Anda di halaman 1dari 4

Analisis Yuridis Perlindungan Hukum untuk Pekerja Seni terhadap

(PP)56/2021 tentang Hak Cipta

Tanu Iswantono

1311800097

Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Jawa Timur

1
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk hidup paling utama di muka bumi memiliki kecerdasan yang
komplit, baik emosional-spiritual- hingga intelejen yang kesemuanya jika digunakan dengan baik
dapat menghasilkan karya yang apik. Inilah yang menjadi pembeda, antara manusia yang satu
dengan manusia yang lain. Sebuah karunia langsung dari Tuhan Yang Maha Esa yang dapat
menjadikan manusia setingkat diatas makhluk lainnya.

Beragam buah karya manusia tersebut, diberi penghargaan oleh negara sebagai
pemangku hukum positif disebuah teritori. Menjadi beberapa jenis penggolongannya, tergantung
klasifikasi yang ditentukan. Tentunya yang merupakan buah dari pikiran dan cipta karya,
berbeda dengan penerbitan sertifikat, buku kepemilikan kendaraan bermotor, dan surat berharga
lainnya.

Penggolongan tersebut biasa kita kenal dengan hak atas kekayaan intelektual. Hak inilah
yang melekat kepada setiap individu dan dapat diwariskan kepada keturunan dan atau ahli waris
yang sah.1 Misalnya Einstein yang menciptakan bola lampu setelah ribuan kali percobaan,
karyanya diakui hingga kini bahkan dianugerahi Nobel. Ada pula Playstation misalnya, dalam
setiap penjualan unit konsol video game-nya mendapatkan persentase bagi sang penemu.

Itulah yang dinamakan dengan hak cipta. Sebuah hasil dari cipta karya dan karsa manusia
yang memiliki numerasi dalam sisi ekonomis ketika telah didaftarkan kepemilikannya dalam
sebuah Lembaga atau instansi terkait. Bentuknya beragam, ada yang disebutkan sebagai merk,
ada yang dinamakan paten, ada juga yang diklasifikasikan sebagai hak cipta. Inilah yang dalam
penelitian kali ini coba dibahas mendalam mengenai serba-serbi hak cipta yang dikaitkan dengan
masalah kekinian.

1
Samiran Jerry Fransiskus, 2016, “Peralihan Hak Cipta dengan Cara Pewarisan menurut UU 19/2002 Jo UU 28/2014
tentang Hak Cipta”, Lex Privatum Vol IV/No.2/Feb/2016

2
Burung camar misalnya, sebuah lagu terkenal yang dipopulerkan oleh Vina Panduwinata,
karya Aryono Huboyo Djati, yang memiliki nilai ekonomis apabila lagunya digunakan oleh
seseorang dalam bentuk komersil pula. Misalnya dinyanyikan ulang, lalu dipublikasikan yang
mendapatkan keuntungan ekonomis, maka pencipta lagu dapat memperoleh haknya dalam
nominal tertentu hasil dari cipta karyanya yang digunakan oleh orang lain. Begitu pula dengan
Panah Asmara, Ada Apa Denganmu, dan sederet lagu-lagu lainnya.

Inilah yang coba dikemukakan oleh penulis, mendekati problem kekinian era digital,
yang mana maksud dan tujuannya untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada pencipta karya.
Muncullah sebuah peraturan yang secara singkat berupa perluasan dari upaya penyejahteraan
kepada seniman yang menciptakan sebuah karya. Dulu, hanya jika diproduksi ulang dalam artian
direkam dan di-package kembali menggunakan nama penyanyi baru, yang pencipta lagu
mendapatkan keuntungan ekonomis. Kini, sekedar menyanyikan sebuah lagu di café misalnya,
musisi atau pekerja seni yang dalam hal ini diwakili oleh penyanyi dan sederet pendukung
lainnya seperti pemain band dsb diharuskan untuk membayar royalty kepada pencipta lagu. Ini
menjadi menarik, sebuah wacana baru yang tentunya akan memunculkan masalah baru pula
kepada pekerja seni.

Dulu kita mengenal pembajakan dalam bentuk VCD-DVD bajakan. Ini merupakan
pencurian dalam kaitannya dengan hak cipta yang marak pada tahun 1990an.2 Dengan biaya
yang relative terjangkau, seseorang dapat menikmati lagu tanpa harus membeli yang original.
Akibatnya pencipta lagu pun tidak mendapatkan keuntungan, kesehjateraannya menurun, dan
kedepan hasil cipta karya seniman khususnya lagu tidak lagi ada yang berkualitas. Karena tidak
dapat menjamin kemakmuran.

Rupanya problem inilah yang coba dicarikan solusinya oleh pemerintah. Salah satunya
dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021. Setiap pertunjukan seni, dalam hal
ini yang penulis bahas adalah lagu, wajib untuk membayar royalty kepada pencipta lagunya.
Lantas bagaimana dengan realitas dilapangan, apakah setiap penyanyi café beserta bandnya, dan
juga musisi wedding diharuskan membayar royalty kepada pencipta. Dengan bayaran yang tidak
besar, hemat penulis rasanya hal itu justru menimbulkan masalah baru. Mungkin ada solusi yang

2
Oksidelfa Yanto, 2017, “Konsep Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual”, Yustisia
Jurnal Hukum, Vol. 4

3
coba ditawarkan demi kebaikan Bersama, inilah yang coba ditelusuri melalui penelitian ini,
bagaimana pelaksanaan Peraturan Pemerintah Tahun 56 Tahun 2021 ini agar dapat memiliki
dampak positif yang luas, tak hanya kepada musisi atau pengamen jalanan, tetapi juga mampu
menghidupi para pencipta lagu. Muaranya terletak pada kompromi yang diketengahkan dalam
urun rembug yang juga dituliskan dalam penelitian ini.

Rumusan Masalah:

Dari latar belakang yang diuraikan diatas, maka penelitian ini memiliki rumusan masalah
sebagai berikut:

a. Bagaimana strategi pemerintah untuk melindungi pekerja seni terhadap PP 56/2021

Daftar Bacaan:

Jerry Fransiskus, samiran. 2016, “Peralihan Hak Cipta dengan Cara Pewarisan menurut UU
19/2002 Jo UU 28/2014 tentang Hak Cipta”, Lex Privatum Vol IV/No.2/Feb/2016

Yanto, Oksidelfa. 2017, “Konsep Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan
Intelektual”, Yustisia Jurnal Hukum, Vol. 4

Anda mungkin juga menyukai