BY :
ANNISA ISTIQOMAH
XI PSIA 2
NIS 3118
SMA PLUS NEGERI 17 PALEMBANG
Jalan Mayor Zurbi Bustan, Lebong Siarang
TAHUN AJARAN 2012/2013
Pemberontakan Rangga Lawe
Pada tahun 1292 Masehi, Ranggalawe diminta untuk membantu Raden Wijaya
membuka Hutan Tarik (di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa
pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Ranggalawe sendiri merupakan
pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti
“benang”, atau dapat juga bermakna “kekuasaan”. Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi
kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.
Raden Wijaya menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit. Menurut Kidung
Ranggalawe, atas jasa-jasanya dalam perjuangan Rangga Lawe diangkat sebagai bupati
Tuban yang merupakan pelabuhan utama di Jawa bagian timur saat itu Pararaton
mengisahkan Rangga Lawe memberontak terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut
seorang pejabat licik bernama Mahapati. Kisah yang lebih panjang terdapat dalam
Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Rangga Lawe. Ketidakpuasan dengan
kedudukan yang diperoleh serta nuansa lingkup intrik politik dalam istana, telah
menjadikan peristiwa Rangga Lawe ini menjadi sumber timbulnya pemberontakan
dalam dua dasawarsa yang pertama dari sejarah kerajaan yang baru tersebut.
Pararaton menyebut pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1295 Masehi,
namun dikisahkan sesudah kematian Raden Wijaya. Menurut naskah ini,
pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara naik takhta. Sedangkan menurut
Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia dan digantikan kedudukannya oleh
Jayanagara terjadi pada tahun 1309 Masehi. Akibatnya, sebagian sejarawan berpendapat
bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1309 Masehi, bukan 1295
Masehi. Seolah-olah pengarang Pararaton melakukan kesalahan dalam penyebutan
angka tahun. Nagarakretagama juga mengisahkan bahwa pada 1295 Masehi Jayanagara
diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di istana Daha. Selain itu Kidung Panji
Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe dengan jelas menceritakan bahwa
pemberontakan Ranggalawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan
Jayanagara. Sementara itu, Nagarakretagama sama sekali tidak membahas
pemberontakan Ranggalawe. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah ini merupakan
sastra pujian sehingga penulisnya, Mpu Prapanca, merasa tidak perlu menceritakan
pemberontakan seorang pahlawan yang dianggapnya sebagai aib.
Diceritakan dalam Kidung Ranggalawe, suatu hari Ranggalawe menghadap Raden
Wijaya di ibukota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora.
Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai
patih. Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di
halaman istana. Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya
sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke
Tuban. Oleh Mahapati yang licik, Nambi diberitahu bahwa Ranggalawe sedang
menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin
pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum
Ranggalawe.
Pasukan Majapahit kemudian mengepung tentara Tuban dari tiga jurusan, dari
timur barat dan utara. Masing-masing pasukan di bawah pimpinan Mahisa Anabrang,
Gagak Sarkara dan Mayang Sekar. Pasukan yang menyerang dari jurusan timur, di
bawah pimpinan Mahisa Anabrang, segera terlibat dalam pertempuran. Mahisa
Anabrang kehilangan kudanya, tentara Majapahit dipukul mundur. Mahisa Anabrang
yang berhasil melepaskan diri dari maut, menghadang Rangga Lawe di tepi Sungai
Tambak Beras bersama kuda barunya merendam di dalam air, untuk menyegarkan
kembali badannya. Mendadak Ranggalawe, yang mengendarai Nila Ambara,
menyambarnya. Kuda Nila Ambara kena tusuk tombak. Rangga Lawe jatuh ke dalam
air, namun berhasil memanjat karang padas. Mahisa Anabrang menariknya kembali ke
dalam air. Terjadilah Pergumulan antara Mahisa Anabrang dan Rangga Lawe di dalam
air. Dalam perkelahian sengit itu, Mahisa Anabrang berhasil mengepit leher
Ranggalawe, Rangga Lawe terengah-engah kehabisan tenaga. Dengan mudah Kebo
Anabrang mengepitnya lagi di bawah ketiak. Akhirnya, Rangga Lawe pun meninggal
dunia.
Pemberontakan Lembu Sora
Setelah Jayakatwang berhasil dikalahkan dan pasukan Mongol yang dipimpin Ike
Mese diusir dari Pulau Jawa, Raden Wijaya pun mendirikan mendirikan Kerajaan
Majapahit pada tahun 1293 AD. Pararaton menyebutkan jabatan Sora dalam kerajaan
baru tersebut adalah rakryan demung. Akan tetapi, dalam Prasasti Sukamreta tahun
1296 AD, tertulis nama rakryan demung Majapahit adalah Mpu Renteng, sedangkan
Mpu Sora menjabat sebagai rakryan patih ri Daha, atau patih bawahan di Daha (Kadiri).
Keputusan Raden Wijaya tersebut konon memicu pemberontakan Ranggalawe pada
tahun 1295. Ranggalawe berpendapat bahwa Sora lebih pantas diangkat sebagai rakryan
patih Majapahit daripada Nambi. Namun meski Ranggalawe adalah keponakan Sora,
namun Sora justru mendukung Raden Wijaya supaya tetap mempertahankan Nambi
sebagai patih Majapahit.
Intrik dan suasana ‘kisruh’ diantara sesama pejabat yang menjadi rekan setia Raden
Wijaya dimanfaatkan oleh Mahapati (tokoh yang oleh pengarah pararaton di gambarkan
mempyai peringai yang ambisius dan licik) secara licik karena secara diam-diam sang
Mahapati menyimpan ambisi jabatan rakryan patih Majapahit. Ia mengungkap
pembunuhan Kebo Anabrang kepada putranya yang bernama Mahisa Taruna, agar
menuntut balas kematian ayahnya untuk diajukan ke pengadilan negara. Senarai dengan
itu sang Mahapati berbicara berlawanan kepada Raden Wijaya bahwa para menteri
merasa resah karena raja seolah-olah melindungi kesalahan Sora. Raden Wijaya
tersinggung karena merasa dituduh berlaku tidak adil, lalu ia memberhentikan Sora dari
jabatannya dan menunggu keputusan yang lebih baik. Disinilah kesempatan Sang
Mahapati ‘mengambil simpati’ Raden Wijaya, dengan bijak sang Mahapati
mengusulkan agar jasa-jasa Sora kepada negara juga turut diperhitungkan maka
hendaknya Sora tidak dihukum. Pertimbangan ‘bijak’ sang Mahapati diterima Raden
Wijaya yang selanjutnya memutuskan Sora dihukum buang ke Tulembang.
Mahapati lalu diperintahkan menemui Sora di rumahnya untuk menyampaikan
surat keputusan raja. Sora sedih atas keputusan itu, dan ia berniat ke ibukota meminta
hukuman mati daripada harus diusir meninggalkan tanah airnya. Akan tetapi, Mahapati
lebih dulu menghasut Nambi dengan mengatakan bahwa Sora akan datang untuk
membuat kekacauan karena tidak puas atas keputusan raja. Setelah mendesak Raden
Wijaya, Nambi diizinkan menghadang Sora yang datang bersama dua orang sahabatnya,
yaitu Gajah Biru dan Juru Demung. Terjadilah peristiwa Sora dan kedua temannya
(Gajah Biru dan Juru Demung) tewas di halaman istana dikeroyok tentara Majapahit.
Berita Kidung Sorandaka agak sedikit berbeda dengan yang dituturkan Pararaton yang
menyebut kematian Juru Demung terjadi pada tahun 1235 Saka/1313 AD, sedangkan
Gajah Biru pada tahun 1236 Saka/1314 AD. Kematian kedua sahabat Sora tersebut
terjadi pada masa pemerintahan Jayanagara (putra Raden Wijaya).
Pemberontakan Tanca
Ra Tanca adalah satu-satunya Dharmaputra yang masih hidup setelah peristiwa
pemberontakan Ra Kuti tahun 1319. Dikisahkan pada tahun 1328 AD, Ra Tanca
menemui Gajah Mada untuk menyampaikan keluhan istrinya. Istri Ra Tanca mendengar
berita bahwa Jayanagara melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah
Wiyat untuk menikah. Konon Jayanagara sendiri berniat mengawini kedua adiknya itu.
Tanca meminta agar Gajah Mada, yang saat itu menjadi abdi kesayangan Jayanagara,
supaya mengambil tindakan pencegahan. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada
laporan Ra Tanca. Hal ini membuat Ra Tanca merasa tersinggung.
Ra Tanca merupakan ahli pengobatan istana. Suatu hari ia dipanggil untuk
mengobati sakit bisul yang diderita Jayanagara. Di dalam kamar raja hanya ada ia,
Jayanagara, dan Gajah Mada. Usai melakukan terapi pembedahan, tiba-tiba Tanca
menusuk Jayanagara sampai tewas. Seketika itu pula Gajah Mada ganti membunuh
Tanca.
Perbuatan Gajah Mada membunuh Tanca tanpa pengadilan menimbulkan
kecurigaan. Sejarawan Slamet Muljana menyimpulkan kalau dalang pembunuhan
Jayanagara sesungguhnya adalah Gajah Mada sendiri.
Menurut Pararaton saat itu Gajah Mada sedang menjabat sebagai patih Daha, di
mana rajanya adalah Dyah Wiyat. Meskipun ia dekat dengan Jayanagara, pastinya ia
pun lebih dekat dengan Dyah Wiyat. Nampaknya Gajah Mada sengaja memancing
amarah Tanca dengan pura-pura tidak peduli supaya Tanca sendiri yang mengambil
tindakan. Siasat Gajah Mada ini berjalan baik. Tanca pun membunuh raja, dan
kemudian langsung dibunuh oleh Gajah Mada seolah untuk menghilangkan jejak.
Dengan demikian, Gajah Mada telah berhasil menyelamatkan Dyah Wiyat dari
nafsu buruk Jayanagara tanpa harus mengotori tangannya dengan darah raja tersebut.