Anda di halaman 1dari 119

1

i
LEMBAR PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah

MULIYANA
NIM : PO.731.241.17.1.029
Dengan Judul :

“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Nyeri Punggung Bawah Akibat Spondylosis

Lumbal”

Telah Dipertahankan Di Depan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Fisioterapi

Pada Tanggal Agustus 2020

TIM PENGUJI KARYA TULIS ILMIAH

Nama Jabatan Tanda Tangan

1. Sudaryanto, SSt.Ft.M.Kes.M.Fis Pembimbing I 1….....


NIP.196720421194031003

2. Suharto,SPd.SSt.Ft.M.Kes Pembimbing II 2……..


NIP.196704111990031002

3. Dr.H. Tiar Erawan, SPd.S.Ft.Physio.M.Kes Penguji I 3…….


NIP.196808161994031003

4. Arpanjam’an, SKM.SSt.Ft.M.Adm.Kes Penguji II 4…….


NIP.197204211994031003

Mengetahui
Ketua Jurusan Fisioterapi
Poltekkes Makassar

DarwisDurahim, SPd.SSt.Ft,M.Kes
NIP.196902101994031005

ii
ABSTRAK

Muliyana, NIM. PO. 7.1.324.114.1.029, Karya Tulis Ilmiah dengan judul


“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada nyeri punggung bawah Akibat Spondylosis Lumbal”,
dibimbing oleh Sudaryanto dan Suharto
Lumbar spondylosis adalah kondisi degeneratif yang mempengaruhi tulang
belakang bagian bawah. pada pasien dengan spondylosis lumbar, tulang belakang
dikompresi dengan penyempitan ruang antara vertebra, menyebabkan berbagai
masalah kesehatan mulai dari nyeri punggung hingga masalah neurologis. dalam
kasus klasik spondylosis lumbar, ruang antara disk di tulang belakang lumbar
menjadi menyempit. sebagai hasilnya, pasien mengalami mati rasa, kesemutan, dan
rasa sakit yang dapat menyebar keluar dari daerah tersebut.
Jenis penelitian adalah case studi dgn 2 pasien Low Back Pain yang diambil
dari kajian literatur yang sesuai dengan judul penelitian.
Hasil penelitian berdasarkan 4 referensi jurnal diperoleh jurnal pertama hasil
pemberian Short Wave Dhiatermy gelombang pendek diatermi efektif terhadap
spondylosis. Jurnal kedua hasil Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation
menurunkan nyeri sebanyak 52% dan 37%.Jurnal ketiga Exercise kemapuan
mengontrol posisi bagian pusat tubuh.dan jurnal empat setelah diberikan yoga
terdapat penurunan skala nyeri dimana skala posttest 2,50 dan didapatkan nilai
Pvalue 0,001.Berdasarkan pengalaman peneliti menggunakan pendekatan Short
Wave Dhiatermy , Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation,Core stability dan
Yoga Exercise efektif terhadap Nyeri punggung bawah akibat Spondylosis Lumbal.
Dalam beberapa jurnal bahwa intervensi Short Wave Dhiatermy, Trancutaneus
Electrical Nerve Stimulation, Core Stability, dan Yoga Exercise Menghasilkan
perubahan pada pasien Nyeri punggung bawah terutama pada pasien Nyeri punggung
Bawah akibat Spondylosis Lumbal

Kata Kunci: : Low Back Pain, Spondylosis Lumbal, Short Wave Dhiatermy,
Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation, Core Stability dan Yoga Exercise.

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan semesta alam yang

senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya serta kesehatan dan kemudahan

sehingga penulis mampu melewati segala hambatan dan tantangan dalam

menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah ini dengan judul “Penatalaksanaan

Fisioterapi Pada Nyeri Punggung Bawah Akibat Spondylosis Lumbal” sehingga

dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Ahli Madya Fisioterapi.

Selama proses pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis menghadapi banyak

hambatan disebabkan oleh keterbatasan kemampuan yang dimiliki, berkat dukungan

moril dan materil yang diberikan oleh banyak pihak yang senantiasa mencurahkan

kasih sayang, perhatian, serta ridha lahir dan batin kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.

Penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-

besarnya kepada:

1. Kedua orang tua saya tercinta Bapak Samiun dan Ibu Namri yang telah

memberikan doa dan dukungan seta mencurahkan kasih sayang, perhatian,

bantuan moril dan materil dan selalu menjadi pengingat dan penyemangat saya

di setiap keadaan sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan. Juga untuk

semua keluarga yang sudah mendoakan dan memberi semangat kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

iv
2. Bapak Dr. Ir. Agustian Ipa, M.Kes, selaku direktur Politeknik Kesehatan

Kemenkes Makassar atas segala fasilitas yang diberikan kepada penulis selama

menempuh pendidikan D.III di jurusan Fisioterapi Politeknik Kesehatan

Kemenkes Makassar.

3. Bapak Darwis Durahim, S.Pd., S.St.Ft., M.Kes, selaku Ketua Jurusan Fisioterapi

Poltekkes Kemenkes Makassar atas segala fasilitas, saran, nasehat, dan

dukungan moril yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan

D.III di jurusan Fisioterapi Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar.

4. Ibu Andi Halimah, S.St.Ft,M.Adm.Kes selaku Sekretaris jurusan Fisioterapi

Poltekkes Kemenkes Makassar yang senantiasa memberikan saran, nasehat, dan

dukungan moril.

5. Bapak Dr. Muhammad Awal, SKM.M.KES, selaku Ketua Prodi D-III Jurusan

Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Makassar yang dengan penuh kasih sayang dan

kesabaran mendidik dan mensupport penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi D-III dengan tepat waktu.

6. Bapak Sudaryanto, SSt,Ft.M.Kes.M.Fis dan Bapak Suharto,SPd,SSt.Ft.M.Kes

selaku pembimbing I dan pembimbing II yang dengan sepenuh hati dan dengan

sabar membimbing, memberikan arahan serta motivasi juga support kepada

penulis mulai dari pemilihan judul, penyusunan proposal hingga penyelesaian

karya tulis ilmiah.

7. sepenuh hati memberi support, arahan dan bantuan kepada penulis selama proses

pengurusan karya tulis ilmiah.

v
8. Kepada kepala rumah sakit dan pembimbing serta kakak senior fisioterapis di

seluruh Rumah Sakit yang telah menjadi tempat saya melakukan praktek klinik,

terimakasih atas kerja sama dan bimbingannya serta telah memberikan banyak

pengalaman selama saya menjalankan praktek klinik disana

9. Seluruh dewan dosen dan pegawai staf di Jurusan Fisioterapi Poltekkes

Kemenkes Makassar yang selama ini telah mencurahkan segenap ilmu yang

dimiliki kepada penulis dan membantu penulis dalam segala pengurusan karya

tulis ilmiah ini.

10. Bapak Burhan, S.Sos, selaku petugas perpustakaan di Jurusan Fisioterapi

Poltekkes Kemenkes Makassar yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk mendapatkan referensi dalam buku – buku penunjang yang terkait

dengan karya tulis ilmiah ini.

11. Kepada teman – teman seperjuangan OCCIP17AS, terkhusus kelas D.III

K1NDER70Y Fisioterapi atas segala kerja sama, kekompakan dan kebersamaan

yang terjalin baik serta canda, tawa, suka dan duka dari awal pertemuan hingga

hari ini.

12. Teman – teman sejawat dan seperjuangan dalam grup whatsapp “

CUMLAUDE” D III Fisioterapi yang sudah sangat setia menemani penulis

dalam suka dan duka serta memberi doa dan semangat hingga hari ini.

Semoga segala bantuan dan partisipasinya dalam penyelesaian skripsi

ini akan bernilai ibadah yang tidak ternilai dan mendapat pahala dari Allah

SWT. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh

vi
penulis agar penyusunan selanjutnya dapat menjadi lebih baik lagi dan

bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Tak ada sesuatu apapun di muka bumi ini yang sempurna, seperti

halnya dengan karya tulis ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah

ini masih terlalu sempit dilihat dari luasnya cakupan dan terlalu dangkal dari

aspek kedalaman materi serta analisisnya namun inilah hasil dari kerja keras,

keringat, dan semangat yang penulis kerahkan demi terselesaikannya karya tulis

ilmiah ini. Oleh karena itu, segala bentuk kritik dan saran yang membangun,

sangat penulis harapkan demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga

Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya

kepada kita semua. Aamiin yaa rabbal ‘alamin.

Makassar, 2020

Muliyana

vii
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR.................................................................................................................
SAMPUL DALAM..............................................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................Error! Bookmark not defined.
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................ii
ABSTRAK........................................................................................................................iii
KATA PENGANTAR.............................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.............................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................................x
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................3
C. Tujuan Penelitian...................................................................................................3
D. Manfaat Penelitian.................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................5
A. Tinjauan Tentang Spondylosis Lumbal................................................................5
B. Tinjauan Tentang Pengukuran Fisioterapi.........................................................18
C. Tinjauan Intervensi Fisioterapi..............................................................................25
D. Kerangka Pikir Penelitian...................................................................................41
BAB III METODE PENELITIAN..................................................................................42
A. Jenis Penelitian....................................................................................................42
B. Metode Pengumpulan Data.................................................................................42
BAB IV DESKRIPSI KASUS.........................................................................................44
A. Proses Pemecahan Masalah Fisioterapi.................................................................44
B. Hasil dan Pembahasan..........................................................................................77
BAB V PENUTUP...........................................................................................................87
A. Kesimpulan..........................................................................................................87
B. Saran-saran..........................................................................................................88
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................89

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1

ix
DAFTAR GAMBAR

x
DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran Jurnal
2. Lampiran Riwayat Hidup

xi
DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Penjelasan

C1 Cervical 1

C2 Cervical 2

DALY Disability Adjusted Life Years

IMT Indeks Massa Tubuh

LBP Low Back Pain

L4, L5 Lumbal 4, Lumbal 5

RS Rumah Sakit

WHO World Health Organization

TENS Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyeri punggung bawah adalah salah satu kondisi nyeri yang paling umum

dialami manusia sepanjang hidup. Nyeri punggung bawah bukan merupakan

diagnosa atau penyakit melainkan istilah yang menunjukkan adanya gejala.

Nyeri punggung bawah dapat disebabkan oleh berbagai kondisi atau penyakit.

Salah satu penyakit yang berhubungan dengan faktor penuaan atau faktor

degenerasi yang sering menyerang regio lumbal adalah spondylosis lumbal.

(Violante et al 2015)

Spondylosis Lumbal dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang

dengan kiri khas bertambahnya degenerasi diskus intervertebralis yang diikuti

perubahan tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertembuhan perlebihan

dari tulang ( osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan

kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis

( korpus) ( Mahadewa dan Maliawan 2009).

Insiden spondylosis lumbal adalah 27-37% dari populasi nyeri punggung

bawah tanpa gejala. Sebagai contoh di Amerika Serikat, lebih dari 80% orang

yang berumur di atas 40 tahun memiliki spondylosis lumbar, dan sekitar 3%

1
orang yang berusia 20-29 tahun (Manchikanti L, 2000). Sekitar 84% pria dan

74% wanita memiliki osteofit vertebral, paling sering pada level T9-10 dan L3.

Sekitar 30% pria dan 28% wanita berusia 55-64 tahun memiliki osteofit lumbal.

Sekitar 20% pria dan 22% wanita berusia 45-64 tahun memiliki osteofit

lumbar (Franz EW. et al 2015).

Prevalensi lumbar spondylosis di Asia jarang dilaporkan, dan data tentang

faktor risiko lumbar spondylosis pada populasi Asia langka (Yoshimura et al,

2000). Namun, menurut Medical Information for Google, lebih dari 2 juta kasus

Spondylosis terjadi di Indonesia.

Spondilosis lumbal dapat dimulai pada orang yang berumur 20 tahun. Ini

meningkat seiring dengan dan mungkin merupakan hal yang tidak terhindarkan

dari usia tua. Itulah mengapa nampaknya merupakan fenomena penuaan yang

tidak spesifik, juga dikenal sebagai arthritis tulang belakang. Sebagian besar

penelitian internasional menunjukkan tidak ada hubungan dengan gaya hidup,

tinggi, berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, konsumsi rokok dan alkohol,

atau riwayat reproduksi. (Yoshimura et al, 2000).

Berdasarkan hasil obsevasi yang dilakukan oleh peneliti pada bulan

November – Januari 2019 di RS. Bhayangkara Makassar ditemukan sebanyak 20

orang penderita spondylosis lumbal. Berdasarkan pengamatan dan pemeriksaan

fisioterapi yang dilakukan maka ditemukan adanya nyeri pada punggung bawah,

terbatasnya lingkup gerak sendi lumbal, adanya kelemahan otot perut dan

punggung. Activity limitation ditemukan pada kasus ini yaitu kesulitan

2
melakukan gerakan membungkuk, nyeri yang dirasakan saat berjalan dan duduk

dalam waktu yang lama.

Fisioterapi dalam hal ini memegang peranan untuk mengembalikan dan

mengatasi impairment tersebut sehingga pasien dapat beraktifitas kembali.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka modalitas fisioterapi yang

digunakan adalah modalitas Short Wave Diathermy (SWD), Transcutaneus

Electrical Nerve Stimulation (TENS), Yoga exercise, dan Core Stability

Exercise.

Menurut Thomas H 2003 ada beberapa efek SWD dimana perubahan

temperatur pada jaringan dapat menghasilkan perubahan tonus otot dan

perbaikan ekstensibilitas jaringan sehingga efek tersebut sangat bermanfaat

sebelum pemberian latihan.

Yoga exercise merupakan latihan aktif yang lebih banyak menekankan

pada perbaikan fleksibilitas dan ekstensibilitas jaringan lunak dimana bentuk

latihannya melibatkan tubuh secara general. Sedangkan latihan core stability

diperuntukkan pada otot-otot core regio lumbal, yaitu otot transversus abdominis

dan multifidus. Aktivasi otot core regio lumbal melalui core stability exercise

disertai aktivasi global muscle akan memperbaiki stabilitas lumbal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini

adalah bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada low back pain akibat

spondylosis lumbal di RS Bhayangkara Makassar ?

3
C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada low back pain

akibat spondylosis lumbal di RS Bhayangkara Makassar.

1. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui jenis pemeriksaan fisioterapi pada low back pain akibat

spondylosis lumbal seperti anamnesis,observasi dan pemeriksaan fisik

b. Untuk mengetahui diagnosa dan problematik fisioterapi pada pada low

back pain akibat spondylosis lumbal.

c. Untuk mengetahui jenis intervensi fisioterapi pada pada low back pain

akibat spondylosis lumbal.

d. Untuk mengetahui hasil dan evaluasi fisioterapi pada low back pain akibat

akibat spondylosis lumbal.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Diharapkan dapat dijadikan salah satu referensi atau memberikan kontribusi

akademis tentang penatalaksanaa fisioterapi pada spondylosis lumbal.

2. Manfaat Praktis

4
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan referensi

tentang penatalaksanaan fisioterapi pada spondylosis lumbal.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Spondylosis Lumbal

1. Pengertian

5
Spondylosis Lumbal dapat diartikan perubahan pada sendi tulang

belakang dengan kiri khas bertambahnya degenerasi diskus intervertebralis

yang diikuti perubahan tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti

pertembuhan perlebihan dari tulang ( osteofit), yang terutama terletak di

aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan

inferior vertebra centralis ( korpus) ( Mahadewa dan Maliawan 2009)

Spondylosis Lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau

spur tulang yang terbentuk karena adanaya proses penuaan atau degenerasi.

Proses degenerasi umumnya terjadi pada segmen L4-L5 dan L5-S1.

Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami spondylosis

adalah diskus intervetebralis, facet join, corpus vertebra dan ligamen

(terutama ligamen flavun) (Regan 2010).

Insiden spondylosis lumbal adalah 27-37% dari populasi nyeri

punggung bawah tanpa gejala. Sebagai contoh di Amerika Serikat, lebih dari

80% orang yang berumur di atas 40 tahun memiliki spondylosis lumbar, dan

sekitar 3% orang yang berusia 20-29 tahun (Manchikanti L, 2000). Sekitar

84% pria dan 74% wanita memiliki osteofit vertebral, paling sering pada level

T9-10 dan L3. Sekitar 30% pria dan 28% wanita berusia 55-64 tahun

memiliki osteofit lumbal.

2. Anatomi Biomekanik lumbal

a. Segmen Gerak

1) Diskus Intervertebralis

6
Diantara dua korpus vertebra dihubungkan oleh diskus

intervertebralis, merupakan fibrocartilago compleks yang membentuk

articulasio antara corpus vertebra, dikenal sebagai symphisis joint.

Diskus intervertebralis pada orang dewasa memberikan kontribusi

sekitar ¼ dari tinggi spine.

Diskus juga dapat memungkinkan gerak yang luas pada vertebra.

Setiap diskus terdiri atas 2 komponen yaitu:

a) Nukleus pulposus; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk

jelly transparan, mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen

dan proteoglycans yang merupakan unsur-unsur khusus yang bersifat

mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus tidak mempunyai

pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus mempunyai kandungan

cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi

serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke annulus

fibrosus dan sebagai shock absorber.

b) kekuatan tension ketika vertebra mengalami beban kompressi,

twisting, atau pembengkokan sehingga membantu mengendalikan

gerakan vertebra yang beragam. Susunan serabutnya yang kuat

melindungi nukleus di dalamnya dan mencegah terjadinya prolapsus

nukleus.

2) Facet Joint

7
Facet joint dibentuk oleh processus articularis superior dari

vertebra bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas.

Facet joint termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap facet

joint mempunyai cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul.

Gerakan yang terjadi pada facet joint adalah gliding yang cukup kecil,

sehingga memungkinkan terjadi gerak tertentu yang lebih dominan

pada segmen tertentu. Fungsi mekanis facet joint adalah mengarahkan

gerakan. Besarnya gerakan pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh

arah permukaan facet articular (Levangie and Norkin, 2005).

Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya

terletak lebih dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas

menghadap kearah medial dan sedikit posterior, sedangkan facet bagian

bawah menghadap kearah lateral dan sedikit anterior. Kemudian, facet

bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian

bawah adalah konveks. Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbal

sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi lumbal

sangat terbatas. Facet artikularis lumbosacral terletak sedikit lebih

kearah bidang frontal daripada sebenarnya pada sendi-sendi lumbal

lainnya (Levangie and Norkin, 2005).

Facet joint dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan

spine untuk menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana ½-nya

diberikan oleh facet joint. Facet joint juga menopang sekitar 30% beban

kompresi pada spine, terutama pada saat hiperekstensi. Gaya kontak

yang paling besar terjadi pada facet joint L5-S1. Apabila diskus

8
intervertebralis dalam keadaan baik, maka facet joint akan menyangga

beban axial sekitar 20% sampai dengan 25%, tetapi ini dapat mencapai

70% apabila diskus intervertebralis mengalami degenerasi. Facet joint

juga menahan gerakan torsi sampai 40% (Frank, 2001).

Gambar 2.1 Anatomi Lumbal Spine (Magee, 2008)

1) Ligamen

Ligamen utama dari lumbal spine sama seperti yang ada pada

lower cervical dan thoracal, yaitu ligamen longitudinale anterior dan

ligamen longitudinal posterior. Ligamen longitudinale anterior

merupakan ligamen yang tebal dan kuat, berperan sebagai stabilisator

pasif saat gerakan ektensi lumbal. Ligamen longitudinal posterior

merupakan ligamen yang sangat sensitif karena banyak mengandung

serabut saraf afferent nyeri (A delta dan tipe C) dan memiliki sirkulasi

darah yang banyak, berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan

9
fleksi lumbal. Ligamentum flavum mengandung lebih banyak serabut

elastin daripada serabut kolagen dibandingkan dengan ligamen-ligamen

lainnya pada vertebra, berperan mengontrol gerakan fleksi lumbal.

Ligamentum supraspinosus dan interspinosus berperan sebagai

stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal, serta ligamentum

intertransversum berperan mengontrol gerakan lateral fleksi kearah

kontralateral.

Gambar 2.2 Ligamen-ligamen pada lumbal spine (Magee, 2008)

b. Muskular

Otot-otot punggung dapat dibagi secara umum menjadi otot global

dan otot lokal. Sistem otot global terdiri dari otot-otot yang menghasilkan

10
torsi besar dan bekerja pada trunk tanpa melekat secara segmental pada

vertebra. Otot-otot ini termasuk m. rectus abdominis, m. external oblique,

dan m. iliocostalis lumbal bagian thoracic. Sistem otot lokal terdiri dari

otot-otot yang secara langsung melekat pada setiap segmen vertebra

lumbal dan bertanggung jawab mempertahankan stabilitas segmental dan

mengontrol segmen lumbal.

1) Core Muscle

Core muscle terdiri dari otot silinder yang menyelimuti lapisan

dalam perut, yang terdiri dari 4 grup otot utama yaitu, (1) otot

transversus abdominis, yang berada di bawah otot obliqus internus, otot

obliqus eksternus dan rectus abdominis, (2) otot multifidus, yang berada

diantara tulang vertebra, (3) otot diafragma, merupakan otot primer

untuk bernapas, (4) otot-otot dasar panggul. Keempat grup otot ini

bekerja secara harmonis dan berkontaksi secara bersama-sama , mereka

akan menjaga posisi stabil pada vertebra (the netral zone) (Pramita,

2014).

M. multifidus lumbal, m. psoas major, m. quadratus lumborum,

m. interspinales, m. intertransversarii, m. iliocostalis dan longissimus

bagian lumbal, m. tranversus abdominis (TrA), diaphragma, dan

11
serabut posterior dari m. internal oblique merupakan bagian dari sistem

otot lokal. Otot-otot lokal, seperti m. tranversus abdominis (TrA) dan

m. multifidus lumbosacral cenderung mengambil peran besar

kesuksesan rehabilitasi pada gangguan instabilitas spinal dengan

gangguan gerakan koordinasi.

Otot multifidus lumbar merupakan otot dengan tipe bipennate

pada origo dan insersionya. Otot ini muncul dari tendinous slip prosesus

mammilaris tepatnya pada lateral dan inferior dari facet joint. Berasal

dari titik ini berjalan ke atas dan medial menuju origo otot multifidus

pada sepertiga atas facet yang berdekatan. Kemudian 2 set otot

multifidus bersambung dengan jaringan otot multifidus lainnya pada

ujungnya dalam sebuah tendinous slip yang berinsersio pada processus

spinosus bagian posterior inferior. Fasciculus otot multifidus lumbal

berperan baik sebagai rotator sagital posterior pada origonya dan

panjang processus spinosus dapat memberikan keuntungan mekanik

yang besar. Namun, posisinya tidak berperan baik dalam memberikan

kontribusi terhadap gerakan translasi posterior dari ekstensi, dan otot

multifidus memiliki lever lengan pendek untuk membantu gerakan

axial rotasi vertebra.

2) Global Muscle

a) Otot Rectus Abdominis

12
Rectus abdominis berasal dari permukaan luar kartilago costa

V, VI, VII, processus xipoideus, dan ligamentum xipoidea. Insersio

pada sisi kranial tulang pubis antara tuberculum pubicum dengan

simphisis pubis. Persarafan dari saraf intercostalis. Sedangkan fungsi

otot ini adalah menarik thorak ke arah pelvis, mengangkat pelvis ke

depan dan menekan perut (Palastanga & Soames, 2012).

Gambar 2.3 Rectus abdominis, anterior view

(Palastanga & Soames, 2012)

b) Otot Obliqus Abdominis Eksternus

13
Berasal dari permukaan costa V dan VI sampai XII serta

berinsersio di crista illiaca Persyarafannya dari saraf intercostalis

lengan caudal, iliohipogastrikus dan saraf ilionguinal. Otot ini

berfungsi menekan perut, menarik rangka tubuh condong ke depan,

menarik pelvis ke atas, dan pasca kontraksi sepihak membantu rotasi

thorak ke sisi berlawanan (Palastanga & Soames, 2012).

c) Otot Obliqus Abdominus Internus

Berasal dari crista iliaca, fascia thoracolumbalis, dan pada dua

pertiga ligamen inguinal, dan berinsersio pada ke-3 atau ke-4

cartilago costalis dan linea alba. Persarafannya dari saraf

intercostalis bagian caudal, iliohipogastrikus, dan saraf ilioinguinal.

Fungsi otot tersebut adalah rotasi ke sisi yang sama, membantu otot

oblikus abdominus eksternus pada sisi yang berlawanan untuk

menekuk/ fleksi dan rotasi kolumna vertebralis kesamping

(Palastanga &Soames 2012).

14
Gambar 2.4 Obliqus Abdominis eksternus dan internus
(Palastanga &Soames 2012).

Otot-otot yang berperan besar terhadap gerakan rotasi axial

adalah m. oblique abdominal namun otot tersebut pada saat yang sama

juga dapat menghasilkan gerakan fleksi. M. erector spine dan m.

multifidus telah dijelaskan sebagai otot yang aktif selama rotasi untuk

mengatasi moment gerak fleksi. Walaupun m. multifidus telah dikatakan

sebagai lateral fleksor vertebra lumbal, perlekatan otot ini sangat dekat

dengan aksis gerak yang memberikan berkontribusi signifikan pada

lateral fleksi. Beberapa gerakan lateral fleksi dihasilkan oleh otot

multifidus yang menyebabkan kombinasi ekstensi dengan sedikit axial

rotasi kontralateral, yang menjadi salah satu alasan untuk gerakan

berpasangan yang konsisten pada upper lumbal dengan gerak rotasi

kontralateral saat lateral fleksi. M. multifidus memberikan kontribusi

terhadap kontrol gerakan segmental lumbal dengan mempertahankan

keseimbangan segmental dan perkembangan stiffness intersegmental.

15
Gambar 2.6Otot-otot pada lumbal spine (Kisner, 2012)

c. Kinematika Lumbal

Otot fleksor adalah rectus abdominis, yang berperan pada saat

gerakan fleksi lumbal, dimana nucleus palposus akan bergerak kearah

posterior sehingga mengulur serabut annulus fibrosus bagian posterior.

Pada saat yang sama, procesus artikularis inferior dari vertebra bagian atas

akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak menjauhi proccssus

artikularis superior dari vertebra bagian bawah sehingga kapsular-

ligamenter sendi facet akan mengalami peregangan secara maksimal serta

ligament pada arcus vertebra bagian (flavum), ligament interspinosus,

ligament supraspinosus dan ligament longitudinal posterior (Hamill et al,

2015).

Gerakan ekstensi lumbal dilakukan oleh otot spinalis dorsi, otot

longisimus dorsi dan iliocostalis lumborum. Pada saat ekstensi lumbal,

nucleus pulposus akan mendorong serabut annulus fibrosus bagian anterior

sehingga terjadi penguluran sementara ligament longitudinal posterior

relaks. Pada saat yang sama, prosesus artikularis dari vertebra bagian

bawah dan atas menjadi saling terkunci, dan prosessus spinosus dapat

saling bersentuhan satu sama lain (Hamill et al, 2015).

16
Otot iliocostalis lumborum merupakan penggerak utama untuk rotasi

ipsilateral dan kontralateral, bila otot berkontraksi terjadi rotasi ke pihak

berlawanan oleh m. obliqus eksternus ahdominis. Pada saat rotasi lumbal,

vertebra bagian atas berotasi terhadap vertebra bagian bawah, tetapi

gerakan rotasi ini hanya terjadi di sckitar pusat rotasi antara prosessus

spinosus dengan prosessus articularis. Diskus intervertebralis tidak

berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat

dibatasi oleh orientasi sendi facet vertebra lumbal (Hamill et al, 2015).

Otot penggerak lateral fleksi lumbal adalah m. obliqus internus

ahdominis, m. Rectus abdominis (Hislop and Montgomery, 2013). Pada

saat gerakan lateral fleksi lunbal, corpus vertebra bagian atas akan

bergerak kearah ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami

ketegangan karena nucleus bergeser kerah kontralateral. Ligament

intertransversal sisi kontralateral mengalami peregangan sementara sisi

ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular relatif bergeser

satu sama lain sehingga processus articularis inferior sisi ipsilateral dari

vertebra atas akan bergerak naik sementara sisi kontralateral akan bergerak

turun(Hamill.J et al,2015).

Gambar 2.7 Arah gerak vertebra


(Hamill.J et al,2015)

17
3. Etiologi Spondylosis Lumbal

Spondylosis dapat dilihat sebagai perubahan kemunduran anatomi

tulang belakang, yang mengarah pada lebih banyak degenerasi dan perubahan

pada struktur tulang belakang lainnya. Perubahan ini menyebabkan

spondylosis dan gejalanya.

Ada beberapa penyebab spondylosis lumbal menurut Central Council

for Research in Yoga & Naturopathy (2019), antara lain sebagai berikut :

a. Overuse, strain, dan cedera 

b. Discus hernia

c. Fraktur kompresi.

d. Penyakit.

e. Kompresi akar saraf

Ada beberapa faktor resiko spondylosis lumbal menurut Central

Council for Research in Yoga & Naturopathy (2019), antara lain sebagai

berikut :

a. Penuaan

b. Obesitas

c. Cedera pada punggung bagian bawah  

d. Postur tubuh yang buruk - postur yang tidak sesuai untuk aktivitas yang

dilakukan.

e. Merokok

4. Patofiologi Spondylosis Lumbal

18
Karena faktor-faktor risiko di atas, diskus dapat mengalami penuaan

sebelum waktunya dan menurunnya kandungan air diskus yang menyebabkan

penyempitan ruang diskus. Hal ini memungkinkan gerakan abnormal antara

vertebra dan menyebabkan kompresi corpus vertebral yang berdekatan dan

sendi facet sehingga mengarah ke pertumbuhan tulang reaktif yang menekan

akar saraf yang melewati foramina intervertebralis. perubahan degeneratif ini

dapat terjadi pada satu tingkat atau berbagai tingkat vertebra lumbar yang

mengarah ke beberapa area kekakuan tulang belakang, nyeri dan mati rasa.

Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan

oleh adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen

intervertebralis. Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen

intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga

menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar, disamping itu, osteofit pada

facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat

menimbulkan nyeri pinggang ( S.E.smith, 2009 )

5. Gambaran Klinis Spondylosis Lumbal

Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat

iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus

intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur

myofascial didalam axial spine (Kimberley and David, 2009).

19
Gambaran klinis yang muncul berupa neurogenik claudication, yang

mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan

motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan

berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley and

David, 2009).

Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak

pada pagi hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada

saat aktivitas, biasa timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut

saraf nyeri pada lapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk dalam

waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat

tekanan pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat

beban dan membungkuk (seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat

meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010).

B. Tinjauan Tentang Pengukuran Fisioterapi

1. Nyeri

a. Definisi Nyeri

Nyeri adalah suatu perasaan pengalaman sensorik dan emosional

yang tidak menyenagkan akibat adanya kerusakan suatu jaringan yang

nyata atau yang berpotensi rusak atau menggambarkan seperti itu. Nyeri

20
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat

kerusakan jaringan, baik actual maupun potensial, atau yang digambarkan

dalam bentuk kerusakan tersebut. Perasaan nyeri dapat dipengaruhi oleh

usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan , budaya serta kebiasaan

atau gaya hidup yang individu. Beberapa studi epidemiologi menunjukkan

bahwa terdapat variasi faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri dalam

prevalensi atau insidensi nyeri di beberapa negara.

b. Fisiologi Nyeri

Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu

nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,

eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi.

Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat

empat proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

1) Transduksi adalah suatu proses dimana ujung terminal saraf aferen

menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls

nosiseptif. Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini,

yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara

maksimal terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai

serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta

dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,

merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi

eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.

2) Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu

dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju

21
otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif

dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis

medula spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron

spinal.

3) Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain

related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis

medula spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian

reseptor opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu

dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari

korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah

(midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis.

Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan

penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.

4) Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi

merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi,

aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri

adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf

bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang

secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor

(Bahrudin, 2017).

Nyeri dapat di klasifikasi berdasarkan durasinya dibedakan menjadi

nyeri akut dan kronis.

1) Nyeri akut

22
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit

atau intevensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan ukuran

intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung dengan

waktu yang singkat. Nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang

berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan (Smiletzer, 2009).

Nyeri akut terkadang disertai dengan aktivitas system saraf

simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan

denyut jantung, diaphoresis dan diatas pupil. Secara verbal klien yang

mengalama nyeri akan melaporkan ketidaknyamanan berkaitan dengan

nyeri yang dirasakan. Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya juga

akan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengeram kesakitan,

mengkerutkan wajah atau menyeringai (Andarmoy,2013)

2) Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri kostan atau intermiten yang menetap

sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama,

intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan.

Manifestasi klinik tampak pada nyeri akut . Dalam pemeriksaan tanda-

tanda vital, sering kali didapatkan masih dalam batas normal dan tidak

disertai pupil. Manifestasi yang biasnya muncul berhubungan dengab

responp psikososial seperti rasa keputusan, kelusuan, penurunan berat

badan, menarik diri, mudah tersinggung dan secara verbal pasien

mungkin akan melporkan adanya ketidaknyamanan , kelemahan, dan

kelelahan ((Andarmoyo, 2013).S

23
c. Instrumen Pengukuran Nyeri

Instrumen pengukuran nyeri yang umumnya digunakan adalah

Visual Analogue Scale (VAS). VAS digunakan untuk menilai kualitas

derajat nyeri yang dialami penderita. Pengukuran derajat nyeri dengan cara

menunjukkan satu titik pada garis skala nyeri (1 – 10 cm), satu ujung

menunjukkan tidak nyeri dan ujung lain menunjukkan nyeri hebat. Panjang

garis mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan

besarnya nyeri.Pasien diminta untuk menunjukkan lokasi nyeri pada

sepanjang garis tersebut kemudian diukur dan dinyatakan dalam

centimeter.

VAS dapat diterapkan pada semua pasien tanpa memandang bahasa

dan dipakai untuk anak berusia 5 tahun ke atas, namun usia lanjut atau

mereka yang kurang berpendidikan mungkin bisa mengalami kesulitan

dalam menggunakan alat ukur VAS (Kasrina K, 2017).

2. ROM Lumbal

a. Defenisi ROM

Range of Motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk

mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan

menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan

massa otot dan tonus. ( Potter dan perry, 2005).

24
Range of motion atau yang biasa disebut ROM adalah besarnya suatu

gerakan yang terjadi pada suatu sendi dan merupakan teknik dasar yang

digunakan untuk pemeriksaan gerakan dan untuk memulai gerakan ke

dalam program intervensi terapeutik. Struktur sendi, serta integritas dan

fleksibilitas jaringan lunak yang melewati sendi, memengaruhi jumlah

gerakan yang dapat terjadi di antara dua tulang. Ketika memindahkan

segmen melalui ROM-nya, semua struktur di wilayah tersebut

terpengaruh: otot, permukaan sendi, kapsul, ligamen, fasciae, pembuluh,

dan saraf. Kegiatan ROM paling mudah dijelaskan dalam hal jangkauan

sendi dan rentang otot. Untuk menggambarkan jangkauan sendi, istilah

seperti fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, dan rotasi digunakan. Rentang

gerak sendi yang tersedia biasanya diukur dengan goniometer dan dicatat

dalam derajat (Kisner and Colby, 2012).

Untuk mengukur ROM normal, segmen tubuh harus di gerakkan

melalui lingkup gerak yang ada secara berkala, baik lingkup sendi maupun

lingkup otot. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan penurunan

ROM seperti penyakit sistemik, sendi, saraf, otot, pasca operas, trauma

atau immobilisasi (Kisner and Colby, 2012).

b. Tipe ROM

Menurut Suratun dkk (2008), terdapat 2 tipe ROM yaitu :

25
1) ROM aktif atau yang disebut AROM adalah gerakan dari suatu segmen

gerak didalam ROM, yang diproduksi oleh kontraksi aktif otot-otot

yang melintasi sendi tersebut.

2) ROM pasif atau yang disebut PROM adalah gerakan dari suatu segmen

gerak didalam ROM, yang diproduksi seluruhnya oleh kekuatan

eksternal; sedikit sampai tidak ada kontraksi otot volunter. Kekuatan

eksternal mungkin berasal dari gravitasi, mesin, orang lain, atau bagian

tubuh sendiri yang masih sehat.

c. Pengukuran ROM (Schober Test)

Fleksibilitas lumbal dapat diukur dengan metode sit and reach

test,Leighton flexometer, dan metode Schober test. Metode sit and reach

test bertujuan untuk mengukur fleksibilitas trunk dan tungkai, sedangkan

Leighton Flexometer dan metode Schober test bertujuan untuk mengukur

fleksibilitas trunk khususnya regio lumbal.

Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode Schober test untuk

mengukur fleksibilitas lumbal. Adapun prosedur pelaksanaan teknik

scober test sebagai berikut:

1) Posisi pasien yang dianjurkan adalah posisi berdiri dengan cervikal,

thorakal, lumbaltanpalateral fleksi dan rotasi. Stabilisasi regio pelvis

untuk mencegah adanya anterior tilting.

2) Cara pengukuran

a) Metode 1 : menentukan luas gerak sendi pada fleksi thorakal lumbal

adalah mengukur jarak antara procesus spinosus C7 dan S1 dengan

alat ukur pita meteran. Pengukuran awal dibuat saat pasien dalam

26
posisi zerostarting dan pengukuran selanjutnya dibuat dalam akhir

ROM saat fleksi lumbal. Perbedaan antara pengukuran awal dan

akhir menunjukkan besarnya jarak gerak fleksi thoracal dan lumbal.

b) Metode II ; dalam metode ini yang digunakan oleh beberapa

pemeriksa untuk mengukur fleksi thoracal dan lumbal adalah

mengukur jarak antara ujung jari tengah dengan tanah lantai pada

saat akhir ROM fleksi lumbal. Ukuran ujung jari tangan dengan

lantai atau fleksi lumbal merupakan kombinasi untuk fleksi spine dn

fleksi hip sehingga membuat sulit untuk mengisolasi dan mengukur

fleksi spine, oleh karena itu test ini tidak dianjurkan untuk mengukur

fleksi thorakaldan lumbal tetapi dapat digunakan untuk memeriksa

fleksibillitas tubuh secara umum.

c) Metode III ; dalam metode ini digunakan 3 tanda yaitu :

(1) Pada saat berdiri, beri tanda pada titik tengah antara level SIPS

(Spina iliaca posterios superior) kanan-kiri.

(2) Beri tanda kedua diatas tanda pertama dengan jarak 10 cm dan

tarik garis lurus pertama (midline).

(3) Kemudian beri tanda ketiga dibawah tanda pertama dengan

jarak 5 cm dan tarik garis lurus kedua (midline).

(4) Ukur jarak kedua garis tersebut (yaitu 15 cm).

(5) Kemudian pasien diminta untuk fleksi trunk semaksimal

mungkin, kemudian ukur jarak dari tanda ketiga ke tanda kedua

melalui tanda pertama dengan garis lurus.Normalnya : jarak

27
yang dicapai adalah > 20 cm. Abnormalnya : jarak yang dicapai

< 20 cm.

Metode yang digunakan peneliti untuk pengukuran fleksibilitas

lumbal adalah metode III.

C. Tinjauan Intervensi Fisioterapi

1. SWD (Short Wave Diatermy)

a. Pengertian

Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan

frekuensi tinggi yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas

dalam jaringan tubuh. Diathermy juga dapat digunakan untuk

menghasilkan efek-efek nonthermal (Thomas H 2003).

Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan

energi elektromagnetik dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal

Communications Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang

digunakan pada short wave diathermy, yaitu :

1) Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.

2) Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter.

28
3) Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang

7,5 meter.

Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan

pengobatan adalah frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11

meter (Thomas H 2003).

b. Arus

Short Wave Diathermy yang digunakan dalam pengobatan

mempunyai 2 arus yaitu arus Continuos SWD dan Pulsed SWD dan yang

akan kami bahas Continuos SWD.

Pada penerapan Continous SWD, energi thermal dominan terjadi

dalam jaringan. Setiap jaringan yang menerima panas memiliki tahanan

yang berbeda-beda. Jaringan lemak cepat menyerap panas daripada otot

(1 : 10), sedangkan jaringan otot lebih cepat menyerap panas daripada

kulit. Secara fisiologis, jaringan otot tidak memiliki “thermosensor” tetapi

hanya pada jaringan kulit, sehingga dengan adanya rasa panas di kulit saat

pemberian Continous SWD maka sebenarnya sudah terjadi “overthermal”

pada jaringan otot dibawahnya karena jaringan otot lebih cepat menerima

panas daripada kulit. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika

panas yang diterima jaringan melebihi batas tertentu maka jaringan akan

29
menjadi rusak, ukuran subyektif sebagai batas tertentu adalah jika

penderita merasa hangat (Thomas H 2003).

c. Efek Fisiologis

1) Perubahan panas/temperatur

a) Reaksi lokal/jaringan

 Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal sekitar + 13% setiap

kenaikan temperatur 1º C.

 Meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatik

lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal.

b) Reaksi general

 Mengaktifkan sistem thermoregulator di hipothalamus yang

mengakibatkan kenaikan temperatur darah untuk

mempertahankan temperatur tubuh secara general

 Penetrasi dan perubahan temperatur terjadi lebih dalam dan lebih

luas(Thomas H 2003).

2) Jaringan ikat

30
Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan

collagen kulit, tendon, ligament dan kapsul sendi akibat menurunnya

viskositas matriks jaringan; pemanasan ini tidak akan menambah

panjang matriks jaringan ikat sehingga pemberian SWD akan lebih

berhasil jika disertai dengan latihan peregangan(Thomas H 2003).

3) Otot

a) Meningkatkan elastisitas jaringan otot.

b) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nocisensorik, kecuali

hipertoni akibat emosional dan kerusakan SSP (Thomas H 2003).

d. Indikasi

Indikasi SWD (continuos SWD) adalah kondisi-kondisi subakut dan

kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal (seperti sprain/strain,

osteoarthritis, cervical syndrome, piriformis syndrome NPB dan lain-lain

(Thomas H 2003).

e. Kontraindikasi

Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada

tulang, tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada

sendi, RA pada sendi, kondisi menstruasi dan kehamilan, regio mata

(kontak lens) dan testis. Pada gangguan akut neuromuskuloskeletal

merupakan kontraindikasi dari continuos SWD (Thomas H 2003).

2. TENS (Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation)

31
a. Definisi TENS

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah

modalitas fisioterapi yang paling sering digunakan untuk mengatasi nyeri,

misalnya untuk kasus-kasus trauma, inflamasi, cidera dan nyeri punngung

bawah serta dapat digunakan untuk nyeri kronis dan akut pada segala

kondisi ( Faccie et al., 2011 ).

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) adalah

penerapan arus listrik melalui kulit untuk kontrol rasa sakit, dihubungkan

dengan kulit menggunakan dua atau lebih elektroda, diterapkan pada

frekuensi tinggi (>50Hz) atau frekuensi rendah(<10Hz) dengan intensitas

yang menghasilkan sensasi getar (Robinson, 2008).

b. Tipe Arus TENS

Tipe TENS terbagi menjadi 3, yaitu TENS konvensional, Intens

TENS, dan Acupuntur Like TENS (Slamet, 2008). Dari tipe TENS yang

beragam, maka terdapat indikasi dan kontra indikasi dari penggunaan alat

tersebut.

c. Efek Fisiologi

Secara fisiologi TENS dapat menurunkan tingkat nyeri sesaui dengan

teori gate control, reseptor tidak nyeri diduga memblok transmisi sinyal

nyeri ke otak pada sistem saraf pusat. Mekanisme ini dapat menguraikan

keefektifan stimulasi saat digunakan pada area yang sama seperti pada

cedera saat TENS digunakan pada pasien pasca operatif elektroda

32
diletakkan disekitar luka bedah. Selain itu, keefektifan TENS adalah efek

placebo (pasien mengharapkan agar efektif) dan pembentukan endorfin,

yang juga memblok tranmisi nyeri (Smeltzer dan bare 2012).

Mekanisme kerja TENS adalah pengaturan neuromodulasi seperti

penghambatan pre sinaps pada medula spinalis, pelepasan endorfin yang

merupakan analgesik alami dalam tubuh danpenghambat langsung pada

saraf yang terserang secara abnormal. Mekanisme analgesia TENS adalah

stimulasi elektrik akanmengurangi nyeri dengan menghambat nosiseptif

pada pre sinaps. Stimulasi elektrik akan mengaktifkan serabut saraf

bermyelin yang akan menahan perambatan nosisepsi pada serabut C tak

bermyelin ke sel T yang berada di substansia gelatinosa pada cornu

posterior yang akan diteruskan ke cortex cerebri dan talamus. Pada

pemberian TENS juga akan terjadi peningkatan beta – endorphin dan met

– encephalin yang memperlihatkan efek antinosiseptif (Susilo, 2010).

TENS merupakan suatu cara penggunaan energi listrik untuk

merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit. Pada kasus LBP karena

spondilosis dan scoliosis menggunakan TENS dengan mekanisme

segmental, karena dengan mekanisme ini akan memblokirnyeri, yang nanti

nya akan menghasilkan efek anagesia dengan jalanmengaktifkan serabut A

beta yang selanjutnya akan menginhibisineuron nosiseptif di kornu

dorsalis medula spinalis.

Menurut Parjoto (2006), spesifikasi mekanisme konvensional yang

merangsang serabut syaraf segmental yaitu mengaktivasi syarafdiameter

besar, yang mengaktivassi serabut A beta, dan menimbulkan paraestesia

33
yang kuat dan menimbulkan sedikit kontraksi. Dengan menggunakan

frekuensi tinggi (10 – 200 pps/hz), intensitass yang rendah dan berpola

kontinyu.

d. Indikasi TENS

1) Pada kondisi akut: nyeri pasca operasi, nyeri sewaktu melahirkan,nyeri

haid (dysmenorrhea), nyeri musculosceletal, dan nyeri akibatpatah

tulang.

2) Nyeri yang berhubungan dengan penanganan kasus gigi.

3) Pada kondisi kronik: nyeri punggung bawah, arthritis, nyeripunting dan

nyeri phantom, neuralgia pasca herpetic, neuralgiatrigeminal.

4) Injuri saraf tepi.

5) Angina pectoris.

6) Nyeri fascial.

7) Nyeri tulang akibat metastase.

e. KontraindikasiTENS

1) Penyakit vaskuler.

2) Adanya kecenderungan perdarahan.

3) Keganasan pada area yang diterapi.

4) Pasien beralat pacu jantung.

5) Kehamilan, apabila terapi diberikanpada area pungggung dan abdomen.

6) Luka terbuka yang sangatlebar.

7) Kondisi infeksi.

34
8) Pasien yang mengalami gangguanhambatan komunikasi.

9) Kondisi dermatologi. (Amelia, 2014).

3. Core Stability

a. Defenisi Core Stability

Menurut Pramita (2015) Core Stability Exercise merupakan aktivasi

sinergis yang meliputi otot-otot bagian dalam dari trunk yakni

otot core (inti). Menurut Kibler (2006), Core stability didefinisikan

kemampuan untuk mengontrol posisi dan gerakan bagian atas panggul dan

kaki untuk memungkinkan produksi yang optimal saat melakukan transfer

dan control gerakan ke bagian tubuh bawah pada saat melakukan

aktivitas. Core stability exercise merupakan kemampuan untuk

mengontrol posisi dan gerak dari trunk sampai pelvis yang digunakan

untuk melakukan gerakan secara optimal dalam proses perpindahan,

control tekanan, dan gerakan saat beraktivitas. Core stability exercise

adalah latihan yang ditujukan untuk mengaktivasi kontraksi core muscle

yang berfungsi untuk meningkatkan stabilitas dari columna vertebralis

untuk memelihara spine  pada posisi yang netral. Latihan  core

stability akan meningkatkan intra abdominal pressure (IAP) dan

memberikan rigiditas cylinder untuk menopang trunk. Dan ini akan

menurunkan beban pada otot–otot paravertebra dan meningkatkan

stabilitas trunk.

b. Otot-otot Core Stability Exercise dan Fungsi Stabilitas

Tabel 2.1
Core Muscle dan Fungsi Stabilitas

35
Otot Fungsi Utama Fungsi stabilitas

Rectus abdomisi (RA) Trunk Fleksi 1. Stabilisasi pelvic


Terhadap tekanan
Kearah rotasi
Anterior
2. Menghasilkan
Stabilisasi selama
Ekstensi pada Spine

Internal Oblik (IO) Kontraksi bilateral 1. Mengkontrol Beban


Dan ekstensi Oblik Sehingga trunk fleksi eksternal Yang
(EO) kontraksi EO disatu menyebabkan Trunk
sisi jatuh ke Belakang
Kontralateral secara 2. Stabilisasi pelvic
bersamaan Bersamaan dengan
Menyebabakan rotasi Rectus Abdominis
Trunk secara
3. Berkontraksi Dengan
diagonal.
transversus
Dengan fleksi
abdominis untuk
kontraksi
Bersamaan EO dan IO Meningkatkan Intra
Pada sisi yang sama abdominal Dan
Terjadi fleksi trunk stabilisasi pada facia
Thoracolumbal

Transversus Berperan pada rotasi Stabilisasi segmental


Abdominis (TRA) Dengan meningkatkan
Tekanan intra abdominal
Dengan aktivasi
Maneuver drawing –in

Quadratus Mengangkat pelvic 1. Stabilisasi pada


Lumborum (QL) dan Bidang frontal dan
Membantu lateral Sagital
fleksi spine 2. Menstabilkan costa
melawan tarikan
diafragma selama
inspirasi

36
3. Stabilisasi segmental
spine

Multifidus Ekstensi dan rotasi 1. Stabilisasi spine saat


Kontralateral spine gerak fleksi
kontralateral
2. Stabilisasi segmental
yang Teraktivasi
melalui manuevur

Drawing –in

Rotator intersegmental Otot ini kaya akan Secara teoritis otot ini
Dan intertranversaru Spindle otot dapat berada pada posisi untuk
Berfungsi untuk menyesuaikan segmental
Merasakan gerakan spine dalam
Spine dan menghasilkan stabilisasi
Menghasilkan torsi pada gangguan postur

Erector spine (ES) Ekstensor trunk 1. Antagonis terhadap


Superficial mucle gravitasi dan
(iliocostalis mengontrol gerak
Longissimus) Trunk selama
aktivitas fleksi
2. Stabilisasi trunk
dengan merespon
beban eksternal

Spinal mencegah terjadi trunk

Iliopsoas dan Fleksor hip dan 1. Stabilisasi hip pelvic


yang mempengaruhi
postur
iliacus Secara tidak
2. Stabilisasi lumbal
pada bidang Frontal
Langsung ekstensor terutama jika
pembebanan pada sisi

37
Lumbal. Iliopsoas kontralateral

Membuat lumbal

Bergeser kearah

anterior

Sumber : Kisner and Colby, 2012

c. Mekanisme CSE dalam meningkatkan Aktivitas Fungsional

Menurut Kisner and Colby (2012), dalam core stability fokusnya

adalah pelatihan ulang fungsi deep muscle (transversus abdominis dan

multifidus) dan mengintegrasi aktivitas deep muscle dan global muscle

pada tugasnya. Dikoordinasikannya deep muscle sangat penting dalam

gerak segmen intervertebra dari tulang belakang dan pelvic, meskipun otot

tersebut tidak memberi kontribusi besar pada tulang belakang tapi sangat

penting untuk menstabilkan tulang belakang.

Core stability exercise  mempunyai kemampuan untuk mengontrol

posisi dan gerakan pada spine, karena target utama latihan ini adalah otot

yang letaknya dalam dari perut, yang terkoneksi dengan tulang belakang,

panggul, dan bahu. Core stability exercise bermanfaat untuk memelihara

kesehatan punggung bawah, statik stabilisasi, dan dinamik trunk serta

38
mencegah terjadinya cedera (pada punggung dan ekstremitas bawah)

terutama dalam meningkatkan aktivitas fungsional. Ketika otot inti lemah

atau tidak ada keseimbangan (imbalance muscle), yang terjadi adalah rasa

sakit di daerah punggung bawah dan jika berlanjut dalam waktu yang lama

akan menyebabkan gangguan gerak dan penurunan aktivitas fungsional.

Dengan core stability exercise, keseimbangan otot abdominal dan

paravertebrae akan membentuk suatu hubungan yang lebih baik karena

terjadi koaktivitas otot dalam dari trunk dan core muscle sehingga dapat

menahan beban selama dipengaruhi oleh mekanik statis dan dinamis yang

mengakibatkan gangguan aktivitas fungsional dari ekstremitas, seperti

meraih dan melangkah dan menahan beban. Terapi latihan berupa Core

Stability Exercise ini merupakan cara yang efektif untuk mengobati dan

juga mencegah low back pain dan cedera ekstremitas bawah terutama

dalam peningkatan aktivitas fungsional yang melibatkan otot inti (core

muscle) yaitu otot transversus abdominis, otot multifidus, otot diafragma

thoracal dan otot-otot dasar panggul. Otot-otot ini semua bekerja secara

harmonis untuk memberikan stabilisasi bagi tubuh (the neutral zone).

Menurut Pramita (2015) dalam tesisnya, Core Stability Exercise

merupakan aktivasi sinergis yang meliputi otot-otot bagian dalam

dari trunk yakni otot core (inti). Fungsi core yang utama adalah untuk

memelihara postur tubuh. Secara umum pendapat tersebut mendorong

pemeliharaan dari posisi lumbopelvic yang stabil. Kontrol model Core

stability exercise berdasarkan pada fungsi lumbopelvic, terutama otot

penggeraknnya. Stabilitas dan kontrol tulang belakang tidak hanya

39
tergantung pada otot tetapi juga pada central nervous sistem (CNS) yang

mana akan menentukan perencanaan dan pelaksanaan untuk

mempertahankan stabilitas tulang belakang. Banyak otot yang berada pada

lumbopelvic dan berkontribusi untuk kontrol dan stabilitas tulang

belakang.

d. Indikasi Core Stability

Adapun indikasi dari core stability adalah ( Lawrence 2007)

1) Kelemahan otot

2) Stabilisasi

3) Perbaikan postur

e. Kontraindikasi Core Stability

Adapun kontraindikasi pada core stability adalah ( Lawrence 2007)

1) Adanya tumor atau cencer pada spine

2) Infeksi pada tulang belakang

3) Spinal fraktur

4. Yoga exercise

a. Definisi Yoga

Yoga merupakan suatu teknik untuk mengenal dirinya lebih dalam,

sehingga dapat menganalisis lebih lanjut tentang pikiran dan tindakan yang

sudah dilakukan . latihan dilakukan melalui sikap tubuh, pernapasan, dan

teknik relaksasi sehingga dapat mengembangkan kecerdasan intuisi

40
alamiah dan membantu pikiran agar dapat terpusat dan pada akhirnya

dapat membuat perubahan berupa ketenangan pikiran (Sari et al, 2017).

b. Prinsip Latihan Yoga

Adapun 5 (lima) prinsip latihan yoga (Shindu, 2009).

1) Berlatih dengan teratur : postur yoga membantun merengangkan dan

membina otot, serta menguatkan tulang dan melenturkan sendi.

2) Bernapas dalam : ( Teknik pernapasan yoga penuh ) meningkatkan

kapasitas paru-paru agar proses bernafas lebih optimal.

3) Menjaga pola makan yang seimbang : pola makan yang seimbang , dan

sehat akan meningkatkan imunitas daya tahan tubuh, melancarkan

proses pencernaan, dan meningkatkan kesehatn secara keseluruhan.

4) Beristirahat cukup: menjaga ritme yang seimbang antara bekerja dan

istirahat akan mempertahankan tubuh dalam keadaan yang selalu prima

dari waktu ke waktu

c. Efek Fisiologi dan Terapeutik Yoga

Yoga berperan dalam membantu peningkatan kualitas tidur dengan

menyeimbangkan antar sistem dalam tubuh. Efek yang diharapkan dalam

yoga yaitu relaksasi. Relaksasi merupakan suatu keadaan dimana

seseorang dalam posisi sadar namun relaks, istirahat, pikiran, otot-otot

relaks dan pernapasan dalam yang teratur.

d. Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi dan kontraindikasi Yoga (Christina et al, 2014) :

1) Indikasi

a) Low Back Pain

41
b) Cemas

c) Stres

d) Nyeri haid

2) Kontraindikasi

a) Gagal jantung yang belum stabil

b) Kehamilan dengan penyakit jantung

c) Riwayat persalinan kurang 2 bulan

d ) Gejala Syok

e. Prosedur Pelaksanaan

Yoga tidak sulit dilakukan, jika anda bangun dari tempat tidur pagi

dan merentangkan tangan ke atas kepala anda, anda sudah melakukan pose

yoga. Yoga memperkenalkan perhatian pada peregangan sehingga anda

memperhatikan keselarasan anda dan bagaimana posisi yang benar-benar

dirasakan dalam tubuh anda. Ada 10 gerakan pada yoga exercise yaitu :

1) Fose gunung

Dalam konteks yoga, ada banyak hal yang terjadi dalam posisi ini.

Tumit berakar ke bawah, otot-otot kaki bergerak, tulang-tulang

ditumpuk dengan bahu langsung di atas pinggul, bila bahu meluncur ke

belakag, dan mahkota kepala terangkat. Jangan lupa bernafas

2) Pose lengan angkat ( Urdhva Hastabsana )

42
Tarki napas dan angkat lengan ke atas dan melewati kepala anda, pose

lengan terangkat adalah perengan dasar pagi anda, tetapi anda fokus

pada menjaga penyelarasan yang baik yang anda buat dalam pose

gunung Tetap membungkuk di tumit dan menjaga bahu bergerak

menjauh dari telinga pada saat yang sama ketika mencapai melalui

ujung jari. Pandangan bisa sampai ke tangan, bisa selebar bahu atau

menyentuh telapak tangan.

3) Standing forward Bebd (Uttanasana)

Tikungan ke depan

Buang napas dan lipat kaki menjadi tikungan ke depan. Jika paha

belakang terasa agak kencang pada awalnya, tekuk lutut sehingga bis

melepasakan tulang belakang. Biarkan kepala menggantung berat.

Perlahan luruskan kaki jika mau, tetapi tetaplah mengantungkan kepala.

Kaki bisa menyentuh atau menjauhkan pinggul,mana yang terasa lebih

baik.

4) Pose Garland (Malasana)

Pose karangan bunga

Gerakkan kaki ke tepi matras dan tekuk lutut, masuk ke dalam jongkok.

Jari-jari kaki bisa berubah jika perlu. Jika tumit tidak mencapai , ambil

selimut yang digulung dibawahnya.

43
Ini adalah posisi cukup alami untuk anak-anak tetapi kita kehilangan

kemampuan untuk itu sebagai orang dewasa. Ini bagus untuk pinggul

dan untuk mengetsi efek dari terlalu banyak duduk di kursi dan

mengendarai mobil. Ini juga merupakan pose yang sangat berguna jika

suka berkebun.

5) Pose Terjang

Luruskan kaki dan gerakkan kembali kaki di bawah pinggul sebelum

melangkaha kaki kiri ke belakang dan tekuk lutut kanan untuk

melakukan lunge yang dalam. Cobalah untuk membawa lutut yang

tertekuk langsung Di atas pergelangan kaki sehingga paha kanan sejajar

dengan lantai. Jaga agar kaki tetap luris dan kuat dengan tumit

mencapai ke belakang. Jika terlalu kuat anda bisa menjatuhkan lutut kiri

ke matras. Kemudian ulangi lunge dengan kaki kiri kr depan dan kaki

kanan kembali.

6) Pose Papan

Setelah sepak terjang kedua, injak kaki kiri ke belakang sehingga

berada di sebelah kaki kanan di bagian belakang. Ini adalah persiapan

klasik push-up. Tetap pada posisi ini untuk memastikan pinggul tidak

jatuh terlalu rendah atau naik teralu tinggi.Jika siku cendrung

44
hyperextend, tekuk mikro. Turunkan lutut jika perlu. Dan kembali

duduk dengan tumit

7) Pose Staf

Ayunkan kaki agar terentang ke depan. Ini adalah posisi duduk yang

setara dengan pose gunung.Kaki tetap kaut degan kaki tertekuk. Bahu

menumpuk di atas pinggul sehingga tulang belakang panjang dan lurus.

Lengan mungkin lurus dan sedikit ditekuk.

8) Seated Forward Bend (Paschimottanasana)

Membungkuk ke depan

Pada pernafasan, bawa tubuh di ats kaki dalam tikungan ke depan. Paha

belakang seharusnya lebih hangat daripada anda melakukan tikungan ke

depan. Bekerjalah dengan naps , perpanjangan tulang belakang di setiap

tarik naps dan perdalam lipatan ke depan di setiap napas jaga agar kaki

tetap tertekuku.

9) Menuju pose Lutut (Janu sirsasana)

Pose kepala ke lutut

Kembalilah untuk duduk dan tekuku kaki kiri, bawa telapak kaki kiri kr

dalam paha kanan. Gunakan teknk yang sama seperti dijelskan di atas

untuk memperdalam pose menggunakan napas kemudian duduk dan

ganti kaki.

45
10) Pose Baby Happy ( Ananda Balasana)

Berbaring telentang dan peluk lutut ke dada. Kemudian pisahkan

kedua lutut dan bawa masing-masing pergelangan kaki tepat di atas

lututnya sehingga tulang keringnya tegak lurus. Lenturkan kaki dan

pegang dari luar saat menarik lutut ke bawah menuju

ketiak.Gulingkan sisi ke sisi sedikit pada skrum jika terasa enak.

Rentangkan kaki di lantai dan istirahat.

D. Kerangka Pikir Penelitian

Spondylosis Lumbal

Anamnesis

Observasi
SPs Problematika Fisioterapi
Pemeriksaan Fisik Gangguan Kapasitas fisik

 Nyeri
 Gangguan Fleksibilitas
Lumbal
 Gangguan Fungsional
Lumbal

Diagnosa Fisioterapi :

Penatalaksanaan fisioterapi
pada Low Bcak Pain akibat
Spondylosis lumbal
yer

46
Intervensi Fisioterapi :

SWD

TENS

Core stability

yyy

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah case study. Dimana case study

adalah salah satu tehnik untuk mencari referensi teori yang relevan dengan kasus

terhadap permasalahan yang ditemukan.

B. Metode Pengumpulan Data

Data dalam Penelitian ini berasal dari Journal, Skripsi/KTI, dan Artikel

ilmiah. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Oleh karena itu teknik

yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data bahan-

bahan pustaka yang koheren dengan objek pembahasan yang dimaksud. Data

yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpul dan diolah dengan cara:

47
1. Editing

Editing yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari

segi kelengkapan, kejelasan makna dan keselarasan makna antara yang satu

dengan yang lain.

2. Organizing

Organizing yaitu mengorganisir data yang diperoleh dengan kerangka

yang sudah diperlukan.

3. Penemuan Hasil Penelitian

Penemuan hasil penelitian yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil

pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori dan met

48
BAB IV

DESKRIPSI KASUS

A. Proses Pemecahan Masalah Fisioterapi

1. Pengkajian (Anamnesis)

49
Adapun anamnesis ini diambil dari data laporan kasus pada bulan

Januari 2020 di RSUD. Kota Makassar.

a. Anamnesis Umum

Berdasarkan data laporan kasus di atas maka diperoleh data umum

tentang identitas pasien, yaitu :

Tabel 4.1

Identitas pasien

Pasien A Pasien B
Nama : Ny. D Nama : Ny. N
Umur : 64 tahun Umur : 59 tahun
Jenis kelamin : perempuan Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Mangga 3 Alamat : Jl. Paccerakkang
Agama : islam Agama : islam
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : IRT

b. Anamnesis khusus

Anamnesis khusus meliputi hal-hal yang berkaitan dengan keadaan/

penyankit pasien. Dalam anamnesis tersebut mencakup beberapa aspek

yang perlu dikaji dari kondisi pasien tersebut, yaitu keluhan utama, lokasi

keluhan, sifat keluhan, hal-hal yang memperberat dan memperingan gejala

dari penyakit, serta riwayat perjalanan penyankit dari pasien.

50
Berdasarkan data laporan kasus di atas maka diperoleh data

anamnesis khusus, yaitu:

Tabel 4.2

Hasil Anamnesis Khusus

Komponen Data Pasien A Data Pasien B


Anamnesis
(Ny. D) (Ny.N)
Keluhan utama

Nyeri punggung bawah Nyeri punggung bawah


bagian sinistra
Lokasi keluhan Punggung bawah bagian Punggung bawah kanan
sinistra
Sifat keluhan Terlokalisir Terlokalisir
Faktor yang Pada saat pasien istirahat Pada saat pasien istirahat
memperingan
Riwayat perjalanan Pasien pernah terjatuh dari
penyankit kasur pada saat tidur dan Pasien datang ke poli
tanpa sadar pasien terjatuh
dgan posisi bagian kepala fisioterapi RSUD KOTA
dan bagian sebelah kanan
pasien sudah berada di bawa MAKASSAR dengan
tetapi kaki sebelah kiri
masih tergantung pada kasur keluhan yang meliputi
setelah, setelah itu pasien
tidak memeriksakan dirinya nyeri punggung bawah,
ke dokter.
nyeri tungkai, mati rasa

saat berdiri dan berjalan.

Gejala-gejala ini membaik

saat duduk dan posisi

terlentang.

51
Riwayat penyakit Tidak ada Tidak ada
terhadulu
Riwayat penyakit Tidak ada Tidak ada
keluarga

2. Pemeriksaan fisik

Data pemeriksaan fisik diambil dari laporan kasus pada bulan

Januari 2020 di RSUD. Kota Makassar.

a. Vital Sign

Vital sign merupakan pemeriksaan yang bisa dilakukan pada

tahap awal untuk mengentahui keadaan umum penderita agar dapat

melihat kondisi penderita sebelum melanjtukan tindakan. Adapun hasil

pemeriksaan vital sign meliputi:

52
Tabel 4.3

Hasil Pemeriksaan Vital Sign

Vital Sign Pasien A Pasien B

Tekanan darah 110/80 mmHg 130/90 mmHg

Denyut nadi 82/menit 87/menit

Pernapasan 20/menit 28/menit

Temperatur 36°C 37°C

b. Inspeksi

Adapun untuk pemeriksaan inspeksi ini dilakukan dengan cara

yaitu secara statis dan dinamis. Berikut adalah langkah-langkah

melakukan isnpeksi:

1) Saat memasuki ruangan perhatikanlah kesan umum penderita,

apakah wajahnya menunjukkan kesakitan atau tidak, serta amati

bagaimana cara berjalannya.

2) Perhatikan apakah ada deformitas diantara kedua tungkai.

53
3) Perhatikan setiap gerakan yang dilakukan oleh pasien apakah

menglamai kesulitan atau cendrung tidak mampu melakukan

gerakan.

Tabel 4.4

Hasil Inspeksi Pasien


Inspeksi Pasien A Pasien B
Statis

Pasien tampak menggunakan Wajah pasien tampak


korset dan wajah pasien
tampak menahan rasa sakit, menahan rasa sakit dan
nampak flat back
Postur tubuh tampak

normal

Dinamis

Pasien berjalan dengan Pasien bisa berdiri,duduk


pincang, postur lateral shift
kanan saat berjalan dan berjalan sendiri,

Namun tidak dapat duduk

dan berjalan dalam waktu

yang lama

c. Pemeriksaan Fungsi

54
1) Quick test / Regional Screening test

a) Lumbo pelvic hip rhythm

Hasil :

Pada saat gerakan fleksi terasa nyeri menjalar dari pinggang ke

tungkai dan pada terasa nyaman dan nyeri berkurang pada saat

ekstensi lebih banyak gerakan yang terjadi pada hip joint

Interpretasi :

Terdapat tekanan discus intervertebral

b) Trendelenberg test

Produser : Fisioterapi berada pada di bagian belakang pasien

kemudian palpasi SIPS selanjutnya intruksikan untuk mengangkat

kaki kanan dan kaki kiri secara bergantian, kemudian

amatpergerakan sips

Hasil :

pada saat pasien mengangkat kaki kiri pelvic tidak simetris di

mana pelviq sisi kanan lebih tinggi di bandingkan sisi kiri

55
Interpretasi :

Terdapat kelemahan gluteus maksimus

2) Pemeriksaan gerak dasar

Pemeriksaan gerak dasar adalah pemeriksaan dengan tujuan

untuk mengetahui adanya nyeri, gerak aktif maupun pasif, luas gerak

sendi, kualitas otot dan saraf koordinasi. Pemeriksaan gerak dasar

meliputi gerakan aktif, pasif, dan isometrik melawan tahanan. Hasil

dari pemeriksaan gerak dasar tersebut dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 4.5

Hasil Pemeriksaan Gerak Dasar

Nama Gerakan Aktif Pasif TIMT


Pasien A
Fleksi Nyeri akhir gerak, Tidak nyeri, elastis Tidak nyeri,
luas gerak aktif end feel, luas gerak mampu melawan
normal pasif normal tahanan isometrik
Ektensi Nyeri, luas gerak Nyeri, firm end feel, Tidak nyeri,
aktif terbatas luas gerak pasif mampu melawan
terbatas tahanan isometrik
Lateral Fleksi Nyeri akhir gerak, Nyeri akhir gerak, Tidak nyeri,
Kanan luas gerak aktif elastis end feel, luas mampu melawan
sedikit terbatas gerak pasif normal tahanan isometrik
Lateral Fleksi Tidak nyeri, luas Tidak nyeri, elastis Tidak nyeri,
Kiri gerak aktif normal end feel, luas gerak mampu melawan
pasif normal tahanan isometrik
Rotasi Lumbal Nyeri akhir gerak, Nyeri akhir gerak, Tidak nyeri,

56
Kanan luas gerak aktif elastis end feel, luas mampu melawan
normal gerak pasif normal tahanan isometrik
Rotasi Lumbal Tidak nyeri, luas Tidak nyeri, elastis Tidak nyeri,
Kiri gerak aktif normal end feel, luas gerak mampu melawan
pasif normal tahanan isometrik
Pasien B
Fleksi Nyeri akhir gerak, Tidak nyeri, elastis Tidak nyeri,
luas gerak aktif end feel, luas gerak mampu melawan
normal pasif normal tahanan isometrik
Ektensi Nyeri, luas gerak Nyeri, firm end feel, Tidak nyeri,
aktif terbatas luas gerak pasif mampu melawan
terbatas tahanan isometrik
Lateral Fleksi Nyeri akhir gerak, Nyeri akhir gerak, Tidak nyeri,
Kanan luas gerak aktif elastis end feel, luas mampu melawan
sedikit terbatas gerak pasif normal tahanan isometrik
Lateral Fleksi Tidak nyeri, luas Tidak nyeri, elastis Tidak nyeri,
Kiri gerak aktif normal end feel, luas gerak mampu melawan
pasif normal tahanan isometrik
Rotasi Lumbal Nyeri akhir gerak, Nyeri akhir gerak, Tidak nyeri,
Kanan luas gerak aktif elastis end feel, luas mampu melawan
normal gerak pasif normal tahanan isometrik
Rotasi Lumbal Tidak nyeri, luas Tidak nyeri, elastis Tidak nyeri,
Kiri gerak aktif normal end feel, luas gerak mampu melawan
pasif normal tahanan isometrik

d. Pemeriksaan Spesifik

Pemeriksaan spesifik adalah suatu bagian pemeriksaan yang

sangat penting dan mutlak dilakukan agar dapat menentukan diagnosa

secara tepat. Beberapa pemeriksaan spesifik yang dilakukan pada kasus

spondylosis lumbal adalah sebagai berikut :

1) Palpasi

Pemeriksaan ini dlilakukan dengan cara meraba, dan menekan

pada daerah bahu. Informasi yang dapat diperoleh dari pemeriksaan

57
ini adalah apakah ada spasme, nyeri tekan dan suhu di daerah bahu

normal atau tidak.

Tabel 4.6

Hasil pemeriksaan Palpasi

Struktur yang Pasien A (Ny. D) Pasien B (Ny.N)


dipalapasi

Erector Spine Nyeri tekan sisi kiri Nyeri tekan sisi kiri

Quadratus Nyeri tekan sisi kiri Nyeri tekan sisi kiri


lumborum

Area SIPS Nyeri tekan pada SIPS kiri Nyeri tekan pada SIPS kiri

Proc. Spinosus Nyeri tekan pada L5 Nyeri tekan pada L5


L1 sampai L5

Suhu Suhu area lumbal normal Suhu area lumbal normal

2) Tes Neurologis

Tes neurologis yang dilakukan pada kondisi spondylosis

lumbal terdiri atas straight leg raising test dan bragard test.

a) Straight Leg Raising test

Tes ini bertujuan untuk mengidentifikasi penekanan pada

jaringan akar saraf dan saraf perifer. Adapun teknik

58
pelaksanaannya adalah pasien tidur terlentang, satu tungkai dalam

posisi ekstensi knee digerakkan secara pasif kearah fleksi hip,

kemudian perhatikan adanya nyeri menjalar/kesemutan dan titik

derajat timbulnya nyeri.

b) Bragard test

Tes ini bertujuan untuk mengidentifikasi penekanan pada

jaringan akar saraf dan saraf perifer. Adapun teknik

pelaksanaannya adalah pasien tidur terlentang, satu tungkai dalam

posisi ekstensi knee digerakkan secara pasif kearah fleksi hip

disertai dorsifleksi ankle, kemudian perhatikan adanya nyeri

menjalar/kesemutan dan titik derajat timbulnya nyeri.

3) Tes Pelvic-Hip

a) Patrick test

Tes ini bertujuan untuk mendeteksi patologi pada hip atau

SIJ. Adapun teknik pelaksanaannya adalah pasien tidur

terlentang, tungkai pasien digerakkan secara pasif kearah fleksi

knee dengan menempatkan ankle di atas knee dari tungkai pasien

yang satunya, kemudian satu tangan fisioterapis memfiksasi SIAS

pasien sisi kontralateral dan satu tangan fisioterapis akan

menggerakkan knee sisi medial kearah dorsal.

b) Anti Patrick test

59
Tes ini bertujuan untuk mendeteksi patologi pada hip atau

SIJ. Adapun teknik pelaksanaannya adalah pasien tidur

terlentang, tungkai pasien digerakkan secara pasif kearah fleksi

knee dan internal rotasi hip.

4) Tes Joint Play Movement (JPM)

Tes JPM bertujuan untuk mendeteksi patologi pada

intervertebral joint setiap segmen lumbal. Tes ini terdiri atas PACVP

(Postero-Anterior Central Vertebral Pressure), PAUVP (Postero-

Anterior Unilateral Vertebral Pressure), dan TVP (Transversal

Vertebral Pressure)

a) PACVP test

Teknik pelaksanaannya adalah pasien tidur tengkurap, ibu

jari tangan fisioterapis pada processus spinosus lumbal pasien dan

tangan lainnnya sisi ulnar berada di atas ibu jari tangan, kemudian

melakukan kompresi kearah anterior pada setiap segmen lumbal.

b) PAUVP test

Teknik pelaksanaannya adalah pasien tidur tengkurap, ibu

jari tangan fisioterapis pada facet joint lumbal pasien dan tangan

lainnnya sisi ulnar berada di atas ibu jari tangan, kemudian

melakukan kompresi kearah anterior pada setiap segmen lumbal.

60
c) TVP test

Teknik pelaksanaannya adalah pasien tidur tengkurap, ibu

jari tangan fisioterapis pada sisi lateral dari processus spinosus

lumbal pasien dan ibu jari tangan lainnnya berada di atas ibu jari

tangan, kemudian melakukan glide kearah lateral/transversal pada

setiap segmen lumbal.

Tabel 4.7

Hasil Pemeriksaan Spesifik

Pemeriksaan Pasien A Pasien B


Spesifik
SLR test Negatif (tidak nyeri) Negatif (tidak nyeri)
Bragard test Negatif (tidak nyeri) Negatif (tidak nyeri)
Patric Test Positif pada area Positif pada area
bokong bokong
Anti patric test Positif pada area Negatif (tidak nyeri)
bokong
PACVP test Positif nyeri pada L5 Positif nyeri pada L4
PAUVP test Positif nyeri pada Positif nyeri pada
sisi kiri L5 sisi L4
TVP test Negatif (tidak nyeri) Negatif (tidak nyeri)

e. Pengukuran

1) Pengukuran Vas

Tabel 4.8

Hasil pengukuran Vas

61
Pasien A Pasien B

1-3 : nyeri ringan 1-3 : nyeri ringan

3-7 : Nyeri sedang 3-7 : Nyeri sedang

7-9 : Nyeri berat 7-9 : Nyeri berat

9-10 : Nyeri sangat berat 9-10 : Nyeri sangat berat

Hasil : 4 ( Nyeri Sedang ) Hasil : 5 ( Nyeri Sedang )

2) Scober Test

Pengukuran Luas Gerak sendi ( LGS) dengan menggunakan

metode shober. Metode ini terbukti efektif untuk mengukur luar gerak

dari tulang lumbal, adapun metode yang diguanakan iayalah

menggunakan metode I, dimana bila ingin mengukur luas dari

gaearakan fleksi dan ekstensi ialah dengan cara menempatkan satu titik

meteran di C7 dan titik satunyab pada S1, lalu minta pasien untuk

melakukan gerakan fleksi dan ekstensi.

Hasil :

62
fleksi lumbal =17 cm ( selisih 2 cm )

Ekstensi lumbal = 2 cm interpretasi

Interpretasi :

Fleksibilitas fleksi lumbal dan ekstensi lumbal abnormal

f. Diagnosa Fisioterspi

Setelah dilakukan pemeriksaan yang sistemaatis maka diperoleh

diagnose fisioterapi adalah “Low Back Pain akibat spondylosis

Lumbal”

g. Pemeriksaan Penunjang

X ray

h. Problematik Fisioterapi

Tabel 4.9. problematik Fisioterapi Pasien

Prblematik Pasien A
Pasien B

a. Impairment Nyeri Adanya Nyeri

Keterbatasan gerak fleksi lumbal Spasme otot Erector spine

63
dan ekstensi lumbal

Spasme otot erector spine,

quadratus lumborum
b. b. Activity

Limitationan Kesulitan untuk mengangkat Kesulitan untuk mengangkat

beban yang berat. beban yang berat.

Kesulitan untuk berjalan dalam Kesulitan untuk berjalan

jangka waktu yang lama dalam jangka waktu yang

lama

Kesulitan untuk duduk dalam

waktu yang lama Kesulitan untuk duduk


dalam waktu yang lama

participation Kesulitan berpatisipasi dalam

restriction melakukan pekerjaan rumah Kesulitan berpatisipasi

dan kegiatan-kegiatan diluar dalam melakukan pekerjaan

rumah. rumah dan kegiatan-

kegiatan diluar rumah.

64
Tujuan intervensi Fisioterapi

1). Jangka pendek : menurunkan nyeri memperbaiki gangguan

fleksibilitas dan gangguan fungsional lumbal.

2). Jangka panjang : mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan

fungsional lumbal.

j) Edukasi

1) Pasien diberikan intruksi untuk melakukan latihan di rumah

sebagaimana yang telah diajarkan.

2) Pasien disarankan untuk tidak mengangkat beban yang berat.

3) Pasien disrankan untuk tidak duduk dan berjalan dalam jangka

waktu yang lama.

65
i. Intervensi Fisioterapi

Sesuai dengan problematic diatas maka penulis memberikan

modalitas berupa Short Wave Diathermy (MWD), Trancutaneus

Electrical Nerve Stimulation (TENS), core stability dan yoga exercise.

a. SWD (Short Wave Diathermy)

Dalam Penelitian yang dilakukan Dr. Md. Habibur Rahman,

yang berjudul the short wave Diathermy’s Effects on the Patients

with Chroni low back Pain Due to Lumbar

Spondylosis menunjukkan efek short wave diathermy ( SWD) pada

pengobatan nyeri punggung bawah yang disebekan oleh spondylosis.

Sebuahji klinis dilakukan di departemen kedokteran fisik dan

rehabilitasi, BSMMU, Shahbagh, Dhaka pada 105 pasien yang datang ke

rumah sakit menderita sakit punggung bawah karena spondylosis .

Durasi studi adalah dari 1 maret 2010 hingga 15 september 2010.hasil: di

anatara 105 pasien 40%adalah laki-lakidan 60% perempuan . dari tujuh

puluh dua pasien,pasien maksimum adalah miskin (55%) diikuti kelas

menengah (40%). Khususnya tidak ada pasien kaya ditemukan dalam

penelitian ini. 105 pasien termasuk dalam kelompik studi dan secara

teratur mengambil rencana perawatan yang ditugas kerpada mereka.

Sesuai dengan peningakatan titik waktu, satu minggu yaitu skor

penjumlahan pra-perawatan dengan dibandingkan dengan pada akhir

66
skor penjumlahan satu minggu (WI) adalah 63,61+ 4,17 versus 57,01+

4,42. Pada titik waktu terakhir, pra-perawatan dibandingkan dengan

pasca perawatan skor adalah 63,61+ 4,17 versus 17,69+ 10,99.

Mempertimbangkan temuan dari penelitian ini, daat dilihat bahwa

gelombang pendek dhiatermy efektif terhadap spondylosis lumbal.

1) Persiapan alat

Sebelum terapi dilakukan, dilakukan dengan pengecekan kabel,

pemilihan elektroda, kabel elektroda tidak boleh kontak dengan

lantai, pasien ataupun bersilangan. Sebelum melakukan terapi,

mesin SWD dipanasi terlebih dahulu selama ±10 menit tanpa

menaikkan intensitas.

2) Persiapan pasien

Sebelum dilakukan terapi kita jelaskan terlebih dahulu tentang

tujuan dan pemberian terapi. Pasien diposisikan berbaring

senyaman mungkin. Sebelumnya diberikan tes sensibilitas dengan

panas dan dingin. Selanjutnya pasien diberi penjelasan terlebih

dahulu mengenai prosedur terapi dan penjelasan apabila pasien

merasa kepanasan, pasien diminta untuk segera memberi tahu

trapis.

3) Produser kerja dan dosis

67
Posisikan pasien senyaman mungkin sesuai dengan arah yang

akan dipasangkan pad/elektroda. Untuk pasien Low Back Pain

akibat Spondylosis Lumbal pasien dalam posisi tengkurap. Letak

kan Elektrode pada bagian yang akan diterapi dengan susunan

coplanar dengan jarak 10-15 cm dari kulit padien dengan dosis

sebagai berikut :

Dosis : 2x seminggu

Frekuensi : 50 Mhz

Waktu : 10 menit

Teknik : Continous

b. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

Dalam penelitian yang dilakukan N EngL J Med, 1990

TENS merupakan arus listrik frekuensi rendah cenderung bersifat

iritatif terhadap jaringan kulit sehingga dirasakan nyeri apabila

intensitas inggi. Modalitas TENS digunakan karena dapat menstimulasi

sel saraf local dan dapat memblokir nyeri . TENS pernah dilakukan

pada pasien low bac k pain dengan geajala nyeri punggung bawah

dikombinasikan dengan terapi latihan berupa perengangan lebih efektif

menurunkan frekuensi nyeri yang dirasakan sebanyak 52% dan 37%

tanpa melakukan terapi latihan. Dalam penelitian tersebut

mengemukakan bahwa nyeri menggunakan TENS saat diberikan pada

68
kondisi Low back pain et cause spondylosis lumbal dapat membrikan

stimulasi sel saraf local dan memblokir rasa nyeri terbukti efek dalam

menurunkan nyeri, dengan penurunan spasme sebgai tolak ukur yang

merupakan penyebab dari proteksi nyeri.

1) Persiapan alat

Sebelum terapi dilakukan, dilakukan dengan pengecekan

kabel, pemilihan elektroda, kabel elektroda tidak boleh kontak

dengan lantai, pasien ataupun bersilangan. Sebelum

melakukan terapi, mesin SWD dipanasi terlebih dahulu selama

±10 menit tanpa menaikkan intensitas.

2. Produser kerja dan dosis

Posisikan pasien senyaman mungkin sesuai dengan arah yang

akan dipasangkan pad/elektroda. Untuk pasien Low Back Pain

akibat Spondylosis Lumbal pasien dalam posisi tengkurap.

Kemudian letakkan pad/electrode pada titik nyeri yang

dirasakan pasien yaitu pada otot erector spine dan deep muscle

dengan dosis sebagai berikut:

Dosis : 2x Seminggu

Intensitas : Sesuai toleransi pasien

69
Waktu : 10 menit

Teknik : Asimetric Bhypasic

c. Core stability

Menurut Brandon dan Raphael. 2009. Core stability

Exercise mempunyai kemapuan untuk mengontrol posisi an gerakan

pada bagian pusat tubuh. Karena target utama latihan ini adalah otot

yang letaknya dalam dari perut, yang terkoneksi dengan tulang

belakang, panggul, da bahu. CSE bemanfaat untuk memelihara

kesehatan punggung bawah ,statik stabilisasi, dan dinamik trunk serta

mencegah terjadinya cedera ( pada punggung dan eksteremitas

bawah ) terutama dalam meningkatkan aktivitas fungsional. Ketika

otot ini lemah atau tidak ada keseimbangan ( imbalance muscle ),

yang terjadi adalah rasa sakit di daerah punggung bawah. Dengan

CSE keseimbangan otot abdominal dan paravertebrate akan

membentuk suatu hubungan yang lebih baik kerana terjadi keaktivitas

otot dalam dari trunk bawah sehingga dapat mengontrol selama terjadi

pergerakan perpindahan berat badab, aktivitas fungsional dari

eksteremitas seperti meraih dan melangkah. Terapi latihan berupa

70
CSE ini merupakan cara yang efektif untuk mengobati juga mencegah

NPB dan cedera ekstermitas bawah terutama dalam peningkatan

fungsional yang melibatkan otot transversus abdominis, otot

multifidus, otot diagrama thoraks, dan otot dasar panggul.

Menurut Kisner and Colby (2012), dalam core stability fokusnya

adalah pelatihan ulang fungsi deep muscle (transversus

abdominis dan multifidus) dan mengintegrasi aktivitas deep

muscle dan global muscle pada tugasnya. Dikoordinasikannya deep

muscle sangat penting dalam gerak segmen intervertebra dari tulang

belakang dan pelvic, meskipun otot tersebut tidak memberi kontribusi

besar pada tulang belakang tapi sangat penting untuk menstabilkan

tulang belakang.

Core stability exercise mempunyai kemampuan untuk mengontrol

posisi dan gerakan pada spine, karena target utama latihan ini adalah

otot yang letaknya dalam dari perut, yang terkoneksi dengan tulang

belakang, panggul, dan bahu. Core stability exercise bermanfaat

untuk memelihara kesehatan punggung bawah, statik stabilisasi, dan

dinamik trunk serta mencegah terjadinya cedera (pada punggung dan

ekstremitas bawah) terutama dalam meningkatkan aktivitas

fungsional. Ketika otot inti lemah atau tidak ada keseimbangan

(imbalance muscle), yang terjadi adalah rasa sakit di daerah punggung

bawah dan jika berlanjut dalam waktu yang lama akan menyebabkan

gangguan gerak dan penurunan aktivitas fungsional.

71
i. Supine hip twist on physioball

Supine hip twist on physioball

Sumber Lumbar/Core Strength and Stability


Exercises

Berbaring telentang di lantai dengan pinggul dan lutut ditekuk

hingga 90 derajat di atas fisioball; tarik otot perut dan pertahankan

selama latihan; perlahan dan dengan kontrol, putar lutut ke satu sisi

dengan menjaga pinggul tetap menyentuh lantai; gunakan obliques

untuk menarik lutut kembali ke tengah dan ulangi di sisi yang

berlawanan; Ulangi 5-8 kali di setiap sisi.

ii. Supine Abdominal Draw In

Supine Abdominal Drwa in

Sumber Lumbar/Core Strength and Stability Exercises

72
Berbaring telentang di atas meja atau tikar, berlutut dengan kaki di

atas meja / tikar; tarik perut ke dalam dan dorong punggung bawah

Anda ke meja / matras. Ulangi 5 kali.

iii. Abdominal Draw In with Knee to Chest

Abominal Draw in with knee to chest

Sumber Lumbar/Core Strength and Stability Exercise

Berbaring telentang di atas meja atau matras, tarik satu lutut ke dada

sambil mempertahankan penarikan perut; jangan pegang lutut dengan

tanganmu. Ulangi 5-8 kali setiap kaki.

iv. Abdominal Draw In with Heel Slide

Abominal Draw in with Heel slide

Sumber Lumbar/Core Strength and Stability Exercises

Berbaring telentang di atas meja atau tikar, tarik tumit kembali

ke arah bokong sambil mempertahankan perut masuk. Pertahankan

saat Anda kembali ke posisi awal. Ulangi 5-8 kali setiap kaki.

v. Abdominal Draw In with Double Knee to Chest

73
Abominal Draw in with double knee to chestt

Sumber Lumbar/Core Strength and Stability Exercises

Berbaring telentang di atas meja atau tikar, dekatkan kedua

lutut ke dada Anda pada saat yang bersamaan. Pertahankan penarikan

perut selama seluruh latihan.

vi. Supine Twist

Supine Twist

Sumber Lumbar/Core Strength and Stability


Exercises

74
Berbaring telentang di lantai dengan pinggul dan lutut ditekuk

hingga 90 derajat dengan kaki rata di lantai; tarik otot perut dan

pertahankan selama latihan; perlahan dan dengan kontrol, putar lutut

ke satu sisi dengan menjaga pinggul tetap menyentuh lantai; gunakan

obliques untuk menarik lutut kembali ke tengah dan ulangi di sisi

yang berlawanan; Ulangi 5-8 kali

vii. Superman’s

Superman’s

Sumber Lumbar/Core Strength and Stability


Exercises

Berbaring telungkup di atas meja atau tikar dengan lengan dan

kaki terentang; tarik kembali tulang belikat ke bawah dan ke arah

garis tengah tulang belakang Anda dan tarik otot perut; pertahankan

posisi ini, angkat lengan yang berlawanan dan kaki yang berlawanan

untuk memastikan pinggul Anda tetap menyentuh lantai; tahan selama

3-5 detik dan membalikkan sisi. Ulangi 5-8 kali.

d. Yoga exercise

Dalam penelitian yang dilakukan dalam penelitian yang

dilakukan (lina, 2018) yang berjudul ”pengaruh senam yoga

75
terhadap skala nyeri low back pain (lbp) pada dewasa menengah di

wilayah kerja puskesmas cimahi tengah “. Dengan menggunakan

metode penelitian yaitu pre experimental dengan rancangan one group

pretest-posttest design dengan menggunakan teknik pengambilan

sampel consecutive sampling sebanyak 12 responden dengan skala

nyeri sedang dan berat terkontrol. Senam yoga diberikan sebanyak 2

kali dalam 1 minggu selama 3 minggu dengan durasi 35 menit dengan

pengambilan data menggunakan lembar observasi skala nyeri dan

diolah dengan menggunakan analisis univariat (mean dan standar

deviasi) dan analisis bivariat (uji T-dependent). Hasil Skala pretest

pada dewasa menengah adalah 5,17 dan setelah diberikan senam yoga

terdapat penurunan skala nyeri dimana skala posttest adalah 2,50 dan

didapatkan nilai Pvalue 0,001. Dengan demikian senam yoga efektif

untuk menurunkan skala nyeri low back pain pada dewasa menengah.

Disarankan agar senam yoga sebagai pengobatan nofarmakologis

pada penderita nyeri low back pain.

Yoga meningkatkan kekencangan otot, kelenturan, dan

keseimbangan, serta membantu Anda rileks dan mengurangi stres,

sebagian berkat pernapasan pranayama khasnya. Penelitian juga

menunjukkan bahwa praktik yoga juga mengurangi stres, kecemasan,

depresi, dan nyeri kronis; membantu Anda tidur lebih nyenyak; dan

meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup secara keseluruhan.

76
1) Persiapan pasien

Sebelum melakukan yoga exercise pasien diminta untuk

mempersiapkan matras dan pasien dalm keadaan rileks.

2) Prosedur kerja

a) Mountain pose

Gambar 4.1 mountain pose

https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-

3567193

Dalam konteks yoga, ada banyak hal yang terjadi dalam posisi

ini. Tumit berakar ke bawah, otot-otot kaki bergerak, tulang-tulang

ditumpuk dengan bahu langsung di atas pinggul, bila bahu meluncur

ke belakag, dan mahkota kepala terangkat. Jangan lupa bernafas

b) Raised arms pose

77
Gambar 4.2 raised arms pose

https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-

3567193

Tarik napas dan angkat lengan ke atas dan melewati kepala

anda . pose lengan terangkat adalah perengan dasar pagi anda, tetapi

anda fokus pada menjaga penyelarasan yang baik yang anda buat

dalam pose gunung Tetap membungkuk di tumit dan menjaga bahu

bergerak menjauh dari telinga pada saat yang sama ketika mencapai

melalui ujung jari. Pandangan bisa sampai ke tangan, bisa selebar

bahu atau menyentuh telapak tangan.

c) Standing forward bend

78
Gambar 4.3 standing forward bend

https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-

3567193

Buang napas dan lipat kaki menjadi tikungan ke depan. Jika paha

belakang terasa agak kencang pada awalnya, tekuk lutut sehingga bisa

melepasakan tulang belakang. Biarkan kepala menggantung berat.

Perlahan luruskan kaki jika mau, tetapi tetaplah mengantungkan

kepala. Kaki bisa menyentuh atau menjauhkan pinggul,mana yang

terasa lebih baik.

79
d) Garland pose

4.4 garland pose

https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-

3567193

80
Gerakkan kaki ke tepi matras dan tekuk lutut , masuk ke dalam

jongkok. Jari –jari kaki bisa berubah jika perlu. Jika tumit tidak

mencapai , ambil selimut yang digulung dibawahnya.

Ini adalah posisi cukup alami untuk anak-anak tetapi kita kehilangan

kemampuan untuk itu sebagai orang dewasa. Ini bagus untuk pinggul

dan untuk mengetsi efek dari terlalu banyak duduk di kursi dan

mengendarai mobil. Ini juga merupakan pose yang sangat berguna

jika suka berkebun.

e) Lunge Pose

Gambar 4.5 lunge pose

81
https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-

3567193

Luruskan kaki dan gerakkan kembali kaki di bawah pinggul

sebelum melangkaha kaki kiri ke belakang dan tekuk lutut kanan

untuk melakukan lunge yang dalam. Cobalah untuk membawa lutut

yang tertekuk langsungDi atas pergelangan kaki sehingga paha kanan

sejajar dengan lantai.Jaga agar kaki tetap luris dan kuat dengan tumit

mencapai ke belakang. Jika terlalu kuat anda bisa menjatuhkan lutut

kiri ke matras. Kemudian ulangi lunge dengan kaki kiri kr depan dan

kaki kanan kembali

f) Plank Pose

4.6 plank pose

82
https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-

3567193

Setelah sepak terjang kedua, injak kaki kiri ke belakang

sehingga berada di sebelah kaki kanan di bagian belakang. Ini adalah

persiapan klasik push-up. Tetap pada posisi ini untuk memastikan

pinggul tidak jatuh terlalu rendah atau naik teralu tinggi.Jika siku

cendrung hyperextend, tekuk mikro. Turunkan lutut jika perlu. Dan

kembali duduk dengan tumit

g) Staff Pose

Gambar 4.7 staff pose

https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-

3567193

Ayunkan kaki agar terentang ke depan. Ini adalah posisi duduk

yang setara dengan pose gunung.Kaki tetap kaut degan kaki tertekuk.

Bahu menumpuk di atas pinggul sehingga tulang belakang panjang

dan lurus. Lengan mungkin lurus dan sedikit ditekuk.

83
h) Seated Forward Bend ( Paschimottanasana ) Membungkuk

ke depan

Gambar 4.8 Seated Forward Bend ( Paschimottanasana

https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-

3567193

Pada pernafasan , bawa tubuh di ats kaki dalam tikungan ke

depan. Paha belakang seharusnya lebih hangat daripada anda

melakukan tikungan ke depan. Bekerjalah dengan naps , perpanjangan

tulang belakang di setiap tarik naps dan perdalam lipatan ke depan di

setiap napas jaga agar kaki tetap tertekuku.

i) Menuju pose Lutut ( Janu sirsasana ) Pose kepala ke lutut

84
Gambar 4.9 Menuju pose Lutut ( Janu sirsasana

https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-

3567193

Kembali duduk dan tekuku kaki kiri, bawa telapak kaki kiri kr

dalam paha kanan. Gunakan teknk yang sama seperti dijelskan di atas

untuk memperdalam pose menggunakan napas kemudian duduk dan

ganti kaki.

j) Pose Baby Happy ( Ananda Balasana)

Gambar 4.10 Pose Baby Happy ( Ananda Balasana)

https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-

3567193

Berbaring telentang dan peluk lutut ke dada. Kemudian

pisahkan kedua lutut dan bawa masing-masing pergelangan kaki tepat

di atas lututnya sehingga tulang keringnya tegak lurus. Lenturkan kaki

dan pegang dari luar saat menarik lutut ke bawah menuju

85
ketiak.Gulingkan sisi ke sisi sedikit pada skrum jika terasa enak.

Rentangkan kaki di lantai dan istirahat.

B. Hasil dan Pembahasan

a. Hasil temuan jurnal

Dalam penelitian yang berjudul “Nyeri punggung bawah dan

Spondylosis” mengemukakan bahwa Low Back Pain memiliki prevalensi

yang tinggi, dan memiliki efek yang terbesar terhadap populasi kelangsungan

hidup. (Benjamin D. Elder, MD, PhD1 Timothy F. Witham, MD).

Dalam Penelitian yang dilakukan Dr. Md. Habibur Rahman,

Dkk (2019) . yang berjudul the short wave Diathermy’s Effects on the

Patients with Chroni low back Pain Due to Lumbar

Spondylosis menunjukkan efek short wave diathermy ( SWD) pada

pengobatan nyeri punggung bawah yang disebekan oleh spondylosis.

Sebuahji klinis dilakukan di departemen kedokteran fisik dan rehabilitasi,

BSMMU, Shahbagh, Dhaka pada 105 pasien yang datang ke rumah sakit

menderita sakit punggung bawah karena spondylosis . Durasi studi adalah

dari 1 maret 2010 hingga 15 september 2010.hasil: di anatara 105 pasien

40%adalah laki-lakidan 60% perempuan . dari tujuh puluh dua pasien,pasien

maksimum adalah miskin (55%) diikuti kelas menengah (40%). Khususnya

tidak ada pasien kaya ditemukan dalam penelitian ini. 105 pasien termasuk

dalam kelompik studi dan secara teratur mengambil rencana perawatan yang

86
ditugas kerpada mereka. Sesuai dengan peningakatan titik waktu, satu

minggu yaitu skor penjumlahan pra-perawatan dengan dibandingkan dengan

pada akhir skor penjumlahan satu minggu (WI) adalah 63,61+ 4,17 versus

57,01+ 4,42. Pada titik waktu terakhir, pra-perawatan dibandingkan dengan

pasca perawatan skor adalah 63,61+ 4,17 versus 17,69+ 10,99.

Mempertimbangkan temuan dari penelitian ini, daat dilihat bahwa gelombang

pendek dhiatermy efektif terhadap spondylosis lumbal.

Dalam penelitian yang dilakukan N EngL J Med, 1990 TENS

merupakan arus listrik frekuensi rendah cenderung bersifat iritatif terhadap

jaringan kulit sehingga dirasakan nyeri apabila intensitas inggi. Modalitas

TENS digunakan karena dapat menstimulasi sel saraf local dan dapat

memblokir nyeri . TENS pernah dilakukan pada pasien low bac k pain

dengan geajala nyeri punggung bawah dikombinasikan dengan terapi latihan

berupa perengangan lebih efektif menurunkan frekuensi nyeri yang dirasakan

sebanyak 52% dan 37% tanpa melakukan terapi latihan. Dalam penelitian

tersebut mengemukakan bahwa nyeri menggunakan TENS saat diberikan

pada kondisi Low back pain et cause spondylosis lumbal dapat membrikan

stimulasi sel saraf local dan memblokir rasa nyeri terbukti efek dalam

menurunkan nyeri, dengan penurunan spasme sebgai tolak ukur yang

merupakan penyebab dari proteksi nyeri.

Menurut Brandon dan Raphael. 2009. Core stability Exercise

mempunyai kemapuan untuk mengontrol posisi an gerakan pada bagian pusat

tubuh. Karena target utama latihan ini adalah otot yang letaknya dalam dari

87
perut, yang terkoneksi dengan tulang belakang, panggul, da bahu. CSE

bemanfaat untuk memelihara kesehatan punggung bawah ,statik stabilisasi,

dan dinamik trunk serta mencegah terjadinya cedera ( pada punggung dan

eksteremitas bawah ) terutama dalam meningkatkan aktivitas fungsional.

Ketika otot ini lemah atau tidak ada keseimbangan

( imbalance muscle ), yang terjadi adalah rasa sakit di daerah

punggung bawah. Dengan CSE keseimbangan otot abdominal dan

paravertebrate akan membentuk suatu hubungan yang lebih baik kerana

terjadi keaktivitas otot dalam dari trunk bawah sehingga dapat mengontrol

selama terjadi pergerakan perpindahan berat badab, aktivitas fungsional dari

eksteremitas seperti meraih dan melangkah. Terapi latihan berupa CSE ini

merupakan cara yang efektif untuk mengobati juga mencegah NPB dan

cedera ekstermitas bawah terutama dalam peningkatan fungsional yang

melibatkan otot transversus abdominis, otot multifidus, otot diagrama

thoraks, dan otot dasar panggul.

Menurut Brandon dan Raphael. 2009. Core stability Exercise

mempunyai kemapuan untuk mengontrol posisi an gerakan pada bagian pusat

tubuh. Karena target utama latihan ini adalah otot yang letaknya dalam dari

perut, yang terkoneksi dengan tulang belakang, panggul, da bahu. CSE

bemanfaat untuk memelihara kesehatan punggung bawah ,statik stabilisasi,

dan dinamik trunk serta mencegah terjadinya cedera ( pada punggung dan

eksteremitas bawah ) terutama dalam meningkatkan aktivitas fungsional.

Ketika otot ini lemah atau tidak ada keseimbangan

88
( imbalance muscle ), yang terjadi adalah rasa sakit di daerah

punggung bawah. Dengan CSE keseimbangan otot abdominal dan

paravertebrate akan membentuk suatu hubungan yang lebih baik kerana

terjadi keaktivitas otot dalam dari trunk bawah sehingga dapat mengontrol

selama terjadi pergerakan perpindahan berat badab, aktivitas fungsional dari

eksteremitas seperti meraih dan melangkah. Terapi latihan berupa CSE ini

merupakan cara yang efektif untuk mengobati juga mencegah NPB dan

cedera ekstermitas bawah terutama dalam peningkatan fungsional yang

melibatkan otot transversus abdominis, otot multifidus, otot diagrama

thoraks, dan otot dasar panggul.

pembahasan

a. Nyeri punggung bawah adalah salah satu kondisi nyeri yang

paling umum dialami manusia sepanjang hidup. Nyeri punggung

bawah bukan merupakan diagnosa atau penyakit melainkan istilah

yang menunjukkan adanya gejala. Nyeri punggung bawah dapat

disebabkan oleh berbagai kondisi atau penyakit. Salah satu

penyakit yang berhubungan dengan faktor penuaan atau faktor

degenerasi yang sering menyerang regio lumbal adalah

spondylosis lumbal. (Violante et al 2015)

b. Etiologi

Ada beberapa penyebab spondylosis lumbal menurut Central

Council for Research in Yoga & Naturopathy (2019), antara lain

sebagai berikut :

89
f. Overuse, strain, dan cedera 

g. Discus hernia

h. Fraktur kompresi.

i. Penyakit.

j. Kompresi akar saraf

Karena faktor-faktor risiko di atas, diskus dapat mengalami penuaan

sebelum waktunya dan menurunnya kandungan air diskus yang

menyebabkan penyempitan ruang diskus. Hal ini memungkinkan gerakan

abnormal antara vertebra dan menyebabkan kompresi corpus vertebral yang

berdekatan dan sendi facet sehingga mengarah ke pertumbuhan tulang

reaktif yang menekan akar saraf yang melewati foramina intervertebralis.

perubahan degeneratif ini dapat terjadi pada satu tingkat atau berbagai

tingkat vertebra lumbar yang mengarah ke beberapa area kekakuan tulang

belakang, nyeri dan mati rasa.

Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan

oleh adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen

intervertebralis. Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen

intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga

menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar, disamping itu, osteofit pada

facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat

menimbulkan nyeri pinggang ( S.E.smith, 2009

90
Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine

akibat iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint,

diskus intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur

myofascial didalam axial spine (Kimberley and David, 2009).

Gambaran klinis yang muncul berupa neurogenik claudication, yang

mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan

motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan

berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley and

David, 2009).

Dalam hal ini peneliti menggunakan berbagai modalitas untuk mengatasi

nyeri punggung bawah akibat Spondylosis Lumbal seperti Short Wave

Dhiatermy ( SWD ), Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation

(TENS),dan core stability dan yoga exercisee

1. Intervensi Fisioterapi dan Evaluasi Fisioterapi

Setelah ditemukan beberapa jenis pemeriksaan, dan ditemukan

problematik pasien yang mengindikasi nyeri punggung bawah akibat

spondylosis, maka intervensi yang diberikan kepada kedua pasien adalah

penggunaan modalitas SWD,TENS, Core stabilty dan Yoga Exercise

sebagaimana yang sering diterapakan pada kondisi nyeri punggung bawah

akibat spondylosis lumbal dengan tujuan untuk menurukan nyeri,

91
mengurangi gangguan fleksibilitas lumbal, dan mengurangi gangguan

fungsional lumbal.

Dalam Penelitian yang dilakukan Dr. Md. Habibur

Rahman, Dkk (2019) . yang berjudul the short wave Diathermy’s

Effects on the Patients with Chroni low back Pain Due to Lumbar

Spondylosis menunjukkan efek short wave diathermy ( SWD) pada

pengobatan nyeri punggung bawah yang disebekan oleh spondylosis.

Sebuahji klinis dilakukan di departemen kedokteran fisik dan rehabilitasi,

BSMMU, Shahbagh, Dhaka pada 105 pasien yang datang ke rumah sakit

menderita sakit punggung bawah karena spondylosis . Durasi studi adalah

dari 1 maret 2010 hingga 15 september 2010.hasil: di anatara 105 pasien

40%adalah laki-lakidan 60% perempuan . dari tujuh puluh dua pasien,pasien

maksimum adalah miskin (55%) diikuti kelas menengah (40%). Khususnya

tidak ada pasien kaya ditemukan dalam penelitian ini. 105 pasien termasuk

dalam kelompik studi dan secara teratur mengambil rencana perawatan yang

ditugas kerpada mereka. Sesuai dengan peningakatan titik waktu, satu

minggu yaitu skor penjumlahan pra-perawatan dengan dibandingkan dengan

pada akhir skor penjumlahan satu minggu (WI) adalah 63,61+ 4,17 versus

57,01+ 4,42. Pada titik waktu terakhir, pra-perawatan dibandingkan dengan

pasca perawatan skor adalah 63,61+ 4,17 versus 17,69+ 10,99.

Mempertimbangkan temuan dari penelitian ini, daat dilihat bahwa

gelombang pendek dhiatermy efektif terhadap spondylosis lumbal.

92
Dalam penelitian yang dilakukan N EngL J Med, 1990

TENS merupakan arus listrik frekuensi rendah cenderung bersifat iritatif

terhadap jaringan kulit sehingga dirasakan nyeri apabila intensitas inggi.

Modalitas TENS digunakan karena dapat menstimulasi sel saraf local dan

dapat memblokir nyeri . TENS pernah dilakukan pada pasien low bac k pain

dengan geajala nyeri punggung bawah dikombinasikan dengan terapi latihan

berupa perengangan lebih efektif menurunkan frekuensi nyeri yang

dirasakan sebanyak 52% dan 37% tanpa melakukan terapi latihan. Dalam

penelitian tersebut mengemukakan bahwa nyeri menggunakan TENS saat

diberikan pada kondisi Low back pain et cause spondylosis lumbal dapat

membrikan stimulasi sel saraf local dan memblokir rasa nyeri terbukti efek

dalam menurunkan nyeri, dengan penurunan spasme sebgai tolak ukur yang

merupakan penyebab dari proteksi nyeri.

Menurut Brandon dan Raphael. 2009. Core stability Exercise

mempunyai kemapuan untuk mengontrol posisi an gerakan pada bagian

pusat tubuh. Karena target utama latihan ini adalah otot yang letaknya dalam

dari perut, yang terkoneksi dengan tulang belakang, panggul, da bahu. CSE

bemanfaat untuk memelihara kesehatan punggung bawah ,statik stabilisasi,

dan dinamik trunk serta mencegah terjadinya cedera ( pada punggung dan

eksteremitas bawah ) terutama dalam meningkatkan aktivitas fungsional.

Ketika otot ini lemah atau tidak ada keseimbangan ( imbalance muscle ),

yang terjadi adalah rasa sakit di daerah punggung bawah. Dengan CSE

keseimbangan otot abdominal dan paravertebrate akan membentuk suatu

93
hubungan yang lebih baik kerana terjadi keaktivitas otot dalam dari trunk

bawah sehingga dapat mengontrol selama terjadi pergerakan perpindahan

berat badab, aktivitas fungsional dari eksteremitas seperti meraih dan

melangkah. Terapi latihan berupa CSE ini merupakan cara yang efektif

untuk mengobati juga mencegah NPB dan cedera ekstermitas bawah

terutama dalam peningkatan fungsional yang melibatkan otot transversus

abdominis, otot multifidus, otot diagrama thoraks, dan otot dasar panggul.

Dalam penelitian yang dilakukan dalam penelitian yang dilakukan

(lina, 2018) yang berjudul ”pengaruh senam yoga terhadap skala nyeri

low back pain (lbp) pada dewasa menengah di wilayah kerja puskesmas

cimahi tengah “. Dengan menggunakan metode penelitian yaitu pre

experimental dengan rancangan one group pretest-posttest design dengan

menggunakan teknik pengambilan sampel consecutive sampling sebanyak

12 responden dengan skala nyeri sedang dan berat terkontrol. Senam yoga

diberikan sebanyak 2 kali dalam 1 minggu selama 3 minggu dengan durasi

35 menit dengan pengambilan data menggunakan lembar observasi skala

nyeri dan diolah dengan menggunakan analisis univariat (mean dan standar

deviasi) dan analisis bivariat (uji T-dependent). Hasil Skala pretest pada

dewasa menengah adalah 5,17 dan setelah diberikan senam yoga terdapat

penurunan skala nyeri dimana skala posttest adalah 2,50 dan didapatkan nilai

Pvalue 0,001. Dengan demikian senam yoga efektif untuk menurunkan skala

nyeri low back pain pada dewasa menengah. Disarankan agar senam yoga

sebagai pengobatan nofarmakologis pada penderita nyeri low back pain.

94
95
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Pemeriksaan yang dilakukan pada kedua pasien dengan kondisi Low Back

Pain Akibat Spondylosis Lumbal ada 3 yaitu : (1) Pemeriksaan fungsi

gerak dasar yang terdiri dari pemeriksaan aktif dan pasif (2) Pemeriksaan

spesifik yang terdiri dari Palpasi, SLR, Bragard Test, Patric Test, dan Anti

Patric Test dan Tes JPM.

2. Diagnosa pada kedua pasien dengan kondisi Low Back Pain Akibat

Spondylosis Lumbal yaitu “Gangguan Fungsional Gerak Lumbal Akibat

Spondylosis Lumbal ”

3. Problematik yang ditemukan pada kedua pasien dengan kondisi Low

Back Pain Akibat Spondylosis Lumbal yaitu adanya nyeri pada lumbal,

spasme pada otot , dan gangguan pada fungsional lumbal yang

mengakibatkan aktivitasnya terganggu sehingga mengalami kesulitan

dalam kehidupan sosialnya.

4. Intervensi yang diberikan pada kedua pasien dengan kondisi Low Back

Pain akibat Spondylosis Lumbal seperti Short Wave Dhiatermy ( SWD ),

Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS), Core Stability dan

yoga Exercise

5. Hasil dari pemberian intervensi berdasarkan temuan jurnal yaitu ada

penurunan nyeri, spasme otot, peningkatan fleksibilitas lumbal dan

peningkatan aktivitas fungsional pada kedua pasien. Sedangkan evaluasi

96
pada kasus Low Back Pain akibat Spndylosis Lumbal dapat dilihat setelah

beberapa kali penanganan.

B. Saran-saran

1. Pemberian fisioterapi sedini mungkin dapat memberikan hasil yang

optimal sehingga dapat mencegah komplikasi yang bisa terjadi.

2. Fisioterapis dapat memberikan Low Back Pain akibat Spondylosis

Lumbal seperti Short Wave Dhiatermy ( SWD ), Trancutaneus Electrical

Nerve Stimulation (TENS), Core Stability dan Yoga Exercise untuk

mengurangi intensitas nyeri, mengurangi spasme, meningkatkan

fleksibiltas lumbal dan meningkatkan aktivitas fungsional pada penderita

low back pain Akibat Spondylosis Lumbal..

6. Berdasarkan pengalaman peneliti pemberian intervensi dengan modalitas

Short Wave Dhiatermy ( SWD ), Trancutaneus Electrical Nerve

Stimulation (TENS),terapi latihan Core Stability dan Yoga Exercise dapat

mengurangi nyeri dan memperbaiki gangguan fleksibilitas dan gangguan

fungsional lumbal pada pasien Low Back Pain Akibat Spondylosis

Lumbal.

3. Untuk mencapai hasil yang maksimal dan agar tidak terulangnya kondisi

yang sama maka pemberian edukasi yang tepat sangat berperan penting

pada kasus low back pain Akibat Spondylosis Lumbal.

97
DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo,. (2013). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri, Ar- Ruzz,


Yogyakarta
Akraf, Muhammad. 2012 . Schober Test. Diakses 28 Maret 2012.
http://akrafpeduli.blogspot.com/2012/03/tes-schober.html
Amelia, Coryna Rizky. 2014. Perbedaan Efektifitas Antara Metode TENS
denganMetode Akupresure Terhadap Penurunan Intensitas Dysmenorrhea
pada Remaja di Asrama Putri urusan Kebidanan. Malang: Politeknik
Kesehatan kemenkes malang
Anonim. 2014. Nyeri Punggung Bawah. Diakses 20 Oktober 2014.
http://kamuskesehatan.com/arti/nyeri-punggung-bawah/ .

Brooks BK et al., Lumbar spine spondylolysis in the adult population: using


computed tomography to evaluate the possibility of adult onset lumbar
spondylosis as a cause of back pain.,Skeletal Radiol., 2010.

BrandondanRaphael2009.http://www.spottinjurybulletin.com/archive/core-
stability.html Influence of core stability exercise on lumbar vertebral
instability in patients presented with chronic low back
Christina et, al 2014. http://eprints.umm.ac.id/46113/3/BAB%20II%20.pdf
Dachlan, Leo Muchamad. 2009. Pengaruh Back Exercise pada Nyeri Punggung
Bawah. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Djohan Aras, Hasnia Ahmad, Andy Ahmad (2017) tes muskulosceletal disorder
Dr. Md. Habibur Rahman, Dkk (2019) . yang berjudul the short wave
Diathermy’s Effects on the Patients with Chroni low back Pain Due to
Lumbar spondylosis.
Franz EW. et al 2015 ‘ Patient misconceptions concerning lumbar spondylosis
diagnosisandtreatment’https://www.physio-
pedia.com/Lumbar_Spondylosis#cite_note-8
Facci, L, M, Nowonty. Jp. Tormen, f. trevisani, V.f. M (2011) Effects of TENS and
patients with nonspecific choric low back pain .randomized clinical trial. Sao
Paulo medical journal.129 (4) 206.16

98
Hamill. J, Knutzen. K. M, and Derrick T. R, 2015. Biomechanical Basis of Human
Movement. Fourth Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health..
HandbClinNeurol.2015Low-back
pain.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26563799 diakses 23 november
2015.
"International Association for the Study of Pain: Pain Definitions". Diakses
tanggal 12 January 2015. Derived from The need of a taxonomy.
Pain. 1979;6(3):247–8. doi:10.1016/0304-3959(79)90046-0. PMID
460931.
Kimberley Middleton and David E. FISH, 2009. Fisioterapi pada penderita low back
pain http;//fisioterapishamdialfin.blogspot com.
Laxmaiah Manchikanti, Epidemiology of Low Back Pain Physician. 2000
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16906196 diakses20 April
Lina Safarina, S.Kep., M.Kep., Shelly Nitmala Dewi, S.Kep (2018). pengaruh
senam yoga terhadap skala nyeri low back pain (lbp) pada dewasa
menengah di wilayah kerja puskesmas cimahi tengah
Lowrence, (2007) http://eprints.umm.ac.id/42040/3/BAB%202.
M. Cohen et al.·3 (2018) Reconsidering the International Association for the Study
of Pain definition of pain. Diakses Maret 2018
Muraki, S., et al, Prevalence of radiographic lumbar spondylosis and its association
with low back pain in elderly subjects of population-based cohorts: the
ROAD study, Ann Rheum Dis 2009;68:1401-1406
doi:10.1136/ard.2007.087296
Mahadewa, G.B.T dan Maliawan , S.2009. Diagnosa dan tatalaksana kegawat
daruratan tulang belakang , jakarta : sagung seto.
http;//fisioterapishamdialfin.blogspot.com/. Acces : 2 januari 2018
Nolan, Mary. 2004. Kehamilan & Melahirkan. Jakarta: Arcan.
N Engl J Med, 1990. Jun 7;322(23)162734.
https://www.ncbinlm.nih.gov/pubmed/2140432
Potter dan Perry, 2005, Buku ajar Fundamental keperawatan : Konsep, proses, dan
praktik Jakarta : EGC
Palastanga.N, Soames.R. 2012. Anatomy and Human Movement structure and
function. Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone.
Parjoto, Slamet. 2006. Terapi Listrik untuk Modulasi Nyeri. Semarang: Ikatan
Fisioterapi Indonesia Cabang Semarang.
Pize Ann, https://www.verywellfit.com/simple-yoga-exercises-3567193
S.E. smith, 2009 Low back pain PT. Fisioterapi Sukarata

99
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2009). Buku ajar kepewaratan medikal bedah. Alih
bahasa : Agung Waluyo, dkk. Jakarta: EGC.
Suma, Ade Putra. 2013. William Flexion Exercise. Diakses 24 Oktober 2014.
http://terapilatihan.com/2013/07/william-flexion-exercise.html
Susilo, Wahyu Agung. 2010. Pengaruh terapi modalitas dan terapi latihan terhadap
penurunan rasa nyeri pada Pasien cervical root syndrome di rsud dr.
Moewardi Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Robinson, A.J.2008. Electrical Stimulation to Augment Healing of Chronic Wounds.
Clinical Electrophysiology: Electrotherapy and Electrophysical Testing. A.J
Robinson and L.Snyder-Mackler. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins: 27.
Rehan , 2005 eprints.ums. ac.id./32658/3/3.bab201120KTI.pdf
Thomas ,2016 . Short Wave Dhyatermy untuk mengurangi nyeri punggung.
(http://surabayaspineclinic.com/id/artikel/detail/id/43/url/swd-
membangkitkaan-panas-untuk-mengurnagi-rasa-nyeri-punggung diakses 25
Januari 2020 )
Wewers M.E. & Lowe N.K. (1990) A critical review of visual analogue scales in
themeasurement of clinical phenomena.Research in Nursing and
Health13,227±236.
Yoshimura N, Dennison E, Wilman C, et al. Epidemiology of chronic disc
degeneration and osteoarthritis of the lumbar spine in Britain and Japan: a
comparative study. J Rheumatol. 2000 Feb. 27(2):429-33.

100
LAMPIRAN
-
LAMPIRAN

101
Dokumentasi Jurnal

1. Jurnal Internasional Tentang Short Wave Dhiatermy ( SWD )

2. Jurnal Nasional Tentang Trancutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)

102
3. Jurnal Nasional Tentang Yoga Exerecise

4. Jurnal Internasional Tentang Core Stability

103
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Muliyana
NIM : PO.71.3.241.17.1.029
Tempat Lahir : Pinrang
Tanggal Lahir : 9 july 1999
Agama : Islam
Alamat : Pinrang
Pendidikan Formal :
SD Inpres Sali-Sali
SMP 1 Patampanua
SMK Baramuli Pinrang
Politeknik Kesehatan Makassar D.III Fisioterapi
Riwayat Organisasi :

1. Ketua Organisasi Palang Merah

2. Bendahara Umum REMUS ( Remaja Musollah )

3. Anggota LDK GAMAIS PKM

104
Nama Orang Tua
a. Ayah : Samiun
b. Ibu : Hj. Namri
Pekerjaan Orang Tua
a. Ayah : Wiraswasta
b. Ibu : Ibu Rumah Tangga
Anak Ke - : Bungsu
Motto : “Surga bukan tempat tapi sebuah perasaan”

105
106

Anda mungkin juga menyukai