Anda di halaman 1dari 5

Edukasi

Penyedia layanan kesehatan juga harus mengedukasi pasien pada kunjungan rutin mengenai gejala dan
pengobatan GERD. Edukasi harus mencakup identifikasi faktor risiko dan pemicu, gejala yang terkait
dengan GERD, modifikasi pola makan dan gaya hidup untuk mengurangi keparahan dan frekuensi gejala,
penggunaan obat yang tepat, dan pedoman untuk mencari perawatan. (Du Jeong, I., Park, M. I., Kim, S.
E., Kim, B. J., Kim, S. W., Kim, J. H., ... & of Neurogastroenterology, T. K. S. (2017). The Degree of Disease
Knowledge in Patients with Gastroesophageal Reflux Disease: A Multi-center Prospective Study in
Korea. Journal of neurogastroenterology and motility, 23(3), 385.)

Komplikasi

Komplikasi dari GERD terdiri atas komplikasi esofagus dan ekstra esofagus. Komplikasi di esofagus yang
dapat ditemukan berupa perdarahan, striktur, perforasi, Barret’s esophagus (BE), dan kanker esofagus.
Sedangkan, komplikasi di luar esofagus meliputi sakit tenggorokan,tonsilofaringitis, sinusitis, laringitis,
karies dentis, pneumonia, dan asma bronkial. (Tarigan, R., & Pratomo, B. (2019). Analisis Faktor Risiko
Gastroesofageal Refluks di RSUD Saiful Anwar Malang. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 6(2), 78-81.)

Di Barret’s esophagus, normal epitel sel skuamosa esofagus diganti oleh epitel kolumnar dengan sel
piala, sebagai respons paparan asam. Perubahan esofagus Barrett mungkin meluas secara proksimal dari
sambungan gastroesophageal (GEJ) dan berpotensi berkembang ke esophagus adenokarsinoma,
membuat deteksi dini sangat penting dalam pencegahan dan pengelolaan transformasi ganas. (Clarrett,
D. M., & Hachem, C. (2018). Gastroesophageal reflux disease (GERD). Missouri medicine, 115(3), 214.)

Tatalaksana GERD

Walaupun jarang sebagai penyebab kematian, tapi dapat menimbulkan komplikasi jangka
panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus Barrett yang merupakan keadaan
premaligna.

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari 1). modifikasi gaya hidup, 2). terapi
medikamentosa, 3.) terapi bedah, 4.) terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD
adalah : a ) , menyembuhkan lesi esofagus, b). menghilangkan gejala/keluhan, c). mencegah
kekambuhan, d). memperbaiki kualitas hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi.

Modifikasi Gaya Hidup

Usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan. Hal-hal
yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut:

1). Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum
tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambung ke esofagus;
2). Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel;

3). Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan
karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung;

4). Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian
ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen;

5). Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan


minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam;

6). Jika memungkinkan hindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES
seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta
adrenergik, progesteron

Terapi Medikamentosa

Awalnya GERD termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun
dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat
pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI
dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis
yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid. Menurut
Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003)
telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi sfep down.

Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD:

Antasid.

Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak
menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCI, obat ini dapat memperkuat
tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Kelemahan golongan obat ini adalah 1). Rasanya
kurang menyenangkan, 2). Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung alumunium, 3). Penggunaannya
sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis: sehari 4 x 1 sendok makan

Antagonis reseptor H2
Termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, raniditin, famotidin dan nizatidin. Sebagai
penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus.Dosis
pemberian:

Simetidin 2 X 800 mg atau 4 x 400 mg

Ranitidin 4 X 150 mg

Famotidin 2 X 20 mg

Nizatidin 2 X 150 mg

Obat-obatan prokinetik.

a. Metoklopramid:
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin. Efektivitasnya rendah dalam
mengurangi gejala serta
tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dalam kombinasi dengan
antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah
otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk,
pusing, agitasi, tremor dan diskinesia. Dosis: 3 X 10 mg.
b. Domperidon:
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek samping yang
lebih jarang dibanding metokloprannid karena tidak melalui sawar darah otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esofageal
belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES
serta mempercepat pengosongan lambung. Dosis: 3 X 10-20 mg sehari
c. Cisapride:
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan
lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibanding domperidon.
Dosis 3 X 10 mg sehari
d. Sukralfat (aluminiumhidroksi + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam
lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus,
sebagai buffer terhadap HCI di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal
(sitoproteksi). Dosis: 4 x 1 gram
e. Penghambat Pompa Proton {Proton pump inhibitor/ PPI)
Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-
obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi
enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam
lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat serta yang
refrakter dengan golongan antagonist reseptor H2. Dosis yang diberikan untuk GERD
adalah dosis penuh,
yaitu:
Omeprazole : 2 x 20 mg
Lansoprazole : 2 x 30 mg
Pantoprazole : 2 x 40 mg
Rabeprazole : 2 X 10 mg
Esomeprazole : 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on
demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya. Efektivitas golongan obat ini
semakin bertambah jika dikombinasi dengan golongan prokinetik. Untuk
pengobatan NERD diberikan dosis standar, yaitu:
Omeprazol : 1 x 20 mg
Lansoprazol : 1 x 30 mg
Pantoprazol : 1 x 40 mg
Rabeprazol: 1 x 10 mg
Esomeprazol : 1 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan dengan on
demand therapy. Terdapat beberapa algoritme dalam penatalaksanaan GERD pada
pelayanan kesehatan lini pertama, salah satu di antaranya adalah yang direkomendasikan
dalam Konsensus Nasional untuk Penatalaksanaan GERD di Indonesia (2004) (Gambar
4). Adapun algoritme penatalaksanaan GERD di pusat pelayanan yang memiliki fasilitas
diagnostik memadai terdapat pada gambar 5.
Terapi Bedah

Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnya terapi medikamentosa, yaitu: 1). Diagnosis
tidak benar; 2). Pasien GERD sering disertai gejala-gejala lain seperti rasa kembung, cepat
kenyang dan mual-mual yang sering tidak memberikan respons dengan pengobatan PPI serta
menutupi perbaikan gejala refluksnya; 3). Pada beberapa pasien, diperlukan waktu yang lebih
lama untuk menyembuhkan esofagitisnya; 4). Kadang-kadang beberapa kasus Barrett's
esophagus tidak memberikan respons terhadap terapi PPI. Begitu pula halnya dengan
adenokarsinoma; 5). Terjadi striktur; 6). Terdapat stasis lambung dan disfungsi LES.

Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi medikamentosa gagal, atau
pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah
fundoplikasi.
Terapi Endoskopi

Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks penelitian, akhir-akhir ini mulai
dikembangkan
pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu: penggunaan energi radiofrekuensiplikasi
gastrik endoluminal implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implandi bawah
mukosa esofagus bagian distal, sehingga lumen esofagusbagian distal menjadi lebih kecil

Sumber : IPD jilid 2. Penyakit Reflux Gastroesofageal

Anda mungkin juga menyukai