Anda di halaman 1dari 43

MANIFESTO TIKUS MERAH

Para jenderal bersekutu. Orang-orang kiri kongkalikong dengan cukong. Intelektual kiri
sibuk masturbasi di subuh hari. Tepat ketika embun luruh dari daun kasturi, Tikus Merah
keluar dari got-got gelap dan kotor. Ada wabah Tikus Merah di Indonesia.

Indonesia terletak di persimpangan jalur perdagangan besar, antara Teluk Benggala


dengan Laut Cina atau umum sering menyebut antara Samudera Hindia dengan Samudera
Pasifik. Persimpangan ini, pada awal peradaban manusia dan sampai saat ini, merupakan daerah
yang penting bagi lalu lintas perdagangan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan manusia. Luas
wilayah Indonesia mencapai 1.900.000 kilometer persegi, atau lima puluh tujuh kali luas Belanda,
empat kali luas Perancis dan hampir dua kali luas Pakistan. Dalam garis lintangnya, jarak antara
Aceh di ujung timur dengan Papua di ujung barat sama dengan jarak antara Pantai Pasifik dengan
Pantai Atlantik di Amerika.
Posisi seperti itu membuat Indonesia berada di tempat yang strategis dalam percaturan
ekonomi-politik dunia. Tapi kenyataannya Indonesia tak bisa lepas dari keterpurukan. Pepatah-
pepatah kuno memuji Indonesia sebagai Suvarnadwipa: Tanah Emas. Tapi kini sebagian besar
penduduknya hidup dalam kemelaratan.
Mengapa tikus bisa mati di lumbung padi? Inilah yang akan kami jawab.

I
Kapitalisme Indonesia

Dari Kapitalisme Militeristik sampai Badai Krisis


Kapitalisme di Indonesia paska tumbangnya Soekarno sangat berlainan dengan kapitalisme
di Eropa ketika Revolusi Perancis dan Inggris melanda benua itu. Perbedaan tersebut terutama
terletak pada penguasaan aset-aset modal pada awal transisi dari Soekarno ke Soeharto. Dalam
masa peralihan tersebut, tentara memegang peranan yang dominan dalam penguasaan modal:
sebagai penjaga modal dan sekaligus sebagai pialang modal. Borjuasi pribumi yang mendapat
ceceran modal dari program Benteng tahun 1957, akhirnya tergilas oleh naiknya tentara ke
singgasana kekuasaan. Borjuasi pribumi—yang sebagian besar priyayi-priyayi yang masuk dalam
PNI dan Masyumi—terlucuti hak-haknya. Mungkin borjuasi Tionghoa yang tersisa. Tapi tentaralah
yang paling dominan sebagai penguasa aset-aset produksi.
Tersebutlah sejak manusia mengenal kapal, Indonesia sudah banyak dikunjungi orang-
orang dari berbagai negeri. Mereka berdagang dan bertukar ilmu pengetahuan.Tapi ketika bangsa-
bangsa dari Utara mulai berdatangan pada Abad Pertengahan, tujuan itu bergeser. Orang-orang
yang telah diberkahi oleh Paus sejak perjanjian Tordesillas, membelah samudera dengan slogan:
Gold [emas], Gospel [agama Katolik] dan Glory [kejayaan]. Itulah masa ketika kapital mulai
menjarah bumi-bumi di Selatan. Semenjak itu, selama ratusan tahun kekayaan Indonesia
diboyong ke Utara.
Semestinya Revolusi Agustus 1945 memungkas semua itu. Tapi tak semua putik akan
tumbuh menjadi bunga. Belanda memang berhasil didepak, tapi Amerika Serikat datang sebagai
gantinya. Modal mereka masuk, dan sekali lagi, seperti era Belanda, kekayaan Indonesia terus
dibawa ke Utara. Tentu mereka bisa masuk karena ada yang membukakan pintu. Siapa saja
pembuka pintu itu?
1.Jalur Masuknya Modal Asing
1.1. Jalur Intelektual
Universitas merupakan salah satu pembuka pintu agar Amerika Serikat [AS] bisa
mempertahankan kepentingannya di Indonesia—terutama kepentingan modal. Setelah mereka
terlibat dalam menyelesaikan kemelut antara Indonesia dan Belanda paska kemerdekaan,
peranan AS meningkat. Ada dua intelektual Indonesia yang dijadikan kaki tangan AS di Indonesia:
Sumitro Djoyohadikusumo dan Sudjatmoko. Oleh AS mereka dianggap sebagai ‗orang-orang
nasionalis yang sopan‘ dibanding Soekarno yang meledak-ledak dan lebih condong ke kiri.
Selepas perjanjian Konferensi Meja Budar [KMB], Sumitro yang beberapa waktu lamanya
berada di AS, kembali ke Indonesia untuk menjadi Menteri Perdagangan dan Industri, dan dalam
dua periode kabinet selanjutnya menjadi Menteri Keuangan. Dalam kurun waktu menjadi menteri
pada tahun 1950-an inilah, sikap Sumitro sebagai ‗orang‘ AS dan Belanda ditunjukkan dengan
memberikan peluang yang besar pada modal dari Utara untuk masuk ke Indonesia.
Tentu saja Sumitro memerlukan pembantu-pembantu yang setia agar tugasnya bisa
berjalan mulus. Lewat Yayasan The Ford Foundation [yang berdiri di Indonesia pada tahun 1953],
Sumitro yang juga seorang dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mementori ‗kader-
kader muda‘ untuk bisa menjadi penerus dan pelayan yang baik bagi Tuan-tuan pemodal dari
negeri Paman Sam. Mereka yang berpihak pada kapitalis Amerika disekolahkan ke AS—
terutama Universitas Berkeley dan Cornell—seperti M. Sadli, Widjojo Nitisastro, Selosumardjan,
dll. Mereka inilah yang kemudian menjadi ‗arsitek-arsitek‘ ekonomi yang pro kapitalis setelah
Soeharto menjadi presiden.
Ketika pembantaian terhadap orang-orang komunis dimulai, Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia mengadakan seminar ekonomi. Orang-orang kepercayaan Amerika seperti Widjojo
Nitisastro, M. Sadli dan Ali Wardana tampil sebagai pembicara. Hasil seminar tersebut kemudian
dijadikan landasan pembangunan ekonomi Orba. Artinya, bahkan sebelum Soekarno benar-benar
terguling, mereka sudah siap dengan cetak biru ekonomi pro kapitalis.
Sampai kini intelektual-intelektual pro neoliberalisme terus digembleng di universitas-
universitas di Indonesia. Yang menonjol kemudian dikirim ke AS agar semakin tebal keimanannya,
bahwa hanya kapitalismelah yang dapat memberikan jaminan bagi kemakmuran ekonomi dunia.
Setelah pulang mereka akan menjual negaranya pada sang Tuan di Utara. Dengan segepok teori-
teori, mereka menyodorkan argumentasi-argumentasi ilmiah, bahwa pasar bebaslah yang mesti
dianut. Agar tak terkesan seperti Malin Kundang, mereka menganjurkan agar orang-orang miskin
diberi sedikit kue-kue agar tak memberontak.
Tapi mereka tak sendiri. Ada sahabat baik yang digembleng di Lembah Tidar. Sahabat itu
bernama tentara.

1.2. Jalur Tentara


Berbeda dengan Amerika, Siam, dan Jepang yang bisa memelihara angkatan bersenjata
yang mandiri, Hindia Belanda hampir tidak dilengkapi dengan angkatan bersenjata pribumi.
Mataram memang pernah mempunyai angkatan bersenjata yang besar, tetapi setelah Perang
Diponegoro, Gubernur Jendral Belanda di Batavia hanya memperbolehkan kerajaan-kerajaan
yang ada memiliki angkatan bersenjata untuk parade semata. Sedangkan tentara kolonial sendiri
(KNIL) sebagian besar diambil dari luar Jawa (Ambon). Jadi, inti tentara Indonesia yang
sesungguhnya tidak pernah mendapat didikan Barat. Sebagian lagi adalah didikan Jepang melalui
PETA. Pasukan Republik yang mula-mula sekali melucuti tentara Jepang dan melawan Inggris
(Sekutu), banyak diantaranya adalah gerombolan-gerombolan partisan -lebih banyak sebagai
gerakan bawah tanah daripada sebagai tentara reguler- yang lebih dekat dengan golongan kiri.
Situasi seperti ini membuat negara-negara kapitalis seperti AS menjadi khawatir. Apalagi dalam
gelanggang Internasional menunjukkan bahwa posisi gerakan kiri sedang menguat sehingga bisa
menyeret Indonesia yang baru merdeka ke dalam revolusi sosialis seperti yang terjadi di Tiongkok.
Maka, AS yang peranannya semakin besar setelah KMB, mendekati kelompok-kelompok
reaksioner seperti Hatta, PSI dan Masyumi untuk menghambat kemunculan tentara yang progresif.
Sebagai imbalan, mereka memberikan bantuan-bantuan ekonomi dan mendesak Belanda untuk
segera mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Kelompok-kelompok reaksioner yang
juga dalam posisi terancam menyambut tawaran pihak AS. Red draft Proposal dan Rasionalisasi
Restrukturisasi (RERA) Hatta adalah bungkus untuk melakukan pembasmian terhadap gerakan
kiri di Indonesia. Tentara dibersihkan dari unsur-unsur revolusionernya—seperti PESINDO— dan
hanya disisakan mereka-mereka yang mendapat didikan KNIL atau PETA. Sejak saat itu pengaruh
AS masuk ke tentara Indonesia sebagai salah satu jalur untuk memudahkan masuknya modal.
Sejak kegagalan CIA dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA—ini merupakan usaha AS
untuk menciptakan ketidakstabilan di Indonesia paska Pemilu 1955, dimana PKI menempati posisi
4 besar— Amerika banyak mengubah strategi taktik untuk mempertahankan dominasinya di
Indonesia. Mereka mulai mendekati perwira-perwira tentara yang anti terhadap gerakan kiri.
Amerika memberikan bantuan sebesar $20 juta kepada tentara Indonesia, dan kemudian mulai
memasukkan orang-orangnya ke SESKOAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). SESKOAD
didirikan pada tahun 1958 oleh perwira-perwira intelektual Indonesia yang pro kapitalis dan AS,
namun anti komunisme. Orang-orang seperti Sumitro, Widjoyo, dan Sadli adalah pengajar-
pengajar di SESKOAD. Dan, Soeharto merupakan salah satu produk dari sekolah komando itu.
Melewati dua pintu di atas, modal AS bisa mulus masuk ke Indonesia. Lalu, darimana
tentara mendapatkan ceceran modal sehingga mereka dapat membangun basis ekonomi untuk
mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965?

1.3. Borjuasi Bersenjata


Keterlibatan tentara dalam bisnis sudah ada sejak Indonesia merdeka. Tentara Indonesia
sejak awal diberi keleluasaan untuk mencari dana sendiri guna melancarkan operasi-operasi
mereka. Berbagai laskar-laskar rakyat mencari dana secara mandiri guna membiayai perang
gerilya melawan Belanda. Namun, penggalian dana secara sistematis baru dilakukan sejak RERA.
Usaha-usaha tentara untuk mulai melakukan bisnis—dengan alasan anggaran yang diberikan
pemerintah kecil—paska RERA sering menimbulkan ketegangan. Setiap komandan-komandan
wilayah mempunyai wewenang untuk mengembangkan bisnis sendiri, yang sering kali tanpa
sepengetahuan orang-orang Jakarta. Peristiwa PRRI/PERMESTA dapat djadikan contoh tentang
ketegangan yang terjadi antara penguasa teritorial di tingkat daerah dengan yang berada di pusat.
Dalam peristiwa tersebut, Komando TT I/ Bukit Barisan di Sumatera dan Komando TT
VII/Wirabuana di Sulawesi, untuk mendanai kerja-kerja operasionalnya melakukan penyelundupan
karet di Sumatera dan kopra di Sulawesi. Ini tentu saja merugikan pemerintahan pusat maupun
pimpinan tentara yang ada di Jakarta. Guna ‗menertibkannya‘, mereka ‗dibersihkan‘—di samping
alasan politik bahwa PRRI/PERMESTA didukung oleh CIA. Pola-pola penyelundupan ini
merupakan hal yang wajar dalam bisnis tentara. Kostrad juga mengumpulkan dana lewat cara
seperti itu. Soeharto juga melakukan hal sama ketika masih menjadi Pangdam Diponegoro.
Setelah tahun 1957, keterlibatan bisnis tentara secara institusional semakin meningkat.
Perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh serikat-serikat buruh, sebagian besar
diambil alih oleh tentara. Jenderal A.H Nasution mengambil prakarsa agar perusahaan-
perusahaan tersebut ditempatkan di bawah tentara supaya ‗terjamin keamanannya‘. Sejak saat
itulah tentara menguasai bisnis dalam skala besar. Kondisi tersebut semakin kuat ketika Soeharto
naik menjadi presiden. Soeharto menetapkan kerjasama antara tentara, borjuasi Tionghoa dan
pemodal asing untuk membangun perekonomian Indonesia. Semakin tertancaplah peran tentara
Indonesia sebagai pemilik modal, pialang modal dan sekaligus sebagai penjaga modal.
Guna mengukuhkan peranannya di atas, perwira-perwira tentara ditempatkan diberbagai
BUMN-BUMN dan membentuk unit-unit usaha baru. Kerjasama dengan borjuasi Tionghoa juga
ditingkatkan. Kerjasama antara Liem Sioe Liong —sahabat bisnis Soeharto semasa menjadi
Pangdam Diponegoro— dalam membangun Bank Windu Kencana, merupakan contoh bentuk
kerjasama antara tentara dan pengusaha. Bank tersebut menjadi basis pencarian dana dan
perluasan usaha sektor lain.
Angkatan Darat [AD] merupakan kesatuan tentara yang mempunyai bisnis paling banyak.
Melalui empat yayasan yang mereka miliki —Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP), Induk Koperasi
Angkatan Darat (Inkopod), Yayasan Kesejahteraan Korps Baret Merah (YK KOMBE)— Angkatan
Darat mengembangkan bisnis-binisnya. Mereka bergerak dalam berbagai usaha, mulai dari
transportasi, konstruksi, perikanan, HPH, dll.

Nama Perusahaan/Proyek Keterangan Nama Perusahaan/Proyek Keterangan


Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP): Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopod):
PT. Aerokarko Indonesia Kartika Cipta Sarana
PT. Asuransi Cigna Indonesia Mina Kartika Samudera Konstruksi
PT. Cilegon Fabricators Pemasok Rimba Kartika Jaya Perikanan
PT. Kayan River Indah Timber Plywood Mitra Kartika Sejati Timber
PT. Kultujaya Tri Utama Kartika Inti Perkasa Shirimp
PT.Lukita Wahana Sari Kartika Summa Hoding comp.
PT. Meranti Sakti Indah Plywood Mahkota Transindo Indah Holding comp.
PT. Meranti Sakti Indonesia Holding comp.
PT. Panca Usaha Palopo Plywood Yayasan
PT. Pondok Indah Padang Golf Kesejahteraan Korps Baret Merah (YK
PT. Privated Development Finance.Co KOMBE) Milik Kopassus:
PT. Sinkanoi Indonesia Lestari Operasi Prawita
PT. Sumber Mas Indonesa HPH
PT. Sumber Mas Timber Kerjasama dengan
PT. Truba Anugerah Elektronik Kadin untuk melatih
PT. Truba Gatra Perkasa & mengembangkan
PT. Truba Jurong Engineering para anggota
PT. Truba Jurong Engineering Pie Ltd. Kopassus menjadi
PT. Truba Sadaya Industri wiraswastawan
PT. Sakai Sakti Konstruksi
PT. Kayan River Timber Product PT. Kobame Propetindo Pemilik Graha
PT. Sempati Air Cijantung
PT. Internasional Timber Corporation Indonesia (ITCI) Transportasi bisnis
PT. Bank Artha Graha KMB Tribuana I (dalam rencana) perkayuan di
PT. Danayasa Arthama Universitas Ahmad Yani Bandung Kalimantan
Poperti
Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopod): Distribusi metanol
Duta Kartika Kencana Tour &Travels Dalam Rencana dari Pertamina
Kartika Plaza Hotel
Kartika Aneka Usaha Pengelolaaan pasar
Kartika Buana Niaga swalayan di berbagi
Duta Kartika Cargo Service Dalam rencana negara
Orchid Palace Hotel
Eks-impor

Tabel 1: Perusahan Milik Angkatan Darat

Walaupun tidak sebanyak Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara juga
mengembangkan bisnisnya. Guna membungkus bisnis-bisnis tersebut, sama seperti Angkatan
Darat, yaitu disamarkan dalam bentuk yayasan atau koperasi. Angkatan Laut lebih fokus pada
bisnis perkapalan, penyulingan minyak dan produksi bahan kimia. Sedangkan Angkatan Udara
berfokus pada pers, telekomunikasi dan perdagangan umum.

Nama Perusahaan/Proyek Keterangan Nama Perusahaan/Proyek Keterangan


Yayasan Bhumyanca (Yasbhum) Yayasan Adi Upaya:
Bank Bahari Perkapalan Bank Angkasa
Admiral Lines Suku cadang Aerokarto Indo
Yala Trading Dirgantara Air Service
Bhumyanca Film Angkasa Puri
Bintara Beach Internasiona Cardig PERS
REsort PT. Mediarona Dirgantara Telekomunikasi
Pulau Bayan Marina Club Penyulingan minyak PT. Kresna Puri Dirgantara &perdagngan umum
Karimun Kecil mentah

Sekolah-sekolah Hang Tuah PT. Kontruksi Dirgantara


Induk Koperasi AL (Inkopal) Induk Koperasi AU (Inkopau)
&Primer Koperasi AL(Primkopal): &Primer Koperasi AU (Primkopau):
(Selain berbagai bisnis di atas, TNI AL (selain berbagai bisnis di atas, TNI AU
juga mengembangkan berbagai bisnis, Usaha di Bawah Inkopal, juga mengembangkan berbagai bisnis
yang berada di bawah naungan yang cukup terkemuka yang berada di bawah naungan Inkopau
Inkopal dan Primkopal) adalah usaha bisnis dan Primkopau)
bahan kimia yang
berlokasi di Surabaya
Tabel 2 : Perusahan Milik AL dan AU

Selain ketiga angkatan di atas, Kepolisian juga memiliki bisnis. Paling tidak mereka
mempunyai tiga yayasan: Yayasan Bisnis Bhakti dan Induk Koperasi Polisi (Inkoppol) serta Primer
Koperasi Polisi (Primkoppol). Melalui tiga ‗tangannya‘ ini, Polisi mengembangkan usaha, dari
bisnis perdagangan, HPH, perhotelan, serta garmen. Bahkan setelah pisah ranjang dari TNI, Polri
menjalankan bisnis senjata secara mandiri.

Nama Perusahaan/Proyek Keterangan


Yayasan Bisnis Bhakti:
PT. Tansa Trisna Perdagangan umum,
kayu, kimia, dan udang
HPH dan Garmen
PT. Bhara Induk Pergangan umum,
PT. Braja Tama HPHm, perhotelan, dan
garmen
Angkutan Bahan
PT. Braja Tara peledak
Perdagangan Umum
PT. Bhara Union dan HPH
Asuransi
PT. Asuransi Bhakti Bhayangkara Adjuster Klaim asuransi
PT. Sabta Pirsa Mandiri

Gedung Bimantara
Bank Yudha Bhakti
Asuransi Bhakti Bhayangkara
Induk Koperasi Polisi (Inkoppol)
Dan primer Koperasi Polisi
(Primkoppol)
(selain berbagai bisnis di atas, Polri juga mengembangkan berbagai bisnis lain.
Tabel 3 : Milik Kepolisian

Selain secara kelembagaan, banyak perwira-perwira tentara yang membangun kerajaan


bisnisnya sendiri. Mereka antara lain: Letjen. TNI (Purn) Ibn Sutowo, pemilik Nugra Santana Group
(NSG) yang membawahi tidak kurang 30 anak perusahaan; Brigjen TNI (Purn) Sjarnoebi Said,
yang sukses dengan bisnis otomotif Krama Yudha; Brigjen TNI Andi Soe, pemilik kelompok usaha
Merannu yang membawahi sekitar 16 anak perusahaan; Mayjen TNI (Purn) Suhardiman yang
pernah menangani berbagai perusahaan. Letjen TNI (Purn) Tahir, pengelola kelompok usaha
Hanurata dengan 10 anak perusahaan; Jendral TNI (Purn) Benny Moerdani yang mempunyai
usaha Batara Indra dengan sekitar 33 anak perusahaan.
Ibnu Sutowo yang sempat menjadi Direktur Utama Pertamina mengembangkan kerajaan
bisnis pribadinya. Di bawah naungan Nugraha Santana Group (NGS), ia mengembangkan usaha
dalam berbagai bidang, mulai dari pembuatan dan perlawatan kapal, perhotelan, persewaan
gedung, real estate, sampai bisnis perdagangan minyak.

Nama Perusahaan Bidang Usaha


PT Adiguna Shipbuilding and Engineering Pembangunan dan perawatan kapal, pengadaan fiber glass kapal
PT Alas Helau Logging dan Investasi bangunan
PT Artana Pasifik Hasil dan Asuransi Kelautan
PT Bali Handara Country Clup Pengelolaan lapangan Golf, restoran, dan manajemen cottage
PT Cipta Paramuda Sejati Persewan gedung dan konsultasi manajemen
PT Delta Sentana Holding dan Trading
PT FMC –Santana Petroleum Equipment Perdagangan minyak bumi
PT Hedra Ghraha Kontraktor
PT Indobuild Co. Real estate dan hotel
PT Inggom Shipyard Pembangunan dan reparasi kapal
PT Intan Sengkunyit Pembangunan dan reparasi kapal
PT Kertas Kraft Aceh Pabrik kertas
PT Nisdemi Pengadaan mesin disel, generator, perakitan alat-alat kelautan
PT Nugra Sarana Bursa saham,pemasaran, manajemen properta, investasi
PT Bank Pasifik Perbangkan
PT Pelumin Tranportasi kargo, tandling crafts, kapal tunda
PT Sarana Buana Hendra Perhotelan (antara lian Hotel Hilton)
PT. Tirtajaya Shipyard Pembanguna dan reparasi kapal
PT Tunas Tour and Travel Biro perjalanan
PT Adiguna Mesin Tani agrikultural
Tabel 4 : “Imperium” Ibnu Sutowo

Benny Moerdani tidak mau ketinggalan dengan rekan-rekannya sesama tentara. Ketika
memimpin pasukan Indonesia untuk invansi ke Timor-Timur, ia memanfaatkannya untuk
membangun bisnis pribadi. Namun, dalam perkembangnya bisnis-bisnis yang dimiliki Benny
banyak mengalami kebangkrutan dan kemudian digantikan oleh keluarga Cendana.

Nama Perusahaan Bidang Usaha


PT Adhi Baladika Agung Kontraktor umum
PT Branata Mulia Industri pita rekaman
PT Motollain Corporation Distribusi peralatan komunikasi
PT Nee Diak Industri perkapalan
PT Renpah kencana Eksportir kopi dan minyak cendana
PT Wawasan Globalindo Sentosa Bursa saham
PT Widya Dana Persada Bursa saham

Tabel 5 : Usaha-usaha Benny

Dalam bisnisnya, tentara juga banyak yang bekerjasama dengan modal asing. Kerjasama
Krama Yudha Group milik Brigjen TNI (Purn) Sjarnoebi Said dengan pemodal asing bisa dijadikan
contoh. Krama Yudha memiliki beberapa anak perusahaan, antara lain: PT Braja Mukti Cakara, PT
Colt Engine Manufacturing, PT Karya Yasantara Cakti, PT Krama Yudha, PT Krama Yudha Motor,
PT Krama Yudha Ratu Motor, PT Krama Yudha Tiga Berlian, PT Staco Tiga Berlian, PT Wira
Dedana. Anak-anak perusahaan ini di dalamnya banyak melibatkan pemodal-pemodal asing untuk
memperbesar kerajaan usahanya.

Nama perusahaan PMA PMDN Modal Dasar Modal Modal


(dalam (dalam Ditempatkan Disetor
US $)) RP)
PT Braja Mukti Cakara - 3.025,0 1.000,0 700,0 700,0
PT Colt Engine Manufacturing 140,9 - 23.275,0 4.987,5 4.987,5
PT Karya Yasantara Cakti 5,7 - 375,9 375,9 375,9
PT Krama Yudha - - 500 500 500
PT Krama Yudha Motor - 6.300,0 1.500,0 500 500
PT Krama Yudha Ratu Motor - 9.164,5 500 500 500
PT Krama Yudha Tiga Berlian - - 748,0 748,0 748,0
PT Staco Tiga Berlian - - 10.000,0 10.000,0 10.000,0
PT Wira Dedana - - 15.000,0 3.000,0 3.000,0
Total 146,0 18.489,5 52.898,9 21.311,4 16.311,4

Tabel 6 : Kerjasama Mantan Perwira Tentara dan Pemodal Asing

1.3. Masuknya Modal Asing


Sebagai balas jasa atas dukungan AS, tentara Indonesia yang berkuasa sejak tragedi
berdarah tahun 1965, memberikan kemudahan bagi negara tersebut untuk menanamkan modal.
Apalagi borjuasi nasional tidak mempunyai daya apa-apa untuk menguasai modal yang
seharusnya menjadi haknya. Sementara itu, borjuasi Tionghoa yang karena ketangguhanya, juga
mendapatkan modal dari tentara, walaupun tidak sebanyak yang didapatkan pemodal asing.
Dominasi modal kapitalis internasional dapat kita lihat dari data di bawah ini:

Bidang Usaha PMDN (dalam juta Rp) PMA (dalam juta Rp)
Industri Makanan 165.247 57.125
Industri Tektil 185.988 504.750
Industri Kayu 74.851 27.937
Industri Kertas 58.881 14.312
Industri Kimia 167.501 187.937
Industri Mineral Bukan Logam 202.450 253.375
Industri Logam Dasar
Industri Barang Logam 66.210 157.437
Industri Lainya 131.242 268.063
4.856 11.313
Tabel 7 : Perbandingan Investasi Modal Borjuasi Pribumi Dan Borjuasi Asing
Pada Tahun (1967-1979)

Dari data di atas dapat dilihat dominasi modal asing tidak bisa dikalahkan oleh borjuasi
nasional. Sedangkan borjuasi Tionghoa sebagian besar hanya menguasai non industri berat —
tidak pernah menguasi sektor-sektor ekstraktif— seperti pertambangan dan minyak. Data-data di
bawah ini dapat menunjukkan dominasi modal asing di Indonesia (dalam Juta $).

Periode AS Kan Lln Hkn Jpg Korsel Mly Php Sing Taiw Thd
Chn India Lln

1995 2,770.5 10.5 14.1 1,763.3 3,792.0 674.7 877.0 31.2 1,468.5 567.4 34.5
17.4 5.7 3.1
1996 642.1 35.8 76.6 1,105.6 7,655.3 1,231.4 1,393.3 3.1 3,131.0 534.6 1,610.6
20.3 21.8 1,664.3
1997 1,017.7 6.2 88.9 251.0 5,421.3 1,409.9 2,289.3 0.0 2,298.6 3,419.4 19.1
23.5 5.9 31.6
1998 568.3 8.1 123.2 549.0 1,330.7 202.4 1,060.2 62.5 1,267.4 165.4 2.8
7.6 14.9 10.8
1999 136.7 3.2 4.3 76.9 644.3 263.0 186.1 4.9 731.1 1,489.3 8.4
57.9 12.5 3,011.7
Tabel 8: Negara-negara Kapitalis Yang Menanamkan Modal di Indonesia

Sejak awal, ketika Soeharto menjadi penguasa, harta kekayaan negeri ini memang
dipersembahkan bagi modal asing. Sebagai hamba yang setia, Soeharto dan kroni-kroninya
dilindungi oleh Tuan-tuan mereka. Tak mengherankan kalau ia bisa bertahan selama 30
tahun lebih menancapkan kekuasaanya di Indonesia. Dengan masa kekuasaan yang selama
itu, tentu saja ia telah mempersembahkan upeti yang besar bagi para kapitalis
internasional. Semenjak masa Tanam Paksa, pada masa rezim Soeharto inilah Indonesia
bisa menjadi sapi perahan yang membuat bangsa-bangsa Utara bersuka cita.
Karena sumber daya alam ada di pelosok-pelosok Kalimantan, Sumatera, Sulawesi,
Nusa Tenggara dan Papua, modal asing pun menggurita di sana. Kekayaan alam didudah
dari perut bumi dan hutan-hutan mulai ditebangi. Suku-suku anak dalam yang sudah
beratus-ratus tahun tinggal, mulai didesak untuk pergi karena tempat mereka akan diubah
menjadi kawasan pertambangan atau HPH. Mereka yang selalu dipinggirkan dari proses
pembangunan semakin tak karuan nasibnya: menjadi paria di negerinya sendiri. Semua itu
masih harus ditambah kerusakan ekosistem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bekas-
bekas pertambangan dibiarkan begitu saja dan hutan semakin gundul. Tanah longsor dan
banjir bandang merusak apa saja, termasuk manusianya. Begitulah nasib negeri setengah
jajahan seperti Indonesia.

1.3. Borjuasi Nasional/Pribumi


Perlu disebut dua borjuasi pribumi yang tumbuh sebelum dan sesudah Soekarno runtuh,
yaitu Soedarpo Sastrosatomo dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dua borjuasi pribumi ini dapat
bertahan setelah Orde Baru berkuasa. Soedarpo banyak bergerak dibidang perbankan. Ia banyak
membangun usahanya dengan borjuasi Tionghoa seperti Julius Tjahija, dan juga dengan
perusahaan asing.

Company Interests
Soedarpo Corp. Ista Shiping Perusahaan induk dan perdagangan
Agency
PT Panurjawan Pelayaran antarpulau
PT Samudera Indonesia Pelayaran internasional
PT Bhaita Kapal penarik dan bergas
PT Pahoka Pengangkutan kayu balok
PT Indonesia National Bulk Angkutan barang-barang lepas
Carriers
PT Bank Amerta Bank
PT Bank Niaga Bank devisa
PT PDFC Institusi keuangan
Tabel 9 : Perusahaan Soedarpo

Sementara Sultan HB IX dalam mengembangkan bisnisnya banyak bekerjasama dengan


investor asing, seperti dari Hongkong dan Belanda. Dalam pendirian Bank Dagang Nasional
Indonesia, ia bekerjasama dengan Sjamsul Nursalim. Bidang usaha yang dikembangkan Sultan
HB IX meliputi tekstil, hotel, kontraktor dan perusahaan kaset.

Company Sector Shareholders


PT.Molino Pramungka Perusahaan induk Sultan Hamengkubuwono dan Pramuka
PT.Asia Indo Tobacco Tembakau dan rokok PT Molino Pramungka san Singapura
PT. Urecon Properti T. Daud Muh. Suleiman & Ir. Tirtajaya
PT. Urecon Utama Properti T. Daud Muh. Suleiman & Ir. Tirtajaya &Kasworo
PT. BASF Pita rekaman PT Urecom, Teddy Chandrajaya
PT. Tylor Woodrow Kontraktor PT Urecom Utama dan Inggris
PT. Universal Realty Properti PT Urecom Utama dan Singapura
PT. Chandra Jaya Perikanan PT Urecom Utama,
PT. Nusantour Duta Pengelolaan kekayaan Sultan HB IX, Sri Budojo
PT. Duta Merlin Hotel PT Nusatour Duta, PT Duta Indo Jaya dan Hongkong
PT. Wavin Duta Jaya Pipa PVC PT Nusatour Duta, PT Pembanguan Jaya dan Belanda
PT. Eastern Polymer Tekstil PT Nusatour Duta dan Hongkong
PT. Jogjatex Tektsil Kasworo dan investor lain
PT. BDNI PT Nusatour Duta &PT PT Nusatour Duta Jaya &Sjamsul
Nursalim
Tabel 10: Harta Keturunan Sultan Agung yang Telah Berubah
Menjadi Borjuasi Pribumi

Lama menjadi kacung pemerintah Belanda, borjuasi pribumi terlambat tumbuh. Selama
masa kolonial mereka memilih menjadi pegawai kolonial dengan gaji bulanan daripada menjadi
pengusaha seperti orang-orang Tionghoa. Bagi mereka, menjadi pedagang merupakan pekerjaan
kotor yang akan melunturkan kepriyayian. Tak mengherankan ketika mendapat berkah dari
program Benteng, mereka lebih suka menjual lisensi yang dimiliki pada borjuasi asing atau
borjuasi Tionghoa.
Borjuasi pribumi yang muncul pada masa Orba tidak lain hanya sebatas kroni Soeharto.
Mereka sebagaimana bayi yang semenjak lahir sudah cacat, menetek terus menerus pada Sang
Jenderal. Tak pernah mandiri. Selalu hidup dari belas kasihan. Sampai sekarang pun mereka tidak
tumbuh sebagaimana mestinya.

1.4. Borjuasi Tionghoa


Jumlah borjuasi Hoakiau tumbuh lebih banyak dibanding borjuasi pribumi. Mereka rata-rata
bergerak pada bidang manufacturing, perbankan, properti dan kontruksi. Beberapa mendirikan
industri semen dan menguasai perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia. Di antara kelompok
raksasa adalah Astra Group dan kelompok Liem Sioe Liong. Kedua kelompok ini menggurita
sampai saat ini.
Ketangguhan borjuasi Tionghoa tak perlu diragukan lagi. Sejak zaman Belanda mereka
telah bisa bersaing dengan pengusaha-pengusaha dari Eropa dan Timur Jauh. Tak jarang mereka
menjadi korban rasisme, ditindas dan ditumpas, namun bisa bertahan. Orang-orang yang awalnya
miskin di Negeri Naga sana, pergi ke Indonesia untuk memperbaiki nasib. Lewat kerja keras
mereka tumbuh menjadi borjuasi yang tak gepeng oleh berbagai gencetan.
Ketangguhan itulah yang membuat borjuasi pribumi iri. Tak jarang dalam setiap
kesempatan politik, borjuasi Tionghoa menjadi sasaran untuk menumpahkan kemarahan. Dengan
propaganda bahwa mereka orang asing yang mengeruk kekayaan Indonesia, borjuasi Tionghoa
sering menjadi sasaran amuk massa. Dan akibatnya bukan hanya mereka yang menanggung.
Etnis Tionghoa yang hidupnya biasa-biasa saja ikut menjadi korban. Peristiwa Mei 1998
merupakan contoh paling akhir bagaimana etnis Tionghoa menjadi korban rasisme.
Tapi mereka tetap bertahan. Sepuluh besar orang terkaya di Indonesia masih diduduki oleh
borjuasi Tionghoa. Rezim boleh berganti, tapi mereka bisa menyesuaikan diri. Sepertinya itulah
keunggulan mereka.

1.5. Proses Industrialisasi „Kampungan‟


Repelita merupakan konsep pembangunan yang dilakukan oleh rezim Soeharto. Seperti
halnya raja Mataram, Soeharto memfokuskan pada pembangunan sektor pertanian dibanding
sektor-sektor lain, terutama sektor industri. Juga seperti masa penjajahan Belanda, sektor-sektor
ekonomi yang lain dibangun untuk mendukung sektor pertanian—Belanda melakukan
industrialisasi hanya untuk mendukung perkembangan produksi gula.
Dalam program Repelita, misalnya, pada Pelita I, ditegaskan bahwa pembangunan industri
ditekankan pada: i. Industri-industri yang mendukung dan saling berkaitan dengan sektor
pertanian, terutama yang menghasilkan peralatan pertanian, dan memproses produk-produk
pertanian; ii. Industri-industri yang dapat menghasilkan atau menghemat devisa dengan cara
memproduksi barang-barang pengganti impor; iii. Industri yang relatif lebih banyak mengunakan
tenaga kerja daripada tenaga mesin; iv. Industri yang mendorong usaha-usaha pembangunan
regional.
Memang berbeda dengan Rusia dan India yang proses industrialisasinya menitikberatkan
pada industri dasar (besi, baja), industri berat (mesin-mesin untuk produksi tekstil) dan industri
ringan (industri kosumsi), sedangkan industri pertanian mengikuti industri-industri ini. Di Indonesia
yang berlaku adalah sebaliknya.
Sayangnya, industri pertanian yang digembar-gemborkan hanya bertumpu pada teknologi
kampungan—tenaga manusia dan hewan. Para petani tidak pernah bersentuhan dengan
peralatan-peralatan modern. Tak mengherankan ketika negara lain mengalami kemajuan dalam
industri pertaniannya karena didukung peralatan yang modern, petani Indonesia tak bisa berbuat
banyak. Traktor memang mulai digunakan, tapi para petani harus berhadapan dengan galengan-
galengan/pembatas sawah yang mereka buat sendiri. Peralatan yang modern itupun akhirnya
tidak berfungsi dengan maksimal, para petani kembali lagi pada sapi dan luku. Inilah yang
membuat kita terseok-seok menghadapi serbuan produk pertanian luar yang lebih murah dan lebih
bagus mutunya.
Selama Orde Baru, sebelum industri tekstil dibangun secara marak pada dekade tahun 80-
an, yang ada hanyalah sisa-sisa puing reruntuhan industri warisan Belanda: pabrik gula.
Bangunan-bangunan tua inilah yang dibanggakan—padahal sejak zaman Belanda sudah
mengalami keruntuhan. Sialnya lagi, pabrik-pabrik gula yang sudah afkiran ini bak museum yang
tidak pernah disentuh, dianggap barang keramat, begitu juga dengan alat-alatnya, dibiarkan tanpa
diberi unsur modern sedikitpun. Akibatnya, inustri gula Indonesia tak berdaya menghadapi
gempuran gula impor.
Masih berbau dengan tanah, Orde Baru kemudian banyak membuka lahan-lahan
perkebunan di luar Jawa—terutama Sumatera dan Sulawesi. Perkebunan kelapa sawit, karet,
vanili, hutan tanaman industri, dll. Industri-industri ini masih dikerjakan dengan teknologi yang
sederhana. Dan lagi-lagi tidak didukung oleh industri-industri yang maju. Yang ada di sekitar
ladang-ladang perkebunan itu hanya gudang-gudang, tidak ada industri pengolahan bahan mentah
menjadi barang jadi yang modern. Akibatnya, hanya mampu menjual dalam wujud barang mentah
dengan harga yang murah.
Konsep industri ‗kampungan‘ berdampak pada proses industrialisasi yang tersendat-sendat.
Pembangunan sarana-sarana pendukung juga berjalan lambat. Barang-barang untuk industri
dasar (baja, besi) hanya dijual dalam bentuk mentah ke luar negeri, bukan untuk membangun
infrastruktur di dalam negeri. Industri untuk menghasilkan mesin-mesin juga tidak ada. Rezim
Soeharto lebih suka mengimpor mesin-mesin.
Persoalan selanjutnya adalah industrialisasi yang ada masih berpusat di Jawa—sedangkan
di luar Jawa hanya di beberapa tempat. Jawa sebagai fokus industrialisasi mendapatkan
segalanya: sarana pendidikan, tempat-tempat hiburan, transportasi, kesehatan sampai air bersih.
Timbulah kesenjangan dalam tingkat kesadaran masyarakat di segala bidang—ilmu pengetahuan,
pendidikan, politik, ekonomi, dan budaya. Masyarakat di Jawa sudah maju, sementara di luar Jawa
masih tertatih-tatih mengeja aksara.
Industri kampungan berakibat pula pada perkembangan proletariat. Tak mengherankan
kalau jumlah petani masih banyak. Di negara-negara yang maju jumlah kaum pekerja akan lebih
banyak daripada jumlah petani; industrialisasi pertanian membuat jumlah petani akan menyusut;
kalaupun mereka bekerja di sektor pertanian, mereka bukan lagi petani seperti di Indonesia saat
ini yang mempunyai sepetak dua petak tanah, tapi sudah berubah menjadi barisan proletariat
sebagaimana buruh pabrik di kota. Sementara itu, buruh-buruh pabrik di kota seringkali bisa
menjadi petani penggarap kembali. Rata-rata mereka masih mempunyai tanah warisan di desa,
yang ketika terkena PHK akan kembali ke kampung untuk menggarap tanah. Ketika kesempatan
di kota mulai terbuka lagi, mereka akan kembali menjadi buruh pabrik.
Sementara itu, lambatnya industrialisasi juga berakibat tenaga-tenaga produktif di
pedesaan tidak mampu diserap semuanya oleh pabrik-pabrik di kota. Dampaknya, sebagian
tenaga kerja pergi ke luar negeri untuk menyambung hidup. Walaupun setiap tahun ada tenaga
kerja Indonesia yang dihukum mati, disiksa, diperkosa, tapi karena menipisnya lapangan
pekerjaan di dalam negeri, anak-anak bangsa itu lebih memilih mengadu peruntungan di Malaysia,
Hongkong atau negara-negara di Timur Tengah.
Proses industrialisasi kampungan inilah yang membuat Indonesia semakin terbelakang, tak
mampu bersaing dengan negara-negara lain. Orde Baru memberikan warisan yang tetap
dipertahankan sampai saat ini. Seperti seekor hamster dalam kurungan, tampak sudah bekerja
keras berlari, tapi ternyata tak kemana-mana: jalan di tempat.
Lantas krisis itu datang tak bisa dicegah.

1.6. Krisis Kapitalisme di Indonesia


Sejak pertengahan tahun 1997, kapitalisme yang selama ini dianggap sebagai sistem
ekonomi yang paling baik, terkena badai krisis yang maha dahsyat. Kawasan Asia yang
diramalkan akan menjadi surga baru bagi industrialisasi, berubah menjadi neraka yang
mengerikan. Mulai dari Korea Selatan yang disebut-sebut sebagai salah satu Macan Asia
mengalami kebangkrutan ekonomi, kemudian merembet ke Thailand, Filipina, Malaysia, dan
akhirnya ke Indonesia. Seluruh ramalan yang ada menjadi buyar. Seperti halnya virus yang maha
ganas, ternyata krisis tidak hanya terjadi di kawasan Asia, tapi telah menyebar ke Amerika Latin
maupun Afrika. Bahkan negara-negara kampium kapitalis, Amerika Serikat dan Eropa, juga
terhantam badai ini.
Di Indonesia dampak krisis ekonomi begitu hebat. Seluruh sektor ekonomi mengalami
keruntuhan—baik sektor pertanian, manufacturing, konstruksi, transportasi, perdagangan, dan
jasa. Akibatnya, pertumbuhan sektor ekonomi yang rata-rata 7% menjadi nol bahkan sempat
dibawah nol/minus. Posisi mata uang rupiah mengalami kemerosotan yang cukup tajam, dari Rp.
2.300,- per satu dollar Amerika [ pada Juli 1997 sesaat sebelum krisis], menjadi Rp. 15.000,- per
satu dollar Amerika pada 15 Juni 1998. Beberapa hari kemudian malah menjadi Rp.17.000,- per
satu dollar Amerika. Secara riil, perkapita perkapita penduduk Indonesia merosot tajam sampai
sekitar US $400 pada tahun 1998.
Marilah kita babar dampaknya:
Dari catatan pemerintah, pada 6 Juni 1998, jumlah pengangguran di Indonesia sekitar 15,4
juta orang, atau sekitar 17,1% dari 90 juta angkatan kerja yang ada. Membengkaknya jumlah
pengangguran baik secara kuantitas maupun kualitas ini berasal dari pengangguran akibat PHK,
pengangguran terselubung karena jumlah jam kerja dan penghasilan yang rendah, serta
pengangguran baru yang tidak dapat diserap karena hilangnya kesempatan kerja akibat
pertumbuhan ekonomi yang minus. Berdasarkan laporan LBH Jakarta, selama krisis mereka
mengaku menerima sekitar 300-an laporan tentang terjadinya PHK terhadap 7.500 pekerja hingga
Agustus 1998. Secara nasional angka pengangguran mencapai 13 juta pekerja dari 90 juta
angkatan tenaga kerja. Ini belum dihitung pengangguran terselubung yang melonjak hingga 33 juta
tenaga kerja atau sekitar 37% dari total tenaga kerja yang ada.
Krisis kapitalisme di Indonesia membuat tingkat inflasi pada tahun 1998 tinggi, hingga
melebihi nilai 50%. Dampaknya sekitar 37% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan
pada tahun 1999. Jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan ini 3 (tiga) kali lebih banyak
dari jumlah yang diperkirakan pada tahun 1996, yaitu sekitar 11% dari total penduduk Indonesia.
Biro Pusat Statistik melaporkan bahwa jumlah orang miskin pada Juni 1998 sama dengan
jumlah penduduk miskin tahun 1976, yaitu sekitar 40,1% dari total penduduk Indonesia saat itu.
Tahun 1976, jumlah penduduk miskin sekitar 54,2 juta orang dan pada Juni 1998 sekitar 79,4 juta
orang. Pada tahun 1996, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 13,3% (22,5
juta Orang) dari keseluruhan penduduk Indonesia.
Di akhir tahun 1998 saja, dengan menghitung tingkat ketergantungan (dependency ratio)
sebesar 5, akan ada sekitar 100 juta penduduk yang tidak lagi bisa makan dengan teratur, karena
25 juta pekerja telah kehilangan pekerjaannya. Angka kemiskinan di pedesaan disebut-sebut
meningkat hingga 59% dari 205 juta penduduk Indonesia. Apalagi dengan semakin tercekatnya
kehidupan petani karena melonjaknya harga pupuk dan bibit tanaman. Jumlah keluarga miskin di
ibukota Indonesia ini melonjak hingga 151.383 KK atau 300% bila dibandingkan jumlah keluarga
miskin tahun 1997, yakni 50.461 KK.
Yang paling parah terkena dampak dari krisis adalah kaum perempuan. Jumlah kematian
ibu yang melahirkan semakin tinggi. Data dari UNICEF menunjukkan tentang hal ini. Pada tahun
1990 angka kematian ibu melahirkan sebanyak 450 orang dari 100.000 ibu yang melahirkan.
Jumlah ini menurun pada tahun 1995 menjadi 390/100.000, dan meningkat lagi pada tahun 1998
menjadi 500/100.000. Krisis ekonomi telah menyebabkan pemenuhan gizi menurun dam lemahnya
masyarakat untuk memeriksakan ibu yang hamil ke tempat-tempat medis.
Dampak krisis kapitalisme memang tak bisa ditampik. Kapitalisme telah terbukti membuat
rakyat semakin sengsara. Gembar-gembor bahwa meraka adalah juru selamat ternyata hanya
menciptakan lubang untuk mengubur dirinya sendiri. Krisis tersebut sebetulnya bukti nyata:
kapitalisme merupakan biang keladi terpuruknya Indonesia. Seperti kepundan gunung berapi,
setiap saat kapitalisme siap meledak dan runtuh.
Masihkah kita mau mempertahankannya?

1.6. Kesimpulan
Dari uraian di muka maka dapat disimpulkan tentang kapitalisme di Indonesia
sebagai berikut:
1. Kapitalisme di Indonesia tidak bisa melahirkan kelas borjuasi nasional yang tangguh—baik
terhadap penguasaan alat-alat politik maupun ekonomi. Mereka hanya mendapatkan ceceran
modal dari borjuasi bersenjata. Akibatnya, corak produksi kapitalisme di Indonesia tidak
mengalami perkembangan yang wajar. Ia tumbuh cacat, bahkan sejak kelahirannya.
2. Tentara Indonesia telah menjadi borjuasi bersenjata yang menguasai aset-aset ekonomi.
Tentara bukan sebatas pemegang senjata, tapi juga menjadi pengusaha.
3. Kapitalisme Indonesia tidak dibangun dengan basis industrialisasi modern, tetapi lebih
mengadalkan tenaga manusia/teknologi tradisional. Ini diperparah dengan konsep
industrialisasi yang hanya dipusatkan di pulau Jawa. Akibatnya terjadi kesenjangan antara
Jawa dan luar Jawa serta antara desa dan kota.
4. Dominasi modal asing di Indonesia sejak zaman rezim Soeharto sampai saat ini sangat besar.
Apalagi ketika neoliberalisme sedang gencar-gencarnya masuk ke Indonesia. Dengan
kenyataan seperti itu kelas pekerja Indonesia tidak hanya dihisap oleh borjuasi nasional,
borjuasi bersenjata, borjuasi Tionghoa, tetapi sudah masuk dalam hisapan sistem kapitalisme
internasional.
5. Sebagaimana sistem kapitalisme secara umum, kapitalisme di Indonesia juga rapuh. Krisis
yang terjadi pada tahun 1997 merupakan bukti kalau pondasi kapitalisme tak pernah
menjangkar kuat.
II
Problem Politik

1. Tentara Yang Represif: Dwi Fungsi ABRI Menemukan Kemenangannya

Tahun 1965 merupakan awal sebuah tragedi kemanusiaan. Korbannya melebihi Perang
Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa. Walaupun tidak ada peperangan, nyawa manusia bisa
melayang dengan mudah. Tiga juta rakyat dibantai. Ribuan lainnya disiksa, dimasukkan dalam
penjara, dan dibuang tanpa proses pengadilan. Ketika itu, anjing pun takut untuk menggonggong.
Setiap mendengar tapak kaki tentara, daun tak jadi meluruh dari tangkainya. Udara tidak lagi
mewartakan kesejukan, tapi dendang lagu kematian. Fir‘aun pernah melakukan pembunuhan,
Amangkurat secara brutal membantai rakyat Mataram, dan Hitler menghabisi keturunan Yahudi,
tetapi semua itu tidak bisa melebihi kekejaman tentara Indonesia.
Sejak saat itu sepatu lars tentara menginjak kedaulatan rakyat. Demokrasi moncong
bayonet. Sungguh beda dengan yang terjadi di negeri yang beradab. Di negeri yang maju,
demokrasi berarti menduduki kepala tentara: sipil berkuasa penuh terhadap tentara.
Perlu mendapat catatan adalah tempat pembuangan Pulau Buru. Tempat ini akan
mengingatkan pada kamp Nazi. Orang-orang yang dianggap ada sangkut pautnya dengan Partai
Komunis Indonesia [PKI] ditempatkan dalam kamp itu. Mereka dibawa ke kamp tersebut tanpa
proses peradilan. Pulau Buru adalah savana yang tanahnya tidak subur karena pada masa
Belanda perkebunan dibakar untuk mempertahankan politik monopoli. Di Pulau Buru, hampir
selama 14 tahun para tahanan politik diperlakukan seperti hewan dan dilucuti hak-haknya sebagai
manusia. Kerja paksa di bawah siksaan hampir terjadi setiap hari. Hasil jerih payah mereka
dikorupsi oleh tentara yang ada di sana. Hanya tentaralah yang bisa melakukan kebiadaban
seperti itu. Dan ini semua terjadi pada zaman modern, bukan pada masa perbudakan
Selepas Peristiwa 1965, pembantaian yang dilakukan oleh tentara untuk membendung
perlawanan-perlawanan rakyat di daerah tak pernah surut. Laporan Amerika Serikat Tentang
Pelaksanaan Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia yang dikeluarkan tahun 1998 mencatat
kekerasan demi kekerasan yang dilakukan tentara. Salah satu laporan menyebutkan:

“Secara historis, pembunuhan sewenang-wenang yang berkaitan dengan politik


paling sering terjadi di daerah-daerah di mana gerakan separatis aktif, seperti Timor
Timur, Aceh dan Irian Jaya. Pasukan keamanan terus mengambil tindakan keras
terhadap gerakan separatis di ketiga wilayah itu. Selain pembunuhan yang terjadi di
tiga daerah yang secara resmi disebut "kawasan bermasalah" ini, pihak keamanan
membunuh demonstran mahasiswa tak bersenjata, dan ada juga berbagai laporan
pembunuhan sewenang-wenang oleh pasukan keamanan dalam kasus-kasus yang
melibatkan tuduhan kegiatan kejahatan biasa.”

Setelah kalem sejenak, tentara tampil babar lagi pada tahun 1973. Bumi Lorosae sasaran
mereka. Lars tentara menginjak-injak harkat dan martabat kemanusiaan rakyat bekas jajahan
Portugal itu. Lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya, itulah yang terjadi terhadap rakyat
Timor Leste. Sejak dilangsungkan invansi militer, tanah Lorosae berubah menjadi merah darah.
Kematian, penculikan, dan penyiksaan menjadi sahabat rakyat. Hampir 24 tahun lebih rakyat
harus berkawan dengan maut. Dalam kurun waktu ini, 200 ribu lebih rakyat Timor Leste musnah,
sebagian besar tidak tahu di mana kuburannya. Laporan Amerika Serikat—walaupun
keakuratannya perlu kita ragukan—dapat menunjukkan kebengisan tentara Indonesia:

“Sumber-sumber yang dapat dipercaya memastikan adanya 37 pembunuhan


sewenang-wenang di Timor Timur selama delapan bulan pertama tahun itu [Catatan:
laporan ini buat tahun 1998]. Dalam sebuah kasus yang tengah diselidiki oleh
Komnas HAM, aparat militer membunuh empat orang sipil Timor Timur pada Januari
di dearah Bobonaro. Pasukan khusus membunuh seorang gembala di dekat Venilale
pada Februari. Pada bulan April seorang wanita Timor Timur dan dua orang
anaknya tewas ketika pihak militer menyerang rumahnya di Baucau. Dalam suatu
serangan lain atas sebuah rumah di Baucau bulan Mei, dua orang lelaki Timor Timur
tewas. Juga di bulan Mei, aparat militer kabarnya membunuh Costodoi da Silva
Nunes ketika ia lari dari mereka di dekat Liquica. Pada Juni, Herman das Doares
Soares ditembak di punggungnya oleh pasukan militer didekat Manatuto ketika ia
mengumpulkan kayu dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.”

Tapi memang sejarah selalu berlaku adil. Kekejaman yang dilakukan oleh tentara Indonesia
dijadikan bara oleh rakyat untuk berlawan. Perlawanan mereka tak pernah kisut. Maju dan maju
sampai akhirnya bermuara pada kemenanganya. Referendum yang dinantikan rakyat akhirnya
datang juga. Tujuh puluh delapan koma lima persen rakyat menghendaki kemerdekaan. Negeri itu
kini telah merdeka. Sekarang mereka bisa tersenyum dan membentuk masa depannya sendiri.
Dari timur penindasan itu bergerak ke barat. Berselang dua tahun kemudian, giliran Tanah
Rencong, Aceh, yang memerah. Daerah yang pernah jaya pada masa Sultan Iskandar Muda itu,
berubah menjadi ajang pembantaian. Serambi Mekah itu bukan lagi menjadi tempat yang damai.
Daerah itu memang kaya raya. Terletak di Selat Malaka yang selalu ramai sejak dahulu kala.
Begitu juga dengan hasil alamnya. Aceh merupakan salah satu penghasil gas alam terbesar di
Asia. Hutan negeri ini juga ijo royo-royo, seperti halnya hamparan permadani. Namun derita yang
ada. Kekayaan alam yang melimpah tidak pernah dinikmati penduduknya. Semuanya di bawa ke
Jakarta dan tidak kecil pula yang dibawa bangsa asing. Kalau kemudian mereka menuntut hak
mereka, apakah salah? Dari sinilah kisah itu berawal: ketika rakyat menuntut haknya.
Sejak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir, terlahir pula penindasan tentara di sana.
Rakyat yang melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan rezim Orba dituduh sebagai
Gerombolan Pengacau Keamanan [GPK]. Mereka diburu-buru seperti anjing yang kudisan.
Diperlakukan bak binatang yang sudah tidak ada harganya lagi. Mundurkah rakyat Aceh? Sejarah
belum mencatat rakyat Aceh pernah menyerah terhadap penindasan. Lihat sendiri buktinya! Aceh
adalah daerah yang terakhir kali bisa dikuasai penjajah Belanda. Mereka tetap teguh dalam
berprinsip. Penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemenjaraan tidak pernah membuat
mereka mundur selangkah pun. Sampai saat ini, bara api itu masih berkobar.
Pembantaian yang dilakukan tentara Indonesia terhadap rakyat Aceh sungguh luar biasa.
Komnas HAM mencatat bahwa pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan yeng terjadi di Aceh
selama 1989-91 dan 1997-98 mencapai 368 kasus. Pada Oktober 1998 sebuah tim pencari fakta
melaporkan 1.010 peristiwa penyiksaan di Aceh Utara antara tahun 1989 dan 1998. Sebagai
gambaran, Laporan Amerika Serikat memberikan kesaksian sebagai berikut:

“Di Aceh ada laporan yang dapat dipercaya tentang kuburan massal dan
pembunuhan yang dilakukan oleh pihak keamanan di masa lalu dan sampai 1998.
Komnas HAM dan sebuah delegasi DPR melakukan penyelidikan atas kuburan
massal, pembunuhan sewenang-wenang, penghilangan orang, perkosaan, dan
penganiayaan yang terjadi di Aceh sepanjang 1989-91 dan 1997-98. Komnas HAM
mengunjungi Aceh dan membuat laporan awal yang memperkirakan adanya ratusan
kejadian pembunuhan, penghilangan orang, dan penganiayaan. Menyusul laporan
Komisi itu, pemerintah daerah mengizinkan sejumlah tim pencari fakta yang terdiri
dari kalangan masyarakat, staf LSM, wartawan, pensiunan ABRI, dan pihak lain
untuk melakukan penyelidikan lebih lengkap atas pelanggaran hak asasi di tiga
kabupaten yang menderita paling parah di provinsi itu. Bulan Desember, Gubernur
Aceh mengumumkan temuan tim-tim itu: Di tiga kabupaten antara 1989 dan
pertengahan 1998, 1.021 orang Aceh dibunuh, 864 hilang sampai saat itu, 357
cacat, 1.376 wanita menjadi janda, 4.521 anak-anak menjadi yatim (paling tidak
kehilangan satu orang tua), dan 681 rumah dibakar. Ada juga tuduhan yang dapat
dipercaya bahwa ratusan wanita Aceh diperkosa selama sembilan tahun operasi
militer. Laporan tentang penghilangan dan pelanggaran hak asasi serius lainnya
berlanjut sampai Mei. Antara 24 dan 34 orang Aceh kabarnya diculik dari Desember
1997 sampai Mei dan tetap tidak ada kejelasan. Pangab ABRI mengunjungi Aceh
pada Agustus dan meminta maaf atas "ekses" yang dilakukan oleh militer di provinsi
itu; ia berjanji akan menarik semua satuan tempur yang biasanya tidak ditempatkan
di sana, janji yang kemudian ditepati. Namun tingkat kehadiran tentara naik tajam
lagi pada Desember sebagai tanggapan atas meningkatnya ketegangan dan
bentrokan antara sipil dan militer. Ketegangan antara militer dan penduduk setempat
di provinsi itu tetap tinggi, sebagaimana tercermin pada kerusuhan di Lhokseumawe
pada akhir Agustus dan awal September. Selama kerusuhan di Lhokseumawe,
seorang penduduk meninggal dan delapan lainnya luka-luka oleh tembakan dalam
bentrokan dengan pihak keamanan. Sampai akhir tahun, gangguan dan kekerasan
sipil sporadis terjadi di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie, dan dua orang
lagi diculik dan mungkin dibunuh.”

Kembali lagi ke timur. Rakyat Papua juga mengalami nasib serupa. Sampai sekarang
tentara Indonesia ditempatkan di sana untuk menjaga modal kapitalis internasional: PT. Freeport,
tambang emas milik AS. Operasi militer semakin ditingkatkan ketika tuntutan rakyat Papua untuk
memerdekaan diri semakin kuat. Satuan-satuan elit tentara—Kopasus—didatangkan ke pulau
yang kaya akan barang tambang tersebut. Penculikan, pembunuhan dan penangkapan secara
sewenang-wenang sering terjadi. Gambarannya sebagai berikut:

“Di Irian Jaya, sebuah kelompok gereja mengeluarkan laporan pada Mei 1996 yang
menuduh pihak militer bertanggung jawab atas pembunuhan sewenang-wenang
terhadap 11 orang di dataran tinggi sisi selatan Irian Jaya tengah dalam suatu
operasi militer yang bertujuan menangkap kaum separatis yang menyandera dan
kemudian membunuh dua orang anggota kelompok peneliti pada Januari 1996.
Komnas HAM kemudian memastikan pembunuhan itu dan terus menyelidiki 43
kematian lain yang menurut komisi gereja disebabkan oleh pihak militer. Dewan
Gereja terus menyelidiki laporan kematian karena tembakan atas seseorang tidak
dikenal setelah pihak keamanan membubarkan secara paksa sebuah demonstrasi
besar yang mendukung kemerdekaan Irian Jaya di Biak pada 6 Juli 1998.”

Tak berhenti disitu. Menjelang kejatuhan Soeharto, tentara semakin brutal. Demonstrasi
yang terjadi di mana-mana dihadapi dengan cara-cara kekerasan. Tentara melakukan pengejaran-
pengejaran terhadap massa aksi sampai dalam kampus dan sekaligus melakukan pengrusakan
fasilitas kampus. Marilah kita lihat gambarannya:

“Pihak keamanan memukuli empat peserta aksi sewaktu membubarkan sebuah


demonstrasi besar di Yogyakarta pada 9 Mei 1998. Salah seorang korban meninggal
karena pemukulan itu. Pasukan keamanan menembak dan membunuh empat
mahasiswa tak bersenjata yang ikut dalam demonstrasi besar dan damai di
Universitas Trisaksi Jakarta pada 12 Mei 1998. Pasukan keamanan dan mahasiswa
terlibat dalam konfrontasi singkat di sana, yang akhrinya diselesaikan melalui
perundingan. Namun, ketika mahasiswa mulai mundur ke kampus, empat
mahasiswa ditembak dan tewas. Kemarahan atas pembunuhan itu membantu
menyulut kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada 13 dan 14 Mei 1998. Pada 13
November 1998, aparat keamanan menembaki dan memukuli demonstrasi
mahasiswa dan non-mahasiswa di Universitas Atmajaya. Setidaknya sembilan
demonstran meninggal, dan seorang anggota keamanan tewas ketika dipukuli oleh
demonstran. Empat demonstran pro-pemerintah juga tewas dalam sebuah insiden
terpisah pada 13 November 1998, ketika mereka dipukuli oleh rakyat sipil.

Komnas HAM membentuk sebuah tim pada akhir November 1998 untuk menyelidiki
insiden 13 November. ABRI sebelumnya pada 22 November 1998 mengumumkan
bahwa mereka akan mengambil tindakan hukum terhadap aparat yang terlibat dalam
pemukulan wartawan pada 12 November dan dalam penembakan mahasiswa pada
13 November ketika sembilan demonstran (kebanyakan mahasiswa) tewas.”

Namun kekerasan itu tidak dapat membendung laju gerakan demokratik. Maka, tentara
Indonesia kemudian membentuk tim khusus untuk melakukan cara-cara yang lebih tidak beradab
untuk menghentikan rakyat yang berlawan. Beberapa aktivis diculik dan kemudian disiksa. Bahkan
sampai saat ini ada yang belum ketahuan nasibnya dengan pasti. Inilah gambarannya:

“Pius Lustrilanang bersaksi secara terbuka di depan Komnas HAM pada 27 April
bahwa para penculiknya menggunakan kabel listrik yang diikatkan di kakinya untuk
menyetrumnya sewaktu mereka mengajukan pertanyaan mengenai kegiatan
sejumlah tokoh oposisi. Mereka juga membenamkan kepalanya ke dalam air sampai
ia tidak dapat bernapas dan menendang serta memukulinya. Siksaan dan interogasi
itu berlanjut selama tiga hari pertama penahanannya tapi sesudah itu tidak lagi.
Desmon Mahesa menyatakan secara terbuka pada 12 Mei bahwa pada hari pertama
penahanannya ia disiksa sambil ditanyai mengenai kegiatan politiknya. Para
penculiknya menutup matanya dan memborgol tanganya pada sebuah kursi. Mereka
menggunakan sengatan listrik pada kaki dan kepalanya, serta memukul dan
menendangnya. Mereka memaksanya membenamkan kepalanya ke dalam air
sampai dia tidak bisa bernapas. Rahardjo Waluyo Djati pada 4 Juni secara terbuka
menuturkan betapa ia juga dipukuli dan disetrum selama penahanannya. Para
penculiknya juga memaksanya berbaring di atas balok es. Faisol Reza bersaksi
pada 26 Juni bahwa selama penahanannya ia mengalami berbagai perlakuan buruk
dan siksaan, termasuk pemukulan, sengatan listrik di beberapa bagian tubuhnya,
disundut rokok, dan dilarang tidur. Ia ditanyai terutama mengenai perannya dalam
Partai Rakyat Demokratik (PRD).”

Tidak hanya terhadap aksi-aksi mahasiswa saja tentara Indonesia melakukan tindakan
brutal, tapi juga terhadap gerakan buruh yang mulai marak paska turunnya Soeharto. Aksi-aksi
damai yang dilakukan oleh kaum buruh ini dihadapi dengan kekerasan oleh tentara. Kita dapat
melihat contoh di bawah ini untuk melihat kebrutalan tentara Indonesia terhadap aksi buruh:

“Pada 25 Agustus, sejumlah 750 pekerja pabrik tekstil dari Jawa Tengah,
kebanyakan wanita, mencoba berbaris ke sebuah organisasi lokal hak asasi di
Jakarta di mana para pekerja itu melakukan mimbar bebas yang ditujukan kepada
kantor perwakilan ILO. Ketika aparat keamanan berusaha mendorong mereka ke
jalan, dan terjadi saling mendorong, aparat keamanan lalu memukuli para
demonstran itu dengan tongkat rotan dan menendangi mereka sampai mereka
mundur. Sebanyak 19 demonstran menderita luka-luka.”

Sewaktu Soeharto berkuasa, represi juga dilakukan terhadap media massa. SIUP
diterapkan untuk mengebiri kebebasan pers. Dengan kontrol yang ketat tersebut, rezim Soeharto
berharap bisa mengedalikan opini yang berkembang di rakyat. Kasus pembredelan Tempo, Detik,
dan Editor pada tahun 1994, dan bahkan jauh hari sebelumnya koran besar seperti Kompas
pernah merasakan sensor terhadap pers yang dilakukan rezim Soeharto. Mendekati akhir
kekuasaannya, Soeharto masih berusaha mengekang kebebasan pers. Fakta di bawah ini sebagai
contohnya:

“Pada lima bulan pertama 1998, kritik masyarakat terhadap pemerintah meningkat,
dan pers memuatnya dengan lebih terbuka. Namun, pemerintah masih berusaha
mengendalikan media; pada bulan Maret pemerintah mengumumkan bahwa mereka
akan mengadukan majalah Detektif dan Romantika ke pengadilan karena
halamanan mukanya memuat gambar Presiden Soeharto waktu itu sebagai raja
dalam kartu bridge. Redaktur majalah itu sebelumnya dipaksa meminta maaf kepada
pemerintah. Pada bulan Mei Presiden Soeharto secara terbuka mengecam media
cetak dan elektronik karena mengobarkan "perang urat syaraf" tentang Indonesia
melalui pandangan mereka tentang ekonomi Indonesia. Beberapa wartawan yang
meliput demonstrasi mahasiswa pada bulan Mei kabarnya mendapat intimidasi dari
aparat. Dua wartawan asing yang tengah merekam bentrokan pada 6 Mei antara
mahasiswa dan aparat keamanan di Jakarta dilaporkan dilempari batu dan ditembaki
oleh polisi tapi selamat tanpa cidera. Seorang wartawan asing yang tengah
merekam pasukan keamanan yang menembaki demonstran di Medan ditangkap dan
diancam dengan pistol.”

Dalam sejarah Indonesia tak pernah tentara membela rakyat. Walaupun mereka
selalu berkhotbah berasal dari rakyat, tapi kenyataan tak bisa ditipu: pembunuh terorganisir
paling biadab. Tentara merupakan mesin penggilas kehidupan politik bangsa Indonesia
sejak kelahirannya sampai sekarang. Sebagai pembungkam nomor satu, tentara Indonesia
tak segan-segan melakukan aksi brutal yang mungkin saja tidak bisa dinalar akal waras.
Tolong sebutkan wilayah mana di negeri ini yang belum mengalami kebengisan tentara
Indonesia. Dengan kenyataan seperti itu, masihkah akan bersekutu dengan tentara?

2. Borjuis Demokrat Yang Tidak Mempunyai Watak Demokratik

Sejak awal borjuis demokrat Indonesia tidak dapat diandalkan. Zaman Soekarno mereka
walaupun tak menguasai aset-aset ekonomi masih mampu menguasai panggung politik. Tapi pada
era Soeharto mereka tidak memegang keduanya. Baik kekuasaan politik dan ekonomi sudah
diambil alih oleh borjuis bersenjata: tentara. Borjuis demokrat tak mampu berbuat banyak di depan
‗ksatria-ksatria bersenjata‘. Mereka lebih banyak menjadi kacung-kacung tentara dan menjadi
birokrat—menteri, dirjen—tetapi jarang yang mampu menjadi kepala daerah—gubernur dan bupati
pada era Orba dikuasai tentara maupun pensiunan tentara—kalau beruntung mereka bisa
menduduki jabatan sebagai direktur-direktur BUMN—tetapi secara keseluruhan tentaralah yang
berkuasa.
Terhadap kekejaman yang dilakukan tentara seperti yang telah diuraikan di atas, apa yang
mampu dilakukan borjuis demokrat? Tidak ada yang mereka lakukan, bahkan sekadar protes
dalam hatipun sepertinya mereka tak berani. Dengan kata lain, mereka tak mampu membela hak
mereka sendiri, apalagi membela hak rakyat.

Demokrasi Multi Partai Zaman Habibie: Konsolidasi Sisa-sisa Orba untuk Tetap Berkuasa
Gerakan massa rakyat pada Mei 1998 memang berhasil menggulingkan simbol
kediktatoran, tapi belum berhasil merontokan sistem kediktatoran itu sendiri. Dua penyangganya—
Golkar dan tentara—masih berdiri kokoh. Akibatnya, transisi kekuasaan masih dipegang oleh sisa-
sisa Orde Baru: Habibie. Tentara memang berhasil dipojokkan oleh gerakan demokratik, tetapi
tidak terlucuti hak-haknya, dan Dwi Fungsi ABRI belum juga tergoyahkan.
Melalui Habibie, borjuasi kroni Soeharto masih berusaha untuk menyelamatkan kekuasaan
agar penguasaan mereka terhadap aset-aset ekonomi tetap terjaga. Usaha-usaha itu ditempuh
dengan kendaraan Golkar dan tentara. Manuver-manuver politik dilakukan Habibie—baik dengan
memberikan referendum kepada rakyat Timor Leste untuk menentukan nasibnya sendiri, maupun
melalui janji akan melaksanakan Pemilu multi partai—bertujuan untuk meyakinkan massa rakyat
bahwa dia adalah seorang demokrat didikan Barat. Janji-janji itu memang dipenuhi. Rakyat Timor
Leste akhirnya merdeka, dan Pemilu yang diikuti 48 kontestan dilaksanakan. Namun, ternyata
bukan dukungan dari rakyat diperoleh Habibie, tapi kehancuran bagi dirinya sendiri, tersingkir dari
panggung politik. Ia lupa ada ilusi baru: Megawati.
Gagallah usaha Habibie untuk memimpin konsolidasi Orde Baru. Namun, tersingkirnya
Habibie tidak berarti Golkar dan tentara tersingkirkan. Golkar walaupun tidak menempati posisi
pertama, tetapi tetap mampu membayangi PDIP dan mengungguli partai-partai yang baru lahir.
Mereka hanya banyak kehilangan suara di Jawa—yang menjadi basis PDIP dan PKB—tetapi tidak
di luar Jawa. Mereka inilah yang kemudian memimpin konsolidasi sisa-sisa Orde Baru untuk
berkuasa kembali.
Selain tetap bertahan di Partai Golkar, borjuasi kroni Orde Baru banyak juga yang lompat
pagar ke partai-partai politik lain—terutama PDIP. Kepindahan mereka bukan karena kesadaran
untuk membangun demokrasi, tapi semata-mata untuk menyelamatkan modal. Dalam
perkembangan selanjutnya, mereka bahkan berhasil memecah belah partai-partai baru untuk
menyingkirkan kekuatan-kekuatan yang sebelumnya anti Orde Baru.

Lemahnya Gerakan Demokratik dalam Masa Multi Partai


Ketika proses kejatuhan Soeharto, jumlah gerakan demokratik memang luar biasa
banyaknya. Beratus-ratus komite aksi, baik komite aksi mahasiswa maupun rakyat berdiri, hampir
menyebar diseluruh pelosok Indonesia. Namun, dalam perkembangan selanjutnya komite-komite
ini tidak bisa dikonsolidasikan menjadi Front Popular seperti di Chili atau Dewan Rakyat seperti di
Soviet. Semakin hari, komite-komite yang telah terbangun itu terus susut, dan yang masih tetap
bertahan semakin terpolarisasi. Di antara gerakan mahasiswa yang selama proses penggulingan
Soeharto menjadi katalisator—walaupun sebelumnya didahului oleh KMK—setelah Soeharto
terjungkal, terbelah menjadi dua: gerakan yang mengkritisi vs anti terhadap Orba. Sementara,
ditingkat massa rakyat, jargon ‗Refomasi‘ memang menggema di mana-mana. Bagi rakyat,
reformasi berarti mengganti kepala desa yang korup atau merebut tanah mereka yang dahulunya
diserobot Orba. Aksi massa telah menjadi metode yang digunakan rakyat untuk ‗mereformasi‘—
bahkan di beberapa tempat, sempat digelar pengadilan rakyat. Tetapi hal inipun tidak bisa
didorong menjadi kesadaran revolusioner karena bagi massa rakyat reformasi = melengserkan,
bukan mengubah sistem.
Konsolidasi yang gagal dari gerakan demokratik tersebut telah memuluskan jalan sisa-sisa
Orba dan borjuis demokrat yang gradualis untuk melenggang menuju singgasana kekuasaan.

3. Gus Dur: Gradualisme Borjuasi Indonesia

Setelah Pemilu 1999, datanglah Sidang Istimewa [SI] MPR. Rakyat menghendaki segera
terlepas dari lilitan krisis, dan mungkin dari sisa-sisa Orba. Sementara pihak internasional
mendambakan pemerintahan yang "damai‖, tempat yang aman untuk akumulasi modal mereka di
Indonesia yang sempat goyah akibat krisis ekonomi maupun gerakan massa rakyat menurunkan
Soeharto. Pemerintahan (atau mungkin tepatnya rezim baru) akan menghadapi situasi-situasi
yang ―indah‖: jumlah pengangguran yang mencapai angka 74 juta; perbankan yang sakit sehingga
harus direstrukturisasi; masalah kapitalis kroni dan pengadilan Soeharto yang belum tuntas.
Demokrat borjuis yang ada dan lahir di Indonesia berbeda dengan sesama kelas mereka
yang lahir di Eropa abad 17. Mereka ini tidak pernah terlibat dalam setiap monentum perubahan,
hanya menikmati hasil dari jerih payah perjuangan orang lain. Jangan samakan mereka dengan
para borjuasi yang ada di Prancis dan Inggris. Saudara mereka di Eropa ini penuh peluh untuk
sampai pada tangga kekuasaan. Lihatlah bagaimana ganasnya Revolusi Prancis yang bisa-bisa
mengantar leher Raja ke Gouletin, begitu juga kejamnya Revolusi Industri di Inggris atau perang
saudara Amerika Serikat. Borjuasi Indonesia sama sekali tidak pernah mengalaminya. Maka
jangan heran kalau selama ini mereka manja, cengeng dan serba tanggung. Ini tidak lepas dari
masa kelam Indonesia, dari dua penjajahan yang ada. Kapitalisme di Indonesia dibawa oleh
Belanda, bukan dari hasil jerih payah kelas borjuasi Indonesia. Kapitalisme cangkokan ini serba
tidak tuntas.
Lihat bagaimana borjuasi demokrat mendapatkan ―jatahnya‖. Tidak dengan suatu
perjuangan, tapi dengan mengemis. Begitu juga setelah Indonesia merdeka, mental pengemis
tetap mereka pertahankan. Kondisi itu lebih parah ketika rezim militer Soeharto yang berkuasa.
Tidak segan-segan mereka meminta kepada militer untuk mendapatkan ijin usaha. Jangan heran
ketika masa mereka sudah datang, ketika revolusi mereka sudah tiba, mereka tidak pernah tegas
terhadap tentara karena punya hutang jasa yang begitu besar. Lihat saja. Ketika ratusan ribu
mahasiswa dan rakyat turun ke jalan 12-14 Nopember 1998 dengan tuntutan Cabut Dwi Fungsi
ABRI, apa yang mereka lakukan: sembunyi di Ciganjur. Nyawa 7 mahasiswa yang gugur di
Semanggi ditukar dengan ―bunga duka‖: Dwi Fungsi ABRI akan dicabut 6 tahun lagi.
Kebebalan mereka pun belum berakhir. Ketika kursi parlemen mereka direbut oleh tentara
dengan 38 kursi gratis, mereka hanya terdiam, membisu, bagaikan patung Liberty di tengah kota
New York. Sikap derma mereka terhadap tentara memang tiada taranya, belum ada duanya di
dunia ini. Belum lagi sikapnya terhadap persoalan Timor Leste. Suatu tragedi kemanusian hanya
ditukar dengan kursi presiden. Sikap mereka sungguh memalukan. Lihat saja Megawati dalam
pidatonya 29 Juli 1999: tidak rela kalau Timor Leste lepas dari wilayah Indonesia. Namun, ucapan
Mega berubah ketika rakyat Timor Leste berkata lain: 78,5% menghendaki merdeka. Dengan
entang Mega berkata: kita harus menghormati keinginan rakyat Timor Leste, tapi dengan tidak
lupa menyerang Habibie yang telah memberikan pilihan referendum. Begitu juga dengan Gus Dur,
dengan gaya seorang nasionalis sejati, mengorbankan perang dengan Australia yang dianggap
telah mencampuri urusan Indonesia. Sikap-sikap opurtunis mereka semakin kelihatan, dan
bahayanya membawa nasionalisme gaya Hitler. Itulah wajah-wajah borjuis demokrat dengan
watak-watak oportunis, penakut dan tentu saja moderat.

Pemerintahan Gus Dur: Borjuasi Yang Berebut Balung Kekuasaan dan Modal Tinggalan
Soeharto

Naiknya Gus Dur—seorang borjuasi demokrat dan keturunan kyai dari Jawa Timur—telah
mengubah peta perpolitikan di Indonesia. Ia memang ‗tawanan‘ bagi kekuatan borjuasi yang lain
(Poros Tengah – PAN, PBB, PK – dan Golkar). Gus Dur bisa naik menjadi presiden di tengah
situasi dimana kekuatan anti Megawati sangat kuat sekali berkembang ketika itu. Dari sinilah
aliansi Poros Tengah dan Golkar ‗menawan‘ Gus Dur sebagai jaminan untuk menghadapi aliansi
PDI-P dan PKB. Sidang Umum MPR 1999 akhirnya memilih Gus Dur menjadi presiden. Naiknya
Gus Dur menjadi presiden diiringi dengan adanya amuk massa di berbagi daerah—Jakarta, Solo,
Bali, dan Medan—yang merasa dikhianati oleh MPR. Megawati yang sebelumnya calon utama
presiden versi rakyat, dipecundangi kekuatan Poros Tengah dan Golkar.
Sebagai seorang ‗tawanan‘, Gus Dur tidak bisa leluasa dalam membentuk
pemerintahannya. Gus Dur harus memasukkan kekuatan-kekuatan yang telah menaikkannya
menjadi presiden. Akibatnya, kabinet Gus Dur menjadi rapuh, tidak ada kestabilan di dalamnya.
Gus Dur harus tersibukkan untuk bongkar pasang orang-orang di kabinet. Kompromi politik dalam
pemerintahan Gus Dur inilah yang sering menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Pemerintahan koalisi Gus Dur mengalami pembusukan dari dalam. Langkah-langkah Gus
Dur yang hendak membersihkan basis ekonomi dari sisa-sisa kekuatan Orde Baru di dalam
birokrasi dan lembaga strategis lainnya, selalu mendapat perlawanan. Pencopotan Jusuf Kalla
[dari Partai Golkar] dan Laksamana Sukardi [dari PDI P], merupakan puncak konflik dalam
pemerintahan Gus Dur, yang berakhir dengan diajukankannya hak interpelasi DPR untuk meminta
penjelasan Gus Dur terhadap pencopotan kedua menteri tersebut. Sebelumnya, Gus Dur telah
mencopot Hamzah Haz [dari PPP] dan Jenderal Wiranto [tentara] dari kabinet. Perebutan jabatan-
jabatan pimpinan BUMN juga tak kalah serunya: Bulog, Jusuf Kalla digantikan Rizal Ramli; BPPN.
Glen Yusuf (kroni Habibie/Golkar) digeser oleh Cacuk Sudariyanto; LKBN Antara, Parni Hadi (kroni
Habibie/Golkar) diserahkan kepada Mohammad Sobari (orang NU yang dekat dengan Gus Dur);
yang terakhir adalah penangkapan Gubernur BI, Syahrir Sabirin (Golkar), karena keterlibatannya
dalam Skandal Bank Bali.

Gradualisme Gus Dur: Dari Sidang Tahunan MPR Sampai Kejatuhannya


Gus Dur memang tidak mendapat didikan Eropa/Amerika, ia mendapat didikan Timur
Tengah. Sayup-sayup ia belajar demokrasi Barat yang menghasilkan gradualisme, dan sayup-
sayup pula mendengar teori Marx sehingga ia membayangkan massa NU—hasil singkritisme
‗penyembah nenek moyang‘ Jawa dan Islam yang dibawa para sunan—adalah kelas pekerja. Di
Indonesia, kegiatan ‗demokrasi‘ Gus Dur hanyalah Fordem—kumpulan orang-orang yang frustasi
menghadapi rezim Soeharto, dan kemudian membuat sekte baru, menjauhkan diri dari realitas
rakyat. Jabatannya di NU lebih karena dia keturunan ‗bangsawan‘ NU. Inilah dia, yang bagi orang
yang tersilaukan dianggap sebagai seorang demokrat yang akan mampu menuntaskan Revolusi
Demokratik. Memang Gus Dur seorang pluralis sebagai warisan markantilisme Majapahit yang
mau menerima kedatangan siapa saja untuk kemajuan perdagangan—kota Jombang tempat dia
dilahirkan berdekatan dengan bekas ibu kota Majapahit—dibanding dari pelajaran demokrasi yang
dia dapatkan.
Manuver politik adalah senjata yang paling disukai Gus Dur untuk mempertahankan
kekuasaannya dan keselamatan kroni-kroni feodal NU, dibanding untuk menegakkan demokrasi.
Dia mencoba mengadili koruptor, menyeret para jenderal, tapi cipika cipiki dengan Soeharto.
Selama menjadi presiden, inilah warisan Gus Dur: Golkar yang berhasil mengkonsolidasikan diri
lagi [dalam Pemilu 2004, Golkar bisa menjadi jawara pertama] dan tentara yang kembali menjadi
penjagal demokrasi.

4. Megawati dan Kembalinya Sisa-sisa Orde Baru

Tak perlu panjang-panjang membahas Megawati. Yang Jelas dia telah melakukan aliansi
jahat dengan Golkar dan tentara untuk kekuasannya. Dan yang jelas juga, dia seorang nyonya
yang dengan senang hati menerima kedatangan modal asing ke Indonesia. Ia juga sangat sopan
satun terhadap neoliberalisme. Aset negara diobral secara murah kepada asing. Tapi walaupun
begitu, Mega dianggap bukan yang terbaik oleh Tuan-tuan modal. Karena itu, dalam Pemilu 2004,
Tuan-tuan modal lebih memilih SBY. Tak mengherankan kalau SBY bisa mengalahkan Mega
dalam Pilpres. Masihkah kita berharap dia akan menjadi presiden tahun 2014?

5. SBY: Bangkitnya Para Jenderal

Yang patut dicatat pada masa rezim SBY adalah semakin mengerucutnya konsolidasi
borjuasi. Baik borjuasi lama maupun baru sudah bisa menata dirinya. Mereka sudah saling
berkompromi untuk menguasai perekonomian Indonesia. Situasi ini membuat politik elit relatif
stabil. SBY tidak mengalami masa-masa pertarungan yang keras antara faksi borjuasi
sebagaimana masa Habibie, Gus Dur dan Megawati. Berkah ini digunakan oleh SBY untuk
melakukan pencitraan diri bahwa dirinya mampu membawa Indonesia keluar dari krisis politik.
Keadaan politik yang stabil kemudian digunakan oleh para jenderal didikan Orba untuk
kembali bangkit. Dua nama yang perlu disebut adalah Prabowo Subianto dan Wiranto. Lewat
Partai Gerindra, Prabowo membangun propaganda nasionalisme untuk mendapatkan simpati dari
rakyat. Ia menempatkan diri sebagai anti tesis dari rezim SBY yang dianggap oleh berbagai
kalangan lembek. Dengan struktur politik yang semakin meluas, Prabowo semakin percaya diri
untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
Sementara itu, Wiranto, jenderal gaek mantan ajudan Suharto, masih berambisi untuk
menjadi presiden walaupun sudah kalah dalam dua kali Pilpres. Dengan menggandeng
konglomerat didikan Cendana, Hary Tanoe, Wiranto dengan Partai Hanura-nya mencoba
peruntungan pada Pemilu 2014 yang akan datang. Modal yang besar dari taipan-taipan yang
mendukungnya diharapkan mampu mendudukan dirinya di kursi presiden. Jagal nomor satu dalam
tragedi Timor Leste paska jajak pendapat, sedang memupur dirinya agar tampak bersih dengan
menggandeng aktivis-aktivis kiri.
Sikap SBY memang tak pernah tegas terhadap jenderal-jenderal pelanggar HAM seperti
Prabowo dan Wiranto. Sementara gerakan demokratik juga tak mampu memberikan tekanan yang
kuat agar mereka diadili. Di sisi lain rakyat tak peduli dengan masalah HAM karena memang tak
terjangkau oleh isu-isu yang rata-rata diusung oleh kelas menengah perkotaan.
Situasi inilah yang mesti dihadapi gerakan demokratik pada Pemilu 2014: tentara yang
masih dominan dalam panggung politik Indonesia.
III
Rakyat yang Berlawan

A. Gerakan Mahasiswa
1. Masa Soeharto
1.1. GM Dari 1966 sampai 1997—Ingin Perubahan Tanpa Mengubah Sistem
Dalam pembabatan PKI dan penjatuhan Soekarno, peranan mahasiswa tak bisa
disembunyikan. Mereka dengan bersukacita ikut melahirkan rezim Soeharto. Dan dengan
demikian gerakan mahasiwa juga berperan dalam pembantaian terhadap 3,5 juta rakyat Indonesia
yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Periode tersebut merupakan masa paling
hitam dalam sejarah gerakan mahasiswa. Belum pernah terjadi sebelumnya mahasiswa terlibat
dalam pembinasaan manusia dalam skala yang besar. Atau bisa dikatakan, Angkatan 66
merupakan angkatan yang berdiri di atas bangkai jutaan rakyat yang dibantai.
Pada posisi kemenangan itu, gerakan mahasiswa menempatkan diri sebagai gerakan
moral (moral force). Konsep moral force inilah kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan
mahasiswa selanjutnya. Ia mengibaratkan dirinya para cowboy yang turun ke tengah kota ketika
ada kejahatan, begitu angkara bisa ditumpas, mereka akan kembali ke dalam kampus.
Menempatkan diri setengah mesianitas: pembebas yang selalu bersih, tak mau tercemar politik.
Tapi kenyataanya tak seperti itu. Setelah berhasil membuat Indonesia merah oleh
genangan darah, para aktivis mahasiswa justru mencemplungkan diri dalam politik. Bisa kita sebut
nama-nama seperti Sarwono Kusumaatmadja, Siswono, Akbar Tanjung, Marie Muhammad,
Cosmas Batubara, dll. Masa-masa antara 1966-1971 merupakan masa-masa ―bulan madu‖
gerakan mahasiswa dengan Orba. Anak-anak berjaket kuning itu telah menjadi bagian dari
kekuasaan rezim Soeharto.
Tapi tak selamanya begitu. Masa indah itu mulai retak ketika Arief Budiman dan aktivis
mahasiswa lain mulai memprotes kebijaksanaan Orba. Tahun 1973 mereka menggugat
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Menurut kelompok Arief Budiman,
pembangunan TMII tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Bagi mereka proyek tersebut
merupakan agenda ambisius belaka. Karena protes tersebut, Arief Budiman dijebloskan ke dalam
bui. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan golongan putih
[golput]. Kemudian ia dan kawan-kawannya pada bulan Oktober 1973 mengadakan aksi ke
gedung DPR/MPR untuk menyampaikan ―Petisi 24 Oktober‖. Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan
pembangunan Orba yang dianggap tidak populis. Tapi memang hanya sebatas itu. Perlawanan
gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan
Soekarno. Area perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi massa
yang besar. Gerakan hanya terfokus pada posisi sebagai gerakan moral; terbatas memberikan
kritik yang loyal kepada kekuasaan yang ada.
Setelah peristiwa itu, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali pada awal tahun 1974.
Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang,
Tanaka, diboikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Ibu kota lumpuh total.
Mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat
―asyik‖ dengan aksinya sendiri: melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang.
Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan sebutan Malapetaka 15 Januari: Malari. Nama-nama
seperti Hariman Siregar, Sjahrir, dll, muncul sebagai pembangkang kelas satu. Mereka diburu dan
kemudian dipenjarakan. Fakta yang sulit ditampik, Malari bisa membesar tidak lepas dari konflik
elit waktu itu. Yakni: pertarungan faksi Jendral Soemitro dan Ali Moertopo yang berebut posisi
untuk dekat dengan Soeharto.
Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974. Pertama,
adanya kolaborasi dengan tentara. Paling tidak pada detik-detik akhir menjelang meletusnya
Malari. Soemitro, seorang jenderal yang saat itu menjabat Pangkokamtib, terlihat aktif dalam aksi-
aksi tersebut. Akibat peristiwa ini, gerakan mengalami kehancuran bersamaan dengan rontoknya
tentara yang diajak berkolaborasi.
Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama rakyat.
Gerakan tidak bisa memimpin massa-rakyat yang juga turun ke jalan. Rakyat akhirnya melakukan
kerusuhan. Radikalisme massa kemudian digunakan oleh rezim sebagai palu godam untuk
memukul aksi-aksi mahasiswa. Tentu saja dengan alasan telah mengganggu ketertiban umum dan
menciptakan kekacauan.
Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar di satu
titik mengakibatkan mudah untuk dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di Jakarta
―dilumpuhkan‖, perlawanan terhenti karena daerah-daerah lain tidak melakukan pembangkangan
sama sekali.
Membutuhkan waktu yang lama setelah Malari. Kurang lebih 4 tahun kemudian gerakan
mahasiswa ―bangun‖ kembali. Baru tahun 1978 aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan kembali
Soeharto menjadi presiden. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan
Soeharto, maka tentara diperintahkan untuk menghentikannya.
Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) dikepung panser. Mahasiswa membuat barikade
dengan tidur-tiduran di sepanjang Jalan Ganesa. Aksi ini mampu bertahan beberapa minggu
sebelum berhasil dibubarkan tentara. Sementara di Yogyakarta, tentara menembaki aksi
mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Mahasiswa dikejar-kejar sampai ke dalam kampus,
peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian.
Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rezim Orba, namun
setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia. Apabila
kita simak, ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini. Pertama, gerakan
setidaknya lebih maju dalam tuntutan politik—menolak pencalonan Soeharto—walaupun belum
sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Mereka melihat bahwa sosok Soehartolah yang
menyebabkan Indonesia kacau balau. Sebagai solusinya Soeharto harus ditampik menjadi
presiden.
Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi yang
didukung oleh tentara, sehingga ketika posisi dia (Soeharto) terancam, dapat mengerahkan orang-
orang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Soeharto menghancurkan kehidupan politik
mahasiswa di kampus. Pengekangan terhadap aktivitas mahasiswa dimulai. Soeharto juga
mengerahkan tentara untuk merepresi gerakan mahasiswa.
Kedua, gerakan ‘78 memang membesar di kota-kota seperti Bandung dan Yogyakarta, tapi
lemah di pusat ekonomi politik, Jakarta. Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa ‘74
– di mana gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah – tapi yang terjadi kemudian
sama dengan gerakan ‘74, gerakan tetap mudah dipatahkan.
Setelah ―kemenangan tertunda‖ dari gerakan mahasiswa ‗78, rezim Soeharto mengambil
pelajaran dari peristiwa tersebut. Rezim berusaha ―memenjarakan‖ mahasiswa agar tidak keluar
dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef, dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa semacam
Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan
kehidupan politik praktis.
Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa ―tertidur‖. Kebijaksanaan
NKK/BKK kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto.
Pemerintah memberlakukan depolitisasi, yaitu menyalurkan kegiatan mahasiswa pada lembaga
kemahasiswaan formal seperti Senat Mahasiswa [Sema], Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM], dll.
Di luar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS).
Aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi.
Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari
lingkungannya.
Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, mahasiswa kembali kepada
gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran lingkaran-lingkaran
diskusi dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rezim bisa berakibat
fatal. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho dari
kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya
Ananta Toer. Rezim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik
ketenangannya.
Kedua, mereka yang ―melarikan‖ ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri
baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang tersebut diterapkan dengan apa adanya,
seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru: ditiru begitu saja. Di tengah rasa
demoralisasi, mereka mengatakan metode perjuangan harus diubah, yakni melalui
―pemberdayaan‖ rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) didirikan.
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan LSM, karena bagaimanapun
berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi
terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai
menyadari bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini
tentunya tidak dapat dibiarkan. Apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat
secara luas. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi yang seolah-
olah anti negara dan berasal dari arus bawah. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke
daerah-daerah ―api‖ dan kemudian digunakan untuk menjaga ―api‖ tersebut supaya tidak
membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk mendemoralisasi perlawanan rakyat. LSM pada
kenyataanya mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis
butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk
memperbesar ―perut‖ mereka.
Periode LSM pada akhirnya lewat. Walau bagaimanapun ketatnya rezim berusaha
―memagari‖ gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada.
Mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis keluar dari ―ruang-ruang‖ diskusi dan kembali mulai
turun ke jalan. Mereka mengambil strategi ―melingkar‖: melakukan aksi-aksi advoksi terhadap
kasus-kasus rakyat. Mereka mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa yang terkena trauma
dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-realitas yang ada di masyarakat: bahwa
penindasan, pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang
dalam kurun waktu itu banyak kasus-kasus yang menyentuh rakyat secara langsung, seperti
penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan sampai pem-
PHK-an, yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak yang ditindas.
Strategi ―melingkar‖ ini memang berhasil—walupun tidak maksimal—mengusik hati para
mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam perlawanan terhadap
penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa ―ilegal‖ bagi rezim. Ini
merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986–
1990, yang awalnya berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan
konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul
Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi
Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM),
dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, dan Semarang.
Sejak munculnya organisasi-organisasi di atas, gerakan mahasiswa semakin menguat.
Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali. Arus perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di
Yogyakarta, pada pertengahan tahun 1992, sekitar 12.000 mahasiswa Universitas Gadjah Mada
dan universitas lain di Yogyakarta didampingi rektor UGM, Prof. Koesnadi Harjosoemantri,
melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta. Mereka memprotes
diberlakukannya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993, ribuan mahasiswa—
mayoritas mahasiswa Islam—menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan.
Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan
SDSB di depan anggota DPR, sementara di luar gedung ribuan mahasiswa terus menjalankan
aksinya.
Satu tahun kemudian, mahasiswa di berbagai daerah memprotes dibredelnya Majalah
Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresi oleh tentara, seperti yang terjadi di Jakarta.
Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung
Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh
tentara. Sekitar 7 mahasiswa gugur dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas
di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta,
Solo, dan Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan tentara.
Secara organisasi gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan. Konsolidasi di
dalam dan di luar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan
Agustus 1994, dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk
Demokrasi (SMID). Berdirinya organisasi ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa
Indonesia untuk kembali menjadi gerakan politik. Program-program SMID antara lain menuntut
dicabutnya Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rezim
Soeharto. Dan sejak saat ini aksi massa ―dikukuhkan‖ menjadi metode perjuangan gerakan
mahasiswa. Dalam perkembangannya SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat
Demokratik (PRD). Periode 1994 dapat dikatakan merupakan masa terbukanya politik mahasiswa.
Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Sentimen anti kediktatoran rezim Orde Baru Soeharto mulai meluas.


2. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh.
3. Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor
masyarakat.
4. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai pendorong utama
untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan dan tani
(pertanahan).
5. Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan
berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.

Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus.


Sebelumnya, selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga mahasiswa formal yang diakui
oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis
berdirinya kembali Dewan Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan
keberadaannya. Maka muncullah Dema UGM, Dema UI dan Dema Universitas Sanata Dharma.
Namun sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah Peristiwa 27 Juli 1996. Setelah ―Peristiwa
Sabtu Kelabu‖, rezim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD. Mereka
dituduh sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996 sampai akhir 1997, dapat
dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas dilakukan oleh kelompok-
kelompok mahasiswa radikal dengan memakai komite aksi yang bersifat ―musiman‖ untuk terus
melakukan perlawanan.

1.2. Gerakan Mahasiswa 1998—Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran


Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia. Nilai rupiah melemah
terhadap dollar AS. Harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik. Banyak
perusahaan yang gulung tikar. Banyak buruh yang di PHK. Dampak ini secara langsung juga
menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, yang tertohok dengan naiknya harga
makanan yang melonjak, kertas naik, belum lagi orangtuanya yang di PHK.
Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-
tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi, kelompok mahasiswa radikal yang masih
minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan
nasional dan pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi
yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran
―ekonomis‖ menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin
membesar mulai meneriakkan tuntutan politik: meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah
maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia.
Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif
gerakan mahasiswa naik secara drastis, dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI,
Depok, dari 19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966. Pada hari
terakhir Sidang Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto
dibakar oleh para demonstran. Kurang lebih 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam
aksi tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang, Manado,
Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, dan Kudus.
Aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Di berbagai wilayah terjadi bentrokan antara
demonstran dengan tentara. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas
Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa—yang ingin
melanjutkan rally keluar kampus—dengan tentara. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2-3 April,
bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada 13 April ketika demonstran
dikejar-kejar dan ditembaki oleh tentara sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM
dikusai oleh tentara. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa. Aksi tanggal 24 April, para
demonstran melempari tentara dengan molotov. Peristiwa itu membuat kampus Universitas
Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahasiswa semakin
bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa
paling tragis terjadi tanggal 12 Mei, ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa
gugur diterjang peluru tentara. Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain.
Tanggal 13-14 Mei, Jakarta lumpuh total. Pemberontakan rakyat terjadi. Sementara pada
peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta, Medan,
Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain. Antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei,
tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan tentara yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan
Lombok. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan ―lengser‖, gedung DPR/MPR dikuasai
mahasiswa. Ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di
Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat–yang dipelopori mahasiswa
Yogyakarta—memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.
Masa-masa itu merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksi-
aksi mahasiswa di beberapa tempat bahkan sudah menguasai Radio Republik Indonesia [RRI]
seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, dan Padang. Sementara di Medan, mahasiswa
menguasai bandar udara. Aktivitas penerbangan, terutama penerbangan internasional, lumpuh
total. Dalam kurun waktu itu juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun
kecil. Namun sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan
pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie.
Setelah berhasil ―melengserkan‖ Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan
mahasiswa menurun. Hampir selama 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan tanah. Gerakan
kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada tanggal 13-14
Nopember 1998, aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat
berkumpul di depan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke
gedung DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan
meninggalkan Universitas Atmajaya ditembaki oleh tentara, korban kembali berjatuhan. Gerakan
kali ini disokong penuh oleh rakyat – di samping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat
barikade, mengejar Pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik—kerusuhan seperti Mei tidak
terjadi karena mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, di beberapa
daerah seperti Yogyakarta, markas tentara seperti Korem sempat dikuasai mahasiswa selama
beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutan-
tuntutan mereka. Represi memang hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak
mengalami represi. Secara kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti
di bulan Mei ‘98. Namun tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI MPR dan
pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.
2. Massa Habibie: Menguatnya Kesadaran Anti Tentaraisme
Sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati, bahkan
momentum Pemilu dilewatkan dengan ―manis‖. Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika memperingati
Peristiwa 27 Juli, gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya,
Solo, Yogyakarta, Bandung, Tasikmalaya, dan Purwokerto melakukan aksi, dan di beberapa
daerah bisa membangun front yang luas. Aksi besar kembali muncul ketika peringatan 17 Agustus.
Aksi-aksi kembali terjadi diberbagai kota.
Aksi ini semakin membesar ketika tentara kembali ingin menancapkan kekuasaannya
dengan mengajukan Rancangan Undang Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB).
RUU yang jelas antidemokrasi ini disambut dengan aksi-aksi penolakan yang hebat. Aksi-aksi ini
dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa dan LSM-LSM, tapi juga rakyat. Terbukti aksi tanggal 23
September di Jakarta berhasil menggerakkan kaum miskin kota untuk melawan tentaraisme
dengan melakukan aksi penyerangan terhadap tentara yang sedang menghadang aksi
mahasiswa. Mereka melempari tentara dengan molotov dan membuat barikade-barikade.
Mahasiswa, disisi lain, hanya dapat bertahan di kampus Atmajaya dan tidak dapat memimpin
massa. Aksi penolakan terhadap RUU PKB tidak hanya berlangsung di Jakarta, tapi juga di
daerah-daerah. Bahkan di Palembang dan Lampung, aksi ini meminta korban nyawa 3
mahasiswa. Aksi anti tentaraisme ini diikuti aksi-aksi yang lebih hebat seiring diadakannya Sidang
Umum MPR pada bulan Oktober. Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat membawa isu penolakan
pertanggungjawaban Habibie dan pencabutan Dwi Fungsi TNI. Kembali terjadi bentrokan dengan
tentara pada hari Jumat, 15 Oktober.
Ada pelajaran yang dapat diambil dari gerakan mahasiswa 1998 sehingga gagal
menuntaskan Revolusi Demokratik. Pertama, lemah dalam ideologi. Dari basis historis, gerakan
mahasiswa ‘98 muncul karena adanya krisis ekonomi. Mahasiswa bergerak karena harga
kebutuhan pokok naik, kost-kostan menjadi mahal, orangtua mereka terkena PHK. Keadaan ini
secara langsung berdampak bagi mahasiswa. Tidak mengherankan kalau sebagian besar
mahasiswa ―baik-baik‖, mahasiswa generasi ―dingdong‖ ini ikut turun ke jalan. Kesadaran
―ekonomis‖ tersebut kemudian berhasil dibawa ke kesadaran politik. Pasokan kesadaran ini
dilakukan oleh beberapa kelompok radikal – kelompok ini sejak tragedi 27 Juli 1996 tetap
melakukan perlawanan dan mengangkat isu-isu politik – tapi injeksi inipun tidak tuntas. Karena
tidak didukung oleh kesadaran ideologis, ketika ―trend‖ gerakan menurun maka aktivitas
gerakanpun juga menurun. Ini berbeda dengan gerakan ‗90-an, dimana gerakan berawal dari
kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang mereka lakukan, mahasiswa menjadi sadar
tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem korup inilah yang menyebabkan negara berada
dalam puncak krisis. Karena didukung kesadaran ideologis maka kontinuitas gerakan lebih bisa
terjaga. Disamping itu perdebatan-perdebatan teoritikpun terjadi secara dinamis, sehingga selalu
timbul perspektif dan inisiatif baru.
Kedua, akibat kelemahan ideologi-teori juga berakibat kelemahan strategi taktik. Gerakan
menjadi kaku dalam menghadapi perubahan, tidak luwes dalam menghadapi perubahan situasi
nasional. Akibatnya banyak momentum-momentum yang seharusnya bisa dimanfaatkan,
dilewatkan begitu saja. Pemilu yang semestinya merupakan kesempatan ―berbicara kepada
rakyat‖, kesempatan untuk menyadarkan rakyat yang terilusi, terlewat begitu saja. Akibat kekakuan
dalam menerapkan strategi-taktik dan ―ketidakcerdasan‖ dalam memanfaatkan setiap celah yang
ada, lama kelamaan menyebabkan gerakan mati, aksi-aksi tidak ada lagi, dengan begitu
konsolidasi menjadi lemah.
Ketiga, sektarianisme gerakan. Gerakan terpecah-pecah. Walaupun gerakan bisa
membesar, hal ini lebih disebabkan oleh momentum dan isu yang sama. Ini akan jelas apabila kita
melihat data aksi mahasiswa 28 Oktober 1998 berikut ini:

Daerah Jumlah Tuntutan


Jakarta 14.000 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
 Adili Soeharto
Bandung 3.500 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
 Adili Soeharto
Yogyakarta 1.300 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
 Adili Soeharto
Semarang 2.000 orang  Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Percepat Pemilu
 Adili Soeharto c.s
 Cabut Tap. Soeharto/Habibie sebagai
presiden dan wapres
Surabaya 1.100 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Pertagungjawaban Soeharto
Bandar Lampung 300 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s
Palembang 700 orang  SI untuk ganti Habibie dengan
presidium pemerintahan transisi
 Percepat Pemilu
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s
Manado 500 orang  Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s
Tabel 11: Tuntutan Mahasiswa

Dari data di atas jelas adanya tuntutan yang sama—tolak Sidang Istimewa [SI] MPR, cabut
Dwi Fungsi ABRI, dan adili Soeharto—dan adanya satu momentum—hari Sumpah Pemuda, 28
Oktober, yang menyebabkan gerakan membesar dan meluas. Namun gerakan mahasiswa
tetaplah terpecah-pecah. Memang telah dilakukan usaha untuk membangun front, misalnya,
Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia (RMNI) di Bali dan Surabaya, tapi ini tidak lebih sebagai
ajang romantisme dan saling mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling berjasa.
Mungkin kelahiran Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND) dapat menghilangkan
watak sektarianisme dan bisa membangun front yang sesungguhnya. Tapi ternyata juga tidak
berhasil.
Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan
sektor rakyat lainnya. Akibatnya: Pertama, rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasi-
demonstrasi tidak terpimpin. Tidak heran kalau massa-rakyat melakukan penghancuran toko-toko
dan properti etnis Tionghoa, jalan tol dan fasilitas umum lainnya. Kedua, kekuatan mahasiswa dan
massa rakyat yang seharusnya bersatu menjadi terpecah belah. Banyak diantara organisasi
mahasiswa yang masih termakan propaganda tentara: apabila aksi mahasiswa bergabung dengan
rakyat maka akan menimbulkan kerusuhan.
Ketiga, tidak adanya organ nasional. Apa yang ada saat itu, misalnya, FPPI (Front
Perjuangan Pemuda Indonesia) atau LMND (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi),
hanyalah sebatas jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front. Dapat
dikatakan setelah SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) ―dihancurkan‖ paska
Peristiwa 27 Juli 1999, belum ada organ nasional yang terbentuk.
Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi di
antara gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri – baik
tuntutan maupun strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi jelas sekali mengakibatkan gerakan
menjadi terfragmentasi, tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. Akibat selanjutnya, di
samping gerakan menjadi lemah juga membingungkan massa rakyat sendiri. Sikap gerakan
mahasiswa yang terpecah-pecah dalam menghadapi momentum pemilu 1999 bisa dijadikan
contoh:
Dalam menghadapi Pemilu, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang
kesemuanya mempunyai argumen masing-masing. Kelompok pertama menerima Pemilu. Pemilu,
menurut mereka, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi yang telah ada. Kelompok
mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau Pemilu yang menjamur, seperti Unfrel,
Forum Rektor dan KIPP. Kelompok kedua, tidak setuju dengan proses Pemilu. Pemilu tidak akan
menyelesaikan masalah dan pasti tidak berjalan dengan Jurdil [jujur dan adil] karena masih
dilaksanakan oleh sisa-sisa rezim Orba. Maka Pemilu harus ditolak. Kelompok terakhir ini
kemudian terbelah menjadi dua: membiarkan momentum Pemilu berjalan begitu saja, karena
apabila terlibat dalam proses Pemilu dianggap ikut melegitimasi pelaksanaannya. Sementara
kelompok lain yang tidak percaya Pemilu, melakukan aksi-aksi massa untuk menolak Pemilu yang
diselenggarakan rezim Habibie.
Keempat, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas di atas, sebagian besar
mahasiswa yang bergabung dalam gerakan mahasiswa ‘98 adalah akibat ―trend‖ yang ada. Tidak
heran kalau massa yang bergabung bukanlah massa yang terorganisir melainkan massa yang
termobilisasi. Hal ini berakibat melemahnya basis massa sejalan dengan dengan menurunnya
trend gerakan. Sementara itu, organ-organ mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini, tidak
cepat melakukan konsolidasi terhadap massa yang masih cair, dan tidak segara mengadakan
pendidikan-pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis mahasiswa hanya berkutat di sekitar aksi dan
pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi. Sementara kampus yang ―melahirkan‖
mereka dan di sanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu saja. Akibatnya, gerakan menjadi
tidak populis di antara mahasiswa sendiri. Tidak heran kalau banyak sekali organisasi mahasiswa
yang hanya papan nama belaka.
Kelima, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan
kekuatan radikal secara umum, yaitu tidak adanya partai revolusioner yang sanggup memimpin.
Situasi periode Februari sampai Mei adalah situasi yang revolusioner. Orang-orang yang
sebelumnya apolitis berubah menjadi politis. Ratusan komite-komite perlawanan terbangun. Tapi
karena tidak ada satu kekuatanpun yang mampu memimpin, kondisi objektif yang telah mencapai
puncak didih dapat dikatakan tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat seperti ini dibutuhkan
satu peranan dari partai revolusioner untuk memimpin pengambilalihan kekuasaan.
Kita dapat melihat kelemahan tersebut dalam peristiwa Mei ‘68 di Perancis. Situasi Mei ‘98
di Indonesia mirip dengan situasi di Perancis pada bulan yang sama di tahun 1968. Ketika itu di
Perancis ratusan ribu mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini mampu memobilisasi kelas
pekerja untuk melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah berhasil direbut. Puncak
dari ―revolusi‖ ini: kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar 10 juta buruh melancarkan
aksi pemogokan nasional. Presiden De Gaulle sudah melarikan diri ke Jerman Barat. Kesempatan
ini ternyata disia-siakan oleh kekuatan radikal. Bedanya kalau di Indonesia belum ada partai, tetapi
di Perancis partai revolusioner itu sudah ada, tapi mereka malah ―bersembunyi‖ saat situasi
sedang revolusioner.
Di samping kelemahan-kelemahan di atas, ada juga kelebihan-kelebihan gerakan
mahasiswa ‘98 dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya. Pertama, sikap tegas terhadap
tentaraisme. Gerakan mahasiswa '98 tidak mau berkompromi dengan tentara. Sikap tegas ini
membawa gerakan mengambil posisi yang jelas: tidak melakukan kolaborasi dengan tentara.
Pilihan ini berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan mahasiswa ‘66 jelas
melakukan kerjasama dengan tentara, begitu juga gerakan mahasiswa ‘74. Gerakan mahasiswa
‘78 walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan tentara tapi mengambil sikap tidak tegas
terhadap tentaraisme. Kedua, gerakan mahasiswa ‘98 – pada tahap awalnya -- bisa menyebar
hampir ke seluruh kota-kota di Indonesia. Dapat dikatakan, gerakan ‘98 merupakan gerakan
terbesar setelah gerakan mahasiswa ‘66. Adanya perlawanan yang meluas membuat penguasa
kalang kabut. Daya dobrak semakin kuat dan akhirnya tuntutan mereka untuk memaksa Soeharto
lengserpun bisa berhasil. Ini merupakan pengalaman berharga untuk gerakan mahasiswa ke
depan. Dua momentum gerakan mahasiswa membuktikan bahwa hanya dengan gerakan yang
meluas, gerakan mahasiswa dapat berhasil memperjuangkan tuntutan-tuntutannya. Adanya
gerakan yang membesar di semua kota juga akan menaikkan moral perlawanan mahasiswa
sendiri dan bisa memobilisasi rakyat dalam jumlah yang lebih besar

3. Massa Gus Dur: Tumbuhnya Kesadaran Menghancurkan Sisa-sisa Orde Baru yang
Setengah Hati
Polarisasi gerakan pada masa Abdulrahman Wahid [Gus Dur] terus terjadi. Dapat
dikatakan pada masa tersebut gerakan mahasiswa sudah menjadi bagian dari gerakan politik yang
berkembang ketika itu. Gerakan mahasiswa—walau dengan malu-malu—mendukung Gus Dur
atau berhadapan dengannya.
Gerakan yang mendukung Gus Dur memakai bungkus penghancuran sisa-sisa Orde Baru.
Ini bukan kesadaran yang mereka miliki, tapi dipasokkan oleh gerakan kiri. Pemahaman yang
setengah-setengah dari program penghancuran sisa-sisa Orba ini dapat dilihat dari sikap politik
yang berkembang. Mereka bisa menerima pengadilan GOLKAR dan pembubaran Parlemen, tetapi
sangat sulit menerima percepatan Pemilu. Akibatnya, dalam startegi taktik penghancuran sisa-sisa
Orba menjadi setengah jalan.

Bulan/Th.2000 Jumlah
Aksi
Januari 4
Februari 9
Maret 7
April 6
Mei 6
Juni 1
Juli 12
Agustus 6
September 10
Oktober 24
Nopember 14
Desember -
Tabel 12 : Aksi Mahasiswa Di Jakarta

Sedangkan yang berhadapan dengan Gus Dur banyak dimotori oleh sayap politik dari
Partai Keadilan—KAMMI—dan Golkar—BEM. Tuntutan mereka menuntut Gus Dur mundur karena
telah melakukan KKN. Mereka bisa memobilisasi massa dalam jumlah yang besar. Bahkan pada
tahap awalnya mereka bisa mendominasi opini yang muncul di media massa. Namun, ketika Gus
Dur semakin mendekati kejatuhannya—ketika massa NU bergerak—mereka tidak lagi mengelar
aksi-aksi massa lagi.

4. Masa Megawati Sampai SBY: Gerakan Yang Kehilangan Orientasi


Tidak banyak yang bisa dicatat gerakan mahasiswa pada masa Mega sampai SBY.
Kelihatan mereka kehilangan orientasi dan momentum politiknya. Yang menarik pada masa SBY
adalah mulai masuk mantan-mantan aktivis 1998 ke lingkar kekuasaan. Tak terlihat jelas motif
mereka. Yang jelas mereka sudah semakin nyaman dalam kekuasaan sehingga suara nyaring
mereka tak terdengar lagi.
Perlu juga dicermati masuknya orang-orang kiri ke dalam partai politik. Setelah Partai
Rakyat Demokratik [PRD] menggabungkan diri dengan Partai Bintang Reformasi [2009] dan Partai
Gerindra [2011], sepertinya gerakan kiri ingin berjuang lewat jalan parlementer. Metode ini secara
internal menimbulkan perpecahan. Ketika PRD menyatakan resmi meleburkan diri pada PBR,
terbelah, kelompok minoritas kemudian mendirikan Partai Rakyat Miskin [PRM]. Taktik politik
tersebut tak berhasil. Tidak ada calon PRD yang masuk menjadi anggota dewan, baik di tingkat
daerah dan pusat. Setelah kegagalan itu PRD mencoba mengulang lagi taktiknya dengan
bergabung dengan Partai Gerindra. Tentu saja taktik PRD ini tak populis dikalangan gerakan
karena sudah diketahui secara luas bahwa Prabowo Subianto adalah orang yang telah
memerintahkan penculikan terhadap aktivis-aktivis anti Soeharto [di dalamnya termasuk aktivis-
aktivis PRD]. Dan sebagian yang diculik itu belum kembali sampai saat ini: Herman Hendrawan,
Suyat, Bimo Petrus dan Wiji Thukul. Selain itu, jualan PRD berupa Pasal 33 UUD 1945 tak
digubris rakyat. Bagi rakyat yang penting perut mereka kenyang, bukan pasal. PRD makin terkucil
dari gerakan yang lain.
Sementara itu, jebolan PRD dari hasil perpecahan tahun 2001 mendirikan Perhimpunan
Rakyat Pekerja [PRP]. Dalam perjalanannya, PRP mengalami perpecahan internal: satu kelompok
tetap di PRP sementara kelompok lainnya mendirikan Komite Penyelamat Organisasi [KPO] PRP.
Kedua organisasi ini mempunyai tujuan yang sama: mendirikan partai kelas pekerja. Dalam
kongres terakhir, masing-masing organisasi telah menyatakan berubah bentuk menjadi partai
politik. Kedua organisasi tersebut berbasiskan buruh, dan masih terisolasi dari gerakan rakyat
secara luas. Kalau bisa dikelola dengan baik, keduanya bisa menjadi alternatif gerakan kiri ke
depan.
Kelompok lain yang muncul adalah ormas-ormas kaum miskin perkotaan—pendirinya
masih jebolan-jebolan PRD. Bisa disebut salah satu yang menonjol adalah Serikat Rakyat Miskin
Indonesia [SRMI]. Gerakan ini telah mengalami metamorfosis yang panjang: mulai dari Gerakan
Pemuda Kerakyatan [GPK] yang berdiri pada tahun 2001, kemudian berubah menjadi Serikat
Rakyat Miskin Kota [SRMK] dan terakhir menjadi SRMI. Basis-basis mereka ada di perkotaan—
yang paling besar di Jakarta. Dengan mengangkat isu-isu persoalan rakyat miskin seperti
kesehatan dan pendidikan yang murah, mereka mencoba mengkonsolidasikan kaum miskin
perkotaan yang menjadi korban pemiskinan global. Organinasi ini juga mencoba menggunakan
peluang Pilkada untuk memperluas basis massa. Sebagai contoh, dalam Pilkada DKI [2012],
SRMI mendukung Fauzi Bowo. Secara umum SMRI mempunyai potensi yang besar untuk
membela kepentingan kaum miskin kota yang akan terus bertambah akibat hantaman
neoliberalisme. Persoalan yang mereka hadapi memang persoalan sehari-hari.
Ada juga ormas yang memfokuskan diri pada kesehatan. Bisa disebut di sini Dewan
Kesehatan Rakyat [DKR]—mantan PRD juga berperan mendirikannya. Dengan memanfaatkan
ketokohan Siti Fadilah [mantan Menteri Kesehatan di era kabinet SBY Jilid I] mereka melakukan
kerja advokasi mendampingi rakyat miskin untuk mendapatkan Jamkesmas [Jaminan Asuransi
Kesehatan Masyarakat] dan pelayanan kesehatan yang baik. Dalam perjalanannya organisasi ini
pecah: satu kelompok kemudian mendirikan Relawan Kesehatan [REKAN]. Organisasi seperti ini
mempunyai peluang untuk membesar mengingat masalah kesehatan telah menjadi problem pokok
masyarakat. Pelayanan kesehatan yang murah dan baik telah menjadi dambaan rakyat. Syarat
untuk bisa membesar tentu saja harus bisa melepaskan diri dari pada jebakan advokasisme dan
mulai melakukan perluasan struktur, aksi menuntut dan propaganda yang serius.
Sementara itu, jebolan PRD yang tidak beroganisasi dan ingin berorganisasi kemudian
bergabung dengan Persatuan Indonesia [Perindo]; ormas yang digagas oleh taipan Hary
Tanoesoedibyo. Walaupun secara terbuka menyatakan bukan bagian bagi Hanura, tetapi bisa
dipastikan Perindo akan menjadi alat elektoral dari partai milik Jenderal Wiranto tersebut. Langkah
orang-orang kiri yang bergabung dalam Perindo merupakan bentuk pengkhianatan paling
telanjang terhadap agenda politik rakyat. Secara terang-terangan mereka telah bersekutu dengan
dua musuh rakyat sekaligus: konglomerat dan jenderal Orde Baru. Itulah prestasi terbesar mereka
sebagai ‗anak mami‘ dalam sejarah pergerakan kiri: yang karena kemanjaan, tak mau repot-repot
dan berpeluh, akhirnya bersekutu dengan musuh rakyat. Bukan main.

B. Gerakan Massa Rakyat


1. Masa Soeharto
Masa 80-an.
Tahun 1980 merupakan momentum bagi rezim Soeharto memasukkan modal asing
sebanyak-banyaknya. Industrialisasi, terutama tekstil diperluas di Pulau Jawa. Pinggiran kota-kota
besar—Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung—dibuka pusat-pusat industri baru. Begitu
juga di sektor pertanian, sarana-sarana penunjang pertanian—seperti waduk dan saluran irigasi—
dibangun untuk memacu produktifitas. Tentu siapa saja akan ingat tentang Revolusi Hijau. Pada
kurun ini rezim Soeharto juga lagi getol-getolnya membuka sarana-sarana rekreasi—terutama
lapangan golf.
Proyek-proyek tersebut membutuhkan lahan yang luas. Usaha-usaha pembebasan tanah
petani dimulai. Dari sinilah konflik antara penguasa dan pemilik tanah—petani—sering terjadi.
Ganti rugi yang diberikan penguasa kepada para petani relatif kecil. Biasanya para petani diberi
iming-iming akan diprioritaskan bekerja di pabrik yang sedang dibangun itu. Akan tetapi, bila cara
halus tak bisa dan pembebasan tanah terjadi secara alot, rezim akan menggunakan tentara atau
polisi untuk melakukan tindakan teror dan intimidasi.
Jelaslah, pada tahun-tahun ini kaum tani yang banyak melakukan perlawanan: para pemilik
tanah yang tidak puas dengan proses ganti rugi tanah mereka yang diambil oleh pemerintah dan
pemodal dalam negeri serta asing. Kita dapat mengambil contoh perlawanan monumental yang
dilakukan oleh rakyat Kedung Ombo. Karena militansi perlawanan tersebut, kasus Kedung Ombo
menjadi pembicaraan di dunia internasional. Pun, perlawan petani Cimacan, Kaca Piring, dan
Belangguan. Perlawanan-perlawanan petani inilah yang secara terbuka dan berani melawan
kekuasaan ketika itu. Memang, kesadaran yang muncul baru mempertahankan hak-hak mereka,
bukan untuk mengganti sistem yang menghisap, dan sebagaian besar masih dilakukan secara
spontanitas. Tapi, hal ini telah membuka kembali kesadaran mahasiswa yang dalam kurun-kurun
ini mengalami disorientasi. Mahasiswa kembali tersadarkan, keluar dari dalam kampus atau
kelompok-kelompok studi, bergabung bersama rakyat. Kesadaran mahasiswa bahwa sistem yang
dibangun oleh Orba adalah sistem yang menindas mulai tumbuh. Persekutuan mahasiswa-petani
menjadi trend gerakan ketika itu.
Dari momentum-momentum perlawanan di atas kemudian memunculkan kesadaran untuk
melawan sistem. Begitu pula dikalangan kelas pekerja. Kondisi kerja yang tidak memadai dan
rendahnya upah menjadi pemicu aksi-aksi yang dilakukan kaum buruh. Aksi-aksi petani dan
mahasiswa, telah memberikan referensi kepada kaum buruh tentang sebuah metode perjuangan
untuk menuntut hak-hak mereka. Aksi-aksi buruh kemudian menjadi aksi-aksi yang dominan
memasuki tahun 1990 beriringan dengan aksi-aksi mahasiswa yang sudah mulai
mengkonsolidasikan diri. Dalam periode selanjutnya, aliansi mahasiswa dengan kaum buruh juga
sering terjadi. Juga perlu dicatat dalam kurun waktu ini: mulai munculnya serikat-serikat buruh baru
selain yang dimiliki oleh penguasa.
Musim semi itu telah tiba.

Kebangkitan Kaum Miskin Perkotaan


Setelah gerakan demokratik dan PDI Megawati dihajar oleh rezim Soeharto paska Peristiwa
27 Juli 1996, api perlawanan berkobar di bawah tanah. Perlawanan terhadap rezim Soeharto
dapat dikatakan terhenti. Tapi yang tidak dapat dilupakan adalah munculnya kesadaran anti
kediktatoran—karena rakyat melihat sendiri secara nyata keculasan dari rezim ini—mulai tumbuh
dikalangan massa rakyat, terutama yang tinggal diperkotaan. Setiap kesewenang-wenangan yang
dilakukan rezim langsung dilawan dengan tindakan yang radikal. Munculah perlawanan-
perlawanan kaum miskin kota diberbagai tempat—Situbondo, Tasikmalaya, Tanah Abang,
Rengasdengklok, dll. MBR [Mega Bintang Rakyat] merupakan titik naik perlawanan mereka
terhadap rezim Soeharto; ribuan orang dari massa PPP dan massa Mega aksi kampanye
serempak pada tahun 1997. Perisitiwa ini merupakan salah satu patok batas kemuakan rakyat
terhadap rezim Soeharto.

Masa Akhir Soeharto: Tumbuhnya Kesadaran Aksi dan Pembangunan Wadah-wadah


Inilah kesempatan bagi rakyat untuk membentuk wadah-wadah perlawanan. Selama 32
tahun hanya ada satu organisasi buruh, itupun bikinan penguasa. Masa-masa ini ―kuncup-kuncup‖
organisasi buruh yang independen mulai bermunculan. Walaupun rata-rata masih ekonomis, tapi
ini kemajuan, bahkan partai buruh sudah ada. Ini buah ranum dari Revolusi Demokratik: mulai
tumbuh embrio kesadaran kelas.
Seperti halnya setiap revolusi, pasti diikuti dengan pertarungan-pertarungan yang sengit
antara penguasa dan ―pembangkang‖. Begitu juga dengan klimaks Revolusi Demokratik. Hampir
tiap hari antara periode Februari sampai April 1998 terdapat aksi-aksi massa. Jalan-jalan selalu
ramai dengan ―bunga-bunga‖ demonstrasi, seperti halnya bunga sakura yang berguguran
memenuhi jalanan. Bahkan tidak jarang aksi-aksi ini harus bentrok dengan tentara. Media yang
ada, koran, televisi, radio, selalu mewartakan adanya unjuk rasa yang terjadi di mana-mana,
hampir tiada putusnya. Akhirnya, berita-berita itu walaupun sayup-sayup sampai ke seluruh massa
rakyat di kampung-kampung yang terpencil, di tempat-tempat pelosok negeri ini. Merdu memang,
seperti seruling pengembala domba di tengah padang yang luas. Tapi suara merdu itu berubah
menjadi suara terompet malaikat Mikail ketika pemukulan tentara sampai ketelinga massa rakyat.
Kebencian mereka semakin memuncak kepada rezim-tentara.
Luar biasa memang. Setelah jatuhnya Soeharto, kemudian timbul era ―reformasi‖, kata-kata
ini hampir bisa kita dengar tiap hari. ―Siapa yang menyengsarakan rakyat harus direformasi,‖
begitu pekikan rakyat yang kita dengar. Demonstrasi telah menjadi sahabat rakyat untuk
menurunkan pejabat desa yang korup, menuntut pembagian sembako, sampai masalah-masalah
politik. Revolusi Demokratik telah memberikan pelajaran bagi rakyat, bagi kelas pekerja, tentang
sebuah metode perlawanan yang paling efektif, metode perjuangan yang paling tepat dan sudah
teruji kebenaraanya. Revolusi ini juga telah memberikan ―gladi bersih‖ kepada massa rakyat,
kepada kelas pekerja, untuk berhadapan dengan tentara, yang merupakan musuh utama setelah
birokrasi dan borjuasi. Kaum buruh telah diajari oleh kaum miskin kota, bagaimana membuat
molotov dan kemudian melemparkannya.

Masa Habibie—Dari Komite Aksi Rakyat Sampai Masuk Sekapan Partai-partai Borjuis
Usai sudah canda ria Pemilu 1999. Hasilnya pun sudah diketahui. Sungguh luar biasa
dalam kurun waktu itu. Jutaan rakyat bisa termobilisasi dalam jumlah yang besar. Masa kampanye
benar-benar merupakan ―pesta‖ bagi rakyat; tua sampai muda, tukang becak sampai pengusaha,
semuanya bersukaria di jalanan, membawa atribut partai masing-masing. Memang luar biasa!
Krisis yang melilit, seakan-akan bisa terlupakan. Sungguh dahsyat ilusi pemilu ini, rakyat bisa
―terhipnotis‖, seakan-akan ―resep‖ untuk menyembuhkan ―luka‖ krisis ekonomi-politik telah
didapatkan dari belantara borjuasi.
Munculnya puluhan partai baru (terdapat 48 parpol yang bisa ikut pemilu, 16 kali lipat dari
jumlah partai semula), setelah hampir 32 tahun hanya terdapat tiga partai, menambah
kepercayaan rakyat akan mutu Pemilu kali ini. Belum lagi media-media yang ada selalu
berproganda tentang pentingnya jalan parlementer ini.
Lembaga keuangan kapitalis (IMF/ Bank Dunia) berani mengeluarkan jutaan dollar untuk
para pemantau—mereka butuh situasi Indonesia yang tenang untuk menamkan modal. Lihat saja,
pemantau-pemantau Pemilu muncul, saling berebut uang riba. Apalagi kalangan kampus—baik
staf pengajar maupun sebagian kecil mahasiswa—(Forum Rektor, Unfrel)—yang selama ini dinilai
oleh rakyat sebagai pihak yang ―jujur‖, ikut meramaikan pengawasan Pemilu. Sekarang, setelah
Pemilu berakhir, kepercayaan rakyat semakin berlipat-lipat tentang kebenaran jalan yang mereka
pilih. Menangnya PDI Perjuangan sebagai simbol perlawanan adalah jaminan bagi rakyat tentang
masa depan mereka. Megawati seolah-olah menjadi ―ratu adil‖ bagi mereka. Stiker-stiker yang
tertempel -- baik yang ada di bus-bus kota, mobil-mobil pribadi, pedagang nasi goreng, dipintu-
pintu rumah -- gambar Megawati dalam uang lima ratus sampai lima puluh ribu dengan berbagai
pose. Seakan-akan semua orang sudah yakin bahwa dia (Megawati) pasti jadi presiden. Memang
harus diakui, setelah Soekarno belum ada tokoh yang setenar Mega saat itu. Dari tukang becak,
garong, tukang catut, sampai dosen, tentara, pengusaha, birokrat, mengenalnya. Sungguh luar
biasa memang, jongko Jayoboyo tentang akan datangnya ratu adil yang akan menyelamatkan
negeri ini akan segera datang setelah Sidang Umum MPR.
Jangan heran dengan keadaan ini, masa-masa ini adalah saat-saat Revolusi Demokratik
yang belum berhasil dituntaskan. Juga jangan lupa pada proses ini kesadaran parlementaris akan
muncul, karena Revolusi Demokratik memang milik kaum borjuasi. Kaum borjuasi selalu
bertopeng parlemen untuk menutup ―wajah‖ mereka yang sebenarnya, dan rakyatpun ditipu untuk
menempuh jalan ini. Dengan stempel rakyat lewat Pemilu berarti penindasan mereka sudah
terlegitamsi.
Di parlemenlah kaum borjuasi mengorganisir diri untuk menyatukan kepentingan mereka.
Memang sungguh hebat tipu daya mereka, sampai-sampai rakyat bisa terbutakan. Tidak terlalu
mengherankan kalau borjuasi bisa sehebat itu. Segala media propaganda, dari koran sampai
televisi, dari siaran radio swasta sampai pemerintah adalah milik mereka. Lihat sendiri, pada
masa-masa Pemilu, semuanya berbicara tentang Pemilu—bahkan iklan obat batukpun (―yang
kalah harus lapang dada, yang memang jangan tepuk dada,‖ inilah penggalan iklan tersebut)
dihubung-hubungkan dengan Pemilu.

Masa Gus Dur: Sisa-sisa Euforia sampai Tumbuhnya Kesadaran „Semu‟ Anti Sisa-sisa Orde
Baru
Sepanjang tahun 2000, aksi massa terjadi di berbagai sektor massa rakyat. Neoliberalisme
yang diterapkan pemerintahan Gus Dur, telah memancing kembali perlawanan rakyat—khususnya
kaum buruh. Sepanjang tahun 2000 [periode Januari-April] jumlah aksi buruh sebanyak 601 kali.
Pada bulan Januari tejadi 90 kali aksi, Februari dan Maret terjadi 120 kali aksi. Dan jumlah aksi
semakin meningkat pada bulan April, yakni terjadi 224 aksi. Tidak hanya kaum buruh manufaktur
yang melakukan aksi, tetapi juga buruh sektor jasa—transportasi, khususnya buruh pelabuhan.
Aksi buruh ini selain dilakukan di lokasi pabrik, juga dilakukan ke lembaga perwakilan rakyat—baik
pusat atau daerah—beberapa kali bahkan mendatangi istana negara.

Bulan/Th.2000 Jumlah Aksi


Januari 90
Februari & 120
Maret
April 224 X
Mei -
Juni 2
Juli 1
Agustus 12
September 28
Oktober 8
Nopember -
Desember -

Tabel 13 : Neoliberal Mengerakkan Kaum Buruh

Di beberapa wilayah angka perlawanan petani juga cukup tinggi, terutama di Sulawesi,
Lampung, dan Sumatera Selatan. Dari sekian banyak perlawanan petani, masih berkutat pada
sengketa pertanahan, jadi bukan dalam kerangka perlawanan menentang kebijakan
neoliberalisme, semisal anti beras impor atau perlawanan menolak kebijakan gula nasional.
Perlawanan petani mayoritas pada konflik pertanahan juga masih merupakan kebenaran. Aksi
petani yang radikal terjadi tanggal 20 Juli 2000. Petani Benakat yang berjuang menuntut
pengembalian lahan mereka yang dirampas oleh PT. CIFU (Cipta Futura) dan PTPN VII Sungai
Lengi dari tahun 1986 dijawab oleh Pemda tingkat II Muara Enim (aparat Pemda ikut terlibat tindak
kekerasan tersebut) dan aparat tentara dengan tembakan, pukulan, siksaan, dan penjara.
Korbannya, 6 orang mengalami luka tembak, seorang tukang becak terkena peluru nyasar, dan
103 orang yang terdiri dari petani dan masyarakat ditangkap.

KASUS LOKASI WAKTU JML

(isu tuntutan)

Organisasi/Asal Petani
Pencabutan PP 81 Tahun Kantor DPRD 14 April + 50 APPTR (Asosiasi Petani
1999 (Tentang Pengaturan Tingkat II 2000 Pekerja Tembakau
dan Pembatasan Tar dan Temanggung Revolusioner) dan STN
Kadar Nikotin Tembakau) (Serikat Tani Nasional
Kembalikan tanah rakyat Kantor DPRD 27 Juli 2000 + DETASS (Dewan Tani
Tingkat I Sumut 100 Siantar Simalungun)
Kembalikan Tanah Rakyat Kantor PT CIFU 17 April 1500 STB (Serikat Tani Benakat)
Areal G2 Ujan 2000
Mas
Kembalikan Tanah Rakyat Kantor DPRD 27 April + STB (Serikat Tani Benakat)
Tingkat II 2000 300
Muara Enim
Kembalikan Tanah Rakyat, DPRD Tingkat I 1 Mei 2000 + STB (Serikat Tani Benakat)
Naikan upah 100% Sumatera 300
Selatan
Kembalikan Tanah Rakyat Workshop PT 14 Mei 2000 350 STB (Serikat Tani Benakat)
CIFU
Kembalikan Tanah Rakyat PTPN VII Unit 14 Juni + STP (Serikat Tani
Sule Inti 2000 600 Penaggiran)
Kembalikan Tanah Rakyat Kantor Pemda 20 Juli 2000 + STN Sumsel
Tingkat II 850
Muara Enim
Bebaskan Tahanan Polres Muara 24 Juli 2000 + STN Sumsel
Enim 600
Bebaskan Tahanan Mapolda 27 Juli 2000 + 60 Front Rakyat
Sumatera
Selatan
Kembalikan Tanah Rakyat Kantor Pemda 11 Februari + STN Lampung
Lampung 2000 600
Selatan
Meminta kembali lahan DPRD Cianjur 28 Juli 200 Ratu petani Cimacan
garapan yang dijadikan san
lapangan Golf
Tanag;Traktor;pertanian Istana Negara 25 Sep 500 STN
murah 2000
Meminta tanah seluas 400 Kantor Gubenur 25 Sep 700 Paguyuban Petani Banaran
hektar yang dikuasai Jateng 2000
GAPRI
Menuntut kepada Kantor Gubenur 25 Sep 100 Kemas-Pa
pemerintah untuk Sulsel 2000
melakukan reformasi
politik agraria.
Meminta kembali lahan DPRD Cianjur 25 Sep 287 Petani Cimacan
garapan yang dijadikan 2000
lapangan Golf
Mendesak kepada DPRD Jabar 26 Sep + Tidak jelas
pemerintah agar tentara 2000 1500
tdk melakukan teror dan
intimidasi terhadap petani
yang menuntut haknya
Menutut kepada DPR DPR RI 30 Okt 2000 100 Petani PT GCG
untuk memperhatikan
nasib petani tambak
Dipasera Lampung
Meminta hak kepemilikan DPR RI 8 Nop 2000 300 Petani Cianjur
tanah yang telah digarap
selama bertahun-tahun
Memprotes tindakan Mabes Al, DPR 13 Nop 1000 Nelayan Pantura Jateng
nelayan Masalembo Jatim RI, Kantor 2000
yang menyita dan Menteri
membakar kapal-kapal Kelautan dan
nelayan Jateng yang Perikanan
dianggap melanggar
perbatasan
Tabel 14 : Aksi Petani Yang Mengarah ke Kota

Dari data yang ada kelihatan bahwa aksi petani telah mengarah ke kota, mendatangi
instansi negara, baik itu parlemen, kantor polisi, dan kantor Pemda. Situasi ini merupakan jalan
untuk menjalin aliansi dengan kelas pekerja maupun mahasiswa.
Di samping isu tersebut, dari sektor non mahasiswa muncul juga perlawanan politik
menuntut pengusutan 27 Juli oleh kelompok-kelompok di PDI Perjuangan dan PRD. Tanggal 24
Juli 2000, FRAROB (Front Rakyat Anti Rezim Orde Baru) – merupakan gabungan dari berbagai
elemen: Partai Rakyat Demokratik, PNI 1927, Eksponen 27 Juli, LUKKA, PAKORBA, KPM, GPK,
STN, LMND, GMKI, JAKKER, FNPBI, KNT, STARED, FRAM, FKK 124. Sebelumnya, dalam
momentum pertanggungjawaban Sutiyoso di DPRD muncul mobilisasi ribuan massa dari
kelompok PDIP. Aksi tersebut dikoordinir oleh Forum Komunikasi 124 yang merupakan korban
kerusuhan 27 Juli, UPC yang dikoordinir Wardah Hafidz, dan Jaringan Kerja Budaya. Juga
tuntutan pengusutan kasus Tanjung Priok dan dimulainya proses penyidikan pelanggaran HAM di
Tim-Tim oleh Kejagung. Apalagi pada bulan Juli proses pengadilan Soeharto akan segera
memunculkan panggung politik—janji Marzuki Darusman, Jaksa Agung, pada awal Agustus,
Soeharto akan mulai diadili—dan tentu saja proses tuntutan pengusutan kasus 27 Juli akan
menemukan momentumnya, yaitu, peringatan Peristiwa 27 Juli.
Juga tidak dapat dikesampingakan aksi yang dilakukan massa rakyat diluar buruh, tani,
KMK. Puncak dari aksi massa rakyat ini terjadi pada bulan Nopember, yakni sebanyak 31 kali aksi.
Selain isu-isu kesejahteraan seperti perbaikan sarana air bersih, dana sosial, perumahan, dll, juga
mengkritisi kebijakan pemerintah. Sebagai contoh aksi yang dilakukan 10 panti asuhan di
Sumatera Selatan yang mengugat Gubernur dan DPRD I yang mengalihkan dana sosial menjadi
dana untuk mobilitas anggota DPRD, atau yang terjadi di Bogor yang dilakukan pemilik kios yang
membongkar kios di atas tanah Jasamarga. Memasuki bulan Agustus—bersamaan dengan
Sidang Tahunan MPR—aksi-aksi massa rakyat mengarah pada isu yang lebih politis: pertarungan
Gus Dur VS Poros Tengah, Golkar, PDIP.

Bulan Jumlah
Aksi
Januari -
Februari 8
Maret 6
April 1
Mei -
Juni -
Juli 9
Agustus 7
September 25
Oktober 24
Nopember 31
Desembeer -

Tabel 15: Aksi Massa Rakyat dari Tuntutan Kesejahteraan sampai Ganti Presiden

Memasuki tahun 2001, gerakan massa rakyat didominasi oleh massa NU. Basis-basis NU
di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang paling banyak melakukan mobilisasi, baik aksi-aksi lokal,
wilayah maupun aksi-aksi nasional. Kesadaran mereka sebetulnya mendukung Gus Dur, tapi
kemudian dibungkus dengan isu penghancuran sisa-sisa Orde Baru. Seperti mahasiswa,
pemahaman mereka tentang penghancuran sisa-sisa Orde Baru juga serba tidak utuh—paling
maju diwujudkan dalam bentuk membakar kantor Golkar. Memang sulit, kesadaran maju
perkotaan harus bertemu dengan kesadaran pedalaman yang masih kuat pengaruh mistisme
Islam yang bergabung dengan feodalisme yang dibawa penyebar mistis-mistis tersebut—para
kyai.
Juga perlu dicatat dalam kurun waktu ini—terutama akhir kejatuhan Gus Dur—keterlibatan
LSM-LSM. Dengan geragapan mereka menyadari bahwa sisa-sisa Orde Baru bangkit lagi
beriringan dengan terkonsolidasinya kekuatan tentara. Sel-sel demokrasi yang tersisa di
kesadaran mereka, membuat mereka tergerakkan—walaupun sudah pasti terlambat. Lagi-lagi,
pemahaman mereka tentang demokrasi juga tidak tuntas, mau Pemilu yang dipercepat tapi ogah
membubarkan parlemen dan pengadilan Golkar.
Dalam periode tahun 2001 ini perlu digarisbahawahi adalah munculnya perlawan kaum
buruh di berbagi kota industri di Indonesia—Jakarta, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Medan.
Pertama, momentum May Day. Hari buruh sedunia makin diterima oleh kalangan buruh, yang
dijadikan momentum untuk memobilisasi massa. Fakta ini dapat dilihat dari serangkaian aksi buruh
di berbagai daerah. Di Medan, kurang lebih 12.000 buruh yang dipimpin SBSI, PERBUNI dan
FNPBI, memperingati aksi May Day. Di Surabaya dan Sidaorjo, sekitar 25.000 buruh berusaha
menerobos kota Surabaya. Di Jakarta, 3.500 buruh juga memperingati hal serupa, sementara di
Bandung, 2.000 buruh termobilisasi. Kedua, adalah momentum Kepmenakertras. Aksi ini ternyata
mendapat sambutan dari kaum buruh. Peraturan tersebut jelas-jelas merugikan kaum buruh. Di
Jakarta, pada tanggal 29 Mei-13 Juni, mereka melakukan aksi di depan Istana Negara, dengan
jumlah massa kurang lebih 5.000. Sementara di Bandung, aksi buruh mampu bertahan selama
tiga hari (12-14 Juni), aksi ini bahkan sempat membuat ‗Bandung Lautan Api‘. Di Surabaya dan
Sidoarjo, sekitar 25.000 buruh akan membobol kota Surabaya, namun tidak berhasil. Sementara di
Mojokerto, 50.000 massa buruh termobilisasi, dan di Medan dipimpin oleh SPSI dan FSU mampu
memobilisasi 25.000 buruh.

Masa Mega sampai SBY: Mencari Format Baru Perlawanan.


Mega naik menjadi presiden setelah menelikung Gus Dur di tengah jalan. Rakyat berharap
banyak bahwa anak Soekarno ini bisa menjadi dewa penolong bagi situasi Indonesia yang
terpuruk. Tapi semuanya seperti pungguk merindukan bulan. Mega ternyata tak ada bedanya
dengan rezim-rezim sebelumnya. Rakyat semakin sengsara. Tak mengherankan pada tahun 2003
perlawanan rakyat kembali memuncak.
Pada tahun 2003, buruh, nelayan, mahasiswa, masyarakat adat dan petani, sopir,
pedagang kaki lima, pengasong, PSK, tukang parkir, karyawan BUMN, pemuda dan intelektual,
kaum profesional, miskin kota, serta belakangan para pengusaha dan industriawan, bergerak
serentak aksi turun ke jalan dalam jumlah yang makin besar, yang berlangsung saban hari selama
3 minggu ini. Sebagai gambaran aksi-aksi tersebut sebagai berikut: Di Palu, Manado, Kendari,
Makasar, Bali, Mataram, dan Papua, turun ke jalan. Sementara di kota-kota Jawa Timur seperti
Banyuwangi, Jember, Malang, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Mojokerto, Ponorogo,
paling tidak 1.000-3.000 massa melakukan demonstrasi. Jawa Tengah dan Jogja seperti di
Semarang, Magelang, Temanggung, Purwokerto, Cilacap, Solo, Kudus, Pekalongan, dan Tegal,
aksi massa diikuti sekitar 1.000 sampai 2.500 orang. Di Jawa Barat aksi-aksi terjadi di Bandung,
Bogor, Tasikmalaya, Cirebon, Krawang, Sumedang. Di Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru,
Bengkulu, Jambi, Dumai, Palembang, besaran partisipasi massa juga meluas rata-rata 500-2.000-
an massa. Demikian juga di Kalimantan terjadi di Samarinda, Pontianak, Palangkaraya, dan
Banjarmasin dengan jumlah massa antara ratusan sampai 3.000. Sementara itu, di Jakarta,
radikalisme massa sampai melibatkan dari 1.000-12.000 massa, dengan sasaran aksi setiap hari
ke Istana Merdeka dan DPR-MPR.
Sasaran aksi bervariasi. Selain Istana Merdeka dan gedung DPR, seperti TVRI, RRI,
kantor Telkom dan PLN, pusat-pusat depo minyak, juga di kantor-kantor PDIP (terjadi di Palu dan
Jakarta) juga menjadi sasaran. Seringkali foto Mega dibakar dalam setiap aksi-aksi itu. Tentu saja
ini membuat Mega marah. Aksi-aksi mulai direpresi. Aktivis-aktivis yang vokal ditangkap. Di Palu 2
orang aktivis ditangkap, Samarinda 18 orang, Yogyakarta 2 orang, Surabaya 2 orang, dan Jakarta
20 orang. Di Karawang bahkan polisi dan tentara menembakkan peluru tajam untuk menghentikan
aksi. Selain penangkapan, Mega dan pendukungnya menggunakan metode teror dengan
membayar para preman seperti yang terjadi di Palu, Yogyakarta, Semarang, dan Solo.
Tapi sepertinya anti klimaks. Perlawanan petani dan buruh yang meningkat sepanjang
masa Gus Dur dan Megawati, terjun bebas ketika Susilo Bambang Yudhoyono [SBY] menjadi
presiden. Sebelumnya tak ada yang memperhitungkan sosok SBY. Megawati masih percaya diri
kalau dirinya bisa terpilih sebagai presiden dalam Pemilu 2004. Itu tak mengherankan. Perlawanan
tersebut walaupun diikuti dengan aksi-aksi radikal, tapi masih berupa spontanitas sebagai respon
terhadap kebijaksanaan ekonomi Megawati. Ketika isu-isu itu telah berlalu, perlawanan juga ikut
memudar. Bisa dikatakan bahwa kelemahan-kelemahan perlawanan pada periode sebelumya
masih terulang: radikalisasi tanpa diikuti perluasan struktur.
SBY, tentara didikan Akademi Militer Magelang, muncul dalam gelapnya perpolitikan
Indonesia. Sebagai jenderal yang mempunyai pembawaan lembut dan sopan, SBY disukai oleh
Amerika Serikat. Ia diharapkan bisa menjaga kepentingan AS di Indonesia. Sementara di dalam
negeri, rakyat kecewa dengan Megawati yang lebih banyak berkeluh kesah daripada bekerja.
Dalam Pemilu yang berlangsung dua putaran, akhirnya SBY dengan mulus menuju Istana.
Secara umum sebetulnya SBY tak ada bedanya dengan presiden-presiden yang lain. Ia
tetap setia menjalankan kebijakan neoliberalisme dalam bidang ekonomi. Tentu tetap
menyengsarakan rakyat. Tapi perlawanan belum muncul. Yang melakukan aksi [kalaupun ada]
masih sebatas mahasiswa. Aksi-aksi itu pun masih dilakukan secara musiman. Terutama terjadi
ketika terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak [BBM]. Baru pada periode kedua masa jabatan
SBY [ia terpilih menjadi presiden lagi-lagi dengan mengalahkan Megawati; kali ini satu putaran
saja], perlawanan rakyat mulai bergelora.
Terutama adalah buruh. Ketika gerakan mahasiswa tenggelam, kaum buruh justru semakin
radikal. Sepanjang tahun 2009 sampai 2012, aksi-aksi buruh mendominasi. SBY dengan langkah-
langkah neoliberalismenya yang lebih konsisten dibandingkan rezim-rezim sebelumnya telah
mengkristalkan perlawanan buruh. Dampak kebijakan itu menampar kaum buruh dengan keras.
Tak mengherankan aksi-aksi buruh bisa menggelombang dalam skala yang besar. Sebagai
puncak, hanya terjadi dalam rezim SBY, ribuan massa buruh menutup jalan tol. Dan, pada saat
bersamaan terjadi aksi massa yang besar di Bima menolak dibukanya pertambangan di sana [dan
lagi-lagi aksi ini dilakukan dengan menutup pelabuhan]. Tentu ini metode baru dalam aksi
menuntut. Metode yang membuat rezim ketakutan. Tak ada pilihan lain, upah buruh dinaikkan
untuk mencegah agar radikalisasi tak berlanjut.
Selain buruh, tentu saja perlawanan kaum tani perlu disebut. SBY masih mewarisi problem
pertanian zaman Soeharto. Kasus-kasus pengambilan tanah petani yang dilakukan oleh Soeharto
untuk membuka perkebunan di luar Jawa, belum juga bisa dituntaskan. Kasus petani Jambi dan
Mesuji merupakan contoh persoalan pertanahan warisan Orba. Para petani melakukan aksi-aksi
radikal untuk merebut tanah mereka. Dan lagi-lagi polisi dan tentara dikerahkan untuk menumpas.
Potensi perlawanan di kalangan buruh dan tani pada periode rezim SBY ini memuncak,
tapi sebagaimana perlawanan terhadap respon ekonomi lainnya, akan terhenti ketika tuntutan
sudah tercapai. Walaupun masih ekonomis, yang perlu digarisbawahi adalah metode perjuangan
yang digunakan. Baik kaum tani dan buruh tidak segan-segan lagi dengan aksi massa. Hanya
yang menjadi persoalan, sebagaimana perlawanan sebelumnya, belum ada persatuan antara dua
elemen yang berlawan itu. Masih ada dinding yang memisahkan diantara keduanya.

C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Proses Revolusi Demokratik yang bergulir sejak tahun 1998 telah membuka kesadaran baru,
yaitu: kesadaran membuat wadah perjuangan dengan aksi massa sebagai metode berlawan.
2. Kesadaran rakyat dalam proses selajutnya tersekap oleh partai-partai borjuis. Walaupun sudah
berlawan dengan metode yang radikal, rakyat masih terilusi oleh kesadaran demokrasi
parlementer. Pemilu masih menjadi pilihan bagi rakyat karena mereka belum melihat adanya
jalan keluar lain.
3. Proses Revolusi Demokratik juga telah menumbuhkan kesadaran baru massa rakyat tentang
sasaran untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Simbol-simbol kekuasaan borjuasi—
parlemen dan pemerintahan—telah menjadi tujuan utama bagi rakyat untuk memperjuangkan
tuntutan-tuntutan mereka. Dalam kasus aksi-aksi tani, mereka sudah mulai menuju ke kota
untuk memperjuangkan hak-haknya.
4. Di tingkatkan kaum buruh, sudah memahami dampak dari neoliberalisme yang dibawa
kapitalis internasional. Perlawanan buruh, walaupun masih ekonomis, mengalami masa
pasang. Aksi-aksi mereka sudah dilakukan dengan radikal: blokir jalan tol dan bandara serta
penutupan area pabrik. Kekurangannya, gerakan buruh belum mampu membangun front yang
luas dengan kekuatan berlawan lainnya. Sementara aksi-aksi petani semakin sering bergerak
ke kota. Potensi ini merupakan material bagi gerakan untuk memberikan perspektif yang lebih
maju.
IV
Yang Berlawan:
Dari Gorong-gorong ke Perlawanan Terbuka

Sejak Sarekat Prijaji didirikan, sebetulnya telah tumbuh kesadaran baru, kosa kata baru:
organisasi. Walaupun bisa dikatakan kosa kata itu muncul lebih lambat bila dibanding penduduk
Tionghoa, apalagi bangsa Eropa. Tapi memang ada takdir sejarah yang tidak bisa ditembus,
walaupun sejak Pati Unus sampai Kartini, mereka telah berputar-putar, mencari kosa kata baru itu,
tapi hanya menemukan ruang gelap yang tidak dapat mereka masuki. Baru awal abad ke-20, kosa
kata baru itu muncul samar-samar. Membutuhkan obor Socrates untuk membuatnya lebih terang.
Dan Tirto Adhi Soerjo ternyata yang membawa obor Socrates. Setelah melalui perjalanan yang
panjang, mengembara ke Eropa, mengenal Revolusi Perancis, dan mengenal perlawanan rakyat
Filipina—semua dilakukan lewat bacaan— Tirto menemukan kunci pembuka itu.
Kemudian tumbuh pikiran, bahwa penduduk pribumi seharusnya mempunyai wadah yang
bisa memperjuangkan kepentingan mereka. Orang-orang Tionghoa dan Arab telah memulainya.
Mulai dibedah apa yang bisa menjadi materi penyusun wadah tersebut. Dari membuka-buka
lembaran sejarah masa lalu, Tirto mendapatkan hubungan kawula-gusti yang melekat dalam
tatanan feodal Jawa. Ada sebuah prinsip hidup yang dipegang rakyat Jawa, bahwa mereka harus
patuh kepada gustinya (raja). Apa yang dikatakan raja adalah kata-kata yang harus dilaksanakan.
Konsep ini diambil oleh Tirto, dengan pemikiran, apabila priyayinya mempelopori, maka rakyat
akan ikut serta. Kemudian dipilih materi pokok penyusun baling-baling itu adalah kaum priyayi.
Maka, mulailah ia turba di Pulau Jawa, mengajak para priyayi yang telah mendapat didikan Barat
untuk mendukungnya. Sebagian besar dari priyayi-priyayi ini menolak, sebagian kecil ada yang
menerima. Yang merima inilah yang kemudian menjadi materi dasar baling-baling itu, yang
kemudian bernama Sarekat Prijaji [SP].
Dalam perjalanannya, baling-baling itu tidak berputar. Apa penyebabnya?: Pertama,
materi penyusunnya. Kaum priyayi adalah kaum yang beku. Mereka enggan bergerak, sudah
puas dengan kedudukannya. Jelas, materi-materi ini seperti ini tidak dapat menggerakan baling-
baling Sarekat Prijaji. Kedua, tidak ada program yang jelas. SP didirikan tanpa adanya tujuan
yang terstruktur. Artinya, organisasi tidak bisa menyusun tahapan-tahapan kerja. Akibatnya, tidak
ada aktivitas-aktivitas yang membuat baling-baling itu berputar. Rakyat yang bergabung juga tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Karena tidak pernah berputar, akhirnya baling-baling itu
berantakan satu persatu, nasibnya sudah jelas: mati suri selama-lamanya. Dua persoalan itulah
yang harus dipecahkan. Harus dicari materi-materi penggantinya.
Memang harus dicari tulangpunggung yang kokoh sebagai penopang organisasi itu, biar ia
bisa bergerak secepat kondisi objektifnya, tidak terombang-ambing terkena terpaan angin
perubahan yang terus bergerak. Kembali Tirto Adhi Soerjo harus menggapai-gapai, golongan
mana yang akan mampu menjadi tulangpunggung dari organisasi. Akhirnya, ditemukanlah
golongan itu. Mereka itu adalah golongan ―merdeka‖, yang terdiri dari pedagang, tukang, pekerja—
dalam sejarah Eropa sebelum Revolusi mereka inilah golongan perantara antara tuan-tuan feodal
dengan hamba sahaya, juga di antara mereka adalah pemilik gilda-gilda dan pekerjanya; karena
bisa berkembang sangat pesat, menimbulkan rasa iri tuan-tuan feodal. Golongan ini tidak
tergantung pada lagi gubermen. Golongan-golongan itulah yang kemudian menjadi
tulangpunggung dengan Islam sebagai pengikatnya. Lahirlah SDI (Sarekat Dagang Islamiah).
SDI berkembang seperti gurita, terutama di pusat-pusat modal seperti Bandung, Solo, dan
Surabaya. Gerakannya semakin meluas—walaupun beberapa kali Rinkes, ahli pribumi itu
menggelapkan fakta-fakta yang terjadi dan mencoba terus menerus untuk mematikan bayi yang
masih merah ini. SDI semakin meliuk-liuk, mencari tempat di mana ia bisa tumbuh berkembang.
SDI inilah, yang kemudian menjadi pondasi berdirinya SI (Sarikat Islam) dengan pusatnya di kota
Solo.
Seperti angin topan, SI menerjang apa saja yang menghambat jalannya, tidak terkecuali
etnis Tionghoa yang dianggap saingannya. Terjangan SI yang semakin tidak bisa dikontrol oleh
pimpinannya itu, yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial dengan mengalihkan arah
gerak SI ke arah konflik harisontol—diadu dengan ras lain—sehingga terbebaslah mereka,
penjajah itu, dari terjangan angin topan SI. Pucaknya terjadi di Kudus pada 1919 (yang juga tahun
kematian Tirto Adhi Soerjo, bidan yang telah membantu kelahiran SI).
SI akhirnya bisa dijinakkan. Mereka besar, tetapi tidak tau arah mana yang akan dituju.
Akan tetapi, organisasi ini berantakan, sebelum tujuanya tercapai. Apa penyebabnya?: Pertama,
tidak ada kepemimpinan. Organisasi ini bisa meluas, cabangnya menyebar ke pusat-pusat
perdagangan, terutama yang ada di Jawa. Akan tetapi, tidak ada kepemimpinan pusat yang kuat.
Pusat SDI tidak pernah memberikan arahan-arahan yang jelas kepada cabang-cabangnya.
Cabang-cabang yang ada tumbuh menjadi cabang yang otonom, yang bergerak sendiri-sendiri.
Walaupun nama mereka sama, tapi sebetulnya tidak ada hubungan yang bisa menggerakkan
mereka menjadi satu kekuatan. Akibatnya, baling-baling yang berputar sendiri-sendiri itu, tidak
menghasilkan apa-apa.
Kedua, materi penyusunnya. Materi utama penyusun baling-baling SI adalah kaum
pedagang. Ideologi yang dibawa pedagang adalah mencari untung. Sehingga baling-baling
berputar ke arah sektarianisme, bahkan kemudian berkembang ke arah rasisme. Kaum pedagang
memang dinamis, tapi mereka adalah individualis, yang hanya memikirkan kepentingannya
sendiri-sendiri. Materi-materi seperti ini jelas menyebabkan tidak ada perluasan unsur-unsur yang
menyusun baling-baling, hanya berkembang menjadi organisasi profesi, tidak bisa berubah
menjadi organisasi perlawanan yang kuat.
Ketiga, tidak berhasilnya koran organisasi. Ada koran yang mampu terbit harian, bisa
dibaca oleh banyak orang tiap hari, tetapi hanya berfungsi sebagai mulut-mulut saja (alat
propaganda). Ideologi yang dibawanya memang anti kolonialisme, tapi tidak bisa dimengerti, tidak
ada lingkaran diskusi-diskusi yang bisa menjelaskan apa maksud ideologi itu. Banyak yang tahu,
bahwa Belanda jahat, tapi tidak tahu kenapa harus dilawan, dan kalaupun tahu, tapi tidak tahu
bagaimana cara melawannya. Ada koran, tapi tidak berhasil menjadi alat untuk
mengorganisasikan cabang-cabang yang ada. Terjadi keterpisahan antara baling-baling dengan
korannya. Baling-baling bergerak sendiri, koran menyebar sendiri. Koran memang tersebar, tapi
tidak ditanggapi oleh baling-balingnya untuk diorganisasikan, baik untuk menyatukan baling-baling
yang terpencar-pencar itu, maupun membangun baling-baling baru.
Seribu sembilan ratus delapan belas merupakan tahun-tahun yang meresahkan, baik bagi
pemerintah kolonial Belanda, maupun gerakan nasionalisme. Belanda resah, setelah patahnya
SDI yang kemudian berubah menjadi SI, bibit revolusioner mulai muncul. Bibit-bibit ini dibawa oleh
orang-orang komunis dari Belanda. Bagi gerakan nasionalisme, keresahan timbul karena
pemerintah kolonial mulai ketat mengawasi organisasi-organisasi yang ada, dan mulai melakukan
pembuangan terhadap tokoh-tokoh gerakan yang radikal. Dua keresahan itu yang mewarnai
tahun-tahun itu.
Pamor SI mulai merosot, organisasi ini tidak mampu lagi menjawab kebutuhan zamannya
yang semakin bergerak maju, yang semakin radikal, yang sentimen untuk melepaskan diri dari
Belanda semakin kuat. Mulai retak organisasi itu, semakin lama retakannya semakin melebar, dan
akhirnya terbelah pada tahun 1920. Satu belahan tetap menjadi SI yang diisi kaum agamawan
moderat, satu belahan menjadi PKI. SI Putih, demikian sering disebut, semakin tengelam,
pamornya semakin lingsir. PKI, pelan-pelan mulai menjadi wadah utama dari gerakan rakyat yang
semakin radikal.
Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, mulai dari pembuangan sampai
sogokan-sogokan politik—pemberian hak lebih luas pada Volskard—tetap saja tidak bisa
membendung laju radikalisasi. Keanggotaan PKI semakin mengelembung. Serikat Rakjat—ormas
PKI—semakin banyak cabang-cabangnya. Pendidikan-pendidikan revolusioner ditingkatkan dan
serikat-serikat buruh berhasil diorganisasikan. Pemogokan-pemogokan buruh mulai terjadi,
semakin lama semakin membesar. Pemerintah kolonial semakin panik, mata-mata mereka mulai
dipasang di mana-mana. Rapat-rapat terbuka—sejak 1923—dilarang.
Tokoh-tokoh revolusioner juga resah, mencari muara dari munculnya radikalisasi yang
semakin membesar. Radikalisasi memang semakin subur dengan adanya krisis ekonomi yang
mewabah. Sehingga, walaupun pemogokan dilarang dan pimpinan PKI ditangkap dan dibuang,
radikalisasi semakin meningkat. PKI menemukan muara dari semuanya ini: Pemberontakan.
Akan tetapi, pemberontakan dapat dipatahkan. Apa penyebabnya?: Pertama,
kepemimpinan. Tidak ada kesatuan pandangan antara pemimpinan di dalam dan di luar negeri
tentang pemberontakan. Sampai detik-detik terakhir pemberontakan, perbedaan itu tidak bisa
disatukan. Keputusan sudah diketok, tapi pimpinan yang tidak puas dengan keputusan yang
diambil, mempengaruhi cabang-cabang lain untuk tidak menjalankan keputusan organisasi.
Sehingga, pemberontakan hanya terjadi dibeberapa daerah Jawa—Banten dan Jakarta—dan di
beberapa daerah di Sumatera. Akibatnya, pemberontakan dapat dengan mudah dipatahkan. Tidak
adanya satu tindakan dalam pengambilan keputusan ini, menyebabkan organisasi menjadi lemah.
Inilah periode pengkhianatan Tan Malaka.
Kedua, tidak ada persiapan. Pemberontakan lebih banyak karena ―keinginan‖ pimpinan-
pimpinan PKI. Syarat objektif untuk sebuah pemberontakan muncul karena dipaksakan. Tahapan-
tahapan kerja untuk pemberontakan—yang diputuskan 1925 dan kemudian dilaksanakan
Nopember 1926—belum dilakukan. Belum ada pendidikan-pendidikan ideologi kepada anggota-
anggota PKI secara sistematis. Tidak ada propaganda politik yang jelas kepada rakyat untuk
memberontak. Tak muncul persiapan untuk mempersenjantai diri secara serius. Semuanya hanya
mengandalkan pada pembacaan sesat pada kondisi objektif. Ketiga, front. Pemberontakan yang
dilakukan PKI merupankan sebuah revolusi demokratik. Sebagai salah satu syarat revolusi
demokratik, yaitu harus adanya front yang meluas, yang akan menopang kaum buruh. Front ini
untuk melipatgandakan energi perlawanan dan menyatukan potensi-potensi perlawanan yang
berserakan. Hal ini belum berhasil dibangun oleh PKI. Mereka harus bergerak sendirian.
Kegagalan itu tak membuat patah arang. Muso, yang baru datang dari Moskow, dengan
―Jalan Barunya‖, merumuskan perombakan-perombakan bagi gerakan kiri yang berserak di
Indonesia paska pemberontakan 1926. Selepas Revolusi 1945, Muso mengkonsolidasikan
gerakan kiri. Bagi Muso ada dua jalan yang mesti dilakukan: kekuatan kiri yang berserakan harus
disatukan dan pembangunan front demokratik. PKI yang tercerai berai berhasil disatukan. FDR
(Front Demokratik Rakyat) berhasil dibentuk.
Kesatuan tentara dari laskar rakyat itu yang semakin terdesak setelah divisi Siliwangi hijrah
dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah, dan setelah pimpinan mereka Sutarto tertembak secara
misterius, bertemulah dengan FDR di Madiun. Sebagai kompensasi modal mengucur ke
Indonesia, Soekarno-Hatta harus membersihkan golongan kiri yang mulai membesar itu, dan
mencapai puncaknya di Madiun.
Sebelum melihat kegagalan PKI dalam Peristiwa Madiun, marilah kita lihat tawaran kerja
yang disampaikan Muso:

“Berdasarkan itu, maka rapat Polit-Biro PKI telah memutuskan, bahwa seterusnya
harus hanya ada satu Partai Revolusioner yang berdasarkan Marxisme-Leninisme
dalam kalangan kaum Buruh. Polit-Biro PKI memutuskan mengajukan usul, supaya
diantara tiga Partai Revolusioner yang mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme
yang sekarang telah tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat serta telah
menjalankan aksi bersama, berdasarkan program bersama, selekas-lekasnya
diadakan fusi (peleburan), sehingga mendjadi satu Partai Revolusioner kelas buruh
dengan memakai nama yang bersejarah, yaitu Partai Komunis Indonesia, disingkat
PKI. Hanya Partai Revolusioner sedemikian itulah yang akan dapat memegang rol
sebagai pelopor dalam gerakan Kemerdekaan sekarang ini.

Adapun cara mewujudkan fusi ini dengan selekas-lekasnya bendaknya sbb.: 1.


Membersihkan PKI dari anasir-anasir yang tidak baik; 2. Membentuk Komite Fusi
yang berkewajiban: a. Mendaftar anggota-anggota PBI dan Partai Revolusioner
Sosialis yang dapat diusulkan dengan segera menjadi anggota PKI. b. Menciptakan
masuknya anggota-anggota lainnya yang masih kurang maju dengan memberi kepada
mereka, kewajiban untuk mempelajari buku-buku Marxisme-Leninisme, kursus-kursus,
pekerjaan yang tertentu,dsb; 3. Setelah semua ini selesai, lalu mengadakan
Kongres Fusi daripada ketiga Partai Revolusioner, dimana ketiga Partai
Revolusioner dilebur menjadi satu dengan memakai nama Partai Komunis
Indonesia dan dipilih Central Comite yang baru secara demokratis. ― (Jalan Baru,
Muso).

Dengan tahapan kerja seperti itu, mengapa gagal?: Pertama, tahapan kerja. Apa yang
dilakukan PKI paska kemerdekaan baru pada tahapan perbaikan internal organisasi. Begitu juga
kemampuan ideologi kader juga harus dibenahi, setelah banyaknya virus-virus non-Marxisme
Leninisme. Dalam lapangan front, juga masih harus dibangun dari awal lagi. Dalam situasi seperti
ini, PKI, harus menghadapi pilihan, harus melawan. Sehingga, belum ada basis material yang
memungkinkan untuk keberhasilan sebuah perlawanan terhadap serangan dari musuh—baik
dukungan massa, front, organisasi. Kemudian wajar, kalau perlawanan itu dapat dipatahkan.
Kedua, kondisi objektif. Sejak revolusi 1945 sebetulnya rakyat sudah terbiasa dengan
perjuangan bersenjata. Pemberontakan terhadap Jepang dan Belanda yang terjadi di mana-mana
dilakukan dengan kekuatan bersenjata. Tapi ini tidak segera diorganisasikan oleh PKI. Dampaknya
energi pemberontakan rakyat semakin surut, terlebih setelah borjuasinya melakukan kompromi-
kompromi dengan Belanda. Ketika PKI mencoba mengobarkan pemberontakan bersenjata,
radikalisasi-radikalisasi yang terjadi hanya muncul di sekitar Solo-Madiun. Inipun lebih disebabkan
oleh pertentangan di dalam militer itu sendiri—terutama setelah Divisi Siliwangi ditarik dari Jawa
Barat. Akibatnya, perlawanan PKI hanya terlokalisir di daerah tersebut. Keberhasilan merebut
Madiun tidak akan bermakna apa-apa, karena akan mudah dikepung dari segala arah.
Seribu sembilan ratus lima puluh. Tahapan-tahapan kerja dalam ―Jalan Baru‖ Muso, baru di
jalankan. Anasir-anasir tidak baik dibersihkan dari PKI. Alimin, Tan Ling Gie, disingkirkan dari PKI
karena dianggap tidak lagi memegang prinsip Marxisme Leninisme. Fusi di antara kekuatan-
kekuatan komunis yang berserakan dimulai. Kerja-kerja pembasisan dilakukan secara serius.
Dalam pembangunan basis massa, Aidit memprioritaskan daerah pedesaan sebagai kantong-
kantong massa. Bagi PKI, desa merupakan geopolitik yang harus dimerahkan. Menurut PKI, desa
juga digunakan sebagai basis pertahanan dan untuk melakukan perang gerilya menghadapi
serangan musuh.
Dalam lapangan organisasi, PKI membentuk struktur oragnisasi dari tingkat nasional
sampai ranting. Pengambil keputusan tertinggi PKI adalah Kongres Nasional. Sedangkan
pekerjaan sehari-hari serahkan ke Komite Sentral. PKI juga membangun ormas-ormas yaitu: BTI,
SAKTI, SARBUPRI, PERBEPSI, PR, SOBSI, CGMI, IPPI, GERWANI, LEKRA.
Strategi-taktik yang diambil adalah parlementer. Dengan jalan ini seluruh energi PKI di
arahkan ke sana. Cabang-cabang PKI bisa berdiri di berbagi tempat, propaganda bisa menyebar.
Singkatnya, jalan ini memberikan banyak kemudahan kepada PKI untuk melakukan perluasan.
Tak mengherankan dalam Pemilu 1955, PKI masuk 4 besar. Keberhasilan tersebut secara
langsung bisa menempatkan orang-orang PKI dalam parlemen, dan bahkan dalam
perkembangannya, banyak yang menduduki jabatan di birokrasi dan kementerian. Sungguh
keberhasilan yang luar biasa. Radikalisasi dilakukan oleh PKI: aksi-aksi pengambilan lahan,
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, aksi-aksi konfrontrasi dengan Malaysia, dan
mobilisasi massa untuk merebut Irian Barat. Front juga berhasil mereka bangun. Bahkan mereka
mempunyai koran partai yang mampu terbit harian. Tapi mengapa mereka gagal? Apa
penyebabnya? Hanya satu: mereka belum berhasil membangun Angkatan Kelima.
Sebetulnya tugas gerakan Tikus Merah sekarang hanya melanjutkan tugas-tugas
sebelumnya. Yakni melengkapi kekurangan sesuai dengan kondisi objektif yang bergerak saat ini.
Dari pengalaman Tikus Merah generasi awal, perjuangan akan berhasil bila ditopang oleh Empat
Kaki Nandi: massa, dana, front dan senjata. Syarat-syarat inilah yang perlu dikerjakan oleh Tikus
Merah generasi sekarang. Oleh sebab itu, kami, Tikus Merah, perlu muncul dari gorong-gorong
yang kotor dan bau agar Empat Kaki Nandi itu bisa kami wujudkan. Kami tak menampik jalan
parlementer dengan membangun partai yang kerakyatan. Kami tak menolak aksi massa. Bagi
kami, kombinasi keduanya yang pas untuk mewujudkan Empat Kaki Nandi.

V
Penutup

Demikianlah Manifesto Tikus Merah. Manifesto ini ditulis agar tidak ada Tikus Merah yang
tersesat. Salah masuk gorong-gorong atau keliru mengenali lawan. Kesalahan bisa menyebabkan
Tikus Merah bertemu dengan Kucing Garong, atau mesti berpapasan dengan Tikus pengkhianat
seperti Tikus Botak, atau menjadikan lawan sebagai sekutu dan kawan sebagai seteru.

Tikus Merah Seluruh Indonesia, Bersatulah!

Sarang Tikus Merah:


Kamis Wage, 28 Maret 2013

Ttd

a.n. Kolektif Tikus Merah

Anda mungkin juga menyukai