Anda di halaman 1dari 10

Penentuan Lingkungan Pengendapan Batubara Berdasarkan Karakteristik dan

Maseral Batubara di PT X, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara

Nurakhmi Qadaryati1*, Dendi Tantra Praditya1, Wahju Krisna Hidajat1,


Indriyani Martiningtyas2
1
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
2
PT SUCOFINDO (Persero) Cabang Balikpapan, Graha Sucofindo, Jl. A. Yani no. 1, Balikpapan -76122

Abstrak
Kabupaten Nunukan termasuk wilayah yang signifikan menyumbang cadangan batubara di Indonesia
dengan cadangan hipotetik mencapai sepuluh juta ton. Salah satu data yang dibutuhkan dalam tahapan
eksplorasi lanjut batubara adalah informasi lingkungan pengendapan. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan lingkungan pengendapan batubara Miosen di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Metode yang dilakukan dalam penelitian yaitu analisis petrografi mencakup analisis maseral dan
mineral, pengukuran vitrinite reflectance, plotting Tissue Preservation Index (TPI) terhadap
Gelification Index (GI). Komposisi batubara di daerah penelitian tersusun dari dominasi vitrinit (68%-
91%) juga dijumpai mineral pirit (0,9%-6,6%). Berdasarkan hasil analisis, batubara di daerah
penelitian adalah lignit (Ro= 0,39%-0,44%). Plot Tissue Preservation Index (TPI) dan Gelification
Index (GI) menunjukkan bahwa pada saat mengendapkan gambut, daerah penelitian berada pada
lingkungan lower delta plain, lahan gambut wet forest swamp dan clastic marsh, serta pada kondisi
lingkungan pengendapan telmatic dan limno-telmatic. Kehadiran pirit framboidal mengindikasikan
formasi pembawa batubara mengalami reduksi sulfat, yang berasal dari lingkungan anoxic, dengan ion
besi pada saat pembatubaraan.

Kata kunci : Maseral; Nunukan; Reflektansi Vitrinit; TPI-GI.

Abstract
Nunukan Regency, North Borneo, significantly contributes coal reserves in Indonesia with
hypothetical reserves reaching ten million tons. One of the data required in the next stage of coal
exploration is information of depositional environment. This study aims to determine the Miocene coal
depositional environment in Nunukan Regency. The method used in this research are petrographic
analysis including observation of minerals and minerals, measurement of vitrinite reflectance, plotting
tissue preservation index (TPI) of Gelification Index (GI). The composition of coal in the study area
composed of vitrinite dominance (68% -91%), pyrite minerals are also identified (0.9% -6.6%). Based
on the analysis, coal in the study area is lignite (Ro = 0.39% -0.44%). Tissue Preservation Index (TPI)
and Gelification Index (GI) plot shows that the study area is in the lower delta plain environment, wet
forest swamp and clastic marsh peatlands, and in the telmatic and limno-telmatic depositional
environment during peat accumulation. The presence of ramboidal pyrite indicates the coal bearing
formation experienced reduction of sulfates, from anoxic environment, with iron ions during
coalification.

Keyword: Maceral; Nunukan; Vitrinite Reflectance; TPI-GI.

PENDAHULUAN dan Kalimantan. Kabupaten Nunukan sendiri


Indonesia memiliki sumberdaya batubara termasuk wilayah yang signifikan
sebesar 166 miliar ton dan cadangan batubara menyumbang cadangan batubara di Indonesia
di Indonesia sebanyak 37 miliar ton dengan cadangan hipotetik mencapai sepuluh
(Susilawati, 2018). Hal inilah yang menjadikan juta ton (Triono, 2005).
sektor pertambangan batubara menjadi salah Kualitas batubara pada dasarnya merupakan
satu penyumbang pemasukan negara yang sebuah kesepakatan antara pihak peneliti dan
cukup besar. Kegiatan pertambangan batubara pembeli (konsumen), karena kualitas batubara
di Indonesia paling banyak berada di Sumatera dilihat berdasarkan fungsinya. Kualitas dari
sebuah batubara dipengaruhi oleh lingkungan

*) Korespondensi: nurakhmi@live.undip.ac.id
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 2 no. 3, November 2019

batubara terendapkan, lingkungan tersebut margin Pulau Kalimantan. Dipatunggoro


akan menunjukkan komposisi penyusun (2007), menjelaskan bahwa Cekungan Tarakan
batubara. terbentuk pada kala Eosen hingga Pliosen.
Batubara pada penelitian ini berasal dari Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara
Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. termasuk dalam Peta Geologi Lembar Tarakan
Sedelinggam (2015) telah melakukan studi dan Sebatik, Kalimantan dan tersusun dari
mengenai batubara di daerah penelitian dengan delapan formasi batuan dari yang paling tua ke
menggunakan data palinologi. Pada penelitian muda adalah Formasi Sembakung, Formasi
ini dilakukan penentuan lingkungan Naintupo, Formasi Meliat, Formasi Tabul,
pengendapan batubara berdasarkan data Formasi Sinjin, Sumbat dan Retas, Formasi
maseral yang diplot pada diagram Tissue Sajau, dan Aluvium (Hidayat dkk., 1995).
Preservation Index (TPI) dan Gelification Pada penelitian ini sampel batubara yang
Index (GI) (Lamberson, 1991). dianalisis berada pada satu formasi batuan
yang sama, yaitu Formasi Meliat. Formasi
TINJAUAN PUSTAKA Meliat berumur Miosen Tengah dan
Kondisi Geologi diendapkan pada lingkungan transisi (litoral)
Kabupaten Nunukan berada di Provinsi sampai laut terbuka (inner sublittoral) yang
Kalimantan Utara, wilayah ini dikelompokkan tersusun dari batulanau, batulempung, serpih,
menjadi dua satuan morfologi, yaitu satuan batupasir, setempat berkembang batubara dan
perbukitan bergelombang sedang – terjal yang batugamping (Ahmad dan Samuel, 1984).
berada di sebelah utara dan satuan perbukitan Cekungan Tarakan memiliki struktur utama
bergelombang landai di bagian selatan berupa lipatan dan sesar yang berarah
(Wibisono dan Wawang, 2015). Secara baratlaut-tenggara dan timurlaut-baratdaya,
regional Kabupaten Nunukan berada di Sub- proses deformasi struktur geologi semakin
cekungan Tidung yang merupakan bagian dari meningkat ke bagian utara Cekungan Tarakan
Cekungan Tarakan (Gambar 1). Cekungan (Sriyanto dan Ifantyana, 2016). Menurut
Tarakan termasuk salah satu dari cekungan Hidayat dkk., (1995), sesar yang dijumpai pada
Tersier yang terdapat di timur continental daerah ini sebagian besar merupakan sesar
normal hasil dari pengaktifan kembali sesar–
sesar yang sudah ada sebelumnya.
Lokasi Penelitian

Pembentukan Batubara
Proses pembentukan batubara di mulai dari
penggambutan (peatification) hingga
pembatubaraan (coalification). Proses
penggambutan disebut juga proses biokimia,
pada proses ini terjadi perubahan kimia dan
penguraian tumbuhan oleh mikroba, karena
terbentuk dari akumulasi tumbuhan, maka dari
itu gambut mengandung senyawa organik yang
sangat tinggi, yaitu senyawa C, H, O, dan N.
Proses coalification atau pembatubaraan
disebut juga proses geokimia, karena
dipengaruhi oleh proses geologi dan perubahan
kimia.

Maseral Batubara
Maseral dibedakan menjadi tiga grup yaitu
vitrinit, liptinit, dan inertinit (Stach dkk.,
Gambar 1. Fisiografi Cekungan Tarakan 1982). Vitrinit adalah maseral yang terbentuk
(dimodifikasi dari Core-Lab G and G Evaluation dari selulosa dan lignin yang mengandung
Simenggaris Blok, dalam Sriyanto dan Ifantyana, serat kayu seperti akar, daun, dan batang.
2016) Liptinit adalah maseral yang terbentuk dari

108
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 2 no. 3, November 2019

sisa tumbuhan dan tanaman tingkat rendah 2. Fenogeni, rawa yang banyak ditumbuhi
seperti ganggang, spora, kutikula, getah tumbuhan perdu dan beberapa jenis pohon
tanaman dan resin. Inertinit adalah maseral lainnya. Lingkungan ini terkadang basah
yang terbentuk dari tumbuhan yang sudah dan terkadang kering.
terbakar dan sisa oksidasi maseral lainnya. 3. Marsh, rawa yang banyak ditumbuhi
tumbuhan perdu dan jenis tanaman
Lingkungan Pengendapan Batubara merambat yang umum disekitar danau atau
Terdapat dua jenis lahan gambut menurut laut.
Diessel (1992), yaitu lahan gambut ombrogen 4. Swamp, rawa yang selalu basah saat musim
dan lahan gambut topogen. Lahan gambut kemarau hingga musim dingin. Lingkungan
ombrogen adalah lahan gambut yang ini kaya akan tumbuhan berkayu.
dipengaruhi oleh air hujan, sedangkan lahan Kondisi lingkungan pengendapan batubara
gambut topogen adalah lahan gambut yang menurut Stach dkk., (1982) dibagi menjadi
dipengaruhi oleh air tanah (Gambar 2). telmatis atau terestrial, limnic, marine, dan
Martini dan Glooschenko (1984, dalam Ca-rich. Telmatis atau terestrial merupakan
Diessel, 1992) membagi lahan gambut lingkungan yang berada di daerah pasang
berdasarkan jenis tumbuhan pembentuknya surut, menghasilkan gambut yang tidak
menjadi empat, yaitu: terganggu dan tumbuhan tumbuh insitu (
1. Bog, merupakan rawa yang banyak (Gambar 3). Limnic merupakan lingkungan
ditumbuhi oleh tanaman lumut atau dimana batubara terbentuk di bawah air rawa
tanaman miskin nutrisi. danau. Marine merupakan lingkungan dimana
batubara yang terbentuk memiliki mineral
matter atau pengotor yang tinggi, seperti abu
dan sulfur. Ca-rich merupakan lingkungan
yang kaya akan Ca (Stach dkk., 1982).
Diessel (1992) mengklasifikasikan enam
lingkungan utama terbentuknya batubara, yaitu
gravelly braid plain, sandy braid plain,
alluvial valley and upper delta plain, lower
delta plain, backbarrier stand plain, dan
estuary.
1. Braid Plain, merupakan daerah aluvial
intramountana, yaitu dataran aluvial yang
berada di antara pegunungan. Pada
lingkungan ini terendapkan material
Gambar 2. Diagram lahan gambut (Diessel, 1992) sedimen kasar diagenesa gambut
ombrogenik, yaitu gambut yang hanya ter-

Gambar 3. Kondisi lingkungan pengendapan batubara (Mitsch dan Geosselink, 1986 dalam Lamberson dkk.,
1991)

109
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 2 no. 3, November 2019

bentuk karena pengaruh air hujan. menunjukkan bahwa tingkat oksidasinya


2. Alluvial valley and upper delta plain, kedua tinggi, selain itu nilai GI memberikan
lingkungan pengendapan ini memiliki gambaran mengenai kering atau basah kondisi
karaktersitik litofasies yang sama. pembentukan gambut karena gelifikasi berada
Lingkungan terbentuk dari hasil transisi di kondisi lembab dan sebagai indikator pH
lembah dan dataran aluvial dengan dataran relatif karena aktivitas mikroba membutuhkan
delta yang melalui sungai stadia dewasa kondisi asam yang rendah (Diessel, 1992).
dengan banyak meander. Lapisan batubara
memiliki ketebalan yang bervarias dengan Mineral Penyusun Batubara
warna hitam kusam, komposisi abu dan Menurut Stach dkk., (1982), material
sulfur terbilang lebih rendah dibandingkan anorganik dapat diklasifikasikan menjadi tiga
dengan lingkungan pengendapan lainnya. kelompok berdasarkan asalnya:
3. Lower delta plain, perbedaan antara lower 1. Mineral dari tanaman asli.
delta plain dan upper delta plain adalah 2. Mineral yang terbentuk pada tahap pertama
dari pengaruh pasang air laut terhadap proses pembatubaraan atau mineral yang
sedimentasi. Lower delta plain memiliki terbawa oleh media air dan angin ke dalam
pengaruh pasang surut air laut yang lebih akumulasi gambut selama proses
tinggi dibandingkan upper delta plain. pembatubaraan.
Pasang air laut akan membawa nutrisi 3. Mineral yang terbentuk pada tahap kedua
kedalam rawa sehingga meningkatkan proses pembatubaraan, setelah konsolidas,
pertumbuhan yang lebih baik, namun reaksi larutan yang masuk ke dalam cracks,
material sedimen klastik halus ikut fissures, cavities, atau akibat alterasi
terendapkan di lingkungan ini yang mineral lainnya.
berpengaruh terhadap kenaikan pengotor Mineral yang umum dijumpai pada
selama proses penggambutan hingga batubara adalah mineral lempung, sulfida, dan
pembatubaraan. oksida. Mineral lempung, merupakan mineral
4. Backbarrier strand plain, gambut yang yang paling sering dijumpai pada batubara
terbentuk di lingkungan ini dipengaruhi dengan kelimpahan sekitar 60-80% dari
oleh pasang dan surut air laut. Garis pantai keseluruhan mineral matter. Mineral lempung
dikontrol oleh tingkat sedimentasi karena hadir dalam batubara karena terbawa oleh
gelombang, pasang surut air laut, dan arus. media air selama proses akumulasi. Mineral
Delta akan terbentuk jika tingkat lempung yang umum dijumpai adalah
sedimentasi tinggi, sedangkan tingkat kaolinite, illite, dan sericite. Mineral ini
sedimentasi rendah, maka material sedimen terbentuk seiring dengan proses
akan terdistribusi sepanjang garis pantai. pembatubaraan, dari proses penggambutan
5. Estuary, terbentuk karena tingkat hingga proses pembatubaraan sebagai pengisi
sedimentasi dan energi pantai sangat rekahan dalam batubara.
rendah, sehingga tidak terbentuk delta. Mineral sulfida yang paling umum terdapat
Batubara yang terbentuk dilingkungan ini di batubara adalah pirit, markasit, dan
sangat tipis dan persebarannya tidak luas. melnikovit-pirit. Pada kondisi tersebut,
Penentuan lingkungan pengendapan pada sebagian besar lapisan batubara mengandung
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sphalerite, galena, dan chalcopyrite dalam
diagram hubungan antara nilai GI dan TPI. TPI jumlah kecil (Stach, 1941; Mackowsky, 1943;
merupakan perbandingan antara struktur Balme, 1956 dalam Stach dkk., 1982).
jaringan yang masih terjaga dengan struktur Terdapat dua jenis pirit berdasarkan
jaringan yang sudah terubahkan, sedangkan GI genesanya, pirit syngenetik dan pirit
merupakan perbandingan antara komponen epigenetik. Pirit syngenetik adalah pirit yang
yang mengalami gelifikasi dengan komponen terbentuk saat proses penggambutan,
yang mengalami oksidasi (fusinification) sedangkan pirit epigenetik adalah pirit yang
(Diessel, 1992). Nilai TPI tinggi menunjukkan terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit
batubara berasal dari tumbuhan berkayu dan terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer
banyaknya jaringan tumbuhan yang terawetkan oleh organisme dan air tanah yang
dengan baik. Nilai GI yang rendah mengandung ion besi, reduksi tersebut akan

110
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 2 no. 3, November 2019

pembatubaraan, selain itu terbentuk oleh


hasil ubahan dari massive pyrite.
5. Epigenetic pyrite, pirit jenis ini merupakan
pirit yang mengisi cleat dan fracture.
Mineral oksida yang paling umum dijumpai
adalah kuarsa, terdapat dua proses
pembentukan kuarsa dalam batubara yaitu
kuarsa yang terbawa oleh air atau udara
(clastic quartz) dan kuarsa yang terbentuk dari
larutan hasil pengendapan batubara (finely-
crystalline quartz).

Gambar 4 Fotomikrograf mineral pirit, (a). Parameter Analisis Proksimat


Framboidal pyrite, (b). Massive pyrite, (c). Pada penelitian ini data analisis proksimat
Epigenetic pyrite, (d). Anhedral pyrite (Win, 2013) yang digunakan adalah data ash, sulfur, dan
volatile matter. Ash, merupakan material sisa
menghasilkan pirit framboidal (Annisa, 2016). pembakaran batubara berupa abu (ash) setelah
Terbentuknya pirit epigenik berkaitan dengan batubara dibakar dengan sempurna. Material
jumlah rekahan pada batubara, karena ion besi sisa pembakaran ini dapat mencerminkan
dalam bentuk larutan akan mengisi rekahan mineral matter yang terkandung dalam
dan bereaksi dengan sulfur primer membentuk batubara. Pada kondisi tertentu hal tersebut
pirit masif. Win dkk., (2013), menjelaskan tidak dapat dilakukan karena akan terjadi
mengenai tipe-tipe pirit, tipe pirit dapat reaksi-reaksi kimia, diantaranya adalah
dibedakan menjadi framboidal pyrite, euhedral dekomposisi pirit, dekomposisi karbonat, dan
pyrite, massive pyrite, anhedral pyrite, dan fiksasi sulfur. Penentuan parameter ini
epigenetic pyrite (Gambar 4). dilakukan di laboratorium dengan membakar
1. Framboidal pyrite, beberapa penulis batubara pada suhu 750 – 800oC.
menjelaskan bahwa framboidal pyrite Material pembentuk sulfur berasal dari
berasal dari piritisasi bakteri sulfur. material organik dan material anorganik, tidak
Framboids adalah bentuk pirit yang umum jarang air laut juga mempengaruhi jenis sulfur
dijumpai di lingkungan anoxic, seperti laut, yang dihasilkan. Terdapat dua jenis sulfur
lakustrin, dan rawa (Wilkin dan Barnes, dalam batubara, yaitu sulfur organik dan sulfur
1997). anorganik. Sulfur organik terbentuk seiring
2. Euhedral pyrite, dikenal juga sebagai proses penggambutan hingga pembatubaraan,
kristal pirit. Sebagian besar euhedral pyrite berasal dari tumbuhan pembentuk batubara.
bersifat syngenetik dan dihasilkan selama Sulfur anorganik berasal dari lingkungan
pengendapan gambut atau pada awal tempat terbentuknya batubara, mineral yang
humifikasi. Secara umum kristal pirit terbawa oleh air dan terakumulasi bersamaan
euhedral berukuran kecil dan tersebar di dengan gambut, maupun larutan yang mengisi
dalam batubara. rekahan dalam batubara. Sulfur anorganik
3. Massive pyrite, biasanya ditemukan sebagai dibagi menjadi dua yaitu piritik (sulfida) sulfur
cleat (kekar), cellfillings, cementing atau dan sulfat sulfur.
coating framboids dan mineral detrital.
Massive pyrite juga ditemukan sebagai METODOLOGI
pengganti bahan organik dalam berbagai Enam sampel batubara dari PT X dipakai di
mineral. Massive pyrite homogen umumnya dalam penelitian ini, yaitu sampel A, B, C, D,
berpori dan tidak padat karena terisi oleh E, dan F. Seluruh sampel dianalisis petrografi
sisa bahan organik dan mineral lempung di laboratorium, sedangkan untuk data sulfur
selama proses kristalisasi. content diperoleh dari data sekunder hasil
4. Anhedral pyrite, pirit jenis ini terbentuk analisis proksimat. Sampel yang diinterpretasi
dari mineralisasi sisa tumbuhan selama tidak mempertimbangkan kedudukan seam
proses penggambutan hingga tertentu atau pada jarak titik pengambilan
sampel tertentu. Kenampakan fisik dari sampel

111
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 2 no. 3, November 2019

tersebut berwarna hitam kusam, terdapat Analisis Maseral dan Mineral Matter
pengotor berupa sulfur pada permukaan Batubara bukan zat yang homogen tetapi
batubara dan dapat dihancurkan atau diuraikan terdiri dari berbagai komponen dasar yang
menggunakan tangan. dapat dianalogikan dengan mineral dalam
batuan, komponen dalam batubara disebut
Preparasi Polish Block maseral (Langenberg dkk., 1990). Standar
Enam sampel batubara dipreparasi menjadi prosedur yang dilakukan untuk analisis
enam polish block. Masing-masing sampel maseral dan mineral matter mengacu kepada
digerus kemudian diayak dan diambil batubara ASTM D2799-13.
yang tertahan pada ayakan ukuran 0,425 mm.
Sampel yang telah digerus tersebut dituang ke HASIL
dalam SamplKups, selanjutnya dituangkan Reflektansi Vitrinit
campuran epoxy. Setelah mengering, Dari pengukuran reflektansi vitrinit keenam
dilakukan pemolesan yang dimulai dengan sampel batubara, diperoleh nilai Ro
bubuk C180 sampai C1.200. Polish block (%random) dari sampel A hingga F berturut-
kemuduan dimasukkan ke dalam desicator turut adalah 0,424%, 0,446%, 0,415%,
selama dua hari. 0,404%, 0,449%, dan 0,392%.

Pengukuran Reflektansi Vitrinit Maseral dan Mineral Matter


Reflektansi vitrinit ditentukan oleh tingkat Komposisi maseral dari enam sampel batubara
relatif cahaya yang dipantulkan dari yang diteliti memiliki kelimpahan yang
permukaan sampel polished coal sesuai dengan berbeda-beda. Kelimpahan maseral telovitrinit
prosedur standar yang sudah ada (Speight, pada batubara menunjukkan bahwa batubara
2005). Pengukuran vitrinite reflektance (Ro) tersusun oleh sel kayu dari tumbuhan yang
adalah pengukuran terhadap besarnya sinar terawetkan dengan baik sehingga tidak
yang dipantulkan kembali oleh maseral mengalami penghancuran (Gambar 5). Selama
vitrinite/huminite (Firdaus dkk., 2018). proses pembatubaraan, sel tumbuhan yang
Mikroskop dengan reflektor digunakan terawetkan selain membentuk telovitrinit akan
untuk melakukan pengukuran reflektansi membentuk detrovitrinit dan gelovitrinit.
vitrinite random (Ro) dengan perbesaran lensa Pada kelompok maseral inertinit
objektif 50x. Mikroskop dikalibrasi kelimpahan lebih didominasi oleh sub-maseral
menggunakan spinel 0,431 dan data dicatat detroinertinit. Detroinertinit (Gambar 6)
dengan menggunakan CRAIC Coal Pro. terbentuk dari oksidasi fragmen inertinit,
Klasifikasi menggunakan ICCP (1994, teloinertinit terbentuk dari oksidasi sel
dalam Sýkorová dkk., 2005), nilai Ro<0,4% tumbuhan berkayu, dan geloinertinit terbentuk
merupakan jenis batubara coklat (brown coal) dari proses oksidasi humic. Pada grup maseral
atau batubara tingkat rendah, sehingga maseral liptinit didominasi oleh maseral cutinite
vitrinit pada batubara ini disebut sebagai (Gambar 5) dibandingkan dengan maseral
huminite, sedangkan nilai Ro>0,4% resinit, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa
merupakan jenis batubara hitam, sehingga jaringan tumbuhan yang terubahkan berasal
penyebutan maseralnya tetap yaitu vitrinit. dari sel kutikula tumbuhan yang lebih
Perbedaan nilai Ro pada setiap batubara dominan.
menunjukkan bahwa intensitas pengaruh Komposisi mineral matter dari yang paling
geologi berupa tekanan dan temperatur yang dominan adalah mineral pirit, oksida besi, dan
diterima batubara berbeda-beda. Semakin lempung (Tabel 1). Gambar 8 menunjukkan
tinggi peringkat batubara maka semakin tinggi grafik antara nilai total sulfur dan mineral pirit
juga nilai Ro yang diperoleh. Batubara dari setiap sampel batubara. Sampel batubara
peringkat tinggi memiliki kenampakan vitrinit PT X memiliki komposisi sulfur tinggi, hanya
(mikroskopis) yang lebih terang dibandingkan satu sampel batubara yang memiliki komposisi
dengan batubara peringkat rendah. sulfur kurang dari satu persen yaitu sampel E,
sedangkan sampel yang lainnya memiliki
komposisi sulfur lebih dari satu persen.

112
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 2 no. 3, November 2019

Tabel 1. Komposisi mineral matter


Mineral Matter (%)

Sampel Total
Lempung Pirit Oksida Besi

A 1 2 1.5 4.5
B 1 1.3 1 3.3
C 0.3 4.4 1.3 6
D 1.1 3.7 1.4 6.2
E 0.9 0.9 1.4 3.2
F 4.4 6.6 6.6 17.6
Gambar 7. Fotomikrograf framboidal pyrite pada
sampel F.

Gambar 5. Fotomikrograf sampel batubara B, sub-


maseral telovitrinit dan maseral cutinite. Gambar 8. Fotomikrograf massive pyrite pada
sampel F.

Berdasarkan grafik hubungan total sulfur


dengan mineral pirit pada Gambar 8, tampak
semakin tinggi komposisi sulfur pada batubara
maka akan semakin tinggi juga mineral pirit
yang dihasilkan.

Peringkat Batubara
Pada penelitian ini, penentuan peringkat
batubara didasarkan pada nilai volatile matter
(VM) dan vitrinite reflectance (Ro) mengacu
kepada Diessel (Diessel, 1992 dalam Suarez-
Gambar 6. Fotomikrograf sampel batubara C, sub- Ruiz dan Ward, 2008) (Tabel 3). Batubara di
maseral teloinertinit (maseral funginite). daerah penelitian memiliki peringkat lignit
(Tabel 2).

Tabel 2. Peringkat batubara daerah penelitian


Peringkat
Kode VM % (Diessel,
R0 % Rmax%
Sampel (daf) 1992)
A 49,8 0,424 0,44 Lignit
B 50,2 0,446 0,47 Lignit
C 51,8 0,415 0,43 Lignit
D 49,8 0,404 0,42 Lignit
Gambar 8. Hubungan total sulfur mineral pirit. 46,1 0,449 0,47 Lignit
E
F 52,8 0,392 0,41 Lignit

113
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 2 no. 3, November 2019

Tabel 3 Tabel peringkat batubara Diessel (1992, dalam Suarez-Ruiz dan Ward, 2008)

Tabel 4. Nilai TPI-GI terbentuk di lingkungan yang lebih dikontrol


oleh air tanah dibandingkan dengan air hujan.
Lahan gambut topogen juga dipengaruhi oleh
air pasang, oleh sebab itu lahan gambut
topogen kaya akan unsur hara dan nutrisi, serta
tanahnya lebih subur dibandingkan dengan
lahan gambut ombrogen. Pengkayaan nutrisi
pada lahan gambut ini dibuktikan dengan jenis
tumbuhan yang dominan tumbuh adalah jenis
tumbuhan tingkat tinggi, seperti tumbuhan
berkayu ataupun tumbuhan perdu
dibandingkan dengan tumbuhan lumut atau
PEMBAHASAN tumbuhan tingkat rendah yang umum dijumpai
Analisis Lingkungan Pengendapan di lahan gambut ombrogen.
Berdasarkan Maseral
Batubara merupakan batuan tidak homogen, Lingkungan Pengendapan Batubara PT X
tersusun dari material organik dan anorganik. Diessel (1986, dalam Suwarna, 2006),
Material penyusun batubara dapat memberi ciri menjelaskan bahwa nilai TPI tinggi apabila
khas dari setiap lapisan batubara, memiliki nilai >1% dan nilai GI tinggi apabila
terutama dalam penentuan lingkungan memiliki nilai >5%. Pada perhitungan TPI dan
pengendapan. Data hasil analisis maseral GI sampel batubara di PT X, menunjukkan
digunakan untuk mencari nilai Tissue Preserva nilai TPI berkisar 0,5% hingga 3,62%,
tion Index (TPI) dan Gelification Index (GI). diasumsikan nilai tersebut tergolong rendah
Nilai TPI dan GI (Tabel 4) kemudian hingga tinggi. Pada sampel batubara A
diplotkan ke dalam diagram hubungan Tissue menunjukkan nilai TPI paling tinggi yaitu
Preservation Index (TPI) dan Gelification 3,62%, diinterpretasikan pada saat proses
Index (GI) untuk memperoleh lingkungan terbentuknya sampel batubara A terjadi proses
pengendapan batubara (Gambar 9). penurunan permukaan tanah yang cepat karena
Berdasarkan diagram TPI dan GI (Gambar tingginya proses sedimentasi sehingga maseral
9), sampel batubara PT X terendapkan di lahan batubara terhindar dari proses penghancuran
gambut swamp dan marsh. Lahan gambut dan terawetkan dengan baik, sedangkan untuk
tersebut termasuk dalam golongan lahan sampel batubara B hingga F diasumsikan nilai
gambut topogen. Lahan gambut topogen tersebut tergolong rendah hingga menengah.

114
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 2 no. 3, November 2019

Gambar 9. Hasil plotting pada diagram TPI-GI (dimodifikasi dari Diessel, 1986, dalam Lamberson, 1991).

Diinterpretasikan bahwa kondisi mineral pirit yaitu framboidal pyrite (Gambar


lingkungan sampel batubara B hingga F 7a) dan massive pyrite (Gambar 7b). Menurut
mengalami proses penurunan permukaan tanah Falcon dan Snyman (1986, dalam Win dkk.,
dan proses sedimentasi yang lebih lambat 2013), akumulasi pirit dalam batubara
dibandingkan dengan kondisi lingkungan dihasilkan dari import fluviatile yang
sampel batubara A. Nilai GI dari keenam membawa mineral kaya akan besi pada saat
sampel batubara yang diteliti memiliki nilai akumulasi gambut diikuti oleh presipitasi
berkisar 11,90% hingga 37,92%, diasumsikan insitu. Pirit framboidal terbentuk pada daerah
nilai tersebut tergolong tinggi. penelitian karena mendapat pengaruh dari laut
Pada sampel batubara E, komposisi pirit (Wilkin dan Barnes, 1997), didukung dengan
dan sulfur memiliki nilai paling rendah geologi regional yang menyebutkan bahwa
dibandingkan dengan sampel batubara lainnya. formasi pembawa batubara di daerah
Hal tersebut diinterpretasikan bahwa selama penelitian, yaitu Formasi Meliat, diendapkan
proses akumulasi gambut, pengaruh pasang air pada lingkungan transisi (Ahmad dan Samuel,
laut tidak terlalu intensif dibandingkan dengan 1984).
kondisi lingkungan sampel batubara yang
lainnya. Berdasarkan klasifikasi lingkungan KESIMPULAN
pengendapan yang telah dijelaskan oleh Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa
Diessel (1992) dan merujuk pada nilai TPI-GI, batubara terendapkan di lahan gambut wet
nilai sulfur, dan kenampakan megaskopis forest swamp dan clastic marsh serta pada
batubara, menunjukkan bahwa sampel kondisi lingkungan telmatic dan limno-
batubara PT X terendapkan di lingkungan telmatic. Nilai TPI pada sampel batubara yang
lower delta plain. Lingkungan lower delta tergolong rendah hingga tinggi dan nilai GI
plain merupakan lingkungan yang dipengaruhi yang tinggi, membuktikan bahwa sampel
oleh pasang surut air laut. batubara yang diteliti terendapkan di
Pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa komposisi lingkungan lower delta plain. Kandungan
mineral pirit dari batubara di daerah penelitian sulfur yang tinggi pada batubara serta
berkisar antara 0,9-4,4%. Berdasarkan kehadiran pirit framboidal disebabkan
pengamatan petrografi, dijumpai dua jenis pengaruh air laut pada saat pembatubaraan.

115
Jurnal Geosains dan Teknologi
Volume 2 no. 3, November 2019

UCAPAN TERIMA KASIH Stach, E., M,-TH, Mackowsky., M,


Penulis menyampaikan terima kasih kepada PT Teichmuller., G, H, Taylor., D, Chandra.,
SUCOFINDO (Persero) Cabang Balikpapan dan R, Teichmuller, 1982, Coal Petrology,
yang bersedia menyediakan fasilitas untuk Berlin: Gebrüder Borntraeger.
keperluan analisis data petrografi batubara. Suarez-Ruiz, I., dan Colin, R, W, 2008,
Applied Coal Petrology, Elsevier.
DAFTAR PUSTAKA Sukandarrumidi, 1995, Batubara dan Gambut,
Diessel, C.F.K, 1992, Coal-Bearing Yogyakarta: Gadjah Mada University
Depositional Systems. Springer-Verlag, Press.
Berlin Heidelberg. Susilawati, R, 2018, Rekonsiliasi Data,
Dipatunggoro, G., 2007, Low Rank Coal Sumber Daya Batubara Indonesia Kini 166
Formasi Sajau Daerah Teluk Semanting Miliar Ton, Cadangan 37 Miliar Ton,
dan Tanjung Batu Kecamatan Pulau Kementerian Energi dan Sumber Daya
Derawan, Kabupaten Berau – Kalimantan Mineral Republik Indonesia, Bidang
Timur, Buletin of Scientific Contribution Batubara PSDMBP.
5(2), 83-93. Suwarna, N., 2006, Permian Mengkarang Coal
Firdaus, N., Syafri, I., Mohammad, R., dan Facies and Environment, Based on Organic
Suwarna, N., 2018, Analisis Komposisi Petrology Study, Jurnal Geologi Indonesia,
Maseral dan Mineral dengan Metode 1(1), 1-8.
Reflectance Huminite untuk Mengetahui Sýkorová, I., Pickel, W., Christanis, K., Wolf,
Kematangan Kerogen Batubara Cekungan M., Taylor, G, H., dan Flores, D., 2005,
Bentarsari, Kabupaten Brebes, Provinsi Classification of huminie-ICCP System
Jawa Tengah, Padjadjaran Geoscience 1994, International Journal of Coal
Journal, 2(6), 498-507. Geology, 62, 85 – 106, Elsevier.
Hidayat, S., Amiruddin, dan Satrianas, D., Thomas, Larry, 2013, Coal Geology Second
1995, Geologi Lembar Tarakan dan Edition, Wiley-Blackwell, Page. 3
Sebatik, Kalimantan Skala, Irwan Bahar Triono, U., 2005. Inventarisasi Batubara
(Director), Pusat Penelitian dan Marginal di Daerah Simenggaris
Pengembangan Geologi, Skala 1:250.000. Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan
Lamberson, M.N., Bustin, R.M dan Kalkreuth, Timur. Pemaparan Hasil Kegiatan
W., 1991, Lithotype (maceral) composition Lapangan Subdit Batubara. Departemen
and variation as correlated with paleo- Energi dan Sumberdaya Mineral.
wetland environments, Gates Formation, Wibisono, S, A., dan Wawang S, P., 2015,
northeastern British Columbia, Canada, Penyelidikan Batubara di Daerah Nunukan
International Journal of Coal Geology, 18, Timur Kabupaten Nunukan, Provinsi
87-124. Kalimantan Utara, Kementerian Energi dan
Langenberg, W., Wolfgang, Kalkreuth., Sumber Daya Mineral: Badan Geologi.
Jeffrey, L., Rudy, S., Thomas, D., Georgia, Wilkin, R, T., dan Barnes, H, L, 1997,
R., dan Tomasz, J., 1990, Coal Geology Formation Processes of Framboidal Pyrite,
And Its Application To Coal-Bed Methane Geochimica et Cosmochimica Acta, 61(2),
Reservoirs, Alberta Research Council. 323 – 339, Elsevier Science Ltd.
Said, N, I, 2014, Teknologi Pengolahan Air Win, C, T., Surjono, S, S., Amijaya, D, H.,
Asam Tambang Batubara “Alternatif Husein, S., Aihara, A., dan Watanabe, K.,
Pemilihan Teknologi”, JAI, 7(2). 2013, Distribution of Pyrite and Mineral
Speight, G, J, 2005, Handbook of Coal Matter in Coal Seams from Samarinda
Analysis, Wiley-Interscience, Vol, 166. Area, Lower Kutai Basin, Indonesia.
Canada ASEAN Forum on Clean Coal Technology.
Sriyanto, S. P. D., dan Ifantyana, I, 2016, The 11th International Conference on
Identifikasi Patahan Mikro Penyebab Mining, Materials and Petroleum
Gempa Bumi Tarakan 21 Desember 2015, Engineering and The 7th International
Prosiding Seminar Nasional Fisika, Vol, V, Conference on Earth Resources
DOI: doi.org/10.21009/0305020415. Technology.

116

Anda mungkin juga menyukai