Anda di halaman 1dari 23

Daftar Isi

Daftar Isi ........................................................................................................................................ 28


BAB III PENENTUAN POSISI VERTIKAL ............................................................................... 29
Capaian Pembelajaran:................................................................................................................... 29
1.1 Posisi Vertikal ........................................................................................................................ 29
1.2 Overview Beda Tinggi ........................................................................................................... 30
1.3 Konsep Dasar Perhitungan Elevasi Suatu Titik ..................................................................... 31
1.4 Konsep Dasar Pengukuran Beda Tinggi Antar Dua Titik ...................................................... 32
1.5 Metode Penentuan Beda Tinggi ............................................................................................. 33
3.5.1 Metode Sipat Datar (Leveling) ......................................................................................... 33
3.5.2 Macam Pengukuran dengan Alat Penyipat Datar ............................................................ 39
3.5.3 Pengukuran Sipat Datar Memanjang (Differential Levelling) ......................................... 40
3.5.4 Penentuan Beda Tinggi Metode Trigonometris ............................................................... 47
3.5.5 Penentuan Beda Tinggi Metode Barometris .................................................................... 49

28
Martince Novianti Bani
BAB III
PENENTUAN POSISI VERTIKAL

“Everything is related to everything else, but near things are more related than
distant things.”
~ Tobler’s First Law of Geography

Capaian Pembelajaran:
Setelah membaca dan mempelajari bab ini, mahasiswa maupun pembaca dapat menjelaskan definisi
posisi vertikal, menyebutkan metode pengukuran beda tinggi, mengetahui rumus dasar perhitungan
beda tinggi dan prosedur perhitungannya. Selain itu, mahasiswa maupun pembaca juga dapat
mengetahui peralatan ukur serta mampu melaksanakan praktik pengukuran beda tinggi.

3.1 Posisi Vertikal


Posisi vertikal merupakan kedudukan suatu obyek di permukaan bumi dalam arah vertikal
dan dihitung terhadap bidang referensi tertentu seperti permukaan laut rata-rata (MSL), geoid, atau
elipsoid. Dalam penentuan posisi vertikal atau sering disebut dengan ketinggian atau elevasi dari
suatu titik atau objek, diperlukan titik-titik dasar yang terjalin dalam suatu jaringan kerangka vertikal
yang telah mempunyai sistem dan referensi tertentu. Kerangka Vertikal merupakan rangkaian titik-
titik dasar di permukaan bumi yang telah mempunyai sistem dan referensi tertentu, dan tersebar
membentuk jaringan yang dapat digunakan sebagai titik ikat dan titik kontrol serta acuan dalam
penentuan posisi vertikal obyek atau titik-titik baru.
Di sisi lain, tujuan penentuan posisi vertikal yaitu untuk
mengetahui nilai ketinggian (elevasi) suatu obyek di atas
bidang referensi tertentu kemudian digunakan untuk keperluan
pemetaan atau keperluan teknis lainnya. Bidang referensi atau H
datum yang dimaksudkan adalah GEOID. Geoid merupakan h

permukaan ekuipotensial medan gravitasi bumi yang berimpit


dengan permukaan laut rata-rata. Penentuan geoid pada N
dasarnya menentukan dua variabel penghubung geoid dan
ellipsoid, yaitu defleksi vertikal (ξ) dan undulasi Geoid (N).
Defleksi vertikal merupakan penyimpangan sudut antara garis
Gambar 3. 1 Representasi bidang
normal geoid dan garis normal ellipsoid. Sedangkan undulasi
referensi bumi
merupakan jarak vertikal antara geoid dan ellipsoid. (www.sciencedirect.com, 2022)
29
Martince Novianti Bani
Di sisi lain, penentuan posisi vertikal bertujuan untuk mengetahui nilai ketinggian (elevasi)
suatu titik di permukaan bumi dalam sistem dan referensi tertentu. Gambar 3.1 merupakan
representasi titik atau objek di permukaan bumi terhadap bidang referensinya. Di mana tinggi
orthometrik (H); tinggi ellipsoid (h), undulasi geoid (N). Sehingga dalam penentuan tinggi
orthometrik maka berlaku formula 𝐻 = ℎ − 𝑁.

3.2 Overview Beda Tinggi


Elevasi merupakan nilai atau besaran suatu obyek baik di bawah, di atas maupun pada
permukaan bumi yang diukur atau dihitung dalam arah vertikal terhadap bidang referensi atau acuan
tertentu. Referensi tertentu itu disebut dengan datum. Datum yang dimaksudkan merujuk kepada
geoid. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa geoid berimpit dengan permukaan laut rata-
rata (MSL) yang memiliki elevasi nol (Ghilani dan Wolf, 2012).
Beda tinggi merupakan jarak terpendek antara dua bidang nivo yang melintasi kedua titik
tersebut. Sedangkan bidang nivo merupakan suatu bidang yang tiap titiknya dilalui garis tegak lurus
(garis unting-unting “plumb line”) terhadap arah gaya berat menuju pusat bumi. Bidang nivo juga
merupakan garis lengkung yang melingkupi bumi dan bidang nivo satu dengan yang lainnya tidak
saling berpotongan. Gambar 3.2 merupakan ilustrasi bidang nivo yang melingkupi permukaan bumi.

Bidang Nivo B
B➔E=499

Permukaan bumi

Beda tinggi = 303 Bidang Nivo


A
Garis horizontal
A➔E=196
Plumb Line
Datum Elev. = 0

Gambar 3. 2 Bidang nivo di permukaan bumi dan beda tingginya


(Davis and Foote, 1953)

Berdasarkan ilustrasi di atas, maka dapat diketahui bahwa arah vertikal merupakan arah gaya
gravitasi. Di sisi lain, perlu diketahui bahwa dalam Ukur Tanah pengukuran tinggi dilakukan untuk
memperoleh nilai ketinggian di suatu titik lalu data hasil ukurannya digunakan untuk

30
Martince Novianti Bani
merepresentasikan profil permukaan tanah di suatu wilayah. Gambar 3.3. merupakan ilustrasi
pengukuran beda tinggi.
Keterangan gambar:
BT 𝑯𝟏 : Elevasi pada titik 1
𝑯𝟐 : Elevasi pada titik 2
SD VD
𝒉 : Beda tinggi antara titik 1 dan titik
2 = 𝑯𝟐 – 𝑯𝟏
z
m 𝑽𝑫 : Jarak vertikal bacaan theodolite
H2
𝑧 : Sudut vertikal
Hi h 𝑚 : Sudut miring (𝟗𝟎° – 𝒛)
𝐻𝐷 : Jarak mendatar
H1 HD
𝑆𝐷 : Jarak miring
𝑩𝑻 : Bacaan Benang Tengah pada
Gambar 3. 3 Pengukuran Beda tinggi rambu ukur

𝑯𝒊 : Tinggi instrument

3.3 Konsep Dasar Perhitungan Elevasi Suatu Titik


Berdasarkan pembahasan di atas, diketahui juga bahwa jarak vertikal suatu titik di atas atau
di bawah permukaan referensi tertentu disebut elevasi titik. Permukaan referensi yang paling umum
digunakan untuk jarak vertikal adalah permukaan laut rata-rata (MSL). Misalkan dua buah titik di
permukaan bumi dinotasikan sebagai titik A dan titik B, kemudian diukur beda tingginya dan
dinotasikan sebagai “𝒉” sedangkan tinggi titik A telah diketahui elevasinya yaitu HA, maka elevasi
atau tinggi titik B dapat dihitung dengan persamaan dasar sebagai berikut:
𝑯𝑩 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉
Perlu diketahui juga bahwa:
Jika nilai ∆𝒉 > 𝟎, maka tinggi B lebih tinggi daripada titik A
Jika nilai ∆𝒉 < 𝟎, maka tinggi B lebih rendah daripada titik A
Jika nilai ∆𝒉 = 𝟎, maka tinggi B sama tinggi dengan titik A

Contoh:
Pada suatu pengukuran di lapangan diketahui nilai elevasi awal pada titik A yaitu 110 meter.
Hasil pengukuran beda tinggi antara titik A dan titik B yaitu ∆𝒉𝑨𝑩 = + 1.230 meter, antara
titik A dan titik C: ∆𝒉𝑨𝑪 = -2.210 meter. Berdasarkan data awal tersebut maka hitunglah
ketinggian titik B dan C, berapa beda tinggi B dan C?
31
Martince Novianti Bani
Penyelesaian:
• Titik B: HB = HA + ∆𝒉𝑨𝑩 • Titik C: HC = HA + ∆𝒉𝑨𝑪
= 110 + 1.230 = 110 + (-2.210)
= + 111.230 meter = +107.790 meter
• Beda tinggi antara titik B dan C
∆𝒉𝑩𝑪 = ∆𝒉𝑩𝑨 + ∆𝒉𝑨𝑪 atau • ∆𝒉𝑩𝑪 = 𝑯𝑪 + 𝑯𝑩
= −∆𝒉𝑨𝑩 + ∆𝒉𝑨𝑪 = 107.790 - 111.230
= -1.230 + (-2.210) = -3.440 meter
= -3.440 meter

3.4 Konsep Dasar Pengukuran Beda Tinggi Antar Dua Titik


Bidang nivo dideskripsikan sebagai bidang lengkung. Namun, dalam aplikasi pengukuran di
lapangan, jika jarak antara dua titik relatif pendek maka bidang nivo dianggap bidang mendatar.
Dalam hal ini permukaan bumi dianggap datar. Konsep bidang nivo ini dapat dilihat pada Gambar
3.4. Titik A dan B pada permukaan bumi dianggap datar (artinya kelengkungan bumi diabaikan).

Permukaan bumi
Bidang nivo B B
Bidang nivo A
A

MSL = 0.000 ft. (m)

Gambar 3. 4 Konsep bidang nivo (Kavanagh, 2010)

Berdasarkan Gambar 3.5 dapat dilihat bahwa terdapat dua bidang mendatar (bidang nivo)
yang melalui titik A dan titik B, maka jarak terpendek (jarak vertikal) dari dua bidang tersebut
merupakan beda tinggi antara titik A dan titik B. Apabila ditempatkan rambu ukur di titik A dan B,
kemudian ditarik garis sejajar bidang nivo yang memotong rambu ukur di titik A (pada skala bacaan
Bs), dan juga memotong rambu ukur di titik B (pada skala bacaan Fs), maka beda tinggi antara A dan
B dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:
∆𝒉𝑨𝑩 = 𝑩𝒔 − 𝑭𝒔
Sebaliknya, beda tinggi antara B dan A ditulis ∆𝒉𝑩𝑨 = 𝑭𝒔 − 𝑩𝒔

32
Martince Novianti Bani
Bs Garis bidik horizontal Fs

HLS
Bidang nivo B
hAB B
Bidang nivo A
HB
A
HA
Bidang referensi

**Note: BS = backsight – Baacaan rambu belakang;


FS = foresight – Bacaan rambu depan;
𝑯𝑳𝑺 = Tinggi Garis Bidik (TGB)

Gambar 3. 5 Konsep dasar pengukuran beda tinggi

Perlu diketahui juga bahwa garis awal skala kedua rambu seperti yang diilustrasikan di atas,
mempunyai angka bacaan yang sama dan satuan skalanya juga sama. Garis mendatar tersebut
merupakan garis bidik dari teropong alat ukur ke posisi rambu ukur sehingga dapat ditentukan angka
bacaan BS dan FS pada rambu ukur.

3.5 Metode Penentuan Beda Tinggi


Pelaksanaan pengukuran beda tinggi antara titik-titik di permukaan bumi menggunakan tiga
metode pengukuran a.l.:
1. Sipat datar (leveling)
2. Trigonometris
3. Barometris
Ketiga metode ini akan dibahasa lebih lanjut dalam sub pokok bahasan berikut ini.

3.5.1 Metode Sipat Datar (Leveling)


Metode sipat datar atau yang lebih dikenal sebagai leveling merupakan suatu metode
pengukuran beda tinggi antara titik-titik di permukaan bumi dengan menggunakan alat penyipat
datar. Tujuannya yaitu untuk menentukan ketinggian relatif dari titik atau obyek terhadap suatu
bidang referensi atau acuan tertentu. Nilai ketinggian titik disebut elevasi titik.

33
Martince Novianti Bani
Prinsip dasar pengukuran pada metode ini menggunakan alat penyipat datar yang disebut
automatic level atau lebih dikenal dengan waterpass serta dibantu oleh rambu ukur. Bagian-bagian
automatic level ditunjukkan oleh Gambar 3.6 berikut ini:
1. Lingkaran horizontal berskala
2. Skala pada lingkaran horizontal
3. Okuler teropong
4. Visir
5. Sekrup penyetel fokus
6. Sekrup penggerak horizontal
7. Sekrup pengungkit
8. Sekrup pendatar
9. Obyektif teropong
10. Nivo tabung
11. Nivo kotak
12. Kepala tribach
Gambar 3. 6 Automatic level dan bagian-bagiannya

Syarat utama alat penyipat datar atau automatic level dapat digunakan dalam pengukuran
sipat datar atau (leveling) secara benar yaitu:
1. Garis bidik sejajar garis arah nivo
2. Garis arah nivo tegak lurus sumbu I (satu)
3. Benang diafragma tegak lurus sumbu I (satu)

Selain itu juga terdapat beberapa ketentuan dalam melakukan pengukuran beda tinggi dengan
metode sipat datar, yaitu:
1. Sebelum dan sesudah melakukan pengukuran, perlu dilakukan pengecekan garis bidik dari alat
sipat datar yang digunakan
2. Waterpass harus dipasang di tanah keras dan stabil
3. Pembacaan rambu ukur dilakukan mulai dari rambu belakang lalu ke rambu depan
4. Jarak antara alat ukur ke rambu ukur <50 meter
5. Bacaan benang rambu yang dibaca saat pembidikan rambu ukur yaitu BA (Benang Atas), BT
(Benang Tengah), dan BB (Benang Bawah). Lihat Gambar 3.6.
6. Rambu juga dilengkapi dengan nivo kotak dan dipasang tegak

34
Martince Novianti Bani
7. Jika dalam pelaksaan pengukuran dan jalur sipat datar cukup jauh serta tidak dapat diselesaikan
dalam sehari, maka pengukuran harus dibagi dalam beberapa seksi. Tiap seksi pengukuran harus
selesai dalam satu hari serta dibagi dalam beberapa slag (tempat berdiri alat ukur) pengukuran
yang jumlahnya harus genap
8. Dalam tiap seksi pengukuran diusahakan jumlah jarak belakang = jumlah jarak depan
9. Setiap pindah slag, rambu harus diatur sedemikian rupa sehingga rambu belakang dipindah
menjadi rambu depan pada slag berikutnya, begitu seterusnya.

Bacaan Benang
Atas (BA)

Bacaan Benang
Tengah (BT)

Benang Vertikal Bacaan Benang


3 Bawah (BB)
2
1
*1,2,3, masing-masing bernilai 1 cm
dan setiap huruf E bernilai 5 cm

Gambar 3. 7 Bacaan benang pada rambu ukur dilihat dari teropong alat ukur

Hasil bacaan benang pada rambu ukur yaitu:


BA= 1.007 m
BT = 0.970 m
BB = 0.933 m

Dalam pelaksanaan pengukuran beda tinggi dengan alat penyipat datar terdapat tiga teknik
pengukuran, yaitu:
1. Alat penyipat datar ditempatkan pada titik yang diketahui ketinggiannya
2. Alat penyipat datar ditempatkan di antara kedua titik yang akan diukur
3. Alat penyipat datar ditempatkan pada salah satu sisi titik yang akan diukur.
Ketiga teknik pengukuran tersebut diuraikan secara rinci sebagai berikut:

35
Martince Novianti Bani
3.5.1.1 Alat penyipat datar ditempatkan pada titik yang diketahui ketinggiannya
Dengan cara ini, jika ingin menentukan nilai tinggi garis bidik (HLS) maka perlu dilakukan
pengukuran tinggi alat (𝑯𝒊). Kemudian jika dilakukan pengukuran dan pembacaan rambu di titik
lainnya maka elevasi di titik yang diukur tersebut dapat dihitung nilainya. Gambar 3.8 merupakan
representasi dari pengukuran sipat datar (defferential leveling) yang mana automatic level
ditempatkan di atas titik yang telah diketahui nilai elevasinya.
Garis bidik mendatar
FS

Hi

A
HLS ∆hAB = Hi - FS
HA
B
HB
Bidang referensi
Datum
Gambar 3. 8 Leveling - Automatic level dipasang tepat di atas titik
yang diketahui nilai elevasinya

Keterangan:
Hi = Tinggi Automatic level di titik A
HLS = Tinggi Garis bidik
HA = Elevasi pada station A
HB = Elevasi pada station B
FS = foresight (bacaan benang tengah di rambu B)
∆𝒉𝑨𝑩 = beda tinggi dari titik A ke B

Untuk mengetahui nilai elevasi di titik B maka diterapkan rumus berikut ini
∆𝐡𝐀𝐁 = 𝐇𝐢 − 𝐅𝐒
𝐇𝐁 = 𝐇𝑳𝑺 − 𝐅𝐒
𝐇𝐁 = 𝐇𝐀 + 𝐇𝐢 − 𝐅𝐒
𝐇𝐁 = 𝐇𝐀 + ∆𝐡𝐀𝐁

36
Martince Novianti Bani
Catatan:
1. 𝑯𝒊 dapat dianggap sebagai hasil pengukuran ke belakang, karena station A diketahui tingginya.
Dengan demikian beda tinggi dari titik A ke titik B yaitu ∆𝒉𝑨𝑩 = 𝑯𝒊 − 𝑭𝑺. Hasil ini
menunjukkan bahwa ∆𝒉𝑨𝑩 adalah negatif (karena 𝑯𝒊 < FS) sesuai dengan keadaan dimana station
B lebih rendah dari pada station A
2. Beda tinggi dari titik B ke titik A yaitu ∆𝒉𝑩𝑨 = 𝑭𝑺 − 𝑯𝒊 . Hasilnya bertanda positif, sehingga
𝑯𝑨 = 𝑯𝑩 + ∆𝒉𝑩𝑨, dan dapat diketahui titik A lebih tinggi dari pada titik B
3. Berdasarkan point 1 dan 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa ∆𝒉𝑩𝑨 = −∆𝒉𝑨𝑩 .

3.5.1.2 Alat penyipat datar ditempatkan diantara dua stasion (tidak harus segaris)
Dengan cara ini maka tinggi alat (𝑯𝒊 ) tidak perlu diukur. Automatic level ditempatkan
diantara kedua rambu yang diletakan di posisi yang akan diukur beda tingginya. Dengan teknik
pengukuran ini makan posisi alat tidak harus berada tepat di tengah maupun segaris dengan kedua
rambu. Sehingga yang terpenting adalah dapat melakukan pembacaan angka rambu dari posisi alat
berdiri, kemudian dihitung beda tingginya dan elevasinya, jika salah satu titik itu sudah diketahui
elevasinya. Gambar 3.9 merupakan representasi dari teknik ini.

Garis bidik mendatar FS


BS

HLS
B

∆hAB
HB
A

HA
Bidang referensi
Datum

Gambar 3. 9 Leveling - Automatic level ditempatkan diantara dua


stasion (tidak harus segaris)

Berdasarkan Gambar 3.9 di atas juga maka perlu diperhatikan bahwa:


∆𝒉𝑨𝑩 = 𝑩𝑺 − 𝑭𝑺
∆𝒉𝑩𝑨 = 𝑭𝑺 − 𝑩𝑺
Bila tinggi stasion A adalah 𝑯𝑨 , maka tinggi stasion B adalah:
𝑯𝑩 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉𝑨𝑩 = 𝑯𝑨 + 𝑩𝑺 − 𝑭𝑺 = 𝑯𝑳𝑺 − 𝑭𝑺
37
Martince Novianti Bani
Bila tinggi stasion B adalah 𝑯𝑩 , maka tinggi stasion A adalah:
𝑯𝑨 = 𝑯𝑩 + ∆𝒉𝑩𝑨 = 𝑯𝑩 + 𝑭𝑺 − 𝑩𝑺 = 𝑯𝑳𝑺 − 𝑩𝑺

3.5.1.3 Alat penyipat datar ditempatkan pada salah satu sisi titik yang akan diukur
Pada cara ini, alat ukur tidak ditempatkan pada ataupun diantara titik dan tidak perlu
dilakukan pengukuran tinggi alat (𝑯𝒊 ). Namun rambu ukur didirikan pada titik-titik yang akan diukur
beda tingginya dan automatic level dipasang pada salah satu sisi titiknya lalu dilakukan pembacaan
angka rambu. Kemudian beda tinggi antara kedua titik tersebut dapat dihitung jika salah satu titik itu
sudah diketahui elevasinya. Gambar 3.10 merupakan ilustrasi dari teknik pengukuran ini.

Garis bidik mendatar


BS FS

HLS

∆hAB
A
HB
HA
Bidang referensai
Datum

Gambar 3. 10 Leveling - Automatic level ditempatkan pada


salah satu sisi titik yang akan diukur

Berdasarkan Gambar 3.9, maka dapat diformulasikan


∆𝒉𝑨𝑩 = 𝑩𝑺 − 𝑭𝑺
∆𝒉𝑩𝑨 = 𝑭𝑺 − 𝑩𝑺
Bila elevasi stasion A diketahui, maka: 𝑯𝑩 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉𝑨𝑩 = 𝑯𝑨 + 𝑩𝑺 − 𝑭𝑺
Bila elevasi stasion B diketahui, maka: 𝑯𝑨 = 𝑯𝑩 + ∆𝒉𝑩𝑨 = 𝑯𝑩 + 𝑭𝑺 − 𝑩𝑺

Berdasarkan ketiga teknik pengukuran tersebut, teknik yang sering digunakan yaitu cara
kedua. Hal ini dikarenakan teknik tersebut memberikan hasil relatif lebih teliti dibandingkan dua
cara lainnya. Pada cara pertama, pengukuran 𝑯𝒊 pada umumnya kurang teliti dibandingkan dengan
pembacaan rambu. Pada cara ketiga, pembacaan BS kurang teliti dibandingkan dengan pembacaan
FS, karena jarak antara alat ke rambu A lebih jauh daripada ke rambu B. Sedangkan pada cara kedua
pembacaan BS dan FS relatif sama ketelitiannya karena automatic level berada diantara kedua rambu.
Disisi lain, dengan cara kedua maka dapat mereduksi kesalahan hasil ukur yang diakibatkan oleh
38
Martince Novianti Bani
manusia (kesalahan dalam pembacaan rambu), kesalahan cuaca atau juga pengaruh refraksi udara,
pengaruh kelengkungan bumi, maupun kesalahan dari Automatic level (alat penyipat datar) itu
sendiri.

3.5.2 Macam Pengukuran dengan Alat Penyipat Datar


Beberapa macam pengukuran dengan menggunakan penyipat datar dilihat dari tujuan
pengukuran maka dapat dikelompokkan atas beberapa jenis, yaitu
1. Pengukuran sipat datar memanjang (Differential Leveling)
Pengukuran ini digunakan apabila jarak antara dua stasion yang ditentukan beda tingginya sangat
berjauhan atau berada di luar jangkauan jarak pandang. Jarak antara kedua stasion tersebut dapat
dibagi dalam jarak pendek yang disebut seksi atau slag. Jumlah aljabar beda tinggi tiapa seksi
akan menghasilkan beda tinggi antara kedua stasion tersebut.
2. Pengukuran profil memanjang (Profle Leveling/Longitudinal Section)
Pengukuran ini digunakan untuk menentukan ketinggian titik-titik sepanjang garis tertentu atau
garis proyek, misalnya profil sepanjang garis rencana jalan, rencana jalur kereta api, rencana
saluran irigasi, jalur pipa, dan lain-lain.
3. Pengukuran profil melintang (Cross Section)
Pengukuran ini digunakan untuk menentukan tinggi rendahnya permukaan tanah sepanjang garis
tegak lurus garis proyek.
4. Pengukuran sipat datar luas.
Pengukuran ini digunakan untuk menentukan ketinggian titik-titik yang menyebar dengan
kerapatan tertentu direpresentasikan dalam bentuk garis-garis ketinggian (kontur).
5. Pengukuran sipat datar resiprokal (Reciprocal Leveling)
Pengukuran ini merupakan pengukuran sipat datar dimana alat penyipat datar (waterpass) tidak
dapat ditempatkan antara dua stasion. Reciprocal leveling dilaksanakan dengan pembacaan
diambil dari kedua arah antara dua titik yang bertujuan untuk mengurangi kesalahan. Contohnya
pengukuran sipat datar menyebrangi sungai atau lembah yang lebar.
6. Pengukuran sipat datar teliti (Precise Levelling)
Pengukuran ini merupakan pengukuran sipat datar yang menggunakan aturan serta peralatan
sipat datar teliti.

Dalam subbab ini pembahasan akan difokuskan pada pengukuran sipat datar memanjang
dengan berbagai model dan cara perhitungannya.

39
Martince Novianti Bani
3.5.3 Pengukuran Sipat Datar Memanjang (Differential Levelling)
Pengukuran sipat datar memanjang (differential levelling) yang sering diterapkan dalam arah
memanjang atau lebih dikenal denga long section, digunakan untuk mengukur elevasi antar titik yang
berjauhan menggunakan alat penyipat datar. Misalkan titik A dan titik B akan ditentukan beda
tingginya. Jarak antar titik A dan titik B cukup jauh, misalkan >2 km. Dengan menerapkan metode
sipat datar memanjang sepanjang jalur rencana yaitu dari titik A ke titik B maka jalur tersebut dibagi
dalam beberapa slag, misalkan jarak setiap slagn sekitar 100 meter. Kemudian dilakukan pengukuran
beda tingginya dengan cara melakukan pembacaan BA, BT dan BB pada rambu belakang (BS)
maupun rambu depan (FS). Prosedur pengukuran seperti digambarkan pada Gambar 3.11 berikut ini.

I II
III

BS4 FS4

BS2 FS2
FS1
BS3 FS3
BS1

B
3
1
A 2

Gambar 3. 11 Teknik pengukuran sipat datar memanjang (differential levelling)

Keterangan gambar:
A dan B : titik yang akan diukur beda tingginya
1, 2, dan 3 : titik bantu (turning point)
BS : rambu belakang – Back Sight
FS : rambu muka - Foresight
BS1 s.d. BS4 : bacaan BT rambu belakang
FS1 s.d. FS4 : bacaan BT rambu depan

40
Martince Novianti Bani
Prinsip perhitungannya yaitu jumlah beda tinggi tiap slag dari titik A hingga titik B akan
memberikan nilai beda tinggi antara kedua titik tersebut. Secara matematis dapat ditulis sebagai
berikut:
Beda tinggi tiap slag: ∆𝒉𝒊 = 𝑩𝑺𝒊 − 𝑭𝑺𝒊
Beda tinggi antara A dan B:
𝒏 𝒏 𝒏 𝒏

∆𝒉𝑨𝑩 = ∑ ∆𝒉𝒊 = ∑(𝑩𝑺𝒊 − 𝑭𝑺𝒊 ) = ∑ 𝑩𝑺𝒊 − ∑ 𝑭𝑺𝒊


𝒊=𝟏 𝒊=𝟏 𝒊=𝟏 𝒊=𝟏

**Catatan: ∆𝒉𝒊 disini merupkan elevasi ke-sekian


Elevasi titik B dapat dihitung dengan rumus dasar: 𝑯𝑩 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉𝑨𝑩
Untuk kontrol pembacaan rambu depan maupun belakang: 𝑩𝑻 = 𝟏⁄𝟐 (𝑩𝑨 + 𝑩𝑩)
Jarak mendatar (jarak optis) antara posisi alat dan rambu: 𝑫 = 𝟏𝟎𝟎 (𝑩𝑨 – 𝑩𝑩)

Selain itu, dalam pelaksanaan pengukuran sipat datar memanjang, ditinjau dari jalurnya maka
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pengukuran jalur terbuka
2. Pengukuran jalur tertutup
Pada pengukuran sipat datar memanjang jalur terbuka dibedakan menjadi dua, yaitu jalur
terbuka terikat dan jalur terbuka tidak terikat.

3.5.2.1 Pengukuran Sipat datar terbuka tidak terikat


Pada pengukuran ini, jika diketahui elevasi salah satu titiknya maka elevasi titik lainnya dapat
dihitung apabila telah dilakukan pengukuran beda tinggi antara titik-titik yang berurutan pada jalur
tersebut. Misalnya, pada suatu jalur pengukuran sipat datar seperti pada Gambar 3.12, dapat dilihat
bahwa titik A telah diketahui elevasinya yaitu 𝑯𝑨 . Kemudian beda tinggi antara titik A dan titik 4
dengan melalui titik 1, 2, dan 3.

A 2 3
Known Datum or 4
RL 1

Gambar 3. 12 Jalur pengukuran sipat datar terbuka tidak terikat

41
Martince Novianti Bani
Elevasi titik-titik sepanjang jalur tersebut dapat dihitung menggunakan rumus dasar sebagai berikut:
𝑯𝟏 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉𝑨𝟏 Dimana ∆𝒉𝑨𝟏 : beda tinggi A-1
𝑯𝟐 = 𝑯𝟏 + ∆𝒉𝟏𝟐 ∆𝒉𝟏𝟐: beda tinggi 1-2
𝑯𝟑 = 𝑯𝟐 + ∆𝒉𝟐𝟑 ∆𝒉𝟐𝟑: beda tinggi 2-3
𝑯𝟒 = 𝑯𝟑 + ∆𝒉𝟑𝟒 ∆𝒉𝟑𝟒: beda tinggi 3-4
Contoh Soal:
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan maka diketahui elevasi pada titik A = 124.125, beda tinggi
hasil ukuran yaitu ∆𝒉𝑨𝑩 = 1.888 m; ∆𝒉𝑩𝑪 = -2.445 m; ∆𝒉𝑪𝑫= 2.445 m; ∆𝒉𝑫𝑬= 1.444 m. tentukanlah
nilai ketinggian pada titik B, C, D, dan E.
Penyelesaian:
Ketinggian 𝑩 ∶ 𝑯𝑩 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉𝑨𝑩 = 124.125+ 1.888 = 126.013 meter
Ketinggian 𝑪 ∶ 𝑯𝑪 = 𝑯𝑩 + ∆𝒉𝑩𝑪 = 126.013 + (-2.445) = 123.568 meter
Ketinggian 𝑫 ∶ 𝑯𝑫 = 𝑯𝑪 + ∆𝒉𝑪𝑫 = 123.568 + 2.445 = 126.013 meter
Ketinggian 𝑬 ∶ 𝑯𝑬 = 𝑯𝑫 + ∆𝒉𝑫𝑬= 126.013 + 1.444 = 127.457 meter

3.5.2.2 Pengukuran sipat datar terbuka terikat


Pada jenis pengukuran ini, elevasi pada titik lainnya dapat dihitung apabila elevasi pada kedua
titik ujungnya diketahui. Gambar 3.13 merupakan representasi pengukuran sipat datar terbuka terikat.

A 3
2 B
Known Datum or Known Datum or
RL 1 RL

Gambar 3. 13 Jalur pengukuran sipat datar terbuka terikat

Tinggi titik A diketahui 𝑯𝑨 (titik ujung awal)


Tinggi titik B diketahui 𝑯𝑩 (titik ujung akhir)

Hasil pengukuran beda tinggi sepanjang jalur A sampai B yang melewati titik 1, 2, dan 3
adalah ∆𝒉𝑨𝟏 , ∆𝒉𝟏𝟐, ∆𝒉𝟐𝟑, ∆𝒉𝟑𝑩.
Adapun syarat utama yang harus dipenuhi pada suatu pengukuran jalur sipat datar terbuka terikat
yaitu: 𝑯 (𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓) – 𝑯 (𝒂𝒘𝒂𝒍) = ∑ ∆𝒉 (𝒖𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏)
Pada contoh ini berlaku persamaan dasar yaitu 𝑯𝑩 −𝑯𝑨 = ∆𝒉𝑨𝟏 + ∆𝒉𝟏𝟐+ ∆𝒉𝟐𝟑 + ∆𝒉𝟑𝑩

42
Martince Novianti Bani
Adanya kesalahan pengukuran beda tinggi dapat diketahui besarnya dengan berpedoman pada
persyaratan di atas. Kemudian untuk mengetahui besarnya kesalahan beda tinggi hasil ukuran
maka formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
𝒇𝒉 = { ∆𝒉 (𝒖𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏)} − {𝑯(𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓) − 𝑯(𝒂𝒘𝒂𝒍)}
Perlu diketahui juga bahwa dalam pengukuran pun sering terjadi kesalahan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan koreksi terhadap data ukuran beda tinggi. Nilai koreksi dinotasikan sebagai 𝜹𝒉, yang
mana koreksi tersebut berbanding lurus dengan jarak antara dua titik terukur dan dapat
diformulasikan sebagai berikut:
𝒅
𝜹𝒉 = (−𝒇𝒉 )
∑𝒅
Setelah itu maka elevasi titik sepanjang jalur pengukuran tersebut dapat dihitung dengan
menambahkan nilai koreksi pada masing-masing beda tingginya. Hitungan elevasi titik dapat
dirumuskan sebagai berikut:
𝑯(𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌) = 𝑯(𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎𝒏𝒚𝒂) + 𝒃𝒆𝒅𝒂 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 + 𝒌𝒐𝒓𝒆𝒌𝒔𝒊𝒏𝒚𝒂
Sedangkan elevasi titik 1, 2, 3 pada kasus ini dapat dihitung sebagai berikut:
𝑯𝟏 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉𝑨𝟏 + 𝜹𝒉𝑨𝟏
𝑯𝟐 = 𝑯𝟏 + ∆𝒉𝟏𝟐 + 𝜹𝒉𝟏𝟐
𝑯𝟑 = 𝑯𝟐 + ∆𝒉𝟐𝟑 + 𝜹𝒉𝟐𝟑
𝑯𝟒 = 𝑯𝟑 + ∆𝒉𝟑𝑩 + 𝜹𝒉𝟑𝑩
Elevasi pada titik B perlu dihitung juga sebagai kontrol hitungan yang nilainya harus sama
dengan nilai titik B pada data yang diketahui.

Contoh soal:
Pada suatu jalur pengukuran sipat datar (terikat) dari titik A ke titik G diketahui elevasi pada titik A
(HA) = 675.456 meter, dan tinggi titik G (HG) = 678.910 meter. Kemudia data hasil ukuran lainnya
direpresentasikan dalam tabel berikut ini:
NO Bacaan Benang Tengah Jarak (meter)
Belakang (BS) Depan (FS) Belakang (BS) Depan (FS)
A 1.535 52.5
B 0.805 0.639 59.5 55.5
C 1.832 2.393 60.7 55.5
D 2.357 0.498 57.7 65.2
E 1.834 0.975 65.3 58.7
F 1.113 0.549 75.8 65.2
G 0.888 69.5

43
Martince Novianti Bani
Berdasarkan sejumlah data ukur di lapangan yang tertera di atas, maka hitunglah elevasi titik B s.d.
titik F sesuai prosedur!

Penyelesaian:
Hitungan beda tinggi = bacaan BT (belakang) – bacaan BT (depan)
∆𝒉𝑨𝑩 = 1.535– 0.639= 0.896
∆𝒉𝑩𝑪 = 0.805– 2.393= -1.588
∆𝒉𝑪𝑫 = 1.832– 0.486= 1.334
∆𝒉𝑫𝑬 = 2.357– 0.975= 1.382
∆𝒉𝑬𝑭 = 1.834– 0.549= 1.285
∆𝒉𝑭𝑮 = 1.113– 0.888= 0.225
Menghitung jumlah beda tinggi dari titik A sampai titik G:
∑ ∆𝒉 = ∆𝒉𝑨𝑩 + ∆𝒉𝑩𝑪 + ∆𝒉𝑪𝑫 + ∆𝒉𝑫𝑬 + ∆𝒉𝑬𝑭 + ∆𝒉𝑭𝑮
∑ ∆𝒉 = 3.534 meter
Menghitung kesalahan beda tinggi:
𝒇𝒉 = (∑ ∆𝒉) − (𝑯𝑮 − 𝑯𝑨 )
= 3.534 – (678.910 – 675.456)
= 0.080
𝒅
Menghitung nilai koreksi beda tinggi ukuran: 𝜹𝒉 = ∑ 𝒅 (−𝒇𝒉 )

∑ 𝒅 = 𝒅𝒂𝒃 + 𝒅𝒃𝒄 + 𝒅𝒄𝒅 + 𝒅𝒅𝒆 + 𝒅𝒆𝒇 + 𝒅𝒇𝒈 = 741.1 meter


𝒅𝒂𝒃 𝒅𝒅𝒆
𝜹𝒉𝟏 = ∑𝒅
(−𝒇𝒉 ) = - 0.012 𝜹𝒉𝟒 = ∑𝒅
(−𝒇𝒉 ) = -0.013
𝒅𝒃𝒄 𝒅𝒆𝒇
𝜹𝒉𝟐 = ∑𝒅
(−𝒇𝒉 ) = -0.012 𝜹𝒉𝟓 = ∑𝒅
(−𝒇𝒉 ) = -0.014
𝒅𝒄𝒅 𝒅𝒇𝒈
𝜹𝒉𝟑 = ∑𝒅
(−𝒇𝒉 ) = -0.014 𝜹𝒉𝟔 = ∑𝒅
(−𝒇𝒉 ) = -0.016

Menghitung tinggi titik (elevasi titik) :


Titik 𝑩 ∶ 𝑯𝑩 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉𝒂𝒃 + 𝜹𝒉𝟏 = 676.340 meter
Titik 𝑪 ∶ 𝑯𝑪 = 𝑯𝑩 + ∆𝒉𝒃𝒄 + 𝜹𝒉𝟐 = 674.740 meter
Titik 𝑫 ∶ 𝑯𝑫 = 𝑯𝑪 + ∆𝒉𝒄𝒅 + 𝜹𝒉𝟑 = 676.060 meter
Titik 𝑬 ∶ 𝑯𝑬 = 𝑯𝑫 + ∆𝒉𝒅𝒆 + 𝜹𝒉𝟒 = 677.430 meter
Titik 𝑭 ∶ 𝑯𝑭 = 𝑯𝑬 + ∆𝒉𝒆𝒇 + 𝜹𝒉𝟓 = 578.701 meter
Titik 𝑮 ∶ 𝑯𝑮 = 𝑯𝑭 + ∆𝒉𝒇𝒈 + 𝜹𝒉𝟔 = 678.910 meter (sebagai kontrol hitungan)

44
Martince Novianti Bani
3.5.2.3 Pengukuran sipat datar tertutup
Prinsip pengukuran pada jalur sipat datar tertutup merupakan ini yaitu merupakan bentuk
jalur sipat datar terikat, namun dalam hal ini titik awal dan titik akhir berada pada posisi yang sama
(berimpit), artinya H (awal) = H (akhir). Sehingga syarat geometri yang harus dipenuhi dalam proses
perhitungan data untuk jalur sipat datar tertutup adalah
 ∆𝒉 (𝒖𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏) = 𝟎
Sebagai contoh, misalkan pada suatu jalur pengukuran sipat datar tertutup ABCDA seperti
pada Gambar 3.14, titik A telah diketahui elevasinya yaitu HA, selanjutnya diukur beda tinggi antar
titiknya (sesuai arah panah).

D
E
C

B
A F
Known Datum or
RL

Gambar 3. 14 Jalur pengukuran sipat datar tertutup

Berdasarkan pernyataan di atas, maka sistematika penyelesaian hitungan dan cara pemberian
koreksi terhadap beda tinggi hasil ukuran sama dengan formula sipat datar terbuka terikat. Sedangkan
kesalahan pengukuran beda tinggi (closing error) dapat diketahui besarnya dengan berpedoman pada
syarat yang diformulasikan sebagai berikut:
𝑭𝒉 = { ∆𝒉 (𝒖𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏)}
Nilai koreksinya (𝜹𝒉 atau 𝒌𝒉) terhadap data ukuran beda tinggi secara teoritis berbanding
lurus dengan jarak antara kedua titik terukur dan dapat diformulasikan sebagai berikut:
𝒅
𝜹𝒉 = (−𝒇𝒉 )
∑𝒅
Selanjutnya nilai elevasi titik sepanjang jalur pengukuran tersebut dapat dihitung dengan
memasukkan nilai koreksi masing-masing beda tingginya. Secara umum, hitungan elevasi titik dapat
dirumuskan sebagai berikut
𝑯 (𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌) = 𝑯(𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎𝒏𝒚𝒂) + (𝒃𝒆𝒅𝒂 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊)
+ 𝒌𝒐𝒓𝒆𝒌𝒔𝒊𝒏𝒚𝒂

45
Martince Novianti Bani
Dengan menggunakan contoh pada Gambar 3.14, maka elevasi titik B, C, dan D dapat
dihitung sebagai berikut:
𝑯𝑩 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉𝑨𝑩 + 𝜹𝒉𝑨𝑩
𝑯𝑪 = 𝑯𝑩 + ∆𝒉𝑩𝑪 + 𝜹𝒉𝑩𝑪
𝑯𝑫 = 𝑯𝑪 + ∆𝒉𝑪𝑫 + 𝜹𝒉𝑪𝑫
𝑯𝑨 = 𝑯𝑫 + ∆𝒉𝑫𝑨 + 𝜹𝒉𝑫𝑨
Perlu diingat bahwa, elevasi titik A perlu dihitung juga sebagai kontrol hitungan yang nilainya
harus sama dengan titik A pada data yang diketahui.

Contoh soal:
Berdasarkan pengukuran sipat datar tertutup PQRSP di lapangan maka diketahui tinggi titik P (HP)
= 155.456 meter. Kemudian data lain ditampilkan pada tabel berikut ini:
Jalur Beda Tinggi (m) Jarak Lintasan (m)
PQ 2.150 1500
QR 0.789 1000
RS -1.255 2000
SP -1.356 750

Dari sejumlah data ukur di atas, maka hitunglah elevasi titik Q, R dan S

Penyelesaian:
𝒇𝒉 = ∑ ∆𝒉 = ∆𝒉𝑷𝑸 + ∆𝒉𝑸𝑹 + ∆𝒉𝑹𝑺 + ∆𝒉𝑺𝑷
= 2.150 + 0.789 + (-1.255) + (-1.356) = 0.328
𝒌𝒉 = 𝜹𝒉𝟏 = (𝒅𝑷𝑸/ ∑ 𝒅). (−𝒇𝒉) = (1500/5250) * (-0.328) = -0.093
𝒌𝒉 = 𝜹𝒉𝟐 = (𝒅𝑸𝑹/ ∑ 𝒅). (−𝒇𝒉) = (1000/5250) * (-0.328) = -0.062
𝒌𝒉 = 𝜹𝒉𝟑 = (𝒅𝑹𝑺/ ∑ 𝒅). (−𝒇𝒉) = (2000/5250) * (-0.328) = -0.124
𝒌𝒉 = 𝜹𝒉𝟒 = (𝒅𝑺𝑷/ ∑ 𝒅). (−𝒇𝒉) = (750/5250) * (-0.328) = -0.046
𝑯𝑸 = 𝑯𝑷 + ∆𝒉𝑷𝑸 + 𝜹𝒉𝟏 = 155.456 + 2.150 + (-0.093) = 157.512
𝑯𝑹 = 𝑯𝑸 + ∆𝒉𝑸𝑹 + 𝜹𝒉𝟐 = 157.512 + 0.789 + (-0.062) = 158.239
𝑯𝑺 = 𝑯𝑹 + ∆𝒉𝑹𝑺 + 𝜹𝒉𝟑 = 158.239+ (-1.255) + (-0.124) = 156.895
𝑯𝑷 = 𝑯𝑺 + ∆𝒉𝑺𝑷 + 𝜹𝒉𝟒 = 156.895 + (-1.356) + (-0.046) = 155.456

46
Martince Novianti Bani
3.5.4 Penentuan Beda Tinggi Metode Trigonometris
Dalam menentukan beda tinggi dengan metode trigonometris, maka diperlukan data sudut
vertikal z (zenith) ataupun m (heling) dan jarak mendatar (D) dimana nilainya diperoleh dari hasil
pengukuran. Alat ukur yang digunakan dalam metode ini yaitu Theodolite, Total Station, dan
pengukur jarak lainnya. Cara penentuan beda tinggi metode Trigonometris juga dikenal sebagai cara
tidak langsung. Sebagai contoh, Gambar 3.15 merupakan geometri beda tinggi metode trigonometris.
Dimana Apabila diketahui sudut m ataupun z dan jarak mendatar (D) antara titik A dan B yang
diperoleh dari hasil pengukuran maka, secara geometris beda tinggi dapat dihitung dengan rumus:
∆𝒉 = 𝑫 𝐭𝐚𝐧 𝒎 = 𝑫 𝒄𝒐𝒕𝒈 𝒛

B Bidang nivo B

h

z
m
Bidang nivo A
A Bidang Horizontal
HD

Gambar 3. 15 Geometri beda tinggi metode trigonometris

Apabila alat theodolite dipasang pada tripod atau statif setinggi 𝑯𝒊 (tinggi alat di A) dan
target bidik dipasang setinggi 𝑯𝑻 di titik B, maka beda tinggi antara titik A dan B (∆𝒉𝑨𝑩 ) dapat
ditentukan sebagai berikut:
∆𝒉 = 𝑫 𝒄𝒐𝒕𝒈 𝒛 + (𝑯𝒊 − 𝑯𝑻)
Atau
∆𝒉 = 𝑫 𝒕𝒈 𝒎 + (𝑯𝒊 − 𝑯𝑻)
Gambar 3.16 merupakan representasi dari pengukuran di lapangan dengan menggunakan
metode trigonometris

47
Martince Novianti Bani
z HT

m
B

Hi h

A HD Bidang Nivo A
Bidang mendatar

Gambar 3. 16 Pengukuran beda tinggi trigonometris

Contoh soal:
1. Deketahui 2 buah titik di lapangan yang dinotasikan sebagai titik A dan titik B. Theodolite
ditempatkan tepat di atas titik A, dan diukur tinggi alat = 1.650 meter. Target dipasang di titik B
dengan tinggi target = 2.210 meter.
Jarak mendatar AB = 250.000 meter, bacaan sudut zenith ke target B = 80o 50’ 00”.
Jika elevasi titik A = 255.150 meter. Berdasarkan data-data tersebut maka hitunglah elevasi di
titik B!
Penyelesaian:
∆𝒉𝑨𝑩 = 𝑫 𝒄𝒐𝒕𝒈 𝒛 + (𝑯𝒊 − 𝑯𝑻) = (𝑫⁄𝒕𝒈 𝒛) + (𝑯𝒊 − 𝑯𝑻)
= 250.000 cotg 80o 50’ 00” + (1.650 – 2.210)
= 250.000 tan (90o - 80o 50’ 00”) + (1.650 – 2.210)
= 39.781 meter
2. Untuk mendapatkan elevasi titik P maka dilakukan pengikatan ke BM (Bench Mark) dengan
metode trigonometric leveling. Kemudian diperoleh data jarak BM ke titik P = 250.000 meter,
tinggi theodolite di atas titik P = 1.650 meter, tinggi target di BM = 1.750 meter, sudut zenith
dari P ke BM = 88o 30’ 45”. Hitunglah elevasi titik P, jika elevasi BM = 755.567 meter.
Penyelesaian:
∆𝒉𝑷.𝑩𝑴 = 𝑫 𝒄𝒐𝒕𝒈 𝒛 + (𝑯𝒊 − 𝑯𝑻) = (𝑫⁄𝒕𝒈 𝒛) + (𝑯𝒊 − 𝑯𝑻)
= 250.000 cotg 88o 30’ 45” + (1.650 – 1.750)
= 250.000 tan (90o - 88o 30’ 45”) + (1.650 – 1.750)
= 6.391 meter
48
Martince Novianti Bani
Elevasi titik P
𝑯𝑷 = 𝑯𝑩𝑴 + ∆𝒉𝑩𝑴.𝑷 = 𝑯𝑩𝑴 + (−∆𝒉𝑷.𝑩𝑴)
= 755.567 +(-6.391)
= 749.176 meter
Disisi laian, jika rambu ukur digunakan sebagai target bidik di titik B, maka beda tinggi antara
titik A dan B dapat ditentukan sebagai berikut:
∆𝒉𝑨𝑩 = 𝟏𝟎𝟎(𝑩𝑨 − 𝑩𝑩) 𝐬𝐢𝐧 𝒛. 𝐜𝐨𝐬 𝒛 + (𝑯𝒊 − 𝑩𝑻)

Contoh soal:
1. Terdapat 2 buah titik di lapangan yaitu titik A dan B. Theodolite ditempatkan di atas titik A dan
diukur tinggi alat = 1.650 meter. Target rambu ukur dipasang di titik B dengan bacaan rambu:
BA = 1.550; BT = 1.250; BB = 0.950 dan sudut zenith ke target B = 90o 35’ 55”. Jika elevasi A
= 350.500 meter, hitunglah elevasi B!
Penyelesaian:
∆𝒉𝑨𝑩 = 𝟏𝟎𝟎(𝑩𝑨 − 𝑩𝑩) 𝐬𝐢𝐧 𝒛. 𝐜𝐨𝐬 𝒛 + (𝑯𝒊 − 𝑩𝑻)
= 100 (1.550 – 0.950) sin 90o 35’ 55” * cos 90o 35’ 55” + (1.650 – 1.250)
= -1.045 meter
Elevasi titik B
𝑯𝑩 = 𝑯𝑨 + ∆𝒉𝑨𝑩
= 𝟑𝟓𝟎. 𝟓𝟎𝟎 + (−𝟏. 𝟎𝟒𝟓)
= 349.455 meter

3.5.5 Penentuan Beda Tinggi Metode Barometris


Penentuan beda tinggi dengan metode barometris ini bergantung pada besarnya tekanan
udara di suatu tempat (titik). Terkanan udara bergantung pada ketinggian tempat tersebut. Makin
tinggi suatu tempat, maka makin kecil tekanan udaranya. Hubungan antara perbedaan tinggi dan
tekanan udara diformulasikan sebagai berikut:
𝒅𝒑
∆𝒉 = −𝒌 ∫
𝒑
Dalam hal ini ∆𝒉 = perbedaan tinggi
𝒅𝒑 = perubahan tekanan udara
𝒌 = konstanta
𝒑 = tekanan udara

49
Martince Novianti Bani
Rumus praktis penentuan beda tinggi antara titik A dan B ditulis sebagai berikut:

𝑻 𝑷𝑩
∆𝒉𝑨𝑩 = 𝑹 𝒍𝒐𝒈
𝑻𝑺 𝑷𝑨
Dimana:
∆𝒉 ∶ beda tinggi dalam satuan meter
𝑹 ∶ Bilangan konstanta (± 118402,6)
𝑻 ∶ Temperatur rata-rata dalam satuan derajat Kelvin
𝑻𝑺 ∶ Temperatur standar (273o K)
𝑷 ∶ Tekanan udara pada titik pengamatan (dalam satuan mm.Hg).

50
Martince Novianti Bani

Anda mungkin juga menyukai