Anda di halaman 1dari 21

BAB III

PENGUKURAN POSISI VERTIKAL

Capaian Pembelajaran :
Setelah membaca dan mempelajari bab ini, mahasiswa maupun pembaca
akan dapat menjelaskan definisi/pengertian posisi vertikal, menyebutkan metoda
pengukuran beda tinggi dan penentuan posisi vertikal, mengetahui rumus dasar
perhitungan dan prosedurnya. Selain itu juga mengetahui peralatan ukur dan
mampu melaksanakan praktik pengukuran beda tinggi.

3.1 PENGERTIAN DASAR


Posisi vertikal adalah kedudukan suatu titik atau obyek di permukaan
bumi dalam arah vertikal dan dihitung terhadap bidang referensi tertentu.
Untuk menentukan posisi vertikal atau ketinggian (elevasi) suatu titik, diperlukan
pula titik-titik dasar yang terjalin dalam suatu jaringan kerangka vertikal yang
telah mempunyai sistem tertentu dan refrensi tertentu pula.
Pengertian Kerangka Vertikal adalah rangkaian titik titik dasar yang
telah mempunyai sistem dan referensi tertentu, tersebar membentuk jaringan di
permukaan bumi yang dapat digunakan sebagai titik ikat dan titik kontrol dalam
penentuan posisi vertikal obyek atau titik-titik baru.
Adapun tujuan penentuan posisi vertikal adalah untuk mengetahui
ketinggian (elevasi) titik di lapangan dalam sistem tertentu sebagai dasar
keperluan pemetaan maupun keperluan teknis. Sedangkan maksud penentuan
dimensi ketinggian (Pengukuran Tinggi) di permukaan bumi di sini tidak lain
ialah menentukan beda tinggi antara titik-titik (obyek) di permukaan bumi serta
menentukan ketinggian (elevasinya) terhadap bidang reverensi/datum tinggi
tertentu.
Ketinggian atau elevasi suatu titik adalah jarak vertikal suatu titik atau
obyek yang diukur atau dihitung terhadap bidang referensi/acuan tertentu, baik di
bawah, di atas ataupun pada bidang referensi tersebut.

21
21
3.2 BEDA TINGGI
Pengertian beda tinggi antara 2 (dua) titik di permukaan bumi adalah
jarak terpendek antara 2 (dua) bidang nivo yang melintasi kedua titik tersebut.
Secara teoritis, bidang nivo adalah suatu bidang dimana pada tiap titiknya dilalui
garis yang tegak lurus terhadap arah gaya berat.
Karena arah-arah gaya berat menuju pusat bumi, maka bidang nivo tersebut
merupakan bidang yang melengkung, tertutup melingkupi bumi dan antara bidang
nivo yang satu dengan yang lain saling tidak berpotongan serta tidak sejajar.

Gambar 3.1: Bidang Nivo Melingkupi Permukaan Bumi

Perlu diketahui bahwa jumlah bidang nivo yang melingkupi bumi itu
banyak sekali (tak terhingga), dan salah satu diantaranya ditetapkan sebagai
bidang referensi tinggi dan sangat penting artinya untuk keperluan Ilmu Geodesi,
termasuk Ukur Tanah, yaitu bidang nivo yang berimpit dengan ketinggian muka
laut rata-rata (tanpa gangguan) yang disebut GEOID.
GEOID merupakan bidang yang dijadikan (didefinisikan) sebagai refrensi
ketinggian secara global (Internasional) dalam hitungan elevasi titik dalam ilmu
Geodesi, termasuk Ukur Tanah.
Bidang refrensi atau bidang DATUM tersebut adalah suatu bidang nivo tertentu
dimana ketinggian/elevasi titik-titik mulai dihitung atau sebagai bidang awal
dengan ketinggian NOL.

22
3.3 KONSEP DASAR PENENTUAN TINGGI SUATU TITIK
Misalkan, antara dua titik A dan B diketahui (diukur) beda tingginya
sebesar "∆𝑕" sedangkan tinggi A telah diketahui elevasinya yaitu HA, maka
elevasi/tinggi titik B dapat dihitung dengan rumus dasar sebagai berikut:
𝑯𝑩 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉
Apabila nilai ∆𝒉 > 0, maka tinggi B lebih tinggi daripada titik A
Apabila nilai ∆𝒉 < 0, maka tinggi B lebih rendah daripada titik A
Apabila nilai ∆𝒉 = 0, maka tinggi B sama tinggi dengan titik A

Contoh :
Diketahui titik A dengan ketinggian 400,000 meter
Hasil pengukuran beda tinggi antara A dan B : ∆hAB = + 2,345 meter, antara A dan
C : ∆hAC = – 5,250 meter.
Hitung ketinggian titik B dan C, berapa beda tinggi B dan C
Penyelesaian :
 Titik-titik B : HB = HA + ∆𝑕𝐴𝐵
= 400,000 + 2,345
= + 402,345 meter
 Titik-titik C : HC = HA + ∆𝑕𝐴𝐶
= 400,000 + (– 5,250)
= + 394,750 meter
 Beda tinggi antara B dan C
∆𝑕𝐵𝐶 = ∆𝑕𝐵𝐴 + ∆𝑕𝐴𝐶
= −∆𝑕𝐴𝐵 + ∆𝐻𝐴𝐶
= −2,345 + −5,250
= −7,595 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
atau
∆𝑕𝐵𝐶 = 𝐻𝐶 − 𝐻𝐵
= 394, 750 - 402,345
= −7,595 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟

23
3.4 PRINSIP PENENTUAN BEDA TINGGI
Seperti yang telah dibicarakan pada bab sebelumnya, dalam pembahasan
Ukur Tanah dimana luas daerah yang diukur relatif kecil, maka bagian permukaan
bumi itu dianggap datar.
Pernyataan bumi dianggap datar tersebut diartikan/digambarkan perubahan
penyedanaan bidang nivo, dari bentuk melengkung menjadi datar.

Gambar 3.2: Penyederhanaan Bidang Nivo


Titik A dan B pada permukaan bumi yang dianggap datar (artinya kelengkungan
bumi diabaikan). Jika dibuat bidang mendatar melalui titik A dan B, maka jarak
vertikal terpendek dari 2 bidang tersebut merupakan beda tinggi antara A dan B.
Apabila ditempatkan rambu ukur/mistar berskala di titik A dan B secara tegak,
kemudian ditarik garis sejajar bidang nivo dan memotong rambu ukur di A (pada
skala bacaan a), dan juga memotong rambu ukur di B (pada skala bacaan b), maka
beda tinggi antara A dan B dapat ditentukan dengan formula sebagai berikut:
∆hAB = a – b

Sebaliknya, beda tinggi antara B dan A ditulis: ∆hBA = b – a


Dengan catatan bahwa garis awal skala kedua rambu tersebut mempunyai angka
bacaan yang sama dan satuan skalanyapun juga sama.
Garis Bidik b
a
Mendatar
TGB Bidang Nivo B

B
∆hAB
HB
A Bidang Nivo A
HA

Bidang Referensi Tinggi

Gambar 4.3: Prinsip Penentuan Beda Tinggi

24
Garis mendatar tersebut, dalam praktiknya merupakan garis bidik dari
suatu teropong alat ukut tanah dan diposisikan mendatar. Dengan bantuan
garis bidik, inilah dapat ditentukan angka pembacaan a dan b pada mistar/rambu.

3.5 METODE PENENTUAN BEDA TINGGI


Beda tinggi antara titik-titik di permukaan bumi dapat ditentukan dengan
tiga metode pengukuran, yaitu :
1. Sipat datar/Levelling
2. Trigonometris
3. Barometris

3.5.1 Penentuan Beda Tinggi Metode Sipat Datar


Metode Sipat Datar adalah suatu teknik pengukuran beda tinggi antara titik-
titik dengan menggunakan alat penyipat datar, untuk menentukan ketinggian
relatif dari titik-titik tersebut terhadap suatu bidang refrensi/acuan tertentu.
Nilai atau angka ketinggian titik juga disebut dengan Elevasi titik.
Dalam batasan Ilmu Ukur Tanah, bidang-bidang nivo melalui titik titik di
permukaan bumi, misal titik A dan B yang jaraknya berdekatan dapat dianggap
sebagai bidang-bidang yang sejajar. Disamping itu, karena jari-jari bidang nivo
sangat besar, maka bidang-bidang nivo yang melalui titik A dan B dianggap
sebagai bidang-bidang yang datar.
Seperti yang telah diuraikan pada prinsip penentuan beda tinggi, bahwa
apabila di titik A dan B dipasang mistar ukur tegak dan dibuat garis mendatar
sembarang yang memotong kedua mistar tersebut, maka antara kedua titik tesebut
dapat ditentukan beda tingginya.
Garis mendatar tersebut, dalam praktiknya merupakan suatu garis bidik
pada teropong alat ukut tanah yang telah diatur/diposisikan mendatar.
Dengan bantuan garis bidik inilah dapat ditentukan nilai bacaan angka pada mistar
ukur.
Alat ukur ini disebut alat ukur Penyipat Datar atau yang dikenal dengan istilah
Waterpas, sedangkan mistar yang digunakan disebut rambu ukur (baak ukur).

25
1. lingkaran horisontal berskala
10

2. skala pada lingkaran horizontal


4
3
3. okuler teropong 5

4. alat bidik dengan celah penjera

5. sekrup penyetel fokus


7
6. sekrup penggerak horizontal

7. sekrup pengukit 11
9
8. sekrup pendatar
1 2

9. obyektif teropong
8
10. nivo tabung 6
12
11. nivo kotak
Gambar 3.4. Alat Waterpass
12. kepala kaki tiga

Alat penyipat datar yang sederhana (waterpass) terdiri dari sebuah


teropong dengan garis bidiknya dapat dibuat horizontal dengan nivo tabung (10).
Untuk mencari sasaran sembarang sekeliling alat penyipat datar, maka teropong
dan tabung nivo dapat diputar pada sumbu pertama yang dapat datur dengan tiga
skrup mendatar (8). Dengan skrup penyetel fokus (5) bayangan rambu ukur dapat
disetel tajam. Dengan skrup penggerak horizontal (7) bayangan dapat ditepatkan
pada benang silang diafragma. Dengan cermin pada nivo tabung (10) kita dapat
menyetel keseimbangan/kedataran alat waterpas.
Syarat kondisi alat ukur waterpas untuk pengukuran beda tinggi di lapangan,
sehingga dapat diperoleh data secara benar, yaitu:
1. Garis bidik sejajar garis arah nivo
2. Garis arah nivo tegak lurus sembu 1 (satu)
3. Benang diafragma tegak lurus sumbu 1 (satu)
Ada beberapa ketentuan/persyaratan dalam melakukan pengukuran beda
ketinggian dengan metode sipat datar, antara lain:
1. Sebelum melakukan pengukuran perlu pengecekan garis bidik dari alat sipat
datar yang digunakan, dan dicek kembali setelah selesai pengukuran.
2. Pemasangan statif alat sipat datar harus pada tanah keras dan cukup stabil.

26
3. Jarak antara alat ukur dan rambu ukur tidak lebih dari 40 meter (< 40 meter)
4. Pembacaan selalu didahulukan ke rambu belakang, kemudian rambu muka.
5. Saat pembidikan rambu,dibaca angka yang tepat pada ketiga benang diafragma
yaitu: BA (Benang Atas), BT (Benang Tengah) dan BB (Benang Bawah).
6. Rambu ukur dipasang tegak (tidak goyah), sebaiknya rambu dilengkapi dengan
nivo kotak terpasang dan ditegakkan pada tatakan rambu.
7. Jika jalur sipat datar cukup jauh dan tidak dapat diseleaikan dalam sehari, maka
harus dibagi dalam beberapa seksi pengukuran.
Tiap seksi pengukuran harus selesai dalam satu hari dan dibagi dalam beberapa
slag (tempat perpindahan alat) dalam jumlah yang genap.
8. Dalam tiap seksi diusahakan jumlah jarak belakang = jumlah jarak muka.
9. Setiap pindah slag, rambu harus diatur selang seling, dengan rambu belakang
dipindah menjadi rambu muka pada slag berikutnya, begitu seterusnya.
Dalam pelaksanaannya, pengukuran beda tinggi dengan alat penyipat datar
atau waterpas ada 3 macam cara, yaitu:
1. Alat sipat datar ditempatkan pada titik yang diketahui ketinggiannya.
2. Alat sipat datar ditempatkan diantara kedua titik yang akan diukur.
3. Alat sipat datar ditempatkan pada salah satu sisi titik yang akan diukur.
Adapun masing masing cara tersebut dijelaskan berikut ini.
A. Cara 1: Alat sipat datar ditempatkan pada titik yang diketahui ketinggiannya.
Dengan cara ini maka perlu mengukur tinggi alat, untuk mendapatkan
nilai tinggi garis bidik. Apabila pembacaan rambu di titik lain diketahui, maka
tinggi titik yang ditempati rambu tersebut dapat pula dihitung elevasinya.
Perhatikan sket gambar 3.5 ini:
Garis Bidik Mendatar BT
TA

A
∆hAB = TA - BT
HA TGB

B HB

Bidang Referensi Tinggi


Gambar 3.5: Waterpas dipasang tepat di atas titik

27
Keterangan gambar 3.5:
TA = tinggi alat waterpas di A
TGB = tinggi garis bidik
HA = elevasi/tinggi stasion A
HB = elevasi/tinggi stasion B
b = bacaan Benang Tengah (BT) rambu di B
∆hAB = beda tinggi dari A ke B.

Untuk menghitung tinggi stasion B digunakan rumus sebagai berikut:


∆hAB = TA – BT = TA – b
HB = TGB – b
HB = HA+ TA – b
HB = HA + ∆hAB

Cara yang demikian ini disebut cara Tinggi Garis Bidik (TGB).
Catatan:
1. TA dapat dianggap hasil pengukuran kebelakang, karena stasion A diketahui
tingginya. Dengan demikian beda tinggi dari A ke B yaitu ∆hAB = TA – b.
Hasil ini menunjukkan bahwa ∆hAB adalah negatip (karena TA  b) sesuai
dengan keadaan dimana stasion B lebih rendah dari pada stasion A.
2. Beda tinggi dari B ke A yaitu ∆hBA = b – TA. Hasilnya bertanda positip. Jadi
HA = HB + ∆hBA, dan dapat diketahui titik A lebih tinggi dari pada titik B.
3. Berdasarkan point1 dan 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa ∆hBA = – ∆hAB

B. Cara 2: Alat sipat datar ditempatkan diantara dua stasion (tidak harus segaris).
Dengan cara ini maka tidak perlu mengukur tinggi alat. Rambu ukur
ditegakkan pada titik titik yang akan diukur beda tingginya dan alat waterpas
dipasang diantara kedua rambu tersebut. Posisi alat tidak harus tepat ditengah
maupun segaris dengan kedua rambu, yang terpenting dapat dilakukan pembacaan
angka rambu dari posisi alat tersebut, sehingga dapat dihitung beda tingginya dan
dapat pula dihitung elevasi, jika salah satu titik itu sudah diketahui elevasinya.
Perhatikan sket gambar berikut:

28
BTA Garis Bidik Mendatar BTB

TGB

B
∆hAB
HB
A
HA

Bidang Referensi Tinggi


Gambar 3.6: Waterpas dipasang diantara dua rambu
Perhatikan Gambar 3.6:
∆hAB = BTA – BTB = a – b
∆hBA = BTB – BTA = b – a
Bila tinggi stasion A adalah HA, maka tinggi stasion B adalah :
HB = HA + ∆hAB = HA + a – b = TGB – b
Bila tinggi stasion B adalah HB, maka tinggi stasion A adalah :
HA = HB + ∆hBA = HB + b – a = TGB – a
C. Cara 3: Alat sipat datar ditempatkan pada salah satu sisi titik yang diukur.
Dengan cara ini alat ukur tidak ditempatkan pada ataupun diantara titik/
stasion dan tidak perlu mengukur tinggi alat. Rambu ukur ditegakkan pada titik
titik yang akan diukur beda tingginya dan alat waterpas dipasang pada salah satu
sisi titiknya (lihat sket gambar), yang terpenting dapat dilakukan pembacaan
angka rambu dari posisi alat tersebut, sehingga dapat dihitung beda tingginya dan
dapat pula dihitung elevasi, jika salah satu titik itu sudah diketahui elevasinya.
Perhatikan sket gambar berikut:

Garis Bidik Mendatar BTB


BTA

∆hAB B
TGB
A HB
HA

Bidang Referensi Tinggi


Gambar 3.7: Waterpas dipasang dekat salah satu rambu

29
Perhatikan Gambar 3.7:
∆hAB = BTA – BTB = a – b
∆hBA = BTB – BTA = b – a
Bila elevasi stasion A diketahui, maka: HB = HA + ∆hAB = HA + a – b
Bila elevasi stasion B diketahui, maka: HA = HB + ∆hBA = HB + b – a
Diantara ketiga cara tersebut di atas, yang paling sering dilaksanakan yaitu
cara kedua, karena akan memberikan hasil relative lebih teliti dibandingkan kedua
cara lainnya. Pada cara pertama, pengukuran TA pada umumnya kurang teliti
dibandingkan dengan pembacaan rambu. Pada cara ketiga, pembacaan a kurang
teliti dibandingkan dengan pembacaan b, karena jarak antara alat ke rambu A
lebih jauh dari pada ke rambu B. Sedangkan pada cara kedua pembacaan a dan b
relative sama teliti yaitu dengan cara menempatkan alat sipat datar di sekitar
tengah-tengah antara stasion A dan B. Disamping itu, dengan cara demikian hasil
ukuran akan bebas dari pengaruh kesalahan-kesalahan garis bidik, refraksi udara
serta kelengkungan bumi.

3.5.2 Macam Pengukuran Dengan Waterpas


Ada beberapa macam pengukuran dengan menggunakan alat Waterpas
(Penyipat Datar) tergantung dari tujuannya pengukuran tersebut.
1. Pengukuran sipat datar memanjang (Differential Levelling).
Digunakan apabila jarak antara dua stasion yang akan ditentukan beda
tingginya sangat berjauhan (di luar jangkauan jarak pandang). jarak antara
kedua stasion tersebut dibagi dalam jarak pendek yang disebut seksi atau slag
Jumlah aljabar beda tinggi tiap seksi akan menghasilkan beda tinggi anatar
kedua stasion tersebut .
2. Pengukuran profil memanjang (Profile Levelling / Longitudinal Section)
Digunakan untuk menentukan ketinggian titik-titik sepanjang garis tertentu
atau garis proyek, misalnya profil lapangan sepanjang garis rencana jalan,
rencana saluran irigasi, jalur pipa, dan lain lain.
3. Pengukuran profil melintang (Cross Section)
Digunakan untuk menetukan ketinggian titik-titik sepanjang garis tegak lurus
garis proyek.

30
4. Pengukuran sipat datar luas.
Digunakan untuk menentukan ketinggian titik-titik yang menyabar dengan
kerapatan tertentu untuk membuat garis-garis ketinggian ( kontur )
5. Pengukuran sipat datar resiprokal (Reciprocal Levelling)
Adalah pengukuran sipat datar dimana alat penyipat datar (waterpas) tidak
dapat ditempatkan antara dua stasion.
Misalnya pengukuran sipat datar menyeberangi sungai / lembah yang lebar .
6. Pengukuran sipat datar teliti (Precise Levelling )
Adalah pengukuran sipat datar yang menggunakan aturan serta perlatan sipat
datar teliti.
Dalam bab ini pendalaman materi lebih difokuskan pada pengukuran
sipat datar memanjang dengan berbagai model dan cara perhitungannya.

3.5.3 Pengukuran Sipat Datar Memanjang (Differential Levelling).


Misalkan titik A dan titik B akan ditentukan beda tingginya. Jarak antar
titik A dan B cukup jauh, misalkan 2 km. Dengan metoda sipat datar memanjang
sepanjang jalur antara titik A dan B dibagi dalam beberapa slag, jarak setiap
slagnya sekitar 75 meter.
Kemudian setiap slag diukur beda tingginya, dengan cara melakukan pembacaan
BA, BT dan BB pada rambu belakang maupun rambu muka.
Prosedur pengukuran tersebut dapat digambarkan pada sket di bawah ini.

I II I
RM
RB
b2 b4 m4
m2
b1 m1 b3 m3
B
1 3
2
A
Gambar 3.8: Teknik pengukuran Sipat Datar memanjang

31
Keterangan gambar 3.8:
A dan B : Titik yang akan diukur beda tingginya.
1, 2 dan 3 : titik bantu (titik putar).
RB : Rambu Belakang.
RM : Rambu Muka.
b1 , b2, b3, b4 : bacaan BT rambu belakang .
m1, m2, m3, m4 : bacaan BT rambu muka
Prinsip hitungannya, bahwa jumlah beda tinggi setiap bagian atau slag dari
titik A hingga B akan memberikan nilai beda tingi antara A dan B.
Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
Beda tinggi tiap bagian/slag: ∆hi = bi – mi
Beda tinggi antara A dan B:
n n n n
∆hAB =  ∆hi =  ( bi – mi ) =  bi -  mi
i=1 i=1 i=1 i=1

Elevasi titik B dapat dihitung dengan rumus dasar: HB = HA + ∆hAB


Untuk kontrol pembacaan rambu: BT = ½ ( BA + BB ).
Jarak mendatar optis antara posisi alat dan rambu: D = 100 (BA – BB).
Dalam pelaksanaan pengukuran sipat datar memanjang, ditinjau dari
jalurnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
A. Pengukuran jalur terbuka.
B. Pengukuran jalur tertutup.
Pada pengukuran sipat datar memanjang jalur terbuka dibedakan menjadi dua,
yaitu jalur terbuka terikat dan jalur terbuka tidak terikat.

3.5.3.1 Jalur Pengukuran Sipat Datar Tidak Terikat


Jika dalam suatu jalur pengukuran sipat datar diketahui elevasi salah satu
titiknya maka elevasi titik-titik yang lain dapat dihitung apabila telah dilakukan
pengukuran beda tinggi antara titik yang berurutan pada jalur tersebut.
Misalnya pada suatu jalur pengukuran sipat datar seperti pada sket dibawah ini
(tampak atas), titik A telah diketahui elevasinya yaitu HA, selanjutnya diukur beda
tinggi dari titik A sampai titik 4 dengan melalui titik 1,2 , dan 3.

32
Sket (tampak atas) jalur pengukuran sipat datar.

1 3
A 4
2
Gambar 3.9: Sket jalur pengukuran Sipat Datar tidak terikat

Elevasi titik-titik yang dilalui jalur tersebut dapat dihitung sebagai berikut :
𝐻1 = 𝐻𝐴 + ∆𝑕𝐴1 Keterangan: ∆𝑕𝐴1 : benda tinggi A-1
𝐻2 = 𝐻1 + ∆𝑕12 ∆𝑕12 : benda tinggi 1-2
𝐻3 = 𝐻2 + ∆𝑕23 ∆𝑕23 : benda tinggi 2-3
𝐻4 = 𝐻3 + ∆𝑕34 ∆𝑕34 : benda tinggi 3-4

Contoh soal :
Diketahui Elevasi titik A = +550,125 meter, bedatinggi ukuran:
∆𝑕𝐴𝐵 = +0,898 m; ∆𝑕𝐵𝐶 = −1,487 m ; ∆𝑕𝐶𝐷 = 1,334 m; ∆𝑕𝐷𝐸 = +1,404 m
Hitunglah ketinggian titik-titik B, C, D, dan E.
Penyelesaian:
Ketinggian B : HB = HA + ∆𝑕𝐴𝐵 =550,125 + 0,898 = +551,023 meter
Ketinggian C : HC = HB + ∆𝑕𝐵𝐶 =551,023 + (-1,487) = +549,536 meter
Ketinggian D : HD = HC + ∆𝑕𝐶𝐷 =549,536 + 1,334 = +550,870 meter
Ketinggian E : HE = HD + ∆𝑕𝐷𝐸 =550,870 + 1,405 = +552,275 meter

3.5.3.2 Jalur Pengukuran Sipat Datar Terikat


Jika dalam suatu jalur pengukuran sipat datar terbuka, diketahui elevasi
kedua titik ujungnya, maka elevasi titik-titik yang lain pada jalur tersebut dapat
dihitung apabila telah dilakukan pengukuran beda tinggi.
Sket (tampak atas) jalur pengukuran sipat datar.

1 3
A 2 B
Gambar 3.10: Sket jalur pengukuran Sipat Datar terikat

Tinggi titik A diketahui = HA (sebagai titik ujung awal)


Tinggi titik B diketahui = HB (sebagai titik ujung akhir)

33
Hasil pengukuran beda tinggi sepanjang jalur dari A sampai B yang melewati
titik 1,2, dan 3 adalah sebagai berikut: ∆𝑕𝐴1 , 𝑕12 , ∆𝑕23 , ∆𝑕3𝐵
Syarat yang harus dipenuhi pada suatu jalur sipat datar terikat :
𝑯 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 − 𝑯 𝒂𝒘𝒂𝒍 = ∆𝒉 (𝒖𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏)
Dalam contoh ini, 𝐻𝐵 − 𝐻𝐴 = ∆𝑕𝐴1 , + ∆𝑕12 + ∆𝑕23 + ∆𝑕3𝐵

Adanya kesalahan pengukuran beda tinggi dapat diketahui besarnya dengan


berpedoman persyaratan tesebut di atas.
Formula untuk mengetahui/menemukan besarnya kesalahan beda tinggi
hasil ukuran sebagai berikut :
𝑭𝒉 = ∆𝒉 (𝒖𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏) − 𝑯 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 − 𝑯(𝒂𝒘𝒂𝒍)
Dengan adanya kesalahan tersebut, perlu dilakukan koreki terhadap data
ukuran beda tinggi. Nilai korekinya (𝛿𝑕) secara teoritis berbanding lurus dengan
jarak antara dua titik terukur dan dapat diformulasikan sebagai berikut :
𝒅
𝜹𝒉 = (−𝒇𝒉 )
𝒅
Selanjutnya dapat dihitung elevasi titik sepanjang jalur pengukuran tersebut
dengan nilai koreksi masing masing beda tingginya. Secara umum hitungan
elevasi titik dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝑯 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 = 𝑯 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎𝒏𝒚𝒂 + 𝒃𝒆𝒅𝒂 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 + 𝒌𝒐𝒓𝒆𝒌𝒔𝒊𝒏𝒚𝒂
Elevasi titik 1, 2, 3 dalam contoh inidapat dihitung sebagai berikut :
𝐻1 = 𝐻𝐴 + ∆𝑕𝐴1 + 𝛿𝑕𝐴1
𝐻2 = 𝐻1 + ∆𝑕12 + 𝛿𝑕12
𝐻3 = 𝐻2 + ∆𝑕23 + 𝛿𝑕23
𝐻𝐵 = 𝐻3 + ∆𝑕3𝐵 + 𝛿𝑕3𝐵
Elevasi titik B perlu dihitung juga sebagai kontrol hitungan yang nilainya harus
sama dengan titik B pada data yang diketahui.

Contoh soal:
Pada suatu jalur pengukuran sipat datar (terikat) dari titik A ke titik G.
Diketahui: Tinggi titik A (HA) = 725,405 meter
Tinggi titik G (HG) = 728,901 meter

34
Data hasil pengukuran sebagai berikut:

Bacaan BENANG TENGAH (meter) JARAK (meter)


Rambu Belakang Rambu Muka Belakang Muka
A 1,426 B 0,528 42,3 50,4
B 0.795 C 2,282 49,3 48,4
C 1,723 D 0,389 50,4 60,0
D 2,268 E 0,864 47,5 47,5
E 1,725 F 0,430 50,0 50,0
F 1,002 G 0,978 80,2 59,8

Hitunganlah elevasi titik B s/d F sesuai prosedur.

Penyelesaian:
Hitungan Beda Tinggi = Bacaan BT (belakang) – bacaan BT (muka)
∆𝑕𝐴𝐵 = 1,426 − 0,528 = 0,898
∆𝑕𝐵𝐶 = 0,795 − 2,282 = −1,487
∆𝑕𝐶𝐷 = 1,723 − 0,389 = 1,334
∆𝑕𝐷𝐸 = 2,268 − 0,864 = 1,404
∆𝑕𝐸𝐹 = 1,725 − 0,430 = 1,925
∆𝑕𝐹𝐺 = 1,002 − 0,978 = 0,024
Menghitung jumlah beda tinggi dari titik A sampai titik G:
∆𝒉 = ∆𝑕𝐴𝐵 + ∆𝑕𝐵𝐶 + ∆𝑕𝐶𝐷 + ∆𝑕𝐷𝐸 + ∆𝑕𝐸𝐹 + ∆𝑕𝐹𝐺
∆𝒉 = 3,468
Menghitung kesalahan beda tinggi:
𝑓𝑕 = ∆𝑕 − 𝐻𝐺 − 𝐻𝐴
= 3,468 − 728,901 − 725,405 = −0,028
𝑑
Menghitung Nilai koreksi beda tinggi ukuran: 𝛿𝑕 = (−𝑓𝑕 )
𝑑

𝑑 = 𝑑𝑎𝑏 + 𝑑𝑏𝑐 + 𝑑𝑐𝑑 + 𝑑𝑑𝑒 + 𝑑𝑒𝑓 + 𝑑𝑓𝑔 = 615,8


𝑑 𝑎𝑏 𝑑 𝑑𝑒
𝛿𝑕1 = −𝑓𝑕 = 0,004 𝛿𝑕4 = −𝑓𝑕 = 0,004
𝑑 𝑑
𝑑 𝑏𝑐 𝑑 𝑒𝑓
𝛿𝑕2 = −𝑓𝑕 = 0,004 𝛿𝑕5 = −𝑓𝑕 = 0,005
𝑑 𝑑
𝑑 𝑐𝑑 𝑑 𝑓𝑔
𝛿𝑕3 = 𝑑
−𝑓𝑕 = 0,005 𝛿𝑕6 = 𝑑
−𝑓𝑕 = 0,006

35
Menghitung tinggi titik (Elevasi Titik):
Titik B : 𝐻𝐵 = 𝐻𝐴 + ∆𝑕𝑎𝑏 + 𝛿𝑕1 = +726,307 meter
Titik C : 𝐻𝐶 = 𝐻𝐵 + ∆𝑕𝑏𝑐 + 𝛿𝑕2 = +724,824 meter
Titik D : 𝐻𝐷 = 𝐻𝐶 + ∆𝑕𝑐𝑑 + 𝛿𝑕3 = +726,163 meter
Titik E : 𝐻𝐸 = 𝐻𝐷 + ∆𝑕𝑑𝑒 + 𝛿𝑕4 = +727,571 meter
Titik F : 𝐻𝐹 = 𝐻𝐸 + ∆𝑕𝑒𝑓 + 𝛿𝑕5 = +728,871 meter
Titik G: 𝐻𝐺 = 𝐻𝐹 + ∆𝑕𝑓𝑔 + 𝛿𝑕6 = +728,901 meter (sebagai kontrol hitungan).

3.5.3.3 Jalur Pengukuran Sipat Datar Tertutup


Pada prinsipnya jalur sipat datar tertutup merupakan suatu bentuk jalur
sipat datar terikat, namun dalam hal ini titik awal dan titik akhir berada pada
posisi yang sama (berimpit), artinya H (awal) = H (akhir).
Dengan demikian persyaratan geometri yang harus dipenuhi dalam proses data
untuk jalur sipat datar tertutup adalah sebagai berikut:
∆𝒉 𝒖𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏 = 𝟎
Misalnya pada suatu jalur pengukuran sipat datar tertutup ABCDA seperti
pada sket dibawah ini (tampak atas), titik A telah diketahui elevasinya yaitu HA,
selanjutnya diukur beda tinggi antar titiknya (sesuai arah panah).

A B

D C

Gambar 3.11: Sket Jalur pengukuran Sipat Datar tertutup

Sistematika penyelesaian hitungan dan cara pemberian koreksi terhadap


data hasil ukuran beda tinggi jalur tertutup, sama dengan formula sipat datar jalur
terbuka terikat.
Angka kesalahan pengukuran beda tinggi (closing error) dapat diketahui besarnya
dengan berpedoman pada persyaratan tersebut dan diformulasikan sebagai berikut:
𝑭𝒉 = ∆𝒉 (𝒖𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏)

36
Nilai korekinya (𝛿𝑕 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑘𝑕) terhadap data ukuran beda tinggi secara
teoritis berbanding lurus dengan jarak antara kedua titik terukur dan dapat
diformulasikan sebagai berikut:
𝒅
𝜹𝒉 = (−𝒇𝒉 )
𝒅
Selanjutnya dapat dihitung elevasi titik sepanjang jalur pengukuran tersebut
dengan memasukkan nilai koreksi masing masing beda tingginya. Secara umum
hitungan elevasi titik dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝑯 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 = 𝑯 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎𝒏𝒚𝒂 + 𝒃𝒆𝒅𝒂 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 + 𝒌𝒐𝒓𝒆𝒌𝒔𝒊𝒏𝒚𝒂
Dengan menggunakan contoh pada sket jalur tersebut Elevasi titik B, C, dan D
dapat dihitung sebagai berikut:
𝐻𝐵 = 𝐻𝐴 + ∆𝑕𝐴𝐵 + 𝛿𝑕𝐴𝐵
𝐻𝐶 = 𝐻𝐵 + ∆𝑕𝐵𝐶 + 𝛿𝑕𝐵𝐶
𝐻𝐷 = 𝐻𝐶 + ∆𝑕𝐶𝐷 + 𝛿𝑕𝐶𝐷
𝐻𝐴 = 𝐻𝐷 + ∆𝑕𝐷𝐴 + 𝛿𝑕𝐷𝐴
Elevasi titik A perlu dihitung juga sebagai kontrol hitungan yang nilainya harus
sama dengan titik A pada data yang diketahui.
Contoh Soal:
Pada pengukuran sipat datar jalur tertutup PQRSP, diketahui tinggi titik P (HP) =
150,113 meter. Data hasil proses awal ditabelkan sebagai berikut:

JALUR BEDA TINGGI (m) JARAK LINTASAN (m)


PQ + 2,002 2000,000

QR + 0,710 1000,000

RS - 1,206 1500,000

SP -1,311 500,000

Hitunglah elevasi titik Q, R dan S.


Penyelesaian:
fh = ∑∆h = ∆hPQ + ∆hQR + ∆hRS + ∆hSP
= 2,002 + 0,710 + (-1,206) + (-1,311) = 0,195 m
kh1 = ∂h1 = (dPQ / ∑d).(-fh) = (2000/5000)(-0,195) = - 0,078
kh2 = ∂h2 = (dQR / ∑d).(-fh) = (1000/5000)(-0,195) = - 0,039

37
kh3 = ∂h3 = (dRS / ∑d).(-fh) = (1500/5000)(-0,195) = - 0,058
kh4 = ∂h4 = (dSP / ∑d).(-fh) = (500/5000)(-0,195) = - 0,020
HQ = HP + ∆hPQ + ∂h1 = 150,113 + 2,002 + (- 0,078) = 152,037 m
HR = HQ + ∆hQR + ∂h2 = 152,037 + 0,710 + (-0,039) = 152,708 m
HS = HR + ∆hRS + ∂h3 = 152,708 + (-1,206) + (- 0,058) = 151,444 m
HP = HS + ∆hSP + ∂h4 = 151,444 + (-1,311) + (- 0,020) = 150,113 m

3.5.4 Penentuan Beda Tinggi Metode Trigonometris


Untuk menentukan beda tinggi dengan metode trigonometri diperlukan
data sudut vertikal (z ataupun m) dan jarak mendatar (D) dimana besar-besaran
tersebut diperoleh dari hasil pengukuran.
Sudut z disebut sudut Zenith dan sudut m disebut sudut miring (helling).
Alat ukur yang digunakan dalam metode ini adalah Theodolite dan pengukur
jarak. Cara penentuan beda tinggi semacam ini (metode Trigonometris) biasa
dinamakan cara tak langsung.
Perhatikan gambar di bawah.
Apabila sudut vertikal (m ataupun z) dan jarak mendatar (D) antara titik A
dan titik B yang diperoleh dari hasil pengukuran, maka secara geometris beda
tinggi (Δh ) dapat dihitung dengan formula:
Δh = D tan m = D cotg z = D/tan z
m + z = 90o atau m = 90o – z

Gambar 3.12: Sket Geometri Beda Tinggi Trigonometeris

38
Apabila alat Theodolite dipasang pada tripot/statif setinggi TA (tinggi alat
di A) dan target bidik dipasang setinggi TT dari titik B. maka beda tinggi antara
titik A dan B (∆hAB) dapat ditentukan sebagai berikut
∆𝒉 = 𝑫 𝒄𝒐𝒕𝒈 𝒛 + (𝑻𝑨 − 𝑻𝑻) = D/tan z + (TA – TT)
𝑎𝑡𝑎𝑢
∆𝒉 = 𝑫 𝒕𝒂𝒏 𝒎 + (𝑻𝑨 − 𝑻𝑻)

Sket gambar saat pengukuran di lapangan

Gambar 3.13: Sket Pengukuran Beda Tinggi Trigonometris

Contoh Soal :
1. Diketahui 2 titik di lapangan, A dan B, alat Theodolite ditempatkan tepat di
atas titik A, dan diukur tinggi alat = 1,550 meter. Target bidik dipasang di titik
B dengan tinggi target = 2,250 meter.
Jarak mendatar AB= 250,00 meter, bacaan sudut zenith ke target B= 80o45’0”
Jika elevasi titik A= 425,150 meter, hitunglah elevasi titik B?
Penyelesaian:
∆hAB = (D/tan z) + (TA – TT)
= 250,00 cotg 80o45’0”+ (1,550 – 2,250)
= 250/tan 80o45’0” + (1,550 – 2,250)
= 250,00 tan (90o – 80o45’0”) + 1,550 – 2,250
= + 40,015 meter
Elevasi titik B: HB = HA + hAB
= 425,150 + 40,015
= 485,165 meter.

39
2. Untuk mendapatkan elevasi titik P diikatkan ke BM (Bench Mark) dengan
metoda Trigonometric Levelling.
Diperoleh data jarak datar BM ke titik P = 225 meter, tinggi theodolite di atas
titik P = 155,0 cm, tinggi target di BM = 183,3 cm, sudut zenith dari P ke BM
= 87o29’45”. Hitunglah elevasi titik P, jika elevasi BM = 531,135 meter.
Penyelesaian:
∆hP.BM = (D/tan z) + (TA – TT)
= 225,000 cotg 87o 29’45’+ (1,550 – 1,833)
= 225,000 tan (90o - 87o 29’45’) + 1,550 – 1,833
= + 9,557 meter
Elevasi titik P
HP = HBM + hBM.P = HBM + (– hP.BM)
= 531,135 + (– 9,557)
= 521,578 meter.

Apabila digunakan rambu ukur sebagai target bidik di titik B, maka beda
tinggi antara titik A dan B dapat ditentukan sebagai berikut:
∆hAB = 100 (BA – BB) sin z . cos z + (TA – BT)
Contoh Soal :
Diketahui 2 titik di lapangan, A dan B, Theodolite ditempatkan tepat di atas
titik A, dan diukur tinggi alat =150 cm. Target rambu ukur dipasang di titik B
dengan bacaan rambu: BA = 286,0 ; BT = 243,1 ; BB = 200,1 dan sudut zenith
ke target B= 92o 50’ 25”. Jika elevasi A= 250,505 meter, hitunglah elevasi B?
Penyelesaian:
∆hAB = 100 (BA – BB) sin z . cos z + (TA – BT)
= 100 (286,0 – 200,1) sin 92o 50’ 25” . cos 92o 50’ 25” + (150,0 – 243,1)
= – 518,2 cm = – 5, 182 meter
Elevasi titik B : HB = HA + ∆hAB = 250,505 + (– 5, 182)
= 245,323 meter.

40
3.5.5 Penentuan Beda Tinggi Metoda Barometris
Besarnya tekanan udara di suatu tempat (titik) tergantung dari
ketinggian tempat tersebut. Makin tinggi tempat, makin kecil tekanan udara.
Hubungan antara perbedaan tinggi dan perbedaan tekanan udara adalah
𝑑𝑝
∆𝑕 = −𝑘
𝑝
Dalam hal ini ∆𝑕 = perbedaan tinggi
dp = perubahan tekanan udara
k = konstanta
p = tekanan udara
Rumus praktis penentuan beda tinggi antara titik A dan B ditulis sebagai berikut :
𝑇 𝑃𝐵
∆𝑕𝐴𝐵 = 𝑅 𝑙𝑜𝑔
𝑇𝑠 𝑃𝐴
Dalam hal ini
∆𝑕 : beda tinggi dalam satuan meter.
R : Bilangan konstanta (+- 118402,6).
T : Temperatur rata-rata dalam satuan derajat Kelvin.
Ts : Temperatur standart (273oK).
P : Tekanan udara pada titik pengamatan (dalam satuan mm.Hg).

41

Anda mungkin juga menyukai