TINJAUAN PUSTAKA
Kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi
pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Kawasan Konservasi
atau kawasan yang dilindungi ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan berbagai macam kriteria
sesuai dengan kepentingannya.
Tiap negara mempunyai kategori sendiri untuk penetapan kawasan yang dilindungi, dimana
masing-masing negara memiliki tujuan dan perlakuan yang mungkin berbeda-beda. Iistilah hutan
konservasi merujuk pada suatu kawasan hutan yang diproteksi atau dilindungi. Proteksi atau
perlindungan tersebut bertujuan untuk melestarikan hutan dan kehidupan yang ada di dalamnya agar
bisa menjalankan fungsinya secara maksimal.
Indonesia sangatlah kaya akan berbagai sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati
yang terkandung di dalamnya. Sementara itu dalam rangka perlindungan, berbagai kawasan
kemudian ditetapkan sebagai kawasan lindung ataupun kawasan konservasi untuk mengelola
keanekaragaman hat tersebut.
Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi maka tekanan
terhadap sumber daya alam menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan
terhadap sumber daya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kenyataan betapa
pembukaan hutan, kegiatan pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam lainnya dari tahun ke
tahun bukannya menurun, akan tetapi semakin besar.
Ancaman dalam pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya muncul terhadap kawasan-
kawasan yang dianggap sebagai kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan eksploitasi saja,
akan tetapi juga tertuju kepada kawasan-kawasan yang ditetapkan dan ditunjuk sebagai kawasan
lindung ataupun kawasan konservasi.
Ancaman tersebut, disamping disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, juga disebabkan oleh
perusakan langsung, konversi lahan, penangkapan secara berlebihan spesies tertentu ataupun
pengenalan spesies eksotik. Untuk kawasan konservasi di Indonesia, ancaman yang juga besar adalah
kebakaran hutan yang terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 1997-1998 misalnya kebakaran hutan telah
menyebabkan 627.280 hektar lahan terbakar musnah oleh api. Pada tahun 1983, kebakaran tersebut
bahkan pernah mencapai 3,6 juta hektar hutan yang 496.000 hektar diantaranya adalah kawasan
lindung atau kawasan konservasi.
Ancamaman - Ancaman yang muncul tidak terlepas dari peran pemerintah selama ini dalam
mengelola kawasan konservasi. Hal ini disebabkan karena berbagai kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang ada justru memberi legitimasi eksploitasi sumber daya alam secara besar-
besaran, sementara upaya perlindungan dan konservasi bukanlah merupakan prioritas yang setara.
1. Persoalan-persoalan Pengelolaan
A. Persoalan Internal.
a. Sistem Perencanaan
RencanaPengelolaan(RP)
Pengelolaan suatu kawasan konservasi didasarkan pada suatu RP yang berjangka 20-25
tahun, yang diterjemahkan ke dalam Rencana Karya Lima tahun (RKL), dan Rencana Karya
Tahunan (RKT). Persoalan yang pada umumnya muncul adalah sebagian besar kawasan
konservasi belum memiliki rencana pengelolaan tersebut.
Kelemahan dari RP secara eksternal adalah kurangnya proses konsultasi publik, sehingga
banyak pihak tidak memahami apa saja yang akan dikerjakan oleh Balai. Kelemahan kedua
adalah bahwa RKL yang lebih bersifat strategis jangka lima tahun didasarkan pada data dan
informasi yang masih lemah. Isu-isu strategis yang harus dikerjakan belum dapat
diidentifikasi. Kawasan belum ditetapkan zonasinya, batas kawasan masih belum mantap
(batas belum temu gelang, batas digugat pihak lain, pal batas hilang/dipindahkan/dirusak,
dan atau tidak diakui masyarakat). RKL tidak dijadikan dasar RKT dan sebagai dasar dalam
pengusulan anggaran. Kelemahan terdapat di daerah dan di pusat, karena pusat (Bagian
Program Anggaran) tidak (sempat) menganalisis usulan kegiatan UPT berdasarkan pada
dokumen RP, RKL, dan RKT yang sudah ada.
Tata kelola hutan dan lahan mengacu pada proses, mekanisme, aturan dan lembaga untuk
memutuskan bagaimana lahan dan hutan yang dikelola.Pemangku kepentingan yang terlibat
dalam proses ini adalah pemerintah, masyarakat lokal, adat (adat) kelompok, organisasi non-
pemerintah, dan sektor swasta.
Sistem tata kelola hutan dan lahan di Indonesia saat ini mengalokasikan berbagai tanggung
jawab kabupaten, provinsi dan pemerintah nasional untuk aspek perencanaan tata ruang,
konsesi lahan (misalnya untuk kegiatan penebangan dan pertambangan, dan kelapa sawit
dan hutan tanaman), perlindungan lingkungan, dan anggaran untuk pengelolaan
lingkunganKelemahan tata kelola hutan dalam banyak kasus adalah penegakan hukum yang
lemah, termasuk terjadinya tumpang tindih atau ketidakjelasan aturan yang ada, kemampuan
teknis dan peta yang akurat, kepemilikan lahan yang tidak jelas, kurangnya transparansi dan
partisipasi publik.
Perencanaan Tata Ruang
Sistem perizinan dilakukan guna memastikan bahwa kegiatan yang berlangsung di hutan
sesuai dengan lahan yang ditunjuk melalui rencana tata ruang, dan mematuhi undang-
undang lingkungan, peraturan dan kewajiban. Lisensi dan izin mengatur operasi untuk
mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal, dan menghasilkan
pendapatan untuk kegiatan pemerintahSeringkali dua atau lebih lisensi konsesi tumpang
tindih dilokasi lahan yang sama karena peta yang tidak akurat.
Kurangnya koordinasi antar departemen pemerintah dan berbagai tingkat pemerintahan serta
kurangnya transparansi dalam proses perizinan penggunaan lahan menyebabkan pengelolaan
hutan dan lahan menjad tidak maksimal. Sebagai contoh izin konversi lahan sering
dialokasikan tidak tepat, seperti perkebunan kelapa sawit yang diizinkan untuk beroperasi
pada lahan hutan dengan nilai konservasi tinggi.
Pengelolaan Anggaran
Pengelolaan keuangan yang transparan adalah syarat untuk pengelolaan hutan yang baik,
termasuk praktik penyaluran alokasi anggaran yang tepat dan pelaksanaan dan pengumpulan
dana.Lemahnya keterbukaan, transparansi dan praktik penganggaran yang buruk membuka
celah terhadap korupsi dalam perizinan dan perencanaan tata ruang yang menyebabkan
proses amat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan politik pemegang kekuasaan dari
tingkat tinggi hingga tingkat lokal. Tingginya mafia perizinan lahan untuk tujuan mencar
keuntungan akan menyebabkan kerugian dan dampak bagi upaya konservasi dan
perlindungan masyarakat setempat
b. Leadership dan Manajemen
Dasar pemikiran dari kebijakan baru ini sangat sederhana. Terjadinya illegal logging,
perambahan kawasan, perburuan satwa, dan kebakaran hutan dan lahan, disebabkan karena
”absennya kehadiran staf di lapangan”. Jadi illegal logging, perambahan kawasan, perburuan
satwa, dan kebakaran lahan dan hutan hanya merupakan ”sympton” atau gejala. Penyakit
atau core problemnya adalah ”kawasan tidak dijaga”, atau tidak dikelola di tingkat lapangan.
Strategi penjagaan kawasan tentunya tidak akan pernah berhasil bila dilakukan secara
sepihak, karena jelas bahwa SDM, dana, dan sarana/prasarana tidak akan pernah mencukupi
sampai kapanpun. Oleh karena itu, strategi baru yang dikembangkan adalah ”kolaborasi”
multipihak. Arahan kebijakan ini telah dituangkan dalam Permenhut P.19/2004 tentang
”Kolaborasi Pengelolaan KPA/KSA. Diperlukan waktu 24 tahun (apabila dihitung dari
deklarasi 5 taman nasional pertama pada tahun 1980), untuk mendorong pola-pola baru
dalam pengelolaan kawasan konservasi, yang lebih inklusif dengan melibatkan para pihak.
B. Persoalan Eksternal
Dalam rentang waktu 38 tahun pembangunan nasional Indonesia, telah merubah wajah
ruang dan lahan, di hampir seluruh pulau kecuali Papua. Perubahan tutupan lahan di
Sumatera yang didominasi oleh sawit, HTI, dan kawasan terbuka open access, akan
berdampak langsung pada pola-pola tekanan ke dalam kawasan konservasi. Kawasan
konservasi menjadi lebih terbuka, mudah dijangkau, terpotong-potong (fragmented) karena
kepentingan pembangunan ruas jalan HPH, jalan tambang, jalan HTI, jalan transmigrasi,
perluasan kabupaten/kota,dan seterusnya.
Kabupaten dan atau provinsi baru akan mendorong investasi yang cepat saji. Pada
umumnya, investasi perkebunan terutama sawit menjadi pilihan pertama, diikuti dengan
pertambangan baik yang terbuka dan tertutup. Muncullah tumpang tindih perijinan antara
kebun dengan HPH/HTI, tambang dengan HPH.HTI, dan seterusnya. Dalam kondisi
kompetisi ini, peran kawasan konservasi terus dipertanyakan. Perebutan atau lebih tepatnya
penyerobotan ruang atau kawasan konservasi untuk perambahan dengan motif ekonomi
telah lama terjadi .
c. Sinergitas Kemitraan
Dari luasan kawasan hutan yang ada saat ini, sebagian berstatus hutan konservasi dengan luas
27.429.555,993 Yang terbagi kedalam 556 unit kawasan konservasi (KSA dan KPA), dimana seluas
5,32 juta hektar merupakan kawasan konservasi perairan atau sekitar 21%. Kawasan konservasi ini
berada pada kawasan hutan yang mewakili seluruh tipe ekosistem yang ada di wilayah Nusantara,
mulai dari ekosistem hutan hujan pegunungan tinggi, hutan hujan pegunungan rendah, hutan hujan
dataran rendah, hutan kerangas, hutan rawa, hutan gambut, karst, savana, hutan bakau, hutan pantai,
gumuk pasir, padang lamun, ekosistem terumbu karang, ekosistem danau air tawar. Dan sebanyak
6.381 desa berada di sekitar kawasan konservasi 4 (Ditjen KSDAE, 2018). Dengan itu pengelolaan
kawasan konservasi yang baik akan menghasilkan peluang yang bermanfaat bagi kesejateraan
masyarakat. Beberapa Peluang – Peluang tersebut meliputi :
A. Peluang Ekonomi
Potensi ekonomi kawasan konservasi dapat memberikan efek langsung terhadap peningkatan
kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia, utamanya masyarakat sekitar. Saat ini Kementerian
LHK mengepankan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dan mendukung kesejahteraan
masyarakat di kawasan konservasi melalui pemanfaatan jasa lingkungan seperti, obyek dan daya
tarik wisata alam (ODTWA), air, geothermal, dan karbon.Pemanfaatan potensi ekonomi kawasan
konservasi juga memberikan efek langsung terhadap peningkatan kesejahteraan dan mutu
kehidupan manusia.
Konservasi adalah pengelolaan biosfer secara aktif yang bertujuan untuk menjaga
kelangsungan keanekaragaman flora dan fauna dan pemeliharaan keragaman genetik di dalam
suatu spesies, termasuk juga pemeliharaan fungsi biosfer seperti ekosistem. Dalam
pengelolaannya kawasan hutan konservasi dibagi ke dalam 2 kategori yakni: Kawasan Suaka Alam,
dan Kawasan Pelestarian Alam. Sementara perlindungan jenis satwa dan tumbuhan liar dibagi ke da-
lam kategori jenis yang dilindungi dan jenis yang tidak dilindungi .
Pada pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seperti pada pengelolaan taman na-
sional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah. Untuk kegiatan
kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona peman-
faatan taman nasional, atau atas blok pemanfaatan di taman hutan raya dan taman wisata alam
dengan mengikut sertakan rakyat.
. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan
dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
Dengan menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan. Yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran