Anda di halaman 1dari 11

Nama : Dimas Saputra Kafandy

NPM : 2036021010
Administrasi Publik 2020

ANALISIS MASALAH-MASALAH SOSIAL DAN ARTINYA


DALAM CERPEN BERJUDUL:

“Banjir Kiriman”

NO Masalah-Masalah Bunyi Teksnya Artinya


Sosial
1 Kemiskinan 1.Orang orang mengungsi di masjid 1. karena hujan yang tak kunjung reda akhirya
menyebabkan banjir dan orang orang akhirnya
mengungsi

2. Dingin meghunus setiap inci kulit 2. Karena lambat nya bantuan pakaian dari
pemerintah membuat warga kedinginan

3.Genangan air yang takunjung 3.Air yang takunjung surut membuat warga
surut kehilangan pakaian dan tempat tinggal

2 Kriminalitas 1. Ulah Manusia 1.karena ulah manusia itu sendiri akhirnya


terjadi banjir.
2.Sampah di buang di sungai. 2. Karena sampah yang dibuang di sungai
mengakibatkan air menjadi tersendat dan tidak
mengalir

3. Air yang takunjung Surut 3. Air yang terus bertambah akibat kiriman yang
terus terbuka mengakibatkan warga kesusahan
dan cemas

3 Pelanggaran HAM 1. Luapan Air sungai Campoan 1. Luapan Sungai Campoan terjadi akibat air
kiriman dan mengakibatkan salah satu warga
bahkan sampai kehilangan nyawanya akibat
luapan air yang deras itu

2.Kematian Istri Maksan 2.Keterlambatan sar dalam upaya menangani


lambat mengakibatkan salah satu warga sampai
kehilangan nyawanya.

3. Akibatnya banyak nya gedung yang berdiri


mengakibatkan resepan air berkurang dan
berdampak banjir pada rumah warga disekitar

3.Gedung Berdiri
4 Perilaku Yang Buruk 1. Kasno Kepada Maksan 1. Kasno dan kasman adalah tetangga tapi
keduanya baru berbicara atau tegur sapa ketika
banjir datang dan keduanya sama sama
mengungsi di masjid

2. Peryataan yang tak pantas di ucapkan di


situasi yang sedang berduka

2. Bagaimana kalau itu azab 3. Banjir datang karena manusianya sendiri yang
meminta. Sungai­sungai
dipersempit.

3. Sampah dibuang di sungai.

5 Birokrasi Yang 1. Banjir Kiriman 1. Keterlambatan pemerintah setempat dalam


Buruk menangani air kiriman sangat tidak cepat
mengakibatkan banjir yang akhirnya meredam
rumah warga

2. Jebolnya Bendungan Sungai 2. Pemerintah sangat kurang siaga dalam


Campoan menangani air kiriman hingga bendungan sungai
campoan jebol mengakibatkan banjir tak
kunjung surut

3. Kematian Istri Maksan


3. Keterlamabatan Tim Sar dalam mengefakuasi
warga sebelum bendungan jebol sangat lambat
sehingga menimbulkan korban jiwa

6 Pertikaian/Konflik 1. Mastini istri Maksan 1. Mastini sangat keras kepala dan tak mau
Sosial menghiraukan omongan suami dan tetangga nya
percayalah tak mungkin banjir ujarnya

2. Air yang bertambah 2. Maksan yang lambat laun melihat genangan


air yang makin hari kian menambah lalu
membujuk istri nya mastini untuk meninggalkan
rumah.

3. Kematian Mastini 3. Pada akhirnya jebolnya sungai campoan


mengakibatkan mastini harus kehilangan nyawa
nya karena terperosok ke dalam lubang parit di
antara genangan air yang masih selutut.

7 Pengangguran 1. Banjir Yang tak surut 1. Karena banjir yang takunjung surut
mengakibatkan warga menjadi tidak bisa bekerja
karena akses tertutup

2. Banjir yang menenggelamkan hampir satu


kota tersebut kini berakibat pada para kerja di
2.Banjir Menenggelamkan separuh kota tersebut sebab air yang tak kunjung surut
kota mengakibatkan para pekerja tidak bisa bekerja
3. Air yang akhirnya masuk ke dalam masjid itu
pun membuat warga kembali memikirkan tempat
3. Air yang mulai masuk ke Masjid mereka tinggal dan bagaimana mereka bekerja
sementara air terus bertambah.
Banjir Kiriman
Zainul Muttaqin
(Kompas, 04 Februari 2018)

Hampir seminggu setelah hujan mengucur deras. Orang­orang mengungsi di masjid. Genangan air
tak kunjung surut. Tingginya sepinggul orang dewasa. Banjir itu datang bersamaan dengan jebolnya
bendungan Sungai
Campoan. Tiap hari awan hitam membungkus permukaan langit, disertai gerimis tipis liris serupa
helai­helai rambut. Mereka berusaha mereda cemas. Khawatir rumah yang ditinggalkan sudah
diseret air bah.
“Ikhlaskan kalau memang rumah harus diseret banjir.” Maksan, laki­laki berkumis tebal, menepuk
pundak kawannya yang menampakkan wajah murung.“Kalau air tak kunjung surut, apa tidak
mungkin masjid ini juga bisa­bisa ditenggelamkan banjir?” tanya Kasno kepada Maksan. Mereka
berdua bertetangga. Tapi, pembicaraan di antara mereka terjadi setelah dua lelaki paruh baya itu
sama­sama mengungsi di masjid itu. Sebelum banjir datang, Kasno dan Maksan jarang bertegur
sapa, apalagi sampai mengobrol berjam­ jam seperti ini. “Masjid adalah tempat paling aman. Tak
mungkin banjir bisa menenggelamkan rumah ibadah ini,” kata Maksan sembari menyulut sebatang
rokok. Dingin menghunus setiap inci kulit. Orang­orang mengobrol dalam masjid, mengusir rasa
bosan yang mulai menghinggapi benak mereka. Berlama­lama mengungsi tentu tidak nyaman.
“Mengapa bisa begitu?” Kasno mengernyitkan dahinya. Menyipit matanya. Dipandanginya wajah
Maksan yang tampak biasa­biasa saja. Diembuskannya asap rokok yang melegakan pikiran rumit
Maksan.“Ini tempat ibadah. Rumah Allah. Tidak mungkin Allah akan menenggelamkan rumahnya
sendiri.” Maksan mengulas senyum di bibirnya. Kasno menganggukkan kepala mendengar
penjelasan Maksan pada pagi lembab. “Itulah mengapa orang­orang kerap berlindung di masjid
ketika banjir datang.” Kasno menambahkan dengan binar­binar di matanya, mendahului ucapan
Maksan. Beberapa jenak kemudian, Kasno merogoh sebungkus rokok dalam sakunya. Tidak tahu
kapan air akan surut sehingga Kasno kerap berdoa agar air itu sesegera mungkin susut, menyingkir
dari rumah­ rumah penduduk. Namun, air justru bertambah meskipun hujan tidak turun setiap hari
lagi, sebagaimana hari­hari sebelumnya. “Mungkin kita disuruh lebih lama tinggal di masjid supaya
ingat ibadah,” bicara Kasno tak lebih serupa desis. Maksan tak menanggapi gumam kawan akrab
satu­satunya, yang baru ia sadari kalau laki­laki itu tetangga sebelah rumahnya. Ia menikmati
isapan demi isapan asap yang keluar masuk dari dada ringkihnya yang kian menyempit. Ketika
awan membiarkan celah matahari bersinar menerpa tubuh dua laki­ laki di samping masjid itu,
Maksan mendadak terisak. Dibuang sebatang rokok yang masih menyala. Ia menundukkan wajah.
Laki­laki bertubuh agak kerempeng itu ingat akan kematian sang istri. Pagi agak lembab ketika
istrinya terperosok ke lubang parit di antara genangan air yang masih selutut. Waktu itu, istri
Maksan berkukuh tetap tinggal di rumah. Sebagian warga mulai mengungsi, tidak mau
menanggung risiko. Khawatir luapan air Sungai Campoan disertai curah hujan yang seakan siap
menuangkan air dalam jutaan meter kubik per detik membuat mereka tak sanggup menyelamatkan
diri. Mastini, istri Maksan, keras kepala. Tak mau dengar omongan­omongan tetangga, termasuk
ucapan suaminya yang berkali­kali membujuk perempuan 35­an itu meninggalkan rumah.
“Percayalah. Tak mungkin banjir,” ujarnya lembut pada Maksan. Kata­kata
itu diulang­ulang begitu Maksan melontarkan bujukan padanya. Padahal Maksan menyadari, air itu
mulai bertambah setiap harinya. Maksan menatap genangan air di depan rumahnya, yang lambat
laun tingginya bertambah. Kematian istrinya menjadi jawaban bagi Maksan, mengapa perempuan
berkulit kuning langsat itu tak mau meninggalkan rumah. Seseorang diminta menjemput Bardi,
anak Maksan, ke sekolah. Jasad Mastini dibaringkan di atas lincak. Kecipak air di bawah ranjang
bergoyang­goyang, lalu mengalir pelan­pelan ke setiap sudut rumah. Tangis Bardi meledak ketika
bocah tujuh tahun itu berdiri di ambang pintu, melihat ibunya dikerumuni orang­orang.
Maksan ikut menitikkan air mata. Ia menarik tubuh anaknya dari dekapan sang ibu. Bergotong
royong warga menggali liang kubur secepat mungkin. Dikhawatirkan air makin bertambah. Kubur
digali di pemakaman keluarga, di antara air yang pelan­pelan merambat masuk ke dalam.
“Setiap tahun, setiap banjir pasti ada yang meninggal,” celetuk seseorang yang ikut ke pemakaman.
“Mungkin karena makin banyak gedung berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan
sungai­sungai kian menyempit.”
“Mungkin pula karena Allah sedang menguji hamba­hamba­Nya.”
“Bagaimana kalau itu azab?” Pertanyaan muncul dari mulut laki­laki
berkumis tipis. Orang­orang jadi terdiam. Hanya bisa memandangi raut muka laki­laki itu. Mereka
menghela napas panjang, melegakan tenggorokannya sekaligus mengaburkan bayangan kengerian
perihal banjir yang dibilang azab oleh laki­laki dengan tulang­belulang serupa batang lidi
pada sebidang dadanya itu. Jasad Mastini dimasukkan ke dalam liang lahat. Bardi menjerit. Sesaat
kemudian, ia menangis panjang dan amat menyayat. Maksan menabur bunga di atas pusara sang
istri. Nisan dipegangnya erat. Tak ingin dilepas. Wajah Bardi, anak mereka, membenamkan
wajahnya ke dalam dada Maksan. Tujuh menit setelah orang­orang meninggalkan pemakaman.
Mereka berdua juga ikut membawa langkahnya, menerabas air yang senantiasa mengalir, dengan
ketinggian setumit orang dewasa.
Tak sampai tujuh hari Maksan di rumah. Ia mesti meninggalkan rumah satu­satunya itu dengan
menyimpan luka di dadanya lantaran tak bisa mengadakan tahlilan selama tujuh hari bagi sang istri.
Warga berbondong­ bondong menuju masjid, kurang lebih lima kilometer dari rumah yang mereka
tinggalkan. Maksan bersama Bardi terpiuh­piuh melangkah menuju masjid.
Dikabarkan melalui siaran televisi, banjir hampir menenggelamkan separuh kota. Orang­orang
tercengang sekaligus heran, mengapa masjid­masjid tak tersentuh oleh air. Pengungsian
dipusatkan di masjid­masjid karena itu cuma satu­satunya tempat yang luput dari serangan banjir.
Aneh, piker orang­orang dalam tempurung kepalanya. Sementara Maksan, selalu setiap hari, lepas
maghrib mengaji di dalam masjid. Mengirim doa­doa kepada sang istri, yang kini mungkin makam
itu sudah dilumat oleh banjir. Kasno mengakui kesedihan kawannya itu berlipat ganda mencekik
hidupnya. Kerut­kerut di kening Maksan membentuk garis terombang­ambing. Sorot matanya
suram. Kasno merasa bersyukur, banjir kali ini tak merenggut seorang pun nyawa keluarganya.
Meskipun begitu, ia pernah menangis untuk kematian ayahnya sewaktu
banjir melanda tahun lalu. “Apakah banjir memang kerap minta tumbal?” Maksan bertanya kepada
Kasno. Tersenyum Kasno mendengar Maksan mengajukan pertanyaan serupa itu. Wajar Maksan
melontarkan kalimat itu karena ia kerap menjadi saksi kematian warga setiap tahun, setiap kali
banjir menghajar rumah mereka. Termasuk atas kematian ayah Kasno.
“Banjir datang karena manusianya sendiri yang meminta. Sungai­sungai dipersempit. Sampah
dibuang di sungai. Maka, ke mana lagi air itu akan mengalir jika tempat yang semestinya diusik.”
Ucapan Kasno membuat Maksan merenung. Masuk ke dalam dirinya sembari membenarkan
perkataan Kasno dalam hatinya. Mendung menggantung di langit. Dua laki­ laki itu masuk ke dalam
masjid. Mereka ingat belum mengerjakan shalat Isya. Kamis malam kesepuluh, lepas isya Maksan
dikejutkan dengan mengalirnya air ke halaman masjid. Tujuh menit berlalu, air itu kian
bertambah. Semula Maksan mengira air selokan masjid sedang meluap karena hujan mengucur
deras semalam. Tapi, mata laki­laki paruh baya itu dibuat terbelalak ketika dilihatnya air terus
bertambah hingga mencapai undakan masjid.
“Banjir .... Banjir .... Banjir datang,” teriakan Maksan dari teras masjid
disambut panik oleh orang­orang yang tengah terlelap. Berbondong­ bondong mereka keluar.
Maksan mencari Bardi di antara kerumunan orang­orang. Bocah itu langsung mendekap ayahnya.
Butuh waktu lama agar warga pengungsi segera keluar dari masjid, mencari tempat aman.
“Ke mana kita harus mengungsi?”
“Apa masih ada masjid yang luput dari banjir?”
Kepanikan merambati sekujur tubuh orang­orang sampai mereka menangis terisak­isak. Sebagian
lari terbirit­birit, sebagian lagi memilih berdiam dalam masjid, berzikir pasrah, seperti siap
menerima kematian apabila Izrail memang mau mencabut nyawa di antara banjir yang lambat laun
masuk ke dalam masjid itu. Tiga puluh menit kemudian, air sudah mencapai lutut orang dewasa.
Tubuh orang­orang bersila di dalam masjid hampir tenggelam oleh genangan air. Maksan
berpandangan bingung melihat ruang dalam masjid dipenuhi air seutuhnya.
“Kenapa Allah hendak menenggelamkan sendiri rumah­Nya?” Maksan menyimpan pertanyaan itu
dalam dadanya. Pasti sebab banjir dikirim ke masjid didasari suatu hal. Di antara pikiran Maksan
yang tak kunjung mendapat jawaban sebab musabab banjir dikirim ke masjid, ia mendengar
jeritan orang­orang beristigfar, seakan ingat segunung dosa dan ingin menebusnya ketika itu juga.
“Pertanda apakah ini, Pak?” Bardi, anak lelakinya, bocah tujuh tahun itu bertanya. Maksan
menggeleng. Buru­buru mereka meninggalkan masjid, menerabas air yang makin meninggi setiap
menitnya. Maksan gelisah. Sepanjang perjalanan mulutnya senantiasa beristigfar dengan air mata
mengucur terus­menerus. (https://lakonhidup.com/2018/02/04/banjir­kiriman)

Anda mungkin juga menyukai