Anda di halaman 1dari 11

KELAS : Poltik Ekologi

DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D


1
Arham (P013201004)
Relasi Kuasa dalam Pemanfaatan Kawasan Hutan Menjadi Perkebunan Sawit

1 Latar Belakang
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat
oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-
wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide
sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah
satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.

Hutan menurut Undang-Undang tentang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 adalah suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.

Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi
masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budi
daya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan
dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora
dan fauna dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global.
Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat
penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat tumbuhnya berbagai tanaman.[1]

1.1 Berdasarkan pemanfaatan lahan


Luas hutan Indonesia terus menciut, sebagaimana diperlihatkan oleh tabel berikut: Luas
Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan

Tahun Luas (Hektar):

1950 162,0 juta;


1992 118,7 juta;
2003 110,0 juta;
2005 93,92 juta.
1.2 Berdasarkan citra satelit
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit, kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92
juta hektar pada 2005 itu dapat dirinci pemanfaatannya sebagai berikut:

1. hutan tetap: 88,27 juta ha;


2. hutan konservasi 15,37 juta ha;
KELAS : Poltik Ekologi
DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D
2
Arham (P013201004)
3. hutan lindung 22,10 juta ha;
4. hutan produksi terbatas 18,18 juta ha;
5. hutan produksi tetap 20,62 juta ha;
6. hutan produksi yang dapat dikonversi: 10,69 juta ha;
7. areal Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) 7,96 juta ha.
Lahan hutan terluas ada di Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan
(28,23 juta ha), Sumatra (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan Maluku Utara
(4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha).

Sumberdaya hutan (SDH) Indonesia menghasilkan berbagai manfaat yang dapat dirasakan
pada tingkatan lokal, nasional, maupun global. Manfaat tersebut terdiri atas manfaat nyata yang
terukur (tangible) berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu seperti rotan, bambu, damar
dan lain-lain, serta manfaat tidak terukur (intangible) berupa manfaat perlindungan lingkungan,
keragaman genetik dan lain-lain.
Besarnya manfaat hutan dan luasnya sumberdaya hutan di Indonesia, mendorong tekanan yang
sangat tinggi terhadap hutan. Tekanan ini juga tidak hanya datang untuk memanfaatkan
sumberdaya hutan namun juga untuk memanfaatkan lahan hutan menjadi non hutan seperti
tambang dan perkebunan. Ekspansi sawit ke dalam hutan adalah salah satu prakter tekanan
terhadap lahan dalam kawasan hutan.

2 Kuasa
Kekuasaan merupakan inti dari ekologi politik sebagai pendekatan ilmiah. Ada banyak contoh
definisi bidang ini di mana kekuasaan merupakan elemen sentral. Greenberg dan Park (1994:
1), misalnya, mendefinisikan ekologi politik sebagai sintesis dari "ekonomi politik, dengan
penekanan pada kebutuhan untuk menghubungkan distribusi kekuasaan dengan aktivitas
produktif dan analisis ekologi, dengan visi yang lebih luas tentang hubungan bioenvironmental
".
Menurut Bryant (1998: 79)," ... ekologi politik mengkaji politik dinamika materi dan
pergulatan diskursif atas lingkungan di dunia ketiga. Peran dari hubungan kekuasaan yang
tidak setara dalam membentuk lingkungan yang dipolitisasi adalah tema sentral ". Robbins
(2004: 12) mendefinisikan ekologi politik sebagai "eksplorasi berbasis penelitian empiris untuk
menjelaskan keterkaitan dalam kondisi dan perubahan sistem sosial / lingkungan, dengan
pertimbangan eksplisit hubungan kekuasaan ", sedangkan Wisner (2015: 56) menyajikan
ekologi politik sebagai "studi interdisipliner terapan — bahkan proaktif — tentang masyarakat
KELAS : Poltik Ekologi
DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D
3
Arham (P013201004)
dan bumi yang berfokus pada hubungan kekuasaan politik, ekonomi dan sosial (serta kekerasan
— struktural dan terbuka — dan koersi) naik turun skala kontinum dari global ke lokal. "
2.1 Perspektif kekuasaan yang berorientasi pada aktor.
Svarstad et al. (2018) berpendapat bahwa aspek utama dari perspektif yang berorientasi pada
aktor adalah bahwa kekuasaan dilihat sebagai dijalankan oleh aktor, berbeda dengan
pandangan di mana kekuasaan dianggap sebagai kekuatan yang dapat melewati orang tanpa
kesadaran atau akuntabilitas. Profesor sosiologi Norwegia, Fredrik Engelstad (1999),
mendefinisikan konsep kekuatan yang kuat sebagai kombinasi dari intensionalitas,
relasionalitas dan kausalitas. Hal ini mengimplikasikan bahwa aktor dipandang menjalankan
kekuasaan dalam arti yang kuat melalui tindakan untuk mencapai maksud tertentu
(intensionalitas), bahwa tindakan tersebut terjadi antara dua atau lebih aktor (relasionalitas),
dan bahwa tindakan tersebut menghasilkan hasil yang diinginkan.
2.2 Perspektif kuasa Neo-Marxist
Ekonomi politik Marxis adalah landasan ekologi politik, dengan fokusnya pada
ketidaksetaraan yang dihasilkan dengan cara berbeda oleh kapitalisme global. Namun,
perspektif kekuatan Marx jarang disorot, meskipun ada berbagai perspektif kekuatan dalam
ekologi politik yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh Marx. Fokus utama
dari teori kekuatan Marxis adalah pada hubungan kelas di bawah kapitalisme, dan kekuatan
persisten yang direproduksi oleh hubungan ini (Isaac 1987). Juga bagi Marx, hak pilihan
manusia berada di pusat konsepsinya tentang kekuasaan, tetapi ia adalah lembaga yang
dikondisikan secara sosial, yang tercermin dalam kutipan terkenal ini:
“Manusia membuat sejarahnya sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya sesuka mereka;
mereka tidak membuatnya dalam keadaan yang dipilih sendiri, tetapi dalam keadaan yang
sudah ada, diberikan dan diturunkan dari masa lalu.” (Marx 1852: 5)
Oleh karena itu, teori kekuatan Marxis memahami agen manusia sebagai dibatasi dan sebagian
besar diproduksi oleh struktur sosial yang mapan secara historis. Sementara struktur
menghasilkan potensi dan batasan untuk penggunaan kekuasaan, agensi cenderung
mereproduksi struktur.
2.3 Perspektif kekuatan poststrukturalis
Svarstad et al. (2018) membedakan antara tiga perspektif kekuatan poststrukturalis yang,
sebagian besar, diilhami oleh Michel Foucault dan diterapkan di bidang ekologi politik. Ini
adalah kekuasaan diskursif, pemerintahan, dan biopower. Dalam studi lingkungan, Maarten
Hajer (1995) dan John Dryzek (1997) telah memperkenalkan analisis wacana yang telah
KELAS : Poltik Ekologi
DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D
4
Arham (P013201004)
digunakan dan dielaborasi oleh ahli ekologi politik dan lain-lain (misalnya Adger et al. 2001).
Lebih jauh, Emery Roe (1991, 1995, 1999) telah berpengaruh dalam memperkenalkan fokus
pada narasi dan alur cerita sebagai bagian dari wacana yang lebih luas untuk menganalisis
kasus-kasus tertentu dari konflik lingkungan (Leach dan Mearns 1996; Stott dan Sullivan 2000;
Svarstad 2002).
Svarstad et al. (2018) mendefinisikan "wacana" sebagai perspektif bersama secara sosial
tentang suatu topik. "Kekuasaan diskursif" dilakukan ketika aktor-aktor seperti korporasi,
instansi pemerintah atau LSM, menghasilkan wacana dan berhasil mengajak kelompok lain
untuk mengadopsi dan berkontribusi pada reproduksi wacana mereka. Bertentangan dengan
beberapa penggunaan lain dari analisis wacana, dalam ekologi politik, wacana cenderung
dipelajari dalam kombinasi dengan epistemologi realis kritis (misalnya Adger et al. 2001;
Bassett dan Bi Zuéli 2000; Forsyth dan Walker 2008; Kull 2004; Leach dan Mearns 1996;
Svarstad 2002). Dengan demikian, asumsi dan klaim sentral dalam wacana dibandingkan
dengan data empiris tentang proses lingkungan yang tunduk pada klaim diskursif yang kuat.
Literatur ekologi politik yang produktif tentang kekuasaan diskursif terdiri dari wacana dan
analisis naratif, dan menunjukkan bagaimana beberapa aktor menjalankan kekuasaan melalui
pembentukan wacana tentang isu dan narasi kasus tertentu dengan cara yang sesuai dengan
dirinya sendiri. Pelaku di balik konstruksi semacam itu tidak hanya pemerintah, tetapi
seringkali juga perusahaan dan LSM lingkungan yang besar. Dalam beberapa kasus, konstruksi
dapat ditelusuri kembali ke kekuasaan kolonial sebagai upaya untuk melegitimasi perampasan
wilayah baru yang diklaim dikelola oleh penduduk dengan cara yang tidak berkelanjutan.
Kajian-kajian tersebut mengungkap wacana-wacana yang sedikit banyak bersifat hegemonik,
sedangkan dalam isu-isu lingkungan saat ini, dua atau lebih wacana yang paralel dan saling
bersaing sering diamati (Agder et al. 2001; Svarstad 2005).

3 Sawit dalam Kawasan Hutan di Kab. Pasangkayu.


Desa Benggaulu Kecamatan Dapuran Kabupaten Pasangkayu Propinsi Sulawesi Barat ada
banyak lahan kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat untuk dijadikan tempat tinggal
maupun lahan perkebunan. Di beberapa tempat di desa lain, orang-orang harus mengeluarkan
sekitar Rp. 1.500.000,- untuk bisa mendapatkan lahan kawasan hutan, tapi di Benggaulu,
seorang kepala dusun memberikannya gratis agar wilayah dusunnya menjadi ramai.
KELAS : Poltik Ekologi
DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D
5
Arham (P013201004)
Berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian
Republik Indonesia bahwa jumlah luasan kebun sawit di Provinsi Sulawesi Barat adalah
sebesar 196,625 Ha dengan produksi sawit mencapai 584,168 ton (Ditjenbun, bahan persentase
pada acara Lokakarya perencanaan pembangunan sawit Rakyat Indonesia, Bappenas 2019).

Perkembangan sawit di Kabupaten Pasangkayu terus mengalami perluasan dan menggeser


Kakao (dibanding 3 kabupaten lainnya di Sulawesi barat yang masih mempertahankan Kakao
sebagai komoditi prioritas). Saat ini masyarakat cenderung memilih kelapa sawit sebagai
tanaman utama ketimbang kakao dan kelapa. Hal tersebut disebabkan karena kakao lebih
rentan terkena serangan penyakit sementara kelapa sawit tergolong tanaman yang tahan hama
penyakit. Faktor menarik lainnya adalah tanaman ini cepat berbuah dalam waktu 3 tahun. Oleh
karena itu pemerintah Provinsi Sulawesi Barat mengandalkan komoditi ini khususnya di
kabupaten Mamuju tengah, dan pasang kayu untuk menyejahterakan petani dan andalan
pertumbuhan ekonomi wilayah.

4 Aktor
Pengeloaan sawit rakyat dalam Kawasan hutan melibatkan banyak aktor yang memiliki peran
dan fungsi berbeda-beda. Peran dan fungsi ini bekerja berdasarkan kepentingan masing-
masing pihak dan dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Secara umum aktor pengelolaan
sawit dalam Kawasan hutan dan stakeholder yang terlibat dapat dilihat sebagaimana berikut
ini:

4.1 Petani sawit

Pada umumnya petani sawit menggunakan tenaga kerja dalam melakukan pemanenan. Ada
yang bertugas sebagai pendodos (orang yang bertugas mengambil buah dari pohon) dan
pa’lansir (orang yang bertugas mengumpulkan TBS ke tepi jalan). Untuk kedua pekerjaan
tersebut, petani mengeluarkan ongkos sebesar Rp. 300,-. Namun, lain cerita jika pohon sawit
sudah mencapai tinggi di atas 5 meter, biasanya ongkos yang dikeluarkan akan dihitung
Rp.1.000,-/pohon.

Jarang petani mengantarkan langsung hasil panen sawit ke pabrik, umumnya mereka menjual
TBS kepada pedagang pengumpul. Jika ada petani yang mengantarkan langsung ke pabrik,
biasanya mereka adalah petani yang berlahan luas. Petani akan mengumpulkan TBS di tepi
KELAS : Poltik Ekologi
DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D
6
Arham (P013201004)
jalan, selanjutnya ia akan menghubungi pedagang pengumpulnya untuk menjemput TBS pada
lokasi yang telah ditentukan.

Mekanisme pembayaran yang diterima oleh petani dari pedagang pengumpul sangat
bergantung dengan mekanisme pembayaran yang berlaku di pabrik tempat di mana pedagang
pengumpul menyetor TBS. Ada yang langsung diberikan secara tunai, ada pula yang diberikan
nanti pada saat akhir bulan.

Rata-rata harga yang diterima oleh petani dari pedagang pengumpul memiliki selisih dari Rp.
200,- hingga Rp. 300,- per Kg dari harga yang ditetapkan oleh pabrik. Misalnya, pada
Desember 2019 (masa studi) harga yang ditetapkan oleh perusahaan sebesar Rp. 1.290,-/Kg
maka di tingkat petani oleh pedagang pengumpul dihargai sekitar Rp. 1.100,-.

4.2 Pedagang Pengumpul.

Sebagai pedagang pengumpul, umumnya akan mengikuti harga termahal dan mengambil
selisih yang cukup agar bisa bersaing dengan pedagang pengumpul lainnya. Hal kedua, seorang
pedagang pengumpul harus bisa menyediakan pupuk subsidi yang bisa dikreditkan kepada
petani agar bisa mengikat petani untuk tetap menjual TBSnya.

Jika seorang petani telah mengambil kredit pupuk pada pedagang pengumpul, biasanya
hubungan mereka cenderung akan bertahan lebih lama. Hubungan ini kemudian menjadi
seperti patron dan klien di mana petani sebagai klien akan bergantung pada pedagang
pengumpul sebagai patron.

Hubungan tersebut biasanya akan putus jika petani yang bersangkutan sudah tidak terikat
hutang, dan akan memilih pedagang pengumpul yang mampu membeli TBSnya di atas harga
sebelumnya, atau durasi cicilan dalam melunasi pupuk lebih lama.

Pedagang pengumpul jika tidak memiliki mobil sendiri, ia akan melakukan penyewaan pada
pemilik truk yang memiliki slip perusahaan. Namun, jika mobil yang digunakan adalah milik
sendiri, seorang pedagang pengumpul harus bisa memiliki jaringan dengan salah satu
kelompok yang bermitra dengan perusahann kelapa sawit untuk dapat mengantungi slip
tersebut. Satu slip dihargai sebesar Rp. 5,- / kg Tbs.
KELAS : Poltik Ekologi
DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D
7
Arham (P013201004)
4.3 Penyedia transportasi

Salah satu bisnis jasa yang cukup berkembang adalah penyewaan truck berkapasitas 10 Ton
atau mobil pick up dengan kapasitas 7,5 Ton untuk menjemput TBS dari kebun milik petani ke
pabrik kelapa sawit. Umumnya, truk disewakan dengan 1 supir dan 1 kernek yang akan
membantu proses pengangkutan TBS ke bak truk.

Pemilik truk biasanya menyewakan mobil truknya kepada pedagang pengumpul dengan biaya
Rp.200 per kilogram. Setiap kali jalan, mobilnya dibawa oleh sopir dengan kernet, gaji yang
diberikan pada sopir sebanyak Rp.150.000, dan untuk kernet ia memberikan Rp.100.000,-

Supir truk dan krunya harus langsung ke kebun untuk menjemput sendiri tandan buah segar
yang telah dipanen dan siap dijual di pabrik atau penimbang. Kesulitan yang paling sering
ditemui ketika harus menjemput TBS ke wilayah kebun yang jalanannya belum bagus. Hal itu
bisa menyebabkan kerusakan pada mobilnya. Karena ongkos yang dikeluarkan untuk
perbaikan mobil sepenuhnya ditanggung oleh pemilik truk itu sendiri.

4.4 Pengecer pupuk

Di Sulawesi Barat ada 2 distributor pupuk yang bekerja yakni dari Pertani dan Bunga tani.
Kedua dirstributor ini selanjunya membaginya pada pengecer resmi. Setiap kecamatan akan
ditunjuk pengecer 2 hingga 3 orang untuk mencover sejumlah desa. Jadi, setiap pengecer pupuk
hanya akan melayani kelompok tani yang berasal dari desa tertentu sesuai dengan wilayah
kerjanya.

Pengecer pupuk hanya bisa menjual pupuk subsidi dalam jumlah terbatas dan tidak semua
petani bisa membeli pupuk tersebut. Petani yang memiliki lahan di atas 4 hektar juga dianggap
tidak boleh mendapatkan pupuk bersubsidi. Semua harus melalui proses rencana defenitif
kebutuhan kelompok (RDKK) yang disusun atas sepengetahuan ketua kelompok tani,
penyuluh pertanian, dan pengecer pupuk sebagai pembuat RDKK.

RDKK yang disusun oleh pengecer pupuk memut informasi jumlah kelompok beserta
anggotanya lengkap dengan alamat terang, serta kebutuhan pupuk masing-masing anggota
kelompok. Artinya, pupuk tersebut sudah jelas kepada siapa dan berapa jumlah yang harus
diberikan. Data inilah yang selanjutnya diajukan kepada distributor pupuk dan memberikan
KELAS : Poltik Ekologi
DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D
8
Arham (P013201004)
kebutuhan pupuk selama satu tahun dengan mengirimkannya per bulan. Jika pada akhir bulan
laporan penjualan mencatatan pupuk tidak terbeli semua, maka akan dilakukan pengurangan
kuota pada tahun selanjutnya. Sebaliknya, jika terjadi kekurangan, pihak pengecer dapat
mengajukan penambahan kuota.

4.5 Pemerintah Desa.

Pada beberapa desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani sawit, peran
Pemerintah Desa menjadi penting. Salah satu priotitas utama yang diemban oleh pemerintah
desa dalam berkembangnya sawit dalam kawasan adalah dibuatnya akses jalan ke sawit dalam
kawasan.

4.6 Pabrik Kelapa Sawit

Pabrik kelapa sawit merupakan tujuan utama dari TBS yang diusahakan oleh para petani sawit.
Ada beberapa perusahaan yang tidak memiliki lahan inti (Plasma) sehingga banyak bergantung
pada petani. Tingginya permintaan TBS karena adanya perusahaan sawit yang tidak memiliki
kebun inti mendorong persaingan harga TBS. Salah satu upaya yang digalakkan oleh
perusahaan tanpa plasma adalah dengan manaikkan harga beli TBS dari harga umum yang
telah ditetapkan. Hal ini mendorong tingginya laju penanaman sawit. Kawasan hutan tidak
luput dari penyerobotan masyarakat. Sementara perusahaan yang memiliki kebun plasma,
biasanya akan menyesuaikan harga agar tidak terlalu jauh, dan membangun kerja sama dengan
para mitra agar tetap konsisten dalam pengiriman TBS.

Setiap TBS yang akan masuk ke dalam pabrik, diwajibkan untuk membawa Slip pembayaran
perusahaan bersangkutan. Biasanya Slip ini dipegang oleh ketua Wadah Kerjasama Antar
Kelompok (WKAK) yang merupakan kelompok mitra yang dibina oleh perusahaan. Slip
pembayaran ini akan memuat informasi kelompok mana, Tonase TBS yang dibawa, serta nama
driver yang akan membawa TBS.

4.7 Dinas Perkebunan Kabupaten/Provinsi.

Salah satu instansi pemerintah yang memiliki Tupoksi berkaitan dengan sawit rakyat adalah
Dinas Perkebunan. Program terkait sawit rakyat yang sudah dilakukan adalah peremajaan sawit
rakyat bekerja sama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit dan sosialisasi
KELAS : Poltik Ekologi
DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D
9
Arham (P013201004)
pembuatan STDB. Dokumen STDB diharapkan dapat meminimalisir berkembangnya sawit
dalam kawasan hutan.

4.8 Anggota Legislatif.

Fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di sebuah daerah. Dalam
hal ini, melakukan fungsi pengawasan dan kontrol, terutama terkait penetapan harga TBS.
Beberapa anggota legislatif provinsi kerap menyoroti dugaan terkait soal transparansi dan
ukuran yang baku soal harga TBS karena terdapat ketimpangan dengan harga yang berlaku di
luar Sulawesi Barat.

4.9 Bank

Sebagai penyedia jasa keuangan, Bank BRI berperan penting dalam penyediaan dana tunai
bagi para pekebun sawit yang membutuhkan dana dalam jumlah besar dan menjadikan
sertifikat lahan sawitnya sebagai jaminan. Dana itu digunakan untuk keperluan membangun
rumah, pelaksanaan acara besar seperti pernikahan, membeli lahan baru, atau membeli bibit,
pestisida, dan pupuk dalam jumlah besar sebelum panen berlangsung. Bank BRI juga hanya
mau menerima sertifikat lahan sawit sebagai jaminan, sedangkan lahan yang ditanami jenis
komoditi lain, tidak diterima. Ada kemungkinan sawit yang berada dalam Kawasan hutan juga
telah disertifikatkan dan dijadikan jaminan ke BANK.

Pada sisi kebijakan, terdapat pemerintah desa yang memberikan dana usaha untuk BUMDesa
dalam penyaluran pupuk. Pupuk tersebut juga digunakan pada sawit dalam kawasan hutan.

5 Relasi Kuasa
Akses merupakan kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu, termasuk obyek
material, orang, kelembagaan dan simbol. Kemampuan tersebut terkait dengan kekuatan atau
kekuasaan. Kekuasaan melekat dan dilaksanakan melalui berbagai mekanisme, proses dan
relasi sosial di mana penguasaan teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga
kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial dan relasi sosial. (bundleofpower)
akanmemengaruhitingkatakses ke sumberdaya. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki aktor,
maka semakin besar aksesnya ke sumberdaya hutan.
KELAS : Poltik Ekologi
DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D
10
Arham (P013201004)
Relasi kuasa antara aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan kehutanan juga kerap
terbentuk karena adanya beragam kepentingan serta tingkat kekuasaan yang berbeda. Hal ini
merupakan sumber terjadinya konflik antar pihak karena masing-masing aktor berusaha untuk
memanfaatkan kekuasaan yang dimilkinya untuk kepentingannya. Namun jika relasi kuasa
terjalin dengan baik antar aktor akan mempermudah untuk tercapainya tujuan (kepentingan)
dalam pengelolaan hutan.

Pada kasus masuknya masyarakat ke dalam kawasan hutan di Desa Benggaulu untuk berkebun

sawit, awalnya adalah upaya tokoh desa untuk meramaikan desanya. Terjadi migrasi ke dalam

desa karena ada lahan yang dapat di sawitkan. Banyaknya lahan dalam kawasan hutan yang

telah disawitkan dan banyaknya masyarakat yang terlibat dalam rantai nilai usaha sawit dalam

kawasan sedangkan pihak yang berwenang dalam pengelolaan kawasan hutan hanya berjumlah

tidak sampai sepuluh orang untuk luasan sekitar 40.000 Ha. Ketimpangan ini memaksa pihak

berwenang menutup mata terhadap berjalannya praktek pengelolaan sawit dalam kawasan

hutan.

6 Penutup

Karena waktu yang terbatas dan ketiadaan kesempatan kunjungan lapangan pada saat

penyusun makalah ini, kami sadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Maka penyusun

menerima kritik dan saran demi memperbaiki makalah ini kedepannya. Terimakasih.
KELAS : Poltik Ekologi
DOSEN : Prof. Ir. Muhammad Saleh S. Ali, M.Sc, Ph.D
11
Arham (P013201004)
7 DAFTAR PUSTAKA
Alam, B. (n.d.). Hutan , Pohon dan Wanatani. CCGIAR.

Darman, R. A. (2017). Analisis aktor, relasi kuasa dalam pembangunan dan pengelolaan
hutan desa labbo.

Krott, M., Bader, A., Schusser, C., Devkota, R., Maryudi, A., Giessen, L., & Aurenhammer,
H. (2014). Actor-centred power: The driving force in decentralised community based
forest governance. Forest Policy and Economics, 49, 34–42.
https://doi.org/10.1016/j.forpol.2013.04.012

Rosyadi, S., & Sobandi, K. R. (2014). Relasi Kuasa Antara Perhutani Dan Masyarakat Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di Banyumas: Kepentingan Bisnis Vs Community
Empowerment. KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture,
6(1), 47–56. https://doi.org/10.15294/komunitas.v6i1.2939

Schusser, C., Krott, M., Yufanyi Movuh, M. C., Logmani, J., Devkota, R. R., Maryudi, A.,
Salla, M., & Bach, N. D. (2015). Powerful stakeholders as drivers of community
forestry - Results of an international study. Forest Policy and Economics, 58, 92–101.
https://doi.org/10.1016/j.forpol.2015.05.011

Syafiuddin, A. (2018). Pengaruh Kekuasaan Atas Pengetahuan (Memahami Teori Relasi


Kuasa Michel Foucault). Refleksi: Jurnal Filsafat Dan Pemikiran Islam, 18(2), 141.
https://doi.org/10.14421/ref.2018.1802-02

Svarstad, H., Benjaminsen, T. A., & Overå, R. (2018). Power theories in political ecology.
Journal of Political Ecology, 25(1), 350–363. https://doi.org/10.2458/v25i1.23044

Anda mungkin juga menyukai