Kejayaan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar
tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa
kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Majapahit
menguasai kerajaan-kerajaan lainnya di semenanjung Malaya, Borneo, Sumatra, Bali, dan
Filipina.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350
hingga 1389. Pada masanya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan
mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit
menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah
Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya
sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Majapahit lainnya adalah Adityawarman,
yang terkenal karena penaklukannya di Minangkabau.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit
meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara,
Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian, batasan alam dan
ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada
di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh
perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan
dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim
duta-dutanya ke Tiongkok.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-
angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-
1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi
pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang
dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna
ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus
dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah
“sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh
candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh
Girindrawardhana
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah
mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh
Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan
perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul
di bagian barat nusantara
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta)
mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan
penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun
1518 dan 1521 M
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode
kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana
yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan
Majapahit menjadi dua kelompok.
Raja-raja Majapahit
A. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 – 1309)
B. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328)
C. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1350)
D. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389)
E. Wikramawardhana (1389 – 1429)
F. Suhita (1429 – 1447)
G. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 – 1451)
H. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
I. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 – 1466)
J. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
K. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
L. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
M. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
A. Raden Wijaya
Raden Wijaya (lahir: ? – wafat: Majapahit, 1309) adalah pendiri Kerajaan Majapahit
sekaligus raja pertama yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Sri Maharaja
Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Raden Wijaya nerupakan nama yang
lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri Kerajaan Majapahit. Nama ini
terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga
menulisnya secara lengkap, yaitu Raden Harsawijaya. Padahal menurut bukti-bukti prasasti,
pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakaian gelar raden belum populer.
Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri
Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar dyah merupakan gelar kebangsawanan yang
populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar Raden. Istilah Raden sendiri diperkirakan
berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya,
karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada
tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah
lebih sering digunakan.
Masa Pemerintahan
Dalam memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu
setia dalam perjuangan. Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu Sora sebagai
patih Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan. Pada tahun 1294 Wijaya
juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu yang dulu melindunginya saat
pelarian menuju Pulau Madura.
Pada tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut Ranggalawe
untuk memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih,
dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe tewas,
Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia menagih janji Wijaya
tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya. Maka, sejak saat itu,
wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang sebelah timur dipimpin oleh
Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama Lumajang).
Pada tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe.
Dalam pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe
dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora merasa tidak tahan dan berbalik
membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi suasana
perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru dan Jurudemung
tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.
Akhir Hayat
Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Ia
dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau perpaduan
Wisnu dan Siwa. Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja selanjutnya.
B. Jayanagara
Jayanagara (lahir: 1294 – wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang
memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri
Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan Jayanagara terkenal sebagai masa
pergolakan dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Ia sendiri meninggal akibat dibunuh
oleh tabib istananya.
Asal-Usul
Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet putra Raden
Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia
dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol
oleh pihak Majapahit. Raden Wijaya yang sebelumnya telah memiliki dua orang istri putri
Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagai Stri Tinuheng Pura, atau “istri yang
dituakan di istana”.
Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya Kerajaan Majapahit
terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang
dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293. Naskah
Nagarakretagama juga menyebut angka tahun 1293. Sehingga, jika berita-berita di atas
dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara Petak dapat diperkirakan terjadi
pada tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.
Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam Nagarakretagama dan prasasti-prasasti
peninggalan Majapahit. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya bukan hanya menikahi
dua, tetapi empat orang putri Kertanagara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita,
Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan Jayanagara dilahirkan dari istri yang bernama
Indreswari. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Indreswari adalah nama lain Dara
Naik Takhta
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja
muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam prasasti
Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara
Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika
diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang
disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa Jayanagara adalah nama asli sejak
kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka. Sementara nama Kalagemet yang
diperkenalkan Pararaton jelas bernada ejekan, karena nama tersebut bermakna “jahat” dan
“lemah”.
Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya yang
menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Kematian Jayanagara
Pararaton mengisahkan Jayanagara dilanda rasa takut kehilangan takhtanya. Ia pun
melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat menikah karena khawatir
iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan muncul desas-desus kalau kedua putri yang lahir dari
Gayatri itu hendak dinikahi oleh Jayanagara sendiri.
Desas-desus itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat itu sudah
menjadi abdi kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan tentang istrinya yang
diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan tersebut.
Ra Tanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul
Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh Jayanagara di atas tempat
tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan segera menghukum mati Tanca di
tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1328. Menurut Pararaton Jayanagara didharmakan dalam
candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan. Sedangkan menurut
Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara
juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha
jelmaan Amogasidi.
Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh karena itu takhta
Majapahit kemudian jatuh kepada adiknya, yaitu Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana
Tunggadewi
C. Tribhuwana Wijayatunggadewi
Pemerintahan Tribhuwana
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri)
tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri
meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili
Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia satu-
satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi
takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi
pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana
Tunggadewi.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya,
Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta.
Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam
memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat
sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.
D. Hayam Wuruk
Dyah Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah
tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya,
Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya.
Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa
bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada
mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang,
dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya.
Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri
Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah
dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir
yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre
Lasem.
Peristiwa Bubat
Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja sunda (di Jawa Barat),
Diah Pitaloka Citrasemi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok
Pajajaran. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak
Pajajaran untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Pajajaran
menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini
seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah
Majapahit.
“Kecelakaan sejarah” ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat
Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian
Suksesor
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang
bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun
yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.
E. Wikramawardhana
Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit yang memerintah berdampingan
dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu Kusumawardhani putri Hayam Wuruk, pada tahun
1389-1427.
F. Suhita
Prabu Stri Suhita adalah raja wanita Majapahit yang memerintah tahun 1427-1447,
bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja.
Pemerintahan Suhita
Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara
Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre Wirabhumi dengan cara
menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari berita ini terasa masuk akal kalau
hubungan Bhre Wirabhumi dan Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut
secara tegas dalam Pararaton.
Nama Suhita juga muncul dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-
king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat
Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya Teja,
kakek Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh
tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan suami istri itu
dicandikan bersama di Singhajaya.
Karena tidak memiliki putra mahkota, Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah
Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.
G. Kertawijaya
Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan
gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Menurut Pararaton, Kertawijaya adalah
putra Wikramawardhana dari selir. Putra Wikramawardhana yang lain adalah Hyang
Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah
menjadi Bhre Tumapel, yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.
Kertawijaya naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa
pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa
pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra
Bhre Tumapel.
Kertawijaya wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya
sebagai raja digantikan Rajasawardhana
Hubungan antara Rajasawardhana dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas
dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau Rajasawardhana naik
takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain mengatakan Rajasawardhana adalah
putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah
Wijayakumara.
H. Brawijaya
Prabu Brawijaya (lahir: ? – wafat: 1478) atau kadang disebut Brawijaya V adalah
raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang memerintah
sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia
sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam
penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya
cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku
sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Kisah hidup
Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta
menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam
waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya[rujukan?] yang bernama Arya Damar
belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu
Raden Patah yang juga anak tiri Arya Damar.[rujukan?]
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari
Campa. Patihnya bernama Gajah Mada. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara
lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong
bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.
Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya,
putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar
Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati
Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama
Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut
Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga
beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
- Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
- Prabu Brakumara
- Prabu Brawijaya I
- Ratu Ayu Kencanawungu
- Prabu Brawijaya II
- Prabu Brawijaya III
- Prabu Brawijaya IV
- dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Baik itu pemerintahan Brawijaya ataupun Brawijaya V sama-sama dikisahkan
berakhir akibat serangan putranya sendiri yang bernama Raden Patah pada tahun 1478.
Raden Patah kemudian menjadi raja pertama Kesultanan Demak, bergelar Panembahan
Jimbun
Kepustakaan
Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon. Semarang:
Aneka Ilmu
Babad Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Babad Tanah Jawi. 2007. (terjemahan). Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKISBabad Tanah Jawi,
Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II.
Jakarta: Balai Pustaka
R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Wikipedia