Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KULIAH

HUKUM LINGKUNGAN
Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H

KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN


DALAM PERSPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN

Oleh :
TOMU AUGUSTINUS PASARIBU
NIM : 1902190075

PROGRAM STUDI
MAGISTER ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2021
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul Kearifan Lokal
Dalam Pembangnan Berkelanjutan Dalam Perspektif Hukum Lingkungan Dari
Aspek Hukum Lingkungan tepat waktu.
Makalah Kearifan Lokal Dalam Pembangnan Berkelanjutan Dalam Perspektif
Hukum Lingkungan Ditinjau Dari Aspek Hukum Kerusakan Lingkungan
(Reklamasi Lingkungan) disusun guna memenuhi Tugas Hukum Lingkungan oleh
Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H Program Studi Magister Hukum Program
Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia. Selain itu, penulis juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Hukum
Administrasi Negara.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Satya


Arinanto, S.H., M.H selaku pengampuh mata kuliah Negara Hukum dan
Demokrasi. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima
kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Jakarta, 06 Januari 2021

Tomu Agustinus Pasaribu


1902190075

i
DAFTAR ISI

Daftar Isi........................................................................................................i
Kata Pengantar.............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................11
BAB II BAB II PEMBAHASAN..................................................................13
A. Hukum Administrasi Negara................................................................13
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara...........................................13
2. Mekanisme Pembuatan Perpu Sesuai dengan HAN........................15
3. Mekanisme Pencabutan Perpu sesuai HAN....................................19
4. Implikasi dari HAN dalam Hal Perpu ................................................28
5. G........................................................................................................12
6. F...........................................................................................................2
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN........................................................37
A. Kesimpulan......................................................................................37
B. Saran ..............................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................42

ii
2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Munadjat Danusaputro, lingkungan atau lingkungan hidup

adalah semua benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia

dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada

dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan

jasad-jasad hidup lainnya. 1 Rumusan pengertian lingkungan hidup menurut

seorang akademisi itu sama dengan rumusan normative dalam Pasal 1 butir 1

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 2009 No. 140, yang untuk

seterusnya dalam disertasi ini disebut dengan singkatan UUPPLH) yaitu

“kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup,

termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi alam itu sendiri,

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup

lain”. Rumusan dalam UUPPLH tersebut juga sama dengan rumusan undang-

undang lingkungan hidup sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1997 sebagaimana ditelaah oleh seorang sarjana hukum pemerhati

lingkungan.2 Dengan demikian, terdapat keajegan atau kesinambungan

pengertian lingkungan hidup dari masa ke masa.

Permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah permasalahan

ekologi. Inti permasalahan lingkungan hidup ialah hubungan timbal balik antara

makhluk hidup dengan lingkungannya.

1
Munadjat Danusaputro, 1985, Hukum Lingkungan, Buku I Umum, Binacipta, Jakarta,
hlm.67.
2
N.H.T Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan,
Jakarta, Erlangga, hlm. 4.
Apabila hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

lingkungannya berjalan secara teratur dan merupakan satu kesatuan yang

saling mempengaruhi, maka terbentuklah suatu sistem ekologi yang lazim

disebut ekosistem. Karena lingkungan terdiri dari komponen hidup dan tak

hidup, maka ekosistem pun terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup

yang berinteraksi secara teratur sebagai suatu kesatuan dan saling

mempengaruhi satu sama lain (interdependence).3

Secara umum, lingkungan dapat dibagi dalam 3 bentuk yang dominan,


yaitu:

(1) Lingkungan alam; (2) Lingkungan buatan; dan (3) Lingkungan sosial
budaya.

Ketiga jenis lingkungan tersebut berada dalam suatu ekosistem besar yang

disebut bumi, yang merupakan pendukung kehidupan manusia (life support

system) di planet bumi yang merupakan bagian dari sistem planet jagat raya

yang berpusat pada matahari sebagai sumber energi dan daya gerak sistem. 4

Di antara komponen-komponen ekosistem, manusia adalah komponen

yang paling dominan dan menentukan. Manusia dengan segala kelebihannya

dibandingkan makhluk hidup lainnya, dengan akal dan budinya mempunyai

kemampuan yang besar untuk mengubah atau mempengaruhi lingkungan.

Hanya saja lingkungan mempunyai kemampuan yang terbatas untuk

menerima perubahan-perubahan tersebut. Batas kemampuan lingkungan

untuk menerima perubahan inilah yang dinamakan dengan daya dukung

lingkungan (environment carrying capacity).5 Kelangkaan sumber daya alam

menjadi sumber permasalahan dalam kehidupan manusia.

3
Muhammad Akib, 2014, Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 3.
4
Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegadakan Hukum Lingkungan di
Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 4.
5
Muhammad Akib, Op.cit., hlm. 4.
Manusia mengandalkan sumber daya alam untuk dapat memenuhi

semua keinginan manusia. Oleh sebab itu, perlu ada kebijakan dari pemerintah

tentang alokasi pemanfaatan sumber daya alam.Karena masyarakat terdiri dari

berbagai kelompok orang yang memiliki kepentingan yang berbeda, maka

alokasi pemanfaatan sumber daya alam harus didasarkan pada kriteria Pareto

optimal, yaitu sebuah kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang dapat

meningkatkan kesejahteraan sejumlah orang, tetapi tanpa memperburuk

kesejahteran kelompok lainnya.6

Meskipun kemajuan ekonomi merupakan komponen yang sangat

esensial, namun ekonomi bukan satu-satunya komponen di dalam suatu

bangsa. Pembangunan bukanlah semata-mata fenomena ekonomi.

Pembangunan harus dapat mencakup lebih dari soal kebutuhan dan

kemampuan bangsa. 7 Sebagai reaksi dari akibat pembangunan dan

indutrialisasi yang telah menyebabkan berbagai kerusakan dan pencemaran

lingkungan, di seluruh dunia sedang terjadi gerakan yang disebut gerakan

ekologi dalam (deep ecology) yang dikumandangkan dan dilakukan oleh

banyak aktivis organisasi lingkungan yang berjuang berdasarkan visi untuk

menyelamatkan lingkungan agar dapat berkelanjutan. Gerakan ini merupakan

antitesis dari gerakan lingkungan dangkal (shallow ecology) yang berperilaku

eksploitatif terhadap lingkungan. 8 kebijakan yang terpadu dan menyeluruh dan

memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang.9

6
Richard Stewart dan James E. Kriel, 1978, Environmental Law and Policy, New York The
Bobbs Merrill Co. Inc., Indianapolis, hlm. 99, dalam Takdir Rahmadi, 2011, Hukum
Lingkungan di Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 31.
7
Michael P. Todaro, 1994, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta, hlm.
61 dan 87.
8
Deni Bram, 2014, Hukum Lingkungan Hidup: Homo Ethic Menuju Eco Ethic, Gramata
Publishing, Bekasi, hlm. 22.
9
Ibrahim, 2009, Materi Perkuliahan Hukum Tata Lingkungan di Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Untuk menjaga konsep keselarasan antara pembanguanan dengan

kelestarian lingkungan hidup sering disebut pembangunan yang berwawasan

lingkungan dan akhir-akhir ini lebih dikenal dengan pembangunan

berkelanjutan (sustainable development). Secara umum pembangunan

berkelanjutan mempunyai ciri-ciri tidak merusak lingkungan hidup yang dihuni

manusia, dilaksanakan dengan kelanjutan pembangunan dan kelestarian

lingkungan, maka diperlukan adanya suatu kebijakan untuk mengatur batas

perubahan yang terjadi pada lingkungan, agar lingkungan tetap dapat

memberikan kesejahteraan bagi benda dan makhluk hidup di dalamnya

UUPPLH menyatakan ada dua jenis masalah lingkungan hidup yang

perlu dicegah terjadinya dan diatasi jika timbulnya kedua masalah itu tidak

dapat dicegah oleh pemberlakuan ketentuan UUPPLH. Kedua masalah

lingkungan itu adalah pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan,

Pengertian pencemaran lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1

butir 14 UUPPLH adalah “masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat,

energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia

senhingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang ditetapkan.”

Pencemaran lingkungan dapat terjadi dalam bentuk pencemaran air

permukaan, pencemaran air bawah tanah, pencemaran laut, pencemaran

tanah, pencemaran udara,pemansan global, penipisan lapisan ozon, kebauan,

kebisingan dan getaran. eksploitatif terhadap lingkungan.


Kebakaran kawasan hutan atau perkebunan yang menimbulkan

pencemaran udara atau kabut asap dapat menimbulkan dampak infeksi

saluran pernapasan akut. Keadaan ini terjadi khususnya di 4 (empat) propinsi,

yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selata yang sering

dilanda kebakaran hutan dan kawasan perkebunan. Bencana asap juga

mengganggu jadwal penerbangan dan kegiatan perkantoran serta kegiatan

belajar-mengajar di sekolah.10

Pengertian kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dirumuskan dalam Pasal

1 butir 17 UUPPLH adalah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap

sifat fisik,kimia dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup.” Kerusakan lingkungan dapat terjadi dalam

bentuk penggundulan hutan, lahan kritis, penambangan mineral tanpa

pemulihan lingkungan, punahnya spesies tertentu. 11 kedua masalah

lingkungan hidup Menurunnya kualitas lingkungan hidup tersebut menimbulkan

ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika,

kerugian ekonomi, dan terganggunya sistem alami. 12 Karena pencemaran

lingkungan dan kerusakan lingkungan dapat menimbulkan dampak negatif

yang tidak dapat dipulihkan, maka pemerintah perlu mengundangkan undang-

undang lingkungan hidup yang menjadi dasar hukum bagi upaya pencegahan

terjadinya masalah lingkungan hidup dan bagi upaya-upaya penyelesaian

hukum jika masalah-masalah itu gagal dicegah. Jadi undang-undang

lingkungan yang berlaku saat ini yaitu UUPPLH merupakan instrumen

kebijakan pemerintah Dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan

10
Website Organisasi Merawat Indonesia; https://beritagar.id (terakhir kali dikunjungi pada 3
Januari 2015).
11
Takdir Rahmadi, Op.Cit, hlm. 1.
12
Ibid.
sumber hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup dan merupakan sumber

hukum lingkungan Indonesia.

Masalah lingkungan hidup bukan hanya masalah lingkungan fisik

manusia atau hanya masalah biologis manusia, tetapi terkait dengan masalah

moral yaitu perilaku manusia terhadap alam.. Kerusakan alam seperti erosi,

banjir, luapan lumpur, deforestasi dan kebakaran hutan bukan hanya

menimbulkan kecemasan bagi nasib manusia saja, tetapi menimbulkan

keprihatinan betapa perilaku manusia telah melampaui khittah-Nya dan rusak.

Oleh karena itu pula, masalah lingkungan hidup menjadi lahan pemikiran para

ahli moral. 13 Krisis ekologis sudah menjadi realita kontemporer 14


yang

melebihi batas-batas toleransi 15 dan kemampuan adaptasi. 16 Proliferasinya

pun mencapai dimensi global dan terus berdampak secara dramatis.17 Menurut

J. Barros dan J.M. Johnston, timbulnya masalah-masalah lingkungan erat

kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia, ini antara

lain disebabkan oleh, pertama, kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk

limbah, zat-zat buangan yang berbahaya seperti logam berat, zat radio aktif

dan lain-lain. Kedua, kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan

instlasi, kebocoran, pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara

dan rusaknya lahan bekas pertambangan. Menurut J. Barros dan J.M.

Johnston, timbulnya masalah-masalah lingkungan erat kaitannya dengan

13
Deni Bram, Op.cit, hlm. 3-4.
14
David C. Korten, 1993, Menuju Abad Ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 35.
15
Lester R. Brown, 1986, Kembali Di Simpang Jalan: Masalah Kependudukan dengan
Sumber Daya Alam, Rajawali, Jakarta, hlm. 7.
16
Alvin Toffler, 1974, Future Shock, A Santas Book, Random House Inc., New York, hlm. 7.
17
United Nations Environment Programme (UNEP), 1997, Global Environment Outlook
Report, Progress Press Ltd, Malta.
aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia, ini antara lain

disebabkan oleh, pertama, kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah,

zat-zat buangan yang berbahaya seperti logam berat, zat radio aktif dan lain-

lain. Kedua, kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan instlasi,

kebocoran, pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara dan

rusaknya lahan bekas pertambangan. Ketiga, kegiatan transportasi, berupa

kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan kendaraan bermotor,

tumpahan bahan bakar berupa minyak bumi dari kapal tanker. Keempat,

kegiatan pertanian terutama akibat dari residu pemakaian zat- zat kimia untuk

memberantas serangga/tumbuhan pengganggu, seperti insektisida, pestisida,

herbisida, fungisida dan juga pemakaian pupuk anorganik. 18 Pencemaran dan

perusakan lingkungan terus meluas tiada henti melanda biosfer dengan

rentetan kompleksitas konsekuensinya. 19 Aktifitas pembangunan yang

dilakukan manusia tersebut betujuan untuk meningkatkan perekonomian,

namun perlu disadari bahwa meskipun kemajuan ekonomi merupakan suatu

komponen yang sangat esensial, tetapi ekonomi bukan satu-satunya

komponen di dalam suatu bangsa.20 Kondisi dan kualitas sumber daya alam

dan lingkungan hidup di Indonesia dapat dikatakan semakin memprihatinkan.

Pada beberapa tahun belakangan ini kejadian kerusakan dan pencemaran

lingkungan,

18
Harun Husein, 1992, Lingkungan Hidup, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 24.
19
Lester R. Brown, 1982, Dua Puluh Dua Segi Masalah Kependudukan, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta; Skhepi, 1994, Delapan Perusahaan Perusak lingkungan dan Anatomi
Masalah Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta; serta Siti Sundari dan Th. G. Druspteen, 1996,
Kasus-kasus Hukum Lingkungan Tahun 1996, ICEL.
20
Michael P. Todaro, Op.cit, hlm. 61.
daya alam dan lingkungan Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh

semakin tahunya masyarakat akan arti penting dari pengelolaan lingkungan

hidup di satu pihak, sedangkan dipihak lain peraturan dan/atau penerapan

peraturan tersebut kurang atau bahkan tidak digunakan sama sekali.

Namun hukum baru memiliki arti secara empiris jika hukum ditegakkan.

Penegakan hukum lingkungan hidup dapat ditempuh melalui jalur tata usaha

negara, pidana dan perdata. Namun perlu disadari pula bahwa dalam

kenyataannya masih terdapat beberapa kendala bagi pengadilan/hakim di

dalam menangani dan mengadili kasus-kasus lingkungan hidup, baik perkara

pidana maupun perkara perdata ataupun tata usaha negara. Kendala yang

dihadapi, terutama ditinjau dari segi-segi sebagai berikut:

1. Sarana hukumnya sendiri, baik peraturan-peraturan hukum yang

bersifat prosedural maupun substansial, terutama dalam bidang

penegakan hukum pidana, misalnya tentang pertanggungjawaban

pidana dari korporasi, sistem pembuktian dan sebagainya. Juga dalam

bidang perdata yang menyangkut tuntutan ganti rugi dan biaya

pemulihan, dan sistem pertanggungjawaban mutlak (strict liability)

yang masih memerlukan pengaturan segi prosedurnya maupun

peraturan-peraturan pelaksanaannya lebih lanjut.

2. Sumber daya manusianya, yaitu keterbatasan aparat hakim sebagai

peengak hukum yang cukup memahami serta berkemampuan secara

teknis profesional dalam menangani kasus-kasus lingkungan hidup.

21
Bambang Prabowo Soedarso, 1997, Kumpulan Bahan Kuliah Hukum Lingkungan, Yayasan
Indonesia Lestari, Jakarta, hlm. 18.
22
Paulus Effendi Lotulung, 1998, “Peran Pengadilan Dalam Penegakan Hukum Lingkungan”,
Jurnal Hukum Lingkungan, ICEL, Tahun I No. 1/1994, ISSN 0854-7378 Cetakan ke-2, hlm. 56-
57.
Kemampuan ini harus didasari oleh pengetahuan yang cukup tentang

hukum lingkungan dalam horison yang luas, hal mana membutuhkan

pendalaman melalui sarana pendidikan atau pun pelatihan-pelatihan

serta studi komparatif. Ini disebabkan karena penanganan kasus

lingkungan hidup membutuhkan pendekatan interdisipliner yang saling

terkait, kompleks dan bukan saja pendekatan yuridis secara kaku dan

konvensional, melainkan juga pendekatan ekologis.

3. Sarana peralatan teknis yang menunjang tugas-tugas penegakan

hukum, misalnya antara lain laboratorium yang dapat menjadi acuan

tunggal dalam soal pembuktian adanya pencemaran dan sebagainya.

Menurut Andi Hamzah, penegakan hukum lingkungan sangat rumit dan

banyak pelanggaran beranekaragam, mulai dari yang paling ringan seperti

kasus reklamasi pantai yang menyebabakan ancaman banjir, perubahan

ekosistem, dan juga hilangnya mata pencaharian para nelayan. Penegakan

hukum lingkungan menempati titik silang berbagai bidang klasik. Hukum

Lingkungan ditegakkan dengan berbagai instrumen, berupa instrumen

administratif, perdata, atau hukum pidana bahkan dapat ditegakkan dengan

ketiga instrumen sekaligus. Kemudian, dalam rangka penegakan hukum para

penegak hukum lingkungan harus pula menguasai berbagai bidang hukum

klasik seperti hukum pemerintahan (administratif), hukum perdata, dan hukum

pidana, bahkan sampai kepada hukum pajak, pertanahan, tata negara, dan

internasional (publik maupun privat).23

Penyelesaian sengketa lingkungan melalui instrumen hukum administratif

bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak

memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan

semula (sebelum ada pelanggaran). Oleh karena itu, fokus perbuatan dari
sanksi administratif, sedangkan orang (dader; offender) dari sanksi hukum

pidana. Selain itu, sanksi hukum tidak hanya ditujukan kepada pembuat, tetapi

juga kepada mereka yang potensial menjadi pelanggar. 24 Disamping memberi

ganjaran atau ganti kerugian (retribution), juga merupakan nestapa bagi

pembuat dan untuk memuaskan kepada korban individual maupun kolektif.

Selain dari wewenang untuk menerapkan paksaan administratif

(besturdwang), hukum lingkungan mengenal pula sanksi administratif yang lain

seperti penutupan perusahaan, larangan memakai peralatan tertentu, uang

paksa (dwangsom), dan penarikan izin. Tujuan paksaan administratif atau

pemerintahan adalah untuk memperbaiki hal-hal sebagai akibat dilanggarnya

suatu peraturan. Dalam mempergunakan instrumen administratif, penguasa

harus memperhatikan apa yang disebut oleh Hukum tata usaha negara

sebagai asas-asas pemerintahan yang baik (the general principles of good

administration atau bahasa Belandanya algemen beginselen van behorlijk

bestuur).25 Penegakan hukum lingkungan dapat juga melalui jalur hukum

perdata. Hampir semua kasus perdata diupayakan ke pengadilan yang

tertinggi untuk kasasi karena selalu tidak puasnya para pihak yang kalah.

Bahkan, ada kecenderungan orang sengaja mengulur waktu dengan selalu

mempergunakan upaya hukum, bahkan walaupun kurang beralasan biasa

dilanjutkan pula ke peninjauan kembali. Sesudah ada putusan itu masih juga

sering sulit untuk dilaksanakan. 26

23
Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 49-50.
24
Mas Ahmad Santosa, 2001, Good Governance Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta,
hlm.107.
25
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 82- 83.
26
Ibid., hlm. 89.
Penegakan hukum lingkungan dapat juga melalui jalur hukum perdata. Jalur ini di Indonesia
kurang disenangi karena proses yang berlarut-larut di pengadilan. Hampir semua kasus
perdata diupayakan ke pengadilan yang tertinggi untuk kasasi karena selalu tidak puasnya
para pihak yang kalah. Sekalipun Indonesia belum memiliki suatu undang-undang
tersendiri yang secara khusus mengatur tentang reklamasi, tetapi telah ada sejumlah
peraturan yang berkenaan dengan reklamasi pantai dan laut, walaupun secara
partial. Peraturan-peraturan tersebut mencakup:
I. Pasal 34 UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Melalui pasal ini diberikan: I)
kepastian hukum terhadap pelaksana reklamasi pantai, yaitu
reklamasi pantai merupakan pranata hukum yang sah, walaupun harus dengan
memperhatikan sejumlah syarat; dan 2) kepastian hukum terhadap masyarakat,
yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 1 butir 32), berupa jaminan
keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat (Pasal 34
ayat (2) huruf a). Tidak tercakup dalam pasal ini masyarakat
perkotaan.
2. Pasal 12 PP Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
yang menentukan bahwa tanah yang berasal dari tanah timbul atau
hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa,
danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oIeh Negara. Dalam
Pasal ini diberikan kepastian hukum terhadap keabsahan tanah
hasil reklamasi, walaupun sampai pada ketentuan bahwa tanah itu
dikuasai langsung oleh negara.
PasaI-pasal di atas menunjukkan bahwa reklamasi pantai merupakan
suatu hal yang tidak dapat ditolak pelaksanaannya oIeh masyarakat, kecuali
mungkin oleh masyarakat hukum adat dengan mengajukan keberatan
terhadap Pasal 34 UU No.27 Tahun 2007 sebagai bertentangan dengan Pasal
18B ayat (2) UUD 1945. Masyarakat lokal dan masyarakat perkotaan,
sepanjang bukan merupakan masyarakat hukum adat maupun masyarakat
lokal,. memiliki kedudukan yang lebih lemah dalam menghadapi pelaksanaan
reklamasi pantai.
Dalam tulisan ini dikaji apakah implikasi pelaksanaan reklamasi pantai
dan laut terhadap masyarakat pesisir dan apakah upaya perlindungan yang
telah ada maupun yang masih perlu dilakukan.
B. Rumusan Masalah

Adapun Rumusan Masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana mekanisme pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perpu) yang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) ?

2. Bagaimana implikasi dari Hukum Administrasi Negara dalam hal Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) ditolak terhadap pemberlakuan

ketentuan tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Prespektif Hukum terhadap Reklamasi Pantai


1. Konsep Reklamasi Pantai
Reklamasi memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau
masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan.
Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah
sungai yang lebar, ataupun di danau. Dalam hubungannya dengan lahan atau
tanah, reklamasi dimaknai sebagai suatu kegiatan mengambil atau
memanfaatkan lahan atau area yang tidak dapat digunakan, kemudian dilakukan
rekayasa, sehingga kemudian lahan atau area tersebut dapat dimanfaatkan oleh
manusia. Lahan yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk melakukan
reklamasi adalah kawasan pantai, lepas pantai atau offshore, danau, rawa-rawa
ataupun sungai yang begitu lebar.
Kota-kota pantai di Indonesia asal mulanya juga terbentuk dari tepian air. Dari
wilayah ini inovasi-inovasi sosial, ekonomi, budaya tumbuh dan berkembang
dalam bentuk kegiatan masyarakat, berpolitik, berdagang, berbudaya, dan
akhirnya dapat terbentuk pemerintahan. Dalam perkembangan dan
pertumbuhannya daerah pantai cenderung menjadi ibu kota, kota indsutri, kota
pelabuhan, kota pariwisata dan untuk pengembangan olahraga air, bahkan
daerah pantai dapat menjadi lebih berkembang dibanding daerah-daerah di
perkotaan. Kawasan pesisir dan tepian pantai merupakan daerah yang dapat
menyimpan potensi ekonomi, baik tepian pantai yang berada di perkotaan,
maupun tepian-tepian pantai yang berada di pedesaan. Pemanfaatan pantai di
daerah pedesaan pada umumnya dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata
dengan memanfaatkan pemandangan yang alami. Sedangkan pantai yang
terletak di daerah perkotaan selain dapat menjadi daerah kunjungan wisata, juga
dapat menjadi tempat berdirinya bangunan untuk kegiatan lain setelah
mengalami pengembangan melalui reklamasi pantai.
Mengacu pada beberapa definisi di atas memberikan pemahaman yang cukup
jelas tentang reklamasi pantai sebagai suatu kegiatan penimbunan dengan
memasukkan sejumlah material terhadap areal pantai yang tergenang air secara
terus-menerus dengan tujuan untuk mendapatkan lahan kering yang diatasnya
dapat didirikan bangunan.
2. Konsep Dasar Hukum Penataan Ruang
Perkotaan di Indonesia sedang mengalami bertumbuhan penduduk
yang sangat pesat, yang membawa dampak pada kebutuhan
peningkatan ruang perkotaan dan penyediaan prasarana dan sarana
dalam jumlah cukup untuk memenuhi keutuhan di masa mendatang.
Terutama dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan produktivitas
perkotaan. Berbagai macam ragam dinamika perkotaan diprediksi
membawa konsekuensi-konsekuensi yang secara signifikan
menentukan laju pertumbuhan kota. Pergeseran tata nilai sosial dan
upaya maupun ruang wilayah terus menggejala dan mewarnai
perkembangan kota. Kota-kota yang ada di Indonesia cenderung
berlokasi pada kawasan kesuburan tanah tinggi, sehingga dibutuhkan
usaha untuk lebih mengefisiensi pemanfaatan lahan perkotaan yang
ada saat ini. Perkembangan penduduk dan kegiatan usaha yang tinggi
dapat mengakibatkan timbulnya kompetensi antara kegiatan usaha dan
antar penduduk dalam memperoleh lahan maupun antar kelompok
masyarakat. Maka yang dibutuhkan adalah suatu usaha untuk dapat
pengarahkan pembangunan kota yang lebih menjaga terciptanya
pemerataan kesempatan untuk hidup antar penduduk maupun kegiatan
usaha.27
3. Hak Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah mas:¥arakat yang bermukim di wilayah
pesisir. Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, pengertian masyarakat pesisir memiliki pengertian yang khusus.
Menurut Pasal I butir 32 undang-undang ini, masyarakat (pesisir) adalah
"masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat LokaI yang bermukim
di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil." Jadi lingkup perhatian terhadap
masyarakat pesisir dalam Undang-Undang ini hanya mencakup masyarakat adat dan
masyarakat lokal saja. Hak-hak tradisional dari masyarakat hukum ad at amat luas
dan beraneka ragam. Dalam Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir,yang
dibuat dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang tentangPengelolaan
Wilayah Pesisir, dikemukakan adanya Hak Masyarakat Adat(tradisional) seperti: Hak
Ulayat Laut, Hak Kepemilikan Masyarakat Adat,dan Sasi Laut di Maluku]
27. Prasetijo rijadi, PEMBANGUNAN HUKUM PENATAAN RUANG DALAM KONTEKS
KOTA BERKELANJUTAB, (Surabaya, Airlangga University Press, 2005) hal.36

Dalam lingkup internasional, secara khususeksistensi hak masyarakat


tradisional terhadap tanah dan kampunghalamannya dirumuskan dalam
dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa No.E/CN.4/2002/97. Substansi yang
lebih rinci dari hak masyarakat tradisionalini dapat ditemukan dalam ILO
Convention concerning Indigenous and
Tribal Peofles in independent Countries Nomor 169 tahun 1989 tanggal 27juni
1989. Di Indonesia, Indigenous and Tribal Persons dikenal
sebagaimasyarakat hukum adat. Dalam suasana hukum adat, masing-
masingmasyarakat hukum adat, yang merupakan subyek-subyek
hukum,mempunyai sejumlah hak. Hak ini oleh Pasal 18B ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 disebut sebagai "hak-hak tradisionalnya".Masyarakat
lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tatakehidupan sehari-
hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai
nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada
Sumber daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu (Pasal 1 butir 34 UU
No.27 Tahun 2007). Mengenai riwayat pengunaan istilah masyarakat lokal,
dalam Naskah Akademik Pengelolaan Pesisir dan Laut Sulawesi Utara
dikemukakan bahwa, dalam proses penyusunan draft Ranperda Minahasa,
diajukan pertanyaan dengan melihat syarat-syarat teoritis suatu masyarakat
hukum adat, apakah di Minahasa masih ada masyarakat hukum adat,
sehingga untuk menghindariperdebatan teoritis, akhimya dalam Perda
Minahasa digunakan istilahperkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang." Supaya
konsisten dengan Undang-Undang Oasar 1945, selanjutnya secara tetap akan
digunakan istilah masyarakat hukum adat sekalipun yang dibahas adalah
masyarakat hukum adat yang bennukirn di wilayah wilayah. Supaya konsisten
dengan Undang-Undang Oasar 1945, selanjutnya secara tetap akan
digunakan istilah masyarakat
hukum adat sekalipun yang dibahas adalan masyarakat hukum adat yang
bermukim di wilayah pesisir.
4. PENATAAN RUANG

Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan


prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang
berlaku (Pasal 13 UU penataan ruang). Rencana tata ruang ditinjau
kembali dan atau penyempurnaan sesuai dengan jenis
perencanaannya secara berkala. Ketentuan mengenai kriteria dan
tata cara peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata
ruang diatur dengan peraturan pemerintah. Perencanaan tata ruang
tersebut dilakukan dengan perimbangan

Gagasan Pengaturan untuk pembatasan pemilikan dan


penguasaan tanah yang ada di Indonesia dirintis pada tahun 1978,
permasalahan pemilikan dan penguasaan tanah sudah ada sejak
tahun 70-an itu ternyata menjadi semakin krusial, perangkat hukum
untuk meminimalisir penggunaan tanah bangunan yang melampaui
batas kewajaran. Pertumbuhan ekonomi dan meningkat nilai
ekonomis tanah semakin tajamnya kesenjangan sosial, yang dimana
penguasa tanah yang mudah membeli tanah untuk kepentingannya
sendiri, pembangunan- pembangunan yang merampas hak tanah
dari kelas bawah membutuhkan tanah. Tidak mustahil apabila dapat
memicu suatu permasalahan pada bidang pertanahan.

Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata


Ruang disebutkan bahwa “perencanaan tata ruang, struktur, dan
pola tata ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air dan tata
guna sumber daya lainya”. Sehubungan dengan hal tersebut,
penatuganaan tanah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
penataan ruang, atau subistem dari penataan ruang. Pada saat ini
penatagunaan tanah merupakan unsur yang paling dominan dalam
proses penataan ruang. Sesuai dengan situasi dan kondisi
keagrariaan Indonesia dan tujuan untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pengertian Landreform
secara luas meliputi lima program yang
dikenal dengan Agraria Reform Indonesia (Panca Program) yaitu
sebagai berikut28 :
5. Pelaksanaan Pembaruan Hukum Agraria, Melalui Unifikasi Hukum
yang Berkonsepsi Nasional dan Pemberian Jaminan Kepastian
Hukum.
6. Penghapusan terhadap Segala Macam Hak-hak Asing dan
Konsensi- konsensi Kolonial Atas Tanah
7. Diakhirinya Kekuasaan Para Tuan Tanah dan Para Feodal Atas
Tanah yang Telah Banyak Melakukan Pemerasan terhadap
Rakyat Melalui Penguasaan Tanah secara berangsur-angsur.
8. Pembiaran mengenai pemilik dan penguasaan tanah serta
berbagai hubungan-hubungan Hukum yang berkaitan dengan
Penguasaan atas tanah dalam mewujudkan pemerataan
kemakmuran dan keadilan.
9. Perencanaan Persediaan, Peruntukan Bumi, air dan Kekayaan
Alam yang terkandung di dalamnya serta Penggunanya secara
Terencana sesuai dengan Daya dukung dan Kemampuanya.

7. Pembatasan Penguasaan Tanah

Pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah bangunan


yang diatur dalam UU Dasar 1945 yang menjadi landasan UUPA
memberikan keleluasaan negara untuk memberikan hak atas tanah
kepada perorangan dan badan hukum sesuai dengan keperluannya.
Apabila adanya kesimpangan penguasaan dan pemilikan tanah
maka jelas bersimpangan dengan asas landreform yang bertujuan
untuk mewujudakan keadilan sosial berupa pemerataaan
penguasaan tanah sebagaimana dijabarkan oleh Pasal 7 dan Pasal
17 UUPA, hal ini ditindak lanjuti dengan adanya UU No 56 Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam Pasal 12 UU
No 56/1960 disebutkan bahwa maksimum luas dan jumlah tanah
perumahan

28. Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, (Jakarta; Grafindo
Persada, 2010) hlm.36
Pembangunan lainnya serta pelaksanaan selanjutnya diatur dengan
peraturan pemerintah.

Landreform merupakan sebagai upaya penataan kembali


struktur pemilikan dan penguasaan tanah ditujukan untuk mencapai
keadilan, utamanya bagi mereka yang sumber penghidupannya
tergantung pada produksi pertanian. Berbagai program land reform,
antara lain berupa Redistribusi tanah atau rural land reform (yang
berasal dari tanah tanah jabatan di desa, tanah yang tidak sesuai
dengan kebutuhan rill pengusahaan bidang industri, perumahan,
jasa/pariwisata, penguasaan di bidang pertanian, perkebunan dan
kehutanan) kemudian perlu diperhatikan juga urban landreform
karena kesenjangan posisi tawar antara mereka yang mempunyai
akses modal dan akses politik di perkotaan, berhadapan dengan
mereka yang tidak mempunyai akses tersebut, telah semakin
membuat orang miskin kota semakin terpinggirkan dalam upaya
memperoleh sebidang tanah untuk menopang kehidupanya. 29

Dalam pengaturan pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah


sudah banyak alternatif yang ditawarkan seperti halnya, upaya
berupa pengenaan pajak yang dimana pajak atas tanah dapat
digunakan sebagai instrumen kebijakan untuk mendorong
penggunaan tanah secara produktif, ataupun menangani
permasalahan seperti spekulasi tanah. Dengan demikian, maka
terhadap setiap bidang tanah kelebihan dari batas maksimum
dikenakan pajak dengan tarif yang efektif progresif. Guritno
Mangkoessoebroto menggunakan istilah lain, yakni bidang tanah di
atas luas minimum yang tidak dikenakan pajak. Yang penting adalah
bahwa bagi penguasa tanah yang melebihi batas yang
diperkenankan akan dikenai pajak yang lebih besar. Dalam hal
pengaturan pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah terdapat
adanya hal yang harus diperhatikan yaitu;

Maria S.W, Sumardjono, TANAH DALAM PERSPEKTIF HAK


29

EKONOMI SOSIAL DAN BUDAYA, (Jakarta, PT Kompas Media


Nusantara, 2009) hlm 74
Pertama, adanya kewajiban untuk mendaftarkan tanah.
Pengawasan terhadap pelanggaran atas batas maksimum luas
tanah bangunan tidak mudah dilakukan bila tanah-tanah yang
dikuasai itu dalam keadaan belum terdaftar. 50 Adanya suatu daftar
berupa subject index disamping tarct index yang disiapkan oleh
setiap kantor pertanahan akan mempermudah upaya mendeteksi
penguasaan tanah yang melampaui batas oleh seorang atau badan
hukum. Dengan jelas bahwa adanya pendaftaran tanah terdapat
manfaat bagi pemerintah maupun perorangan. Bagi pemerintah
tersedianya data yang akurat akan dapat menjadi dasar bagi
pengaturan dan pengelolaan sumber daya tanah dan sekaligus
sebagai dasar bagi pengenaan pajak, dan bagi perorangan akan
memeberikan jaminan kepastian hukum tehadap hak atas tanahnya.
(Burns dan Nettle, 1993)51

Kedua, perlu diwujudkan pengaturan tentang penelataran


tanah. Prakasa yang diawali dengan pengaturanya dalam konsep
RUU Hak Milik patut didukung dan perlu diupayakan elaborasinya,
untuk selanjutnya dapat pula diterapkan terhadap hak-hak atas
tanah lainya.

Ketiga, adanya penguasaan tanah yang melampaui batas


juga dimungkinkan melalui pemberian kuasa, maka sudah waktunya
diwujudkan peraturan tentang pemberian dan penggunaan kuasa di
bidang pertanahan sebagai tindak lanjut dari Interuksi Mendagri No
23 Tahun 1983 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak
sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Yang perlu dilarang adalah
pemberian kuasa yang pada hakekatnya merupakan pemindahan
hak atas tanah dalam hal-hal yang menyebabkan pelanggaran
terhadap pemilikan/penguasaan tanah secara absentee dan batas
maksimum
30
ELZA SYARIEF, Menuntaskan Sengketa Tanah, (Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia), hlm. 131
31
Burn, A.F dan K Nettle, Jakarta 1993, Rationale for a lane titling project, makalah
untuk land administration Project BPN
pemilik/penguasaan tanah, serta hal-hal lain yang pada hakekatnya
dimaksudkan sebagai penyelundupan hukum, disertai dengan
sanksinya yang tegas.

Pengaturan terhadap pembatasan pemilikan dan penguasaan


tanah bangunan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa
didukung pendaftaran tanah yang akurat. Upaya pendukungan lainya
berupa pemikiran tentang tanah terlantar dan pembatasan
penggunaan pemberian kuasa di bidang pertanahan pun
memerlukan perhatian yang sama, dalam pelaksanaan pembatasan
penguasaan dan pemiikan tanah dengan tujuan untuk adanya
ketersediaan tanah bagi semua kalangan yang membutuhkan.

Politik pertanahan yang menjadi dasar untuk pencapaian tujuan


pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut secara umum ditujukan untuk
tercapainya keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Bila
dijabarkan tujuan politik pertanahan secara garis besar, politik
pertanahan ditujukan untuk menjamin keadilan bagi semua orang
untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah dan mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh bagian manfaat dari
tanah bagi diri sendiri dan keluarganya. Secara khusus, penjabaran
politik pertanahan meliputi hal-hal sebagai berikut :32

1. Mencegah perbuatan yang bersifat memperkaya diri secara


tidak adil bagi sebagian kecil masyarakat
2. Mengupayakan penggunan tanah secra optimal dan
mencegah penelantaran tanah
3. Menjaga kelayakan harga tanah sehingga terjangkau bagi semua
pihak
4. Menjaga ketersediaan bahan pangan \
5. Melestarikan sumber daya alam berupa tanah dan lingkunganya
6. Melindungi hak perseorangan dan masyarakat hukum adat
serta memberikan jaminan terhadap kepastian haknya
32
Maria S.W, Sumardjono, TANAH DALAM PERSPEKTIF HAK EKONOMI
SOSIAL DAN BUDAYA, (Jakarta, PT Kompas Media Nusantara, 2009) hlm 86
7. Memberikan kemungkinan untuk menyediakan tanah bagi
kepentingan umum dengan memberikan penghormatan bagi
perorangan yang terkena dampak berupa ganti kerugian yang
adil yang meliputi hal-hal yang bersifat fisik/material dan
nonfisik/immateril, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Semakin terbukanya negara kita bagi pelaku bisinis asing yang


menambah maraknya percaturan pemanfatan tanah, hendaknya
tidak semakin mempertajam politisasi antara kelompok, yang kuat
dengana kelompok yang lemah dalam penguasaan dan
pemanfaatan tanah. Dalam berbagai kegiatan ekonomi tampil tiga
pelaku didalamnua, yakni negar/pemerintah, pihak swasta, dan
masyarakat, yang masing-masing mempunyai posisi tawar yang
berbeda karena perbedaan di dalam akses terhadap modal dan
akses politk berkenan dengan sumber daya alam berupa tanah yang
terbatas itu. Kedudukan yang tidak seimbang dalam posisi tawar di
antara masyarakat dan pihak swasta lebih dikukuhkan dengan
adanya kewenangan pembuatan kebijakan untuk merancang
kebijakan yang bisa terhadap kepentingan sekelompok kecil
masyarakt tersebut dalam upaya penguasaan dan pemanfaatan
tanah.

Perlunya kesegeraan pemerintah dalam membentuk peraturan-


peraturan yang mendasar dengan berpedoman pada politik
pertanahan nasional yang menyangkut kepentingan seluruh lapisan
masyarakat, yang juga akan berdampak positif untuk menarik minat
investasi. (1) Peraturan-peraturan tersebut antara lain : ketentuan
yang mengatur HM, HGU, HGB, dan hak pakai,
(2) ketentuan tentang tanah negara dan pengelolaanya (3) ketentuan
berkenan dengan pendaftaran tanah (4) Undang-Undang tentang
Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah (5) ketentuan yang bersangkutan dengan tanah
terantar dan ketentuan-ketentuan lainya yang menunjang.
Distribusi penguasaan tanah yang timpang tanah telah
menunjukan dampak yang merugikan. Penguasaan tanah untuk
industri dan pemukiman yang berskala besar telah memaksa alih
fungsi tanah pertanian dengan segala konsekuensinya. Perolehan
tanah dalam skala besar sudah tidak dapat disediakan oleh wilayah
pedesaan dan kebijakan melakukan Reklamasi Pantai merupakan
satu-satunya alternatif, sejauh mana hal itu dapat
dipertanggungjawabkan. Di dalam setiap pemberian hak yang
menyangkut penyediaan sumber daya alam, untuk kebijakan
pemberian izin reklamasu perlu pertimbangan matang guna
memutuskan apakah hal itu memang perlu, jikalau perlu haruslah
dipertimbangkan syarat-syarat dan sanksi yang tegas yang ada, dan
menuntut adanya transparansi, dengan menjamin berjalanya sistem
pengawasan yang efektif.

8. DAMPAK REKLAMASI

Mengait sesuai dengan sifat lingkungan yang memiliki multi


mata rantai relasi yang saling mempengaruhi secara subsistem.
Apabila satu aspek dari lingkungan terkena masalah, maka berbagai
aspek lainya akan mengalami dampak atau akibat pula, pada
awalnya masalah lingkungan hidup merupakan masalah alami, yakni
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai proses natural, proses
natural ini terjadi tanpa menimbulkan akibat yang berarti bagi tata
lingkungan itu sendiri dan dapat pulih kembali secara alamia.

Akan tetapi, pada saat ini masalah lingkungan tidak lagi dapat
dikatakan sebagai masalah yang semata- mata bersifat alami,
karena manusia memberikan faktor penyebab yang sangat
segnifikan secara variabel bagi peristiwa peristiwa lingkungan, tidak
disangkal bahwa masalah-masalah lingkungan yang lahir dan
berkembang karena faktor manusia jauh lebih besar dan rumit
dibandingkan dengan faktor alam itu sendiri. Manusia dengan
berbagai dimensinya, terutama dengan faktor mobilitas
pertumbuhannya, akal pikiran dengan segala
perkembangan aspek-aspek kebudayannya, dan begitu juga dengan
faktor proses masa atau zaman yang mengubah karakter dan
pandangan manusia, merupakan faktor yang lebih tepat dikaitkan
kepada masalah-masalah lingkungan hidup. Oleh karena itu,
persoalan-persoalan lingkungan saat ini, seperti pencemaran,
kerusakan sumber-daya alam, penyusutan cadangan- cadangan
hutan, musnahnya berbagai spesies hayati, erosi, banjir, bahkan
jenis- jenis penyakit yang berkembang, diyakini merupakan gejala-
gejala negativ yang secara dominan bersumber dari faktor manusia
itu sendiri, jadi, beralasan jika dikatakan, dimana ada masalah
lingkungan disitu ada manusia.

Sebagai proses perubahan yang terencanaan, jelas bahwa


masalah sosial yang timbul bukan merupakan hal yang ikut
direncanakan. Oleh sebab itu, maka lebih tepatnya disebut sebagai
efek sampingan atau dampak dari proses pembangunan
masyarakat. Mengingat bahwa gejala sosial merupakan fenomena
yang saling terkait, maka tidak mengherankan jika perubahan yang
terjadi pada salah satu atau beberapa aspek, yang dikehendaki atau
tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan pada
aspek yang lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki inilah
yang kemudian dikatagorikan sebagai masalah sosial.33

Perubahan pantai dan dampak akibat adanya reklamasi tidak


hanya bersifat lokal, tetapi meluas. Reklamasi memiliki dampak
positif maupun negatif bagi masyarakat dan ekosistem pesisir dan
laut. Dampak ini pun mempunyai sifat jangka pendek dan jangka
panjang yang dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dan masyarakat
tersebut.34
Secara hukum reklamasi pantai Indonesia, dapat menyangkut
dampak dan nilai manfaat apa yang akan diperoleh berdasarkan nilai
lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dalam hukum positif di Indonesia,
reklamasi diatur dalam UU

33
Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (jakarta, Dunia Pustaka
Jaya, 1995), hlm 165
34
Ruchyat Deni Dejakapermana, Sekertaris Direktorat Jendral Penataan Ruang,
Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pembangunan Kawasan, Kementrian PU
No. 27 Tahun 2007 yang telah di revisi menjadi UU No.1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
butir 23, disitu dikatakan reklamasi adalah kegiatan yang dilakukak
oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan
ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drenase. Dalam pasal 34 UU
No. 27 Tahun 2007 menjelaskan bahwa reklamasi dapat
meningkatkan manfaat dan nilai tambah wilayah pesisir ditinjau dari
aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi lalu pelaksanaan
reklamasi juga wajib menjaga dan memperhatikan kehidupan
masyarakat, pelestarian lingkungan pesisir, dan perencanaan
reklamasi baik. Berdasarkan penjelasan Pasal 34, ternyata
reklamasi pantai dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan yang
ada di masyarakat. Dampak pemanfaatan lahan terhadap
lingkungan dengan adanya kegiatan reklamasi seperti dampak
negatif (kerugian) dan dampak positif (keuntungan) yang diperoleh
sebagi berikut:35
1. Dampak Negatif
Secara teknis, reklamasi pantai dapat merubah konfigurasi
pantai dan menutup sebagian wilayah laut sehingga sulit
dibuktikan bahwa kegiatan tersebut tidak membawa dampak
negatif terhadap lingkungan laut. Termasuk mempengaruhi
keanekaragaman hayati secara negatif, mengganggu karakter
fisik, aktivitas dan interaksi dari organisme- organisme dalam
suatu lingkungan fisik wilayah laut. Selain permasalahan
lingkungan hidup akibat reklamasi pantai, reklamasi pantai juga
merambat pada permasalahan sosial, ekonomi dan sumber daya
alam. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari reklamasi
pantai sebagai berikut :
a. Pencemaran lingkungan pantai oleh limbah yang dihasilkan
b. Perubahan garis pantai pola arus laut saat ini
c. Pola kegiatan nelayan menjadi terganggu

35
Olivianty Rellua, Proses Perizinan dan Dampak Lingkungan Terhadap
Kegiatan Reklamasi Pantai, Lex Administratum, (Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013)
d. Gangguan terhadap tata air tanah maupun air permukaan
termasuk di dalamnya masalah erosi, penurunan kualitas
dan kuantitas air, serta potensi banjir di kawasan pantai
e. Terjadinya pencemaran pantai pada saat pembangunan
f. Permasalahan pemindahan penduduk dan pembebasan tanah
g. Potensi terjadinya kerusakan pantai dan instalasi bawah air
h. Potensi gangguan terhadap lingkungan (tergusurnya
perumahan nelayan, berkurangnya hutan mengrove,
terancamnya biota pantai langka)
i. Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),
Rencana Detail Tata Ruang (RDRT).
10.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Reklamasi memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak


berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna
dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-
rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di
danau. Dalam hubungannya dengan lahan atau tanah, reklamasi
dimaknai sebagai suatu kegiatan mengambil atau memanfaatkan
lahan atau area yang tidak dapat digunakan, kemudian Dalam
perkembangan dan pertumbuhannya daerah pantai cenderung
menjadi ibu kota, kota indsutri, kota pelabuhan, kota pariwisata dan
untuk pengembangan olahraga air, bahkan daerah pantai dapat
menjadi lebih berkembang dibanding daerah-daerah di perkotaan.
Kawasan pesisir dan tepian pantai merupakan daerah yang dapat
menyimpan potensi ekonomi, baik tepian pantai yang berada di
perkotaan, maupun tepian-tepian pantai yang berada di pedesaan.
Pemanfaatan pantai di daerah pedesaan pada umumnya dijadikan
sebagai tempat kunjungan wisata dengan memanfaatkan
pemandangan yang alami. Sedangkan pantai yang terletak di daerah
perkotaan selain dapat menjadi daerah kunjungan wisata, juga dapat
menjadi tempat berdirinya bangunan untuk kegiatan lain setelah
mengalami pengembangan melalui reklamasi pantai
konsepdilakukan rekayasa, Perkotaan di Indonesia sedang
mengalami bertumbuhan penduduk yang sangat pesat, yang
membawa dampak pada kebutuhan peningkatan ruang perkotaan
dan penyediaan prasarana dan sarana dalam jumlah cukup untuk
memenuhi keutuhan di masa mendatang. Terutama dikaitkan
dengan kemungkinan peningkatan produktivitas perkotaan. Berbagai
macam ragam dinamika perkotaan diprediksi membawa
konsekuensi-konsekuensi yang secara signifikan menentukan laju
pertumbuhan kota. Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pengertian
masyarakat pesisir memiliki pengertian yang khusus. Menurut Pasal
I butir 32 undang-undang ini, masyarakat (pesisir) adalah
"masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat LokaI
yang bermukim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil." Jadi
lingkup perhatian terhadap masyarakat pesisir dalam Undang-
Undang ini hanya mencakup masyarakat adat dan masyarakat lokal
saja. Hak-hak tradisional dari masyarakat hukum ad at amat luas
dan beraneka ragam. Dalam Naskah Akademik Pengelolaan
Wilayah Pesisir,yang dibuat dalam rangka penyusunan Rancangan
Undang-Undang tentangPengelolaan Wilayah Pesisir, dikemukakan
adanya Hak Masyarakat Adat(tradisional) seperti: Hak Ulayat Laut,
Hak Kepemilikan Masyarakat Adat,dan Sasi Laut di Maluku]. lima
program Perlunya kesegeraan pemerintah dalam membentuk
peraturan-peraturan yang mendasar dengan berpedoman pada
politik pertanahan nasional yang menyangkut kepentingan seluruh
lapisan masyarakat, yang juga akan berdampak positif untuk
menarik minat investasi. (1) Peraturan-peraturan tersebut antara
lain : ketentuan yang mengatur HM, HGU, HGB, dan hak pakai,
(2) ketentuan tentang tanah negara dan pengelolaanya (3) ketentuan
berkenan dengan pendaftaran tanah (4) Undang-Undang tentang
Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah (5) ketentuan yang bersangkutan dengan tanah
terantar dan ketentuan-ketentuan lainya yang menunjang.
Distribusi penguasaan tanah yang timpang tanah telah
menunjukan dampak yang merugikan. Penguasaan tanah untuk
industri dan pemukiman yang berskala besar telah memaksa alih
fungsi tanah pertanian dengan segala konsekuensinya. Perolehan
tanah dalam skala besar sudah tidak dapat disediakan oleh wilayah
pedesaan dan kebijakan melakukan Reklamasi Pantai merupakan
satu-satunya alternatif, sejauh mana hal itu dapat
dipertanggungjawabkan. Di dalam setiap pemberian hak yang
menyangkut penyediaan sumber daya alam, untuk kebijakan
pemberian izin reklamasu perlu pertimbangan matang guna
memutuskan apakah hal itu memang perlu, jikalau perlu haruslah
dipertimbangkan syarat-syarat dan sanksi yang tegas yang ada, dan
menuntut adanya transparansi, dengan menjamin berjalanya sistem
pengawasan yang efektif.

B. SARAN
Perlu dibuat Undang-Undang tersendiri tentang reklamasi pantai
dan laut yang mengatur reklamasi secara komprehensif
(menyeluruh), mencakup hak-hak masyarakat hukum adat,
masyarakat lokal, maupun masyarakat perkotaan, juga mengatur
syarat-syarat, perencanaan, pelaksanaan, perlindungan dan/atau
kompensasi terhadap masyarakat serta penataan dan pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
2. Masyarakat harus terlibat dalam perencanaan kebijakan
lingkungan hid up. Jika reklamasi dilaksanakan harus ada kompensasi terhadap
kerugian masyarakat adat, lokal, atau pesisir, sebaiknya dalam bentuk
pemberdayaan masyarakat, untuk itu perlu dimasukkan sebagai tanggung jawab
dan kewajiban hukum dalam undang-undang tersendiri tentang reklamasi.
Selain itu perlu ditetapkan berlakunya asas praduga menolak reklamasi
(presumption against reclamation) untuk zona-zona tertentu, terutama untuk
daerah-daerah yang lingkungannya membutuhkan perlindungan.

Anda mungkin juga menyukai