Anda di halaman 1dari 47

TUGAS KULIAH

HUKUM dan DEMOKRASI


Prof.Dr.Satya Arianto,S.H.,M.H
ANALISIS PERPU NO 4 TAHUN 2008 TENTANG JARING
PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK)

Oleh :
TOMU AUGUSTINUS
PASARIBU NIM : 1902190075

PROGRAM STUDI
MAGISTER ILMU
HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS KRISTEN

INDONESIA JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul Analisis Perppu
No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) Ditinjau
Dari Aspek Hukum dan Demokrasi tepat waktu.
Makalah Analisis Perppu No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan (JPSK) Ditinjau Dari Aspek Hukum dan Demokrasi disusun guna
memenuhi Tugas Hukum dan Demokrasi oleh Prof.Dr.Satya Arianto,S.H.,M.H
Program Studi Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Kristen
Indonesia. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah
wawasan bagi pembaca tentang Hukum.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Jakarta, 13 Januari 2021

Tomu Augustinus Pasaribu


1902190075
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................i
Daftar Isi........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................9
C. Tujuan Penelitian...................................................................................9
D. Manfaat Penelitian.................................................................................9
BAB II PEMBAHASAN................................................................................5
A. Teori Negara Hukum..........................................................................5
1. Pengertian Negara Hukum.............................................................5
2. Negara Hukum Indonesia.............................................................12
B. Teori Demokrasi.................................................................................13
1. Pengertian Demokrasi..................................................................13
C. Implikasi Perppu No 4 tahun 2008....................................................18
1. Hakikat dan Materi Muatan Perppu..............................................18
2. Dasar Pertimbangan Pengujian Perppu oleh MK........................22
3. Keabsahan Perppu No 4 tahun 2008...........................................24
4. Kasus pada Bank Century...........................................................27
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN........................................................42
A. Kesimpulan......................................................................................42
B. Saran...............................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................44
1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ekonomi dunia dewasa ini menimbulkan banyak

masalah bagi negara-negara berkembang yang dikarenakan tingginya

kebergantungan perekonomian negara berkembang terhadap

perekonomian negara maju sehingga ketika negara maju mengalami

permasalahan sistem keuangan di negaranya maka otomatis hal

tersebut juga akan berimbas pada stabilitas sistem keuangan negara

berkembang. Ketidakstabilan sistem keuangan yang terjadi pada

negara-negara berkembang salah satunya negara Indonesia tentu

memiliki cara tersendiri untuk mencegah dan menangani permasalahan

tersebut. Salah satu cara yang ditempuh dalam menghadapi

ketidakstabilan sistem keuangan yang melanda negera Indonesia yaitu

dengan membentuk suatu peraturan yang mengatur secara khusus

mengatur mengenai stabilitas sistem keuangan nasional. Mengingat

Undang- Undang Dasar Pasal 33 ayat (4), yang pada intinya mengatur

bahwa dalam pelaksanaan perekonomian nasional, keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional harus terjaga, 1 maka atas

dasar tersebut dibentuklah peraturan untuk menstabilkan sistem

keuangan nasional negara Indonesia dalam rangka mewujudkan

kestabilan sistem keuangan nasional yaitu dengan Peraturan

1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 Ayat (4)
2

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2008

tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Jaring Pengaman Sistem Keuangan atau yang dikenal dengan

JPSK berdasarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring

Pengaman Sistem Keuangan pada pasal 1 butir a adalah "suatu

mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang mencakup

pencegahan dan penanganan krisis". 2 Pembentukan Perpu 4 Tahun

2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan oleh Presiden

didasarkan pada mandat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 pasal 22 ayat (1) yang pada pokoknya mengatur

bahwa Presiden berhak menetapkan Perpu karena adanya suatu

kegentingan yang terjadi dalam negara. Dasar pembentukan JPSK

diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia pada pasal 11 ayat (5) junctis Perpu Nomor 2

Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor

23 Tahun 1999 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia. Pembentukan JPSK diharapkan dapat

mencegah dan menghadapi krisis yang dapat membahayakan sistem

keuangan nasional. Pembentukan peraturan

2
Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan, diakses dari
http://lps.go.id/documents/10157/182852/PERPPU+No+4+Th+2008+ttg+JPSK.pdf tanggal
akses 22 Oktober 2015
4

mengenai JPSK juga memberikan kepastian hukum kepada para

pejabat yang ditunjuk dalam bertindak sesuai kewenangannya untuk

melaksanakan tugas-tugas sebagaimana diatur dalam Perpu Nomor 4

Tahun 2008, sehingga para pejabat yang ditunjuk dapat

melaksanakan tugasnya dengan baik dan tujuan pembentukan Perpu

Nomor 4 Tahun 2008 dapat tercapai 3 dan untuk mencapai tujuan dari

Perpu Nomor 4 Tahun 2008 maka dibentuklah Komite Stabilitas

Sistem Keuangan.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau yang dikenal dengan

KSSK dibentuk berdasarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 Pasal 5

yang berbunyi:

Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2, dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan,
yang selanjutnya disebut KSSK yang keanggotaannya terdiri dari Menteri
Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank
Indonesia sebagai Anggota.4

KSSK memiliki fungsi yaitu menetapkan kebijakan-kebijakan dalam

pencegahan dan penanganan krisis sebagaimana yang telah diatur

dalam pasal 6 Perpu Nomor 4 Tahun 2008. Pencegahan dan

penanganan krisis yang merupakan fungsi KSSK tidak terbatas hanya

pada Lembaga Keuangan Bank (LKB) tetapi Lembaga Keuangan

Bukan Bank (LKBB) juga menjadi kewenangan KSSK untuk

menentukan apakah kedua lembaga keuangan tersebut mengalami

permasalahan keuangan yang dapat berdampak sistemik sehingga

membutuhkan bantuan dana

3
Kusumaningtuti SS, 2010, Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Krisis Perbankan Di Indonesia,
cetakan ke-2, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 80.
4
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
5

BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Negara Hukum

1. Pengertian Negara Hukum

Didalam perpustakaan hukum indonesia istilah negara hukum

pada umumnya dianggap dari tersjemahan yang tepat dari dua istilah

yaitu; rechtstaat dan the role of law. Tetapi rechtstaat dan the role of

law mempunyai latar belakang dan pelembagaan yang berbeda.

Rechtstaat banyak dianut oleh negara Eropa Kontinental yang

bertumpu pada sistem civil law. Sedangkan the role of law banyak

dianut oleh eropa Anglo saxon yang bertumpu pada sistem common

law.

Konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah,

sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus

berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia.

Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar

konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui

gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum,

yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara

hukum. Pemikiran tentang Negara Hukum merupakan gagasan

modern yang multi-perspektif dan selalu aktual. Ditinjau dari

perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan

kenegaraan gagasan mengenai Negara Hukum sudah

berkembang semenjak 1800 Sebelum Masehi.


6

Tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi

Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum. 5

Demikian halnya bahwa kedaulatan rakyat adalah asasnya

demokrasi dan demokrasi adalah tumpuannya Negara hukum

dimana tiap Negara hukum mempunyai landasan tertib hukum dan

menjadi dasar keabsahan bertindak. 6 Setiap Negara bersandar

pada keyakinan bahwa kekuasaan Negara harus dijalankan atas

dasar hukum yang adil dan baik. Esensi pada suatu Negara

hukum, pertama: Hubungan antara yang memerintah dan

diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan

suatu norma objektif, yang juga mengikat semua pihak termasuk

memerintah; kedua: norma objektif itu harus memenuhi syarat

bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan

berhadapan dengan ide hukum. dalam ini nilai-nilai yang tumbuh

dan berkembang di masyarakat.

Gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato,

ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga

yang dibuat diusia tuanya, sementara itu dalam dua tulisan

pertama, Politeia dan Politicous, belum muncul istilah negara

hukum.

5
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1994), hlm. 11.
6
Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum pemerintahan yang Layak Dalam
7

Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, (Yogyakarta: Total Media, 2008), hlm 4.


Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan

negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum)

yang baik. Dalam bukunya Politicous yang dihasilkan dalam

penghujung hidupnya, Plato7 (429-347 SM) menguraikan bentuk-

bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya,

ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan;

pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan

pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum. 8

Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas

ketika didukung oleh muridnya, aristoteles, yang menulisnya dalam

buku Politics. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah

negara yang diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum.

Menurutnya ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu:

a. Pemerintahan yang dilaksanakan oleh kepentingan umum,


b. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan
pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat
secara sewenang- wenang yang menyampingkan konvensi dan
konstitusi.
c. Pemerintahan yang berkonstitusi berarti pemerintahan yang
dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan
tekanan yang dilaksanakan secara despotik.9

7
Budiono Kusumahamidjojo, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban Yang Adil,
(Jakarta: Grasindo, 2004), hlm.36-37.
8
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, Rajawali Press, 2010), hlm 2.
9
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
PSHTN FH UI (Jakarta, Sinar Bakti, 1988), hlm 153.
8

Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk

warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu

diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga

negara yang baik. Dan bagi Aristoteles68 yang memerintah dalam negara

bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan

penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja

dan secara filosofis ditegaskan bahwa, cabang- cabang pengetahuan

lainnya, politik harus mempertimbangkan bukan hanya yang ideal, tetapi

juga berbagai masalah aktual, yaitu konstitusi terbaik yang mana yang

dapat dipraktikkan dalam keadaan tertentu: alat-alat apa yang terbaik

untuk mempertahankan kosntitusi-konstitusi aktual: yang mana konstitusi

rata-rata yang terbaik untuk mayoritas kota: apa perbedaan varietas tipe-

tipe kosntitusi yang utama, dan khususnya demokrasi dan oligarki. Politik

juga harus mempertimbangkan nukan hanya konstitusi-konstitusi, tetapi

juga hukum-hukum, dan hubungan yang tepat antara hukum-hukum

dengan konstitusi-konstitusi. Pernyataan tersebut mengingatkan bahwa

Konstitusi sebagai norma yang mesti menjadi dasar pembentukan norma

lainnya dan tidak boleh ada norma yang melebihinya demikian pada

bahwa semua norma mesti dapat diuji dengan norma yang lebih tinggi.

Dalam kaitannya dengan itu, maka 69 Konstitusi merupakan

penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa

yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari


9

setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan- aturan dan

penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut.

Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-

samar dan tenggelam dalam waktu yang panjang, kemudian

kembali muncul secara eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan

munculnya konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang

diilhami pemikiran Immanuel Kant. Menurut Sthall 10, unsur-unsur

negara hukum (rechsstaat) adalah:

1. Perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia


2. Negara yang didasarkan pada teori trias potitica ;
1. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang
(wetmatig bestuur) ; dan
2. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani
kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah
(onrechmatige overheiddaad).

Lahirnya konsep negara hukum yang dikemukakan oleh F.J.

Stahl adalah konsep pemikiran negara hukum Eropa Kontinental

atau yang dipraktekkan di negara-negara Eropa Kontinental (civil

Law). Adapun konsep pemikiran negara hukum yang berkembang

di negara-negara Anglo-Saxon yang dipelopori oleh

A.V. Decey (dari inggris) dengan prinsip rule of law. Konsep negara

hukum tersebut memenuhi 3 (tiga) unsur utama:

1. Supermasi aturan-aturan hukum (Supremacy of the law), yaitu


tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of arbitrary
power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau
melanggar hukum ;
2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality
before the law), Dalil ini berlaku balk untuk orang biasa maupun
untuk pejabat;
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara
lain dengan Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan
pengadilan.11
10

Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara

hukum tersebut di atas, baik Rechtsstaat maupun Rule of Law,

mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok antara

Rechtsstaat dengan Rule of Law adalah, adanya keinginan untuk

memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Keinginan

memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi

itu, telah diimpikan sejak berabad-abad lamanya dengan

perjuangan dan pengorbanan yang besar.

Penyebab timbulnya penindasan dan pelanggaran teradap

hak asasi manusia itu faktor penyebab utamanya karena

terpusatnya kekuasaan negara secara mutlak pada satu tangan,

yakni raja atau negara (absolut).

Karena itu adanya keinginan untuk memisahkan atau

membagikan kekuasaan negara kepada beberapa badan atau

lembaga negara lainnya, merupakan salah satu cara untuk

menghindari terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia

10
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
11

Indonesia, PSHTN FH UI (Jakarta, Sinar Bakti, 1988), hlm 153.


11
Ridwan HR, op. Cit., hlm 2.

dan sekaligus memberikan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia.

Harapan pemerintah hendaknya dijalankan berdasarkan

hukum atas dasar persamaan di hadapan hukum, terkandung

maksud untuk mewujudkan pemerintah bukan oleh manusia tetap

oleh hukum (Government by laws, not by men) dan perbedaannya

hanya pada adanya peradilan administrasi.

Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum tersebut

kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat

dilihat diantaranya:

1. Sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat ;


2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke
controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan
tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah
pengaruh eksekutif;
6. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau
warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan
pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;'
7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian
yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran
warga negara.

A. Hamid S. Attamimi mengatakan bahwa dalam abad ke 20 ini

hampir tidak suatu negara pun yang menganggap sebagai Negara

modern tanpa menyebutkan dirinya "negara berdasar atas hukum".

Dengan demikian, dalam batas-batas minimal, negara hukum identik


12

dengan negara yang berkonstitusi atau negara yang menjadikan

konstitusi sebagai aturan kehidupan kenegaraan, pemerintahan, dan

kemasyarakatan, bahkan mulai banyak ketentuan-ketentuan perundang-

undangan yang dibentuk oleh pemerintah cenderung keluar dari aturan.

2. Negara Hukum Indonesia

Berdasarkan ketentuan Pasa 1 ayat (3) UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah negara

hukum” dengan merujuk tujuan negara yang tercantum dialinia

keempat pembukaan UUD 1945 khususnya pada redaksi,

“Memajukan kesenjatraan umum” ada yang berpendapat bahwa

Indonesia menganut paham kesejahtaran (welfare state).

Khusus untuk Indonesia, istilah Negara Hukum, sering

diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham rechtstaats pada

dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang

rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi

sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme raja. Paham rechtstaats

dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti

Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan

paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada

Tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of

The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum

Anglo Saxon atau common law system.

Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya


Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan mengenai
13

konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara


hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya
sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan
secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan
masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan
nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats.12
Jerman) dalam karyanya ; Staat and Rechtslehre II, 1878 him. 137,

memberikan pengertian Negara Hukum sebagai berikut:

Negara harus menjadi Negara Hukum, itulah semboyan dan

sebenarnya juga daya pendorong daripada perkembangan pada

zaman barn ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya

dan batas-batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana)

kebebasan itu tanpa dapat ditembus.

B. Teori Demokrasi

1. Pengertian demokrasi

Secara teoritis demokrasi adalah suatu pemerintahan dari

dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika dikaitkan dengan

praktek ketata negaraan meskipun sebuah negara mengklaim

dirinya adalah negara demokrasi tetapi dalam banyak hal negara

itu sesungguhnya mengabaikan banyak asa-asas dan prinsip

demokrasi.13 Dengan demikian secara ekplisit demokrasi

meniscayakan pengakuan dan penghargaan pada hak-hak rakyat

melalui berbagai event seperti melalui pemilihan anggota DRP,

pemilihan Presiden, dan wakil Presiden, pemilihan DPD dan

DPRD bahkan sampaai pemilihan kepala desa. Semakin banyak

melibatkan rakyat dalam keputusan politik yang berkaitan dengan

kepentingan rakyat adalah mencerminkan telah makin


14

12
O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan
Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, (Jakarta, Badan Penerbit
Kristen, 1970), hlm. 24.
13
O. Notohamidjojo ... op. cit., hlm. 25.

membaiknya pelaksaan demokrasi pada negara bersangkutan.

Sedangkan secara implisit pengertian demokrasi tercermin

dari kedekatan penguasa atau pemimpin bangsa dengan rakyat

dengan menerapkan prinsip keterbukaan atau trasparansi serta

bersedia mengkoreksi dan meluruskan kebijakan-kebijakan yang

dinilai merugikan kepentinga rakyat kenyataannya dibanyakl

negara yang baru belajar demokrasi munkin termasuk indonesia

arogansi pejabat negara dan kepongahan penguasa telah

membunuh demokrasi, melindas hak-hak rakyat.

Namun dalam dunia moderen, pengertian demokrasi lebih ditekankan

makna bahwa kekuasaan urusan-urusan politik ada ditangan rakyat. 14

Karena didalam wacana politik moderen demokrasi

didefinisikan seperti yang dirumuskan oleh negarawan amerika,

Abraham Lincoln, pada tahun 1863, yang menyatakan :

“goverment of people, by people, for the people”. (pemerintahan

dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).


15

14
Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan Ketiga (Jakarta ; Permata
Aksara, 2014), hlm 181.

Oleh sebab itu demokrasi juga sering dikatakan Rule by the

people, yakni sistem pemerintahan kekuasaan oleh rakyat , baik yang

bersifat langsung ( direct democracy ) maupun demokrasi dengan sistem

perwakilan ( representative democracy )15

Kata demokrasi mempunyai varian makna yang cukup

beragam. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusional,

demokrasi parlemanter, demokrasi terpimpin, demokrasi

pancasila, demokrasi rakyat dan sebagainya. Istilah demokrasi

berasal dari bahasa latin yaitu “demos” yang berarti rakyat dan

“cratein” yang berarti pemerintah. Dengan demikian berarti

demokrasi perintahan rakyat.

Demokrasi mempunyai citra yang baik, karena merupakan

landasan kehidupan bernegara dengan memberikan pengakuan

terhadap hak-hak asasi manusia sepenuhnya, semua pihak saling

menjunjung tinggi hukum, ada persamaan hak dan kewajiban bagi

semua orang warga negara terhadap kebebasan. berpolitik,

berserikat, mengeluarkan pendapat, baik tertulis maupun lisan.

Mendirikan serta masuk menjadi anggota partai politik, tidak

diberikan pembatasan-pembatasan adanya kebebasan memilih

dan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan yang

Maha Esa, serta menjalankan ibadah menurut kepercayaannya


16

masing-masing tanpa adanya paksaan dari pihak penguasa

ataupun golongan lain.

Demokrasi sebagai dasar hukum bernegara ini tercemin dalam

pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksakan

menurut undang-undang Dasar 1945. Hal ini merupakan wujud

pelaksaan kedaulatan rakyat yang menjalankan pemerintahan

suatu negara. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat

yang menggunakan nya sebab dengan demokrasi hak rakyat

untuk menentukan sendiri jalannya pemerintahan dapat terjamin.16

Demokrasi terus berkembang hal tersebut sebagaimana

dikemuhkakan oleh Bagir Manan.17bahwa demokrasi merupakan

suatu fenomena yang tumbuh, bukan suatu penciptaan. Oleh

karena itu praktek setiap negara negara tidak selalu sama, namun

demikian sebuah negara dapat dinyatakan demokrasi apabila

telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.

15
Sidney Hook, Democrasy dalam the Enclopedia Americanan edisi
International, (New York; Coorporation, 1975), VIII, hlm 684
16
William Ebestein, democrasy, dalam william D. Hasley and Bernard Johnston (eds)
17

Collier’s encyclopedia, (New York: Macmillan Educational company, 1988), VIII, hlm 75.
17
David jary and Julia, collin’s Dictionary of Sociology, (Glasgow Haper Collin
Publisher; 1991), hlm 152.

1. Ada kebebassan untuk membentuk dan menjadi anggota


perkumpulan;
2. Ada kebebasan menyatakan pendapat;
3. Ada hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara;
4. Ada kesempatan untuk dipilih menduduki berbagai jabatan
pemerintah atau negara.
5. Ada hak bagi aktivis berkampanye untuk memperoleh dukungan
suara;
6. Terdapat berbagai sumber inspirasi;
7. Ada pemilihan yang bebas dan jujur.18
18

18
Moh. Mahfud MD. Demokrasi Konstitusi di Indonesia, (Yogyakarta: liberti, 1993),
hlm19.
19

C.Implikasi Perppu No 4 tahun 2008


1. Hakikat dan Materi Muatan Perppu
UUD 1945 di dalam Pasal 22 menegaskan, “Dalam hal
ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak mengeluarkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Peraturan pemerintah
itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah harus
dicabut.” Ketentuan dalam Pasal 22 tersebut mengisyaratkan apabila
keadaannya lebih genting dan amat terpaksa dan memaksa, tanpa
menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan lebih dahulu oleh dan
dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibat-akibat yang tidak
sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undang- undang,
Presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan suatu
keadaan bahaya dan darurat.19
Hakikat lahirnya Perpu adalah untuk antisipasi keadaan yang
“genting dan memaksa”. Jadi ada unsur paksaan keadaan untuk
segera diantisipasi tetapi masih dalam koridor hukum yakni melalui
Perpu, dan Perpu tersebut harus segera dibahas dipersidangan
berikutnya untuk disetujui atau tidak menjadi undang-undang. Jika
Perpu tidak disetujui dalam persidangan DPR maka Perpu tersebut
harus dicabut.20
Unsur “kegentingan yang memaksa” harus menunjukkan dua
ciri umum, yaitu: (1) Ada krisis (crisis), dan (2) Kemendesakan
(emergency). Suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang
menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden
disturbunse). Kemendesakan (emergency), apabila terjadi berbagai
keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu
tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.
Atau telah ada tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar
yang wajar (reasonableness) apabila tidak diatur segera akan
menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap
jalannya pemerintahan.

19
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Pertama, FH UII Press,
Yogyakarta, 2003, Hlm. 140.
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press,
Yogyakarta, 2005, Hlm. 60.
20
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat studi Hukum FH UII kerjasama
dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999, Hlm. 158-159.
20

Menurut Jimly Asshiddiqie, syarat materiil untuk penetapan


Perppu itu ada tiga, yaitu:
a. Ada kebutuhan yang mendesak untuk bertindak atau
reasonable necessity;
b. Waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat
kegentingan waktu; dan
c. Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang
wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan
tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan
Perppu merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi
keadaan tersebut.
Perkembangan Negara sangat mempengaruhi keberadaan
Konstitusi sebagai Nasakah dasar atau Aturan dasar
tertinggi dalam sebuah negara. Dalam sejarah
perkembangan negara-negara di wilayah Barat, Konstitusi
dimaksudkan untuk menentukan batas wewenang
penguasa, menjamin hak rakyat, dan mengatur jalannya
pemerintahan. Kemudian, dengan kebangkitan paham
kebangasaan sebagai kekuatan Pemersatu, serta dengan
kelahiran Demokrasi sebagai paham politik yang progresif
dan militant, konstitusi menjamin alat rakyat untuk
mengatur kehidupan bersama dan untuk mencapai cita-
citanya dalam bentuk negara. berkaitan dengan itu,
konstitusi dijaman modern tidak hanya memuat aturan-
aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau menyimpulkan
prinsip-prinsip hukum, haluan negara, dan patokan
kebijaksanaan, yang kesemuanya mengikat penguasa.

Sebagaimana diketahui bahwa Nomokrasi merupakan paham

kedaulatan hukum, artinya konstitusi yang juga sebagai naskah

dasar hukum suatu negara telah mengisyaratkan hal demikian.

Selain hal itu, perlu juga diketahui bahwa negara yang

mendeklarasikan dirinya sebagai negara yang berpaham

demokrasi (kedaulatan rakyat) .


21

dalam Perppu tersebut sepanjang hal itu dimaksudkan untuk


mengatasi keadaan darurat guna melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia.21
Siapakah yang menentukan kapan dan dalam keadaan seperti
apakah kondisi yang disebut sebagai ‘hal ikhwal kegentingan yang
memaksa’ telah terpenuhi sehingga Presiden menjadi berhak
menetapkan Perppu? Menurut Jimly Asshiddiqie, rumusan tersebut
sebenarnya dapat kita sebut termasuk kategori “objective wording”
seperti yang dimaksud oleh Cora Hoexter. Artinya, hak Presiden
dimaksud tidak meniadakan hak DPR untuk mengontrol penetapan
Perppu itu. Jika kelak DPR menyatakan persetujuannya, barulah
Perppu itu diakui berlaku sebagai undang-undang. Jika peraturan itu
ditolak oleh DPR, peraturan itu selanjutnya harus dicabut
sebagaimana mestinya. Dengan perkataan lain, penentuan keadaan
darurat itu sendiri tidak semata-mata tergantung kepada kehendak
subjektif Presiden, melainkan tergantung pula kepada kehendak para
wakil rakyat di DPR. Oleh karena itu, perumusan seperti demikian
dinamakan oleh Hoexter sebagai “objective wording.”22
Namun, dari sudut pandang kekuasaan Presiden, hak untuk
menetapkan Perppu atas dasar penilaian Presiden sendiri yang
bersifat sepihak mengenai adanya hal ikhwal kegentingan yang
memaksa itu, dapat dikatakan bahwa hal itu bersifat subjektif.
Artinya, ketika Perppu ditetapkan oleh Presiden berdasarkan
ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, penentuan adanya hal
ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai prasyarat dapat
dikatakan semata-mata didasarkan atas penilaian yang bersifat
subjektif, yaitu berdasarkan subjektivititas kekuasaan Presiden
sendiri. Penilaian mengenai hak ikhwal kegentingan yang memaksa
itu baru menjadi objektif setelah hal itu dinilai dan dibenarkan
adanya oleh DPR berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD
1945.23
Perkataan “kegentingan yang memaksa” dapat
dikatakan berkaitan dengan kendala ketersediaan
waktu yang sangat terbatas untuk menetapkan suatu
undang-undang yang dibutuhkan mendesak
sehingga sebagai jalan keluarnya Presiden diberikan
hak dan fasilitas konstitusional untuk menetapkan
Perppu untuk sementara waktu.

21
Ibid.
22
Ibid., hlm. 12-13.
23
Ibid., Hlm. 13.
24
Ibid., Hlm. 309.
22

Hal ikhwal kegentingan yang memaksa ini hanya


mengutamakan unsur: (i) kebutuhan hukum yang
bersifat mendesak (proporsional legal necessity),
sementara (ii) waktu yang tersedia sangat terbatas
(limited time) dan tidak memungkinkan untuk
ditetapkannya undang-undang yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan hukum itu. Sementara itu, soal
ancamannya terhadap keselamatan jiwa, raga,
kekayaan, ataupun lingkungan hidup tidak
dipersoalkan.24
mendapatkan persetujuan DPR. Jika DPR menolak
menyetujui Perppu tersebut, maka menurut ketentuan Pasal 22
ayat (3) UUD 1945 Presiden harus mencabutnya kembali dengan
tindakan pencabutan. Ketentuan pencabutan ini agar lebih tegas,
sebaiknya disempurnakan menjadi ’tidak berlaku lagi demi
hukum’.25
Di dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 ditentukan, peraturan
pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam
persidangan yang berikut. Bagaimana pembatasan harus
mendapat persetujuan DPR pada “persidangan yang berikut”
ditentukan? Hal ini tergantung pada pembagian masa harus
diajukan ke DPR pada masa sidang kedua. Jika dalam dalam
sidang tersebut DPR tidak menyetujui Perppu yang diajukan
Pemerintah, maka Perppu tersebut harus dicabut. Apakah bentuk
hukum yang dipergunakan untuk mencabut Perppu?
Menurut Bagir Manan, di sini tidak berlaku adagium “dicabut
oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih
tinggi.” Perppu tidak dicabut dengan Perppu (serupa) karena: 26
a. Perppu yang mencabut harus memenuhi syarat hal ikhwal
kegentingan yang memaksa. Sedangkan Perppu yang ada perlu
dicabut atau diubah bentuknya menjadi undang-undang karena tidak
ada lagi hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
b. Perppu yang dibuat harus juga diajukan ke DPR, yaitu Perppu
tentang ppencabutan Perppu. Hal ini tidak praktis.
Untuk mengatasi kesulitan di atas, setiap Perppu hendaknya
dicabut dengan undang-undang. Jadi, apakah Perppu akan
disetujui menjadi undang-undang atau akan dicabut harus
diajukan ke DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang dan
diberi bentuk undang-undang.27

25
Ni’matul Huda, Politik…, Op.Cit., Hlm. 211-212.
26
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Diterbitkan atas
kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat studi HTN Fakultas Hukum UI,
Jakarta, 2004, Hlm.273-274.
27
Bagir Manan, Lembaga…, op.Cit., Hlm. 162-163.
23

Dengan menggunakan kewenangan itu, Presiden secara


sepihak dapat mencabut undang-undang yang masih berlaku
atau mengatur sesuatu hal yang seharusnya ditetapkan
dengan undang-undang. Mengingat bahwa, dalam instansi
pertama, tidak ada jabatan lain yang berwenang menguji
apakah betul terdapat gejala darurat atau tidak sehingga
pengeluaran Perppu itu tergantung sepenuhnya kepada
penilaian subjektif Presiden.
Menurut Fajrul Falaakh, pengaturan Perppu mengandung
ketidakpastian yang tinggi, ditundukkan kepada semangat
birokrasi, dan rentan ditafsirkan hanya menurut kepentingan
pemerintah tanpa persetujuan DPR.

2. Dasar Pertimbangan Pengujian Perppu oleh MK


Uraian berikut ini adalah dasar pertimbangan yang
dipergunakan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mendalilkan
adanya wewenang Mahkamah Konstitusi menguji Perppu. Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 tentang
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Mahkamah mendalilkan bahwa:
Perppu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan
dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c)
akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perppu disahkan dan
nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk
menerima atau menolak norma hukum Perppu, namun demikian sebelum
adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perppu, norma hukum
tersebut

adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat


menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-
Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perppu tersebut Mahkamah
dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan
demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perppu terhadap UUD 1945
sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya
persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang.
Kemudian, terhadap permohonan pengujian Perppu No. 4
Tahun 2008 yang diterbitkan Pemerintah pada tanggal 15 Oktober
2008, menurut Mahkamah pertimbangan hukum Putusan Nomor
138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Pebruari 2010, mutatis mutandis juga
berlaku bagi pengujian Perpu yang diajukan oleh para Pemohon
yakni Perppu No. 4 Tahun 2008. Dalam pertimbangan hukum
24

Mahkamah Konstitusi menyatakan:

“Menimbang bahwa Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,


”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang”. Dari rumusan kalimat tersebut jelas bahwa peraturan
pemerintah yang dimaksud pada pasal ini adalah sebagai
pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi
tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang tetapi karena
kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada
Presiden untuk menetapkan Perpu dan tidak memberikan hak
kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti
Undang-Undang. Apabila pembuatan peraturan diserahkan
kepada DPR maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup
lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan
putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk
memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga
kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara
cepat mungkin tidak dapat terpenuhi. Di samping itu, dengan
disebutnya ”Presiden berhak” terkesan bahwa pembuatan Perpu
menjadi sangat subjektif karena menjadi hak dan tergantung
sepenuhnya kepada Presiden. Pembuatan Perpu memang di
tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif
Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut
tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena
sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden
tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu
adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang
memaksa.
25

3.Keabsahan Perpu No. 4 tahun 2008

Kriteria atau tolak ukur yang menjadi landasan untuk menentukan “hal
ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dikemukakan
oleh Pandangan Ahli dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
138/PUU-VII/2009.28 Adapun maksud melakukan pembidangan materi
Perpu adalah dalam rangka mengidentifikasi perlunya pembatasan
terhadap materi yang diatur oleh sebuah Perpu. Di bawah ini
ditampilkan Tabel yang menunjukkan alasan kegentingan yang
memaksa dalam Konsiderans Perpu dan pembidangan materi muatan
Perpu.

Dalam rangka menghadapi ancaman Krisis keuangan global yang


dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian
nasional, perlu dibuat suatu landasan hukum yang kuat sehingga
mekanisme koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pembinaan
sistem keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan keputusan
dalam tindakan pencegahan dan penanganan krisis dapat dilakukan
secara terpadu, efisien dan efektif.

28
Lihat kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009.
26

Kriteria atau tolak ukur yang menjadi landasan untuk menentukan “hal
ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dikemukakan
oleh Pandangan Ahli dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
138/PUU-VII/2009. Adapun maksud melakukan pembidangan materi
Perpu adalah dalam rangka mengidentifikasi perlunya pembatasan
terhadap materi yang diatur oleh sebuah Perpu. Di bawah ini
ditampilkan Tabel yang menunjukkan alasan kegentingan yang
memaksa dalam Konsiderans Perpu dan pembidangan materi muatan
Perpu.

Dalam rangka menghadapi ancaman Krisis keuangan global yang dapat


membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional,
perlu dibuat suatu landasan hukum yang kuat sehingga mekanisme
koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pembinaan sistem
keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan keputusan dalam
tindakan pencegahan dan penanganan krisis dapat dilakukan secara
terpadu, efisien dan efektif.
 Landasan hukum dimaksud ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Adapun tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan untuk menciptakan dan
memelihara stabilitas sistem keuangan.
 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diatur mengenai
ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang meliputi pencegahan
dan penanganan Krisis. Pencegahan krisis dilakukan melalui penanganan
kesulitan likuiditas dan penanganan masalah solvabilitas dari bank dan Lembaga
Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang berdampak sistemik, yaitu antara lain
dengan memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi bank atau
bantuan likuiditas bagi LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas. Selain itu,
pencegahan krisis dapat pula dilakukan dengan menambah modal berupa
penyertaan modal sementara terhadap bank dan LKBB yang mengalami
masalah solvabilitas.
27

 Penanganan Krisis pada dasarnya dilakukan dengan cara yang sama seperti
pencegahan Krisis, namun penanganan Krisis dilakukan pada saat kondisi
sistem keuangan dalam keadaan Krisis yang membahayakan stabilitas sistem
keuangan dan perekonomian nasional.
 Dalam rangka pelaksanaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dibentuk Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur
Bank Indonesia. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka
pencegahan dan penanganan Krisis di sistem keuangan.
 Sumber pendanaan untuk pencegahan dan penanganan krisis berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diberikan Pemerintah
melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) atau secara tunai. Untuk
memberikan fleksibilitas agar Krisis dapat dicegah atau ditangani segera,
penerbitan SBN dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan SBN
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan
Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. Bertindak sebagai
pembeli SBN di pasar primer adalah Bank Indonesia. Dalam rangka
akuntabilitas, Menteri Keuangan melaporkan penerbitan SBN tersebut kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Penggunaan dana APBN untuk pencegahan dan
penanganan krisis harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan
Rakyat.29

29. https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2008/4TAHUN2008PERPUPenj.htm

4.Kasus pada Bank century


28

Pada kasus Penanganan megaskandal dana talangan Bank Century yang


berlarut-larut dari tahun 2010 sudah merusak seluruh tatanan hukum dalam
pemberantasan korupsi.Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan
Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) ini menegaskan, penetapan
Boediono sebagai tersangka bukan tujuan akhir dari pengusutan perkara yang
sudah tiga tahun terakhir membuat kegaduhan politik.

Maka itu, KPK tidak usah lagi banyak alasan untuk lamban menetapkan
Boediono, Gubernur Bank Indonesia saat kebijakan dana talangan Rp 6,7
triliun itu digulirkan, sebagai tersangka.

"Jadi, KPK tidak usah banyak alasan lagi. Gara-gara Century ini rusak semua
tatanan hukum kita. Padahal, sudah jelas audit investigatif BPK dan bukti-bukti
yang dimiliki KPK untuk menetapkan Boediono tersangka," terang Tom
Pasaribu, pegiat anti korupsi yang sejak 2009 mengawal perjalanan kasus
Century, saat dihubungi Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Kamis, 28/2).

"Targetnya adalah mengetahui ke mana saja aliran dana dan siapa saja yang
menikmati dana triliunan itu. Mudah saja, PPATK pasti punya datanya dan
ditambah lagi keterangan Boediono. Saya yakin ada kepentingan politik di balik
pengucuran itu," ujarnya.

Dari tiga tahun lalu, Tom yakin Boediono-lah "pemain" utama dalam kasus
perampokan uang negara ini.

"Saya melihat Boediono bermain, kesimpulan itu dari data yang ada. Dia
mengubah persyaratan untuk FPJP sesukanya. Sekarang, para pakar ekonomi
sudah membantah bahwa Bank Century yang kecil dan gagal itu, berdampak
sistemik dan wajib diselamatkan," urainya.

Tom Pasaribu membicarakan megaskandal ini dari tiga Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-undang (Perppu) yang diterbitkan pemerintah pada Oktober
2008. Salah satunya adalah Perppu 4/2008 tentang Jaringan Pengaman 
Sistem  Keuangan (JPSK). Lewat Perppu itulah, korupsi dilegalisasi.

Perppu JPSK yang diajukan tanggal 15 Agustus 2008 ditolak DPR. Tetapi
entah mengapa, KSSK yang merupakan produk Perppu itu tetap bekerja. Itu
artinya, Presiden sebagai pembuat Perppu dapat dianggap telah melanggar
konstitusi.

"UUD 1945 pasal 22 mengatakan, Perppu dikeluarkan dalam hal ikhwal


29

kegentingan memaksa. Tapi dimana sifat kegentingan saat itu (ketika Perppu
diterbitkan)? Dalam satu hari Presiden membuat dua Perppu, lalu di luar negeri
dia bikin satu Perppu lain," katanya lagi.

Sejak awal, sudut pandang Tom Pasaribu dengan DPR RI yang membentuk
Panitia Khusus untuk menyelidiki megaskandal itu jelas berbeda. Itu sebabnya,
Tom sempat meragukan itikad Pansus Centurygate yang dipimpin Sekjen
Partai Golkar, Idrus Marham.

Kini, setelah penanganan skandal itu semakin mendekati Boediono, Tom justru
kehilangan harapan untuk membongkar aliran dana dan para penikmatnya.

"Ini sudah kurang dari satu tahun mendekati Pemilu 2014. Saya yakin ada
kepentingan politik untuk melepas Boediono. KPK terlibat politik praktis? Saya
yakin dari awal begitu terlihat dari penanganan kasus Century ini," tandasnya. 

Kasus bailout Bank Century menjadi salah satu berita

yang paling banyak menyita perhatian masyarakat Indonesia

beberapa waktu terakhir, selain pemberitaan terkait pemilihan

umum (pemilu), kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), dan mafia hukum.

Perkembangan kasus bailout Bank Century kian hari kian

memanas. Kasus yang berawal dari keputusan Bank Indonesia

(BI) untuk memberikan dana penyertaan modal sementara

(PMS) sebesar Rp. 6,7 triliun kepada Bank Century ini telah

bergulir lebih dari setahun. Namun hingga kini belum juga

menunjukkan tanda-tanda bahwa kasus ini akan segera tuntas.

Kasus Bank Century ini dimulai pada sekitar bulan

Oktober tahun 2008 lalu. Diawali dengan jatuh temponya


30

sekitar US$ 56 juta surat-surat berharga milik Bank Century

dan akhirnya gagal bayar. Bank Century pun menderita

kesulitan likuiditas. Akhir Oktober 2008 itu, CAR atau rasio

kecukupan modal Bank Century minus 3,53%.

Kesulitan likuiditas tersebut berlanjut pada gagalnya

kliring atau tidak dapat membayar dana permintaan nasabah

oleh Bank Century yang diakibatkan oleh kegagalan

menyediakan dana (prefund) sehingga terjadi rush.

BI lalu mengadakan rapat konsultasi dengan Menteri Keuangan

(Menkeu), Sri Mulyani yang sedang berada di Amerika Serikat

melalui teleconference.

Pada 20 November 2008, BI mengirimkan surat kepada

Menkeu, yang berisikan pemberitahuan penetapan Bank

Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan

memerlukan penanganan lebih lanjut. BI kemudian

mengusulkan dilakukannya langkah penyelamatan oleh

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Malam harinya, Komite

Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang terdiri dari BI,

Menkeu, dan LPS mengadakan pertemuan membahas

permasalahan Bank Century.

Dalam rapat tersebut, BI mengumumkan CAR Bank

Century mengalami minus hingga 3,52 persen. Maka


31

diputuskanlah untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen dengan

menambah kebutuhan modal sebesar Rp. 632 miliar. Dari rapat

itu juga akhirnya Bank Century diserahkan kepada LPS.

Setelahnya, keluar keputusan untuk mencekal Robert

Tantular, seorang pemegang saham Bank Century serta

ketujuh pengurus lainnya, yaitu Sualiaman AB (Komisaris

Utama), Poerwanto Kamajadi (Komisaris), Rusli Prakarta

(Komisaris), Hermanus Hasan Muslim (Direktur Utama), Lila K

Gondokusumo (Direktur Pemasaran), dan Edward M

Situmorang (Direktur Kepatuhan).

Pada 23 November 2008, LPS memutuskan untuk

memberikan dana talangan sejumlah Rp. 2,7 Triliun untuk

meningkatkan CAR menjadi 10%.

LPS kemudian juga memberikan dana sebesar Rp. 2,2 T untuk

memenuhi tingkat kesehatan Bank Century pada awal

Desember.

Awal Desember itulah, ribuan investor Antaboga mulai

mengajukan tuntutan terhadap penggelapan dana investasi

senilai Rp. 1,38 T yang ditengarai mengalir kepada Robert

Tantular. Di akhir tahun 2008, Bank Century dilaporkan

mengalami kerugian sebesar Rp. 7,8 T selama tahun 2008.


32

Februari 2009, LPS kembali memberikan bantuan dana


sebesar Rp. 1,5

T. Akhirnya pada Mei 2009 Bank Century keluar dari

pengawasan khusus BI. Pada bulan Juli 2009, Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mulai

menggugat biaya penyelamatan Bank Century yang dianggap

terlalu besar. Namun pada bulan yang sama, LPS masih

memberikan suntikan dana Rp. 630 Miliar.

Agustus 2009, DPR memanggil Menkeu, BI, dan LPS

untuk meminta penjelasan perihal pembengkakan suntikan

modal hingga Rp. 6,7 T, padahal pemerintah hanya meminta

persetujuan sebesar Rp. 1,3 T saja. Dalam pertemuan dengan

DPR itu pula, Menkeu menegaskan dampak sistemik yang

akan terjadi pada perbankan Indonesia jika Bank Century

ditutup.

Beberapa waktu kemudian, Bank Century memang telah

berganti nama menjadi Bank Mutiara. Namun, hingga kini,

kasusnya belum juga tuntas. Poin penting dalam kasus

pengucuran dana talangan pada Bank Century tersebut adalah

mengapa walaupun rapat paripurna DPR mengatakan tidak

ada
32

pengucuran dana, namun pemerintah saat itu tetap saja

mengucurkan aliran dana segar ke Bank Century.

Hal inilah yang akhirnya menggugah sebagian anggota

DPR yang menamakan dirinya sebagai tim sembilan berinisiatif

untuk mempelopori pengajuan hak angket kasus Bank Century

ini.1

Tim sembilan ini terdiri dari Maruarar Sirait dari Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ahmad Muzani dari

Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Andi Rahmat dan

Mukhamad Misbakhun dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS),

Lili Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Chandra Tirta

Wijaya dari Partai Amanat Nasional (PAN), Kurdi Mukhtar dari

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Bambang

Soesatyo dari Partai Golongan Karya (Golkar), serta Akbar

Faisal dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Setelah melalui proses panjang, akhirnya terbentuklah

panitia khusus (pansus) hak angket pengusutan kasus Bank

Century yang diketuai oleh Idrus Marham dari Fraksi Partai

Golkar. Di awal terbentuknya, pansus menyatakan akan

membongkar tuntas kasus bailout Bank Century yang

melibatkan uang negara hingga Rp. 6,7 triliun.


33

Pansus bakal mengusut adakah unsur kesengajaan

dalam proses merger Bank Century yang bermasalah akibat

lemahnya pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia.

Pansus juga mendapatkan dukungan dari Presiden

Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. SBY

menyatakan bahwa kasus Bank Century ini harus dibuka

selebar-lebarnya hingga terang benderang.

Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang

diserahkan kepada DPR menjadi salah satu acuan kerja

pansus. Dalam laporannya tersebut, BPK menemukan adanya

rekayasa akuntansi yang dilakukan manajemen Bank Century

agar laporan keuangan bank tetap menunjukkan kecukupan

modal.

Hal tersebut dibiarkan begitu saja oleh Bank Indonesia

(BI) sebagai pengawas bank, dengan alasan bahwa pemegang

saham telah berkomitmen menjual SSB bermasalah serta

membuat skema penyelesaian. Namun, komitmen skema

penyelesaian tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh

pemegang saham pengendali Bank Century. 2

1
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/11/14/brk,20091114-208353,id.htmlcentury/,
diakses pada tanggal 01 Februari 2010 pukul 17.32 WIB
34

Selama masa kerja pansus selama beberapa bulan,

pansus telah memanggil semua pihak yang terkait dengan

kasus Bank Century ini. Mulai dari manajemen Bank Century,

KKSK, Menteri Keuangan, Gubernur BI bersama jajarannya,

LPS, BPK, PPATK, pemilik saham, dan nasabah Bank Century,

serta pihak-pihak lain yang terkait, termasuk Jusuf Kalla, Wakil

Presiden yang saat kasus pengucuran dana itu terjadi sedang

menjabat sebagai Presiden ad interim menggantikan SBY yang

sedang berada di luar negeri.

Setelah masa kerja pansus berakhir, kasus ini belum juga

menunjukkan ujungnya. Pansus terkesan hanya menjadi arena

drama politik dan ajang meningkatkan bargaining position atau

nilai tawar partai politik. Pihak-pihak terkait yang dipanggil ke

DPR untuk memberikan keterangan di hadapan pansus, hanya

memberikan jawaban normatif, bahkan seringkali

mengutarakan ketidaktahuan mereka.

Silang pendapat bermunculan. Perdebatan memanas

tentang apakah keputusan pemberian PMS tersebut tepat atau

tidak, mengapa sampai terjadi, dan sebagainya. Bahkan,

sampai muncul dugaan dari beberapa pihak bahwa ada

sebagian dana dari Rp. 6,7 T yang mengalir kepada partai dan

capres- cawapres tertentu saat penyelenggaraan Pemilu 2009

lalu, dalam hal ini Partai Demokrat dan SBY-Boediono.


35

Di akhir perjalanan pansus, konflik-konflik lain mulai

memanas. Perdebatan tidak hanya terjadi antara partai oposisi

dengan partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan yang

dibangun SBY dan Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu,

namun juga terjadi perdebatan antar partai koalisi, seperti

Partai Demokrat dengan Partai Golkar dan PKS.

Tekanan dan dugaan upaya pengalihan isu pun menguat.

Partai-partai yang bergabung di koalisi namun menunjukkan

sikap tidak bersahabat dalam panitia angket mendapatkan

sejumlah tekanan, seperti membuka kasus-kasus lain seperti

tunggakan pajak, korupsi di Departemen Sosial, hingga

ancaman reshuffle, atau bahkan secara terang-terangan,

anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Haryono Isman,

meminta partai koalisi yang tidak sejalan untuk menarik

kadernya dari kabinet.

Tepat pada hari Selasa, 23 Februari 2010, pansus angket

Century pun menyampaikan pandangan akhir tiap fraksi. Dalam

pandangan akhir tersebut, setidaknya tujuh fraksi, yaitu fraksi

PDIP, fraksi Partai Gerindra, fraksi Partai Golkar, fraksi PKS,

fraksi Partai Hanura, fraksi PAN, dan fraksi PPP menyatakan

bahwa ada kesalahan dalam proses pemberian dana talangan

untuk Bank Century tersebut.

Sementara itu, dua fraksi lainnya, yakni fraksi Partai


36

Demokrat dan fraksi PKB menyatakan bahwa pemberian dana

tersebut telah sesuai dengan prosedur dan tidak ada yang

bersalah.

Beberapa fraksi, dalam pandangan akhirnya juga

menyebutkan beberapa nama yang dianggap bersalah dan

bertanggung jawab atas keluarnya dana negara sebesar Rp.

6,7 T yang kemudian tidak jelas kemana alirannya. Termasuk di

antara nama-nama yang disebut adalah Boediono, Wakil

Presiden RI saat ini yang dahulu menjabat sebagai Gubernur

Bank Indonesia saat kasus ini terjadi. Sri Mulyani, Menteri

Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 1 dan 2 juga

dianggap bertanggung jawab, dengan jabatannya sebagai

ketua KSSK saat pemberian dana talangan.

Dalam rapat paripurna DPR RI pada Selasa, 2 Maret

2010, pansus membacakan pandangan akhirnya dengan

mengajukan dua opsi pilihan. Pilihan pertama atau disebut opsi

A, yaitu bahwa kebijakan mem-bailout Bank Century adalah

dibenarkan karena alasan krisis ekonomi global pada saat itu,

namun pada pelaksanaan pemberian Fasilitas Pendanaan

Jangka Pendek (FPJP), PMS, dan sebagainya terdapat

penyimpangan-penyimpangan yang
37

harus ditelusuri lebih lanjut. Sedangkan pilihan kedua, atau

disebut sebagai opsi C menyimpulkan bahwa baik kebijakan

maupun pelaksanaan pada proses pemberian dana talangan

kepada Bank Century ini semuanya adalah salah.

Rapat paripurna DPR RI ini diwarnai juga dengan aksi

demonstrasi oleh berbagai elemen massa yang ingin mengawal

rapat paripurna agar menghasilkan keputusan yang sesuai

dengan apa yang diharapkan rakyat. Demonstrasi berlangsung

serentak di depan gedung DPR serta di berbagai kota lain

seperti Makassar, Yogyakarta, Bandung, dan lainnya.

Proses pengambilan keputusan dilaksanakan pada 3

Maret 2010, setelah sempat pada paripurna hari pertama

(02/03/10) mengalami kericuhan yang dipicu oleh kurang

akomodatifnya Ketua DPR, Marzuki Alie yang memimpin

jalannya rapat paripurna.

Pada hari kedua, walaupun proses berjalan alot, dipenuhi

berbagai dinamika dan diwarnai hujan interupsi, akhirnya Rapat

Paripurna pun memutuskan opsi C sebagai pilihan paripurna

setelah melewati mekanisme voting atau pemungutan suara

dari seluruh anggota DPR RI yang hadir.

Dalam pemungutan suara tersebut, ada enam fraksi,


38

yakni fraksi Partai Golkar, fraksi PDIP, fraksi PKS, fraksi Partai

Gerindra, dan fraksi Partai Hanura, serta fraksi PPP yang

memilih opsi C. Sedangkan tiga fraksi lainnya, yaitu fraksi PD,

fraksi PAN, dan fraksi PKB memilih opsi A. Satu hal menarik

yang juga cukup mendapat perhatian adalah adanya satu orang

anggota fraksi PKB, Lily Wahid yang berbeda pilihan dari apa

yang menjadi pilihan


39

fraksinya. Lily, seorang diri dari fraksi PKB yang memilih opsi C.

325 berbanding 212 untuk kemenangan opsi C.

Satu hari pasca paripurna, Presiden SBY berpidato di

Istana menanggapi hasil paripurna DPR. Dalam pidatonya,

SBY kembali menegaskan pembelaannya terhadap kebijakan

bailout dan kepada Boediono dan Sri Mulyani. SBY menyebut

bahwa kebijakan tersebut sudah tepat dan bahkan mengatakan

bahwa Boediono dan Sri Mulyani adalah pihak yang berjasa

menyelamatkan perekonomian Indonesia. Pidato SBY tersebut

seakan menafikan hasil Rapat Paripurna DPR RI.

Satu babak drama kasus Bank Century telah selesai.

Namun, bukan berarti selesai begitu saja. Apa yang diputuskan

oleh rapat paripurna DPR tentu membawa konsekuensi-

konsekuensi tertentu.

Perkembangan kasus Bank Century ini dari waktu ke

waktu tidak terlepas dari peranan media yang selalu

memberikan pantauan dan laporan perkembangan kasus

tersebut. Terlebih, rapat pansus seringkali dilaksanakan secara

terbuka. Melalui media juga, masyarakat akhirnya mengetahui

seluk beluk kasus ini, yang sebelumnya tidak terungkap ke

publik.
40

Dalam memberitakan kasus ini, setiap media memiliki ciri

khas dan perbedaan masing-masing. Secara tidak langsung,

dapat dikatakan, tiap media membentuk opininya masing-

masing. Media sebagai penyampai pesan kepada masyarakat,

memiliki peran penting dalam membentuk opini publik atau

persepsi masyarakat terhadap suatu perkara.


41

Di antara sekian banyak media yang rutin mengikuti

perkembangan dan selalu update untuk memberitakannya kepada

khalayak adalah dua surat kabar terkemuka Indonesia, Harian

Media Indonesia dan Koran Tempo.

Kasus Bank Century ini menarik untuk diangkat karena kasus

ini adalah kasus yang tergolong paling banyak menyita perhatian

publik. Tidak hanya kalangan perbankan dan politisi saja, namun

seluruh lapisan masyarakat.

Dalam memberitakan kasus ini, setiap media memiliki cara

pandangnya masing-masing. Begitu juga dengan Harian Media

Indonesia dan Koran Tempo.

Harian Media Indonesia yang berada di bawah Media Group

milik Surya Paloh lebih terbuka dan berani dalam memberitakan

kasus Bank Century ini. Harian Media Indonesia banyak

menurunkan berita-berita yang mengarah pada kesimpulan bahwa

bailout Bank Century adalah kebijakan yang salah dan harus

dipertanggung jawabkan. Selain itu, harian Media Indonesia juga

acap kali merilis berita yang mengarah pada dugaan bahwa di balik

kasus Bank Century ini ada permasalahan besar yang ditutupi,

yang berujung pada dugaan adanya indikasi keterlibatan pihak

Istana (SBY- Boediono).


42

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat di
simpulkan sebagai berikut :
1. Mekanisme Penetapan dan Pencabutan Perpu diatur dalam Pasal 52
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang
No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
yaitu :
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke
DPR dalam persidangan yang berikut (Persidangan pertama DPR
setelah Perpu ditetapkan Presiden).
2. Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk
pengajuan RUU tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
3. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujan
terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat
persetujan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-
Undang.
5. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak
mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
6. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus
dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan RUU tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
7. RUU tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mangatur segala akibat
hukum dari Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang.
8. RUU tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (5). Terhadap Perpu No.4 Tahun 2008 tentang
JPSK, mekanisme Pencabutan Perpu tersebut belum sesuai dengan
apa yang telah diatur oleh Undang-Undang yang berlaku. DPR tidak
melakukan penegasan atas penolak Perpu No.4 Tahun 2008 tentang
43

JPSK. dimana seharusnya setelah ditolak seharusnya ada UU


pencabutan atas Perpu tersebut. Tapi dalam prakteknya, Perpu yang
diterbitkan 2008 baru dicabut di tahun 2015. Dimana dalam Undang-
Undang RUU Pencabutan Perpu diajukan dimasa sidang berikutnya
setelah Perpu itu ditolak DPR.
2. Implikasi Hukum terhadap Perpu No.4 Tahun 2008 tentang JPSK terhadap
pemberlakuan ketentuan tentang JPSK yaitu timbulnya ketidakjelasan
kedudukan Perpu JPSK dalam sistem hukum Indonesia menyebabkan
terjadi ketidakpastian hukum. Bahwa setelah menurut DPR Perpu ditolak,
segala ketentuan aturan yang diatur oleh Perpu No.4 Tahun 2008 tentang
JPSK, dianggap tidak berlaku dan otomatis tidak bisa dijadikan dasar
hukum atas suatu tindakan penanganan krisis yang terjadi.
Namun tindakan Pemerintah dalam pengucuran dana bail out Bank Century
dilandaskan pada aturan dalam Perpu No.4 Tahun 2008 tentang JPSK,
yang menurut Pemerintah sejak ditetapkan menjadi Perpu, Perpu itu belum
ditolak secara nyata oleh DPR, otomatis bagi Pemerintah segala ketentuan
yang diatur dalam Perpu No.4 Tahun 2008 tentang JPSK, masih tetap
berlaku dan masih dijadikan payung hukum untuk mengambil langkah
kebijakan penanganan krisis.
B. SARAN
Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang
diajukan dalam penelitian ini. Saran dari Penulis yaitu dilakukan Revisi
terhadap Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, terhadap Pasal 52 mengenai Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Yaitu mengenai :
a. Bahwa perlu adanya penegasan batas waktu sejak sidang paripurna
DPR menolak Perpu sampai pengajuan RUU Penolakan Perpu oleh
Presiden atau DPR, serta konsekuensi terhadap Perpu yang apabila
dalam waktu yang ditentukan sejak penolakan Perpu oleh DPR
sampai batas waktu pengajuan RUU Pencabutan Perpu masih belum
mengajukan RUU Pencabutan Perpu. Agar tidak memunculkan
polemik hukum seperti halnya Perpu No.4 Tahun 2008 tentang JPSK,
yang ditetapkan Pemerintah pada tahun 2008
dan RUU Pencabutan Perpu serta disahkannya Undang-Undang
Pencabutan Perpu No.4 Tahun 2008 tentang JPSK oleh DPR, baru
dilakukan di tahun 2015.
b. Perpu adanya penegasan atas kata kata yang digunakan DPR dalam
menyetujui ataupun menolak Perpu yang ditetapkan oleh Presiden.
Supaya tidak terjadi multitafsir antara DPR dengan Presiden atas
status suatu Perpu yang telah ditetapkan oleh Presiden, untuk
menciptakan kepastian hukum..
44

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1994).

Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum pemerintahan yang Layak Dalam


Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, (Yogyakarta: Total Media, 2008).
Kusumaningtuti SS, 2010, Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Krisis
Perbankan Di Indonesia,
cetakan ke-2, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Diterbitkan atas
kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat studi HTN Fakultas Hukum UI,
Jakarta, 2004
Sidney Hook, Democrasy dalam the Enclopedia Americanan edisi International,
(New York; Coorporation, 1975), VIII.
William Ebestein, democrasy, dalam william D. Hasley and Bernard Johnston (eds)
Collier’s encyclopedia, (New York: Macmillan Educational company, 1988), VIII.
David jary and Julia, collin’s Dictionary of Sociology, (Glasgow Haper Collin
Publisher; 1991).
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Pertama, FH UII
Press, Yogyakarta, 2003.
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII
Press, Yogyakarta, 2005.
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat studi Hukum FH UII kerjasama
dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999.

Dokumen Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 Ayat (4)
Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Website
https://politik.rmol.id/read/2013/02/28/100303/Tom-Ingatkan,-Menjebloskan-
Boediono-ke-Penjara-Bukan-Tujuan-Utama%3Ci%3E!%3C/i%3E-

Anda mungkin juga menyukai