Anda di halaman 1dari 18

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Labuang Baji Makassar dimana

proses pengumpulan data dilakukan dengan berpedoman pada kuesioner dan

observasi penelitian. Proses pengambilan data dilaksanakan dari tanggal 06

Februari sampai 06 Maret 2017. Responden dalam penelitian ini sebanyak 56

orang.

Hasil penelitian disajikan secara berurutan yaitu dengan analisis

univariat dan bivariat selanjutnya dilakukan pembahasan terhadap hasil

penelitian.

1. Karakteristik Responden

a. Jenis Kelamin

Tabel 5.1
Distribusi frekuensi responden menurut jenis kelamin responden di
RSUD Labuang Baji Makassar

Jenis Kelamin n Persentase


Laki-laki 26 46, 4
Perempuan 30 53,6
Total 56 100
Sumber : Data Primer Februari - Maret, 2017

Berdasarkan tabel 5.1 menujukkan bahwa hasil distribusi

frekuensi jenis kelamin dari 56 responden yang melakukan

pemeriksaan di RSUD Labuang Baji Makassar yaitu jumlah terbanyak


pada jenis kelamin perempuan sebanyak 30 (53,6%) responden dan

laki-laki 26 (46, 4%) responden.

b. Umur

Tabel 5.2
Distribusi frekuensi responden menurut umur responden
di RSUD Labuang Baji Makassar

Umur (tahun) n Persentase


34 - 43 tahun 12 21,4
44 - 53 tahun 19 33,9
> 54 tahun 25 44,6
Total   56 100
Sumber : Data Primer Februari - Maret, 2017

Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa hasil distribusi

frekuensi umur dari 56 responden yang melakukan pemeriksaan di

RSUD Labuang Baji Makassar yaitu yang mempunyai umur

terbanyak adalah umur di atas 54 tahun sebanyak 25 (44,6%)

responden, Sedangkan yang terendah adalah umur 34-43 tahun

sebanyak 12 (21,4%) responden.


c. Pendidikan

Tabel 5.3
Distribusi frekuensi responden menurut pendidikan responden
di RSUD Labuang Baji Makassar

Pendidikan n Persentase
Tidak ada 3 5,4
SD 21 37,5
SMP 11 19,6
SMA 14 25
Sarjana 7 12,5
Total 56 100
Sumber : Data Primer Februari - Maret, 2017

Berdasarkan tabel 5.3 menunjukkan bahwa hasil distribusi

frekuensi pendidikan dari 56 responden yang melakukan pemeriksaan

di RSUD Labuang Baji Makassar yaitu yang mempunyai pendidikan

terbanyak adalah SD sebanyak 21 (37,5%) responden, Sedangkan

yang terendah adalah yang berpendidikan sarjana sebanyak 7 (12,5%)

responden.

d. Pekerjaan

Tabel 5.4
Distribusi frekuensi responden menurut pekerjaan responden
di RSUD Labuang Baji Makassar

Pekerjaan n Persentase
PNS 5 8,9
IRT 26 46,4
Swasta 12 21,4
Petani 13 23,2
Total 56 100
Sumber : Data Primer Februari - Maret, 2017
Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa hasil distribusi

frekuensi pekerjaan dari 56 responden yang melakukan pemeriksaan di

RSUD Labuang Baji Makassar yaitu yang mempunyai pekerjaan

terbanyak adalah IRT sebanyak 26 (46,4%) responden, Sedangkan

yang terendah adalah yang pekerjaannya PNS sebanyak 5 (8,9%)

responden.

2. Analisis Univariat

a. Lama Luka Sebelum Ke RS

Tabel 5.5
Distribusi frekuensi responden menurut Lama luka sebelum
ke RS di RSUD Labuang Baji Makassar

Lama Luka Sebelum Ke RS n Persentase


< 3 Hari 54 96,4
≥ 3 Hari 2 3,6
Total 56 100
Sumber : Data Primer Februari - Maret, 2017

Berdasarkan tabel 5.5 menujukkan bahwa hasil distribusi

frekuensi lama luka sebelum ke RS dari 56 responden yang melakukan

pemeriksaan di RSUD Labuang Baji Makassar yaitu sebanyak 54

(96,4%) responden yang lama penyembuhan lukanya sebelum ke RS

<3 hari dan 2 (3,6%) responden yang lama penyembuhan lukanya ≥ 3

hari.
b. Lama Luka Saat Perawatan Di RS

Tabel 5.6
Distribusi frekuensi responden menurut lama luka sebelum ke RS
di RSUD Labuang Baji Makassar

Lama Luka Saat Perawatan Di RS n Persentase


< 21 Hari 32 57,1
≥ 21 Hari 24 42,9
Total 56 100
Sumber : Data Primer Februari - Maret, 2017

Berdasarkan tabel 5.4 menujukkan bahwa hasil distribusi

frekuensi lama luka sebelum ke RS dari 56 responden yang

melakukan pemeriksaan di RSUD Labuang Baji Makassar yaitu

sebanyak 32 (57,1%) responden yang lama penyembuhan lukanya

saat perawatan ke RS < 21 hari dan 24 (42,9%) responden yang

lama penyembuhan lukanya saat perawatan ke RS ≥ 21 hari.

c. Tingkat Stress

Tabel 5.7
Distribusi frekuensi responden menurut tingkat stress pasien ulkus
diabetik di RSUD Labuang Baji Makassar

Tingkat Stress n Persentase


Ringan 34 60,7
Berat 22 39,3
Total 56 100
Sumber : Data Primer Februari - Maret, 2017

Berdasarkan tabel 5.6 menujukkan bahwa hasil distribusi

frekuensi tingkat stress dari 56 responden yang melakukan

pemeriksaan di RSUD Labuang Baji Makassar yaitu jumlah


terbanyak adalah tingkat stress ringan sebanyak 34 (60,7%)

responden, Sedangkan yang terendah pada stress berat sebanyak 22

(39,3%) responden.

d. Fase Penyembuhan Luka

Tabel 5.8
Distribusi frekuensi responden menurut fase penyembuhan luka
di RSUD Labuang Baji Makassar

Fase Penyembuhan Luka n Persentase


Cepat 32 57,1
Lama 24 42,9
Total 56 100
Sumber : Data Primer Februari - Maret, 2017

Berdasarkan tabel 5.8 menujukkan bahwa hasil distribusi

frekuensi fase penyembuhan luka dari 56 responden yang melakukan

pemeriksaan di RSUD Labuang Baji Makassar yaitu jumlah

terbanyak adalah pada fase penyembuhan luka yang cepat sebanyak

32 (57,1%) responden, Sedangkan terendah adalah pada fase

penyembuhan lukanya yang lama sebanyak 24 (42,9%) responden.

3. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan mencari hubungan antara variabel tingkat

stress sebagai variabel independen dengan variabel fase penyembuhan luka

sebagai variabel dependen. Untuk digunakan tabel silang 2 x 2 dapat dilihat

pada tabel 5.9.


Hubungan Tingkat Stress Pasien Ulkus Diabetik Dengan Fase

Penyembuhan Luka Di RSUD Labuang Baji Makassar.

Tabel 5.9
Hubungan tingkat stress pasien ulkus diabetik dengan fase
penyembuhan luka di RSUD Labuang Baji Makassar

p
Fase Penyembuhan Luka
Tingkat value
Stress Cepat Lama Total (0,05)

n persentase n persentase n persentase


Ringan 24 70,6 10 29,4 34 100
p=
Berat 8 36,4 14 63,6 22 100 0,011
Total 32 57,1 24 42,9 56 100    
Sumber : Data Primer Februari - Maret, 2017

Berdasarkan tabel 5.8 dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

peneliti di RSUD Labuang Baji Makassar diketahui bahwa tingkat stress

responden ringan dengan fase penyembuhan luka cepat sebanyak 24

(70,6%) responden, Sedangkan jumlah responden yang memilki tingkat

stress ringan dengan fase penyembuhan lama sebanyak 10 (29,4%)

responden. Responden yang memiliki tingkat stress berat dengan fase

penyembuhan cepat sebanyak 8 (36,4%) responden, Sedangkan jumlah

responden yang memiliki tingkat stress berat dengan fase penyembuhan

lama sebanyak 14 (63,6%) responden.

Selanjutnya untuk menganalisis data bivariat dilakukan uji Chi-

Square didapatkan nilai p = 0,011 lebih kecil dari nilai α = 0,05 (p < α

0,05). Dari analisa tersebut dapat diartikan bahwa Ha diterima Ho ditolak


atau ada hubungan antara tingkat stress dengan fase penyembuhan luka di

RSUD Labuang Baji Makassar.

B. Pembahasan

Hubungan Tingkat Stress Pasien Ulkus Diabetik Dengan Fase

Penyembuhan Luka di RSUD Labuang Baji Makassar.

Dari hasil analisis dengan menggunakan uji statistik Chi-Square

didapatkan nilai p = 0,011 (p < α 0,05) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara tingkat stress pasien ulkus diabetik dengan

fase penyembuhan luka.

Berdasarkan hasil analisis bivariat dari 56 responden menunjukkan

bahwa tingkat stress responden ringan dengan fase penyembuhan luka cepat

sebanyak 24 (70,6%) responden, Sedangkan jumlah responden yang memilki

tingkat stress ringan dengan fase penyembuhan lama sebanyak 10 (29,4%)

responden. Responden yang memiliki tingkat stress berat dengan fase

penyembuhan cepat sebanyak 8 (36,4%) responden, Sedangkan jumlah

responden yang memiliki tingkat stress berat dengan fase penyembuhan lama

sebanyak 14 (63,6%) responden.

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa sebagian besar atau 24 (70,6%)

responden memiliki tingkat stress ringan (sering sakit kepala, sulit tidur dan

suka menyendiri) adalah responden yang fase penyembuhan lukanya yang

cepat (terdapat jaringan granulasi dan epitelisasi). Hal ini sesuai dengan teori

yang dikemukakan oleh Damedistra A, (2011) bahwa stress sangat


mempengaruhi proses penyembuhan ulkus diabetik, manajemen stress

sangat diperlukan oleh para penderita ulkus diabetik. Karena seorang

individu jelas kesulitan dalam mengatur atau memanajemen stress dalam

dirinya, Sehingga para ahli kesehatan psikologi atau tenaga kesehatan

lainnya dapat membantu untuk mengatasi tingkat stressor yang dialami para

penderita ulkus diabetik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Yetti

(2011), tentang “hubungan tingkat stress dengan proses penyembuhan luka

ganggren” didapatkan (p = 0,000) terdapat hubungan antara tingkat stress

dengan penyembuhan luka dimana pada 9 responden (88,9%) yang

mengalami stress pada tingkat tinggi dan sedang mengalami penyembuhan

luka yang buruk, sedangkan 3 responden (10%) yang mengalami stress

ringan mengalami penyembuhan luka yang baik. Hal ini juga sesuai

penelitian yang di lakukan oleh Astuti F (2013) di Kabupaten Nias, bahwa

dari hasil uji statistik dari 22 sampel didapatkan nilai p = 0,003, jadi terdapat

hubungan yang signifikan ditujukan oleh variabel tingkat stress dengan

penyembuhan luka. Menurut penelitian Hadayani (2010) di Aceh, bahwa dari

hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,031 maka dapat disimpulkan semakin

rendah tingkat stress responden maka semakin cepat proses penyembuhan

lukanya.

Dalam penelitian ini juga didapatkan hasil penelitian dimana 14

(63,6%) responden yang tingkat stressnya berat (berat badan semakin

menurun, tidak ada tenaga untuk melaukukan tenaga, dan badan terasa
gemetar) menunjukkan fase penyembuhan lukanya lama (bengkak,

kemerahan, hangat pada kulit, rasa nyeri, kehilangan fungsi, dan luka masih

berdarah) ini kemungkinan disebabkan oleh infeksi pada luka. Ketika

mengalami stress dan tubuh tidak sehat atau terluka, tubuh akan melepaskan

hormon seperti epinefrin, glucagon, hormon pertumbuhan dan kartisol.

Pelepasan hormon ini akan menyebabkan glukosa dan meningkatkan

resistensi insulin. Dan setelah di cross-check pada master tabel, didapatkan

data responden menunjukkan rata-rata lama penyembuhan lukanya selama

perawatan di RS ≥ 21 hari. Luka yang gagal sembuh akan menunjukkan tanda

infeksi. Hal ini sesuai dengan teori Yumito (2013) yang menyatakan bahwa

luka yang terinfeksi akan membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh.

Tubuh selain harus bekerja dalam menyembuhkan luka, juga harus bekerja

dalam melawan infeksi yang ada, sehingga fase inflamasi akan berlangsung

lebih lama. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Bucknall (2005),

tentang “The Effeck Of Local Infection Wound Healing” ada hubungan

infeksi dengan penyembuhan luka. Infeksi lokal menunda penyembuhan

luka dengan baik, dimana jaringan sekitar luka terjadi peradangan. Hasil

penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Martin (2003), tentang

“Wound Infection” infeksi penyebab utama menghambat penyembuhan luka

dimana luka seharusnya sembuh secara normal tapi akibat adanya infeksi
luka sembuh lebih lama, dan luka ini bisa berkelanjutan menjadi luka yang

kronis.

Dari hasil penelitian ini juga terdapat fenomena yang menarik dimana

terdapat 10 (36,4%) responden yang tingkat stressnya berat (badan terasa

gemetar, keringat bercucuran dan lumpuh) menujukkan fase penyembuhan

luka yang cepat (terdapat jaringan granulasi dan epitelisasi). Ini kemungkinan

disebabkan oleh kebersihan luka, dimana pada hasil observasi peneliti rata-

rata kondisi luka responden tidak didapatkan jaringan nekrotik (jaringan mati)

pada luka yang dapat menghambat penyembuhan luka dan lama luka selama

perawatan di RS yang kurang dari 21 hari yang kondisi lukanya sudah

terdapat jaringan granulasi (luka berwarna merah) dan epitelisasi (luka

berwarna pink). Dan hal ini sesuai teori Yumito (2013) yang menyatakan

bahwa adanya benda asing, kotoran atau jaringan nekrotik (jaringan mati)

pada luka dapat menghambat penyembuhan luka, Sehingga luka harus

dibersihkan atau di cuci dengan air bersih atau NaCL 0,9% dan jaringan

nekrotik pada luka dihilangkan dengan tindakan yang disebut debridement.

Hal ini juga sejalan dengan teori menurut Zaninotto et al., (2006) menyatakan

bahwa luka yang tidak bersih dapat memperlambat proses penyembuhan luka.

Hal ini sesuai penelitian yang di lakukan oleh Khurniawati D (2011) di

Mojokerto, dengan hasil Chi-Square di dapatkan nilai p=0,028 maka ada

pengaruh kebersihan luka dengan penyembuhan luka.


Fenomena lain yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu terdapat 8

(36,4%) responden yang tingkat stressnya ringan (sering sakit kepala, sulit

tidur dan suka menyendiri) tetapi justru menunjukkan fase penyembuhan yang

lama (bengkak, kemerahan, hangat pada kulit, rasa nyeri, kehilangan fungsi,

dan luka masih berdarah). Dan setelah di cross-check pada master tabel, Hal

ini kemungkinan disebabkan oleh umur responden yang rata-rata memilki

umur di atas 50 tahun yang fungsi tubuhnya secara fisiologis menurun karena

penurunan sekresi atau resistensi insulin, Sehingga kemampuan fungsi tubuh

terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal dan kondisi

luka yang masih menunjukkan tanda-tanda inflamasi : bengkak, nyeri, rasa

hangat, kemerahan dan kehilangan fungsi pada bagian luka. Tingkat glukosa

darah menegang ke arteri dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah.

Efek ini adalah penyebab luka serta faktor resiko untuk penyembuhan luka.

Gula darah menurun fungsi sel-sel darah merah yang membawa nutrisi ke

jaringan. Hal ini akan menurunkan efisiensi sel darah putih yang melawan

infeksi. Tanpa nutrisi yang cukup dan oksigen, luka kesembuhan menjadi

perlahan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikatakan oleh Yumito (2013) yang

menyatakan semakin lanjut usia, luka akan semakin lama sembuh karena

respon sel dalam proses penyembuhan luka akan lebih lambat dan pada fase

inflamasi ini akan berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari ke

tiga. Hal ini sesuai penelitian yang di lakukan oleh Baharestani (2003),

dengan hasil Chi-Square didapatkan nilai p=0,004. Penelitian tersebut


menjelaskan tentang karakteristik khusus dari penyembuhan luka pada anak-

anak dan bayi baru lahir. Meskipun pola penyembuhan luka pada anak sama

dengan pola penyembuhan orang dewasa, namun luka pada bayi baru lahir

dan anak-anak adalah tipe yang lebih cepat menutup dibanding luka tipe ulkus

juga yang terjadi pada orang dewasa karena pada bayi dan anak jumlah

fibroblas lebih banyak, produksi kolagen dan elastin lebih cepat dan

pembentukan jaringan granulasi yang lebih cepat pula dibanding orang

dewasa.

Setelah di cross-check pada master tabel terdapat fenemena lain yang

menarik yaitu terdapat 18 (32,14%) responden yang usianya rata-rata diatas

35 tahun tetapi justru menunjukkan fase penyembuhan luka cepat (terdapat

jaringan granulasi dan epitelisasi). Hal ini berdasarkan hasil observasi luka

selama penelitian yang disebabkan karena salah satu faktor kebersihan luka

(personal hygene) yang meliputi keadaan balutan luka yang lembab (moist).

Hal ini sesuai dengan teori Yumito (2013) yang menyatakan bahwa adanya

benda asing, kotoran atau jaringan nekrotik (jaringan mati) pada luka dapat

menghambat penyembuhan luka, Sehingga luka harus dibersihkan atau di cuci

dengan air bersih atau NaCL 0,9% dan jaringan nekrotik pada luka

dihilangkan dengan tindakan yang disebut debridement. Hal ini juga sejalan

dengan teori menurut Zaninotto et al., (2006) menyatakan bahwa luka yang

tidak bersih dapat memperlambat proses penyembuhan luka.


Dari hasil penelitian ini peneliti dapat menyimpulkan bahwa

responden yang tingkat stressnya ringan akan berpeluang penyembuhan

lukanya cepat dari pada responden yang tingkat stressnya berat dengan fase

penyembuhan lukanya lama. Kejadian stress yang dialami penderita ulkus

diabetik dibuktikan dengan hasil observasi luka yang dilakukan di RSUD

Labuang Baji Makassar yang menujukkan bahwa ada beberapa faktor yang

meyebabkan penyembuhan luka yang lama yaitu cara perawatan luka dengan

metode perawatan luka konvensional dimana metode tersebut merupakan

metode perawatan luka yang dilakukan dengan menggunakan balutan luka

berdaya serap kurang dibandingkan, dengan metode perawatan luka modern

yang menggunakan jenis dressing yang berkualitas dan dapat

mempertahankan kelembaban luka (moist wound healing) namun, biaya

perawatan lukanya cukup mahal. Adapun faktor yang lain adalah kondisi luka

yang menunjukkan tanda-tanda inflamasi antara lain : bengkak, nyeri, rasa

hangat, kemerahan dan kehilangan fungsi pada bagian luka.

Dalam hal ini, dikarenakan stress sangat mempengaruhi proses

penyembuhan ulkus diabetik, manajemen stress sangat diperlukan oleh para

penderita ulkus diabetik. Karena seorang individu jelas kesulitan dalam

mengatur atau memanajemen stress dalam dirinya. Untuk mengatasi tingkat

stress yang dialami para penderita ulkus diabetik yaitu mengenal penyebab

stress dan mengetahui teknik-teknik mengelolah stress, sehingga orang lebih

baik dalam menguasai stress dalam kehidupannya dari pada dihimpit oleh
stress itu sendiri. Dapat diartikan kalau manajemen stress berarti berbuat

perubahan dalam cara berpikir dan merasa, dalam cara berperilaku di

kehidupan individu masing-masing. Berbagai upaya dapat dilakukan seperti

dengan memberikan pendidikan kesehatan, dalam mengelolah stress seperti

strategi fisik, emosional, kognitif, sosial, dan lain-lain.

C. Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dengan menggunakan lembar observasi fase

penyembuhan luka dimana observasi ini mempunyai keterbatasan karena

merupakan observasi sederhana jadi perlu dilakukan obsevasi selanjutnya.

Serta pengisian kuesioner yang hanya mengendalikan jawaban responden

yang subjektifitasnya sangat tinggi. Oleh sebab itu, peneliti menganggap

bahwa tingkat subjektifitas pada penelitian merupakan keterbatasan, dan

diharapkan bisa diperbaiki untuk penelitian selanjutnya melalui observasi

langsung atau dengan teknik wawancara yang mendalam tentan tingkat

stress pada setiap responden.

2. Pengetahuan Peneliti

Pengetahuan peneliti mengenai penelitian masih kurang dan penelitian

ini merupakan pengalaman peneliti yang pertama.


3. Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk

berinteraksi dengan yang lain. Dalam penelitian ini peneliti mendapatkan

hambatan yaitu beberapa pasien ulkus diabetik tidak dapat berbahasa

Indonesia dengan baik, bahasa yang mereka gunakan saat proses

wawancara adalah bahasa Makassar, Sedangkan peneliti tidak menguasai

bahasa Makassar. Bahasa sangat penting dalam suatu penelitian, karena

akan membangun hubungan saling percaya dengan responden dan jika

tidak memahami bahasa yang digunakan akan menyebabkan tujuan atau

maksud dari peneliti tidak akan tersampaikan kepada pasien ulkus

diabetik.
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diatas maka dapat dirumuskan

kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan tingkat stress pasien ulkus diabetik dengan fase

penyembuhan luka dengan hasil uji Chi-Squre didapatkan nilai p = 0,011.

2. Diketahuinya gambaran tingkat stress pasien ulkus diabetik dengan fase

penyembuhan luka di RSUD Labuang Baji Makassar.

3. Diketahuinya gambaran proses penyembuhan luka di RSUD Labuang Baji

Makassar.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diberikan beberapa saran kepada

pihak yang terkait anatara lain :

1. Bagi Peneliti

Dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti

tentang hubungan tingkat stress pasien ulkus diabetik dengan fase

penyembuhan luka di RSUD Labuang Baji Makassar.

2. Bagi Lahan Dan Tempat Penelitian

Dapat dijadikan sebagai bahan dan data tentang tingkat stress pasien ulkus

diabetik dengan fase penyembuhan luka.


3. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan khususnya masalah hubungan tingkat stress pasien ulkus

diabetik dengan fase penyembuhan luka.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan tingkat stress

pasien ulkus diabetik dengan fase penyembuhan luka dengan

menggunakan desain penelitian Cohort Study.

Anda mungkin juga menyukai