Anda di halaman 1dari 73

131

PL IV
PENUANGAN LOGAM DAN INSPEKSI

4.1 Tujuan
1. Praktikan mengetahui dan memahami pengecoran logam
2. Praktikan mengetahui dan memahami macam cacat coran dan inspeksi
3. Praktikan mampu melakukan inspeksi dan menganalisis hasil coran

4.2 Dasar Teori


4.2.1 Pengecoran Logam
Pengecoran logam adalah salah satu teknik pembuatan produk dimana logam dicairkan
dalam tungku peleburan kemudian dituangkan ke dalam rongga cetakan yang serupa dengan
bentuk asli dari produk cor yang akan dibuat. Sebagai suatu proses manufaktur yang
menggunakan logam cair dan cetakan, pengecoran digunakan untuk menghasilkan bentuk
asli produk jadi. Kelebihan pengecoran logam jika dibandingkan proses manufaktur yang
lain adalah:
1. Dapat menghasilkan bentuk yang rumit, baik bentuk dibagian luar maupun bagian dalam,
sehingga proses permesinan, pembentukan atau pengelasan dapat dikurangi atau
dihilangkan.
2. Karena sifat metalurginya, beberapa jenis logam hanya bisa dibentuk dengan proses
pengecoran karena sulit dibentuk dengan proses manufaktur yang lain.
3. Konstruksi dapat disederhanakan. Objek dapat di cor sekaligus sedangkan jika
menggunakan proses manufaktur lain akan ada pengerjaan perbagian. Sehingga pada
pengecoran tidak perlu adanya penyambungan perbagian.
4. Proses pengecoran logam memungkinkan untuk membuat benda dengan jumlah banyak
atau produksi masal karena prosesnya sangat cepat.
5. Benda yang besar dan berat bisa di produksi dengan proses pengecoran disaat tidak bisa
diproduksi dengan proses lain atau dari segi ekonomi. Contohnya rumah pompa besar,
katup, unit pembakit hidroelektrik yang beratnya bisa mencapai 200 ton.
6. Beberapa sifat mekanik bisa diperoleh dari proses pengecoran logam. Contohnya:
a. Kemampumesinan dan kapasitas peredaman getaran pada besi cor.
b. Kekuatan dan keringanan pada logam paduan ringan tertentu hanya bisa diproduksi
dengan pengecoran.
c. Lebih banyak sifat yang seragam dari sudut pandang direksional.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
132

d. Bearing dengan kualitas bagus didapatkan dari bearing logam cor.


7. Keuntungan segi ekonomi dapat diraih dengan cara melakukan kombinasi poin 1 - 6.
(Sumber: Heine, 1976:1)

Gambar 4.1 Diagram alir proses sand mold casting


Sumber : Kalpakjian (2009 : 262)

Dalam pengecoran logam, dibagi menjadi dua berdasarkan pada cetakan pengecoran,
yaitu :
1. Expandable Mold Casting
Expandable mold casting adalah teknik pengecoran logam yang cetakannya hanya
dapat digunakan satu kali saja. Cetakan ini biasanya terbuat dari pasir, plaster, keramik,
dan bahan semacamnya yang biasanya dicampur dengan pengikat yang bervariasi.. Cara
pembuatan cetakan ini yaitu dengan menggunakan pola, baik pola permanen atau pola
yang hanya bisa dipakai sekali saja. (Kalpakjian, 2009:259)
Macam – macamnya yaitu:
a. Sand Casting
Pada dasarnya, sand casting terdiri dari penempatan pola pada pasir untuk
mendapatkan jejak, memasukkan gating system, memindahkan pola dan mengisi
rongga dalam cetakan dengan logam cair, membiarkan logam tadi sampai dingin dan
memadat, mengeluarkan cetakan pasirnya, dan memindahkan benda coran.
(Kalpakjian, 2009:262). Cetakan pasir khusus mengandung 90% pasir, 7% pengikat,
dan 3% air. (Kalpakjian, 2009:259)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
133

Gambar 4.2 Tahapan Membuat Cetakan Pasir


Sumber: Kalpakjian (2009 : 267)

Kelebihan :
- Dapat dipakai untuk mengecor banyak jenis logam.
- Tidak ada batasan untuk ukuran, bentuk, ataupun berat dari tiap bagian.
- Harga peralatan yang murah
Kekurangan :
- Membutuhkan tahap finishing
- Secara relatif menghasilkan permukaan yang kasar
- Toleransi yang besar (Kalpakjian, 2009:259)
b. Investment Casting
Disebut juga dengan lost-wax process, merupakan cara pengecoran khusus
dimana pola benda kerja dibuat dari lilin. Biasanya digunakan untuk membuat
komponen pada mesin seperti gear, roda gigi searah, katup, dan lain-lain. Langkah
kerjanya adalah sebagai berikut :
 Pembuatan pola yang terbuat dari bahan lilin atau plastic seperti polystyrene.
 Kemudian cetakan dicelupkan ke dalam material tahan panas yang berbentuk
bubur , seperti silica yang sangat halus dan pengikat, termasuk air, ethyl silicate,
dan asam.
 Setelah kering, pola ini dilapisi kembali untuk meningkatkan ketebalannya agar
kekuatannya meningkat.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
134

 Kemudian cetakan diisi dengan logam cair dan dibiarkan sampai dingin
 Setelah dingin, cetakan keramik akan dihancurkan dan benda coran bisa diambil
(Sumber: Kalpakjian, 2009:273)
Kelebihan :
- Bisa untuk bentuk yang rumit
- Permukaan yang dihasilkan halus dan akurat
Kekurangan :
- Ukuran benda cor yang terbatas
- Harga pola dan cetakan yang mahal
- Butuh tenaga yang profesional
(Sumber: Kalpakjian, 2009:259)

Gambar 4.3 Tahapan proses investment casting


Sumber: Kalpakjian (2009 : 273)

c. Evaporative Pattern Casting


Metode ini juga dikenal dengan nama lost foam process. Evaporative pattern
casting menggunakan bahan polyesterene yang digunakan sebagai pola, yang akan
menguap setelah bersentuhan dengan logam cair untuk membentuk rongga
pengecoran, proses inilah yang disebut lost foam casting. Pada proses ini butiran
polyesterene yang mengandung 5% sampai 8% pentane yang ditempatkan pada pola
yang telah dipanaskan, yang biasanya terbuat dari alumunium. Polyesterene
mengembang dan mengikuti bentuk rongga pola. Tambahan panas diberikan untuk
menyatukan dan mengikat butirannya. Polanya kemudian didinginkan dan dibuka,
dan pola polyesterene dilepaskan. (Kalpakjian, 2009:270)
Kelebihan :
- Bisa untuk mengecor banyak jenis logam

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
135

- Tidak ada batasan ukuran


- Bisa untuk mengecor benda dengan desain yang rumit
Kekurangan :
- Kekuatan pola kurang bagus
- Membutuhkan biaya yang tinggi untuk kuantitas yang kecil
(Sumber: Kalpakjian, 2009:259)

Gambar 4.4 Evaporate casting


Sumber: Kalpakjian (2009 : 271)

2. Permanent Mold Casting


Merupakan proses pengecoran logam dengan cetakan permanen. Cetakan permanen
memiliki beberapa keuntungan di antaranya dapat digunakan pada skala produksi massal
sehingga biaya produksi dapat diminimalisir dan cetakan permanen memiliki keuntungan
toleransi dimensi yang baik, yang termasuk dalam multiple mold casting yaitu:
a. Die Casting (Cetak Tekan)
Merupakan proses pengecoran dengan cetakan permanen, dimana logam cair
diinjeksikan ke dalam rongga cetakan dengan tekanan tinggi. Tekanan yang digunakan
yaitu sebesar 7-350 MPa (1015-50.763 lb/in2). Tekanan dipertahankan selama proses
solidifikasi, kemudian cetakan dibuka dan benda kerja dilepas. Penggunaan tekanan
tinggi untuk penginjeksian logam cair adalah yang menjadi perbedaan proses ini
dengan yang lain. (Groover, 2010:239)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
136

Gambar 4.5 (a) Hot chamber (b) Cold chamber


Sumber : Groover (2010 : 240)

1. Mesin Cetak Tekan Ruang Panas (Hot Chamber)


Pada mesin ini, logam dicairkan pada tungku peleburan yang terdapat pada
mesin dan piston digunakan untuk menginjeksikan logam cair dengan tekanan
tinggi ke dalam cetakan seperti pada gambar 4.5 (a). Tekanan injeksi berkisar antara
7-35 MPa. Mesin ini digunakan untuk logam cor dengan titik lebur rendah seperti
Sn, Pb, Mg, dan Zn. (Groover, 2010:239)
Kelebihan :
- Produksi masal cepat
- Tekanan yang diberikan rendah
- Kemungkinan cacat lebih kecil dibanding cold chamber
Kekurangan :
- Perencanaan sulit, dikarenakan harus mempertimbangkan tekanan di suhu yang
tinggi
- Hanya material dengan titik lebur yang rendah yang bisa dijadikan sebagai
material
2. Mesin Cetak Ruang Dingin (Cold Chamber)
Pada mesin ini, tungku peleburannya terpisah dan piston injeksi diisi logam
cair secara manual atau mekanis seperti yang terlihat pada gambar 4.5 (b). Tekanan
injeksinya berkisar antara 14-140 Mpa. Biasanya digunakan untuk mengecor
alumunium, kuningan, dan logam paduan magnesium. Produksi lebih lambat
dibanding Hot Chamber karena dibutuhkan waktu untuk menuangkan logam cair
secara manual. (Groove, 2010:241)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
137

Kelebihan :
- Bisa digunakan untuk material dengan titik lebur tinggi maupun rendah. (lebih
cocok untuk material dengan titik lebur tinggi)
- Produksi masal cepat
Kekurangan :
- Karena fasa solid solution daya yang dibutuhkan besar.
- Material cetakan tidak memiliki porositas, sehingga perlu dibuat lubang
ventilasi.
- Dibutuhkan proses finishing karena adanya logam yang masuk ke dalam lubang
ventilasi.

Tabel 4.1
Perbedaan antara mesin cetak tekan ruang panas dan ruang dingin
Mesin cetak tekan ruang panas Mesin cetak tekan ruang dingin
 Tungku peleburan terdapat di  Tungku peleburan terpisah,
mesin dan silinder injeksi silinder injeksi di isi logam cair
terendam dalam logam cair. secara manual atau mekanis.
 Tekanan injeksi berkisar  Tekanan injeksi berkisar antara
antara 15 Mpa. 20-70 Mpa.
 Digunakan untuk logam cair  Digunakan untuk logam cair
dengan titik lebur rendah dengan titik lebur lebih tinggi
seperti Sn, Pb, Zn. daripada Hot Chamber seperti
Al.
 Laju produksi cepat, bisa  Laju produksi lebih lambat
mencapai 900 produk/jam. dibanding Hot Chamber.
 Titik pemanasan lebih rendah  Titik pemanasan lebih tinggi

b. Pengecoran Sentrifugal
Dalam pengecoran ini logam cair dituangkan ke dalam cetakan yang berputar
dengan kecepaan tinggi, sehingga menghasilkan gaya sentrifugal. Gaya tersebut
menyebabkan logam cair menyebarke bagian luar ronga cetakan. (Groove, 2010:242)
Terdapat tiga jenis centrifugal casting, antara lain:

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
138

1. True Centrifugal Casting


Pada metode ini logam cair dituangkan ke dalam cetakan yang berputar untuk
membuat benda kerja yang berbentuk silinder seperti pipa, tabung, dan bos. Bentuk
luar dari hasil coran bisa berupa lingkaran, segi delapan, segi enam, dan seterusnya.
Namun bentuk bagian dalam secara teoritis berupa lingkaran sempuran karena gaya
radial yang simetris
Kelebihan :
- Tingkat resiko kecelakaan kecil
- Produksi memerlukan waktu yang cukup cepat
Kekurangan :
- Hanya dapat membentuk tabular saja dan tidak cocok untuk produksi massal

Gambar 4.6 Proses pengecoran true centrifugal


Sumber : Kalpakjian (2009 : 282)

2. Semi centrifugal Casting


Dalam semi centrifugal casting, gaya sentrifugal digunakan untuk
menghasilkan hasil coran solid, daripada bentuk tubular. Cetakan didesain dengan
adanya riser di bagian tengah untuk menyuplai bahan logam. Kecepatan rotasi
biasanya lebih pelan dari true centrifugal casting, densitas logam pada hasil akhir
lebih besar pada bagian luar daripada bagian tengah rotasi seperti yang terlihat pada
gambar 4.7. (Groove, 2010:245)
Kelebihan :
- Produksi memerlukan waktu yang cukup cepat
- Benda coran memiliki densitas yang tinggi
Kekurangan :
- Biaya peralatan yang cukup mahal
- Kemungkinan logam cair keluar dari pouring basin cukup tinggi

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
139

Gambar 4.7 Proses pengecoran semicentrifugal


Sumber : (Kalpakjian, 2009 : 283)

3. Pengecoran Centrifuging
Dalam pengecoran centrifuging, rongga cetakan ditempatkan pada jarak
tertentu dari sumbu putaran. Cairan logam dituang dari pusat cetakan dan didorong
ke cetakan oleh gaya sentrifugal seperti yang terlihat pada gambar 4.8. (Kalpakjian,
2009:283)
Kelebihan :
- Produksi memerlukan waktu yang cukup cepat
- Sangat cocok untuk produksi massal
Kekurangan :
- Kemungkinan rongga cetakan tidak terisi loam cair sangat besar

Gambar 4.8 Proses pengecoran centrifuging


Sumber : Kalpakjian (2009 : 283)

c. Squeeze Casting
Metode ini melibatkan solidifikasi logam cair pada tekanan tinggi. Produk yang
dibuat yaitu komponen otomotif dan bodi mortir. Mesinnya terdiri dari cetakan,

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
140

pendorong, dan pin ejector. Tekanan dari pendorong menjaga gas yang terjebak untuk
tetap berada di larutan, dan kontak dalam tekanan tinggi pada permukaan cetakan
logam mendorong terjadinya perpindahan panas yang cepat, itu menghasilkan
mikrostruktur yang halus dengan sufat mekanik yang bagus. (Kalpakjian, 2009:284)
Kelebihan :
- Kekuatan lebih tinggi dan arah orientasi butir seragam
- Proses pengerjaan cukup cepat
Kekurangan :
- Hanya dapat membuat satu bentuk dan bentuk tidak bisa rumit
- Daya yang dibutuhkan besar
- Tidak cocok untuk produksi massal

Gambar 4.9 Squeeze casting


Sumber : Kalpakjian (2009 : 283)

4.2.2 Peleburan
Peleburan adalah proses yang menghasilkan perubahan fase zat dari padat ke cair.
Energi internal zat padat meningkat (biasanya karena panas) mencapai temperature tertentu
(disebut titik leleh) saat zat ini berubah cair.
A. Hidrogen Solubility
Hal lain yang mempengaruhi fluiditas logam cair adalah endapan gas, gas sering
mengendap sebagai unsur tunggal yaitu hidrogen yang menunjukkan kelarutan dalam
banyak logam paduan cor. Apabila logam dipanaskan melebihi suhu titik lebur
(superheating), hal ini dapat mengakibatkan semakin banyak hidrogen yang terlarut
dalam logam cair.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
141

Gambar 4.10 Grafik pengaruh suhu terhadap kelarutan hidrogen dalam alumunium
Sumber : Beeley (2001: 256)

B. Tungku Peleburan
Tungku peleburan yang biasanya digunakan dalam industri pengecoran logam
antara lain, dapur kruz, dapur induksi, dan dapur listrik. Karakteristik masing masing
tungku peleburan adalah :
1. Crucible Furnace
Crucible Furnace sudah digunakan dimana-mana sepanjang sejarah, yang
dipanaskan dengan bahan bakar yang bermacam-macam seperti bahan bakar fosil,
bahan bakar minyak, begitu juga dengan energy listrik. Crucible furnace ada yang
stationary (tidak dapat dipindah), posisi miring, atau portable. (Kalpakjian,
2009:288)
 Coke-fired Furnace
Tungku yang dipicu kokas biasanya digunakan untuk melelehkan logam non
ferrous, seperti kuningan, perunggu dan aluminium dikarenakan biaya instalasi
yang rendah, biaya bahan yang rendah dan mudah dalam pengoperasiannya.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
142

Gambar 4.11 Coke-fired furnace


Sumber : Jain (1976 : 147)

 Oil and Gas-fired Furnace


Tungku pembakaran gas memanfaatkan minyak atau gas sebagai bahan bakar
untuk memanaskan wadah.

Gambar 4.12 Oil and gas-fired furnace


Sumber : Jain (1976 : 148)

2. Dapur Induksi
Dapur induksi menggunakan arus bolak-balik yang melewati coil untuk
menciptakan medan magnet pada logam, sehingga arus yang diinduksi
menyebabkan panas yang cepat dan melebur logam.
Karakteristik dapur induksi :
 Digunakan untuk pengecoran kecil karena kapasitas peleburan terbatas
 Memiliki kemampuan mengatur komposisi peleburan secara kecil

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
143

 Biasa digunakan untuk pengecoran non-ferrous


Jenis dapur ini biasanya digunakan untuk peleburan aluminium atau jenis logam-
logam non-ferrous lainnya, menggunakan frekuensi tinggi hal ini karena dapur ini
menggunakan komponen medan magnet. Energi listrik yang dibutuhkan untuk
menyuplai kumparan berkisar antara 5 sampai 1.000 kW untuk frekuensi 10.000
Hz sedangkan untuk tipe induction furnace dengan frekuensi rendah energi listrik yang
dibutuhkan berkisar antara 50-500 kWh dengan frekuensi 1.000 Hz dengan kapasitas
200 sampai 5.000 lb aluminium atau paduan aluminium Dapur induksi dibagi menjadi
dua jenis sesuai dengan konstruksinya, yaitu:
a. Tanur Induksi Frekuensi Rendah
Untuk mencairkan besi cor dipergunakan dua tipe tanur listrik, yaitu
pertama adalah tanur induksi dan kedua adalah tanur busur listrik. Dari jenis
yang pertama, tanur yang terutama banyak digunakan adalah tanur induksi
frekuensi rendah disebabkan tanur ini murah dan mudah. (Surdia dan Chijiwa,
1980;145).

Gambar 4.13 Dapur induksi frekuensi rendah kruz


Sumber : Surdia dan Chijiwa (2013 : 146)

b. Tanur Induksi Jenis Krus


Juk yang terdiri dari plat berlapis banyak, berfungsi untuk memusatkan
fluks magnet dan menahan lilitan. Keuntungan dari jenis flux adalah
konstruksinya sederhana, bata tahan api bersifat asam yang murah, tetapi
efisiensi tanur ini lebih rendah dari tanur jenis saluran.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
144

Kalau pencairan dimulai, tanur ini memerlukan ingot yang besar (blok
mula) atau cairan besi. Bagian atas dari tanur ini terbuka lebar sehingga
pengisian mudah di lakukan. Tanur ini cocok untuk mencairkan logam dari
mulai temperatur kamar. (Surdia dan Chijiwa, 1980; 146).

Gambar 4.14 Dapur induksi frekuensi tinggi saluran


Sumber : Surdia dan Chijiwa (2013 : 147)

c. Tanur Induksi Jenis Saluran


Ruangan tanur dibagi menjadi dua daerah, daerah pernanasan dan
daerah krus. Pada pokoknya, lilitan sekitar inti adalah lilitan pertama dan
logam di dalam saluran merupakan lilitan kedua.
Tanur jenis saluran mengambil tenaga listrik sedikit, tetapi memerlukan
bahan tahan api yang netral berkualitas tinggi. Tanur cocok untuk peleburan
yang kontinu dan logam cair dapat dikeluarkan dengan sudut kemiringan
yang kecil.

Gambar 4.15 Tanur induksi jenis saluran


Sumber : Surdia dan Chijiwa (2013 : 148)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
145

3. Dapur Busur Listrik


Dapur listrik merupakan jenis dapur dimana bahan baku dilebur dengan
panas yang dihasilkan dari suatu busur listrik. Biasanya dapur listrik
menggunakan 2 atau 3 elektroda dan biasanya digunakan untuk pengecoran baja.
Material logam dapat mencair karena adanya elektroda yang dihubungkan
dengan rangkaian listrik (electrical circuit) yang akan membentuk suatu busur
api yang akan mencairkan logam. Electrical-arc furnace (dapur listrik)
menggunakan 3 elektroda sesuai jumlah fase yang digunakan, arus bolak–balik 3
fase. Dapur listrik memiliki lapisan baja berbentuk silinder dengan landasan
berbentuk lengkung atau datar yang ditopang rol penahan yang memungkinkan
tanur untuk dimiringkan.

Karakteristik dari dapur listrik :


a. Laju peleburan tinggi sehingga laju produksinya tinggi
b. Polusi yang ditimbulkan lebih rendah dibandingkan tungku lainnya
c. Memiliki kemampuan menahan logam cair pada temperatur tertentu untuk
jangka waktu yang lama.

Gambar 4.16 Tanur Listrik Heroult


Sumber : Surdia dan Chijiwa (1980 : 164)

4. Open-Hearth Furnace
Pada tungku jenis ini, prosesnya didasarkan pada prinsip pemanasan
regeneratif dan memperoleh suhu sangat tinggi yang diperlukan untuk

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
146

pemanasan dari bahan bakar gas dan udara yang dibawa melalui saluran yang
berada di bawah menuju tempat logam yang ingin dilebur.

Gambar 4.17 Open-Hearth Furnace


Sumber : Jain (1999 : 149)

5. Air Furnace
Tungku ini bekerja pada prinsip reverberatory. Tungku ini terbentuk dari
refractory bricks di mana pasir cetak menyatu untuk membentuk permukaan
yang keras. Bahan bakar yang umumnya digunakan adalah batu bara bubuk.
Perbedaannya dengan open hearted furnace adalah tungku ini tidak
menggunakan prinsip regeneratif. (utk logam non ferro)

Gambar 4.18 Air Furnace


Sumber : Jain (1999 : 150)

6. Cupola Furnace
Tungku ini terbuat dari lapisan baja vertikal setebal 6-12 mm yang dilapisi
bahan refraktori disepanjangnya. Linning biasanya semakin kebawah semakin

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
147

tebal. Tungku ini menggunakan conveyor untuk memasukkan logam


kedalamnya. Bahan bakar yang digunakan adalah batu bara.

Gambar 4.19 Cupola Furnace


Sumber : Jain (1999 : 151)

4.2.3 Solidifikasi
Secara umum solidifikasi sebuah logam atau paduan logam dibagi menjadi langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Pembentukan inti yang stabil di dalam cairan logam (pengintian)
2. Pertumbuhan inti menjadi kristal dan pembentukan struktur butir.
(Smith, 1993:121)

Gambar 4.20 Proses solidifikasi


Sumber: Smith (1993 : 122)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
148

Tabel 4.2
Nilai dari Suatu Pembekuan (suhu Cair, Panas Fusi, Energi Permukaan Maksimum
Undercooling untuk 7 Logam)
Freezing temp. Heat of Surface Maximum
Metal °C K Fusion Enegy Undercooling,
(J/cm3) (J/cm2) Observed, ΔT
(°C)
Pb 327 600 280 33,3 x 10-7 80
Al 660 933 1066 93 x 10-7 130
Ag 962 1235 1097 126 x 10-7 227
Cu 1083 1356 1826 177 x 10-7 236
Ni 1453 1726 2660 255 x 10-7 319
Fe 1535 1808 2098 204 x 10-7 295
Pt 1772 2045 2160 240 x 10-7 332
Sumber : Smith (1993: p.123)

Proses Solidifikasi:
1. Tahapan dalam Pembekuan Logam (Solidifikasi)
Terdapat 2 mekanisme pengintian dari partikel padat dalam logam cair :
a. Pengintian homogen
Pengintian dalam suatu logam cair terjadi saat logam menyediakan atom-atom
untuk membentuk inti. Pengintian homogen ini terjadi pada logam murni, contohnya
saat logam murni cair didinginkan dibawah suhu pembekuannya beberapa derajat, inti-
inti homogen sangat banyak terbentuk karena atom-atom yang bergerak lambat
membuat inti bersama. Pengintian homogen biasanya membutuhkan suhu
undercooling sekitar beberapa ratus derajat untuk beberapa logam. Suhu undercooling
adalah suhu beberapa derajat dibawah suhu cair. (Smith, 1993:123)
b. Pengintian Heterogen (Heterogeneous Nucleation)
Proses pengintian yang sama dengan proses pengintian homogen, hanya saja
pengintian terjadi dalam logam cair yang berada pada permukaan cetakan atau logam
cair yang tidak murni seperti logam paduan. Pengintian heterogen ini banyak terjadi
pada proses industri pengecoran yang mana tidak ada undercooling yang besar dan
biasanya berkisar 0.1 hingga 10˚C terhadap titik cair. (Smith, 1993:127)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
149

2. Pembentukan Kristal dalam Logam Cair dan Pembentukan Struktur Butir


Setelah inti yang stabil terbentuk pada logam yang sedang memadat, kemudian inti
tumbuh menjadi kristal. Pada setiap kristal atom berjajar beraturan, sedangkan arah
barisan berbeda antara satu kristal dengan yang lainnya. Saat pembekuan total terjadi,
antara kristal saling bertemu membentuk batas butir (grain boundaries) dan butiran
(grains). (Smith, 1993:128)
3. Macam-Macam Solidifikasi
A. Solidifikasi Logam Murni

Gambar 4.21 Solidifikasi Logam Murni


Sumber: Jain (1964 : 180)

Gambar 4.17 diatas menjelaskan grafik perubahan fase dari suatu logam dari fase
padat menjadi fase cair. Penjelasan tiap titik akan dijelaskan sebagai berikut:
- Titik 1 ke 2
Terjadi penurunan suhu akibat perbedaan temperatur logam cair disebut kalor
sensibel karena hanya terjadi penurunan suhu saja sampai titik 2 tanpa terjadi
perubahan fase dalam hal ini fasenya tetap logam cair.
- Titik 2 ke 3
Pada titik 2 dimulainya proses perubahan fase dari liquid ke solid sampai
mencapai titik 3 tetapi tanpa penurunan temperatur (kalor laten). Pada titik 3
keseluruhan logam cair telah menjadi solid dan ini adalah titik akhir pembekuan.
- Titik 3 ke 4

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
150

Terjadi penurunan suhu dari titik 3 hingga titik 4. Logam sudah berbentuk padat
(solid) dari titik 3. Pada titik 4 suhu logam padat sudah sama dengan suhu
lingkungan luarnya. Kalor yang terjadi adalah kalor sensibel.
B. Solidifikasi Logam Paduan
Logam paduan umumnya membeku pada daerah temperatur tertentu, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 4.22 dibawah ini.

Gambar 4.22 Solidifikasi Logam Paduan


Sumber : Jain (1964 : 127)

Garis awal terjadinya pembekuan disebut garis liquidus dan garis akhir
pembekuan disebut garis solidus. Suatu paduan dengan komposisi tertentu bila
didinginkan dalam waktu yang sangat lama, maka pembekuannya akan terjadi saat
mencapai garis liquidus dan pembekuan berakhir pada saat mencapai garis solidus,
setelah itu pendinginan akan berlangsung terus hingga mencapai temperatur ruangan.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
151

4. Daerah Pembekuan

Gambar 4.23 Chill, Columnar, dan Equiaxed Zone


Sumber : Kalpakjian (2006 : 239)

A. Chill Zone
Dapat dilihat pada gambar 4.18. Selama proses penuangan logam cair kedalam
cetakan, logam cair yang berkontak langsung dengan dinding cetakan akan mengalami
pendinginan yang cepat dibawah temperatur liquid-nya. Akibatnya, pada dinding
cetakan tersebut timbul banyak inti padat dan selanjutnya tumbuh kearah logam cair.
Bila temperatur penuangan rendah maka seluruh bagian logam cair akan membeku
secara cepat dibawah temperatur liquidus. Dan bila temperatur penuangan tinggi
cairan logam yang berada ditengah-tengah logam cair akan tetap berasa diatas
temperatur liquidus untuk jangka waktu yang lama.
B. Columnar Zone
Sesaat setelah penuangan, gradien temperatur pada dinding cetakan menurun dan
kristal pada daerah chill tumbuh memanjang. Kristal-kristal tersebut tumbuh
memanjang berlawanan dengan arah perpindahan panas (panas bergerak dari cairan
logam ke arah dinding cetakan yang temperaturnya lebih rendah) yang disebut dengan
dendrit. Setiap kristal dendrit mengandung banyak logam-logam dendrit (primary
dendrit). Jika fraksi volume padatan (dendrit) meningkat dengan meningkatnya

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
152

panjang dendrit dan jika struktur yang terbentuk berfase tunggal, maka lengan-lengan
dendrit sekunder dan tertier akan timbul dari lengan dendrit primer.
C. Equiaxed Zone
Daerah ini terdiri dari butir-butir equiaxial yang tumbuh secara acak ditengah-
tengah logam cair. Pada daerah ini perbedaan temperatur yang ada tidak menyebabkan
terjadinya pertumbuhan butir memanjang.

4.2.4 Fluiditas
a. Definisi Fluiditas
Fluiditas adalah kemampuan suatu logam cair untuk mengalir masuk ke dalam
rongga cetakan sebelum membeku. Fluiditas yang rendah akan menyebabkan cacat pada
produk. Untuk menghasilkan coran yang lebih baik, hendaknya kecepatan penuangan
harus konstan. Prinsip-prinsip ini mungkin dapat digunakan untuk memperkirakan
kecepatan aliran. Faktor-Faktor yang mempengaruhi fluiditas :
1. Viskositas
Viskositas adalah sebuah ukuran kapasitas cairan untuk mentransmisikan
tegangan geser dinamis (viskositas dinamis). Viskositas juga dapat didefinisikan
sebagai gaya yang diperlukan untuk memindahkan sebuah permukaan paralel pada
unit jarak. Jadi, semakin tinggi viskositasnya maka fluiditas akan menurun dan
sebaliknya bila viskositas rendah maka fluiditas akan meningkat.
2. Temperatur Penuangan
Temperatur penuangan secara teoritis sama atau diatas garis liquidus. Jika
lebih rendah, kemungkinan besar terjadi solidifikasi dalam sistem rongga.
3. Komposisi logam
Yang memiliki fluiditas paling tinggi adalah logam murni, dan yang memiliki
fluiditas rendah adlah logam paduan, dikarenakan adanya kristal bebas dalam logam
cair pada ujung dari aliran logam cair yang dapat mengakibatkan terhentinya aliran
permukaan cetakan
Semakin kasar permukaan dari cetakan maka fluiditasnya juga akan menurun.
Begitu juga sebaliknya, semakin halus permukaan dari cetakan maka fluditasnya
juga akan meningkat.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
153

4. Permukaan Cetakan
Semakin kasar permukaan dari cetakan maka fluiditasnya juga akan menurun.
Begitu juga sebaliknya, semakin halus permukaan dari cetakan maka fluiditasnya
juga akan meningkat
5. Superheating
Superheating adalah pemanasan lanjut atau penambahan temperatur di atas
temperatur cair suatu logam tanpa merubah fase dari suatu logam cair tersebut.
Semakin besar penambahan temperatur maka fluiditas semakin memingkat, karena
waktu yang dibutuhkan untuk kemabli ke fase padat semakin lambat.
Perpindahan fase dapat dilihat pada gambar 4.24 di bawah ini.

Gambar 4.24 Superheating


Sumber: Beeley (2001 : 18)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
154

6. Mode Pembekuan
A. Mode Pembekuan Plane Interface Mode

Gambar 4.25 Mode Pembekuan Plane Interface Mode


Sumber: Beeley (2001 : 21)

Cairan memasuki saluran dan pembentukan butir-butir kolom dengan aliran halus
dimulai.
a. Butir kolom terus tumbuh ke arah hulu.
b. Penyumbatan mulai terjadi.
c. Sisa pengecoran membeku dengan pertumbuhan butir yang cepat.
B. Mode Pembekuan Jagged Interface Mode

Gambar 4.26 Mode Pembekuan Jagged Interface Mode


Sumber: Beeley (2001 : 21)

a. Cairan memasuki saluran dan pembentukan butir-butir kolom bergerak padat


cair dimulai.
b. Butir-butir kolom terus tumbuh dan pembentukan inti terjadi diujung.
c. Penyumbatan terjadi dipintu masuk aliran, meski penampang belum
sepenuhnya padat.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
155

d. Sisa pengecoran membeku dan pembentukan rongga penyusutan terjadi di


ujung.
C. Mode Pembekuan Independent Crystallitation Mode

Gambar 4.27 Mode Pembekuan Independent Crystallitation Mode


Sumber : Beeley (2001 : 21)

a. Cairan memenuhi saluran dan pembentukan butir-butir kolom dimulai dan


butiran-butiran halus membentuk atom.
b. Butiran halus tumbuh pesat saat aliran terjadi.
c. Aliran terhenti saat konsentrasi kritis dan butiran halus terjadi di ujung.

d. Sisa pengecoran membeku dan penyusutan kecil terdistribusi.

7. Thermal Properties
Salah satu faktor yang disebabkan oleh cetakan dan karakteristik heat transfer dari
logam cair. Kecepatan pendinginan hingga suhu akhir aliran logam terhenti ditentukan
oleh heat diffusifity sesuai persamaan berikut:

D = (k . Cp . ρ)1/2 ............................................................................................. (4-1)

Dimana:
D = Difusifity thermal adalah kemampuan suatu material mentransfer (kalor) secara
difusi yang disebabkan terdapat perbedaan temperatur (cm2/s).
K = Konduktifitas thermal adalah karakteristik suatu bahan untuk memindahkan
suatu kalor dari temperatur tinggi ke temperatur rendah (W/cm.K).
Cp = Energi yang dibutuhkan untuk menaikkan satu derajat temperature pada
tekanan konstan (J/gr.K)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
156

Ρ = Density adalah kerapatan massa jenis dari suatu zat yang pasti berbeda-beda
tergantung pada massa dan volume (gr/cm3)

Semakin kecil diffusifitas thermal suatu zat maka waktu yang dibutuhkan untuk
logam cair berubah fase ke solid lebih lama.

Tabel 4.3
Sifat-sifat Mekanik Aluminium
Sifat-sifat Kemurnian Al (%)
99,996 ˃99,0
Massa Jenis (200°C) 2,6989 2,71
Titik Cair 660,2 653-657
Panas Jenis (cal/g. 0°C)(1000°C) 0,2226 0,2297
Hantaran Listrik (%) 64,94 59 (dianil)
Tahanan Listrik Koefisien Temperature (10°C) 0,00429 0,0115
Koefisien Pemuaian (200°C - 1000°C) 23,86 x 10-6 23,5 x 10-6
Jenis Kristal, Konstanta Kisi fcc, a = 4,013 kX fcc, a = 4,04 kX
Sumber : Sundari (2011:167)

b. Cara Pengujian Fluiditas


Fluiditas tidak dapat diukur dari sifat fisik individual, sehingga pengujian empiris
dilakukan untuk mengukur semua karakteristik dari fluiditas logam cair. Pengujian ini
berdasarkan pada kondisi analog pada pengecoran logam. Dalam pengecoran dan
pengukuran fluiditas dilakukan sebagai jarak yang yang telah dilalui oleh logam cair
dalam sistem saluran tertutup sebelum aliran tersebut berhenti.Ada beberapa macam cara
pengujian fluiditas, diantaranya :

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
157

1. Spiral Mold Test

Gambar 4.28 Spiral Mold Test


Sumber: Beeley (2001 : 17)

Pengujian fluiditas cetakan berbentuk spiral bertujuan untuk menguji mampu alir
cairan logam dengan menggunakan cetakan sekecil mungkin dan dapat memperkecil
kesalahan sensitivitas aliran terhadap beda ketinggian.
Pengujian ini dilakukan dengan cara mengalirkan logam cair ke cetakan spiral
seperti pada gambar 4.28 semakin banyak bagian cetakan yang terisi, maka semakin
besar nilai fluiditasnya.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
158

2. Vacuum Fluidity Test

Gambar 4.29 Vacum Fluidity Test


Sumber: Beeley (2001 : 18)

Keterangan :
a. Wadah logam
b. Tungku tahan listrik
c. Pipa bertekanan
d. Tahanan Reservoir
e. Manometer
f. Kartesia Manostat

Pengujian vakum bertujuan untuk mengamati panjang aliran logam yang


mengalir melalui saluran sempit saat dihisap oleh pompa vakum dari dapur krusikel.
Pengujian ini dilakukan dengan cara mengalirkan logam cair melalui tabung gelas
halus dibawah pengaruh hisapan dari kondisi vakum sebagian seperti pada gambar
4.29. Pressure head diketahui dengan akurat dan faktor manusia dalam penuangan
dapat dihilangkan.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
159

3. Multiple Channel Fluidity Test Casting

Gambar 4.30 Multiple Channel Fluidity Test Casting


Sumber: Beeley (2001: 23)

Pengujian ini digunakan untuk mengetahui fluiditas aliran logam cair saat melalui
saluran lebih dari satu dan dengan luas penampang sama sempitnya yang mana banyak
terdapat pada saluran cetakan pengecoran yang sebenarnya seperti pada gambar 4.30.

4.2.5 Cacat Coran


1. Porositas
Porositas merupakan cacat yang terjadi akibat terperangkapnya gas dalam logam cair
pada waktu proses pengecoran. Pada benda cor terdapat lubang-lubang pada permukaan
maupun pada bagian dalam benda cor tersebut. Cacat porositas ada dua macam, yaitu:
a. Interdendritic Shrinkage
Merupakan cacat yang terjadi jika ada rongga udara terperangkap diantara cabang
dendrit yang merupakan substruktur dari pembekuan logam coran yang ditunjukkan
pada gambar 4.31.
Penyebab:
 Gas terbawa logam cair ketika penuangan
 Permeabilitas rendah

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
160

Solusi:
 Menempatkan riser ditempat yang bertemperatur tinggi
 Laju pendinginan cepat

Gambar 4.31 Interdendrite Shrinkage


Sumber: Wright (2010 : 349)

b. Gas Porosity
Gas Porosity merupakan cacat ini biasa terjadi karena kelebihan hidrogen yang
tidak dapat dimasukkan dalam struktur logam atau paduan kristal padat sehingga
membentuk gelembung yang mungkin terperangkap dalam logam padat dan akhirnya
menghasilkan porositas gas. Ilustrasi Gas Porosity dapat dilihat pada gambar 4.32
Penyebab :
 Gas terbawa dalam logam cair selama pencairan
 Gas terserap dalam logam cair dari cetakan
 Titik cair terlalu tinggi dan waktu pencairan terlalu lama
Solusi :
 Mengontrol jumlah gas yang dihasilkan material pada cetakan pasir

Gambar 4.32 Gas Porosity


Sumber: Surdia dan Chijiwa (2013 : 214)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
161

2. Shift (Pergeseran)
Shift merupakan cacat yang terjadi akibat dari ketidak cocokan masing-masing bagian
dari coran. Biasanya terjadi di bagian pola belahan. Ilustrasi Shift dapat dilihat pada
gambar 4.33 di bawah ini.
Penyebab :
 Pergeseran titik tengah pola
 Rangka cetak yang kurang tepat
 Ukuran dimensi cetakan yang salah
Solusi :
 Memperbaiki desain cetakan sesuai dimensi dan ukuran yang tepat
 Memberikan pin atau pengunci agar tidak terjadi pergeseran

Gambar 4.33 Shift


Sumber: Surdia dan Chijiwa (1980 : 214)

3. Dirt and Sand Inclusion (Kotoran dan Inklusi Pasir)


Kotoran dan inklusi pasir merupakan cacat yang terjadi karena adanya partikel asing
atau kotoran yang tertanam pada permukaan coran dan bisa juga karena adanya rontokan
pasir yang melekat pada permukaan hasil coran. Ilustrasi Dirt dan inklusi pada gambar
4.34 dibawah ini.
Penyebab :
 Adanya pasir yang terkikis selama penuangan logam cair
 Adanya kotoran pada cetakan
 Bagian rongga cetakan kurang bersih
 Kurangnya kadar bentonit pada pasir cetak

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
162

Solusi :
 Melakukan penuangan secara perlahan-lahan.
 Pemberian saringan pada saluran penuangan sehingga kotoran tidak ikut masuk ke
dalam cetakan
 Melakukan pemeriksaan dan pembersihan di bagian rongga cetakan.
 Pemberian kadar bentonit harus sesuai atau optimal

Gambar 4.34 Dirt and Sand Inclusion


Sumber: Surdia dan Chijiwa (1980 : 215)

4. Fin (Sirip)
Merupakan cacat yang terjadi akibat penetrasi logam cair pada bagian cetakan cope
dan drag. Apabila cetakan tidak tepat maka logam yang dicairkan akan mengisi celah-
celah cetakan dan menimbulkan cacat seperti sirip. Ilustrasi cacat sirip pada gambar 4.35.
Penyebab :
 Penempatan cetakan cope dan drag yang tidak tepat
 Adanya penetrasi logam cair yang berlebihan
 Dimensi core tidak tepat dengan dudukan
Solusi :
 Membuat permukaan cetakan yang halus dan rata
 Pemasangan cope dan drag harus tepat
 Membuat dimensi core dengan tepat

Gambar 4.35 Fin


Sumber: Beeley (2001: 314)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
163

5. Shringkage (Penyusutan)
Merupakan cacat yang terjadi saat pembekuan. Pembekuan yang tidak seragam pada
bagian coran menghasilkan perbedaan ketebalan dan luas permukaan yang cukup besar.
Ilustrasi cacat penyusutan dapat dilihat pada gambar 4.36 di bawah ini :
Penyebab :
 Pembekuan yang tidak seragam
 Ukuran gating system yang tidak sesuai
 Letak riser yang kurang tepat
 Adanya temperatur penuangan yang salah
Solusi :
 Penyeragaman pada saat proses pembekuan
 Meletakkan riser pada posisi yang tepat
 Gunakan suhu yang tinggi agar saat penurunan temperatur tidak terjadi penyusutan

Gambar 4.36 Shrinkage


Sumber: Jain (2003 : 195)

6. Hot Tears
Cacat yang dapat terjadi karena tegangan terlalu besar pada coran yang ditimbulkan
oleh temperatur terlalu tinggi. Ilustrasi hot tears dapat dilihat pada gambar 4.37.

Gambar 4.37 Hot Tears


Sumber: Kalpakjian (2009 : 249)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
164

Penyebab:
 Kontraksi akibat panas
 Kekuatan tarik terlalu besar
 Terjadi pressure drop pada logam cair
 Penguapan yang berlebih
Solusi :
 Perancangan cetakan, inti, dan perhitungan sistem saluran harus tepat
7. Gas Defect
Gas defect atau cacat gas dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
a. Pin Holes
Pin Holes merupakan lubang banyak yang memiliki diameter kecil, biasanya
kurang dari 2 mm, terlihat pada permukaan casting. (Jain: 1976, p.197)
Penyebab:
 Riser kurang memadai
 Absorbsi dari gas hidrogen atau karbon monoksida ketika logam cair di tuang
menyentuh cetakan yang basah
 Aliran logam cair turbulen
Solusi:
 Riser dibuat lebih memadai
 Memberi pasir yang memiliki kadar air rendah dan permeabilitas yang sesuai
 Memilih nilai solidifikasi yang tinggi pada logam cair
 Penerapan nilai titik lebur yang sesuai

Gambar 4.38 Pin Holes


Sumber: Jain (2009 : 15)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
165

b. Blow Holes
Blow Holes adalah lubang halus melingkar yang jelas kelihatan pada permukaan
casting. Mereka memilki jumlah banyak dan berbentuk seperti lubang kecil yang
memiliki diameter sekitar 3 mm atau kurang dan dalam bentuk satu depresi besar dan
halus. (Jain: 1976, p.197)
Penyebab:
 Permeabilitas yang rendah
 Banyaknya jumlah udara yang dihasilkan pasir cetak
 Air yang tidak tercampur merata ketika mengolah pasir cetak
 Aliran logam cair turbulen
Solusi:
 Lebih cermat ketika mengolah pasir cetak
 Menyesuaikan kadar air dengan kadar pengikat dan berat pasir yang digunakan
 Mengatur waktu penuangan

Gambar 4.39 Blow Holes


Sumber: Jain (2009 : 315)

8. Metal Penetration
Cacat ini terlihat pada permukaan yang kasar dan tidak rata dari benda coran. Yang
diakibatkan oleh pasir yang memiliki permeabilitas yang tinggi, butiran yang besar, dan
kekuatan yang rendah. Dapat dilihat pada gambar 4.40.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
166

Gambar 4.40 Metal Penetration


Sumber : Surdia dan Chijiwa (1998 : 214)

Penyebab :
 Pasir cetak memiliki permeabilitas yang tinggi
 Pemadatan pasir yang kurang
Solusi :
 Pemadatan pasir harus cukup
 Memilih pasir dengan permeabilitas yang sesuai

9. Swell
Swell merupakan pembesaran rongga cetakan yang di akibatkan oleh tekanan dari
logam cair, yang menghasilkan pembengkakan. Dapat dilihat pada gambar 4.41.

Gambar 4.41 Swell


Sumber : Surdia dan Chijiwa (1998 : 214)

Penyebab :
 Kekuatan tekan pasir cetak rendah
 Pemadatan pasir cetak tidak seragam

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
167

Solusi :
 Meningkatkan kekuatan tekan pasir cetak
 Pemadatan pasir cetak dibuat seragam
10. Cold Shut dan Misrun
Menurut Narayana (2010, p.71), cold shut merupakan cacat dimana diskontinuitas
terjadi karena penggabungan yang tidak sempurna dari dua aliran logam di rongga
cetakan. Cacat ini tampak retak atau jahitan pada permukaan yang halus. Misrun
merupakan cacat yang diakibatkan oleh kegagalan logam untuk mengisi rongga cetakan
secara menyeluruh. cacat ini terjadi saat logam tidak dapat mengisi cetakan secara utuh
akibat adanya halangan akibat logam cair yang sudah menyusut lebih awal atau gas hasil
reaksi antara core dan logam cair yang terjebak sehingga membuat rongga pada hasil
coran seperti pada gambar 4.42.

Gambar 4.42 Cold Shut and Miss Run


Sumber: Groover (2010 : 249)

Penyebab :
 Pembekuan logam yang premature sebelum cetakan pasir terisi penuh
 Temperatur penuangan yang rendah
 Viskositas logam cair terlalu tinggi
 Sistem saluran yang kurang sempurna
Solusi :
 Perencanaan sistem saluran yang baik
 Suhu penuangan logam cair harus tepat

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
168

4.2.6 Inspeksi
Inspeksi atau pemeriksaan cacat adalah pemeriksaan terhadap produk coran untuk
mengetahui ada tidaknya cacat pada produk coran tersebut. Macam-macam metode
pengujian yang sering dilakukan yaitu:
1. Liquid Penetrant Test
Metode Liquid Penetrant Test merupakan metode NDT (Non Destructive Test).
Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di permukaan terbuka dari komponen solid
baik logam maupun non logam.
Melalui metode ini cacat pada permukaan material akan terlihat jelas. Caranya adalah
dengan memberikan cairan berwarna terang pada permukaan yang diinspeksi. Cairan ini
harus memiliki daya penetrant yang baik dan viskositas yang rendah agar dapat masuk
pada cacat dipermukaan material yang diberikan. Cacat akan nampak jelas jika perbedaan
warna penetrant yang tertinggal dibersihkan dengan penetrant developer. Macam-macam
hasil tesnya dapat dilihat di gambar 4.43 di bawah ini.
Keuntungan :
 Mudah diaplikasikan
 Murah
 Tidak dipengaruhi oleh sifat kemagnetan material dan komposisi kimia
 Jangkauan permukaan cukup luas
Kekurangan :
 Tidak dapat dilakukan pada benda dengan permukaan kasar dan berpori.
 Hanya dapat digunakan untuk mengetahui cacat pada permukaan.

Gambar 4.43 Liquid Penetrant Test


Sumber: De Garmo (2008 : 247)

2. Magnetic Particle Inspection


Dengan menggunakan metode ini, cacat pada permukaan atau sedikit dibawah
permukaan (subsurface) pada benda yang bersifat ferromagnetic dapat diketahui.
Prinsipnya adalah dengan memanfaatkan bahan yang akan diuji. Adanya cacat yang tegak

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
169

lurus arah medan magnet akan mengakibatkan kebocoran medan magnet. Kebocoran
medan magnet ini mengindikasikan adanya cacat pada material. Cara yang digunakan untuk
mendeteksi adanya kebocoran medan magnet. Dengan menabur partikel magnetik
dipermukaan. Partikel-pertikel tersebut akan mengumpul pada daerah kebocoran medan
magnet.
Keuntungan :
 Mudah
 Tidak memerlukan keahlian khusus untuk mengoperasikan
 Dapat mendeteksi cacat di bawah permukaan
Kekurangan :
 Penggunaan terbatas pada material ferromagnetic
 Adanya kemungkinan cacat tidak terdeteksi akibat orientasi cacat searah medan
magnet

Gambar 4.44 Magnetic Particle Inspection


Sumber: De Garmo (2008 : 248)

3. Ultrasonic Test
Prinsip yang digunakan adalah prinsip gelombang suara. Gelombang suara yang
dirambatkan pada spesimen uji dan sinyal yang ditransmisikan akan dipantulkan kembali.
Gelombang ultrasonik yang digunakan memiliki frekuensi 0,5-20 MHz. Gelombang suara
akan berpengaruh jika ada retakan atau cacat pada material. Gelombang ultrasonik
dibangkitkan oleh transduser dari bahan piezoelektrik yang dapat merubah energi listrik
menjadi getaran mekanis kemudian menjadi energi listrik lagi.
Keuntungan :
 Cukup teliti dan akurat
 Hanya diperlukan satu sisi untuk dapat mendeteksi keseluruhan

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
170

 Indikasi dapat langsung diamati


Kekurangan :
 Memerlukan pelaksana yang terlatih dan berpengalaman
 Benda uji dengan permukaan kasar, tidak beraturan, dan sangat kecil sangat sulit diuji

Gambar 4.45 Ultrasonic Test


Sumber: De Garmo (2008 : 251)

4. Eddy Current Test


Inspeksi ini memanfaatkan prinsip elektromagnetik. Prinsipnya arus listrik dialirkan
pada kumparan untuk membangkitkan medan magnet didalamnya. Jika medan magnet
dikenakan pada benda logam yang akan diinspeksi, akan terbangkit arus Eddy, kemudian
diinspeksi.
Keuntungan :
 Hasil pengujian dapat langsung diketahui
 Pengujian Eddy aman dan tidak ada bahaya radiasi
Kekurangan :
 Hanya dapat diterapkan pada permukaan yang dapat dijangkau
 Hanya diterapkan pada bahan logam saja

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
171

Gambar 4.46 Eddy Current Test


Sumber: De Garmo (1997 : 309)

5. Radiographic Inspection
Metode ini untuk menetapkan cacat pada material dengan menggunakan sinar X dan
sinar Gamma. Prinsipnya sinar dipancarkan menembus material yang diperiksa. Saat
menembus objek, sebagian sinar akan diserap sehingga intensitas berkurang. Intensitas
akhir kemudian direkam dalam film yang sensitif. Jika ada cacat pada material maka
intensitas yang terekam pada film ini akan memperlihatkan bagian material yang
mengalami cacat.
Keuntungan :
 Faktor ketebalan benda tidak mempengaruhi. Hal ini mengingat daya tembus sinar
gamma yang besar
 Mampu menggambarkan bentuk cacat dengan benar
Kekurangan :
 Memerlukan operator yang berpengalaman
 Efek radiasi sinar gamma berbahaya

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
172

Gambar 4.47 Radiographic Inspection


Sumber: De Garmo (1997 : 310)

6. Uji Piknometri
Dalam pengujian ini, ketidakteraturan bahan diteliti dan juga komponen, struktur
mikro dan sifat-sifat mekanik. Dengan demikian pemeriksaan porositas dapat dilakukan
dengan baik dengan perlakuan tekanan yang berasal dari foto mikrostruktur dari coran.
Untuk mencari persentase porositas yang terdapat dalam suatu coran digunakan
perbandingan 2 buah densitas, yaitu :
a. True Density
Kepadatan dari suatu benda padat tanpa porositas yang terdapat didalam
didefinisikan sebagai perbandingan massa terhadap volume tekanan. Untuk
memperoleh nilai true density dapat dicari dengan menggunakan persamaan yang ada
pada standar ASTME 252-84, yaitu :

100
𝜌𝑡ℎ = % 𝐴𝑙 % 𝐶𝑢 % 𝐹𝑒
........................................................................ (4-2)
[( )+ ( )+( )+𝑒𝑡𝑐]
𝜌𝐴𝑙 𝜌𝐶𝑢 𝜌𝐹𝑒

Dengan :

𝜌𝑡ℎ : True density (gr/cm2)


𝜌𝐴𝑙 𝜌𝐶𝑢 𝜌𝐹𝑒 etc : Densitas unsur (gr/cm3)
% 𝑙 %𝐶𝑢 %𝐹𝑒 etc : Presentase berat unsur

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
173

b. Apparent Density
Berat disetiap unit volume material termasuk cacat yang terdapat dalam uji
material (gr/cm3). Sedangkan untuk perhitungan apparent density, menggunakan
persamaan sesuai karakter struktur ASTMB3H-93 sebagai berikut :
𝜌𝑠 = 𝜌𝑤 𝑤𝑠 ..........................................................................................(4-3)
(𝑤𝑠 −(𝑤𝑠𝑏 − 𝑤𝑏 ))

Dengan :

ρs : Apparent density (gr/cm3)


ρw : Density air (gr/cm3)
ws : Berat sample udara (gr)
wsb : Berat sample dan keranjang didalam air (gr)
wb : Berat keranjang (gr)

Pengukuran densitas menggunakan metode piknometri, yaitu sebuah proses


pembandingkan densitas relatif dari sebuah padatan dan sebuah cairan. Pengujian
piknometri didasarkan pada perhitungan prosentase porositas hasil coran untuk dapat
menghitung prosentase porositas dapat dihitung dengan rumus :

𝜌𝑠
% P = (1 − ) × 100% ..................................................................................(4-4)
𝜌𝑡ℎ

Dimana :
%P : Persentase porositas
(%) ρs : Apparent density (gr/cm3)
ρth : True density (gr/cm3)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
174

4.3 Pembahasan
4.3.1 Pembahasan Pengecoran
A. Pembahasan Pengecoran Sebelum Finishing

Gambar 4.48 Benda Kerja Tampak Atas Sebelum Finishing

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
175

Gambar 4.49 Benda Kerja Tampak Samping Sebelum Finishing

Gambar 4.50 Benda Kerja Tampak Bawah Sebelum Finishing

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
176

a) Analisis Bentuk dan Dimensi Hasil Coran Sebelum Finishing

Gambar 4.51 Dimensi Benda Kerja dengan Toleransi

Tabel 4.4
Ketepatan Ukuran Hasil Coran
Bagian Ukuran Pola (mm) Ukuran Hasil Coran (mm) Keterangan
A 87 86 Kekurangan 1 mm
B 54 54 Sesuai
C 39 39 Sesuai
D 27 26 Kekurangan 1 mm
E 44 45 Kelebihan 1 mm
F 108 109 Kelebihan 1 mm
G 24 24,80 Kelebihan 0,8 mm
H 52 53,60 Kelebihan 1,6 mm
I 11 12 Kelebihan 1 mm
J 76 74 Kekurangan 2 mm

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa terdapat perbedaan dimensi dari pola dan
hasil coran. Pada bagian E, F, G, H dan I lebih besar dari dimensi dikarenakan
pelapisan pola berpengaruh pada menambahnya dimensi dari nilai seharusnya. Pada
bagian A, D dan J lebih kecil dari dimensi desain, hal itu dikarenakan penyusutan dari
logam cair melebihi perhitungan toleransi sehingga dimensi tidak sesuai.
b) Analisis Cacat Hasil Coran Sebelum Finishing

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
177

Adapun cacat yang terdapat pada hasil coran antara lain :


1. Shrinkage

Gambar 4.52 Shrinkage

Ciri - ciri :
 Adanya cekungan pada permukaan benda kerja.
Penyebab :
 Pembekuan tidak merata
 Letak riser yang terlalu dekat jaraknya
 Superheating tidak sesuai
 Permeabilitas terlalu tinggi sehingga udara panas terperangkap dan tidak bisa
keluar
Solusi :
 Komposisi pasir cetak harus tepat
 Meletakkan riser pada posisi yang tepat
 Superheating harus sesuai

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
178

2. Cacat Gas Defect

Gambar 4.53 Cacat Gas Defect

Ciri Ciri:
 Terdapat lubang besar (blow holes) pada permukaan hasil coran.
 Terdapat lubang kecil (pin holes) pada permukaan hasil coran.
 Bentuk lubang menyerupai gelembung udara.
Penyebab :
 Riser tidak tepat.
 Permeabilitas terlalu rendah.
 Superheating tidak sesuai.
Solusi :
 Komposisi cetakan harus tepat
 Superheating harus tepat
 Penentuan Riser harus tepat

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
179

3. Swell

Gambar 4.54 Swell

Ciri – ciri :
 Permukaan produk coran yang kasar akibat adanya penetrasi logam cair pada
pasir cetak.
Penyebab :
 Permeabilitas pasir cetak yang terlalu tinggi.
 Kurangnya penambahan pelapis pada pasir cetak.
 Kekuatan tekan pasir lebih rendah daripada kekuatan tekan logam cair
 Pemadatan pasir cetak kurang.
Solusi :
 Memilih permeabilitas pasir cetak yang sesuai
 Peningkatan kekuatan tekan pasir cetak
 Penambahan dan perataan pelapis yang cocok

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
180

4. Fin

Gambar 4.55 Fin

Ciri-ciri :
 Terjadi penambahan bentuk dan dimensi pada hasil coran.
 Terdapat logam berlebih pada bagian tepi dari hasil coran yang menyerupai sirip.
Penyebab :
 Terdapat celah diantara cope dan drag.
 Pemadatan yang tidak sesuai.
 Penempatan cope dan drag yang tida sesuai.
 Lempung yang diberikan antara cope dan drag kurang tebal.
 Pasir cetak rontok ketika pencabutan pola.
Solusi :
 Pemasangan cope dan drag harus tepat
 Pemadatan pasir coran pada cope dan drag harus tepat.
 Lempung yang diberikan antara cope dan drag harus ditebalkan.
 Pemberian pelapis lebih tebal.
 Memberikan silika halus.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
181

5. Sand Inclusion

Gambar 4.56 Sand Inclusion

Ciri – ciri :
 Bentuk lubang menyerupai gelembung udara. Adanya lubang kecil berisi
pasir pada permukaan hasil coran
Penyebab :
 Adanya pasir yang terkikis selama penuangan logam cair sehingga pasir
terkikis ikut dalam logam cair
 Bagian rongga cetakan kurang bersih
 Kurangnya kadar bentonit pada pasir cetak
 Kurang optimalnya kekuatan geser dan tarik pada pasir cetak.
Solusi :
 Melakukan penuangan logam secara perlahan-lahan
 Melakukan pemeriksaan dan pembersihan pada bagian rongga cetakan
 Pemberian kadar bentonit harus sesuai atau optimal
 Peningkatan kekuatan geser pasir cetak

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
182

B. Pembahasan Pengecoran Setelah Finishing

Gambar 4.57 Benda Kerja Tampak Atas Sesudah Finishing

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
183

Gambar 4.58 Benda Kerja Tampak Samping Sesudah Finishing

Gambar 4.59 Benda Kerja Tampak Atas Setelah Finishing

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
184

a) Analisis Bentuk dan Dimensi Hasil Coran Setelah Finishing

Gambar 4.60 Dimensi Benda Kerja Dengan Toleransi

Tabel 4.5
Ketepatan Ukuran Hasil Finishing
Bagian Ukuran Pola (mm) Ukuran Hasil Coran (mm) Keterangan
A 80,14 80,15 Kelebihan 0,01 mm
B 50,14 52 Kelebihan 1,86 mm
C 35,36 35 Kekurangan 0,36 mm
D 25 26 Kelebihan 1 mm
E 40 43 Kelebihan 3 mm
F 100 100,15 Kelebihan 0,15 mm
G 24 25,75 Kelebihan 1,75 mm
H 48 48 Sesuai
I 10 11 Kelebihan 1 mm
J 70 70,15 Kelebihan 0,15 mm

Berdasarkan tabel 4.5 terjadi perbedaan dari dimensi pada hasil coran sesudah
finishing. Pada bagian A, B, D, E, F, G, I, dan J lebih besar dari dimensi coran

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
185

dikarenakan kesalahan pada proses finishing. Pada bagian C lebih kecil dari dimensi
coran dikarenakan penyusutan dari logam cair melebihi perhitungan toleransi atau
kesalahan pada saat proses finishing sehingga dimensi tidak sesuai.
b) Analisis Cacat Hasil Coran Setelah Finishing
1. Porositas

Gambar 4.61 Cacat Porositas

Ciri – ciri :
 Terdapat rongga pada benda hasil coran setelah dilakukan permesinan
Penyebab :
 Permeabilitas rendah sehingga gas terperangkap dalam rongga
 Kekuatan tekan pasir cetak terlalu tinggi sehingga menimbulkan turbulent
 Temperatur superheating tidak sesuai sifat mekanik logam paduan
Solusi :
 Permeabilitas harus tepat
 Kekuatan tekan jangan terlalu tinggi
 Komposisi cetakan harus sesuai agar gas yang ditimbulkan sedikit
 Superheating harus tepat

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
186

2. Cacat Permesinan

Gambar 4.62 Cacat Permesinan

Ciri – ciri :
 Terdapat kerusakan atau hasil kasar pada benda kerja akibat finishing
 Hasil tebal benda yang tidak sama
Penyebab :
 Finishing yang kurang berhati-hati, dan kurang cermat
Solusi :
 Lebih berhati-hati saat finishing benda kerja

3. Cacat Gas Decfect : Blow Holes

Gambar 4.63 Cacat Gas Defect (Blow Hole)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
187

Ciri – ciri :
 Terdapat lubang besar (blow holes) pada permukaan hasil coran
 Bentuk lubang menyerupai gelembung udara
Penyebab :
 Riser tidak tepat
 Superheating tidak sesuai
 Gas dari cetakan terlalu banyak
Solusi :
 Komposisi cetakan harus tepat
 Superheating harus tepat
 Penempatan riser harus tepat
4. Cacat Inklusi Pasir

Gambar 4.64 Cacat Inklusi Pasir

Ciri – ciri :
 Bentuk lubang menyerupai gelembung udara. Adanya lubang kecil berisi
pasir pada permukaan hasil coran
Penyebab :
 Adanya pasir yang terkikis selama penuangan logam cair sehingga pasir
terkikis ikut dalam logam cair
 Bagian rongga cetakan kurang bersih
 Kurangnya kadar bentonit pada pasir cetak
 Kekuatan geser pasir lebih rendah daripada kekuatan geser logam cair

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
188

Solusi :
 Melakukan penuangan logam secara perlahan-lahan
 Melakukan pemeriksaan dan pembersihan pada bagian rongga cetakan
 Pemberian kadar bentonit harus sesuai atau optimal
 Peningkatan kekuatan geser pasir cetak
5. Cacat Shrinkage

Gambar 4.65 Cacat Shrinkage

Ciri - ciri :
 Adanya cekungan pada permukaan benda kerja
Penyebab :
 Pembekuan tidak merata
 Letak riser yang terlalu dekat jaraknya
 Superheating tidak sesuai
 Permeabilitas terlalu tinggi sehingga udara panas terperangkap dan tidak
bisa keluar
Solusi :
 Komposisi pasir cetak harus tepat
 Meletakkan riser pada posisi yang tepat
 Superheating harus sesuai

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
189

c) Perhitungan
1. Perhitungan True Density (𝜌𝑡ℎ )

Tabel 4.6
Kandungan Unsur Benda Coran
Massa Jenis
No Unsur Kadar (%) Metode
(gr/cm3)
1 Al 62 2,7
2 Si 15,5 2,329
3 P 0,49 1,823
4 Ca 0,983 1,55
5 Ti 0,058 4,506
6 Cr 0,28 7,19
7 Mn 0,29 7,21
XRF
8 Fe 4,86 7,874
9 Ni 0,525 8,908
10 Cu 2,28 8,94
11 Zn 12,3 7,14
12 Yb 0,1 6,9
13 Eu 0,0 5,264
14 Pb 0,27 11,34
Sumber: Laboratorium Pengecoran Logam Jurusan Mesin FT-UB (2020)

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
190

100
𝜌𝑡ℎ =
% 𝐴𝑙 % 𝑆𝑖 %𝑃 % 𝐶𝑎 % 𝑇𝑖 % 𝐶𝑟 % 𝑀𝑛 % 𝐹𝑒
( )+ ( )+( )+( )+( )+( )+( )+( )
𝜌𝐴𝑙 𝜌𝑆𝑖 𝜌𝑃 𝜌𝐶𝑎 𝜌𝑇𝑖 𝜌𝐶𝑟 𝜌𝑀𝑛 𝜌𝐹𝑒
[ ]
% 𝑁𝑖 % 𝐶𝑢 % 𝑍𝑛 % 𝑌𝑏 % 𝐸𝑢 % 𝑃𝑏
+( )+( )+( )+( )+( )+( )
𝜌𝑁𝑖 𝜌𝐶𝑢 𝜌𝑍𝑛 𝜌𝑌𝑏 𝜌𝐸𝑢 𝜌𝑃𝑏

100
𝜌𝑡ℎ =
62 15,5 0,49 0,983 0,058 0,28 0,29 4,86
( )+ ( )+( )+( )+( )+( )+( )+( )
2.7 2.329 1.823 1.55 4.506 7.19 7.21 7.874
[ ]
0,525 2,28 12,3 0,1 0,0 0,27
+( )+( )+( )+( )+( )+( )
8.908 8.94 7.14 6.9 5.264 11,34

3
𝜌 𝑡ℎ = 3,002518 gr/cm

2. Perhitungan Apparent Density ( 𝜌𝑠 )


Diketahui:
 Massa benda di udara (𝑤𝑠 ) = 3953 gram
 Massa benda dan keranjang di dalam air (𝑤𝑠𝑏 ) = 2450,72 gram
 Massa keranjang di dalam air (𝑤𝑏 ) = 0 gram
𝜌𝑠 = 𝜌𝑤 𝑤𝑠
(𝑤𝑠 −(𝑤𝑠𝑏 − 𝑤𝑏 ))

3953
𝜌𝑠 = 1 (3953
−(2450,72−0))

𝜌𝑠 = 2,631333706 gr/cm3
3. Perhitungan Porositas
𝜌𝑠
% P = (1 − ) × 100%
𝜌𝑡ℎ

2,63133706
% P = (1 − ) × 100%
3,002518

% P = 12,36243205 %
Dari perhitungan apparent density diperoleh nilai 𝜌𝑠 = 2,631333706 gr/cm3
sedangkan dari perhitungan true density 𝜌𝑡ℎ = 3,002518 gr/cm3 dan didapatkan besar

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
191

porositas 12,36243205 %. Porositas terjadi karena adanya gas porosity yang


terperangkap didalam coran.
Penyebab :
 Permeabilitas rendah sehingga gas terperangkap dalam rongga
 Kekuatan tekan pasir cetak terlalu tinggi sehingga menimbulkan turbulent
 Temperatur superheating tidak sesuai sifat mekanik logam paduan

Solusi :
 Permeabilitas harus tepat
 Kekuatan tekan jangan terlalu tinggi
 Komposisi cetakan harus sesuai agar gas yang ditimbulkan sedikit
 Superheating harus tepat
B. Pembahasan Pengecoran Antar Kelompok
a) Analisis Cacat Coran Sebelum Finishing

Tabel 4.7
Perbandingan Cacat Pengecoran Antar Kelompok Sebelum Finishing
No Cacat Kelompok 04 Kelompok 07
1 Fin Ada Ada

2 Sand Inclusion Ada Ada


3 Porositas - Ada

4 Gas Defect Ada -


5 Shift - Ada

6 Metal Penetration - Ada


7 Shrinkage Ada Ada
8 Swell Ada -

1. Fin (Sirip)
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat sirip dialami oleh kedua kelompok
yang ditandai dengan adanya penambahan bentuk dan dimensi pada hasil
coran serta terdapat logam berlebih pada bagian tepi dari hasil coran yang
menyerupai sirip. Menurut kelompok 04 dan kelompok 07 hal ini
disebabkan oleh adanya celah di antara cope dan drag serta ukuran core dan

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
192

dudukan core yang tidak sesuai. Solusi untuk permasalahan tersebut


menurut kelompok 04 dan kelompok 07 adalah pembuatan core yang harus
benar dan sesuai, dan pemadatan pasir pada cope dan drag harus tepat.

Gambar 4.66 Cacat Sirip (fin) A. Kelompok 04 dan B. Kelompok 07

2. Sand Inclusion
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat sand inclusion dialami oleh kedua
kelompok yang ditandai dengan adanya lubang yang disebabkan oleh pasir
cetak yang melekat pada benda coran, sehingga saat dibersihkan akan
meninggalkan lubang. Pada kelompok 04, hal itu disebabkan oleh pasir yang
terkikis pada saat penuangan logam akibat ikatan antar butir pasir yang
kurang kuat, pemadatan pasir cetak yang kurang baik, adanya pasir yang
rontok akibat pencabutan pola yang kurang hati-hati. Solusi dari cacat ini
adalah melakukan pemadatan pasir cetak harus optimal, penggunaan
komposisi pasir cetak yang sesuai dan pencabutan pola dengan hati-hati.
Sedangkan pada kelompok 07 sama, dengan tambahan pencabutan pola
harus teliti.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
193

Gambar 4.67 Cacat Inklusi Pasir A. Kelompok 04 dan B. Kelompok 07

3. Porositas
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat porositas dialami oleh kelompok
07 yang ditandai dengan adanya lubang di dalam produk hasil coran. Hal itu
disebabkan oleh adanya udara yang terjebak pada saat penuangan
diakibatkan penuangan yang terlalu cepat (kelompok 07 menggunakan
saluran pisah) dan permeabilitas pasir cetak yang kurang. Pada saat
penuangan logam cair yang terlalu cepat sehingga terjadi aliran logam cair
yang turbulent. Solusi dari cacat ini adalah waktu penuangan logam cair ke
dalam cetakan pasir yang tepat dan memilih permeabilitas pasir cetak yang
sesuai.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
194

Gambar 4.68 Cacat Porositas Kelompok 07

4. Gas Defect
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat gas defect dialami oleh kelompok
04 yang ditandai dengan adanya lubang-lubang kecil pada permukaan hasil
coran. Hal itu disebabkan oleh permeabilitas dari pasir cetak yang terlalu
rendah, adanya udara yang ikut larut pada saat proses peleburan dan
penuangan, serta riser yang kurang memadai. Solusi dari cacat ini adalah
dengan memilih permeabilitas dari pasir cetak yang tepat, mengatur suhu
peleburan yang tepat sehingga dapat meminimalisir udara yang ikut terlarut
pada logam cair, dan perancangan riser yang tepat

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
195

Gambar 4.69 Cacat Gas Defect Kelompok 04

5. Shift (Pergeseran)
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat shift (pergeseran) dialami oleh
kedua kelompok yang ditandai dengan adanya pergeseran bentuk hasil
coran. Pada kelompok 08 hal itu disebabkan oleh cope dan drag tidak center,
pemadatan dan penekanan pasir cetak yang kurang, permukaan pisah
bergeser ketika melakukan pemadatan pasir. Solusi dari kelompok 07 yaitu
menguatkan cekam saat pembuatan cetakan pasir, penumbukan cetakan
pasir harus sesuai, agar lebih berhati-hati saat penumbukan cetakan pasir.

Gambar 4.70 Cacat Shift Kelompok 07

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
196

6. Metal Penetration
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat metal penetration dialami oleh
kedua kelompok yang ditandai dengan permukaan produk coran yang kasar
akibat penetrasi logam cair terhadap pasir cetak.Kelompok 04 dan kelompok
08 sepakat bahwa hal itu disebabkan oleh permeabilitas terlalu besar, celah
antar butir pasir cetak terlalu besar dan kurangnya penambahan pelapis.
Solusi dari cacat ini adalah memilih permeabilitas pasir cetak yang sesuai,
mengoptimalkan pemadatan pasir cetak, serta penambahan dan perataan
pelapis yang cocok.

Gambar 4.71 Cacat Metal Penetration Kelompok 07

7. Shrinkage
Dari tabel dapat dilihat bahwa kedua kelompok mengalami cacat
shrinkage. Hal itu ditandai dengan adanya cekungan pada permukaan bernda
kerja. Penyebab cacat ini dikarenakan adanya gas yang terperangkap,
membuat logam cair mendingin lebih lama yang menyebabkan cekungan.
Lalu letak riser yang terlalu berdekatan serta permeabilitas yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan udara terperangkap sehingga menghasilkan
cekungan. Solusi dari Kelompok 04 dan kelompok 08 ialah komposisi pasir
cetak harus sesuai serta peletakkan riser harus tepat.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
197

Gambar 4.72 Shrinkage A. Kelompok 04 B. Kelompok 07

b) Analisis Cacat Coran Setelah Finishing

Tabel 4.8
Perbandingan Cacat Pengecoran Antar Kelompok Setelah Finishing
No Cacat Kelompok 04 Kelompok 07
1 Porositas Ada Ada
2 Permesinan Ada Ada

3 Sand Inclusion Ada Ada


4 Gas Defect : Blowholes Ada Ada

5 Shrinkage Ada -

1. Porositas
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat porositas dialami oleh kelompok
04 dan kelompok 07 yang ditandai dengan adanya lubang di dalam produk
hasil coran. Menurut kelompok 04 dan kelompok 07, hal itu disebabkan oleh
adanya udara yang terjebak pada saat penuangan diakibatkan penuangan
yang terlalu cepat sehingga logam cair mengalami turbulensi. Selain itu,
permeabilitas yang kurang juga merupakan salah satu penyebab porositas.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
198

Solusinya adalah waktu penuangan yang tepat dan pemilihan permeabilitas


yang sesuai.

Gambar 4.73 Porositas A. Kelompok 04 B. Kelompok 07

2. Cacat Permesinan
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat permesinan dialami oleh kelompok
04 dan kelompok 08 yang ditandai dengan adanya kerusakan atau hasil kasar
pada benda kerja setelah dilakukan permesinan dan hasil tebal benda tidak
sama. Menurut kelompok 04 dan kelompok 07, hal itu disebabkan oleh
proses permesinan yang kurang hati-hati dan kurang cermat. Solusi dari
cacat ini adalah lebih berhati-hati dalam melakukan permesinan.

Gambar 4.74 Cacat Permesinan A. Kelompok 04, B. Kelompok 07

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
199

3. Sand Inclusion
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat sand inclusion dialami oleh
kelompok 04 dan kelompok 07 yang ditandai dengan adanya lubang kecil
yang disebabkan oleh pasir cetak yang melekat pada benda coran, sehingga
saat dibersihkan akan meninggalkan lubang. Menurut kelompok 04 dan
kelompok 07, hal itu disebabkan oleh adanya pasir yang terkikis selama
penuangan logam cair akibat ikatan antar butir pasir yang kurang kuat. Solusi
dari cacat ini adalah pemadatan pasir cetak harus optimal, menggunakan
komposisi pasir cetak yang sesuai, dan mencabut pola dengan hati-hati.

Gambar 4.75 Cacat Sand Inclusion A. Kelompok 04, B. Kelompok 07

4. Gas Defect : Blow Holes


Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat gas defect dialami oleh kelompok
04 yang ditandai dengan terdapat lubang besar (blow holes) pada permukaan
hasil coran dan bentuk lubang menyerupai gelembung udara. Menurut
kelompok 04, hal itu disebabkan riser tidak tepat, superheating tidak sesuai,
dan gas dari cetakan terlalu banyak. Solusi dari cacat ini adalah komposisi
cetakan harus tepat, superheating harus tepat, dan penempatan riser harus
tepat. Menurut kelompok 07, hal itu disebabkan adanya udara yang terjebak
pada saat penuangan diakibatkan penuangan yang terlalu cepat sehingga
logam cairan mengalami turbulent dan permeabilitas pasir cetak yang
kurang. Solusi dari cacat ini adalah waktu penuangan yang tepat dan
memilih permeabilitas pasir yang sesuai.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
200

Gambar 4.76 Cacat Gas Defect A. Kelompok 04 B. Kelompok 07

5. Shrinkage
Dari tabel dapat dilihat bahwa cacat shrinkage dialami oleh kelompok
04 yang ditandai dengan adanya cekungan pada permukaan benda kerja.
Menurut kelompok 04, hal itu disebabkan pembekuan tidak merata, letak
riser yang terlalu dekat jaraknya, superheating tidak sesuai, dan
permeabilitas terlalu tinggi sehingga udara panas terperangkap dan tidak
bisa keluar. Solusi dari cacat ini adalah komposisi cetakan harus tepat,
superheating harus tepat, dan penempatan riser harus tepat.

Gambar 4.77 Cacat Shrinkage kelompok 04

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
201

c) Analisis Uji Piknometri Antar Kelompok


1. Saluran Bawah
 True Density = 3,002518 gr/cm3
 Perhitungan Apparent Density
Diketahui:
- Massa benda di udara (ws) = 3953 gram
- Massa benda dan keranjang dalam air (wsb) = 2450,72 gram
- Massa keranjang dalam air (wb) = 0 gram
𝑤𝑠
𝜌𝑠 = 𝜌𝑤
𝑤𝑠 − (𝑤𝑠𝑏 − 𝑤𝑏 )

39353
𝜌𝑠 = 1[ ]
39353 − (2450,72 − 0)

𝜌𝑠 = 2,63133706 gr/cm3
 Porositas
𝜌
%P = (1 − 𝜌 𝑠 ) × 100%
𝑡ℎ

2,63133706
= (1 − ) × 100%
3,002518

= 12,3623219 %
2. Saluran Pisah
 True Density = 3,002518 gr/cm3
 Perhitungan Apparent Density
Diketahui:
- Massa benda di udara (ws) = 3953 gram
- Massa benda dan keranjang dalam air (wsb) = 2450,72 gram
- Massa keranjang dalam air (wb) = 0 gram
𝑤𝑠
𝜌𝑠 = 𝜌𝑤
𝑤𝑠 − (𝑤𝑠𝑏 − 𝑤𝑏 )

3800
𝜌𝑠 = 1[ ]
3800 − (2344 − 0)

𝜌𝑠 = 2,631334 gr/cm3
 Porositas

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
202

𝜌
%P = (1 − 𝜌 𝑠 ) × 100%
𝑡ℎ

2,60989
= (1 − 3,002518 ) × 100%

= 12,36243205 %
Dari hasil diatas didapat nilai porositas saluran bawah yaitu = 12,3623219 %
lebih kecil dibandingkan dengan saluran pisah yang porositasnya sebesar
12,36243205 %. Hal ini dikarenakan sistem saluran yang berbeda. Pada saliran
pisah dibutuhkan temperatus dan kecepatan tuang yang tepat agar tidak terjadi
porositas, sehingga lebih mudah suatu gas atau udara terjebak saat pembekuan

4.4 Kesimpulan dan Saran


4.4.1 Kesimpulan
1. Dimensi sebelum finishing hasil pengecoran memiliki perbedaan dengan ukuran desain,
terdapat nilai ukuran yang lebih besar. Nilai yang lebih besar dari desain karena ketika
pencabutan pola yang kurang hati-hati dan kurangnya pemadatan pada pasir cetak yang
bersinggungan dengan pola, sehingga pasir cetak terkikis dan mengalami pergeseran
yang mengakibatkan dimensi coran berubah.
2. Dimensi setelah finishing hasil pengecoran memiliki perbedaan dengan ukuran desain,
terdapat nilai ukuran yang lebih kecil dan lebih besar. Nilai yang lebih kecil dan lebih
besar dari desain dikarenakan adanya kesalahan pada saat proses finishing sehingga
dimensi desain tidak sesuai. Nilai yang lebih besar dari desain karena terdapat kesalahan
pada saat proses finishing.
3. Terdapat persamaan cacat antara kelompok 04 dan kelompok 07 sebelum dilakukan
finishing, terdapat cacat fin, shrinkage, dan sand incusion pada kedua kelompok.
Sedangkan cacat swell, dan gas defect hanya ada pada kelompok 04. Dan cacat
porositas dan shift hanya ada pada kelompok 07.
4. Terdapat persamaan cacat antara kelompok 04 dan kelompok 07 setelah dilakukan
finishing, terdapat cacat permesinan, porositas, gas defect dan sand incusion pada
kedua kelompok. Sedangkan cacat shrinkage hanya ada pada kelompok 04.
5. Porositas yang dihasilkan dari saluran bawah (kelompok 04) lebih rendah dari pada
porositas yang dihasilkan pada saluran pisah (kelompok 07). Dengan hasil porositas
saluran bawah adalah 12,3623219 %. dan porositas saluran pisah adalah 12,36243205
%. Hal ini disebabkan oleh sistem saluran yang berbeda yang memiliki karakteristik
masing-masing. Selain karakteristik saluran yang berbeda, perbedaan nilai porositas

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya
203

juga dapat disebabkan oleh faktor penuangan logam cair.

4.4.2 Saran
1. Untuk Laboratorium Pengecoran Logam FT-UB sebaiknya dapat memperbarui alat-
alat di laboratorium dengan yang lebih teliti dan baru sehingga hasil pengujian dapat
lebih akurat.
2. Untuk praktikum sudah berjalan baik. Namun, untuk deadline mati diperjelas
waktunya.
3. Untuk asisten kinerjanya sudah baik dipertahankan profesionalismemya.
4. Untuk praktikan sebaiknya belajar sebelum asistensi dan praktikum.

Laboratorium Pengecoran Logam


Jurusan Mesin Universitas Brawijaya

Anda mungkin juga menyukai