Anda di halaman 1dari 38

“ PENGANTAR PERPAJAKAN “

JURNAL

Disusun Oleh :
Melita Giovani Khoe
1923210010

UNIVERSITAS MULTI DATA PALEMBANG


2020/2021
RINGKASAN I
ANALISA PERANAN E-FILING DALAM RANGKA MENINGKATKAN
KEPATUHAN PELAPORAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
(Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Malang Selatan)

PENDAHULUAN
Upaya untuk meningkatkan kepatuhan tersebut adalah dengan membuat
pembaharuan sistem atau metode yang sederhana, mudah, dan cepat pada tahun
2014 adalah dengan penerapan teknologi informasi dalam pelayanan perpajakan
yaitu dengan dilaksanakannya jenis pelayanan kepada wajib pajak dalam rangka
penyampaian Surat Pemberitahuan menggunakan elektronik atau melalui internet
yang selanjutnya dinamakan E-Filing dengan tujuannya untuk dapat
meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak dan diharapkan dapat meningkatnya
kepatuhan wajib pajak dalam pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib
Pajak orang pribadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penerapan Layanan E-Filing Dalam Pelaporan SPT Tahunan Sebagai Upaya
Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
1. Pelaksanaan penerapan layanan E-Filing dalam pelaporan SPT Tahunan orang
pribadi.
Pelaksanaan penerapan layanan e-filing baru dilaksanakan selama 2 (dua)
tahun yaitu efiling tahun 2014 dan e-filing tahun 2015. Dapat diketahui bahwa
dengan adanya e-filing proses pelaporan yang dilakukan oleh wajib pajak menjadi
lebih sederhana, mudah, praktis, cepat, dan efisien. E-filing sangat bersinggungan
dengan wajib pajak orang pribadi karena e-filing memang diperuntukan untuk
wajib pajak orang pribadi maka dari itu efiling digunakan hanya untuk SPT 1770
S dan 1770 SS.

2. Peningkatan kepatuhan wajib pajak orang pribadi.


Dengan berbagai kemudahan yang diberikan dari layanan e-filing, tujuan
dari Direktorat Jendral Pajak membuat layanan ini untuk memudahkan wajib
pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka dan diharapkan dapat
meningkatkan kepatuhan. E-filing memiliki elemen-elemen kunci kepatuhan
sebagai suatu hal yang membantu berjalannya self assessment system baik.
Berikut ini peneliti berikan tabel jumlah wajib pajak yang menggunakan e-
filing.

Ditahun 2014 jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunannya


berjumlah 32.464 orang. E-filing hanya ditargetkan sejumlah 1.508 atau hanya 4,6
%. Di tahun 2015 berjumlah 40.825 orang, efiling hanya di targetkan sejumlah
8.654 atau hanya 21,2 %. Berikut tabel angka pelaporan SPT Tahunan dari tahun
2013 sampai dengan 2015.

Faktor-Faktor Yang Mendukung Dan Faktor Penghambat Yang Dihadapi


Dalam Pelaksanaan E-Filing
1. Faktor Pendukung
Terdapat faktor-faktor yang mendukung dalam hal pelaksanaan penerapan
layanan e-filing dalam pelaporan SPT tahunan yaitu terdapat wajib pajak yang
secara pribadi menyadari kewajibannya sebagai wajib pajak, rasa ingin mencoba
layanan aplikasi tersebut, sosialisasi, dan jaringan internet.

2. Faktor Penghambat
Terdapat faktor-faktor yang menghambat dalam hal pelaksanaan
penerapan layanan e-filing dalam pelaporan SPT tahunan yaitu pengetahuan wajib
pajak yang masih kurang. Kurangnya pengetahuan wajib pajak berupa
kekurangpahaman wajib pajak tentang teknologi maupun internet dan kurang
pahamnya wajib pajak tentang hak dan kewajiban masing-masing wajib pajak itu
sendiri. Setelah itu jaringan internet dan sulitnya meyakinkan wajib pajak
dikarenakan rasa keragua-raguan yang timbul dalam diri wajib pajak tentang
bagaimana dan apakah program yang baru ini memang lebih baik dari sebelumnya
dan pandangan masyarakat tentang pengisian SPT yang rumit serta sulitnya
meyakinkan wajib pajak bahwa lapor SPT Tahunan merupakan kewajiban
perorangan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Melalui e-filing wajib pajak dapat melaksanakan kewajibannya dalam hal
ini pelaporan SPT Tahunan dengan praktis, mudah, cepat, dan efisien. E-filing
dapat menumbuhkan suatu kepatuhan sukarela bagi wajib pajak melalui program
pelayanannya yang baik dan prosedur yang sederhana serta memudahkan wajib
pajak, wajib pajak dapat terbantu dalam memenuhi kewajiban perpajakan sebagai
bentuk kepatuhan.

Saran
a) Lebih ditingkatkan kembali sosialisasi yang dilakukan kepada wajib pajak
b) Memberikan ujicoba yang luas agar meningkatkan minat dari wajib pajak
untuk menggunakan e-filing dan mengerti dalam menggunakan e-filing dengan
membuat kelas pelatihan penggunaan aplikasi e-filing.
c) Lebih mengoptimalkan dan memaksimalkan sistem informasi untuk lebih
mengembangkan aplikasi e-filing itu sendiri.
d) Wajib pajak disarankan untuk menggunakan koneksi internet berkecepatan
tinggi untuk memudahkan dalam pelaporan.
ANALISA PERANAN E-FILING DALAM RANGKA MENINGKATKAN
KEPATUHAN PELAPORAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
(Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Malang Selatan)
Gusma Dwi Avianto
Sri Mangesti Rahayu
Bayu Kaniskha
(PS Perpajakan, Jurusan Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Administrasi,
Universitas Brawijaya)
115030400111037 @mail.ub.ac.id

ABSTRAK
Pemerintah terus memaksimalkan potensi pajak yang ada untuk
memenuhi pembiayaan Negara setiap tahunnya. Salah satu upayanya dengan
meluncurkan produk E-Filing atau Electronic Filing System karena rendahnya
tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi dikarenakan wajib pajak yang
sudah mendaftarkan dirinya namun kemudian tidak melaporkan Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunannya. Penelitian ini termasuk ke jenis penelitian
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui peningkatan kepatuhan pelaporan SPT Tahunan wajib
pajak orang pribadi setelah adanya E-Filing serta faktor pendukung dan
penghambatnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan e-filing
sudah cukup berhasil dalam meningkatkan kepatuhan melalui meningkatnya
angka penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi. Lalu banyak pula
wajib pajak yang merasakan lebih praktis, mudah, cepat dan efisien dengan
menggunakan e-filing. Selain itu wajib pajak menyadari akan kewajibannya
sebagai wajib pajak. Namun terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan e-
filing baik kurangnya pengetahuan wajib pajak maupun sulitnya meyakinkan
wajib pajak akan penggunaan e-filing yang lebih mudah dan efisien.
Kata Kunci: Penggunaan E-filing, Kepatuhan, Wajib Pajak.
PENDAHULUAN
Sasaran utama dari kebijaksanaan keuangan negara yang dilakukan oleh
pemerintah di bidang penerimaan dalam negeri adalah untuk menggali mendorong
dan mengembangkan sumber-sumber penerimaan dari dalam negeri agar
jumlahnya dapat terus meningkat sesuai dengan kebutuhan pembangunan
(Haryuda,2013:1). Format anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
disusun atas dasar rencana kerja pemerintah dalam pembangunan.
Sasaran pendapatan dari sektor pajak dalam rangka pembiayaan yang tiap
tahun mengalami peningkatan merupakan tantangan bagi pemerintah khususnya
Direktorat Jendral Pajak untuk merealisasikan pendapatan dari sektor pajak dalam
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Upaya pemerintah untuk
meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, antara lain dengan mengubah sistem
pemungutan pajak dari Official Assesment System menjadi Self Assesment
System yang mulai diterapkan sejak reformasi perpajakan pada tahun 1983 yang
sangat berpengaruh bagi wajib pajak dengan memberikan kepercayaan kepada
wajb pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak
terutangnya. Self Asessment Sistem menuntut adanya peran aktif langsung dari
masyarakat dalam pemenuhan kewajiban. Kesadaran dan kepatuhan merupakan
hal yang terpenting dari berlangsungnya Self Assessment System.
Kondisi tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia relatif rendah yang
diakibatkan wajib pajak orang pribadi yang sudah mendaftarkan dirinya namun
kemudian tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya, maka
membuat pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak terus berupaya
menciptakan sistem perpajakan baru dalam rangka untuk meningkatkan pelayanan
dan kemudahan bagi wajib pajak dalam melaporkan SPT tahunannya sehingga
tingkat kepatuhan wajib pajak dapat meningkat. Salah satu upaya untuk
meningkatkan kepatuhan tersebut adalah dengan membuat pembaharuan sistem
atau metode yang sederhana, mudah, dan cepat. Pembaharuan dalam sistem
perpajakan yang dimulai pada tahun 2014 ini adalah dengan penerapan teknologi
informasi dalam pelayanan perpajakan yaitu dengan dilaksanakannya jenis
pelayanan kepada wajib pajak dalam rangka penyampaian Surat Pemberitahuan
menggunakan elektronik atau melalui internet yang selanjutnya dinamakan E-
Filing. Dengan sistem E-Filing yang dibuat oleh Direktorat Jendral Pajak
tujuannya dapat meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak dan diharapkan
dapat meningkatnya kepatuhan wajib pajak dalam pelaporan Surat Pemberitahuan
Tahunan Wajib Pajak orang pribadi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah penerapan pelayanan E-Filing
berperan dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi serta
mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat yang dihadapi dalam
penerapan pelayanan pajak dengan sistem E-Filing. Maka peneliti mengambil
judul “Analisa Peranan E-Filing dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan
Pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi”.

TINJAUAN PUSTAKA
Pajak
Menurut Adriani (2005) dalam Agustian (2011) pajak adalah iuran
masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan
tidak mendapatkan kontraprestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Definisi pajak secara umum dapat ditemui pada
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.

Sistem Pemungutan Pajak


Pada tahun 1983 terjadilah reformasi perpajakan yang pada intinya
mengubah sistem pemungutan yang awalnya dengan Official Assesment System
diubah menjadi Self Assesment System. Menurut Soemitro (1992) Self Assesment
jika di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: kata “self”
berarti sendiri dan “assessment” berarti taksiran atau menaksir. Jadi self
assessment sistem mengandung maksud bahwa kegiatan pemungutan pajak
diletakan kepada aktivitas dari masyarakat sendiri, dimana wajib pajak diberikan
kewajiban untuk menentukan besarnya pajak yang terutang mulai dari
menghitung besarnya pendapatan/kekayaan yang terutang, melaporkannya, dan
menyetorkannya ke kas Negara.

Surat Pemberitahuan (SPT)


Berdasarkan pasal 3 ayat (1) UndangUndang No.28/2007 Setiap wajib
pajak wajib mengisi surat pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas dalam
bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab satuan mata uang
rupiah dan menandatangani serta menyampaikan ke kantor Direktorat Jendral
Pajak (DJP) tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yag
ditetapkan oleh DJP. Terdapat beberapa cara menyampaikan surat pemberitahuan
Tahunan yaitu secara langsung, dikirim melalui pos, dikirim melalui perusahaan
jasa ekspedisi, dan melalui e-filing.

Electronic Filing (E-filing)


Berdasarkan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-06/PJ./2014 e-
filing adalah suatu cara penyampaian SPT Tahunan secara elektronik yang
dilakukan secara on-line dan realtime melalui internet pada website Direktorat
Jendral Pajak (www.pajak.go.id). Dengan adanya sistem e-Filing ini para wajib
pajak akan lebih mudah menunaikan kewajiban perpajakannya tanpa harus keluar
rumah dan mengantri di kantor pelayanan pajak sehingga lebih efektif dan efisien.
Dan juga penghematan dalam segi biaya, berkurangnya penggunaan kertas,
amplop, perangko, dan data akan dikirim langsung ke database Direktorat
Jenderal Pajak dengan internet.

Kepatuhan
Menurut Badan Bahasa (2015) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
patuh yang menjadi kata dasar dari kepatuhan, bermakna taat, selalu penurut.
Menurut Nurmanto dalam Rahayu (2010:138) mengatakan bahwa kepatuhan
perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana Wajib Pajak
memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
Menurut Zain (2004), kepatuhan wajib pajak memiliki pengertian yaitu “Suatu
iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin
dalam situasi dimana wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Kepatuhan sebagai fondasi self assessment dapat dicapai apabila
elemenelemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemen-elemen kunci
(Ismawan, 2001:83) yakni program pelayanan yang baik kepada wajib pajak,
prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak, program pemantauan
kepatuhan dan verivikasi yang efektif, dan pemantapan law enforcement secara
tegas dan adil. Menurut Alan Lewis (dalam Dewi, 2010) berpendapat bahwa
sistem pajak yang merangsang tumbuhnya kesadaran membayar pajak haruslah
memiliki unsur Kemudahan (Simplicity) dan perangsang (Insentive).

Pengukuran Kepatuhan Perpajakan


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012, wajib
pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila a) Tepat waktu dalam
menyampaikan Surat Pemberitahuan; b) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk
semua jenis pajak; c) Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau
lembaga pengawasan keuangan pemerintah; d) Tidak pernah dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Denzim dan Lincoln dalam
Moleong (2007:5) penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang
menggunakan latar alamiah untuk menafsirkan fenomena yang terjadi dan
dilakukan dengan melibatkan beberapa fenomena yang ada, yakni untuk
mendeskripsikan dan menganalisis beberapa fenomena yaitu fenomena yang
pertama adalah Mendeskripsikan dan menganalisis apakah penerapan pelayanan
E-Filing berpengaruh dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi
di KPP Pratama Malang Selatan. Fenomena yang kedua yaitu mendeskripsikan
dan menganalisis tentang faktor pendukung dan faktor penghambat yang dihadapi
dalam penerapan pelayanan pajak dengan sistem EFiling di KPP Pratama Malang
Selatan.
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Sumber data
primer diperoleh langung dari lapangan atau yang langsung dikumpulkan dari
sumbernya (informan) yang berhubungan dengan obyek penelitian yaitu Kepala
Seksi Pelayanan, Kepala Seksi Waskon I, Kepala Seksi Pengolahan data dan
Informasi, Account Representative, dan wajib pajak. Sumber data sekunder
diperoleh secara tidak langsung yaitu diperoleh dari dokumen profil KPP Pratama
Malang Selatan, peraturan terkait pelaksanaan E-Filing dan data statistik terkait
jumlah pelaporan E-Filing.
(Pasolong, 2012:130) Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau
metode yang digunakan oleh penulis untuk mengumpulkan data-data yang
diperlukan. Untuk memperoleh data-data yang valid saat dilaksanakannya
penelitian, maka teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan
wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Penelitian ini bersifat interaktif karena peneliti langsung melakukan
penelitian di lapangan dan berinteraksi dengan informan. Menurut Miles and
Huberman (1984) dalam Sugiyono (2010 : 337), analisis metode interaktif terdiri
tiga alur, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan Layanan E-Filing Dalam Pelaporan SPT Tahunan Sebagai Upaya
Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
1.Pelaksanaan penerapan layanan E-Filing dalam pelaporan SPT Tahunan orang
pribadi.
Latar belakang adanya layanan e-filing adalah terkait proses penerimaan,
pengolahan, dan pengarsipan SPT yang panjang dan memakan waktu yang lama
serta pentingnya inovasi berbasis teknologi untuk menuju administrasi perpajakan
yang lebih baik.
Ada beberapa cara pelaporan SPT Tahunan yang dapat dilakukan oleh
wajib pajak, pertama dapat diberikan secara langsung baik ke Kantor Pelayanan
Pajak dan atau ke tempat lain seperti pojok pajak, drop box, dan mobil pajak.
kedua secara tidak langsung melalui kantor pos, perusahaan ekspedisi (dengan
bukti pengiriman surat ke KPP tempat wajib pajak terdaftar). Ketiga secara online
yaitu wajib pajak menggunakan aplikasi e-filing, yakni memanfaatkan teknologi
informasi penyampaian SPT Tahunan dapat dilakukan secara elektronik, secara
online dan realtime melalui internet.
Pelaksanaan penerapan layanan e-filing baru dilaksanakan selama 2 (dua)
tahun yaitu efiling tahun 2014 dan e-filing tahun 2015. Direktorat jendral pajak
selalu berusaha untuk membuat pengadministrasian perpajakan menjadi lebih
baik. Dapat diketahui bahwa dengan adanya e-filing proses pelaporan yang
dilakukan oleh wajib pajak menjadi lebih sederhana, mudah, praktis, cepat, dan
efisien. Baik dalam hal penerimaan, pengolahan, maupun pengarsipan SPT.
Berikut alur penggunaan e-filing
1) Menggunakan aplikasi e-Reg untuk mendapatkan NPWP
2) Mengajukan permohonan e-FIN dengan datang langsung ke KPP
terdekat dan e-FIN akan diberikan langsung kepada wajib pajak.
3) Melakukan registrasi sebagai wajib pajak pengguna e-filing.
4) Menyampaikan SPT melalui e-filing
a) Mengisi e-SPT pada aplikasi e-filing
b) Meminta kode verivikasi untuk pengiriman e-SPT yang akan
dikirimkan melalui email yang sudah didaftarkan
c) Mengirim SPT secara online dengan mengisikan kode verivikasi
d) Notifikasi status e-SPT dan bukti penerimaan elektronik akan
diberikan kepada wajib pajak melalui email yang sudah
didaftarkan.
Berbicara tentang e-filing sangat bersinggungan dengan wajib pajak orang
pribadi karena e-filing memang diperuntukan untuk wajib pajak orang pribadi
maka dari itu efiling digunakan hanya untuk SPT 1770 S dan 1770 SS.

Hasil tersebut sangat jelas melampaui target yang ditetapkan dari


Direktorat Jendral Pajak hal ini menggambarkan minat dari wajib pajak yang
cukup tinggi untuk menggunakan layanan e-filing karena lebih praktis, mudah,
cepat, dan efisien.
Pertama praktis, dikarenakan dengan adanya e-filing wajib pajak dapat
menghitung serta melaporkan SPT Tahunannya dengan satu aplikasi sekaligus.
Praktis disini juga berkaitan dengan prosedural. Kedua mudah, karena mudah
dalam pengoperasiannya. kita tinggal login ke aplikasi tersebut setelah itu tinggal
memasukan data perpajakan yang diperlukan, ditambah lagi dengan tampilan dari
website yang hampir menyerupai lembar SPT Tahunan manual. Ketiga cepat,
wajib pajak tidak harus mengantri dan wajib pajak dalam melaporkan SPT
Tahunannya dapat dilakukan secara realtime 24 jam dilakukan dimanapun selama
terhubung dengan koneksi internet. Keempat efisien, wajib pajak menunaikan
kewajiban perpajakannya tanpa harus keluar rumah. Dari sisi petugas pajak pun
demikian, sistem e-filing dapat meringankan beban kerja yang ada karena sudah
sistem yang bekerja dan langsung masuk ke database sehinggga menghemat
waktu dan meminimalisir kesalahan juga penghematan dalam segi biaya,
berkurangnya penggunaan kertas yang mendukung program go green.
2. Peningkatan kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
Kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakan merupakan tulang
punggung sistem self assessment. Wajib pajak bertanggungjawab menetapkan
sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu
membayar dan melaporkan pajak tersebut. Kepatuhan dalam bidang perpajakan
Menurut Safri Nurmanto dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:138) mengatakan
bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai sutau keadaan di mana
Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya. Lebih lanjut bahwa dengan berbagai kemudahan yang diberikan
dari layanan e-filing, tujuan dari Direktorat Jendral Pajak membuat layanan ini
untuk memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka
dan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan.
Kepatuhan sukarela merupakan suatu fondasi dari self assessment system
yang dapat dicapai dengan menggunakan elemen-elemen kunci yang diterapkan
secara efektif. Berdasarkan elemen-elemen kunci kepatuhan sebagai fondasi dari
self assessment system menurut Nasucha dalam Rahayu (2010:139) diantaranya
program pelayanan yang baik dan prosedur yang sederhana serta memudahkan
wajib pajak. Bisa dikatakan e-filing memiliki elemen-elemen kunci kepatuhan
sebagai suatu hal yang membantu berjalannya self assessment system baik karena
program pelayanan yang baik dan e-filing merupakan suatu prosedur yang
sederhana serta memudahkan wajib pajak. Dikatakan baik karena banyak
perkembangan didalamnya. Terbukti dari angka penggunanya yang terus
bertambah disetiap tahunnya.
Berikut ini peneliti berikan tabel jumlah wajib pajak yang menggunakan e-
filing.
Jika dilihat dari tabel diatas dan dibandingkan dengan wajib pajak yang
melakukan pelaporan SPT Tahunan, ditahun 2014 jumlah wajib pajak yang
melaporkan SPT Tahunannya berjumlah 32.464 orang. E-filing hanya ditargetkan
sejumlah 1.508 atau hanya 4,6 %. Di tahun 2015 berjumlah 40.825 orang, efiling
hanya di targetkan sejumlah 8.654 atau hanya 21,2 %. Meskipun dari pelaksanaan
selama 2 tahun nilainya tidak begitu besar tetapi tetap berpengaruh, meski tidak
terlalu signifikan. Disini lah peran dari e-filing. Dengan kemudahannya e-filing
dapat membantu meningkatkan jumlah SPT yang masuk dengan begitu tingkat
kepatuhan pun akan meningkat pula. Berikut tabel angka pelaporan SPT Tahunan
dari tahun 2013 sampai dengan 2015.

Dari tabel realisasi penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi
diatas terlihat bahwa setelah adanya program e-filing ini antusias wajib pajak
untuk melaporkan SPT Tahunan meningkat terlihat dari peningkatan jumlah SPT
Tahunan yang masuk yaitu ditahun 2015. Ditahun 2014 jumlah pelapor SPT
Tahunan wajib pajak orang pribadi tergolong stabil dengan tahun 2013. Namun
ditahun tersebut terjadi penurunan jumlah pelapor SPT Tahunan secara manual
karena munculnya layanan e-filing dan terdapat wajib pajak yang beralih
menggunakan layanan e-filing. Ditahun 2015 terjadi peningkatan pelaporan SPT
tahunan yang cukup tinggi. Hal ini diakibatkan makin meningkatnya antusias
wajib pajak untuk melaporkan SPT Tahunannya karena adanya layanan e-filing
dan hal tersebut dapat dibuktikan dengan jauh meningkatnya pengguna layanan e-
filing walaupun wajib pajak yang melakukan pelaporan secara manual masih
cukup stabil.
Sebuah tingkat kepatuhan dapat dikatakan meningkat apabila angka
pelaporan SPT Tahunan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi
meningkat. E-filing dapat membantu meningkatkan jumlah SPT yang masuk.
Banyak hal yang menyebabkan seorang wajib pajak patuh terhadap kewajiban
perpajakannya. Baik itu disebabkan oleh sanksi, tingkat pengetahuan wajib pajak
itu sendiri, serta pelayanan. Berbicara tentang meningkatnya kepatuhan, itu bukan
berarti efiling yang mempengaruhi sepenuhnya. Namun semua hal diatas baik
sanksi, tingkat pengetahuan wajib pajak, dan pelayan itu saling terkait.
Namun pada intinya di 2 tahun berjalannya e-filing ini, target yang
diberikan selalu tercapai dan e-filing dapat membantu meningkatkan kepatuhan
dan perkembangan jumlah pelapor untuk SPT Tahunan secara manual tidak lebih
besar daripada perkembangan dari pelaporan melalui e-filing serta diharapkan
suatu saat nanti seluruh wajib pajak orang pribadi dapat memanfaatkan layanan e-
filing dalam melakukan pelaporannya.

Faktor-Faktor Yang Mendukung Dan Faktor Penghambat Yang Dihadapi


Dalam Pelaksanaan E-Filing
1. Faktor Pendukung
Terdapat faktor-faktor yang mendukung dalam hal pelaksanaan penerapan
layanan e-filing dalam pelaporan SPT tahunan yaitu :
a. Kesadaran wajib pajak itu sendiri
Melaporkan SPT disetiap tahunnya merupakan kewajiban
perorangan bagi setiap wajib pajak yang terdaftar. Sebagai wajib pajak
yang patuh dan taat terhadap peraturan perpajakan pastinya akan
melaksanakan seluruh kewajiban perpajakannya baik itu membayar
ataupun melaporkan SPT nya. Jika wajib pajak hanya membayar namun
tanpa melaporkan SPTnya maka akan diberikan sanksi karena tidak
melaporkan SPT Tahunannya. E-filing dapat mendorong wajib pajak
untuk melaksanakan pelaporan SPT dalam rangka melaksanakan
kewajiban perpajakan karena kemudahannya. Jika diperhatikan sebuah
sanksi perpajakan dapat mendorong wajib pajak untuk melaksanakan
kewajiban perpajakannya. Oleh karna itu layanan efiling dapat
mengakomodir wajib pajak yang akan melaksanakan kewajibannya
sebagai wajib pajak.
b. Ingin Mencoba
Melalui e-filing ini wajib pajak orang pribadi diberikan layanan
pelaporan SPT Tahunan yang praktis, mudah, cepat, dan efisien. Dengan
layanan aplikasi e-filing ini proses pelaporan menjadi cepat, dapat
dilakukan dimana saja dan kapan saja tanpa wajib pajak harus datang ke
KPP terdaftar. Berhubung sistem pelaporan melalui e-filing ini masih
cenderung baru, maka terdapat wajib pajak yang belom menggunakan
layanan aplikasi e-filing ini. Dengan banyaknya kemudahan yang
ditawarkan oleh e-filing maka wajib pajak cenderung penasaran dan ingin
mencoba layanan aplikasi ini.
c. Sosialisasi
Dalam memperkenalkan kepada khalayak umum tentang e-filing
ini maka menurut peneliti cara yang mudah dan efektif dengan cara
sosialisasi. Sosialisasi yang diberikan pun baik dari aparat pajak itu sendiri
maupun dari perusahaan yang menganjurkan e-filing kepada karyawannya
secara langsung. KPP juga melakukan sosialisasi secara langsung ke
instansi untuk menjaring lebih banyak angka pengguna efiling. Dengan
sosialisasi yang terus menerus dapat semakin mendorong wajib pajak
untuk melaporkan SPT Tahunannya dengan menggunakan layanan e-
filing.
d. Jaringan Internet
Pelaksananaan e-filing ini menggunakan sistem online dimana
jaringan internet menjadi elemen penting dalam pelaksanaannya. Tanpa
jaringan internet maka tidak dapat terlaksananya sistem pelaporan ini.
2. Faktor Penghambat
Terdapat faktor-faktor yang menghambat dalam hal pelaksanaan penerapan
layanan e-filing dalam pelaporan SPT tahunan yaitu :
a. Pengetahuan Wajib Pajak
E-filing erat kaitannya dengan wajib pajak orang pribadi karena
wajib pajak orang pribadi merupakan pengguna dari sistem ini. Dan wajib
pajak itu sendiri juga dapat menghambat berjalannya sistem e-filing ini
dikarenakan pengetahuan wajib pajak yang masih kurang. Kurangnya
pengetahuan wajib pajak bisa berupa kekurangpahaman wajib pajak
tentang teknologi maupun internet dan kurang pahamnya wajib pajak
tentang hak dan kewajiban masing-masing wajib pajak itu sendiri. Kurang
pahamnya wajib pajak tentang teknologi maupun internet ini dikarenakan
oleh faktor usia dalam hal ini wajib pajak yang berusia tua dan terdapat
pula wajib pajak yang pada dasarnya kurang paham dengan teknologi. Jika
dibayangkan, jangankan untuk melaporkan SPT Tahunan bahkan untuk
masalah hak dan kewajiban wajib pajak masih ada yang belom
memahaminya. Walaupun pihak aparat pajak telah melakukan sosialisasi
dengan berbagai cara, namun hambatan ini akan tetap ada karena pada
dasarnya setiap orang memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda-beda.
b. Jaringan Internet
Jaringan internet merupakan elemen kunci untuk terlaksananya
layanan e-filing. Namun disisi lain jaringan internet selain dapat
mendukung sistem e-filing tapi juga dapat menghambat terlaksananya e-
filing ini. Hal ini dikarenkan di Indonesia sendiri jaringan internet belum
merata dan memadai. Terdapat wajib pajak yang merasa merasakan
jaringan internet yang bermasalah. Terutama saat akhir-akhir batas
pelaporan. Karena pada saat yang bersamaan banyak wajib pajak lain juga
melakukan hal yang sama yang mengakibatkan server yang drop
disebabkan koneksi jaringan internet karena terlalu banyak yang
mengakses.
c. Meyakinkan Wajib Pajak
E-filing merupakan suatu program baru, untuk sesuatu hal yang
baru biasanya seseorang akan timbul keragu-raguan dan bertanya-tanya
tentang bagaimana dan apakah program yang baru ini memang lebih baik
dari sebelumnya. Selanjutnya meyakinkan wajib pajak bahwasanya
pelaporan pajak merupakan kewajiban perorangan, seperti karyawan dari 1
pemberi kerja yang sudah terbiasa pajaknya dipotong oleh bendahara
perusahaannya maka dia akan malas untuk melaporkan SPT tahunan
sendiri. Terlihat bahwa wajib pajak kurang paham dan familiar dengan e-
filing padahal pada dasarnya sistem e-filing sangat membantu.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Melalui e-filing wajib pajak dapat melaksanakan kewajibannya dalam hal
ini pelaporan SPT Tahunan dengan praktis, mudah, cepat, dan efisien. E-filing
dapat menumbuhkan suatu kepatuhan sukarela bagi wajib pajak melalui program
pelayanannya yang baik dan prosedur yang sederhana serta memudahkan wajib
pajak, wajib pajak dapat terbantu dalam memenuhi kewajiban perpajakan sebagai
bentuk kepatuhan.
Ditahun 2013 (sebelum ada e-filing) jumlah wajib pajak yang melaporkan
SPT Tahunannya sejumlah 32.909, selanjutnya ditahun 2014 dimana pertama
kalinya e-filing berjalan jumlah wajib pajak yang melaporkan tidak meningkat
meningkat namun masih cukup stabil dengan 32.464, dan ditahun 2015 jumlah
wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunannya jauh meningkat dengan 40.825.
Hal ini dibuktikan karena meningkatnya jumlah wajib pajak orang pribadi yang
melakukan pelaporan SPT melalui e-filing ditahun 2014 sejumlah 3.403 dan
ditahun 2015 sejumlah 11.161 serta perkembangan jumlah pelapor untuk SPT
Tahunan secara manual tidak lebih besar daripada perkembangan dari pelaporan
melalui e-filing. Dengan meningkatnya angka pelaporan SPT Tahunan wajib
pajak orang pribadi maka dapat menggambarkan peran dari e-filing dalam
meningkatkan kepatuhan.
Faktor pendukung antara lain terdapat wajib pajak yang secara pribadi
menyadari kewajibannya sebagai wajib pajak, rasa ingin mencoba layanan
aplikasi tersebut, sosialisasi, dan jaringan internet.
Faktor penghambat antara lain pengetahuan wajib pajak yang masih
kurang. Kurangnya pengetahuan wajib pajak berupa kekurangpahaman wajib
pajak tentang teknologi maupun internet dan kurang pahamnya wajib pajak
tentang hak dan kewajiban masing-masing wajib pajak itu sendiri. Setelah itu
jaringan internet dan sulitnya meyakinkan wajib pajak dikarenakan rasa keragua-
raguan yang timbul dalam diri wajib pajak tentang bagaimana dan apakah
program yang baru ini memang lebih baik dari sebelumnya dan pandangan
masyarakat tentang pengisian SPT yang rumit serta sulitnya meyakinkan wajib
pajak bahwa lapor SPT Tahunan merupakan kewajiban perorangan.

Saran
a. Lebih ditingkatkan kembali sosialisasi yang dilakukan kepada wajib
pajak,dengan cara memberikan pemahaman tentang penggunaan e-filing ataupun
pemberian pemahaman tentang hak dan kewajiban sebagai wajib pajak dan
diperbanyak juga sosialisasi dan penjaringan langsung ke perusahaan yang ada
dalam wilayah kerja KPP Pratama Malang Selatan agar semakin mendorong wajib
pajak untuk melaporkan SPT Tahunannya dengan menggunakan layanan e-filing.
b. Memberikan ujicoba yang luas agar meningkatkan minat dari wajib pajak untuk
menggunakan e-filing dan mengerti dalam menggunakan e-filing dengan
membuat kelas pelatihan penggunaan aplikasi e-filing.
c. Lebih mengoptimalkan dan memaksimalkan sistem informasi untuk lebih
mengembangkan aplikasi e-filing itu sendiri.
d. Wajib pajak disarankan untuk menggunakan koneksi internet berkecepatan
tinggi untuk memudahkan dalam pelaporan serta untuk mengantisipasi keadaan
dimana koneksi internet di Indonesia yang masih kurang stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Widi. 2011. Pengantar Ilmu Hukum pajak. Jakarta: PT. Gramedia
Badan Bahasa. 2015. “Pengertian Patuh”. Diakses pada tanggal 17 Januari 2016
dari http://kbbi.web.id
Dewi, Siska Juwita. 2010. “Pengaruh Kepuasan Wajib Pajak Orang Pribadi
Ditinjau Dari Dimensi Kualitas Pelayanan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Melaksanakan Kewajiban Perpajakan KPP Pratama
Malang Selatan)”. Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Brawijaya. Malang
Direktorat Jendral Pajak. 2014. Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-
06/PJ./2014 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Menggunakan Formulir 1770 S atau 1770
SS Secara Efiling dan Merupakan Pegawai Tetap Pada Pemberi Kerja Tertentu.
Haryuda, Agil Anggara. 2013. Pengaruh Tingkat Kesadaran, Pengetahuan Dan
Pemahaman Peraturan Perpajakan, Kondisi Keuangan Serta Tarif Pajak
Terhadap Kepatuhan Membayar Pajak Wajib Pajak Badan ( Studi Kasus Pada
Kpp Pratama Sukoharjo ). Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ismawan, Indra. 2001. Memahami Reformasi Perpajakan 2000. Jakarta: PT.Elex
Media Komputindo.
Moleong, Lexy J . 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Pasolong, Harbani. 2012. Metode Penelitian administrasi Publik. Bandung:
Alfabeta. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan. Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 74/PMK.03/2012. Tentang Tata Cara Penetapan Dan Pencabutan
Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
Siti Kurnia Rahayu. 2010. Perpajakan Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Soemitro, Rochmat. 1992. Asas dan Dasar Perpajakan I. Bandung: Eresco.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Zain, Mohammad. 2004. Manajemen Perpajakan. Salemba Empat, Jakarta.
RINGKASAN II
STUDI KUALITATIF WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA
TERTENTU UNTUK MELAKUKAN PEMBAYARAN PAJAK
PENGHASILAN (PPh)
(Studi Kasus Pada Pelaku Social Commerce)

Pendahuluan
Adanya social commerce dapat dijadikan sasaran untuk mendapatkan
wajib pajak potensial demi meningkatkan penerimaan pajak nasional. Tetapi,
jumlah pelaku social commerce belum dapat dipastikan. Menurut Surat Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Per – 32/ PJ/ 2010, pelaku social commerce
dikenakan pajak penghasilan pasal 25. Oleh karena kebanyakan pelaku social
commerce adalah individu, maka dikategorikan sebagai Wajib Pajak Orang
Pribadi Pengusaha Tertentu. Belum ada sosialisasi untuk pelaku social commerce
mengenai pengenaan pajak penghasilan. Berbeda dengan transaksi electronic
commerce telah diberikan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/
PJ/ 2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce.

Metode Penelitian
Paper ini menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu Wawancara
dilakukan pada beberapa pelaku social commerce untuk mengetahui bagaimana
kondisi pengetahuan mereka terhadap keharusan untuk membayar pajak
penghasilan dan pendapat mereka jika harus membayar pajak penghasilan dan
Teknik Dokumentasi menggunakan jurnal ilmiah, tulisan atau opini yang
bersumber dari www.pajak.go.id, dan berita.

Hasil dan Pembahasan


Analisis Deskriptif
Pelaku social commerce merupakan subjek pajak Undang-Undang No. 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Pengenaan pajak jual beli untuk toko
online pada dasarnya dipersamakan dengan toko konvensional sehingga ketentuan
pajak yang berlaku bagi usaha online tidak berbeda dengan toko konvensional
pada umumnya. Sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak, pengusaha
social commerce dikenakan PPh sebesar 0,75% dari omzet setiap bulannya
sehingga perlakuan pajak pengusaha ecommerce (termasuk social commerce)
dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 milliar dikenakan pajak sama
dengan pajak UMKM, yaitu 1% dari omzet.

Pembahasan Masalah
Kondisi Pengetahuan Pelaku Social Commerce Untuk Membayar Pajak
Faktor utama pelaku social commerce tidak membayar pajak penghasilan
adalah kurangnya informasi jika mereka merupakan wajib pajak dan diharuskan
membayar pajak atas penghasilan yang diterima. Pemerintah perlu mengadakan
sosialisasi terhadap pemungutan pajak atas wajib pajak orang pribadi pengusaha
tertentu, khususnya pengguna social commerce atau pebisnis online.
Pelaku social commerce perlu kejelasan kriteria pengenaan pajak, tata cara
pembayaran, dan kepastian agar mereka tidak dirugikan. Pemerintah dan instansi
pemungutan pajak harus menunjukkan sikap tidak memberatkan pelaku social
commerce, sehingga terjalin kepercayaan antara pelaku dan aparat pajak.

Kendala yang Dihadapi Instansi Pajak atas Pemungutan Pajak Transaksi


Social Commerce
Menurut Arianto (2014) ada banyak kendala yang dihadapi untuk
pengenaan pajak atas transaksi online, yaitu:
1. Transaksi e-commerce (termasuk social commerce) terjadi dalam waktu
yang singkat, sehingga sangat sulit untuk melacak siapa saja pelaku
transaksinya.
2. Jika bentuk barang atau jasa yang diperdagangkan berformat digital
(nonfisik) sehingga cukup menyulitkan dalam penentuan obyek pajaknya.
3. Bukti transaksinya adalah bukti elektronis sehingga membuat transaksi e-
commerce (termasuk social commerce) semakin susah untuk dideteksi.
4. Transaksi online tak hanya terjadi di dalam wilayah pabean Indonesia saja,
namun terkadang menembus batas geografis negara lain.
Terdapat beberapa kendala lain untuk pengenaan pajak transaksi social commerce,
yaitu:
1. Tidak ada jumlah yang pasti pelaku social commerce (penjual) pada
berbagai macam media sosial.
2. Adanya sistem reseller dan dropship, sehingga transaksi yang terjadi lebih
sulit dideteksi Sistem reseller berarti penjual membeli barang dari penjual
lain dengan harga yang lebih murah, kemudian ia menjual kembali barang
tersebut baik sevara online ataupun offline.
3. Adanya sistem pembayaran cash on delivery (COD) yang transaksi
uangnya susah ditelusuri.
Salah satu langkah awal sebagai solusi yang dapat dilakukan Direktorat
Jenderal Pajak adalah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan TI dan
perbankan untuk mendeteksi transaksi online yang selama ini susah dilacak, dan
mensosialisasikan pelaku social commerce bahwa terdapat kewajiban membayar
pajak.
Simpulan
Jika pelaku social commerce dikondisikan jika mereka sudah mengetahui
kewajiban pembayaran pajak, mereka akan mengikuti aturan yang berlaku. Pelaku
social commerce menginginkan kejelasan metode dan tata cara yang jelas jika
mereka diharuskan untuk membayar pajak.
Berbagai kendala yang dihadapi kantor pajak untuk pemungutan pajak
transaksi social commerce juga terjadi, diantaranya sulitnya melacak siapa saja
pelaku transaksi social commerce, sulit menentukan obyek pajaknya (untuk yang
berformat digital), transaksinya tidak hanya dalam wilayah pabean Indonesia saja.
Dalam cakupan yang lebih sempit, kendala yang dihadapi dalam proses
pemungutan pajak transaksi social commerce adalah tidak ada jumlah yang pasti
pelaku social commerce, adanya sistem reseller dan dropship, dan sistem
pembayaran cash on delivery (COD).
STUDI KUALITATIF WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
PENGUSAHA
TERTENTU UNTUK MELAKUKAN PEMBAYARAN PAJAK
PENGHASILAN (PPh)
(Studi Kasus Pada Pelaku Social Commerce)
Dewita Puspawati
Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Surakarta
dp123@ums.ac.id

ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the condition of knowledge of
the perpetrators of social commerce as taxpayers specific employers to pay
income tax on their business. The determination of the behavior of agents of
social commerce when faced with the challenges to pay income tax, and how the
constraints faced by the tax officer over tax collection social commerce
transactions. This study is a qualitative study conducted by interviewing the
perpetrators of social commerc. Interviews showed that the main factor of social
commerce offender does not pay income tax is the lack of information if they are
taxpayers and are required to pay taxes on the received income. They need have a
clear criteria of social commerce taxation, payment term, and the certainty that
they are not harmed. Various constraints faced by the tax office for tax purposes
social commerce transactions also occur, such as the difficulty to track who
transactors social commerce, difficulty to determine the tax object (to the digital
format), transactions not only in the customs territory of Indonesia.
Keywords: Social Commerce, PPh, Wajib Pajak, WPOP Pengusaha Tertentu
Pendahuluan
Perkembangan Web 2.0 telah mengubah cara pengguna dan organisasi
saling berinteraksi dan berkolaborasi. Meningkatnya penggunaan internet dan
media sosial di Indonesia memberikan dampak yang besar bagi dunia bisnis.
Meningkatnya popularitas situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, dan
Instagram telah membuka kesempatan untuk membuka model bisnis baru dalam
perdagangan elektronik, yang biasa disebut dengan social commerce (Liang dan
Turban, 2011; Hajli, 2013; Jiang, et., al., 2014).
Adanya social commerce dapat dijadikan sasaran untuk mendapatkan
wajib pajak potensial demi meningkatkan penerimaan pajak nasional. Tetapi,
jumlah pelaku social commerce belum dapat dipastikan. Transaksi social
commerce tidak jauh berbeda dengan transaksi konvensional, hanya saja platform
yang digunakan adalah media sosial dengan fasilitas internet. Persentase aktivitas
jejaring sosial Indonesia mencapai 79,72 persen yang merupakan tertinggi di Asia,
mengalahkan Filipina (78 persen), Malaysia (72 persen), China (67 persen).
Bahkan negara Asia dengan teknologi Internet maju, seperti Korea Selatan dan
Jepang pemanfaatan media sosialnya rendah, yaitu sebesar 30% - 45%
(merdeka.com, 2014).
Menurut Surat Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per – 32/ PJ/
2010, pelaku social commerce dikenakan pajak penghasilan pasal 25. Oleh karena
kebanyakan pelaku social commerce adalah individu, maka dikategorikan sebagai
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. Belum ada sosialisasi untuk
pelaku social commerce mengenai pengenaan pajak penghasilan. Berbeda dengan
transaksi electronic commerce telah diberikan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-62/ PJ/ 2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas
Transaksi E-Commerce.
Sejak tahun 1983, perpajakan di Indonesia menganut Self Assesment
System. Penerapan sistem ini akan efektif apabila kondisi kepatuhan sukarela
(voluntary complience) pada masyarakat telah terbentuk (Mustikasari, 2007).
Perubahan sistem pemungutan pajak menjadi Self Assesment System
mengakibatkan wajib pajak diberikan kepercayaan sepenuhnya untuk menghitung,
membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang berdasarkan ketentuan
perundangan perpajakan, sedangkan fiskus berkewajiban melakukan pembinaan,
pengawasan, dan pelayanan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan.
Kelemahan self assessment system yang memberikan kepercayaan pada wajib
pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak terutang,
dalam praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan
disalahgunakan (Tarjo dan Kusumawati, 2006). Hal ini dapat didasari karena
wajib pajak sengaja tidak patuh, rendahnya kesadaran untuk membayar pajak,
atau kombinasi dari keduanya.
Belum diketahui apakah pelaku social commerce telah melakukan
pembayaran pajak atas penghasilan yang diterima.
Direktorat Jenderal Pajak pun juga belum dapat mengawasi pelaksanaan
pembayaran pajak pelaku social commerce, karena jumlah pelaku yang belum
dapat dipastikan. Untuk pelaku social commerce kategori remaja, biasanya
pengetahuan pajaknya lebih rendah, sehingga mereka kurang memperhatikan
aspek perpajakan dari transaksi online. Bagi mereka, menjual barang melalui
social commerce hanya pekerjaan sampingan yang tidak perlu dikenakan pajak.
Untuk pelaku social commerce kategori dewasa seharusnya memiliki pengetahuan
pajak yang lebih memadai, sehingga diharapakn kesadaran untuk membayar pajak
lebih tinggi.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian ini akan
mengangkat beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi pengetahuan pelaku social commerce (WP OP
Pengusaha Tertentu) untuk melakukan pembayaran pajak
penghasilan atas usahanya?
2. Bagaimana pelaku social commerce (WP OP Pengusaha Tertentu)
akan menentukan perilakunya jika dihadapkan pada kondisi ia
harus membayar pajak penghasilan?
3. Bagaimana kendala yang dihadapi kantor pajak atas pemungutan
pajak transaksi social commerce?
Kajian Pustaka
Theory of Reasoned Action (TRA) Theory of Reasoned Action (TRA)
menawarkan penjelasan mengenai suatu perilaku atau tindakan (Ajzen and
Fishbein, 1980; Fishbein and Ajzen, 1975). TRA dijelaskan dengan adanya sikap
dan norma subyektif yang dapat membentuk niat seseorang. Niat adalah
kecenderungan seseorang untuk menggunakan sikap secara spesifik. Semakin kuat
niat tersebut, maka semakin tinggi kemungkinan untuk melakukan suatu perilaku.
Niat diyakini sebagai indikator yang baik untuk bertindak, tetapi tidak
langsung mengarahkan pada tindakan nyata (Du, 2011). Niat untuk berperilaku
merupakan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu sikap dan norma subjektif. Menurut
Peslak, et.al. (2010), norma subjektif didefinisikan sebagai bagaimana sebuah
perilaku dilihat dari lingkungan sosial seseorang, sehingga dapat mempengaruhi
keputusannya. Sedangkan, sikap didefinisikan sebagai bagaimana perasaan
seseorang mengenai perilakunya dan biasanya diukur berdasarkan mindset
menyenangkan atau tidak menyenangkan (Peslak, et.al., 2010). Sehingga, niat dan
norma subjektif akan mempengaruhi niat penjual melalui s-commerce untuk
membayar pajak penghasilan, kemudian ia akan menentukan perilaku untuk
membayar atau tidak membayar pajak penghasilan.
GAMBAR 2.1 MODEL THEORY OF REASONED ACTION

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OP Pengusaha


Tertentu)
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per – 32/
PJ/ 2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu menjelaskan bahwa:
“Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang Pengecer yang
mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.”
Pedagang pengecer yang dimaksud dijelaskan pada Pasal 2, yaitu orang
yang melakukan penjualan barang baik secara grosir/ maupun eceran dan/ atau
penyerahan jasa melalui suatu tempat usaha. Beberapa contoh yang termasuk
wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah pemilik salon, warnet, sewa
kendaraan, kantor akuntan, praktik dokter, notaris, dan pengusaha online.

Pajak Penghasilan (PPh 25) Atas WP OP Pengusaha Tertentu


Pasal 2 ayat 1 Surat Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per – 32/
PJ/ 2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu mewajibkan wajib pajak orang pribadi
pengusaha tertentu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib
Pajak bagi setiap tempat usaha di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat usaha tersebut dan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak. Sesuai dengan pasal 3 ayat 1 Surat
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per – 32/ PJ/ 2010 telah ditentukan
besarnya angsuran pajak yang dikenakan pada wajib pajak orang pribadi
pengusaha tertentu adalah 0,75% dari peredaran bruto setiap bulan dari masing-
masing tempat usaha.

Social Commerce
Perkembangan situs jejaring sosial telah menciptakan paradigma
perdagangan elektronik yang baru, yaitu social commerce (s-commerce). Marsden
(2010) menjelaskan bahwa s-commerce merupakan kombinasi perdagangan
elektronik dengan situs jejaring sosial untuk memfasilitasi pembelian dan
penjualan produk dan jasa dengan menggunakan teknologi internet. S-commerce
mengacu pada pengiriman aktivitas dan transaksi perdagangan elektronik melalui
lingkungan media sosial, terutama dalam jejaring sosial yang menggunakan
perangkat lunak Web 2.0 (Liang dan Turban, 2011). Shen dan Eder (2011)
mendefinisikan s-commerce sebagai bentuk baru dari perdagangan elektronik
dengan menggunakan media sosial, seperti media online yang mendukung
interaksi dan kontribusi sosial untuk membantu pembelian dan penjualan produk
dan jasa secara online.
Terdapat dua bentuk utama dari s-commerce. Pertama, jejaring sosial
dapat menambahkan fitur yang memperbolehkan adanya iklan dan transaksi
(Liang dan Turban, 2011). Kedua, perdagangan elektronik tradisional dapat
menambah kemampuan mereka untuk membuat akun dalam jejaring sosial untuk
mendapatkan keuntungan dari kekuatan media sosial (Liang dan Turban, 2011).

Metode Penelitian
Paper ini menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu:
1. Wawancara
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data
apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk
menemukan masalah yang harus diteliti dan juga apabila
peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih
mendalam dan jumlah respondennya sedikit/ kecil (Sugiyono,
2013). Wawancara dilakukan pada beberapa pelaku social
commerce untuk mengetahui bagaimana kondisi pengetahuan
mereka terhadap keharusan untuk membayar pajak penghasilan
dan pendapat mereka jika harus membayar pajak penghasilan.
Pelaku social commerce yang dimaksud adalah pemilik dari
@rahmihdy, @sweaterrajut_shop, @rosmi.os,
@evts_tasikmalaya, dan @tasrajutda-lova.
2. Teknik Dokumentasi
Menurut Sugiyono (2013), dokumen merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan, gambar,
atau karya-karya monumental dari seseorang. Studi dokumen
merupakan pelengkap dari penggunaan metode wawancara
dalam paper ini. Dokumen yang digunakan adalah jurnal
ilmiah, tulisan atau opini yang bersumber dari
www.pajak.go.id, dan berita.

Hasil dan Pembahasan


Analisis Deskriptif
Sistem berbelanja online di Indonesia terbagi melalui tiga saluran.
Pertama, lewat toko online, seperti lazada.com dan zalora.co.id. Kedua, melalui
platform yang mempertemukan penjual dengan pembeli, sekaligus menjadi forum
bagi keduanya, contohnya kaskus.co.id dan tokobagus.com. Ketiga, melalui
jejaring sosial atau social commerce (Arianto, 2014). Pelaku social commerce
merupakan subjek pajak Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan. Kewajiban untuk membayarkan pajak penghasilan ini timbul sejak
saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan sehingga memperoleh penghasilan (Gade dan Gade, 1995). Pengenaan
pajak jual beli untuk toko online pada dasarnya dipersamakan dengan toko
konvensional sehingga ketentuan pajak yang berlaku bagi usaha online tidak
berbeda dengan toko konvensional pada umumnya. Perbedaan yang mendasar
hanya usaha online dilakukan dengan menggunakan fasilitas internet.
Sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-
32/PJ/2010 tentang pelaksanaan pengenaan PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak orang
pribadi pengusaha tertentu, pengusaha social commerce dikenakan PPh sebesar
0,75% dari omzet setiap bulannya. Dengan berlakunya PP Nomor 46 tahun 2013,
maka perlakuan pajak pengusaha ecommerce (termasuk social commerce) dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 milliar dikenakan pajak sama dengan pajak
UMKM, yaitu 1% dari omzet (Arianto, 2014).
Pembahasan Masalah
Kondisi Pengetahuan Pelaku Social Commerce Untuk Membayar Pajak
Peneliti melakukan wawancara dengan 5 orang responden untuk mencari
tahu apakah pelaku social commerce mengetahui kondisi bahwa penghasilan yang
mereka dapatkan harus dikenakan pajak. Beberapa hasil wawancara oleh para
pelaku social commerce adalah sebagai berikut:
“Tidak tahu, karena saya tidak tahu informasi bahwa harus membayar
pajak.” (Narasumber I)
“Tidak, karena menurut saya bisnis online tidak perlu dikenakan pajak.”
(Narasumber II)
“Belum tahu, karena belum ada informasinya [pembayaran pajak].”
(Narasumber IV)
Pelaku social commerce biasanya berumur remaja hingga dewasa. Tempat
usaha social commerce adalah media sosial, bukan seperti toko konvensional,
sehingga terdapat anggapan bahwa bisnis online tidak perlu membayar pajak.
Faktor utama pelaku social commerce tidak membayar pajak penghasilan adalah
kurangnya informasi jika mereka merupakan wajib pajak dan diharuskan
membayar pajak atas penghasilan yang diterima. Pengetahuan Wajib Pajak
tentang pajak yang baik akan dapat memperkecil adanya penghindaran pajak
(Palil, 2005). Cristensen, et al. (1994) bahwa wajib pajak yang memiliki
pengetahuan yang baik, akan memiliki persepsi keadilan yang positif terhadap
sistem pajak yang berakibat tingkat kepatuhan pajak lebih tinggi. Pemerintah
perlu mengadakan sosialisasi terhadap pemungutan pajak atas wajib pajak orang
pribadi pengusaha tertentu, khususnya pengguna social commerce atau pebisnis
online.
Perilaku Pelaku Social Commerce Jika Dihadapkan pada Kondisi Harus
Membayar Pajak.
Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaku social
commerce akan menentukan perilakunya jika dihadapkan pada kondisi mereka
telah mengetahui informasi pengenaan pajak penghasilan social commerce. Hasil
wawancara dari beberapa pelaku adalah sebagai berikut:
“Lihat kondisi penjual lain dan penghasilan yang saya dapatkan. Kalo
sedikit [penghasilan] sih, saya lebih tidak peduli.” (Narasumber I)
“Tidak bayar.” (Narasumber II)
“Ikut aturan yang berlaku aja.” (Narasumber III)
“Mengikuti aturan dan membayar pajak.” (Narasumber IV)
“Kalo misalnya dikenakan pajak bolehboleh saja, asal online shop kita
diakui sebagai online shop yang trusted dan bukan penipuan.”
(Narasumber V)
Satu dari lima responden lebih memilih tidak bayar karena ia berpendapat
bahwa bisnis online tidak perlu dikenakan pajak. Responden yang lain lebih
melihat tergantung pada omset yang didapat. Tiga dari lima responden lebih
memilih perilaku untuk membayar pajak dan mengikuti aturan yang telah
ditetapkan, tetapi dengan syarat bahwa kredibilitas online shop-nya terjamin.
Peningkatan kredibilitas online shop dapat meningkatkan penghasilan pelaku
social commerce.
Beberapa responden juga menanggapi bahwa mereka perlu membayar
pajak, yaitu sebagai berikut:
“Biaya pengiriman barang dan pulsa sudah menambah beban modal
[usaha], sehingga saya tidak mau membayar pajak lagi. Apalagi biaya
pengiriman barang kan sudah dikenakan pajak.” (Narasumber II)
“Boleh aja dikenakan pajak, asal pajak itu tidak disalahgunakan dan jelas
penggunaannya.” (Narasumber III)
“Gak papa sih bisnis online dikenakan pajak, tapi harusnya ada feedback
yang kita dapatkan dari pemerintah atas pembayaran pajak itu dan metode,
serta tata cara pembayaran yang jelas, sehingga tidak merugikan para
pelaku social commerce.” (Narasumber IV)
Pelaku social commerce perlu kejelasan kriteria pengenaan pajak, tata cara
pembayaran, dan kepastian agar mereka tidak dirugikan. Salah satu responden
menunjukkan keraguan penggunaan dana pajak oleh instansi pemerintah, sehingga
mempengaruhi pola pikir serta perilakunya. Menurut Menurut Franzoni (1999),
salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak adalah
kecenderungan mereka terhadap institusi publik. Pemerintah dan instansi
pemungutan pajak harus menunjukkan sikap tidak memberatkan pelaku social
commerce, sehingga terjalin kepercayaan antara pelaku dan aparat pajak.

Kendala yang Dihadapi Instansi Pajak atas Pemungutan Pajak Transaksi


Social Commerce
Menurut Arianto (2014) ada banyak kendala yang dihadapi untuk
pengenaan pajak atas transaksi online, yaitu:
1. Transaksi e-commerce (termasuk social commerce) terjadi dalam waktu
yang singkat, sehingga sangat sulit untuk melacak siapa saja pelaku
transaksinya.
2. Jika bentuk barang atau jasa yang diperdagangkan berformat digital
(nonfisik) seperti software, video, musik, e-magazine, sehingga cukup
menyulitkan dalam penentuan obyek pajaknya.
3. Bukti transaksinya adalah bukti elektronis sehingga membuat transaksi e-
commerce (termasuk social commerce) semakin susah untuk dideteksi.
4. Transaksi online tak hanya terjadi di dalam wilayah pabean Indonesia saja,
namun terkadang menembus batas geografis negara lain.
Terdapat beberapa kendala lain untuk pengenaan pajak transaksi social commerce,
yaitu:
1. Tidak ada jumlah yang pasti pelaku social commerce (penjual) pada
berbagai macam media sosial, seperti Instagram, Path, Facebook, Twitter,
Blackberry Messenger, sehingga Dirjen Pajak belum mengetahui jumlah
wajib pajak potensial.
2. Adanya sistem reseller dan dropship, sehingga transaksi yang terjadi lebih
sulit dideteksi Sistem reseller berarti penjual membeli barang dari penjual
lain dengan harga yang lebih murah, kemudian ia menjual kembali barang
tersebut baik sevara online ataupun offline. Sistem dropship dapat
diilustrasikan, penjual I di kota Banding memiliki barang dagangan
sweater, dan penjual II di kota Yogyakarta ingin menjual kembali sweater
tersebut dengan margin yang lebih tinggi, tetapi penjual II tidak ingin
memiliki persediaan barang sweater karena jika dikirimkan ke Yogyakarta
akan dikenakan biaya kirim yang berakibat akan menaikkan biaya modal
penjual II. Penjual II dapat menjual barang seolah-olah ia memiliki
persediaan barang dagangan. Jika ada pembeli yang membeli di penjual II,
maka penjual II akan memberitahukan penjual I, kemudian penjual I akan
mengirimkan langsung barang dagangan ke pembeli.
3. Adanya sistem pembayaran cash on delivery (COD) yang transaksi
uangnya susah ditelusuri. Untuk pembelian yang terjadi dalam satu kota,
biasanya pembeli menggunakan sistem pembayaran COD dibandingkan
transfer ATM karena ia dapat melihat barang asli yang ia beli, kemudian ia
akan langsung membayarnya.
Salah satu langkah awal sebagai solusi yang dapat dilakukan Direktorat
Jenderal Pajak adalah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan TI dan
perbankan untuk mendeteksi transaksi online yang selama ini susah dilacak, dan
mensosialisasikan pelaku social commerce bahwa terdapat kewajiban membayar
pajak. Sarana teknologi informasi seperti software maupun hardware yang kurang
memadai yang dimiliki pemerintah, menjadi salah satu penghambat pemungutan
pajak transaksi elektronik (Arianto, 2014).
Simpulan
Belum diketahui apakah pelaku social commerce telah melakukan
pembayaran pajak atas penghasilan yang diterima. Direktorat Jenderal Pajak pun
juga belum dapat mengawasi pelaksanaan pembayaran pajak pelaku social
commerce, karena jumlah pelaku yang belum dapat dipastikan. Hasil wawancara
menunjukkan pengetahuan pelaku social commerce terhadap kewajiban
membayar pajak masih rendah karena kurangnya informasi yang diterima. Wajib
Pajak harus diperlakukan sebagai sebagai subyek yang harus dibina agar bersedia,
mampu dan sadar melaksanakan kewajiban perpajakan (Sofyan, 2003).
Jika pelaku social commerce dikondisikan jika mereka sudah mengetahui
kewajiban pembayaran pajak, mereka akan mengikuti aturan yang berlaku. Tetapi,
ada pelaku yang beranggapan ia tidak ingin bayar dan melihat besarnya omset
karena pembayaran pajak menjadi hal yang memberatkan usaha mereka. Pelaku
social commerce menginginkan kejelasan metode dan tata cara yang jelas jika
mereka diharuskan untuk membayar pajak.
Berbagai kendala yang dihadapi kantor pajak untuk pemungutan pajak
transaksi social commerce juga terjadi, diantaranya sulitnya melacak siapa saja
pelaku transaksi social commerce, sulit menentukan obyek pajaknya (untuk yang
berformat digital), transaksinya tidak hanya dalam wilayah pabean Indonesia saja.
Dalam cakupan yang lebih sempit, kendala yang dihadapi dalam proses
pemungutan pajak transaksi social commerce adalah tidak ada jumlah yang pasti
pelaku social commerce, adanya sistem reseller dan dropship, dan sistem
pembayaran cash on delivery (COD).
Daftar Pustaka
[1] Ajzen, I. dan M. Fishbein. 1980. Understanding Attitudes and Predicting
Social Behavior. Englewood Cliffs. NJ: Prentice-Hall.
[2] Arianto, Nur. 2014. Ekstensifikasi Pajak Dari Transaksi Online. Portal
Kemenkeu. Diakses tanggal 8 September 2015.
[3] Du, Y. 2011. A Measurement Model of Students' Behavioral Intentions to Use
Second Life Virtual Environments. Journal of Education for Library and
Information Science, Vol. 52, No.1, pp. 41- 53.
[4] Franzoni, A. Luigi. 1999. Tax Evasion and Tax Compliance. Italy: University
of Bologna. [5] Fishbein, M. dan I. Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Intention, and
Behavior: An Introduction to Theory and Research. Addison-Wesley, Reading,
Mass.
[6] Gade, Muhammad dan Djamaludin Gade. 1995. Hukum Pajak. Jakarta: LPFE-
UI.
[7] Hajli, M. N. 2013. A Research Framework for Social Commerce Adoption.
Information Management and Compututer Security, Vol. 21, No. 3, pp. 144-154.
[8] Jiang, G., F. Ma, J. Shang, dan P. Y. K. Chau. 2014. Evolution of Knowledge
Sharing Behavior in Social Commerce: An Agent-Based Computational
Approach. Information Science, Vol. 278, pp. 250-266.
[9] Liang, T. P. dan W. Turban. 2011. Introduction to the Special Issue Social
Commerce: A Research Framework for Social Commerce. International Journal
of Electronic Commerce, Vol. 16, No. 2, pp. 5–13.
[10] Marsden, P. 2010. Social Commerce: Monetizing Social Media. Syzygy
Group.
[11] Merdeka. 2013. Di 5 Media Sosial Ini, Orang Indonesia Pengguna Terbesar
Sedunia. http://www.merdeka.com/uang/di-5-media-sosialini-orang-indonesia-
pengguna-terbesardunia.html. Diakses tanggal 8 September 2015.
[12] Mustikasari, Elia. 2007. Kajian Empiris Tentang Kepatuhan Wajib Pajak
Badan Di Perusahaan Industri Pengolahan Di Surabaya. Simposium Nasional
Akuntansi X.
[13] Palil, M Rizal. 2005. Does Tax Knowledge Matter in Self Assessment
System? Evidence from Malaysia Tax Administrative. The Journal of American
Academy of Business. Cambrige. No. 2.
[14] Peslak, A., W. Cecucci, dan P. Sendall. 2010. An Empirical Study of Instant
Messaging (IM) Behavior Using Theory of Reasoned Action. Institute of
Behavioral and Applied Management, pp. 263-278.
[15] Republik Indonesia. 2010. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-
32/PJ/2010 Tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. Jakara: Direktorat Jenderal Pajak.
[16] Republik Indonesia. 2013. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
46 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pajak. [17] Shen, J. dan L. Eder. 2011. An Examination of
Factors Associated with User Acceptance of Social Shopping Websites.
International Journal of Technology and Human Interaction, Vol. 7, No. 1, pp.
19–36.
[18] Sofyan, S. 2003. Sistem Penetapan Pajak (Dalam Kerangka Mencari Sistem
Yang Kondusif). Jurnal Perpajakan Indonesia. Vol 3, hal 28-34.
[19] Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D:
Cetakan Ke-19. Bandung: Alfabeta CV.
[20] Tarjo dan Indra Kusumawati. 2006. Analisis Perilaku Wajib Pajak Orang
Pribadi Terhadap Pelaksanaan Self Asessment System: Suatu Studi di Bangkalan.
JAAI, Vol. 10, No. 1, hal. 101-120.

Anda mungkin juga menyukai