Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Umum
Pengoperasian Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang efisien dapat tercapai
dengan cara semua komponen unit instalasi harus dioperasikan dan dipelihara dengan baik
dan benar, seperti diuraikan di bagian-bagian dari buku petunjuk ini. Daya guna instalasi dan
efisiensi proses pengolahan harus dipantau dan dievaluasi secara menerus

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan penyusunan buku panduan ini adalah sebagai berikut :
- Dengan buku ini diharapkan dapat digunakan sebagai panduan bagi manajer, petugas
teknik jaringan pipa dan para operator pengelola Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja
Kabupaten Natuna dalam rangka pelaksanaan tugas mengoperasikan dan merawat
jaringan pipa pengumpul dan instalasi, sehingga berfungsi secara efektif dan efisien.
- Terkait dengan hal tersebut diatas, maka pelaksanaannya perlu didukung oleh
manajemen pengelolaan instalasi yang memadai, termasuk petugas/operator yang telah
terdidik dan terlatih.

1.3. Ruang Lingkup


Tata cara ini memuat pengertian, ketentuan umum, ketentuan teknis dan cara
pengoperasian dan pemeliharaan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja Sistem Kolam yang
meliputi: Persiapan Pengoperasian, Pelaksanaan Pengoperasian, Pelaksanaan
Pemeliharaan, dan Pelaksanaan Pengendalian.

1.4. Pengertian
Yang dimaksud dengan:
- Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja, yang selanjutnya disebut IPLT adalah instalasi
pengolahan air limbah yang di desain hanya menerima lumpur tinja melalui mobil atau
gerobak tinja (tanpa perpipaan).
- Lumpur tinja adalah seluruh isi tangki septik, cubluk tunggal atau endapan lumpur dari
underflow unit pengolahan air limbah lainnya yang pembersihannya dilakukan dengan
mobil.
- SSC (Solids Separation Chamber) adalah sebagai alternatif pengganti Tanki Imhoff,
sangat sederhana karena hanya mengandalkan proses fisik untuk pemisahan padatan
dari cairan lumpurnya, serta proses sinar matahari untuk desinfeksi dan angin untuk
proses pengurangan kelembaban atau pengeringan.
- Kolam aerasi aerobik ialah unit kolam pengolah air limbah dengan aerasi mekanik
sebagai sumber oksigennya. Intensitas pengadukan tidak menjaga seluruh settleable
solid berada didalam suspensinya

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 1


- Kolam aerasi fakultatif ialah unit kolam pengolah air limbah dengan aerasi mekanik
sebagai sumber oksigennya. Intensitas pengadukan tidak menjaga seluruh settleable
solid berada di dalam suspensi. Sehingga disekitar/pada dasar kolam terdapat endapan
lumpur dengan kondisi anaerobik
- Kolam stabilisasi anaerobik ialah unit kolam pengolah air limbah tanpa adanya
oksigen.
- Kolam stabilisasi fakultatif ialah unit kolam pengolahan air limbah dengan sumber
oksigen dan fotosintesa alga. Tetapi oksigen yang tersedia hanya terdapat dibagian
permukaan kolam
- Kolam maturasi ialah unit kolam pengolah air limbah dengan sumber oksigen dari
fotosintesa alga. Oksigen yang tersedia terdapat di seluruh kedalaman kolam.
- Baku mutu air adalah batas waktu kadar makhluk hidup, zat, energy atau komponen
lainnya yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang adanya
dalam air tertentu sesuai dengan peruntukannya
- Baku mutu limbah cair adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang
ditenggang adanya dalam limbah cair untuk dibuang dari satu jenis kegiatan tertentu.
- Tangki ekualisasi adalah tangki yang didesain untuk menjaga homogenitas debit dan
kualitas ke instalasi pengolahan.
- Kebutuhan oksigen biokimia adalah, yang selanjutnya disebut BOD adalah kuantitas
oksigen yang digunakan dalam oksidasi biokimia terhadap substansi organik dalam
waktu, temperatur, dan kondisi spesifik tertentu.
- Kebutuhan oksigen kimia, yang selanjutnya disebut KOK adalah konsumsi oksigen
dari kontaminan organik/anorganik di dalam air limbah
- Influen adalah aliran air masuk ke suatu system pengolahan air limbah
- Efluen adalah aliran ke luar dari suatu system pengolahan air limbah
- Slot adalah lubang keluarnya endapan lumpur dari dasar zona sedimentasi ke zona
lumpur di dalam tangki imhoff
- Overhang adalah perlengkapan pada dasar zona sedimentasi untuk mencegah
masuknya gas yang terbentuk dari zona lumpur dibawahnya didalam tangki imhoff
- Perangkap lemak adalah unit pengolah air limbah untuk memisahkan lemak dan
minyak dari air limbah
- Peruntukan air adalah status pemanfaatan dan fungsi dari badan air penerima
- Platform adalah unit bangunan pelengkap untuk menampung lumpur tinja pertama air
sebelum dialirkan ke unit pengolahan utama. Platform bisa dibuat khusus, atau
merupakan bagian dari perlengkapan inlet atau sumur pompa.
- Bak pengering lumpur adalah bak yang terdiri dari lapisan porous alami atau buatan
yang menerima lumpur stabil dari underflow unit pengolah air limbah/lumpur tinja untuk
dikeringkan dengan cara drainase dan evaporasi.
- Pencernaan lumpur adalah proses secara biologi, di mana konstituen organik
dikonversi menjadi bahan organik yang lebih stabil oleh mikroorganisme aerobiK atau
anaerobik.
- Supernatan adalah cairan di atas endapan

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 2


- Tangki septik adalah bak kedap air untuk mengolah air limbah, berbentuk empat
persegi panjang atau bundar yang dilengkapi dengan penutup, penyekat, pipa
masuk/keluar dan ventilasi. Fungsinya adalah untuk mengubah sifat-sifat air limbah agar
curahan ke luar dapat dibuang ke tanah melalui resapan tanpa mengganggu lingkungan.
Pengolahan setempat atau komunal banyak menggunakan fasilitas ini.
- Underflow adalah aliran endapan lumpur dari bawah unit pengolah air limbah atau
lumpur tinja ke unit pengolah selanjutnya.
- Pipa pemberi adalah pipa cabang dari pipa pemberi yang disalurkan ke masing-masing
unit bak pengering lumpur.
- Pipa pembuang adalah pipa drainase untuk membuang resapan bak pengering lumpur.
- Waktu detensi adalah waktu tinggal air limbah di dalam unit pengolahan.
- Mobil tinja adalah mobil tangki yang digunakan untuk menguras lumpur tinja yang
membawanya ke IPLT untuk diolah.
- Pengoperasian IPLT adalah serangkaian kegiatan untuk menjalankan fasilitas yang
ada pada IPLT sesuai prosedur manual dari masing-masing unit utama dan pelengkap.
- Pemeliharaan IPLT adalah serangkaian kegiatan untuk menjaga agar setiap fasilitas
yang ada pada IPLT dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
- Pengendalian IPLT adalah serangkaian kegiatan untuk menjaga agar proses yang
berlangsung pada IPLT dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 3


BAB II
KETENTUAN - KETENTUAN

2.1. Umum
Ketentuan-ketentuan umum yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
- Di instalasi dilengkapi dengan gambar bangunan
- Setiap peralatan harus dilengkapi katalog dan daftar operasi dan pemeliharaan
- Air limbah yang diolah adalah lumpur tinja
- Tersedia influen air limbah
- Tersedia fasilitas penyediaan air bersih yang memadai
- Telah diuji coba terhadap pengaliran air (profil hidrolis) dan kebocoran
- Ada penanggungjawab pengolah air limbah yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang
- Tersedia biaya pengolahan yang dialokasikan pada institusi pengelola
- Kegiatan pengoperasian dan pemeliharaan IPLT harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan perundangan pengolahan air limbah dan ketentuan kesehatan dan
keselamatan kerja
- Masyarakat sudah diberi informasi

2.2. Teknis
Pengoperasian dan pemeliharaan IPLT harus memenuhi ketentuan teknis sebagai berikut:
1. Alur proses IPLT dengan system kolam terdiri dari unit bangunan pengolahan atau
pelengkap lainnya yaitu:
- Platform atau tempat pembuangan
- Kantor, Gudang, dan Lab
- Jalan masuk dan jalan operasi
- Sumur monitoring kualitas air tanah
- Fasilitas air bersih
- Alat pemeliharaan dan keamanan
2. Air limbah yang masuk ke instalasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Laju/kapasitas lumpur tinja (cairan dan endapan) = 0.5 L/ (org.hari)
- BOD = 2000-5000 mg/L
- TS = 40000 mg/L
- TVS = 25000 mg/L
- TSS = 15000 mg/L (1) TSS maksimal 3000 mg/L
3. Kualitas influen yang melebihi kualitas seperti pada (2) diperlukan pengenceran dengan
persyaratan:
- Bahan pengencer tinja bisa dengan air sungai atau air pengencer lain dengan BOD
maksimal 10 mg/L
- Unit pengolahan yang memerlukan pengenceran adalah :

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 4


 Influen tangki imhoff dengan kadar minyak dan lemak tinggi
 Influen kolam stabilisasi fakultatif dengan BOD yang melebihi 400 mg/L
4. Kriteria Perencanaan SSC idealnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan
empiris, artinya melalui percobaan dengan menggunakan kolom pengendapan. Namun
apabila tidak memungkinkan, maka kriteria desain adalah sebagai berikut:
- Tebal lapisan pasir (cm): 20 – 30
- Tebal lapisan kerikil (cm): 20 – 30
- Waktu pengisian oleh truk tinja sekitar 5 hari, dengan tinggi lumpur tinja di atas pasir
30 – 50 cm
- Waktu pengeringan (hari): 5-12 (untuk pengendapan, penirisan, dekantasi sampai
tampak memadat dan cukup kering sehingga siap untuk dipindahkan)
5. Kriteria operasional kolam stabilisasi anaerobik
- Permukaan harus tertutup buih
- Beban BOD volumetric 350 g BOD/ (m3.hari)
- Efisiensi pemisahan BOD ≥ 60%
- pH influen = 7-8
- Lumpur harus dikuras secara berkala dengan pompa portable
6. Kriteria operasional kolam stabilisasi fakultatif
- Permukaan air harus berwarna hijau
- Beban BOD volumetric 30 g BOD/ (m3.hari)
7. Kriteria operasional kolam maturasi:
- Beban BOD volumetric = (10-20) g BOD/(m3.hari)
- Efisiensi pemisahan BOD ≥ 70%
- Efisiensi pemisahan E. Coli ≥ 95% (termasuk kolam-kolam sebelumnya)

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 5


BAB III
SISTEM PENGOLAHAN IPLT
KABUPATEN NATUNA

Tujuan dari suatu pengolahan lumpur tinja adalah untuk mencegah masuknya bahan-
bahan pencemar secara berlebihan ke lingkungan. Bahan pencemar utama yang dikandung
oleh lumpur tinja air limbah adalah :
- Bahan padatan yang tersuspensi (suspended solid, SS)
- Bahan organik
- Organisme patogen
Di sisi lain, IPLT juga bermanfaat untuk meningkatkan kinerja tangki septik dalam
mengolah tinja yang dihasilkan setiap rumah tangga, karena tangki septik harus selalu
dikuras secara teratur setiap satu atau dua tahun sekali tergantung dari ukuran yang
digunakan. Dengan tersedianya fasilitas IPLT diharapkan mampu mengurangi pencemaran
lingkungan akibat pembuangan lumpur tinja ke lokasi yang tidak semestinya seperti ke
sungai, sawah atau lahan terbuka lainnya.
IPLT dibutuhkan juga karena fungsi dari tangki septik itu sendiri yang pada prinsipnya
hanya mengendapkan lumpur tinja dan mengalirkan efluennya ke bidang resapan atau
sistem yang lain. Endapan lumpur yang terjadi tentu saja perlu penanganan lebih lanjut,
karena masih banyak mengandung bahan padatan, bahan organik serta bakteri patogen,
cacing serta organisme lain yang dapat menyebabkan berbagai penyakit berbahaya.

3.1. Jenis Pengolahan


Pengolahan lumpur tinja yang diterapkan di Kabupaten Natuna merupakan jenis
pengolahan sistem kolam stabilisasi tanpa menggunakan peralatan mekanis aerator. Unit
pengolahan lumpur tinja di Kabupaten Natuna terdiri dari :
- Bak SSC : 4 unit
- Kolam Anaerobik : 2 unit
- Kolam Fakultatif : 1 unit
- Kolam Maturasi : 1 unit
- Sumur Pantau : 1 unit

3.2. Proses Pada Unit Pengolahan


1. SSC (Solids Separation Chamber)
Sebagai alternatif pengganti Tanki Imhoff, sangat sederhana karena hanya
mengandalkan proses fisik untuk pemisahan padatan dari cairan lumpurnya, serta
proses sinar matahari untuk desinfeksi dan angin untuk proses pengurangan
kelembaban atau pengeringan.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 6


2. Bak Anaerobik
Bak anaerobic adalah bak yang berfungsi untuk menguraikan lumpur tinja dengan
proses anaerobic, yaitu proses penguraian senyawa organik menjadi bentuk yang lebih
sederhana
3. Bak Fakultatif
Bak fakultatif adalah bak yang berfungsi untuk menguraikan kandungan nitrat pada
lumpur tinja dengan proses nitrifikasi.
4. Bak Maturasi
Bak maturasi adalah bak yang berfungsi untuk menguraikan lumpur tinja secara aerobic
yaitu proses penyerapan ultraviolet untuk membunuh bakteri coli yang terdapat dalam
lumpur tinja.
5. Sumur Pantau
Sumur Pantau adalah bak yang berfungsi untuk melihat apakah hasil pengolahan sudah
berjalan sesuai dengan parameter

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 7


BAB IV
SSC DAN DA PADA IPLT

4.1. Umum
Lumpur tinja pada prinsipnya berasal dari akumulasi residu mikroorganisma yang
dihasilkan dari penguraian limbah tinja (black water) dalam septic tank yang berlangsung
selama 2 – 5 tahun, sesuai dengan umur perencanaannya. Karakteristik lumpur tinja ini
berbeda dengan lumpur yang berasal dari IPAL umumnya, karena komposisi bahan organik
yang terkandung di dalamnya adalah bukan berasal dari pencemar organik yang berasal dari
air limbah yang belum terolah, tetapi utamanya berasal dari mikroorganisma sendiri yang
dalam hal ini direpresentasikan sebagai TVSS (total volatile suspended solids).
Sebagian besar mikroorganisma yang berada dalam septic tank telah mengalami
proses pencernaan (digestion) melalui fase endogenous karena tertumpuk secara permanen
di dalam bak septic tank. Artinya lumpur yang berada di bagian bawah septic tank telah
mengalami proses stabilisasi/mineralisasi secara anaerobic yang diakibatkan oleh (1) tidak
adanya mekanisme pengadukan dalam septic tank sehingga mikroorganisma yang berada
dalam dasar bak septic tank tidak akan mampu mendapatkan makanan segar (black water),
(2) terjadinya proses endogenous, dalam hal ini mikroorganisma menguraikan cadangan
organik dirinya sehingga mengalami penyusutan dalam volume serta terjadi proses konversi
dari organik menjadi anorganik (mineralisasi).
Karena itu, pengolahan lumpur tinja lebih fokus pada upaya:
1. Memisahkan air limbah (zat padat terlarut, dissolved solids atau TDS) dari padatannya
(zat padat tersuspensi atau TSS), agar cairan yang masih mengandung bahan
pencemar organik dapat diolah secara khusus dengan menggunakan sistem
pengolahan air limbah.
2. Melakukan pengolahan pada padatan (TSS) yang berhasil dipisahkan, dengan cara
mengupayakan agar padataan yang mayoritas terdiri dari mikroorganisma yang sedang
mengalami mineralisasi aman dibuang ke lingkungan.
Secara teknis, proses stabilisasi padatan yang mengandung banyak mikroorganisma
dapat dilakukan dengan berbagai alternatif. Mikroorganisma akan mengalami kematian
akibat (Gambar 1):
1. Suhu yang tinggi, melalui pemanasan agar mikroorganisma tidak mampu bertahan
2. Waktu yang cukup lama untuk membiarkan mikroorganisma tanpa makanan, disebut
juga proses pengeraman (digestion)
3. Ultraviolet, yang berasal dari sinar matahari, apabila terpapar cukup lama akan
menyebabkan kematian mikroorganisma
4. Kekeringan/kelembaban, pengaturan kadar air dalam padatan akan mempengaruhi
kemampuan survival mikroorganisma.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 8


Biomassa
Total

Waktu

Gambar 4.1 Tingkat survival mikroorganisma dalam perjalanan waktu

Dengan pengalaman bahwa operator di Indonesia kesulitan dalam memahami OM


Tanki Imhoff, maka terdapat alteratif pengolahan, yaitu proses penyinaran dan pengeringan
sinar matahari, dengan membangun SSC (Solids Separation Chamber) dan DA (Drying
Area) sebagai alternatif pengganti Tanki Imhoff.

4.2. Prinsip Kerja Proses SSC dan DA


Prinsip kerja SSC dan DA, sebagai alternatif pengganti Tanki Imhoff, sangat
sederhana karena hanya mengandalkan proses fisik untuk pemisahan padatan dari cairan
lumpurnya, serta proses sinar matahari untuk desinfeksi dan angin untuk proses
pengurangan kelembaban atau pengeringan.
- SSC (Solids Separation Chamber)
Fungsi: Memisahkan fraksi padatan (TSS) dari fraksi cairan dalam lumpur tinja, secara
fisik. Lumpur tinja yang dihamparkan secara merata di atas media SSC akan mengalami
pemisahan, antara padatan di bagian bawah dan cairan di bagian atas. Disamping itu,
sebagian carian dapat terpisah dari lumpur tinja melalui proses perembasan media SSC
sehingga kemudian dapat disalurkan bersama cairan yang telah dipisahkan di bagian atas
lumpur tinja, untuk diolah bersama lebih lanjut dalam unit IPAL. Sementara padatan yang
telah mengalami penirisan akan dikeringkan lebih lanjut di unit DA. Padatan yang
terakumulasi ini pada dasarnya sudah cukup kering, karena dalam hal ini dipisahkan
dalam waktu 5-10 hari tapi belum cukup kering untuk diaplikasikan untuk pembuangan
lingkungan.
- DA (Drying Area)
Drying area, merupakan proses pengeringan padatan lumpur yang sudah setengah kering
dan sekaligus proses desinfeksi mikroorganisma yang masih terkandung dalam lumpur
melalui sinar matahari (ultra violet). Proses pengeringan ini pada dasarnya dihitung
berdasarkan koefisien laju kematian mikroorganisma, yang apabila dihitung berada pada
kisaran

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 9


Kolam Kolam Kolam
Anaerobik Fakultatif Anaerobik

Supernatan/carian

Lumpur
Tinja SSC Badan Air
Penerima
Endapan
Padatan
Drying
Hanggar
Area
Kompos

Gambar 4.2 Diagram aliran penggunaan SSC dan DA pada sebuah IPLT

4.3. Kriteria Perencanaan SSC


Perencanaan SSC idealnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan empiris,
artinya melalui percobaan dengan menggunakan kolom pengendapan. Namun apabila tidak
memungkinkan, maka kriteria desain adalah sebagai berikut:
- Tebal lapisan pasir (cm): 20 – 30
- Tebal lapisan kerikil (cm): 20 – 30
- Waktu pengisian oleh truk tinja sekitar 5 hari, dengan tinggi lumpur tinja di atas pasir 30
– 50 cm
- Waktu pengeringan (hari): 5-12 (untuk pengendapan, penirisan, dekantasi sampai
tampak memadat dan cukup kering sehingga siap untuk dipindahkan)

4.3.1. Perhitungan Perencanaan dan Skenario Operasional SSC


1. Q desain lumpur tinja: 5 m3/hari;
2. Rencana pengisian lumpur tinja ke dalam bak SSC: 7 hari;
3. Rencana proses stabilisasi lumpur tinja yang terendapkan di dalam bak SSC selama 12
hari;
4. Rencana pengurasan/pengambilan lumpur terendapkan yang sudah menjadi cake dari
dalam bak SSC ke dalam bak Drying Area: 9 hari;
5. Dengan waktu tunggu selama 15 hari tersebut, maka dibutuhkan tambahan bak SSC
sebanyak 3 bak ekstra, sehingga total bak SSC adalah 4 bak. Perhitungannya adalah 1
bak mengisi 7 hari, waktu operasional sampai bak kosong kembali perlu 15 hari,
sehingga diperlukan 3 bak ekstra @ 7 hari untuk pengisian lumpur tinja selama 15 hari.
Sehingga bak SSC yang pertama akan kembali diisi dengan siklus waktu 15 hari, atau
setelah bak keempat terisi penuh.
6. Asumsi yang digunakan dalam menetapkan laju pengendapan lumpur tinja di dalam
SSC adalah 20%/hari, sehingga Q lumpur terendapkan di dalam SSC adalah 20% x 5
m3/hari = 1 m3/hari;

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 10


7. Dengan operasi waktu pengisian adalah 7 hari, maka volume endapan total dalam SSC
ini adalah 1 m3/hari x 7 hari = 7 m3. Apabila ketinggian maksimum endapan lumpur
adalah 60 cm, maka luas bak SSC adalah (5 m3/0,6 m =) 8.3 m2.
8. Skema pengisian lumpur tinja dan debit lendapan di dalam SSC:
- Hari ke-1: Pengisian lumpur tinja 5 m3/hari, 20% mengendap, jadi yang terendapkan
1 m3/hari; tinggi endapan = 0,24 m
- Hari ke-2: Pengisian lumpur tinja 5 m3/hari, 20% mengendap, jadi yang terendapkan
1 m3/hari; tinggi endapan = 0,24 m
- Hari ke-3: Pengisian lumpur tinja 5 m3/hari, 20% mengendap, jadi yang terendapkan
1 m3/hari; tinggi endapan = 0,24 m
- Hari ke-4: Pengisian lumpur tinja 5 m3/hari, 20% mengendap, jadi yang terendapkan
1 m3/hari; tinggi endapan = 0,24 m
- Hari ke-5: Pengisian lumpur tinja 5 m3/hari, 20% mengendap, jadi yang terendapkan
1 m3/hari; tinggi endapan = 0,24 m
- Hari ke-6: Pengisian lumpur tinja 5 m3/hari, 20% mengendap, jadi yang terendapkan
1 m3/hari; tinggi endapan = 0,24 m
- Hari ke-7: Pengisian lumpur tinja 5 m3/hari, 20% mengendap, jadi yang terendapkan
1 m3/hari; tinggi endapan = 0,24 m

Jadi volume lumpur yang terendapkan dalam zone pengendapan SSC (di bagian bawah bak
SSC) selama 7 hari pengisian lumpur tinja ke dalam bak SSC adalah 7 m3 dan tinggi total
endapan 1.67 m.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 11


TABEL 4.1. OPERASIONAL HARIAN SSC PADA IPLT

Waktu
SSC Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
Bak 1:
Pengisian
Stabilisasi
Pengeringan
Pengurasan
Bak 2:
Pengisian
Stabilisasi
Pengeringan
Pengurasan
Bak 3:
Pengisian
Stabilisasi
Pengeringan
Pengurasan
Bak 4:
Pengisian
Stabilisasi
Pengeringan
Pengurasan

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 12


4.3.2. Hasil Perencanaan SSC
1. Jumlah bak SSC sebanyak 4 bak
2. Volume per bak SSC adalah 5 m3, maka dimensi dari setiap bak SSC tersebut adalah :
- Ketinggian supernatan : 0,4 m;
- Ketinggian lumpur terendapkan : 0.6 m;
- Ketebalan media : 0,4 m;
- Freeboard : 0,3 m;
- Kedalaman total: 1.6 m;
- Panjang : 7 m
- Lebar : 1.3 m.
3. Zone pengendapan (settling zone) didesain dengan dasar turunan dengan kemiringan
sekitar 30o.
4. Beberapa unit pelengkap unit SSC:
- Zone inlet, berupa screen stainless.
- Atap penutup dari Zincalum untuk pelindung proses pengeringan terutama pada saat
musim hujan.

4.4. Detail Perencanaan Drying Area


Perencanaan Drying Area dilakukan dengan menggunakan kriteria desain berikut:

Drying Area konvensional berbentuk persegi panjang

waktu pengeringan cake pd DA = 7 - 15 hari ≈ 12 hari


waktu pengambilan cake matang = 1 hari
ketebalan cake = 10 - 30 cm ≈ 30 cm
tebal lapisan pasir = 15 - 30 cm ≈ 20 cm
Kadar air (P) = 20 %
Kadar solid (Pi) = 80 %

3.2.2. Data Perencanaan


Vol. lumpur 7 hari pengisian SSC tiap bak SSC = 7 m3
Volume solid = 80 % x Volume lumpur
= 5,6 m3
Volume air = Volume lumpur - volume solid
= 2.6 m3
3.2.3. Hasil Perencanaan
Direncanakan 1 unit Drying Area menampung cake dari 2 bak SSC
Estimasi cake pada unit Drying Area (1 bed/1 bak)
Volume lumpur kering (cake) dari 1 SSC : 2.6 m3
Direncanakan ketebalan cake = 0.3 m
Maka kebutuhan lahan per bak drying area = 160 m2

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 13


Lebar bak = 2.20 m
Panjang bak = 8.60 m
Freeboard = 0.10 m
1 Unit Drying Area direncanakan terdiri dari 2 bak supaya dapat dilakukan operasional secara
bergantian

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 14


BAB V
PENGOPERASIAN SISTEM IPLT

5.1. Umum
Pengoperasian IPLT adalah pelaksanaan operasi pengolahan limbah pada IPLT
mulai start up sampai dengan kondisi siap untuk dioperasikan. Peralatan pendukung telah
siap untuk berjalan secara baik dan normal. Operasi normal diartikan apabila aliran dalam
instalasi sudah berlangsung secara kontinu dan teratur. Sedangkan pemeliharaan adalah
upaya menjaga unit-unit instalasi agar dapat berjalan sesuai dengan fungsinya dengan baik.
Secara umum maksud dan tujuan kontrol sistem operasi dan proses IPLT antara lain
sebagai berikut :
1. Untuk memberikan gambaran kepada pelaksanaan operasional atau petugas lapangan
terhadap kekurangan kinerja operasional IPLT dan bagaimana cara memperbaiki
kekurangan tersebut.
2. Sebagai pertanggungjawaban dan kontrol atas pelaksanaan operasional IPLT.
3. Sebagai bahan pengawasan/pengendalian pelaksanaan operasional IPLT.
4. Sebagai informasi data dalam usaha memperbaiki atau mengembangkan rencana
semula.
5. Memastikan konsentrasi beberapa parameter penting efluen air olahan IPLT agar
memenuhi standar baku mutu efluen yang berlaku.
6. Memeriksa konsentrasi beberapa parameter penting efluen air olahan IPLT berada
dalam batas kemampuan pengolahan IPLT sehingga tidak terjadi shock
loading/kelebihan beban pengolahan.
7. Memantau kapasitas influen dan efluen air olahan IPLT.
Memantau pengaruh-pengaruh operasi IPLT terhadap lingkungan seperti masalah lalat,
bau, pencemaran tanah dan air.
Pengendalian sistem harus meliputi kegiatan – kegiatan sebagai berikut :
a. Pantau performans dan kendala proses setiap unit bangunan pengolahan IPLT,
dengan cara berikut:
- Pengambilan sampel
- Pengujian
- Evaluasi hasil pengujian sampel
- Identifikasi permasalahan dan penanganannya
b. Pantau operasional mobil tinja
c. Pantau pengujian kualitas dan kuantitas air limbah pada instalasi

5.2. Material dan Peralatan yang Digunakan


Peralatan dan material yang digunakan untuk pemeliharaan permukaan kolam
stabilisasi, antara lain : perahu atau sampan kecil, kait dengan tongkat yang panjang dan
pompa portable.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 15


Sedangkan untuk pemeliharaan tanggul dan area sekitar kolam stabilisasi, antara
lain: sekop, korek api, kapak, alat pemotong rumput, gerobak, kawat screen, paku, palu,
pemotong besi/kawat, alat penanda, sarung tangan dan sepatu dari karet.

5.3. Pengoperasian Awal IPLT (Start Up)


Persiapan Pengoperasian IPLT meliputi:

5.3.1. Pengujian Kolam Stabilisasi Anaerobik


Uji coba Kolam Anaerobik dilakukan melalui langkah langkah sebagai berikut ini :
1. Masukkan lumpur tinja hingga penuh. Selama pengisiaan perlu diperhatikan agar tidak
terjadi pergoalakan aliran.
2. Jaga derajat keasaman lumpur sesuai ketentuan teknis
3. Tambahkan bibit mikroorganisme (dapat berupa buangan resapan septik tank atau
lumpur stabil dari unit digester dari sistem pengolahan air limbah konvensional).
4. Biarkan selama seminggu agar bakteri pembentuk asam dapat tumbuh dan berkembang
atau sebulan jika tidak dilakukan penambahan bibit. Selama waktu tersebut tidak boleh
ada aliran yang keluar (efluen). Untuk sementara aliran air limbah masuk dapat di
bypass ke saluran yang dekat yang direncanakan. Setelah waktu tersebut,
pengoperasian rutin dapat dilakukan dimana air limbah dapat dialirkan secara kontinyu
dan efluen dapat dibuka.
5. Amati perkembangan endapan lumpur yang terjadi dengan mencatat kenaikan endapan
lumpur untuk setiap penambahan lumpur tinja (m/m3).
6. Ambil sampel endapan lumpur terbawah setelah ketebalan lumpur mencapai zona
netral.
7. Lakukan analisis kandungan BOD dan SS dari sampel endapan lumpur.

5.3.2. Pengujian Kolam Stabilisasi Fakultatif


Uji coba kolam fakultatif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Metode Kultur
a. Isikan air tawar biasa ke dalam kolam sesuai ketinggian yang ditetapkan
b. Tambahkan kultur alga sebagai bibit
c. Jaga ketinggian permukaan air setiap hari dengan menambah air limbah baku
secukupnya ke dalam kolam.
d. Setelah pertumbuhan alga cukup banyak (beberapa hari kemudian), sejumlah air
limbah baku perlu ditambahkan ke dalam kolam hingga kedalaman operasi yang
direncanakan.
e. Biarkan selama 2 – 3 hari tanpa adanya pengaliran efluen
f. Kolam siap dioperasikan secara kontinyu dengan mengalirkan air limbah baku
secara terus menerus dan membuka outlet

2. Metode Alami
a. Isikan air limbah baku ke dalam kolam hingga mencapai kedalaman operasi penuh
b. Biarkan selama 15 hari agar terjadi pembibitan secara alamiah

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 16


c. Biarkan selama 15 hari lagi, atau hingga jumlah alga yang terdapat di dalam kolam
sesuai dengan ketentuan
d. Kolam siap dioperasikan secara kontinyu

5.3.3. Pengujian Kolam Maturasi


1. Isikan air tawar biasa ke dalam kolam maturasi
2. Unit kolam maturasi pertama dapat menerima langsung efluen kolam fakultatif yang
telah di uji coba. Dalam hal ini lokasi outlet kolam fakultatif agar dibuat sedemikian rupa
sehingga banyak alga yang lolos ke kolam maturasi
3. Kolam maturasi siap dioperasikan secara kontinyu dengan beban pengolahan sesuai
perancangan yang disusun

5.3.4. Pengujian Bak Pengering Lumpur


1. Curahkan lumpur sisa pengolahan dari imhoff tank dan unit lainnya hingga ketebalan
yang diisyaratkan, dengan mengatur bukaan katup bila aliran gravitasi tersedia, atau
dengan menghidupkan pompa.
2. Biarkan mengering selama (7 – 10 hari) atau hingga kadar air mencapai ketentuan
teknis yang ditetapkan

5.4. Pemeliharaan Kolam Stabilisasi Saat Beroperasi


Pemeliharaan kolam stabilisasi saat beroperasi sangat tergantung pada beberapa
kondisi, seperti : cuaca, volume atau debit aliran harian, suhu air dan angin yang
menyebabkan kondisi yang tidak diinginkan pada permukaan kolam, seperti : pertumbuhan
alga, lapisan scum dan lumpur yang mengambang.

5.4.1. Kolam Pengumpul


1. Setiap truk tanki tinja yang masuk ke IPLT membawa tinja harus melalui petugas
registrasi guna dicatat volume, jenis dan sumbernya serta tanggal waktu pemasukan.
Petugas berkewajiban menolak isi tanki truk yang dibawa dan akan diproses di IPLT bila
tidak sesuai ketentuan
2. Truk akan menyalurkan lumpur melalui bak penangkap sekaligus dilakukan
pengenceran pada saat pengaliran
3. Truk tanki tinja membuang isi tangki tinja ke dalam bak penampungan
4. Dilakukan pengenceran pada bak penampung dengan banyaknya air pengencer 1 m3
setiap kali pembuangan lumpur dari truk tinja
5. Debit yang seharusnya masuk berkisar antara 6 – 15 m3/hari

5.4.2. Kolam Anaerobik


Pemeliharaan unit kolam anaerobik antara lain
1. Air buangan tinja mengalir menuju bak anaerobik
2. Permukaan kolam harus tertutup buih atau scum

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 17


Lapisan scum biasanya terbentuk pada permukaan kolam anaerobik. Lapisan scum
berfungsi untuk mencegah terjadinya kontak dengan udara dan mencegah penetrasi
matahari sehingga mencegah terjadinya proses aerob.
3. Pembersihan rutin scum
Terkadang scum menyebabkan bau dan menjadi sarang dan bertelurnya serangga,
sehingga perlu pembersihan rutin dengan menggunakan semprotan air atau dengan
menyingkirkan dengan menggunakan pengeruk.
4. Pembersihan kolam secara rutin dari sampah-sampah agar tidak mengganggu proses
pengolahan.
5. Pengurasan lumpur menggunakan pompa air portable secara berkala.

5.4.3. Kolam Fakultatif


1. Buangan tinja selanjutnya mengalir menuju bak fakultatif dan berada dalam bak
fakultatif.
2. Pemeliharaan unit kolam fakultatif antara lain :
a. Pembersihan kolam secara rutin dari sampah-sampah yang terdapat di kolam
b. Pengontrolan jumlah alga yang terdapat pada permukaan kolam agar tidak
menutupi seluruh permukaan.
Alga dapat tumbuh dengan cepat di permukaan kolam sehingga dapat menutupi
penetrasi sinar matahari ke kolam sehingga dapat mengganggu proses aerob di
permukaan kolam dan dapat menyebabkan proses di kolam fakultatif menjadi
anaerob.
c. Pembersihan alga yang telah mati
Alga yang telah mati dapat membentuk lapisan alga yang mengalami pembusukan
dan bau. Untuk menghilangkan gumpalan atau lapisan alga ini diperlukan
semprotan air atau dilakukan pengumpulan dengan menggunakan pengeruk. Untuk
menyingkirkan lapisan pada bagian tengah dapat dilakukan dengan menggunakan
sampan.
d. Pengurasan kolam apabila terdapat lumpur yang mengendap.

5.4.4. Kolam Maturasi


Selanjutnya buangan tinja mengalir menuju bak maturasi untuk pemrosesan akhir
dan berada dalam bak maturasi
Pemeliharaan unit kolam maturasi antara lain
1. Pembersihan kolam secara rutin dari sampah-sampah yang terdapat di kolam agar tidak
mengganggu proses pengolahan.
2. Dilakukan pengurasan kolam apabila terdapat lumpur yang mengendap agar terjadi
penetrasi matahari dan kontak dengan udara (oksigen) sampai ke dasar kolam sehingga
proses aerob dapat terjadi
3. Selain itu untuk mengetahui kondisi kolam dalam keadaan baik atau tidak, dapat dilihat
dari warna air dalam kolam, sebab tiap tipe kolam mempunyai warna spesifik jika dalam
kondisi sistem baik dan seimbang. Sehingga jika warna kolam tidak sesuai dengan
kondisi ini maka perlu dilakukan pengecekan kondisi kolam stabilisasi, seperti

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 18


pengecekan parameter biologis dan kimianya. Adapun warna kolam dalam kondisi stabil
adalah sebagai berikut :
a. Anaerobik berwarna hitam kecoklatan
b. Fakultatif berwarna hijau atau hijau kecoklatan
c. Maturasi berwarna hijau
d. Ketebalan lumpur diatas pasir pada bak pengering lumpur adalah 30 – 40 cm
e. Waktu pengambilan lumpur kering tiap bak pengering lumpur dilakukan 7 – 12 hari
f. Pengambilan lumpur yang telah kering disertai penambahan pasir dengan ketebalan
15 cm
g. Untuk pemeliharaan dilakukan pengurasan tiap unit pengolahan dengan
menyisakan 1/3 bagian lumpur sebagai starter
h. Pemantauan kualitas Oksigen terlarut (DO) harian meliputi:
1) DO kolam anaerob = 0 mg/l
Jika DO > 0 mg/l maka check lapisan scum, permukaan kolam harus tertutup
lapisan scum dengan ketebalan 30 – 40 cm.
2) DO kolam fakultatif = 0.5 mg/l (zona anaerob) – 2 mg/l (zona aerob)
Jika DO permukaan kolam < 2 mg/l maka perlu dilakukan pengadukan kolam
atau pengurasan endapan lumpur.
3) DO kolam maturasi = 2 – 4 mg/l
Jika DO kolam < 2 mg/l maka perlu dilakukan pengadukan kolam atau
pengurasan endapan lumpur.

5.4.5. Bak Pengering


Dalam bak pengering lumpur, endapan lumpur yang dihasilkan tergantung pada
kadar air yang terkandung dan kondisi iklim waktu pengeringan. Ketebalan lapisan lumpur
yang dikeringkan, kondisi iklim dan waktu penyinaran oleh matahari (alamiah) sangat
berpengaruh terhadap waktu pengeringan.
Kelembaban lumpur yang tidak begitu tinggi menyebabkan lumpur cepat kering,
sehingga pemindahan keluar lebih sering dilakukan, secara langsung berpengaruh terhadap
frekuensi pengangkutan yang menyebabkan adanya penambahan biaya pada lapisan
lumpur yang tebal. Ketika waktu pembongkaran dilakukan sebagian pasir ikut terbuang
sehingga lama kelamaan makin berkurang. Oleh karena itu dianjurkan ketebalan pasir
antara 10 – 30 cm, tetapi tergantung pada pengalaman operator di daerah masing-masing.
Sebagai ilustrasi, pada hari pertama pengeringan banyak air lumpur yang mengalir
melalui parit (drains), sedangkan pada hari berikutnya kandungan air lumpur berkurang
sedikit demi sedikit akibat penguapan (evaporasi). Untuk itu diperlukan waktu yang cukup
lama untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Prosedur pemeliharaan dan pengoperasian bak pengendap adalah sebagai berikut:
1. Cek secara rutin (minimal 2 hari sekali) kondisi bak pengendap, jika lumpur sudah cukup
banyak maka perlu dilakukan pengurasan lumpur. Untuk menandai kondisi bak
pengendap dapat dilihat supernatan jika telah banyak lumpur yang terikut maka perlu
dilakukan pengurasan.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 19


2. Jika pengurasan berdasarkan periode waktu maka minimal satu minggu sekali lumpur di
bak pengendap harus dikuras untuk dibuang ke bak pengering lumpur.
3. Pengecekan rutin dan pembuangan sampah yang mengambang di bak pengendap

5.5. Pengambilan Lumpur


Selama tahun pertama pertama, lumpur akan terakumulasi pada dasar kolam dan
mengalami proses degradasi biologi, meskipun demikian akumulasi lumpur di kolam dengan
adanya degradasi biologis menjadi sangat kecil. Namun demikian pengecekan kedalaman
lumpur harus dilakukan tiap tahun. Jika ternyata kedalaman lumpur lebih dari sepertiga
kedalaman yang direncanakan akan mengganggu proses biologis yang ada dan dapat
menutupi pipa inlet. Sehingga kolam perlu dilakukan pengurasan lumpur. Seberapa sering
pengurasan dilakukan tergantung dari kondisi lokal dan jenis kolam stabilisasi.
Frekuensi pemompaan lumpur ini harus diperhitungkan konsentrasi lumpur yang
akan dipompakan, diusahakan konsentrasi lumpur yang akan dipompakan ke unit
pengolahan lumpur tidak lebih dari 5%, sehingga beban pompa tidak terlalu berat. Selain itu
frekuensi pemompaan juga tergantung dari jumlah lumpur yang masuk dan volume dari bak
pengumpul. Semakin besar jumlah lumpur yang masuk maka frekuensinya juga semakin
pendek.
Pendekatan frekuensi pengurasan lumpur di masing-masing kolam sebagai berikut:
- Anaerobik frekuensi pengurasan adalah 1 bulan
- Fakultatif frekuensi pengurasan adalah 3 bulan
- Maturasi frekuensi pengurasan hampir tidak perlu dilakukan

5.5.1. Prosedur Pengecekan Kedalaman Lumpur


Pengecekan kedalaman lumpur dilakukan tiap minggu untuk kolam anaerob dan dua
minggu sekali untuk kolam fakultatif dan satu bulan sekali untuk kolam maturasi, yang diukur
di dekat outlet kolam. Alat ukur dapat berupa kayu yang dililit tali kain warna cerah
sepanjang 1 m. Tongkat dibenamkan ke dasar saluran, setelah beberapa menit tongkat
diangkat sehingga dari partikel lumpur yang tertinggal di kain dapat diukur kedalaman lumpur
di dalam kolam. Jika kedalaman lumpur kurang dari sepertiga kedalamam kolam maka
tindakan pengurasan lumpur masih dapat ditunda, namun jika kedalaman telah melebihi
maka perlu dilakukan pengurasan.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 20


Gambar 5.1 Pengukuran Kedalaman Lumpur

5.5.2. Prosedur Pengurasan Kolam


Penguasan lumpur di pompakan kembali ke SSC sehingga supernatant lumpur
kembali masuk ke kolam anaerobik.

Tabel V.1
Kegiatan Kontrol Visual Yang Biasa Dilakukan

Periode Kontrol
No Unit IPLT Kontrol Visual
Visual
1 Screen - Timbul korosi pada kisi-kisi screen yang Setiap hari
terbuat dari stainless
- Jarak screen yang terlalu rapat
menimbulkan lebih banyak sampah yang
tertahan, begitu pula sebaliknya
- Sampah organik yang tertahan lama
kelamaan akan berdompesisi dan
menimbulkan bau
- Pasir dan lemak yang tertahan di 1 hari sekali
penyaringan
2 Kolam stabilisasi - Timbul endapan lumpur pada kolam 1 minggu sekali
stabilisasi akibat pipa tersumbat
- Timbulnya lumut pada dinding 1 minggu sekali
- Tumbuhan/rumput yang tumbuh pada 1 minggu sekali
tanggul kolam
3 Kolam pengering - Ketebalan lumpur di dalam harus berada 1 minggu sekali
lumpur pada level  0.3 meter
- Dinding kolam, melekatnya lumpur dan 1 bulan sekali
lumut pada dinding kolam dapat
dilakukan dengan cara pembersihan

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 21


Periode Kontrol
No Unit IPLT Kontrol Visual
Visual
- Untuk pengecatan
- Under-drain jangan tersumbat
Sumber : NSPM - Direktorat PPLP, Direktorat Jenderal Cipta Karya - Departemen Pekerjaan Umum

5.6. Proses Loading Lumpur dari Truk Tinja


Proses loading atau pengurasan lumpur tinja dari truk tinja dilakukan di depan bak
pengumpul atau SSC. Prosedur loading adalah sebagai berikut :
1. Setelah truk benar-benar berhenti pada lokasi untuk pembuangan maka selang dari truk
tangki diarahkan atau diposisikan pada screen atau saringan yang ada di bagian depan
bak pengumpul.
2. Setelah posisi selang benar maka katup pada tangki dibuka untuk mengalirkan lumpur
ke bak pengumpul melalui penyaring sehingga sampah-sampah yang mungkin terikut
dalam lumpur dapat tersaring sebelum masuk ke bak SSC sesuai jadwal .
3. Diusahakan dalam pengurasan isi tangki aliran tidak terlalu deras sehingga tidak
menyebabkan air limbah atau lumpur muncrat.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 22


BAB VI
EVALUASI SISTEM IPLT

Evaluasi terhadap efisiensi sistem yang berjalan di IPLT dilaksanakan secara harian
dan bulanan, dengan melakukan sampling influen pada inlet pengolahan dan efluen pada
outlet pengolahan.

6.1. Evaluasi Harian


Evaluasi harian dengan melakukan :
- Sampling pada inlet dan outlet sistem pengolahan IPLT dilakukan oleh Petugas IPLT.
- Sampling dilakukan untuk pengecekan terhadap parameter pH dan suhu.

6.2. Evaluasi Bulanan


Evaluasi harian dengan melakukan :
- Sampling pada inlet dan outlet sistem pengolahan IPLT dilakukan oleh Petugas IPLT.
- Sampling dilakukan untuk pengecekan terhadap parameter total baku mutu air limbah
tinja (DO, BOD, COD, TSS, pH, Suhu, Alkalinity, NH3, NO2, NO3, P, S, Mikrobiologi).

6.3. Kontrol Parameter Penting Kualitas Air Limbah


Ada beberapa macam parameter yang penting diketahui untuk menilai kualitas air
limbah. Parameter-parameter ini dikelompokkan sebagai berikut:

6.3.1. Parameter Fisik


Parameter fisik terkait dengan kualitas air limbah dikelompokkan sebagai berikut :
1. Temperatur
Temperatur air sangat dipengaruhi oleh sinar matahari dan suhu udara. Selain itu juga
berhubungan dengan oksigen dan kandungan garam-garam terlarut dan temperatur air
ini berpengaruh terhadap tumbuhan bakteri serta organismenya.
2. Zat (padat) tersuspensi (suspended solid – SS)
SS dapat ditentukan dengan metode filter kertas, glass filter dan sebagainya.
Penentuan dilakukan dengan cara menyaring larutan dan penimbang berat residunya
setelah sebelumnya dikeringkan di oven.
3. Transparansi
Transparansi merupakan derajat ‘kebeningan’ dari suatu sampel. Sampel dimasukkan
ke dalam transparansi meter dan kemudian diamati langsung dari atas. Batas tinggi air
dimana terlihat dua garis bersilang di dasar gelas menunjukkan ukuran transparansi.
Tinggi 10 mm menunjukkan sebagai satu derajat. Ukurannya berkisar 1 – 30 derajat.
Seringkali transparansi ini berhubungan dengan suspended solid, BOD dan COD serta
dapat dipergunakan sebagai sarana pada proses pengolahan dan sangat mudah
mengujinya serta dapat dipergunkaan untuk menentukan jumlah sampel untuk
pengujian BOD dan COD.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 23


6.3.2. Parameter Kimia
Parameter kimia terkait dengan kualitas air limbah meliputi :
1. pH
Nilai pH menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan, melalui aktifitas ion
hidrogen. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik dan dapat diandalkan, analisa pH
perlu segera dilaksanakan di tempat. Apabila tidak memungkinkan, sampel dapat
dibawa tanpa pengawetan bahan kimia dengan suatu botol tertutup dan volume penuh.
Hal ini untuk mencegah perubahan komposisi terutama karbon dioksida.
2. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO)
Oksigen yang memadai sangat penting bagi kehidupan ikan dan organisme akuatik
lainnya termasuk bakteri aerobik (bakteri yang hidupnya membutuhkan oksigen). Karena
itu penyediaan oksigen diperlukan bagi pengolahan air limbah dan kehadiran oksigen di
efluen sangat penting bagi kuantitas air di permukaan. Kelarutan oksigen di dalam air
minum berhubungan dengan tekanan atmosfir dan disebut ‘saturation’ dan titik jenuhnya
dipengaruhi oleh temperatur air.
3. Biological Oxygen Demand (BOD)
Pemeriksaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organis dengan oksigen di dalam
air dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerobik. Sebagai hasil
oksidasi tersebut akan terbentuk karbon diokasida, air dan amoniak. Angka BOD adalah
jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan hampir semua zat
organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organis yang tersuspensi dalam air. Makin
tinggi angka BOD, makin banyak bahan pencemaran yaitu zat organis yang dikandung
pada air buangan tersebut.
4. Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen yang dikonsumsi. Untuk
menguraikan bahan-bahan organik dengan pemanasan larutan asam potasium
dichromate (kalium dikromat). Oksigen yang digunakan adalah ekivalen dengan bahan
organik yang ada dalam sampel. Pengukuran ini penting dan dengan cepat dapat
menentukan suatu karakteristik efluen hasil pengolahan.
5. Perbandingan BOD dan COD
Angka perbandingan BOD dan COD yang kecil menunjukkan atau memberi adanya
indikasi adanya substansi yang tidak dapat diuraikan ataunya adanya zat-zat yang
bersifat racun bagi mikro organisme. Tetapi harus diperhatikan bahwa efluen hasil
pengolahan air limbah secara biologi yang dioperasikan dengan baik, mungkin
mempunyai perbandingan BOD/COD 0.1 atau lebih kecil lagi. Hal ini memperlihatkan
bahwa selama pengolahan hampir semua bahan-bahan organik teruraikan dan
prosesnya telah selesai dan dalam air limbah domestik tinggal sedikit organik yang tidak
teruraikan.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 24


6.3.3. Parameter Biologi
Organisme yang umumnya digunakan sebagai indikator adanya pencemaran tinja
adalah coliform sebagai keseluruhan dan khususnya Eschericia Coli (E. Coli). Bakteri
coliform ada di tinja dan dalam jumlah yang besar. Berbagai studi telah dikembangkan
untguk menentukan pencemaran tinja dan dinyatakan bahwa metode penentuan total
coliform adalah cara yang tradisional. Terutama hal ini bila digunakan untuk penelitian
pencemaran air maupun sistem pengolahan air limbah manusia.
Indikator lain yang digunakan juga sebagai petunjuk adanya pencemaran tinja adalah
kelompok bakteri yang disebut faecal stroptococci (stroptococci tinja). Faecal strerepocci
mampu hidup dalam waktu yang cukup lama dibandingkan dengan faecal coliform di
lingkungan tetapi jumlahnya tidak banyak seperti di tinja manusia. Pencemaran air limbah
domestik mungkin dapat dibedakan dari pencemaran karena tinja binatang. Dengan
menggunakan perbandingan faecal coliform: faecal streptococcus, tinja manusia dan air
limbah domestik faecal coliformnya 4 kali lebih banyak daripada faecal streptococci.

6.4. Pengumpulan Sampel


6.4.1. Metode Sampling
Hasil setiap analisa hanya akan bernilai apabila sampel tersebut memang mewakili
air limbah yang akan diuji. Permasalahannya bila mengambil sampel pada suatu aliran yang
besar, khususnya bila laju suatu aliran bervariasi menurut waktu dan air tersebut
mengandung berbagai material yang berbeda sifat-sifatnya baik fisika maupun kimiawi.
1. Grab sample (sampel sesaat)
Sampel sesaat adalah tipe sampel yang sederhana, yang mewakili keadaan aliran air
pada suatu saat dari suatu tempat. Tetapi meskipun sampel pada saat ini dianggap
telah mewakili, biasanya diperlukan pengambilan sampel beberapa kali pada waktu
yang sama agar hasilnya dapat diandalkan.
2. Composite sample
Sampel-sampel individu dapat dikombinasikan menjadi composite sample (sampel
campuran) sesuai dengan aliran sehingga kemudian diperoleh atau dianalisa satu
sampel dengan maksud memperoleh indikasi kualitas air rata-rata selama periode
sampling. Composite sample diperoleh dengan pengumpulan sampel secara kontinu
(terus menerus) atau interminten ke dalam satu tempat selama periode yang
direncanakan.

6.4.2. Peralatan Sampling


Ada beberapa peralatan sampling di bawah ini:
1. Timba polyethylene
Pengambilan sampel air berupa timba dengan pegangan dengan pegangan yang
penjang yang tersebut dari polyehylene. Timba atau ciduk polyethelene ini dapat
digunakan untuk mengambil air diperlukan.
2. Heyroth water sampler
Alat ini dilengkapi dengan tempat sampel peserta pemberat dari metal. Heyroth water
sampler dibenamkan pada kedalaman tertentu dengan tali kemudian stoper dilepaskan

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 25


denganmenarik tali sampling (sampling string) dan kemudian proses sampling bekerja.
Sehingga alat ini berguna untuk mengambil air dengan berbagai tingkat kedalaman yang
diinginkan.
3. Volume Sampling
Volume sampling yang diambil harus cukup untuk keperluan analisa dan perlu
diperkirakan cukup sisa untuk mengulang analisa bila dibutuhkan. Perlu
dipertimbangkan penggunaan laboratorium lokal terutama untuk diterminan yang tidak
stabil (misalnya bakteri dan BOD).
4. Pengawetan
Setelah sampling dilakukan, perubahan konsentrasi dari berbagai zat padat terjadi
secara cepat sehingga sampling dan analisis harus dirancang mempertimbangkan hal
tersebut. Bila sampel diterima oleh laboratorium harus disimpan sampai saat
dilakukan/dimulainya analisis dalam kondisi dimana tidak akan terjadi kontaminasi
sebaiknya sampel tersebut ditempatkan pada ruang penyimpanan terpisah dan bersih
yang tetap gelap dan dingin serta dimana tidak ada penggunaan reagen kimia.

Tabel VI.3
Berbagai Jenis Pengawetan Sampel

Material of
Maximum time between
Determinand Sample Methode of Preservation
sampling and analysis
Container

BOD G Refrigeneration at 4C 4 – 24 hours


Nitrogen:
- ammonia Refrigeneration at 4C
- nitrate P or G 1 – 7 hours
Refrigeneration at 4C
P or G 1 – 7 hours
- nitrite Refrigeneration at 4C
P or G 24 hours
- organic Refrigeneration at 4C
G 24 hours

COD G H2SO4, 1 – 2 ml/lt of sample 1 – 7 hours

Analyse as soon as possible,


pH G Sample
preterably on site
Solids:
- dissolved
P or G 24 hours
- total
P or G 7 hours
- turbidity
P or G 4 – 24 hours
Sumber : NSPM - Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Direktorat Jenderal Cipta Karya - Departemen
Pekerjaan Umum

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 26


BAB VII
PEMELIHARAAN SISTEM IPLT

7.1. Pemeliharaan Sistem IPLT


Kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan untuk pemeliharaan Sistem IPLT adalah
sebagai berikut :
- Pengurasan Lumpur pada bak Anaerobik dilaksanakan satu minggu sekali.
- Pengurasan Lumpur pada bak Fakultatif dilaksanakan satu bulan sekali.
- Apabila terjadi penumpukan Lumpur pada bak Fakultatif sebelum satu bulan, segera
lakukan penyedotan Lumpur.
- Pengecekan kebocoran dan kerusakan pada masing-masing Bak / Unit Pengolahan
dan pipa penghubung antar bak dilaksanakan setiap hari oleh Petugas IPLT.
- Pengecekan terjadinya kebocoran dan kerusakan pada Bak/Unit Pengolahan dan pipa
penghubung antar bak.
- Pengecekan terhadap kelancaran aliran pada pipa penghubung antar bak.
- Apabila terjadi penyumbatan pada pipa penguhubung, segera lakukan upaya
pembersihan pipa.

7.2. Pemeliharaan Fasilitas Penunjang IPLT


Kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan untuk pemeliharaan Fasilitas Penunjang
IPLT adalah sebagai berikut :
- Pembersihan rumput di dalam dan sekitar lokasi IPLT.
- Pembersihan Kantor IPLT.
- Pemeliharaan dan perbaikan Gedung Kantor IPLT.
- Pemeliharaan dan perbaikan saluran drainase dan jalan akses menuju lokasi IPLT.

7.3. Pemeliharaan Tanggul dan Lokasi Sekitar Kolam


Untuk pemeliharaan tanggul dan lokasi sekitar kolam dpat dilakukan kegiatan
sebagai berikut :
1. Inspeksi rutin dilakukan minimal seminggu sekali atau dua minggu sekali.
2. Pengecekan area sekitar kolam jika ditemui tumbuhan liar atau rumput liar yang
mengganggu maka ditebang atau dihilangkan.
3. Dilakukan pengecekan apakah ada air limbah dari kolam yang meluber ke area sekitar
kolam atau adanya rembesan dari kolam, maka untuk pembenahannya dibuatkan parit
agar limbah tidak menyebar luas dan dilakukan perbaikan tanggul.

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 27


Tabel VII.1
Permasalahan Dan Tindakan Pemeliharaan Area

Area yang Diinspeksi Kondisi atau Problem Kegiatan yang Harus Dilakukan

Area di sekitar kolam Pepohonan liar dan Ditebang atau dirapikan agar tidak
pepohonan perdu mengganggu
Muka air di kolam terlalu Dibuang dari kolam dengan
tinggi membuat DAM kecil untuk
menampung air
Slope bagian luar Terjadi erosi karena air Bagian yang kena erosi ditutup
tanggul dan tanggul ataupun angin kembali dengan tanah dan ditanami
bagian atas rumput
Rumput yang tumbuh terlalu Rumput dipotong dan dirapikan
tinggi
Slope bagian dalam Terjadi pengikisan oleh air Diperbaiki jika perlu diganti dengan
tanggul atau karena cuaca pasangan batu
Outlet kolam Adanya sampah di sekitar Sampah diambil dan dibuang
screen yang menyumbat
Permukaan kolam Nyamuk Dilakukan penyemprotan dengan
droplet yang sangat halus (atau
sesuai standar dinas kesehatan)
Sumber : NSPM - Direktorat PPLP Ditjen Cipta Karya - Departemen Pekerjaan Umum

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 28


BAB VIII
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)

8.1. Prosedur K-3 Terhadap Petugas IPLT


Prosedur K-3 yang harus dilaksanakan oleh Petugas IPLT adalah sebagai berikut:
- Gunakan Masker penutup hidung dan mulut pada saat mengoperasionalkan IPLT.
- Gunakan Topi (penutup kepala).
- Gunakan Sepatu Boot.
- Gunakan sarung Tangan Karet.
- Gunakan pakaian khusus atau seragam.

8.2. Prosedur K-3 Terhadap Lingkungan IPLT

- Pasanglah Papan Peringatan “Dilarang Masuk Tanpa Ijin Petugas IPLT” pada pintu
masuk lokasi IPLT.
- Pasanglah Papan Peringatan “Dilarang Mandi dan Dilarang Memancing di Lokasi IPLT”
pada setiap Bak / Unit Pengolahan IPLT.
- Pasanglah Papan Peringatan kedalaman Bak

Standar Operasional Prosedur IPLT Kab. Natuna 29

Anda mungkin juga menyukai