Anda di halaman 1dari 3

TUGAS MATA KULIAH RELIGI DAN MITOLOGI

RITUAL PERLINDUNGAN (ANTI GOLOK)

Oleh: Siska Apriani (NIM. 193232015), Kelas 4A


Program Studi Antropologi Budaya, Fakultas Budaya dan Media, ISBI Bandung

Dalam kehidupan sehari-hari tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan istilah
‘Ritual’, bahkan mungkin hampir setiap hari kita melakukannya. Dalam pengertiannya, ritual
merupakan suatu aktivitas yang terjadwal, berpola, dan dilakukan secara berulang-ulang.
Anthony F.C. Wallace (1966) mengklasifikasikan ritual menjadi beberapa bagian, yang salah
satunya akan dibahas pada tulisan ini yaitu mengenai Ritual Perlindungan. Ritual perlindungan
merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang dengan ditujukan untuk
melindungi seseorang dari segala hal yang membahayakan keselamatannya. Salah satu contoh
ritual perlindungan yang sampai saat ini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat di Desa
Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor adalah Ritual Anti Golok.
Ritual anti golok merupakan salah satu ritual perlindungan yang dilakukan oleh
seseorang agar kuat dari segala hal yang membahayakan keselamatan, baik itu berupa pukulan
manusia, benda keras, benda tajam, dan hal lain yang dapat melukainya. Alasan ritual ini
disebut dengan ‘Anti Golok’ karena jika seseorang telah melakukan ritual ini, maka dirinya
akan kebal, sekalipun dia harus berhadapan dengan golok (sejenis pisau yang sangat tajam)
tetap tidak akan berhasil melukainya sedikitpun.
Ritual Anti Golok yang ada pada tulisan ini merupakan salah satu ritual yang dimiliki
oleh Wa Agus Suhendar, yang merupakan warga Desa Karacak. Beliau mengatakan bahwa
sebenarnya banyak sekali jenis ritual anti golok ini, ada yang putih (bersumber dari Al-Hikmah
(Allah)) dan ada pula yang hitam (bersumber dari setan, jin, siluman). Keduanya, baik yang
hitam maupun yang putih mampu melindungi seseorang dari hal yang membahayakan, namun
keduanya memiliki perbedaan dalam proses ritualnya. Ritual Anti Golok Putih akan memakan
waktu Ritual yang lebih lama, karena ini tertuju pada Sang Maha Kuasa maka harus ada puasa,
solat, dan tidak boleh melakukan hal-hal yang dianggap dosa karena itu akan mengurangi atau
bahkan menghilangkan kekuatan. Sedangkan Ritual Anti Golok Hitam cenderung lebih mudah
dilakukan karena tahap-tahap ritualnya lebih singkat dan tidak banyak aturan serta persyaratan
yang harus dilakukan. Tulisan ini akan sedikit membahas mengenai Ritual Anti Golok Hitam
yang penulis dapatkan dari Wa Agus Suhendar.
Ritual Anti Golok hitam cukup singkat, hanya perlu dilakukan pada malam kelahiran
seseorang yang akan melakukan ritual. Misalnya seseorang yang lahir pada hari Rabu maka
harus melakukan ritual ini pada hari Selasa malam. Tempat dilakukannya ritual sangat
bergantung pada keinginan masing-masing individu, jika seseorang nyaman dengan tempat
yang sunyi maka pilihlah tempat yang jauh dari keramaian, ataupun jika seseorang tersebut
tidak masalah dengan keramaian maka tidak apa jika ritual ini dilakukan ditempat ramai,
dengan catatan seseorang yang akan melakukan ritual ini dapat fokus kepada ritual yang akan
dijalankannya.
Dalam ritual hanya diperlukan tiga benda, yaitu korek api, rokok, dan asbak. Wa Agus
juga mengatakan bahwa rokok yang harus digunakan dalam ritual adalah rokok dengan merk
Djinggo. Alasan harus menggunakan rokok tersebut karena rokok Djinggo merupakan rokok
yang sudah ada sejak zaman dahulu.
Ritual dimulai pada malam hari selesai waktu Isya, yaitu kurang lebih pukul 8 malam.
Setelah menentukan tempat yang akan dijadikan tempat ritual, maka seseorang tersebut
menyiapkan 3 benda yang telah disebutkan diatas, yaitu korek api, rokok dan asbak. Setelah
siap, seseorang tersebut duduk dan membakar satu rokok kemudian dihisapnya sekali saja,
hanya sekali tidak boleh lebih. Setelah itu, rokok tersebut disimpan di asbak dan dibiarkan
begitu saja terbakar hingga habis. Tahap ini merupakan tahap yang dianggap paling susah oleh
pelaku ritual, karena ini yang menentukan berhasil atau tidaknya ritual yang dilakukannya.
Ketika rokok tersebut disimpan di asbak, pelaku ritual harus mulai memfokuskan dirinya pada
niatnya, dengan melakukan amalan anti golok dalam bentuk mantra sunda buhun, yang
berbunyi:

Indung suku pementung ruyung


Urat kawat ping-ping besi
Balingbingan cankéng rarangkéng
Di handap cadas ngampar
Di luhur batu baréok
Sriwesi braja manusa
Manusa wenang ngalebur wesi
Bumi mempet arca meneng
Nya kaula
Seuseuket golok arit cerulit
Pedang koléwang
Sakumbarang yang tajam pindah ka paksi

Selama ritual berlangsung pelaku ritual harus mengamalkan mantra tersebut, boleh
diucapkan secara lantang, biasa saja atau boleh juga diucapkan hanya di dalam hati dan ini
merupakan yang lebih baik atau dianggap paling mujarab. Proses ritual ini dikatakan paling
sulit karena membutuhkan konsentrasi penuh hingga rokok telah terbakar seluruhnya, artinya
tidak ada lagi api, kertas, atau bagian rokok lainnya.
Ritual akan dianggap berhasil ketika rokok telah menjadi abu secara keseluruhan dan
pelaku ritual telah selesai mengamalkan mantra anti goloknya. Jika rokok tersebut sudah habis,
pelaku ritual boleh membakar rokok selanjutnya untuk semakin menambah kekuatan dalam
dirinya. Pengulangan ritual ini hanya boleh sampai 3 kali menghabiskan rokok. Maka dari itu,
setiap orang yang melakukan ritual anti golok ini memakan waktu yang berbeda-beda, ada yang
sebentar, ada pula yang menghabiskan waktunya hingga menjelang waktu Subuh. Jika
seseorang berhasil melakukan ritual dengan menghabiskan 3 batang rokok selama satu kali
ritual, maka orang tersebut dianggap memiliki kekuatan anti golok yang luar biasa.
Begitulah ritual anti golok hitam dilakukan untuk mendapatkan kekuatan yang akan
melindungi seseorang dari marabahaya. Setelah melakukan ritual tersebut, jika dianggap
berhasil maka nantinya pelaku ritual akan merasakan ada getaran di dalam hatinya, dan itu
berarti sudah ada sesuatu gaib yang telah menjaga dirinya. Sesuatu yang gaib tersebut diambil
dari patung-patung, terlihat dari bunyi mantranya ‘Bumi mempet arca meneng’. Masyarakat
percaya bahwa setan, jin, siluman, dan hal gaib lainnya senang hidup di patung-patung.
Setelah ritual berhasil dilakukan, maka seseorang tersebut sudah dijaga oleh makhluk
gaib yang akan membuat dirinya kuat dan tak ada yang bisa melukainya. Jika ada yang berniat
jahat maka tubuhnya secara ‘otomatis’ telah kebal. Jika ada musuh yang datang untuk berkelahi
pun bisa dihadapi dengan tangan kosong.
Untuk pelaksanaan ritual ini tidak ada ketentuan khusus harus berapa kali, boleh sekali
seumur hidup, dua kali setahun, atau bahkan setiap minggu, semua tergantung keinginan pelaku
ritual. Namun yang pasti, kekuatan ini akan dianggap berkurang sedikit setiap harinya karena
perbuatan dirinya sendiri, sebab itulah ada istilah ‘ngamandikeun’. Dalam proses
ngamandikeun maka seseorang tersebut melakukan ritual yang serupa untuk kembali
membersihkan kotoran-kotoran yang dianggap telah mengurangi kekuatan dalam dirinya.

Narasumber: Agus Suhendar, 68 tahun, warga Desa Karacak 05/10, Kec. Leuwiliang, Kab.
Bogor (tanggal wawancara: 22 Maret 2021).

Anda mungkin juga menyukai