Distosia Bahu
Pembimbing:
dr. Made Bagus Dwi Aryana, Sp.OG(K)
Disusun oleh:
Jevon Indra Susanto 1902611039
Dewa Ayu Devi Anjaswari Putera 1902611032
Anak Agung Bintang Astridwiyanti 1902611036
Distosia Bahu
Pembimbing:
dr. Made Bagus Dwi Aryana, Sp.OG(K)
Disusun oleh:
Jevon Indra Susanto 1902611039
Dewa Ayu Devi Anjaswari Putera 1902611032
Anak Agung Bintang Astridwiyanti 1902611036
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat, rahmat, dan karunia-Nya tinjauan pustaka dengan judul "Distosia Bahu"
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tinjauan Pustaka ini dibuat dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM Obstetri dan
Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. dr. T. G. A. Suwardewa, Sp.OG (K), selaku Ketua Departemen/KSM
Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
2. Dr. dr. I. G. N. Harry Wijaya Surya, Sp.OG, selaku Koordinator
Pendidikan Sarjana Departemen/KSM Obstetri dan Ginekologi FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
3. dr. Made Bagus Dwi Aryana, Sp.OG(K), selaku pembimbing laporan
kasus dalam bentuk tinjauan pustaka.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari
sempurna karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki.
Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................3
2.1 Definisi....................................................................................................3
2.2 Epidemiologi...........................................................................................3
2.3 Faktor Risiko...........................................................................................3
2.4 Mekanisme..............................................................................................4
2.5 Diagnosis.................................................................................................5
2.6 Tatalaksana..............................................................................................6
2.7 Komplikasi............................................................................................16
2.8 Prognosis...............................................................................................17
BAB III SIMPULAN........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
berlangsung lama, maka proses persalinan dan kelahiran yang dinanti-nanti dapat
menjadi sebuah mimpi buruk bukan hanya untuk tenaga medis namun juga untuk
keluarga dikarenakan komplikasi-komplikasi yang menyertai, seperti fraktur
tulang, cedera pleksus brakialis, hipoksia, hingga kerusakan permanen pada otak
bayi.1,4
Untuk mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas pada ibu serta janin,
dan untuk mencegah terjadinya tuntutan kepada tenaga medis yang memimpin
persalinan, sebuah pemahaman dan tatalaksana distosia bahu wajib dikuasai oleh
para tenaga kesehatan yang akan memimpin persalinan. Oleh karena alasan-alasan
diataslah penulis menulis tinjauan pustaka tentang distosia bahu.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Distosia berarti persalinan yang sulit yang ditandai dengan persalinan yang
lambat. Distosia perlu dibedakan dengan distosia bahu, distosia bahu adalah suatu
keadaan diperlukannya tambahan manuver obstetrik oleh karena dengan tarikan
biasa ke arah belakang pada kepala bayi tidak berhasii untuk melahirkan bayi.
Pada persalinan dengan presentasi kepala, setelah kepala lahir bahu tidak dapat
dilahirkan dengan cara pertolongan biasa dan tidak didapatkan sebab lain dari
kesulitan tersebut.4 Definisi lain dari distosia bahu adalah suatu keadaan
diperlukannya tambahan manuver obstetrik karena dengan tarikan biasa ke arah
belakang pada kepala bayi tidak berhasil untuk melahirkan bayi.4
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) menyebutkan bahwa
distosia bahu didefinisikan sebagai kegagalan lahirnya bahu dengan dorongan ibu
dan traksi kepala janin yang adekuat.3
2.2 Epidemiologi
Insidensi dari distosia bahu sangat sulit untuk ditentukan karena
keberagaman definisi distosia bahu yang dipakai saat praktik, dan jarangnya
dokumentasi akan komplikasi tersebut. Perkiraan insidensi berada antara 0,1
hingga 2% kelahiran pervaginam.2,4 Apabila distosia bahu didefinisikan sebagai
jarak waktu antara lahirnya kepala dengan lahirnya badan bayi lebih dari 60 detik,
maka insidensinya menjadi 11%.4 Terdapat bukti bahwa insidensi distosia
semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir, yang dikaitkan dengan berat
badan janin yang menigkat pula.7
3
ukuran kepalanya. Pada bayi makrosomia, perbedaan ukuran tersebut lebih besar
dibanding bayi tanpa makrosomia, sehingga bayi makrosomia lebih berisiko.
Dengan demikian, kewaspadaan terjadinya distosia bahu diperlukan pada setiap
penolongan persalinan dan semakin penting bila terdapat faktor-faktor yang
meningkatkan risiko makrosomia. Adanya DOPE (diabetes, obesity, prolonged
pregnancy, excessive fetal size or matetnal weigbt gain) akan meningkatkan risiko
kejadian. Keadaan intrapartum yang banyak dilaporkan berhubungan dengan
kejadian distosia bahu adalah kala I lama, partus macet, kala II lama, stimulasi
oksitosin, dan persalinan vaginal dengan tindakan. Meskipun demikian, perlu
disadari bahwa sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diprediksi dengan
tepat sebelumnya.8,9,10
2.4 Mekanisme
Pada mekanisme persalinan normal, ketika kepala dilahirkan maka bahu
memasuki panggul dalam posisi oblik. Bahu posterior memasuki panggul lebih
dahulu sebelum bahu anterior. Ketika kepala melakukan putaran paksi luar, bahu
posterior berada di cekungan tulang sakrum atau di sekitar spina ischiadika, dan
memberikan ruang yang cukup bagi bahu anterior untuk memasuki panggul
melalui belakang tulang pubis atau berotasi dari foramen obturator.4
Apabila bahu berada dalam posisi antero-posterior ketika hendak
memasuki pintu atas panggul, maka bahu posterior dapat tertahan promontorium
dan bahu anterior tertahan tulang pubis. Dalam keadaan demikian kepala yang
sudah dilahirkan akan tidak dapat melakukan putar paksi luar, dan tertahan akibat
adanya tarikan yang terjadi antara bahu posterior dengan kepala (turtle sign).4
4
Gambar 2.1.
Mekanisme utama distosia bahu.6
2.5 Diagnosis
Berbeda dengan diagnosis penyakit pada umumnya, distosia bahu hanya
dapat ditegakkan dalam proses persalinan. Anamnesis dapat membantu dalam
mengidentifikasi faktor-faktor risiko, namun pada banyak kasus distosia bahu
sering terjadi tanpa bisa diprediksi, kondisi ini banyak terjadi pada ibu tanpa
faktor risiko atau bayi berukuran kecil. Ibu dengan risiko tinggi atau bayi
markosimia dapat pula menjalani persalinan normal tanpa distosia bahu.11
Distosia bahu dapat ditegakkan melalui tanda klinis yang dijumpai saat proses
persalinan berlangsung, meliputi :1,4
- Tubuh bayi yang tidak muncul setelah ibu meneran dengan baik dan traksi
yang cukup untuk melahirkan tubuh setelah kepala bayi lahir.
- Turtle sign, yaitu ketika kepala bayi yang sudah keluar dari vagina kembali
tertarik ke perineum ibu. Disebut turtle sign dikarenakan seperti kura-kura
yang menarik kepala kembali ke cangkangnya, sehingga pipi bayi tanpa
menonjol keluar. Hal ini terjadi dikarenakakn bahu depan bayi
terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga menghambat lahirnya tubuh
bayi.
- Kepala bayi telah lahir, tetapi tetap menekan vulva dengan kencang.
5
- Traksi pada kepala bayi tidak berhasil melahirkan bahu yang tetap berada
di kranial simfisis pubis.
Gambar 2.2
Turtle Sign pada distosia bahu.12
2.6 Tatalaksana
Distosia bahu termasuk dalam kegawatdaruratan obstetri, sehingga
dibutuhkan tindakan segera, serta keterampilan, dan kemampuan teknik persalinan
yang tepat untuk menghindari morbiditas dan mortalitas perinatal. Distosia bahu
yang kejadiannya tidak dapat diprediksi, baik pada pasien dengan risiko tinggi
maupun pada pasien tanpa risiko, tenaga kesehatan tetap harus waspada dan siap
dengan sistem penanganan distosia bahu.11 Terdapat beberapa rekomendasi untuk
tatalaksana distosia bahu:
6
Gambar 2.3. Algoritma penanganan distosia bahu (RCOG).13
7
keberhasilan 90%. Manuver ini juga paling minimal invasif dengan
komplikasi yang rendah. Manuver ini dilakukan dengan cara fleksi dan
abduksi tungkai, memposisikan paha ibu sedekat mungkin dengan
abdomen. Hal ini akan memperlebar sudut lumbosakral, merotasi pelvis ke
arah sefalik, dan promontorium mendatar sehingga menambah diameter
anterior-posterior relatif pada pelvis, sehingga bahu anterior akan terbebas
dari simfisis pubis dan bahu posterior akan turun melewati sakrum.13
8
Gambar 2.5. Manuver McRoberts dan tekanan suprapubik (Rubin I) secara
bersamaan.14
9
mendorong bahu kearah dada sehingga terjadi adduksi. Apabila manuver
ini tidak berhasil, dapat dilakukan manuver Woods Corkscrew yaitu
manuver Rubin II ditambah dua jari dari tangan yang lain yang juga
dimasukkan ke vagina dan ditempatkan di sisi anterior bahu posterior dan
mendorong bahu posterior ke arah anterior, searah dengan dorongan pada
bahu anterior pada Rubin II sehingga fetus berubah aksisnya menjadi
diagonal. Tarikan lembut pada kepala tetap dilakukan dan dapat dibantu
dengan manuver McRoberts.
10
2.6.1.5 Deliver Posterior Arm / Manuver Jacquemier
Tujuan manuver ini adalah untuk mengeluarkan lengan posterior
terlebih dahulu, dimana pada kebanyakan kasus memerlukan tindakan
episiotomi karena tangan penolong harus masuk ke dalam vagina dan
mencari lengan posterior fetus. Ketika lengan posterior telah ditemukan,
lengan difleksikan dengan cara menyentuh sisi ventral siku, kemudian
lengan dikeluarkan dari sisi anterior fetus dengan cara menyapu sisi dada
dan wajah fetus. Persalinan lengan posterior ini berkaitan dengan fraktur
humerus dengan insidensi 2 hingga 12.7%, oleh karena itu memegang dan
menarik langsung lengan fetus tidak boleh dilakukan.13
11
Gambar 2.8. Manuver Gaskin.12
12
Gambar 2.9. Manuver Zavanelli.12
2. Kleidotomi
Kleidotomi berarti memotong klavikula bayi dengan gunting atau beda
tajam, biasanya dilakukan pada janin yang telah meninggal.
13
3. Simfisiotomi
Merupakan tindakan untuk memisahkan tulang panggul kiri dari tulang
panggul kanan pada simfisis agar rongga panggul menjadi lebih luas.
Namun teknik ini berkaitan dengan morbiditas ibu yang tinggi dan klinis
neonatal yang buruk. Oleh karena itu, kedua hal tersebut sebaiknya
dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.
14
Rotation of posterior soldier. (Manuver Wood)
Manual removal of posterior arm. (Pengeluaran bahu posterior secara manual)
Episiotomy. (Episiotomi)
Roll over. (Manuver Gaskin)
15
Gambar 2.12. Shoulder Shrug Maneuver.16
2.7 Komplikasi
Kegagalan melahirkan bahu secara spontan dapat mengakibatkan cacat
permanen baik pada ibu maupun janin dengan resiko tinggi. Komplikasi tersering
pada ibu adalah perdarahan post-partum diikuti oleh ruptur perineum derajat tiga
dan empat, fistula rekto-vaginal, lepasnya simfisis pubis, dan ruptur uteri. Harus
diperhatikan bahwa manuver lini ketiga seperti manuver Zavanelli dan
simfisiotomi sangat sering mengakibatkan kecacatan pada ibu, sehingga sangat
disarankan untuk dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.11,14
Komplikasi pada fetus yang paling sering terjadi dan berbahaya adalah
trauma pada pleksus brakialis (Erb-Duschennes's: cedera pada saraf tepi C5-C6;
klumpke palsy: cedera pada saraf tepi C8-T1). Walaupun distosia bahu dan
16
penggunaan manuver dalam penatalaksanaan distosia bahu sering dihubungkan
dengan kejadian tersebut, trauma pada pleksus brakialis juga dapat terjadi pada
persalinan pervaginam. Hal ini disebabkan oleh karena peregangan pada saraf
yang berlebihan pada saat persalinan, terutama karena traksi berlebihan pada
kepala dan leher, bahkan terkadang oleh karena tenaga pendorong ibu. Selain itu,
tekanan endogeneous propulsive dari uterus ketika bayi berada pada ostium uteri
eksternum (OUE), kegagalan bahu untuk berputar, kelainan tekanan intrauterin
akibat kelainan pada uterus (fibroid, septum intraunterin, uterus bikornuate) juga
dapat menyebabkan cedera pleksus brakialis 1,4. Sebagian besar kasus cedera
pleksus brakialis dapat pulih dalam 6-12 bulan, namun sekitar 10% kasus distosia
bahu dapat menyebakan kecacatan permanen pada pleksus brakialis.11,12
Komplikasi lain pada fetus diantaranya fraktur klavikula dan humerus,
hipoksia bisa oleh karena tali pusat yang terkompresi pada jalan lahir, kerusakan
neurologis permanen, hingga kematian. Meskipun jarang, kematian perinatal
dilaporkan terjadi pada 0.4-0.5% dari kasus distosia bahu yang terjadi akibat
kerusakan sistem saraf pusat akibat hipoksik akut atau trauma fetus. Distosia
bahu menyebabkan hipoksia dan asidosis akut oleh karena pH arteri yang akan
menurun 0.011 per menit sehingga meningkatkan risiko terjadinya asidosis berat
(pH<7) yang memicu kematian perinatal, sehingga diperlukan tindakan yang
cepat dan tepat untuk mengeluarkan kepala dan tubuh bayi.14
2.8 Prognosis
Dalam penanganan kasus distosia bahu, yang menjadi fokus utama adalah
mengurangi komplikasi baik ringan hingga berat baik terhadap ibu maupun janin.
Keberhasilan dalam penanganan kasus distosia bahu sangat bergantung pada
waktu, keterampilan, dan kemampuan teknik persalinan yang tepat.
Semakin pendek jarak waktu yang dibutuhkan penolong untuk lahirnya
kepala dan tubuh fetus, semakin baik prognosisnya. Interval <5 menit yang
dibutuhkan untuk melahirkan tubuh setelah lahirnya kepala memiliki risiko 5.9%
terjadinya asidosis, sedangkan interval ≥5 menit memiliki risiko sebesar 23.5%
yang memicu terjadinya asidosis berat, hipoksia, dan berujung pada kematian
bayi.14
17
Pada sebagian besar kasus distosia bahu dengan komplikasi cedera pleksus
brakialis akan pulih dalam 6-12 bulan, namun sekitar 10% dapat menyebabkan
kecacatan yang permanen. Komplikasi lain seperti fraktur klavikula dan humerus
dapat saja sembuh tanpa cacat.11,12 Risiko berulang terjadinya distosia bahu
sebesar 10-15% dan lebih tinggi bila distosia bahu sebelumnya disertai dengan
komplikasi yang serius.11
BAB III
SIMPULAN
18
Distosia bahu merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang obstetri
dimana tubuh bayi tidak lahir segera setelah kepala karena terjadi impaksi bahu
bayi terhadap inlet pelvis ibu, sehingga dibutuhkan tindakan yang segera dengan
keterampilan dan kemampuan teknik persalinan yang tepat. Insidensi distosia
bahu sulit ditentukan karena keberagaman definisi yang digunakan, namun
diperkirakan terjadi hingga 11% kelahiran pervaginam. Dalam penanganan kasus
distosia bahu, yang menjadi fokus utama adalah mengurangi komplikasi baik
ringan hingga berat baik terhadap ibu maupun janin. Tatalaksana dari distosia
bahu meliputi manuver-manuver yang dapat dilaksanakan, yang sesuai dengan
rekomendasi dari lembaga-lembaga seperti ACOG dan RCOG. Komplikasi
distosia bahu yang dapat menyebabkan kecacatan permanen bahkan kematian
menjadikan penanganan distosia bahu sebagai penanganan yang seharusnya sudah
dipegang dan dipahami oleh tenaga medis sebagai penolong persalinan.
DAFTAR PUSTAKA
19
1. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Spong CY, Dashe J. Dystocia. In:
Williams’ Obstetrics. McGraw Hill Professional; 2014. p. 455–47.
2. Hill MG, Cohen WR. Shoulder dystocia: prediction and management.
Womens Health (Lond Engl). 2016;12(2):251–61.
3. Menticoglou S. Shoulder dystocia: incidence, mechanisms, and
management strategies. Int J Womens Health. 2018;10:723–32.
4. Prawirohardjo S, Siswishanto R. Distosia Bahu. In: Ilmu Kebidanan. 4th
ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2009. p. 599–605.
5. Dahlke JD, Bhalwal A, Chauhan SP. Obstetric Emergencies: Shoulder
Dystocia and Postpartum Hemorrhage. Obstet Gynecol Clin North Am.
2017 Jun;44(2):231–43.
6. Ayres-de-Campos D. Shoulder Dystocia. In: Obstetric Emergencies.
Springer; 2017. p. 27–40.
7. MacKenzie IZ, Shah M, Lean K, Dutton S, Newdick H, Tucker DE.
Management of shoulder dystocia: trends in incidence and maternal and
neonatal morbidity. Obstet Gynecol. 2007 Nov;110(5):1059–68.
8. Rodis JF. Shoulder dystocia: Risk factors and planning delivery of high-
risk pregnancies. UpToDate; 2018.
9. Tsur A, Sergienko R, Wiznitzer A, Zlotnik A, Sheiner E. Critical analysis
of risk factors for shoulder dystocia. Arch Gynecol Obstet.
2012;285(5):1225–9.
10. Santos P, Hefele JG, Ritter G, Darden J, Firneno C, Hendrich A.
Population-Based Risk Factors for Shoulder Dystocia. J Obstet Gynecol
Neonatal Nurs. 2018;47(1):32–42.
11. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Distosia Bahu. In: Kapita
Selekta Kedokteran. 3rd ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. p. 329–30.
12. Allen RH. On the mechanical aspects of shoulder dystocia and birth injury.
Clin Obstet Gynecol. 2007;50(3):607–23.
13. Jenkins L. Managing shoulder dystocia: Understanding and applying
RCOG guidance. Br J Midwifery. 2014;22(5):318–24.
14. Akbar H, Yudho Prabowo A, Rodiani R. KEHAMILAN ATERM
DENGAN DISTOSIA BAHU. MEDULA, medicalprofession J lampung
20
Univ. 2017;7(4):1–7.
15. Huntley M, Smith JD. Management of shoulder dystocia using the
HELPERR mnemonic. Br J Midwifery [Internet]. 2017 Apr 2;25(4):240–4.
Available from: https://doi.org/10.12968/bjom.2017.25.4.240
16. Windrim R, Ehman W, Carson GD, Kollesh L, Milne K. The ALARM
course: 10 years of continuing professional development in intrapartum
care and risk management in Canada. J Obstet Gynaecol Canada.
2006;28(7):600–2.
17. Gilstrop M, Hoffman MK. An Update on the Acute Management of
Shoulder Dystocia. Clin Obstet Gynecol. 2016 Dec;59(4):813–9.
18. Sancetta R, Khanzada H, Leante R. Shoulder Shrug Maneuver to Facilitate
Delivery During Shoulder Dystocia. Obstet Gynecol. 2019
Jun;133(6):1178–81.
21
1