Panais, Majalengka, Cipinang dan Palimanan, dengan mengunakan
pompa bertenaga uap yang didatangkan dari Canada, menghasilkan minyak yang sangat kental yg disertai dengan air
panas yang memancur setinggi 15 meter. Pada 1876 permohonan pinjaman modalnya ditolak NV Nederlandsche
Handel Maatschappij (NHM), sehingga akhirnya ia memutuskan menutup sumur-sumur tersebut dan kembali ke
usaha dagang sebelumnya.

Sumatra Timur
Pada 1880 Aeilko Jans Zijker, seorang petani tembakau yang pindah dari Jawa ke Sumatra Timur, menemukan minyak
yang merembes ke permukaan di Langkat. Kemudian sampel minyak tersebut dibawa ke Batavia untuk dianalisis, dan
dari hasil penyulingan minyak tersebut menghasilkan kadar minyak sebesar 59%. Pada 1882 Zijker mencari dana ke
Belanda untuk melanjutkan eksplorasi minyak tersebut. Kemudian pada 1883, Zijker memperoleh konsesi di daerah
Telaga Said, Langkat seluas 500 bahu (3,5 km persegi) dari Sultan Langkat. Lapangan itu ia temukan pada saat inspeksi
dan menemukan genangan yang tercampuri minyak bumi. Setahun kemudian, Zijker mulai mengebor sumur pertama,
ternyata gagal. Sumur kedua, dinamakan Telaga Tunggal, akhirnya berhasil menemukan minyak di kedalaman 22 m
pada 1884, dgn sumber utamanya di kedalaman 120 m.
Tahun 1890 Zijker mengalihkan konsesinya ke NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM). Zijker
meninggal mendadak pada Desember 1890 di Singapore. Kepemimpinan perusahaan digantikan oleh De Gelder yang
berkantor di Pangkalan Brandan. Fasilitas lainnya dipasang di Pangkalan Susu. Kilang di Pangkalan Brandan dibangun
pada 1892, dan mulai berproduksi dari hasil minyak ladang Telaga Said. Enam tahun setelahnya, tahun 1898, tangkitangki penimbunan dan fasilitas pelabuhan dibangun di Pangkalan Susu. Dengan demikian, minyak mentah yang
dihasilkan dapat diolah terlebih dahulu sebelum dikapalkan. Pelabuhan Pangkalan Susu merupakan pelabuhan ekspor
minyak pertama di Indonesia.
Jawa Timur
Sebelumnya, di Belanda sendiri telah dibentuk NV Doordsche Petroleum Maatschappij (DPM) pada tahun 1887, oleh
Adriaan Stoop, untuk mengembangkan lapangan minyak di Surabaya, Jawa Timur. Stoop memperoleh konsesi seluas
152,5 km persegi. Lapangan Kruka merupakan lapangan tertua di daerah ini. Selanjutnya, dari lapangan Djabakota
berhasil diproduksikan sekitar 8000-an liter minyak bumi. Stoop kemudian membangun kilang Wonokromo pada
tahun 1890 1891 untuk mengolah minyak mentah yang dihasilkan. Kilang ini merupakan yang tertua di Hindia
Belanda. Pada tahun 1893, dimulailah produksi pelumas (oli, lubricant) di kilang ini.
Sejak itu, banyak berkembang konsesi-konsesi di Jawa, antara lain di daerah Gunung Kendeng, Bojonegoro, Rembang,
Jepon dan lain-lain. Totalnya sekitar 30 lapangan. Sejalan dengan pengembangan lapangan-lapangan itu, didirikan
pula kilang di Cepu pada tahun 1894. Tahun 1899, Jan Stoop mengemudikan "mobil yang mengunakan bahan bakar
gasolin" dari Surabaya ke Cepu.
Kalimantan Timur
Di Kalimantan, pengelolaan minyak bumi dimulai ketika Sultan Kutai memberikan konsesi kepada Jacobus Hubertus
Menten pada tahun 1888. Pada tahun 1893, Lapangan Sanga-Sanga mulai berproduksi. Selanjutnya Shell membangun
kilang Balikpapan pada tahun 1894. Produksi komersialnya sendiri baru dimulai pada tahun 1897. Pengapalan minyak
pertama terjadi pada tahun 1898 oleh kapal tanker Shell ke Singapura.
Tahun 1905, KNPM menemukan minyak di Tarakan. Setelah KNPM dan Shell bergabung pada 1907, proses
pembuatan lilin dimulai di Balikpapan pada 1908. Pada tahun yang sama teknologi gaslifting mulai diterapkan di
lapangan Kampung Minyak. Tahun 1913, dibangun pabrik drum dan kaleng di Balikpapan. Tahun 1925 foto udara
(aerial photo) diintroduksikan untuk eksplorasi minyak dan tahun 1929 Shell mengintroduksikan electric well logging.
Sumatra Selatan
Di Sumatra Selatan, eksplorasi minyak dimotori oleh Dominicus Antonius Josephin Kessler dan Jan Willem Ijzerman.
Mereka berdua mendirikan NV Nederlandsche Indische Exploratie Maatschappij (NIEM) pada tahun 1895, untuk
mengelola konsesi yang ada di daerah Banyuasin dan Jambi. Seiring dengan bertambah banyaknya jumlah konsesi
mereka, maka pada tahun 1897 dibentuk NV SumateraPalembang Petroleum Maatschappij (SPPM), yang masih
menjadi bagian KNPM.
Selanjutnya dibangunlah kilang mini di daerah Bayung Lencir. Penemuan lainnya, yaitu di daerah Lematang Ilir dan
Muara Enim, Sumatra Selatan, untuk selanjutnya kemudian dibentuk NV Muara Enim Petroleum Maatschappij
(MEPM). JW Ijzerman juga kemudian membangun kilang yang cukup besar di Plaju, bersamaan dengan pembangunan
jaringan pipa yang menghubungkan Muara Enim dengan Kilang Plaju tersebut.
Berdirinya Shell

Pada masa itu, terdapat dua perusahaan besar yang berperan sebagai leader dalam penambangan minyak, yakni
KNPM dan Shell. KNPM bergerak di bidang eksplorasi, produksi dan pengilangan. Sedangkan Shell, perusahaan
raksasa Belanda lainnya, bergerak di bidang usaha transportasi dan pemasaran. Shell, perusahaan yang didirikan oleh
Marcus Samuel pada tahun 1897, pada awalnya hanya merupakan perusahaan yang menjual kulit kerang (shell) di
kota London. Komoditas pertamanya inilah yg kemudian dijadikan logo perusahaan sampai sekarang.
Kedua perusahaan besar ini kemudian merger pada tahun 1907 menjadi Royal Dutch Shell Group, yang kemudian
dikenal dengan Shell. Di bawah group ini dibentuklah De Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) untuk produksi
dan pengilangan dan Anglo Saxon Petroleum Coy untuk transportasi dan pemasaran (Abdoel Kadir, 2004).
Indische Mijnwet dan Masuknya Perusahaan Swasta
Terbitnya Indische Mijnwet, undang-undang pertambangan pada tahun 1899 mendorong masuknya perusahaan
swasta minyak dunia ke Hindia Belanda (Syeirazi, 2009). Undang-undang ini memang memperbolehkan pihak swasta
untuk terlibat di dalam pengusahaan minyak bumi, setelah sebelumnya pemerintah kolonial melarang keterlibatan
pihak swasta.
Pada awal abad 20, telah masuk 18 perusahaan swasta asing di Hindia Belanda. Untuk menandingi perusahaan
Amerika Serikat setelah berlakunya Indische Mijnwet, pemerintah Belanda mendirikan perusahaan gabungan antara
pemerintah dengan BPM, yaitu NV Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij (NIAM). Perusahaan ini yg kemudian
berubah jadi Permindo, cikal bakal Pertamina.
Stanvac di Sumatra Selatan
Standard Oil of New Jersey (SONJ), yang merupakan perusahaan swasta pertama, datang ke Hindia Belanda pada
tahun 1912. Mereka lalu mendirikan anak perusahaan bernama NV Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij
(NKPM). Tahun 1914, NKPM menemukan ladang Talang Akar di Sumatra Selatan, yang berkembang menjadi ladang
minyak terbesar yang ditemukan sebelum Perang Dunia II. Bersama dengan lapangan Pendopo yang ditemukan pada
tahun 1921, keduanya merupakan lapangan minyak terbesar di Indonesia pada jaman itu.
Hanya berselang sepuluh tahun, perusahaan itu mampu berproduksi hingga 10 20 ribu bopd (barrel oil per day,
barrel minyak per hari) dari sumur Talang Akar dan Pendopo. Untuk mengolah minyak tersebut, NKPM membangun
kilang di Sungai Gerong pada tahun 1926. Pipa transmisi juga dibangun dari Lapangan Talang Akar dan Pendopo ke
kilang Sungai Gerong dan kemudian digunakan bersama pengoperasian kilang mulai Mei 1926 dengan kapasitas awal
3500 bopd.
Tahun 1933 SONJ menyatukan sahamnya dengan NKPM menjadi NV Standard Vacuum Petroleum Maatschappij
(SVPM), yang kemudian diubah namanya menjadi NV Stanvac. Perusahaan ini adalah hasil penyatuan produksi dan
pengilangan SONJ dengan jaringan pemasaran yang luas kepunyaan Socony Vacuum (Standard of New York, sekarang
menjadi Mobil Oil) di seluruh Asia, Australia dan Afrika Timur.
Dengan terbentuknya perusahaan baru ini dan penemuan dari ladang-ladang baru, pemasangan pipa tambahan
(looping) baru dilakukan dan kilang minyak Sungai Gerong diperbesar kapasitasnya menjadi 40.000 bopd pada tahun
1936 dan menjadi 46.000 bopd mulai tahun 1940.
Caltex di Riau[
Pada tahun 1924, Standard Oil of California (Socal), grup Standard Oil yang lainnya, mengirimkan geologisnya ke
Hindia Belanda. Socal mendirikan anak perusahaan bernama NPPM (Nederlandsche Pasific Petroleum Maatschappij)
pada tahun 1930. Pengeboran pertama mereka lakukan pada tahun 1935 di Blok Sebangga, sekitar 65 km utara Pekan
Baru, Riau dan menghasilkan minyak meskipun tidak terlalu besar. Tahun 1936 NPPM diberi konsesi di daerah Rimba,
dikenal dengan Rokan Block, Sumatra Tengah, yang sebelumnya ditolak oleh SONJ. Pada tahun yg sama, Socal
berpatungan dengan Texaco untuk mengelola sebagai pemilik bersama (joint venture) dengan nama baru, yaitu
California Texas Oil Company (Caltex).
Saat Caltex sedang mempersiapkan pengeboran di Sumur Minas di Siak, Riau, balatentara Jepang datang dan
menduduki Sumatra. Pengeboran minyak dilanjutkan oleh pihak Jepang dan menghasilkan 800 bopd dari sumur
berkedalaman 700m. Setelah Perang Dunia berakhir, para ahli geologi NPPM melakukan pengeboran di Sumur Minas1. Penemuan inilah yang merupakan cikal bakal penguasaan Caltex (dan kemudian Chevron) terhadap cadangan
minyak terbesar di Indonesia saat ini.

Papua (dahulu Nederlands Nieuw Guinea


Pada 1928 Shell telah mulai melakukan survey di Nederlands Nieuw Guinea (sekarang Papua). Pemerintah kolonial
Hindia Belanda menghimbau kepada Shell bersama Stanvac dan Caltex untuk berpatungan mengekplorasi Nieuw
Guinea dan membentuk perusahaan patungan NV Nederlansche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM).
Setelah mencapai kesepakatan pada tahun 1935, pembagian sahamnya menjadi sebagai berikut: Shell dan Stanvac
masing-masing 40%, sedangkan sisanya yang 20% dipegang oleh FarEast Pacific Investment Co. (anak perusahaan
Caltex). Usaha patungan ini selanjutnya dikelola oleh Shell, karena mereka telah melakukan survey sejak tahun 1928.
Pemerintah kolonial waktu itu memberikan hak konsesi khusus selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil
ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele.
Namun dalam melakukan eksplorasi di Nieuw Guinea, NNGPM menghadapi banyak kendala, seperti sulitnya
transportasi, cuaca selalu hujan hampir setiap hari, tenaga kerja yang harus didatangkan dari luar pulau. Perusahaan
pun hanya menemukan ladang yang kecil-kecil, tidak menemukan ladang yang besar sebelum 1942. Mereka terpaksa
harus meninggalkan daerah tanpa menghasilkan produksi yang komersil atas penanaman modal jutaan dollar.
Masa Perang Kemerdekaan RI (1945 - 1949)
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, pejuang-pejuang Indonesia mulai
melakukan pengambilalihan sumber-sumber minyak peninggalan Belanda. Dimulai pada penyerahan lapangan
minyak eks konsesi BPM di Pangkalan Brandan (Sumatra Utara) dari pihak Jepang kepada pihak Indonesia pada
September 1945. Pemerintah RI kemudian membentuk Perusahaan Tambang Minyak Nasional Rakyat Indonesia
(PTMNRI) untuk mengelola. Kemudian ladang-ladang minyak ex Stanvac di Talang Akar dan Stanvac juga diambil alih
oleh pemerintah RI pada tahun 1946, yang segera membentuk Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI).
Karyawan minyak di Cepu mengambil alih kilang dan sumur-sumur di Kawengan dari tangan Jepang, kemudian
mendirikan Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) pada tahun yg sama. Kilang Wonokromo dan ladang
minyak di sekitar Surabaya gagal direbut karena keburu kedatangan pasukan Sekutu, yg diboncengi NICA (Nederlands
Indies Civil Administration), pada September 1945.
Belanda melancarkan Agresi Militer I tahun 1947 dan daerah sasaran utamanya adalah ladang-ladang minyak
tersebut. Itu sebabnya, oleh Belanda agresi ini diberi sandi "Operatie Produkt" karena tujuannya mengamankan
sumber-sumber produksi pengolahan sumber daya alam. Pejuang-pejuang bereaksi dengan membumi hanguskan
sumur-sumur dan kilang di Pangkalan Brandan. Sedangkan sumur-sumur minyak di Riau, Jambi dan Sumatra Selatan
berhasil direbut tanpa perlawanan berarti, karena komando TRI (Tentara Republik Indonesia) di daerah itu masih
lemah.
Ladang-ladang minyak di Sumatra Selatan segera dikembalikan kepada Stanvac dan berhasil mencapai tingkat
produksi tertinggi pasca Perang Dunia II pada tahun 1948. Demikian pula dengan ladang-ladang minyak di Riau dan
Jambi (Sumatra Tengah) yg dikembalikan kepada Caltex, yang segera memproduksi minyak pada tahun 1949. Ladang
minyak Cepu pun demikian, setelah direbut pada Agresi militer I, segera diambil alih pengelolaannya oleh BPM dan
PTMN bubar jalan dengan sendirinya, karena pekerjanya diancam dgn todongan senjata apabila tidak mau bekerja
untuk BPM. NNGPM segera menggarap ladang minyak Klamono di Kepala Burung Papua dan pada tahun 1948 sudah
berhasil memproduksi hingga 4000 bopd.
Pasca KMB 1949 s/d Sistem Kontrak Karya 1967
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, Belanda pada 27
Desember 1949, Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat, dan kemudian kembali menjadi RI) tetap memberikan
hak pengelolaan sumur-sumur minyak kepada pengelola lamanya, seperti BPM, Caltex, Stanvac, Shell dll. Pada tahun
1951 PTMN diambil alih oleh pemerintah RI dan diubah namanya menjadi PN Permigan (Perusahaan Minyak dan Gas
Negara).
Tahun 1952 ladang minyak Minas yang dikelola Caltex mulai mengekspor minyak ke luar negeri. Tahun 1954
Pemerintah RI mengambil alih PTMRI dan mengubahnya jadi PTMSU (Perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara).

Kolonel dr. Ibnu Sutowo, Direktur Utama PN Permina (1957-1967) & Direktur Utama Pertamina (1967 - 1976)

Pada 30 Oktober 1957, seiring nasionalisasi perusahaan2 asing, KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Jenderal Abdul
Harris Nasution, selaku penguasa perang pusat (Pepera) menugaskan Kolonel dr. Ibnu Sutowo untuk membentuk
perusahaan minyak negara. Pda tanggal 10 Desember 1957 terbentuklah Perusahaan Tambang Minyak Negara
(PERMINA) berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI no. JA.5/32/11 tertanggal 3 April 1958. Ibnu Sutowo
ditunjuk sebagai Direktur Utamanya. Pada 30 Juni 1958, Permina mulai mengekspor minyak mentah untuk pertama
kalinya, dan pada bulan Agustus melakukan pengiriman ekspor keduanya. Permina menjalin kerja sama dengan
perusahaan minyak Jepang NOSODECO, dimana Permina mendapat pinjaman modal yang dibayarkan dengan minyak
mentah. Permina membuka kantor perwakilannya di Tokyo. Tahun 1960, PT Permina berubah status menjadi
Perusahaan Negara (atau Badan Usaha Milik Negara, sekarang disingkat BUMN) dgn nama PN Permina.
Tahun 1959 NIAM (Nederlandsche Indische Aardoil Maatschappij) resmi diambilalih pemerintah RI dan diubah
namanya menjadi PN Permindo (Perusahaan Minyak Nasional Indonesia). BPM/Shell memulai proyek di Tanjung,
Kalimantan Selatan pada tahun yg sama. Tahun 1960 BPM di Indonesia dilikuidasi dan dibentuklah PT Shell Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) No. 44 tahun 1960, tertanggal 26 Oktober 1960,
seluruh konsesi minyak di Indonesia harus dikelola oleh kepada negara. Permindo memulai kegiatan komersialnya
dalam bentuk perusahaan milik negara, meskipun sebenarnya yg mengelola tetaplah Shell!
Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan sistem kontrak karya. Pemerintah
mengambil alih saham di Permindo-Shell, kemudian Permindo dilikuidasi dan dibentuklah PN PERTAMIN (Perusahaan
Tambang Minyak Negara). Melalui Peraturan Pemerintah No. 198/1961, perusahaan tersebut resmi menjadi
Perusahaan Negara (BUMN).
Tahun 1962 Indonesia resmi bergabung dgn OPEC (Organisation of Petroleum Exporting Countries, organisasi negaranegara pengekspor minyak). Sebagai tindak lanjut pengambilalihan Irian Barat melalui perjanjian New York 1963,
pemerintah melalui PN Permina membeli seluruh saham NNGPM pada tahun 1964. Pada tahun yg sama, SPCO
diserahkan kepada PN Permina.
Tahun 1965 menjadi momen penting karena menjadi sejarah baru dalam perkembangan industri perminyakan
Indonesia dengan dibelinya seluruh kekayaan BPM-Shell Indonesia oleh PN Permina dengan nilai US$ 110 juta.
Berdasarkan SK Menteri Pertambangan No. 124/M/MIGAS tertanggal 24 Maret 1966, Permina dibagi menjadi 5 Unit
Operasi Produksi Regional dengan kantor pusat di Jakarta.
Pada tahun 1967 mulai diperkenalkan sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC), yang menyatakan
bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi PN Permina dan PN Pertamin. Perusahaan minyak asing
hanya bisa beroperasi sebagai kontraktor dengan sistem bagi hasil produksi minyak, bukan lagi dengan membayar
royalty. Sejak saat itulah, eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat maupun di laut oleh PN Pertamin dan PN
Permina bersama dengan kontraktor asing.
Pendirian PERTAMINA
Berdasarkan PP No. 27/1968 tertanggal 20 Agustus 1968 PN Permina dan PN Pertamin dimerger menjadi satu
perusahaan bernama PN PERTAMINA (Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Nasional). Di tahun 1969
ditemukan lapangan minyak lepas pantai yang diberi nama lapangan Arjuna di dekat Pamanukan, Jawa Barat. Tidak
lama setelah itu ditemukan lapangan minyak Jatibarang. Dengan bergulirnya UU No. 8 Tahun 1971, sebutan
perusahaan menjadi PERTAMINA. Sebutan ini tetap dipakai setelah PERTAMINA berubah status hukumnya menjadi
PT PERTAMINA (PERSERO) pada tanggal 17 September 2003 berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi tertanggal 23 November 2001.

Peluan Investasi Minyak dan Gas Bumi di Indonesia

Di Asia bagian tenggara, Indonesia dikaruniai sumber daya alam melimpah. Sumber daya minyak dan gas yang
diperkirakan mencapai 87,22 milliar barel dan 594,43 TSCF tersebar di Indonesia, menjadikan Indonesia tujuan
Investasi yang menarik pada sektor minyak dan gas bumi.
Dinamika Industri Minyak dan Gas Bumi yang sudah berlangsung sejak lama, menjadikan Indonesia lebih matang
dalam mengembangkan kontrak dan kebijakan yang ada untuk mendukung investasi. Dukungan peraturan, insentif
dan penghormatan terhadap kontrak yang ada adalah usaha pemerintah Indonesia untuk menjamin
keberlangsungan Investasi di Indonesia.
peluang investasi pengembangan industri migas di Indonesia, baik di bidang hulu maupun hilir di masa mendatang
masih sangat menjanjikan. Secara geologi, Indonesia masih mempunyai potensi ketersediaan hidrokarbon yang
cukup besar. Rencana pemerintah dalam mempertahankan produksi minyak bumi pada tingkat 1 juta barel per hari,
tentu akan memberikan peluang investasi yang besar di sektor hulu migas.
Potensi sumber daya migas nasional saat ini masih cukup besar, terakumulasi dalam 60 cekungan sedimen (basin)
yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dari 60 cekungan tersebut, 38 cekungan sudah dilakukan
kegiatan eksplorasi dan sisanya sama sekali belum dilakukan eksplorasi. Dari cekungan yang telah dieksplorasi, 16
cekungan sudah memproduksi hidrokarbon, 9 cekungan belum diproduksi walaupun telah diketemukan kandungan
hidrokarbon, sedangkan 15 cekungan sisanya belum diketemukan kandungan hidrokarbon. Kondisi di atas
menunjukkan bahwa peluang kegiatan eksplorasi di Indonesia masih terbuka lebar, terutama dari 22 cekungan yang
belum pernah dilakukan kegiatan eksplorasi dan sebagian besar berlokasi di laut dalam (deep sea) terutama di
Indonesia bagian Timur.

Lokasi dan Status Cekungan Sedimen


Status Cekungan / Basin

Indonesia Barat

Indonesia Timur

Sudah Beroperasi

Sumatera Utara

Seram

Sumatera Tengah

Salawati

Sumatera Selatan

Bintuni

Sunda

Bone

Bagian Utara Jawa Barat


Bagian Utara jawa Timur
Laut Bagian Utara Jawa Timur
Natuna Barat
Tarakan
Kutai
Barito
Sub Total

11

Sudah Dibor Belum Produksi

Sibolga

Banggai

Natuna Timur

Sula

Bengkulu

Blak

Pati

Timor

Sub Total

Sudah Dibor

Biliton

Akimegah - Sahul

Jawa Selatan

Buton - Sawu

Melawai

Manui - Spermonde

Asem-asem

Makasar Selatan - Waipoga


Missol - Lairing
Palung Aru

Sub Total

11

Belum Dieksplorasi

Pambuang

Lombok Bali - Sula Selatan

Ketungau

Flores - Buru
Gorontalo - Buru Barat
Salabangka - Halmahera Utara
Weber Barat - Halmahera Timur
Halmahera Selatan - Halmahera Selatan
Weber - Obi Utara
Waropen - Obi Selatan
Tiukang Besi - Seram Selatan
Tanimbar - Jayapura

Sub Total

20

TOTAL

ENERGI FOSIL

SUMBER DAYA

CADANGAN

PRODUKSI

RASIO C/P

MINYAK BUMI

87,22 miliar barel

7,76 miliar barel

346 juta barel

22

GAS BUMI

594,43 TSCF

157,14 TSCF

2,90 TSCF

54

CBM

453 TSCF

Dari 60 cekungan sedimen yang berpotensi mengandung hidrokarbon, 22 cekungan sedimen sama sekali belum
pernah dilakukan kegiatan pengeboran eksplorasi. Ditinjau dari rasio penemuan cadangan, Indonesia termasuk
wilayah yang cukup menjanjikan dibanding negara-negara di Asia Tenggara, yaitu mencapai rata-rata sekitar 30%.
Faktor keberhasilan (Success Ratio) dari kegiatan eksplorasi, termasuk deliniasi rata-rata mencapai 38%, sedangkan
keberhasilan untuk sumur taruhan (wild cat) rata-rata lebih tinggi dari 10%.

Sebagian besar lokasi cekungan yang menarik untuk pengembangan blok baru tersebut terletak di kawasan Timur
Indonesia dan berlokasi di offshore. Diantara lokasi cekungan sedimen tersebut adalah di sekitar pulau Sulawesi
Offshore, Nusa Tenggara Offshore, Halmahera dan Maluku, serta Papua Offshore. Disamping rasio penemuan yang
kompetitif, biaya penemuan (Finding ) Cost untuk cekungan di kawasan yang sebagian besar berlokasi di offshore,
juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain di Asia Tenggara.
Dengan rata-rata biaya penemuan migas yang rendah, berdampak pada resiko investasi terutama untuk modal awal
yang besar pada lokasi offshore. Dengan kondisi-kondisi diatas, Indonesia bisa dibilang sebagai wilayah yang sangat
menjanjikan bagi investasi migas. Sampai dengan akhir tahun 2010 status Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)
berjumlah 246 KKKS.
Produksi Minyak Bumi
Produksi minyak bumi dan kondensat pada tahun 2010 mencapai 346,38 ribu barrel dengan produksi harian sebesar
944,9 ribu bph, mengalami penurunan sebesar 3.900 bph dibandingkan produksi minyak bumi dan kondensat tahun
2009 sebesar 948,8 ribu bph. Penurunan produksi tersebut disebabkan antara lain karena mundurnya jadwal
produksi awal beberapa KKKS, penurunan produksi alamiah, dan permasalahan teknis operasional.
Produksi Gas Bumi
Produksi gas bumi pada tahun 2010 sebesar 9.336 MMSCFD , mengalami kenaikan sebesar 1.034 MMSCFD dari
8.302 MMSCFD pada tahun 2009. Kenaikan produksi tersebut antara lain karena mulai berproduksinya beberapa
lapangan gas baru dan optimalisasi produks.
Kondisi Pasar Minyak Bumi
Dalam 10 tahun terakhir, konsumsi BBM domestik menunjukkan kenaikan rata-rata sebesar 4,8% per tahun. Dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan membaiknya pertumbuhan ekonomi domestik, pertumbuhan konsumsi BBM
akan terus mengalami kenaikan. Sektor transportasi masih merupakan pengguna terbanyak BBM domestik yaitu
lebih dari 46%, disusul oleh sektor rumah tangga, pembangkit listrik dan sektor industri.
Penyebaran permintaan akan BBM domestic mengikuti pola penyebaran penduduk dan kegiatan ekonominya,
wilayah Jawa-Bali masih mendominasi yaitu sekitar 62%, Sumatera (20%) dan sisanya diserap oleh pasar Indonesia
Tengah dan Timur. Penyediaan BBM dalam negeri sebagian besar masih diperoleh dari kilang dalam negeri yaitu
sekitar 67 %, sedangkan 33 % sisanya diperoleh dari pasar impor. Kapasitas kilang dalam negeri saat ini 1,157 juta
barel per hari dengan produksi BBM mencapai 40,42 juta kiloliter atau meningkat sebesar 1,07% dari 39,99 juta
kiloliter pada tahun sebelumnya.
Perkembangan permintaan Gas Bumi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa semakin meningkat guna memenuhi
kebutuhan industry dan pembangkit listrik. Pada tahun 2020 diperkirakan permintaan gas akan mencapai 10,7 TCF
(skenario rendah) atau 12 TCF (skenario tinggi).
Dari sisi pasokan, cadangan gas Indonesia diperkirakan masih cukup untuk 50 tahun ke depan apabila dilihat dari
rasio cadangan terhadap produksi (Reserve to Production ). Sebagian cadangan gas Indonesia terletak di luar Pulau
Jawa, yaitu di Natuna (51,46 TCF), Kalimantan Timur (18,33 TCF), Sumatera Selatan (17,90 TCF), dan Papua (24,32
TCF).
Untuk memudahkan pelayanan Investasi, Ditjen Migas telah membuka Investment Center atau Pelayanan
Investasi Terpadu di gedung Plaza Migas Lt. 1, Jl. H.R. Rasuna Said Kav. B-5 Jakarta Selatan. Di ruang pelayanan
investasi ini telah disediakan pelayanan perizinan baik untuk hulu, hilir maupun penunjang. Juga disediakan formulir
dan persyaratan yang harus dipenuhi. (SF)

Pembentukan Minyak Bumi


Minyak bumi (bahasa Inggris: petroleum, dari bahasa Latin: petrus ), dijuluki juga sebagai emas hitam adalah cairan
kental, coklat gelap, atau kehijauan yang mudah terbakar, yang berada di lapisan atas dari beberapa area di kerak
bumi. Minyak bumi dan gas alam berasal dari jasad renik lautan, tumbuhan dan hewan yang mati sekitar 150 juta
tahun yang lalu. Sisa-sisa organisme tersebut mengendap di dasar lautan, kemudian ditutupi oleh lumpur. Lapisan
lumpur tersebut lambat laun berubah menjadi batuan karena pengaruh tekanan lapisan di atasnya. Sementara itu,
dengan meningkatnya tekanan dan suhu, bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik tersebut dan
mengubahnya menjadi minyak dan gas.
Abu-abu adalah pasir
Biru adalah air
Hitam adalah minyak
Proses pembentukan minyak bumi dan gas ini memakan waktu jutaan tahun. Minyak dan gas yang terbentuk meresap
dalam batuan yang berpori seperti air dalam batu karang. Minyak dan gas dapat pula bermigrasi dari suatu daerah ke
daerah lain,
kemudian terkosentrasi jika terhalang oleh lapisan yang kedap. Walaupun minyak bumi dan gas alam terbentuk di
dasar lautan, banyak sumber minyak bumi yang terdapat di daratan. Hal ini terjadi karena pergerakan kulit bumi,
sehingga sebagian lautan menjadi daratan.
Ada tiga macam teori yang menjelaskan proses terbentuknya minyak dan gas bumi. Teori pertama adalah teori
biogenetik atau lebih di kenal dengan teori organik. Yang kedua adalah teori anorganik, sedangkan yang ketiga adalah
teori duplex yang merupakan perpaduan dari kedua teori sebelumnya. Teori duplex yang banyak di terima oleh
kalangan luas menjelaskan bahwa minyak dan gas bumi berasal dari berbagai jenis organisme laut baik hewani
maupun nabati.
Di perkirakan bahwa minyak bumi berasal dari materi hewani dan gas bumi berasal dari materi nabati. Yang jelas
minyak dan gas bumi terdiri dari senyawa kompleks yang unsur utamanya adalah karbon (C) dan unsur hidrogen (H).
secara sederhana senyawa ini dapat ditulis dengan rumus kimia CXHY , sehingga sering di sebut sebagai senyawa
hidrokarbon.
Pada zaman purba, di darat dan di laut hidup beraneka ragam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Binatang serta
tumbuh-tumbuhan yang mati ataupun punah itu akhirnya tertimbun di bawah endapan Lumpur. Endapan Lumpur ini
kemudian di hanyutkan oleh arus sungai menuju lautan, bersama bahan organik lainnya dari daratan.
Akibat pengaruh waktu, temperatur tinggi dan tekanan beban lapisan batuan di atasnya binatang serta tumbuhtumbuhan yang mati tadi berubah menjadi bintik-bintik dan gelembung minyak atau gas.
Akibat pengaruh yang sama, maka endapan Lumpur berubah menjadi batuan sediment. Batuan lunak yang berasal
dari Lumpur yang mengandung bintik-bintik minyak dikenal sebagai batuan induk. Selanjutnya minyak dan gas ini
akan bermigrasi menuju tempat yang bertekanan lebih rendah dan akhirnya terakumulasi di tempat yang di sebut
perangkap (trap).
Suatu perangkap dapat mengandung:
Minyak, gas, dan air
Minyak dan air
Gas dan air

Karena perbedaan berat jenis, apabila ketiga-tiganya berada dalam suatu perangkap dan berada dalam keadaan
stabil, gas senantiasa berada di atas, minyak di tengah dan air di bagian bawah. Gas yang terdapat bersama-sama
minyak bumi di sebut associated gas sedangkan yang terdapat sendiri dalam suatu perangkap disebut non-associated
gas.

Dalam proses pembentukan minyak bumi diperlukan waktu yang masih belum bisa di tentukan sehingga mengenai
hal ini masih terdapat pendapat yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan ribuan tahun, ada yang mengatakan
jutaan tahun bahkan ada yang mengatakan lebih dari itu (anonim, 2008).

Anda mungkin juga menyukai