Anda di halaman 1dari 4

SELEKSI ESAI

SMONG, INOVASI MITIGASI BENCANA BERBASIS LOCAL WISDOM


PULAU SIMEULUE DALAM MENCIPTAKAN MASYARAKAT SADAR
BENCANA

Disusun Untuk Mengikuti Seleksi Esai DISE YOUNG LEADERS JAPAN


2023

Identitas.Penulis

Nama : M. Abbylla Nainggolan


Domisili : Gowa, Sulawesi Selatan
Instansi : Institut Pemerintahan Dalam Negeri

BAGIAN I
PENDAHULUAN
Mereka bilang Indonesia adalah negeri sejuta Keindahan, Thousand
Colour Beach, Eternal Snow, Emerald of Equator, Lungs Of the World, dan masih
banyak lagi julukan bak dunia fantasi yang disematkan pada negeri ini.
Merupakan kebanggaan tersendiri bagi kami sebagai penghuni didalamnya jika
kecantikan dan keindahan Negeri tercinta ini mampu memukau dunia. Gunung,
pantai, serta lautnya dari Sabang sampai Merauke dari titik tertinggi Puncak
Cartstensz Papua menyelam ke titik terdalam Palung Weber di Maluku kami tidak
menyimpannya untuk kami sendiri namun juga untuk dunia serta generasi yang
akan datang. Inilah Indonesia, tanah kami yang indah, permata yang kilaunya
memancarnya hingga keabadian bersanding dengan manisnya nama Wonderfull
Indonesia.

Berbicara soal keindahan, salah satu permata negeri ini yang tidak pernah
gagal memanjakan mata adalah negeri Andalas, yaitu pulau Sumatera. Pulau yang
terletak di barat Indonesia ini memiliki segudang keindahan yang seakaan tidak
ada habisnya, tidak heran jika Sumatera memiliki nama besar di masa lalu sebagai
Suwarnadwipa atau Pulau Emas. Mulai dari megahnya Serambi Mekkah Aceh,
mendaki tingginya Gunung Kerinci Jambi, hingga menyusuri jernihnya Pantai
Pasir putih Lampung. Keindahan yang diibaratkan sebagai bunga mawar yang
mekar di musim semi “Beautiful yet dangerous”, dibalik keindahan kelopak
merah menyala terselip duri-duri tajam yang senantiasa dapat melukai siapaun
yang memegangnya. Memang benar jika yang mereka katakan Sumatera adalah
pulau segudang keindahan namun dibelakangnya terdapat julukan yang menjelma
menjadi julukan yang mengerikan, dimana julukan Pulau Sejuta keindahan
berubah menjadi pulau segudang bahaya. Julukan ini muncul karena bahaya
berupa potensi bencana yang sejak dahulu menerpa pulau ini, sejak 180 tahun
Sumaters harus berhadapan dengan gempa, letusan gunung hingga tsunami.
Letusan Gunung Toba, Tsunami Pulau Simuk 1861, Gempa Padang Panjang 1926
adalah sedikit dari banyak contoh bagaimana Pulau indah ini juga mampu
menyajikan sesuatu yang mematikan. Ini menjadi peringatan bukan bagi
penduduk Sumatera namun juga bagi Negeri ini bahwa bencana alam merupakan
ancaman yang nyata, mungkin sekarang adalah saatnya menggaungkan slogan
“Indonesia menyatakan perang terhadap bencana alam”, ini bukanlah upaya
melawan takdir namun demi keselamatan anak, cucu kita di masa depan , demi
membangun negeri yang aman bagi penduduk-penduduknya, serta bagaimana
mempersenjatai generasi berikutnya dengan pengetahuan yang diperlukan
bagaimana beradaptasi, memperbaiki, serta membangun kembali kehidupan
setelah bencana berlalu.

BAGIAN II
ISI

Mungkin muncul pertanyaan di benak kita, kenapa slogan “Indonesia


menyatakan perang terhadap bencana alam” baru disuarakan sekarang, ini
dikarenakan Dalam laporan World Risk Report 2022 yang dikeluarkan oleh
Institute for International Law of Peace and Armed Conflict (IFHV), Ruhr
University Bochum, Jerman dan Bündnis Entwicklung Hilft, Indonesia menempati
posisi ketiga sebagai negara paling rawan bencana dengan skor World Risk
Indexs sebesar 41,46 bersanding dengan India di posisi kedua dan Filiphina pada
peringkat pertama, ini merupakan angka yang memprihatinkan, dalam rentan
2016 hingga 2019 kerugian yang diderita negeri bahkan mencapai Rp 22,8 triliun
dalam periode tersebut, ditambah korban jiwa dimana lebih dari 29 ribu orang
mengalami luka berat dan 7 ribu lainnya dinyatakan hilang atau meninggal. Lagi
Sumatera kembali menjadi sorotan ketika Peristiwa tsunami Aceh tahun 2004,
gempa berkekuatan 9,3 skala richter yang menciptakan gelombang tsunami
setinggi 30 meter yang menewaskan 280.000 jiwa, bahkan ini tercatat sebagai
salah satu bencana paling mengerikan dalam 10 dekade terakhir. Namun Ada
cerita unik dibalik peristiwa ini, tepatnya di Pulau Simeulue Sumatera Barat yang
berjarak 150 km dari lepas pantai barat Aceh, wilayah ini menjadi perbincangan
dikarenakan saat peristiwa Tsunami Aceh tahun 2004, jumlah korban yang berasal
dari daerah ini hanya berjumlah 10 berbanding terbalik dengan yang ada di Pulau
Utama, lokasinya yang terletak dengan pusat gempa seharusnya pulau ini sudah
luluh lantah diterjang gelombang.

We cannot stop natural disasters but we can arm ourselves with


knowledge; so many lives wouldn’t have to be lost if there was enough
preparedness

Tentu menjadi tanda tanya dalam pikiran kita bagaimana hal itu bisa
terjadi, “not some short of miracle” pastinya. Ini semua berkat kesadaran
masyarakat untuk mempersenjatai diri mereka dengan pengetahuan yang
diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi dalam bentuk budaya
kesusastraan lokal yang masyakarat inovasikan sebagai sirine peringatan bencana.
Smong merupakan syair lagu karya Muhammad Riswan berisi kisah maupun
pengalaman masa lalu penduduk Pulau Simeulue dalam menghadapi bencana
gempa maupun tsunami, Smong diwarisi turun temurun oleh masyarakat dalam
berbagai kesempatan baik ketika memaneh cengkeh, pengajian maupun sebagai
cerita pengantar tidur. Kisah yang disampaikan terus menerus ini membangun
kesadaran masyarakat akan bahaya gempa dan tsunami di dataran Sumatera
terutama di Pulau Simeulue. Pada tsunami Aceh 2004, Smong berfungsi sebagai
peringatan bagi masyarakat mendeteksi pertanda tsunami dengan mengamati
aktivitas laut yang tidak biasa.
nggel mon sao surito… Unen ne alek linon…

Inang maso semonan… Fesang bakat ne mali…

Manoknop sao hampong…


Manoknop sao fano…
Tibo-tibo mawi…
Uwi lah da sesewan…
(Diawali oleh gempa)
(Dengarlah sebuah cerita)
(Disusul ombak yang besar
(Pada zaman dahulu) sekali)

(Tenggelam seluruh negeri)


(Tenggelam satu desa)
(Tiba-tiba saja)
(Begitulah mereka ceritakan)

Lirik dari syair memungkinkan masyarakat Pulau Simeulue memperoleh


peringatan dini akan pertanda tsunami yang terjadi pada saat itu, dengan
memperhatikan tanda-tanda seperti gempa, ombak, dan gelombang laut,
masyakarat Pulau Simeulue mampu menyelamatkan ribuan nyawa dari
gelombang Tsunami Aceh 2004.

Tradisi Smong merupakan sesuatu yang unik, representasi Local Wisdom


yang melekat pada masyarakat Simeulue telah menciptakan konsep “Awareness”
untuk senantiasa siaga dalam memperhatikan keadaan alam disekitar, bisa jadi
masyarakat Simeulue sudah beberapa langkah lebih maju daripada sebagian besar
dari kita dalam memahami konsep mitigasi bencana. Inovasi Mitigasi Bencana
berbasis budaya terutama dalam kesusastraan menjadi sesuatu yang baru,
masyarakat dunia tentu dibuat kagum bagaimana sebuah kesederhanaan berupa
tradisi mampu menyelamatkan ribuan nyawa dari bencana yang begitu dahsyat.
Secara pribadi saya lebih suka menyebutnya “Smong got something more than
meets the eye”. Mungkin kedepannya akan lebih banyak inovasi lain yang mampu
menyelamatkan lebih banyak nyawa, karena bagaimanapun perang melawan
bencana masih jauh dai kata usai.

“great things are done by a series of small things brought together”

Anda mungkin juga menyukai