Anda di halaman 1dari 76

BAB I

LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang

Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik Diabetes

Mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai

adanya kematian jaringan setempat (Hastuti, 2011). Ulkus diabetik adalah

komplikasi menahun yang paling ditakuti karena lamanya perawatan serta

biaya yang dikeluarkan. Biaya pengobatan ulkus diabetik menghabiskan

dana 3 kali lebih banyak dibandingkan tanpa ulkus. Penderita ulkus

diabetik di negara maju memerlukan biaya yang tinggi untuk perawatan

(Ridwan, 2011).

Data statistik dari world healt organization (WHO) dalam Roglic et

al., (2013) menunjukkan prevelensi insiden ulkus diabetik ini akan terus

meningkat setiap tahunnya (Abbot et al., 2002). Di Negara berkembang

insiden ulkus diabetik lebih tinggi dibandingkan Negara maju

(Misnadiarly, 2015). Dari jumlah tersebut, insiden ulkus diabetik

berbeda-beda pada setiap Negara. Hal ini terlihat berdasarkan hasil

pengumpulan data statistik yang dilakukan Kumar (1994, dalam Jeffcote

& Harding, 2013) di empat Negara yaitu Inggris, Amerika, Swedia, dan

Belanda.

Di Indonesia Kenaikkan jumlah penderita ulkus diabetik tidak

tercatat dengan jelas kenaikan prevalensi DM. WHO (dalam consensus

Perkeni, 2012) menyebutkan penderita DM di Indonesia pada tahun 2013


berjumlah 8,4 juta jiwa dan diprediksi akan meningkat menjadi 21,3 juta

jiwa pada tahun 2030. Di RSCM data pada tahun 2011, ulkus diabetik

merupakan masalah serius yang menduduki peringkat kelima dari

komplikasi Diabetes Mellitus yaitu dengan presentase 8,70% dengan

angka amputasi sebanyak 1,30% (RS Cipto Mangunkusumo, dikutip dari

pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Ulkus diabetik memberi dampak luar biasa kepada penderitannya,

Selain amputasi, infeksi yang terjadi seringkali mengharuskan penderita

dirawat inap dalam waktu yang lebih lama dibandingkan komplikasi DM

lainnya, Sehingga biaya perawatan yang dibutuhkan lebih besar dan

penderita ulkus mempunyai resiko meninggal lebih tinggi dibandingkan

dengan penderita DM tanpa ulkus diabetik. Amputasi dan kematian pada

penderita ulkus diabetik ini dapat disebabkan oleh kegagalan dalam

penyembuhan luka (delayed healing) yang berlanjut pada infeksi lokal

maupun general. Kondisi ini jika terus berlansung dapat mengakibatkan

stress pada penderita, Semakin tinggi tingkat stress yang dialami penderita

luka diabetes melitus akan mengakibatkan penyembuhan lukanya

semakin tidak baik. Kejadian stress yang dialami penderita ulkus diabetik

dibuktikan dengan hasil observasi luka yang dilakukan pada penelitian

ini oleh Astuti N. F (2013).

Dalam proses penyembuhan luka, delayed healing dan infeksi

dapat terjadi bila sel inflamasi dan sel imunitas yang diperlukan pada fase

inflamasi, proliferasi dan maturasi tidak dapat bekerja secara optimal. Sel-
sel tersebut adalah platelet (fase koagulasi), netrofil dan monosit (fase

koagulasi dan inflamasi), makrofag (fase inflamasi), keratinosit, fibroblast,

dan sel enotelial (fase proliferasi), serta miofibroblas (fase maturasi)

(Falanga, 2014).

Menurut penelitian terdahulu tentang Hubungan tingkat stress

dengan ulkus diabetik yang dilakukan oleh King & Harding (2012).

menunjukkan stress berhubungan dengan ulkus diabetik yang dievaluasi

selama 6 bulan hasilnya menunjukkan pasien yang lukanya sembuh adalah

pasien yang tingkat stressnya ringan, sedangkan stress yang berat lukanya

tidak sembuh selama 6 bulan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Ismail et

al., (2014) yang menyatakan hasil penelitiannya diantaranya beberapa

pasien mengalami stress yang tidak hanya berpengaruh pada kecepatan

penyembuhan luka dan kekambuhan luka, namun juga terhadap insiden

amputasi dan kematian.

Setelah dilakukan studi pendahuluan di RSUD Labuang Baji

Makassar di dapatkan data pasien ulkus diabetik rawat jalan pada bulan

Desember tahun 2016 sekitar 45 orang dan rawat inap pada bulan

Desember 20 orang. Selain itu, diadakan juga wawancara dengan 5 pasien

rawat inap di RSUD Labuang Baji Makassar pada tanggal 22 November

2016. Dari wawancara tersebut di dapatkan keterangan bahwa 3 pasien

merasa stress dengan luka diabetiknya dan 2 tidak merasakan stress selama

proses penyembuhan ulkus diabetiknya. Disamping dari hasil itu, Proses

penyembuhan luka pasien ulkus diabetik di RSUD Labuang Baji Makassar


rata-rata penyembuhan lukanya berlangsung cepat. Adapun salah satu

faktornya penyebab penyembuhan luka tersebut karena kebersihan luka

(Pesonal Hygene).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk

meneliti tentang “Hubungan tingkat stress pasien ulkus diabetik dengan

fase penyembuhan luka di RSUD Labuang Baji Makassar”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian dalam latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian yaitu“Apakah ada hubungan tingkat stress pasien ulkus

diabetik dengan fase penyembuhan luka di RSUD Labuang Baji

Makassar?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan tingkat kejadian stress pasien ulkus

diabetik dengan fase penyembuhan luka di RSUD Labuang Baji

Makassar.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran tingkat stress pasien ulkus diabetik

dengan

penyembuhan luka di RSUD Labuang Baji Makassar.

b. Diketahuinya gambaran proses penyembuhan luka diabetik di

RSUD Labuang Baji Makassar.


D. Manfaat Penelitian

1. Responden

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tentang

hubungan tingkat stress pasien ulkus diabetik dengan fase

penyembuhan luka di RSUD Labuang Baji Makassar.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dapat dijadikan tambahan kepustakaan pengembangan

ilmu kesehatan khususnya mengenai hubungan tingkat stress pasien

ulkus diabetik dengan fase penyembuhan luka di RSUD Labuang Baji

Makassar.

3. Institusi Pendidikan

Penelitian dapat mengembangkan ide-ide penelitian selanjutnya

sehingga dapat menambah variasi dalam penelitian selanjutnya.

Penelitian ini bermanfaat untuk mengenai hubungan tingkat stress

pasien ulkus diabetik dengan fase penyembuhan luka di RSUD

Labuang Baji Makassar.

4. Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pemberian

pendidikan kesehatan pada pasien ulkus diabetik agar dapat mencegah

timbulnya Ulkus Diabetik di RSUD Labuang Baji Makassar.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Diabetes Mellitus

1. Pengertian

Menurut Perkeni (2011) dan ADA (2012) diabetes mellitus adalah

suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia

yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau,

yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf

dan pembuluh darah.

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010,

diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin

,kerja insulin, atau kedua-duanya.

Kesimpulannya, Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme

karbohidrat, protein dan lemak yang ditandai oleh hiperglikemia.

Hiperglikemia terjadi karena akibat dari kekurangan insulin atau

menurunnya kerja insuin (Hastuti, 2011).

2. Tipe Diabetes

a. Tipe 1 (dulu disebut dengan diabetes mellitus tergantung insulin)

1) Sekitar 5 % sampai 10% pasien mengalami diabetes tipe 1. Tipe ini

ditandai dengan destruksi sel-sel beta pancreas akibat faktor

genetis, imunologis, dan mungkin juga lingkungan (misalnya:


Virus). Injeksi insulin diperlukan untuk mengontrol kadar glukosa

darah.

2) Awitan diabetes tipe 1 terjadi secara mendadak biasanya sebelum

usia 30 tahun.

b. Tipe 2 (dulu disebut dengan diabetes mellitus tak tergantung insulin)

1) Sekitar 90 % sampai 95% pasien penyandang diabetes menderita

diabetes tipe 2. Tipe ini disebabkan oleh penurunan sensitivitas

terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah

insulin yang diproduksi.

2) Pertama-tama, diabetes tipe 2 ditangani dengan diet dan olahraga,

dan juga dengan agens hipoglekemik oral sesuai kebutuhan.

3) Diabetes tipe 2 paling sering dialami oleh pasien di atas usia 30

tahun dan pasien yang obesitas.

c. Diabetes mellitus gestasional

1) Diabetes gestasional ditandai dengan setiap derajat intoleransi

glukosa yang muncul selama kehamilan (trisemester kedua atau

ketiga).

2) Resiko diabetes gestasional mencakup obesitas, riwayat personal

pernah mengalami diabetes gestasional, glikosuria, atau riwayat

kuat keluarga pernah mengalami diabetes. Kelompok etnis yang

berisiko tinggi mencakup penduduk amerika hispanik, Amerika

asli, Amerika asia, Amerika afrika, dan Kepulauan Pasifik.


Diabetes gestasional meningkatkan risiko mereka untuk mengalami

gangguan hipertensi selama kehamilan (Smeltzer and bare, 2015).

3. Manifestasi Klinik

a. Poliuria, polidipsia, dan polipagia.

b. Keletihan dan kelemahan perubahan pandangan secara mendadak,

sensasi kesemutan atau kebas di tangan atau kaki, kulit kering, lesi

kulit atau luka yang lambat sembuh, atau infeksi berulang.

c. Awitan diabetes tipe 1 dapat disertai dengan penurunan berat badan

mendadak, mual, muntah, atau nyeri lambung.

d. Diabetes tipe 2 disebabkan oleh intoleransi glukosa yang progresif dan

berlangsung berlahan (bertahun-tahun) dan mengakibatkan komplikasi

jangka panjang apabila diabetes tidak terdeteksi selam betahun-tahun

(misalnya : Penyakit mata, neuropati perifer, penyakit vascular

perifer) komplikasi dapat muncul sebelum diagnosis yang sebenarnya

ditegakkan.

e. Tanda dan gejala ketoasidosis diabetes (DKA) mencakup nyeri

abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, dan napas berbau buah. DKA

yang tidak tertangani dapat menyebabkan perubahan tingkat

kesadaran, koma, dan kematian (Smeltzer and bare, 2015).


4. Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus

a. Kadar glukosa darah tinggi : kadar glukosa plasma puasa 126mg/dl atau

lebih, atau kadar glukosa plasma glukosa sewaktu atau 2 jam pasca

makan lebih dari 200 mg/dl.

b. Evaluasi adanya komplikasi (Smeltzer and bare, 2015).

5. Pencegahan

a. Pencegahan primer : semua aktifitas yang ditunjukkan untuk

mencegah timbulnyan hiperglikemia pada individu yang berisiko

untuk jadi diabetes. Upaya pencegahan primer DM yang bisa

dilaksanakan adalah:

1) Atur pola makan yang baik. Khususnya untuk yang berusia 35-40

tahun. Sebab pada usia ini seseorang akan mengalami kesuksesan

duniawi. Akibatnya, Mereka dapat membeli makanan apa saja

karna kecukupan materi. Pada saat seperti ini perlu pengendalian

pola makan, juga jadwal dan komposisi yang benar.

2) Jika berat beban sudah melebihi normal (obesitas), Maka perlu

dilakukan program untuk menurunkannya. Hal ini juga terkait

dengan pola makan.

3) Olahraga atau aktivitas fisik juga penting dilakukan untuk

pencegahan DM (Sarwono, 2009).

b. Pencegahan sekunder : kegiatannya menemukan DM sedini mungkin,

misalnya dengan tas penyaringan terutama pada populasi resiko

tinggi. Dengan demikian pasien diabetes mellitus yang sebelumnya


tidak terdiagnosis dapat terjaring, Hingga dengan demikian dapat

dilakukan upaya-upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun

sudah ada komplikasi sudah ada komplikasi masih reversible

(Sidartawan S dkk, 2011).

c. Pencegahan tersier : semua upaya untuk mencegah komplikasi atau

kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha itu meliputi :

1) Mencagah timbulnya komplikasi.

2) Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi

kegagalan organ.

3) Mencegah kecacatan tubuh (Sarwono, 2009).

6. Komplikasi

Kondisi kadar gula darah tetap tinggi akan timbul berbagai

komplikasi. Komplikasi pada Diabetes Melitus dibagi menjadi dua yaitu

komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut meliputi

ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, dan hipoglikemia

(Perkeni, 2011).

Menurut Perkeni (2011) yang termasuk komplikasi kronik adalah

makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati (Waspadji dalam

Soengondo dkk, 2014). Makroangiopati terjadi pada pembuluh darah besar

(makrovaskuler) seperti jantung, darah tepi dan otak. Mikroangiopati

terjadi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) seperti kapiler retina

mata, dan kapiler ginjal. Pada penjelasan dibawah memuat penjelasan


perbedaan komplikasi kronis yang terjadi dari literatur lain, Tetapi pada

dasarnya mempunyai konsep yang sama.

a. Komplikasi akut

Komplikasi akut yang dalunya semua meninggal dunia, Namun

saat ini sudah hampir tidak ada yang meninggal demikian pula insiden

komplikasi akut sudah sangat kurang ditemukan di Klinik. Komplikasi

akut berupa :

1) Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan klinis gangguan saraf yang

disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan

berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai kejang. Tanda

hipoglikemia mulai muncul bila glukosa kurang dari 50mg/dl.

(Sidartawan, S dkk, 2011). Tanda-tanda hipoglikemia : stadium

parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun, stadium otak

ringan lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sederhana.

Stadium simpatik : keringat dingin pada muka terutama hidung,

bibir atau tangan, berdebar-debar, stadium gangguan otak berat :

koma (tidak sadar) dengan atau tanpa kejang (Sidartawan S dkk,

2011).

2) Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah peningkatan gula darah yang terjadi

apabila masukan kalori berlebihan. Tanda khas adalah kesadaran

menurun disertai dehidrasi berat (Sidartawan S dkk, 2011).


3) Ketoasodosis diabetik

Ketoasodosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat

dan akut dari satu perjalanan penyakit diabetes mellitus. Timbulnya

KAD merupakan ancaman kematian bagi penyandang DM

(Sidartawan S dkk, 2011).

b. Komplikasi kronik

Komplikasi kronik semakin banyak ditamukan terutama setalah

ditemukannya insulin pada tahun 1922 dan semakin banyak pasien

DM yang berusia lanjut akan menalami kematian dengan komplikasi

kronik. Komplikasi kronik dapat berupa :

1) Mikroangipati diabetik yaitu retinopati diabetik, nefropati

diabetes.

2) Makroangiopati diabetik yaitu stroke (non hemoragik, hemoragik)

PKV (jantung koroner, angina, infark miokard akut, kaki diabetik).

c. Komplikasi makrovaskuler

Adalah komplikasi yang mengenai pembuluh darah besar arteri

yang lebih besar, Sehingga menyebabbkan atherosclerosis. Akibat

atherosclerosis antara lain timbul penyakit jantung koroner, hipertensi

stroke dan gangguan pada kaki. 3 jenis komplikasi makrovaskuler

yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit

jantung koroner (coronerary heart disease=CAD), penyakit pembuluh

darah otak dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral vascular

disease=PVD) walaupun komplikasi makrovaskuler ini adalah


penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi,

displidemia, dan atau kegemukan, kombiansi dari penyakit-penyakit

komplikasi makrovaskuler dikenal dengan berbagai nama, antara lain

syndrome X, cardiac dysmetabolic syndrome, hyperinsulinemie

syndrome, atau insulin resistance syndrome (Hasbudi, 2011).

d. Komplikasi mikrovaskuler

Adalah komplikasi pada pembuluh darah kecil diantaranya :

1) Retinopati diabetik yaitu kerusakan mata seperti katarak dan

glukoma atau meningkatnya tekanan pada bola mata. bentuk

kerusakan yang paling sering terjadi adalah bentuk retinopati

yang dapat menyebabkan kebutaan.

2) Nefropati diabetik yaitu gangguan ginjal yang diakibatkan

karena penderita menderita diabetes melitu dalam waktu yang

cukup lama.

3) Neuropati diabetik yaitu gangguan sistem syaraf pada

penderita DM. Indera perasa pada kakik dan tangan berkurang

disertai dengan adanya kesemutan, perasaan baal atau tebal

serta persaan seperti terbakar (Hasbudi, 2011).

7. Penatalaksanaan Medis

Tujuan utama terapi adalah menormalkan aktivitas insulin dan kadar

glukosah darah guna mengurangi munculnya komplikasi vascular dan

neropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah untuk

mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa disertai


hipoglikemia dan tanpa menganggu aktivitas pasien sehari-hari . Ada lima

komponen penatalaksanaan diabetes nutrisi, olahraga, pemantauan,

farmakologis, dan edukasi.

a. Terapi primer untuk diabetes tipe 1 adalah insulin.

b. Terapi primer untuk diabetes tipe 2 adalah penurunan berat badan.

c. Olahraga penting untuk meningkatkan keefektifan insulin.

d. Pengunaan agens hipoglikemik oral apabila diet dan olahraga tidak

berhasil mengontrol kadar gula darah. Injeksi insulin dapat digunakan

pada kondisi akut.

e. Mengingat terapi bervariasi selama perjalan penyakit karena adanya

perubahan gaya hidup dan status fisik serta emosional dan juga

kemajuan terapi, terus kaji dan modifikasi rencana terapi serta lakukan

penyesuaian terapi setiap hari. Edukasi diperlukan untuk pasien dan

keluarga (Smeltzer and bare, 2015).

8. Penatalaksanaan Keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan untuk pasien penyandang diabetes dapat

mencakup banyak macam gangguan fisiologis, bergantung pada kondisi

kesehatan pasien atau apakah pasien baru terdiagnosis diabetes atau

tangah mencari perawatan untuk masalah kesehatan lain yang tidak terkait.

Karena semua pasien penyandang diabetes harus menguasai konsep dan

keterampilan yang diperluakan untuk penatalaksanaan jangka panjang

serta untuk menghindari kemungkinan komplikasi diabetes, landasan


pendidikan yang solid mutlak diperlukan dan menjadi fokus asuhan

keperawatan yang berkelanjutan (Smeltzer and bare, 2015).

9. Penatalaksaan Pilar Diabetes Melitus.

a. Edukasi

Tujuan dari edukasi DM dalah terjadinya perubahan perilaku pada

klien sehingga klien dapat berpartisipasi aktif dalam perawatannya.

Materi edukasi, sedikitnya mencakup :

1) Pengertian dasar dan patofisologi DM

2) Tanda dan gejala DM

3) Sebab

4) Komplikasi DM

5) Perencanaan makanan

6) Pemeliharaan luka

7) Latihan jasmani

8) Pemantauan gula darah mandiri

9) Pengobatan oral

10) Penyuntikan oral

11) Penyuntikan insulin

12) Pengaturan saat sedang sakit

13) Pengaturan saat berpergian jauh

14) Cara memanfaatkan fasilitas kesehatan

b. Terapi gizi medis atau diet diabetes mellitus


Diet DM merupakan salah satu pilar dalam penanganan DM.

kegagalan dalam melaksanakan diet pada klien DM dapat berakibat

fatal bagi klien. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh kekurangan

pemahaman akan diet dan mispersepsi klien tentang DM. Sebaiknya

mengajarkan perencanaan makan klien dimulai dari saat klien memilih

bahan makanan disupermarket sampai cara klien mengolah

makanannya didapur (Sidartawan S, dkk, 2011).

Rencanan diet diabetes dihitung secara individual bergantung pada

kebutuhan pertumbuhan, rencana penurunan berat (biasanya untuk

pasien diabetes tipe II), tingkat aktivitas, distribusi kalori biasanya 50-

60% dari karbohidrat kompleks 20% dari protein, 30% dari lemak.

Diet juga mencakup serat, vitamin dan mineral. Sebagai pasien

diabetes tipe II mengalami pemulihan kadar glukosa darah mendekati

normal hanya dengan interval diet karena adanya peran faktor

kegemukan (Arisman, 2010). Jumlah masukan kalori makanan yang

berasal dari karbhohidrat lebih penting dari pada sumber atau macam

karbohidratnya. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan

komposisi (Achmad Yoga, 2011).

1) Karbohidrat 60-70%

2) Protein 10-15%

3) Lemak 20-25%

Makanan dengan komposisi karbohidrat samapi 70-75% masih

memberikan hasil yang baik. Jumlah kandungan disarankan


<300mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak

jenuh (MUFA, Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA

(Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah

kandungan serat kurang lebih 25mg/hari, diutamakan serat larut.

Pasien diabetes dengan hipertensi perlu mengurangi konsumsi garam

pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Pemanis buatan yang tidak

bergizi yang aman dapat diterima untuk digunakan pasien termasuk

yang sedang hamil adalah : sakarin, aspartamen, acesulfate, potassium

dan sucralose. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status

gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani (Achamd

Yoga, 2011).

Untuk pemantauan status gizi, dapat dipakai indeks massa tubuh

(IMT) dan rumus Broca. Indeks tubuh dapat dihitung dengan rumus :

IMT = BB(kg)

TB (M)

Klasifikasi IMT :

a. BB kurang <18,5

b. BB normal 18,5-22,9

c. BB lebih ≥23,0

d. Dengan resiko 23,0-24,9

e. Obes I 25,0-29,9

f. Obes II ≥ 30

Untuk menghitung kebutuhan kalori, dapat dipakai rumus Broca, yaitu


a. Berat badan idaman (BBI)=(TB-100-10%)

b. Status gizi BB actual X 100%TB(cm)- 100

Keterangan :

a. BB Kurang bila BB <90%BBI

b. BB Normal bila BB 90-110%BBI

c. BB lebih bila BB110-120%BBI

d. Gemuk bila BB> 120%-BBI

c. Latihan Jasmani

Diyakini banyak ahli, Walaupun belum dapat dipastikan dapat

meningkatkan sensitifitas rseptor insulin, Sehingga akan menurunkan

kadar gula darah. Pada klien DM olahraga harus direncanakan dengan

menyebabkan hiperglikemia pada klien yang mendapat terapi insulin.

Sehingga jenis olahraga yang dapat dilakukan oleh klien DM adalah

jalan, olahraga, berenang (dengan pegawasan), bersepeda. Olahraga

dapat dilakukan 3-5 kali seminggu, kurang berolahraga dapat

menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin dapat menurunkan

sehingga dapat mengakibatkan penumpukan lemak dalam tubuh yang

dapat menyebabkan diabetes mellitus (Arisman, 2010).

Aktivitas fisik digabung dengan pembatasan diet, akan mendorong

penurunan berat badan dan dapat meningkatkan kepekaan insulin.

Untuk kedua tipe diabetes, olahraga terbukti dapat meningkatkan

pemakaian glukosa oleh sel sehingga kadar glukosa darah turun,


olahraga juga dapat meningkatkan kepekaan sel terhadap insulin

(Arisman, 2010).

Pada penyandang diabetes tipe II yang obesitas, latihan dan

penatalaksanaan diet akan memperbaiki metabolism glukosa serta

meningkatkan penghilangan lemak tubuh. Latihan yang bdigabung

dengan penurunan berat akan memperbaiki sensitifitas insulin dan

menurunkan kebutuhan pasien akan insulin atau obat hipoglikemia

oral. Kepada penderita diabetes harus dianjurkan untuk selalu

melakukan latihan pada saat yang sama (sebaiknya ketika glukosa

darah mencapai puncaknya) dan intensitas yang sama setiap harinya,

latihan yang dilakukan setiap hari secara teratur lebih dianjurkan dari

pada latihan sporadik (Arisman, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa olahraga

yang teratur bersama dengan diet yang tepat dapat menurunkan berat

badan. Hal tersebut merupakan penatalaksanaan DM yang dianjurkan

terutama bagi penderita DM tipe II (Sarwono, 2004 dikutip dari

Dimas, 2013). Penelitian yang dilakukan di USA oleh 21.217 dokter

selama lima tahun (cohort study), menemukan bahwa kasus DM tipe 2

lebih tinggi pada kelompok yang melakukan olahraga kurang dari satu

kali preminggu dibandingkan dengan kelompok yang melakukan

olahraga lima kali perminggu. Penelitian lain yang dilakukan selama

delapan tahun pada 87.353 perawat wanita yang melakukan olahraga

ditemukan penurunan resiko penyakit DM tipe 2 sebesar 33%.


Manfaat olahraga bagi penderita DM antara lain meningkatkan

penurunan kadar glukosa darah, mencegah kegemukan, ikut berperan

dalam mengatakan kemungkinan terjadinya komlikasi aterogenik,

gangguan lipid darah, peningkatan tekanan darah, hiperkoagulasi

darah keadaan ini mengurangi resiko penyakit jantung koroner.

Meningkatkan kualitas hidup pasien DM dengan memberikan

kemampuan kerja dan keuntungan secara psikologis.

Dalam pengelolaan DM, latihan jasmani yang teratur memegang

peran penting pada DM tipe 2. Manfaat lataihan jasmani yang teratur

antara lain :

1) Memperbaiki metabolism kadar glukosa darah dan lipid darah.

2) Meningkatkan kerja insulin.

3) Membantu menurunkan berat badan.

4) Meningkatkan kesegaran jasmani dan percaya diri.

d. Intervensi farmakologis atau obat-obatan

Pengelolaan secara farmakologis pada klien DM meliputi

pengobatan oral (OHO atau obat hiperglikemia oral) dan insulin.

Dalam pemberian terapi obat-obatan seorang perawat harus

memahami :

1) Indikasi dan kontraindikasi penggunaan obat OHO insulin.

2) Jenis-jenis preparat insulin berdasarkan kecepatan reaksinya.


3) Cara pemberian dan rotasi pemasukan insulin yang tepat Intervensi

keperawatan yang harus dilakukan pada klien yang mendapatkan

OHO atau insulin (Sidartawan S, dkk 2011).

Golongan obat yang dapat digunakan untuk penderita diabetes mellitus

adalah :

a) Silfonilurea

Obat golongan ini mempeunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel beta pancreas dan merupakan pilihan utama untuk

pasien berat badan normal dan kurang, Namun masih bisa diberikan

kepada pasien dengan berat bdan lebih. Untuk menghindari

hipoglikemia berkepanjangan pada berbagi keadaan seperti orang

tua, gangguan faal ginjal dan hati kurang nutrisi serta penyakit

kardiovaskuler tidak dianjurkan penggunaan sulfoniluria kerja

panjang seperti klorpamid (Sidartawan S, dkk 2011).

b) Biguanid

Obat golongan biguanid bekerja dengan cara meningkatkan

kepekaan tubuh terhadap insulin yang berproduksi oleh tubuh

sendiri. Obat ini tidak merangsang peningkatan produksi insulin

sehingga pemakaian tunggal tidak menyebabkan hipoglikemia. Obat

golongan biguanid dianjurkan sebagai obat tunggal pada penderita

DM yang gemuk (BBR >120%). Untuk penderita diabetes mellitus

yang gemuk (BBR>110%) pemakain dapat dikombinasikan dengan

obat golongan biguanid adalah gangguan saluran cerna pada hari-


hari pertama pengobatan. Untuk menghindarinya disarankan dengan

dosis rendah dan diminum saat makan atau sesaat sebelum makan.

Wanita hamil dan menyusui tidak dinjurkan memakai golongan ini

(Arisman, 2010).

c) Acarbose

Acarbose bekerja dengan cara memperlambat proses pencernaan

karbohidrat menjadi glukosa. Dengan demikian kadar glukosa darah

setelah makan tidak nmeningkat tajam. Sisa karbohidrat yang tidak

tercerna dimanfaatkan oleh bakteri usus besar dan ini menyebabkan

perut menjadi kembung, sering buang angin, diare, dan sakit perut.

Pemakaian obat ini bisa dikombinasikan dengan obat golongan

sulfonylurea atau insulin, Tetapi bila terjadi efek hipoglikemia hanya

dapat diatasi dengan gula murni glukosa atau dextrose (Arisman,

2010).

d) Insulin

Insulin diijeksikan sebagai obat untuk menutupi kekurangan

insulin tubuh (endogen) karena sel beta pancreas tidak dapat

mencukupi kebutuhan yang ada. Pengobatan dengan insulin

berdasarkan kondisi masing-masing penderita dan hanya dokter yang

berkompeten memilih jenis serta dosisnya. Untuk itu insulin

digunakan pada pasien diabetes mellitus tipe II. Penderita golongan

ini harus mampu menyuntik insulin sendiri (Sidartawan S, dkk,

2011).
Untuk sebagian penderita diabetes mellitus tipe II, juga

membutuhkan pemakaian insulin. Indikasi berikut menunjukkan

bahwa penderita perlu menggunakan insulin.

1) Kencing manis dengan komplikasi akut seperti misalnya

ganggren.

2) Kencing manis pada kehamilan yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan.

3) Berat badan penderita menurun cepat.

4) Penyakit diabetes mellitus yang tidak berhasil dikelolah dengan

tablet hipoglikemia dosis maksimal.

5) Penyakit disertai gangguan fungsi hati dan ginjal yang berat.

e) Memonitoring keton dan gula darah.

Ini merupakan pilar kelima yang dianjurkan kepada pasien

diabetes mellitus. Monitor level gula darah sendiri dapat mencegah

dan mendeteksi kemungkinan terjadinya hipoglikemia dan

hiperglikemia dan pasien dapat melakukan keempat pilar diatas

untuk menurunkan resiko komplikasi dari diabetes mellitus

(Smeltzer et al, 2008).

B. Tinjauan Tentang Ulkus Diabetik

1. Pengertian

Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik dari

penyakit diabetes mellitus. Ulkus diabetik merupakan luka terbuka

pada lapisan kulit sampai ke dalam dermis. Ulkus diabetik terjadi


karena adanya penyumbatan pada pembuluh darah di tungkai dan

neuropati perifer akibat kadar gula darah yang tinggi sehingga pasien

tidak menyadari adanya luka (Waspadji, 2011).

2. Klasifikasi

Klasifikasi ulkus diabetik pada penderita Diabetes Melitus terdiri

dari 6 tingkat Boulthon (1999), Wapadji (2007) dan Adhiarta (2011).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.1. Klasifikasi ulkus

diabetik menurut Wagner :

Tingkat Lesi
0 Tidak ada luka terbuka, kulit utuh.
1 Ulkus superficial, terbatas pada kulit.
2 Ulkus meyebar ke ligament, tendon, sendi, fascia dalam tanpa

adanya abses atau osteomylitis.


3 Ulkus disetai abses, osteomtylitis atau sepsis sendi.
4 Ganggren yang terlokalisir pada ibu jari, bagian depan kaki

atau tumit.
5 Ganggren yang membesar meliputi kematian semua jaringan

kaki.
Tabel 2.1 : Klasifikasi ulkus diabetik

Sumber : Boulthon (1999)

Selain klasifikasi dari Wagner, Konsensus internasional

tentang kaki diabetik pada tahun 2003 mengklasifikasikan PEDIS

dimana terinci sebagai berikut (Waspadji & Adhiarta, 2011) :

Gangguan perfusi

1 = Tidak ada
2 = Penyakit arteri perifer tetapi tidak parah

3= Iskemia parah pada kaki

Ukuran

1= Permukaan kaki, hanya sampai dermis dalam mm dan dalamnya (Depth)

2= Luka pada kaki sampai di bawah dermis meliputi fasia, otot atau tendon

3= Sudah mencapai tulang dan sendi

Infeksi

1= Tidak ada gejala

2= Hanya infeksi pada kulit dan jarinagan tisu

3= Eritema > 2cm atau infeksi meliputi subkutan tetapi tidak ada tanda inflamasi

4= Infeksi dengan manifestasi demam, leukositosis, hipotensi dan azotemia

Hilang sensasi

1= Tidak ada

2= Ada

Tabel 2.2 : Klasifikasi ulkus diabetik

Sumber : Waspadji & Adhiarta, 2011

Klasifikasi PEDIS digunakan pada saat pengkajian ulkus diabetik.

pangkajian dilihat dari bagaimana gangguan perfusi pada kaki.

Beberapa ukuran dalam mm (millimeter) dan sejauh mana dalam dari

ulkus kaki diabetik, ada atau tidaknya gejala infeksi serta ada atau

tidaknya sensasi pada kaki.

3. Epidemiologi
Pravalensi ulkus diabetik di Amerika Serikat sebesar 15-20% dan

angka mortalitas sebesar 17,6 % pada penderita DM dan merupakan

sebab utama perawatan penderita diabetes mellitus di rumah sakit.

Penelitian kasus control di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 16%

perawatan DM dan 23 % total hari perawatan adalah akibat ulkus

diabetik dan amputasi kaki karena ulkus diabetik sebesar 50% dari

total amputasi kaki. Sebanyak 15 % dari penderita DM akan

mengalami persoalan kaki suatu saat dalam kehidupannya.

Pravalensi penderita ulkus diabetik di Indonesia sebesar 15% dari

penderita DM Di RSCM, Pada tahun 2003 masalah kaki diabetes

masih merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan DM selalu

terkait dengan ulkus diabetik. Angka kematian dan angka amputasi

masih tinggi, masing-masing sebesar 32,5% dan 23,5%. Nasib

penderita DM pasca amputasi masih sangat buruk, sebanyak 14,3%

akan meninggal dalam setahun pasca amputasi dan sebanyak 37 %

akan meninggal 3 tahun pasca amputasi.

4. Tanda Dan Gejala

a. Sensasi nyeri berkurang

b. Sensasi nyeri pada saat istirahat.

c. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea.

d. Kaki dingin,kuku menebal.

e. Kulit kering dan kerusakan jaringan (Hastuti, 2012).


5. Patofisiologi

Ulkus diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien

dengan diabetes mellitus yang meyebabkan kelainan nuropati,baik

neuropati sensorik maupun motorik dan automik. Kelainan terbut akan

mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, kemudian

akan meyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada

telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus,

dengan adanya kerentanan terhadap infeksi dapat menyebabkan

infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah

yang kurang juga akan lebih lanjut menambah kesulitan dalam

penglohan ulkus diabetik (Waspadji, 2012).


6. Diagnosis

a. Pemeriksaan fisik : infeksi kaki untuk mengamati terdapat luka

ulkus pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi

vibrasi atau rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri

dorsalis pedis menuru atau hilang.

b. Pemeriksaan penunjang : X-ray, EMG dan pemeriksaan

laboratorium untuk mengetahui ulkus apakah ulkus diabetik

menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya.

7. Pengelolaan Kaki Diabetes Mellitus

Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar

yaitu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus

(pencegahan primer sebelum terjadi perubahan pada kulit) dan

pencegahan agar tidak tidak terjadi kecacatan yang lebih parah

(pencegahan sekunder dan pegelolaan ulkus gangrene diabetik yang

sudah terjadi).

a. Pencegahan primer

Kiat-kiat pencegahan kaki diabetes

Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting

untuk pencegahan kakik diabetes. Penyuluhan ini harus segera

dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan dengan peyandang

DM, dan harus selalu diingatkan kembali tanpa bosan.


Anjuran ini berlaku untuk semua pihak terkait pengelolaan

DM, baik para perawat, ahli gizi, ahli perawatan kaki, maupun

dokter sebagai dirigen pengelolaan. Khusus untuk dokter

sempatkan selalu melihat dan memeriksa kaki penyandang DM

sambil mengingatkan kembali mengenai cara pencegahan dan

cara perawatan kaki yang baik. Periksa selalu kaki pasien

setelah mereka melepaskan sepatu dan kaos kakinya (Tarwoto et

al, 2011).

b. Pencegahan sekunder

Pengelolaan holistik ulkus atau gangrene diabetik

Dalam pengelolaan kaki, kerja sama multidisipliner sangat

diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar

diperoleh hasil pengeloaan yang maksimal dapat digolongkan

sebagai berikut dan semuanya harus dikelola bersama (Tarwoto et

al., 2011) :

1) Control metabolik

Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki.

Kosentrasi glukosa darah agar selalu senormal mungkin. Untuk

meperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat

menghambat penyembuhan luka. Status nutrisi harus

diperhatikan dan di perpaiki, karena nutrisi yang baik jelas

membantunya kesembuhan luka.


2) Control vaskular

Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat

kesembuhan luka. Umumnya pembuluh darah dapat dikenali

melalui berbagai cara sederhana seperti : warna dan suhu kulit,

perabaan arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior serta

ditambah pengukuran tekanan darah. Disamping itu saat ini

juga tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi

keadaan pembuluh darah dengan vcara non-invasif maunpun

invasive dan semi-invasif seperti pemeriksaan ankle brachial

index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2 dan pemeriksaan

ekhodopler dan kemudian pemeriksaan arteriografi.

3) Wound control

Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang

merupakan hal yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti.

Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin.

4) Microbiological control

Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala

untuk setiap daerah yang berbeda di RS Dr. Cipta

Mangunkusumo Jakarta dan terakhir menunjukkan bahwa

pasien yang datang dari luar, umunya didapatkan infeksi

bakteri yang multiple, aerob dan anerob. Antibiotik yang

dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman

dan resistensinya.
5) Pressure control. Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki

dipakai untuk menahan berat badan) luka yang selalu

mendapat tekanan tidak akan cepat sembuh, apalagi kalau luka

tersebut terletak dibagian plantar seperti luka pada kaki

charcot.

6) Education control. Edukasi sangat penting untuk semua tahap

pengelolaan kaki diabetes. Dengan penyembuhan yang baik,

penyandang DM dan Ulkus atau ganggrene diabetik maupun

keluaganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung

berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka

yang optimal ( Sudoya et al., 2009).

8. Fase Penyembuhan Luka Diabetik

Stephan (2003), Bryant dan Nix (2007 dalam (Tarwoto et al.,

2011) menyatakan bahwa penyembuhan luka sidrom kaki diabetes

adalah proses yang kompleks, biasanya terjadi dalam 3 fase, yaitu

tahap pembersihan luka (fasi inflamasi), fase granulasi (fase

proliferasi) dan fase epitelisasi (tahap diferensiasi, dan penutupan

luka).

a. Fase inflamasi (0-3 hari)

Pada fase ini terdapat proses hemostasis akibat adanya injuri.

Pada proses hemostatis terjadi proses koagulasi, pembentukan

kloting fibrin, dan pelepasan growth faktor. Karena adanya sel

yang rusak dilepas histamine yang mengakibatkan dilatasi

pembuluh darah. Pada fase ini neotropil dan makrofag menuju


dasar luka. Kedua sel tersebut merupakan bagian terpenting dalam

tahap inflamasi. Pada tahap ini neutropil adalah memfagisitosis

bakteri dan febris. Neutrofil juga melepas growth faktor. Setelah

hari ke 3 neutropil hilang karena proses apoptosis dan dilanjutkan

oleh makrofag. Makrofag berfungsi memfagosit bakteri dan juga

debris. Makrofag memproduksi tissue inhibitor matrik

metalloprotein (TIMPs). Lebih jauh makrofag memproduksi

growth faktor yang menstimulasi angiogenesis, migrasi fibroblast

dan foliferasi. T limfosit tetap ada pada hari ke 5-7 setelah injuri. Ia

berperan dalam menghancurkan virus dan sel asing. Hasil akhir

dari fase inflamasi adalah dasar luka yang bersih.

b. Fase proliferasi (4-21 hari)

Selama fase ini integritas vaskuler diperbaiki, cekungan insisi

dengan jaringan konektif dan permukaan luka sudah dilapisi oleh

epitel baru. Komponen penting dalam fase ini adalah epitelisasi,

neoangigenesis dan matrix deposi-tion atau sintesis kollagen. Pada

minggu ke 3 setelah injury, kekuatan penyembuhan luka hanya

20% dari kulit rapat.

c. Fase maturasi atau remodeling (21 hari-1 tahun)

Pada fase ini terjadi proses penghancuran matrik dan

pembentukan matrix. Pembentukan kolagen semakin kuat sampai

dengan 80% dibandingkan dengan jaringan yang tidak luka.

Ketidakseimbangan antara penghancuran dan pembentukan matrik

dapat menyebabkan hipertopik skar dan pembentukan keloid. Dosis


lain hipoksia, malnutrisi atau kelebihan matrix metalloprotein

(MMPs) dapat mempengeruhi sintesi dan deposisi protein matrix

baru yang mengakibatkan luka rusak kembali.

9. Faktor Penyembuhan Ulkus Kaki Diabetik

Menurut Tarwoto et al., (2011) Beberapa faktor yang

memungkinkan terganggunya penyembuhan pada ulkus kaki diabetik

meliputi faktor sistemik dan faktor lokal. Beberapa faktor sistemik

yang mempengaruhi penyembuhan ulkus kaki diabetik meliputi :

Situasi metabolik hiperglikemia, malnutrisi, obesitas, penggunaan

nikotin, anemia, infusiensi renal, usia pasien dan penggunaan obat-

obatan (steroid dan anti rheumatik).

Sedangkan faktor lokal yang mempengaruhi penyembuhan ulkus

kaki diabetik meliputi iskemia dan hipoksia pada jaringan, tekanan,

trauma berulang, tindakan pada luka yang tidak adekuat, infeksi

nekrosis, terbentuknya edema, benda asing pada luka. Sedangkan

menurut Falanga (2005) dalam Bentley dan Foster (2007), dalam

(Tarwoto et al., 2011). Menyatakan penyembuhan luka pada

diabetes terganggu oleh neuropati dan penyakit vaskuler (faktor

intrinsik) dan oleh tekanan pada sisi luka, infeksi dan pembentukan

kalus (faktor ekstrinsik).

Rogers (2010) dalam (Tarwoto et al., 2011). Menyatakan dalam

hasil rekomendasi konsensus asuhan pada ulkus kaki diabetik tahun

2010 menyatakan bahwa penyembuhan yang lambat pada pasien

dengan ulkus kaki diabetik dapat diakibatkan oleh anemia, insufisiensi


renal, gula darah yang tidak terkontrol sehingga perlu dilakukan

pemeriksaan HbA1c sebagai data dasar. Kemudian status nutrisi,

penggunaan alkohol, serta merokok juga sebagai faktor resiko yang

mempengeruhi penyembuhan ulkus kaki diabetik sehingga

memenjang.

10. Faktor Terjadinya Ulkus Diabetik

a. Faktor secara langsung

1) Usia

Usia > 50 tahun berisiko tehadap terjadinya ulkus diabetik.

Pada usia > 50 tahun fungsi tubuh secara fisiologis menurun,hal

ini disebabkan karena penurunan sekresi atau resistensi insulin

sehingga kemapuan fungsi tubuh tehadap pengendalian glukosa

darah yang tinggi kurang optimal (Prastica, 2013). Penelitian

yang dilakukan oleh Merza & Tasdaye di Amerika Serikat pada

tahun 2003 menunjukkan bahwa usia 45-64 tahun sangat

berisiko terhadap terjadinya ulkus diabetik.

Berdasarkan hasil penelitian yang didilakukan terhadap 30

orang responden, Diperoleh hasil bahwa kejadian ulkus diabetik

banyak terjadi pada rentang usia 56-65 tahun. Proporsi resonden

berdasarkan usia pada penelitian ini sama dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Sugiarto (2013). Bahwa

sebagian besar penderita ulkus diabetik berusia > 50 tahun.

Menurut Ferawati (2013) ulkus diabetik dapat terjadi pada usia

50 tahun, Hal ini disebabkan karena fungsi tubuh fisiologis


menurun seperti penurunan sekresi atau resistensi insulin,

Sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian

glukosa darah yang tinggi kurang optimal. Kadar gula darah

yang tidak terkontrol akan mengakibatkan komplikasi kronik

jangka panjang, baik makrovaskuler maupun mikrovaskuler

salah satunya ulkus diabetik.

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin perempuan berisiko terhadap terjadinya ulkus

diabetik. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan hormonal

pada perempuan yang memasuki masa menopause. hasil

penelitian yang dilakukan oleh Purwan pada Tahun 2013

menunjukkan bahwa terdapat 64,7 % responden berjenis

kelamin perempuan yang menderita diabetes mellitus di

bandingkan jenis kelamin laki-laki. Proses penuaan dapat

mempengaruhi sensitivitas sel-sel tubuh terhadap insulin dan

dapat memperburuk kadar gula darah sehingga dapat

menyebabkan komplikasi diabetes dari waktu ke waktu

(Mayasari, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 30

orang responden, diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden

berjenis kelamin perempuan. Hasil penelitian ini sama dengan

hasil yang diperoleh Purwanti (2013) bahwa kejadian ulkus

diabetik lebih banyak terjadi pada perempuan. Banyak perempuan

yang mengalami ulkus diabetik disebabkan oleh penurunan


hormone estrogen akibat menopause. Selain itu juga berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh diani (2013) di dapatkan hasil

bahwa responden laki-laki memilki praktek perawatan kaki yang

lebih baik dibandingkan dengan responden perempuan.

3) Lamanya diabetes mellitus

Hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas responden

mengalami lama menderita penyakit >10 tahun. Hasil penelitian

ini didukung oleh Ariyanti (2009) dengan hasil bahwa pada

pasien dengan ulkus diabetik mayoritas menderita DM >10

tahun karena dipengaruhi oleh gaya hidup dan pengontrolan diet

yang tidak bagus. Boulton (2004) mengatakan bahwa lama

menderita >10 tahun merupakan faktor risiko terjadinya ulkus

diabetik ,sesuai dengan penelitian Boyko yang juga mengatakan

bahwa lama DM > 10 tahun merupakan faktor risiko terjadinya

ulkus diabetik (Hastuti, 2008).

4) Pengunaan alas kaki

Kaki pasien DM sangat rentan terhadap terjadinya luka, hal

ini disebabkan karena adanya neuropati diabetik dimana pasien

diabetes mengalami penurunan pada indra perasanya.

Pengunaan alas kaki yang benar menurut Armstrong, SA, GD

and RW (2008) cukup efektif untuk menurunkan angka

terjadinya luka diabetik karena dengan menggunakan alas kaki

yang tepat dapat mengurangi tekanan pada plantar kaki atau

melindungi kaki agar tidak tertusuk benda tajam. Pencegahan


yang dapat dilakukan agar tidak terjadi ulkus diabetik yaitu

dengan cara melakukan pemeriksaan pada sepatu yang akan

digunakan setiap hari untuk mengetahui ada atau tidak batu-batu

kecil yang dapat mencederai kaki, menggunakan sepatu sesuai

dengan ukuran kaki. Menggunakan kaos kaki yang tidak terlalu

ketak atau kaos yang terbuat dari bahan katun, mengganti kaos

kaki setiap hari dan menggunakan alas kaki yang tertutup baik

didalam rumah maupun diluar rumah (Johnson, 2014).

5) Riwayat ulkus sebelumnya

Pasien diabetes mellitus yang memiliki riwayat ulkus

sebelumnya berisiko mengalami ulkus berulang. Penelitian yang

dilakukan oleh Peters and Lavery (2011) menunjukkan bahwa

pasien diabetes mellitus dengan riwayat ulkus pada tiga tahun

berikutnya dan memilki risiko 32 kali untuk mengalami

amputasi pada ekstremitas bawah karena pada pasien diabetes

dengan riwayat ulkus sebelumnya memilki kontrol gula darah

yang buruk, adanya neuropati, peningkatan tekanan plantar dan

lamanya terdiagnosa diabetes mellitus.

6) Perawatan kaki

Ulkus diabetik dapat terjadi karena perawatan kaki yang

tidak teratur. Perawatan kaki tidak teratur dapat mempermudah

timbulnya luka infeksi dan berkembang menjadi ulkus diabetik.

Menurut Johnson (2014) perawatan kaki yang dapat dilakukan

untuk mencegahnya terjadinya ulkus daibetik yaitu :


1) Melakukan pemeriksaan kaki setiap hari untuk

2) Mengetahui apakah terdapat tanda kemerehan, memar, luka,

infeksi jamur ataupun iritasi pada kaki.

3) Mencuci kaki setiap hari mengguankan air dan sabun.

4) Menggunting kuku menyusuaikan dengan bentuk kuku dan

tidak memotong terlalu dekat dengan daging atau terlalu

pendek.

5) Melembabkan bagian kaki yang sering menggunakan lotion.

6) Menjaga kaki agar selalu bersih.

b. Faktor secara tidak langsung

1) Dukungan keluarga

Keluarga merupakan kelompok sosial utama yang

mempunyai ikatan emosi yang paling besar dan terdekat

dengan klien terutama dalam pemberian dukungan social

(Azizah, 2011). Menurut Effendi (2010) dukungan keluarga

adalah proses yang terjadi selama masa hidup dengan sifat dan

tipe dukungan sosial yang bervariasi pada masing-masing

tahap siklus kehidupan keluarga.

2) Dukungan emosional

Dukungan emosional yaitu bantuan sosial yang melibatkan

ungkapan empati, kepedulian dan perhatian seseorang yang

memberikan rasa nyaman, memilki dan dicintai oleh sumber

dukungan sosial (keluarga) sehingga individu dapat

menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat


penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidap dapat

terkontrol.

3) Dukungan penghargaan

Dukungan penghargan merupakan bantuan yang diberikan

untuk membangun perasaan berharga,memberikan nilai positif

terhadap orang tersebut ditengah keadaan yang kurang mampu,

baik secara mental maupun fisik. Dukungan ini membantu

individu dalam membanngun harga diri dan kompetensi.

4) Dukungan instrumental

Bentuk dukungan instrumental merupakan penyediaan

materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti

peminjaman uang, pemberian barang, atau pemberian

makanan.

5) Dukungan informative

Dukungan keluarga dapat diberikan dalam bentuk

dukungan informative seperti memberikan informasi mengenai

makanan yang dapat dikonsumsi, meberikan informasi

mengenai perawatan kaki, dukungan penghargaan, dan

dukungan instrumental seperti mengingatkan untuk melakukan

olahraga setiap hari, mendampingi pada saat check up ke

pelayanan kesehatan agar pasien diabetes mellitus tersebut

tidak mersa hidup sendiri, serta membantu dalam perawatan

kaki secara teratur untuk mencegah terjadinya ulkus

diabetikum dan mengingatkan pasien diabetes mellitus untuk


selalu menggunakan alas kaki agar tidak kontak secara

langsung dengan lantai guna mencegah terjadinya luka.

11. Penatalaksanaan Ulkus Kaki Diabetik

Fryberg et al., (2006) dalam (Tarwoto et al., 2011). Menyatakan

tujuan utama penatalaksaan ulkus kaki diabetik adalah mencapai

penutupan luka secepat mungkin. Meyelelesaikan ulkus kaki kaki dan

menurunkan kejadian berulang dapat menurunkan kemungkinan

amputasi pada ekstremitas bagian bawah pasien DM.

Asosiasi penyembuhan luka mendefinisikan luka kronik adalah

luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan sesuai

dengan yang seharusnya dalam mencapai integritas anatomi dan

fungsinya terjadi pemanjang proses inflamasi dan kegagalan dalam

reepitalisasi dan memungkinkan kerusakan lebuih jauh dan infeksi.

Fryberg et al., (2006), Dalam (Tarwoto et al., 2011) menyatakan

area penting dalam manajemen ulkus diabetik meliputi manajemen

komorbiditi, evaluasi status vaskuler dan tindakan yang tepat

pengkajian gaya hidup atau faktor psikologi, pengkajian dan evaluasi

elser, manajemen dasar luka dan menurunkan tekanan.

a. Manajemen komorbiditi

Merupakan penyakit multi organ, semua komordibiti yang

mempengaruhi penyembuhan luka harus dikaji dan dimanaemen

multidisiplin untuk mencapai tujuan yang optimal pada ulkus kaki

diabetik. Beberapa komordibiti yang mempengaruhi penyembuhan

luka meliputi hiperglikemia dan penyakit vaskuler.


b. Evaluasi status vaskuler

Perfusi arteri memegang peranan penting akan penyembuhan

luka dan harus dikaji pada pasien dengan ulkus, selama sirkulasi

terganggu luka akan mengalami kegagalan penyembuhan dan

berisiko amputasi. Adanya infusiensi vaskuler dapat berupa edema,

karakteristik kulit yang terganggu (tidak ada rambut, penyakit

kuku, penurunan kelembaban), penyembuhan lambat, ektremitas

dingin, penurunan pulsasi perifer).

c. Pengkajian gaya hidup atau faktor psikososial

Gaya hidup dan faktor psikologi dapat mempegaruhi

penyembuhan luka. Contoh merokok, alkohol, penyalahgunaan

obat, kebiasaan makan, obesitas, malnutrisi dan tingkat mobilisasi

dan aktivitas. Selain itu depresi dan penyakit mental juga dapat

mempengaruhi pencapaian tujuan.

d. Manajemen jaringan atau tindakan dasar luka

Tujuan dari debridement jaringan adalah jaringan mati atau

jaringan yang tidak penting (Delmas, 2006). Debridement jaringan

nekrotik merupakan komponen integral dalam penatalaksaan ulkus

kronik agar ulkus mencapai penyembuhan. Proses debridement

dapat dengan cara pembedahan, enzimatik, autolitik, dan biologikal

(larva).
C. Tinjauan Tentang Penyembuhan Luka

1. Pengertian Luka

Luka adalah kerusakan hubungan antar jaringan-jaringan pada

kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain (Agung, 2011).

Selain itu, menurut Koiner dan Taylan (2015), Luka adalah

terganggunya integritas normal dari kulit dan jaringan di bawahnya

yang terjadi secara tiba-tiba atau disengaja, tertutup atau terbuka, bersih

atau terkontaminasi, dan superfisial. Fisiologis penyembuhan adalah

pemulihan jaringan hidup yang rusak fungsi normal. Ini adalah proses di

mana sel-sel dalam tubuh regenerasi dan perbaikan untuk mengurangi

ukuran rusak atau nekrotik daerah. Penyembuhan menggabungkan kedua

penghapusan nekrotik jaringan (pembongkaran), dan penggantian

jaringan ini.

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena

berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesanambungan.

Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya

bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan

komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya

perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme penyembuhan luka dan

aplikasi klinik saat ini telah dapat diperkecil dengan pemahaman dan

penelitian yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan

pemakaian bahan pengobatan yang telah berhasil memberikan

kesembuhan. Penyembuhan luka meliputi 2 kategori yaitu, pemulihan

jaringan ialah regenerasi jaringan pulih seperti semula baik struktur


maupun fungsinya dan repair ialah pemulihan atau penggantian oleh

jaringan ikat (Mawardi dan Hasan, 2012).

2. Macam - Macam Luka Menurut Koiner dan Taylan (2015)

a. Jenis luka menurut mekanismenya :

1) Luka mekanik

a) Luka Insisi terjadi karena teriris benda tajam.

b) Luka memar, terjadi akibat benturan dengan benda tumpul.

c) Luka Lecet, terjadi karena bergesekan dengan benda yang kasar

tapi tidak tajam.

d) Luka Tusuk, terjadi akibat benda tajam yang berdiameter kecil

dan masuk dalam tubuh termasuk juga karena tembak (peluru).

e) Luka Robek, terjadi karena benda tajam dan kasar.

f) Luka Tembus, terjadi luka yang menembus organ tubuh.

g) Luka gigitan, terjadi karena gigitan binatang atau manusia

2) Luka Non Mekanik

Luka Bakar, kehilangan atau kerusakan jaringan tubuh terjadi

karena disebabkan oleh energi panas atau bahan kimia atau listrik.

b. Menurut Kontaminasi Luka :

1) Luka Bersih

Luka yang tidak terdapat imflamasi dan infeksi, tidak melibatkan

saluran pencernaan, pernafasan dan perkemihan.

2) Luka Bersih Terkontaminasi

Luka bedah yang melibatkan saluran pernafasan, perkemihan dan

pencernaan. Namun luka tidak menunjukkan infeksi.


3) Luka Terkontaminasi

Luka terbuka, segar, luka kecelakaan dan bedah yang berhubungan

dengan saluran pencernaan, pernafasan dan perkemihan yang

menunjukkan adanya infeksi.

4) Luka Kotor

Luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan

mikroorganisme

c. Menurut waktu penyembuhan dapat dibagi menjadi :

1) Luka akut : luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan

konsep penyembuhan yang telah disepakati. Kriteria luka akut

adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai

dengan waktu yang diperkirakan Contoh : Luka sayat, luka

bakar, luka tusuk, crush injury. Luka operasi dapat dianggap

sebagai luka akut yang dibuat oleh ahli bedah. Contoh : luka

jahit, skin grafting.

2) Luka kronis : luka yang mengalami kegagalan dalam proses

penyembuhan, dapat karena faktor eksogen atau endogen. Pada

luka kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan,

tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk

timbul kembali. Contoh : ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus

venous, luka bakar dll.


3. Faktor Menyembuhan Luka

Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita,

namun hasil penyembuhan yang dicapai sangat tergantung dari berbagai

faktor. Menurut Yumito (2013) Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

penyembuhan luka antara lain adalah :

a. Kebersihan luka

Adanya benda asing, kotoran atau jaringan nekrotik (jaringan mati)

pada luka dapat menghambat penyembuhan luka, sehingga luka

harus dibersikan atau dicuci dengan air bersih atau NaCL 0,9% dan

jaringan nekrotik pada luka dihilangkan dengan tindakan yang

disebut debrideman (debridement).

b. Infeksi

Luka yang terinfeksi akan membutuhkan waktu lebih lama untuk

sembuh. Tubuh selain harus bekerja dalam menyembuhkan luka,

juga harus bekreja dalam melawan infeksi yang ada, sehingga fase

inflamasi akan berlangsung lebih lama. Infeksi tidak hanya

menghambat penyembuhan luka tetapi dapat menambah ukuran luka

(besar dan atau dalamnya luka). Luka yang sembuh juga tidak sebaik

jika luka tanpa infeksi.

c. Usia

Semakin lanjut usia, luka akan semakin lama sembuh karena respon

sel dalam proses penyembuhan luka akan lebih lambat.


d. Gangguan suplai nutrisi dan oksigen pada luka

Gangguan suplai nutrisi dan oksigen (misal : akibat gangguan aliran

darah) dapat menghambat penyembuhan luka.

e. Status gizi

Gizi buruk akan memperlambat penyembuhan luka karena

kekurangan vitamin, mineral, protein dan zat-zat lain yang

diperlukan dalam proses penyembuhan luka.

f. Penyakit yang mendasari

Luka pada penderita diabetes dengan kadar gula darah yang tidak

terkontrol biasanya akan sulit sembuh atau bahkan dapat memburuk.

g. Merokok

Suatu studi menunjukkan bahwa asap rokok memperlambat

penyembuhan karena asap rokok akan merusak fibroblas yang

penting dalam proses penyembuhan luka.

h. Stress

Stres yang berlangsung lama juga akan menghambat penyembuhan

luka karena sistem imun yang menurun.

i. Obat-obatan penggunaa steroid atau imunosupresan jangka panjang

dapat menurunkan daya tahan tubuh yang dapat menghambat

penyembuhan luka.

j. Kadar Gula Darah

Tingkat glukosa darah menegang ke arteri dan menyebabkan

penyempitan pembuluh darah. Efek ini adalah penyebab luka serta

faktor resiko untuk penyembuhan luka. Gula darah menurun fungsi


sel-sel darah merah yang membawa nutrisi ke jaringan. Hal ini akan

menurunkan efisiensi sel darah putih yang melawan infeksi. Tanpa

nutrisi yang cukup dan oksigen, luka kesembuhan menjadi perlahan.

Ketika mengalami stress dan tubuh tidak sehat atau terluka, tubuh

akan melepaskan hormone seperti epinefrin, glucagon, hormon

pertumbuhan dan kartisol. Pelepasan hormon ini akan menyebabkan

glukosa dan meningkatkan resistensi insulin. Berikut kadar gula

darah menurut PERKINI (2011) :

1) Gula Darah Sewaktu 80-120 ml/dl

2) Gula Darah Puasa 100-125 ml/dl

3) Gula Darah Setelah Makan :

a. usia 50 tahun 140 ml/dl

b. usia 50-60 tahun 150 ml/dl

c. usia 60 tahun ke atas 160ml/dl

4. Fase Penyembuhan Luka

Tarwoto et al., (2011) Menyatakan bahwa penyembuhan luka

sidrom kaki diabetes adalah proses yang kompleks, biasanya terjadi

dalam 3 fase, yaitu tahap pembersihan luka (fase inflamasi), fase

granulasi (fase proliferasi) dan fase epitelisasi (tahap diferensiasi,

penutupan luka).

a. Fase inflamasi (0-3 hari)

Pada fase ini terdapat proses hemostasis akibat adanya injuri. Pada

proses hemostatis terjadi proses koagulasi, pembentukan kloting

fibrin, dan pelepasan growth faktor. Karena adanya sel yang rusak
dilepas histamine yang mengakibatkan dilatasi pembuluh darah. Pada

fase ini neotropil dan makrofag menuju dasar luka. Kedua sel tersebut

merupakan bagian terpenting dalam tahap inflamasi. Pada tahap ini

neutropil adalah memfagisitosis bakteri dan febris. Neutrofil juga

melepas growth faktor. Setelah hari ke 3 neutropil hilang karena

proses apoptosis dan dilanjutkan oleh makrofag. Makrofag berfungsi

memfagosit bakteri dan juga debris. Makrofag memproduksi tissue

inhibitor matrik metalloprotein (TIMPs). Lebih jauh makrofag

memproduksi growth faktor yang menstimulasi angiogenesis, migrasi

fibroblast dan proliferasi. T limfosit tetap ada pada hari ke 5-7 setelah

injuri. Ia berperan dalam menghancurkan virus dan sel asing. Hasil

akhir dari fase inflamasi adalah dasar luka yang bersih.

b. Fase proliferasi (4-21 hari)

Selama fase ini integritas vaskuler diperbaiki, cekungan insisi

dengan jaringan konektif dan permukaan luka sudah dilapisi oleh

epitel baru. Komponen penting dalam fase ini adalah epitelisasi,

neoangigenesis dan matrix deposition atau sintesis kollagen. Pada

minggu ke 3 setelah injury, kekuatan penyembuhan luka hanya 20%

dari kulit rapat.

c. Fase maturasi atau remodeling (21 hari-1 tahun)

Pada fase ini terjadi proses penghancuran matrik dan

pembentukan matrix. Pembentukan kolagen semakin kuat sampai

dengan 80% dibandingkan dengan jaringan yang tidak luka.

Ketidakseimbangan antara penghancuran dan pembentukan matrik


dapat menyebabkan hipertopik skar dan pembentukan keloid. Dosis

lain hipoksia, malnutrisi atau kelebihan matrix metalloprotein (MMPs)

dapat mempengeruhi sintesi dan deposisi protein matrix baru yang

mengakibatkan luka rusak kembali.

D. Tinjauan Tentang Perawatan Luka Diabetik

Efektivitas perawatan luka konvensional dengan perawatan luka modern

1. Perawatan Luka Konvensional

Perawatan luka konvensional adalah metode perawatan luka yang

dilakukan dengan menggunakan balutan luka berdaya serap kurang

dan cairan antiseptik yang sama pada semua jenis luka (Marynani A ,

2013).

Berikut ini diuraikan tentang kelebihan dan kekurangan dari

perawatan luka konvensional :

a. Prinsip-prinsip umum perawatan luka konvensional

1) Dalam perawatan luka konvensional perawatan luka sering

menggunakan antiseptic pada luka dengan tujuan untuk

menjaga luka tersebut agar menjadi steril.

2) Bahkan disetiap trolley perawatan luka atau kotak obat atau

kotak P3K biasa disediakan antiseptik seperti : Hydrogen

peroxide, povidone iodine, rivanol, acetic acid, dan

chlorhexidine.

3) Untuk kondisi saat ini berkaitan dengan penggunaan antiseptik

pada luka :
a) Perlu diketahui bahwa antiseptik-antiseptik seperti ini

dapat menganggu proses penyembuhan dari tubuh kita

sendiri.

b) Masalah utama yang timbul adalah antiseptik tersebut

tidak hanya membunuh kuman-kuman yang ada, tetapi

juga membunuh leukosit yaitu sel darah yang dapat

membunuh bakteri pathogen dan jaringan fibroblast yang

membentuk jaringan kulit baru.

4) Dalam metode perawatan luka konvensional, beberapa hal

yang sering terjadi antara lain :

a) Perawatan luka dilakukan sering (sehari 2-3kali, bahkan

lebih).

b) Pasien merasakan nyeri yang sering.

c) Perbaikan luka yang sama.

d) Perasaan minder pada pasien karena bau.

5) Tentang pengunaan balutan dalam perawatan luka

konvensional, terdapat beberapa pendapat, antara lain :

a) Orang percaya bahwa membiarkan luka dalam kondisi

bersih dan kering akan mempercepat proses penyembuhan.

Oleh karena itu, pada perawatan luka konvensional atau

orang yang sama dahulu lakukan, biasanya luka dibalut

dengan menggunakan kaki pembalut, balutan yang tipis,

yang memungkinkan udara masuk dan membiarkan luka

mongering berbentuk ‘scah atau koreng’.


b) Dengan adanya luka yang mengering berbentuk ’koreng’ ini

dianggap bahwa luka telah sembuh.

c) Pengetahuan dahulu menyatakan bahwa scab atau koreng,

atau luka yang mongering merupakan penghalang alami

untuk mencegah hilangnya kelembaban.

d) Scab atau luka yang mongering juga mencegah sel-sel baru

untuk berkolonisasi di area luka.

e) Ketika scab tersebut mulai berubah bentuk, sel epidermis

harus masuk ke lapisan dermis yang paling dalam sebelum

melakukan proliferasi, karena di area tersebut merupakan

daerah yang lembab sel dapat hidup.

f) Dari proses tersebut dapat diketahui bahwa dalam

lingkungan kering luka akan memilih dari dalam ke luar.

g) Beberapa fakta berkaitan dengan hal tersebut, Antara lain :

1) Faktanya adalah memang luka yang berbentuk koreng

tersebut telah mengering tetapi biasanya yang kering

hanyalah pada bagian luarnya saja. Sementara luka

bagian dalam masih basah, Bahkan luka bisa meluas ke

dalam.

2) Sering dengan berkembangnya ilmu pengetahuan

terkini telah membuktikan bahwa luka dalam kondisi

kering dapat memperlambat proses penyembuhan dan

akan menimbulkan bekas luka.


3) Bila kita dapat mengoptimalkan lingkungan yang

lembab pada luka, proses penyembuhan luka akan

berlangsung dari daerah pinggir atau sekitar dan dari

dalam secara serempak.

h) Kelebihan“perawatan luka konvensional dengan balutan

konvensional“ :

1) Mudah didapat : apotik, toko obat, dan lain-lain.

2) Murah.

i) Kekurangan“perawatan luka konvensional dengan balutan

konvensional “ :

1) Sering diganti balutannya

2) Balutan cepat kering

3) Kurang menyerap eksudat, karena di absorbsi minimal.

4) Berisiko menimbulkan luka baru pada saat penggantian

balutan sehingga dapat merusak sel-sel baru (dalam hal

ini, dapat membuat trauma pada luka).

5) Menimbulkan nyeri pada saat ganti balutan (dalam hal

ini, kuat melekat pada luka).

6) Tidak mendukung proses lembab.

7) Menghambat proses penyembuhan karena sering

diganti.

8) Resiko terjadi infaksi sangat besar (tidak bisa

mengahambat kuman).
2. Perawatan Luka Modern

Perawatan luka dengan metode modern adalah metode

penyembuhan luka dengan cara mempertahankan kelembaban luka

(moist wound healing) dengan menggunakan teknik eksklusif dan

tertutup (Marynani A, 2013).

Berikut ini diuraikan tentang kelebihan dan kekurangan dari

”perawatan luka modern” :

a. Prinsip-prinsip umum perawatan luka modern:

1) Untuk meminimalisir penggunaan antibiotik atau antiseptik,

maka untuk membersihkan luka dalam perawatan luka modern,

cara yang terbaik dalam pembersihannya adalah:

a) Dengan menggunakan caioran fisologis seperti normal

saline (NaCL 0,9%).

b) Untuk luka yang sangat kotor dapat menggunakan teknik

“irigasi atau water pressure”.

c) Untuk membersihkan luka di rumah (perawatan di rumah),

apabila tidak ada cairan NaCL, dapat menggunakan air yang

mengalir atau menggunakan shower bertekanan rendah.

2) Mengenai penggunaan balutan dalam perawatan luka modern,

maka kriteria balutan, yang digunakan antara lain :

a) Balutan dalam kondisi lembab merupakan cara yang paling

efektif untuk menmyembuhkan luka.

b) Balutan dalam kondisi lembab tidak menghambat aliran

oksigen, nitrogen dan zat-zat udara yang lain.


c) Kondisi lembab merupakan lingkungan yang baik untuk sel-

sel tubuh tetap hidup dan melakukan replikasi secara

optimum, karena pada dasarnya sel dapat hidup di

lingkungan yang lembab atau basah (kecuali sel kuku dan

rambut, sel-sel ini merupakan sel mati).

d) Mengenai penyembuhan luka dengan menggunakan

lingkungan yang lembab sebagai pemerhati perawatan luka,

seharusnya memperkenalkan ke sesama pihak tentang

kondisi yang mendukung penyembuhan luka ini. Dengan

pertimbangan, antara lain : Penyembuhan dengan

menggunakan lingkungan yang lembab masih menjadi hal

yang baru dan jarang diaplikasikan di masyarakat.

Masyarakat kebanyakan berpendapat bahwa lingkungan

yang lembab akan menjadi tempat berkembangbiakannya

kuman penyakit.

Namun, Pernyataan ini tidak disertai dengan kenyataan

bahwa tubuh kita mempunyai system imun yang sangat

efisien. Segala jenis luka, dengan berbagai tingkat

kesterilannya memang merupakan bentuk kolonisasi

bakteri, tetapi koloni bakteri tersebut selama masih dalam

jumlah yang wajar tidak menimbulkan resiko infeksi.

Masalah akan timbul jika bakteri tersebut mulai melipat

gandakan koloninya. Jika tubuh kita dalam koloni yang

normal, maka antibodi dalam tubuh akan dapat mencegah


bakteri untuk tidak bermitosis. Dengan penggunaan balutan

yang lembab, Maka klien dengan luka biasanya akan jarang

atau kurang mengeluhkan rasa nyeri atau sakit yang

dirasakan ketika luka dibiarkan dalam lingkungan yang

lembab.

Balutan yang mensuport lingkungan lembab pada luka

ini akan saraf dari lingkungan luar dengan memberikan

lingkungan yang lembab sehingga dapat mengurangi rasa

nyeri. Jika dalam balutan yang kering, dikhawatirkan saraf

akan mudah mengalami resiko kerusakan selama

berproliferasi.

3) Dalam metode perawatan luka modern, beberapa hal yang

sering terjadi antara lain :

a) Perawatan luka bisa dilakukan 3-5 hari sekali atau

tergantung jenis luka dan kotornya balutan.

b) Pasien merasa nyaman.

c) Perbaikan luka lebih cepat.

d) Tidak bau.

e) Biaya perawatan lebih rendah.

4) Kelebihan perawatan luka modern dengan balutan modern :

a) Mengurangi biaya perawatan pada klien.

b) Mengefektifkan jam perawatan perwat di Rumah Sakit.

c) Bisa mempertahankan kelembaban luka lebih lama (5-7

hari).
d) Mendukung penyembuhan luka.

e) Menyerap eksudat dengan baik.

f) Tidak menimbulkan nyeri pada saat ganti balutan.

g) Tidak bau.

5) Kekurangan perawatan luka modern dengan balutan modern

a) Hanya apotik-apotik tertentu yang menyediakan modern

dressing.

b) Tidak masuk dalam anggaran jamkesmas.

3. Jenis Bahan-Bahan Rawat Luka Yang Digunakan Pada Teknik

Modern Dan Konvensional

a. Jenis bahan-bahan rawat luka yang digunakan pada teknik balutan

modern menurut Ronald W. Kartika (2015) :

1) Hidrokoloid

Mengandung partikel hydroaktif yang terikat pada polimer

hydrofobik. Kelebihan akan cairan pada luka akan diserp dan

balutan akan berubah menjadi gel. Balutan yang berfungsi menjaga

kelembaban luka, mempunyai kemampuan menyerap cairan

minimal, cocok untuk luka pada fase epitelisasi (warna dasar luka

pink), dapat juga digunakan untuk mencegah terjadinya maserasi.

2) Alginate

Balutan luka yang berbahan dasar dari rumput laut, mempunyai

kemampuan menyerap cairan luka minimal-sedang, juga

mempunyai kemampuan menghentikan pendarahan minimal,

cocok untuk luka pada fase granulasi.


3) Hydrogel

Balutan ini berbahan dasar gliserin, mempunyai kemampuan untuk

melunakkan jaringan luka yang telah mati, cocok untuk luka

dengan warna dasar hitam atau kuning.

4) Balutan Anti Bakterial

Balutan ini mempunyai sifat antibakterial, sehingga mampu

membunuh atau menghilangkan  kuman-kuman yang ada pada

luka, jenisnya puun bermacam-macam ada yg seperti jarring-jaring

dan mempunyai sifat hydrofobik yang kuat sehingga mampu

menarik kuman pad luka.

5) Foam

Balutan ini adalah berbahan dasar polyurethane foam mempunyai

kemampuan yang sangat besar dalam menyerap cairan luka, cocok

untuk luka yang memiliki eksudat yang banyak.

6) Silver Dressing

Balutan yang mengandung silver, mampu menghancurkan koloni

kuman dengan baik cocok untuk luka yang terinfeksi.

b. Jenis bahan-bahan rawat luka yang digunakan pada teknik balutan

konvensional :

1) Antispetik

Antispetik adalah disenfektan non toksik diberikan pada kulit

atau jaringan hidup yang mempunyai kemampuan untuk

menghancurkan bakteri dengan menghambat proses


pertumbuhannya dalam waktu 20 menit (Dealey, 2015). Jenis-jenis

antispek yaitu :

a) Cetrimide

Larutan yang digunakan sebagai pencuci luka larutan

trauma atau pengangkat jaringan mati maupun krusta. Tidak

diperbolehkan kontak mata. Efek samping yang perlu

diperhatikan yaitu iritasi dan sensitif, serta mudah

terkontaminasi dengan bakteri khususnya golongan

Pseudomonas aeruginosa. Hanya digunakan di UGD sebagai

cairan pembersih luka kotor (Dealey, 2015).

b) Chlorhexidin

Cairan ini sangat efektif untuk melawan bakteri gram

positif dan negatif, dengan toksisitas yang lebih rendah, sangat

efektif untuk mengurangi produksi eksudat (Dealey, 2015).

c) Hydrogen peroxide

Larutan ini mempunyai efek terhadap bakteri anaerob,

bersifat sitotoksik terhadap fibroblas kecuali jika di encerakan

pada 0.003%. Campuran ini tidak efektif untuk melawan

bakteri. Menurut Bennett et al., (2001, dalam Dealey, 2015),

hydrogen peroxide pada konsentrasi kurang dari 3% dapat

menghambat meigrasi keratinosit dan proliferasi.

d) Iodine

Iodine merupakan antiseptik dengan kerja spektrum luas

digunakan sebagai disinfektan dan membersikann luka infeksi.


Karakteristik iodin mempunyai sifat sitotoksik terhadap

fibroblas, memperkuat epitelisasi dan menurunkan kontraksi

otot (Dealey, 2015).

e) Potasium permanganate

Potasium permanganat sering digunakan pada kondisi luka

dengan eksudat yang berlebihan dihubungkan dengan dengan

adanya ulkus kaki, lebih sering digunakan dalam bentuk tablet.

Efek samping yang muncul adalah timbulnya warna pada kulit

(Dealey, 2015).

f) Proflavine

Proflavine mempunyai efek bakteriostatik terhadap gram

positif saja. Menurut Foster & Moore (1997, dalam Dealey,

2015) menyebutkan bahwa proflavine memiliki efek samping

nyeri.

g) Silver

Bentuk yang tersedia adalah silver nitrat dalam wujud cair,

krim dan balutan. Kelebihan silver adalah respon nyeri lebih

berkurang (Dealey, 2015).

h) Sodium hypochlorite

Sodium hypochlorite memiliki efek kemerahan, nyeri,

oedem, memperpanjang fase inflamasi, bersifat sitotoksik

terhadap fibrobas, serta menghambat epitelisasi (Dealey, 2015).


2) Antibiotik

Berbagai jenis antibiotik telah berkembang saat ini untuk

penatalaksanaan luka, tetapi tidak semuanya dapat bekerja secara

optimal. Resiko yang dapat muncul adalah resiko resistensi bakteri.

Antibiotik yang digunakan dapat bersifat sistemik maupun topikal.

3) Madu

Penggunaan madu sebagai bahan perawatan luka mempunyai

fungsi sebagai antibakteri, mengurangi bau, debridemen, anti

inflamasi, dan proliferatif (Dealey, 2015).

E. Tinjauan Tentang Stress

1. Pengertian

Stress merupakan kajadian yang tidak dapat dipisahkan dalam

kehidupan sehari-hari. Stress terjadi pada semua kalangan usia

termasuk anak-anak, remaja, dan dewasa. Stress juga terjadi dimana

saja, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan kerja, pendidikan,

maupun komunitas tertentu (Mampuzi & Wulandar, 2010).

2. Mekanisme Stress

Ransangan atau perubahan yang dirasakan oleh panca indra

kita, maka melalui syaraf-syaraf panca indra tersebut mengirimkan

sinyal ke Hypophyse (berada di dasar otak) sebagai alaram

selanjutnya mengirimkan signyalnya ke kelenjar anak ginjal untuk

melepaskan hormone adrenalin dan cortisol, cortisol ini

meningkatkan gula darah yang terutama digunakan otak (berfikir


atau mengatur), selain itu fungsi cortisol untuk meningkatkan

persediaan bahan perbaikan sel-sel tubuh, sistem kekebalan tubuh,

reproduksi dan pertumbuhan serta merangsang beberapa kelenjar

tubuh lainnya untuk peroses metabolisme sedangkan adrenaline

meningkatkan denyut jantung, dan peningkatan tekanan darah dan

juga meningkatkan pasokan energi. Jika pikiran dan tubuh selalu

cemas karena stres yang berlebihan setiap hari, lama kelamaan tubuh

akan menghadapi masalah-masalah kesehatan serius. Tubuh sebagai

hardwire akan bekerja terus menerus dalam kondisi tidak normal

atau overload yang akhirnya dapat menyebabkan : Gangguan

jantung, masalah tidur, masalah pencernaan, depresi, obesitas,

kelemahan memori atau ingatan, kelainan kulit seperti eksim dan

lain-lain (Hans S, 2015).

3. Faktor Yang Mempengaruhi Stress Menurut Sumaryo (2010)

a. Faktor biologis herediter, kontisio tubuh, kondisi neuro

fisiologik dan neuro hormonal.

b. Faktor psikoedukatif atau psiko kultural perkembangan

kepribadian, pengalaman, dan kondisi lain yang mempengaruhi.

4. Sumber Stress

Menurut Hidayat (2012), sumber stress terdiri dari tiga (3) aspek

yaitu antara lain:

a. Diri sendiri

Diri sendiri yaitu umumnya dikarenakan konflik yang terjadi

antara keinginan yang berbeda, dalam hal ini adalah berbagai


permasalahan yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu

diatasi maka akan dapat menimbulkan stress.

b. Keluarga

Stress ini bersumber dari maslah keluarga yang ditandai

dengan adanya perselisihan antara keluarga serta adanya tujuan

yang berbeda diantara keluarga.

c. Masyarakat dan lingkungan

Sumber stress ini terjadi di masyarakat dan lingkunganm

seperti lingkungan pekerjaan secara umum sebagai stress pekerja

karena kurangnya interpersonal serta kurang adanya pengkauan

masyarakat sehingga tidak berkembang.

5. Faktor Presdisposisi

Menurut Sulistiawati (2014) menjelaskan berdasarkan faktor

predisposisi dimana berbagai jenis umur mempegaruhi bagaimana

seorang individu merasakan dan merespon suatu nperistiwa yang

menimbulkan stress.

Faktor predisposisi ini sangat berperan penting dalam menetukan

apakah suatu respon adaptif atau maladaptive. Jenis faktor

predisposisi adalah pengaruh genetik, pengalaman masa lalu dan

kondisis saat ini.

6. Respon Tubuh Terhadap Stress

Hawari (2013) menyatakan bahwa stress dapat mengenai

hampir seluruh system tubuh,seperti hal-hal sebagai berikut :

gangguan penglihatan, pendengaran berdenging, daya mengingat,


konsentrasi, dan berfikir menurun, wajah tegang, serius tidak

santai, sulit senyum, kedutan pada kulit wajah, mulut dan bibir

terasa kering, tenggorokan tercekik, lambung mual, kembung dan

pedih, mulas, sulit defekasi atau diare, sering berkemih, otot sakit

seperti tertusuk-tusuk, pegal, dan tegang, kadar gula meninggi,

libido biasa menurun dan biasa meninggi.

7. Tanda Dan Gejala

Cary cooper dan Alison Straw (1995 dikuti dari Novitasari 2012)

Mengemukakan gejala stress dapat berupa tanda-tanda berikut ini :

a. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkogan kering,

tangan lembab, merasa panas, otot tegang, sakit kepala dan

tegang.

b. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas, sedih, mudah

tersinggung, kehilangan semangat, menarik diri, dan hilangnya

gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang

lain.

c. Waktu dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang

berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurangnya percaya diri

menjadi rawan, menjadi meledak-ledak.


8. Tahapan Stress Menurut Robert J. Van Amberg (1979) Dalam

Sunaryo (2012)

a. Sress tahap pertama (paling ringan), yaitu stress yang disertai

perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu

menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang

dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.

b. Stress tahap kedua yaitu stress yang disertai keluhan seperti

bangun pagi tidak segar atau letih, lekas capek padaa saat jelang

sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rilek, lambung atau

perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, otot

tengkuk dan punggung tegang. Hal ini tersebut karena cadangan

tenaga tidak memadai.

c. Stress tahap tiga yaitu tahapan stress dengan keluhan, seperti

defekasi tidak teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang,

emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali

(middle insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau jatuh

pinsang.

d. Stress tahap keempat yaitu tahapan stress dengan keluhan, Seperti

tidak mampu bekeja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan

terasa sulit dan menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan

rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan,

konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan

kecemasan.
e. Stress tahap kelima, yaitu tahapan stress yang ditandai dengan

kelelahan fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan

pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat,

meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik.

f. Stress tahap keenam (paling berat) yaitu tahapan stress dengan

g. tanda-tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, dan

gemetar dingin dan banyak keluar keringat, loyo serta pinsang

atau kollaps.

9. Tingkatan Stress

Menurut Potter dan Pery (2011) stress dibagi menjadi 3 tingkatan :

a. Stress ringan

Situasi pada tingkatan ini yakni stressor yang dihadapi secara

teratur seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas, dan

kritikan dari atasan. Situasi ini biasanya berlansung beberapa

menit atau jam.

b. Stress sedang

Berlansung lebih lama, dari beberapa jam sampai beberapa hari,

seperti perselisihan yang tidak terselesaikan dengan rekan kerja.

c. Stress berat

Situasi kronis yang dapat berlansung beberapa minggu sampai

beberapa tahun, seperti perselisihan perkawinan terus menerus

dan kesulitan financial berkepanjangan.


10. Jenis Stress Menurut Kusumiati Dan Desminiarti (1990) Dalam

Sunaryo (2012)

a. Stress fisik, disebabkan oleh suhu atau temperature yang terlalu

tinggi atau rendah, suara amat bising, sinar teralu terang atau

tersengat arus listrik.

b. Stress kimiawi, disebabkan oleh asam basa kuat, obat-obatan,

zat beracun, hormon atau gas.

c. Stress mikrobiologik, disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit

yang menimbulkan penyakit.

d. Stress fisologik, disebabkan oleh gangguan struktur, fungsi

jaringan, organ, atau sistemik sehingga menimbulkan fungsi

tubuh tidak normal.

e. Stress proses pertumbuhan dan perkembangan, disebabkan oleh

gangguan pertumbuhan dan perkembagan pada masa bayi

hingga tau.

f. Stress psikis atau emosional, disebabkan oleh gangguan

hubungan interpersonal, sosial, budaya, atau keagamaan.

11. Gejala - Gejala Stress

Gejala - Gejala Stress

Stress Ringan Stress Sedang Stress Berat

a. Cemas a. Gangguan tidur a. Hilang


kesadaran
b. Gelisah b. Susah berkonsentrasi

Stress Ringan Stress Sedang Stress Berat


c. Mudah c. Sakit kepala b. Ingin bunuh diri
tersinggung d. Punggung dan leher dan melukai diri
d. Mudah terasa pegal sendiri
marah dan e. Terus menerus jatuh c. Badan semakin
emosi sakit terus dan
e. Sering sakit f. Nyeri dada lumpuh
kepala g. Gerakan lamban d. Dabar jantung
f. Perubahan h. Siklus menstruasi (sesak dan
nafsu berubah megap-megap)
makan e. Tidak ada
g. Mudah tenaga unuk
lelah dan melakukan
lemas kegiatan
h. Sulit tidur f. Pinsang atau
i. Termenung kolaps
j. Curiga g. Sekujur
k. Tidak focus badan terasa
l. Suka gemetar, dingin,
menyendiri dan keringat
m. Sedih terus bercucuran
menerus
Putus asa
dan tertekan

Tabel 2.3 : Gejala - gejala stress

Sumber : British F. H (2014)

12. Dampak Stress


a. fisik

Menurut Prawono (2013), Reaksi fisik yang ditimbulkan ketika

mengalami stress berupa tangan berkeringat, muka pucat dan

tangan sangat dingin, sakit kepala, sariawan, asma dan masalah

paru-paru lain bisa di perburuk oleh stress, stress bisa

menyebabkan atau memicu gangguan pencernaan, beberapa

orang terkena radang kandung kemih, meningkatnya tekanan

darah dan risiko serangan jantung dan kerontokan.

b. Mental dan emosional

Menurut Rusman (2010) stress dapat menimbulkan perasaan

negative atau deskriptif terhadap diri sendiri dan orang lain.

Prawono (2013) menyampaikan bahwa gejala-gejala dari reaksi

emosional seperti jadi mudah tersinggung, perubahan pola makan

(bisa jadi tidak nafsu makan atau bisa jadi tambah nafsu makan),

serta menurunnya kepercayaan diri.

c. Intelektual

Prawono (2013) mengemukakan dampak dari stress berupa

stress intelektual yang akan menganggu persepsi dan kemampuan

seseorang dalam menyelesaikan masalah, terjadi penurunan

konsentrasi dan rentang perhatian, kemunduran memori baik,

jangka panjang maupun jangka pendek, keadaan ini akan

menyebabkan orang menjadi pelupa, tidak dapat berfikir jernih,

lebih banyak kesalahan dalam aktivitas problem solving dan

penurunan kemampuan membuat rencana tindakan.


d. Sosial dan spiritual

Menurut Rusman (2013) stress sosial akan menganggu

hubungan individu terhadap kehidupan.

e. Terganggu keseimbangan fisiologis

Fortana (dikutip dalam Abraham dan Shanley 2013),

menambahkan bahwa pengaruh pada kognifif dan emosi

menyokong terjadinya perubahan perilaku pada orang yang

mengalami stress berkepanjangan. Penurunan minat dan aktivitas,

penurunan energi, tidak masuk atau lambat kerja, cenderung

melemahkan tanggung jawab terhadap kekurangannya pada orang

lain serta mengalami gangguan pola tidur.

13. Instrumen Yang Digunakan Dalam Menilai Tingkat Stress

Sebuah penelitian yang di lakukan oleh British Heart

Fondantion bahwa ada keterkaitan antara stress dengan penyakit

jantung, kolestrol tinggi, aktvitas fisik yang kurang, merokok,

tekanan darah yang tinggi, obesistas, dan diabetes yang kemudian

di pahami sebagai resiko terbesar yang timbul akibat stress.

Disadari atau tidak stress berpengaruh kepada diri kita, kondisi

stress dapat dapat di amati dari gejala gejalanya baik gejala

emosional atau kognitif maupun gejala fisik. Jika kita dapat

menandai gejala-gejalanya, maka kita akan dapat mengelolahnya.

Seseorang yang stress tidak berarti harus memiliki atau

menampakkan seluruh gejala ini, bahkan satu gejalapun sudah bisa

kita curigai sebgai pertanda bahwa seseorang menglami stress.


Namun kita juga perlu menyadari bahwa gejala gejala ini bias juga

perlu menyadari bahwa gejala gejala ini bisa juga merupakan

indikator masalah lain, misalnya karena memang benar ada

gangguan kesehatan secara fisik (Fondantion British, 2012).

Pengukuran stress tingkat stress adalah hasil penelitian terhadap

berat dan ringannya stress ini bisa di ukur dengan banyak skala.

Antaranya adalah dengan menggunakan Depression Anxiety Stres

Scale 24 (DASS 42) atau lebih diringkaskan sebagai Depression

Anxiety Stres Scale 21 (DASS) oleh lovibond & lovibond (1995).

Psychmetric Properties Of The Depression Anxiety Stress scale

42 (DASS) terdiri dari 42 item dan Depression Anxiety Scale

21terdiri dari 21 item. DASS adalah seperangkat skala subjektif

yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari

depresi, kecemasan dan stress. DASS dibentuk tidak hanya untuk

mengukur secara konvensional mengenai status emosional, secara

signifikan biasanya di gambarkan sebagai stress. DASS dapat

digunakan baik itu kelompok atau individu untuk tujuan penelitian.

DASS adalah kuesioner 42 item yang mencakup tiga laporan

diri skala dirancang untuk mengukur keadaan emosional negatif

dan depresi, kecemasan dan stress. Masing- masing tiga skala

berisi 14 item, dibagi menjadi sub skala dari 2-5 item dengan

penilaian secara konten.

Skala depresi menilai dysphoria, putus asa, di evaluasi hidup,

sikap meremahkan diri, kurangnya minat atau keterlibatan,


anhedonia, dan inersia. Skala kecemasan menilai gairah otonom,

anhedonia, dan inersia. Skala kecemasan menilai gairah otonom,

efek otot rangka, kecemasan situasional, dan subjektif pengalaman

mempengaruhi cemas. Skala stress (item) yang sensitif terhadap

tingkat kronis non spesifik gairah. Ini menilai kesulitan santai,

gairah saraf, dan yang mudah marah atau gelisah, mudah

tersinggung atau over reaktif dan tidak sabar. Responden yang di

minta untuk menggunakan 4 point keparahan skala frekuensi untuk

menilai sejauh mana mereka memilki mengalami setiap Negara

seminggu terakhir.

Skor untuk masing-masing responden selama masing-masing

sub-skala, kemudian dievaluasi sesuai dengan keparahan rating

indeks di bawah :

1) Normal : 0-14

2) Stress ringan :15-18

3) Stress sedang : 19-25

4) Stress berat :26-33

5) Stress sangat berat : ≥34 (Lovibond & Lovibond, 2013).

Selain itu, ada juga skala-skala lain yang biasa digunakan

seperti Perceived stress scale (PSS) atau Profile Mood States

(POMS). Alat-alat ini digunakan instrument untuk mendeteksi

stress dan tahap stress dan bukannya sebagai alat untuk

mendiagnosa.
F. Tinjauan Tentang Hubungan Stress Dengan Fase Penyembuhan Luka

Diabetik

Stress dapat menimbulkan reaksi terhadap fisik, kognitif, emosi, dan

tingkah laku. Stres yang dialami penderita luka diabetes melitus lebih

cenderung atau lebih banyak pada tingkat stres sedang dan berat.

Stres yang dialami disebabkan karena perawatan luka diabetes itu

sendiri, Sehingga mengakibatkan tekanan psikologis dalam dirinya dan

hampir keseluruhan penderita luka diabetes melitus mengalami stress

yang bervariatif yang sangat berpengaruh terhadap kesehatannya

(Damedistra A, 2011).

Stress sangat mempengaruhi proses penyembuhan ulkus diabetik,

manajemen stres sangat diperlukan oleh para penderita ulkus diabetik.

Karena seorang individu jelas kesulitan dalam mengatur atau

memanajemen stres dalam dirinya, Sehingga para ahli kesehatan

psikologi atau tenaga kesehatan lainnya dapat membantu untuk mengatasi

tingkat stressor yang dialami para penderita luka diabetes melitus.

Dimana bertujuan untuk mengenal penyebab stres dan mengetahui

teknik-teknik mengelola stress, Sehingga orang lebih baik dalam

mengendalikan stress dalam kehidupannya dari pada di himpit oleh

stress itu sendiri. Dapat diartikan kalau manajemen stress berarti berbuat

perubahan dalam cara berpikir dan merasa, dalam cara berperilaku dan

sangat mungkin dalam lingkungan individu masing-masing. Berbagai

upaya dapat dilakukan seperti dengan memberikan pendidikan kesehatan


dalam mengelola stress, seperti strategi fisik, strategi emosional, strategi

kognitif, strategi sosial, dan lain-lain (Damedistra A, 2011).

Managemen penyakit diabetes mellitus adalah suatu proses yang

berlangsung seumur hidup. Tidak bisa dipungkiri bahwa penyakit ini dapat

memicu terjadinya stress dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya pasien

namun juga keluarga. Banyak studi telah dilakukan tentang stress pada

penderita diabetes mellitus, Bagaimana stress dapat meningkatkatkan

kadar glukosa dalam darah penderita (William, 2010).

Selama proses terjadinya respon ini tubuh akan melepaskan kortisol

dan adrenaline ke dalam aliran darah, Sehingga pernafasan anda akan

semakin cepat. Pada penderita diabetes tubuh mungkin tidak akan mampu

mengolah glukosa yang dilepaskan oleh sel-sel saraf saat terjadinya fight-

or-flight response. Jika glukosa ini gagal dikonversi menjadi energi, maka

akan terjadi penumpukan di dalam aliran darah. Akibatnya, mudah ditebak

kadar glukosa dalam darah akan meningkat (William, 2010 ). Dengan kata

lain, jika seorang penderita diabetes mengalami stress berkepanjangan,

maka kadar gula dalam darah akan semakin meningkat dan hal ini akan

semakin memperburuk keadaan penderita, baik secara mental maupun

fisik. Akibatnya, Penanganan penyakit akan semakin sulit.

Stress memiliki efek pada respon imun dan kerentanan terhadap

infeksi. Sel inang (host), T limfosit dan makrofag merupakan sel-sel yang

penting dalam pengaturan proses imun-inflamasi. Respon psikologis

terhadap pemicu stress dapat mengubah sistem imun melalui sistem neural

dan endokrin, respon akibat stress dihantarkan melalui tiga jalur yaitu ke
aksis Hipotalamo-Pituitari-Adrenal (HPA) ke sistem saraf simpatik dan ke

saraf sensonik peptidergik. Hormon stress yaitu CRH, ACTH dan

Glukokortikoid dapat mempengaruhi respon imun sehingga

mengakibatkan resorpsi tulang, kerusakan jaringan, kehilangan perlekatan,

serta dapat menghambat penyembuhan luka (William, 2010).

Stress pada penderita diabetes mellitus bisa bervariasi, dan

dampaknya juga akan berbeda-beda pada setiap penderita. Studi

menunjukkan bahwa efek stress pada penderita diabetes type 1 dan tipe 2

juga bisa bervariasi. Sebagai contoh, Ketika penderita diabetes tipe 2

mengalami tekanan mental mereka umumnya akan mengalami kenaikan

kadar gula dalam darah. Sebaliknya, respon seorang penderita diabetes

type 1 bisa bervariasi bisa berupa kenaikan atau bahkan penurunan gula

darah (William, 2010).

Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Gunungsitoli

Kabupaten Nias, Peneliti menyimpulkan bahwa tingkat stres yang

dialami oleh para penderita luka diabetes melitus sangat berpengaruh

terhadap penyembuhan ulkus diabetik, Dari 22 orang responden

terdapat separuh lebih responden yaitu 16 orang yang mengalami

penyembuhan luka tidak baik dan mengalami tingkat stress sedang dan

berat. Sehingga semakin tinggi tingkat stress yang dialami penderita ulkus

diabetik akan mengakibatkan dan penyembuhan lukanya semakin tidak

baik. Sebaliknya, semakin rendah tingkat stress yang dialami penderita

ulkus diabetik akan mengakibatkan penyembuhan lukanya semakin baik

Kejadian stress yang dialami penderita ulkus diabetik dibuktikan dengan


hasil observasi luka yang dilakukan pada penelitian ini (Astuti N. F,

2013).

Penelitian lainnya dilakukan oleh Ismail et al., (2014) yang

menyatakan stress tidak hanya berpengaruh pada kecepatan penyembuhan

luka dan kekambuhan luka, Namun juga terhadap insiden amputasi dan

kematian. Penelitian ini dilakukan pada 253 pasien yang baru pertama kali

terpapar ulkus diabetik dan 62,2% diantaranya mengalami stress.

Anda mungkin juga menyukai