Capaian Pembelajaran :
Setelah membaca dan mempelajari bab ini, mahasiswa maupun pembaca
akan dapat menjelaskan definisi/pengertian posisi vertikal, menyebutkan metoda
pengukuran beda tinggi dan penentuan posisi vertikal, mengetahui rumus dasar
perhitungan dan prosedurnya. Selain itu juga mengetahui peralatan ukur dan
mampu melaksanakan praktik pengukuran beda tinggi.
30 30
4.2. BEDA TINGGI
Pengertian beda tinggi antara 2 (dua) titik di permukaan bumi adalah
jarak terpendek antara 2 (dua) bidang nivo yang melintasi kedua titik tersebut.
Secara teoritis, bidang nivo adalah suatu bidang dimana pada tiap titiknya dilalui
garis yang tegak lurus terhadap arah gaya berat.
Karena arah-arah gaya berat menuju pusat bumi, maka bidang nivo tersebut
merupakan bidang yang melengkung, tertutup melingkupi bumi dan antara bidang
nivo yang satu dengan yang lain saling tidak berpotongan serta tidak sejajar.
Perlu diketahui bahwa jumlah bidang nivo yang melingkupi bumi itu
banyak sekali (tak terhingga), dan salah satu diantaranya ditetapkan sebagai
bidang referensi tinggi dan sangat penting artinya untuk keperluan Ilmu Geodesi,
termasuk Ukur Tanah, yaitu bidang nivo yang berimpit dengan ketinggian muka
laut rata-rata (tanpa gangguan) yang disebut GEOID.
GEOID merupakan bidang yang dijadikan (didefinisikan) sebagai refrensi
ketinggian secara global (Internasional) dalam hitungan elevasi titik dalam ilmu
Geodesi, termasuk Ukur Tanah.
Bidang refrensi atau bidang DATUM tersebut adalah suatu bidang nivo tertentu
dimana ketinggian/elevasi titik-titik mulai dihitung atau sebagai bidang awal
dengan ketinggian NOL.
31
4.3. KONSEP DASAR PENENTUAN TINGGI SUATU TITIK
Misalkan, antara dua titik A dan B diketahui (diukur) beda tingginya
sebesar ∆h sedangkan tinggi A telah diketahui elevasinya yaitu HA, maka
elevasi/tinggi titik B dapat dihitung dengan rumus dasar sebagai berikut:
H B =H A + ∆ h
Apabila nilai ∆ h > 0, maka tinggi B lebih tinggi daripada titik A
Apabila nilai ∆ h < 0, maka tinggi B lebih rendah daripada titik A
Apabila nilai ∆ h = 0, maka tinggi B sama tinggi dengan titik A
Contoh :
Diketahui titik A dengan ketinggian 400,000 meter
Hasil pengukuran beda tinggi antara A dan B : ∆hAB = + 2,345 meter, antara A dan
C : ∆hAC = – 5,250 meter.
Hitung ketinggian titik B dan C, berapa beda tinggi B dan C
Penyelesaian :
Titik-titik B : HB = HA + ∆ h AB
= 400,000 + 2,345
= + 402,345 meter
Titik-titik C : HC = HA + ∆ h AC
= 400,000 + (– 5,250)
= + 394,750 meter
Beda tinggi antara B dan C
∆ hBC =∆ hBA + ∆ h AC
¿−∆ h AB + ∆ H AC
¿−2,345+ (−5,250 )
¿−7,595 meter
atau
∆ hBC =H C −H B
= 394, 750 - 402,345
= −7,595 meter
32
4.4. PRINSIP PENENTUAN BEDA TINGGI
Seperti yang telah dibicarakan pada bab sebelumnya, dalam pembahasan
Ukur Tanah dimana luas daerah yang diukur relatif kecil, maka bagian permukaan
bumi itu dianggap datar.
Pernyataan bumi dianggap datar tersebut diartikan/digambarkan perubahan
penyedanaan bidang nivo, dari bentuk melengkung menjadi datar.
B
∆hAB
HB
A Bidang Nivo A
HA
33
Garis mendatar tersebut, dalam praktiknya merupakan garis bidik dari
suatu teropong alat ukut tanah dan diposisikan mendatar. Dengan bantuan
garis bidik, inilah dapat ditentukan angka pembacaan a dan b pada mistar/rambu.
34
1. lingkaran horisontal berskala
10
7. sekrup pengukit 11
9
8. sekrup pendatar
1 2
9. obyektif teropong
8
10. nivo tabung 6
12
11. nivo kotak
Gambar 4.4. Alat Waterpass
12. kepala kaki tiga
Syarat alat ukur Waterpas untuk pengukuran sipat datar, sehingga dapat
digunakan untuk mengukur secara benar.
1. Garis bidik sejajar garis arah nivo
2. Garis arah nivo tegak lurus sembu 1 (satu)
3. Benang diafragma tegak lurus sumbu 1 (satu)
Ada beberapa ketentuan/persyaratan dalam melakukan pengukuran beda
ketinggian dengan metode sipat datar, yaitu:
35
1. Sebelum melakukan pengukuran perlu pengecekan garis bidik dari alat sipat
datar yang digunakan, dan dicek kembali setelah selesai pengukuran.
2. Penempatan alat sipat datar harus dipasang pada tanah keras dan cukup stabil
3. Pembacaan selalu didahulukan kerambu belakang baru kemudian rambu muka
4. Jarak antara alat ukur dan rambu ukur < 50 m
5. Saat pembidikan, yang dibaca angka rambu tepat pada ketiga benang
diafragma lensa okuler, yaitu:
BA (Benang Atas),
BT (Benang Tengah) dan
BB (Benang Bawah).
6. Sebaiknya rambu dilengkapi dengan nivo kotak dan dipasang tegak/stabil
(tidak goyah) dan juga pemasangan:/penempatan rambu diatas tatakan rambu.
7. Jika jalur sipat datar cukup jauh dan tidak dapat diseleaikan dalam sehari, maka
harus dibagi dalam beberapa seksi pengukuran.
Tiap seksi pengukuran harus selesai dalam satu hari dan dibagi dalam beberapa
slag (tempat alat) yang jumlahnya harus genap.
8. Dalam tiap seksi diusahakan jumlah jarak belakang = jumlah jarak muka.
9. Setiap pindah slag, rambu harus diatur sedemikian sehinga rambu belakang
dipindah menjadi rambu muka pada slag berikutnya, begitu seterusnya.
36
Garis Bidik Mendatar
BT
TA
A
∆hAB = TA - BT
HA TGB
B HB
37
B. Cara 2: Alat sipat datar ditempatkan diantara dua stasion (tidak harus segaris).
Dengan cara ini maka tidak perlu mengukur tinggi alat. Rambu ukur
ditegakkan pada titik titik yang akan diukur beda tingginya dan alat waterpas
dipasang diantara kedua rambu tersebut. Posisi alat tidak harus tepat ditengah
maupun segaris dengan kedua rambu, yang terpenting dapat dilakukan pembacaan
angka rambu dari posisi alat tersebut, sehingga dapat dihitung beda tingginya dan
dapat pula dihitung elevasi, jika salah satu titik itu sudah diketahui elevasinya.
Perhatikan sket gambar berikut:
TGB
B
∆hAB
HB
A
HA
C. Cara 3: Alat sipat datar ditempatkan pada salah satu sisi titik yang diukur.
Dengan cara ini alat ukur tidak ditempatkan pada ataupun diantara titik/
stasion dan tidak perlu mengukur tinggi alat. Rambu ukur ditegakkan pada titik
titik yang akan diukur beda tingginya dan alat waterpas dipasang pada salah satu
38
sisi titiknya (lihat sket gambar), yang terpenting dapat dilakukan pembacaan
angka rambu dari posisi alat tersebut, sehingga dapat dihitung beda tingginya dan
dapat pula dihitung elevasi, jika salah satu titik itu sudah diketahui elevasinya.
Perhatikan sket gambar berikut:
∆hAB B
TGB
A HB
HA
Diantara ketiga cara tersebut di atas, yang paling sering dilaksanakan yaitu
cara kedua, karena akan memberikan hasil relative lebih teliti dibandingkan kedua
cara lainnya. Pada cara pertama, pengukuran TA pada umumnya kurang teliti
dibandingkan dengan pembacaan rambu. Pada cara ketiga, pembacaan a kurang
teliti dibandingkan dengan pembacaan b, karena jarak antara alat ke rambu A
lebih jauh dari pada ke rambu B. Sedangkan pada cara kedua pembacaan a dan b
relative sama teliti yaitu dengan cara menempatkan alat sipat datar di sekitar
tengah-tengah antara stasion A dan B. Disamping itu, dengan cara demikian hasil
ukuran akan bebas dari pengaruh kesalahan-kesalahan garis bidik, refraksi udara
serta kelengkungan bumi.
39
4.5.2 Macam Pengukuran Dengan Waterpas
Ada beberapa macam pengukuran dengan menggunakan alat Waterpas
(Penyipat Datar) tergantung dari tujuannya pengukuran tersebut.
1. Pengukuran sipat datar memanjang (Differential Levelling).
Digunakan apabila jarak antara dua stasion yang akan ditentukan beda
tingginya sangat berjauhan (di luar jangkauan jarak pandang). jarak antara
kedua stasion tersebut dibagi dalam jarak pendek yang disebut seksi atau slag
Jumlah aljabar beda tinggi tiap seksi akan menghasilkan beda tinggi anatar
kedua stasion tersebut .
2. Pengukuran profil memanjang (Profile Levelling / Longitudinal Section)
Digunakan untuk menentukan ketinggian titik-titik sepanjang garis tertentu
atau garis proyek, misalnya profil lapangan sepanjang garis rencana jalan,
rencana saluran irigasi, jalur pipa, dan lain lain.
3. Pengukuran profil melintang (Cross Section)
Digunakan untuk menetukan ketinggian titik-titik sepanjang garis tegak lurus
garis proyek .
4. Pengukuran sipat datar luas.
Digunakan untuk menentukan ketinggian titik-titik yang menyabar dengan
kerapatan tertentu untuk membuat garis-garis ketinggian ( kontur )
5. Pengukuran sipat datar resiprokal (Reciprocal Levelling)
Adalah pengukuran sipat datar dimana alat penyipat datar (waterpas) tidak
dapat ditempatkan antara dua stasion.
Misalnya pengukuran sipat datar menyeberangi sungai / lembah yang lebar .
6. Pengukuran sipat datar teliti (Precise Levelling )
Adalah pengukuran sipat datar yang menggunakan aturan serta perlatan sipat
datar teliti.
Dalam bab ini pendalaman materi lebih difokuskan pada pengukuran
sipat datar memanjang dengan berbagai model dan cara perhitungannya.
40
sepanjang jalur antara titik A dan B dibagi dalam beberapa slag, jarak setiap
slagnya sekitar 75 meter.
Kemudian setiap slag diukur beda tingginya, dengan cara melakukan pembacaan
BA, BT dan BB pada rambu belakang maupun rambu muka.
Prosedur pengukuran seperti digambarkan pada sket di bawah ini.
I II I
RB RM
b2 b4 m4
m2
b1 m1 b3 m3
B
1 3
2
A
Gambar 4.8: Teknik Pengukuran Sipat Datar Memanjang
Keterangan Gambar
A dan B : Titik yang akan diukur beda tingginya.
1, 2 dan 3 : titik bantu (titik putar).
RB : Rambu Belakang.
RM : Rambu Muka.
b1 , b2, b3, b4 : bacaan BT rambu belakang .
m1, m2, m3, m4 : bacaan BT rambu muka
Prinsip hitungannya, bahwa jumlah beda tinggi setiap bagian atau slag dari
titik A hingga B akan memberikan nilai beda tingi antara A dan B.
Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
Beda tinggi tiap bagian/slag : ∆hi = bi – mi
Beda tinggi antara A dan B:
n n n n
∆hAB = ∆hi = ( bi – mi ) = bi - mi
i=1 i=1 i=1 i=1
Elevasi titik B dapat dihitung dengan rumus dasar: HB = HA + ∆hAB
Untuk kontrol pembacaan rambu: BT = ½ ( BA + BB ).
Jarak mendatar optis antara posisi alat dan rambu: D = 100 (BA – BB).
41
Dalam pelaksanaan pengukuran sipat datar memanjang, ditinjau dari
jalurnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
A. Pengukuran jalur terbuka.
B. Pengukuran jalur tertutup.
Pada pengukuran sipat datar memanjang jalur terbuka dibedakan menjadi dua,
yaitu jalur terbuka terikat dan jalur terbuka tidak terikat.
1 3
A 4
2
Elevasi titik-titik yang dilalui jalur tersebut dapat dihitung sebagai berikut :
H 1=H A + ∆ h A 1 Keterangan: ∆ h A 1 : benda tinggi A-1
H 2=H 1 +∆ h12 ∆ h12 : benda tinggi 1-2
H 3=H 2 + ∆ h23 ∆ h23 : benda tinggi 2-3
H 4 =H 3 +∆ h34 ∆ h34 : benda tinggi 3-4
Contoh soal :
Diketahui Elevasi titik A = +550,125 meter, bedatinggi ukuran:
∆ h AB = +0,898 m; ∆ hBC =−1,487 m ; ∆ hCD =1,334 m; ∆ h DE =+1,404 m
Hitunglah ketinggian titik-titik B, C, D, dan E.
Penyelesaian:
Ketinggian B : HB = HA + ∆ h AB =550,125 + 0,898 = +551,023 meter
Ketinggian C : HC = HB + ∆ hBC =551,023 + (-1,487) = +549,536 meter
42
Ketinggian D : HD = HC + ∆ hCD =549,536 + 1,334 = +550,870 meter
Ketinggian E : HE = HD + ∆ hDE =550,870 + 1,405 = +552,275 meter
1 3
A
2 B
43
Selanjutnya dapat dihitung elevasi titik sepanjang jalur pengukuran tersebut
dengan nilai koreksi masing masing beda tingginya. Secara umum hitungan
elevasi titik dapat dirumuskan sebagai berikut:
H ( titik )=H ( titik sebelumnya ) +beda tinggi +koreksinya
Elevasi titik 1, 2, 3 dalam contoh inidapat dihitung sebagai berikut :
H 1=H A + ∆ h A 1+ δ h A 1
H 2=H 1 +∆ h12+ δ h12
H 3=H 2 + ∆ h23+ δ h23
H B =H 3 +∆ h3 B +δ h 3 B
Elevasi titik B perlu dihitung juga sebagai kontrol hitungan yang nilainya harus
sama dengan titik B pada data yang diketahui.
Contoh soal:
Pada suatu jalur pengukuran sipat datar (terikat) dari titik A ke titik G.
Diketahui: Tinggi titik A (HA) = 725,405 meter
Tinggi titik G (HG) = 728,901 meter
Data hasil pengukuran sebagai berikut:
Bacaan BENANG TENGAH
JARAK (meter)
No Pada Rambu
Belakang Muka Belakang Muka
A 1,426 42,3
B 0.795 0,528 49,3 50,4
C 1,723 2,282 50,4 48,4
D 2,268 0,389 47,5 60,0
E 1,725 0,864 50,0 47,5
F 1,002 0,430 80,2 50,0
G 0,978 59,8
Penyelesaian:
Hitungan Beda Tinggi = Bacaan BT (belakang) – bacaan BT (muka)
∆ h AB=1,426−0,528=0,898
∆ hBC =0,795−2,282=−1,487
∆ hCD =1,723−0,389=1,334
44
∆ hDE =2,268−0,864=1,404
∆ hEF =1,725−0,430=1,925
∆ hFG =1,002−0,978=0,024
Menghitung jumlah beda tinggi dari titik A sampai titik G:
∑ ∆ h=¿¿ ∆ h AB+ ∆ h BC + ∆ hCD +∆ h DE +∆ h EF + ∆ h FG
∑ ∆ h=3,468
Menghitung kesalahan beda tinggi:
f h=( ∑ ∆ h ) −( H G −H A )
¿ 3,468− (728,901−725,405 )=−0,028
d
Menghitung Nilai koreksi beda tinggi ukuran: δh= (−f h)
∑d
∑ d=d ab +d bc + d cd + d de +d ef +d fg=615,8
d ab d de
δ h1 = (−f h )=0,004 δ h4 = (−f h )=0,004
∑d ∑d
d bc d ef
δ h2= (−f h ) =0,004 δ h5= (−f h ) =0,005
∑d ∑d
d cd d fg
δ h3 = (−f h ) =0,005 δ h6 = (−f h ) =0,006
∑d ∑d
45
Dengan demikian persyaratan geometri yang harus dipenuhi dalam proses data
untuk jalur sipat datar tertutup adalah sebagai berikut:
∑ ∆ h ( ukuran )=0
Misalnya pada suatu jalur pengukuran sipat datar tertutup ABCDA seperti
pada sket dibawah ini (tampak atas), titik A telah diketahui elevasinya yaitu H A,
selanjutnya diukur beda tinggi antar titiknya (sesuai arah panah).
A B
D C
Gambar 4.11: Sket Jalur Pengukuran Sipat Datar Tertutup
46
H A =H D + ∆ h DA +δ hDA
Elevasi titik A perlu dihitung juga sebagai kontrol hitungan yang nilainya harus
sama dengan titik A pada data yang diketahui.
Contoh Soal:
Pada pengukuran sipat datar tertutup PQRSP. diketahui tinggi titik P (H P) =
150,113 meter. Data hasil proses awal ditabelkan sebagai berikut:
47
Perhatikan gambar di bawah.
Apabila sudut m ataupun z dan jarak mendatar D antara titik A dan B
diperoleh dari hasil pengukuran maka, secara geometris beda tinggi dapat dihitung
dengan formula:
Δh = D tan m = D cotg z = D/tan z
∆h
Ga
mbar 4.12: Sket Geometri Beda Tinggi Trigonometeris
Apabila alat Theodolite dipasang pada tripot/statif setinggi TA (tinggi alat
di A) dan target bidik dipasang setinggi TT dari titik B. maka beda tinggi antara
titik A dan B (∆hAB) dapat ditentukan sebagai berikut
∆ h=D cotg z +(TA−TT ) = D/tan z + (TA – TT)
atau
∆ h=D tg m+(TA−TT )
48
TT
∆h
TA
49
= 225,000 cotg 87o 29’45’+ (1,550 – 1,833)
= 225,000 tan (90o - 87o 29’45’) + 1,550 – 1,833
= + 9,557 meter
Elevasi titik P
Apabila digunakan rambu ukur sebagai target bidik di titik B, maka beda
tinggi antara titik A dan B dapat ditentukan sebagai berikut:
∆hAB = 100 (BA – BB) sin z . cos z + (TA – BT)
Contoh Soal :
Diketahui 2 titik di lapangan, A dan B, Theodolite ditempatkan tepat di atas
titik A, dan diukur tinggi alat =150 cm. Target rambu ukur dipasang di titik B
dengan bacaan rambu: BA = 286,0 ; BT = 243,1 ; BB = 200,1 dan sudut zenith
ke target B= 92o 50’ 25”. Jika elevasi A= 250,505 meter, hitunglah elevasi B?
Penyelesaian:
∆hAB = 100 (BA – BB) sin z . cos z + (TA – BT)
= 100 (286,0 – 200,1) sin 92o 50’ 25” . cos 92o 50’ 25” + (150,0 – 243,1)
= – 518,2 cm = – 5, 182 meter
Elevasi titik B : HB = HA + ∆hAB = 250,505 + (– 5, 182)
= 245,323 meter.
4.5.5 Penentuan Beda Tinggi Metoda Barometris
Besarnya tekanan udara di suatu tempat (titik) tergantung dari
ketinggian tempat tersebut. Makin tinggi tempat, makin kecil tekanan udara.
Hubungan antara perbedaan tinggi dan perbedaan tekanan udara adalah
dp
∆ h=−k ∫
p
Dalam hal ini ∆ h=¿ perbedaan tinggi
dp = perubahan tekanan udara
k = konstanta
p = tekanan udara
50
Rumus praktis penentuan beda tinggi antara titik A dan B ditulis sebagai berikut :
T P
∆ h AB=R log B
TS PA
Dalam hal ini
∆ h : beda tinggi dalam satuan meter.
R : Bilangan konstanta (+- 118402,6).
T : Temperatur rata-rata dalam satuan derajat Kelvin.
Ts : Temperatur standart (273oK).
P : Tekanan udara pada titik pengamatan (dalam satuan mm.Hg).
51