Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH IMUNOLOGI

“Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”

OLEH:
DIONISIUS KRIS DE YANTO AKA RANGGA
NPM. 13161010
MATRIKULASI FA 1

SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG


BANDUNG
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Lupus atau yang biasa dikenal dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah
penyakit inflamasi atau autoimun multiorgan yang penyebabnya belum secara jelas
ditemukan. Munculnya SLE dikarenakan adanya penyimpangan dari reaksi imunologik yang
menyebabkan tubuh menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi yang dihasilkan
secara terus menerus menyebabkan adanya kerusakan sitotosik. Bagian dari antibodi ini
kemudian menyebabkan terbentuknya kompleks imun, dimana kompleks ini merupakan
pencetus penyakit inflamasi imun (Darmawan, Nasution, Kalim & Sidabutar, 1997).

Penyakit Lupus menyerang hampir 90% perempuan. Tercatat bahwa kurang lebih 5 juta
pasien Lupus tersebar di seluruh dunia dan setiap tahunnya mengalami peningkatan sebanyak
100.000 pasien baru. Data di Amerika menunjukkan indisiden penyakit Lupus Ras Asia lebih
tinggi dibandingkan ras Kaukasia. Di Indonesia jumlah penderita lupus yang tercatat sebagai
anggota YLI >10.000 orang, tetapi bila kita melakukan pendataan lebih seksama jumlah
pasien Lupus di Indonesia akan lebih besar dari Amerika ( 1.500.000 orang) (Yayasan Lupus
Indonesia, 2011).

Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi pada
berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk. SLE
lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan
mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan
insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi. Prevalensi penderita SLE di Cina adalah
1:1000. Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi
terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang
hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi,
sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia sendiri jumlah penderita
SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di
Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia, 2011). Prevalensi penyakit
iflamasi sistemik berdasar diagnosis naskes di Indonesia adalah 11,9%. Prevalensi tertinggi di
Bali 19,3%, Aceh 18,3%, Jawa Barat 17,5 dan Papua 15,4%. Prevalensi penyakit sendi
beradasarkan jenis kelamin, diperoleh lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pada laki-

2
laki yaitu 13,4% dan 10,3% (Riskesdas, 2013). Dari data Dinas kesehatan provinsi Bali
diperoleh data kasus sistemik lupus eritematosus pada tahun 2012 sebanyak 25 kasus dan
mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebanyak 75 kasus.
Penyebab munculnya penyakit ini belum bisa dipastikan, dapat karena pengaruh
lingkungan, hormonal atau genetik. Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit yang
timbul ketika tubuh melakukan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus asing dan
memproduksi banyak antibodi maupun protein-protein yang melawan jaringan tubuh. Oleh
sebab itu, lupus disebut dengan penyakit autoimun (Wallace, 2007).

Penderita lupus pada umumnya mengalami kemunduran baik secara fisik maupun psikis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak negatif dari SLE pada citra tubuh serta
ketidakpuasan seksual akan meningkat ketika pasien mengalami tingkat kelelahan dan gejala
depresi yang tinggi (Seawell & Burg, 2005). Manifestasi klinik yang dialami oleh penderita
lupus umumnya berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi kelainan kulit yang akut muncul
pada penderita Lupus berupa bercak malar yang menyerupai kupu-kupu. Bercak yang paling
sering ditemukan adalah bercak malar akut berupa eritema menonjol, terasa gatal, ataupun
nyeri. Beberapa jenis kelainan kulit yang dialami biasanya bersifat sementara dan tidak
meninggalkan bekas ketika sembuh. Akan tetapi untuk kelainan kulit yang bersifat akut
biasanya setelah sembuh akan meninggalkan bekas di kulit dan susah hilang dalam jangka
waktu yang cukup lama (Darmawan, Nasution, Kalim, & Sidabutar, 1997). Bentuk
manifestasi klinik lainnya yang dialami oleh penderita Lupus adalah apoleksia. Apoleksia
adalah tanda yang umum terjadi pada SLE dimana terjadi kerontokan rambut secara luas dan
subtotal. Rambut yang rontok dapat diasosiakan dengan kambuhnya SLE dan rambut yang
rontok ini akan tumbuh lagi setelah SLE dalam remisi. Kebotakan permanen yang dialami
oleh pasien SLE ini biasanya disebabkan karena kortikos teroid atau obat sitotosik. Secara
fisik, penderita SLE mengalami keluhan secara sistemik yang berhubungan dengan fungsi
fisiknya. Badan terasa lemas, lesu, dan mudah capek yang amat sangat menjadi penghalang
bagi penderita SLE untuk dapat melakukan kegiatan normal sehari-harinya. Bentuk keluhan
lain yang dirasakan adalah demam 38° Celsius, badan terasa pegal dan nyeri otot serta
penurunan berat badan. Gangguan penyakit SLE yang meningkat dari waktu ke waktu dan
penyembunyian gejala yang dialami, dapat menyebabkan depresi pada SLE (Schattner,
Shahar, Lerman & Shakra, 2010).
Dari berbagai macam bentuk manifestasi klinik yang muncul pada penderita SLE khususnya
secara fisik, maka secara psikologis muncul rasa kurang percaya diri pada penderita lupus.

3
Bekas dari bercak merah yang muncul di kulit hingga kerontokan yang menyebabkan
kebotakan, membuat pasien lupus menjadi malu dan stres dengan keadaan fisik yang dialami.
Stres yang muncul membuat pasien lupus menjadi khawatir dan tidak dapat menerima
keadaan dan kondisinya saat ini.

Pada saat seseorang divonis menderita SLE, maka keadaan ini akan mengubah pola
hidup nya. Pasien yang divonis SLE mungkin akan mengalami kehilangan pekerjaan,
kehilangan kepercayaan diri yang dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan emosional.
Tidak hanya itu saja, bagi pasien wanita pada usia dewasa awal akan mengalami perubahan
citra diri dan konsep diri mereka, pada umumnya hal ini akan menyebabkan terjadinya
dampak psikologis yang berat bagi pasien terutama dalam penerimaan dirinya. Perbedaan
kondisi pasien sebelum dan sesudah divonis SLE pasti sangat berbeda, sehingga pasien
dituntut untuk dapat beradaptasi dengan baik dengan kondisi yang dialaminya. Perubahan
pola hidup yang disebabkan oleh sakit ini dapat menjadi faktor sulitnya penerimaan diri pada
pasien dengan SLE (Hidayat, 2005).

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi systemic lupus erithematosus ?
2. Apa saja etiologi dan faktor prediposisi SLE?
3. Bagaimana gambaran klinis SLE?
4. Terapi apa yang bisa dilakukan untuk SLE?

1.3. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui secara rinci systemic lupus erithematosus

2. Mengetahui etiologi dan faktor predIposisi SLE

3. Mengetahui gambaran klinis SLE

4. Mengetahui terapi yang dapat dilakukan untuk SLE

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


2.1.1. Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus
pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit
kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan
manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi
pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah
penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada
beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode
sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.
Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit
yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan
organ yang terlibat.

2.1.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa
faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang
berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot
berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah
5
58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah
20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, Human
Leukosit Antigen (HLA) DR-2, FC (Factor Complement)  reseptor 3A, Protein fosfat non
reseptor 22, Cytotoxic T limfosit turunan antigen, telah dikaitkan dengan timbulnya SLE.
Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor
risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q
homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi
varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
b. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
 Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel
T.
 Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
 Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi
yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi

6
lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan
sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
 Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan
Clebsiella.
 Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
 Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan
SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
 Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan
Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan
DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

2.1.3. Gambaran Klinis


SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi.
Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf,
kardiovaskular, serta rongga mulut.
Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada ginjalnya. Keterlibatan
ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pada populasi ini.
Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik yang kemudian
berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif disertai dengan gagal ginjal.

7
Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada muskuloskeletal.
Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan nekrosis avaskular telah
dilaporkan terjadi pada pasien SLE.
Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus dermatitis dapat
dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan subacute cutaneous lupus
erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa lesi diskoid yang
umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan
sekitar hidung yang disebut buterfly rash karena membentuk seperti sayap kupu-kupu
(Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan.
Sebanyak 5% individu dengan DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE,
sebanyak 20% memiliki DLE.15,21

Gambar 1 . Butterfly rash.

Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik.
SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler
datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif, kebanyakan memiliki
antibodi terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa
urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bulla, dan panikulitis.
Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar 20% pasien
SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung.
Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis dan dapat memperburuk
keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.
SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis. Selain itu,
kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama
kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh
penyakit arteri koroner, dan hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting. Berdasarkan

8
sebuah studi, dinyatakan bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan stroke adalah 8,5, 13,2
dan 10,1 kali lebih sering terjadi pada perempuan dengan SLE dibandingkan dengan populasi
umum. Kecenderungan peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya kelainan
pada fibrinolisis, protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi antifosfolipid. SSP
dan trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab utama morbiditas pada pasien SLE.
Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.

2.1.4. Diagnosa
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan
kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan
tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan,
foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi
perubahan terhadap beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali
memberikan gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis,
anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini
penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan
penyakit lain.
Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria yang
dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98% dan pada tahun 1997
telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE yang telah direvisi.
Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997.

Kriteria Definisi

1. Butterfly Rash Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderung


tidak mengenai lipatan nasolabial.
2. Discoid Rash Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dan
sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang
sudah lama timbul.
3. Fotosensitivitas Ruam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet A dan
B
4. Ulser Mulut Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya
tidak nyeri jika sudah kronis.

9
5. Arthtritis Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih
persendian perifer dengan rasa sakit disertai
pembengkakan
6. Serositis Radang pada garis paru-paru, disebut juga pleura atau
pada jantung disebut juga pericardium
7. Kelainan Ginjal Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan
tidak normal dalam urin terlihat dengan bantuan
mikroskop
8. Kelainan Saraf Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan
metabolik yang diketahui.
9. Kelainan Darah Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - <4,0 x
10 pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua atau
lebih pemeriksaan.
10. Kelainan Imunitas Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer
abnormal ; atau antibody antifosfolipid positif berdasarkan
pada kadar antibodi antikardiolipin IgG atau IgM serum
yang abnormal dan uji positif antikoagulan lupus
menggunakan uji standar.
11. Tes ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak
adanya obat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang
diinduksi obat.

Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis SLE
mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat ditegakkan dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes ANA, jika hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan SLE, namun jika hanya tes ANA positif dan tidak terlihat manifestasi
klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini memerlukan observasi jangka panjang.

2.1.5. Terapi
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE :

10
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien
SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh
pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari
secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak
kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE,
antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas,
kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.
c. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid
Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi
lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.
 NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang
ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain.
Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat
menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual, muntah,
diare dan perdarahan lambung.
 Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian
lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan
penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan
secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan
yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol
dan dalam waktu yang lama. Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid
terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya
resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi
dan moon face.
 Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari hydroxychloroquinon
dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding kloroquin
11
karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk
SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa
meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan
dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut
sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam
bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
 Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem imun
tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE
seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate,
cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.

2.1.6. Manifestasi SLE pada Rongga Mulut


Sekitar 20-45% pasien SLE dilaporkan memiliki lesi oral. Beberapa manifestasi oral
yang timbul pada pasien SLE, antara lain :
a. Xerostomia
Xerostomia merupakan salah satu manifestasi SLE pada rongga mulut. Sekitar 75%
penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering terutama ketika
makan makanan panas dan pedas. Adanya infiltrasi limfosit pada kelenjar saliva mayor telah
ditemukan pada 50-75% pasien SLE, baik pada pasien yang mengeluhkan adanya rasa kering
di mulut ataupun tidak. Laju aliran saliva yang tidak distimulasi terlihat menurun pada
beberapa penderita SLE. Hal ini dapat dikaitkan pada penyakit autoimun lain yaitu Sjogren’s
Syndrome yang menyerang kelenjar saliva mayor. SLE juga menjadi komponen diagnosis
dari Sjogren’s Syndrom.
Kelainan pada kuantitas saliva pasien SLE dapat ditemukan pada saat pemeriksaan
kadar imunoglobulin (Ig) dalam saliva. Pada pasien SLE dapat terlihat adanya peningkatan
konsentrasi Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi Ig G biasanya dalam batas normal. Hal ini
dapat terjadi karena Ig A dan Ig M disintetis secara lokal dan disekresikan ke dalam saliva,
sedangkan Ig G diinfiltrasi oleh plasma. Kejadian ini ditemukan pada 30% pasien lupus.
Peningkatan Ig A dan Ig M pada saliva dapat disebabkan oleh penurunan kuantitas saliva.
b. Lesi Ulserasi
Berdasarkan kriteria ACR 1997, ulser rongga mulut merupakan salah satu kriteria
untuk penegakan diagnosis SLE. Dalam suatu studi, prevalensi ulserasi orofaringeal
berjumlah 15% pada pasien lupus. Lesi ulser pada SLE berukuran lebih dari 1 cm, dengan
12
tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi dengan eritema halo. Ulser ini dapat timbul
sebelum, saat ataupun setelah lesi kulit timbul. Ulser pada pasien lupus sering ditemukan
pada mukosa bukal, gingiva, palatum, serta meluas ke daerah faring. Lesi juga dapat tidak
spesifik, asimtomatik, dan bila semakin parah akan menimbulkan rasa sakit dan tidak
nyaman, namun pada pasien lupus, ulser biasanya timbul pada saat lupus teraktifasi (flare up)
(Gambar 2). Biasanya, ulser pada pasien lupus lebih lama mengalami masa penyembuhan.
Penyembuhan lesi ini cenderung membentuk jaringan parut dan fibrosis.

Gambar 2. Ulser oral pada pasien SLE

Selain ulser, juga sering terlihat lesi berwarna merah dan putih, berbentuk garis-garis
yang sejajar dan multipel pada beberapa permukaan mukosa. Lesi ini dapat dikatakan mirip
dengan lichen planus. Hal ini disebabkan karena keduanya merupakan kelainan inflamasi
mukokutaneus imunologik kronik yang memiliki gambaran keratotik, berwarna kemerahan,
dan disertai ulser. Pada pemeriksaan histopatologi, juga terlihat kesamaan antara SLE dan
lichen planus, yaitu terdapat kerusakan pada sel basal, sel limfosit, perivaskular,
hiperkeratotis, dan atrofi perifer. Pada dasarnya, butterfly rash yang terdapat di pipi dan
hidung dapat membantu dalam menyingkirkan diagnosa lichen planus. Selain itu, pada
pemeriksaan histopatologi juga dapat terlihat perbedaan antara SLE dan lichen planus, yaitu
pada SLE terlihat edema submukosa dan vasodilatasi pembuluh darah, sementara pada lichen
planus, sama sekali tidak terlihat hal tersebut

13
Gambar 3. Lesi ulserasi mirip lichen planus pada pasien SLE.

Lesi ulserasi lainnya juga sering dijumpai di daerah vermilion bibir, seperti lesi ulser
yang biasanya disebabkan oleh virus herpes. Lesi awal terlihat berupa vesikel berukuran kecil
dan berkelompok, kemudian dalam hitungan jam vesikel akan pecah dan menjadi ulserasi
yang pada permukaannya terlihat lapisan berwarna kekuningan.

Gambar 4. Lesi Herpes Simplek.

c. Lesi Diskoid
Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah bagian tepi
vermillion yang sering terpajan dengan sinar matahari, sementara itu bibir bagian atas juga
14
dapat terkena akibat perluasan langsung dari lesi diskoid yang terdapat pada kulit. Lesi
biasanya diawali dengan lesi kemerahan, namun lamakelamaan berubah menjadi lesi
keratotik dan bersisik. Bila sisik diangkat, maka bibir akan perih dan menimbulkan
perdarahan.

,
Gambar 5. Lesi diskoid pada bibir pasien SLE.

Gambar 6. Lesi bibir bersisik dan merah pada

d. Lesi Mirip Lichen Planus


Pada pasien SLE dapat terlihat beberapa lesi mirip lichen planus, namun tidak disertai
ulserasi. Lesi terlihat berupa garis-garis atau papula-papula putih halus berkilauan yang
tersusun dalam satu jaringan mirip jala dan pada umumnya tidak sakit. Lesi biasanya dapat
terlihat di pipi, lidah, bibir, gusi dan palatum. Lesi lain yang juga dapat terlihat pada pasien
SLE merupakan lesi bercakbercak pada mukosa yang berwarna merah, tanpa disertai
ulserasi. Striae sering terlihat di tepi lesi. Dapat terlihat di pipi, lidah, gusi, dan palatum.

15
Gambar 7. Lesi mirip lichen planus retikuler
e. Kandidiasis Oral
Kandidiasis pseudomembran akut (trush) merupakan suatu infeksi opurtunistik yang
disebabkan oleh jamur candida albicans superfisial dan menjadi komplikasi paling sering
akibat penggunaan obat imunosupresif seperti kortikosteroid sistemik yang sering digunakan
oleh pasien SLE. Secara klinis, thrush terlihat sebagai plak-plak putih, berkelompok,
mempunyai tepi eritematosus, dan jika dikerok akan meninggalkan permukaan yang merah,
kasar atau berdarah.

Gambar 8 . Trush .

Kandidiasis hiperplastik kronis disebabkan oleh jamur candida sp. yang masuk
melalui permukaan mukosa dan menstimulasi respon hiperplastik. Lesi paling sering timbul
di daerah dorsum lidah, palatum dan sudut bibir. Lesi tersebut mempunyai tepi menimbul
yang tegas, dan permukaan putih berbintil-bintil dengan beberapa daerah merah dan tidak
dapat dikerok.

16
Gambar 9. Kandidiasis hiperplastik kronis disudut mulut yang menyebar ke mukosa
pipi

Penggunaan antibiotik spektrum luas terutama tetrasiklin, dapat


mengakibatkan kondisi mulut yang disebut kandidiasis atrofik akut. Infeksi ini membuat
daerah mukosa permukaan mengelupas dan tampak seperti bercak-bercak merah difus. Sakit
seperti terbakar adalah keluhan utama.

Gambar 10. Kandidiasis atrofik akut.

17
2.2. Kerangka Teori

18
2.3. Kerangka Konsep

ODAPUS Manifestasi Oral


(Orang Penderita Lupus )
Xerostomia
Lesi Ulserasi
Lesi Merah dan Merah /Putih
Lesi Diskoid

Jenis kelamin

19
BAB 3
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Lupus erythematosus (LE) merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat
kelainan sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh.
Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri
dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang
jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan
kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki
korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II, Human Leukosit
Antigen (HLA) DR-2, FC (Factor Complement)  reseptor 3A, Protein fosfat non reseptor 22,
Cytotoxic T limfosit turunan antigen, telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu,
kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi
yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan
berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
Manifestasi dapat berbeda dari satu pasien dengan pasien lainnya tergantung dari target
organ yang terkena. Gejala yang timbul dapat menyerupai penyakit lain seperti multiple
sclerosis, arthritis reumathoid, atau bahkan demam berdarah, sehingga sering menyulitkan
dalam penegakkan diagnosa.
Para tenaga medis sangat berhati-hati dalam mendiagnosa lupus eritematosus,
pemeriksaan status sistem imun yang lengkap dan menyeluruh, termasuk mengetahui seluruh
riwayat penyakit pasien mutlak diperlukan sebelum diagnosa lupus eritematosus ditegakkan.
Perkembangan penelitian penyebab dan pengobatan lupus eritematosus di dunia cukup
menjanjikan dalam 3 dekade terakhir, terlihat bahwa pendekatan pengobatan mulai berubah,
diagnosa dini mulai dapat ditegakkan, manifestasi penyakit pada sebagian besar pasien mulai
dapat dikontrol sehingga jumlah dan jenis obat-obatan yang dikonsumsi dapat dikurangi.

3.2.Saran
Dengan adanya makalah ini kami selaku penulis sangat berharap kepada seluruh
mahasiswa agar mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit Lupus erythematosus

20
(LE). Semoga dengan adanya makalah ini dapat membawa pengaruh yang baik dan
bermanfaat bagi kita semua.
Kami penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu kami mengharapkan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

21
DAFTAR PUSTAKA

Aulawi, Dede Farhan, 2008, Mengenal Penyakit Lupus. Diakses 2 mei 2014
http://www.panduankesehatan.com.

Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM, 2002, Systemic Lupus Erythematosus. Yayasan


Lupus Indonesia, Jakarta.

Joseph A. Bellanti, M.D, 1993, Imunologi III. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Michelle Petri, M.D.,M.P.H, 1998, Treatment of Systemic Lupus Erythematosus. Johns


Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland.

Robbins, S.L, Cotran R.S & Kumar, V, 1999, Dasar Patologi Penyakit. EGC, Jakarta.

Sjaiffoellah, Noer, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI, Jakarta.

Sylvia, A.P & Lorratine, M.W, 2005, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
EGC, Jakarta.

Underwood, J.C.E, 1999, Patologi Umum dan Sistematik. EGC, Jakarta.

Wallace, J.D, 2007, The Lupus Book : Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus dan
Keluarganya, B first, Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai