Anda di halaman 1dari 8

Lembar Sampul Lomba Esai Pelajar Indonesia

Harap lengkapi dan tanda tangani formulir ini dan lampirkan sebagai halaman sampul
esai Anda untuk lomba ini.

Nama Muhammmad Adriand Rizky Fadhillah

Nomor ID (KTP/Kartu Pelajar) 0040416176 (NISN)

Sekolah asal SMA Pradita Dirgantara

Tanggal penyelesaian esai 31 Oktober 2020

1377
Jumlah kata

Deklarasi Orisinalitas dan Anti-Plagiarisme

Plagiarisme merusak integritas sosial dan akademik. Plagiarisme sangat dilarang. Plagiarisme
menghadirkan (tanpa pengakuan) karya orang lain, dengan sengaja atau tidak, seolah-olah itu
milik kita sendiri. Plagiarisme memiliki banyak bentuk, termasuk mengutip tanpa izin materi dari
buku, jurnal atau sumber cetak lainnya, karya orang lain, informasi dari internet dan materi
elektronik lainnya.

Saya menyatakan bahwa esai ini adalah karya saya sendiri dan bahwa semua bahan sumber yang
digunakan dalam esai ini diambil dan dituliskan secara akurat.

Tanda tangan/tulis nama jelas


Tanggal 31 Oktober 2020

Muhammad Adriand R. F
Lampirkan foto ID/KTP/Kartu Pelajar:
MEMBANGUN GENERASI TANGGUH DI MEDAN KRISIS
Muhammad Adriand Rizky Fadhillah, SMA Pradita Dirgantara
Pandemi global COVID-19 merupakan suatu bencana kemanusiaan yang berdampak signifikan
dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal kesehatan penyakit yang telah masuk dalam klasifikasi
pandemi ini telah menginfeksi setidaknya 43 juta masyarakat global yang menyebabkan 1,6 juta
kematian di seluruh penjuru dunia. Tidak terkecuali di Indonesia, yang kini telah menyentuh angka
400 ribu kasus (per 28 Oktober 2020). Sifat penyakit yang menular dan gejala yang bersifat umum
menuntut masyarakat untuk selalu waspada terhadap ancaman COVID-19 ini. Apalagi dengan
publikasi riset kesehatan yang terbatas dan tidak diminati masyarakat menjadi penghalang bagi
dunia untuk menekan laju pertumbuhan kasus penyakit.

Pandemi yang telah berlangsung selama delapan bulan ini tidak hanya memengaruhi kehidupan
masyarakat dalam bidang kesehatan saja, melainkan juga amat berpengaruh terhadap cakupan
bidang kehidupan lainnya. Kondisi demikian sejatinya sangat jauh dari dugaan masyarakat awam,
yang tidak menyangka bahwa pandemi COVID-19 akan bermuara pada ancaman krisis
multidimensi. Sejarah mencatat bahwa pandemi serupa pernah terjadi, pandemi flu Spanyol yang
terjadi pada tahun 1918. Satu abad berselang COVID-19 pun kembali hadir mengintai kehidupan
umat manusia.

Banyak hal yang dapat kita ambil sebagai bekal untuk mengatasi pandemi masa kini. Sejarawan
Universitas Indonesia, Dr. Tri Wahyining M Irsyam Msi. menyimpulkan bahwa solusi mengatasi
pandemi di masa lalu adalah dari pemahaman literasi dan perubahan perilaku di masyarakat. 1 Kala
itu, pemerintah Hindia Belanda memberikan himbauan kepada masyarakat tentang pola hidup sehat
dengan kampanye mobil kesehatan serta penerbitan buku literasi “Lelara Influenza”. Langkah-
langkah tersebut pun terbukti dalam mengubah perilaku kehidupan masyarakat selama masa
pandemi.

Dari hal tersebut, kita dapat memahami pentingnya pendidikan sebagai tameng umat manusia dalam
mengatasi segala problematika yang terjadi. Kondisi serupa dapat kita rasakan di masa kini, melalui
perkembangan arus informasi yang ditopang dengan sistem yang modern membuat masyarakat
memiliki banyak sekali sumber dalam memahami problematika. Namun disadari faktor risiko besar
lainnya adalah munculnya ragam persepsi yang sangat berpengaruh terhadap kemulusan informasi
sebagai solusi menghadapi pandemi. Pemerintah sebuah negara sebagai institusi yang bertanggung
jawab dalam penyelesaian kasus ini harus berlomba-lomba dengan orang awam di media informasi

1
Dr. Tri Wahyuning M. Irsyam, “Belajar Dari Flu Spanyol 1918, Pemahaman Literasi dan Perubahan Perilaku Menjadi
Kunci Penanganan Pandemi” dalam Dialog Pagi Satgas Covid 19 Yang Terlupakan : Sejarah Pandemi Flu 1918
dalam meyakinkan masyarakat untuk tunduk dan patuh terhadap kebijakan yang dibangun. Apalagi
selama masa pandemi ini, tingkat kepercayaan masyarakat dunia terhadap pemerintah masing-
masing menurun.2

Dalam dunia pendidikan, pemerintah sebagai pembuat kebijakan telah memberikan berbagai solusi
yang ditujukan untuk menjamin mutu pendidikan Indonesia selama masa pandemi. Kesenjangan
pendidikan yang masih menjadi masalah di negeri ini tentu menjadi tantangan besar yang harus
diimbangi oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan pendidikan. Salah satu kebijakan awal
dalam masa pandemi adalah diberlakukannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Pada dasarnya
kebijakan PJJ ini dapat dilakukan secara daring ataupun luring, meskipun secara umum cara daring
dinilai sebagai opsi yang lebih efektif dan efisien. PJJ berbasis daring menawarkan opsi
pembelajaran berbasis digital, sehingga dapat mengoptimalkan perangkat elektronik pelajar sebagai
sarana pembelajaran. Namun praktik digitalisasi pendidikan yang diterapkan pada negara lain
nyatanya belum dapat ditiru secara maksimal oleh Indonesia. Minimnya fasilitas dari sekolah serta
latar belakang perekonomian masyarakat yang menengah ke bawah justru menjadi beban bagi para
pelajar untuk mendapatkan hak belajar.

Selama delapan bulan pula, terdapat banyak kebijakan dari pemerintah yang mewarnai proses
pembelajaran selama masa pandemi. Kita dapat mengapresiasi sejumlah kebijakan pemerintah yang
banyak menimbang pada faktor sosial dan ekonomi pelajar serta komitmen upaya penyelesaian
kasus COVID-19. Namun sayangnya, penerapan kebijakan tersebut belum berjalan dengan baik.
Disinformasi dan sosialisasi yang terbatas menjadi bumbu yang kurang menyedapkan proses
pembelajaran selama ini. Banyak guru dan pelajar yang terjebak dalam situasi demikian, sehingga
terpaksa untuk tetap melakukan pembelajaran seperti sedia kala. Mengejar ketuntasan materi,
melakukan penugasan untuk mengisi kolom penilaian, penilaian absensi, keaktifan di kelas dan
serangkaian kebijakan alamiah lainnya yang berusaha dibangun agar proses belajar dari rumah
seakan-akan sama seperti dengan belajar dari sekolah.

Pada awalnya tujuan diberlakukannya PJJ adalah untuk tetap menjamin hak-hak pelajar untuk
mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Pemerintah menekankan tidak adanya
kewajiban untuk menuntaskan materi kurikulum dan telah merancang kurikulum darurat.
Pemerintah juga mendorong sekolah untuk menyusun program belajar yang dapat disesuaikan
dengan lingkungan hidup masing-masing pelajar. Kebijakan demikian jelas sangat menenangkan

2
Nila Chrisna Yulika, “Sosiolog : Bukan Abai, Tapi Masyarakat Tak Percaya Pemerintah Tangan Covid-19”,
m.liputan6.com, diakses pada laman https://www.liputan6.com/news/read/4348655/sosiolog-bukan-abai-tapi-
masyarakat-tak-percaya-pemerintah-tangani-covid-19, diakses pada 29 Oktober 2020
para pelajar, akan tetapi di lain pihak guru dan institusi pendidikan pun kesulitan menyusun program
pembelajarannya.

Sampai saat ini, pemerintah memberikan tiga opsi pada sekolah untuk menerapkan kurikulum
pendidikan, yaitu tetap mengacu standar kurikulum nasional, memakai kurikulum darurat ataupun
memodifikasi kurikulum secara mandiri. Kebijakan tentang adanya rancangan kurikulum darurat ini
sebenarnya mengindikasikan bahwa ada hal yang salah dalam konteks standar kurikulum Indonesia
saat ini. Pengamat pendidikan menilai kurikulum darurat sebagai solusi dari rumitnya sistem
kurikulum yang dijalankan selama ini dalam pendidikan Indonesia, melalui kurikulum darurat jelas
bahwa ada jalan yang lebih efektif untuk mencapai standar kompetensi yang dituju dari suatu sistem
pendidikan.3 Namun dengan judul ‘kurikulum darurat’ ini justru menjadi keraguan bagi guru dan
institusi untuk berani menerapkannya. Masing-masing sekolah akan berlomba-lomba untuk
mengakomodasi kebutuhan materi pendidikan pelajarnya dengan tetap menerapkan standar
kurikulum nasional, salah satunya juga untuk mempersiapkan para pelajar menghadapi ujian-ujian
yang diperlukan untuk menempuh studi lanjutan.

Hal demikian akhirnya menjadi beban bagi pelajar, guru dan orang tua pelajar sendiri. Tidak bisa
dipungkiri bahwa terjadi perubahan psikologis dalam diri setiap pihak yang terlibat dalam proses
pembelajaran, terutama di kalangan pelajar. Terdapat beberapa permasalahan yang dialami oleh
pelajar selama fase Pembelajaran Jarak Jauh seperti :

1. Hilangnya antusiasme sekolah

Penerapan PJJ tentu mengurangi rasa antusias pelajar yang kehilangan ruang dalam aktivitas
belajarnya. Pembelajaran yang diterapkan dari jarak jauh seperti di rumah atau balai kampung
sangat berpengaruh pada kondisi psikologis pelajar. Rumah dan lingkungan sekitar yang biasa
menjadi tempat istirahat, bermain dan menggali pengalaman hidup harus terpaksa menjadi ruang
belajar formal yang diharapkan dapat menggantikan ruang kelas sekolah yang penuh dengan
suasana mendukung untuk belajar. Keterbatasan interaksi antar pelajar pun berpengaruh terhadap
motivasi belajar.

2. Tekanan belajar yang tinggi akibat tugas yang menumpuk

Permasalahan manajerisasi kurikulum berakibat pula pada aktivitas PJJ. Kolom-kolom penilaian
untuk memenuhi laporan belajar siswa di akhir semester harus diisi dari nilai tugas dan praktik
sebagaimana pembelajaran semestinya. Dalam kondisi PJJ ini guru dengan segala keterbatasan
3
Agil S. Habib, “Kurikulum Darurat atau Darurat Kurikulum”, kompasiana.com, diakses pada laman
https://www.kompasiana.com/agilshabib/5f309696097f360e100ced33/kurikulum-darurat-atau-darurat-kurikulum,
diakses pada 28 Oktober 2020
ruang dan waktu harus mengorbankan waktu pelajar untuk berbagi porsi mengajarkan materi serta
memberikan tugas. Kebanyakan pelajar akan meminta waktu yang cukup untuk memahami materi
yang diajarkan guru, sehingga waktu pengerjaan tugas dilakukan di luar jam pelajaran. Kondisi
demikian terjadi pada banyak mata pelajaran, sehingga berakibat pada tugas yang menumpuk.
Belum lagi dengan adanya tenggat waktu pengumpulan tugas untuk mengejar ketuntasan materi
selanjutnya, yang pada akhirnya menjadi tekanan bagi pelajar dan guru untuk menghasilkan
pekerjaan yang maksimal.

3. Keterbatasan dalam mengembangkan kemampuan serta mewujudkan ide

Masa muda menjadi fase kehidupan yang paling idealis. Kita generasi muda memiliki banyak ide
kreatif terhadap topik-topik hangat yang menjadi pembahasan nasional atau global. Kita pun
berpikir dan bertindak dengan dasar kemampuan yang sedang kita miliki dan kembangkan, sehingga
ambisi untuk mewujudkan pun sangat menggelora. Sayangnya tanggungan pelajar dalam hal
pendidikan formal sangat membatasi diri mereka untuk bereksplorasi secara bebas. Program-
program sekolah yang menginisiasi pada keproduktifan pelajar terkadang hanya sekadar formalitas
yang membuat pelajar tidak memiliki ruang untuk berkreasi sesuai kemampuannya.

Dari beberapa penjelasan proses pembelajaran selama pandemi ini, konsep belajar ceria dirasakan
tepat untuk menyelesaikannya. Melalui cara ini diharapkan pelajar dapat menjadi aktor yang
menghidupkan suasana pembelajaran yang optimal. Penting untuk diketahui bahwa tingkat
kebahagiaan pelajar Indonesia tergolong cukup tinggi, namun angka prestasi secara umum pun
masih rendah.4 Apalagi dengan adanya kondisi pandemi ini, hilangnya antusiasme sekolah; tekanan
belajar yang tinggi serta terbatasnya ruang bereksplorasi dapat menjadikan kondisi psikologis
pelajar tidak bahagia dan tentunya berpengaruh terhadap program peningkatan prestasi pelajar
keseluruhan.

Tingkat kebahagiaan seseorang tentulah relatif, begitu pun dengan model lingkungan setiap pelajar
yang baru dibangun selama masa pandemi ini. Institusi pendidikan tidak boleh egois untuk
melaksanakan kebijakan pendidikan tanpa memberikan ruang kreasi yang besar bagi pelajar, karena
dari kreasi tersebutlah prestasi lahir. Tentu sekolah berupaya agar pelajar bisa melakukan hal yang
produktif selama pandemi ini. Namun mengingat pendidikan ini ditujukan untuk pelajar, maka
pelajar berhak untuk mengondisikan diri dalam setiap program belajar yang diinginkan. Kita
percaya bahwa pelajar Indonesia adalah pelajar yang tangguh, begitu pun dengan para guru yang
hebat dapat mengatasi semua rintangan selama pandemi. Apabila seluruh pelaksana pembelajaran
4
Fatimah Ibtisam, “Pelajar Indonesia, Paling Bahagia Sedunia Tapi Prestasinya Paling Buncit?”, rencanamu.id, diakses
pada laman https://rencanamu.id/post/dunia-sekolah/akademik/pelajar-indonesia-paling-bahagia-sedunia-tapi-
prestasinya-paling-buncit, diakses pada 30 0ktober 2020
memiliki energi positif dari perasaan bahagia itu, terutama untuk pelajar, maka semua rintangan
dapat kita hadapi dengan mental yang kuat dan menjadi buah peluang yang penuh manfaat. Dengan
demikian, momentum pandemi dapat menjadi fase yang menguatkan karakter pelajar untuk menjadi
manusia yang tangguh dalam segala kondisi di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA

Agil S. Habib, “Kurikulum Darurat atau Darurat Kurikulum”, kompasiana.com, diakses pada laman
https://www.kompasiana.com/agilshabib/5f309696097f360e100ced33/kurikulum-darurat-atau-darurat-kurikulum,
diakses pada 28 Oktober 2020

Dr. Tri Wahyuning M. Irsyam, “Belajar Dari Flu Spanyol 1918, Pemahaman Literasi dan Perubahan Perilaku Menjadi

Kunci Penanganan Pandemi” dalam Dialog Pagi Satgas Covid 19 Yang Terlupakan : Sejarah Pandemi Flu 1918

Fatimah Ibtisam, “Pelajar Indonesia, Paling Bahagia Sedunia Tapi Prestasinya Paling Buncit?”, rencanamu.id, diakses
pada laman https://rencanamu.id/post/dunia-sekolah/akademik/pelajar-indonesia-paling-bahagia-sedunia-tapi-
prestasinya-paling-buncit, diakses pada 30 0ktober 2020

Nila Chrisna Yulika, “Sosiolog : Bukan Abai, Tapi Masyarakat Tak Percaya Pemerintah Tangan Covid-19”,
m.liputan6.com, diakses pada laman https://www.liputan6.com/news/read/4348655/sosiolog-bukan-
abai-tapi-masyarakat-tak-percaya-pemerintah-tangani-covid-19, diakses pada 29 Oktober 2020

Anda mungkin juga menyukai