Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu: Fase Deteksi, Fase Subpresi, Fase Pra
Rumah sakit, Fase Rumah sakit dan Fase Rehabilitasi. Fase-fase ini dapat berjalan
dengan baik bila ada ketersediaan sumber-sumber yang memadai. Beberapa referensi
ada pula yang menyebutkan bahwa SPGDT dibagi menjadi 3 subsistem, yaitu : sistem
pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah Sakit, sistem pelayanan antar
rumah sakit. Ketiga subsistem ini bersifat saling terkait didalam pelaksanaannya. Pada
pelaksanaanya bergantung kepada kebijakan Negara yang bersangkutan.
a. Fase Deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal diantaranya adalah
frekuensi kejadian, penyebab, korban, tempat rawan, kualitas kejadian dan
dampaknya. Misalnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas, maka dapat
diprediksi : frekuensi, Kecelakaan Lalu Lintas (KLL), Buruknya kualitas “Helm”
sepeda motor yang dipakai, Jarangnya orang memakai “Safety Belt”, tempat
kejadian tersering dijalan raya yang padat atau dijalan protocol, korban
kecelakaan mengalami luka mengalami luka diberbagai tempat atau multiple
injuries. Contoh lain bila terkait dengan bencana alam, maka dapat diprediksi:
daerah rawan gempa, frekuensi gempa, jenis bangunan yang sering hancur,
kelompok korban, dan jenis bantuan tenaga kesehatan yang paling dibutuhkan
pada korban gempa. Melatih tenaga kesehatan dan awam untuk pengelolaan
korban gawat darurat. Pelatihan dapat berbentuk BTCLS in Disaster, PPGD-ON
(Pengelolaan Pasien Gawat Darurat Obstetric Neonatus) untuk bidan, antisipasi
Serangan Jantung dan CADR (Community action & Disaster Response ) untuk
pengawal pribadi, pasukan keamanan/ polisi, pecinta alam, guru olahraga/ senam
atau pelatihan Dasi pena (Pemuda Siaga Pencana) untuk Senkom, pramuka,
pemuda dan tokoh masyarakat.
b. Fase Sebpresi
Kalau kita dapat memperediksi yang dapat menyebabkan kecelakaan atau
erjadi bencana yang dapat menimbulkan korban masal maka kita dapat
melakukan supresi. Supresi atau menekan agar terjadi penurunan korban gawat
darurat dilakukan dengan berbagai cara: perbaikan kontruksi jalan, peningkatan
pengetahuan peraturan lalu lintas, perbaikan kualitas “Helm” pengetatat melalui
UU lalu lintas atau peraturan ketertiban berlalu lintas, pengetatan peraturan
keselamatan kerja, peningkatan patroli keamanan atau membuat pemeriksaan
daerah bencana.
a. Fase Pra Rumah Sakit
Pada fase ini keberhasilan begantung pada beberapa komponen yaitu: akses
masyarakat ke petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih, atau akses petugas
terlatih atau petugas kesehatan terlatih kekorban, komunikasi dan jaringan
komunikasi yang dapat dimanfaatkan, serta ketersediaan gawat darurat. Pada fase
ini keberhasilan korban gawat darurat salah satunya bergantung adanya akses.
Akses dari masyarakat kedalam sistem adalah yang paling penting, karena kalau
masyarakat tidak dapat minta tolong maka SPGDT yang paling baikpun tidak ada
gunanya bagi korban yang memerlukan pertolongan. Mengingkat wilayah
Indonesia sangat bervariatif maka setiap provinsi atau kabupaten/kota perlu
memiliki nomor yang mudah dihapal yang mudah dihubungan untuk minta
pertolongan. Saluran informasi yang dapat diakses bila memerlukan bantuan
pertolongan gawat darurat atau bencana dimasyarakat diantaranya: polisi,
pemadam kebakaran, dinas kesehatan, rumah sakit atau ouskesmas terdekat yang
dikoordinir oleh badan penaggulangan bencana setempat.
Ada 3 subsistem dalam pelayanan kesehatan pada SPGDT:
(1) Sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah Sakit dan
sistem pelayanan antar Rumah Sakit. Pada sistem pelayanan medic pra
rumah sakit terdapat public safety center atau Desa Siaga, Brigade Siaga
Bencana, Pelayanan Ambulance, Komunikasi, Ambulan dan masyarakat
awam yang belum digarap secara serius oleh pemerintah.
(2) Sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam pelaksanaan sistem
pelayanan kesehatan di rumah sakit yang diperlukan adalah penyediaan
sarana, prasarana, dan SDM yang terlatih. Semua hal tersebut diatas harus
tersedia unit kerja yang ada di RS. Seperti di UGD, ICU, Ruang rawat inap,
laboratorium, Xray room, farmasi, klinik gizi, dan ruang penunjang yang
lainnya serta kamar mayat, dan lainnya. Dalam pelaksanaan pelayanan medic
di rumah sakit untuk korban bencana diperlukan : hospital Disaster Plan, Unit
Gawat Darurat, Brigade Siaga Bencana Rumah Sakit, High Care Unit, dan
kamar jenazah.
(3) Sistem pelayanan kesehatan antar rumah sakit. Sistem pelayanan kesehatan
antar rumah sakit harus berbentuk jejaring rujukan yang dibuat berdasarkan
kemampuan rumah sakit dalam memberikan pelayanan, baik dari segi
kualitas maupun kuantitas untuk menerima pasien. Misal di Jakarta bila ada
bencana bila ada patah tulang pasien dapat dirujuk ke RS Fatmawati. Ini
semua sangat berhubungan dengan kemampuan SDM, fasilitas medis yang
tersedia di rumah sakit tersebut. Agar sistem ini dapat memberikan pelayanan
yang baik memerlukan sistem ambulan yang baik dan dibawa oleh SDM
yang terlatih dan khusus menangani keadaan darurat. Dalam pelayanan
kesehatan antar rumah sakit: pelayanan fiksasi dan evakuasi, transportasi dan
rujukan, dan pengelolaan lalu lintas untuk transportasi dan rujukan.
DAFTAR PUSTAKA
Devi, Kumala, Sinta. 2018 Konsep keperawatan gawat darurat. Link akses:
https://www.academia.edu/36514903/Konsep_Kep_Gadar . diakses pada tanggal 31 maret
2023
Suryani, Mira. 2020. KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT . Link akses:
https://www.academia.edu/42041646/KONSEP_KEPERAWATAN_GAWAT_DARURAT
Diakses pada 31 Maret 2023.
Suherlan, Yosep. 2019. Makalah pertolongan pertama. Link akses:
https://www.scribd.com/document/435402937/Prinsip-Utama-Pertolongan-Korban-MIMIT
Diakses pada 31 Maret 2023
Sophiyanti, Desi, dkk.2022. Konsep Early Warning Score. Link akses:
http://wwws.scribd.com/document/5236811543/MAKALAH-MPS-KONSEP-EARLY-
WEARNING-SCORE-EWS Diakses pada tanggal 2 april 2023