UAS SSBI 1 - Dimas Saputra Kafandy 2036021010
UAS SSBI 1 - Dimas Saputra Kafandy 2036021010
NPM : 2036021010
Administrasi Publik 2020
“Banjir Kiriman”
2. Dingin meghunus setiap inci kulit 2. Karena lambat nya bantuan pakaian dari
pemerintah membuat warga kedinginan
3.Genangan air yang takunjung 3.Air yang takunjung surut membuat warga
surut kehilangan pakaian dan tempat tinggal
3. Air yang takunjung Surut 3. Air yang terus bertambah akibat kiriman yang
terus terbuka mengakibatkan warga kesusahan
dan cemas
3 Pelanggaran HAM 1. Luapan Air sungai Campoan 1. Luapan Sungai Campoan terjadi akibat air
kiriman dan mengakibatkan salah satu warga
bahkan sampai kehilangan nyawanya akibat
luapan air yang deras itu
3.Gedung Berdiri
4 Perilaku Yang Buruk 1. Kasno Kepada Maksan 1. Kasno dan kasman adalah tetangga tapi
keduanya baru berbicara atau tegur sapa ketika
banjir datang dan keduanya sama sama
mengungsi di masjid
2. Bagaimana kalau itu azab 3. Banjir datang karena manusianya sendiri yang
meminta. Sungaisungai
dipersempit.
6 Pertikaian/Konflik 1. Mastini istri Maksan 1. Mastini sangat keras kepala dan tak mau
Sosial menghiraukan omongan suami dan tetangga nya
percayalah tak mungkin banjir ujarnya
7 Pengangguran 1. Banjir Yang tak surut 1. Karena banjir yang takunjung surut
mengakibatkan warga menjadi tidak bisa bekerja
karena akses tertutup
Hampir seminggu setelah hujan mengucur deras. Orangorang mengungsi di masjid. Genangan air
tak kunjung surut. Tingginya sepinggul orang dewasa. Banjir itu datang bersamaan dengan jebolnya
bendungan Sungai
Campoan. Tiap hari awan hitam membungkus permukaan langit, disertai gerimis tipis liris serupa
helaihelai rambut. Mereka berusaha mereda cemas. Khawatir rumah yang ditinggalkan sudah
diseret air bah.
“Ikhlaskan kalau memang rumah harus diseret banjir.” Maksan, lakilaki berkumis tebal, menepuk
pundak kawannya yang menampakkan wajah murung.“Kalau air tak kunjung surut, apa tidak
mungkin masjid ini juga bisabisa ditenggelamkan banjir?” tanya Kasno kepada Maksan. Mereka
berdua bertetangga. Tapi, pembicaraan di antara mereka terjadi setelah dua lelaki paruh baya itu
samasama mengungsi di masjid itu. Sebelum banjir datang, Kasno dan Maksan jarang bertegur
sapa, apalagi sampai mengobrol berjam jam seperti ini. “Masjid adalah tempat paling aman. Tak
mungkin banjir bisa menenggelamkan rumah ibadah ini,” kata Maksan sembari menyulut sebatang
rokok. Dingin menghunus setiap inci kulit. Orangorang mengobrol dalam masjid, mengusir rasa
bosan yang mulai menghinggapi benak mereka. Berlamalama mengungsi tentu tidak nyaman.
“Mengapa bisa begitu?” Kasno mengernyitkan dahinya. Menyipit matanya. Dipandanginya wajah
Maksan yang tampak biasabiasa saja. Diembuskannya asap rokok yang melegakan pikiran rumit
Maksan.“Ini tempat ibadah. Rumah Allah. Tidak mungkin Allah akan menenggelamkan rumahnya
sendiri.” Maksan mengulas senyum di bibirnya. Kasno menganggukkan kepala mendengar
penjelasan Maksan pada pagi lembab. “Itulah mengapa orangorang kerap berlindung di masjid
ketika banjir datang.” Kasno menambahkan dengan binarbinar di matanya, mendahului ucapan
Maksan. Beberapa jenak kemudian, Kasno merogoh sebungkus rokok dalam sakunya. Tidak tahu
kapan air akan surut sehingga Kasno kerap berdoa agar air itu sesegera mungkin susut, menyingkir
dari rumah rumah penduduk. Namun, air justru bertambah meskipun hujan tidak turun setiap hari
lagi, sebagaimana harihari sebelumnya. “Mungkin kita disuruh lebih lama tinggal di masjid supaya
ingat ibadah,” bicara Kasno tak lebih serupa desis. Maksan tak menanggapi gumam kawan akrab
satusatunya, yang baru ia sadari kalau lakilaki itu tetangga sebelah rumahnya. Ia menikmati
isapan demi isapan asap yang keluar masuk dari dada ringkihnya yang kian menyempit. Ketika
awan membiarkan celah matahari bersinar menerpa tubuh dua laki laki di samping masjid itu,
Maksan mendadak terisak. Dibuang sebatang rokok yang masih menyala. Ia menundukkan wajah.
Lakilaki bertubuh agak kerempeng itu ingat akan kematian sang istri. Pagi agak lembab ketika
istrinya terperosok ke lubang parit di antara genangan air yang masih selutut. Waktu itu, istri
Maksan berkukuh tetap tinggal di rumah. Sebagian warga mulai mengungsi, tidak mau
menanggung risiko. Khawatir luapan air Sungai Campoan disertai curah hujan yang seakan siap
menuangkan air dalam jutaan meter kubik per detik membuat mereka tak sanggup menyelamatkan
diri. Mastini, istri Maksan, keras kepala. Tak mau dengar omonganomongan tetangga, termasuk
ucapan suaminya yang berkalikali membujuk perempuan 35an itu meninggalkan rumah.
“Percayalah. Tak mungkin banjir,” ujarnya lembut pada Maksan. Katakata
itu diulangulang begitu Maksan melontarkan bujukan padanya. Padahal Maksan menyadari, air itu
mulai bertambah setiap harinya. Maksan menatap genangan air di depan rumahnya, yang lambat
laun tingginya bertambah. Kematian istrinya menjadi jawaban bagi Maksan, mengapa perempuan
berkulit kuning langsat itu tak mau meninggalkan rumah. Seseorang diminta menjemput Bardi,
anak Maksan, ke sekolah. Jasad Mastini dibaringkan di atas lincak. Kecipak air di bawah ranjang
bergoyanggoyang, lalu mengalir pelanpelan ke setiap sudut rumah. Tangis Bardi meledak ketika
bocah tujuh tahun itu berdiri di ambang pintu, melihat ibunya dikerumuni orangorang.
Maksan ikut menitikkan air mata. Ia menarik tubuh anaknya dari dekapan sang ibu. Bergotong
royong warga menggali liang kubur secepat mungkin. Dikhawatirkan air makin bertambah. Kubur
digali di pemakaman keluarga, di antara air yang pelanpelan merambat masuk ke dalam.
“Setiap tahun, setiap banjir pasti ada yang meninggal,” celetuk seseorang yang ikut ke pemakaman.
“Mungkin karena makin banyak gedung berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan
sungaisungai kian menyempit.”
“Mungkin pula karena Allah sedang menguji hambahambaNya.”
“Bagaimana kalau itu azab?” Pertanyaan muncul dari mulut lakilaki
berkumis tipis. Orangorang jadi terdiam. Hanya bisa memandangi raut muka lakilaki itu. Mereka
menghela napas panjang, melegakan tenggorokannya sekaligus mengaburkan bayangan kengerian
perihal banjir yang dibilang azab oleh lakilaki dengan tulangbelulang serupa batang lidi
pada sebidang dadanya itu. Jasad Mastini dimasukkan ke dalam liang lahat. Bardi menjerit. Sesaat
kemudian, ia menangis panjang dan amat menyayat. Maksan menabur bunga di atas pusara sang
istri. Nisan dipegangnya erat. Tak ingin dilepas. Wajah Bardi, anak mereka, membenamkan
wajahnya ke dalam dada Maksan. Tujuh menit setelah orangorang meninggalkan pemakaman.
Mereka berdua juga ikut membawa langkahnya, menerabas air yang senantiasa mengalir, dengan
ketinggian setumit orang dewasa.
Tak sampai tujuh hari Maksan di rumah. Ia mesti meninggalkan rumah satusatunya itu dengan
menyimpan luka di dadanya lantaran tak bisa mengadakan tahlilan selama tujuh hari bagi sang istri.
Warga berbondong bondong menuju masjid, kurang lebih lima kilometer dari rumah yang mereka
tinggalkan. Maksan bersama Bardi terpiuhpiuh melangkah menuju masjid.
Dikabarkan melalui siaran televisi, banjir hampir menenggelamkan separuh kota. Orangorang
tercengang sekaligus heran, mengapa masjidmasjid tak tersentuh oleh air. Pengungsian
dipusatkan di masjidmasjid karena itu cuma satusatunya tempat yang luput dari serangan banjir.
Aneh, piker orangorang dalam tempurung kepalanya. Sementara Maksan, selalu setiap hari, lepas
maghrib mengaji di dalam masjid. Mengirim doadoa kepada sang istri, yang kini mungkin makam
itu sudah dilumat oleh banjir. Kasno mengakui kesedihan kawannya itu berlipat ganda mencekik
hidupnya. Kerutkerut di kening Maksan membentuk garis terombangambing. Sorot matanya
suram. Kasno merasa bersyukur, banjir kali ini tak merenggut seorang pun nyawa keluarganya.
Meskipun begitu, ia pernah menangis untuk kematian ayahnya sewaktu
banjir melanda tahun lalu. “Apakah banjir memang kerap minta tumbal?” Maksan bertanya kepada
Kasno. Tersenyum Kasno mendengar Maksan mengajukan pertanyaan serupa itu. Wajar Maksan
melontarkan kalimat itu karena ia kerap menjadi saksi kematian warga setiap tahun, setiap kali
banjir menghajar rumah mereka. Termasuk atas kematian ayah Kasno.
“Banjir datang karena manusianya sendiri yang meminta. Sungaisungai dipersempit. Sampah
dibuang di sungai. Maka, ke mana lagi air itu akan mengalir jika tempat yang semestinya diusik.”
Ucapan Kasno membuat Maksan merenung. Masuk ke dalam dirinya sembari membenarkan
perkataan Kasno dalam hatinya. Mendung menggantung di langit. Dua laki laki itu masuk ke dalam
masjid. Mereka ingat belum mengerjakan shalat Isya. Kamis malam kesepuluh, lepas isya Maksan
dikejutkan dengan mengalirnya air ke halaman masjid. Tujuh menit berlalu, air itu kian
bertambah. Semula Maksan mengira air selokan masjid sedang meluap karena hujan mengucur
deras semalam. Tapi, mata lakilaki paruh baya itu dibuat terbelalak ketika dilihatnya air terus
bertambah hingga mencapai undakan masjid.
“Banjir .... Banjir .... Banjir datang,” teriakan Maksan dari teras masjid
disambut panik oleh orangorang yang tengah terlelap. Berbondong bondong mereka keluar.
Maksan mencari Bardi di antara kerumunan orangorang. Bocah itu langsung mendekap ayahnya.
Butuh waktu lama agar warga pengungsi segera keluar dari masjid, mencari tempat aman.
“Ke mana kita harus mengungsi?”
“Apa masih ada masjid yang luput dari banjir?”
Kepanikan merambati sekujur tubuh orangorang sampai mereka menangis terisakisak. Sebagian
lari terbiritbirit, sebagian lagi memilih berdiam dalam masjid, berzikir pasrah, seperti siap
menerima kematian apabila Izrail memang mau mencabut nyawa di antara banjir yang lambat laun
masuk ke dalam masjid itu. Tiga puluh menit kemudian, air sudah mencapai lutut orang dewasa.
Tubuh orangorang bersila di dalam masjid hampir tenggelam oleh genangan air. Maksan
berpandangan bingung melihat ruang dalam masjid dipenuhi air seutuhnya.
“Kenapa Allah hendak menenggelamkan sendiri rumahNya?” Maksan menyimpan pertanyaan itu
dalam dadanya. Pasti sebab banjir dikirim ke masjid didasari suatu hal. Di antara pikiran Maksan
yang tak kunjung mendapat jawaban sebab musabab banjir dikirim ke masjid, ia mendengar
jeritan orangorang beristigfar, seakan ingat segunung dosa dan ingin menebusnya ketika itu juga.
“Pertanda apakah ini, Pak?” Bardi, anak lelakinya, bocah tujuh tahun itu bertanya. Maksan
menggeleng. Buruburu mereka meninggalkan masjid, menerabas air yang makin meninggi setiap
menitnya. Maksan gelisah. Sepanjang perjalanan mulutnya senantiasa beristigfar dengan air mata
mengucur terusmenerus. (https://lakonhidup.com/2018/02/04/banjirkiriman)