Capaian Pembelajaran :
Setelah membaca dan mempelajari bab ini, mahasiswa maupun pembaca
akan dapat menjelaskan definisi/pengertian posisi vertikal, menyebutkan metoda
pengukuran beda tinggi dan penentuan posisi vertikal, mengetahui rumus dasar
perhitungan dan prosedurnya. Selain itu juga mengetahui peralatan ukur dan
mampu melaksanakan praktik pengukuran beda tinggi.
21
21
3.2 BEDA TINGGI
Pengertian beda tinggi antara 2 (dua) titik di permukaan bumi adalah
jarak terpendek antara 2 (dua) bidang nivo yang melintasi kedua titik tersebut.
Secara teoritis, bidang nivo adalah suatu bidang dimana pada tiap titiknya dilalui
garis yang tegak lurus terhadap arah gaya berat.
Karena arah-arah gaya berat menuju pusat bumi, maka bidang nivo tersebut
merupakan bidang yang melengkung, tertutup melingkupi bumi dan antara bidang
nivo yang satu dengan yang lain saling tidak berpotongan serta tidak sejajar.
Perlu diketahui bahwa jumlah bidang nivo yang melingkupi bumi itu
banyak sekali (tak terhingga), dan salah satu diantaranya ditetapkan sebagai
bidang referensi tinggi dan sangat penting artinya untuk keperluan Ilmu Geodesi,
termasuk Ukur Tanah, yaitu bidang nivo yang berimpit dengan ketinggian muka
laut rata-rata (tanpa gangguan) yang disebut GEOID.
GEOID merupakan bidang yang dijadikan (didefinisikan) sebagai refrensi
ketinggian secara global (Internasional) dalam hitungan elevasi titik dalam ilmu
Geodesi, termasuk Ukur Tanah.
Bidang refrensi atau bidang DATUM tersebut adalah suatu bidang nivo tertentu
dimana ketinggian/elevasi titik-titik mulai dihitung atau sebagai bidang awal
dengan ketinggian NOL.
22
3.3 KONSEP DASAR PENENTUAN TINGGI SUATU TITIK
Misalkan, antara dua titik A dan B diketahui (diukur) beda tingginya
sebesar "∆" sedangkan tinggi A telah diketahui elevasinya yaitu HA, maka
elevasi/tinggi titik B dapat dihitung dengan rumus dasar sebagai berikut:
𝑯𝑩 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉
Apabila nilai ∆𝒉 > 0, maka tinggi B lebih tinggi daripada titik A
Apabila nilai ∆𝒉 < 0, maka tinggi B lebih rendah daripada titik A
Apabila nilai ∆𝒉 = 0, maka tinggi B sama tinggi dengan titik A
Contoh :
Diketahui titik A dengan ketinggian 400,000 meter
Hasil pengukuran beda tinggi antara A dan B : ∆hAB = + 2,345 meter, antara A dan
C : ∆hAC = – 5,250 meter.
Hitung ketinggian titik B dan C, berapa beda tinggi B dan C
Penyelesaian :
Titik-titik B : HB = HA + ∆𝐴𝐵
= 400,000 + 2,345
= + 402,345 meter
Titik-titik C : HC = HA + ∆𝐴𝐶
= 400,000 + (– 5,250)
= + 394,750 meter
Beda tinggi antara B dan C
∆𝐵𝐶 = ∆𝐵𝐴 + ∆𝐴𝐶
= −∆𝐴𝐵 + ∆𝐻𝐴𝐶
= −2,345 + −5,250
= −7,595 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
atau
∆𝐵𝐶 = 𝐻𝐶 − 𝐻𝐵
= 394, 750 - 402,345
= −7,595 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
23
3.4 PRINSIP PENENTUAN BEDA TINGGI
Seperti yang telah dibicarakan pada bab sebelumnya, dalam pembahasan
Ukur Tanah dimana luas daerah yang diukur relatif kecil, maka bagian permukaan
bumi itu dianggap datar.
Pernyataan bumi dianggap datar tersebut diartikan/digambarkan perubahan
penyedanaan bidang nivo, dari bentuk melengkung menjadi datar.
B
∆hAB
HB
A Bidang Nivo A
HA
24
Garis mendatar tersebut, dalam praktiknya merupakan garis bidik dari
suatu teropong alat ukut tanah dan diposisikan mendatar. Dengan bantuan
garis bidik, inilah dapat ditentukan angka pembacaan a dan b pada mistar/rambu.
25
1. lingkaran horisontal berskala
10
7. sekrup pengukit 11
9
8. sekrup pendatar
1 2
9. obyektif teropong
8
10. nivo tabung 6
12
11. nivo kotak
Gambar 3.4. Alat Waterpass
12. kepala kaki tiga
26
3. Jarak antara alat ukur dan rambu ukur tidak lebih dari 40 meter (< 40 meter)
4. Pembacaan selalu didahulukan ke rambu belakang, kemudian rambu muka.
5. Saat pembidikan rambu,dibaca angka yang tepat pada ketiga benang diafragma
yaitu: BA (Benang Atas), BT (Benang Tengah) dan BB (Benang Bawah).
6. Rambu ukur dipasang tegak (tidak goyah), sebaiknya rambu dilengkapi dengan
nivo kotak terpasang dan ditegakkan pada tatakan rambu.
7. Jika jalur sipat datar cukup jauh dan tidak dapat diseleaikan dalam sehari, maka
harus dibagi dalam beberapa seksi pengukuran.
Tiap seksi pengukuran harus selesai dalam satu hari dan dibagi dalam beberapa
slag (tempat perpindahan alat) dalam jumlah yang genap.
8. Dalam tiap seksi diusahakan jumlah jarak belakang = jumlah jarak muka.
9. Setiap pindah slag, rambu harus diatur selang seling, dengan rambu belakang
dipindah menjadi rambu muka pada slag berikutnya, begitu seterusnya.
Dalam pelaksanaannya, pengukuran beda tinggi dengan alat penyipat datar
atau waterpas ada 3 macam cara, yaitu:
1. Alat sipat datar ditempatkan pada titik yang diketahui ketinggiannya.
2. Alat sipat datar ditempatkan diantara kedua titik yang akan diukur.
3. Alat sipat datar ditempatkan pada salah satu sisi titik yang akan diukur.
Adapun masing masing cara tersebut dijelaskan berikut ini.
A. Cara 1: Alat sipat datar ditempatkan pada titik yang diketahui ketinggiannya.
Dengan cara ini maka perlu mengukur tinggi alat, untuk mendapatkan
nilai tinggi garis bidik. Apabila pembacaan rambu di titik lain diketahui, maka
tinggi titik yang ditempati rambu tersebut dapat pula dihitung elevasinya.
Perhatikan sket gambar 3.5 ini:
Garis Bidik Mendatar BT
TA
A
∆hAB = TA - BT
HA TGB
B HB
27
Keterangan gambar 3.5:
TA = tinggi alat waterpas di A
TGB = tinggi garis bidik
HA = elevasi/tinggi stasion A
HB = elevasi/tinggi stasion B
b = bacaan Benang Tengah (BT) rambu di B
∆hAB = beda tinggi dari A ke B.
Cara yang demikian ini disebut cara Tinggi Garis Bidik (TGB).
Catatan:
1. TA dapat dianggap hasil pengukuran kebelakang, karena stasion A diketahui
tingginya. Dengan demikian beda tinggi dari A ke B yaitu ∆hAB = TA – b.
Hasil ini menunjukkan bahwa ∆hAB adalah negatip (karena TA b) sesuai
dengan keadaan dimana stasion B lebih rendah dari pada stasion A.
2. Beda tinggi dari B ke A yaitu ∆hBA = b – TA. Hasilnya bertanda positip. Jadi
HA = HB + ∆hBA, dan dapat diketahui titik A lebih tinggi dari pada titik B.
3. Berdasarkan point1 dan 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa ∆hBA = – ∆hAB
B. Cara 2: Alat sipat datar ditempatkan diantara dua stasion (tidak harus segaris).
Dengan cara ini maka tidak perlu mengukur tinggi alat. Rambu ukur
ditegakkan pada titik titik yang akan diukur beda tingginya dan alat waterpas
dipasang diantara kedua rambu tersebut. Posisi alat tidak harus tepat ditengah
maupun segaris dengan kedua rambu, yang terpenting dapat dilakukan pembacaan
angka rambu dari posisi alat tersebut, sehingga dapat dihitung beda tingginya dan
dapat pula dihitung elevasi, jika salah satu titik itu sudah diketahui elevasinya.
Perhatikan sket gambar berikut:
28
BTA Garis Bidik Mendatar BTB
TGB
B
∆hAB
HB
A
HA
∆hAB B
TGB
A HB
HA
29
Perhatikan Gambar 3.7:
∆hAB = BTA – BTB = a – b
∆hBA = BTB – BTA = b – a
Bila elevasi stasion A diketahui, maka: HB = HA + ∆hAB = HA + a – b
Bila elevasi stasion B diketahui, maka: HA = HB + ∆hBA = HB + b – a
Diantara ketiga cara tersebut di atas, yang paling sering dilaksanakan yaitu
cara kedua, karena akan memberikan hasil relative lebih teliti dibandingkan kedua
cara lainnya. Pada cara pertama, pengukuran TA pada umumnya kurang teliti
dibandingkan dengan pembacaan rambu. Pada cara ketiga, pembacaan a kurang
teliti dibandingkan dengan pembacaan b, karena jarak antara alat ke rambu A
lebih jauh dari pada ke rambu B. Sedangkan pada cara kedua pembacaan a dan b
relative sama teliti yaitu dengan cara menempatkan alat sipat datar di sekitar
tengah-tengah antara stasion A dan B. Disamping itu, dengan cara demikian hasil
ukuran akan bebas dari pengaruh kesalahan-kesalahan garis bidik, refraksi udara
serta kelengkungan bumi.
30
4. Pengukuran sipat datar luas.
Digunakan untuk menentukan ketinggian titik-titik yang menyabar dengan
kerapatan tertentu untuk membuat garis-garis ketinggian ( kontur )
5. Pengukuran sipat datar resiprokal (Reciprocal Levelling)
Adalah pengukuran sipat datar dimana alat penyipat datar (waterpas) tidak
dapat ditempatkan antara dua stasion.
Misalnya pengukuran sipat datar menyeberangi sungai / lembah yang lebar .
6. Pengukuran sipat datar teliti (Precise Levelling )
Adalah pengukuran sipat datar yang menggunakan aturan serta perlatan sipat
datar teliti.
Dalam bab ini pendalaman materi lebih difokuskan pada pengukuran
sipat datar memanjang dengan berbagai model dan cara perhitungannya.
I II I
RM
RB
b2 b4 m4
m2
b1 m1 b3 m3
B
1 3
2
A
Gambar 3.8: Teknik pengukuran Sipat Datar memanjang
31
Keterangan gambar 3.8:
A dan B : Titik yang akan diukur beda tingginya.
1, 2 dan 3 : titik bantu (titik putar).
RB : Rambu Belakang.
RM : Rambu Muka.
b1 , b2, b3, b4 : bacaan BT rambu belakang .
m1, m2, m3, m4 : bacaan BT rambu muka
Prinsip hitungannya, bahwa jumlah beda tinggi setiap bagian atau slag dari
titik A hingga B akan memberikan nilai beda tingi antara A dan B.
Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
Beda tinggi tiap bagian/slag: ∆hi = bi – mi
Beda tinggi antara A dan B:
n n n n
∆hAB = ∆hi = ( bi – mi ) = bi - mi
i=1 i=1 i=1 i=1
32
Sket (tampak atas) jalur pengukuran sipat datar.
1 3
A 4
2
Gambar 3.9: Sket jalur pengukuran Sipat Datar tidak terikat
Elevasi titik-titik yang dilalui jalur tersebut dapat dihitung sebagai berikut :
𝐻1 = 𝐻𝐴 + ∆𝐴1 Keterangan: ∆𝐴1 : benda tinggi A-1
𝐻2 = 𝐻1 + ∆12 ∆12 : benda tinggi 1-2
𝐻3 = 𝐻2 + ∆23 ∆23 : benda tinggi 2-3
𝐻4 = 𝐻3 + ∆34 ∆34 : benda tinggi 3-4
Contoh soal :
Diketahui Elevasi titik A = +550,125 meter, bedatinggi ukuran:
∆𝐴𝐵 = +0,898 m; ∆𝐵𝐶 = −1,487 m ; ∆𝐶𝐷 = 1,334 m; ∆𝐷𝐸 = +1,404 m
Hitunglah ketinggian titik-titik B, C, D, dan E.
Penyelesaian:
Ketinggian B : HB = HA + ∆𝐴𝐵 =550,125 + 0,898 = +551,023 meter
Ketinggian C : HC = HB + ∆𝐵𝐶 =551,023 + (-1,487) = +549,536 meter
Ketinggian D : HD = HC + ∆𝐶𝐷 =549,536 + 1,334 = +550,870 meter
Ketinggian E : HE = HD + ∆𝐷𝐸 =550,870 + 1,405 = +552,275 meter
1 3
A 2 B
Gambar 3.10: Sket jalur pengukuran Sipat Datar terikat
33
Hasil pengukuran beda tinggi sepanjang jalur dari A sampai B yang melewati
titik 1,2, dan 3 adalah sebagai berikut: ∆𝐴1 , 12 , ∆23 , ∆3𝐵
Syarat yang harus dipenuhi pada suatu jalur sipat datar terikat :
𝑯 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 − 𝑯 𝒂𝒘𝒂𝒍 = ∆𝒉 (𝒖𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏)
Dalam contoh ini, 𝐻𝐵 − 𝐻𝐴 = ∆𝐴1 , + ∆12 + ∆23 + ∆3𝐵
Contoh soal:
Pada suatu jalur pengukuran sipat datar (terikat) dari titik A ke titik G.
Diketahui: Tinggi titik A (HA) = 725,405 meter
Tinggi titik G (HG) = 728,901 meter
34
Data hasil pengukuran sebagai berikut:
Penyelesaian:
Hitungan Beda Tinggi = Bacaan BT (belakang) – bacaan BT (muka)
∆𝐴𝐵 = 1,426 − 0,528 = 0,898
∆𝐵𝐶 = 0,795 − 2,282 = −1,487
∆𝐶𝐷 = 1,723 − 0,389 = 1,334
∆𝐷𝐸 = 2,268 − 0,864 = 1,404
∆𝐸𝐹 = 1,725 − 0,430 = 1,925
∆𝐹𝐺 = 1,002 − 0,978 = 0,024
Menghitung jumlah beda tinggi dari titik A sampai titik G:
∆𝒉 = ∆𝐴𝐵 + ∆𝐵𝐶 + ∆𝐶𝐷 + ∆𝐷𝐸 + ∆𝐸𝐹 + ∆𝐹𝐺
∆𝒉 = 3,468
Menghitung kesalahan beda tinggi:
𝑓 = ∆ − 𝐻𝐺 − 𝐻𝐴
= 3,468 − 728,901 − 725,405 = −0,028
𝑑
Menghitung Nilai koreksi beda tinggi ukuran: 𝛿 = (−𝑓 )
𝑑
35
Menghitung tinggi titik (Elevasi Titik):
Titik B : 𝐻𝐵 = 𝐻𝐴 + ∆𝑎𝑏 + 𝛿1 = +726,307 meter
Titik C : 𝐻𝐶 = 𝐻𝐵 + ∆𝑏𝑐 + 𝛿2 = +724,824 meter
Titik D : 𝐻𝐷 = 𝐻𝐶 + ∆𝑐𝑑 + 𝛿3 = +726,163 meter
Titik E : 𝐻𝐸 = 𝐻𝐷 + ∆𝑑𝑒 + 𝛿4 = +727,571 meter
Titik F : 𝐻𝐹 = 𝐻𝐸 + ∆𝑒𝑓 + 𝛿5 = +728,871 meter
Titik G: 𝐻𝐺 = 𝐻𝐹 + ∆𝑓𝑔 + 𝛿6 = +728,901 meter (sebagai kontrol hitungan).
A B
D C
36
Nilai korekinya (𝛿 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑘) terhadap data ukuran beda tinggi secara
teoritis berbanding lurus dengan jarak antara kedua titik terukur dan dapat
diformulasikan sebagai berikut:
𝒅
𝜹𝒉 = (−𝒇𝒉 )
𝒅
Selanjutnya dapat dihitung elevasi titik sepanjang jalur pengukuran tersebut
dengan memasukkan nilai koreksi masing masing beda tingginya. Secara umum
hitungan elevasi titik dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝑯 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 = 𝑯 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎𝒏𝒚𝒂 + 𝒃𝒆𝒅𝒂 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 + 𝒌𝒐𝒓𝒆𝒌𝒔𝒊𝒏𝒚𝒂
Dengan menggunakan contoh pada sket jalur tersebut Elevasi titik B, C, dan D
dapat dihitung sebagai berikut:
𝐻𝐵 = 𝐻𝐴 + ∆𝐴𝐵 + 𝛿𝐴𝐵
𝐻𝐶 = 𝐻𝐵 + ∆𝐵𝐶 + 𝛿𝐵𝐶
𝐻𝐷 = 𝐻𝐶 + ∆𝐶𝐷 + 𝛿𝐶𝐷
𝐻𝐴 = 𝐻𝐷 + ∆𝐷𝐴 + 𝛿𝐷𝐴
Elevasi titik A perlu dihitung juga sebagai kontrol hitungan yang nilainya harus
sama dengan titik A pada data yang diketahui.
Contoh Soal:
Pada pengukuran sipat datar jalur tertutup PQRSP, diketahui tinggi titik P (HP) =
150,113 meter. Data hasil proses awal ditabelkan sebagai berikut:
QR + 0,710 1000,000
RS - 1,206 1500,000
SP -1,311 500,000
37
kh3 = ∂h3 = (dRS / ∑d).(-fh) = (1500/5000)(-0,195) = - 0,058
kh4 = ∂h4 = (dSP / ∑d).(-fh) = (500/5000)(-0,195) = - 0,020
HQ = HP + ∆hPQ + ∂h1 = 150,113 + 2,002 + (- 0,078) = 152,037 m
HR = HQ + ∆hQR + ∂h2 = 152,037 + 0,710 + (-0,039) = 152,708 m
HS = HR + ∆hRS + ∂h3 = 152,708 + (-1,206) + (- 0,058) = 151,444 m
HP = HS + ∆hSP + ∂h4 = 151,444 + (-1,311) + (- 0,020) = 150,113 m
38
Apabila alat Theodolite dipasang pada tripot/statif setinggi TA (tinggi alat
di A) dan target bidik dipasang setinggi TT dari titik B. maka beda tinggi antara
titik A dan B (∆hAB) dapat ditentukan sebagai berikut
∆𝒉 = 𝑫 𝒄𝒐𝒕𝒈 𝒛 + (𝑻𝑨 − 𝑻𝑻) = D/tan z + (TA – TT)
𝑎𝑡𝑎𝑢
∆𝒉 = 𝑫 𝒕𝒂𝒏 𝒎 + (𝑻𝑨 − 𝑻𝑻)
Contoh Soal :
1. Diketahui 2 titik di lapangan, A dan B, alat Theodolite ditempatkan tepat di
atas titik A, dan diukur tinggi alat = 1,550 meter. Target bidik dipasang di titik
B dengan tinggi target = 2,250 meter.
Jarak mendatar AB= 250,00 meter, bacaan sudut zenith ke target B= 80o45’0”
Jika elevasi titik A= 425,150 meter, hitunglah elevasi titik B?
Penyelesaian:
∆hAB = (D/tan z) + (TA – TT)
= 250,00 cotg 80o45’0”+ (1,550 – 2,250)
= 250/tan 80o45’0” + (1,550 – 2,250)
= 250,00 tan (90o – 80o45’0”) + 1,550 – 2,250
= + 40,015 meter
Elevasi titik B: HB = HA + hAB
= 425,150 + 40,015
= 485,165 meter.
39
2. Untuk mendapatkan elevasi titik P diikatkan ke BM (Bench Mark) dengan
metoda Trigonometric Levelling.
Diperoleh data jarak datar BM ke titik P = 225 meter, tinggi theodolite di atas
titik P = 155,0 cm, tinggi target di BM = 183,3 cm, sudut zenith dari P ke BM
= 87o29’45”. Hitunglah elevasi titik P, jika elevasi BM = 531,135 meter.
Penyelesaian:
∆hP.BM = (D/tan z) + (TA – TT)
= 225,000 cotg 87o 29’45’+ (1,550 – 1,833)
= 225,000 tan (90o - 87o 29’45’) + 1,550 – 1,833
= + 9,557 meter
Elevasi titik P
HP = HBM + hBM.P = HBM + (– hP.BM)
= 531,135 + (– 9,557)
= 521,578 meter.
Apabila digunakan rambu ukur sebagai target bidik di titik B, maka beda
tinggi antara titik A dan B dapat ditentukan sebagai berikut:
∆hAB = 100 (BA – BB) sin z . cos z + (TA – BT)
Contoh Soal :
Diketahui 2 titik di lapangan, A dan B, Theodolite ditempatkan tepat di atas
titik A, dan diukur tinggi alat =150 cm. Target rambu ukur dipasang di titik B
dengan bacaan rambu: BA = 286,0 ; BT = 243,1 ; BB = 200,1 dan sudut zenith
ke target B= 92o 50’ 25”. Jika elevasi A= 250,505 meter, hitunglah elevasi B?
Penyelesaian:
∆hAB = 100 (BA – BB) sin z . cos z + (TA – BT)
= 100 (286,0 – 200,1) sin 92o 50’ 25” . cos 92o 50’ 25” + (150,0 – 243,1)
= – 518,2 cm = – 5, 182 meter
Elevasi titik B : HB = HA + ∆hAB = 250,505 + (– 5, 182)
= 245,323 meter.
40
3.5.5 Penentuan Beda Tinggi Metoda Barometris
Besarnya tekanan udara di suatu tempat (titik) tergantung dari
ketinggian tempat tersebut. Makin tinggi tempat, makin kecil tekanan udara.
Hubungan antara perbedaan tinggi dan perbedaan tekanan udara adalah
𝑑𝑝
∆ = −𝑘
𝑝
Dalam hal ini ∆ = perbedaan tinggi
dp = perubahan tekanan udara
k = konstanta
p = tekanan udara
Rumus praktis penentuan beda tinggi antara titik A dan B ditulis sebagai berikut :
𝑇 𝑃𝐵
∆𝐴𝐵 = 𝑅 𝑙𝑜𝑔
𝑇𝑠 𝑃𝐴
Dalam hal ini
∆ : beda tinggi dalam satuan meter.
R : Bilangan konstanta (+- 118402,6).
T : Temperatur rata-rata dalam satuan derajat Kelvin.
Ts : Temperatur standart (273oK).
P : Tekanan udara pada titik pengamatan (dalam satuan mm.Hg).
41