Anda di halaman 1dari 10

FAKTOR RISIKO PENYEBAB TERJADINYA STUNTING PADA BALITA UMUR 12-59

BULAN DI KELURAHAN KAMPUNG BARU KEC. LUBUK BEGALUNG TAHUN 2015

Risk Factors Cause the Stunting of Age 12-59 Months in Kampung Baru
Kec. Lubuk Begalung in 2015

Erni Maywita

Dosen Tetap Fakultas Kesehatan Masyarakat – Universitas Baiturrahmah, Padang


Email : ernimaywita10@gmail.com

Abstrak
Prevalensi stunting pada balita di Indonesia masih tinggi terutama pada usia 12-59 bulan. Tujuan penelitian
untuk mengetahui faktor risiko penyebab terjadinya stunting pada balita yang berumur 12-59 bulan di Kelurahan
Kampung Baru Kecamatan Lubuk Begalung PadangJenis penelitian observasional dengan rancangan case-
control study. Penentuan sampel Studi kasus kontrol berpasangan dengan rasio 1:1 dengan jumlah sampel 29:29.
Uji statistik univariat menggunakan distribusi frekuensi, bivariat menggunakan chi-square dan multivariat. Hasil
penelitian Balita yang tidak diberikan ASI secara Ekslusif 32.0 % menderita stunting. Balita yang mendapatkan
pola asuh yang kurang baik 66.7% menderita stunting. Balita yang pendapatan keluarganya yang kurang baik
42.1% menderita stunting. Tingkat pendidikan ibu yang rendah 37.5% balitanya menderita stunting. Balita yang
memiliki jumlah keluarga yang lebih dari lima orang 52,4% menderita stunting. Balita yang memiliki riwayat
penyakit infeksi 62.9 % menderita stunting. Balita yang pernah menderita ISPA saja dalam 6 bulan terkhir 66.7
% menderita stunting. Balita yang tidak memanfaatkan pelayanan posyandu 60.9 % menderita stunting. Ada
hubungan yang bermakna antara pemberian ASI (OR = 0,269), pola asuh gizi (OR = 3.63), riwayat penyakit
infeksi (OR 3.868) dengan Kejadian Stunting. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga,
tingkat pendidikan ibu, jumlah keluarga, pemanfaatan pelayanan posyandu dengan Kejadian Stunting. Faktor
dominan penyebab terjadinya stunting adalah pola asuh gizi. Perlu adanya peningkatan penyuluhan mengenai
gizi kepada ibu balita oleh petugas kesehatan sehingga meningkatnya kesadaran ibu untuk memperbaiki status
gizi anak yang menyangkut tentang bagaimana memberikan pola asuh yang baik, dapat mendeteksi lebih dini
kejadian stunting pada balitanya.
Kata kunci : Stunting, pemberian ASI, pola asuh, tingkat pendidikan, riwayat penyakit infeksi, pemanfaatan
pelayanan kesehatan

Abstract
The prevalence of stunting in toddlers in Indonesia is still high, especially at the age 12 to 59 months.The aim of
this research is to know the risk factor causes stunting to the toddlers who have the age 12 to 59 months in
Kelurahan Kampung Baru Sub district of Lubuk Begalung Padang. The type of this research is observational
with draft of case-control study. The dependent variable is the incidence of stunting in toddlers at the age 12 to
59 months. The sampling of case-control study is paired by ratio 1:1 with the number of samples 29:29.
Univariate statistical test is using the distribution of frequency and also bivariate is using chi-square and
multivariate. The result of this study is the toddlers who are not exclusively for getting ASI as much as 32%
suffer from stunting. The toddlers who get poor parenting are 66.7% suffer from stunting, the toddlers who have
families’ income are less well as much as 42.1% suffer from stunting, low mothers’ education level are 37.5%
causes their toddlers suffer from stunting, the toddlers who have quantity of families more than 5 person are
52.4% suffer from stunting, the toddlers who have a history of infectious diseases are 62.9% suffer from
stunting, the toddlers who suffer from ISPA in the last six months are 66.7% suffer from stunting, the toddlers
who do not utilize Posyandu service are 60.9% suffer from stunting. There was a significant association of
giving ASI (OR = 0,269), nutrition parenting (OR = 3.63%), a history of infectious diseases (OR 3.868) from
stunting occurrence. There is no significant relationship between families’ income, mothers’ education level,
quantity of families, Posyandu service utilization with the event of stunting. The dominant factor cause of
stunting is parenting nutrition.It is important to increase education about nutrition to mothers by health workers
so that awareness of mothers to improve the nutritional of toddlers is concerned about how to provide good
parenting that can detect early occurrence of stunting in toddlers.
Keywords: Stunting, giving breastfeeding, parenting, level of education, a history of infectious diseases,
utilization of health service.

Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2018 56


PENDAHULUAN Kampung Baru Wilayah Kerja Puskesmas
Stunting merupakan kondisi kronis Lubuk Begalung Padang.
yang menggambarkan terhambatnya
METODE PENELITIAN
pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Penelitian dengan metode
Stunting menurut WHO Child Growth Standart observasional dengan rancangan case-control
didasarkan pada indeks panjang badan study yang dilakukan di Kelurahan Kampung
dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan Baru. Populasi dalam penelitian ini adalah
dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) seluruh balita yang berumur 12-59 bulan di
kurang dari -2 SD (Eastwood, 2003). kelurahan Kampung Baru dengan jumlah balita
Stunting yang terjadi pada masa anak 300 orang balita. Penentuan sampel Studi kasus
merupakan faktor risiko meningkatnya angka control berpasangan dengan rasio 1:1dengan
kematian, kemampuan kognitif dan perkem- perhitungan sebagai berikut:
bangan motorik yang rendah serta fungsi tubuh
yang tidak seimbang, perkembangan motorik 𝑧𝛼 2
+ 𝑧𝛽 √𝑃𝑄
yang rendah serta fungsi-fungsi tubuh yang 𝑛1 = 𝑛2 = ⟦ 2 ⟧
tidak seimbang (Allen, 2002). Stunting pada 1
(𝑃 − )
balita perlu menjadi perhatian khusus karena 2
dapat menghambat perkembangan fisik dan Diketahui:
mental anak. Stunting berkaitan dengan zα = 0.05 = 1.96
peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta zβ = 0.10 = 1,282
terhambatnya pertumbuhan kemampuan N = 300
motorik dan mental (Kemenkes RI, 2010). Kasus = 65 orang
Stunting juga meningkatkan risiko obesitas, P = 65/300 = 0.216 (21.6%)
karena orang dengan tubuh pendek berat badan Q = 1 – 0,22 = 0.78
idealnya juga rendah. Kenaikan berat badan 2
beberapa kilogram saja bisa menjadikan Indeks 𝑧𝛼
+ 𝑧𝛽 √𝑃𝑄
Masa Tubuh (IMT) orang tersebut naik 𝑛1 = 𝑛2 = ⟦ 2 ⟧
1
melebihi batas normal. Keadaan overweight (𝑃 − )
2
dan obesitas yang terus berlangsung lama akan
meningkatan risiko kejadian penyakit 1.96 2
degeneratife (Astari, 2005). + 1,282√0.22𝑋0.78
Prevalensi pendek (stunting) menurut 𝑛1 = 𝑛2 = ⟦ 2 ⟧
1
provinsi dan nasional. Prevalensi pendek secara (0.22 − )
2
nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang
2
berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 0.98 + 1.282√0,1716
2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi 𝑛1 = 𝑛2 = ⟦ ⟧
(−0,28)
pendek sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0
persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek.
Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek 0.98 + 0.53 2
𝑛1 = 𝑛2 = ⟦ ⟧
menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen (−0,28)
tahun 2007 dan 18,5 persen tahun 2010.
Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen 𝑛1 = 𝑛2 = ⟦5.39⟧2
pada tahun 2007 menjadi 19,2 persen pada 𝑛1 = 𝑛2 = 29.08
tahun 2013 (Riskesdas 2013). Data Profil 𝑛1 = 𝑛2 = 29
Kesehatan Sumatera Barat pada tahun 2012
prevalensi gizi kurang di Kota Padang sebesar Jadi sampel yang diperlukan adalah
10.68%, dimana Puskesmas Lubuk Begalung 29:29 dengan total sampel 58 orang Analisis
merupakan 10 Puskesmas yang prevalensi Gizi data meliputi analisis univariat, bivariat dan
kurang di atas prevalensi provinsi yaitu sebesar multivariat.
10,73%.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis HASIL PENELITIAN
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Penelitian ini dilakukan terhadap 58
faktor risiko penyebab stunting pada balita sampel yang terdiri dari sampel kasus dan
yang berumur 6–59 bulan di Kelurahan control yangmemenuhi kriteria inklusi sebagai

Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2018 57


subjek penelitian. Data yang diperoleh yang bermakna antara pendapatan keluarga,
dikelompokkan dan ditabulasikan sesuai tingkat pendidikan ibu, jumlah keluarga,
dengan karakteristik masing-masing didapatkan pemanfaatan pelayanan posyandu dengan
hasil sebagai berikut: kejadian Stunting.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa faktor
risiko yang diteliti ditemukan jumlah persentasi Tabel 2. Analisis Bivariat Faktor Risiko
yang cukup besar terjadinya stunting pada (Pemberian ASI, Pola Asuh, Pendapatan
balita yaitu pada faktor risiko pemanfaatan Keluarga, Tingkat Pendidikan Ibu, Besar
pelayan posyandu, dimana ibu balita tidak Keluarga, Pemanfaatan Pelayanan
memanfaatkan pelayanan posyandu sebesar Kesehatan, Kejadian Penyakit Infeksi) pada
60,3 %. Balita Usia 12-59 bulan di kelurahan
Sebaliknya ditemukan jumlah Kampung Baru Kecamatan Lubuk Begalung
persentasi yang kurang dari separuh pada faktor Padang tahun 2015
risiko, seperti pemberian ASI, dimana 43.1%
Variabel Stunting Normal p
ibu yang tidak memberikan ASI secara f % f % n %
eksklusif. Pola asuh ibu yang kurang baik Pemberian ASI Tidak Ekslusif
Ekslusif
6 27.6
21 72.4
17 58.6
12 41.4
25
33
43.1
56.9
0.034
(46.6%). Pendapatan keluarga yang kurang Pola Asuh Kurang Baik 18 62.1 9 31.0 27 46.6
0.034
Baik 11 37.9 20 69.0 31 53.4
baik (32.8%). Tingkat pendidikan ibu rendah Pendapatan KurangBaik 8 27.6 11 37.9 19 32.8
0.576
Keluarga Baik 21 72.4 18 62.1 39 67.2
(13.8%). Besar keluarga >5 orang (39.7%). Tingkat Rendah 3 10.3 5 17.2 8 13.8
0.706
pendidikan Tinggi 26 89.7 24 82.8 50 86.2
Balita yang memiliki riwayat penyakit Anggota ≥ 5 orang 11 37.9 10 34.5 21 36.2
0.1
infeksi39.7%. keluarga < 5 orang
Penyakit infeksi Ada
18 62.1
22 75.9
19 65.5
13 44.8
37
35
63.8
60.3
0.032
Tidak ada 7 24.1 16 55.2 23 39.7
Pelayanan Tidak 14 48.3 9 31.0 23 39.7
Tabel 1. Distribusi Faktor Risiko Stunting dimanfaatkan 0.283
Posyandu Dimanfaatkan 15 51.7 20 69.0 35 60.3
pada Balita Usia 12-59 bulan di kelurahan
Kampung Baru Kecamatan Lubuk Begalung
Analisis multivariat dilakukan untuk
Padang tahun 2015
melihat pengaruh antara beberapa variabel
independen dengan variabel dependen.
Variabel n %
Variabel yang akan dianalisis adalah variabel
Tidak
Pemberian 25 43.1 yang memiliki nilai p <0,25 pada analisis
Eksklusif
ASI bivariate chi-square. Terdapat enam variabel
Eksklusif 33 56.9
Kurang Baik 27 46.6 yang memenuhi kriteria analisis multivariat,
Pola Asuh dependen yang diduga berhubungan dengan
Baik 31 53.4
Pendapatan Kurang Baik 19 32.8 stunting pada balita (12-59 bulan) yaitu
Keluarga Baik 39 67.2 variable pemberian ASI Eklusif, pola asuh gizi,
Tingkat Rendah 8 13.8 pendapatan keluarga, pendidikan ibu, jumlah
Pendidikan Tinggi 50 86.2 keluarga, penyakit infeksi, pelayanan kesehatan
Jumlah ≥ 5 orang 23 39.7 posyandu. Sebelum semua variable dapat
keluarga
< 5 orang 35 60.3 dimasukan kedalam permodelan multivariate
Pemanfaatan Tidak dilakukan seleksi kandidat dengan hasil p value
35 60.3 < 0.25 dan mempunyai kemaknaan secara
Pelayanan dimanfaatkan
Posyandu substansi.
Dimanfaatkan 23 39.7 Hasil analisis bivariate antara variabel
Riwayat Ada 23 39.7 independen dengan variable dependen
Penyakit diketahui bahwa ada 4 variabel yang nilai p
Infeksi Tidak ada 35 60.3 value < 0.25 yaitu varibel pemberian ASI, pola
asuh gizi, riwayat penyakit infeksi, pelayanan
kesehatan posyandu. Variabel dengan nilai p
Berdasarkan hasil analisis bivariat pada value > 0.25 tidak dapat diikutkan dalam
tabel 2 dengan uji chi-square yang dilakukan seleksi permodelan multivariat.
pada faktor risiko yang diteliti, didapatkan Hasil analisis bivariat antara variabel
hubungan yang signifikan pada variabel antara dependen dengan variabel dependen untuk
pemberian ASI (OR=0,269), pola asuh gizi (OR seleksi peermodelan multivariat dapat dilihat
= 3.63), riwayat penyakit infeksi (OR 3.868) pada tabel berikut:
dengan Kejadian Stunting.Tidak ada hubungan

Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2018 58


Tabel 3. Hasil Analisis Bivariat antara variable yang perubahan nilai OR lebih dari
Variable Independen dengan Varaibel 10% sehingga variabel riwayat penyakit infeksi
Dependen untuk Seleksi Permodelan keluar selamanya dari model. Hasil akhir dari
Multivariat analisis multivariat dapat dilihat selengkapnya
pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Permodelan terkhir Analisis


OR (95 Multivariat
No Variabel P value
% CI)
1 Pemberian ASI 0.016 0,269 Variabel Exp(B) P OR (95 %
2 Pola asuh gizi 0.017 3.636 value CI)
Riwayat Penyakit Pemberian 0.214 0.013 0.063 –
3 0.015 3.868
Infeksi ASI 0.722
Pemanfaatan Pola asuh 4.571 0.013 1.370 –
4 0.178 2.074
Pelayanan Posyandu gizi 15.248

Langkah selanjutnya variable yang Dari hasil keseluruhan proses analisis


masuk kedalam kandidat dilakukan uji regresi yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
logistik ganda. Variabel yang dianggap penting dari 7 variabel yang diduga berhubungan
masuk kedalam model akan dipertahankan jika dengan stunting pada balita (12-59 bulan),
p value nya <0.25, sedangkan variabel yang ternyata hanya ada 2 variabel yang
memiliki p value > 0.25 dikeluarkan. berhubungan secara bermakna berhubungan
Pengeluaran variable dari model dilakukan dengan stunting yaitu pemberian asi dan pola
bertahap mulai dari variable yang memiliki p asuh gizi. Dari kedua variabel tersebut, dengan
value < 0.25 dan bermakna secara substansi ke melihat nilai OR dari setiap variable dapat
dalam model secara bersama seperti pada tabel disimpulkan bahwa variable yang paling
berikut: dominan berhubungan dengan stunting pada
balita (12-59 bulan) adalah variable pola asuh
Tabel 4. Seleksi Tahap Pertama Analisis gizi karena memiliki nilai OR paling besar
Multivariat yaitu 4.571.

Variabel Exp P OR (95 Pembahasan


(B) value % CI) Kejadian stunting pada balita diukur
Pemberian ASI 0.227 0.022 0.063 – dengan menggunakan klasifikasi status gizi
0.811 berdasarkan indikator tinggi badan menurut
Pola asuh gizi 3.661 0.074 0.883 –
umur (Eastwood, 2003).
15.185
Riwayat Penyakit 2.929 0.091 0.841 – 1. Stunting mencerminkan kegagalan
Infeksi 10.200 dalam mencapai pertumbuhan linier yang
Pemanfaatan 1.205 0.808 0.268 – potensial sebagai akibat adanya status
Pelayanan 5.423 kesehatan atau status gizi. Pertumbuhan linier
Posyandu atau tinggi badan dipengaruhi oleh factor
genetic, factor lingkungan, dan kondisi medis.
Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa Peerkembangan dari stunting mmerupakan
variable pemanfaatan pelayanan posyandu proses bertahap yang bersifat kronis, termasuk
mempunyai p value tertinggi sehingga gizi buruk dan penyakit infeksi, selama periode
dikeluarkan pertama kali dari model. Setelah pertumbuhan linier. Hal ini sering dimulai pada
pemanfaatan pelayanan posyandu dikeluarkan, rahim dan meluas melalui dua tahun pertama.
tidak ada variable yang perubahan nilai OR Tanpa perubahan lingkungan, stunting dapat
lebih dari 10% sehingga variable asupan menyebabkan penurunan pertumbuhan
protein keluar selamanya dari model. permanen. Dengan demikian, anak-anak yang
Permodelan tahap kedua dengan mengalami stunting pada awal kehidupan
mengeluarkan variable riwayat penyakit infeksi seringkali lebih pendek pada masa kanak-kanak
mempunyai p value tertinggi sehingga dan dewasa dibanding rekannya yang punya
dikeluarkan dari model. Setelah variable pertumbuhan awal yang memadai (Devi, 2010).
riwayat penyakit infeksi dikeluarkan, tidak ada

Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2018 59


Prevalensi stunting di Sumatera sebesar memiliki dua program yaitu program sensitif
37.5% lebh tinggi dari prevalensi stunting diluar sektor kesehatan.
nasional hasil Riskesdas 2010 sebesar 35.6 %. ASI ekslusif adalah memberikan hanya
Bila bandingkan dengan batas “non public ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6
health problem” menurut WHO, angka ini bulan. Selama 6 bulan pertamapemberian ASI
masih diatas ambang batas (cut off) yang telah eksklusif, bayi tidak diberikan makanan dan
disepakati secara universal. Apabila masalah minuman lain (Eastwood, 2003).
stunting di atas 20% maka merupakan masalah Hasil penelitian menunjukan bahwa
kesehatan masyarakat (Eastwood, 2003). proporsi kejadian stunting lebih banyak
Tingginya prevalensi stunting ditemukan pada responden diberikan ASI
mengidentifikasikan bahwa pertumbuhan pada secara Ekslusif (63.6%) lebih rendah
anak terkait dengan factor jangka panjang, dibandingkan dengan balita yang tidak
termasuk tidak cukupnya asupan makanan, mendapatkan ASI. Berdasarkkan hasil uji
infeksi, tidak menyusui selama periode yang statistik dapat disimpulkan bahwa ada
berkelanjutan, dan rendahnya status sosial hubungan yang bermakna antara pemberian
ekonomi rumah tangga. Ini cukup terbukti ASI dengan Kejadian Stunting. Balita yang
dalam penelitian yang dilakukan oleh sayed et tidak mendapatan ASI secara Eksklusif
al (2001) tingkat sosial ekonomi tinggi dan memiliki resiko 0,26 kali menderita stunting.
status lingkungan yang baik ditemukan menjadi Balita yang tidak menyusui secara
protektif terhadap stunting. eksklusif hanya 32.0% yang menderita stunting
Eastwood (2003) menyatakan bahwa hal ini mukin disebabkan karena balita yang
pola pertumbuhan ini ditandai dengan tidak menyusui secara eksklusif 48.0%
berkembangnya bayi, dan dilanjutkan dengan diberikan susu formula sebagai penambah ASI,
pertumbuhan selama remaja. Asupan makanan dan 24.0% diberikan susu formula dan biskuit.
yang tidak memadai dalam 2 tahun pertama Penelitian Wiyogowati (2012) yang
bertanggung jawab pada terjadinya stunting. menyatakan bahwa anak yang stunting lebih
Kurangnya proses menyusui, menyapih dan tinggi pada ibu yang menyusui secara eksklusif.
praktik pemberian makanan, infeksi dan diare Berbeda dengan penelitian Hien dan Kam
juga berkontribusi. Martorell, Kettel Khan & (2008)yang menyatakan risiko menjadi stunting
Schroeder (1994) menyatakan kegagalan 3.7 kali lebih tinggi pada balita yang tidak
pertumbuhan pada saat awal kehidupan akan diberi ASI eksklusif dibandingkan dengan
menyebabkan tinggi badan pada saat dewasa balita dengan ASI eksklusif (Anugraheni,
kurang kecuali ada kompensasi pertumbuhan 2012).
(catch-up growth) di masa anak-anak (Devi, ASI adalah makanan bayi yang paling
2010). sempurna. Dari segi gizi, antibodi dan
Untuk mengatasi permasalahan gizi psikososial. ASI mempunyai peran penting
pada anak seperti stunting pada balita sudah terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
banyak kebijakan dan program yang Menurut Anderson & Remley, 1999 hasil
dicanangkan olah pemerintah seperti, metaanalisis menunjukkan bahwa anak-anak
posyandu, DDTK (Deteksi Dini Tumbuh yang diberi ASI secara signifikan mempunyai
Kembang) pada balita dan anak, tetapi kedua fungsi kognitif lebih tinggi dibandingkan anak-
program ini tidak dapat mengatasi anak yang diberi susu formula dan perbedaan
permasalahan gizi pada balita mukin hal ini ini stabil sepanjang pertambahan usia.
disebabkan karena tidak adanya evaluasi dan Ditemukan juga bahwa lamanya pemberian
intervensi terhadap kedua kegiatan ini. Pada ASI berhubungan dengan pertumbuhan panjang
tahun 2012 pemerintah telah menyusun badan terutama pada anak usia di bawah tiga
kerangka kebijakan terbaru yaitu kebijakan tahun (Marquis, 1997; Simondon, et al, 2001;
gerakan sadar gizi dalam rangka seribu hari Ntab et al, 2005) dan
pertama kehidupan yang bertujuan untuk bulan (Anisa, 2012).
mengatasi masalah anak stunting di Indonesia Kurangnya pengetahuan ibu tentang
yang semakin memprihatinkan. Dimana pentingnya ASI, juga maraknya promosi susu
kebijakan ini tidak dapat dilaksanakan oleh formula yang diwaktu yang lalu, menurut
instansi kesehatan saja tetapi memerlukan kerja UNICEF, "out of control", merupakan
sama lintas sektoral dimana kebijakan ini hambatan yang menyebabkan tidak efektifnya
promosi ASI Eksklusif. Dengan dikeluarkannya

Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2018 60


PP no 33 tahun 2012 tentang ASI sebagai responden, dimana mereka tidak mengetahui
peraturan pelaksanaan Undang-Undang no 23 bagaimana caramengatasi anak yang tidak mau
Tahun 2009 tentang Kesehatan yang makan dan maunya hanya jajan saja (junkfood)
diharapkan dapat dilakukan tindakan hukum untuk itu dengan adanya kebijakan baru
yang lebih tegas bagi penghambat pelaksanaan pemerintah yaitu gerakan 1000 HPK
ASI Ekslusif. Kebijakan dan sasaran yang diharapkan pendidikan Gizi Masyarakat atau
diharapkan pada program Gerakan 1000 HPK dalam bahasa operasionalnya disebut KIE
ini yaitu mengoptimalkan pelaksanaan UU (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) Gizi.
Kesehatan 2009 yang terdapat sanksi tegas Bagi masyarakat umum, Pendidikan Gizi untuk
pada siapa yang dengan sengaja menhalangi memberikan pengetahuan, menumbuhkan sikap
program pemberian ASI Eksklusif (Pasal 200) dan menciptakan perilaku hidup sehat dengan
dan sangsi pidana berat bagi korporasi (Pasal Gizi Seimbang. Dalam gizi seimbang tidak
2001) serta pelaksanaan PP no 33 tahun 2012 hanya mendidik soal makanan dan
tentang ASI, sehingga jumlah bayi yang keseimbangan komposisi zat gizi dan
mendapat ASI-Eksklusif mencapai 80 persen kebutuhan tubuh akan zat gizi (karbohidrat,
(Soetjiningsih, 2000). protein, lemak, vitamin dan mineral, dan air),
Engle (1997), pola asuh adalah tetapi juga kesimbangan dengan pola hidup
kemampuan keluarga dan masyarakat untuk bersih untuk mencegah kontaminasi makanan
menyediakan waktu, perhatian dan dukungan dan infeksi sehingga dapat memahami
dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan bagaimana pola asuh gizi yang baik itu.
sosial dari anak yang sedang tumbuh dan Kebijakan yang diharapkan dari
anggota keluarga lainnya. Pola asuh responden pemerintah untuk menyamakan konsep dan
meliputi perhatian/dukungan ibu terhadap anak pola pikir tentang masalah gizi (apa, mengapa,
dalam pemberian makanan, rangsangan dan bagaimana) diantara para pelaku program
psikososial (Pola asuh diri) dan praktek gizi, kegiatan Pendidikan Gizi harus menjadi
kesehatan anak. Hasil penelitian menunjukan dasar perbaikan gizi masyarakat umumnya, dan
bahwa proporsi kejadian stunting lebih banyak secara khusus untuk tujuan 1000 HPK. Untuk
ditemukan pada responden yang mendapatkan itu diperlukan tersedianya data dasar tentang
pola asuh yang kurang baik (66.7%) lebih pengetahuan, sikap dan perilaku tentang gizi
tinggi dibandingakan dengan responden yang yang benar diberbagai kalangan masyarakat.
mendapatkan pola asuh yang baik (35.5%). Diperlukan adanya suatu lembaga KIE yang
Terdapat hubungan yang signifikan antara pola mengelola KIE 1000 HPK. Disediakan
asuh gizi dengan Kejadian Stunting. Balita anggaran yang cukup untuk kegiatan
dengan pola asuh gizi yang kurang baik pendidikan gizi masyarakat.
memiliki risiko menjadi Stunting 3.6 kali Penghasilan yang cukup ketika
dibandingkan dengan balita yang memiliki pola diimbangi dengan pengetahuan gizi yang
asuh yang baik. memadai, dan pemanfaatan pangan yang
Salah satu faktor yang berperan penting baik,kebutuhan gizinya akan terpenuhi secara
dalam status gizi balita adalah pola asuh kualitas maupun kuantitas. Keluarga yang
(Mustapa, Sirajuddin, Salam, 2013). Masalah tingkat pendapatannya meningkat tidak selalu
gizi di pengaruhi oleh banyak faktor yang membelanjakan untuk kebutuhan gizi tapi
saling mempengaruhi secara kompleks. Salah sebaliknya dibelanjakan untuk barang yang
satu yang mempengaruhinya yaitu ibu, keadaan dapat meningkatkan status sosial. Banyak
gizi di pengaruhi oleh kemampuan ibu terdapat anak dengan status gizi kurang pada
menyediakan pangan yang cukup untuk anak ayah dan ibu yang secara ekonomi seharusnya
serta pola asuh yang di pengaruhi oleh faktor dapat mencukupi kebutuhan makanan yang
pendapatan keluarga, pendidikan, perilaku dan bergizi.
jumlah saudara. Hal tersebut didukung dengan Hasil penelitian proporsi stunting lebih
hasil dari Husin (2008) dengan 82 responden tinggi di dapatkan pada keluarga yang
yang menunjukan bahwa terdapat hubungan pendapatannya cuku baik dibandingkan dengan
antara pola asuh dengan staus gizi balita umur keluarga yang berpendapatan kurang baik
24-59 bulan. (dibawah standar upah minimum Kota Padang).
Pola asuh gizi ibu baik jika didukungan Walaupun secara proporsi terdapat ada nya
dengan pengatahuan ibu tentang gizi juga baik, perbedan, tetapi secara statistik tidak terdapat
berdasarkan informasi yang didaptkan dari

Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2018 61


hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga yang ≥ 5 orang dibandingkan balita
keluarga dengan Kejadian Stunting. dengan jumlah anggota keluarga < 5 orang.
Penelitian Damanik, ekayanti, & Walaupun terdapat perbedaan proporsi, hasil
hariyadi (2010) Status ekonomi keluarga analisi menunjukan bahwa tidak ada hubungan
dipandang memiliki dampak yang signifikan yang bermakna antara jumlah keluarga dengan
terhadap probabilitas seorang anak menjadi kejadian Stunting.
pendek atau kurus. Dimana WHO Penelitian Ramli et al (2009) dan Fitri
merekomendasikan status gizi stunting sebagai (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada
alat ukur atas tingkat sosial-ekonomi yang hubungan secara signifikan dengan stunting
rendah dan sebagai salah satu indicator untuk pada balita. Berdasarkan penelitian Astari,
memantau ekuitas dalam kesehatan. Status Nasoetion & Dwiriani (2006) yang dilakukan di
ekonomi secara tidak langsung dapat kabupaten Bogor, rata–rata besar keluarga pada
mempengaruhi status gizi anak, sebagai contoh, kelompok anak stunting dan normal dapat
keluarga dengan status ekonomi baik bias dikatakan tidak berbeda. Sebagian Besar
mendapatkan pelayanan umum yang lebih baik, (>50%) besar keluarga pada kedua kelompok
maka akan berdampak positif terhadap status tersebut secara statistic tidak terdapat
gizi anak (Anisa, 2012). peerbedaaan yang nyata besar keluarga antara
Suhardjo (2003) mengemukakan kelompok anak stunting dan kelompok anak
bahwa pendidikan ibu merupakan faktor yang normal (6).
sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat Ada hubungan erat antara jumlah anak,
pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat jarak kehamilan dan kelahiran, ASI-Eksklusif,
pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, dengan prevalensi anak pendek dan anak kurus
proses kehamilan dan pasca persalinan, serta karena kekurangan gizi (Rae Golloway, 2011,
kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak- Integrating Family Planning and Councelling
anak dan keluarganya. Tingkat pendidikan turut on Nutrition for Children 6-23 months, in FP-
pula menentukan mudah tidaknya seseorang MNCH-Nutrition Integration Technical
lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi Consultation March 30, 2011, USAID
didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan Washington) (Soetjiningsih, 2008). Tetapi pada
secepatnya (Eastwood, 2003). penelitian ini jumlah keluarga tidak memiliki
Hasil analisis menunjukkan proporsi hubugan yang bermakna dengan kejadian
kejadian stunting pada balita lebih banyak pada stunting. dan kebijakan pembangunan di bidang
pendidikan ibu tinggi dibandingkan pada keluarga berencana dulunya dapat mengatasi
pendidikan ibu rendah secara statistik tidak masalah jumlah keluarga.
terdapat hubungan yang signifikan antara Keterpaduan Gizi-KB di Indonesia
tingkat pendidikan ibu dengan kejadian terputus sejak akhir 1990, sejalan dengan
stunting. perubahan kebijakan pembangunan di bidang
Penelitian ini walaupun ibu keluarga berencana dan program perbaikan gizi
berpendidikan tinggi kalau tidak mengetahui selama kurun waktu 15 tahun terakhir. Adanya
tentang bagaimana pengertian gizi, pengakuan dunia bahwa KB Indonesia berhasil
permasalahannya, penyebab dari masalah gizi menurunkan angka kelahiran dari 5,6 persen
pada balita, masalah stunting tidak dapat tahun 1970 ke 2,1 persen tahun 2011, berarti
diatasi, untuk itu diperlukannya kebijakan program KB sudah dapat dikatakan berpotensi
pemerintah tentang pendidikan gizi pada menjadi program yang sensitif terhadap 1000
masyarakat atau yang disebut dengan KIE gizi. HPK di Indonesia.
Dimana program ini bertujuan untuk Penyakit infeksi merupakan salah satu
memberikan pengetahuan, menumbuhkan sikap faktor penyebab langsung status gizi balita
dan menciptakan perilaku hidup sehat dengan disamping konsumsi makanan. Hasil penelitian
Gizi Seimbang. Dalam gizi seimbang tidak menunjukan bahwa proporsi balita yang
hanya mendidik soal makanan dan memiliki riwayat penyakit infeksi 62.9 %
keseimbangan komposisi zat gizi dan menderita stunting lebih tinggi dibandingakan
kebutuhan tubuh akan zat gizi (karbohidrat, dengan responden yang tidak memiliki riwayat
protein, lemak, vitamin dan mineral, dan air). penyakit (30.4%). Terdapat hubungan yang
Hasil analisis menunjukkan bahwa signifikan antara riwayat penyakit infeksi
proporsi kejadian stunting pada balita lebih dengan kejadian stunting. Balita yang memiliki
banyak ditemukan pada jumlah anggota riwayat penyakit infeksi dalam 6 bulan terakhir

Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2018 62


memiliki resiko menjadi stunting sebesar 3.8 dan berkembang dan setiap orang berhak
kali dibandingkan dengan balita yang tidak memperoleh pelayanan kesehatan.
memiliki riwayat penyakit infeksi dalam 6 Faktor dominan yang berhubungan
bulan terakhir. dengan stunting diperoleh berdasarkan analisis
Penelitian Masithah, soekirman, & multivariat. Analisis multivariat yang
Martianto (200%) (Anisa, 2012), dimana anak digunakan adalah analisis regresi logistic ganda
yang menderita penyakit infeksi memiliki karena variable dependen bersifat kategorik.
hubungan yang positif dengan stunting. Dari proses analisis multivariat hanya ada 2
Penelitian lain juga menyatakan bahwa variabel yang berhubungan secara bermakna
penyakit infeksi menjadi faktor kejadian berhubungan dengan stunting yaitu pemberian
stunting pada anak dibawah 5 tahun asi dan pola asuh gizi.
(Soetjiningsih, 2000). Penyakit infeksi Dari kedua variabel tersebut, dengan
menunjukan hubungan yang signifikan dengan melihat nilai OR dari setiap variabel dapat
terhadap stunting (Anisa, 2012). disimpulkan bahwa variabel yang paling
Penelitian proporsi menderita stunting dominan berhubungan dengan stunting pada
lebih tinggi terdapat pada balita yang tidak balita (12-59 bulan) adalah variable pola asuh
memanfaatkan pelayanan posyandu (60.9 %) gizi karena memiliki nilai OR paling besar
dibandingkan dengan responden yang yaitu 4.571 artinya balita yang mempunyai pola
memanfaatkan pelayanan posyandu (42.9%). asuh kurang baik berpeluang menjadi stunting
Berdasarkkan hasil uji statistik tidak terdapat sebesar 4.5 kali dibandingkan dengan balita
hubungan yang signifikan antara pemanfaatan yang mendapatkan pola asuh yang baik.
pelayanan posyandu dengan kejadian stunting Permasalahan stunting merupakan
Pelayanan kesehatan adalah akses atau masalah yang sangat kompleks, karena banyak
keterjangkauan anak dan keluarga terhadap hal yang bisa menyebabkan permasalahan ini,
upaya pencegahan penyakit dan pemeliharan untuk itu dilakukan analisis multivariat. Dari
kesehatan seperti imunisasi. Kurangnya hasil analisis ini didapatkan bahwa factor
pengetahuan merupakan kendala masyarakat penyebab stunting yang paling dominan adalah
dan keluarga memanfaatkan secara baik pola asuh gizi pada balita. Dimana pola asuh
pelayanan kesehatan yang tersedia yang dapat salah satu faktor yang berperan penting dalam
berdampak pada status gizi anak (Soetjiningsih, status gizi balita. Masalah gizi di pengaruhi
2012). oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi
Penelitian Schroder (2001) dalam Fitri secara kompleks. Salah satu yang
(2012) yang menyatakan bahwa kekurangan mempengaruhinya yaitu ibu, keadaan gizi di
gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan yang pengaruhi oleh kemampuan ibu menyediakan
kurang dan adanya penyakit infeksi dan pangan yang cukup untuk anak serta pola asuh
penyebab yang mendasarnya adalah makanan, yang dipengaruhi oleh faktor pendapatan
pola asuh dan pelayanan kesehatan. keluarga, pendidikan, perilaku dan jumlah
Soetjiningsih (2012) mengemukakan bahwa saudara.
kesehatan anak harus mendapat perhatian dari Pola asuh gizi ibu baik jika didukungan
para orang tua yaitu dengan segera membawa dengan pengetahuan ibu tentang gizi juga baik,
anaknya yang sakit ketempat pelayanan berdasarkan informasi yang didapatkan dari
kesehatan yang terdekat. Masa balita sangat responden, dimana mereka tidak mengetahui
rentan terhadap penyakit seperti : flu, diare atau bagaimana cara mengatasi anak yang tidak mau
penyakit infeksi lainnya. Salah satu faktor yang makan dan maunya hanya jajan saja (junkfood)
mempermudah anak balita terserang penyakit untuk itu dengan adanya kebijakan baru
adalah keadaan lingkungan. pemerintah yaitu gerakan 1000 HPK
Kontak dengan pelayanan kesehatan diharapkan pendidikan Gizi Masyarakat atau
akan membantu memperbaiki masalah gizi dalam bahasa operasionalnya disebut KIE
baru, sehingga status imunisasi juga diharapkan (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) Gizi.
akan memberikan efek postif terhadap status Bagi masyarakat umum, Pendidikan Gizi untuk
gizi jangka panjang (Anisa, 2012). memberikan pengetahuan, menumbuhkan sikap
Hal ini sudah diatur dalan UUD 1945 dan menciptakan perilaku hidup sehat dengan
pasal 28 yang menyatakan bahwa setiap anak Gizi Seimbang. Dalam gizi seimbang tidak
itu berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh hanya mendidik soal makanan dan
keseimbangan komposisi zat gizi dan

Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2018 63


kebutuhan tubuh akan zat gizi (karbohidrat, Saran
protein, lemak, vitamin dan mineral, dan air), 1. Diharapkan kepada petugas kesehatan
tetapi juga kesimbangan dengan pola hidup dapat melaksanakan dengan baik
bersih untuk mencegah kontaminasi makanan kebijakan baru pemerintah yaitu 1000
dan infeksi sehingga dapat memahami HPK
bagaimana pola asuh gizi yang baik itu. 2. Diharapkan kepada petugas kesehatan dan
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika masyarakat mengoptimalkan pelaksanaan
pola asuh gizi ibu baik maka dapat mengatasi UU Kesehatan 2009 yang terdapat sanksi
masalah variabel lainnya. Diharapkan dengan tegas pada siapa yang dengan sengaja
adanya kebijakan baru pemerintah yaitu 1000 menhalangi program pemberian ASI
HPK dengan program Spesifik dan sensitifnya Eksklusif (Pasal 200) dan sangsi pidana
dapat mengatasi semua varibael yang berat bagi korporasi (Pasal 2001) serta
berhubungan dengan permasalahan gizi pada pelaksanaan PP no 33 tahun 2012 tentang
balita terutama stunting pada balita. ASI.
3. Diharapkan Program KB tetap dilanjutkan
Kesimpulan karena banyak ibu hamil yang tidak
mampu dapat tertolong dan tingkat
1. Balita yang tidak diberikan ASI secara partisipasinya cukup tinggi.
Ekslusif 27.6 % menderita stunting 4. Diharapkan kepada petugas kesehatan
2. Balita yang mendapatkan pola asuh yang terutama kader posyandu dapat
kurang baik 62.1% menderita stunting meningkatkan monitoring pertumbuhan
3. Balita yang pendapatan keluarganya yang balita di posyandu sehingga dapat
kurang baik 27,6% menderita stunting mengurangi risiko terjadinya stunting pada
4. Tingkat pendidikan ibu yang rendah balita.
10,3% balitanya menderita stunting 5. Diharapkan peranan petugas posyandu
5. Balita yang memiliki jumlah keluarga lebih ditingkatkan lagi dalam hal
yang lebih dari lima orang 37.9% pelaksanaan penimbangan, pengukuran
menderita stunting tinggi badan dan imunisasi serta juga
6. Balita yang memiliki riwayat penyakit memberikan edukasi kepada ibu balita
infeksi 75,9 % menderita stunting mengenai pentingnya perhatihan terhadap
7. Balita yang tidak memanfaatkan pelayanan pertumbuhan balita.
posyandu 48,3 % menderita stunting 6. Diharapkan dibentuknya pusat
8. Ada hubungan yang bermakna antara pengembangan KIE Gizi yang dikelola
pemberian ASI dengan Kejadian Stunting oleh tenaga profesional di bidang gizi,
dengan nilai OR = 0,269 kesehatan masyarakat, IT, dan bidang-
9. Ada hubungan yang bermakna antara pola bidang lain yang terkait.
asuh gizi dengan Kejadian Stunting 7. Diharapkan kepada petugas kesehatan
dengan nilai OR = 3.63 dapat melaksanakan dengan baik
10. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kebijakan baru pemerintah yaitu 1000
pendapatan keluarga dengan Kejadian HPK.
Stunting 8. Diharapkan kepada petugas kesehatan dan
11. Tidak ada hubungan yang bermakna antara masyarakat mengoptimalkan pelaksanaan
tingkat pendidikan ibu dengan Kejadian UU Kesehatan 2009 yang terdapat sanksi
Stunting tegas pada siapa yang dengan sengaja
12. Tidak ada hubungan yang bermakna antara menhalangi program pemberian ASI
jumlah keluarga dengan Kejadian Eksklusif (Pasal 200) dan sangsi pidana
Stunting. berat bagi korporasi (Pasal 2001) serta
13. Ada hubungan yang bermakna antara pelaksanaan PP no 33 tahun 2012 tentang
riwayat penyakit infeksi dengan kejadian ASI.
stunting dengan nilai OR 3.868 9. Diharapkan Program KB tetap dilanjutkan
14. Tidak ada hubungan yang bermakna antara karena banyak ibu hamil yang tidak
pemanfaatan pelayanan posyandu dengan mampu dapat tertolong dan tingkat
kejadian stunting partisipasinya cukup tinggi.
10. Diharapkan kepada petugas kesehatan
terutama kader posyandu dapat

Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2018 64


meningkatkan monitoring pertumbuhan mengurangi risiko terjadinya stunting pada
balita di posyandu sehingga dapat balita.

Daftar Pustaka
Kemenkes RI, 2012. Kerangka Kebijakan
Allen, L.H. 2002 Nutritional Influences on Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu
Linier Growth (On-Line). Available on: Hari Pertama Kehidupan (1000 Hpk).
www.unu.edu/Unpress/food2/uid06eu.htm Balitbang
Astari LD, Nasoetion A, Dwiriani CM, 2005. Kemenkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar.
Hubungan Karakteristik Keluarga, Pola Balitbang
Pengasuhan dan Kejadian Stunting Anak Purwandini K, Kartasurya M I. 2013. Pengaruh
Usia 6-12 Bulan. Media Gizi dan Pemberian Mikronutrient Sprinkle
Keluarga. Terhadap Perkembangan Motorik Anak
Anugraheni, H. S.; 2012. Faktor Risiko Stunting Usia 12-36 Bulan. Journal of
Kejadian Stuntingpada Anak Usia 12-36 Nutrition College; Volume 2 Nomor 1
Bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Halaman 147-163.
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Soetjiningsih, 1998. Tumbuh Kembang Anak.
Kedokteran Universitas Diponegoro. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Semarang. Soetjiningsih, 2000. Tumbuh Kembang Anak.
Anisa, P. 2012. Faktor yang Berhubungan Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC.
dengan Stunting pada Balita Usia 25 – 60 Soetjiningsih, 2012. Tumbuh Kembang Anak.
bulan di Kelurahan Depok. Universitas Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Indonesia. Skripsi Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi.
Devi, M. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang Jakarta : Rineka Cipta
Berpengaruh Terhadap Status Gizi Balita Taguri, A. E., et al. 2008 “Risk Faktor Stunting
Di Pedesaan. Vol. 33, No.2, Teknologi Among Under Five in Libya”, Public
dan Kejuruan, (online), diakses 17 Juni Health Nutrition, 12 (8). Diakses dari
2013. www.ncbi.nlm.gov
Eastwood, M. 2003. Principle of Human Thaha R. 1996. Gizi Kesehatan Ibu dan Anak,
Second Edition. Blackwell Science Ltd, a Kerangka Konsep dan Metode
Blackwell Publishing Company. Pengukuran. Indikator. Vol.3, no.1
Fitri. 2012. Berat Lahir sebagai Faktor Wiyogowati, C. 2012. Kejadian Stunting pada
Dominan Terjadinya Stunting pada Balita Anak Berumur dibawah Lima Tahun (0-59
(12 – 59 Bulan) di Sumatera. Universitas Bulan) di Propinsi Papua Barat Tahun
Indonesia 2010. Universitas Indonesia.
Kemenkes RI, 2010. StandarAntropometri
Penilaian Status Gizi Anak. Direktorat
Bina Gizi

Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 3, No. 1 Januari-Juni 2018 65

Anda mungkin juga menyukai