Bab-IV FIX
Bab-IV FIX
Mahasiswa dapat menghitung nilai jarak miring dan datar, untuk mendapatkan
nilai beda tinggi antar titik.
Berbeda dengan posisi horizontal suatu titik, di mana setiap titik dinyatakan
dalam bentuk 2 dimensi (2D), maka pada posisi vertikal hanya dinyatakan pada
dengan 1 (satu) dimensi (1D). Posisi vertikal ini lebih dikenal dengan istilah
Ketinggian yang dinotasikan bermacam-macam. Sebagian besar memberi notasi
Z untuk pernyataan posisi pada sumbu Z, H untuk menyatakan hight dan
mungkin T untuk pernyataan tinggi.
Operasi hitungan pada posisi vertikal jauh lebih sederhana, bila dibandingkan
dengan posisi horizontal, mengingat operasi hitungan garis (1-Dimensi). Meskipun
demikian, terdapat beberapa metoda yang lebih rumit. Pada prinsipnya, secara
menyeluruh ditujukan untuk mendapatkan posisi pada sumbu Z (untuk sistem
koordinat Cartesius).
Untuk dapat mengetahui masalah posisi vertikal dengan baik, maka sebagai
langkah awal, sebaiknya diketahui dengan lebih mendalam istilah-istilah yang akan
digunakan maupun pengertian mendasar yang akan menjadi bahasan lebih lanjut.
Penerapan sistem koordinat Cartesius dalam masalah ini adalah bahwa bidang
acuan/referensi ketinggian, merupakan bidang mendatar Cartesius, yaitu bidang
X-O-Y. Bila pokok bahasan hanya terbatas pada ketinggian, maka ketinggian suatu titik
tersebut dinyatakan sepanjang garis lurus (sumbu Z) atau garis yang sejajar (//)
sumbu Z.
Gambar 4.1, menunjukkan ketinggian titik A & B, beda tinggi A-B dan beda
tinggi B-A. Dapat dilihat bahwa dari titik A ke titik B, bila kita berjalan akan disebut
naik, sehingga letak beda tinggi dari A ke B, berbeda di bawah titik B. Hal yang
sebaliknya, bila dari titik B ke titik A.
HB = HA + HAB .. (4.2)
dan
HAB = HBA .. (4.3)
Titik nol lokal, mempunyai pengertian bahwa titik nol ketinggian diletakkan pada
tempat sembarang. Dengan kata lain menyatakan, ketinggian suatu titik yang
dianggap paling penting secara bebas. Titik-titik lainnya pada daerah pemetaan,
dinyatakan terhadap titik tersebut.
Titik nol yang dipilih berdasarkan tujuan atau kesepakatan tertentu. Untuk suatu
pekerjaan atau profesi dengan tujuan yang sama, diambil titik nol yang sama pula. Titik
nol normal ini, lebih banyak yang berkenaan dengan masalah air, baik pada
perencanaan, maupun pada pelaksanaan.
Dengan demikian, mungkin terdapat banyak titik nol normal, sehingga dalam
melaksanakan suatu tujuan yang berkaitan dengan ketinggian muka tanah, sangat
dianjurkan untuk meninjau ulang dan evaluasi titik nol ketinggian yang digunakannya.
Dalam menyatakan ketinggian dalam peta yang sama, titik dibenarkan untuk
menggunakan 2 (dua) macam titik nol ketinggian yang berbeda.
Untuk pemetaan topografi suatu daerah yang luas (misal suatu negara), titik nol
ketinggian digunakan MSL (Mean Sea Level). Titik inipun merupakan titik nol
internasional.
MSL itu sendiri, merupakan ketinggian muka air laut rata-rata, yang
dimaksudkan untuk menyatakan ketinggian muka air di bumi bila tanpa gangguan,
Untuk dapat menentukan letak titik tersebut pada suatu daerah (pantai),
diperlukan data pengamatan dalam selang panjang dengan persyaratan dan
pengelolaan yang cukup rumit. Hasil penentuan pengamatan yang ideal, adalah
pengamatan selama 18,6 tahun secara bersinambungan (continuous). Waktu selama
itu, dinyatakan berdasarkan posisi beda-beda langit relatif terhadap bumi akan kembali
pada posisi yang sama.
Walaupun demikian, akibat massa bumi yang tidak seragam, maka ketinggian
MSL di setiap tempat belum tentu sama tinggi.
Untuk menentukan beda tinggi antara 2 titik, akan sangat sukar bila dilakukan di
dalam tanah seperti yang tergambar. Oleh karena itu, dibentuklah suatu garis atau
bidang yang sejajar (//) bidang acuan. Bidang tersebut (sebut : bidang ukur)
merupakan bidang yang mendatar, karena bidang acuan juga berupa bidang
mendatar. Bidang ini, dapat juga dikatakan sebagai bidang horizontal yang melalui
titik tertentu.
Apabila ketinggian bidang ukur adalah a dari titik A dan b dari titik B (lihat
gambar 4.2), maka dapat dinyatakan :
HAB = ab .. (4.4)
Model penentuan beda tinggi semacam ini, merupakan model dasar yang
dalam penerapannya dapat menggunakan berbagai cara sebagai metoda pengukuran.
Berikut ini terdapat banyak metoda pengukuran beda tinggi yang dapat
diterapkan. Metoda yang akan dibahas dengan rinci, terbatas pada metoda yang
banyak diterapkan di lapangan dalam pemetaan dan surveying secara umum.
NIVO adalah :
Suatu tabung kaca lengkung yang berisi uap ether jenuh dan memiliki garis
skala yang beracu pada titik tertinggi tabung tersebut.
Metoda sipat datar ini, dapat diterapkan dalam beberapa jenis pengukuran yang
berbeda tujuannya. Prinsip dasar tetap, yaitu pendataran garis (bidang) yang
ditunjukkan oleh garis bidik alat sipat datar (level). Oleh karena itu, pengukuran
sipat datar terbagi atas :
Sipat datar memanjang
Sipat datar profil
Sipat datar melapang/luas
2. METODA TRIGONOMETRIS
Pada metoda ini, prinsip yang digunakan adalah pengukuran jarak dan sudut
vertikal.
Metoda ini menerapkan posisi vertikal pada bidang datar yang tegak (vertikal) dan
menggunakan bentuk geometrik segi-tiga siku.
Bila pengukuran ini dinyatakan dalam satuan panjang secara langsung, maka
disebut dengan metoda ALTIMETRIK, tetapi bila dinyatakan dalam satuan mm Hg
atau Bar/mBar, maka dikenal dengan metoda BAROMETRIK.
Metoda Altimetrik banyak diterapkan pada navigasi udara. Setiap pesawat udara
(terutama yang komersial) harus menggunakan altimeter untuk menjaga
ketinggian terbang.
4. METODA HIDROSTATIK
Metoda ini akan sering diterapkan pada pengukuran beda tinggi untuk
menyeberang sungai atau danau, baik sebagai pengikatan ataupun memindahkan
ketinggian. Salah satu penerapan metoda ini adalah pengamatan muka air dalam
pengukuran pasang surut.
5. METODA FOTOGRAMETRIK
Kenampakan 3 (tiga) dimensi (pandangan stereoskopis) pada foto udara yang
bertampalan (over-lap) dapat memberikan perbedaan tinggi antara 2 (dua) titik
dengan bantuan TONGKAT PARALAKS (Paralax Bar). Semakin kecil skala foto
udara yang digunakan, semakin kasar hasil pengamatan beda tingginya, bila
dibandingkan dengan keadaan sebenarnya di lapangan.
6. METODA SATELIT
Berdasarkan pancaran frekuensi tertentu dari tempat yang berjarak tetap, maka
beda tinggi antara 2 (dua) titik dapat diketahui dengan menggunakan GPS.
Untuk metoda GPS, bidang acuan ketinggian bukan geoid, melainkan ellipsoida,
untuk ini terdapat pengolahan data lebih lanjut agar ketinggian dinyatakan
terhadap sistem ketinggian yang sama.
Selain metoda GPS, kini telah banyak diterapkan satelit altimetrik yang dapat
memberikan ketinggian lebih baik.
7. METODA SOUNDING
Pengukuran beda tinggi dilakukan dengan cara pengukuran jarak yang
menggunakan sifat pantulan gelombang suara. Dengan dasar inilah, maka
metoda tersebut dinyatakan sebagai metoda ECHO-SOUNDING.
Metoda ini digunakan merupakan salah satu untuk mengukur kedalaman dasar air
secara elektronis. Kedalaman dasar air juga dapat diukur dengan metoda lain
yang sederhana, tetapi metoda ini bukan baik dan hanya untuk dasar air yang
dangkal.
Garis pada alat yang diatur mendatar adalah Garis Bidik (garis visier) yang
ditunjukkan oleh Bidang Silang Diafragma alat tersebut.
Garis bidik tidak akan terlihat secara langsung, karena garis ini berupa lajur
sinar yang masuk ke mata pengamat (surveyor) melalui pusat silang diafragma
teropong dan pusat lensa obyektif, sampai tempat tak berhingga. Yang akan
diperhatikan hanya sampai pada target yang bidik.
Target bidikan pada pengukuran sipat datar adalah rambu ukur (bak ukur).
Rambu ukur adalah alat ukur jarak yang dinyatakan pada benda keras, biasanya pada
kayu ataupun logam lain yang stabil (misal alumunium, baja).
Kalau dilihat dari pengukuran, maka alat ukur pada metoda sipat datar adalah
rambu, sedang alat sipat datar dapat dikatakan sebagai alat bantu untuk mendatarkan
suatu garis atau bidang.
Data untuk pengukuran metoda ini adalah data jarak vertikal (sepanjang rambu)
dari titik nol rambu sampai dengan garis bidik alat. Ini berarti bahwa bila titik nol rambu
diletakkan di atas muka tanah, maka data tersebut adalah jarak dari muka tanah
sampai dengan garis bidik.
di mana :
BTa = Bacaan benang tengah di titik A
BTb = Bacaan benang tengah di titik B
BA + BB = 2.BT (4.6a)
1. Beda tinggi
Bagian pengukuran H yang terkecil/terpendek dimana pada bagian ini alat sipat
datar ditempatkan/diletakkan, disebut sebagai SLAG / SELANG. Bagian ini, dapat
saja berupa pengukuran H antara titik-titik yang sebenarnya tidak diperlukan
keberadaannya. Titik seperti ini dikenal dengan titik bantu. Jarak antar titik bantu,
dapat berdekatan, tetapi mungkin saja cukup jauh, sesuai dengan keperluan,
keadaan lapangan dan kemampuan alat.
Pengukuran H antara titik yang akan ditentukan (antara A-B, pada Gambar 4.4),
disebut SEKSI. Pengukuran seksi, merupakan kumpulan pengukuran slag/selang.
Gambar 4.4
Tampak Atas Pengukuran Sipat Datar Memanjang
Keterangan :
= titik yang akan ditentukan/diukur beda tinggi
0 = titik bantu
= tempat alat sipat datar
= garis lurus antar titik
= garis ukuran
di mana :
Hslag = beda tinggi slag/selang
BTbelakang = bacaan benang tengah rambu belakang
BTmuka = bacaan benang tengah rambu muka
di mana :
Hseksi = beda tinggi (seksi A-B pada Gambar 4.4)
Hslag = jumlah beda tinggi slag dalam seksi tersebut.
2. Gerakan Rambu
Dengan tujuan-tujuan tertentu, pengukuran sipat datar memanjang menggunakan
cara tertentu yang mengatur gerakan dari rambu.
Dengan demikian, beda tinggi setiap slag adalah harga rata-rata H yang
didapatkan setiap dudukan, Bila terjadi perbedaan yang besar (diluar toleransi),
maka alat diletakkan pada dudukan ketiga (stand III) dan dipilih hasil 2 dudukan
yang berselisih/berbeda terkecil atau hasil seluruh dudukan.
Gambar 4.6
Dudukan Ganda (Double Stand)
Jadi pembacaan BT pada dudukan kedua adalah rambu muka terlebih dahulu. Ini
dimaksudkan agar bila terjadi penurunan alat maupun rambu, maka pengaruh
penurunan terhadap beda tinggi akan kecil jika digunakan harga rata-ratanya.
di mana :
C = besar kesalahan garis bidik
Di = 100 (BAi BBi)
i = dudukan i (I,II)
Keterangan :
Besar kesalahan pada persamaan (4.9a) adalah tangensial dari sudut , dan
dinyatakan dalam satuan mm per m. Satuan ini berarti bahwa :
Bila C = 1 mm/m, berarti besarnya kesalahan pembacaan BT adalah 1 mm untuk
jarak alat ke rambu sebesar 1m. Untuk jarak ke rambu adalah 10 m, maka
kesalahan pembacaan adalah sebesar 10 mm.
di mana :
BT = pembacaan benang tengah setelah koreksi
u
BT = pembacaan benang tengah ukuran
D = jarak alat ke rambu
C = besar salah garis bidik
(Hati-hati dengan satuan yang mungkin berbeda)
di mana :
Hslag = beda tinggi slag setelah koreksi
HUslag = beda tinggi slag ukuran (sebelum koreksi)
Db = jarak alat ke rambu belakang
Dm = jarak alat ke rambu muka
C = besar salah garis bidik
di mana :
Hseksi = beda tinggi seksi setelah koreksi
Huslag = jumlah beda tinggi slag ukuran (sebelum koreksi)
Db = jumlah jarak alat ke rambu belakang
Dm = jumlah jarak alat ke rambu muka
C = besar salah garis bidik
di mana :
HB = ketinggian titik B (titik yang akan ditentukan posisi vertikalnya)
HA = ketinggian titik yang telah diketahui/ditentukan.
HAB = berupa beda tinggi ukuran (dapat berupa seksi ataupun slag)
di mana :
Hawal = ketinggian titik awal pengukuran
Hakhir = ketinggian titik akhir pengukuran
AHuseksi = jumlah beda tinggi ukuran tiap seksi
FH = salah penutup ketinggian
Gambar 4.8
Keterangan :
= titik ikat (titik yang diketahui ketinggiannya)
= titik yang akan ditentukan ketinggiannya
= arah pernyataan beda tinggi
Dalam menyatakan beda tinggi suatu rangkaian seksi ataupun jaringan, secara
grafis dinyatakan dengan arah panah, sedang secara tertulis (matematis)
dinyatakan dengan index.
Dengan demikian, pada Gambar 4.8, beda tinggi yang diketahui adalah : HA1 ,
H12 , H32 dan HB3 , sehingga :
Apabila (HB HA) HuAB , maka perlu dihitung besar salah penutup rangkaian
tersebut, dengan menggunakan persamaan (4.11).
Besar koreksi tiap seksi, dapat menggunakan prinsip perbandingan ataupun dibagi
rata. Untuk jarak seksi yang mendekati sama panjang, biasanya membagi rata
koreksi. Untuk pembagian koreksi berdasarkan perbandingan jarak, serupa
dengan metoda Bowditch pada poligon.
D ij
KH ij - FH ............... (4.12)
D
di mana :
KHij = koreksi beda tinggi seksi i-j
i, j = titik-titik seksi sipat datar
Dij = jarak seksi i-j
D = jumlah jarak pengukuran
0 = Huseksi FH ; atau :
Baik profil memanjang maupun melintang, relatif muka bumi diwakili oleh titik
muka bumi yang terpilih. Titik wakil ini, disebut dengan titik detail profil.
Gambar 4.9
Jalur Profil
Keterangan :
A, B, , E = titik-titik jalur profil
= jalur profil memanjang
= jalur profil melintang
A. Pengukuran Profil
Pengukuran profil, baik memanjang ataupun melintang, data yang diperlukan
berupa :
Pemilihan titik detail profil, berdasarkan perubahan relief tanah sepanjang jalur
pengukuran.
Gambar 4.10
Pengukuran Profil
Keterangan :
A = titik ikat (sudah diketahui ketinggiannya)
1,2,3.. = titik detail profil
HA, H1 = ketinggian titik A, 1, 2, ..
TA = bacaan Benang Tengah titik detail 1,2,3,
Dalam hal ini, tidak dihitung beda tinggi antara 2 titik, melainkan dihitung
langsung ketinggian titik yang dimaksud.
Pada Gambar 4.10, dapat dilihat bahwa hitungan tinggi garis bidik sebagai
berikut :
TGB = HA + TA .... (4.13)
Tinggi garis bidik berdasarkan persamaan (4.13), hanya berlaku untuk sekali
berdiri alat (bila terjadi perubahan tempat ataupun dudukan alat, maka TGB yang lalu
tidak lagi berlaku). Persamaan tersebut (4.13) dapat berlaku secara umum, dengan
menggantikan HA dan TA dengan menggantikan ketinggian tempat alat dan tinggi alat.
Jarak datar ke titik detail, dinyatakan / didapat dari jarak alat ke rambu. Jarak ini
dihitung dari pembacaan Benang Atas (BA) dan Benang Bawah (BB), sehingga secara
umum, dapat dituliskan sebagai :
di mana :
D = jarak antar titik detail i-j
i = titik detail profil 1,2,3, ..
j = titik detail profil setelah titik (i + 1)
B. Penggambaran profil
Penggambaran profil dilakukan berdasarkan data ukuran, yaitu ketinggian dan
jarak mendatar antar titik detail profil. Mengingat relief muka tanah menjadi perhatian
utama, maka dalam menggambarkan profil suatu lajur, skala untuk ketinggian dan
untuk jarak antar titik, menggunakan besar skala yang berbeda.
Untuk daerah yang relief muka buminya relatif homogen (naik ataupun turun
mendekati garis lurus), metoda berikut ini merupakan salah satu metoda yang mudah
dan bermanfaat untuk diterapkan .
Sipat datar melapang, pada mulanya ditujukan untuk menarik kontur suatu
daerah dengan relief yang relatif linier dan terbuka (pandangan tidak terhalangi).
Prinsip dasar metoda ini adalah menentukan tinggi titik-titik tertentu, tanpa
menentukan posisi horizontal titik obyek tersebut. Untuk tidak menentukan posisi
horizontal titik obyek, diterapkan cara tersendiri yang bersifat relatif, yaitu dengan
membuat daerah pengukuran dalam bentuk kisi (Grid-cell). (Iihat Gambar 4.12)
Pada sipat datar melapang ini, posisi horizontal titik obyek, merupakan "titik
simpul" grid-cell, sehingga pada penggambaran tidak menjadi masalah.
Ukuran grid-cell dapat beragam, tergantung ketelitian ketinggian/relief yang
diharapkan (misal: 10 m x 10 m). Semakin rapat, semakin baik.
Keterangan :
= titik yang diketahui/ditentukan ketinggiannya (misal A : HA)
= titik obyek
= tempat alat
= bidikan pada pengukuran
Seperti juga pada profil, sipat datar melapang, mempunyai parameter berupa
ketinggian setiap titik obyek (detail) dan jarak antar titik obyek (tertentu, sebesar
ukuran grid-cell). Untuk mendapatkan parameter tersebut, diterapkan model
hitungan/pengolahan pada profil, yaitu dengan tinggi garis bidik.
Kedua model ini hanya akan membedakan cara memperoleh tinggi garis bidik
yang dengan sendirinya akan juga terdapat perbedaan data yang diukur.
Tinggi garis bidik ini akan berubah, setiap peletakan alat yang berbeda, baik
tempat alat maupun ketinggian alat.
di mana :
Hi = ketinggian titik obyek i
BTi = bacaan benang tengah titik i
i = titik obyek sipat datar melapang 1,2,3 ..
Penomoran titik obyek pada metoda ini, sebaiknya dinyatakan seperti elemen
matrix, yaitu menurut baris dan kolom, untuk dapat membedakan lokasi/tempat titik
obyek dengan baik. Salah satu data yang penting artinya dalam metoda ini adalah
"sketsa titik" yang akan sangat membantu dalam pengolahan dan penggambaran.
Gambar 4.13
Penerapan segi-tiga siku pada Posisi Vertikal
Dapat dilihat pada Gambar 4.12, bahwa bila segi-tiga siku diterapkan pada
permukaan bumi, maka hanya notasi atau istilah yang berubah. Notasi segi-tiga
tersebut di lapangan dapat dikatakan sebagai berikut :
JAB : jarak miring dari titik A-B.
DAB : jarak mendatar dari titik A-B (pada bidang mendatar X-O-Y)
m : sudut miring ; yaitu sudut vertikal yang dibentuk dari bidang horizon
(mendatar) sampai jurusan/garis yang dimaksud. Positif (+) ke arah atas
horizon, negatif (-) ke arah bawah.
Jarak vertikal dari titik tertinggi pada gambar (target) sampai dengan garis
terbawah (garis mendatar melalui titik A), dapat dinyatakan panjangnya, yaitu sebesar :
Gambar 4.14
Metoda Trigonometrik
Keterangan :
TA = tinggi alat dari titik A
TT = tinggi target dari titik B
M = sudut miring
JAB = jarak miring A-B
DAB = jarak mendatar A-B
V = sisi tegak segi-tiga siku
HAB = beda tinggi A-B
HAB = V + TA IT (4.18)
Untuk tujuan seperti itu, terdapat banyak cara yang dapat ditempuh baik yang
sederhana maupun yang berteknologi tinggi.
Beberapa contoh cara sederhana dalam mengukur kedalaman dasar air, dapat
dilihat pada Gambar 4.15
Gambar 4.15
Mengukur Kedalaman Air Cara Sederhana
di mana :
D = jarak dari pemancar gelombang sampai ke penerima
V = kecepatan gelombang
T = waktu rambat/tempuh gelombang
Informasi umum yang mungkin dapat berguna untuk metoda ini, secara garis
besarnya adalah sebagai berikut :
Gelombang yang diterapkan adalah gelombang suara
Pemancar (transmitter) dan penerima (receiver), dinyatakan pada tempat yang
sama, sehingga persamaan (4.19), harus disesuaikan dengan masalah ini.
Gelombang yang diterima, merupakan gelombang pantul (berhubung gelombang
suara, maka disebut Echo), sehingga dapat dipengaruhi oleh kekuatan dasar air
dalam memantulkan gelombang tersebut.
Mengingat yang diukur adalah beda tinggi dari muka air sampai dengan dasar
air, maka untuk penyatuan ketinggian di darat, diperlukan juga penerapan metoda
lainnya yang memberikan kaitan (ikatan) antara survey darat dengan survey di air.
Metoda yang "menyatukan" kedua matra (darat dan air) survey tersebut adalah
metoda hidrostatik, di mana salah satu jenis survey adalah "pengamatan muka air'.
Oleh karena itu, dalam ilmu ukur tanah atau surveying, terdapat banyak metoda
yang mungkin terpaksa diterapkan bersamaan dalam pelaksanaan pemetaan suatu
daerah. Metoda-metoda tersebut sebenarnya dapat saling terkait dan tergantung satu
dengan lainnya.
Metoda hidrostatik yang akan dibahas, terbatas pada "pengamatan muka air"
dan kaitannya dengan pengukuran beda tinggi baik di darat maupun di air.
Mengingat metoda ini merupakan metoda yang paling mudah dimengerti, maka
akan dijelaskan langsung pada contoh penerapan metoda tersebut, walaupun diawali
dengan prinsip dasar metoda hidrostatik.
"Muka air (cairan) yang berhubungan, akan sama tinggi bila tanpa suatu
gangguan".
Pengertian "tanpa gangguan", memberikan arti yang cukup luas, antara lain :
Bahwa air (cairan) tersebut, tidak mendapat gaya tekanan baik pada
dasarnya maupun pada permukaan. Bila ada maka dianggap dengan besar
tekanan yang sama.
Tidak terdapat perbedaan komposisi cairan, sehingga di setiap tempat
memiliki massa jenis yang sama.
Tidak mengalami gesekan yang berbeda di setiap tempat
Dalam keadaan diam.
Mengingat hal seperti di atas tidak mungkin dijumpai, maka diambil cara
ataupun metoda yang terbaik untuk mengurangi kemungkinan kesalahan dari dasar
teori.
Pada mulanya, ketinggian setiap titik di daratan adalah pernyataan beda tinggi
titik tersebut dari muka air, yaitu muka air laut rata-rata. Dalam beberapa bidang
terapan, hal tersebut mungkin saja diterapkan secara terbalik, terutama bila tinggi titik
di darat telah ditentukan.
Gambar 4.18, memperlihatkan kaitan antara survey darat dan survey air,
berdasarkan pengamatan tinggi muka air. Dapat dilihat bahwa :
di mana :
H1 : didapat dari pengamatan darat, yaitu dapat dengan penerapan
sipat datar maupun trigonometrik.
HMB : didapat dari pengamatan kedalaman (beda tinggi dari air) dengan
sounding/pemeruman.
TMA : didapat dari pengamatan muka air
Yang berkaitan erat dengan masalah yang tengah dibahas adalah 3 (tiga) hal
pertama, sedang 2 (dua) hal terakhir termasuk pengolahan data kualitatif.
Gambar 4.16
Echo Sounding (Pemeruman)
(a) (b)
Penulisan tegak Penulisan melingkar
Gambar 4.17
Grafik Kedalaman pada Echo-gram
Gambar 4.18
Prinsip dasar Penerapan Hidrostatistik
di mana :
H1 : didapat dari pengamatan darat, yaitu dapat dengan
penerapan sipat datar maupun trigonometrik.
HMB : didapat dari pengamatan kedalaman (beda tinggi dari air)
dengan sounding/pemeruman.
TMA : didapat dari pengamatan muka air
Terdapat beberapa ketentuan dalam mengamati muka air, antara lain adalah :
Pengamatan dilakukan untuk waktu cukup lama (misal 5 hari). Selang
waktu pengamatan, tergantung pada tujuan pengamatan. Bila hanya untuk
membawa ketinggian keseberang sungai, dapat saja dalam selang 15 (lima
belas) menit. Bila untuk perencanaan rekayasa sipil, terutama di daerah
pasang-surut, dapat dalam selang 15-30 hari.
Pengambilan data dilakukan dengan selang tertentu (misal setiap 30
menit).
Letak pengamatan, pada tempat yang sekecil mungkin terkena gangguan
arus (di daerah dengan arus tenang).
Dudukan rambu diharapkan stabil dan ketegakan rambu harus dijaga tetap
baik
Pada pengamatan muka air untuk waktu yang lama, terlebih lagi untuk
mengamati pasang-surut air laut, biasanya digunakan Automatic Water Level
Recorder (AWLR). Alat ini, menggunakan pelampung sebagai indikatornya. Data
direkam (recorded) pada kertas pencatat seperti pada echo-gram.
Salah satu pemanfaatan pengamatan tinggi muka air pada survey pemetaan,
adalah pengikatan ketinggian melalui muka air untuk daerah yang cukup berjauhan
dan terpisahkan oleh air.
Penerapan seperti ini, akan banyak dijumpai untuk daerah yang memiliki sungai
lebar, atau untuk "memindahkan" ketinggian melintasi danau. Pengikatan ketinggian
serupa ini, akibat dari problema kemampuan alat dan situasi daerah yang tidak/kurang
memungkinkan. Bila dilaksanakan seperti biasa, mungkin harus menempuh jalur
pengukuran yang panjang dalam mengelilingi hambatan tersebut. Oleh karena itu, air
dijadikan media untuk mengatasi masalah tersebut.
Terdapat beberapa metoda lain yang dapat diterapkan untuk mengukur beda
tinggi antara 2 titik yang berjauhan, namun memerlukan komunikasi yang baik antara
kedua sisi (tempat pengukuran). Berikut ini hanya akan dibahas dengan cara
menerapkan permukaan air.
Gambar 4.20
Pengikatan Ketinggian untuk Penyeberangan
Keterangan :
A, B : titik di darat
1, 2 : titik di air
Hij : beda tinggi dan i ke j
TMA1 , TMA2 : tinggi muka air di titik 1, 2
di mana :
HAB H2B : didapat dan pengamatan darat
H12 : didapat dari pengamatan kedalaman (beda tinggi
dan air) dengan soundinq/ pemeruman.
TMA1 , TMA2 : didapat dan pengamatan rnuka air
2. Syarat untuk mendapatkan hasil yang baik pada penempatan peil adalah
a. Dasar laut tanah yang lunak
b. Ditempatkan pada muara sungai
c. Ombak air laut tenang
d. Pengamatan muka air laut dilakukan 1 minggu sekali selama 3 bulan
1. Abidin Z., Hasanuddin, 1995, Survei dengan GPS, Jakarta : PT Pradnya Paramita
2. Departemen of the army technical manual (TM-235) 1964, Special Surveys,
Headquarters, Departement of the Army
3. Geographical Survey Institute Team, 1981, Pengukuran Topografi Dan Teknik
Pemetaan, Jakarta : Dainippon Gitakarya Printing
4. Purworaharjo Umaryono, 1986, Ilmu Ukur Tanah Seri C Pemetaan Topografi,
Bandung : Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB
5. Wongsotjiro Soetomo, Ilmu Ukur Tanah , 2000, Kanisius