Anda di halaman 1dari 210

TOP 10 EKOSANTRI

Pionir Kemandirian Pesantren

Muhamad Murtadlo, dkk

LITBANGDIKLAT PRESS

i
TOP 10 EKOSANTRI
Pionir Kemandirian Pesantren

Hak cipta dilindungi Undang-Undang


All Rights Reserved

Penulis:
Muhamad Murtadlo, dkk

Editor :
Husen Hasan Basri

Desain Cover & Layout :


BataviArt

Diterbitkan oleh:
LITBANGDIKLAT PRESS
Jl. M. H. Thamrin No. 6 Lantai 2 Jakarta Pusat
Telepon: 021-3920688
Fax: 021-3920688
Website: balitbangdiklat.kemenag.go.id
Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017

Cetakan :
Pertama November 2017

ISBN : 978-602-51270-2-1

ii
KATA PENGANTAR PENERBIT

Selamat, Litbangdiklat Press, disingkat LD Press, sebuah


sebuah lembaga penerbitan di lingkungan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama telah hadir secara resmi masuk
dalam keanggotaan Ikatan Penerbit Indonesia/IKAPI pada 1
Juni 2017. Patut disyukuri, karena keinginan ini sudah lama
terpendam, dan baru bisa terwujud pada tahun 2017 ini.
Kehadiran lembaga penerbitan di lingkungan lembaga pe-
nelitian yang “diakui” oleh IKAPI sangatlah penting, sebagai
wadah publikasi hasil-hasil kelitbangan. Publikasi menyasar
pada dua hal, pertama memberikan informasi terbaru terkait
sebuah isu yang menjadi objek studi. Dengan demikian ha-
sil studi yang terpublikasikan dapat berkontribusi terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan.
Kedua, hasil penelitian yang dipublikasikan dapat mem-
pengaruhi atau memberi kontribusi pada proses pembuatan
kebijakan publik. Caroll Weiss (1979), misalnya, membeda-
kan penggunaan hasil penelitian ke dalam tiga jenis, yakni
penggunaan instrumental, penggunaan konseptual, dan peng-
gunaan simbolik. Penggunaan ‘instrumental’ mengacu pada
pengaruh penelitian yang bersifat langsung dan dapat diukur
(measurable) terhadap proses pembuatan kebijakan publik.

iii
Penggunaan ‘konseptual’ mengacu pada kondisi di mana ha-
sil riset hanyalah salah satu jenis informasi yang dipertim-
bangkan para pembuat kebijakan ketika hendak membuat
atau mengambil keputusan kebijakan. Sedangkan penggu-
naan ‘simbolik’ mengacu pada situasi ketika hasil penelitian
digunakan para pembuat kebijakan untuk mendukung posisi
tertentu mereka terhadap suatu isu kebijakan, khususnya ke-
tika para pembuat kebijakan berhadapan dengan para stake-
holder yang lain, seperti kalangan legislatif. Ketiga tipe jenis
penggunaan penelitian tentu sangat terbantu jikalau publikasi
atas hasil tersebut bersifat melembaga.
Memulai kerja perdananya, LD Press menerbitkan 4
buku yang seluruhnya merupakan hasil penelitian. Pemilihan
keempat buku ini merupakan hasil seleksi yang dilakukan
oleh Dewan Editor yang dibentuk berdasarkan Surat Keputu-
san Kepala Badan Litbang dan Diklat.
Dinamika Kehidupan Relijius Era Kasunanan Surakarta,
sebuah buku yang merupakan hasil kajian sejarah, dilakukan
oleh Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaan bekerjasama
dengan tenaga ahli serta sejarahwan perguruan tinggi umum
di berbagai daerah. Penulisan historiografi kesultanan men-
jadi kekayaan ilmu pengetahuan yang sangat berarti.
Kajian historiografi memberikan informasi tentang ke-
kayaan khazanah budaya keagamaan, sehingga dapat men-
jadi pijakan bagi proses pembuatan kebijakan publik tentang
strtategi kebudayaan. Kebijakan ini penting terutama bagi
generasi muda saat ini dalam mengenal khazanah budaya
keagamaan pada masa lalu yang kaya dan penuh makna.
Pionir Kemandirian Pesantran, buku berikutnya yang
diterbitkan oleh LD Press pada edisi perdana ini. Buku yang

iv
merupakan hasil penelitian ini diapresiasi oleh Menteri Agama
Lukman Hakim Saifuddin, dalam kalimatnya “ Membedakan
santri dengan orang lain ada dua hal, pertama memiliki jiwa
kemandirian dan kedua memiliki nilai keikhlasan pada di-
rinya, inilah yang menjadi jati diri seorang santri”
Buku ini menampilkan potret kemandirian pesantren
yang sudah teruji. Sejak dahulu pesantren mampu berdiri ter-
pisah dari negara. Pesantren bisa menghidupi dirinya sendiri,
meskipun tanpa dukungan biaya dari pihak luar sekalipun.
Ada 10 potret pesantren dalam studi ini, dengan var-
ian kemandirian yang berbeda beda, tidak hanya mandiri dari
sisi ekonomi tetapi menjelajah pada aspek lainnya, terutama
kultur, di tengah gempuran modernisasi. Pesantren memiliki
strategi khas dalam mempertahankan kemandirian dengan
teguh memeluk erat-erat tradisi.
Melalui beragam karakter kemandirian, 10 pesantren ini
hendak menularkan virusnya bagi lembaga pendidikan yang
lain, bahkan santri dan masyarakat sekitar. Berkah kemandi-
rian dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar. Buku ini men-
ginspirasi.
Inskripsi Keagamaan Nusantara, buku terpilih berikut-
nya. Inskripsi adalah tulisan-tulisan Arab yang berbahasa
Arab atau Jawa/Sunda yang terdapat di masjid, kuburan dan
keraton. Tentu tulisan di benda-benda purbakala tersebut
mengandung muatan sejarah dan pesan keagamaan yang san-
gat penting untuk dilestarikan.
Penelitian inskripsi pada sejumlah artefak dapat mem-
bantu mengungkapkan kehidupan keagamaan nenek moy-
ang kita pada masa itu melalui makna tulisan yang dibubuh-
kan pada benda-benda tersebut. Menjadi kebiasaan nenek

v
moyang kita untuk menuangkan rasa keagamaannya dalam
bentuk tulisan Arab atau Pegon pada tempat-tempat tertentu,
seperti masjid, nisan, dan keraton.
Informasi tentang inskripsi dan maknanya disinyalir
belum banyak diketahui masyarakat, baik dari sisi titik ke-
beradaan, jumlah atau makna tulisan yang dibubuhkan.
Dengan terpublikasinya temuan penelitian dapat membantu
berbagai pihak terutama Pemerintah dalam melestarikan kha-
zanah keagamaan tersebut sekaligus melacak peranan umat
Islam dan pengaruhnya pada kehidupan sosial keagamaan
masa lalu.
Secara terminologi, pengertian muadalah adalah proses
penyetaraan antara institusi pendidikan, di pesantren mau-
pun di luar pesantren dengan menggunakan kriteria baku dan
mutu yang telah ditetapkan secara adil dan terbuka. Selanjut-
nya hasil penyetaraan ini dapat dijadikan dasar dalam pen-
ingkatan pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan pondok
pesantren. Pada konteks ini, penyetaraan ini didasarkan pada
Peraturan Menteri Agama/PMA Nomor 18 tahun 2014, me-
liputi aspek kelembagaan, kurikulum, pendidik dan tenaga
kependidikan, santri, kelulusan, pembiayaan, dan akreditasi.
Terkait penyelenggaraan satuan pendidikan muadalah
pada pondok pesantren, dibutuhkan kajian kebutuhan (needs
assesment) yang mampu memetakan kondisi obyektif dan
analisis kebutuhan pada satuan pendidikan tersebut.
Temuan penelitian memperlihatkan, bahwa realitas
obyektif 9 (sembilan pondok pesantren) yang dikaji, secara
relatif dapat memenuhi standar yang dimaksud, yakni PMA
Nomor 18 Tahun 2014, kecuali pembiayaan dan akreditasi,
meski belum berada dalam derajat yang paling baik. Anali-

vi
sis kebutuhan yang perlu menjadi prioritas, adalah kurikulum
pendidikan umum, kompetensi pendidik pendidikan umum,
tenaga kependidikan pustakawan, pembiayaan dan akredi-
tasi.
Temuan menarik lainnya adalah, pondok pesantren memi-
liki karakter khas dalam memenuhi standarisasi pendidikan
keagamaan, oleh karenanya tidaklah arif jika Pemerintah me-
maksakan standarisasi tersebut. Yang bisa dilakukan adalah
mendorong pesantren untuk mengembangkan dan memper-
tahankan secara mandiri sesuai ciri khas masing-masing satu-
an pendidikan muadalah. Seluruh temuan tersebut terangkum
dalam hasil penelitian yang dibukukan dan diterbitkan oleh
LD Press dalam judul Needs Assesment Satuan Pendidikan
Muadalah Pesantren.
Dengan terbitnya 4 (empat) buku ini tentu melibatkan se-
jumlah pihak, mulai dari penetapan indikator seleksi, seleksi
naskah, editing, proff reading, dan proses pra cetak lainnya.
Oleh karena itu, rasa terimakasih yang tidak terhingga di-
haturkan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat dan Sek-
retaris Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, atas
dukungan dan kepercayaan serta arahan dalam seluruh proses
penerbitan pada Dewan Editor Litbang Diklat Press sehingga
dapat bekerja memenuhi target waktu, ditengah kesibukan
yang mendera akhir tahun ini.
Tak lupa, kepada seluruh pihak, terutama para peneliti
yang terlibat dalam penelitian yang terbit dalam edisi kali ini,
penghargaan yang setinggi tingginya dan rasa terimakasih
kami ucapkan. Terimakasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan ini.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT semata kami memo-

vii
hon agar ikhtiar ini dapat menambah dan memperluas
cakrawala ilmu pengetahuan bagi para pembaca serta dapat
digunakan dalam proses perumusan kebijakan keagamaan di
Indonesia.

Jakarta, 12 Desember 2017

Penerbit

viii
Daftar Isi

Kata Pengantar Penerbit ................................................. iii


Daftar Isi ........................................................................ ix
Prolog ........................................................................... xi

Pesantren Ar-Risalah; Menyulap Kampung Santri Menjadi


Desa Wisata
Muhamad Murtadlo ....................................................... 1

Pesantren Al-Amin; Lahirnya Pesantren dari Pabrik Bordir


Husen Hasan Basri ........................................................ 19

Pesantren Riyadhul Jannah; Menjadi Mandiri Lewat Sentu-


han Bisnis Sang Kiai
Hj Faiqah ....................................................................... 39

Memberdayakan Ekonomi Masyarakat Miskin


Abdul Muin M ................................................................ 57

Gagahnya Santri Menjadi Petani


Nunu Ahmad An-Nahidl .............................................. 77

ix
Pondok Pesantren al-Ishlah; Menggali Potensi Batu Alam
Tarif .............................................................................. 101

Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulum Asy Syar’iyyah (MUS);


Mengelola Pabrik Es Hingga Warung Apung
Achmad Dudin .............................................................. 121

Pondok Pesantren Al-Basyariyah; Segarnya Air Mina Tum-


buhkan Ekonomi Pondok
Munawiroh .................................................................... 137

Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah; Mendidik Santri


Terampil dan Mandiri
Nunu Ahmad An-Nahidhl ............................................. 153

Pondok Pesantren Qudsiyyah; Menggagas Jejaring Pusat


Grosir Pesantren Nusantara
Abdul Jalil .................................................................... 169

Dewan Editor Penerbit .................................................. 195

x
Prolog

Kisah pesantren sama tuanya dengan cerita masuknya


Islam ke Indonesia. Meski belum memiliki sistem yang per-
manen, pendidikan Islam dipercaya dimulai pada masa Maul-
ana Malik Ibrahim di abad ke-14. Sang penghulu Walisongo,
diyakini merupakan peletak dasar-dasar pesantren pertama
di Tanah Air. Lembaga itu berfungsi sebagai pusat pendidi-
kan dan penyiaran agama Islam. Di tangan putranya, Raden
Rahmat alias Sunan Ampel, konsepnya berkembang menjadi
satu institusi pendidikan Islam yang kita sebut pesantren. Ke-
mandirian pesantren pun sudah teruji. Sejak dulu, pesantren
mampu berdiri terpisah dari negara. Pesantren bisa membi-
ayai diri sendiri. Tak jarang, banyak pesantren justru memun-
gut biaya pendidikan yang amat kecil dari para santri.
Cendikiawan Muslim Azzumardi Azra bahkan sempat
mengungkap bahwa pesantren merupakan lembaga pendidi-
kan alternatif terbaik bagi masyarakat miskin desa di Jawa
pada masa sulit di tahun 50an-60an. Ketika itu, para santri
dibebani biaya amat murah. Kiai sebagai pemilik pesantren
kerap menanggung hidup santri-santrinya dengan skema pem-
berdayaan. Kemandirian ekonomi pesantren coba ditularkan
kepada lingkungan sekitar. Sejak zaman Walisongo hingga

xi
sekarang, pesantren telah bergumul dengan masyarakat luas.
Pesantren telah berpengalaman menghadapi berbagai corak
masyarakat selama ratusan tahun. Tidak kurang, Guru Besar
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Husni Rahim, me-
nilai pesantren berdiri didorong permintaan dan kebutuhan
masyarakat.
Pesantren pun tak bisa dilepaskan dengan keberadaan
masyarakat sebagai habitatnya. Terlebih, nilai dakwah yang
menjadi salah satu prinsip penting pesantren mengharus-
kan lembaga ini melakukan interaksi sosial. Peran agent of
change coba diperankan pesantren. Berbagai peneliti lantas
merekam perjalanan hidup entitas pendidikan ini. Dari pe-
santren tradisional dengan prinsip-prinsip salafiyah hingga
pesantren modern yang kini mengadopsi ilmu pengetahuan
umum dan teknologi. Mereka hendak mencari tahu bagaima-
na pesantren bisa bertahan dengan tradisi yang masih dipeluk
erat-erat. Terlebih pada masa serba modern sekarang. Demi
mempertahankan kemandirian, pesantren pun mesti berino-
vasi. Apakah pesantren itu salafiyah yang hanya berkutat
pada ilmu agama atau pondok modern yang sudah meng-
gabungkan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum.
Dengan semangat kemandirian pula, santri-santri kini ikut
diajari berbagai macam ketrampilan. Tidak kurang, penulis
buku Pesantren dalam Perubahan Sosial Manfred Ziemek
mengungkapkan, para santri sudah belajar teknik pertanian,
perkebunan, perunggasan, perikanan kolam, dan sebagainya.
Sepuluh monografi yang disusun sembilan peneliti Ba-
litbangdiklat Kementerian Agama ini merupakan upaya un-
tuk memotret kemandirian dalam pesantren. Sepuluh objek
yang ditulis memiliki masing-masing karakter ekonomi khas
yang tidak terlepas dari latar belakang lingkungannya. Di Yo-

xii
gyakarta misalnya. pesantren-pesantren yang ada di Dusun
Mlangi, Bantul, khususnya Pesantren Ar-Risalah, mampu
menggali potensi dusun. Makam Mbah Nur Iman yang memi-
liki sejarah dakwah panjang di bumi Yogyakarta, mampu
menarik para peziarah datang. Para santri pun membangun
wisata religi di sana. Dampak ekonomi tidak hanya dirasakan
santri, tetapi juga masyarakat.
Di Bogor, Jawa Barat, Pesantren Darul Falah mendidik
santri untuk berwirausaha di bidang pertanian. Bukan sekadar
mendidik santri menjadi mandiri, Darul Falah hendak mem-
bangun interaksi antara santri dengan masyarakat. Lewat pro-
gram magang, santri-santri Darul Falah membangun hubun-
gan mutualisme dengan lingkungan sekitarnya. Pengelola
pesantren berharap santri belajar dari usaha mikro di bidang
agrikultur. Sebaliknya, para pengusaha kecil mendapatkan
tenaga gratis yang memiliki ide-ide segar dari pesantren.
Pesantren Darul I’tisham Embo di Jeneponto memiliki
kisah pemberdayaan yang sama. Pesantren yang berada di
salah satu kabupaten tertinggal di Sulawesi Selatan ini mampu
memberdayakan masyarakat setempat lewat ternak kambing.
Wabilkhusus, para orang tua santri yang berada pada level
ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), ada 56 ribu kepala keluarga yang tergolong
miskin di kabupaten ini. Di Desa Turutea, tempat dimana pe-
santren berdiri, mayoritas warganya juga tergolong miskin.
Sebagian besar diantaranya bekerja sebagai buruh tani. Kon-
disi demografis seperti ini membuat pesantren melakukan
terobosan lewat ternak kambing. Polanya, pesantren meni-
tipkan kambing kepada warga untuk dipelihara. Jika sudah
melahirkan keturunan, maka akan dibagi. Kambing-kambing
ini bisa dijual warga di pasar atau dijadikan peluang bisnis

xiii
seperti akikah. Warga pun mendapat penghasilan lumayan
dari ternak ini.
Berbeda dengan sembilan objek lainnya, Pesantren Al-
Amin di Tasikmalaya, Jawa Barat, justru didirikan oleh sebuah
perusahaan swasta. Berawal dari upaya untuk memenuhi ke-
butuhan spiritual para karyawan, Tjiwulan Bordir memben-
tuk Yayasan Pendidikan Islam Tjiwulan sebagai cikal bakal
Pesantren Al-Amin. Tak pelak, nilai-nilai wirausaha perusa-
haan ikut menjadi budaya dalam pesantren. Santri mendapat
ketrampilan bordir dan pengetahuan bisnis dari perusahaan.
Sebaliknya, perusahaan mendapat asupan sumber daya ma-
nusia berkualitas dari pesantren.
Lima pesantren lainnya punya kisah tak kalah unik dan
menarik. Dengan caranya masing-masing, mereka berupaya
untuk menjadi pionir kemandirian di lingkungannya. Lewat
beragam karakter, pesantren-pesantren ini hendak menelur-
kan virus kemandirian dan menularkannya kepada lingkun-
gan dimana mereka tinggal. Hanya, patut menjadi catatan
bahwa segenap kegiatan kewirausahaan ini jangan mening-
galkan khittah pesantren sebagai lembaga yang kaya nilai re-
ligi, moral dan budaya.
Pendekatan ekonomi untuk pengembangan pesantren
jangan justru mengalahkan nilai-nilai adiluhung tersebut. Pe-
santren bukanlah institusi untuk menciptakan lulusan yang
hanya menghasilkan uang. Lebih dari itu, uang yang dihasil-
kan harus bisa menjadi alat ideologi pesantren demi melem-
bagakan nilai-nilai mulia pesantren. Dengan begitu, pesant-
ren pun mampu menjadi pionir dari terbentuknya masyarakat
madani.

xiv
Pesantren Ar-Risalah
Menyulap Kampung Santri Menjadi
Desa Wisata

Muhamad Murtadlo

Keberadaan 16 pesantren dan makam KH. Nurul Iman


benar-benar membuat Mlangi layak disebut sebagai
kampung santri.

Teriknya matahari di Dusun Mlangi, Nogotirto,


Kabupaten Sleman, Yogyakarta, tidak menyurutkan ratusan
langkah jamaah untuk berziarah. Usai salat Jumat, mereka
memenuhi Kompleks Makam Kiai Nur Iman. Makam
keramat yang berlokasi di belakang masjid ini berada di
dalam rumah berbentuk pendopo. Jumat itu, setidaknya ada
70-an orang pengunjung makam. Pendopo yang tak begitu
luas membuat sebagian harus duduk di teras. Sambil bersila,
mereka menunggu pemimpin doa datang.
Mereka bukan hanya jamaah masjid setempat. Banyak
jamaah dari masjid luar desa hendak menyempatkan waktu
sejenak untuk berziarah. Doa pun dimulai seiring datangnya

1
kiai. Mereka larut dalam tahlil dan zikir mengagungkan nama
Ilahi. Penulis yang kebetulan salat Jumat di situ pun akhirnya
bergabung dengan para jamaah. Bersama mereka, penulis
merapal doa untuk dipanjatkan bagi keselamatan penghuni
makam.
Makam ini bukan kuburan sembarang. Sosok Kiai Nur
Iman, penghuni makam, memegang peranan penting dari
sejarah Mlangi. Desa yang berada di Kelurahan Nogotirto,
Gamping, Sleman Yogyakarta, ini adalah tanah perdikan
dari Sri Sultan Hamengkubuwono I. Tanah ini diberikan
sebagai bentuk penghormatan kepada Kiai Nur Iman, Putra
Amangkurat IV. Hubungan mereka masih satu darah. Sang
kiai masih merupakan saudara tua Sultan yang lebih memilih
untuk mengabdikan hidupnya bagi pengembangan agama
Islam.
Di desa yang terletak beberapa kilometer dari barat
Tugu Yogyakarta, Mbah Nur Iman memilih tinggal. Kata
‘Mlangi’ pun tak lepas dari aktivitas sang kiai. Konon,
kata itu dihubungkan dengan kata ‘mulangi,’ yang berarti
mengajarkan. Sejak itu, Kai Nur Iman dan keturunannya
mengembangkan Islam di tempat itu.
Kiai ini adalah seorang pewaris sah Kesultanan Mataram
sepeninggal Amangkurat IV. Dia lebih memilih menjadi
penyiar agama daripada menjadi sultan. Pilihan itu dilakukan
untuk menghindari perebutan kekuasaan dengan saudara-
saudaranya. Peristiwa itu terjadi saat Mataram terbelah
menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Potensi Mlangi yang kaya dengan catatan sejarah itu
membuat Pemerintah Kabupaten Sleman menetapkan Mlangi
sebagai destinasi desa wisata religi. Tak hanya itu, banyaknya
pesantren dan lokasi yang strategis ikut menjadi alasan

2
mengapa Mlangi menjadi desa wisata. Untuk menuju lokasi
Mlangi, dari Bandara Adi Sucipto atau Stasiun Kereta Api
Tugu kita bisa naik taksi menyusuri jalan lingkar Yogyakarta
(Ring Road) Kota Yogyakarta di bagian Barat. Lokasi desa
wisata Mlangi mempunyai jalan akses langsung dari jalan
Ring Road. Jarak dari Mlangi ke jalan lingkar hanya berkisar
500 meter. Jalan utama dusun Mlangi akan langsung menuntun
kita menuju lokasi Masjid Mlangi sebagai episentrum. Sebelah
kanan jalan disebut Dusun Mlangi sedangkan di sebelah kiri
jalan disebut Dusun Sawahan. Secara kultural kedua dusun
itu sama-sama sebagai penyangga satu budaya. Baik warga
Dusun Sawahan dan Mlangi sama-sama melaksanakan salat
Jum’at di Masjid Jami’ Mlangi.
Berkeliling ke Dusun Mlangi, Anda akan menjumpai
setidaknya 16 pesantren. Di selatan, ada Pesantren As-
Salafiyah, sebelah timur Al-Huda, dan sebelah utara Al-
Falakiyah. Pesantren As-Salafiyah merupakan pondok paling
tua. As-Salafiyah dibangun sejak 5 Juli 1921 oleh KH.
Masduki. Pada mulanya, As-Salafiyah bukanlah pesantren.
Tempat ini hanya nama komunitas yang belajar agama di
sebuah mushola kecil. Komunitas itu lantas berkembang
menjadi pesantren karena banyak warga yang juga berminat
belajar agama. Meski bangunannya tak begitu besar, pesantren
ini memiliki 300-an santri. Pengelola pondok menggunakan
metode mengajar yang tak kalah maju dengan sekolah
umum.
Di Desa Mlangi, ada sekitar 16 pesantren yang ada
di daerah ini. Pesantren-pesantren itu antara lain Pondok
Pesantren (PP) Al-Miftah yang diasuh oleh KH. Siruddin
diteruskan oleh KH. Munahar; PP As-Salafiyyah yang diasuh
oleh KH. Masduqi diteruskan oleh KH. Suja’i Masduqi; PP

3
Al-Falahiyyah yang diasuh oleh KH. Zamrudin diteruskan
oleh Ny. Hj. Zamrudin; PP Al-Huda yang diasuh oleh KH.
Muchtar Dawam diteruskan oleh KH. Mufrod Muhtar; PP
Mlangi Timur yang diasuh oleh KH. Wafirudin diteruskan
oleh Ny. Hj. Wafirudin; PP Hujjatul Islam yang diasuh oleh
KH. Qothrul Aziz; PP As-Salimiyyah yang diasuh oleh KH.
Salimi; PP An-Nasyath yang diasuh oleh KH. Sami’an;
PP. Ar-Risalah yang diasuh KH. Abdullah; PP Darussalam
yang diasuh oleh K. Wirdanuddin; PP Al-Qur’an asuhan
KH. Abdul Karim yang diteruskan oleh Ny. Jamhanah; PP
Aswaja Nusantara yang diasuh oleh KH. Mustafid; PP Al-
Mahbubiyah yang diasuh oleh KH. Halimi dan PP Hidayatul
Mubtadiin.
Memasuki wilayah Mlangi, kita menemukan dusun
ini dengan tingkat kepadatan rumah penduduk sedemikian
rupa. Warung-warung biasanya buka sore hari setelah Ashar
sampai Maghrib. Buka lagi setelah salat Isya’, bahkan ada
warung makanan yang buka setelah jam 23.00 WIB. Jam
malam lebih terasa hidup dibanding siang hari. Pesantren-
pesantren yang kebanyakan salafiyah dalam melaksanakan
aktifitas lebih banyak malam hari. Pada pagi hari, saat jam-
jam sekolah formal, Dusun Mlangi terasa lengang. Waktu
wawancara yang seharusnya dijadwalkan pada pagi pun harus
digeser menjadi malam hari. Penulis bahkan diminta bertamu
pada jam 21.00 WIB. Malam Jum’at akan lebih ramai lagi
karena hampir masing-masing pondok mengadakan acara
pembacaan barzanji dengan memakai alat musik terbang.
Identitas keislaman penduduk bukan sesuatu yang dibuat-
buat. Buktinya dapat dilihat dari cara berpakaian penduduk.
Di Mlangi, para lelaki biasa memakai sarung, baju Muslim,
dan peci meski tidak hendak pergi ke masjid. Sementara

4
hampir semua perempuan di dusun ini mengenakan jilbab
di dalam maupun di luar rumah. Pengamalan ajaran Islam
seolah menjadi prioritas bagi warga Mlangi. Konon, warga
rela menjual harta bendanya agar bisa naik haji.
Setiap Ramadhan, dusun ini selalu ramai dengan ritual
ibadah yang dijalankan warganya. Mulai tadarus, pengajian
anak-anak, dan sebagainya. Tak sedikit masyarakat dari luar
Mlangi yang atang untuk ‘wisata’ agama, semacam pesantren
kilat. Nah, bila Anda ingin berkunjung ke Mlangi, inilah saat
yang tepat. Sepanjang siang selama bulan Ramadhan, anda
juga akan melihat betapa akrab anak-anak bermain petasan.
Mlangi saat ini telah ditetapkan sebagai salah satu desa
wisata oleh Pemerintah Kabupaten Sleman di bidang religi.
Sebagai gambaran sosio-kultural, desa Wisata Religi Mlangi
didukung oleh keberadaan lima modal sosial dan budaya
yang dimiliki masyarakat setempat — Lima modal ini masih
di luar makam KH. Nurul Iman.

1. Masjid Pathok Negoro


Mlangi merupakan salah satu masjid di Yogyakarta yang
disebut-sebut sebagai pathok negoro bersama-sama empat
masjid yang lainnya. Berturut-turut kelima masjid pathok
negoro di Yogyakarta adalah : Masjid Jami’ di Mlangi, Masjid
Sultoni di Ploso Kuning, Masjid Ad-Darojah di Babadan
Baru, Masjid Nurul Huda di Dongkelan dan Masjid Taqwa di
Wonokromo Bantul.
Keberadaan masjid pathok negoro di Mlangi menjadi
ikon utama desa wisata religi Mlangi. Arsitektur masjid Jami’
Mlangi pada awalnya sama dengan masjid Kraton lainnya.
Masjid ini mengikuti gaya arsitektur Jawa dengan banyak

5
penyangga kayu. Dahulu,  soko  guru masjid ini berjumlah
16 buah termasuk  soko  utama di ruang  utama masjid.
Pawestri menjadi tempat khusus salat untuk kaum putri.
Sementara, bagian sisi depan, kanan dan kiri masjid terdapat
blumbang (sejenis kolam kecil) yang berfungsi sebagai tempat
membersihkan kaki jamaah sebelum memasuki masjid.
Seiring dengan perkembangan zaman, Masjid Jami’
Mlangi pun mengalami banyak perubahan. Setelah
mendapatkan izin dari Kraton, masjid Jami’ mengalami
beberapa proses renovasi tanpa menghilangkan keaslian
bentuk bangunan dari Masjid Jami’ sebelumnya yakni dengan
menjadikannya gedung bertingkat. Konstruksi bangunannya
pun diganti dengan pilar-pilar beton. Sekalipun demikian,
mimbar yang ada di masjid ini juga termasuk yang masih
asli. Beduknya juga menyerupai replika aslinya. Hingga saat
ini, masjid Jami’ mempunyai pesona tersendiri yang dapat
memikat banyak orang untuk datang baik yang bertujuan
salat maupun berziarah.

2. Ekonomi Kreatif
Di desa wisata Mlangi, masyarakat secara dinamis dan
turun temurun mengembangkan ekonomi mereka berbasis
industri rumah tangga. Hampir 90 % penduduk desa Mlangi
adalah wiraswasta. Mereka berusaha mulai dari usaha
konveksi, kerajinan, kuliner, jamu-jamuan, maupun bidang-
bidang yang lain. Banyak produk tercipta dari rumah-rumah
produksi di Mlangi. Di antaranya konveksi. Beberapa usaha
konveksi bisa disebutkan seperti: Celana londo, Baju – celana
endul, Jumput mlangi, Kaos oblong, celana turis, rukuh,
mukena, kerudung lukis, hingga kerajinan. Beberapa hasil

6
kerajinan rakyat yang pernah dihasilkan di Mlangi meliputi:
net voli, net bulu tangkis, Jaring gawang, tas raket, bola voli
plastik.

3. Tradisi Budaya
Dari daftar inventariasi tradisi dan budaya masyarakat
Mlangi hingga sekarang, Mlangi memiliki beraneka ragam
upacara tradisi. Tradisi dan budaya itu telah dijiwai semangat
keislaman.
Tradisi itu mewarnai masyarakat Mlangi sejak ada
dalam janin hingga wafat. Warga umumnya akan melakukan
semacam upacara saat istri-istri mereka hamil, melahirkan,
hingga ada anggota masyarakat yang meninggal dunia. Tradisi
slametan/syukuran pun terjadi saat pernikahan, dolanan anak
hingga tradisi sunatan dan perkawinan. Adat kebiasaan yang
mereka jalankan merupakan kolaborasi tentang keislaman
dengan tradisi Jawa yang memang sudah dari nenek moyang.
Tradisi itu kemudian ditafsirkan dari perspektif Islam sebagai
upaya untuk menjawab kekinian.

4. Kesenian
Ketua tim pengembangan Desa Wisata Mlangi, Ihsan,
menyebutkan bahwa di desa wisata Mlangi ini terdapat
berbagai macam kesenian rakyat. Hingga sekarang, kesenian
ini masih dibudayakan oleh masyarakat setempat.
Beragam jenis kesenian tersebut yakni Slawatan jowo,
Kojan, Seni rodad, Rengeng-rengeng, Berjanjen, Hadroh –
Ngarak, Simthud duror dan sebagainya. Pada saat pengkaji
datang, bertepatan dengan malam Jum’at, peneliti mendapati
beberapa grup santri di masing-masing pesantren melakukan

7
pembacaan berjanji dengan diiringi musik rebana. Suara
bersahut-sahutan antara kelompok satu dengan yang lainnya.
Hentakan musik pukul itu terdengar ingar bingar karena
datang dari berbagai arah.

5. Kuliner Khas
Tidak lengkap kiranya di dalam wisata tidak ada kuliner.
Di sini bisa ditemukan beraneka macam lauk pauk yang bisa
menjamu para wisatawan ketika lapar. Jika ingin mencicipi
makanan yang khas, banyak panganan tradisional diproduksi
dari olahan tangan santri maupun masyarakat Mlangi. Salah
satu kuliner paling khas adalah opor bebek. Penulis sempat
membeli opor bebek khas Mlangi yang konon menjadi
makanan kegemaran Sultan Hamengkubuwono IX kalau
berkunjung ke tempat itu.
Selain opor bebek, ada beberapa menu santapan yang
bisa didapat di desa ini. Hidangan berbentuk lauk pauk:
Jangan bobor, Sego tumpeng sambel pitu, Jangan kelontoko,
Jangan urip-urip, Jangan kothok, Jangan besengek, Uyah
salam, Brambang salam. Selain itu, tersedia makanan ringan,
yakni Janagel, Trasikan, Legondo, Lemper, Mendut, Jadah,
Wajik, Jenang Mlangi, Rambak, Tetel gedang, Carang gesing,
Krekes, Klepon – Puthu.

Kampung santri
Suasana religi di Mlangi benar-benar membuat desa ini
layak disebut sebegai kampung santri. Enam belas pesantren
dan santri-santrinya mampu mewarnai kampung dengan
kekhasannya. Tidak heran jika Mlangi ditetapkan sebagai
desa wisata berbasis pesantren.

8
Sebenarnya banyak tempat di Indonesia yang berlatar
belakang pesantren bisa menjadi alternatif destinasi wisata,
khususnya wisata religi. Bila potensi itu dikelola dengan baik,
maka wisata religi ini bisa menjadi sumber kesejahteraan bagi
warga sekitar.
Sebut saja Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat;
Kajen Pati Jawa Tengah, hingga Tebuireng Jombang Jawa
Timur. Daerah seperti itu biasanya tingkat mobilitas manusia
datang dan pergi relatif tinggi. Keadaan itu menjadi modal
utama pesantren untuk menjadikan lingkungan pesantren
sebagai destinasi wisata. Sayangnya kondisi demikian secara
fungsi ekonomi lebih banyak berjalan alamiah. Potensinya
pun belum tergarap dengan maksimal.
Untuk pemberdayaan ekonomi di pesantren, salah satu
gagasan yang perlu dieksplorasi adalah pengembangan
pariwisata berbasis pesantren. Kalau usaha ini bisa dilakukan,
maka potensi wisata pesantren yang terkesan masih jauh
dari profesional dan belum memberikan keuntungan banyak
bagi masyarakat sekitar bisa dilakukan. Salah satu gagasan
yang berkembang belakangan ini adalah pengembangan desa
wisata religi di lingkungan pesantren.
Pengembangan desa wisata, sebagai perwujudan
pariwisata telah menjadi alternatif ekonomi berbasis
masyarakat yang semarak berkembang akhir-akhir ini. Di
Yogyakarta bermunculan destinasi desa wisata di berbagai
lokasi. Dilansir dari pikiranrakyat.com, jumlah desa wisata
di Yogyakarta yang telah terdaftar di lima kabupaten/kota
telah mencapai jumlah 122 tempat, dengan sebaran 38 desa
wisata di Sleman, 14 desa wisata di Gunung Kidul, 27 di Kota
Yogyakarta, 33 di Bantul, dan 10 di Kulon Progo.

9
Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara
atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung. Keberadaannya
disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang
menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Untuk
mewujudkan sebuah desa disebut desa wisata, ada beberapa
aspek yang perlu diperhatikan dalam penetapan suatu desa
wisata.
Pertama, aksesbilitasnya baik, sehingga mudah untuk
dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai
jenis alat transportasi. Berikutnya, memiliki obyek-obyek
menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan
lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek
wisata. Masyarakat dan aparat desanya pun menerima dan
memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata
serta para wisatawan yang datang ke desanya. Kemudian,
keamanan di desa tersebut terjamin. Desa tersebut juga
menyediakan akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja
yang memadai. Adanya iklim sejuk di wilayah tersebut.
Terakhir, desa berhubungan dengan obyek wisata lain yang
sudah dikenal oleh masyarakat luas.
Salah satu desa wisata di Kabupaten Sleman adalah
desa wisata religi yang berlokasi di dusun Mlangi, Gamping
Sleman Yogyakarta. Salah satu keistimewaan Desa Mlangi
yakni daerah ini merupakan wilayah konsentrasi pesantren
yang berada dalam satu dusun. Berdasarkan keterangan Ihsan,
Ketua Panitia Pengembangan desa Wisata Mlangi, jumlah
pengunjung ke desa Mlangi dari luar daerah rata-rata perhari
tidak kurang dari dua bus. Hal ini menunjukkan pontesi yang
dimiliki desa Mlangi sebagai desa berbasis pesantren.
Bukan hanya kaya sejarah budaya dan religi, Mlangi
dihidupkan oleh kegiatan ekonomi. Mlangi pernah mencatat

10
menjadi salah satu pusat industri batik berbasis masyarakat
pada era 70-an hingga 80-an. Batik yang dihasilkan adalah
batik lukis. Tradisi ini kemudian meredup dengan adanya
industrialisasi batik melalui batik stempel yang diproduksi
secara massal oleh pabrik. Meredupnya batik tidak membuat
mati ekonomi di dusun ini. Mlangi bangkit lagi menjadi salah
satu pusat industri konveksi pada era 90-an.
Berbagai komoditi untuk pemenuhan pasar rakyat
Malioboro dihasilkan dari industri santri Mlangi. Mlangi saat
itu menjadi pemasok utama dagangan konveksi di sepanjang
Malioboro. Bahkan saat itu, konveksi produksi Mlangi telah
menjadi pemasok ke Borobudur, Prambanan hingga ke
Pangandaran di Jawa Barat.
Menurut pengakuan Siti Umiyah, salah satu pelaku
industri konveksi, dia berhasil memperkerjakan 35 orang
dalam mengelola industri konveksi ini pada 90-an. Dia juga
berkeliling Indonesia memasarkan hasil produksinya. Selain
menyuplai produk ke tempat-tempat wisata seperti Malioboro,
Prambanan, dan borobudur, dia juga memasarkan barang ke
Medan, Padang, Lampung, Palembang, Jakarta. Dia pun ikut
pameran di Manado, Lombok dan Bali.
Industri konveksi Mlangi kembali dihantam pengusaha
konveksi khususnya dari Pekalongan, Klaten, dan Solo. Saat
ini usaha konveksi masih bertahan dalam batas-batas tertentu.
Usaha pengembangan ekonomi di Mlangi secara perlahan
mendapatkan momentumnya kembali dengan ditetapkannya
Mlangi sebagai Desa Wisata. Pemerintah Kabupaten Sleman
telah menetapkan 38 desa wisata di wilayahnya, dan Mlangi
menjadi salah satunya. Mlangi disebut sebagai desa wisata
religi, dengan salah satu modal pendukungnya adalah industri
kreatif masyarakat.

11
Kawasan Mlangi sebagai kawasan desa wisata yang
berbasis pesantren merupakan modal sosial dan budaya yang
tidak terpungkiri. Dengan keberadaan beberapa aset wisata
seperti masjid pathok negoro, makam Mbah Nur Iman,
keberadaan 16 pesantren, keberadaan masyarakat yang aktif
dalam industri kreatif menjadi kekayaan desa Mlangi yang
saling melengkapi untuk menjadikan kawasan Mlangi layak
sebagai daerah tujuan wisata. Mlangi akan menjadi daerah
wisata yang lengkap dan inspiratif dengan sentuhan-sentuhan
tertentu.
Sekalipun Mlangi sudah ditetapkan menjadi desa wisata
religi, namun diakui bahwa Mlangi masih jauh dari ideal
sebagai destinasi wisata. Masih banyak hal yang harus
dilakukan, baik masyarakat maupun pemerintah untuk
membuat Mlangi menjadi tempat ramai dan nyaman bagi
pengunjungnya. Beberapa fakta yang ditemukan penulis
menjadi catatan kekurangan untuk bisa dievaluasi. Antara
lain akses jalan yang sempit, taman dan penghijauan yang
belum tertata, gerai toko yang kurang tertata. Tidak adanya
home stay bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana
malam di kampung santri ini, penerangan dan lampu hias
yang masih terbatas.
Pesantren Ar-Risalah dengan kepemimpinan KH.
Abdullah telah menjadi pelopor dalam menjadikan kawasan
Mlangi sebagai tujuan wisata (ziarah). Beberapa langkah
telah dilakukan KH. Abdullah untuk mendorong Mlangi
menjadi yang semakin ramai dikunjungi para peziarah, seperti
pembangunan Makam Mbah Nur Iman, pendiri desa Mlangi,
acara Haul Tahunan yang melibatkan semua warga Mlangi
dalam menghormati tokoh pendahulu mereka. Tak lupa usaha
ekonomi yang memfasilitasi kebutuhan para peziarah.

12
Kawasan desa wisata Mlangi, memang belum
optimal menjadi daerah wisata yang memadai. Dalam
mengembangkan wisata berbasis pesantren, diakui masih
muncul beberapa permasalahan yang masih menghinggapi
masyarakat pesantren. Warga Pesantren di Mlangi mempunyai
permasalahan dari berbagai aspek. Bisa dipetakan terjadi
dalam internal satuan pesantren, dan komunikasi antar
pesantren yang ada di kawasan tersebut.
Dari dalam internal satuan pesantren, seperti yang terjadi
dalam Pesantren Ar-Risalah, permasalahan yang muncul
yakni, pesantren akan lebih mengutamakan misi utamanya
dalam mengembangkan tafaquh fiddin kepada santri-santrinya
dari pada menggagas ekonomi, apalagi pariwisata. Terhadap
gagasan pengembangan pariwisata berbasis pesantren,
lembaga hanya bisa menyediakan dan berpartisipasi dengan
memelihara keunikan pesantren sebagai salah satu daya tarik
pesantren, tanpa terlalu larut dengan perubahan yang kadang
menggerus keunikan yang dimiliki pesantren.
Ekonomi yang bukan menjadi bisnis inti pesantren
membuat pendidikan enterpreuner di pesantren hanyalah
ketrampilan tambahan yang hanya menjangkau sebagian
kecil warga pesantren. Wawasan kepariwisataan masih sangat
sedikit dipahami warga pesantren, hal ini menyebabkan
pengembangan pariwisata belum bisa berjalan optimal.
Secara eksternal, pengembangan pariwisata di lingkungan
pesantren dan masyarakat dari kasus desa wisata Mlangi. Ada
beberapa permasalahan yang sering menyandera daerah itu
menjadi daerah tujuan wisata secara maksimal. Di antaranya:
pemahaman bahwa turisme lebih mendatangkan banyak
madharat daripada manfaat yang masih banyak dipahami
para kiai dan santri; perbedaan pendapat ini masih banyak

13
terjadi di kalangan pesantren itu menyebabkan koordinasi
lintas sektoral terhadap pihak-pihak yang bisa diharapkan
dapat turut memajukan desa wisata menjadi terhambat;
kegagalan komunikasi lintas sektoral menyebabkan
pembangunan fasilitas wisata berbasis pesantren menjadi
kurang berkembang.
Dampak dari permasalahan-permasalahan baik yang
terjadi di dalam satuan pesantren, antar pesantren dan
masayarakat menyebabkan kelambanan kawasan desa
Mlangi dalam pembangunan daya dukung pariwisata di
daerah itu. Kelambanan ini menyebabkan lalu lintas manusia
yang hadir yang sebenarnya sangat banyak di pesantren
kurang dioptimalkan dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Selain permasalahan antar masyarakat dan antar pesantren,
menyebabkan pengembangan wisata berbasis pesantren tidak
cukup dilakukan oleh pemerintah desa. Kondisi faktual di
Mlangi terjadi tarik menarik pengembangan wisata di desa
tersebut. Satu sisi, masyarakat pesantren Mlangi merasa
bahwa mereka cukup mengelola sendiri pengembangan desa
wisata Mlangi. Di sisi lain, pemerintah desa ingin terlibat
dalam pengelolaan pengembangan desa wisata Mlangi.
Adanya dua interest ini menyebabkan adanya
kepengurusan ganda dalam perencanaan pengembangan desa
wisata di Mlangi ini. Adanya unsur konflik internal menjadikan
kurang masif dan muculnya kepengurusan ganda menjadikan
saling tuding satu sama lain atau saling “pengakuan”. Dengan
kondisi seperti itu, desa wisata jadi kurang terperhatikan dan
perawatan desa kualitasnya mulai menurun. Padahal yang
seharusnya makin lama makin tambah maju.

14
Obyek wisata desa religi Mlangi memiliki keunggulan
dan  Unique Selling Point  sumber daya lokal yang berbeda
dari desa wisata lain. Sejarah dan religi yang dimiliki oleh
Kabupaten Sleman menjadi pembeda. Hanya saja dibutuhkan
kerjasama antar stake holder dan kesadaran warga setempat
untuk bersama-sama menjaga, melestarikan, dan juga
mempromosikan desa wisata Mlangi ini sebagai wisata religi
yang baik dan layak.
Peningkatan fasilitas umum seperti mandi cuci kakus
(MCK), warung makan, toko suvenir khas setempat,
hingga petunjuk jalan menjadi kebutuhan yang seharusnya
diperhatikan. Narasi yang menginformasikan tentang obyek
desa wisata religi Mlangi pun harus lebih dimaksimalkan
agar wisatawan puas. Mengingat pasarnya adalah wisatawan
dengan minat khusus.
Sejauh ini, berbagai permasalahan yang melingkupi
pengembangan wisata di Mlangi tersebut tidak mengurungkan
niat para pengunjung untuk mengunjungi kawasan ini.
Melihat potensi besar seperti ini, tentunya pengembangan
wisata berbasis pesantren hanya memerlukan sentuhan-
sentuhan yang lebih canggih agar penataan kawasan bisa
terlaksana. Beberapa harapan yang muncul dalam konteks
pengembangan ke arah itu antara lain munculnya generasi
muda baru. Mereka terpelajar dalam pendidikan modern yang
berpotensi menjadi kekuatan dinamis dari dalam masyarakat
pesantren.
Beberapa putra atau keluarga kiai telah menempuh
pendidikan S2 dan S3 yang mempunyai wawasan lebih
terbuka dibandingkan para pendahulunya. Di samping itu,
masyarakat Mlangi telah melalui berbagai pembicaraan.
Dengan demikian, mulai ada titik temu masyarakat dalam

15
mencoba mengarahkan pengembangan kawasan wisata
melalui yayasan yang dimiliki masyarakat melalui divisi
pengembangan kebudayaan.
Adanya dua potensi saja, menurut pengkaji belumlah
cukup untuk mempercepat usaha pengembangan desa
wisata. Dari pihak pemerintah, melalui berbagai unit yang
terkait seperti dinas pariwisata, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Kementerian Agama
(Kemenag) bisa melakukan pendampingan yang terencana
untuk kemajuan pengembangan wisata berbasis pesantren.
Terobosan juga bisa dilakukan dengan mengundang
para investor atau lembaga-lembaga pemasang iklan layanan
masyarakat untuk terlibat dalam pengembangan desa wisata
berbasis pesantren. Ini pun membutuhkan kerja sama dengan
Dinas Pekerja Umum untuk membantu pengembangan tata
ruang yang menarik, lembaga keuangan untuk memasang
akses keuangan seperti ajungan tunai mandiri (ATM) yang
diminta hadir di wilayah seperti itu.
Catatan akhir dari penulisan tentang usaha perintisan
pengembangan pariwisata berbasis di pesantren, belajar
dari kasus desa wisata Mlangi Sleman Yogyakarta, dapat
disebutkan bahwa potensi pariwisata di lingkungan pesantren
sesungguhnya mempunyai potensi yang besar untuk
dikembangkan. Lokasi pesantren dan beberapa hal yang
mendukung seperti tokoh awal pendiri pesantren, kreatifitas
di bidang ekonomi telah mengundang peziarah untuk datang.
Apalagi kalau sarana dan fasilitas yang mendukung pariwisata
dapat dioptimalkan seperti taman, lahan parkir, penerangan,
warung-warung tempat penjualan, layanan ATM, dan
penginapan.

16
Beberapa permasalahan yang masih dihadapi pengembang
dalam mengembangkan wisata berbasis pesantren adalah
adanya pemahaman yang belum padu antar para pengelola
pesantren. Pun antara pesantren dan masyarakat dan antara
masyarakat pesantren dengan pemerintah desa. Hal ini
menimbulkan usaha penguatan pariwisata di lingkungan
pesantren sering terasa lamban. Dari kasus Mlangi keadaan
demikian mulai terbantu dengan hadirnya generasi muda
terpelajar dari putra-putri kiai. Mereka mulai terbuka
menerima pemahaman tentang perlu wawasan kewirausahaan
untuk santri mereka.
Kajian ini merekomendasikan perlunya pendampingan
pemerintah terhadap kampung-kampung santri yang potensial
dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata. Selain itu dari
internal masyarakat perlu muncul kesadaran untuk membuat
langkah-langkah terobosan untuk mencari sponsor yang mau
berinvestasi di daerah mereka. Kerja sama berbagai pihak akan
mendorong terwujudnya pengembangan pariwisata berbasis
pesantren tanpa harus mengorbankan kekhasan pesantren
sebagai lembaga tafaquh fiddin. Semoga bermanfaat.

17
18
Pesantren Al-Amin
Lahirnya Pesantren dari Pabrik Bordir

Husen Hasan Basri

Usaha kerajinan bordir menjadi penopang pengembangan


pesantren. Sedangkan pendidikan bordir menjadi salah satu
“isi kurikulum”pendidikan bagi para santri.

“Ini bagus sekali, kualitasnya ekspor, Bu. Ada warna-


warna Eropa juga ini. Saya terkesan pesantren inim selain
mendidik putra Indonesia yang religious, berkarakter,
juga membuat mereka lebih mandiri nanti ketika masuk di
kehidupan nyata. Ini akan membangun jiwa kewirausahaan,”
ujar Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono
pada 2016 lalu seperti dilansir dari laman detik.com.
Kekaguman SBY terhadap Al-Noor Garment Factory bukan
isapan jempol. Banyak tokoh yang menunjukkan apresiasi
serupa pada industri konveksi yang masih ada di dalam
Komplek Pesantren Al-Amin. Sebut saja mantan menteri
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan dan Syekh
Hashimuddin Al-Gayni, cucu Syekh Abdul Qadir Jaelani
yang sempat mengunjungi industri ini pada 2012 lalu. 

19
Di komplek seluas tiga hektar ini, geliat aktivitas usaha
Tjiwulan Bordir dan Al-Noor Garment Factory terasa. Tangan-
tangan terampil tampak sibuk dengan beragam kegiatan
konveksi. Mereka tak henti menggunting dan menggambar
pola. Tenaga kerja lainnya juga sibuk memantau kerja
mesin.  Iman salah satunya. Lulusan Diklat Bordir Lembaga
Pendidikan Bordir (LPB) Tjiwulan ini sedang fokus untuk
menggambar motif tumbuhan, bunga, dan geometris. Pensil
di tangannya meliuk-liuk untuk mendapatkan motif yang
diinginkan. “Saya membuat motif sendiri sesuai keinginan
perusahaan dan harus disukai konsumen,” ungkap dia saat
berbincang dengan penulis beberapa waktu lalu. 
Pola yang selesai dibuat kemudian berlanjut ke mesin
bordir. Mesin itu digerakkan tenaga listrik dan opal.
Kedua alat itu yang dipakai untuk membordir. Bentuk opal
menyerupai alat yang digunakan untuk menyulam. Sejenis
kayu yang diletakkan berpasangan berbentuk lingkaran. Alat
itu digunakan untuk menjepit bagian kain yang akan dibordir.
Kain yang terjepit di tengah opal akan terentang secara
merata, sehingga mudah untuk dibordir. Benang-benang
warna dimasukkan ke dalam jarum mesin  bordir. Fungsinya
untuk mengisi bordiran. Setiap kali bagian yang dibordir
harus diganti warnanya, perajin harus mengganti benang
dengan warna yang diinginkan.
Setelah pembuatan desain bordir, dilanjutkan ke tahap
pembordiran. H. Amir Zarkasyi, pimpinan Tjiwulan Bordir,
menuturkan, “Sebagian besar pembordiran dilakukan di rumah
masing-masing perajin, walaupun ada pula yang dilakukan
di perusahaan Tjiwulan Bordir. Mereka yang membordir di
perusahaan pada umumnya masih dalam taraf berlatih dari
tingkat dasar ke tingkat trampil, tetapi belum masuk tingkat
mahir”. 

20
Di Tjiwulan Bordir terlihat mesin berpenggerak tenaga
listrik dan opal. Kedua alat itu dipakai untuk membordir. Opal
menyerupai alat yang digunakan untuk menyulam. Alat itu
adalah sepasang kayu berbentuk lingkaran. Gunanya  untuk
menjepit bagian kain yang akan dibordir. Kain yang terjepit
di tengah opal akan terentang secara merata, sehingga mudah
untuk dibordir. Benang-benang warna dimasukkan ke dalam
jarum mesin  bordir berfungsi untuk mengisi bordiran. “Para
pekerja melakukan pembordiran berdasarkan desain yang
sudah digambarkan pada kain. Namun terkadang mereka juga
melakukan improvisasi-improvisasi dari desain yang dibuat
oleh para desainer,” tutur Hj. Ai Lina, pengurus  Tjiwulan
Bordir sekaligus bendahara II Yayasan Al-Amin.
Hj. Ai Lina menjelaskan bahwa kain-kain yang sudah
dibordir kemudian dijahit untuk dibentuk menjadi bermacam-
macam pakaian atau kain jadi. Di pabrik itu, bordir dibentuk
di atas mukena, baju koko, busana Muslimah, taplak meja,
dan kebaya. Bahan dasar kain bordir di samping diperoleh
dari Tasikmalaya
Sebagian besar justru diperoleh dari kota-kota lain, 
seperti Bandung, Jepara, dan Pekalongan. Untuk memperoleh
kain dasar dan benang warna yang diinginkan, biasanya pihak
pengusaha yang datang sendiri ke kota-kota tersebut. 
Hal yang menarik adalah sebagian besar tenaga pembordir
justru kaum laki-laki, terutama para pemuda. Penyebabnya,
kerajinan kain bordir merupakan lapangan kerja yang cukup
menjanjikan. Banyak kaum laki-laki yang tidak terserap di
lapangan pekerjaan lain memilih bekerja sebagai pembordir.
Sedangkan kaum wanita sudah banyak terserap ke industri
kerajinan lainnya, seperti anyaman mendong, kelom geulis,
payung kertas, dan lain-lain. 

21
Selain Tjiwulan Bordir, terdapat aktivitas Al-Noor
Garment Factory yang dikembangkan empat tahun yang lalu.
Al-Noor berada di bawah PT Tjiwulan Putra Mandiri (TPM).
Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 300 karyawan. “Al-
Noor Garmen Factory sebagai bentuk perluasan usaha dari
Tjiwulan Bordir yang sudah lama berdiri,” ungkap Hamzah,
salah satu pimpinan perusahaan. 
Produksi Tjiwulan bordir berbeda dengan perusahaan
bordir lainnya di Tasikmalaya. “Tjiwulan bordir ini lebih
eksklusif, hanya melayani pesanan aja,” ujar salah seorang
karyawan. Walaupun tidak sesering industri bordir lainnya,
pasarnya berbobot. Produk Tjiwulan tidak akan ditemukan di
pasar Tanah Abang, Pasar Baru, dan pasar tujuan pengusaha
bordir lainnya.  Sementara, produksi Garmen Al-Noor dibuat
lebih eksklusif. “Kunci sukses usaha adalah bagaimana bisa
menjaga kepercayaan buyer yang terwujud melalui kualitas
produk, keunikan produk, serta ketepatan waktu dalam
memenuhi permintaan buyer,” ujar Hamzah.  

Eksistensi Tjiwulan di Kota Bordir


Kota Tasikmalaya merupakan salah satu daerah sentra
industri hiasan bordir unggulan. Kain bordir Tasik diserap
dari kebudayaan Cina. Berkat tangan terampil dan ulet warga
Tasik, tercipta beragam pakaian dan aksesori berhias bordir.
Dari kerudung, kebaya, hingga kopiah haji. Dengan adanya
dukungan Pemerintah Kota Tasikmalaya, para pengusaha
bordir mendapatkan lokasi di Pasar Tanah Abang Jakarta. 
Pasar ini menjadi  pusat penjualan bordir khas
Tasikmalaya. Kain bordir Tasik dipasarkan ke Pasar Baru
Bandung, Pasar Tegal Gubug Cirebon, Pasar Turi Surabaya,

22
Pasar Klewer Solo, Yogyakarta, Bali, Lombok, Manado,
Ujung Pandang, Banjarmasin, Balikpapan, Medan, Riau,
Pulau Batam, Makassar, Pontianak, dan sentra-sentra
perdagangan lain di nusantara. Selain menjadi pemain utama
di pasar nasional, bordir Tasikmalaya juga telah menembus
pasar internasional. Bordir-bordir khas Tasik sudah diekspor
ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Saudi Arabia,
negara-negara Timur Tengah, Mesir, dan Afrika.
Terkenalnya bordir Tasikmalaya membuat warga
berlomba-lomba untuk menggeluti usaha bordir. Atas
ketekunan mereka, lahir jutawan-jutawan Tasikmalaya.
Nama-nama seperti H. Wawan,  Asep Darsono, Ega R.
Haryati, Drs. Fatuh Ahandi, H. Muslim, Komalasari, H. Edi,
H. Uus Usman, H. Epul dan  lainnya menjadi bukti betapa
bordir bisa menjadi lahan menambang pundi. Saat  krisis
moneter berkepanjangan terjadi pada 97-98, mereka tetap saja
bisa bertahan. Tidak heran jika bordir sering disebut sebagai
jenis usaha kecil berkeuntungan besar.
Tjiwulan menjadi salah satu produsen bordir kenamaan
asal Tasik. CV Tjiwulan Bordir dan PT Tjiwulan Putra
Mandiri dimiliki keluarga besar Yayasan Al-Amin.
Manajemen Tjiwulan Bordir tidak seluas dan sebesar
Tjiwulan Putra Mandiri. Selain direktur dan manajer berada
di posisi hirarki yang tertinggi, dalam struktur Tjiwulan
Bordir terdapat  pembuat desain, pembordir, dan penjahit. 
Di struktur  Tjiwulan Putra Mandiri, ada komisaris, manajer,
wakil manajer, supervisor pemotongan, supervisor menjahit,
dan supervisor packing. 
Usaha kerajinan dan pendidikan bordir H. Zarkasyi
beserta perusahaan Tjiwulan dan LPB Tjiwulan diteruskan
oleh anak dan menantunya. Sementara itu, Yayasan Al-Amin

23
meluaskan usahanya dalam bidang industri garmen yang baru
berjalan empat tahun ke belakang. Industri garmen ini berada
di bawah nama perusahaan PT Tjiwulan Putra Mandiri. Salah
satu andalan produksinya diberi label atau merek Al-Noor.
H. Amir duduk sebagai pimpinan Tjiwulan Bordir.
Istri H. Amir, Hj. Ai Lina, duduk sebagai bendaharanya.
Sedangkan pimpinan PT Tjiwulan Putra Mandiri dijabat oleh
H. Undang Zarkasyi. Isterinya, Ibu Ina memegang jabatan
sebagai manajer. Hamzah, salah satu putra H. Undang, duduk
sebagai wakil manajer. Sementara itu, Haji Amir juga menjadi
pengawas PT Tjiwulan Mandiri.  Selain sebagai pengasuh,
pengurus yayasan, dan pimpinan KBIH, KH. Wawan Setiawan
ikut mengembangkan urusan luar negeri usaha ekonomi, baik
Tjiwulan bordir maupun  PT Tjiwulan Putra Mandiri.
Posisi pembuat desain, pembordir, dan penjahit dalam
manajemen Tjiwulan Bordir  diisi oleh orang-orang yang ahli
dalam bidangnya. Mereka umumnya berasal dari masyarakat
ring satu dan alumni Pesantren Al-Amin. Dalam struktur di
bawah manajer manajemen PT Tjiwulan Mandiri terdapat staf
administrasi, staf keuangan hingga supervisor. Mereka semua
adalah orang di luar keluarga besar pemilik perusahaan.
Selain posisi tersebut, terdapat desainer yang didatangkan
dari India. Desainer ini pun berasal dari luar keluarga. Begitu
juga posisi leader-leader yang berada di bawah supervisor
yang diambil dari luar keluarga besar Al-Amin.     
Pekerja ring satu berasal dari masyarakat sekitar
pesantren. Mereka menjadi karyawan PT Tjiwulan Putra
Mandiri dan CV Tjiwulan Bordir. Umumnya para pekerja
berasal dari tamatan Madrasah Aliyah Al-Amin yang tidak
melanjutkan ke pendidikan tinggi. Mereka  akan direkrut
menjadi karyawan perusahaan. “Saat ini, jumlah tenaga kerja

24
di Tjiwulan Bordir sebanyak 100 orang yang terdiri dari 25
laki-laki dan 75 perempuan. Syarat untuk menjadi karyawan
boleh dikatakan sederhana yaitu bisa membordir dan salat
lima waktu”, ujar H. Amir. Sedangkan jumlah pekerja di PT
Tjiwulan Putra Mandiri sebanyak 300 orang. Meski sudah
menggunakan teknologi dan mesin-mesin yang canggih,
industri garmen masih  menggunakan tenaga manusia untuk
menghasilkan suatu produk. Teknologi dan mesin tersebut
hanya untuk membantu manusia menghasilkan produk yang
lebih banyak.
Tenaga pembordir mendapat upah rata-rata Rp 50
ribu per hari, dengan jam kerja dari pukul 7.00  WIB s.d.
16.00 WIB. Dahulu ketika masih menggunakan mesin
bordir manual, mesin digerakkan dengan tenaga kaki. Para
pembordir pun didominasi oleh kaum perempuan. “Ketika
masih menggunakan mesin bordir manual hasil produksinya
memang sangat terbatas, tetapi kualitasnya sangat baik.
Sebaliknya, ketika sudah menggunakan mesin bordir listrik,
produksinya sangat banyak, tetapi kualitasnya menjadi kurang
baik”, tutur H. Amir Zarkasyi. 
Pembordir lepas digaji  dengan sistem borongan. Seberapa
banyak bordiran yang ia dapatkan, sejumlah itu pula yang
dibayar oleh perusahaan. Jumlah tenaga pembordir  juga
bersifat musiman. Pada musim ramai order tenaga pembordir
meningkat. Namun, berkurang pada musim sepi order.
Musim ramai order bagi pembordir terjadi menjelang Bulan
Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha.
Aset perusahaan mencapai sekitar Rp 50 miliar. Terdiri
dari bangunan industri, mesin, dan bahan. Aset ini diperoleh
keluarga besar H. Zarkasyi dari hasil usaha sejak  1961.
Menurut pengakuan H. Amir, perusahaan pernah mendapat

25
pembinaan dari Pemda Kota Tasikmalaya dan pernah ada
pinjaman dari bank. Namun, untuk saat ini tidak ada lagi
pinjaman bank dan tidak ada  donasi dari luar.
Tjiwulan Bordir memiliki beragam mesin dari mulai
mesin bordir kejek, mesin bordir semi otomatis sampai mesin
bordir otomatis. Selain itu, terdapat mesin bordir yang sudah
dititipkan kepada masyarakat yang jumlahnya sekitar 50
buah. Di pasaran, harga mesin bordir antara 1 juta sampai 10
juta.  
Bangunan PT Tjiwulan Putra Mandiri lebih besar dari
Tjiwulan Bordir. Bangunannya seluas 1000 meter. Mesin-
mesin yang dimiliki Tjiwulan Putra Mandiri beragam, yaitu:
mesin jahit dari manual, semi otomatis, semi dry head
(otomatis), sampai needle dry head (otomatis). Perusahaan
juga memiliki mesin obras,  mesin bartacking, dan mesin
pasang kancing.  Untuk mengembangkan bisnis, PT Tjiwulan
Putra Mandiri membuat anak perusahaan di Probolinggo. 
Mereka sudah menerima karyawan sejak 2015. Tjiwulan
Putra Mandiri juga mnemiliki kantor di Jakarta. Alamatnya
Jalan Aipda Ks. Tubun Raya Kota Bambu Selatan Palmerah
Jakarta Pusat. Kantor ini difungsikan untuk menampung
bahan dan hasil produksi yang akan diekspor.  
Di Tjiwulan Bordir, baik pembuat desain, pembordir,
maupun penjahit pada umumnya adalah pekerja lepas.
Mereka tidak bekerja di bengkel kerja pengusaha, tetapi
mengambil sejumlah kain untuk dikerjakan di rumah dan
setelah selesai diserahkan kepada pengusaha bordir. Skema
ini disebut dengan “maklun”. Upah yang diterima adalah
upah borongan, yaitu dihitung berdasarkan panjang kain
yang dihasilkan. Pihak Tjiwulan Bordir hanya meminjamkan
perangkat mesin bordir kepada para pembordir dan mesin

26
jahit kepada penjahit. 
Dalam upaya memasarkan hasil produksinya, para
pengusaha bordir dapat mendistribusikan sendiri. Kebanyakan
di antara mereka menjualnya ke sentra-sentra kain di Jakarta,
seperti Pasar Tanah Abang dan Cipulir. Penjualan dilakukan
setidak-tidaknya setiap Senin dan Kamis. Hanya, Tjiwulan
Bordir tidak perlu memasarkan sendiri ke kota-kota lain
karena pemesan datang dengan sendirinya. 
Tjiwulan Bordir sejak lama bermain di pasar domestik.
Namun, saat pasar domestik lesu, pihak perusahaan sejak
tahun 1991 merintis pasar luar negeri. Jenis produk yang
dihasilkan adalah mukena, kebaya, dan tudung yang berasal
dari bahan kain sutera. Ekspor pertama kali dilakukan ke
Arab Saudi. Saat ini, selain Saudi, terdapat negara tujuan
ekspor seperti Mesir, Pakistan, Malaysia, Brunei Darussalam,
Singapura, dan Afrika Selatan. Al-Noor yang merupakan
merek PT Tjiwulan Putra Mandiri dipasarkan juga ke negara-
negara tujuan ekspor di atas. Pasar yang sedang dibidik oleh
perusahaan ini, baik Tjiwulan Bordir maupun Tjiwulan Putra
Mandiri, yakni negara-negara seperti Aljazair, Libya, Inggris
Raya, Australia, dan Prancis.
“Kapasitas produksi Tjiwulan Bordir untuk skala
ekspor perbulan sekitar 125 potong dengan harga bervariatif
tergantung jenis produksinya. Misalnya, mukena dengan harga
Rp 800.000,- dan baju koko dengan harga Rp 1.000.000,-”
ujar H. Amir. Sementara itu, kapasitas produksi merek Al-
Noor perbulan sebanyak 25 ribu potong pakaian dengan
harga perpotong pakaian sebesar 15 dolar AS. Merek Al-Noor
diekspor sekitar 1000 potong  atau 1 kontainer per bulannya. 
Penjualan bordir di masa depan menghadapi persaingan

27
yang cukup ketat. Sejak adanya ASEAN-China Free Trade
Agrement (ACFTA), produk bordir kerap digempur oleh
bordir-bordir Cina yang pada umumnya memiliki harga
yang lebih murah. Pengaruh bordir dari Cina itu sudah mulai
dirasakan oleh para pengusaha bordir.  “Buktinya, kalau
kita membeli bahan baku dari mereka itu harganya mahal
sekali, bila dibandingkan dengan membeli bahan jadi, yang
harganya lebih murah dari bahan baku tadi. Padahal kita
sebagai pengrajin sangat memerlukan sekali bahan baku
berupa bahan dari kain. Aneh kan, bahan baku lebih mahal
harganya dari bahan jadi,” kilah salah seorang pengusaha
bordir di Kota Tasikmalaya.  
Selain digempur oleh bordir Cina, sejumlah perajin bordir
di Kota Tasik dan Kabupaten Tasikmalaya merasa was-was
karena mereka takut kalah bersaing dengan negara tetangga
Malaysia. Sebenarnya, hasil produksi bordir itu kebanyakan
dihasilkan para pengrajin bordir asal Tasikmalaya, yang
kemudian diekspor  ke negara tetangga untuk diekspor
kembali ke Timur Tengah. 
Saat ini, para pengusaha negara tetangga bukan
hanya membeli produk bordir dalam jumlah banyak dari
Tasikmalaya. Mereka juga sudah berani memberikan atau
menitipkan merek dan bahan khusus kepada para pengrajin
untuk dibuat di Tasikmalaya. Selanjutnya negara tetangga
menerima bahan jadi.
Menurut Kiai Wawan yang juga menjabat sebagai pimpinan
di Tjiwulan Bordir, kondisi tersebut bukan menjadi halangan
untuk mengembangkan kerajian bordir. Ini bahkan  akan
menjadi suatu peluang bagi semua stakeholder—pemerintah,
pengusaha, pengrajin, para desainer dan juga masyarakat.
Dengan demikian,  akan muncul kreatifitas kerajinan bordir

28
yang lebih unggul dan dapat bersaing dengan produk luar.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amin itu juga mengatakan,
pihaknya optimistis dengan adanya niat ikhlas, tulus, rajin,
ulet, tekun, berpikir ke depan, berpikir maslahat, dunia, dan
akhirat. Dia berharap Tasikmalaya bisa mempunyai andalan
terbaru dengan bordirnya. Terhadap persoalan ini, dia berkata,
“Selanjutnya dari sisi personal, ada yang jadi tukang bordir,
jadi pekerja, ada yang jadi sebagai pengepul, maklun, ada
juga sebagai ya maklun dan ya nyetok (menyimpan stock)
sebagai pengusaha. Tapi, hal itu perlu pembenahan.” 
Lebih lanjut , dia mengatakan, pasar luar negeri seperti 
Australia, Amerika Serikat, dan Jepang sudah menunggu. 
Tinggal bagaimana kerja sama pengusaha dan pekerjanya
supaya berjalan dengan baik dan berkah.  Tak ketinggalan
dengan pemasarannya. “Sektor pemasaran itu kalau digeluti
oleh yayasan, bordir itu Insya Allah akan barokah,” kata dia.

Haji Zarkasyi dan Pesantren Al-Amin 


Di rumah tua itu, ibu Nyai tinggal. Banyak kenangan 
dirasakan Hj. Maryam, nama Ibu Nyai, di rumah berusia
hampir setengah abad itu. Terlebih memorinya bersama sang
suami, Haji Zarkasyi yang tidak pernah lekang dari ingatan.
Perlahan, dia pun kembali membuka album kenangan
mengenai sosok pengusaha ulet itu. “Bapak dulu belajar
bordir ke Jakarta,” ujar dia.
Hj. Maryam memang sempat menemani H. Zarkasyi saat
berangkat ke Jakarta pada 1952.  Bersama beberapa kawan
seperti H. Sabeni, H. Sarhasih, mereka memutuskan untuk
mengadu nasib di ibu kota. Mereka bukan orang sembarang. 
Dalam kesejarahan bordir, merekalah  penerus Hj. Umayah

29
binti H. Musa, seorang perajin bordir pertama sekitar tahun
1925-an di Tasikmalaya. Ia adalah seorang puteri keluarga
Bupati (menak) yang mendapat keterampilan seni bordir
dari orang Belanda pada awal abad ke-20.  Ia pernah bekerja
di perusahaan kebangsaan Amerika, Singer.  Di Jakarta, H.
Zarkasyi bekerja kepada orang Cina sebagai penjaga toko
pada siang hari dan pada malam harinya belajar bordir kepada
orang Belanda. 
Setelah sembilan tahun bekerja sebagai penjaga toko dan
belajar bordir,  H. Zarkasyi membuka usaha kerajinan bordir di
kampung halamannya, Kampung Cukang, Kelurahan Tanjung,
Tasikmalaya pada 1961. Salah satu menantunya, HAsep,
menuturkan bahwa H. Zarkasyi diminta oleh majikannya
seorang Tionghoa untuk membuka usaha kerajinan bordir . H.
Zarkasyi pun mengecap pengalamannya berwirausaha untuk
pertama kalinya.  Besarnya potensi dalam diri H. Zarkasyi
tampak di pandangan majikannya.  
Selama empat tahun, kegiatan H. Zarkasyi lebih sering
dihabiskan di Tasikmalaya. Dia berupaya untuk merintis
usaha kerajinan bordir dan merekrut tenaga bordir dari warga
sekitar. Mereka pun  dididik menguasai ilmu perbordiran. 
Munculnya gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI)
di Tasikmalaya membuat kota itu masuk sebagai daerah
genting. H. Zarkasyi terpaksa berangkat lagi ke Jakarta pada
1965. Setelah dianggap aman, ia diminta pulang oleh orang
tuanya ke Tasikmalaya setahun kemudian. Bersama isteri, dia
mulai kembali menetap di Tasikmalaya. H. Zarkasyi lantas
melanjutkan perekrutan tenaga bordir yang sudah dimulainya
sebelum 1965. Perekrutan tersebut dimaksudkan untuk
mengerjakan pesanan bordir dari bosnya yang di Jakarta. Dia
merekrut tenaga kerja hingga 1974.

30
Untuk mengantisipasi kekurangan sumber daya yang
berkualitas dan siap pakai,  keluarga H. Zarkasyi mendirikan
Lembaga Pendidikan Bordir yang lebih dikenal dengan
Lembaga Pendidikan Bordir (LPB) Tjiwulan pada 1978.
Sampai saat ini, LPB Tjiwulan diperankan oleh unit Pusdiklat
Tata Busana Berbasis Pesantren. Unit ini sekarang sudah
memiliki gedung sendiri seluas 400 m2. Perkembangan
berikutnya, ternyata masih juga ada tuntutan lain untuk
melegalisasikan seluruh aktivitas tersebut. Tuntutan itu tidak
lain adalah keharusan mendirikan sebuah yayasan yang
dapat memayungi kegiatan di luar perusahaan. Pada tahun
1985 berdirilah Yayasan Pendidikan Islam Tjiwulan (YPI
Tjiwulan). Agar perajin bordir memiliki ikatan pemersatu
dalam pengembangan usahanya, keluarga H. Zarkasyi
mendirikan  Koperasi Tjiwulan pada  1987. 
Jenuhnya pasar Tanah Abang Jakarta karena semakin
menyebarnya bordir di Indonesia membuat Tjiwulan
berkeinginan mencari pasar baru. Pada 1989, H. Zarkasyi 
merintis pangsa pasar luar negeri (ekspor), di antara negara
tujuannya Mesir dan Arab Saudi. Rintisan tersebut atas
perantara salah seorang putranya,  Wawan Setiawan, yang
secara kebetulan sedang kuliah di Universitas Al-Azhar
Kairo.
Pada 1991, usaha kerajinan bordir atau perusahaan
Tjiwulan Bordir secara resmi melakukan ekspor perdana ke
Timur Tengah. Pada 1998, keluarga H. Zarkasyi mendirikan
bimbingan Ibadah Haji & Umroh Al-Amin. Pada 1998,
keluarga pun mendirikan Majelis Taklim untuk masyarakat
umum yang menjadi cikal bakal berdirinya pesantren. Pada
tahun 2000 YPI Tjiwulan berganti nama menjadi Yayasan
Pendidikan Islam (YPI) Al-Amin.  Di tahun yang sama, H.

31
Zarkasyi dengan keluarganya  mendirikan Pesantren Al-
Amin.
H. Zarkasyi wafat pada 2007. Dia meninggalkan isteri
Hj. Maryam dan lima anak. Tiga putra lainnya putri serta
menantu-menantunya. Menurut Hj. Maryam, H. Zarkasyi
sejak awal sudah mempersiapkan putra-putrinya dalam
rangka meneruskan cita-cita keluarga besar H. Zarkasyi.
Dua anak laki-lakinya dimasukan ke jurusan ekonomi, dua
anak perempuannya ke jurusan pendidikan, dan satu putra
dimasukkan ke pesantren sambil menempuh pendidikan
formal. Kondisi ini yang menjadi modal untuk melanjutkan
cita-cita perjuangan saat H. Zarkasyi wafat.  Karena itu, 
putra-putri H. Zarkasyi juga tercatat duduk di kepengurusan 
YPI Al-Amin. 
Sejak berdiri pada 2000 sampai saat ini, pesantren diasuh
oleh KH. Wawan Setiawan. Dia merupakan putra ke-empat H.
Zarkasyi. Kiai Wawan lahir pada 1968  di kampung Cukang
Kelurahan Tanjung Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya.
Sebelum berdirinya pesantren, Wawan Setiawan belajar di
Pesantren Cipasung Tasikmalaya. Di pesantren ini, dia menjadi
santri kesayangan KH. Ilyas Ruhiyat. Hidup dalam suasana
mapan secara ekonomi tidak membuatnya untuk bermalas-
malasan. Di dalam tubuhnya, mengalir darah seorang perajin
dan pengusaha bordir. Jika pulang dari Pesantren Cipasung
ke rumahnya, Kiai Wawan kerap menyempatkan diri untuk
melihat-lihat dan ikut terlibat dalam usaha kerajinan bordir
yang sudah berdiri di kompleks rumahnya.   
Setelah lulus dari Pesantren Cipasung, Kiai Wawan
dimasukkan oleh kedua orangtuanya ke Universitas Al-
Azhar Kairo. Tujuan dimasukan ke Universitas Al-Azhar
adalah untuk dipersiapkan menjadi kader dalam melanjutkan

32
cita-cita kedua orang tuanya. Selama awal kuliah di Mesir,
ia sudah berdagang produk Tjiwulan Bordir. Pintu ekspor
perdana ke Timur Tengah produk kerajinan bordir Tjiwulan
pada 1991 terbuka berkat upaya KH. Wawan Setiawan.
Pada 1995, ia kembali ke Indonesia setelah lulus dari
Universitas Al-Azhar. Di Tanah Air, ia mulai mengabdikan
diri untuk pendidikan dan wirausaha. Atas prakarsa Kiai
Wawanuntuk memajukan pendidikan Islam,  didirikan majelis
taklim untuk masyarakat pada 1998. Majelis taklim itu pun
memiliki  bidang wirausaha sendiri yakni bimbingan Ibadah
Haji & Umroh. Atas prakarsanya juga, YPI Tjiwulan diganti
namanya menjadi Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Al-Amin
sekaligus didirikan Pondok Pesantren Al-Amin pada 2000.
Kiai Wawan pun dipercaya keluarga untuk menjadi pengasuh
pesantren. Pada saat Madrasah Aliyah Al-Amin dibuka pada
2001, KH. Wawan Setiawan menempati posisi sebagai Kepala
MA. Selain memimpin Pesantren Al-Amin dan Madrasah
Aliyah Al-Amin, KH. Wawan Setiawan berperan dalam
pendirian SMP Terpadu Al-Amin pada 2009. 

Mendidik Santri Membordir


Sebagai bagian dari Tjiwulan, Yayasan Pendidikan Al-
Amin tidak bisa dilepaskan dari usaha bordir. Pendidikan
ini tetap diselenggarakan sebelum maupun setelah pesantren
berdiri. Tidak main-main, pihak yayasan membentuk 
Lembaga Pendidikan Bordir (LPB) Tjiwulan. Model
pendidikan ini lebih dekat dengan pendidikan luar sekolah
seperti kursus dan pelatihan. Menurut catatan yang ada, sejak
berdiri  pada 1978, LPB Tjiwulan telah mendidik sekitar 1500
orang perajin yang tersebar di seluruh Nusantara. 

33
Pada 2010, misalnya, Puslitbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan Balitbang Diklat Kementerian Agama pernah
bekerjasama dengan LPB Tjiwulan dalam rangka riset aksi
pemberdayaan santriwati di pesantren. Dalam program
tersebut, sebanyak 24 santriwati dari 12 pesantren yang
tersebar di Sumatra Barat, Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat (NTB)
dikirim ke LBP Tjiwulan.  Mereka dilatih untuk menguasai
keterampilan bordir selama 15 hari. 
Santri Al-Amin berjumlah 794 orang. Mereka terdiri dari
santri mukim dan santri tidak mukim. Santri mukim adalah
santri yang tinggal atau mondok di Al-Amin. Mereka  mengaji
kitab kuning secara rutin setiap hari. Selain mengaji, mereka
belajar di SMPT dan MA. Dari 794 orang, sebanyak 557
santri mukim yang terdiri dari 417 siswa SMP dan 140 siswa
MA.  Berikutnya yakni penyebutan santri tidak mukim. Santri
model ini adalah santri yang belajar  di SMPT atau MA pada
pagi hari. Setelah selesai kegiatan belajar mengajar, mereka
pulang ke rumahnya masing-masing. Jumlah santri model
ini sebanyak 237 orang yang terdiri dari: 110 dari SMPT Al-
Amin dan  127 MA Al-Amin. Pada umumnya, rumah mereka
berjarak lima kilometer dari pesantren. Meski tidak tinggal di
dalam pondok, sekitar 10 santri model ini ikut mengaji pada
malam hari di Al-Amin. 
Selain dua model tersebut, terdapat penyebutan santri
model ketiga yaitu santri karyawan. Penyebutan santri untuk
karyawan ini karena mereka adalah para karyawan yang
bekerja di perusahaan Tjiwulan Bordir dan Industri Garment
al-Noor PT Tjiwulan Putra Mandiri. Ada 300 santri karyawan
di Industri Garment al-Noor. Sementara seratus santri lain di
perusahaan Tjiwulam Bordir. Sekitar 30-40 persen karyawan

34
di industri garmen merupakan alumni Madrasah Aliyah Al-
Amin. Mereka dituntut untuk melaksanakan salat Zhuhur
dan salat Ashar. Mereka juga diberi pendidikan agama Islam
dalam bentuk pengajian umum.  
Santri Pesantren Al-Amin umumnya diarahkan setelah
menyelesaikan pendidikan di Al-Amin kepada tiga tipe.
Apakah mau melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dalam
negeri, tidak untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi, atau mau melanjutkan ke jenjang pendidikan
tinggi di luar negeri. Bagi tipe pertama, pihak pesantren
menyalurkan alumninya ke jalur-jalur beasiswa seperti
program beasiswa santri berprestasi (PBSB) yang dibuat
Kementerian Agama. 
Untuk alumni tipe kedua, ketrampilan mereka
diberdayakan. Mereka diharapkan bisa bekerja (berwirausaha)
atau mengabdi di Pesantren Al-Amin sebagai karyawan
perusahaan bordir atau garmen. Adapun untuk tipe ketiga,
santri diberikan bimbingan intensif untuk mewujudkan
keinginannya. Misalnya, harus menghafal Al-Qur’an sesuai
dengan syarat masuk perguruan tinggi yang diinginkan.  
Pendidikan di Al-Amin dapat dipahami dalam dua
hal. Pertama, dari segi isi dan kegiatannya. Di Al-Amin,
isi dan kegiatannya  tidak hanya mencakup mata pelajaran
yang diberikan di dalam kelas. Namun, mencakup seluruh
kegiatan yang dapat mempengaruhi pengertian, penghayatan,
pengamalan, dan keterampilan anak didik dalam segala
bidang. Kedua, dari segi proses. Proses pendidikan di Al-
Amin tidak hanya mencakup kegiatan yang diberikan  kepada
peserta didik, melainkan kegiatan tertentu dan terarah yang
dilakukan oleh peserta didik. Kegiatan di Al-Amin tidak
hanya mencakup bentuk  yang  ditetapkan secara formal

35
di dalam dokumen kurikulum, melainkan  bentuk kegiatan
lainnya yang bersifat nonformal. 
Pendidikan bordir diberikan kepada seluruh siswa SMPT
dan MA. Mata pelajaran pendidikan bordir termasuk prakarya
dalam struktur kurikulum Sekolah Menengah Pertama dan
atau Madrasah Tsanawiyah. Setiap rombongan belajar dari
kelas 7 sampai kelas 9 mendapat dua jam pelajaran. Di SMP
Al-Amin, mulai Senin sampai dengan Jumat dilaksanakan
pendidikan bordir bagi siswa-siswanya. Setiap rombongan
belajar diberikan dua jam pelajaran.  Sama seperti di SMP,
siswa Madrasah Aliyah diberikan layanan pendidikan bordir
selama dua jam per pekan. Namun, di tingkat MA, pendidikan
bordir hanya diberikan di kelas 10 dan 11. Untuk kelas 12
tidak diberikan mata pelajaran bordir.  
Materi pendidikan bordir diadopsi dari bahan latihan
LPB Tjiwulan. Dalam bahan tersebut memuat: manajemen
wirausaha, kewirausahaan, pengetahuan agama Islam, bahasa
Indonesia, komunikasi, falsafah Pancasila, modul latihan
bordir tingkat dasar, modul latihan bordir tingkat trampil, dan
modul latihan bordir tingkat mahir. Target dari pendidikan
bordir yang diajarkan di SMP dan MA adalah untuk menjadi
perajin bordir tingkat dasar. Bagi siswa atau santri yang
ingin meningkatkan keterampilan bordir ke tingkat trampil
dan tingkat mahir, pihak Al-Amin menyelenggarakan
ekstrakulikuler pendidikan bordir yang biasanya dilaksanakan
setelah salat Ashar. 
Bagi masyarakat yang ingin belajar bordir, Al-Amin
memiliki program pendidikan dan latihan seperti latihan
teknis produksi bordir kelas pemula, diklat desain bordir,
dan pelatihan  kewirausahaan santri. Pada 2009, Al-Amin
menyelenggarakan pelatihan manajemen pengembangan

36
kualitas keluarga berbasis perajin bordir di Kelurahan
Tanjung, Kecamatan Kawalu  Kota Tasikmalaya.  Tujuan dari
program ini adalah untuk menumbuhkan kemandirian dan
peran serta aktif perempuan pada pengambilan keputusan
di dalam pengembangan kualitas keluarga dan masyarakat.
Peserta program ini perempuan usia produktif dari keluarga
perajin bordir. Hasil yang diharapkan yaitu meningkatnya
semangat kerjasama anggota keluarga dan masyarakat atas
hak-hak dasar dan kewajiban perempuan yang berbasis
kesetaraan dan keadilan gender. Jadwal pelatihannya meliputi
tatap muka 2x60 menit perminggu selama tiga bulan. 

Integrasi Bordir dan Pendidikan


Usaha bordir dan pendidikan bordir lebih dulu ada jauh
sebelum  Pesantren Al-Amin didirikan. Bordir tidak sekadar
menjadi usaha kerajinan tetapi ditransmisikan menjadi
Lembaga Pendidikan Bordir pada 1978. Artinya, orientasi
usaha bordir memang sudah berbasis sistem pendidikan.
Orang dididik untuk menguasai bordir. Setelah menguasai
bordir, mereka pun memiliki kebutuhan akan pengetahuan
agama. Atas dasar itu,  dididirikan Yayasan Pendidikan Islam
Tjiwulan pada  1987 dengan fokus kepada sistem pendidikan
majelis taklim. Pendidikan majelis taklim berorientasi kepada
pendidikan bordir dengan teori dan praktik usaha kerajinan
bordir yang integratif. Dalam konteks seperti itulah pesantren
Al-Amin berdiri. 
Empat puluh tahun sudah usaha bordir Tjiwulan maupun
lembaga pendidikannya berdiri. Dua komponen itu masih
menjadi fondasi berdirinya Pesantren Al-Amin khususnya dan
Yayasan Al-Amin pada umumnya.  Usaha kerajinan bordir
menjadi “penopang” pengembangan pesantren. Sedangkan

37
pendidikan bordir menjadi salah satu “isi kurikulum”
pendidikan bagi para santri.
Pendirian gedung-gedung pendidikan seperti gedung
asrama pesantren, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah
Pertama Terpadu, dan Pusdiklat Tata Busana seluruhnya
didanai dari hasil usaha ekonomi Al-Amin. Sarana prasarana
lainnya, seperti gedung masjid, gedung majelis taklim, alat-
alat pendidikan, lapangan olahraga bersumber dari Yayasan
Al-Amin. Sebelum ada program Biaya Operasional Sekolah
(BOS), para guru bahkan diberikan honor dari usaha ekonomi
bordir tersebut. 
Pengembangan usaha kerajinan bordir dan pengembangan
industri garmen  yang berintegrasi dengan pendidikan
pesantren telah memberikan kemandirian Al-Amin. Tak
hanya soal kemandirian pendidikan tetapi juga kemandirian
ekonomi. Pesantren dibangun atas landasan ekonomi yang kuat
bukan pesantren mendasari pengembangan ekonomi. Namun
demikian, lambat laun telah terjadi interaksi antara pesantren
dengan ekonomi yakni usaha bordir.  Ekonomi membawa
nilai manfaat untuk aktivitas pendidikan Islam. Sebaliknya
aktivitas pendidikan Islam memberi manfaat bagi perusahaan
yang telah diwarnai oleh kultur dan tradisi keislaman dan
kepesantrenan. Dengan kuatnya ekonomi yayasan menjadikan
kemandirian pesantren tercipta. Pesantren pun bisa berperan
sebagai pemberi bukan penerima. Wallahu A’lam Bishawab 

38
Pesantren Riyadhul Jannah
Menjadi Mandiri Lewat Sentuhan
Bisnis Sang Kiai

Hj. Faiqah

Taiching: PT RDS yang dimiliki pesantren sudah memiliki


jejaring bisnis dari kuliner, travel hingga properti

KUTIPAN: Jangan cetak guru yang harus disantuni terus.


Tetapi bagaimana menjadikan guru sekaligus sebagai
majikan.

Puluhan meja kayu berjejer rapi. Meja-meja cokelat untuk


ukuran empat orang itu berdiri di atas karpet merah yang
digelar panjang. Di atasnya, aneka hidangan khas seafood
sudah tersaji. Gurame asam manis, bawal goreng, ikan bakar
hingga cah kangkung siap dilahap para pengunjung yang
memilih lesehan.
Dapur Mriah, nama restoran seafood itu, berdiri megah
di Jalan Bhayangkara 108-109, Mojokerto. Dengan andalan
menu seafood berbumbu khas Nusantara, resto ini siap

39
berkompetisi dengan rumah makan lainnya. Dapur M’riah
bukan resto sembarang. Rumah makan ini merupakan bagian
dari unit usaha PT Rjan Dinamis Selaras (RDS). Sebuah
perusahaan besar yang didirikan oleh santri.
Nama Dapur Mriah pun diambil dari gabungan nama kiai
dan pesantrennya. M menjadi representasi dari Kiai Mahfudz
Saubari sedangkan Riah merupakan singkatan dari Riyadhul
Jannah. Sudah ada enam unit Dapur Mriah yang beroperasi.
Empat berada di Sidoarjo, satu di Mojokerto lainnya ada di
Pontianak, Kalimantan Barat.
Ada beberapa prinsip Dapur M’riah yang dijadikan
fondasi pengelola saat ini. Pertama, resto ini menyeimbangkan
sosial, material, dan spiritual. Tak heran jika Dapur Mriah
punya tiga orientasi yakni bisnis, sosial dan edukasi.
Visi sosial perusahaan terlihat dari kebijakan manajemen
Dapur M’riah menyumbangkan sepuluh persen dari laba
untuk aktivitas mikro sosial. Sementara, ada sepuluh persen
lainnya diambil dari omzet untuk makro sosial. Aspek
pendidikan pun diperhatikan. Buktinya, pengelola manajemen
hingga pegawai Dapur M’riah khususnya di Jawa merupakan
santri-santri Pondok Pesantren Riyadhul Jannah. Bahan baku
produksi pun diambil dari produk pesantren. Termasuk ikan,
sayuran, dan bumbu-bumbu.
Meski demikian, pengelola resto juga memperhatikan
pengembangan usaha. Tak hanya mempertahankan kualitas
produk, pihak manajemen juga mengembangkan bisnis
dengan mengundang para investor untuk memperluas
cabangnya. Reputasi Dapur M’riah sebagai bagian dari
grup besar dengan background pesantren tak membuat
investor ragu untuk menanamkan modalnya. Dengan tingkat

40
pengembalian modal sampai lima tahun, banyak penanam
modal yang hendak bermitra bersama Dapur M’riah.
Padahal, investor harus mengeluarkan kocek senilai lima
miliar rupiah untuk ikut memiliki rumah makan itu. Investasi
ini digunakan untuk peralatan rumah makan, kitchen set,
branding iklan, infrastruktur, seragam karyawan, hingga
bahan baku dan grand opening. Terus berkembangnya Dapur
Mriah di enam lokasi pun menjadi bukti investor percaya
kepada pengelolaan bisnis rumah makan ini.
Dapur M’riah hanya satu dari unit usaha PT RDS. Di bawah
tangan dingin Kiai Mahfudz, perusahaan ini mengembangkan
berbagai usaha dari kuliner. Resto cepat saji M2M menjadi
unit usaha bisnis lain PT RDS di bidang kuliner. Hanya, sang
kiai menggandeng profesional yang sudah berpengalaman
puluhan tahun di bisnis fastfood dengan brand internasional.
Ali Mustofa namanya.
Syahdan, Ali Mustofa dan temannya, Muhammad Ali
(eks manajer Wong Solo) menggandeng Kiai Mahfudz untuk
merealisasikan resto cepat saji M2M. Melihat peluang pasar
yang besar, Kiai Mahfudz pun sepakat untuk menanamkan
modalnya di M2M. Dengan catatan, visi dasar PT RDS
yakni keuntungan, pendidikan, dan sosial harus ikut diadopsi
M2M.
Resto cepat saji dengan bumbu khas Indonesia ini pun
kian berkembang. Pada 2015, M2M sudah memiliki gerai di
lima kota di Jawa Timur. Satu outlet di Jakarta, satu di Kudus,
Jawa Tengah. Hingga 2017, setidaknya ada 40 outlet M2M
yang berdiri dengan skema frenchise.
Tak puas dengan bisnis kuliner, PT RDS mulai merambah
bisnis properti. Pihak RDS bekerjasama dengan developer

41
properti syariah, D’Ahsana, untuk mengembangkan hunian
di Mojokerto. Pengembang ini bernaung di bawah kontrol
Developer Property Syariah Indonesia (DPSI) yang berpusat
di Makassar. PT RDS tertarik dengan visi D’Ahsana untuk
menciptakan arus properti syariah di Indonesia. Tanpa
keterlibatan bank, tidak ada riba dan terjaga dari akad
bermasalah.

Tangan Dingin Sang Kiai


KH. Mahfudz Saubari lahir di Demak, Jawa Tengah, 20
November 1954. Mahfudz harus lahir ke bumi tanpa ditemani
ayahnya yang telah tiada. Tak lama kemudian, ibunya juga
wafat saat Mahfudz masih belia. Mahfudz kecil mendapat
pendidikan dari neneknya yang menerapkan kedisiplinan
tingkat tinggi. Setiap hari, Mahfudz harus melakukan tiga
pekerjaan sekaligus. Saat berangkat sekolah, dia membawa
kitab untuk belajar sambil menggembala kambing. Tak cukup
di situ, Mahfudz masih harus membawa alat untuk menangkap
ikan terbuat dari bambu yang disebut bronjong.
Ketika Mahfudz masuk sekolah, dia meninggalkan
kambingnya untuk diikat di pekarangan sekolah. Sementara
itu, bronjong yang sudah dipasang umpan dipasang di sungai.
Saat dia pulang ke rumah, Mahfudz sudah membawa kambing
yang kenyang. Dia pun mendapatkan ikan yang banyak.
Ketika beranjak remaja, Kiai Mahfudz belajar di
pesantren. Terakhir, dia menjadi santri di Pondok Pesantren
Al-Falah Ploso Kediri Jawa Timur sebelum mendalami ilmu
dari Dr Assayyid Muhammad bin Alawy Al-Malik Makkah.
Kiai Mahfudz juga menuntut ilmu di Mesir. Di negeri Firaun
itu, dia mendapatkan inspirasi dari Universitas Al-Azhar
sebagai kampus tertua di dunia.

42
Al-Azhar ketika itu memanggil Badan Negara Mesir. Al-
Azhar pun mempertanyakan kenapa tidak ada sikap melawan
para zionis. Padahal, Israel telah berulangkali memerangi
umat Islam seperti mencaplok Libanon Salatan, Yordania.
Pemerintah beralasan tidak ada dana. Lantas, Al-Azhar
menjadi pemrakarsa melawan zionis dari anggaran sendiri.
Itulah yang menjadi inspirasi KH. Mahfudl Saubari. Dengan
semangatnya, dia bercita-cita bahwa lembaga pendidikan
harus menjadi lembaga yang mandiri.
Sepulang dari Tanah Air, Kiai Mahfudz pun membina
keluarga. Dia memilih hidup berpoligami. Dia memiliki empat
istri, masing masing bernama Hj. Faikhah, Hj. Khusnuwiyah,
Hj. Shofiyah, dan Hj. Endang. Empat istrinya hidup rukun
dalam satu rumah. Kiai Mahfudz pun mendapat tiga tambahan
istri dari hasil pencarian Ibu Hj. Nyai Faikhah. Istri-istri Kiai
Mahfudz sampai sekarang masih belajar kepadanya dan Hj.
Nyai Faikhah. Keluarga ini tampak harmonis. Mereka selalu
tampak makan bersama.
Dalam suatu kontestasi yang diadakan “Ayam Bakar
Wong Solo”, Kiai Mahfudz diberikan penghargaan “Poligami
Award”. Penghargaan ini didapat Kiai Mahfudz karena dinilai
sebagai kepala keluarga yang mampu menjalin kehidupan
harmonis bersama empat istrinya. Pemilik restoran kemudian
mengajak Kiai untuk membangun bisnis bersama. Bisnis
restoran ayam pun dibangun. Keterlibatan sang kiai terhadap
usaha restoran ini membuat dia memiliki pengetahuan baru
tentang dunia bisnis. Hingga dia pun membuka rumah makan
sejenis yang diberi nama “Ayam Bakar Sidoarjo”.
Kemudian, Kiai Mahfudz berinisiatif menanam kangkung
di lahan pesantren. Bibitnya diambil dari Nusa Tenggara
Barat (NTB). Dia berniat akan menggunakan bahan baku

43
kangkung sebagai salah satu menu di restorannya. Pada 2010,
Kiai Mahfudz pun membuka Dapur M’riah.
Perlahan, bisnis Kiai Mahfudz terus berkembang. Dia
lalu membangun perusahaan sendiri yang diberi nama PT
Rijan Dinamis Selaras(RDS). Di sini, Kiai Mahfudz menjabat
sebagai presiden komisaris. Perusahaan ini dikepalai oleh
direktur utama yaitu HA. Muzanni Fahmi. Ada enam bagian
dalam organisasi ini dari direktur operasional yaitu Haqqul
Yaqin. Tugasnya membuat perencanaan teknis setiap kegiatan
bisnis yang dilakukan di seluruh PT RDS.
Di bagian sumber daya manusia ada M. Yusuf Misbah.
Departemen ini fokus pada pencarian tenaga kerja, evaluasi
hasil kinerja, pemberian apresiasi beserta sanksi (reward and
punishment). Bersama dengan Departement Development,
mereka memberikan pelatihan pekerjaan. Sehingga betul-
betul skill yang dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan
sudah dikuasai dengan baik.
Untuk bagian development tidak hanya memiliki tanggung
jawab untuk mengembangkan perusahaan. Departemen ini
juga bertanggung jawab dalam pengembangan-pengembangan
di level operasional dan juga level manajemen. Termasuk
di dalamnya adalah pembuat inovasi produk. Departement
development dipimpin oleh HM. Fatchurozi. Untuk
mengontrol keluar masuknya dana maka diperlukan bagian
keuangan. Bagian ini dipimpin oleh HM. Maimun. Dan untuk
mengontrol keakurasian keluar masuknya dana maka ada
department auditor yang dipimpin oleh H. Achsanul Milal.
Sementara, semua kepentingan administrasi dikelola HM.
Ainur Rofiq sebagai sekretaris.
Berbagai jenis usaha sudah dibangun oleh PTRDS.
Beberapa di antaranya yakni kuliner, properti, wedding,

44
traveling, konveksi, rental, organik, air mineral, peternakan,
marinasi, dan retail. Meski demikian, bisnis kuliner PT RDS
terlihat paling berkembang. Kiai Mahfudz memilih untuk
membesarkan bisnis kuliner dengan alasan bisnis kuliner
merupakan bisnis abadi. Menurut dia, dari dulu hingga sampai
kapanpun bisnis kuliner, baik makanan maupun minuman,
tidak akan pernah sepi akan konsumen.
Makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan
pokok yang pasti dibutuhkan setiap orang. Inilah penyebabnya
mengapa dari tahun ke tahun bisnis kuliner semakin ramai.
Apalagi Indonesia termasuk negara dengan tingkat konsumtif
tertinggi di dunia yang membuat peluang PT RDS untuk
terjun di bisnis kuliner semakin tinggi. Indonesia juga sangat
terkenal dengan keaneka ragaman kuliner di setiap daerah.
Jika jeli sebenarnya ini bisa dijadikan sebagai bahan dasar
“inspirasi” untuk memulai bisnis kuliner.
Di kota-kota besar sudah sangat menjamur aneka ragam
bisnis kuliner yang disesuaikan dengan selera anak-anak muda
jaman sekarang.Banyak inovasi tumbuh di tengah persaingan
bisnis yang sangat ketat. Jika dicermati, para pelaku bisnis
kuliner yang sukses, kebanyakan selalu membuat “inovasi”.
Mereka tidak ikut-ikutan selera pasar karena selera pasar itu
tingkat kejenuhannya tinggi.Artinya, sangat mungkin terjadi
pergeseran selera pasar dalam waktu yang sangat singkat.
Misalkan, orang jaman dulu tidak terlalu suka keju. Namun,
jaman sekarang hampir setiap orang suka. Apalagi anak-anak
muda. Ini hanya salah satu contoh saja bahwa selera pasar itu
berkembang cepat.
Tidak heran jika PT RDS memilih kuliner sebagai core
bisnis. Dengan adanya Dapur M’riah dan M2M, perusahaan
berupaya untuk berinovasi di dua segmen pasar berbeda.

45
Jika Dapur M’riah menyasar keluarga yang masih menyukai
menu-menu tradisional, M2M fokus kepada menu yang
disukai anak muda. Dengan menu seperti burger dan fried
chicken yang tetap menyajikan bumbu khas tradisional,
M2M pun bisa bersaing dengan resto cepat saji dengan brand
internasional.

Pesantren Riyadhul Jannah


Pondok Pesantren Riyadhul Jannah terletak di salah satu
kecamatan kawasan wisata Segi Tiga Emas yang dicanangkan
pemerintah Kabupaten Mojokerto. Tepatnya ada di tepi jalan
raya Mojosari – Pacet Km 19 Desa Pacet, Kecamatan Pacet
Kabupaten Mojokerto. Lokasi pesantren yang berada di kaki
gunung Welirang, menyajikan panorama alam yang indah,
sejuk dan asri di lingkungan sekitarnya. Ditambah tata ruang
dan kondisi fisik pesantren yang bersih, indah, dan teratur
membuat orang merasa betah untuk menikmatinya dan sangat
representatif untuk mengaji dan mengabdi.
Nama Riyadhul Jannah — bermakna pertamanan surga
— yang diberikan tidaklah berlebihan. Pesantren yang berdiri
di atas tanah seluas ± 9.000 m² ini memang terlihat indah dan
megah dengan bangunan-bangunan bertingkat. Di atasnya,
berjejer kolam yang dipenuhi dengan berbagai ikan hias.
Perkebunan pesantren membuat suasana pondok semakin
asri. Banyaknya tanaman pangan dan sayuran menyejukkan
mata yang memandang. Tidak salah jika pondok ini juga
disebut laksana villa di sebuah perbukitan.
Pondok ini didirikan atas keinginan tokoh-tokoh
masyarakat Desa Pacet untuk membuat lembaga pesantren
sebagai wadah pendidikan agama di daerah tersebut. Pesantren

46
pun dibutuhkan sebagai benteng dari pengaruh-pengaruh
negatif wisatawan serta Kristenisasi yang sangat gencar pada
waktu itu. Terlebih, Pacet dikenal sebagai salah satu basis
umat Kristen. Pada tahun 1985, KH. Mahfudz Syaubari, MA.
yang sebelumnya telah mengajar di berbagai pesantren di
luar Jawa diminta untuk mendirikan pondok pesantren yang
menempati sebuah rumah salah satu tokoh masyarakat Pacet.
Pesantrennya diberi nama Darussalam.
Pada awal 1987, dibangunlah dua lokasi baru disekitar
Masjid Al-Hidayah Pacet. Lokasinya terletak tiga ratus meter
dari lokasi pesantren sekarang. Pada saat itu DR. As sayyid
Muhammad bin Alawy Al-Maliki yang merupakan guru dari
KH. Mahfudz Syaubari mengadakan kunjungan ke Pacet.
Dr. As-Sayyid Muhammad lantas menyarankan kepada Kiai
Mahfudz untuk mencari tempat yang lebih representatif bagi
sebuah pesantren.
Tiga tahun kemudian, saran dari sang guru bisa terealisasi
dengan dibelinya tanah yang menjadi lokasi pesantren saat ini
di Jalan Hayam Wuruk 22 Pacet, Mojokerto. Maka dimulailah
pembangunan pesantren baru yang diberi nama Riyadhul
Jannah. Nama Riyadhul Jannah merupakan pemberian dari
Dr. As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki. Setahap
demi setahap pembangunan pesantren baru itupun berjalan.
Secara berangsur, para santri berpindah dari dari lokasi
pesantren lama ke lokasi pesantren baru. Lokasi pesantren
lama pun difungsikan sebagai Panti Asuhan Yatim Piatu dan
Dhuafa yang dikelola para santri alumni.
Pondok Pesantren “Riyadhul Jannah” mempunyai visi
untuk membentuk manusia yang ber-imtaq, berbudi pekerti
luhur, berkarakter, cerdas, mandiri, memiliki etos kerja,
kompetitif, peduli, serta bertanggung jawab pada agama,

47
bangsa, dan negara. Untuk meraih visi itu, Kiai Mahfudz
merumus misinya ke dalam lima kelas yaitu menanamkan
keimanan, ketaqwaan, serta akhlaqul karimah, mendidik
keilmuan dan pengembangan wawasan, mengembangkan
bakat, minat, dan kreatifitas, mengembangkan kewirausahaan
dan kemandirian, serta menananmkan kepedulian, pelayanan,
dan tanggung jawab terhadap agama, bangsa, dan negara.
Kiai Mahfudz menjelaskan, kondisi pesantren saat ini
memang masih terbelakang. Menurut dia, ada hasil survey
yang menunjukkan jika pertumbuhan pendidikan di Indonesia
sebesar 0 persen, maka pesantren tumbuh 0,0 persen. Meski
dengan kondisi kecewa dan sedih karena opini publik kerap
menghadirkan citra negatif kepada pesantren, Kiai Mahfudz
menekankan untuk terus optimistis membangun pesantren.
“Kita semangat. Kita berjuang. Maka aplikasi smartphone
yang lengkap hadir di pesantren. Adanya koperasi juga jadikan
sebagai penggerak. Jangan cetak guru yang harus disantuni
terus. Tetapi bagaimana menjadikan guru sekaligus sebagai
majikan. Setop pesantren yang mengajukan proposal. Kelak,
akan terjadi APBN turun karena kemandirian masyarakatnya,”
kata Kiai Mahfudz.
Dari segi kurikulum pendidikan, “Riyadhul Jannah”
membagi menjadi dua kategori utama. Pertama pendidikan
formal pesantren dan yang kedua adalah pendidikan formal
nasional.Terlaksananya kedua program pendidikan tersebut
adalah representasi beliau dalam merespon keseimbangan
antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Beragam aktivitas di pondok pesantren benar-benar
membuat santri sibuk. Dari pukul 03.00 pagi kegiatan sudah
dimulai. Kegiatan pendidikan baru berakhir pukul 21.30.
Namun, untuk urusan perut tidak perlu khawatir. Dalam

48
satu hari, tiap santri akan diberikan makan sebanyak tiga
kali. “Yah, kalau masih kurang bisa ke kantin,” tambahnya.
Tidak hanya kegiatan setiap Senin sampai Jumat, Sabtu dan
Ahad pun Pondok Pesantren Riyadhul Jannnah juga penuh
dengan aktivitas. Di antaranya, rapat santri. Musyawarah
dalam penanganan permasalahan yang sangat dinamis
biasanya dilakukan di waktu-waktu ini. Hasil evaluasi dalam
musyawarah ini nantinya akan dijadikan perencanaan untuk
kedepannya.
Jumlah santri dan santriwati saat ini yang sudah mencapai
512 orang. Sebanyak 194 di antaranya adalah santriwati.
Saat ini Riyadhul Jannah sudah menyediakan 34 asatidz dan
asatidzah untuk mengurus santri dan santriwatinya. Menurut
data yang dilansir, jumlah santri pada Riyadhul Jannah tiap
tahunnya pasti bertampah. Rata-rata peningkatan jumlah
santri tiap tahunnya adalah 18%.
Pesantren juga menyelenggarakan pendidikan formal dari
level Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sementara untuk
usia SD masih bersekolah di sekitar Pacet. SMP yang diberi
nama SMP Riydlul Jannah ini sudah mulai berjalan dari tahun
2010. Setelah itu, para santri bisa sekolah di SMA Riyadhul
Jannah mulai beroperasi dari tahun 2014. Tak cukup hingga
tingkat sekolah menengah atas, pihak pondok pesantren
mencetuskan pendirian pendidikan tingkat tinggi dengan
fokus ekonomi syariah pada 21 Januari 2017 lalu. Dalam
pertemuan tersebut juga dibahas mengenai izin operasional
perguruan tinggi yang akan diberikan pemerintah. Walaupun
pada saat itu masih dalam tahap perencanaan, namun sudah
terdapat 200 calon mahasiswa yang siap mendaftar.
Dalam mendidik para santri, Kiai Mahfudz tidak ragu
untuk turun tangan sendiri. Dia pun kerap memanfaatkan alam

49
untuk membangun pondok pesantren. Dia memanfaatkan
lahan di belakang pondok untuk dibuatkan rumah bagi para
asatiz. Bentuknya berundak dan diselingi dengan kolam-
kolam ikan. Ikannya diperuntukkan bagi para tamu yang
datang menyambangi pesantren. Kiai Mahfudz juga tidak
sungkan untuk bergaul dengan masyarakat sekitar dengan
segala usia. Dia kerap bergaul dengan anak-anak yang tinggal
di sekitar pondok. Kayu dan kulit jeruk pun dijadikan mobil-
mobilan untuk menyenangkan para bocah yang kerap bermain
di komplek pondok.
Kiai Mahfud pun kerap mengontrol santri bersama
keluarga. Dia rutin menyaksikan pantauan CCTV yang
kerap memonitor kegiatan santri-santrinya. Jika ada yang
melanggar, ada hukuman yang akan dijatuhkan. Contohnya
saja jika santri tertidur saat jam belajar, maka dia akan
dikenakan hukuman berupa salat sampai Subuh, atau baca
Al-Qur’an sambil berdiri atau posisi rukuk.
Dalam menerapkan ilmu manajemen di perusahaan dan
pesantren, Kiai Mahfudz memiliki kiat “Dari santri untuk
Pesantren , dari pesantren untuk bangsa”. Keluarga Kyai kerja
berat, lalu santri dibuat terampil dan diberdayakan hasilnya
untuk pesantren dan bangsa. Kyai menyaring santri untuk
bakatnya masing-masing, lalu disiapkan obyek garapannya
dan dilangkapi sistem mengurusnya.Walaupun terdapat
berbagai jenjang struktur organisasi, namun Kiai benar-benar
harus menempatkan santrinya untuk penugasan yang tepat.
Menurut dia, dengan mengetahui minat dari tiap individu
santri yang ada maka akan dapat mengasah bakat dari individu
tersebut. Dengan kombinasi ini, maka segala sesuatu akan
dapat dikerjakan dengan hasil yang efektif dan usaha yang
efisien. Tantangan dari luar juga dirasakan dari awal. Ada

50
sikap sinisme dari sebagian masyarakat dengan kalimat “apa
tidak hubbubiyah”. Namun, dengan semangat memajukan
keekonomian pesantrennya, perlahan namun pasti anggapan
itupun sirna.
Kemandirian pesantren membuat semakin banyak santri
yang bisa merasakan pengalaman magang di berbagai unit
usaha pondok. Tidak hanya santri Pesantren Riyadhul Jannah,
santri-santri dari luar pesantren Riyadhul Jannah bahkan luar
Pulau Jawa melamar untuk magang di pesantren ini. Mereka
berasal dari Lampung, Lombok (Nusa Tenggara Barat),
Aceh, dan sebagainya. Rata-rata, mereka meneken perjanjian
untuk magang selama tiga hingga enam bulan. Setelah selesai
mereka pulang dengan semangat dengan ilmu dan dengan
keterampilan.

Punya Modal Kemandirian


Pesantren memiliki potensi besar dalam mengembangkan
ekonomi di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM). Sifat dasar pesantren berupa kemandirian menjadi
modal dasar bagi pesantren untuk berkembang menjadi tak
sekadar lembaga pendidikan. Namun juga lembaga ekonomi.
Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag) pada 2013,
jumlah pesantren di Indonesia sebanyak 27.290. Sebanyak
80,6 persen di antaranya tersebar di Jawa Barat, Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Banten. Jumlah total santri di seluruh
pesantren di Indonesia sebanyak 3.876.696 santri, sedangkan
jumlah tenaga pendidik 160.793 jiwa.
Dalam ceramah yang diberikan Prof. Dr. Nur Syam
pada Forum Silaturrahmi Ulama dan Umara di Hotel Utami
Sumekar Sumenep, beliau menyampaikan tiga pokok materi

51
dengan tema “Pengembangan Ekonomi Rakyat Berbasis
Pesantren”. Pertama, dia menyoroti perekonomian global.
Basis ekonomi global yang sedang terjadi sekarang adalah
ekonomi liberal. Mazhab ekonomi ini beranak pinak dengan
materialisme, kapitalisme, konsumerisme, dan sebagainya.
Dengan berbasis pada prinsip pasar bersaing bebas,
ekonomi liberal menjadikan pasar sebagai penguasa ekonomi.
Pasarlah yang menentukan semua transaksi di dalam semua
aspek kehidupan ekonomi. Melalui prinsip ini, jurang kaum
kaya dengan orang miskin menjadi semakin menganga.
Ekonomi kelas rendah tidak akan pernah mampu bersaing
dengan yang besar dalam banyak hal. Belum lagi materialisme
yang kemudian menjadikan dunia hanya digunakan untuk
mengejar keuntungan materi dan menihilkan spiritualitas
yang menjadi dasar bagi kehidupan yang bahagia.
Tidak heran jika akhir-akhir ini semakin banyak ekonom
yang berpikir bahwa tujuan dari seluruh kegiatan ekonomi
bukanlah untuk mencari sebesar-besar kesejahteraan
berbasis materi akan tetapi untuk memperoleh kebahagiaan.
Kebahagiaan ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
kekayaan materi, akan tetapi yang lain, yaitu spiritualitas. Ada
banyak orang kaya yang tidak bahagia, karena untuk makan
saja harus dibatasi karena sakit yang diderita. Apalah artinya
kekayaan jika untuk makan saja harus berpantang banyak
hal. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan itu bukan hanya
di dunia sekarang ini akan tetapi juga di akhirat kelak, saidun
fiddaraini, saidun fid dunya wa saidun fil akhirat.
Dunia pun dinilai sedang dalam keadaan “sekarat” dengan
sistem ekonomi liberal. Terbukti bahwa dunia Barat sedang
berada dalam krisis ekonomi sehingga bisa membawa kepada
krisis global. Apalagi jika tidak bisa mengelola perkembangan

52
ekonomi yang sedang berada dalam nuansa krisis ini. Maka
itu, muncul pemikiran untuk mempertahankan sistem
kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang masih hebat, “How
Capitalism Save Us”.
Pada pokok materi yang kedua, dia menyampaikan
mengenai tantangan pengembangan ekonomi Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa problem Indonesia terkait
dengan ekonomi tentu tidak bisa dipisahkan dengan
perkembangan ekonomi global. Artinya, bahwa ada saling
ketergantungan. Indonesia dewasa ini juga berkembang lebih
jelas ke sistem ekonomi liberal atau mungkin neoliberal.
Gerakan privatisasi yang tidak bisa dihentikan adalah salah
satu buktinya. Jika di Kuba terjadi nasionalisasi perusahaan
asing, maka di Indonesia justru gencar mengembangkan
privatisasi. Kemudian impor barang secara bebas. Coba
bayangkan bagaimana negara dengan pantai terbesar di dunia
dengan hasil garam yang melimpah harus mengimpor garam
dari negara lain.
Pada pokok materi terakhir, beliau menyampaikan
perkembangan ekonomi pesantren yang memanglah bukan
barang baru. Semenjak tahun 1980-an, melalui Pusat
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dunia
pesantren memperoleh tambahan fungsi baru. Pesantren
yang dikenal memiliki fungsi sebagai sumber pengetahuan
keislaman dan sumber spiritualitas Islam diperkenalkan
dengan dunia pemberdayaan.
Peran ini telah dimainkan semenjak pesantren menjadi
institusi sosial yang berpengaruh di negeri ini. Dengan
sentuhan baru, yaitu sebagai pusat pemberdayaan masyarakat.
Banyak pesantren yang dijadikan sebagai uji coba untuk
program pemberdayaan masyarakat. Kita kenal beberapa

53
pesantren, misalnya Pesantren Darul Fallah, Pesantren
Pabelan, Pesantren Kajen, Pesantren Langitan, Pesantren
An-Nuqayah, dan sebagainya yang dijadikan sebagai pusat
pemberdayaan masyarakat. Hiruk pikuk pemberdayaan
masyarakat kemudian menjadi luar biasa di dunia pesantren.
Pada era 2000-an, pesantren memperoleh tambahan
fungsi baru lagi yaitu sebagai pusat pengembangan ekonomi
kerakyatan. Maka muncullah pesantren dengan ciri khasnya
mengembangkan koperasi, seperti Pesantren Sidogiri,
dan lainnya.Hal ini menandai bahwa dunia pesantren
sesungguhnya tidak sepi dari inovasi yang terus menerus
dilakukan. Hal ini juga menandakan bahwa dunia pesantren
memiliki respon yang sangat tinggi terhadap perubahan
zaman. Jadi, sesungguhnya pesantren adalah lembaga sosial
dan pendidikan yang dapat menjadi pilar pemberdayaan
masyarakat terutama pada era mendatang.
Pondok pesantren dengan berbagai harapan dan
predikat yang dilekatkan padanya, sesungguhnya berujung
pada tiga fungsi utama yang senantiasa diemban (Halim,
“Manajemen Pesantren”, 2005, hal 233) yaitu: pertama,
sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (center of
excellence). Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber
daya manusia (human resource). Ketiga, sebagai lembaga
yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada
masyarakat (agent of development). Pondok pesantren juga
dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses perubahan
sosial (social change) ditengah perubahan yang terjadi.
Usaha-usaha pendekatan untuk mengembangkan
pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat mulai
saat itu diidentifikasikan ada tiga pendekatan utama: (1)
pendekatan pembaharuan pengajaran oleh beberapa yang

54
berkembang secara tidak teratur dan tanpa koordinasi dan
hanya dikenal dan diikuti secara terbatas. Usaha ini dilakukan
oleh para kiai pesantren itu sendiri, dan kebanyakan kiai telah
bersentuhan dengan pendidikan modern; (2) pendekatan yang
dilakukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian Agama
melalui paket-paket program bantuan; (3) pendekatan yang
berasal dari prakarsa organisasi swasta yang mengembangkan
ilmu pengetahuan dengan melakukan kerja sama yang erat
dengan pesantren progresif tertentu.
Tak terkecuali yang dilakukan Kiai Haji Mahfudz
Syaubari MA. sebagai pengasuh sekaligus pendiri
Pondok Pesantren “Riyadhul Jannah”, dia selalu berupaya
mengarahkan kemandirian para santri untuk meningkatkan
kualitas kehidupan agama, bangsa, dan negara. Bahkan hal
ini tertuang dalam visi pondok pesantren yaitu membentuk
manusia yang ber-imtaq, berbudi pekerti luhur, berkarakter,
cerdas, mandiri, memiliki etos kerja, kompetitif, peduli, serta
bertanggungjawab pada agama, bangsa, dan negara.

55
56
Memberdayakan
Ekonomi Masyarakat Miskin

Abdul Muin M

Lewat sejumlah program pemberdayaan, pihak pondok


berupaya untuk membebaskan orang tua para santri dari
kemiskinan.

Di padang rumput nan hijau itu, puluhan kambing sedang


menikmati rerumputan liar yang tumbuh tidak beraturan.
Tanpa peduli teriknya matahari, mereka tetap makan dengan
lahap. Yuddin, sang empunya kambing, baru saja melepas
mereka dari kandang untuk mencari makan. Sudah dua tahun
ini Yuddin menggembala. Dia mendaftar ikut dalam program
Pesantren Darul I’tisham, Embo, Jeneponto. Program ini
dibuat sebagai pemberdayaan ekonomi terhadap orang tua
santri miskin yang belajar di pondok pesantren.
Yuddin termasuk dalam satu dari dua belas kelompok
masyarakat yang bekerja sama dengan Pondok Pesantren
I’tisham dalam beternak kambing. Buat Yuddin, beternak
kambing bukan pekerjaan berat. Dia hanya memerlukan

57
ketekunan untuk merawat kambing-kambingnya. Contohnya,
setiap pukul tujuh pagi, kambing-kambing itu harus dibawa
ke padang rumput untuk diberi makan. Empat jam kemudian,
mereka harus dimasukkan kembali ke kandang untuk diberikan
minum. Pada pukul dua siang, kambing dilepas kembali
ke lapangan. Jam lima sore baru Yuddin memasukkan lagi
kambing ke kandang.
Yuddin menjelaskan, kambing-kambing itu cukup
dilepaskan di padang rumput. Saat mereka makan, dia akan
melanjutkan pekerjaan lain di kebun. Yuddin mengungkapkan,
tidak perlu takut kambing-kambing itu akan hilang. Lahan
rumput yang luas itu masih termasuk dalam wilayah Pesantren
Darul I’tisham. Menjelang siang, dia dan peternak lain pulang
ke rumah sambil memasukkan kambing ke kandang. Gembala
kambing pun menjadi kerja “sambilan” yang mendatangkan
hasil cukup lumayan.
Menurut Yuddin, beternak kambing relatif mudah.
Kambing memiliki naluri selalu berkumpul dengan teman-
temannya (sekelompoknya), tidak terpisah-pisah (terpencar-
pencar) seperti sapi atau hewan lainnya, Selain itu, naluri
kambing tidak pergi jauh-jauh cari makan. Hanya jikalau
dilepas di suatu tempat, maka akan meninggalkan tempat
awalnya sekitar seratus meter. Meski demikian, masih mudah
untuk menuntunnya kembali ke kandang.
Kini, Yuddin tampak sedang senang. Anak kambingnya
beberapa hari yang lalu dalam keadaan selamat dan sehat
bugar. Dengan penuh harapan, anak kambing tersebut segera
menjadi kambing dewasa (cukup umur) sehingga memenuhi
syarat untuk dijadikan hewan kurban atau akikah dengan harga
jual yang mumpuni. Yuddin, yang saat ini menjabat sebagai
ketua kelompok III, menjelaskan produktifitas kambing

58
betina dalam melahirkan tergantung agresifitas kambing
jantan. Jika agresif, kambing betina bisa hamil setiap tahun
dan melahirkan hingga tiga ekor anak. Dengan masa hamil
selama kurang-lebih 6 bulan, setiap kelompok sudah berhasil
memelihara kambing antara 20 - 30 ekor setelah dua tahun.
Pimpinan Pondok Pesantren Darul I’tisham Embo
menuturkan, peternakan kambing memang menjadi program
pemberdayaan pesantren. Pada awal usaha, kandang-kandang
kambing terletak dalam lingkungan pondok pesantren ini.
Ternyata usaha peternakan kambing mengalami perkembangan
pesat. Sebab, kambing-kambing ini berkembang biak dengan
cepat. Seekor kambing betina sekali melahirkan bisa tiga ekor.
Jangan heran jika jumlah kambing bisa mencapai ratusan ekor
dalam jangka waktu hampir dua tahun.
Dipilihnya ternak kambing sebagai program
pemberdayaan bukan tanpa alasan. Penuhnya kandang
kambing yang terletak di lingkungan pondok membuat bau
tidak sedap menyebar. Kondisi ini pun mengganggu warga
pesantren. Ustaz-ustazah dan para santri merasa terganggu
saat kegiatan belajar mengajar dan kegiatan santri lainnya.
Jika ada tamu yang datang ke pondok, dia akan disambut
dengan bau kambing.
Selain bau yang tidak sedap, suara-suara kambing semakin
berisik. Suaranya mengganggu pengajian kitab kuning, zikir,
shalawatan, membaca Al-Qur’an yang dilaksanakan pada
malam hari. Untuk mengatasi berbagai masalah ini, para
pengurus pesantren pun melakukan musyawarah. Rapat itu
menghasilkan rumusan bahwa peternakan kambing merupakan
salah satu sumber dana yang besar untuk operasional pondok.
Karena itu, peternakan kambing harus diteruskan, bahkan
lebih dikembangkan. Dengan suara bulat, pihak pengelola

59
pesantren menetapkan peternakan kambing itu diserahkan
kepada orang tua santri. Namun, pengurus pondok pesantren
harus mensurvey dan menginventarisir orangtua santri
yang bersedia bekerjasama dan memiliki kompetensi untuk
memelihara kambing dengan sehat.
Selanjutnya, beberapa pengurus pondok pesantren
bersilaturahim kepada orang tua santri, khususnya mereka
yang tinggal di Desa Turatea. Pihak pesantren menawarkan
kegiatan peternakan kambing. Banyak orang tua bersedia.
Pihak pesantren pun bekerjasama dengan pemerintah. Calon
peternak lantas diberi pembekalan oleh Dinas Peternakan
Jeneponto tentang cara memelihara kambing yang sehat.
Contohnya, makanan dan minuman kambing harus diperiksa
jangan sampai ada ulat berbulu atau benda-benda lainnya
sehingga dapat mengganggu kesehatan kambing.
Orang tua santri pun diberi modal oleh pondok pesantren
untuk membuat kandang yang baik dan sehat. Kandang-
kandang itu dibuat di kolong rumah maupun di halaman
rumah. Ketika kandang selesai, setiap orang tua santri diberi
lima ekor kambing betina dan seekor kambing jantan (seekor
jantan idealnya melayani lima ekor kambing betina).
Pada awal penyerahan kambing, mereka dievaluasi oleh
fasilitator dari pihak pondok pesantren. Kalau ternyata tidak
ada masalah saat pemeliharaan, maka diteruskan. Namun, jika
ada masalah, misalnya kambing kurus, sakit-sakitan bahkan
kambing mati, kambing tidak hamil, maka pemeliharaan
kambing itu diberhentikan dengan hormat. Jika suatu saat
ingin mencoba lagi memelihara kambing, orang tua itu dapat
dipertimbangkan untuk diberi kesempatan. Proses uji coba
ini berlangsung hingga tiga bulan.
Berdasarkan keterangan pihak pesantren, awalnya hanya

60
ada empat kelompok ternak yang berminat program beternak
kambing. Kian hari jumlahnya semakin bertambah. Saat ini
terdapat 12 sektor (kelompok) orang tua santri (masyarakat)
yang bekerja sama dengan pihak pondok pesantren dalam
pemeliharaan kambing, yaitu kelompok Syahruddin (I),
Baharuddin (II), Yuddin (III), Yati (IV), Ibrahim (V), Rusdi
Tasa (VI), Juandi (VII), Irdus (VIII), Juanda (IX), Satudeng
(X), Hanai (XI), dan Rahim Daeng Serang (XII).
Sistem bagi hasil diputuskan dan ditetapkan melalui
musyawarah antara ketua-ketua kelompok dengan koordinator
peternakan kambing dan pengurus pondok pesantren. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat tali silaturrahim.
Dengan demikian, ketua kelompok khususnya dan umumnya
masyarakat merasa dilibatkan dalam kegiatan peternakan
kambing. Dengan strategi ini para ketua kelompok memiliki
tanggung jawab moril dalam pemeliharaan kambing. Mereka
merasa “bukan pekerja” yang mendapat upah. Mereka lebih
merasa sebagai pemilik kambing. Anggota kelompok pun
benar-benar bekerja bagaikan memelihara kambing sendiri
dengan cara yang sehat. Dalam waktu hanya satu-dua tahun,
mereka pun sudah dapat merasakan pundi hasil menjual
kambing.
Skema bagi hasil yang disepakati yaitu anak kambing
dibagi dua. Misalnya selama setahun kambing yang dipelihara
oleh masyarakat dapat melahirkan sebanyak sepuluh anak
kambing, maka lima ekor untuk pemelihara dan lima ekor
untuk pondok pesantren. Namun, menurut Yuddin, sistem
pengupahannya yang telah disepakti kenyataan tidak seketat
dengan peraturan tersebut.
Pihak pondok pesantren seringkali menolerir saat
bagi hasil tiba. Misalnya, di antara masyarakat pemelihara

61
kambing “sangat membutuhkan” uang karena ada anggota
keluarga sakit dan memerlukan pengobatan, maka pihak
pondok pesantren pun memberi jatah kambingnya untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Kambing yang dijual itu
pun tidak dihitung dalam pembagian. Yuddin melanjutkan
ceritanya, bahwa adanya pondok pesantren mempercayakan
kepada kami khususnya, dan masyarakat (kelompok)
pemelihara kambing umumnya untuk memelihara kambing
dengan sistem pengupahan tersebut sangat membantu untuk
memenuhi kebutuhan keluarga dalam kehidupan sehari-hari.
Keterlibatan santri senior dalam pemeliharaan kambing
adalah dua kali seminggu. Biasanya setiap Kamis dan Ahad,
mereka mengamati (melihat dari dekat) kambing, baik
pada saat kambing berada dalam kandang maupun di luar
kandang (di lapangan), kemudian hasil pengamatannya, jika
ada masalah, misalnya ada kambing sakit-sakitan, atau ada
kambing mati dilaporkan kepada koordinator peternakan
kambing pondok pesantren ini. Kemudian koordinator
mengambil langkah untuk mengatasi masalah tersebut.
Peternakan kambing yang diinisiasi Pondok Pesantren
Darul I’tisham merupakan salah satu supplier hewan
(kambing) potong. Terutama hewan kurban pada setiap Hari
Raya Idul Adha di Sulawesi Selatan. Hal ini menujukkan,
bahwa pondok pesantren ini telah meraih sukses dalam
mengembangkan peternakan kambing dan diharapkan
mampu untuk lebih meningkatkan taraf kehidupan ekonomi
masyarakat.
Sebenarnya pekerjaan utama (mata pencaharian)
pokok umumnya penduduk Turatea adalah petani tanaman
pangan, seperti; padi, jagung, palwija, lombok, dan ubi kayu
(singkong) Karena itu, di atas disebutkan oleh masyarakat

62
bahwa menggembala kambing hanya merupakan kerja
“sambilan” yang mendatangkan hasil yang cukup lumayan.
Hal ini didukung oleh potensi lahan yang relatif luas, yaitu
luas lahan persawahan dapat mencapai sekitar sepuluh
hektar dan perkebunan sekitar dua puluh hektara dan lahan
perikanan sekitar lima hektar. Lahan-lahan tersebut adalah
sumber pendapatan bagi masyarakat desa yang mengaksesnya
(Dokumen Desa Turatea Kec. Tamalatea Kab. Jeneponto,
2016-2021).
Oleh karena itu, Pondok Pesantren Darul I’tisham
memiliki beberapa hektar lahan persawahan yang digarap
oleh masyarakat dan baru saja selesai panen. Selain itu, juga
memiliki lahan perkebunan yang digarap oleh masyarakat.
Perkebunan tersebut di antaranya ada yang terletak di Desa
Turatea, juga ada di Kelurahan Bontotangnga di belakang
bangunan/gedung baru yang direncanakan untuk digunakan
siswa SMK.
Berkat kegigihan pimpinan pondok, pesantren ini pun
mendapat respon positif dari masyarakat. Kini Pondok
Pesantren Darul I’tisham tidak hanya mengelola kebun di
Desa Turatea dekat pondok pesantren yang lama, tetapi
juga mengelola kebun di Kelurahan Bontotangga dekat
bangunan pondok pesantren yang baru, baik kebun di Turatea
maupun di Bontotangga dapat mencapai sekitar sepuluh
hektar lahan dengan puluhan komoditas sayuran organik.
Namun, perkebunan yang terletak di belakang bangunan atau
gedung pondok pesantren baru umumnya ditanami cabai,
bawang merah, kacang ijo, kacang panjang, pisang, jagung,
dan lainnya. Selama ini, hasil dari perkebunan itu masih
diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari santri.
Selebihnya dipasarkan baik di daerah ini maupun di luar

63
daerah, misalnya ke Takalar, Bantaeng, dan daerah lainnya.
Berbagai jenis tanaman, seperti kacang ijo, bawang merah,
cabe merah, jagung yang memenuhi kebun milik pondok
pesantren ini tumbuh dengan subur dengan dedaunan yang
hijau. Masyarakat yang bekerja di perkebunan ini setiap hari,
terutama pada sore hari tampak sibuk dengan memikul ember
berisi air berjalan di tengah-tengah kebun untuk menyiram
tanaman itu. Salah seorang pekerja kebun menuturkan bahwa
tanaman kacang ijo akan tumbuh subur pada musim kemarau,
jika setiap sore hari disiram dengan siraman yang sekedar
membasahi daun-daunnya.
Sistem pengupahan bagi petani (pekerja sawah dan kebun),
adalah sistem bagi hasil, sebagaimana yang diberlakukan
pada masyarakat peternakan kambing, yaitu 60 persen untuk
pekerja dan 40 persen untuk pondok pesantren setiap panen.
Sistem pengupahan ini merupakan hasil kesepakatan antara
petani dengan pihak pondok pesantren. Namun, petani lebih
sering menyerahkan hasil panen padi atau palawija tidak
sampai 40 persen kepada pihak pondok pesantren. Meski
demikian, pihak pondok tidak pernah mempersoalkannya.
Sebab, hal tersebut, juga merupakan syiar Islam (dakwah)
kepada masyarakat yang umumnya secara ekonomi tergolong
“ekonomi lemah”. Hal terpenting bagi pihak pondok pesantren,
yakni masyarakat tersebut secara “jujur” menyampaikan
keadaan sebenarnya.

Jihad Melawan Kemiskinan


Kemiskinan masih menjadi pemandangan yang rutin
disaksikan di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Lebih
dari 56 ribu kepala keluarga (KK) di kabupaten tertinggal

64
ini tergolong miskin. Penelitian Badan Pusat Statistik (BPS)
Sulawesi Selatan 2015 pun menunjukkan jika kabupaten
ini merupakan daerah dengan pertumbuhan kesejahteraan
relatif tertinggal ketimbang kabupaten lain. Dengan Indeks
Pembangunan Masyarakat hanya berkisar 59,0, tidak heran
jika pemerintah pusat menetapkan kabupaten ini masuk
sebagai daerah tertinggal berdasarkan PP No. 131/2015.
Desa Turutea merupakan salah satu daerah miskin di
kabupaten ini. Berdasarkan Sensus Penduduk Desa Turatea
2016, mayoritas kepala keluarga (72,7 persen) memiliki
pendapatan dan pengeluaran Rp 2 juta sampai dengan tiga
juta rupiah per bulan. Mereka pun masih tergolong miskin.
Mayoritas penduduknya hanya lulusan sekolah dasar (64
persen). Bahkan, ada ratusan di antaranya tidak pernah
mengecap bangku sekolah. Rendahnya tingkat pendidikan
membuat mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan dengan
penghasilan baik.
Alhasil, sebagian besar di antara mereka bekerja sebagai
buruh tani atau berkebun. Mereka terbiasa menanam padi,
jagung, palawija, lombok, dan ubi kayu (singkong). Padahal,
daerah ini dikenal dengan perbukitan bebatuan yang tandus.
Sebagian besar lahan pertanian di daerah ini pun gersang
dan kering. Diperparah lagi, Jeneponto memiliki curah hujan
yang rendah dan tidak menentu. Keringat para buruh tani di
Jeneponto pun sulit dibayar layak karena produksinya tidak
maksimal.
Soal agama, mayoritas penduduk Turutea dan Jeneponto
merupakan pemeluk agama Islam. Mereka bahkan dicap
sebagai Muslim fanatik. Meski demikian, tidak berarti mereka
mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-
hari. Pemahaman mereka terhadap agama belum berakar dan

65
tumbuh dengan subur secara kaffah (total). Pada umumnya,
warga belum mampu menyelaraskan aspek teologis dengan
sosial. Ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin pun
ditenggelamkan oleh badai tradisi.
Tingkat pemahaman dan pengetahuan terhadap ajaran
Islam pun sempit. Misalnya, banyak warga yang lebih
mengutamakan “tawakal” sebelum disertai dengan “ikhtiar
maksimal”. Artinya, banyak warga Jeneponto belum mampu
untuk mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam
kehidupan sehari-hari secara profesional, proporsional dan
rasional. Hal ini, tentunya memiliki korelasi yang signifikan
dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di desa
ini.
Tidak hanya itu, banyak kasus kekerasan terjadi di daerah
ini. Judi dan sabung ayam merupakan tradisi warga yang
sulit untuk diubah. Di kedai-kedai, tak jarang ditemukan
warga yang asyik mabuk dengan ballo (air pohon lontar yang
disimpan berhari-hari). Kebiasaan mabuk-mabukan ini pun
berkorelasi dengan tingginya tingkat kekerasan dan kejahatan
di daerah ini.
Faktor-faktor tersebut, diduga berkorelasi positif dengan
kurangnya motivasi penduduk Jeneponto, khususnya
Turutea untuk berjuang melawan dan menaklukkan masalah
kemiskinan dan keterbelakangan yang menghantui mereka.
Padahal, kemiskinan dan keterbelakangan sangat bertentangan
dengan ajaran Islam. Karena itu, pada hakikatnya ajaran
Islam sangat menganjurkan dan menginginkan terwujudnya
kemakmuran, kesejahteraan, ketercukupan dan kejayaan
ekonomi dalam berbagai aspek kehidupan.
Menurut Ma’arif, kejayaan di alam dunia diperlukan

66
kejayaan di akhirat. Karena karier hidup di alam dunia,
menurut pandangan Al-Qur’an, sangat menentukan corak
kehidupan di alam akhirat, (Ma’arif: 1997; 9). Di sinilah
letak pentingnya setiap manusia untuk berusaha semaksimal
mungkin agar mereka mampu ke luar dari berbagai bentuk
kemiskinan dan keterbelakangan.
Pondok Pesantren Darul I’tisham hadir di tengah-
tengah kehidupan masyarakat Jeneponto dengan berbagai
dinamikanya. Tidak heran, penghuni pondok sempat
mendapat perlawanan yang keras dari warga sekitar. Ketika
pondok pesantren ini sedang dibangun, hampir setiap
malam bangunannya dirusak masyarakat setempat. Meski
menghadapi kebencian masyarakat, pimpinan pondok
pesantren enggan membuat permusuhan kepada mereka.
Pimpinan pondok pesantren bahkan mengajaknya untuk
turut serta membangun pondok pesantren melalui pendekatan
persuasif-humanis berlandaskan “ukhuwah Islamiyah”. Pihak
pondok justru mencoba memahamkan kepada masyarakat
bahwa kehadiran pondok pesantren ini bukan mengubah
tradisi dan budaya masyarakat. Namun, untuk membangun
dan memperbaiki kehidupan sosial ekonomi melalui berbagai
kegiatan pemberdayaan umat. Hal ini dilakukan oleh
pimpinan pondok pesantren. Lewat filosofi bahwa sesuatu
yang bermanfaat untuk masyarakat luas, lebih utama (afdhal)
dari sesuatu yang hanya terbatas manfaatnya.
Pemberdayaan ekonomi dilakukan pihak pesantren
dengan tetap berpegang teguh kepada prinsip bahwa pondok
pesantren ini harus mampu membumikan ajaran-ajaran Islam
yang sesungguhnya kepada masyarakat. Ajaran Islam sangat
menganjurkan kepada manusia untuk meraih kesuksesan,
baik di dunia maupun di akhirat. Artinya, kekuatan daya juang

67
masyarakat untuk mempertahankan dan membela agama
Islam harus sebanding dengan semangat untuk meninggalkan
tradisi dan budaya yang tak sesuai dengan Islam. Justru, pihak
pondok mencoba untuk membudayakan ajaran-ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai program ekonomi yang
digulirkan pihak pesantren pun terasa tepat untuk mengangkat
taraf ekonomi masyarakat. Khususnya bagi penduduk Desa
Turutea yang sebagaian besar merupakan petani tradisional
dengan tingkat pendidikan yang masih rendah.

Buah Keuletan Sang Kiai


Berawal dari sebuah panti asuhan, Pondok Pesantren
Darul I’tisham kini tampil dengan wajah baru yang cantik.
Dengan gedung berwarna pink yang dilengkapi dengan
beragam fasilitas pendidikan, pesantren ini sudah memiliki
ruang belajar dan asrama sendiri.
Pesantren ini merupakan buah dari keuletan dan ketekunan
KH. Kamaluddin Sukku, perintis, pendiri, dan pemimpin
pertama pondok. Menantu Kiai Marzuki Hasan ini juga
cucu dari KH. Hasan, sosok perintis, pendiri, dan pimpinan
pertama Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa Maros.
Setelah KH. Hasan berpulang ke rahmatullah, kepemimpinan
Pondok Pesantren Darul Istiqamah dilanjutkan oleh KH.
Marzuki Hasan.
Dalam kepemimpinannya, sang kiai berhasil
mengantarkan pondok pesantren ini mencapai “puncak
kejayaannya”. Tangan dingin sang ayah pun turun kepada
Kiai Kamaluddin. Dia dikenal sebagai kiai “kharismatik”
yang sudah malang-melintang dalam dunia pondok pesantren.
Aktivitasnya di pesantren pun mampu mengasah kepekaan

68
sosiokultural tentang berbagai fenomena yang merambah
dalam masyarakat. Kemudian menjadikannya sebagai
ungkapan visual diwujudkan melalui ide-ide gemilang yang
mengandung makna dan pesona mendalam.
Kiai Kamaluddin lantas merintis pesantrennya sendiri.
Pondok Pesantren Darul I’tisham Embo akhirnya didirikan
pada 1999 di bawah naungan Yayasan Pendidikan Al-
Mutammim pimpinan KH. Kamaluddin Sukku. Pondok
pesantren ini telah terdaftar di Kementerian Agama Kab.
Jeneponto dengan Nomor Izin Operasional: 291 Tahun
2015.
Di bawah kendali kepemimpinan KH. Kamaluddin Sukku,
Pondok Pesantren Darul I’tisham telah berhasil membangun
fondasi tafaqquh fiddin yang kokoh. Penguatan karakter
pondok pesantren ini diraih melalui pengajian berbagai kitab
kuning yang diselenggarakan setiap sore dan malam hari.
Selain itu, sang kiai telah memprogramkan secara sistematis
dan konsisten berbagai upaya untuk memberdayakan
ekonomi umat, antara lain: melalui pertanian, perkebunan,
dan peternakan. Juga, melalui berbagai aktivitas vocational
bagi santri.
Hal ini sejalan dengan pendapat cendikiawan Muslim
Azyumardi Azra yang mengemukakan, bahwa pesantren
diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi
tradisionalnya, yakni: pertama, transmisi dan transfer
ilmu-ilmu Islam; kedua, pemeliharaan tradisi Islam; dan
ketiga, reproduksi ulama. Yang terpenting, menjadi pusat
pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Dalam konteks ini, semakin banyak pesantren yang
terlibat dalam aktivitas-aktivitas vocational dan ekonomi

69
seperti dalam usaha-usaha agrobisnis yang mencakup
pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan. Banyak
juga pesantren yang mengembangkan industri rumah tangga
atau industri kecil, seperti; konveksi, kerajinan tangan,
pertokoan, koperasi, dan sebagainya (Azra, 2002; 104-105).
Kini almukarram KH. Kamaluddin Sukku memasuki
usia 77 tahun. Dengan usia yang uzur, kondisi fisik Kiai
Kamaluddin cenderung menurun, baik dari segi penglihatan,
pendengaran, dan panca indra lainnya. Namun, semangat
dalam mengelola pondok pesantren masih tetap “membara”.
Meski begitu, semangat menggebu tidak cukup untuk
mengelola pendidikan. Terutama pendidikan keagamaan
di pondok pesantren yang berlangsung selama dua puluh
empat jam. Dengan berbagai pertimbangan yang matang,
kepemimpinan Pondok Pesantren Darul I’tisham Embo
dilanjutkan oleh salah seorang putra terbaiknya, yaitu Dr. H.
Munawir Kamaluddin Sukku, MA. Namun, Ketua Yayasan
Pendidikan Al-Mutammim yang membawahi pondok
pesantren ini masih tetap dipegang oleh KH. Kamaluddin
Sukku.
Munawir Kamaluddin Sukku pun menggali dan menimba
pengetahuan keagamaan di berbagai pondok pesantren.
Pengetahuan agamanya diperkuat dengan ilmu pengetahuan
umum yang diserap dari berbagai lembaga pendidikan formal.
Berbekal pendidikan baik melalui jalur non formal maupun
formal, Munawir memulai program-programnya dengan
langkah yang mantap untuk melanjutkan kepemimpinan
Pondok Pesantren Darul I’tisham. Dia bertekad membawa
lembaga ini menuju perubahan dan pembangunan pondok
pesantren masa kini. Pondok Darul I’tisham pun ditargetkan
untuk menjadi lembaga pendidikan keagamaan, lembaga

70
dakwah, dan sosial sesuai kebutuhan masyarakat.
Munawir tergolong responsif terhadap berbagai persoalan
masyarakat, baik berkaitan dengan kehidupan keagamaan
maupun ekonomi yang tengah melanda masyarakat. Menurut
dia, butuh perjuangan berat dan keteguhan niat yang tulus-
ikhlas untuk melakukan hal tersebut. Di samping itu,
Munawir merupakan sosok yang relatif muda dan energik. Dia
tertarik kepada ide-ide dan gagasan baru, apapun bentuknya.
Namun, ketika dia hendak mengimplementasikannya, baik
di lingkungan pondok pesantren maupun di tengah-tengah
masyarakat, Munawir terlebih dahulu menganalisisnya
tanpa lupa memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa.
Kemudian, dia menerjemahkannya ke dalam bahasa yang
mudah dipahami dan diserap oleh masyarakat.
Dalam pergaulan sehari-hari, Munawir dikenal supel dan
selalu berupaya menghindari berbagai perbedaan pendapat
yang tidak perlu. Dia pun selalu berupaya secara maksimal
mencari dukungan dari masyarakat, pemerintah, dan berbagai
pihak. Gambaran sosok Munawir ternyata berkorelasi secara
signifikan dengan kepemimpinannya terhadap Pondok
Pesantren Darul I’tisham. Tangan dinginnya berhasil
membawa pesantren bisa menambah infrastruktur baru. Darul
I’tisham mengembangkan sayapnya dengan membangun
sebuah gedung yang relatif “mewah” di atas lahan seluas tiga
hektar. Komplek ini pun dilengkapi berbagai kriteria pondok
pesantren, seperti: masjid, rumah kiai, asrama santri, ruang
belajar, ruang perpustakaan, aula, tempat perbengkelan, dan
las.
Di belakang bangunan, terbentang luas kebun yang
ditanami jagung, cabe, dan kacang ijo. Gedung ini berada di
Kelurahan Bontotangnga, Kecamatan Tamalatea Jeneponto

71
yang terletak di pinggir jalan raya poros Takalar, Jeneponto,
Bantaeng. Gedung baru ini berjarak sekitar lima kilo menter
dari gedung pondok pesantren lama. Secara geografis,
lokasinya sangat strategis dan mudah dijangkau oleh berbagai
jenis kendaraan, baik roda dua maupun roda empat.
Pembangunan gedung baru ini terdiri dari sejumlah
ruang belajar dengan ukuran standar yang diperkirakan
memiliki daya tampung lima ratusan santri. Gedung baru ini
diperuntukkan untuk Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK)
Pondok Pesantren Darul I’tisham. SMK yang membuka
Jurusan Lokomotif (perbengkelan) dan Las dengan tujuan
untuk memperkuat keterampilan perbengkelan dan las yang
saat ini sedang tumbuh dan berkembang di pondok pesantren
ini. Karena itu, bangunan ini dilengkapi dengan sebuah
bangunan yang didesain sebagai tempat perbengkelan dan
las.

Pendidikan Gratis
Pada dasarnya, Pondok Pesantren Darul I’tisham
bukanlah semata-mata merupakan lembaga pendidikan
keagamaan. Pondok ini juga dapat dikategorikan sebagai
lembaga kemasyarakatan dalam pengertian memiliki pranata
tersendiri. Selain itu, pondok memiliki hubungan fungsional
dengan masyarakat dan hubungan tata nilai dengan tradisi
dan budaya masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar
pondok pesantren.
Sejak berdiri sampai sekarang, Pondok Pesantren Darul
Itisham memprioritaskan anak yatim-piatu, anak miskin, anak
telantar, bahkan anak jalanan untuk diterima sebagai santri.
Pimpinan pondok sadar tidak mudah mendidik dan mengurus
anak-anak telantar dan anak-anak jalanan dari keluarga broken

72
home. Sangat berbeda dengan mendidik dan mengurus siswa
di sekolah umum yang diterima melalui seleksi berdasarkan
kualitas akademik.
Karena itu, pondok pesantren ini bagaikan bengkel.
Sebelum masuk ke pondok, banyak santri memiliki sikap
dan perilaku yang cenderung nakal dan tidak mengenal
aturan. Pondok pesantren berkewajiban untuk membina
dan mendidiknya sehingga anak tersebut kelak menjadi
manusia yang bemanfaat, baik terhadap diri sendiri, keluarga,
masyarakat maupun terhadap bangsa.
Pada umumnya masyarakat memiliki “animo” yang
kuat untuk memasukkan putra-putrinya belajar di pondok
pesantren ini. Sebab, pondok pesantren ini sejak berdiri
sampai sekarang dan yang akan datang telah memiliki
komitmen kuat bahwa seluruh santrinya bebas dari segala
macam bentuk iuran pendidikan (belajar gratis). Namun,
santrinya tetap menerima berbagai fasilitas yang memadai,
seperti: mukim di pemondokan dan mendapat makanan
sebanyak tiga kali sehari. Pada saat ini, karena keterbatasan
daya tampung pemondokan santri, maka santri yang mukim
hanya mencapai 143 orang (10 persen). Santri yang mukim
diutamakan santri yang terdiri dari: anak-anak yatim-piatu,
anak berasal dari luar daerah, anak ditelantarkan oleh orang
tua atau keluarganya.
Adapun 90 persen santri lain (1.283 orang) yang berasal
dari desa ini atau sekitar pondok pesantren tidak mukim di
pemondokan. Tapi, para santri tersebut mendapat “layanan
jemput-antar” setiap hari (pagi dijemput dan siang diantar)
dengan menggunakan mobil. Terkecuali santri yang mukim
sekitar dua kilometer dari pondok pesantren. Alasannya, para
santri masih bisa berjalan kaki ke pondok atau mengendarai

73
sepeda ontel.
Kini, Pondok Pesantren Darul I’tisham menginjak
usia ke-18. Ibarat seorang gadis desa yang cantik rupawan,
pondok kerap mempesona masyarakat setempat. Pada 2017
pondok pesantren ini memiliki santri sebanyak 1.426 orang
terdiri dari laki-laki 727 orang (51 persen) dan perempuan
699 orang (49 persen). Selama ini ukuran “besar, sedang,
atau kecil” pesantren dinilai dari banyak-sedikit santrinya
(Dhofier: 2011:29). Karena itu, jumlah santri yang demikian
ini, termasuk banyak untuk ukuran pondok pesantren di
Jeneponto, bahkan ukuran pondok pesantren di Sulawesi
Selatan.
Pondok Pesantren Darul I’tisham selama ini
menyelenggarakan berbagai jenis, jenjang, dan jalur
pendidikan. Namun, dari jumlah santri tersebut “sebagian
besar” belajar pada pendidikan formal yang terdiri dari MI
347 orang (24 persen), MTs 408 orang (29 persen), dan MA
254 orang (19 persen). Menurut pimpinan pondok pesantren
ini, keberadaan pendidikan formal di sini tetap berbasis
pondok pesantren.
Pesantren ini pun menyelenggarakan jalur pendidikan
non formal, seperti: TPA, RA, Salafiyah (Pendidikan Diniyah
‘Ula dan Wustha’), Diniyah Takmiliyah, Program Paket
C jumlah santrinya hanya sebagian kecil, umumnya hanya
mencapai sekitar 5 persen. Bahkan, Pendidikan Tahfidz
Qur’an dan Pendidikan Kader Muballigh jumlah santrinya
tidak mencapai satu persen. Beragamnya layanan pendidikan
yang diselenggarakan di pondok pesantren ini menjadikan
Pondok Pesantren Darul I’tisham Embo sebagai Pondok
Pesantren Terpadu yang disingkat menjadi “Persada Embo”.

74
Layanan pendidikan, baik formal maupun non formal
yang diselenggarakan Pondok Pesantren Darul I’tisham ini
ditangani oleh pendidik (ustaz/ah) sebanyak 39 orang, terdiri
dari laki-laki 21 orang (54 persen) dan perempuan 18 orang
(46 persen). Data ini menunjukkan, bahwa hampir seimbang
antara jumlah pendidik (ustaz) laki-laki dengan perempuan.
Semua guru merupakan lulusan sarjana (S1). Bahkan terdapat
tiga guru lulusan S-2 dan satu orang S-3. Ini berarti, bahwa
semua guru/ustaz telah memenuhi kualifikasi akademik dan
semuanya sudah bersertifikasi. Artinya, semua guru-guru
tersebut dapat menerima tunjangan guru dari pemerintah. Hal
ini, sedikit-banyaknya dapat meningkatkan “kesejahteraan
guru”. Guru-guru tersebut memiliki daya inovasi dan motivasi
yang tinggi dalam memberikan layanan pendidikan, baik
kepada santri maupun masyarakat.
Di samping itu, semua pendidik adalah guru tetap yayasan,
yaitu ustaz/ustazah yang diangkat oleh Yayasan Pendidikan
Al-Mutammim. Hal ini menunjukkan, bahwa para pendidik
telah memiliki segudang pengalaman mendidik, sehingga
kompetensinya tidak meragukan lagi. Hampir sebagian besar
dari guru-guru ini turut serta secara aktif dalam membina dan
mengembangkan program entrepreneurship yang diluncurkan
pondok pesantren ini.
Sementara itu, layanan pendidikan keagamaan
(pendidikan kepesantrenan) yang lebih berorientasi kepada
tafaqquh fiddin ditangani oleh lima ustaz. Semuanya
memiliki latar belakang pendidikan pesantren yang sangat
memadai. Mereka mengajarkan kitab kuning seperti tafsir
Ibnu Katsir, Riyadhushshalihin, Fathul Qarib, Subulussalam,
Fiqih Sunnah, hingga Hadis Arbain. Kini pondok pesantren
ini sedang menuju puncak “kejayaannya”, terutama dalam

75
memberikan layanan pendidikan baik kepada santri maupun
masyarakat. Semua layanan pendidikan ini bermuara kepada
memberdayakan umat, baik dari aspek ekonomi maupun
keagamaan.

76
Gagahnya Santri Menjadi Petani

Nunu Ahmad An-Nahidl

“Santri-santri Darul Fallah ini belajar langsung dari alam


terkembang
Guru-guru itu cuma membantu
Cinangneng, airnya gemericik, alang-alang daunnya
berdesir
Ternak berbunyi sunyi, bukit dan pohon bergumam
Semua berzikir bersama santri
Bersama guru bersama kiai pada gelap Subuh pagi
Di dalam masjid di atas bukit.. “

Taufiq Ismail

Ada yang berbeda dengan Pesantren Pertanian Darul


Fallah Bogor. Saat penulis bersilaturahim pada Maret
2017, pada pintu gerbang kedua di samping lapangan bola
itu tertulis “Pondok Pesantren an-Nur.” Penulis sempat
dihinggapi keraguan. Apakah ada lembaga pendidikan lain di
dalam komplek pesantren bersejarah itu? Sebab dirasa tidak

77
mungkin nama pesantren mendadak berubah begitu saja.
Apalagi untuk pesantren sepopuler Darul Fallah.
Teka-teki itu tak lama terjawab. Dalam kesempatan
bincang-bincang, KH. Abdul Hanan Abbas (60 tahun) sang
pengasuh utama pesantren menjelaskan bahwa sebagian
sarana pada lembaga pendidikan yang dikelolanya tengah
dijadikan tempat shooting untuk program paket Ramadhan
1438 H. oleh sebuah grup musik religi populer Tanah Air.
Menurut kiai asal Lamongan ini, awalnya ia keberatan
tempatnya digunakan. Sebab bisa saja ia tidak sependapat
sepenuhnya dengan isi acara yang direncanakan tayang pada
stasiun televisi itu. Maka diambillah jalan tengah dengan
membuat plang nama baru pada gerbang pesantren.
Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor tetap kokoh
berdiri. Tidak ada yang berubah. Siapapun yang mengunjungi
lembaga pendidikan ini akan selalu merasakan suasana beda.
Lingkungan pesantren sangat asri layaknya tempat wisata alam
karena rimbunnya pepohonan. Di berbagai sudut pesantren
tampak pepohonan dari berbagai jenis dengan penataan yang
rapi. Udara pun berembus sejuk dan segar. Seperti yang
dikutip dalam puisi Taufiq Ismail di atas, udara pagi di Darul
Fallah selalu basah dengan zikir. Bersama santri, guru dan
kiai.
Kiai Abdul Hanan Abbas, Lc. adalah Ketua Dewan
Pengurus sekaligus merangkap sebagai pimpinan umum
Pesantren Pertanian Darul Fallah, didampingi oleh Ustaz
Maman sebagai Kepala Madrasah Aliyah Terpadu, Ustaz
Adih Supratman sebagai Waka Bid. Humas, dan Ustadz Ismail
Saleh sebagai Waka Bid. Kurikulum, menyambut peneliti dan
memaparkan segala hal tentang pesantren. Dijelaskan pula
mengenai usaha-usaha seluruh pengelola pesantren dalam

78
mempertahankan dan mengembangkan Pesantren Pertanian
Darul Fallah, sejak lebih dari limapuluh tahun silam didirikan
hingga tetap mampu survive sampai sekarang.

Didirikan Oleh Para Pahlawan


Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah merupakan
pesantren bersejarah yang berlokasi di Jalan Raya Bogor-
Ciampea km 12, Desa Benteng, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. R.H.O. Djunaedi mewakafkan
lahan seluas 26,6 Ha untuk dimanfaatkan demi pendidikan
Islam. Dua blok lahan yakni blok Lemahduhur dan blok
Gunung Leutik pun dimanfaatkan untuk pembangunan
pesantren. Kini, dua blok itu disebut sebagai Bukit Darul
Fallah.
Pendiri pesantren ini adalah KH. Sholeh Iskandar (alm),
KH. Abdul Ghoffar Ismail (alm), Djanamar Adjam (alm)
dan R.H.O. Djunaedi (alm) sebagai muwakif. Pembangunan
sarana pesantren dilakukan sejak Juni 1960. Namun,
karut marut kondisi sosial dan politik nasional era Orde
Lama ternyata ikut berdampak terhadap keberlangsungan
pendidikan di pesantren saat itu. Mengingat para pemimpin
pesantren merupakan tokoh berpengaruh nasional bahkan
sejak era penjajahan kolonial Belanda.
KH. Sholeh Iskandar sang muassis (pendiri) pesantren
adalah tokoh pejuang kemerdekaan yang sangat disegani. Kiai
kelahiran Cibungbulang Bogor tahun 1922 ini tercatat sebagai
komandan Hizbullah di wilayah Bogor Barat. Almarhum
diakui sebagai salah seorang ahli strategi perang gerilya di
masa perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Pemerintah pun mengakui jasa sang kiai dengan menyematkan

79
gelar pahlawan nasional sebagai penghargaan.
Sejak bergabung dengan Partai Masyumi pada tahun
1950-an, ia bersama sejumlah tokoh ulama seperti Muhammad
Natsir dan lainnya harus menerima resiko perjuangan sebagai
tahanan politik. Garis politik Masyumi yang berseberangan
dengan gagasan Nasakom yang diinisiasi Presiden Soekarno
membuatnya harus menjadi oposan. Namun demikian,
pengabdiannya kepada bangsa usai kemerdekaan tidak
pernah berhenti. Perjuangannya terus berlanjut di ranah
sosial dan pendidikan dengan mendirikan Universitas Ibn
Khaldun Bogor tahun 1961 dan Rumah Sakit Islam Bogor
tahun 1982.
Di tengah lembaga pendidikan Darul Fallah yang
didirikannya, KH. Sholeh Iskandar mendirikan satuan
pendidikan dengan konsentrasi pertanian yang disebut
Sekolah Teknologi Pertanian Menengah (STPM) tahun 1968.
Lembaga ini lantas berubah bentuk menjadi Madrasah Aliyah
yang menggunakan kurikulum lokal hingga tahun 1994
dengan masa pembelajaran selama 3,5 tahun.
Dalam perkembangannya, minat masyarakat pengguna
pendidikan terhadap satuan pendidikan terakhir ini
menghendaki penyesuaian dari sisi kelembagaan. Pada tahun
1994 pihak pesantren mendaftarkannya pada Departemen
Agama (saat ini Kementerian Agama) dengan nama Madrasah
Aliyah Umum. Lembaga ini memadukan kurikulum
Kementerian Agama, Departemen Pendidikan Nasional dan
kurikulum pesantren dengan masa belajar empat tahun.
Selanjutnya, sejak tahun 2006 hingga sekarang
berkembang menjadi Madrasah Aliyah Terpadu Darul Fallah
dengan masa belajar tiga tahun. Selain kurikulum nasional,

80
lembaga ini menerapkan kurikulum pesantren tentang
pengembangan kemandirian dan kewirausahaan. Sementara
satuan pendidikan lainnya yang dikelola adalah TK/Raudhatul
Athfal dan Madrasah Tsanawiyah.
Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah juga mengelola
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat), Agrowisata Rohani,
dan Unit Usaha, seperti PT Dafa Tekno Agro Mandiri yang
terbilang pertama dan satu-satunya di tanah air yang menekuni
teknologi kultur jaringan (tissue culture) secara komersil,
dimana manfaatnya banyak dirasakan oleh para petani.
Unit usaha lainnya adalah koperasi (unit simpan pinjam,
warung, dan wartel), peternakan (sapi perah, kambing perah),
perikanan, pertukangan dan perbengkelan.
Tercatat sejumlah tokoh pernah terlibat langsung
mengelola lembaga Pesantren Pertanian Darul Fallah, antara
lain; Ir. M. Saleh Widodo (alm.), KH. Abdul Ghaffar Ismail
(alm.), Dr. Muhammad Natsir (alm.), KH. Hasan Basri (alm.),
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin MS, Dr. Anwar Haryono
(alm.), Prof. Dr. AM. Saefuddin (alm.), Prof. Dr. Zuhal A.
Qodir, Taufiq Ismail, dll.  Sedangkan tokoh yang pernah
menjadi ketua yayasan adalah K.H. Sholeh Iskandar (1960-
1992), Prof. Dr. Ir. H. A. Aziz Darwis, M.Sc. (1992-2003),
dan Dr. Ir. H. Meika S. Rusli (2003-2013).

Komunitas pertanian
Ratusan santri asal Jawa Barat, Banten, Lampung,
Palembang, Riau, dan daerah lainnya ditempa di Pesantren
Pertanian Darul Fallah. Darul Fallah dapat berarti komunitas
pertanian. Dari sisi nama saja, lembaga ini jelas ingin
mengembangkan sebuah visi pendidikan yang lebih spesifik.

81
Bukan hanya pendidikan dan dakwah semata. Melainkan
pengembangan masyarakat. Di sini santri dan masyarakat
menjadi pelaku langsung dalam upaya penguatan ilmu
pengetahuan dan keterampilan tentang pertanian dan
kewirausahaan.
Sebagaimana pesantren pada umumnya yang ingin
membentuk muslim yang beriman, berilmu, dan berakhlak
mulia, begitu pula Pesantren Darul Fallah. Pondok ini
secara khusus ingin melahirkan umat muslim yang mandiri.
Kemandirian menjadi nilai dasar dan karakter penting yang
niscaya dimiliki oleh lulusan pesantren dalam konteks
peningkatan harkat kehidupan diri pribadi, keluarga dan
masyarakat. Dalam hal ini, penegakan agama (iqomatuddin)
akan lebih kuat dan kokoh manakala dilakukan oleh para
lulusan pesantren yang kreatif, inovatif, dan mandiri.
Dengan demikian, personifikasi santri yang mandiri
secara ekonomi adalah cita-cita luhur KH. Sholeh Iskandar.
Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Pesantren
Pertanian Darul Fallah, antara lain fokus kepada bidang
pertanian. Baginya, kemampuan santri mengelola ranah
pertanian merupakan media penting untuk melakukan dakwah
bil-hal. Santri pun dituntut untuk terus mengembangkan
kemampuannya dalam menjaga kemandirian agar dia dapat
bermanfaat lebih banyak bagi umat dan bangsa.
Lalu apa yang dilakukan oleh Pesantren Pertanian
Darul Fallah dalam proses persemaian sikap dan perilaku
kemandirian di tengah lingkungan pesantren, khususnya para
santri? Bagaimana langkah dan tahapannya? Siapa saja yang
berperan aktif di dalamnya? Bagaimana pula implikasinya?
Untuk menjawab sekian banyak pertanyaan penting tadi,
tulisan ini akan mendeskripsikan paling tidak terdapat tiga

82
upaya dan aktivitas yang dilakukan santri Pesantren Pertanian
Darul Fallah untuk meraih kemandirian, yaitu praktik
pertanian, praktik magang, dan program pascamagang. Tiga
hal inilah modal dasar yang diberikan pesantren agar santri
siap menapak jejak kehidupan, tidak saja bekal ilmu agama
yang kuat, melainkan juga bekal berkiprah dalam kehidupan
sosial dan ekonomi di tengah masyarakat.

Melatih Santri Mandiri


Menumbuhkan semangat kemandirian di kalangan santri
bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana, bahkan bisa
dikatakan berat. Sekadar contoh, membiasakan santri ke kebun
setiap pagi itu perlu upaya yang luar biasa. Dulu, sebelum
mengikuti kurikulum Kementerian Agama, santri Darul
Fallah memang diharuskan ke kebun atau lahan pertanian
milik pesantren setiap hari di pagi hari. Namun, kewajiban
itu mengalami penyesuaian waktu setelah pesantren mulai
mengadopsi kurikulum Pemerintah.
Saat ini santri yang duduk di kelas X dan XI, sebanyak tiga
kali dalam seminggu masih diharuskan ke kebun atau lahan
pertanian setiap pagi. Namun kesulitan itu pun masih tetap
dirasakan, meski hanya tiga kali dalam seminggu. Selepas
pengajian Tafsir Jalalain yang diikuti seluruh santri pada
ba’da Subuh, sebagian dari mereka mulai digerakkan menuju
kebun pada pukul 06.00 WIB. Posisi kebun rata-rata tidak
terlalu jauh dari pesantren, sehingga dapat ditempuh dengan
jalan kaki sambil berolahraga. Pesantren memang memiliki
sejumlah lahan di beberapa wilayah sekitar pesantren sebagai
tempat praktik pertanian.
Selama kisaran satu jam, para santri dididik praktik
pertanian sesuai dengan programnya pada setiap semester

83
di bawah bimbingan guru praktik. Misalnya, pada semester
ganjil Tahun Pelajaran 2016-2017, santri kelas X diberikan
pelatihan tentang menanam sayuran atau palawija. Mereka
pun membawa berbagai perlengkapan tani seperti pacul dan
lainnya menuju kebun. Di sana santri diajarkan tata cara
menanam sayuran atau palawija.
Jenis praktik pertanian yang dipelajari santri akan berganti
komoditasnya pada setiap semester, seperti menanam bayam,
cabe, budidaya lele, memelihara ternak, dan lainnya.
Lalu apa yang menjadi alasan para santri dipaksa untuk
bertani? Pertama, tujuan dari kegiatan ini untuk melatih
dan membiasakan santri dengan lingkungan pertanian. Hal
ini dipandang penting, mengingat visi dan misi pesantren
adalah melaksanakan pembelajaran yang mengintegrasikan
nilai-nilai keislaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi serta
kemandirian dalam berwirausaha.
Dalam pembiasaan praktik pertanian dimana santri
digerakkan ke kebun pada pagi hari itu, pesantren juga
sesungguhnya sedang melaksanakan pembelajaran yang
mendorong santri peduli terhadap lingkungan. Dalam hal ini,
lingkungan dimana santri berada, terutama setelah mereka
kembali ke tempatnya masing-masing.
Oleh karena pesantren berharap agar santri alumni
Pesantren Darul Fallah memiliki kesadaran penuh untuk
kembali ke kampung halamannya. Mereka bisa berperan
serta membangun daerahnya dengan mengelola dan
mengembangkan berbagai kecakapan dan keterampilan
berdasarkan ilmu dan pengalaman yang diperolehnya di
pesantren.
Kedua, santri diberikan pengalaman langsung tentang

84
praktik bertani dengan belajar menanam kangkung, menanam
cabe, dan membudidayakan lele, misalnya. Praktik ini tidak
diarahkan untuk memperoleh nilai keuntungan (profit),
melainkan lebih ditekankan kepada prosesnya ketimbang
hasil yang didapatkan.
Mengapa proses itu penting? Proses atau kondisi dimana
santri berupaya secara terus-menerus untuk menghasilkan
sesuatu dengan fokus kepada target pencapaian adalah ruang
pembelajaran yang luas untuk menjadi dan menghasilkan
apapun. Sementara hasil praktik pertanian santri itu sendiri
bahkan bisa saja tidak terlihat atau gagal. Namun, pembiasaan
yang dialami santri memberikan pengalaman dan pengaruh
yang luar biasa terhadap pengetahuan santri tentang
pertanian.
Ketiga, praktik pertanian akan melatih kedisiplinan
santri. Faktanya, tidak hanya santri yang merasa segan atau
berat untuk pergi ke kebun, bahkan perasaan serupa juga
terkadang menimpa guru praktiknya. Di sinilah semangat
dan kedisiplinan tampaknya menjadi ujian yang berharga.
Tidak hanya kepada santri, bahkan juga gurunya. Jika orang
lain berangkat ke kantor di pagi hari, justeru pada saat yang
bersamaan, guru dan santri Darul Fallah pergi ke kebun.
Namun, pengalaman ke kebun terbukti memberikan
pengaruh yang luar biasa, baik secara mental dan terutama
bertambahnya pengetahuan santri. Hal ini pasti dirasakan
langsung oleh santri setelah mereka menyelesaikan
pendidikannya di Darul Fallah dan mulai mengembangkan
diri di tengah masyarakat. Bergaul dengan berbagai pihak di
luar pesantren.

85
Praktik Kerja Nyata
Usai bertani di pesantren, skill para santri kian diasah saat
magang. Kali ini, mereka diberikan pengalaman langsung
mempraktikkan bekal ilmu pertanian yang diperoleh di
pesantren pada berbagai unit usaha. Saat masuk masa liburan
semester genap, yaitu ketika umumnya santri menikmati
liburan sekolah, seluruh santri kelas XI pada Madrasah Aliyah
Terpadu justru diwajibkan untuk mengikuti kegiatan praktik
magang selama satu bulan di sejumlah unit atau kelompok
usaha di luar pesantren. Terutama yang berhubungan dengan
bidang pertanian secara luas.
Praktik magang sejatinya dilaksanakan di kelas XII.
Namun, karena santri kelas XII akan sibuk dengan persiapan
Ujian Nasional (UN), maka kegiatan santri tersebut akhirnya
dilakukan di kelas XI. Bahkan, praktik magang ini menjadi
prasyarat kenaikan santri dari kelas XI ke kelas XII. Oleh
karena itu, sebagus apapun nilai raport santri di kelas XI, dia
tidak akan bisa naik ke kelas XII jika santri tersebut belum
mengikuti praktik magang.
Ada beberapa tahapan yang dilakukan santri saat magang
hendak dilakukan. Santri kelas XI diberikan sebuah formulir
isian oleh pihak pesantren. Di dalam lembar tersebut,
tergambar sebuah rencana kerja praktik magang. Terutama
terkait dengan jenis komoditas dimana santri diberikan
kebebasan untuk memilih satu dari tiga alternatif jenis
komoditas yang akan ditekuni.
Sebelumnya, formulir tersebut harus dibawa pulang ke
rumah untuk didiskusikan dengan orang tua masing-masing
santri. Atas persetujuan orang tua pula santri menetapkan
satu dari tiga pilihan yang ada. Bukti persetujuan orang tua

86
diberikan dengan menandatangani formulir tersebut.
Di sinilah pesantren memandang penting dilakukannya
komunikasi antara santri dengan orang tua. Bagaimanapun
harapan orang tua terhadap perkembangan kehidupan dan
masa depan si anak amat tinggi. Maka peran orang tua tidak
saja dalam hal pembiayaan pendidikan anak. Mereka bahkan
ikut merencanakan, mengarahkan, dan mengawal rencana
masa depan yang akan diraih anaknya.
Dalam kegiatan praktik magang pun, persetujuan orang
tua menjadi keharusan. Apalagi seluruh biaya praktik magang
ditanggung sendiri oleh santri, sejak perencanaan menyiapkan
bahan penulisan paper praktik pra magang, biaya teknis saat
magang selama satu bulan, hingga penulisan laporan dan
presentasinya di depan tim penilai. Biaya praktik magang
terhitung sebagai biaya tertinggi dari seluruh komponen biaya
operasional selama santri menempuh pendidikan di Pesantren
Pertanian Darul Fallah.
Pentingnya komunikasi santri dengan orang tua saat
menentukan pilihan komoditas terlihat pada contoh kasus yang
pernah terjadi pada seorang santri Pesantren Pertanian Darul
Fallah era 90-an. Ada orang tua yang berharap agar anaknya
mengikuti praktik magang dalam bidang usaha perikanan.
Alasannya karena potensi perikanan cukup menjanjikan di
desa tempatnya tinggal. Diharapkan jika suatu saat nanti si
anak telah menamatkan pendidikannya di pesantren, maka
ia akan mengembangkan usaha perikanan itu. Tampaknya, si
anak tidak konsultasi lagi dengan orang tuanya dan memilih
kerja magang dalam bidang perdagangan. Anak tersebut
memilih sebuah usaha pakaian di Pasar Tanah Abang. Di sana
ia kerja magang selama satu bulan. Namun demikian, meski
hasil magangnya cukup baik, namun tak urung latihannya di

87
Pasar Tanah Abang itu tidak memuaskan orang tuanya.
Saat kembali ke pesantren dengan form yang sudah terisi,
santri diwawancara guru pembimbing untuk memastikan
ketepatan pilihannya. Di sini guru pembimbing mengonfirmasi
pilihan komoditas yang akan diambil santri. Santri pun
memaparkan alasannya dari berbagai aspek, seperti minat
santri dalam pengembangan keahliannya ke depan, urgensi
komoditas yang dipilih dari sisi kebutuhan masyarakat
setempat, potensi wilayah dan lingkungan dimana komoditas
akan dikembangkan, serta hal-hal lain yang mendukung
pilihannya.
Dengan demikian, indikator pemilihan obyek atau
komoditas dalam praktek magang santri didasarkan kepada
beberapa kriteria, antara lain; komoditas usaha yang akan
dipilih memang diminati oleh santri dan sudah dikonsultasikan
dengan orang tua masing-masing. Komoditas tersebut sangat
potensial untuk dikembangkan di suatu wilayah tertentu,
atau tepatnya kampung halamannya. Pada saat santri tersebut
telah menyelesaikan pendidikannya di Darul Fallah, maka
ia dapat mempraktekkan pengalaman dan keahlian yang ia
peroleh saat praktik magang itu untuk dikembangkan secara
sungguh-sungguh.
Pengalaman dan keahlian itu diharapkan menjadi bekal
dasar bagi santri untuk mengembangkan keilmuannya selama
belajar di pesantren. Hal ini sejalan dengan misi Darul Fallah
dimana lulusannya diharapkan kembali ke tempat dimana
santri dilahirkan. Mengabdi di sana dan membangun kampung
halamannya.
Selama wawancara berlangsung, guru pembimbing
memberikan saran dan masukan kepada santri. Tujuannya,

88
rencana praktik magang dapat berjalan dengan baik dan hasilnya
maksimal.Selanjutnya, berbagai pikiran dan pandangan yang
berkembang saat interview tersebut dituangkan oleh santri ke
dalam paper usulan praktik lapangan atau paper pra magang.
Ada tradisi yang khas dari paper pra magang ini. Awalnya
paper disiapkan oleh santri dengan tulisan tangan langsung
di atas kertas folio. Maksud penulisan paper dengan tulisan
tangan ini adalah untuk menjaga orisinalitas pikiran dan karya
santri. “Sejak awal, santri sudah dibekali kebiasaan untuk
mengembangkan sendiri ide dan pikirannya, bukan meng-
copy-paste dari orang lain,” demikian Adih Supratman, Waka
Bidang Humas menjelaskan alasannya.
Setelah paper tersebut memperoleh persetujuan dari guru
pembimbing, segera santri menyalin ulang dan mengetiknya
dengan rapi dilengkapi dengan hardcover. Selanjutnya,
santri mengajukan paper tersebut secara resmi kepada pihak
pesantren. Lembar persetujuan rencana praktek magang
ditandatangani oleh panitia magang, guru pembimbing, dan
Kepala Madrasah Aliyah Terpadu Darul Fallah.
Penulisan paper pra magang memuat sejumlah poin
penting layaknya sebuah proposal kegiatan ilmiah. Pada bab
pendahuluan memuat latar belakang, tujuan dan kegunaan,
metode, tempat atau lokasi magang, serta waktu pelaksanaan.
Pada bab dua, santri mengulas secara konseptual tentang jenis
komoditas yang akan dipilih.
Misalnya, Dewi Yosa Anggraini, seorang santri putri
Tahun Pelajaran 2013-2014 menyiapkan paper pra magang
tentang budidaya jamur tiram. Rencananya dia akan melakukan
praktek magang pada sebuah unit usaha agrobisnis budidaya
jamur tiram yang dikelola oleh Ibu Yuli di Kampung Palagan,

89
Desa Bojong Kokosan, Parung Kuda, Kabupaten Sukabumi.
Berikutnya, Dewi menjelaskan secara konseptual tentang
komoditas budidaya jamur tiram. Pembahasannya dimulai
dari pemilihan lahan, pembuatan bibit, pembuatan media
produksi, pengendalian hama dan penyakit, pemeliharaan
baglog, masa panen dan pasca panen, pengelolaan hasil,
dan diakhiri dengan bahasan pemasaran. Informasi tentang
hal tersebut diperoleh, baik dari pembelajaran kurikuler dan
ekstra-kurikuler di dalam dan luar kelas, maupun dengan
merujuk kepada sejumlah buku referensi di perpustakaan
pesantren.
Artinya, sebelum santri melakukan praktik magang
di lapangan, sesungguhnya dia telah memiliki bekal
pengetahuan yang cukup tentang jenis komoditas yang
dipilihnya. Saat santri tersebut telah berada di lapangan, dia
tidak lagi merasa asing dengan apa yang dihadapinya. Dia
justru dapat membandingkan dan sekaligus mencocokkan
antara pengetahuan akademik yang diperolehnya di pesantren
dengan pengalaman riil di lapangan. Tentu akan banyak
informasi terbaru yang diperolehnya dari lapangan, dan
akan bertambah pula pengetahuan santri tentang komoditas
tersebut.
Selanjutnya, Dewi memuat sebuah skema atau rancangan
tahapan kegiatan praktik magang pada unit usaha agrobisnis
budidaya jamur tiram. Bahasannya dimulai dari gambaran
umum usaha, sejarah pembentukan usaha, SDM karyawan,
teknologi yang diterapkan, serta profil pemilik atau pengelola
usaha tersebut. Di sini dia mendeskripsikan gambaran umum
kehidupan pengelola, kiat-kiatnya dalam memajukan usaha,
kontak dan jaringannya dengan pihak mana saja, dan peran
serta pengelola dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

90
Pada bab keempat, Dewi menganalisis gambaran usaha
selama satu tahun pada usaha agrobisnis budidaya jamur
tiram. Mulai biaya usaha, pendapatannya berapa serta laba
ruginya. Pada bagian terakhir, papernya diakhiri dengan bab
penutup serta daftar pustaka.
Adapun lokasi praktek magang dipersiapkan oleh tim
khusus yang dibentuk oleh pesantren. Sebelumnya, tim
melakukan survei lapangan untuk memastikan dimana saja
lokasi yang potensial dan sesuai dengan komoditas usaha yang
akan menjadi pilihan santri. Lokasi ini tidak hanya meliputi
wilayah Bogor dan Cianjur bahkan sampai ke Bekasi, Jakarta,
Bandung, dan Banten.
Selama ini pihak pesantren memang telah menjalin
kerjasama dengan berbagai unit atau bahan usaha di berbagai
bidang dimana para santri telah melaksanakan praktik
magang di tempat usaha mereka. Selanjutnya, pihak pesantren
melakukan sosialisasi kepada seluruh santri kelas XI yang
akan mengikuti magang.
Kriteria lokasi magang yang dipilih oleh pesantren
ternyata tidak sederhana. Pertama, praktik magang santri tidak
boleh dilakukan pada bidang atau unit usaha yang dikelola
pesantren. Kedua, pesantren hanya memilih dan mengambil
kelompok-kelompok usaha yang diidentifikasi sebagai usaha
rintisan, dimana dia merintis usaha tersebut dari awal hingga
mampu berkembang. Jadi, bukan berbentuk badan usaha
yang sejak awal pendiriannya sudah cukup survive karena
infrastrukturnya telah ditata sedemikian rupa, seperti PT.
Mengapa demikian? Menurut Maman, Kepala Madrasah
Aliyah Terpadu Darul Fallah, dalam kegiatan praktek
magang, pesantren berpandangan bahwa para santri sejatinya

91
tidak hanya dididik untuk belajar tentang tata cara atau
teknis mengembangkan sebuah usaha. Hal lain yang yang
tidak kalah pentingnya adalah santri perlu mempelajari,
memahami bahkan ikut merasakan bagaimana seluk beluk,
jerih payah, bahkan mungkin suka duka dan jatuh bangunnya
seseorang yang merintis sebuah usaha dari awal. “Di sana
pasti ditemukan adanya kendala dan rintangan yang perlu
dihadapi,” tambahnya.
Dari berbagai realitas yang ada dan ditemukan di
lapangan itu, maka secara langsung maupun tidak, santri
sesungguhnya sedang dididik dan dibekali pemahaman yang
kuat. Dalam mengembangkan sebuah usaha, dibutuhkan
adanya kegigihan, keuletan, kesabaran, serta semangat yang
terus terjaga. Semua itu, mutlak diperlukan seiring upaya-
upaya atas usaha itu sendiri.
Selama praktik magang, santri harus mengikuti seluruh
proses dan kegiatan usaha yang dilakukan induk semang atau
pengelola usaha tersebut. “Santri benar-benar terlibat dalam
setiap pekerjaan selama satu bulan. Ibaratnya, selama satu
bulan penuh santri ‘ngintil’ kepada induk semang, karena
memang santri tinggal di rumahnya dan bergaul dengan
seluruh keluarganya,” ujar Maman, alumnus Darul Fallah era
1980-an. Jika pada siang harinya santri bekerja, maka pada
malam harinya santri diperbolehkan untuk berdiskusi dengan
induk semang tentang hal-hal teknis pekerjaan.
Dengan adanya santri magang, maka induk semang pun
merasa senang hati dan memperoleh keuntungan karena
mendapatkan bantuan gratis dari santri. Selain itu, induk
semang akan mendapatkan penghargaan berupa sertifikat
dari pesantren setelah santri menyelesaikan praktik magang.

92
Seluruh aktivitas santri selama mengikuti pekerjaan pada
induk semang, seperti perilaku, kerajinan, semangat, motivasi,
dan lainnya akan menjadi bahan pertimbangan bagi induk
semang untuk melakukan penilaian. Pihak pesantren memang
menyiapkan secara khusus sebuah form penilaian yang akan
diisi oleh induk semang dan dia diberikan kewenangan untuk
menilai seluruh kinerja santri selama bekerja kepadanya.
Form penilaian tersebut akan menjadi bahan pertimbangan
tim penilai saat menguji laporan magang siswa.
Setelah satu bulan penuh menjalani magang, selanjutnya
santri kembali ke pesantren dan diwajibkan untuk menyusun
laporan hasil magang. Laporan ini menggambarkan secara
utuh seluruh hal ihwal yang berhubungan dengan seluk-beluk
usaha pada induk semang.
Misalnya, Falah Rizaldy dan Abdul Aziz Ibrahim telah
menyelesaikan praktik magang selama satu bulan, yaitu pada
29 Juli sampai dengan 29 Agustus 2015. Keduanya mengambil
komoditas usaha agrobisnis pengolahan tanaman obat pada
CV Toga Nusantara sebagai tempat praktek magang. Usaha
ini dikelola oleh Aceng Sofyan, seorang usahawan tamatan
Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah. Lokasi usaha
bertempat di Kampung Raden, Jatiranggon, Jatisampurna,
Bekasi Selatan.
Kedua santri Pesantren Pertanian Darul Fallah ini
menyusun laporan hasil praktik magang. Laporannya diajukan
kepada pihak pesantren untuk memperoleh pengesahan pada
tanggal 29 Februari 2016.
Sebagaimana biasa, pada bab pendahuluan di dalam
laporan tersebut dijelaskan latar belakang kegiatan, tujuan
dan kegunaannya, metode, tempat, dan waktu magang. Pada

93
bab kedua, dijelaskan usaha tanaman obat di bawah bendera
CV Toga Nusantara, mulai gambaran umum usaha, tahapan
kegiatan usaha, teknologi yang diterapkan, penyimpanan, dan
pemasaran. Pada bab ketiga, memuat analisis usaha selama
periode satu bulan, dari pengeluaran, pemasukan, hingga laba
dan kerugian usaha.
Pada bab berikutnya, dijelaskan secara rinci tentang
profil Aceng Sofyan, pengelola usaha agrobisnis pengolahan
tanaman obat CV Toga Nusantara. Di sini dibahas tentang
kehidupan keluarganya, pengalaman pendidikan, pengalaman
pekerjaan, jaringan serta kiat-kiat dalam menjalankan
usahanya. Tak ketinggalan, kehidupan sosial sang pengelola
memperoleh bahasan khusus. Pada bagian akhir laporan,
terdapat kesimpulan dan saran. Sementara sebagai
lampirannya, terdapat agenda kegiatan santri selama berada
di tempat magang serta dokumentasi foto kegiatan santri.

Menguji Mental dengan Seminar


Waktu efektif santri bekerja pada induk semang selama
satu bulan penuh. Namun demikian, sesungguhnya seluruh
rangkaian praktik magang itu membutuhkan waktu satu
semester. Sebab, sejak awal semester genap pada kelas XI,
santri sudah terlibat dalam penyusunan paper pra magang.
Selanjutnya, pada akhir semester, mereka diwajibkan
menyusun laporan setelah menyelesaikan praktik magang.
Setelah penyusunan laporan hasil praktik magang selesai
dilakukan, maka laporan tersebut diajukan kepada pihak
pesantren untuk dilakukan penilaian atau pengujian. Pihak
pesantren pun membentuk tim khusus yang ditugaskan untuk
melakukan penilaian atas hasil kerja praktek magang santri.

94
Tim ini terdiri dari para dewan asatiz yang memang expert di
bidang pertanian serta para akademisi perguruan tinggi dari
luar pesantren yang akan menjadi narasumber pembahas.
Sidang penilaian dilaksanakan dalam sebuah seminar
terbuka di sebuah aula berukuran cukup luas di dalam
lingkungan pesantren. Seluruh civitas akademika pesantren
dari kalangan santri, ustaz serta pengasuh pesantren ikut
menghadiri acara ini. Kehadiran para pengasuh pesantren
tidak saja menunjukkan tanggungjawabnya memastikan
keberlangsungan proses pendidikan pesantren, namun
juga menjadi tambahan motivasi bagi para santri untuk
menampilkan performance yang lebih baik, baik dari sisi
konten laporan maupun saat sesi pemaparan.
Dalam seminar terbuka, santri mempresentasikan laporan
hasil praktik magang layaknya seorang kandidat doktor
mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji. Sebab
presentasi laporan hasil magang ini juga merupakan latihan
dan ujian mental yang luar biasa bagi santri.
Santri memaparkan secara detail dan sistematis seluruh
tahapan praktek magang sesuai dengan jenis komoditas yang
dipilih. Ia juga diuji pengetahuannya tentang komoditas
tersebut, serta peran apa saja yang dilakukan dalam proses
magang tersebut.
Jika seorang santri magang tentang budidaya lele,
misalnya, maka ia akan membawa contoh fisik ikan lele
dan mempraktekkan tata cara ternak lele di dalam ruangan
seminar tersebut. Di situ santri menjelaskan secara cermat
dengan contoh-contohnya seluruh tahapan praktek budidaya
lele mulai dari langkah yang paling awal hingga ikan lele
tersebut tumbuh berkembang dengan baik pada jenjang waktu

95
tertentu atau saat panen bisa dilakukan.
Selanjutnya, para narasumber selaku pembahas
mengonfirmasi data-data yang ada di dalam laporan santri,
dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting terkait hasil
praktik magang. Para peserta seminar pun diberikan sesi
khusus untuk melakukan diskusi. Selanjutnya, pada akhir
presentasi, santri memproleh nilai hasil praktek magang yang
menjadi prasyarat utama kenaikannya ke kelas XII atau kelas
akhir studi.

Belajar Tanpa Akhir


Pesantren Pertanian Darul Fallah ingin memastikan
pengalaman, kemampuan, dan pengetahuan santri tentang
pertanian pasca magang tetap kuat dan kokoh. Maka pesantren
mendesain sebuah kegiatan untuk santri yang disebut program
pasca magang.
Program ini secara khusus diperuntukkan bagi para santri
pasca magang dimana pesantren memberikan fasilitas kepada
santri untuk mengembangkan pengalamannya saat praktik
magang secara langsung di lahan pertanian atau fasilitas
peternakan milik pesantren.
Misalnya, santri yang pernah mengambil magang
perikanan dengan mengelola ikan gurame, maka pesantren
memberikan kesempatan kepada santri tersebut untuk
mengelola kolam ikan gurame milik pesantren. Demikian
seterusnya. Berbagai komoditas yang dipilih santri saat
praktik magang, seperti berkebun tanaman obat, peternakan
ayam, peternakan kelinci, peternakan sapi, dan lainnya.
Pesantren juga memberikan fasilitas yang sama di lahan milik
pesantren.

96
Kegiatan santri pasca magang ini memang difasilitasi,
baik lahan maupun pembiayaannya oleh pesantren sampai
mereka lulus di kelas XII. Adapun hasil atau keuntungan dari
kegiatan tersebut dibagi dua untuk santri dan pesantren.
Rida Mardliyah, misalnya. Santri kelas XII asal Bandung
ini mengambil pilihan komoditas ternak kelinci saat praktik
magang. Saat ini dia memanfaatkan program pasca magang
dengan memelihara kelinci yang difasilitasi oleh pesantren.
Setiap pagi ba’da Subuh, dia mencari pakan daun talas untuk
makanan hewan peliharaannya itu. “Ada lima ekor kelinci
yang lucu-lucu yang aku pelihara,” ujarnya. “kayaknya ngga
tega kalo’ dilepas (jual). Soalnya aku sayang banget sama
mereka,” tambah Rida.
Jika santri ingin mengambil hasil atau keuntungan dari
penjualan komoditas pada program pasca magang ini, maka
pihak pesantren pun memberikan izin. Bahkan pesantren
mengarahkan santri untuk kembali berkomunikasi dengan
induk semang saat mereka praktek magang sebelumnya.
Pesantren memang mendorong para santri agar mereka
tetap menjalin hubungan komunikasi dengan para induk
semang, meskipun praktek magang telah selesai dilakukan.
Alasannya, karena induk semang akan menjadi koneksi
pertama bagi santri saat mereka ingin memanfaatkan penjualan
produk yang dihasilkan dari kegiatan program pasca magang
santri di pesantren.
Maksudnya, santri dapat menjual hasil kegiatan pasca
magangnya kepada mereka, atau menghubungkan santri
dengan pihak lain yang telah bermitra dengan induk semang
mereka. Para induk semang tentu memiliki banyak jaringan
kerjasama dengan berbagai pihak, baik dalam hal pengadaan
komoditas, pemeliharaan maupun penjualannya pada unit

97
usaha masing-masing. Nah, para mitra induk semang ini
juga dapat dimanfaatkan oleh para santri berkat terjaganya
hubungan baik antara santri dengan induk semang.
“Hubungan komunikasi antara santri dengan induk
semang harus tetap berlanjut dan tidak boleh terputus,”
demikian saran dan arahan Maman, kepala MAT Darul
Fallah. Menurut Maman, santri justeru bisa berkoordinasi
dengan induk semang jika ingin menjual atau memanfaatkan
hasil dari komoditas program pasca magang.
Maka hubungan komunikasi antara santri dengan induk
semang, sesungguhnya layaknya hubungan anak dengan
Bapak. Terkadang bahkan melebihi hubungan santri dengan
gurunya sendiri di pesantren. Para induk semang dapat
dipastikan merasa senang hati membantu para santri. Oleh
karena itu, sudah menjadi tradisi yang baik bagi santri untuk
memanfaatkan waktu liburan pesantren dengan berkunjung
dan bersilaturahim ke rumah induk semang.
***
Rata-rata orang tua bahkan mungkin sebagian besar dari
mereka, saat menyekolahkan anaknya di sebuah lembaga
pendidikan termasuk di Pesantren Pertanian Darul Fallah,
mereka ingin agar anaknya memperoleh pendidikan yang
baik, khususnya nilai plus pendidikan agama di pesantren.
Selanjutnya, setelah tamat pendidikan pada jenjang yang
lebih tinggi, anaknya bisa bekerja dan memperoleh kehidupan
yang layak. Sulit –untuk tidak mengatakan tidak mungkin–
ada orang tua saat ini yang berkeinginan agar anaknya hidup
bertani setelah lulus pendidikan.
Pesantren Pertanian Darul Fallah menempa anak didiknya
dengan pengetahuan agama dan pengalaman tentang pertanian

98
bukanlah untuk menjadi buruh, pegawai, apalagi karyawan
dari sebuah perusahaan. Sesungguhnya, lembaga ini ingin
mencetak seorang tamatan pesantren yang justeru menjadi
pengelola dan pemilik dari sebuah usaha itu. Tegasnya, santri
alumni Pesantren Pertanian Darul Fallah adalah seorang
yang benar-benar mandiri secara ekonomi dan memberikan
manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. []

99
100
Pondok Pesantren Al-Ishlah
Menggali Potensi Batu Alam

Tarif

Keberadaan Kopontren sebagai badan usaha yayasan,


memberikan kontribusi bagi pendidikan yang dikelola
yayasan seluruhnya.

Dentuman suara palu godam belum berhenti. Entah


sudah berapa kali palu-palu itu menghujam bumi. Senja
yang menjelang membuat mereka lebih cepat lagi memecah
bebatuan di sebuah gunung di Desa Bobos, Kecamatan
Dukuhpuntang, Cirebon, Jawa Barat.
Para penambang itu adalah anggota Koperasi Pesantren
Al-Ishlah. Sehari-hari, mereka menggunakan alat tradisional
berupa palu godam untuk memperoleh batuan alam. Batu-
batu ini memiliki nilai ekonomi tinggi. Bebatuan tersebut
bisa diolah menjadi Feldspar (pelebur/perekat pada industri
keramik, dan gelas), Kaolin (Filer dalam industri cat, ban,
kertas dan farmasi), Whisper untuk olahan semen, hingga
diolah menjadi porselin dan keramik.

101
Penambangan batu alam menjadi usaha pokok Koperasi
Pesantren (Kopontren) Al-Ishlah. Salah satu badan usaha
pesantren tertua di Cirebon. Koperasi sudah memegang
lisensi sebagai pengelola Galian C di Gunung Kuda sejak
1990. Tidak heran jika kopontren memilih batu alam sebagai
bisnis mereka.
Gunung Kuda yang terletak dalam habitat Pesantren Al-
Ishlah menjadi anugerah bagi para santri dan masyarakat
sekitar. Batu alam dari pegunungan di wilayah Bobos ini
bahkan pernah menjadi yang terbaik di Indonesia. Pesantren
dengan jelinya memanfaatkan potensi ini sehingga dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan lembaga-
lembaga pendidikan dan ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Lingkup penambangan Kopontren Al-Ishlah ada di tiga
desa yakni Desa Bobos, Lengkong, dan Cipanas. Mereka
memiliki anggota para pengrajin batu alam yang menggunakan
alat-alat sederhana.
Aktivitas ekonomi kopontren tak sekadar melibatkan
pesantren dan santri. Mereka pun menghimpun masyarakat
dalam koperasi. Pihak kopontren membantu memasarkan
produknya dengan harga yang baik. Di dalam koperasi,
mereka juga mendapat pembinaan untuk meningkatkan
kualitas produk sehingga memiliki mutu tinggi.
Untuk meningkatkan kapasitas produksi, koperasi
juga menjalin mitra dengan pabrik pemotongan batu alam.
Jumlahnya mencapai lebih dari 150 pabrik atau home industri
yang tersebar di beberapa desa di wilayah Gunung Kuda.
Kualitas batu alam asal Bobos tak hanya diminati di
dalam negeri namun juga mancanegara. Dari tahun ke tahun,
permintaan ekspor batu alam hasil kerajinan masyarakat

102
Bobos, terus meningkat. Usaha pengolahan batu alam pun
semakin menggairahkan. “Ekspor batu alam tujuan Malaysia,
Jepang, Korea dan Eropa, terus meningkat, karena produk
olahan kerajinan Cirebon cukup diminati pasar,” kata salah
seorang perajin batu alam di Cirebon.
Perajin itu mengatakan, biasanya hanya dua kontainer
kiriman berbagai jenis batu alam untuk Malaysia. Kini bisa
mencapai empat kontainer, sedangkan pasar Jepang didominasi
pesanan batu kuningan desain natural. Ia menambahkan,
olahan batu alam putih khas Desa Bobos cukup diminati pasar
Malaysia, sedangkan untuk batu kuningan desain minimalis
permintaan cukup tinggi datang dari Eropa dan Jepang.
Produk yang mereka sukai adalah Sand Stone, Lime
Stone, Rastic Lading, dan Handycraft Stone. Sedangkan
konsumen dalam negeri berasal dari Bandung, Batam, Bali,
Cirebon, Jakarta, Lampung, Medan dan Surabaya. Produk
yang diminati adalah jenis Batu Ukir, Ornamen dan Batu
Ukur.
Konsumen Jakarta yang kerap membeli batu asal Bobos
dapat dijumpai di Golf Course Pantai Indah Kapuk, Bank
Indonesia, Gedung PLN Trunojoyo Kebayoran Baru, dan
Wisma Tugu Rasuna Said. Di Bali, produk batu asal Bobos
juga dipajang di Hotel Nusa Dua, Bali Beach Hotel.
Geliat usaha batu alam membuat omzet kopontren
terdongkrak. Jangan heran jika hasil pen­dapatan bruto koperasi
dari unit batu alam pada 2016 mencapai Rp 4,36 miliar.
Dari jumlah tersebut, unit batu alam mampu memperoleh
keuntungan bersih sebesar Rp. 2,6 miliar. Laba bersih ini pun
meningkat dibanding pada 2015 yang mencapai angka Rp 1,9
miliar.

103
Menjadi “BUMN” Pesantren
Asal mula pengembangan ekonomi pesantren Al-Ishlah
diinisiasi beberapa tokoh. Di antaranya Bapak H. Mahfudz,
Bapak Tarma Salamiharja (alm.), dan Syamsuri WS. Pada
tahun 90-an, mereka mendirikan sebuah Warung Serba Ada
(Waserda) pesantren. Waserda itu mengalami perkembangan
cukup baik dalam mengembangkan potensi ekonomi internal
pesantren.
Ketua kopontren Ustaz Usep Saefudin Zuhri menjelas­
kan, para tokoh dalam Waserda kemudian berikhtiar untuk
mengembangkan sumber pendapatan lain. Salah satunya usaha
batu alam yang lokasinya berada di lingkungan pesantren.
Mereka lantas mendirikan sebuah koperasi pondok pesantren
untuk menaungi usaha tersebut.
Pendirian koperasi juga didasarkan pada potensi alam di
lingkungan Bo­bos yang kaya hasil tambang, serta ma­syarakat
sekitar yang telah lama menjadi pengrajin batu alam. Jumlah
pengrajin yang menggantungkan kehidupan eko­nomi dari
batu alam Gunung Kuda sekitar 800 orang. Pesantren berusaha
mewadahi mereka dalam usaha yang legal dan bermartabat.
Dampaknya, pema­saran lancar dan harga menjadi lebih baik.
Koperasi pun dipilih untuk menaungi mereka. Apalagi para
pengasuh maupun pengajar, alumni di pesantren itu juga
menjadi pelaku usaha yang tergolong sukses.
Pengembangan usaha pengolahan berbagai macam
batu alam di Desa Bobos Kecamatan Dukupuntang pada
tahun 90-an pun masih potensial karena bahan baku tersedia
melimpah. Selain itu permintaan konsumen dari luar kota terus
meningkat. Menurut Apung Furqon, wakil ketua yayasan,
pasar pengolahan batu alam masih terbuka luas hingga

104
sekarang. Dia menjelaskan, batu alam semakin diminati
konsumen terutama untuk akseksoris bangunan. Contohnya,
batu alam suntiri yang kerap dicari baik konsumen dalam
kota juga luar daerah.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, kopontren berdiri
lewat akta pen­dirian tertanggal 31 Mei tahun 1990, de­ngan
Badan Hukum Koperasi Nomor 9289/BH/PAD/KWK-10/
IV/1997. SIPD: 503/Kep.517/Dis LH Hut Tamb/2007, se­­
mentara SIUP: 013/10-23/PM/II/­2004, TDP: 102226500083,
SITU/HO : 503/402-Disperindag/2006, SK Menhut: SK.469-
Men-Hut/II/2006. Bidang usa­ha yang dijalankan kopontren
adalah: penambangan batu alam, felspar, tanah urug, atras.
Sementara usaha-usaha lain adalah : Unit Simpan Pinjam
Swamitra, Unit Jasa Keuangan Syariah, Unit Minimarket
Smescomart, Unit Alfamart, Unit Warnet, ATK dan
Fotokopi.
Pada awalnya, Apung Furqon men­jelaskan, keberadaan
kopontren digagas oleh Yayasan Al-Ishlah. Hanya, dalam
perkembangannya mengalami perubahan seiring dengan
adanya aturan tentang yayasan dan undang-undang tentang
koperasi. Isi dari beleid itu di antaranya yayasan tidak
diperkenankan mengelola langsung badan usaha. Karena itu,
untuk memenuhi regulasi tersebut, seluruh usaha ekonomi
pesantren diberikan mandat kepada kopontren dengan mem­
berikan keuntungan setiap tahunnya berupa sisa hasil usaha
(SHU). “Sehingga dapat dikatakan keberadaan kopontren
merupakan “BUMN”nya yayasan al-Ishlah,” kata Prof. Dr.
Adang Djumhur selaku ketua Yayasan Al-Ishlah saat ini.
Kopontren Al-Ishlah pun menyusun visinya yakni potensi
sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia sebagai
sektor yang terpadu sepenuhnya dalam proses pemberdayaan

105
dan pembangunan ekonomi umat. Visi lainnya adalah
mengembangkan konsep pemberdayaan ekonomi melalui
suatu unit usaha yang dapat menyerap dan melibatkan
masyarakat dalam suatu pola kemitraan usaha berdasarkan
potensi masing-masing pihak.

Keanggotaan Koperasi
Anggota koperasi adalah pemilik dan pengguna jasa
koperasi. Maju mundurnya koperasi bergantung dari peran
anggota koperasi. Bilamana anggota dan pengurus merasa
berkepentingan terhadap ke­majuan koperasi. Perkembangan
jumlah anggota Kopontren Al-Ishlah mengalami pasang surut
sesuai dengan dinamika keanggotaannya pada tahun buku
2015 jumlah anggota mencatat rekor terbanyak yakni 1.493
orang.
Karakteristik anggota kopontren berasal dari berbagai
profesi yang beragam. Mereka terdiri dari karyawan, guru/
tenaga pengajar, kiai/sesepuh, wiraswasta, pe­dagang,
pegawai negeri sipil (PNS), ibu rumah tangga, jasa angkutan/
ojek, dan lain-lain. Grafik keanggotaan sejak 1996 cenderung
fluktuatif. Hanya, pada 2015 jumlah anggota meningkat
tajam. Pening­katan jumlah anggota yang besar terutama
terjadi sejak tahun 1999, yaitu sejak dimulainya operasi
penambangan batu alam dan beroperasinya USP Swamitra.
Untuk mengoptimalkan pela­yanan ke­pada anggota, kopontren
sedikitnya mempekerjakan sebanyak 85 orang. 
Perkembangan dan partisipasi anggota koperasi yang lebih
maksimal berdampak pada perkembangan koperasi yang lebih
baik. Kopontren Al-Ishlah melakukan perekrutan anggota
berdasarkan adanya prinsip keinginan dan kepentingan

106
antara anggota dengan koperasi. Perkembangan anggota dari
tahun ke tahun terus bertambah maka harus diikuti dengan
prinsip-prinsip tata kelola koperasi yang lebih baik (GCG).
Sebagaimana yang diharapkan pemerintah agar lembaga
harus dibangun menjadi tangguh, efisien, dan menguntungkan
berkesinambungan dalam jangka waktu panjang. Koperasi
pun diharapkan mampu memberi pelayanan yang baik dan
berkualitas kepada anggota.

Kontribusi Kopontren dalam Pendidikan


Koperasi Al-Ishlah yang telah berdiri puluhan tahun lalu
mengembangkan berbagai jenis usaha. Dari perdagangan
kebutuhan pokok hingga pengolahan batu alam ada di koperasi
ini. Kopontren dari tahun ke tahun mengalami kemajuan, baik
dalam kelembagaan, keanggotaan, jumlah aset maupun dari
jumlah pendapatannya. Ustaz Usep menjelaskan, sampai saat
ini, jumlah aset dari kopontren saja berkisar di atas Rp 27
miliar (2016). Aset ini berasal dari aset Unit simpan pinjam
syariah atau BMT sekitar Rp 11 miliar Swamitra Syariah
sekitar Rp 7 miliar dan koperasi sendiri sekitar Rp 9 miliar.
Sementara aset yayasan dan lembaga belum terintegrasi
dengan koperasi. Ustaz Usep menjelaskan, kedepannya
diharapkan ada neraca konsolidasi, yang berfungsi untuk
melihat berapa jumlah aset yang dimiliki yayasan termasuk
tanah-tanah wakaf juga menjadi aset yayasan.
Keberadaan kopontren sebagai badan usaha yayasan,
memberikan kontribusi bagi pendidikan yang dikelola
yayasan seluruhnya. Pada akhir tahun 2016, kontribusinya
mencapai Rp 1, 6 miliar. Kontribusi tersebut meningkat dari
tahun sebelumnya yang berkisar Rp 1,2 miliar. Dana terbesar

107
berasal dari unit galian C.
Dana kontribusi kopontren kepada yayasan selanjutnya
didistribusikan untuk kegiatan-kegiatan yayasan seperti
lembaga pendidikan dan sosial. Menurut Nida Nurjunaidah
selaku bendahara yayasan menyebutkan, pada tahun buku
2017 akan diberikan persentase SHU kepada yayasan
sebesar 40 %. Sebanyak 10 persen dari SHU diberikan secara
langsung kepada para guru-guru setiap bulannya dalam bentuk
pembelian natura (barang belanjaan). Dana itu diambil dari
alfamart yang menjadi unit usaha dari kopontren.
Lembaga-lembaga pendidikan yang ada di bawah yayasan
diberikan secara otonom, namun tidak seluruh lembaga
diberikan subsidi yayasan. Contohnya lembaga yang sudah
mapan seperti RA, MI, dan MTs. Sementara itu, pesantren,
MA. dan STEI masih mendapatkan subsidi. Menurut Nida
Nurjunaidah, nilai rerata yang diperoleh dari kopontren
yakni Rp 150 juta perbulan. Untuk menjaga akuntabilitas,
setiap lembaga yang mengajukan anggaran ke yayasan harus
membuat rancangan anggaran belanja (RAB).
Selain adanya kontribusi kopontren untuk pendidikan,
kopontren juga menyalurkan dana CSR kepada para
mustadafin. Pemberian beasiswa pendidikan dan penyaluran
sosial lainnya dari para anggota, keluarga besar Al-Ishlah
dan masyarakat sekitarnya juga dilakukan. Hasil pendapatan
kopontren ini dapat memberikan manfaat bagi anggota dan
masyarakat sekitarnya.
Demi mendukung pembiayaan para pengrajin dan
unit-unit usaha lain, koperasi membuka unit Swamitra
bekerjasama dengan Bank Bu­kopin. Sejak 2001 unit usaha
Batu Alam mengalami reposisi sesuai per­kembangan,

108
dinamika, dan orientasi bisnis kopontren menjadi satu unit
tersendiri dan otonom. Setelah unit-unit lain mengalami
perkembangan, maka unit-unit tersebut juga bersifat otonom.
Istilahnya, koperasi hanya berfungsi sebagai corporate (induk
organisasi).
Melihat kinerja Kopontren Al-Ishlah yang sangat positif
terhadap per­gerakan ekonomi pun mengundang decak
kagum pihak luar. Bukti itu da­pat terlihat dari beberapa
piagam peng­hargaan yang pernah diraihnya. Pada 1997,
misalnya, menerima pia­gam penghargaan, The Interna­
tional Cooperative and small Enterprise Exhibition, tahun
beri­kutnya mengan­tongi predikat kopontren terbaik tingkat
Jawa Barat, sejak 1993-1999 selalu menjadi koperasi kelas
A (sa­ngat baik). Tahun buku 2001 kembali penghargaan
Kementerian Koperasi dan UKM sebagai koperasi ber­pres­tasi
tingkat nasional. Khusus untuk USP Swamitra ju­ga meraih
penghargaan sebagai unit USP terbaik II periode 1999-2000
se-wilayah Cirebon – Brebes tahun berikutnya masuk dalam
sepuluh besar (top ten) Swamitra terbaik tingkat nasional.
Piagam penghargaan pembinaan pengusaha ekonomi kecil dan
koperasi (PPELK) PLN kerja sama dengan Bank Bukopin.

Al-Ishlah : Pesantren Tertua di Cirebon


Keberadaan Pesantren Darut Tauhid Al-Ishlah berawal
dari aktivitas dakwah yang dilakukan oleh ulama asal Banten
dan Cirebon tepatnya Desa Bobos. Pada 1850, mereka
membuka kawasan perkampungan dan  pondok pesantren.
Beberapa tokoh ikut menjadi pelopor dibukanya kawasan ini
seperti K. Adro’i bin Kalamuddin, Bapak Iyoh, Bapak Kuwu
Sajim, dan H. Idris bin K Adro’i.

109
Pembukaan kawasan lalu dilanjutkan oleh generasi
penerusnya yang merupakan ahli waris atau keturunan dan
murid dari tokoh-tokoh pendiri. Setidaknya, ada tiga periode
perkembangan Pesantren Al-Ishlah yang bisa dibagi sebagai
berikut
Periode kebangkitan I berkisar tahun 1920-1950; yaitu
periode kebangkitan Pesantren Al-Ishlah yang saat itu
dipimpin oleh KH. Ahmad Suja’i bin H. Idris (wafat tahun
1940), Abu Barkawi bin Abdul Qohar bin Iyoh (wafat tahun
1977), H. Solihin (wafat tahun 1979), H. Sobur (wafat
tahun1982) KH. Asyikin Suja’I (1982), K. Abdulloh (wafat
1984).
Selanjutnya masa periode kebangkitan II yang berkisar
tahun 1950-1990; pada masa ini dipelopori oleh K. Emet
Ahmad Khotib (1925-1990), Syamsuri Ws, K. Hulaimi, K.
Zainal Arifin bin H. Solihin, Abdul Kohar bin Abu Barkawi,
H. Asy’ari bin K. Jazuli, H. Bahri bin Abdul Mu’in dan H.
Dimi Dimyati bin H. Sobur. Pada periode kebangkitan II,
tepat tahun 1970 berdirinya Lembaga Pendidikan Madrasah
Tsanawiyah pertama di Kabupaten Cirebon, menunjukkan
peran Pondok Pesantren Al-Ishlah dalam dunia pendidikan
di Kabupaten Cirebon dan empat tahun berselang yaitu tahun
1974.
Berdirinya Madrasah  Aliyah  pertama di kabupaten
Cirebon dan berdirinya YAYASAN ISLAM AL-ISHLAH
resmi tercatat pada akta notaris Iskandar Wiramihardja,
SH. No. 45 tahun 1974, dengan nama  YAYASAN ISLAM
AL-ISHLAH, sebagai induk kegiatan penyelenggaraan
pendidikan di Kabupaten Cirebon dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi.

110
Sebagai lembaga pendidikan, sosial, dan ekonomi,
pesantren ini berada dalam naungan Yayasan Islam Al-
Ishlah, yang tercatat secara resmi pada akta notaris Iskandar
Wiramihardja, SH. No. 45 tahun 1974. Yayasan ini menjadi
induk kegiatan penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten
Cirebon dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Visi dari yayasan ini adalah “Mencetak generasi muslim
paripurna (Khoerulfard) yang sehat fisik, sehat akal, dan sehat
hati menuju terciptanya masyarakat idaman (Khoerulfard).
Sementara itu, misi dari yayasan ini adalah Mengelola lembaga
Pendidikan, Sosial, Dakwah dan Ekonomi dari tingkat paling
rendah (mikro) sampai tingkat paling tinggi (makro) sebagai
pengejawantahan konsep Ishlah -Tsamaniyah yaitu Ishlah
al-Aqidah, Ishlah al-Ibadah, Ishlah al-Muamalah, Ishlah
Iqtisodiyah, Ishlah al-Ijtimaiyyah, Ishlah as-Siyasah, Ishlah
al-Usroh, dan Ishlah at-Tarbiyah.
Pesantren al-Ishlah dalam meng­gerakkan roda organisiasi
telah membentuk dewan pembina, pengurus harian, majelis-
majelis dan pengawas. Mereka dipilih melalui musyawarah
keluarga besar Al-Ishlah yang dilakukan setiap lima tahun
sekali.
Struktur Yayasan Al-Ishlah terdiri dari dewan pembina.
Saat ini diketuai oleh Dr. Achmad Kholiq, MA. sekretaris
Oon Konaah, MM. dengan anggota dewan pembina sebanyak
9 orang dari berbagai lintas profesi dan keilmuan. Dewan
pengawas dipimpin oleh Drs. H. Budiman Mahfudz, BA,
Sekrteris Drs. H. Abd. Rosyid, M.Pd. yang dibantu dua
anggota pengawas.
Dalam menjalankan roda kepengurusan yayasan adalah
pengurus harian terdiri dari ketua : Prof. Dr. Adang Djumhur,

111
MA, Wakil Ketua : Apung Furqan, SE, Prof. Dr. Abdussalam,
MM sebagai sekretaris, dan M. Khoozinul Huda sebagai wakil
sekretaris. Sementara Bendahara dipegang Nida Nurjunaidah,
MA. dan Wakil bendahara Iyah Sopiah, SE.Sy.
Pengurus harian dalam menjalankan organisasinya
dibantu tiga majelis, yaitu: majelis tarbiyah (pendidikan),
Majelis Ijtimaiyah (Kemasyarakatan), dan Majelis Iqtisodiyah
(Ekonomi dan Pembangunan). Majelis Tarbiyah diketuai oleh
Ahcmad Abd. Khozin, MA dan Dr. Yayah Nurhidayah, M.Si,
Majelis Ijtimaiyah dipimpin oleh Udin Komarudin, SE dan
Achmad Faozi, SHI, dan Majelis Iqtisodiyah dipimpin oleh
Budiman MA dan Duding Khoerudin.
Ketiga majelis tersebut masing-masing membawahi
beberapa unit lembaga, majelis pendidikan terdapat 8
(delapan) unit lembaga pendidikan yang memilki kepala
pimpinan masing-masing, yaitu: pondok pesantren, Raudhatul
Athfal (RA), Diniyah Takmiliyah Awaliah (DTA), Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliah (MA) dan
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI). Majelis Ijtimaiyah
(sosial) memiliki unit lembaga yaitu : lembaga Kesejahteraan
sosial Anak (LKSA), Majelis taklim, Dewan Kemakmuran
Masjid (DKM), dan Baitul Maal.
Majelis ekonomi dan pembangunan (Iqtisodiyah)
yayasan Al-Ishlah memiliki badan usaha yang berperan
sentral dalam mendapatkan sumber-sumber dana pembiayaan
untuk kegiatan operasional yayasan. Badan usaha ini yang
melak­sanakan sepenuhnya Kopontren (Koperasi Pondok
Pesantren). Setiap tahun, majelis ekonomi dan pembangunan
mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU) dari Kopontren. Pada
2017, SHU untuk pendidikan dianggarkan sebesar 30–40 %.

112
Kopontren Al-Ishlah sebagai “BUMN”-nya yayasan
mendapatkan amanah untuk menggali, mengelola dan
mengembangkan sumber-sumber finansial. Saat ini,
Kopontren diketuai oleh H. Usep Saefudin Zuhri, M.Pd.I
dengan sekretaris Agus Hasanudin, ST dan bendahara Dian
Komarudin.
Kegiatan pemberdayaan ekonomi me­rupakan upaya
dalam meningkatkan kesejahteraan, baik di lingkungan pe­
santren maupun di lingkungan ma­sya­rakat sekitar pesantren.
Dengan meng­optimalkan penggunaan sumber daya di
lingkungan sekitar pesantren, rangsangan usaha-usaha baru
yang menguntungkan pun lahir. Kegiatan ekonomi juga
bisa menyerap tenaga kerja dari lingkungan masyarakat
pesantren.

Model Kemandirian Pesantren


Al-Ishlah termasuk kategori pesantren yang
mengembangkan poten­si ekonomi pesantren melalui tenaga
profesional. Dari hasil usaha tersebut keuntungannya
dimanfaatkan untuk kepentingan di lembaga-lembaga pen­
didikan yang ada di Yayasan Islam Al-Ishlah.
Keterlibatan para santri atau siswa secara langung dalam
kegiatan ekonomi masih minim atau boleh dibilang belum ada.
Ustaz Usep Syaefuddin Zuhri menjelaskan, “Memang masih
belum dilakukan, belum sampai menjadi sarana praktik bagi
anak-anak atau santri, hanya untuk magang untuk perguruan
tinggi memang ada, PPL misalnya beberapa mahasiswa STEI
yang melakukan magang di unit-unit usaha koperasi sudah
mulai, tetapi kalau anak-anak santri belum.”
Ide kemandirian pesantren muncul pada masa

113
kepemimpinan KH. Emet Achmad Khotib (Almarhum) pada
tahun 1988. Dia menggagas berdirinya lembaga pesantren
khusus yang dikenal dengan Pesantren Daruttauhid Al-Ishlah.
Output lembaga ini diharapkan nantinya santri menguasai
ilmu-ilmu agama Islam sekaligus juga memiliki ketrampilan
hidup atau life skill, berbeda pada santri pada umumnya. Para
santri DT ini tidak belajar pada pendidikan sekolah formal.
Mereka fokus mengaji kitab-kitab kuning dan pembelajaran
life skill.
Para santri selain diajarkan kitab-kitab turas, mereka juga
belajar langsung bercocok tanam melalui materi pertanian,
berkebun, dan beternak. Seiring dengan kepergian Kiai Emet,
pengembangan DT pun tidak berlangsung lama sebagaimana
yang dicita-citakan oleh Kiai Emet.

Pendidikan yang Dikembangkan


Tarbiyah atau pendidikan merupakan kegiatan utama dari
Yayasan Islam Al-Ishlah. Pendidikan yang diselenggarakan
berbentuk formal maupun non formal, dari tingkat TK sampai
perguruan tinggi. Untuk memperlancar penyelenggaraan
pendidikan tersebut Yayasan Islam Al-Ishlah dibantu 180
orang guru dan staf yang terdiri dari guru tetap, guru bantu
dari pemerintah serta guru tidak tetap.
Pendidikan pesantren yang semula hanya menyelenggara­
kan pengajian se­cara non formal perlahan berubah. Selain
belajar di pesantren, santri juga belajar sekolah formal di
Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang ada di
lingkungan pondok. Pimpinan pesantren atau rois ma’had
dipimpin KH. Solahudin AR alumni dari PTIQ Jakarta, yang
dibantu 20 ustaz.

114
Ada enam kelas di pesantren. Bangunannya dilengkapi
berbagai fasilitas, antara lain gedung asrama putra dan putri,
ruang belajar, sarana olahraga, masjid, kelas multimedia dan
lain-lain.
Pengelola pesantren mengharapkan penyelenggaraan
pendidikan mampu melahirkan santri yang sholeh secara
mandiri, terampil, dan kreatif. Tak hanya itu, mereka pun
ditargetkan bisa menghafal dan dekat dengan Al-Qur’an,
berakidah salimah, beribadah salihah, berakhlak mulia,
berpikir cerdas, berbadan sehat, berwawasan baik, giat
bekerja, dan berguna bagi masyarakat.
Keberadaan santri Al-Ishlah mengalami fluktuasi,
umumnya berasal dari Indramayu, Kuningan, Cirebon,
Majalengka, Bogor, Jakarta, Bekasi, Tangerang.
Sementara itu, lembaga yang lahir belakangan adalah
perguruan tinggi. Institusi berupa Sekolah Tinggi Ekonomi
Islam (STEI). Sekolah tinggi ini dibentuk untuk merespon
pengembangan ekonomi Islam yang berkembang di
masyarakat. STEI yang didirikan tahun 2005 saat ini
berakreditasi B. Program studi yang diselenggarakan
meliputi program Ekonomi Syariah, Perbankan Syariah dan
manajemen bisnis syariah. Ada 300 mahasiswa yang kuliah
di STEI.
Selain mengembangkan pendidikan, Yayasan al-Ishah
juga melakukan perbaikan dalam bidang sosial atau Ijtimaiyah
(ishlahul Ijtimaiyah). Bidang ini meliputi syiar dan dakwah,
yaitu pembinaan dan pendidikan, baik langsung maupun
tidak langsung ke masyarakat melalui majelis taklim, masjid,
penerbitan tabloid dakwah atau pendidikan. Mereka juga
melakukan santunan atau bantuan sosial ke desa-desa.

115
Pembinaan panti sosial anak juga salah satu program
bidang ini. Contohnya santunan fakir miskin atau orangtua,
pemberian beasiswa kepada santri/siswa tak mampu, bantuan
kuliah kepada guru/karyawan berprestasi melalui lembaga
LKSA atau baitul mal. Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak
Al-Ishlah saat ini telah membantu 40 anak binaan khususnya
bagi mereka yang kurang mampu (anak yatim piatu) mulai
tingkat ibtidaiyah hingga aliyah.

ZIS : Penopang Awal Pendidikan Pesantren


Pesantren Al-Ishlah dikenal sebagai pesantren modern
yang berdiri di atas semua kelompok dan golongan. Banyak
di antara para santri dan siswanya berasal dari Nahdhatul
Ulama, Muhammadiyah, Persis, PUI, dan yang tidak
berafiliasi. Dalam melaksanakan aktifitas pendi­dikannya
banyak tertumpu pada swadya masyarakat, wali santri dan
para donatur. Selain itu sebelum tahun 90-an seluruh kegiatan
lembaga pendidikan seringkali ditopang dari pengumpulan
dana yang berasal dari zakat, infak dan sedekah (ZIS) dari
keluarga besar Al-Ishlah yang berkecukupan. Mereka berasal
dari berbagai daerah seperti di Jakarta, Bekasi, Tegal, Cirebon,
Cilacap, Yogyakarta, Medan, Palembang, dan sebagainya.
Setiap bulan, ada petugas ZIS dari yayasan diberi amanah
untuk keliling ke berbagai lokasi dimana ada warga atau
alumni yang memiliki usaha yang sudah mapan. Menurut
Ustaz Usep yang pernah dua tahun melakukan pengumpulan
dana ZIS, ada Rp 100 juta lebih yang terkumpul setiap bulan.
Dari hasil pengumpulan dana tersebut dapat mencukupi
operasional kegiatan belajar mengajar dan membangun
sarana dan prasarana di lingkungan Pesantren Al-Ishlah.

116
Lebih lanjut, Ustaz Usep juga menyebutkan bahwa
memang waktu itu seratus persen pembiayaan operasional
yayasan berasal dari dana infak. Saat itu, jumlah para wali
santri belum begitu banyak dan kondisi SPP warga Bobos
belum begitu maju. Karena itu, dana infak untuk pesantren
agak besar. Ustaz Usep bahkan menjelaskan, hampir tiga
tahun dia berkeliling ke Jakarta, Solo, Yogyakarta, Cilacap,
Tegal, dan lain-lain. Untuk operasional yayasan saat itu
sudah dianggap cukup, termasuk bisa menggaji guru-guru
dan karyawan Al-Ishlah.
Lebih lanjut, Ustaz Usep menjelaskan dari kondisi
tersebut, pihak pesantren akhirnya membuat satu sikap
bagaimana bisa mandiri. Sebuah iktikad bersama disepakati
bahwa yayasan harus punya sebuah usaha. Dengan demikian,
didirikanlah sebuah koperasi dengan berbagai macam
unitnya.
Koperasi yang sudah dijelaskan di atas yakni Koperasi
Pesantren Al-Ishlah pun berkembang pesat. Dengan usaha
penambangan batu alam, kopontren itu bisa menjadi semacam
badan usaha yang menopang biaya operasional di pesantren.

Meneropong Potensi Pesantren


Pesantren merupakan institusi pendidikan yang pada awal
pendiriannya diorientasikan pada penguasaan pendidikan
agama Islam atau tafaqquh fiddin. Dalam perkembangannya,
pesantren mengalami pergeseran seiring dengan dinamika
dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks. Selain
sebagai intitusi pendidikan pesantren juga menjadi pusat
kebudayaan, sosial dan ekonomi. Karena itu, perkembangan
pesantren mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan,

117
baik secara kuantitas maupun kualitas.
Keberadaan pondok pesantren masih tetap eksis di
tengah masyarakat. Di antaranya faktor adanya kemandirian
pesantren. Berawal dari figur kiai sebagai tokoh sentral
yang disegani oleh masyarakat pesantren berkembang. Kiai
merupakan pendiri dan sekaligus pemilik pesantren, sehingga
seluruh aktifitasnya selama ini ditopang oleh kiai dan
keluarganya. Seiring dengan perkembangannya kemandirian
pesantren mengalami pergeseran, baik secara kelembagaan
maupun sebagai lembaga sosial dan ekonomi.
Kemandirian kelembagaan dan ekonomi pesantren
menjadi penting untuk dapat menggerakkan pesantren menjadi
pusat gerakan dan keunggulan umat terutama dalam bidang
dakwah, dan pendidikan. Karenanya, pesantren harus kuat dan
mandiri baik dari segi kelembagaan maupun ekonomi, agar
pesantren dapat tegak berdiri dan leluasa mengembangkan
dakwah kepada umat.
Secara umum terdapat tiga potensi ekonomi yang bisa
dikembangkan di pondok pesantren. Pertama adalah potensi
internal dari santri; kedua potensi masyarakat sekitar pesantren,
dan ketiga potensi zakat, infak, serta wakaf umat. Ketiganya
harus diolah dan diberdayakan oleh pesantren. Tulisan ini
diharapkan mampu meneropong potensi Pondok Pesantren
Al-Ishlah Bobos dalam mengembangkan kemandirian
ekonomi pesantren dan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Keberadaan Pondok Pesantren al-Ishlah yang berlokasi
di Jalan Raya Imam Bonjol Desa Bobos, Kecamatan
Dukuhpuntang Kabupaten Cirebon Jawa Barat, melahirkan
para alumninya sebagai intelektual, pengusaha, dan profesi
lainnya. Pesantren pun dikenal memiliki potensi luar biasa
dengan adanya Gunung Kuda.

118
Pesantren dengan jelinya memanfaatkan potensi ini
sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
lembaga-lembaga pendidikan dan ekonomi masyarakat di
sekitarnya.
Tamatan pesantren memang banyak melahirkan para
ustaz, ustazah atau kiai. Namun jika para alumninya banyak
menjadi pebisnis merupakan pencapaian yang luar biasa. Di
Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Ishlah, para santrinya pun
diharapkan terinspirasi menjadi wirausahawan. Sebab, para
pengajarnya juga rata-rata menekuni dunia bisnis. Di dalam
pesantren yang beralamat di Jalan Imam Bonjol Bobos,
Dukupuntang, Cirebon, Jawa Barat ini, terbentuk koperasi
yang lumayan berkembang. Bahkan dibanding koperasi-
koperasi di kalangan pesantren, koperasi tersebut termasuk
paling maju.
Pengembangan kemandirian ekonomi di pesantren pun
merupakan sesuatu yang harus menjadi prioritas utama dalam
mengembangkan pesantren ke depan. Pesantren yang jeli
membaca memanfaatkan sumber-sumber potensi ekonomi
pesantren baik akan semakin survive dalam menggerakan
tujuan pendidikan, dakwah dan ekonomi umat.
Untuk meningkatkan kemandirian ekonomi Pesantren
Al-Ishlah, dan umumnya pesantren perlu kiranya: 1)
memberikan materi kurikulum dan praktek kewirausahaan
bagi para santri yang diharakan nantinya dapat menjadi bekal
hidup setelah lulus, dari pesantren dan terjun mengabdi di
tengah masyarakat, 2) menjadikan pesantren sebagai pusat
gerakan dan keunggulan umat terutama dalam pendidikan
dan dakwah, karenanya pesantren harus kuat dan mandiri
secara kelembagaan dan ekonomi, 3) memaksimalkan
potensi ekonomi santri, potensi ekonomi sekitar pesantren,

119
dan potensi zakat dan wakaf umat.

120
Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulum
Asy-Syar’iyyah (MUS)
Mengelola Pabrik Es
Hingga Warung Apung

Achmad Dudin

Di pesantren tidak diajarkan teori bisnis/wirausaha.


Namun, santri terlibat langsung dalam praktik wirausaha.

Di tepi Laut Sarang, ratusan kapal sedang merapat. Kapal


beragam ukuran itu baru saja selesai mencari ikan. Menjelang
senja, lampu-lampu kecil kapal dinyalakan. Kelap-kelipnya
menjadi pe­mandangan eksotis di pantai utara Kabu­paten
Rembang, Jawa Tengah.
Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, masyhur dengan
kemaritimannya. Terbukti dengan melimpahnya hasil laut
yang ada di kawasan itu. Tak hanya itu, usaha penggalangan
kapal di daerah ini benar-benar hidup. Setiap hari, mereka
memproduksi kapal-kapal baru. Sarang, merupakan wilayah
ujung paling timur Rembang yang berbatasan dengan Jawa
Timur. Di wilayah pantai utara itu, mayoritas penduduknya

121
berprofesi sebagai nelayan.
Kehidupan maritim di Sarang dilihat sebagai peluang
usaha bukan hanya oleh pengusaha. Ide itu justru datang dari
kalangan pesantren. Adalah KH. Said AR, pengasuh Pondok
Pesantren Ma’hadul ‘Ulum Asy-Syar’iyyah (MUS), sebuah
pesantren salafiyah yang ada di wilayah Sarang. Kiai Said
melihat kebutuhan nelayan akan es balok di daerah Sarang
juga Kragan belum terpenuhi. Padahal, es balok sangat
penting untuk menjaga kesegaran ikan di kapal hingga ke
pelelangan.
Kiai Said pun menginisiasi kehadiran pabrik es untuk
menjawab kebutuhan pasar. Adanya pabrik es dinilai strategis
sehingga dapat memenuhi permintaan para nelayan untuk
mendinginkan ikan hasil tangkapannya. Pabrik es balok lantas
dimasukkan dalam bidang usaha ekonomi yang dikelola oleh
Kopontren Dwi Bhakti.
Dalam struktur organisasi pabrik es batu Kopontren Dwi
Bhakti, Kiai Said bertindak sebagai pengasuh. Sedangkan
jabatan lain seperti ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota
dipegang oleh santri, alumni, dan masyarakat terutama untuk
tenaga ahli.
Pabrik es ini memiliki aset meliputi bangunan seluas1000
m2 terdiri dari bangunan inti gedung es balok, gedung kantor
pemasaran, dan bangunan kamar mandi. Termasuk aset
berupa tiga buah dumtruk. Pabrik ini pun berdiri di atas tanah
sekitar 2000 m2.
Selain membangun konstruksi fisik pabrik es, kopontren
melakukan pelatihan untuk pengurus pabrik es terkait
manajemen, kepemimpinan, dan berbagai pelatihan lain untuk
keberlanjutan usaha tersebut. Untuk mencegah gagalnya bisnis

122
ini dilakukan pengawasan ketat terhadap proses konstruksi
sehingga peralatan sesuai standar. Pengelolaan pabrik es pun
diserahkan kepada pengurus bidang usaha pabrik es balok
Kopontren Dwi Bhakti. Dengan memilih para santri dan
alumni pesantren MUS yang sanggup mengelola pabrik es
dengan baik.
Struktur organisasi pabrik es batu Kopontren Dwi Bhakti
yakni Pengasuh KH. M. Said AR, Ketua Khamim, Sekretaris
Anik Maftuh, dan Bendahara Miftahul Huda. Adapun untuk
manajer bidang usaha terdiri dari manajer pabrik es M. Igna
Badni Falah, dan manajer armada Amar Muslih. Mereka
dibantuk oleh enam karyawan.
Pabrik Es Batu Kopontren Dwi Bhakti termasuk
perusahaan yang berbadan hukum. Legalitasnya mengikuti
badan hukum Kopontren Dwi Bhakti. Unit usaha ini berlokasi
di Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Jaraknya sekitar empat kilometer dari pesantren. Keberadaan
pabrik es Dwi Bhakti dipandang strategis karena berada di
tepi laut.
Pabrik es dibangun untuk memenuhi kebutuhan es bagi
nelayan dan pedagang ikan di daerah itu dan wilayah sekitar.
Selama ini, kebutuhan es balok dipasok dari tempat lain dengan
harga relatif lebih mahal. Kadang-kadang, pasokan es balok
tidak mencukupi bila hasil tangkapan nelayan melimpah.
Dengan adanya pabrik es balok itu, tentu harganya bisa
ditekan sehingga pendapatan nelayan setempat meningkat.
Es balok yang diproduksi pabrik kemudian diangkut ke
tempat tertentu. Produk kemudian dikirim sesuai pesanan
di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sarang dan Kecamatan
Kragan di Kabupaten Rembang. Karena sifatnya kebutuhan

123
rutin, maka sistem pengambilan keputusan memproduksi dan
mendistribusikan relatif tidak ada masalah. Semua keputusan
produksi dan pendistribusian diserahkan kepada ketua bidang
usaha pabrik es dan jajarannya dan melaporkan hasilnya pada
setiap akhir bulan. Termasuk sistem pelaporan keuangannya
Pada awalnya, Kopontren MUS Dwi Bhakti mendirikan
beberapa pabrik es di beberapa titik di daerah Rembang.
Hanya, pabrik-pabrik tersebut hampir saja gulung tikar. Hal
ini dikarenakan pabrik es balok masih membutuhkan daya
listrik yang sangat besar. Biaya operasional pun lebih besar
dari pada penghasilan yang didapatkan.
Untuk itu, pihak koperasi pun mengubah daya listrik
bagi pabrik es. Pabrik yang tadinya menggunakan listrik
untuk usaha perusahaan menjadi listrik dengan daya usaha
perumahan. Pembiayaannya pun menjadi murah. Cara
ini mampu menyelamatkan pabrik es dari kebangkrutan.
Ditambah lagi, mesin pabrik sudah dirancang dengan sistem
knock down. Konsumsi daya listriknya menjadi lebih kecil
dari pada mesin pabrik es yang lain. Karena itu, mesin ini
sangat cocok digunakan di daerah yang memiliki kapasitas
daya terbatas. Dengan konsumsi daya yang kecil, mesin
ini mampu menghasilkan kapasitas output besar sehingga
hasilnya dapat memberikan keuntungan maksimal.
Kini, usaha pabrik es Kopontren MUS Dwi Bhakti kian
berkembang. Dalam sebulan, es yang diproduksi mencapai
skala 30 Ton. Es balok produk kopontren pun mampu
memenuhi kebutuhan 500 kapal nelayan dalam sebulan.
Khususnya untuk wilayah Sarang dan Kragan dan terkadang
nelayan-nelayan lain seputar Rembang.

124
Warung Apung Tugu Asri
Inovasi Kiai Said untuk mengem­bang­kan ekonomi
pesantren tidak terbatas pada pabrik es. Sarang yang notabene
masuk dalam wilayah pantai juga menyimpan potensi kuliner.
Dia pun menggagas lahirnya sebuah bisnis restoran yang bisa
menawarkan makanan tradisional nan lezat.
Warung Apung Tugu Asri kemudian didirikan dengan
modal usaha dari kantong pribadi Kiai Said. Pembangunan
rumah makan dilakukan para santri dan alumni. Prosesnya
membutuhkan waktu hingga enam tahun.
Rumah makan ini berada di Jalan Tuban-Semarang KM
50, Sukolilo, Bancar, Tuban, Jawa Timur (sebelah timur
perbatasan Jatim-Jateng). Lokasinya yang berada di ujung
barat Pantai Utara Kabupaten Tuban, membuat Warung
Apung lekas dikenal orang. Berdiri di atas tanah seluas
dua hektar dan luas bangunan 4000 m2, Warung Apung ini
menjadi tempat yang cukup luas untuk keluarga.
Resto ini menawarkan 10-15 menu utama — di antaranya
menu makanan laut — yang mengambil resep tradisional dari
masakan Jawa. Beragam menu ini ditampilkan dengan harga
yang terjangkau tetapi tetap mengutamakan cita rasa. Karena
itu, tidak heran jika Warung Apung Tugu Asri memiliki
pengunjung dari beragam kelas ekonomi. Mulai menengah ke
bawah hingga konsumen level atas. Tidak salah jika Warung
Apung Tugu Asri memiliki motto tempatnya makan semua
kalangan. Tak hanya itu, Warung Apung juga dijadikan tempat
sebagai jajanan dan makanan ringan oleh-oleh khas Sarang.
Ada 30 pegawai yang bekerja di rumah makan tersebut.
Hampir semua pegawai Warung Apung merupakan santri
Pesantren MUS. Hanya, untuk beberapa bidang yang

125
memerlukan keahlian, rumah makan ini pun melibatkan
santri senior, alumni pesantren, dan masyarakat. Rekruitmen
pegawai ditentukan oleh pengusaha sekaligus pengasuh
pesantren MUS, yaitu KH. Muhammad Said AR atas
pertimbangan masukan dari pengurus pesantren MUS, santri-
santri senior, dan alumni pesantren MUS.
Para pegawai bekerja dalam tiga shift. Tiga shift itu yakni
Shift I : pukul 00.00 WIB – 12.00 WIB, Shift II : Mulai pukul
12.00 WIB– 18.00 WIB, dan Shift III : Pukul 18.00 WIB–
24.00 WIB. Hari kerja normal untuk jangka waktu satu pekan
adalah enam hari kerja dengan satu hari libur. Jumlah jam
kerja untuk masing-masing shift adalah enam jam.
Usaha ini bermodalkan kreativitas dan inovasi dalam
menyajikan resep makanan. Dengan begitu, ada rasa yang
berbeda dengan yang ada di rumah makan lainnya. Pengelola
pun memperhatikan kualitas rasa, standar gizi maupun
tampilan. Tidak ketinggalan higenitas menu makanan.
Untuk menjamin kualitas, perencanaan anggaran belanja
rumah makan Warung Apung Tugu Asri dilakukan untuk
pengadaan bahan.  Tujuannya adalah tersedianya taksiran
anggaran belanja makanan yang diperlukan untuk memenuhi
berbagai macam bahan makanan yang dibutuhkan rumah
makan. Adanya anggaran belanja membuat tersedianya data
standar makanan, standar harga bahan makanan, dan anggaran
makanan yang terpisah dari biaya perawatan.
Harga bahan makanan dikumpulkan setelah survei
pasar dilakukan. Kemudian, harga rata-rata bahan makanan
ditentukan. Standar kebutuhan gizi (standar porsi) pun dibuat
ke dalam berat kotor hitung indeks harga makanan perorangan
per hari sesuai dengan konsumen. Anggaran belanja makanan
dan hasil perhitungan anggaran dilaporkan kepada pengambil

126
keputusan (sesuai dengan struktur organisasi masing-masing).
Rencana anggaran diusulkam secara standar porsi dan standar
resep standar bumbu,
Tidak lupa, pihak rumah makan mengumpulan tanggapan/
keluhan kon­su­men mengenai menu denga cara menyebarkan
kuisioner. Mereka lantas membuat rincian macam dan jumlah
data peralatan dan perlengkapan dapur yang tersedia.
Tersedianya dana hasil perhitungan diserahkan ke
bagian logistik. Bagian gudang menyiapkan bahan makanan
sesuai dengan permintaan sedangkan bagian pengolahan
mengambil bahan makanan yang dipesan (order). Kemudian
bahan makanan disimpan di gudang penyimpanan sesuai
dengan jenis barang. Esok harinya masing-masing bagian
pengolahan mengambil bahan makanan sesuai kebutuhannya
di ruang penyimpanan barang. Pihak rumah makan pun
membuat kartu stok/buku catatan keluar masuknya bahan
makanan. Apabila bahan makanan akan langsung digunakan,
bagian penyimpanan bahan makanan akan menimbang dan
mengawasi tanggal penerimaan. Jika lolos, bahan makanan
tersebut masuk ruang persiapan bahan makanan.
Rumah makan ini juga memiliki sistem evaluasi
yang ketat setiap malam. Pada malam hari, biasanya
kondisi pikiran sudah tenang, sehingga bisa berpikir lebih
objektif. Selain evaluasi, pihak manajemen dan karyawan
membuat perencanaan untuk produksi esok harinya, dengan
mempertimbangkan permintaan pasar.
Dari kegiatan evaluasi, manajemen bisa memantau
perkembangan usaha dan membuat langkah tepat yang
diperlukan. Misalnya, soal efisiensi perlu tidaknya menambah
alat baru, dan sebagainya. Frekuensi evaluasi sangat tergantung
pada jenis produknya dengan melihat perkembangan dan

127
peta persainggan pasar yang ada. Kegiatan evaluasi harian
juga bermanfaat untuk melakukan perubahan-perubahan
target secara cepat. Target yang ditetapkan akan disesuaikan
perkembangan situasi usaha ekonomi terakhir saat itu.

Menjejak Profil Pesantren MUS


Baik pabrik es maupun Warung Apung Tugu Asri berasal
dari satu induk. Dua unit usaha ini sama-sama bersumber dari
Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulum Asy-Syar’iyyah (MUS)
Rembang. Jika pabrik es ada di bawah naungan koperasi
pesantren, maka Warung Apung berinduk langsung kepada
pengasuh pesantren, dalam hal ini KH. Said AR. Lantas,
bagaimana sebenarnya profil pesantren yang menjadi induk
dari dua usaha tersebut?
Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulum Asy-Syar’iyyah
(MUS), terletak di Desa Karangmangu, Kecamatan Sarang,
K­a­bupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan
Sarang secara geografis, terletak di ujung timur Pantai Utara
Kabu­paten Rembang, Jawa Tengah. Ada beberapa desa
di sepanjang Pantai Utara Sarang, yaitu Desa Temperak,
Karangmangu, Bajingjowo, Bajingmeduro, Sarangmeduro,
Sendangmulyo, dan paling barat desa Kalipang. Jarak antara
Kota Sarang dengan Kabupaten Rembang adalah + 45 Km.
dan dengan ibu kota provinsi Jawa Tengah (Semarang) + 156
Km. Di kecamatan ini terdapat beberapa pondok pesantren
yang sebagian besar berada di desa Karangmangu. Salah
satunya Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulum Asy-Syar’iyyah
(MUS). Tidak heran jika Kecamatan Sarang juga dikenal
sebagai kota santri.
Di Sarang, bangunan sekitar 2000 m2 yang dimiliki

128
Pesantren MUS berdiri. Bangunan tersebut tegak di atas
tanah seluas 3280 m2. Pesantren yang dibangun pada 1928 itu
didirikan KH. Achmad bin KH. Syu’aib dan KH. Zubair bin
KH. Dahlan. Sejarah pendirian pesantren bermula dari sebuah
pengajian masyarakat pada 1850 di sebuah surau (mushalla)
oleh KH. Ghozali bin Lanah. Beliau adalah seorang tokoh
di lingkungan masyarakat nelayan (Sarang) yang melihat
kondisi masyarakat belum sepenuhnya melaksanakan ajaran-
ajaran Islam.
Dari pengajian tersebut, lahirlah sebuah lembaga
pendidikan non formal yang menjadi cikal bakal pondok
pesantren di Karangmangu Sarang. Seiring perkembangannya,
lembaga ini menjadi salah satu prioritas bagi mereka yang
ingin mendalami ilmu agama Islam. Murid-murid beliau tidak
hanya berasal dari wilayah Sarang, akan tetapi banyak yang
berasal dari luar daerah. Di antara murid beliau yang berpotensi
adalah KH. Syua’ib bin KH. Abdurrozzaq yang selanjutnya
dijadikan menantu oleh KH. Ghozali untuk meneruskan
perjuangan dengan dibantu oleh KH. Fathurrohman (putera
KH. Ghozali). Sepeninggal KH. Ghozali tongkat estafet
perjuangan dipegang oleh menantu beliau (KH. Syua’ib
bin KH. Abdurrozzaq) dengan dibantu oleh dua putra KH.
Syua’ib, yaitu KH. Achmad dan KH. Imam Kholil). Dan
pada tahun 1928 M. KH. Syua’ib wafat dengan menorehkan
sejarah panjang perjuangan.
Tahun demi tahun, jumlah santri yang masuk pesantren
semakin bertambah. Hal ini menggugah keprihatinan KH.
Achmad Syu’aib mengingat kurangnya fasilitas tempat
bermukim bagi para santri dari luar daerah. Akhirnya, Kiai
Achmad dengan dukungan dan bantuan menantu beliau KH.
Zubair Dahlan (ayahanda KH. Maimoen Zubair), berinisiatif

129
untuk mendirikan pondok pesantren baru yang diberi nama
Ma’hadul ‘Ulum Asy-Syari’yyah (MUS).
Pondok Pesantren MUS ini terus me­nerus mengalami
perkembangan yang signifikan dari generasi ke generasi. Dari
asuhan KH. Achmad bin Syua’ib (wafat pada 1967) diteruskan
oleh putra beliau, KH. Abdurrochim Achmad (wafat pada
2001). Tongkat estafet kepemimpinan pondok selanjutnya
diteruskan oleh putra­nya KH. M. Sa’id Abdurrochim dan
dibantu oleh KH. M. Adib Abdurrochim serta KH. M. Ahdal
Abdurrochim (ketua umum) yang merupakan generasi ketiga.
Mereka dibantu Ketua satu Ustaz M. Salim, Sekretaris M.
Izzudin, dan Bendahara M. Aniq Thobari.
Santri yang mondok di Pondok Pesantren Ma’hadul
‘Ulum Asy-Syar’iyyah berkisar 1400 orang. Terdiri dari 900
santri putra dan 500 santri putri. Mereka berasal dari sekitar
Sarang dan beberapa kabupaten yang berada di wilayah
Jawa dan luar Jawa seperti Kalimantan dan Sumatra. Dalam
pembagian pengasuhan, santri putra diasuh oleh KH. M.
Sa’id Abdurrochim dan untuk santri putri diasuh oleh KH.
M. Ahdal Abdurrochim. Para santri terdiri dari beragam usia
mulai anak-anak, remaja hingga dewasa.
Pada umumnya, santri harus memba­yar uang syariah
pesantren. Untuk santri baru dalam setahun membayar uang
syariah pesantren sebesar Rp 300.000,- dan untuk santri lama
membayar uang syariah pesantren sebesar Rp 275.000,-
Pembayaran uang syariah bisa dicicil selama setahun.
Sedangkan untuk peng­urus tidak dipungut biaya syariah.
Untuk yang terlibat dalam kegiatan usaha eko­nomi pesantren
diberi bisyaroh (gaji) de­ngan rata-rata diberi gaji Rp 500.000,-
dan tidak dipungut biaya syariah pesantren.

130
Untuk menjaga kualitas belajar para santri, khususnya
kalangan anak-anak, maka timbul inisiatif untuk membuat
Ma’had Tarbiyatul Athfa pada 2007. Hingga sekarang,
program pendidikan yang diselenggarakan Pesantren MUS,
meliputi, Dirosah Khoshshoh Tingkat 1-6. Pondok juga
menyelenggarakan Ma’had Aly Fadhlul Jamil, Ta’lim Al-
Qur’an, Tahfidzul Qur’an Putri, Pengajian Kitab Salaf, Diskusi
Per Pekan Majma’ Mubahatsah anil Masail Asy-Syar’iyyah
(M3S) tiap jumat dan Selasa pagi, dan Musyawaroh Harian
Kitab Fathul Qorib, Fathul Mu’in, dan Minhaj.
Adapun kajian utama yang merupakan ciri khas dari
pesantren salaf MUS adalah kutubus salaf. Untuk belajar
pendidikan formal santri diwajibkan sekolah di Madrasah
Ibtida’iyyah (di MI ini ada mapel umum sebagai dasar),
Madrasah Tsanawiyyah dan Madrasah Aliyah (khusus
agama). Ketiga madrasah tersebut dikelola oleh Pondok
Pesantren Ghozaliyah Syafiiyyah dengan nama madrasah
Ghozaliyah Syafiiyyah. Masya­yih yang mengajar di madrasah
Ghozaliyah Syafiiyyah berasal dari semua pondok pesantren
yang ada di Sarang.

Program Ekonomi Pondok


Pondok Pesantren MUS sampai saat ini masih eksis
mengajarkan kitab-kitab kuning dan pembelajaran ulama
salaf. Namun, pesantren tidak hanya mengajar mengaji kitab.
Para santri juga dibekali bagaimana cara berbisnis dan bertata
usaha yang baik dan benar sesuai dengan syari’at agama Islam.
Ilmu wirausaha dipandang perlu diterapkan sebagai bekal di
kehidupan bermasyarakat setelah lulus dari pesantren.
Di pesantren tidak diajarkan teori bisnis/wirausaha.

131
Namun, santri terlibat langsung dalam praktik wirausaha.
Santri bisa mengikuti kegiatan di kopontren dan usaha
ekonomi yang dikelola peng­asuh pesantren MUS. Mereka
akan mem­praktikkan secara bersamaan ilmu kewirausahaan
dengan bimbingan santri senior. Termasuk dalam mengelola
keuangannya.
Perlakuan pendidikan di pesantren ini berbeda dengan
pesantren dan lembaga pendidikan lain pada umumnya. Model
yang dilakukan di pesantren ini yakni membangun karakter
berwirausaha. Karakter entrepreneur harus dibentuk hingga
melahirkan wawasan wirausahawan yang tangguh dan andal.
Orang berdagang (berwirausaha) landasan utamanya adalah
ibadah. Spirit berdagang terilhami dari Al-Qur’an, Sunah
dan meneladani konsep dan pikiran  ulama salaf dan khalaf
(modern) tentang konsep tijarah (perdagangan).
Semua program usaha ekonomi yang dikembangkan
Pesantren MUS dikelola oleh santri dan alumni santri.
Program usaha ekonomi yang dikembangkan pe­santren MUS
itu terwadahi dalam bentuk usaha sebagai berikut:
Kopontren Dwi Bhakti PP MUS
• Pabrik Es (skala 30 Ton) 500 kapal sebulan (Sarang
Kragan)
• Toko Barokah (kebutuhan sehari-hari)
• Pengolahan Pasir Silika
• Armada
• Usaha ekonomi pengasuh Pesantren MUS
• Rumah Makan Tugu Asri
• Ternak Sapi (sudah off)
• Percetakan Offset (kitab kuning) untuk konsumsi

132
pesantren sekitar Sarang
• Air Minum Galon
• Pertokoan Risquna Group (busana, grosir sembako,
elektronik, ma­kanan ringan)
• Toko Kitab Al-Barokah
Kegiatan usaha Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ulum
Asy-Syar’iyyah (Ponpes MUS) yang tergabung dalam usaha
ekonomi Kopontren Dwi Bhakti telah ada sejak 1974. Hingga
saat ini Koperasi Pesantren Dwi Bhakti telah memiliki
berbagai unit usaha seperti Toko Barokah/MUS untuk
pemenuhan kebutuhan sehari-hari para santri dan masyarakat
sekitar pondok pesantren. Di samping itu terdapat usaha
pengelolaan pasir silica, Pabrik Es, dan armada.
Sebagai contoh untuk usaha ekonomi yang dikelola oleh
Kopontren Dwi Bhakti adalah Toko Barokah/MUS. Toko ini
merupakan salah satu bidang dari Kopontren Dwi Bhakti yang
di manageri oleh Abdillah. Toko tersebut berada di kawasan
Ponpes MUS. Pengelolanya adalah para santri yang masih
aktif di pondok. Ada sekitar enam santri yang mengelola toko
tersebut. Mereka berjaga secara bergantian. Dalam sehari, ada
tiga termin waktu buka toko. Dari pukul 07.00 WIB sampai
12.00 WIB, 15.30 WIB sampai 17.00 WIB dan 18.30 WIB
sampai dengan 21.00 WIB. Tujuan didirikannya toko ini
ialah untuk memudahkan para santri dan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhannya setiap hari.
Barang-barang yang dijual adalah kebutuhan setiap
hari seperti peralatan mandi, sekolah, nelayan, makanan
ringan, peci, minyak wangi, dan lain-lain. Nilai manfaatnya
adalah untuk memudahkan para santri dan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan membantu

133
perekonomian pesantren.
Di antara pendapatan usaha ekonomi pengelolaan pasir
silika Kopontren Dwi Bhakti perbulan, kurang lebih sebagai
berikut:
• Pendapatan
Penjualan ke PO. SB. CON 11 Rit 48.363.480
• Pengeluaran
Beban belanja 11 Rit 25.647.300
Beban Transport kirim 11 Rit 20.762.100
Beban Transport ke SB. CON 350.000
Beban Administrasi 47.492.180
• Laba bersih 871.300
Selanjutnya untuk usaha ekonomi pesantren yang
dikembangkan oleh pengasuh Pesantren MUS adalah rumah
makan, usaha percetakan, toko kitab Al-Barokah, fotokopi,
dan air minum galon. Usaha ekonomi pesantren yang
dilakukan pengasuh pesantren lainnya adalah Rizkuna Group.
Terdapat lima toko Rizquna dengan bangunan yang cukup
megah dengan bangunan dua lantai. Toko yang dikelola
Rizquna Group meliputi toko pakaian laki-laki, toko pakaian
perempuan, toko buku kitab, toko sembako dan elektronik,
dan warung makanan dan jus. Semua usaha ekonomi ini
melibatkan para santri Pesantren MUS. Rizquna Grup berada
di bawah naungan Pondok Pesantren Ma’hadul Ulum Asy-
Syar’iyyah (MUS). Rekrutmen pegawai dilakukan para
santri dan alumni Pondok Pesantren MUS. Tidak disyaratkan
karyawan harus mempunyai ijazah jenjang pendidikan formal
tertentu. Rekrutmen pegawai mengedepankan kecakapan.
Tujuan usaha sembako dan elektronik adalah

134
menyediakan kebutuhan sembako dan elektronik masyarakat
skala besar. Unit usaha ini berorientasi kepada pemenuhan
kebutuhan pasar, peduli kepada kepentingan masyarakat,
dan terpenuhinya akses pangan masyarakat terhadap pangan.
Adanya usaha ini juga mengurangi angka pengangguran dan
mendidik santri untuk berwirausaha.
Rizquna Group dalam bentuk usaha sembako termasuk
usaha yang paling diminati oleh hampir semua kalangan, baik
yang bermodal kecil, maupun yang bermodal besar. Sebagai
kebutuhan pokok masyarakat yang tidak pernah habis,
sembako sudah barang tentu dibutuhkan semua kalangan.
Begitu pula dengan penjualan barang elektronik yang
saat ini sudah meninggalkan status sebagai barang mewah.
Faktanya, hampir setiap rumah sudah memiliki barang
elektronik. Hal ini menjelaskan bahwa barang elektronik kini
sudah digunakan oleh semua orang dari berbagai kalangan,
baik masyarakat menengah ke atas, maupun masyarakat
menengah. Karena itu, banyak kalangan menilai usaha dalam
bidang sembako dan elektronik mempunyai prospek cerah
yang tidak akan luntur dimakan zaman. Tidak heran jika
omzet per bulan usaha sembako dan elektronik senilai Rp.
162.200.000,-. Adapun laba bersih perbulan Rp.6.450.000,-.

135
136
Pondok Pesantren Al-Basyariyah
Segarnya Air Mina Tumbuhkan
Ekonomi Pondok

Munawiroh

Ekonomi protektif mampu menjaga pesantren dalam


memenuhi kualitas produknya

Gadis bersafari cokelat itu sedang mengatur barisan.


Belasan perempuan se­ba­ya berbaris mengikuti instruksinya.
Yasmin yang baru berusia belasan tahun merupakan leader
dari tim di sebuah kelompok Pramuka. Dia sedang merapikan
banjar-banjar para remaja putri dari Pondok Pesantren Al-
Basyariyah, Bandung.
Bukan cuma itu aktifitas outdoor Yasmin. Gadis belia itu
pun menjadikan fotografi sebagai hobinya. Dengan kamera
hitam menggantung di leher, dia tampak menjepret objek-
objek foto di hadapannya. Bagi remaja yang punya kesibukan
seperti Yasmin, butuh asupan mineral untuk menjaga
kesegaran tubuhnya. Karena itu, Yasmin tak pernah lupa untuk
membawa Air Mina sebagai bekal di setiap aktifitasnya. “Air
Mina menjawab kebutuhanku,” ujar Yasmin.

137
Cuplikan di atas merupakan iklan berdurasi dua menit
yang tayang di media sosial berbasis video, Youtube. Air
Mina menjadi merek yang diperkenalkan di dalam iklan itu.
Dengan kemasan gelas, botol hingga galon, Air Mina menjadi
kegemaran santri di Pondok Pesantren Al-Basyariyah dan
masyarakat sekitar. Tak cuma air mineral, Air Mina pun tampil
dengan bentuk teh kemasan. Kesegaran teh Air Mina juga tak
kalah dengan teh produk merek ternama di Tanah Air.
Air Mina merupakan produk air kemasan yang diproduksi
oleh Pesantren Al-Basyariyah. Sebuah pesantren yang
terletak di Jalan Cigondewah Hilir, Marga Asih, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat. Pada mulanya, Air Mina dibuat
untuk memenuhi kebutuhan santri di lingkungan pesantren.
Jumlah santri yang kian bertambah setiap tahunnya membuat
kebutuhan air minum menjadi masalah utama bagi pimpinan
pondok. Seorang santri yang membutuhkan air untuk minum
harus memasak satu hari berkisar antar tiga hingga lima
liter. Kayu bakar yang dibutuhkan santri untuk memasak
pun membludak. Begitu juga asapnya yang akan merusak
lingkungan pondok. Selain menjadi polusi, asap tersebut bisa
mengganggu kesehatan santri yang bermukim.
Dari keresahan itu, muncul ide pim­pinan pondok untuk
membuat sebuah depot air minum untuk kebutuhan para santri.
Pesantren mulai menggagas dengan membuat pengolahan air
mineral. Dengan modal Rp 50 juta, pihak pondok membeli
sebuah mesin water treatment dan alat mengolah air sumur/
kran. Untuk sementara, mesin tersebut dapat mengatasi
kebutuhan minum santri. Hanya, jumlah santri yang terus
membludak membuat pimpinan pondok kembali harus
memutar otak. Pasalnya, mesin yang dibeli sudah tidak
mencukupi untuk kebutuhan air ribuan santri pondok.

138
Untuk menjawab permasalahan tersebut, PT Armina
pun didirikan pada pertengahan 2015. Armina yang
merupakan singkatan dari Darul Miyah Naqiyah dibangun
sebagai eksekusi dari ide pembangunan ekonomi protektif
di lingkungan Pondok Pesantren Al-Basyariyah. Ekonomi
protektif merupakan buah pemikiran dari putra pimpinan
pondok yang pertama yaitu H. Zen Anwar Syaiful Basyari.
Ide tersebut disambut baik oleh pimpinan pondok yaitu
ayahnya sendiri, Buya Drs. KH. Saeful Azhar. Konsep
ekonomi protektif yang dikembangkan oleh pondok yakni
bekerjasama dengan masyarakat di lingkungan pondok untuk
kepentingan pondok dinilai efektif diterapkan di Pesantren
Al-Basyariyah. Ada berbagai jenis unit usaha yang hendak
didirikan, dari makanan siap saji sampai dengan kebutuhan
pokok santri seperti air. Dengan kerjasama tersebut penduduk
di lingkungan pondok juga bisa merasakan keuntungan yang
diperoleh dari pondok.
Untuk mendirikan perusahaan air mineral dan teh
kemasan, pesantren mengucurkan modal sebesar Rp 5 miliar.
Modal tersebut digunakan untuk berbagai keperluan, baik
dalam hal biaya pendirian perusahaan, penyiapan prasarana
dan sarana, pembangunan pabrik, peralatan perkantoran dan
biaya lainnya berkaitan dengan pendirian sebuah perusahaan.
Modal diperoleh dari iuran bulanan santri dan sumbangan
dari masyarakat (donatur). Sementara untuk mesin pengolah
air kemasan diperoleh sumbangan dari Dirjen IKAM
Kementerian Perdagangan pada waktu itu, yaitu Ibu Euis
saedah,
PT Armina pun membangun tempat produksi sendiri
di Pondok Pesantren Al-Basyariyah 2 Jl. Cigondewah
Hilir Margaasih, Kabupaten Bandung. Pada awal produksi,

139
perusahaan tersebut menggunakan alat seadanya. Air minum
dalam kemasan yang diproduksi pun baru sebanyak 300 gelas
dengan menghabiskan waktu sekitar delapan jam.
Lambat laun, perusahaan pun mampu berkembang
seiring dengan adanya mesin baru. Produksi Air Mina bisa
mencapai seratus dus air mineral dalam kemasan gelas/botol,
seratus dus air minum teh dalam kemasan gelas/botol, dan
seratus galon air mineral per hari. Setiap unit memiliki harga
beragam. Untuk air mineral gelas kemasan senilai Rp12 ribu
rupiah /dus, air mineral kemasan botol Rp 24 ribu/dus, air
galon Rp 14 ribu/galon, minuman teh dalam kemasan gelas
Rp 25 ribu/dus.
Biaya produksi yang diperlukan secara tidak langsung
atau berupa bahan baku untuk penyediaan dua tangki air/
hari, galon untuk kemasan air mineral, botol dan gelas untuk
kemasan minuman, gula dan teh. Untuk keperluan penyediaan
bahan-bahan tersebut diperlukan anggaran berkisar Rp 250
juta/bulan. Sedang anggaran untuk upah karyawan sebesar
Rp. 3,3 juta/ bulan sesuai UMR dan disesuaikan dengan masa
kerja dan jabatan. Produk yang dihasilkan perusahaan setiap
hari berkisar 100 dus air mineral, 50 dus teh dalam kemasan,
dan 75 galon air mineral. Jumlahnya berfluktuasi untuk setiap
harinya.
Pangsa pasar produk ini ditujukan untuk semua kalangan
dan semua umur. Awal pemasaran produk ini di kawasan
pesantren dan mendapat respon yang baik oleh para santri.
Terlebih masyarakat yang menginginkan produk Islami.
Dalam waktu satu tahun, produk air minum dalam kemasan
mencapai rata-rata sepuluh ribu dus setiap bulannya dengan
omzet mencapai Rp 100 juta.

140
Lambat laun, pasar Air Mina meluas tidak sekadar di
lingkungan pondok. Adanya jaringan sepuluh pondok pe­
santren di Jawa Barat, keluarga alumni pondok pesantren di
sekitar Jawa Barat dan Jabodetabek membuat omzet Air Mina
melonjak hingga Rp 500 juta per bulan.

BOX
PT Armina sepenuhnya milik pe­santren. Karena itu,
sistem pengambilan keputusan dilakukan secara bersama
antara pimpinan pondok, direktur utama, dan direktur umum.
Untuk menjalankan tugas-tugas perusahaan, manajemen butuh
sumber daya manusia (SDM) dengan keahlian yang sesuai
dengan bidang kerja perusahaan, yakni produk minuman.
Pondok Pesantren Al-Basyariyah memiliki alumni yang
ahli dalam bidang tersebut dan mau mengabdikan diri dan
ilmunya di pondok. Perusahaan pun melibatkan santri yang
sesuai dengan kriteria. Karena itu, pihak manajemen tidak
perlu mencari SDM di luar pondok. Namun demikian, untuk
tenaga produksi dan pemasaran, manajemen mengambil
dari kalangan luar pesantren dengan pertimbangan untuk
memberdayakan masyarakat kurang mampu di lingkungan
pondok. Perusahaan juga hendak memberikan peluang bagi
masyarakat dalam memperoleh pekerjaan.
PT Armina juga melakukan rekruitmen tenaga kerja
yang memenuhi persyaratan sesuai dengan pekerjaannya.
Kualifikasi setiap jenis pekerjaan mengacu kepada
persyaratan tenaga kerja yang disusun oleh menejer atau
direksi ketenagakerjaan. Standar kelayakan SDM dibahas
oleh dewan direksi serta ditetapkan untuk kemudian dijadikan
persyaratan dalam merekrut tenaga kerja.

141
Selain persyaratan sesuai dengan ketentuan tersebut,
secara teknis dalam perekrutan tenaga kerja dilakukan melalaui
beberapa tahapan. Mulai tes keahlian sesuai bidangnya juga
wawancara untuk mengetahui kepribadian calon karyawan
agar bisa mendukung kinerja dan produktifitas perusahaan.

Tentang Buya
Buya Drs. KH. Saeful Azhar mendirikan Pondok Pesantren
Al-Basyariyah pada 1982. Letaknya ada di perkampungan
Cigondewah Hilir, Kecamatan Margaasih, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat. Pada zamannya, Cigondewah Hilir
merupakan tempat ulama ‘sohor’ di daerah Bandung Selatan,
yaitu Eyang Cimindi keturunan Waliyullah Eyang Mahmud.
Buya, begitulah sang kiai disapa. Tak banyak yang tahu
namanya saat dilahirkan. Masyarakat hanya mengenal Drs.
KH. Saeful Azhar. Sebuah nama yang beliau tetapkan sendiri
untuknya jauh setelah hari kelahiran. Buya lahir pada 13
Muharram 1362 H, bertepatan dengan 1943. Dia lahir dari
rahim Hj. Nafisah (Ma Aji)  yang bersuamikan KH. Ijazi di
Jalan Cibaduyut, Kabupaten Bandung. Pada hari lahirnya,
wafat pula KH. Muhammad Zaenal Hasan, buyut Buya yang
merupakan tokoh ulama pesantren Bandung Selatan. Sosok
yang sangat populer dari ilmu lahir dan batinnya saat itu.
Awal perjalanan pendidikan Buya adalah saat masuk ke
dalam Sekolah Rakyat Rahayu (sekarang SD) pada tahun
1950. Setiap hari, Buya mesti menempuh dengan jarak tiga
kilometer untuk bersekolah dengan jalan kaki. Setahun
berikutnya, Buya kecil dibawa ke tempat ayah tirinya untuk
pindah sekolah ke SR Lumbung. Namun, tetap saja dia harus
berjalan kaki.

142
Pada 1956, Buya lulus SR dan melanjutkan proses
pembelajarannya ke SMP Muslimin di Jalan Ciateul. Buya
mengaku tidak pernah memiliki ijazah SMP Muslimin. Meski
telah mencapai kelas IX Buya tidak pernah mengikuti ujian
akhir. Setelah keluar dari SMP tersebut, Buya melanjutkan 
studinya di Pesantren Al-Jawami yang berada di Cileunyi
selama dua tahun. Pada 1961, dia memutuskan untuk
berkelana ke Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Berita tentang
kebesaran Gontor tersampaikan mulut ke mulut. Informasi
itu berhasil membawa Buya muda merantau jauh ke pondok
modern tersebut. Dia pergi hanya berbekal tekad dan nekat.
Tak ada keluarga atau sekadar kenalan di Gontor. Dia hanya
mengetahui bahwa Ponorogo, daerah perbatasan dua provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Nasib dan keinginan tak selalu berjalan beriringan.
Setelah jauh jarak ditempuh, keinginan Buya malah tidak bisa
terlaksana. Buya yang saat itu sudah mencapai Gontor tidak
bisa langsung diterima. Sistem penerimaan santri Gontor
tidak sesuai dengan waktu kedatangan Buya ke sana.
Terlalu jauh jarak telah disisir, terlalu naif rasanya
untuk mundur. Meski harus menunggu setahun lagi, Buya
memutuskan untuk mondok terlebih dahulu di Pesantren
Wali Songo yang terletak dekat dari Gontor. Setelah setahun
di sana, akhirnya Buya bisa lulus ke Gontor dan langsung
dinaikkan ke kelas 2 KMI melalui tes. Entah berapa saat
itu umurnya, Buya yang seharusnya duduk di kelas 3 SMA
harus mengulang usia belajarnya mundur ke deretan 2 SMP.
Namun, tekad Buya sudah kadung bulat. Buat dia, umur
hanyalah bilangan angka. Buya berprinsip investasi terbaik
bagi harta bernama waktu adalah dengan memanfaatkannya
untuk hal yang hanya mengenal guna, bukan usia saja.

143
Setelah lulus dari Gontor pada 1966, Buya tidak langsung
lanjut ke tahap sekolah tinggi. Merasa kurang dalam menguasai
ilmu kitab kuning, Buya pun memutuskan mondok di Pondok
Pesantren Cipasung, sebuah pesantren salaf terkenal saat itu
di Tasikmalanya, Jawa Barat, pimpinan KH. Ruhiyat. Dari
Cipasung, Buya kembali ke tempatnya  mondok  setahun
sebelum di Gontor, yaitu ke Cileunyi. Bedanya, kali ini Buya
merangkap sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Jati. Setelah itu, Buya diangkat menjadi
pegawai negeri di kantor dinas urusan agama. Pada 1968, dia
menikahi Hj. Saja’ah, yang sekarang dikenal sebagai Ummi.
Di sinilah perjalanan sumbangsihnya terhadap pendidikan
dimulai.

Mendirikan Pondok
Karir Buya sebagai PNS di lingkungan Kementerian
Agama tergolong moncer. Latar belakang pengalaman 12
tahun mondok membuat kepercayaan orang sekitarnya saat
itu perlahan terbangun. Hingga akhirnya dia diangkat menjadi
kepala seksi. Di samping tanggung jawabnya terhadap tugas
dinas, kepercayaan petinggi saat itu juga membuatnya diberi
kesempatan untuk mengalirkan ilmu-ilmu agamanya kepada
segenap karyawan dan staf di Kementerian Agama.
Rujukan Buya dalam membantu perluasan ilmu karyawan
Kemenag saat itu adalah kitab kuning. Khususnya dalam bab-
bab munakahat yang mengkaji masalah-masalah pernikahan.
Tempatnya pun tak hanya di kantor saja, bahkan rumah Buya
pun direlakan untuk dijadikan ‘kelas’ belajar bagi mereka.
Seiring berjalannya waktu, kelas itu pun disulap menjadi
majelis taklim untuk masyarakat dan madrasah diniyah untuk

144
anak-anak. Namun, semua itu hanya dilakukan di paruh
waktunya saat sedang tidak berdinas. Terkadang dilakukan
sesaat setelah Subuh, kadang pula setiap ba’da Maghrib.
Setelah bertahun-tahun menjalani rutinitas tersebut,
akhirnya Buya diamanati sebidang tanah di Cibaduyut
dengan masjid terbangun di atasnya. Di atas tanah tersebut
pun sudah dibangun madrasah peninggalan Abah H. Basyari.
Dari situlah Buya mendirikan madrasah diniyah dengan nama
Sirna Jaya. Dari sini, Buya lantas membentuk ‘Ma’hadiyah’
atau kepesantrenan yang muridnya adalah para lulusan
madrasah diniyah.
Perkembangan terus berlanjut, Ma’hadiyah akhirnya
membuka tingkatan bagi para mahasiswa. Muridnya adalah
para mahasiswa dari berbagai macam perguruan tinggi yang
meluangkan waktu senggangnya di luar waktu kuliah.
Sampai di situ, Buya mulai berpikir untuk mewujudkan
kaderisasi dalam bidang keilmuan berjangka panjang. Apa
yang beliau rasa selama ini hanya bersifat sementara dan
terbatas pada bidang keagamaan. Ketidakpuasan itulah yang
membawa Buya untuk menggunakan tenaga para mahasiswa
yang sudah bisa mengembangkan ilmunya dari program
Ma’hadiyah dengan membangun TK hingga SD. Maka, pada
1982 didirikanlah Al-Basyariyah.
Pada awalnya, sebelum Al-Basyariyah kental dengan
Tarbiyatul Mu’allimin wal Mu’allimat al-Islamiyah (TMI),
Buya sempat mendirikannya dengan nama MTs dan MA.
Jumlah murid saat itu sudah mencapai angka 300, angka yang
sangat besar untuk lembaga usia muda.
Dengan melihat bahwa santri hanya memiliki tiga tahun
masa belajar juga beragam keterikatan dengan pemerintah,

145
Buya menganggap bahwa kaderisasi tidak bisa berjalan
sesuai dengan keinginannya jika terus menggunakan sistem
MTs dan MA. Saat itulah Buya teringat bahwa Gontor telah
mempersilakan kepada alumni-alumninya untuk mendirikan
pondok pesantren. Hingga akhirnya pada tahun 1987 TMI
resmi menjadi sistem pembelajaran di Al-Basyariyah.
Perubahan haluan sistem ke TMI berdampak besar.
Khususnya karena TMI hanya menyediakan enam tahun
waktu belajar. Waktu yang lama tersebut menuai protes
hingga membuat jumlah santri drastis merosot. Namun, Buya
tetap konsisten dengan keputusannya.
Dengan murid yang bisa dihitung oleh jari, Buya mendidik
mereka sampai menjadi alumni. Kualitas alumni yang saat itu
sangat diperhitungkan akhirnya membuat masyarakat yang
sebelumnya tidak setuju dengan sistem TMI berubah sikap.
Mereka pun mau memasukkan anak-anaknya untuk belajar
di Al-Basyariyah.
Jumlah santri yang tidak mampu lagi ditampung
di Cibaduyut memaksa Buya untuk melebarkan sayap
kelembagaan. Pada 1989 Buya membeli tanah sebanyak 20
tumbak di daerah Cigondewah Hilir yang kini merupakan Al-
Basyariyah Kampus 2.
Di tahun itu, dengan tanah yang sangat terbatas di
Cigondewah, Buya akhirnya meminta kesediaan masyarakat
untuk menampung santri-santri pindahan dari Cibaduyut.
Animo masyarakat yang cukup tinggi saat itu memudahkan
langkah perpindahan santri. Seiring waktu berjalan, Buya
sedikit demi sedikit mendirikan gubuk-gubuk kecil sederhana
yang dipakai untuk kegiatan santri.
Dalam mengembangkan pesantren, Buya selalu

146
melakukan pendekatan kepada masyarakat. Buya ikut
memperjuangkan agar Cigondewah mendapat pasokan
listrik yang cukup. Selain itu, Buya berhasil dalam upayanya
menabrak ‘tembok’ komunikasi perkampungan dengan
mengadakan warung telepon di Al-Basyariyah. Peran positif
Buya membuat masyarakat yang tadinya kerap mengganggu
pondok berbalik. Mereka justru memberi bantuan untuk
pondok.
Santri yang semakin banyak, juga tanah di Cigondewah
yang penuh mendorong Buya untuk melakukan investasi
jangka panjang. Buya kembali membeli tanah 20 km
dari kampus 2 pada tahun 1997, tepatnya di Arjasari yang
sekarang kita kenal dengan kampus 3. Hingga kini, Buya
sudah memiliki 17 hektar tanah di sana.
Selain kampus di Cibaduyut, Cigondewah, dan Arjasari,
Al-Basyariyah pun memiliki kampus 4 di Cikungkurak.
Kampus 4 ini adalah khusus untuk Madrasah Ibtidaiyyah
(MI) yang sebenarnya merupakan kampus paling tua di antara
yang lainnya. Di sana, Buya awalnya mendirikan majelis
taklim dan madrasah diniyah sebelum diberikan tanah wakaf
di Cibaduyut.
Pondok yang didirikan dari gubuk kini telah menjelma
menjadi sebuah lembaga pendidikan dengan empat kampus
berbeda. Kamar santri yang asalnya hanyalah gubuk
sederhana, kini berubah menjadi puluhan lokal asrama
santri untuk kapasitas 3000 orang. Dengan izin Allah,
dalam perjalanan perjuangannya pondok pesantren ini telah
meluluskan para alumni yang tersebar di seluruh wilayah
Jawa Barat khususnya dan wilayah nusantara umumnya.
Eksistensi Pondok Pesantren Al-Basyariyah sebagai

147
lembaga pendidikan formal telah diakui oleh negara sesuai
dengan keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam
Nomor 2852 Tahun 2015 tentang penetapan status kesetaraan
satuan pendidikan mu’adalah pada pondok pesantren dengan
Madrasah Tsanawiyah/sederajat dan Madrasah Aliyah/
sederajat. Penyetaraan juga sudah dilakukan terhadap TMI
Pondok Pesantren Al-Basyariyah dengan SMA Negeri
sesuai SK MENDIKNAS Nomor 240/C/Kep/2003 dan
telah diakreditasi dengan peringkat A berdasarkan SK
penetapan hasil akreditasi BAP-S/M Nomor: 02.00/322/
BAP-SM/XI/2010. Karena itu, ijazah yang dikeluarkan TMI
Pondok Pesantren Al-Basyariyah sebagai tanda kelulusan
bisa digunakan untuk salah satu kelengkapan persyaratan
melanjutkan studi ke berbagai perguruan tinggi negeri dan
swasta di dalam maupun luar negeri.

Pengembangan Ekonomi Protektif


Seperti telah dikemukakan terdahulu, Pesantren Al-
Basyariyah yang didirikan oleh Buya Drs KH. Saeful
Azhar, pada tahun 1982 telah maju dengan pesat. Salah satu
indikatornya, pesantren ini berada di areal tanah seluas 17 ha
dengan jumlah santri 3.798 yang tersebar di empat kampus
yaitu, di Kampus Cibaduyut, Cigondewah Hilir, Arjasari, dan
Kampus Cikungkurak, semuanya berada di Bandung.
Dengan potensi tersebut bila dikaitkan dengan usaha
atau perekonomian tentu memiliki prospek yang baik untuk
masa depan dalam rangka mengembangkan kelembagaan
pesantren melalui kemam­puan ekonomi mandiri. Karena itu
untuk memulai usaha ini pimpinan pesantren melihatnya dari
empat aspek.

148
Konteks. Usaha ekonomi dilihat da­ri konteksnya yaitu
untuk pe­ngembangan ekonomi protektif di lingkungan
pondok. Dimaksud dengan ekonomi protektif, yaitu kegiatan
usaha untuk kepentingan pesantren dengan melindungi hak-
hak konsumen terutama dalam hal kualitas produksi yang
dibutuhkan.
Urgensi air minum sebagai kebutuhan pokok bagi manusia
menjadi satu faktor ekonomi yang potensial. Manusia bisa
tahan hidup bila tidak mendapatkan makan dalam beberapa
hari terhenti. Sebaliknya, manusia tidak bisa bertahan jika
tidak memperoleh air untuk diminum. Dengan demikan maka
usaha awal yang dirintis adalah di bidang air mineral untuk
kebutuhan air minum bagi santri.
Potensi pasar dari air mineral ini pun cukup bagus dan
prospektif. Pangsa pasar yang sudah tergambar dengan
kongkrit adalah untuk memenuhi kebutuhan 10 pondok
pesantren di Jawa Barat, alumni pondok, dan lingkungan
sekitar.
Konseptor atau perintis. Gagasan untuk mendirikan usaha
ini dikemukan oleh H. Zen Anwar Basyari, putra pertama
Buya Syaiful Azhar, selaku pendiri Pondok Pesantren Al-
Basyariyah. Beliau secara jeli melihat prospek usaha ini ke
depan sehingga gagasan ini sangat tepat dan prospektif untuk
dikembangkan.

Fungsi Ganda
Pesantren sebagai lembaga pen­di­dikan agama dan
keagamaan yang berada dan hidup di tengah-tengah
masyarakat mempunyai peran yang sangat penting, baik
terkait dengan persoalan keagamaan (moral force) maupun

149
terkait dengan pembangunan sosial kemasyarakatan (social
development). Dengan peran yang dimilikinya itu, pesantren
dituntut untuk melakukan dua hal sekaligus. Pertama
pembangunan keagamaan masyarakat, -dan itu tugas
utama lahirnya pesantren-, dan kedua pembangunan sosial
kemasyarakat. Artinya, pesantren sebagai lembaga yang
hidup dan tumbuuh di tengah masyarakat memiliki tanggung
jawab sosial sendiri.
Untuk hal pertama, pesantren tetap berperan sesuai
jati dirinya, mengajarkan ilmu-ilmu agama dan keagamaan
terhadap masyarakat. Upaya yang dilakukan melalui
pendidikan di pesanatren dalam bentuk pengajian kitab
kuning (kutub at-turats) dengan tujuan dapat melahirkan
alumni pesantren yang ahli dalam bidang agama atau biasa
disebut dengan tafaqquh fiddiin. Sedang untuk masyarakat
secara umum memberikan bimbingan ke­agamaan dan
soal kemasyarakatan. Bentuknya berupa pengajian umum,
pengajian kaum ibu, pembimbingan dan konsultasi terkait
persoalan kehidupan keagamaan yang dialami masyarakat dan
sosial kemasyarakatan yang di dalamnya terkandung nilai-
nilai ke­agamaan, misalnya hubungan sosial antar warga yang
beragam kepercayaan dan keyakinannya. Hal ini biasanya
dilakukan melalui pengajian-pengajian atau kon­seling.
Berkenaan sosial kemasyarakatan, pesantren ikut
berperan dalam pem­berdayaan masyarakat antara lain, melalui
persiapan para santri dengan mem­berikan bekal keahlian-
keahlian ter­tentu. Contohnya pertanian, cara berdagang,
bengkel dan lain seba­gainya sehingga ketika mereka keluar
dari pesantren mempunyai bekal untuk bekerja.
Penanaman jiwa wirausaha pada santri, dengan
memberikan wawasan kepada mereka sejak dini. Bahkan

150
bekerja sekalipun merupakan kebutuhan sosial untuk bekal
hidup. Namun pada hakikatnya merupakan perintah agama.
Karena mencari nafkah untuk menghidupi diri sendiri dan
keluarga merupakan bagian yang tak terpisah dari ajaran
agama.
Pemahaman kepada masyarakat, bahwa persoalan
sosial di masyarakat seperti kemiskinan, ketidakadilan, juga
merupakan tanggung jawab pesantren. Ini tak lain menjadi
bagian tidak terpisahkan dari hablum min al-nas dan dakwah
bil hal.
Oleh karena itu, persepsi bahwa pesantren hanya
dianggap lembaga pendidikan tradisional tanpa nilai strategis
dalam bidang ekonomi, harus diubah oleh pesantren sendiri.
Dan ternyata bahwa pesantren memiliki potensi yang belum
banyak diperhatikan, baik oleh pemerintah maupun pesantren
sendiri.
Pemerintah selama ini jarang melihat potensi ekonomi
yang dimiliki oleh pesantren. Sementara itu pihak pesantren
sendiri menganggap bahwa persoalan ekonomi bukanlah
urusan pesantren, tetapi tugas para pengusaha. Sejatinya
persoalan ekonomi dan usaha, dimiliki pula oleh pihak
pesantren, dalam rangka mengimplementasikan pengetahun
agama yang selama ini dikajinya di pesantren, sebagai
implementasi dari tanggung jawab sosial kemasyarakatan
yang diembannya. Penyebabnya, urusan ekonomi bukan
merupakan persoalan duniawi semata, tapi di dalamnya
ada aspek pembimbingan ajaran agama dalam upaya
mensejahterakan masyarakat melalui perekonomian.
Paradigma baru ini sekaligus untuk menyanggah pihak-
pihak yang beranggapan bahwa pesantren hanya merupakan

151
lembaga tradisional tanpa melihat kepada kebutuhan ekonomi
masyarakat. Pondok Pesantren Al-Basyariyah dalam hal ini
menjalankan fungsi sebagai agent of development dengan
skema ekonomi protektif yang dijalankan. Respons pimpinan
Pondok Pesantren Al-Basyariyah terhadap masalah kehidupan
yang dihadapi santri dan masyarakat sekitar membuat
pimpinan mencari solusi. Dengan demikian, secara sistematis
dan konsisten pesantren menjalankan program pengembangan
ekonomi protektif. Program ini sangat tepat, dalam rangka
menjamin mutu produk yang dijalankan. Karena itu, program
pengembangan ekonomi protektif yang digelindingkan oleh
pondok pesantren melalui strategi pendekatan yang Islami,
mendapat sambutan hangat oleh masyarakat sekitar. Faktor
ini mendukung program pengembangan ekonomi protektif
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan
sehingga meluas pada usaha air mineral dan teh dalam
kemasan lewat PT Armina.
Pendirian perusahan tersebut didasarkan atas keprihatinan
pimpinan pondok akan kebutuhan air minum santri yang
tidak dapat terpenuhi. Lewat produk air kemasan, pesantren
bisa menjawab secara jitu tantangan tersebut sekaligus
memperluas manfaat ke lingkungan sekitar. Dengan program
pengembangan ekonomi protektif yang digagas oleh Pimpinan
Pondok Pesantren Al-Basyariyah diharapkan eksistensi
Pondok Pesantren Al-Basyariyah semakin diperhitungkan,
baik di dalam dan di luar negeri.

152
Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah
Mendidik Santri Terampil dan Mandiri

Nunu Ahmad An-Nahidhl

Demi mengasah kemandirian santri,


Umi Eha memilih jalan wirausaha

Kesadaran di benak Hj. Eha Shofa Zuleha tumbuh


semakin kuat manakala melihat citra pesantren di masyarakat.
Sebagian orang justeru memanfaatkan lembaga pesantren
sebagai ‘bengkel’ untuk ‘mereparasi’ perilaku anak-anak
mereka karena sudah kewalahan menanganinya. Jika
demikian, peran pesantren pun sudah dianggap melampaui
apa yang menjadi tugasnya.
Pikiran itu menjadi dasar Umi Eha, demikian dia akrab
dipanggil, dalam mengembangkan Pondok Pesantren
Ath-Thohariyyah 3 yang beralamat di Kampung Pasar
Sodong, Desa Sindanghayu, Kecamatan Saketi, Kabupaten
Pandeglang, Banten. Umi Eha tak ingin pesantren yang
dibangunnya kelak hanya sebagai ‘tempat reparasi santri’.
Pondok besutannya mesti mampu melahirkan manusia unggul

153
yang bisa berkontribusi di masyarakat.
Umi Eha menjadi satu dari sedikit perempuan yang
menjadi pemimpin pesantren. Tidak sekadar berpuas dengan
status keperempuanannya, Umi Eha ingin menjadi salah
satu pemimpin yang berhasil mengubah pesantren menjadi
institusi baru. Tak sekadar tempat menuntut ilmu, pesantren
pun harus mampu membuat santrinya memiliki ketrampilan
sebagai bekal hidup di masyarakat.

Wirausaha Lewat Keceprek Super dan Abon Lele


Umi Eha memilih jalan wirausaha untuk mengasah
kemandirian santri. Lewat jalan itu, Umi Eha bertekad mental
dan ketrampilan santri binaannya bisa terasah. Dia pun
mengembangkan beberapa produk untuk diolah di pesantren.
Salah satunya Keceprek Super. Dipilihnya kudapan ini
sebagai produk unggulan pesantren bukan dengan sengaja.
Pada 2010 lalu, Umi Eha memperoleh oleh-oleh keceprek
dari salah satu orangtua santri yang datang silaturahim. Dia
memperhatikan jenis dan rasanya yang tidak seperti biasanya.
Produk ini berbeda dengan keceprek pada umumnya. Umi
Eha tertarik untuk mengetahui Keceprek Super lebih jauh.
Tanpa buang waktu, dia mendatangi rumah orang tua santri
tersebut. Di situ, dia memperoleh penjelasan secara rinci
tentang jenis yang disebut dengan Keceprek Super. Umi Eha
langsung mengajak kerjasama dan mengundang orangtua
santri tersebut untuk berbagai ilmu. Tanpa sungkan, Umi Eha
meminta agar orang tua santri mengajarkan cara membuat
keceprek secara berkala kepada para santri di pesantren.
Pilihan Umi Eha untuk mengembangkan Keceprek
Super bukan tanpa alasan. Wilayah Pandeglang sebelah

154
Barat, seperti Bojong, Saketi, Menes hingga Labuan dan
sekitarnya merupakan daerah sentra penghasil emping atau
keceprek. Bahan baku produk ini adalah buah melinjo atau
‘sake’ dalam istilah bahasa lokal. Pohon melinjo yang daun
dan buahnya biasa dibuat bahan sayur asem ini memang
seringkali ditemukan di sekitar wilayah Menes. Tidak hanya
isi dan daunnya, kulit buah melinjo yang berwarna merah
juga kerap dijadikan bahan sayuran. Di daerah itu, biasanya
dikenal dengan istilah ‘angeun sake’.
Di Menes, masih banyak pohon melinjo yang ditemukan
di pekarangan rumah penduduk, baik sebagai peneduh atau
pembatas pekarangan. Namun buah yang dihasilkannya
dirasakan semakin berkurang. Biasanya, orang tidak
membedakan jenis keceprek. Mereka pun tidak tahu persis
keunggulan pada setiap jenisnya. Padahal keceprek super
berbeda dengan keceprek pada umumnya. Keceprek super
yang diolah oleh santri Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah
hanya diambil dari bahan baku pilihan.
Keceprek ini berasal dari buah melinjo yang baru dipetik.
Bukan stok lama yang biasanya sudah cacat dan berlubang.
Bentuknya pun lebih besar ketimbang biasanya. Buah melinjo
yang sudah dipetik lama dan bentuk bijinya yang kecil tidak
bisa diolah menjadi keceprek super. Ciri-ciri keceprek super
adalah ketika digoreng, maka bentuknya mengembung
cenderung bulat dan renyah waktu dimakan. Sementara
keceprek biasa, bentuknya agak kempes dan keras.
Bahan baku buah melinjo untuk membuat keceprek
super ini ternyata tidak mudah diperoleh. Umi Eha sendiri
merasakan adanya kendala dalam memperoleh bahan baku
tersebut. Selama ini Umi Eha menjalin kerjasama dengan

155
sejumlah pengepul di Pasar Sodong yang menampung
sejumlah hasil pertanian. Posisi Pasar Sodong kebetulan
berseberangan persis dengan pesantren. Umi Eha meminta
pengepul untuk memisahkan buah melinjo yang kualitasnya
bagus dan bentuknya besar.
Di samping itu, Umi Eha juga bekerjasama dengan
orangtua santri yang mayoritas petani.Umi kerap berpesan
kepada para santri agar menyampaikan informasi kepada
orangtuanya masing-masing bahwa pesantren akan membeli
buah melinjo yang kualitasnya baik. Melinjo itu pun akan
diolah oleh para santri sebagai hasil produksi pesantren.
Usaha yang dilakukan Umi Eha ini ternyata tidak mudah
tetapi harus dilakukan, semata-mata untuk menjaga kualitas
produksi. Upaya mendatangkan ahli pun dapat dilihat hasilnya.
Setelah dididik secara khusus, para santri mulai terampil
mengelola keceprek super. Keterampilan ini didukung oleh
prasarana yang cukup memadai. Umi Eha menyiapkan sebuah
tempat khusus di bagian belakang komplek pesantren. Tempat
ini diperuntukkan sebagai dapur produksi, dan dilengkapi
dengan sejumlah alat yang dibutuhkan. Sesekali Umi Eha
mengawasi kegiatan para santri.
Produksi keceprek super melalui beberapa tahapan.
Dimulai dari mengupas kulit luar buah melinjo yang rata-
rata sudah berwarna merah tua. Ciri bahwa buah tersebut
sudah tua dan siap diolah. Setelah kulit luarnya dibuka, buah
melinjo di-sanggrai atau digoreng kering di atas penggorengan
yang terbuat dari tanah liat. Proses penggorengan dengan
menggunakan pasir ini harus terus dibolak-balik agar tingkat
kepanasannya merata. Setelah matang, biasanya kulit buah
melinjo bagian dalam yang keras itu akan pecah, sehingga
memudahkan untuk dikupas. Isi buah melinjo lantas diletakkan

156
di atas batu yang lebar dan rata untuk ditumbuk secara manual.
Bentuk biji itu menjadi rata dan bulat. Keceprek itu kemudian
dipindahkan ke atas tampah.
Tahap selanjutnya adalah proses pemanggangan di atas
bara arang agar bahan keceprek hampir jadi ini kering.
Setelah tampak kering, buah melinjo yang telah berubah
bentuk itu siap digoreng dengan minyak dan menjadi
Keceprek Super. Berikutnya, para santri Pondok Pesantren
Ath-Thohariyyah mengemas keceprek ke dalam bungkus
plastik dan menimbangnya masing-masing sesuai ukuran
yang dikehendaki. Bungkus plastik ini sudah diberi label
khusus. Di bagian atasnya tertulis; Keceprek Melinjo Super:
Enak dan Renyah. Diproduksi oleh Pondok Pesantren Ath-
Thohariyyah. Ditulis pula nomor P-IRT yang diperoleh
pada 2011. Biasanya, keceprek super yang sudah dikemas
apik itu dititipkan di sejumlah toko atau warung. Kemasan
kecil keceprek super ukuran setengah ons hasil olahan santri
Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah ini dihargai lima ribu
rupiah.
Namun demikian, Keceprek Super masih diproduksi
temporal. Tidak rutin. Pertama, tergantung adanya bahan
baku. Kedua tergantung kepada pesanan. Faktanya, mencari
buah melinjo dengan kualitas baik ternyata tidak mudah.
Ketika bahan baku sedang kosong, maka kegiatan produksi
pun tidak berjalan. Namun, ketika bahan bakunya ada,
meskipun sedang tidak ada pesanan, Keceprek Super akan
tetap diproduksi.
Keceprek super menjadi oleh-oleh khas Banten. Pesanan
musiman ini akan melonjak terutama pada bulan Syawal.
Bahkan biasanya sejak Ramadhan sudah banyak pesanan
masuk melalui para santri yang menjadi anggota keluarga

157
mereka. Tak jarang, asisten rumah tangga yang pulang
kampung ke Pandeglang akan kembali ke Jakarta berbekal
keceprek. Para pengelola unit usaha tata boga yang merupakan
para santri pun melayaninya dengan semangat.
Untuk menjaga mutu produksi, Umi Eha mendaftarkan
Keceprek Super olahan para santri Pondok Pesantren Ath-
Thohariyyah ini ke Dinas Kesehatan Pandeglang. Keceprek
Super ini memperoleh P-IRT atau Pangan Industri Rumah
Tangga. Tanda sertifikasi sebagai izin produksi untuk skala
rumahan ini dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Pandeglang sejak tahun 2011. P-IRT harus perbaharui setiap
lima tahun.
Ternyata memperoleh P-IRT tidak mudah. Bagi Umi
Eha dan Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah, ini adalah
perjuangan dan sekaligus tantangan. Tetapi konsumen juga
memang perlu memperoleh jaminan kesehatan dan keamanan
atas produk yang dibeli. Bahkan untuk abon lele, Umi Eha
perlu berjuang lumayan ketat. Pasalnya, pernah ada zat
berwarna yang diduga formalin pada produksi abon. Setelah
ditelisik secara cermat, ternyata warna tersebut berasal dari
bumbu kunir yang memang warnanya kuning.
Selain Keceprek Super, unit usaha lain yang dikembang­
kan oleh Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah adalah abon
lele. Keterampilan santri mengolah abon dari bahan baku
ikan lele dimulai pada tahun 2014. Seperti halnya Keceprek
Super, usaha abon lele juga menghadapi kendala bahan baku.
Tetapi itu dulu. Cerita sulitnya memperoleh ikan lele berakhir
setelah para santri justeru membudayakan ikan lele sendiri.
Di bagian belakang sebelah samping area pesantren,
terdapat sejumlah kolam ikan ukuran sedang yang dikelola

158
oleh para santri. Tidak hanya ikan lele, melainkan gurame
dan nila. Lingkungan sekeliling pesantren yang sangat asri,
dengan berbagai jenis pepohonan yang cukup tinggi dan
rindang menjadi daya tarik sendiri. Kehadiran beberapa kolam
ikan di dalamnya menambah suasana semakin membuat
betah para santri untuk refreshing. Peneliti pernah merasakan
langsung suasana itu. Menikmati makan siang dengan ikan
dan ayam bakar, lalapan dan sambel di atas alas daun pisang,
bersama para pengasuh dan ratusan santri. Luar biasa nikmat
yang diberikan Allah swt.
Para santri secara bergantian mencari daun talas dan
keong emas untuk pakan ikan. Tidak ada yang diwajibkan.
Semuanya atas kesadaran sendiri. Umi Eha selaku pengasuh
juga tidak akan pernah memaksa santri untuk mencari
pakan. Santri sudah meyakini bahwa apa yang dilakukannya
adalah untuk kepentingan bersama. Beruntung, belum lama
pesantren memperoleh hibah dua buah mesin pembuat pakan
ikan. Kondisinya memang rusak dan perlu perbaikan. Tetapi
suatu saat nanti, jika mesin tersebut telah normal dan dapat
digunakan, pesantren tidak akan lagi tergantung kepada pakan
yang dibeli di pasaran yang harganya lumayan tinggi.
Sama halnya dengan Keceprek Super, abon lele dibuat
tanpa pengawet. Hasil olahan santri Pondok Pesantren Ath-
Thohariyyah ini dibuat berdasarkan pesanan. Pesantren
tidak terus menerus memproduksi abon lele. Bagi Umi
Eha, ini semua adalah sebuah proses. Tidak ada suatu hal
yang dirugikan. Ilmu dan keterampilan yang diperoleh
santri saja sudah luar biasa. Nikmat Allah SWT yang wajib
disyukuri. Pesantren memang belum membangun jaringan
kerjasama secara resmi dan luas dengan banyak pihak. Baru
memanfaatkan kontak-kontak terbatas. Termasuk dengan

159
alumni pesantren yang tersebar di berbagai daerah.
Ketika Umi Eha diundang untuk memberikan pengajian
umum di RSU Pandeglang, misalnya, ternyata pihak RS juga
berminat dengan abon lele olahan para santri itu. Sementara
konsumen lainnya adalah mereka yang menjadikan abon lele
sebagai oleh-oleh. Abon lele ini telah memperoleh P-IRT dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang dan sertifikasi halal
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 2015.
Nilai tambah P-IRT bagi Pondok Pesantren Ath-
Thohariyyah adalah diikutkannya produk para santri ini
dalam setiap pameran yang diselenggarakan oleh pihak
Pemda tingkat Kabupaten Pandeglang dan Provinsi Banten.
Pameran tersebut jelas merupakan media publikasi yang
sangat efektif untuk mengenalkan produk para santri kepada
masyarakat luas.

Mengasah Ketrampilan
Santri Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah juga mendapat
keterampilan atau life skill di bidang lain. Umumnya
keterampilan untuk santri putri. Mereka rutin belajar menjahit,
tata rias, rias pengantin, membuat bros, membuat bunga
hiasan, serta aksesori hiasan pada berbagai wadah.
Berbagai keterampilan ini adalah pilihan yang dapat
diambil oleh para santri sesuai minat dan potensi yang dimiliki
masing-masing. Tahap pertama, pesantren mendaftar masing-
masing santri sesuai pilihannya. Selanjutnya, Umi Eha
mengundang para ahli di bidangnya dari luar pesantren. Ada
beberapa sanggar kegiatan belajar yang bisa diajak kerjasama.
Para santri diberikan pelatihan keterampilan selama beberapa
waktu tatap muka sampai mereka dipandang mampu untuk

160
mulai mengembangkan sendiri. Para ahli biasanya memiliki
target waktu yang akan digunakan sampai tujuan pelatihan
tercapai.
Keterampilan rias pengantin, misalnya. Umi Eha
mendatangkan ahlinya untuk mengajar para santri. Seluruh
biaya pengadaan pengajar atau guru keterampilan ini
sepenuhnya dibiayai dana pribadi Umi Eha, bukan dari
pesantren. Umi Eha sudah mengikhlaskan apa yang
dimilikinya untuk pengembangan pendidikan pesantren. Jika
guru keterampilan tersebut memiliki target waktu selama
tiga bulan, misalnya, maka selama itu pula santri mengikuti
pendidikan keterampilan.
Nah, bagi santri yang sudah diberikan pelatihan, maka
dia harus siap menjadi mentor bagi santri lainnya. Karena
tidak mungkin selamanya mendatangkan guru dari luar yang
memang tidak murah biayanya. Di sini, ilmu dan keahlian
menjadi berkembang sedemikian rupa. Generasi pertama akan
melatih generasi kedua, demikian seterusnya. Intinya, seluruh
santri memiliki pengalaman untuk belajar keterampilan.
Hasilnya sudah dapat dilihat. Masyarakat di sekitar
pesantren mulai memanfaatkan keahlian spesial para santri ini
dalam perayaan pernikahan putra-putri mereka. Santri menjadi
penata rias atau asisten penata rias dalam acara pernikahan.
Meski belum sampai kepada tingkatan profesional, tetapi
kegiatan tersebut telah menjadikan keluarga besar pesantren
terutama para santri bisa membaur secara baik dengan
kehidupan sehari-hari masyarakat. Pesantren juga melayani
jasa menghias parsel pernikahan, plus sewa wadah atau
tempat parsel yang saat ini dimiliki pesantren sebanyak 30
buah. Selain menghias tempat air minum mineral.

161
Tak hanya pernikahan, mereka pun melayani kegiatan
wisuda, pawai, haflah, dan khataman. Selain penata rias,
pesantren juga menyewakan berbagai pakaian khusus yang
dapat digunakan dalam acara tersebut, seperti pakaian seragam
marawis, seragam hadrah, seragam qasidah, dan seragam tari-
tarian. Masing-masing kostum khusus tersebut tersedia untuk
12 orang dengan model sebanyak 5 stel. Seluruh kostum yang
ada, desainnya disesuaikan dengan tingkat usianya, yaitu
kostum khusus ibu-ibu, remaja, dan anak-anak.
Pengadaan sejumlah kostum acara ini muncul dalam
pikiran Umi Eha. Pada beberapa kali penyelenggaraan acara
di pesantren, ternyata santri mengalami kerepotan sendiri
dalam hal seragam acara. Santri harus menjahit atau menyewa
pakaian dari luar dengan biaya yang tidak sedikit. Padahal
terdapat berbagai kegiatan rutin yang digelar pesantren dalam
setiap tahun. Akhirnya, Umi Eha memanfaatkan keahlian para
santri yang mengambil keterampilan menjahit untuk membuat
sejumlah seragam yang pada saatnya bisa digunakan oleh
santri sendiri, bahkan disewakan kepada pihak lain.
Pilihan yang diambil Umi Eha ini secara langsung
melibatkan santri dalam seluruh kegiatan pesantren. Dengan
demikian, santri merasa memiliki dan berperan penuh sesuai
dengan kapasitasnya masing-masing. Bagi mereka yang
sekolah di luar pesantren, misalnya, atau dalam setiap acara-
acara tertentu, seperti wisuda, maka santri tidak perlu keluar
dari lingkungan pesantren, bahkan justeru siap menghadiri
acara di luar dalam kondisi yang sudah rapi.
Saat ini Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah memiliki
lima mesin jahit ditambah mesin bordir. Mesin ini biasa
digunakan oleh para santri yang mengambil keterampilan
menjahit. Bahkan keterampilan ini merupakan pilihan favorit

162
para santri dan banyak peminatnya. Menjahit berhubungam
langsung dengan kebutuhan harian, maka banyak dipilih oleh
santri.
Secara khusus, Umi Eha mendatangkan guru menjahit
dari luar pesantren untuk mengajarkan keterampilan menjahit
kepada para santri. Bagi mereka yang telah mahir menjahit,
selanjutnya mengajarkannya kepada santri yang lain. Demikian
seterusnya. Hasilnya, Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah
memiliki banyak santri yang terampil menjahit. Misalnya,
seragam dan bordir bed nama dan logo sekolah untuk anak-
anak RA dibuat sendiri oleh para santri. Beberapa waktu yang
lalu, santri juga menerima pesanan dari kelompok bimbingan
ibadah haji (KBIH) untuk membuat syal yang dibordir apik
sebagai penanda khusus rombongan jamaah umrah. Jamaah
merasa puas karena desainnya yang unik dan menarik.
Ke depan, Umi Eha ingin anak-anak santri bisa membuat
seragam marching band, sehingga madrasah dan sekolah
lain bisa memanfaatkannya, selain tentunya digunakan oleh
pesantren sendiri. Selama ini umumnya masyarakat telah
mengetahui bahwa pesantren memiliki sejumlah seragam
yang bisa disewakan kepada mereka.

Nyai Pesantren
Hj. Eha Shofa Zulaeha menjadi satu dari sedikit
perempuan yang menginisiasi pendirian pondok pesantren di
Indonesia, khususnya di wilayah Banten. Ibu Nyai tamatan
sebuah pesantren salafiyah, Tasikmalaya, Jawa Barat ini
mengelola pondok yang diisi 500 santri. Pondok pesantren
yang terletak 23 km dari alun-alun Kota Pandeglang tersebut
berkonsentrasi kepada pendidikan takhassus kitab kuning.

163
Mulai tingkat dasar, menengah hingga tinggi.
Istimewanya, sulit diperoleh –untuk tidak mengatakan
tidak ada– sebuah informasi dan data di dalam sejarah Banten
yang menjelaskan eksistensi sebuah pesantren salafiyah
dimana seorang Ibu Nyai mengajarkan kitab kuning di
hadapan para santrinya. Artinya, apa yang dilakukan Umi
Eha di Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah adalah sebuah
tradisi yang unik dan cerdas di tengah derasnya semangat
kalangan pondok pesantren mengembangkan pendidikan
formal dengan mendirikan madrasah dan sekolah.
Lahir dari kalangan saudagar kaya, Umi Eha adalah anak
keempat dari sembilan bersaudara. Kakaknya yang tertua,
saat ini duduk sebagai Ketua Yayasan Pondok Pesantren Ath-
Thohariyyah, sementara tiga adiknya yang lain, membantu
Umi Eha mengelola pesantren sebagai guru.
Sejak kecil, Umi Eha sudah ditempa oleh pendidikan
agama yang memadai. Ayahnya, KH. Emed Ibrahim (alm.)
meski bukan orang yang aktif di dunia pendidikan, tetapi
sangat memperhatikan pendidikan agama bagi anak-
anaknya. Mengaji adalah tuntutan yang wajib dipenuhi oleh
semuanya.
Selepas tamat dari pendidikan Tsanawiyah, Umi Eha
menempuh takahssus pendidikan diniyah di Pondok Pesantren
Ath-Thohariyyah di Kota Tasikmalaya yang diasuh KH.
Musaddad Farid. Di pesantren ini, dua orang adiknya juga
menempuh pendidikan. Nama Ath-Thohariyyah, selanjutnya
digunakan sebagai nama untuk pesantren yang didirikannya,
setelah mendapatkan restu dan doa dari gurunya.
Tahun 1995, Umi Eha menyelesaikan pendidikan
pesantrennya di Tasikmalaya. Selepas ‘nyantri,’ Umi Eha

164
tidak berdiam diri di rumah. Dia mengembangkan ilmu yang
dimilikinya dengan mengajar di Madrasah Ibtidaiyah, RA,
dan TPQ di sekitar tempat tinggalnya. Di sela-sela mengajar
itu, dia terus memupuk pengetahuannya dengan mengikuti
berbagai workshop dan seminar dalam berbagai isu dan tema,
atas biaya sendiri.
Selanjutnya, Umi Eha mulai membuka pengajian di tempat
tinggalnya. Dia memanfaatkan garasi rumah orangtuanya
untuk kegiatan tersebut. Ash-Shofa, demikian nama pengajian
yang diselenggarakannya. Nama itu merupakan bagian dari
penggalan namanya.
Tahun 1999, Umi Eha menikahi seorang guru PNS di Dinas
Pendidikan atas pilihan orang tuanya. Dia percaya, ketentuan
Allah telah mempertemukannya dengan pasangan hidupnya
itu. Sebab pada saatnya, sang suami pula yang bertugas
mengawal administrasi Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah.
Sebagai alumni pesantren tulen, Umi Eha merasa tidak terlalu
cakap dengan urusan administrasi yang seringkali membuat
kening berkerut. Dia pun bisa saling melengkapi dengan
suaminya yang sering membantu administrasi pesantren.
Saat menikah tahun 1999, Umi Eha telah memiliki
santri ‘ngalong’ sebanyak 200 orang. ‘Ngalong’ artinya
santri tersebut tidak mukim, tetapi pulang ke rumah masing-
masing setelah pengajian selesai. Di tahun yang sama, dia
mulai merintis bangunan pondok pesantren dengan biaya
sendiri. Tanah pribadi seluas 2 hektar di kawasan Cibaliung
diikhlaskannya untuk dilepas demi membiayai pembangunan
pesantren.
Pondok Pesantren Ath-Thohariyyah secara resmi berdiri
pada tahun 2001 di atas tanah milik pribadi seluas 12.449

165
M2. Sementara bangunan pesantren seluas 3.511 M2 terdiri
dari beberapa bagian, seperti asrama santri putra dan putri,
perpustakaan, mushalla, ruang pengajian, ruang poskestren,
ruang tamu, dan kantor.
Satuan pendidikan yang dikelola oleh Pondok Pesantren
Ath-Thohariyyah adalah pendidikan salafiyah, Raudlatul
Athfal, TPQ, Madrasah Diniyah Awaliyah, Wajar Dikdas
tingkat wushto, Program Paket C, SLB, dan Majelis Taklim
Muslimat. Adapun jumlah santri yang diasuh sebagaimana
dalam tabel berikut:
Tabel 1. Data Statistik Santri Tahun 2017
No Satuan Pendidikan Jumlah L P
1 Santri Salafi Mukim 485 175 310
2 Santri Salafi non Mukim 27 19 8
3 Raudlatul Athfal 56 25 31
4 TPQ dan MDA 185 73 112
5 Wustho/ Paket B 65 * 31 34
6 Peserta Paket C 61* 23 38
7 Siswa SLB 45 21 24
8 Majelis Taklim Muslimat 192 - 192
Jumlah 990 292 689

****
Seringkali ketika para alumni Pondok Pesantren Ath-
Thohariyyah datang silaturahim ke pesantren, mereka
berterimakasih kepada Umi Eha atas ilmu dan pengalaman
yang diperoleh ketika ‘nyantri.’ Apa yang mereka dapatkan
benar-benar menjadi bekal yang sangat berguna, tidak saja
bagi diri pribadi masing-masing, bahkan juga masyarakat
di sekeliling mereka. Ketika santri memanfaatkan ilmu
yang dimiliki dengan mengajarkannya kepada masyarakat

166
luas, maka hal itu adalah keniscayaan yang harus dipenuhi.
Demikian syariat agama berpesan. Ilmu memang harus
diajarkan, karenanya pula pahala diberikan. Itulah ilmu yang
berkah dalam keyakinan para santri.
Namun demikian, bekal keterampilan yang juga diperoleh
para santri di pesantren ternyata menempati ruang lain yang
tak kalah pentingnya dalam kehidupannya sehari-hari. Bekal
itu justeru menjadi modal awal bagi santri agar tidak gagap
ketika menapak jejak kehidupan yang lebih riil. Agama juga
mengajarkan umatnya untuk berusaha. Tidak hanya berdoa.
Ada keseimbangan di antara keduanya.
Ketika para santri harus meninggalkan pesantren, baik
karena lulus pendidikan pada suatu jenjang tertentu, atau
karena mengikuti sabda Rasulullah SAW bahwa ‘nikah
itu sunnahku,’ maka terkadang Umi Eha menahan nafas.
Bagaimanapun, keluar masuknya santri akan berpengaruh
terhadap kesinambungan pendidikan keterampilan yang
diajarkan.
Mereka yang keluar pesantren, terkadang tidak bisa
begitu saja digantikan oleh yang lainnya. Di sini, Umi Eha
kembali meyakini jalan dan ketentuan Allah Yang Maha
Kuasa. Inilah tantangan yang harus dihadapi. Umi Eha harus
kembali ekstra keras menempa bakat para santri, sambil
menengadahkan tangan memohon kekuatan kepada Dzat
Yang Menciptakannya.

167
168
Pondok Pesantren Qudsiyyah
Menggagas Jejaring Pusat Grosir
Pesantren Nusantara

Abdul Jalil

Jejaring distribusi ekonomi yang dipegang PGP-N membuat


harga barang kebutuhan pesantren lebih murah. Produk-
produk pesantren juga bisa diserap santri dan warga sekitar

Ribuan santri dan alumni Madrasah Qudsiyyah, Kudus,


berkumpul di Lapangan Al-Qudsiyyah, Jalan KHR. Asnawi,
2 Agustus 2016. Hari itu menjadi istimewa. Mereka hendak
melakukan deklarasi Santri Mandiri pada puncak peringatan
satu abad Qudsiyyah. Deklarasi pun semakin bermakna
dengan penulisan mushaf Al-Qur’an oleh lebih dari seribu
santri. Adanya penulisan tangan mushaf Al-Qur’an dinilai
sebagai bentuk konkret kemandirian santri.
Santri Nusantara menyatakan ke­mandirian ekonomi
untuk mewujudkan per­adaban yang berkeadilan dalam kehi­
dupan berbangsa dan bernegara
Santri Nusantara selalu menjalin ukhu­wah taawuniyah

169
untuk menumbuh­kembangkan berbagai potensi demi
tercapainya izzul islam wal muslimin dalam panji-panji
ahlussunnah waljamaah.
Santri Nusantara menolak berbagai hegemoni tekanan dan
pemanfaatan yang dapat merusak tatanan ekonomi santri.
Begitu deklarasi itu digaungkan, isi deklarasi lantas
disahkan oleh KH. Nadjib Hasan, mewakili Yayasan Menara
dan Yayasan Qudsiyyah serta KH. Miftah Faqih yang
mewakili PBNU dan Asosiasi Pesantren Seluruh Indonesia.
Sebelum deklarasi dihelat, kegiatan kemandirian
kewirausahaan santri dilak­sanakan di Hotel Griptha selama
dua hari. Total ada lima putaran halaqah dan tiga kali training
tim teknis yang dilakukan menjelang hari deklarasi. Acara
itu dimaksudkan agar santri memiliki jaringan yang luas dan
memiliki keterampilan untuk berkarya, baik di bidang agama
maupun ekonomi.
Tidak hanya itu, halaqah dan deklarasi santri mandiri
menjadi cikal bakal lahirnya satu gerakan ekonomi pesantren
yang guyub. Dari sini, muncul kesadaran dari pesantren untuk
bersama-sama melakukan aksi ekonomi demi kemandirian
masing-masing pondok.
Inisiasi itu muncul dari Pondok Pesantren Qudsiyyah.
Sebuah pesantren yang memiliki sejumlah kegiatan
ekonomi. Potensi ini tumbuh tanpa adanya insentif artifisial
apapun. Dengan kata lain, mereka hanya mengandalkan
naluri usaha dan kelimpahan sumber daya alam, sumber daya
manusia, serta peluang pasar. 
Kehadiran toko kelontong, kantin, dan toko kitab adalah
bentuk konkret respon pesantren dalam perjumpaannya
dengan potensi ekonomi di sekelilingnya. Omzet Rp 250-

170
300 juta perbulan dengan santri 2000-an orang bukanlah
sesuatu yang istimewa karena jika dihitung per-orang hanya
membelanjakan sekitar Rp 5.000,- perhari.
Setelah dilakukan studi mendalam, ada potensi kerugian
dalam skema distribusi bisnis pesantren, mulai kebutuhan
ATK, seragam, makanan dan hampir seluruh kebutuhan
pesantren. Hal ini karena pesantren selalu di-supply orang
lain. Harga yang dinikmati pesantren adalah harga ke-lima
setelah distributor nasional, distributor area, agen, dan toko
besar.
Pada saat yang sama, pesantren juga mengalami potential
loss lagi karena komoditas milik jaringan pesantren (Kiai,
Alumni, wali santri, jamaah pengajian) selalu dimainkan
tengkulak sehingga tidak bisa mengakses pasar secara
langsung.
Akibat langsung dari bocornya sumber daya ekonomi
ini adalah pesantren terbelit dengan beragam masalah. Mulai
sumber daya manusia (SDM) yang skill ekonominya terbatas,
kurangnya aset, alternatif lapangan kerja tidak berkualitas,
akses terhadap sumber-sumber produktif (modal, teknologi,
informasi pasar komoditas) dan sebagainya. Turunan
dari fenomena itu adalah sarana pendidikan, kesehatan,
permukiman, dan infrastruktur pesantren sangat terbatas,
Posisi tawar dalam proses pengambilan keputusan di
berbagai tingkatan pemerintahan juga kurang memadai.
Alhasil, kelembagaan dan organisasi ekonomi lemah, dan
yang paling memilukan pesantren selalu jadi obyek, baik
secara ekonomi maupun politik.
Masalah sebanyak ini tidak mungkin dilakukan Qudsiyyah
sendirian. Qudsiyyah mesti bersinergi dengan pesantren lain

171
untuk bahu membahu mengatasinya.
Kultur pesantren di Indonesia sangat unik. Beda daerah
beda kultur dan karakter. Masing-masing pesantren, berikut
potensi wilayahnya juga tidak sama. Selama ini fokus mereka
masih pada pengembangan ilmu keagamaan, sementara
pengembangan potensi ekonomi yang terorganisir secara
sistemik bealum berjalan.

Membangun Ekonomi
Mindset bahwa pesantren menjadi pusat pengembangan
ekonomi masya­rakat masih asing. Masih terekam kuat
bahwa pesantren adalah pusat pengembangan agama an sich.
Padahal lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi
keagamaan dan organizers masyarakat juga dimaksudkan
untuk mengorganisir perekonomian masyarakat, sebagaimana
fungsi dan peran Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Perekonomian
me­lalui Perdagangan) sebagai asas pe­ngembangan NU pada
awal mula didirikan.
Pengembangan pesantren ha­rus diarahkan untuk menjadi­
kan pereko­no­mian pesantren menjadi kuat, besar, modern,
dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang be­
nar. Pemberdayaan ini bisa secara langsung (misalnya:
pemberian modal usaha, pendidikan ketrampilan ekonomi,
pemberian dana konsumsi), maupun secara tidak langsung
(misalnya: pendidikan ketrampilan ekonomi, perlindungan
dan dukungan terhadap pesantren yang masih dalam kondisi
lemah, dan lain-lain).
Pengembangan ini dilakukan melalui serangkaian
langkah. Mulai pemetaan potensi perekonomian di lingku­
ngan pesantren, akses dan pengembangan sumber daya,

172
ketajaman membaca pe­luang dana pihak ketiga. Outputnya
yakni perubahan pola pikir bahwa mereka harus berdaya,
independen, dan mandiri dengan potensi yang dimilikinya.
Pesantren pun mampu menangkal berbagai kepentingan yang
ingin memanfaatkannya.
Selama ini, untuk menunjang keber­langsungan
operasional, pesantren hidup mandiri dari partisipasi wali
santri dan donasi dari jamaah pengajian maupun warga.
Sesekali, pesantren mendapatkan dana CSR dari perusahaan
atau bantuan program pemerintah. Hal ini tentu tidak cukup
dengan tuntutan kemajuan dan dinamika peradaban yang
berkembang. Padahal sejatinya pesantren mempunyai mental
kemandirian yang hebat. Mereka mampu bertahan hidup
dalam kondisi serba terbatas. Hanya dengan mengandalkan
naluri usaha dan peluang pasar, mereka mencoba terus
bergerak.
Namun, karena tidak diimbangi dengan skill, infrastruktur,
dan kebijakan yang memadai, mereka akhirnya terbelit
problem sumber daya manusia (SDM) dan akses terhadap
sumber-sumber produktif (modal, teknologi, informasi pasar
komoditas, dll). Di sini perlunya pendamping pesantren yang
kredibel dan bekerja secara intensif. Mereka butuh fasilitator
yang kuat dan strategis agar dapat mengakses semua sumber
daya dan sumber dana yang ada unit pengembangan potensi
demi kemandiriannya.
Ikhtiar untuk ke arah sana sudah sering dilakukan.
Namun, sering juga gagal. Mengapa? Karena tidak sistemik.
Mereka dibantu dengan program, namun pada saat yang sama,
mereka tidak didampingi oleh pihak yang kuat, tangguh, dan
kredibel. Kalaupun ada, tidak mampu bertahan lama karena
tidak sistemik. Mereka tidak dibangun atas dasar potensi yang

173
dimiliki. Tidak diciptakan kultur usaha dan tidak dirumuskan
sistem yang kompatibel dengan perencanaan program
ekonomi yang sustainable.
Belajar dari pengalaman di atas, Qudsiyyah kemudian
bergabung dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul
Ulama (RMINU) untuk melakukan pem­berdayaan pesantren
dengan membentuk jaringan pengembangan ekonomi
pesantren berbasis perdagangan. Qudsiyyah pun membentuk
PGP Nusantara (Pusat Grosir Pesantren Nusantara).
Pengembangan sektor perekonomian melalui perdagangan
yang terorganisir, berupa grosir, menjadi strategis karena
dimaksudkan untuk membumikan fungsi dan peran Nahdlatut
Tujjar sebagai bagian dari concern perjuangan NU saat itu.
Dari sini, banyak peran dan fungsi dapat diterjemahkan.
Dengan demikian Pusat Grosir adalah artikulasi dari istilah
komunitas tujjar dari peran dan fungsi Nahdlatut Tujjar.
Mengingat tali-temali pengembangan perekonomian dan
perdagangan dari waktu ke waktu semakin kompleks dan
melibatkan banyak institusi, bahkan struktur negara, maka
kehadiran institusi yang lebih besar untuk mengayomi dan
dengan banyak struktur menjadi sebuah keniscayaan.
Pada titik inilah Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid
Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP RMINU) melalui Divisi
Kemandirian dan Kemasyarakatan hadir sebagai endorser
(pendukung) sekaligus sebagai Bapak. PPRMNU yang
akan merawat, mendampingi, menguatkan, menciptakan
iklim, dan sekaligus melindunginya serta memediasai
berbagai pihak. Dengan demikian, semua kepentingan dapat
diakomodasi demi ter­wujudnya kemandirian pesantren me­
lalui pengembangan ekonomi berbasis per­dagangan.

174
Bidang perdagangan sengaja dipilih karena bidang
inilah yang akan menjadi katalisator pesantren, baik dalam
posisi mereka sebagai konsumen atau produsen.Untuk bisa
menggandeng pesantren secara bersama-sama bukanlah
perka­ra mudah. RMI tidak memiliki garis instruksional
kepada pesantren, maka yang bisa dilakukan adalah
melakukan penyadaran kolektif dengan silaturrahim dan
halaqah-halaqah.
Inti dari halaqah yang dilakukan adalah membangun
kesadaran kolektif akan kemandirian sekaligus menyusun
action plan (agenda aksi) PGP-N. Komunitas pesantren
dalam definisi operasional PGP Nusantara terdiri dari empat
pilar utama, yakni kiai, santri, alumni, dan jamaah pengajian.
Karena itu, PGPN memulai kegiatan dengan memetakan
potensi pasar.
Pasar di sini bermakna proses sosial dan manajerial
individu dan kelompok. Mereka pun memperoleh apa yang
dibutuhkan dan inginkan dengan cara mempertukarkan produk
dan nilai dengan pihak lain, sehingga antara penawaran dan
permintaan terjadi keseimbangan (equilibrium).
Analisis pasar dimulai dengan survei potensi pasar agar
mendapatkan gambaran keadaan pasar, potensi daya beli,
dimensi dan atribut produk/jasa yang disukai dan sensitivitas
harga yang dapat diterima konsumen terhadap produk
atau jasa. Hasil survei menjadi input bagi PGP-N untuk
mengidentifikasi, memprediksi, menetapkan pasar sasaran
membangun decision support system.
Untuk menjamin pasar pesantren tidak tereduksi oleh
pihak lain, maka dibutuhkan manajemen terpadu yang
menjamin keberlangsungan usaha, kepastian pem­belian,

175
dan kepastian pembayaran. Untuk itu perlu manajemen dan
standar ope­rasional prosedur (SOP), standar yang harus
dilakukan oleh pesantren Network PGP-N.
Demi mendongkrak kemampuan SDM, setiap pesantren
mengirimkan lima personel pengelolanya untuk dididik
mengenai manajemen umum, pergudangan, pelayanan,
keuangan dan perpajakan. Yang perlu digarisbawahi pada
poin pelatihan manajemen pengelola ini adalah bahwa santri
setiap harinya sudah disibukkan dengan berbagai aktivitas
belajar atau mengaji. Untuk memberinya tugas tambahan
aktivitas ekonomi malah dianggap memberatkan.
Ada sebagian pesantren menganggap sebagai sebuah
keharusan sementara sebagian pesantren lain belum mengirim
santrinya dan lebih memilih alumninya untuk belajar. Selain
karena kesibukan, beberapa pesantren lebih memprioritaskan
kegiatan akademik ketimbang untuk pengembangan
ekonomi.
Apapun pilihan pesantren, yang jelas faktor kualitas SDM
tidak bisa ditawar. Terlebih Indonesia sudah menyepakati
kehadiran MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan menyediakan SDM yang
equal dan kompetitif terkait erat dengan adanya lima hal yang
tidak boleh dibatasi peredarannya di seluruh negara ASEAN,
yakni arus barang, arus jasa, arus modal, arus investasi, dan
arus tenaga kerja terlatih.
Komunitas pesantren pun mutlak membutuhkan tenaga
kerja yang berdaya saing, peka, memiliki kompetensi profesi
dan produktivitas kerja. Untuk itulah PGP-N network sepakat
melaksanakan program pelatihan di lima titik: Hotel @home
Kudus, Hotel Griptha Kudus, Pesantren Al-Itqan Semarang,

176
Pesantren API Magelang dan Hotel Lor In Solo.
Langkah pasca pelatihan pengelola adalah memetakan
perilaku konsumen. Pemahaman terhadap perilaku konsumen
akan sangat menentukan segmentasi pasar sasaran. Materi ini
akan sangat membantu mereka mengembangkan dan menjaga
agar pasar sasaran, serta sumber daya yang dimiliki pesantren
sesuai dengan peluang pasar.
Mengingat pasar pesantren sangat eksklusif, maka
tenaga marketing pesantren diarahkan untuk meningkatkan
kemungkinan pembelian produk tertentu. Hal ini dapat
dicapai dengan mengembangkan bauran pemasaran strategis
yang dipilih dan diarahkan pada pasar sasaran. Model yang
dipakai adalah basic marketing untuk selanjutnya difokuskan
pada marketing mix (produk, price, place, promotion) untuk
target pasar pesantren.
Langkah terakhir, dan yang sangat menentukan adalah
kepastian harga dan kepastian supply barang. Untuk itu
PGP-N harus melakukan negosisasi bisnis agar mendapatkan
harga khusus sebagai distrubutor dan atau grosir. Proses
ini membutuhkan waktu dan persyaratan yang cukup rumit
terkait dengan manajemen masing-masing perusahaan, mulai
penyiapan gudang, display produk, sistem teknologi sampai
penyiapan kepastian pembayaran melalui bank garansi dan
SKBDN (Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri).
Proses yang sama juga dilakukan ketika berkomunikasi
dengan eksportir. Poin terpenting dalam ekspor adalah
kepastian kualitas produk dengan melampirkan hasil
laboratorium. Pada poin ini banyak komoditas kita yang
gugur karena dikerjakan secara manual dan tidak didampingi
tenaga ahli yang bersertifikat.

177
Setelah melalui sekian proses yang melelahkan, akhirnya
PGP-N mendapatkan kepercayaan dari beberapa perusahaan
principle dan exportir dan berhasil memotong setidaknya tiga
mata rantai distribusi. Pesantren pun bukan lagi sekadar toko
yang menjual produk, akan tetapi sebagai supplier terhadap
alumni dan jamaahnya. Pada saat yang sama, ketika jaringan
alumni dan jamaah memiliki produk, pesantren juga berposisi
sebagai distributor untuk pasar yang lebih besar dan tidak
tergantung lagi dengan tengkulak ataupun broker.
Jejaring distribusi ekonomi yang dipegang PGP-N
membuat produk-produk pesantren bisa diserap oleh para
santri dan warga sekitar. Tak hanya itu, produk berbagai
kebutuhan pesantren dari beragam merek bisa didapatkan
dengan harga lebih murah. Berikut ini adalah bisnis yang
dilakukan Pusat Grosir Pesantren Nusantara beserta Pesantren
network-nya.
Untuk bisnis barang, PGP Nusantara bertindak sebagai
distributor consumer good & food dari principal nasional
kepada komunitas pesantren (santri/pelajar, walisantri,
alumni, jamaah pengajian, dan warga di lingkungan sekitar)
untuk sementara baru melayani pesantren di Jawa Tengah.
Barang yang didistribusi PGP-N adalah barang-barang
yang cepat laku (fast moving good’s). Begitu pula barang-
barang kebutuhan santri atau komunitas yang diperoleh
langsung dari principal atau distributor nasional. Harga yang
sampai ke pesantren adalah harga grosir, bukan harga retail.
Principal yang sudah menyepakati kerja sama grosir dengan
PGP-N adalah Wing’s Group, Indo Food Group, Garuda Food
Group, Arta Boga Cemerlang (ABC), PT. Nissin Group, PT.
Behaestex Group, dan PT. King Hasan Group. Total item
yang tersedia sekitar 1800 produk.

178
Omzet produk ini variatif antara pesantren besar dan
pesantren kecil. Nilainya bervariasi bergantung populasi
santri dan waktu. Untuk waktu normal, omzet berkisar antara
10-100 juta per pesantren. Namun pada saat tertentu, misalnya
menjelang penerimaan santri baru atau lebaran, omzetnya
bisa naik 10 kali lipat. Untuk produk Behaestex saja tahun
2017 ini nilai kontrak melebihi Rp 3 Miliar.

Dari Tani Hingga Laundry


Ceruk pasar di pesantren sangat variatif. Karena itu,
PGN-P membuat beberapa ragam bisnis untuk menyesuaikan
dengan pasar.
a. Komoditas tani dan perkebunan
Komoditas pesantren sejauh ini berupa produk
pertanian, perkebunan, dan kerajinan. Komoditas
tersebut antara lain adalah beras, jagung, gula, kunyit,
jahe, kencur, lada, daun jeruk, dan sebagainya.
Untuk komoditas tertentu yang langka (seperti
cabe jamu), PGP-N beserta pesantren yang dekat sentra
penghasil langsung melakukan pembinaan dan kontrak
penjualan. Di Karesidenan Pati penanaman cabe jamu
dikomandani Pesantren Qudsiyyah, Karesidenan Solo
dipegang oleh Pesantren Daruzzahro Wonogiri, dan
Karesidenan Banyumas dikelola oleh Pesantren Tibo
Urip.
Penjualan produk beras PGP-N bekerja sama dengan
perusahaan di bawah Dewan Beras Nasional, HKTI
(Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), dan Bulog.
Sementara untuk produk gula dan rempah PGP-N
langsung mengikat kontrak dengan principal yang selama

179
ini memasok consumer good’s dan beberapa eksportir.
Eksportir yang sudah melakukan kerja sama antara
lain adalah PT. Pulau Rempah Nusantara, PT. Agro Inti
Premium, PT. South Pacific, PT. Filbra Agri Internasional,
PT. Bumi Adhya Kerta Raharja, PT. Mitra Tani Agro
Unggul, PT. Rejeki Langgeng Makmur, PT. Agro Unggul
Rejeki Abadi, dan PT. Agro Artha Abadi.
Omzet bisnis ini sangat bergantung dengan musim,
kondisi pasar global dan fluktuasi pasar. Permintaan pasar
sangat tinggi, tetapi pihak pesantren sering tidak mampu
memenuhi kebutuhan pasar. Contohnya adalah vanilla,
lada, laos, jahe, kencur, pala, kapulaga, mete, kakao, dll.
b. Katering
Katering merupakan bentuk usaha jasa boga, di
mana produk utamanya adalah penyediaan dan penjualan
makanan dan minuman dengan pelayanan jasa lainnya
yang berorientasi pada kepuasan konsumen. Usaha jasa
katering menangani penyediaan makanan dan minuman
di tempat di mana produk usaha itu diselenggarakan atau
produk makanan dan minuman dibawa ke luar tempat
produksinya. Bisnis jasa katering fokus pada makanan
dan minuman yang aman, sehat, higienis dengan standar
tenaga Ahli Jasa Boga PGP-N yang bersertifikat sanitasi
higienis dari Dinas Kesehatan dan sertifikat keahlian dari
hotel.
Skema bisnis usaha ini masing-masing pesantren
network menyediakan tempat memasak dan SDM
pelaksananya, untuk selanjutnya PGP-N bertindak
sebagai trainer dan konsultan manajemen. Omzet bisnis
catering PGP-N berdasarkan kontrak dengan Polres

180
Kudus, Jepara, Demak, dan Rembang pada tahun 2017
adalah Rp. 1.7 miliar rupiah.
c. Laundry Syar’i
Pergeseran gaya hidup, pola pikir, dan adanya
tuntutan kebutuhan ekonomi menyebabkan masyarakat
super sibuk dengan berbagai aktivitas kerjanya. Pekerjaan
mencuci dan menyetrika baju, seringkali menjadi urusan
yang merepotkan dan banyak menyita waktu, sehingga
dibutuhkan bantuan orang lain, baik melalui jasa asisten
rumah tangga ataupun dengan menggunakan jasa
laundry. Untuk perhotelan, rumah sakit, kini semuanya
menggunakan jasa laundry.
Tidak hanya konsumen rumahan yang membutuhkan
laundry. Hotel, rumah sakit, panti, kost, masjid,
musholla, dan para santri di pesantren juga tidak sempat
lagi mencuci. Khusus pesantren, gerakan pesantrenku
bersih, tingginya tuntutan belajar dan minimnya fasilitas
kebersihan menjadikan mereka sangat membutuhkan
laundry.
Sayangnya, banyak pengelola laundry tidak begitu
memahami aspek syari’ah, sehingga mereka hanya
menawarkan kebersihan, bukan kesucian. Bersih belum
tentu suci secara syar’i. Oleh karena itulah PGP Nusantara
kemudian mengambil peran dengan mendirikan unit
bisnis laundry. 1557 pesantren di Jawa Tengah beserta
lembaga pendidikan di bawahnya, dari PAUD hingga
Perguruan Tinggi, adalah pasar yang siap menunggu.
Dalam melaksanakan bisnis ini, PGP-N bekerja sama
dengan Asosissi Laundry Indonesia, sehingga kualitas
kebersihannya terjamin sesuai standar profesi laundry.

181
Sementara untuk aspek syar’i-nya PGP-N menggunakan
standar mencuci model imam Rofi’i dan Imam Nawawi.
Pesantren PGP-N network yang telah melakukan
usaha ini adalah Pondok Pesantren Qudsiyyah, Pondok
Pesantren Banat, Pondok Pesantren Ulumul Qur’an,
Pondok Pesantren al-Anisiyyah, dan Pondok Pesantren
Al-Fil.
Omzet bisnis ini bergantung pada populasi santri dan
kebijakan pesantren untuk laundry. PGP-N menerapkan
skema fix cost Rp. 50.000,-/santri/bulan. Dengan dasar
pengalaman pesantren peserta, mereka hanya mampu
melayani sekitar 200-400 santri dengan omzet 10-20 Juta
perbulan. Kelebihan santri dilayani alumni atau jamaah
pesantren tersebut.

Selayang Pandang tentang Pesantren Qudsiyyah


Sebagai satu-satunya kota di Indonesia yang menggunakan
kata Arab “Quds”, Kudus tercatat pernah mampu menanamkan
nilai-nilai salaf. Kota ini bahkan melahirkan tokoh-tokoh
intelektual yang diakui secara regional dan internasional.
Mereka menjadi ulama besar yang benar-benar produktif
dalam berkarya serta tetap tidak kehilangan orientasi praksis
mereka.
Mereka mampu memadukan antara iman dan amal
soleh, serta antara rasionalitas dan spiritualitas. Lebih
dari itu, mereka tetap tidak kehilangan kesederhanaan dan
kerendahatian mereka.
Pondok Pesantren Qudsiyyah awalnya adalah sebuah
pendidikan informal di serambi Masjid Menara Kudus. Nama
Qudsiyyah diambil dari kata Quds yang berarti suci. Nama

182
tersebut digunakan dengan maksud agar apa yang diajarkan
serta diamalkan dalam madrasah menjadi benar-benar suci
dari hal-hal yang kurang baik.
Tercatat sejak 1917 M, kegiatan belajar mengajar telah
dimulai, walaupun saat itu belum memiliki nama dan tempat
belajar yang permanen. Dua tahun kemudian, tepatnya
pada tahun 1919 M, yang bertepatan dengan tahun 1337 H,
Madrasah Qudsiyyah resmi didirikan oleh KHR. Asnawi.
KHR. Asnawi merupakan keturunan dari Sunan Kudus
yang ke XIV dan keturunan kelima dari KH.A Mutamakin,
Kajen, Pati, Jawa Tengah. Nama asli KHR. Asnawi adalah
Ahmad Syamsi, kemudian berganti nama lagi menjadi Ilyas.
Gelar Raden yang juga disebut sebelum nama Asnawi
juga mempunyai arti sendiri. Raden sebagaimana ditentukan
oleh keluarga adalah sebutan bagi keturunan (dzurriyah) Nabi
Muhammad yang sudah terpotong oleh nasab putri. Berbeda
dengan sayyid, kalau sayyid semuanya sambung dari Nabi
hingga sampai yang bersangkutan dari anak laki-laki.
Dalam perkembangan selanjutnya, penanganan lembaga
pendidikan oleh Belanda yang ditangani Departemen voor
Inlandsche Zaken selalu melakukan pressure terhadap
pesantren. Qudsiyyah-pun terkena imbas, namun tetap
bertahan dan tidak terpengaruh dengan lembaga pemerintah
Belanda tersebut. Justru KHR. Asnawi sering melakukan
perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan Belanda.
Di era penjajahan Dai Nippon Jepang, kontrol pendidikan
dilakukan sangat ketat. Saat itu Qudsiyyah mengalami
kemunduran drastis, bahkan hingga dilakukan penutupan. Hal
ini karena Jepang tidak hanya sekedar curiga, tapi dengan tegas
melarang mengajarkan pelajaran Arab dengan tulisan Arab.

183
Jadi, saat itu semua pelajaran agama di madrasah-madrasah
harus ditulis dengan huruf latin. Dengan pertimbangan yang
matang, akhirnya keputusan pahit pun diambil dan untuk
sementara waktu Qudsiyyah ditutup.
Setelah tujuh tahun, akhirnya Qudsiyyah kembali bangun
dengan denyut yang semakin stabil. Tidak hanya pendidikan
informal, pada tanggal 25 Mei 1952 Qudsiyyah membuka
Sekolah Menengah Pertama Islam Qudsiyyah (SMPIQ) dan
Pendidikan Guru Agama (PGA) Qudsiyyah. Pada tahun 1957,
PGA Qudsiyyah dihapuskan dan SMPI Qudsiyyah diubah
namanya menjadi Madrasah Tsanawiyyah Qudsiyyah, pada
tahun 1973 M, Qudsiyyah mendirikan jenjang Aliyah.
Sebagai ikhtiar untuk mempertahankan visi tersebut
melawan gerusan peradaban, maka didirikanlah Pondok
Pesantren Qudsiyyah yang berkonsentrasi pada aspek ulumul
fiqh.
Konsentrasi ini menjadi signifikan karena dari waktu ke
waktu masyarakat terus dihadapkan pada problem hukum
Islam. Seiring dengan percepatan peradaban, umat pun dapat
melakukan pembacaan kreatif terhadap khazanahnya, mampu
melakukan kontekstualisasi dalam peradaban modern yang
terus mengepung, tidak terjebak pada pengentalan normatif
dan romantisme masa lalu sehingga menyeretnya ke dalam
perubahan yang tidak antisipatif.
Dengan populasi santri sebesar 1986 pada tahun 2016,
Qudsiyyah selalu berbenah membenahi kurikulumnya.
Kurikulum Qudsiyyah mencerminkan integrasi agama dan
umum yang diperkaya dengan kekhasan yang efektif dan
fungsional dengan visi dan misi Yayasan Islam Qudsiyyah.
Komponennya mencakup empat ranah, yaitu: kognitif,

184
afektif, psikomotorik, dan intuitif.
Untuk mencapai misi dan tujuan yang telah ditetapkan,
maka pelaksanaan pembelajaran di Qudsiyyah di-manage
dengan memadukan antara metode tradisional pesantren
dan metode perkuliahan akademik dengan mengintegralkan
aspek-aspek proses pendidikan.

Gen Mandiri Bernama Gusjigang


Tradisi ekonomi di Pesantren Qudsiyyah ditanamkan oleh
Sunan Kudus, Kakek pendiri Qudsiyyah sendiri, yakni KHR.
Asnawi. Tradisi ini dimulai sejak perjumpaannya dengan The
Ling Sing, tokoh Cina mantan nakhoda panglima Cheng Hoo,
yang menyepakati lahirnya kota Kudus yang merdeka, tidak
terikat dengan kerajaan tertentu dan tidak dimonopoli oleh
suku atau agama tertentu.
Kota ini dibangun atas dasar kebersamaan, multi etnis
(Arab-China-Jawa), multi religi (Islam-Hindu-Budha), dan
bertumpu pada sektor perdagangan dan industri.
Untuk memulai langkah besar itu, wilayah Loram menjadi
pilihan. Wilayah ini dipilih karena subur dan dekat dengan
jalur transportasi. The Ling Sing yang memiliki keahlian
mengukir (sungging) menularkan ilmunya kepada warga
lokal. Hingga kini, jejak ukiran dan semangat bisnisnya
masih nampak.
Sementara Sayyid Ja’far Shadiq yang berlatar belakang
militer dan ahli agama mencoba merangkul masyarakat untuk
bersatu, ber-tepaselira, dan menghargai perbedaan suku,
agama, dan ras. Semua pihak mesti merevolusi perilaku,
meningkatkan spiritualitas dan menata basis ekonominya.
Semangat ini secara tutur tinular dikenal masyarakat dengan

185
istilah Gusjigang (Bagus, Kaji, Dagang).
Untuk bisa disebut sebagai wong Kudus, seseorang
harus memiliki perilaku dan penampilan yang bagus, bagus
rupa, dan bagus laku. Begitu seseorang buruk lakunya,
tentu akan berakibat panjang, paling tidak akan mengurangi
kepercayaan orang lain terhadap dirinya, dan pada gilirannya
akan merugikan usaha dagangnya.
Orang yang bagus perilakunya disebut saleh. Kesalehan
seseorang disimbolisasikan dengan kaji. Mengapa kaji?
Karena haji adalah simbol spiritualitas seseorang yang sudah
melewati berbagai tahapan sebelumnya, seperti syahadat,
salat, puasa dan zakat. Dan tentu saja secara ekonomi seorang
kaji sudah masuk kategori mampu, karena ongkos naik haji
terbilang tidak murah, sehingga status kaji identik dengan
identitas pengusaha.
Sementara dagang merupakan karakter khas yang hendak
dibangun oleh Sayyid Ja’far Shadiq. Bisnis perdagangan
yang hendak ditradisikan oleh Sayyid Ja’far Shadiq adalah
perdagangan yang jujur: jika berbicara tidak bohong, jika
berjanji tidak mengingkari, jika dipercaya tidak berkhianat,
jika membeli tidak mencela, jika menjual tidak memuji,
jika berutang tidak lalai, dan jika punya piutang tidak
mempersulit.
Tradisi ini seolah sudah menjadi gen dalam seluruh
civitas Qudsiyyah. Tradisi Gusjigang tidak dipahami Civitas
Qudsiyyah sebagai sebuah norma saja, akan tetapi mesti
diperlakukan sebagai sebuah “organisme” yang hidup,
berkembang, dan mempengaruhi orang yang dihinggapi. Nilai-
nilai tersebut tidak lagi diperlakukan sebagai pepatah suci
yang hanya dihafalkan belaka, tapi benar-benar dipraktikkan
dalam perilaku konkret sebagai bentuk religiusitas mereka.

186
Teologi Kemandirian
Pesantren sebagai bagian integral dari masyarakat
mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan dan
memberdayakan mereka, termasuk dalam bidang ekonomi.
Hal ini merupakan tugas tambahan bagi pesantren yang
sementara ini lebih terkonsentrasi pada bidang ilmu
keagamaan.
Walaupun dengan potensi ala kadarnya, modal minimalis,
akses terbatas, gerakan sporadis dan manajemen yang kurang
terkoordinasi, hal tersebut bukan alasan bagi pesantren untuk
mengelak dari tantangan bermetamorfosa ke peradaban
masyarakat dengan berbagai dimensinya.
Fungsi pesantren tidak hanya sebagai pusat pengkaderan
pemikir-pemikir agama (center of exellence), sebagai lembaga
yang mencetak sumber daya manusia (human resources),
tetapi sekaligus sebagai lembaga yang dapat melakukan
pemberdayaan pada masyarakat (agent of development).
Apa yang telah dilakukan oleh Pusat Grosir Pesantren
Nusantara (PGP-N) menunjukkan bahwa jika formasi
pengembangan ekonomi pesantren disemai, dirawat, dan
dipupuk dalam sebuah kultur jaringan ideologis (kami
menyebutnya teologi kemandirian). Kemudian aspek
manajemennya dita­ta secara modern dengan tetap mem­
pertimbangkan kekuatan lokal masing-masing pesantren.
Fenomena Nahdlatut Tujjar (kebangkitan pedagang)
pada 1918 akan terulang kembali. Seluruh komunitas
pesantren, mulai pengasuh, santri, alumni, orang tua, dan
jamaah pengajian bersatu padu dalam satu irama kemandirian
ekonomi komunitas pesantren.

187
188
Biodata Penulis

Dra. Hj. Munawiroh, M.Pd Lahir di Karanganyar


06 November 1964, Jabatan Peneliti pada Puslitbang
Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI., meraih gelar Sarjana Pendidikan
di Jakarta 1998. Magister Program Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan berhasil diselesaikan tahun 2008 di Jakarta.
Saat ini sedang menyelesaikan gelar Doktor Manajemen
Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta. Sejak tahun 2001
s.d tahun 2010 menekuni penelitian bidang lektur keagamaan,
diantara karya tulis yang pernah terpublikasi di jurnal
adalah “Kajian Naskah Syekh Maulana Mansyur Banten”.
Pada tahun 2010 hingga sekarang, bidang penelitian yang
ditekuni adalah bidang pendidikan agama dan keagamaan,
diantara karya tulis yang pernah terpublikasi di Jurnal adalah
“Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga”. Pengalaman
visiting study ke berbagai negara: Singapura, Malaysia,
Thailand, Philiphina, Italia, Swiszerland, Austria, Jerman,
Belanda, Belgia dan Perancis. email address: mun.asrori@
gmail. com/ moenawiroh@yahoo.com
Dra. Hj. Faiqoh, M.Hum Dilahirkan di Lasem Rembang.
Studi S1 diselesaikan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

189
S2 Program Studi Wanita di Universitas Indonesia. Pernah
menjabat Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
Kementerian Agama RI, Direktur PAU Departemen
Pendidikan Nasional. Saat ini peneliti Puslitbang Pendidikan
Agama dan Keagamaan. Tahun 2016 melakukan visiting
study Penguatan Pendidikan Keagamaan pada Masyarakat
Indonesia di London Inggris.
Drs. H. Abd. Muin M, M.Pd Lahir di Pinrang 17
Mei 1954, meraih gelar Sarjana Fakultas Tarbiyah Jurusan
Pendidikan Agama Islam di IAIN (sekarang UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta tahun 1982. Magister Program Penelitian
dan Evaluasi Pendidikan berhasil diselesaikan tahun 2004
di Universitas Negeri Jakarta. Pernah mengikuti beberapa
pelatihan penelitian, antara lain: Pelatihan Peneliti Agama,
Pelatihan Peningkatan Kemampuan Peneliti Keagamaan
dan Pelatihan Metodologi Penelitian. Pernah visiting study
Penguatan Pendidikan Keagamaan pada Masyarakat Indonesia
di London Inggris (2016). Sejak 1985 sampai sekarang aktif
melakukan kegiatan penelitian bidang Pendidikan Agama
dan Keagamaan pada Puslitbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Husen Hasan Basri, M.Si Lahir di Sukabumi, 24
Oktober 1976. Pendidikan  S1 diselesaikan pada jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Jakarta.
Gelar S2 diraih dari Program Studi Timur Tengah dan Islam
Universitas Indonesia Jakarta. Tahun 2013 ikut belajar
metodologi riset di Gottingen University Jerman. Sejak tahun
2008 sampai sekarang, bekerja sebagai peneliti di Puslitbang
Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama Jakarta. Korespondensi melalui:
hhasanbasri@yahoo.com

190
Ta’rif, MA Dilahirkan di Indramayu, 2 April 1975. Saat
ini bekerja sebagai peneliti (PNS) di Puslitbang Pendidikan
Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI pada program kajian pendidikan non formal dan
informal. Pendidikan dasar dan menengah di selesaikan di
kelahirannya, Indramayu. Pendidikan S1 diselsesaikan di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1999, S2 Program
Studi Kajian Agama 2008 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pada tahun 2014 penulis berkesempatan mengikuti
Program Short Course Goethe Universitat Frankfurt Jerman,
Selain itu penulis pernah mengenyam pendidikan pesantren
di Cirebon. Karya tulis yang pernah terpubilkasikan di Jurnal
diantaranya: Memaksimalkan Potensi EI dan AQ dalam
Kelas (2006), Pelayanan Pendidikan Keagamaan Komunitas
Muslim Minoritas di Bali (2008), Pemberdayaan Perempuan
di Majelis Taklim: Studi Kasus MT Al-Nur Cibinong Bogor
(2009), Orientasi Pendidikan Salafiyah: Studi Kasus Pesantren
Benda Kerep Cirebon (2012), Pendidikan Islam Alternatif :
Studi Pada SD Plus Islamic Center Manado (2013).
H. Nunu Ahmad An-Nahidl, M.Si Lahir di Bandung,
20 Oktober 1971. Menyelesaikan MI NU di Menes Banten
(1984), MTs NU di Menes Banten (1984), dan MA NU di PP.
Buntet Cirebon. Selanjutnya, ‘nyantri’ di PP. Al-Munawwir
Krapyak Yogyakarta sambil menamatkan pendidikan S1 pada
Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1996.
Mengikuti Program Dirosat ‘Ulya (Pascasarjana) pada Univ.
Imam al-Auza’i, Beirut Lebanon, 2000-2002. Tahun 2011
menyelesaikan pendidikan Pascasarjana Kajian Timur-tengah
dan Islam, Universitas Indonesia. Saat ini bekerja sebagai
peneliti pada Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
E-mail : intersym2013@gmail.com

191
Dr. H. Muhamad Murtadho, M.Ag Dilahirkan di
Yogyakarta, peneliti yang satu ini menyelesaikan pendidikan
dasar hingga pendidikan S2 ditempuh di kota kelahirannya.
Pernah nyantri di Pesantren Miftahul Husna dan Pesantren
Pandanaran Sleman. Pada tahun 2003, ia hijrah ke Jakarta
untuk menjadi peneliti di Badan Litbang Kementerian Agama
RI dan melanjutkan studi di S3 Antropologi, Universitas
Indonesia (UI). Pernah mengikuti shortcourse selama 3
bulan di National University of Singapore (NUS), 2009.
Pernah menjadi pengurus Rabithah Ma’ahidil Islamiyah
(RMI) Nahdlatul Ulama (NU) Pusat. Sebagai peneliti dia
juga dipercaya untuk memimpin beberapa bidang penelitian
dan pengembangan secara bergantian, meliputi bidang
kajian pendidikan formal, khazanah keagamaan, pendidikan
nonformal/informal. Berbagai karya tulisnya berupa artikel
pernah dimuat di berbagai jurnal seperti Edukasi, Dialog,
Lektur, Harmoni, Al-Qalam, Heritage dan tulisan di buku
banyak terkait dengan tema pendidikan Islam, sejarah dan
budaya keagamaan. email tadho25@gmail.com.
Drs. Ahmad Dudin Peneliti Madya pada Puslitbang
Penda, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI Jl MH Thamrin
No 6 Jakpus, lahir di Brebes 6 Agustus 1968, pendidikan S.1
Fak. Tarbiyah PAI IAIN sekarang UIN Walisongo Semarang,
S.2 Program Studi Teknologi Pendidikan (peselesaian tesis)
UNJ, alamat Kampung Rawa Bogo No 48 Rt 04 Rw 018
Kel Jatimekar Jatiasih Kota Bekasi No Hp 081329722218.
Penelitian terakhir tentang pendidikan agama dan keagamaan
Islam yang dilakukan Kamboja (2017)
Dr. H. Abdul Jalil, M.Ag Lahir di Dukuh Jetis, Desa
Kaliwungu, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten kudus pada
19 Juni 1972. Meski dilahirkan penuh dengan keterbatasan

192
ekonomi, Abdul Jalil tak mau menyerah. Abdul Jalil mondok
di Situbondo pada 1999 dan bergabung dengan LKIS
Yogyakarta sebagai penulis dan editor. Dia pun menjadi
peneliti di The Asia Foundation dan Balitbang Kementerian
Agama. Jalil juga aktif di Bahtsul Masail Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU).

193
194
DEWAN EDITOR PENERBIT
Litbangdiklat Press

KETUA :
Prof. Dr. Imam Tholkhah

WAKIL :
Dra. Hj. Anik Farida, M.Hum.

SEKRETARIS :
Dr. Fakhriati

ANGGOTA :
1. Dr. Hj. Kustini, M.Si.
2. Dr. Hayadin, M.Pd.
3. Asep Saefullah, M.Ag.
4. Husen Hasan Basri, M.Si.
5. Arif Syibromalisi, Lc.

195
196

Anda mungkin juga menyukai