Anda di halaman 1dari 331

Akuntansi Syariah

(Telaah Teori dan Praktik di Perbankan Syariah)

Muhammad Noval, S.E.I., S.E., M.Si.

Penerbit K-Media
Yogyakarta, 2021
AKUNTANSI SYARIAH
(Telaah Teori dan Praktik di Perbankan Syariah)
xviii + 312 hlm.; 15,5 x 23 cm

ISBN: 978-623-316-689-8

Penulis : Muhammad Noval, S.E.I., S.E., M.Si.


Editor : Sari Noor Azijah, M.Pd
Tata Letak : Nurani Kreatif
Desain Sampul : Daden Awaludin
Percetakan : CV. Nurani, Angsana II Blok B 12 / 20
S Pondok Pekayon Indah, Kota Bekasi. 085714177754
Cetakan : November 2021

Penerbitan ini didukung/didanai oleh UIN Antasari Banjarmasin

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN


KEPADA MASYARAKAT (LP2M)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN 2021

Copyright © 2021 by Penerbit K-Media


All rights reserved

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang No 19 Tahun 2002.

Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku


ini dalam bentuk apapun, baik secara elektris maupun mekanis, termasuk
memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa
izin tertulis dari Penulis dan Penerbit.

Isi di luar tanggung jawab percetakan

Penerbit K-Media
Anggota IKAPI No.106/DIY/2018
Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

ii
KATA PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT, ucapan


syukur atas segala limpahan nikmat yang diberikan. Atas limpahan
hidayah, kasih sayang, taufiq, rahmat dan pertolongan-Nya sehingga
laporan penelitian kluster penerbitan buku ajar ini dapat diselesaikan
sesuai dengan waktu yang telah diberikan. Shalawat serta salam
senantiasa disenandungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang karena
Beliau segenap alam menjadi ada/berada sesuai dengan iradah-Nya.
Buku ajar ini berjudul AKUNTANSI SYARIAH (TELAAH
TEORI DAN PRAKTIK DI PERBANKAN SYARIAH) merupakan
suatu kajian komprehensif atas peristiwa-peristiwa kontemporer di
perbankan syariah disandingkan dengan teori-teori yang dikemukakan
oleh para ahli. Hasil dari penerbitan buku ajar ini ini diharapkan dapat
menjadi panduan pembelajaran yang efektif dan efisien bagi para
mahasiswa UIN Antasari khususnya serta bahan kajian ilmiah yang
berguna pula bagi para ekonom.
Dengan selesainya laporan ini, kami ingin menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada
berbagai pihak atas segala sumbangsih kepada kami baik berupa
sumbangan pikiran maupun tenaga guna penyelesaiaan buku ajar ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kami persembahkan kepada
Rektor UIN Antasari Banjarmasin, Prof. Dr. Mujiburrahman, MA,
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat,
Dr. Yahya MOF, M.Pd. dan Kepala Pusat Penelitian dan Publikasi
Ilmiah, Dr. Wardani, M.A yang telah mendorong segenap sivitas
akademika untuk melakukan penelitian dalam rangka memperkuat

iii
pondasi Keilmuan UIN Antasari yang berasas pada filosofi Keilmuan
UIN Antasari.
Secara khusus, kami juga menyampaikan ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada semua pihak yang tidak mampu penulis
sebutkan namanya satu per satu yang telah memberikan bantuan kepada
penulis dalam mengumpulkan sumber-sumber referensi maupun
penyusunan buku ajar ini. Penulis tidak bisa membalas kebaikan Bapak/
Ibu/ Sdr (i) yang diberikan kepada penulis kecuali dengan kebaikan pula,
Allah SWT jualah yang paling sempurna dalam membalas kebaikan itu.
Untuk dunia pendidikan, dosen-dosen kami, rekan-rekan kami,
mahasiswa kami, inilah karya yang kami persembahkan. Semoga buku
ajar ini dapat bermanfaat bagi kajian-kajian keilmuan akuntansi
khususnya dan ekonomi pada umumnya dalam upaya peningkatan
kualitas Pendidikan dan pengajaran di UIN Antasari Banjatmasin. Akhir
kata, dengan segala kerendahan hati kami memohonkan saran dan kritik
dari berbagai pihak, demi sempurnanya penyusunan buku ajar ini.

Banjarmasin, 25 November 2021

Peneliti,

iv
KATA SAMBUTAN KEPALA PUSAT
PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH
LEMBAGA PENELITIAN DAN
PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN

Al-ḥamd lillāh, kita panjatkan rasa syukur kepada Allah swt. atas
segala kenikmatan yang diberikan-Nya kepada kita, baik kenikmatan
iman, maupun kenikmatan dalam berpikir dan kenikmatan dalam
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat.
Dengan rampungnya proses penelitian, publikasi ilmiah,
khususnya publikasi buku ajar, dan pengabdian kepada masyarakat
tahun anggaran 2021, kami dari Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah
LP2M UIN Antasari menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua peneliti, penulis, dan insan
pengabdian atas komitmen dan kinerja mereka. Semua proses, baik dari
proses seleksi, pelaksanaan, dan pelaporan berjalan dengan baik.
Pada tahun 2021, UIN Antasari Banjarmasin mendapatkan
kucuran dana dari BOPTN pusat sebanyak 2.313.000.000. Dana ini
terserap oleh 76 judul penelitian, publikasi, dan pengabdian kepada
masyarakat. Dana ini sebenarnya dialokasikan untuk membiayai tiga
jenis klaster ini, tidak hanya penelitian, sesuai dengan kebijakan nasional
tentang penggunaan dana BOPTN, sehingga sektor publikasi ilmiah
dan pengabdian kepada masyarakat juga mendapat kucuran dana.
Khusus pada klaster publikasi, memang sesuai dengan
kebijakan Kementerian Agama RI diarahkan untuk publikasi buku ajar.
Hal ini mengingat memang kebutuhan akan penulisan dan publikasi
buku ajar adalah kebutuhan yang sangat mendesak, karena salah satu
tuntutan terhadap dosen dalam pelaksanaan tridharma perguruan
tinggi, khususnya dalam pengajaran, adalah tertulisnya dan
v
terpublikasikannya buku ajar. Idealnya, dalam pembelajaran, dosen
mengajar dengan menggunakan buku ajar yang ditulisnya, bahkan yang
berasal dari hasil penelitian yang dilakukan, di samping buku-buku
referensi lain yang standar. Seiring dengan kebijakan dalam publikasi
ini, pada tahun sebelumnya, Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah juga
telah menginisiasi penerjemahan buku-buku teks (textbook) berbahasa
Inggris dan berbahasa Arab yang menjadi rujukan pembelajaran. Di
samping itu, klaster pengabdian kepada masyarakat juga ditawarkan
pada tahun 2021, karena memang penelitian, publikasi, dan pengabdian
adalah tiga hal yang tidak terpisahkan.
Salah satu hal yang berbeda dalam penyelenggaran penelitian,
publikasi, dan pengabdian pada tahun 2021 ini adalah diseminasi secara
mandiri (swa-diseminasi). Pertama, hal ini menjadi kebijakan LP2M
karena dana anggaran BOPTN untuk kegiatan ini tidak memungkinkan
menyelenggarakan lagi diseminasi dengan biaya kampus, apalagi
dengan level lokal, ragional, nasional, dan internasional, sebagaimana
telah pernah dilakukan sebelumnya. Kedua, di samping alasan ini, tentu
saja model diseminasi ini memberikan peluang untuk variasi dalam
diseminasi, baik dengan kerjasama dengan fakultas atau instansi lain,
atau secara mandiri dengan bentuk-bentuk yang telah ditawarkan.

Sehubungan dengan selesainya pelaksanaan penelitian,


publikasi, dan pengabdian, maka para peneliti, penulis, dan insan
pengabdian harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, kewajiban
tagihan berupa outcome harus dilaksanakan, misalnya penelitian yang
outcomenya adalah publikasi artikel, baik di jurnal nasional maupun jurnal
internasional. Kedua, kewajiban mengembangkan hasil penelitian,
publikasi, dan hasil pengabdian lebih jauh, karena semua kegiatan ini
tidak semata berorientasi pada hasilnya yang bermanfaat pada tataran
kognitif, melainkan secara nyata berkontribusi lebih lanjut dalam
perbaikan masyarakat, baik masyarakat akademik perguruan tinggi,
kalangan profesional, maupun instansi-instansi pemerintah dan LSM
pemanfaat hasil penelitian, publikasi, dan pengabdian. Pengembangan
menjadi mata rantai yang harus dihubungkan dari semua aktivitas atau
vi
program itu. Sebagai contoh, publikasi buku ajar diharapkan
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk referensi bagi mata kuliah
yang diajarkan. Begitu juga, pengabdian masyarakat diharapkan bisa
menyentuh inti persoalan masalah yang dialami oleh subjek dampingan
dan berorientasi berkelanjutan dengan memanfaatkan stakeholder yang
terlibat.
Baik penelitian, publikasi, dan pengabdian kepada masyarakat
adalah kegiatan-kegiatan yang terus dan akan terus dilaksanakan oleh
LP2M sebagai lembaga yang diamanahi untuk melaksanakannya. Tentu
saja, semua hal itu adalah bagian dari upaya untuk menjaga tradisi
akademik di UIN Antasari sebagai perguruan tinggi yang dari visi dan
misinya ingin mewujudkan perguruan tinggi yang unggul, berakhlak,
berbasis lokal, berwawasan global, serta berpikiran yang integratif
antara paham keislaman dan kebangsaan. Ini adalah cita-cita mulia yang
ingin diwujudkan. Oleh karena itu, semangat atau spirit ini seharusnya
dipahami, dihayati, dan diimplementasikan dalam semua kegiatan ini.
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah swt, karena UIN
Antasari sebagai salah satu PTKIN di Indonesia dalam beberapa tahun
di masa pandemi Covid-19 ini bisa menyelenggarakan penelitian,
publikasi, dan pengabdian di tengah gagalnya beberapa PTKIN lain
dalam merebut peluang ini dengan berbagai kendala, seperti refocusing
anggaran ke penanganan pandemi ini, yang mereka hadapi. Pada
beberapa kasus di PTKIN lain, penelitian, publikasi, dan pengabdian
tidak bisa dilaksanakan sama sekali, dan sebagian lagi hanya bisa dibayar
sebagian dana saja dan dibebankan pembayarannya pada tahun
berikutnya. Carut-marutnya hal ini di beberapa PTKIN, tentu saja,
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ketidaksiapan
melaksanakan seleksi proposal dan melakukan pencairan tepat waktu
sebelum refocusing, dan sebagian karena memang seluruh dana hanya
digunakan untuk alokasi keperluan lain. Al-ḥamd lillāh, LP2M UIN
Antasari termasuk di antara PTKIN yang telah berhasil
menyelenggarakan seleksi ini dan memprosesnya secara tepat waktu.
Oleh karena itu, ini adalah sesuatu yang harus disyukuri. Rasa syukur

vii
tersebut, tentu saja, diwujudkan dalam bentuk komitmen dalam
menjaga kualitas penelitian, publikasi, dan pengabdian.
Akhirnya, kita semua berharap agar segala upaya kita ini
memberikan manfaat bagi pengembangan academic performance para
dosen dan fungsional lain dalam menjalankan fungsi dua dari tridharma
perguruan tinggi. Bahkan, lebih dari itu, semoga hasil kegiatan semua
ini bermanfaat bagi masyarakat akademik dan masyarakat luas. Āmīn yā
rabb al-‘ālamīn.

Banjarmasin, 2 November 2021

Dr. H. Wardani, M.Ag.

viii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR PENULIS .......................................................... iii


KATA SAMBUTAN KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN
PUBLIKASI ILMIAH LEMBAGA PENELITIAN DAN
PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI ANTASARI BANJARMASIN ............................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................ix
DAFTAR TABEL ................................................................................... xv
DAFTAR FIGUR .................................................................................. xvii
BAB I KONSEP DASAR AKUNTANSI................................................ 1
A. Pendahuluan..................................................................................... 1
B. Definisi Akuntansi............................................................................ 1
C. Pengguna Laporan Akuntansi ........................................................... 3
D. Regulasi dalam Akuntansi ................................................................. 5
E. Asumsi Dasar dalam Akuntansi ...................................................... 12
F. Persamaan Dasar dalam Akuntansi ................................................. 15
BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AKUNTANSI
SYARIAH ............................................................................................... 21
A. Pendahuluan................................................................................... 21
B. Sejarah Akuntansi di Dunia Barat ................................................... 21
C. Sejarah Akuntansi dalam Peradaban Islam ...................................... 23
D. Hubungan Peradaban Islam dengan Buku Luca Pacioli .................. 27
E. Sejarah Akuntansi di Indonesia ....................................................... 28
BAB III PRINSIP DASAR DAN SISTEM OPERASIONAL BANK
SYARIAH ............................................................................................... 31
ix
A. Pendahuluan ................................................................................... 31
B. Definisi dan Landasan Hukum Bank Syariah .................................. 31
C. Sistem Muamalah Dalam Islam ....................................................... 33
D. Transaksi-Transaksi yang Dilarang Dalam Islam ............................. 34
E. Fungsi dan Produk Bank Syariah .................................................... 42
F. Sistem Operasional Bank Syariah .................................................... 45
G. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia .............................. 50
BAB IV TEORI AKAD PERTUKARAN DAN AKAD
PERCAMPURAN .................................................................................. 57
A. Pendahuluan ................................................................................... 57
B. Teori Akad Pertukaran ................................................................... 57
C. Teori Akad Percampuran ................................................................ 61
BAB V PEDOMAN PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN
SYARIAH (PSAK 101) ............................................................................ 65
A. Pendahuluan ................................................................................... 65
B. Paradigma, Prinsip dan Karakteristik Transaksi Syariah................... 65
C. Pengguna Laporan Keuangan Syariah ............................................. 67
D. Tujuan dan Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan Syariah ...... 70
E. Komponen Laporan Keuangan Syariah .......................................... 73
F. Amandemen PSAK 101.................................................................. 85
BAB VI PENGHIMPUNAN DANA DI BANK SYARIAH .............. 89
A. Pendahuluan ................................................................................... 89
B. Penghimpunan Dana dalam Perspektif Bank Syariah ...................... 90
C. Produk Penghimpunan Dana di Bank Syariah ................................. 91
D. Perlakuan Akuntansi untuk Penghimpunan Dana di Bank Syariah .. 98
E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Penghimpunan Dana ...... 109

x
F. Latihan Kasus .............................................................................. 111
BAB VII PEMBIAYAAN DENGAN AKAD MURABAHAH
(PSAK 102) ............................................................................................ 113
A. Pendahuluan................................................................................. 113
B. Definisi, Ketentuan Syar’i, Rukun dan Jenis Akad Murabahah ...... 114
C. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Murabahah di Bank Syariah .......................................................... 121
D. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi dengan Akad Murabahah di
Bank Syariah................................................................................. 124
E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Murabahah di Bank Syariah .......................................................... 138
F. Latihan Kasus .............................................................................. 139
BAB VIII PEMBIAYAAN DENGAN AKAD SALAM (PSAK 103) . 143
A. Pendahuluan................................................................................. 143
B. Definisi, Ketentuan Syar’i dan Rukun Akad Salam ........................ 144
C. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Salam di Bank Syariah .................................................................. 149
D. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Salam di Bank Syariah .................................................................. 150
E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Salam di Bank Syariah .................................................................. 154
G. Latihan Kasus .............................................................................. 155
BAB IX PEMBIAYAAN DENGAN AKAD ISTISHNA
(PSAK 104) ............................................................................................ 157
A. Pendahuluan................................................................................. 157
B. Definisi, Ketentuan Syar’i dan Rukun Akad Istishna ..................... 158
C. Perbedaan Salam dan Istishna....................................................... 161

xi
D. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Istishna di Bank Syariah ................................................................ 161
E. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Istishna di Bank Syariah ................................................................ 164
F. Penjurnalan Transaksi Istishna’ ..................................................... 165
G. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Istishna di Bank Syariah ................................................................ 175
H. Latihan Kasus ............................................................................... 177
BAB X PEMBIAYAAN DENGAN AKAD MUDHARABAH
(PSAK 105) ............................................................................................ 181
A. Pendahuluan ................................................................................. 181
B. Definisi, Rukun dan Jenis-Jenis Akad Mudharabah ....................... 182
C. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Mudharabah di Bank Syariah ........................................................ 190
D. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Mudharabah di Bank Syariah ........................................................ 192
E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Mudharabah di Bank Syariah ........................................................ 198
F. Latihan Kasus ............................................................................... 199
BAB XI PEMBIAYAAN DENGAN AKAD MUSYARAKAH
(PSAK 106) ............................................................................................ 201
A. Pendahuluan ................................................................................. 201
B. Definisi, Ketentuan Syar’i, Rukun dan Jenis-jenis Akad
Musyarakah .................................................................................. 201
C. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Musyarakah di Bank Syariah ......................................................... 208
D. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Musyarakah di Bank Syariah ......................................................... 211

xii
E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Musyarakah di Bank Syariah ......................................................... 215
F. Latihan Kasus .............................................................................. 217
BAB XII PEMBIAYAAN DENGAN AKAD IJARAH DAN IJARAH
MUNTAHIYA BIT TAMLIK (PSAK 107) ........................................ 219
A. Pendahuluan................................................................................. 219
B. Definisi, Ketentuan Syar’i, Rukun dan Jenis-jenis Akad Ijarah dan
Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT) ............................................ 219
C. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT) di Bank Syariah... 226
D. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT) di Bank Syariah... 228
E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Ijarah di Bank Syariah ................................................................... 241
F. Latihan Kasus .............................................................................. 244
BAB XIII AKUNTANSI PENGELOLAAN DANA ZAKAT, DANA
KEBAJIKAN DAN PINJAMAN QARDH ........................................ 249
A. Pendahuluan................................................................................. 249
B. Transaksi Dana Zakat................................................................... 250
C. Transaksi Dana Kebajikan ............................................................ 258
D. Transaksi Pinjaman Qardh ........................................................... 265
E. Latihan Kasus .............................................................................. 279
BAB XIV PERHITUNGAN BAGI HASIL ....................................... 283
A. Pendahuluan................................................................................. 283
B. Regulasi Bagi Hasil ....................................................................... 283
C. Mekanisme dalam Menghitung Bagi hasil ..................................... 286
D. Prinsip Perhitungan Bagi Hasil ..................................................... 286
E. Perhitungan Jumlah Pendapatan yang dibagi Hasil........................ 291
xiii
F. Hak Bagi Hasil untuk Bank dan Nasabah...................................... 297
G. Latihan Kasus ............................................................................... 301
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 305
RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................... 311

xiv
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 Contoh Format Laporan Posisi Keuangan (Neraca)


Bank Syariah per 31 Desember 2021 dan 2020 ............ 74
Tabel 5.2 Contoh Format Laporan Laba/Rugi Bank Syariah
per 31 Desember 2021 dan 2020 .................................... 77
Tabel 5.3 Contoh Format Laporan Rekonsiliasi dan Bagi
Hasil Bank Syariah per 31 Desember 2021 dan
2020 ..................................................................................... 82
Tabel 6.1 Transaksi saat tabungan mudharabah bertambah ........ 99
Tabel 6.2 Jurnal untuk transaksi saat tabungan mudharabah
bertambah .......................................................................... 99
Tabel 6.3 Transaksi saat tabungan mudharabah berkurang ......... 101
Tabel 6.4 Jurnal untuk transaksi saat tabungan mudharabah
berkurang .......................................................................... 101
Tabel 6.5 Jurnal untuk transaksi tabungan wadiah ....................... 103
Tabel 6.6 Jurnal untuk transaksi tabungan wadiah dalam
praktik perbankan ............................................................ 103
Tabel 6.7 Transaksi saat giro wadiah bertambah .......................... 104
Tabel 6.8 Jurnal untuk transaksi saat giro wadiah bertambah...... 105
Tabel 6.9 Transaksi saat giro wadiah berkurang ............................ 106
Tabel 6.10 Jurnal untuk transaksi saat giro wadiah Berkurang ...... 106
Tabel 6.11 Jurnal untuk transaksi giro mudharabah ........................ 108
Tabel 7.1 Jadwal pembayaran ........................................................... 127
Tabel 14.1 Prinsip Bagi Hasil .............................................................. 288
Tabel 14.2 Perbedaan Prinsip Bagi Hasil Revenue Sharing dan
Profit and Loss Sharing.................................................... 289
Tabel 14.3 Data Sumber dan Penyaluran Dana serta
Pendapatan......................................................................... 290

xv
Tabel 14.4 Perhitungan Pendapatan yang akan di Bagi Hasil
Berdasarkan Sumber Dana Pihak Ketiga dari
Sumber Dana Mudharabah ............................................. 293
Tabel 14.5 Perhitungan yang akan di Bagi hasil Berdasarkan
Sumber Dana Pihak Ketiga dari Sumber Dana
Mudharabah dan Wadiah................................................. 294
Tabel 14.6 Perhitungan Pendapatan yang akan dibagi Hasil
Berdasarkan Seluruh Sumber Dana dan Nisbah
Bagi Hasil ........................................................................... 296
Tabel 14.7 Tabel Kelompok Sumber Dana dan Nisbah Bagi
Hasil .................................................................................... 297
Tabel 14.8 Tabel Distribusi Bagi Hasil kepada Nasabah dari
Bank .................................................................................... 299
Tabel 14.9 Tabel Equivalent Rate atas Bagi Hasil untuk
Nasabah.............................................................................. 300

xvi
DAFTAR FIGUR

Figur 3.1 Sistem Operasional Bank Konvensional .........................46


Figur 3.2 Sistem Operasional Bank Syariah .....................................48
Figur 3.3 Data Pertumbuhan Perbankan Syariah ............................54
Figur 7.1 Alur Transaksi Murabahah (dengan pesanan) .............. 123
Figur 8.1 Alur Transaksi Salam Paralel .......................................... 149
Figur 9.1 Alur Transaksi Istishna Paralel........................................ 163
Figur 10.1 Alur Transaksi Mudharabah ............................................ 191
Figur 11.1 Alur Transaksi Musyarakah ............................................. 210
Figur 12.1 Alur Transaksi Ijarah dan IMBT .................................... 227
Figur 13.1 Alur Pinjaman Qardh ....................................................... 273

xvii
xviii
BAB I KONSEP DASAR AKUNTANSI

A. Pendahuluan
Pada bab konsep dasar akuntansi ini akan dibahas tentang hal-hal
mendasar yang harus dipahami oleh para pembaca sebelum membahas
dan mempraktikkan akuntansi di Perbankan Syariah. Pembaca
diarahkan untuk memiliki kesamaan persepsi berkaitan dengan definisi
akuntansi dari beberapa sumber, pihak-pihak yang berkepentingan
dengan laporan keuangan yang diterbitkan, aturan-aturan (regulasi)
terkait akuntansi yang berlaku di Indonesia, Asumsi-asumsi atau
prinsip-prinsip dasar yang harus dipahami oleh pelaku akuntansi
sebelum melakukan kegiatan akuntansi, serta teknik persamaan dasar
akuntansi sebagai pedoman pencatatan transaksi di dalam melakukan
praktik akuntansi.
Setelah membaca dan mempelajari bab ini, pembaca diharapkan
memilik pandangan yang sama tentang dasar-dasar yang berlaku dalam
kegiatan akuntansi serta dapat menguasai dan mengimplementasikan
kegiatan akuntansi dalam setiap transaksi umum yang terjadi di dunia
usaha.

B. Definisi Akuntansi
Pengertian Akuntansi yang dijelaskan dalam Statement of
Accounting Principles Board No.4 tahun 1970, yaitu “Accounting is
service activity. Its function is to provide quantitative information, primarily
financial in nature, about economic entities that is intended to be useful in making
economic decisions”. Artinya adalah akuntansi merupakan aktivitas
pelayanan (penyedia jasa). Fungsinya adalah menyediakan informasi
kuantitatif tentang entitas-entitas ekonomi, khususnya yang bersifat
keuangan, yang bertujuan agar bermanfaat dalam pengambilan
keputusan ekonomi. Pendapat lain yaitu dari Warren dkk (2005)
menjelaskan akuntansi adalah suatu sistem informasi yang
1
menghasilkan laporan untuk pihak-pihak yang memiliki kepentingan
terhadap aktivitas ekonomi dan kondisi sebuah perusahaan. Demikian
pula American Accounting Association (AAA) menyebutkan
akuntansi yaitu “the identification, recording, classification. Interpreting and
communication economic events to permit users to make informed decision” yang
artinya akuntansi yaitu identifikasi, pencatatan, klasifikasi. penafsiran
dan mengomunikasikan peristiwa ekonomi untuk memungkinkan
pengguna membuat keputusan yang tepat.
Definisi akuntansi dari para ahli ekonomi akuntansi di
Indonesia diantaranya adalah Zaki Baridwan tahun 2000,
berpandangan bahwa akuntansi adalah aktivitas jasa, fungsinya untuk
menyajikan data-data kuantitatif, terlebih untuk data yang bersifat
keuangan, dari setiap usaha ekonomi yang dapat dipergunakan untuk
pengambilan keputusan-keputusan ekonomi sehingga mempunyai
alternatif-alternatif dalam suatu keadaan.
Sofyan Harahap (2005) menyebutkan pengertian akuntansi
(accounting) merupakan proses pengidentifikasian, mengukur, dan
menyampaikan informasi yang bersifat ekonomi sebagai bahan
informasi untuk mempertimbangkan berbagai pilihan (alternatif)
dalam mengambil sebuah keputusan oleh para penggunanya.
Suwardjono dalam bukunya Teori Akuntansi (2014)
menjelaskan pengertian akuntansi dalam dua sudut pandang, yaitu yang
pertama sebagai seperangkat pengetahuan akuntansi dapat diartikan
sebagai seperangkat pengetahuan yang mempelajari perekayasaan
penyediaan jasa berupa informasi keuangan kuantitatif berupa unit-
unit organisasi dalam suatu lingkungan negara tertentu dan cara
penyampaiannya (pelaporan) informasi tersebut kepada pihak yang
berkepentingan untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan
ekonomik. Sedangkan sudut pandang yang kedua, Suwardjono
mengartikan akuntansi dalam arti sempit sebagai proses, fungsi atau
praktik, akuntansi yaitu proses pengidentifikasian, pengesahan,
pengukuran, pengklasifikasian, penggabungan, peringkasan dan
penyajian data keuangan dasar (bahan olah akuntansi) yang terjadi
berdasarkan peristiwa-peristiwa, transaksi-transaksi, atau kegiatan
2
operasi suatu unit organisasi dengan cara tertentu untuk menghasilkan
informasi yang relevan bagi pihak yang berkepentingan.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Akuntansi adalah sebuah teori dan praktik perakunan, termasuk di
dalamnya tanggung jawab, prinsip, standar, kelaziman (kebiasaan), dan
semua aktivitasnya; hal yang berkaitan dengan akuntan; seni pencatatan
dan pengikhtisaran transaksi keuangan serta interpretasi akibat sebuah
transaksi terhadap suatu entitas ekonomi.
Dapat disimpulkan menurut penulis bahwa akuntansi
merupakan suatu proses/seni dalam mengidentifikasi dan mencatat
kejadian/peristiwa ekonomi dari suatu organisasi/perusahaan
kemudian mengelompokkan ke dalam setiap akun yang sama dan
melaporkan dalam bentuk Laporan Keuangan yang berguna bagi
pihak-pihak yang memerlukan.

C. Pengguna Laporan Akuntansi


Dalam setiap definisi akuntansi selalu menyebutkan bahwa sajian
informasi akuntansi akan berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan
(stakeholder) / pengguna akuntansi. Pihak-pihak yang dimaksud
tersebut dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu pengguna
internal dan pengguna eksternal.
1. Pengguna Internal
Pengguna internal merupakan pihak yang berada di
dalam perusahaan/organisasi, atau sederhananya disebut
pengelola perusahaan, yang membuat/menyusun dan
menyajikan laporan informasi akuntansi. Pihak internal ini
memerlukan informasi akuntansi adalah untuk kegunaan
perencanaan, pelaksanaan, kebijakan maupun evaluasi
perusahaan. Pihak internal ini antara lain: Manajemen
Perusahaan seperti Direktur, Manajer beserta para stafnya serta
Pengawas Perusahaan atau disebut dewan komisaris.

3
2. Pengguna Eksternal
Di luar manajemen perusahaan tentu lebih banyak
pihak-pihak yang kemungkinan memerlukan informasi
akuntansi dari perusahaan. Pihak luar ini disebut pihak eksternal.
Secara umum pihak eksternal membutuhkan laporan informasi
akuntansi sebuah perusahaan adalah untuk menilai kinerja
perusahaan tersebut baik untuk tujuan pencarian profit
(keuntungan) ataupun untuk menilai kewajiban dari perusahaan.
Pihak-pihak eksternal yaitu:
a. Investor atau calon investor. Dalam dunia investasi tentu
investor sangat berkepentingan untuk menilai kinerja dari
perusahaan yang menjadi atau akan menjadi tujuan
investasinya, dan informasi akuntansi merupakan salah satu
indikator yang sangat baik sebagai acuan dalam menilai
sebuah perusahan secara fundamental.
b. Kreditor atau calon kreditor. Informasi akuntansi juga
sangat penting sebagai landasan utama pihak kreditor atau
calon kreditor, biasanya adalah perbankan, dalam menilai
nasabah atau calon nasabahnya. Karena dengan penilaian
yang efektif dapat menghindarkan kreditor dari risiko kredit
macet.
c. Pemerintah. Selain menilai laporan keuangan yang dibuat
oleh setiap perusahaan telah disusun sesuai dengan aturan
yang berlaku, pihak pemerintah juga dapat menilai
kewajiban pajak dari perusahaan dari informasi yang
tersedia di laporan informasi akuntansi yang diberikan.
d. Mitra kerja atau pesaing bisnis. Dalam dunia usaha sangat
lumrah adanya kerjasama ataupun persaingan. Rekan bisnis
akan menilai kinerja usaha dari sebiah perusahaan sebelum
memutuskan untuk menjadi mitra bisnis dalam
menjalankan sebuah usaha/proyek. Begitu pula untuk
saingan bisnis dalam sektor usaha yang sama akan menilai
kinerja pesaingnya untuk dapat melakukan Langkah atau
kebijakan usaha berikutnya. Penilaian-penilaian tersebut
4
dapat dilakukan dengan melihat informasi yang tersedia di
dalam laporan keuangan/akuntansi perusahaan.
e. Masyarakat umum. Beberapa kalangan masyarakat umum
yang memeliki ketertarikan dengan perkembangan
perekonomian, seperti analis, akademisi, maupun jurnalis,
akan membutuhkan data yang akurat sebagai rujukannya,
dan salah satu yang menjadi referensi adalah laporan
informasi akuntansi.

D. Regulasi dalam Akuntansi


Dalam akuntansi dikenal adanya regulasi atau aturan dalam
pelaksanaan kegiatan/transaksi akuntansi. Aturan ini menjadi pedoman
yang harus diikuti oleh semua pelaku bisnis di Indonesia dalam
menyusun laporan keuangan. Pedoman akuntansi di Indonesia sering
disebut dengan Standar Akuntansi Keuangan.
Standar akuntansi keuangan di Indonesia sudah ada sejak masa
penjajahan, yaitu sekitar tahun 1602 – 1799 telah dilakukan praktik
pencatatan secara sederhana, kemudian pada masa penjajahan Belanda
pencatatan debit kredit mulai ada yaitu tahun 1800 – 1945. Pada masa
sesudah kemerdekaan yaitu tahun 1945 sampai sekarang selalu
dilakukan penyesuaian terhadap standar akuntansi keuangan sesuai
dengan perkembangan dalam dunia bisnis, salah satunya yaitu
harmonisasi dengan standar IFRS.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang berdiri sejak tahun 1957
merupakan sebuah lembaga profesi bidang akuntansi di Indonesia yang
senantiasa mengembangkan regulasi agar selalu berimbang dengan
perkembangan dunia usaha dan profesi akuntansi. IAI juga menjadi
anggota dari Lembaga internasional yaitu International Federation of
Accountants (IFAC). Tahun 1973 dibentuk panitia penghimpunan bahan
– bahan dan struktur Generally Accepted Accounting Principles (GAAP) dan
Generally Accepted Auditing Standards (GAAS) yang kemudian di
Indonesia pada tahun 1974 dibentuk komite Prinsip Akuntansi
Indonesia (PAI) yang memiliki tanggung jawab untuk menyusun dan
5
mengembangkan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia. Komite
PAI bertransfoemasi menjadi Komite Standar Akuntansi Keuangan
tahun 1994 yang kemudian berubah Kembali menjadi Dewan Standar
Akuntansi Keuangan. (DSAK) pada tahun 1998.
IAI sebagai anggota dari IFAC berkewajiban dalam hal
menjamin pelaksanaan semua Standar Keuangan sesuai dengan Standar
Internasional yang ditetapkan demi kualitas tinggi dan penguatan
profesi akuntan di Indonesia. IAI melakukan penyelarasan Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), yang merupakan regulasi baku
yang mengatur pencatatan, penyusunan, perlakuan, dan penyajian
laporan keuangan, dengan Standar Internasional yaitu International
Financial Reporting Standard (IFRS). Pengimplementasian PSAK berbasis
IFRS di Indonesia mulai berlaku sejak tahun 2012.
Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia ada beberapa
macam, pembedaan ini dilakukan untuk menyesuaikan kewajiban-
kewajiban dari masing-masing jenis perusahaan di Indonesia. Adapun
Standar-Standar Akuntansi tersebut akan lebih rinci dijelaskan sebagai
berikut:
1. SAK-IFRS
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Interpretasi Standar
Akuntansi Keuangan (ISAK) yang diterbitkan oleh Dewan Standar
Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) dan Dewan Standar
Syariah Ikatan Akuntan Indonesia (DSAS IAI) serta regulasi dari
pembuat aturan di pasar modal terhadap para entitas yang berada
di bawah kewenangannya. Secara garis besar SAK di Indonesia
telah dikonvergensi dengan IFRS sejak 1 Januari 2015 walaupun
pada dasarnya sudah berlaku efektif 1 Januari 2014. DSAK IAI
berhasil melakukan peminimalan perbedaan antara SAK dan IFRS
selama tiga tahun yaitu dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2015.
Hal ini adalah wujud komitmen dari pemerintah Indonesia melalui
DSAK IAI sebagai satu-satunya anggota G20 di wilayah Asia
Tenggara.

6
Selain SAK berbasis IFRS, DSAK IAI juga menerbitkan
regulasi produk non-IFRS yaitu PSAK dan ISAK, seperti PSAK
28 dan PSAK 38, ISAK 31, ISAK 32, ISAK 35 dan ISAK 36.
Semakin sedikit perbedaan yang ada diantara SAK dan IFRS
diharapkan dapat berdampak positif bagi para stake holders di
Indonesia. PSAK-IFRS ini biasanya digunakan oleh perusahaan
atau organisasi bisnis yang memiliki akuntabilitas publik. Regulator
berusaha membuat aturan yang dibutuhkan oleh setiap pengguna
informasi laporan keuangan, khususnya dalam transaksi pasar
modal, sehingga SAK-IFRS dapat digunakan sebagai panduan
dalam meningkatkan kualitas informasi laporan keuangan.
2. SAK Syariah
Perkembangan pesat industri keuangan Syariah di Indonesia
menyebabkan adanya urgensi dalam keberadaan aturan yang dapat
menjadi acuan dalam pembuatan laporan keuangan untuk
perusahaan yang memiliki basis operasional secara Syariah.
Kebutuhan akan regulasi tersebut menjadi awal dari terbentuknya
Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) yang bernaung di
bawah IAI. Tanggung jawab yang diemban oleh DSAS yaitu dalam
hal penyusunan Standar Laporan Keuangan Syariah.
Standar Akuntansi Keuangan Syariah (SAK Syariah)
merupakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
Syariah yang diperuntukkan bagi entitas yang
transaksi/operasionalnya menggunakan prinsip syariah baik
entitas lembaga syariah maupun lembaga non syariah. Pada
dasarnya, semua PSAK yang berlaku umum di Indonesia adalah
PSAK Syariah kecuali PSAK yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip Islam. Sehingga pola pengembangan SAK Syariah pun
dilakukan berdasarkan konsep SAK secara umum namun berbasis
syariah dengan acuannya yaitu fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI). PSAK Syariah disahkan pada tahun 2002 yang terdiri atas
PSAK 100 sampai dengan PSAK 106 yaitu:
a. PSAK 59: Akuntansi untuk Bank Syariah

7
b. PSAK 100: Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian
Laporan Keuangan Syariah
c. PSAK 101: Penyajian Laporan Keuangan Syariah
d. PSAK 102: Akuntansi Murabahah
e. PSAK 103: Akuntansi Salam
f. PSAK 104: Akuntansi Istishna
g. PSAK 105: Akuntansi Mudharabah
h. PSAK 106: Akuntansi Musyarakah
i. PSAK 107: Akuntansi Ijarah
j. PSAK 108: Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah
k. PSAK 109: Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah
l. PSAK 110: Akuntansi Sukuk
m. PSAK 111: Wa’ad
3. SAP
Laporan keuangan yang berstandar tidak hanya dibutuhkan
oleh Lembaga/entitas bisnis saja, namun Instansi Pemerintahan
juga memiliki kewajiban untuk melakukan penyusunan laporan
keuangan yang sesuai standar. Di Indonesia, standar akuntansi
yang berlaku untuk entitas yang berasal dari pemerintah disebut
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).
SAP diresmikan melalui Peraturan Pemerintah Nomer 71
tahun 2010 dan menjadi pedoman dalam penyusunan laporan
keuangan untuk instansi pemerintah. Kewajiban penggunaan SAP
tidak hanya ditujukan kepada pemerintah pusat saja, namun juga
kepada pemerintah level daerah, serta badan usaha milik negara
maupun daerah.
Standar ini menjadi tumpuan harapan penyajian laporan
keuangan yang benar di Instansi Pemerintah guna mewujudkan
pemerintahan yang baik dan bersih yang tercermin dalam
pengelolaan keuangan negara yang transparan, partisipatif dan
berakuntabilitas.
4. SAK ETAP
Standar Akuntansi Keuangan yang tergolong rumit membuat
unit bisnis dengan skala kecil di Indonesia menjadi kesulitan dalam
8
membuat laporan keuangan sesuai standar. Adanya Standar
Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-
ETAP) yang diterbitkan oleh IAI pada 17 Juli tahun 2009 dan
resmi pada tanggal 19 Mei tahun 2009 oleh DSAK IAI menjadi
jawaban bagi para pelaku usaha-usaha yang masih dalam kategori
kecil di Indonesia untuk dapat membuat laporan keuangan
berstandar.

Disebut Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik maksudnya


adalah perusahaan yang belum memiliki kewajiban untuk
melaporkan kinerja keuangannya kepada masyarakat/publik secara
rutin/periodik. Biasanya tujuan penerbitan laporan keuangan
hanya untuk tujuan umum bagi pengguna eksternal. Pengguna
eksternal yang dimaksud contohnya seperti pemilik usaha yang
tidak terlibat langsung dalam pengelolaan usaha, kreditur, atau
lembaga pemeringkat kredit.
Kebutuhan akan pendanaan di perbankan menjadi salah satu
faktor yang menjadikan unit usaha membuat laporan keuangan
agar tercermin kinerja usahanya, dengan begitu diharapkan dapat
memudahkan proses permohonan pendanaan kepada lembaga
perbankan. Berbeda dengan SAK Syariah yang mengacu pada
SAK secara umum, SAK-ETAP merupakan standar yang berdiri
sendiri, tidak berpatokan pada SAK umum. Standar yang
terkandung dalam SAK-ETAP kebanyakannya menggunakan
konsep biaya historis oleh entitas dengan konsep aturan yang lebih
sederhana dalam perlakuan akuntansinya sehingga dapat lebih
fleksibel dalam penerapannya.
5. SAK EMKM
Walaupun SAK-ETAP sudah disusun secara sederhana untuk
pedoman pelaporan keuangan bagi unit usaha kecil, namun ada
beberapa persyaratan akuntansi yang tidak mampu atau belum
mampu dipenuhi oleh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di
Indonesia.

9
Berdasarkan kebutuhan tersebut DSAK melakukan
pengesahan Eksposure Draft Standar Akuntansi Keuangan Mikr,
Kecil dan Menengah (ED SAK EMKM) pada tanggal 18 Mei
2016, lalu kemudian efektif menjadi SAK EMKM pada tanggal 1
Januari 2018.
SAK EMKM merupakan standar yang disusun dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan pelaporan keuangan bagi usaha
mikro, kecil, dan menengah. Dasar yang digunakan dalam
mendefinisikan dan memberikan rentang kuantitatif EMKM
adalah Undang-Undang Nomer 20 tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah. Laporan Keuangan yang diatur
dalam SAK EMKM hanya meliputi Laporan Laba Rugi, Laporan
Neraca (Laporan Posisi Keuangan) dan Catatan Atas Laporan
Keuangan (CALK).
6. Pedoman Akuntansi Untuk Lembaga Perbankan dan
Perbankan Syariah
Pada kajian dalam buku ini membahas secara khusus tentang
telaah teori dan praktik di Perbankan Syariah, sehingga akan
dijelaskan pula secara spesifik regulasi yang ada di Indonesia terkait
aturan akuntansi untuk perbankan dan Perbankan Syariah.
a. Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI)
Laporan keuangan Bank Umum Konvensional wajib
disusun berdasarkan Pernyatan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) yang relevan bagi Bank. PAPI merupakan petunjuk
pelaksanaan yang berisi penjabaran lebih lanjut dari beberapa
PSAK yang relevan bagi industri perbankan, termasuk
penyesuaian terkait dengan penerbitan PSAK No. 50 (Revisi
2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan
Pengungkapan, dan PSAK No. 55 (Revisi 2006) tentang
Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran, yang
berlaku sejak 1 Januari 2010.
Pemberlakuan PAPI 2008 diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 11/4/DPNP tanggal 27 Januari 2009
perihal Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Perbankan
10
Indonesia dalam buku 1 dan 2 yang mengatur perlakuan
akuntansi untuk setiap aktivitas operasional di lembaga
perbankan serta Surat Edaran Bank Indonesia
No.11/33/DPNP tanggal 8 Desember 2018 perihal
Perubahan atas Surat Edaran No. 11/4/DPNP. Sebagai
petunjuk pelaksanaan dari PSAK maka untuk hal-hal yang
tidak diatur dalam PAPI tetap mengacu kepada PSAK yang
berlaku.
b. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI)
Dalam rangka meningkatkan transparansi kondisi
keuangan bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha
Syariah (UUS), serta penyusunan laporan keuangan yang
relevan, komprehensif, andal dan dapat diperbandingkan,
BUS dan UUS menyusun dan menyajikan laporan keuangan
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang relevan bagi
BUS dan UUS.

Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia


(PAPSI) 2013 merupakan petunjuk pelaksanaan yang berisi
penjabaran lebih lanjut dari standar Akuntansi keuangan yang
relevan bagi BUS dan UUS, yaitu PSAK yang relevan bagi
industri perbankan syariah (termasuk penyesuaian terkait
dengan penerbitan PSAK khusus tentang transaksi syariah,
penerbitan PSAK No. 50 (Revisi 2010) tentang Instrumen
Keuangan: Penyajian, PSAK No. 55 tentang Instrumen
Keuangan: Pengungkapan, dan PSAK No. 48 (Revisi 2009)
tentang Penurunan Nilai Aset), serta ketentuan lain.
Pemberlakuan PAPSI 2013 diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 15/26/DPbS tanggal 10 Juli 2013
perihal Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia. Dalam hal terdapat ketentuan yang belum diatur
dalam PAPSI 2013 untuk menyusun dan menyajikan laporan
keuangan, BUS dan UUS tetap berpedoman kepada PSAK

11
beserta pedoman pelaksanaannya sepanjang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah.

E. Asumsi Dasar dalam Akuntansi


Asumsi dasar akuntansi adalah prinsip, aturan dan konsep
yang berlaku pada akuntansi. Asumsi dasar menjadi syarat yang harus
dipenuhi agar data yang dimiliki untuk dijadikan sebuah laporan atau
informasi akuntansi menjadi akurat dan valid.
Tujuan dari adanya asumsi dasar akuntansi adalah agar terjadi
kesesuaian laporan antara entitas akuntansi satu dengan entitas lainnya.
Sehingga informasi akuntansi yang dihasilkan dengan mudah dapat
diperbandingkan dan kebutuhan lain dari pengguna informasi dapat
terpenuhi. Asumsi-asumsi dasar akuntansi, antara lain:
1. Going Concern (usaha yang berkelanjutan)
Dalam prinsip ini artinya perusahaan diasumsikan akan
beroperasi secara berkelanjujat atau terus menerus dan akan selalu
melakukan kegiatan sepanjang waktu, bukan usaha yang hanya
beroperasi pada saat-saat atau musim tertentu saja.
2. Business Entity (kesatuan usaha)
Asumsi ini mengharuskan adanya pemisahan kepentingan
dan kekayaan antara pemilik usaha dengan
organisasi/perusahaannya. Kegiatan usaha perusahaan tidak
boleh dicampuradukkan dengan kegiatan pemilik secara pribadi,
begitu pula dalam hal harta perusahaan harus dipisahkan dengan
harta pribadi pemilik perusahaan.
3. Accounting Period (periode akuntansi)
Periode akuntansi maksudnya adalah adanya pembagian batas
waktu pelaporan kinerja perusahaan dalam sebuah laporan
keuangan karena perusahaan sudah diasumsikan akan berjalan
sepanjang waktu. Periode akuntansi yang biasa dilakukan adalah
satu tahun, Adapun laporan interim yang juga mungkin terjadi
adalah laporan semester, triwulan maupun bulanan.

12
4. Measurement Unit (kesatuan pengukuran)
Laporan akuntansi bersifat finansial/keuangan, sehingga
laporan yang disajikan dalam laporan akuntansi atau laporan
keuangan tersebut haruslah data-data yang dapat diukur dengan
satuan uang/rupiah. Apabila data berupa benda maka harus ada
harganya, apabila berupa jasa maka harus ada tarifnya. Data dalam
laporan keuangan tidak boleh dalam bentuk satuan yang tidak
dapat diukur dengan satuan uang, seperti etika, moral, integritas
dan lain-lain.
5. Historical Cost (biaya historis)
Biaya yang dicatat dalam laporan akuntansi atau laporan
keuangan adalah biaya berdasarkan nilai yang benar-benar telah
dibayarkan. Perusahaan harus mencatat biaya historis atau disebut
juga biaya perolehan dalam setiap aktivitasnya termasuk dalam hal
pembelian sebuah barang atau jasa, perusahaan tidak dibenarkan
untuk mencatat pembelian barang atau jasa tersebut berdasarkan
harga saat ini.
6. Full Disclosure (pengungkapan sepenuhnya)
Perusahaan yang membuat sebuah laporan keuangan harus
membuat laporan secara menyeluruh, artinya semua data yang
dimiliki perusahaan harus diungkapkan dalam laporan keuangan,
agar segala informasi dapat terbuka dan secara transparan dapat
diketahui pengguna laporan keuangan.
7. Consistency (kosistensi)
Di dalam ilmu akuntansi terdapat beberapa metode yang
dapat digunakan untuk menyusun laporan keuangan, contohnya
seperti dalam hal penilaian persediaan ataupun penyusutan aktiva
tetap, prinsip konsistensi ini mewajibkan perusahan agar
senantiasa menggunakan metode yang sama dalam penyusunan
laporan keuangan. Tujuan dari adanya konsistensi adalah agar
laporan keuangan dari beberapa periode dapat dengan mudah
diperbandingkan.

13
8. Conservatism (konservatif)
Konservatif merupakan prinsip kehati-hatian dalam
penyusunan laporan keuangan, perusahaan jangan terburu-buru
dalam melakukan pengakuan dan pengukuran terhadap aktiva
maupun laba serta segera mengakui kerugian dan utang yang
memiliki potensi akan terjadi.
9. Objective evidence (bukti yang objektif)
Pencatatan dan penyusunan laporan keuangan harus
berdasarkan bukti-bukti transaksi yang faktual, objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
10. Revenue recognition (pengakuan pendapatan)
Dalam setiap usaha, penerimaan uang hasil usaha tidak selalu
didapatkan bersamaan dengan penyelesaian pekerjaan atau
penyerahan barang, sehingga diperlukan adanya konsep atau
aturan dalam pelaksanaan pengukurannya. Dalam akuntansi
dikenal dua metode pengukuran pendapatan, yaitu metode cash
basic (basis kas) dan accrual basis (basis akrual). Di Indonesia
metode yang diakui adalah dengan menggunakan basis akrual.

Cash Basis (dasar kas/uang) adalah konsep yang mengakui


pendapatan pada saat uang diterima dan mengakui biaya pada saat
uang dikeluarkan. Sedangkan Accrual Basis (dasar akrual) adalah
konsep pengakuan pendapatan pada saat terjadinya transaksi dan
pencatatan biaya juga pada saat terjadinya transaksi (tanpa
dikaitkan dengan transaksi kas/uang).
11. Matching expense with revenue (Kesesuaian Pengeluaran
dan Pendapatan)
Konsep ini dilakukan dengan membandingkan biaya dengan
pendapatan. Tujuannya adalah untuk mengetahui besarnya biaya
yang dikeluarkan perusahaan untuk memperoleh pendapatan
perusahaan dalam suatu periode akuntansi.

14
F. Persamaan Dasar dalam Akuntansi
Pemahaman terhadap persamaan dasar akuntansi merupakan
langkah awal dan sangat penting agar dapat memahami pola
identifikasi, pencatatan, pengelompokan dan pelaporan kegiatan
akuntansi atau laporan keuangan. Komponen persamaan dasar
akuntansi terdiri dari Aktiva dan Passiva, Aktiva berisi komponen
Harta, sedangkan Passiva berisi komponen Utang dan Modal.
Persamaan dasar akuntansi adalah sebagai berikut:
AKTIVA = PASSIVA
HARTA = UTANG + MODAL
Keterangan :
1. Harta atau aset adalah semua kekayaan/sumber daya yang
dimiliki perusahaan. Contoh: kas, peralatan, perlengkapan,
piutang, persediaan, gedung dan lain-lain;
2. Utang atau kewajiban adalah sumber harta yang berasal dari
orang lain (bukan pemilik) baik karena transaksi kredit atau
transaksi pinjaman, utang harus dibayar perusahaan dengan
uang atau jasa pada suatu saat tertentu di masa yang akan
datang. Contoh: Utang Usaha (bisa terjadi karena pembelian
tidak secara tunai/kredit), Utang Bank (bisa terjadi karena
pinjaman kepada bank) dan lain-lain.
3. Modal atau ekuitas adalah hak pemilik perusahaan atas
kekayaan perusahaan, modal juga diartikan sebagai sumber
harta yang berasal dari pemilik perusahaan. Contoh: Setoran
modal oleh pemilik perusahaan.
Persamaan dasar akuntansi merupakan ringkasan dari pencatatan
setiap peristiwa ekonomi atau transaksi keuangan yang terjadi. Dalam
persamaan dasar akuntansi akan selalu terjadi keseimbangan (nilai yang
sama) antara aktiva dan passiva. Setiap terjadi transaksi keuangan pada
perusahan, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kolom
harta, utang, dan modal.

Berikut contoh-contoh transaksi ekonomi beserta perlakuan


akuntansi terhadap persamaan dasar akuntansinya:
15
1. Transaksi Penambahan Modal
Ibu Kanaya menyetorkan uang ke dalam kas perusahaan pada
tanggal 1 Agustus 2020 sebagai setoran modal awal pendirian
perusahaan Konsultan Jasa Akuntansi sebesar Rp.500.000.000,-.
Transaksi tersebut dicatat oleh perusahaan yang akan
mempengaruhi akun aktiva dan passiva secara bersama-sama, yaitu
terjadi penambahan saldo akun kas dan akun modal perusahan
sebesar Rp.500.000.000,-. Ilustrasinya sebagai berikut:

AKTIVA = PASSIVA
Tanggal HARTA = UTANG MODAL
Kas = Utang Usaha Modal, Kanaya
1/08/20 + 500.000.000 = 0 +500.000.000
Total 500.000.000 = 500.000.000
2. Pembelian harta/aset secara tunai
Tanggal 2 Agustus 2020 Ibu Kanaya membeli sebuah peralatan
untuk kantornya seharga Rp.10.000.000,-. Transaksi tersebut
dicatat oleh perusahaan yang hanya akan mempengaruhi akun
aktiva, yaitu terjadi penambahan saldo akun peralatan dan
pengurangan saldo akun kas sebesar Rp.10.000.000,-. Ilustrasinya
sebagai berikut:

AKTIVA = PASSIVA
HARTA = UTANG MODAL
Tanggal
Utang Modal,
Kas Peralatan =
Usaha Kanaya
1/08/20 + 500.000.000 - = 0 +500.000.000
2/08/20 (-) 10.000.000 + 10.000.000 =
Total 500.000.000 = 500.000.000
3. Pembelian harta/aset secara kredit
Tanggal 4 Agustus 2020 Ibu Kanaya membeli perlengkapan
kantor seharga Rp.7.000.000,- secara kredit. Transaksi tersebut
dicatat oleh perusahaan yang akan mempengaruhi akun aktiva dan
passiva, yaitu terjadi penambahan saldo akun perlengkapan kantor
dan penambahan saldo akun utang usaha sebesar Rp.7.000.000,-.
Ilustrasinya sebagai berikut:
16
AKTIVA = PASSIVA
HARTA = UTANG MODAL
Tanggal
Perlengkapan Utang Modal,
Kas Peralatan =
kantor Usaha Kanaya
1/08/20 + - - = - +
500.000.000 500.000.000
2/08/20 (-) 10.000.000 + 10.000.000 - = - -
4/08/20 - - +7.000.000 = + -
7.000.000
Total 507.000.000 = 507.000.000

4. Pendapatan jasa
Ibu Kanaya menerima pendapatan atas jasa konsultasi keuangan
pada tanggal 10 Agustus sebesar Rp.15.000.000,- diterima secara
tunai. Transaksi tersebut dicatat oleh perusahaan yang akan
mempengaruhi akun aktiva dan passiva, yaitu terjadi penambahan
saldo akun kas dan penambahan saldo akun modal (karena setiap
pendapatan/laba diakui sebagai penambahan modal pemilik) sebesar
Rp.15.000.000,-. Ilustrasinya sebagai berikut:

AKTIVA = PASSIVA
HARTA = UTANG MODAL
Tanggal
Perlengkapan Utang Modal,
Kas Peralatan =
kantor Usaha Kanaya
1/08/20 + - - = - +
500.000.000 500.000.000
2/08/20 (-) 10.000.000 + - = - -
10.000.000
4/08/20 - - + 7.000.000 = + -
7.000.000
10/08/20 + 15.000.000 - - = - +
15.000.000
Total 522.000.000 = 522.000.000

17
5. Pembayaran Utang
Tanggal 15 Agustus 2020 Ibu Kanaya membayar utang usaha
dari pembelian perlengkapan kantor secara kredit di tanggal 4
Agustus 2020 sebesar Rp.7.000.000,-. Transaksi tersebut dicatat oleh
perusahaan yang akan mempengaruhi akun aktiva dan passiva, yaitu
terjadi pengurangan saldo akun kas dan pengurangan saldo akun
utang usaha sebesar Rp.7.000.000,-. Ilustrasinya sebagai berikut:
AKTIVA = PASSIVA
HARTA = UTANG MODAL
Tanggal
Perlengkapan Utang Modal,
Kas Peralatan =
kantor Usaha Kanaya
1/08/20 + - - = - +
500.000.000 500.000.000
2/08/20 (-) + - = - -
10.000.000 10.000.000
4/08/20 - - + 7.000.000 = + -
7.000.000
10/08/20 + - - = - +
15.000.000 15.000.000
15/08/20 (-) - - = (-) -
7.000.000 7.000.000
Total 515.000.000 = 515.000.000

6. Transaksi Peminjaman Uang


Tanggal 20 Agustus 2020 Ibu Kanaya memerlukan tambahan
dana untuk memperluas usahanya, maka dia memutuskan untuk
meminjam uang kepada instansi perbankan yaitu Bank Nasional
sebesar Rp.150.000.000,-. Transaksi tersebut dicatat oleh perusahaan
yang akan mempengaruhi akun aktiva dan passive secara Bersama-
sama, yaitu terjadi penambahan saldo akun kas dan penambahan saldo
akun utang bank sebesar Rp.150.000.000,-. Ilustrasinya sebagai berikut:

18
AKTIVA = PASSIVA
HARTA = UTANG MODAL
Tanggal
Perlengkapan Utang Utang Bank Modal,
Kas Peralatan =
kantor Usaha Nasional Kanaya
1/08/20 + - - = - - +
500.000.000 500.000.000
2/08/20 (-) + 10.000.000 - = - - -
10.000.000
4/08/20 - - + 7.000.000 = + - -
7.000.000
10/08/20 + - - = - - + 15.000.000
15.000.000
15/08/20 (-) - - = (-) - -
7.000.000 7.000.000
20/08/20 + - - = - + -
150.000.000 150.000.000
Total 665.000.000 = 665.000.000

Dengan demikian, berdasarkan data transaksi dalam kasus-


kasus yang terjadi pada perusahan Konsultan Jasa Akuntansi Ibu
Kanaya di atas terbukti bahwa persamaan dasar akuntansi akan
mengakibatkan persamaan atau keseimbangan antara kolom aktiva dan
passiva. Setiap transaksi keuangan yang terjadi secara terperinci akan
memberikan dampak terhadap ketiga komponen persamaan dasar
akuntansi, yaitu harta, utang dan modal.

19
20
BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
AKUNTANSI SYARIAH

A. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa sekarang ini tentu
memiliki sejumlah cerita masa pada lalu yang mendasarinya. Begitu pula
dengan ilmu akuntansi, ilmu ini yang secara mendasar merupakan ilmu
praktek tentang pencatatan peristiwa ekonomi memiliki asal mula yang
cukup menarik untuk diketahui.
Dengan mengetahui cerita dari sejarah suatu ilmu, diharapkan
dapat menjadi tambahan pemahaman tentang kejadian di masa lampau
sebagai memicu pemikiran-pemikiran pembaharu dari para ilmuan,
yang ceritanya diabadikan dalam tulisan sejarah.
Sejarah yang akan dibahas pada bab ini tidak hanya membahas
tentang akuntansi secara umum yang dikenal di dunia, namun juga
membahas akuntansi dalam peradaban Islam serta keterkaitan antara
akuntansi barat dan akuntansi pada peradaban Islam. Di bagian akhir
disajikan pula sejarah akuntansi yang ada di Indonesia.

B. Sejarah Akuntansi di Dunia Barat


Asal muasal adanya praktik akuntansi tentu tidak terlepas dari
adanya transaksi ekonomi, khususnya perdagangan. Menurut para ahli,
ditemukannya alat tukar berupa uang menjadi tolak ukur terjadinya
praktik akuntansi, hal ini dikarenakan dengan adanya uang maka setiap
individu apalagi dengan profesi seperti pedagang akan mencari berbagai
cara untuk mencatat harta terutama berkaitan dengan arus keluar masuk
uang yang dimilikinya.
Media pencatatannya pun beraneka ragam, sesuai dengan
perkembangan zaman pada masa itu, bisa dengan media tanah liat, daun
sampai pada akhirnya menggunakan kertas. Penggunaan media daun di
Mesir umumnya menggunakan jenis daun lontar. Mesir memiliki latar
belakang sekutu dari bangsa Romawi pada zaman tersebut, pada bangsa
21
romawi sendiri pencatatan nominal menggunakan angka-angka romawi
dirasa memiliki tingkat kesulitan yang tinggi baik dalam perhitungannya
maupun pencatatan dengan jumlah yang besar, sehingga
dipergunakanlah angka-angka arab dalam hal pencatatan. Pencatatan
menggunakan angka arab tidak terlepas dari budaya bangsa Mesir yang
sudah menggunakan angka-angka dalam bahasa arab.
Perjalanan perdagangan bangsa Romawi juga dilakukan bersama
bangsa-bangsa lain seperti Persia. Pencatatan transaksi keuangan antara
para pedagang Romawi dan Persia berkembang dengan baik di Italia,
berdasarkan peristiwa tersebutlah lahir sebuah publikasi dalam bentuk
buku yang menceritakan tentang sistem pencatatan perdagangan yang
terjadi di negara Italia pada zaman itu. Menurut sejarah yang ada buku
tersebut ditulis pada tahun 1494 oleh seorang matematikawan sekaligus
tokoh agama bernama Luca Pacioli (beberapa sumber menyebut
namanya Luca Paciolo), buku yang ditulis berjudul Summa de Aritmetica
Geometria, Proportioni et Proportionalita (Segala sesuatu tentang Aritmetika,
Geometri dan Proporsi). Dari nama buku tersebut dapat diketahui
dengan jelas buku tersebut bukanlah buku yang khusus membahas
tentang ekonomi apalagi akuntansi. Buku tersebut terdiri atas lima bab
yang membahas tentang ilmu matematika, namun dalam salah satu bab
dalam buku tersebut menjelaskan tentang sistem pencatatan
berpasangan, yang mana sistem tersebut terinspirasi dari transaksi-
transaksi yang dilakukan oleh para pedagang Romawi dan Persia di
Venezia (Italia). Sistem tersebut antara lain tidak jauh berbeda dengan
yang digunakan sekarang ini yaitu pencatatan debit di sebelah kiri dan
pencatatan kredit di sebelah kanan.
Lahirnya buku tersebut menyebabkan pandangan bahwa orang
yang pertama kali menggagas sistem pencatatan berpasangan dan oleh
sebab itu Luca Pacioli dikenal/dianggap sebagai bapak akuntansi.
Namun sejalan dengan berjalannya waktu serta penyebaran informasi
yang semakin meluas di seluruh dunia, sistem pencatatan berpasangan
pun semakin dikenal di berbagai negara lain walaupun dengan istilah
yang berbeda-beda, seperti istilah sistem Anglo Saxon yang dikenal di
negara Amerika Serikat dan Inggris, maupun istilah sistem Kontinental
22
di Belanda. Walaupun memiliki dasar yang serupa, namun pada saat ini
sistem akuntansi yang banyak dianut dan digunakan adalah sistem
Anglo Saxon. Hal ini dikarenakan mekanisme yang ada dalam sistem
Anglo Saxon lebih mudah dalam hal pencatatan transaksinya.
Memasuki abad ke 19, Amerika Serikat teori Anglo Saxon
dipatenkan sebagai sebuah mekanisme pembukuan yang lebih
komprehensif yang kemudian dikenal dengan istilah Accounting Theory,
teori ini lah yang menjadi mula dari teori akuntansi yang dikenal di
dunia modern. Pada awal abad ke 20, teori ini semakin berkembang
pesat seiring dengan perkembangan teknomogi di Amerika Serikat,
yang mana pada masa itu sudah mengenal komputer. Dengan bantuan
teknologi komputer, pengaplikasian kegiatan akuntansi menjadi
semakin mudah serta teori-teori baru yang memperkuat teori akuntansi
sebelumnya juga semakin bertambah. Oleh karena itu pada masa ini
teori akuntansi dengan mudah dapat ditemukan sebagai disiplin ilmu
pengetahuan dalam praktik tata kelola keuangan yang kompleks, karena
memiliki semua bentuk kelola keuangan dari yang tradisional hingga
yang modern.

C. Sejarah Akuntansi dalam Peradaban Islam


Pengaruh budaya dan peradaban Islam terhadap praktik akuntansi
juga sangat besar. Dalam sejarah kebudayaan dan peradaban Islam
mengenal praktik-praktik perhitungan dan pencatatan kekayaan, baik
kekayaan individu maupun kekayaan negara. Perintah untuk melakukan
kegiatan akuntansi pun disampaikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran,
walaupun tidak secara eksplisit menyebut istilah akuntansi, yaitu pada
surah Al Baqarah ayat 282 yang artinya sebagai berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan
utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan
kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah
23
orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia
mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu
orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak
mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya
mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua
orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang
perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para
saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang
lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak
apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya,
untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan
kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan,
kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika
kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu
berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga
saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu
suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah,
Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”

Secara khusus ayat tersebut memerintahkan untuk melakukan


pencatatan terhadap setiap transaksi yang dilakukan secara tidak tunai
(kredit). Dengan adanya perintah yang diwahyukan kepada Rasulullah
tersebut meningkatkan perhatian umat muslim akan pentingnya
melakukan pencatatan dalam setiap transaksi, khususnya transaksi
ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan pencatatan transaksi
piutang identik sekali dengan istilah pembukuan dalam dunia akuntansi.
Kewajiban membayar zakat yang dipercaya sebagai salah satu
rukun Islam juga mengharuskan umat muslim agar pandai dalam
menghitung harta yang dimiliki agar dapat mengetahui jumlah harta
24
yang wajib dikeluarkan sebagai zakat. Proses perhitungan tentu sangat
terbantu dengan adanya pencatatan yang akurat sehingga menghasilkan
nilai yang benar. Sehingga secara tidak langsung adanya kewajiban zakat
dalam Islam juga mendorong berkembangnya praktik pencatatan atau
praktik akuntansi secara umum. Salah satu perintah zakat yang tertuang
dalam Al-Quran terdapat dalam surah Al Baqarah ayat 110 yang
berbunyi:
“Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan segala
kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan
mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Proses perhitungan zakat mengharuskan umat muslim untuk dapat
menakar harta yang mereka miliki sesuai dengan nisab dan haulnya
sebagai kriteria penilaian terhadap seseorang dalam kewajiban
membayar zakat.
Selain perhitungan zakat, dalam Islam juga dikenal ilmu faraidh
atau ilmu dalam perhitungan waris. Ilmu ini mengatur tata cara
pembagian harta warisan yang dimiliki oleh muslim yang meninggal
dunia kepada para ahli warisnya. Sama halnya dengan zakat, pencatatan
yang baik dan menyeluruh dari seluruh harta kekayaan akan menjadi
data yang sangat penting dalam hal perhitungan pembagian harta
warisan. Sehingga dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa Islam, melalui berbagai kewajiban dan kebudayaannya, secara
tidak langsung memiliki peran yang besar dalam perkembangan
akuntansi modern.
Praktik akuntansi yang terjadi pada masa pemerintahan Islam juga
dapat disoroti melalui peran lembaga yang didirikan oleh Rasulullah
SAW dengan tujuan sebagai lembaga penghimpun dana zakat beserta
pendapatan-pendapatan lainnya yang diterima oleh negara, lembaga
tersebut dikenal dengan nama Baitul Maal. Pada masa pemerintahan
Rasulullah SAW dan kemudian dilanjutkan masa pemerintahan
Khalifah Abu Bakar as Shiddiq, peran Baitul Maal memang tidak terlalu
signifikan, hal itu dikarenakan setiap harta yang masuk kepada negara

25
akan langsung dibagikan setelah harta tersebut diperoleh, sehingga
harta tersebut tidak sempat menumpuk di Baitul Maal.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab peran Baitul
Maal semakin besar, karena semakin besar pula harta yang tersimpan
oleh negara di lembaga tersebut. Banyaknya harta penerimaan negara
tidak lepas dari meluasnya daerah kekuasaan Islam sampai mencakup
wilayah Timur Tengah, Asia dan Afrika. Karena semakin besar
tanggung jawab dalam hal kekayaan negara, maka dibentuklah Unit
khusus dari Baitul Maal yang diberi nama “Diwan” sebagai upaya
Khalifah Umar untuk dapat melakukan pencatatan yang rapi dan benar
pada penerimaan dan pengeluaran negara. Diwan memiliki tugas untuk
membuat Laporan Keuangan Baitul Maal sebagai wujud
pertanggungjawaban Khalifah Umar dalam pengelolaan kekayaan
negara.
Perkembangan pengelolaan keuangan mencapai titik tertinggi pada
peradaban Islam terjadi pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah.
Pada masa itu pencatatan dibagi menjadi beberapa kategori yaitu:
akuntansi peternakan, akuntansi pertanian, akuntansi bendahara,
akuntansi konstruksi, akuntansi mata uang dan sistem pembukuan
menggunakan model buku besar. Sistem pembukuan menggunakan
model buku besar dikelompokkan kembali menjadi empat pembukuan,
antara lain:
- Jaridah Al-Kharaj (pembukuan negara terhadap hutang pada
individu);
- Jaridah An Nafaqat (pembukuan yang digunakan untuk mencatat
pengeluaran negara);
- Jaridal Al Maal (pembukuan yang digunakan untuk mencatat
penerimaan dan pengeluaran zakat); dan
- Jaridah Al Musadareen (pembukuan yang digunakan penerimaan
sita/denda tidak sesuai syariah).
Selain pencatatan setiap transaksi ekonomi yang mengalami
peningkatan seperti dijelaskan di atas, pelaporan akuntansi juga terjadi
peningkatan yang sangat besar, yaitu ditandai dengan adanya

26
pembuatan laporan akuntansi yang dikembangkan pada masa itu yang
dikenal dengan istilan “Al Khitmah” (laporan pendapatan dan
pengeluaran yang dibuat setiap bulan) dan “Al Khitmah Al Jame’ah”
(Laporan Keuangan komprehensif berisikan laporan laba rugi dan
laporan posisi keuangan yang dilaporkan pada akhir tahun). Pada masa
pemerintahan Daulah Abasiyah ini perhitungan dan penerimaan zakat
menjadi perhatian. Utang zakat diklasifikasikan dalam tiga laporan
keuangan yaitu collectable debts, doubtful debts, uncolectable debts (Zaid,
2001).

D. Hubungan Peradaban Islam dengan Buku Luca


Pacioli
Penobatan Luca Pacioli sebagai penemu Akuntansi mengalami
beberapa perdebatan, hal itu karena menurut beberapa ahli (Zaid, 2001
dan Belkaoui, 2000) menyebutkan bahwa Luca Pacioli tidak tepat
dianggap sebagai penemu akuntansi, karena dia hanya memaparkan
kejadian yang memang sudah terjadi. Sistem pencatatan berpasangan
yang dijelaskan Luca Pacioli dalam bukunya bukanlah teori atau sistem
baru yang dia buat atau kembangkan, melainkan peristiwa yang terjadi
dalam perdagangan antar bangsa yang terjadi di Italia tersebut.
Dalam sejarah Islam pun sebetulnya dipercaya bahwa sistem
pencatatan berpasangan sudah lebih dahulu ada melalui sebuah tulisan
berbentuk manuskrip yang dibuat oleh Abdullah bin Muhammad bin
Kiyah al Mazindarani, atau lebih dikenal dengan nama Al Mazindarani.
Manuskrip tentang sistem pencatatan berpasangan oleh Al Mazindarani
dikenal dengan nama Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqaat yang ditulis
pada tahun 1363, sekitar satu abad sebelum buku yang ditulis oleh Luca
Pacioli.
Kesamaan antara buku Luca Pacioli dan Manuskrip dari al
Mazindarani tertuang dalam ketentuan pencatatan yaitu:
1. Pencatatan pemasukan di sebelah kanan disertai dengan
keterangan sumber-sumbernya; dan

27
2. Pencatatan pengeluaran di sebelah kiri disertai dengan penjelasan
pengeluaran tersebut.

E. Sejarah Akuntansi di Indonesia


Meskipun sistem pencatatan keuangan sudah dikenal banyak di
Indonesia yang berasal dari para pedagang, tetapi akuntansi secara
keilmuan mulai diterapkan pada tahun 1642, bahkan dari beberapa
bukti sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1747 lah akuntansi
benar-benar diterapkan di Indonesia. Pada tahun-tahun tersebut negara
Indonesia masih berada dalam kekuasaan penjajahan negara Belanda
yang menganut sistem pembukuan berpasangan dengan istilah
Kontinental.
Pada tahun 1870 setelah dihapusnya PP tanam paksa, sistem
akuntansi dikelola dengan lebih serius. Karena setelah penghapusan
aturan tersebut modal-modal yang berasal dari investor asing mulai
berdatangan ke Indonesia, oleh karena itu tuntutan profesionalisme
dalam pengelolaan keuangan pada masa itu semakin meningkat. Sejak
saat itu lah teori-teori akuntansi mulai dipakai dan berkembang di
Indonesia bahkan ilmu akuntansi mulai diajarkan di tingkat perguruan
tinggi, walaupun pada masa itu, yaitu tahun 1952, hanya Universitas
Indonesia sebagai satu-satunya universitas yang mengajarkan ilmu
akuntansi. Namun seiring berjalannya waktu perguruan tinggi lain baik
negeri maupun swasta juga membuka disiplin ilmu akuntansi.
Pasca kemerdekaan Indonesia, tepatnya tahun 1957 diditikanlah
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai motor penggerak
pengembangan akuntansi di Indonesia serta meningkatkan kualitas
pendidikan para akuntan di tanah air.
Sistem akuntansi Kontinental di Indonesia yang merupakan
warisan dari tata Kelola keuangan dari bangsa Belanda berangsur
berganti menjadi Anglo Saxon (sistem akuntansi Amerika) pada tahun
1960. Berbagai peristiwa yang terjadi yang berimbas pada pergantian
sistem akuntansi yang dianut di Indonesia adalah antara lain:

28
1. Konfrontasi Irian Barat (1957). Peristiwa ini berakibat pada
dipulangkannya pelajar-pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di
Belanda, yang kemudian melanjutkan sekolah ke negara lain, salah
satunya adalah Amerika Serikat.
2. Adanya Penanaman Modal Asing (PMA). Hal ini berdampak
positif terhadap perkembangan sistem akuntansi di Indonesia,
khususnya sistem Anglo Saxon.
Perkembangan terakhir yaitu sistem akuntansi di Indonesia
berpedoman pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
sebagai upaya harmonisasi sistem akuntansi dalam negeri dengan
kondisi sistem akuntansi dunia, meningkatkan keterbukaan laporan
keuangan dan peningkatan mutu laporan keuangan. Seperti dijelaskan
di bab sebelumnya, sekarang ini di Indonesia sudah terdapat beberapa
standar akuntansi yang dipakai, yaitu SAK-IFRS, SAK Syariah, SAP,
SAK ETAP dan SAK EMKM.

29
30
BAB III PRINSIP DASAR DAN SISTEM
OPERASIONAL BANK SYARIAH

A. Pendahuluan
Setiap organisasi atau perusahaan memiliki landasan utama yang
menjadi dasar hukum berdirinya perusahaan tersebut. begitu pula
dengan Lembaga keuangan syariah, seperti Perbankan Syariah. Selain
harus memiliki legalitas dalam segi hukum positif, lembaga yang
berbasis Syariah juga harus memiliki legalitas secara syariah nya yang
dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berwenang.
Selain itu, karakteristik perusahaan yang beraneka ragam
mengharuskan adanya ketentuan dan aturan dalam menjalankan setiap
usaha agar mekanisme operasional perusahaan dapat berjalan dengan
lancar sesuai dengan tujuan perusahaan. Mekanisme atau sistem
operasional dibuat agar menjadi panduan dalam menjalankan kegiatan
usaha sehari-hari, selain itu dengan sistem operasional yang baik
diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal serta
meminimalkan risiko kesalahan maupun kecurangan yang mungkin
bisa terjadi.
Dalam bab ini akan membahas tentang definisi, prinsip dasar serta
landasan hukum yang harus dimiliki oleh bank syariah dan juga.
Selanjutnya dipaparkan pula ketentuan-ketentuan dan juga sistem
operasional bank syariah.

B. Definisi dan Landasan Hukum Bank Syariah


Pengertian Bank Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21
tahun 2008 adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Beberapa pengertian Bank Syariah menurut para ekonom di
Indonesia, antara lain: Heri Sudarsono (2003) menjelaskan bank syariah
merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
31
kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas [embayaran serta peredaran
uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.
Muhammad Nur Rianto Al Arif (2017) dalam bukunya
menggambarkan bank syariah merupakan lembaga keuangan yang
menjalankan fungsi perantara (intermediary) dalam penghimpunan dana
masyarakat serta menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah. Bank Syariah juga diartikan sebagai
bank yang mengacu pada hukum Islam dan dalam kegiatannya tidak
membebankan bunga kepada nasabah. Imbalan bank syariah yang
diterima maupun yang dibayarkan kepada nasabah tergantung dari akad
dan perjanjian yang dilakukan oleh pihak nasabah dan pihak bank
syariah. Perjanjian (waad) yang terdapat di perbankan syariah harus
tunduk pada syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam syariat
Islam (Nur Dinah Fauziah dkk, 2019)
Perbankan Syariah di Indonesia sebagaimana diketahui merupakan
bagian dari sebuah Lembaga Keuangan Syariah. Lembaga Keuangan
Syariah menurut Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah lembaga
keuangan yang mengeluarkan produk keuangan syariah dan mendapat
ijin operasional sebagai lembaga keuangan syariah. Berdasarkan
pengertian lembaga keuangan syariah tersebut dapat disimpulkan
bahwa lembaga ini tidak hanya harus memiliki dan mematuhi legalitas
operasional sebagai lembaga keuangan, juga harus mengantongi unsur
kesesuaian dengan prinsip syariah. Hal itu tentu juga menjadi bagian
yang harus dimiliki oleh Bank Syariah sebagai bagian dari Lembaga
Keuangan Syariah.
Kewenangan dalam menetapkan ijin operasional sebagai Lembaga
Keuangan dan kesesuaian dengan prinsip operasional syariah tentu
berasal dari pihal-pihak yang berkompeten di bidangnya. Pihak yang
memiliki wewenang tersebut adalah:
1. Dewan Syariah Nasional (DSN)
DSN merupakan perpanjangan tangan dari Majelis Ulama
Indonesia memiliki kewenangan penuh dalam menilai kesesuaian
suatu Lembaga Keuangan dengan prinsip-prinsip Islam. Lebih
jauh lagi setiap Lembaga Keuangan Syariah akan didampingi oleh
32
Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mengawasi transaksi atau
produk yang dijalankan lembaga keuangan syariah sehari-hari.
DPS ditunjuk berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh DSN-
MUI.
2. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Institusi yang berperan dalam memberikan legalitas operasi
sebagai Lembaga Keuangan adalah OJK. OJK memiliki tugas dan
wewenang untuk mengatur dan mengawasi Bank Umum, Bank
Perkreditan Rakyat, Asuransi dan Pasar Modal.
3. Kementerian Koperasi
Kementerian koperasi bertanggung jawab terhadap
pengaturan serta pengawasan lembaga koperasi termasuk Baitul
Maal wa Tamwil (BMT).

C. Sistem Muamalah Dalam Islam


Dalam Islam, hubungan antar manusia sebagai individu dengan
Tuhan disebut dengan ibadah, sedangkan hubungan antara setiap
manusia dengan manusia lainnya disebut dengan muamalah.
Secara bahasa Muamalah berasal dari kata amala yu’amilu yang
artinya bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan. Sedangkan
menurut istilah Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu
yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. (Rachmad Syafei,
2001). Sedangkan definisi muamalah menurut Abdul Rahman Ghazaly
dkk (2012) dapat dipahami dalam arti sempit yaitu semua akad yang
membolehkan manusia salaing menukar manfaatnya dengan cara-cara
dan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dan manusia wajib
mentaati-Nya. Muamalah juga dapat diartikan sebagai segala aturan
agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara
manusia dengan alam tanpa memandang perbedaan. (Rohmah, 2018)
Muamalah dalam Islam mengatur hubungan antar individu, namun
dalam hubungan tersebut memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus ada

33
sebagai landasan dalam bermuamalah, prinsip-prinsip tersebut antara
lain:
1. Pada dasarnya segala bentuk kegiatan/transaksi dalam muamalah
adalah dibolehkan (mubah), kecuali ada dalil-dalil Al qur’an dan
sunnah Rasul yang mengharamkannya.
2. Dasar dalam bermuamalah dilakukan secara sukarela dan tanpa
adanya paksaan.
3. Dalam bermuamalah prinsipnya adalah mendatangkan manfaat
dan menghindari mudharat.
4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan
yaitu menghindari unsur-unsur dzolim seperti penganiyaan
ataupun pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, sangat jelas bahwa dalam
transaksi-transaksi diperbankan syariah pun semua pada dasarnya
diperbolehkan, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
muamalah tersebut.

D. Transaksi-Transaksi yang Dilarang Dalam Islam


Secara khusus transaksi-transaksi yang tidak diperbolehkan terjadi
di dalam Lembaga Keuangan Syariah terbagi menjadi 3 alasan, yaitu:
1. Transaksi yang dilarang karena haram objeknya
Objek transaksi yang haram akan mengakibatkan transaksinya
dilarang, hal itu sudah sangat jelas karena melakukan transaksi
terhadap objek barang haram akan lebih banyak mendatangkan
mudharat dibandingkan mendatangkan manfaat. Dalam contoh
transaksi di perbankan syariah, pihak bank syariah tidak
diperkenankan memberikan pembiayaan kepada nasabah yang
akan melakukan aktivitas usaha berkaitan dengan objek yang
diharamkan, seperti makanan atau minuman serta kegiatan lain
yang diharamkan dalam Islam.
2. Transaksi yang dilarang karena perilaku transaksinya
Larangan terhadap jenis transaksi yang kedua ini bukan
terletak pada objeknya, melainkan pada perilaku transaksinya.
34
Objek yang halal bisa saja dilarang dalam Islam apabila dilakukan
dengan cara-cara yang bathil atau merugikan orang lain ataupun
diri sendiri.
Transaksi-transaksi yang dilarang karena perilakunya adalah
sebagai berikut:
a. Riba (tambahan)
Riba secara bahasa diartikan sebagai tambahan, tumbuh
dan membesar. Sedangkan secara istilah riba adalah tambahan
yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan
(iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
(Rizal Yaya, 2017)
Secara khusus dalam Al-Quran terdapat pelarangan praktik
riba, yaitu pada surah Ar Rum ayat 39 yang berbunyi:
ٓ‫ف لََِّيب وآ ِّرٓب ِّمن ءاتَ ْي تُم وما‬
ََ َ ً َ ُْ ٓ ِّ ‫َّاس أ َْم َٰوِّٓل‬
َ ِّٓ ‫ل ٱلن‬ َُْ َٓ ‫ٱّللِّ ِّع‬
َٓ َ‫ند ي ربوآ ف‬ َّٓ ٓۖ ٓ‫تُِّر ُيدو َٓن َزَك َٰوةٓ ِّمن ءاتَ ْي تُ ٓم وما‬
ََ َ
َِّّٓ ‫ك‬
َٓ ِّ‫ضعِّ ُفو َٓن ُه ُٓم فَأُوَٰلَئ‬
َ‫ٱّلل َو ْج ٓه‬ ْ ‫ٱل ُْم‬
Artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39)
Dalam perbankan, praktik pertama yang menjadi sebab
keharamannya adalah adanya kandungan riba dalam bentuk
bunga, sehingga bank syariah memberikan solusi pengganti
bunga berupa bagi hasil. Secara hukum Islam bunga bank
memang masih terdapat perbedaan pandangan dari para
ulama mengenai masuknya bunga bank dalam kategori riba.
Seluruh ulama sepakat, berdasarkan larangan di dalam Al-
Quran dan As Sunnah bahwa riba itu adalah haram, oleh
karena itu mayoritas ulama berpandangan bahwa bunga bank
dianggap sebagai praktik yang dzolim karena terdapat

35
tambahan pembayaran pada transaksi pinjam meminjam yang
merupakan bagian dari transaksi riba.
Namun sebagian ulama lain memiliki anggapan
berbeda, yaitu bunga bank berbeda dengan riba karena Jumlah
bunga yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah
jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diperlakukan
pada zaman Jahiliyyah. Alasan kedua yaitu pemungutan bunga
bank tidak akan membuat bank itu sendiri atau nasabahnya
memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan
merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Alasan ketiga
yaitu tujuan pengambilan kredit dari debitur pada zaman
Jahiliyyah adalah untuk konsumsi, sementara sekarang dengan
tujuan produktif. Alasan terakhir adalah karena adanya
kerelaan antara kedua pihak yang bertransaksi sebagaimana
halnya kebolehan dalam jual beli dengan an taradhin. Sehingga
berdasarkan alassan tersebut maka dianggap bunga bank
diperbolehkan karena bukan masuk dalam kategori riba.
(Rahmawaty, 2010)
Jenis riba dibedakan berdasarkan sebabnya praktik riba
dibagi menjadi dua jenis, antara lain:
1) Riba dari Praktik Jual Beli
Tambahan (riba) yang terjadi berdasarkan transaksi
perdagangan atau jual beli ada dua macam, yaitu:
a) Riba Fadhl
Riba Fadhl terjadi berdasarkan transaksi
pertukaran antar barang dengan jenis yang sama
namun ditukar dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi.
Contoh:
Pada saat menjelang lebaran Si A menukarkan uang
kepada si B dengan uang pecahan Rp.100.000
(serratus ribu rupiah) satu lembarditukar dengan uang
pecahan Rp.10.000 (sepuluh ribu rupiah) berjumlah
36
sembilan lembar, sehingga secara jumlah si A hanya
menerima Rp.90.000 (sembilan puluh ribu rupiah).
Hal ini dilarang karena menggunakan objek yang
sama yaitu uang dengan takaran yang berbeda.
b) Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah terjadi karena adanya
penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis
barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena
adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara
yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian. Bunga bank masuk dalam kategori riba
nasi'ah, karena munculnya riba ini disebabkan adanya
perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang
yang diserahkan hari ini dengan barang yang
diserahkan kemudian.(Rahmawaty, 2010)
Contoh:
Si A membeli 5 gram emas pada bulan ini, namun Si
A baru dapat melakukan pembayaran atau
menyerahkan uangnya pada bulan depan. Hal
tersebut termasuk Riba Nasi’ah karena harga emas
belum tentu sama pada setiap harinya.
2) Riba dari praktik Utang Piutang
a) Riba Qardh
Riba Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyaratkan oleh kreditur
terhadap debitur pada saat pembayaran.
Contoh:
Si A meminjamkan uang Rp.100.000 (seratus ribu
rupiah) kepada si B, lalu pada saat penyerahan di awal
disyaratkan tambahan keuntungan ketika
pengembalian, misalnya menjadi Rp. 110.000 (seratus
sepuluh ribu rupiah).
b) Riba Jahiliyah
37
Riba jahililiyah adalah riba yang terjadi dari
transaksi utang yang dibayar lebih dari nilai
pokoknya, karena debitur tidak mampu membayar
utangnya pada saat sudah jatuh tempo.
Contoh:
Si A meminjam uang Rp. 250.000 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah) kepada si B dengan jangka waktu
1 bulan. Saat waktunya tiba, si A tidak dapat
mengembalikan uang yang dipinjam, sehingga
meminta tambahan waktu 1 minggu untuk
mengembalikan. Penambahan waktu disetujui oleh si
B dengan syarat pada saat pengembalian ditambah
keuntungan tambahan sebesar Rp.50.000 (lima puluh
ribu rupiah) sehingga si A harus membayar Rp.
300.000 (tiga ratus ribu rupiah)
b. Tadlis (penipuan)
Tadlis secara sederhana diartikan sebagai penipuan,
namun secara penjabarannya tadlis artinya adalah keadaan
dimana salah satu pihak tidak mengetahui secara utuh
informasi terhadap barang yang diperjualbelikan (asimetri
informasi).
Contoh:
- Menjual barang cacat tanpa menjelaskan cacatnya kepada
pembeli;
- Menjual barang tidak sesuai spesifikasi;
- Menjual barang tidak sesuai timbangan, dan lain-lain.
c. Gharar (ketidakjelasan)
Secara singkat Gharar artinya adalah ketidakjelasan.
Gharar maksudnya adalah ketidaktahuan informasi terhadap
suatu barang dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli).
Contoh:
- Jual beli anak kambing yang masih dalam kandungan
induknya

38
- Jual beli buah di satu pohon yang belum dipetik dan
belum diketahui jumlahnya
d. Maysir (judi)
Maysir artinya judi atau spekulasi atau bertaruh. Maysir
adalah setiap permainan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu
berupa materi yang diambil dari pihak yang kalah untuk pihak
yang menang. Judi dilarang karena adanya kandungan
spekulasi dari semua pihak, yang pada akhirnya menyebabkan
adanya pihak yang diuntungkan dan pihak lainnya dirugikan.
Contoh:
- Judi togel
- Judi sabung ayam
- Judi kartu
- Judi bola, dan lain-lain
e. Ikhtikar (rekayasa penawaran)
Ikhtikar disebut pula rekayasa penawaran. Dalam Bahasa
sederhana Ikhtikar diartikan sebagai kegiatan penimbunan
sejumlah barang yang bertujuan untuk mengambil
keuntungan dari kelangkaan barang tersebut di atas
keuntungan normal.
Contoh:
- Penimbunan bahan bakar minyak
- Penimbunan gas, dan lain-lain
f. Najasy (rekayasa permintaan)
Najasy juga biasa disebut rekayasa permintaan. Jual beli najasy
terjadi apabila terjadi permintaan palsu terhadap suatu barang
seakan-akan banyak permintaan terhadap produk tersebut,
yang dapat mempengaruhi pembeli lainnya untuk mempeli
produk tersebut.
Contoh:
Misal ada seorang pedagang yang bekerjasama dengan
beberapa temannya untuk membeli/menawar barang

39
dagangannya. Sehingga terkesan barang dagangannya sangat
banyak peminatnya.
g. Risywah (suap)
Risywah dalam bahasa arab diartikan dengan suap-
menyuap, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) risywah yaitu menyuap atau memberikan uang
sogokan dan sebagainya agar segala keinginannya dapat
dikabulkan. Sementara itu ulama-ulama MUI mendefinisikan
risywah sebagai suatu pemberian yang diberikan oleh seorang
kepada orang lain (pejabat) dengan tujuan agar meluluskan
suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau
membatilkan perbuatan yang hak.
Definisi risywah menurut Fitriani (2018) adalah
pemberian harta maupun benda lain kepada pemangku
jabatan atau pemegang kekuasaan guna melancarkan
(menghalalkan) yang batil atau membatilkan yang hak atau
menikmati manfaat dari secara illegal. Sebagian Ulama
mengartikan risywah sebagai sesuatu yang diberikan seseorang
kepada hakim atau pihak lain agar orang tersebut memperoleh
kepastian hukum atau sesuatu yang diinginkan. Orang yang
memberikan sesuatu kepada pihak lain yang mendukung
perbuatan batil disebut ar-raasyi dan pihak yang menerima
suap disebut al-murtasyi. Sedangkan perantara atau mediator
antara si penyuap dengan penerima suap disebut roisyi.
Contoh:
Pemberian sejumlah uang dari pedagang kepada oknum
aparat agar diperbolehkan berjualan di tempat yang pada
dasarnya adalah tempat terlarang untuk berjualan.
3. Transaksi yang dilarang karena tidak sah akadnya
Suatu transaksi terhadap objek yang halal dan dengan perilaku
transaksi yang baik juga belum selalu menjamin sebuah transaksi
tidak terlarang. Transaksi masih mempunyai kemungkinan
dilarang apabila akadnya tidak sah. Hal-hal yang dapat
menyebabkan akad tidak sah adalah karena rukun dan syarat
40
akadnya tidak terpenuhi, transaksi bersyarat (ta’alluq) atau
mengandung dua akad sekaligus (two in one).
a. Rukun dan syarat tidak terpenuhi
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada di setiap transaksi,
umumnya rukun-rukun yang harus ada dalam aktivitas
ekonomi adalah pelaku, objek, dan ijab qabul. Selain rukun,
faktor lain yang juga harus ada agar akad menjadi sah
(lengkap) adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang
keberadaanya berfungsi untuk melengkapi rukun. (Azzam,
2010)
Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama
ushul fiqih, yaitu rukun adalah sifat yang memiliki akibat
hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan
syarat merupakan sifat yang memiliki akibat hukum, tetapi ia
berada di luar hukum itu sendiri (Dahlan, 1996: 1692)
Pelaku adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi,
apabila dalam transaksi jual beli maka pelakunya adalah
penjual dan pembeli, apabila transaksi sewa maka pelakunya
adalah penyewa dan pemberi sewa, dan lain-lain. Sedangkan
objek transaksi adalah benda atau jasa yang menjadi sasaran
kegiatan ekonomi, misal dalam jual beli sepeda motor maka
objeknya adalah sepeda motor, dalam transaksi sewa gedung
maka objeknya adalah Gedung, dan seterusnya. Rukun ketiga
yaitu ijab kabul adalah tanda kesepakatan antara para pelaku
yang bertransaksi terhadap objek transaksi.
Selain rukun, syarat merupakan faktor lain yang juga
harus dipenuhi dalam transaksi ekonomi. Salah satu contoh
syarat untuk pelaku kegiatan ekonomi adalah harus
baligh/berakal. Apabila rukun terpenuhi akan tetapi syaratnya
tidak terpenuhi maka transaksi tersebut menjadi fasiq (rusak).
b. Pembelian bersyarat (ta’alluq)
Ta’alluq adalah transaksi yang di dalamnya terjadi dua
akad yang saling dikaitkan, akad pertama terjadi tergantung
pada akad kedua. Contohnya, Ahmad menjual Laptop seharga
41
Rp.4.000.000 dibayar secara angsuran kepada si Dilan, dengan
syarat Dilan harus menjual kembali laptop tersebut kepada si
Ahmad secara tunai seharga Rp.3.500.000. Transaksi tersebut
adalah transaksi yang dilarang, karena ada persyaratan bahwa
penjual bersedia menjual barang kepada pembeli dengan
syarat pembeli harus menjual kembali barang tersebut kepada
penjual,
c. Dua akad dalam satu transaksi (two in one)
Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi di
wadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga menimbulkan
ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang digunakan.
(Karim 2011)
Contohnya misalnya transaksi penjualan rumah oleh si
Munawar kepada si Jaya dan pada saat yang sama Munawar
menyewakan rumah lain kepada Jaya selama satu bulan
dengan total harga Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

E. Fungsi dan Produk Bank Syariah


Dengan definisi bank sebagai lembaga perantara keuangan,
jelas artinya bahwa bank berfungsi sebagai jembatan antara pihak yang
kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana. Bank Syariah pun
demikian tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, yaitu berfungsi
sebagai pengelola/penghimpun dana (mudharib) bagi nasabah yang
menitipkan dana nya dan menjadi investor/pemilik dana (shohibul maal)
pada transaksi penyaluran dana untuk nasabah pembiayaan. Bank
Syariah juga memberikan fasilitas-fasilitas layanan kepada nasabahnya
yang menjadikan bank syariah memiliki fungsi jasa layanan keuangan
serta fungsi lain yang bersifat nirlaba yaitu memiliki fungsi sosial.
1. Fungsi Pengelola Dana (Mudharib) / Penghimpunan Dana
Dalam fungsi penghimpunan dana ini, bank syariah merupakan
pihak yang bertugas sebagai pengelola dana dari nasabah, yang
nantinya dana tersebut akan disalurkan kepada nasabah lain dalam
bentuk pembiayaan yang produktif. Dengan demikian dana yang
42
dikelola oleh bank syariah dapat menghasilkan imbal hasil dari
keuntungan yang didapat oleh nasabah pembiayaan, imbal hasil
tersebut akan dibagi antara bank syariah dan pemilik dana.
Perbedaan penghimpunan dana dalam bank syariah dengan
bank konvensional adalah dalam hal ketentuan imbal hasil. Pada
bank konvensional, imbal hasil yang didapatkan oleh nasabah
pemilik dana akan selalu tetap sesuai dengan persentase dari
jumlah dana yang disimpan, karena penghitungan pembagian
keuntungan di bank konvensional dengan konsep bunga.
Sedangkan dalam konsep bank syariah keuntungan dibagi
berdasarkan nisbah yang telah disepakati oleh bank syariah dan
nasabah berdasarkan pendapatan yang diperoleh bank syariah dari
hasil pengelolaan dana, imbal hasil yang akan diterima oleh
nasabah pemilik dana sangat bergantung pada kepiawaian bank
syariah dalam menghasilkan pendapatan dari dana yang disimpan
oleh nasabah pemilik dana. Semakin besar pendapatan yang
diperoleh bank syariah, maka akan semakin besar pula pembagian
keuntungan yang diterima nasabah pemilik dana, begitupun
sebaliknya semakin kecil pendapatan yang diperoleh bank syariah,
maka keuntungan yang diterima nasabah pemilik dana juga
semakin kecil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keuntungan
yang diperoleh oleh nasabah di bank konvensional akan selalu
tetap setiap bulan nya apabila jumlah dana yang disimpan juga
tetap, sedangkan di bank syariah terdapat kemungkinan perbedaan
keuntungan yang diperoleh dari simpanan nasabah walaupun dana
yang disimpan setiap bulan jumlahnya tetap.
Produk-produk dari bank syariah dalam fungsinya sebagai
penghimpun dana adalah sebagai berikut:
a. Tabungan Mudharabah dan Tabungan Wadiah;
b. Giro Mudharabah dan Giro Wadiah; dan
c. Deposito Mudharabah.
2. Fungsi Pemilik Dana (Shohibul Maal) / Penyaluran Dana
Dalam fungsi penyaluran dana ini bank syariah bertindak
sebagai pemiliki dana yang akan memberikan dana kepada
43
nasabah-nasabah yang memohon pembiayaan. Sebagai sebuah
lembaga, bank syariah akan senantiasa berupaya agar penyaluran-
penyaluran dana dapat dilakukan secara maksimal dalam sektor-
sektor produktif dan sesuai syariah agar menghasilkan pendapatan
yang besar. Perbedaan penyaluran dana yang terjadi di bank
konvensional adalah dalam bank konvensional pembiayaan atau
juga disebut kredit atau pinjaman kepada nasabah diberikan
semata-mata dengan mempertimbangkan kemampuan nasabah
dalam melakukan pembayaran kembali disertai dengan beberapa
jaminan yang diberikan nasabah. Sedangkan di bank syariah,
walaupun tetap mempertimbangkan aspek kemampuan
pembayaran dan juga adanya jaminan sebagai prinsip kehati-hatian,
bank syariah diwajibkan untuk lebih memperhatikan tujuan
pembiayaan yang dilakukan oleh calon nasabah, jangan sampai
pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dipakai untuk
kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah.
Produk-produk dari bank syariah dalam fungsinya sebagai
penyalur dana adalah sebagai berikut:
a. Pembiayaan dengan akad Murabahah;
b. Pembiayaan dengan akad Salam;
c. Pembiayaan dengan akad Istishna;
d. Pembiayaan dengan akad Mudharabah;
e. Pembiayaan dengan akad Musyarakah; dan
f. Pembiayaan dengan akad Ijarah.
3. Fungsi Jasa Layanan Keuangan
Dalam fungsi sebagai jasa layanan keuangan, tidak terdapat
perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional dalam hal
mekanisme transaksinya, namun dalam hal pengakuan keuntungan
di bank syariah harus terlepas dari sistem bunga, dan hanya
menggunakan sistem bagi hasil. Akad yang bisa diterapkan bank
syariah dalam fungsinya sebagai pemberi jasa layanan keuangan
antara lain wakalah, kafalah, qardh, sharf, hawalah, rahn dan
sebagainya.
44
Produk-produk dari bank syariah dalam fungsinya sebagai jasa
layanan keuangan adalah sebagai berikut:
a. Layanan Kliring;
b. Layanan Inkaso;
c. Layanan transfer;
d. Layanan pembayaran gaji;
e. Layanan letter of credit dan sebagainya.
4. Fungsi Sosial
Dalam fungsi sosial, bank syariah mengelola dana dari titipan
internal bank syariah maupun nasabah secara umum dan juga
penarikan dana yang tidak sesuai dengan ketentuan halal untuk
disalurkan kepada pihak-pihak yang memenuhi ketentuan syariah
yang berlaku ataupun dipergunakan untuk kepentingan umum.
Produk-produk dari bank syariah dalam fungsi social adalah
sebagai berikut:
a. Dana Zakat, Infaq, Sadaqah dan Wakaf (ZISWAF); dan
b. Dana Qardhul Hasan.

F. Sistem Operasional Bank Syariah


Pada dasarnya secara operasional bank, baik konvensional
maupun syariah, memiliki kesamaan peran yaitu sebagai perantara
keuangan. Namun dalam konsep secara terperinci terdapat perbedaan
yang sangat penting antara bank konvensional dengan bank syariah
dalam perannya sebagai perantara keuangan tersebut.
Pada bank konvensional, dalam perannya sebagai penyalur
dana untuk masyarakat (dalam bentuk pinjaman) tidak berkaitan dan
tidak menimbulkan dampak apapun terhadap peran bank sebagai
penghimpun dana dari masyarakat. Dua peran yang dijalankan oleh
bank syariah kepada nasabah-nasabahnya memiliki kesepakatan
masing-masing yang tidak memiliki efek secara finansial. Dalam
penyaluran dana, bank konvensional akan mendapatkan keuntungan
berdasarkan persentase bunga tertentu yang telah ditetapkan
berdasarkan jumlah dana yang dipinjam oleh nasabah peminjam.
45
Sedangkan pada penghimpunan dana, bank konvensional akan
memberikan presentase bunga kepada nasabah berdasarkan jumlah
simpanan yang dimiliki nasabah penabung. Keuntungan yang
didapatkan oleh bank konvensional adalah dari margin/selisih antara
bunga yang didapat dari nasabah peminjam dengan bunga yang
diberikan kepada nasabah penabung. Secara sederhana sistem
operasional di bank konvensional digambarkan pada bagan berikut:
Figur 3.1
Sistem Operasional Bank Konvensional

1 3

Nasabah BANK Nasabah


Penabung KONVENSIONAL Peminjam

2 4

Keterangan:
1. Nasabah penabung menyimpan dana di bank konvensional
2. Nasabah penabung akan mendapatkan bunga sesuai jumlah
simpanan yang dimiliki di bank konvensional
3. Bank konvensional memberikan kredit/pinjaman kepada nasabah
peminjam
4. Nasabah peminjam harus membayar pokok pinjaman disertai
dengan bunga pinjaman yang telah ditetapkan oleh bank
konvensional
Perbedaan utama sistem operasional yang ada di Bank Syariah
yaitu penggunaan sistem bagi hasil sebagai pengganti sistem bunga
dalam hal perhitungan dan pengakuan keuntungan. Dampaknya adalah
kesepakatan antara bank syariah dengan nasabah pembiayaan (di bank
konvensional disebut nasabah peminjam) dan kesepakatan antara bank
syariah dengan nasabah pemilik dan penitip dana (di bank konvensional
46
disebut nasabah penabung) memiliki keterkaitan dan memiliki efek
secara ekonomi. Bank syariah menghimpun dana dari nasabah pemilik
dan penitip dana, kemudian nasabah pemilik dan penitip dana akan
mendapatkan keuntungan berdasarkan nisbah bagi hasil yang
disepakati berdasarkan penghasilan yang diperoleh bank syariah. Dana
yang dihimpun tersebut akan dipergunakan oleh bank syariah untuk
disalurkan dalam bentuk pembiayaan kepada nasabah pembiayaan dan
bank syariah akan mendapatkan keuntungan dari margin jual beli atau
nisbah bagi hasil dari usaha yang dijalankan oleh nasabah pembiayaan
tersebut. Dengan demikian, besaran bagi hasil yang diperoleh nasabah
pemilik dan penitip dana akan sangat bergantung dari jumlah
pendapatan yang diterima oleh bank syariah dari hasil pembiayaannya
kepada nasabah pembiayaan. Secara rinci sistem operasional di bank
syariah digambarkan pada bagan di bawah ini (Rizal Yaya dkk (2017):

47
Figur 3.2
Sistem Operasional Bank Syariah

4 3

BANK Nasabah
Pembiayaan
SYARIAH
- Nasabah mitra,
Nasabah Sebagai pengelola
Pemilik dan Pengelola investasi, pembeli,
1 pemyewa
Penitip Dana dana/penerima
dana titipan - Instrumen
2 penyaluran dana
lain yang
Sebagai pemilik dibolehkan
dana/penjual/
pemberi sewa
Sebagai Jasa Administrasi
Penyedia Jasa
Keuangan ATM, transfer,
5 kliring, Letter of
Credit, Bank
garansi, Transaksi
valuta asing, dan
sebagainya

Keterangan:
1. Penghimpunan Dana. Sistem operasional bank syariah diawali
dari transaksi penghimpunan dana dari masyarakat.
Penghimpunan dana dapat dilakukan dengan mekanisme investasi
ataupun mekanisme titipan. Dengan mekanisme investasi, nasabah
sebagai pemilik dana (shohibul maal) dan bank syariah berperan
sebagai pengelola dana (mudharib). Adapun dalam mekanisme
titipan, nasabah berperan sebagai penitip dan bank syariah sebagai
penerima titipan.
2. Penyaluran Dana. Dana yang diterima oleh bank syariah dari
hasil penghimpunan dana kemudian disalurkan kepada berbagai

48
pihak, seperti mitra investasi, pembeli barang, pengelola investasi
dan penyewa barang atau jasa yang disediakan oleh bank syariah.
Ketika penyaluran dana dalam bentuk investasi, bank syariah
memiliki peran sebagai pemilik dana (shohibul maal). Ketika
penyaluran dana dalam bentuk jual beli, bank syariah memiliki
peran sebagai penjual. Dan Ketika penyaluran dana dalam bentuk
pengadaan objek sewa, bank syariah memiliki peran sebagai
pemberi sewa.
3. Menerima Pendapatan Bagi Hasil, Margin atau Fee. Dari
transaksi penyaluran dana yang dilakukan bank syariah ke berbagai
pihak, bank syariah akan menerima pendapatan berupa bagi hasil
dari transaksi investasi, margin dari transaksi jual beli dan fee dari
transaksi sewa, serta berbagai jenis penghasila yang didapatkan dari
instrumen-instrumen penyaluran dana lainnya asalkan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
4. Menyalurkan Pendapatan Bagi Hasil/Bonus. Pendapatan
yang diperoleh bank syariah dari transaksi-transaksi penyaluran
dana akan dibagi kepada nasabah pemilik dana dan/atau penitip
dana. Pembagian dana pendapatan kepada pemilik dana bersifat
wajib dilakukan sesuai dengan nisbah bagi hasil yang telah
disepakati. Sedangkan pembagian dana pendapatan kepada penitip
dana bersifat sukarela, karena tidak ditetapkan di awal dan dana ini
biasa disebut dengan istilah bonus.
5. Penyediaan Jasa. Selain melakukan aktivitas sebagai perantara
keuangan, bank syariah juga melakukan kegiatan lain sebagai
penyedia jasa keuangan seperti jasa ATM, bank garansi, transfer,
dan lain-lain. Pendapatan dari hasil penyediaan jasa ini akan diakui
sepenuhnya oleh bank syariah sebagai pendapatan tanpa harus
dibagi kepada pemilik atau penitip dana, hal itu dikarenakan
transaksi layanan ini dilakukan dengan sumber daya yang dimiliki
oleh bank syariah tanpa menggunakan dana dari pemilik atau
penitip dana.

49
G. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Gagasan untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia telah ada
semenjak pertengahan tahun 1970-an. Ide tersebut disuarakan pada
seminar nasional hubungan Indonesia dengan Timur Tengah pada
tahun 1974 dan dalam seminar internasional pada tahun 1976 yang
diselenggarakan oleh Yayasan Bhinneka Tunggal Ika dan Lembaga
Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakahat (LSIK). Namun gagasan tersebut
urung dilakukan karena berbagai hambatan untuk merealisasinya
(Rahardjo, 1992):
1. Sistem bank syariah dengan prinsip bagi hasil belum diatur oleh
Undang-Undang, dan oleh karena itu maka tidak sejalan dengan
UU Pokok Perbankan yang berlaku pada saat itu yaitu UU No. 14
Tahun 1967;
2. Dari aspek politis, konsep bank syariah berkonotasi ideologis
dengan agama karena dianggap bagian dari atau terkait dengan
konsep/ideologi negara Islam dan karena itu tidak sejalan dengan
pemerintah;
3. Masih belum jelas siapa pihak yang bersedia menanamkan modal
dalam ventura semacam itu, sementara masih ada kebijakan
pencegahan pendirian bank baru dari Timur Tengah, antara lain
pembatasan pembukaan kantor bank asing di Indonesia.
Pada tahun 1988 gagasan tentang kehadiran Bank Syariah di
Indonesia mulai menyeruak Kembali, yaitu pada saat keluarnya Paket
Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi industry
perbankan. Upaya-upaya gencar dilakukan oleh para ulama pada masa
itu agar berdirinya sebuah lembaga perbankan yang bebas bunga, akan
tetapi terkendala oleh tidak adanya perangkat hukum yang dapat
dijadikan landasan, kecuali perbankan dapat menerapkan bunga 0%.
Kegiatan Lokakarya ulama yang diselenggarakan di Cisarua Bogor pada
tanggal 19-22 Agustus 1990 yang membahas tentang bunga bank
menghasilkan sebuah rekomendasi yang kemudian dibahas secara lebih
mendalam dalam kegiatan Musyawarah Nasional (MUNAS) keempat
(IV) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diadakan di hotel Sahid Jaya
Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990 menghasilkan adanya
50
pembentukan kelompok kerja untuk percepatan pendirian bank syariah
di Indonesia.
Bank Syariah pertama di Indonesia akhirnya berdiri tahun 1992
yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI), akta pendirian PT Bank
Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991.
BMI menjadi Bank Umum pertama yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip bagi hasil. Berhasilnya pendirian Bank Syariah
pertama di Indonesia ini tidak terlepas dari hasil upaya kerja tim
perbankan yang dibentuk oleh MUI. Pada saat penandatanganan akta
pendirian, terkumpul komitmen pembelian saham sebesar 84 miliar
rupiah. Kemudian pada tanggal 3 November 1991 dalam acara
silaturahmi Presiden di Istana Negara Bogor jumlah komitmen modal
awal sebesar Rp.106.126.382. dana yang terkumpul tersebut bersumber
dari presiden, wakil presiden, sepuluh Menteri kabinet pembangunan
V, dan juga beberapa lembaga lain seperti Supersemar, Dharmais,
Purna Bhakti Pertiwi, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan
Dakab, PT PAL dan PT PINDAD. Selanjutnya, Yayasan Dana
Dakwah Pembangunan yang dipercaya sebagai Yayasan penopang
Bank Syariah (Sudarsono, 2008).
Setelah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia dilanjutkan
dengan berdirinnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang
diharpkan dapat menjangkau kalangan masyarakat yang lebih luas, akan
tetapi pada kenyataannya kedua lembaga keuangan syariah tersebut
belum mampu untuk menyentuh masyarakat Islam di kalangan bawah,
oleh sebab itu kemudian didirikanlah suatu lembaga mikro syariah yang
diberi nama dengan Baitul Maal Wattamwil (BMT) (Suhendro, 2018).
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan
Peraturan Pemerintah Nomer 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil menjadi dasar hukum pendirian Bank Syariah
pertama di Indonesia. Kemudian dengan adanya Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 semakin
menegaskan eksistensi Bank Syariah di Indonesia yang secara jelas
menerangkan adanya dua sistem dalam perbankan di Indonesia (dual
51
banking system) yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem
perbankan syariah. (Asnaini dan Herlina Yustati, 2017) Lahirnya
Undang-Undang ini tidak terlepas dari Bank Muamalat Indonesia yang
dapat bertahan pada masa krisis yang melanda Indonesia pada tahun
1997, padahal di saat yang sama banyak bank konvensional yang
mengalami negative spread dan tidak dapat bertahan di masa krisis
ekonomi tersebut. Pembuktian ini menjadikan bank syariah adalah
lembaga yang layak diberikan kepercayaan untuk diakomodasi secara
lebih maksimal oleh pemerintah dalam sistem perbankan di Indonesia.
Lahirnya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
mengakomodasi Bank Indonesia untuk dapat mengambil kebijakan
moneter berdasarkan prinsip syariah. Pengaturan dan pengawasan bank
komersial, termasuk bank syariah, menjadi tanggung jawab Bank
Indonesia. Bank Indonesia juga mengeluarkan instrumen moneter
syariah antara lain Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), Pasar
Uang Antar Bank Syariah (PUAS), serta diperbolehkannya pinjaman
antar bank syariah dengan menggunakan sertifikat Investasi
Mudharabah Antarbank (IMA). Unit Khusus yang menangani
perbankan syariah, yaitu Biro Perbankan Syariah, akhirnya dibentuk
oleh Bank Indonesia pada tahun 2001. Kemudian keluar UU No. 3
Tahun 2004 sebagai amandemen dari UU No. 23 Tahun 1999 yang
mempertegas kebijakan moneter Bank Indonesia dengan prinsip
syariah, yang pada tahun yang sama pula Biro Perbankan Syariah
berubah menjadi Direktorat Perbankan Syariah di Bank Indonesia.
Tahun 2006 terbit Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
8/3/PBI/2006 tentang Perubahan kegiatan Bank Umum
Konvensional menjadi Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional.
Melalui PBI tersebut mulai diperkenalkannya sistem Office Channeling,
yaitu diperbolehkannya Bank Konvensional yang memiliki Unit Usaha
Syariah (UUS) untuk melayani transaksi berdasarkan prinsip syariah di
kantor cabang konvensional. Padahal sebelum adanya PBI ini, nasabah
hanya dapat melakukan transaksi syariah pada kantor cabang cabang
syariah dari bank konvensional.
52
Dua tahun kemudian yaitu tanggal 16 Juli 2008 disahkan UU
No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Melalui UU ini
diharapkan dapat menjadi dongkrak pertumbuhan dan perkembangan
perbankan syariah nasional, salah satu hal penting yang diatur dalam
UU ini yaitu terkait diperkenankannya pemisahan diri (spin-off) UUS dari
Bank Konvensional, baik sukarela ataupun wajib, apabila aset dari UUS
telah mencapai 50% dari total aset bank induknya.

53
Figur 3.3
Data Pertumbuhan Perbankan Syariah
54

Sumber: Presentasi Suhendar, SE., M.Si., CA (Anggota DSAS IAI) pada joint group discussion Implementasi Akuntansi
Syariah

54
Secara terperinci perkembangan jumlah Bank Umum Syariah
serta Unit Usaha Syariah di Indonesia dijelaskan pada figur 3.3 di atas.
Melalui figur tersebet dapat dilihat bahwa perkembangan terakhir bank
syariah di Indonesia sampai dengan bulan Juni 2021. Bank syariah di
Indonesia mencapai jumlah tertinggi sebanyak 14 Bank Syariah mulai
dari tahun 2018-2020, sampai pada akhirnya terjadi mega merger antara
tiga bank umum syariah dengan aset terbesar di Indonesia yaitu Bank
BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI Syariah menjadi
Bank Syariah Indonesia (BSI) terjadi pada tahun 2021. Jumlah UUS
tertinggi berada pada tahun 2008 yaitu dengan jumlah 27, namun
sejalan dengan adanya kemudahan yang diberikan melalui regulasi UU
No.21 tahun 2008 menjadikan banyak UUS yang dikonversi menjadi
Bank Umum Syariah.

55
56
BAB IV TEORI AKAD PERTUKARAN DAN
AKAD PERCAMPURAN

A. Pendahuluan
Dalam muamalah setiap transaksi yang terjadi antar manusia harus
dilakukan berdasarkan kesepakatan yang mengikatnya. Ketika transaksi
hanya mengikat salah satu pihak, maka hal tersebut disebut dengan
waad atau janji, namun apabila transaksi yang terjadi merupakan
kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak hal tersebut disebut
dengan akad atau kontrak.
Akad menurut syara merupakan ikatan secara hukum yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih yang sama-sama memiliki
keinginan untuk mengikatkan diri (Muhammad, 2000). Timbulnya
suatu ikatan secara hukum diawali dengan suatu tindakan yang
dinamakan akad (Dahlan, 2001). Dalam kajian ekonomi Islam, terdapat
pembagian akad ke dalam dua kelompok besar yaitu akad pertukaran
dan akad percampuran. Pembagian jenis akad dalam dua jenis tersebut
adalah karena adanya perbedaan dalam hal tingkat kepastian dari hasil
yang akan diperoleh.

B. Teori Akad Pertukaran


1. Definisi Akad Pertukaran
Dalam dunia usaha, transaksi pertukaran biasa dikenal dengan jual
beli. Secara etimologis jual beli merupakan kegiatan tukar-menukar
harta dengan harta. Sedangkan secara terminologis yaitu transaksi
pertukaran antara ‘ayn yang berbentuk barang dengan dayn yang
berbentuk uang (Zulkifli, 2003). Secara khusus Al-Quran
menyebut dan menjelaskan hukum transaksi jual beli, salah satunya
terdapat pada surah Al Baqarah ayat 275 yang berbunyi:

57
ۡ ِّ ۡ ۡۤ
ٓ‫الربَٰوا ََي ُكلُ ۡو َٓن اَلَّ ِّذ ۡي َن‬ ‫ى يَ ُق ۡوُٓم َك َما آَِّّل يَ ُق ۡوُم ۡو َٓن َٓل‬ٓۡ ‫من الش َّۡيطَٰ ُٓن يَتَ َخبَّطُٓهُ الَّ ِّذ‬
َٓ ‫س‬ ِّٓ ‫ك َٰٓذ ؕال َم‬ َٓ ِّ‫قَالُ ۡوا ِّبَ ََّّنُۡٓم ل‬
ۡ ۡ ۡ
‫الربَٰوٓا ِّمث ُٓل البَ ۡي ُٓع اََِّّّنَا‬
ِّ ‫اّللُ َواَ َح َّٓل‬ ِّ ‫َما فَلَهؕ فَ ۡان تَ َٰهى َّربِّهؕ ِّم ۡٓن َم ۡوعِّظَةٓ َجاءَهؕ فَ َم ۡٓن‬
َٰٓ ‫الربَٰوٓا َو َحَّرَٓم البَ ۡي َٓع‬
ؕ‫ف‬ َٓ َ‫ل َواَ ۡمُرهؕ ۤۡٓۖ َسل‬ َِّٰٓ ؕ ‫اد وم ۡٓن‬
َٓ ِّ‫اّلل ا‬ َ َ َٓ َ‫ك ع‬ ُٓ ‫َّار اَ ۡص َٰح‬
َٓ ‫ب فَاُوَٰل ِٕٮ‬ ِّٓ ‫َٰخلِّ ُد ۡو َٓن فِّ ۡي َها ُه ۡٓم ۖٓالن‬
Artinya: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka
berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu
dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu
menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al
Baqarah: 275)
Akad pertukaran adalah akad yang terjadi dalam dunia
bisnis yang memberikan kepastian dalam hal pembayaran,
kepastian tersebut berupa jumlah maupun waktunya, atau sering
pula disebut dengan natural certainly contracts.
Karena dalam teori pertukaran memberikan kepastian
pembayaran, baik dari segi jumlah dan waktu, maka arus kasnya
relatif pasti karena sudah disepakati di awal transaksi oleh kedua
belah pihak yang berakad. Objek dalam akad pertukaran ini, bisa
berupa barang ataupun jasa, harus ditetapkan di awal akad dengan
pasti, baik dari segi jumlah, mutu, harga, dan waktu
penyerahannya. Transaksi-transaksi yang masuk dalam kategori
akad pertukaran adalah transaksi jual-beli, upah-mengupah, sewa-
menyewa, dan lain sebagainya.
Dalam akad jenis ini, semua pihak yang bertransaksi akan
saling membutuhkan asset yang dipertukarkan masing-masing
(baik real assets maupun financial assets). Jadi masing-masing pihak
tetap independent (tidak saling mencampur asset untuk membentuk
sebuah usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan risiko
bersama. (Karim, 2004)
58
Sehingga dapat diterangkan bahwa dalam teori pertukaran
terdapat tiga hal yang sangat menentukan terjadinya pertukaran,
yaitu:
a. Ada dua belah pihak yang berniat saling menukarkan
barang/jasa.
b. Ada dua jenis barang/jasa yang akan dipertukarkan.
c. Ada akad serah terima barang/jasa dari kedua belah pihak.
2. Jenis-Jenis Akad Pertukaran
a. Pertukaran Real Assets (‘ayn) dengan Real Assets (‘ayn)
Yang dimaksud dengan Real Assets atau ‘ayn dapat
berupa barang ataupun jasa. Dalam pertukaran atau jual beli
antara ‘ayn dengan ‘ayn, apabila berbeda dalam hal jenisnya
(contohnya upah tenaga kerja yang dibayar dengan sejumlah
gula), maka hal tersebut tidak menjadi masalah atau
diperbolehkan. Namun untuk transaksi yang sama jenisnya,
fikih membedakan antara real asset yang secara kasat mata dapat
dibedakan mutunya dengan real asset yang secara kasat mata
tidak dapat dibedakan mutunya. Seperti pertukaran sapi
dengan sapi yang walaupun sama jenisnya tetap diperbolehkan
karena secara kasat mata dapat dibedakan mutunya. Sedangkan
pertukaran objek yang secara kasat mata tidak dapat dibedakan
mutunya dilarang, seperti pertukaran gandum dengan gandum.
Keadaan yang menjadikan dibolehkannya pertukaran objek
yang secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya adalah
karena:
1) Sama jumlahnya
2) Sama mutunya
3) Sama waktu penyerahannya.
b. Pertukaran Real Asset (‘ayn) dengan Financial Asset (dayn)
Yang dimaksud dengan financial asset adalah harta
berupa uang. Dalam transaksi pertukaran antara ‘ayn dengan
dayn, akan ada dua kemungkinan transaksi, yaitu apabila ‘ayn-
nya dalam bentuk barang ditukar dengan dayn, maka
pertukaran ini disebut dengan jual beli (akad al-bai’).
59
Sedangkan apabila ‘ayn-nya dalam bentuk jasa ditukar dengan
dayn, maka pertukaran ini disebut sewa-menyewa atau upah-
mengupah (akad al-ijarah).
Dalam jual beli, metode pembayaran boleh dilakukan
secara tunai, cicilan ataupun tangguh serah. Jual beli dengan
menyebutkan harga pokok dan juga keuntungan
(margin/selisih) yang diinginkan dikenal dengan akad
murabahah, yang pembayarnnya bisa dilakukan dengan
metode cicilan/angsuran. Sedangkan sistem pembayaran
dengan tangguh serah dibedakan menjadi dua, yaitu
pembayaran langsung lunas di muka lalu penyerahan barang
kemudian (akad bai salam) ataupun pembayaran dilakukan
secara cicilan bersamaan dengan pembuatan barang yang
ditransaksikan dan lunas sebelum barang diserahkan (akad bai
istishna).
Ijarah terbagi menjadi dua, apabila transaksi untuk
mendapatkan manfaat dari suatu barang maka disebut sewa-
menyewa, sedangkan apabila transaksi ijarah dengan tujuan
mendapat manfaat dari jasa seseorang disebut dengan upah-
mengupah.
Dalam perkembangan praktik muamalah, terjadi
sebuah transaksi ijarah dalam bentuk sewa menyewa yang
dapat menyebabkan perpindahan kepemilikan sebuah barang
kepada si penyewa pada masa akhir akad/kontrak, transaksi ini
disebut dengan istilah ijarah muntahia bittamlik (IMBT).
Dalam kegiatan perbankan, adanya akad ini merupakan sebuah
keuntungan, karena dengan akad IMBT memberikan
fleksibilitas harga sewa bulanan, dimana fleksibilitas ini sulit
terjadi dalam akad jual beli (murabahah) di perbankan syariah.
c. Pertukaran financial asset (dayn) dengan financial asset (dayn)
Dalam transaksi pertukaran antara dayn, selain diartikan
sebagai uang, dayn juga dapat diartikan sebagai sebuah surat
berharga (tidak berupa uang). Uang yang dimaksud adalah

60
uang yang dapat digunakan atau yang berlaku pada saat ini,
yaitu uang kartal berupa uang kertas dan uang logam.
Yang menjadi pembeda uang dan surat berharga adalah
uang merupakan alat pembayaran yang diakui dan resmi oleh
pemerintah, sehingga setiap warga Negara wajib menggunakan
uang sebagai alat pembayaran dalam transaksi keuangan.
Sedangkan keterbatasan surat berharga adalah tidak semua
masyarakat mau menyimpannya karena tidak dapat dilakukan
pada segala jenis transaksi pertukaran.
Pertukaran uang dengan uang dibagi menjadi
pertukaran uang sejenis dan uang yang tidak sejenis.
Pertukaran uang sejenis hanya diperbolehkan apabila
memenuhi syarat yaitu sama jumlahnya dan sama waktu
penyerahannya, contohnya pertukaran satu lembar uang kertas
pecahan Rp.50.000,- dengan lima lembar uang kertas pecahan
Rp.10.000,-, selain jumlahnya yang sama, penyerahannya pun
harus dilakukan pada saat yang sama. Sedangkan pertukaran
uang yang tidak sejenis hanya boleh dilakukan apabila
memenuhi syarat yaitu penyerahan dilakukan pada waktu yang
sama, contohnya pertukaran dengan mata uang yang berbeda,
uang dengan jumlah USD 100 dengan uang Rp.1.500.000,
transaksi ini harus dilakukan penyerahannya pada saat yang
bersamaan.

C. Teori Akad Percampuran


1. Definisi Akad Percampuran
Akad percampuran adalah akad yang terjadi dalam dunia
bisnis yang tidak dapat memberikan kepastian hasil kepada semua
pihak baik dalam hal jumlah maupun waktunya, akad percampuran
ini disebut pula dengan istilah natural uncertainly contracts.
Dalam akad jenis ini, pihak-pihak yang terlibat kerjasama
akan saling menggabungkan/mencampurkan asetnya (baik real
assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuaan, kemudian
61
melakukan sebuah kegiatan ekonomi untuk mendapatkan
keuntungan yang akan dibagi bersama sesuai pendapatan yang
diperosleh dan sesuai porsi kepemilikan masing-masing serta
penanggungan risiko bersama atas segala kerugian yang mungkin
akan terjadi atas usaha tersebut. Akad percampuran ini sering
disebut pula syirkah.
Percampuran bisa terjadi karena kurangnya kemampuan
dari seseorang untuk mendirikan suatu usaha sendiri sehingga
membutuhkan orang lain untuk diajak kerja sama (Sanurdi, 2019).
Dalam hal ini Al-Qur’an surah As Shad ayat 24 juga menjelaskan
tentang Kerjasama, yaitu:
‫ظلَ َمكَ لَقَد قَا َل‬ ُ ِ‫اجه ا ِٰلى نَع َجتِكَ ب‬
َ ‫س َؤا ِل‬ ِ َ‫طآءِ ِمنَ َكثِي ًرا َواِن نِع‬ َ ‫ض ُهم لَيَبغِى ال ُخلَـ‬ُ ‫ع ٰلى بَع‬
َ
ٰ
‫عمِ لوا ا َمنُوا الذِينَ اِّل بَعض‬ ُ َ ‫ت َو‬ ِ ٰ‫ص ِلح‬ َ َ َ ّٰ
ّٰ ‫فَاستَغف ََر فتَنهُ ان َما دَاودُ َوظن هُم ما َوقلِيل ال‬
َ
‫َاب َرا ِكعًا َوخَر َربه‬َ ‫واَن‬
Artinya: “Sungguh, dia telah berbuat zhalim kepadamu dengan
meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada
kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang
yang bersekutu itu berbuat zhalim kepada yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu."
Dan Dawud menduga bahwa Kami mengujinya; maka
dia memohon ampunan kepada Tuhannya lalu
menyungkur sujud dan bertobat.” (Q.S. As-Shad: 24).
Yang dimaksud ketidakmampuan seseorang dalam
menjalankan usaha tidak hanya sebatas dari segi finansial saja,
namun juga dapat diartikan dengan ketidakmampuan dalam hal
keahlian pengelolaannya.
2. Jenis-Jenis Akad Percampuran
Percampuran atau kerjasama merupakan akad dimana
terjadinya kesepakatan antara beberapa pihak untuk memberikan
kontribusi terhadap sebuah usaha bersama, misalnya terdapat dua
orang yang bersepakat untuk menjalankan sebuah usaha yang akan
dijalankan secara bersama-sama serta dengan modal yang didapat

62
dari harta pribadi yang dikumpulkan dan disatukan sebagai modal
usaha tersebut, kerjasama seperti ini dikenal dengan akad
musyarakah. Adapaun dari segi objeknya, akad percampuran dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Percampuran ‘Ayn dengan ‘Ayn
Dalam akad percampuran, istilah ‘ayn lebih mengarah
kepada jasa atau keahlian/kemampuan seseorang dalam
sebuah pengelolaan. Contoh percampuran antara ‘ayn dengan
‘ayn adalah seperti pada kasus seorang tukang kayu yang
melakukan kerja sama dengan tukang batu untuk membangun
sebuah rumah. Baik tukang kayu ataupun tukang batu,
keduanya sama-sama menyumbangkan tenaga dan keahliannya
(jasa) dan mencampurkan jasa mereka berdua untuk membuat
usaha bersama, yakni membangun rumah. Bentuk
percampuran seperti ini disebut syirkah ‘abdan.
b. Percampuran ‘Ayn dengan Dayn
Percampuran antara ‘ayn dengan dayn dapat terjadi
dalam beberapa skema akad, antara lain:
1) Syirkah Mudharabah
Kerjasama Mudharabah mensyaratkan salah satu pihak
berkontribusi dalam bentuk dana/uang, sedangkan pihak
lainnya berkontribusi dalam hal
kemampuan/pengelolaan terhadap dana tersebut.
2) Syirkah Wujuh
Kerjasama dalam skema ini terjadi antara seseorang (si A)
yang memberikan modal untuk usaha dalam bentuk uang
kepada pihak lain (si B), dan si B berkontribusi
menyumbangkan reputasi/nama baiknya untuk usaha
Bersama tersebut.
c. Percampuran Dayn dengan Dayn
Kerjasama dengan skema kontribusi dengan sama-sama
menyertakan uang dalam jumlah yang sama oleh semua pihak
sebagai bentuk kontribusi disebut syirkah mufawadhah.
Namun, apabila uang yang disetorkan sebagai dana Kerjasama
63
bersama dengan jumlah yang berbeda-beda disebut syirkah
‘inan.
Percampuran dayn dengan dayn dapat juga dapat
berupa selain uang, yaitu berupa kombinasi antar surat
berharga, misalkan saham PT X digabungkan dengan saham
PT Y, dan lain sebagainya.

64
BAB V PEDOMAN PENYAJIAN LAPORAN
KEUANGAN SYARIAH (PSAK 101)

A. Pendahuluan
Penyajian laporan keuangan yang diterbitkan oleh setiap
organisasi atau perusahaan harus memiliki dasar acuan agar tercapai
kesamaan persepsi dan struktur dalam setiap laporan keuangan. Tujuan
utama adanya standarisasi atau penyamaan ini adalah agar laporan
keuangan dapat lebih mudah dipahami dan dikomparasikan untuk
setiap perusahaan.
Perusahaan dengan latar belakang prinsip syariah memiliki
karakteristik tersendiri yang memiliki perbedaan dengan perusahaan
secara umum, sehingga dengan kekhasan perusahaan-perusahaan
dengan label syariah tentunya harus memiliki pedoman dalam penyajian
laporan keuangan yang berbasis syariah secara khusus. Dengan adanya
pedoman tersebut akan berguna bagi penyusun standar akuntansi
keuangan syariah dalam melaksanakan tugas dan mengatasi
permasalahan akuntansi syariah yang mungkin terjadi namun belum
diatur dalam Standar Akuntansi Syariah, dapat pula berguna bagi
auditor sebagai dasar dalam memberikan pertimbangan atas opini yang
diberikan, dan berguna bagi pemakai laporan keuangan dalam
memahami dan menafsirkan informasi yang disajikan dalam laporan
keuangan. Pedoman tersebut tertuang dalam PSAK 101 tentang
Penyajian Laporan Keuangan Syariah yang telah disahkan oleh DSAK
pada tanggal 27 Juni 2007.

B. Paradigma, Prinsip dan Karakteristik Transaksi


Syariah
Paradigma dasar dalam transaksi muamalah adalah keyakinan
bahwa penciptaan alam semesta oleh Tuhan sebagai sebuah amanah
dan sarana untuk memperoleh kebahagiaan hidup manusia dalam

65
pencapaian kesejahteraan material dan spiritual. Berdaraskan
paradigma tersebut menekankan bahwa dalam kehidupan sosial juga
terdapat akuntabilitas spiritual kepada sang pencipta.
Transaksi-transaksi yang berlandaskan syariah harus memenuhi
lima prinsip, yaitu persaudaraan (ukhuwah), keadilan (‘adalah),
kemaslahatan (mahsalah), keseimbangan (tawazun) dan universalisme
(syumuliyah).
Prinsip persaudaraan artinya transaksi yang dilakukan
merupakan transaksi social yang memiliki semangat tolong-menolong,
persaudaraan dalam transaksi syariah harus melingkupi aspek mengenal
(ta’aruf), aspek saling memahami (tafahum), aspek saling menolong
(ta’awun), aspek saling menjamin (takaful) dan aspek saling bersinergi
(tahaluf).
Prinsip keadilan artinya adalah penempatan sesuatu pada posisi
yang tepat dan porsi yang tepat. Penerapan konsep keadilan dapat
terlihat dalam transaksi muamalah yang mengindari praktik riba,
dzalim, maysir, gharar, ikhtikar, najasy, risywah, ta’aluk dan transaksi
dengan objek yang haram dalam kegiatan operasionalnya.
Prinsip kemaslahatan berarti transaksi yang dilakukan haruslah
transaksi yang dapat memberikan manfaat atau kebaikan, baik yang
bersifat duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual atau individu dan
kolektif. Kemaslahatan yang dimaksud disini harus memenuhi dua
unsur, yaitu halal dan baik. Transaksi yang mendatangkan maslahah
dikategorikan sebagai transaksi yang dapat memenuhi ketetapan
syariah, yaitu pemeliharaan terhadap agama, akal, keturunan, jiwa dan
harta.
Prinsip keseimbangan artinya adalah adanya pemberian
manfaat terhadap semua pihak dan juga keseimmbangan dalam semua
aspek. Seperti keseimbangan material dan spiritual, keseimbangan
aspek privat dan publik, keseimbangan sektor keuangan dan sektor riil,
keseimbangan bisnis dan sosial, serta keseimbangan aspek pemanfaatan
dan pelestarian. Implementasi dalam dunia bisnis adalah adanya
keseimbangan dalam pemenuhan manfaat tidak hanya terfokus untuk

66
pemegang saham tetapi juga kepada semua pihak agar dapat merasakan
manfaat ekonomi dalam setiap transaksi.
Prinsip universalisme yaitu adalah setiap transaksi ekonomi
yang terjadi atau akan terjadi dapat diakses oleh semua pihak tanpa
adanya pembatasan atau deskriminasi terhadap pihak-pihak tertentu.
Karakteristik transaksi syariah adalah transaksi yang
mengakomodir aktivitas yang bersifat komersial dan non-komersial.
Transaksi yang bersifat komersil dapat berupa transaksi kerjasama
investasi dengan perjanjian bagi hasil, transaksi jual beli barang dengan
kesepakatan margin/laba, dan/atau transaksi layanan jasa dengan
perjanjian keuntungan berupa imbal jasa atau upah. Sedangkan
transaksi yang bersifat non-komersil berupa transaksi pemberian
pinjaman tanpa tambahan pengembalian (qardh) dan/atau
penghimpunan dan penyaluran dana sosial (zakat, infaq, sedekah, hibah
dan wakaf).

C. Pengguna Laporan Keuangan Syariah


Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara
pengguna laporan keuangan ataupun pengguna laporan keuangan
syariah, yaitu dari internal (pengelola perusahaan) dan juga eksternal
(investor, kreditor, pemerintah, mitra/pesaing dan masyarakat secara
umum). Namun pada pembahasan kali ini akan dijelaskan secara lebih
rinci terkait pemakai laporan keuangan syariah dalam sudut pandang
perbankan syariah.
Penjabaran pengguna laporan keuangan syariah adalah meliputi
investor sekarang dan calon investor (investor potensial); pemilik dana
(dana qardh, dana pembiayaan mudharabah, dan dana titipan);
pembayar dan penerima zakat, infaq, sedekah dan wakaf; pengawas
syariah; karyawan; pemasok dan mitra usaha; pelanggan; pemerintah;
serta masyarakat umum.
1. Investor Sekarang dan Calon Investor
Investor adalah istilah untuk individu ataupun institusi yang
mempunyai kepemilikan modal terhadap sebuah usaha atau
67
perusahaan, biasanya bukti kepemilikan adalah dalam bentuk
saham. Yang dimaksud dengan investor sekarang adalah pemilik
atau pemegang saham yang sudah menjadi bagian dari perusahaan
karena sudah memiliki sejumlah saham perusahaan tersebut.
sedangkan calon investor atau investor potensial adalah pihak yang
belum memiliki saham perusahaan tetapi terdapat potensi untuk
membeli kepemilikan perusahaan. Baik pihak investor maupun
calon investor yang potensial memiliki kepentingan untuk menilai
kinerja perusahaan pada masa lampau, sekarang dan potensi yang
akan datang serta menilai risiko-risiko yang dimiliki perusahaan
tersebut. informasi yang disajikan dalam laporan keuangan syariah
dapat membantu dalam membuat keputusan untuk membeli,
menjual atau menahan saham/kepemilikan mereka. Selain potensi
kinerja yang menjanjikan hasil yang diharapkan, seorang investor
juga akan menilai kemampuan perusahaan-perusahaan syariah
dalam membagikan hasil usaha atau dividen.
2. Pemberi Dana Qardh
Dana Qardh merupakan istilah untuk menyebutkan skema
pembiayaan kepada nasabah dengan pengembalian sejumlah dana
yang sama pada saat pinjaman. Pemberi dana qardh memerlukan
informasi tentang pengelolaan dana qardh serta memastikan
bahwa dana qardh yang diberikan dapat dibayar tepat waktu pada
saat jatuh tempo.
3. Pemilik Dana Syirkah Temporer
Dana syirkah temporer dalam bank konvensional bisa disebut juga
Dana Pihak Ketiga. Dana syirkah temporer ini merupakan dana
simpanan atau investasi yang dimiliki oleh nasabah, baik individu
maupun institusi, penghimpunan dana dengan skema bagi hasil
atau mudharabah. Kebutuhan akan informasi laporan keuangan
syariah oleh pemilik dana syirkah temporer adalah untuk
memastikan keamanan dan keuntungan yang dapat mereka
peroleh dari dana simpanan/investasi di perusahaan syariah.
Informasi yang mereka dapatkan dapat berguna untuk

68
pertimbangan untuk menarik, menambah atau menahan dana yang
diinvestasikan/disimpan.
4. Pemilik Dana Titipan
Perbedaan dana titipan dengan dana syirkah temporer adalah
dalam hal skema/akad yang dipakai, pemilik dana titipan
menyimpan dana di entitas syariah dengan menggunakan akad
wadiah/titipan, sehingga pihak entitas syariah tidak memiliki
kewajiban untuk memberikan imbal hasil atas dana yang dititip.
Pemilik dana titipan membutuhkan informasi laporan keuangan
untuk memastikan dana yang dititip dapat diambil setiap saat.
5. Pembayar dan Penerima Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf
Pembayar atau penyetor dana zakat, infaq, sedekah dan wakaf
berkepentingan untuk mengetahui laporan penyaluran dana yang
mereka serahkan, sedangkan bagi penerima berkepentingan untuk
mengetahui sumber dari dana yang mereka terima.
6. Pengawas Syariah
Pengawas syariah atau biasa dikenal sebagai Dewan Pengawas
Syariah merupakan pihak yang ditugaskan oleh Dewan Syariah
Nasional untuk mengawasi penerapan/implementasi produk-
produk syariah yang ditawarkan dan dijalankan oleh entitas syariah.
Laporan keuangan syariah memberikan informasi kepada dewan
pengawas syariah tentang kepatuhan pelaksanaan produk dan
operasional entitas syariah terhadap prinsip-prinsip syariah.
7. Karyawan
Karyawan yang dimaksud adalah pihak yang bekerja pada entitas
yang menerbitkan laporan keuangan. Karyawan membutuhkan
informasi keuangan hubungannya adalah untuk mengetahui
kemampuan perusahaan dalam membayar gaji, dana pension
ataupun kesempatan kerja.
8. Pemasok dan Mitra Usaha
Pemasok ataupun mitra merupakan pihak yang bekerjasama
dengan entitas syariah, tujuan mengetahui informasi keuangan
adalah untuk mengetahui kemampuan entitas syariah dalam

69
melakukan pembayaran terhadap setiap transaksi yang dilakukan
baik secara tunai maupun tidak tunai.
9. Pelanggan
Walaupun hubungan pihak pelanggan dengan karyawan adalah
terkait harga dan kualitas produk, namun adakalanya pelanggan
perlu untuk mengetahui informasi keuangan perusahaan untuk
menilai kelangsungan hidup usaha perusahaan, terutama bagi
pelanggan yang terikat perjanjian jangka Panjang dengan entitas
tersebut.
10. Pemerintah
Pemerintah serta jajaran instansi/lembaga pemerintah
mempergunakan informasi keuangan perusahaan untuk menilai
alokasi sumber daya dan juga aktivitas operasional entitas syariah
tersebut. Pemerintah memerlukan informasi untuk dapat
menyusun regulasi yang tepat terkait aktivitas operasi entitas
syariah, penetapan kebijakan dalam hal pajak, serta sebagai acuan
dalam penyusunan statistic pendapatan nasional maupun
perhitungan statistic lainnya.
11. Masyarakat
Masyarakat secara umum menilai sebuah entitas berkaitan dengan
menilai andil entitas syariah dalam pembangunan ekonomi
nasional ataupun menilai kontribusi entitas syariah dalam
mengurangi tingkat pengangguran.

D. Tujuan dan Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan


Syariah
1. Tujuan Laporan keuangan Syariah
Tujuan umum dari sebuah laporan keuangan syariah
adalah agar tersedia informasi tentang posisi keuangan, kinerja
perusahaan/manajemen, serta perubahan posisi keuangan entitas
syariah. Laporan keuangan syariah ini dimanfaatkan oleh para
pengguna laporan keuangan syariah untuk pertimbangan

70
pengambilan keputusan ekonomi entitas syariah. Tujuan lain dari
laporan keuangan syariah adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam
semua transaksi dan kegiatan usaha;
b. Memberikan informasi tentang kepatuhan suatu entitas syariah
terhadap prinsip-prinsip syariah, mengetahui keberadaan aset,
kewajiban, pendapatan, dan beban yang tidak sesuai syariah
serta mengetahui informasi sumber perolehan dan tujuan
penggunaannya;
c. Sebagai informasi yang bermanfaat untuk proses evaluasi
entitas syariah terhadap tanggung jawabnya dalam
mengamankan dana yang telah diamanahkan, serta
mengelolanya ke dalam instrumen investasi yang potensial; dan
d. Sebagai sumber informasi bagi penanam modal atau pemegang
saham atau pemilik simpanan dalam bentuk dana syirkah
temporer tentang tingkat pendapatan investasi yang dihasilkan
entitas syariah, serta informasi penggunaan dana sosial oleh
entitas syariah, terutama berkaitan dengan zakat, infak,
sedekah, hibah dan wakaf.
2. Karakteristik Kualitatif Laporan Keuangan Syariah
Karakteristik kualitatif adalah ciri khas yang terdapat dalam
sebuah laporan keuangan syariah. Karakteristik ini menjadikan
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan syariah dapat
sangat bermanfaat bagi penggunanya. Karakteristik kualitatif
tersebut antara lain:
a. Dapat Dipahami
Walaupun para pengguna laporan keuangan syariah
diasumsikan sebagai pihak yang sudah cakap dalam
memahami aktivitas ekonomi dan bisnis sebuah perusahaan,
namun informasi yang rumit dan kompleks tidak selayaknya
dimasukkan dalam laporan keuangan syariah, sehingga sebuah
laporan keuangan syariah yang baik adalah menyajikan
informasi yang dapat dipahami oleh para penggunanya.

71
b. Relevan
Karakteristik relevan mengandung maksud yaitu
sebuah informasi keuangan syariah yang dapat mempengaruhi
keputusan pengguna informasi dalam melakukan evaluasi
kinerja masa lalu, masa kini atau proyeksi masa depan
berdasarkan hasil koreksi dari penilaian kinerja di masa
lampau.
c. Andal
Karakteristik informasi yang andal adalah informasi
yang bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan yang
material, dan disajikan secara objektif atau apa adanya sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
d. Dapat Dibandingkan
Salah satu fungsi yang sering dipakai adalah
membandingkan sebuah laporan keuangan, baik
membandingkan laporan keuangan sebuah entitas syariah
antar periode, ataupun membandingkan laporan keuangan
entitas syariah dengan entitas lainnya. Pengguna dapat
membandingkan laporan keuangan syariah antar periode
dalam entitas yang sama agar dapat mengidentifikasi tren
ataupun kecenderungan posisi dan kinerja keuangan.
Sedangkan perbandingan laporan keuangan antar entitas
syariah dapat berguna untuk mengetahui dan mengevaluasi
posisi keuangan, kinerja entitas dan perubahan posisi
keuangan secara relatif.
Pengguna informasi juga harus mendapatkan informasi
terkait kebijakan akuntansi yang dijalankan entitas dalam
penyusunan laporan keuangan dan perubahan kebijakan serta
pengaruh perubahan tersebut agar dapat membandingkan
kebijakan yang diambil dalam setiap transaksi yang serupa
antara satu periode ke periode lain atau antara sebuah entitas
syariah dengan entitas syariah lainnya.

72
E. Komponen Laporan Keuangan Syariah
Komponen-komponen yang terdapat dalam laporan keuangan
sebuah entitas syariah meliputi hal-hal berikut ini, yaitu:
1. Komponen laporan keuangan yang berkaitan dengan kegiatan
entitas syariah yang bersifat komersial. Komponen ini mencakup
laporan posisi keuangan (neraca), laporan laba rugi, laporan arus
kas, dan laporan perubahan ekuitas.
2. Komponen laporan keuangan yang berkaitan dengan kegiatan
sosial yang dilaksanakan oleh entitas syariah. Komponen ini
mencakup laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta
laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan.
3. Komponen laporan keuangan lainnya yang berkaitan dengan
kegiatan dan tanggung jawab khusus entitas syariah tersebut.
Dari sekian banyak komponen laporan keuangan yang
dijelaskan di atas, namun komponen utama dalam setiap laporan
keuangan adalah laporan posisi keuangan (neraca) dan laporan laba
rugi. Sedangkan komponen dalam laporan keuangan lainnya seperti
laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, laporan sumber dan
penggunaan dana zakat, serta laporan sumber dan penggunaan dana
kebajikan dipengaruhi oleh perubahan yang terdapat pada laporan
posisi keuangan (neraca) dan laporan laba rugi. Secara rinci komponen-
komponen laporan keuangan akan dibahas sebagai berikut:
1. Laporan Posisi Keuangan (Neraca)
Laporan posisi keuangan atau neraca merupakan laporan
yang memanifestasikan dampak keuangan dari transaksi dan
peristiwa lain yang dikategorikan ke dalam kelompok-kelompok
besar menurut karakteristik ekonominya. Berikut adalah format
dasar laporan posisi keuangan (neraca) bank syariah dengan
mengacu pada lampiran PSAK 101 tentang Penyajian Laporan
Keuangan Syariah yang diterbitkan IAI tahun 2007.

73
Tabel 5.1
Contoh Format Laporan Posisi Keuangan (Neraca) Bank
Syariah per 31 Desember 2021 dan 2020
AKTIVA 2021 2020 PASSIVA 2021 2020
LIABILITAS/
ASET/HARTA KEWAJIBAN
Kas xx.xxx xx.xxx Kewajiban segera xx.xxx xx.xxx
Giro pada Bank Bagi hasil yang belum
Indonesia xx.xxx xx.xxx dibagikan xx.xxx xx.xxx
Giro pada Bank lain xx.xxx xx.xxx Simpanan wadiah xx.xxx xx.xxx
Penempatan pada Simpanan dari bank
bank lain xx.xxx xx.xxx lain xx.xxx xx.xxx
Investasi pada surat
berharga xx.xxx xx.xxx Utang

Piutang Utang Salam xx.xxx xx.xxx


Piutang
Murabahah xx.xxx xx.xxx Utang Istishna xx.xxx xx.xxx
Kewajiban pada bank
Piutang Salam xx.xxx xx.xxx lain xx.xxx xx.xxx
Pembiayaan yang
Piutang Istishna xx.xxx xx.xxx diterima xx.xxx xx.xxx
Piutang
Pendapatan Ijarah xx.xxx xx.xxx Utang pajak xx.xxx xx.xxx
Estimasi kerugian
komitmen dan
Pembiayaan kontijensi xx.xxx xx.xxx
Pembiayaan Pinjaman wadiah yang
Mudharabah xx.xxx xx.xxx diterima xx.xxx xx.xxx
Pembiayaan
Musyarakah xx.xxx xx.xxx Kewajiban lainnya xx.xxx xx.xxx
Pinjaman Qardh xx.xxx xx.xxx Pinjaman subordinasi xx.xxx xx.xxx
Persediaan (aset Jumlah
untuk dijual kembali) xx.xxx xx.xxx Liabilitas/Kewajiban xx.xxx xx.xxx
Aset Ijarah xx.xxx xx.xxx
Aset Istishna dalam
penyelesaian xx.xxx xx.xxx Dana Syirkah Temporer
Penyertaan pada Dana syirkah temporer
entitas lain xx.xxx xx.xxx dari bukan bank
Aset Pajak Tabungan
ditangguhkan xx.xxx xx.xxx mudharabah xx.xxx xx.xxx
Deposito
Aset tetap xx.xxx xx.xxx mudharabah xx.xxx xx.xxx
Akumulasi
penyusutan aset Dana syirkah temporer
tetap xx.xxx xx.xxx dari bank

74
Tabungan
Aset lainnya xx.xxx xx.xxx mudharabah xx.xxx xx.xxx
Deposito
mudharabah xx.xxx xx.xxx
Musyarakah xx.xxx xx.xxx
Jumlah Dana Syirkah
Temporer xx.xxx xx.xxx

Ekuitas
Modal disetor xx.xxx xx.xxx
Tambahan modal
disetor xx.xxx xx.xxx
Saldo laba/rugi xx.xxx xx.xxx
Jumlah Ekuitas xx.xxx xx.xxx

Jumlah Aktiva xx.xxx xx.xxx Jumlah Passiva xx.xxx xx.xxx

Komponen-komponen utama dalam laporan posisi


keuangan (neraca) adalah Aset/Harta, Liabilitas/Kewajiban, Dana
Syirkah Temporer dan Ekuitas (Rizal Yaya, 2015). Penjelasan
komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut:
a. Aset/Harta. Aset adalah seluruh kekayaan atau sumber daya
yang dimiliki dan dikuasai oleh entitas syariah sebagai akibat
dari transaksi ekonomi yang terjadi di masa lalu dan
mempunyai manfaat ekonomi di masa depan untuk entitas
syariah. Manfaat ekonomi masa depan dapat diakui oleh
entitas syariah dengan beberapa cara, seperti: dipakai sendiri
maupun bersama aset lain dalam kegiatan produksi barang
dan jasa oleh entitas syariah; ditukar dengan aset lain; dipakai
untuk membayar kewajiban; atau dibagikan untuk para
pemegang saham atau pemilik entitas syariah.
b. Kewajiban. Kewajiban merupakan utang yang terjadi di masa
kini akibat dari adanya transaksi tidak tunai di masa lalu, yang
penyelesaiannya berakibat pada pengeluaran
kekayaan/sumber daya entitas syariah yang memiliki manfaat
ekonomi. Kewajiban masa kini dapat diselesaikan dengan
75
berbagai cara, yaitu: pembayaran tunai/kas; penyerahan harta
lainnya; pemberian jasa; mengganti kewajiban tersebut dengan
kewajiban lainnya; serta dengan mengubah kewajiban menjadi
ekuitas/modal. Cara lain yang juga dapat digunakan untuk
menghapus kewajiban adalah dengan pembebasan atau
pembatalan hak yang dimiliki oleh kreditur.
c. Dana syirkah temporer. Dana syirkah temporer adalah dana
yang diinvestasikan oleh individu atau instansi dalam bentuk
simpanan dengan jangka waktu tertentu kepada entitas
syariah, dana ini dapat dikelola atau dimanfaatkan oleh entitas
syariah untuk memperoleh keuntungan, yang mana
keuntungan tersebut akan dibagikan kepada individu atau
instansi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati. Dana
syirkah temporer dapat berupa tabungan mudharabah,
deposito mudharabah dan akun lain yang sejenis. Dana
syirkah temporer tidak bisa dikategorikan sebagai
kewajiban/liabilitas karena dana tersebut berasal dari akad
kerjasama antara pemilik dana dengan pihak entitas syariah,
bukan berdasarkan akad pinjam meminjam. Dana syirkah
temporer juga tidak tergolong pada kelompok akun ekuitas,
karena dana ini memiliki masa jatuh tempo dan pemilik dana
syirkah temporer tidak diakui sebagai pemegang saham atau
pemilik entitas syariah tersebut
d. Ekuitas. Ekuitas atau sering disebut akun Modal, yaitu
kepemilikan atas seluruh aset entitas syariah setelah dikurangi
dengan kewajiban-kewajiban dan dana syirkah temporer.
Ekuitas dapat berupa setoran modal oleh para penanam
modal atau pemegang saham, saldo laba, dan penyisihan saldo
laba.
2. Laporan Laba Rugi
Laporan laba rugi merupakan gambaran dari kinerja entitas
syariah dalam satu periode akuntansi yang menjadi acuan
perhitungan dalam penetuan besaran pembagian keuntungan
investasi atau pendapatan per saham. Format umum dari laporan
76
laba rugi yang mengacu pada Penyajian Laporan Keuangan Syariah
dan Kerangka Dasar Penyajian dan Pelaporan Laporan Keuangan
Syariah yang diterbitkan Ikatan Akuntan Indonesia tahun 2007
adalah sebagai berikut:
Tabel 5.2
Contoh Format Laporan Laba/Rugi Bank Syariah per 31
Desember 2021 dan 2020

POS-POS 2021 2020


PENDAPATAN
Pendapatan Pengelolaan Dana oleh Bank Syariah
sebagai Mudharib

Pendapatan jual beli:


Pendapatan margin murabahah xx.xxx xx.xxx
Pendapatan neto salam xx.xxx xx.xxx
Pendapatan neto istishna xx.xxx xx.xxx
Pendapatan sewa:
Pendapatan neto ijarah xx.xxx xx.xxx
Pendapatan bagi hasil
Pendapatan bagi hasil mudharabah xx.xxx xx.xxx
Pendapatan bagi hasil musyarakah xx.xxx xx.xxx
Jumlah Pendapatan Pengelolaan Dana oleh Bank
Syariah sebagai Mudharib xx.xxx xx.xxx
Hak Pihak Ketiga atas Bagi Hasil (xx.xxx) (xx.xxx)
Hak Bagi Hasil milik Bank Syariah xx.xxx xx.xxx
Pendapatan usaha lainnya
Pendapatan imbalan jasa perbankan xx.xxx xx.xxx
Pendapatan imbalan investasi terikat xx.xxx xx.xxx
Jumlah Pendapatan usaha lainnya xx.xxx xx.xxx

BEBAN
Beban pegawai/karyawan (xx.xxx) (xx.xxx)
Beban administrasi dan umum (xx.xxx) (xx.xxx)
Beban penyusutan dan amortisasi (xx.xxx) (xx.xxx)
77
Beban penyisihan kerugian aset produktif (xx.xxx) (xx.xxx)
Beban estimasi kerugian komitmen dan kontijensi (xx.xxx) (xx.xxx)
Beban bonus giro wadiah (xx.xxx) (xx.xxx)
Beban lain-lain (xx.xxx) (xx.xxx)
Jumlah beban (xx.xxx) (xx.xxx)

Pendapatan dan Beban Non Usaha


Pendapatan non usaha xx.xxx xx.xxx
Beban non usaha (xx.xxx) (xx.xxx)
Jumlah Pendapatan dan Beban Non Usaha xx.xxx xx.xxx

Laba (Rugi) Sebelum Pajak xx.xxx xx.xxx


Beban Pajak (xx.xxx) (xx.xxx)
Zakat* (xx.xxx) (xx.xxx)
Laba (Rugi) Neto Periode Berjalan xx.xxx xx.xxx
Sumber: Rizal Yaya dkk (2015)

Komponen yang terdapat pada laporan laba/rugi adalah


pendapatan, beban, dan hak pihak ketiga atas bagi hasil. Berikut
pembahasan komponen-komponen tersebut disertai dengan
komponen zakat yang menurut Rizal Yaya (2015) relevan sebagai
bagian dari komponen laporan laba/rugi.
a. Pendapatan. Pendapatan merupakan aliran penerimaan kas
atau aset lain yang diterima oleh entitas syariah sebagai hasil
kegiatan usaha. Karena di Indonesia menggunakan dasar
pencatatan secara akrual maka Pendapatan diakui pada saat
penyelesaiaan pekerjaan, bukan pada saat penerimaan uang.
Pendapatan akan mengakibatkan bertambahnya aset atau
penurunan kewajiban yang berdampak pada kenaikan ekuitas
yang bukan berasal dari penanam modal.
b. Beban. Beban adalah biaya yang dikeluarkan berdasarkan
perolehan asset yang dikonsumsi atau jasa yang digunakan
dalam proses memperoleh pendapatan perusahaan. Beban
78
secara sederhana diartikan sebagai pembayaran perusahaan
yang dikeluarkan untuk kegiatan usaha perusahaan. Beban
mengakibatkan turunnya ekuitas yang tidak terkait dengan
pengambilan pribadi maupun pembagian keuntungan kepada
penanam modal.
c. Hak pihak ketiga atas bagi hasil. Hak pihak ketiga atas bagi
hasil adalah porsi bagi hasil yang dimiliki oleh pemilik dana
atas keuntungan dan kerugian dari hasil investasi bersama
entitas syariah dalam suatu periode laporan keuangan. Hak
pihak ketiga atas bagi hasil merupakan pengurang dari hasil
pengelolaan dana yang dilakukan oleh entitas syariah sebagai
mudharib, sehingga tidak bisa digolongkan sebagai beban
(ketika untung) atau pendapatan (ketika rugi).
d. Zakat. Komponen zakat adalah nominal zakat yang
dikeluarkan oleh entitas syariah dalam satu periode akuntansi.
Aspek zakat hanya dibahas pada laporan dana zakat yang
dikelola oleh entitas syariah sebagai amil zakat. Dalam
beberapa referensi tentang akuntansi syariah, kepatuhan
entitas syariah dalam menghitung dan membayar zakat
merupakan salah satu bentuk kepatuhan entitas tersebut pada
syariah Islam. Berdasarkan hal tersebut artinya dengan adanya
kebutuhan untuk melakukan evaluasi terhadap kepatuhan
terhadap penghitungan dan pembayaran zakat, seharusnya
rekening zakat harus disebut dalam laporan laba rugi bank
syariah. Zakat juga harus diakui dengan menggunakan dasar
akrual selayaknya pengakuan pendapatan dan beban.
3. Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan perubahan ekuitas atau modal suatu entitas syariah
menggambarkan penambahan atau penurunan kekayaan entitas
syariah yang bersumber dari pemilik selama periode berjalan. Suatu
entitas syariah harus menyajikan laporan perubahan ekuitas
sebagai salah satu komponen utama dari laporan keuangan syariah
(PSAK 101 paragraf 67). Unsur-unsur yang harus terkandung
dalam laporan perubahan ekuitas antara lain:
79
a. Laba atau rugi bersih (neto) periode yang berjalan.
b. Pos pendapatan dan beban beserta jumlahnya diakui secara
langsung dalam ekuitas.
c. Pengaruh kumulatif dari perubahan kebijakan akuntansi dan
perbaikan terhadap kesalahan mendasar sebagaimana diatur
dalam PSAK 101.
d. Transaksi modal oleh pemilik dan distribusi kepada pemilik.
e. Saldo akumulasi laba atau rugi pada awal dan akhir periode
serta perubahannya.
f. Rekonsiliasi antara nilai tercatat dari masing-masing jenis
modal saham, agio, serta cadangan pada awal dan akhir
periode yang diaungkapkan secara terpisah setiap perubahan.
4. Laporan Arus Kas
Laporan Arus Kas merupakan laporan yang menyajikan
informasi keluar masuknya kas selama periode akuntansi.
Kemampuan dalam mengelola dan menghasilkan kas atau setara
kas dalam sebuah entitas syariah dapat tercermin dalam laporan
arus kas. Laporan arus kas secara detail diterangkan dalam PSAK
2: Laporan Arus Kas.
Laporan arus kas diklasifikasikan ke dalam tiga aktivitas,
yaitu sebagai berikut:
a. Aktivitas Operasi
Arus kas dari aktivitas operasi artinya arus kas yang
mencatat transaksi terkait kegiatan operasional utama sebuah
entitas syariah.
b. Aktivitas Investasi
Arus kas dari aktivitas investasi menggambarkan
keluar masuknya kas terkait sumber daya yang dipergunakan
untuk investasi yang diharapkan dapat menghasilkan
pendapatan dan arus kas di masa yang akan datang.
c. Aktivitas Pendanaan
Arus kas terhadap aktivitas pendanaan merupakan
penyajian laporan berhubungan dengan arus kas yang dimiliki
oleh penanam modal perusahaan.
80
5. Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil
Berdasarkan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia tahun 2013, Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi
Hasil merupakan laporan yang memberikan informasi tentang
pendapatan Bank Syariah yang menggunakan dasar akrual dan
pendapatan yang dibagihasilkan kepada pemilik dana yang
menggunakan dasar kas. Adanya laporan ini dilatarbelakangi
karena terdapat perbedaan dasar pengakuan antara pendapatan
yang diterima Bank Syariah dengan pendapatan yang harus
dibagihasilkan.
Informasi yang disajikan dalam Laporan Rekonsiliasi
Pendapatan dan Bagi Hasil adalah sebagai berikut:
a. Pendapatan usaha utama dengan dasar akrual;
b. Penyesuaian atas:
1) Pengurangan pendapatan usaha utama periode berjalan
yang kas atau setara kasnya belum diterima;
2) Penambahan pendapatan usaha utama periode
sebelumnya yang kas atau setara kasnya diterima di
periode berjalan;
c. Pendapatan yang benar-benar tersedia untuk bagi hasil.
d. Bagian Bank Syariah atas pendapatan yang tersedia untuk bagi
hasil;
e. Bagian pemilik dana atas pendapatan yang tersedia untuk bagi
hasil.
Berikut contoh format laporan rekonsiliasi pendapatan
dan bagi hasil bank syariah:

81
Tabel 5.3
Contoh Format Laporan Rekonsiliasi dan Bagi Hasil Bank
Syariah per 31 Desember 2021 dan 2020
POS-POS 2021 2020
Pendapatan Usaha Utama (akrual) xx.xxx xx.xxx
Pengurang:
Pendapatan tahun berjalan yang kas atau setara kasnya belum
diterima:
Pendapatan keuntungan murabahah xx.xxx xx.xxx
Pendapatan sukuk negara dan perusahaan xx.xxx xx.xxx
Pendapatan sewa ijarah xx.xxx xx.xxx
Pendapatan Sertifikat Bank Indonesia Syariah xx.xxx xx.xxx
Jumlah pengurang xx.xxx xx.xxx
Penambah:
Pendapatan tahun sebelumnya yang kasnya diterima pada
tahun berjalan:
Penerimaan pelunasan piutang:
Keuntungan murabahah xx.xxx xx.xxx
Pendapatan sewa ijarah xx.xxx xx.xxx
Pendapatan Sertifikat Bank Indonesia Syariah xx.xxx xx.xxx
Pendapatan sukuk negara dan perusahaan xx.xxx xx.xxx
Jumlah Penambah xx.xxx xx.xxx
Pendapatan yang tersedia untuk bagi hasil
Bagi hasil yang menjadi hak Bank xx.xxx xx.xxx
Bagi hasil yang menjadi hak pemilik dana xx.xxx xx.xxx
Bagi hasil yang menjadi hak pemilik dana dirinci atas:
Hak pemilik dana atas bagi hasil yang sudah
xx.xxx xx.xxx
didistribusikan
Hak pemilik dana atas bagi hasil yang belum
xx.xxx xx.xxx
didistribusikan

6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat


Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat adalah
bagian dari komponen utama dalam laporan keuangan sebuah
entitas syariah (PSAK 101 paragraf 70). Komponen mendasar
82
dalam Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat meliputi
sumber dana, penggunaan dana selama suatu periode, serta saldo
dana zakat yang menunjukkan dana zakat yang belum disalurkan
pada tanggal tertentu.laporan ini harus menyajikan informasi-
informasi sebagai berikut:
a. Dana zakat yang berasal dari wajib zakat (muzakki), antara
lain:
1) Zakat dari dalam entitas syariah; dan
2) Zakat dari luar entitas syariah.
b. Tujuan penyaluran dana zakat melalui lembaga amil zakat,
yaitu:
1) Fakir;
2) Miskin;
3) Riqab;
4) Gharim (orang yang terlilit utang piutang);
5) Muallaf;
6) Fii sabilillah;
7) Ibnu sabil (orang dalam perjalanan);
8) Amil.
c. Kenaikan dan penurunan dana zakat
d. Saldo awal zakat
e. Saldo akhir zakat.
7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
menggambarkan hal-hal berikut ini:
a. Sumber dana kebajikan:
1) Infak;
2) Sedekah;
3) Hasil pengelolaan wakaf sesuai dengan aturan yang
berlaku;
4) Pengembalian dana kebajikan produktif;
5) Denda; dan
6) Pendapatan non-halal.

83
b. Penyaluran dana kebajikan:
1) Dana kebajikan produktif
2) Sumbangan; dan
3) Penggunaan untuk kepentingan umum.
c. Kenaikan dan penurunan sumber dana kebajikan;
d. Saldo awal sumber dan penggunaan dana kebajikan; dan
e. Saldo akhir sumber dan penggunaan dana kebajikan
8. Catatan Atas Laporan Keuangan
Catatan atas laporan keuangan merupakan penjelasan
dalam bentuk narasi serta rincian jumlah yang tertera dalam laporan
keuangan utama. Catatan atas laporan keuangan suatu entitas
syariah harus memaparkan hal-hal berikut ini:
a. Informasi dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan
akuntansi yang dipilih dan diterapkan terhadap peristiwa dan
transaksi yang penting dalam suatu entitas syariah.
b. Informasi yang diwajibkan dalam PSAK, tetapi tidak disajikan
dalam Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Arus Kas; Laporan
Perubahan Ekuitas; Laporan sumber dan Penggunaan Dana
Zakat; dan Laporan Penggunaan Dana Kebajikan.
c. Informasi tambahan yang tidak disajikan dalam laporan
keuangan, tetapi diperlukan dalam rangka penyajian secara
wajar.
Agar memudahkan para pengguna dalam memahami
laporan keuangan dan membandingkannya dengan laporan
keuangan entitas syariah lain, Catatan atas Laporan Keuangan
biasanya disajikan dengan urutan sebagai berikut:
a. Pengungkapan tentang dasar pengukuran dan kebijakan
akuntansi yang diterapkan entitas syariah.
b. Informasi pendukung pos-pos laporan keuangan sesuai
urutan pos-pos tersebut disajikan dalam laporan keuangan
dan urutan penyajian komponen laporan keuangan.
c. Pengungkapan lain termasuk kontijensi, komitmen, dan
pengungkapan keuangan lainnya serta pengungkapan yang
bersifat non-keuangan.
84
F. Amandemen PSAK 101
Perkembangan Akuntansi Syariah menyebabkan harus selalu
ada penyesuaian terhadap aturan atau ketetapan yang berlaku agar
senantisa mengikuti perkembangan zaman dan perkembangan
transaksi. Pada tahun 2019 terjadi perubahan atau amandemen
terhadap PSAK 101 yang dilakukan oleh Dewan Standar Akuntansi
Syariah IAI pada tanggal 27 November 2019. Adapun poin-poin utama
yang mengalami perubahan adalah berkaitan dengan pemutakhiran
referensi pada PSAK lain dan penyajian laporan keuangan entitas
wakaf.
A. Pemutakhiran Referensi pada PSAK lain
Adanya pemutakhiran yang terjadi dalam referensi pada
PSAK lain di dalam PSAK 101 dikarenakan adanya PSAK 71
tentang Instrumen Keuangan menggantikan PSAK 55 tentang
Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran dan PSAK 72
tentang Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan PSAK 23
tentang Pendapatan. PSAK tersebut mulai berlaku secara efektif
pada tanggal 1 Januari 2020, beberapa paragraf yang terdapat
dalam PSAK 101 mengacu pada PSAK 55 dan PSAK 23. Adapun
lingkup amandemennya adalah sebagai berikut:

Sebelum Sesudah

Paragraf 07 Paragraf 07

... ...

keuntungan dan kerugian dari keuntungan dan kerugian


pengukuran kembali aset investasi pada instrumen
keuangan yang dikategorikan ekuitas yang dikategorikan
sebagai “tersedia untuk dijual” sebagai “diukur pada nilai
(lihat PSAK 55: Instrumen wajar melalui penghasilan
Keuangan: Pengakuan dan komprehensif lain” (lihat
Pengukuran);

85
... PSAK 71: Instrumen
Keuangan);

...

Paragraf 33 Paragraf 33

PSAK 23: Pendapatan PSAK 72: Pendapatan dari


mendefinisikan pendapatan Kontrak dengan Pelanggan
dan mensyaratkan untuk mendefinisikan pendapatan
mengukurnya berdasarkan dan mensyaratkan untuk
nilai wajar dari jumlah yang mengukurnya berdasarkan
diterima atau akan diterima, nilai wajar dari jumlah yang
dengan memperhitungkan diterima atau akan diterima,
jumlah potongan dagang dan dengan memperhitungkan
rabat volume yang jumlah potongan dagang dan
diperbolehkan. rabat volume yang
diperbolehkan.

B. Penyajian Laporan Keuangan Entitas Wakaf


Amendemen PSAK 101 terkait penyajian laporan
keuangan entitas wakaf dilakukan untuk memperjelas penyajian
penerimaan wakaf temporer berupa uang dalam ‘laporan aktivitas’
entitas wakaf. Amandemen ini memberikan gambaran yang lebih
jelas bahwa penerimaan wakaf temporer berupa uang tidak
disajikan dalam ‘laporan aktivitas’ entitas wakaf. ‘Laporan aktivitas’
entitas wakaf setelah revisi menjadi menjadi sebagai berikut:

86
Entitas Wakaf
LAPORAN AKTIVITAS
Periode 1 Januari s.d 31 Desember 20xx
PENGHASILAN
Penerimaan Wakaf
Kas Rp. xxx.xxx
Surat Berharga Rp. xxx.xxx
Logam Mulia Rp. xxx.xxx
Bangunan Rp. xxx.xxx
Kendaraan Rp. xxx.xxx
Tanaman Rp. xxx.xxx
Hak Atas Tanah Rp. xxx.xxx
Hak Milik Rumah Susun Rp. xxx.xxx
Hak Kekayaan Intelektual Rp. xxx.xxx
Hak Sewa Rp. xxx.xxx
Lain-lain Rp. xxx.xxx

Dampak Pengukuran Ulang Aset Wakaf


Kas Rp. xxx.xxx
Surat Berharga Rp. xxx.xxx
Logam Mulia Rp. xxx.xxx
Bangunan Rp. xxx.xxx
Kendaraan Rp. xxx.xxx
Tanaman Rp. xxx.xxx
Hak Atas Tanah Rp. xxx.xxx
Hak Milik Rumah Susun Rp. xxx.xxx
Hak Kekayaan Intelektual Rp. xxx.xxx
Hak Sewa Rp. xxx.xxx
Lain-lain Rp. xxx.xxx

Pengelolaan dan Pengembangan Aset Wakaf


Bagi Hasil Rp. xxx.xxx
Dividen Rp. xxx.xxx
Keuntungan Neto Pelepasan Inbestasi Rp. xxx.xxx
Kenaikan atau Penurunan Nilai Investasi Rp. xxx.xxx
Beban Pengelolaan dan Pengembangan (Rp. xxx.xxx)

87
Bagian Nazhir atas Hasil Pengelolaan dan (Rp. xxx.xxx)
Pengembangan Wakaf yang Sudah Terealisasi
Jumlah Penghasilan Rp. xxx.xxx

BEBAN
Kegiatan Ibadah (Rp. xxx.xxx)
Kegiatan Pendidikan (Rp. xxx.xxx)
Kegiatan Kesehatan (Rp. xxx.xxx)
Bantuan Fakir Miskin, Anak Terlantar, Yatim (Rp. xxx.xxx)
Piatu dan Beasiswa
Kegiatan Ekonomi Umat (Rp. xxx.xxx)
Kegiatan Kesejahteraan Umum Lain (Rp. xxx.xxx)
Jumlah Beban (Rp. xxx.xxx)

KENAIKAN (PENURUNAN) ASET Rp. xxx.xxx


NETO
ASET NETO AWAL PERIODE Rp. xxx.xxx
ASET NETO AKHIR PERIODE Rp. xxx.xxx

88
BAB VI PENGHIMPUNAN DANA DI BANK
SYARIAH

A. Pendahuluan
Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul
karimah dan pengetahuan tentang seluk beluk akuntansi Syariah
hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana)
muamalah itu. Kegiatan akuntansi syariah ini sangat banyak salah satu
diantaranya adalah penghimpunan dana, sebagai salah satu bentuk
aktifitas ekonomi, pengimpunan dana menjadi hal yang amat sering
dilakukan oleh Bank Syariah dalam berbagai transaksi ekonomi demi
memenuhi kebutuhan.
Penghimpunan dana dalam Islam selain dilakukan oleh
masyarakat secara ’urf, juga dapat ditemukan dasar-dasarnya secara
syari’ah sebagaimana ditemukan aktifitas penghimpunan dana yang
direkam dan dijustifikasi oleh al-Qur’an, al-Hadis, dan juga telah
menjadi ijma ulama’. Seiring perkembangan zaman, penghimpunan
dana pun mengalami perkembangan dan modifikasi sebagaimana
terlihat dalam aktifitas ekonomi modern bersangkut paut dengan
penerapannya dalam masyarakat secara langsung maupun melalui dunia
perbankan dalam rangka memenuhi kebutuhan dengan tetap berada
dalam bingkai syari’ah.
Produk penghimpunan dana yang ada dalam setiap perbankan
baik konvensional maupun Syariah biasanya adalah Tabungan, Giro
dan Deposito. Namun dalam kaidah Ekonomi Islam setiap produk
terikat dengan akad (kontrak) di dalamnya. Dalam bab ini selain
menerangkan tentang kaidah Syariah berkaitan dengan penghimpunan
dana di bank Syariah juga akan dibahas tentang perlakuan akuntansi
terhadap penghimpunan dana yang terjadi dalam Bank Syariah.

89
B. Penghimpunan Dana dalam Perspektif Bank Syariah
Kegiatan utama perbankan adalah menghimpun dan
menyalurkan dana kembali pada masyarakat. Definisi dari menghimpun
dana yaitu mengumpulkan atau mencari dana dengan dari masyarakat
luas dalam bentuk simpanan giro, tabungan, ataupun deposito.
Penghimpunan dana dari masyarakat ini dilakukan bank melalui
berbagai strategi dengan tujuan agar masyarakat tertarik dan mau
menyimpan dananya melalui lembaga keuangan bank.
Penghimpunan dana adalah seluruh kegiatan penghimpunan
dan penerimaan dana pihak ketiga oleh Bank Syariah berupa Tabungan,
deposito dan pembiayaan yang diterima serta dana sosial berupa zakt,
infaq, shadaqah, waqaf dan hibah (ziswah) (Muhammad, 2000).
Secara umum penghimpunan dana masyarakat diperbankan
syariah menggunakan produk yang sama dengan penghimpunan dana
pada perbankan konvensional, yaitu produk giro, tabungan, dan
deposito. Ketiga jenis instrumen ini biasa disebut dengan istilah Dana
Pihak Ketiga (DPK). Kendati menggunakan produk yang sama,
mekanisme kerja masing-masing produk penghimpunan pada bank
syariah berbeda dengan produk penghimpunan bank konvensional.
Ketiga produk yang digunakan pada Bank Syariah dikenal dengan
istilah Dana Syirkah Temporer (DST). Perbedaan yang mendasar dari
mekanisme kerja produk penghimpunan dana pada Bank Syariah
terletak pada tidak adanya bunga yang lazim digunakan oleh Bank
Konvensional dalam memberikan keuntungan kepada nasabah.
Ketentuan tentang larangan haramnya menggunakan mekanisme
bunga bagi bank syariah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN) dalam fatwa DSN Nomor 1 tentang Giro, Nomor 2 tentang
Tabungan, dan Nomor 3 tentang Deposito. (Rizal Yaya dkk, 2015)
Transaksi bunga dalam perbankan menurut sebagian besar
ulama dikategorikan sebagai transaksi riba. Larangan terhadap transaksi
yang mengandung riba sudah sangat jelas disampaikan dalam Al-
Quran, Allah SWT berfirman:

90
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.”(Q.S Al-Imran:130)
Pada masing-masing fatwa tentang produk penghimpunan
dana tersebut, juga difatwakan mekanisme alternatif yang dibenarkan
prinsip syariah. Berdasarkan fatwa DSN Nomor 1 tahun 2000 tentang
Giro, disebutkan bahwa mekanisme giro yang dibenarkan berdasarkan
prinsip syariah adalah giro yang berdasarkan akad mudharabah dan
wadiah. Selanjutnya, berdasarkan fatwa DSN Nomor 2 Tahun 2000
tentang Tabungan. Mekanisme tabungan yang dibenarkan bagi Bank
Syariah adalah tabungan yang berdasarkan akad mudharabah dan
wadiah. Adapun untuk deposito, dinyatakan dalam fatwa DSN Nomor
3 Tahun 2000, bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang
berdasarkan akad mudharabah. Oleh karena mekanisme
penghimpunan dana pihak ketiga hanya mengenal dua jenis, yaitu
wadiah (titipan) dan mudharabah (bagi hasil).

C. Produk Penghimpunan Dana di Bank Syariah


Penghimpunan dana atau Dana Syirkah Temporer di Bank
Syariah layaknya seperti Dana Pihak Ketiga yang terdapat pada Bank
Konvensional, Produk penghimpunan dari masyarakat/nasabah yang
disimpan dan dikelola oleh Bank Syariah antara lain:
1. Tabungan
Tabungan adalah jenis simpanan yang penarikannya dapat
dilakukan melalui syarat-syarat tertentu, serta dapat dilakukan setiap
saat melalui kantor bank, Automatic Teller Machine (ATM), dan kartu
debet (Ade Arthesa dan Edita Handiman, 2009). Tabungan
merupakan jenis penghimpunan dana yang sangat dikenal oleh
masyarakat, karena semenjak sekolah dasar anak-anak sudah
diperkenalkan dengan produk perbankan ini, meskipun hanya lewat
menabung di sekolah.

91
Tabungan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat
ditarik dengan cek, bilyet giro, dan /atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu. Mekanisme tabungan yang dibenarkan
oleh DSN bagi bank syariah adalah tabungan yang berdasarkan
prinsip mudharabah dan wadiah. Tabungan mudharabah harus
mengikuti ketentuan mudharabah yang ditetapkan DSN, sedang
tabungan wadiah harus mengikuti ketentuan wadiah yang
difatwakan DSN. Dalam praktik perbankan syariah di Indonesia,
sebagian besar bank Syariah menggunakan skema tabungan
mudharabah. (Rizal Yaya dkk, 2015)
Tabungan wadiah adalah titipan nasabah kepada bank syariah
yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang
disepakati dengan menggunakan kuitansi, kartu ATM, sarana
perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara pemindahbukuan.
Sedangkan tabungan mudharabah adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang
disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang
dipersamakan dengan itu. Perbedaan tabungan wadiah dengan
tabungan mudharabah terletak pada tiga aspek, yaitu sifat dana,
insentif, dan pengambilan dana.
Sifat dana pada tabungan wadiah bersifat titipan, sedang sifat
dana pada tabungan mudharabah bersifat investasi. Insentif pada
tabungan wadiah berupa bonus yang tidak disyaratkan dimuka dan
bersifat sukarela jika bank hendak memberikannya. Adapun insentif
pada tabungan mudharabah adalah berupa bagi hasil yang wajib
diberikan oleh bank jika memperoleh pendapatan atau laba pada
setiap periode yang disepakati (biasanya satu bulan) kepada
penabung sesuai dengan nisbah yang disepakati. Dalam hal
pengambilan dana, tabungan wadiah dijamin akan dikembalikan
semua oleh bank, tetapi pada tabungan mudharabah tidak dijamin
dikembalikan semua. Tidak dijaminnya pengembalian tabungan
mudharabah terkait dengan prinsip mudharabah yang menyatakan
92
bahwa kerugian usah ditanggung seluruhnya oleh shohibul maal
sepanjang kerugian tidak disebabkan oleh kelalaian mudharib.
Kendati secara teori dimungkinkan menanggung kerugian bank
syariah, dalam praktik, nasabah tabungan mudharabah hampir tidak
pernah mengalami hal demikian, kecuali bank syariah tersebut
mengalami kebangkrutan. Hal ini disebabkan karena dalam
membagi hasil dengan nasabah tabungan mudharabah, bank syariah
umumnya menggunakan metode revenue sharing.
Beberapa ahli perbankan syariah menambahkan perbedaan lain
tabungan wadiah dengan tabungan mudharabah, yaitu pada waktu
penarikan. Berdasarkan pada waktu penarikan, tabungan wadiah
dapat dilakukan sewaktu-waktu, sedangkan tabungan mudharabah
hanya dapat dilakukan pada periode atau waktu tertentu. Akan
tetapi, pandangan ini tidak disepakati oleh semua ulama, termasuk
oleh DSN MUI.
Berdasarkan fatwa DSN Nomor 2 tahun 2000 tentang
tabungan, disebutkan ketentuan tentang tabungan Wadi’ah adalah
sebagai berikut:
a) Bersifat simpanan.
b) Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasar-kan
kesepakatan.
c) Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk
pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Berdasarkan fatwa DSN Nomor 2 tahun 2000 tentang
tabungan, disebutkan ketentuan tentang tabungan mudharabah
adalah sebagai berikut.
a) Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shohibul maal
atau pemilik dana dan bank bertindak sebagai mudharib atau
pengelola dana.
b) Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan
berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah dan mengembangkannya, termasuk melakukan
mudharabah dengan pihak lain.

93
c) Modal harus dinyatakan jumlahnya dalam bentuk tunai dan
bukan piutang.
d) Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah
dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
e) Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan
dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
f) Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan
nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
2. Giro
Rekening giro adalah jenis simpanan nasabah yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek
untuk penarikan tunai atau bilyet untuk pemindahbukuan antar
rekening (Ade Arthesa dan Edita Handiman, 2009). Giro sangat
bermanfaat bagi masyarakat yang melakukan yang melakukan
aktivitas usaha, karena pemegang rekening giro akan banyak
mendapatkan kemudahan dalam melakukan transaksi usahanya.
Pemilik rekening giro dapat dengan mudah melakukan transaksi
bisnisnya dengan media pembayaran yang ditentukan dalam
simpanan giro yaitu cek atau bilyet giro.
Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998
mendefinisikan simpanan giro sebagai simpanan yang penarikannya
dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro,
sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara
pemindahbukuan.
Seperti halnya tabungan, dalam teori Ekonomi Islam
mekanisme giro yang dibenarkan dalam Perbankan Syariah juga ada
dua jenis, yaitu giro wadiah dan giro mudharabah. Namun dalam
praktik yang terjadi di Perbankan Syariah hanya giro wadiah yang
umum digunakan.
Giro wadiah adalah giro yang harus mengikuti fatwa DSN
tentang wadiah. Akad wadiah adalah akan penitipan dana dengan
ketentuan penitip dana mengizinkan kepada bank untuk
memanfaatkan dana yang dititipkan tersebut dan bank wajib
mengembalikan apabila sewaktu-waktu penitip mengambil dana
94
tersebut. Nasabah bertindak sebagai penitip dana (mudi’) dan bank
bertindak sebagai penerima dana titipan (muda’). Bank berkewajiban
menjaga dana titipan dan bertanggung jawab atas pengembaliannya
bila sewaktu-waktu ditarik oleh nasabah pemilik dan titipan.
Keuntungan atas pengelolaan dana titipan tersebut menjadi
milik bank, karena hakikat wadiah adalah qardh dan pada prinsipnya
tidak ada bonus yang diberikan oleh bank kepada pemilik dana
wadiah. Kendati demikian, bank syariah diperbolehkan memberikan
bonus sukarela kepada pemilik dana wadiah, dengan syarat tidak
diperjanjikan di muka. (Rizal Yaya, 2015)
Ketentuan Umum Giro berdasarkan Wadi'ah menurut fatwa
DSN Nomor 1 tahun 2000 adalh sebagai berikut:
a) Bersifat titipan.
b) Titipan bisa diambil kapan saja (on call).
c) Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk
pemberian ('athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Mekanisme giro yang kedua adalah giro mudaharabah, giro
mudaharabah merupakan instrument penghimpunan dana melalui
produk giro yang menggunakan akad mudharabah. Giro
mudharabah harus mengikuti fatwa DSN tentang mudharabah.
Akad mudharabah adalah akad yang digunakan dalam perjanjian
antar pihak penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan
kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara
kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya.
Dalam giro wadiah insentif yang diterima adalah bonus giro
wadiah yang bersifat sukarela dan tidak disyaratkan dimuka.
Adapun insentif yang diterima nasabah giro mudharabah adalah
bagi hasil dalam persentase tertentu yang harus dibayar oleh bank
secara periodik sesuai dengan tingkat keuntungan bank syariah.
(Rizal Yaya, 2015)
Ketentuan Umum Giro berdasarkan mudharabah menurut
fatwa DSN Nomor 1 tahun 2000 adalh sebagai berikut:

95
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul
maal atau pemilik dana, dan bank bertindak
sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan
berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip
syari'ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya
mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai
dan bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah
dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan
nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
3. Deposito
Deposito atau dikenal juga dengan istilah simpanan berjangka
menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
adalah simpanan berjangka yang penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara
nasabah penyimpan dana dengan bank. Penarikan deposito sesuai
dengan perjanjian antara pemilik deposito dengan bank berdasarkan
jangka waktu yang disepakati. Deposito yang mempunyai jangka
waktu 1 bulan, artinya penarikannya hanya bisa dilakukan setelah 1
bulan. Sebagai contoh nasabah yang menyimpan uang dalam bentuk
deposito pada tanggal 20 September 2018, maka deposito tersebut
hanya dapat diambil pada saat jatuh temponya yaitu pada tanggal 20
Oktober 2018.
Deposito dibagi menjadi deposito berjangka dan sertifikat
deposito. Deposito berjangka merupakan simpanan atas nama.
Dengan demikian simpanan ini hanya dapat dicairkan oleh pemilik
deposito atau yang namanya tercantum dalam deposito tersebut.
Sedangkan sertifikat deposito adalah simpanan berjangka atas
pembawa atau atas unjuk dimana bukti simpanan ini dapat
96
diperjualbelikan atau dipindah tangankan ke pihak ketiga. Selain
kedua jenis simpanan tersebut, dikenal pula deposit on call (DOC)
yaitu berupa simpanan yang tetap berada di bank selama nasabah
tidak membutuhkannya. (Ade Arthesa dan Edita Handiman, 2009)
Deposito mudharabah adalah simpanan dana dengan skema
pemilik dana (shohibul maal) mempercayakan dananya untuk dikelola
bank (mudharib) dengan hasil yang diperoleh dibagi antara pemilik
dana dan bank dengan nisbah yang disepakati sejak awal. Dalam
transaksi penyimpanan deposito mudharabah, bank wajib
memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata
cara pemberian keuntungan dan/atau perhitungan distribusi
keuntungan serta risiko yang dapat timbul dari deposito tersebut.
Periode penyimpanan dana biasanya didasarkan pada periode
bulan. Deposito mudharabah hanya dapat ditarik sesuai dengan waktu
yang disepakati. Adapun pembayaran bagi hasil kepada pemilik dana
deposito mudharabah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
dilakukan setiap ulang tanggal pembukaan deposito mudharabah atau
dilakukan setiap akhir bulan atau awal bulan berikutnya tanpa
memperhatikan tanggal pembukaan deposito mudharabah.
Menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, deposito adalah investasi dana berdasarkan akad
mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu
tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank
syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS). Fatwa DSN Nomor 3
Tahun 2000 menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan dalam
syariah adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.
Dalam transaksi deposito mudharabah, nasabah bertindak sebagai
pemilik dana (shahibul mal) dan bank bertindak sebagai pengelola
dana (mudharib). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat
melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk bermudharabah
dengan pihak lain.

97
Modal yang didepositokan harus dinyatakan dalam bentuk
tunai dan bukan piutang. Adapun pembagian piutang harus
dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam pembukaan
rekening. Sebagai mudharib, bank menutup biaya operasional
deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi
haknya dan bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah
keuntungan yang menjadi haknya dan bank tidak diperkenankan
mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah
yang bersangkutan.
Siklus kegiatan deposito dimulai dari transaksi pembukaan
deposito oleh nasabah. Pada saat itu, antara nasabah dan bank sudah
menyepakati nisbah bagi hasil dasar dan jangka waktu deposito
(tanggal pencarian deposito). Selama jangka waktu deposito, saldo
deposito bersifat tetap, karena pengambilan atau penambahan
deposito hanya dilakukan saat jatuh tempo atau saat penutupan jika
ingin diambil sebelum jatuh tempo, bagi hasil yang diterima oleh
nasabah dimasukkan kerekening yang lain, dan pajak yang mesti
dibayar langsung diambil dari bagi hasil yang akan diberikan kepada
nasabah. (Rizal Yaya dkk, 2015)

D. Perlakuan Akuntansi untuk Penghimpunan Dana di


Bank Syariah
1. Akuntansi Tabungan
a. Akuntansi Tabungan Mudharabah
Tabungan yang dimiliki oleh nasabah di sebuah Lembaga
keuangan bank dapat bertambah dan dapat pula berkurang,
berikut penjelasan beserta perlakuan akuntansi dalam setiap
transaksi yang terjadi tabungan mudharabah:
1) Transaksi pada saat Tabungan Mudharabah bertambah
Transaksi-transaksi yang dapat menyebabkan terjadinya
penambahan pada saldo rekening tabungan mudharabah
nasabah antara lain disebabkan karena adanya setoran tunai
nasabah, transfer dari kantor cabang lain ke rekening
98
nasabah, transfer dari bank lain ke rekening nasabah, dan
penerimaan bagi hasil mudharabah ke rekening nasabah.
Berikut ini adalah beberapa contoh transaksi yang terjadi
untuk Bank Syariah Nusantara (BNS) pada saat terjadinya
penambahan pada tabungan mudharabah nasabah.

Tabel 6.1
Transaksi saat tabungan mudharabah bertambah
Tanggal Transaksi
3 Agustus 2018 Penerimaan setoran tunai dari nasabah Bank Syariah
Nusantara (BSN) cabang Banjarmasin untuk pembukaan
tabungan mudharabah atas nama Naela sebesar Rp 5.000.000
8 Agustus 2018 Naela mendapat transfer dari Reza nasabah BSN cabang
Pontianak sebesar Rp 1.500.000
16 Agustus 2018 Naela menerima transfer uang dari Siti nasabah Bank Gema
Syariah (BGS) sebesar Rp 2.700.000
30 Agustus 2018 Bagi hasil tabungan mudharabah yang diterima Naela dari
BSN sebesar Rp 31.000

Tabel 6.2
Jurnal untuk transaksi saat tabungan mudharabah bertambah
Tanggal Transaksi Debit Kredit
(Rp) (Rp)
03-08-18 Kas 5.000.000
Tabungan Mudharabah - Naela 5.000.000
08-08-18 RAK* Cabang Pontianak** 1.500.000
Tabungan Mudharabah - Naela 1.500.000
16-08-18 Giro Pada Bank Indonesia 2.700.000
Tabungan Mudharabah – Naela 2.700.000
30-08-18 Hak pihak ketiga atas bagi hasil 31.000
Tabungan Mudharabah – Naela 31.000

99
*RAK=Rekening Antar Kantor

** RAK juga dicatat pada bank cabang pengirim


Untuk transaksi yang bersifat transfer antarkantor, dalam
praktik perbankan biasa digunakan rekening sementara
dengan nama rekening antarkantor (RAK), seperti dapat
dilihat pada jurnal transaksi tanggal 8 Agustus 2018. Adapun
untuk transaksi yang melibatkan transaksi dengan bank yang
berbeda, biasanya diselesaikan dalam mekanisme yang
difasilitasi oleh Bank Indonesia atau pihak yang ditunjuk
oleh Bank Indonesia. Mekanisme ini biasa disebut dengan
kliring. Pada transaksi kliring, semua penerimaan dari atau
pembayaran kepada bank lain dilakukan melalui rekening
giro pada Bank Indonesia, seperti yang terlihat pada jurnal
transaksi tanggal 16 Agustus 2018.
2) Transaksi pada saat Tabungan Mudharabah berkurang
Transaksi-transaksi yang dapat menyebabkan terjadinya
pengurangan pada saldo rekening tabungan mudharabah
nasabah antara lain disebabkan karena adanya penarikan
tunai nasabah, transfer ke kantor cabang lain dari rekening
nasabah, transfer ke bank lain dari rekening nasabah, dan
penarikan biaya administrasi tabungan, pajak dan lainnya
oleh bank terhadap rekening nasabah.
Berikut ini adalah beberapa contoh transaksi yang terjadi
untuk Bank Syariah Nusantara (BNS) pada saat terjadinya
pengurangan pada tabungan mudharabah nasabah.

100
Tabel 6.3
Transaksi saat tabungan mudharabah berkurang
Tanggal Transaksi
5 Agustus 2018 Naela seorang nasabah Bank Syariah Nusantara (BSN)
cabang Banjarmasin menarik tunai tabungan
mudharabahnya sebesar Rp 3.200.000
15 Agustus 2018 Naela mengirim uang untuk kerabatnya sebesar Rp
1.200.000 dari rekeningya ke rekening tabungan kerabatnya
nasabah BSN cabang Balikpapan
20 Agustus 2018 Naela mentransfer uang sebesar Rp. 700.000 untuk
pembayaran online shop dari rekeningnya ke rekening nasabah
Bank Merdeka Syariah (BSN).
31 Agustus 2018 Tabungan Mudharabah Naela mendapat potongan untuk
administrasi tabungan sebesar Rp. 7.000 dan pajak sebesar
Rp. 6.200 (20% dari bagi hasil yang diterima sebesar Rp.
31.000 dari kasus transaksi pada tabel 4.1 di atas)

Tabel 6.4
Jurnal untuk transaksi saat tabungan mudharabah berkurang
Tanggal Transaksi Debit Kredit
(Rp) (Rp)
05-08-18 Tabungan Mudharabah - Naela 3.200.000
Kas 3.200.000
10-08-18 Tabungan Mudharabah - Naela 1.200.000
RAK* Cabang Balikpapan** 1.200.000
15-08-18 Tabungan Mudharabah – Naela 700.000
Giro Pada Bank Indonesia 700.000
31-08-18 Tabungan Mudharabah – Naela 7.000
Pendapatan administrasi tab. Mudharabah 7.000
Tabungan Mudharabah – Naela
Titipan kas negara – pajak tabungan* 6.200 6.200

101
* pajak PPh pasal 4 (2) atas bunga atau pendapatan yang dapat disamakan
dengan itu (bagi hasil atau bonus dalam transaksi perbankan syariah) adalah
sebesar 20 % dan dimasukkan dalam rekening titipan kas negara.

b. Akuntansi Tabungan Wadiah


Perbedaan akuntansi tabungan wadiah dengan
tabungan mudharabah adalah dalam hal insentif yang diterima
oleh nasabah. Insentif yang diberikan kepada nasabah tabungan
mudharabah disebut dengan hak pihak ketiga atas bagi hasil
yang dihitung dalam persentase tertentu yang harus dibayar
oleh bank secara periodik sesuai dengan tingkat keuntungan
bank syariah. Adapun nasabah tabungan wadiah, menerima
insentif dalam bentuk bonus wadiah yang bersifat sukarela dan
tidak disyaratkan dimuka.
Berdasarkan ilustrasi jurnal pada PAPSI 2013 (hal 11.2),
transaksi pembayaran pajak terhadap bonus wadiah, langsung
mengurangi bonus wadiah.
Berikut ini adalah contoh transaksi yang terjadi untuk
Bank Syariah Nusantara (BSN) pada saat terjadinya
penambahan pada tabungan wadiah nasabah dikarenakan
mendapatkan bonus dari Bank Syariah dan transaksi pada saat
terjadinya pengurangan pada tabungan wadiah nasabah
dikarenakan pembayaran pajak.
Misalkan pada tanggal 5 Januari 2018, Aisya nasabah
tabungan wadiah Bank Syariah Nusantara (BSN), menerima
bonus wadiah sebesar Rp 25.000. dan dipotong pajak Rp. 5.000,
Maka jurnalnya adalah sebagai berikut:

102
Tabel 6.5
Jurnal untuk transaksi tabungan wadiah
Tanggal Transaksi Debit (Rp) Kredit
(Rp)
05-01-18 Beban Bonus Tabungan Wadiah 25.000
Tabungan Wadiah – Aisya 20.000
Titipan Kas Negara – Pajak Tabungan 5.000

Akan tetapi dalam praktiknya, Bank Syariah cenderung


melaporkan jumlah total bonus yang diberikan buku tabungan,
sehingga jurnalnya menjadi sebagai berikut:

Tabel 6.6
Jurnal untuk transaksi tabungan wadiah dalam praktik perbankan
Tanggal Transaksi Debit Kredit
(Rp) (Rp)
05-01-18 Beban Bonus tabungan wadiah 25.000
Tabungan Wadiah – Aisya 20.000
Tabungan Wadiah – Aisya 5.000
Titipan Kas Negara – Pajak Tabungan 5.000

2. Akuntansi Giro
a. Akuntansi Giro Wadiah
Giro wadiah adalah giro yang harus mengikuti fatwa
DSN tentang wadiah. Akad wadiah adalah akan penitipan dana
dengan ketentuan penitip dana mengizinkan kepada Lembaga
keuangan bank untuk memanfaatkan dana yang dititipkan
tersebut dan bank wajib mengembalikan apabila sewaktu-waktu
penitip mengambil dana tersebut. Nasabah bertindak sebagai
penitip dana (mudi’) dan bank bertindak sebagai penerima dana
titipan (muda’). Bank berkewajiban menjaga dana titipan dan

103
bertanggung jawab atas pengembaliannya bila sewaktu-waktu
ditarik oleh nasabah pemilik dan titipan.
Keuntungan atas pengelolaan dana titipan tersebut
menjadi milik bank, karena hakikat wadiah adalah qardh dan
pada prinsipnya tidak ada bonus yang diberikan oleh bank
kepada pemilik dana wadiah. Kendati demikian, bank syariah
diperbolehkan memberikan bonus sukarela kepada pemilik
dana wadiah, dengan syarat tidak diperjanjikan dimuka.
1) Transaksi pada saat Giro Wadiah bertambah
Rekenig giro wadiah seorang nasabah dapat
bertambah karena beberapa hal, antara lain melalui
transaksi penyetoran tunai, transfer dari tabungan maupun
giro cabang lain dari bank yang sama, penerimaan cek dari
nasabah bank lain yang diuangkan oleh nasabah suatu
bank, dan penerimaan bonus giro wadiah dari bank syariah.
Berikut ini adalah beberapa contoh transaksi yang
terjadi untuk Bank Syariah Nusantara (BNS) pada saat
terjadinya penambahan pada rekening giro wadiah
nasabah.
Tabel 6.7
Transaksi saat giro wadiah bertambah
Tanggal Transaksi
1 Juni 2018 Sari membuka rekening giro wadiah pada Bank Syariah
Nusantara (BSN) cabang Banjarmasin dengan menyetorkan
dana tunai sebesar Rp. 55.000.000
12 Juni 2018 Sari menerima transfer dana ke rekeningnya dari BSN cabang
Semarang sebesar Rp.10.000.000
19 Juni 2018 Sari menerima bilyet giro dari nasabah Bank Gema Syariah
(BGS) atas penjualan barang seharga Rp3.000.000. Bilyet giro
tersebut dicairkan oleh Sari ke BSN untuk dimasukan ke
rekening giro wadiah Sari di BSN.

104
28 Juni 2018 BSN memberikan bonus giro wadiah kepada Sari sebesar Rp
20.000

Tabel 6.8
Jurnal untuk transaksi saat giro wadiah bertambah
Tanggal Transaksi Debit (Rp) Kredit (Rp)
Kas 55.000.000
01-06-18
Giro Wadiah - Sari 55.000.000
RAK Cabang Semarang 10.000.000
12-06-18
Giro Wadiah – Sari 10.000.000
Giro Pada Bank Indonesia 3.000.000
19-06-18
Giro Wadiah – Sari 3.000.000
Beban Bonus Giro Wadiah 20.000
28-06-18
Giro Wadiah - Sari 20.000

2) Transaksi pada saat Giro Wadiah berkurang


Transaksi-transaksi yang dapat mengakibatkan
berkurangnya saldo rekening giro wadiah seorang nasabah
antara lain adalah karena penarikan cek oleh nasabah giro
wadiah untuk ditukar secara tunai, penarikan bilyet giro
untuk ditransfer kecabang lain bank yang sama atau ke
nasabah bank lain, serta potongan administrasi dan pajak
tabungan.
Berikut ini adalah beberapa contoh transaksi yang
terjadi untuk Bank Syariah Nusantara (BNS) pada saat
terjadinya pengurangan pada rekening giro wadiah
nasabah.

105
Tabel 6.9
Transaksi saat giro wadiah berkurang
Tanggal Transaksi
2 Juni 2018 Sari menggunakan cek untuk mencairkan dana dari
rekening giro wadiahnya di Bank Syariah Nusantara
(BSN) secara tunai sebesar Rp. 2.500.000
13 Juni 2018 Sari menggunakan bilyet giro untuk mentransfer
sejumlah dana kepada nasabah giro Wadiah BSN
cabang Bandung sebesar Rp. 11.000.000
20 Juni 2018 Sari membeli sebuah mesin untuk usahanya seharga
Rp. 21.000.000 dan melakukan pembayaran dengan
menggunakan bilyet giro kepada nasabah giro bank
lain.
29 Juni 2018 Untuk administrasi, rekening giro wadiah Sari
dipoting sebesar Rp. 25.000 dan untuk pajak sebesar
Rp 4.000 (20% dari bonus giro wadiah yang diterima
sebesar Rp 20.000 seperti yang sudah dicatat pada
kasus yang ada pada table 5.6)

Tabel 6.10
Jurnal untuk transaksi saat giro wadiah berkurang
Tanggal Transaksi Debit (Rp) Kredit (Rp)
Giro Wadiah - Sari 2.500.000
02-06-18
Kas 2.500.000
Giro Wadiah - Sari 11.000.000
13-06-18
RAK Cabang Bandung 11.000.000
Giro Wadiah – Sari 21.000.000
20-06-18
Giro Pada Bank Indonesia 21.000.000
29-06-18 Giro Wadiah – Sari 25.000

106
Pendapatan Administrasi giro wadiah 25.000
Giro Wadiah – Sari 4.000
Titipan Kas Negara – Pajak Giro 4.000

b. Akuntansi Giro Mudharabah


Giro mudharabah merupakan instrument penghimpunan
dana melalui produk giro yang menggunakan akad
mudharabah. Giro mudharabah harus mengikuti fatwa DSN
tentang mudharabah. Akad mudharabah adalah akad yang
digunakan dalam perjanjian antar pihak penanam dana dan
pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu,
dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Perlakuan akuntansi untuk giro mudharabah pada
prinsipnya tidak memiliki perbedaan dengan akuntansi untuk
rekening giro wadiah. Perbedaan antara giro mudharabah
dengan giro wadiah hanya terletak pada insentif/keuntungan
yang diterima nasabah. Dalam produk giro wadiah insentif yang
diterima berupa bonus giro wadiah yang sifatnya sukarela dan
tidak disyaratkan dimuka. Sedangkan untuk nasabah giro
mudharabah insentif yang diterima adalah dalm bentuk bagi
hasil dalam persentase tertentu yang harus dibayar oleh bank
secara periodik sesuai dengan tingkat keuntungan bank syariah.
Berikut ini adalah contoh transaksi yang terjadi untuk
giro mudharabah nasabah BSN pada saat terjadinya
penambahan dan transaksi pada saat terjadinya pengurangan
pada giro mudharabah nasabah BSN. Misalkan, pada tanggal 15
Juni 2018 Fatih, nasabah giro mudharabah BSN, menerima
imbalan bagi hasil atas rekening gironya sebesar Rp 30.000
disertai dengan potongan pajak sebesar 20%. Dengan demikian,
jurnalnya adalah sebagai berikut:

107
Tabel 6.11
Jurnal untuk transaksi giro mudharabah
Tanggal Transaksi Debit (Rp) Kredit (Rp)

05-01-18 Hak Pihak Ketiga atas Bagi Hasil 30.000


Giro Mudharabah – Aisya 30.000
Giro Mudharabah – Aisya 6.000
Titipan Kas Negara – Pajak Giro 6.000

3. Akuntansi Deposito
Menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, deposito adalah investasi dana berdasarkan akad
mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu
tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank
syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS). Fatwa DSN Nomor 3
Tahun 2000 menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan dalam
syariah adalah hanya deposito yang berdasarkan prinsip
mudharabah. Dalam transaksi deposito mudharabah, nasabah
bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal) dan bank bertindak
sebagai pengelola dana (mudharib). Dalam kapasitasnya sebagai
mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya,
termasuk bermudharabah dengan pihak lain.
Modal yang didepositokan harus dinyatakan dalam bentuk
tunai dan bukan piutang. Adapun pembagian piutang harus
dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam pembukaan
rekening. Sebagai mudharib, bank menutup biaya operasional
deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi
haknya dan bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah
keuntungan yang menjadi haknya dan bank tidak diperkenankan
mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah
yang bersangkutan.

108
Transaksi rekening deposito dimulai dari transaksi untuk
pembukaan deposito oleh nasabah. Pada saat itu, nisbah bagi hasil
dasar dan jangka waktu deposito (tanggal pencarian deposito) sudah
disepakati oleh kedua belah pihak yaitu nasabah dan bank. Selama
jangka waktu deposito, saldo deposito bersifat tetap, karena
pengambilan atau penambahan deposito hanya dilakukan saat jatuh
tempo atau saat penutupan jika ingin diambil sebelum jatuh tempo,
bagi hasil yang diterima oleh nasabah dimasukkan kerekening yang
lain, dan pajak yang mesti dibayar langsung diambil dari bagi hasil
yang akan diberikan kepada nasabah.

E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi


Penghimpunan Dana
1. Penyajian
Penyajian akun yang berkaitan dengan transaksi
penghimpunan dana didasarkan pada akad yang digunakan.
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 5.13), terdapat beberapa akun yang
yang berkaitan dengan penghimpunan dana dengan akad
mudharabah disajikan sebagai berikut:
a. Dana mudharabah disajikan sebagai dana syirkah temporer
dengan memisahkan antara dana mudharabah yang berasal dai
bank dan yang berasal dari bukan bank.
b. Bagi hasil dana mudharabah yang sudah diperhitungkan dan
telah jatuh tempo tetapi belum diserahkan kepada nasabah
disajikan dalam pos kewajiban segera.
c. Bagi hasil dana mudharabah yang sudah diperhitungkan pada
akhir periode tetapi belum jatuh tempo disajikan dalam pos bagi
hasil yang belum dibagikan.
Untuk penghimpunan dengan skema wadiah, PAPSI 2013
(h. 11.2) menyatakan bahwa saldo simpanan wadiah disajikan
sebesar jumlah nominalnya untuk masing-masing bentuk simpanan.

109
2. Pengungkapan
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 5.14-15), untuk dana yang
dihimpun dengan skema mudharabah harus mengungkap antara
lain:
a. Isi kesepakatan utama akad mudharabah berupa porsi dana
dan pembagian hasil usaha.
b. Rincian dana mudharabah yang diterima berdasarkan:
1) Jenis mudharabah (mudharabah mutlaqah dan
mudharabah muqayadah).
2) Pemilik dana mudharabah (bank dan bukan bank).
3) Jenis mata uang dana mudharabah (rupiah dan valuta
asing).
c. Rincian dana mudharabah yang disalurkan berdasarkan:
1) Sumber dana mudharabah yang berasal dari mudharabah
mutlaqah dan mudharabah muqayadah.
2) Penerima dana mudharabah: Bank dan bukan Bank
Syariah.
3) Jenis mata uang yang digunakan: Rupiah dan valuta asing.
d. Pihak-pihak yang berelasi, baik nasabah (pemilik dana, shahibul
maal) atau nasabah penerima penyaluran dana mudharabah.
e. Jumlah simpanan yang diblokir untuk tujuan tertentu antara lain
sebagai jaminan pembiayaan dan atau transaksi perbankan
syariah lainnya.
Untuk penghimpunan dengan skema wadiah, PAPSI 2013
(h. 11.2) menyebutkan hal-hal yang harus diungkapkan antara lain:
a. Rincian simpanan, mengenai:
1) Jumlah dan jenis simpanan, termasuk pihak berelasi.
2) Jumlah simpanan yang diblokir untuk tujuan tertentu.
b. Pemberian fasilitas istimewa kepada penyimpan.

110
F. Latihan Kasus
Kasus 1 Buatlah jurnal untuk transaksi terkait dengan giro wadiah
berikut.
Bank Syariah Nasional (BSN) cabang Jakarta
melakukan pembukaan baru rekening giro wadiah atas
05 Jan 2020
nama Mandra sebesar Rp55.000.000 dan nasabah
tersebut melakukan penyetoran awal secara tunai.
Mandra melakukan pencairan danadalam rekening giro
06 Jan 2020 nya menggunakan cek dengan jumlah pencairan sebesar
Rp18.000.000.
Mandra mentransfer sejumlah dana ke rekening Hasan
nasabah tabungan BSN cabang Surabaya sebesar
07 Jan 2020
Rp7.000.000, pengiriman ini dilakukan oleh Mandra
dengan mengeluarkan bilyet giro.
Mandra mendapat tambahan dana ke dalam rekening
10 Jan 2020 gironya yang berasal dari BSN cabang Balikpapan
sebesar Rp5.000.000.
Mandra membeli sebuah mesin kepada PT Abigail
Sukma seharga Rp15.000.000. pembayaran dilakukan
15 Jan 2020 dengan mengeluarkan bilyet giro kepada PT Abigail
Sukma yang merupakan nasabah giro Bank Syariah
Budaya (BSB)
Mandra mendapatkan kiriman sebesar Rp5.000.000
20 Jan 2020
dari nasabah BSN cabang Banjarmasin.
Mandra menerima bilyet giro sejumlah Rp15.000.000
dari nasabah Bank Syariah Nasional (BSN) bernama
23 Jan 2020 Sulis yang pernah membeli sebuah barang dari Mandra.
Bilyet giro tersebut dicairkan ke dalam rekening giro
Mandra di BSN cabang Jakarta.
Mandra mendapatkan transfer ke dalam rekening giro
25 Jan 2020 Mandra dari BSN cabang Balikpapan sebesar
Rp12.000.000.

111
Bonus giro wadiah dari BSN sebesar Rp35.000 diterima
31 Jan 2020 oleh Mandra dari hasil simpanan giro wadiahnya pada
akhir bulan Januari 2020
Pembayaran administrasi sebesar Rp10.000 dan pajak
31 Jan 2020 sebesar Rp7.000 yang langsung dipotong dari rekening
giro wadiah Mandra

Kasus 2 Buatlah jurnal untuk transaksi terkait dengan transaksi


deposito mudharabah berikut.
Lulung melakukan setoran sebesar Rp20.000.000
kepada Bank Syariah Nasional (BSN) untuk
digunakan sebagai investasi deposito
01 Sep 2021
mudharabah jangka waktu satu bulan dengan
nisbah yang disepakati sebesar 60% untuk
nasabah dan 40% untuk BSN.
Beban bagi hasil yang akan dibayar untuk
kelompok deposito mudharabah adalah sebesar
25 Sep 2021
Rp35.000.000. Jumlah tersebut dihasilkan dari
perhitungan distribusi pendapatan.
BSN membayar hak bagi hasil atas deposito
mudharabah Sdr. Lulung sejumlah Rp80.000 dan
dipotong pajak sebesar 20% atas pembayaran
01 Okt 2021
pendapatan tersebut. Pembayaran bagi hasil
dilakukan ke rekening tabungan mudharabah atas
nama sdr. Lulung.
Sdr. Lulung melakukan pencairan secara tunai
01 Okt 2021
seluruh deposito mudharabahnya.

112
BAB VII PEMBIAYAAN DENGAN AKAD
MURABAHAH (PSAK 102)

A. Pendahuluan
Perkembangan lembaga keuangan syariah pada masa ini berjalan
sangat pesat, produk-produk yang ditawarkan kepada masyarakat pun
beraneka ragam. Mulai dari pembiayaan yang sifatya konsumtif,
produktif, multi jasa ataupun sosial. Walaupun secara umum produk
yang ditawarkan oleh bank syariah terkesan sama dengan bank
konvensional, namun produk-produk perbankan syariah disertai
dengan akad-akad yang disesuaikan dengan karakteristik pembiayaan
yang diberikan dan dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah
bagi hasil antara bank syariah dan nasabahnya, bukan berdasarkan
sistem bunga.
Pada bab ini membahas pembiayaan dengan akad yang menjadi
primadona dalam produk penyaluran dana di bank syariah, karena
merupakan pembiayaan dengan akad yang paling sering dilakukan, yaitu
pembiayaan dengan akad murabahah. Pembiayaan dengan akad
murabahah merupakan pembiayaan yang bersifat konsumtif yang
merupakan salah satu bentuk akad jual beli barang yang di kembangkan
oleh perbankan syariah. Perlakuan akuntansi untuk penyaluran dana
dengan akad murabahah secara khusus dan spesifik dibahas pada
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 102. Penjelasan
dalam PSAK 102 membahas tentang aturan mengenai pengakuan,
pengukuran, penyajian dan pengungkapannya.
Pada tahun 2019, tepatnya pada tanggal 10 Juli 2019 Dewan
Standar Akuntansi Syariah IAI telah mengesahkan Draft Eksposur
(DE) sebagai tanggapan dari adanya PSAK 71 tentang Instrumen
Keuangan yang telah berlaku efektif sejak 1 Januari 2020. DE PSAK
102 yang dikeluarkan tersebut mencakup: revisi PSAK 102 tentang
Akuntansi Murabahah; ISAK 101 tentang Pengakuan Pendapatan
Murabahah Tangguh Tanpa Risiko Signifikan Terkait Kepemilikan
113
Persediaan; dan ISAK 102 tentang Penurunan Nilai Piutang
Murabahah.

B. Definisi, Ketentuan Syar’i, Rukun dan Jenis Akad


Murabahah
1. Definisi Murabahah
Murabahah berasal dari kata ribbu yang artinya keuntungan.
Murabahah adalah upaya yang dilakukan untuk transfer of property
dan tingkat keuntungan bank yang telah ditentukan di depan
sehingga menjadi harga jual barang. Bank Syariah sebagai penjual
dan nasabah sebagai pembeli, kemudian barang akan diserahkan
segera dan pembayaran dilakukan secara tangguh.
Pengertian lain dari Yaya dkk (2015) yaitu murabahah
adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya
perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus
mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli.
Definisi ini menunjukkan bahwa transaksi murabahah tidak harus
dalam bentuk pembayaran tangguh (kredit), melainkan dapat juga
dalam bentuk tunai setelah menerima barang, ditangguhkan
dengan mencicil setelah menerima barang, ataupun ditangguhkan
dengan membayar sekaligus di kemudian hari.
Pengertian murabahah menurut DSN (DSN, 2003:311)
yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya
kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang
lebih sebagai keuntungan/laba. Sedangkan pengertian murabahah
yang tertuang dalam PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah
paragraf 5, murabahah yaitu akad jual beli barang dengan harga jual
sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan (margin) yang
disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan
barang tersebut kepada pembeli.
Dapat disimpulkan bahwa murabahah merupakan akad jual
beli barang yang dilakukan antara penjual dan pembeli dengan
harga jual barang berasal dari perhitungan harga pokok (harga
114
perolehan) ditambah dengan keuntungan yang disepakati. Pada
akad murabahah ini penjual harus mengungkapkan informasi
besaran harga pokok barang yang diperjualbelikan kepada pembeli.
Walaupun transaksi murabahah memiliki fleksibilitas terkait
waktu dan sistem pembayaran, namun dalam praktik di perbankan
syariah di Indonesia pembayaran yang dilakukan langsung lunas di
awal ketika barang diterima oleh pembeli/nasabah merupakan
skema pembayaran yang sangat jarang dijumpai. Skema
pembayaran yang paling sering digunakan adalah dengan metode
angsuran/cicilan kepada bank syariah setelah penerimaan barang
oleh pembeli/nasabah. Adapun untuk skema ketiga yaitu
pembayaran langsung lunas setelah penangguhan/jatuh tempo
yang disepakati merupakan skema yang biasanya dilakukan kepada
nasabah yang memiliki penghasilan musiman.
2. Ketentuan Syar’i
Pembolehan pembiayaan dengan akad murabahah
didasarkan pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 275 yang
menyatakan bahwa Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan
mengharamakn riba. Selain itu ada pula hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah yang berbunyi sebagai berikut.
“Dari Shuaib Ar Rumi R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan yaitu jual beli
secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah.”
Fatwa dewan syariah nasional No: 04/DSN-
MUI/IV/2000 tentang murabahah yaitu tantang Ketentuan
umum murabahah dalam bank syariah. Adapun rinciannya adalah
sebagai berikut:
a. Akad murabahab yang dilakukan oleh Bank Syariah dan
nasabah harus berbas riba;
b. Barang yang diperjualbelikan bukan barang haram;
c. Bank Syariah membiayai sebagian atau seluruh harga
pembelian barang sesuai jumlah dan spesifikasi yang
disepakati;
115
d. Bank Syariah membeli barang yang diperlukan nasabah
pembeli atas nama bank syariah sendiri, serta pembeliannya
harus sah dan tidak mengandung unsur riba;
e. Bank syariah harus menyampaikan semua informasi
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang;
f. Bank syariah menjual barang tersebut kepada nasabah
pembeli dengan harga jual senilai harga beli ditambah dengan
keuntungannya yang harus disampaikan kepada nasabah
pembeli disertai dengan informasi apabila ada biaya-biaya
yang dikeluarkan.
3. Rukun Murabahah
a. Transaktor (penjual-Pembeli)
Transaktor artinya adalah pihak yang melakukan
transaksi yaitu pembeli (nasabah) dan penjual (bank syariah).
Syarat sebagai transactor adalah sudah akil baligh dan memiliki
kemampuan memilih yang optimal, seperti tidak gila, tidak
dibawah paksaan/ancaman, dan lainnya. Adapun untuk
transaksi dengan anak yang belum dewasa, dapat dilakukan
dengan pendampingan dari walinya.
Menurut pendapat DSN, adanya pembayaran uang
muka oleh nasabah diperbolehkan pada saat awal kesepakatan.
Penerapan uang muka dimaksudkan untuk menguji
kemampuan keuangan nasabah pada saat transaksi murabahah
dilakukan. Adanya uang muka juga bertujuan sebagai antisipasi
kerugian bank syariah akibat kemungkinan terjadinya
pembatalan dari nasabah untuk membeli barang yang sudah
dipesan dan diperoleh bank syariah.
Selain uang muka, adanya jaminan juga diperbolehkan
oleh DSN. Tujuan adanya jaminan adalah agar nasabah serius
dengan pesanannya dan pembayaran pelunasan piutangnnya.
Jaminan juga dapat menutupi kerugian apabila terjadi
ketidakmampuan pembayaran angsuran oleh nasabah.
Berdasarkan fatwa DSN Nomor 17, nasabah tidak
diperbolehkan untuk menunda-nunda pembayaran dengan
116
sengaja, termasuk dalam pembayaran piutang murabahah.
DSN MUI membolehkan bank syariah menerapkan sanksi
berupa denda sejumlah uang tertentu kepada nasabah yang
mampu melakukan pembayaran namun menunda-nunda
pembayarannya. Terhadap penundaan pembayaran yang
dilakukan secara sengaja tersebut, maka bank syariah dapat
menerapkan sanksi berupa denda kepada nasabah, sanksi ini
dilakukan atas dasar prinsip ta’zir, yaitu agar nasabah lebih
disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. Dana denda yang
diterima oleh bank syariah akan dipergunakan untuk dana
sosial.
b. Objek Transaksi
Objek akad murabahah adalah barang dan harga barang
yang ditransaksikan. Syarat barang yang diperjualbelikan
adalah bukan barang yang masuk kriteria haram oleh syariah
Islam. Bank syariah harus membeli barang yang diperlukan
nasabah atas nama bank syariah sendiri sertta harus
menyampaikan semua informasi pembelian kepada nasabah,
misalnya jika pembelian dilakukan secara utang (Fatwa DSN
Nomor 4).
Bank syariah harus terlebih dahulu menjadi pemilik dari
barang yang akan dijual kepada nasabah. Pemilikan barang
dapat dilakukan sebelum adanya pesanan maupun setelah
pesanan (PSAK 102 mengenai Akuntansi Murabahah
paragraph 6). Dengan pertimbangan kemudahan dan
menghindari kesalahan pembelian barang yang diinginkan
nasabah, maka diperbolehkan adanya sistem perwakilan dari
bank syariah kepada nasabah untuk membeli barang atas nama
bank syariah. Namun akad jual beli murabahah akan tetap
dilakukan setelah barang secara prinsip mejadi milik bank
syariah. Transaksi mewakilkan tersebut menggunakan akad
wakalah.

117
c. Ijab dan Kabul
Ijab dan Kabul merupakan pernyataan kehendak para
pihak yang bertransaksi, baik secara lisan, tertulis, atau secara
diam-diam. Akad murabahah berisi semua ketentuan
berhubungan dengan hak dan kewajiban bank syariah sebagai
penjual dan nasabah sebagai pembeli. Akad ini bersifat
mengikat kedua belah pihak dan mencantumkan berbagai
ketentuan dan aturan, antara lain sebagai berikut:
1) Nama notaris serta informasi tentang waktu dan tempat
penandatanganan akad;
2) Identitas pihak pertama, dalam hal ini pihak yang
mewakili bank syariah (biasanya kepala cabang);
3) Identitas pihak kedua, dalam hal ini nasabah yang akan
membeli barang dengan didampinigi oleh suami/istri
yang bersangkutan sebagai ahli waris;
4) Bentuk akad beserta penjelasan akad. Beberapa hal yang
dijelaskan terkait akad murabahah adalah definisi
perjanjian pembiayaan murabahah, syariah, barang,
pemasok, pembiayaan, harga beli, margin keuntungan,
surat pengakuan pembayaran, masa berlakunya surat
pembayaran, dokumen jaminan, jangka waktu perjanjian,
hari kerja bank, pembukuan pembiayaan, surat
penawaran (offering letter), surat permohonan realisasi
pembiayaan, cedera janji, dan penggunaan fasilitas
pembiayaan;
5) Kesepakatan-kesepakatan yang disepakati, meliputi
kesepakatan fasilitas pembiayaan dan penggunaannya,
pembayaran dan jangka waktu, realisasi fasilitas
pembiayaan, pengutamaan pembayaran, biaya dan
pengeluaran, jaminan, syarat-syarat penarikan fasilitas
pembiayaan, peristiwa cedera janji, pernyataan dan
jaminan, kesepakatan untuk tidak berbuat sesuatu,
penggunaan fasilitas pembiayaan, pajak-pajak, dan
penyelesaian sengketa.
118
4. Jenis-Jenis Akad Murabahah
Berdasarkan metode pembayarannya, terdapat tiga jenis
pembayaran transaksi murabahah, yaitu:
a. Pembayaran langsung lunas di awal;
b. Pembayaran dengan metode angsuran/cicilan;
c. Pembayaran langsung lunas di akhir transaksi.
Berdasarkan metode pelaksanaannya, murabahah dibagi
dua yaitu murabahah dengan pesanan dan murabahah tanpa
pesanan (Nurhayati, 2014).
a. Murabahah dengan pesanan
Murabahah berdasarkan pesanan adalah jual beli
antara bank syariah dan nasabah dengan kondisi nasabah
melakukan pemesanan suatu barang/objek murabahah yang
akan disediakan oleh bank syariah selaku penjual. Accounting
and Auditing Organization for Islamic Financial Insitution (AAOFI)
menjelaskan aturan murabahah berdasarkan pesanan sebagai
berikut:
1) Bersifat mengikat, mempunyai aturan diantaranya sebagai
berikut:
➢ Jika bank syariah menerima permintaan pemesanan
dari nasabah, maka bank syariah harus membeli
barang terlebih dahulu kepada penjual barang
(supplier).
➢ Bank menawarkan barang tersebut kepada pemesan
(nasabah), yang harus diterima berdasarkan janji yang
mengikat di antara kedua belah pihak secara hukum,
dan oleh karena itu harus sesuai dengan ketetapan
yang berlaku dalam akad jual beli.
➢ Di dalam bentuk penjualan seperti ini diperbolehkan
untuk membayar uang muka (urbun) ketika
menandatangani akad aslinya, tetapi sebelum bank
syariah membeli barang.

119
2) Bersifat tidak mengikat, dengan aturan antara lain:
➢ Nasabah/pemesan meminta bank syariah untuk
membeli sebuah barang dan menjanjikan bahwa
apabila dia membeli aset tersebut, maka pemesan akan
membelinya dari bank syariah sesuai dengan harganya
(sudah termasuk keuntungan). Permintaan ini
dianggap sebagai kemauan untuk membeli, bukan
penawaran.
➢ Jika bank syariah menerima permintaan ini, maka
bank syariah akan membeli aset untuk dirinya sendiri
berdasarkan akad penjualan yang sah antara dia dan
penjual barang tersebut.
➢ Bank syariah harus menawarkan Kembali kepada
nasabah menurut syarat perjanjian pertama, tentunya
setelah barangnya secara sah dimiliki oleh bank
syariah. Hal ini di anggap sebagai suatu penawaran dari
bank syariah.
➢ Ketika barang ditawarkan kepada nasabah, nasabah
mempunyai hak untuk melakukan transaksi
murabahah dengan bank syariah atas barang tersebut
atau menolak melakukan pembelian
➢ Apabila terjadi bahwa nasabah menolak membeli,
maka barang tersebut tetap akan menjadi milik bank
syariah yang berhak untuk menjualnya melalui cara-
cara yang diperbolehkan.
b. Murabahah tanpa pesanan
Murabahah tanpa pesanan artinya adalah bank syariah
memiliki persediaan barang yang dimiliki tanpa dasar adanya
pesanan sebelumnya. Dalam murabahah tanpa pesanan, bank
syariah menyediakan barang yang akan diperjualbelikan
dilakukan tanpa pertimbangan ada nasabah yang membeli
atau tidak. Sehingga proses pengadaan barang dilakukan
sebelum transaksi jual beli murabahah dilakukan.

120
5. Manfaat dan Kelebihan Akad Murabahah
Jual beli murabahah yang merupakan akad yang paling
sering terjadi di pembiayaan bank syariah tentu memiliki manfaat
yang besar dari segi financial, yaitu pendapatan yang diperoleh dari
margin harga jual kepada nasabah pembeli dengan harga beli dari
pemasok/penjual barang. Sistem jual beli murabahah yang dapat
dikategorikan transaksi yang sederhana memberikan kemudahan
administrasi bagi bank syariah dalam pelaksanaannya.
Menurut abdullah saeed (2004:56), kelebihan dari akad
murabahah adalah sebagai berikut:
a. Pembeli dapat mengetahui informasi barang serta
mengetahui harga pokok barang dan keuntungan yang
diberikan;
b. Objek penjualan adalah barang dan komoditas;
c. Objek penjualan merupakan barang yang dimilikinya oleh
penjual itu sendiri dan mampu mengirimkannya kepada
pembeli; dan
d. Pembayaran yang dapat dilakukan secara angsuran atau
tunda.

C. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Murabahah di Bank Syariah
1. Pengawasan Transaksi Pembiayaan dengan akad
Murabahah
Pengawasan syariah bertujuan untuk memastikan
pelaksanaan pembiayaan dengan akad murabahah yang dilakukan
oleh bank syariah dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh
DSN, pengawasan ini biasanya dilakukan secara periodik.
Landasan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan pengawasan
tersebut adalah Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/19/DPBs
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara
Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah. Isinya
antara lain:
121
a. Memastikan bahwa jual beli yang dilaksanakan bukan untuk
barang yang diharamkan oleh syariah Islam.
b. Memastikan bank syariah menjual barang tersebut kepada
nasabah dengan harga jual senilai harga beli ditambah margin.
Apabila nasabah membiayai sebagian dari harga barang
tersebut, maka akan mengurangi tagihan bank syariah kepada
nasabah.
c. Apabila bank syariah hendak mewakilkan pembelian barang
kepada nasabah dari pihak ketiga dengan akad wakalah, maka
memastikan bahwa akad wakalah telah dibuat oleh bank
syariah secara terpisah dari akad murabahah.
d. Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah
berdasarkan permohonan nasabah dan perjanjian pembelian
suatu barang atau aset kepada bank syariah.
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh Dewan
Pengawas Syariah (DPS), menuntut bank syariah untuk hati-hati
dalam melakukan transaksi jual beli murabahah dengan para
nasabah. Disamping itu, bank syariah juga dituntut untuk
melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang
diperlukan DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.
2. Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Murabahah
Gambaran transaksi murabahah dapat dilihat pada figur
7.1 dengan alur sebagai berikut:

122
Figur 7.1
Alur Transaksi Murabahah (dengan pesanan)
1. Negosiasi

Bank 2. Akad Murabahah Nasabah


Syariah
(Pembeli)
(Penjual 6. Bayar
)

5. Kirim dokumen

PEMASOK
3. Beli 4. Kirim
Barang Barang

Keterangan:
- Pertama, Berawal dari pengajuan pembelian barang oleh
nasabah. Pada saat itu, nasabah melakukan negosiasi harga
barang, margin, jangka waktu pembayaran, dan besar angsuran
perbulan.
- Kedua, Bank syariah sebagai penjual selanjutnya menganalisis
kemampuan nasabah dalam melakukan pembayaran. Apabila
tercapai kesepakatan, maka dilaksanakanlah akad murabahah.
Akad murabahah setidaknya berbagai hal agar rukun
murabahah dipenuhi dalam transaksi jual beli yang dilakukan.
- Ketiga, setelah terjadi kesepakatan, bank syariah akan
membeli barang kepada pemasok. Pembelian barang kepada
pemasok dalam murabahah dengan pesanan juga dapat
diwakilkan kepada nasabah atas nama bank syariah untuk
membelinya. Dokumen pembelian barang tersebut diserahkan
oleh pemasok kepada bank syariah. Akan tetapi, pada jenis
murabahah tanpa pesanan, bank syariah dapat langsung
menyerahkan barang kepada nasabah karena telah memilikinya
terlebih dahulu.
123
- Keempat, barang yang menjadi objek murabahab kemudian
dikirim kepada nasabah sebagai pembeli oleh pemasok barang.
- Kelima, setelah barang diterima, kemudian nasabah
melakukan pembayaran kepada bank syariah sesuai dengan
kesepakatan di awal, bisa dengan langsung lunas atau dengan
metode angsuran dan dengan jangka waktu yang telah
disepakai.

D. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi dengan Akad


Murabahah di Bank Syariah
Pada tanggal 2 Agustus 2020, Bank Syariah Nasional
bernegosiasi atas permohonan pembiayaan murabahah (dengan
pesanan) oleh PT KAYLAN untuk pembelian sebuah mobil
operasional dengan rencana sebagai berikut:
Harga Barang : Rp 100 Juta
Uang Muka : Rp 10 Juta (10% dari harga barang)
Pembiayaan oleh Bank : Rp 90 Juta
Margin : Rp 18 Juta (20% dari pembiayaan oleh
Harga jual bank syariah)
Jangka Waktu : Rp 118 Juta (harga barang plus margin)
Biaya Administrasi : 24 Bulan
: 1 % dari pembiayaan oleh bank
1. Perhitungan Penentuan Margin Murabahah
Dalam praktik biasanya margin dihitung dengan
menggunakan metode anuitas, sehingga semakin lama jangka waktu
pembiayaan, maka makin besar margin yang dikenakan pada
nasabah. Dalam PSAK 102 dijelaskan bahwa akad murabahah
memperkenankan penawaran harga yang berbeda untuk cara
pembayaran yang berbeda sebelum akad murabahah dilakukan.

124
2. Perhitungan Angsuran per Bulan dan Pendapatan yang
Diakui
Angsuran per bulan bersifat merata dan tetap sepanjang
masa pelunasan. Perhitungan angsuran dapat dilakukan dengan
rumus:
Total Piutang−Uang muka
Angsuran per bulan =
Jumlah Bulan Pelunasan
Misalkan dengan menggunakan data murabahah dengan
pesanan diatas, maka:
Angsuran per bulan = (Total Piutang – Uang Muka) / jumlah bulan
pelunasan
= (Rp.118.000.000 - Rp.10.000.000) / 24
= Rp.108.000.000 / 24
= Rp.4.500.000
3. Perhitungan Pendapatan Margin yang Diakui saat Jatuh
Tempo atau Pembayaran Angsuran
Pendapatan margin murabahah akan diakui oleh bank
syariah setiap tanggal jatuh tempo. Nilai dari pendapatan margin
yang diakui tergantung dengan alternatif pendekatan yang
digunakan. Apabila bank syariah menggunakan pendekatan
proporsional, maka margin setiap bulan jumlahnya sama, sedang
apabila menggunakan pendekatan anuitas, maka margin pada bulan
pertama akan lebih besar dibanding dengan bulan kedua dan
seterusnya. Berdasarkan PSAK 102, pendekatan yang disarankan
adalah pendekatan proporsional. Berikut perhitungan-
perhitungannya:

125
a. Perbandingan margin dengan biaya perolehan
Persentasi Total Margin
= x 100%
Biaya perolehan Aset Murabahah diluar uang muka
keuntungan
Rp18.000.000
= x 100 %
Rp90.000.000

= 20 %
Margin per = 20 % x biaya perolehan per bulan
bulan
Penggunaan persentasi keuntungan berdasarkan rasio
margin dengan biaya perolehan aset murabahah tidak praktis
diterapkan dalam melakukan perhitungan margin yang diakui
oleh bank pada saat adanya angsuran. Untuk itu sebaiknya
diambil dari perbandingan margin dengan total piutang diluar
uang muka yang telah dibayar nasabah. (Yaya dkk, 2015)
b. Perbandingan margin dengan total piutang
Persentasi Total Margin
= x 100%
Total Piutang Bersih
keuntungan
Rp18.000.000
= x 100%
Rp108.000.000

= 16.666666%
Penggunaan pendekatan ini akan membantu dalam hal
perhitungan margin perbulan yang dihitung proporsional
terhadap jumlah yang dibayar.
Margin Per = Persentasi keuntungan x angsuran perbulan
Bulan = 16.666666% x Rp4.500.000
= Rp750.000

Pokok Per = Angsuran perbulan – margin perbulan


Bulan = Rp4.500.000 – Rp750.000
= Rp3.750.000

126
Dengan demikian, untuk setiap pembayaran angsuran
sebesar Rp4.500.000 perbulan, terkandung di dalamnya margin
sebesar Rp750.000 dan pokok sebesar Rp.3.750.000.
Selanjutnya bank menyiapkan jadwal pembayaran
murabahah untuk PT KAYLAN, jadwal pembayaran tersebut
dirincikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 7.1
Jadwal Pembayaran
No Tanggal jatuh Angsuran per Pokok Margin
tempo bulan (Rp) (Rp) (Rp)
1 15 Sep 2020 4.500.000 3.750.000 750.000
2 15 Okt 2020 4.500.000 3.750.000 750.000
3 15 Nov 2020 4.500.000 3.750.000 750.000
4 15 Des 2020 4.500.000 3.750.000 750.000
5 15 Jan 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
6 15 Feb 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
7 15 Mar 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
8 15 Apr 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
9 15 Mei 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
10 15 Jun 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
11 15 Jul 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
12 15 Ags 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
13 15 Sep 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
14 15 Okt 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
15 15 Nov 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
16 15 Des 2021 4.500.000 3.750.000 750.000
17 15 Jan 2022 4.500.000 3.750.000 750.000
18 15 Feb 2022 4.500.000 3.750.000 750.000
19 15 Mar 2022 4.500.000 3.750.000 750.000
20 15 Apr 2022 4.500.000 3.750.000 750.000
21 15 Mei 2022 4.500.000 3.750.000 750.000
22 15 Jun 2022 4.500.000 3.750.000 750.000
23 15 Jul 2022 4.500.000 3.750.000 750.000
24 15 Ags 2022 4.500.000 3.750.000 750.000
TOTAL 108.000.000 90.000.000 18.000.000
127
4. Akuntansi Transaksi Murabahah saat negosiasi
Pada waktu negosiasi, bank syariah tidak melakukan
penjurnalan apa pun karena negosiasi tersebut belum memiliki
implikasi terhadap posisi keuangan bank syariah.
a. Pengakuan uang muka
Dalam praktik perbankan, terdapat tiga macam
alternatif perlakuan uang muka:
1) Mendebit langsung uang muka yang disepakati.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Rekening nasabah - PT KAYLAN 10.000.000
02/08/20
Kr. Uang muka 10.000.000
2) Memblokir rekening nasabah sebesar nilai yang disepakati
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Rekening nasabah - PT KAYLAN 10.000.000
02/08/20
Kr. Piutang murabahah 10.000.000
3) Ketiga uang muka dipegang dan dibayar langsung oleh
nasabah kepada pemasok.
Misalkan, karena uang muka sebesar
Rp.10.000.000 dipegang sendiri oleh PT KAYLAN, maka
bank syariah mewakilkan pembelian aset murabahah
dengan menyerahkan uang sebesar Rp90.000.000. Pada
contoh alternatif ketiga ini bank syariah tidak mengakui
nilai uang muka, karena uang muka tersebut tidak melalui
bank syariah. Sehingga tidak terjadi penjurnalan.
b. Pembelian barang pesanan
1) Alternatif 1: Bank Syariah membeli barang pesanan dari
nasabah langsung kepada pemasok secara tunai
Pada tanggal 10 Agustus 2020, Bank Syariah
Nasional (BSN) membeli barang berupa Mobil kepada
pemasok “CV BERUNTUNG” seharga Rp.100.000.000,-
secara tunai untuk menyediakan pesanan transaksi
murabahah dengan PT KAYLAN. Jurnal yang dicatat oleh
BSN adalah:
128
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Persediaan aset 100.000.000
murabahah
10/08/20
Kr.Kas/Rekening 100.000.000
nasabah -pemasok*
*Apabila pemasok memiliki rekening di BSN, maka
pembayaran akan dilakukan melalui penambahan saldo
rekening pemasok tersebut. namun apabila pemasok tidak
memiliki rekening simpanan di BSN, maka pembayaran
akan dilakukan secara tunai/kas.
2) Alternatif 2: Alternatif 1: Bank Syariah membeli barang
pesanan dari nasabah langsung kepada pemasok secara
kredit
Pada tanggal 10 Agustus 2020, Bank Syariah
Nasional (BSN) membeli barang berupa Mobil kepada
pemasok “CV BERUNTUNG” seharga Rp.100.000.000,-
secara kredit untuk menyediakan pesanan transaksi
murabahah dengan PT KAYLAN. Jurnal yang dicatat oleh
BSN adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Persediaan aset 100.000.000
10/08/20 murabahah
Kr. Utang pada pemasok 100.000.000
Selanjutnya, apabila misalnya pada tanggal 30 Agustus,
BSN melakukan pelunasan pembayaran kepada pemasok, maka
jurnalnya adalah sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Utang pada pemasok 100.000.000
30/08/20 Kr.Kas/Rekening nasabah- 100.000.000
pemasok

129
c. Saat Akad Murabahah Tidak Jadi Disepakati
Berdasarkan PSAK 102 paragraf 7 disebutkan bahwa
murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau
tidak mengikat untuk pembelian barang yang dipesannya. Hal
ini berarti apabila akad murabahah tidak mengikat pembeli
untuk membeli barang yang dipesan, maka pembelian bisa saja
dibatalkan oleh pembeli. Berdasarkan PSAK 102 paragraf 30
disebutkan bahwa jika barang batal dibeli oleh pembeli, maka
uang muka dikembalikan kepada pembeli setelah
diperhitungkan dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh
penjual. Misal, apabila pada tanggal 9 Agustus pembeli
membatalkan pembiayaan murabahah, maka jurnal yang akan
dibuat oleh BSN apabila akad tidak jadi disepakati adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Uang muka 10.000.000
30/08/20 Kr.Pendapatan operasional 1.000.000
Kr. Kas/rekening pemasok 9.000.000
d. Saat Akad Murabahah Disepakati
Pada tanggal 15 Agustus 2020, PT KAYLAN Bersama
dengan BSN melakukan penandatanganan akad murabahah
sesuai dengan negosiasi tanggal 2 Agustus 2020. Pada saat akad
murabahah disepakati ada beberapa transaksi yang harus
dicatat, yaitu:
1) Pencatatan penjualan murabahah
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Piutang murabahah 118.000.000
Kr.Persediaan aset 100.000.000
15/08/20 murabahah
Kr.Margin murabahah yang 18.000.000
ditangguhkan

130
2) Pencatatan uang muka (urbun) sebagai bagian pelunasan
murabahah
Apabila misalnya pada saat pengakuan uang muka
dilakukan dengan cara mendebit rekening nasabah, maka
jurnal pencatatan uang muka sebagai bagian pelunasan
pembiayaan murabahah adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Uang muka 10.000.000
15/08/20
Kr.Piutang murabahah 10.000.000
3) Pencatatan biaya-biaya yang ditangguhkan nasabah
Misal pada transaksi yang dilakukan oleh PT
KAYLAN kepada BSN dikenakan beberapa biaya sebagai
berikut:
Biaya administrasi : Rp900.000
Biaya materai : Rp30.000
Biaya notaris : Rp225.000 (0,25% dari pembiayaan
oleh bank syariah)
Biaya asuransi jiwa : Rp378.000 (0,21% x 2 tahun x
pembiayaan oleh bank syariah)
Jurnal terhadap transaksi diatas sebagai berikut.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Rekening nasabah-PT 1.533.000
KAYLAN
Kr.Pendapatan administrasi 900.000
15/08/20 Kr.Persedian materai 30.000
Kr.Rekening notaris 225.000
Kr.Rekening perusahaan 378.000
asuransi

131
e. Pembayaran Angsuran dan Pengakuan Keuntungan
Murabahah
No Tanggal Angsuran Pokok Margin Tanggal Jumlah
Jatuh per bulan (Rp) (Rp) Pembayaran yang
Tempo (Rp) dibayar
1 15/09/20 4.500.000 3.750.000 750.000 15/09/20 4.500.000
Tepat waktu
2 15/10/20 4.500.000 3.750.000 750.000 20/10/20 4.500.000
Terlambat
tanpa denda
3 15/11/20 4.500.000 3.750.000 750.000 15/11/20 2.000.000
21/11/20 2.500.000
Dua kali
pembayaran,
yang kedua
terlambat,
namun tanpa
denda
4 15/12/20 4.500.000 3.750.000 750.000 28/12/20 4.500.000 +
Terlambat denda
dengan denda
5 15/01/21 4.500.000 3.750.000 750.000 15/01/21 Pelunasan
Piutang dini
dilunasi (Rp90Juta)
sebelum jatuh minus
tempo (lebih potongan
dini) serta
diberi potongan
1) Pembayaran angsuran tepat pada waktu tanggal jatuh
tempo
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Kas/Rek nasabah - PT 4.500.000
15/09/20 KAYLAN
Kr.Piutang murabahah 4.500.000
Db.Margin murabahah 750.000
15/09/20 Kr.Pendapatan margin 750.000
murabahah

132
2) Pembayaran angsuran dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo tanpa dikenakan denda
Tanggal Rekening Debit Kredit
(Rp) (Rp)
Db.Piutang murabahah jatuh tempo 4.500.000
15/10/20
Kr.Piutang murabahah 4.500.000
Db.Margin murabahah yang 750.000
ditangguhkan
15/10/20
Kr.Pendapatan margin 750.000
murabahah –akrual

Tanggal Rekening Debit Kredit


(Rp) (Rp)
Db.Kas/Rek nasabah-PT 4.500.000
KAYLAN
20/10/20
Kr.Piutang murabahah jatuh 4.500.000
tempo
Db.Pendapatan margin murabahah- 750.000
akrual
20/10/20
Kr.Pendapatan margin 750.000
murabahah
3) Pembayaran angsuran yang dilakukan sebagian pada
tanggal jatuh tempo dan sebagian lagi setelah jatuh tempo
tanpa dikenakan denda
Tanggal Rekening Debit Kredit
(Rp) (Rp)
Db.Kas/Rek nasabah-PT 2.000.000
KAYLAN
15/11/20
Db.Piutang murabahah jatuh tempo 2.500.000
Kr.Piutang murabahah 4.500.000

133
Db.Margin murabahah yang 750.000
ditangguhkan
Kr.Pendapatan margin 333.333
15/11/20
murabahah
Kr.Pendapatan margin 416.667
murabahah -akrual
Perhitungannya:
Pendapatan = Persentase Keuntungan x Angsuran yang
Margin
dibayar
Murabahah
= 16,6666% x 2.000.000
= Rp 333.333

Pendapatan = Margin Murabahah ditangguhkan –


Margin
Pendapatan Margin Murabahah
Murabahah
Akrual = 750.000 – 333.333
= Rp 416.667

Tanggal Rekening Debit Kredit


(Rp) (Rp)
Db.Rekening nasabah- PT 2.500.000
KAYLAN
21/11/20
Kr.Piutang murabahah jatuh 2.500.000
tempo
Db.Pendapatan margin murabahah- 416.667
akrual
21/11/20
Kr.Pendapatan margin 416.667
murabahah

134
4) Pembayaran angsuran dilakukan melewati dari tanggal
jatuh tempo serta dikenai denda keterlambatan
Tanggal Rekening Debit Kredit
(Rp) (Rp)
Db.Piutang murabahah jatuh tempo 4.500.000
15/12/20
Kr.Piutang murabahah 4.500.000
Db.Margin murabahah yang 750.000
ditangguhkan
15/12/20
Kr.Pendapatan margin 750.000
murabahah -akrual

Tanggal Rekening Debit Kredit


(Rp) (Rp)
Db.Kas/Rek nasabah-PT 4.500.000
KAYLAN
28/12/20
Kr.Piutang murabahah jatuh 4.500.000
tempo
Db.Pendapatan margin murabahah- 750.000
akrual
28/12/20
Kr.Pendapatan margin 750.000
murabahah

Tanggal Rekening Debit Kredit


(Rp) (Rp)
Db.Kas/Rekening nasabah-PT 75.000
Haniya
28/12/20 Kr.Rekening dana kebajikan* 75.000
(Dana Kebajikan = 10% x total margin)
(10% x 750.000 = 75.000)

135
5) Pembayaran untuk melunasi piutang lebih awal dari waktu
yang ditentukan (Pelunasan dini)
Pelunasan pembiayaan oleh nasabah sebelum
berakhirnya masa akad merupakan suatu hal yang
diperbolehkan. Pelunasan dini dapat mengurangi beban
bank syariah terkait beban pengawasan dan administrasi.
Karena itulah, biasanya bank syariah memberikan
potongan apabila terjadi pelunasan sebelum berakhirnya
akad. Potongan ini sepenuhnya merupakan hak dan
kewenangan bank syariah, artinya potongan bisa
diberikan, namun bisa pula tidak diberikan.
Misalkan pada tanggal 15 Januari 2021, PT
KAYLAN melakukan pelunasan atas kewajibannya
dengan nilai buku Rp90.000.000, terdiri atas pokok
pembiayaan sebesar Rp75.000.000 dan margin yang
ditangguhkan sebesar Rp15.000.000. BSN memberikan
potongan pelunasan dari margin yang tersisa yaitu sebesar
80%
Perhitungan dan pencatatannya adalah sebagai
berikut:
Margin yang ditangguhkan = Rp15.000.000
Potongan pelunasan = 80% x Rp15.000.000
= Rp12.000.000
Pendapatan = Margin Murabahah Yang ditangguhkan –
Margin
potongan pelunasan
Murabahah
= 15.000.000 – 12.000.000
= Rp 3.000.000
Potongan pelunasan piutang murabahah dapat
dilakukan dengan menggunakan salah satu metode.

136
a) Alternatif 1: Potongan diberikan pada saat pelunasan
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Beban potongan angsuran 12.000.000
15/01/21 murabahah*
Kr.Piutang murabahah 12.000.000
Db.Kas/Rekening nasabah 78.000.000
15/01/21 Kr.Pendapatan margin 78.000.000
murabahah
Db.Margin murabahah 15.000.000
ditangguhkan
15/01/21
Kr.Pendapatan margin 15.000.000
murabahah
*dalam laporan laba rugi, beban potongan akan mengurangi
pendapatan margin murabahah
b) Alternatif 2: Potongan diberikan setelah pelunasan
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Kas/Rek nasabah-PT 90.000.000
15/01/21 KAYLAN
Kr.Piutang murabahah 90.000.000

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db.Margin murabahah 15.000.000
ditangguhkan
16/01/21
Kr.Pendapatan margin 15.000.000
murabahah*
Db.Beban potongan pelunasan 12.000.000
16/01/21
Kr.Kas/Rekening nasabah 12.000.000

137
E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan
dengan Akad Murabahah di Bank Syariah
1. Penyajian
Penyajian akun-akun yang berhubungan dengan transaksi
pembiayaan murabahah berdasarkan PAPSI 2013 adalah:
a. Uang muka pembiayaan murabahah dari pembeli disajikan
sebagai liabilitas lainnya;
b. Apabila terjadi pembatalan transaksi murabahah dan nilai
uang muka lebih kecil dibandingkan dengan beban yang
dikeluarkan, maka tagihan tersebut akan disajikan sebagai
piutang qardh;
c. Piutang murabahah disajikan sesuai besaran nilai pembiayaan
murabahah dengan bank syariah;
d. Margin murabahah ditangguhkan disajikan sebagai pos kontra
atau pos lawan dari piutang murabahah;
e. Beban potongan pelunasan/angsuran murabahah sebagai pos
kontra atau pos lawan pendapatan marjin murabahah;
f. Pendapatan dan beban yang terkait langsung dengan transaksi
murabahah yang belum diamortisasi, disajikan sebagai
liabilitas lainnya dan aset lainnya. (apabila bank syariah
menggunakan metode proporsional);
g. Apabila sabaha tergolong performing, maka pendapatan
murabahah yang diterima akan disajikan pada bagian aset
lainnya. Sedangkan apabila nasabah tergolong non-performing,
maka pendapatan margin murabahah yang akan diterima
disajikan pada rekening administratif;
h. Cadangan kerugian penurunan nilai murabahah disajikan
sebagai pos kontra atau pos lawan piutang murabahah;
i. Apabila terjadi sanksi berupa denda (ta’zir), maka denda
tersebut tidak boleh diakui sebagai pendapatan oleh bank
syariah dan akan disajikan sebagai bagian dari sumber dana
kebajikan.

138
2. Pengungkapan
Pengungkapan dalam transaksi pembiayaan murabahah
berdasarkan PAPSI tahun 2013 adalah sebagai berikut:
a. Rincian piutang murabahah berdasarkan jumlah, jenis
penggunaan, jangka waktu, kualitas piutang, sektor ekonomi,
jenis valuta dan cadangan kerugian penurunan nilai;
b. Jumlah piutang murabahah yang diberikan kepada pihak yang
berelasi;
c. Kebijakan dan metode akuntansi untuk pengakuan
pendapatan, cadangan kerugian penurunan nilai, penghapusan
dan penanganan piutang murabahah yang bermasalah;
d. Besarnya piutang murabahah baik yang dibebani sendiri oleh
bank maupun secara bersama-sama dengan pihak lain sebesar
bagian pembiayaan bank.

F. Latihan Kasus
Kasus 1
PT Surya Mandiri Perkasa melakukan negosiasi jual beli dengan
Bank Syariah Nasional (BSN) pada tanggal 1 Februari 2020 dengan
menggunakan akad murabahah untuk pesanan 10 perangkat komputer
dengan harga total Rp.110.000.000. rincian negosiasi tersebut dijelaskan
sebagai berikut:

Harga Total Barang = Rp.110.000.000


Uang Muka = Rp.30.000.000
Pembiayaan dari BSN = Rp.80.000.000
Margin = Rp.8.000.000
Harga Jual = Rp.118.000.000 (Harga Barang + Margin)
Jumlah Angsuran = 18 Bulan
Biaya Administrasi = 0,75% dari pembiayaan oleh BSN
Diminta:
1. Hitunglah angsuran per bulan yang harus dibayar PT Surya
Mandiri Perkasa.
139
2. Hitunglah persentase keuntungan dari total piutang neto.
3. Hitunglah besar margin dan pokok piutang dalam setiap angsuran
perbulan yang dibayar oleh PT Surya Mandiri Perkasa jika
menggunakan metode proporsional.

Kasus 2
Buatlah jurnal untuk transaksi berikut (berdasarkan data-data
yang disediakan pada kasus 1:
uang muka diserahkan oleh PT Surya Mandiri
01 Feb 2020
Perkasa kepada BSN sebesar Rp30.000.000.
BSN melakukan pembelian barang yang dipesan oleh
07 Feb 2020 PT Surya Mandiri Perkasa kepada CV Mulia Abadi
sebagai pemasok senilai Rp.110.000.000 secara tunai.
disepakati akad jual beli murabahah diantara BSN
dan PT Surya Mandiri Perkasa. Pada saat yang sama
09 Feb 2020
barang yang dipesan berupa 10 perangkat computer
diserahkan kepada PT Surya Mandiri Perkasa.
uang muka yang dibayarkan oleh PT Surya Mandiri
09 Feb 2020 Perkasa sebesar Rp30.000.000 diakui sebagai
pengurang piutang murabahah.
PT Surya Mandiri Perkasa membayar biaya
09 Feb 2020 administrasi sebesar 0,75% dari pembiayaan
murabahah oleh BSN.
saat jatuh tempo pembayaran termin pertama
09 Maret 2020
nasabah membayar sebesar Rp4.888.889
Sampai dengan tanggal jatuh tempo termin
pembayaran kedua, BSN belum menerima
09 April 2020
pembayaran angsuran dari PT Surya Mandiri
Perkasa.
PT Surya Mandiri Perkasa baru melakukan
20 April 2020 pembayaran pada tanggal 20 April 2020, sebesar
Rp4.888.889 melalui debit rekening.

140
Pada saat termin pembayaran ketiga, ketika BSN
hendak mendebit rekening PT Surya Mandiri
09 Mei 2020 Perkasa, ternyata dana yang tersedia di dalam akun
tersebut hanya Rp2.047.000 dan BSN mendebit
rekening sebesar Rp2.000.000.
PT Surya Mandiri Perkasa membayar kekurangan
17 Mei 2020
pembayaran angsurannya sebesar Rp2.888.889.
Pada saat termin pembayaran keempat, PT Surya
09 Juni 2020 Mandiri Perkasa tidak melakukan pembayaran termin
keempat.
PT Kemal Sejahtera membayar kewajibannya (termin
02 Juli 2020
keempat)
BSN mengenakan denda sebagaimana yang telah
disepakati dalam akad karena ketidakdisiplinan
nasabah, yaitu sebesar 10% dari total pendapatan
02 Juli 2020
margin akrual yang tertunggak. PT Surya Mandiri
Perkasa mengakui ketidakdisiplinannya dan bersedia
membayarnya
PT Surya Mandiri Perkasa melunasi sisa
kewajibannya dengan nilai buku Rp68.444.444 yang
terdiri atas pokok pembiayaan sebesar Rp62.222.222
09 Juli 2020 dan margin yang ditangguhkan sebesar Rp6.222.222.
Pada saat pelunasan, BSN memberikan potongan
pelunasan sebesar 80% dari sisa margin murabahah
yang masih ditangguhkan.
Jika potongan pelunasan dilakukan setelah pelunasan
09 Juli 2020
dan bukan saat pelunasan seperti pada poin di atas.

141
142
BAB VIII PEMBIAYAAN DENGAN AKAD
SALAM (PSAK 103)

A. Pendahuluan
Transaksi jual beli antara penjual dan pembeli, selain yang secara
konvensional dilakukan dengan saat yang bersamaan dapat pula terjadi
tanpa adanya pertukaran objek transaksi pada saat yang sama. Apalagi
transaksi-transaksi keuangan modern yang berkembang
memungkinkan peristiwa jual beli dilakukan pada jarak yang jauh dan
dengan bantuan media teknologi, seperti jual beli yang dilakukan secara
online.
Transaksi dengan penyerahan barang di waktu yang tidak
bersamaan dengan penyerahan uang sebagai alat pembayaran, di dalam
syariah Islam disebut transaksi ba’i salam. Ba’i as salam lebih dikenal
dengan istilah salam, adalah pembelian suatu barang pelunasan
pembayaran dilakukan di awal transaksi, sedangkan penyerahan barang
akan dilakukan di kemudian hari.
Pada bab ini akan membahas transaksi salam yang dapat terjadi
di bank syariah. Dalam konteks bank syariah tentu transaksi dengan
akad salam ini tidak bisa secara langsung diterapkan, karena bank
syariah bukanlah lembaga yang memproduksi sebuah barang. Namun
dalam penerapannya akad salam bisa dilakukan dengan mekanisme
paralel, atau biasa disebut transaksi salam paralel.
Salam paralel adalah transaksi jual beli barang dengan dua
transaksi salam, transaksi salam pertama dilakukan antara nasabah
pemohon dan bank syariah, sedangkan transaksi salam kedua dilakukan
antara bank syariah dengan pemasok. Harus diakui bahwa dalam
praktiknya di perbankan syariah transaksi salam tidak banyak terjadi,
atau dengan bahasa lain adalah transaksi yang kurang diminati, bahkan
di sebagian bank syariah tidak menerapkan skema transaksi ini. Karena
kondisi nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak perbankan
biasanya adalah nasabah yang mengalami kesulitan keuangan,
143
sedangkan akad dalam akad salam ini seorang nasabah yang menjadi
pembeli merupakan pihak yang sudah memiliki cukup dana untuk
memperoleh barang yang diinginkan. Walaupun demikian, transaksi ini
merupakan transaksi yang tersedia di lembaga keuangan sehingga
menjadi kajian yang cukup penting untuk dipelajari dan dikembangkan.
Tata penyajian, pengungkapan dan pelaporan transaksi Salam
dijelaskan dan diatur secara rinci dalam PSAK 103. PSAK 103
dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan
Indonesia (DSAK IAI) pada 27 Juni 2007. PSAK 103 menggantikan
pengaturan mengenai akuntansi salam dalam PSAK 59: Akuntansi
Perbankan Syariah yang dikeluarkan pada 1 Mei 2002.

B. Definisi, Ketentuan Syar’i dan Rukun Akad Salam


1. Definisi Akad Salam
Bai salam atau disebut dengan salam berasal dari kata As-
Salaf yang artinya pendahuluan karena penyerahan uang dilakukan
di awal pada saat pemesanan barang. Para fuqaha menyebut al-
mahawi’i (barang-barang mendesak) karena merupakan jenis jual
beli yang dilakukan secara mendesak walaupun barang yang
diperjualbelikan tidak tersedia di tempat. Transaksi ini dianggap
mendesak apabila dilihat dari sudut pandang penjual, karena
penjual perlu untuk menerima uang tersebut terlebih dahulu,
namun tidak mendesak dari sudut pandang pembeli, karena barang
tersebut diserahkan kemudian.
Menurut Rizal Yaya dkk (2015) Salam merupakan transaksi
pembelian barang yang pelunasan pembayaran dilakukan di muka
namun barangnya akan penyerahan barang dilakukan dikemudian
hari. Akad salam juga digunakan untuk memfasilitasi pembelian
suatu barang (biasa barang hasil pertanian) yang memerlukan
waktu untuk memproduksinya.
Menurut Dewan Syariah Nasional dalam Fatwa DSN No.
05/DSNMUI/IV/2000, salam merupakan transaksi jual beli
barang melalui pesanan dan pembayaran terlebih dahulu dengan
144
syarat-syarat tertentu. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, salam adalah jasa pembiayaan yang
berhubungan dengan jual beli yang pembiayaanya dan pemesanan
barang dilakukan pada saat bersamaan.
Sedangkan menurut kutipan dalam PSAK 103
menyebutkan bahwa Salam adalah akad jual beli barang pesanan
(muslam fiih) dengan pembayaran dilunasi oleh pembeli ketika
akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu, namun
pengiriman dilakukan di kemudian hari oleh penjual (muslam
illaihi).
Keuntungan menggunakan skema salam antara lain adalah:
(Rizal Yaya dkk, 2015)
a. Bagi Petani
Skema pembiayaan salam yang memberikan
pembayaran di awal transaksi memingkinkan petani untuk
dapat mengamankan biaya produksi barang pertanian.
Sehingga dapat memberikan motivasi kepada para petani
untuk meningkatkan jumlah produksi guna peningkatan hasil
pertaniannya untuk memenuhi kesepakatan kepada pembeli
dan sebagai cadangan pribadi.
b. Bagi Pemerintah
Target pemerintah untuk mendorong peningkatan
cadangan produk pertanian dapat lebih dipercepat, skema ini
dianggap dapat mengantisipasi penjualan produk pertanian
oleh petani hanya kepada pedagang besar bukan kepada
pemerintah. Selanjutnya dari pencapaian target cadangan
produk pertanian adalah dapat berdampak positif terhadap
ekspor produk pertanian.
c. Bagi Pengusaha
Dapat meningkatkan efesiensi dan nilai penjualan
produk pertanian, pengusaha sebagai penjual produk
pertanian memiliki kemungkinan untuk memperoleh produk
pertanian dari petani dengan harga yang relatif lebih rendah
dibanding dengan harga pasar karena skema pembayaran di
145
muka. Adanya harga pembelian yang relatif lebih murah
tersebut akan memberikan keuntungan bagi pengusaha untuk
memperoleh margin yang optimal. Keuntungan lain bagi
pengusaha adalah adanya kepastian memperoleh barang yang
diinginkan, sehingga tidak perlu khawatir atas persaingan
mendapat barang pada saat panen dengan pengusaha lain.
d. Bagi Bank Syariah
Skema pembiayaan dengan akad salam merupakan
pembiayaan dengan risiko yang rendah, karena terhindar dari
risiko gagal bayar oleh nasabah, dikarenakan pembayaran
sudah dilakukan di awal transaksi.
e. Bagi Pembeli dan Penjual
Memiliki jaminan ketersediaan barang yang dipesan
dengan harga dan kualitas yang telah disepakati dan telah
dibayar lunas. Sedangkan manfaat dari penjual yaitu
memperoleh sejumlah dana di awal yang dapat dipakai untuk
produksi dan memenuhi sebagian kebutuhan pribadi.
Dalam akad salam, harga barang pesanan yang sudah
disepakati tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Apabila
kualitas barang yang dikirim tidak sesuai dengan kesepakatan,
pembeli juga memiliki hak khiyar untuk melanjutkan transaksi atau
meminta barang dengan kualitas yang telah disepakati di awal akad.
2. Ketentuan Syar’i Akad Salam
Landasan syar’i untuk transaksi salam terdapat dalam
Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas:
“barang siapa yang melakukan salaf (salam) hendaknya ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
pula untuk jangka waktu yang diketahui”
Transaksi salam pada dasarnya diperbolehkan oleh
Rasulullah SAW dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Bai
salam bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan petani kecil yang
membutuhkan modal kerja untuk memulai bertani dan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
146
Ketentuan syar’i transaksi salam diatur oleh fatwa DSN
Nomor 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Fatwa
tersebut mengatur tentang ketentuan pembayaran, barang, salam
paralel, waktu penyerahan, dan syarat pembatalan kontrak.
3. Rukun Akad Salam
a. Rukun Transaksi Salam
1) Transaktor, yakni pembeli (muslam) dan penjual (muslam
ilaih). Fatwa DSN Nomor 05/DSN-MUI/ IV/2000
menyebutkan bahwa barang harus diserahkan tepat
waktu dengan harga dan kualitas sesuai dengan
kesepakatan awal akad. Penjual boleh menyerahkan
barang lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan dengan
harga dan kualitas yang tetap sama, namun tidak
diperkenankan adanya penambahan harga.
Penjual juga tidak diperbolehkan untuk meminta
tambahan pembayaran walaupun barang yang diserahkan
memiliki kualitas yang lebih tingi dari kesepakatan
sebelumnya. Namun, apabila barang yang diserahkan
kualitasnya lebih rendah, maka maka pembeli dapat
memutuskan untuk menerima barang tersebut tanpa
meminta pengurangan harga, atau melanjutkan kontrak
dengan menunggu sampai dengan tersedianya barang
yang diinginkan, atau membatalkan kontrak dan meminta
pengembalian pembayaran sepenuhnya.
2) Objek akad salam, yaitu barang dan harga yang
diperjualbelikan dalam transaksi salam. Ketentuan yang
diatur oleh DSN terkait objek akad salam adalah sebagai
berikut:
a. Ciri-ciri yang jelas dan dapat diakui sebagai utang;
b. Harus jelas spesifikasinya;
c. Penyerahannya dilakukan kemudian;
d. Waktu dan tempat penyerahan barang harus jelas;
e. Barang tidak boleh dijual Kembali oleh pembeli
sebelum barang diterima;
147
f. Barang tidak boleh ditukar, kecuali dengan jenis dan
spesifikasi yang sama sesuai kesepakatan.
Alat bayar yang disyaratkan oleh DSN harus jelas jumlah
dan bentuknya. Alat pembayaran dapat berupa uang,
barang, atau manfaat. Serta pembayaran harus dilakukan
pada saat kontrak disepakati. Pembayaran juga tidak
boleh dalam bentuk pembebasan utang.
3) Ijab dan kabul yan menunjukkan pernyataan kehendak
jual beli secara salam, baik berupa ucapan maupun
perbuatan.
b. Rukun Transaksi Salam Paralel
Sesuai ketentuan dari DSN disebutkan bahwa akad salam
pertama (antara nasabah dengan bank syariah) dan akad salam
kedua (antara bank syariah dan pemasok barang) harus
dilakukan secara terpisah. Urutan pelaksanaannya pun harus
didahulukan penyelesaian akad pertama sebelum melakukan
akad kedua. Rukun akad kedua juga harus disesuaikan dengan
akad pertama.
c. Hal-hal yang membatalkan kontrak salam adalah:
1) Barang yang dipesan tidak dapat dipenuhi sampai dengan
waktu yang disepakati;
2) Barang cacat atau tidak sesuai dengan yang kesepakatan
akad;
3) Barang memiliki kualitasnya lebih rendah, dan pembeli
memilih untuk menolak atau membatalkan akad.
4) Barang yang dikirim kualitasnya tidak sesuai akad tetapi
pembeli menerimanya
5) Barang diterima.

148
C. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan
dengan Akad Salam di Bank Syariah
1. Pengawasan Transaksi Pembiayaan dengan Akad Salam
Pengawasan transaksi pembiayaan dengan akad salam
dilakukan berdasarkan pedoman dari Bank Indonesia yang
bertujuan untuk:
a. Memastikan objek salam bukan barang yang diharamkan oleh
Syariah Islam;
b. Memastikan bahwa pembayaran kepada pemasok sudah
dilakukan pada awal kontrak secara tunai;
c. Memastikan pelaksanaan akad salam sesuai dengan fatwa
DSN dan peraturan yang berlaku;
d. Memastikan akad salam yang dilakukan menggunakan akad
salam biasa atau akad salam paralel;
e. Memastikan keuntungan bank syariah berdasarkan margin
harga beli kepada pemasok dengan harga jual kepada pembeli;
2. Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad Salam
Mekanisme Transaksi Salam dan Salam Paralel dijelaskan
lebih detail dalam gambar berikut ini:
Figur 8.1
Alur Transaksi Salam Paralel
Bank Syariah
1) Negosiasi
sebagai Penjual
Akad dan Nasabah sebagai
(Muslim ilaih) Salam
pada salam 1 Pembeli
dan pembeli (Muslim)
(muslim) pada 2) Bayar
salam 2

6) Kirim Dokumen
4) Bayar
Pemasok
3) Negosiasi dan
Keterangan: 5) Kirim Barang
Akad Salam
149
- Pertama. Negosiasi antara nasabah dengan bank syariah
berhubungan dengan transaksi salam yang akan dilakukan;
- Kedua. Setelah terjadinya kesepakatan akad, nasabah sebagai
pembeli melakukan pembayaran kepada bank syariah sesuai
dengan kesepakatan jual belinya;
- Ketiga. Pada akad salam biasa, penjual akan langsung
memproduksi barang yang sudah disepakati dan dibayar oleh
pembeli kemudian langsung menyerahkan barang tersebut
kepada pembeli. Sedangkan apabila akad salam paralel, bank
syariah sebagai pihak penjual bagi nasabah pembeli akan
mencari pemasok untuk menyediakan barang yang sudah
disepakati dengan nasabah pemesan kemudian melakukan
akad salam kepada pemasok tersebut;
- Keempat. Bank syariah akan melakukan pembayaran atas
kesepakatan akad salam kepada pemasok barang;
- Kelima. Apabila barang yang dipesan sudah tersedia, maka
barang/objek salam ttersebut akan dikirim oleh pemasok
kepada nasabah pembeli;
- Keenam. Dokumen pengiriman/penyerahan objek salam
diberikan oleh pemasok kepada bank syariah.

D. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Salam di Bank Syariah
Contoh transaksi pembiayaan dengan akad salam parallel yang terjadi
di bank syariah dijelaskan dalam ilustrasi kasus berikut:
Transaksi Salam Pertama
Pada tanggal 1 April 2020 PT Sari Sentosa melakukan akad salam
kepada Bank Syariah Nasional dengan objek salam berupa 50 ton beras
pandan wangi kualitas nomor 1 untuk dijual ke negara Vietnam pada
jangka waktu 8 bulan ke depan.

150
Adapun detail kesepakatan antara PT Sari Sentosa dengan Bank Syariah
Nasional adalah sebagai berikut:
Spesifikasi barang : Beras pandan wangi kualitas nomor 1
Jumlah pesanan : 50 ton
Harga : Rp900.000.000,- (Rp18.000.000,-/ton)
Waktu penyerahan : dua tahap setiap empat bulan sebanyak 25 ton
(3 Agustus dan 3 Desember 2020)
Syarat pembayaran : Pelunasan pada saat penandatanganan akad

Transaksi Salam Kedua


Untuk menyediakan pesanan dari PT Sari Sentosa, maka Bank Syariah
Nasional melakukan transaksi pembelian dengan akad salam kepada
pemasok beras, yaitu CV. Tani Sejahtera. Akad salam tersebut terjadi
pada tanggal 3 April 2020. Rincian akad salam antara Bank Syariah
Nasional dengan CV. Tani Sejahtera adalah sebagai berikut:
Spesifikasi barang : Beras pandan wangi kualitas nomor 1
Jumlah pesanan : 50 ton
Harga : Rp850.000.000,- (Rp17.000.000,-/ton)
Waktu penyerahan : dua tahap setiap empat bulan sebanyak 25 ton
(2 Agustus dan 2 Desember 2020)
Agunan : Rumah dan Mobil senilai 1 miliar rupiah
Syarat pembayaran : Pelunasan pada saat penandatanganan akad
Sanksi : denda 2% dari produk yang belum diserahkan
apabila terjadi kegagalan
penyediaan/penyerahan karena lalai atau
sengaja.
1. Akuntansi Transaksi Salam pertama antara nasabah dengan
bank syariah pada saat akad disepakati
Pada saat akad disepakat, artinya sudah terjadi pembayaran
lunas oleh nasabah selaku pembeli sesuai dengan PSAK 103
paragraf 17. Berdasarkan transaksi di atas maka pencatatan yang
dilakukan oleh Bank Syariah Nasional (BCS) pada saat kesepakatan
akad salam dengan PT Sari Sentosa pada tanggal 1 April 2020

151
dengan kesepakatan harga senilai Rp.900.000.000,-adalah sebagai
berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Kas/Rekening nasabah - PT Sari 900.000.000
01/04/20 Sentosa
Kr. Utang salam 900.000.000
Penerimaan pembayaran dari nasabah bisa terjadi melalui
debit terhadap rekening nasabah ataupun pembayaran secara tunai
dari nasabah, serta sebelum barang disediakan oleh bank syariah,
maka bank syariah akan mengakui adanya utang terhadap
penyediaan produk salam tersebut.
2. Akuntansi Transaksi Salam kedua antara bank syariah
dengan pemasok pada saat akad disepakati
Akad salam kedua antara bank syariah dengan pemasok
adalah untuk menyediakan barang pesanan dari nasabah pembeli.
Bank syariah akan memilih dengan cermat pemasok/penjual yang
sesuai dengan kondisi akad pertama. Kriteria yang setidaknya
dimiliki oleh pemasok adalah dapat menyediakan barang dengan
kualitas dan kuantitas seperti yang diinginkan nasahab pembeli,
memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan dengan akad salam
pertama serta dapat menyediakan barang tepat waktu.
Jurnal yang dicatat oleh Bank Syariah Nasional atas
transaksi salam kedua dengan CV. Tani Sejahtera pada tanggal 3
April 2020 dengan jumlah pembayaran Rp.850.000.000,- adalah
sebagai berikut
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Piutang Salam 850.000.000
03/04/20 Kr. Kas/Rekening nasabah 850.000.000
penjual – CV. Tani Sejahtera
PSAK 103 paragraf 11 menyebutkan bahwa piutang salam
diakui pada saat modal usaha salam dibayarkan atau dialihkan
kepada pemasok/penjual. PSAK 103 paragraf 12 menyatakan
bahwa modal usaha salam dalam bentuk kas diukur sebagai jumlah
152
yang dibayarkan ataupun dengan melakukan penambahan saldo
simpanan yang dimiliki oleh penjual/pemasok (apabila
penjual/pemasok merupakan nasabah pada Bank Syariah yang
bersangkutan).
3. Penerimaan barang pesanan dari penjual atau pemasok
PSAK 103 paragraf 16 menyebutkan bahwa objek salam
yang diterima oleh bank syariah dari pemasok/penjual akan diakui
sebagai persediaan. Pada kasus di atas, penerimaan barang pesanan
dari CV. Tani Sejahtera adalah pada tanggal 2 Agustus dan 2
Desember 2020, masing-masing sebanyak 25 ton beras pandan
wangi kualitas nomor 1. Jurnal yang dibuat oleh bank syariah adalah
sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Persediaan produk salam 425.000.000
02/08/20 Kr. Piutang salam 425.000.000
Ket: tahap pertama 25 ton beras pandan wangi kualitas no. 1

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Persediaan produk salam 425.000.000
02/12/20 Kr. Piutang salam 425.000.000
Ket: tahap kedua 25 ton beras pandan wangi kualitas no. 1
Dengan adanya penerimaan objek salam, maka objek salam
tersebut akan diakui sebagai adanya penambahan persediaan, serta
pada sisi lain berdampak pada hilang/lunasnya piutang salam kepada
penjual/pemasok.
4. Penyerahan barang salam dari bank syariah kepada nasabah
pembeli.
Pada dasarnya penyerahan/pengiriman objek salam kepada
nasabah pembeli dapat dilakukan oleh bank syariah sendiri ataupun
dikirim oleh penjual/pemasok kepada nasabah pembeli sesuai
dengan tanggal kesepakatan antara bank syariah dengan nasabah
pembeli.

153
Pada tanggal 3 agustus dan 3 desember 2020 bank syariah
menyerahkan objek salam yang sudah dijanjikan kepada nasabah
pembeli sesuai dengan kualitas, kuantitas dan harga yang disepakati,
pencatatan yang dilakukan bank syariah adalah sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Hutang salam 450.000.000
03/08/20 Kr. Persediaan produk salam 425.000.000
Kr. Pendapatan bersih salam 25.000.000

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Hutang salam 450.000.000
03/12/20 Kr. Persediaan produk salam 425.000.000
Kr. Pendapatan bersih salam 25.000.000
Kewajiban/utang salam berkurang atau habis ketika terjadi
penyerahan objek salam kepada nasabah pembeli. Pada saat
penyerahan itu pula selisih antara harga beli dari penjual/pemasok
dengan harga jual kepada nasabah pembeli akan diakui sebagai
pendapatan bersih salam.

E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Salam di Bank Syariah
1. Penyajian
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 4.24-25), piutang salam dan
utang salam adalah akun yang terkait dengan jual beli dengan
skema salam. Ketentuan penyajian transaksi tersebut dalam
laporan keuangan adalah sebagai berikut.
a. Piutang salam disajikan sebesar jumlah tercatat. Piutang salam
yang tidak dapat dipenuhi oleh pemasok dan pemasok
menyatakan tidak dapat memenuhi kewajibannya disajikan
sebagai piutang qardh.
b. Utang salam disajikan sebesar jumlah tercatat.

154
2. Pengungkapan
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 4.25), hal-hal yang harus
diungkapkan terkait transaksi pembiayaan dengan skema salam
antara lain:
a. Rincian piutang salam dan utang salam berdasarkan jumlah,
jangka waktu, jenis valuta, jenis, dan kuantitas barang pesanan;
b. Piutang salam dari pemasok dan utang salam kepada nasabah
yang merupakan pihak berelasi.

G. Latihan Kasus
PT Krakatau Corn, membutuhkan 150 ton bibit jagung mutiara
untuk dijadikan barang ekspor 4 bulan yang akan datang. Pada
tanggal 5 Januari 2020, PT Krakatau Corn melakukan transaksi jual
beli dengan skema salam kepada Bank Syariah Nasional. Adapun
rincian akadnya adalah sebagai berikut:
Spesifikasi barang = bibit jagung mutiara
Jumlah = 150 ton
Harga = Rp.270.000.000 (Rp.1.800.000 per ton)
Waktu penyerahan = dua tahap setiap tiga bulan sebanyak 75
ton (8 April dan 8 Juli 2020)
Syarat pembayaran = Pelunasan pada saat akad ditandatangani
Untuk memperoleh bibit jagung Mutiara seperti yang
diinginkan PT Krakatau Corn, maka pada tanggal 6 Januari 2020 Bank
Syariah Nasional melakukan akad salam dengan penjual/pemasok CV
Wija Mas dengan rincian kesepakatan sebagai berikut:
Spesifikasi barang = bibit jagung mutiara
Jumlah = 150 ton
Harga = Rp.247.500.000 (Rp.1.650.000 per ton)
Penyerahan modal = uang tunai sejumlah Rp200.000.000,
peralatan pertanian senilai
Waktu penyerahan = Rp47.500.000
dua tahap setiap tiga bulan sebanyak 75
Agunan = ton (7 April dan 7 Juli 2020)
155
Syarat pembayaran = Rumah, tanah dan mobil senilai
Sanksi = Rp250.000.000
Pelunasan pada saat akad ditandatangani
Denda 11% dari nilai produk yang
belum diserahkan apabila terjadi
kegagalan penyerahan karena lalai atau
sengaja
Buatlah jurnal untuk transaksi berikut:
Bank Syariah Nasional melakukan akad salam
05 Jan 2020 dengan PT Krakatau Corn dan menerima
pembayaran akad salam.
Bank Syariah Nasional menyerahkan modal berupa
uang tunai sebesar Rp200.000.000 ke rekening CV
06 Jan 2020
Wija Mas dan aset berupa peralatan pertanian nilai
buku sebesar Rp47.500.000,
CV Wija Mas menyerahkan 75 ton bibit jagung
mutiara sebagaimana yang kesepakatan dengan Bank
Syariah Nasional. Adapun nilai wajar produk
07 April 2020
tersebut pada saat penyerahan sama dengan nilai
kontrak yaitu Rp123.750.000 (75 ton × Rp1.650.000
per ton).
Bank Syariah Nasional mengirim produk salam
08 April 2020 kepada PT Krakatau Corn dengan kuantitas dan
kualitas serta harga sesuai kesepakatan.
CV Wija Mas menyerahkan 75 ton bibit jagung
07 Juli 2020 mutiara tahap kedua sebagaimana yang kesepakatan
dengan Bank Syariah Nasional.
Bank Syariah Nasional mengirim produk salam
08 Juli 2020 tahap kedua kepada PT Krakatau Corn dengan
kuantitas dan kualitas serta harga sesuai kesepakatan.

156
BAB IX PEMBIAYAAN DENGAN AKAD
ISTISHNA (PSAK 104)

A. Pendahuluan
Pembiayaan yang difasilitasi oleh perbankan tidak hanya terbatas
dalam bentuk barang yang sudah ada, namun juga memungkinkan
terjadinya pembiayaan untuk barang yang harus melalui proses
pembuatan atau produksi terlebih dahulu, berdasarkan karakteristik
transaksi tersebutlah adanya pembiayaan dengan akad istishna yang
dapat mengakomodir transaksi untuk barang yang harus dipesan dan
diproduksi sesuai dengan spesifikasi pemesan tersebut.
Akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu.
Istishna dapat dilakukan langsung antara dua belah pihak antara
pemesan atau penjual seperti, atau melalui perantara. Jika dilakukan
melalui pearantara maka akad disebut dengan akad istishna paralel.
Walaupun istishna adalah akad jual beli, tetapi memiliki perbedaan
dengan salam maupun dengan murabahah. Istishna lebih ke kontrak
pengadaan barang yang ditangguhkan dan dapat di bayarkan secara
tangguh pula. Istishna menurut para fuqaha adalah pengembangan dari
salam, dan di izinkan secara syari’ah. Untuk pengakuan pendapatan
istishna dapat dilakukan melalui akad langsung dan metode persentase
penyelesaian. Di mana metode persentase penyelesaian yang
digunakanmiris dengan akuntansi konvensional, kecuali perbedaan laba
yang di pisah antara margin labadan selisih nilai akad dengan nilai wajar.
Pencatatan akuntansi untuk pembiayaan dengan akad istishna
diatur dalam PSAK 104 yang mengatur pengakuan, pengukuran,
penyajian, dan pengungkapan transaksi istishna'. Pernyataan ini
diterapkan untuk lembaga keuangan syariah dan koperasi syariah yang
melakukan transaksi istishna', baik sebagai penjual maupun pembeli.

157
B. Definisi, Ketentuan Syar’i dan Rukun Akad Istishna
1. Definisi Akad Istishna
Ba’i Al Istishna’ atau biasa disebut istishna merupakan
kontrak jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
antara pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual (pembuat,
shani). Transaksi istisha memiliki kemiripan dengan transaksi
salam, dalam hal barang yang dibeli belum ada pada saat transaksi,
melainkan harus dilunasi terlebih dahulu. Berbeda dengan
transaksi salam, yang barangnya adalah hasil pertanian. Pada
transaksi istishna, barang yang diperjualbelikan biasanya adalah
barang manufaktur. Adapun dalam hal pembayaran, transask
istihna dapat dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan
sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Penggunaan akad Istishna oleh bank Syariah di Indonesia
relatif masih minim. Akan tetapi, seiring dengan makin
meningkatnya jenis barang yang baru dilunasi setelah adanya
pesanan dari pembeli sangat dimungkinkan akad istishna juga
menjadi makin meningkat penggunaannya.
Bank juga dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual
dalam suatu transaksi Istishna’. Jika bank bertindak sebagai penjual
kemudian memesan kepada pihak lain (subkontaktor) untuk
menyediakan barang pesanan dengan cara Istishna’ maka hal ini
disebut Istishna’ paralel.
2. Ketentuan Syar’i Akad Istishna
Menurut Mazhab Hanafi, Istishna hukumnya boleh karena
hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal
tanpa ada ulama yang mengingkarinya. Ketentuan syar’I transaksi
istishna’ diatur dalam Fatwa DSN nomor 06/DSN-MUI/IV/2000
tentang jual beli istishna’. Fatwa tersebut mengatur ketentuan
pembayaran dan ketentuan barang. Karena istishna’ mirip dengan
transaksi salam, beberapa ketentuan salah juga berlaku pada
transaski istishna’.

158
3. Rukun Akad Istishna
Rukun transaksi istishna meliputi: (a). transaktor, yakni
pembeli (mustashni) dan penjual (shani); (b). objek akad meliputi
barang dan harga barang istishna; (c). Ijab dan qabul yang
menunjukkan pernyataan kehendak jual beli istishna kedua belah
pihak.
a. Transaktor
Transaktor terdiri atas pembeli dan penjual. Kedua transaktor
disyaratkan memiliki kompetensi berupa aqil balig dan
kemampuan memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak
sedang dipaksa, dan lain-lain yang sejenis. Adapun untuk
transaksi dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan
pantauan dari walinya. Terkait dengan penjual, DSN
mengharuskan agar penjual menyerahkan barang tepat pada
waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati
penjual diperbolehkan menyerahkan barang lebih cepat dari
waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah
barang yang sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boeh
menuntut tambahan harga. Dalam hal pesanan sudah sesuai
dengan kesepakatan, hukumnya wajib bagi pembeli untuk
menerima barang istishna, dan melakasanakan semua
ketentuan dalam kesepakatan istishna. Akan tetapi sekiranya
pada barang yang dilunasi terdapat cacat atau barang tidak
sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak
memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
b. Objek Istishna
Objek akad transaksi jual beli istishna meliputi barang yang
diperjualbelikan dan harga barang tersebut. Terkait dengan
barang istishna, DSN dalam fatwanya menyatakan bahwa ada
bebrapa ketentuan yang harus dipenuhi. Ketentuan tersebut
antara lain :
i. Harus jelas spesifikasinya.
ii. Penyerahannya harus dilakukan kemudian.
159
iii. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan.
iv. Pembeli (mustashni) tidak boleh menjual barang sebelum
menerimanya.
v. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang
sejenis sesuai kesepakatan.
vi. Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati.
vii. Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi
pemesan, bukan barang massal.
Terkait dengan alat pembayaran, DSN mensyaratkan alat
bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya diawal akad.
Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah Selama
jangka waktu akad. Alat bayar dapat berupa uang, barang, dan
manfaat. Pembayaran harus dilakukan sesuai kesepakatan.
Pembayaran itu sendiri tidak boleh dalam bentuk pembebasan
utang.
c. Ijab dan Kabul
Ijab dan qabul istishna merupakan pernyataan dari kedua
belah pihak yang berkontrak, dengan cara penawaran dari
penjual (bank Syariah) dan penerimanya yang dinyatakan oleh
pembeli (nasabah). Pelafalan perjanjian dapat dilakuakn
dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara), tindakan
maupun tulisan, bergantung pada praktik yang lazim di
masyarakat dan menunjukkan keridhaan satu pihak untuk
menjual barang istishna dan pihak lain untuk membeli barang
istishna. Menurut PSAK 104 paragraf 12, pada dasarnya
istishna tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi:
i. Kedua belah pihak setuju untuk membatalkannya,
ii. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum
yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian
akad.
Berdasarkan fatwa DSN Nomor 6 tahun 2000 disebutkan
bahwa akad Istishna’ kedua (antara bank sebagai pembeli
dengan petani sebagai penjual ) harus dilakukan terpisah dari
160
akad pertama. Adapun akad kedua baru dilakukan setelah
akad pertama sah. Rukun-rukun yang terdapat pada akad
Istishna’ pertama juga berlaku pada akad Istisna’ kedua.

C. Perbedaan Salam dan Istishna


Istishna dan salam adalah sama-sama bentuk jual beli pesanan
atau jual beli barang yang tidak ada. Kedua akad ini merupakan
transaksi yang telah sering terjadi dalam kehidupan masyarakat dan
memudahkan masyarakat dalam merealisasikan kepentingannya serta
mencukupi kebutuhannya. Akan tetapi, terdapat beberapa perbedaan
diantara akad tersebut. Perbedaan istishna dan salam dapat dilihat
dalam tabel berikut:
Salam Istishna
Objek Al-dain (Tanggungan) Al- ain (benda)
Waktu Dibatasi dengan tempo Tidak
yang pasti berlaku
Sifat Luzum (mengikat kedua Tidak
belah pihak)
Pembayaran Tunai di awal akad Tidak harus (diawal,
ditangguhkan atau
diangsur)
Produk Produk Agrobisnis Produk Manufaktur

D. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Istishna di Bank Syariah
1. Pengawasan Transaksi Pembiayaan dengan Akad Istishna
di Bank Syariah
Untuk memastikan kesesuaian syariah terhadap praktik
jual beli Istishna’ dan Istishna Paralel. DPS biasanya melakukan
pengawasan syariah secara periodik. Brdasarkan pedoman yang
diterapkan oleh Bnak Indonesia, pengawasan tersebut dilakukan
untuk :
161
a. Memastikan barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan
oleh syariah Islam;
b. Mneliti apakah bank memebiayai perbuatanbarang yang
diperlukan nasabah sesuai pesanan dan kriteria yang
disepakati;
c. Memastikan akad Istishna’ dan Istishna’ akad Paralel dibuat
dalam akad yang terpisah;
d. Memastiakn bahwa akad Istishna’ yang sudah dikerjakan
sesuai kesepakatan hukumnya mengikat, artinya tidak dapat
dibatalkan kecuali memenuhi kondisi, antara lain (i) kedua
belah pihak setuu untuk menghentikan akad Istishna’ , dan (ii)
akad Istishna’ batal demi hukum karena timbul kondisi
hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau
penyelesaian akad.
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS
menuntut bank syariah untuk hati-hati dalam melakukan transaksi
jual beli istishna’ dan istishna’ paralel dengan para nasabah. Di
samping itu, bank juga dituntut untuk melaksanakan tertib
administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS dapat
tersedia setiap saat dilakukan pengawasan.
2. Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad Istishna di
Bank Syariah
Pada Istishna’ paralel terdapat tiga pihak yang terlibat, yaitu
bank, nasabah, dan pemasok. Pembiayaan dilakukan karena
nasabah tidak dapat melakukan pembayaran atas tagihan pemasok
selama masa periode pembangunan, sehingga memerlukan jasa
pembiayaan dari bank. Atas pembiayaan terhadap pembangunan
barang, maka bank mendapatkan margin dari jualbeli barang yang
terjadi. Margin diperboleh dari selisih harga beli bank kepada
pemasok dengan harga jual akhir kepada nasabah. Dimungkinkan
juga, bank mendapatkan pendapatan selain margin baru
pendapatan administrasi.
Adapun skema transaksi Istishna Paralel ditunjukkan pada figur
9.1 transasksi dilakukan dengan alur sebagai berikut:
162
Figur 9.1

Keterangan:
- Pertama nasabah memesan barang yag dikehendaki dan
melakukan negosiasi kesepakatan antara penjual dengan
pembeli terkait transaksi Istishna’ yang akan dilaksanakan;
- Kedua, pada transaksi Istishna’ setelah akad disepakato,
penjual mulai membuat atau menyelesaikan tahapan
pembuatan barang yang diinginkan pembeli. Setelah barang
dihasilkan, pada saat atau sebelum tanggal penyerahan,
penjual mengirim barang sesuai dengan spesifikasi kualitas
dan kuantitas yang telah disepakati kepada pembeli. Adapun
transaksi Istishna’ paralel yang biasanya digunakan oleh
penjual (bank syariah) yang tidak membayar sendiri barang
Iistishna’, setelah menyepakati kontrak Istishna’ dan
menerima dana dari nasabah Istishna’, selanjutnya secra
terpisah memebuat akakd Istishna’ dengan produsen barang
Istishna’;
- Ketiga, setelah menyepakati transaksi Istishna’ dalam jangka
waktu tertentu, pemasok kemudian mulai melakukan
pengerjaan barang yang dipesan;

163
- Keempat, selama mengerjakan barang yang dipesan,
pemasok melakukan tagihan kepada bank syariah senilai
tingkat penyelesaian barang pesanan;
- Kelima, bank syariah melakukan pembayaran kepada
pembuat barang sebesar nilai yang ditagihkan;
- Keenam, bank syariah melakukan tagihan kepada nasabah
pembeli berdasarkan tingkat penyelesaian barang;
- Ketujuh, pemasok menyerahkan barang kepada nasabah
pembeli;
- Kedelapan, pemasok mengirimkan bukti pengiriman barang
kepada bank syariah; dan
- Kesembilan, nasabah melunasi pemayaran barang Istishna’
sesuai dengan akad yang telah disepakati.

E. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Istishna di Bank Syariah
Berikut contoh transaksi pembiayaan dengan akad istishna yang terjadi
di Bank Syariah Nasional
Transaksi Istishna’ Pertama
Untuk mengembangkan klinik ibu dan anak yang dikelolanya, dr.
Luna berencana menambah satu unit bangunan seluas 100 m2 khusus
untuk rawat inap disebelah barat bangunan utama klinik. Untuk
kebutuhan itu, dr. Luna menghubungi Bank Syariah Nasional untuk
menyediakan bangunan baru sesuai dengan spesifikasi yang
diinginkannya. Setelah serangkaian negosiasi beserta kegiatan survei
untuk menghasilkan desain bangunan yang akan dijadikan acuan
spesifikasi barang, pada tanggal 10 Februari 2020 ditandatanganilah
akad transaksi istishna’ pengadaan bangunan untuk rawat inap.
Adapun kesepakatan antara dr. Luna dengan Bank Syariah Nasional
adalah sebagai berikut:
Harga Bangunan : Rp 150.000.000

164
Lama Penyelesaian : 5 bulan (paling lambat tanggal 10
Juli)
Mekanisme Penagihan : 5 termin sebesar Rp 30.000.000 per
termin mulai tanggal 10 Agustus
Mekanisme Pembayaran : Setiap 3 hari setiap tanggal
pembayaran
Transaksi Istishna’ Kedua
Untuk membuat bangunan sesuai dengna keinginan dr. Luna, pada
tanggal 12 Februari 2020, Bank Syariah Nasional memesan kepada
kontraktor PT. Sumber Utama Karya dengan kesepakatan sebagai
berikut:
Harga Bangunan : Rp 130.000.000
Lama Penyelesaian : 4 bulan 15 hari (paling
lambat tanggal 25 Juni)
Mekanisme penagihan kontraktor : 3 termin pada saat
penyelesaian 20%, 50%,
dan 100%.
Meknisme pembayaran oleh Bank : dibayar tunai sebesar tagihan dari
kontraktor.

F. Penjurnalan Transaksi Istishna’


1. Transaksi Biaya Pra-Akad (Bank Sebagai Penjual)
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 25, disebutkan bahwa biaya
perolehan istishna’ terdiri dari biaya langsung dan biya tidak
langsung. Biaya langsung meliputi biaya bahan baku dan biaya
tenaga kerja langsung untuk membuat barang pesanan. Adapun
biaya tidak langsung adalah biaya overhead termasuk biaya akad
dan biaya pra-akad. Selanjutnya pada paragraf 26 disebutkan
bahwa biaya pra-akad diakui sebagai beban tangguhan dan
diperhitungkan sebagai biaya istishna’ jika akad disepakati.
Misalkan pada kasus di atas, pada tanggal 5 Februari 2020,
untuk keperluan survei dan pembuatan desain bangunan yang akan
dijadikan acuan spesifikasi barang. Bank Syariah Nasional telah
165
mengeluarkan kas hingga Rp 2.000.000. Jurnal untuk mengakui
transaksi ini adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Beban pra-akad yg ditangguhkan 2.000.000
05/02/20
Kr. Kas 2.000.000
Dalam laporan keuangan, beban praakad disajikan
dalam neraca pada bagian aset lancar dengan perlakuan
seperti memperlakukan beban dibayar dimuka. Akan
tetapi, karena rekening ini bersifat sementara, biasanya
salso rekening ini adalah nol dan tidak disajikan pada
laporan keuangan.
2. Penandatanganan Akad dengan Pembeli (Bank
Sebagai Penjual)
Pada saat akad ditandatangani antara bank dengan
pembeli, tidak ada jurnal yang harus dibuat untuk
mengakui adanya jual beli istishna’. Akan tetapi, adanya
kesepakatan jual beli istishna’ ini menyebabkan
pengeluaran-pengeluaran praakad diakui sebagai biaya
istishna’. Berdasarkan PSAK 104 paragraf 26, dinyatakan
bahwa biaya praakad diakui sebagai beban tangguhan dan
diperhitungkan sebagai biaya istishna’ jika akad disepakati.
Misalkan kasus dr. Naela dengan Bank Syariah
Nasional diatas, transaksi istishna’ jadi disepakati pada
tanggal 10 Februari, maka jurnal pengakuan beban praakad
menjadi biaya istishna’ adalah:
Tanggal Rekening Debit Kredit (Rp)
(Rp)
Db. Biaya Istishna’ 2.000.000
10/02/20
Kr. Beban pra-akad yg ditangguhkan 2.000.000
Dalam praktik perbankan, jika akad jadi disepakati,
beberapa bank memperlakukan beban praakad sebagai
piutang istishna’.

166
3. Pembuatan Akad Istishna’ Paralel dengan Pembuat
Barang (Bank Sebagai Pembeli)
Seperti halnya saat akad istishna’ disepakati, pada
saat akad istishna’ paralel disepakati dengan pembuat
barang, tidak ada jurnal yang harus dibuat terkait dengan
kesepakatan jual beli istishna’. Jurnal dilakukan jika terdapat
transaksi pembayaran uang kepada pembuat barang oleh
Bank Syariah. Dalam kasus sebelumnya diketahui bahwa
pembayaran dilakukan berdasarkan tingkat penyelesaian,
sehingga pada saat akad, tidak ada kas yang harus
dikeluarkan oleh bank syariah.
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 29 disebutkan
bahwa biaya perolehan istishna’ paralel terdiri dari:
a. Biaya perolehan barang pesanan sebesar tagihan
produsen atau kontraktor kepada entitas.
b. Biaya tidak langsung, yaitu biaya overhead termasuk
biaya akad dan praakad.
c. Semua biaya akibat produsen atau kontraktor tidak
dapat memenuhi keajibannya, jika ada.
Biaya perolehan istishna’ paralel diakui sebagai aset
istishna’ dalam penyelesaian pada saat diterimanya tagihan
dari produsen atau kontraktor sebesar jumlah tagihan.
4. Penerimaan dan Pembayaran Tagihan kepada
Penjual (Pembuat) Barang Istishna’
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 36 disebutkan
bahwa pembeli mengakui aset istishna’ sebesar jumlah
termin yang ditagih oleh penjual yang dalam hal ini
pembuat barang dan sekaligus mengakui utang istishna’
kepada pembuat barang tersebut. Dijelaskan lebih lanjut
dalam PAPSI 2013 (h.418) bahwa tagihan supplier kepada
bank atas sebagian barang pesanan yang telah diselesaikan
diakui sebagai ‘aktiva istishna dalam penyelesaian’ dan
‘utang istishna’ sebesar tagihan supplier.

167
Dalam kasus 9.1, disebutkan bahwa mekanisme
pembayaran dilakukan dalam tiga termin, yaitu pada saat
penyelesaian 20%, 50%, dan 100%. Misalkan dalam
perjalanannya, realisasi tagihan ketiga termin tersebut
ditunjukkkan dalam tabel berikut:
No. Tingkat Tanggal Jlh Tagihan Tanggal Jlh
Termin Penyelesa Penagihan (Rp) Pembayaran Pembayaran
ian (Rp)
I 20% 1 April 26.000.000 8 April 26.000.000
II 50% 15 Mei 39.000.000 22 Mei 39.000.000
III 100% 25 Juni 65.000.000 2 Junli 65.000.000
Misalkan pada tanggal 1 April, PT Sumber Utama
Karya menyelesaikan 20% pembangunan dan menagih
pembayaran termin pertama sebesar Rp 26.000.000 (20%
x Rp 130.000.000) kepada Bank Syariah Nasional. Jurnal
pengakuan penagihan pembayaran oleh pembuat barang
adalah sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Aset istishna’ dlm penyelesaian 26.000.000
01/04/20
Kr. Utang istishna’ 26.000.000
Adapun dasar pembukuan transaksi adanya utang
istishna’ dan timbulnya aset istishna’ dalam penyelesaian
adalah dokumen tagihan.
Selanjutnya, untuk membayar tagihan pembuat
barang, bank syariah dapat membayar secara tunai maupun
melalui kredit rekening. Praktik yang lazim di perbankan,
tagihan biasa dibayar melalui rekening.
Misalkan pembayaran dilakukan tanggal 8 April,
maka jurnal pembayaran tersebut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Utang Istishna’ 26.000.000
08/04/20
Kr. Kas /Rekening nasabah pemasok 26.000.000

168
Jurnal sejenis juga dilakukan pada saat penerimaan
tagihan dan pembayaran kedua (penyelesaian 50%) dan
ketiga (penyelesaian 100%).
Misalkan, tagihan kedua diterima tanggal 15 Mei
dan diikuti dengan pembayaran oleh bank pada tanggal 22
Mei 2020. Tagihan ketiga diterima tanggal 25 Juni 2020 dan
dibayarkan pad tanggal 2 Juli 2020. Jurnal untuk transaksi
tersebut adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Aset istishna’ dlm penyelesaian 39.000.000
15/05/20 Kr. Utang istishna’ 39.000.000*
*(50%-20%) x Rp130.000.000 = Rp 39.000.000
Db. Utang istishna’- pembuat barang 39.000.000
22/05/20
Kr. Kas/Rek. Nasabah pemasok 39.000.000
Db. Aset istishna’ dlm penyelesaian 65.000.000
25/06/20 Kr. Utang istishna’ 65.000.000*
*(100% - 50%) x Rp 130.000.000 = Rp 65.000.000
Db. Utang istishna’ -pembuat barang 65.000.000
02/07/20
Kr. Kas/Rek. Nasabah pemasok 65.000.000
Umumnya, pembayaran dilakukan tidak 100%
lunas pada saat serah terima barang selesai, namun ditahan
sebesar 5 % untuk masa commissioning. Lima persen
merupakan nilai best practice. Setelah bank yakin tidak ada
permasalahan teknis atas barang yang selesai dibangun,
baru 5 % sisa pembayaran siserahkan. Masa
commissioning dapat berlangsung 1-3 bulan setelah
penyerahan barang tergatung dari kesiapan penggunaan
operasional aset istishna’ tersebut.
5. Pegakuan Pendapatan Istishna’
Pada istishna’ paralel, terdapat dua metode
pengakuan pendapatan, yaitu metode persentase
penyelesaian dan metode akad selesai. Pada metode akad

169
selesai, pengakuan pendapatan diakui setelah barang
selesai. Pengakuan pendapatan dibelakang berlaku juga
untuk metode persentase penyelesaia dimana tidak
terdapat alasan alasan rasional yang kuat untuk mengukur
persentase penyelesaian (progress pekerjaan atas barang
yang dibangun).
Pada metode persentase penyelesaian, pendapat
diakui sesuai persentase penyelesaian dan menambah nilai
aset istishna’ dalam penyelesaian. Dasar dari pengakuan
pendapatan adalah alasan rasional yang terdokumentasi
dimana bank dapat menaksir persentase penyelesaian
barang secara moneter untuk dijadikan nilai harga pokok
jual beli. Pengakuan pendapatan ini dpat dilakukan secara
periodik (bulanan, triwulan, dll) atau pada periode tertentu
sepanjang bank memiliki dokumen persentase
penyelesaian,
Berdasarkan PSAK 104 paragraf 18, disebutkan
jika metode persentase penyelesaian digunakan, maka:
a. Bagian nilai akad yang sebanding dengan pekerjaan
yang telah diselesaikan dalam periode tersebut, diakui
sebagai pendapatan istishna’ pada periode yang
bersangkutan.
b. Bagian margin keuntungan istishna’ yang diakui
selama periode pelaporan ditambahkan kepada aset
istishna’ dalam penyelesaian.
c. Pada akhir periode harga pokok istishna’ diakui
sebesar biaya istishna’ yang telah dikeluarkan sampai
dengan periode tersebut.
Pada proyek dengan periode pembuatan atau
konstruksi aset istishna’ yang melewati satu periode
pelaporan keuangan, maka timbul konsekuensi bahwa
bank tidak dapat mengakui adanya pendapatan. Untuk itu,
bank cenderung memilih penggunaan metode persentase
penyelesaian dan menyusun jadwal pembayaran piutang
170
dari nasabah yang besarnya disesuaikan kemampuan arus
kas nasabah. Hal ini akan menghindari tiadanya
pendapatan bank terlalu lama yang ujungnya
mengakibatkan bagi hasil untuk nasabah deposan
menurun atau rendah pada periode tersebut. Termin
istishna’ disajikan sebesar jumlah tagihan termin bank
kepada nasabah. Untuk kasus sebelumnya, dengan
menggunakan metode persentase penyelesaian, maka
pendapatan diakui sesuai dengan persentase penyelesaian.
Adapun perhitungan pendapatan istishna’, harga pokok
istishna’ dan keuntungan istishna’ adalah:
• Pendapatan istishna’ diukur sebesar bagian nilai akad
yang sebanding dengan pekerjaan yang telah
diselesaikan dalam periode tersebut.
Pendapatan istishna’ = persentase penyelesaian x nilai
akad penjualan
Maka pada tanggal 10 April saat penyeleaian 20%,
diakui pendapatan sebesar Rp 30.000.000 (20% x Rp
150.000.000).
• Harga pokok istishna’ dikui sebesar persentase
penyelesaian aset istishna’.
Harga pokok istishna’ = persentase penyelesaian x nilai
akad pembelian
= 20% x Rp 130.000.000
= Rp 26.000.000
• Keuntungan istishna’ yang dimaksud adalah bagian
margin keuntungan istishna’ yang diakui selama
periode pelaporan yang ditambahkan kepada aset
istishna’ dalam penyelesaian.
Keuntungan istishna’ = persentese penyelesaian x margin
keuntungan istishna’
= 20% x (Rp 150.000.000 –
Rp 130.000.000)
= 20% x Rp 20.000.000
171
= Rp 4.000.000
Secara keseluruhan, jurnal yang terkait dengan
transaksi pengakuan pendapatan saat penyelesai 20%.
50%, dan 100% adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Aset istishna’ dalam
4.000.000
penyelesaian
Db. Harga pokok istishna’ 26.000.000
Kr. Pendapatan istishna’ 30.000.000*
Ket:
Pendapatan margin = % penyelesaian x harga jual
= 20% x Rp 150.000.000
10/04/20
= Rp 30.000.000
Harga pokok istishna = % penyelesaian x harga jual
= 20%x Rp 130.000.000
= Rp 26.000.000
Aset istishna’ = % penyelesaian – keuntungan istishna’ dalam
penyelesaian = 20% - Rp 20.000.000
= Rp 4.000.000
Db. Aset istishna’dalam
6.000.000
penyelesaian
Db. Harga pokok istishna’ 39.000.000
Kr. Pendapatan istishna’ 45.000.000
Ket:
Pendapatan margin = % penyelesaian x harga jual
= (50% - 20%) x Rp 150.000.000
15/05/20
= Rp 45.000.000
Harga pokok istishna = % penyelesaian x harga beli
= (50% - 20%) x Rp130.000.000
= Rp 39.000.000
Aset istishna = % penyelesaian –keuntungan istihna’ dalam
penyelesaian = (50% - 20%) - Rp 20.000.000
= Rp 6.000.000
Db. Aset istishna’ dalam
10.000.000
25/06/20 penyelesaian
Db. Harga poko istishna’ 65.000.000
172
Kr. Pendapatan istishna’ 75.000.000
Ket:
Pendapatan margin = % peneyelesaian x harga jual
= (100% - 50%) x Rp 150.000.000
= Rp 75.000.000
Harga pokok istishna = % penyelesaian x harga beli
= (100% - 50%) x Rp130.000.000
= Rp 65.000.000
Aset istishna = % penyelesaian –keuntungan istishna’ dalam
penyelesaian = (100% - 50%) -Rp20.000.000
= Rp 10.000.000
Dasar dari pengakuan pendapat adalah laporan
teknis yang dijadikan perusahaan untuk mengakui adanya
pendapatan. Laporan teknis ini berupa laporan unit kerja
produksi atau unit kerja teknis erhadap kondisi pekerjaan
kontruksi yang dilakukan (unit kerja akuntansi tidak dapat
menyusun sendiri laporan teknis karena masalah teknis
berada diluar domain legitimasi dari akuntan).
6. Penagihan Piutang Isthina’ Pembeli
Penagihan penjual dilakukan sesuai dengan
kesepakatan dalam akad dan tidak selalu sesuai dengan
persentase penyelesaian pembuatan barang pesanan
(PSAK 104 pragraf 24).
Berdasarkan PSAK 104 pragraf 23 disebutkan
bahwa tagihan setiap termin kepada pembeli diakui sebagai
piutang istishna’ dan termin istishna’ (biling) pada pos
lawannya. Karena istishina’ yang dilakukan adalah istishina’
pararel, maka termin yang ada dibedakan antara termin
bank-pemasok dengan termin bank-nasabah. Keduanya
tidak harus sama dengan bergantung kapada kodisi setiap
pihak yang terlibat.
Misalkan dalam kasus di atas, penagihan oleh bank
kepada pembeli akhir dilakukan dalam 5 termin dalam
jumlah yang sama, yaitu Rp 30.000.000, setiap tanggal 10

173
mulai bulan April. Maka jurnal untuk mangakui 5 kali
penagihan piutang istisina’ kepada pembeli dan
penerimaan pembayaran dari pembeli tersebut adalah
sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Piutang istishna’ 30.000.000
10/04/20 Kr. Termin istishna’ 30.000.000*
*Rp 150.000.000/5 termin = Rp 30.000.000 per termin
Db. Piutang istishna’ 30.000.000
10/05/20
Kr. Termin istishna’ 30.000.000
Db. Piutang istishna’ 30.000.000
10/06/20
Kr. Termin istishna’ 30.000.000
Db. Piutang istishna’ 30.000.000
10/07/20
Kr. Termin istishna’ 30.000.000
Db. Piutang istishna’ 30.000.000
10/08/20
Kr. Termin istishna’ 30.000.000
7. Penerimaan Pembayaran Piutang Istishina’ dari
Pembeli
Pembayaran piutang istishina’ oleh nasabah
dilakukan setelah menerima tagihan istishina’ dari bank.
Oleh karena termin istishina’ merupakan pos lawan dari
piutang istishina’, pada saat waktu pembayaran piutang,
bank sebagai penjual perlu menutup termin istishina’, pada
saat sama, bank juga menkredit aset istishna’ dalam
penyelesain unutk mengakui adanya pengalihan aset
kepada pembeli sebesar jumlah yang dibayar.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit(Rp)
Db. Kas/ rekening nasabah pembeli 30.000.000
13/04/20 istishna
Kr. Piutang istishna 30.000.000

174
Db. Kas/Rekening nasabah pembeli 30.000.000
13/05/20 istishna
Kr. Piutang istishna 30.000.000
Db. Kas/ rekening nasabah pembeli 30.000.000
13/06/20 istishna
Kr. Piutang istishna 30.000.000
Db. Kas/rekening nasabah pembeli 30.000.000
13/07/20 istishna
Kr. Piutang istishna 30.000.000
Db. Kas/rekening nasabah pembeli 30.000.000
13/08/20 istishna
Kr. Piutang istishna 30.000.000

G. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Istishna di Bank Syariah
1. Penyajian
Menurut PAPSI 2013 (h. 4.19-20), ketentuan penyajian
transaksi terkait jual beli dengan skema istishna dalam laporan
keuangan adalah sebagai berikut:
a. Uang muka Istishna disajikan sebagai liabilitas lainnya.
b. Uang muka kepada pemasok disajikan sebagai aset lainnya.
c. Utang Istishna disajikan sebesar tagihan dari pemasok yang
belum dilunasi.
d. Aktiva Istishna Dalam Penyelesaian disajikan sebesar dana yang
dibayarkan Bank kepada supplier.
e. Termin Istishna disajikan sebesar jumlah tagihan termin Bank
kepada nasabah.
f. Piutang Istishna disajikan sebesar jumlah yang belum dilunasi
oleh pembeli akhir.
g. Marjin Istishna ditangguhkan disajikan sebagai pos lawan
piutang istishna.

175
2. Pengungkapan
Menurut PAPSI 2013 (h. 4.21) hal-hal yang harus
diungkapkan terkait jual beli dengan skema istishna antara lain:
a. Rincian piutang istishna berdasarkan jumlah, jangka waktu,
jenis valuta dan kualitas piutang dan cadangan kerugian
penurunan nilai piutang Istishna.
b. Jumlah piutang murabahah yang diberikan kepada pihak yang
berelasi.
c. Kebijakan akuntansi yang dipergunakan dalam pengakuan
pendapatan cadangan kerugian penurunan nilai, penghapusan
dan penanganan piutang istishna yang bermasalah.
d. Besarnya piutang istishna baik yang dibiayai sendiri oleh bank
maupun secara bersama-sama dengan pihak lain sebesar bagian
pembiayaan bank.
e. Jumlah akumulasi biaya atas kontrak berjalan serta pendapatan
dan keuntungan sampai dengan akhir periode berjalan.
f. Jumlah sisa kontrak yang belum selesai menurut spesifikasi dan
syarat kontrak.
g. Klaim tambahan yang belum selesai dan semua denda yang
bersifat kontinjen sebagai akibat keterlambatan pengiriman
barang.
h. Nilai kontrak istishna yang sedang berjalan serta rentang
periode pelaksanaannya.
i. Nilai kontrak istishna yang telah ditandatangani bank selama
periode berjalan tetapi belum dilaksanakan dan rentang periode
pelaksanaannya.
j. Rincian utang istishna berdasarkan jumlah, tujuan (pemasok
atau nasabah), jangka waktu dan jenis mata uang.
k. Utang istishna kepada nasabah yang merupakan pihak berelasi.
l. Jenis dan kuantitas barang pesanan.

176
H. Latihan Kasus
Pada tanggal 5 Maret 2020 Bank Syariah Nasional mendapat
pesanan dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta yaitu Universitas
Harapan Banjarmasin dengan kontrak istishna’ untuk pembangunan 10
unit rumah untuk karyawannya dengan total nilai kontrak
Rp600.000.000, dengan spesifikasi luas bangunan 75m2 bahan batu
bata dan kayu bengkire.
Lama Penyelesaian = 5 bulan (paling lambat tanggal 5
Mekanisme = Agustus)
panagihan 3 termin sebesar Rp200.000.0000 per
= termin mulai tanggal 5 Agustus
Mekanisme setiap 10 hari setelah tanggal penagihan
pembayaran
Untuk pengadaan rumah tersebut, pada tanggal 10 Maret bank
bekerjasama dengan PT Udaya Karya dengan menggunakan kontrak
istishna’ dengan nilai kontrak Rp560.000.000 untuk 10 unit rumah.
Lama Penyelesaian = 4 bulan 20 hari (paling lambat tanggal
Mekanisme panagihan = 30 Juli)
dua termin pada saat penyelesaian 50%
Mekanisme = dan 100%
pembayaran dibayar tunai 5 hari setelah tanggal
tagihan dari kontraktor
Buatlah jurnal untuk kasus berikut (metode pangakuan pendapatan
menggunakan metode persentase penyelesaian):
BSN telah mengeluarkan kas sampai dengan
Rp5.000.000 untuk keperluan survei dan pembuatan
02 Mar 2020
desain bangunan yang akan dijadikan acuan spesifikasi
barang.
Kesepakatan akad istishna atas pembuatan 10 unit
rumah antara bank syariah dengan Universitas
05 Mar 2020
Harapan Banjarmasin. Saat akad, beban praakad
diakui sebagai biaya istishna’

177
PT Udaya Karya menyelesaikan 50% pembangunan
20 Mei 2020 dan menagih pembayaran termin pertama sebesar
Rp280.000.000 (50% × Rp560.000.000) kepada BSN.
Pengakuan pendapatan istishna’ saat penyelesaian
20 Mei 2020
50%.
Bank Syariah membayar tagihan PT Udaya Karya
25 Mei 2020
sebesar yang ditagihkan.
PT Udaya Karya menyelesaikan 100% pembangunan
30 Juli 2020 dan menagih pembayaran termin kedua sebesar
Rp280.000.000 kepada Bank Syariah.
30 Juli 2020 Diakui pendapatan istishna’ saat penyelesaian 100%.
BSN membayar tagihan PT Udaya Karya sebesar yang
04 Agst 2020
ditagihkan.
BSN melakukan penagihan termin pertama pada
05 Agst 2020 Universitas Harapan Banjarmasin sebesar
Rp200.000.000.
Universitas Harapan Banjarmasin membayar tagihan
15 Agst 2020
istishna’ termin pertama sebesar Rp200.000.000.
BSN melakukan penagihan termin kedua pada
05 Sept 2020 Universitas Harapan Banjarmasin sebesar
Rp200.000.000.
Universitas Harapan Banjarmasin membayar tagihan
15 Sept 2020
istishna’ termin kedua sebesar Rp200.000.000.
BSN melakukan penagihan termin ketiga pada
05 Okt 2020 Universitas Harapan Banjarmasin sebesar
Rp200.000.000.
Universitas Harapan Banjarmasin membayar tagihan
15 Okt 2020
istishna’ termin ketiga sebesar Rp200.000.000.
Saat penerimaan pembayaran termin yang terakhir
15 Okt 2020
dari nasabah, rumah pesanan diakui secara akuntansi

178
penyerahannya kepada Universitas Harapan
Banjarmasin.

179
180
BAB X PEMBIAYAAN DENGAN AKAD
MUDHARABAH (PSAK 105)

A. Pendahuluan
Pembiayaan dengan konsep produktif tentu juga menjadi
perhatian bagi bank syariah, salah satu skema akad yang dikembangkan
dengan konsep Kerjasama yaitu pembiayaan dengan akad mudharabah.
Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkan dalam agama
Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik modal dengan
seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam banyak
pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola uangnya.
Sementara itu banyak pula para pakar dalam perdagangan yang tidak
memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas dasar saling
tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja
sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam
mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Akad mudharabah berbeda dengan akad pembiayaan yang ada
pada perbankan pada umumnya (perbankan konvensional). Perbankan
konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan
menentukan suku bunga tertentu dan pengembalian modal yang telah
digunakan mudharib dalam jangka waktu tertentu. Namun Akad
mudharabah tidak menentukan suku bunga tertentu pada mudharib
yang menggunakan pembiayaan mudharabah, melainkan mewajibkan
mudharib memberikan bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh
mudharib. Pembiayaan mudharabah pada dasarnya diperuntukan untuk
jenis usaha tertentu atau bisnis tertentu.
Pedoman akuntansi yang menjadi dasar pencatatan dan
pelaporan transaksi pembiayaan dengan akad mudharabah adalah
PSAK 105 yang mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan
pengungkapan transaksi mudharabah. Pernyataan ini diterapkan untuk
entitas yang melakukan transaksi mudharabah baik sebagai pemilik
dana (shahibul maal) maupun pengelola dana (mudharib).
181
B. Definisi, Rukun dan Jenis-Jenis Akad Mudharabah
1. Definisi
Secara istilah Mudharabah berarti seorang malik atau
pemilik modal menyerahkan modal kepada seorang amil untuk
berniaga dengan modal tersebu, dimana keuntungan dibagi
diantara keduanya dengan porsi bagian sesuai dengan yang
dipersyaratkan dalam akad. Dalam Fatawa al Azhar disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan Mudharabah adalah akad untuk
berserikat dalam keuntungan dimana modal dari satu pihak yang
berserikat dan pekerjaan dari pihak lain menurut syarat-syarat
tertentu. Menurut Sayyid Sabiq, Mudharabah adalah akad dianatara
dua belah pihak dimana salah satu pihak menyerahkan modal
kepada yang lain untuk berniaga pada modal tersebut dengan
keuntungan dibagi diantara keduanya dengan porsi sesuai hasil
kesepakatan.
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang
disalurkan oleh bank syariah kepada pihak lain untuk suatu usaha
yang produktif. Secara bahasa, mudharabah berasal dari
kata Dharb yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya
untuk berniaga. Dharb populer digunakan oleh penduduk Irak titik
untuk maksud yang sama, penduduk Hijaz menggunakan istilah
muqaradhah atau qirat yang berarti memotong. Dalam pengertian
ini, Makna qirath adalah pemilik modal memotong sebagian
hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan ia juga
akan memotong keuntungan usahanya. Secara teknis,
Antonio (2001) mendefinisikan sebagai akad kerjasama usaha
antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh (100%) modal sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pihak modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola seandainya
kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si

182
pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
2. Rukun Akad Mudharabah
Rukun transaksi mudharabah meliputi dua pihak
transaktor (pemilik modal dan pengelola), Objek akad
mudharabah (modal dan usaha), dan ijab dan qabul atau
persetujuan kedua belah pihak.
a. Transaktor
Kedua pihak transaktor di sini adalah investor dan pengelola
modal. Investor biasa disebut dengan istilah shahibul maal atau
rabbul maal, sedang pengelola modal biasa disebut dengan
istilah mudharib. Kedua pihak disyaratkan memiliki
kompetensi beraktivitas. Kriteria kompetensi tersebut antara
lain mampu membedakan yang baik dan yang buruk (baligh)
dan tidak dalam keadaan tercekal seperti pailit.
b. Objek Mudharabah
Objek mudharabah meliputi modal dan usaha. Pemilik modal
menyerahkan modalnya sebagai Objek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerianya sebagai Objek
mudharabah. Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang
atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Modal tidak
dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada
mudharib, baik secara bertahap maupun tidak sesuai dengan
kesepakatan dalam akad. Sementara itu, kerja yang diserahkan
dapat berbentuk keahlian menghasilkan barang atau jasa,
keahlian mengelola, keahlian menjual, dan keahh’an maupun
keterampilan lainnya. Tanpa dua objek ini, mudharabah tidak
dibenarkan. Fatwa Dcwan Syariah Nasional Nomor 7 Tahun
2000 tentang Pembiayaan Mudharabah menyatakan bahwa
kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib) sebagai perimbangan
modal yang disediakan oleh penyedia dana harus
memperhatikan hal-hal berikut:

183
• Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa
campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak
untuk melakukan pengawasan.
• Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan
pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi
tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
• Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam
dalam tindakannya yang berhubungan dengan
mudharabah dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku
dalam aktivitas itu.
Nisbah keuntungan mencerminkan imbalan yan'g
berhak diterima oleh kedua belah pihak yang terikat akad
mudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya.
Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya
perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian
keuntungan. Syarat pembagian keuntungan dalam pembiayaan
mudharabah meliputi hal-hal sebagai berikut:
• Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh
disyaratkan hanya untuk satu pihak.
• Bagian keuntungan harus diketahui masing-masing pihak
dan bersifat proporsional atau dinyatakan dalam angka
persentase (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan.
Sekiranya terdapat perubahan nisbah, harus berdasarkan
kesepakatan.
• Penyedia dana menanggung semua kerugian dari
mudharabah dan pengelola tidak boleh menanggung
kerugian apa pun kecuali diakibatkan dari kesalahan
disengaia, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
• Sekiranya terjadi kerugian yang disebabkan oleh kelalaian
mudharib, maka mudharib wajib menanggung segala
kerugian tersebut. Kelalaian antara lain ditunjukkan oleh
tidak terpenuhinya persyaratan yang ditentukan di dalam
akad; mengalami kerugian tanpa adanya kondisi di luar
184
kemampuan (force maieur) yang lazim dan/atau yang telah
ditentukan dalam akad; dan hasil putusan dari badan
arbitrase atau pengadilan.
Kesepakatan pembagian keuntungan atau nisbah harus
dinyatakan pada waktu kontrak. Dalam hal ini, juga perlu
disepakati dasar bagi hasil yang akan digunakan. Dewan
Syariah Nasional dalam fatwa DSN Nomor 15 Tahun 2000
menyatakan bahwa bank syariah boleh menggunakan prinsip
bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi untung (profit
sharing) sebagai dasar bagi hasil. Pembagian dasar bagi hasil
tersebut dijelaskan dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan Nomor 59 dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah (PAPSI) 2003 dalam bentuk berikut.
Uraian Jumlah Metode Bagi Hasil
Penjualan 100 Revenue sharing
Harga pokok penjualan 65
Laba Bruto 35
Beban 25
Laba rugi neto 10 Profit Sharing
Dalam praktik, terdapat perbedaan dalam penggunaan
istilah revenue sharing. Revenue sharing dalam praktik lebih
mengacu pada gross profit Sharing. Dalam akuntansi,
terminologl revenue adalah nilai penjualan suatu barang (harga
pokok plus margin keuntungan). Adapun "euenue yang
dimaksud dalam dasar bagi hasil bank syariah dan yang
dipraktikkan selama 1m adalah pendapatan dikurangi harga
pokok barang yang dijual. Dalam akuntansi, konsep ini biasa
dinamakan dengan laba bruto (gross profit). Dengan demikian,
istilah revenue sharing yang biasa digunakan oleh industri
perbankan syariah, pada dasarnya identik dan sama
dengan makna gross profit sharing. Adapun dalam Kerangka
Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan“ Keuangan Syariah
tahun 2007,ikatan Akuntan telah menyatakan secara eksplisit
185
bahwa dalam halprinsip pembagian hasil usaha, terminologi
pendapatan atau hasil yang dimaksud adalalah laba bruto
(KDPPLKS paragraf 42). PAPSI 2013 dan PSAK Nomor 105
paragraf 11 menyatakan bahwa pembagian hasil usaha
mudharabah dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil
atau bagi laba dan jika berdasarkan prinsip bagi hasil, maka
dasar pembagian hasil usaha adalah laba bruto, bukan total
pendapatan usaha (omzet). Sementara itu, jika berdasarkan
prinsip bagi laba, dasar pembagian adalah laba neto (net profit),
yaitu laba bruto dikurangi beban yang berkaitan dengan
pengelolaan dana mudharabah.
Uraian Jumlah Metode Bagi Hasil
Penjualan 100 Revenue sharing
Harga pokok penjualan 65
Laba Bruto 35
Beban 25
Laba rugi neto 10 Profit Sharing
Penggunaan gross profit sebagai dasar pembagian
keuntungan cukup adil bagi perbankansyariah, karena di sisi
bagi hasil kepada nasabah penabung, bank syariah
juga menggunakan praktik yang sama. Penggunaan praktik gross
profit sharingsebagai dasar bagi hasil nasabah penabung atau
deposan dengan skema mudharabah dapat terlihat pada
pengakuan pendapatan bank syariah. Pendapatan murabahah
yang dibagi hasil misalnya adalah nilai margin
murabahah (selisih harga jual dengan harga pokok barang yang
dijual) yang uangnya telah diterima oleh bank syariah, Ini
menunjukkan bahwa dasar bagi hasil kepada nasabah penabung
pada dasarnyaadalah gross profit sharing dan bukan revenue sharing.
Syekh Muhammad Taqi Usmani (2002) dalam bukunya An
Introduction to Islamic Finance secara eksplisit juga
merekomendasikan penggunaan gross profit sekiranya terdapat
kesulitan 31am penggunaan net profit suatu pembiayaan
186
mudharabah atau musyarakah. Gross Profit, dalam pandangan
beliau dihitung dari selisih antara penjualan dengan biaya-biaya
Yang bersifat langsung, dalam hal ini adalah harga pokok
penjualan.
c. Ijab dan Qabul
ijab dan qabul atau persetujuan kedua belah pihak dalam
mudharabah yang merupakan Wujud dari prinsip sama-sama
rela (an-taraddin minkum). Dalam hal ini, kedua belah pihak
harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad
mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk
mengontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha setuiu
dengarl Perannya untuk mengontribusikan kerja. Akad
mudharabah pada dasarnya sama dengan akad-akad yang lain
dalam aspek yang bersifat umum. Aspek yang bersifat umum
tersebut antara lain tentang identitas kedua pihak yang
bemansaksi, besar pembiayaan, jangka waktu pembiayaan,
prasyarat pengambilan pembiayaan, jaminan, ketentuan denda,
pelanggaran atas syarat-syarat perjaniian, dan penggunaan
Badan Arbitrase Syariah. Adapun hal spesifik dalam akad
mudharabah antara lain kesepakatan tentang dasar bagi
hasil (revenue sharing atau profit sharing), besar nisbah bagi hasil,
pernyataan bank sebagai shahibul maal untuk menanggung
kerugian kecuali yang disebabkan oleh kelalaian mudharib,
pemyataan hak bank untuk memasuki tempat usaha dan tempat
lainnya untuk mengadakan pengawasan terhadap pembukuan,
catatan-catatan, transaksi mudharib yang berhubungarl dengan
pembiayaan mudharabah baik secara langsung maupun tidak
langsung. Selain akad yang ditandatangani oleh kedua belah
pihak, dalam praktik juga dilampiri dengan proyeksi
pendapatan dan jadwal pembayaran angsuran pokok maupun
bagi hasil.

187
d. Jenis-Jenis Akad Mudharabah
Menurut PSAK 105, kontrak mudharabah dapat dibagi
atas tiga jenis, yaitu mudharabah muqayyadah, mudharabah
muthlaqah, dan mudharabah musytarakah.
1. Mudharabah muqayyadah adalah bentuk keria sama antara
pemilik dana dan pengelola, dengan kondisi pengelola
dikenakan pembatasan oleh pemilik dana dalam hal tempat,
cara, dan/atau objek investasi. Dalam transaksi mudharabah
muqayyadah, bank syariah bersifat sebagai agen yang
menghubungkan shahibul maal dengan mudharib. Peran agen
yang dilakukan oleh bank syariah mirip dengan peran manajer
investasi pada perusahaan sekuritas. Imbalan yang diterima
oleh bank sebagai agen dinamakan feedan bersifat tetap tanpa
dipengaruhi oleh tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh
mudharib. Fee yang diterima oleh bank dilaporkan dalam
laporan laba rugi sebagai pendapatan operasi lainnya.
Mudharabah muqayyadah biasa disebut dengan mudharabah
terikat (restricted mudharabab). Dalam praktik perbankan,
mudharabah muqayyadah terdiri ata dua jenis, yaitu
mudharabah muqayyadah executing dan mudharabah
muqayyadah channeling. Pada mudharabah muqayyadah
executing, bank syariah sebagai pengelola menerima dana dari
pemilik dana dengan pembatasan dalam hal tempat, cara,
dan/atau objek investasi. Akan tetapi, bank syariah memiliki
kebebasan dalam melakukan seleksi terhadap calon mudharib
yang layak mengelola dana tersebut. Sementara itu pada
mudharabah muqayyadah channeling, bank syariah tidak
memiliki kewenangan dalam menyeleksi calon mudharib yang
akan mcngelola dana tersebut.
2. Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk keria sama antara
pemilik dana dan pengelola tanpa adanya pembatasan oleh
pemilik dana dalam hal tempat, cara, maupun objek
investasi, Dalam ha] ini, pemilik dana memberi kewenangan
yang sangat luas kepada mudharib untuk menggunakan dana
188
yang diinvestasikan. Kontrak mudharabah muthlaqah dalam
perbankan syariah digunakan untuk tabungan maupun
pembiayaan. Pada tabungan mudharabah, penabung berperan
sebagai pemilik dana, scdang bank berperan sebagai pengelola
yang mengontribusikan keahliannya dalam mengelola dana
penabung. Adapun pada pembiayaan mudarabah, bank
berperan sebagai pemilik dana yang menginvestasikan
dana'yang ada padanya kepada pihak lain yang memerlukan
dana untuk keperluan usahanya. Pihak lain yang memerlukan
dan mengelola dana tersebut biasaisebut dengan nasabah
pembiayaan. Dana yang diterima oleh bank dari penabung
dilaporkan dalam neraca di bagian dana syirkah, sedangkan
dana yang disalurkan oleh bank kepada nasabah pembiayaan
melalui akad mudaharabah dilaporkan dalam neraca pada
bagian aset lancar. Adapun bagian bank dari keuntungan yang
dihasilkan oleh mudharib dari kegiatan investasi yang
dilakukannya dilaporkan dalam laporan laba rugi sebagai salah
satu unsur pendapatan operasi utama bank. Mudharabah
muthlaqah biasa juga disebut dengan mudharabah mutlak atau
mudharabah tidak terikat (unrestricted mudharabah).
3. Mudharabah Musytarakah adalah bentuk mudharabah di
mana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam
kerja sama investasi. Akad musyatarakah ini merupakan solusi
sekiranya dalam perjalanan usaha, pengelola dana memiliki
modal yang dapat dikontribusikan dalam investasi, sedang di
lain sisi, adanya penambahan modal ini akan dapat
meningkatkan kemaiuan investasi. Akad musytarakah ini pada
dasarnya merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan
akad musyarakah. Dalam mudharabah musyatarakah,
pengelola dana berdasarkan akad (mudharabah) menyertakan
iuga dananya dalam investasi bersama (berdasarkan akad
musyarakah). Setelah penambahan dana oleh pengelola,
pembagian hasil usaha antara pengelola dana dan pemilik dana
dalam mudharabah adalah sebesar hasil usaha musyarakah
189
setelah dikurangi porsi pemilik dana sebagai pemilik dana
musyarakah. Nasabah penghimpunan bank berperan sebagai
mudharib, sedangkan nasabah penyaluran bank berperan
sebagai pemilik dana. Pada saat yang sama, bank melakukan
kerja sama dengan investor lain untuk membiayai suatu proyek
yang dikerjakan oleh nasabah pengelola. Investor Iain yang
tetllbat dalam kerja sama Ini memiliki petan sebagai pemilik
dana. Bank dan investor memperoleh pendapatan dari poslsi
sebagai pemilik dana (berbagi sesuai porsi masing-masing).
Selanjutnya pendapatan hak bank tersebut dibagihasilkan lagi
dengan nasabah deposan pool of fund.

C. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Mudharabah di Bank Syariah
1. Pengawasan Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Mudharabah di Bank Syariah
Untuk memastikan kesesuaian syariah pada praktik
transaksi mudharabah yang dilakukan bank, DPS melakukan
pengawasan syariah secara periodik. Pengawasan tersebut
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
dilakukan untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap telah
disampaikan oleh bank kepada nasabah, baik secara tertulis
maupun lisan tentang persyaratan pembiayaan mudharabah
telah dilakukan.
b. Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai
prinsip syariah.
c. Memastikan adanya persetujuan para pihak dalam perjanjian
pembiayaan mudharabah.
d. Memastikan terpenuhinya rukun dan syarat mudharabah.
e. Memastikan bahwa kegiatan investasi yang dibiayai tidak
termasuk jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan
syariah.
190
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS
menuntut bank syariah untuk berhati-hati dalam melakukan
transaksi mudharabah dengan para nasabah. Selain itu, bank juga
dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai
dokumen yang diperlukar DPS dapat tersedia setiap saat
pengawasan dilakukan.
2. Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Mudharabah di Bank Syariah
Mekanisme transaksi pembiayaan dengan akad
mudharabah di bank syariah adalah sebagai berikut:
Figur 10.1
Akuntansi Transaksi Mudharabah

1.Negosisasi
Bank Syariah Nasabah
dan akad
(Shahibul maal) (Mudharib)
Mudharabah

2.pelaksanaan 4b. menerima porsi laba


4a. menerima porsi Usaha Produktif
laba

5. menerima
kembalian modal 3.membagi hasil usaha
• Keuntungan dibagi
sesuai nisbah
• Kerugian tanpa
kelalaian nasabah
ditanggung oleh
bank syariah

Keterangan:
- Pertama, dimulai dari pengajuan permohonan pembiayaan
oleh nasabah dengan mengisi formulir permohonan
pembiayaan. Formulir tersebut diserahkan kepada bank
syariah beserta dokumen pendukung. Pihak bank selanjutnya
melakukan evaluasi kelayakan investasi mudharabah yang

191
diajukan nasabah dengan menggunakan analisis 5C ( Charcter,
Capacity, Capital, Commitment, dan Collateral ). Analisis
diikuti kemudian dengan verifikasi. Bila nasabah dan usaha
dianggap lauak, selanjutnya diadakan perikatan dalam bentuk
penandatanganan kontrak mudharabah dengn mudharib
dihadapan notaris. Kontrak yang dibuat setidaknya memuat
berbagai hal untuk memastikan terpenuhinya rukun
mudharabah;
- Kedua, bank mengontribusikan modalnya dan nasabah mulai
mengelola usaha yang disepakati berdasarkan kesepakatan dan
kemampuan terbaiknya;
- Ketiga, hasil usaha dievaluasi pada waktu yang ditentukan
berdasarkan kesepakatan. Keuntungan yang diperoleh akan
dibagi antar bank sebagai shahibul maal dengan nasabah
sebagai mudharabah sesuai dengan porsi yang telah disepakati.
Senadainya terjadi kerugian yang tidak disebabkan oleh
kelalaian nasabah mudharib, maka kerugian ditanggung oleh
bank. Adapun kerugian yang disebabkan oleh kelalaian
nasabah sepenuhnya menjadi tanggungjawab nasabah;
- Keempat, bank dan nasabah menerima porsi bagi hasil
masing-masing berdasarkan metode perhitungan yang telah
disepakati; dan
- Kelima, bank menerima pengembalian modalnya dari
nasabah. Jika nasabah telah mengembalikan semua modal
milik bank, maka usaha menjadi milik nasabah sepenuhnya.

D. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Mudharabah di Bank Syariah
Berikut ini contoh transaksi pembiayaan dengan akad
mudharabah yang terjadi di bank syariah
Tanggal 1 Agustus 2020 Bank Syariah Nasional (BSN)
menyetujui pemberian fasilitas mudharabah Muthlaqah PT Widodo

192
Husada yang bergerak di bidang SPBU dengan kesepakatan sebagai
berikut.
Plafon : Rp 1.450.000.000
Objek bagi hasil : Pendapatan (gross profit sharing)
Nisabah : 70% PT Widodo Husada dan 30% BSN
Jangka Waktu : 10 bulan (jatuh tempo tanggal 10 Juni
2021)
Biaya administrasi : Rp 14.500.000 (dibayar saat akad
ditandatangani)
Pelunasan : Pengembalian pokok diakhir periode.
Keterangan : Modal dari BSN diberikan secara tunai tanggal
10 Agustus 2020. Pelaporan dan pembayaran
bagi hasil oleh nasabah dilakukan setiap tanggal
10 mulai bulan September.
1. Saat Penandatanganan Akad Mudharabah
Jurnal pada tanggal 1 Agustus atau saat akad mudharabah
ditandatangani terdiri atas jurnal pembukaan rekening administrasi
komitmen pembiayaan PT Widodo Husada dan jurnal
pembebanan biaya administrasi.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db Pos lawan Komitmen pembiayaan 1.450.000.000

Kr. Kewajiban komitmen 1.450.000.000


01/08/20
administratif pembiayaan
(izin tarik tanggal 10 Agustus sebesar 1.450.000.000
Db. Kas/Rekening nasabah-PT 14.500.000
01/08/20 Widodo Husada
Kr. Pendapatan administratif 14.500.000
2. Penyerahan Investasi Mudharabah
Usaha mudharabah dianggap mulai berjalan sejak dana
atau modal usaha mudharabah diterima oleh pengelola dana.
Berdasarkan PSAK 105 paragfraf 12 disebutkan bahwa dana
mudharabah yang disalurkan oleh pemilik dana diakui sebagai

193
investasi mudharabah pada saat pembayaran kas atau
penyerahan aset non-kas kepada pengelola dana. Investasi
mudharabah dalam bentuk kas diukur sebagai jumlah yang
dibayarakan (PSAK 104 paragraf 13a).
Misalkan tanggal 10 Agustus 2020, BSN mencairkan
pembiayaan sebesar Rp 1.450.000.000 untuk investasi
mudharabah.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db.Investasi Mudharabah* 1.450.000.000
05/10/20
Kr.Kas/Rekening nasabah 1.450.000.000
Db. Kewajiban komitmen 1.450.000.000
administratif pembiayaan
05/10/20
Kr. Pos lawan komitmen 1.450.000.000
administratif pembiayaan
*Dalam praktik perbankan istilah”investasi mudharabah”,
sebagaimana yang terdapat dalam PSAK 105, belum umum
dipakai. Saat ini perbankan syariah di Indonesia masih
menggunakan istilah”pembiayaan mudharabah”.
3. Penerimaan Bagi Hasil Mudharabah
Berdasarkan PSAK 105 paragfraf 22 dinyatakan bahwa
pengakuan penghasilan usaha mudharabah dalam praktik dapat
diketahui berdasarkan laporan bagi hasil atas realisasi
penghasilan usaha dari pengelola dana dan tidak diperkenankan
mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha. Sekiranya
bagian hasil usaha belum dibayar oleh pengelola, bagian
tersebut diakui sebagai piutang (PSAK 105 paragraf 24).
Berikut adalah realisasi laba bruto PT Widodo Husada
selama 10 bulan yang dilaporkan setiap tanggal 10 bulan
berikutnya.

194
No Bulan Jumlah Laba Porsi Bank Tanggal Tanggal
Bruto (Rp) (Rp) Pelaporan Pembayaran
Bagi hasil Bagi Hasil
1 Ags 20 20.000.000 6.000.000 10 Sep 10 Sep
2 Sep 20 50.000.000 15.000.000 10 Okt 10 Okt
3 Okt 20 45.000.000 13.500.000 10 Nov 10 Nov
4 Nov 20 40.000.000 12.000.000 10 Des 10 Des
5 Des 20 60.000.000 18.000.000 10 Jan 10 Jan
6 Jan 20 50.000.000 15.000.000 10 Feb 10 Feb
7 Feb 20 40.000.000 12.000.000 10 Mar 10 Mar
8 Mar 20 50.000.000 15.000.000 10 Apr 10 Apr
9 Apr 20 55.000.000 16.500.000 10 Mei 05 Jun
10 Mei 20 60.000.000 18.000.000 15 Jun 15 Jun
Transaksi di atas dapat kita klasifikasi dalam dua
bentuk, yaitu sebagai berikut.
a. Penerimaan bagi hasil yang pembayarannya dilakukan
bersamaan dengan pelaporan bagi hasil, seperti bagi hasil
untuk bulan Agustus, September, Oktober, November,
Desember, Januari, Februari, Maret. Bentuk transaksinya
sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit
Db. Kas/Rekening nasabah 6.000.000
10/09/20
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah 6.000.000
Db. Kas/Rekening nasabah 15.000.000
10/10/20
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah 15.000.000
Db. Kas/Rekening nasabah 13.500.000
10/11/20
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah 13.500.000
Db. Kas/Rekening nasabah 12.000.000
10/12/21
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah 12.000.000
Db. Kas/Rekening nasabah 18.000.000
10/01/21
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah 18.000.000
195
Db. Kas/Rekening nasabah 12.000.000
10/02/21
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah 12.000.000
Db. Kas/Rekening nasabah 15.000.000
10/03/21
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah 15.000.000
Db. Kas/Rekening nasabah 15.000.000
10/04/21
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah 15.000.000
b. Penerimaan bagi hasil yang waktu pembayarannya berbeda
dengan tanggal pelaporan bagi hasil seperti pada bagi hasil
bulan April dan Mei. Berdasarkan PSAK 105 paragraf 24,
disebutkan bahwa bagian hasil usaha sebelum dibayar oleh
pengelola, maka bagian tersebut diakui sebagai piutang.
Bentuk transaksinya sebagai berikut.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit
10/05/21 Db. Piutang pendapatan bagi hasil 16.500.000
mudharabah
Kr.Pendapatan bagi hasil mudharabah- 16.500.000
akrual
05/06/21 Db. Kas/rekening nasabah 15.000.000
Kr..Piutang pendapatan bagi hasil 15.000.000
mudharabah
05/06/21 Db. Pendapatan bagi hasil mudharabah- 16.500.000
akrual
Kr.Pendapatan bagi hasil mudharabah- 16.500.000
akrual
10/06/21 Db. Piutang pendapatan bagi hasil 18.000.000
mudharabah
Kr. Pendapatan bagi hasil 18.000.000
mudharabah-akrual
15/06/21 Db. Kas/rekening nasabah 18.000.000
Kr. Piutang pendapatan bagi hasil 18.000.000
mudharabah

196
15/06/21 Db. Pendapatan bagi hasil mudharabah- 18.000.000
akrual
Kr. Pendapatan bagi hasil mudharabah 18.000.000
Piutang pendapatan bagi hasil mudharabah disajikan
dalam neraca pada bagian aset. Akun ini merupakan sub-akun
dari piutang. Adapun akun pendapatan bagi hasil mudharabah
akrual disajikan dalam laporan laba rugi. Oleh karena itu bagi
hasil tersebut belum berwujud kas, maka pendapatan bagi hasil
akrual tidak diikutsertakan dalam perhitungan bagi hasil dengan
nasabah penghimpunan. Untuk keperluan praktis, pendapat
bagi hasil akrual perlu dibedakan dengan pendapatan bagi hasil
yang telah berwujud kas, penulis akan menambah istilah akrual.
Dalam praktik perbankan, di beberapa bank terdapat
deviasi dalam bentuk pengabaian pendapatan bagi hasil
mudharabah akrual. Pada tahun berjalan, kendati telah ada
pemberitahuan laba bruto oleh nasabah pembiayaan, bank
tidak mengakuinya sebagai pendapatan bagi hasil. Pengakuan
pendapatan ditunda hingga bank menerima porsi bagi hasilnya.
Selanjutnya untuk keperluan pelaporan akhir tahun, bank
mengidentifikasi pendapatan yang bersifat akrual secara manual
untuk selanjutnya mengakuinya sebagai pendapatan pada
laporan laba rugi dan tagihan pendapatan bagi hasil
mudaharabah pada laporan neraca.
4. Saat Akad Berakhir
a. Alternatif 1: Nasabah pembiayaan mampu mengembalikan
modal mudharabah. Misalkan pada tanggal 10 Juni 2021
saaat jatuh tempo, PT Widodo Husada melunasi investasi
mudharabah sebesar Rp 1.450.000.000, maka jurnal
tersebut adalah sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit Rp)
Db. Kas/Rekening nasabah 1.450.000.000
10/06/21
Kr. Investasi mudharabah 1.450.000.000

197
b. Alternatif 2: Nasabah pembiayaan mudharabah tidak
mampu mengembalikan modal mudharabah. Misal, apabila
akad mudharabah berakhir saat jatuh tempo dan belum
dibayar oleh pengelola dana, maka investasi mudharabah
diakui sebagai piutang.
Misalkan pada tanggal 10 Juni 2021 saaat jatuh tempo,
PT Widodo Husada tidak mampu melunasi investasi
mudharabah sebesar Rp 1.450.000.000, maka jurnal
tersebut adalah sebagai berikut.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit Rp)
Db. Piutang investasi 1.450.000.000
10/06/21 mudharabah jatuh tempo
Kr. Investasi mudharabah 1.450.000.000

E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Mudharabah di Bank Syariah
1. Penyajian
Menurut PAPSI 2013 (h. 5.3), akun-akun yang berkaitan
dengan transaksi pembiayaan mudharabah disajikan sebagai
berikut.
a. Pembiayaan mudharabah disajikan sebesar saldo pembiayaan
mudharabah nasabah kepada bank. Pembiayaan mudharabah
yang diakhiri sebelum jatuh tempo atau sudah berakhir dan
belum diselesaikan oleh nasabah tetap disajikan sebagai bagian
dari pembiayaan mudharabah.
b. Piutang bagi hasil disajikan sebagai bagian dari dari aset
lainnya lainnya pada saat nasabah tergolong performing.
Sedangkan, apabila nasabah tergolong non-performing maka
piutang bagi hasil disajikan pada rekening administratif.
c. Cadangan kerugian penurunan nilai pembiayaan mudharabah
disajikan sebagai pos lawan (contra account) pembiayaan
mudharabah.

198
2. Pengungkapan
Berdasarkan PAPSI 2013 hal-hal yang harus diungkapkan
terkait transaksi pembiayaan mudharabah antara lain:
a. Rincian jumlah pembiayaan mudharabah berdasarkan sifat
akad (mudharabah mutlaqah atau mudharabah muqayadah),
jenis penggunaan dan sektor ekonomi.
b. Klasifikasi pembiayaan mudharabah menurut jangka waktu
(masa akad), kualitas pembiayaan, valuta, cadangan kerugian
penurunan nilai dan tingkat bagi hasil rata-rata.
c. Jumlah dan persentase pembiayaan mudharabah yang
diberikan kepada pihak-pihak berelasi.
d. Jumlah pembiayaan mudharabah yang telah direstrukturisasi
dan informasi lain tentang pembiayaan mudharabah yang
direstrukturisasi selama periode berjalan.
e. Kebijakan manajemen dalam pelaksanaan pengendalian risiko
portofolio pembiayaan Mudharabah.
f. Besarnya pembiayaan mudharabah bermasalah dan cadangan
kerugian penurunan nilai untuk setiap sektor ekonomi.
g. Kebijakan dan metode yang dipergunakan dalam penanganan
mudharabah bermasalah.
h. Ikhtisar pembiayaan mudharabah yang dihapus buku yang
menunjukkan saldo awal, penghapusan selama tahun berjalan,
penerimaan atas pembiayaan mudharabah yang telah
dihapusbukukan dan pembiayaan mudharabah yang telah
dihapus-tagih dan saldo akhir pembiayaan mudharabah yang
dihapus buku.

F. Latihan Kasus
Pada tanggal 5 Januari 2020, ditandatangani akad pembiayaan
mudharabah antara Bank Syariah Nasional dengan PT Makmur Alam
Mandiri senilai Rp100.000.000 untuk pembiayaan proyek renovasi 2
unit puskesmas dari Pemerintah Kota Padang. Bagi hasil usaha

199
didasarkan atas laba bruto proyek dengan komposisi 20% untuk BSN.
Buatlah jurnal untuk rangkaian transaksi berikut:
Bank Syariah Nasional membuka rekening komitmen
05 Jan 2020
administratif pembiayaan tersebut.
Biaya administrasi yang dibebankan oleh BSN kepada PT
Makmur Alam Mandiri sebesar 0,2% dari nilai
05 Jan 2020 pembiayaan langsung dibayar melalui
pemotongan/pendebitan rekening PT Makmur Alam
Mandiri.
BSN melakukan pencairan dana pembiayaan
Rp100.000.000 atas investasi mudharabah pada proyek
10 Jan 2020
renovasi Puskesmas yang dikelola oleh PT Makmur
Alam Mandiri.
PT Makmur Alam Mandiri melaporkan telah menerima
uang proyek dari pemerintah untuk puskesmas pertama
10 Mar 2020 dengan laba bruto sebesar Rp20.000.000, bagi hasil untuk
BSN (20%) langsung diserahkan secara tunai pada
tanggal yang sama.
PT Makmur Alam Mandiri melaporkan telah menerima
uang proyek dari pemerintah untuk puskesmas kedua
20 Apr 2020
dengan laba bruto sebesar Rp16.000.000, namun belum
melakukan pembayaran
Melakukan pembayaran bagi hasil untuk BSN (20%)
27 Apr 2020
yang telah dilaporkan tanggal 20 April 2020
PT Makmur Alam Mandiri melunasi pembiayaan
10 Mei 2020 mudharabah secara tunai sebesar Rp100.000.000 karena
bertepatan telah jatuh tempo.

200
BAB XI PEMBIAYAAN DENGAN AKAD
MUSYARAKAH (PSAK 106)

A. Pendahuluan
Perkembangan praktik pembiayaan dengan konsep kerjasama
dalam sebuah usaha produktif juga memungkinkan semua pihak sama-
sama berkontribusi, baik dalam hal pendanaan maupun dalam
menjalankan usahanya. Hal ini lah yang menjadi perbedaan
fundamental antara akad mudharabah dengan akad musyarakah.
Bank syariah sebagai bank yang memberikan layanan kepada
nasabahnya juga memberikan fasilitas produk yang memungkinkan
nasabahnya berkontribusi dalam hal pendanaan, akad tersebut dikenal
dengan akad musyarakah. Namun tentu saja dalam praktiknya bank
syariah tidak dapat berkontribusi langsung terhadap pengelolaan
pelaksanaan usaha yang dijalankan Bersama tersebut, sehingga dalam
konteks ini bank syariah sering disebut mitra pasif sedangkan nasabah
yang menjalankan usaha sekaligus juga berkontribusi dalam pendanaan
disebut dengan mitra aktif.
Pedoman yang mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan
pengungkapan transaksi musyarakah diatur dalam ketentuan akuntansi
yaitu dalam PSAK 106.

B. Definisi, Ketentuan Syar’i, Rukun dan Jenis-jenis Akad


Musyarakah
1. Definisi
Secara bahasa Musyarakah berasal dari kata al-syirkah yang
berarti al-ikhtilath (percampuran) atau persekutuan dua hal atau
lebih, sehingga antara masing-masing sulit dibedakan (Ghufron,
2002). Seperti persekutuan hak milik atau perserikatan usaha.
Sedangkan secara etimologis, musyarakah adalah penggabungan,

201
percampuran atau serikat. Musyarakah berarti kerjasama kemitraan
atau dalam bahasa Inggris disebut partnership (Mardani, 2014).
Secara fiqih, dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248,
Imam Asy- Syaukani menulis sebagai berikut, “(Syirkah syar‟iyah)
terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha di antara dua
orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan
modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu
dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masing-
masing di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan
besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun
manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi
rata antara mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal
itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit
sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syariat,
hal seperti ini tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang
terpenting didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang
dada.5 Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi di antara
para pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan
modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu
kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional
sesuai dengan kontribusi modal. (Naf’an, 2014)
Dalam bukunya (Rizal Yaya, dkk. 2016) dituliskan bahwa
Musyarakah berasal dari kata syirkah, Syirkah artinya pencampuran
atau interkasi. Secara terminologi, syirkah adalah persekutuan
usaha untuk mengambil hak atau untuk beroperasi.
Menurut Fatwa DSN-MUI, Musyarakah adalah pembiayaan
berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan
konstribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. (Widyarini,
2018)

202
Menurut penjelasan di dalam PSAK 106, Musyarakah adalah
akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan
kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi
dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset nonkas yang
diperkenankan oleh syariah.
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa musyarakah merupakan akad kerjasama yang
mengikat seluruh pihak yang terlibat untuk memberikan
kontribusi/sumbangan berupa dana dan juga tenaga untuk
menjalankan sebuah usaha bersama.
2. Ketentuan Syar’i
Terdapat landasan hukum dari al-qur‟an dan sunnah terkait
akad ini yaitu pada Q.S. Ash Shad ayat 24. Pada ayat tersebut Allah
SWT berfirman yang artinya sebagai berikut: “Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang- orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang
beriman dan mengerjakan amal shaleh dan amat sedikitlah mereka
ini.”
Kemudian diperkuat dengan hadist qudsi yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
Allah Azza Wa Jalla berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua
orang yang berserikat selama salah satunya tidak berkhianat kepada
yang lainnya. Jika terjadi penghianatan, maka aku akan keluar dari
mereka. (HR Abu Daud)”
Dari hadist tersebut dapat dilihat bahwa dalam berserikat
penjagaan amanah menjadi penting. Karena Allah akan
memberkahi usaha perkongsian yang dilandasi dengan amanah
tanpa khianat.
Ketentuan syar’i transaksi musyarakah yang dilakukan oleh
bank syariah mengacu pada Fatwa DSN Nomor 08/DSN-
MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut, diatur berbagai hal terkait

203
ijab kabul, ketentuan tentang pihak-pihak yang bertransaksi, objek
akad musyarakah, dan biaya operasional yang disengketakan.
3. Rukun Akad Musyarakah
Prinsip dasar yang dikembangkan dalam syirkah adalah
prinsip kemitraan dan kerja sama antara pihak pihak yang terkait
untuk meraik kemajuan bersama. Unsur unsur yang harus ada
dalam akad musyarakah atau rukun musyarakah ada empat,
(Ramdhani dkk, 2019) yaitu:
a. Pelaku/Transaktor
Syarat sebagai pelaku atau tarnsaktor dalam kegiatan
musyarakah/Kerjasama adalah orang-orang atau para mitra
yang cakap hukum dan telah baligh.
b. Objek Musyarakah
Objek musyarakah merupakan suatu konsekuensi
dengan dilakukannya akad musyarakah yaitu harus ada modal
dan kerja.
i. Modal
a) Modal yang diberikan harus tunai
b) Modal yang diserahkan dapat berupa uang tunai,
emas, perak, aset perdagangan atau aset tidak
berwujud seperti lisensi,hak paten,dan sebagainya.
c) Apabila berkas yang diserahkan dalam bentuk
nonkas, maka harus ditentukan nilai tunainya
terlebih dahulu dan harus disepakati bersama.
d) Modal yang diserahkan oleh setiap mitra harus
dicampur.
e) Dalam kondisi normal, setiap mitra memiliki hak
untuk mengelola aset kemitraan.
f) Mitra tidak boleh meminjam uang atas nama usaha
musyarakah, demikian juga meminjamkan uang
epada pihak ketiga dari modal musyarakah,
menyumbang atau menghadiakan uang tersebut
kecuali mitra lain telah menyepakatinya.

204
g) Seorang mitra tidak diijinkan untuk mencairkan atau
menginvestigasikan modal itu untuk kepentingan
sendiri.
h) Pada prinsipnya dalam musyarakah tidak boleh ada
penjaminan modal.
i) Modal yang ditanamkan tidak boleh digunakan
untukmembiayai proyek atau investasi yang dilarang
oleh syariat.
ii. Kerja
a. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan
dasar pelaksanaan musyarakah.
b. Tidak dibenarkan bila salah seorang di antaranya
menyatakan tidak ikut serta menangani pekerjaan
dalam kemitraan tersebut.
c. Meskipun porsi kerja antara satu mitra dengan mitra
lainnya tidak harus sama, mitra yang porsi kerjanya
lebih banyak boleh meminta bagian keuntungan
yang lebih besar.
d. Setiap mitra bekerja atas nama pribadi atau mewakili
mitranya.
e. Para mitra harus menjalankan usaha sesuai dengan
syariah.
f. Seorang mitra yang melaksanakan pekerjaan diluar
wilayah tugas yang mereka sepakati, berhak
mempekerjakan orang lain untuk menangani
pekerjaan tersebut.
g. Jika seseorang mitra mempekerjakan pekerja lain
untuk melaksanakan tugas yang menjadi bagiannya,
biasanya harus ditanggung sendiri.
c. Ijab Kabul
Ijab qabul adalah peryataan dan ekspresi saling rida/rela
diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara
verbal, tertulis melalui korespondensi atau menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
205
d. Nisbah
i. Nisbah diperlukan untuk pembagian keuntungan dan harus
disepakati oleh para mitra diawal akad sehingga risiko
perselisihan diantara para mitra dapat dihilangkan.
ii. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak.
iii. Keuntungan harus dapat dikuantifikasi dan ditentukan dasar
perhitungan keuntungan tersebut, misalnya bagi hasil atau
bagi laha.
iv. Keuntungan yang dibagikan tidak boleh menggunakan nilai
proyeksi, akan tetapi harus menggunakan nilai realisasi
keuntungan.
v. Mitra tidak dapat menentukan bagian keuntungannya sendiri
dengan menyatakan nilai nominal tertentu karena hal ini
sama dengan riba dan dapat melanggar prinsip keadilan dan
prinsip untung muncul bersama resiko.
vi. Pada prinsipnya keuntungan milik para mitra namun
diperbolehkan mengalokasikan keuntungan untuk pihak
ketiga bila disepakati, misalnya untuk-organisasi
kemanusiaan tertentu atau untuk cadangan (reserve).
4. Jenis-Jenis Akad Musyarakah
Secara garis besar syirkah terbagi kepada dua kelompok,
(Muslich 2010) antara lain Syirkah Al-Amlak dan Syirkah Al Uqud.
Berikut penjelasan terhadap kedua kelompok syirkah tersebut.
a. Syirkah Al-Amlak (Kerjasama hak milik)
Syirkah al-amlak (syirkah milik) adalah ibarat dua orang atau
lebih memilikkan suatu benda kepada yang lain tanpa ada akad
syirkah. Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa syirkah
milik adalah suatu syirkah dimana dua orang atau lebih
bersama-sama memiliki suatu barang tanpa melakukan akad
syirkah. Contoh, dua orang diberi hibah ssebuah rumah.
Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki oleeh dua orang
melalui hibah, tanpa akad syirkah antara dua orang yang diberi
hibah tersebut.
206
Dalam syirkah al-amlak, terbagi dalam dua bentuk, yaitu:
1) Syirkah al-jabr Berkumpulnya dua orang atau lebih dalam
pemilikan suatu benda secara paksa.
2) Syirkah Ikhtiyariyah Yaitu suatu bentuk kepemilikan
bersama yang timbul karena perbuatan orang-orang yang
berserikat.
b. Syirkah Al-Uqud (Kerjasama akad)
Syirkah al-uqud (contractual partnership), dapat
dianggap sebagai kemitraan yang sesungguhnya, karena para
pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk
membuat suatu perjanjian investasi bersama dan berbagi
untuk dan risiko.
Syirkah al-Uqud dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:
1) Syirkah Mufawwadah.
Merupakan akad kerja sama usaha antar dua pihak atau
lebih, yang masing-masing pihak harus menyerahkan
modal dengan porsi modal yang sama dan bagi hasil atas
usaha atau risiko ditanggung bersama dengan jumlah yang
sama. Dalam syirkah mufawwadah, masing-masing mitra
usaha memiliki hak dan tangung jwab yang sama.
2) Syirkah Inan
Merupakan akad kerja sama usaha antara dua orang atau
lebih, yang masing-masing mitra kerja harus menyerahkan
dana untuk modal yang porsi modalnya tidak harus sama.
Pembagian hasil usaha sesuai dengan kesepakatan, tidak
harus sesuai dengan kontribusi dana yang diberikan.
Dalam syirkah inan, masing-masing pihak tidak harus
menyerahkan modal dalam bentuk uang tunai saja, akan
tetapi dapat dalam bentuk aset atau kombinasi antara uang
tunai dan asset atau tenaga
3) Syirkah Al-Amal
Syirkah al-„amal adalah kontrak kerja sama dua orang
seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan
berbagi keuntungan dari pekerjaaan itu. Misalnya kerja
207
sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek
atau kerjasama, dua orang penjahit untuk menerima order
pembuatan seragam sebuah kantor. Musyarakah ini
kadang disebut dengan syirkah abdan atau sanaa‟i
4) Syirkah Al-Wujuh
Yaitu kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki
reputasi dan prastise yang baik serta ahli dalam bisnis,
mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai.
Mereka membagikan berdasarkan jaminan kepada
penyedia barang yang disiapkan oleh setiap rekan kerja.
Sayyid Sabiq memberikan definisi syirkah al-wujuh yaitu
dua orang atau lebih membeli suatu barang tanpa modal,
melainkan semata berdagang kepada nama baik dan
kepercayaan pada pedagang kepada mereka. Syirkah ini
disebut juga syirkah tanggung jawab tanpa kerja dan
modal.
5) Syirkah Mudharabah
Merupakan kerja sama usaha antara dua pihak atau lebih
yang mana satu pihak sebagai shahibul maal yang
menyediakan dana 100% untuk keperluan usaha, dan
pihak lain tidak menyerahkan modal dan hanya sebagai
pengelola atas usaha yang dijalankan, disebut mudharib.

C. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Musyarakah di Bank Syariah
1. Pengawasan Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Musyarakah
Untuk memastikan kesesuaian syariah pada praktik transaksi
musyarakah yang dilakukan bank, DPS melakukan pengawasan
syariah secara periodik. Pengawasan tersebut berdasarkun
pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dilakukan untuk:

208
a) Meneliti apukah pemberian informasi secara lengkap telah
disampuikan oleh bank kepada nasabah, baik secara tertulis
maupun lisan tentang persyaratan pembiayaan musyarakah
telah dilakukan.
b) Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai
prinsip syariah.
c) Memastikan adanya persetujuan para pihak dalam perjanjian
pembiayaan musyarakah.
d) Memastikan terpenuhinya rukun dan syarat musyarakah.
e) Memastikan bahwa biaya operasional telah dibebankan pada
mndal bersama musyarakah, dan
f) Memastikan bahwa kegiatan investasi yang dibiayai tidak
termasuk jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan
syariah.
Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS
menuntur bank syariah untuk hati-hati dalam melakukan transaksi
musyarakah dengan para nasabah. Selain itu, bank juga dituntut
untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen
yang diperlukan DPS dapat tersedia setiap saat dilakukan
pengawasan.
2. Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad
Musyarakah
Mekanisme transaksi pembiayaan dengan akad musyarakah
tergambar dalam figur 11.1 berikut ini: (Rizal yaya dkk, 2015)

209
Figur 11.1
Akuntansi Transaksi Musyarakah

Keterangan:
- Pertama. dimulai dari pengajuan permohonan pembiayaan
musyarakah oleh nasabah dengan mengisi formulir permohonan
pebiayaan. Formulir tersebut diserahkan kepada bank syariah
beserta dokumen pendukung. Selanjutnya, pihak bank melakukan
evaluasi kelayakan pembiayaan musyarakah yang diaukan nasabah
dengan menggunakan analisis 5 C (Character, Capacity, Capital,
Commitment, dan Callateral). Kemudian, analisis diikuti dengan
verifikasi. Bila nasabah dan usaha dianggap layak, selanjutnya
diadakan perikatan dalam bentuk penandatanganan kontrak
musyarakah dengan nasabah sebagai mitra di hadapan notaris.
Kontrak yang dibuat setidaknya memuat berbagai hal untuk
memastikan terpenuhnya rukun musyarakah.

210
- Kedua. bank dan nasabah mengontribusikan modal masing-
masing dan nasabah sebagai mitra aktif mulai mengelola usaha
yang disepakati berdasarkan kesepakatan dan kemampuan
terbaiknya.
- Ketiga. hasil usaha dievaluasi pada waktu yang ditentukan
berdasarkan kesepakatan. Keuntungan yang diperoleh akan dibagi
antar bank dengan nasabah sesuai dengan porsi yang telah
disepakati. Seandainya terjadi kerugian yang tidak disebabkan oleh
kelalaian nasabah sebagai mitra aktif, maka kerugian ditanggung
proporsional terhadap modal masing-masing mitra. Adapun
kerugian yang disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai mitra
aktif sepenuhnya sebagai tanggung jawab nasabah.
- Keempat. bank dan nasabah menerima porsi bagi hasil masing-
masing berdasarkan metode perhitungan yang telah disepakati.
- Kelima. bank menerima pengembalian modalnya dari nasabah,
jika nasabah telah mengembalikan semua modal milik bank, usaha
selanjutnya menjadi milik nasabah sepenuhya.

D. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Musyarakah di Bank Syariah
Perlakuan akuntansi untuk transaksi pembiayaan dengan akad
musyarakah akan dijelaskan melalui ilustrasi kasus berikut ini.
Pada tanggal 2 Februari 2020, Bapak Husaini menandatangani
akad pembiayaan usaha penggilingan padi (membeli padi, menggiling
selanjutanya menjual beras) dengan Bank Syariah Nasional (BSN)
dengan skema musyarakah sebagai berikut:
Nilai proyek Rp 80.000.000
Kontribusi Bank Rp 60.000.000 (pembayaran
tahap pertama sebesar Rp
35.000.000 dilakukan tanggal
12 Februari, pembayaran tahap

211
kedua sebesar Rp. 25.000.000,
dilakukan tanggal 2 Maret
Kontribusi Bapak Husaini Rp 20.000.000
Nisbah Bagi Hasil Bapak Husaini 75% dan BSN
25%
Periode 6 Bulan
Biaya Administrasi Rp 600.000 (1% dari
pembiayaan bank)
Objek Bagi Hasil Laba bruto (selisih harga jual
beras dikurangi harga
pembelian)
Skema Pelaporan dan Pembaya Setiap tiga bulan (dua kali masa
Porsi Bank panen) pada tanggal 2 Mei dan
2 Agustus 2020
Skema Pelunasan Pokok Musyarakah permanen-
pelunasan dilakukan
padawaktu akad berakhir, yaitu
tanggal 2 Agustus 2020
3. Akuntansi Transaksi Musyarakah pertama antara nasabah
dengan bank syariah pada saat akad disepakati
Dalam praktik perbankan, pada saat akad musyarakah
disepakati, bank akan membuka cadangan rekening investasi
musyarakah untuk usaha. Pada tanggal itu juga, bank
membebankan biaya administrasi dengan mendebit rekening
nasabah.
Jurnal untuk membuka cadangan investasi musyarakah
untuk Bapak Husaini dan pembebanan biaya administrasi adalah
sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Pos lawan komitmen administratif 60.000.000
pembiayaan
01/04/20
Kr. Kewajibann komitmen 60.000.000
administratif pembiayaan
212
Db. Kas/rekening nasabah Bpk Husaini 600.000
01/04/20
Kr. Pendapatan administrasi 600.000
4. Akuntansi Transaksi Musyarakah Kedua Saat penyerahan
investasi/pembiayaan musyarakah oleh bank syariah
kepada nasabah
Dalam kasus Bapak Husaini, anggaplah bahwa pada pada
tanggal 12 Februari bank mentransfer sebesar Rp.35.000.000 ke
rekening Bapak Husaini sebagai pembayaran tahap pertama.
Selanjutnya pada tanggal 2 Maret, bank syariah menyerahkan dana
tahap kedua sebesar Rp.25.000.000. Adapun bentuk jurnalnya
adalah sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Investasi musyarakah 35.000.000
01/04/20
Kr. Kas/Rekening nasabah 35.000.000
Db. Kewajiban komitmen administratif 35.000.000
pembiayaan
01/04/20
Kr. Pos lawan komitmen administratif 35.000.000
pembiayaan

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Investasi musyarakah 25.000.000
01/04/20
Kr. Kas/rekening nasabah 25.000.000
Db. Kewajiban komitmen administrasi 25.000.000
pembiayaan
01/04/20
Kr. Pos lawan komitmen administratif 25.000.000
pembiayaan
5. Akuntansi Transaksi Musyarakah Ketiga Saat penerimaan
bagi hasil bagian bank syariah
Berikut adalah realisasi laba bruto usaha Bapak Husaini
selama dua kali masa panen yang dilaporkan pada tanggal 2 Mei
2020 dan 2 Agustus 2020

213
No Periode Jumlah Laba Bruto Porsi Bank (Rp) Tanggal
1 Masa Panen I 14.000.000 3.500.000 02 Mei
2 Masa Panen II 16.000.000 4.000.000 12 Ags
Transaksi di atas dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu:
a. Penerimaan bagi hasil yang pembayarannya dilakukan
bersamaan dengan pelaporan bagi hasil, (seperti pada
bagi hasil untuk panen I)
Misalkan pada pembayaran bagi hasil musyarakah masa
panen I, Bapak Husaini melaporkan bagi hasil untuk bank
syariah pada tanggal 2 Mei. Pada tanggal tersebut, Bapak
Husaini langsung membayar bagi hasil untuk bank syariah
sebesar Rp. 3.500.000. Jurnal untuk mencatat penerimaan bagi
hasil tersebut adalah sebagai berikut.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas/rekening nasabah 3.500.000
01/04/20
Kr. Pendapatan bagi hasil musyarakah 3.500.000
b. Penerimaan bagi hasil yang waktu pembayarannya
berbeda dengan tanggal pelaporan bagi hasil, (seperti
pada bagi hasil untuk masa panen II)

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Tagihan pendapatan bagi hasil
4.000.000
musyarakah
01/04/20
Kr. Pendapatan bagi hasil
4.000.000
musyarakah-akrual

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Kas/rekening nasabah 4.000.000
01/04/20 Kr. Tagihan pendapatan bagi hasil
4.000.000
musyarakah

214
6. Akuntansi Transaksi Musyarakah Keempat Saat Akad
Berakhir
a. Nasabah pembiayaan mampu mengembalikan modal
musyarakah bank
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas/rekening nasabah 60.000.000
01/04/20
Kr. Investasi musyarakah 60.000.000
b. Nasabah pembiayaan tidak mampu mengembalikan
modal musyarakah
Misalkan Bapak Husaini tidak mampu melunasi modal
musyarakah bank, maka jurnal pada saat jatuh tempo tersebut
adalah sebagai berikut.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas/rekening nasabah 60.000.000
01/04/20
Kr. Investasi musyarakah 60.000.000
Jika dikemudian hari nasabah membayar piutang
investasi musyarakah jatuh tempo, maka jurnalnya adalah
sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas/rekening nasabah 60.000.000
01/04/20 Kr. Piutang investasi musyarakah
60.000.000
jatuh tempo

E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Musyarakah di Bank Syariah
1. Penyajian
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 5.8) terdapat beberapa akun
terkait transaksi pembiayaan musyarakah. Akun tersebut adalah
pembiayaan musyarakah, piutang bagi hasil, cadangan kerugian
penurunan nilai pembiayaan musyarakah:

215
a. Pembiayaan musyarakah disajikan sebesar saldo pembiayaan
musyarakah nasabah kepada bank. Tagihan kepada mitra aktif
yang disebabkan akibat kelalaian atau penyimpangan mitra
aktif (nasabah) disajikan sebagai bagian dari pembiayaan
musyarakah. Pembiayaan musyarakah yang diakhiri sebelum
jatuh tempo atau sudah berakhir dan belum diselesaikan oleh
nasabah tetap disajikan sebagai bagian dari pembiayaan
musyarakah.
b. Piutang bagi hasil disajikan sebagai bagian dari aset lainnya
pada saat nasabah tergolong performing. Sedangkan, apabila
nasabah tergolong non-performing maka piutang bagi hasil
disajikan pada rekening administratif.
c. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Pembiayaan
Musyarakah disajikan sebagai pos lawan (contra account)
Pembiayaan Musyarakah.
2. Pengungkapan
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 5.9-10), hal-hal yang harus
diungkapkan terkait dengan transaksi pembiayaan berdasarkan
musyarakah adalah:
a. Rincian jumlah pembiayaan musyarakah berdasarkan modal
mitra, jenis valuta, jenis penggunaan, sektor ekonomi, status
bank dalam pembiayaan musyarakah (mitra pasif), dan mitra
aktif (jika mitra aktif bukan berasal dari salah satu mitra
musyarakah).
b. Klasifikasi pembiayaan musyarakah menurut jangka waktu
akad pembiayaan, kualitas pembiayaan, dan tingkat bagi hasil
rata-rata.
c. Jumlah dan persentase pembiayaan musyarakah yang
diberikan kepada pihak-pihak berelasi.
d. Jumlah dan persentase pembiayaan musyarakah yang telah
direstrukturisasi dan informasi lain tentang pembiayaan
musyarakah yang direstrukturisasi selama periode berjalan.
e. Kebijakan manajemen dalam pelaksanaan pengendalian risiko
portofolio pembiayaan musyarakah.
216
f. Besarnya pembiayaan musyarakah bermasalah dan cadangan
kerugian penurunan nilai untuk setiap sektor ekonomi.
g. Kebijakan dan metode yang dipergunakan dalam penanganan
musyarakah bermasalah.
h. Ikhtisar pembiayaan musyarakah yang dihapus buku yang
menunjukkan saldo awal, penghapusan selama tahun berjalan,
penerimaan atas pembiayaan musyarakah yang telah
dihapusbukukan dan pembiayaan musyarakah yang telah
dihapustagih dan saldo akhir
i. pembiayaan musyarakah yang dihapus buku.

F. Latihan Kasus
Kasus 1
Pada tanggal 12 Januari 2020, Bank Syariah Nasional (BSN) dan
Bapak Kamal menandatangani akad musyarakah permanen untuk
pembiayaan usaha fotokopi senilai Rp40.000.000, yang terdiri dari
Rp30.000.000 kontribusi BSN dan Rp10.000.000 kontribusi Bapak
Kamal. Bagi hasil didasarkan pada laba bruto (penjualan dikurangi biaya
kertas) dengan nisbah bagi hasil 20% BSN dan 80% Bapak Kamal. Bagi
hasil disepakati untuk dibayar dan dilaporkan setiap tanggal 20 mulai
bulan Februari. Pembiayaan musyarakah disepakati jatuh tempo pada
tanggal 20 April 2020. Buatlah jurnal untuk transaksi berikut:
12 Jan 2020 Akad disepakati oleh BSN dan Bapak Kamal, Serta
BSN membuka cadangan pembiayaan musyarakah
untuk Bapak Kamal
12 Jan 2020 Pembebanan biaya administrasi kepada Bapak Kamal
sebesar 0,2% dari nilai pembiayaan, pembayaran
dilakukan dengan pemotongan rekening Bapak
Kamal
20 Jan 2020 BSN memberikan kontribusi/porsi investasi
musyarakah kepada Bapak Kamal sebesar
Rp30.000.000 dikirimkan ke dalam rekening Bapak
Kamal
217
20 Feb 2020 Bapak Kamal mendapatkan laba bruto sebesar
Rp5.000.000 dan langsung dilaporkan serta
dibayarkan porsi BSN sebesar 20% dari laba bruto
tersebut.
20 Mar 2020 Bapak Kamal mendapatkan laba bruto sebesar
Rp4.000.000 namun Bapak Kamal hanya melaporkan
saja kepada BSN belum menyerahkan porsi BSN
sebesar 20% dari laba bruto tersebut.
25 Mar 2020 Bapak Kamal membayar tunai porsi BSN yang sudah
dilaporkan pada tanggal 20 Maret 2020 sebesar 20%
dari laba bruto.
20 Apr 2020 Bapak Kamal mendapatkan laba bruto sebesar
Rp6.000.000 dan langsung dilaporkan serta
dibayarkan porsi BSN sebesar 20% dari laba bruto
tersebut.
20 Apr 2020 Bapak Kamal melunasi pembiayaan musyarakah yang
telah jatuh tempo sebesar Rp30.000.000 melalui
pemotongan simpanan di rekeningnya.

218
BAB XII PEMBIAYAAN DENGAN AKAD
IJARAH DAN IJARAH MUNTAHIYA BIT
TAMLIK (PSAK 107)

A. Pendahuluan
Transaksi ijarah dilandasi atau transaksi manfaat atau sewa.
Transaksi ini dapat menjadi transaksi sewa sebagai pilihan kepada
penyewa / nasabah untuk membeli aset tersebut pada akhir masa
Penyewaan, meskipun hal ini tidak selalu dibutuhkan. Dalam
perbankan syariah transaksi ini dikenal dengan
ijarahmuntahhiyahbittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya
kepemilikan). Bank mendapatkan ketidakseimbangan atas jasa sewa
tersebut. Harga sewa dan harga jual pada akhir masa sewa disepakati
pada awal perjanjian.
Semakin diminati dan semakin dibutuhkannya peranan Bank
Syariah di Indonesia, secara tidak langsung diperlukan adanya dasar dan
pedoman terhadap penilaian, perhitungan, dan pengungkapan
transaksi-transaksi yang terjadi pada Bank Syariah. Hal inilah yang
mendorong dikeluarkannya PSAK 107 yang mengatur pengakuan,
pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi ijarah. Ijarah
adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu aset dalam
waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan
pemindahan. Aset ijarah adalah aset baik berwujud maupun tidak
berwujud, yang atas manfaatnya disewakan.

B. Definisi, Ketentuan Syar’i, Rukun dan Jenis-jenis Akad


Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT)
1. Definisi
Al-ijarah berasal dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadhu (ganti).
Menurut pengertian syara, al-ijarah adalah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan pengganti. Al- ijarah adalah akad
219
pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Akad ijarah ini
mewajibkan si pemberi sewa untuk dapat menyediakan barang yang
bisa dipakai atau dapat diambil manfaat darinya selama periode
akan.Dan juga memberikan hak kepada pemberi sewa untuk
menerima pembayaran sewa terhadap barang yang disewakan.
Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT) merupakan
transaksi sewa menyewa yang diperbolehkan oleh syariah. Akad ijarah
merupakan akad yang memfasilitasi transaksi pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa atau upah tanpa diikuti pemindahan kepemilikan
barang. Adapun akad IMBT memfasilitasi transaksi ijarah, yang pada
akhir masa sewa, penyewa diberi hak pilih untuk memiliki barang yang
disewa dengan cara yang disepakati oleh kedua belah pihak. Akad
ijarah dalam suatu lembaga keuangan syariah dapat digunakan untuk
transaksi penyewaan suatu barang maupun penggunaan suatu jasa
yang dibutuhkan oleh nasabah.
Menurut DSN MUI ijarah adalah akad pemindahan manfaat
atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui melalui
pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri. Objek ijarah merupakan manfaat dari
penggunaan barang dan/atau jasa.
Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT) merupakan
transaksi sewa-menyewa yang diperbolehkan oleh syariah.
Berdasarkan PSAK 107, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu aset dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu
sendiri.
Sehingga akad ijarah merupakan sebuah akad yang
mengakomodir transaksi berkaitan dengan manfaat sebuah
barang/jasa, ijarah juga memiliki kemungkinan terjadinya
perpindahan kepemilikan barang yang ditransaksikan dengan disertai
dengan akad ijarah muntahiya bittamlik (IMBT).
220
2. Ketentuan Syar’i akad Ijarah
Ketentuan syar'i dan ijarah sendiri tentunya sudah diatur dalam al-
Qur'an ditambah dengan adanya penjelasan as-sunnah. Ayat al-
Qur'an yang mengatur mengenai kegiatan ijarah salah satu diantaranya
adalah di dalam Surah Az-zuhruf ayat 32, yang berbunyi:
ٓ‫ت يَ ْق ِّس ُم ْو َٓن اَ ُه ْم‬
َٓ َ‫ك َر ْْح‬ ٓ ِّ ِّ‫وة‬
َٓ ِّ‫ف َّمعِّْي َشتَ ُه ْٓم بَْي نَ ُه ْٓم قَ َس ْمنَا ََْن ُٓن َرب‬ ٓ ‫اْلََٰي‬
ْ ٓ‫ض ُه ْٓم َوَرفَ ْعنَا الدُّنْيَا‬ َ ‫بَ ْع‬
َٓ ‫َّخ َٓذ َد َر َٰجتٓ بَ ْعضٓ فَ ْو‬
‫ق‬ ِّ ‫ضه ٓم لِّي ت‬
َ ْ ُ ُ ‫ضا بَ ْع‬ ً ‫ت ُس ْخ ِّرًَٓي بَ ْع‬ ُٓ َ‫ك ۖ َوَر ْْح‬َٓ ِّ‫ََْي َمعُ ْو َٓن ِِّمَّا َخ َْٓي َرب‬
Artinya:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?
Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Adapun hadis terkait dengan akad ijarah sebagaimana terdapat
di dalam Shahih Bukhari dan Muslim serta sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan sahabat Abdullah bin Umar
radhiallahu anhu, beberapa di antaranya yaitu:
a. Rasulullah SAW, bersabda: "berbekamlah kamu, kemudian
berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu. " (HR.
Bukhari dan Muslim)
b. Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu anhuma, Raslullah SAW.
Bersabda: "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.
"(HR. Ibnu Majah)
c. “Rasulullah melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu
objek. "(HR. Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Mas'ud)
d. Sa'ad bin Abi Waqqash mengatakan "Dahulu kami menyewa
tanah dengan (jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu
Rasulullah melarang kami cara seperti itu dan memerintahkan
kepada kami agar membayarnya dengan emas atau perak. "(HR.
Imam An-Nasa'i)

221
Ketentuan syar’i transaksi ijarah diatur dalam fatwa DSN
Nomor 09 Tahun 2000. Adapun ketentuan syar’i transaksi ijarah
untuk penggunaan jasa diatur dalam fatwa DSN Nomor 44 tahun
2004. Sedangkan ketentuan syar’i IMBT diatur dalam fatwa DSN
Nomor 27 Tahun 2000.
3. Rukun Akad Ijarah
a. Rukun transaksi akad ijarah antara lain sebagai
berikut:
1) Pelaku
Pelaku terdiri atas penyewa (nasabah) dan pemberi
sewa (Bank Syariah). Kedua transaktor disyaratkan
memiliki kompetensi berupa akil baligh dan kemampuan
memilih yang optimal seperti tidak gila, tidak sedang
dipaksa, dan lain-lain yang sejenis. Adapun untuk transaksi
dengan anak kecil, dapat dilakukan dengan izin dan
pantauan dari walinya. Perjanjian sewamenyewa antara
bank syariah sebagai pemberi sewa dengan nasabah sebagai
penyewa memiliki implikasi kepada kedua belah pihak.
Implikasi perjanjian sewa kepada bank syariah sebagai
pemberi sewa adalah sebagai berikut.
a) Menyediakan aset yang disewakan.
b) Menanggung biaya pemeliharaan aset. Biaya ini meliputi
biaya yang terkait langsung dengan substansi objek
sewaan yang manfaatnya kembali kepada pemberi
sewanya (misalnya renovasi, penambahan fasilitas dan
reparasi yang bersifat insidental). Semua biaya ini
dibebankan kepada pemberi sewa. Jika pemberi sewa
menolak menanggung, maka sewa-menyewa sifatnya
batal. Jika terdapat kelalaian penyewa, tanggung jawab
ada pada penyewa.
c) Menjamin bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.

Adapun kewajiban nasabah sebagai penyewa adalah:

222
a) Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga
keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya
sesuai kontrak.
b) Menanggung biaya pemeliharaan yang sifatnya ringan
(tidak materiil). Biaya ini meliputi biaya yang berkaitan
langsung dengan optimalisasi fasilitas yang disewa dan
kegunaannya adalah kewajiban penyewa (misal
pemeliharaan rutin). Semua biaya ini merupakan
tanggung jawab penyewa. Misalnya mengisi bensin
untuk kendaraan yang disewa.
c) Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran
dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena
kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak
bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
2) Objek Akad Ijarah
Objek kontrak ijarah meliputi pembayaran sewa
dan manfaat dari penggunaan aset. Manfaat dari
penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang
harus dijamin, karena ia merupakan rukun yang harus
dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
Adapun ketentuan objek ijarah adalah sebagai berikut.
a) Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang
dan/atau jasa.
b) Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat
dilaksanakan dalam kontrak. Dalam hal ini, hendaklah
fasilitas objek sewaan itu mempunyai nilai komersial,
dengan demikian kita dilarang menyewakan durian
untuk sekadar dicium baunya. Hendaknya juga
penggunaan fasilitas objek sewaan tidak menghabiskan
substansinya, sebagai contoh tidak boleh menyewakan
lilin untuk penerangan atau sabun mandi.
c) Fasilitasnya mubah (dibolehkan). Dalam hal ini,
menyewa tenaga atau fasilitas untuk maksiat atau
sesuatu yang diharamkan adalah haram. Berdasarkan
223
pedoman pengawasan syariah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia, disebutkan bahwa transaksi multijasa
yang biasanya menggunakan akad ijarah dapat dalam
bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan, dan kepariwisataan.
d) Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan
sesuai dengan syariah. Dalam hal ini objek transaksi
bisa diserahterimakan secara substansi dan syariat.
Dengan demikian, dilarang menyewakan orang buta
untuk penjagaan yang memerlukan penglihatan atau
menyewakan unta yang hilang karena secara substantif
tidak akan dapat menjalankan fungsinya. Begitu pula
dilarang menyewa wanita haid membersihkan masjid
karena secara syariat tidak boleh masuk ke dalam
masjid pada waktu haid.
e) Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa
untuk menghilangkan ketidaktahuan yang akan
mengakibatkan sengketa.
f) Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas
termasuk jangka waktunya. Atau bisa juga dikenali
dengan spesifikasi atau identifikasi fisik. Untuk sesuatu
yang tidak aktif, kapasitas diketahuinya adalah waktu
sewa. Untuk sesuatu yang aktif seperti manusia dan
binatang kapasitas diketahuinya adalah dasar pekerjaan
dan waktu.
g) Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar
kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu
yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula
dijadikan sewa dalam ijarah.
h) Ketentuan dalam menentukan sewa dapat diwujudkan
dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
3) Ijab Kabul
Ijab dan kabul dalam akad ijarah merupakan
pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak,
224
dengan cara penawaran dari pemilik aset (bank syariah) dan
penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).
Pelafalan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat
(bagi yang tidak bisa bicara), tindakan maupun tulisan,
bergantung pada praktik yang lazim di masyarakat dan
menunjukkan keridhaan satu pihak untuk menyewa dan
pihak lain untuk menyewakan tenaga/ fasilitas.
b. Rukun transaksi akad ijarah untuk pembiayaan
multijasa sebagai berikut:
Pembiayaan multijasa dengan skema ijarah adalah
pembiayaan yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) kepada nasabah dalam memperoleh manfaat atas suatu
jasa dengan menggunakan akad ijarah. Pembiayaan multijasa
hukumnya boleh (jaiz) dengan menggunakan akad ijarah atau
kafalah. Dalam hal LKS menggunakan akad ijarah, maka
harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam fatwa ijarah.
Dalam kedua pembiayaan multijasa tersebut, LKS dapat
memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee. Besar ujrah atau fee
harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal
bukan dalam bentuk persentase.
c. Rukun transaksi akad IMBT antara lain sebagai berikut:
Berdasarkan fatwa DSN Nomor 27 Tahun 2002,
disebutkan bahwa pihak yang melakukan transaksi IMBT
harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Dengan
demikian, pada akad IMBT juga berlaku semua rukun dan
syarat transaksi ijarah. Adapun akad perjanjian IMBT harus
disepakati ketika akad ijarah ditandatangani. Selanjutnya,
pelaksanaan akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual
beli atau pemberian hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah
selesai. Berdasarkan fatwa DSN Nomor 27 tersebut, janji
pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah
hukumnya bersifat tidak mengikat. Oleh karena itu, apabila
janji tersebut ingin dilaksanakan, maka harus ada akad

225
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah
selesai.

C. Pengawasan dan Mekanisme Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
(IMBT) di Bank Syariah
1. Pengawasan Transaksi Pembiayaan dengan Akad Ijarah
dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT)
Untuk menguji kesesuaian transaksi ijarah dan IMBT yang
dilakukan bank dengan fatwa dewan DSN, DPS suatu bank syariah
akan melakukan pengawasan syariah. Menurut Bank Indonesia,
pengawasan tersebut antara lain berupa:
a. Memastikan penyaluran dana berdasarkan prinsip ijarah tidak
dipergunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan
prinsip syariah;
b. Memastikan bahwa akad pengalihan kepemilikan dalam
IMBT dilakukan setelah akad ijarah selesai, dan dalam akad
ijarah, janji (wa’ad) untuk pengalihan kepemilikan harus
dilakukan pada saat berakhirnya akad ijarah;
c. Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah untuk
multijasa menggunakan perjanjian sebagaimana diatur dalam
fatwa yang berlaku tentang multijasa dan ketentuan lainnya
antara lain ketentuan standar akad; dan
d. Memastikan besar ujrah atau fee multijasa dengan
menggunakan akad ijarah telah disepakati di awal dan
dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk
persentase.
2. Mekanisme Transaksi Pembiayaan dengan Akad Ijarah dan
Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT)
Mekanisme transaksi lebih jelas tergambar pada figur 12.1
berikut:

226
Figur 12.1
Mekanisme Transaksi Ijarah dan IMBT

1. Negosiasi
Bank Syariah Nasabah

4. bayar

3. pemakaian
2. beli

Objek Ijarah
5. pemindahan hak
milik (IMBT)
Keterangan:
- Pertama. Nama nasabah mengajukan permohonan ijarah
dengan mengisi formulir permohonan. Berbagai informasi
yang diberikat selanjutnya diverifikasi kebenarannya dan
dianalisis kelayakannya oleh bank Syariah. Bagi nasabah yang
dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam bentuk
penandatanganan kontrak ijarah atau IMBT.
- Kedua. Sebagaimana difatwakan oleh DSN, Bank selanjutnya
menyediakan objek sewa yang akan digunakan oleh kepada
nasabah. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk
mencarikan barang atau jasa yang akan disewakan nasabah
untuk selanjutnya dibeli atau di bayar oleh bank Syariah.
- Ketiga. Nasabah menggunakan barang atau jasa yang
disewakan sebagaimana yang telah disepakati dalam kontrak.
Selama penggunaan objek sewa, nasabah menjaga dan
menanggung biaya pemeliharaan barang yang di sewa sesuai
kesepakatan. Sekiranya terjadi kerusakan bukan karena

227
kesalahan penyewa, maka Bank Syariah sebagai pemberi sewa
akan menanggung biaya perbaikannya,
- Keempat. nasabah penyewa membayar fee sewa kepada bank
syariah Sesuai dengan kesepakatan akad sewa.
- Kelima. Pada transaksi IMBT, setelah masa ijarah selesai,
bank sebagai pemilik barang dapat melakukan pengalihan hak
milik kepada penyewa

D. Perlakuan Akuntansi untuk Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Ijarah dan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
(IMBT) di Bank Syariah
Berikut contoh pembiayaan dengan akad ijarah dan Ijarah
Muntahiya Bit Tamlik (IMBT) yang terjadi di bank syariah:
Kasus Transaksi Ijarah

PT Mumtaz Grup membutuhkan sebuah mesin untuk keperluan


produksi usahanya. Pada bulan Januari 2020, PT Mumtaz Grup
mengajukan permohonan ijarah kepada Bank Syariah. Adapun
informasi tentang penyewaan tersebut adalah sebagai berikut:

Biaya Perolehan Barang : Rp.120.000.000


Umur Ekonomis : 5 Tahun
Masa Sewa : 24 bulan
Nilai Sisa (residu) : Rp.0
Sewa Per Bulan : Rp.2.400.000
Biaya Administrasi : Rp.480.000

1. Perhitungan Penyusutan dan Pendapatan Ijarah

Dalam contoh kasus ini dimisalkan keuntungan dari bank


syariah sejumlah 20% dari modal sewa (beban penyusutan).
Harga Perolehan−Nilai Sisa
Penyusutan per bulan =
Umur Ekonomis
120.000.000 −0
Penyusutan per bulan = = Rp.2.000.000
60 bulan
228
Pendapatan ijarah per bulan = modal penyewaan + (n% x
modal penyewaan)
= 2.000.000 + (20% x
2.000.000)
= 2.400.000
2. Perhitungan Biaya Administrasi
Biaya Administrasi = n% x modal penyewaan per bulan x
jumlah bulan
= 1% x 2.000.000 x 24
= 480.000
3. Penjurnalan saat pengadaan aset ijarah
Untuk keperluan transaksi ijarah PT Mumtaz Grup di atas, pada
tanggal 5 Juni 2020 Bank Syariah membeli aset kepada perusahaan
yang menyuplai barang yang diperlukan. Pembelian dilakukan via
rekening pemasok tersebut. Jurnal terhadap transaksi tersebut
adalah sebagai berikut.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Persediaan Ijarah 120.000.000
05/06/20
Kr. Kas / Rekening Pemasok 120.000.000
4. Penjurnalan saat akad disepakati
Pada saat akad disepakati, terdapat beberapa transaksi yang
harus diakui oleh bank syariah. Transaksi tersebut adalah (1)
konversi persediaan ijarah menjadi aset, sebagai bentuk pengakuan
atas adanya pengalihan hak guna kepada penyewa, dan (2)
Penerimaan biaya administrasi.
Misalkan pada tanggal 10 Juni, PT Mumtaz Grup
menandatangani akad ijarah atas sebuah mobil. Maka jurnal yang
diperlukan pada waktu itu adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Aset Ijarah 120.000.000
10/06/20
Kr. Persediaan Ijarah 120.000.000

229
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Rekening Nasabah – PT 480.000
10/06/20 Mumtaz Grup
Kr. Pendapatan Administrasi 480.000

5. Rencana Pengakuan Penerimaan Pendapatan Ijarah


No Tanggal Sewa per Porsi Porsi Tanggal Jumlah
jatuh bulan Pokok Ujrah Bayar bayar
Tempo (Rp) (Rp)
1 10/7/20 2.400.000 2.000.000 400.000 10/7/2020 2.400.000
2 10/8/20 2.400.000 2.000.000 400.000 10/8/2020 2.400.000
3 10/9/20 2.400.000 2.000.000 400.000 10/9/2020 2.400.000
4 10/10/20 2.400.000 2.000.000 400.000 10/10/2020 2.400.000
5 10/11/20 2.400.000 2.000.000 400.000 10/11/2020 2.400.000
10/12/2020 1.400.000
6 10/12/20 2.400.000 2.000.000 400.000
03/01/2021 1.000.000

a. Jurnal Penerimaan pembayaran sewa pada waktu jatuh


tempo
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas/rekening nasabah 2.400.000
10/07/20
Kr. Pendapatan ijarah 2.400.000
Db. Kas/rekening nasabah 2.400.000
10/08/20
Kr. Pendapatan ijarah 2.400.000
Db. Kas/rekening nasabah 2.400.000
10/09/20
Kr. Pendapatan ijarah 2.400.000
Db. Kas/rekening nasabah 2.400.000
10/10/20
Kr. Pendapatan ijarah 2.400.000

230
b. Jurnal Penerimaan pembayaran sewa setelah melewati jatuh
tempo

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Piutang Sewa (pokok) 2.000.000
10/11/20 Db. Piutang pendapatan sewa (ujrah) 400.000
Kr. Pendapatan ijarah (akrual) 2.400.000
Db. Kas/rekening nasabah 2.400.000
Kr. Piutang sewa (pokok) 2.000.000
10/12/20 Kr. Piutang pendapatan sewa (ujrah) 400.000
Db. Pendapatan ijarah (akrual) 2.400.000
Kr. Pendapatan ijarah 2.400.000
* Penambahan istilah akrual pada pendapatan ijarah
akrual adalah untuk keperluan praktis membedakannya
dengan pendapatan yang telah berwujud kas. Pembedaan
ini dipandang perlu untuk keperluan bagi hasil, yang mana
pendapatan yang belum bewujud kas tidak diikutsertakan
dalam perhitungan bagi hasil.
c. Jurnal Penerimaan pembayaran sewa sebagian pada waktu
jatuh tempo dan sebagian lainnya setelah melewati jatuh
tempo

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Kas/rekening nasabah 1.400.000
Db. Piutang sewa (pokok) 833.333*
10/12/20 Db. Piutang pendapatan sewa (ujrah) 166.667*
Kr. Pendapatan ijarah 1.400.000
Kr. Pendapatan ijarah (akrual) 1.000.000
Db. Kas/rekening nasabah 1.000.000
Kr. Piutang sewa (pokok) 833.333
03/01/21
Kr. Piutang pendapatan sewa (ujrah) 166.667
Db. Pendapatan ijarah (akrual) 1.000.000

231
Kr. Pendapatan ijarah 1.000.000
*Rp1.000.000 – Rp166.667 = Rp833.333
**(Rp1.000.000/Rp2.400.000) × Rp400.000 =
Rp166.667

6. Jurnal Pengakuan Penyusutan Aset Ijarah


Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Beban penyusutan aset ijarah 2.000.000
10/07/20
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 2.000.000
Db. Beban penyusutan aset ijarah 2.000.000
10/08/20
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 2.000.000
Db. Beban penyusutan aset ijarah 2.000.000
10/09/20
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 2.000.000
Db. Beban penyusutan aset ijarah 2.000.000
10/10/20
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 2.000.000
Db. Beban penyusutan aset ijarah 2.000.000
10/11/20
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 2.000.000
Db. Beban penyusutan aset ijarah 2.000.000
10/12/20
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 2.000.000

7. Penjurnalan Beban Perbaikan dan Pemeliharaan


Berdasarkan PSAK 107, biaya perbaikan objek ijarah
merupakan tanggungan pemilik. Perbaikan tersebut dapat
dilakukan oleh pemilik secara langsung atau dilakukan oleh
penyewa atas persetujuan pemilik. Pengakuan biaya perbaikan
objek ijarah adalah sebagai berikut:
a. biaya perbaikan tidak rutin objek ijarah diakui pada saat
terjadinya;
b. jika penyewa melakukan perbaikan rutin objek ijarah dengan
persetujuan pemilik, maka biaya tersebut dibebankan kepada
pemilik dan diakui sebagai beban pada saat terjadinya; dan
c. dalam ijarah muntahiyah bittamlik melalui penjualan secara
bertahap, biaya perbaikan objek ijarah yang dimaksud dalam
232
huruf (a) dan (b) ditanggung pemilik maupun penyewa
sebanding dengan bagian kepemilikan masing-masing atas
objek ijarah.

Misalkan pada tanggal 23 Desember 2020 dilakukan


perbaikan aset ijarah sebesar Rp500.000. Perbaikan tersebut
dilakukan atas tanggungan Bank Syariah sebagai pemilik objek
sewa dengan sistem pembayaran langsung pada perusahaan jasa
ruko maka jurnal atas transaksi tersebut adalah:

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Beban perbaikan aset ijarah 500.000
23/12/20
Kr. Kas/Rekening nasabah 500.000

8. Penyajian pada Laporan Laba Rugi dan Laporan


Perhitungan Bagi Hasil
a. Laporan Laba Rugi
Juli Ags Sept Okt Nov Des Total
pendapatan
Ijarah
2.400.000 2.400.000 2.400.000 2.400.000 2.400.000 2.400.000 14.400.000
(saldo
kas+akrual)
(Beban
(2.000.000) (2.000.000) (2.000.000) (2.000.000) (2.000.000) (2.000.000) (12.000.000)
penyusutan)
(Beban
- - - - - (500.000) (500.000)
peraikan)
(Beban lain) - - - - - - -
Pendapatan
Ijarah 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 (100.000) 1.900.000
Bersih

233
b. Laporan Perhitungan Bagi Hasil
Juli Ags Sept Okt Nov Des Total

pendapatan 2.400.000 2.400.000 2.400.000 2.400.000 - 2.400.000 13.400.000


ijarah - kas

(Beban (2.000.000) (2.000.000) (2.000.000) (2.000.000) (2.000.000) (2.000.000) (12.000.000)


penyusutan)

(Beban - - - - - (500.000) (500.000)


peraikan)

(Beban lain) - - - - - - -

Pendapatan 400.000 400.000 400.000 400.000 (2.000.000) 1.300.000 900.000


Ijarah
Bersih

Kasus Transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT)


Dengan mengacu pada transaksi kasus di atas PT Mumtaz Grup yang
telah dibahas pada bagian terdahulu, misalkan akad yang disepakati
adalah IMBT dengan informasi tentang penyewaan sebagai berikut:

Biaya Perolehan Barang : Rp.120.000.000


Umur Ekonomis : 5 Tahun
Masa Sewa : 24 bulan
Waktu Pembelian : Setelah Bulan ke 24
Barang
1. Perhitungan Penyusutan dan Pendapatan Ijarah Muntahiya
Bittamlik
Berdasarkan PSAK 107 disebutkan bahwa kebijakan
penyusutan atau amortisasi yang dipilih harus mencerminkan pola
konsumsi yang diharapkan dari manfaat ekonomi di masa depan
dari objek ijarah. Umur ekonomis dapat berbeda dengan umur
teknis. Misalnya, mobil yang dapat dipakai selama 5 tahun
234
diijarahkan dengan akad ijarah muntahiya bittamlik selama 2 tahun.
Dengan demikian umur ekonomisnya adalah 2 tahun.
Berdasarkan kasus di atas maka beban penyusutan perbulan
barang IMBT adalah:
Harga Perolehan
Penyusutan IMBT per bulan =
Jumlah bulan sewa
120.000.000
Penyusutan IMBT per bulan =
24 bulan
Penyusutan IMBT per bulan = 5.000.000
Selanjutnya dengan kebijakan keuntungan sewa 20% dari
modal barang yang disewakan, pendapatan IMBT per bulan adalah
sebagai berikut:
Pendapatan IMBT per bulan = modal penyewaan + (n% x
modal penyewaan)
= 5.000.000 + (20% x
5.000.000)
= 6.000.000
Total Pendapatan IMBT = 24 x 6.000.000
= 144.000.000
Adapun untuk fee IMBT, mengingat penyewa memiliki hak
pilih untuk memiliki barang yang disewakan, modal barang
persewaan dapat diperlakukan sama dengan harga perolehan
barang.
2. Penjurnalan Transaksi IMBT
Penjurnalan transaksi IMBT pada dasarnya sama dengan
penjurnalan pada transaksi ijarah. Perbedaan mendasar hanya
terdapat pada konsep perhitungan penyusutan yang tidak dikaitkan
dengan umur ekonomis, melainkan dikaitkan dengan masa sewa
sebagaimana telah dibahas pada sub-bab 12.6.1. Dengan demikian,
pembahasan penjurnalan IMBT langsung ditujukan pada transaksi
pemindahan kepemilikan aset kepada penyewa.
Berdasarkan PSAK 107, perpindahan kepemilikan objek
ijarah dari pemilik kepada penyewa dalam ijarah muntahiya
bittamlik dengan cara:
a. Hibah
235
Pada perpindahan hak milik sewa dalam IMBT melalui
hibah, jumlah tercatat objek ijarah diakui sebagai beban.
Dalam kasus transaksi IMBT, PT Mumtaz Grup di atas,
sekiranya pada akhir masa sewa (setelah bulan ke-24)
dilakukan pelepasan aset ijarah oleh bank syariah dengan
menghadiahkan aset tersebut kepada PT Mumtaz Grup.
Adapun nilai buku aset di neraca pada bulan ke-24 adalah:
Penyajian di neraca (bulan ke-24)

Aset ijarah 120.000.000

Akumulasi amortisasi (120.000.000)

Nilai bersih 0

Maka jurnal atas transaksi pelepasan dengan


menghadiahkan tersebut adalah sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Akumulasi penyusunan aset ijarah 120.000.000
11/06/22
Kr. Aset ijarah 120.000.000

b. Pembayaran sisa sewa sebelum berakhirnya masa sewa


Berdasarkan PSAK 107 disebutkan bahwa pada
penjualan objek ijarah sebelum berakhirnya masa sewa,
sebesar sisa cicilan sewa atau jumlah yang disepakati, maka
selisih antara harga jual dan jumlah tercatat objek ijarah diakui
sebagai keuntungan atau kerugian. Dalam hal ini, pemilik
objek sewa mengakui keuntungan atau kerugian atas
penjualan tersebut sebesar selisih antara harga jual dan nilai
buku bersih objek sewa
1) Jika harga jual di atas nilai buku aset ijarah
Misalkan setelah penerimaan pendapatan sewa
bulan ke-20, bank syariah menjual mesin yang menjadi
aset ijarah tersebut sebesar sisa cicilan sewa kepada
236
nasabah penyewa yaitu Rp 24.000.000 (4 x Rp 6.000.000),
Adapun nilai buku aset di neraca pada bulan ke-20 adalah:

Penyajian di neraca (bulan ke-20)

Aset ijarah 120.000.000

Akumulasi amortisasi (100.000.000)

Nilai bersih 20.000.000

Maka jurnal untuk transaksi tersebut adalah:


Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas 24.000.000
Db. Akumulasi penyusutan aset ijarah 100.000.000
11/02/22
Kr. Aset ijarah 120.000.000
Kr. Keuntungan ijarah 4.000.000

2) Jika harga jual dibawah nilai buku aset ijarah


Misalkan setelah penerimaan pendapatan sewa
bulan ke-20, bank syariah menjual mesin yang menjadi
aset ijarah tersebut sebesar Rp 15.000.000. Adapun nilai
buku aset di neraca pada bulan ke-20 adalah:

Penyajian di neraca (bulan ke-20)

Aset ijarah 120.000.000

Akumulasi amortisasi (100.000.000)

Nilai bersih 20.000.000

237
Maka jurnal untuk transaksi tersebut adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas 15.000.000
Db. Akumulasi penyusutan aset ijarah 100.000.000
11/02/22
Db. Kerugian penjualan aset ijarah 5.000.000
Kr. Aset ijarah 120.000.000

c. Pelepasan Melalui Penjualan Objek Sewa Setelah Berakhirnya


Masa Sewa
Berdasarkan PSAK 107 disebutkan bahwa pada
penjualan setelah selesai masa akad, maka selisih antara harga
jual dan jumlah tercatat objek ijarah diakui sebagai
keuntungan atau kerugian. Dalam hal ini pemilik objek sewa
mengakui keuntungan atau kerugian atas penjualan tersebut
sebesar selisih antara harga jual dan nilai buku neto objek
sewa.
Misalkan setelah berakhirnya masa sewa, bank syariah
menjual mesin yang menjadi aset ijarah senilai Rp2.000.000.
Adapun nilai buku aset di neraca pada bulan ke–24 adalah:

Penyajian di neraca (bulan ke-20)

Aset ijarah 120.000.000

Akumulasi amortisasi (120.000.000)

Nilai bersih 0

Maka jurnal atas transaksi tersebut adalah sebagai


berikut:

238
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas 2.000.000
Db. Akumulasi penyusutan aset ijarah 120.000.000
11/02/22 Kr. Aset ijarah 120.000.000
Kr. Keuntungan penjualan aset 2.000.000
ijarah

d. Pelepasan Melalui Penjualan Objek Sewa Setelah Berakhirnya


Masa Sewa Secara Bertahap
Berdasarkan PSAK 107 disebutkan bahwa penjualan
objek ijarah secara bertahap, maka: (i) selisih antara harga jual
dan jumlah tercatat sebagian objek ijarah yang telah dijual
diakui sebagai keuntungan atau kerugian, sedangkan (ii)
bagian objek ijarah yang tidak dibeli penyewa diakui sebagai
aset tidak lancar atau aset lancar sesuai dengan tujuan
penggunaan aset tersebut.
Kasus Transaksi Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT)
Praktik perhitungan dan penjurnalan transaksi ijarah untuk jasa
pada dasarnya sama dengan perhitungan dan penjurnalan transaksi
ijarah untuk barang. Perbedaannya adalah pada ijarah untuk jasa tidak
terdapat kegiatan pemeliharaan dan perbaikan aset ijarah. Berikut
adalah salah contoh kasus transaksi ijarah untuk multijasa.
Bapak Anton melakukan transaksi ijarah dengan Bank Syariah
Nasional untuk keperluan biaya sekolah anaknya selama 1 semester di
Universitas Gadjah Mada (UGM). Adapun informasi tentang transaksi
untuk penyediaan jasa tersebut adalah sebagai berikut:

Harga Perolehan Jasa : Rp.9.000.000 (dibayar tanggal 1 Feb 2020)


Masa sewa : 6 bulan (1 feb 2020 – 1 Ags 2020)
Sewa per bulan : 1.700.000 (setiap tanggal 1 dimulai dari maret)
Penyusutan per bulan : 1.500.000 (setiap tanggal 1 dimulai dari maret)
Biaya administrasi 0,5% : 45.000 (diterima pada 1 februari 2020)

239
Jurnal untuk transaksi di atas meliputi jurnal pengadaan aset
ijarah, jurnal pada saat akad, jurnal penyusutan ijarah, dan jurnal
penerimaan pendapatan sewa ijarah.

1. Penjurnalan pada saat pengadaan aset ijarah


Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Aset ijarah 9.000.000
01/02/20
Kr. Pendapatan admiinistrasi 9.000.000

2. Penjurnalan pada saat akad disepakati


Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Aset ijarah 45.000
01/02/20
Kr. Pendapatan admiinistrasi 45.000

3. Rencana Pengakuan dan Penjurnalan untuk Penyusutan


Aset Ijarah dan Pembayaran Sewa Ijarah
No Beban Amortisasi Pembayaran Sewa Keterangan Tanggal
(Rp) (Rp) Penyusutan dan
Pembayaran
1 1.500.000 1.700.000 1 Maret 2020
2 1.500.000 1.700.000 1 April 2020
3 1.500.000 1.700.000 1 Mei 2020
4 1.500.000 1.700.000 1 Juni 2020
5 1.500.000 1.700.000 1 Juli 2020
6 1.500.000 1.700.000 1 Agustus 2020

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Beban penyusutan aset ijarah 1.500.000
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 1.500.000
01/03/20 Ket. Pengakuan penyusutan aset ijarah
Db. Rekening nasabah/kas 1.700.000
Kr. Pendapatan sewa 1.700.000

240
Ket. Pengakuan penerimaan Pendapatan sewa
Db. Beban penyusutan aset ijarah 1.500.000
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 1.500.000
01/04/20
Db. Rekening nasabah/kas 1.700.000
Kr. Pendapatan sewa 1.700.000
Db. Beban penyusutan aset ijarah 1.500.000
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 1.500.000
01/05/20
Db. Rekening nasabah/kas 1.700.000
Kr. Pendapatan sewa 1.700.000
Db. Beban penyusutan aset ijarah 1.500.000
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 1.500.000
01/06/20
Db. Rekening nasabah/kas 1.700.000
Kr. Pendapatan sewa 1.700.000
Db. Beban penyusutan aset ijarah 1.500.000
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 1.500.000
01/07/20
Db. Rekening nasabah/kas 1.700.000
Kr. Pendapatan sewa 1.700.000
Db. Beban penyusutan aset ijarah 1.500.000
Kr. Akumulasi penyusutan aset ijarah 1.500.000
01/08/20
Db. Rekening nasabah/kas 1.700.000
Kr. Pendapatan sewa 1.700.000

E. Penyajian dan Pengungkapan Transaksi Pembiayaan


dengan Akad Ijarah di Bank Syariah
1. Penyajian Transaksi Pembiayaan dengan Akad Ijarah
a. Penyajian transaksi ijarah atas aset berwujud
Berdasarkan PAPSI 2013 terdapat beberapa ketentuan
penyajian di laporan keuangan terhadap akun yang berkaitan
dengan transaksi ijarah dengan aset berwujud.

241
1) Objek sewa yang diperoleh bank disajikan sebagai aset
ijarah.
2) Akumulasi penyusutan/amortisasi dan cadangan kerugian
penurunan nilai dari aset ijarah disajikan sebagai pos lawan
aset ijarah.
3) Porsi pokok atas pendapatan sewa yang belum dibayar
disajikan sebagai piutang sewa.
4) Porsi ujrah atas pendapatan sewa yang belum dibayar
disajikan sebagai pendapatan sewa yang akan diterima yang
merupakan bagian dari aset lainnya pada saat nasabah
tergolong performing. Sedangkan, apabila nasabah
tergolong non-performing maka pendapatan sewa yang
akan diterima disajikan pada rekening administratif.
5) Cadangan kerugian penurunan nilai atas piutang sewa
disajikan sebagai pos lawan (contra account) piutang ijarah.
6) Beban penyusutan/amortisasi aset ijarah disajikan sebagai
pengurang pendapatan ijarah pada laporan laba rugi.
b. Penyajian transaksi ijarah atas jasa
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 6.8) terdapat beberapa
ketentuan penyajian di laporan keuangan terhadap akun yang
berkaitan dengan transaksi ijarah dengan jasa
1) Perolehan atas jasa disajikan sebagai bagian aset ijarah dan
disajikan terpisah dari aset ijarah lain;
2) Amortisasi atas perolehan aset ijarah disajikan sebagai pos
lawan dari aset ijarah;
3) Porsi pokok atas pendapatan sewa multijasa yang belum
dibayar disajikan sebagai piutang sewa;
4) Porsi ujrah atas pendapatan sewa multijasa yang belum
dibayar disajikan sebagai pendapatan sewa multijasa yang
akan diterima yang merupakan bagian dari aset lainnya
pada saat nasabah tergolong performing. Sedangkan,
apabila nasabah tergolong non- performing maka
pendapatan sewa multijasa yang akan diterima disajikan
pada rekening administrative;
242
5) Cadangan kerugian penurunan nilai atas piutang sewa
disajikan sebagai pos lawan (contra account) piutang sewa;
dan
6) Beban amortisasi aset ijarah disajikan sebagai pengurang
pendapatan ijarah pada laporan laba rugi.
2. Pengungkapan Transaksi Pembiayaan dengan Akad Ijarah
a. Pengungkapan transaksi ijarah atas aset berwujud
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 6.6-7), hal-hal yang harus
diungkapkan terkait transaksi ijarah dengan menggunakan aset
berwujud antara lain:
1) sumber dana yang digunakan dalam pembiayaan ijarah;
2) jumlah piutang cicilan ijarah yang akan jatuh tempo hingga
dua tahun terakhir;
3) jumlah objek sewa berdasarkan jenis transaksi (ijarah dan
ijarah muntahiyah bittamlik), jenis aset dan akumulasi
penyusutannya serta cadangan kerugian penurunan nilai
jika ada, apabila bank sebagai pemilik objek sewa;
4) komitmen yang berhubungan dengan perjanjian ijarah
muntahiyah bittamlik yang berlaku efektif pada periode
laporan keuangan berikutnya;
5) kebijakan akuntansi yang digunakan atas transaksi Ijarah
dan Ijarah muntahiyyah bittamlik;
6) transaksi dan saldo dengan pihak-pihak yang berelasi.
b. Pengungkapan transaksi ijarah atas jasa
Berdasarkan PAPSI 2013 (h. 6.10), hal-hal yang harus
diungkapkan terkait transaksi ijarah dengan jasa antara lain:
1) Sumber dana yang digunakan dalam pembiayaan ijarah.;
2) Rincian perolehan atas jasa berdasarkan jenis;
3) Jumlah piutang cicilan ijarah yang akan jatuh tempo hingga
dua tahun terakhir; dan
4) Transaksi dan saldo dengan pihak-pihak yang berelasi.

243
F. Latihan Kasus
Kasus 1
Bapak Yohansyah membutuhkan sebuah bangunan kantor untuk
keperluan usahanya. Pada awal bulan Maret 2020, Bapak
Yohansyah mengajukan permohonan ijarah kepada Bank Syariah
Nasional (BSN). Permohonan tersebut disetujui dengan
menggunakan pola sewa atas sewa kepada pemilik bangunan.
Adapun informasi tentang penyewaan tersebut adalah sebagai
berikut.
Tujuan Pembiayaan = pembiayaan modal kerja untuk sebuah
bangunan kantor
Jangka Waktu = 18 Bulan
Ujroh Bank Syariah = Rp4.051.372,01 (margin anuitas 12%,
(margin sewa) periode 18 bulan)
Total Harga Sewa = Rp.64.051.372,01
Uang Muka Nasabah = Rp.10.000.000
Jumlah Pembiayaan = Rp.50.000.000
Jumlah Angsuran = Rp54.051.372,01 (pembiayaan bank Rp50
juta + keuntungan bank)
Angsuran per bulan = Rp.3.002.854,00 (Rp54.051.372,01 : 18
Amortisasi per bulan = bulan)
Rp2.777.777,78 (Rp50.000.000 : 18 bulan)

Buatlah jurnal untuk transaksi berikut:


1. Tanggal 7 Maret, Bapak Yohansyah dan BSN menyepakati akad
ijarah untuk sebuah bangunan kantor. Pada tanggal tersebut bank
menyerahkan dana sebesar Rp50.000.000 ke pemilik bangunan
kantor untuk keperluan sewa Bapak Yohansyah.
2. Tanggal 7 April 2020, saat jatuh tempo angsuran pertama, bank
syariah mengakui amortisasi aset ijarah sebesar Rp2.777.777,78.

244
Pada saat itu Bapak Yohansyah membayar angsuran ijarah
pertamanya sebesar Rp3.002.854.
3. Tanggal 7 Mei 2020, saat jatuh tempo angsuran kedua, bank
syariah mengakui amortisasi aset ijarah sebesar Rp2.777.777,78.
Pada saat itu Bapak Yohansyah belum dapat membayar angsuran
keduanya.
4. Tanggal 10 Mei 2020, Bapak Yohansyah melakukan pembayaran
angsuran keduanya.
5. Tanggal 7 Juni 2020, saat tanggal jatuh tempo ketiga, bank syariah
mengakui amortisasi aset ijarah. Pada saat itu, Bapak Yohansyah
hanya membayar angsurannya sebesar Rp1.000.000.
6. Tanggal 14 Juni 2020, Bapak Yohansyah membayar sisa angsuran
tahap ketiga sebesar Rp2.002.854.
7. Tanggal 20 Juni 2020, Bapak Yohansyah melunasi semua sisa sewa
hingga bulan ke–18 sebesar Rp45.042.810,01.

Kasus 2
Ibu Nani berniat untuk membangun sebuah rumah sebagai tempat
tinggalnya bersama dengan keluarga. Pada awal bulan Maret 2020, Ibu
Nani melakukan pengajuan permohonan ijarah kepada Bank Syariah
Nasional (BSN) untuk jangka waktu pembiayaan selama lima tahun (60
bulan). Permohonan tersebut disetujui dengan informasi tentang
akad/kontrak sebagai berikut.
Harga Perolehan = Rp200.000.000
Umur ekonomis = 10 Tahun / 120 Bulan
Nilai Residu (Nilai Sisa) = Rp.0
Jangka Waktu Sewa = 60 Bulan
Total Porsi Pokok (selama 60 bulan) = Rp.100.000.000
Total Porsi Ujroh (selama 60 bulan) = Rp.13.227.402
Biaya Administrasi = Rp.100.000

245
A. Hitunglah beban penyusutan perbulan, porsi ujrah per bulan, dan
angsuran sewa perbulan (porsi pokok perbulan plus porsi ujrah per
bulan), keterangan: porsi pokok perbulan sama dengan beban
penyusutan perbulan.
B. Buatlah jurnal untuk transaksi berikut:

Bank Syariah Nasional membeli aset ijarah kepada


sebuah developer (pengembang) seharga Rp200.000.000.
05 Mar 2020
untuk dipergunakan sebagai aset yang akan diserahkan
kepada Ibu Nani atas transaksi yang telah disepakati.
Ibu Nani dan BSN melakukan penandatanganan
akad/kontrak ijarah atas sebuah rumah. Dan pada
07 Mar 2020
tanggal yang sama juga dilakukan. pembayaran biaya
administrasi.
Pada saat jatuh tempo angsuran pertama, Ibu Nani
07 Apr 2020 membayar angsuran ijarah serta pada tanggal yang sama
Bank Syariah Nasional mengakui penyusutan aset ijarah.
Pada saat jatuh tempo angsuran kedua, bank syariah
mengakui penyusutan aset ijarah, namun pada tanggal
07 Mei 2020
tersebut Ibu Nani belum bisa melakukan pembayaran
angsuran keduanya.
Ibu Nani melakukan pembayaran angsuran keduanya
10 Mei 2020
yang telah jatuh tempo.
Pada saat jatuh tempo yang ketiga, Bank Syariah Nasional
mengakui penyusutan aset ijarah. Dan pada hari yang
07 Juni 2020
sama, Ibu Nani hanya dapat membayar angsuran sebesar
Rp1.000.000, sisanya akan dilunasi kemudian.
Ibu Nani melunasi sisa angsuran tahap ketiga yang
08 Juni 2020
tertunggak.
Bank Syariah Nasional memperbaiki aset ijarah dengan
09 Juni 2020 biaya sebesar Rp250.000 pembayaran dilakukan secara
tunai kepada rekanan pemeliharaan.

246
09 Juni 2020 Ibu Nani melunasi sisa angsuran sewanya.

C. Misalkan akad yang disepakati adalah Ijarah Muntahiya Bit- tamlik.


Hitunglah penyusutan perbulan apabila misalnya akad yang
disepakati adalah akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT)

247
248
BAB XIII AKUNTANSI PENGELOLAAN
DANA ZAKAT, DANA KEBAJIKAN DAN
PINJAMAN QARDH

A. Pendahuluan
Perkembangan perbankan Syariah di Indonesia telah menjadi
tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi Syariah. Prinsip utama bank
Syariah adalah harus menuju pada pengembangan kesejahteraan
masyarakat yang bermuara kepada kondisi sosial masyarakat yang
mententramkan. Itulah sebabnya mengapa salah satu misi bank Syariah
adalah mengutamkan dana dari golongan menengah dan ritel,
memperbesar portofolio pembiyaan untuk skala menengah dan kecil,
serta mendorong terwujudnya manajemen zakat, infak, dan sedekah
yang lebih efektif sebagai cerminan kepada kepedulian sosial.
Aspek pelayanan dalam perbankan Syariah merupakan gabungan
antara aspek moral dan aspek bisnis. Dalam operasionalnya selalu
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dan terbebaskan dari unsur
perjudian, gharar (ketidakjelasan/manipulasi), dan riba.
Oleh karena itu, bank Syariah tidak bebas bertranksaksi
semaunya, melainkan harus mengintegrasi nilai-nilai moral dengan
tindakan-tindakan ekonomi berdasarkan Syariah. Uang dan kekayaan
hanya sebatas menjadi alat terpadu untuk mencapai kebaikan dalam
masyarakat. Sedangkan landasan utama perbankan Syariah adalah
keyakinan, kebebasan, kejujuran dan kegigihan untuk meraih sukses,
diitunjang faktor-faktor sumber dana, sumber daya manusia, mitra
usaha, dan perkembangan teknologi.
Pada bab ini akan membahas produk sosial yang terdapat pada
bank syariah, yaitu pengelolaan dana zakat, dana kebajikan serta
pinjaman qardh. Pengelolaan transaksinya juga disertai dengan
perlakuan akuntansi dalam setiap peristiwa ekonomi yang terjadi
berhubungan dengan masing-masing produk tersebut.

249
B. Transaksi Dana Zakat
1. Konsep dana zakat
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang hukumnya wajib
bagi setiap muslim yang merdeka dan memiliki harta kekayaan
sampai jumlah tertentu yang telah mencapai nisab. Secara umum,
fungsi zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Di bidang
moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si kaya. Di
bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan
dari masyarakat. Di bidang ekonomi, zakat mencegah
penumpukan kekayaan di tangan sebagian kecil manusia dan
merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk
perbendaharaan negara.
Abdullah, menyatakan zakat adalah salah satu dari lima
rukun Islam yang juga merupakan salah satu kewajiban yang
mendasar dalam islam. Tujuan utamanya adalah untuk
mengembangkan pertumbuhan sosial ekonomi yang seimbang,
dan untuk memurnikan jiwa dan kekayaan seseorang sehingga
kekayaan mereka diberkati oleh Allah SWT (Tuhan). Zakat
tentunya memiliki beberapa karakteristik, dan karakteristik
tersebut tercantum di dalam PSAK No.109 yang menjelaskan
beberapa macam karakteristik zakat sebagai berikut:
a) Zakat merupakan kewajiban Syariah yang haus diserahkan
oleh muzaki kepada mustahiq baik melalui amil maupun
secara langsung. Ketentuan zakat mengatur mengenai
persyaratan nisab, haul (baik yang periodic maupun yang tidak
periodik), tarif zakat (qadar), dan pembentukannya.
b) Infak/sedekah merupakan donasi sukarela, baik ditentukan
maupun tidak ditentukan peruntukannya oleh pemberi
infak/sedekah.
c) Zakat dan infak/sedekah yang diterima oleh amil harus
dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah dan tata kelola
yang baik.

250
Dalam segi Bahasa, zakat memiliki dua kata dasar “zakat”
yang berarti berkah, tumbuh, suci, bersih dan baik. Sementaraa
zakat secara terminology berarti aktivitas memberikan harta
tertentu yang diwajibkan Allah SWT dalam jumlah dan
perhitungan tertentu untuk diserahkan kepada orang-orang yang
berhak. Berdasarkan pengertian tersebut maka zakat merupakan
suatu kewajiban muslim yang harus ditunaikan dan bukan
merupakan hak. Jadi hingga kita tidak dapat memilih untuk
membayar atau tidak.
Sedangkan secara istilah zakat ialah nama pengambilan
tertentu dari harta tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu, dan
untuk diberikan kepada golongan tertentu.10 Allah berfirman
dalam surat At Taubah 103: Artinya: ”Ambilah zakat dari sebagian
harta mereka,dengan zakatitu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka.Sesungguhnya doa kamu itu menjadi
ketentraman jiwa bagi mereka .Dan Allah Maha Mendengar Lagi
Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah:103).
Penyaluran dana zakat dibatasi pada 8 golongan (asnaf) yang
sudah ditentukan oleh syariah, yaitu: Fakir, Miskin, Amil, Orang
yang baru masuk Islam (muallaf), Hamba sahaya (riqab), Orang
yang terlilit utang (ghorimin), Orang yang sedang berjihad
(fisabilillah) dan Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil).
Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian
harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban
tersebut berlaku untuk seluruh umat yang baligh atau belum,
berakal atau gila. Dimana mereka sudah memiliki sejumlah harta
yang sudah masuk batas nisabnya, maka wajib dikeluarkan harta
dalam jumlah tertentu untuk diberikan kepada mustahiq zakat
yang terdiri dari delapan golongan. Landasan kewajiban zakat
adalah sebagai berikut:
a) Al Qur’an
Di dalam Al Qur’an Allah SWT sering menyebutkan
tentang zakat, diantaranya dalam Surat Al Baqarah ayat 43:
“Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
251
orang-orang yang ruku”. Surat at Taubah ayat 103: “Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka.
Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka,
dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. Surat al
Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya…”. Surat
An Nisa’ ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
b) Hadits
Hadits Rasulullah SWA menyatakan: Artinya: “Islam
adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak
menyekutukanNya, mendirikan sholat, menunaikan zakat
yang di fardhukan, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”(HR
Bukhori). Kemudian dalam hadits yang lain juga dijelaskan,
ketika Rasulullah SAW mengutus mu’adz bin jabal ke daerah
yaman. Beliau bersabda kepadanya: “….jika mereka menuruti
perintahmu untuk itu, ketetapan atas mereka untuk
mengeluarkan zakat, beritahukanlah kepada mereka
bahwasanya Allah SWT mewajibkan kepada mereka untuk
mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan
diberikan lagi kepada orang-orang fakir diantara
mereka….”(HR Bukhori)
c) Ijma
Ulama khalaf (kontemporer) maupun ulama salaf
(klasik) telah sepakat bahwa zakat wajib bagi umat muslim dan
bagi yang mengingkari berarti telah kafir dari Islam.
252
2. Perlakuan akuntansi dana zakat
Banyak orang menganggap bahwa salah satu fungsi
akuntansi Islam yang paling penting adalah Akuntansi Zakat,
bahkan ada yang menganggap Akuntansi Islam itu adalah untuk
menghitung zakat. Tapi Sofyan Safri menganggap bahwa akuntansi
Islam tidak hanya terbatas pada menghitung dan melaporkan zakat
ini tetapi jauh lebih luas dari itu, karena akuntansi Islam juga
merupakan bagian dari sistem sosial umat sehingga akuntansi
Islam juga harus dapat menciptakan kehidupan yang Islami sesuai
syariat dan norma-norma Islam.
Standar akuntansi zakat sesungguhnya mempunyai aturan
tersendiri dengan melihat sifat zakat ini, standar akuntansi akan
mengikuti bagaimana harta dinilai dan diukur48. Secara umum
standar akuntansi zakat akan dijelaskan sebagai berikut: penilaian
dengan harga pasar sekarang, aturan satu tahun, kekayaan/aset,
aktiva tetap tidak kena zakat, nisab (batas jumlah). Transaksi Zakat
adalah transaksi Zakat, Infaq dan Shadaqah.
Dalam PSAK No. 109 tentang akuntansi zakat,
infaq/sedekah terdapat beberapa komponen laporan keuangan
yang harus dibuat oleh amil secara lengkap yang terdiri dari:
a. Neraca (Laporan posisi keuangan)
b. Laporan perubahan dana
c. Laporan perubahan asset kelolaan
d. Laporan arus kas
e. Catatan atas laporan keuangan
Agar lebih jelas, maka berikut disajikan ilustrasi kasus
transaksi pengumpulan dan penyaluran dana zakat di bank syariah:
Pada laporan keuangan tahun 2020, saldo dana zakat Bank
Syariah Nasional adalah sebesar Rp15.000.000. Berikut adalah
transaksi yang terkait dengan dana zakat pada Bank Syariah
Nasional selama tahun 2021.

253
Tanggal Transaksi
15 Januari 2021 diterima zakat dari Bapak Mansyah secara tunai sebesar
Rp3.000.000.
13 Maret 2021 diterima zakat dari Bapak Wisnu secara tunai sebesar
Rp12.000.000.
17 Maret 2021 disalurkan tunai dana zakat kepada masyarakat miskin
sebesar Rp12.000.000.
1 April 2021 diterima zakat perniagaan Bank Syariah Nasional selama
tahun 2021 sebesar Rp50.000.000.
2 Mei 2021 diterima via rekening tabungan, zakat dari jamaah pengajian
BUMN sebesar Rp10.000.000.
7 Mei 2021 disalurkan dana zakat kepada ustad yang berdakwah di
pedalaman masyarakat di pegunungan Meratus sebesar
Rp10.500.000.
16 Agustus 2021 diterima dana zakat penghasilan dari nasabah giro sebesar
Rp20.000.000 via rekening nasabah.
25 September 2021 disalurkan tunai dana zakat kepada orang miskin
Rp65.000.000.
30 November 2021 disalurkan tunai dana zakat kepada mualaf sebesar
Rp2.000.000.
15 Desember 2021 disalurkan tunai dana zakat kepada ibnu sabil sebesar
Rp500.000.
27 Desember 2021 itransfer honorarium amil sebesar Rp500.000 ke rekening
tabungan Bapak Udin petugas penyaluran bantuan dana
ZIS.

254
Jurnal atas transaksi tersebut adalah
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas 3.000.000
15/01/21 Kr. Dana zakat 3.000.000
Ket. Zakat dari pihak luar bank
Db. Kas 12.000.000
13/03/21 Kr. Dana zakat 12.000.000
Ket. Zakat dari pihak luar bank
Db. Dana zakat 12.000.000
17/03/21 Kr. Kas 12.000.000
Ket. Diberikan kepada mustahiq orang miskin
Db. Dana zakat Bank Syariah 50.000.000
Nasional
01/04/21
Kr. Dana zakat 50.000.000
Ket. Zakat dari bank
Db. Rekening tabungan nasabah 10.000.000
02/05/21 Kr. Dana zakat 10.000.000
Ket. Zakat dari pihak luar bank
Db. Dana zakat 10.500.000
07/05/21 Kr. Kas 10.500.000
Ket. Dibayar kepada mustahiq fisabilillah
Db. Rekening giro nasabah 20.000.000
16/08/21 Kr. Dana zakat 20.000.000
Ket. Zakat dari pihak luar bank
Db. Dana zakat 65.000.000
25/09/21 Kr. Kas 65.000.000
Ket. Dibayar kepada mustahiq orang miskin
Db. Dana zakat 2.000.000
30/11/21 Kr. Kas 2.000.000
Ket. Dibayar kepada mustahiq muallaf

255
Db. Dana zakat 500.000
15/12/21 Kr. Kas 500.000
Ket.Dibayar kepada mustahiq ibnu sabil
Db. Dana zakat 500.000
Kr. Rekening tabungan- Bapak 500.000
27/12/21
Abdi
Ket. Dibayar kepada mustahiq amil
3. Laporan Dana Zakat
Berdasarkan kasus yang dijabarkan di atas maka laporan
keuangan yang dibuat untuk melaporkan penghimpunan dan
penyaluran dana zakat pada Bank Syariah Nasional adalah sebagai
berikut:
Bank Syariah Nasional
Laporan Sumber dan Penggunaan Zakat
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2021 dan 2020
Keterangan Tahun 2021 Tahun 2020
Sumber dana zakat
1. Zakat dari Bank Rp 50.000.000 Rp 35.000.000
2. Zakat dari pihak luar Bank Rp 45.000.000 Rp 45.000.000
Total sumber dana Rp 95.000.000 Rp 80.000.000

Penggunaan dana zakat


1. Fakir (Rp 0) (Rp 0)
2. Miskin (Rp 77.000.000) (Rp 48.000.000)
3. Amil (Rp 500.000) (Rp 500.000)
4. Muallaf (Rp 2.000.000) (Rp 4.000.000)
5. Gharim (Rp 0) (Rp 0)
6. Hamba sahaya(riqab) (Rp 0) (Rp 0)
7. Orang yang (Rp 10.500.000) (Rp 1500.000)
berjihad(fisabilillah) (Rp 500.000) (Rp 30.000.000)

256
8. Orang yang dalam (Rp 90.500.000) (Rp 84.000.000)
perjalanan(ibnu sabil)
Total penggunaan Rp 4.500.000 (Rp 4.000.000)

Kenaikan (penurunan) sumber atas Rp 15.000.000 Rp 19.000.000


penggunaan Rp 19.500.000 Rp 15.000.000
Sumber dana zakat pada awal tahun
Sumber dana zakat pada akhir
tahun

Berdasarkan PAPSI (2003), sekiranya bank syariah


menyalurkan dana zakat melalui pengelola zakat yang badan
hukum nya sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang
zakat dan terpisah dari badan hukum bank, maka bank dianggap
telah menyalurkan dana zakat yang diterimanya secara keseluruhan
berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, dalam laporan
sumber dan penggunaan dana zakat tidak perlu merinci penyaluran
dana zakat seperti diatas, tetapi cukup menyebutkan lembaga
pengelolanya seperti dalam contoh berikut.
Bank Syariah Nasional
Laporan Sumber dan Penggunaan Zakat
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2021 dan 2020
Keterangan Tahun 2021 Tahun 2020
Sumber dana zakat
1. Zakat dari Bank Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx
2. Zakat dari pihak luar Bank Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx
Total sumber dana Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx

Penggunaan dana zakat


1. Lazis Muhammadiyah Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx
2. Lazis NU Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx
3. PKPU Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx

257
4. DSUQ Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx
5. Rumah Zakat Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx
6. Dompet Dhuafa Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx
Total penyaluran Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx

Kenaikan (penurunan) sumber atas Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx


penggunaan
Sumber dana zakat pada awal tahun Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx
Sumber dana zakat pada akhir Rp.xxx.xxx.xxx Rp.xxx.xxx.xxx
tahun
4. Pengungkapan dana zakat
Hal-hal yang harus diungkapkan terkait transaksi dana zakat
antara lain:
a. Sumber dana zakat yang berasal dari internal bank.
b. Sumber dana zakat yang berasal dari eksternal bank.
c. Kebijakan penyaluran zakat.
d. Proporsi dana yang disalurkan untuk masing-masing entitas
pengelola zakat yang diklasifikasikan menjadi pihak berelasi
dan pihak ketiga.

C. Transaksi Dana Kebajikan


1. Konsep dana kebajikan
Dana kebajikan merupakan dana sosial di luar zakat yang
berasal dari masyarakat yang dikelola oleh bank syariah. Dana
Kebajikan adalah pinjaman tanpa dikenakan biaya (hanya wajib
membayar sebesar pokok hutangnya). Dana Kebajikan adalah
pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan peminjam untuk
menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan
mengembalikan dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang
disepakati. Dana Kebajikan merupakan produk perbankan syariah
untuk nasabah yang membutuhkan dana untuk keperluan
mendesak dengan kriteria tertentu dan bukan untuk tujuan
258
konsumtif. Dana kebajikan bisa juga disebut dengan dana qardhul
hasan. PSAK No. 59 dan PAPSI 2003 menggunakan istilah
qardhul hasan dan bukan istilah dana kebajikan. Akan tetapi pada
PSAK No. 101, istilah ini diganti dengan istilah “Dana Kebajikan”.
Tidak ada keterangan resmi alasan penggantian istilah ini dalam
PSAK 101. Akan tetapi, adanya istilah dana kebajikan memberi
fleksibilitas dalam sumber maupun penggunaan dana tersebut,
mengingat istilah qardh lebih tepat digunakan untuk transaksi yang
terkait dengan pinjam meminjam tanpa bunga.
Menurut PSAK 101, penerimaan dana kebajikan oleh entitas
syariah
diakui sebagai liabilitas paling likuid dan diakui sebagai
pengurang liabilitas ketika disalurkan. Hal-hal yang harus
diungkapkan terkait transaksi dana kebajikan antara lain Sumber
dana kebajikan, Kebijakan penyaluran dana kebajikan kepada
masing-masing penerima, Proporsi dana yang disalurkan untuk
masing-masing penerima dana kebajikan yaitu pihak berelasi dan
pihak ketiga, serta Alasan terjadinya dan penggunaan atas
penerimaan non halal.
Dana Kebajikan terdiri dari Denda, pendapatan non halal
dan Pendapatan lainnya. Denda/sanksi diberikan kepada nasabah
yang mampu membayar, tetapi menunda pembayaran dengan
sengaja dikenakan denda berupa sejumlah uang yang besarnya
tidak ditentukan atas dasar kesepakatan dan tidak dibuat saat akad
ditandatangani. Denda dibebankan kepada debitur sebagai biaya
tunggakan. Biaya tunggakan adalah biaya yang dikenakan kepada
debitur karena kelalaian debitur dalam memenuhi kewajibannya
kepada Bank. Besarnya denda ditetapkan berdasarkan ketentuan
internal. Bank tidak mengakui pendapatan atas biaya tunggakan
tersebut, namun dialokasikan sebagai dana kebajikan. Dana yang
berasal daridenda/sanksi diperuntukkan untuk dana
sosial/kebajikan.
Pendapatan non-halal yang berasal dari pendapatan jasa giro
dari bank konvensional atau penerimaan barang lainnya yang tidak
259
dapat dihindari dalam kegiatan operasional bank Pendapatan
lainnya adalah pendapatan dana kebajikan dari selain komponen
pendapatan denda dan pendapatan non halal. Selain laporan
sumber dan penggunaan dana kebajikan, bank syariah juga
melaporkan informasi mengenai dana kebajikan dalam catatan
laporan keuangan. Pendapatan Dana Zakat dan Dana Kebajikan
Laporan sumber dan penyaluran dana zakat dan dana kebajikan
merupakan laporan yang mencerminkan peran Bank sebagai
pemegang amanah dana kegiatan sosial yang dikelola secara
terpisah. Bank hanya menghimpun dana dan melaporkan aktifitas
tersebut. Dalam menyajikan pelaporan dana sosial, bank syariah
menyajikan 2 laporan yaitu Laporan Dana Zakat dan Laporan
Dana Kebajikan.
Berdasarkan PSAK 101 paragraf 75, sumber dana kebijakan
terdiri atas:
a. Infak
b. Sedekah
c. Hasil pengelolaan wakaf sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku
d. Pengembalian dana kebajikan produktif
e. Denda
f. Pendapatan non-halal
g. Sumbangan atau hibah
Infak dan sedekah yang dimaksud dalam dana kebajikan
adalah semua jenis infak dan sedekah baik yang peruntukannya
ditentukan secara khusus oleh pemberi infak sedekah maupun
yang tidak. Denda merupakan sanksi berupa uang yang dikenakan
oleh bank syariah kepada nasabah yang mampu, tetapi dengan
sengaja menunda-nunda pembayaran kewajibannya kepada bank
syariah. Semua penerimaan bank syariah dari nasabah yang
merupakan denda dimasukkan ke dalam dana kebajikan.
Sumbangan atau hibah pada dasarnya nerupakan salah satu bentuk
sedekah sunah. Akan tetapi istilah sumbangan atau hibah secara
terminologi dipandang universal, sehngga dapat menampung
260
bantuan yang mungkin berasal dari orang yang bukan beragama
Islam ataupun dari instansi dan lembaga yang cendrung memilih
istilah yang umum dalam memberikan suatu bantuan. Pendapatan
non-halal merupakan sumber dana kebajikan yang berasal dari
transaksi bank syariah dengan pihak lain yang tidak menggunakan
skema syariah. Untuk keperluan lalu lintas keuangan, bank syariah
dalam hal tertentu harus memiliki rekening di bank konvensional.
Dengan memiliki rekening di bank konvensional, baik yang ada di
dalam maupun diluar negeri, adanya bunga bank dari bank mitra
merupakan suatu yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, bunga
yang diterima tersebut tidak boleh menambah pendapatan bank
syariah, tetapi dimasukkan sebagai tambahan dana kebajikan.
Berdasarkan PSAK 101, dana kebijakan dapat digunakan
untuk:
a. Dana kebajikan produktif
b. Sumbangan
c. Penggunaan lainnya untuk kepentingan umum
Alokasi pendistribusian dana kebajikan pada bank syariah
disalurkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai
syariah, sebagai dana bergulir untuk aktivitas sosial sesuai dengan
fungsinya (PAPSI, 2013). Untuk pemberdayaan sumber daya
insani, bank syariah juga menyalurkannya dalam bentuk
pembiayaan modal usaha mikro dan sumbangan biaya pendidikan
kepada mereka yang berhak mendapatkannya sesuai dengan
kriteria dan kebijakan masing-masing bank syariah.
2. Perlakuan akuntansi dana kebajikan
Berikut akan disajikan ilustrasi kasus yang terkait dengan
pengumpulan dan penyaluran dana kebajikan.
Pada laporan keuangan tahun 2020, saldo dana kebajikan
Bank Syariah Nasional (BSN) sebesar Rp 10.000.000. berikut
adalah transaksi yang terkait dengan dana kebajikan pada BSN
selama tahun 2021.

261
Tanggal Transaksi
05 Januari 2021 Diterima infak dari Bapak Hendra secara tunai Rp
2.000.000
01 Februari 2021 Diterima transfer dari rekening Bapak Andi sebagai
sedekah sebesar Rp 5.000.000
07 Maret 2021 Diterima transfer dari rekening Bapak Aji sebagai denda
atas keterlambatan pembayaran cicilan murabahah
sebesar Rp 100.000
13 April 2021 Diterima transfer dari rekening PT Angkasa sebagai
sumbangan sebesar Rp 10.000.000
30 April 2021 Diterima bunga dari rekening giro di Bank BCA sebesar
Rp 250.000
15 Mei 2021 Disalurkan dana kebajikan sebagai sumbangan kepada
Panti Asuhan Banua Sosial secara tunai sebesar Rp
10.000.000
11 Juni 2021 Disalurkan dana kebajikan sebagai sumbangan kepada
sekolah dasar negeri 1 Astambul secara tunai sebesar Rp
5.000.000
12 Agustus 2021 Disalurkan secara tunai dana Kebajikan untuk pinjaman
qardhul hasan Bapak Amat yang hendak merintis usaha
pisang goreng sebesar Rp 100.000
08 September 2021 Diterima secara tunai pengembalian dana qardhul hasan
tahap 1 oleh Bapak Amat sebesar Rp 50.000
18 Oktober 2021 Disalurkan dana kebajikan untuk pinjaman qardhul hasan
Bapak Ismail yang hendak merintis usaha pecel lele
sebesar Rp 500.000
17Desember 2021 Diterima secara tunai pengembalian dana qardhul hasan
tahap 2 oleh Bapak Amat sebesar Rp 50.000 dan tahap 1
oleh Bapak Ismail sebesar Rp 100.000

262
Jurnal atas transaksi tersebut adalah
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas 2.000.000
05/01/21 Kr. Dana kebajikan 2.000.000
Ket. Penerimaan dana infak
Db. Rekening nasabah 5.000.000
01/02/21 Kr. Dana kebajikan 5.000.000
Ket. Penerimaan dari sedekah
Db. Rekening nasabah 100.000
07/03/21 Kr. Dana kebajikan 100.000
Ket. Penerimaan dari denda
Db. Rekening nasabah 10.000.000
13/04/21 Kr. Dana kebajikan 10.000.000
Ket. Penerimaan dari sumbangan
Db. Giro pada bank lain 250.000
30/04/21 Kr. Dana kebajikan 250.000
Ket. Penerimaan dari pendapatan non-halal
Db. Dana kebajikan 10.000.000
15/05/21 Kr. Kas 10.000.000
Ket. Penyaluran untuk sumbangan
Db. Dana kebajikan 5.000.000
11/06/21 Kr. Kas 5.000.000
Ket. Penyaluran untuk sumbangan
Db. Dana kebajikan 100.000
12/08/21 Kr. Kas 100.000
Ket. Penyaluran untuk pinjaman qardhul hasan
Db. Kas 50.000
08/09/21 Kr. Dana kebajikan 50.000
Ket. Penerimaan dari pengembalian pinjaman qardhul hasan

263
Db. Dana kebajikan 500.000
18/10/21 Kr. Kas 500.000
Ket. Penyaluran untuk pinjaman
Db. Kas 150.000
17/12/21 Kr. Dana kebajikan 150.000
Ket. Penerima dari pengembalian pinjaman qardhul hasan
3. Laporan dana kebajikan
Dana kebajikan merupakan transaksi yang bersifat sosial,
akan tetapi walaupun produk ini tidak diharapkan untuk
mendatangkan keuntungan bagi bank syariah, namun bank syariah
tetap harus melaporkan sejumlah dana yang mereka dapatkan
beserta penggunaan dananya sebagai bentuk akuntabilitas terhadap
nasabah dan masyarakat.
Berdasarkan kasus yang dijabarkan di atas maka laporan
keuangan yang dibuat untuk melaporkan penghimpunan dan
penyaluran dana kebajikan pada Bank Syariah Nasional adalah
sebagai berikut:
Bank Syariah Nasional
Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2021 dan 2020
Keterangan Tahun 2021 Tahun 2020
Sumber dana kebajikan
1. Infak dan sedekah Rp 7.000.000 Rp 5.000.000
2. Denda Rp 100.000 Rp 3.000.000
3. Sumbangan/hibah Rp 10.000.000 Rp 8.000.000
4. Pendapatan non-halal Rp 250.000 Rp 2.000.000
Total sumber dana Rp 17. 350.000 Rp 18.000.000

Penggunaan dana kebajikan


1. Pinjaman qardhul hasan (Rp 400.000) (Rp 2.000.000)
2. Sumbangan (Rp 15.000.000) (Rp 12.000.000)
Total penggunaan (Rp 15.400.000) (Rp 14.000.000)
264
Kenaikan (penurunan) sumber atas Rp 1.950.000 Rp 4.000.000
penggunaan
Sumber dana kebajikan pada awal tahun Rp 10.000.000 Rp 6.000.000
Sumber dana kebajikan pada akhir tahun Rp 11.950.000 Rp 10.000.000
4. Pengungkapan dana kebajikan
Kondisi-kondisi yang harus diungkapkan dalam transaksi dana
kebajikan antara lain:
a. Sumber dana kebajikan;
b. Kebijakan penyaluran dana kebajikan kepada masing-masing
penerima;
c. Proporsi dana yang disalurkan untuk masing-masing
penerima dana kebajikan yaitu pihak berelasi dan pihak ketiga;
dan
d. Alasan terjadinya dan penggunaan atas penerimaan non-halal.

D. Transaksi Pinjaman Qardh


1. Konsep pinjaman qardh
Satu-satunya akad berbentuk pinjaman yang diterapkan
dalam perbankan syariah adalah Qardh dan turunnya Qardhul
Hasan. Karena bunga dilarang dalam Islam, maka pinjaman Qardh
maupun Qardhul Hasan merupakan pinjaman tanpa bunga. Lebih
khusus lagi, pinjaman Qardhul Hasan merupakan pinjaman
kebajikan yang tidak bersifat komersial. Sehingga disebut akad
Ta‟awuniy (akad saling tolong menolong).
Secara terminologi, qardh berarti menyerahkan harta kepada
orang yang menggunakannya untuk dikembalikan gantinya pada
suatu saat. Qardh merupakan transaksi yang diperbolehkan oleh
syariah dengan menggunakan skema pinjam-meminjam. Akad
qardh merupakan akad yang memfasilitasi transaksi peminjaman
sejumlah dana tanpa adanya pembebanan bunga atas dana yang
dipinjam oleh nasabah.

265
Qardh adalah akad pinjaman yang wajib dikembalikan
dengan jumlah yang sama pada waktu yang disepakati. Secara
teknis, pinjaman ini diberikan oleh seseorang atau lembaga
keuangan syariah pada orang lain yang kemudian digunakan untuk
kebutuhan yang mendesak. Pembayarannya bisa dilakukan dengan
diangsur atau lunas sekaligus.
Menurut Bank Indonesia, qardh adalah pinjam meminjam
dana tanpa imbalan dengan kewajiban peminjam mengembalikan
pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu
tertentu. Qard berlaku tanpa imbalan karena meminjamkan uang
dengan imbalan adalah riba.
Akad qardh ini dikategorikan dalam ‘aqd tatawwu’i atau akad
saling bantu membantu dan bukan transaksi komersial. Jadi qardh
adalah semata-mata produk bank yang ada dalam fungsinya untuk
menjalakan kegiatan sosial karena qardh bukan transaksi
komersial, maka dan ayang digunakan untuk penyaluran ini harus
berasal dari dana sosial juga seperi zakat, infaq, sadaqoh atau dana
yang berasal dari modal bank. Kendati demikian, transaksi ini juga
bermanfaat bagi bank syariah untuk memfasilitasi berbagai
keperluan bank syariah dalam hal:
a. Pemenuhan tanggung jawab sosial bank syariah untuk
membantu mengembangkan usaha kecil mikro yang
memerlukan dana tanpa bunga;
b. Menyalurkan dana sosial yang dihimpun oleh bank syariah,
baik dari sumber dana yang sesuai dengan syariah, seperti dana
infak, sedekah, hibah, denda, dan lainnya maupun yang tidak
sesuai dengan syariah, seperti bunga bank konvensional yang
tidak dapat dihindari terkait dengan pembukaan giro dan
sebagainya di bank konvensional;
c. Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti
loyalitas dan bonafiditasnya yang membutuhkan dana
talangan segera untuk masa yang relatif pendek, ataupun
nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak

266
dapat menarik karena dananya tersimpan di bank syariah
dalam dalam bentuk deposito;
d. Sebagai skema khusus membantu pegawai bank syariah yang
membutuhkan pinjaman untuk kebutuhan yang bersifat
insidental; dan
e. Pengambilalihan utang bank konvensional kepada bank
syariah. Proses pengambilalihan tersebut didahului dengan
bank syariah memberikan dana qardh kepada nasabah.
Dengan dana qardh tersebut, nasabah melunasi utang
konvensionalnya. Jaminan yang sudah jadi milik nasabah
kemudian dijual kepada bank syariah. Dengan hasil penjualan
tersebut, nasabah melunasi qardh kepada bank syariah.
Selanjutnya, bank syariah menyewakan aset yang telah
dimilikinya tersebut kepada nasabah dengan akad al-Ijarah
Muntahiya Bittamlik. Kesemua akad dilakukan terpisah dan
tidak ada mempersyaratkan satu dengan yang lain.
Sumber dana pinjaman qardh dapat berasal dari internal dan
eksternal bank. Sumber pinjaman qardh yang berasal dari eksternal
bank berasal dari dana infak, sedekah, dan sumber non-halal,
sedangkan pinjaman qardh yang berasal dari internal bank adalah
ekuitas bank syariah. Pinjaman qardh dengan sumber dana internal
biasanya digunakan untuk bantuan sosial terhadap pihak yang
memiliki hubungan bisnis dengan bank syariah antara lain, pegawai
bank syariah sendiri, nasabah deposito yang butuh uang, tetapi
tidak dapat mencairkannya, dan nasabah yang mengonversi
pinjaman dari konvensional ke syariah. Adapun pinjaman qardh
dengan sumber dana eksternal biasanya digunakan untuk bantuan
sosial kepada masyarakat yang memiliki keterbatasan secara
ekonomi.
Menurut Muhammad (2013) akuntansi qardh terbagi
menjadi dua jenis, yaitu:
a. Akuntansi qardh hawalah/hiwalah

267
Hawalah ialah pengalihan tanggung jawab pelunasan
utang debitur suatu bank syariah kepada pihak lain (utang
kepada debitur).
b. Akuntansi qardh rahn (gadai)
Gadai syariah aialah penahanan suatu barang (bergerak
atau tidak) milik debitur oleh suatu pihak (bank) dengan
pemberian hak kepada bank mengambil pelunasan atau
piutang bank kepada debitur tersebut.
Menurut PAPSI 2013 (h. 7.1), akad Qardh dalam Lembaga
Keuangan Syariah terdiri dari dua macam:
a. Akad Qardh yang berdiri sendiri untuk tujuan sosial semata
sebagaimana dimaksud dalam Fatwa DSN-MUI Nomor:
19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh, bukan sebagai
sarana atau kelengkapan bagi transaksi lain dalam produk yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan; dan
b. Akad Qardh yang dilakukan sebagai sarana atau kelengkapan
bagi transaksi lain yang menggunakan akad-akad mu’awadhah
(pertukaran dan dapat bersifat komersial) dalam produk yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Penggunaan dana
dari pihak ketiga hanya diperbolehkan untuk tujuan komersial
antara lain seperti produk Rahn Emas, Pembiayaan
Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, Pengalihan
Utang, Syariah Charge Card, Syariah Card, dan Anjak Piutang.
2. Landasan hukun, syarat dan rukun transaksi pinjaman qardh
di bank syariah
a. Landasan hukum transaksi pinjaman qardh
Disyariatkannnya qardh mengacu pada alqur’an dan
sunah, antara lain:
i. Q.S. Al-Baqarah: 245, “siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan di jalan allah), maka allah akan
memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak.”

268
ii. Hadis riwayat ibnu hibban, “setiap muslim yang
memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka
ia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.”
iii. Hadis riwayat bukhari, “berikan saja kepadanya.
Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang palinh baik
dalam mengembalikan utang.”
Ketentuan yang terkait dengan transaksi pinjaman
qardh meliputi berbagai aspek antara lain:
1. Larangan mensyaratkan tambahan pengembalian
atas suatu pinjaman. Dalam pinjaman qardh tidak
dibolehkan disyaratkan tambahan pengembalian atas
pinjaman tersebut. Q.S. Al-Baqarah 278-279 yang artinya:
“hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa
allah dan rasulnya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya
da tidak pula dianiaya.”

Akan tetapi, asal tidak dipersyaratkan pada saat


akad, orang yang meminjam boleh saja mengembalikan
lebih baik dari yang dipinjamnya (bahkan ini dianjurkan
oleh rasul kepada peminjam). Nabi pernah
mengembalikan utang unta bakr dengan unta ruba’ie.
Hadis riwayat bukhari yang artinya:
“sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang
paling baik dalam mengembalikan utang.”
2. Larangan menunda pembayaran pinjaman bagi
orang yang mampu. Orang yang meminjam tidak
dibolehkan menunda pembayaran jika dalam keadaan

269
mampu membayar sebagaimana disebut dalam hadis
riwayat jama’ah yang artinya:
“penundaan pembayaran oleh orang yang
mampu adalah suatu kezaliman.”
3. Perintah meringankan beban orang yang kesulitan
membayar pinjaman. Upaya meringankan beban orang
yang kesulitan membayar pinjaman dapat dilakukan
dalam bentuk memberikan tangguh maupun menghapus
pinjaman. Perintah allah memberi tangguh orang yang
kesulitan membayar pinjaman terdapat dalam Q.S. Al-
Baqarah (2): 280 yang artinya:
“dan jika ia dalam kesulitan, berilah tangguh
sampai ia berkelapangan.”
Sedangkan menghapus pinjaman orang yang
kesulitan membayar pinjaman adalah didasarkan pada
hadis Nabi Muhammad saw., riwayat muslim yang
artinya:
“orang yang melepaskan seorang muslim dari
kesulitannya di dunia, allah akan melepaskan
kesulitannya di hari kiamat; dan allah senantiasa
menolong hamba-nya selama ia suka menolong
saudaranya.”
4. Pembolehan mengenakan biaya administrasi. Fatwa
DSN membolehkan untuk pemberi pinjaman untuk
membebankan biaya administrasi kepada nasabah. (fatwa
nomor 19 tahun 2000). Dalam penetapan besarnya biaya
administrasi sehubungan dengan pemberian qardh, tidak
boleh berdasarkan perhitungan persentase dari jumlah
dana qardh yang diberikan.
5. Pembolehan pengenaan sanksi pada peminjam
yang mampu, tetapi melalaikan kewajibannya.
Berdasarkan fatwa DSN nomor 19 disebutkan bahwa
dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan
mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan
270
bukan karena ketidakmampuannya, bank syariah dapat
menjatuhkan sanksi kepada nasabah. Sanksi yang
dijatuhkan dapat berupa pengadaan denda yang
digunakan sebagai dana kebajikan.
b. Syarat dan rukun transaksi pinjaman qardh
Qardh dapat berlaku dengan sah jika semua pihak yang
terlibat memenuhi syarat dan rukunnya. Berikut syarat dan
rukun dalam akad qardh:
1) Peminjam (muqtaridh). Pihak peminjam harus seorang
yang Ahliyah mu’amalah, yang berarti harus baligh,
berakal waras, dan tidak mahjur (secara syariat tidak
diperkenankan mengatur hartanya sendiri).
2) Pemberi pinjaman (muqridh). Pihak pemberi
pinjaman haruslah seorang Ahliyat at-Tabarru’ (layak
bersosial), dengan arti mempunyai kecakapan dalam
menggunakan hartanya secara mutlak menurut
pandangan syariat. Dalam qardh, seorang muqridh
meminjamkan dananya tanpa paksaan dari pihak lain.
Dalam perbankan syariah, qardh dijalankan sebagai
fungsi sosial bank. Dananya biasa berasal dari dana zakat,
infaq, dan sadaqah yang dihimpun dari aghniya’ atau dari
sebagian keuntungan bank.
3) Barang/utang (Mauqud ‘Alaih). Barang yang
digunakan sebagai obyek dalam qardh harus dapat diakad
salam. Dengan bisa diakad salam, maka barang tersebut
dianggap sah untuk dihutangkan.
4) Ijab qabul (shighat). Ucapan dalam ijab qabul harus
dilakukan dengan jelas dan dapat dipahami oleh kedua
pihak, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
3. Pengawasan dan mekanisme pinjaman qardh di bank
syariah
a. Pengawasan pinjaman qardh
Pengawasan transaksi pinjaman qardh dilakukan oleh Dewan
Pengawas Syariah. DPS dalam menjalankan tugasnya
271
menyatakan pendapat tentang kesesuaian operasional bank
syariah melakukan berbagai pengujian terkait transaksi
pinjaman qardh. Pengujian tersebut antara lain:
1) Meneliti apakah pembiayaan yang diberikan berdasarkan
prinsip qardh tidak dipergunakan untuk kegiatan yang
bertentangan dengan prinsip syariah;
2) Meneliti bahwa nasabah yang terkena sanksi denda adalah
nasabah yang lalai, yaitu nasabah yang mempunyai
kemampuan secara ekonomi untuk membayar, namun
sengaja untuk menunda pembayaran;
3) Memastikan bahwa bank telah memberikan kelonggaran
waktu yang cukup kepada nasabah untuk melunasi
kewajibannya dalam hal nasabah tersebut mengalami
kesulitan keuangan akibat penurunan usaha;
4) Meneliti apakah pendapatan yang diterima bank dari
nasabah atas pengenaan sanksi telah diakui sebagai
sumber dana kebajikan;
5) Memastikan sumber dana yang digunakan untuk
pembiayaan qardh konsumtif dan bersifat sosial adalah
bukan berasal dari dana investasi atau modal bank; dan
6) Memastikan bahwa sumber dana yang digunakan untuk
pembiayaan qardh dalam rangka dana talangan nasabah
adalah berasal dari modal bank.
b. Mekanisme pinjaman qardh
Pinjaman qardh dalam bank syariah dilaksanakan
dengan mekanisme yang digambarkan pada figure 13.1 berikut
ini:

272
Figur 13.1
Mekanisme pinjaman qardh

1 Seleksi dan
akad pinjaman
qardh
Bank
Syariah Nasabah
sebagai penerima
2. menyerahkan dana qardh
pemberi pinjaman
pinjaman qardh
qardh
3. Mengembalikan dana qardh
sebesar yg dipnjm

Keterangan:
1. Pertama, bank syariah melakukan evaluasi dan seleksi
terhadap kelayakan nasabah menerima pinjaman qardh.
Evaluasi dan seleksi lebih dilihat pada aspek kesesuaian
nasabah dengan kriteria yang ditetapkan bagi penerima
dan qardh yang bersifat sosial. Selanjutnya, kedua belah
pihak menyepakati akad qardh.
2. Kedua, setelah akad qardh disepakati, bank syariah
selanjutnya menyerahkan dana qardh sesuai dengan yang
disepakati.
3. Ketiga, nasabah melakukan pengembalian pinjaman
qardh sebesar yang dipinjam, baik secara langsung
keseluruhan maupun cicilan.
4. Perlakuan akuntansi pinjaman qardh
a. Contoh kasus transaksi pinjaman qardh
Transaksi pinjaman qardh yang merupakan pinjaman
bersifat sosial kali ini dicontohkan dengan kasus untuk
memberikan bantuan berupa pinjaman untuk keperluan

273
pembayaran dana pendidikan. Ilustrasi kasusnya adalah sebagai
berikut:
Ibu Masnan yang bekerja pada bank syariah, kemudian
dia meminjam kepada bank syraiah tersebut dengan skema
qardh untuk membayar uang masuk sekolah anaknya di
Perguruan Tinggi. Pinjaman qardh ini menggunakan dana
intern bank. Informasi terkait kesepakatan antara nasabah
dengan bank syariah, yaitu:
Jumlah Pinjaman = Rp. 1.000.000
Waktu peminjaman = 4 bulan
Biaya administrasi = 1%
b. Teknis perhitungan transaksi pinjaman qardh
a. Angsuran per bulan
Total Piutang Bersih
Angsuran per bulan =
Jumlah bulan pelunasan
1.000.000
Penyusutan per bulan = = Rp.250.000
4 bulan
b. Biaya administrasi
Walaupun pinjaman qardh merupakan pinjaman tanpa
bunga ataupun margin dalam pengembaliannya, namun
bank syariah dapat menarik pendapatan dalam hal biaya
administrasi yang dilakukan. Biaya administrasi ini
dibayarkan oleh nasabah pada saat terjadinya kesepakatan
akad. Biaya administrasi pada kasus di atas dibebankan
kepada nasabah dengan jumlah 1% dari total pinjaman
yang diberikan, perhitungannya yaitu:
Biaya Administrasi = n% x jumlah pinjaman
= 1% x 1.000.000
= 10.000
c. Jurnal transaksi pinjaman qardh
1) Jurnal pada saat kesepakatan akad
Pada saat akad disepakati, terdapat beberapa transaksi yang
harus dilakukan oleh bank syariah. Transaksi tersebut
274
adalah (1) transaksi penyerahan dana pinjaman qardh
kepada nasabah dan (2) transaksi penerimaan biaya
administrasi pinjaman. Misalkan, pada tanggal 20 Agustus
2020, bank syariah menyetujui pinjaman qardh Ibu Masnan
dan langsung memasukannya dalam rekening tabungan
atas nama Ibu Masnan. Pada hari yang sama bank syariah
langsung memotong biaya administrasi atas transaksi
pinjaman qardh.
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Pinjaman qardh 1.000.000
20/08/20 Kr. Rekening nasabah – Ibu 1.000.000
Masnan

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Rekening nasabah - Ibu Masnan 10.000
20/08/20
Kr. Pendapatan adminstrasi 10.000
2) Jurnal pada saat pembayaran
Pembayaran pinjaman qardh biasanya dilakukan secara
angsuran, dan pada contoh kasus ini angsuran dilakukan
sebanyak empat kali. Pembayaran angsuran yang dilakukan
antara bank syariah dengan nasabahnya dilakukan dengan
cara pemotongan otomatis (pendebitan) terhadap rekening
nasabah, umumnya nasabah yang melakukan pembiayaan
atau pinjaman kepada perbankan harus memiliki rekening
simpanan di bank terrsebut. Pada saat pemotongan
otomatis terhadap rekening nasabah, ada beberapa
kemungkinan situasi yang dapat terjadi, antara lain:
a) Dana di rekening nasabah mencukupi angsuran
pembayaran
Pada saat pembayaran angsuran pertama dan kedua
yaitu pada tanggal 20 september 2020 dan 20 Oktober
2020 saldo rekening nasabah mencukupi untuk
275
melakukan pembayaran dan langsung dilakukan
pendebitan oleh bank syariah untuk pembayaran
angsuran pinjaman qardh. Jurnal yang dibuat oleh bank
syariah adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Rekening nasabah - Ibu Masnan 250.000
20/09/20
Kr. Pinjaman Qardh 250.000

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Rekening nasabah - Ibu Masnan 250.000
20/10/20
Kr. Pinjaman Qardh 250.000

b) Dana di rekening nasabah kosong


Pada saat pembayaran angsuran ketiga yaitu pada
tanggal 20 November 2020 saldo rekening nasabah
tidak memiliki dana sama sekali untuk melakukan
pembayaran angsuran pinjaman qardh. Namun pada
tanggal 5 Desember 2020 Bapak Ibu Masnan baru
memiliki uang yang cukup untuk melakukan
pembayaran angsuran dan sudah disetor ke
rekeningnya. Jurnal yang dibuat oleh bank syariah
adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Pinjaman Qardh jatuh tempo 250.000
20/11/20
Kr. Pinjaman Qardh 250.000

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Rekening nasabah- Ibu Masnan 250.000
05/12/20
Kr. Pinjaman Qardh jatuh tempo 250.000

276
c) Dana di rekening nasabah hanya cukup membayar
sebagian angsuran
Pada saat pembayaran angsuran terakhir
(keempat) yaitu pada tanggal 20 Desember 2020 saldo
rekening nasabah memliki jumlah yang terbatas
sehingga hanya dimungkinkan untuk dilakukan
pendebitan sebesar Rp.100.000 dari total angsuran
sebesar Rp.250.000. Pembayaran sisa angsuran baru
bisa dilakukan oleh Bapak Ibu Masnan pada tanggal
26 Desember 2020. Jurnal yang dibuat oleh bank
syariah adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Rekening nasabah - Ibu Masnan 100.000
20/12/20 Db. Pinjaman Qardh jatuh tempo 150.000
Kr. Pinjaman Qardh 250.000

Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)


Db. Rekening nasabah - Ibu Masnan 150.000
26/12/20
Kr. Pinjaman Qardh jatuh tempo 150.000
3) Jurnal penerimaan pendapatan bonus
Transaksi pinjaman qardh merupakan jenis produk
sosial yang diberikan kepada nasabah tanpa mengahrapkan
imbal hasil secara operasional. Namun apabila imbalan
diberikan berupa bonus diberikan oleh nasabah secara
sukarela tanpa paksaan dan tanpa perjanjian di awal
transaksi, maka bonus ini boleh diterima oleh bank syariah.
Contoh transaksinya yaitu misalkan pada tanggal 26
Desember 2020, selain membayar sisa angsuran yang
tertunda bapak Ibu Masnan juga memberikan bonus
sebesar Rp.50.000 kepada bank syariah karena merasa
terbantu untuk membayar uang Pendidikan untuk anaknya,
pemberian bonus ini dilakukan oleh bapak Ibu Masnan

277
secara tunai tanpa pendebitan melalui rekening. Jurnal yang
dibuat oleh bank syariah adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Kas 50.000
26/12/20
Kr. Pendapatan operasional lainnya 50.000
4) Jurnal pada saat pembuatan cadangan kerugian
qardh
Pinjaman qardh juga memiliki risiko pembayaran
yang tidak dapat tertagih kepada nasabah. Bahkan risiko ini
tergolong besar karena pinjaman qardh terutama ditujukan
untuk masyarakat/nasabah kurang mampu karena bersifat
transaksi sosial. Adapun contoh transaksinya yaitu
misalkan pada saat penagihan pembayaran terakhir yaitu 20
desember 2020 bapak Ibu Masnan melaporkan bahwa
dirinya mendapat musibah yang menyebabkan
ketidakmampuan pembayaran angsuran pinjaman qardh.
Jurnal yang dibuat oleh bank syariah adalah:
Tanggal Rekening Debit (Rp) Kredit (Rp)
Db. Beban kerugian penurunan nilai aset 250.000
keuangan – pinjaman qardh
26/12/20
Kr. Cadangan kerugian penurunan 250.000
nilai aset keuangan – pinjaman qardh
5. Penyajian dan pengungkapan pinjaman qardh
a. Penyajian
Penyajian pinjaman qardh diatur dalam PAPSI 2013,
dalam penyajian tersebut disebutkan bahwa:
1) Pinjaman Qardh yang bersumber dari intern Bank dan
dana pihak ketiga disajikan pada pos pinjaman Qardh.
2) Cadangan Kerugian Penurunan Nilai pinjaman Qardh
disajikan sebagai pos lawan (contra account) pinjaman
Qardh.

278
b. Pengungkapan
Kondisi-kondisi yang harus diaungkapkan dalan
transaksi pinjaman qardh berdasarkan regulasi yang tertuang
dalam PAPSI 2013 antara lain:
A. Rincian jumlah pinjaman qardh berdasarkan sumber
dana, jenis penggunaan dan sektor ekonomi.
B. Jumlah pinjaman qardh yang diberikan kepada pihak
yang berelasi.
C. Kebijakan manajemen dalam pelaksanaan pengendalian
risiko pinjaman qardh.
D. Ikhtisar pinjaman qardh yang dihapus buku yang
menunjukkan saldo awal, penghapusan selama tahun
berjalan, penerimaan atas pinjaman qardh yang telah
dihapusbukukan dan pinjaman qardh yang telah dihapus
tagih dan saldo akhir pinjaman qardh yang dihapus buku.

E. Latihan Kasus
Kasus 1
Pada awal bulan Juli 2020, Ibu Sukaisih, yang berprofesi sebagai tukang
sapu jalan, meminjam kepada bank syariah dengan skema qardh untuk
membayar uang masuk sekolah anaknya di SMK. Informasi terkait akad
yang disepakati adalah sebagai berikut:
Jumlah pinjaman = Rp.2.000.000
Waktu pinjaman = 4 bulan
Biaya administrasi = 0,5%
Buatlah jurnal untuk transaksi berikut berdasarkan data-data yang
disediakan pada kasus 1:
7 Juli 2020 Bank syariah memberikan persetujuan pinjaman
qardh atas nama Ibu Sukaisih dan langsung pinjaman
tersebut langsung didebit ke dalam rekening
tabungan Ibu Sukaisih.

279
Bersamaan dengan hal tersebut bank syariah
melakukan pememotongan untuk biaya administrasi
atas transaksi pinjaman qardh Ibu Sukaisih.
7 Agst 2020 Hari ini merupakan tanggal jatuh tempo untuk
angsuran pertama dan jumlah saldo dana yang
tersedia dalam rekening nasabah cukup untuk
melakukan pembayaran angsuran tersebut.
7 Sep 2020 Hari ini merupakan tanggal jatuh tempo angsuran
kedua, namun jumlah saldo rekening Ibu Sukaisih
belum cukup untuk melakukan pembayaran
angsuran kedua tersebut.
20 Sep 2020 Ibu Sukaisih melakukan setoran ke dalam
rekeningnya dan kemudian langsung dilakukan
pendebitan saldo rekening Ibu Sukaisih untuk
pembayaran angsuran kedua yang telah jatuh tempo.
7 Okt 2020 Hari ini merupakan tanggal jatuh tempo angsuran
ketiga, namun saldo rekening yang dimiliki oleh Ibu
Sukaisih hanya terdapat sebesar Rp.200.000 untuk
pembayaran angsuran ketiga tersebut
15 Okt 2020 Ibu Sukaisih menyetorkan dana tambahan sehingga
bank syariah dapat melakukan pendebitan atas sisa
angsuran yang belum lunas pada angsuran
pembayaran ketiga.
7 Nov 2020 Hari ini adalah tanggal jatuh tempo angsuran
terakhir yang juga merupakan batas akhir periode
pinjaman qardh. Sebagai rasa terima kasihnya kepada
bank syariah, Ibu Sukaisih juga memberikan imbalan
sebesar Rp20.000 kepada bank syariah yang telah
memberi pinjaman qardh untuk pembayaran uang
sekolah anaknya. Penyerahan angsuran dilakukan
dengan pendebitan saldo rekening sedangkan dan
imbalan dilakukan secara tunai oleh Ibu Sukaisih.
Kasus 2

280
Saldo dana zakat Bank Syariah Nasional pada awal tahun 2021 adalah
sebesar Rp15.000.000. Buatlah jurnal untuk transaksi-transaksi yang
terkait dengan dana zakat pada Bank Syariah Nasional selama tahun
2021 berikut ini:
25 Jan 2021 Tuan Abdul melakukan pembayaran zakat melalui
BSN secara tunai Rp2.000.000.
16 Mar 2021 Tuan Handoko menyerahkan uang secara tunai
kepada BSN sebagai zakat untuk korban bencana
gunung merapi sebesar Rp10.000.000.
19 Apr 2021 BSN menyalurkan dana zakat kepada masyarakat
miskin sebesar Rp11.000.000.
18 Mei 2021 Bank Syariah Nasional menyetorkan dana atas zakat
perniagaan selama tahun 2021 sebesar Rp45.000.000.
29 Juli 2021 Diterima sedekah dari jamaah pengajian As Sholihin
untuk zakat sebesar Rp13.000.000. yang dikirim via
rekening.

281
282
BAB XIV PERHITUNGAN BAGI HASIL

A. Pendahuluan
Semua jenis investasi bertujuan untuk mendapatkan penghasilan
tambahan di masa yang akan datang. Sehingga para investor pasti akan
mempertimbangkan dengan sangat teliti terhadap jenis dan produk
investasi yang akan dipilih guna menghasilkan pendapatan yang
optimal. Setiap masing-masing jenis investeasi memiliki mekanisme dan
aturan yang tidak selalu sama dalam menentukan pembagian
keuntungan untuk setiap pemilik modal sebuah proyek atau usaha atau
perusahaan. Umumnya mekanisme tersebut telah menjadi bagian dari
kesepakatan (akad) di awal pelaksanaan investasi.
Pembagian keuntungan di dalam kaidah ekonomi Islam dalam
kaitannya dengan kerjasama atau usaha bersama disebut dengan prinsip
bagi hasil. Prinsip ini menekankan pembagian keuntungan sesuai
proporsi penghasilan yang didapatkan dan sesuai dengan porsi modal
masing-masing. Bank syariah merupakan salah satu perusahaan yang
dengan akad kerjasamanya dengan nasabah akan memberikan return
kepada nasabah penabung berupa bagi hasil dari usaha yang dijalankan
oleh perbankan syariah.
Pada bab ini akan dibahas tentang perhitungan bagi hasil dalam
ekonomi Islam, mulai dari ketentuan, mekanisme sampai dengan teknik
perhitungan bagi hasil yang diterapkan oleh perusahaan maupun bank
syariah dalam menentukan porsi bagi hasil yang akan dibagikan.

B. Regulasi Bagi Hasil


Secara eksplisit Al-Qur’an tidak menyebutkan bagi hasil atau
mudharabah dan Musyarakah sebagai sebagai satu bentuk dari
muamalah yang diperbolehkan dalam Islam. Secara umum beberapa
ayat menyiratkan kebolehannya dan para ulama menjadikan beberapa
ayat tersebut sebagai dasar hukum bagi hasil atau mudharabah. Ayat-

283
ayat AlQur’an tersebut terdapat dalam firman Allah dalam Surah Al-
Ma’idah ayat 1:
‫ت ِّبلْعُ ُق ْوِّٓد اَْوفُ ْوا اَٰ َمنُ ْوا الَّ ِّذيْ َٓن ََٰيَيُّ َها‬ ِّٓ ‫الصْي ِّٓد ُُِّملِّى َغ ََْٓي َعلَْي ُك ْٓم يُْت َٰلى َما آَِّّل ْالَنْ َع‬
ْٓ َّ‫ام ََبِّْي َم ٓةُ لَ ُك ْٓم اُ ِّحل‬ َّ
‫اّللَ اِّ َّٓن ُح ُرٓم َواَنْتُ ْٓم‬
َٰٓ ‫يُِّريْ ُٓد َما ََيْ ُك ُٓم‬

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.


Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukumhukum menurut
yang di kehendakinya”.

Aqad (perjanjian) dalam ayat tersebut mencakup: janji prasetia


seorang hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia
dalam pergaulan sehari-hari dengan sesamanya.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
menyebutkan bahwa bank boleh beroperasi berdasarkan prinsip
pembagian hasil keuntungan atau prinsip bagi hasil (profit sharing).
Kemudian ditekankan lagi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 72
Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Penjelasan
dalam Pasal 1 butir 1, bank yang menerapkan prinsip bagi hasil adalah
Bank Umum atau Bank Prekreditan Rakyat yang melakukan kegiatan
usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Bagi hasil yang
dimaksud adalah prinsip bagi hasil yang berlandaskan syariat.
Landasan operasional bagi hasil atau akad mudharabah dan
musyarakah adalah fatwa DSN-MUI yang selanjutnya ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI). Fatwa DSN MUI terkait akad
mudharabah atau bagi hasil di antaranya adalah:
1. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000
tentang pembiayaan mudharabah (Qiradh) adalah dasar bagi
pelaksanaan akad mudharabah di perbankan syariah.
2. Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No:08/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Musyarakah.
284
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.50/DSNMUI/III/2006
tentang Akad Mudharabah Musytarakah
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional No:59/DSNMUI/V/2007
tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi. Sampai saat ini
sudah ada sedikitnya 86 fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI
Adapun Peraturan Bank Indonesia yang menjadi landasan
operasional perbankan syariah, khususnya terkait dengan bagi hasil
diantaranya adalah:
1. PBI No.10/17/PBI/2008 mengatur tentang Produk Bank Syariah
dan Unit Usaha Syariah;
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank
Umum Syariah;
3. PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/7/PBI/2004 tentang
Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia;
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 tentang
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan
Kegiatan Berdasarkan Prinsip Syariah;
6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/3/PBI/2006 tentang
Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konensional menjadi
Bank Umum yang melaksanakan kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsp Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum
Konvensional;
7. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta
Pelayanan Jasa Bank Syariah;
8. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.

285
C. Mekanisme dalam Menghitung Bagi hasil
Untuk menghitung pendapatan bagi hasil yang diterima oleh
bank maupun nasabah di mana bank sebagai mudharib sedangkan
nasabah sebagai sahibul maal, dilakukan beberapa tahapan yang
dilakukan, sebagai berikut.
1. Menentukan prinsip perhitungan bagi hasil;
2. Menghitung jumlah pendapatan yang akan didistribusikan untuk
bagi hasil;
3. Menentukan sumber pendanaan yang digunakan sebagai dasar
perhitungan bagi hasil;
4. Menentukan pendapatan bagi hasil untuk bank dan nasabah; dan
5. Akuntansi bagi hasil untuk bank syariah.
Agar lebih jelas, maka mekanisme perhitungan bagi hasil dapat
dilihat dalam figur 14.1 berikut ini:
Figur 14.1
Mekanisme Perhitungan Bagi Hasil

Perhitungan
pendapatan yang Penyaluran bagi hasil
akan dibagi: kepada masing-masing
nasabah sesuai
Penentuan 1. Perhitungan kesepakatan nisbah:
Prinsip saldo rata-rata - Perhitungan
Bagi Hasil harian sumber proporsi bagi hasil
dana untuk setiap jenis
2. Perhitungan sumber dana
saldo rata-rata - Perhitungan bagi
harian hasil untuk nasabah
penyaluran dan bank syariah
dana

D. Prinsip Perhitungan Bagi Hasil


Prinsip perhitungan bagi hasil pendapatan sangat penting untuk
ditentukan di awal dan diketahui oleh kedua belah pihak yang akan
melakukan kesepakatan kerja sama bisnis karena apabila hal ini tidak
dilakukan, maka berarti telah terjadi ghoror, sehingga transaksi menjadi
286
tidak sesuai dengan prinsip syariah. Prinsip perhitungan bagi hasil
menentukan jumlah pendapatan yang digunakan sebagai dasar
perhitungan untuk bagi hasil, apakah menggunakan penerimaan neto,
laba bruto, atau laba neto. Dewan Syariah Nasional dalam fatwanya
dengan Nomor 15 tahun 2000 menyatakan bahwa bank syariah boleh
menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi untung
(profit sharing) sebagai dasar bagi hasil.
Dalam praktik di lapangan, terdapat perbedaan interpretasi dalam
memahami istilah revenue sharing. Revenue sharing dalam praktik
dipersepsikan sama dengan gross profit sharing yang menganalogikan
revenue adalah nilai penjualan suatu barang (harga pokok plus margin
pendapatan). Adapun revenue yang dimaksud dalam dasar bagi hasil
bank syariah dan yang dipraktikkan selama ini adalah pendapatan
dikurangi harga pokok barang yang dijual. Dalam akuntansi, konsep ini
biasa dinamakan dengan gross profit. Dengan demikian, istilah revenue
sharing yang biasa digunakan oleh industri perbankan syariah pada
dasarnya identik dan sama dengan makna gross profit sharing. Menurut
Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah
tahun 2007, Ikatan Akuntan menyatakan secara eksplisit bahwa dalam
hal prinsip pembagian hasil usaha, terminologi pendapatan atau hasil
yang dimaksud adalah pendapatan bruto (gross profit) (KDPPLKS
paragraf 42). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor
105 paragraf 11 menyatakan bahwa pembagian hasil usaha mudharabah
dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil atau bagi laba dan jika
berdasarkan prinsip bagi hasil, maka dasar pembagian hasil usaha
adalah laba bruto (gross profit) bukan total pendapatan usaha (omzet).
Sedangkan jika berdasarkan prinsip bagi laba, dasar pembagian adalah
laba neto (net profit), yaitu laba bruto dikurangi beban yang berkaitan
dengan pengelolaan dana mudharabah.

287
Tabel 14.1
Prinsip Bagi Hasil
Uraian Jumlah Metode Bagi Hasil
Penjualan 100
Harga Pokok Penjualan 65
Laba Bruto 35 Gross Profit sharing atau Revenue Sharing
Beban 25
Laba Rugi Neto 10 Profit and Loss Sharing
Sumber: Rizal Yaya dkk, 2015
Dalam praktik perbankan, gross profit sharing yang dibagi hasil
kepada pihak ketiga meliputi:
1. Margin bank yang meliputi margin Murabahah, salam, dan istishna.
Dalam hal ini margin bank adalah selisih antara harga jual barang
dengan harga beli barang. Sekiranya ada pemberian potongan
kepada nasabah, maka potongan tersebut akan mengurangi margin
bank;
2. Pendapatan ijarah neto. Dalam hal ini pendapatan ijarah neto
adalah selisih antara pendapatan ijarah dengan akumulasi
penyusutan ijarah. Gain atas penjualan aset ijarah juga termasuk
dalam pendapatan ijarah;
3. Bagi hasil pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah
Penggunaan gross profit sharing sebagai dasar perhitungan bagi
hasil lebih adil bagi perbankan syariah maupun nasabah, karena
penggunaan laba bruto sebagai dasar perhitungan bagi hasil telah
mempertimbangkan faktor kinerja (penjualan) dan juga biaya
(harga pokok penjualan) sebagai komponen perhitungan laba atau
pendapatan bruto. Secara ideal prinsip profit sharing lebih
mencerminkan laba yang sesungguhnya karena dihasilkan dari
perhitungan seluruh pendapatan dikurang seluruh biaya, namun
secara teknis dilapangan prinsip profit sharing membuka peluang
yang besar adanya ketidak seimbangan informasi (assimetric
information) antara sahibul maal dan mudharib, yang dapat
menimbulkan kerugian bagi sahibul maal.
288
Penggunaan praktik gross profit sharing sebagai dasar bagi hasil
bagi nasabah penabung atau deposan dengan skema mudharabah dapat
terlihat pada pengakuan pendapatan bank syariah. Pendapatan
murabahah yang dibagi hasil misalnya adalah nilai margin murabahah
(selisih harga jual dengan harga pokok barang yang dijual) yang uangnya
telah diterima oleh bank syariah. Ini menunjukkan bahwa dasar bagi
hasil kepada nasabah penabung pada dasarnya adalah gross profit
sharing dan bukan revenue sharing. Demikian pula dalam pengakuan
pendapatan ijarah, besaran pendapatan ijarah yang disajikan dalam
pendapatan utama pada laporan rugi laba adalah pendapatan ijarah
setelah dikurangi biaya operasional aset yang disewakan sebelum
dikurangi biaya operasional rutin lainnya.
Perbandingan prinsip revenue sharing dan profit and loss sharing dapat
dilihat dalam tabel 14.2 berikut:

Tabel 14.2
Perbedaan Prinsip Bagi Hasil Revenue Sharing dan Profit and
Loss Shariang
PROFIT AND LOSS
REVENUE SHARING
SHARING
Pendapatan Utama Pendapatan Utama

Dikurangi: Hak bagi hasil pihak


Posisi
ketiga
pembagian
revenue Ditambah: Pendapatan
sharing Dikurangi: Beban Operasional
operasional lainnya
Posisi
Dikurangi: Beban operasional pembagian
lainnya profit and
loss
Laba/Rugi Neto Laba/Rugi Neto sharing

289
Dari tabel 14.2 terlihat bahwa terdapat perbedaan jumlah
pendapatan yang akan dijadikan sebagai dasar untuk menghitung
distribusi bagi hasil dari kedua prinsip bagi hasil tersebut. Dengan
prinsip revenue sharing pendapatan yang digunakan untuk
diperhitungkan dalam perhitungan bagi hasil adalah pendapatan bruto
yang terdiri atas pendapatan bagi hasil yang diterima dari bagi hasil
investasi pembiayaan, pendapatan margin murabahah (penjualan
setelah dikurangi harga pokok), pendapatan ijarah neto setelah
dikurangi biaya-biaya opersional sewa aset yang bersangkutan dan
pendapatan neto lainnya, sedangkan dengan prinsip profit sharing
pendapatan yang menjadi dasar perhitungan bagi hasil dengan prinsip
revenue sharing harus dikurangi lagi dengan biaya operasional rutin
bank, sehingga diperoleh laba neto. Laba neto inilah yang digunakan
sebagai dasar perhitungan bagi hasil.
Sebagai ilustrasi kasus untuk menghitung bagi hasil pendapatan
digunakan data berikut dalam Tabel 14.3 berikut:
Tabel 14.3
Data Sumber dan Penyaluran Dana serta Pendapatan
Sumber Dana Penyaluran Dana Pendapatan
Wadiah: Bagi Hasil:
Tabungan 50.000.000 Pembiayaan 80.000.000 800.000
wadiah Mudharabah
Giro wadiah 80.000.000 Pembiayaan 60.000.000 250.000
Musyarakah
Jumlah 130.000.000 Jumlah 140.000.000 1.050.000

Mudharabah: Jual Beli:


Tabungan 60.000.000 Murabahah 70.000.000 300.000
Mudharabah
Deposito 140.000.000 Salam 60.000.000 200.000
Mudharabah
Istishna 50.000.000 50.000

290
Jumlah 200.000.000 Jumlah 180.000.000 550.000

Sumber lain: Ijarah:


Modal 70.000.000 Ijarah 30.000.000 100.000
Jumlah 70.000.000 Jumlah 30.000.000 100.000

Lainnya:
IMA 22.000.000 150.000
SBI Syariah 28.000.000 150.000
Jumlah 50.000.000 300.000
Total 400.000.000 Total 400.000.000 2.000.000
Sumber: Rizal Yaya dkk, 2015

E. Perhitungan Jumlah Pendapatan yang dibagi Hasil


Setelah menentukan prinsip perhitungan bagi hasil yang akan
digunakan, misalnya menggunakan revenue sharing, maka dari laporan
laba rugi dapat diperoleh jumlah pendapatan yang akan diperhitungkan
untuk bagi hasil dari masing-masing jenis pembiayaan (lihat Tabel 15.1).
Tahap selanjutnya adalah menghitung pendapatan yang akan
didistribusikan sebagai pendapatan bagi hasil untuk bank dan nasabah.
Dalam perolehan pendapatan, terdapat dua variasi sumber dana untuk
memperoleh pendapatan yang diterima oleh bank syariah, yaitu sebagai
berikut:
1. Seluruh pendapatan berasal dari pembiayaan yang sumbernya dari
dana nasabah;
2. Sebagian pendapatan berasal dari pembiayaan yang sumbernya dari
dana nasabah dan sebagian pendapatan dari modal bank.
Oleh karena adanya variasi tersebut, maka perlu dipisahkan mana
yang pendapatannya diterima dari sumber dana nasabah dan yang
berasal dari dana bank. Hal ini penting karena jika pendapatan
diperoleh dari sumber dana yang dimiliki bank, maka tidak ada

291
distribusi bagi hasil untuk nasabah, artinya semua pendapatan menjadi
hak bank. Apabila pendapatan berasal dari pembiayaan yang sumbernya
dari dana nasabah, maka pendapatan tersebut harus didistribusikan
(bagi hasil) untuk nasabah dan bank.
Untuk menghitung jumlah pendapatan yang akan didistribusikan,
terdapat tiga alternatif pendekatan. Pendapatan yang akan dibagi hasil
dihitung berdasarkan:
1. Sumber Dana Pihak ketiga dari Dana Mudharabah saja
(Rp200.000.000).
2. Sumber Dana Pihak ketiga dari Dana Mudharabah dan Wadiah
(Rp330.000.000).
3. Seluruh Sumber dana (Rp400.000.000).
Apabila perhitungan pendapatan yang akan dibagi hasil
menggunakan pendekatan sumber dana dari dana mudharabah saja,
maka tahapan perhitungannya seperti berikut.
1. Menghitung Rata-rata Saldo Harian Sumber Dana (RSSD). Hal ini
dilakukan karena saldo nasabah dapat berubah setiap hari.
Perhitungan Rata-Rata Saldo Harian Sumber Dana menggunakan
rumus berikut:
Saldo tgl 1 + Saldo tgl 2, dan seterusnya .... tanggal n
RSSD =
Jumlah hari n
Rata-rata Saldo Harian Sumber Dana disajikan dalam Tabel
14.3 kolom 1.
2. Menghitung Rata-Rata Saldo Harian Pembiayaan (RSP). Hal ini
dilakukan karena saldo untuk masing-masing pembiayaan dapat
berubah setiap hari. Perhitungan Rata-Rata Saldo Harian
Pembiayaan menggunakan rumus berikut.
Saldo tgl 1 + Saldo tgl 2, dan seterusnya .... tanggal n
RSP =
Jumlah hari n
Rata-Rata Saldo Harian Pembiayaan disajikan dalam Tabel 14.3
kolom 2.
Setelah diketahui rata-rata saldo harian sumber dana dan rata-
rata saldo harian pembiayaan, kemudian tambahkan data jumlah

292
hasil usaha untuk masing-masing pembiayaan pada kolom 3 yang
diperoleh dari Tabel 14.1.
3. Menghitung pendapatan untuk bagi hasil. Pendapatan untuk bagi
hasil dihitung dengan menggunakan rumus:
Jlh rata-rata saldo sumber
Pendapatan dana x Jlh
=
Bagi Hasil Jlh rata-rata saldo harian pendapatan
pembiayaan

Pendapatan 200.000.000
= x 2.000.000
Bagi Hasil 400.000.000
= 1.000.000
Dari perhitungan di atas diperoleh jumlah pendapatan yang akan
dibagi hasil antara bank dengan nasabah sebesar Rp1.000.000.
Tabel 14.4
Perhitungan Pendapatan yang Akan Dibagi Hasil
Berdasarkan Sumber Dana Pihak Ketiga dari Sumber Dana
Mudharabah
Rata-rata
harian Rata-rata Pendapatan Pendapatan
Kelompok saldo harian penyaluran untuk bagi
sumber pembiayaan dana hasil
dana
Penghimpunan
dana:
-Tab. 60.000.000
Mudharabah

-Deposito 140.000.000
Mudharabah
Jumlah 200.000.000

293
Penyaluran
dana:
-Jual beli 180.000.000 550.000
-Ijarah 30.000.000 100.000
-Bagi hasil 140.000.000 1.050.000
-Penyaluran 50.000.000 300.000
lain
Jumlah 400.000.000 2.000.000 1.000.000
Sumber: Rizal Yaya dkk, 2015
Apabila perhitungan pendapatan yang akan dibagihasilkan
menggunakan pendekatan berdasarkan dana pihak ketiga yang
berasal dari sumber dana mudharabah dan wadiah maka dihasilkan
perhitungan seperti dalam Tabel 14.5 berikut:
Tabel 14.5
Perhitungan Pendapatan yang Akan Dibagi Hasil Berdasarkan
Sumber Dana Pihak Ketiga dari Sumber Dana Mudharabah dan
Wadiah
Rata-rata harian Rata-rata Pendapatan Pendapatan
Kelompok saldo sumber harian penyaluran untuk bagi
dana pembiayaan dana hasil
Wadiah:
-Tab. 50.000.000
Wadiah
-Giro 80.000.000
Wadiah
Jumlah 130.000.000

Penghimpunan
dana:
-Tab. 60.000.000
Mudharabah

294
-Deposito 140.000.000
Mudharabah
Jumlah 200.000.000
Jumlah 330.000.000
Sumber Dana

Penyaluran
dana:
-Jual beli 180.000.000 550.000
-Ijarah 30.000.000 100.000
-Bagi hasil 140.000.000 1.050.000
-Penyaluran 50.000.000 300.000
lain
Jumlah 400.000.000 2.000.000 1.650.000
Sumber: Rizal Yaya dkk, 2015
Pendapatan 330.000.000
= x 2.000.000
Bagi Hasil 400.000.000
=. 1.650.000
Dari perhitungan di atas diperoleh jumlah pendapatan yang
akan dibagi hasil antara bank dengan nasabah sebesar
Rp1.650.000.
Apabila perhitungan pendapatan yang akan dibagi hasilkan
menggunakan pendekatan berdasarkan dana pihak ketiga yang
berasal dari seluruh sumber dana maka dihasilkan perhitungan
seperti dalam Tabel 14.6 berikut:

295
Tabel 14.6
Perhitungan Pendapatan yang Akan Dibagi Hasil
Berdasarkan Seluruh Sumber Dana
Rata-rata Rata-rata Pendapatan Pendapat
Kelompok harian saldo harian penyaluran an untuk
sumber dana pembiayaan dana bagi hasil
Wadiah:
-Tab. Wadiah 50.000.000
-Giro Wadiah 80.000.000
Jumlah 130.000.000

Penghimpunan
dana:
-Tab. 60.000.000
Mudharabah
-Deposito 140.000.000
Mudharabah
Jumlah 200.000.000

Modal 70.000.000
Jumlah 70.000.000
Jumlah Sumber 400.000.000
Dana

Penyaluran dana:
-Jual beli 180.000.000 550.000
-Ijarah 30.000.000 100.000
-Bagi hasil 140.000.000 1.050.000
-Penyaluran lain 50.000.000 300.000
Jumlah 400.000.000 2.000.000 2.000.000
Sumber: Rizal Yaya dkk, 2015
Tahapan selanjutnya adalah menghitung distribusi
pendapatan yang akan dibagi hasil kepada bank dan nasabah.
Dalam perhitungan distribusi pendapatan yang akan dibagi hasil
kepada bank dan nasabah dapat menggunakan pendekatan sumber
dana dari dana pihak ketiga mudharabah saja (Rp200.000.000) atau
sumber dana dari dana pihak ke tiga dari sumber dana mudharabah

296
dan wadiah (Rp330.000.000), atau seluruh sumber dana
(Rp400.000.000). Perhitungan selanjutnya dalam penjelasan buku
ini menggunakan pendekatan sumber dana dari sumber dana pihak
ketiga dari sumber dana mudharabah saja.

F. Hak Bagi Hasil untuk Bank dan Nasabah


Untuk melanjutkan menghitung hasil akhir berapa pendapatan
bagi hasil yang akan diterima bank dan nasabah, maka diperlukan
informasi tambahan yang digunakan seperti tersaji dalam Tabel 14.7.
Tabel 14.7
Tabel Kelompok Sumber Dana dan Nisbah Bagi Hasil
Jenis Kelompok Saldo Rata-Rata Nisbah Nisbah Bank
Nasabah Syariah
Tab. Mudharabah 60.000.000 40% 60%
Deposito Mudharabah:
-1 Bulan 40.000.000 60% 40%
-3 Bulan 30.000.000 65% 35%
-6 Bulan 50.000.000 65% 35%
-12 Bulan 20.000.000 70% 30%
Sumber: Rizal Yaya dkk, 2015
Untuk data saldo rata-rata dalam tabel di atas diperoleh
dari perhitungan dalam Tabel 14.4. sedangkan jumlah besaran
nisbah diperoleh dari kebijakan atau kesepakatan antara bank
dengan nasabah pada saat persetujuan penyetoran dana dari
nasabah.
Dari data dalam Tabel 14.4 dan Tabel 14.5 dihitung
proporsi pendapatan yang akan dibagi hasil untuk masing-
masing kelompok sumber dana dengan menggunakan rumus:

297
Saldo rata-rata sumber
Proporsi
dana Jlh pendapatan
Tabungan = x
Jlh keseluruhan saldo yang dibagihasilkan
Mudharabah
rata-rata sumber dana

Proporsi Tabungan 60.000.000


= x 1.000.000
Mudharabah 200.000.000

Proporsi Tabungan Mudharabah = 300.000


Setelah diketahui jumlah pendapatan yang akan dibagi
hasil untuk masing-masing kelompok investasi, selanjutnya
dihitung pendapatan bagi hasil untuk bank dan nasabah dengan
menggunakan rumus berikut:
Pendapatan Nasabah = Porsi pendapatan x Nisbah bagi hasil
nasabah
= 300.000 x 40%
= 120.000
Pendapatan Bank = Porsi pendapatan x Nisbah bagi hasil
bank
= 300.000 x 60%
= 180.000
Untuk perhitungan sumberdana deposito 1 bulan, 3
bulan, 6 bulan, dan 12 bulan mengikuti perhitungan yang sama
dengan perhitungan tabungan.

298
Tabel 14.8
Tabel Distribusi Bagi Hasil kepada Nasabah dan Bank
Proporsi Nasabah Bank
Saldo rata-
Kelompok pendapatan
rata Nisbah Pendapatan Nisbah Pendapatan
yang dibagi
Tab. 60.000.000 300.000 40% 120.000 60% 180.000
Mudharabah
Deposito - - - - - -
Mudharabah:
-1 Bulan 40.000.000 200.000 60% 120.000 40% 80.000
-3 Bulan 30.000.000 150.000 65% 97.500 35% 52.500
-6 Bulan 50.000.000 250.000 65% 162.500 35% 87.500
-12 Bulan 20.000.000 100.000 70% 70.000 30% 30.000
200.000.000 1.000.000 570.000 430.000

Sumber: Rizal Yaya dkk, 2015


Di lapangan, para praktisi khususnya marketing bank syariah
menghadapi kesulitan untuk memberi penjelasan kepada calon nasabah
investor mengenai gambaran perkiraan return masa datang yang akan
diterima apabila calon nasabah berinvestasi di bank syariah dalam
bentuk investasi tabungan maupun investasi deposito. Hal tersebut
terjadi karena:
1. Bank syariah hanya memberikan informasi kepada nasabah
investor besaran nisbah bagi hasil yang belum dapat memberi
gambaran pasti jumlah return yang akan diterima nasabah, karena
pendapatan bagi hasil sesungguhnya hanya dapat dihitung setelah
pendapatan riil direalisasi;
2. Bank syariah tidak diperbolehkan memberikan janji pendapatan
kepada nasabah investor, karena pendapatan riil hanya dapat
diketahui setelah hasil investasi direalisasi.
Untuk menjembatani masalah tersebut maka digunakan data
masa lalu, biasanya digunakan data return beberapa bulan sebelumnya.
Data return inipun dibuat dalam bentuk tingkat persentase (indication
rate) pendapatan bagi hasil dari rata-rata investasi pada bulan-bulan
sebelumnya. Digunakannya satuan persentase rate indikasi ini karena
299
pada umumnya para nasabah mudah memperoleh gambaran dalam
bentuk prosentase yang biasa digunakan dalam perhitungan bunga
bank pada bank konvensional, sehingga istilah yang digunakan oleh
para praktisi bank syariah menyebutnya equivalent rate, artinya jika
pendapatan bulan sebelumnya dengan bagi hasil tertentu, maka apabila
dihitung dalam bentuk persentase maka equivalent rate (dalam bank
konvensional) adalah sebesar sekian persen.
Apabila data dalam Tabel 14.8 dilanjutkan dengan perhitungan
equivalent rate. Untuk menghitung equivalent rate digunakan infomasi
jumlah hari dalam satu tahun (misalnya 365 hari) dan jumlah hari dalam
satu bulan, misalnya 30 hari. Perhitungan equivalent rate untuk sumber
dana kelompok tabungan mudharabah sebagai berikut:

Pendapatan nasabah x 365 x 100%


Equivalent Rate =
Saldo rata-rata x 30

120.000.000 x 365 x 100%


Equivalent Rate =
60.000.000 x 30
Equivalent Rate = 2,43%

Untuk sumber dana deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 12


bulan menggunakan rumus yang sama dengan sumber dana tabungan.
Tabel 14.9
Tabel Equivalent Rate atas Bagi Hasil untuk Nasabah
Proporsi Nasabah Bank
Saldo rata-
Kelompok pendapatan
rata Nisbah Pendapatan Eq R Nisbah Pendapatan
dibagi
Tab. 60.000.000 300.000 40% 120.000 2,43% 60% 180.000
Mudharabah
Deposito - - - - - - -
Mudharabah:
-1 Bulan 40.000.000 200.000 60% 120.000 3,65% 40% 80.000
-3 Bulan 30.000.000 150.000 65% 97.500 3,95% 35% 52.500
-6 Bulan 50.000.000 250.000 65% 162.500 3,95% 35% 87.500
-12 Bulan 20.000.000 100.000 70% 70.000 4,26% 30% 30.000

300
200.000.000 1.000.000 570.000 430.000

Sumber: Rizal Yaya dkk, 2015


Setelah equivalent rate diperoleh, bank selanjutnya dapat
menghitung bagi hasil bagi nasabah perorangan pada setiap akhir bulan.
Untuk menghitung bagi hasil untuk nasabah perorangan dapat
menggunakan rumus berikut:

Bagi Hasil Saldo rata-rata nasabah x 30 hari x equivalent rate


=
Nasabah 365 hari x 100

Misalkan Linda nasabah tabungan mudharabah memiliki saldo rata-rata


pada bulan Januari sebesar Rp1.000.000. Maka perhitungan bagi hasil
yang diperolehnya adalah sebagai berikut:
Bagi Hasil 1.000.000 x 30 x 2,43%
=
Linda 365 x 100

Bagi Hasil 72.900.000


=
Linda 36.500

Bagi Hasil Linda = Rp.1.997,-

G. Latihan Kasus
Berikut ini adalah data rata-rata harian penghimpunan dana dan
rata-rata harian pembiayaan serta perhitungan pendapatan yang
akan dibagi hasil pada Bank Syariah Nasional pada bulan April
2020.
Pendapatan Pendapatan
Rata-rata
Kelompok penyaluran untuk bagi
harian
dana hasil
Penghimpunan dana:
-Tab. Mudharabah 600.000.000

301
-Deposito Mudharabah 300.000.000
Jumlah 900.000.000

Penyaluran dana:
-Jual beli 1.550.000.000 30.000.000
-Ijarah 80.000.000 2.400.000
-Bagi hasil 1.300.000.000 22.300.000
-Penyaluran lain 70.000.000 1.300.000
Jumlah 56.000.000 16.800.000
Berikut ini adalah tabel saldo rata-rata harian simpanan serta nisbah
bagi hasil antara bank dengan nasabah penabung dan deposan.
Nisbah Nisbah Bank
Jenis Kelompok Saldo Rata-Rata
Nasabah Syariah
Tab. Mudharabah 300.000.000 35% 65%
Deposito
Mudharabah:
-1 Bulan 100.000.000 60% 40%
-3 Bulan 250.000.000 61% 39%
-6 Bulan 200.000.000 63% 37%
-12 Bulan 50.000.000 65% 35%
Dengan menggunakan data harian 365 hari dalam setahun dan 30 hari
dalam sebulan, hitunglah berapa jumlah berikut.
1. Pendapatan yang diperoleh bank syariah dan nasabah tabungan
serta deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
2. Berapa equivalent rate tingkat retur nasabah tabungan dan deposito
pada bulan April 2021.
3. Misalkan Rofi adalah nasabah tabungan mudharabah dengan saldo
rata-rata harian sebesar Rp10.000.000. Hitunglah bagi hasil yang
diterimanya untuk bulan tersebut.

302
4. Jika Nita adalah nasabah deposito 6 bulan dengan saldo rata-rata
harian sebesar Rp8.000.000. Hitunglah bagi hasil yang diterimanya
untuk bulan tersebut.

303
304
DAFTAR PUSTAKA

Ade Arthesa dan Edita Handiman. 2009. Bank Dan Lembaga


Keuangan Bukan Bank. Jakarta: Indeks

Ana Kadarningsih, dkk. 2017. Penyajian Akuntansi Qardhul Hasan


dalam Laporan Keuangan Perbankan Syariah, Vol. 7 No. 1

Antonio, Muhammad Syafi'i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke


Praktek. Jakarta: Gema Insani.

Arif, M. Nur Rianto Al. 2017. Lembaga Keuangan Syariah: Suatu


Kajian. Teoretis Praktis. Bandung. Pusaka Setia

Ascarya. 2011. Akad & Produk Bank Syariah, Cet.3. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

Asnaini dan Herlina Yustati, 2017. Lembaga Keuangan Syariah: Teori


Dan Praktiknya Di Indonesia.Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Asro, Muhammad dan Kholid, Muhammad. 2011. Fikih Perbankan.


Bandung: Pustaka Setia.

Azzam, A.A.M. 2010. Fiqh Muamalah Edisi Ke-3. Jakarta: Amzah

Dahlan, Abdul Azis. (editor), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid


5,Jakarta: Ichtiar Barn van Hoeve.

Dahlan. Abdul Azis (ed.). 2001. Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. V, Jilid
I. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve

Departeman Pendidikan Nasional. 2013. Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Edisi Keempat Cetakan 7. Jakarta: Pt Gramedia
Pustaka Utama

Departemen Agama RI. 2003. Himpunan Fatwa MUI. Jakarta: Proyek


Sarana Dan Prasarana Produk Halal
305
Fasiha. 2018. Akad Qardh Dalam Lembaga Keuangan Syariah,
AkadQardhDalam Lembaga Keuangan Syariah Al-Amwal, Vol.
3, No. 1

Fauziah, Nur Dinah dkk. 2019. Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah.
Malang. Literasi Nusantara

Fitriani. 2018. Praktik Pemberian Dalam Pengurusan Dokumen Di


Desa Tellulimpoe Kab. Soppeng (Tinjauan Hukum Islam).
Skripsi. STAIN Parepare

Ghazaly, Abdul Rahman dkk. 2012. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group

Hannanong, Ismail, and Aris Aris. 2018. Al-Qardh al-Hasan: soft and
Benevolent Loan pada Bank Islam. DIKTUM: Jurnal Syariah dan
Hukum 16.2

Hanum, Zulia. 2015. Analisis Penerapan Transaksi Murabahah Pada


PT. Bank Pembiayaan Rakyat (BPR) Syariah Gebu Prima
Medan."Ekonomikawan: Jurnal Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan 14.1

Herjanriasto. 2020. Prinsip Kehati-hahtian pada Akad Qardh dalam


Perbankan Syariah di Indonesia, Al-Amwal: Journal of Islamic
Economic Law, Vol. 5, No. 1

Hidayatullah, Muhammad Syarif. 2017. Perbankan Syariah (Pengenalan


Fundamental dan Pengembangan Kontemporer). Banjarbaru: CV
Dreamedia,

Ikatan Akuntan Indonesia. Http://Iaiglobal.Or.Id/V03/Standar-


Akuntansi- Keuangan/Sak

Iltiham, Muhammad Fahmul. 2019. Implementasi Akad Mudharabah


Berdasarkan PSAK 105 Tentang Akuntansi Mudharabah dan

306
Fatwa DSN MUI Pada Produk Pembiayaan. Ekonomi Islam.
11(1): 23-30.

Jusuf, Haryono. 2011. Dasar-Dasar Akuntansi. Yogyakarta. STIE-


YKPN.

Karim, A.A. 2011. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan Edisi Ke-
4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Karim. Adiwarman 2004. Bank Islam: Analisis Fikih dan Keuangan.


Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mardani. 2014. Hukum Bisnis Syariah. Jakarta: Prenadamedia Group


cet ke-1

Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada cet ke-1

Moh. Khoirul Anam, 2017. Penerapan PSAK 101 pada Laporan Dana
Zakat dan Dana Kebajikan Grasia Andiana dan Badrus Zaman,
Analisis Penerapan Akuntansi Dana Zakat dan Dana Kebajikan
Berdasarkan PSAK Syariah pada BMT Rahmat Syariah Semen
Kediri, Seminar Nasional Manajemen Ekonomi Akuntansi
(SENMEA)

Muhammad dan Dwi Suwikyo. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah.


Yogyakarta: Trust Media Publishing.

Muhammad, 2013. Akuntansi Syariah Teori Dan Praktik Untuk Perbankan


Syariah. Yogyakarta: STIM YKPN

Muhammad. 2000. Sistem Dan Prosedur Operasional Bank Syariah.


Yogyakarta: UII Press.

Muhammad. 2000. Sistem Operasional Bank Syari’ah. Yogyakarta: UII


Press

307
Naf’an. 2014. Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah. Yogyakarta:
Graha Ilmu cet ke-1

Nazilatul Hidayah, Nawirah. 2020. Analisis Perlakuan Akuntansi


Pembiayaan Qardhul Hasan Berdasarkan PSAK NO.59 dan
PSAK NO. 101. Volume 19 N0. 2

Nurhayati Sri. 2009. Akuntansi Syariah di Indonesia, Edisi. 2. Jakarta:


Salemba Empat.

Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2018. Akuntansi Syariah Di Indonesia.


Jakarta. Salemba Empat

Nurhayati, Sri. 2014. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba


Empat

Otoritas Jasa Keuangan.


Https://Www.Ojk.Go.Id/Id/Kanal/Perbankan/Pages/Pedo
man-Akuntansi-Perbankan -Indonesia-(Papi).Aspx

Prasetyo, Aji. 2019. Akuntansi Keungan Syariah: Teori, Kasus & Pengantar
Menuju Praktik. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.

Purnamasar,i Resti. Perkembangan Standar Akuntansi Keuangan Yang


Berlaku Di Indonesia.
Https://Www.Ppak.Co.Id/Dokumen/Artikel-
Berita/Perkembangan%20 sak%20di%20indonesia.Pdf

Rahardjo, M. Dawam. 1992. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi.


Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat

Rahmawaty, Anita. 2010. Riba Dan Bunga Dalam Hukum Kontrak


Syariah. Jurnal Hukum Islam Iain Pekalongan 14, No. 2

Ramdhani, Dadan dkk. 2019. Ekonomi Islam Akuntansi dan


Perbankan Syariah (Filosofis dan Praktis Di Indonesia dan
Dunia). Boyolali: CV. Makrumi
308
Rasya Fadila Balangger, dkk, 2017. Evaluasi Pengungkapan Dana Zakat
dan Dana Kebajikan Pada Laporan Keuangan Bank BRI
Syariah Cabang Manado, Vol. 5 No. 2,

Rohmah, Noviana Niswatur. 2018. Pandangan Fiqh Muamalah Terhadap


Transaksi Jual Beli Menggunakan Member Card (Studi Kasus Sub
Bussines Center Sophie Paris Desa Ngadiluwih Kecamatan Ngadiluwih
Kabupaten Kediri. Skripsi. IAIN Tulungagung

Sahil, Irdlon. 2020. PENERAPAN AKAD QARDH PADA KARTU


KREDIT. Mukammil: Jurnal Kajian Keislaman 3.1

Sanurdi. 2019. Teori Percampuran dan Pertukaran. TASAMUH: Jurnal


Studi Islam. Vol. 11 No.1

Shiddiqy, M. A. 2019. Analisis Akad Pembiayaan Qardh Dalam


Lembaga Keuangan Mikro Syariah Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jurnal Istiqro, 5(1).

Silvi, Nadia Tri dkk. 2019. Akuntansi Transaksi Ijarah Dan Ijarah
Muntahiya Bit Tamlik. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah

Sudarsono, Heri. 2003. Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah:


Deskripsi Dan Ilustrasi. Yogyakarta. Ekonisia

Sudarsono, Heri. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah:


Deskripsi Ilustrasi Edisi Ketiga. Yogyakarta. Ekonisia

Suhendar, 2021. joint group discussion Implementasi Akuntansi Syariah.


Ikatan Akuntan Indonesia

Suhendro, Dedi. 2018. Tinjauan Perkembangan dan Pertumbuhan


Perbankan Syariah di Indonesia. HUMAN FALAH Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Islam: Volume 5. No. 2

Suwardjono. 2014. Teori Akuntansi. Yogyakarta. BPFE.

309
Suwiknyo, Dwi. 2010. Pengantar Akuntansi Syariah. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar

Syafei, Rachmad. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia

Triyuwono, Iwan. 2012. Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodelogi


Dan Teori. Jakarta. Rajagrafindo Persada

Widyarini, Syamsul Hadi. 2018. Fatwa MUI, PSAK dan Praktek


Musyarakah. Jurnal Hukum Islam, vol. 15, No. 1

Wiroso. 2005. Jual Beli Murabahah. Yogyakarta: UII Press.

Yaya, Rizal dkk. 2017. Akuntansi Perbankan Syariah: Teori Dan Praktik
Kontemporer. Jakarta. Salemba Empat

Zulkifli, Sunarto. 2003. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah.


Jakarta: Zikrul Hakim.

310
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Muhammad Noval, SEI., SE., M.Si lulus S1 dari


program studi Ekonomi Islam di Fakultas Syariah
IAIN Antasari Banjarmasin pada tahun 2011 dan S1
program studi akuntansi di Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Pancasetia Banjarmasin pada tahun
2018. Program pascasarjana magister ilmu
akuntansi diselesaikan pada tahun 2013 di
perguruan tinggi Universitas Diponegoro Semarang.

Saat ini aktif sebagai tenaga pengajar tetap di Fakultas Ekonomi


dan Bisnis Islam UIN Antasari Banjarmasin, pernah mengampu
beberapa mata kuliah antara lain: Akuntansi Perbankan Syariah,
Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah, Akuntansi Syariah, Pengantar
Akuntansi, Akuntansi Bank, Pemeriksaan dan Pengawasan Bank,
Analisis Laporan Keuangan Bank Syariah, Akuntansi Manajemen,
Akuntansi Keuangan, Fikih Muamalat, Pasar Uang dan Pasar Modal
Syariah, serta Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank.

Memiliki pengalaman mengajar sebagai pengajar tidak tetap di


beberapa perguruan tinggi lain di wilayah Kalimantan, yaitu IAIN
Palangkaraya, IAI Darussalam Martapura dan Tutor di Universitas
Terbuka Banjarmasin.

Pernah menjadi pengurus dan anggota dari organisasi


Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Kal-Sel, Ikatan Ahli Ekonomi
311
Islam (IAEI) Kal-Sel, Accociation of Lectures for Financial and
Economic Development (ALFED) Kal-Sel, Ikatan Dosen Pasar Modal
Indonesia (IDPMI), Ikatan Cendekiawan Muda Akuntansi (ICMA) dan
Persaudaraan Dosen Republik Indonesia (PDRI) Kal-Sel.

312

Anda mungkin juga menyukai