Anda di halaman 1dari 18

II.

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Botani Tumbuhan Suruhan (Peperomia pellucida (L.)Kunth)

II.1.1 Klasifikasi Tumbuhan Suruhan

Kedudukan tumbuhan suruhan dalam sistematika ( taksonomi) tumbuhan

Menurut (Mulyani et al., 2018) di klasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Devisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicothyledoneae

Ordo : Piperales

Familia : Piperaceae

Genus : Peperomia

Spesies : Peperomia pellucida (L.)Kunth

II.1.2 Nama Daerah

Di Indonesia tumbuhan suruhan dikenal dengan beragam nama daerah

seperti katumpangan ayer (Melayu), saladaan (Sunda), rangu-rangu, sladanan,

suruhan (Jawa), gofu goroho (Ternate) (Dalimartha, 2003), tumpangan air

(Sumatera, Jakarta) (Hariana, 2007).

II.1.3 Nama Asing

Suruhan (Peperomia pellucida (L.)Kunth) dikenal dengan nama asing

seperti ulisiman bato (Filipina), cao hu jiao (Cina) (Hariana, 2007), sirih cina,

5
katumpangan air (Malaisya), cang cua (Vietnam), usuba sunakosho (Japan),

luchi pata, paneri (Bangladesh) (Alves et al., 2018).

II.1.4 Morfologi

Gambar 1. Tumbuhan Suruhan (Raghavendra & Kekuda, 2018)

Tumbuhan suruhan ditemukan tumbuh liar di tempat agak lembab atau

sedikit terlindung pada daerah yang kurang subur seperti di pinggir selokan, sela-

sela bebatuan, celah dinding yang retak, dinding yang curam, ladang dan

perkarangan. Tanaman yang berasal dari amerika tropis ini bisa di temukan dari

dataran rendah sampai 1.000 m dpl pada daerah yang tidak begitu kering

(Dalimartha, 2003).

Tumbuhan suruhan terlihat pada gambar 1, tumbuh tegak dengan tinggi

20-40 cm. Kalau agak tinggi kadang menggantung. Batang bulat, penampang 3-5

mm, bercabang, batang dan daun banyak mengandung cairan, berwarna hijau

pucat. Daun tunggal, bertangkai, dan berseling. Helai daun lebar berbentuk seperti

jantung, ujung runcing, pangkal melekuk, pertulangan melengkung, tepi rata,

panjang 1-3 cm, permukaan atas hijau pucat, bagian bawah berwarna lebih muda.

6
Bunga majemuk tersusun dalam rangkaian berbentuk bulir dengan panjang 1-6

cm, keluar dari ujung tangkai atau ketiak daun, berwarna hijau. Buah bulat, kecil-

kecil dengan diamater kurang dari 1mm, ujung runcing, tersusun seperti buah

lada, berwarna kecoklatan. Akar serabut, tidak dalam (Dalimartha, 2003).

II.2 Kandungan Kimia

Tumbuhan suruhan memiliki kandungan kimia seperti alkaloid, tanin,

kalsium oksalat, lemak, dan minyak atsiri (Hariana, 2015), antarkuinon, glikosida

jantung (Aziba et al., 2000), flavonoid, fenolik, saponin, terpenoid, steroid

(Abriyani, 2018), juga mengandung minyak esensial seperti carotol, dill apiole,

pygmaein, (E)-caryophyllene, germacrene D, β-elemene, camphor, daucene,

apiole, β-bisabolene dan bicylogermacrene (Verma et al., 2014), kandungan

lainya seperti acacetin, apigenin, isovitexin, pellucidatin, dan pitosterol (Salma et

al., 2013).

II.3 Tinjauan Farmakologi

2.3.1 Kegunaan Secara Tradisional

Secara tradisional tumbuhan suruhan di gunakan oleh masyarakat untuk

mengatasi berbagai penyakit seperti :

a. Asbses, Bisul, Jerawat, Dan Radang Kulit

Di gunakan dengan cara merebus tanaman sebanyak 2 buah tanaman

segar yang berukuran kecil ( tingginya 7-10 cm) dengan 3 gelas air hingga tersisa

2 gelas. Minum airnya sekaligus 1 gelas selagi hangat. Di minum 2 kali sehari

dengan dosis yang sama (Hariana, 2007).

7
b. Luka Bakar Dan Terpukul

Digunakan dengan cara melumatkan tanaman segar, lalu tempelkan

ramuan di bagian yang sakit (Hariana, 2007).

c. Penyakit Ginjal

Di gunakan dengan cara merebus tanaman segar yang berukuran kecil

(tinggi 7-10 cm) dengan 3 gelas air hingga tersisa 2 gelas. Minum airnya selagi

hangat. Di minum 2 kali sehari dengan dosis yang sama (Hariana, 2007).

d. Sakit Kepala Pada Penderita Deman

Di gunakan dengan cara melumatkan 15 lembar daun segar,

tempelkan pada pelipis. Cara lain dengan merebus 2 tanaman segar yang

berukuran kecil (tinggi 7-10 cm) dengan 3 gelas air hingga tersisa 2 gelas. Minum

selagi hangat 2 kali sehari (Hariana, 2007).

e. Sakit Perut

Digunakan dengan cara di tumbuk halus herba segar, lalu peras hasil

tumbukan, lalu minum air perasannya (Hariana, 2007).

2.3.2 Aktivitas Farmakologi

Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa Peperomia pellucida

(L.)Kunth menunjukan berbagai aktivitas farmakologis, seperti penelitian (Aziba

et al., 2000) menyatakan bahwa ekstrak methanol Peperomia pellucida (L.)Kunth

menunjukan efek analgesik yang signifikan dan tergantung dosis. Penelitian oleh

(Wijaya dan monica, 2004) menyatakan bahwa pemberian ekstrak herba suruhan

memiliki efek antiinflamasi. Penelitian oleh (Khan et al., 2007) menyatakan

bahwa fraksi etanol ekstrak Peperomia pellucida (L.)Kunth memiliki efek yang

8
signifikan terhadap antipiretik. Penelitian oleh (Wei et al., 2011) menyatakan

bahwa senyawa kimia yang terkandung di dalam Peperomia pellucida (L.)Kunth

memiliki potensi terhadap antikanker, antimikroba, dan antioksidan. Penelitian

oleh (Imbar, 2019) Peperomia pellucida (L.)Kunth mengandung senyawa kimia

yaitu flavonoid dan saponin yang dapat memberikan efek penurunan kadar

hiperurisemia. Penelitian oleh (Togubu, 2013) menyimpulkan bahwa ekstrak

etanol dan heksana peperomia pellucida (L.)Kunth dengan dosis 40mg/kgBB

memiliki efek antihiperglikemia. Selain itu peperomia pellucida (L.)Kunth juga

memiliki potensi terhadap penyembuhan luka bakar, antidepresan, hipotensif,

sitotosik, gastroprotektif, penghambatan lipase, fibrinolitik dan antitrombolitik

(Kartika et al., 2016).

2.4 Inflamasi

2.4.1 Pengertian Inflamasi

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan

yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat

mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktifkan atau merusak

organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat

perbaikan jaringan (Mycek et al., 2001).

2.4.2 Gejala-Gejala Terjadi Respon Antiinflamasi

1. Rubor (Kemerahan)

Rubor, atau kemerahan, merupakan hal pertama yang terlihat di daerah

yang mengalami peradangan. Seiring dengan dimulainya reaksi peradangan,

arteriol yang memasok daerah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih

9
banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang

sebelumnya kosong, atau mungkin hanya sebagian meregang, secara cepat terisi

penuh dengan darah. Keadaan ini di sebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan

kemerahan lokal pada peradangan akut. Tubuh mengontrol produksi hiperemia

pada awal reaksi peradangan, baik secara neurologis maupun kimiawi melalui

pelepasan zat-zat seperti histamin (Price & Wilson, 2005).

2. Kalor (Panas)

Kalor atau panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi

peradangan akut. Panas secara khas hanya merupakan reaksi peradangan yang

terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingin dari 37°C yang

merupakan suhu inti tubuh. Daerah peradangan di kulit menjadi lebih hangat dari

sekelilingnya karena lebih banyak darah (pada suhu 37°C) dialirkan dari dalam

tubuh ke permukaan daerah yang terkena di bandingkan dengan kedaerah normal.

Fenomena hangat lokal ini tidak terlihat di daerah-daerah meradang yang terletak

jauh di dalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki suhu inti

37°C dan hiperemia lokal tidak menimbulkan perbedaan (Price & Wilson, 2005).

3. Dolor (Nyeri)

Dolor, atau nyeri, pada suatu reaksi peradangan tampaknya

ditimbulkan dalam berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-

ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung syaraf. Hal yang sama, pelepasan zat-

zat kimia tertentu seperti histamin atau zat-zat kimia bioaktif lain dapat

merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang

10
menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang tidak diragukan lagi dapat

menimbulkan nyeri (Price & Wilson, 2005)

4. Tumor (Pembengkakan)

Aspek paling mencolok pada peradangan akut adalah tumor, atau

pembengkakan lokal yang di hasilkan oleh cairan dan sel-sel yang berpindah dari

aliran darah ke jaringan interstisial. Campuran cairan dan sel-sel ini yang

tertimbun di daerah peradangan di sebut eksudat. Pada awal perjalanan reaksi

peradangan, sebagian besar eksudat adalah cairan, seperti yang terlihat secara

cepat di dalam lepuhan setelah luka bakar ringan pada kulit. Kemudian, sel-sel

darah putih atau leukosit, meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian

eksudat (Price & Wilson, 2005).

5. Fungsio Laesa (Perubahan Fungsi)

Fungsio laesa, atau perubahan fungsi merupakan bagian yang lazim

dalam reaksi peradangan. Sepintas mudah di mengerti , bagian yang bengkak,

nyeri disertai sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal,

seharusnya berfungsi secara abnormal. Akan tetapi, cara bagaimana fungsi

jaringan yang merada ng itu terganggu tidak dipahami secara terperinci (Price &

Wilson, 2005).

2.4.3 Mekanisme Inflamasi

Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang mengakibatkan kerusakan sel,

sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka sel tersebut akan melepaskan

beberapa fosfolipid yang diantaranya adalah asam arakidonat yang merupakan

11
prekusor dari sejumlah besar mediator inflamasi. Setelah asam arakidonat tersebut

bebas akan diaktifkan beberapa enzim, yaitu siklooksigenase dan lipooksigenase.

Enzim siklooksegenase merubah asam arakidonat kedalam bentuk tidak

stabil (hidroperoksid dan endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisme menjadi

leukotrin, prostaglandin, protasiklin, dan tromboksan. Bagian prostaglandin dan

leukotrin bertanggung jawab terhadap gejala peradangan dan nyeri (Katzung,

2002).

Trauma atau luka pada sel

Gangguan pada menbran sel

Fosfolipase
Fosfolipida

Asam arakidonat

Siklooksigenase Lipoksigenase

Endoperoksid Asam hidroperoksid

tromboksan Prostasiklin Prostaglandin Leukotrin

Gambar 2. Skema jalur pembentukan asam arakidonat, prostaglandin dan

leukotrin (Katzung, 2002).

12
2.4.4 Klasifikasi Inflamasi

1. Inflamsi Akut

Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera jaringan, hal

tersebut terjadi melalui media autokoid serta pada umumnya didahului oleh

pembentukan respon imun (Katzung, 2002).

2. Inflamasi Kronis

Inflamasi kronis yaitu lanjutan dari inflamasi akut, yang mana pada

inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak menonjol

pada respon akut. Salah satu kondisi yang paling penting yang melibatkan

mediator-mediator ini ialah rheumatoid artitis, dimana inflamasi kronis

menyebabkan sakit dan kerusakan pada tulang yang bisa menjurus kepada

ketidakmanpuan untuk bergerak ( Katzung, 2002).

2.4.5 Mediator-Mediator Inflamasi

Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator dari jaringan yang rusak dan

migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe peradangan

(inflamasi) diantaranya adalah histamine, bradikinin, prostaglandin dan

interleukin. Histamin merupakan mediator pertama yang dilepaskan dari sekian

banyaknya mediator lain dan segera muncul dalam berapa detik yang

menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Bradikinin dan kalidin beraksi

lokal menimbulkan rasa sakit, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler

dan berperan meningkatkan kerja prostaglandin (Mycek et al., 2001).

13
1. Histamin

Histamin menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

vaskular. Sejumlah besar histamin disimpan di dalam granula sel-sel jaringan ikat

yang di kenal sebagai sel-sel mast, yang tersebar luas di dalam tubuh (histamin

juga terdapat di dalam basofil dan trombosit). Histamin yang disimpan tidak aktif

dan mengeluarkan efek vaskular hanya jika dilepas banyak cedera fisik

menyebabkan degranulasi sel mast pelepasan histamin. Histamin terutama penting

dalam peradangan yang merupakan mediator utama dalam beberapa reaksi alergik

(Price & Wilson, 2005)

2. Prostaglandin

Prostaglandin disintesis dari asam arakidonat, suatu asam lemak 20-

karbon yang merupakan prekusor utama prostaglandin dan senyawa yang

berkaitan. Asam arakidonat terdapat dalam komponen fosfolipid membran sel,

terutama fosfatidil inositol dan kompleks lipid lainnya (Mycek et al., 2001).

Kebanyakan efek prostaglandin diperantarai oleh ikatan yang luas pada

berbagai reseptor membran yang berbeda, melalui protein G yang kemudian

mengaktivasi atau menghambat adenilil siklase atau merangsang fosfolipase C.

Prostaglandin yang dihasilkan secara endogen dalam jaringan bekerja sebagai

tanda lokal yang menyesuaikan respon tipe sel yang spesifik. (Mycek et al.,

2001).

3. Serotonin

Serotonin terdapat di dalam hipotalamus dalam konsentrasi rendah.

serotonin juga terdapat dalam inflamasi. Serotonin menimbulkan kontriksi vena

14
dan dalam dosis besar menghambat kapiler sehingga menyebabkan statis.

Serotonin juga merangsang proses fagositosis oleh sel polimorfonuklear dan

makrofag (Price & Wilson, 2003).

2.4.6 Enzim Siklooksigenase (COX)

Siklooksigenase (COX) dari metabolisme asam arakidonat menghasilkan

prostaglandin-prostaglandin, yang mempunyai berbagi efek pada pembuluh darah,

ujung-ujung saraf, dan pada sel-sel yang terlibat dalam inflamasi. Penemuan

isoform-isoform COX (COX-1 dan COX-2) menjurus kepada konsep bahwa

isoform COX-1 yang konstitutif (bersifat pokok, selalu ada) cendrung menjadi

hemeostatis dalam fungsinya, sedangkan COX-2 diinduksi selama inflamasi dan

digunakan untuk menfasilitasi respon inflamasi. Atas dasar ini, penghambatan

COX-2 yang sangat selektif telah dikembangkan dan dipasarkan dengan asumsi

bahwa penghambat-penghambat selektif semacam itu lebih aman daripada

penghambat-penghambat COX-1 yang non selektif tetapi tentunya tanpa

kehilangan kemanjuran (efikasi) (Katzung, 2002). COX-2 adalah produk gen yang

cepat terjadi sebagai respon awal dalam inflamasi dan sel imun serta dapat

distimulasi 10 sampai 18 kali oleh faktor pertumbuhan, promotor tumor, dan

sitokin (Katzung, 2001).

Kedua siklooksigenase meningkatkan pengambilan dua molekul oksigen

dengan siklisasi asam arakidonat dan menghasilkan C 9-C11 endoperoksida C15

hidroperoksida. Hasilnya adalah PGG2 yang secara cepat dimodifikasi oleh gugus

peroksida enzim siklooksigenase untuk menambah satu kelompok 15-hidroksil

yang penting bagi aktivitas biologis. Hasilnya adalah PGH2. Kedua endoperoksida

15
tersebut sangat tidak stabil. PGH2 kemudian menghasilkan prostaglandin,

tromboxan dan prostasiklin melalui jalur-jalur berbeda. Prostaglandin berbeda

dari yang lain dalam dua hal, yaitu: pada pengganti cincin pentana (ditandai

dengan huruf akhir seperti E dan F dalam PGE dan PGF), kedua letak ikatan

ganda pada rantai samping (ditandai dengan subskrip seperti PGE 1 dan PGE2)

(Katzung, 2001)

Semua produk siklooksigenase alami dengan cepat dimetabolisme oleh

oksidasi-β, oksidasi-ω, serta oksidasi pada kelompok kunci 15-hidroksil menjadi

keton. Metabolit y ang tidak aktif tersebut kemudian dapat ditentukan jumlahnya

di dalam darah dan urine dengan cara pengukur imunologis atau spektrometri

massa sebagai pengukur sintesis in vivo dari senyawa asal mereka (Katzung,

2001).

2.4.7 Obat-Obat Antiinflamasi

1. Obat-Obat Antiinflamasi Nonsteroid (AINS)

Obat-obat ini menpunyai efek antipiretik dan analgesik, tetapi sifat

antiinflamasi merekalah yang menbuat mereka paling baik dalam menangani

gangguan-gangguan dengan rasa sakit yang dihubungkan dengan intesitas proses

inflamasi (Katzung, 2002). Obat-obat ini terutama bekerja dengan jalan

menghambat enzim siklooksigenase tetapi tidak enzim lipoksegenase (Mycek et

al., 2001), seperti celecoxib sangat selektif penghambatan COX-2 kira-kira 375

kali lebih efektif untuk COX-2 dari pada COX-1 dan aktivitas antiinflamasi dari

AINS terutama diperantari melalui hambatan biosintesis prostaglandin . contoh

16
obat penghambatan COX-2 yang sanga selektif yaitu celecoxib dan rofecoxib

(Katzung, 2002).

2. Obat-Obat Antiinflamasi Steroid

Obat antiinflamasi dari golongan steroid, yaitu glukokortikoid

mempunyai potensi efek mengurangi peradangan yang disebakan karena efeknya

terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer serta penghambatan

aktivitas fosfolipase A2. Setelah pemberian dosis tunggal glukokortikoid bekerja

singkat dengan konsetrasi neutrofil meningkat yang menyebabkan pengurangan

jumlah sel pada daerah peradangan (Katzung, 2002).

2.4.8 Metode Uji Inflamasi

1. Metode Pembentukan Edema

Merupakan salah satu teknik yang paling umum digunakan berdasarkan

kemanpuan agen tersebut untuk menghambat produksi edema di kaki belakang

tikus setelah injeksi agen radang yang kemudian diukur volume radang. Volume

edema diukur sebelum dan sesudah pemberian zat yang diuji. Beberapa iritan

yang bias dipakai sebagai penginduksi edema antara lain formalin, kaolin, ragi,

dekstran dan karagen (Vogel, 2002)

2. Metode Pembentukan Eritema

Metode ini berdasarkan pengamatan secara visual terhadap eritema pada

kulit hewan yang telah dicukur bulunya. Tikus secara kimiawi dihilangkan

bulunya dengan suspense barium sulfat, 20 menit kemudian dibersihkan dengan

air hangat. Esok harinya senyawa uji disuspensikan sebanyak setengah dosisnya,

kemudian diberikan 30 menit sebelum pemaparan UV. Setengahnya lagi diberikan

17
2 menit setelah berjalan pemaparan UV. Eritema dibentuk akibat iritasi sinar UV

berjarak 20 cm diatas tikus. Eritema dinilai 2 dan 4 jam setelah pemaparan

(Vogel, 2002)

3. Metode Iritasi Dengan Panas

Metode ini berdasarkan pengukuran luas radang dan berat edema yang

terbentuk setelah diiritasi dengan panas. Mula-mula hewan diberi zat warna tripan

biru yang disuntik secara IV, dimana zat ini akan berikatan dengan albumin

plasma. Kemudian pada daerah penyuntikan tersebut di rangsang dengan panas

yang cukup tinggi. Panas menyebabkan pembebasan histamine endogen sehingga

timbul inflamasi. Zat warna akan keluar dari pembuluh darah yang mengalami

dilatasi bersama-sama dengan albumin plasma sehingga jaringan yang meradang

kelihatan berwarna. Penilaian derajat inflamasi diketahui dengan mengukur luas

radang akibat pembesaran zat ke jaringan yang meradang. Pengukuran juga dapat

dilakukan dengan menimbang edema yang terbentuk, dimana jaringan yang

meradang dipotong kemudian di timbang (Vogel, 2002)

4. Metode Iritasi Pleura

Metode ini berdasarkan pengukuran volume eksudat yang terbentuk

karena iritasi dengan indikator radang. Adanya aktivitas obat yang diuji ditandai

dengan berkurangnya volume eksudat. Obat diberikan secara oral. Satu jam

kemudian di suntik dengan indikator radang seperti formalin secara intra pleura.

Setelah 24 jam, hewan dibunuh dengan eter lalu rongga pleura dibuka dan volume

eksudat diukur (Vogel, 2002).

18
2.5 Karagen

Untuk menginduksi edema pada kaki tikus percobaan, banyak sekali iritan

yang dapat digunakan, antara lain formalin, dekstran, kaolin, dan albumin. Namun

yang umum digunakan adalah karagen. Karagen merupakan ekstrak kering

ganggang laut yang diperoleh dari spesies chandrus cripus. Komposisi dari

karagen adalah senyawa derivate mikropolisakarida, yaitu poligalaktosa sulfat.

Keuntungan karagen dibandingkan induktor lainnya adalah karagen cepat

menimbulkan udem dan udem yang dihasilkan dapat diamati dengan jekas. Selain

itu, karagen merupakan indikator yang paling peka karena pada dosis kecil sudah

dapat menimbulkan radang (Winter et al., 1962).

2.6 Celecoxib

Celecoxib merupakan derivat-benzoilsulfonamida ini (1998) adalah NSAID

pertama dengan khasiat menghambat selektif COX-2. Pada dosis biasa COX-1

tidak di ringtangi, maka PgI2 dengan daya protektifnya atas mukosa lambung-

usus tetap di bentuk. Karena itu praktis tidak menyebabkan efek buruk terhadap

lambung-usus. Setelah di serap mencapai kadar darah maksimal setelah 2-3 jam

dan masa paruh eliminasi 8-12 jam. Dalam hati diubah menjadi metabolit inaktif

yang di keluarkan dengan kemih. Wanita hamil dan laktasi tidak dianjurkan

minum obat ini (Tjay & Rahardja, 2007).

Struktur celecoxib (Katzung, 2002)

19
Celecoxib efektif pada dosis 100-200 mg dua kali sehari untuk pengobatan

artritis rheumatoid dan osteoarthritis dan nampaknya tidak menambah efikasi atau

kemanjuran dengan dosis harian setinggi 1200 mg. Obat ini sama efektifnya

dengan seperti AINS lainnya pada artritis rheumatoid dan osteroartritis dalam

percobaan-percobaan menyebabkan lebih sedikit ulkus endoskopis dari

kebanyakan AINS lainnya (Katzung, 2002).

2.7 Plestismometer

Plestismomoter merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk

mengukur edema. Prinsip kerja alat ini merupakan penerapan hokum Archimides

yaitu pengukuran organ yang diukur derajat inflamasinya kedalam cairan raksa

(Winter et al., 1962). Jika suatu benda dicelupkan ke dalam air maka cairan raksa

yang terdapat pada tabung kapiler akan naik. Kenaikan ini sebanding dengan

volume benda yang dapat di baca pada skala pletismometer.

2.8 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan teknik serologi

canggih yang menjanjikan untuk deteksi dan identifikasi patogen tumbuhan.

Sebagai teknik serologi, prinsip dasar ELISA adalah reaksi antara antigen (Ag)

dan antibodi (Ab) menjadi molekul Ag-Ab yang lebih besar dan mudah

mengendap. Pengamatan hasil pada ELISA berdasarkan perubahan warna yang

terjadi pada substrat preaksi sesuai dengan label atau imunoprob (immuno probe)

konjugat Ab-enzim. Perubahan warna terjadi akibat hidrolisa enzimatik pada

reaksi antara konjugat Ab-enzim dengan substratnya, sehingga hasil ELISA lebih

peka dan dapat dikuantifikasi. ELISA telah banyak mengalami perubahan sejak

20
teknik ini pertama kali dipublikasikan. Ciri utama teknik ini ialah dipakai

indikator enzim untuk reaksi imunologi (Mitra & Barman, 2016).

2.9 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat dapat larut dengan pelarut cair.

Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut

sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu:

1. Cara Dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut

setelah dilakukan penyaring maserat pertama, dan seterusnya (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur

ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,

tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan ekstrak), terus menerus

sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

21
2. Cara Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah terbatas yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik (Departemen Kesehatan Repbulik Indonesia, 2000).

b. Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan

jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2000)

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperature yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara

umum dilakukan pada temperatur 40-50◦C (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2000)

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98◦C)

selama waktu tertentu (15-20 menit) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2000).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30◦C) dan temperatur

sampai titik didih air (Departemen Kesehatan Republik indonesia, 2000).

22

Anda mungkin juga menyukai