Manifesto Tikus Merah
Manifesto Tikus Merah
Para jenderal bersekutu. Orang-orang kiri kongkalikong dengan cukong. Intelektual kiri
sibuk masturbasi di subuh hari. Tepat ketika embun luruh dari daun kasturi, Tikus Merah
keluar dari got-got gelap dan kotor. Ada wabah Tikus Merah di Indonesia.
I
Kapitalisme Indonesia
Walaupun tidak sebanyak Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara juga
mengembangkan bisnisnya. Guna membungkus bisnis-bisnis tersebut, sama seperti Angkatan
Darat, yaitu disamarkan dalam bentuk yayasan atau koperasi. Angkatan Laut lebih fokus pada
bisnis perkapalan, penyulingan minyak dan produksi bahan kimia. Sedangkan Angkatan Udara
berfokus pada pers, telekomunikasi dan perdagangan umum.
Selain ketiga angkatan di atas, Kepolisian juga memiliki bisnis. Paling tidak mereka
mempunyai tiga yayasan: Yayasan Bisnis Bhakti dan Induk Koperasi Polisi (Inkoppol) serta Primer
Koperasi Polisi (Primkoppol). Melalui tiga ‗tangannya‘ ini, Polisi mengembangkan usaha, dari
bisnis perdagangan, HPH, perhotelan, serta garmen. Bahkan setelah pisah ranjang dari TNI, Polri
menjalankan bisnis senjata secara mandiri.
Gedung Bimantara
Bank Yudha Bhakti
Asuransi Bhakti Bhayangkara
Induk Koperasi Polisi (Inkoppol)
Dan primer Koperasi Polisi
(Primkoppol)
(selain berbagai bisnis di atas, Polri juga mengembangkan berbagai bisnis lain.
Tabel 3 : Milik Kepolisian
Benny Moerdani tidak mau ketinggalan dengan rekan-rekannya sesama tentara. Ketika
memimpin pasukan Indonesia untuk invansi ke Timor-Timur, ia memanfaatkannya untuk
membangun bisnis pribadi. Namun, dalam perkembangnya bisnis-bisnis yang dimiliki Benny
banyak mengalami kebangkrutan dan kemudian digantikan oleh keluarga Cendana.
Dalam bisnisnya, tentara juga banyak yang bekerjasama dengan modal asing. Kerjasama
Krama Yudha Group milik Brigjen TNI (Purn) Sjarnoebi Said dengan pemodal asing bisa dijadikan
contoh. Krama Yudha memiliki beberapa anak perusahaan, antara lain: PT Braja Mukti Cakara, PT
Colt Engine Manufacturing, PT Karya Yasantara Cakti, PT Krama Yudha, PT Krama Yudha Motor,
PT Krama Yudha Ratu Motor, PT Krama Yudha Tiga Berlian, PT Staco Tiga Berlian, PT Wira
Dedana. Anak-anak perusahaan ini di dalamnya banyak melibatkan pemodal-pemodal asing untuk
memperbesar kerajaan usahanya.
Bidang Usaha PMDN (dalam juta Rp) PMA (dalam juta Rp)
Industri Makanan 165.247 57.125
Industri Tektil 185.988 504.750
Industri Kayu 74.851 27.937
Industri Kertas 58.881 14.312
Industri Kimia 167.501 187.937
Industri Mineral Bukan Logam 202.450 253.375
Industri Logam Dasar
Industri Barang Logam 66.210 157.437
Industri Lainya 131.242 268.063
4.856 11.313
Tabel 7 : Perbandingan Investasi Modal Borjuasi Pribumi Dan Borjuasi Asing
Pada Tahun (1967-1979)
Dari data di atas dapat dilihat dominasi modal asing tidak bisa dikalahkan oleh borjuasi
nasional. Sedangkan borjuasi Tionghoa sebagian besar hanya menguasai non industri berat —
tidak pernah menguasi sektor-sektor ekstraktif— seperti pertambangan dan minyak. Data-data di
bawah ini dapat menunjukkan dominasi modal asing di Indonesia (dalam Juta $).
Periode AS Kan Lln Hkn Jpg Korsel Mly Php Sing Taiw Thd
Chn India Lln
1995 2,770.5 10.5 14.1 1,763.3 3,792.0 674.7 877.0 31.2 1,468.5 567.4 34.5
17.4 5.7 3.1
1996 642.1 35.8 76.6 1,105.6 7,655.3 1,231.4 1,393.3 3.1 3,131.0 534.6 1,610.6
20.3 21.8 1,664.3
1997 1,017.7 6.2 88.9 251.0 5,421.3 1,409.9 2,289.3 0.0 2,298.6 3,419.4 19.1
23.5 5.9 31.6
1998 568.3 8.1 123.2 549.0 1,330.7 202.4 1,060.2 62.5 1,267.4 165.4 2.8
7.6 14.9 10.8
1999 136.7 3.2 4.3 76.9 644.3 263.0 186.1 4.9 731.1 1,489.3 8.4
57.9 12.5 3,011.7
Tabel 8: Negara-negara Kapitalis Yang Menanamkan Modal di Indonesia
Sejak awal, ketika Soeharto menjadi penguasa, harta kekayaan negeri ini memang
dipersembahkan bagi modal asing. Sebagai hamba yang setia, Soeharto dan kroni-kroninya
dilindungi oleh Tuan-tuan mereka. Tak mengherankan kalau ia bisa bertahan selama 30
tahun lebih menancapkan kekuasaanya di Indonesia. Dengan masa kekuasaan yang selama
itu, tentu saja ia telah mempersembahkan upeti yang besar bagi para kapitalis
internasional. Semenjak masa Tanam Paksa, pada masa rezim Soeharto inilah Indonesia
bisa menjadi sapi perahan yang membuat bangsa-bangsa Utara bersuka cita.
Karena sumber daya alam ada di pelosok-pelosok Kalimantan, Sumatera, Sulawesi,
Nusa Tenggara dan Papua, modal asing pun menggurita di sana. Kekayaan alam didudah
dari perut bumi dan hutan-hutan mulai ditebangi. Suku-suku anak dalam yang sudah
beratus-ratus tahun tinggal, mulai didesak untuk pergi karena tempat mereka akan diubah
menjadi kawasan pertambangan atau HPH. Mereka yang selalu dipinggirkan dari proses
pembangunan semakin tak karuan nasibnya: menjadi paria di negerinya sendiri. Semua itu
masih harus ditambah kerusakan ekosistem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bekas-
bekas pertambangan dibiarkan begitu saja dan hutan semakin gundul. Tanah longsor dan
banjir bandang merusak apa saja, termasuk manusianya. Begitulah nasib negeri setengah
jajahan seperti Indonesia.
Company Interests
Soedarpo Corp. Ista Shiping Perusahaan induk dan perdagangan
Agency
PT Panurjawan Pelayaran antarpulau
PT Samudera Indonesia Pelayaran internasional
PT Bhaita Kapal penarik dan bergas
PT Pahoka Pengangkutan kayu balok
PT Indonesia National Bulk Angkutan barang-barang lepas
Carriers
PT Bank Amerta Bank
PT Bank Niaga Bank devisa
PT PDFC Institusi keuangan
Tabel 9 : Perusahaan Soedarpo
Lama menjadi kacung pemerintah Belanda, borjuasi pribumi terlambat tumbuh. Selama
masa kolonial mereka memilih menjadi pegawai kolonial dengan gaji bulanan daripada menjadi
pengusaha seperti orang-orang Tionghoa. Bagi mereka, menjadi pedagang merupakan pekerjaan
kotor yang akan melunturkan kepriyayian. Tak mengherankan ketika mendapat berkah dari
program Benteng, mereka lebih suka menjual lisensi yang dimiliki pada borjuasi asing atau
borjuasi Tionghoa.
Borjuasi pribumi yang muncul pada masa Orba tidak lain hanya sebatas kroni Soeharto.
Mereka sebagaimana bayi yang semenjak lahir sudah cacat, menetek terus menerus pada Sang
Jenderal. Tak pernah mandiri. Selalu hidup dari belas kasihan. Sampai sekarang pun mereka tidak
tumbuh sebagaimana mestinya.
1.6. Kesimpulan
Dari uraian di muka maka dapat disimpulkan tentang kapitalisme di Indonesia
sebagai berikut:
1. Kapitalisme di Indonesia tidak bisa melahirkan kelas borjuasi nasional yang tangguh—baik
terhadap penguasaan alat-alat politik maupun ekonomi. Mereka hanya mendapatkan ceceran
modal dari borjuasi bersenjata. Akibatnya, corak produksi kapitalisme di Indonesia tidak
mengalami perkembangan yang wajar. Ia tumbuh cacat, bahkan sejak kelahirannya.
2. Tentara Indonesia telah menjadi borjuasi bersenjata yang menguasai aset-aset ekonomi.
Tentara bukan sebatas pemegang senjata, tapi juga menjadi pengusaha.
3. Kapitalisme Indonesia tidak dibangun dengan basis industrialisasi modern, tetapi lebih
mengadalkan tenaga manusia/teknologi tradisional. Ini diperparah dengan konsep
industrialisasi yang hanya dipusatkan di pulau Jawa. Akibatnya terjadi kesenjangan antara
Jawa dan luar Jawa serta antara desa dan kota.
4. Dominasi modal asing di Indonesia sejak zaman rezim Soeharto sampai saat ini sangat besar.
Apalagi ketika neoliberalisme sedang gencar-gencarnya masuk ke Indonesia. Dengan
kenyataan seperti itu kelas pekerja Indonesia tidak hanya dihisap oleh borjuasi nasional,
borjuasi bersenjata, borjuasi Tionghoa, tetapi sudah masuk dalam hisapan sistem kapitalisme
internasional.
5. Sebagaimana sistem kapitalisme secara umum, kapitalisme di Indonesia juga rapuh. Krisis
yang terjadi pada tahun 1997 merupakan bukti kalau pondasi kapitalisme tak pernah
menjangkar kuat.
II
Problem Politik
Tahun 1965 merupakan awal sebuah tragedi kemanusiaan. Korbannya melebihi Perang
Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa. Walaupun tidak ada peperangan, nyawa manusia bisa
melayang dengan mudah. Tiga juta rakyat dibantai. Ribuan lainnya disiksa, dimasukkan dalam
penjara, dan dibuang tanpa proses pengadilan. Ketika itu, anjing pun takut untuk menggonggong.
Setiap mendengar tapak kaki tentara, daun tak jadi meluruh dari tangkainya. Udara tidak lagi
mewartakan kesejukan, tapi dendang lagu kematian. Fir‘aun pernah melakukan pembunuhan,
Amangkurat secara brutal membantai rakyat Mataram, dan Hitler menghabisi keturunan Yahudi,
tetapi semua itu tidak bisa melebihi kekejaman tentara Indonesia.
Sejak saat itu sepatu lars tentara menginjak kedaulatan rakyat. Demokrasi moncong
bayonet. Sungguh beda dengan yang terjadi di negeri yang beradab. Di negeri yang maju,
demokrasi berarti menduduki kepala tentara: sipil berkuasa penuh terhadap tentara.
Perlu mendapat catatan adalah tempat pembuangan Pulau Buru. Tempat ini akan
mengingatkan pada kamp Nazi. Orang-orang yang dianggap ada sangkut pautnya dengan Partai
Komunis Indonesia [PKI] ditempatkan dalam kamp itu. Mereka dibawa ke kamp tersebut tanpa
proses peradilan. Pulau Buru adalah savana yang tanahnya tidak subur karena pada masa
Belanda perkebunan dibakar untuk mempertahankan politik monopoli. Di Pulau Buru, hampir
selama 14 tahun para tahanan politik diperlakukan seperti hewan dan dilucuti hak-haknya sebagai
manusia. Kerja paksa di bawah siksaan hampir terjadi setiap hari. Hasil jerih payah mereka
dikorupsi oleh tentara yang ada di sana. Hanya tentaralah yang bisa melakukan kebiadaban
seperti itu. Dan ini semua terjadi pada zaman modern, bukan pada masa perbudakan
Selepas Peristiwa 1965, pembantaian yang dilakukan oleh tentara untuk membendung
perlawanan-perlawanan rakyat di daerah tak pernah surut. Laporan Amerika Serikat Tentang
Pelaksanaan Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia yang dikeluarkan tahun 1998 mencatat
kekerasan demi kekerasan yang dilakukan tentara. Salah satu laporan menyebutkan:
Setelah kalem sejenak, tentara tampil babar lagi pada tahun 1973. Bumi Lorosae sasaran
mereka. Lars tentara menginjak-injak harkat dan martabat kemanusiaan rakyat bekas jajahan
Portugal itu. Lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya, itulah yang terjadi terhadap rakyat
Timor Leste. Sejak dilangsungkan invansi militer, tanah Lorosae berubah menjadi merah darah.
Kematian, penculikan, dan penyiksaan menjadi sahabat rakyat. Hampir 24 tahun lebih rakyat
harus berkawan dengan maut. Dalam kurun waktu ini, 200 ribu lebih rakyat Timor Leste musnah,
sebagian besar tidak tahu di mana kuburannya. Laporan Amerika Serikat—walaupun
keakuratannya perlu kita ragukan—dapat menunjukkan kebengisan tentara Indonesia:
Tapi memang sejarah selalu berlaku adil. Kekejaman yang dilakukan oleh tentara Indonesia
dijadikan bara oleh rakyat untuk berlawan. Perlawanan mereka tak pernah kisut. Maju dan maju
sampai akhirnya bermuara pada kemenanganya. Referendum yang dinantikan rakyat akhirnya
datang juga. Tujuh puluh delapan koma lima persen rakyat menghendaki kemerdekaan. Negeri itu
kini telah merdeka. Sekarang mereka bisa tersenyum dan membentuk masa depannya sendiri.
Dari timur penindasan itu bergerak ke barat. Berselang dua tahun kemudian, giliran Tanah
Rencong, Aceh, yang memerah. Daerah yang pernah jaya pada masa Sultan Iskandar Muda itu,
berubah menjadi ajang pembantaian. Serambi Mekah itu bukan lagi menjadi tempat yang damai.
Daerah itu memang kaya raya. Terletak di Selat Malaka yang selalu ramai sejak dahulu kala.
Begitu juga dengan hasil alamnya. Aceh merupakan salah satu penghasil gas alam terbesar di
Asia. Hutan negeri ini juga ijo royo-royo, seperti halnya hamparan permadani. Namun derita yang
ada. Kekayaan alam yang melimpah tidak pernah dinikmati penduduknya. Semuanya di bawa ke
Jakarta dan tidak kecil pula yang dibawa bangsa asing. Kalau kemudian mereka menuntut hak
mereka, apakah salah? Dari sinilah kisah itu berawal: ketika rakyat menuntut haknya.
Sejak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir, terlahir pula penindasan tentara di sana.
Rakyat yang melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan rezim Orba dituduh sebagai
Gerombolan Pengacau Keamanan [GPK]. Mereka diburu-buru seperti anjing yang kudisan.
Diperlakukan bak binatang yang sudah tidak ada harganya lagi. Mundurkah rakyat Aceh? Sejarah
belum mencatat rakyat Aceh pernah menyerah terhadap penindasan. Lihat sendiri buktinya! Aceh
adalah daerah yang terakhir kali bisa dikuasai penjajah Belanda. Mereka tetap teguh dalam
berprinsip. Penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemenjaraan tidak pernah membuat
mereka mundur selangkah pun. Sampai saat ini, bara api itu masih berkobar.
Pembantaian yang dilakukan tentara Indonesia terhadap rakyat Aceh sungguh luar biasa.
Komnas HAM mencatat bahwa pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan yeng terjadi di Aceh
selama 1989-91 dan 1997-98 mencapai 368 kasus. Pada Oktober 1998 sebuah tim pencari fakta
melaporkan 1.010 peristiwa penyiksaan di Aceh Utara antara tahun 1989 dan 1998. Sebagai
gambaran, Laporan Amerika Serikat memberikan kesaksian sebagai berikut:
“Di Aceh ada laporan yang dapat dipercaya tentang kuburan massal dan
pembunuhan yang dilakukan oleh pihak keamanan di masa lalu dan sampai 1998.
Komnas HAM dan sebuah delegasi DPR melakukan penyelidikan atas kuburan
massal, pembunuhan sewenang-wenang, penghilangan orang, perkosaan, dan
penganiayaan yang terjadi di Aceh sepanjang 1989-91 dan 1997-98. Komnas HAM
mengunjungi Aceh dan membuat laporan awal yang memperkirakan adanya ratusan
kejadian pembunuhan, penghilangan orang, dan penganiayaan. Menyusul laporan
Komisi itu, pemerintah daerah mengizinkan sejumlah tim pencari fakta yang terdiri
dari kalangan masyarakat, staf LSM, wartawan, pensiunan ABRI, dan pihak lain
untuk melakukan penyelidikan lebih lengkap atas pelanggaran hak asasi di tiga
kabupaten yang menderita paling parah di provinsi itu. Bulan Desember, Gubernur
Aceh mengumumkan temuan tim-tim itu: Di tiga kabupaten antara 1989 dan
pertengahan 1998, 1.021 orang Aceh dibunuh, 864 hilang sampai saat itu, 357
cacat, 1.376 wanita menjadi janda, 4.521 anak-anak menjadi yatim (paling tidak
kehilangan satu orang tua), dan 681 rumah dibakar. Ada juga tuduhan yang dapat
dipercaya bahwa ratusan wanita Aceh diperkosa selama sembilan tahun operasi
militer. Laporan tentang penghilangan dan pelanggaran hak asasi serius lainnya
berlanjut sampai Mei. Antara 24 dan 34 orang Aceh kabarnya diculik dari Desember
1997 sampai Mei dan tetap tidak ada kejelasan. Pangab ABRI mengunjungi Aceh
pada Agustus dan meminta maaf atas "ekses" yang dilakukan oleh militer di provinsi
itu; ia berjanji akan menarik semua satuan tempur yang biasanya tidak ditempatkan
di sana, janji yang kemudian ditepati. Namun tingkat kehadiran tentara naik tajam
lagi pada Desember sebagai tanggapan atas meningkatnya ketegangan dan
bentrokan antara sipil dan militer. Ketegangan antara militer dan penduduk setempat
di provinsi itu tetap tinggi, sebagaimana tercermin pada kerusuhan di Lhokseumawe
pada akhir Agustus dan awal September. Selama kerusuhan di Lhokseumawe,
seorang penduduk meninggal dan delapan lainnya luka-luka oleh tembakan dalam
bentrokan dengan pihak keamanan. Sampai akhir tahun, gangguan dan kekerasan
sipil sporadis terjadi di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie, dan dua orang
lagi diculik dan mungkin dibunuh.”
Kembali lagi ke timur. Rakyat Papua juga mengalami nasib serupa. Sampai sekarang
tentara Indonesia ditempatkan di sana untuk menjaga modal kapitalis internasional: PT. Freeport,
tambang emas milik AS. Operasi militer semakin ditingkatkan ketika tuntutan rakyat Papua untuk
memerdekaan diri semakin kuat. Satuan-satuan elit tentara—Kopasus—didatangkan ke pulau
yang kaya akan barang tambang tersebut. Penculikan, pembunuhan dan penangkapan secara
sewenang-wenang sering terjadi. Gambarannya sebagai berikut:
“Di Irian Jaya, sebuah kelompok gereja mengeluarkan laporan pada Mei 1996 yang
menuduh pihak militer bertanggung jawab atas pembunuhan sewenang-wenang
terhadap 11 orang di dataran tinggi sisi selatan Irian Jaya tengah dalam suatu
operasi militer yang bertujuan menangkap kaum separatis yang menyandera dan
kemudian membunuh dua orang anggota kelompok peneliti pada Januari 1996.
Komnas HAM kemudian memastikan pembunuhan itu dan terus menyelidiki 43
kematian lain yang menurut komisi gereja disebabkan oleh pihak militer. Dewan
Gereja terus menyelidiki laporan kematian karena tembakan atas seseorang tidak
dikenal setelah pihak keamanan membubarkan secara paksa sebuah demonstrasi
besar yang mendukung kemerdekaan Irian Jaya di Biak pada 6 Juli 1998.”
Tak berhenti disitu. Menjelang kejatuhan Soeharto, tentara semakin brutal. Demonstrasi
yang terjadi di mana-mana dihadapi dengan cara-cara kekerasan. Tentara melakukan pengejaran-
pengejaran terhadap massa aksi sampai dalam kampus dan sekaligus melakukan pengrusakan
fasilitas kampus. Marilah kita lihat gambarannya:
Komnas HAM membentuk sebuah tim pada akhir November 1998 untuk menyelidiki
insiden 13 November. ABRI sebelumnya pada 22 November 1998 mengumumkan
bahwa mereka akan mengambil tindakan hukum terhadap aparat yang terlibat dalam
pemukulan wartawan pada 12 November dan dalam penembakan mahasiswa pada
13 November ketika sembilan demonstran (kebanyakan mahasiswa) tewas.”
Namun kekerasan itu tidak dapat membendung laju gerakan demokratik. Maka, tentara
Indonesia kemudian membentuk tim khusus untuk melakukan cara-cara yang lebih tidak beradab
untuk menghentikan rakyat yang berlawan. Beberapa aktivis diculik dan kemudian disiksa. Bahkan
sampai saat ini ada yang belum ketahuan nasibnya dengan pasti. Inilah gambarannya:
“Pius Lustrilanang bersaksi secara terbuka di depan Komnas HAM pada 27 April
bahwa para penculiknya menggunakan kabel listrik yang diikatkan di kakinya untuk
menyetrumnya sewaktu mereka mengajukan pertanyaan mengenai kegiatan
sejumlah tokoh oposisi. Mereka juga membenamkan kepalanya ke dalam air sampai
ia tidak dapat bernapas dan menendang serta memukulinya. Siksaan dan interogasi
itu berlanjut selama tiga hari pertama penahanannya tapi sesudah itu tidak lagi.
Desmon Mahesa menyatakan secara terbuka pada 12 Mei bahwa pada hari pertama
penahanannya ia disiksa sambil ditanyai mengenai kegiatan politiknya. Para
penculiknya menutup matanya dan memborgol tanganya pada sebuah kursi. Mereka
menggunakan sengatan listrik pada kaki dan kepalanya, serta memukul dan
menendangnya. Mereka memaksanya membenamkan kepalanya ke dalam air
sampai dia tidak bisa bernapas. Rahardjo Waluyo Djati pada 4 Juni secara terbuka
menuturkan betapa ia juga dipukuli dan disetrum selama penahanannya. Para
penculiknya juga memaksanya berbaring di atas balok es. Faisol Reza bersaksi
pada 26 Juni bahwa selama penahanannya ia mengalami berbagai perlakuan buruk
dan siksaan, termasuk pemukulan, sengatan listrik di beberapa bagian tubuhnya,
disundut rokok, dan dilarang tidur. Ia ditanyai terutama mengenai perannya dalam
Partai Rakyat Demokratik (PRD).”
Tidak hanya terhadap aksi-aksi mahasiswa saja tentara Indonesia melakukan tindakan
brutal, tapi juga terhadap gerakan buruh yang mulai marak paska turunnya Soeharto. Aksi-aksi
damai yang dilakukan oleh kaum buruh ini dihadapi dengan kekerasan oleh tentara. Kita dapat
melihat contoh di bawah ini untuk melihat kebrutalan tentara Indonesia terhadap aksi buruh:
“Pada 25 Agustus, sejumlah 750 pekerja pabrik tekstil dari Jawa Tengah,
kebanyakan wanita, mencoba berbaris ke sebuah organisasi lokal hak asasi di
Jakarta di mana para pekerja itu melakukan mimbar bebas yang ditujukan kepada
kantor perwakilan ILO. Ketika aparat keamanan berusaha mendorong mereka ke
jalan, dan terjadi saling mendorong, aparat keamanan lalu memukuli para
demonstran itu dengan tongkat rotan dan menendangi mereka sampai mereka
mundur. Sebanyak 19 demonstran menderita luka-luka.”
Sewaktu Soeharto berkuasa, represi juga dilakukan terhadap media massa. SIUP
diterapkan untuk mengebiri kebebasan pers. Dengan kontrol yang ketat tersebut, rezim Soeharto
berharap bisa mengedalikan opini yang berkembang di rakyat. Kasus pembredelan Tempo, Detik,
dan Editor pada tahun 1994, dan bahkan jauh hari sebelumnya koran besar seperti Kompas
pernah merasakan sensor terhadap pers yang dilakukan rezim Soeharto. Mendekati akhir
kekuasaannya, Soeharto masih berusaha mengekang kebebasan pers. Fakta di bawah ini sebagai
contohnya:
“Pada lima bulan pertama 1998, kritik masyarakat terhadap pemerintah meningkat,
dan pers memuatnya dengan lebih terbuka. Namun, pemerintah masih berusaha
mengendalikan media; pada bulan Maret pemerintah mengumumkan bahwa mereka
akan mengadukan majalah Detektif dan Romantika ke pengadilan karena
halamanan mukanya memuat gambar Presiden Soeharto waktu itu sebagai raja
dalam kartu bridge. Redaktur majalah itu sebelumnya dipaksa meminta maaf kepada
pemerintah. Pada bulan Mei Presiden Soeharto secara terbuka mengecam media
cetak dan elektronik karena mengobarkan "perang urat syaraf" tentang Indonesia
melalui pandangan mereka tentang ekonomi Indonesia. Beberapa wartawan yang
meliput demonstrasi mahasiswa pada bulan Mei kabarnya mendapat intimidasi dari
aparat. Dua wartawan asing yang tengah merekam bentrokan pada 6 Mei antara
mahasiswa dan aparat keamanan di Jakarta dilaporkan dilempari batu dan ditembaki
oleh polisi tapi selamat tanpa cidera. Seorang wartawan asing yang tengah
merekam pasukan keamanan yang menembaki demonstran di Medan ditangkap dan
diancam dengan pistol.”
Dalam sejarah Indonesia tak pernah tentara membela rakyat. Walaupun mereka
selalu berkhotbah berasal dari rakyat, tapi kenyataan tak bisa ditipu: pembunuh terorganisir
paling biadab. Tentara merupakan mesin penggilas kehidupan politik bangsa Indonesia
sejak kelahirannya sampai sekarang. Sebagai pembungkam nomor satu, tentara Indonesia
tak segan-segan melakukan aksi brutal yang mungkin saja tidak bisa dinalar akal waras.
Tolong sebutkan wilayah mana di negeri ini yang belum mengalami kebengisan tentara
Indonesia. Dengan kenyataan seperti itu, masihkah akan bersekutu dengan tentara?
Sejak awal borjuis demokrat Indonesia tidak dapat diandalkan. Zaman Soekarno mereka
walaupun tak menguasai aset-aset ekonomi masih mampu menguasai panggung politik. Tapi pada
era Soeharto mereka tidak memegang keduanya. Baik kekuasaan politik dan ekonomi sudah
diambil alih oleh borjuis bersenjata: tentara. Borjuis demokrat tak mampu berbuat banyak di depan
‗ksatria-ksatria bersenjata‘. Mereka lebih banyak menjadi kacung-kacung tentara dan menjadi
birokrat—menteri, dirjen—tetapi jarang yang mampu menjadi kepala daerah—gubernur dan bupati
pada era Orba dikuasai tentara maupun pensiunan tentara—kalau beruntung mereka bisa
menduduki jabatan sebagai direktur-direktur BUMN—tetapi secara keseluruhan tentaralah yang
berkuasa.
Terhadap kekejaman yang dilakukan tentara seperti yang telah diuraikan di atas, apa yang
mampu dilakukan borjuis demokrat? Tidak ada yang mereka lakukan, bahkan sekadar protes
dalam hatipun sepertinya mereka tak berani. Dengan kata lain, mereka tak mampu membela hak
mereka sendiri, apalagi membela hak rakyat.
Demokrasi Multi Partai Zaman Habibie: Konsolidasi Sisa-sisa Orba untuk Tetap Berkuasa
Gerakan massa rakyat pada Mei 1998 memang berhasil menggulingkan simbol
kediktatoran, tapi belum berhasil merontokan sistem kediktatoran itu sendiri. Dua penyangganya—
Golkar dan tentara—masih berdiri kokoh. Akibatnya, transisi kekuasaan masih dipegang oleh sisa-
sisa Orde Baru: Habibie. Tentara memang berhasil dipojokkan oleh gerakan demokratik, tetapi
tidak terlucuti hak-haknya, dan Dwi Fungsi ABRI belum juga tergoyahkan.
Melalui Habibie, borjuasi kroni Soeharto masih berusaha untuk menyelamatkan kekuasaan
agar penguasaan mereka terhadap aset-aset ekonomi tetap terjaga. Usaha-usaha itu ditempuh
dengan kendaraan Golkar dan tentara. Manuver-manuver politik dilakukan Habibie—baik dengan
memberikan referendum kepada rakyat Timor Leste untuk menentukan nasibnya sendiri, maupun
melalui janji akan melaksanakan Pemilu multi partai—bertujuan untuk meyakinkan massa rakyat
bahwa dia adalah seorang demokrat didikan Barat. Janji-janji itu memang dipenuhi. Rakyat Timor
Leste akhirnya merdeka, dan Pemilu yang diikuti 48 kontestan dilaksanakan. Namun, ternyata
bukan dukungan dari rakyat diperoleh Habibie, tapi kehancuran bagi dirinya sendiri, tersingkir dari
panggung politik. Ia lupa ada ilusi baru: Megawati.
Gagallah usaha Habibie untuk memimpin konsolidasi Orde Baru. Namun, tersingkirnya
Habibie tidak berarti Golkar dan tentara tersingkirkan. Golkar walaupun tidak menempati posisi
pertama, tetapi tetap mampu membayangi PDIP dan mengungguli partai-partai yang baru lahir.
Mereka hanya banyak kehilangan suara di Jawa—yang menjadi basis PDIP dan PKB—tetapi tidak
di luar Jawa. Mereka inilah yang kemudian memimpin konsolidasi sisa-sisa Orde Baru untuk
berkuasa kembali.
Selain tetap bertahan di Partai Golkar, borjuasi kroni Orde Baru banyak juga yang lompat
pagar ke partai-partai politik lain—terutama PDIP. Kepindahan mereka bukan karena kesadaran
untuk membangun demokrasi, tapi semata-mata untuk menyelamatkan modal. Dalam
perkembangan selanjutnya, mereka bahkan berhasil memecah belah partai-partai baru untuk
menyingkirkan kekuatan-kekuatan yang sebelumnya anti Orde Baru.
Setelah Pemilu 1999, datanglah Sidang Istimewa [SI] MPR. Rakyat menghendaki segera
terlepas dari lilitan krisis, dan mungkin dari sisa-sisa Orba. Sementara pihak internasional
mendambakan pemerintahan yang "damai‖, tempat yang aman untuk akumulasi modal mereka di
Indonesia yang sempat goyah akibat krisis ekonomi maupun gerakan massa rakyat menurunkan
Soeharto. Pemerintahan (atau mungkin tepatnya rezim baru) akan menghadapi situasi-situasi
yang ―indah‖: jumlah pengangguran yang mencapai angka 74 juta; perbankan yang sakit sehingga
harus direstrukturisasi; masalah kapitalis kroni dan pengadilan Soeharto yang belum tuntas.
Demokrat borjuis yang ada dan lahir di Indonesia berbeda dengan sesama kelas mereka
yang lahir di Eropa abad 17. Mereka ini tidak pernah terlibat dalam setiap monentum perubahan,
hanya menikmati hasil dari jerih payah perjuangan orang lain. Jangan samakan mereka dengan
para borjuasi yang ada di Prancis dan Inggris. Saudara mereka di Eropa ini penuh peluh untuk
sampai pada tangga kekuasaan. Lihatlah bagaimana ganasnya Revolusi Prancis yang bisa-bisa
mengantar leher Raja ke Gouletin, begitu juga kejamnya Revolusi Industri di Inggris atau perang
saudara Amerika Serikat. Borjuasi Indonesia sama sekali tidak pernah mengalaminya. Maka
jangan heran kalau selama ini mereka manja, cengeng dan serba tanggung. Ini tidak lepas dari
masa kelam Indonesia, dari dua penjajahan yang ada. Kapitalisme di Indonesia dibawa oleh
Belanda, bukan dari hasil jerih payah kelas borjuasi Indonesia. Kapitalisme cangkokan ini serba
tidak tuntas.
Lihat bagaimana borjuasi demokrat mendapatkan ―jatahnya‖. Tidak dengan suatu
perjuangan, tapi dengan mengemis. Begitu juga setelah Indonesia merdeka, mental pengemis
tetap mereka pertahankan. Kondisi itu lebih parah ketika rezim militer Soeharto yang berkuasa.
Tidak segan-segan mereka meminta kepada militer untuk mendapatkan ijin usaha. Jangan heran
ketika masa mereka sudah datang, ketika revolusi mereka sudah tiba, mereka tidak pernah tegas
terhadap tentara karena punya hutang jasa yang begitu besar. Lihat saja. Ketika ratusan ribu
mahasiswa dan rakyat turun ke jalan 12-14 Nopember 1998 dengan tuntutan Cabut Dwi Fungsi
ABRI, apa yang mereka lakukan: sembunyi di Ciganjur. Nyawa 7 mahasiswa yang gugur di
Semanggi ditukar dengan ―bunga duka‖: Dwi Fungsi ABRI akan dicabut 6 tahun lagi.
Kebebalan mereka pun belum berakhir. Ketika kursi parlemen mereka direbut oleh tentara
dengan 38 kursi gratis, mereka hanya terdiam, membisu, bagaikan patung Liberty di tengah kota
New York. Sikap derma mereka terhadap tentara memang tiada taranya, belum ada duanya di
dunia ini. Belum lagi sikapnya terhadap persoalan Timor Leste. Suatu tragedi kemanusian hanya
ditukar dengan kursi presiden. Sikap mereka sungguh memalukan. Lihat saja Megawati dalam
pidatonya 29 Juli 1999: tidak rela kalau Timor Leste lepas dari wilayah Indonesia. Namun, ucapan
Mega berubah ketika rakyat Timor Leste berkata lain: 78,5% menghendaki merdeka. Dengan
entang Mega berkata: kita harus menghormati keinginan rakyat Timor Leste, tapi dengan tidak
lupa menyerang Habibie yang telah memberikan pilihan referendum. Begitu juga dengan Gus Dur,
dengan gaya seorang nasionalis sejati, mengorbankan perang dengan Australia yang dianggap
telah mencampuri urusan Indonesia. Sikap-sikap opurtunis mereka semakin kelihatan, dan
bahayanya membawa nasionalisme gaya Hitler. Itulah wajah-wajah borjuis demokrat dengan
watak-watak oportunis, penakut dan tentu saja moderat.
Pemerintahan Gus Dur: Borjuasi Yang Berebut Balung Kekuasaan dan Modal Tinggalan
Soeharto
Naiknya Gus Dur—seorang borjuasi demokrat dan keturunan kyai dari Jawa Timur—telah
mengubah peta perpolitikan di Indonesia. Ia memang ‗tawanan‘ bagi kekuatan borjuasi yang lain
(Poros Tengah – PAN, PBB, PK – dan Golkar). Gus Dur bisa naik menjadi presiden di tengah
situasi dimana kekuatan anti Megawati sangat kuat sekali berkembang ketika itu. Dari sinilah
aliansi Poros Tengah dan Golkar ‗menawan‘ Gus Dur sebagai jaminan untuk menghadapi aliansi
PDI-P dan PKB. Sidang Umum MPR 1999 akhirnya memilih Gus Dur menjadi presiden. Naiknya
Gus Dur menjadi presiden diiringi dengan adanya amuk massa di berbagi daerah—Jakarta, Solo,
Bali, dan Medan—yang merasa dikhianati oleh MPR. Megawati yang sebelumnya calon utama
presiden versi rakyat, dipecundangi kekuatan Poros Tengah dan Golkar.
Sebagai seorang ‗tawanan‘, Gus Dur tidak bisa leluasa dalam membentuk
pemerintahannya. Gus Dur harus memasukkan kekuatan-kekuatan yang telah menaikkannya
menjadi presiden. Akibatnya, kabinet Gus Dur menjadi rapuh, tidak ada kestabilan di dalamnya.
Gus Dur harus tersibukkan untuk bongkar pasang orang-orang di kabinet. Kompromi politik dalam
pemerintahan Gus Dur inilah yang sering menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Pemerintahan koalisi Gus Dur mengalami pembusukan dari dalam. Langkah-langkah Gus
Dur yang hendak membersihkan basis ekonomi dari sisa-sisa kekuatan Orde Baru di dalam
birokrasi dan lembaga strategis lainnya, selalu mendapat perlawanan. Pencopotan Jusuf Kalla
[dari Partai Golkar] dan Laksamana Sukardi [dari PDI P], merupakan puncak konflik dalam
pemerintahan Gus Dur, yang berakhir dengan diajukankannya hak interpelasi DPR untuk meminta
penjelasan Gus Dur terhadap pencopotan kedua menteri tersebut. Sebelumnya, Gus Dur telah
mencopot Hamzah Haz [dari PPP] dan Jenderal Wiranto [tentara] dari kabinet. Perebutan jabatan-
jabatan pimpinan BUMN juga tak kalah serunya: Bulog, Jusuf Kalla digantikan Rizal Ramli; BPPN.
Glen Yusuf (kroni Habibie/Golkar) digeser oleh Cacuk Sudariyanto; LKBN Antara, Parni Hadi (kroni
Habibie/Golkar) diserahkan kepada Mohammad Sobari (orang NU yang dekat dengan Gus Dur);
yang terakhir adalah penangkapan Gubernur BI, Syahrir Sabirin (Golkar), karena keterlibatannya
dalam Skandal Bank Bali.
Tak perlu panjang-panjang membahas Megawati. Yang Jelas dia telah melakukan aliansi
jahat dengan Golkar dan tentara untuk kekuasannya. Dan yang jelas juga, dia seorang nyonya
yang dengan senang hati menerima kedatangan modal asing ke Indonesia. Ia juga sangat sopan
satun terhadap neoliberalisme. Aset negara diobral secara murah kepada asing. Tapi walaupun
begitu, Mega dianggap bukan yang terbaik oleh Tuan-tuan modal. Karena itu, dalam Pemilu 2004,
Tuan-tuan modal lebih memilih SBY. Tak mengherankan kalau SBY bisa mengalahkan Mega
dalam Pilpres. Masihkah kita berharap dia akan menjadi presiden tahun 2014?
Yang patut dicatat pada masa rezim SBY adalah semakin mengerucutnya konsolidasi
borjuasi. Baik borjuasi lama maupun baru sudah bisa menata dirinya. Mereka sudah saling
berkompromi untuk menguasai perekonomian Indonesia. Situasi ini membuat politik elit relatif
stabil. SBY tidak mengalami masa-masa pertarungan yang keras antara faksi borjuasi
sebagaimana masa Habibie, Gus Dur dan Megawati. Berkah ini digunakan oleh SBY untuk
melakukan pencitraan diri bahwa dirinya mampu membawa Indonesia keluar dari krisis politik.
Keadaan politik yang stabil kemudian digunakan oleh para jenderal didikan Orba untuk
kembali bangkit. Dua nama yang perlu disebut adalah Prabowo Subianto dan Wiranto. Lewat
Partai Gerindra, Prabowo membangun propaganda nasionalisme untuk mendapatkan simpati dari
rakyat. Ia menempatkan diri sebagai anti tesis dari rezim SBY yang dianggap oleh berbagai
kalangan lembek. Dengan struktur politik yang semakin meluas, Prabowo semakin percaya diri
untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
Sementara itu, Wiranto, jenderal gaek mantan ajudan Suharto, masih berambisi untuk
menjadi presiden walaupun sudah kalah dalam dua kali Pilpres. Dengan menggandeng
konglomerat didikan Cendana, Hary Tanoe, Wiranto dengan Partai Hanura-nya mencoba
peruntungan pada Pemilu 2014 yang akan datang. Modal yang besar dari taipan-taipan yang
mendukungnya diharapkan mampu mendudukan dirinya di kursi presiden. Jagal nomor satu dalam
tragedi Timor Leste paska jajak pendapat, sedang memupur dirinya agar tampak bersih dengan
menggandeng aktivis-aktivis kiri.
Sikap SBY memang tak pernah tegas terhadap jenderal-jenderal pelanggar HAM seperti
Prabowo dan Wiranto. Sementara gerakan demokratik juga tak mampu memberikan tekanan yang
kuat agar mereka diadili. Di sisi lain rakyat tak peduli dengan masalah HAM karena memang tak
terjangkau oleh isu-isu yang rata-rata diusung oleh kelas menengah perkotaan.
Situasi inilah yang mesti dihadapi gerakan demokratik pada Pemilu 2014: tentara yang
masih dominan dalam panggung politik Indonesia.
III
Rakyat yang Berlawan
A. Gerakan Mahasiswa
1. Masa Soeharto
1.1. GM Dari 1966 sampai 1997—Ingin Perubahan Tanpa Mengubah Sistem
Dalam pembabatan PKI dan penjatuhan Soekarno, peranan mahasiswa tak bisa
disembunyikan. Mereka dengan bersukacita ikut melahirkan rezim Soeharto. Dan dengan
demikian gerakan mahasiwa juga berperan dalam pembantaian terhadap 3,5 juta rakyat Indonesia
yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Periode tersebut merupakan masa paling
hitam dalam sejarah gerakan mahasiswa. Belum pernah terjadi sebelumnya mahasiswa terlibat
dalam pembinasaan manusia dalam skala yang besar. Atau bisa dikatakan, Angkatan 66
merupakan angkatan yang berdiri di atas bangkai jutaan rakyat yang dibantai.
Pada posisi kemenangan itu, gerakan mahasiswa menempatkan diri sebagai gerakan
moral (moral force). Konsep moral force inilah kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan
mahasiswa selanjutnya. Ia mengibaratkan dirinya para cowboy yang turun ke tengah kota ketika
ada kejahatan, begitu angkara bisa ditumpas, mereka akan kembali ke dalam kampus.
Menempatkan diri setengah mesianitas: pembebas yang selalu bersih, tak mau tercemar politik.
Tapi kenyataanya tak seperti itu. Setelah berhasil membuat Indonesia merah oleh
genangan darah, para aktivis mahasiswa justru mencemplungkan diri dalam politik. Bisa kita sebut
nama-nama seperti Sarwono Kusumaatmadja, Siswono, Akbar Tanjung, Marie Muhammad,
Cosmas Batubara, dll. Masa-masa antara 1966-1971 merupakan masa-masa ―bulan madu‖
gerakan mahasiswa dengan Orba. Anak-anak berjaket kuning itu telah menjadi bagian dari
kekuasaan rezim Soeharto.
Tapi tak selamanya begitu. Masa indah itu mulai retak ketika Arief Budiman dan aktivis
mahasiswa lain mulai memprotes kebijaksanaan Orba. Tahun 1973 mereka menggugat
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Menurut kelompok Arief Budiman,
pembangunan TMII tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Bagi mereka proyek tersebut
merupakan agenda ambisius belaka. Karena protes tersebut, Arief Budiman dijebloskan ke dalam
bui. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan golongan putih
[golput]. Kemudian ia dan kawan-kawannya pada bulan Oktober 1973 mengadakan aksi ke
gedung DPR/MPR untuk menyampaikan ―Petisi 24 Oktober‖. Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan
pembangunan Orba yang dianggap tidak populis. Tapi memang hanya sebatas itu. Perlawanan
gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan
Soekarno. Area perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi massa
yang besar. Gerakan hanya terfokus pada posisi sebagai gerakan moral; terbatas memberikan
kritik yang loyal kepada kekuasaan yang ada.
Setelah peristiwa itu, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali pada awal tahun 1974.
Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang,
Tanaka, diboikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Ibu kota lumpuh total.
Mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat
―asyik‖ dengan aksinya sendiri: melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang.
Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan sebutan Malapetaka 15 Januari: Malari. Nama-nama
seperti Hariman Siregar, Sjahrir, dll, muncul sebagai pembangkang kelas satu. Mereka diburu dan
kemudian dipenjarakan. Fakta yang sulit ditampik, Malari bisa membesar tidak lepas dari konflik
elit waktu itu. Yakni: pertarungan faksi Jendral Soemitro dan Ali Moertopo yang berebut posisi
untuk dekat dengan Soeharto.
Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974. Pertama,
adanya kolaborasi dengan tentara. Paling tidak pada detik-detik akhir menjelang meletusnya
Malari. Soemitro, seorang jenderal yang saat itu menjabat Pangkokamtib, terlihat aktif dalam aksi-
aksi tersebut. Akibat peristiwa ini, gerakan mengalami kehancuran bersamaan dengan rontoknya
tentara yang diajak berkolaborasi.
Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama rakyat.
Gerakan tidak bisa memimpin massa-rakyat yang juga turun ke jalan. Rakyat akhirnya melakukan
kerusuhan. Radikalisme massa kemudian digunakan oleh rezim sebagai palu godam untuk
memukul aksi-aksi mahasiswa. Tentu saja dengan alasan telah mengganggu ketertiban umum dan
menciptakan kekacauan.
Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar di satu
titik mengakibatkan mudah untuk dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di Jakarta
―dilumpuhkan‖, perlawanan terhenti karena daerah-daerah lain tidak melakukan pembangkangan
sama sekali.
Membutuhkan waktu yang lama setelah Malari. Kurang lebih 4 tahun kemudian gerakan
mahasiswa ―bangun‖ kembali. Baru tahun 1978 aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan kembali
Soeharto menjadi presiden. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan
Soeharto, maka tentara diperintahkan untuk menghentikannya.
Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) dikepung panser. Mahasiswa membuat barikade
dengan tidur-tiduran di sepanjang Jalan Ganesa. Aksi ini mampu bertahan beberapa minggu
sebelum berhasil dibubarkan tentara. Sementara di Yogyakarta, tentara menembaki aksi
mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Mahasiswa dikejar-kejar sampai ke dalam kampus,
peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian.
Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rezim Orba, namun
setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia. Apabila
kita simak, ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini. Pertama, gerakan
setidaknya lebih maju dalam tuntutan politik—menolak pencalonan Soeharto—walaupun belum
sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Mereka melihat bahwa sosok Soehartolah yang
menyebabkan Indonesia kacau balau. Sebagai solusinya Soeharto harus ditampik menjadi
presiden.
Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi yang
didukung oleh tentara, sehingga ketika posisi dia (Soeharto) terancam, dapat mengerahkan orang-
orang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Soeharto menghancurkan kehidupan politik
mahasiswa di kampus. Pengekangan terhadap aktivitas mahasiswa dimulai. Soeharto juga
mengerahkan tentara untuk merepresi gerakan mahasiswa.
Kedua, gerakan ‘78 memang membesar di kota-kota seperti Bandung dan Yogyakarta, tapi
lemah di pusat ekonomi politik, Jakarta. Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa ‘74
– di mana gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah – tapi yang terjadi kemudian
sama dengan gerakan ‘74, gerakan tetap mudah dipatahkan.
Setelah ―kemenangan tertunda‖ dari gerakan mahasiswa ‗78, rezim Soeharto mengambil
pelajaran dari peristiwa tersebut. Rezim berusaha ―memenjarakan‖ mahasiswa agar tidak keluar
dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef, dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa semacam
Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan
kehidupan politik praktis.
Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa ―tertidur‖. Kebijaksanaan
NKK/BKK kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto.
Pemerintah memberlakukan depolitisasi, yaitu menyalurkan kegiatan mahasiswa pada lembaga
kemahasiswaan formal seperti Senat Mahasiswa [Sema], Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM], dll.
Di luar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS).
Aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi.
Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari
lingkungannya.
Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, mahasiswa kembali kepada
gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi. Kehadiran lingkaran-lingkaran
diskusi dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rezim bisa berakibat
fatal. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho dari
kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya
Ananta Toer. Rezim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik
ketenangannya.
Kedua, mereka yang ―melarikan‖ ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri
baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang tersebut diterapkan dengan apa adanya,
seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru: ditiru begitu saja. Di tengah rasa
demoralisasi, mereka mengatakan metode perjuangan harus diubah, yakni melalui
―pemberdayaan‖ rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) didirikan.
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan LSM, karena bagaimanapun
berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi
terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari kapitalisme mulai
menyadari bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini
tentunya tidak dapat dibiarkan. Apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat
secara luas. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi yang seolah-
olah anti negara dan berasal dari arus bawah. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke
daerah-daerah ―api‖ dan kemudian digunakan untuk menjaga ―api‖ tersebut supaya tidak
membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk mendemoralisasi perlawanan rakyat. LSM pada
kenyataanya mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan kapitalis internasional. Kapitalis
butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk
memperbesar ―perut‖ mereka.
Periode LSM pada akhirnya lewat. Walau bagaimanapun ketatnya rezim berusaha
―memagari‖ gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada.
Mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis keluar dari ―ruang-ruang‖ diskusi dan kembali mulai
turun ke jalan. Mereka mengambil strategi ―melingkar‖: melakukan aksi-aksi advoksi terhadap
kasus-kasus rakyat. Mereka mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa yang terkena trauma
dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-realitas yang ada di masyarakat: bahwa
penindasan, pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang
dalam kurun waktu itu banyak kasus-kasus yang menyentuh rakyat secara langsung, seperti
penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah perburuhan sampai pem-
PHK-an, yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak yang ditindas.
Strategi ―melingkar‖ ini memang berhasil—walupun tidak maksimal—mengusik hati para
mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam perlawanan terhadap
penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa ―ilegal‖ bagi rezim. Ini
merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986–
1990, yang awalnya berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan
konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul
Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi
Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM),
dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, dan Semarang.
Sejak munculnya organisasi-organisasi di atas, gerakan mahasiswa semakin menguat.
Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali. Arus perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di
Yogyakarta, pada pertengahan tahun 1992, sekitar 12.000 mahasiswa Universitas Gadjah Mada
dan universitas lain di Yogyakarta didampingi rektor UGM, Prof. Koesnadi Harjosoemantri,
melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta. Mereka memprotes
diberlakukannya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993, ribuan mahasiswa—
mayoritas mahasiswa Islam—menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan.
Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan
SDSB di depan anggota DPR, sementara di luar gedung ribuan mahasiswa terus menjalankan
aksinya.
Satu tahun kemudian, mahasiswa di berbagai daerah memprotes dibredelnya Majalah
Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresi oleh tentara, seperti yang terjadi di Jakarta.
Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung
Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh
tentara. Sekitar 7 mahasiswa gugur dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas
di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta,
Solo, dan Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan tentara.
Secara organisasi gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan. Konsolidasi di
dalam dan di luar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan
Agustus 1994, dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk
Demokrasi (SMID). Berdirinya organisasi ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa
Indonesia untuk kembali menjadi gerakan politik. Program-program SMID antara lain menuntut
dicabutnya Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rezim
Soeharto. Dan sejak saat ini aksi massa ―dikukuhkan‖ menjadi metode perjuangan gerakan
mahasiswa. Dalam perkembangannya SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat
Demokratik (PRD). Periode 1994 dapat dikatakan merupakan masa terbukanya politik mahasiswa.
Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Dari data di atas jelas adanya tuntutan yang sama—tolak Sidang Istimewa [SI] MPR, cabut
Dwi Fungsi ABRI, dan adili Soeharto—dan adanya satu momentum—hari Sumpah Pemuda, 28
Oktober, yang menyebabkan gerakan membesar dan meluas. Namun gerakan mahasiswa
tetaplah terpecah-pecah. Memang telah dilakukan usaha untuk membangun front, misalnya,
Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia (RMNI) di Bali dan Surabaya, tapi ini tidak lebih sebagai
ajang romantisme dan saling mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling berjasa.
Mungkin kelahiran Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND) dapat menghilangkan
watak sektarianisme dan bisa membangun front yang sesungguhnya. Tapi ternyata juga tidak
berhasil.
Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan
sektor rakyat lainnya. Akibatnya: Pertama, rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasi-
demonstrasi tidak terpimpin. Tidak heran kalau massa-rakyat melakukan penghancuran toko-toko
dan properti etnis Tionghoa, jalan tol dan fasilitas umum lainnya. Kedua, kekuatan mahasiswa dan
massa rakyat yang seharusnya bersatu menjadi terpecah belah. Banyak diantara organisasi
mahasiswa yang masih termakan propaganda tentara: apabila aksi mahasiswa bergabung dengan
rakyat maka akan menimbulkan kerusuhan.
Ketiga, tidak adanya organ nasional. Apa yang ada saat itu, misalnya, FPPI (Front
Perjuangan Pemuda Indonesia) atau LMND (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi),
hanyalah sebatas jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front. Dapat
dikatakan setelah SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) ―dihancurkan‖ paska
Peristiwa 27 Juli 1999, belum ada organ nasional yang terbentuk.
Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi di
antara gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri – baik
tuntutan maupun strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi jelas sekali mengakibatkan gerakan
menjadi terfragmentasi, tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. Akibat selanjutnya, di
samping gerakan menjadi lemah juga membingungkan massa rakyat sendiri. Sikap gerakan
mahasiswa yang terpecah-pecah dalam menghadapi momentum pemilu 1999 bisa dijadikan
contoh:
Dalam menghadapi Pemilu, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang
kesemuanya mempunyai argumen masing-masing. Kelompok pertama menerima Pemilu. Pemilu,
menurut mereka, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi yang telah ada. Kelompok
mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau Pemilu yang menjamur, seperti Unfrel,
Forum Rektor dan KIPP. Kelompok kedua, tidak setuju dengan proses Pemilu. Pemilu tidak akan
menyelesaikan masalah dan pasti tidak berjalan dengan Jurdil [jujur dan adil] karena masih
dilaksanakan oleh sisa-sisa rezim Orba. Maka Pemilu harus ditolak. Kelompok terakhir ini
kemudian terbelah menjadi dua: membiarkan momentum Pemilu berjalan begitu saja, karena
apabila terlibat dalam proses Pemilu dianggap ikut melegitimasi pelaksanaannya. Sementara
kelompok lain yang tidak percaya Pemilu, melakukan aksi-aksi massa untuk menolak Pemilu yang
diselenggarakan rezim Habibie.
Keempat, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas di atas, sebagian besar
mahasiswa yang bergabung dalam gerakan mahasiswa ‘98 adalah akibat ―trend‖ yang ada. Tidak
heran kalau massa yang bergabung bukanlah massa yang terorganisir melainkan massa yang
termobilisasi. Hal ini berakibat melemahnya basis massa sejalan dengan dengan menurunnya
trend gerakan. Sementara itu, organ-organ mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini, tidak
cepat melakukan konsolidasi terhadap massa yang masih cair, dan tidak segara mengadakan
pendidikan-pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis mahasiswa hanya berkutat di sekitar aksi dan
pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi. Sementara kampus yang ―melahirkan‖
mereka dan di sanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu saja. Akibatnya, gerakan menjadi
tidak populis di antara mahasiswa sendiri. Tidak heran kalau banyak sekali organisasi mahasiswa
yang hanya papan nama belaka.
Kelima, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan
kekuatan radikal secara umum, yaitu tidak adanya partai revolusioner yang sanggup memimpin.
Situasi periode Februari sampai Mei adalah situasi yang revolusioner. Orang-orang yang
sebelumnya apolitis berubah menjadi politis. Ratusan komite-komite perlawanan terbangun. Tapi
karena tidak ada satu kekuatanpun yang mampu memimpin, kondisi objektif yang telah mencapai
puncak didih dapat dikatakan tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat seperti ini dibutuhkan
satu peranan dari partai revolusioner untuk memimpin pengambilalihan kekuasaan.
Kita dapat melihat kelemahan tersebut dalam peristiwa Mei ‘68 di Perancis. Situasi Mei ‘98
di Indonesia mirip dengan situasi di Perancis pada bulan yang sama di tahun 1968. Ketika itu di
Perancis ratusan ribu mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini mampu memobilisasi kelas
pekerja untuk melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah berhasil direbut. Puncak
dari ―revolusi‖ ini: kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar 10 juta buruh melancarkan
aksi pemogokan nasional. Presiden De Gaulle sudah melarikan diri ke Jerman Barat. Kesempatan
ini ternyata disia-siakan oleh kekuatan radikal. Bedanya kalau di Indonesia belum ada partai, tetapi
di Perancis partai revolusioner itu sudah ada, tapi mereka malah ―bersembunyi‖ saat situasi
sedang revolusioner.
Di samping kelemahan-kelemahan di atas, ada juga kelebihan-kelebihan gerakan
mahasiswa ‘98 dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya. Pertama, sikap tegas terhadap
tentaraisme. Gerakan mahasiswa '98 tidak mau berkompromi dengan tentara. Sikap tegas ini
membawa gerakan mengambil posisi yang jelas: tidak melakukan kolaborasi dengan tentara.
Pilihan ini berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan mahasiswa ‘66 jelas
melakukan kerjasama dengan tentara, begitu juga gerakan mahasiswa ‘74. Gerakan mahasiswa
‘78 walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan tentara tapi mengambil sikap tidak tegas
terhadap tentaraisme. Kedua, gerakan mahasiswa ‘98 – pada tahap awalnya -- bisa menyebar
hampir ke seluruh kota-kota di Indonesia. Dapat dikatakan, gerakan ‘98 merupakan gerakan
terbesar setelah gerakan mahasiswa ‘66. Adanya perlawanan yang meluas membuat penguasa
kalang kabut. Daya dobrak semakin kuat dan akhirnya tuntutan mereka untuk memaksa Soeharto
lengserpun bisa berhasil. Ini merupakan pengalaman berharga untuk gerakan mahasiswa ke
depan. Dua momentum gerakan mahasiswa membuktikan bahwa hanya dengan gerakan yang
meluas, gerakan mahasiswa dapat berhasil memperjuangkan tuntutan-tuntutannya. Adanya
gerakan yang membesar di semua kota juga akan menaikkan moral perlawanan mahasiswa
sendiri dan bisa memobilisasi rakyat dalam jumlah yang lebih besar
3. Massa Gus Dur: Tumbuhnya Kesadaran Menghancurkan Sisa-sisa Orde Baru yang
Setengah Hati
Polarisasi gerakan pada masa Abdulrahman Wahid [Gus Dur] terus terjadi. Dapat
dikatakan pada masa tersebut gerakan mahasiswa sudah menjadi bagian dari gerakan politik yang
berkembang ketika itu. Gerakan mahasiswa—walau dengan malu-malu—mendukung Gus Dur
atau berhadapan dengannya.
Gerakan yang mendukung Gus Dur memakai bungkus penghancuran sisa-sisa Orde Baru.
Ini bukan kesadaran yang mereka miliki, tapi dipasokkan oleh gerakan kiri. Pemahaman yang
setengah-setengah dari program penghancuran sisa-sisa Orba ini dapat dilihat dari sikap politik
yang berkembang. Mereka bisa menerima pengadilan GOLKAR dan pembubaran Parlemen, tetapi
sangat sulit menerima percepatan Pemilu. Akibatnya, dalam startegi taktik penghancuran sisa-sisa
Orba menjadi setengah jalan.
Bulan/Th.2000 Jumlah
Aksi
Januari 4
Februari 9
Maret 7
April 6
Mei 6
Juni 1
Juli 12
Agustus 6
September 10
Oktober 24
Nopember 14
Desember -
Tabel 12 : Aksi Mahasiswa Di Jakarta
Sedangkan yang berhadapan dengan Gus Dur banyak dimotori oleh sayap politik dari
Partai Keadilan—KAMMI—dan Golkar—BEM. Tuntutan mereka menuntut Gus Dur mundur karena
telah melakukan KKN. Mereka bisa memobilisasi massa dalam jumlah yang besar. Bahkan pada
tahap awalnya mereka bisa mendominasi opini yang muncul di media massa. Namun, ketika Gus
Dur semakin mendekati kejatuhannya—ketika massa NU bergerak—mereka tidak lagi mengelar
aksi-aksi massa lagi.
Masa Habibie—Dari Komite Aksi Rakyat Sampai Masuk Sekapan Partai-partai Borjuis
Usai sudah canda ria Pemilu 1999. Hasilnya pun sudah diketahui. Sungguh luar biasa
dalam kurun waktu itu. Jutaan rakyat bisa termobilisasi dalam jumlah yang besar. Masa kampanye
benar-benar merupakan ―pesta‖ bagi rakyat; tua sampai muda, tukang becak sampai pengusaha,
semuanya bersukaria di jalanan, membawa atribut partai masing-masing. Memang luar biasa!
Krisis yang melilit, seakan-akan bisa terlupakan. Sungguh dahsyat ilusi pemilu ini, rakyat bisa
―terhipnotis‖, seakan-akan ―resep‖ untuk menyembuhkan ―luka‖ krisis ekonomi-politik telah
didapatkan dari belantara borjuasi.
Munculnya puluhan partai baru (terdapat 48 parpol yang bisa ikut pemilu, 16 kali lipat dari
jumlah partai semula), setelah hampir 32 tahun hanya terdapat tiga partai, menambah
kepercayaan rakyat akan mutu Pemilu kali ini. Belum lagi media-media yang ada selalu
berproganda tentang pentingnya jalan parlementer ini.
Lembaga keuangan kapitalis (IMF/ Bank Dunia) berani mengeluarkan jutaan dollar untuk
para pemantau—mereka butuh situasi Indonesia yang tenang untuk menamkan modal. Lihat saja,
pemantau-pemantau Pemilu muncul, saling berebut uang riba. Apalagi kalangan kampus—baik
staf pengajar maupun sebagian kecil mahasiswa—(Forum Rektor, Unfrel)—yang selama ini dinilai
oleh rakyat sebagai pihak yang ―jujur‖, ikut meramaikan pengawasan Pemilu. Sekarang, setelah
Pemilu berakhir, kepercayaan rakyat semakin berlipat-lipat tentang kebenaran jalan yang mereka
pilih. Menangnya PDI Perjuangan sebagai simbol perlawanan adalah jaminan bagi rakyat tentang
masa depan mereka. Megawati seolah-olah menjadi ―ratu adil‖ bagi mereka. Stiker-stiker yang
tertempel -- baik yang ada di bus-bus kota, mobil-mobil pribadi, pedagang nasi goreng, dipintu-
pintu rumah -- gambar Megawati dalam uang lima ratus sampai lima puluh ribu dengan berbagai
pose. Seakan-akan semua orang sudah yakin bahwa dia (Megawati) pasti jadi presiden. Memang
harus diakui, setelah Soekarno belum ada tokoh yang setenar Mega saat itu. Dari tukang becak,
garong, tukang catut, sampai dosen, tentara, pengusaha, birokrat, mengenalnya. Sungguh luar
biasa memang, jongko Jayoboyo tentang akan datangnya ratu adil yang akan menyelamatkan
negeri ini akan segera datang setelah Sidang Umum MPR.
Jangan heran dengan keadaan ini, masa-masa ini adalah saat-saat Revolusi Demokratik
yang belum berhasil dituntaskan. Juga jangan lupa pada proses ini kesadaran parlementaris akan
muncul, karena Revolusi Demokratik memang milik kaum borjuasi. Kaum borjuasi selalu
bertopeng parlemen untuk menutup ―wajah‖ mereka yang sebenarnya, dan rakyatpun ditipu untuk
menempuh jalan ini. Dengan stempel rakyat lewat Pemilu berarti penindasan mereka sudah
terlegitamsi.
Di parlemenlah kaum borjuasi mengorganisir diri untuk menyatukan kepentingan mereka.
Memang sungguh hebat tipu daya mereka, sampai-sampai rakyat bisa terbutakan. Tidak terlalu
mengherankan kalau borjuasi bisa sehebat itu. Segala media propaganda, dari koran sampai
televisi, dari siaran radio swasta sampai pemerintah adalah milik mereka. Lihat sendiri, pada
masa-masa Pemilu, semuanya berbicara tentang Pemilu—bahkan iklan obat batukpun (―yang
kalah harus lapang dada, yang memang jangan tepuk dada,‖ inilah penggalan iklan tersebut)
dihubung-hubungkan dengan Pemilu.
Masa Gus Dur: Sisa-sisa Euforia sampai Tumbuhnya Kesadaran „Semu‟ Anti Sisa-sisa Orde
Baru
Sepanjang tahun 2000, aksi massa terjadi di berbagai sektor massa rakyat. Neoliberalisme
yang diterapkan pemerintahan Gus Dur, telah memancing kembali perlawanan rakyat—khususnya
kaum buruh. Sepanjang tahun 2000 [periode Januari-April] jumlah aksi buruh sebanyak 601 kali.
Pada bulan Januari tejadi 90 kali aksi, Februari dan Maret terjadi 120 kali aksi. Dan jumlah aksi
semakin meningkat pada bulan April, yakni terjadi 224 aksi. Tidak hanya kaum buruh manufaktur
yang melakukan aksi, tetapi juga buruh sektor jasa—transportasi, khususnya buruh pelabuhan.
Aksi buruh ini selain dilakukan di lokasi pabrik, juga dilakukan ke lembaga perwakilan rakyat—baik
pusat atau daerah—beberapa kali bahkan mendatangi istana negara.
Di beberapa wilayah angka perlawanan petani juga cukup tinggi, terutama di Sulawesi,
Lampung, dan Sumatera Selatan. Dari sekian banyak perlawanan petani, masih berkutat pada
sengketa pertanahan, jadi bukan dalam kerangka perlawanan menentang kebijakan
neoliberalisme, semisal anti beras impor atau perlawanan menolak kebijakan gula nasional.
Perlawanan petani mayoritas pada konflik pertanahan juga masih merupakan kebenaran. Aksi
petani yang radikal terjadi tanggal 20 Juli 2000. Petani Benakat yang berjuang menuntut
pengembalian lahan mereka yang dirampas oleh PT. CIFU (Cipta Futura) dan PTPN VII Sungai
Lengi dari tahun 1986 dijawab oleh Pemda tingkat II Muara Enim (aparat Pemda ikut terlibat tindak
kekerasan tersebut) dan aparat tentara dengan tembakan, pukulan, siksaan, dan penjara.
Korbannya, 6 orang mengalami luka tembak, seorang tukang becak terkena peluru nyasar, dan
103 orang yang terdiri dari petani dan masyarakat ditangkap.
(isu tuntutan)
Organisasi/Asal Petani
Pencabutan PP 81 Tahun Kantor DPRD 14 April + 50 APPTR (Asosiasi Petani
1999 (Tentang Pengaturan Tingkat II 2000 Pekerja Tembakau
dan Pembatasan Tar dan Temanggung Revolusioner) dan STN
Kadar Nikotin Tembakau) (Serikat Tani Nasional
Kembalikan tanah rakyat Kantor DPRD 27 Juli 2000 + DETASS (Dewan Tani
Tingkat I Sumut 100 Siantar Simalungun)
Kembalikan Tanah Rakyat Kantor PT CIFU 17 April 1500 STB (Serikat Tani Benakat)
Areal G2 Ujan 2000
Mas
Kembalikan Tanah Rakyat Kantor DPRD 27 April + STB (Serikat Tani Benakat)
Tingkat II 2000 300
Muara Enim
Kembalikan Tanah Rakyat, DPRD Tingkat I 1 Mei 2000 + STB (Serikat Tani Benakat)
Naikan upah 100% Sumatera 300
Selatan
Kembalikan Tanah Rakyat Workshop PT 14 Mei 2000 350 STB (Serikat Tani Benakat)
CIFU
Kembalikan Tanah Rakyat PTPN VII Unit 14 Juni + STP (Serikat Tani
Sule Inti 2000 600 Penaggiran)
Kembalikan Tanah Rakyat Kantor Pemda 20 Juli 2000 + STN Sumsel
Tingkat II 850
Muara Enim
Bebaskan Tahanan Polres Muara 24 Juli 2000 + STN Sumsel
Enim 600
Bebaskan Tahanan Mapolda 27 Juli 2000 + 60 Front Rakyat
Sumatera
Selatan
Kembalikan Tanah Rakyat Kantor Pemda 11 Februari + STN Lampung
Lampung 2000 600
Selatan
Meminta kembali lahan DPRD Cianjur 28 Juli 200 Ratu petani Cimacan
garapan yang dijadikan san
lapangan Golf
Tanag;Traktor;pertanian Istana Negara 25 Sep 500 STN
murah 2000
Meminta tanah seluas 400 Kantor Gubenur 25 Sep 700 Paguyuban Petani Banaran
hektar yang dikuasai Jateng 2000
GAPRI
Menuntut kepada Kantor Gubenur 25 Sep 100 Kemas-Pa
pemerintah untuk Sulsel 2000
melakukan reformasi
politik agraria.
Meminta kembali lahan DPRD Cianjur 25 Sep 287 Petani Cimacan
garapan yang dijadikan 2000
lapangan Golf
Mendesak kepada DPRD Jabar 26 Sep + Tidak jelas
pemerintah agar tentara 2000 1500
tdk melakukan teror dan
intimidasi terhadap petani
yang menuntut haknya
Menutut kepada DPR DPR RI 30 Okt 2000 100 Petani PT GCG
untuk memperhatikan
nasib petani tambak
Dipasera Lampung
Meminta hak kepemilikan DPR RI 8 Nop 2000 300 Petani Cianjur
tanah yang telah digarap
selama bertahun-tahun
Memprotes tindakan Mabes Al, DPR 13 Nop 1000 Nelayan Pantura Jateng
nelayan Masalembo Jatim RI, Kantor 2000
yang menyita dan Menteri
membakar kapal-kapal Kelautan dan
nelayan Jateng yang Perikanan
dianggap melanggar
perbatasan
Tabel 14 : Aksi Petani Yang Mengarah ke Kota
Dari data yang ada kelihatan bahwa aksi petani telah mengarah ke kota, mendatangi
instansi negara, baik itu parlemen, kantor polisi, dan kantor Pemda. Situasi ini merupakan jalan
untuk menjalin aliansi dengan kelas pekerja maupun mahasiswa.
Di samping isu tersebut, dari sektor non mahasiswa muncul juga perlawanan politik
menuntut pengusutan 27 Juli oleh kelompok-kelompok di PDI Perjuangan dan PRD. Tanggal 24
Juli 2000, FRAROB (Front Rakyat Anti Rezim Orde Baru) – merupakan gabungan dari berbagai
elemen: Partai Rakyat Demokratik, PNI 1927, Eksponen 27 Juli, LUKKA, PAKORBA, KPM, GPK,
STN, LMND, GMKI, JAKKER, FNPBI, KNT, STARED, FRAM, FKK 124. Sebelumnya, dalam
momentum pertanggungjawaban Sutiyoso di DPRD muncul mobilisasi ribuan massa dari
kelompok PDIP. Aksi tersebut dikoordinir oleh Forum Komunikasi 124 yang merupakan korban
kerusuhan 27 Juli, UPC yang dikoordinir Wardah Hafidz, dan Jaringan Kerja Budaya. Juga
tuntutan pengusutan kasus Tanjung Priok dan dimulainya proses penyidikan pelanggaran HAM di
Tim-Tim oleh Kejagung. Apalagi pada bulan Juli proses pengadilan Soeharto akan segera
memunculkan panggung politik—janji Marzuki Darusman, Jaksa Agung, pada awal Agustus,
Soeharto akan mulai diadili—dan tentu saja proses tuntutan pengusutan kasus 27 Juli akan
menemukan momentumnya, yaitu, peringatan Peristiwa 27 Juli.
Juga tidak dapat dikesampingakan aksi yang dilakukan massa rakyat diluar buruh, tani,
KMK. Puncak dari aksi massa rakyat ini terjadi pada bulan Nopember, yakni sebanyak 31 kali aksi.
Selain isu-isu kesejahteraan seperti perbaikan sarana air bersih, dana sosial, perumahan, dll, juga
mengkritisi kebijakan pemerintah. Sebagai contoh aksi yang dilakukan 10 panti asuhan di
Sumatera Selatan yang mengugat Gubernur dan DPRD I yang mengalihkan dana sosial menjadi
dana untuk mobilitas anggota DPRD, atau yang terjadi di Bogor yang dilakukan pemilik kios yang
membongkar kios di atas tanah Jasamarga. Memasuki bulan Agustus—bersamaan dengan
Sidang Tahunan MPR—aksi-aksi massa rakyat mengarah pada isu yang lebih politis: pertarungan
Gus Dur VS Poros Tengah, Golkar, PDIP.
Bulan Jumlah
Aksi
Januari -
Februari 8
Maret 6
April 1
Mei -
Juni -
Juli 9
Agustus 7
September 25
Oktober 24
Nopember 31
Desembeer -
Tabel 15: Aksi Massa Rakyat dari Tuntutan Kesejahteraan sampai Ganti Presiden
Memasuki tahun 2001, gerakan massa rakyat didominasi oleh massa NU. Basis-basis NU
di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang paling banyak melakukan mobilisasi, baik aksi-aksi lokal,
wilayah maupun aksi-aksi nasional. Kesadaran mereka sebetulnya mendukung Gus Dur, tapi
kemudian dibungkus dengan isu penghancuran sisa-sisa Orde Baru. Seperti mahasiswa,
pemahaman mereka tentang penghancuran sisa-sisa Orde Baru juga serba tidak utuh—paling
maju diwujudkan dalam bentuk membakar kantor Golkar. Memang sulit, kesadaran maju
perkotaan harus bertemu dengan kesadaran pedalaman yang masih kuat pengaruh mistisme
Islam yang bergabung dengan feodalisme yang dibawa penyebar mistis-mistis tersebut—para
kyai.
Juga perlu dicatat dalam kurun waktu ini—terutama akhir kejatuhan Gus Dur—keterlibatan
LSM-LSM. Dengan geragapan mereka menyadari bahwa sisa-sisa Orde Baru bangkit lagi
beriringan dengan terkonsolidasinya kekuatan tentara. Sel-sel demokrasi yang tersisa di
kesadaran mereka, membuat mereka tergerakkan—walaupun sudah pasti terlambat. Lagi-lagi,
pemahaman mereka tentang demokrasi juga tidak tuntas, mau Pemilu yang dipercepat tapi ogah
membubarkan parlemen dan pengadilan Golkar.
Dalam periode tahun 2001 ini perlu digarisbahawahi adalah munculnya perlawan kaum
buruh di berbagi kota industri di Indonesia—Jakarta, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Medan.
Pertama, momentum May Day. Hari buruh sedunia makin diterima oleh kalangan buruh, yang
dijadikan momentum untuk memobilisasi massa. Fakta ini dapat dilihat dari serangkaian aksi buruh
di berbagai daerah. Di Medan, kurang lebih 12.000 buruh yang dipimpin SBSI, PERBUNI dan
FNPBI, memperingati aksi May Day. Di Surabaya dan Sidaorjo, sekitar 25.000 buruh berusaha
menerobos kota Surabaya. Di Jakarta, 3.500 buruh juga memperingati hal serupa, sementara di
Bandung, 2.000 buruh termobilisasi. Kedua, adalah momentum Kepmenakertras. Aksi ini ternyata
mendapat sambutan dari kaum buruh. Peraturan tersebut jelas-jelas merugikan kaum buruh. Di
Jakarta, pada tanggal 29 Mei-13 Juni, mereka melakukan aksi di depan Istana Negara, dengan
jumlah massa kurang lebih 5.000. Sementara di Bandung, aksi buruh mampu bertahan selama
tiga hari (12-14 Juni), aksi ini bahkan sempat membuat ‗Bandung Lautan Api‘. Di Surabaya dan
Sidoarjo, sekitar 25.000 buruh akan membobol kota Surabaya, namun tidak berhasil. Sementara di
Mojokerto, 50.000 massa buruh termobilisasi, dan di Medan dipimpin oleh SPSI dan FSU mampu
memobilisasi 25.000 buruh.
C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Proses Revolusi Demokratik yang bergulir sejak tahun 1998 telah membuka kesadaran baru,
yaitu: kesadaran membuat wadah perjuangan dengan aksi massa sebagai metode berlawan.
2. Kesadaran rakyat dalam proses selajutnya tersekap oleh partai-partai borjuis. Walaupun sudah
berlawan dengan metode yang radikal, rakyat masih terilusi oleh kesadaran demokrasi
parlementer. Pemilu masih menjadi pilihan bagi rakyat karena mereka belum melihat adanya
jalan keluar lain.
3. Proses Revolusi Demokratik juga telah menumbuhkan kesadaran baru massa rakyat tentang
sasaran untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Simbol-simbol kekuasaan borjuasi—
parlemen dan pemerintahan—telah menjadi tujuan utama bagi rakyat untuk memperjuangkan
tuntutan-tuntutan mereka. Dalam kasus aksi-aksi tani, mereka sudah mulai menuju ke kota
untuk memperjuangkan hak-haknya.
4. Di tingkatkan kaum buruh, sudah memahami dampak dari neoliberalisme yang dibawa
kapitalis internasional. Perlawanan buruh, walaupun masih ekonomis, mengalami masa
pasang. Aksi-aksi mereka sudah dilakukan dengan radikal: blokir jalan tol dan bandara serta
penutupan area pabrik. Kekurangannya, gerakan buruh belum mampu membangun front yang
luas dengan kekuatan berlawan lainnya. Sementara aksi-aksi petani semakin sering bergerak
ke kota. Potensi ini merupakan material bagi gerakan untuk memberikan perspektif yang lebih
maju.
IV
Yang Berlawan:
Dari Gorong-gorong ke Perlawanan Terbuka
Sejak Sarekat Prijaji didirikan, sebetulnya telah tumbuh kesadaran baru, kosa kata baru:
organisasi. Walaupun bisa dikatakan kosa kata itu muncul lebih lambat bila dibanding penduduk
Tionghoa, apalagi bangsa Eropa. Tapi memang ada takdir sejarah yang tidak bisa ditembus,
walaupun sejak Pati Unus sampai Kartini, mereka telah berputar-putar, mencari kosa kata baru itu,
tapi hanya menemukan ruang gelap yang tidak dapat mereka masuki. Baru awal abad ke-20, kosa
kata baru itu muncul samar-samar. Membutuhkan obor Socrates untuk membuatnya lebih terang.
Dan Tirto Adhi Soerjo ternyata yang membawa obor Socrates. Setelah melalui perjalanan yang
panjang, mengembara ke Eropa, mengenal Revolusi Perancis, dan mengenal perlawanan rakyat
Filipina—semua dilakukan lewat bacaan— Tirto menemukan kunci pembuka itu.
Kemudian tumbuh pikiran, bahwa penduduk pribumi seharusnya mempunyai wadah yang
bisa memperjuangkan kepentingan mereka. Orang-orang Tionghoa dan Arab telah memulainya.
Mulai dibedah apa yang bisa menjadi materi penyusun wadah tersebut. Dari membuka-buka
lembaran sejarah masa lalu, Tirto mendapatkan hubungan kawula-gusti yang melekat dalam
tatanan feodal Jawa. Ada sebuah prinsip hidup yang dipegang rakyat Jawa, bahwa mereka harus
patuh kepada gustinya (raja). Apa yang dikatakan raja adalah kata-kata yang harus dilaksanakan.
Konsep ini diambil oleh Tirto, dengan pemikiran, apabila priyayinya mempelopori, maka rakyat
akan ikut serta. Kemudian dipilih materi pokok penyusun baling-baling itu adalah kaum priyayi.
Maka, mulailah ia turba di Pulau Jawa, mengajak para priyayi yang telah mendapat didikan Barat
untuk mendukungnya. Sebagian besar dari priyayi-priyayi ini menolak, sebagian kecil ada yang
menerima. Yang merima inilah yang kemudian menjadi materi dasar baling-baling itu, yang
kemudian bernama Sarekat Prijaji [SP].
Dalam perjalanannya, baling-baling itu tidak berputar. Apa penyebabnya?: Pertama,
materi penyusunnya. Kaum priyayi adalah kaum yang beku. Mereka enggan bergerak, sudah
puas dengan kedudukannya. Jelas, materi-materi ini seperti ini tidak dapat menggerakan baling-
baling Sarekat Prijaji. Kedua, tidak ada program yang jelas. SP didirikan tanpa adanya tujuan
yang terstruktur. Artinya, organisasi tidak bisa menyusun tahapan-tahapan kerja. Akibatnya, tidak
ada aktivitas-aktivitas yang membuat baling-baling itu berputar. Rakyat yang bergabung juga tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Karena tidak pernah berputar, akhirnya baling-baling itu
berantakan satu persatu, nasibnya sudah jelas: mati suri selama-lamanya. Dua persoalan itulah
yang harus dipecahkan. Harus dicari materi-materi penggantinya.
Memang harus dicari tulangpunggung yang kokoh sebagai penopang organisasi itu, biar ia
bisa bergerak secepat kondisi objektifnya, tidak terombang-ambing terkena terpaan angin
perubahan yang terus bergerak. Kembali Tirto Adhi Soerjo harus menggapai-gapai, golongan
mana yang akan mampu menjadi tulangpunggung dari organisasi. Akhirnya, ditemukanlah
golongan itu. Mereka itu adalah golongan ―merdeka‖, yang terdiri dari pedagang, tukang, pekerja—
dalam sejarah Eropa sebelum Revolusi mereka inilah golongan perantara antara tuan-tuan feodal
dengan hamba sahaya, juga di antara mereka adalah pemilik gilda-gilda dan pekerjanya; karena
bisa berkembang sangat pesat, menimbulkan rasa iri tuan-tuan feodal. Golongan ini tidak
tergantung pada lagi gubermen. Golongan-golongan itulah yang kemudian menjadi
tulangpunggung dengan Islam sebagai pengikatnya. Lahirlah SDI (Sarekat Dagang Islamiah).
SDI berkembang seperti gurita, terutama di pusat-pusat modal seperti Bandung, Solo, dan
Surabaya. Gerakannya semakin meluas—walaupun beberapa kali Rinkes, ahli pribumi itu
menggelapkan fakta-fakta yang terjadi dan mencoba terus menerus untuk mematikan bayi yang
masih merah ini. SDI semakin meliuk-liuk, mencari tempat di mana ia bisa tumbuh berkembang.
SDI inilah, yang kemudian menjadi pondasi berdirinya SI (Sarikat Islam) dengan pusatnya di kota
Solo.
Seperti angin topan, SI menerjang apa saja yang menghambat jalannya, tidak terkecuali
etnis Tionghoa yang dianggap saingannya. Terjangan SI yang semakin tidak bisa dikontrol oleh
pimpinannya itu, yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial dengan mengalihkan arah
gerak SI ke arah konflik harisontol—diadu dengan ras lain—sehingga terbebaslah mereka,
penjajah itu, dari terjangan angin topan SI. Pucaknya terjadi di Kudus pada 1919 (yang juga tahun
kematian Tirto Adhi Soerjo, bidan yang telah membantu kelahiran SI).
SI akhirnya bisa dijinakkan. Mereka besar, tetapi tidak tau arah mana yang akan dituju.
Akan tetapi, organisasi ini berantakan, sebelum tujuanya tercapai. Apa penyebabnya?: Pertama,
tidak ada kepemimpinan. Organisasi ini bisa meluas, cabangnya menyebar ke pusat-pusat
perdagangan, terutama yang ada di Jawa. Akan tetapi, tidak ada kepemimpinan pusat yang kuat.
Pusat SDI tidak pernah memberikan arahan-arahan yang jelas kepada cabang-cabangnya.
Cabang-cabang yang ada tumbuh menjadi cabang yang otonom, yang bergerak sendiri-sendiri.
Walaupun nama mereka sama, tapi sebetulnya tidak ada hubungan yang bisa menggerakkan
mereka menjadi satu kekuatan. Akibatnya, baling-baling yang berputar sendiri-sendiri itu, tidak
menghasilkan apa-apa.
Kedua, materi penyusunnya. Materi utama penyusun baling-baling SI adalah kaum
pedagang. Ideologi yang dibawa pedagang adalah mencari untung. Sehingga baling-baling
berputar ke arah sektarianisme, bahkan kemudian berkembang ke arah rasisme. Kaum pedagang
memang dinamis, tapi mereka adalah individualis, yang hanya memikirkan kepentingannya
sendiri-sendiri. Materi-materi seperti ini jelas menyebabkan tidak ada perluasan unsur-unsur yang
menyusun baling-baling, hanya berkembang menjadi organisasi profesi, tidak bisa berubah
menjadi organisasi perlawanan yang kuat.
Ketiga, tidak berhasilnya koran organisasi. Ada koran yang mampu terbit harian, bisa
dibaca oleh banyak orang tiap hari, tetapi hanya berfungsi sebagai mulut-mulut saja (alat
propaganda). Ideologi yang dibawanya memang anti kolonialisme, tapi tidak bisa dimengerti, tidak
ada lingkaran diskusi-diskusi yang bisa menjelaskan apa maksud ideologi itu. Banyak yang tahu,
bahwa Belanda jahat, tapi tidak tahu kenapa harus dilawan, dan kalaupun tahu, tapi tidak tahu
bagaimana cara melawannya. Ada koran, tapi tidak berhasil menjadi alat untuk
mengorganisasikan cabang-cabang yang ada. Terjadi keterpisahan antara baling-baling dengan
korannya. Baling-baling bergerak sendiri, koran menyebar sendiri. Koran memang tersebar, tapi
tidak ditanggapi oleh baling-balingnya untuk diorganisasikan, baik untuk menyatukan baling-baling
yang terpencar-pencar itu, maupun membangun baling-baling baru.
Seribu sembilan ratus delapan belas merupakan tahun-tahun yang meresahkan, baik bagi
pemerintah kolonial Belanda, maupun gerakan nasionalisme. Belanda resah, setelah patahnya
SDI yang kemudian berubah menjadi SI, bibit revolusioner mulai muncul. Bibit-bibit ini dibawa oleh
orang-orang komunis dari Belanda. Bagi gerakan nasionalisme, keresahan timbul karena
pemerintah kolonial mulai ketat mengawasi organisasi-organisasi yang ada, dan mulai melakukan
pembuangan terhadap tokoh-tokoh gerakan yang radikal. Dua keresahan itu yang mewarnai
tahun-tahun itu.
Pamor SI mulai merosot, organisasi ini tidak mampu lagi menjawab kebutuhan zamannya
yang semakin bergerak maju, yang semakin radikal, yang sentimen untuk melepaskan diri dari
Belanda semakin kuat. Mulai retak organisasi itu, semakin lama retakannya semakin melebar, dan
akhirnya terbelah pada tahun 1920. Satu belahan tetap menjadi SI yang diisi kaum agamawan
moderat, satu belahan menjadi PKI. SI Putih, demikian sering disebut, semakin tengelam,
pamornya semakin lingsir. PKI, pelan-pelan mulai menjadi wadah utama dari gerakan rakyat yang
semakin radikal.
Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, mulai dari pembuangan sampai
sogokan-sogokan politik—pemberian hak lebih luas pada Volskard—tetap saja tidak bisa
membendung laju radikalisasi. Keanggotaan PKI semakin mengelembung. Serikat Rakjat—ormas
PKI—semakin banyak cabang-cabangnya. Pendidikan-pendidikan revolusioner ditingkatkan dan
serikat-serikat buruh berhasil diorganisasikan. Pemogokan-pemogokan buruh mulai terjadi,
semakin lama semakin membesar. Pemerintah kolonial semakin panik, mata-mata mereka mulai
dipasang di mana-mana. Rapat-rapat terbuka—sejak 1923—dilarang.
Tokoh-tokoh revolusioner juga resah, mencari muara dari munculnya radikalisasi yang
semakin membesar. Radikalisasi memang semakin subur dengan adanya krisis ekonomi yang
mewabah. Sehingga, walaupun pemogokan dilarang dan pimpinan PKI ditangkap dan dibuang,
radikalisasi semakin meningkat. PKI menemukan muara dari semuanya ini: Pemberontakan.
Akan tetapi, pemberontakan dapat dipatahkan. Apa penyebabnya?: Pertama,
kepemimpinan. Tidak ada kesatuan pandangan antara pemimpinan di dalam dan di luar negeri
tentang pemberontakan. Sampai detik-detik terakhir pemberontakan, perbedaan itu tidak bisa
disatukan. Keputusan sudah diketok, tapi pimpinan yang tidak puas dengan keputusan yang
diambil, mempengaruhi cabang-cabang lain untuk tidak menjalankan keputusan organisasi.
Sehingga, pemberontakan hanya terjadi dibeberapa daerah Jawa—Banten dan Jakarta—dan di
beberapa daerah di Sumatera. Akibatnya, pemberontakan dapat dengan mudah dipatahkan. Tidak
adanya satu tindakan dalam pengambilan keputusan ini, menyebabkan organisasi menjadi lemah.
Inilah periode pengkhianatan Tan Malaka.
Kedua, tidak ada persiapan. Pemberontakan lebih banyak karena ―keinginan‖ pimpinan-
pimpinan PKI. Syarat objektif untuk sebuah pemberontakan muncul karena dipaksakan. Tahapan-
tahapan kerja untuk pemberontakan—yang diputuskan 1925 dan kemudian dilaksanakan
Nopember 1926—belum dilakukan. Belum ada pendidikan-pendidikan ideologi kepada anggota-
anggota PKI secara sistematis. Tidak ada propaganda politik yang jelas kepada rakyat untuk
memberontak. Tak muncul persiapan untuk mempersenjantai diri secara serius. Semuanya hanya
mengandalkan pada pembacaan sesat pada kondisi objektif. Ketiga, front. Pemberontakan yang
dilakukan PKI merupankan sebuah revolusi demokratik. Sebagai salah satu syarat revolusi
demokratik, yaitu harus adanya front yang meluas, yang akan menopang kaum buruh. Front ini
untuk melipatgandakan energi perlawanan dan menyatukan potensi-potensi perlawanan yang
berserakan. Hal ini belum berhasil dibangun oleh PKI. Mereka harus bergerak sendirian.
Kegagalan itu tak membuat patah arang. Muso, yang baru datang dari Moskow, dengan
―Jalan Barunya‖, merumuskan perombakan-perombakan bagi gerakan kiri yang berserak di
Indonesia paska pemberontakan 1926. Selepas Revolusi 1945, Muso mengkonsolidasikan
gerakan kiri. Bagi Muso ada dua jalan yang mesti dilakukan: kekuatan kiri yang berserakan harus
disatukan dan pembangunan front demokratik. PKI yang tercerai berai berhasil disatukan. FDR
(Front Demokratik Rakyat) berhasil dibentuk.
Kesatuan tentara dari laskar rakyat itu yang semakin terdesak setelah divisi Siliwangi hijrah
dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah, dan setelah pimpinan mereka Sutarto tertembak secara
misterius, bertemulah dengan FDR di Madiun. Sebagai kompensasi modal mengucur ke
Indonesia, Soekarno-Hatta harus membersihkan golongan kiri yang mulai membesar itu, dan
mencapai puncaknya di Madiun.
Sebelum melihat kegagalan PKI dalam Peristiwa Madiun, marilah kita lihat tawaran kerja
yang disampaikan Muso:
“Berdasarkan itu, maka rapat Polit-Biro PKI telah memutuskan, bahwa seterusnya
harus hanya ada satu Partai Revolusioner yang berdasarkan Marxisme-Leninisme
dalam kalangan kaum Buruh. Polit-Biro PKI memutuskan mengajukan usul, supaya
diantara tiga Partai Revolusioner yang mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme
yang sekarang telah tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat serta telah
menjalankan aksi bersama, berdasarkan program bersama, selekas-lekasnya
diadakan fusi (peleburan), sehingga mendjadi satu Partai Revolusioner kelas buruh
dengan memakai nama yang bersejarah, yaitu Partai Komunis Indonesia, disingkat
PKI. Hanya Partai Revolusioner sedemikian itulah yang akan dapat memegang rol
sebagai pelopor dalam gerakan Kemerdekaan sekarang ini.
Dengan tahapan kerja seperti itu, mengapa gagal?: Pertama, tahapan kerja. Apa yang
dilakukan PKI paska kemerdekaan baru pada tahapan perbaikan internal organisasi. Begitu juga
kemampuan ideologi kader juga harus dibenahi, setelah banyaknya virus-virus non-Marxisme
Leninisme. Dalam lapangan front, juga masih harus dibangun dari awal lagi. Dalam situasi seperti
ini, PKI, harus menghadapi pilihan, harus melawan. Sehingga, belum ada basis material yang
memungkinkan untuk keberhasilan sebuah perlawanan terhadap serangan dari musuh—baik
dukungan massa, front, organisasi. Kemudian wajar, kalau perlawanan itu dapat dipatahkan.
Kedua, kondisi objektif. Sejak revolusi 1945 sebetulnya rakyat sudah terbiasa dengan
perjuangan bersenjata. Pemberontakan terhadap Jepang dan Belanda yang terjadi di mana-mana
dilakukan dengan kekuatan bersenjata. Tapi ini tidak segera diorganisasikan oleh PKI. Dampaknya
energi pemberontakan rakyat semakin surut, terlebih setelah borjuasinya melakukan kompromi-
kompromi dengan Belanda. Ketika PKI mencoba mengobarkan pemberontakan bersenjata,
radikalisasi-radikalisasi yang terjadi hanya muncul di sekitar Solo-Madiun. Inipun lebih disebabkan
oleh pertentangan di dalam militer itu sendiri—terutama setelah Divisi Siliwangi ditarik dari Jawa
Barat. Akibatnya, perlawanan PKI hanya terlokalisir di daerah tersebut. Keberhasilan merebut
Madiun tidak akan bermakna apa-apa, karena akan mudah dikepung dari segala arah.
Seribu sembilan ratus lima puluh. Tahapan-tahapan kerja dalam ―Jalan Baru‖ Muso, baru di
jalankan. Anasir-anasir tidak baik dibersihkan dari PKI. Alimin, Tan Ling Gie, disingkirkan dari PKI
karena dianggap tidak lagi memegang prinsip Marxisme Leninisme. Fusi di antara kekuatan-
kekuatan komunis yang berserakan dimulai. Kerja-kerja pembasisan dilakukan secara serius.
Dalam pembangunan basis massa, Aidit memprioritaskan daerah pedesaan sebagai kantong-
kantong massa. Bagi PKI, desa merupakan geopolitik yang harus dimerahkan. Menurut PKI, desa
juga digunakan sebagai basis pertahanan dan untuk melakukan perang gerilya menghadapi
serangan musuh.
Dalam lapangan organisasi, PKI membentuk struktur oragnisasi dari tingkat nasional
sampai ranting. Pengambil keputusan tertinggi PKI adalah Kongres Nasional. Sedangkan
pekerjaan sehari-hari serahkan ke Komite Sentral. PKI juga membangun ormas-ormas yaitu: BTI,
SAKTI, SARBUPRI, PERBEPSI, PR, SOBSI, CGMI, IPPI, GERWANI, LEKRA.
Strategi-taktik yang diambil adalah parlementer. Dengan jalan ini seluruh energi PKI di
arahkan ke sana. Cabang-cabang PKI bisa berdiri di berbagi tempat, propaganda bisa menyebar.
Singkatnya, jalan ini memberikan banyak kemudahan kepada PKI untuk melakukan perluasan.
Tak mengherankan dalam Pemilu 1955, PKI masuk 4 besar. Keberhasilan tersebut secara
langsung bisa menempatkan orang-orang PKI dalam parlemen, dan bahkan dalam
perkembangannya, banyak yang menduduki jabatan di birokrasi dan kementerian. Sungguh
keberhasilan yang luar biasa. Radikalisasi dilakukan oleh PKI: aksi-aksi pengambilan lahan,
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, aksi-aksi konfrontrasi dengan Malaysia, dan
mobilisasi massa untuk merebut Irian Barat. Front juga berhasil mereka bangun. Bahkan mereka
mempunyai koran partai yang mampu terbit harian. Tapi mengapa mereka gagal? Apa
penyebabnya? Hanya satu: mereka belum berhasil membangun Angkatan Kelima.
Sebetulnya tugas gerakan Tikus Merah sekarang hanya melanjutkan tugas-tugas
sebelumnya. Yakni melengkapi kekurangan sesuai dengan kondisi objektif yang bergerak saat ini.
Dari pengalaman Tikus Merah generasi awal, perjuangan akan berhasil bila ditopang oleh Empat
Kaki Nandi: massa, dana, front dan senjata. Syarat-syarat inilah yang perlu dikerjakan oleh Tikus
Merah generasi sekarang. Oleh sebab itu, kami, Tikus Merah, perlu muncul dari gorong-gorong
yang kotor dan bau agar Empat Kaki Nandi itu bisa kami wujudkan. Kami tak menampik jalan
parlementer dengan membangun partai yang kerakyatan. Kami tak menolak aksi massa. Bagi
kami, kombinasi keduanya yang pas untuk mewujudkan Empat Kaki Nandi.
V
Penutup
Demikianlah Manifesto Tikus Merah. Manifesto ini ditulis agar tidak ada Tikus Merah yang
tersesat. Salah masuk gorong-gorong atau keliru mengenali lawan. Kesalahan bisa menyebabkan
Tikus Merah bertemu dengan Kucing Garong, atau mesti berpapasan dengan Tikus pengkhianat
seperti Tikus Botak, atau menjadikan lawan sebagai sekutu dan kawan sebagai seteru.
Ttd