Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kejadian gawat darurat bisa terjadi kapan saja, dimana saja dan juga pada siapa saja.

Keadaan ini mengharuskan masyarakat untuk mengetahui bagaimana tindakan pertolongan

pertama pada korban dalam keadaan henti jantung . Dalam hal ini salah satu keadaan gawat

darurat yang pravelensinya tinggi adalah penyakit kardiovaskular. Banyak korban yang

mengalami Heart Attack (serangan jantung) terlambat untuk dilakukan pertolongan pertama

ditempat kejadian. Kejadian ini menambah angka kematian karena serangan jantung menjadi

lebih tinggi, karena cardiac Arrest sering terjadi pada korban diatas(Mancini et al., 2015).

AHA merekomendasikan ada dua jenis kelangsungan hidup (chain of survival) yang

pertama adalah jenis kelangsungan hidup didalam Rumah sakit (IHCA) dan jenis

kelangsungan hidup di luar Rumah sakit (OHCA). Keberhasilan pertolongan kasus henti

jantung atau yang biasa disebut dengan cardiac arrest sangat bergantung kecepatan dan

ketepatan pertolongan pertama baik pada tingkat masyarakat maupun petugas kesehatan (J,

2020).

Out of hospital cardiac arrest (OHCA) merupakan salah satu masalah

kegawatdaruratan yang membutuhkan pertolongan pertama yang tepat dan cepat. Dalam

kondisi ini pertolongan yang dilakukan khususnya penggunaan teknik CPR, merupakan

faktor penting dalam meningkatkan peluang untuk bertahan hidup dan pemulihan pada

korban. Pada kondisi kejadian henti jantung di luar rumah sakit, maka sangat diperlukan skill

penolong dari masyarakat yang terlatih untuk bisa memberikan bantuan hidup dasar. Hal ini

dilakukan untuk mengantisipasi kejadian yang lokasinya jauh dari pelayanan kesehatan. Oleh
karena itu, masyarakat harus dilatih untuk bisa mengenali dan memberikan pertolongan

pertama korban henti jantung (Muthmainnah, 2019).

Tindakan pertama yang dilakukan pada korban dalam keadaan henti jantung

(cardiac arrest) disebut dengan bantuan hidup dasar (BHD). Bantuan Hidup Dasar (BHD)

merupakan tindakan pertolongan pertama dari penyelamatan pasien henti jantung atau out of

hospital cardiac arrest (OHCA) yang bertujuan untuk mencegah berhentinya sirkulasi atau

berhentinya respirasi. Sehingga kondisi ini bisa meminimalisir terjadinya kecacatan atau

bahkan kematian pada korban out of hospital cardiac arrest (OHCA) (Festi Fiki Niswatu

Rahmah1, 2019).

Data WHO 2015 menunjukkan 70% kematian didunia disebabkan oleh penyakit tidak

menular, 45% diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah, yaitu 17,7

juta dari 39,5 juta kematian. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018,

angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke

tahun. Setidaknya, 15 dari 1000 orang, atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita

penyakit jantung.

Keterampilan Bantuan hidup dasar ini dapat diajarkan kepada masyarakat tidak

hanya kepada tenaga kesehatan. Hal ini dikarenakan setiap orang idealnya memiliki

kemampuan basic life support atau bantuan hidup dasar (BHD). Keterampilan BHD menjadi

penting karena didalamnya diajarkan mengenai teknik dasar penyelamatan korban dari

berbagai kecelakaan atau musibah sehari-hari yang biasa dijumpai (Oktarina, 2019).

CPR (Cardio pulmonary Resuscitacion) merupakan serangkaian tindakan yang harus

dilakukan segera ketika korban mengalami henti jantung, semakin lama korban tidak

mendapatkan pertolongan pertama maka kemungkinan keselamatan dan kemungkinan

terjadinya kecacatan akan lebih besar. Tingkat pengetahuan masyarakat yang kurang tentang

bagaimana pertolongan pertama pada pasien henti jantung di masyarakat sangat


mempengaruhi tingginya angka kematian akibat henti jantung. Oleh karena itu, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang manajemen atau pertolongan pertama yang harus

dilakukan pada pasien henti jantung (Cardiac arres ) sebelum korban dibawa ke rumah sakit

(Mancini et al., 2015).

1.2 Tujuan penulisan

Melakukan literature review terhadap Manajemen Pre-hospital Kasus Henti jantung

dimasyarakat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Henti jantung

Cardiac arrest merupakan hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba guna

mempertahankan sirkulasi normal darah yang berfungsi untuk menyuplai oksigen ke otak dan

organ vital lainnya, yang ditandai dengan tidak ditemukan adanya denyut nadi akibat

ketidakmapuan jantung untuk dapat berkontraksi dengan baik (Muthmainnah, 2019). Dalam

kondisi ini apabila tidak tertangani segera maka akan berakibat terjadinya kerusakan sistem

organ-organ tubuh, baik sistem organ vital maupun sistem organ lainnya.

Berhentinya jantung mempompah darah keseluruh tubuh akan mengakibatkan organ

didalam tubuh mengalami kerusakan. Organ yang paling besar kemungkinan mengalami

kerusakan paling parah adalah otak . karena otak hanya dapat bertahan 10 menit, jika tidak

teraliri O2 dan glukosa maka otak akan mengalami kematian fungsi dan korban akan

mengalami kematian.

Terdapat tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada korban henti jantung yaitu

kehilangan kesadaran mendadak (collapse) akibat ketiadaan oksigen ke otak, pupil mata

berdilatasi dalam waktu 45 detik, dapat terjadi kejang, dan tanda henti jantung yang paling

dapat dipercaya adalah tidak ada denyutan dan bunyi jantung tidak terdengar (pulsasi

carotid). Tanda awal yang dapat diamati pada korban henti jantung adalah nafasnya dangkal

dan pendek (gasping) atau bahkan terjadi henti nafas dan henti jantung yang dapat diperiksa

melalui nadi Karotis selama 10 detik.


2.2 BHD (Bantuan Hidup Dasar)

BHD merupakan usaha untuk mempertahankan kehidupan saat penderita mengalami

keadaan yang mengancam nyawa seperti henti jantung maupun henti nafas . Keterlambatan

penanganan bantuan hidup dasar pada pasien prehospital dapat menyebabkan kematian secara

klinis dan biologis (Luh et al., 2017).

Basic Life Support merupakan sekumpulan intervensi yang bertujuan untuk

mengembalikan dan mempertahankan fungsi vital organ pada korban henti jantung dan henti

nafas. Intervensi ini terdiri dari pemberian kompresi dada dan bantuan nafas (ARITONANG,

2020)

Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah tindakan darurat untuk membebaskan jalan

napas, membantu pernapasan dan mempertahankan sirkulasi darah tanpa menggunakan alat

bantu. Bantuan hidup dasar biasanya diberikan oleh orang-orang disekitar korban yang

diantaranya akan menghubungi petugas kesehatan terdekat. Pertolongan ini harus diberikan

secara cepat dan tepat, sebab penanganan yang salah dapat berakibat buruk, cacat bahkan

kematian pada korban kecelakaan (PUSBANKES 188 DIY, 2014)

Kesimpulannya bantuan hidup dasar (Basic Life Support) merupakan serangkaian

usaha pertolongan pertama yang dilakukan untuk menolong korban henti nafas maupun henti

jantung yaitu dengan cara memompa kerja jantung untuk dapat mengaliri darah yang kaya

oksigen keseluruh tubuh agar mencegah terjadinya kecacatan atau kematian organ pada

korban .
Kejadian korban mengancam nyawa diluar rumah sakit inilah yang mendasari

pentingnya memahami bantuan hidup dasar, tidak hanya oleh tenaga medis dan perawat

tetapi juga penolong awam secara luas. umumnya seorang penolong harus mengenali tanda-

tanda seseorang mengalami henti jantung, mengaktifkan Emergency Medical Service (EMS),

melakukan resusitasi jantung paru, serta defibrilasi dengan segera menggunakan Automated

External Defibrilator (AED) .

Pendidikan kesehatan tentang bantuan hidup dasar (basic cardiac life support) yang

terdiri dari tindakan resusitasi jantung paru pada penolong awam menjadi hal yang utama

untuk meningkatkan kemampuan menolong korban mengancam nyawa dan mengetahui

penatalaksanaan korban tidak sadarkan diri diluar rumah sakit yang bisa menyebabkan henti

jantung.

2.3Tahapan Bantuan Hidup dasar (Basic Life Support)

Tahapan Bantuan Hidup Dasar adalah sebagai berikut :

1. Pastikan 3A (aman diri, lingkungan dan aman pasien)

Sebelum melakukan tindakan pertolongan pertama pada kasus henti jantung (cardiac

arrest) penolong harus memastikan diri dalam kondisi aman dengan memakai APD

setiap akan melakukan tindakan bantuan hidup dasar , pastikan lingkungan dalam

kondisi aman dari ancaman yang membahayakan penolong atau korban. Apabila

lingkungan tidak aman bisa juga dengan memindahkan korban dari tempat kejadian

ke tempat yang lebih aman. Selanjutnya pastikan pasien dalam kondisi aman juga

sehingga dalam memberikan pertolongan yang optimal .

2. Cek kesadaran
Setelah penolong memastikan tempat kejadian dalam kondisi yang aman, penolong

harus memriksa kesadaran korban. dengan cara memanggil korban sambil menepuk

pundak korban. Jika korban masih merespon menjawab atau bergerak, biarkan korban

pada posisi ditemukan kecuali ada bahaya dan apabila berrespon tetapi terluka atau

membutuhkan bantuan medis segera aktifkan SPGDT lokal. lalu kemudia periksa lagi

kondisi korban .

jika henti jantungnya terjadi di luar rumah sakit maka yang harus dilakukan adalah

meminta bantuan orang lain untuk memanggil bantuan petugas medis.

3. Aktifkan SPGDT (EMS)

Jika penolong menemukan penderitadalam keadaan tidak sadar (contoh tidak ada

pergerakan tau respon saat dirangsang) dan nafas tidak normal penolong harus segera

meminta bantuan dengan berteriak ( apabila kejadian terjadi diluar rumah sakit) atau

menghubungi SPGDT (hubungi 118).

Padasaat menelepon meminta bantuan jangan lupa menyebutkan :

a. Identitas penolong

b. Lokasi kejadian

c. Jumlah dan kondisi korban

d. Nomor yang dapat dihubungi untuk koordinasi.

Apabila kejadian henti jantung (Cardiac arrest ) terjadi di lingkungan rumah sakit

maka segera aktifkan code blue.

4. Buka jalan nafas (Airway) dan periksa pernafasan (Breathing)

Untuk persiapan RJP (CPR), Letakkan penderita pada posisi terlentang. Jika

penderita dalam posisi telungkup ubah posisi penderita pada posisi terlentang. Buka

jalan nafas dengan menggunakan teknik manuver Head Tilt Chin Lift bila tidak ada

trauma kepala atau leher.


Bila petugas mencurigai adanya trauma kepala atau trauma servikal, buka

jalan nafas dengan manuver jaw thrust tanpa ekstensi kepala. Karena menjaga patensi

jalan nafas dan memberikan ventilasi yang adekuat merupakan prioritas dalam RJP

(CPR).

Periksa pernafasan (Breathing)

Sambil mempertahakan jalan nafas terbuka, Lihat, dengarkan, dan rasakan

adanya pernafasan atau tidak. Bila anda memeriksa korban selama 10 detik

Dan apabila mendapati penderita tidak bernafas dan tidak teraba nadi segera lakukan

RJP dengan diwali kompresi dada.

Jika nadi teraba dan nafas tidak normal (<12x/menit) maka berikan nafas tiap

5-6 detik dengan tidal volum sampai terlihat adanya pengembangan dada dan cek

kembali setiap 2 menit

Selama tindakan RJP tujuan dari ventilasi adalah untuk mempertahankan oksigenasi

yang adekuat (cukup). Berikut adalah rekomendasi umum yang dibuat :

a. Dalam menit pertama penderita dengan VF SCA, bantuan nafas mungkin tidak

begitu penting dibandingkan dengan kompresi dada, karena level oksigen dalam

darah masih tinggi dalam beberapa menit setelah henti jantung. Pada henti jantung

awal, pemberian oksigen myocardial dan cerebral (otak) lebih dibatasi oleh aliran

darah cardiac output daripada kurangya oksigen dalam darah. Selama tindakan

RJP(CPR) aliran darah dibuat oleh kompresi dada. Penolong harus melakukan

kompresi dada dengan efektif dan meminimalkan penghentian (interupsi) pada

kompresi dada.

b. Ventilasi dan kompresi, keduanya sangat penting untuk penderita dengan VF SCA

yang lama, (prolonged VF SCA), saat oksigen pada darah digunakan.

5. Pemeriksaan Nadi
Penolong harus memeriksa nadi carotis dengan waktu 5-10 detik jika tidak teraba

penolong harus segera memulai melakukan kompresi dada (RJP).

6. Bantuan Pernafasan

Jika penderita orang dewasa dengan nadi teraba dan pernafasan tidak normal maka

harus membutuhkan ventilasi tambahan. Berikan bantuan nafas pada tempo 10 kali

permenit atau kurang lebih 1 tiupan setiap 5-6 detik. Setiap tiupan/satu kali nafas

bantuan harus diberikan lebih dari satu detik walaupun telah terpasang airway

definitive. Tiap tiupan atau bantuan ventilasi harus dapat menyebabkan dada

mengembang/naik. Selama pemberian nafas bantuan, nilai kembali nadi tiap 2 menit

tetapi saat pengecekan ulang nadi tidak boleh lebih dari 10 detik.

7. Kompresi Dada

Kompresi dada terdiri dari tindakan penekanan dada (kompresi dada) dibagian bawah

pada pertengan sternum secara teratur (rhythmic). Rasio kompresi dan ventilasi 30:2

artinya sesudah melakukan pijat jantung sebanyak 30 kali, berikan nnafas buatan

sebanyak 2 kali.

Kompresi ini menghasilkan aliran darah dengan meningkatkan tekanan intra thoraks

dan langsung menekan jantung. Walaupun komprei dada yang dilakukan secara tepat

dan baik dapat memaksimalkan tekanan systolic arterial 60-SOmmHg, dan tekanan

diastolic rendah dan tekanan rata – rata pada srtery carotis jarang melebihi 40 mmHg.

Kompresi dada yang memberikan jumlah oksigen yang sedikit dan dialirkan ke otak

dan myocard. Pada korban dengan VF SCA kompresi dada meningkatkan angka

keberhasilan. (sama seperti pemberian defribilasi). Kompresi dada sangat penting jika

kejut listrik (Shock) pertama diberikan ≥ 4 menit setelah penderita jatuh tidak sadar.

Penelitian tentang kompresi dada ini dihasilkan dari penelitian consensus 2015 yang

menyimpulkan bahwa :
a. Kompresi dada yang “efektif” sangat penting dalam menyediakan aliran darah

selama RJP (CPR).

Untuk memberikan kompresi dada yang “efektif”, tekan dengan keras dan

cepat” tekan dada penderita pada kecepatan / tempo ± 100-200 x/menit,

dengan kedalaman minimum 2 inci (5cm) namun tidak boleh lebih dari 2,4

inci (6cm), yang membuat dada kembali ekspirasi setelah kompresi dada

dilakuka, dan membuat waktu kommpresi dan relaksasi sama / seimbang.

b. Minimalkan penghentian (interupsi) pada kompresi dada yang dilakukan untuk

memaksimalkan kompresi yang diberikan.

Teknik

Untuk memaksimalkan keefektifan kompresi dada adalah :

a. Dengan meletakan penderita pada posisi terlentang pada alas yang keras,

(contoh : diletakan diatas papan keras (back board) atau lantai)

b. Penolong berlutut disamping penderita sejajar dengan thoraks/dada penderita.

c. Dengan menumpuk kedua telapak tangan jadi satu dengan jari jari kedua

tangan saling mengait dan untuk menghasilkan kompresi yang efektif tekan

bagian tengah dada dengan kencang, cepat dan tanpa henti atau meminimalkan

interupsi.

d. Letakkan telapak tangan diatas tulang sternum pada setengah bagian bawah

dan letakan tangan kedua diatasnya.

e. Posisi lutut lurus, pindahkan beban tubuh ke tangan dan Tekan kuat sternum

5-6 cm dan kemudian biarkan dada kembali pada posisi normal. Dada yang

kembali pada posisi semula membuat aliran darah dari vena balik ke jantung,
merupakan hal yang penting untuk RJP (CPR) dan harus ditekankan pada

pelatihan.

f. Berikan tekanan sebanyak 30 kali tanpa henti dengan kecepatan 100-

120x/menit.

g. Rasio kompresi dan ventilasi 30:2 artinya sesudah melakukan pijat jantung

sebanyak 30 kali, berikan nafas buatan sebanyak 2 kali.

Catatan :

 Pada petugas kesehatan tidak boleh lagi melakukan penghentian lebih lama

dan sesering mungkin dan cobalah untuk membatasi penghentian tersebut

tidak boleh lebih dari 10 detik kecuali untuk tindakan khusus seperti

pemasangan airway definitive atau penggunaan defibrillator.

 Penelitian pada boneka dan binatang menunjukan bahwa pada saat kompresi

yang merupakan bagian dari siklus menunjukan bahwa 20% - 50%

meningkatkan perfusi otak dan coranaria saat tempo / kecepatan kompresi

ditingkatkan menjadi 100-120 kompresi permenit.

 Tempo (rate) kompresi mengacu pada kecepatan kompresi bukan jumlah dari

kompresi yang dilakukan permenit.

 Kedalaman kompresi dada pada orang dewasa adalah minimum 2 inci (5cm)

namun tidak boleh lebih dari 2,4 inci (6cm).

RJP (CPR) dihentikan apabila :

 Penderita berespon dengan munculnya tanda tanda kehidupan seperti bernafas,

batuk batuk

 Korban ditemukan tanda – tanda kematian, seperti lebam mayat


 Penderita telah diserahterimakan pada petugas kesehatan lain atau tim

ambulan Rumah Sakit.

 Penolong kelelahan

 Penderita telah dinyatakan meninggal oleh pihak yang berwenang (dokter)

 Setelah 30 menit diberikan BHD tidak menunjukan tanda tanda ROSC

Bila ada respon serta nafas dalam kondisi normal posisikan dalam Recovery position

 Baringkan korban dalam posisi miring

 Dagu bawah mengarah keluar, punggung tangan atas menompang wajah

korban

 Kemudian tekuk lutut kaki atas kurang lebih 90 derajat dan jaga supaya

korban tidak jatuh terlentang kebelakang


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Strategi Pencarian Literature

Penelitian ini merupakan study literature yaitu dengan cara mereview atau

merangkum ulang beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain untuk

mendekripsikan informasi yang relevan.

Anda mungkin juga menyukai