Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan merupakan kondisi alamiah yang unik karena meskipun bukan penyakit, tetapi
seringkali menyebabkan komplikasi akibat berbagai perubahan anatomik serta fisiologik dalam
tubuh ibu. Salah satu perubahan fisiologik yang terjadi adalah perubahan hemodinamik. Selain
itu, darah yang terdiri atas cairan dan sel-sel darah berpotensi menyebabkan komplikasi
perdarahan dan trombosis jika terjadi ketidakseimbangan faktor-faktor prokoagulasi dan
hemostasis.1
Wanita hamil rentan mengalami berbagai kelainan darah yang dapat mengenai setiap
wanita usia subur. Kelainan-kelainan ini mencakup penyakit kronik, misalnya anemia herediter,
trombositopenia imunologis, dan keganasan, termasuk leukemia dan limfoma. Penyakit-penyakit
lain muncul selama kehamilan karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh
kehamilan, contohnya hemolisis autoimun atau anemia aplastik, anemia defisiensi besi dan
anemia megaloblastik.2
Penurunan ringan kadar hemoglobin selama kehamilan disebabkan oleh ekspansi volume
plasma yang relatif lebih besar dibandingkan dengan peningkatan volume sel darah merah.
Menjelang akhir kehamilan, ekspansi plasma pada hakikatnya berhenti, sementara massa
hemoglobin terus bertambah.2
Setelah pelahiran, kadar hemoglobin berfluktuasi dan kemudian meningkat serta biasanya
melebihi kadar tak hamil. Kecepatan dan besar peningkatan pada awal massa nifas ditentukan
oleh jumlah hemoglobin yang ditambahkan selama kehamilan dan jumlah darah yang hilang
sewaktu proses pelahiran yang dimodifikasi oleh penurunan normal volume plasma
pascapartum.2
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 35-37% ibu hamil di Negara
berkembang dan 18% ibu hamil di Negara maju mengalami anemia. Namun, banyak di antara
mereka yang telah menderita anemia pada saat konsepsi, dengan perkiraan prevalensi sebesar
43% pada perempuan yang tidak hamil di Negara berkembang dan 12% di Negara yang lebih
maju.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin kurang dari 12 g/dl pada wanita
dewasa tak hamil dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau masa nifas. Centers for Disease
Control and Prevention mendefinisikan anemia pada ibu hamil yang mendapat suplemen besi
dengan menggunakan batas dari persentil ke 5-11 g/dl pada trimester pertama dan ketiga, dan
10,5 g/dl pada trimester kedua. Menurut WHO, seseorang dinyatakan anemia bila kadar
hemoglobin wanita dewasa tidak hamil <12 g/dl, pada umur 6 bulan sampai 9 tahun dan wanita
hamil <11 g/dl.2,3
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu peningkatan produksi
eitropoietin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel darah merah (eritrosit) meningkat.
Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan
dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat
hemodilusi.1
Ekspansi volume plasma mulai pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai maksimum
pada minggu ke-24 kehamilan, tetapi dapat terus meningkat sampai minggu ke-37. Pada titik
puncaknya, volume plasma sekitar 40% lebih tinggi pada ibu hamil dibandingkan perempuan
tidak hamil. Penurunan hematokrit, hemoglobin, dan eritrosit biasanya tampak pada minggu ke-7
sampai ke-8 kehamilan dan terus menurun sampai minggu ke-16 sampai ke-22 ketika titik
keseimbangan tercapai.1,2
Pada trimester pertama, konsentrasi hemoglobin mulai menurun. Konsentrasi hemoglobin
paling rendah terjadi pada trimester kedua sekitar usia kehamilan 30 minggu. Pada trimester
ketiga terjadi sedikit peningkatan hemoglobin.1,2
Setelah persalinan, kadar hemoglobin berfluktuasi dan kemudian meningkat dan biasanya
melebihi kadar hemoglobin wanita tak hamil. Kecepatan dan besarnya peningkatan pada awal
masa nifas ditentukan dari jumlah hemoglobin yang ditambahkan selama kehamilan dan jumlah
kehilangan darah saat persalinan yang biasanya dimodifikasi oleh penurunan normal volume
plasma postpartum.1,2

2
3

Tabel 2.1. Nilai batas untuk anemia pada perempuan


Status Kehamilan Hemoglobin (g/dl) Hematokrit (%)
Tidak hamil 12,0 36
Hamil Trimester I 11,0 33
Hamil Trimester II 10,5 32
Hamil Trimester III 11,0 33

Tabel 2.2. Klasifikasi derajat anemia pada kehamilan

Klasifikasi Nilai Hemoglobin (g/dl)


Ringan 10-10,9
Sedang 7,0-9,9
Berat < 7,0

2.2. Epidemiologi
Sebagian besar perempuan mengalami anemia selama kehamilan, baik di negara maju
maupun negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa 35-75% ibu hamil di negara
berkembang dan 18% ibu hamil di negara maju mengalami anemia. Pada studi-studi dari
Amerika Serikat dilaporkan bahwa kadar hemoglobin rerata pada aterm adalah 12,7 g/dl pada
wanita yang mendapat suplemen besi dibandingkan dengan 11,2 g/dl pada wanita yang tidak
mendapat suplemen besi.1,3
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi anemia pada
ibu hamil di Indonesia sebesar 37,1%. Pemberian tablet Fe di Indonesia pada tahun 2012 sebesar
85%. Presentase ini mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2011 yang sebesar 83,3%.
Meskipun pemerintah sudah melakukan program penanggulangan anemia pada ibu hamil yaitu
dengan memberikan 90 tablet Fe kepada ibu hamil selama periode kehamilan dengan tujuan
menurunkan angka anemia ibu hamil, tetapi kejadian anemia masih tinggi.3

2.3. Etiologi
Penyebab anemia tersering adalah defisiensi zat-zat nutrisi multipel seperti anemia
defisiensi besi (75%), anemia megaloblastik defisiensi folat dan defisiensi vitamin B12 dengan
manifestasi klinik yang disertai infeksi, gizi buruk, atau kelainan herediter seperti
hemoglobinopati. Anemia jenis ini lebih sering terjadi pada wanita dengan diet inadekuat dan
4

yang tidak mendapat suplemen zat besi atau folat. Penyebab lainnya yang didapat dalam
kehamilan yaitu hemoglobinopati, proses inflamasi, toksisitas zat kimia, dan keganasan.1,3
Penyebab anemia yaitu didapat dan herediter. Anemia didapat diantaranya anemia
defisiensi besi, anemia akibat perdarahan akut, anemia pada peradangan atau keganasan, anemia
megaloblastik, anemia hemolitik didapat, anemia aplastik atau hipoplastik. Anemia herediter
diantaranya thalassemia, hemoglobinopati sel sabit, dan anemia hemolitik herediter.1,3

2.4. Patofisiologi
Sejak pertengahan kehamilan, pembesaran uterus akan menekan vena kava inferior yang
akan mengurangi darah balik vena ke jantung. Penekanan pada aorta juga akan mengurangi
aliran darah uteroplasenta ke ginjal. Eritropoetin ginjal akan meningkatkan jumlah sel darah
merah sebanyak 20-30%, tetapi tidak sebanding dengan peningkatan volume plasma sehingga
akan mengakibatkan hemodilusi dan penurunan konsentrasi hemoglobin dari 15 g/dl menjadi
12,5 g/dl hingga di bawah 11 g/dl. Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak
kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu. Hal
ini dipengaruhi oleh aksi progesterone dan estrogen pada ginjal yang diinisiasi oleh jalur renin-
angiotensin dan aldosterone. Penambahan volume darah ini sebagian besar berupa plasma dan
eritrosit.1
Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang
semakin berat dengan adanya kehamilan. Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan
adalah oleh karena perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dan
pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45%-65% dimulai pada trimester 2
kehamilan dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1.000 ml, menurun
sedikit menjelang aterm serta kembali normal 3 bulan setelah partus.1

2.5. Manifestasi Klinis


Penderita anemia biasanya ditandai dengan mudah lemah, letih, lesu, nafas pendek, muka
pucat, susah berkonsentrasi serta fatigue atau rasa lelah berlebihan. Gejala ini disebabkan karena
otak dan jantung mengalami kekurangan distibusi oksigen dari dalam darah. Denyut jantung
penderita anemia biasanya lebih cepat karena berusaha mengkompensasi kekurangan oksigen
dengan memompa darah lebih cepat. Akibatnya kemampuan kerja dan kebugaran tubuh
5

menurun. Jika kondisi ini berlangsung lama, kerja jantung menjadi berat dan bisa menyebabkan
gagal jantung kongestif. Anemia zat besi juga bisa menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh
sehingga tubuh mudah terinfeksi.4
Tanda anemia menurut FKM UI 2009 adalah pucat (lidah, bibir dalam, muka, telapak
tangan), mudah letih, detak jantung lebih cepat, apatis, pusing, mata berkunang-kunang dan
mengantuk. Sedangkan tanda anemia menurut Kemenkes RI 2010 berupa 5L yakni letih, lemah,
lesu, lelah, lunglai dengan keluhan pusing dan pandangan berkunang-kunang.5,6

2.6. Klasifikasi
2.6.1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai
oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferrin yang rendah, dan
konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun. Pada kehamilan, kehilangan zat
besi terjadi akibat pengalihan besi maternal ke janin untuk eritropoiesis, kehilangan darah pada
saat persalinan, dan laktasi yang jumlah keseluruhannya dapat mencapai 900 mg atau setara
dengan 2 liter darah. Oleh karena sebagian besar perempuan mengawali kehamilan dengan
cadangan besi yang rendah, maka kebutuhan tambahan ini berakibat pada anemia defisiensi
besi.1
Bukti morfologis klasik anemia defisiensi besi yaitu hipokromik dan mikrositosis eritrosit
kurang mencolok pada wanita hamil dibandingkan dengan pada wanita tak-hamil. Anemia
defisiensi besi derajat sedang pada kehamilan biasanya tidak disertai oleh perubahan morfologis
yang nyata pada eritrosit. Namun, kadar feritin serum lebih rendah daripada normal dan tidak
terdapat besi yang terwarnai di sumsum tulang. Anemia defisiensi besi pada kehamilan terutama
terjadi karena ekspansi volume plasma tanpa ekspansi normal massa hemoglobin ibu.2
Evaluasi awal seorang wanita hamil dengan anemia sedang seyoganya mencakup
pengukuran hemoglobin, hematokrit, dan indeks-indeks sel darah merah: pemeriksaan cermat
apusan darah tepi dengan preparat sel sabit jika wanita yang bersangkutan keturunan Afrika, dan
pengukuran besi serum, feritin, atau keduanya. Kadar feritin serum biasanya menurun selama
kehamilan. Kadar yang kurang dari 10 sampai 15 mg/L memastikan anemia defisiensi besi.
Secara praktis, diagnosis defisiensi besi pada wanita hamil dengan anemia derajat sedang
biasanya bersifat presumtif dan terutama didasarkan pada eksklusi.2
6

Jika wanita hamil dengan anemia defisiensi besi derajat sedang diberi terapi besi yang
memadai maka respons hematologis terdeteksi dengan meningkatnya hitung retikulosit. Laju
peningkatan konsentrasi hemoglobin atau hematokrit biasanya lebih lambat daripada wanita tak-
hamil karena meningkatnya dan lebih besarnya volume darah selama kehamilan.2
Pencegahan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan suplementasi besi dan asam
folat. WHO menganjurkan untuk memberikan 60 mg suplementasi besi selama 6 bulan untuk
memenuhi kebutuhan fisiologik selama kehamilan. Namun, banyak literatur menganjurkan dosis
100 mg suplementasi besi setiap hari selama 16 minggu atau lebih pada kehamilan. Di wilayah-
wilayah dengan prevalensi anemia yang tinggi, dianjurkan untuk memberikan suplementasi
sampai 3 bulan postpartum.1
Pemberian suplementasi besi setiap hari pada ibu hamil sampai minggu ke-28 kehamilan
pada ibu hamil yang belum mendapat besi dan nonanemik (Hb < 11 g/dl dan feritin > 20 ug/l)
menurunkan prevalensi anemia dan bayi berat lahir rendah. Namun, pada ibu hamil dengan kadar
Hb yang normal (>13,2 g/dl) mendapatkan peningkatan risiko defisiensi tembaga dan zinc.1

2.6.2. Defisiensi Asam Folat


Pada kehamilan, kebutuhan folat meningkat 5-10 kali lipat transfer folat dari ibu ke janin
yang menyebabkan dilepasnya cadangan folat maternal. Peningkatan lebih besar dapat terjadi
karena kehamilan multipel, diet yang buruk, infeksi, adanya anemia hemolitik atau pengobatan
antikonvulsi. Kadar estrogen dan progesteron yang tinggi selama kehamilan tampaknya memiliki
efek penghambatan terhadap absorbsi folat. Defisiensi asam folat oleh karenanya sangat umum
terjadi pada kehamilan dan merupakan penyebab utama anemia megaloblastik pada kehamilan.1,2
Anemia tipe megaloblastik karena defisiensi asam folat merupakan penyakit terbanyak
anemia defisiensi zat gizi. Anemia megaloblastik adalah kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis DNA dan ditandai dengan adanya sel-sel megaloblastik yang khas untuk jenis
anemia ini. Selain karena defisiensi asam folat, anemia megaloblastik juga dapat terjadi karena
defisiensi vitamin B12 (kobalamin). Folat dan turunannya formil FH4 penting untuk sintesis
DNA yang memadai dan produksi asam amino. Kadar asam folat yang tidak cukup dapat
menyebabkan manifestasi anemia megaloblastik.1
Gejala-gejala defisiensi asam folat sama dengan anemia secara umum ditambah kulit yang
kasar dan glositis. Pada pemeriksaan apusan darah tampak prekursor eritrosit secara morfologis
7

lebih besar (makrositik) dan perbandingan inti sitoplasma yang abnormal juga normokrom. MCH
dan MCHC biasanya normal, sedangkan MCV yang besar berguna untuk membedakan anemia
ini dari perubahan fisiologik kehamilan atau anemia defisiensi besi. Untuk MCV, adanya
peningkatan saturasi besi dan transferin serum juga bermanfaat. Neutropenia dan
trombositopenia adalah akibat maturasi granulosit dan trombosit yang abnormal. Tanda awal
defisiensi asam folat adalah kadar folat serum yang rendah (kurang dari 3 ng/ml). Namun, kadar
tersebut merupakan cerminan asupan folat yang rendah pada beberapa hari sebelumnya yang
mungkin meningkat cepat begitu asupan diperbaiki. Indikator status folat yang lebih baik adalah
folat dalam sel darah merah, yang relatif tidak berubah di dalam eritrosit yang sedang beredar di
sirkulasi sehingga dapat mencerminkan laju turnover folat pada 2-3 bulan sebelumnya. Folat
dalam sel darah merah biasanya rendah pada anemia megaloblastik karena defisiensi folat.
Namun, kadarnya juga rendah pada 50% penderita anemia megaloblastik karena defisiensi
kobalamin sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan kedua jenis anemia ini.1,2
Defisiensi asam folat ringan juga telah dikaitkan dengan anomali kongenital janin,
terutama defek pada penutupan tabung neural (neural tube defects). Selain itu, defisiensi asam
folat dapat menyebabkan kelainan pada jantung, saluran kemih, alat gerak, dan organ lainnya.
Mutasi gen yang mempengaruhi enzim-enzim metabolisme folat, terutama mutasi 677C pada gen
MTHFR, juga berpredisposisi terhadap kelainan kongenital.1
Penatalaksanaan defisiensi asam folat adalah pemberian folat secara oral sebanyak 1-5 mg
per hari. Pada dosis 1 mg, anemia umumnya dapat dikoreksi meskipun pasien mengalami pula
malabsorbsi. Ibu hamil sebaiknya mendapat sedikitnya 400 ug folat per hari.1,2

2.6.3. Defisiensi Vitamin B12


Anemia megaloblastik selama kehamilan akibat kekurangan vitamin B12, yaitu
sianokobalamin, sangat jarang dijumpai. Pada anemia pernisiosa Addison, terjadi kekurangan
faktor intrinsik yang menyebabkan kegagalan penyerapan vitamin B12. Ini adalah penyakit
autoimun yang sangat jarang pada wanita usia subur dan biasanya memiliki awitan setelah usia
40 tahun. Kecuali jika diobati dengan vitamin B12, pasien dapat mengalami penyulit infertilitas.
Defisiensi vitamin B12 pada wanita hamil lebih besar kemungkinannya dijumpai setelah reseksi
lambung parsial atau total. Penyebab-penyebab lain adalah penyakit Crohn, reseksi ileum, dan
pertumbuhan berlebihan bakteri di usus halus.1,2
8

Selama kehamilan, kadar vitamin B12 lebih rendah daripada kadar tak-hamil karena
berkurangnya kadar protein-protein pengikat yang mencakup haptokorin (transkobalamin I dan
III) dan transkobalamin II.1,2
Wanita yang pernah menjalani gastrektomi total memerlukan 1000 ug vitamin B12
intramuskulus setiap bulannya. Mereka yang menjalani gastrektomi parsial biasanya tidak
memerlukan terapi ini, tetapi kadar vitamin B12 selama kehamilan perlu diukur.1,2

2.6.4. Anemia Aplastik


Pada kebanyakan kasus, anemia aplastik dan kehamilan terjadi bersamaan secara
kebetulan. Pada beberapa wanita, anemia hipoplastik teridentifikasi pertama kali sewaktu hamil
dan kemudian membaik atau bahkan sembuh ketika kehamilan diakhiri, hanya kambuh pada
kehamilan berikutnya.2
Resiko utama pada wanita hamil dengan anemia aplastik adalah perdarahan dan infeksi.
Angka kematian keseluruhan yang dilaporkan sejak tahun 1960, selama atau setelah kehamilan
adalah 50%. Laporan kasus serial yang lebih terkini mengemukakan hasil yang lebih baik.
Anemia Fanconi tampaknya memiliki prognosis yang lebih baik.2
Penatalaksanaan bergantung pada usia gestasi, keparahan penyakit, dan apakah terapi telah
diberikan. Perawatan suportif mencakup surveilans infeksi yang terus menerus serta terapi
antimikroba secara dini. Transfusi granulosit hanya diberikan sewaktu infeksi. Transfusi sel
darah merah diberikan untuk memperbaiki anemia simtomatik dan secara rutin untuk
mempertahankan hematokrit pada sekitar 20% volume. Transfusi trombosit mungkin diperlukan
untuk mengendalikan perdarahan. Bahkan jika trombositopenianya parah, risiko perdarahan
berat dapat diperkecil melalui persalinan pervaginam dan bukan pelahiran caesar.2
Ada beberapa laporan mengenai anemia aplastik yang terkait dengan kehamilan, tetapi
hubungan antara keduanya tidak jelas. Pada beberapa kasus, yang terjadi adalah eksaserbasi
anemia aplastik yang telah ada sebelumnya oleh kehamilan dan hanya membaik setelah terminasi
kehamilan. Pada kasus-kasus lainnya, aplasia terjadi selama kehamilan dan dapat kambuh pada
kehamilan berikutnya. Terminasi kehamilan atau persalinan dapat memperbaiki fungsi sumsum
tulang, tetapi penyakit dapat memburuk bahkan menjadi fatal setelah persalinan. Terapi meliputi
terminasi kehamilan elektif, terapi suportif, imunosupresi, atau transplantasi sumsum tulang
setelah persalinan.1,2
9

2.6.5. Anemia Hemolitik


Anemia hemolitik disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlangsung lebih
cepat dari pembuatannya. Wanita dengan anemia hemolitik sukar menjadi hamil, apabila ia
hamil maka anemianya biasanya menjadi lebih berat. Sebaliknya mungkin pula bahwa kehamilan
menyebabkan krisis hemolitik pada wanita yang sebelumnya tidak menderita anemia. Frekuensi
anemia hemolitik dalam kehamilan tidak tinggi. Terbanyak anemia ini ditemukan pada wanita
negro yang menderita anemia sel sabit, anemia sel sabit-hemoglobin C, sel sabit-thalassemia,
atau penyakit hemoglobin C. Di Indonesia terdapat juga penyakit thalassemia.7,8
Gejala yang lazim dijumpai ialah gejala proses hemolitik, seperti anemia, hemoglobinemia,
hiperurobilinuria, dan sterkobilin lebih banyak dalam faeses. Disamping itu terdapat pula sebagai
tanda regenerasi darah seperti retikulositosis dan normoblastemia, serta hyperplasia erithropoesis
dalam sumsum tulang. Pada hemolisis yang berlangsung lama dijumpai pembesaran limpa
(splenomegali) karena limpa membersihkan sel-sel yang mati hingga menimbulkan krisis akut.
Sumsum tulang menunjukan gambaran normoblastik dengan hyperplasia yang nyata, terutama
sistem eritropoetik. Perbandingan mieloit : eritoit yang biasanya 3:1 atau 2:1 dalam kehamilan
berubah menjadi 1:1 atau 1:2.7,8
Pengobatan anemia hemolitik dalam kehamilan tergantung pada jenis dan beratnya. Obat-
obat penambah darah tidak memberi hasil. Tranfusi darah yang kadang diulang beberapa kali
diperlukan pada anemia berat untuk meringankan penderitaan ibu dan untuk mengurangi bahaya
hipoksia janin. Splenektomi dianjurkan pada anemia hemolitik bawaan dalam trimester II atau
III. Pada anemia hemolitik yang diperoleh harus dicari penyebabnya, misalnya pemberian obat-
obat yang dapat menyebabkan kelumpuhan sumsum tulang harus segera dihentikan.7,8

2.6.6. Anemia Akibat Kehilangan Darah


Pada kehamilan dini, anemia akibat kehilangan darah merupakan hal yang umum pada
kasus-kasus abortus, hehamilan ektopik, dan mola hidatidiformis. Anemia pasca partus jauh
lebih sering disebabkan oleh perdarahan obstetrik. Perdarahan masif mengharuskan terapi segera.
Jika seorang wanita dengan anemia derajat sedang didefinisikan sebagai kadar hemoglobin >7
g/dL secara hemodinamis stabil, dapat beraktivitas tanpa mengalami gejala-gejala menyimpang
dan tidak septik, transfusi darah tidak diindikasikan, tetapi diberi terapi besi selama setidaknya 3
bulan. Dalam suatu uji klinis teracak, Van Wyck dkk. (2007) melaporkan bahwa pemberian feri
10

karboksimalat intravena setiap minggu sama efektifnya dengan tablet fero sulfat per oral setiap
hari untuk regenerasi hemoglobin pada anemia pascapartum.2

2.6.7. Anemia yang Berkaitan dengan Penyakit Kronik


Rasa lesu, penurunan berat badan, dan pucat telah lama diketahui sebagai karakteristik
penyakit kronik. Beragam penyakit misalnya gagal ginjal kronik, kanker dan kemoterapi, Human
Immunodeficiency Virus (HIV), dan peradangan kronik menyebabkan anemia derajat sedang dan
kadang berat, biasanya dengan eritrosit yang sedikit hipokromik dan mikrositik.2
Pada pasien tak-hamil dengan penyakit peradangan kronik, konsentrasi hemoglobin jarang
kurang dari 7 g/dL, morfologi sel sumsum tulang tidak berubah dan konsentrasi besi serum
menurun sementara kadar feritin biasanya meningkat. Karena itu, meskipun secara mekanistis
sedikit berbeda satu sama lain, anemia-anemia ini memperlihatkan gambaran serupa yang
mencakup perubahan fungsi retikuloendotel, metabolisme besi, dan penurunan eritropoiesis.2
Selama kehamilan, sejumlah penyakit kronik dapat menyebabkan anemia, termasuk
insufisiensi ginjal, supurasi, penyakit radang usus (inflammatory bowel disease), neoplasma
ganas, dan artritis rematoid. Anemia kronik biasanya meningkat seiring dengan ekspansi volume
plasma yang melebihi ekspansi massa sel darah merah.2
Insufisiensi ginjal kronik mungkin disertai oleh anemia, biasanya akibat defisiensi
eritropoietin dengan elemen anemia penyakit kronik. Selama kehamilan, derajat ekspansi sel
darah merah berbanding terbalik dengan gangguan ginjal. Namun, karena ekspansi volume
plasma normal maka anemia akan bertambah parah.2
Wanita yang mengidap pielonefritis akut sering disertai anemia yang nyata. Hal ini
disebabkan oleh destruksi akut sel darah merah oleh sepsis yang diperan tarai oleh endotoksin,
tetapi dengan produksi eritropoietin yang normal.2
Simpanan besi harus dipastikan adekuat. Terapi dengan eritropoietin rekombinan telah
dibuktikan berhasil digunakan untuk mengobati anemia kronik. Pada kehamilan dengan penyulit
insufisiensi ginjal kronik, eritropoietin rekombinan biasanya dipertimbangkan jika hematokrit
mendekati 20%. Satu efek samping yang mengkhawatikan adalah hipertensi, yang sudah
prevalen pada wanita dengan penyakit ginjal.2

2.6.8. Thalasemia
11

Pada wanita hamil, dari anamnesis dapat ditanyakan adanya gejala anemia seperti pusing,
lemah, mudah lelah, hingga sinkop. Ada atau tidaknya riwayat splenomegali, batu empedu,
trombosis, kardiomiopati, penyakit hati kronis serta kelainan endokrin seperti diabetes melitus.
Gejala talasemia sering muncul pada usia >18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2-8 tahun). Pada
beberapa wanita, gejala anemia akan bertambah berat karena ekspansi volume plasma yang
disertai sedikit peningkatan eritropoiesis. Dapat ditanyakan juga adanya riwayat transfusi,
apakah sejak sebelum atau setelah kehamilan, karena stress fisiologis kehamilan dapat
mengeksaserbasi gejala talasemia.9,10
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan sumsum tulang,
pemeriksaan rontgen, EKG dan ekokardiografi, HLA typing, pemeriksaan mata, pendengaran,
eleltroforesis hemoglobin, mass spectrometry, dan diagnostik molekular untuk kelainan
hemoglobin.9,10
Kebutuhan transfusi akan meningkat selama kehamilan. Pasien yang tidak tergantung
dengan transfusi seperti pada talasemia intermedia atau Hemoglobin H menjadi perlu transfusi
saat hamil hingga setelah melahirkan. Hemoglobin harus tetap terjaga ≥ 10 g/dl pada talasemia β
mayor. Observasi pasien dilakukan terhadap fungsi jantung dan USG serial untuk mengetahui
kesejahteraan janin.9,10
Wanita hamil dengan thalasemia-β minor dan anemia dimana Hb < 7 g/dl biasanya terjadi
pada trimester ketiga, membutuhkan asam folat 5 mg/hari dan terapi transfusi suportif. Pada
kebanyakan wanita, konsumsi asam folat 5 mg/hari dapat meningkatkan hemoglobin secara
signifikan dan mencegah defek susunan saraf. Pencegahan trombosis pada kehamilan, dapat
diberikan heparin atau low molecular weight heparin 7 hari setelah melahirkan pervaginam atau
selama 6 minggu setelah sectio caesarea atau dosis rendah aspirin 75 mg/hari.11,12
Pemberian kelasi besi di luar kehamilan biasanya menggunakan desferrioxamin yang
diberikan perinfus subkutan selama 12 jam selama 5-7 hari seminggu. Bila terapi dilanjutkan saat
kehamilan berisiko kelainan tulang pada janin. Deferasirox dan deferiprone idealnya dihentikan
3 bulan sebelum konsepsi dan beralih ke desferrioxamine. Desferrioxamine bekerja short-half
life dan aman selama terapi induksi ovulasi. Namun, obat ini sebaiknya dihindari pada trimester
pertama dan aman digunakan setelah usia gestasi 20 minggu dengan dosis rendah. Perempuan
dengan risiko dekompensasio kordis yang tinggi dapat diberikan desferrioxamine subkutan dosis
12

rendah (20 mg/kg/hari) selama paling cepat 4-5 hari/minggu dimulai dari usia gestasi 20-24
minggu.11
Dalam upaya untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas karena talasemia dilakukan
skrining. Skrining ini dilakukan terutama pada Hb Bart’s hidrops fetalis, talasemia α homozigot,
talasemia β homozigot, Talasemia β/Hb E disease. Skrining pertama dilakukan pada ibu hamil,
jika positif dilanjutkan pada pemeriksaan suaminya. Bila keduanya positif dilanjutkan dengan
konfirmasi hemoglobin typing, pada beberapa kasus bahkan memerlukan lanjutan analisa
DNA.10
Saat pasangan berisiko memiliki keturunan dengan talasemia mayor, dilakukan konseling
untuk dilakukannya diagnosis prenatal untuk mengetahui apakah janin memang benar terkena.
Diagnosis prenatal meliputi Fetal sampling, dengan teknik Chorionic Villus Sampling (CVS),
Amniosentesis,dan Fetal blood sampling atau kordosentesis atau percutaneous umbilical cord
sampling (PUBS). Pemilihan teknik tergantung pada umur kehamilan, kesediaan orangtua dan
kemampuan operator untuk melakukan tindakan. Pada orangtua yang berisiko janinnya terkena
Hb Bart’s hydrops fetalis dapat ditawarkan terlebih dahulu fetal scanning untuk melihat
kardiomegali janin yang merupakan marker sensitif dan dapat dideteksi secara dini.10

2.7. Komplikasi
Anemia dalam kehamilan dapat menyebabkan abortus, partus prematurus, partus lama,
retensio plasenta, perdarahan postpartum karena atonia uteri, syok, infeksi intrapartum maupun
postpartum. Anemia yang sangat berat dengan Hb kurang dari 4 g/dl dapat menyebabkan
dekompensasi kordis. Akibat anemia terhadap janin dapat menyebabkan terjadinya kematian
janin intrauterin, kelahiran dengan anemia, dapat terjadi cacat bawaan, bayi mudah mendapat
infeksi sampai kematian perinatal. Ibu hamil dengan kadar hemoglobin (Hb) <8 g/dL dikaitkan
dengan peningkatan risiko berat lahir rendah dan bayi kecil untuk usia kehamilan.13
Pada wanita hamil, anemia meningkatkan risiko kematian ibu dan anak dan memiliki
konsekuensi prematur pada kognitif dan fisik pengembangan anak-anak dan produktivitas kerja.
Anemia pada kehamilan dikaitkan dengan hasil kehamilan yang merugikan. Manifestasi
klinisnya meliputi pembatasan pertumbuhan janin, persalinan premature, berat lahir rendah,
gangguan laktasi, interaksi yang buruk ibu atau bayi, depresi post partum, dan meningkatkan
kematian janin dan neonatal.13
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin kurang dari 12 g/dl pada wanita
dewasa tak hamil dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau masa nifas. Penyebab anemia
yaitu didapat dan herediter. Anemia didapat diantaranya anemia defisiensi besi, anemia akibat
perdarahan akut, anemia pada peradangan atau keganasan, anemia megaloblastik, anemia
hemolitik didapat, anemia aplastik atau hipoplastik. Anemia herediter diantaranya thalassemia,
hemoglobinopati sel sabit, dan anemia hemolitik herediter.
Penderita anemia biasanya ditandai dengan mudah lemah, letih, lesu, nafas pendek, muka
pucat, susah berkonsentrasi serta fatigue atau rasa lelah berlebihan. Gejala ini disebabkan karena
otak dan jantung mengalami kekurangan distibusi oksigen dari dalam darah. Anemia zat besi
juga bisa menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terinfeksi.
Penatalaksanaan pada anemia tergantung dari jenis anemia. Pada anemia defisiensi besi
dapat dilakukan dengan suplementasi besi dan asam folat, defisiensi asam folat adalah pemberian
folat secara oral sebanyak 1-5 mg per hari, defisiensi vitamin B12 dapat diberikan Vitamin B12
1000 mg/hari IM selama 5-7 hari 1 x/bulan. Terapi pada anemia aplastik berupa terminasi
kehamilan untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang, terapi suportif, imunsupresi, atau
transplantasi sumsum tulang setelah persalinan. Pada anemia hemolitik yang diperoleh harus
dicari penyebabnya, misalnya pemberian obat-obat yang dapat menyebabkan kelumpuhan
sumsum tulang harus segera dihentikan. Pemberian feri karboksimalat intravena dan tablet fero
sulfat per oral setiap hari untuk regenerasi hemoglobin pada anemia pascapartum. Terapi dengan
eritropoietin rekombinan telah dibuktikan berhasil digunakan untuk mengobati anemia kronik.
Wanita hamil dengan thalasemia-β minor dan anemia dimana Hb < 7 g/dl biasanya terjadi pada
trimester ketiga, membutuhkan asam folat 5 mg/hari dan terapi transfusi suportif yang dapat
meningkatkan hemoglobin secara signifikan dan mencegah defek susunan saraf.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan edisi keempat. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
2. Cunningham F.G., Kenneth J.L., et al. 2010. Anemia in Pregnancy Williams Manual of
Obstetrics. 23rd Edition. Mc Graw Hill: United States
3. Naibaho SA. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Gizi pada Ibu
Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Parsoburan Kecamatan Kabinsaran Kabupaten Toba
Samosir Tahun 2011. Universitas Sumatera Utara
4. Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga
5. FKM-UI.2009. Materi Kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat. Depok
6. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2010-
2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
7. Abdulmuthalib, Winkjosastro H, Saifuddin A.B., Rachimhadhi T. 2009. Ilmu Kebidanan
Kelainan Hematologik edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Praworiharjo
8. DeCherney A, Nathan L, Laufer N, Roman A. 2008. Hematologic Disorder in Pregnancy
in Current Diagnosis and Treatment Obstetrics & Gynecology 10th edition. Mc Graw Hill:
United States
9. Creasy RK, Resnik R, Iams JD, Lockwood CJ, Moore TR, Greene MF. 2014. Creasy &
Resnik’s Maternal-Fetal Medicine Principles and Practice. 7th edition. New York:
Elsevier
10. Pavord S, Hunt B. 2010. The Obstetric Hematology Manual. Cambridge: Cambridge
University Press
11. Rachmilewitz EA, Giardina PJ. 2011. How I Treat Thalassemia. Blood Journal
12. Royale College of Obstetricians & Gynecologists (RCOG). 2014. Management of Beta
Thalassaemia in Pregnancy. RCOG
13. Yanti, Desi Ari M.D., Apri Sulistianingsih dan Keisnawati. 2015. Faktor-faktor Terjadinya
Anemia pada Ibu Primigravida di Wilayah Kerja Puskesmas Pringsewu Lampung. Jurnal
Keperawatan

14

Anda mungkin juga menyukai