Anda di halaman 1dari 15

STRUKTUR BUKU PAKET PELATIHAN

FIRST RESPONDER BASIC SKILL

Bab I : Menjadi Penolong Pertama


Bab II : Manajemen Jalan Napas
Bab III : Manajemen Fungsi Bernapas dan Pernapasan
Bab IV : Manajemen Luka, Perdarahan dan Fraktur
Bab V : Bantuan Hidup Dasar : Resusitasi Jantung & Paru
Bab VI : Ektrikasi, Evakuasi dan Trasnportasi Penderita Gawat Darurat
BAB I
MENJADI PENOLONG PERTAMA

TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada akhir pembahasan bab ini, saudara diharapkan mampu :
1. Menjelaskan pengertian penderita gawat darurat.
2. Menjelaskan kebutuhan dasar seorang penderita gawat darurat.
3. Menguraikan kedudukan penolong pertama dalam Sistem Pelayanan Gawat
Darurat Terpadu (SPGDT).
4. Menjelaskan 5 kemampuan dasar yang harus dimiliki seorang penolong pertama.
5. Menjelaskan prinsip cara meminta bantuan pertolongan.
6. Menguraikan prinsip-prinsip prosedur mengontrol lingkungan tempat kejadian
gawat darurat.

PENDAHULUAN
Gawat darurat adalah istilah popular yang sering dipakai dalam komunikasi sehari-hari,
namun seringkali mengaburkan arti sebenarnya jika kata tersebut dipakai pada situasi yang
kurang tepat. Istilah gawat darurat dalam dunia kesehatan mengandung arti khusus yang
tidak boleh sembarangan dipakai pada situasi-situasi umum. Pemahaman pengertian dasar
ini harus kita sepakati dahulu agar diperoleh persepsi yang sama.

Gawat darurat merupakan kata terjemahan dari “ Critical ill Patient “ dan “ Emergency
Patient “. Perhimpunan Critical Care Medicine Indonesia (PCCMI) mendefinisikan
pengertiannya sebagai berikut :
 Critical ill Patient adalah pasien gawat yang memerlukan pertolongan segera karena
berada dalam keadaan kritis dan terancam jiwanya.
 Emergency Patient adalah pasien yang memerlukan pertolongan segera (darurat)
karena ada situasi yang mengancam jiwanya atau mungkin tak ada ancaman kematian
tapi tetap perlu pertolongan segera.

Melengkapi pengertian gawat darurat di atas, Depkes RI (1995) menyebutkan bahwa


penderita gawat darurat adalah penderita yang terancam kematian dan kecacatan jika tidak
mendapatkan bantuan segera. Kata “Segera” adalah kata kunci penting dimana bantuan
harus dilakukan secepat mungkin oleh setiap penolong pertama. Namun juga penting
diingat bahwa tidak semua bentuk bantuan yang diberikan dengan cepat akan berguna
untuk mencegah kematian dan kecacatan. segera mengandung makna bahwa bantuan
harus dilakukan secara tepat sesuai dengan masalah klinik yang sedang dialami penderita.

Beberapa contoh kondisi yang mengancam nyawa dan kecacatan diantaranya ;


 Sumbatan jalan napas pada penderita tidak sadar
 Henti napas dan jantung kurang dari 10 menit dan bukan karena penyakit kronik
 Fraktur tulang besar seperti tulang paha
 Cedera pada dada dan paru-paru
 Perdarahan dalam rongga perut
 Cedera pada tulang punggung (Spinal)
 Luka bakar yang luas
Darurat mengandung arti situasi apa adanya atau satu kondisi dengan ada keterbatasan
sistem pendukung yang biasanya terjadi sesaat setelah suatu kejadian. Darurat memiliki
pengertian satu keadaan yang membutuhkan intervensi segera dengan ada ataupun tidak
ada alat/sarana. Contoh kasus darurat ;
 Ibu hamil menjelang persalinan tanpa penyulit
 Pingsan
 Penderita psikiatrik dengan resiko mencederai diri sendiri

Penderita mengandung arti jumlah korban ( orang ) yang mungkin hanya satu atau lebih dari
satu korban. Jumlah penderita dapat sebanding dengan jumlah penolong dan kemampuan
sarananya. Tetapi dapat juga jumlah korban melebihi kemampuan sarana dan jumlah
penolongnya. Dalam kondisi bencana massal misalnya, kemungkinan jumlah korban lebih
banyak daripada para penolongnya. Tentunya kondisi tersebut memerlukan pendekatan
teknis pertolongan yang berbeda. Nantinya dibutuhkan sebuah mekanisme pemilahan
penderita dan bentuk upaya bantuannya yang disebut proses ”Triage”.

PERAN PENOLONG PERTAMA DALAM SPGDT


Merujuk kembali kepada pengertian penderita gawat darurat, terdapat keadaan khusus
yang menjadi ciri penderita gawat darurat yaitu adanya situasi yang membutuhkan
bantuan pertolongan segera untuk mencegah terjadinya kematian dan kecacatan.
Bantuan yang diberikan harus dilakukan secara cepat, tepat dan akurat. Secara cepat yaitu
sesegera mungkin dimulai sejak di tempat kejadian (On the spot), serta tepat dan akurat
sesuai dengan kebutuhan penderita. Dan semuanya akan menjadi kewajiban anda sebagai
seorang penolong pertama (first responder). Kecepatan, ketepatan dan keakuratan bentuk
bantuan dari penolong, ditegaskan sekali lagi menjadi penentu keberhasilan pencegahan
kecacatan dan kematian seorang korban.

Seluruh upaya yang dilakukan penolong pertama pada dasarnya ditujukan untuk menjaga
agar Oksigen tetap dapat sampai di Otak. Otak sebagai sentral pengaturan seluruh aktifitas
sistem tubuh sangat peka terhadap penurunan suplay oksigen. Kesadaran dapat menurun
secara cepat bahkan sel otak dapat rusak permanen (Irreversible) jika tidak mendapat
oksigen kurang dari 4 menit saja. Tersedianya jumlah dan sirkulasi Oksigen yang cukup ke
seluruh tubuh terutama sel Otak, difasilitasi oleh Jantung dan Paru sehingga digambarkan
sebagai segitiga kehidupan seperti terlihat dalam gambar 1.1.

Gambar 1.1
Segitiga kehidupan

OTAK

JANTUNG PARU
Seorang penderita gawat darurat memiliki kebutuhan yang mendasar terhadap
ketersediaan oksigen dan kebutuhan akan bantuan pertolongan yang dapat menghindarkan
dia dari kematian dan kecacatan. Upaya bantuan dari seorang penolong pertama ditujukan
untuk mempertahankan hidup korban dan mencegah kecacatan, sehingga ia harus mampu :
1. Melakukan cara meminta bantuan pertolongan secara benar
2. Mengupayakan jalan napas yang bersih
3. Mengupayakan fungsi bernapas dan pernapasan yang adekuat
4. Mengupayakan fungsi sirkulasi darah yang optimal
5. Melakukan resusitasi fungsi Jantung dan Paru (Cardio Pulmonal Rescucitation)
6. Melakukan proses ekstrikasi, evakuasi dan tranportasi secara benar

Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan menimpa siapa saja.
Orang lain, teman dekat, keluarga ataupun kita sendiri dapat menjadi korbannya. Kejadian
gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit memprediksi kapan
terjadinya. Langkah terbaik dalam situasi tersebut adalah selalu waspada dan dengan
melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya. Harus dipikirkan satu bentuk
mekanisme bantuan kepada korban dari awal di tempat kejadian, selama perjalanan menuju
sarana kesehatan, sampai di fasilitas rujukan kesehatan serta upaya pemulihan setelah
cedera. Dengan kata lain bahwa upaya pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus
dipandang sebagai satu sistem yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Alasan kenapa
upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai satu sistem dapat diperjelas dengan
skema 1.1. di bawah ini :
Skema 1.1.
Fase Kejadian Situasi Gawat Darurat

Injury/ Pre Hospital Stage Hospital Stage Rehabilitation


Dissaster
 First Responder  Emergency Room  Fisical care
 Ambulance  Operating Room  Psycological care
Service 24 jam  Intensif Care Unit  Social care
 Ward Care  Spiritual care

Skema 1.1. di atas menggambarkan bahwa kualitas hidup penderita pasca cedera akan
sangat bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage dan
bukan hanya tergantung pada bantuan di fasilitas rujukan kesehatan saja. Jika di tempat
pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya
maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Sebaliknya jika di tempat kejadian dia
tidak mendapatkan pertolongan yang optimal maka akibat yang lebih buruk mungkin akan
dihadapi. Salah satu contohnya yaitu seorang penderita dapat mengalami gagal ginjal di
rumah sakit sebagai akibat dari perdarahan yang cukup lama di periode waktu Pre Hospital
Stage.

Terdapat 3 faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas hidup
korban nantinya yaitu :
1. Lama waktu ditemukannya korban
2. Siapa yang menjadi penolong pertama di tempat kejadian
3. Kecepatan meminta bantuan pertolongan

Penolong pertama bisa siapa saja tetapi biasanya sering orang awam non kesehatan. Setiap
penolong pertama harus terlatih/terdidik agar memiliki keterampilan pertolongan di tempat
kejadian. Ironisnya penolong pertama di negara kita umumnya adalah orang awam yang
tidak terlatih dan minim pengetahuan tentang kegawatdaruratan. Masalah ini diperburuk
dengan kondisi tidak jelasnya harus kemana penolong pertama meminta bantuan
selanjutnya. Lama dan kecepatan penderita ditemukan sulit kita prediksi karena bergantung
banyak faktor seperti geografi, teknologi, jangkauan sarana tranport dan sebagainya. Tetapi
kualitas bantuan yang datang dan penolong pertama dapat kita modifikasi dengan
membentuk sistem yang baik. Amati dan sadari setiap kejadian gawat darurat di sekitar
kita.....sungguh sangat memprihatinkan jika kita tak memiliki satu sistem yang melindungi
masyarakatnya sendiri dari ancaman cedera atau bencana !

Kesiapan bantuan pertolongan harus tersedia dalam bentuk pelayanan gawat darurat harian
24 jam (daily routine) yang terpadu dan terkordinasi dengan baik menjadi satu sistem yang
dikenal dengan Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Jika bencana massal
terjadi dengan korban banyak, maka pelayanan gawat darurat harian secara otomatis
ditingkatkan fungsinya menjadi Sistem Pelayanan Gawat Darurat dalam Bencana (SPGDB).
Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus mulai memikirkan terwujudnya penerapan
SPGDT dari tingkat pusat sampai pemerintahan tingkat Kota dan Kabupaten.

PROTAP CALL FOR HELP


Call for help adalah keterampilan penolong pertama untuk memperoleh dukungan dan
bantuan dengan cara mengaktifkan sistem pelayanan gawat darurat di suatu wilayah. Upaya
ini dapat dilakukan dengan berkomunikasi secara verbal dengan menggunakan alat
komunikasi, baik tradisional ataupun modern. Penolong pertama dapat berteriak, memukul
kentongan ataupun memakai saluran telepon untuk meminta bantuan. Kejelasan kemana
atau darimana bantuan akan didapatkan, menjadi faktor penting dalam keberhasilan
prosedur ini.

Suatu wilayah harus mempunyai satu Alarm Centre yang bertugas menerima informasi dari
masyarakat yang melaporkan adanya peristiwa gawat darurat/bencana. Alarm Centre
dikelola secara terpadu dimana unsur-unsur yang terlibat dalam upaya penanggulangan
korban ditempatkan pada satu atap sehingga bantuan terkordinasi dengan baik, misalnya
petugas kesehatan, polisi dan pemadam kebakaran atau resque.

Upaya meminta bantuan pertolongan harus diupayakan sebelum penolong pertama


membantu korban, karena kondisi gawat darurat menuntut upaya bantuan yang sistematis,
bertahap dan berkelanjutan sehingga usaha resusitasi tidak terputus atau disela dahulu.
Resusitasi jantung paru misalnya tidak boleh berhenti lebih dari 7 detik dan penolong
pertama harus tetap berkonsentrasi memberikan pertolongan sambil menunggu bantuan
tiba.

Prosedur Call for help ini menjadi hal yang sangat penting dalam sebuah SPGDT.
Keberlanjutan upaya pertolongan akan terwujud jika setiap penolong pertama mampu
mempraktekan prosedur ini dengan baik. Berkomunikasi secara efektif adalah syarat yang
mendasar untuk keberhasilan prosedur ini. Tujuan dari dilakukannya prosedur call for help
yaitu :
– Mengaktifkan sistem pelayanan gawat darurat
– Menjamin keberlanjutan pertolongan pertama yang telah diberikan
– Memperpendek waktu fase Pre Hospital

Prosedur ini dimulai dengan proses pengkajian cepat terhadap situasi lingkungan tempat
dimana kejadian gawat darurat terjadi. Sebelum anda memulai langkah untuk meminta
bantuan, maka aspek di bawah ini harus dipersiapkan.
– Kenali daerah tempat kejadian dengan baik. Apa yang dapat dijadikan patokan
sebagai ciri bagi tim bantuan yang akan dipanggil, misalnya pohon kelapa yang
melengkung bekas terbakar atau gedung berwarna merah
– Siapkan diri anda untuk menjadi leader jika tidak ada yang lebih berkompeten di
tempat kejadian
– Ketahui pusat pertolongan terdekat yang dapat dihubungi
– Pakailah akses komunikasi tercepat yang dapat digunakan untuk masuk ke dalam
sistem pelayanan gawat darurat yang ada di wilayah tersebut

Berteriaklah minta tolong jika anda tidak melihat orang lain. Jika ada kentongan pukullah
dengan irama cepat dan beraturan. Jika ada orang lain, mintalah bantuan agar dia mencari
pertolongan. Jika harus meninggalkan korban, yakinkan korban dalam posisi yang aman dan
segeralah kembali dengan cepat. Jika anda harus menggunakan telepon ikuti langkah
berikut :
– Tenangkan diri anda dengan menarik napas dalam beberapa kali sebelum memijit
nomor telepon
– Perkenalkan diri anda dengan jelas ; nama, peran dan tujuan melakukan telepon
– Jelaskan kejadian yang sedang anda hadapi dan tindakan yang telah anda lakukan
sebagai pertolongan pertama
– Informasikan kondisi tentang korban meliputi jumlah korban, masalah yang
dialaminya seperti tidak sadar, perdarahan, fraktur dll.
– Jelaskan secara rinci alamat tempat kejadian ; nama jalan, ciri/tanda menyolok yang
mudah terlihat, beritahukan jika ada portal atau jalan sempit.
– Dengarkan dengan seksama pesan petugas yang harus dilakukan oleh anda
– Berikan nomor telepon anda atau akses lainnya yang bisa dihubungi petugas
– Jangan menutup telepon sebelum petugas selesai mengintruksikan
– Kembalilah ke samping korban, siapkan diri untuk melanjutkan menolong sambil
menunggu petugas bantuan datang

Prosedur call for help berhasil anda lakukan dengan baik jika bantuan datang dengan
peralatan yang sesuai dengan kebutuhan korban. Dengan kata lainnya anda telah berhasil
melakukan komunikasi secara efektif dan efisien. Lalau dokumentasikan beberapa hal
berikut ini :
– Catatlah berapa lama waktu fase Pre Hospital yang telah terjadi. Waktu dihitung dari
saat anda menemukan korban sampai bantuan datang.
– Laporkan prediksi lamanya waktu sebelum anda atau penolong pertama tiba di
tempat korban.
– Laporkan bantuan yang telah berhasil anda lakukan dan respon yang ditunjukan
korban selama diberikan bantuan. Jelaskan juga bantuan yang gagal diberikan.

PROTAP MENGONTROL LINGKUNGAN


Prosedur mengontrol lingkungan adalah upaya yang harus dilakukan penolong pertama
sebelum memberikan pertolongan langsung secara fisik kepada korban. Mengontrol
lingkungan berarti mengatasi situasi lingkungan di sekitar korban yang dapat
membahayakan keselamatan korban dan penolong. Bentuk upaya kontrol lingkungan yang
dilakukan sangat bergantung kepada ancaman lingkungan yang sedang terjadi. Tujuan dari
prosedur ini adalah melindungi korban dari cedera baru yang mungkin akan terjadi serta
melindungi penolong dari lingkungan yang berbahaya. Prosedur ini berhasil dengan baik jika
 Tidak terjadi perlukaan baru pada korban
 Penolong dan korban terhindar dari ancaman lingkungan yang berbahaya

Bentuk ancaman lingkungan dapat merupakan ancaman langsung terhadap korban atau
terhadap penolong. Korban mungkin masih berada di dalam mobil yang akan meledak,
gedung sedang terbakar dan penuh asap, lapangan terbuka, tebing longsor dan lain
sebagainya. Situasi tersebut dapat juga mengancam keselamatan penolong sehingga
penolong harus menyakinkan diri bahwa lingkungan sudah aman saat memegang korban.
Ancaman lain yang harus diwaspadai penolong adalah yang bersumber dari diri korban.
Darah yang memancar, muntahan, luka terbuka, faeces merupakan media penularan
penyakit infeksi seperti HIV dan Hepatitis.

Persiapan yang harus dilakukan sebelum memulai prosedur mengontrol lingkungan adalah :
 Kenali kemampuan diri penolong
 Amati dengan cepat dan seksama situasi lingkungan di sekitar tempat kejadian : bau
bensin pada kecelakaan kendaraan bermotor, sumber listrik dan api, arah angin, air
yang meluap dll.
 Ingat dan catatlah jika memungkinkan seluruh kejadian yang terlihat, teraba, tercium
atau terdengar di sekitar tempat kejadian.
 Pakailah alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker, atau jubah terutama jika
menemukan banyak darah dan muntahan

Beberapa langkah prosedur untuk mengontrol lingkungan yang berbahaya di sekitar korban
dan penolong yaitu :
 Kecelakaan mobil : matikan mesin, tarik rem tangan, masukan gigi perseneleng atau
kempeskan ban mobil. Waspada terhadap kemungkinan ledakan !! Dekati kendaraan
dari arah samping, karena beberapa kendaraan memiliki komponen khusus misalnya
bemper yang dapat terpental setelah terjadi benturan. Cobalah dahulu masuk melalui
pintu sebelum cara lain dilakukan. Jangan merusak kendaraan secara paksa seperti
memecahkan kaca atau memotong atap kendaraan sebelum mencoba dulu membuka
pintu.
 Kecelakaan motor atau sepeda : Matikan mesin atau api disekitar kendaraan.
Pindahkan korban dari tengah jalan dan jangan lupa menandai posisi korban
sebelumnya. Amati jarak dari tempat benturan sampai posisi korban terakhir.
 Gedung terbakar : Tunggulah sampai petugas pemadam kebakaran tiba. Jika anda
harus masuk ke dalam gedung, selimuti tubuh anda dengan kain tebal seperti karung
yang telah dicelupkan ke dalam air kemudian berjalan serendah mungkin mendekati
tanah untuk menghindari asap dan uap panas. Pakailah masker supaya tidak
menghirup asap dan uap panas. Uap panas dapat menyebabkan oedema Laring yang
berakibat obtruksi jalan napas. Jangan membuka jendela karena dapat menambah
kebakaran.
 Korban terbakar : matikan api dengan menggulingkan badan korban jika mungkin,
atau menutup badannya dengan kain basah. Jangan meniup atau mengipasinya
karena justru akan memperbesar api.
 Listrik : Matikan sumber listrik dari sekeringnya, gunakan alat yang bersifat isolator
seperti kayu atau karet untuk mencabut kabel listrik. Hindari memegang korban jika
tubuh penolong basah.
 Gempa bumi : Jangan memaksa masuk ke dalam gedung saat gempa masih
berlangsung. Tidak ada tempat yang aman dalam gedung !!. Jika gempa masih terjadi
dan anda terjebak dalam gedung, berdiri di bawah kusen pintu dapat dijadikan
alternatif tempat berlindung.
 Korban tenggelam : Lemparkan benda mengapung ke dekat korban sebelum anda
terjun menolong. Jangan memaksakan diri jika yakin penolong tidak sanggup berenang
dengan membawa beban.
 Perang atau kerusuhan : Jangan masuk ke area konflik tanpa perlindungan khusus dari
petugas keamanan. Pakailah baju yang menandakan bahwa kita petugas kesehatan.
 Petugas Ambulans : Taati peraturan lalu lintas, lakukan “defensif driving” kecepatan
maksimal 60 km/jam jika menjemput korban, maksimal 40 km/jam jika bersama
korban. Nyalakan rotator dan hindari menghidupkan sirine karena dapat
meningkatkan kecemasan korban/keluarga dan bahkan justru mengundang agresifitas
pengendara lain. Parkirlah 15 meter di depan kendaraan korban jika petugas polisi
telah ada. Jika ambulan yang tiba duluan, parkirlah di belakang korban untuk
melindunginya dari kendaraan lain yang datang searah jalan. Parkirlah lebih jauh lagi
jika tercium bau bensin.

Pembahasan dalam bab pertama ini ditutup dengan beberapa pernyataan sebagai berikut :
 Menjadi penolong pertama adalah sebuah sikap hidup
 Hindari jika tak punya nurani, atau jalani dengan berani !
BAB VI
EKSTRIKASI, EVAKUASI DAN TRANSPORTASI
PENDERITA GAWAT DARURAT

TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada akhir pembahasan bab ini, saudara diharapkan mampu :
1. Menjelaskan perbedaan pengertian dari Ekstrikasi, Evakuasi dan Transportasi
penderita gawat darurat
2. Menjelaskan bentuk dan jenis alat Ekstrikasi, Evakuasi dan Transportasi penderita
gawat darurat
3. Menguraikan syarat-syarat pemindahan penderita gawat darurat
4. Membedakan prinsip mobilisasi korban dengan cedera dan non cedera
5. Mendeskripsikan teknik mengangkat korban non cedera dalam beragam situasi
6. Mendeskripsikan prinsip pemindahan korban dengan cedera spinal

PENDAHULUAN
Upaya ektrikasi, evakuasi dan transportasi penderita gawat darurat merupakan serangkaian
prosedur dasar yang harus dikuasai penolong pertama dari tempat kejadian sampai merujuk
penderita ke fasilitas kesehatan yang lebih baik. Ketiga prosedur tersebut adalah bagian dari
satu proses rujukan yang memiliki tujuan agar :
– Penderita terbebas dari situasi lingkungan yang berbahaya
– Penderita mendapatkan bantuan yang lebih baik dari yang sebelumnya telah
diberikan

Keputusan memindahkan korban harus mempertimbangkan banyak faktor yang salah


satunya jangan sampai prosedur tersebut malah membuat lebih buruk kondisi korban atau
membuat cedera baru. “Do no further harm !” maksudnya adalah jangan lakukan kesalahan
tindakan yang menimbulkan masalah baru bagi korban. Cara memindahkan, cara
mengangkat dan menggunakan alat yang tepat adalah hal mendasar yang harus dikuasai
penolong untuk mencegah kecacatan akibat salah prosedur ini.

Memindahkan korban ke tempat lain untuk mendapatkan kualitas bantuan yang lebih baik
harus didasarkan pada terpenuhinya syarat dari aspek korban, penolong dan sarana yang
tersedia. Korban yang akan dipindahkan mungkin saja tidak mengalami cedera fisik atau
sebaliknya. Dari sisi penolong harus paham dan terlatih dalam melaksanakan prosedur ini.
Sedangkan situasi di tempat kejadian akan menuntut kreatifitas tim penolong untuk
memberdayakan sarana seadanya jika korban berada di pra hospital.

Syarat utama menjadi penolong saat melakukan ektrikasi, evakuasi dan transportasi adalah :
– Mampu mengidentifikasi masalah medis yang sedang dialami korban
– Memiliki keterampilan mengobservasi dengan baik
– Memiliki keterampilan mencatat secara kronologis
– Mampu memilih teknik dan sarana yang tepat untuk memindahkan korban
– Percaya diri dan mampu bekerja sendirian
Panduan umum untuk melakukan protap ektrikasi, evakuasi dan transportasi penderita
adalah :
– Lakukan terlebih dulu penilaian secara cepat situasi lingkungan di tempat kejadian
korban ditemukan
– Identifikasi korban mana yang mengalami cedera/trauma dan non trauma
– Identifikasi adanya situasi krisis pada korban yang segera dimasukan ke ambulan lalu
segera pergi (load and go). Contohnya korban yang membutuhkan pembedahan
segera karena perdarahan intra thorak atau abdomen.
– Lakukan transportasi untuk merujuk korban setelah syaratnya terpenuhi (Syarat dari
aspek korban, penolong dan alat)
– Manfaatkan seluruh potensi termasuk alat dan bahan yang tersedia di sekitar korban
– Panggilah bantuan sesuai kebutuhan dan jumlah korban

PROSES EKSTRIKASI PENDERITA GAWAT DARURAT


Ekstrikasi adalah satu upaya untuk membebaskan penderita dari jepitan, tertindih beban
berat, tertimbun atau sebab mekanis lainnya. Tanpa proses ektrikasi ini maka penderita
tidak dapat diberikan bantuan medis dengan baik. Upaya ektrikasi juga seringkali
membutuhkan alat berat khusus seperti mobil derek, gergaji baja atau lainnya sehingga
proses ektrikasi lazim dilakukan oleh tim Search And Rescue (SAR) sebagai tim non
kesehatan. Namun demikian bukan tidak mungkin tim Emergency Medical Services (EMS)
akan dihadapkan pada situasi yang membutuhkan keterampilan tim kesehatan untuk
melakukan bantuan di tempat kejadian karena datang duluan.

Anda boleh masuk ke dalam kendaraan korban jika sudah yakin kendaraan tersebut tidak
akan terguling atau menggelinding sendiri. Langkah pertama matikan mesin dan sumber
listrik dengan meng-off-kan kunci kontak. Tarik rem tangan dan kempeskan ban supaya
kendaraan tidak bergerak. Gambar 6.1 merupakan contoh hasil stabilisasi kendaraan.

Gambar 6.1.
Stabilisasi Mobil

Cobalah terlebih dulu masuk ke dalam mobil melalui pintu sebelum memutuskan untuk
memecahkan kaca. Jika tidak berhati-hati, pecahan kaca dapat saja melukai korban atau
bahkan meledak karena lamanya kaca tertutup. Safety belt tidak boleh dilepaskan tiba-tiba
karena korban dapat jatuh terkulai atau bekuan darah lepas kembali dan terjadi perdarahan
ulang. Jika kaki korban terjepit, coba dulu melepaskan sepatunya lalu menariknya. Evakuasi
dapat dilakukan dengan terburu-buru jika korban harus segera diberikan RJP atau ketika
mobil terbakar. Korban yang diduga mengalami cedera Spinal harus harus dibantu untuk
dikeluarkan dari dalam mobil dengan menggunakan alat khusus seperti terlihat dalam
gambar 6.2.
Gambar 6.2.
Kendrict Extrication Device (KED)

Mobilisasi korban cedera Spinal harus dilakukan secara segaris (in line mobilization) dengan
gerakan Log Roll atau gulingan kayu gelondongan seperti terlihat dalam gambar 6.3.
Sedangkan gambar 6.4. menunjukan pengendara mobil yang sedang dipasang KED.

Gambar 6.3. Gambar 6.4.


Log Roll Pemasangan KED

Membuka helm termasuk salah satu upaya ektrikasi jika korban diduga mengalami cedera
Cervikal. Gambar 6.5 menunjukan cara melepaskan helm pada korban yang diduga
mengalami cedera pada Cervical. Upaya melepaskan helm sebaiknya dilakukan oleh 2
penolong. Penolong pertama bertugas memfiksasi leher sementara penolong kedua
memuaikan helm ke sisi luar sebelum kemudian menariknya menjauh dari kepala. Teknik ini
berlaku sama untuk helm full face.
Gambar 6.5.
Melepaskan Helm
EVAKUASI DAN TRANSPORTASI PENDERITA GAWAT DARURAT
Evakuasi adalah suatu upaya untuk memindahkan korban secara cepat dan aman dari
tempat terjadinya cedera sehingga terhindar dari timbulnya perlukaan tambahan.
Sedangkan transportasi merupakan proses pemindahan korban menuju tempat/sarana
kesehatan lain yang lebih baik sesuai dengan masalah klinis yang sedang dialaminya.
Gambar 6.6. merupakan contoh bagaimana evakuasi penumpang pesawat terbang
dilakukan.
Gambar 6.6. Gambar 6.7.
Latihan Evakuasi Penumpang Evakuasi dalam kebakaran

Gambar 6.7. mengilustrasikan bagaimana dilakukannya proses evakuasi pada korban


kebakaran di ruang tertutup yang penuh asap. Jika korban tidak sadar, maka korban
diposisikan telentang dengan kedua pergelangan tangan diikat di depan tubuhnya.
Selanjutnya penolong akan merangkak dengan kedua lengan korban yang melingkar di
lehernya.

Pemindahan penderita tidak selalu membutuhkan dukungan sarana yang lengkap atau
canggih. Alat sederhana buatan sendiri seringkali memberikan efek yang baik bagi korban
jika sesuai dengan kondisi korban. Di tempat kejadian penolong dapat menggunakan daun
pintu sebagai pengganti Long Spine Board (LSB), pagar bambu atau bantal sebagai bidai
bahkan sarungpun bisa digunakan sebagai tandu. Namun demikian jika di satu wilayah telah
memiliki SPGDT yang beroperasi 24 jam, maka alat ektrikasi, evakuasi dan transportasi
penderita gawat darurat tentunya selalu tersedia.

Berikut ini adalah gambar beberapa alat yang sering dipergunakan untuk proses stabilisasi,
evakuasi dan transportasi korban cedera :
Nama alat Fungsi
6.8. Pneumatic Anti Shock
Garment (PASG)
Alat ini digunakan untuk menstabilisasi fungsi
sirkulasi. Bagian ektremitas dipakaikan baju yang
dapat ditiup/dikembangkan dengan udara sehingga
menghambat aliran darah ke area perifer. Darah
diharapkan berkumpul di bagian tubuh yang berisi
organ vital ; otak, jantung, paru dan hepar.

6.9. Long Spine Board (LSB) LSB digunakan untuk memindahkan korban yang
diduga mengalami cedera Spinal. Korban dapat
dibaringkan terikat dalam posisi telentang lurus
pada dasar yang rata. Alat ini juga dapat
memfasilitasi transportasi ibu hamil > 3 bulan yang
harus dibawa miring ke kiri untuk memperlancar
aliran Venous return ke Vena Cava

6.10. Short Spine Board & KED Alat ini dipergunakan untuk mempercepat proses
evakuasi korban yang diduga mengalami cedera
Cervikal dan Thorakal dari tempat yang sempit
seperti di dalam mobil. Spine board yang berbahan
kayu/fiber ini juga dapat dipergunakan sebagai alas
ketika harus melakukan RJP di tempat tidur.

6.11. Scoop Stretcher


Alat ini disebut juga sebagai tandu orthopedik.
Bagian atas yang lebar untuk badan dan bagian
yang sempit untuk kaki. Tandu ini dapat
dipanjangkan pada bagian kakinya untuk
menyesuaikan dengan ukuran tinggi korban.
Korban tidak perlu dimiringkan dengan Log Roll
karena pada kedua ujungnya terdapat bagian yang
dapat dibuka dan dikunci.

6.12. Basket Stretcher


Alat yang terbuat dari fiber kuat ini seringkali
dipergunakan untuk mengevakuasi korban
dengan helikopter atau turun dari ketinggian.
Karena bentuknya yang seperti keranjang, maka
korban dapat terlindung dari kemungkinan
benturan.

6.13. Vacuum Matras Sebelum dipasangkan, alat ini berbentuk seperti


kasur tipis yang datar berisi komponen Silikon
kering. Korban dibaringkan diatasnya lalu
pinggiran matras dilipatkan mengikuti bentuk
tubuh korban sambil disedot dengan pompa
khusus. Jika tidak bocor, matras akan mengeras
sehingga kalau perlu korban dapat dibawa
dalam posisi tegak.
6.14. Flexible Stretcher

Tandu adalah alat evakuasi yang mudah


dijumpai. Tandu modern ini dapat diganti
dengan tandu buatan dadakan dengan
menggunakan bahan di sekitar tempat korban,
6.15. Portable Stretcher seperti memakai bambu, anyaman tali, jaket
atau kain sarung. Hal yang harus diingat adalah
bahwa tandu model ini tidak boleh
dipergunakan pada korban yang diduga
mengalami cedera Spinal karena tidak memiliki
permukaan yang rata.
6.16. Tandu Kursi

EVAKUASI KORBAN NON CEDERA


Pemindahan korban yang tidak mengalami cedera fisik secara teknik lebih mudah dilakukan
dan sederhana. Pengangkatan dapat dilakukan oleh 1 penolong atau lebih, dengan
menggunakan atau tidak menggunakan alat. Berikut ini adalah gambaran urutan langkah
pengangkatan korban non cedera.

Gambar 6.17.
Mengangkat oleh
1 penolong

Gambar 6.18.
Mengangkat oleh
2 penolong
Gambar 6.19.
Mengangkat oleh
3-4 penolong

Gambar 6.20.
Mengangkat
dengan tandu kursi

Proses transportasi dalam memulai upaya rujukan penderita gawat darurat dapat dimulai
saat ketiga syaratnya telah terpenuhi, yaitu :
1. Penderita telah mencapai kondisi stabil, dan ini artinya tidak selalu dalam kondisi normal.
Yang terpenting adalah ;
a. Jalan napasnya terbuka tidak ada sumbatan
b. Fungsi Pernapasan dan ventilasi dapat dipertahankan
c. Perdarahan telah dihentikan dengan luka telah ditutup
2. Sarana tersedia dan memadai
a. Alat resusitasi ABC
b. Kendaraan : darat, laut, udara
c. Ambulan bertipe 118
3. Petugas selama transportasi harus terlatih dan mampu melakukan Pre Hospital Cardiac
Life Support (PHCLS) dan Pre Hospital Trauma Life Support (PHTLS)

Sebelum memulai proses transportasi harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :


1. Yakinkan kondisi korban telah stabil
Stabilisasi merupakan satu bentuk upaya untuk menjaga kondisi dan posisi korban agar
tetap stabil selama dan sesudah upaya resusitasi awal. Contoh upaya ini yaitu ;
– Menjaga korban supaya tidak bergerak ketika nanti ditransportasi
– Menjaga supaya jalan napas selalu terbuka dan kebutuhan pernapasan terpenuhi
– Menjaga posisi fraktur tidak berubah misalnya dengan pembidaian
– Menjaga agar perdarahan tidak berlanjut
2. Perhitungkan kemungkinan hambatan yang dapat terjadi selama transportasi
3. Lakukan observasi ketat & pencatatan kondisi korban selama perjalanan

Anda mungkin juga menyukai