0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan13 halaman
Dokumen tersebut membahas hasil analisis eksperimen optimasi formulasi kapsul menggunakan metode Box Behnken Design (BBD). Analisis dilakukan untuk menentukan model matematika terbaik dan faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap solubilitas kapsul. Hasil analisis menunjukkan bahwa model kuadratik cocok untuk menjelaskan hubungan antara faktor-faktor dan respons, dengan persamaan akhir yang dihasilkan.
Dokumen tersebut membahas hasil analisis eksperimen optimasi formulasi kapsul menggunakan metode Box Behnken Design (BBD). Analisis dilakukan untuk menentukan model matematika terbaik dan faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap solubilitas kapsul. Hasil analisis menunjukkan bahwa model kuadratik cocok untuk menjelaskan hubungan antara faktor-faktor dan respons, dengan persamaan akhir yang dihasilkan.
Dokumen tersebut membahas hasil analisis eksperimen optimasi formulasi kapsul menggunakan metode Box Behnken Design (BBD). Analisis dilakukan untuk menentukan model matematika terbaik dan faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap solubilitas kapsul. Hasil analisis menunjukkan bahwa model kuadratik cocok untuk menjelaskan hubungan antara faktor-faktor dan respons, dengan persamaan akhir yang dihasilkan.
Suatu perusahaan farmasi ingin mengetahui nilai optimum tentang bahan penyusun obat-obatan yang dilakukan untuk melihat solubility kapsul yang akan dibuat. Faktor (variabel independen) yang digunakan adalah Limonene dengan kadar minimal 18 mg dan maksimal 81 mg, bahan penyusun Cremophor EL dengan kadar minimal 7.2 mg dan maksimal 57.6 mg. Bahan yang terakhir adalah Capmule GMO50 dengan kadar minimal 1.8 mg dan maksimal 7.2 mg. Menurut data tersebut akan dilakukan percobaan optimasi dengan menggunakan metode Box Behnken Design (BBD).
4.2 Analisa hasil
4.2.1 Analisa Fit Summary meliputi lack of fit test, sequential model sum of squares dan model summary statistic, bandingkan antara nilai suggested dan aliased
Menurut hasil praktikum yang dilakukan, pada analisa hasil
Lack of Fit Test metode yang disarankan (Suggested) untuk digunakan adalah metode Quadratic. Metode Quadratic ini memiliki nilai Sum of Square sebesar 318.72, Degree of Freedom (df) adalah 3, nilai Mean of Square sebesar 106.24, nilai F-value sebesar 6.56 dan nilai p-value sebesar 0,0504. Metode yang disarankan adalah Quadratic dikarenakan memiliki nilai F-value dan nilai p-value paling kecil dibanding metode lain. Pada tabel juga dihasilkan metode yang tidak disarankan (Aliased) untuk dipakai yaitu metode Cubic dengan nilai Sum of Square sebesar 0,00000 dan nilai df adalah 0 serta tidak memiliki nilai Mean of Square, F-value dan p- value. Metode Cubic tidak disarankan karena tidak memiliki nilai Mean of Square, F-value dan p-value.
Menurut hasil praktikum yang dilakukan pada analisa
Sequential Model Sum of Squares [Type 1] metode yang disarankan (Suggested) untuk dipakai adalah metode Quadratic vs 2FI. Metode Quadratic vs 2FI memiliki nilai Sum of Square sebesar 11384.62, nilai df sebesar 3, nilai Mean of Square sebesar 3794.87, nilai F- value sebesar 69.26 dan nilai p-value <0.0001. Metode ini disarankan oleh aplikasi dikarenakan memiliki nilai p-value paling kecil dibanding metode lain. Metode yang tidak disarankan (Aliased) untuk dipakai adalah metode Cubic vs Quadratic. Metode Cubic vs Quadratic memiliki nilai Sum of Square sebesar 318.72, nilai df sebesar 3, nilai Mean of Square sebesar 106.24, F-value
sebesar 6.56 dan p-value sebesar 0,0504.
Menurut hasil praktikum yang dilakukan dihasilkan analisa
Model Summary Statistics. Metode yang disarankan (Suggested) pada tabel ini untuk dipakai adalah metode Quadratic dengan nilai Std. Dev. sebesar 7.40, nilai R2 adalah 0.9779, nilai Adjusted R2 sebesar 0.9496, nilai Predicted R2 adalah 0.7008 dan nilai Press adalah 5200.74. Metode Quadratic disarankan karena memiliki nilai regresi yang paling mendekati satu. Metode yang tidak disarankan (Aliased) untuk dipakai adalah metode Cubic dengan nilai Std. Dev. adalah 4.03, nilai R2 adalah 0.9963, nilai Adjusted R2 adalah 0.9851 dan tidak memiliki nilai Predicted R2 dan nilai Press. Data ini walaupun memiliki nilai regresi hampir mendekati satu namun tidak disarankan untuk digunakan karena tidak memiliki nilai Predicted R2 dan Press. Metode yang disarankan adalah Quadratic karena dapat mengidentifikasi bahwa metode matematis ini memiliki signifikansi yang tinggi dan dapat digunakan untuk menghasilkan nilai Solubility yang paling tinggi dan Hal ini dikarenakan nilai R squared adjustde dan R-Squared predicted paling mendekati 1 sehingga disarankan model Quadratic (Putra, 2012).
4.2.2 Tuliskan Fx Model yang digunakan serta process order yang di
sarankan oleh software
Menurut data praktikum yang dihasilkan maka diketahui
bahwa Process Order yang digunakan adalah Quadratic. FX model pada Process Order ditunjukkan oleh huruf “m” warna hijau yang berada di sebelah kiri. FX model tersebut adalah Intercept, A- Limonene, B-Crenophor EL, C-Capmule GMO50, AB, AC, BC, A2, B2 dan C2.
4.2.3 Jelaskan hasil Analisa ANOVA yang meliputi
a. Tabel hasil ANOVA Menurut hasil praktkum maka akan dihasilkan tabel Anova for Quadratic Model. Menurut tabel diatas maka dihasilkan Source Model sebagai data yang signifikan dan Lack of Fit sebagai yang tidak signifikan. Data yang significant yaitu Source Model memiliki nilai Sum of Square sebesar 16998.95, nilai df sebesar 9, nilai Mean of Square sebesar 1888.77, nilai F-value sebesar 34.47 dan nilai p-value <0.0001. Hal ini berarti membuktikan bahwa Source model signifikan karena p- value lebih kecil dari 0.0001. Untuk yang tidak signifikan maka yaitu Source Lack of Fit memiliki nilai Sum of Square sebesar 318.72, nilai d sebesar 3, nilai Mean of Square sebesar 106.24, F-value sebesar 6.56 dan p-value sebesar 0,0504. Hasil ini sesuai dengan literatur karena analisis ANOVA terhadap model mampu menjelaskan hubungan antara variabel dan respon. Ketika nilai p-value kurang dari a yaitu 0,05 maka model tersebut bersifat signifikan (Hardono, 2015).
b. Tabel Fit Statistics
Menurut hasil praktikum dihasilkan tabel ANOVA yaitu tabel Fit Statistics. Pada tabel dihasilkan Std Dev. sebesar 7,40, nilai Mean sebesar 41, nilai C.V. % sebesar 18.05. Dihasilkan juga nilai R2 sebesar 0.9779 dan nilai Adjusted R2 sebesar 0,9496, nilai Predicted R2 sebesar 0.7008 dan nilai Adeq Precision sebesar 14.4357. Nilai dari Cv (Coefesien Variances) merupakan nilai yang didapatkan dari pembagian std deviadi dengan mean lalu dikalikan 100%. Ketika Cv semakin tinggi maka persebaran data makin besar tetapi nilai CV harus rendah agar data makin presisi. Ketika sinyal makin tinggi dan nois makin kecil maka hasilnya akan semakin bagus. Ketika ratio makin besar hasil semakin bagus sehingga semakin presisi.
c. Persamaan Akhir dari Coded Equation dan Actual Equation
Menurut data hasil praktikum dihasilkan tabel Final Equation in
Terms of Coded Factors. Pada tabel didapatkan persamaan akhir dari Coded Equation. Persamaan akhir Coded Equation yaitu: Solubility = 79,158 + -6,06 * A + -13,7287 * B + -5,99375 * C + 9,1175 * AB + -26,0125 * AC + 11,025 * BC + -26,1515 * A^2 + -39,014 * B^2 + -15,919 * C^2.
Dimana A merupakan kadar Limonene, B merupakan Cremophor
EL dan C merupakan Capmule GMO50. Menurut data hasil praktikum maka dihasilkan tabel Final Equation in Terms of Actual Factors. Kemudian akan didapatkan persamaan akhir dari Actual Equation yaitu sebagai berikut:
+ 27,3227 * Capmule GMO50 + 0,0114859 * Limonene * Cremophor EL + -0,30585 * Limonene * Capmule GMO50 + 0,162037 * Cremophor EL * Capmule GMO50 + -0,0263558 * Limonene^2 + -0,0614355 * Cremophor EL^2 + -2,18368 * Capmule GMO50^2 Dengan rumus diatas maka dapat dihitung nilai Solubility berdasarkan kadar masing masing bahan penyusunnya.
d. Koefisien dari Coded Factors
Menurut data hasil praktikum akan dihasilkan tabel Coefficients in
Terms of Coded Factors. Dalam hasil dari tabel diketahui bahwa Factor Intercept memiliki nilai Coefficient Estimate sebesar 79.16, nilai df sebesar 1, nilai Standard Error sebesar 3.31, nilai 95% Cl Low sebesar 71.33, nilai 95% Cl High sebesar 86.99 dan tidak memiliki nilai VIF(Variance Inflantiom Factor). Factor A-Limonene memiliki nilai Coefficient Estimate sebesar -6.06, nilai df sebesar 1, nilai Standard Error sebesar 2.62, nilai 95% Cl Low sebesar -12.25, nilai 95% Cl High sebesar 0.1282 dan nilai VIF sebesar 1. Factor B-Cremophor EL memiliki nilai Coefficient Estimate sebesar -13.73, nilai df sebesar 1, nilai Standard Error sebesar 2.62, nilai 95% Cl Low sebesar -19.92, nilai 95% Cl High sebesar -7.54 dan nilai VIF(Variance Inflantiom Factor) sebesar 1. Untuk Factor C-Capmule GMO50 memiliki nilai Coefficient Estimate sebesar -5.99, nilai df sebesar 1, nilai Standard Error sebesar 2.62, nilai 95% Cl Low sebesar -12.18, nilai 95% Cl High sebesar 0.1944 dan nilai VIF(Variance Inflantiom Factor) sebesar 1. Factor AB memiliki nilai Coefficient Estimate sebesar 9.12, nilai df sebesar 1, nilai Standard Error sebesar 3.70, nilai 95% Cl Low sebesar 0.3661, nilai 95% Cl High sebesar 17.87 dan nilai VIF(Variance Inflantiom Factor) sebesar 1. Factor AC memiliki nilai Coefficient Estimate sebesar -26.01, nilai df sebesar 1, nilai Standard Error sebesar 3.70, nilai 95% Cl Low sebesar - 34.76, nilai 95% Cl High sebesar -17.26 dan nilai VIF(Variance Inflantiom Factor) sebesar 1. Factor BC memiliki nilai Coefficient Estimate sebesar 11.02, nilai df sebesar 1, nilai Standard Error sebesar 3.70, nilai 95% Cl Low sebesar 2.27, nilai 95% Cl High sebesar 19.78 dan nilai VIF(Variance Inflantiom Factor) sebesar 1. Factor A2 memiliki nilai Coefficient Estimate sebesar -26.15, nilai df sebesar 1, nilai Standard Error sebesar 3.61, nilai 95% Cl Low sebesar -34.68, nilai 95% Cl High sebesar -17.62 dan nilai VIF(Variance Inflantiom Factor) sebesar 1.01. Factor B2 memiliki nilai Coefficient Estimate sebesar - 39.01, nilai df sebesar 1, nilai Standard Error sebesar 3.61, nilai 95% Cl Low sebesar -47.54, nilai 95% Cl High sebesar -30.48 dan nilai VIF(Variance Inflantiom Factor) sebesar 1.01. Factor C2 memiliki nilai Coefficient Estimate sebesar -15.92, nilai df sebesar 1, nilai Standard Error sebesar 3.61, nilai 95% Cl Low sebesar -24.45, nilai 95% Cl High sebesar -7.39 dan nilai VIF(Variance Inflantiom Factor) sebesar 1.01.
4.2.4 Print screen hasil countour dan 3D contour. Jelaskan dengan
menggunakan literatur (1 literatur)
a. Contour AB dan 3D Contour AB
Menurut hasil praktikum dari data Contour AB maka
dihasilkan grafik hubungan antara Limonene (sumbu X) dan Chremophor EL (sumbu Y) dengan Actual Factor yaitu Capmule GMO50 sebesar 7,2. Solubility yang dihasilkan memiliki nilai Low sebesar 1.6 dan nilai High sebesar 82.06. Pada Contour diatas terdapat lingkaran berwarna merah yang disebut dengan design point. Dari Contour diatas dapat diambil kesimpulan yaitu semakin gelap warnanya maka semakin tinggi solubilitasnya dan akan semakin maksimal.
Menurut hasil praktikum dari data dihasilkan Contour 3D
AB dimana merupakan hubungan grafik Limonene (sumbu X) dan Chremophor EL (sumbu Y) dengan Actual Factor yang digunakan adalah Capmule GMO50 sebesar 7,2. Pada gambar Contour 3D AB dapat dilihat tingkat solubility nya berdasarkan ketinggian Contour yang dihasilkan. Pada Contour diatas terdapat lingkaran berwarna merah yang disebut dengan design point. Maka dapat disimpulkan bahwa ketika Contour 3D semakin tinggi dan semakin gelap maka tingkat solubility nya juga akan semakin tinggi. Solubility yang dihasilkan memiliki nilai Low sebesar 1.6 dan nilai High sebesar 82.06. b. Contour AC dan 3D Contour AC
Menurut hasil praktikum dari data Contour AC maka
dihasilkan grafik hubungan antara Limonene (sumbu X) dan Chremophor EL (sumbu Y) dengan Actual Factor yaitu Capmule GMO50 sebesar 32,4. Solubility yang dihasilkan memiliki nilai Low sebesar 1.6 dan nilai High sebesar 82.06. Pada Contour diatas terdapat lingkaran berwarna merah yang disebut dengan design point. Dari Contour diatas dapat diambil kesimpulan yaitu semakin gelap warnanya maka semakin tinggi solubilitasnya dan akan semakin maksimal.
Menurut hasil praktikum dari data dihasilkan Contour 3D
AC dimana merupakan hubungan grafik Limonene (sumbu X) dan Chremophor EL (sumbu Y) dengan Actual Factor yang digunakan adalah Capmule GMO50 sebesar 32,4. Pada gambar Contour 3D AC dapat dilihat tingkat solubility nya berdasarkan ketinggian Contour yang dihasilkan. Pada Contour diatas terdapat lingkaran berwarna merah yang disebut dengan design point. Maka dapat disimpulkan bahwa ketika Contour 3D semakin tinggi dan semakin gelap maka tingkat solubility nya juga akan semakin tinggi. Solubility yang dihasilkan memiliki nilai Low sebesar 1.6 dan nilai High sebesar 82.06 c. Contour BC dan 3D Contour BC Menurut hasil praktikum dari data Contour BC maka dihasilkan grafik hubungan antara Limonene (sumbu X) dan Chremophor EL (sumbu Y) dengan Actual Factor yaitu Capmule GMO50 sebesar 49,5. Solubility yang dihasilkan memiliki nilai Low sebesar 1.6 dan nilai High sebesar 82.06. Pada Contour diatas terdapat lingkaran berwarna merah yang disebut dengan design point. Dari Contour diatas dapat diambil kesimpulan yaitu semakin gelap warnanya maka semakin tinggi solubilitasnya dan akan semakin maksimal.
Menurut hasil praktikum dari data dihasilkan Contour 3D
BC dimana merupakan hubungan grafik Limonene (sumbu X) dan Chremophor EL (sumbu Y) dengan Actual Factor yang digunakan adalah Capmule GMO50 sebesar 49,5. Pada gambar Contour 3D BC dapat dilihat tingkat solubility nya berdasarkan ketinggian Contour yang dihasilkan. Pada Contour diatas terdapat lingkaran berwarna merah yang disebut dengan design point. Maka dapat disimpulkan bahwa ketika Contour 3D semakin tinggi dan semakin gelap maka tingkat solubility nya juga akan semakin tinggi. Solubility yang dihasilkan memiliki nilai Low sebesar 1.6 dan nilai High sebesar 82.06. Grafik Contour ini akan menunjukkan bagaimana komponen saling mempengaruhi pada nilai respon solubility. Warna-warna pada grafik Contour akan menunjukkan respon solubility dimana semakin gelap warnanya maka solubility akan semakin baik. Garis- garis dari titik-titik pada grafik Contour akan menunjukkan kombinasi dari ketiga komponen dengan jumlah berbeda menghasilkan respon solubility yang sama. Bentuk permukaan dari hubungan interaksi antar komponen ini dapat dilihat pada grafik 3D Contour (Nurmiah et al., 2013).
4.2.5 Analisa hasil nilai optimum, Tuliskan nilai desirability pada titik maksimum untuk masing – masing factor Print Screen hasil Analisa grafiknya. Tuliskan fungsi nilai Desirability (1 Literatur)
Menurut data hasil praktikum yang dilakukan maka optimasi
dengan metode Box Benhken Design menghasilkan satu solusi. Hasil dari solusi tersebut adalah dalam pembuatan kapsul komposisinya adalah dengan Limonene sebesar 48.314, Cremophor EL sebesar 27.040 dan Capmule GMO50 sebesar 3.877. Maka komposisi tersebut akan menghasilkan nilai solubility paling optimal sebesar 81.428 dan nilai desirability sebesar 0.922. Menurut hasil praktikum dari data Contour AB maka dihasilkan grafik hubungan antara Limonene (sumbu X) dan Chremophor EL (sumbu Y) dengan Actual Factor yaitu Capmule GMO50 sebesar 7,2. Solubility yang dihasilkan memiliki nilai Low sebesar 1.6 dan nilai High sebesar 82.06. Dari Contour diatas dapat diambil kesimpulan yaitu semakin gelap warnanya maka semakin tinggi solubilitasnya dan akan semakin maksimal.
Menurut hasil praktikum dari data Contour AC maka
dihasilkan grafik hubungan antara Limonene (sumbu X) dan Chremophor EL (sumbu Y) dengan Actual Factor yaitu Capmule GMO50 sebesar 32,4. Solubility yang dihasilkan memiliki nilai Low sebesar 1.6 dan nilai High sebesar 82.06. Dari Contour diatas dapat diambil kesimpulan yaitu semakin gelap warnanya maka semakin tinggi solubilitasnya dan akan semakin maksimal. Menurut hasil praktikum dari data Contour BC maka dihasilkan grafik hubungan antara Limonene (sumbu X) dan Chremophor EL (sumbu Y) dengan Actual Factor yaitu Capmule GMO50 sebesar 49,5. Solubility yang dihasilkan memiliki nilai Low sebesar 1.6 dan nilai High sebesar 82.06. Dari Contour diatas dapat diambil kesimpulan yaitu semakin gelap warnanya maka semakin tinggi solubilitasnya dan akan semakin maksimal. Maka menurut praktikum dihasilkan nilai desirability dan nilai solubility sama yaitu 0.922 dan 81.428. Nilai desirability merupakan nilai fungsi tujuan optimasi yang menunjukkan kemampuan program untuk memenuhi kriteria yang ditetapkan pada produk akhir. Kisaran nilainya dari 0 sampai 1,0. Semakin mendekati angka 1,0 nilai desirability maka menunjukkan kemampuan program untuk menghasilkan produk yang dikehendaki sempurna. Tujuan optimasi bukan untuk memperoleh nilai desirability, namun untuk mencari kondisi terbaik yang mempertemukan semua fungsi tujuan. Semakin tinggi tingkat desirability, maka hasil respon akan semakin mendekati nilai yang diprediksi (Risfaheri, 2018).