Anda di halaman 1dari 4

PESONA “NEGERI DI ATAS AWAN”

“Engke Citorek bakal rame” Ucap seorang tokoh. Beliau menceritakan dongeng

kakeknya yang hidup di tahun 50-an. Kakeknya mengatakan Citorek akan ramai, akan didatangi

oleh khalayak, akan ada jalan dari Bogor-Bayah dan lain lain. Waktu mereka bicara tempat ini

masih hutan belantara. Bicara tentang ramalan kemajuan seperti bicara di siang bolong –

membual dan omong kosong belaka.

Sejatinya “Negeri di atas awan” tersebut berada di sekitar kawasan Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Tepatnya di wewengkon adat Kasepuhan Citorek. Dan

memulai tranformasinya sejak 20-30 tahun terakhir. Sejak kakek buyut banting-tulang berdagang

anyaman bambu hingga para orang tua sekarang berdagang olahan emas dan perak. Sejak

kampung ini masih sepi hingga zaman hiruk pikuk kegaduhan kunjungan wisatawan. Hampir di

setiap sudut masyarakatnya terdapat mitos, mulai dari berladang di perkebunan hingga

kehidupan sehari-hari di dapur rumah yang konon katanya keramaian ini sudah diramalkan oleh

tetua sejak dulu.

Dunia yang mulai terbuka, jalan beton putih mengular mulus, serta ribuan orang

bergerombol datang berkunjung silih berganti adalah hal yang tak pernah terduga karena

disebabkan oleh ketinggian tempat dan hamparan awan yang indah hingga dikenal tempat ini

dengan sebutan “Negeri di Atas Awan”. Kesunyian, kedamaian, hamparan hutan nan hijau,

kurva perbukitan, lembah yang luas, serta semilir angin khas pegunungan membuatnya pantas

dikatakan sebagai surga tersembunyi yang baru ditemukan.

Para wistawan datang dari berbagai penjuru kota. Para pelajar dan mahasiswa datang

terus menerus tiada habisnya ketika musim liburan tiba. Para pekerja tumpah ruah ketika
weekend menjelang. Juga remaja, anak-anak dan ibu-ibu ber-pelesiran ria bak kunang-kunang

bergerombol datang mengerumuni cahaya bersenda gurau, “Coffee Time”, menumpahkan rasa

lelah perjalanan. Mereka berbaring di tenda, menghempaskan segala beban kantor, tugas rutinitas

harian memandangi langit berbintang, melihat sisi kehidupan dari dunia yang berbeda, yang tak

pernah mereka temukan di tengah sesaknya udara kota. Mereka menyalakan api unggun untuk

menghangatkan badan di pagi hari, meninggalkan sejenak deru laju suara kendaraan bermotor

dengan klakson yang bersahutan menikmati landscape tebing jurang, gunung menjulang, kicau

burung, berjaket tebal menikmati nikmatnya secangkir kopi sebagai selingan di luar kebiasaan

sembari menunggu momentum indah menyaksikan gumpalan awan yang terhampar menjelang

detik-detik matahari mulai terbit di ufuk timur. Subhanallah Wallahu Akbar.

“Tempat wisata ini secera kebetulan ditemukan oleh para pekerja” Ungkap salah satu

pengelola Gunung Luhur. Tahun 2017-2018 pemerintah mengadakan pembukaan dan pelebaran

jalan Cipanas-Bayah. Ketika pembukaan tiba di gunung luhur para pekerja tidak sengaja

menemukan tempat yang teduh untuk sekedar minum kopi dan beristrahat. Lalu datang anak-

anak muda setempat yang juga melakukan hal yang sama, sekedar minum kopi dan beristirahat –

bedanya mereka berteman musik dan gitar. Sesekali mereka meng-upload photo photo juga

video ke media sosial. Kegiatan mereka seperti magnet yang mengundang penasaran banyak

orang, juga mengundang keingin tahuan; seperti seruan menimati keindahan alam. keseruan itu

dari hari ke hari makin keras, makin menggema, serta semakin menambah rasa penasaran dari

berbagai kalangan seolah berkata “Ayo escape sementara! Alam memanggilmu, Kawan”.

Di ujung tahun 2018 terjadi Tsunami di Selat Sunda. Like blessing in distinguise –

hikmah yang tak terduga di balik bencana: wisata Gunung Luhur mendapatkan momentumnya
setelah musibah terjadi. Para wisatawan yang biasa menghabiskan waktunya di pantai kini

berpindah ke gunung. Salah satu alasannya tentu saja ketakutan akan datangnya tsunami susulan

di wilayah pesisir. Mereka berbondong-bondong merayakan tahun baru di atas ketinggian,

sambil menunggu hari esok bertabur cahaya sunrise diatas hamparan lautan awan.

Sejak viral di media sosial. Akhirnya satu-persatu pemangku kebijakan mulai

mengunjungi lokasi wisata. Mereka mengecek keadaan fasilitasnya sambil memberikan instruksi

arah kebijakan yang akan diambil. Mereka datang berkunjung dan memberikan motivasi kepada

masyarakat bahwa wisata salah satu trigger yang bisa membangkitkan ekonomi masyarakat. Ibu

Bupati kemudian merencanakan pembentukan ekowisata dan mendatangkan pakar di bidangnya.

Dengan mendatangkan ahli ekowisata, Nurdin M. Razzak. Yang telah sukses ‘menyulap’

Hutan Gunung Baluran di Jawa Timur, pakar tersebut mendatangi satu-persatu balai pertemuan

desa. Terdapat lima desa yang berada di Wewengkon Citorek diantaranya; Desa Citorek Timur,

Desa Citorek Sabrang. Desa Citorek Tengah, Desa Citorek Barat, dan Desa Citorek Kidul.

Beliau memberikan pemahaman dan pengajaran bagaimana mengembangkan ekowisata dengan

segala resikonya. Ini dilakukan untuk memperluas kawasan wisata yang ada di Gunung Luhur.

Kesuksesan Gunung luhur diharapkan beresonansi pada terbukanya titik lain untuk memperluas

dan pengayaan wisata karena secara Sumber daya alam telah tersedia melimpah ruah, tinggal

mennunggu untuk diolah.

Kini di setiap desa dibentuk kelompok-kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS). Mereka

mengkoordinir wisata apa saja yang sudah ada dan wisata apa saja yang mungkin diadakan.

Selain itu kelompok ahli ini juga mengajari untuk menopang wisata, baik dari segi budaya,

kuliner ataupun kriya lainnya.


“Di ketinggian ini, azan berkumandang setiap saat, lantunan ayat suci Al-Qur’an

menggema disetiap penjuru, bahkan ada pengajian rutin. Itulah sebabnya kita ingin punya masjid

di Gunung Luhur” Ucap salah satu tokoh penggagas pembangunan masjid. Beliau juga

menegaskan, kemajuan tidak harus bertolak belakang dengan nilai-nilai agama. Karena nilai-

nilai agama berjalan beriringan, membimbing pesatnya kemajuan jaman. Saatnya perkembangan

wisata dari tradisionalisme menuju ke modernisme tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur agama

dan tradisi budaya.

Anda mungkin juga menyukai